Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
Pembimbing:
Dhani Redhono H, dr, Sp.PD-KPTI, FINASIM
Anthrax merupakan penyakit infeksi menular akut yang termasuk salah satu
dari penyakit penyakit zoonosis. Penyakit ini tergolong penyakit kuno, sejak tahun
1850 Davaine dan Rayer serta Pollander pada tahun 1855 telah menemukan bakteri
Bacillus anthracis dari jaringan hewan yang mati akibat penyakit anthrax. Pada tahun
1857 Brauell telah dapat memindahkan bakteri ini dengan cara menginokulasikan
darah dari hewan yang terinfeksi pada percobaan. Pada tahun 1877 Robert Koch
berhasil mengisolasi bakteri ini di laboratorium.
Penyakit anthrax juga semakin dibicarakan dan dianggap penting karena
selain berpengaruh terhadap kesehatan manusia maupun ternak, juga berdampak
negatif terhadap perekonomian serta perdangangan khususnya ternak secara nasional
maupun internasional. Selain itu ternyata penyakit anthrax berpengaruh terhadap
Sosio-politik dan keamanan suatu negara karena endospora bakteri ini berpotensi
ntuk dipergunakan sebagai senjata biologis.
Sedikitnya sudah 10 daerah propinsi yang oleh Departemen Pertanian
dinyatakan berisiko untuk usaha peternakan yaitu antara lain Jambi, Jawa Barat, Jawa
Tengah, JawaTimur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Pernyataan tersebut didasarkan atas
hasil survei yang dilakukan pada bulan April 2000. Pada tahun 2004 ditemukan kasus
anthrax di peternakan Ostrich, Jawa Barat. Pada tahun 2007, di desa Kode, Nusa
Tenggara Timur, anthrax menyebabkan kematian 8 orang dan 6 orang dirawat akibat
mengkonsumsi daging sapi yang terserang anthrax.
Beberapa daerah di Indonesia sampai merupakan daerah endemis anthrax
diantaranya di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat. Sedikitnya sudah 10 daerah propinsi yang oleh Departemen
Pertanian dinyatakan berisiko untuk usaha peternakan yaitu antara lain Jambi, Jawa
Barat, Jawa Tengah, JawaTimur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Pernyataan
tersebut didasarkan atas hasil survei yang dilakukan pada bulan April 2000. Pada
tahun 2004 ditemukan kasus anthrax di peternakan Ostrich, Jawa Barat. Pada tahun
2007, di desa Kode, Nusa Tenggara Timur, anthrax menyebabkan kematian 8 orang
dan 6 orang dirawat akibat mengkonsumsi daging sapi yang terserang anthrax.
Anthrax adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis.
Penyakit tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput seperti
domba dan kambing. Manusia terinfeksi penyakit ini apabila endospora masuk ke
dalam tubuh melalui kulit yang lecet atau luka, inhalasi atau makanan yang
terkontaminasi. Secara alamiah manusia dapat terinfeksi apabila terjadi kontak
dengan binatang yang terinfeksi anthrax atau produk binatang yang terkontaminasi
kuman anthrax. 4
Bacillus anthracis bersifat aerob, memerlukan oksigen untuk hidup. Bakteri
ini berbentuk spora bertangkai dan suka hidup serta berkembang biak di dalam tanah.
