Vous êtes sur la page 1sur 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antara traktus genitalis dan traktus urinarius pada wanita ada hubungan
yang erat, berhubung dengan pertumbuhan alat-alat tersebut dalam masa
embrional dan foetal, dan berhubung dengan lokasi alat-alat genital dan
beberapa bagian traktus urinarius berdekatan di pelvis. Maka gangguan dan
penyakit pada sistem yang satu dapat mempengaruhi keadaan sistem yang
lain.
Ada beberapa macam gangguan pada sistem urogenikologi seperti
prolaps organ pelvis,overactive bladder, inkontinensia urin/alvi,gangguan
senggama, fistula rectovaginalis,infeksi saluran kemih serta PMS yang lazim
terjadi.
Bidan berperan dalam melakukan pengkajian serta melakukan asuhan
kebidanan apabila ditemukan masalah- masalah/gangguan dalam sistem
uroginekologi dan segera merujuk atau melakukan kolaborasi dengan dokter
yang berwenang. Dengan itu masalah akan dapat segera teratasi sehingga ibu
merasa nyaman dan selalu memberi dukungan dalam proses adaptasi yang
dilalui ibu. Wewenang dan tanggung jawab bidan untuk memberikan asuhan
yang sesuai dengan keb utuhan setiap individu sesuai dengan kompetensi yang
dimilikinya.

B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengidentifikasi adanya
tanda, gejala gangguan pada sistem uroginekologi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asuhan kebidanan pada klien pasca keguguran


Setelah dilakukan tindakan Dilatasi dan kuretase atas abortus pasien
dapat segera dipulangkan ,tetapi pada beberapa kasus yang mengalami
komplikasi (misalnya perdarahan banyak,anemia atau infeksi) dapat
dipertimbangkan untuk dirawat di RS. Tujuan perawatan adalah untuk
mengatasi anemia, infeksi serta pemulihan. Masa pemulihan adalah sekitar 2
minggu.
Jaringan hasil konsepsi yang dilakukan kuretase dapat dikirim ke
laboratorium PA.

B. Pengambilan Spesimen pada Pemeriksaan Diagnostik Kasus


Uroginekologi
Pengambilan spesimen merupakan salah satu dari serangkaian proses
yang dilakukan sebelum melakukan pemeriksan laboratorium. Supaya
spesimen memenuhi syarat untuk diperiksa, maka proses pengambilan
spesimen harus dilakukan dengan mengikuti kaidah yang benar. Spesimen
yang memenuhi syarat adalah jenisnya sesuai dengan pemeriksaan yang akan
dilakukan, volumenya mencukupi untuk tiap jenis pemeriksaan, kondisinya
layak untuk diperiksa (segar/tidak kadaluwarsa, tidak berubah warna, steril,
tidak menggumpal), antikoagulan yang digunakan sesuai, dan ditampung
dalam wadah yang memenuhi syarat.
Sebelum melakukan pengambilan spesimen, lakukan persiapan-
persiapan seperti berikut ini :
1. Persiapan pasien
Beritahukan kepada pasien tentang hal-hal apa yang harus dilakukan
dan tidak boleh dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan pengambilan
spesimen.
a. Persiapan secara umum, seperti puasa selama 8-10 jam sebelum
pengambilan spesimen (untuk pemeriksaan glukosa darah puasa, profil
lipid, profilbesi), tidak melakukan aktifitas fisik yang berat, tidak
merokok, tidak minum alkohol, dan sebagainya.
b. Jika pasien harus melakukan pengambilan spesimen sendiri (urin,
dahak, feses), jelaskan tata cara pengambilannya. Misalnya :kapan
harus diambil, bagaimana menampung spesimen dalam wadah yang
disediakan, mencuci tangan sebelum dan setelah mengambil spesimen,
membersihkan daerah genital untuk pengambilan sampelurin, dan
sebagainya.

c. Jika pengambilan spesimen bersifat invasif (misalnya pengambilan


sampeldarah, cairan pleura, ascites, sumsum tulang, dan sebagainya).
Jelaskan macam tindakan yang akan dilakukan.

2. Peralatan sampling
Pastikan semua peralatan sampling telah disiapkan sesaat sebelum
sampling. Penting untuk diperhatikan bahwa semua peralatan memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. bersih
b. kering
c. tidak mengandung detergent atau bahan kimia

d. terbuat dari bahan yang tidak mengubah zat-zat dalam spesimen

e. steril, apalagi jika spesimen akan diperiksa biakan (kultur) kuman

f. sekali pakai buang (disposable)

g. wadah spesimen tidak retak atau pecah, mudah dibuka atau ditutup
rapat, besar/ukurannya sesuai dengan volume spesimen yang diambil.

3. Antikoagulan
Antikoagulan adalah bahan kimia yang dipergunakan untuk
mencegah pembekuan darah. Umumnya yang digunakan adalah EDTA
(ethylendiamintetraaceticacid), natriumcitrat, heparin dan natrium fosfat.
Pemilihan antikoagulan harus sesuai dengan jenis pemeriksaan dan takaran
volumenya harus tepat. Mengenai antikoagulan akan dibahas pada
postingan yang lain.
4. Lokasi sampling

Sebelum melakukan sampling, tetapkan lokasi pengambilan sesuai


dengan jenis spesimen yang diperlukan.

a. Darah vena umumnya diambil dari vena median cubiti pada daerah
lengan di lipatan siku bagian dalam. Vena ini besar, cukup terlihat,
paling sedikit sakit dan kecil kemungkinanmemarnya.
b. Darah arteri umumnya diambil dari arteri radialis di
daerahpergelangan tangan.

c. Darah kapiler diambil dari ujung jari tangan, yaitu jari tengah atau
jari manis. Pada bayi diambil pada tumit 1/3 bagian tepi telapak kaki.

d. Spesimen untuk biakan kuman diambil pada daerah yang sedang


infeksi, kecuali darah dan cairan otak.

e. Sumsum tulang orang dewasa diambil pada tulang dada dan crista
iliaca anterior dan posterior. Pada anak-anak diambil pada bagian
proksimal tibia.

f. Lokasi pengambilan spesimen tidak boleh terdapat luka,


hematoma, infeksi, oedema. Untuk pengambilan spesimen darah, selain
tidak dilakukan pada tempat-tempat tersebut, juga tidak boleh dilakukan
pada daerah dimana darah sedang ditransfusikan dan intravena lines
(infus).

