Vous êtes sur la page 1sur 20

Referat

Abortus Habitualis

DISUSUN OLEH :

Azrin Agmalina
112015380

PEMBIMBING

Dr. Eddi Junaidi,Sp.OG

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSAU Dr. ESNAWAN ANTARIKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Alhamdulillahirabbil`alamin, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian
akhir program pendidikan profesi kedokteran di bagian obstetri dan ginekologi di RS Dr
esnawan antariksa dengan judul:

Abortus habitualis

Penulisan referat ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Dr. Eddi Junaidi, Sp.OG.SH.Mkes selaku dosen pembimbing dan penguji

2. Para bidan kamar bersalin (Nuri) RS Esnawan Antariksa

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan referat, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakannya.

Wassalamualaikum wr. wb.

Jakarta, 25 Mei 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... 2

Daftar Isi.............................................................................................................. 3

BAB I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah................................................................... 4

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Definisi.............................................................................................. 5

2.2. Etiologi.............................................................................................. 5-12

2.3. Insiden............................................................................................... 12

2.4. Anatomi ............................................................................... 13-14

2.5. Patofisiologi Terjadinya abortus habitualis.............................. 15

2.6. Diagnosis...........................................................................................15-17

2.7. Penatalaksanaan............................................................................... 18

2.8. Komplikasi....................................................................................... 19

2.9. Prognosis.......................................................................................... 19

BAB III Kesimpulan........................................................................................... 19

BAB IV Daftar Pustaka.................................................................................... 20

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi kehamilan pada usia kehamilan dibawah 20
minggu. Abortus memiliki gejala pendarahan, keluarnya konsepsi, dan mengalami kontraksi. Hal
ini terjadi akibat adanya pembukaan dari mulut rahim atau cervix. Penyebabnya antara lain
adalah karena adanya kelainan kromosom dan inkompeten cervix, dan konsepsi yang tidak baik.
Hasil konsepsi yang tidak baik akan dianggap sebagai benda asing oleh rahim dan akan dibuang.
Usia sang ibu juga nampaknya sedikit berpengaruh. semakin tua usia sang ibu, maka resiko
untuk mengalami abortus juga semakin tinggi.1,2
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih berturut-turut.
Pada umumnya penderita tidak sukar hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.
Angka kejadian jenis abortus ini ialah 0,4% dari semua kehamilan. Wanita yang mengalami
peristiwa tersebut, umumnya tidak mendapat kesulitan untuk menjadi hamil, akan tetapi
kehamilannya tidak dapat berlangsung terus dan terhenti sebelum waktunya, biasanya pada
trimester pertama tetapi kadang-kadang pada kehamilan yang lebih tua.3,4
Walaupun terjadinya abortus berturut-turut mungkin kebetulan, namun wajar untuk
memikirkan adanya sebab dasar ini kurang lebih 40% tidak diketahui; yang diketahui, dapat
dibagi 3 golongan : a) kelainan pada zigot; b) gangguan fungsi endometrium, yang menyebabkan
gangguan implantasi ovum yang dibuahi dan/atau gangguan dalam pertumbuhan mudigah; c)
kelainan anatomik pada uterus yang dapat menghalangi berkembangnya janin di dalamnya
dengan sempurna.4
riwayat abortus berulang maka harus mempelajari kasus ini dengan baik dengan
melakukan pendataan tentang riwayat suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis
maupun laboratorik. Perhatikan apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester
kedua. Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai
kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada trimester
kedua maka faktor faktor penyebab lebih cenderung pada faktor anatomis terjadinya
inkompetensi serviks dan adanya tumor (mioma uteri) serta infeksi yang berat pada uterus atau
serviks.1

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan, yaitu sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu. Abortus
habitualis (Recurrent Miscarriage= recurrent spontaneous abortion = recurrent pregnancy loss)
didefinisikan sebagai hilangnya hasil konsepsi 3 kali atau lebih berturut-turut pada usia
kehamilan 20 minggu atau berat badan bayi <500 gram.5

2.2. Etiologi

Resiko berulangnya abortus setelah abortus I adalah 20% ; resiko setelah abortus II
adalah 25% dan resiko setelah abortus III adalah 30%.2

