Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB 13

ASPEK NEUROPSIKIATRIK PADA PENYAKIT PARKINSON

Dag Aarsland, Inger Steenoven, John Paul Taylor, dan Daniel Weintraub

PENDAHULUAN

Gejala neuropsikiatrik pada penyakit Parkinson

Variasi dari gejala neuropsikiatrik (neuropsychiatric symptoms, NPS), termasuk depresi,


ansietas, gejala psikotik, apati, dan impulse-control disorders (ICDs), terjadi pada hingga
60% pasien dengan penyakit Parkinson (PD).1 NPS memiliki dampak signifikan pada
pasien dan perawatnya, begitu juga dengan sistem pelayanan kesehatan.2 Meskipun begitu,
NPS masih kurang diketahui dan belum dapat diobati dengan baik3, dan ini sering terkait
faktor pasien (yaitu kurangnya pemahaman akan masalah kesehatan mental), masalah akses
ke pelayanan, dan kurangnya waktu dan pengetahuan pada klinisi.3, 4

Meskipun penyebab kausalnya yang diketahui hanya sedikit, variasi feno-tipik menandakan
bahwa berbagai faktor berkontribusi ke NPS pada PD. Beberapa NPS, seperti depresi dan
ansietas, sering pada lansia secara umum serta pada penyakit otak lainnya, sedangkan
gejala-gejala lain lebih khas untuk PD dan penyakit-penyakit terkait, seperti halusinasi
visual, sindrom misidentifikasi, REM sleep behavior disorder (RBD), dan ICDs. RBD akan
dibahas lebih lanjut pada Bab 42. Profil neuropsikiatrik pada PD kemudian
membedakannya dengan gejala pada pasien dengan penyakit Alzheimer (AD)5 dan bahkan
dari penyakit ganglia basalis lain.6 Oleh karena itu, faktor-faktor spesifik PD (yaitu
keterlibatan regio otak spesifik dan peran terapi pengganti dopamin [dopamin replacement
therapy, DRT]), reaksi nonspesifik psikologik dan sosial, serta faktor genetik 7, 8

kesemuanya memengaruhi perkembangan NPS pada PD (Gambar 13.1).

Terdapat bukti bahwa profil, frekuensi, dan keparahan NPS cenderung meningkat dengan
kerusakan kognitif dan demensia pada PD (PDD). Pada sebuah penelitian, 89% pasien PDD
memiliki setidaknya satu NPS, dan 60% memiliki signifikansi klinis NPS. 9 Halusinasi dan
apati merupakan gejala-gejala yang khususnya meningkat frekuensi dan keparahannya
ketika ada penurunan kognitif, sedangkan sindrom dengan gejala khusus tidur atau mood
tampaknya lebih sering pada PD tanpa demensia.10 Gambar 13.2 menunjukkan 3 studi
menunjukkan persentase pasien dengan skor item Neuropsychiatric Inventory (NPI) positif
pada semua spektrum kerusakan kognitif pada PD. Meskipun perbandingan langsung pada
kohort yang berbeda-beda menyebabkan bias seleksi, kecenderungan NPS yang lebih sering
dengan kognitif yang memburuk tampak jelas. Ko-okurensi kerusakan kognitif dan NPS
seringnya karena patologi-patologi yang umum, seperi perubahan morfologi neokortikal
(yaitu patologi synuclein, tau, dan amyloid) dan perubahan neurotransmiter (perubahan
kolinergik dan monoaminergik akibat defisit dopaminergik). Selain itu, penurunan kognitif
subyektif dapat menyebabkan ansietas dan depresi, dan penurunan kognitif dapat
memengaruhi interpretasi berbagai stimulus sensori (yaitu gangguan visual, dan ilusi akan
lebih mudah diinterpretasi dalam konteks psikotik pada seseorang dengan demensia). Pada
bab ini, kami akan membahas tentang epidemiologi, etiologi, gambaran klinis, prosedur
diagnostik, dan manajemen beberapa dari NPS yang paling penting pada PD, termasuk
depresi, ansietas, gejala psikotik, apati, dan ICDs.

Eluktuasi Nonmotor

Sebelum membahas perbedaan NPS, kami ingin menekankan bahwa meskipun NPS
keberadaannya cukup konsisten selama beberapa waktu, namun tidak selalu terjadi. Banyak
pasien-pasien PD pada pengobatan kronik levodopa mengalami fluktuasi motor (FM), yang
mana melibatkan periode off yang dikarakteristikkan dengan perburukkan parkinsonisme.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa mayoritas pasien dengan FM juga mengalami
fluktuasi nonmotor (FNM), yang secara khusus gabungan dari gejala psikiatrik (yaitu
ansietas, fatigue, dan disforia) dan kognitif (yaitu perlambatan berfikir, confusion,
konsentrasi buruk, kesulitan mencari kata-kata, gangguan memori), serta gejala otonom
(yaitu inkontinensia urin dan keringat berlebih)11, 12. Pada satu penelitian FNM yang paling
detail, 100% pasien dengan FM juga memiliki paling tidak satu tipe FNM, gejala seperti
ansietas dan fatigue adalah FNM yang paling umum dan terjadi pada periode off. Dengan
catatan, pada 28% pasien, FNM dipertimbangkan lebih parah dibanding dengan FM 11.
Meskipun begitu, tidak selalu terdapat hubungan antara gejala motorik dan nonmotorik. 13, 14
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa DRT dapat memperbaiki FNM, namun bila
pengobatan menunjukkan mengurangi keparahan atau waktu dari FM juga akan
memperbaiki keparahan atau durasi FNM, meskipun FNM psikiatrik kurang merespon
dibanding FNM kognitif dan otonom.15

