Vous êtes sur la page 1sur 110

MENGESAKAN ALLAH

Mengesakan Allah
(versi e-book)

Sunardi bin Sudianto

House of Islamic Worldview


BANDUNG INDONESIA
2017

1|Page
MENGESAKAN ALLAH

Untuk para pejuang Islam

2|Page
MENGESAKAN ALLAH

Kata Pengantar

Bismillahi ar-rohman ar-rohiim. Segala puja dan puji milik Allah semata, dan sholawat
salam semoga terus mengalir pada junjungan alam, nabi akhir jaman, Muhammad bin
Abdillah, rasulullah SAW, serta kepada seluruh anggota keluarganya, sahabat dan
pengikutnya yang memahami dan mengikuti jejak beliau dalam membumikan misi dan
visinya di tengah-tengah manusia. Atas karunia dan tolong Allah semata buku sederhana
ini dapat saya selesaikan dengan baik. Gagasan dalam buku ini semoga dapat menjadi
salah satu pembuka pintu jalan keluar untuk persoalan-persoalan besar umat Islam.

Buku ini saya tulis berangkat dari kegelisahan hati mengenai krisis identitas umat Islam
yang menimpa kita hari ini. Mengapa krisis identitas? Ya, sebab secara formal kita ini
memeluk dinul Islam tetapi pada kenyataannya cara befikir, cara pandang, dan cara hidup
kita sangat jauh dari Islam. Seorang muslim diantara kita mungkin sangat bangga dengan
aqidah Islam dan kuat dalam menjalankan ritual-ritual agama, tetapi kenyataannya tidak
dengan cara pandangnya dalam melihat berbagai persoalan. Lihatlah bagian yang paling
luar dari penampilan kita, sebutlah cara berpakaian anak-anak perempuan dan istri-istri
kita. Atau cara makan kita, atau cara bergaul kita, dan lain sebagainya. Kita telah
kehilangan identitas terluar sekalipun.

Yang lebih memprihatinkan lagi, cara berfikir dan pandangan hidup kita tidak lagi islami,
kita lebih suka berorientasi pada pemikiran dan cara hidup barat maupun timur, atau
pada kebangsaan murni. Tauhid merupakan doktrin keyakinan yang diagungkan oleh
umat, tetapi tauhid ini tidak banyak memberikan dampak pada kehidupan manusia. Ini
terjadi karena kita menempatkan tauhid sebagai persoalan etis semata, hati nurani
ansich, yang tidak perlu rasionalisasi atau sama sekali tidak ada kaitannya dengan
persoalan-persoalan realitas sosial. Jadilah keyakinan itu terisolasi, dan kesempurnaan
tauhid itu tidak menjelma sama sekali dalam kehidupan nyata. Hilangnya tauhid ini,
adalah hilangnya ketunggalan orientasi hidup, yang berarti menggiring kita pada
kemajemukan orientasi (taktsir). Tauhid mengajarkan kita melihat dan tertuju pada Allah
saja, sedangkan takstir menjebak pada orientasi dan tujuan banyak hal: modernisme,
demokrasi, filsafat, sain, dan materialisme.

Itulah mengapa kita kehilangan identitas; kita punya Allah dalam hati tetapi Dia kita
tinggalkan dalam kehidupan nyata; kita menyimpan keyakinan tauhid tetapi kita
sesungguhnya mempraktekkan taktsir; tauhid mengajarkan padunya agama dan
kehidupan tetapi kita mengadopsi sekularisme; tauhid mengajarkan satunya kehidupan
sedangkan kita memecah belahnya menjadi bagian-bagian. Dengan kenyataan seperti
inilah umat islam hanya bisa menjadi pengikut, serta dihinakan oleh bangsa-bangsa
serakah.

Buku ini adalah upaya kecil untuk mencoba mengungkap tauhid dalam makna
sesungguhnya sehingga tauhid itu memiliki dampak pada dunia nyata, memperbaiki
kondisi masyarakat yang rusak menjadi sehat dan realistis. Tauhid adalah pusar (axis)
dan sentralitas kehidupan, sebab selain sebagai doktrin keyakinan ia adalah pandangan
3|Page
MENGESAKAN ALLAH

hidup yang dengannya kita dapat meneropong persoalan-persoalan. Tauhid


mempersatukan seluruh dimensi kehidupan manusia dan menjadikannya mulia karena
ia menggiring kepada pengabdian Allah semata.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih pada ikhwan dan akhwat
kemisan yang selalu memberikan inspirasi dalam seri diskusi kita; kepada istriku Mutia
Hapsah yang selalu direpotkan dengan persiapan akomodasi diskusi rutin; Dr. Dudi DKM
Masjid Raya Unpad atas waktunya membaca manuskrip buku ini, dan penerbit atas
kesediannya menerbitkan buku ini. Semoga Allah memberikan pahala atas segala
kontribusinya, amin.