C. Identifikasi tanda dan gejala masalah pada sistem uroginekologi


1. Prolaps Organ Pelvis
Prolaps organ panggul adalah penurunan organ panggul melalui
dasar panggul menuju kanalis servikalis (Norwitz, 2006).
Menurut Jones (2002) Prolaps organ panggul yaitu kondisi dimana dinding
vagina serta organ panggul turun dari posisi yang seharusnya.
Organ panggul mencakup kandung kemih, rectum, rahim, indung
telur dan tuba falopi. semuanya disangga jaringan dan otot perut bawah.
Bagi wanita, proses persalinan yang melelahkan, menyakitkan dan
beresiko tinggi. Tekanan mengejan saat bersalin bisa melemahkan otot dan
jaringan perut bawah sehingga tidak lagi sempurna menyangga organ
panggul, terutama jika terjadi :
a. Robekan
b. Penggunaan alat bantu saat persalinan dan proses persalinan yang lama
c. Ukuran bayi yang terlalu besar
d. sering melahirkan
e. Hal lain yang bisa meningkatkan tekanan pada panggul

Gejala yang umumnya dirasakan adalah :


a. Rasa berat dan penuh dalam panggul
b. Merasakan sesuatu yang keluar dari vagina
c. Aktifitas meneran yang disertai rasa tidak nyaman dan nyeri pinggang
Pada kasus yang berlangsung berlarut-larut dapat disertai dengan
keluhan miksi berupa:

a. Sering buang air kecil


b. Rasa penuh dalam vesika urinaria
c. Inkontinensia urine
d. Retensio urine
Prolaps organ panggul tidak menyebabkan kematian tapi dapat
menimbulkan cacat permanen dan menurunkan kualitas hidup. Vagina
yang menonjol atau rahim yang keluar tentu merepotkan saat buang air
kecil harus diangkat dulu. Berjalan sulit karena ada ganjalan dan gesekan.
Prolaps organ panggul dapat diklasifikasikan :
a. Stadium 1-2
umumnya tidak ada keluhan dan tidak menggangu, bisa dilakukan
tindakan konservatif misalnya senam kegel
b. Stadium 3
dimana rahim telah keluar dari liang vagina, biasanya dilakukan operasi

c. Stadium 4
harus operasi karena rahim dan dinding vagina telah keluar dari lubang
vagina

2. Overactive bladder

Overactive bladder merupakan suatu jenis urge incontinence


(keluarnya urine secara tidak sadar, terjadi ketika tekanan kandung kemih
melebihi tekanan uretra selama fase pengisian) yang dihubungkan dengan
keinginan kuat untuk buang air kecil dan berhubungan dengan overaktif otot
detrusor.

Gejala yang terjadi pada overactive bladder antara lain :


a. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam
waktu 24 jam.
b. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk
berkemih.
c. Urgensi: keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun
penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi
penuh seperti keadaan normal.
d. Urge inkontinensia: dorongan yang kuat sekali untuk berkemih dan
tidak dapat ditahan sehingga kadangkadang sebelum sampai ke toilet
urine telah keluar lebih dulu.
Orang dengan overactive bladder mengalami kontraksi yang tak
teratur pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge
inkontinensia merupakan gejala akhir pada overactive bladder. Jumlah urine
yang keluar pada overactive bladder biasanya lebih banyak daripada
kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan overactive bladder pada mulanya
kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih,
akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini
secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan urine keluar
serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol
hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir
ditemukan 70 % pada kasus overactive bladder dan simptom nokturia
sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge
inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus overactive bladder.
Gejala overactive bladder biasanya berhubungan dengan kontraksi
involunter otot detrusor. Overactive otot detrusor, baik neurogenik maupun
idiopatik, dapat menyebabkan inkontinensia urgensi, tergantung pada respon
sfinkter. Overaktifitas detrusor dapat disebabkan miogenik. Kontraksi
detrusor dapat menjadi lemah akibat kontraktibilitas yang terganggu.
Pemeriksaan urodinamik menunjukkan hampir separuh pasien usia lanjut
dengan overaktifitas detrusor mengosongkan kurang dari sepertiga isi buli-
bulinya dengan kontraksi invonlunter. Pengosongan yang tidak lengkap
dapat menyebabkan frekuensi dengan menurunnya fungsi kapasitas buli-
buli.
Berbagai jalur eferen dan aferen saraf, refleks, dan neurotransmiter
sentral dan perifer terlibat dalam penyimpanan urine dan pengosongan buli-
buli. Hubungan antara faktor tersebut tidak dimengerti. Glutamat merupakan
neurotransmiter eksitator pada jalur yang mengatur saluran kemih bawah.
Aktifitas serotonergis memfasilitasi penyimpanan urine dengan bantuan
refleks simpatik dan menghambat jalur parasimpatik. Jalur dopaminergik
dapat memberikan efek inhibitor dan fasilitator pada miksi. Reseptor
dopamin D1 memiliki peran menekan aktifitas buli-buli dimana reseptor
dopamin D2 memfasilitasi miksi.
Asetilkolin, yang berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada otot
detrusor, merupakan neurotransmiter perifer yang bertanggung jawab pada
kontraksi buli-buli. Keadaan patologis dapat mengubah sensitifitas stimulasi
muskarinik. Contohnya, obstruksi aliran buli-buli tampak menambah respon
terhadap asetikolin, suatu fenomena yang mirip dengan denervasi
suprasensitif. Normalnya, hanya proporsi kecil kontraksi buli-buli yang
tahan terhadap atropin, mungkin akibat interaksi ATP dengan reseptor
purinergik. Namun, ATP dapat memliki peran lebih dalam kontraksi buli-
buli pada pasien overactive bladder. Contohnya, buli-buli pasien dengan
overaktifitas detrusor tampak memiliki gap junction antar sel otot polos
yang abnormal.
Perhatian lebih telah diberikan pada saraf aferen sensori pada miksi
normal dan overaktifitas buli-buli. Selama pengisian buli-buli, aktifitas
aferen pada buli-buli dan uretra mencapai saraf spinal melalui saraf pelvis.
Input sensor selama pengisian buli-buli mengakibatkan peningkatan tonus
simpatis, yang menghambat saraf motorik parasimpatis, menyebabkan
kontraksi dasar buli dan uretra.
Aktifitas adrenergik dapat menyebabkan relaksasi detrusor akibat
stimulasi reseptor -adrenergik. Serabut sensor A delta bermyelin memberi
respon pada peregangan pasif dan kontraksi aktif otot detrusor. Serat C yang
tak bermyelin mempunyai ambang mekanik yang lebih tinggi dan merespon
berbagai neurotransmiter. Serat C relatif tidak aktif selama miksi normal,
tapi memiliki peran penting dalam gejala overactive bladder pada pasien
dengan kelainan saraf dan lainnya. Beberapa tipe reseptor telah
diidentifikasi pada saraf aferen, meliputi reseptor vanilloid, yang diaktifasi
oleh kapsaisin dan mungkin anandamide endogen, reseptor purigenik (P2X),
yang diaktivasi oleh ATP, reseptror neurokinin, yang merespon substansi P
dan neurokinin A, protein gen kalsitonin, dan faktor neurotropik otak , juga
memiliki peran penting dalam modulasi aferen sensoris pada detrusor
manusia.
Pada dasarnya overactive bladder adalah gangguan atau kerusakan
pada susunan saraf yang ikut mengontrol kandung kemih dan kelainan yang
belum diketahui sebabnya sampai saat ini (idiopatik). Kelainan klinik yang
erat hubungannya dengan gejala overactive bladder antara lain :
a. Kelainan traktus urinearius bagian bawah
b. Kelainan neurologis
c. Kelainan sistemik
d. Kondisi fungsional dan tingkah laku
e. Efek samping pengobatan
Peneliti lain mengemukakan teori lain berkenaan dengan
abnormalitas kandung kemih intrinsik, hal ini termasuk :
a. Kelainan ganglia kandung kemih
b. Kelainan pada sel pacemaker
c. Kelainan otot polos
d. Peningkatan Aktifitas syaraf sensorik
e. Defisiensi produksi Prostasiklin
f. Iritasi kandung kemih lokal
g. Penyebab lain psikosomatis.
Semua penderita dengan simptom overactive bladder harus
melewati evaluasi dasar sebagai kerangka penentuan yang meliputi riwayat
pemeriksaan fisik, pengukuran volume residu sesudah pengosongan dan
urinealisis. Riwayat klasik dari overactive bladder adalah usaha kuat untuk
pengosongkan kandung kemih atau frekuensi pengosongan lebih dari 8
kali miksi dalam 24 jam dapat dikaitkan keluarnya urine secara tiba-tiba.
Riwayat juga harus meliputi hal seperti :
a. Riwayat spesifik medis, neurologis dan genitourinari dan riwayat obat-
obatan.
b. Ekplorasi mendalam dari gejala overactive bladder termasuk durasi.
c. Penilaian kualitas hidup.
d. Pola pemasukan cairan dengan catatan pengosongan dalam 24 jam-72
jam.
e. Penilaian mobilitas, lingkungan hidup, faktor sosial.
Pemeriksaan fisik harus meliputi :
a. Evaluasi neurologis pada segmen bawah sakrum, termasuk
bulbocavernosus dan reflek spinter anus.
b. Pemeriksaan status mental.
c. Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi massa atau kumpulan
cairan, yang dapat mempengaruhi tekanan intra abdomen dan fungsi
detrusor.
d. Pemeriksaan pelvis yang biasanya normal pada penderita overaktif
kandung kemih, untuk menilai adakah kontribusi dari gejala overaktif
kandung kemih dan juga pemeriksaan rectal harus dinilai.
e. Test penekanan akibat batuk, untuk menilai adakah inkontinensia akibat
stress.
f. Estimasi volume residu setelah pengosongan baik melalui kateter atau
ultrasound pelvis, residu < 50 cc normal, residu 100 cc 200 cc
dianggap pengosongan kandung kemih tidak sempurna.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
a. Urinealisis dan kultur digunakan untuk menyingkirkan hematuria
(karena tumor atau batu pada traktus urenarius), glukosuria (yang
mungkin menyebabkan peningkatan frekuensi pengosongan), pyuria
dan bakteriuria.
b. Test lanjutan.
1) Pemeriksaan sitoskopi
2) Test Urodynamic dan cytometry
Terapi optimal untuk overactive bladder tergantung pada evaluasi
menyeluruh, diikuti terapi semua penyebab yang ada dan faktor yang
berperan. Timbulnya gejala overactive bladder biasanya multifaktor, dan
terapi multimodal yang meliputi Konservatif dan operatif dapat diberikan.
1. Konservatif
a. Bladder training (Waktu miksi)
Ada tiga komponen utama blader training: edukasi, jadwal miksi
dengan sistematik jadual miksi yang tertunda dan tenaga tambahan
yang positif. Bagian edukasi mengkombinasikan tulisan, lisan, instruksi
verbal yang melayani untuk membiasakan pasien dengan anatomi dan
fisiologi dari traktus urinearius bagian bawah. Pasien lalu diminta untuk
melawan atau menahan sesuai urgensi, menunda miksi, dan miksi
berdasarkan waktu yang tepat lebih baik daripada miksi yang
mendesak. Penyesuaian pada muatan cairan dan penundaan miksi untuk
meningkatkan jumlah volume buli-buli dapat saja digunakan untuk
memperjelas terapi ini. Pasien juga diminta untuk melengkapi catatan
harian.
Program bladder training yang efektif yang telah menghasilkan
hasil baik terdiri dari 6 minggu protokol miksi pasien rawat jalan. Hal
ini mewakili pasien sebagai arti untuk mendapatkan kembali kontrol
kortikal yang lebih dari detrusor dan ditawarkan sebagai
penatalaksanaan primer pada pasien dengan overactive bladder. Pasien
diatur dengan suatu jadwal miksi berdasarkan interval miksi mereka
sehari-harinya; mereka biasanya diminta untuk memulai dengan miksi
setiap jam saat bangun selama 2 minggu pertama.
Instruksi kepada pasien mencakup :
1) Kosongkan kandung kemih pada waktu yang terjadwal apakah ya
atau tidak saat merasakan miksi yang mendesak.
2) Aspek yang penting adalah inisiasi miksi yang volunter, bukan
jumlah miksi.
3) Menghindari ke kamar mandi antara waktu yang terjadwal, dan
menekan desakan pada waktu yang lain.
4) Jangan merasa malu jika gagal.
Protokol membutuhkan follow up setiap 2 minggu sampai efek
keinginan unuk miksi didapat. Karena hal ini suatu pola dari terapi
tingkah laku, tenaga tambahan sangat diperlukan. Interval miksi
meningkat 15 sampai 30 menit, tergantung bagaimana baiknya pasien
bertindak pada 2 minggu pertama. Kombinasi terapi ini dengan latihan
Kegel dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk menjadi
berkelanjutan karena peningkatan tonus otot dasar panggul akan
meningkatkan kemampuan pasien untuk menahan urine. Pengobatan ini
dapat berhasil jika pasien memiliki interval miksi 2,5 sampai 3 jam dan
bebas dari gejala overactive bladder.
b. Terapi Obat
Banyak kelas obat yang diteliti atau diusulkan untuk pengobatan
gejala overactive bladder. Kebanyakan percobaan klinis telah
mentargetkan gejala inkontinensia urine, walau percobaan terakhir
secara spesifik memasukaan subjek dengan overactive bladder.
Beberapa kelemahan menyertai kualitas studi. Grup ahli telah
mengusulkan standar metodologi untuk memperbaiki keilmuan terapi
obat pada overactive bladder. Obat-obatan yang direkomendasikan
pada kasus overactive bladder antara lain :
1) Antikolinergik
2) Antidepresan trisiklik
3) Anti inflamasi nonsteroid
4) Kalsium-channel bloker
2. Operatif
Pembedahan harus dipertimbangkan jika terapi perilaku atau terapi
pengobatan telah gagal karena adanya morbiditas lanjut pada terapi ini.
Pilihan pembedahan bervariasi antara lain :
a. Augmentasi Sitoplasti
b. Diversi urine
c. Denervasi kandung kemih

3. Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine adalah keluarnya air seni tanpa sadar sehingga
menimbulkan masalah higiene dan sosial bagi penderitanya. Angka kejadian
10-25 % pada kelompok wanita usia < 65 th dan 15-30 % pada kelompok
wanita usia > 65 tahun.
Faktor resiko :
a. Usia
b. Kehamilan dan persalinan
c. Menopause
d. Histerektomi
e. Obesitas
f. Peningkatan tekanan intra abdominal kronis
g. Merokok
Dikatakan oleh berbagai penulis bahwa sebenarnya angka kejadian
yang dilaporkan itu baru merupakan 80 % dari kejadian yang sesungguhnya
karena sebagian dari mereka tidak terdeteksi, hal ini karena pasien
menganggap penyakit yang dialami ini merupakan hal yang wajar atau
mereka enggan menceritakan kepada dokter karena takut mendapatkan
pemeriksaan yang berlebihan.
Inkontinensia urine diklasifikasikan :
1) Stress urinary incontinence
Stress urinary incontinence adalah keluarnya air seni secara tidak
terkendali pada uretra yang intak dan terjadi akibat peningkatan mendadak
tekanan intra abdominal dan tidak terjadi kontraksi kandung kemih
a) Tingkat 1 : terjadi pada stress yang berat seperti batuk, bersin dan
joging
b) Tingkat 2 : terjadi pada stres yang sedang seperti bergerak cepat,
mendaki atau menuruni tangga
c) Tingkat 3 : terjadi pada stress ringan seperti berdiri lama.
2) Urge urine incontinence
Urge urine incontinence adalah keadaan dimana pasien mengeluh
tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing.
Gejala yang sering dijumpai meliputi :
a) Sering merasa ingin buang air kecil
b) Sering buang air kecil
Inkontinensia urine merupakan gejala atau manifestasi klinis dari
suatu kelainan yang ada di buli-buli, uretra atau organ lain. Pada
inkontinensia urine urge atau srtess, pilihan terapi tergantung dari derajat
keparahan inkontinensia. Terapi yang dipilih berupa:
latihan/rehabilitasi, medikamentosa, dan operasi.
4. Gangguan senggama