Keluarnya bakteri tersebut bisa terjadi di musim kemarau panjang, karena ternak suka
menarik rerumputan kering hingga keakar-akarnya. Akibatnya spora anthrax yang
selama ini bertahan hidup dalam tanah dan menempel di rumput, terbawa keluar dan
berubah menjadi bakteri ganas. Kondisi tubuh ternak yang lemah akibat kekurangan
makanan dan stres oleh suhu udara yang panas, juga semakin memudahkan serangan
anthrax. Hewan yang mati akibat anthrax harus langsung dikubur atau dibakar, tidak
boleh dilukai supaya bakteri tidak menyebar.5
Pada manusia terdapat tiga tipe antraks yaitu: antraks kulit, antraks inhalasi,
dan antraks gastrointestinal. Anthrax kulit merupakan infeksi yang paling sering
terjadi, dan ditandai dengan lesi kulit terlokalisasi dengan eschar (ulkus nekrotik)
sentral dikelilingi edema non pitting. Anthrax inhalasi ditandai dengan mediastinitis
hemorhagik,infeksi sistemik yang progresif, dan mengakibatkan angka kematian yang
tinggi. Anthrax gastrointestinal jarang terjadi dan dihubungkan dengan mortalitas
yang tinggi.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anthrax adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus
anthracis. Penyakit tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan
rumput seperti domba, kambing, dan ternak. Penyakit ini paling sering menyerang
herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan, namun juga dapat menjangkit
manusia karena terekspos hewan-hewan yang telah terjangkit, jaringan hewan
yang tertular, atau spora anthrax dalam kadar tinggi. Penyakit ini bersifat zoonosis
yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia, namun tidak dapat
ditularkan antara sesama manusia. Hingga kini belum ada kasus manusia tertular
melalui sentuhan atau kontak dengan orang yang mengidap anthrax. 3,4
Anthrax bermakna "batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini
digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam.2,7 Penyakit Anthrax kerap
disebut juga dengan Malignant pustule, Malignant edema, Woolsorters disease,
Rag pickers disease, Charbon.8
B. Etiologi
Anthrax diakibatkan oleh infeksi Bacillus anthracis. Bacillus anthracis,
kuman berbentuk batang ujungnya persegi dengan sudut-sudut tersusun berderet
sehingga nampak seperti ruas bambu atau susunan bata, membentuk spora,bersifat
gram positif, nonmotile, berukuran 1-1,5 m hingga 3-10 m, aerobik, dan
tergolong ke dalam keluarga Bacillaceae.1
Bacillus anthracis berasal dari bahasa Yunani dari kata batu bara:
anthrakis, karena penyakit ini menimbulkan warna hitam atau gambaran batu bara
(coal like) pada lesi kulit. Kuman ini bersifat nonhemolitik pada agar darah
domba, dapat tumbuh pada suhu 37C dengan gambaran seluler joint bamboo-rod
dan membentuk gambaran koloni curled hair yang unik.
Endospora tidak terbagi, tidak mempunyai metabolisme yang dapat
diukur, dan resisten terhadap panas, udara kering, sinar ultra violet, radiasi sinar
gama, dan beberapa desinfektan. Spora anthrax akan mengalami germinasi
menjadi bentuk vegetatif bila masuk ke dalam lingkungan yang kaya nukleotida,
asam amino dan glukosa, seperti yang ditemukan dalam darah dan jaringan
binatang atau manusia. Bentuk vegetatif kuman anthrax akan cepat bertambah
banyak dalam pejamu, tetapi bila nutrien lokal telah habis maka kuman ini
kemudian akan berubah bentuk menjadi spora.
Virulensi kuman anthrax bergantung pada kapsul antifagosit dan
komponen tiga toksin yaitu: antigen protektif (AP), factor letal (FL), dan faktor
edema (FE).1,11 Faktor virulen utama dari Bacillus anthracis adalah plasmidnya
yaitu pX01 dan pX02. pX01 mengkode tripartite protein exotoxin complex,
sementara pX02 mengkode gen kapsum. Bacillus anthracis secara genetik sangat
homogen, tetapi beberapa grup berbeda secara genetik akibat turunan dari klon.
Beberapa klon tersebut terdistribusi ke seluruh dunia, sementara yang lainnya
ditemukan di area tertentu. Bacillus anthracis adalah anggota dari grup Bacillus
cereus yang juga terdiri dari B. cereus dan B. thuringiensis. Ketiga organisme ini
sangat dekat kekerabatannya. Berdasarkan analisis genetik, ketiga organisme ini
menjadi spesies tunggal. Tetapi, hal tersebut masih kontroversi. Plasmid yang erat
kekerabatannya terhadap pX01 dan atau pX02 telah ditemukan di beberapa isolat
B. cereus yang menyebabkan anthrax-like diseases di manusia, simpanse, atau
gorilla.7
Gambar 1. Bacillus antrachis dalam pewarnaan metilen blue 1
C. Epidemiologi
Penyakit anthrax paling sering terjadi pada binatang herbivora akibat
tertelan spora dari tanah karena spora dapat bertahan hidup dalam jangka waktu
yang lama di dalam tanah. Burung gagak dikatakan dapat berperan dalam
penyebaran mikroorganisme ini.4 Kejadian luar biasa epizootik pada herbivora
pernah terjadi pada tahun 1945 di Iran yang mengakibatkan 1 juta domba mati.