Penulis

4|Page
MENGESAKAN ALLAH

Daftar Isi

1. Pendahuluan 6
2. Eksistensi Allah 12
3. Sifat-Sifat Allah 23
4. Tauhid dzat, sifat dan afal 33
5. Tauhid rubbubiyah, uluhiyyah, asma wa sifat 42
6. Tauhid rubbubiyah, mulkiyah dan uluhiyah 57
7. Laa ilaaha illa allah 63
8. Syirik dan jahiliyah 71
9. Tauhid dan kenabian 78
10.Tauhid, ideologi, way of life 89
11. Tauhid dan pandangan hidup 96
12. Mewujudkan tauhid: penutup 105

5|Page
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 1
PENDAHULUAN

Tauhid adalah doktrin (ajaran) yang paling asasi di dalam agama islam. Ia adalah pokok
ajaran dan keyakinan, dan dari sinilah seorang mumin menganut suatu pandangan
hidup, menetapkan suatu tujuan hidup dan memilih cara hidup untuk mencapai
tujuannya itu. Dengan neraca ini pula seorang mumin menilai apakah amal perbuatan
seorang manusia itu benar atau salah, bernilai atau tidak, patut tak patut, bahkan apakah
suatu amal itu berbuah atau tidak kelak di akhir hayat nanti. Salah dan benar dalam
memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran tauhid sangat berkaitan dengan
kebahagiaan dan kesengsaraan abadi di kehidupan setelah mati nanti. Demikian pula,
bagi insan beriman, dalam dadanya terpaku suatu keyakinan bahwa ajaran tauhid
menawarkan suatu kebahagiaan dan harmoni dalam kehidupan melalui seluruh tata
ajaran yang terurai dalam keyakinan, syariah dan hukum, moralitas dan akhlak islam.

Allah yang Maha Kuasa dan para utusan-Nya yang suci telah mengajarkan apa dan
bagaimana tauhid itu. Hanya saja pokok-pokok tauhid itu perlu ditafakuri dan
ditadzaburi sehingga setiap mumin mendapatkan pemahaman dan keyakinan yang
kokoh lagi sempurna. Seperti yang kita saksikan, ajaran tauhid yang terpancar dalam
islam sangat berbeda sekali dengan cara berfikir filsafat, teori-teori sosiologi dan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang hanya mampu menarik kelompok-kelompok
tertentu dalam lapisan masyarakat. Begitu pula berbagai mahzab berfikir-mahzab
berfikir (ideologi) kelas hanya mampu menarik simpati dari kalangan tertentu karena
manfaat dan keuntungan yang diperolehnya. Berbeda dengan ajaran tauhid dan agama
ilahi, ia sangat mudah dipahami oleh segenap manusia, tidak peduli orang terdidik
ataupun awam, orang kaya maupun miskin, para pemegang kekuasaan maupun rakyat.
Itulah salah satu bukti keagungan nilai-nilai islam yang bersifat rahmat bagi segenap
lapisan alam.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita menggali kembali dan mendalami ajaran tauhid
ini dengan kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan yang kita miliki, bahkan
sekalipun tanpa alat yang rumit untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan
saheh. Keterbukaan dan kesucian hati adalah kunci utama dalam mengenali seluruh
pesan-pesan ilahiah termasuk pesan-pesan tauhid. Memang betul ilmu menjadi sangat
penting dalam mengungkap makna-makna kalam suci, tetapi kenyataanya diantara
sahabat tidak semua memiliki bekal ilmu yang setara tetapi keyakinan dan
kepasrahannya kepada Allah SWT sudah kita saksikan bersama. Biarlah pendekatan-
pendekatan yang beragam itu menjadi khasanah keilmuan dalam islam, dan menjadi
tugas para ahli untuk mengembangkannya tanpa harus kehilangan jalan bagaimana
mewujudkannya dalam kehidupan nyata.

Selayang pandang mengenai Tauhid


Tauhid, seperti telah dimafhum secara luas di kalangan umat islam, ia adalah ajaran inti
dari agama samai, yang bersumber dari Allah. Al-Quran dalam berbagai ayat menyatakan
bahwa setiap nabi dan rasul Allah, setiap agama samawi, hanya menyampaikan satu
ajaran tunggal, yakni tauhid. Esensi ajaran tauhid adalah meng-esa-kan Allah, Dzat yang
telah menciptakan alam semesta dan segala isinya; Dari masa ke masa, meski setiap nabi
dan rasul membawa syariat hidup yang berbeda-beda, yang dalam pandangan kita semua

6|Page
MENGESAKAN ALLAH

itu disesuaikan dengan kematangan intelektual dan peradaban manusia, esensinya hanya
satu yakni tauhid. Allah Yang Maha Agung berfirman :


"Dan tuhanmu adalah Tuhan yang maha Esa, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
selain Dia, yang maha Pemurah lagi maha Penyayang".
(QS Al-Baqarah : 163)

Meskipun pada akhirnya, doktrin tauhid ini menjadi karakter khusus umat islam, yakni
umat yang mengikuti nabi terakhir Muhammad saw. Karena ajaran-ajaran agama mereka
yang menisbatkan pada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad saw ini mengalami
pengubahan-pengubahan doktrin yang membuat bias dan penyimpangan bagi ajaran-
ajaran inti tersebut, yakni tauhid.

Semenjak itu, tauhid menjadi doktrin khas islam mengenai ketuhanan. Dalam sejarah
perkembangan ilmu-ilmu islam, konsepsi inti ini telah diperdalam dan diperluas agar
dapat dipahami secara mudah dan benar mengenai apa dan siapa Allah dalam ajaran
islam. Ilmu ini menjadi apa yang dikenal dengan Ilmu Kalam atau Teologi. Pada mulanya
boleh jadi ilmu ini berkembang untuk menggali ajaran Al-Quran dan juga praktek nabi
Allah Muhammad SAW untuk mempermudah umat di masanya atau di kemudian hari;
atau mungkin saja berkembang dari persoalan-persoalan internal yang muncul setelah
meninggalnya rasul Allah Muhammad SAW; atau juga sebagai reaksi atas pemikiran-
pemikiran rasional bangsa yunani (hellenik) terhadap masalah ketuhanan. Namun bukan
di sini tempat kita untuk membahas sejarah perkembangan kalam, insyaallah di lain
kesempatan.

