Vous êtes sur la page 1sur 82

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat
rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku Kenangan
Bronkoesofagologi Tributed to dr. A.A. Sagung Puteri, Sp.THT-KL.
Buku ini secara ringkas berisi tentang curriculum vitae, kumpulan judul karya
ilmiah, contoh kasus-kasus korpus alienum di bronkus-esofagus, pengetahuan dasar
seperti anatomi fisiologi esofagus dan bronkus, indikasi, kontraindikasi esofagoskopi
dan bronkoskopi, persiapan operasi, alat-alat endoskopi, teknik praktis dalam melakukan
esofagoskopi, penyulit operasi, komplikasi dan tips-tips singkat. Sehingga kami berharap
buku ini tidak hanya bermanfaat sebagai buku kenangan tetapi dapat juga menambah
pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kami sampaikan kepada dr.Eka Putra
Setiawan, Sp.THT-KL(K) yang telah memprakarsai, DR. dr. Wayan Sudana, Sp.THT-KL(K),
dr. Wayan Sucipta, Sp.THT-KL, residen stase bronkoesofoagologi (dr. Olivia Tantana, dr.
Putu Dewi Pramusita, dr. Putu Vira Rikakaya) serta seluruh pihak-pihak yang tidak dapat
kami sebutkan satu per satu yang telah mendukung penyusunan buku ini sehingga dapat
terwujud tepat pada waktunya.
Kami sadar buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi kesempurnaan buku ini.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
SAMBUTAN KEPALA BAGIAN SMF THT-KL RSUP SANGLAH

Puji syukur kita panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat
rahmat-Nyalah semua ini dapat terwujud dalam penyusunan Buku Kenangan
Bronkoesofagologi Attributed to dr. A.A. Sagung Puteri, Sp.THT-KL.
Adanya buku kenangan ini yang merangkum secara ringkas tentang riwayat
hidup, pengalaman beliau selama menjadi staf pengajar di bagian sub divisi
Bronkoesofagologi SMF THT-KL RSUP Sanglah (FK UNUD Denpasar), pengetahuan dasar
seputar ilmu bronkoesofagologi, dan lainnya. Sehingga dapat bermanfaat baik bagi
dokter spesialis THT, residen THT, dokter umum dan tenaga medis lainnya yang terkait.
Semoga buku kenangan ini dapat mempertebal rasa persaudaraan kita diantara
dokter konsulen dan residen serta dapat mendorong minat untuk memberikan darma
baktinya dalam menulis buku semacam ini.

Denpasar, 15 Januari 2013

DR. dr. Wayan Sudana, Sp.THT-KL(K)


Kepala Bagian/SMF THT-KL FK Universitas Udayana
RSUP Sanglah Denpasar

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Sambutan
Daftar Isi
Sejarah Bronkoskopi dan Esofagoskopi
Makalah dr. AA Sagung Puteri, Sp.THT-KL
Sekilas pengetahuan dan tips di bidang Esofagoskopi dan Bronkoskopi
- Esofagoskopi
- Bronkoskopi
Era Terbaru di Bidang Endoskopi THT Simposium 2012 Jakarta
Lampiran
Daftar Riwayat Hidup dr. AA Sagung Puteri, Sp. THT-KL
Essay
Foto foto
Puisi
Humor
Karikatur

Sejarah Bronkoskopi dan Esofagoskopi


Bronkoskopi pertama kali dilakukan oleh Gustav Killian yang berasal dari Jerman pada
tahun 1897. Gustav Killian mempergunakan bronkoskopi kaku untuk ekstraksi tulang
babi dengan lokal anestesi menggunakan kokain topikal. Sejak saat itu bronkoskopi kaku
banyak digunakan hingga tahun 1970 an. Sekitar tahun 1920 Chevalier Jackson yang
berasal dari Amerika menyempurnakan bronkoskopi kaku sehingga tabung kaku ini dapat
digunakan untuk inspeksi trakea dan bronkus utama. Victor Negus seorang laringologis
dari British yang bekerja sama dengan Jackson memperbaiki designnya sehingga disebut
bronkoskop Negus.

Shigeto Ikeda pada tahun 1966 menemukan bronkoskop flexibel. Scope flexibel
yang pertama kali menggunakan serat fiberoptik yang membutuhkan sumber cahaya
eksternal untuk penerangan. Diameter scope ini sekitar 5-6 mm dengan kemampuan
flexi 180 derajat dan extensi 120 derajat, sehingga dapat digunakan untuk masuk dalam
lobus dan bronkus segmental. Saat ini scope fiberoptik telah digantikan dengan
bronchoscopes with a charge coupled device (CCD) dengan video chip pada bagian distal.

Esofagoskopi kaku pertama kali sukses digunakan untuk evaluasi cervical


esofagus oleh Waldenberg pada tahun 1868. Adolf Kussmaul pada tahun yang sama
menggunakan urethroscope yang dimodifikasi untuk mendiagnosis karsinoma pada
esofagus thorakik. Pada tahun 1897 Kelling menemukan esofagoskopi metal fleksibel
dan di tahun 1898 beliau menemukan gastroscope yang sepertiga bawahnya dapat
diflexikan 45 derajat. Pada tahun 1936 Schindler dan Wolf, seorang ilmuwan optikal dan
perusahaan mendesign semiflexibel gastroscope. Esofagoskopi flexibel fiber optic
dikembangkan oleh Lo-Presti dan Hilmi pada tahun 1964.

Alat esofagoskop kaku ada beberapa jenis antara lain: esofagoskop standar, alat
ini memiliki lumen dengan saluran untuk cahaya dan aspirator di tepinya. Pipanya ada
yang berbentuk bulat dan ada yang berbentuk lonjong. Alat-alat tambahan yang
melengkapi berupa forsep, lumen finder, dan bougie. Dikenal dengan model Jackson,
Jerberg, Mosher, dan Robert yang tersedia dalam berbagai ukuran.
Gambar 3. Esofagoskop kaku dengan berbagai forsep.1

Universal esophagoscope (Storz), alat ini mempunyai cold light pada ujung
distalnya dengan kualitas optik yang baik, tersedia dalam berbagai ukuran dilengkapi
dengan alat-alat tambahan berupa optik wide angle, forsep untuk memegang dan
memotong, jarum injeksi, alat penghisap, elektroda untuk koagulasi dan pompa udara.
Sehingga alat ini memiliki kemampuan untuk memompakan udara aspirasi,
mengeluarkan benda asing, pembilasan dan hemostasis.

Pemakaian endoskop kaku dapat digunakan untuk endoskopi diagnostik seperti


pada pasien dengan keluhan di esofagus berupa kelainan menelan atau perasaan
mengganjal, esofagoskopi terapetik seperti pada kasus benda asing di esofagus terutama
bagian proksimal esofagus atau di sekitar sfingter esofagus bagian atas, untuk sklerotik
varises, dilatasi dan memasukkan pipa esofagogastrik. Kontra indikasi esofagoskop kaku
adalah pada aneurisma aorta, kiposis atau skoliosis vertebra, bayi prematur, usia lanjut
dan kelainan jantung.

Penggunaan esofagoskop fleksibel lebih dianjurkan pada keadaan khusus, seperti


kesulitan mobilisasi kepala leher karena masalah tulang leher, kiposis atau skoliosis
vertebra, usia lanjut dan kelainan jantung. Indikasi diagnostik terutama pada pasien
dengan gejala disfagia, rasa panas di dada, odiofagia dan hematemesis. Indikasi terapi
pada ekstraksi benda asing yang kecil dan multipel yang kemungkinan tersembunyi di
bawah lipatan mukosa, benda asing dengan ujung tajam menghadap ke mukosa
esofagus misalnya peniti yang terbuka, serta memerlukan perubahan posisi gaster atau
gastric version, skleroterapi dan penggunaan laser. Kontra indikasi absolut endoskopi
fleksibel tidak ada, kontra indikasi relatif berupa aneurisma aorta dan kesulitan dalam
mengangkat benda asing karena. Kerugian karena alat EF lebih mahal dan lebih mudah
rusak dibandingkan EK. Daya genggam forsep EF kurang kuat dibandingkan forsep pada
endoskopi kaku.

BRONKOSKOPI DAN ESOFAGOSKOPI


Bronkus ukurannya sesuai dengan besar jari kelingking, sedangkan trakea sebesar
jari telunjuk. Pada anak, untuk orientasi panjang trakea, jangan memakai bronkoskop
yang ukurannya panjang.
Operator diharapkan memakai kacamata, agar tidak kena sekret atau jaringan
lepas seperti TBC dan papiloma.
Yang paling penting dalam melihat trakea / esofagus adalah kuncinya posisi
occiput pasien 15 cm di atas meja operasi. Setelah bronkoskop / esofagoskop masuk
baru posisi kepala / occiput pasien setinggi meja operasi. Alat dapat dimasukkan lebih
dalam lagi. Kepala diturunkan perlahan, operator bertumpu pada lutut. Dada penderita
jangan ikut naik.
Saat penting berikutnya pada bronkoskopi adalah memasukkan alat ke pita suara,
diharapkan ujung bronkoskop miring, dimasukkan dengan lembut, setelah melalui pita
suara posisi alat dikembalikan seperti semula. Untuk esofagoskopi, saat memasuki
introitus esofagus. Ada 2 hal penting yaitu : pertama harus melihat lumen. Kedua saat
melewati posisi tidur, terasa tahanan, alat diangkat naik sedikit selanjutnya masuk.
Jangan dipaksa, karena dapat merobek polisi tidur/gate of tear /babel mandeb.
Posisi kedua alat harus selalu di garis tengah, jangan miring ke satu sisi karena
dapat salah masuk ke sinus piriformis.
Ada perbedaan mendasar antara bronkoskopi dengan esofagoskopi. Kalau
bronkoskopi dapat berakibat fatal karena bersifat emergensi. Kalau esofagoskopi tidak
fatal, justru fatalnya saat mengerjakan karena tindakannya yang ditimbulkan oleh pikiran
kasar. Pikiran menjadi halus karena persoalannya dimengerti, perlu pengetahuan yang
cukup. Teori dahulu baru mengerjakan. Berhubung kasus kurang harus mencoba terus
walaupun stase sudah selesai. Kalau ada kasus jangan wegah. Tujuan pendelegasian
tugas oleh senior kepada residen tua untuk mengerjakan lagi agar dapat mandiri (siap
setiap saat tanpa perasaan gugup). Kakak kelas yang baik, seandainya adik kelas tidak
mampu mengerjakan, kakak kelas mampu sesuai saat dibutuhkan, yang akhirnya
menimbulkan suatu kewibawaan/kebanggaan. Dicoba ilmunya mampu atau tidak.
Tindakan bronkoskopi karena benda asing jangan ditunda, dikerjakan saat itu
juga.
ESOFAGOSKOPI
Pendahuluan
Esofagoskopi adalah pemeriksaan esofagus dengan menggunakan alat
endoskopi. Pemeriksaan ini telah dilakukan lebih dari sebab yang lalu dengan tujuan
untuk diagnosis dan terapi. Perkembangannya diprakarsai oleh ahli THT lebih dari
setengah abad dengan menggunakan esofagoskop pipa kaku dan mereka terampil
memakai alat ini. Kemudian ahli gastroenterologi mulai tertarik pada esofagus dengan
belajar menggunakan semifleksibel gastroskop yang dibuat oleh Schindler. Dengan
tersedianya esofagoskop dan gastroskop fleksibel serat optik maka banyak ahli
gastroenterologi cakap dalam memeriksa saluran pencernaan bagian atas.
Kedua jenis esofagoskop ini masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan, indikasi, keterbatasan, juga keduanya tidak dapat saling dipertukarkan.
Dalam makalah ini dibahas mengenai esofagoskopi pipa kaku.