Program vaksinasi pada binatang secara dramatis menurunkan mortalitas
pada binatang piaraan. Walaupun demikian spora anthrax tetap ada dalam tanah
pada beberapa belahan dunia.9 Pada manusia terdapat tiga tipe anthrax yaitu:
anthrax kulit, anthrax inhalasi, dan anthrax gastrointestinal. Anthrax inhalasi
secara alamiah sangat jarang terjadi. Di Amerika Serikat dilaporkan 18 kasus
anthrax inhalasi dari tahun 1900-1976. Hampir semua kasus terjadi pada pekerja
yang mempunyai risiko tertular anthrax, seperti tempat pemintalan bulu kambing
atau wool atau penyamakan kulit. Tidak ada kasus anthrax inhalasi di AS sejak
tahun 1976.6
Secara alamiah anthrax kulit merupakan bentuk yang paling sering terjadi
dan diperkirakan terdapat 2000 kasus pertahunnya di seluruh dunia. Pada
umumnya penyakit timbul setelah seseorang terpajan dengan hewan yang
terinfeksi anthrax. Di AS dilaporkan 224 kasus anthrax kulit dari tahun 1944-
1994. Centers for diseases Control and Prevention(CDC) melaporkan kejadian
anthrax kulit dari tahun 1984-1993 hanya tiga orang, dan satu kasus dilaporkan
terjadipada tahun 2000.6 Kejadian luar biasa terjadi di Zimbabwe pada tahun
1978-1980 yang mengakibatkan 10.000 orang terjangkit anthrax kulit terutama
pada pekerja perkebunan.
Kejadian itu terjadi akibat perang yang menyebabkan terhentinya
program vaksinasi, kerusakan infrastruktur medis dan veteriner.Walaupun jarang
terjadi, di Afrika dan Asia ledakan kasus anthrax gastrointestinal masih sering
dilaporkan. Kejadian luar biasa 24 kasus anthrax gastrointestinal terjadi di
Thailand pada tahun 1982. Kejadian itu terjadi akibat konsumsi daging kerbau
yang terkontaminasi dan proses pemasakan yang tidak sempurna. 5-8 Kejadian
epidemi anthrax pada manusia berhubungan langsung dengan epizootik pada
ternak.
Di Indonesia, kasus anthrax pada manusia pertama kali dilaporkan di
Kab. Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 1832. Tercatat 36 penderita
meninggal setelah makan daging pada tahun 1969. Empat tahun kemudian 4
orang lagi meninggal setelah makan daging yang terinfeksi anthrax pada
pelacakan. Infeksi anthrax menyebar keseluruh tanah air. Telah dilaporkan KLB
anthrax di Teluk Betung Propinsi Lampung tahun 1884, Kabupaten Buleleng
Propinsi Bali danPalembang Sumatera Selatan tahun 1885. Kabupaten Bima
NTB tahun 1976 danKabupaten Paniai Irian Jaya pada tahun 1985 dengan ribuan
ternak babi mati dan 11orang meninggal karena makan daging babi.
KLB juga menyerang Jawa Tengah pada tahun 1990 di Kabupaten
Semarang, Boyolalidan Demak dengan total kasus 48 orang tanpa kematian. Pada
tahun 2000 terjadi KLB di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat dengan 32 kasus,
tahun 2001 di Kabupaten Bogordengan 22 orang penderita dengan kematian 2
orang.
Pada tahun 2011 sudah propinsi di Indonesia tertular anthrax yaitu : DKI
Jakarta, Jawa Barat,Jawa Tengah, NTB, NTT, Sumbar, Jambi, Sulteng, Sultra dan
papua. Total kasus diIndonesia pada tahun 1992 2001 adalah 599 kasus dengan
kematian 10 orang.