1. DEPRESI
Gejala depresi adalah NPS yang paling sering pada PD3, 16
dan berhubungan dengan
pengurangan fungsi motor, kerusakan fungsi kongnitif, rendahnya kualitas hidup terkait
kesehatan, dan tingginya kesulitan peruwat17, 18. Depresi juga merupakan gejala umum dari
penyakit lain dan lansia; meskipun begitu, penelitian tentang depresi pada populasi berbeda
menunjukkan bahwa kelainan mood ini relatif lebih sering pada pasien dengan PD
dibanding dengan lansia sehat dan pada pasien-pasien dengan penyakit kornis lainnya. 19
Karakteristik utama untuk depresi pada PD serupa dengan kelainan depresi mayor: mood
rendah dan kurangnya minat dan kesenangan (anhedonia), salah satu yang diperlukan untuk
mendiagnosis depresi pada kebanyakan klasifikasi.20 Gejala depresi lain dapat muncul
dalam berbagai kombinasi variasi, namun kebanyakannya, seperti perubahan nafsu makan
atau tidur, perubahan berat badan, kehilangan libido, retardasi psikomotorik, pengurangan
memori, apati, dan hilangnya energi, dapat tumpang tindih dengan gejala motori dan
otonom PD, menyebabkan penegakkan diagnosis depresi pada PD menjadi sulit. 21 Gejala
depresi lain meliputi perasaan bersalah atau tidak berharga dan gagasan bunuh diri, namun
gejala-gejala ini lebih jarang pada pasien dengan PD dibandingkan pasien depresi tanpa PD,
sedangkan gejala-gejala seperti kesulitan konsentrasi dan tidur mungkin lebih sering pada
pasien PD depresi.22, 23

Epidemiologi depresi pada PD

Sekitar 35% pasien PD menderita gejala depresif yang secara klinis relevan. 3, 16 Meskipun
begitu, terdapat berbagai variasi yang dilaporkan untuk frekuensi depresi pada PD, dengan
rentang dari 2,7% hingga lebih dari 90%, bergantung kriteria dan penilaian depresi serta
seleksi sampel. Ulasan sistematik melaporkan rerata prevalensi kelainan depresi mayor
adalah 17%, depresi minor 22% pada pasien PD, dan distimik sebanyak 13%.16 Hasil-hasil
ini konsisten dengan penelitian besar GEPAD yang melaporkan depresi pada 24% subyek. 24
Gejala depresif dapat muncul prediagnosis, dan pada minoritas pasien sudah pada saat
didiagnosis, meskipun frekuensi cenderung lebih tinggi pada PD yang lebih parah. Depresi
tampaknya meningkat sesuai dengan penurunan kognitif. Sebagai contoh, pada suatu studi,
nilai depresi (berdasar skor nonzero pada item NPI disforik) 25 adalah 70% pada kerusakan
kognitif ringan (mild cognitive impairment, MCI) amnestik, 60% pada MCI non-amnestik,
dan 55% pada kognitif normal26 (lihat Gambar 13.2). Serupa juga, pada penelitian GEPAD,
frekuensi depresi (didefinisikan sebagai depresi bila skor Montgomery and Asberg
Depression Rating Scale 14) meningkat seiring dengan stadium penyakti, dan lebih tinggi
pada PDD (44%) dibanding dengan pasien-pasien non-demensia (18%).27
Gambar 13.2 Proporsi (%) pasien PD dengan skor nonzero pada item NPI dengan status
kognitif. Data masih kekurangan persentase pasien PDD yang menderita gangguan tidur
atau gangguan nafsu makan. PD-NC, PD not cognitively impaired; PD-naMCI, PD dengan
non-amnestik mild cognitive impairment; PD-aMCI, PD dengan amnestik mild cognitive
impairment; PDD, PD dengan demensia

Diagnosis depresi pada PD

Gejala motorik parkinsonisme, kerusakan kognitif, dan apati dapat tumpang tindih dengan
gejala-gejala depresi. Selain itu, kerusakan kognitif dan apati dapat mengurangi kesiagaan
dan memengaruhi kapasitas untuk mengkomunikasikan gejala-gejala depresi. Oleh karena
itu, terdapat risiko untuk baik under- maupun over-diagnosed untuk depresi pada PD.
Kriteria diagnostik yang umum digunakan seperti Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder28 akan sulit untuk diaplikasikan pada pasien-pasien PD, karena kriteria itu
hanya menekankan bahwa gejala-gejala yang tidak disebabkan oleh kondisi medis ataupun
efek langsung substansi dapat dianggap sebagai gejala-gejala untuk depresi. Pada PD, ini
bisa saja sulit dilakukan bila gejala somatiknya, termasuk perubahan tidur atau nafsu,
penurunan berat badan, gangguan energi, retardasi psikomotor, dan pengurangan memori,
merupakan akibat dari PD atau harus dianggap sebagai gejala depresif. Maka, karena
aplikasi untuk kriteria diagnostik ini dapat menyebabkan under-diagnosis depresi pada PD,
kelompok kerja NINDS/NIMH telah membuat beberapa rekomendasi untuk menerbitkan
kriteria diagnosis untk depresi pada PD, menggarisbawahi bahwa gejala-gejala tersebut
harus dihitung sebagai representasi depresi meskipun itu tumpang tindih dengan PD
(Tabel.13.1)24. Penggunaan skala depresi terstandardisasi sangat direkomendasikan, baik
kuesioner maupun wawancara klinis. Skala depresi yang sering digunakan termasuk Skala
Depresi Geriatri, Skala Depresi Hamilton; Montgomery and Asberg Depression Rating
Scale, dan Skala Ansietas dan Depresi Rumah Sakit telah menunjukkan memiliki sifat
psikometrik yang baik juga pada PD dan dapat memfasilitasi diagnosis depresi pada pasien
dengan PD.8

