Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Tumor ganas sinonasal merupakan tumor ganas yang relatif jarang ditemukan,
dengan prevalensi kira-kira 0,2-0,8 % dari seluruh tumor ganas atau hanya 3% dari
tumor kepala dan leher. Prevalensi tumor ganas sinonasal paling banyak terjadi
sebesar 77% pada sinus maksilaris, 22 % pada sinus ethmoidalis dan 1% pada sinus
sphenoidalis dan sinus frontalis. Tumor ganas sinonasal 70-90% bersifat invasif dan
melewati paling sedikit satu dinding sinus. Tumor ini bersifat agresif dan tumbuh
sangat cepat sehingga mengikis dinding sinus yang lain. Gejala-gejala dan tanda
klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip sehingga seringkali
hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya.(1,2)
Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang
dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga
karsinoma yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Hidung dan sinus
paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan seringkali tumor
ditemukan pertama kali pada stadium yang sudah lanjut dan sudah memenuhi rongga
hidung dan seluruh sinus paranasal. (1,2)
Karsinoma sinonasal banyak terjadi di negara berkembang. Di bagian Asia,
keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma
nasofaring. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita,dan 80% dari
tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan
sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung
sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dan 1%
ditemukan di sinus frontal dan sphenoid. Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang
paling banyak terjadi (70%), disusul oleh karsinoma tanpa differensiasi dan tumor
asal kelenjar. (1,3)
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat
dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal
yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi
awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena itu,
pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari
tumor dan mengobati tahap awal tumor ganas sebagai gangguan sinonasal jinak.
Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati secara
tuntas dan angka kesembuhan masih sangat rendah. Pasien dengan tumor ganas
1
sinonasal ditangani oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin
ilmu. Pengobatan dapat berupa pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. (1,2,3)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kavum nasi terletak dari nares sampai choana. Dasar dari cavum nasi dibentuk
oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini yaitu
permukaan atas palatum durum. Bagian atap dibentuk oleh corpus os sphenoidalis,
lamina cribrosa, os ethmoidalis, os frontale, os nasale dan cartilago nasi. Dinding
lateral dari cavum nasi terdapat tiga tonjolan yaitu concha nasalis superior, media
dan inferior. Area dibawah setiap concha disebut meatus. Recessus
sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas concha nasalis superior
dan di depan corpus os sphenoidalis. Daerah ini terdapat muara dari sinus
sphenoidalis. (4)
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral dari concha nasalis superior
dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis posterior. Metaus nasi media terletak di
bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat bulla ethmoidalis.
3
Sebuah celah yang melengkung disebut hiatus semilunaris yang terletak tepat di
bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran yang berbentuk corong
disebut infundibulum. Sinus maxillaris bermuara pada meatus nasi media melalui
hiatus semilunaris. Sinus frontalis dan sinus ethmoidales anterior bermuara pada
infundibulum. (4)
Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior dan terdapat
muara dari ductus nasolacrimalis. Dinding medial atau septum nasi merupakan
osteocartilago yang ditutupi membrana mukosa. Membrana mukosa melapisi cavum
nasi kecuali vestibulum. Terdapat dua jenis membrana mukosa yaitu mukosa
olfactorius dan respiratorius. Membrana mukosa olfactorius melapisi permukaan atas
concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi daerah
septum nasi septum nasi yang berdekatan dengan atap. Fungsinya adalah menerima
rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mukosa memiliki sel-sel penghidu khusus.
Permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa yang
berjumlah banyak. (4)
4
permukaan mukosa yang basah dan lengket. Persarafan cavum nasi berasal dari N.
Olfaktorius yang mempersarafi membrana mukosa olfaktorius. Saraf ini naik ke atas
melalui lamina kribrosa dan mencapai bulbus olfaktorius. (4,6)
Saraf-saraf sensasi umum berasal dari nervus trigeminus cabang ophtalmica
dan maxillaris. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari n. Ethmoidalis
anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus
nasopalatinus, dan ramus palatina ganglion pterygopalatinum. Suplai arteri untuk
cavum nasi berasal dari cabang-cabang a. maxillaris. Cabang yang terpenting yaitu a.
sphenopalatina yang beranastomosis dengan cabang septalis a.labialis superior yang
merupakan cabang dari arteri facialis di daerah vestibulum. Vena-vena membentuk
plexus yang luas di dalam mukosa. Plexus ini dialirkan oleh vena-vena yang
menyertai arteri. Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi
submandibulares. Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi
cervicales profundi superior. (4,5)
B. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os
frontal, os ethmoidalis, dan os sphenoidalis. Sinus dilapisi oleh mucoperiosterum dan
berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil.
