Vous êtes sur la page 1sur 8

TUGAS

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSA

DISUSUN OLEH
Lisa Mery Nathania
11-2015-245

PEMBIMBING
dr. Flora Eka Sari, Sp.P

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


RS Pusat TNI AU Dr. Esnawan Antariksa
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
PERIODE 8 MEI 2017 15 JULI 2017
PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSA

Penanganan tuberkulosa yang penting adalah diagnose dini dan pemberian


kemoterapi yang sesuai.Gambaran perjalanan penyakit dan gejala klinis tuberkulosa
cenderung tergantung pada respon imun tubuh, bila dibanding virulensi kuman
penyebabnya. Imunitas pada tingkat seluler merupakan suatu keadaan dari tingkat dimana
makrofag teraktifasi dan pengerahan makrofag pada lesi serta kemanpuan makrofag untuk
menghancurkan kuman M.TB. Kortikosteroid mempunyai kemampuan mencegah atau
menekan berkembangnya manifestasi inflamasi dan juga mempunyai nilai yang tinggi pada
pengobatan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan reaksi imun , baik kondisi yang
berhubungan dengan imnunitas humoral maupun seluler.
Dari pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan, tidak semua infeksi
tuberkulosa perlu mendapat tambahan kortikosteroid. Beberapa keadaan dimana
kortikosteroid perlu dipertimbangkan pemakaiannya pada keadaan: Penderita tuberkulosa
paru dengan keadaan penyakit berat dan tanda toksik ,TB Millier, efusi Pleura dan
Pericarditis tuberculosa.

PEDAHULUAN
Penyakit tuberkulosa sampai saat ini masih merupakan suatu masalah dalam
kesehatan terutama di negara berkembang, karena masih menunjukkan angka kesakitan
dan kematian yang tinggi. Pada tahun 1993 WHO menyatakan bahwa di dunia terdapat 8
juta kasus baru per tahun, hal ini didukung oleh adanya epidemi infeksi terhadap AIDS
(HIV). Penanganan tuberkulosa yang penting adalah diagnose dini dan pemberian
kemoterapi yang sesuai.
Lesi di paru sering dijumpai, meskipun lesi di tempat lain dapat terjadi misalnya di
kelenjar getah bening, selaput otak dan menyebar ke seluruh tubuh. Gambaran perjalanan
penyakit dan gejala klinis tuberkulosa cenderung tergantung pada respon imun tubuh, bila
dibanding virulensi kuman penyebabnya.
Penggunaan kortikosteroid pada penyakit tuberkulosa hingga saat ini masih
kontroversial. Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada
tuberkulosa menyebabkan progresifitas penyakit, sehingga penggunaannya merupakan
kontraindikasi. Sesuai dengan data-data terbaru menunjukkan bahwa dengan pemberian
kortikosteroid yang digabung dengan kemoterapi yang sesuai mempunyai manfaat pada
keadaan tertentu pada tuberkulosa. Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang
imunologi tuberkulosa, daya kerja kortikosteroid dan penggunaannya pada tuberkulosa.

