Vous êtes sur la page 1sur 98

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Islam, pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting.

Pernikahan atau biasa disebut juga perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Sementara Kompilasi Hukum Islam (KHI)

merumuskan bahwa tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang saknah, mawaddah, dan rahmah.2 Dengan

demikian diharapkan sebuah pernikahan mampu membentuk keluarga yang

harmonis penuh dengan ketentraman, kebahagiaan, cinta, dan kasih sayang.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hendaknya dalam pernikahan

ada unsur kafah antara suami dan istri, yaitu persesuaian keadaan antara

calon suami dan istri atau antara keduanya itu sederajat.3 Hal itu dikarenakan

jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding akan merupakan

faktor kebahagiaan hidup suami dan istri dan lebih menjamin keselamatan

1
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Arkola, t.t.), 5.
2
Ibid., 180.
3
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: PT. Midnes Surya Grafindo, 1988), 167.

1
2

perempuan dari kegagalan dan kegoncangan dalam rumah tangga.4 Dalam

masalah kafah ini yang ditekankan adalah adanya keseimbangan,

keharmonisan, dan keserasian. Dalam masalah agama, yaitu akhlak dan

ibadah. Dari sini bisa dipahami bahwa ukuran kafah bukan melihat pada

harta ataupun kebangsawanan, karena seandainya harta dan kebangsawanan

yang menjadi ukuran maka akan terbentuklah kasta, sedangkan Islam tidak

membenarkan adanya kasta karena hakekat manusia di sisi Allah adalah sama,

hanya ketakwaanlah yang membedakannya. Hal ini suatu gambaran yang

digambarkan oleh ahli fiqh dalam masalah kafah.

Dalam hak kafah, jumhur ulama berpendapat kafah itu hak bagi

perempuan dan walinya, keduanya boleh meniadakan kafah dengan keridlaan

bersama, dan apabila tidak ada keridlaan masing-masing maka mereka berhak

untuk mem-fasakh-kan dengan alasan tidak kafah.5 Dalam menentukan

kriteria kafah terdapat perbedaan di kalangan ulama. Perbedaan pendapat di

kalangan ulama ini selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dimana ulama

tersebut hidup, juga disebabkan karena adanya perbedaan menggunakan dalil-

dalil dan cara berijtihad diantara mereka, sehingga perbedaan dalam berijtihad

mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad.6

Ulama Hanfyah berpendapat bahwa kafah meliputi enam hal, yaitu

keturunan, Islam, merdeka, kekayaan, keberagamaan, dan mata pencaharian.7

4
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2 (Beirut: Dr al-Fikr, t.t.), 126.
5
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), 390-391.
6
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar (Bandung: Orta Sakti, 1992), 102.
7
Muhammad Ab Zahrah, al-Ahwl al-Syakhsiyyah (Kairo: Dr al-Fikr, 1957), 156.
3

Sementara madzhab Mlikyah dan Immiyah tidak memandang keharusan

adanya kesepadanan, kecuali dalam hal agama dan akhlak saja.8 Ulama

Syfiyah menetapkan kriteria kafah mencakup lima hal: keturunan,

keberagamaan, merdeka, mata pencaharian, dan bebas dari cacat.9 Adapun

dalam madzhab Hanbal terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menetapkan

seperti pendapat madzhab Syfi, kecuali bebas dari cacat, sedangkan

menurut pendapat lain menetapkan bahwa kriteria kafah hanya dalam hal

keberagaman dan keturunan.10

Dalam tradisi orang Jawa dalam memilih pasangan biasanya

menggunakan standar bobot, bibit, bebet. Bobot yaitu suatu tinjauan untuk

memilih jodoh dari segi harta (kekayaan) dan status sosialnya. Bibit adalah

suatu tinjauan dari segi nasab (keturunan) dan bebet merupakan tinjauan dari

segi akhlaknya.11

Dalam memandang kriteria kafah, ulama banyak yang mengatakan

bahwa pekerjaan, kekayaan, dan akhlak merupakan kriteria kafah. Sedangkan

yang dimaksud dengan pekerjaan yaitu pekerjaan yang terhormat dengan

pekerjaan yang kasar.12 Untuk menilai pekerjaan terhormat atau tidak itu

dikembalikan pada adat kebiasaan masyarakat setempat. Sedangkan kekayaan

yaitu kemampuan laki-laki dalam membelanjai istrinya, karena orang fakir akan

8
Muhammad Jawwad Mughniah, Fiqh Lima Madzhab: Jafari, Hanf, Mlik, Syfi,
Hanbal, terj. Maskur AB. dkk., vol. 7 (Jakarta: Lentera, 2000),
9
Wahbah al-Zuhayl, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, vol. 7 (Damaskus: Dr al-Fikr, 1989),
240.
10
Ibn Qudmah, al-Mughn, vol. 6 (Mesir: Maktabah al-Jumhriyah al-Arabiyah, t.t.), 42.
11
Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu, t.t.), 42.
12
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 45.
4

membelanjai istrinya di bawah ukuran laki-laki kaya,13 maka orang kaya tidak

kafah dengan orang miskin. Adapun akhlak yaitu kemuliaan akhlak orang

tersebut. Dari sebagian kriteria kafah yang telah disebutkan ini tidak akan

terwujud kecuali adanya dukungan dari ilmu pengetahuan yang dia miliki. Dari

sini dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan bagian dari kafah yang

perlu dipertimbangkan dalam memilih jodoh.

Namun konsep kafah di kalangan orang Jawa atau masyarakat

Indonesia serta imam-imam madzhab berbeda dengan pemikiran Ibn Hazm.

Ibn Hazm sebagai pengembang madzhab Zhir berpendapat bahwa kafah

hanya berlaku dalam masalah keimanan, karena pada hakekatnya orang Islam

sama kedudukannya, bersaudara satu dengan yang lainnya sebagaimana

firman Allah SWT surat al-Hujurt ayat 10:

(10 : UVWP )HI HLMNOP QOR


Artinya: Sesungguhnya semua orang mukmin bersaudara.

Dari ayat di atas menunjukkan tidak adanya pembedaan antara

mukmin satu dengan lainnya,14 walaupun secara tidak langsung unsur kafah

juga ada dalam madzhab ini tetapi hanya dari segi agama saja. Dengan kata

lain, hanya ketakwaan kepada Allah sajalah yang membedakan manusia di

hadapan Allah, bukan masalah kebangsawanan, harta, ataupun kecantikan.15

13
Ibid., 46.
14
Ab Muhammad Al bin Ahmad Sad bin Hazm, al-Muhall, vol. 10 (Beirut: Dr al-Fikr,
t.t.), 24.
15
Djamaah Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Dina Utama, 1993), 77.
5

Dalam memandang kafah, Ibn Hazm mengatakan bahwa tidak ada

keharaman pernikahan antara orang negro yang pengangguran dengan Bani

Hasyim dan orang yang sangat fasik tetap kufu dengan wanita yang taat.

Begitu juga orang laki-laki yang mulia juga kufu dengan wanita yang

sangat fasik sekalipun. Kesemua dari mereka itu asal tidak berzina,16

karena menurutnya perempuan zina hanya boleh nikah dengan laki-laki

zina, namun apabila ia bertaubat maka dihalalkan baginya untuk dinikahi.17

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah surat al-Nr ayat 3:18


QXP QaW
c L d QP e f R XYP e U i
M e f R QXP j c L d QP kRYX P
(3 : HLP ).l fLM NO P mno p
P Us t U i
M
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mu'min. (an-Nur: 3)

Dari fenomena-fenomena di atas yang terjadi di kalangan imam-imam

madzhab dengan Ibn Hazm tentang pemikiran mereka mengenai konsep

kafah, yang menurut jumhur ulama adanya keharusan kafah dalam

pernikahan, sedangkan Ibn Hazm19 berpendapat tidak adanya keharusan

kafah dalam pernikahan karena menurutnya semua orang Islam adalah

16
Muhammad Ali bin Ahmad Said bin Hazm, al-Muhall, vol. 10 (Bairut: Dar al-Fikr,
t.t.), 24.
17
Ibn Hazm, al-Muhall, vol. 9, 474.
18
al-Quran al-Karm dan Terjemah Bahasa Indonesia (Kudus: Menara Kudus, t.t.), 350.
19
Sebagai mujtahid mutlak, yang mana ia bukan pengikut atau muntasib Dawud. Oleh
karenanya, Ibn Hazm tidak dapat dikatakan bahwa Ibn Hazm seorang mujtahid muntasib atau
mujtahid fi al-madzhab, hanya saja minhaj yang dipakai Ibn Hazm dengan yang dipakai Dawud
ada kesamaan secara garis besarnya saja. Dalam menentukan minhaj itu mereka mengambil
langsung dari Nur Muhammadi atau nur yang dilimpahkan kepada Nabi Muhammad. Lihat
Teungku Muhammad Hasbiy Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang:
PT. Pustaka Riski Putra, 1997), 318.
6

bersaudara. Berangkat dari permasalahan ini penulis mencoba untuk

membahas lebih mendalam dari pemikiran Ibn Hazm dalam hal kafah, dan

akan penulis sajikan dalam bentuk skripsi dengan judul KAFAH DALAM

PERNIKAHAN PERSPEKTIF IBN HAZM.

B. Penegasan Istilah

1. Kafah: Persesuaian keadaan antara suami dengan perempuannya, sama

kedudukannya, suami seimbang kedudukannya dengan istrinya di

masyarakat baik akhlak maupun kekayaannya.20

2. Ibn Hazm: Ibn Hazm adalah seorang ulama besar dari Spanyol. Beliau

adalah seorang ahli fiqh, ushul fiqh, hadts, serta ilmu kalam. Beliau

pendiri kedua setelah Daud al-Dzhir sekaligus pengembang madzhab

Dzhir. Nama lengkapnya Ab Muhammad Al Ibn Ahmad Ibn Sad

Ibn Hazm al-Andalus. Kemudian yang dilakukan di sini terfokus terhadap

pendapat Ibn Hazm sendiri yang terakomodir dalam kitab-kitabnya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dan untuk lebih terarahnya operasional

maupun sistematikanya ditentukan pokok permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Ibn Hazm tentang kafah dalam pernikahan?

2. Bagaimana istinbth hukum Ibn Hazm dalam menetapkan kriteria kafah

dalam pernikahan?

20
Alhamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), 15.
7

3. Bagaimana relevansi pemikiran Ibn Hazm tersebut dengan Kompilasi

Hukum Islam?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk menjelaskan kafah dalam pernikahan menurut Ibn Hazm.

2. Untuk menjelaskan pemikiran Ibn Hazm tentang kafah serta istinbth

hukum yang digunakannya dalam menetapkan kriteria kafah.

3. Untuk menjelaskan relevansi pemikiran Ibn Hazm tersebut dengan hukum

Islam di Indonesia.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini meliputi dua hal, yaitu kegunaan

ilmiah dan kegunaan terapan. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan kontribusi dalam memperkaya khazanah keilmuan dan

berpartisipasi dalam penyumbangan pemikiran, khususnya dalam bidang

hukum Islam.

2. Sebagai sumbangan pemikiran dalam mengantisipasi munculnya

problematika dalam masalah pernikahan.

F. Telaah Pustaka

Setelah penulis menelaah dari beberapa literatur-literatur yang penulis

temukan, pembahasan mengenai kafah dalam pernikahan telah banyak


8

dilakukan dalam kitab al-Ahwl al-Syakhsiyyah, umpamanya: Muhammad Abu

Zahrah menjabarkan berbagai hal seputar kafah. Zahrah membahas perbedaan

pendapat diantara madzhab fiqh dalam lingkup kafah baik tentang kriteria

kafah atau yang berhak baginya kafah dan lain sebagainya.21

Dalam kitab tersebut Ab Zahrah mengartikan kafah sebagai

keseimbangan antara suami dan istri mengenai beberapa hal tertentu supaya

terhindar dari perkara yang dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga.

Jika diambil kesimpulan kriteria-kriteria kafah tersebut meliputi nasab,

Islam (agama), merdeka, harta, keberagamaan (kesalihan), dan pekerjaan.22

Ketika membahas madzhab Hanbal Ab Zahrah menyebutkan adanya dua

riwayat dari Imm Ahmad. Pertama, sama dengan pendapat Imam al-Syfi

kecuali bebas dari cacat; Kedua, tidak adanya kafah kecuali dalam hak

ketakwaan dan nasab. Dalam hal ini Ab Zahrah tidak menjelaskan secara

mendetail, ia hanya membahas tanpa menguraikan pendapat-pendapat mereka

lebih lanjut.

Dalam Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Wahbah al-Zuhayl menerangkan

bahwa kafah adalah kesesuaian antara suami istri dalam hal kemasyarakatan

supaya keberlangsungan hidup berumah tangga dapat terjaga. Dalam kitab ini

Wahbah menguraikan permasalahan kafah secara terperinci, terutama ketika

menjelaskan perbedaan di kalangan fuqoha dalam masalah kafah sebagi

syarat pernikahan. Wahbah menjelaskan bahwa ada dua pendapat dalam

21
Abu Zahrah, al-Ahwl al-Syakhsiyyah, 156-168.
22
Ibid., 157-163.
9

menentukan kafah sebagai syarat nikah tersebut. Pendapat pertama

mengatakan bahwa kafah bukan merupakan syarat pernikahan baik syarat

sah nikah ataupun luzum/lazim (syarat yang memungkinkan adanya fasakh).

Menurut pendapat pertama ini, perkawinan seseorang laki-laki dengan

perempuan tetap sah walaupun keduanya tidak kufu. Pendapat kedua adalah

pendapat jumhur fuqoha yang mengatakan bahwa kafah adalah syarat

lazim bukan syarat sah nikah. Menurut pendapat ini apabila seorang

perempuan dinikahi laki-laki yang tidak kufu dengannya, maka akad

perkawinan tetap sah, tetapi untuk walinya berhak menolak (mem-fasakh)

akad itu untuk mencegah aib di antara mereka.23

Mengenai kriteria kafah Wahbah menjelaskan dengan rinci, ia

mengatakan kriteria itu meliputi keberagamaan (iffah atau taqwa), Islam,

merdeka, nasab, harta (kekayaan), pekerjaan (profesi), dan bebas dari cacat.

Adapun mengenai madzhab Hanbal ia menyebutkan secara global tidak

menyebutkan adanya perbedaan di kalangan madzhab ini. Madzhab ini

memberikan kriteria kafah dalam lima hal: agama, kemerdekaan, nasab,

kekayaan, dan pekerjaan.24

Sayyid Sbiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah mengemukakan

pendapatnya bahwa dalam perkawinan memang diperlukan kesederajatan,

kesepadanan, atau kafah maksudnya antara calon suami dan istri harus sama

dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak

23
Wahbah, al-Fiqh al-Islam, vol. 7, 248.
24
Abu Zahrah, al-Ahwl al-Syakhsiyyah, 240.
10

dan agama sehingga tidak diragukan lagi jika kedudukan antara laki-laki dan

perempuan sebanding akan merupakan faktor kebahagiaan hidup suami istri

dan akan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau

kegoncangan dalam rumah tangga.25

Dalam kitab al-Fiqh al al-Madzhib al-Khamsah karangan

Muhammad Jawwad al-Mughnyah disebutkan bahwa kesepadanan antara

suami istri dalam perkawinan ini meliputi: Islam, merdeka, keahlian, dan

nasab ini menurut madzhab Hanf, Syfi, dan Hanbal, sedangkan

Immyah dan Mlikyah tidak memandang kafah ini. Jawwad hanya

membahas tentang perbedaan pendapat di kalangan fuqoha dalam

menentukan kriteria kafah tanpa menyebutkan dalil dari masing-masing

kriteria tersebut. Mengenai madzhab Hanbal ia menentukan sama dengan

pendapat madzhab-madzhab lain.26

Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang kafah telah dilakukan oleh

Siti Muniroh. Ia membahas kafah dalam lingkup madzhab Hanbal dan

kafah dalam Kompilasi Hukum Islam. Ia menguraikan panjang lebar dalam

masalah kafah pada madzhab ini.27 Penelitian juga dilakukan Ziara Syufi

Rasmawati. Ia juga membahas kafah, namun dia lebih ke dalam prakteknya

dalam masyarakat. Syufi meneliti kafah yang terjadi di kecamatan Ngledok

25
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 128.
26
Jawwad, Fiqh Lima Madzhab, 350.
27
Siti Muniroh, Kriteria Kafah dalam Perkawinan Menurut Madzhab Hanbal dan
Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam, (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 2007).
11

Kabupaten Blitar. Ia mengupas secara mendalam praktek kafah di daerah

tersebut kemudian ia meninjaunya dari hukum Islam.28

Naam Bashori juga membahas Ibn Hazm, namun ia membidikkannya

dalam masalah nafkah. Ia mengupas panjang lebar tentang nafkah suami

terhadap istri. Ia mengatakan bahwa istri yang kaya wajib menafkahi suami

yang miskin.

Anwar dalam skripsinya Wasiat Menurut Jumhur Ulama dan Ibn

Hazm, di sana dibahas pendapat jumhur dan Ibn Hazm tentang status hukum

wasiat, yang mana Ibn Hazm memandang kewajiban wasiat serta faktor-faktor

yang menyebabkan perbedaan di kalangan mereka.

Dalam skripsi Yayuk Winarni yang juga membahas tokoh ini, dalam

skripsinya ia membahas hukum coitus intruptus menurut Ibn Hazm serta

istinbat hukumnya. Lain dari itu, Adon juga membahas tokoh Zahiri ini. Ia

mengambil tema tentang wasiat wajibah yang mana menurut Ibn Hazm

hukum wasiat ini wajib. Pembahasan juga dilakukan oleh Mujiono. Ia

membahas tentang pengadilan. Ia membahas tentang pendapat Ibn Hazm

dalam hal kewenangan hakim memutuskan perkara berdasarkan pengetahuan

hakim. Riyono juga membahas tokoh ini (Ibn Hazm). Ia mengkomparasikan

antara Imam al-Syfi dengan Ibn Hazm tentang nafkah terhadap istri yang

nusyuz. Tidak hanya dalam hal fiqh, penelitian terhadap tokoh ini juga

dilakukan dalam masalah ushul fiqh. Muhammad Mujib membahas sumber-

28
Ziara Syufi Rasmawati, Tinjauan Hukum Islam terhadap Kafah dalam Memilih Jodoh
di Kecamatan Ngledok Kabupaten Blitar, (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 1999).
12

sumber hukum Islam yang dipakai Ibn Hazm dalam kitab al-Ihkm fi Ushl

al-Ahkm, di sini dibahas metode-metode istinbat Ibn Hazm dalam kitab

tersebut. Ijtihad bi al-ray menurut Ibn Hazm, juga diteliti. Hasyim Asari

meneliti pendapat Ibn Hazm tentang ijtihd bi al-ray. Hasyim membahas

ijtihad yang ditolak oleh ulama ini serta memaparkan ijtihad yang digunakan

Ibn Hazm.