Sinus maxillaris dan sphenoidalis pada waktu lahir terdapat dalam bentuk yang
rudimenter, setelah usianya delapan tahun menjadi cukup besar dan pada masa
remaja sudah terbentuk sempurna. Sinus berfungsi sebagai resonator suara dan
mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus tersumbat atau sinus terisi cairan
kualitas suara jelas berubah. (4,6)
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk
piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam
processus zygomaticus maxillae. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar
dibentuk oleh processus alveolaris. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi
medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus
frontalis bermuara ke dalam infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris,
kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus tersebut ke sinus maxillaris sangat
besar. Membrana mukosa sinus maxillaris dipersarafi oleh n.alveolaris dan
n.infraorbitalis. (4,6)
Sinus frontalis ada dua buah dan terdapat dalam os frontale dan dipisahkan
oleh septum tulang yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus
berbentuk segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang ke
5
bagian medial atap orbita. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.supraorbitalis.
Sinus sphenoidalis ada dua buah dan terletak di dalam corpus os sphenoidalis. Setiap
sinus akan bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis
superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis superior. (4,6)
Sinus ethmoidalis terdapat dalam os ethmoidale di antara hidung dan orbita.
Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehinggga infeksi dengan
mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga yaitu
anterior, media dan posterior. Kelompok anterior bermuara ke dalam infundibulum,
kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, dan kelompok posterior
bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh
n.ethmoidalis anterior dan posterior.Sinus paranasal hampir tidak mempunyai aliran
limfe, sehingga metastasis ke kelenjar limfe sangat jarang terjadi dan bila ada, hal itu
mungkin terjadi pada waktu tumornya sudah meluas keluar dari sinus paranasal
seperti nasofaring, mukosa pipi atau kulit. (4)
6
Gambar 4. Garis Ohngren (7)
2.3 Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya
tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri,
sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen
yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam
proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu
7
gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi
(anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel
kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase
promosi serta progresi. (8,9)
Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing
sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah
mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel
yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak
berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen
yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.Sejak terjadinya kontak dengan
karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu induksi yang cukup
lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun
telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in
situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih
terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis.
Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. (8,9)
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis
dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga
dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional
dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.Sel-sel kanker ini akan
tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker
ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi,
invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi. (8,9)
2.4 Klasifikasi
Berikut ini merupakan klasifikasi dari karsinoma traktus sinonasal : (3)
Epitel Non epitel
Karsinoma sel squamous Chondrosarcoma
Differensiasi Osteogenic sarkoma
Squamous basaloid Soft tissue sarcoma
Adenosquamous Fibrosarcoma
Karsinoma sel nonsquamous Malignant fibrous
Adenoid cystic carcinoma histiocytoma
Mucoepidermoid carsinoma Hemangiopericytoma
Adenocarcinoma Angiosarcoma
Neuroendocrine carcinoma Kaposis sarcoma
Hyalinizing clear cell carcinoma Rhabdomyosarcoma
Melanoma maligna Lymphoploroferative
8
Olfactory neuroblastoma Lymphoma
Sinonasal undifferentiated carcinoma Polymorphic reticulosis
Plasmacytoma
Metastatic
9
dekade 3-9 dan pertengahan pada dekade 6 dan juga laki-laki lebih banyak dibanding
wanita. Beberapa kasus terjadi setelah terapi radiasi karsinoma nasofaring. (8,9)
Gambaran klinis untuk tipe ini yaitu gejala berlangsung singkat, obstruksi
nasal, epistaksis, proptosis, bengkak periorbital, diplopia, nyeri wajah, dan termasuk
gejala kelainan nervus kranial.
Prognosis dariUndifferentiated Carcinomaburuk dengan median angka
bertahan hidup 18 bulan dan survival 5 tahun kurang dari 20%. Pengobatan dapat
dilakukan kombinasi kemoradiasi dan radikal reseksi. (8,9,10)
c Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40
hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Gejala utama berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi
dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya. (8,9,10)
2.5 Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12
% keganasan di hidung dan sinus paranasalstadium awal bersifat asimptomatis.
Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan
pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko.
(1,2,3)
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta
arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala. Gejala
yang timbul setelah tumor besar mendorong atau menembus dinding tulang meluas
ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Gejala yang dikeluhkan dapat
dikategorikan sebagai berikut: (1,3)
1 Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret,
sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar
dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor
ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
10
2 Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau
penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3 Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi
atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi,
tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4 Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.
5 Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang
keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus
basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya
bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya
muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi
nervus maksilaris dan mandibularis.
B. Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata.
Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor berasal dari sinus maxilla, jika ke bawah
dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid. Selanjutnya periksa
dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior.
Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang
berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. (1,3,8)
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di
sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi lakukan juga
palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi
goyang. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan
tumor padastadium dini. Kita juga harus memeriksa telinga adakah tuli konduktif
unilateral tanpa kelainan telinga dan kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran
11
kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar
leher. (1,3,9)
C. Pemeriksaan Penunjang
a Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan
dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel,
jaringan, dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu
cara untuk mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas.
Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk
ukuran besar maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan
tumor yang sudah diangkat. (1,3,9)
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang
dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak,
maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker,
maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali
atau diberikan kemoterapi atau radioterapi. (1,3,9,12)
b Pemeriksaan X-ray
Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam posisi yang perlu
untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi waters paling baik untuk
melihat sinus maxilla. Kedua, posisi Caldwell untuk melihat sinus etmoid dan
orbita. Ketiga, posisi lateral untuk melihat sinus sphenoid dan dinding
anterior dan posterior sinus frontal dan maxilla. Keempat, posisi
submentovertex untuk melihat sinus sphenoid dan etmoid posterior.Normal
sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti
udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi
dengan pemeriksaan CT scan. (1,12)
12
Gambar 9.Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris
(12)
c CT - Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen,
nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis,
penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis
yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan
coronal dengan kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk
menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak.
Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan
hubungannya dengan arteri karotis. (1,12)
d Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan
daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam
nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan
penyebaran perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan
tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image
terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale
dan kanalis optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement
13
signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas
tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip
dengan otak. (1,12)
14
2.6 Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi: (1,3,8,12)
1 Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidakjelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi
paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat,
15
ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk
drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. (1,7,12)
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis, lateral
rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open surgery).
Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan
dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik
yaitu melalui pendekatan rhinostomi lateral, rhinostomi medial, transfasial, transoral,
dan midfacial degloving. Jenis reseksi pada tumor rongga hidung dan sinus paranasal
ditentukan oleh lokasi lesi dan perluasannya. Tumor yang berasal dari dalam sinus
maxilaris diangkat dengan cara maxilektomi. (7,9)
16
2 Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit
sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya
terapi utama seperti 0pembedahan).Pada tahap awal kanker sinus paranasal,
radioterapi dianggap sebagai terapilokal alternatif untuk operasi. Radioterapi
melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel
kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi jugadigunakan untuk terapi paliatif
pada pasien dengan kanker tingkatlanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat
berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi
internal).Pemberian radioterapi didasarkan pada jenis histopatologi karena ada yang
bersifat radiosensitif dan sebaliknya. (7,9,12)
3 Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh
adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh
tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut
kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk
terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant
maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai
terapi paliatif. (7,9,12)
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi,
ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian kemoterapi
dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi
seperti pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi,
penyebaran perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.
(7,12)
2.8 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan padasinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang
diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status
imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh
17
terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga
terhadap prognosis penyakit ini. Pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil
yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka
ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor. (1,9,12)
18
ALGORITMA PENANGANAN KARSINOMA SINONASAL
Anamnesis
- Gejala nasal - Gejala oral
- Gejala orbita - Gejala fasial
- Gejala intrakranial
Pemeriksaan Fisik
Mencari lokasi asal
tumor, perluasan serta
penyebarannya
Pemeriksaan
Radiologi
- X-Ray
- CT-Scan
- MRI
Pemeriksaan
Histopatologi
Biopsi
Jinak Ganas
Menentukan
staging
Terapi
multidisiplin ilmu
19
BAB III
LAPORAN KASUS
20
Pasien sering mengkonsumsi makanan instant seperti indomie dan riwayat
merokok 25 tahun yang lalu. Pasien bekerja sebagai petani.
1. Telinga
Dekstra Sinistra
Preauricular Tragus sign (-) Tragus sign (-)
CAE Lapang Lapang
Serumen Ada Ada
Secret Ada, jernih Tidak ada
Membran timpani Intak Intak
Reflex cahaya Arah jam 5 Arah jam 7
Retroauricular Fistel (-), abses (-) Fistel (-), abses (-)
21
berdarah dan permukaan
rata)
Konka inferior Eutrofi Hipertropi
Pasase udara Lancar Terhambat
Septum nasi (Deviasi +)
3. Orofaring
Dekstra Sinistra
Tonsil T1 T1
Kripta Tidak ada Tidak ada
Detritus Tidak ada Tidak ada
Perlengketan Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
4. Maksilofasial
Dekstra Sinistra
Letak Simetris Simetris
Parese N. kranialis VII Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidakada
Hematom Tidakada Tidakada
22
3.5 Pemeriksaan Penunjang
I. PEMERIKSAAN LABORATURIUM
Tanggal 18 November 2015
Darah Rutin
Hitung Jenis
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Eosinofil 3 0-6
Basofil 1 0-2
23
Netrofil Segmen 64 50-70
Limfosit 25 20-40
Monosit 7 2-8
Kimia Klinik
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
AST/SGOT 14 < 31 U/L
ALT/SGPT 12 < 34 U/L
Faal Hemostasis
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
WaktuPerdarahan 2 1-7
WaktuPembekuan 7 5-15
Ginjal-Hipertensi
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Ureum 12 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,92 0,51-0,95 mg/dL
Hitung Jenis
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Eosinofil 0 0-6%
Basofil 0 0-2%
Netrofil Segmen 95 50-70%
Limfosit 3 20-40%
Monosit 132 2-8%
24
II. Radiologi
Thorax PA
18 November 2015
25
Kesimpulan :
CT Scan Sinus Coronal:
Sol sulit ditentukan asalnya.
