Vous êtes sur la page 1sur 14

PenyelesaianSengketa Pulau Sipadan dan Ligitan Antara

Indonesia-Malaysia

oleh :
Surya Ramadhan (3015210357)

Tim Dosen Hukum Internasional:

1. Wahyuningsih,S.H.,M.Si.,Sp.N.

2. Ruri Octaviani,S.H.,M.H

3. Lita Arijati,S.H.,LL.M.

Dibuat dan dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional
Kelas E / Ruang 303

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA


PROGRAM SARJANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konflik P.Sipadan dan P.Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan dengan
(luas: 50.000 meter) dengan koordinat: 4652,86LU 11837 43,52BT dan pulau Ligitan
dengan (luas: 18.000 meter) dengan koordinat: 49LU 11853BT.
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen
IndonesiaMalaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan
dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua
pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi
pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa
berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum
dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di
saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan
mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara
sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam status quo. Dua puluh tahun kemudian
(1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto
dan PM. Mahathir Muhamad.

Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali
dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara pada tahun 1992. Hasil pertemuan pejabat
tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint
Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan
JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang pada prinsipnya
masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pertemuan pada tgl. 6-7 Oktober
1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil
khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati Special Agreement for the Submission to
the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the
Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan. Special Agreement itu kemudian disampaikan
secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses
ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI mulai berlangsung. Kedua negara memiliki kewajiban
menyampaikan posisi masing-masing melalui Written pleading kepada Mahkamah
Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, Counter Memorial pada 2 Agustus 2000 dan
reply pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses Oral hearing dari kedua negara bersengketa
pada 312 Juni 2002.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia
terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?
2. Apa yang menjadi tolak ukur Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui Bagaimana bentuk Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia
dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
2. Untuk mengetahui Apa yang menjadi tolak ukur Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bentuk penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Pada persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir Mahkamah


Internasional (MI) / International Court of Justice mengenai status kedua pulau tersebut tidak
menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan
menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu Continuous presence, effective
occupation, maintenance dan ecology preservation. Dalam amar keputusannya, Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa Indonesias argument that it was successor to the
Sultanate of Bulungan cannot be accepted. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga
menegaskan bahwa Malaysias argument that it was successor to the Sultan of Sulu
cannot be upheld.

ICJ kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan
pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation sebagai pisau
analisis tersebut. Aspek penting dalam penentuan effective occupation ini ada Dua yaitu
keputusan adannya cut-off date dan bukti-bukti hukum yang ada. Cut-off date yang
ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Maksudnya adalah semua kegiatan
setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama
sekali. Mahkamah internasional melihat hanya berdasarkan bukti hukum sebelum 1969. Dapat
dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P.
Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu
jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di
pulau-pulau tersebut.

Effective Occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum
Romawi kuno. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur
oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan
hukum yang jelas. Elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah
ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status
wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio)
yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik. Karena
temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum
materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan
kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi
terjadinya sebuah perbuatan hukum

Mahkamah Internasional dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia


bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia
berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-
Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa
kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan
kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Mahkamah
berpendapat tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia
berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas
merujuk kedua pulau sengketa.

Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa
merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV
Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10 LU yang memotong P.
Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua
pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan
kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting (MvT).

Mahkamah Internasional juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau
sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969
sebagai cut-off date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia
tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang
bersengketa.

Berkaitan dengan efektivitas Indonesia dan Malaysia, yaitu:

a. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa


tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik
yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas
kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta
bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara,
juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

b. Berkaitan dengan pembuktian efektivitas Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa


sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan
yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak
1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi
yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :

a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur


penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada
tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada
tahun 1963 di P. Ligitan

Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective
occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti
yang diajukan kedua negara, yakni:
a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari
tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada
November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di
perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh
patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan
nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.

b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle


Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan;
regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963.
Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.

Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU


4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan
bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan,
sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.

Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa activities


by private persons cannot be seen as effectivit, if they do not take place on the basis of
official regulations or under governmental authority Oleh karena kegiatan tersebut bukan
bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas
Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan
dasar sebagai adanya effective occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan
Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan,
Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah
menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu
regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by
name.

*UNCLOS sebagai tolok ukur

.
Area Batas Laut International, sumber: UNCLOS
Dalam hukum laut internasional, the United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), mengdefinisikan sebuah pulau sebagai kawasan yang secara alami berbentuk
daerah tanah, dikelilingi oleh air, yang berada di atas air dalam keadaan air pasang (high
tides). Dalam kasus ini, tidak ada spesifikasi khusus tentang ukuran dan luas.

Disisi lain, karena hukum laut mengikuti prinsip Daratan, jadi secara inherently setiap pulau
mungkin memiliki beberapa tambahan zona atas laut seperti radius 12-mil dari laut
Teritorial (Territorial Sea/TS) 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau dalam
beberapa kasus 350-mil diperpanjang oleh Continental Shelf (CS). Oleh karena itu,
meskipun pulau ini hanya sebuah titik pada peta, itu masih dapat menghasilkan mil
persegi 144 TS dan 40.000 mil persegi ZEE
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia yang dibahas disini adalah sengketa
kedaulatan atas pulau kecil yang terletak di Lepas Pantai Timur laut Kalimantan, yaitu Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Sengketa yang mempunyai akar sejarah yang kompleks tersebut
mengkristal pada saat dilaksanakannya perundingan untuk menentukan batas landas kontinen
antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1969.

Pada saat itu, kedua belah pihak sama-sama menyatakn bahwa pulau itu berada dibawah
kedaulatannya, hal itu dipicu oleh perbedaan penafsiran dari Indonesia dan Malaysia
menyangkut pasal IV konvensi 1891 antara Belanda dengan Inggris.

Konvensi itu sendiri dilatar belakangi oleh ketidak jelasan batas antara wilayah yang dimiliki
oleh Belanda dan Inggris di Pulau Kalimantan sebagai akibat dari ketidak jelasan batas
wilayah antara Kesultanan Bulungan dengan Kesultanan Sulu yang sebelumnya menguasai
wilayah tersebut.

Berbagai upaya penyelesaian secara damai telah ditempuh oleh kedua belah pihak yaitu
Indonesia dan Malaysia, cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia ini akan
memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara. Untuk menyelesaikan sengketa
ini, dimulai dengan cara diplomatik, yang dilakukan sejak tahun 1969 sampai dengan 1997.
Berbagai perundingan bilateral yang telah dilakukan delegasi-delegasi Indonesia dan
Malaysia dalam kurun waktu tersebut ternyata tidak dapat membuahkan hasil yang
memuaskan bagi Indonesia dan Malaysia dalam penyelesaian sengketa tersebut. Oleh karena
itu, pada tanggal 31 Mei 1997 melalui Special Agreement kedua belah pihak sepakat untuk
menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum yaitu dengan menyerahkannya kepada
Mahkamah Internasional ( ICJ) yang berkedudukan di Den Hag,Belanda.

Sebelumnya Indonesia menolak untuk melakukan jalur hukum melalui Mahkamah


Internasional karena Indonesia lebih ingin menyelesaikan masalah sengketa itu melalui
Dewan Tinggi (High Court) ASEAN. Langkah itu selaras dengan Traktat Persahabatan dan
Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia).
Traktat yang ditanda tangani dalam KTT I ASEAN di Bali, 1976 itu menyebutkan,akan
membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara
sesama anggota ASEAN.

Namun, Malaysia menolak tegas keinginan itu, Malaysia ingin membawa masalah itu ke
Mahkamah Internasional yang dianggap lebih netral. Tidak heran jika Malaysia bersih keras
untuk menolak usulan Indonesai tersebut,karena Malaysia memiliki sengketa serupa hampir
dengan seluruh negara ASEAN.

Dan akhirnya saat berkinjung ke Kuala Lumpur,Presiden Soeharto menyetujui usulan Perdana
Mentri Mahatir dan rekomendasi dari Mensesneg Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri
Anwar Ibrahim untuk membawa kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke
Mahkamah Internasional (ICJ) yang dipandang sebagai lembaga yang memiliki cukup
kemampuan untuk mempertimbangkan masalah tersebut.

Presiden Soeharto memandang ICJ sebagai lembaga paling netral untuk menyelesaikan
masalah yang sudah menjadi warisan dari zaman Belanda tersebut. Dan setelah melalui masa
tiga tahun terakhir,dari Orde Baru hingga Orde Reformasi pada Orde Sekarang ini, Sipadan
dan ligitan baru bisa diputuskan.

Dalam berbagai tahap pemeriksaan di Mahkamah Internasional, baik indonesia maupun


Malaysia telah mengemukakan berbagai argumen baik argument tertulisWritten Pleadings
maupun argument lisan Oral Hearings yang dianggap mendukung Klaimnya masing-
masing.

Akhirnya setelah pertimbangan berbagai argument yang dikemukakan oleh Indonesia maupun
Malaysia, pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional telah memberikan
putusannya atas sengketa Pulau sipadan dan Pulau Ligitan tersebut. Dalam putusannya,
Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kedaulatan atas pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
ada di tangan Malaysia. Putusan ini diambil oleh Mahkamah Internasional dengan
mempertimbangkan unsur effectivities sebagai suatu unsur yang berdiri sendiri,terlepas dari
unsur Conventional Title maupun Chain of Title. Tidak seperti argument Indonesia dan
Malaysi, dimana unsur effectivities ini hanya dipandang sebagai unsur tambahan yang
merupakan penegasan kembali dari kedaulatan yang telah diperoleh berdasarkan perjanjian
Intenasional.

Putusan tersebut diambil dengan perbandingan 16 : 1, dimana satu-satunya hakim yang


mempunyai pendapat berbeda, bahwa kedaulatan atas pulau Sipadan dan Pulau ligitan
seharusnya ada di tangan Indonesia adalah hakim ad hoc Thomas J. Franck.
Mencermati ketiga dasar hokum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan teru
menerus, penguasaan effektif dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa territorial
lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hokum, ketiga pertimbangan tersebut
akan menjadi yurispodensi baru dalam memutuskan masalah sengketa territorial.

Dengan segala daya upaya Indonesia berusaha mempertahankan kedua pilau tersebu. Namun
dasar konvensi 1891 antara Inggris dengan Belanda yang digunakan Indonesia ternyata tidak
ampuh. Karena, pijakkan indonesia, garis paralel 410 menit Lintang Utara yang disebut
dalam pasal IV Konvensi itu,tidak bisa diterima.

Mahkamah Internasional lebih memilih menggunakan dasar kenyataan Inggris telah


menjalankan administrasi kedua pulau tersebut sekitar tahin 1930-an. Setidaknya waktu itu
Inggris mengeluarkan ordonasi perlindungan satwa burung, memungut pajak bagi para
pengumpul penyu, dan menjalankan mercusuar pada tahun 1960-an. Asas effectivities atau
penguasaan secara efektif inilah yang digunakan Mahkamah Internasional untuk
memenangkan Malaysia.

Disatu sisi harus diakui, titik lemah Indonesia sudah terlihat dari awal. Indonesia telah
memandang kedua pulau tersebut,ketika Indonesia menerbitkan perpu nomor 4 tahun 1960
tentang Perairan Indonesia, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak dicantumkan sebagi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indnesia. Dan memang bias dikatakan Indonesia
melalaikan, bahkan tidak pernah menyentuh kedua pualu tersebut,antara lain karena terlalu
taat pada kesepakatan status quo yang sebenarnya tidak terdokumentasi secara tertulis.

Oleh karena itu, suka tidak suka, harus diakui kesalahan ini pun tidak bisa sepenuhnya
dibebankan kepada satu pihak. Terutama karena persoalan itu lebih merupkan warisan sejak
abad ke-17, tepatnya dari tahun 1878 hingga abad ini. Dan tidak ada alas an pula jika seluruh
bangsa merenungi perginya dua pulau yang luasnya tidak lebih dari seperempat Jakarta. Akan
tetapijika mengambil hikmah pengalaman itu untuk menghadapi persoalan serupa dimasa
datang.

Tetapi bagaimanapun hati para warga Negara Indonesia terasa gundah dan kecewa ketika pada
akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi hak
milik dan masuk dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Meski belum pernah ada
bukti,Indonesia memiliki secarah sah kedua pulau tersebut, namun ada keinginan untuk
memprotes atau setidaknya sedikit mempertanyakan keputusan itu. Sayang tangan ini sudah
terikat perjanjian bersama (Special Agreement) yang menegaskan, putusan Mahkamah
Internasional itu final dan mengikat.

Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan ini
adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN sebagai suatu forum
kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan.

Lepasnya Sipadan dan Ligitan dalam kaitannya dengan masalah pengisian konsep Negara
kepualuan, telah mengingatkan kembali kepada pemerintah maupun masyarakat Indonesia
pada umumnya akan pentingnya pengurusan pulau-pulau tersebut. Pasalnya selama ini seakan
kita lupa betapa berartinya praktek pendudukan efektif terhadap pulau-pulau yang dianggap
tak bertuan, pulau-pulau itu menjadi incaran negara-negara tetangga. Sejak Sipadan dan
Ligitan lepas, Indonesia memiliki 17.506 pulau. Sebagian pulau sudah berpenghuni dan
bernama. Akan tetapi masih banyak yang kosong dan tidak punya nama. Dan yang paling
mengkhawatirkan tentu saja pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain.

Akibat jatuhnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia, terjadi dampak
domestic yang tidak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen
Luar Negri-lah penyebab utama lepasnya kedua Pualau tersebut mengingat seharusnya
Departemen Luar Negeri dibawah pimpinan Mentri Luar Negri Hasan Wirajuda mampu
mempertahankan Pulau sipadan dan Pulau Ligitan dengan kekuatan Diplomasinya. Namun,
bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan Deplu sebagai satu-satunya
pihak yang menyebabkan lepasnya kedua pulau tersebut, mengingat kronologi konflik Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan yang sudah berumur lebih dai empat dasarwarsa tersebut.

Mungkin inilah secercah pencerahan terhadap bangsa yang tidak tertutup kemungkinan
kehilangan intrgritas atau keutuhan atas Negara kesatuan kalau tidak cepat belajar terhadap
bahaya yang ada di depan mata. Sedangkan terhadap dewan, seharusnya tidak menjadi patah
semangat mempertanyakan keseriusan pemerintah mempertahankan nasib wilayah bangsa,
meski penjelasnya hanya dijawab seorang mentri
3.2 Saran

Indonesia harus melakukan perubahan posisi garis pangkal kepulauannya yang


sebelumnya telah diatur dalam hukum nasionalnya. Perubahan ini menyangkut posisi batas
laut wilayah, batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Eksklusif. Mengacu pada
UNCLOS 1982, kepastian posisi masing-masing batas tersebut masih harus diselesaikan lebih
lanjut oleh para pihak karena para pihak tidak boleh menetapkan secara unilateral.Dan jika
Indonesia merasa dirugikan batas-batas lautnya akibat kekalahan dalam kepemilikan pulau,
peluang memperbaikinya ada dengan perundingan bilateral. Dalam Konvensi kedua belah
pihak berpeluang sama untuk mencapai solusi yang berkeadilan.

Sebagai Pembelajaran dari kekalahan indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Langkah selanjutnya yang harus
dilakukan Indonesia dengan pembuatan peta yang memadai untuk didepositkan ke Sekjen
PBB, mengingat pentingnya kejelasan posisi batas-batas wilayah negara terutama batas-batas
lautnya. Agar memiliki kekuatan secara hukum internasional dan mengidentifikasi pulau-
pulau terluar yang termasuk dalam wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan posisi pulau-pulau
terluar dijadikan sebagai titik-titik pengukuran garis pangkal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002

2. Hasjim Djalal, Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?, SK


Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003.

3. Frans B. Workala, SPd, MM, Pengembangan, Sumber Kekayaan Alam Daerah Perbatasan
Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, Taskap KSA X Lemhannas, Jakarta
2002

Vous aimerez peut-être aussi