IMUNOLOGI TUBERKULOSA
Kuman tuberkulosa yang terkumpul dalam alveoli atau bronchioli terminalis
jaringan paru membentuk proses keradangan yang dinamakan fokus primer (Ghon fokus),
selanjutnya proses meluas ke kelenjar getah bening regional, sehingga terbentuklah
komplek primer. Pada kebanyakan kasus keradangan primer ini dapat diatasi oleh sistim
imun host, namun bila sistim imun tidak baik maka akan terjadi perluasan proses ke
tempat lain seperti ke rongga pleura, maka terjadi pleuritis atau bila proses meluas ke
kelenjar getah bening dihilus sehingga menekan bronchus maka terjadi kolaps paru
(ateletasis) atau apabila meluas ke pericardium akan terjadi pericarditis dan dapat pula
terjadi penyebaran secara sistemik sehingga terjadi meningitis tuberkulosa.
Lesi yang telah sembuh pada suatu saat dapat terjadi reaktifasi dan menampilkan
bentuk klinis tuberkulosa post primer, dimana proses nekrosis lebih menonjol bila
dibandingkan dengan tuiberkulosa primer. Pada awal kejadian infeksi tuberkulosa adalah
setelah kuman terutama di alveoli akan segera diikuti oleh reaksi keradangan yang tersusun
dari sel-sel darah putih terutama sel PMN, tapi peristiwa ini hanya berjalan singkat karena
kemanpuan fagositosis PMN tidak memadai untuk kuman M.TB, meskipun makrofag
mengambil alih tugas sel PMN, aqkibatnya terjadi peristiwa infiltrasi sel-sel makrofag ke
dalam sel, sehingga bayak sel-sel makrofag yang didapatkan pada lesi keradangan, dimana
secara patologi anatomi akan menunjukkan gambaran radang akut dan kronis.
Pada tahap selanjutnya kuman M.TB. difagosit oleh makrofag
jaringan dan pada saat inilah dimulai perjuangan mempertahankan hidup bagi kuman M.
TB. Kuman ynag berada pada sel jaringan pelan-pelan dihancurkan secara proses biokimia
(oksidasi dan Enzimatik). Dalam peristiwa ini lesi dapat sembuh sempurn atau sebaliknya
bahwa kuman bertahan dan memperbanyak diri dalam makrofak.
Daya tahan host terhadap kuman M.TB. terutama terletak pada makrofak,
sehingga bila daya tahan host tidak baik, maka akan menimbulkan mekanisme atau
respon hipersentivity (imunitas) seluler yang terbentuk dalam kurun waktu 4 6 minggu
setelah terinfeksi kuman M. TB. Pada penyakit tuberkulosa, hipersetivitas seluler
merupaka bentuk statu imunologi yang meunjukkan bahwa sel-sel tubuh telah sensitif
terhadap tuberkulin, dimana secara klinis dapat ditunjukkan dengan pemberian suntikan
tuberkulin secara Mantoux, diman reaksi terhadap tuberkulin tersebut menunjukkan reaksi
positif.
Imunitas pada tingkat seluler merupakan suatu keadaan dari tingkat dimana
makrofagteraktifasi dan pengerahan makrofag pada lesi serta kemanpuan makrofag untuk
menghancurkan kuman M.TB. Makrofag dapat menghancurkan kuman dengan mengurng
kuman tersebut dalam fagosom, selanjutnya fagosom bergabung dengan kantongan-
kantongan lisosom yang mengandung enzim-enzim pencernaan didalam sitoplasma
makrofag yang disebut fagolisosom, yang mampu menghancurkan kuman secara oksidatif
dan enzimatik. Berkaitan dengan imunitas seluler tersebut, maka makrofag berdiferensiasi
menjadi sel-sel epiteloid yang selanjutnya disebut granuloma.
Sel-sel makrofag yang teraktifasi menbutuhkan banyak oksigen, dengan demikian
bag terbebani oleh bebean antigen ian sentral granuloma akan mengalami anoksia,
sehingga mengakibatkan sel-sel jaringan mengalami nekrosisyang bersifat asam yang
disebut nekrosis kaseosa. Banyak oksigen dari fraksi molekul kuman ikut ikut menentukan
bentuk imun seluler kearah bentuk yang menguntungkan atau merugikan untuk host.
Bila produk dari kuman yang menyerupai tuberkulin terlalu banyak, maka akan
menyebabkan terbentuknya nekrosis kaseosa, karena makrofag terbebani oleh beban
antigen antigen yang berlebihan akan mengeluarkan mediator-mediator seperti TNF dan
INF gama berlebihan seta sekresi enzim proteolitik meningkat, akibatnya jaringan
sekitatnya akan mengalami apoptosis (Program Cell Death) dipercepat. Disamping itu
terjadinya nekrosis jaringan dapat di sebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan
dengan akibat reaksi imflamasi yaitu reaksi lokal yang lambat karena terjadinya infiltrasi
selul antigen er pada pembuluh-pembuluh darah kecil.
Pada umum perkenalan imun (imun recognition) pada tuberkulosa serupa dengan
penyakit infeksi lainnya, yaitu APC (Anti Presenting Cell) akan memproses antigen untuk
disajikan pada T limfosit. Makrofag yang teraktifasi akan mengeluarkan IL1 (Interleukin
1) dan TNF (Tumor Necrotizing Factor). Dibawah pengaruh IL1, resting T menjadi T
yang teraktifasi selanjutnya akan mensekresi sitoksin, antra lain IFN (Interferon) gama dan
IL2 melalui IL6 dan bersama MIF (Migration Inhibitory Factor) dapat memperkuat sel
mediator respon INF gamma dapat mengaktifkan makrofag dengan menginduksi enzim
pada mikrofag yang dapat merubah vitamin D3 menjadi calcitriol yang aktif, sehingga
makrofag menjadi peka terhadap rangsang lipoarabinomanan untuk membebaskan TNF .
TNF ini dalam keadaan normal bersifat protektif, karena dapat mengaktifkan sel fagosit
dan membantu pembentukan granuloma, namun apabila bila kadar TNF berlebihan
mengakibatkan meluasnya proses tuberkulosa dan terjadilah kaheksia.