Anatomi Endoskopi Esofagus


Pengetahuan anatomis mengenai esofagus diperlukan oleh seorang endoskopis.
Sebagai dasar perlu diketahui anatomi esofagus pada mayat kemudian mengetahui
anatomi endoskopi esofagus dalam keadaan hidup dan bergerak.
Esofagus merupakan suatu kantong yang panjang, bebas, dapat melenting,
berdinding tipis dan mempunyai beberapa penyempitan.
Penyempitan yang perlu diketahui adalah :
a. Penyempitan krikofaringeal ( sfingter krikofaringeal ). Letaknya di dasar
hipofaring, terjadi karena kontraksi m. krikofaringeal yang akan menekan
kartilago ke belakang pada vertebra servikalis. Bagian ini merupakan jebakan
yang besar pada waktu melakukan esofagoskopi dan disebut sebagai Bab el
Mandeb (gerbang air mata bagi seorang endoskopi yang belum
berpengalaman ). Di antara m. faringeus inferior dan m. krikofaringeal ditemukan
titik lemah yang merupakan tempat terjadinya divertikulum laring.

Gambar 1

Gambar 2
Gambar 3
( Gambar 1, 2, 3 dikutip dari Jackson and Jackson 1964 )

b. Penyempitan diafragma. Penyempitan ini terdapat pada bagian distal yang


disebut hiatus esofagus. Di sini esofagus terjepit oleh krura diafragma yang
bekerja sebagai sfingter.
c. Penyempitan lainnya (Gambar 4) :
1. Pada persilangan esofagus dengan aorta, yang pada orang dewasa
berjarak kira-kira 23 cm dari gigi insisivus atas.
2. Pada persilangan esofagus dengan bronkus kiri, yang pada orang dewasa
berjarak kira-kira 27 cm dari gigi insisivus atas.
Kedua penyempitan di atas ini bersifat pasif, tidak seperti pada sfingter
krikofaringeal.
Panjang esofagus dapat diukur secara langsung dengan esofagoskop dan secara
radiologis dimulai dari vertebra C6 sampai Th 11. Dengan sedikit variasi, panjang
esofagus normal adalah 24-26 cm. Jarak antara arkus dentalis atas sampai sfingter
krikofaringeal adalah 15-16 cm dan ke kardia 40-41 cm. Panjang esofagus ini hanya
sedikit dipengaruhi oleh ukuran penderita. (Gambar 4).
Gambar 4
Perkiraan jarak dan penunjuk anatomis esofagus dari gigi insisivus atas pada endoskopi
(dikutip dari Adams George L. 1978)

Diameter esofagus bervariasi dari segmen ke segmen tergantung pada respirasi,


jenis anestesi dan jumlah udara yang dipompa. Pada segmen servikal esofagus kolaps
baik pada pernapasan spontan maupun artifisial. Untuk membuka inspirasi dan
menutup pada waktu ekspirasi, pada pernapasan artifisial lumen kolaps. Setinggi hiatus
esofageal dapat diukur pada waktu inspirasi maksimum, kalau tidak dengan pemompaan
atau dilatasi dan dibandingkan dengan diameter esofagoskop atau dilatator dalam
ukuran milimeter.
Posisi esofagus tergantung pada posisi penderita terutama posisi tulang
belakang. Pada bagian atas esofagus terletak pada garis tengah di belakang trakea,
memasuki rongga toraks akan mengikuti lengkungan servikal dan torakal tulang
belakang. Di bawah bronkus kiri secara perlahan-lahan mengarah ke depan melalui
hiatus pada bagian anterior diafragma di sebelah aorta. Sepertiga bawah esofagus selain
melengkung ke anterior juga secara tajam membelok ke kiri sehingga bila esofagoskop
dimasukkan ke lambung arahnya dari sudut kanan mulut menuju spina iliaka anterior
superior kiri. (Gambar 5 )

Gambar 5 (dikutip dari Jackson and Jackson 1964)

Esofagus mempunyai dua gerakan yaitu gerakan ekstrinsik (pasif) dan gerakan
intrinsik (aktif). Gerakan ekstrinsik terjadi karena pernapasan dan pulsasi. Pada waktu
inspirasi lumen esofagus membuka karena terjadi tekanan negatif intra torakal sehingga
udara dapat masuk, sedangkan pada waktu ekspirasi lumen menjadi kolaps. Pulsasi
aorta terdapat setinggi vertebra Th 4 (jarak pada orang dewasa 23-24 cm dari gigi atas)
dan pulsasi jantung pada Th 7-8 (jarak pada orang dewasa 30 cm dari gigi atas).
Gerakan intrinsik bersifat fisiologis yaitu peristaltik. Dikenal peristaltik primer yang hanya
dapat diamati oleh fiberskopi selama gerakan menelan, peristaltik sekunder yang terjadi
pada waktu berkontak dengan alat, pembilasan atau pemompaan udara serta kontraksi
non peristaltik yang sering ditemukan pada pertengahan dan sepertiga bawah esofagus.
Selain itu faktor anatomi lain yang penting adalah :
a. Esofagus dikelilingi oleh alat-alat dalam dan pada segmen servikal bertkan erat
oleh jaringan sekitarnya.
b. Dinding yang tipis sehingga mudah perforasi, mortalitas kasus perforasi cukup
tinggi.
c. Dinding anterior praktis bergabung dengan dinding posterior trakea bagian ini
disebut sebagai party wall yang mengandung sistem limfatis dari bagian
belakang laring dan dapat menjadi besar bila ada tumor ganas laring di bagian
posterior yang bermetastase ke mediastinum.

Yang tampak pada esofagoskopi


Mukosa : Mukosa tampak halus dan berkilau, berwarna merah muda kebiruan
atau kekuningan. Warna ini bervariasi tergantung dari derajat penyinaran dan tampak
difus. Sementara itu kartilago krikoid tampak pucat diantara mukosa. Mukosa
mempunyai lipatan-lipatan yang reguler, memanjang, kontinyu dan berjumlah 5-6 buah.
Pada sepertiga proksimal lipatan mukosa tidak tampak tetapi menjadi jelas pada
sepertiga distal. Pada segmen torakal lipatan-lipatan ini dipengaruhi oleh respirasi yaitu
menjadi tidak jelas pada inspirasi maksimal dan pada waktu pemompaan udara tetapi
tampak kembali pada saat ekspirasi. Pada gaster lipatan mukosa menjadi lebih lebar dan
warnanya lebih gelap.
Isi esofagus : Pada segmen servikal dan torakal dalam keadaan normal
mengandung saliva yang tampak berbuih, transparan, tidak bergerak dan melekat pada
mukosa. Refluks gastro-esofageal dapat dideteksi pada pertengahan esofagus, kadang-
kadang pada segmen servikal atau hipofaring. Refluks ini tampak sebagai cairan sedikit
kental, tidak berbuih, keruh dan bila ada empedu tampak berwarna hijau kekuningan.
Ditemukannya partikel makanan merupakan keadaan yang patologis.
Pembuluh darah : Cabang-cabang pembuluh darah yang tampak pada mukosa
normal merupakan pleksus venosus superfisialis sedangkan pleksus venosus yang lebih
dalam hanya dapat dikenal bila ada hipertensi portal. Sifat-sifat pembuluh vena
superfisialis yaitu tampak sedikit kebiruan, membentuk kelompok kecil dan mudah
terkena trauma.
Sensitivitas : Selama esofagoskopi dan biopsi bagian esofagus yang lebih sensitif
terhadap nyeri adalah sepertiga bagian proksimal dibandingkan dengan bagian distal.
Keadaan patologik : Perlu digambarkan lesi secara terinci dan menyeluruh,
dengan mengetahui morfologi endoskopi dari berbagai kelainan esofagus sebelumnya.
Biopsi hanya dilakukan bila terdapat kelainan yang mencurigakan.

Indikasi Esofagoskopi Pipa Kaku


a. Setiap penderita yang mempunyai keluhan kelainan menelan atau merasa ada
kelainan di daerah esofagus, hipofaring dan laring.
b. Abnormalitas esofagus pada bayi.
c. Kegagalan atau kontra indikasi fiberskopi.
d. Esofagoskopi terapeutik seperti mengeluarkan benda asing, mengeluarkan
partikel makanan, mengeluarkan tumor, hemostasis, sklerotik terhadap varises,
dilatasi dan memasukkan pipa esofago-gastrik.

Kontra Indikasi Esofagoskopi


a. Aneurisma aorta
b. Kiposis dan skoliosis vertebra
c. Berhubungan dengan pemberian anestesi yaitu anestesi lokal pada penderita
yang tidak kooperatif, bayi prematur, usia lanjut dan kelainan jantung.

Persiapan Esofagoskopi
Persiapan ruangan : ruangan operasi harus diatur susunannya untuk kelancaran
bekerja dan efisiensi waktu (gambar 6)
A

3
B E
D
2
1

4 C

Gambar 6. Tata ruangan untuk esofagoskopi


(Sumber : Jackson and Jackson 1964)

1. Operator / Endoskopis
2. Pembantu I, yang memegang kepala
3. Pembantu II, yang memegang bahu
4. Perawat untuk instrumen
A dan B. Meja operasi / esofagoskopi
A. Bagian meja yang diturunkan
C. Meja instrumen yang akan digunakan
D. Unit anestesi aspirator dan sumber cahaya
E. Instrumen tambahan
F. View box

Persiapan bagi Endoskopis


a. Mempersiapkan pembantu, memilih instrumen dan tipe anestesi.
b. Mengadakan kontak dengan ahli anestesi tentang umur dan keadaan umur
penderita.
c. Memperhatikan indikasi esofagoskopi dengan umur dan keadaan umum
penderita.
d. Mengadakan pemeriksaan sebelumnya meliputi foto toraks, foto tulang belakang
dan esofagus.
e. Sebelum esofagoskop digerakkan harus diperiksa terlebih dahulu keadaan mulut,
hidung dan tenggorok, fungsi sendi mandibula : trismus, keadaan gigi apakah ada
prostesis merupakan asimetri, pembesaran kelenjar limfastruma dan tulang
belakang meliputi sendi atlanto-oksipital, perbedaan jarak fleksi dan ekstensi
daerah leher toraks, apakah ada deformitas.
f. Lambung penderita harus kosong (dipuasakan) kecuali pada kasus darurat untuk
mengeluarkan benda asing.
g. Pada penderita dengan riwayat kecurigaan koagulasi perlu ditentukan waktu
bekuan, waktu perdarahan, waktu protrombin dan trombosit.
h. Pada penderita yang diberikan anestesi lokal perlu a Sermon on Relaxation,
sedangkan anestesi umum pada penderita usia lanjut diperlukan pemeriksaan
kardiovaskuler, respirasi dan ginjal kalau perlu EKG sebelum esofagoskopi.
i. Pengukuran suhu tubuh penderita pada kasus benda asing.
j. Pemeriksaan X-foto dengan barium merupakan kontra indikasi pada kasus-kasus
benda atau obstruksi karena partikel makanan.

Anestesi
Anestesi lokal : bila penderita kooperatif dan tidak ada komplikasi-komplikasi
besar yang mungkin terjadi maka esofagoskop pipa kaku dapat dengan mudah
dimasukkan. Di sini endoskopi harus benar-benar diberikan premedikasi sulfas atropine
dan sedasi kemudian disemprotkan kokain HCl atau pantokain 2% pada faring , 5-10
menit kemudian esofagoskop sudah dapat dimasukkan.
Anestesi Umum : anestesi umum akan membuat penderita benar-benar tenang
dan relaksasi. Keadaan ini dibutuhkan untuk berhasilnya suatu endoskopi. Intubasi
menjamin respirasi yang maksimal dan persiapan resusitasi bila diperlukan, terutama
pada pasien usia lanjut, pasien dengan penyakit jantung, dan bayi prematur.