Secara khusus tauhid telah menjadi konsep ketuhanan milik islam. Umat islam di
kemudian hari telah menerima secara baku konsep-konsep tauhid yang telah disarikan
dari Al-Quran dan As-Sunnah oleh para pendahulu-pendahulu islam. Adapun
terminologi-terminologi dalam tauhid itu semua dirumuskan demi mempermudah kita
yang awam untuk memahami dan mengamalkan ajaran tadi. Oleh karenanya, istilah-
istilah atau terminologi yang digunakan itu bukanlah sesuatu yang baku dan kaku; masih
memungkinkan kita yang hidup di masa kini (mutaakhirin), mencari terminologi dan
kodifikasi lain manakala terminologi lama sudah tidak lagi berdaya guna dalam
membendung arus pemikiran anti ketuhanan, gerakan ateisme, sekularisme, dan
materialisme, bahkan sekaligus untuk kepentingan merealisasikan ajaran islam secara
lebih gamblang. Apalagi ketika seseorang terjun dalam pembahasan teori ilmu kalam
secara mendalam, sering lupa aspek-aspek pentingnya dalam wilayah praktis. Boleh jadi
semua konsep itu menjadi bahan makanan intelek kita; namun alangkah sayang jika
konsep-konsep yang dirumuskan dan dikodifikasikan tidak membimbing dan menuntun
kita pada kualitas keyakinan dan amal perbuatan yang riil. Karena tauhid bukan
berbicara persoalan format tetapi ia adalah persoalan kandungan (substansi).

Aspek-aspek Tauhid
Untuk membuktikan Ketunggalan dan ke-Maha Kuasa-an Allah, sebenarnya manusia tak
perlu berfikir dan mencari dalil-dalil yang rumit. Karena kecenderungan manusia
bersandar pada kekuatan dan kekuasaan yang mutlak, yang itu ialah Allah Yang Maha

7|Page
MENGESAKAN ALLAH

Sempurna, ada dalam diri manusia. Kecenderungan dan ketergantungan seperti itu
terpatri kuat dalam diri setiap insan. Dalam istilah islam, ini disebut sebagai fitrah.
Seseorang hanya perlu meluangkan waktu untuk bertanya pada diri sendiri, dan ia akan
menemukan Allah. Maka sesungguhnya tak ada konsep atau ajaran manapun yang
mampu menafikkan adanya Allah. Adapun apa yang dikatakan oleh kaum perbendaan
(materialis) itu tidak mampu membuktikan tidak adanya Allah Sang Pencipta. Apa yang
sebenarnya mereka katakan tentang Tuhan adalah Kami tak punya bukti mengenai
adanya Tuhan, bukan Kami mempunyai bukti mengenai tidak adanya Tuhan.
Sungguhpun demikian kedunguan mereka tak mau mengakui bahwa kesimpulan-
kesimpulan mereka itu sangat lemah.

Bagi kita cukup melihat sejarah manusia, bahwa sekalipun sejak munculnya manusia
primitif dalam catatan sejarah hingga manusia modern, di situ dikenal pemujaan
terhadap kekuatan supranatural tempat manusia berharap dan bergantung, tempat
dimana mereka mengharapkan pertolongan. Itulah keberadaan fitrah manusia yang
mendorong dirinya kepada tauhid. Begitu pula, tak masuk akal dan kita tak yakin bahwa
semua benda (materi) memiliki sifat kreatif yang dengan sifat itu setiap materi mampu
menentukan bentuk dan nasibnya sendiri. Semua materi bergantung pada sesuatu yang
lain, bergantung pada Dzat yang mandiri dan Yang Maha Hidup, yakni Allah. Kita juga tak
yakin jika Tuhan yang Kuasa itu jumlahnya dua atau lebih, sebab jika demikian tentu
hilanglah kemahaanNya dan rusak-binasalah kekuasaanNya itu.

Maka konsepsi tauhid yang telah dikodifikasikan oleh para pendahulu-pendahulu kita
adalah upaya mengarahkan dan meyakinkan manusia akan ke-Esa-an dan keMaha-
Kuasaan Allah. Sebagian mereka mengenalkan Allah dalam sudut pandang yang berbeda
dengan yang lain. Sebagian memaparkan tauhid ini dalam sudut pandang tauhid dzat,
tauhid sifat dan tauhid afal.3,4) Sebagian yang lain membagi dalam tauhid rubbubiyah,
tauhid uluhiyah dan tauhid asma wa sifat.3,5,6,7,8) Semua pendekatan itu tujuannya hanya
satu yakni: menisbatkan semua kualitas agung nan sempurna pada sang Pencipta (seperti
diurai dalam quran dan oleh rasulullah saw), dan menolak segala sifat yang mengurangi
kesempurnaan-Nya. Jika sebagian dari kita menolak terminologi-terminologi baru dalam
tauhid, maka sesungguhnya ia tak mengenali esensi tauhid itu sendiri.