Etiologi depresi pada PD

Mekanisme penyebab depresi pada PD sangat kompleks dan masih belum diketahui
sepenuhnya, dan beberapa teori telah dipertimbangkan. Teori psikologik mengatakan bahwa
depresi terjadi karena stress dan coping terhadap penyakit kronis melumpuhkan (chronic
disabling disease). Meskipun begitu, prevalensi depresi yang tinggi pada PD tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan oleh teori psikologik. Pasien-pasien PD memiliki lebih banyak
gejala depresif dibandingkan dengan pasien-pasien dengan penyakit kronis melumpuhkan
lainnya.29 Teori neurobiologik mengatakan bahwa depresi ialah hasil dari proses
neurodegeneratif yang bermanifestasi pada PD. Bukti dari berbagai sumber, termasuk studi
neuroimaging, analisis LCS, dan studi jaringan otak, menunjukkan bahwa degenerasi
primer neuron dopaminergik mesokortikal dan mesolimbik yang berproyeksi ke lobus
frontal dopaminergik, serta struktur noradrenergik limbik dan batang otak, berhubungan
dengan depresi pada pasien-pasien dengan PD.21, 30 Neurotransmiter dopamin, noradrenalin,
dan serotonin diketahui terlibat dalam regulasi modd dan pada depresi di populasi
umumnya.21 Selain stress karena penyakit kronis melumpuhkan dan proses
neurodegeneratif yang bermanifestasi pada PD, faktor lingkungan, seperti pada kasus di
populasi umum, dapat berkontribusi dalam perkembangan depresi.31

Manajemen depresi pada PD

Meskipun prevalensi dan dampak depresi yang tinggi pada PD, terdapat bukti bahwa
depresi itu undertreated, dengan satu penelitian mengatakan bahwa hanya 20% pasien
menerima pengobatan.32 Manajemen depresi pada PD sendiri rumit karena adanya
tantangan untuk mendiagnosis depresi, sensitivitas tinggi untuk efek samping terapi
farmakologik, dan keengganan untuk menerima diagnosis depresi. Opsi-opsi terapi
potensial adalah terapi farmakologik (Tabel 13.2), termasuk terapi antidepresan dan obat-
obat antiparkinson, serta terapi non-farmakologik (Tabel 13.3), termasuk terapi perilaku
kognitif (cognitive behavioral therapy, CBT), pengobatan elektrokonvulsif (ECT), dan
stimulasi magnetik transkranial repetitif (repetitive transcranial magnetic stimulation,
rTMS).

Tabel 13.1 NINDS/NIMH Working Group Recommendations untuk mendiagnosis


depresi pada penyakit Parkinson
Rekomendasi
1. Diagnosis depresi pada PD harus berdasarkan pada kriteria diagnosis DSM
dengan menggunakan pendekatan inklusif (yaitu gejala harus dihitung sebagai
depresi walaupun itu tumpang tindih dengan PD atau kondisi medis lainnya)
2. Penurunan keinginan harus dieliminasi sebagai gejala utama depresi
3. Kriteria eksklusi DSM karena efek-efek kondisi medis umum harus
dilakukan
4. Waktu untuk penilaian diagnosis harus dijelaskan, selama periode off atau
periode on
5. Depresi subsindromal harus dianggap pada penelitian sebagai kategori
diagnostik yang berbeda
6. Untuk pasien-pasien gangguan kognitif, informan berhubungan erat dengan
pasien akan berguna untuk penilaian gejala
Tabel 13.2 Penelitian tentang agen-agen antidepresan dan antiparkinson untuk depresi pada
penyakit Parkinson

Terapi Antidepresan

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) adalah kelas antidepresan yang paling
sering digunakan pada PD. Meskipun begitu, hingga sekarang, hanya ada sedikit sekali
bukti yang mendukung penggunaan obat ini. Beberapa percobaan klinis tidak menemukan
perbedaan signifikan antara antidepresan dan plasebo (lihat Table 13.2), dan satu meta-
analisis tidak menemukan efek signifikan dari terapi antidepresan untuk depresi pada PD. 44
Pada meta-analisis yang lebih baru, yang menginklusi kedua percobaan positif terbaru (lihat
bawah), penulis melaporkan ukuran efek sedang, namun nonsignifikan, ukuran efek pooled
0,71. Mereka menyimpulkan bahwa kurangnya perbedaan yang secara statistik signifikan
akibat rendahnya jumlah penelitian dengan plasebo.45 Pada ulasan terkini lainnya,
berdasarkan 5 studi dengan plasebo,33-36,38 rasio risiko (RR) secara keseluruhan untuk
respons tidaklah signifikan secara statistik, 1,36 (95% CI 0,98-1,87). Meskipun begitu,
pada 2 analisis sensitivitas, termasuk penelitian dengan desain terbaik, terdapat keuntungan
signifikan untuk terapi antidepresan.46 Tiga percobaan terbaru dan secara metodologis kuat
akan dibahas dibawah.

Bukti tingkat-1 pertama untuk antidepresan pada PD meliputi 55 pasien dengan kelainan
depresif, sesuai dengan kriteria DSM-IV. Pasien-pasien yang diobati dengan nortriptilin
antidepresan trisiklik dengan dominasi inhibisi ambilan norepinefrin, memiliki reduksi
yang secara statistik signifikan pada depresi (ukuran efek 1,20) dibandingkan pada pasien
yang menerima plasebo, sedangkan tidak ada efek yang ditemukan pada kelompok yang
menerima paroksetin, SSRI. Pengobatan dengan nortriptilin seringnya memiliki efek
samping, seperti sedasi, hipotensi, dan bahkan perburukan kognitif, tetapi pasien-pasien
pada penelitian ini yang menerima nortriptilin tidak melaporkan efek samping
dibandingkan dengan kelompok plasebo.36 Sebagai catatan, pasien-pasien yang
menunjukkan peningkatan pada skor depresi juga memiliki keuntungan tambahan dalam
hal perbaikan kualitas hidup dan fungsi sosial. Perbaikkan pada depresi diawasi pada
pasien-pasien yang diobati dengan nortriptilin selama 16-minggu ekstensi dari penelitian
ini47; pasien-pasien yang menerima obat aktif memiliki risiko lebih relaps lebih rendah
selam fase ekstensi dibandingkan dengan kelompok plasebo. Karena depresi dapat
mencetuskan kerusakan kognitif, kita dapat menghipotesiskan bahwa perbaikan gejala
depresif mungkin diikuti dengan perbaikan kognitif. Meskipun begitu, pada penelitian ini,
kognitif tidak membaik pada pasien-pasien yang diobati dengan nortriptilin.

