Vous êtes sur la page 1sur 35

ATRESIA ANI

DEFINISI

Atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti
makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya
atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital yang disebut juga
clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau
buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi
kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau keduanya. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak
mempunyai lubang keluar (Gambar 1). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah
tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian distal anus atau tertutupnya anus
secara abnormal. [2]

Gambar 1. Atresia ani

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kanalis analis merupakan bagian yang paling sempit, tetapi normal dari ampula rekti.
Menurut definisi ini, maka sambungan anorektal terletak pada permukaan atas dasar pelvis
yang dikelilingi oleh muskulus sfingter ani eksternus. Dua pertiga bagian atas kanal ini
merupakan derivat hindgut, sedangkan satu pertiga bawah berkembang dari anal pit. Kanalis
analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum
berasal dari entoderm. Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus, sedangkan kanalis analis
oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar [3].

1
Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Perubahan
jenis epitel yang terjadi adalah dari kolumner ke stratified squamous cell. Perubahan jenis
epitel ini terletak pada linea dentata atau biasa disebut garis anorektum, garis mukokutan,
atau linea pektinata. Di daerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara
kolumna rektum. Infeksi yang terjadi di daerah ini dapat menimbulkan abses sehingga
anorektum dapat membentuk fistel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan
persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum
mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. [3,4]
Kanalis analis memiliki panjang kurang lebih 3 sentimeter. Sumbunya mengarah ke
ventrokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut yang nyata ke dorsal dengan
rektum dalam keadaan istirahat. Lekukan antar-sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis
analis sewaktu melakukan colok dubur dan menunjukkan batas antara sfingter interna dan
eksterna (garis Hilton). [3,4]
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter interna dan sfingter
eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter interna, otot
longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis), dan komponen muskulus sfingter
eksternus. Muskulus sfingter internus terdiri atas serabut otot polos, sedangkan muskulus
sfingter eksternus terdiri atas serabut otot lurik. [3,4]
Pada bayi normal, terdapat susunan otot serat lintang yang berfungsi membentuk
bangunan seperti cerobong yang melekat pada os. Pubis, bagian bawah sakrum, dan bagian
tengah pelvis. Ke arah medial otot-otot ini membentuk diafragma yang melingkari rektum,
menyusun ke bawah sampai kulit perineum. Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal
sebagai muskulus levator dan bagian terbawah adalah muskulus sfingter eksternus.
Pembagian secara lebih rinci dari struktur cerobong ini adalah muskulus ischiococcygeus,
illeococcygeus, pubococcygeus, puborectalis, deep external, sfingter eksternus dan
superficial external sphinter. Muskulus sfingter eksternus merupakan serabut otot parasagital
yang saling bertemu di depan dan belakang anus. Bagian di antara muskulus levator dan
sfingter eksternus disebut muscle complex atau vertical fiber. [4]

2
Gambar 2. Anatomi anus dan rektum

VASKULARISASI ANOREKTAL

Kanalis analis dan rektum mendapatkan vaskularisasi dari arteri hemoroidalis superior,
arteri hemoroidalis media, dan arteri hemoroidalis inferior. Arteri hemoroidalis superior
merupakan akhir dari arteri mesenterika inferior dan melalui dinding posterior dari rektum
dan mensuplai dinding posterior, juga ke kanan dan ke kiri dinding pada bagian tengah
rektum, kemudian turun ke linea dentata. Arteri hemoroidalis media merupakan cabang dari
arteri illiaca interna. Arteri hemoroidalis inferior merupakan cabang dari arteri pudenda
interna, ia berjalan di medial dan vertikal untuk mensuplai kanalis analis di bagian distal dari
linea dentata. [3]
Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang berasal
dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang vena illiaca. Vena hemoroidalis superior
berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan berjalan kearah kranial ke dalam vena
mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Vena hemoroidalis
inferior mengalirkan darah ke dalam vena pudenda interna dan ke dalam vena iliaca interna
dan sistem kava. [3]

3
Gambar 3. Anatomi anus dan rektum

4
Gambar 4. Vaskularisasi anorektal

PERSARAFAN

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatis dan parasimpatis. Inervasi parasimpatis
berasal dari nervus sacralis III, V yang kemudian membentuk nervus epiganti, memberikan
cabang ke rektum dan berhubungan dengan pleksus Auerbach. Saraf ini berfungsi sebagai
motor dinding usus dan inhibitor sfingter serta sensor distensi rektum. Pesarafan simpatis
berasal dari ganglion lumbalis II, III, V dan pleksus para aurticus, kemudian membentuk
pleksus hipogastrikus kemudian turun sebagai nervus presakralis. Saraf ini berfungsi sebagai
inhibitor dinding usus dan motor sfingter internus. Inervasi somatik dari muskulus levator ani
dan muscle complex berasal dari radiks anterior nervus sacralis III,V. [3,4]

SISTEM LIMFATIK

Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe sepanjang pembuluh
hemoroidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta melalui kelenjar limfe illiaca interna,
sedangkan limfe yang berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar inguinal.