Alat-alat yang digunakan


Esofagoskop standar : alat ini memiliki lumen dengan saluran untuk cahaya dan
aspirator di tepinya. Pipanya ada yang berbentuk bulat dan ada yang berbentuk lonjong.
Alat-alat tambahan yang melengkapi berupa forsep, lumen finder, dan bougie. Dikenal
dengan model Jackson, Jerberg, Mosher, dan Robert yang tersedia dalam berbagai
ukuran.

Gambar 7. Esofagoskop model Chevalier Jackson.


(Sumber : Jackson and Jackson 1964)

Universal esophagoscope (Storz) : alat ini mempunyai cold light pada ujung
distalnya dengan kualitas optik yang baik, tersedia dalam berbagai ukuran dilengkapi
dengan alat-alat tambahan berupa optik wide angle, forsep untuk memegang dan
memotong, jarum injeksi, alat pengisap, elektroda untuk koagulasi dan pompa udara.
Sehingga alat ini memiliki kemampuan untuk memompakan udara aspirasi,
mengeluarkan benda asing, pembilasan dan hemostasis.
Gambar 8. Rigid Universal Esophagoscope buatan Storz

Esofagoskop kaku Haslinger : alat ini memiliki penyinaran pada bagian proksimal
dan dilengkapi dengan kaca pembesar serta lumen yang terbuka. Dapat digunakan untuk
berbagai tujuan terutama dalam mengeluarkan benda asing. Selain itu alat ini juga
dilengkapi dengan pegangan sehingga menjamin kestabilan selama melakukan
esofagoskopi. Tersedia dalam berbagai ukuran.

Gambar 9. Esofagoskop kaku Haslinger.


(Sumber: Savary, 1977)

Gambar 10. Berbagai bentuk dan ukuran forsep endoskopi.


(Sumber : Jackson and Jackson, 1964 dan Schiratzki, 1975)

Ukuran esofagoskop
Umur Ukuran
Prematur 3,5 mm x 23 cm
Bayi baru lahir 4,0 mm x 35 cm
3-6 bulan 4,0 mm x 35 cm
1-2 tahun 5,0 mm x 35 cm\
4-12 tahun 6,0 mm x 35 cm
Dewasa 9,0 mm x 35 cm

Teknik pemeriksaan
Esofagoskop dipegang dengan tangan kiri seperti memegang tongkat bilyar, jari
tengah dan jari manis membuka bibir atas dan mengait pada gigi insisivus. Sementara itu
jari telunjuk dan ibu jari memegang bagian distal esofagoskop serta menarik bibir agar
tidak terjepit di antara pipa esofagoskop dan gigi. Tangan kiri ini yang berfungsi
mendorong esofagoskop sedikit demi sedikit ke depan. Tangan kanan memegang
esofagoskop seperti memegang pena pada leher pegangan, tangan ini hanya berfungsi
sebagai penyanggah ujung proksimal saja.

Gambar 11. Cara memegang esofagoskop dan menemukan sinus.


Lingkaran besar adalah kartilago krikoid.
G = glotis
VB = plika ventrikularis
A = penonjolan aritenoid kanan
P = sinus piriformis kanan
(Sumber : Jackson and Jackson 1964)

Posisi penderita berbaring telentang dengan kepala disangga dan bahu berada
pada ujung meja operasi. Dengan hati-hati esofagoskop dimasukkan secara vertikal ke
dalam mulut melalui ujung kanan mulut, di mana pada saat ini kepala penderita
diangkat sedikit sampai verteks berada kira-kira 13 cm dari meja (Gambar 13). Valekula,
epiglotis, plika epiglotis-epiglotis dan laring saat ini dapat diperiksa.

Gambar 12. Posisi penderita.


Bagian atas tubuh hingga bahu menggantung dari meja operasi.
(Sumber : Savary, 1977)

Selanjutnya esofagoskopi dibagi menjadi empat tahap, yaitu :


1. Memasuki sinus piriformis kanan. Esofagoskop disusupkan di sisi kanan lidah
hingga dinding posterior faring. Suatu gerakan ringan ibu jari tangan kiri
diberikan pada ujung esofagoskop sehingga menuju aritenoid kanan yang
merupakan penunjuk ke sinus piriformis (Gambar 11). Bibir esofagoskop harus
tetap di anterior dan pipa harus selalu berada di medial. Pipa kemudian akan
menyusup melalui sinus piriformis kanan sampai 2-3 cm dan pada dasar sinus
terhenti. Luman tidak tampak (buntu), hal ini disebabkan karena muskulus kriko-
faringeal selalu dalam keadaan kontraksi kecuali pada saat menelan.

Gambar 13.
A & B. Tahap pertama high position, verteks penderita kurang lebih 15 cm dari meja
operasi. Ekstensi pada atlanto-oksipital dan elevasi sefalo-servikal.
C. Bulan sabit kriko-faringeal pada orifisium esofagus.
(Sumber : Jackson and Jackson, 1964 dan Savary, 1977)

2. Melewati penyempitan kriko-faringeal. Melewati tempat ini merupakan bagian


yang paling sukar dan berbahaya, terutama pada penderita yang tidak dibius.
Dengan ibu jari tangan kiri, ujung distal esofagoskop diangkat dan digerakkan ke
depan (jangan dengan kekuatan) ke arah fossa suprasternalis sambil menunggu
lumen yang berbentuk bulan sabit tampak di sebelah anterior (saat relaksasi
muskulus kriko-faringeal) (Gambar 12 dan 13).
Untuk membantu penyusupan, penderita diminta untuk menelan, bila lumen
tidak tampak maka dapat digunakan lumen binder yang berfungsi bukan hanya
untuk mencari lumen tetapi dapat menimbulkan relaksasi dari muskulus kriko-
faringeal sehingga lumen dapat terbuka. Perhatikan posisi penderita apakah
cukup tinggi sementara bahu tidak boleh terangkat dari meja. Ujung esofagoskop
akan masuk ke dalam pembukaan lumen dan tergelincir dari daerah kriko-
faringeal masuk ke dalam esofagus segmen servikalis. Selama pemeriksaan
esofagus segmen servikalis ini instrumen membentuk sudut 45 derajat.
3. Melalui esofagus segmen torakalis. Lumen esofagus tampak lebih luas pada
waktu inspirasi dan berkurang selama ekspirasi. Bila posisi penderita benar maka
esofagoskop biasanya dengan mudah menyusup masuk. Pada waktu esofagoskop
mencapai penyempitan aorta dan bronkus kiri, lumen akan menghilang di
anterior. Kemudian kepala penderita harus diturunkan sampai mendatar untuk
menyesuaikan sumbu esofagus sehingga lumen tetap tampak.

Gambar 14.
A. Tahap ketiga high-low, melalui esofagus pars torakalis. Operator mengikuti lumen
(seperti lorong), pembantu mengikuti operator. Sesudah melewati jantung,
kepala penderita direndahkan untuk mempertahankan lumen tetap di mulut
esfoagoskop.
B. Penurunan perlahan-lahan kepala dan leher ke bidang horizontal.
(Sumber : Jackson and Jackson, 1964 dan Savary, 1977)

4. Melalui penyempitan pada hiatus diafragma. Di sini kepala penderita


direndahkan lagi, kemudian leher dan kepala digeser agak ke kanan untuk
menjaga agar sumbu pipa sesuai dengan sumbu sepertiga bagian bawah
esofagus.
Hiatus esofagus dapat dilihat seperti celah yang miring antara jam 10 dan jam 4
atau seperti bintang (Gambar 15 C). Fleksi tungkai penderita sangat membantu
relaksasi penyempitan ini. Setelah melewati diafragma kepala penderita harus
diturunkan sejauh mungkin sehingga arah esofagoskop dari bawah dan dari
kanan ke kiri. Dengan demikian operator memasukkan esofagoskop dengan cara
high-low.
Pada waktu mengeluarkan esofagoskop posisi penderita dan arah gerakan
esofagoskop dilakukan dengan cara berlawanan.

Gambar 15.
A & B. Tahap keempat kepala penderita lebih direndahkan lagi,
di bawah bidang horizontal.
C. Pergeseran kepala dan bahu ke kanan.
(Sumber : Jackson and Jackson, 1964 dan Savary, 1977)
Gambar 16. Skema cara high-low pada esofagoskopi, tahap keempat.
(Sumber : Jackson and Jackson, 1964)

Kesulitan-kesulitan pada esofagoskopi


a. Bila penderita tidak kooperatif pada anestesi lokal.
b. Bila penderita tidak relaksasi penuh pada anestesi umum.
c. Pada waktu melewati penyempitan kriko-faringeal.
d. Dispneu/asfiksia pada anak dengan benda asing.
e. Arkus aleveolaris gigi yang sempit.

Komplikasi esofagoskopi
Komplikasi esofagoskopi dapat dihindari bila endoskopis memahami teknik
esofagoskopi dengan baik, dapat memilih instrumen yang tepat dan terampil
menggunakannya. Risiko dari suatu esofagoskopi saat ini lebih kecil dari 1 dalam 1.500
kasus.
Komplikasi-komplikasi yang dapat ditimbulkan karena esofagoskopi berupa :
a. Komplikasi selama esofagoskopi berlangsung : dispneu, asfiksia, ruptur
aneurisma aorta, perdarahan.
b. Komplikasi lanjut : esofagoskopi berlangsung, ini merupakan bahaya yang
mengancam karena dapat menyebabkan mediastinitis hingga sepsis, trauma
pada artikulasi krikoaritenoid, rasa nyeri pada punggung, belakang kepala, atau di
bawah sternum, memperberat penyakit yang telah ada sebelumnya seperti Koch
Pulmonum, payah jantung.
Tips seputar esofagoskopi dari teaching dr.SGP :
1. Esofagoskopi dapat dilakukan secara berencana (contoh pada saat mencari kausa
dari suatu disfagia), urgent (dalam 24 jam dan dilakukan dengan persiapan
optimal), ataupun cito (segera karena benda asing menyumbat jalan nafas, benda
asing tajam, baterai).
2. Tim yang melakukan esofagoskopi, termasuk di antaranya operator, asisten, dan
bagian anestesiologi harus merupakan tim yang solid sehingga dapat
bekerjasama dengan baik.
3. Operator harus mengetahui dan menginformasikan keadaan pasien (termasuk
jika adanya suatu penyakit konkomitan) kepada timnya sehingga esofagoskopi
dapat terlaksana dengan baik.
4. Informed consent mutlak diberikan kepada pasien dan keluarga pasien, termasuk
bila keadaan gigi geligi yang mungkin patah dalam proses esofagoskopi,
kemungkinan dilanjutkannya esofagoskopi dengan pembedahan atau proses
rujuk bila benda asing tidak berhasil diekstraksi.
5. Operator wajib mencoba alat esofagoskopi yang tersedia terlebih dahulu,
memperhitungkan jenis alat yang kemungkinan akan dipakai, menyesuaikan alat
yang akan dipakai dengan keadaan dan umur pasien, juga benda asing yang
tertelan (sebaiknya minta contoh yang mirip dengan jenis benda asing yang
tertelan pada pihak pasien).
6. Setting tempat operasi sesuai dengan petunjuk yang telah dianjurkan.
7. Operator menggerakkan esofagoskop secara bertahap hanya bila secara visual
melihat lumen dan telah mengevaluasi seluruh area sebelumnya.
8. Benda asing berusaha diekstraksi secara AVU, meminimalisir manipulasi sehingga
mengurangi komplikasi, dan dengan gerakan yang stabil.
9. Konfirmasi bentuk dan letak benda asing saat dilakukan esofagoskopi dengan
pemeriksaan penunjang yang telah tersedia sebelumnya.
10. Selalu berada di garis medial saat melakukan esofagoskopi (cek posisi kepala
pasien, area di mana esofagoskop berada, bila ragu dapat ditarik secara hati-hati
terlebih dahulu hingga dorsum lingua untuk kemudian memulai lagi).
11. Waspada terhadap area gate of tears.
Catatan dari dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K) :
Pakai bronkoskop sebesar mungkin sesuai kelingking
Forsep bentuk mangkok
Plika vokalis jangan tegang sesuai anestesi
Singkap plika vokalis dengan ujung alat ke satu sisi lalu masuk ( perlu simulasi di
luar dengan bahan yang mirip / sama
Esofagoskopi saat masuk, terlihat lumen , walau kecil, angkat sedikit, dorong
depan atas, jangan tekan gigi atas, tangan kiri pegang seperti seruling lalu angkat.
Tangan kanan mendorong.
Mencari korpus alienum, ujung esofagoskop diputar saat masuk / keluar.
Kesulitan menarik korpus alienum esophagus :
Reposisi tarik, dorong, putar bagian yang tepat untuk ditarik
Kempeskan cuff endotrakeal tube
Tarik mengikuti selah muskulus krikofaring putar tarik berlawanan arah jarum
jam
Diharapkan tidak mendorong ke bawah
Khusus ; roda ( korpus alienum mainan)
Ujung esofagoskop diputar
Relaksasi penuh (anestesi)
BRONKOSKOPI
Pendahuluan
Kemajuan di bidang bronkologi pada dekade terakhir ini sangat pesat.
Perkembangan ini sejalan dengan kemajuan alat-alat bronkoskop yang semakin canggih,
sehingga jika sebelumnya brokoskopi hanya digunakan untuk mengeluarkan benda asing
dari saluran pernafasan, sekarang digunakan juga untuk diagnosis dan pengobatan dari
beberapa kelainan paru.
Bronkoskop adalah suatu cara langsung untuk melihat perubahan patologi di
trakea dan bronkus dengan mempergunakan bronkoskop. Ada 2 bentuk bronkoskop
yang dikenal saat ini yaitu Rigid Bronchoscope (bronkos kaku) atau Open Tube
Bronchoscope dan Flexible Bronchoscope (bronkoskop serat optik)/ Jadi kedua
bronkoskop masih tetap digunakan untuk saling melengkapi atas indikasi tertentu.
Bronkoskop kaku sekarang ini dilengkapi dengan sumber cahaya yang sangat
terang dan di bagian proksimalnya terdapat muara untuk masuknya alat-alat anastesi,
alat pipa pengisap dan alat-alat lain seperti forsep dan lain-lain. Alat tambahan lain
seperti teleskop dengan sudut penglihatan yang berbeda menjadikan alat ini lebih
sempurna sebagai alat diagnostik dan terapeutik.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai alat-alat, indikasi dan kontra indikasi,
persiapan penderita dan tehnik menggunakan bronkoskop kaku.