Dari kajian yang telah dilakukan di atas penyusun tidak menemukan

kajian-kajian, baik dari kitab maupun literatur-literatur lain yang membahas

kafah menurut Ibn Hazm, maka penulis memandang penelitian ini masih

layak dilakukan.

Dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti lebih lanjut persoalan

kafah tersebut dengan mengkaji pendapat Ibn Hazm yang di dalamnya

terdapat kontroversi di kalangan ulama, seperti yang telah terpapar pada latar

belakang masalah, disertai kajian mengenai relevansi pendapat tersebut

dengan praktek kafah yang terjadi di Indonesia saat ini.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
13

Dalam penyusunan ini penelitian yang digunakan adalah jenis

penelitian kepustakaan yang sering disebut dengan studi pustaka (library

research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau

mengkaji sumber pustaka.29 Semua sumber diambil dari bahan-bahan

tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literatur-

literatur lainnya.

2. Sifat Penelitian

Penulisan ini bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu usaha untuk

menyusun dan mengumpulkan data, kemudian diusahakan adanya analisa

dan interpretasi atau penafsiran terhadap data-data tersebut.

3. Data Penelitian

Dalam penulisan ini literatur atau data yang akan diteliti meliputi

tentang pemikiran Ibn Hazm dalam masalah kafah, istinbth hukum Ibn

Hazm serta relevansi pendapat tersebut dengan keadaan sekarang, serta

literatur-literatur lain yang mendukung.

4. Sumber data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data,

yaitu:

a. Sumber data primer, adalah buku-buku yang dijadikan rujukan

pertama, yaitu al-Muhalla dan al-Ihkm fi Usl al-Ahkm yang

29
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), 3.
14

keduanya karangan Ibn Hazm. Artinya, dalam menjawab masalah di

atas penulis banyak mengacu pada kitab-kitab ini.

b. Sumber data sekunder adalah buku-buku karya orang lain yang

membahas Ibn Hazm yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data

yang tersedia dalam sumber data primer.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun teknik analisa yang digunakan untuk mengolah data dalam

skripsi ini yaitu:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh dari

segi kesesuaian dan keselarasan antara yang satu dengan yang lainnya

serta realitanya dan keseragamannya kelompok data itu. Dalam hal ini,

setelah penulis menemukan data-data mengenai masalah kafah,

penulis memeriksa data itu, dan mengambil data yang sesuai guna

menyelesaikan masalah-masalah di atas.30

b. Organizing, yaitu menyusun data dari beberapa data yang diperoleh,

mensistematiskan data-data yang diperoleh dalam rangka paparan

yang sudah ada dan direncanakan sebelumnya yaitu sesuai dengan

sistematika pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah, yaitu

setelah penulis mengedit dari data-data yang ada, penulis lalu

30
Muhammad Teguh, Metodologi Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), 173.
15

mensistematiskan atau menggolongkan data itu sesuai dengan

rumusan masalah yang ada.31

c. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil

pengorganisasian data-data yang menggunakan kaidah-kaidah, teori-teori,

dalil-dalil, dan sebagainya sehingga diperoleh kesimpulan tertentu.

6. Analisis Data

Untuk mendapatkan kesimpulan yang valid dalam menganalisa

data digunakan dua metode, yaitu metode induksi dan deduksi:

a. Induksi, yaitu suatu metode yang dipakai untuk menganalisa data yang

bersifat khusus, sehingga dapat digeneralisasikan menjadi kesimpulan

yang bersifat umum. Dalam penelitian ini, metode tersebut digunakan

untuk menganalisa konsep kafah dalam pernikahan secara umum,

termasuk pemikiran Ibn Hazm tentang kriteria kafah tersebut.

b. Deduksi, yaitu suatu metode penelitian dengan pola pikir yang

berangkat dari penalaran yang bersifat umum kemudian ditarik pada

kesimpulan yang bersifat khusus, metode tersebut digunakan untuk

menganalisa dalil-dalil yang dipakai Ibn Hazm dalam menentukan

kafah sehingga ditemukan kriteria-kriteria tertentu dalam masalah

kafah yang lebih spesifik.

31
Ibid., 178.
16

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari bab dan sub bab

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan dari pada skripsi ini yang

meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan

istilah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal ini dimaksudkan

untuk mengarahkan pembaca kepada substansi penelitian ini.

BAB II : KAFAH DALAM HUKUM ISLAM

Dalam bab ini penulis mengenalkan lebih dekat tentang obyek dari

pada pembahasan ini. Dalam bab ini diuraikan tentang kafah

dalam pernikahan secara umum yang meliputi pengertian kafah,

dasar hukum kafah, macam-macam kriteria kafah, waktu

menentukan kafah, dan diakhiri dengan penjelasan mengenai

pengaruh kafah terhadap tercapainya tujuan pernikahan, dengan

tujuan untuk memberikan gambaran umum tentang kafah yang

menjadi permasalahan dalam skripsi ini

BAB III : KAFAH PERSPEKTIF IBN HAZM

Dalam bab ini penulis mengkaji tentang Ibn Hazm dan

pemikirannya mengenai kafah yang meliputi: biografi Ibn

Hazm, dasar-dasar istinbth hukum Ibn Hazm, dan pemikirannya


17

tentang kriteria kafah dalam pernikahan. Pembahasan ini

ditujukan agar memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai

tokoh yang diangkat dalam skripsi ini berikut pemikiran dan dasar

hukumnya.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP KAFAH DALAM PERNIKAHAN

MENURUT IBN HAZM

Dalam bab ini penulis menganalisis untuk mendapatkan

kesimpulan yang valid. Analisa tersebut dilakukan terhadap

pemikiran Ibn Hazm tentang kriteria kafah dan juga meliputi

tentang analisa terhadap metode istinbth hukum dan diakhiri

dengan analisa terhadap relevansi pemikiran Ibn Hazm tersebut

dengan hukum Islam di Indonesia.

BAB V : PENUTUP

Akhirnya kesimpulan dan saran dituangkan dalam bab ini yang

sekaligus untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini.


18

BAB II

KAFAH DALAM HUKUM ISLAM

Pengertian

Kafah berasal dari bahasa Arab QcP yang artinya setara,

sebanding sesuai, maksudnya adalah kesetaraan yang harus dimiliki oleh

calon suami dan istri guna memperoleh keserasian hubungan suami istri dan

dapat menghindarkan dari masalah-masalah tertentu.32

Dalam mendefinisikan kafah, banyak para ulama dan ilmuan yang

ikut andil dalam memberikan definisi ini.

1. Sayyid Sbiq memberi definisi sebagai berikut:

UfR ePYLOP k QaP QdQM efYP N YP Hcd


.kPQOP knP HOP koQO YUOP k QaP
Artinya: Laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sebanding dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam
akhlak serta kekayaan.33

2. Wahbah al-Zuhayl mendefinisikan kafah sebagai berikut:

.eHM HM k QnP Q lfYP lf enQOOP 34


Artinya: Persamaan antara suami dan istri guna menghindari cela pada
masalah-masalah tertentu.

32
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Prenada Media,
2003), 33.
33
Sayyid Sbiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 126.
34
Wahbah al-Zuhayl, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 229.
19

3. Dalam Fiqh Islam Sulaiman Rasjid mendefinisikan kafah dengan

setingkatnya antara laki-laki dengan perempuan pada lima sifat, yaitu:

agama, merdeka, perusahaan, kekayaan, kesejahteraan.35

4. Ulama Hanfiah mendefinisikan kafah dengan:

LP k eHM H k UOnP UP QM
.QOP eRQdP edUWP eUWP
Artinya: Persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam perkara
tertentu, yaitu: keturunan, Islam, pekerjaan, sifat merdeka,
keberagaman, dan kekayaan.36

5. Dalam buku fiqh terbitan Departemen Agama mendefinisikan kafah

dengan keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan calon suami

sehingga masing-masing calon tidak merasa keberatan untuk

melangsungkan perkawinan.37

Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat

menarik kesimpulan bahwa pengertian kafah secara terminologi adalah

persamaan atau keserasian antara calon istri dan suami untuk melangsungkan

suatu pernikahan guna menghindari cela dalam suatu masalah tertentu

sehingga antara calon suami dan istri tidak merasa keberatan untuk

melangsungkan pernikahan.

35
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islami: Hukum Fiqh Islam (Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo,
20-01), 390.
36
Abd al-Rahman al-Jazr, Kitab al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, vol. 4 (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.), 54.
37
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh (Jakarta: t.p.: 1982/1983), 95.
20

Dasar Hukum Kafah

Kafah merupakan suatu yang disyariatkan oleh Islam hanya saja al-

Quran tidak menyebutkan secara eksplisit. Artinya, dalam Islam tidak

menetapkan bahwa seorang laki-laki kaya hanya boleh kawin dengan orang

kaya, orang Arab tidak boleh kawin dengan orang Indonesia, atau yang

lainnya. Islam tidak mengajarkan yang demikian.38

Islam merupakan agama fitrah, yang condong kepada kebenaran.

Dalam hal kafah ini Islam tidak membuat aturan, tetapi manusialah yang

menetapkannya. Oleh karena itulah, terjadi perbedaan pendapat di antara

mereka, terutama tentang hukum dan pelaksanaannya.

Kafah bukan merupakan syarat sah pernikahan, namun demikian

kafah tidak bisa diabaikan begitu saja, melainkan harus diperhatikan guna

mencapai tujuan pernikahan. Islam memberi pedoman bagi orang yang ingin

menikah guna memilih jodoh yang baik sebagaimana firman Allah surat al-

Hujurt ayat 13:39


Q QH
QLn
mR U lM QL nI QXR QXLP Qad Qd
(13 :UVWP UfI fno
nXP X Q nXP L o
c M U
X H Q P
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujurt: 13)

38
Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 15.
39
Al-Quran al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia (Kudus: Menara Kudus, t.t.), 517.
21

Dalam ayat ini Allah tidak membedakan manusia satu dengan yang

lainnya, kecuali ketakwaan mereka pada Allah. Dengan kata lain bahwa

semua manusia di mata Allah adalah sama, asal mereka bertakwa pada-Nya.

Dalam ayat lain Allah juga memberi pedoman bagi manusia untuk memilih

jodoh, terutama dipandang dari sudut keagamaan mereka. Walaupun

demikian, bukan berarti kriteria kafah yang lain ditinggalkan, terutama juga

terdapat pada firman Allah surat al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi:40

HP e U i M lM Uf I e L M NM e M P l
X M Nd mXt QU i O P HWc L QP
HP U i
M lM Uf I lM NM P HLM Nd mXt l fU i
O P HWc L QP c V
o

l
fs d R U  O P e LX V
P mP Hod nXP QXLP mP Hod p P c V o

(221 :UP ). UX d a nX P
QXLnP Qd
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (al-Baqarah: 221)

Ayat ini turun berkaitan dengan permohonan izin Ibn Ab Mursyid al-

Ghanaw kepada Rasulullah untuk menikah dengan wanita musyrik yang

cantik dan terpandang. Dan dalam riwayat lain ayat ini turun berkaitan dengan

Abdullh bin Ruwhah yang mempunyai hamba sahaya yang hitam. Pada

wuatu waktu ia marah dan menamparnya, namun setelah itu ia menyesal dan

akhirnya ia memerdekakan budak itu lalu menikahinya. Dengan demikian,

40
Ibid., 35.
22

telah jelas bahwa mengawini hamba sahaya yang muslimah lebih baik dari

pada menikah dengan wanita musyrik.41

Dengan iman, seorang wanita akan mencapai kesempurnaan

agamanya. Sedangkan dengan harta dan kedudukan, ia akan memperoleh

kesempurnaan duniawinya. Memelihara agama lebih baik daripada

memelihara urusan dunia, namun bila ia tidak bisa memelihara keduanya,

kesamaan dalam beragama lebih menjamin akan terwujudnya tujuan

pernikahan yang harmonis dan bahagia.42 Lebih lanjut Muhammad Nasib ar-

Rifai mengatakan bahwa larangan menikah dengan musyrik karena

bercampur dan bergaul dengan mereka akan membangkitkan cinta pada dunia

serta memprioritaskan dunia daripada akhirat yang pada akhirnya akan

mengakibatkan kebinasaan. Sedangkan Allah mengajak ke surga dengan izin

dan ridho-Nya.43

Setelah membahas larangan pernikahan antara orang mumin dengan

orang musyrik, dilanjutkan dengan larangan nikah orang mumin dengan

orang zina. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surat al-Nr ayat 3 yang

berbunyi:44


QXP QaW c L d QP e f R XYP e U i
M e f R QXP j
c L d QP kRXYP
(3 :HLP ).l fLM NO P mno p P Us t U i
M

41
K.H.Q. Shaleh, dkk., Asbbun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al-
Quran (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004), 72-73.
42
Ahmad Musthaf al-Margh, Tafsr Margh, terj. Ansor Umar Sitonggal, dkk., vol. 2
(Semarang: Toha Putra, 1993), 263.
43
Muhammad Nasib ar-Rifai, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsr Ibn Katsr, terj.
Syihabudin, vol. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 359.
44
Al-Quran al-Karim, 350.
23

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang


berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-
orang yang mu'min.

Dengan tegas ayat ini melarang pernikahan antara orang pezina (yang

kotor dan biasa berzina) dengan orang mumin. Dalam ayat ini pezina hanya

diperbolehkan menikah dengan pezina atau orang musyrik.

Ulama Hanbal dan Zhhir menetapkan bahwa pernikahan dengan

pezina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum mereka

bertaubat.45

Selain itu, sebagian ulama berpendapat bahwa kebiasaan orang yang

suka berzina itu enggan untuk menikah. Sedangkan antara kesalehan dengan

perzinaan bertolak belakang, maka tidak mungkin rumah tangga akan tentram

bila antara suami dan istri tidak sejalan dalam kehidupannya.

Adapun yang menyangkut dengan perbedaan antara orang beriman

dengan orang fasik terdapat dalam al-Quran surat al-Sajdah ayat 18 yang

berbunyi:

(18 :VP ).
H
d QP Q
Q
Q lO QLM NM
Q lO
Artinya: Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)?
Mereka tidak sama.46

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa orang fasik tidak sama atau

sepadan dengan orang beriman. Yang membedakan adalah kualitas


45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, vol. 9
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 286.
46
Al-Quran al-Karim, 416.
24

keagamaan mereka. Disamping tidak sederajat, bahkan cenderung berlawanan

arah yang dapat membawa dampak yang buruk terhadap kelangsungan hidup

berumah tangga.

Kemudian dasar-dasar hukum kafah yang berasal dari hadts

seperti:47

cLP Uf :n fno mn H Q :PQ eiQo lo


.afP HWcR Q HWcR
Artinya: Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Pilihkanlah bagi anak-
anak kalian (jodoh yang baik) dan nikahkanlah mereka dengan suami
yang sepadan dan pinangkanlah anak gadis kalian dengan mereka.

Hadts ini memberi pemahaman sekaligus perintah kepada wali untuk

menikahkan anak-anaknya dan lebih selektif dalam memilihkan jodoh untuk

anaknya. Lebih jauh lagi hadts ini memerintahkan wali untuk menikahkan

anaknya dengan orang yang sepadan (se-kufu). Semakna dengan hadts di

atas yaitu hadts yang mengindikasikan harus adanya kafah yaitu:

l OWM lo kLaVP o l f lo l o QLt


mn kLP PQ k l kno lo f lo PQ k l kno l UOo
QLVP P :UIN kno Qd P Q n fno
.N QaP d Ut48
Artinya: Abdullah Ibn Wahab dari Sad Ibn Abdillah al-Juhany dari
Muhammad bin Umar dari Al bin Ab Thlib dari Ayahnya dari
Al Ibn Ab Thlib Nabi SAW bersabda padanya: Hai Al, tiga hal
jangan kamu mengakhirkannya (menunda-nunda), yaitu: shalat
apabila sudah masuk waktu, jenazah apabila hadir, janda apabila
kamu mendapatkan laki-laki yang sepadan untuknya.

47
Ibn Mjah, Sunan Ibn Mjah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 618.
48
Abi Isa Muhammad Ibn sa Ibn Saurah, Sunan al-Tirmdz, vol. 1 (Libanon: Dar al-Fikr,
t.t.), 217.
25

Hadts di atas walaupun ditujukan bagi janda, namun hadts itu juga
mengisyaratkan harus adanya kafah dalam pernikahan. Jika dilihat lebih
jauh, hadts di atas bisa dipahami dengan tidak tergesa-gesa menikah apabila
belum menemukan orang yang sepadan (kufu). Dr al-Quthni
meriwayatkan hadts yang senada, yaitu:

QfP lHY Q lM QLP jcL


Artinya: Hendaknya para wanita tidak dinikahkan kecuali kepada laki-laki
yang se-kufu dan janganlah menikahkan mereka kecuali (kalian)
para walinya.

Hadts ini jelas menerangkan pentingnya kafah, namun hadts ini

dianggap dhaif oleh Ibn Abd al-Bar.49

Hadts tentang kafah mengenai hal keagamaan di antaranya:

lM Q :n fno mn H Q :Q UdU k lo
.dUo Q k eL lc Hn H k Ld nI HU
50

Artinya: Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila


seseorang yang kalian telah relai perihal akhlaknya dan agamanya
datang (meminang anak gadis) kalian maka kawinkanlah (anak
kalian) dengannya. Jika kalian tidak kerjakan, niscaya akan timbul
fitnah di bumi dan kerusakan yang sangat luas (besar).

