Vous êtes sur la page 1sur 6

BAB VI

ASAS DAN SISTEM HUKUM

A. Asas Hukum
Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak
dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan
hukum.
Peraturan konkret (seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan
asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan
sistem hukum.
Apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum akan
tampil untuk mengatasi pertentangan tersebut. Misalnya, terjadi
pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya,
maka harus kembali melihat asas hukum sebagai prinsip dasar yang
mendasari suatu peraturan hukum berlaku secara universal.
Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam
pembentukan hukum positif.
Fungsi Asas Hukum dalam Sistem Hukum
1. Menjaga ketaatan asas atau konsistensi. Contoh, dalam Hukum Acara
Perdata dianut asas pasif bagi hakim, artinya hakim hanya memeriksa
pokok-pokok sengketa yang ditentukan oleh para pihak yang berperkara
dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya keadilan.
Dengan demikian, hakim menjadi pasif dan terjagalah ketaatan asas atau
konsistensi dalam Hukum Acara Perdata, karena para pihak dapat secara
bebas mengakhiri sendiri persengketaannya.
2. Menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum. Fungsi ini
antara lain diwujudkan dalam asas hukum lex superior derogate legi
inferiori, yaitu aturan yang hierarkisnya lebih tinggi, diutamakan
pelaksanaannya daripada aturan yang lebih rendah. Misalnya, undang-
undang lebih diutamakan pemberlakuannya daripada peraturan
pemerintah, atau peraturan pemerintah diutamakan berlakunya daripada
peraturan daerah.
3. Sebagai rekayasa sosial, baik dalam sistem hukum peraturan maupun
dalam sistem peradilan. Pada fungsi rekayasa sosial, kemungkinan
difungsikannya suatu asas hukum untuk melakukan rekayasa sosial di
bidang peradilan, seperti asas Hukum Acara Peradilan di Indonesia
menganut asas tidak ada keharusan mewakilkan kepada pengacara,
diubah menjadi asas keharusan untuk diwakili. Asas yang masih dianut
tersebut, sebetulnya sebagai bentuk diskriminasi kolonial Belanda,
sehingga sudah perlu dihapuskan.
Dalam kepustakaan ilmu hukum, asas hukum juga tidak selamanya bersifat
universal, karena terdapat beberapa asas hukum yang bersifat spesifik, sebagai
berikut.

1. Asas the binding force of precedent, yaitu putusan hakim sebelumnya


mengikat hakim-hakim lain dalam perkara yang sama. Asas ini khusus dianut
dalam sistem hukum Anglo Sakson.
2. Asas nullum delictum nnulla poena sine previa lege poenadi atau asas
legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHPidana), yaitu tidak ada perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali sebelumnya ada UU yang mengaturnnya. Asas ini hanya
dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis, seperti Indonesia.
3. Asas restutio in integrum, yaitu ketertiban dalam masyarakat haruslah
dipulihkan kepada keadaan semula, apabila terjadi konflik. Asas ini digunakan
dalam masyarakat sederhana yang cenderung menghindari konflik, dan
budaya konfromistis mewarnai berlakunya asas ini.
4. Asas cogatitionis poenam nemo patitur, yaitu tidak seorang pun dapat
dihukum karena apa yang dipikirkan dalam batinnya. Asas ini hanya berlaku
pada masyarakat yang menerapkan sistem hukum sekuler. Namun, dalam
Hukum Islam, berniat jahat terhadap seseorang sudah merupakan sebab,
sehingga ia dapat dihukum berdasarkan Hukum Agama Islam.

Untuk lebih mendalami substansi asas hukum, di bawah ini dikemukakan beberapa
asas hukum yang sering digunakan dalam teori hukum, yaitu sebagai berikut.

1. Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali (asas legalitas): tidak
ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, sebelum didahului oleh suatu
peraturan.
2. Eidereen wordt geacht de wette kennen: setiap orang dianggap mengetahui
hukum. Artinya, apabila suatu undang-undang telah dilembarnegarakan
(diundangkan), maka undang-undang itu dianggap telah diketahui oleh warga
masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi yang melanggarnya bahwa
undang-undang itu belum diketahui berlakunya.
3. Lex superior derogat legi inferiori: hukum yang tinggi lebih diutamakan
pelaksanaannya daripada hukum yang rendah. Misalnya, undang-undang
lebih diutamakan dari pada peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(Perpu) atau peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden, begitu
seterusnya.
4. Lex specialist derogat legi general: hukum yang khusus lebih diutamakan
daripada hukum yang umum. Artinya, suatu ketentuan yang bersifat
mengatur secara umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang lebih
khusus mengatur hal yang sama.
5. Lex posteriori derogate legi priori: peraturan yang baru didahulukan daripada
peraturan yang lama. Artinya, undang-undang baru diutamakan
pelaksanaannya dari pada undang-undang lama yang mengatur hal yang
sama, apabila dalam undang-undang baru tersebut tidak mengatur
pencabutan undang-undang lama.
6. Lex dura, sed temen scripta: peraturan hukum itu keras, karena wataknya
memang demikian.
7. Summun ius summa iniura: kepastian hukum yang tertinggi, adalah ketidak-
adilan yang tertinggi.
8. Ius curia novit: hakim dianggap mengetahui hukum. Artinya, hakim tidak
boleh menolak mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya,
dengan alasan tidak ada hukumnya karena ia dianggap mengetahui hukum.
9. Presumption of innocence (praduga tak bersalah): seseorang tidak boleh
disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap.
10.Res judicata proveri tate habetur: setiap putusan pengadilan/hakim adalah
sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
11.Unus testis nullus testis: hakim harus melihat suatu persoalan secara objektif
dan mempercayai keterangan saksi minimal dua orang, dengan keterangan
yang tidak saling kontradiksi.
12.Audit et atteram partem: hakim haruslah mendengarkan para pihak secara
seimbang sebelum menjatuhkan putusannya.
13.In dubio pro reo: apabila hakim ragu megenai kesalahan terdakwa, hakim
harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa.
14.Fair rial atau self incrimination: pemeriksaan yang tidak memihak, atau
memberatkan salah satu pihak atau terdakwa.
15.Speedy administration of justice: peradilan yang cepat. Artinya, seseorang
berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim demi terwujudnya kepastian hukum
bagi mereka.
16.The rule of law: semua manusia sama kedudukannya di depan hukum, atau
persamaan memperoleh perlindungan hukum.
17.Unus testis nullus testis: satu saksi bukanlah saksi. Artinya, keterangan saksi
yang hanya satu orang terhadap suatu kasus, tidak dapat dinilai sebagai
saksi.
18.Nemo judex indoneus in propria: tidak seorang pun dapat menjadi hakim
yang baik dalam perkaranya sendiri. Artinya, seorang hakim dianggap tidak
akan mampu berlaku objektif terhadap perkara bagi dirinya sendiri atau
keluarganya, sehingga ia tidak dibenarkan bertindak untuk mengadilinya.
19.The binding forse of precedent atau staro decises et quieta nonmovere:
putusan pengadilan (hakim) terdahulu, mengikat hakim-hakim lain pada
peristiwa yang sama (asas ini dianut pada negara-negara yang menganut
sistem hukum Anglo Sakson, seperti Amerika Serikat dan Inggris).
20.Cogatitionis poenam nemo patitur: tidak seorang pun dapat dihukum karena
apa yang ada di hatinya. Artinya, pikiran atau niat yang ada di hati seseorang
untuk melakukan kejahatan tetapi tidak dilaksanakan atau diwujudkan, maka
ia tidak boleh dihukum. Di sini menunjukkan bahwa hukum itu bersifat lahir,
apa yang dilakukan secara nyata, itulah yang diberi sanksi.
21.Restitution in integrum: kekacauan dalam masyarakat, haruslah dipulihkan
pada keadaan semula (aman). Artinya, hukum harus memerankan fungsinya
sebagai sarana penyelesaian konflik.
B. Sistem Hukum
1. Pengertian sistem hukum dan unsur-unsurnya
Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo (1986:31), adalah kesatuan
utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-
unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan kait-mengkait secara
erat. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan hukum dalam satu
kesatuan, diperlukan kesatuan sinergi antara unsur-unsur yang
terkandung di dalam sistem hukum, seperti peraturan, peradilan,
pelaksana hukum, dan partisipasi warga masyarakat.
Untuk mengukuhkan pelaksanaan sistem hukum, ia harus ditunjang oleh
unsur-unsur yang mendukungnya. Dibandingkan dengan unsur-unsur
sistem yang dikemukakan oleh Elias M. Awad, William A. Scrode, dan
Voich, maka unsur-unsur sistem terdiri atas sebagai berikut.
a. Sistem senantiasa dibuat dan diatur oleh sekelompok manusia, mesin,
dan fasilitas, tetapi juga dapat pula terdiri atas gabungan dari
kelompok manusia, seperangkat pedoman, dan alat pengolah data.
b. Rangkuman dari keseluruhan bagian (sub-sistem) dan dapat dipecah
lagi menjadi sub-sistem, dan seterusnya.
c. Saling terkait antara satu subsistem dengan subsistem lainnya.
d. Memiliki self-adjustment sebagai suatu kemampuan yang secara
otomatis mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Juga ada
mekanisme control dan self regulation untuk mengatur diri sendiri.
e. Memiliki tujuan yang jelas, dan untuk mencapainya harus mampu
melakukan transformasi terhadap setiap masukan dan perubahan
yang terjadi di luar dirinya.

