Vous êtes sur la page 1sur 8

Asuhan Keperawatan Klien Dengan Cedera Kepala

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis, otak
dilindungi cedera oleh rambut, kulit kepala, tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain
itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan
banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.

Berdasarkan GCS cedera kepala atau otak dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

Cedera kepala ringan, bila GCS :13-15


Cedera kepala sedang, bila GCS : 9-12
Cedera kepala berat, bila GCS : kurang atau sama dengan 8

Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan, misalnya karena afasia maka reaksi
verbal diberi tanda X, atau karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat dinilai reaksi
membuka mata maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika klien dilakukan
trakeostomi ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.

Hematoma Intraserebral (ICH)

Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya
akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan
adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi. Pada pemeriksaan CT
scan didapatkan adanya area hiperdens yang merupakan indikasi dilakukan operasi. Adanya
pergeseran garis tengah dan secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan
neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai
dekompresi dari tulang kepala.

Hematoma Subdural (SDH)

Hematoma subdural adalah terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak,
dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain hematom
subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan duramater dengan sumber perdarahan
dapat berasal dari Bridging Vein (paling sering), A/V kortikal, dan sinus venosus duralis.
Berdasarkan waktu terjadinyaperdarahan maka hematoma subdural dibagi tiga, yaitu :

Subdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian


Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari sampai 3 minggu
Subdural hematom kronik jika perdarahan lebih dari 3 minggu
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran,
disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparase/pelgi dan pada pemeriksaan CT
scan menunjukkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit. Gejala dari hematoma subdural,
meliputi : keluhan nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, perubahan proses piker
(berpikir lambat), kejang dan edema pupil.

Hematoma Epidural (EDH)

Hematoma epidural adalah hematoma yang terletak antara duramater dan tulang,
biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya arteri meningika media (paling sering), vena
diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emisaria, sinus venosus duralis.

Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada
ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa
hemiparase/pelgi, pupil anisokor, adanya reflexs patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas
pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala
letaknya satu sisi dengan lokasi EDH, sedangkan hemiparase/pelgi letaknya kontralateral dengan
lokasi EDH, lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada
perdarahan intrakaranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari
prognisisnya. Makin panjang lucid interval maka makin baik prognosis klien EDH (karena otak
mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap
tidak hilang dengan pemberian analgetik.

Prognosis dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8 atau datang
lebih dari 6 jam atau umur lebih dari 60 tahun.

Patofisiologi

Komosio (gegar otak) memiliki tanda-tanda sebagai berikut :

Cedera kepala ringan


Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit
Tanpa kerusakan otak parmanen
Muncul gejala nyeri kepala, pusing dan muntah
Disorientasi sementara
Tidak ada gejala sisa
Tidak ada terapi khusus

Kontusio serebri (memar otak) memiliki tanda-tanda sebagai berikut :


Ada memar otak
Perdarahan kecil local/difus dengan gejala adanya gangguan local dan adanya perdarahan
Gejala :
- Gangguan kesadaran lebih lama
- Kelainan neurologis positif
- Reflexs patologis positif
- Gejala TIK meningkat
- Amnesia retrograd lebih nyata

Asuhan Keperawatan Cedera Kepala

1. Anamnesis

Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan system persafan
sehubungan dengan cedera kepala bergantung pada bentuk, lokasi, jenis cedera, dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Anamnesis pada cedera kepala meliputi keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial.

a. Keluhan utama

Sering terjadi alas an klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung seberapa
jauh dampak dari trauma kepala disetai penurunan tingkat kesadaran.

b. Riwayat penyakit sekarang

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian, trauma langsung kekepala. Pengkajian yang didapat, meliputi tingkat kesadaran
menurun (GCS<15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah,
luka dikepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernafasan, adanya likuor dari hidung dan
telinga, serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan di dalam intakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsive, dan koma.

Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar)
tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang sering terjadi pada
beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.

c. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat
antikoagulan, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alcohol berlebihan.
d. Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes
mellitus.

e. Pengkajian psikospiritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecatatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).

Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi akibat gangguan berbicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa
tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah dan tidak kooperatif.

Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, keadaan ini mungkin member dampak
pada status ekonomi klien, akibat biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat
mengacuhkan keuangan keluarga sehingga factor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi
dan pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yanga akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah :keterbatasan yang akan diakibatkan oleh
deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang
akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam system dukungan individu.

2. Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan


fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan secara per system (B1-B6)dengan focus pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

a. Keadaan umum

pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran (cedera kepala
ringan, GCS :13-15, cedera kepala sedang GCS : 9-12, cedera kepala berat, bila GCS kurang
atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

b. B1 (Breathing)
perubahan pada system pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan
serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik system ini
akan didapatkan hasil seperti dibawah ini.

Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Ekspensi dada: dinilai
penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya. Pola observasi ekspansi dada juga perlu dinilai:
retraksi dari otot-otot interkostal, substrenal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Pada palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan jika
melibatkan trauma pada rongga torak.
Pada perkusi, adanya suara redup smpai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada
torak/hematoraks.
Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi, pada klien
dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien dengan cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat pernafasan, klien
biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat diruang perawatan
intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera kepala berat dengan
pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis.

Pada klien dengan tingkat kesadaran compass mentis, pengkajian pada inspeksi
pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan
kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

c. B2 (Blood)

pengkajian pada system kardivaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang


sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien
cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi
bradikardi, takikardia, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan
perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma
kepala akan merangsang pelepasan antidiuretik hormone yang berdampak pada kompensasi
tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga memberikan resiko terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada system kardiovaskular.

d. B3 (Brain)
cedera kepala menyebabkan berbagai deficit neurologis terutama akibat pengaruh
peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan adanya perdarahan baik bersifat hematom
intraserebral, subdural, dan epidural. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.

1. Pengkajian tingkat kesadaran

tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling
sensitive untuk disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat
latergi, stupor, semikomatosa sampai koma.

2. Pengkajin fungsi serebral

pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, lobus frontal, dan hemisfer.

Status mental. Observasi penampilan, tingkah laku klien, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
Fungsi intelektual. Pada beberapa keadaan klien cedera kepala didapatkan penurunan
dalam memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Lobus frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika trauma
kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori, atau
kerusakan fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi. Disfungsi ini dapat ditunjukan
dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi,
yang menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi
mereka. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi
yang labil, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
Hemisfer. Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemifarase sebelah kiri tubuh,
penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala hemifer kiri,
mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang
pandang sebelah kanan, disfalgia global, afasia, dan mudah frustasi.

3. Pengkajian saraf kranial

Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf krania I-XII

Saraf I. pada beberapa keadaan cedera kepala diarea yang merusak anatomis dan
fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia
unilateral atau bilateral.
Saraf II. Hematom palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapang pandang
dan mengganggu fungsi saraf optikus. Perdarahan diruang intracranial, terutama
hemoragia subaraknoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomaly pembuluh
darah didalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus. Akan tetapi dari segala macam
kelainan didalam ruang intracranial, tekanan intracranial dapat dicerminkan pada fundus.
Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan
trauma yang merusak rongga orbita. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu yang tidak
bereaksi pada penyinaran. Paralisi otot ocular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika
pada trauma kepala terdapat anisokoria, bukan midriasis, melainkan miosis yang
bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miotik
adalah abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang
mengelola pusat siliospinal, hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak
aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan berkonstriksi.
Saraf V. pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis saraf trigeminus,
didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak
didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik serta tidak
ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.

4. Pengkajian system motorik

Pada inpeksi umum, didapatkan hemiplegia(paralisis pada satu sisi) karena lesi pada satu
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang
lain.

Tonus otot. Didapatkan menurun atau hilang.


Kekuatan otot. Pada penilaian dengan mengguanakn tingkat kekuatan otot didapatkan
tingkat 0.
Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan karena hemiparase dan
hemiplegia.

5. Pengkajian refleks

Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum


derajat refleks pada respons abnormal.
Pemeriksaan relesk patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan
menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan
refleks patologis.

Vous aimerez peut-être aussi