Anatomi Endoskopi Trakea Dan Bronkus


Untuk melakukan suatu bronkoskopi, pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi
dari trakea dan bronkus sangat diperlukan.
Trakea merupakan tabung yang rawan dan otot yang dilapisi epitel berlapis torak
bersilia semu yang meluas sampai bronkus utama. Banyak sel goblet dan kelenjar
seromukus yang umumnya ditemukan di dinding posterior dan dalam submukosa.
Trakea terletak di garis tengah leher, tetapi pada mediastinum letaknya sedikit deviasi ke
kanan, tepat di atas bifurkasi. Panjang trakea pada pria 10 cm; diameter antero
posterior 13 mm dan diameter transversal 18 mm. Tidak mempunyai muskularis
mukosae dan lebih menonjol serabut elastis pada lamina propia yang disebut
membrana elastis internal. Lumen trakea ditunjang kira-kira 18 cincin dari kartilago
hialin yang tidak lengkap di bagian posteriornya yang hanya terdiri dari otot sehingga
kartilago trakea berbentuk huruf C. Selanjutnya trakea bercabang dua menjadi bronkus
utama kanan dan kiri yang kemudian menjadi cabang-cabang kecil, dinding bronkus
makin tipis, tulang rawan menjadi ireguler dan menghilang pada bronki dengan
diameter 1 mm dan komponen otot dari bronkus menjadi lebih menonjol.
Bronkus kanan mempunyai 6-8 tulang rawan dengan panjang sekitar 2,5 cm dan
bronkus kiri mempunyai 9-12 tulang rawan dan hampir 5 cm panjangnya pada orang
dewasa. Lumen kanan bronkus seperempat lebih besar dari bronkus kiri dan aksis
panjangnya deviasi ke lateral 25, sedangkan aksis bronkus kiri deviasi 45 ke kiri dari
garis tengah.

Menurut Jackson dan Huber setiap lobus mepunyai nomenklatur yang kemudian
diberi nomor oleh Boyden seperti di bawah ini :
Right Lung Left Lung
Lobes Segment RB 1 Lobes Segment LB 1-2
Apical Apical posterior
Upper Posterior RB 2 Superior Anterior LB 3
Anterior RB 3 div. Superior LB 4
Lateral RB 4 Inferior Inferior LB 5
div.
Middle Medial RB 5
Apical (sup) RB 6 Apical LB 6
Medial basal RB 7 Medial basal LB 7
Lower Anterior basal RB 8 Lower Anterior basal LB 8
Lateral basal RB 9 Lateral basal LB 9
Posterior basal RB 10 Posterior basal LB 10

Pada waktu inspirasi bronkus menjadi panjang dan lumennya melebar dan pada
waktu ekspirasi sebaliknya. Pada akhir ekspirasi dinding belakang dari jaringan yang tidak
ditunjang dari trakea bagian bawah dan bronki lobar sedikit menonjol ke depan.
Ada 3 mekanisme pengaliran sekret bronkial yang bisa terjadi :
1. Fussive squeeze yaitu yang terjadi di bronkus perifer yang lebih kecil
melontarkan sekret ke atas.

2. Kegiatan silia yang juga menggerakkan sekret ke atas sampai faring

3. Bechic blast (cough) yaitu pembersihan sekret dari bronki yang lebih besar
melalui laring

Ukuran normal cabang trakeobronkial yang ditabulasi Jackson :


Dewasa pria Dewasa Anak Infant
wanita
Diameter trakea (mm) 14x20 12 x 16 8 x 10 6x7
Panjang trakea (cm) 12 10 6 4
Bronkus kanan (cm) 2,5 2,5 2 1,5
Bronkus kiri (cm) 5 5 3 2,5
Gigi atas ke trakea (cm) 15 13 10 9
Gigi atas ke bronkus (cm) 32 28 19 15

Sejarah Perkembangan Bronkoskop Kaku


Qustav Killian (1896) merupakan orang yang pertama berhasil menggunakan
bronkoskop kaku untuk mencari benda asing di bronkus. Dengan menggunakan pipa
metal dan lampu kepala untuk penerangan, alat ini disebutnya direct bronchoscope.
Sampai saat ini Killian dianggap sebagai Bapak Bronkoskopi. Beberapa tahun kemudian
Brunning (1902) lebih lanjut memperbaiki alat tersebut dengan memakai cahaya
proksimal.
Chevalier Jackson (1904) kemudian memodifikasi dengan tambahan cahaya
distal lampu elektrik yang kecil pada Slender carrier dan saluran aspirasi yang terpisah.
Dengan disain dasar dari alat tersebut tetap tanpa perubahan, yang kemudian
dilanjutkan oleh anaknya, bronkoskop kaku inilah hingga saat sekarang dipakai di seluruh
dunia.

Alat Yang Digunakan


Bronkoskop Kaku. Ada 2 tipe dari bronkoskop kaku dan modifikasinya yang
digunakan saat ini. Dasar perbedaan antara tipe ini terletak pada lokalisasi lampu
proksimal dan lampu distal. Macam-macam bronkoskop yang dikenal :
a. Bronkoskop klasik dengan lampu proksimal yang dibuat oleh Brunning.
Bronkoskop ini kemudian sedikit mengalami perubahan yang tidak berarti dan
saat ini jarang digunakan.

b. Bronkoskop yang dirancang oleh Jackson. Penemuan ini memakai lampu distal
yang ternyata memberikan kenyamanan visualisasi lebih baik. Bronkoskop tipe ini
yang paling luas digunakan saat ini. Bronkoskop tipe ini yang paling luas
digunakan saat ini. Ukuran bronkoskop bervariasi dari ukuran 3 mmx 20 cm yang
digunakan pada infant sampai ukuran 9 mm x 40 cm yang digunakan pada orang
dewasa.

Di bawah ini contoh Adult Ventilation Brohoscope dan Pediatri Ventilation


Bronchoscope Dan Storz.
c. Untuk emergency dan bronkoskop dengan penerangan tersendiri yang
mempunyai tangkai berisi bakteri yang dapat diganti.

d. Kernen Coagulating Bronchoscope. Memberikan saluran terpisah untuk


memasukkan elektrode.

e. Holinger resectoscope

Forseps. Bermacam macam bentukyang dibuat sesuai dengan kebutuhan


Untuk memperoleh spesimen bakteriologi digunakan Lukens Collector.
Untuk pemeriksaan Sitologi digunakan Clerf Collector.
Suction tubes, Cotton Cariers, Sponge Holder, Bougies and Collectors.
Bronkoskop Teleskop. Dengan berkembang sistem optikal, berkembang
pula bronkoskop yang memakai lensa. Hal ini pertama kali dijelaskan oleh
Freudenthal (1921). Keistimewaan bronkoskop ini dapat melihat struktur bronkus
yang lebih distal. Sumber cahaya dari cold light dan glass fiber carries sehingga
sangat cocok untuk melihat jelas struktur dari permukaan mukosa dan diagnostik
kelainan paru. Pada ujung teleskop terdapat lensa yang dpat memperbesar dan
memperjelas obyek. Arah lensa bervariasi misalnya : straight forward telescope
dengan sudut 0 dan lateral telescope dengan sudut 90.
Arus listrik untuk iluminasi biasnya diberikan dengan dry cells dalam 3
seri memberikan maksimum 4,5 volt, atau dengan baterai. Arus listrik dengan
110 volt atau 220 volt dengan transformator yang cocok dapat digunakan.
Ruangan Bronkoskopi Dan Personil
Untuk memperoleh efisiensi maksimal sebuah ruangan khusus untuk
endoskopi sebaiknya disediakan. Personil yang menangani khusus ditunjuk dan
bertanggung jawab penuh atas perawatan alat-alat (pembersih, pelumas,
penggantian bagian yang rusak).
Meja operasi yang digunakan sebaiknya yang dapat digerakkan (manual
atau otomatis) untuk naik turun, miring dan lain-lain. Tempat penyimpanan
bronkoskop cukup luas dan terbuka untuk memudahkan seleksi alat yang
dibutuhkan. Buangan harus sedikit gelap, lampu penerangan sebaiknya yang
dapat dikontrol dengan rheostat. Warna yang paling cocok untuk dinding, baju
operasi dan kain penutup adalah hijau (Medium shade of green). Bronkoskop
disterilkan dengan cara boiling, sedang light carriernya cukup dengan
dicelupkan dalam alkohol 70%. Sebaiknya semua peralatan rangkap dan diperiksa
kemudian diuji sebelum menggunakannya dan kalau ditemukan tidak sempurna
diganti dengan duplikat tersebut.
Indikasi bronkoskopi
Riwayat penyakit. Disini penting anamnesis pasien bila ada kecurigaan
gejala kelainan saluran pernafasan. Adanya beberapa gejala dari riwayat pasien
memperkuat tindakan untuk bronkoskopi.
Hemoptisis. Ini adalah indikasi yang paling sering. Apabila ada hemoptisis
dan berulang dengan atau tanpa gambaran radiologis abnormal selalu harus
dilakukan bronkoskopi.
Batuk, wheeze, dan dispnea. Batuk yang tidak dapat diketahui
penyebabnya dan menetap dengan atau tanpa sputum harus dicurigai adanya
lesi bronkial, benda asing atau gangguan lain dari paru. Umumnya bila ada batuk
kronis, tetapi mungkin juga merupakan suatu karsinoma bronkial yang dapat
ditentukan dengan bronkoskopi.
Wheeze yang ditemukan dalam riwayat pasien atau pada pemeriksaan,
jika menetap dan unilateral, tidak akan menghilang pada waktu batuk atau
terdengar pada tempat yang sama kemungkinan suatu penyempitan pada
bronkus.
Dispnea mungkin merupakan gejala adanya kelainan patologis pada
cabang bronkial. Bila ada dispnea disertai dengan wheeze dan batuk mungkin
merupakan obstruksi parsial yang dapat dilihat pada pemeriksaan bronkoskopi.
Aspirasi. Aspirasi bisa merupakan benda asing, muntah atau darah yang
terutama ditemukan pada anak-anak. Adanya aspirasi pada orang dewasa dapat
ditemukan pada waktu keselak, pasien tidak sadar atau muntah yang
menyebabkan gejala wheeze. Bila ada kecurigaan benda asing dalam bronkus
sebaiknya segera dilakukan bronkoskopi. Menunda bebrarti dapat menyebabkan
infeksi dan edema yang menyukarkan pemeriksaan dan akhirnya dapat
menyebabkan abses paru.
Obstruksi bronkial. Selain aspirasi beberapa keadaan dapat menyebabkan
obstruksi bronkial yang perlu dilakukan bronkoskopi. Adanya tanda-tanda kolaps
paru pada salah satu lobus atau segmen, batuk dengan atau tanpa sputum yang
mungkin disertai wheeze merupakan tanda adanya obstruksi bronkial
Perubahan gambaran radiologis. Adanya abnormalitas dari gambaran
radiologis merupakan indikasi untuk bronkoskopi. Beberapa kelainan seperti
coin lession, gambaran emfisema dan atelektasis paru jelas nampak pada
gambaran radiologis.
Pemeriksaan sitologis dan histopatologis.
Kontra indikasi Bronkoskopi
1. Aneurisma aorta