Hadts di atas juga memerintahkan seorang untuk menikahkan anaknya

bila sudah menemukan orang yang se-kufu atau sepadan. Dalam hadts ini

lebih menggambarkan kriteria kafah dari segi akhlak dan agama, yang mana

dengan akhlak dan agama akan lebih menjamin seseorang dalam berkeluarga

menuju kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena

seandainya seseorang tidak memperhatikan hal di atas dan lebih memilih

49
Muwfiq al-Dn Ab Muhammad Abdillah bin Ahmad bin Qudmah, al-Mughn (Bairut:
Dar al-Fikr, t.t.), 26.
50
John Wensinc dkk., Al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Hadth al-Nabaw.
26

mengawinkan anaknya dari segi kedudukan, harta, keturunan, maka akan

timbul kekacauan dan kerusakan yang tiada akhir.51

Dari keterangan di atas telah jelas bahwa dasar untuk memilih

pasangan hidup sebagaimana yang diharapkan dalam Islam adalah agama dan

akhlak. Sedangkan kedudukan, harta, keturunan, serta yang lainnya tidak

dikenal oleh Islam, karena sesungguhnya Islam memandang seluruh manusia

sama dan yang membedakan hanyalah ketakwaan mereka pada Allah.52

Dalam hal ini penulis lebih setuju apabila kriteria yang menyangkut duniawi

seperti kekayaan, pekerjaan, dan lainnya juga dimasukkan dalam dalam unsur

kafah karena pada dasarnya manusia akan cenderung terhadap hal

keduniawian.

Macam-Macam Kriteria Kafah

Dalam menentukan kriteria kafah, para ulama berbeda pendapat dalam masalah
tersebut, walaupun dari mereka juga banyak terjadi persamaan dalam
memandang kriteria kafah sebagai modal untuk menuju kehidupan rumah
tangga yang aman dan tentram sesuai dengan tujuan pernikahan.

Untuk lebih rinci, akan penulis sebutkan satu persatu dari masing-masing ulama.
Ulama Hanafiah memandang kafah hanya berkisar dalam enam hal:

1) keturunan (LP), 2) Islam (), 3) sifat merdeka (edUWP), 4)

kekayaan (QOP), 5) keberagamaan (eRQdP), 6) pekerjaan (eUWP).

51
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Muslimah: Ibadat, Muamalat (Jakarta: Pustaka
Amani, 1999), 269.
52
Ibid.
27

Ulama Malikiyah menetapkan bahwa kafah hanya terdapat pada

dua masalah saja: 1) masalah agama (ldP), 2) dan masalah bebas dari cacat

(HfP lM eM).53

Sedangkan dari golongan Syfiiyah, kafah berkisar pada lima hal:

1) sifat merdeka (edUWP), 2) keturunan (LP), 3) keberagamaan (ldP), 4)

pekerjaan (eUWP), 5) selamat dari cacat (HfP lM eM).54

Sementara dalam madhab Hanbal dalam menentukan kriteria kafah

dalam pernikahan terdapat dua pendapat. Sebagian mengatakan kafah hanya

dalam dua hal yaitu keturunan (LP )dan agama (ldP), dan sebagian yang

lain berpendapat kafah mencakup lima hal, yang dua telah disebutkan di atas

dan ditambah sifat merdeka (edUWP), pekerjaan (eoQLP), dan kekayaan

(QfP ).55

Sementara ulama yang paling menonjol perbedaannya di kalangan

ulama lain yaitu Ibn Hazm, yang mana beliau mengatakan tidak ada kafah

dalam Islam, karena semua orang mumin satu sama lain bersaudara, dan

seandainya ada, kafah hanya berlaku pada keagamaan semata.56

Demikian perincian kriteria kafah dari masing-masing ulama,

kemudian untuk memperjelas kriteria tersebut akan penulis uraikan satu

persatu.

53
Wahbah al-Zuhayl, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, vol. 7 (Damaskus: Dar al-Fikr,
1989), 229.
54
Ab Abd al-Muthi Muhammad Ibn Umar IbnAli Naww, Nihyah al-Zyn (Beirut:
Dar al-Fikr, 1995), 285.
55
Ibn Qudmah, al-Mughn, vol. 6 (Beirut: t.p.: 1984), 27.
56
Ibn Hazm, al-Muhall, 24.
28

1. Keturunan (LP)

Mengenai masalah keturunan ini semua ulama jumhur kecuali

Mlik sepakat, bahwa keturunan (LP )merupakan unsur dari kafah.

Mereka mengatakan bahwa keturunan ini didasarkan pada ras, terutama

bangsa Arab dan bangsa ajam. Kemudian madzhab Hanf dan Syfi

membedakan bangsa Arab yaitu Quraisy dan non Quraisy. Madzhab

Syfi membagi lagi bangsa Quraisy antara Bani Hasyim dan non Bani

Hasyim. Bani Hasyim pun dibagi lagi kepada Bani Hasyim dari keturunan

Muhammad dan bukan keturunan Muhammad SAW.57

2. Keagamaan (eRQdP)

Sedangkan yang dimaksud keagamaan yaitu kesalihan dan

keistiqamahan wanita dalam beragama. Maka, jika wanita itu telah taat

dan istiqomah dalam beragama maka ia tidak se-kufu dengan orang fasik

selagi bapak perempuan tadi juga shalih, dan ketika bapaknya fasik atau

wanita itu fasik dan bapaknya shalih maka seorang fasik se-kufu dengan

wanita itu.58

3. Islam ()

Masalah keislaman pada dasarnya digunakan bagi selain orang

Arab. Sedangkan orang Arab sendiri tidak memikirkan kufu terhadap

57
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafaah Syarfah (Bandung:
Remaja Rosdakarya: 2000), 58.
58
Badran Ab al-Ainan Badran, al-Zawj wa al-Thalq f al-Islm (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), 170.
29

keislaman mereka, sebab mereka bangga dengan nasabnya atau

keturunannya karena keislaman merupakan agama nenek moyang mereka.

Dalam masalah keislaman ini, ulama Syfi, Hanbal, Mlik tidak

memperhitungkan se-kufu tentang keislaman, namun ulama Hanaf

berpendapat, laki-laki muslim yang bapaknya kafir tidak kufu dengan

wanita muslimah yang bapaknya juga muslim.59

4. Kekayaan (QOP)

Kebahagiaan rumah tangga bukan terletak pada banyaknya harta,

namun harta merupakan salah satu faktor dalam kafah, karena pada

hakekatnya manusia senang terhadap harta. Walaupun para ulama sepakat

bahwa kekayaan termasuk unsur kafah namun mereka berbeda pendapat

dalam memandang kafah dalam masalah kekayaan ini.

a. Imam Hanbal berpendapat bahwa laki-laki miskin tidak sejodoh

dengan perempuan kaya.60 Beliau beralasan karena orang miskin akan

memberi belanja kepada istrinya di bawah kemampuan orang kaya

dan tentunya dalam kehidupannya.

b. Imam al-Syfi berpendapat bahwa orang faqir atau miskin tidak

kufu dengan perempuan kaya. Hal ini didasarkan pada hadts yang

maksudnya kebangsawanan adalah pada kekayaaan dan kemuliaan

59
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam: Menurut Madzhab Syafii, Hanafi,
Maliki, dan Hanbali (Jakarta: Hidayah Karya Agung, 1983), 76.
60
Ibid.
30

pada takwanya.61 Beliau beralasan bahwa hakekat uang tidak tetap

terkadang menghilang dan juga muncul. Dan juga kebanyakan

perempuan yang berbudi luhur atau yang mempunyai sifat muruah

tidak mementingkan kekayaan.

c. Imam Hanaf berpendapat, kekayaan menjadi unsur kafah dihitung

dengan memiliki harta untuk membayar nafakah dan mahar.

Sedangkan orang tersebut mempunyai sejumlah uang yang dapat

dibayarkan dengan tunai dari mahar yang diminta.

5. Tidak cacat

Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat: Pertama, golongan

Mlikiyah dan Syfiiyah berpendapat bahwa cacatnya itu cacat yang

mengakibatkan adanya hak khiyar untuk tetap melakukan perkawinan atau

menolaknya.

Fuqoha Zhhir dan Umar bin Abdul Azz berpendapat bahwa

cacat tidak mengakibatkan hak khiar baik khiar untuk terus menikah

maupun untuk berhenti.62

Mengenai persoalan cacat yang dapat menyebabkan khiar, para

fuqoha berselisih pendapat. Menurut Imam Mlik dan Asy-Syfi cacat

itu hanya pada empat macam, yaitu: gila, lepra, kusta, dan penyakit

kelamin yang menghalanginya jima, ada kalanya tumbuh daging atau

61
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 8, 46.
62
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrohman dan A. Haris Abdulloh, vol. 2
(Semarang: Asy-Syifa: 1990), 454.
31

tulang bagi perempuan dan impoten atau terpotong penisnya (kebiri) bagi

laki-laki.63 Kemudian Imam Ahmad menambahkan dari macam-macam

cacat di atas, yaitu robeknya lubang farji dengan lubang kencing hingga

kedua lubang tersebut bersatu.64

Sedangkan Imam Ab Hanfah dan pengikutnya berpendapat

bahwa cacat yang dapat untuk menolak pernikahan hanya tumbuh tulang

dan tumbuh daging.65

6. Pekerjaan (eUWP)

Maksud pekerjaan di sini yaitu pekerjaan terhormat dan pekerjaan

yang kasar. Maka, perempuan yang keluarganya mempunyai pekerjaan

terhormat tidak kufu dengan orang yang pekerjaannya kasar.66

Untuk menentukan terhormatnya suatu pekerjaan diukur dari adat

suatu masyarakat yang berlaku, karena pekerjaan di daerah satu terhormat

di daerah lain belum tentu terhormat, begitu sebaliknya.

7. Kemerdekaan (edUWP)

Mengenai kufu dari segi kemerdekaan ini yang dimaksud adalah

bahwa orang laki-laki atau perempuan yang menjadi budak tidak kufu

dengan orang laki-laki dan perempuan yang tidak menjadi budak. Begitu

pula tidak kufu orang yang tadinya budak lalu dimerdekakan dengan

63
Ibid.
64
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997), 247.
65
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, vol. 2, 455.
66
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, vol. 8, 45.
32

orang yang pada asalnya sudah merdeka. Begitu juga tidak kufu orang

yang merdeka yang keturunan budak dengan orang merdeka yang asalnya

sudah merdeka. Hal ini dikarenakan orang merdeka merasa aib kalau

keluarganya dihubungkan dengan budak.67 Mengenai kriteria kafah yang

satu ini jelas sudah tidak relevan dengan masa sekarang, sebab sudah tidak

ada perbudakan di masa sekarang ini.

Hak yang Timbul Karena Adanya Persyaratan Kafah

Dalam menentukan hak terhadap kafah ini akan penulis bagi menjadi dua, yaitu
hak Allah dan hak sesama manusia:

Hak Allah

Maksud hak Allah yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan

dengan (sejodohnya) calon-calon mempelai. Hukum-hukum ini

merupakan hak Allah yang mana dengan tidak adanya hukum ini,

pernikahan menjadi tidak sah (batal) dan apabila perkawinan (batal) tetap

dilaksanakan maka semua kaum muslimin dan pemerintah berhak untuk

merusak (P )perkawinannya. Sedangkan hak Allah dalam sejodoh ini

ialah hendaknya perkawinan itu dilakukan oleh seseorang yang agamanya

sama-sama Islam.68 Berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 221:

e U i
M lM Uf I e L M NM e M P l X M Nd mXt QU i O P HWc L QP
lM Uf I lM NM P HLM Nd mXt lfU i O P HWc L QP c V o HP
U  O P e LX V P mP Hod nXP QXLP mP Hod p P c V
o HP
U i M
(221 :UP ). UX d a nX P
QXLnP Qd l
fs d R
67
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, t.t.), 175.
68
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang:
1993), 73.
33

Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Hak Sesama Manusia

Yang dimaksud hak sesama manusia yaitu hak perempuan dan

walinya. Dalam masalah ini hak fuqoha sepakat bahwa hak kafah

terdapat pada wanita dan walinya. Dan bagi keduanya mempunyai hak

untuk menggugurkan ( )pernikahannya. Dari sini terlihat betapa

pentingnya kafah dalam pernikahan.


Kriteria kafah yang harus diutarakan adalah dari hal keagamaan,

yang mana dengan agama semakin hari semakin bertambah baik dan

akibatnya akan memberikan kebaikan yang berkesinambungan dan

kebahagiaan yang tidak terbatas,69 berbeda dengan harta benda yang malah

terkadang membuat susah, dan pernikahan dengan orang yang berbeda agama

lebih besar kegagalannya dibanding kegagalan orang yang menikah dengan

seagama, karena selain mengorbankan dirinya juga agamanya.

Dalam menentukan kafah yang harus lebih diperhatikan dan

diutamakan adalah dari segi agama, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila

69
Abdul Qadir Ahmad Atha, Adabun Nabi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 296.
34

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu.70

Dari sini bisa dipahami begitu pentingnya agama dalam pernikahan.

Tidak hanya agama Islam, namun kepercayaan lain juga menghendaki yang

demikian.

Penentuan kriterita kafah dari segi agama dapat dikaitkan dengan

tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan adalah:

1. Melaksanakan sunnah dan beribadah, memelihara diri dari perbuatan

haram dan menyalurkan syahwat secara halal. Hubungan seksual yang sah

melalui perkawinan merupakan bentuk amalan yang bernilai pahala. Ia

tidak hanya sebagai solusi mengatasi sahwat, namun juga memelihara

kesucian dan suatu bentuk yang mengikuti sunnah Rasulullah.71

2. Untuk memperoleh ketenangan jiwa. Bukan hanya ketenangan syahwat

tapi juga ketenangan ketika ia berdampingan, baik waktu susah maupun

senang yang merupakan tujuan pokok dan utama dalam perkawinan.72

3. Untuk melanjutkan keturunan (reproduksi). Keturunan merupakan hal

yang penting dalam rangka pembentukan umat Islam.73 Keturunan (anak)

70
UU Perkawinan, 6.
71
Ahmad Zacky, Fikih Seksual (t.t.p.: Jawara, t.t.), 90.
72
Ibid., 92.
73
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), 29.
35

merupakan buah hati dan belahan jiwa, banyak rumah tangga kandas

karena tidak dikaruniai anak.74

4. Untuk memelihara diri dari kerusakan, karena sesungguhnya manusia

mempunyai nafsu, sedangkan nafsu condong mengajak pada perbuatan

yang tidak baik.75

Demikian di antara tujuan-tujuan perkawinan yang harus didasari dengan faktor


keagamaan. Walaupun sebenarnya tanpa faktor agama juga bisa terwujud,
namun kurang sempurna, semisal memperoleh ketenangan jiwa. Hal ini
akan bisa terwujud namun kurang sempurna.
Seorang wali boleh menggugurkan (P )pernikahan wanita yang di

bawah perwaliannya apabila perempuan itu menikahkan dirinya dengan laki-

laki yang tidak kufu dengannya. Hal ini apabila tidak dengan izin walinya.76

Hal ini tidak ada masalah jika walinya telah rela.

Sedangkan kafah diperhitungkan sebagai syarat sah nikah manakala pihak


perempuan tidak ridha. Maka, apabila perempuan itu ridha untuk dinikahkan
dengan orang yang tidak kufu, maka kafah bukan merupakan syarat sah
pernikahan.77

Waktu Menentukan Kafah

Dalam menentukan kufu ini, yang menjadi pedoman ialah pada waktu

dilakukannya akad nikah. Maka, jika pernikahan sudah berlangsung dan di

kemudian hari terdapat tidak adanya kufu antara suami dan istri maka

74
Abd Rahman, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), 25.
75
Ibid., 28.
76
Wahbah al-Zuhayl, al-Fiqh al-Islm, 237.
77
Ab Bakar bin Muhammad Shath al-Dimyth, Inah al-Thlibn, vol. 3 (Beirut: Dar
Ihya al-Turth al-Arabi, 2001), 515.
36

pernikahan dalam keadaan seperti ini tidak bisa dibatalkan,78 karena alasan

tidak kufu antara kedua mempelai, sementara perkawinannya tetap sah.

Demikian juga ketika akad nikah keduanya kufu dan di kemudian hari

antara keduanya tidak kufu, mungkin karena adanya perubahan pada

keduanya, semisal yang awalnya kaya kemudian jatuh miskin atau tadinya

mempunyai pekerjaan yang terhormat kemudian hilang maka dalam hal ini

pernikahan tidak boleh dibatalkan, kecuali perubahan ke-kufu-an itu dalam

hal agama.

Oleh sebab itu, hendaklah pihak yang mempunyai hak dalam sejodoh

itu mengatakan pendapatnya tentang kedua mempelai. Dan sebaiknya

persetujuan itu dicatat oleh pihak-pihak yang berhak, sehingga dapat dijadikan

alat bukti seandainya nantinya ada pihak-pihak yang menggugat.79

78
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, 49.
79
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, 75.
37

BAB III

KAFAH PERSPEKTIF IBN HAZM

A. Biografi Ibn Hazm

Nama lengkap Ibn Hazm adalah Al bin Ahmad Sad bin Hazm bin

Ghlib bin Syahb bin Khalf bin Madan Sufyn bin Yazd bin Ab Sufyn

bin Harb bin Umayyah bin Abd Sym al-Umaw. Yazd adalah kakek Ibn

Hazm, salah satu orang dari kakek Ibn Hazm yang pertama kali masuk Islam.

Ia berasal dari Persia. Sedangkan Khalf adalah kakek Ibn Hazm yang

pertama kali masuk Andalusia.80

Ibn Hazm lahir pada tanggal 7 November 994 M bertepatan dengan

bulan akhir Ramadhan tahun 384 H setelah terbit fajar dini hari. Dan sebelum

keluar matahari di kota itu (Kordova Andalusia), namun negara itu kini

berubah nama menjadi Spanyol dan Portugal.81

Ibn Hazm dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan. Ayahnya

bernama Ahmad Ibn Sad ketika itu menjabat sebagai wazir (menteri) dan

berwibawa di kota Kordova.82

Namun demikian, Ibn Hazm tetap memusatkan perhatiannya untuk

mencari ilmu, bukan mencari harta benda layaknya orang. Ia menghafal al-

Quran di istana sendiri. Ini diajarkan oleh pengasuhnya. Selain dari itu, ayah

80
Ali Himaya, Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajian Agama-Agama, terj. Khalid al-Kaf
(Jakarta: Lentera, 2001), 55.
81
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Rusda, 2000), 149.
82
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1997), 546.
38

Ibn Hazm juga memperhatikan pendidikannya dan bakatnya dan ia

mempelajari ilmu-ilmu yang bisa dipelajari oleh pemuda-pemuda bangsawan

seperti menghafal al-Quran, hadts, syair-syair Arab, tulisan-tulisan, dan

gemar membaca. Beliau menerima ilmu dari Ahmad bin Jass dan dari situlah

Ibn Hazm meriwayatkan hadts.