Meskipun demikian apalah artinya semua konsep itu, jika tidak mampu mengantar
manusia pada perilaku tauhid secara benar. Maksudnya, pada suatu waktu mungkin
seseorang menguasai ilmu (teori) tauhid, tetapi boleh jadi sikap perilaku dan akhlaknya
kepada Allah tidak sesuai dengan kehendak Allah Yang Maha Mulia. Ya, ajaran tauhid itu
sangat menekankan sisi sikap dan perilaku manusia kepada penciptanya, bukan sekedar
keyakinan tentang ketunggalan wujud-Nya saja. Karena Dzat Allah ahad dengan diriNya
dan wujud dengan diriNya. Oleh karena itu, semua penggalian, pembahasan dan
pengelompokan konsepi tauhid harus mengarahkan dan membimbing manusia bersikap
dan berperilaku (tauhid) secara benar kepada Allah Sang Pencipta. Sebuah sikap alamiah
puncak yang semestinya dimiliki seluruh makhluk kepada khaliqnya; yakni bersandar,
berserah diri, menyembah, taat, mencinta, memuja dan mengagungkan Allah secara
sempurna. Mustahil keyakinan tauhid yang benar tidak membentuk perilaku tauhid yang
benar; sebab tauhid adalah keyakinan tentang keesaan sekaligus perilaku mengesakan.
Jika tidak demikian pastilah ada kesalah-fahaman.

8|Page
MENGESAKAN ALLAH

Al-Quran suci menyampaikan bagaimana keyakinan tauhid itu harus mampu menjelma
menjadi sikap dan perilaku tauhid. Sikap dan perilaku itu adalah sikap hiduptawajuh
(menghadapkan diri dan orientasi) dan perilaku taslim (berserah diri, taat dan patuh)
kepada Allah. Seperti inilah pengalaman Nabi mulia Ibrahim khalilullah as mencari
Tuhan. Keyakinannya kepada keesaan Allah mendorong hati dan pikiran untuk bersikap
tawajuh dan berperilaku taslim. Allah SWT berfirman:


Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-
orang yang mempersekutukan Tuhan. [QS Al-Anam (6): 79]

Tauhid menolak pandangan bahwa hidup manusia boleh menghadapkan diri dan
berorientasi pada manusia, jin, malaikat, benda-benda atau materi, akal pikiran dan hawa
nafsu, apalagi tunduk patuh di bawah dorongan-dorongan dan kekuatannya. Sikap inilah
yang lahir dari sebuah keyakinan tauhid, ia hanya menghadapkan wajahnya kepada Allah
Yang Tunggal dan tunduk patuh pada kehendak-Nya dalam seluruh perbuatannya.

Tentu saja setiap seseorang menjatuhkan pilihan pada sikap dan perilaku tertentu
biasanya ada proses yang mendahului, yakni suatu formulasi (perumusan) cara pandang
dalam dirinya, setelah mengamati, memikirkan, menganalisa dan menyimpulkan objek-
objek yang menjadi perhatiannya. Maksudnya adalah, tauhid bukanlah urusan keyakinan
intelektual yang bersifat teoritis semata, tetapi tauhid mengarahkan dan membentuk
suatu cara pandang (worldview) tertentu mengenai hubungan manusia, alam, dan Sang
Pencipta. Dengan cara pandangnya ini, kemudian lahirlah sikap perilaku tauhid,
menghadapkan diri, tunduk, patuh, dan menghamba kepada Allah SWT.

Tauhid adalah kesatuan keyakinan, cara pandang (worldview), dan perbuatan; dan ini
sangat nyata apabila kita melihat sejarah awal kebangkitan Islam. Jaman pra-Islam,
meskipun disebut sebagai jaman jahiliyah, yang oleh para ahli tarikh diidentikkan dengan
penyembahan patung-patung berhala, tetapi sejatinya keyakinan kepada Dzat Allah
sudah ada sejak lama. Ini artinya dalam satu aspek, secara teologis keyakinan masyarakat
pra-Islam telah bersesuaian dengan doktrin pokok Islam ini, tauhid. Tetapi persoalannya
adalah kepercayaannya mengenai eksistensi Allah yang Esa ini tidak mencetak suatu cara
pandang yang membimbing pada sikap-perilaku menghamba kepada Allah Yang Tunggal.
Dan inilah sesungguhnya ciri pokok jahiliyah, yakni suatu penyimpangan (deviasi) dalam
cara pandang dan perilaku dari keimanannya. Ada keterpisahan antara kepercayaan, cara
pandang, dan perilaku. Kemudian situasi seperti ini memunculkan berbagai persoalan
kemanusiaan pada masa itu seperti telah diungkap oleh para ahli sejarah. Oleh karena
itu, jahiliyah itu sesungguhnya akan tetap ada sepanjang masa ketika kepercayaan
manusia terhadap Tuhannya itu tidak membentuk cara pandang dan tindakan apapun
yang berpijak pada keyakinannya itu.

Dengan tauhid, Islam lahir untuk meluruskan dan membenahi situasi sosial seperti ini;
dan adalah suatu kesalah-fahaman yang menyedihkan jika tauhid hanya dipandang

9|Page
MENGESAKAN ALLAH

sebagai keyakinan (hati) tentang ke-Esa-an Allah belaka tanpa ada kaitan dengan
persoalan kehidupan riil manusia. Surah Al-Alaq (96): 1-5 menyampaikan pesan ini
secara jelas:

Bacalah dengan nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.

