Vous êtes sur la page 1sur 14

abat Tangan Dengan Wanita Dalam

Pandangan 4 Madzhab
Para ulama terdahulu maupun sekarang, baik para ahli fikih, ahli tafsir, ahli
hadits dan selainnya, mereka mengharamkan bagi wanita untuk berjabat tangan
dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Dan tidak ada dari ulama-ulama
tersebut yang menyelisihi pendapat itu sampai saat ini, kecuali hanya sebagian
ulama pada jaman ini yang memfatwakan perkataan yang menyimpang dari
syariat, mengenai bolehnya wanita berjabat tangan dengan laki-laki non
mahram.

By Rian Permana, S.T. 29 January 2013


60 14360
Print PDF

Fatwa Syaikh Khalid bin Abdil Mun'im Ar Rifa'i

college essay writer

Soal:
Saya adalah pemudi dari Maroko yang sedang menetap di negara Perancis dan sudah
bersungguh-sungguh dalam berpakaian Islami. Saya menolak untuk berjabat tangan dengan laki-
laki dari keluarga saya dengan alasan mereka bukanlah mahram saya. Akan tetapi mereka
mengingkari hal ini dan menentangnya dengan keras serta mengatakan bahwa berjabat tangan
dengan lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan sebagaimana yang difatwakan oleh
salah satu dai Islam yaitu Dr. Yusuf Qardhawi. Aku memohon untuk diberikan dalil-dalil dari
Al-Quran dan As-Sunnah untuk menjelaskan kepada mereka akan perkara ini, agar dapat
memberikan keterangan mengenai kesalahan Dr. Yusuf Qardhawi dengan jawaban ini.
Jazaakumullahu Khairan.

Jawab:

Para ulama terdahulu maupun sekarang, baik para ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadits dan selainnya,
mereka mengharamkan bagi wanita untuk berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan
mahramnya. Dan tidak ada dari ulama-ulama tersebut yang menyelisihi pendapat itu sampai saat
ini, kecuali hanya sebagian ulama pada jaman ini yang memfatwakan perkataan yang
menyimpang dari syariat, mengenai bolehnya wanita berjabat tangan dengan laki-laki non
mahram.

Maka kami akan menyebutkan beberapa perkataan ulama madzhab yang terkenal dengan
keilmuannya akan Al-Quran dan Hadits Nabi. Sehingga dapat memberi pengetahuan bahwa
perkataan yang menyelisihinya adalah perkataan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan Al-
Quran dan hadits Nabi.

Madzhab Hanafi

Penulis kitab Al-Hidayah berkata: Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menyentuh
wajah atau telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat

Penulis kitab Ad-Dur Mukhtar mengatakan: Tidak diperbolehkan menyentuh wajah atau telapak
tangan wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat

Madzhab Maliki

Imam Ibnul Arabi, yang merupakan ulama madzhab Maliki, berkata mengenai firman Allah yang
artinya Ketika datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji
setia kepadamu, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun (Al-
Mumtahanah: 12) (Ayat ini turun berkenaan dengan wanita-wanita muslimah yang ingin berbaiat
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam. pent). Kemudian beliau menerangkan hadits
dari Urwah bahwasanya Aisyah Radhiyallahu Anha berkata: Rasulullah ShallallahuAlaihi
wasallam diuji dengan ayat ini Jika datang kepadamu perempuan-perempuan beriman.
Mamur berkata bahwasanya Ibnu Thawus mengabarkan dari bapaknya: Tidak boleh seorang
laki-laki menyentuh tangan perempuan kecuali perempuan yang ia miliki.

Aisyah Radhiyallahu Anha juga mengatakan di dalam Kitab Shahih Bukhari-Muslim: Tangan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam tidaklah menyentuh tangan perempuan ketika
membaiat (mengadakan janji setia). Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam pun bersabda
(Ketika membaiat) Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, namun aku membaiatnya dengan
ucapanku kepada seratus orang wanita sebagaimana baiatku kepada satu orang wanita.
Diriwayatkan pula bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam berjabat tangan dengan
wanita menggunakan bajunya.

Pada riwayat yang lain, disebutkan Umar Radhiyallahu Anhu berjabat tangan dengan bajunya,
dan ia memerintahkan para wanita untuk berdiri di atas batu besar, kemudian Umar Radhiyallahu
Anhu membaiat mereka. Hadits ini riwayatnya dhaif, namun bisa menjadi penguat dari hadits-
hadits shahih di atas.

Imam Al-Baaji berkata dalam kitabnya Al-Muntaqa, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam
bersabda Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita. Yakni tidak berjabat tangan
langsung dengan tangannya. Dari hal tersebut, diketahui bahwasanya cara berbaiat dengan laki-
laki adalah dengan berjabat tangan dengannya, namun hal ini terlarang jika membaiat wanita
dengan berjabat tangan secara langsung.