Kehidupan di istana hanya sampai umur 14 tahun dikarenakan ayah

Ibn Hazm yang menjabat sebagai menteri meninggal dunia, dan pergolakan

politik pun tidak bisa dihindarkan, dan dengan memanasnya politik sehingga

ia harus berpindah dari kota satu ke kota lain.

Dengan pergantian itu juga mengakibatkan Ibn Hazm beserta

keluarganya mendapatkan kesukaran dan perlakuan otoriter dari pemimpin

negara. Mereka difitnah, ditahan, dan juga diasingkan.83

Peristiwa itu merupakan periode awal dari kehidupan Ibn Hazm, yaitu

selama 25 tahun dimana ia mengalami manis getirnya kehidupan. Gambar ini

dimulai dari kehidupan dari rumah ayahnya yang timbul akibat faktor politik

masa itu.84

Ketika Ibn Hazm menginjak dewasa, pendidikannya dialihkan ke

majlis taklim di masjid Kordova. Di sana ia mulai berdialog dengan berbagai

guru dan pakar ilmu agama.85

83
Ali Himaya, Ibn Hazm, 58-59.
84
Abdurrahman Ash Sharqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh (Jogjakarta: Logos, 1997),
156.
85
Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam (Jogjakarta: Intermasa, 1996), 608.
39

Setelah dewasa, Ibn Hazm juga mempelajari ilmu-ilmu lain seperti

filsafat, bahasa, kalam, etika, mantiq, dan ilmu jiwa.

Ibn Hazm adalah seorang yang cerdas, kuat hafalannya, dan luas

perbendaharaan keilmuan. Sejak kecil ia mulai menghafal al-Quran, al-

hadts, syair-syair, dan lainnya. Dan juga ia menghadapi guru-guru untuk

memperoleh ilmu dan meneladani akhlak mereka. Kemudian ia memusatkan

pemikirannya pada ilmu fiqh, namun tidak meninggalkan ilmu-ilmu lain. Ia

mendatangi halaqah-halaqah yang diadakan oleh para ulama ahli tafsir, ahli

hadts, ahli bahasa, dan fiqh.86

Dalam bidang fiqh, Ibn Hazm pertama kali mempelajari fiqh madzhab

Mlik yang menjadi resmi madzhab Andalusia (Spanyol). Kemudian ia

menemukan kritikan-kritikan yang dilakukan Imm Syfi terhadap pendapat

Imm Mlik, oleh karena itu kemudian Ibn Hazm mempelajari madzhab

Syfi dengan sungguh-sungguh, meskipun di Andalusia madzhab ini kurang

popular. Kemudian Ibn Hazm pindah ke madzhab Syfi dan

mengembangkan kritikan-kritikan Syfi, yang mana masyarakat sadar bahwa

Mlik itu juga manusia biasa, sehingga pendapatnya bukan suatu yang

mutlak.87

Meskipun beliau sering beralih madzhab, hal tersebut dilakukan bukan

hanya sekedar beralih saja, tetapi Ibn Hazm mempelajari setiap madzhab

dengan matang. Perpindahan Ibn Hazm dari madzhab Mlik ke madzhab

86
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Yogyakarta: Logos,
1997), 156.
87
Ibid., 556.
40

Syfi, Syfi ke Zhhir adalah karena ia tidak mau terikat dengan madzhab

tertentu, ia hanya terikat pada al-Quran dan al-hadts dan ijma sahabat.88

Di antara guru-guru Ibn Hazm adalah Ab al-Qsim Abdurrahman al-

Azdi (w 420 H), untuk belajar bahasa Arab Ahmad Ibn Muhammad al-Jasur

(w 401 H), belajar hadts pada Ab Bakar Muhammad Ibn Ishq, dan belajar

fiqh pada Abdullah bin Yahy Ibn Ahmad Ibn Dakhun (w 403 H), serta

mempelajari fiqh Mlik lalu pindah mempelajari fiqh Syfi, dan akhirnya

tertarik pada madzhab Zhhir yang dikembangkan Dud al-Ashbahani

melalui gurunya yaitu Masud Ibn Sulaiman.89

Dari selain disebutkan di atas, berikut ini guru-guru Ibn Hazm:

1. Ibn Abd al-Birri al-Mlik

2. Ab al-Husayn

3. Abd al-Qsim Abd al-Rahmn al-Azd

4. Ab Bakar Muhammad Ibn Ishq

5. Abd Allh al-Azd

6. Abu Khiyar Masud Ibn Sulaiman

7. Abu Abdullah Ibn Hasal al-Madhij90

Selain Ibn Hazm mempunyai guru, Ibn Hazm juga mempunyai murid,

antara lain:

88
Ali Hasan, Perbandingan Madzhab (Jakarta: Rajawali Press, 1996), 237.
89
Hasbiy, Pegangan Imam Madzhab 556.
90
Ajat Sudrajat, Epistemologi Hukum Islam Versi Ibn Hazm (Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2005), 22.
41

1. Muhammad bin Futh bin Id, ia mempelajari ilmu sejarah

2. Ab Abdillah al-Humaidi al-Andalusi, ia mendalami karya-karya Ibn

Hazm

3. Abu Rofi al-Fadl bin Ali, Abu Usamah Yaqub bin Ali, dan Abu

Sulaiman al-Musaab bin Ali, ketiganya itu putranya dari Ibn Hazm

sendiri yang mendalami fiqh.91

Ibn Hazm memiliki karakteristik dan perilaku yang luhur sebagai

manusia mulia dan berilmu dimana banyak dikaji dan didiskusikan karya-

karyanya. Hal itu didukung dengan:

1. Kemampuan Ibn Hazm menguasai beberapa karya tokoh masyarakat

beserta dalil dan argumentasinya.

2. Berkat keluhuran dan keindahan pribadinya dapat menghantarkan beliau

pada derajat tawadhu.

3. Mempunyai sifat ikhlas terhadap agama, para kerabat, guru, serta orang

yang pernah bertemu dengannya, bahkan beliau ikhlas memberikan harta

benda kepada orang lain, walaupun ia membutuhkan.

4. Kemampuan beliau menahan nafsu dan kesucian jiwanya.

5. Bersifat keras dan tajam dalam menolak para lawannya.92

Ibn Hazm wafat pada hari Ahad, hari terakhir bulan Syaban 456 H di

padang Lablah (pendapat Ibn Khalikan). Dan ada juga yang menyebut bahwa

91
Ensiklopedi Hukum Islam, 608.
92
Ali Himaya, Ibn Hazm, 73-75.
42

Ibn Hazm wafat di Muntu Laisyim, desa kelahiran Ibn Hazm. Beliau

meninggal pada umur 71 lebih 10 bulan dan 29 hari.93

Di antara keistimewaan Ibn Hazm adalah karya-karyanya yang sangat

banyak dan beraneka ragam yang mempengaruhi pemikiran manusia banyak

orang-orang yang menuntut ilmu yang merujuk dari karya-karya beliau.

Mengenai karya-karya Ibn Hazm terbagi menjadi dua, yaitu: karya yang

terlacak dan yang hilang.

Adapun karya-karya yang terlacak:94

1. Al-Ihkam fi Ushl al-Ahkm (Penguat Dasar-Dasar Hukum), kitab ini

di-tahqq oleh Syaikh Ahmad Sykir pada 1345. Diterbitkan melalui

al-Sadah sebanyak 8 juz dan diterbitkan al-Imm sebanyak 2 jilid

masing-masing 4 juz.

2. Izhr Tabdil al-Yahud wa a-Nasar li al-Taurah wa al-Injl wa Bayn

Tanaqudh m bi Aidhim Min Dzlik min m l Yahtam al-Tawl

(Membuktikan perubahan yang dilakukan umat Yahudi dan Kristen atas

Taurat dan Injil serta pertentangan di antara mereka yang tidak

memungkinkan takwil).

3. Al-Ushul wa al-Furu (Pokok-pokok agama dan cabang), ini ringkasan

kitab al-Fashl.

93
Ibid, 75.
94
Ibid., 83-96.
43

4. Asm al-Khulafa al-Mahdiyyin wa al-Ruwah (Nama para sahabat dan

perawi).

5. Asma al-Khulafa al-Mahdiyyin wa al-Aimmah Umara al-Mumin

(Nama para khalifah dan pemimpin umat Islam).

6. Ashab al-Fataya min al-Sahabah wa min Badihim ala Maratibihim fi

Katsrah al-Fataya (Para sahabat muda dan sesudahnya menurut tingkatan

jumlah terbanyak).

7. Al-Irab al-Hairah wa al-Iltibas wa al-Waqi infi Mazhahib ahl al-Ray

wal al-Qiyas (Kebingungan dan keraguan para ahli ray dan qiyas).

8. Ibthal al-Qiyas wa al-Ray wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Talil

(Membatalkan qiyas, ray, istihsan, taqlid, dan talil).

9. Al-Taqrib li Hadd al-Mantiq wa al-Madkhal ilaih bi al-Alfadz al-Amiyyah

wa al-Amtsilah al-Fiqhiyyah (Definisi terhadap batasan mantiq melalui

lafadz-lafadz umum dan contoh-contoh fiqhiyah).

10. Al-Tauqif ala Syari al-Najah Bikhtishar al-Tariq (Bersikap pada zat

pemberi keselamatan).

11. Al-Talkhish Liwujuh al-Talkhish (Inti sari menuju bentuk keikhlasan).

12. Al-Bayn an Haqiqah al-Insan (Hakikat manusia).

13. Jamharah Ansab al-Arab (Koleksi nasab-nasab bangsa Arab).

14. Jumal Futuh al-Ihsan bada Rasulullah SAW (Jumlah penaklukan Islam

setelah Rasulullah SAW).


44

15. Hajjah al-Wada (Haji perpisahan).

16. Al-Durrah fi Tahqiq al-Kalam fi ma Yalzamu al-Insan Iiqaduh fi al-

Millah Bihtishar wal Bayn (Sekelumit perbincangan tentang kewajiban

manusia mengenai sekte dan aliran keagamaan).

17. Diwan Ibnu Hazm (Kumpulan sastra karya Ibnu Hazm).

18. Ar-Radd ala Ibn al-Nughrilah al-Yahudi (Penolakan atas Ibn al-

Nughrillah sang Yahudi).

19. Risalatanilah Ajaba Fahima Risalataini Suila Fihima su al-Tarif (Dua

Risalah sebagai jawaban atas dua pertanyaan kritis tajam).

20. Risalah fi Hukm Man Qalana, Inna Ahl al-Syaqa Mujibun ila Yaum al-

Din (Sesungguhnya kaum yang sengsara mendapatkan siksa pada hari

kiamat).

21. Risalah fi Alam al-Maut wa Ibt Halah (Risalah tentang sakitnya kematian

dan penolakan atasnya).

22. Risalah fi al-Radd ala al-Hanif (Penolakan terhadap falsafah Hanif).

23. Risalah fi al-Ummahat wa Ummahat al-Khulafa (Risalah Ummul

Muminin).

24. Risalah fi al-Radd ala al-Kindi al-Falusuf (Penolakan atas filusuf al-

Kindi).

25. Al-Sirah al-Nabawiyyah (Jejak langkah Nabi).


45

26. Thauq al-Hammah fi al-Ulfah wa al-Ullaf (Kemampuan wanita dalam

kelembutan dan kemajuan).

27. Fi al-Immah fi ash-Shalah (Tentang imam shalat).

28. Fi Masalah al-Kalb (Masalah anjing).

29. Fi al-Ghina Ambahinuwa al-Mahzdur? (Kekayaan barang dibolehkan atau

dilarang?)

30. Fadhl al-Andalus wa Dzikr Rijalih (Keutamaan Andalusia dan

kehormatan para tokohnya).

31. Fashl fi Marifah al-Nafs Bighairiha wa Jahliha bi Zhatiha (Penjelasan

tentang pengetahuan jiwa dengan lainnya dan ketidaktahuan pada dirinya

sendiri).

32. Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal (Penjelasan tentang sekte

dan aliran keagamaan).

33. Al-Qiraat al-Masyhurah fi al-Anshar (Para ahli qiraat terkenal di

belahan kota).

34. Mudawan al-Nufus wa Tahzib al-Akhlaq wa al-Zuhd fi al-Razhail

(Melatih jiwa dan akhlak serta cara menjauhi hal-hal yang hina).

35. Al-Muhalla (yang dihiasi) fiqh Zhhir.

36. Muratib al-Ijma (Martabat ijma).

37. Mulakhkhasah Ibthl al-Qiys wa al-Ray al-Istihsn wa al-Taqld wa al-

Tall (Intisari pembatalan atas qiyas ray, istihsn, taqld, dan tall).
46

38. Maratib al-Ulum (Martabat ilmu).

39. Manzdumah fi Qawaid Ushul Fiqh al-Zhhir (Sistematika kaidah ushul

fiqh Zhhir).

40. Al-Mufadhalah Baiu al-Shahabah (Keutamaan para sahabat).

41. Nuzhah fi al-Buyu (Sekelumit tentang jual beli).

42. Al-Nubzah al-Kafiyah fi Ushul al-Fiqh az-Zhhir (Sekelumit ushul fiqh

az-Zhhir).

43. Al-Nashih al-Munjiyah min al-Fadhaih al-Makziyyah wa al-Qabih al-

Maradhiyah min Aqwl Ahl al-Bid min al-Fur al-Bah al-

Mutazilah wa al-Murjiah wa al-Khawrij wa al-Syiah (Beberapa

nasehat yang menyelamatkan dari pendapat buruk empat kelompok ahli

bidah, Mutazilah, Murjiah, Khawarij, dan Syiah).

44. Naqth al-Arus fi Tawarikh al-Khulafa (Rangkaian sejarah para khalifah).

45. Al-Nsikh wa al-Manskh (Tentang nsikh dan manskh).

46. Naht al-Islm (Kedalaman Islam).

Karya-karya Ibn Hazm yang hilang:95

1. Al-Imla fi Qawaid al-Fiqh (Dekte/imla kaidah-kaidah fiqh).

2. Al-Imamah wa al-Siyasah fi Siyar al-Khulafa wa Maratibuha wa al-Nadb

wa al-Wajib Minhu (Kepemimpinan dan politik dalam jejak langkah para

khalifah, kedudukan anjuran dan kewajiban).

95
Ali Himayah, Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajian Agama-Agama, 97-104.
47

3. Al-Ijma wa Masailuh ala Abwab al-Fiqh (Problematika ijma dalam

fiqh).

4. Ajwibah (Beberapa jawaban).

5. Ijaz al-Quran (Kemukjizatan al-Quran).

6. Asma Allah al-Husna (Asmaul Husna).

7. Al-Istijab (Dakwaan).

8. Al-Istiqsha (Investigasi).

9. Bayn Ghalath Utsman bin Said al-Nur fi al-Musnad wa al-Mursal

(Menerangkan kekeliruan Usman bin Said al-Nur dalam masalah hadts,

musnad, dan mursal).

10. Bi Lughah al-Hakim (Bahasa seorang hakim).

11. Barnamijah (program-programnya).

12. Tasmiyyah Syuyukh Malik (Guru-guru Imam Malik).

13. Juz fi Auham al-Sahihani (Sebagian dari hadts-hadts dalam kitab

shahihain).

14. Hadd ath-Thib (Batasan seorang dokter).

15. Risalah fi Mana al-Fiqh az-Zhhir (Risalah arti Fiqh Zhhir).

16. Kitab al-Qiraat (Kitab tentang al-Qiraat).

17. Maqalah fi al-Nahl (Makalah tentang lebah).


48

Yang tersebut di atas hanyalah sebagian dari nama-nama kitab yang

tidak terlacak, sebetulnya kitab yang tidak terlacak ada 85 nama kitab dalam

buku Ibn Hazm karya Ali Himaya.

B. Sumber-Sumber Hukum Islam dan Metode Istinbth Hukum Menurut

Ibn Hazm

1. Sumber-Sumber Hukum Menurut Ibn Hazm

Dalam melakukan ijtihad, Ibn Hazm menolak ijtihad yang

menggunakan akal. Baginya akal tidak mempunyai tempat untuk terlibat

(ray). Secara langsung di dalam menetapkan hukum96 dan Ibn Hazm

hanya mengakui empat macam dalil hukum yang dijadikan sumber dan

sandaran untuk menetapkan hukum, yaitu al-Quran, hadts, ijma umat,

dan dalil, sebagaimana yang ditulis dalam al-Ihkm fi Ushl al-Ahkm

sebagai berikut:

R :k e QaR QaLM UiP lM Ud kP H


QOM mPQ lo H QOR P ( )H R UP
eM QOno fO QO UHP QP R P fno Lo j
.t Qa OWd QaLM fP
Artinya: Dasar-dasar hukum dari Allah yang sama sekali tidak dapat
diketahui kecuali dengan empat dasar, yaitu nash al-Quran,
nash sabda Nabi Muhammad SAW yang pada dasarnya berasal
dari Allah yang diriwayatkan oleh rawi tsiqah (cerdas, adil, dan

96
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), 148.
49

kuat ingatan) atau diriwayatkan secara mutawatir, ijma ulama


al-ummah, dan dalil yang mempunyai arti satu saja.97

Sumber yang pertama dalam madzhab Ibn Hazm adalah al-Quran.

Al-Quran merupakan pesan dan perintah Allah kepada manusia untuk

diakui dan dilaksanakan kandungan isinya, diriwayatkan secara benar,

tertulis dalam mushaf, dan wajib dijadikan pedoman.98 Pendapat ini

didasarkan pada firman Allah:

99
.f lM QcP k QLU QM
Ibn Hazm menetapkan bahwa al-Quran adalah kalamullah.