Di masa jahiliyah pra-Islam, pengakuan eksistensi Allah tidak memiliki pengaruh dan
akibat apapun dalam kehidupan sehari-hari. Allah tidak memiliki pengaruh dan kendali
dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, moralitas, bahkan sekalipun dalam
kehidupan individu-individu kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Situasi
seperti ini ditunjukkan dalam penyembahan terhadap simbol-simbol berhala yang
disakralkan yang tentu saja secara sosial memiliki nilai-nilai tertentu. Dengan kata lain,
pengakuannya akan eksistensi Allah tidak diikuti dengan penerimaan akan peran dan
kedudukan-Nya dalam kehidupan nyata manusia.

Sebagai wahyu pertama, surah Al-Alaq menyampaikan pesan yang sangat jelas; Allah
tidak lagi sekedar memperkenalkan diri hal eksistensinya sebagai Wujud Tunggal, tetapi
Dia memperkenalkan peran dan kedudukan-Nya bagi manusia. Mengapa demikian? Ya,
ini karena kedudukan-Nya telah lama dilupakaan dan diabaikan. Dan sesungguhnya
eksistensi Tunggal Allah tidak pernah dipermasalahkan oleh masyarakat Arab pra-Islam,
bahkan oleh siapapun juga. Allah memperkenalkan kedudukan-Nya sebagai Ar-Rabb,
yakni Dia adalah Sang Pencipta sekaligus Pengurus manusia, yang selalu dekat,
memerhatikan, memelihara dan memberi pengetahuan kepada manusia dengan cara-
cara yang dikehendaki-Nya. Ayat ini sebagai pesan pertama kepada nabi saw, orang-
orang hanif, dan masyarakat Arab menjadi bermakna bahwa, untuk melakukan reformasi
tatanan sosial jahili yang penuh penyimpangan, manusia harus memandang segala
sesuatu tentang hidup ini dari sudut pandang dan dengan kaca mata eksistensi dan
kedudukan Allah; dan inilah hakekat dari tauhid.

Dan ini pulalah kesimpulan yang diperoleh oleh khalilullah Ibrahim as, sang bapak tauhid,
setelah melakukan perjalanan jiwa menyelami keyakinan mengenai ketuhanan. Ia
meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang Esa dan Maha Sempurna, lalu kepada-Nya
menghadapkan hidup (tawajuh), mengarahkan segala aktivitas dan gerak gerik hidupnya
hanya kepada Allah semata. Dan ini mengandung arti bahwa tauhid yang benar harus
melahirkan suatu orientasi tunggal dalam seluruh aktivitas, yakni hanya kepada dan
untuk Allah semata. Kemudian, sikap ini dibuktikan dan diwujudkan dengan perilaku
tunduk, patuh dan berserah diri menghamba kepada-Nya melalui penerimaan terhadap
segala titah dan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupannya. Allah berfirman:

10 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

.maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-
Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada
Allah)[QS Al-Hajj (22): 34]

..Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." [QS
Al-Ankabut (29): 46]

Ini menjadi sangat jelas, meskipun istilah tauhid sebagai suatu cabang ilmu Islam
belumlah muncul pada masa awal perkembangan Islam, tetapi keyakinan yang baru
tumbuh pada waktu itu telah memiliki aspek-aspek yang padu. Tauhid tidak hanya
menyangkut aspek bathiniyah, tetapi ia meliputi dan membentuk aspek lahiriyah; ia tidak
saja bicara ilmu tetapi ia juga menyangkut persoalan amal; Tauhid tidak bicara konsep
semata tetapi juga realisasi; ia tidak sekedar teori namun ia adalah praktek. Tauhid
mencakup keyakinan, cara pandang dan mahzab berfikir, serta sikap dan
tindakan.Tauhid juga memperbarui orientasi sosial, ekonomi, politik dan moral manusia.
Dengan ini Islam mampu melakukan perombakan dan perubahan sosial, dari jahiliyah
menjadi hidup benar dan realistis, dari kegelapan menjadi cahaya.

11 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 2
EKSISTENSI ALLAH

Bukti-bukti adanya Allah


Pondasi ajaran tauhid itu sesungguhnya bermula dari pembenaran dan penerimaan kita
akan eksistensi Allah, sebagai realitas tunggal yang telah mengadakan, mewujudkan,
menciptakan alam raya beserta seluruh isinya serta memeliharanya pasca penciptaan itu.
Pada dasarnya mendapatkan keyakinan ini tidaklah sulit, sebab bukti-bukti tentang
eksistensi Allah bertebaran di sekitar manusia. Manusia tinggal mencarinya dan ia akan
mendapatkan bukti itu. Bukti-bukti itu dapat diperoleh dan bersumber dari alam ini
dengan ketak-terhinggaan fenomenanya, maupun tanda-tanda dalam diri manusia itu
sendiri. Bukti-bukti itu mungkin bersifat teoritis maupun faktual, langsung maupun tak
langsung, yang lahir maupun yang bathin. Tentu saja semua itu tak dapat difahami
apabila manusia tak memiliki suatu sarana untuk mencerna dan menganalisisnya. Sarana
itu tidak lain adalah akal; artinya dengan akallah seseorang mampu menyerap dan
menerima kebenaran-kebenaran otentik mengenai kehadiran dan keesaan Allah, apakah
kebenaran itu bersumber dari wahyu, logika dan filsafat, dan fenomena alam itu sendiri.
Oleh karena itu berfikir, merenung, tafakkur dan tadzabbur adalah kunci utama
mendapatkan jawaban mengenai eksistensi Allah di balik benda-benda alam semesta ini.
Allah SWT berfirman:

Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami pada alam ini, dan pada diri
mereka sendiri sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya (eksistensi) Dia adalah
benar. [QS Fushilat (51): 53]

Dalam ayat yang lain berbunyi:

Dan di bumi ada ayat-ayat bagi orang-orang yang yakin dan (juga) pada diri-diri kalian
sendiri, apakah kalian tidak menyaksikannya. [QS Adz-Dzariyat (51): 20-21]

Kedua objek perenungan ini, yakni alam makro dan alam mikro, cukup menyediakan
bukti-bukti eksistensi Allah Sang Pencipta. Salah satu atau kedua objek ini memiliki
karakterisitik asli dan alamiah yang akan mengarahkan pada kebutuhannya akan suatu
wujud awal nan absolut (wajibul wujud), yang ia tidak lagi memerlukan sebab-sebab
maujud lainnya. Ia adalah causa prima, Ia adalah Allah.