Pada penelitian penting lainnya, efek antidepresan dari venlafaxine, inhibitor ambilan
serotonin dan norepinefrin (dosis harian maksimal 225 mg) dan paroksetin (dosis harian
maksimal 40 mg) dibandingkan dengan plasebo selama 12 minggu. 38 Terdapat efek
signifikan dibandingkan dengan plasebo baik untuk paroksetin dan venlafaxine pada skor
skala depresi, namun tidak ketika skala didikotomi untuk menilai respon vs no-respon
(respon didefinisikan sebagai reduksi 50% pada skor skala depresi). Terdapat efek positif
pada tidur pada kelompok venlafaxine namun tidak terdapat efek pada kognitif ataupun
gejala motor untuk kedua kelompok.

Sebuah penelitian kecil yang menginvestigasi efek dari atomoksetin, inhibitor ambilan
norepinefrin selektif, pada pasien dengan PD menunjukkan tidak ada efikasi entidepresan
yang signifikan dibanding plasebo.37 Meskipun begitu, ketika definisi efikasi diaplikasikan
secara bebas (penurunan >40% pada skor depresi dibandingkan penurunan >50%), proporsi
pasien yang secara signifikan lebih tinggi mengalami perbaikan depresi ketika dengan
atomoksetin (31,8%) dibanding dengan pasien yang menerima plasebo (9,5%).
Menariknya, kognitif global dan tidur sehari-hari meningkat setelah pengobatan dengan
atomoksetin, dan obatnya cukup bisa ditolerasi.

Kesimpulannya, munculnya bukti-bukti menandakan bahwa obat-obatan anti-depresan


dual-acting (yang bekerja baik pada sistem serotoninergik maupun noradrenergik) seperti
nortriptilin dan venlafaxine, bisa saja berguna untuk mengobati depresi pada PD, namun
bukti pendukung dari meta-analisis masih belum banyak. Bukti untuk SSRI, kelas obat
yang paling sering digunakan untuk depresi pada PD, tidak konsisten, meskipun efek positif
paroksetin ada pada satu penelitian.40 Penelitian lebih lanjut untuk efek agen antidepresan
untuk depresi pada pasien-pasien dengan PD sangat diharapkan.

Agen Dopaminergik

Keterlibatan potensial dopamin dalam patogenesis depresi pada pasien dengan PD


menandakan bahwa pengobatan dopaminergik dapat meningkatkan depresi pada orang-
orang ini, dan beberapa percobaan untuk efek agonis dopamin terhadap mood telah
dilakukan (lihat Tabel 13.2). Pada percobaan pengobatan klinis besar dengan plasebo pada
pasien-pasien dengan agonis dopamin, pramipeksol (dengan dosis rerata 2,18 mg per hari)
mengarah ke pengurangan nilai skor depresi yang signifikan dibandingkan dengan nilai
skor depresi pasien yang diobati plasebo. Sesungguhnya peningkatan depresi cukup kecil
(kemungkinan berkaitan dengan keparahan depresi ringan pada pasien-pasien yang
diinklusi pada penelitian), namun sepertinya independen untuk peningkatan motorik. 41
Pramipeksol bisa ditolerasi dan keuntungan tambahan obat ini dalam hal meningkatkan
fungsi motorik membuatnya menjadi antidepresan pilihan pertama pada pasien-pasien
dengan PD dan depresi. Pada analisis post-hoc percobaan dengan plasebo untuk rotigotin
dengan 267 pasien, beberapa domain dari NMSS (Non-Motor Symptom Scale) meningkat
secara signifikan pada kelompok rotigotin, termasuk empat dari tujuh item pada domain
mood/apati.42 Bukti pendukung tanpa plasebo juga ada untuk obat ropinirole.40 Bupropion
adalah inhibitor kerja ganda terhadap ambilan dopamin dan noradrenalin, yang oleh karena
itu mungkin saja relevan terhadap pengobatan depresi pada pasien-pasien dengan PD, 49
namun bukti sistematiknya masih kurang. Terakhir, pada penelitian acak, double blind
dengan plasebo, untuk inhibitor monoamin oksidase B, selegeline, menunjukkan efek
perbaikkan mood pada pasien-pasien dengan PD yang secara klinis tidak depresi.39

Modalitas Pengobatan Nonfarmakologik (Tabel 13.3)

CBT merupakan teknik yang paling sering digunakan untuk mengobati ansietas dan depresi
pada populasi umum. Pola perilaku maladaptif ditujukan, dengan alasan bahwa itu diduga
berasal dari situasi sosial yang merupakan penyebab dari pasien menderita. Bukti terbaru
dari percobaan acak kecil menunjukkan bahwa teknik ini juga efektif untuk depresi pada
PD50, 51, dengan fungsi eksekutif yang lebih baik menjadi prediktor yang signifikan dan
independen terhadap respon efek pengobatan.52

Percobaan kecil lainnya menunjuukan efek menjanjikan pada depresi dan ansietas dengan
minyak ikan (mengandung asam lemak omega-3) 53 dan rTMS prefrontal kiri.54

Beberapa laporan menyatakan bahwa ECT memiliki efek antidepresan pada PD 21, 55, namun
terdapat risiko untuk efek samping kognitif setelah ECT, yang mana cenderung lebih tinggi
pada pasien PD dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit otak. Sebagai catatan, karena
efek peningkatan-dopamin, ECT juga meningkatkan gejala motorik pada PD. Stimulasi
otak dalam (deep brain stimulation, DBS) juga digali sebagai opsi pengobatan untuk
depresi resisten-pengobatan.56 DBS pada nukleus subtalamikus telah terbukti bisa
mengurangi gejala motorik pada pasien-pasien dengan PD parah refrakter, tremor esensial,
dan distonia. Meskipun begitu, efeknya pada fungsi psikiatrik masih kontroversial.
Beberapa studi menemukan perbaikan pada gejala depresif setelah DBS bilateral pada
nukleus subtalamikus dibandingkan dengan kondisi preoperatifnya, studi lainnya tidak
menemukan perbaikan atau bahkan menjadi memburuk.57