Semuanya telah jelas dan nyata bagi umat Islam. Maka, barangsiapa

hendak mengetahui syariat Allah akan menemukan terang dan nyata baik

diterangkan oleh Allah melalui al-Quran itu sendiri atau oleh keterangan

Nabi-Nya dan Nabi tidak meninggalkan umatnya dalam kegelapan.100

Kemudian Ibn Hazm dengan mendasarkan pendapatnya pada

firman Allah yang berbunyi:

c L M U M P kP
HUX P Hf nXP Hf

97
Ab Muhammad Al bin Ahmad Said bin Hazm, al-Ihkm fi Ushl al-Ahkm, vol. 1
(Beirut: Dar a;-Kutub al-Alamiyah, t.t.), 70.
98
Ibn Hazm, al-Ihkm, 94.
99
An-Nisa: 38.
100
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 319.
50

Menyatakan bahwa sumber hukum Islam itu yang pertama adalah

al-Quran yang merupakan asal, yang kedua adalah hadts Rasulullah, dan

yang ketiga adalah ijma.101

Sumber hukum yang pertama adalah al-Quran, yang kedua hadts,

dan yang ketiga ijma. Ibn Hazm mendefinisikan al-Quran sebagai

berikut:

f QO OP U QLMYP P QLfP ao H UP
k HcOP H UP f pinP QVM P eQcP L j
H Qc f QOP QfR Qan Q k HaiOP tQOP
102
.fP HUOP
Artinya: Sesungguhnya al-Quran yaitu janji Allah pada kita dan sesuatu
yang Allah telah mengharuskan pada kita mengakuinya dan
mengamalkan apa yang ada di dalamnya dan diperbolehkan
memindah sesuatu yang tidak ada keraguan sama sekali di
dalamnya. Sesungguhnya al-Quran suatu yang ditulis dalam
beberapa mushaf yang terkenal di seluruh penjuru seluruhnya
dan wajib mengikuti apa yang ada di dalamnya dan ia
merupakan suatu pokok yang dibuat rujukan.

Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara aliran-aliran Islam,

baik ahlu as-Sunnah, Mutazilah, Khawarij, Murjiah, maupun Zaidiyah

dalam hal menjadikan al-Quran sebagai dasar ajaran agama Islam.103

Kemudian Ibn Hazm secara khusus membagi ayat al-Quran

menjadi tiga bagian:104

a. Nas yang jelas dengan sendirinya, baik dari al-Quran atau as-Sunnah.

101
Ibn Hazm, al- Ihkm, 95.
102
Ibid., 94.
103
Ibid.
104
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 320.
51

b. Mujmal, yang penjelasannya diterangkan al-Quran sendiri.

c. Mujmal, yang penjelasannya diterangkan al-Sunnah.

Sumber hukum yang kedua menurut Ibn Hazm adalah al-sunnah

atau khabar. Sebagaimana dalam Musthalh al-Hadts, Ibn Hazm

membagi al-sunnah menjadi qauliyah, filiyah, dan taqrriyah. Ucapan

Rasulullah selanjutnya adalah wahyu berdasarkan firman Allah:

(4-3 :VLP ).mtHd kt


QXP H .Ha P l
o
L d QM
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).

Dari firman di atas Ibn Hazm berpendapat bahwa al-sunnah atau

khabar termasuk wahyu Allah, yang datang dari-Nya, dan sesuai dengan

apa yang dikehendaki-Nya.105 Selanjutnya Ibn Hazm membagi khabar dari

segi kuantitas perawi kepada mutawatir dan ahad.

Khabar mutawatir adalah:

R k I H k QOnM nd P UI )( kLP n mt eQ eQ nR QM
.fo mno HM t 106
Artinya: Hadts yang dinukil oleh kebanyakan orang secara menyeluruh
yang sampai ke Nabi dan merupakan khabar yang tidak
bertentangan dengan muslimin dalam menjadikannya sebagai
landasan, dan itu merupakan hak yang terbebas dari cacat.

Mengenai ukuran banyaknya perawi, terjadi perbedaan pendapat.

Ada yang mengatakan bahwa jumlah tersebut dari keseluruhan ahli

masyrik dan maghrib. Selain itu, ada yang mengatakan jumlahnya tidak
105
Ibn Hazm, al-Ihkm, 95.
106
Ibid., 102.
52

terhitung, tiga ratus orang, tiga puluh orang, empat puluh orang, dua puluh

orang, dua belas orang, lima, empat, atau tiga orang. Pendapat-pendapat

tersebut berdasarkan beberapa alasan. Di antaranya, tiga ratus karena

jumlah orang muslim pada perang Badar tiga ratus, lima puluh karena

banyaknya pembagian, empat puluh karena jumlah umat Islam pada masa-

masa awal dan lainnya.107

Menurut Ibn Hazm semua pendapat itu tidak benar, tanpa ada

bukti yang jelas, setiap yang memberi batasan tertentu tidak ada jaminan

untuk memberi keyakinan benar secara zhahir, baik mulai tujuh puluh

orang, dua puluh orang, dan seterusnya.

Satu khabar tidak bisa dikatakan tidak mutawatir dengan alasan

menurut batasan tertentu perawinya kurang satu orang karena secara

rasional tidak ada perbedaan antara yang diriwayatkan oleh dua belas,

sembilan belas, tujuh puluh, atau sembilan puluh.108

Sedangkan khabar ahad menurut Ibn Hazm adalah:

nP OP )( H mP P edU a tHP lo tHP nR QM


.Qd W 109
Artinya: Hadts yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang yang
lain, hal ini apabila bersambung dengan riwayatnya orang yang
adil sampai Rasulullah, maka wajib diamalkan dan wajib
mengetahui sahnya hadts tersebut.

107
Ibid., 102-103.
108
Ibid., 103-104.
109
Ibid., 106.
53

Berdasarkan pengertian ini, walaupun khabar itu diterima dari jalur

periwayatannya namun namanya tetap khabar ahad dan Ibn Hazm

menjadikan khabar ini sebagai hujjah berdasarkan firman Allah dalam

surat at-Taubah 122:

a M H L f P l dsP k HaX  f P e  Q a L M e U
s lM U  R QPHn e X Q U L f P
HLM NO P
Q QM
. W d a nX P a f P H

Artinya: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-
tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Dalam ayat ini Allah mewajibkan pada tiap golongan untuk

menerima peringatan dari kalangan mereka yang belajar agama. Dalam

bahasa Arab kata thifah adalah mutlak bisa pada jama dan juga

mufrad.

Sedangkan pendapat Ibn Hazm tentang kebolehan hadts ahad,

bahwa Rasulullah pernah mengirim beberapa utusan ke berbagai daerah di

sekitar jazirah Arab untuk menyebarkan agama, al-Quran, memberi

fatwa, dan lainnya, dan masyarakat yang didatanginya tersebut

diperintahkan untuk menerima berita yang dibawa oleh utusan itu.110

Berdasarkan hal di atas menunjukkan bahwa pengiriman seseorang kepada

suatu wilayah oleh Nabi merupakan dalil atas diterimanya hadts ahad.

Alasan tersebut menekankan bahwa khabar ahad benar-benar bisa diterima

110
Ibid.
54

dan diamalkan. Ibn Hazm juga mengatakan bahwa hadts-hadts ahad

merupakan dalil yang qathiyah.111

Kemudian Ibn Hazm membagi hadts menjadi tiga bagian sesuai

dengan jumhur ulama. Akan tetapi, menurut Ibn Hazm yang menunjukkan

wajib adalah hadts yang qauliyah. Sedangkan hadts filiyah hanya

merupakan suatu qudwah/panutan bukan kewajiban. Sedangkan hadts

taqrriyah merupakan suatu ibhah.112

Secara singkat, bahwa tiga bagian hadts di atas yang bisa menjadi

hujjah hanyalah yang qauliyah (ucapan), sedangkan perbuatan tidak

menunjukkan pada wajib, kecuali ketika dibarengi ucapan atau qarinah

yang menunjuk pada wajib atau perbuatan itu merupakan pelaksanaan

daripada perintah.113

Sumber hukum menurut Ibn Hazm yang ketiga adalah ijma. Ijma

menurut Ibn Hazm hanyalah ijma sahabat,114 sebab mereka telah

menyaksikan tauqf dari Rasul dan ijma sahabat adalah ijma seluruh

umat Islam. Adapun ijma sesudah sahabat hanyalah ijma sebagian umat,

bukan ijma seluruh umat Islam. Dari sini ijma yang bisa dijadikan hujjah

menurut Ibn Hazm hanyalah ijma sahabat, sedangkan ijma sebagian

umat Islam tetap dikatakan ijma, namun ijma yang satu ini tidak bisa

dijadikan hujjah.

111
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 332.
112
Ibid., 327.
113
Ibid., 328.
114
Ibid., 346.
55

Adapun obyek atau sandaran ijma menurut Ibn Hazm adalah

nash,115 maka tidak boleh terjadi suatu ijma tanpa disandarkan pada

nash.116

Lebih lanjut, Ibn Hazm menjelaskan dalam membagi ijma

menjadi dua bagian, yaitu:

a. Segala sesuatu yang tidak seorang pun (umat Islam) meragukannya,

dan orang yang tidak mengakuinya maka ia bukan orang muslim,

seperti syahadat (kesaksian) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan

Muhammad utusan Allah, kemudian tentang kewajiban shalat, puasa,

dan keharaman bangkai, darah, babi (celeng), dan lainnya.

Kesemuanya itu dibenarkan bahwa itu adalah kesepakatan umat

Islam.117

b. Sesuatu yang disaksikan oleh seluruh sahabat dari perbuatan

Rasulullah atau dengan keyakinan yang diketahui sahabat yang tidak

menyaksikan perbuatan tersebut seperti peristiwa Khaibar di saat

beliau menyerahkan sebagian hasil tanaman dan buah-buahan.118

Dalam masalah ijma Ibn Hazm menolak ijma ahli Madinah yang

dijadikan hujjah oleh Imm Mlik kendatipun banyak khabar yang

menunjukkan kelebihan mereka, karena menurut Ibn Hazm ijma yang

115
Nash adalah lafadh yang diambil dari al-Quran atau as-sunnah yang dijadikan dasar
dalam menghukumi sesuatu, dan nash yang diambil hanyalah dari zhahirnya saja (Ibn Hazm, al-
Ihkm, 42).
116
Ibid., 545.
117
Ibid., 555.
118
Ibid.
56

dapat dijadikan hujjah hanyalah nash, ijma, dan dalil yang diambil dari

keduanya. Ijma ahli Madinah bukan nash, bukan pula ijma yang hakiki

itu.119

Ibn Hazm seorang faqih yang berfikir bebas, merdeka, tidak terikat

dan mengikatkan diri pada madzhab apapun. Itu sebabnya ketika ia

mempelajari Fiqh Mliki ia tidak merasa dan pindah ke madzhab Syfi,

dan selanjutnya ke madzhab Zhhir. Lebih lanjut Ibn Hazm menolak ray

dalam agama. Menggunakan ray berarti mengada-ada dan berdusta pada

Tuhan. Karenanya, tidak boleh berijtihad dengan al-ray dan mengatakan

bahwa hasil ijtihad itu hukum Allah. Hukum yang diperoleh dengan jalan

ray setatusnya adalah hukum kita sendiri bukan hukum Allah. Oleh

karena itu, Ibn Hazm tidak membenarkan ray, maka ia menutup pintu

istinbth dengan jalan qiys, istihsn, maslahah mursalah, saddudz

dzarah, menyumbat usaha mencari illat-illat hukum daripada nash.120

Sumber hukum yang keempat adalah dall. Dall menurut Ibn

Hazm adalah:

.mOOP Ud QO Hcd QRQU Hcd :fPP 121


Artinya: Dalil terkadang berupa petunjuk (burhn) dan terkadang
berupa isim yang mana dengan hal ini sesuatu dapat diketahui.

Dall menurutnya berbeda dengan qiys, karena qiys pada

dasarnya mengeluarkan illat dari nash dan memberikan hukumnya pada

119
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 348.
120
Ibid., 360.
121
Ibn Hazm, al-Ihkm, 40.
57

sesuatu yang memiliki illat yang sama, sedangkan dalil langsung diambil

dari nash.122

Sementara dallah adalah penerapan dall itu sendiri. Jadi, antara

dallah dan dall masih satu alur. Selanjutnya Ibn Hazm membagi dalil

kepada dua bagian, yaitu yang diturunkan dari nash dan yang diturunkan

dari ijma.123

Adapun dalil yang diturunkan dari nash ada tujuh macam:

a. Nash mengandung dua premis (muqaddimah) serta menghasilkan

konklusi (natjah) yang tidak terdapat dalam nash tersebut dan

mengeluarkan konklusi itu disebut dall. Seperti hadts:

.Ut UOI UOI UcM


Artinya: Setiap yang memabukkana adalah khamr, dan setiap khamr
adalah haram.

Konklusinya adalah setiap yang memabukkan adalah haram.124

Dari kedua premis di atas dapat dipahami dengan kuat bahwa segala

sesuatu yang memabukkan adalah haram.

Hal ini menurut Ibn Hazm bukan qiys tetapi penerapan

daripada nash.125 Namun, menurut penulis, hal itu termasuk qiys,

hanya saja qiys dalam batasan ilmu mantiq. Sebagaimana ungkapan:

H QdQ lM QfP #UI H PQ QMYnM 126

122
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 350.
123
Ajat Sudrajat, Epistemologi Hukum Islam, 72.
124
Ibid.
125
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 350.
58

b. Penerapan segi keumuman nash. Dalam keumuman nash terdapat

syarat dan syarat pasti adanya akibat dan apabila syarat sudah

dipenuhi maka sudah cukup, seperti keumuman fiil syarat yang

terdapat dalam firman Allah:

... n QM aP Ud HaLd


Artinya: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya) niscaya Allah
akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang
telah lalu.

Ayat di atas menunjukkan keumuman syarat, yaitu bahwa

siapa saja yang berhenti dari kekafiran yang ditunjuk langsung oleh

Allah dalam ayat tersebut127 maupun selain mereka. Dan akibat dari

syarat nash tersebut kita dapat memahami bahwa setiap yang bertaubat

dari dosa kekafiran akan diampuni oleh Allah.128

c. Penolakan terhadap makna yang bertentangan dengan makna yang

dituju oleh nash, seperti firman Allah:

.fnt X 129
X P fU
Artinya: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun.

Lafadz halm (penyantun) dalam ayat di atas secara pasti

menolak pengertian bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang yang safh

(tidak penyantun), karena kata-kata halm bertentangan dengan lafadz

126
Al-Sulam al-Munawwaraq fi Ilm al-Manthiq (Ponorogo: Madrasah Miftahul Huda al-
Salafiyah,t.t.), 21.
127
Kalau dilihat dari asbabun nuzulnya, ayat di atas ditujukan pada Abu Sufyan dan
sahabat-sahabatnya. Lihat al-Quran dan Terjemahnya: Catatan kaki nomor 609.
128
Ibn Hazm, al-Ihkm, vol. 2, 100.
129
Al-Quran, at-Taubah: 114.
59

safh.130 Begitu juga firman Allah yang berkenaan dengan peranan

untuk berbuat baik kepada orang tua, yaitu:

.QL
t d PH X 131
QR P QLf
Artinya: Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua
orang tuanya.

Firman Allah ini dengan langsung memberi pelajaran pada kita

bahwa kita wajib berbuat baik kepada ibu bapak. Oleh karena itu,

seluruh perbuatan yang bertentangan dengan makna berbuat baik

termasuk menyakiti dengan membentak, memukul, maka tidak sesuai

dengan ihsan (berbuat baik) yang dituju nash.

d. Sesuatu yang tidak dinasakh hukumnya. Sesuatu itu ada kalanya

haram dengan nash dan orang yang mengerjakan mendapatkan dosa.

Dan ada kalanya mubah (bukan fardhu atau haram) maka boleh

dikerjakan atau ditinggalkan. Hal ini termasuk istishhb al-hl

(menetapkan hukum berdasarkan keadaan hukum sebelumnya,

sehingga ada hukum baru yang mengubahnya). Menurut Ibn Hazm

bahwa hukum syariat itu dibagi pada tiga bagian, yaitu: wajib, haram,

mubah. Dan apabila tidak masuk dalam kriteria wajib atau haram bias

dipastikan hukum itu mubah karena tidak ada yang lain.132

e. Qadaya mudarajat (proposisi berjenjang), yaitu suatu pemahaman

bahwa derajat tertinggi itu dipastikan berada di atas derajat lain yang

130
Ibn Hazm, al-Ihkm, 101.
131
Al-Ankabut: 8.
132
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 351.
60

berbeda di bawahnya, seperti contoh suatu pernyataan yang

menyatakan bahwa Abu Bakar lebih utama dari pada Umar, dan Umar

lebih utama daripada Utsman, maka yang bisa diambil dari pernyataan

ini adalah Abu Bakar lebih baik daripada Utsman.133

Dan seperti hadts Nabi:

... kRU UP UfI


Artinya: Zaman terbaik adalah zamanku, setelah itu kualitasnya
menurun .

Hadts tersebut telah memberi pengetahuan pada kita tentang

jenjang yang menunjukkan kualitas lapisan pemeluk Islam. Lapisan

umat Islam zaman Nabi dan sahabat, murid sahabat tabiin, dan murid

tabiin disebut tabiit tabiin. jadi, umat Islam yang terbaik secara

berkelompok adalah sahabat, tabiin, lalu tabiit tabiin, dan

seterusnya.

f. Aks al-Qadhya (kebalikan dari suatu qadhiyyah), yaitu suatu

pemahaman yang mengatakan bahwa setiap proposisi kulliyt

senantiasa memiliki pengertian yang berlawanan dengan proposisi

juziyyt, seperti natjah yang diperoleh dari dua proposisi yang telah

diungkapkan pada bagian pertama, bahwa setiap yang memabukkan

adalah haram merupakan proposisi kulliyt. Proposisi juziyytnya

yang bertentangan dengan proposisi tersebut adalah bahwa sebagian

133
Ibn Hazm, al-Ihkm, vol. 2, 101.
61

yang diharamkan adalah sesuatu yang memabukkan dengan perkataan

lain tidak setiap yang diharamkan itu memabukkan.134

g. Menerapkan makna yang melekat pada makna yang dimaksud nash.

Walaupun tidak disebutkan oleh nash, namun bisa dipahami dengan

makna yang ada pada nash,135 seperti contoh:

... HOP e R 136


Artinya: Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.

Maka bisa dipahami bahwa Zaid, Hindun, Ali, mati dan yang

lainnya juga mati, walaupun tidak disebut satu persatu. Atau ungkapan

Zaid menulis dalam kalimat ini mengandung makna Zaid hidup

mempunyai anggota badan yang bisa digunakan untuk menulis.