12 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Benda-benda alam dan manusia dari satu sisi adalah materi yang memiliki sifat-sifat
terbatas, berubah, ditentukan dan bergantung, dan relatif. Dengan sifat ini
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu benda pun di alam ini maujud dengan dirinya
sendiri (yakni tanpa sebab), atau benda itu dapat mendesain dan menentukan nasibnya
sendiri, atau ia akan kekal abadi bebas dari kerusakan. Oleh karena itu, tepat kiranya
memberikan sebutan untuk alam beserta isinya ini sebagai makhluq (makhluq berasal
dari bahasa Arab berarti ciptaan), atau creature (dalam bahasa inggris), yang
menunjukkan bahwa benda-benda di alam ini tak mampu berdikari. Dan karenanya alam
hanyalah wujud yang mungkin (mumkinul wujud), ia ada karena ada sebab-sebab yang
mengadakan. Keberadaan ciptaan-ciptaan ini menunjukkan ada penciptanya. Dengan
demikian bukti-bukti faktual maupun teoritis mengenai eksistensi Allah tidaklah
bertentangan sama sekali, bahkan saling menguatkan.

Jadi jika seseorang menanyakan mengenai (1) Mungkinkah manusia ada tanpa pencipta?
(2) Mungkinkah manusia menjadi penciptanya sendiri?, dan (3) Jika manusia jadi
penciptanya sendiri, bagaimana kita harus menerangkan penciptaan langit dan bumi yg
ada sebelum manusia? Maka jawabannya sangat mudah, manusia dan alam semesta
membutuhkan Sang Pencipta, yakni Allah. Allah SWT berfirman:

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan


(diri mereka sendiri)?Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?;
sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan) [QS Ath-Thur (52):
35-36]

Pertanyaan ini sangat sederhana, namun cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan


mengenai eksistensi Sang Pencipta. Dari satu sudut pandang, persoalan ada dan tidak
adanya Allah bukanlah persoalan rumit, tinggal kejujuran manusia saja yang berbicara
dan kesemuanya akan menjadi sangat jelas. Oleh karena itu, Al-Quran mengkritik
keraguan beberapa kelompok kecil tentang eksistensi Allah, dan memandang eksistensi
Allah sebagai suatu yang terbukti dengan sendirinya (Self evident), tentu saja bagi siapa
yang mau merenungkan misteri penciptaan langit dan bumi.

13 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, 'Ad,
Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain
Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu
mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata:
"Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada
kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan
terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya. Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada
keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk
memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai
masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami
juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang
selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami, bukti yang
nyata." [QS Ibrahim (14): 9-10]

Allah dan fitrah manusia


Kepercayaan mengenai adanya Sang Pencipta dan Maha Kuasa dalam sejarah manusia
dapat dilacak melalui gagasan-gagasan dan praktek-praktek keagamaan dari berbagai
masyarakat kuno hingga modern. Dalam catatan studi mengenai asal-usul agama bukti-
bukti paling awal mengenai gagasan agama (dan kepercayaan mengenai Tuhan) telah ada
sejak ratusan ribu tahun sebelum masehi, yakni periode Paleolitik Pertengahan dan
Akhir. Ahli-ahli arkeologi telah menyimpulkan bahwa pada tujuan tatacara penguburan
di zaman awal Homo Sapiens (300.000 tahun yang lalu) menjadi bukti mengenai gagasan
keagamaan. Kemudian, temuan-temuan artifak dari zaman-zaman lain, sebelum atau
sesudahnya, memperkuat kesimpulan para ahli bahwa kepercayaan mengenai Tuhan dan
gagasan keagamaan telah ada setua dengan sejarah manusia itu sendiri.9)

Para ahli sejarah dan arkeologi meyakini bahwa agama-agama di masa lalu itu tumbuh-
berkembang dengan fase-fase dari masyarakat sederhana menuju kompleks. Sebagian
ahli meyakini agama itu berawal dari politeistik menuju monoteistik. Namun demikian,
sekarang telah ada klaim ketidak-benaran tentang kesimpulan bahwa agama
berkembang dari politeistik ke monoteistik.10)

Kesimpulan-kesimpulan di atas menjadi lebih meyakinkan kita bahwa kepercayaan


tentang eksistensi Allah merupakan suatu pengetahuan melekat (inherent) manusia.
Meskipun dalam praktek di masa lalu, terbagi dalam dua aliran agama politeisme dan
monoteisme itu tidak berarti meniadakan kepercayaan adanya Allah. Artinya bahwa
kecenderungan-kecenderungan bergantung pada kekuatan yang serba bisa dan agung,
yang diwujudkan dalam gagasan keagamaan, telah terpatri dalam diri manusia. Karena
manusia itu menyadari bahwa ia bukan makhluk serba kuasa, yang wujud dan hidup
ditopang oleh dan tersusun dari unsur-unsur yang memiliki keterbatasan dan
ketergantungan. Oleh karenanya, kecenderungan bergantung dan bersandar pada
kekuatan lain yang lebih besar, perkasa dan agung adalah kecenderungan alamiah.