DAYA KERJA KORTIKOSTEROID


Kortikosteroid mempunyai kemampuan mencegah atau menekan berkembangnya
manifestasi inflamasi dan juga mempunyai nilai yang tinggi pada pengobatan penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan reaksi imun , baik kondisi yang berhubungan dengan
imnunitas humoral maupun seluler.
Penggunaan kortikosteroid memberi semacam-macam efek, tetapi yang penting
dalam kaitannya dengan infeksi khususnya tuberkulosa adalah sifat anti inflamasi dan anti
alerginya. Pengertian yang berkaitan dengan anti inflamasi dan imunosupresi dari
kortikosteroid masih merupakan permasalahan, namun akhir-akhir ini dapat dibedakan.
Mekanisme kerja korikosteroid adalah dengan menembus membran sel, kemudian
didalam sitoplasma berikatan dengan suatu reseptor protein interseluler spesifik. Komplek
reseptor steroid selanjutnya meninggalkan sitoplasma dan menuju inti sel, didalam inti sel
mensintesa suatu protein baru yang mempengaruhi transkripsi dan translasi asam inti,
sehingga terjadi perubahan inti sel.
Kortikosteroid tidak hanya menghambat fenomena awal dari inflamasi, tetapi juga
mampu menghalau manifestasi lanjutannya. Dalam proses inflamasi bahan ini selain
mampu mempertahankan tonus pembuluh darah. Agar peristiwa diapedesis leukosit,
ekstravasasi cairan yang menyebabkan terjadinya odema setempat, serta migrasi sel-sel
leukosit ke lokasi radang dapat dihambat. Proliverasi sel-sel vibroblas yang merupakan
bagian dari proses reparasi juga dihambat oleh kortikosteroid. Hambatan ini pada satu sisi
dapat mencegah pembentukan jaringan vibotik yang berlebihan, namun di sisi lain
mempermudah terjadinya penyebaran kuman, hal ini tergantung pada dosis yang diberikan.
Penggunaan kostikosteroid akan merubah kinetika dan jumlah leukosit dalam peredaran
darah, dimana efek maksimum dicapai dalam 4-6 jam setelah pemberian dan kembali
normal dalam 24 jam.
Kortikosteroid akan meningkatkan jumlah sel netrofil dalam aliran darah oleh
banyak netrofil baru yang dilepas dari sumsum tulang, disamping itu karena bertambah
panjangnya umur netrofil dalam peredaran darah serta sedikitnya akumulasi netrofil di
lokasi radang karena berkurannya perlekatan sel endotel pada vaskuler.
Penggunaan kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya limvopenia oleh karena
banyaknya sel-sel limfosit dari peredaran darah menuju ke jaringan limfoid. Dua per tiga
dari jumlah sel-sel limfosit dalam sirkulasi termasuk dalam kelompok limfosit re-sirkulasi
yakni limfosit yang mudah untuk keluar dan masuk ke dalam sirkulasi. Di luar sirkulasi
sel-sel ini berada dalam duktus thoraksikus, limfa, kelenjar limfe, dan sumsum tulang.
Kortikosteroid lebih banyak mempengaruhi limfosit T untuk bermigrasi ke jaringan
limfoid daripada limfosit B. Mekanisme tepat mengenai pengaruh kortikosteroid pada
redistribusi limfosit ini masih belum jelas.
Penggunaan kortikosteroid juga menginduksi terjadinya monositopenia, hal ini
disebabkan oleh mekanisme redistribusi dan berkurangnya akumulasi sel monosit di
tempat radang. Jumlah eosinofil dan basofil juga menurun dengan alasan yang sama
dengan monosit. Efek kerja kortikosteroid pada sel-sel monosit dan manofag adalah
dengan menurunkan efek endositosis dan kliren RES serta menghambat aktivitas
bakterisidalnya. Kortikosteroid mempengaruhi makrofag dengan cara menghambat kerja
MIF (Migrasi Inhibitory Factor), sehingga makrofag mudah keluar dari jaringan yang
dipengaruhinya, disamping itu kortikosteroid bekerja dengan cara meredam sintesa dan
sekresi INF gamma dan IL1, dimana IL1 lebih dikenal sebagai pirogen endogen yang
bertanggungjawab terhadap kenaikan suhu tubuh, sehingga kortikosteroid mampu
menurunkan suhu tubuh.
Kortikosteroid memberi efek stabilisasi terhadap membran lisosom yang dapat
mencegah pelepasan enzim-enzim hidralase, sehingga daat mengurangi kerusakan
jaringan.