Seks secara manual atau rangsangan oral terhadap klitoris sebenarnya


tidak menjadi masalah, seandainya tidak terdapat robekan pada daerah
tersebut. Hubungan seksual aman setelah darah merah berhenti, dan ibu
dapat memasukkan satu atau dua jari ke dalam vagina tanpa rasa nyeri.
Alasan utama menghindari senggama pasca persalinan adalah untuk
memberi peluang bagi jaringan genital wanita untuk sembuh, terutama jika
mengalami episiotomi atau robekan. Mencegah timbulnya infeksi
merupakan alasan selanjutnya.
Seorang perempuan yang baru melahirkan mungkin membutuhkan waktu
untuk kembali melakukan senggama seperti biasa. Beberapa penyebab
masalah gangguan senggama adalah sebagai berikut.
a. gangguan tidur dan kelelahan yang timbul seiring dengan perubahan
dirinya menjadi seorang ibu
b. turunnya kadar hormon dan perasaan tidak nyaman yang umum terjadi
setelah melahirkan
c. perasaan kurang menarik karena perubahan fisik yang menyertai
kehamilan
Banyak wanita setelah melahirkan,mereka merasa cemas atau takut
untuk berhubungan badan lagi dengan pasangannnya. Banyak perempuan
yang merasa tidak berhasrat untuk melakukan senggama pasca persalinan,
karena takut terhadap rasa nyeri yang mungkin ditimbulkannya. Waktu yang
dibutuhkan oleh seorang perempuan untuk mengembalikan gairahnya
seperti semula, sangat bergantung kepada pengalaman persalinannya
(apakah persalinan normal atau dengan cara caesar).
Saran yang dapat diberikan seperti:
a. harus adanya pengertian dan dukungan dari pasangan (suami) sehingga
tidak menambah beban secara psikologis bagi pasangannya yang baru
melahirkan
b. Jika seorang perempuan mengalami rasa nyeri atau takut terhadap rasa
nyeri, mungkin ia bisa mencoba bersenggama dengan posisi diatas,
sehingga dapat mengendalikan pasangannya untuk menjauhi daerah-
daerah yang nyeri. Dia juga perlu menggunakan pelumas untuk
mengurangi rasa nyeri akibat keringnya vagina (jika terasa kering).
5. Fistula Genitalia

Fistula ialah hubungan yang abnormal antara satu visera berlubang dan
visera lain atau dari satu visera berlubang ke bagian luar. Fistula genitalia
dapat timbul di antara kandung kemih serta traktus genitalia (vesiko
vaginalis), antara ureter dan vagina (ureterovaginalis), serta antara rektum
atau kolon sigmoid dan struktur lain (entero vesikalis). Fistula-fistula ini
mungkin timbul akibat anomali kongenital, bedah ginekologis, trauma
obstetri, terapi radiasi, trauma ginekologik atau infeksi.

Fistula vesikovaginalis, fistula traktus urinarius yang paling


umum,terbentuk di dinding vagina anterior. Biasanya fistula ini merupakan
akibat cedera dekat sambungan uterovesikalis selama histerektomi radikal
untuk menangani kanker. Urine keluar melalui vagina, menyebabkan
inkontinensia kompet atau parsialapi seri. Perbaikan melalui pembedahan
transvaginal dapat dilakukan pada kebanyakan kasus.

Fistula rektovagina paling sering disebabkan infeksi pada episiotomi,


suatu jahitan di sepanjang dinding rektum selama upaya perbaikan dilakukan
atau cedera rektum yang tidak diketahui selama proses melahirkan. Fistula
juga dapat timbul akibat luasnya kanker serviks atau terapi radiasi. Perbaikan
melalui upaya bedah dapat dilakukan, tapi seringkali diperburuk oleh infeksi
yang menghambat proses penyembuhan atau menyebabkan perbaikan
tersebut gagal.

D. Identifikasi tanda dan gejala Infeksi Saluran Kemih serta PMS yang
lazim terjadi
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
a. Pengertian

Infeksi saluran Kemih ( ISK ) adalah apa bila pada pemeriksaan


urin ditemukan bakteri yang jumlah nya lebih dari 10.000 per ml.
Disebut juga Bakteriuria. Bakteriuria mungkin tidak disertai gejala
disebut juga bakteriuria asimptomatik, dan jika disertai gejala disebut
bakteriuria simptomatik.(Sarwono,2002).

Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection


(UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran
kemih. (Agus Tessy, 2001).
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi
bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)

b. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi saluran kemih sebagai berikut :

1) Kandung kemih (sistitis)


2) Uretra (uretritis)

3) Prostat (prostatitis)

4) Ginjal (pielonefritis)

Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:


1) ISK uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing
tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usia
lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya
mengenai mukosa superficial kandung kemih.
2) ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman
penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap
beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan
shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:

a) Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko


uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung
kencing menetap dan prostatitis.

b) Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.

c) Gangguan daya tahan tubuh

d) Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen seperti prosteus


spp yang memproduksi urease.
c. Etiologi
1) Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:

a) Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated

b) Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)

c) Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-


lain-lain.

2) Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:

a) Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat


pengosongan kandung kemih yang kurang efektif

b) Mobilitas menurun

c) Nutrisi yang sering kurang baik

d) Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral

e) Adanya hambatan pada aliran urin

f) Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

d. Patofisiologi
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme
patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui :
kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen.
Ada dua jalur utama terjadinya ISK yaitu asending dan hematogen.

1) Secara asending yaitu:

a) Masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain:


factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih
pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih
tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal,
pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan
sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang
terinfeksi.

b) Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal.

2) Secara hematogen
Sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga
mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa
hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga
mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan
total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih,
bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.

Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
1) Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang
efektif.
2) Mobilitas menurun

3) Nutrisi yang sering kurang baik

4) System imunnitas yng menurun

5) Adanya hambatan pada saluran urin

6) Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.

Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut


mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan
nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi
bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang
selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri,
kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus
urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK,
antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang
menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan
ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi
adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate
yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.

e. Tanda dan Gejala


1) Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah adalah :

a) Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih

b) Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis

c) Hematuria

d) Nyeri punggung dapat terjadi

2) Tanda dan gejala ISK bagian atas adalah :

a) Demam

b) Menggigil

c) Nyeri panggul dan pinggang

d) Nyeri ketika berkemih

e) Malaise

f) Pusing

g) Mual dan muntah


f. Pemeriksaan Penunjang
1) Urinalisis

a) Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk


penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih
dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air
kemih

b) Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB


sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai
keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun
urolitiasis.

2) Bakteriologis

a) Mikroskopis

b) Biakan bakteri

3) Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik

4) Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter


urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam
kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.

5) Metode tes

a) Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan


nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase
lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes
pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang
mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.

b) Tes Penyakit Menular Seksual (PMS) :


Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual
(misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes
simplek).

c) Tes- tes tambahan :


Urogram intravena (IVU), Pielografi (IVP), msistografi, dan
ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan
apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius,
adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau
hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic,
sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

g. Penatalaksanaan
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah
agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari
traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan
atas:
1) Terapi antibiotika dosis tunggal
2) Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari

3) Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu

4) Terapi dosis rendah untuk supresi

Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko


kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri
persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika
muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan
sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole
(gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim,
septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli
telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius
jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat
infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina
adanya:
1) Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
2) Interansi obat

3) Efek samping obat

4) Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya


melalui ginjal

Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan


faal ginjal:
1) Efek nefrotosik obat
2) Efek toksisitas obat

h. Infeksi Saluran Kemih yang sering terjadi pada ibu hamil dan
nifas:
1) Bakteriuria tanpa gejala (asimptomatik )
Bakteriuria asimptomatik akan meningkatkan morbiditas ibu
dan bayi yang dikandung. Semua wanita hamil sebaiknya
dilakukan pemeriksaan Laboratorium urin, secara mikroskopik
terjadi peningkatan jumlah leukosit, eritrosit, bakteri pada spesimen
urin.
Wanita hamil dengan Bakteriuria harus diobati dengan
seksama sampai urin bebas dari bakteri dibuktikan dengan
pemeriksaan beberapa kali. Terapi yang diberikan Amoksillin, atau
ampisillin atau nitrofurantoin.
2) Bakteriuria dengan gejala (Simptomatik)
a) Sistitis
Sistitis adalah peradangan kandung kemih tanpa disertai
radang bagian atas saluran kemih. Sering ditemukan pada ibu
hamil dan nifas. Penyebab : E.coli. Predisposisi : uretra wanita
yang pendek, adanya sisa air kemih yang tertinggal, penggunaan
cateter dalam proses persalinan. Tanda dan gejala khas : kencing
skit (disuria) pada akhir berkemih,meningkat nya frekuensi
berkemih disertai nyeri atas simpisis,perasaan berkemih yang
tidak dapat ditahan, kadang-kadang urin terasa panas, nyeri
suprasimfisis. Penanganan: perhatikan kebersihan regio genital,
ANC teratur, terapi sedini mungkin, perbanyak minum air putih,
obat obat nya antara lain sulfonamid, ampisillin, eritromisin.

b) Pielonefritis akuta
Merupakan salah satu komplikasi tersering ditemukan dalam
kehamilan. Penyebab: E.coli, kuman Stapilokokus aureus, basilus
proteus. Tanda dan gejala: biasanya timbul mendadak,
demam,menggigil, mual dan muntah, nyeri kostovertebra,
pemeriksaan urin menunjukan banyak sel leukosit dan bakteri.
Hasil biakan urin menunjukan banyak mikroorganisme patogen.
pengobatan : penderita harus dirawat,istirahat berbaring,diberikan
Cukup cairan atau rehidrasi IV, pemberian antibiotik seperti:
ampisillin atau sulfanamid.

