Vous êtes sur la page 1sur 2

Kata FANATIK, merupakan serapan dari bahasa Inggris Fanatic, dan memiliki kesejajaran dengan kata

ekstrim, artinya antusias atau semangat dalam menghendaki atau membela sesuatu dan terkadang tidak
masuk akal. Dari kata fanatisme muncullah istilah ekstrimis. Kata ini terkadang memiliki konotasi negatif.
Apakah benar demikian? Tentunya tidak, fanatisme adalah sebuah pemahaman dari sebuah olah pikir,
dan olah pikir kita tergantung apa yang masuk ke dalam pikiran melalui penglihatan dan pendengaran.
Seorang pelajar tidak akan memiliki hasil yang memuaskan jika ia tidak belajar secara fanatik atau
ekstrim. Pelajar seperti inilah yang layak memiliki hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, betapa kita
harus menjaga obyek yang kita dengar dan kita lihat supaya fanatisme kita tidak salah.

Tuhan Yesus telah memberikan teladan bagaimana Ia mengasihi Bapa dan kita secara fanatik atau
ekstrim. Ia yang seharusnya tidak bisa mati, tetapi mau mati, dan hal itu dilakukan selama Ia hidup di
muka bumi dan dalam keadaan sebagai hamba (Flp. 2 :6-8). Untuk taat pun Ia harus belajar dalam
penderitaan-Nya (Ibr. 5:8). Demikian halnya para rasul, mereka telah memberikan banyak contoh
fanatisme yang benar bagi Tuhan.

Banyak orang membela agamanya secara fanatik, bahkan mereka rela berperang dan mati demi
agamanya. Ada orang dengan beringas menganiaya orang yang dianggap tidak sepaham dan mereka
berkata, Aku melakukan ini demi agama dan surga! Fanatisme yang dibangun dalam kekristenan
tidaklah demikian. Pada abad 1 sampai 15, gereja mengalami zaman kegelapan, di mana gereja
mengembangkan sikap fanatisme yang didasarkan pada iman dogmatis pula, dengan kata lain,
kebenaran tidak boleh dipertanyakan. Tokoh-tokoh yang muncul pada zaman itu antara lain, Agustinus,
St. Anselmus, Thomas Aquinas, dan masih ada beberapa yang lainnya. Dan masih banyak bentuk
fanatisme yang salah di dalam gereja.

Pada era modern ini pun gereja juga mengalami keadaan fanatisme yang salah. Orang berbondong-
bondong melayani secara emosional tanpa didasari pemahaman yang benar tentang siapa Tuhan yang
harus ia layani. Manusia adalah makhluk perasa dan pemikir, sehingga secara naluriah memungkinkan
manusia memiliki sifat fanatisme terhadap sesuatu atau seseorang. Oleh karena itu gereja memiliki
tanggung jawab untuk mengajarkan Firman Tuhan secara murni dan benar supaya jelas arah
fanatismenya. Dalam sebuah pembelajaran akan terjadi proses indoktrinasi, betapa celakanya jika bahan
ajarnya salah ditambah pengajarnya pun tidak memberikan teladan seperti yang diharapkan. Fanatisme
akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan apapun demi apa yang ia pahami benar, bahkan
sampai pada titik irrasional. Tidak heran jika ada orang yang rela menjadi pelaku bom bunuh diri.

Kekristenan yang benar adalah mendorong orang percaya untuk mengubah pola pikir duniawi yang
ekstrim menjadi manusia ilahi yang ekstrim pula, kurang dari ini sesat! Paling tidak ada dua ciri orang
yang fanatik atau ekstrim kepada Tuhan. Pertama, menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan
hidup (Mzm. 73:26). Kedua, tidak menyayangkan nyawanya sekaligus mencintai Tuhan dengan konkrit
seperti sikap Paulus dalam Kis. 20:22-24 aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun dan akhirnya
ia mati dipancung.

Melayani Tuhan tidak boleh ala kadarnya. Kematian Kristus di kayu salib adalah bukti fanatisme-Nya
terhadap kecintaan-Nya kepada kita. Hanya orang yang tahu balas budi saja yang mau fanatik kepada
Tuhan. Bagaimana dengan saudara?

Vous aimerez peut-être aussi