Adapun dalil yang diambil dari ijma Ibn Hazm membaginya

menjadi empat bagian sebagaimana ungkapan beliau:

QO W enI QO HR lM HR Qan Q e Ld Ha QO lM HIOP fPP QM


mno aoQO QM ePH U mno aoQO f QM QWP QW k Lo eQI Uf
.H lfOnOP ct
Artinya: Adapun al-dall yang diambil dari ijma itu ada empat bagian.
Keseluruhan dall tersebut merupakan bagian dari macam-
macam ijma yang masuk di bawah dan tidak keluar dari ijma.
Keempat macam dall tersebut adalah istishab al-hal, aqal
maqila ijma ulama untuk meninggalkan suatu pendapat dan
ijma yang mengatakan bahwa hukum yang dibebankan kepada
orang-orang Islam adalah sama.

Empat macam dall yang diambil dari ijma adalah sebagai berikut:

a. Istishb al-hl

134
Ibid.
135
Ibid.
136
al-Quran, Ali Imran: 180.
62

Istishb al-hl yaitu menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan

yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan

adanya perubahan keadaan itu.137 Konsep istishb dalam aliran Zhhir

tidak didasarkan pada akal, tetapi pada nash al-Quran yang bersifat

umum, yaitu firman Allah:

.l
ft mP QM U P k c P 138
M
Artinya: Dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan
kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.

Ayat tersebut merupakan nash bagi hukum ibhah yang terus

berlaku sehingga ada dalil yang mengaturnya. Ketika hukum suatu

masalah tidak diatur oleh dalil dari nash atau ijma maka ia tetapkan

mubah atas dasar al-dall.

Ibn Hazm menggunakan istishb dalam segala bidang bagian.

Sebagian golongan Hanafiyah dan Mlikiyah yang memakai istishb

dalam bidang menolak tuduhan bukan dalam bidang menetapkan hak.

Sementara Ibn Hazm menggunakan istishb dalam segala bidang, baik

dalam bidang menolak tuduhan maupun menetapkan hak.

Dengan mendasarkan pendirian ini, Ibn Hazm menetapkan

kaidah:

1) piPQ Yd nO Yd lff QM

137
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah
Press, 1996), 152.
138
Al-Quran, al-Baqarah: 36.
63

Sesungguhya apa yang telah ada dengan yakin, tidaklah hilang

kecuali dengan keyakinan yang sama, maka tidak bisa hilang

dengan keraguan.

2) Ufd UMQ fP WP Yd nt QOR


Sesungguhnya apa yang telah tetap kehalalannya, tidaklah hilang

melainkan dengan adanya dalil atau adanya suatu urusan yang

mengubah zatnya.

3) O R f d U o c L YP
YP R QP Ynd .QMYPQ
Tidak ada sesuatu yang mengharuskan kita memenuhi sesuatu

perikatan melainkan dengan adanya nash, maka segala akad atau

syarat yang tidak tegas disebut oleh nash dan keharusan

memenuhinya, tidaklah harus dipenuhi oleh yang mengadakan

akad, karena menurut hukum asal tidak ada keharusan itu.139

Inilah dalil-dalil yang dipegangi Ibn Hazm beserta golongan

Zhhiriyah dalam ber-istinbth hukum Islam.

b. Aqallu m qla

Ini merupakan salah satu bentuk ijma ketika terjadi perbedaan

pendapat tentang suatu masalah, maka suatu qaul mewajibkan pada

suatu keadaan atau kadar tertentu.140

139
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 359-360.
140
Ibn Hazm, al-Ihkam, vol. 2, 47.
64

Ibn Hazm membenarkan aqallu m qla ini bila nash

mengharuskan suatu perbuatan, maka batasan minimal dari yang

berbuat terhadap suatu perintah tersebut menghapus kewajiban itu.141

Kuantitas yang disepakati tersebut wajib diterima karena

merupakan ijma. Di sinilah aspek ijmanya. Namun, walaupun

kuantitas itu maksimal bila bertentangan dengan nash, maka ijma itu

tetap batal.

c. Ijma ulama untuk meninggalkan suatu pendapat.

d. Ijma ulama tentang universalnya hukum.

2. Metode istinbth hukum menurut Ibn Hazm

Ibn Hazm dalam mengambil hukum dari nash atau metode

istinbth hukumnya dengan cara mengambil secara bahasa (dalil

lughawiyah) yaitu beliau tidak keluar sedikitpun dari maksud bahasa yang

telah ada. Menurut beliau nash itu ada yang telah jelas dan ada yang tidak

jelas. Untuk menjelaskan nash yang tidak jelas tersebut Ibn Hazm

menggunakan bayn (QfP).

Bayn menurut Ibn Hazm adalah:

.Ono lOP ft U QLcOM k fiP H QfP 142


Artinya: Bayn adalah keadaan sesuatu dalam zatnya serta
memungkinkan diketahui hakekatnya bagi yang ingin
mengetahuinya.

141
Ibid.
142
Ibid., 41.
65

Kemudian takhshsh dan istitsn keduanya merupakan bentuk atau

macam daripada bayn, sebab dalam suatu jumlah (ungkapan) ada kalanya

dengan tata cara (eff )dan menyebutkan kuantitas tertentu, dan dalam

bayn sedikit pun tidak keluar dari maksud bahasa.143

Begitu juga halnya nasakh (LP )juga merupakan bentuk

daripada bayn. Adapun perbedaan antara nasakh (LP), istisn

(QL), dan takhss (fP )bahwa dalam takhshsh dan istitsn

secara umum tidak ada kalimat, tidak ada ketentuan waktu seperti larangan

menikahi wanita musyrik. Adapun nasakh masih berkaitan dengan

waktu.144

Bayn terkadang bisa terjadi antara al-Quran dengan al-Quran,

hadts terhadap al-Quran, dan ijma terkadang juga terjadi antara al-

Quran terhadap hadts, hadts dengan hadts, serta ijma terhadap

hadts.145 Mengenai perkataan al-Quran hanya bisa dijelaskan dengan as-

sunnah Ibn Hazm tidak menyetujuinya dengan alasan:

.a f P
Ys R QM
QXLnP l f P QLP Y R 146
fs P U s P p

Ayat di atas menurut Ibn Hazm tidak ada indikasi bahwa

Rasulullah SAW hanya menjelaskan dengan wahyu yang tidak bisa dibaca

(hadts) tetapi menurut Ibn Hazm ayat tersebut terdapat bayn yang jaliy

dan nash yang zhahir dan Allah menurunkan (UP )agar dijelaskan pada

143
Ibid., 79.
144
Ibid.
145
Ibid., 79-90.
146
An-Nahl: 44
66

manusia. Dan bayn tersebut diuraikan perkataan (cP )maka apabila

Nabi membacanya berarti beliau menjelaskan. Kemudian ketika bentuk itu

mujmal yang maknanya tidak bisa dipahami maka ketika keadaan seperti

itu Nabi menjelaskan dengan wahyu yang diturunkan padanya.147

Dengan demikian, maka benarlah bahwa ayat al-Quran bisa saling

menjelaskan satu dengan yang lainnya. Alasan tersebut dalam rangka

memperkuat pendapat yang mengatakan ayat satu dengan yang lain bisa

menjadi bayn.148

Ibn Hazm dengan metode bayn ini membagi menjadi tiga metode,

yaitu:

a. Istitsn (QL)
Definisi istitsn menurut Ibn Hazm adalah:

.UI f nI QOM QM UI nO lM iP f H QL
149

Artinya: Istitsn adalah mengkhususkan sebagian sesuatu dari


keseluruhannya dan mengeluarkan sesuatu dari yang
termasuk sesuatu yang lain.

Dalam istitsn ini Ibn Hazm membolehkan mengecualikan

atau meng-istitsn-kan sesuatu dari jenis dan macamnya, dan yang

diberitakan yang dalam ilmu nahwu disebut istitsn munqathi

(LOP QL )dan alat istitsn itu menggunakan lafadz:

.HQM ,oQM ,lcd PQM , ,I ,QQI 150

147
Ibn Hazm, al-Ihkm, 80-81.
148
Ajat Sudrajat, Epistemologi Hukum Islam: Versi Ibn Hazm al-Andalusiy (Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2005), 38-39.
149
Ibn Hazm, al-Ihkm, 429.
67

Salah satu bentuk istitsn adalah mengecualikan jumlah

(istitsn) yang lebih besar dan menetapkan jumlah yang sedikit. Hal

ini bisa dijadikan hujjah dalam hal yang tidak ada nashnya.151 Namun

demikian, tidak ada perbedaan antara mengeluarkan yang lebih

banyak dan yang lebih kecil. Semuanya adalah khabar yang

diberitakan, karena khabar sedikit atau banyak tetap dibolehkan.152

Contoh istitsn banyak terdapat dalam ayat al-Quran seperti

pada surat al-Dukhn:

.mPP e HO P QXP Hd QP 153


HO P Qaf
Artinya: Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali
mati di dunia.

Bila terdapat sesuatu yang diathafkan satu pada yang lainnya

kemudian datang istitsn di akhirnya maka istitsn itu tertolak bila

dalam kalimat itu tidak ada nash yang jelas yang menunjukkan bahwa

istitsn itu ditolak terhadap sebagiannya, maka secara keseluruhan

tertolak, dengan alasan tidak ada kelebihan dengan yang lainnya.154

b. Nasakh (LP)

Nasakh merupakan bentuk takhr al-bayn. Sedangkan

pengertian nasakh (LP )sebagai berikut:

150
Ibid.
151
Ibid., 434.
152
Ibid., 438.
153
Al-Dukhn: 56.
154
Ibn Hazm, al-Ihkm, 440.
68

. UM Ld n Q UM UM 155
Artinya: Datangnya suatu perintah yang berbeda dengan perintah
sebelumnya yang merusakkan perintah yang pertama.

Nasakh dikatakan bentuk takhr bayn karena mengakhirkan

bayn terdiri dari dua bentuk:156

1) Perkataan atau jumlah yang tidak bisa dipahami maksudnya secara

tersendiri, seperti firman Allah:

QYP H P HOf
Maka ketika datang waktu taklf, maka Allah menjelaskan pada

kita apa hukum yang dimaksud dalam lafadz yang mujmal dengan

lafadz lain yang lebih jelas.

2) Perbuatan yang diperintahkan pada waktu tertentu. Kemudian

perbuatan itu dirubah kepada yang lainnya di waktu lain. Bila

telah tiba waktunya maka Allah menjelaskan pada kita dalil

naqlinya tentang perbuatan itu pada yang lainnya.157

Nasakh menurut Ibn Hazm bisa terjadi hanya pada kalam

perintah, dan larangan. Kalam oleh Ibn Hazm dibagi menjadi kalam

perintah (UM )dan kalam larangan (kaLP). Kalam khabar yang

mengandung istifhm dan nasakh tidak terjadi pada kalam istifhm

dan khabar. Maka, apabila terdapat suatu ungkapan yang lafalnya

155
Ibid., 45.
156
Ibid., 45.
157
Ibid.
69

berbentuk khabar sementara maknanya amar maka dalam hal yang

demikian nasakh diperbolehkan.158

Kemudian untuk melihat ada dan tidaknya nasakh dalam suatu

perintah, beliau membagi pada 4 bagian:

1) Lafadz dan hukumnya tetap.

2) Lafadz dan hukumnya hilang.

3) Lafadznya hilang tapi hukumnya tetap.

4) Lafadznya tetap tapi hukumnya hilang.159

Dari keempat di atas tiga bagian yang akhir ini yang disebut

nasakh.

Ibn Hazm menyatakan bahwa tidak ada nasakh pada perkara

yang menjadi janji Allah dan peringatan Allah sebab jika hal itu

ternasakh maka Allah dikatakan berdusta, padahal Allah maha suci

dari sifat-sifat dusta.160 Ibn Hazm membolehkan al-Quran menasakh

al-Quran dan as-sunnah menasakh al-Quran dan sebaliknya baik

hadts tersebut mutawatir maupun ahad.161

158
Ibid., 486.
159
Ibid., 477.
160
Ibid., 491.
161
Hasbiy Ash Shiddieqy, Pegangan Imam Madzhab, 337.
70

Ibn Hazm mencontohkan al-Quran yang dinasakh dengan al-

sunnah dengan ayat 180 surat al-Baqarah yang berbunyi:

l
fU P l
d PHn P e fX
H P Uf I
U .....
Dinasakh dengan hadts:

... HP ef ...
Dalam hal ini Ibn Hazm menyangkal pendapat jumhur ulama

tentang ayat di atas dinasakh oleh ayat mawrits. Beliau berpendapat

bahwa nasakh adalah menghilangkan hukum manskh. Padahal dalam

ayat mawarits tidak ada perkara yang mencegah wasiat terhadap kedua

orang tua ataupun kepada kerabat.162

Demikian juga nasakh bisa terjadi dengan ijma yang dinukil

dari Nabi SAW, sebab hakekat ijma adalah bimbingan Nabi163

dengan bukti yang mempunyai kekuatan sementara dengan qiys tidak

dibenarkan karena qiys adalah batal.

Beramal dengan hadts nsikh lebih baik daripada beramal

dengan ayat manskh karena masih merupakan perintah Allah dan

manskh tidak ada suatu perbuatan yang mesti.164

c. m dan Khash (QP QP)

m dan khsh secara bahasa adalah:

.enP k Q QM mno nP Ot

162
Ibn Hazm, al-Ihkm, vol. 1, 524.
163
Ibid., 530.
164
Ibid.
71

Setiap bentuk umum adalah zhhir, tetapi setiap yang zhhir

adakalanya khabar tentang seseorang, sementara umum hanya

menunjukkan kepada lebih dari seseorang.165 Adapun khusus adalah:

. enP k fd QM mno nP WM 166


Hubungan antara keduanya dalam ungkapan atau lafadz Ibn

Hazm membaginya pada tiga bagian:

1) Lafadz yang khusus yang dikehendaki juga khusus, seperti

perkataan Umar, Zaid, Ali, dan sebagainya.167

2) Lafadz umum yang dimaksud juga umum. Artinya, menarik

seluruh makna berdasarkan apa yang dimaksud oleh lafadz itu. Hal

ini adakalanya isim jinis yang mencakup banyak macam (nau)

seperti firman Allah:

.kt k QOP lM QLn


Dan dari air itu kami jadikan segala sesuatu yang hidup.

Makna di atas menunjukkan setiap sesuatu yang hidup.

Kemudian, nama yang spesifik seperti firman Allah.

.UOP QP fP
Dan (dia telah menciptakan) kuda dan keledai.

Lafadz-lafadz ini mencakup semua benda, khimar, dan

keledai.

165
Ibn Hazm, al-Ihkm, 43.
166
Ibid.
167
Ibid., 388.
72

Lafadz umum dimana nash al-Quran atau al-sunnah

menunjukkan bahwa lafadz umum tersebut diistitsnai, sehingga

lafadz mustatsn tersebut dikhususkan dari hukum yang ada.168

Dalam pembagian yang ketiga ini, Ibn Hazm

mencontohkan dengan firman Allah surat an-Nur ayat 3.169

Umum dan khusus di sini harus dilihat dari sudut

terminologinya bukan dari arti bahasa, sehingga Ibn Hazm tidak

menolak bahwa khitab Nabi Muhammad SAW kepada seseorang,

berarti juga berlaku khitab kepada seluruh umat sampai hari

kiamat.170 Ketika ada nash yang maknanya tidak bisa dipahami

secara zhahir maka Ibn Hazm hanya mengambil apa yang

dijelaskan oleh nash lain atau ijma.171

C. Pemikiran Ibn Hazm tentang Kriteria Kafah dalam Pernikahan

Ibn Hazm berpendapat bahwa kafah dalam pernikahan hanya

berkisar pada keimanan seseorang. Ibn Hazm berpendapat, persamaan derajat

dan status sosial sebenarnya tidak ada dalam Islam. Seorang se-kufu dengan

yang lainnya, beliau mengatakan seluruh orang Islam bersaudara sehingga

tidak dilarang orang-orang kulit hitam (walaupun tidak diketahui asal usul

nasabnya) menikah dengan putri khalifah al-Hsyim. Begitu juga dengan

168
Ibid., 389.
169
p
P Us t
U i
M
QXP QaW
c Ld QP e f R XYP e U i
M e f R QXP j
c L d QP kRXYP
l
fLM NO P mno

170
Ibn Hazm, al-Ihkm, 365.
171
Ibid., 373.
73

laki-laki muslim yang mulia, se-kufu dengan perempuan muslimah yang fasiq

selama ia tidak berbuat zina.172 Nampaknya dalam memandang kafah ini

Ibn Hazm berpegangan pada masalah keagamaan semata, begitu juga dalam

masalah akhlaknya, Ibn Hazm tidak menjadikan derajat status sosial sebagai

unsur kafah sedikitpun, maka menurutnya orang perempuan yang paling

mulia tetap kufu dengan orang laki-laki yang paling fasik asalkan tidak

berzina.

Dalam memandang orang yang berzina, Ibn Hazm berkata:

fo lM YP QaP t Q Q H mt Qfo QfR t jcL efRYnP Wd


.Lft 173
Artinya: Tidak halal bagi wanita pezina menikah dengan laki-laki bukan
pezina atau laki-laki yang terjaga sehingga ia bertaubat, apabila ia
taubat maka halal baginya untuk menikah dengan orang yang
terjaga (baik akhlaknya).

Ungkapan di atas menunjukkan adanya larangan pernikahan antara

orang pezina dengan orang yang bukan pezina, baik laki-laki pezina dengan

wanita bukan pezina, atau wanita pezina dengan laki-laki bukan pezina.

Larangan tersebut menurut Ibn Hazm akan berakhir apabila pezina itu

bertaubat, maka bila ia bertaubat hilanglah larangan itu. Sebagaimana

ungkapan beliau: eOnOP efP QcR P t Q Q (MAKA APABILA LAKI-


LAKI ITU BERTAUBAT, HALAL BAGINYA MENIKAHI WANITA MUSLIMAH YANG

TERJAGA KESUCIANNYA)

172
Ab Muhammad Ali bin Ahmad Said bin Hazm, al-Muhall, vol. 10 (Beirut: Dr al-
Fikr, t.t.), 24.
173
Ibid., vol. 9, 414.
74

Kemudian dalam membahas permasalahan kafah ini, Ibn Hazm

membagi menjadi dua hal, yaitu:

1. Keturunan (an-nasab)

Mengenai keturunan atau nasab yang dimaksud di sini adalah

hubungan seseorang dengan asal usulnya seperti bapak, kakek, dan

seterusnya.174

Ibn Hazm tidak menjadikan keturunan sebagai dasar penentuan

kriteria kafah. Menurutnya tidak diharamkan anak orang kulit hitam

menikah dengan putri khalifah (bangsawan atau ningrat). Dengan

demikian orang Arab yang bersuku Qurays begitu juga orang Arab selain

keturunan Bani Hasyim.