Tabel 1. Faktor etiologi abortus berulang.6

5
A.Kelainan anatomi

1.Malformasi uterus kongenital

Malformasi uterus kongenital merupakan akibat dari gangguan perkembangan, fusi,


kanalisasi, dan reabsorpsi septal duktus Mullerian. Peranan kelainan kongenital uterus terhadap
abortus habitualis masih belum jelas karena prevalensi yang sesungguhnya dan implikasi
reproduksi pada kelainan uterus pada populasi umum tidak diketahui. Pada pasien dengan
abortus berulang, frekuensi pasien dengan anomali uterus bervariasi dari 1,8% - 37,6%. Variasi
ini terjadi akibat perbedaan dalam kriteria dan teknik yang digunakan untuk mendiagnosisnya
dan fakta bahwa studi yang dilakukan melibatkan wanita dengan dua, tiga atau lebih riwayat
abortus pada tahap awal dan akhir kehamilan. 1,3

Prevalensi kelainan uterus paling tinggi ditemukan pada wanita dengan riwayat abortus
terakhir yang mencerminkan prevalensi serviks inkompeten pada wanita dengan malformasi
uterus. Dengan menggunakan USG tiga dimensi sebagai alat diagnostik, sebuah studi prospektif
baru-baru ini melaporkan bahwa frekuensi anomali uterus adalah sekitar 23,8% pada wanita
dengan abortus habitualis pada trimester pertama dibandingkan dengan frekuensi 5,3% pada
wanita dengan risiko rendah. 2,5

Selanjutnya, distorsi anatomi uterus lebih parah ditemukan pada wanita dengan abortus
berulang. Penemuan ini menunjukkan bahwa anomali kongenital uterus dapat menyebabkan
terjadinya abortus pada sebagian kecil wanita dengan abortus habitualis. Pada suatu studi
retrospektif, pasien dengan anomali uterus yang tidak ditangani cenderung memiliki risiko tinggi
abortus dan partus prematurus dan tingkat partus aterm hanya 50% saja.6Retroversio uteri,
mioma uteri atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat
bahwa hanya retroversio uteri gravid inkarserata atau mioma submukosa yang memegang
peranan penting.5,6

Gambar 2. Jenis-jenis anomali mullerian6

6
2.Serviks inkompeten
Serviks inkompeten merupakan penyebab abortus habitualis pada pertengahan trimester
kehamilan (trimester kedua). Serviks inkompeten adalah ketidakmampuan serviks untuk
mempertahankan suatu kehamilan oleh karena defek fungsi maupun struktur pada serviks.
Serviks inkompeten yang parah menyebabkan abortus pada midtrimester dan derajatnya lebih
rendah pada kasus dengan partus prematurus. Insiden serviks inkompeten masih belum diketahui
secara pasti karena diagnosisnya ditegakkan secara klinis dan belum ada kriteria objektif yang
disetujui secara umum untuk mendiagnosis keadaan tersebut. Secara kasar, suatu studi
epidemiologi menunjukkan insiden terjadinya serviks inkompeten adalah sekitar 0,5% pada
populasi pasien obstetri secara umum dan 8% pada wanita dengan abortus midtrimester
sebelumnya. Meskipun beberapa kasus serviks inkompeten melibatkan inkompeten mekanik
seperti hipoplasia serviks kongenital, riwayat operasi serviks, dan trauma serviks yang luas,
kebanyakan wanita dengn diagnosis klinis serviks inkompeten memiliki anatomi serviks yang
normal. Pematangan serviks yang dini mungkin merupakan jalur akhir dari berbagai proses
patofisiologi seperti infeksi, kolonisasi, inflamasi dan predisposisi genetik atau hormonal.7

Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora bakteri
vagina. Banyak pasien dengan dilatasi serviks pada midtrimester yang asimptomatis memiliki
bukti adanya infeksi intrauterine subklinis. Tidak jelas apakah ini merupakan invasi mikroba
akibat dilatasi serviks yang prematur. Ketika terjadi pematangan serviks yang prematur, barier
mekanik terganggu dan selanjutnya dapat menyebabkan proses patologis (misalnya kolonisasi
pada saluran kemih bagian atas) yang berakhir pada kelahiran prematur spontan. Pada serviks
inkompeten yang berhubungan dengan kelainan mekanik, penanganan suportif misalnya
cerclage suture dapat mencegah infeksi dan dapat memperpanjang masa kehamilan. Sebaliknya,
jika perubahan pada serviks adalah akibat proses non mekanik, maka cerclage menjadi kurang
efektif dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus karena kemungkinan adanya komplikasi
inflamasi dan infeksi.1,5,7