Tabel 13.3 Modalitas pengobatan nonfarmakologik untuk depresi pada penyakit Parkinson
(Uji Acak)

2. ANSIETAS

Dibandingkan dengan depresi, sedikit yang diketahui tentang ansietas pada PD. Pada suatu
kohort besar, 34% pasien PD memenuhi diagnosis satu kelainan ansietas, gangguan cemas
menyeluruh (general anxiety disorder, GAD) menjadi kondisi yang paling sering
didiagnosis, diikuti dengan serangan panik dan fobia.58 GAD dikarakteristikkan dengan
kecemasan berlebihan dan tidak terkontrol diikuti dengan gejala fisologik seperti tegang
otot. Biasanya, pasien PD melaporkan kecemasan tentang perjalanan penyakit dan
kecemasan harian seperti masalah keuangan.58 Serangan panik juga sering terjadi, seperti
peningkatan denyut jantung, nyeri dada, dizziness, kesulitan bernapas, berkeringat, dan
perhatian atas kehilangan kontrol atau ingin marah, dan dapat menyebabkan ketakutan
akan konsekuensinya dan perilaku menghindar. Pasien-pasien dengan fobia sosial takut
menerima konsekuensi sosial dari gejala PD yang ada pada mereka di depan publik.58
Meskipun begitu, serupa dengan depresi, terdapat bukti bahwa sistem DSM tidak cukup
menangkap morbiditas ansietas pada PD, karena banyak pasien dengan gejala ansietas
signifikan berdasar skala penilaian tidak sesuai pada kategori ansietas DSM yang
manapun.28 Selain itu, seperti pada kasus populasi lansia non-PD, ansietas berhubungan erat
dengan gejala-gejala depresi, yang mana telah ditunjukkan pada dua percobaan besar. 59, 60
Menariknya, ansietas persisten berhubungan kuat dengan depresi, menandakan sindrom
afektif yang sangat berbeda pada PD, sedangkan ansietas episodik kurang berhubungan
dengan depresi namun cenderung dengan gejala fobia60, kemungkinan berkaitan dengan
kewaspadaan pasien PD akan penyakitnya dalam konteks sosial. Perbedaan nyata ini pada
ansietas persisten dan episodik menunjukkan bahwa wawancara psikiatrik terstruktur harus
dilakukan pada mereka dengan nilai yang tinggi pada skala gejala afektif. Sebagai catatan,
gejala ansietas juga berkaitan dengan gejala motor, yang lebih sering pada pasien dengan
FM dan lebih sering terjadi pada kondisi off (lihat bagian FNM), meskipun pada
kebanyakan kasus, gejala ansietas nampaknya terjadi tanpa adanya hubungan temporal
apapun dengan bagian motor spesifik.61

Etiologi ansietas pada PD

Degenerasi lokus koeruleus yang terjadi lebih awal pada PD62 mungkin berperan dalam
perkembangan ansietas pada pasien-pasien,63 dan hipotesis ini didukung dengan beberapa
temuan pada sebuah penelitian PET64: rendahnya ikatan [11C]RTI-32, dengan afinitas baik
terhadap dopamin dan noradrenalin, ditemukan pada lokus koeruleus yang pasien depresi
dibandingkan dengan pada pasien non-depresi. Selain itu, korelasi negatif ditemukan antara
ikatan lokus koeruleus [11C]RTI-32 dan keparahan ansietas pada PD mendukung peran
langsung dari norepinefrin pada patofisiologi ansietas pada PD.

Manajemen ansietas pada PD

Tidak ada penelitian terkontrol untuk pengobatan ansietas pada PD, namun beberapa
penelitian depresi telah melaporkan keuntungan sekunder untuk gejala ansietas selama
pengobatan antidepresan. Terdapat keuntungan signifikan pada nortriptilin dibanding
plasebo pada sebuah pengukuran ansietasm dan tren ke keuntungan signifikan dari
paroksetin.36
Untuk pasien-pasien yang mengalami ansietas sebagai bagian dari keadaan off, penyesuaian
medikasi PD dapat dibuat dalam rangka untuk mengurangi durasi dan keparahan episode
ini (lihat bab FNM). Meskipun begitu, banyak pasien membutuhkan pengobatan dengan
bensodiazepin, walaupun obat kelas ini harus digunakan secara hati-hati pada pasien PD
karena propensitasnya untuk meningkatkan sedasi, ketidaseimbangan berjalan, dan
kerusakan kognitif.65 Beberapa penelitian preliminari dan beberapa penelitian terkontrol
menunjukkan bahwa CBT berguna dalam PD; serta ada rekomendasi terkini untuk
mengadaptasi CBT untuk mengobati gejala-gejala ansietas dan depresi pada PD. 66 Ini
didukung pada penelitian terkini acak waistline-controlled pada pasien-pasien PD dengan
ansietas dan/atau depresi, yang menunjukkan ukuran efek CBT yang signifikan secara
statistik (d=1,12).51 Halangan potensial untuk CBT pada populasi PD adalah adanya
kerusakan kognitif dan kesulitan menghadiri in-person visit. Oleh karena itu, CBT berbasis
telpon dan internet menjadi lebih populer.

