Vous êtes sur la page 1sur 4

Pengertian Asas Legalitas

Bahwa, dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan
perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Asas Legalitas ( Principle of Legality ) adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam per Undang - Undangan. Biasanya ini juga dikenal dengan bahasa latin yaitu : "
Nullum dellictum nulla poena sine previa lege " .

Asas Legalitas ini mengandung tiga pengertian, yaitu :


1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam aturan Undang - undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan - aturan hukum pidana tidak berlaku surut ( Retroaktif )
Perumusan Asas Legalitas dari Von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan
berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori " vom psycologischen
zwang ", yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan -
perbuatan yang dilarang didalam peraturan bukan saja tentang macamnya
perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi tentang macamnya pidana
yang diancamkan.

Dalam suatu Per Undang - Undangan Asas Legalitas itu diatur dalam pasal 1 ayat 1, Kitab
Undang - undang Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa : " Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana. kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan per Undang - Undang pidana yang telah
ada " .

Asas Non-Retroaktif
Sebenarnya yang menjadi asas adalah non-retroaktif, yaitu asas yang melarang
keberlakuan surut dari suatu undang-undang. Asas ini sesuai dengan pasal
2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie(AB). Dalam hukum
pidana, asas ini dicantumkan lagi dalam pasal 1 ayat (1) KUHP:
Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan
pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu

Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP
menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk undang-undang
ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan
kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang
merupakan tindak pidana atau tidak.

Selain itu, asas non-retroaktif ini juga disebutkan dalam Pasal 28I Undang-Undang
Dasar RI Tahun 1945:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun

Penyimpangan dari asas non-retroaktif dalam KUHP ada dalam pasal 1 ayat (2) KUHP,
yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang
baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Pasal ini
berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim
dalam putusan terakhir.

NEBIS IN IDEM
Nebis in Idem adalah salah satu asas dalam hukum ,yang memiliki pengertian sebagai tindakan
yang tidak boleh dilakukan untuk kedua kalianya dalam perkara yang sama, contonya ,seseorang
tidak boleh di tuntut untuk kudua kalinya dalam kasus yang sama. Nebis in idem lazim
disebut execeptio rei judicatae atau gewijsde zaak. Permasalahan nebis in idem ini diatur dalam
pasal 1917 KUHPerdata. Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana:

1. Apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan,


2. dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seprti menolak
gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri opportet. Kalau
putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat
dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/
1977 yang menyatakan, antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi
tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat
diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikutsertakan sehingga masih terbuka kemungkinan
untuk menggugat lagi.
3. Objek, Subjek dan Materi pokok yang sama

Asas kadaluwarsa

aluarsa (lewat waktu/verjaring) memang dikenal dalam hukum, baik dalam teori maupun dalam
prakteknya. Adapun pengertian dari daluwarsa adalah dengan adanya lewat waktu -waktu mana
ditetapkan oleh undang-undang- maka Jaksa kehilangan hak untuk menuntut suatu perkara
pidana.

Mengenai jangka waktu daluwarsa telah ditetapkan dalam Pasal 78 KUHP:

Untuk pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dengan alat cetak, jangka waktu daluwarsa adalah
satu tahun, lewat satu tahun Jaksa kehilangan hak menuntut.

Untuk kejahatan yang ancaman pidananya dibawah 3 tahun, jangka waktu daluwarsa adalah enam
tahun.
Untuk kejahatan yang ancaman kejahatannya diancam diatas tiga tahun, jangka waktu
daluwarsanya adalah dua belas tahun.

Untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, jangka waktu
daluwarsanya delapan belas tahun.

Bagaimana jangka waktu daluwarsa suatu perkara dihitung?


Pada prinsipnya daluarsanya suatu perkara dimulai satu hari setelah tindak pidana dilakukan,
kecuali untuk tindak pidana pemalsuan uang dan tindak pidana perampasan kemerdekaan. Untuk
tindak pidana pemalsuan uang, jangka waktu daluwarsa tidak dihitung satu hari setelah tindak
pidana pemalsuan uang dilakukan, melainkan satu hari setelah uang palsu itu beredar. Sedangkan
untuk tindak pidana perampasan kemerdekaan (vide Pasal 333 KUHP) jangka waktu daluwarsa
dihitung satu hari setelah orang itu (yang ditahan/dirampas kemerdekaannya) dibebaskan.

Asas Teritorial Hukum Internasional


Asas Teritorial adalah asas yang berdasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Dalam
masalah yang diterapkan oleh Asas Teritorial ini mendapatkan penerapan yang akan
menemui kesulitan dalam hal Tindakan Kriminal yang melibatkan antara 2 negara atu lebih
di suatu negara tersebut.
Contoh : Seseorang Pria menembakkan senjatanya di dalam wilayah negara Ruritania dan
melewati batas negara tersebut sehingga mengenai pria lain dan terbunuh di negara
Bloggovia. Dalam peristiwa ini adanya penembakkan yang terkena oleh seseorang, maka
penyelesaia yang tepat yaitu Asas Teritorial yang mengenal 2 metode pelaksanaan yaitu
secara Subyektif dan secara Obyektif.
Kedaulatan Teritorial Negara ada 4, yaitu:
Hubungan Kedaulatan dengan Wilayah
Perkembangan Kedaulatan Teritorial
Pembatasan Kedaulatan Teritorial
Prinsip Pengusaan Atas Wilayahnya

Asas Nasional Aktif atau asas personalitas.


Perundang-undangan hukum pidana berlaku untuk warga negara sendiri, baik perbuatan itu di-
lakukan di dalam negeri maupun di luarnegeri, hal ini merupakan asas nasional aktif atau prinsip
personal.

Asas nasionaliteit aktief atau personaliteit, yakni apabila warganegara Indonesia melakukan ke-
jahatan meskipun terjadi di luar Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia,
apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia----sedangkan
perbuatan pidana yang dilakukan warganegara Indonesia di negara asing yang telah menghapus
hukuman mati, maka hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan itu, hal ini diatur
dalam pasal 6 KUHP.

Asas Nasional Pasif


Undang-undang Indonesia juga berkuasa melakukan penuntutan terhadap siapapun juga di luar
negara Indonesia juga terhadap orang asing di luar Indonesia. Tolak pangkal pemikiran dari asas
perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya
atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas
pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan
yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi.
Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu
perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan;
6. Asas Universalitas

6. Asas Universalitas
Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang
terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional.
Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara
mana pun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional. Contoh:
pembajakan kapal di lautan bebas, pemalsuan mata uang negara tertentu bukan negara
Indonesia.
Jadi di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak
termasuk kedaulatan sesuatu negara mana pun, seperti: di lautan terbuka, atau di daerah kutub.
Yang dilindungi dilindungi di sini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana
menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga
kepentingan dunia. Secara universal (menyeluruh di seantero dunia) jenis kejahatan ini dipandang
perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang Jerman menamakan asas ini
weltrechtsprinzip (asas hukum dunia). Di sini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena
yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau
domisili terdakwa.
Hal ini diatur dalam KUHP pasal 4 ayat 4. Asas ini didasarkan atas pertimbangan, seolah-olah di
seluruh dunia telah ada satu ketertiban hukum.

Vous aimerez peut-être aussi