2. Kecenderungan perdarahan
3. Keadaan fisik yang lemah setelah hemoptisis berat

4. Infeksi akut trankus rexoinatorius

5. Gangguan fungsi jantung dan paru yang berat

Persiapan Penderita
Premedikasi dan anastesi. Setiap melakukan bronkoskopi maka persiapan
premedikasi dan anastesi sangat membantu, baik dalam prosedur maupun
kenyamanan dari pasien. Kegagalan dalam melakukan bronkoskopi lebih sering
disebabkan kurangnya persiapan dari pada tehnik atau alat yang digunakan.
Tindakan bronkoskopi dapat dilakukan dengan anastesi lokal, neurolep
analgesia dan anastesi umumnya. Walaupun anastesia umum merupakan
prosedur yang lebih mudah dalam melakukan bronkoskopi, tetapi ada resiko
yang dapat timbul pada pasien dan penyakit tertentu. Pertimbangan lain dalam
melakukan anastesi umum diperlukan tambahan personil termasuk ahli anastesi
dan perawat yang akan mengawasi pasien selama bronkoskopi dan sesudahnya,
sehingga topikal anastesi merupakan pilihan utama yang harus diketahui oleh
orang yang ingin melakukan bronkoskopi.
Premedikasi pada bronkoskopi diperlukan untuk : menghilangkan
kecemasan pasien dan relaksasi sehingga pasien dapat kooperatif , mengurangi
refleks batuk, mengurangi sekresi sehingga tidak menganggu visualisasi selama
bronkoskopi.

Petunjuk bronkoskopi dengan lokal anastesi.


Premedikasi dimulai dengan Sulfas Atrofin 0,5-1 mg, kemudian largaktil 15-25mg,
DHBP 0,25-0,5 mg petidin 75mg. Lima belas menit kemudian dilakukan topikal
anastesi dengan ibu jari kiri dan jari tengah. Cermin laring dimasukkan di atas
dasar lidah dan berlawanan dengan uvula.
Dimulai dengan menyemprotkan lidokain 2% sebanyak 5 cc pada mulut
dan orofaring. Kemudian blok anastesi lidokain 4-5% pada sinus piriformis.
Terakhir menyemprotkan dengan spuit laring Lidokain 1-2% sebanyak 5 cc ke
dalam laring dan trakea.
Lima menit sebelum bronkoskopi dimulai diberikan Valium 5-10 mg I.V
Posisi Penderita. Untuk melakukan bronkoskopi kaku dengan baik posisi
penderita adalah tidur telentang dengan posisi kedua lengan terletak datar
sepanjang sisi badan. Kepala dan mata ditutup dengan kain. Seorang asisten
memegang kepala yang duduk di sebelah kanan tepat di atas dengan bantal
setinggi 15 cm dan leher penderita diekstensikan. Dengan posisi ini aksis dari
mulut, faring dan trakea sejajar maksimal sehingga memudahkan masuknya
bronkoskop.

Tehnik pemeriksaan bronkoskop kaku


Secara umum beberapa faktor yang penting harus diperhatikan pada
endoskopi per oral yaitu :
a. Kepala dan leher berada pada posisi garis tengah dan tidak boleh berputar ke
satu arah pada tahap permulaan pemeriksaan
b. Memasukkan instrumen ke dalam mulut tidak boleh pada garis tengah (mid
line). Rute yang ideal adalah regio premolar kanan

c. Pada waktu membuka laring, jangan memakai gigi sebagai titik tumpu
instrumen (fulcrum)

d. Periksa dengan seksama keadaan gigi terhadap kemungkinan adanya


kelainan

e. Basic Landmark yang harus dicari ada 3 yaitu : pangkal lidah, epiglotis, dan
aritenoid

f. Asisten yang bertugas memegang kepala mengambil tempat di sebelah kiri


penderita dan bagian kanan diperuntukkan lagi instrumen dan suction
apparatus

g. Bila operator akan memasukkan alat-alat seperti suction atau forsep ke


dalam endoskop, operator maka memegang pangkalnya dan seorang
pembantu yang lain (passing nurse) memegang ujung alat dan
menuntunnya ke muara lumen endoskop

h. Bila menggunakan anastesi lokal, yakinkan penderita bahwa bahwa tidak


akan terjadi sumbatan pada jalan nafasnya selama pemeriksaan
berlangsung, dan anjurkan untuk selalu berada dalam relaks (Sermon of
relaxation)

i. Instrumen yang akan segera dipakai diletakkan pada posisi yang mudah
dicapai / dilihat oleh operator

j. Sebelum memulai pemeriksaan endoskopi, periksalah seluruh instrumen


(bersama-sama dengan pembantu perawat)

Pada pemeriksaan bronkoskopi, beberapa hal yang penting diperhatikan adalah:


a. Alat bronkoskop dipegang dengan tangan kanan.
b. Lamanya sebaiknya tidak melebihi 20 menit.
c. Jangan melakukan blind biopsy terutama pada daerah karina
d. Jangan mendorong dengan paksa bronkoskop melalui laring. Pita suara harus
terbuka (abduksi). Dengan sedikit memutar bronkoskop maka lebih mudah
memasukkan alat kedalam trakea.
e. Sebelum melakukan bronkoskopi sebaiknya didahului oleh pemeriksaan
laringoskopi indirect dan anestesi lokal.

Ada dua cara untuk bronkoskopi :


a) Melalui laringoskop dengan removable slide yang dipasang terlebih
dahulu.
b) Melalui langsung alat bronkoskop pada cara pemasangan langsung,
prosedurnya sama dengan cara pemasangan laringoskopi, kecuali bahwa
alat bronkoskop di pegang pada tangan kanan, dan tangan kiri membuka
mulut penderita.
c)

Melalui laringoskop. Setelah pita suara terlihat dengan jelas bronkoskop dimasukkan
melalui lubang laringoskop, dan mata operator dipindahkan ke muara bronkoskop.
Kemudian bronkoskop dimasukkan lebih dalam ke arah lumen trakea. Meloloskan
bronkoskop melalui pita suara harus hati-hati. Pita suara harus dibuka (abduksi). Slide
dari laringoskop kemudian dicabut dan laringoskop seluruhnya ditarik keluar, sedangkan
bronkoskop tetap terpasang.
Direct laryngoscope: a. First stage of bronchoscopy. B. Second stage of bronchoscopy
epiglottis is displace in front of tongus with laryngoscope

Third stage of bronchoscopy. After laryngoscope exposes rima glottis bronchoscope is


introduced into trachea

Tanpa laringoskop. Tangan kanan memegang bronkoskop (bukan handle) sedemikian


rupa, sehingga ibu jari kanan tetap bebas untuk sewaktu-waktu dapat menutup lubang
bronkoskop, dengan demikian penghisap yang terpasang pada bronkoskop dapat
menghisap gelembung-gelembung secret yang mungkin terdapat dalam mulut/faring.
Bibir atas ditarik ke kebelakang atas dengan jari telunjuk tangan kiri, sedang ibu jari
tangan kebelakang atas dengan jari telunjuk tangan kiri, sedang ibu jari tangan kiri
dipakai sebagai Fulcrum pada waktu mendorong bronkoskop lebih dalam lagi.
Bronkoskop mulai didorong lagi lebih dalam melalui permukaan posterior epiglottis.
Dengan menggunakan ibu jari tangan kiri bronkoskop didorong ke atas sampai komisura
eksterior terlihat.
Selanjutnya dengan mudah bronkoskop didorong melewati komisura posterior dan terus
masuk kedalam trakea, bila pita suara dalam keadaan abduksi. Bronkoskop tidak boleh
didorong melewati glotis bila pita suara dalam keadaan tertutup (volunter atau karena
spasme laring), kecuali pada keadaan dimana airway yang bebas sangat diperlukan.
Setelah ujung bronkoskop melewati glotis, kepala penderita direndahkan (bertumpu
pada tangan kiri asisten, meja operasi atau lutut operator).
Pada saat bronkoskop didorong lebih jauh kedalam, pemeriksaan detail yang bersifat
rutin terhadap trakea, cabang bronchial segera dilakukan ;
a. Aspirasi dari setiap sekret yang ditemui.
b. Trakea dan bronkus dalam hal :
1. Patency
2. Configuration
3. Deviation
c. Karina dalam hal :
1. Posisi
2. Aksis
3. Ketajamannya
4. Pulsasi
Selanjutnya bronkoskop diarahkan ke muara bronkus dan pada saat ini posisi
kepala dan leher dimiringkan kearah berlawanan.

Pemeriksaan bronkus kanan pada kedalaman karina atau sedikit


dibawahnya, di dinding lateral dari bronkus kanan didapati lumen dari brnkus
lobus atas kanan. Karinanya sedikit lebih besardarippada karina utama. Hanya
0,5 cm dari bronkus lobus atas dapat terlihat. Dengan right angle telescope,
dua atau tiga segmen bronki dapat terlihat, yaitu segmen apical, posterior dan
anterior.

Bila bronkoskop dimasukkan lebih dalam lagi, lumen dari lobus tengah
kanan akan ditemui pada dinding anterior dari bronkus. Kurang tajam lebih 0,5-1
cm dari bronkus lobus medius dapat terlihat dengan mudah. Bronkus ini akan
terbagi menjadi segmen lateral dan medial. Sedikit dibawahnya akan ditemui
segmen superior dari bronkus lobus bawah kanan pada dinding posterior. Sedikit
lebih dalam akan terlihat segmen : medial, lateral, anterior, dan posterior.
Bronchoscope tube in the left main bronchus it is usually necessary to turn the head well
to the right and to keep the tube in the right corner of the mouth to enter the left main
bronchus a considerable swing to the right is necessary to align bronchoscope and
bronchus

Pemeriksaan bronkus kiri. Beberapa sentimeter dari karina utama barulah


orifisium dari lobus atas kiri dapat ditemui. Karina hampir vertical dan tajam.
Dengan teleskop right angle atau retrograde kelanjutan bronkus disini
menjadi upper branche dan lower branche (linguler) akan terlihat dengan
mudah. Sedikit segmen superior dari lobus bawah kiri. Lebih dalam lagi akan
terlihat segmen-segmen : anterior medial, lateral dan posterior basal. Pada
waktu bronkoskop ditarik keluar, pemeriksaan retrograde dari tempat-tempat
yang mencurigakan sekali lagi dilakukan dengan seksama.