Kejadian anthrax di Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir
telah terjadi lima kali wabah yaitu tahun 1996 di kabupaten Purwakarta, Subang,
Bekasi dan Karawang, pada tahun 1997 di kabupaten Purwakarta, Subang dan
Karawang, padatahun 1999 di kabupaten Purwakarta, Subang dan Bekasi, pada
tahun 2000 di Kabupaten Purwakarta, dan tahun 2001 di kabupaten Bogor seiring
dengan mendekatnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha di tiga kecamatan yaitu
Citeureup, Cibinong dan Babakan Madang yang mengakibatkan 2 orang
meninggal dunia.
Pada bulan Februari 2011 terjadi wabah anthrax di Desa Tangkisan,
Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali, dengan didapatkan satu ekor sapi yang
mati karena anthrax. Karena masyarakat tidak mengetahui bahwa sapi tersebut
sakit, pada saat itu sapi itu disembelih kemudian dikonsumsi oleh masyarakat di
sekitarnya.13
D. Patogenesis
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada
kulit, inhalasi (ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman
akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada
anthrax kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi
primer yang menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami
germinasi di dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan
keluar dari makrofag, berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan
limfadenitis hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi,dan
menyebabkan septikemia.14
Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid
virulen yaitu pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 pada Bacillus anthracis
menghasilkan eksotoksin LF (Lethal Factor) dan EF (Edema Factor) disamping
menghasilkan Protective Antigen (PA). Antigen pelindung (PA) dari toksin
anthrax mengikat ATR (Anthrax Toxin Receptor) pada permukaan sel host.
Bentuk PA yang berukuran 83-kDa dipecah oleh sel protease purin permukaan
dan menghasilkan monomer 63-kDa. Heptamerisasi PA menginduksi
pengelompokan ATRs, kemudian terjadi hubungan kompleks ATRs dengan ikatan
lipid, dan domain binding faktor edema (EF) atau faktor letal (LF). Kemudian
terjadi endositosis EF dan LF. EF menyebabkan kenaikan cAMP yang
menyebabkan edema sel, sedangkan LF merupakan metalloprotease yang
memiliki kofaktor Zn2+ mengalami translokasi ke sitosol melalui pori membran
dan menyebabkan nekrosis dan hipoksia pada sel 7
Gambar 2. Peran edema toxin dan lethat toxin pada patogenesis Anthrax
Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan
FL dan atau FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama
reseptornya akan melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel kemudian
mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah translokasi FE
dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis,
dan hipoksia. FE merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang
mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cy-clic adenosine
monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema. FE menghambat fungsi
netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc
metal-loprotease yang menghambat aktifitas mitogen-activated protein kinase
kinase (MAPKK) in vitro dan dapat menyebabkan hambatan signal intraselular.
FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis- (TNF-) dan
interleukin-1 (IL-1) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian
mendadak. Sebagai respon terhadap toxin, tubuh akan membentuk
cytokines(TNF-, dan IL-1) dan vasodilator substance (nitric oxide, prostaglandin
E, prostacycline) yang disebut juga proinflamatory cytokines. Pada waktu yang
bersamaan tubuh membentuk anti inflamatory cytokines (IL-10, IL-11, IL-13
dsb). Bila keduanya seimbang akan terjadi homeostasis, bila proinflamatory lebih
dominan, maka akan terjadi Systemic Inflamatory Respons (SIRS). Plasmid
pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan capA) yang terlibat dalam sintesis
kapsul polyglutamyl. Kapsul menghambat proses fagositosis bentuk vegetatif
Bacillus anthracis.10
F. Gejala Klinis
Gejala klinis anthrax pada manusia dibagi menjadi 4 bentuk yaitu anthrax
kulit, anthrax saluran pencernaan, anthrax paru dan anthrax meningitis.