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSA


Dari pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan, tidak semua infeksi
tuberkulosa perlu mendapat tambahan kortikosteroid. Beberapa keadaan dimana
kortikosteroid perlu dipertimbangkan pemakaiannya sebagai berikut:
1. Penderita tuberkulosa paru dengan keadaan penyakit berat dan tanda toksik.

Dikatakan bahwa pemberian kortikosteroid mempercepat perbaikan klinis dan


radiologis, tetapi kesembuhan tetap terantung obat anti tuberkulosa dan penggunaan
kortikosteroid tidak dilakukan secara rutin, kecuali dalam keadaan berat yang memerlukan
pengobatan suportif sampai obat anti tuberkulosa bekerja secara efektif.

2. Tuberkulosa Milier

Dikatakan bahwa angka kematian bisa mencapai 100% bila tidak diberikan
pengobatan adekwat dan hal ini terjadi dalam 4-12 minggu dimulai timbulnya gejala klinis,
kebanyakan disebabkan oleh karena penyebaran kuman ke susunan saraf pusat dan yang
sering terjadi adalah meningitis tuberkulosa. Ada pendapat lain yang tidak menyetujui
pemberian kortikosteroid oleh karena sebagian besar penderita tuberkulosa milier bila telah
sembuh maka tidak meninggalkan gejala sisa, sehingga penggunaan kortikosteroid tidak
dilakukan secara rutin.

3. Efusi pleura

Dikatakan bahwa terapi pada pleuritis tuberkulosa bermanfaat mencegah terjadinya


efusi pleura, memperpendek gejala klinis yang timbul dan mencegah kerusakan pleura,
dimana penebalan pleura dan penurunan fungsi paru merupakan gejala sisa dari efusi
pleura. Dikatakan bahwa terutama pada anak, bila terjadi komplikasi, maka fungsi parunya
akan turun dan kortikosteroid tidak akan memperbaruhi fungsi parunya. Sejak pertengahan
abad dilaporkan tentang manfaat pemberian kortikosteroid per oral dan intra pleura,
khususnya dalam mempercepat penyerapan cairan pleura. Berger dan Meiji tahun 1993
melaprkan bahwa tidak ditemukan adanya penyerapan cairan pleura total, tanpa silakukan
torakosintesis dan terapi obat anti tuberkulosa, disamping itu pemberian kortikosteroid
tidak memberikan manfaat jangaka panjang serta tidak pernah dilaporkan adanya manfaat
kortikosteroid dalam mencegah penebalan pleura dan penurunan faal paru.

Dalam penyelidikan terbaru tahun 1996 dilaporkan bahwa kortikosteroid


mempercepat penurunan panas badan pada penderita dengan kortikosteroid, dengan
perbandingan 2,4 hari dan 9,2 hari dan mempercepat penyerapan cairan pleura dengan
perbandingan pemakai kortikosteroid dan plasebo adalah 54,4 hari 132,2 hari. Jadi dapat
disimpulkan bahwa penggunaan kortikosteroid dengan kombinasi OAT mempercepat
perbaikan klinis dan penyerapan cairan pleura, tetapi tidak dapat memperbaiki faal parunya
bila terjadi komplikasi.