Dalam masalah ini, para ulama terjadi selisih pendapat dengan Ibn

Hazm. Di antara ulama yang berseberangan dengan Ibn Hazm yaitu:

Sufyn as-Tsaur, Ibn Jurej, Hasan bin Hay, Ibn Ab Lail, Mughrah bin

Abdurrahman, al-Mahzumi, sahabat Mlik Ishq bin Rohwiyah. Mereka

berpendapat bahwa pernikahan antara maula (bekas budak) dengan

perempuan Arab harus dibatalkan.175

174
Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam, vol. 7, 243.
175
Ibn Hazm, al-Muhall, vol. 10, 24.
75

Sementara Abu Hanfah menyetujui pernikahan antara wanita

Qurays dengan maula dengan cara membayar mahar mitsil dan keridaan

perempuan Qurays dengan maula (bekas budak). Maka dalam hal ini wali

disuruh menikahkannya. Dan apabila wali itu menolak untuk

menikahkannya maka hakim yang menikahkannya.176

Menurut Ibn Hazm orang yang berselisih dengannya menggunakan

asar yang gugur yakni sebatas asar-asar yang menerangkan tentang

tindakan Nabi yang tidak menikahkan putri-putrinya kecuali dengan Bani

Hasyim dan Bani Abdu Syam. Asar ini oleh Ibn Hazm dipandang gugur

karena ada hujjah dari firman Allah yang lebih kuat untuk dijadikan dasar

dalam masalah ini, yaitu:

.
HOt
U c nX P nXP HX c d H I
l
f HWn
H I HLM NO P QORX 177

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Ayat ini menjelaskan hubungan sesama orang muslim bahwa

semua orang muslim adalah bersaudara. Oleh karena itu, ayat ini

mengindikasikan kebolehan menikahi perempuan yang kita senangi,

artinya tidak memandang status sosial atau keturunan.

Masih berkaitan dengan masalah ini Allah menjelaskan wanita-

wanita yang haram dinikahi dan Allah menjelaskan pula wanita-wanita

yang dihalalkan (selain mereka) untuk dinikahi dengan tanpa

176
Ibid.
177
al-Hujurat: 10.
76

mempermasalahkan kekayaan, kecantikan, keturunan, maupun status

sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain sepanjang beriman maka orang

itu boleh untuk dinikahi, maka bagi Ibn Hazm tetap dipandang kufu.

Disamping menggunakan dasar-dasar di atas Ibn Hazm juga

mengungkapkan tentang perbuatan Rasulullah yang juga pernah

menikahkan Zainab (berasal dari Bani Hasyim) dengan Zaid (bekas budak

beliau). Contoh di atas mengindikasikan kebolehan menikahnya orang

umum dengan putri bangsawan karena pada hakekatnya yang menjadi

pokok dalam memilih jodoh adalah keagamaan. Jadi, orang yang sangat

kaya dengan orang yang sangat miskin di mata Allah adalah sama.

Ketakwaanlah yang membedakan di antara mereka.

2. Agama

Dalam masalah agama ini para ulama sepakat bahwa agama

merupakan unsur dari kafah. Begitu juga Ibn Hazm yang mengatakan

kafah dalam pernikahan hanya berkisar pada keimanan seseorang. Ibn

Hazm berpendapat demikian, walaupun tidak secara eksplisit kriteria

agama ini diungkapkan oleh pengembang madzhab Zhhir ini.

Para ulama mengakui kriteria ini namun dalam melihat agama

sebagai kriteria kafah terjadi perbedaan. Ulama yang berseberangan

dengan Ibn Hazm mengatakan maksud agama adalah sikap bagus dan

istiqomah terhadap agama, maka orang yang berakhlak jelek dan orang

fasik tidak kufu dengan orang yang terjaga dari perbuatan buruk atau
77

wanita yang sholihah dan bapaknya juga sholih.178 Sedangkan Ibn Hazm

tidak memandang kualitas keagamaan seseorang, maka menurut Ibn Hazm

orang yang sangat fasik sekalipun asal ia muslim dan tidak berzina, maka

ia tetap kufu dengan orang yang berakhlak baik.179 Dari ungkapan di atas

jelaslah bahwa Ibn Hazm tidak memandang kualitas agama seseorang

dalam pencarian jodoh, asal ia muslim maka ia kufu dengan muslimah

yang bagaimanapun.

Berkaitan dengan pendapat Ibn Hazm ini bagi golongan yang

berseberangan dengan Ibn Hazm menyatakan bahwa laki-laki fasik tidak

boleh menikah kecuali dengan wanita yang fasik, dan wanita fasik tidak

boleh menikah kecuali dengan laki-laki yang fasik. Namun hal ini tidak

ada seorang pun yang mengemukakannya.

Pendapat Ibn Hazm ini didasarkan pada firman Allah:

.
HOt
U c nX P nXP HX c d H I
l
f HWn
H I HLM NO P QORX 180

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Selain ayat di atas, Ibn Hazm uga mendasarkan pendapatnya pada

firman Allah:

.ed ...
QfP a

QLM NO P
HLM NO P 181

178
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islam, 241.
179
Ibn Hazm, al-Muhall, 24.
180
Al-Hujurat: 10.
181
At-Taubah: 71.
78

Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,


sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain.

Dengan demikian, Ibn Hazm sebagai pengembang madzhab

Zhhir berpendapat bahwa kafah tidak ada dalam Islam, karena orang

Islam sama kedudukannya bersaudara satu dengan yang lainnya. kalaupun

ada, kafah hanya berlaku dalam masalah agama saja. Identitas agama

dalam memilih jodoh menurut Ibn Hazm semata-mata hanya pemeluk

agama Islam saja, tanpa memperhatikan kadar atau kualitas ketaqwaan

dalam mengamalkan ajaran agama yang disyariatkan oleh Islam.


79

BAB IV

ANALISIS TERHADAP KAFAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT

IBN HAZM

A. Analisis terhadap Pendapat Ibn Hazm tentang Kriteria Kafah dalam

Pernikahan

Kafah dalam perkawinan merupakan persesuaian keadaan antara

seorang suami dengan seorang istri. Suami mempunyai kedudukan yang

sama dengan istrinya di masyarakat, baik dalam hal agama maupun

keturunan. Dan sebagaimana dengan adanya persamaan kedudukan antara

suami dengan istri diharapkan dapat membawa ke arah rumah tangga yang

sejahtera. Inilah pandangan yang diungkapkan oleh kebanyakan ulama.

Sementara untuk mewujudkan tujuan di atas perlu adanya faktor-faktor

pendukung (adanya persamaan). Namun, dalam hal ini sebagaimana yang

telah dijelaskan pada uraian-uraian sebelumnya, bahwa Ibn Hazm

mengakui adanya kafah dalam pernikahan hanya pada keimanan

seseorang.

Ibn Hazm berpendapat demikian berdasarkan atau ber-istinbth

dengan menggunakan al-Quran surat al-Hujurat: 10


HOt
U c nX P nXP HX c d H I
l
f HWn
H I

HLM NO P QOXR
(10 :UVWP)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat.
80

Sebagai nash al-Quran ayat di atas jelas qati al-tsubuth, yakni jelas

ketetapannya sehingga dapat dijadikan hujjah. Bila melihat dari zhhir nash,

ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslim bersaudara. Secara

implikasi, ayat tersebut menunjukkan adanya persamaan. Di antara orang

muslim, semua manusia adalah sama dan bersaudara. Nampaknya Ibn Hazm

yang menetapkan kafah hanya pada keimanan mempunyai asumsi seperti

itu.

Dari asumsi tersebut ulama (Ibn Hazm) menetapkan bahwa tidak ada

larangan pernikahan yang dilakukan antara orang miskin dengan orang kaya.

Orang yang bernasab rendah boleh menikahi dengan orang yang bernasab

tinggi. Mengingat pada dasarnya derajat manusia adalah sama yng

membedakan adalah ketaqwaan kepada Tuhannya. Hal ini sesuai dengan

firman Allah surat al-Hujurat ayat 13.

Kemudian ulama fiqh (imam madzhab) memberikan kriteria kafah

dengan:

1. Keturunan: sehingga orang Arab kufu satu dengan yang lainnya, begitu

juga orang Quraisy dengan sesama Quraisy.

2. Merdeka: jadi budak laki-laki tidak kufu dengan perempuan merdeka.

3. Beragama Islam: dengan agama ini maka orang Islam kufu dengan yang

lainnya. Ini berlaku bagi non Arab. Sedangkan orang Arab kufu berlaku

dengan ketinggian nasab.


81

4. Pekerjaan: yaitu pekerjaan yang rendah tingkatannya dengan pekerjaan

yang tinggi dan untuk menilai tingkatan itu dilihat dari adat setempat.

5. Kekayaan: yaitu persamaan seseorang dari derajat perekonomian mereka.

6. Tidak cacat: yaitu orang yang sehat jasmaninya.

Sementara Ibn Hazm tidak mengakui adanya perbedaan di kalangan

orang muslim. Ungkapan tersebut sesuai dengan hadts Nabi:

f mno H H mno f kUo mno kOVP kOVo mno kUP


.U lM lM QLP HPQ 182
Artinya: Tidak ada keutamaan bagi orang Arab terhadap orang selain Arab,
tidak ada bagi orang selain Arab terhadap Arab. Tidak ada
keutamaan orang yang hitam atas yang putih maupun sebaliknya
kecuali atas dasar takwa. Manusia berasal dari Adam dan Adam
berasal dari tanah.

Hadts di atas menyatakan tidak adanya perbedaan di antara suku Arab

dengan non Arab. Dengan kata lain hadts ini mengindikasikan adanya

persamaan di antara suku satu dengan yang lainnya dan lebih menjauh lagi

mengindikasikan persamaan derajat di antara manusia. Dan yang

membedakan adalah ketakwaan mereka kepada Allah sebagaimana uraian

yang diungkapkan oleh Ibn Hazm dalam hal persamaan derajat di antara

manusia.

Hukum Islam pada dasarnya disyariatkan dengan tujuan untuk

merealisasikan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokok

(edUP )dan memenuhi kebutuhan sekunder (efQWP )serta kebutuhan

182
Imam Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad (Dar al-Fikr: 1991), 571.
82

yang bersifat pelengkap (kLfWP),183 yaitu sesuatu yang dituntut oleh norma

dan tatanan hidup serta berperilaku menurut jalan yang lurus dengan maksud

untuk membuat keringanan, kelapangan, dan menghilangkan kesempitan.

Hukum Islam manakala mengatur persoalan kafah dalam pernikahan

tentu saja tidak lepas dari koridor kemaslahatan. Secara teoritis, faktor agama

merupakan faktor yang dominan dalam menentukan kriteria kafah. Hal ini

senada dengan pendapat Ibn Hazm yang mengatakan seandainya ada kafah

itu hanya berkisar pada masalah agama. Dalam memandang agama Ibn Hazm

tidak memperhatikan kualitas agama seseorang bahkan apabila orang itu

beriman (muslim) seperti apapun kualitas agamanya tetap kufu satu dengan

yang lain.

Kemudian untuk mencabut akar-akar adat kebiasaan Arab lama

(bahwa putri bangsawan tidak boleh menikah dengan rakyat jelata) Nabi SAW

menikahkan Zainab binti Jahsyi (berasal dari Bani Hasyim) dengan Zaid bin

Harits (bekas budak beliau). Disamping itu, Rasulullah juga pernah

menikahkan Miqdad dengan Dabaah binti Zubair bin Abdul Muthalib (putri

paman Rasul) yang notabene keturunan Bani Hasyim. Dengan demikian

jelaslah bahwa tidak ada kafah dalam masalah nasab dan tidak ada

kelebihan suku Arab dengan ajam (non Arab) sebagaimana hadts:

.kUo mno kOVo kOVo mno kUP


Artinya: Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ajam, dan tidak
ada kelebihan orang ajam atas orang Arab.

183
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushulul Fiqh (t.t.: Dar al-Ilmi, 1978), 197.
83

Sementara itu, dalam masalah kekayaan ataupun pekerjaan, bahwa

Rasulullah membolehkan Abu Hind untuk menikahi putri-putri dari Bani

Bayadhah atau sebaliknya. Padahal Abu Hind tukang bekam (status pekerjaan

yang paling rendah) sebagaimana dalam hadts:

.fP HWcR L Q HWcR eQf kL Qd


Artinya: Wahai Bani Baydhah, kawinkanlah Abu Hind dan kawinkanlah
kepadanya.

Melihat hadts di atas, tidak heran jika Ibn Hazm berpendapat kafah

dalam pernikahan hanya berkisar pada keimanan, karena berdasarkan hadts

tersebut Nabi juga pernah memerintahkan Bani Bayadhah untuk menikahkan

putri-putri mereka kepada tukang bekam yaitu Abu Hind. Seandainya kafah

berdasarkan pekerjaan ada dalam Islam, tentu Nabi tidak melakukan hal itu,

karena jelas-jelas mereka tidak kufu.

Bila dilihat dari sanad, hadts di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud

dari Abu Hurairah dengan sanad jayyid, oleh karenanya hadts di atas bisa

dijadikan hujjah.184

Berkaitan dengan identitas agama, dalam memilih jodoh, menurut Ibn

Hazm semata-mata hanya pemeluk agama Islam saja tanpa memperhatikan

kadar ketaqwaan dalam mengamalkan ajaran agama yang disyariatkan oleh

Islam. Karena itu, orang yang sangat fasik, tetap kufu dengan muslimah

karena mereka dipandang orang yang beriman, hanya kualitas keagamaan

184
Al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismil al-Kahlani, Subulus Salam (Semarang: Toha
Putra, t.t.), 130.
84

yang berbeda, namun tetap kufu dalam keimanan. Pendapat Ibn Hazm ini

didasarkan pada firman Allah surat al-Hujurat ayat 10 dan at-Taubat ayat 71.

Dari uraian di atas, dengan melihat dalil-dalil yang digunakan Ibn

Hazm, menurut hemat penulis, pendapat Ibn Hazm yang tidak mengakui

adanya kafah dalam hal keduniawian bisa diterima, tetapi dalam hal

keagamaan istinbath hukumnya kurang tepat, karena dalil yang dipakai tidak

berkaitan dengan masalah kafah. Hal itu bertentangan dengan pemahaman

Ibn Hazm sendiri yang notabene seorang ahli dhahir. Dengan kata lain, Ibn

Hazm tidak konsisten dalam menggunakan dalil dalam istinbath hukum dalam

pemikirannya (tentang kafah).

Kemudian dalam memberi batasan tentang kriteria kafah, Ibn Hazm

melarang pernikahan yang dilakukan oleh seorang pezina dengan non pezina.

Dalam memandang orang yang berzina, Ibn Hazm hanya memperbolehkan

perkawinan yang dilakukan antar pezina itu sendiri. Larangan ini berakhir jika

orang yang zina itu bertaubat.

Bila ditarik kesimpulan antara jumhur ulama (imam madzhab) dengan

Ibn Hazm terdapat persamaan dan perbedaan. Dalam masalah agama sebagai

kriteria kafah mereka sama-sama menggunakannya, hanya saja dalam

aplikasinya yang berbeda. Karena Ibn Hazm memandang agama tidak pada

kualitas keagamaan seseorang, sementara jumhur memandangnya (kualitas

keagamaan). Jadi tidak heran jika Ibn Hazm membolehkan pernikahan antara

laki-laki fasik dengan wanita muslimah. Sedangkan jumhur melarangnya,

kecuali ada persetujuan dari wanita itu atau walinya sementara dalam masalah
85

perbedaan jelas-jelas terjadi sebab Ibn Hazm tidak mengakui adanya kafah

selain dari keimanan, sementara jumhur menjadikan kafah sebagai syarat

luzm dengan beberapa kriteria sebagaimana yang lalu. Meskipun dengan

tidak adanya kafah pernikahan itu tidak batal, namun hal itu akan

menimbulkan hak fasakh bagi wali atau wanita itu sendiri.

B. Analisis terhadap Metode Istinbth Hukum Islam Ibn Hazm tentang

Kafah dalam Pernikahan

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Ibn

Hazm yang mengembangkan madzhab Zhhir dalam hal menetapkan hukum

tentang suatu masalah selalu berpegang pada al-Quran, al-hadts, ijma ulama,

dan dalil. Hal ini sebagaimana beliau ungkapkan dalam kitab al-Ihkm fi

Ushl al-Ahkm yang menjadi salah satu karya terpopuler dalam masalah

Usul Fiqh. Dalam istinbth hukum Islam Ibn Hazm menolak ray sebagai alat

istinbth dalam hukum Islam. Begitu juga dalam kafah beliau mendasarkan

pada al-Quran surat al-Hujurat (49): 10 dan at-Taubah (9): 11.


HOt
U c nX P nXP HX c d H I
l
f HWn
H I
HLM NO P QOXR
(10 :UVWP)
(11 :eHP )QfP a
QLM NO P
HLM NO P
Ayat di atas dijadikan dalil oleh Ibn Hazm untuk istinbat hukum dalam

kafah. Sebagai nash al-Quran ayat di atas jelas qati tsubth, yakni jelas

ketetapannya, sehingga dapat dijadikan hujjah. Pengembang madzhab Zhhir

melihat ayat di atas berdasarkan zhhir nash, sehingga ayat tersebut


86

menunjukkan bahwa orang yang beriman yang satu dengan yang lain

bersaudara.

Kemudian dilihat dari keumuman lafadz ayat ini menjelaskan bahwa

sesama orang mumin satu dengan yang lainnya bersaudara baik dari

keturunan yang mulia atau orang yang rendah keturunannya atau status

sosialnya. Berdasarkan keumuman lafadz ini Ibn Hazm mentapkan keturunan

bukan termasuk unsur kafah.

Walapun ayat di atas sebenarnya tidak menerangkan kafah, namun

nampaknya oleh Ibn Hazm dipakai untuk membuktikan bahwa keturunan

bukanlah merupakan hal yang penting dalam melihat kesepadanan, karena

yang lebih penting diperhatikan adalah agamanya, karena kemuliaan

seseorang ditentukan oleh agama bukan keturunannya.