1. Anthrax Kulit (Cutaneus Anthrax)
Kejadian anthrax kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian
anthrax di Indonesia. Masa inkubasi antara 1-5 hari ditandai dengan adanya
papula pada inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit, yang dalam waktu
2-3 hari membesar menjadi vesikel berisi cairan kemerahan, kemudian
haemoragik dan menjadi jaringan nekrotik berbentuk ulser yang ditutupi
kerak berwarna hitam, kering yang disebut Eschar (patognomonik). Selain itu
ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan dapat terjadi pembengkakan
lunak pada kelenjar limfe regional. Apabila tidak mendapat pengobatan, angka
kematian berkisar 5-20%.15
Lesi kulit biasanya tidak sakit, tetapi seringnya akan dikelilingi edema
yang kemungkinan menyebabkan limfadenopati. Pembengkakan terjadi pada
area wajah atau leher sehingga mengganggu jalan pernapasan. Demam, pus,
dan rasa sakit akan terjadi jika terjadi infeksi sekunder. Lesi kutaneus sering
dapat disembuhkan dengan meninggalkan jaringan parut, tetapi infeksi fatal
dapat terjadi. 14
Edema maligna jarang terjadi, ditandai dengan edema hebat, indurasi,
bula multipel, dan syok. Edema maligna dapat terjadi pada leher dan daerah
dada yang menyebabkan kesulitan bernapas, sehingga diperlukan
kortikosteroid atau intubasi.12
Gejala klinis anthrax kutaneus pada anak-anak mirip dengan pada
orang dewasa, mulai dari gejala lokal sampai sistemik. Kasus anthrax yang
paling muda ditemukan pada bayi berumur 1 bulan yang dirawat di rumah
sakit karena infeksi Bacillus antrachis pada sekitar mulut, diduga ditularkan
oleh ibunya yang menderita anthrax kutaneus.15
G. Diagnosis
Diagnosis, baik pada hewan maupun manusia, dapat ditegakkan
berdasarkan epidemiologi (sejarah kejadian anthrax masa lalu, jenis hewan
terserang, ada atau tidak adanya penularan ke manusia) dan gejala klinik.
Peneguhan diagnosis dilakukan secara laboratorik dengan isolasi agen penyakit
dan uji serologi FAT.26
Kelainan kulit berupa ulkus yang dangkal disertai krusta hitam yang tidak
nyeri patut dicurigai suatu anthrax kulit. Ditemukannya basil Gram positif pada
pemeriksaan cairan vesikel merupakan temuan yang khas pada anthrax kulit tetapi
diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila biakan kuman positif.25
Karena mirip penyakit gastrointestinal lainnya maka anthrax
gastrointestinal sering sulit didiagnosis. Adanya riwayat makan daging yang
dicurigai mengandung kuman anthrax disertai dengan gejala nause, anoreksia,
muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, dan diare (biasanya disertai darah)
sangat membantu penegakan diagnosis penyakit anthrax. Dari pewarnaan Gram
yang dilakukan, bahan diambil dari darah dan atau cairan asites, dapat ditemukan
basil anthrax. Untuk pemeriksaan biakan, bahan diambil dari apusan faring
(anthrax faring), darah, dan cairan asites.27
Diagnosis anthrax inhalasi juga sulit ditegakkan. Seseorang yang tiba-tiba
mengalami gejala seperti flu yang mengalami perburukan secara cepat dan
disertai hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan pelebaran mediastinum,
infiltrat, dan atau efusi pleura, sangat patut dicurigai menderita anthrax inhalasi
(apalagi bila pada penderita tersebut juga ditemukan anthrax kulit).1,6 Pada
pewarnaan Gram bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis,
dan lesi kulit, dapat ditemukan basil anthrax. Untuk pemeriksaan biakan bahan
diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit. Pada
pemeriksaan langsung pewarnaan Gram dari lesi kulit, cairan serospinal atau
darah yang mengandung kuman anthraxakan menunjukkan basil besar,
encapsulated, dan Gram positif. Pada kultur darah tampak pertumbuhan pada agar
darah domba berupa koloni nonhemolitik, besar, nonmotil, Gram positif,
berbentuk spora, dan tidak tumbuh pada agar Mac Conkey.28-30
Nilai prediksi pemeriksaan kultur apusan hidung (swab nasal) untuk
menentukan anthrax inhalasi belum diketahui dan belum pernah diuji. Oleh
karena itu CDC tidak menganjurkan pemeriksaan tersebut sebagai pemeriksaan
diagnostik klinis. Tes serologis berguna secara retrospektif dan membutuhkan dua
kali pengambilan yaitu pada fase akut dan penyembuhan. Pemeriksaan dengan
menggunakan cara ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen protektif
dan antigen kapsul.31
Pada manusia, spesimen untuk pemeriksaan laboratorik dapat diambil
dari cairan vesikel, jaringan tubuh, darah (sewaktu septicemia) dan usapan
langsung (direct smear) dari lesi kulit. Pewarnaan Giemza terhadap preparat
usapan langsung perlu dilanjutkan dengan upaya isolasi bakteri karena dapat
keliru dengan bakteri lain berbentuk batang, misalnya Bacillus subtilis.