7
B. Abnormalitas kromosom
Kelainan penyusunan kromosom parental
Abortus adalah kasus yang sangat sering terjadi dan dianggap sebagai suatu seleksi alam
untuk memilih keturunan yang normal. Kenyataannya, ada studi yang mengatakan bahwa
sedikitnya 50% abortus disebabkan oleh karena kelainan kromosom. Sekitar 3% - 5% pasangan
dengan abortus habitualis, salah satu pasangannya membawa kelainan kelainan struktural
kromosom yang seimbang. Wanita lebih mungkin menjadi carrier dibandingkan dengan laki-
laki. Tipe kelainan kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang, baik
timbal balik (resiprokal) atau Robertsonian. Pada translokasi timbal balik, segmen distal terbagi
menjadi kromosom yang saling bertukar. Pada translokasi Robertsonian, dua kromosom
akrosentrik bersatu pada wilayah sentromer dengan hilangnya lengan pendek. Walaupun carrier
translokasi seimbang ini memiliki fenotip yang normal, kehamilannya berisiko tinggi berakhir
sebagai abortus dan dapat mengakibatkan lahirnya anak dengan cacat bawaan atau cacat mental
karena pengaturan kromosom yang tidak seimbang. Risiko abortus dipengaruhi oleh ukuran dan
isi genetik dari segmen kromosom yang diatur kembali.3,5
Translokasi yang seimbang menyebabkan abortus rekuren. Translokasi yang tidak
seimbang dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi lahir mati. Walaupun demikian,
prognosisnya masih baik dan 85% pasangan dapat memiliki bayi yang sehat. Dengan demikian,
riwayat abortus atau anomali fetus pada trimester kedua seharusnya dicurigai adanya kelainan
pola kromosom pada salah satu pasangan.6,7

Gambar 1. Translokasi resiprokal dan Robertsonian.5,6

8
C. Disfungsi endokrin

1. Defisiensi progesterone dan fase luteal


Faktor endokrin terlibat dalam RPL (Recurrent Pregnancy Loss) atau abortus berulang
sekitar 15% sampai 30% dari waktu. Cacat fungsional korpus luteum, atau reseptor progesteron
endometrium, dapat menyebabkan RPL. Pada pasien dengan defisiensi fase luteal, kerugian
umumnya terjadi sangat awal, di 4-7 minggu. Progesteron dari korpus luteum diperlukan untuk
mendukung kehamilan sampai produksi progesterone di plasenta dimulai pada minggu
kedelapan.1,3
Gangguan fase luteal dapat menjadi sebab infertilitas dan abortus muda yang berulang.
Gangguan fase luteal bisa menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transport ovum terlalu
cepat, motilitas uterus yang berlebihan, dan kesukaran dalam nidasi karena endometrium tidak
dipersiapkan dengan baik2,4,5
Progesteron yang dihasilkan dari korpus luteum sangat diperlukan untuk keberhasilan
implantasi dan pemeliharaan dari awal kehamilan sampai produksi progesteron diambil alih oleh
plasenta. Defek fase luteal telah digambarkan sebagai penyebab keguguran. Klasiknya, diagnosis
diperoleh setelah biopsi endometrium pada hari ke 26 atau hari ke 27 dari siklus yang lebih dari
2 hari keluar dari fase, dan baru-baru ini, kadar konsentrasi progesteron midluteal <10 ng / mL
telah diusulkan untuk menegakkan diagnosis. Wanita dengan out-of-fase biopsi endometrium
tidak mampu menjaga reseptor pregesterone endometrium abnormal dan memiliki v3 integrin,
yang merupakan sebuah penanda penerimaan uterus. v3 integrin biasanya muncul dalam
kelenjar endometrium pada hari siklus 20-21 selama implantasi. Sebagian besar pasien, ketika
diobati dengan progesteron atau suplemental dosis rendah clomiphene sitrat, akan memiliki
restorasi histologis endometrium yang normal dan v3 normal. Implantasi embrio yang lambat
juga telah dikaitkan dengan peningkatan tingkat keguguran.8