2. Penyakit Menular Seksual ( PMS)


a. Pengertian

Penyakit menular seksual atau Sexually Transmitted Diseases


(STD) dikenal juga dengan penyakit kelamin (Veneral Diseases).
Penyakit menular seksual dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur,
protozoa atau ektoparasit. Yang termasuk dalam kelompok penyakit
kelamin yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venereum
dan granuloma inguinale juga termasuk uretritis non gonore (UNG),
kondilomata akuminata, herpes genitalis, kondidosis, trikomoniasis,
bakterial vaginosis, hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies,
pedikulosis, HIV/AIDS dan lain-lain.

b. Faktor faktor yang berpengaruh

1) Faktor dasar
a) Adanya penularan penyakit
b) Berganti-ganti pasangan seksual
2) Faktor medis
a) Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis
b) Pengobatan modern
c) Pengobatan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga
resiko resistensi tinggi yang bila disalahgunakan akan
meningkatkan resiko penyebaran infeksi
d) Kontrasepsi modern
3) IUD dan Pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan kehamilamnya
saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat digunakan sebagai
alat pencegahan terhadap penularan infeksi PMS.
4) Faktor sosial
a) Mobilitas penduduk
b) Prostitusi
c) Waktu yang santai
d) Kebebasan individu
e) Ketidaktahuan

c. Kelompok perilaku resiko tinggi

Yang tergolong kelompok resiko tinggi adalah

1) Usia
a) 20-34 tahun pada laki-laki
b) 16-24 tahun pada wanita
c) 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin
2) Pelancong
3) Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila
4) Prinsip umum pengendalian
a) Tujuan utama
Untuk memutuskan rantai penularan infeksi PMS dan untuk
mencegah komplikasinya.
b) Tujuan tersebut dapat dicapai melalui
(1) Mengurangi pajanan PMS dengan program penyuluhan
untuk menjauhkan masyarakat terhadap perilaku resiko
tinggi.
(2) Mencegah infeksi dengan anjuran pemakaian kondom bagi
yang berperilaku resiko tinggi
(3) Meningkatkan kemampuan diagnosis dan pengobatan serta
anjuran untuk mencari pengobatan yang tepat.
(4) Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini
dan efektif baik yang simtomatik maupun asimtomatik

d. Penyakit Menular seksual (PMS) yang sering pada kehamilan

antara lain:

1) Sifilis

a) Penyebab

Infeksi sifilis (lues) disebabkan oleh Treponema

pallidum berbentuk spiral. Ditular kan ketika hubungan


seksual dengan cara kontak langsung dari luka yang
mengandung treponema
b) Gambaran klinik:

(1) Sifilis primer: Chancre atau ulkus durum kelihatan pada


tempat. Masuknya Kuman,setelah 10-90 hari setelah
terjadinya infeksi.
Ulkus dengan pinggir Pinggir yang meninggi, padat, dan
tidak sakitpada alat genital terutama labia,tetapi bisa juga
pada servik .Luka primer dapat juga terjadi pada selaput
lendir atau kulit ditempat lain ( hidung,dada,perineum )
(2) Sifilis sekunder: gejala pada kulit timbul kira-kira 2 minggu
sampai 6 bulan setelah hilang nya luka primer. Kelainan
yang khas pada kulit bersifat makulopapiler,folikuler atau
pustuler. Papula yang basah pada daerah anogenital dan
pada mulut.Papula ini dikenal dengan kondilomata lata dan
mempunyai arti diagnostik untuk penyakit ini.
(3) Sifilis laten : tidak mempunyai tanda atau gejala klinis.
Tanda positip hanya serum yang reaktif, jika fase laten
berlangsung sampai 4 tahun maka penyakit ini tidak
menular lagi, kecuali pada janin yang dikandung wanita
yang berpenyakit sifilis.
(4) Sifilistertier: kadang-kadang pada vulva ditemukan
gumma, dan cenderung menjadi ulkus dengan nekrosis dan
indurasi pada pinggirnya.
c) Sifilis dan kehamilan: efek sifilis pada kehamilan dan janin
tergantung pada lamanya infeksi terjadi, dan pengobatannya. Jika
diobati dengan baik, akan melahirkan bayi sehat, jika tidak diobati
akan mengalami abortus, partus prematurus dengan bayi meninggal
atau tanda sifilis kongenital.
d) Diagnosis : tes serologik , diambil dari luka-luka kulit ( VDRL,
fiksasi komplemen Kolmer,Wassermann)
Semua pasien sifilis perlu dikonsultasikan untuk resiko
kemungkinan menderita AIDS ( pemeriksaan antibodi HIV)
e) Penanganan
Pada sifilis primer dan sekunder dan laten dini dapat diberikan
salah satu dari:
(1) Benzathin penisilin G 2.4 juta satuan intramuskulus ( 1.2
juta satuan pada masing-masing bokong kiri dan kanan )
(2) Penisilin dengan monostearat aluminium dalam minyak
(PAM) 4.8 juta satuan intramuskulus: biasanya diberikan
2.4 juta satuan seperti tersebut diatas dan 1.2 juta satuan
berturut turut selang 3 hari.
(3) Prokain penisilin G dalam aqua,600.000 satuan
intramuskulus setiap hari selama 8 hari sampai berjumlah
4.8 juta satuan

Bayi yang lahir dari ibu yang menderita sifilis boleh tetap
mendapat ASI dari ibu nya. Bila ibu nya masih ada lesi pad
kulit,kontak dengan bayinya harus dihindarkan.
Pasangan penderita juga sebaiknya diperiksa untuk memastikan
sudah tertular atau penderita

Follow up bulanan melalui pemeriksaan serologik perlu dilakukan


sehingga pengobatan ulang dapat segera diberikan.