Madzhab As-Syafii

Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu: Sahabat kami berkata bahwa diharamkan
untuk memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah dewasa. Karena
sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia
berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau
memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita
walaupun dalam keadaan demikian.

Imam Nawawi pun berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Hal ini menunjukkan bahwa cara
membaiat wanita adalah dengan perkataan, dan hal ini juga menunjukkan, mendengar ucapan
atau suara wanita yang bukan mahram adalah diperbolehkan jika ada kebutuhan, karena suara
bukanlah aurat. Dan tidak boleh menyentuh secara langsung wanita yang bukan mahram jika
tidak termasuk hal yang darurat, semisal seorang dokter yang menyentuh pasiennya untuk
memeriksa penyakit.

Madzhab Hambali

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu Fatawa, Haram hukumnya
memandang wanita dan amrod (anak berusia baligh tampan yang tidak tumbuh jenggotnya)
diiringi dengan syahwat. Barang siapa yang membolehkannya, maka ia telah menyelisihi Ijma
(kesepakatan) kaum muslimin. Hal ini juga merupakan pendapatnya Imam Ahmad dan Imam
Asy-Syafii. Segala hal yang dapat menimbulkan syahwat, maka hukumnya adalah haram tanpa
keraguan di dalamnya. Baik itu syahwat yang timbul karena kenikmatan memandang atau karena
hubungan badan. Dan menyentuh dihukumi sebagaimana memandang sesuatu yang haram.

Ibnu Muflih dalam Al-Furu mengatakan: Diperbolehkan berjabat tangan antara wanita dengan
wanita, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki tua dengan wanita terhormat yang umurnya tidak
muda lagi, karena jika masih muda diharamkan untuk menyentuhnya. Hal ini disebutkan dalam
kitab Al-Fusul dan Ar-Riayah.

Beliau juga bercerita dalam kitab Kasyful Qina : Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya
mengenai seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, maka
beliau menjawab, Tidak boleh!. Karena ingin mendapat penjelasan lebih, maka aku bertanya:
Bagaimana jika berjabat tangannya dengan menggunakan kain?. Abu Abdillah pun
mengatakan : Tidak boleh!. Laki-laki yang lain ikut bertanya: walaupun ia mempunyai
hubungan kerabat? Abu Abdillah (Imam Ahmad) juga mengatakan, Tidak boleh! Kemudian
Aku bertanya lagi, Bagaimana jika ia adalah anaknya sendiri?. Maka Abu Abdillah menjawab:
jika yang ia jabat tangani adalah anaknya, maka hal ini tidaklah mengapa.

Dari nukilan-nukilan di atas, menunjukkan bahwa berjabat tangan langsung dengan wanita asing
yang bukan mahram adalah salah satu diantara kemaksiatan yang telah tersebar di kalangan
manusia. Dan hal ini termasuk kemungkaran jika diukur dari sisi syariat, karena hal tersebut
merupakan perbuatan yang buruk atau tanda rusaknya agama seseorang.

Dan sungguh terdapat ancaman yang keras kepada orang-orang yang menyentuh wanita yang
bukan mahramnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Dari Maqil bin Yasar,
bahwasanya Rasulullah bersabda, Sesungguhnya salah seorang diantara kalian jika ditusuk
dengan jarum dari besi , itu lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang bukan
mahramnya, (HR. Thabrani dan juga Baihaqi).

Aisyah Radhiyallahu Anha berkata Demi Allah, segala hal yang Rasulullah Shallallahu
Alaihi wasallam tetapkan bagi wanita, maka hal itu adalah perintah dari Allah Taala. Dan
tangan Rasulullah tidaklah menyentuh tangan wanita. Dan perlu diketahui, bahwa menyentuh
dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram akan menimbulkan kerusakan yang
sangat banyak. Diantaranya akan menimbulkan syahwat (nafsu) atau keinginan negatif dan
hilangnya rasa malu. Karena barang siapa wanita yang bermudah-mudahan dalam menjulurkan
tangannya kepada laki-laki yang bukan mahram, maka ia tidak akan segan untuk melakukan
yang lebih hina dari itu.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/15452

Penerjemah: Rian Permana

dieti natura avis

Artikel Muslim.Or.Id
eputar Jabat Tangan
Penulis: Ammi Nur Baits Murojaah: Ustadz Aris Munandar Pengertian Al
Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: Para ulama kami
(Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada
telapak

By Redaksi Muslimah.Or.Id September 28, 2008


25 3411 59

Penulis: Ammi Nur Baits


Murojaah: Ustadz Aris Munandar

Pengertian

Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan:
Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan
beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam. (Hasyiyah Al
Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)

Ibn Hajar mengatakan: Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang
lain. (Fathul Bari, 11/54)

Hukum

An Nawawi mengatakan: Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang disepakati
sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.