3. PSIKOSIS

Gejala-gejala psikosis pada PD meliputi halusinasi dan delusi, dan kejadinannya pada
pasien-pasien PD adalah prediktor untuk adanya panti jompo67 dan mortalitas.68 Halusinasi
visual merupakan manifestasi paling tipikal. Pasien sering melihat orang, hewan, atau
obyek statis. Halusinasi visual cenderung terjadi intermiten entah pada siang hari ataupun
pada saat kondisi lampu remang-remang dan dapat bertahan dari detik hingga beberapa
menit. Frekuensi okurensinya dapat bervariasi dari sangat jarang hingga beberapa kali
dalam seminggu, namun pada stadium lanjut, ini dapat terjadi berkali-kali dalam sehari atau
bahkan persisten. Insight dapat hilang seiring penyakit memburuk atau ketika ada
kerusakan kognitif. Terkadang, halusinasi dapat menjadi tema paling buruk. Selain itu,
kerusakan visuopersepsi lainnya dapat terjadi, meliputi kejadian ilusioner, sensasi berjalan
di tepi (passage hallucination), dan sensasi keberadaan (extracampine atau halusinasi
sosial69). Halusinasi pada modalitas lain (auditori, taktil, dan olfaktori) dapat juga terjadi
namun jarang.67, 70

Tabel 13.4 Kriteria diagnosis NINDS-NIMH untuk psikosis pada PD


Kriteria diagnosis
Kriteria A Gejala karakteristik Adanya minimal satu dari gejala ini:
Ilusi
False sense of presence
Halusinasi
Delusi
Kriteria B Diagnosis utama Kriteria UK Brain Bank untuk PD
Kriteria C Kronologi onset gejela psikosis Gejala pada kriteria A terjadi setelah
onset PD
Kriteria D Durasi Gejala pada kriteria A rejadi rekuren
atau kontinu selama 1 bulan
Kriteria E Eksklusi penyebab lain Gejala pada kriteria A tidak karena
penyebab lain dari parkinsonisme
seperti demensia dengan badan Lewy,
kelainan psikiatrik, atau kondisi medis
umum, termasuk delirium.

Delusi terjadi ketika insight cukup baik, sehingga sering berhubungan dengan derajat
kerusakan kognitif. Delusi pada PD cenderung paranoid (yaitu kepercayaan bahwa
seseorang akan menyakiti) secara alamiah. Fenomena lainnya, termasuk misidentifikasi
delusional (yaitu sindrom Capgras dan Fregoli)71, 72 yang akan dibahas berikut ini.

Epidemiologi Psikosis pada PD

Gejala psikotik memengaruhi hingga 60% pasien PD jangka panjang,68, 70, 73


meskipun
prevalensi tepatnya masih belum jelas. Perkembangan terkini untuk kriteria yang jelas akan
membantu dalam menjelaskan dan menginvestigasi epidemiologi dan etiologi dari gejala-
gejala ini (Tabel 13.4).74

Halusinasi visual yang kompleks terjadi pada 7% hingga 25% pasien PD, namun meningkat
menjadi 41% hingga 87% pada pasien PDD.67, 75
Terkait delusi, penetuan prevalensi
sesungguhnya pada PD sangat sulit karena kejadiannya yang sering bersamaan dengan
halusinasi visual. Meskipun begitu, tampaknya delusi murni tanpa halusinasi (prevalensi 4-
5%) mungkin terjadi lebih jarang dibanding halusinasi.68, 70, 76

Faktor risiko halusinasi visual


Psikosis dapat bermanifestasi di seluruh spektrum penyakit PD, bahkan pada stadium
awal,77 meskipun ini khususnya terjadi di stadium akhir. 68 Faktor risiko untuk halusinasi
visual meliputai durasi penyakit,78, 79 keparahan penyakit, 71 penyakit okular, 80 usia lebih tua
saat onset PD,68 depresi,81 dan RBD.82 Faktor risiko lainnya adalah penurunan performa
kognitif.77 Peran dari kerusakan kognitif adalah utuh dan di lain hal, okurensi halusinasi
visual pada PD dapat menjadi pertanda buruk untuk penurunan fungsi kognitif, dengan
adanya demensia sebelumnya dapat menyebabkan penurunan yang cepat. 83, 84 Halusinator
PD cenderung untuk memiliki lebih banyak disfungsi eksekusi, perhatian yang lebih buruk,
dan fungsi visuopersepsi yang lebih buruk dibandingkan dengan nonhalusinator, 81, 85
dan
kerusakan pada atensi 85,86 serta fungsi visuopersepsi87 merupakan pusat dari berbagai model
etiologi halusinasi visual.88, 89 sehingga itu mungkin terdapat proses neuropatologis umum
yang menyebabkan terjadinya halusinasi dan penurunan kognitif.

Etiologi psikosis pada PD

Peran dari dopamin dan DRT pada etiologi psikosis pada PD masih kontroversial.
Sementara agonis dopamin cenderung berhubungan dengan peningkatan risiko halusinasi
visual79, ini diketahui bahwa pasien demensia dengan badan Lewy (DLB) dapat mengalami
halusinasi visual serupa tanpa terpapar DRT, dan terdapat laporan historik terkait pasien-
pasien PD stadium akhir pada era pre-levodopa yang mengalami halusinasi. Serupa,
levodopa intravena pada pasien PD halusinasi tidak mempresipitasi halusinasi. 90 Ini, seiring
dengan observasi bahwa antikolinergik dapat menimbulkan halusinasi visual 91 dan inhibitor
kolinesterase (cholinesterase inhibitor, ChEI) dapat memperbaikinya, menandakan bahwa
penjelasan terkait dopamin murni untuk psikosis PD adalah tidak mungkin, dan bahwa
disregulasi pada sistem neurotransmiter lain (yaitu sistem kolinergik dan serotonergik) juga
berperan penting.92

Manajemen psikosis pada PD

Psikosis PD dapat sulit untuk diobati, dan tidak ada penelitian sistematik yang
mengevaluasi intervensi nonfarmakologik, meskipun penelitian kecil menunjukkan
keuntungan ECT untuk pasien-pasien yang refraktori terhadapt antipsikotik. 93 Prakteknya,
penghilangan antikolinergik, diskontinuitas agonis dopamin, dan reduksi levodopa dapat
membantu mengurangi gejala-gejala psikotik, terutama pada stadium awal, dan urutan
spesifik untuk withdrawal telah disarankan diawali dari antikolinergik dan amantadin,
hingga ke agonis dopamin/inhibitor COMT, dan terakhir, bila perlua, levodopa. 94 Meskipun
begitu, reduksi terapi dopamin dapat sulit untuk dilakukan karena kegunaannya untuk
mengobati gejala motorik. Pentingnya, pendekatan psiko-edukatif, dan strategi-strategi
coping spesifik dapat berguna. Teknik coping meliputi pendekatan visual (melihat arah lain
atau lebih berfokus pada halusinasi), kognitif (menyalakan lampu, meyakinkan diri bahwa
itu tidak nyata), dan interaktif (berbicara atau berinteraksi dengan peruwat).95