2.Sindrom polikistik ovarium


Wanita dengan PCOS (Polycystic Ovarian Symdrome) memiliki kesulitan mencapai
kehamilan dibandingkan dengan populasi umum, tetapi sifat hubungan antara PCOS dengan
keguguran berulang belum jelas.9

9
Wanita dengan sindrom polikistik ovarium (PCOS) telah diamati mengalami peningkatan
kadar hormone luteinizing, hormone androgen, dan resistensi insulin. Meskipun etiologi masih
belum jelas, peningkatan kejadian keguguran telah di catat pada wanita yang telah didiagnosis
dengan PCOS. Hiperinsulinemia telah diusulkan sebagai penyebab yang mungkin. Beberapa
bukti menunjukkan bahwa resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan kadar homosistein
plasma.10
Hiperinsulinemi pada PCOS adalah hipotesis untuk berkontribusi pada awal keguguran
selama kehamilan, dan dalam suatu siding, pemberian metformin selama kehamilan untuk wanita
dengan riwayat perdarahan menunjukkan dapat mengurangi angka keguguran pada trimester
pertama pada wanita dengan PCOS. Dalam persidangan yang lebih besar, dari 2000 wanita
dengan riwayat perdarahan berulang, prevalensi PCOS adalah 40,7%. Kriteria yang cukup untuk
menentukan wanita dengan PCOS mempunyai prognosis yang baik atau buruk adalah kehamilan
di masa depan.7,8

D.Penyakit Sistemik
Diabetes melitus dan penyakit tiroid dihubungkan dengan abortus, tetapi masih belum
ada bukti langsung bahwa keduanya berperan pada kejadian abortus habitualis. Wanita dengan
diabetes di mana kadar HbA1c yang tinggi pada trimester pertama berisiko mengalami abortus
dan malformasi fetal. Sebaliknya, diabetes melitus yang terkontrol bukan merupakan faktor
risiko abortus rekuren begitu juga dengan disfungsi tiroid yang telah diterapi. Prevalensi DM dan
disfungsi tiroid pada wanita abortus habitualis sama dengan yang diharapkan pada populasi
umum. Autoantibodi tiroid tidak berhubungan dengan abortus habitualis. Wanita dengan abortus
habitualis tidak lebih cenderung dibandingkan dengan wanita subur yang juga memiliki antibodi
tiroid dalam sirkulasi darahnya. Adanya antibodi tiroid pada wanita eutiroid dengan riwayat
abortus habitualis tidak mempengaruhi kehamilannya mendatang. Oleh karena belum jelas
apakah penyakit tiroid menyebabkan terjadinya abortus habitualis atau tidak, American College
of Obstetricians and Gynecologists (2001) menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi screening
terhadap wanita yang asimptomatik. Sebaliknya, hipotiroidisme mungkin sulit untuk dideteksi
secara klinis, tes yang dilakukan tidak mahal dan pengobatannya memiliki efektivitas yang
tinggi. Oleh karena itu, screening TSH direkomendasikan pada wanita dengan abortus
habitualis.1

10
E.Faktor Imunologi
Yetman dan Kutteh melaporkan bahwa sekitar 15% dari 1000 wanita dengan abortus
habitualis memiliki faktor autoimun. Terdapat 2 patofisiologi primer yang menjelaskan kejadian
tersebut yaitu teori autoimun (imunitas yang menyerang diri sendiri) dan teori alloimun (imunitas
yang menyerang pihak lain).5,9

1.Faktor autoimun.
Abortus lebih sering terjadi pada wanita dengan SLE. Kebanyakan dari wanita tersebut
memiliki antibodi antifosfolipid yang merupakan kelompok autoantibody yang mengikat
fosfolipid muatan negatif, phospholipids-binding proteins, atau kombinasi keduanya. Antibodi
tersebut dapat juga ditemukan pada wanita tanpa lupus. Memang >5% wanita dengan kehamilan
normal, antikoagulan lupus (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACA) berhubungan dengan
abortus berulang. Dibandingkan dengan kejadian abortus, LAC dan ACA lebih banyak
ditemukan pada kematian fetus setelah pertengahan trimester kehamilan. Oleh sebab itu,
kematian fetus merupakan salah satu kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid. Wanita yang
memiliki riwayat abortus dan kadar antibodi yang tinggi mungkin berpotensi mengalami abortus
habitualis sekitar 70%. 9,10