14 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Manusia juga melihat dalam kesadarannya yang paling murni bahwa benda-benda di
sekitarnya tak lebih kuat dari dirinya; benda-benda itu memiliki keterbatasan dan
kencenderungan yang sama sepertinya. Dan manusia dapat menyimpulkan dan
merasakan bahwa ada kekuatan gaib yang bekerja di balik alam materiil ini yang layak
dijadikan tempat bergantung dan memohon, Dia adalah Allah.

Dalam konsep Al-Quran kecenderungan yang demikian dikenal dengan fitrah; yakni sifat
dan desain asli penciptaan manusia. Artinya bahwa pengetahuan tentang Allah dan
kecenderungan menyembah-Nya adalah sifat melekat yang ia bawa sejak lahir. Dalam
istilah pengetahuan, ia termasuk dalam pengetahuan hudhuri (bawaan), atau
pengetahuan intuitif, bukan sebagai pengetahuan hushuli yang diperoleh melalui usaha.
Allah SWT berfirman:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Rabb kami), kami
menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)" [QS Al-Araf (7):172]

Meskipun teks ayat ini menyajikannya dalam bentuk perjanjian manusia dengan Allah
sebelum lahir ke dunia (pra-eksistensi), tetapi ia memiliki makna yang lebih dalam. Ayat
ini menegaskan bahwa pengetahuan dan pengakuan akan Allah adalah pengetahuan
primordial manusia yang melekat sejak bayi dilahirkan dari rahim seorang ibu. Dengan
demikian tidak dapat diterima oleh akal sehat ketika manusia itu lupa terhadap
Tuhannya. Inilah fitrah. Dengan demikian, kita dapat menyebut fenomena keyakinan dan
agama politeistik dan penyembahan berhala, adalah bentuk penyimpangan dari
keyakinan asli dan murni manusia.

Pengetahuan tentang Allah adalah pengetahuan terpendam karena ia tersimpan dalam


jiwa; dan ia perlu dibangkitkan dengan sedikit tafakur dan tadzabbur. Sementara itu
dalam kehidupan lahiriyah banyak hal-hal fisik-material yang dengan mudah dikenal dan
dirasakan manfaatnya sehingga manusia dapat mengandalkannya dan menuhankannya.
Penolakan terhadap eksistensi Tuhan juga sering dilandasi dengan argumentasi filsafat,
namun pada dasarnya ia tidak keluar dari kerangka filsafat materialisme.

Karena ini adalah persoalan fitrah (bawaan), maka pengetahuan ini tidak dapat ditolak
oleh siapapun. Dan penolakan terhadap eksistensi Sang Pencipta sejatinya adalah
penipuan diri dan penyimpangan. Bagaimanapun juga kepercayaan mengenai adanya
Tuhan akan tetap muncul, sekalipun bagi seseorang yang paling ateis. Hanya saja, bagi
manusia paling inkar, kesadaran ini baru akan muncul pada saat-saat ia merasa lemah
tak berdaya, pada saat ia tak mampu menghadapi bahaya dan ancaman, apakah dari alam
dan musuh-musuhnya. Allah SWT berfirman:

15 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-
tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) [QS Al-Ankabut (29): 65]


Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan.
Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa
orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka
bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap
penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka
mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata.
(Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,
pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur. Maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa
(alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa
dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian
kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. [QS Yunus: 22-23]

Contoh yang paling nyata dalam Al-Quran adalah peristiwa yang menimpa pada manusia
yang paling sombong dengan segala kekuatan dan kekuasaannya, Firaun. Ketika
manusia yang sangat angkuh ini sedang tenggelam oleh gulungan ombak Laut Merah dan
yakin tak seorangpun dapat menolongnya, maka keyakinan murninya itu lahir tanpa
dipaksa. Al-Quran suci menyebutkan:

16 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan
bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun
itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah). Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal
sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang
berbuat kerusakan. [QS Yunus (10): 90-91]

Lebih dalam dengan Fitrah


Rasulullah Muhammad SAW bersabda:Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,
maka orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani dan majusi (H.R.Bukhari &
Muslim)

Dalam wacana sebagian besar umat islam, kata fitrah baik dalam Al-Quran maupun
dalam Al-Hadits sering dimaknai dengan suci bahkan sering pula disamakan dengan
muslim. Pemaknaan seperti ini sering menimbulkan bias pada maksud dari ayat atau
hadits yang bersangkutan. Dan pemaknaan demikian juga berpeluang menimbulkan
banyak kritik yang mungkin muncul dari orang yang tidak bertanggung jawab sehingga
mencemari kesucian agama islam. Sebagai seorang muslim yang baik dan bertanggung
jawab, marilah kita sama-sama menggali makna-makna pesan Allah dan rasulnya secara
kritis sehingga kita mendapatkan keyakinan yang lebih dekat dengan maksud yang
diinginkan.