Tampak infiltrasi-expansi dari cavum sinus maxilla sinistra dengan mendestruksi
tulang dasar orbita sinistra.
Mengisi cavum nasi sinistra et dextra. Tembus ekstra conal orbita sinistra. Dan
infiltrasi ke pallatum molle sampai palatum durum. Mendestruksi sinus ethmoidalis
dan atap sinus sphinoidalis, menembus ke dasar sella tursica serta menginfiltrasi ke
intra cerebral.
3.6 Diagnosis
26
Carsinoma Sinonasal stadium 3 dengan T3N1M0
3.7 Diagnosis Banding
Inverted Papiloma Sinonasal
3.8 Penatalaksanaan
III.7.1 Terapi Pre Operasi
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (skin test)
III.7.2 Terapi post operasi (Medikamentosa)
- IVFD Rl 20 gtt/i
- Transfusi PRC 1 Kolf
- Inj. Ceftriaxon 1gr/12jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/ 8jam
- Inj. Transamin1 amp/ 8jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/ 8 jam
- Inj. Metilprednisolone 1 amp/ 12jam
- Floumucyl 3ddCI.
3.9 Prognosis
Quo ad vitam Dubia Ad bonam
Quo ad functionam Dubia Ad malam
Quo ad sanationam Dubia Ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
27
pasien terganggu. Tumor sinonasal yang semakin membesar dapat
terlihat dengan gejala pipi kiri pasien yang semakin membengkak.
Seringnya pasien mengkonsumsi mie instan diduga
merupakan etiologi yang menyebabkan tumor pada pasien ini.
Dalam sebungkus mie instan terdapat bahan makanan tambahan
seperti MSG (Monosodium Glutamat) sebagai penyedap rasa,
natrium benzoat sebagai pengawet, natrium tripolifosfat sebagai
bahan pengembang dan bungkusan mie instan seperti styroform
diduga merupakan agen karsinogen yang menjadi pemicu
timbulnya pertumbuhan sel yang abnormal yang menjadi cikal
bakal tumor dalam hal ini tumor sinonasal.
Dari pemeriksaan hidung (rhinoskopi anterior) didapatkan
mukosa hiperemis, dijumpai sekret kekuningan, konka hipertropi,
deviasi septum dan pasase udara terhambat pada hidung sebelah
kiri. Deviasiseptum bisa terjadi pada tumor ganas sinonasal karena
desakan tumor terhadap tulang hidung sehingga terjadi deformitas
hidung yang menyebabkan hidung tersumbat dan menghambat
aliran udara pada hidung tersebut.
Pada pemeriksaan fisik, pasien mengalami sulit membuka
mulut (trismus). Hal ini sesuai teori yang menyatakan bahwa
musculus pterigoideus lateralis yang berfungsi untuk membuka
mulut terletak di fossa media basis cranii. jika tumor meluas sampai ke
fossa media basis cranii, akan terjadi trismus akibat terkenanya muskulus
pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus
maksilaris dan mandibularis.Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan
sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu
cairan otak yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi
atau menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf
otak lainnya bisa terkena.
28
BAB V
KESIMPULAN
29
Karsinoma sinonasal adalah penyakit tumor ganas yang ditemukan dijaringan
sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal
termasuk tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhan masih
sangat rendah. Pengobatan berupa pembedahan, kemoterapi dan
radioterapi.DAFTAR PUSTAKA
30
1. Roezin A A. Tumor Hidung dan Sinonasal. In Soepardi E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. p. 178-181.
3. Rosen S, Adam G. Head and Neck Cancer USA: Kluwer Academic Publishers;
2004.
5. Faller A, Schuenke M. The Respiratory System. In The Human Body. New York:
Georgerlag; 2004. p. 335-338.
6. Dhingra P. Anatomy of Nose. In Disease of Ear, Nose, and Throat. 4th ed. India:
Elsevier; 2010. p. 130-135, 141, 165.
8. Carrau RL, Ong YK, Solares A. Malignant Tumors of The Nasal Cavity.
[Online].; 2013 [cited 2015 Dec 8. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/846995-overview#showall.
11. American Society Of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus
Cancers. [Online].; 2011 [cited 2015 Desember 2. Available from:
http://www.cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer.
12. Probst R, Grever G, Iro H. Disease of The Nose, Paranasal Sinuses, and Face. In
Basic ortholaringology. New York: Thieme; 2006. p. 64-67.
31