2. Sistem hukum di dunia


Secara umum sistem hukum (termasuk sistem peradilan) yang ada di
dunia, terbagi atas dua jenis (Rusli Effendy, dkk, 1991: 113) sebagai
berikut.
a. Sistem hukum Common Law yang dianut oleh Negara-negara Anglo
Sakson, seperti Amerika Serikat,, Inggris, Australia, sebagian besar
negara negara persemakmuran, dan sebagainya.
b. Sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law System yang dianut
oleh negara-negara Eropa Daratan, seperti Belanda, Prancis, termasuk
Indonesia.
Keberlakuan sistem hukum Eropa Kontinental di Indonesia karena
kebergantungan pada asas konkordansi,, di mana Indonesia pernah
dijajah oleh Belanda, sehingga sistem hukum Belanda secara otomatis
dianut oleh Indonesia setelah merdeka. Namun, akibat dinamika
kehiduan sosial-politik masyarakat yang terus berkembang sehingga
sistem hukum Indonesia mengalami pula perkembangan dengan tidak
sepenuhnya terikat pada Eropa Kontinental.
Kedua sistem hukum dan sistem peradilan di atas, meskipun memiliki
perbedaan-perbedaan, tetapi secara umum juga ada persamaannya.
Adapun persamaannya, antara lain keduanya tetap mengenal adanya
pemisahan kekuasaan dari semua lembaga-lembaga negara,
sebagaimana dimaksud dalam teori pemisahan kekuasaan. Pemisahan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan tersendiri di luar kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan legislatif. Akan tetapi, ada pula perbedaan-
perbedaan terutama pada subsistem peraturannya yang penulis
simpulkan sebagai berikut.
a. Pada sistem hukum Common Law, pada umumnya didominasi oleh
hukum tidak tertulis (asas stare decisis) melalui putusan hakim,
sedangkan pada sistem hukum Eropa Kontinental didominasi oleh
hukum tertulis (kodifikasi).
b. Pada sistem hukum Common Law, tidak ada pemisahan yang jelas
dan tegas antara hukum publik dan hukum privat, sedangkan pada
sistem hukum Eropa Kontinental, ada pemisahan yang jelas dan
tegas antara hukum publik dan hukum privat.
3. Subsistem Peradilan
Berdasarkan pada dua jenis sistem hukum yang ada di dunia seperti
dikemukakan di atas, maka sistem peradilan pun terdiri pula atas dua
jenis yang mengikuti sistem hukumnya, yaitu sebagai berikut.
a. Sistem peradilan Common Law
Pada sitem peradilan Common Law ini, menganut sistem peradilan juri,
di mana hakim bertindak sebagai pejabat yang memeriksa dan
memutuskan hukumnya, sementara juri memeriksa peristiwa atau
kasusnya kemudian menentukan bersalah-tidaknya terdakwa atau
pihak yang berperkara. Di sini hakim diikat oleh suatu asas stare
decisis atau the binding force of precedent. Artinya, putusan hakim
terdahulu mengikat hakim-hakim lain untuk mengikutinya pada
perkara yang sejenis. Sistem peradilan juri ini sebagai manifestasi dari
pemikiran lama, bahwa peradilan merupakan tugas dan tanggung
jawab rakyat.
Penggunaan juri di dalam sistem peradilan Common Law, berlaku baik