2) Gonorea

a) Penyebab :Penyakit menular seksual yang disebabkan oleh

gonokokus bentuknya seperti biji kopi.

b) Gambaran Klinis:

GO yang akut dapat menyebabkan rasa sakit waktu kencing


dan sering kencing, gatal pada vulva,sekret yang purulen dari
uretra,kelenjar barhtolini. Di jumpai juga kasus kasus dimana
gejala sama sekali tidak ada atau tanda radang tidak seberapa
menonjol. Pada GO menahun, gonokokus tetap ada biasanya
pada servik uteri tanpa menyebabkan gejala, infeksi ini dapat
menimbulkan gejala acut sesudah coitus, haid atau partus serta
dapat menularkan patner nya melalui hubungan seksual. Yang
dirasa oleh penderita adalah rasa kurang sehat dan nyeri
dibawah perut,siklus haid menjadi pendek tetapi perdarahan
haid menjadi lebih lama

d) Gejala Go akut pada kehamilan :disuria, uretritis,servisitis,fluor


albus berupa nanah encer agak kuning atau hijau, kadang
bartholinitis akut atau vulvokolpitis. Oftalmia neonatorum mau
pun blenorrhoea menjadi petunjuk bahwa ibu menderita GO

e) Diagnostik:

Lab, dengan sediaan apus getah uretra dan getah canalis


servikalis yang dipulas dengan Methylene blue ,terdapat
banyak diplokokus intra- dan ekstraseluler .dilakukan
pembiakan apusan

f) Penanganan

Pengobatan dengan Prokain penisillin G 4.8 juta satuan, kanan


dan kiri separuh separuh, atau Ampisillin peroral dosisi tunggal
sebanyak 3.5 gr. Apabila penderita tidak tahan, dapat diberikan
Eritromisin 4x sehari, 0,5 g selama 5-10 hari atau suntikan
Kanamisin dosis tunggal ( 1 g kanan dan 1g kiri)

pemeriksaan Lab perlu diulang setelah 3 hari pengobatan


selesai. Untuk mencegah kemungkinan blenorrhea neonatorum
semua neonatus kedua mata nya harus diberi salap Erytromycin
atau Cholomycetin. Seorang ibu yang menderita GO dapat
menyusui bayi nya.

3) Herpes Simpleks

a) Penyebab: Virus

b) Tanda dan gejala: gelembung berisi cairan di vulva, vagina,

servik

c) Diagnostik : ada gelembung didaerah genitalia dan diambil sekret


nya untuk pulas dengan papanicolaou, herpes genitalia biasanya
dihubungkan dengan dengan kemungkinan adanya HIV (+).

d) Penanganan: pemberian Anti Virus ( Acyclovir ), analgetika


diberikan untuk mengurangi rasa sakit di daerah vulva. Acyclovir
tidak dianjurkan untuk ibu hamil.

Persalinan dengan SC adalah anjuran untuk ibu hamil dengan penyakit


ini.Pasangan juga harus diobati dengan Acyclovir

4) Kondiloma Akuminata
a) Penyebab: HPV ( Human Papiloma Virus )

b) Tanda dan gejala: terdapat lesi berupa vegetasi soliter atau


multipel,permukaan berjonjot tajam seperti kutil, dapat meluas ke
orifisium uretha, mukosa labium mayus dan anus.

c) Diagnostik ; terdapat permukaan berjonjot tajam seperti kutil

didaerah genital

d) Penanganan:

(1) Bersihkan lokasi lesi dengan larutan antiseptik kemudian

lakukan ablasi dengan Kautersasi pada semua lesi ( bagi ibu

hamil)

(2) Pilihan terapi lokal seperti: Asam trikloro asetat 40-50 %,

Asam salisilat 20-40% (lindungi bagian sekitar lesi dengan

vaselin agar tidak membakar mukosa)

(3) Berikan Acyclovir 200 mg setiap 4 jam. Beri pula antibiotika


profilaksis pasca ablasi ( ampisillin + sulbaktam 2.25 g oral dosis
Tunggal
(4) Bila timbul lesi yang lebih setelah pengobatan pertimbangkan
kemungkinan adanya HIV
(5) Obati pula pasangannya dengan terapi yang sama,gunakan kondom
bila berhubungan badan serta lakukan penjadwalan ulang
(pemantauan dan terapi)
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pada umumnya pasien dengan pasca abortus setelah dilakukan Dilatasi


dan Kuretase dapat segera pulang, tetapi karena alasan tertentu seperti
perdarahan yang banyak, anemia atau infeksi harus dipertimbangkan untuk
dirawat terlebih dulu di RS
2. Pengambilan specimen sangat penting untuk menunjang menegakan
diagnosa kebidanan dengan tepat
3. Identifikasi adanya tanda dan gejala pada sistem urogenikologi yang
sering ditemukan dapat membantu petugas/bidan untuk memberikan
asuhan yang baik dan benar.
B. Saran

1. Setiap bidan segera tanggap dengan keluhan ibu hamil pada saat
melakukan ANC sehingga keluhan tersebut dapat teratasi dan mengurangi
morbiditas pada ibu dan bayi
2. Setiap bidan untuk terus meningkatkan pengetahuan dengan mengikuti
pelatihan,membaca sumber- sumber yang berkaitan dengan tugas dan
fungsinya sehingga dapat memberikan asuhan kebidanan secara
komprehensif dan bermutu .

DAFTAR PUSTAKA

Bobak ,Lowdermilk, 2004.keperawatan maternitas. Jakarta: EGC


Suherni, 2008. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta : Fitramaya
Thamrin, Rian, 2009. Hubungan Seks Pasca Melahirkan dalam http://www.hypno-
birthing.web.id/?p=509

Wiknjosastro, Hanifa, 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo
Manuaba,2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
untuk Pendidikan Bidan,Jakarta: EGC
Achadiat,2004.Prosedur tetap Obstetri & Ginekologi.Jakarta:EGC
Saifuddin,AB,dkk,2002.Buku Acuan Nasional,pelayanan kesehatan maternal dan
Neonatal,Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saputra,1998,Seri Skema diagnostik & penatalaksanaan Obstetri edisi
kedua,Jakarta: Binarupa Aksara

Vous aimerez peut-être aussi