Bila pada bronkoskopi dicurigai adanya keganasan tetapi tidak ada lesi
yang jelas terlihat, maka dilakukan gelfoam smear pada tempat yang dicurigai.
Gelfoam ini dihapuskan di atas daerah yang dicurigai untuk kemudian
dikeluarkan dan dihapus di atas obyek untuk diproses menurut papanicolaou.

Bronkoskopi pada anak.


Bronkoskopi pada bayi dan anak mempunyai beberapa kesulitan yang
tidak ditemui pada bronkoskopi orang dewasa. Kesulita yang paling besar adalah
kenyataan bahwa laring pada bayi dan anak kecil kurang toleran terhadap
pemeriksaan ini. Lapisan submukosa yang longgar pada daerah subglotis
memberikan reaksi terhadap trauma kecil sekalipun dengan pembengkakan yang
cepat. Oleh karena itu terjadinya edema subglotik pada anak harus dipikirkan
sebagai komplikasi.
Berat ringannya komplikasi yang terjadi dipengaruhi oleh: peradangan
yang sudah ada sebelumnya, ukuran bronkoskop yang dipakai, trauma yang
terjadi dan lamanya pemeriksaan.
Ukuran bronkoskop yang dapat dipakai untuk bayi : 3,5 mm dan anak 1-3
tahun: 4mm. Tetapi karena besarnya lumen laring tidak selalu berkorelasi
konstan dengan umur atau besarnya tubuh anak, maka patokan diatas tidak
mutlak menjadi pegangan. Untuk itu perlu selalu disediakan bronkoskop yang
mempunyai ukuran lebih kecil dari pada yang direncanakan akan dipakai. Bagian
distal bronkoskop dapat dilumasi dengan zat pelicin sebelum dipakai. Karena
pada kasus anak biasanya tidak memakai anestesi umum maka untuk fiksasi
penderita dibaringkan diatas kain yang lebar, kedua tepi kain dilewatkan diatas
lengan kemudian disisipkan kembali ke belakang penderita. Beberapa orang
pembantu dibutuhkan untuk memegang bahu, kepala dan tungkai penderita.
Cara memasukkan bronkoskop dipilih cara memakai laringoskop. Dengan
laringoskop identifikasi struktur laring lebih mudah oleh karena lumen
laringoskop jauh lebih besar daripada lumen bronkus anak. Setelah bronkoskop
berhasil dimasukkan melewati glottis, 2-4cc Lidocain 1% dimasukkan melalui
bronkoskop untuk anestesi lokal laring/trakea. Pemeriksaan cabang
trakeobronkial sama dengan orang dewasa.
Yang harus diperhatikan adalah bila memakai alat-alat tambahan seperti
teleskop, ruang untuk pernapasan menjadi sangat berkurang oleh karena itu
lamanya mempergunakan alat-alat tambahan ini harus dibatasi sesingkat
mungkin.
Sesudah pemeriksaan bronkoskopi pada anak, pemberian udara dengan
kelembaban tinggi sangat berguna untuk mengurangi reaksi subglotik. Bila proses
pemeriksaan berlangsung lama atau ada kecurigaan bahwa bronkoskop yang
dipakai lebih besar, pemberian kortison bermanfaat untuk mengurangi reaksi
edema. Reaksi subglotik diperkirakan akan mencapai puncaknya dalam 24 jam
pertama, biasanya antara 12-13 jam sesudah pemeriksaan
Gejala erouny cough yang terjadi menyusul bronkoskopi pada anak dan
bayi, tetapi terjadinya inspirator walaupun ringan adalah pertanda bahwa
komplikasi subglotik mulai terjadi. Stridor yang progresif disertai retraksi dinding
thorax mungkin memerlukan trakeostomi.

Emergency bronchoscopy
Emergency bronchoscopy dilakukan atas indikasi :
a) Untuk menjamin airway pada obstruksi laring atau trakea.
b) Untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat di trakea atau
bronkus utama.
c) Untuk mengeluarkan sekret yang menumpuk sesudah operasi besar
seperti operasi thorax dan perut, inhalasi zat kimia. Koma sesudah trauma
kepala, operasi saraf, keracunan obat, kelainan metabolik, trauma dada
dan kadang-kadang tetanus dan poliomyelitis.
d) Untuk mengeluarkan isi lambung yang terisap ke dalam paru.
e) Kadang-kadang bermanfaat pada pendarahan bronkopulmonal.

Komplikasi bronkoskopi kaku


Komplikasi yang terjadi pada tindakan bronkoskopi dapat sebagai akibat trauma
oleh alat bronkoskop atau akibat anestesi. Kelainan akibat trauma alat dapat
berupa:
a) Patah gigi geligi terutama pada anak
b) Luka pada mukosa faring
c) Edema subglotis karena tindakan bronkoskopi yang kasar atau karena
pemakaian bronkoskop yang ukurannya terlalu besar.
d) Perlukaan kartilago aritenoid atau diskinesis pita suara.
e) Robeknya bagian aritenoid atau diskinesis pita suara.
f) Perlukaan kartilago aritenoid atau diskinesis pita suara.
g) Perdarahan bronkus sehingga menyebabkan pneumothorax dan
emphysema mediastinum
h) Gangguan ventilasikarea sumbatan mekanis oleh alat.
Keracunan obat anestesi lokal seperti Lidocain dapat menimbulkan gejala ringan
sampai gangguan kesadaran. Pada keadaan tindakan bronkoskopi dengan
anestesi umum dapat terjadi hipoventilasi yang dapat menimbulkan hiperkapnia,
asidosis dan hipoksia yang diikuti aritmia jantung. Kadang-kadang segera setelah
bronkoskopi terjadi spasme laring yang dapat mengakibatkan asfiksia sampai
kematian. Ini disebabkan karena anestesi kurang dalam dan penderita kurang
relaks. Untuk mencegah hal ini bronkoskop jangan dikeluarkan sebelum
penderita sadar benar atau dala keadaan masih dipengaruhi succynil choline.
Lukomsky membagi komplikasi tindakan bronkoskopi dalam :
a) Komplikasi minor berupa perlukaan mukosa faring, laryngitis akut,
hypoxia perdarahan sedang dan demam.
b) Komplikasi mayor berupa tension pneumothorax, perdarahan hebat,
hipoxia berat sampai kegagalan jantung.

Ini memerlukan pengobatan dan tindakan media atau operasi segera atau
memerlukan resusitasi
Kesimpulan
Kemajuan di bidang bronkologi, disertai pula dengan perkembangan
bronkoskopi untuk diagnosis dan terapeutik kelainan paru.
Meskipun bronkoskop kaku sudah jarang dipergunakan, tetapi masih bermanfaat
pada keadaan tertentu, sehingga bersama-sama dengan bronkoskop serta optik
dipakai saling melengkapi untuk mendeteksi kelainan paru
Adanya kemajuan dibidang optik sehingga bronkoskop kaku juga dilengkapi
teleskop dengan berbagai sudut pandangan, yang dapat melihat cabang bronkus
yang lebih kecil
Suatu bronkoskopi dapat berhasil dengan baik apabila persiapan penderita dan
keterampilan dari operator saling melengkapi.
Catatan dr. Eka Putra Setiawan, Sp. THT-KL(K) :
Forsep diberi tanda

Corpal kacang di bronkus kanan


Pakai forseps

Masuk buka - terasa ada hambatan lolos tutup forseps

Tarik percobaan tidak bisa masuk bronkoskop

Tarik sertakan bronkoskop rasakan

Sampai di pita suara ingat posisi pita suara posisikan corpal miring

Bronkus kanan

Bronkus kiri

Identifikasi karina
ERA TERBARU
DI BIDANG
ENDOKOSPI THT
SIMPOSIUM TAHUN 2012
DI JAKARTA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