2.Faktor alloimun.
Kehamilan yang normal memerlukan pembentukan faktor yang mencegah rejeksi
maternal terhadap antigen asing fetus yang diperoleh secara paternal. Seorang wanita tidak akan
menghasilkan faktor penghambat serum ini jika dia memiliki HLA yang mirip dengan suaminya.
Gangguan alloimun lainnya juga menyebabkan abortus habitualis temasuk perubahan aktivitas
sel natural killer dan peningkatan antibodi limfositotoksik. Berbagai terapi untuk memperbaiki
gangguan ini telah disarankan untuk dilakukan termasuk imunisasi dengan menggunakan sel
paternal, third party donor leukocytes, infus membran trofoblast dan immunoglobulin intravena.
Kebanyakan dari terapi imunologi ini membahayakan pasien sehingga tidak dianjurkan untuk
dilakukan. Salah satu terapi yang mungkin dapat dilakukan adalah terapi immunoglobulin
intravena untuk abortus habitualis sekunder (wanita dengan abortus habitualis setelah memiliki
anak sebelumnya).4,5

11
Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%. Namun, angka
keguguran pada awal kehamilan sebenarnya hampir mencapai 50% karena tingginya jumlah
kehamilan yang tidak diketahui dalam 2-4 minggu setelah pembuahan. Sebagian besar abortus
terjadi karena kegagalan pembentukan gamet (misalnya, disfungsi sperma atau oosit). Dalam
sebuah studi klasik oleh Wilcox, dkk pada tahun 1988, 221 perempuan diamati selama 707 siklus
menstruasi total. Sebanyak 198 kehamilan dapat dicapai. Dari jumlah tersebut, 43 (22%) yang
mengalami keguguran sebelum onset menstruasi, dan lain 20 (10%) secara klinis diketahui
mengalami abortus. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa setelah 1 abortus spontan,
risiko abortus selanjutnya adalah sekitar 15%. Namun, jika 2 abortus spontan terjadi, risiko
berikutnya meningkat menjadi sekitar 30%. Angka ini lebih tinggi bagi perempuan yang belum
memiliki setidaknya 1 bayi lahir hidup. Beberapa kelompok telah memperkirakan bahwa risiko
abortus setelah 3 abortus berturut-turut adalah 30-45%, yang sebanding dengan risiko pada
wanita yang mengalami abortus 2 kali. Hal ini membuat banyak kontroversi tentang waktu
evaluasi diagnostik abortus habitualis. Banyak spesialis memilih untuk menetapkan definisi
abortus habitualis setelah 2 abortus berturut-turut dibandingkan 3 kali berturut-turut.3
Pada umumnya penderita tidak sukar untuk hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum
28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan.1
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita
yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton dan Fraser
memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.1
2.3. Insiden

Kebanyakan penelitian menunjukkan angka keguguran spontan 10-15%. Data dari


berbagai penelitian menunjukkan bahwa setelah 1 abortus spontan, risiko abortus selanjutnya
adalah sekitar 15%. Namun, jika 2 abortus spontan terjadi, risiko berikutnya meningkat menjadi
sekitar 30%. Angka ini lebih tinggi bagi perempuan yang belum memiliki setidaknya 1 bayi lahir
hidup. Beberapa kelompok telah memperkirakan bahwa risiko abortus setelah 3 abortus berturut-
turut adalah 30-45%, yang sebanding dengan risiko pada wanita yang mengalami abortus 2 kali.
Hal ini membuat banyak kontroversi tentang waktu evaluasi diagnostik abortus habitualis. 2
Banyak spesialis memilih untuk menetapkan definisi abortus habitualis setelah 2 abortus
berturut-turut dibandingkan 3 kali berturut-turut.1,7