Ibn Batthal mengatakan: Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya
ulama. (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)

Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-
laki atau sesama wanita.

Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:

Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara
para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ? Anas menjawab: Ya. (HR. Al
Bukhari, 5908)
Abdullah bin Hisyam mengatakan: Kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab. (HR. Al Bukhari
5909)
Kaab bin Malik mengatakan: Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku,
menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku. (HR. Al Bukhari 4156)

Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat
tangan.

Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan
pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah
taala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim alaihis salam. Allah
berfirman, yang artinya: (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan:
Salaamun Ibrahim menjawab: Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.
(QS. Ad Dzariyat: 25)

Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim alaihis salam dan
mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di antara kebiasaan orang
saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya
mengucapkan salam.

Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat
tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin Uyainah pernah menemui
beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan:
Andaikan bukan karena bidah, niscaya aku akan memelukmu. Sufyan bin Uyainah
mengatakan: Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pernah memeluk Jafar ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: Itu khusus
(untuk Jafar). Komentar Sufyan: Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Jafar juga
berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin). (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 2/13949)

Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan
antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya
pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.

Keutamaan Berjabat Tangan

1. Terampuninya dosa
o Dari Al Barra, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah dua
orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa
keduanya selama belum berpisah. (Shahih Abu Daud, 4343)
o Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain,
kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya
akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.
(Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam As Shahihah, 525)
2. Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Maukah kalian aku tunjukkan suatu
perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai? yaitu:
Sebarkanlah salam di antara kalian. (HR. Muslim 93)

Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika
salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.

3. Menimbulkan ketenangan jiwa


4. Menghilangkan kebencian dalam hati
o Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan permusuhan.
Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dhaifah, 1766)
o Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati
kalian. (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha dan didhaifkan oleh Syaikh Al
Albani)

Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di
antaranya adalah:

Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki
pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.

5. Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut

Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Penduduk
Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian. Anas bin
Malik radhiyallahu anhu berkomentar tentang sifat mereka: Mereka adalah orang yang
pertama kali mengajak untuk berjabat tangan. (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al
Albani, As Shahihah, 527)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang
hatinya lebih lembut dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk
mengajak jabat tangan.

Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan

Ibn Batthal mengatakan:

Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi mencium tangan ketika bersalaman. Imam Malik
melarangnya, sementara yang lain membolehkannya. (Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal
17/50)

Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:

Abu Lubabah & Kaab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak
mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu alaihi wa Sallam ketika
taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail & Ibn Al Maqri.
Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan dalam Al
Jami & disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya
Zaid. (HR. At Thabari & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa
komentar)
Usamah bin Syarik mengatakan: Kami menyambut Nabi shallallahu alaihi wa sallam
dan kami mencium tangannya. (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.)

Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan
ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan
beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan.

Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini diperbolehkan jika tidak sampai
menimbulkan perasaan mengagungkan kepada orang yang dicium tangannya dan merasa rendah
diri di hadapannya. Karena hal ini telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad
ala Ahlil Bida, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)

An Nawawi mengatakan: Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya,
mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu
hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya,
kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan
Abu Said Al Mutawalli mengatakan: Tidak boleh (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)

Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil keterangan ulama yang
lain, disimpulkan bahwa mencium tangan diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:

Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium


Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium
(keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)

Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis

Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa
kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian
pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian
mengharamkan secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian
berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata
putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk
menerapkan firman Allah: Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir. (QS. An Nisa: 59)
Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:

Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis

Ulama Mazhab Hanafi

Diperbolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari munculnya syahwat dari
kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga mereka membedakan antara yang tua dan
yang masih muda. Berdasarkan kemungkinan munculnya syahwat.

Ulama Mazhab Maliki

Mazhab ini secara tegas melarang jabat tangan, dan tidak membedakan antara yang sudah tua
maupun yang masih muda.

Ulama Mazhab Syafii

Sebagian syafiiyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya benda yang melapisi dan
aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang mengarah pada perzinaan. Sebagian yang lain
melarang secara mutlak. Dan pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas Syafiiyah. Di
antaranya adalah An Nawawi dan Ibn Hajar al Asqalani.

Ulama Mazhab Hambali

Dalam mazhab ini ada dua pendapat. Pertama melarang secara mutlak tanpa membedakan antara
yang muda, yang tua dan yang kedua memakruhkan jika dilakukan dengan yang sudah tua.

Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.

Kedua, Apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?

Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan: Aku


mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang
membaiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu
mengatakan: Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak
dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.

Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: Dalam masalah yang kalian
bisa dan kalian mampu. Para wanita itu mengatakan: Allah dan Rasul-Nya shallallahu
alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami
akan membaiatmu wahai Rasulullah!