5
EPIDEMIOLOGI

Secara epidemiologi, atresia ani diperkirakan terdapat dalam 1:5000 kelahiran, dengan
insiden yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, yang lebih sering terjadi
adalah atresia ani dengan fistula rektouretral, diikuti fistula rektoperineal kemudian fistula
rektovesika, sedangkan pada perempuan adalah fistula rektovagina dan fistula rektovestibuler
kemudian kloaka persisten. Empat puluh sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami
satu atau lebih defek tambahan dari sistem organ lainnya. Defek urologi adalah anomali yang
paling sering berkaitan dengan kelainan ini, diikuti defek pada vertebra, ekstremitas, dan
sistem kardiovaskular. [1,5,6,7,8]

ETIOLOGI

Etiologi secara pasti dari atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan
anus dari tonjolan embriogenik. Menurut penelitian beberapa ahli, diduga faktor genetik
berpengaruh terhadap terjadinya atresia ani, namun masih jarang terjadi bahwa gen autosomal
resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit
ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30%
anak yang mempunyai sindrom genetik, kelainan kromosom, atau kelainan kongenital lain
juga berisiko untuk menderita atresia ani, contohnya adalah penderita Down Syndrome.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum
bagian distal, serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.
Sebanyak 60% pasien dengan atresia ani dapat disertai dengan beberapa kelainan
kongenital saat lahir yang disebut dengan Sindroma VACTERL (Vertebrae, Anal, Cardial,
Tracheoesophageal, Renal, Limb). Kelainan yang ada, yaitu:
1. Kelainan pada sistem kardiovaskular
- Atrial Septal Defect
- Patent Ductus Arteriosus
- Tetralogy of Fallot
- Ventricular Septal Defect
2. Kelainan sistem pencernaan

6
- Obstruksi duodenal
- Kelainan tracheoesophageal
Kelainan yang sering terjadi adalah atresia esofagus. [1]
3. Kelainan sistem perkemihan
Kelainan ini merupakan kelainan yang paling sering terjadi, dan terdapat pada 50%
pasien dengan atresia ani. Refluk vesikoureter dan hidronefrosis merupakan kondisi yang
paling sering terjadi, namun juga dapat terjadi renal agenesis, horseshoe, dan dysplastic.
Semakin tinggi letak anomali yang ada, maka semakin besar frekuensi terjadinya
abnormalitas urologi. [1,8]
4. Kelainan tulang belakang
- Hemivertebrae
- Skoliosis
- Syringomyelia
- Spinal lipoma
- Myelomeningocele
Tidak adanya dua atau lebih vertebrae berhubungan dengan prognosis yang buruk
terhadap kontinensia dari usus dan vesica urinaria. [8]

KLASIFIKASI

Secara fungsional, pasien dengan anus imperforata/atresia ani dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu:
1. Tanpa anus, tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinal dicapai melalui
saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rektovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka
bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat sementara waktu. [1,3]
2. Tanpa anus dan tanpa fistula atau traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar feses.
Pada kelompok ini, tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, sehingga memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. [1,3]
Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua berdasarkan letak terminasi
rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum
paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa stenosis anus yang hanya membutuhkan
dilatasi membran atau merupakan membran anus tipis yang mudah dibuka segera setelah
anak lahir. Baik pada laki-laki maupun perempuan, anomali letak rendah berhubungan

7
dengan perineal fistula. Pada laki-laki, fistula berhubungan dengan midline raphe dari
skrotum atau penis (Gambar 5). Pada perempuan, fistula dapat berakhir pada vestibulum
vagina (fistula rektovestibular), karena rektum lebih ke depan mendekati vestibulum
(Gambar 6). Terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius. [1,9]

Gambar 5. Anomali letak rendah pada laki-laki, perineal fistula midline raphe

Gambar 6. Fistula vestibular, pada fistula dimasukkan sebuah kateter

8
2. Anomali letak tinggi (supralevator)
Pada anomali letak tinggi, ujung rektum tidak mencapai tingkat muskulus levator ani
dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistel genitourinarius rektovesikal (pria) atau
rektovagina (perempuan). Pada perempuan, anomali letak tinggi sering berhubungan
dengan kloaka persisten. Jika fistula yang terbentuk adekuat, maka secara klinis tidak
terdapat tanda-tanda obstruksi. Sedangkan bila tidak adekuat, maka terdapat tanda-tanda
obstruksi yang lebih nyata. [1,9]

Sumber lain menyebutkan, bahwa klasifikasi dari atresia ani dibagi menjadi 3 berdasarkan
letak anatominya (Tabel 1). [8]

Stephen dan Smith

Tipe Atresia Ani berdasarkan letak menurut Stephens dan Smith (1984) yaitu :
1. High / tinggi (Supra levator).

2. Intermediate / sedang (sebagian translevator).

3. Low / rendah (fully translevator).

Tabel 1. Klasifikasi atresia ani

9
Klasifikasi Perempuan Laki-laki
Letak tinggi Agenesis anorektal dengan Agenesis anorektal dengan atau
atau tanpa fistula rektovaginal, tanpa fistula uretra
atresia rekti. rektoprostatik, atresia rekti.
Intermediat Agenesis anorektal dengan Agenesis anorektal dengan atau
atau tanpa fistula rektovaginal, tanpa fistula uretra rektobulbar,
agenesis anus agenesis anus
Letak rendah Fistula anovestibular atau Fistula anokutaneus (anteriorly
fistula anokutaneus (anteriorly displaced anus), stenosis anus
displaced anus), stenosis anus

Cloaca

Melbourne
Melbourne membagi atresia ani berdasarkan garis pubococcygeus dan garis yang melewati
ischii:
1. Letak tinggi, rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus pubococcygeus).
2. Letak intermediet, akhiran rektum terletak di muskulus levator ani tetapi tidak
menembusnya. Lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Letak rendah, akhiran rektum berakhir di bawah muskulus levator ani. [4]

Wingspread 1984
Berdasarkan klasifikasi Wingspread, atresia ani dikelompokkan menurut jenis kelamin.
1. Laki laki, dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan I dan golongan II.
Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistula urin, atresia
rektum, perineum datar, dan fistula tidak ada. Jika ada fistula urin, tampak mekonium
keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistula ke uretra maupun ke
vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistula adalah dengan memasang kateter
urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistula terletak uretra karena fistula
tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonium maka fistula ke vesika
urinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Jika
fistula tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera
dilakukan kolostomi. [3]

10
Golongan II pada laki laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistula perineum, membran
anal, stenosis anus, dan fistula tidak ada. Fistula perineum sama dengan pada wanita;
lubangnya terdapat pada anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya
tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya
dilakukan terapi definitif secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan,
tindakan definitif harus dilakukan. Bila tidak ada fistula dan udara < 1 cm dari kulit pada
invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah. [3]
2. Perempuan, dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan I dan golongan II.
Pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan, yaitu kelainan kloaka, fistula
vagina, fistula rektovestibular, atresia rektum, dan fistula tidak ada. Pada fistula vagina,
mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses menjadi tidak lancar sehingga
sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistula vestibulum, muara fistula terdapat di vulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan
bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan
antara traktus urinarius, traktus genetalis, dan saluran cerna. Evakuasi feses umumnya
tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus
tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari
1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila
tidak ada fistula, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan
kolostomi. [3]
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan, yaitu kelainan fistula
perineum, stenosis anus, dan fistula tidak ada. Lubang fistula perineum biasanya terdapat
diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang
seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus
segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada fistula dan pada invertogram udara < 1
cm dari kulit, dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak
ada, sehingga perlu dilakukan kolostomi. [3]

Alberto Pena
Alberto Pena membagi klasifikasi atresia ani berdasarkan lokasi dari permulaan fistula
(Tabel 2). [1]

11
Tabel 2. Klasifikasi Atresia Ani Menurut Alberto Pena

Males Females
Perineal fistula Perineal fistula
Rectourethral fistula Vestibular fistula
Bulbar (the lowest portion
of the posterior urethra)
Prostatic the upper portion
of the posterior urethra
Rectovesical fistula (bladder neck) Persistent cloaca
< 3cm common channel
> 3cm common channel
Imperforate anus without fistula Imperforate anus without fistula
Rectal atresia Rectal atresia
Complex defects Complex defects

LAKI-LAKI
1. Fistula perineal
Fistula perineal adalah kelainan yang paling sederhana yang dapat terjadi baik pada pria
maupun wanita. Pasien memiliki lubang kecil yang terletak pada perineum anterior ke
pusat sfingter eksternal, dekat dengan skrotum pada pria atau vulva pada wanita. Pasien
ini biasanya memiliki sakrum yang baik, alur garis tengah, dan lesung anal. Frekuensi
kerusakan organ lain terkait yang mempengaruhi sekitar 10%. Diagnosis ditetapkan oleh
inspeksi perineum sederhana, tetapi sering kali diagnosis ini terlewatkan karena
pemeriksaan neonatal yang kurang memadai. Keterlambatan diagnosis mungkin
memiliki dampak signifikan yaitu obstipasi. [10]

Gambar 7. Fistula perineal

12
2. Fistula rektouretral
Dalam fistula rektouretral, rektum berkomunikasi dengan bagian bawah uretra (uretra
bulbar) atau bagian atas dari uretra (uretra prostat). Mekanisme sfingter pada umumnya
baik, tetapi pada sebagian pasien memiliki otot-otot perineal dan perineum datar. Sakrum
juga memiliki derajat perkembangan yang berbeda, terutama dalam kasus fistula
rektouretral prostat. Sebagian besar pasien memiliki sakrum yang kurang berkembang,
perineum yang datar, skrotum terpecah menjadi dua belah, dan letak lesung anal sangat
dekat dengan skrotum. [10]

Gambar 8. Fistula rektouretral

3. Fistula rektovesikal (bladder neck)


Pada pasien yang memiliki fistula rektovesikal, rektum berkomunikasi dengan saluran
kemih pada tingkat leher kandung kemih. Mekanisme sfingter pada umumnya kurang
berkembang. Sakrum kurang berkembang dan perineum terlihat datar. Kelainan ini
terjadi pada 10% dari jumlah pasien laki-laki. Prognosis biasanya tidak baik. [10]

Gambar 9. Fistula rektovesikal

13
4. Anus imperforata tanpa fistula
Kelainan ini memiliki karakteristik yang sama pada kedua jenis kelamin. Anus yang
tertutup biasanya ditemukan 2 cm diatas kulit perineum. Sakrum dan mekanisme sfingter
pada umumnya berkembang dengan baik. Prognosis pada umumnya juga baik. Kelainan
ini sering dikaitkan dengan sindrom down. [10]

Gambar 10. Anus imperforata tanpa fistula

5. Atresia rektum
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi, yaitu hanya 1% dari anomali
anorektal. Karakteristik pada kedua jenis kelamin sama. Gambaran yang unik dari
kelainan ini yaitu bahwa pasien memiliki lubang anus yang normal dan anus yang
normal. Sebuah halangan terdapat sekitar 2 cm diatas permukaan kulit. Prognosis
fungsionalnya sangat baik karena memiliki sfingter yang normal dan sensasi yang
normal. [10]

PEREMPUAN
1. Fistula vestibular

14
Kelainan ini merupakan kelainan yang sering pada wanita. Rektum terbuka di depan alat
kelamin wanita diluar selaput dara. Pasien sering disalah artikan sebagai fistula
rektovaginal. Prognosis fungsionalnya baik, sakrum biasanya normal, alur garis tengah
perineum, dan lesung anal yang semuanya menunjukkan mekanisme sfingter masih utuh.
[10]

Gambar 11. Fistula vestibular

2. Kloaka persisten
Dalam kasus kloaka persisten, rektum, vagina, dan saluran kemih bertemu dalam satu
saluran tunggal. Perineum memperlihatkan suatu lubang tunggal tepat di belakang
klitoris. Panjang saluran ini bervariasi antara 1-10 cm, panjang dari saluran ini
menunjukkan suatu prognosis. Pasien dengan saluran dengan panjang < 3 cm pada
umumnya sakrum dan sfingter berkembang dengan baik. Pasien dengan panjang saluran
> 3 cm sering kali menunjukkan kelainan yang lebih kompleks dengan sakrum dan
sfingter yang kurang berkembang dengan baik. Pasien dengan kloaka persisten
merupakan suatu kedaruratan urologi karena 90% memiliki kelainan urologi. Sebelum
dilakukan kolostomi, diagnosis urologi harus segera ditegakkan untuk dekompresi
saluran kemih. [10]

Gambar 12. Kloaka persisten

15
PATOFISIOLOGI

Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut kloaka. Secara
embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut, dan Hindgut. Foregut akan
membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah, esofagus, lambung, sebagian
duodenum, hati, sistem bilier, serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, caecum, apendiks, kolon ascenden sampai pertengahan kolon transversum.
Hindgut meluas dari midgut hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm
kloaka dan ektoderm dari protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut
sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis
menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau
translevator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali
letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter
eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter. [4]
Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital dimana saat proses
perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rektum.
Dalam perkembangan selanjutnya, ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang
juga akan berkembang jadi genito urinari dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena
ketidaksempurnaan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7- 10 minggu selama
perkembangan janin. Kegagalan migrasi tersebut juga karena gagalnya agenesis sakral dan
abnormalitas pada daerah uretra dan vagina atau juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat
terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan
feses tidak dapat dikeluarkan. [4]
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.

16
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. [4]

Skema 1. Patofisiologi anomali letak tinggi

Agenesis sakral Kegagalan perkembangan septum Abnormalitas uretra


urorektalis dan vagina

Anomali letak tinggi Fistula

m. levator ani tidak normal Urine Feses

m. sfingter eksternus dan internus


tidak ada/rudimenter

DIAGNOSIS

Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil dan diagnosisnya
segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakkan diagnosis adalah semua bayi yang lahir
harus dilakukan pemasukan termometer melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui suhu
tubuh, tapi juga untuk mengetahui apakah terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara cermat. [1]

A. Anamnesis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium
setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya membran anal, dan fistula
eksternal pada perineum.
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu
antara lain: [10]
- Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (tidak bisa buang air
besar sampai 24 jam setelah lahir).
- Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat menonjol (Adele,
1996). Perut kembung biasanya terjadi antara empat sampai delapan jam setelah lahir.

17
- Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga
berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium).

Adapun perbedaan gejala klinis antara anomali letak rendah dan letak tinggi, yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi memiliki gejala muntah lebih dahulu dan dehidrasi
yang sangat cepat.
- Obstruksi usus halus letak rendah, nyeri lebih dominan pada sentral distensi. Muntah
biasanya lebih lambat.

Gejala yang ada terjadi karena adanya obstruksi usus, oleh karena itu banyak penyakit
lain yang dapat menjadi diagnosis banding (Tabel 3). [9]

Tabel 3. Penyakit penyebab obstruksi usus

Penyakit Keterangan

Atresia Intestinal Dapat berupa multiple.

Fibrosis Kistik Dapat menyebabkan obstruksi usus akibat


mekonium inspissated.

Malrotasi Intestinal Merupakan predisposisi dari volvulus


midgut letal.

Alimentary Tract Duplications Dapat menyebabkan obstruksi, perdarahan,


atau intususepsi.

Hirschsprungs Disease Mekonium yang tidak keluar setelah lahir.

Malformasi Anorektal Cek keadaan anus pada bayi dengan


obstruksi usus.

B. Pemeriksaan fisik

Inspeksi dan Palpasi Perianal

- Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya berupa
lengkungan (anal dimple).
- Jika tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula.

18
- Bila terdapat mekonium pada perineum mengindikasikan defek letak rendah dan
mekonium di urine merupakan bukti adanya fistula di saluran kemih. Bila terdapat
mekonium bercampur urin, maka terdapat 2 kemungkinan, yaitu fistula rektouretral
atau rektovesika. Pada fistula rektouretral didapatkan mekoneum mula-mula keluar
bersama miksi, urine selanjutnya makin lama makin jernih, dan dapat juga
mekoneum keluar tanpa melalui miksi. Sedangkan pada fistula rektovesika,
didapatkan miksi bercampur bersama dengan mekoneun dan dari awal sampai akhir
miksi berwarna kehitaman. Selain itu, cara membedakannya juga dapat dengan
menggunakan kateter. Jika setelah dipasang kateter didapatkan urin jernih, maka
fistula rektouretral karena fistula tertutup oleh kateter, sedangkan bila terdapat urin
bercampur mekonium maka fistula rektovesika.
- Pada perempuan diperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).
- Pada perempuan jika urine bercampur mekonium dan terdapat hematuria maka defek
berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar mekonium, kencing jernih, dan terdapat
fistula pada perineum maka defek letak rendah.
- Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika menonjol
maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka anomali letak tinggi.
- Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur suhu rektum
sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada anus dengan menggunakan
termometer yang sudah diberi gel.
- Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi = perut tampak kembung
Palpasi = distensi, nyeri tekan tidak dijumpai.
Perkusi = hipertimpani
Auskultasi = Peristaltik meningkat, dapat terdengar metalic sound
- Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum ataupun
urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi bayi tengkurap.

C. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan fisik, sering kali sulit
untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi atau rendah. Sebuah radiograf polos
dari perut dapat membantu menemukan lesi. Selain itu, harus dicari adanya kelainan lain
yang terkait (Sindrom VACTERL) sampai tidak terbukti adanya kelainan tersebut. Untuk
memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

19
- Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker radiopaque pada perineum)
Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh bayi sudah
mencapai rektum, dan bertujuan untuk menilai jarak puntung distal rektum terhadap
tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus di kulit peritoneum. Pemeriksaan
foto abdomen setelah 18-24 jam setelah bayi lahir agar usus terisi udara, dengan cara
Wangensteen & Rice (kedua kaki dipegang dengan posisi badan vertikal dengan
kepala di bawah) atau knee chest position (sujud), dengan sinar horizontal diarahkan
ke trochanter mayor. Prinsipnya adalah agar udara menempati tempat tertinggi.
Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal rektum ke tanda
logam (marker Pb) di perineum. Cara Wangensteen dan Rice digunakan pada kondisi
dengan fistula, sedangkan pada knee chest position digunakan pada kondisi tanpa
fistula dengan adanya gejala ostruksi usus. Dengan menggunakan invertogram, dapat
diketahui anomali yang terjadi merupakan letak rendah atau tinggi (Gambar 13). [1,3,9]

Gambar 13. Perbedaan invertogram pada anomali letak rendah (gambar a) dan
anomali letak tinggi (gambar b)

Adapun perbedaan gambaran radiologis antara anomali letak rendah dan letak tinggi,
yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi terdapat distensi minimal dan sedikir air fluid
level pada pemeriksaan radiologi.
- Obstruksi usus halus letak rendah terdapat multiple central air fluid level terlihat
pada pemeriksaan radiologi.

Syarat dari pembuatan invertogram adalah sebagai berikut:

20
1. Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah sampai ke anus).
2. Hip joint fleksi maksimal.
3. Arah cahaya dari lateral.
4. Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan mekanium akan ke
bawah.
5. Interpretasi pada invertogram
a. Pada Wangensteen dan Rice
Bila letak udara paling distal: > 1 Cm = letak tinggi / high
< 1 cm = letak rendah / low
= 1 cm = letak intermediate / sedang
b. Pada knee chest position
Dengan Pubococcygeal line (PC line), yaitu dibuat garis imajiner antara
Pubo/Pubis (tumpang tindih dengan trochanter mayor) dengan os coccygeal
(Gambar 14). [11]
Interpretasinya adalah sebagai berikut:
Ujung buntu di atas PC Line = letak rendah
Ujung buntu di bawah PC Line = letak tinggi
Gambaran radiologi pada anomali letak tinggi dan letak rendah dengan PC
line dapat dilihat pada gambar 15 dan gambar 16.
- USG
USG abdomen dapat membantu menentukan apakah ada anomali saluran kemih atau
saraf pada tulang belakang. Selain itu, Ultrasound pada perineum (daerah dubur dan
vagina) juga berguna untuk menentukan jarak antara rektum distal mekonium. [1,5]
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat kelainan bawaan pada
jantung pasien.
Gambar 14. Pubococcygeal line

21
Gambar 15. Anomali letak tinggi dengan PC line, a) Anomali letak tinggi, b) Anomali
letak tinggi dengan udara pada level S3, c) Anomali letak tinggi dengan udara pada PC
line dan anomali sakrum

a) c)
b)

Gambar 16. Anomali letak rendah dengan PC line, a) Anomali letak rendah, b) Anomali
letak rendah dengan penurunan udara inkomplit, c) Setelah 3 jam tampak lesi yang lebih
jelas, d) Anomali letak rendah dengan fistula

22
a) b)

c) d)

Penegakkan diagnosis anomali letak tinggi dan letak rendah dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti yang diperlihatkan pada
skema 2.
Skema 2. Algoritma penegakkan diagnosis

Mekonium Kembung Muntah

23
(+) (-) Lambat Dominan Menonjol Lambat
muan

Urine Urine+ Gejala Menangis


jernih mekonium dehidrasi

Menonjol (-)
Kateter Kateter Cepat Lambat
jernih campur
mekonium
Penemuan Termometer

Fistula
rektouretral Fistula
-Stenosis Fistula Anus (-) Anus
rektovesi
-Membran (+)
kuler
anal
(+) (-)

Perineal Invertogram
rektovagina
rektovestibuler
Foto Jarak

Air fluid Distensi < 1cm > 1cm


level

Banyak Minimal
Sedikit Multiple

Anomali letak Anomali letak


tinggi rendah

PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan klasifikasinya, yaitu
anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidak adanya fistula, dan mengevaluasi
apakah terdapat kelainan kongenital lain yang menyertai. Dibutuhkan waktu sampai 24 jam
sebelum fistula dapat ditemukan, oleh karena itu, observasi pada neonatus sangat dibutuhkan

24
sebelum operasi definitif dilakukan. Semua pasien dimasukkan nasogastric tube sebelum
makan untuk melihat adanya atresia esofagus dan dimonitoring apakah terdapat mekonium
pada perineum atau urine. Selain itu, dalam 24 jam pertama, bayi harus mendapatkan terapi
cairan dan antibiotik. Pada anomali letak tinggi dengan atau tanpa fistel dan atresia ani
dengan fistula yang tidak adekuat, sifat tatalaksananya adalah emergency, sedangkan pada
ada atresia ani dengan fistula yang adekuat dan anterior anus adalah elektif. [1,8,9]

Penatalaksanaan Anomali Letak Rendah

Pada anomali letak rendah, tindakan yang dilakukan adalah operasi perineal tanpa
kolostomi. Operasi yang dilakukan berupa repair yaitu anoplasti. Terdapat 3 pendekatan yang
dapat dilakukan. Untuk anal stenosis, dimana pembukaan anus berada pada lokasi yang
normal, maka dilatasi serial merupakan penatalaksanaan kuratif. Dilatasi dapat dilakukan
sehari-hari oleh orang tua atau pengasuh anak dan ukuran dari dilator harus dinaikkan secara
progresif (dimulai dari 8 atau 9 French dan dinaikkan ke 14 atau 16 French). Jika pembukaan
anal berada di sebelah anterior dari sfingter eksternus dengan jarak yang kecil antara
pembukaan dan bagian tengah dari sfingter eksternus, dan perineal intak, maka anoplasti
cutback dilakukan. Tindakannya terdiri dari insisi dari orifisium anal ektopik menuju bagian
tengah dari sfingter anus, dan dengan demikian terjadi pelebaran pembukaan anal. Namun,
jika jaraknya lebar antara pembukaan anal dengan bagian tengah dari sfingter ani eksternus,
maka yang dilakukan adalah anoplasti transposisi, dimana pembukaan anal yang tidak pada
tempatnya dipindahkan ke posisi yang normal pada bagian tengah dari otot sfingter, dan
perineal di rekonstruksi. [1,8,9]

Penatalaksanaan Anomali Letak Tinggi

Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dan intermediat membutuhkan tiga tahapan
rekonstruksi. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah kolostomi terlebih dahulu segera
setelah lahir untuk dekompresi dan diversi, diikuti dengan operasi definitif berupa prosedur
abdominoperineal pullthrough (Swenson, Duhamel, Soave) setelah 4-8 minggu (sumber lain
menyebutkan 3-6 bulan) dan diakhiri dengan penutupan dari kolostomi yang dilakukan
beberapa bulan setelahnya. Tindakannya berupa pemisahan fistula rektourinari atau
rektovagina secara pull-through dari kantong rektal bagian terminal menuju posisi anus yang
normal. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi definitif dan dilanjutkan beberapa
bulan setelahnya dengan penutupan kolostomi. [1,8,9]

25
Pena dan DeVries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi definitif dengan
pendekatan postero-sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu dengan cara membelah muskulus
sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum
dan pemotongan fistel dengan stimulasi elektrik dari perineum. Jika terdapat adanya kloaka
persisten, maka traktus urinarius perlu dievaluasi secara hati-hati saat kolostomi untuk
memastikan terjadinya pengosongan yang normal dan menentukan apakah vesica urinaria
perlu di drainase dengan vesikostomi. Pada perempuan, jika terdapat kloaka persisten maka
perlu dilakukan rekonstruksi traktus urinarius dan vagina. Jika terdapat keraguan dalam
penentuan letak anomalinya, lebih baik dilakukan kolostomi. Keberhasilan penatalaksanaan
atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan akhirnya adalah
defekasi secara teratur dan konsistensinya baik. [1,8,9]
Akhir-akhir ini, teknik operasi definitif dapat difasilitasi dengan prosedur laparoskopi
transabdominal sebagai penatalaksanaan untuk anomali letak tinggi dan intermediat. Teknik
ini memiliki keuntungan teoritis karena dilakukan dengan penglihatan secara langsung dan
menghindari pemotongan struktur-struktur lain yang ada. Namun, perbandingan hasil akhir
jangka panjang antara PSARP dan teknik ini belum diketahui. [1,8]

Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dilakukan secara operatif, yaitu:

1. Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus preternaturalis yaitu
pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus besar melalui dinding perut untuk
mengeluarkan feses. Kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversalis ataupun
sigmoid yang merupakan organ intraabdominal. Kolon dipisahkan pada daerah sigmoid,
dengan usus bagian proksimal sebagai kolostomi dan usus bagian distal sebagai mukus
fistula. Pemisahan secara komplit dari usus akan meminimalkan kontaminasi feses
menuju fistula rektourinarius sehingga mengurangi risiko terjadinya urosepsis.
Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi secara radiografik untuk menentukan lokasi
dari fistula rektourinarius. Kolostomi dilakukan pada kolon transversum sebelah kiri di
flexura lienalis atas pertimbangan sebagai proteksi karena di sebelah kiri tidak ada organ-
organ penting, kolon lebih mobile sehingga lebih mudah, dan pada daerah ini tidak
terjadi dehidrasi karena absorbsi elektrolit maksimal di daerah tersebut sehingga
konsistensi feces tidak keras.

26
Adapun indikasi kolostomi adalah sebagai berikut:
- Dekompresi usus pada obstruksi
- Stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang atau perforasi
- Sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal.

Manfaat kolostomi, yaitu:


a. Mengatasi obstruksi usus.
b. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi
yang bersih.
c. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam
usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan
yang lain.

Tipe kolostomi yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia ani adalah kolostomi
loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada lengkung kolon yang dieksteriorisasi.
Jenis anestesi pada tindakan kolostomi adalah anestesi umum.

Gambar 17. Kolostomi

2. Posterosagital Anorectoplasty (PSARP)

Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan teknik operasi
menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang koksigeus sampai batas
anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan beberapa keuntungan seperti kemudahan
dalam operasi fistula rektourinaria maupun rektovaginal dengan cara membelah otot

27
dasar perlvis, sling, dan sfingter. Saat ini, teknik yang paling banyak dipakai adalah
minimal, limited atau full PSARP.

Macam-macam PSARP

1. Minimal PSARP
Tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical fibre, yang penting adalah
memisahkan common wall untuk memisahkan rektum dengan vagina dan yang
dibelah hanya otot sfingter eksternus. Indikasi dari minimal PSARP, yaitu dilakukan
pada fistula perineal, anal stenosis, anal membran, bucket handle dan atresia ani tanpa
fistula yang akhiran rektum kurang dari 1 cm dari kulit.

2. Limited PSARP
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle complex serta tidak
membelah tulang koksigeus. Yang penting adalah diseksi rektum agar tidak merusak
vagina. Indikasi dari limited PSARP adalah atresia ani dengan fistula rektovestibuler.

3. Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus. Indikasi dari full
PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan gambaran invertogram gambaran akhiran
rektum lebih dari 1 cm dari kulit, pada fistula rektovaginalis, fistula rektouretralis,
atresia rektum, dan stenosis rektum.

Teknik operasi PSARP [1,4]

1. Dilakukan dengan anestesi umum, dengan endotrakeal intubasi, dengan posisi pasien
tengkurap dan pelvis ditinggikan (prone jackknife position).
2. Stimulasi perineum dengan alat pena muscle stimulator untuk identifikasi anal
dimple.
3. Insisi bagian tengah sakrum ke arah bawah melewati pusat sfingter dan berhenti 2
cm di depannya.
4. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex. Os coccygeus
dibelah sampai tampak musculus levator, lalu muskulus levator dibelah sampai
tampak dinding belakang rektum.
5. Fistula yang ada dari rektum menuju ke vagina atau traktus urinarius dipisahkan.
6. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya.
7. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
8. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai terjadi tension (dilakukan rekonstruksi
pada muskulus dan dijahit ke rektum)

28
Gambar 18. Sebelum dan sesudah PSARP

Perawatan Pasca Operasi PSARP

1. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari dan salep antibiotik diberikan selama
8-10 hari. [12]
2. Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan
pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase
suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3
cm.
3. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi dengan Heger dilatation. Untuk
pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan
oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap minggu, lebar dilator ditambah 1
mm hingga tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali
sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali
sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya,
sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga
bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi. [12]
4. Indikasi penutupan kolostomi adalah apabila sudah tercapai ukuran pada dilatasi
anal yang sudah sesuai dengan umur (maksimal 16 French pada usia 3 tahun).
5. Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit
perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang
mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk
mengobati eritema popok ini. [12,13]

Tabel 4. Tabel ukuran businasi menurut usia

Umur Ukuran

1-4 bulan #12

29
4-12 bulan #13

8-12 bulan #14

1.3 Tahun #15

3-12 tahun #16

>12 tahun #17

Tabel 5. Tabel frekuensi dilatasi

Frekuensi Dilatasi

Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan

Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan

Tiap 1 minggu 2x dalam 1 bulan

Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan

Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan

Skoring Koltz

Tabel 6. Skoring Koltz

VARIABEL KONDISI SKOR


1-2x sehari 1
2 hari 1x 1
1
Defekasi 3-5x hari sekali 2
.
3 hari sekali 2
>4 hari sekali 3
Tidak pernah 1
2
Kembung Kadang-kadang 2
.
Terus menerus 3
3 Konsistensi Normal 1
. Lembek 2

30
Encer 3
4 Terasa 1
Perasaan ingin buang air besar
. Tidak terasa 3
Tidak pernah
1
5 Terjadi bersama
Soiling 2
. flatus
3
Terus menerus
>1 menit 1
6 Kemampuan menahan feses yang
<1 menit 2
. keluar
Tidak bisa menahan 3
Tidak ada 1
7
Komplikasi Komplikasi minor 2
.
Komplikasi mayor 3

Penilaian hasil skoring: Nilai scoring 7-21


<7 = sangat baik
8-10 = baik
11-13 = cukup
>14 = kurang

Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada skema
3. [12,14]

Skema 3. Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan

Newborn with Anorectal Malformation

Observation 18-24 Hrs


Abdominal ultrasound

Perineal Inspection
And Urinalysis

Fistula No Fistula

Cross-
Male Female
table
Lateral,
Film
with 31
Patient in
Prone
Position
Perineal Flat Bottom, Cloaca Vestibular Perineal
Fistula, Meconium in (or
Bucket urine vaginal)
Handle,
Midline Minimal
Emergency
Raphe Colostomy PSAP,
GU Colostomy
Fistula No
Evaluation Colostomy
Colos-
PSARP Limited
Minimal tomy, < 1cm > 1cm
PSARP
PSAP, And if Bowel Bowel
No necessary skin skin
Colosto Vaginos- distance distance
my tomy
Urinary
diversion Colostomy
6 month 4-8 wks Rule out
Associated Malformations
PSARVUP
Verify Normal Growth
PSARP

KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi post operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan
menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan
anatomi, dan keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk.
Komplikasi awal dari PSARP adalah infeksi dari luka, perdarahan, anus salah letak, fistula
berulang, serta cedera pada uretra dan kandung kemih. Pada komplikasi selanjutnya, pada
umumnya terjadi stenosis, striktur anorektal, prolaps, dan inkontinensia. [5]
Komplikasi awal dapat dihindari dengan penutupan luka yang adekuat tanpa
meninggalkan celah. Sebagian besar pasien yang melakukan operasi untuk memperbaiki
atresia ani memiliki berbagai derajat konstipasi. Gejala ini lebih berat terjadi pada kelainan
letak rendah dan intermediat. Pasien yang sebelumnya dilakukan kolostomi baik di daerah
proksiamal maupun distal dapat mengalami obstipasi maka dari itu pasien memerlukan diet
kaya serat dan kadang-kadang sampai dibutuhkan obat pencahar. [5]

PROGNOSIS

32
Morbiditas yang ada pasien berhubungan dengan anomali lain yang ada pada pasien.
Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah kontinensia feses. Sebanyak 75%
[8]
pasien memiliki pergerakan usus volunter. Konstipasi merupakan sekuele yang paling
umum. Prognosis pada atresia dapat dievaluasi dengan cara melihat fungsi klinisnya dan
psikologisnya. [8]

Evaluasi Fungsi Klinis

- Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar


- Sensasi rektal dan soiling
- Kontraksi otot yang baik pada colok dubur

Pada anomali letak rendah, hasil akhir yang sering terjadi adalah konstipasi, sedangkan pada
anomali letak tinggi adalah inkontinensia feses. [8,9]

Evaluasi Psikologis

Fungsi kontinensi tidak hanya tergantung integritas atau kekuatan sfingter atau sensasi
saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orangtua dan kerja sama serta keadaan mental
penderita. [11]
Pasien dengan fistula perineal, atresia rektal, dan anus imperforata tanpa fistula pada
umumnya setelah dilakukan operasi perbaikan memiliki fungsi defekasi yang baik. Sekitar
80% dapat mencapai kontrol usus anatara usia 3- 4 tahun.
Pasien pria dengan fistula prostat rektouretral sekitar 60% dapat mencapai kontrol usus
pada usia 3 tahun. Pasien dengan fistula rektovesikal prognosisnya kurang baik sekitar 20%
dapat mencapai kontrol usus atau buang air besar secara normal pada usia 3 tahun. Pada
sakrum yang tidak normal atau letak rendah pada umumnya akan terjadi inkontinensia feses,
dan sakrum yang tidak normal pada umumnya terjadi pada fistula rektovesikal dan prostat
rektouretral.
Pasien wanita dengan fistula rektovestibular sekitar 90% dapat memiliki gerakan usus
yang normal pada usia 3 tahun. Pasien wanita dengan kloaka dengan saluran kurang dari 3
cm sekitar 80% dapat mencapai gekaran usus yang normal pada umur 3 tahun. Bila saluran

33
lebih dari 3 cm pada umumnya juga terdapat kelainan pada sakrum, maka prognosisnya
sekitar 25 % terjadi inkontinensia feses, dan 70 % dari pasien kloaka persisten dengan saluran
lebih dari 3 cm menbutuhkan katerisasi intermiten untuk mengosongkan kandung kemih. [15,16]
Pasien dengan inkontinensia fekal dan diare pada umumnya memerlukan kolostomi
permanen. [16]

DAFTAR PUSTAKA

1 Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al.
Pediatric Surgery. In: Schwartzs Principles of Surgery. 9th edition. McGraw Hill;
2010.p. 2777-2780.
2 Suriadi. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: Seto Agung; 2006.hlm 159

3 Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.hlm. 668-70.

4 Anonymus. Ilmu Bedah. [cited May 17, 2016]. Available at: http:// www. bedahugm.
net/atresia-ani. ac.
5 Texas Pediatric Associates. Imperforate Anus. [cited May 17, 2016]. Available:
http://www.pedisurg.com/PtEduc/Imperforate_Anus.htm.

6 Kaneshiro NK. Imperforate Anus. [cited May 17, 2016]. Available:


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001147.htm.

34
7 Adotey JM, Jebbin NJ. Anorectal disorders requiring surgical treatment in the
University of Port Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt. Nigerian journal of
medicin : journal of the National Association of Resident Doctors of Nigeria 2004; 13
(4): 3504.

8 Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al.In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers
BM, Mattox KL, editors. Pediatric Surgery. Sabiston Textbook of Surgery The
Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17th edition. Elsevier Saunders;
2004.p.1746-8.
9 Williams N, Bulstrode CJK, Oconnell PR. Bailey and love short practice of surgery.
25th edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd;2008.p. 87-88, 1247.
10 Pena A. Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric Surgery.
Germany: Springer; 2006.p. 289 -312.
11 Swenson. Anorectal malformation. Pediatric surgery. WB Saunder; 2000.

12 Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of Pediatric


SurgeryVol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.p. 1395-1434

13 Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation.Orphanet Journal of Rare


Diseases2007,2:33. [cited May 17, 2016]. Available: http://www.ojrd
.com/content/2/1/33.

14 University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery University of


Michigan. [cited May 17, 2016]. Available: http://www.medcyclopaedia.com/library
/topics/volume_vii/a/anorectalmalformation.

15 Wakhlu A. Management of Congenital Anorectal Malformation. Pediatric Surgery.


[cited May 17, 2016]. Available at http://indianpediatrics.net/nov1995/1239.pdf.

16 Hidayat, Alimul AA. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta: Salemba Medika;
2005.

35

Vous aimerez peut-être aussi