12
2.4. Anatomi

Uterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang sedikit
gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7 - 7,5 cm, lebar di tempat yang paling lebar 5,25 cm dan
tebal 2,5 cm. uterus terdiri atas korpus uteri (2/3 bagian atas) dan serviks uteri (1/3 bagian
bawah). Di dalam korpus uteri terdapat rongga (kavum uteri), yang membuka keluar melalui
saluran (kanalis servikalis) yang terletak di serviks. Bagian bawah serviks yang terletak di vagina
dinamakan porsio uteri (pars vaginalis servisis uteri), sedangkan yang berada di atas vagina
disebut pars supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks masih ada bagian yang
disebut isthmus uteri.11
Bagian atas uterus disebut fundus uteri. Di situ tuba fallopii kanan dan kiri masuk ke
uterus. Dinding uterus terdiri atas miometrium, yang merupakan otot polos berlapis tiga; yang
sebelah luar longitudinal, yang sebelah dalam sirkuler, yang antara kedua lapisan ini
beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi.11,12
Kavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar, disebut
endometrium. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan stroma dengan
banyak pembuluh-pembuluh darah yang berkelok-kelok. Di korpus uteri endometrium licin, akan
tetapi di serviks berkelok-kelok; kelenjar-kelenjar itu bermuara di kanalis servikalis (arbor vitae).
Pertumbuhan dan fungsi endometrium dipengaruhi sekali oleh hormon steroid ovarium.12

Gambar 2. Anatomi uterus.11

Kavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar, disebut
endometrium. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan stroma dengan

13
banyak pembuluh-pembuluh darah yang berkelok-kelok. Di korpus uteri endometrium licin, akan
tetapi di serviks berkelok-kelok; kelenjar-kelenjar itu bermuara di kanalis servikalis (arbor vitae).
Pertumbuhan dan fungsi endometrium dipengaruhi sekali oleh hormon steroid ovarium.12

gambar 3. anatomi uterus dan tuba uterina.12


Pasokan darah :
Uterus mendapat darah dari arteria uterine (cabang a.iliaka interna). Arteri ini berjalan
dalam ligamentum latum dan setinggi os interna, menyilang ureter pada sudut kanan untuk
mencapai dan memasok darah ke uterus sebelum melakukan anastomosis dengan arteri ovarika
(cabang aorta abdominalis).11,12

Gambar 4. Pasokan darah uterus.11,12

14
2.5. Patofisiologi terjadinya abortus
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang kemudian diikuti
dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada
daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam.
Patofisiologi terjadinya keguguran mulai dari terlepasnya sebagian atau seluruh jaringan
plasenta, yang menyebabkan perdarahan sehingga janin kekurangan nutrisi dan O2. Bagian yang
terlepas dianggap benda asing, sehingga rahim berusaha untuk mengeluarkan dengan kontraksi.
Pengeluaran tersebut dapat terjadi spontan seluruhnya atau sebagian masih tertinggal, yang
menyebabkan berbagai penyulit. Oleh karena itu, keguguran memberikan gejala umum sakit
perut karena kontraksi rahim, terjadi perdarahan, dan disertai pengeluaran seluruh atau sebagian
hasil konsepsi. Bentuk perdarahan bervariasi diantaranya: 8
- Sedikit-sedikit dan berlangsung lama
- Sekaligus dalam jumlah yang besar dapat disertai gumpalan
- Akibat perdarahan tidak menimbulkan gangguan apapun, dapat menimbulkan syok, nadi
meningkat, tekanan darah turun, tamak anemis dan daerah ujung (akral) dingin.3

2.6. Diagnosis
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya
diagnosis abortus habitualis karena inkompetensi menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu
dalam kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules yang
selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila
penderita datang dalam triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan
melakukan pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia
mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten
dilakukan dengan histerosalpingografi (HSG) yaitu ostium internumuteri melebar lebih dari 8
mm.2,4
Bila menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka harus mempelajari
kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat suami istri dan pemeriksaan
fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik Perhatikan apakah abortus terjadi pada
trimester pertama atau trimester ke dua. Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor
yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang.6,7

15
Bila terjadi pada trimester kedua maka faktor faktor penyebab lebih cenderung pada
faktor anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan adanya tumor mioma uteri serta infeksi
yang berat pada uterus atau serviks. langkah langkah investigasi untuk mencari faktor faktor
yang potensial menyebabkan terjadinya abortus spontan yang berulang sebagai berikut:1,2
-Riwayat perdarahan per vaginam merupakan keluhan yang paling sering diungkapkan.
-Nyeri perut juga seringkali menyertai kondisi ini.
-Gejala klasik yang biasanya menyertai setiap tipe abortus adalah kontraksi uterus, perdarahan
uterus, dilatasi servix, dan presentasi atau ekspulsi seluruh atau sebagian hasil konsepsi.
-Dugaan keguguran diperlukan beberapa kriteria sebagai berikut:
- Terdapat keterlambatan datang bulan
- Terjadi perdarahan
- Disertai sakit perut
- Dapat diikuti oleh pengeluaran hasil konsepsi
- Pemeriksaan hasil tes kehamilan dapat masih positif atau sudah negatif