Pemeriksaan secara FAT yang mempunyai sensivitas dan ketetapan (sensivity and
specifity) tinggi bisa dilakukan apabila menggunakan mikroskop fluorescence.
Pada hewan, spesimen dapat berupa darah perifer dari daun telinga yang
diambil dengan jarum, kemudian diisapkan pada kertas saring, kapur tulis, atau
kapas jika hewan masih hidup. Apabila hewan sudah mati, spesimen dapat
diambil dari potongan daun telinga, cairan oedema, tulang, kulit dan bahan lain
yang tercemar. Deteksi antigen dapat dilakukan dengan uji Ascoli.32
H. Penatalaksanaan
1. Langkah Pencegahan
Cara pencegahan penyakit anthrax adalah dengan menghindari
kontak langsung dengan binatang atau benda-benda yang membawa bakteri
penyakit ini. Ternyata bakteri ini memiliki kemampuan yang unik . Jangkitan
yang disebabkan oleh penyakit ini tidak mudah untuk di musnahkan, karena
bakteri ini memiliki kecenderungan untuk merubah bentuknya menjadi spora
yang amat stabil. Saat berubah menjadi spora bakteri ini dapat masuk kedalam
tanah dan mampu bertahan selama lima puluh sampai enam puluh tahun di
dalam tanah. Uniknya bila tanah tempat ia tinggal tergenang air, kuman ini
dapat tumbuh kembali dan menyerang hewan ataupun manusia yang ada di
sekitamya. Selain itu saat terjadi musim kemarau biasanya ternak menaik
rumput sampai ke akarnya ,inilah yang membuat penyakit ini akan terus
terulang di daerah yang pernah terkena antrax . Repotnya lagi kuman ini dapat
terserap oleh akar tumbuh-tumbuhan, bahkan hingga dapat masuk ke dalam
daun dan buah, hingga mampu menginfeksi tenak maupun manusia yang
mengkonsumsinya. Bahkan serangga, burung, anjing, dan binatang-binatang
lain juga dapat menjadi perantara penularan penyakit ini, apabila telah
mengalami kontak langsung dengan bakteri penyebab penyakit ini.28
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencuci tangan sebelum
makan, hindari kontak dengan hewan atau manusia yang sudah terjangkit
anthrax, belilah daging dari rumah potong hewan yang resmi, masaklah
daging dengan sempurna, hindari menyentuh cairan dari luka anthrax,
melaporkan secepat mungkin bila ada masyarakat yang terjangkit
anthrax.Bagi peternak atau pemilik hewan ternak, upayakan untuk
menvaksinka hewan ternaknya. Dengan Pemberian SC,untuk hewan besar 1
ml dan untuk hewan kecil 0,5 ml.Vaksin ini memiliki daya pengebalannya
tinggi berlangsung selama satu tahun.31
2. Langkah pengobatan
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus
anthrax inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal
tidak dianjurkan pada anthrax kulit. Anthrax kulit dengan gejala sistemik,
edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotik
intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis
anthrax inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. Bacillus
anthracis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada
penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi
hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin,
siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin,
imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid.29
Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol,
eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan. Pada anthrax kulit
dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik
harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda.32
Oleh karena anthrax inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka
pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian
antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena
pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap
orang yang memiliki risiko tinggi terkena anthrax harus segera diberikan
antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini
belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan anthrax inhalasi.33
Untuk kasus anthrax inhalasi Food and Drug Administration (FDA)
menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik
pilihan.34
Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan
sebagai berikut :
a. Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30 ml,
hewan kecil 10-1 ml)
b. Penyuntikan antibiotika
c. Penyuntikan kemoterapetika
d. Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan
kemoterapetika.36
Cara penyuntikan antiserum homolog ialah IV atau SC, sedangkan
untuk antiserum heterolog SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul
penyakit, disusul dengan vaksinasi.25
Bacillus anthracis kerentanannya terhadap hampir semua antibiotika
sangatlah tinggi.Yang paling disukai adalah dengan clindamycin yang
mempunyai aktivitas terhadap Bacillus anthracis dan potensi anti-
eksotoksin.Pengalaman beberapa pasien menunjukkan respon yang lebih
bagus ketika clindamycin 600 mg (iv)/ 8 jam atau 300 mg (po)/8 jam plus
rifampicin 300 mg (po)/12 jam plus golongan quinolone (levofloksasin).36
Peniciline masih merupakan antibiotika yang paling ampuh, dengan
cara pemberian tergantung tipe dan gejala klinisnya, yaitu:
a. Anthrax Kulit
b. Procain Penicilline 2 x 1,2 juta IU, secara IM, selama 5-7 hari
c. Benzyl Penicilline 250.000 IU, secara IM, setiap 6 jam, sebelumnya
harus dilakukan skin test terlebih dahulu.