4. Perikarditis tuberkulosa

Perikarditis tuberkulosa merupakan hal yang jarang terjadi. Strang dan kawan-
kawan pada tahun 1972 melaporkan bahwa dari 143 penderita OAT dengan kombinasi
kortikosteroid atau placebo 30 mg yang diberikan secara randomm selama 4 minggu,
diteruskan 15 mg per hari selama 2 minggu dan diturunkan secara bertahap sampai 5 mg
per hari sampai hari ke sebelas. Dikatakan selama follow up ditemukan 2 dari 53 penderita
dengan kortikosteroid dan 7 dari 61 penderita dengan placebo, meninggal dengan
pericarditis tuberkulosa, serta 11 penderita dengan kortikosteroid dan 18 penderita dengan
placebo menjalani kardiotomi.

Alzer dkk pada tahun 1993 melaporkan pula bahwa 170 penderita dengan
pericarditis tuberkulosa yang di terapi dengan OAT yang dikombinasi dengan
kortikosteroid dan placebo, didapatkan 2 dari 76 penderita dengan kortikosteroid serta 10
dari 24 penderita dengan placebo, meninggal dunia serta 7 dari 17 penderita dengan atau
tanpa kortikosteroid menjalani kardiosentesis terbuka, sehingga dikatakan bahwa
drainage perikard terbuka tetap diperlukan untuk mempercepat kardiosentesis.

5. Meningitis tuberkulosa

Meskipun ada beberapa tuberkulosa SSP, namun meningitis tuberkulosa insidenya


menduduki tempat tertinggi dengan angka kematian (20-50%). Pada penelitian awal sekitar
tahun 1976 dikatakan bahwa kortikosteroid secara parenteral dan intrakekal memberi
manfaat, dimana efeknya mengurangi peradangan, menurunkan tekanan intrakranial,
mengurangi odema otak, menghambat terbentuknya jaringan fibrous, mempercepat
perbaikan konsentrasi protein serta jumlah sel darah putih pada cairan cerebro spinal.

Escobar dan kawan-kawan pada tahun 1991 melaporkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna antara pemakai kortikosteroid 10 mg/Kg bb/ hari dalam terapi
meningitis tuberkulosa.

Humpries dan kawan-kawan pada atahun 1995 melaporkan bahwa angka kematian
penderita miningitis tuberkulosa yang menggunakan kortikosteroid pada stadium II 4,9%
dan stadium III 30%, dibanding penderita dengan placebo yakni dengan angka kematian
pada stadium II sebesar 11% sedangkan stadium III sebesar 60,9%. Dikatakan bahwa
pemberian kortikosteroid pada meningitis tuberkulosa stadium I kurang bermanfaat, sebab
kerja kortikosteroid baru nampak bila sudah terjadi blok pada saraf spinal.

Kortikosteroid yang cukup banyak dipakai adalah golongan trednison, namun dapat
pula dipakai preparat lain dengan dosis ekuivalen 1 mg/Kg bb/hari. Pada umumnya
pretnison yang diberikan sebesar 40-60 mg/hari selama 4-7 hari, dilanjutkan dengan dosis
30-50mg/hari selama 4-7 hari, kemudian diberikan dosis 10-30mg/hari selama 5-8 minggu
yang diturunkan terus sampai habis.

Dosis ekuivalen beberapa preparat kortikosteroid adalah sebagai berikut:

- kortisol (hidrokortisol) : 20mg - triamisolon : 4mg


- prednison : 5mg
- metilprednisolon : 4mg - betametason : 0,60mg
- kotison : 20mg - dexametason : 0,75m

KESIMPULAN
Hingga saat ini pengunaan kortikosteroid pada tuberkulosa masih kontroversial.
Dahulu pengobatan dan kortikosteroid menyebabkan progesifitas penyakit dasarnya.
Tetapi ada beberapa peneliti yang melaporkan adanya manfaat penggunaan kortikosteroid
disertai terapi anti tuberkulosa yang adekuat.
Pengguanan kortikosteroid pada tuberkulosa banyak dapat dipertimbangkan pada
keadaan tertentu dari penyakit-penyakit seperti tuberkulosa yang berat disertai tanda-tanda
tiksik, tuberkulosa millier, efusi pleura, perikarditis tuberkulosa dan meningitis
tuberkulosa.
Penghentian pemakaian kortikosteroid hendaknya dilakukan secara bertahap,
sedangka yang perlu diperhatikan selama penurunan bertahap tersebut adalah eksaserbasi
penyakit dasarnya.

Vous aimerez peut-être aussi