Dasar lain yang digunakan Ibn Hazm dalam menetapkan kafah yaitu

surat an-Nisa (4): 3

..
Q
Qn mL M QLs P l
M c P Q QM HWc R Q..
Ayat di atas mengindikasikan kebolehan menikahi semua wanita yang

kita senangi tanpa melihat status sosial maupun keturunannya. Selain itu,

Allah juga menyebutkan dalam firmannya dalam surat an-Nisa (4): 24

l
fW QM U f
l
fL
W
M c PHM H c P QM c P
Xt ..
..
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa kafah sama sekali tidak

menyangkut urusan-urusan nasab, melainkan agama semata karena oleh Ibn


87

Hazm ayat di atas dilihat berdasarkan zhhir nash yang menjadi pegangan

beliau dalam menafsirkan suatu ayat al-Quran.

Sebagaimana dalam pembahasan yang lalu disebutkan bahwa Ibn

Hazm adalah seorang bermadzhab Zhhir yang mendasarkan semua masalah

dengan pemahaman zhhir nash dan dalam berijtihad menolak ijtihad dengan

menggunakan ray. Ibn Hazm dalam beristinbth hukum menggunakan nash

al-Quran, al-hadits mutawatir, ijma sahabat, dan ijtihad yang disebut dengan

al-dalil.

Dalam menetapkan kriteria kafah, Ibn Hazm menggunakan metode

ijtihad dengan menggunakan bayn, yaitu keadaan sesuatu dalam zatnya serta

memungkinkan diketahui hakikatnya bagi yang ingin mengetahuinya. Metode

m atau khsh sebagaimana yang digunakan Ibn Hazm dalam menentukan

kriteria kafah termasuk bagian dari bayn, sehingga dengan mengacu pada

penjelasan al-Quran surat al-Hujurat (49): 10, at-Taubah (9): 71, Ibn Hazm

mengatakan kafah hanya berlaku dalam keimanan.

Selain itu, Ibn Hazm juga berpegang pada zhhir nash, sehingga al-

Quran dan al-hadts telah memuat semua persoalan hukum, baik perintah

maupun larangan. Sementara Ibn Hazm memandang dalil-dalil kafah yang

dijadikan dasar oleh yang kontra dengannya dianggap gugur,185 karena ada

firman Allah:

,HI HLMNOP QOR


QLP lM cP Q QM HWcRQ
185
Ibn Hazm, al-Muhall, 24.
88

cP QM cP t
Mengenai metode istinbth dari tokoh Zhhir ini penulis sepakat

bahwa semua persoalan telah ada solusinya di dalam nash, namun menurut

penulis tidak semua orang dapat menemukan atau menggali sumber hukum

yang ada dalam nash, sehingga masih diperlukan pemikiran-pemikiran

(ijtihd) untuk mengetahui hukum suatu masalah. Dengan demikian, ray

mutlak digunakan dalam penggalian suatu hukum demi tercapainya suatu

kemaslahatan yang menjadi tujuan diciptakannya hukum Islam. Akhirnya,

kalau diamati bahwa antara jumhur dan Ibn Hazm ada dua kemungkinan.

Pertama, kalau mengikuti pandangan Ibn Hazm yaitu dengan apa adanya atau

dzahir nash, manusia akan lebih selamat dan aman dari perubahan, akan tetapi

sulit untuk berkembang seakan-akan bahwa Islam adalah agama paksaan,

padahal, problematika manusia kian hari kian bertambah, tentunya,

kedudukan akal sangat penting dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.

Kedua, menurut hemat penulis, bahwa hukum Islam itu elastis, dengan

demikian hukum Islam bisa menyesuaikan dengan lingkungan, suasana, dan

tempat, dikarenakan maksud hukum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan

manusia. Jadi, intinya, bahwa saat sekarang zaman yang serba canggih sangat

diperlukannya akal sebagai peran untuk menggali hukum Islam. Jadi,

pendapat semacam jumhur sangat diperlukan, sebab kalau hanya

menggunakan apa adanya, Islam akan mengalami kemerosotan.


89

C. Analisis terhadap Relevansi Pemikiran Ibn Hazm dengan Kompilasi

Hukum Islam

Dengan Kompilasi Hukum Islam tentang kriteria kafah dalam

pernikahan masyarakat Islam (sebelum adanya KHI) baru memiliki kitab-

kitab fiqh sebagai rujukan dalam menentukan bagaimana hukum Islam, baik

itu di kalangan lembaga pengadilan agama maupun di kalangan masyarakat,

terutama ketika masalah itu bersangkutan dengan pernikahan.

Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum yang dipakai di lingkungan

pengadilan agama. KHI dibentuk dari kumpulan berbagai kitab dan madzhab

yang berbeda. Hukum ini dalam kehidupan masyarakat Indonesia dilakukan

dengan penyesuaian pada budaya Indonesia yang hasilnya kadang berbeda

dengan hasil ijtihad di negeri-negeri Islam yang lain.186

Kemudian untuk mensistematiskan dan menyatukan hukum di

kalangan pengadilan agama dibentuklah KHI sebagai acuan pengadilan agama

dalam memberi keputusan.

Kriteria kafah dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah

dijelaskan sekilas pada pasal 44187 dan 61 dalam permasalahan kafah adalah

suatu hal yang penting dalam perkawinan, karena dengan adanya kafah

antara kedua mempelai akan lebih mudah untuk mencapai tujuan perkawinan

186
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo,
1992), 17.
187
Pasal 44 KHI berbunyi: Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang yang tidak beragama Islam. Pasal 61 KHI: Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak kufu karena perbedaan agama atau ikhtilf al-
dn.
90

dan menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dengan penuh kehormatan

di dalamnya. Oleh karena itu, dalam KHI hanya disinggung sekilas

keagamaan.

Faktor agama ini bagi calon suami harus dijadikan faktor utama dan

faktor nomor satu dalam kriteria kafah demi terwujudnya rumah tangga

yang sakinah mawaddah dan rahmah dan diridhai Allah. Telah disepakati

seluruh ulama (ijma) bahwa wanita Islam tidak diperkenankan kawin dengan

laki-laki yang tidak beragama Islam, baik laki-laki itu seorang musyrik atau

golongan Ahl-Kitab seperti beragama Kristen/Katolik atau Yahudi.

Dalam al-Quran dinyatakan bahwa laki-laki hamba sahaya sekalipun

kalau dirinya seorang mukmin adalah lebih baik dan lebih bagus untuk dipilih

sebagai calon suami daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun orang itu

pejantan, bagus, menawan, lagi simpatik. Hal ini berdasarkan firman Allah

surat al-Baqarah ayat 221.

Adapun kriterita keagamaan dalam Kompilasi Hukum Islam sangat

penting untuk diperhatikan karena merasa bangga dengan keislamannya maka

seorang perempuan musliman yang ayah dan kakeknya beragama Islam

dipandang tidak kufu dengan laki-laki muslim yang ayah dan kakeknya tidak

beragama Islam, karena untuk mengenal tanda-tanda seorang sudah cukup

diketahui siapa ayah dan kakeknya saja.188

188
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada,
Rawamangun, 2006), 144.
91

Setelah penulis melihat adanya pendapat Ibn Hazm yang sama dengan

Kompilasi Hukum Islam yang notabene menjadi pegangan khusus bagi

masyarakat Indonesia terlebih lagi bagi pemeluk agama Islam. Oleh

karenanya, di dalam penulisan ini penulis akan mencoba menganalisa dari

sudut kenyataan yang ada di Kompilasi Hukum Islam.

Berbicara tentang Indonesia, realitas hukum yang dianut masyarakat

senantiasa mengacu pada tiga sistem hukum: hukum positif, hukum Islam, dan

hukum adat. Dalam masalah perkawinan misalnya, hukum positif yang

menjadi acuan adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sementara

hukum adat189 yang dipakai adalah hukum adat yang terdapat di daerah

masing-masing, misalnya: hukum adat Bugis, adat Minangkabau, adat Jawa,

dan lain-lain. Sementara hukum Islam yang dijadikan acuan adalah kitab-kitab

fiqh dan KHI. Hukum positif yang diambil dari Kompilasi Hukum Islam

diperlakukan khusus bagi umat Islam sebagaimana terdapat pada pasal 1

sampai pasal 170.

Melihat pendapat Ibn Hazm yang mengatakan tidak ada kafah dalam

Islam selain keimanan dan tidak adanya larangan pernikahan yang dilakukan

oleh orang miskin dengan orang kaya atau orang orang yang mempunyai

derajat rendah dengan yang mempunyai derajat mulia dan apa yang tertulis

dalam Kompilasi Hukum Islam yang hanya mencantumkan kriteria kafah

189
Hukum adat yang dimaksud yaitu hukum adat perkawinan tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan negara. Hukum ini juga bisa dikatakan hukum rakyat. Jika terjadi suatu
pelanggaran dalam hukum ini, peradilan adatlah yang menyelesaikan dalam peradilan masyarakat
keluarga atau kerabat yang bersangkutan, dan ini terasa lebih adil dibandingkan dengan peradilan
resmi. (Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1983), 14.
92

dari sudut keislaman seseorang saja. Jika keduanya dikaitkan maka keduanya

itu dikatakan relevan walaupun tidak secara tegas Ibn Hazm mengatakan

kafah hanya dalam keislaman seseorang saja. Sebab, dalam KHI pasal 44190

dan 61 yang dimaksud dengan agama adalah keyakinan/kepercayaan (sebatas

itiqd al-dn) bukan berdasar pada kualitas keagamaan seseorang.

Pasal 44 menyebutkan bahwa Seorang wanita Islam dilarang

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Secara implisit pasal ini mengisyaratkan bahwa KHI sebagai pedoman untuk umat

Islam Indonesia juga menentukan kriteria kafah ini, tetapi dalam hal agama saja.

Lebih jelas lagi pasal 6 KHI menyebutkan Tidak se-kufu tidak dapat

dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena

perbedaan agama atau ikhtilf al-dn. Ini berarti secara explisit KHI tidak

menentukan ukuran kufu selain agama. Dengan kata lain, menurut pasal ini

kriteria-kriteria seperti pekerjaan, keturunan, kekayaan, dan lain-lain bukanlah

yang mutlak harus ada dalam pernikahan. Walaupun demikian seyogyanya hal

ini juga diusahakan keberadaannya.

Pada pasal-pasal di atas kriteria kafah hanya ditetapkan dalam hal

agama saja. Adapun agama yang dimaksud adalah agama Islam dalam arti

kepercayaan atau keyakinan semata.

Dalam KHI selain bersumber pada al-Quran dan al-hadts juga

merumuskan hal-hal baru yang tidak terdapat dalam nash, yaitu dengan jalan
190
Pasal 44 ini sebenarnya merupakan syarat bagi calon mempelai, walau diungkapkan
dalam sebutan larangan dan bukan rukun, kendati kedua calon mempelai itu sendiri adalah rukun
nikah. (M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama (Yogyakarta: Total Media, 2006), 137.)
93

ijtihad, di antaranya dengan metode mashlahah mursalah. Banyak pasal yang

dalam nash tidak diatur namun karena dinilai berpotensi mendatangkan

kebaikan maka dalam KHI dirumuskan ketentuan hukum baru. Bila teori ini

dikorelasikan dengan masalah kafah dalam KHI dan Ibn Hazm dalam

penetapan ini ada unsur mashlahah, karena kalau kita melihat kafah-nya

imam madzhab secara keseluruhan akan terjadi pengelompokan sosial.

Sementara Islam tidak mengakui yang demikian itu.

Kalau dilihat, antara Ibn Hazm dengan KHI lebih maslahat KHI

karena KHI memandang keimanan dari perempuan dan walinya. Sementara

Ibn Hazm hanya secara umum.

Kemudian untuk melihat kafah dalam masalah agama, hendaknya

kita melihat dari segi keimanan mereka (dua kalimat syahadat) bukan pada

KTP seseorang.
94

BAB V

PENUTUP

I. Kesimpulan

Dari pembahasan skripsi ini, pada akhirnya penulis mengambil

kesimpulan sebagai berikut:

Ibn Hazm mengakui adanya kafah dalam pernikahan hanya saja, kriterianya

yang berbeda. Menurutnya, kafah bukan termasuk syarat pernikahan.

Beliau berpendapat, tidak ada larangan pernikahan antara orang kaya

dengan orang miskin, orang berderajat tinggi dengan yang derajatnya

rendah, asal mereka beriman dan tidak berzina satu sama lain tetap kufu,

namun hanya secara implisit Ibn Hazm mengakui kafah dari segi agama.

Tentang dasar dan metode istinbth hukum tentang kafaah dalam pernikahan,

Ibn Hazm mendasarkan pada zhhir nash al-Quran surat al-Hujurt (49):

10, surat al-Nr (24): 3, al-Baqarah (2): 221, serta hadts Nabi dan metode

al-dall dengan bayn, secara keumuman lafadz tanpa membedakan

seorang muslim.

Tentang relevansi pemikiran Ibn Hazm dengan KHI bisa dikatakan masih

relevan. Dalam KHI sebagaimana pasal 44 dan 61 menentukan kriteria

kafaah hanya dalam keislaman seseorang. Demikian halnya Ibn Hazm

walaupun tidak secara tegas menetapkan kafaah dari segi agama, namun
95

secara implisit Ibn Hazm menetapkan kafaah hanya dari keimanan

seseorang.

2. Saran

Akhirnya sebagai cacatan penutup skripsi ini, penulis ingin

menyampaikan saran-saran sebagai berikut:

Hendaknya dalam memilih pasangan seseorang memprioritaskan dari segi

agama dan akhlak seseorang. Namun demikian, apabila dimungkinkan

mewujudkan kriteria kafah sebagaimana yang ditawarkan oleh jumhur

ulama, hendaknya hal itu diwujudkan, karena fitrah manusia senang

terhadap kemewahan dunia.

Hendaknya ketika meniadakan kriteria kafah harus dengan adanya

kesepakatan antara wali dan wanita itu, dan diadakan pencatatan tentang

hal itu, dengan tujuan jika di kemudian hari terdapat sesuatu yang tidak

diinginkan ada barang bukti dari kesepakatan tersebut.


96

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika


Pressindo, 1992.

Al-Dimyth, Ab Bakar bin Muhammad Shath. Inah al-Thlibn, vol. 3.


Beirut: Dar Ihya al-Turth al-Arabi, 2001.

Alhamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqh Muslimah: Ibadat, Muamalat. Jakarta:


Pustaka Amani, 1999.

Al-Jazr, Abd al-Rahman. Kitab al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, vol. 4.


Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Al-Kahlani, Al-Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismil. Subulus Salam.


Semarang: Toha Putra, t.t.

Al-Margh, Ahmad Musthaf. Tafsr Margh, terj. Ansor Umar Sitonggal, dkk.,
vol. 2. Semarang: Toha Putra, 1993.

al-Quran al-Karm dan Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus: Menara Kudus.

Al-Zuhayl, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, vol. 7. Damaskus: Dr al-


Fikr, 1989.

Ar-Rifai, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsr Ibn


Katsr, vol. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Ash Sharqawi, Abdurrahman. Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Jogjakarta: Logos, 1997.

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam


Madzhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

---------. Hukum-Hukum Fiqh Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

Asmin. Status Perkawinan Antar Agama. Jakarta: Dian Rakyat, 1986.

Assegaf, M. Hasyim. Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafaah Syarfah.


Bandung: Remaja Rosdakarya: 2000.

Atha, Abdul Qadir Ahmad. Adabun Nabi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.

Aziz, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam. Jogjakarta: Intermasa, 1996.


97

Badran, Badran Ab al-Ainan. az-Zawj wa al-Thalq fi al-Islm. Beirut: Dar


al-Fikr, t.t.

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Midnes Surya Grafindo, 1988.

Departemen Agama RI. Ilmu Fiqh. Jakarta: t.p.: 1982/1983.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002.

Djazuli, A. Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar. Bandung: Orta Sakti, 1992.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Gajah Mada, 1980.

Hadikusumo, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1983.

Hasan, Ali. Perbandingan Madzhab. Jakarta: Rajawali Press, 1996.

Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Prenada
Media, 2003.

Hasyim, Umar. Cara Mendidik Anak dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu, t.t.

Himaya, Ali. Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajian Agama-Agama, terj. Khalid
al-Kaf. Jakarta: Lentera, 2001.

Ibn Hanbal, Imam Ahmad. Musnad Imam Ahmad. Dar al-Fikr: 1991.

Ibn Hazm, Ab Muhammad Al bin Ahmad Said. al-Ihkm fi Ushl al-Ahkm,


vol. 1. Beirut: Dar a;-Kutub al-Alamiyah, t.t.

---------. al-Muhall, vol. 10. Beirut: Dr al-Fikr, t.t.

Ibn Saurah, Abi Isa Muhammad bin Isa. Sunan at-Tirmidzi. Libanon: Dar al-
Fikr, t.t.

Karsayuda, M. Perkawinan Beda Agama. Yogyakarta: Total Media, 2006.

Kholaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulul Fiqh. t.t.: Dar al-Ilmi, 1978.

Mjah, Ibn. Sunan Ibn Mjah. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Rusda, 2000.

Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan


Bintang: 1993.

Mughniah, Muhammad Jawwad. Fiqh Lima Madzhab: Jafari, Hanf, Mlik,


Syfi, Hanbal, terj. Maskur AB. dkk., vol. 7. Jakarta: Lentera, 2000.
98

Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia. t.t.: Djambatan, t.t.

Naww, Ab Ahdi al-Muthi Muhammad bin Umar bin Ali. Nihyah al-Zyn.
Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Nur, Djamaah. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama, 1993.

Qudmah, Ibn. al-Mughn, vol. 6. Mesir: Maktabah al-Jumhriyah al-Arabiyah, t.t.

Rahman, Abd. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islami: Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Sinar Baru
Algesindo, 2001.

---------. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrohman dan A. Haris


Abdulloh, vol. 2. Semarang: Asy-Syifa: 1990.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, vol. 2. Beirut: Dr al-Fikr, t.t.

Shaleh, K.H.Q. dkk. Asbbun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
Ayat al-Quran. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbh: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran,


vol. 9. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sudrajat, Ajat. Epistemologi Hukum Islam: Versi Ibn Hazm al-Andalusiy.


Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2005.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada,


Rawamangun, 2006.

Teguh, Muhammad. Metodologi Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Arkola, t.t.

Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Madzhab. Yogyakarta:


Logos, 1997.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam: Menurut Madzhab Syafii,


Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Jakarta: Hidayah Karya Agung, 1983.

Zacky, Ahmad. Fikih Seksual. t.t.p.: Jawara, t.t.

Zahrah, Muhammad Ab. al-Ahwl al-Syakhsiyyah. Kairo: Dr al-Fikr, 1957.

Vous aimerez peut-être aussi