-Riwayat penyakit terdahulu


1. Kapan abortus terjadi. Apakah pada trimester pertama atau pada trimester berikutnya
adakah penyebab mekanis yang menonjol.
2. Mencari kemungkinan adanya toksin, lingkungan dan pecandu obat (naza).
3. Infeksi ginekologi dan obstetri.
4. Gambaran asosiasi terjadinya antiphospholipid syndrome (thrombosis, autoimmune
phenomena, false-positive tests untuk sifilis)
5. Faktor genitik antara suami istri ( consanguinity ).
6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan sindroma yang
berkaitan dengan kejadian abortus ataupun partus prematurus yang kemudian meninggal.
7. Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat.4

-Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan fisik umum
2. Pemeriksaan fisik bervariasi tergantung jumlah perdarahan.

16
3. Pemeriksaan fundus uteri:
- Tinggi dan besarnya tetap dan sesuai dengan umur kehamilan
- Tinggi dan besarnya sudah mengecil
- Fundus uteri tidak teraba di atas simfisis.
4. Pemeriksaan dalam:
- Serviks uteri masih tertutup
- Servix sudah terbuka dan teraba ketuban dan hasil konsepsi dalam kavum uteri atau
pada kanalis servikalis
- Besarnya rahim (uterus) sudah mengecil
- Konsistensinya lunak.8

-Pemeriksaan Lainnya
1. Siapkan silsilah tiga generasi kedua pasangan dan lengkapi riwayat reproduksi menyeluruh
(termasuk informasi patologis dan kariotipe dari abortus sebelumnya).
2. Lakukan pemeriksaan kariotipe kedua orangtua.
3. Kerjakan histerosalfingogram, histereskopi atau laparoskopi untuk menyingkirkan
diagnosis kelainan anatomis saluran reproduksi.
4. Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk T3, T4, TSH, skrining kelainan glukosa (1 atau 2
jam setelah makan), SMA dan antibodi antinuklear atau antibodi DNA rantai ganda.
5. Rencanakan pemeriksaan skrining imunoligis untuk edua orangtua. Dewasa ini meliputi
pencitraan HLA-A, HLA-B dan transferin C. konsultasi imunolgis juga mungkin berguna.
6. Kerjakan biopsi endometrium dalam fase luteal atau dapatkan kadar progesteron serum
untuk menilai korpus luteum atau lakukan keduanya.
7. Lakukan skrinning terhadap adanya infeksi serviks atau jaringan endometrium dengan
biakan Listeria monositogenes, Klamidia, Mikoplasma, U. Urealitikum, Neisseria
gonorrheae, sitomegalovirus, herpes simpleks dan titer serum untuk Treponema pallidum,
Brusela abortus dan Toksoplasma gondii.
8. Pemeriksaan kuantitatif gonadotropin korionik manusia (HCG) serum, hitung darah
lengkap, dan penentuan golongan darah harus dilakukan.9

17
2.7. Penatalaksanaan
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu,
penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang
sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan
hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai
pengaruh psikologis. Risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan
adanya tanda-tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika
pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus salin normal (NS) untuk stabilisasi
hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit untuk
diperiksa.7,8
Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka operasi untuk menguatkan
ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada kehamilan 12 minggu. Dasar operasi ialah
memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum
dengan benang sutra atau dakron yang tebal. Bila terjadi gejala dan tanda abortus insipien,
maka benang harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin tidak terhalang. 3,4
Tindakan untuk mengatasi inkompetensi serviks yaitu dengan penjahitan mulut rahim
yang dikenal dengan teknik Shirodkar Suture atau dikenal juga dengan cervical cerclage atau
pengikatan mulut lahir. Cara ini bisa menghindari ancaman janin lahir prematur. Faktor
keberhasilannya hingga 85 - 90 persen. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum kehamilan
mencapai usia 20 minggu dengan mengikat mulut rahim agar tertutup kembali sampai masa
kehamilan berakhir dan janin siap untuk dilahirkan.6
Tindakan pengikatan mulut rahim dilakukan dengan pembiusan lokal dan menggunakan
benang berdiameter 0,5 cm, yang bersifat tidak dapat diserap oleh tubuh. Jahitan ini akan
dilepas pada saat kehamilan mencapai usia 36-37 minggu, atau saat bayi sudah siap
dilahirkan. Agar tindakan pengikatan berfungsi optimal. Pasien tidak boleh berhubungan
seksual dengan pasangan selama 1-2 minggu sampai ikatan cukup stabil. Pengikatan ini
umumnya akan dibuka setelah kehamilan mencapai 37 minggu, kehamilan cukup bulan
sekitar 7 bulan, atau bila ada tanda-tanda melahirkan.9,10

18
2.8. Komplikasi
1. Perdarahan (hemorrhage)
2. Perforasi : sering terjadi sewaktu dilatasi dan kuretase yang dilakukan oleh tenaga yang
tidak ahli seperti bidan dan dukun.
3. Infeksi dan tetanus
4. Syok, pada abortus dapat disebabkan oleh :
- Perdarahan yang banyak disebut syok septik
- Infeksi berat atau sepsis disebut syok septik atau endoseptik.6
2.9. Prognosis
Wanita yang mengalami peristiwa abortus habitualis, umumnya tidak mendapat kesulitan
untuk menjadi hamil, akan tetapi kehamilannya tidak dapat berlangsung terus dan terhenti
sebelum waktunya, biasanya pada trimester pertama tetapi kadang-kadang pada kehamilan
yang lebih tua. Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan servix inkompeten, angka
kesembuhan setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70% dan 85 %, apapun
terapinya. Yaitu, angka kematian janin akan lebih tinggi, dibandingkan dengan kehamilan
secara umum. Wanita dengan abortus spontan tiga kali atau lebih berisiko lebih besar
mengalami pelahiran preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada
kehamilan berikutnya.7

BAB III

KESIMPULAN

Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi tiga kali atau lebih abortus spontan yang
terjadi berturut-turut. Etiologi dari abotus habitualis adalah kelainan zigot, gangguan hormonal,
ganguan nutrisi, penyakit infeksi, autoimun disorder, kelainan servik dan uterus, dan faktor
psikologis. Gambaran klinis abortus habitualis adalah kontraksi uterus, perdarahan uterus,
dilatasi servix, dan presentasi atau ekspulsi seluruh atau sebagian hasil konsepsi. Komplikasi dari
abortus habitualis adalah perdarahan,perforasi, infeksi, syok. Prognosis abortus habitualis lebih
berisiko lebih besar mengalami pelahiran preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan
malformasi janin pada kehamilan berikutnya

19
BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1. Hariadi R. Abortus Spontan Berulang. Dalam : Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi


Perdana. Surabaya : Penerbit Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia.; 2004. Hal. 326-34.
2. Wiknjosastro H. Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan. Dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi 3.
Jakarta : Penerbit Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2007. Hal. 309-10.
3. Wiknjosastro H. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Dalam : Ilmu Kandungan. Edisi
2. Jakarta : Penerbit Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. Hal. 246-50
4. Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE. Recurrent Pregnancy Loss. In : Johns
Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
P.3-6
5. Carr BR, Blackwell RE, Azziz R. Recurrent Pregnancy Loss. In : Essential Reproductive
Medicine. New York : McGraw-Hill; 2005. P. 586.
6. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Infertility and Recurrent Pregnancy Loss. In : Glass
Ofice Gynecology, 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins;2006. P.6-7.
7. Mochtar R, Lutan D. Abortus dan Kelainan dalam Tua Kehamilan. Dalam: Sinopsis Obstetri.
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1998. Hal. 214-15.

8. Prawirohardjo,S. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2006. Hal.302-304

9. Stead, G.L. Recurrent Abortion. First Aid For The Obstetrics and Gynecology Clerkship A
Student To Student Guide. Second Edition. New York: McGraw-Hill Companies; 2007.P
140-141

10. Cunningham. Recurrent Miscarriage. Abortion. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York:
McGraw-Hil Companies, Inc;2010.p.248

11. Vorvick L. Uterus. [on line] 2009 [cited 2009 November 1]. Available from : URL :
http://www.healthcentral.com/sexual-health/

12. 12.Anonym. Uterus and Uterine Tubes. [on line] 2008 [cited 2009 Oktober 30]. Available
from : URL : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/6/66/illu_cervix.jpg

20

Vous aimerez peut-être aussi