dr. AA Sagung Puteri, Sp. THT-KL dilahirkan di Tabanan pada tanggal 6 Februari
1948. Beliau tinggal di Jl. Mirah Cempaka 7 Denpasar. Beliau menempuh pendidikan
Sekolah Rakyat IV di Denpasar pada tahun 1954-1960, kemudian melanjutkan
pendidikan di SMPN Denpasar tahun 1960-1963, SMAN Denpasar tahun 1963-1966. Lalu
beliau melanjutkan pendidikan kuliah kedokteran umum di FK Universitas Udayana,
Denpasar tahun 1967 dan mendapatkan gelar dokter umum pada tahun 1979. Beliau
kemudian diangkat sebagai pegawai negeri pada tahun 1980 sebagai Asisten Ahli
(golongan IIIa). Beliau mengikuti kursus Proses Belajar Mengajar di Denpasar tahun 1981
dan Penataran Tenaga Peneliti pada tahun 1982. Pada tahun 1982 beliau diangakt
sebagai Penata MudaTingkat I (golongan IIIb). Kemudian pada tahun 1983 beliau
melanjutkan pendidikan spesialisasi ilmu kesehatan THT-KL di FK Universitas Airlangga,
Surabaya. Tahun 1984 status kepegawaian beliau naik menjadi golongan IIIc sebagai
Lektor Muda. Dan tahun 1985 beliau berhasil mendapat gelar sebagai Dokter Spesialis di
bidang THT-KL. Tahun 1986 status kepegawaian beliau naik menjadi golongan IIId sebagai
Lektor Madya. Beliau kemudian ditugaskan di FK Universitas Udayana, Denpasar di SMF
THT-KL RSUP Sanglah divisi Bronkoesofagologi. Pada tahun 1990 status kepegawaian
menjadi golongan IVa sebagai Lektor dan sebagai staf pengajar di divisi
Bronkoesofagologi sampai sekarang.
Pengalaman penelitian yang telah dilakukan oleh beliau: Pemakaian Profenid
Suppositoia sebagai Analgesik dan Anti Inlamasi pasca bedah Sinus Maksilaris,
Tahun1983 (sifat: kelompok, kedudukan: anggota, sumber biaya: sendiri); Di tahun yang
sama beliau juga melakukan penelitian dengan judul Gangguan Pendengaran Pada Usia
Lanjut. (sifat: kelompok, kedudukan: peneliti anggota); serta penelitian Kurang
Pendengaran Akibat Bising Lingkungan Kerja Para Pekerja Pande Besi di Desa Sawan
Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. (sifat: kelompok, kedudukan: peneliti anggota,
sumber biaya: DPP UNUD No.90); pada tahun 1985 beliau juga melakukan penelitian
Evaluasi Hasil Atiko Antrostomi Pada OMK (sifat: sendiri, kedudukan: peneliti utama,
sumber biaya: sendiri); dan di tahun 1989 beliau juga melakukan penelitian yang
berjudul Alergen Penyebab dan Upaya Imonoteran pada Penderita dengan Rhinitis Alergi
di RSUP Denpasar (sifat: kelompok, kedudukan: peneliti anggota, sumber biaya: DPP).
Selain itu beliau juga getol melakukan publikasi di tahun 1983, menulis tinjauan
pustaka dengan judul Sindroma Kartagena di jurnal kumpulan naskah KONAS VII
PERHATI, dan pada tahun 1987 beliau menulis tinjauan pustaka Sinusitis Maksilaris
dengan Fokus Infeksi Pada Gigi pada jurnal kumpulan naskah Seminar Gigi Sebagai Fokal
Infeksi. Pada tahun 1989 beliau juga menuliskan artikel di majalah MKU volume 64
dengan judul Sinusitis Maksilaris dan Benda Asing Gigi Palsu di Esofagus. Serta menjadi
pembicara pada CPD THT-KL II tahun 2011 dengan judul Benda Asing di Saluran
Makanan.
Beliau aktif mengikuti acara kursus dan pelatihan di bidang THT-KL, tahun 2000
Pelatihan Bedah Kepala Leher THT & Bronkoskopi di Jakarta, dan acara The 11 th ASEAN
ORL Head & Neck Surgery Congress & The 6 th INDOS-HNS Annual Meeting di Bali tahun
2005 serta workshop Penatalaksanaan Kegawatdaruratan di Bidang Telinga Hidung
Tenggorok- Bedah Kepala dan Leher di Surabaya pada tahun 2011.
Beliau juga aktif membimbing ilmiah residen THT-KL, di antaranya dr. Gst. Ayu
Trisna Aryani, Sp.THT-KL, tahun 2003 dengan judul Karakteristik Benda Asing Dalam
Esofagus di RS Sanglah Denpasar Periode 1 Juli 2001-1 Juli 2003; dr. I Wayan Sulistiawan,
Sp.THT-KL dengan judul Pengaruh Kebisingan Terhadap Penurunan Fungsi Pendengaran
Pada Karyawan Pabrik Tekstil Patal Tohpati, tahun 2005; dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-
KL(K) dengan judul Striktur Esofagus Akibat Bahan Korosif (KONAS XIII) pada tahun 2003;
dr. Agus Rudi Astutha, Sp.THT-KL dengan judul Diagnosis Klinis dan Penatalaksanaan
Otomikosis pada tahun 2002; dr. Tutwuri Handayani, Sp.THT-KL dengan judul
Penatalaksanaan Papiloma Laring berulang pada anak, tahun 2006; dr. G.P. Shanti
Vidiani, Sp.THT-Kldengan judul Miasis Hidung, tahun 2003; dr. Made Lely Rahayu, Sp.THT-
KL dengan judul Laporan Kasus : Benda Asing Peniti Di Saluran Nafas, tahun 2004 dan
Patofisiologi dan Penatalaksanaan Laringo-malasia, tahun 2005; dr.Ida Bagus Semara
Putra, Sp.THT-KL dengan judul Studi Klinik Pengobatan Penderita Karsinoma Nasofaring
Stadium Lanjut Yang dirawat di RS Sanglah Denpasar dengan Radioterapi Dibandingkan
Radioterapi + Capicitabine pada tahun 2007; dr. Agus Santosa, Sp.THT-KL dengan judul
Kesesuaian Pola Kuman Aerob Bagian Dalam Adenoid dan Bagian Dalam Tonsil pada
Adenotonsilektomi pada tahun 2007; dr. Ni Nyoman Ayu Wiastiti, Sp.THT-KL dengan
judul Pengaruh Bising Gamelan Terhadap Penurunan Fungsi Pendengaran Pada Penabuh
Gamelan Tari Barong di Ds. Batubulan Kab. Gianyar, tahun 2008; dr. Ni Putu Angraini Eka
Wahyuni, Sp.THT-KL dengan judul
Journal Translation : Adenotonsilektomi untuk Obstructive Sleep Apnea pada Anak-anak
Obesites, tahun 2005; dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp.THT-KL dengan judul Diagnosis
Dan Penanganan Obstructive Sleep Apnea Syndrome, tahun 2005 dan Prevalensi
Gangguan Fungsi Keseimbangan Perifer Pada Penderita Diabetes Melitus, tahun 2009;
dr. Leny Mariana Widjaya, Sp.THT-KL dengan judul Disfagia Pada Geriatri, Tahun 2008;
dr. I Wayan Sucipta, Sp.THT-KL dengan judul Nutrisi Pada Penderita Kanker Kepala Leher,
tahun 2007; dr. Ni Wayan Rini, Sp.THT-KL dengan judul Karsinoma Sel Basal Aurikula,
tahun 2007; dr Komang Nurada Mahardana, Sp.THT-KL dengan judul Efek Letusan
Senjata Api Ringan Terhadap Fungsi Pendengaran Pada Siswa DIKTUBA Polri, tahun 2009;
dr. I G. A.A. Diah Yamini, Sp.THT-KL dengan judul Diagnosis dan Penatalaksanaan Trauma
Tumpul Laring, tahun 2006; dr. Ni Ketut Susilawati, Sp.THT-KL dengan judul Benda Asing
Pluit Plastik di Saluran Nafas, tahun 2008; dr. Ketut Tuty Kristiana, Sp.THT-KL dengan
judul Klasifikasi Perdarahan Yang Menyertai Tonsilektomi, tahun 2006 dan Tuberkulosis
Nasofaring, tahun 2007; dr. I Ketut Suanda, Sp.THT-KL dengan judul Korpus Alienum
Button Battery di Esofagus, tahun 2009 dan Pengukuran jarak beberapa land mark
Tulang temporal orang indonesia, tahun 2011; dr. I Putu Sudiasa, Sp.THT-KL dengan
judul Benda Asing Kacang Pilus di Bronkus Kiri dengan Komplikasi Atelektasis, tahun
2010 dan Efek Radioterapi Cobalt-60 Terhadap Status Gizi Pasien KNF di RSUP Sanglah,
tahun 2011.

ESSAY
Tribute to dr AA Sagung Puteri Sp THT KL

Dibidang keilmuan beliau adalah seorang Bronkhoesofagologis. Semasa beliau


menjalani akhir pendidikan spesialis THT di UNAIR tahun 1985, menurut KPS THT waktu
itu DR Sardjono Soedjak Sp THT sebenarnya beliau sudah menyelesaikan semua
persyaratan untuk menjadi dokter sepesialis, namun belum cukup untuk kasus
bronkhoskopi. Sehingga masa studi beliau diperpanjang sampai 3 bulan, agar mendapat
cukup kasus dan terampil melakukan bronkhoskopi. Walaupun sesungguhnya beliau
sudah sering melakukan bronkhoskopi saat menjadi asisten di RSUP Sanglah. Dengan
kejadian itu hikmahnya adalah beliau lebih mendalami keilmuan dibidang bronkhoskopi.

Memang kasus untuk bronkhoskopi sampai saat ini termasuk jarang. Berbagai
upaya telah dilakukan agar peserta didik pernah mendapat pengalaman melakukan
bronkhoskopi, antara lain dengan indikasi yang lebih bervariasi, bekerja sama dengan
bagaian lain, menggunakan latihan pada binatang atau manekin, namun sampai saat ini
belum mencapai solusi yang tepat. Seperti ada dilema antara jumlah kasus yang
diperoleh dengan batas waktu pendidikan atau dilema antara pengetahuan teori
dengan ketrampilan.
Saking sulitnya mendapatkan kasus, senter pendidikan lain ada yang
berpendapat bahwa dokter THT KL nantinya sebagian besar bertugas di kabupaten atau
swasta yang pada umumnya di RS yang ditempati tidak mempunyai alat, sehingga cukup
bisa merujuk secepatnya ke senter yang mempunyai fasilitas.Situasi seperti ini memang
tidak mudah, tetapi tidak juga bisa menunda kelulusan, karena pemerintah sangat
memerlukan. Akhirnya biarlah sementara ini kita serahkan pada beliau diatas , yang
penting para pendidik sudah berusaha semaksimal mungkin.

Sudah diketahui bahwa bronkhoskopi dan esofaguskopi adalah suatu bidang


ilmu yang sepesifik, sehingga harus dipelajari dengan sungguh sungguh. Seorang pakar
mengatakan ada perbedaan mendasar antara bronkhoskopi dengan esofaguskopi. Kalau
bronkhoskopi dapat berakibat fatal karena bersifat emergensi, sedangkan esofaguskopi
tidak fatal, justru fatalnya saat mengerjakan, karena pengetahuan yang tidak cukup.
Pengetahuan teori terlebih dahulu dipahami, baru kemudian mengerjakan. Sehingga
disarankan kepada peserta didik, untuk terus mencoba, kalau ada kasus jangan
menghindar.
Pengetahuan tentang tip-tip praktis tindakan dan pengalaman serta kerjasama
tim sangat penting. Contoh: pentingnya seorang asisten yang memegang kepala pasien
agar tinggi ociput pasien 15 cm diatas meja operasi, kemudian pelahan-lahan diturunkan
sesuai permintaan operator. Berikutnya diperlukan kerja sama yang baik dengan dokter
anestesi agar dapat tenang bekerja tanpa rasa cemas berlebihan. Saat belakukan
bronkoskup situasi yang cukup penting adalah saat memasukkan alat kepita sura, alat
dimiringkan kemudian setelah lewat posisi alat kembali seperti semula. Sedangkan untuk
esofaguskup situasi yang yang penting adalah saat memasuki introitus esophagus,yang
perlu diperhatikan adalah : pertama harus melihat lumen, kedua saat melewati polisi
tidur, akan terasa tahanan, alat diangkat naik sedikit , kemudian baru masuk. Jangan
dipaksa karena dapat merusak polisi tidur yang disebut gate of tear atau babel mandeb.

Belakangan ini beliau beberapa kali mengungkapkan istilah sambil guyon : tinggal
menghitung hari saja, karena akan purna tugas sebagai pendidik Residen THT KL dan
mahasiswa FK UNUD demikian juga melayanai pasien THT Kl pada umumnya atau
khususnya dibidang bronkhoesofagologi yang menjadi bidang beliau di RSUP Sanglah.
Tepatnya tugas beliau akan berakhir tgl 6 Februari tahun 2013, saat ulang tahun beliau
ke 65. Waktu itu terasa nisbi, berputar bagaikan cakra, terasa cepat ataupun perlahan
tergantung cara pandang dan penghayatan hidup. Tak terasa beliau sudah mengabdikan
diri sebagai seorang pendidik selama 33 tahun yang dimulai semenjak tahun 1980 saat
diangkat sebagai pegawai negeri dengan pangkat Asisten Ahli golongan III A. Tak
terkirakan jumlah amal dan ibadah beliau terhadap peserta didik dan masyarakat
sehinga tidak mungkin bisa menggambarkannya dalam bentuk satu tulisan saja ,
demikian pula tidak bisa melihat beliau hanya sebagai sesosok pendidik saja, tapi juga
pandangan-pandangan beliau yang monumental serta jejak aktifitas sosiokulturnya.

Dokter Anak Agung Sagung Puteri Sp THT-KL sesungguhnya adalah seorang yang
cermat, teliti dan merencanakan segala sesuatu dengan matang. Beliau juga seorang
Guru yang mumpuni sekaligus juga seorang kolega yang baik. Beliau senang berkumpul-
kumpul membahas sesuatu yang berhubungan dengan tugas, ataupun masalah sosial.
Kadang kadang saja beliau tidak bisa hadir pada sebuah undangan pertemuan , mungkin
disebabkan karena masalah jarak tempuh dan kesulitan meninggalkan Ibu beliau yang
menjadi tanggung jawabnya. Sesungguhnya tidak ada jarak perbedaan antara beliau
yang sudah senior dengan staf yang junior walaupun beliau masih keturunan raja,
termasuk juga terhadap peserta didik. Beliau tidak segan segan memberikan solusi
dibidang keilmuannya atau jika ada sesuatu yang kurang dibidang kelembagaan, begitu
pula juga mau bertanya seandainya beliau merasa ragu pada bidang keilmuan lainnya.
Saat beliau harus menjabat Kepala Bagian THT KL karena dipilih, walaupun
sesungguhnya tugas beliau sudah berat tetapi dikerjakan dengan bertanggung jawab,
dapat disaksikan secara umum bahwa segala sesuatu menjadi terasa lebih rapi,
contohnya : administrasi dan keuangan lebih dibenahi, uraian tugas staf lebih jelas,
pemerataan tugas-tugas agar tidak terjadi ketimpangan beban kerja, tempat duduk
stafsesuai porsi tugas, pola tarif yang baru agar staf lebih menikmati jerih payahnya ,
program PGPKT. Kegiatan di Bagian saat itu terasa lebih aktif. Beliau mempunyai prinsip
segala tugas kantor harus diselesaikan dikantor, tidak boleh dibawa pulang, sebab
dirumah sudah ada tugas yang sangat berlainan yang juga memerlukan perhatian penuh,
cukup menyita waktu termasuk ayahan adat dan kewajiban menjalankan upakara, jadi
kalau bisa jangan dicampur aduk, diselesaikan satu persatu.