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan
dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana
ucapanku untuk satu wanita. (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam
As Shahihah, 2/64)

Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan: Jika ada wanita mukmin yang berhijrah
kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah
dalam surat Al Mumtahanah ayat 10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka Hai Nabi,
apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan
baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam
urusan yang baik, maka terimalah baiat mereka (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d
ayat 12)

Kata Aisyah radhiyallahu anha: Wanita mukmin yang menerima perjanjian ini berarti
telah lulus ujian. Sementara jika para wanita telah menerima perjanjian tersebut secara
lisan maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: Pergilah,
karena aku telah menerima baiat kalian. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun.
Beliau hanya membaiat dengan ucapan. (HR. Al Bukhari, 7214)

Dari Abdullah bin Amr bin al Ash mengatakan: Sesungguhnya Nabi shallallahu
alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat. (HR. Ahmad
2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)

Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam
kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus
menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat
tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:

Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen
baiat merupakan momen yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini
akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh karena itu, para wanita
yang berbaiat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mereka mengajak beliau untuk berjabat
tangan. Namun demikian, Beliau menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat
kuat bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.

Kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah,
manusia yang mashum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya
niat jahat dalam batin Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika harus berjabat tangan dengan
wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat
tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada. Lengkap
sudah posisi Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan. Ada faktor
pendorong yang kuat dan tidak adanya faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak
bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya
bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.

Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn Athiyah dan At Tsalabi: ulama sepakat
bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan
wanita yang bukan mahramnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma ini, diharapkan bisa
memutus segala perselisihan apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan jabat
tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas
mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita,
dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak
pernah berjabat tangan dengan wanita asing.

Ketiga, Apakah sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?

Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan suatu
perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya
menunjukkan hukum makruh.

Al Jas-shas mengatakan: Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam semata. (Al Ushul, 1/210)

As Syaukani mengatakan: Sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan suatu


perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.

Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum
sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan suatu
perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As
Syafii, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini,
Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan
adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al
Fakhr Ismail, dan Abu Yala Al Farra.

Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: Ini adalah pendapat para peneliti di antara ahli hadis.
Penulis kitab Al Hawi mengatakan: ini adalah pendapat kebanyakan ulama' (Afalur Rasul
shallallahu alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam Mushafaha Al Ajnabiyah fi
mizanil Islam, 67)

Kesimpulan:

Berdalil dengan hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak
berjabat tangan dengan wanita asing tidak cukup untuk menghukumi haramnya berjabat tangan
dengan wanita. Karena semata-mata Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan suatu
perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Untuk menegaskan hukum haram, memerlukan
dalil khusus yang menegaskannya. Lalu, apakah ada dalil tegas yang melarang perbuatan
tersebut?

Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:

Pertama, Dari Maqil bin Yasar radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh
tangan wanita yang tidak halal baginya. (HR. At Tabrani dalam Al Mujam Al Kabir,
20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)

Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali
bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala, bahwasanya Maqil bin Yasar mengatakan:
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus perselisihan ulama dalam
masalah ini. Sehingga siapapun yang berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan
pengekor hawa nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya:
Keterangan ulama tentang status hadis ini:

Ibn Hajar Al haitami mengatakan: Sanadnya sahih. (Az Zawajir, 368)

Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: Perawinya adalah para perawi kitab shahih. (Al Majmauz
Zawaid, 7718)

Syaikh Al Albani mengatakan: Hadis ini sanadnya jayyid (As Shahihah, 1/447)

Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut:
Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali
Syaddad bin Said. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu
hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Main menganggap
Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: Shaduq namun
hafalannya agak rusak. Ibn Hibban mengatakan: Terkadang keliru.

Sedangkan riwayat Syaddad bin Said menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai
berikut:

Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul Ala, dari Maqil bin Yasar radhiyallahu anhu,
secara mauquf (perkataan Maqil bin Yasar dan bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam). Maqil mengatakan: Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke
kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahram.
(HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)

Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim.
Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin
Said. (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Maqil bin Yasar radhiyallahu anhu.

Kedua, Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti dia alami
dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah
zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-
angan, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua. (HR. Muslim
6925)

Beberapa keterangan untuk hadis ini:

An Nawawi mengatakan: Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan
zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke
dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal
yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha
untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan
tangannya, atau menciumnya (Syarh Shahih Muslim, 8/457)

Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah
judul: Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.
(Shahih Ibn Hibban, 10/269)

Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: Bab, digunakan istilah zina untuk
anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.
(Shahih Ibn Hibban, 10/367)

Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan
bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang
mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis
adalah pernyataan pendapat beliau.

Al Jas-shas mengatakan: Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan
zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen). (Ahkam Al Quran, 3/96)

Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan
pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan
zina yang hakiki adalah zina kemaluan.

Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah radhiyallahu anhu) dapat disimpulkan bahwa jabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram
baik oleh orang muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.

Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.

Vous aimerez peut-être aussi