Intervensi farmakologik spesifik (Tabel 13.5) meliputi penggunaan antipsikotik. Bukti


terbaik adalah untuk clozapine96, yang dapat digunakan dengan dosis lebih rendah
dibanding penggunaannya untuk skizofrenia, yaitu 12.5 hingga 50 mg/hari. Meskipun
begitu, penggunaan luas clozapine terbatas karena efek sampingnya, berpotensi untuk
menginduksi agranulositosis, dan harus dilakukan pemantauan darah berkala. Oleh karena
itu, agen antipsikotik atipikal lebih sering digunakan. Namun begitu, baik olanzapine
maupun risperidone menunjukkan kurangnya efikasi dan efek samping pada pasien-pasien
PD dan tidak boleh digunakan.97 Quetiapine merupakan antipsikotik yang paling sering
digunakan untuk psikosis PD, namun hanya ada sedikit bukti dari penelitian terkontrol
untuk efikasinya pada PD, dengan kebanyakan menunjukkan tanpa efek dan/atau efek
samping berarti. Pada ulasan sistematik yang disponsori oleh Movement Disorder Society,
disimpulkan bahwa terdapat insufisiensi bukti untuk penggunaan quentiapine untuk
psikosis pada PD, namun tolerabilitasnya bisa diterima.98 Sebagai catatan, pengunaan
antipsikotik berkepanjangan dapat menyebabkan efek merusak pada kognitif99, dan mereka
secara signifikan meningkatkan risiko kejadian serebrovaskuler dan mortalitas pada lansia
dengan demensia pada umumnya.100 Oleh karena itu, meskipun terdapat penelitian jangka
pendek yang menyatakan tolerabilitasnya baik, agen-agen ini harus digunakan dengan hati-
hati pada pasien-pasien PD, terutama pada mereka dengan kerusakan kognitif.

CheI, khususnya rivastigmin, mungkin menjadi opsi pengobatan lini pertama, karena agen
ini dapat meningkatkan kognitif, fungsi aktivitas sehari-hari, dan juga NPS. Semakin sering
halusinasi visual muncul sebagai efek samping pada kelompok plasebo di penelitian
EXPRESS101 menandakan efek protektif potensial untuk kejadian halusinasi visual dengan
rivastigmin pada PDD. Meskipun begitu, pada serial kecil, tidak ada bukti sistematik bahwa
CheI dapat memperbaiki gejala psikotik pada PD.

Obat lain seperti memantin (antagonis NMDA) dan ondansetron (antagonis 5-HT3) telah
dianggap sebagai pengobatan untuk PD psikosis. Secara kesuluruhan, keuntungan terapetik
memantin masih inkonklusif, dan dari perspektif psikosis perbaikan pada NPI pasien
dengan PDD tidak ditemukan, meskipun mungkin terdapat beberapa keuntungan pada
pasien DLB.102, 103 Agitasi dapat mengikuti psikosis pada PD, terutama dengan demensia.
Menariknya, sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa citalopram, SSRI, memperbaiki
agitasi pada AD104 dan oleh karena itu juga memberikan efek menguntungkan pada orang
dengan PD, demensia, psikosis, dan agitasi.

Obat baru yang menjanjikan untuk PD psikosis adalah pimavanserin, agonis inversi 5-
HT2A serotonin selektif tanpa afinitas dopaminergik, adrenergik, histaminergik, atau
muskarinik. Pada percobaan terbaru 6-mingguan dengan plasebo, keuntungan signifikan
dari pimavanserin ada di semua bagian, termasuk pada skor Scale for Assessment of
Positive Symptoms in Parkinsons Disease. Perbaikan lainnya ditemukan pada tidur malam
hari dan somnolen siang hari.105 Pimavanserin secara keseluruhan dapat diterima dan tidak
memperburuk gejala motorik. Elemen menarik pada penelitian ini adalah bahwa partisipan
yang layak mengikuti fase 2-mingguan nonfarmakologik untuk membatasi respon plasebo.
Dengan semua itu, pimavanserin tampaknya menjadi alternatif termungkin untuk
pengobatan psikosis pada PD.

Sindrom Misidentifikasi Delusional

Sindrom Misidentifikasi Delusional (SMD) merupakan terminologi payung untuk


fenomena yang dikarakteristikkan dengan misidentifikasi atau reduplikasi orang, tempat,
obyek, atau kejadian.115 Christdoulou mengatakan bahwa SMD terdiri dari empat subtipe
sindrom dasar, termasuk sindrom Capgras, sindrom Fregoli, intermetamorfi, dan kegandaan
subyektif.116 Peneliti lain juga memasukkan misidentifikasi bayangan (mirror image),
misidentifikasi televisi, hermaproditisme delusional, paramnesia reduplikatif, dan sindrom
mengasuh ke dalam SMD.117 Awalnya, SMD dianggap hanya berkaitan dengan penyakit
psikiatrik; meskipun begitu, SMD yang lebih terikini juga dilaporkan pada penyakit-
penyakit neurologik dan neurodegeneratif.117 Pada penelitian prospektif, SMD ada pada
16,7% pasien PD dengan demensia. Pasien PD dengan SMD menunjukkan kerusakan
fungsi kognitif yang lebih signifikan, termasuk bahasa, kelancaran verbal semantik, dan
memori.118 Sebagai konsekuensi dari prevalensi SMD yang relatif tinggi pada penyakit-
penyakit neurodegeneratif, diangap bahwa SMD memiliki basis anatomik. 117 Penelitian
neuroimaging telah menunjukkan lesi lobus frontalis dan daerah sekitarnya pada pasien-
pasien dengan SMD. Struktur lobus temporalis medial juga penting.119 Hingga sekarang,
tidak terdapat penelitian pengobatan farmakologik terkontrol yang sudah dilakukan.
Meskipun begitu, literatur mengindikasikan bahwa antipsikotik bisa menjadi efektif pada
pasien-pasien dengan SMD.117

