Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Latar Belakang
Abses hati telah dikenal sejak zaman Hippocrates (400 SM). Sampai sekarang penyakit
ini masih merupakan masalah di bagian bedah dengan angka morbiditas dan mortilitas yang
tinggi. Penyakit ini banyak ditemukan pada anak di negara berkembang, terutama yang tinggal di
daerah tropis dan subtropis. Pada tahun 1938, pertama kali melaporkan suatu serial kasus abses
hati piogenik dengan case fatality rate 77%. Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati
amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP
dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver,
bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh
Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.
Diagnosis dini dan terapi yang adekuat berhubungan dengan hasil yang lebih bagus.
Kemajuan di bidang radiologi diagnostik dan intervensi selama 3 dekade terakhir telah
menghasilkan suatu prosedur invasif yang minimal dalam tatalaksana penyakit ini. Kombinasi
antibiotik dengan teknik drainase perkutaneus merupakan terapi yang banyak digunakan, namun
sebagian kecil pasien tidak mengalami perbaikan dengan metoda ini sehingga tindakan
pembedahan merupakan pilihan terakhirnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri,
parasit, maupun jamur yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan
adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati.
II. Etiologi
a. Abses Hati Amebik
Abses hati amebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba hystolitica yang
tinggi. Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis mengeluarkan
tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya terjadi setelah meminum air
atau memakan makanan yang terkontaminasi kotoran yang mengandung tropozoit atau
kista tersebut. Dinding kista akan dicerna oleh usus halus, keluarlah tropozoit imatur.
Tropozoit dewasa tinggal di usus besar terutama caecum. Strain Entamoeba hystolitica
tertentu dapat menginvasi dinding kolon. Strain ini berbentuk tropozoit besar yang mana
di bawah mikroskop tampak menelan sel darah merah dan sel PMN. Pertahanan tubuh
penderita juga berperan dalam terjadinya amubiasis invasif.
b. Abses Hati Piogenik
Abses piogenik disebabkan oleh Enterobactericeae, Microaerophilic streptococci,
Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumoniae, Bacteriodes, Fusobacterium,
Staphilococcus aereus, Staphilococcus milleri, Candida albicans, Aspergillus, Eikenella
corrodens, Yersinis enterolitica, Salmonella thypii, Brucella melitensis dan fungal.
Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob
( contohnya Streptococcus Milleri). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab
pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang
ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia.
Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen.
III. Epidemiologi
Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik
dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan
terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara
epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di
RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara
0,29 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering
terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40
tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke 6.
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi.
Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih
mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara 0,29-1,47 %
sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita.
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di
rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di
Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan
perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade
keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal.
Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih
sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa
muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di
daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi
yang buruk.
IV. Klasifikasi
a. Abses Hati Amebik.
b. Abses Hati Piogenik.
V. Faktor Risiko
a. Jenis Kelamin.
b. Usia.
c. Trauma.
d. Imunosupresi (Infeksi HIV, malnutrisi dengan hipoalbuminemia, infeksi kronis,
alcohol.
e. Kriptogenik.
VI. Patogenesis
a. Abses Hati Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang
dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks
oral ataupun anal.
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan penyakit
invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk
kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam
usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian
menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan
mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit
dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba
yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui
vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis
jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil
periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar,
bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi
kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% -
90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan
aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit.
Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy paste dan berwarna coklat
kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna.
b. Abses Hati Piogenik
Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di
Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat
berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen
maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum.
Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi
dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari
terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke
hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena
portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan
distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik
sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga
terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan
intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan
dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan
terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus
kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri
mesenterika inferior dan aliran limfatik.
A B
Gambar 1 : Gambar A menunjukan hati/liver normal, sedangkan Gambar B
menunjukkan hepar yang terdapat abses pada Abses hati amebic.
Pada gambaran makroskopik abses hati, abses sering ditemukan pada bagian
lobus kanan hepar. Abses pada abses hati dapat hanya ditemukan 1 buah abses saja, tetapi
pada kasus-kasus lanjutan dapat ditemukan multiple abses. Ukuran dari absesnya sendiri
bervariasi. Bagian dengan gambaran putih kecoklatan adalah gambaran pusnya. Pus pada
abses hati amebiasis sendir biasanya dapt berwarna putih hingga kecoklatan.
Mikroskopik
X. Tatalaksana
a. Abses Hati Amebik
1. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis
intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit
kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk
kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 10 hari.
Sedangkan untuk anak ialah 3550 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis.
Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan
dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
2. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5
mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif
lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih
rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal,
dan anak-anak.
3. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah
2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama
2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi
selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan
diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
4. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau
bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada
kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
5. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau
diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak
abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada
lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan
komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.
6. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah
dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga
untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai
atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses
amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah,
khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur
abses amuba intraperitoneal.
b. Abses Hati Piogenik
1. Antibiotik
Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri
gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga seperti
cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol
untuk bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6
jam/IV. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten. Ampicilin-
sulbaktam atau kombinasi klindamisinmetronidazole, aminoglikosida dan
siklosporin.
2. Drainase Abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif.
Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus
abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi
komputer.
3. Drainase Bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan,
drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan
manajemen operasi.
XI. Komplikasi
a. Abses Hati Amebiasis
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat
terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang
dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi
pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi
termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga
dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga
terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif
dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang
terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke
organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika
telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi.
XII. Prognosis
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai
sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang
membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum
yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau
sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi
penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta
infeksi peritonial dan pericardium.
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat
dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian
antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama
yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta
bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia.
Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau
subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati,
hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati
piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan
drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses
multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit
immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak
dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau
adanya penyakit lain.
BAB III
KESIMPULAN
Abses hati merupakan infeksi pada hati yang di sebabkan bakteri, jumur, maupun
nekbrosis steril yang dapat masuk melalui kandung kemih yang terinfeksi, infeksi dalam perut,
dsb. Adapun gejala-gejala yang sering timbul diantaranya demam tinggi, nyeri pada kuadran
kanan atas abdomen, dll. Dan pada umumnya diagnosis yang di pakai sama seperti penyakit lain
yaitu pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan laboratorium. Secara konvensional
penatalaksanaan dapat dilakukan dengan drainase terbuka secara operasi dan antibiotik spektrum
luas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R.dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishinh.