Vous êtes sur la page 1sur 8

(TAMBAHAN MATERI REFRAT)

KRISIS HIPERTENSI

Krisis hipertensi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan kenaikan tekanan darah
yang sangat tinggi > 180/120 mmHg dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi
kelainan organ target (Joint National Committee VII, 2003). Menurut The Seventh Report of
the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure
(JNC VII) krisis hipertensi ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi emergensi
(hipertensi gawat darurat) dan hipertensi urgensi (hipertensi darurat).
Krisis hipertensi didefinisikan sebagai keadaan di mana tekanan darah sistolik > 180
mmHg dan diastolic > 120 mmHg. Krisis hipertensi diklasifikasikan ke dalam hipertensi
urgensi dan hipertensi emergensi. Hipertensi urgensi adalah keadaan di mana tekanan darah
sistolik > 180 mmHg dan diastolic > 120 mmHg tanpa adanya tanda dan gejala kerusakan
organ. Sedangkan hipertensi emergensi adalah keadaan di mana tekanan darah sistolik > 180
mmHg dan diastolic > 120 mmHg yang disertai dengan tanda dan gejala kerusakan organ.
Pada pasien dengan hipertensi urgensi, tekanan darah perlu diturunkan dalam waktu 24-48
jam, sementara pada hipertensi emergensi tekanan darah diturunkan secepatnya, walaupun
tidak sampai kondisi normal (25% MAP dalam 1 jam) (Joint National Committee VII, 2003).

1. Patofisiologi
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi
endotel, remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab pasti hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya
kegagalan mekanisme autoregulasi dari otak, jantung, dan ginjal sehingga terjadi
peningkatan resistensi vaskuler dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Hal
ini mengakibatkan jejas pada endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat
kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi. Faktor
kedua yang mempengaruhi adalah aktivasi dari system renin-angiotensin-aldosteron
yang berdampak pada vasokontriksi sehingga terjadi kerusakan endotel yang lebih
parah lagi (Varounis C, et al., 2017).
Cepatnya kerusakan target organ dan beratnya peningkatan tekanan darah pada
saat pasien datang disebabkan oleh kegagalan fungsi autoregulasi normal dan
peningkatan mendadak tahanan vaskular perifer. Kondisi tersebut menyebabkan
kerusakan endovaskular dengan nekrosis pada arteriol. Peristiwa yang terjadi kemudian
yaitu iskemia, deposisi platelet, dan pelepasan zat-zat vasoaktif memperparah kondisi
klinis pasien (Varounis C, et al., 2017).

Gambar 4. Patofisiologi krisis hipertensi

Walaupun seluruh pasien dengan hipertensi emergensi datang dengan tekanan


darah tinggi, gejala yang dikeluhkan seringkali bervariasi tergantung organ mana yang
terpengaruh. Organ terget penting pada hipertensi emergensi yaitu otak, jantung,
ginjal, dan uterus gravid. Sebuah studi oleh Zampaglione et al menyebutkan bahwa
pada 83% kasus terjadi kerusakan satu target organ, 14% pada dua organ, dan 3%
pada tiga organ atau lebih. Tabel di bawah ini menunjukkan prevalensi kerusakan
masing-masing target organ.

Tabel 3. Prevalensi kerusakan target organ


Kerusakan organ target Prevalensi kasus (%)
Infark cerebral 24.5
Pendarahan intraserebral/subaraknoid 4.5
Ensefalopati hipertensi 16.3
Edema pulmo akut 22.5
Gagal jantung kongestif 14.3
Akut miokard infark/angina pectoris 12.0
Diseksi aorta 2.0
Eklampsia 2.0

2. Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan
dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/ dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi
Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas
autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun.
Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi
dengan yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan
mempunyai nilai diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang
dengan hipertensi terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di
bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan
MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah
emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru
akibat gagal jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan
tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun
perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam)
dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.
3. Evaluasi
Evaluasi awal krisis hipertensi harus dilakukan dengan runut. Anamnesis dan
pemeriksaan fisis dapat menunjukkan organ mana yang mengalami gangguan.
Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dengan manset yang sesuai. Begitu pula
nadi diperiksa pada keempat ekstremitas, auskultasi paru untuk mencari edema paru,
auskutasi jantung untuk mencari murmur/gallop, auskultasi arteri renalis untuk mencari
bruit dan pemeriksaan neurologis serta funduskopi.
Setelah pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan EKG atau kimia klinik
yang sesuai. Foto Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai volume darah dan
ukuran jantung serta penapisan awal terjadinya diseksi aorta akut. Pasien diseksi aorta
akut datang dengan gejala nyeri dada berat atau menyayat atau nyeri abdomen terutama
menjalar ke punggung, dapat dilakukan pemeriksaan CT dengan kontras. Akan tetapi,
fungsi ginjal perlu diperhatikan mengingat ginjal juga merupakan organ target
hipertensi emergensi. Pada pasien dengan keluhan neurologis yang dicurigai berasal
dari otak, CT tanpa kontras dapat dilakukan.

4. Gejala & Tanda Klinis


Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target
yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien
dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit
kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau
paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran
dan atau defisit neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan
arteriola, perdara-han dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang
lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut
miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal
ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.

Tabel 4. Hipertensi emergensi (darurat)


Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat dengan tekanan darah >180/120 disertai dengan satu
atau lebih kondisi akut berikut :
1. Pendarahan intrakranial atau pendarahan subaraknoid
2. Hipertensi ensefalopati
3. Diseksi aorta akut
4. Oedem pulmo akut
5. Eklamsi
6. Feokhromositoma
7. Funduskopi KW III atau IV
8. Insufisiensi ginjal akut
9. Infark miokard akut
10. Sindrom kelebihan katekolamin yang lain : sindrom withdrawal obat antihipertensi

Tabel 5. Hipertensi urgensi (mendesak)


Hipertensi urgensi adalah hipertensi berat dengan tekanan darah >180/120 mmHg, tetapi dengan
minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel 4
1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif

5. Pendekatan Diagnosis
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti
hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain,
amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit
kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik harus
diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit,
kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting diperiksa
untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis.
Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan
ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada
pasien hipertensi:

Gambar 5. Alur pendekatan diagnosis krisis hipertensi


6. Penatalaksanaan
a. Hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat)
Pada prinsipnya pengelolaan hipertensi emergensi adalah (Vincent et al., 2011;
Hermawan et al., 2010):
i. Tekanan darah biasanya > 200/130 mmHg.
ii. Penurunan tekanan darah sekitar 25%, paling lama 2 jam, usahakan tekanan
darah tidak menjadi kurang dari 160/100 mmHg.
iii. Pedoman tekanan darah tidak mutlak tergantung pula pertimbangan klinis.
iv. Penurunan tekanan darah secara cepat (kurang dari 2 jam) dapat menyelamatkan
target organ (otak, jantung, ginjal).
v. Penderita gawat darurat hipertensi harus dikelola di rumah sakit.
vi. Bila ada keraguan harap menghubungi dokter jaga atau konsultan.
vii. Tekanan darah setelah diturunkan dijaga supaya tetap stabil paling sedikit
selama 24 jam (tensi paling lama diukur tiap 3 jam).
Terapi hipertensi emergensi:
Furosemid 20-40 mg iv (1-2 ampul) kalau perlu tiap 6 jam.
Diberikan drip obat-obat anti hipertensi parenteral pilihannya:
Nikardipin injeksi 1 ampul diencerkan 50 cc diberikan 5 cc per jam,
dinaikkan bertahap sesuai respon.
Diltiazem injeksi dengan dosis (5-15 g/kgBB/menit)
Klonidin 0,150 mg (1 ampul) diencerkan dengan D5% sampai 10 cc, iv
pelan-pelan (5-10 menit). Tekanan darah diukur tiap 10 menit (mencegah
terlalu rendah). Bila selama 40 menit tekanan darah diastol masih diatas
120 mmHg, pemberian klonidin dapat diulang.
b. Hipertensi urgensi (hipertensi darurat)
Pada prinsipnya pengelolaan hipertensi urgensi antara lain (Vincent et al.,
2011; Hermawan et al., 2010):
i. Pengelolaan harus terkendali (diastol 110 mmHg) dalam waktu 24 jam.
ii. Obat oral cukup kuat, namun bila perlu dapat dipakai furosemid 20 mg iv
sebagai terapi awal.
Terapi hipertensi urgensi:
Nifedipin 10 mg. Kalau perlu dapat diulang tiap 3 jam.
Captopril 25-50 mg, dapat diulang tiap 6 jam dan dapat diberikan dengan digerus sub
lingual.
Klonidin 0,150 mg dapat diberikan tiap jam sampai 3 kali.

Tabel 6. Obat injeksi untuk hipertensi emergensi (Joint National Committee VII,
2003).
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan AG, Arifin, Diding HP. 2010. Protap penatalaksanaan kegawatan HCU-Interna.
Surakarta: UNS Press. pp: 27-29.
Varounis C, Katsi V, Nihoyannopoulos P, Lekakis J Tousoulis D. 2017. Cardiovascular
Hypertensive Crisis: Recent Evidence and Review of the Literature. Front. Cardiovasc. Med.
3:51. doi: 10.3389/fcvm.2016.00051
Vincent JL, Abraham E, Moore FA, Kochanek PM, Fink MP. 2011. Textbook of critical care.
6th edition. Elsevier Inc. pp: 644-671.
Zampaglione B, Pascale C, Marchisio M, Cavallo-perin P. 1996. Hypertensive urgencies and
emergencies: Prevalence and clinical presentation. NCBI. 27(1):144-7.

Vous aimerez peut-être aussi