pada perkara pidana maupun pada perkara pidana maupun pada
perkara perdata. Juri dipilih dari komunitas warga masyarakat (tokoh-
tokoh masyarakat setempat), bukan ahli hukum atau sarjana hukum.
Sebelumnya bertugas sebagai juri, terlebih dahulu dialmbil sumpahnya
dan dipastikan akan berlaku objektif.
b. Sistem peradilan Eropa Kontinental
Sistem peradilan Eropa Kontinental atau biasa juga disebut Civil Law
System, di mana hakim diikat oleh undang-undang (hukum tertulis).
Dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, kepastian hukumnya
dijamin melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang.
Sistem peradilan Eropa Kontinental tidak mengenal sistem juri. Tugas
dan tanggung jawab hakim di sini adalah memeriksa langsung materi
perkaranya, menentukan bersalah-tidaknya terdakwa atau pihak yang
berperkara, kemudian sekaligus menerapkan hukumnya.
Menyimak uraian sistem hukum dan sistem peradilan Eropa
Kontinental dengan Common Law (Anglo Sakson) di atas, maka untuk
lebih memahami eksistensi kedua sistem peradilan tersebut, ada
baiknya melihat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipal antara
keduanya, yaitu sebagai berikut.
a. Perbedaan pada sistem peraturannya
1) Pada sistem hukum Common Law didominasi oleh hukum idak
tertulis atau hukum kebiasaan melalui putusan hakim,
sedangkan pada sistem hukum Eropa Kontinental didominasi
oleh hukum tertulis (kodifikasi).
2) Pada sistem hukum Common Law tidak ada pemisahan yang
tegas dan jelas antara hukum publik dengan hukum privat,
sedangkan pada sistem hukum Eropa Kontinental ada
pemisahan secara tegas dan jelas antara hukum publik dengan
hukum privat.
b. Perbedaan pada sistem peradilannya.
1) Pada sistem peradilan Common Law menggunakan juri yang
memeriksa fakta kasusnya kemudian menetapkan kesalahan
dan hakim hanya menerapkan hukum dan menjatuhkan
putusan, sedangkan pada sistem peradilan Eropa Kontinental
tidak menggunakan juri sehingga tanggung jawab hakim adalah
memeriksa fakta kasus, menentukan kesalahan, serta
menerapkan hukumnya sekaligus menjatuhkan putusan.
2) Pada sistem peradilan Common Law hakim terikat pada putusan
hakim sebelumnya dalam perkara sejenis melalui asas the
binding force precedent, sedangkan pada sistem peradilan Eropa
Kontinental hakim tidak terikat atau tidak wajib mengikuti
putusan hakim sebelumnya dalam perkara sejenis.
3) Pada sistem Common Law menganut pula asas adversary
system, yaitu pandangan bahwa di dalam pemeriksaan
peradilan selalu ada dua pihak yang saling bertentangan, baik
dalam perkara perdata maupun perkara pidana, sedangkan
pada sistem peradilan Eropa Kontinental hanya dalam perkara
perdata yang melihat adanya dua pihak yang bertentangan
(penggugat dan tergugat) dan pada perkara pidana keberadaan
terdakwa bukan sebagai pihak penentang.

Vous aimerez peut-être aussi