Seandainya bisa di undo , atau ditelusuri lagi kebelakang, barangkali bisa ditanya
kepada beliau apa yang bisa diberikan kepada kami setelah mengarungi hidup 65
tahun ? Suluh dan suri tauladan adalah penting di tutur dan ditularkan kepada generasi
penerus. Barang kali bisa berguna, walaupun zaman berbeda, sebab sejarah akan bisa
berulang. Diharapkan agar jangan seperti keledai terperosok dua kali pada lubang yang
sama. Agar bisa melaksanakan tugas lebih bijak dan tahu posisi yang tepat saat ini, perlu
adanya pengetahuan sejarah para pendahulu. Tanpa pemahaman pemikiran para
sesepuh, jiwa generasi muda akan kosong. Mereka akan menjadi orang orang yang
pintar tetapi berbudi pekerti rendah. Tidak bisa dipungkiri, beliau sudah merasakan rasa
asam garam kehidupan, yang sudah bercampur aduk jadi satu menghasilkan rasa datar
. Sehingga saat rasa senang tidak berani bergembira terlalu berlebihan demikian pula
sebaliknya sesuatu yang mengecewakan juga tak berani dirasakan terlalu sedih.
Beliau adalah sosok yang tegar dan mandiri, karena beliau adalah anak tunggal,
bahkan sejak sebagai Dokter Muda sudah ditinggal Aji beliau yang masih keturunan raja
di Puri Kerambitan. Beliau juga setatusnya sebagai Purusa dalam tatanan tradisi orang
bali yang menak, yang agak berbeda dengan orang kebanyakan dalam hal memikul
tanggung jawab yang lebih dari sebuah keluarga puri. Sehingga semenjak itu beliau
mengambil alih tugas ayahndanya memikul tugas dan kewajiban secara berdikari, baik
waktu beliau menikah ataupun tugas upakara di puri.

Ada perkataan beliau yang membekas didalam hati adalah tentang hak dan
kewajiban. Istilah ini masih relevan dalam kehidupan sekarang tidak saja dilingkungan
tempat tugas tetapi juga dalam lingkungan sosial budaya. Selama ini terlalu sering kita
saksikan orang lebih banyak menuntut haknya saja. Sebelum melakukan sesuatu
terlintas dalam pikiran, apa yang saya dapat dari tindakan itu, apalagi menyangkut hak
mendapat warisan, akan diperjuangkan bahkan sampai berdarah darah. Mereka lupa
akan kewajibanya sebagai pelayan masyarakat selaku PNS atau yang bernaung dalam
tugas disebuah kelembagaan sampai kehidupan bermasyarakat termasuk beradat
istiadat. Mereka lebih mementingkan hal yang bersifat individu bukan kepentingan yang
lebih luas. Demikian pula setelah mendapat waris lupa kewajiban memelihara warisan
itu termasuk urusan sekala niskala di sebuah desa adat.
Sebenarnya lebih sulit memelihara warisan dengan segala konsekuensinya dari
pada menuntut hak warisan. Justru dengan kengototan mendapatkan hak apalagi hak
waris, akan timbul benih benih pertikaian. Hal ini cukup sering terjadi di Bali dimana
pertikaian antar saudara dimulai dari hak pembagian waris. Sehingga kata-kata mantan
Presiden Amerika John F. Kenedey : apa yang dapat saya berikan untuk rakyat bukan
apa yang dapat saya peroleh dari rakyat, dewasa ini terasa makin langka, terasa aneh
ditelinga. Mungkin masih ada, tetapi lebih banyak dalam retorika kata kata dengan
minim langkah.
Diikaitkan dengan ayahan adat akan terasa berat jika lupa akan
kewajiban,dimana kita harus meluangkan waktu pulang kampung sisela sela tugas
pokok. Kalau tidak bisa mengatasinya akan timbul pelarian berupa kata kata : biarlah
sudah, kalau ada kematian toh adat tidak akan melepas, pasti dibantu, masak tega
membiarkan, apalagi sudah membeli banten pada salah satu warga banjar adat.
Memang betul demikian , tetapi yang mengerjakan akhirnya tetap sang yajamana, jadi
harusmeluangkan waktu untuk terjun langsung mempelajari adat istiadat dimanapun
berada ,tidak boleh lepas tangan. Mungkin saat ini zamannya sudah berubah, seperti
dapat dilihat dari tingkah laku para pemimpin, tokoh masyarakat hingga kerakyat jelata,
lebih banyak menuntut haknya dari pada kewajibannya, namun masih ada seteguk air
sebagai pemuas dahaga pada kerongkongan yang sudah lama kering adalah adanya
fenomena seorang Jokowi, seorang pelayan masyarakat.

Dikasih kesempatan bisa berumur sampai 65 tahun dan dalam keadaan relatif
sehat sebenarnya merupakan bonus yang diberikan oleh Tuhan. Menjadi tua itu pasti,
menjadi dewasa oleh karena kematangan jiwa itu pilihan. Jadi perubahan fisik tak bisa
dihindari , tetapi menjadi dewasa itu bisa dihindari atau bisa juga tidak dihindari. Saat
beliau dirawat di rumah sakit, dimana beliau berada seorang diri, tepekur mengukur diri,
teringat saat saat tersulit dalam hidup, kehilangan suami, punya tanggungan Ibu,
tanggung jawab di Puri, hal mana terasa seperti sangat menyesakan dada, seolah olah
tidak bisa berbuat apa apa, segalanya terasa buntu.
Hidup dan kehidupan tidak bisa ditolak apalagi diminta , kita hanya bisa
berperan sebagai wayang-wayang yang memainkan peran masing-masing yang ceritanya
sudah ditentukan oleh sang dalang. Akhirnya tidak ada kata yang lebih baik terucap
kecuali rasa syukur Sehingga beliau sering mengemukakan sebuah kata saja : cukup.
Untuk apa hidup berlebih. Kalau ada rejeki yang lebih digunakan untuk manfaat orang
lain. Toh nanti yang akan dibawa kealam sana hanya karma, keluarga dan handai taulan
hanya bisa mengantarkan sampai di sekitar kuburan saja. Selanjutnya hanya diri sendiri,
dituntun hasil perbuatannya semasa hidup.
Sesungguhnya harta benda , kebesaran upakara lebih banyak bersifat
menghambat sang roh menuju kesunyataan. Beliau kemudian bangkit, tidak ingin
berlama-lama dalam kepedihan, karena tugas dan tanggung jawab menanti, tidak bisa
terus menghindar, sehingga beliau tegak kembali menjalani kehidupan ini dengan
pasrah, menjalani dengan sebaik-baiknya sambil terus berdoa mohon dituntun kejalan
yang benar. Berbuat sebisa mungkin hal yang berguna , bukan sekedar yang baik.
Untuk itu ,agar dapat menunjukkan rasa hormat kepada beliau yang sudah
menyadari arti kehidupan, bisa dilakukan dengan banyak cara seperti : mengingat pesan,
meniru tingkah laku, atau melihat catatan beliau. Sejumlah karya beliau atau
dokumentasi yang berhubungan dengan keilmuan dan kehidupan sosio kultural beliau
akan hilang dari ingatan kita. Namun dengan kerendahan hati, hanya bermodalkan rasa
hormat pada beliau, catatan itu dipunggut, disimpan, dikumpulkan , diolah dijadikan
sebuah buku sederhana dan suatu saat nanti dimunculkan lagi melalui tulisan yang lebih
baik. Tujuannya adalah menjaga ingatan, karena beliau pantas untuk dikenang oleh
setiap civitas akademika di bidang THT KL umumnya dan bronkhoesofagologi
khususnya.
Eka Putra Setiawan
JEPRETAN FOTOGRAFER PAPARAZZI DARI JAMAN TEMPO DOELOE SAMPAI SEKARANG
Puisi
KORPAL TULANG AYAM

Kau begitu menggoda

Baunya.hmmm lezat

Aku begitu melahapnya

Tiba-tiba..

Ada sesuatu tersangkut di tenggorokku

Oh tidak....aku menelan tulang ayam

Rasanya sakit dan menusuk

Apa yang harus kulakukan ?

Senangnya hatiku

Hilang tulang ayamku

Untung ada esofagoskopi

Akhirnya aku bisa makan lagi

created by : Vira
Humor korpus alienum uang logam

Pada suatu ketika di saat siang hari, seorang anak kecil yang bernama Budi berusia 6
tahun sedang bermain-main bersama temannya. Budi bermain dengan uang logam Rp.
500,- yang disembunyikan di dalam mulutnya. Maksud hati hanya ingin mengulum saja,
tetapi tanpa sengaja uang logam tersebut tertelan dan menyangkut di tenggoroknya.
Lalu Budi pun berlari dan berteriak memanggil ibunya......

Budi : Ibuuuuuuuuuuu......
Ibu : Kenapa nak ??
Budi : Aku makan uang logam.....hiks hiks hiks
Ibu : Apaaaa ?? (sambil terkejut )
Uang logam berapa nak ?
Budi : Cuma 500 rupiah bu.....
Ibu : Kamu apakan uangnya, kenapa bisa ditelan to nak ??
Budi : Aku cuma bermain-main menyembunyikan di dalam mulutku.
Sakit bu.....rasanya mengganjal
Ibu : Ayo nak kamu minum air yang banyak, terus makan pisang ya supaya uangnya
mau turun
Budi : ( lalu Budi minum air dan makan pisang ).......kemudian Budi malah
memuntahkan air dan pisangnya karena tidak bisa menelan sama sekali......akan
tetapi uang logamnya tetap tidak bisa keluar. Budi semakin menangis dan
ketakutan.....
Ibu : Aduh bagaimana ini ?? ( sang ibu semakin panik dan cemas )
Beberapa saat kemudian bapaknya datang dari kantor.....
Bapak : Ada apa to bu ?? kok panik dan si Budi nangis-nangis ini ??
Ibu : Anakmu ini lo pak, nelan uang logam 500 perak......sekarang malah nyangkut di
tenggorok dan gak bisa keluar......padahal sudah ibu kasi pisang
Bapak : Kalau begitu harus secepatnya kita bawa ke rumah sakit bu...
Ibu : Ngapain dibawa ke rumah sakit pak ?? bagaimana kalau kita tunggu sampai
besok saja, siapa tau bisa keluar lewat kotorannya pak....
Bapak : Gak bisa bu, itu namanya sudah nyangkut di tenggorok dan si Budi gak bisa
makan sama sekali, kalau dibiarkan bisa bahaya bu...
Ibu : Terus mau diapakan to sama dokternya ??
Bapak : Tenang bu, sekarang sudah ada alat canggih seperti teropong yang diambil
lewat mulut
Ibu : Pasti mahal biayanya ya pak ?? (sambil berpikir)
Bapak : Iya lumayan bu, tapi tabungan kita masih cukup kok.....
Ibu : (sambil kaget) Waduh kok jadi mahal ya pak padahal si Budi hanya menelan
uang 500 rupiah lo...
Kalau gitu gak usah di ambil aja ya pak......
Kalau nelan uang 500 ribu baru harus kita ambil pak....
Bapak : ??????????????

created by : Vira
KARIKATUR

Vous aimerez peut-être aussi