d. Apabila hipersensitif terhadap penicilline dapat diganti dengan
tetracycline, chloramphenicol atau erytromicine.
e. Anthrax Saluran Pencernaan & Paru
f. Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan dengan
Streptomycine 1-2 g untuk tipe pulmonal dan tetracycline 1 g perhari
untuk tipe gastrointestinal.
g. Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma
expander dan regimen vasopresor. Anthrax Intestinal menggunakan
Chloramphenicol 6 gram perhari selama 5 hari, kemudian meneruskan 4
gram perhari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram
perhariuntuk menghindari supresi pada sumsum tulang. 37
Tabel 3. Terapi Farmakologis Infeksi Bacillus Anthracis38
3. Profilaksis Setelah Terpajan
Karena anthrax berasal dari bioterorisme mungkin dilakukan
perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik maka
siprofloksasin merupakan obat pilihan utama. Mengingat kemungkinan
adanya -laktamase maka oleh CDC pemberian amoksisilin sebagai
profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan setelah 10-14 hari
pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat kontraindikasi
terhadap dua jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia< 18 tahun,
atau terdapat intoleransi). 28
Mengingat kemungkinan adanya perubahan strain yang resisten
terhadap beberapa antibiotik pada bioterorisme maka kelompok kerja
pertahanan sipil di AS yang terdiri atas para ahli menganjurkan pemberian
siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) sebagai salah satu obat dari
rejimen kombinasi antibiotik yang diberikan pada ibu hamil penderita anthrax
inhalasi. Selain itu kelompok kerja tersebut juga menganjurkan pemberian
siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) pada ibu hamil untuk
pengobatan infeksi anthrax inhalasi pada kejadian massal atau profilaksis
setelah pajanan. Pada ibu hamil, bila doksisiklin yang diberikan, maka
pemeriksan fungsi hati secara periodik harus dilakukan.26
Tabel 4. Pengobatan infeksi anthrax inhalasi pada kejadian massal atau
profilaksis setelah pajanan 30
4. Vaksinasi
Di AS pemberian vaksin anthrax(anthrax vaccine adsorbed/AVA)
terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan.
Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada
minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster
dilakukan setiap tahun.1 Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja
pertahanan sipil di AS mengemukakan bahwa pada penduduk yang terpajan
kuman anthrax akibat bioterorisme maka pemberian antibiotik selama 60 hari
setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi yang
optimal.15
5. Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi
Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi
anthrax dari manusia ke manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit.
Oleh karena itu penderita anthrax dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan
tindakan pencegahan yang umum dilakukan.18
Menghindari kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada
penderita anthrax kulit dengan lesi yang berair. Pakaian yang terkena cairan
lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi sebaiknya dibakar
atau dimasukkan ke dalam autoklaf.2 Dekontaminasi dapat dilakukan dengan
memberikan larutan sporosidal yang biasa dipakai di rumah sakit pada tempat
yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat
dipergunakan untuk dekontaminasi.19
BAB III
KESIMPULAN