4. APATI

Apati, didefenisikan sebagai penurunan pada perilaku goal-directed, verbal, dan motivasi,
adalah umum pada berbagai penyakit neurodegeneratif, termasuk demensia frontotemporal,
palsi supranuklear progresif, AD, DLB, dan PD. 120, 121
Apati biasanya diikuti dengan
hilangnya kewaspadaan diri, sehingga perubahannya pasti teramati dan menjadikan
perhatian kepada klinisi oleh peruwat. Asumsi umum adalah bahwa pasien depresi,
meskipun kurangnya dukungan mood sedih dan perubahan kognitif tipikal terlihat pada
depresi (yaitu rasa bersalah, tidak berdaya, gagasan bunuh diri, dan tidak berarti) malah
mendakan diagnosis apati.

Epidemiologi apati pada PD

Selama waktu yang lama, kita mengira bahwa apati dan depresi berhubungan erat.
Meskipun begitu, baru-baru ini muncul bahwa apati dapat terjadi tanpa depresi. Sebuah
studi yang membandingkan 80 pasien PD dengan 20 pasien distonia menunjukkan bahwa
apati tanpa depresi sering pada pasien PD (29%). 122 Apati dapat terjadi secara independen
untuk kerusakan kognitif pada PD, namun jauh lebih sering pada PD dengan demensia, 75, 120
dimana apati dapat terjadi hingga 50%.9
Tabel 13.5 Penelitian terkontrol acak ganda tentang intervensi farmakologik untuk psikosis
pada penyakit Parkinson

Etiologi apati pada PD

Perilaku goal-directed berhubungan dengan fungsi dopaminergik dan noradrenergik, dan


dengan aktivasi korteks frontalis dan ganglia basal. 12 Terdapat pemahaman baru untuk apati
pada PD, berdasarkan terutama pada hasil-hasil dari penelitian pencitraan struktural.
Penelitian ini menunjukkan hubungan antara apati dan penurunan volume gyri cingulata,
frontalis inferior, dan orbitofrontal.124, 125

Manajemen apati pada PD

Hanya terdapat saru penelitian terkontrol untuk apati pada PD. Ini adalah percobaan 12-
mingguan dengan plasebo pada 37 pasien PD dengan apati setelah stimulasi STN. Pada
penelitian ini, pasien secara acak di-reintroduksi dengan agonis dopamin D2/D3 (piribedil)
mengalami perbaikan yang lebih besar pada apati dibanding dengan pasien dengan
plasebo.126

Secara anekdot, psikostimula, (yaitu metilfenidat, dekstroamfetamin), camouran terkait


stimulan (yaitu modafinil), CheI adalah obat-obat yang digunakan pada praktek klinis,
namun efektivitasnya untuk apati masih belum diketahui.125 Berdasarkan neuropatofisiologi
apati, antidepresan dan medikasi lain yang meningkatkan aktivitas dopamin atau
norepinefrin (yaitu antidepresan trisiklik, antidepresan inhibitor ambilan ganda, bupropion,
dan atomoksetin) dapat menguntungkan127, meskipun masih perlu dilakukan penelitian
terkontrol.

5. IMPULSE-CONTROL DISORDERS

Kunci utama untuk ICDs (yaitu judi kompulsif, berbelanja kompulsif, perilaku seksual
kompulsif, makan kompulsif, dan pengunaan dopamin berlebih) adalah resistensi tak sukses
pada impuls, pengendalian, ataupun keinginan yang berpotensi membahayakan pasien itu
sendiri dan/atau sekitarnya.20

Epidemiologi ICD pada PD


ICD semakin dikenal sebagai kelainan yang umum dan signifikan secara klinis pada
PD.128 Data dari studi epidemiologis besar melibatkan 3090 pasien PD menunjukkan nilai
prevalensi 13,6% untuk ICD (judi kompulsif 5%, perilaku seksual kompulsif 3,5%,
berbelanja kompulsif 5,7%, dan kelainan makan banyak 4,3%).128 Penelitian menunjukkan
bahwa faktor risiko terkuat untuk berkembangnya ICD pada PD adalah pengobatan agonis
dopamin dan usia muda.128 Pasien-pasien yang diobati dengan agonis dopamin memiliki
risiko sekitar 3 kali lebih tinggi untuk memiliki ICD dibandingkan dengan pasien yang
tanpa pengobatan agonis dopamin.128 ICD pada PD seringkali diikuti dengan depresi.128

Etiologi ICD pada PD

Meskipun belum terlalu diketahu tentang etiologi ICD, koinsidensi ICD dan depresi
menunjukkan patofisiologi yang serupa.129 Temuan menarik cognitive neuroscience
menunjukkan peningkatan nilai pembelajaran untuk hasil pendapatan (versus
kehilangan),130 preferensi kuat untuk reward langsung,131 peningkatan pengambilan risiko,
132
perubahan pembelajaran reward-punishment,133, 134 dan peningkatan mencari kebaikan135
pada pasien PD dengan ICD dibanding dengan yang tanpa ICD. Selain itu, sejumlah studi
telah melaporkan kerusakan fungsi kognitif, terutama fungsi eksekutif.

Manajemen ICD pada PD

Saat ini, tidak ada pengobatan berdasar bukti yang bisa diandalkan. Pendekatan terapetik
yang umum adalah untuk mengurangi, mengganti, atau menunda DRT. Satu studi acak
terkontrol memeriksa efek 12 sesi CBT dibanding kondisi waitlist-control pada pasien-
pasien PD dengan ICD yang secara klinis signifikan. 136 Penelitian CBT ini menunjukkan
perbaikan signifikan pada ICDs terkait PD dalam hal luaran pasien. Dan juga, terdapat
perbaikan signifikan pada pengukuran ansietas dan depresi.

Vous aimerez peut-être aussi