Secara lughawi, fitrah berasal dari kata fa-tho-ro yang menurut kamus bahasa arab Al-
Misbar bermakna buka puasa atau berbuka puasa, seperti contoh dalam frase Iftharu
al shoim. Sedangkan Fitrah sendiri bermakna instink. Sayyid Murtadha Muthahari
menukilkan contoh yang baik sekali ketika membahas masalah ini. Menurutnya, Ibnu
Abbas menemukan makna fitrah melalui suatu perdebatan dua orang yang
memperebutkan sebuah sumber air (sumur). Salah seorang di antaranya berkata Ana
fathoroha artinya orang tersebut ingin menunjukkan bahwa dialah yang membuka
sumur itu pertama kali dan tiada orang lain yang mendahuluinya. Dalam kalimat ini jelas
sekali menunjukkan bahwa fa-tho-ro digunakan pada suatu perbuatan yang
menunjukkan tidak adanya orang lain/hal lain yang mendahului perbuatan tersebut.
Maka makna yang sama juga digunakan pada ungkapan berbuka puasa. Perbuatan buka
puasa ini yang bentuknya bisa berupa makan atau minum, adalah perbuatan awal
(pembuka) untuk membatalkan/memutus rukun puasa, dimana puasa itu tidak akan
batal kecuali dengan berbuka puasa tadi.

Dalam quran Allah berfirman: Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang
menjadikan malaikat utusan-utusan [QS Fathir (35): 1]

Faa-thir adalah fail dari fa-tho-ro, menunjukkan pelaku dari penciptaan langit dan bumi.
Artinya bahwa Allah adalah subjek dari penciptaan langit dan bumi. Dalam ayat ini, kata
fa-tho-ro memiliki makna yang serupa dengan kho-la-qo (menciptakan). Dalam kamus
bahasa Arab Al Shihah11), fitrah dimaknai dengan khilqoh yang berarti ciptaan. Tetapi
sesungguhnya, berdasarkan beberapa konteks, fa-tho-ro memiliki makna lebih spesifik
dan tegas dari kho-la-qo. Fa-tho-ro digunakan untuk menunjukkan bahwa Allah adalah
Sang Pencipta langit dan bumi pertama kalinya, tidak ada siapapun yang mendahului-

17 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Nya. Dengan bahasa lain fa-tho-ro memiliki makna creato ex nihilo (yang menciptakan
dari ketiadaan). Sedangkan kho-la-qo lebih bersifat umum.

Al-Quran suci menyebutkan lebih tegas dalam surah Al-Isra : 51,


Maka mereka akan bertanya:Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?
Katakanlah :Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama. Lalu mereka akan
menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata :Kapan itu (akan terjadi)?
Katakanlah :Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kalimah fitrah berkaitan erat dengan sesuatu
yang bersifat awal dan asal/asli (original). Dalam terjemahan Al-Quran versi bahasa
inggris, faathiris samawaati wal ardl dimaknai dengan The Originator of the heavens and
earth yang lebih spesifik dari Creator.

Lalu bagaimanakah dengan makna fitrah yang tercantum dalam hadits :Setiap bayi lahir
dalam keadaan fitrah. ?. Manusia diciptakan oleh Allah disertai dengan karakter-
karakter spesifik yang dengannya akan menjadi pembeda dengan makhluk lainnya
seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Karakter-karakter ini adalah bawaan (asli);
sebagai sifat universal manusia yang tidak akan pernah berubah, karena ia adalah
identitas asli manusia.

Dalam versi kamus bahasa arab Al Misbah12), fithrah berarti instink. Allah Yang Maha
Bijak berfirman :

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [QS
Ar-Rum (30): 30].

Allah telah menciptakan manusia dengan karakter bawaan dengan apa yang disebut
fitrah; maknanya adalah kecenderungan bersandar, berlindung, berharap, meminta
pertolongan, memuja pada kekuatan Maha Agung dan Sempurna adalah desain dan sifat
asli manusia.

Fundamen dari dienul islam adalah doktrin tauhid. Doktrin yang mengajarkan
pengakuan, ketundukan, kepasrahan, pemujaan kepada Allah yang Maha Tunggal. Dari
satu sudut pandang, untuk memenuhi seruan para nabi, rasul dan islam, maka manusia
harus dibekali dengan fithrah. Jika manusia tidak dibekali fitrah, niscaya tidak akan

18 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

mampu mendengar seruan para nabi dan rasul. Maka fitrah yang diungkap dalam ayat
dan hadits rasulullah SAW tersebut di atas adalah potensi yang paling asasi dari manusia
yakni kesesuaiannya dengan seruan tauhid. Allah SWT berfirman :


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman)
:Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan :Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan). [QS Al-A'raf (7): 172].

Imam Jafar Shodiq (as) ketika ditanya oleh sahabat Zurarah tentang makna firman Allah
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu, Imam (as)
menjawab :Dia menciptakan manusia di atas tauhid. Inilah makna hakiki dari fitrah
manusia, fitrah tauhid.13)

Bukti-bukti Allah dalam sejarah


Sesungguhnya apa yang dikenalkan dalam Al-Quran dan ahli tarikh islam tentang
masyarakat jahiliyah pra-islam bukanlah persoalan mengenai keyakinan mereka tentang
ada/tidaknya Allah. Pengetahuan dan keyakinan Allah itu sudah ada sejak lama sebelum
Muhammad SAW diutus diantara mereka. Mereka juga menyatakan diri sebagai pengikut
agama (millah) Ibrahim AS dan melaksanakan tradisi-tradisi religiusnya seperti ibadah
haji ke baitullah. Masyarakat Arab pra-islam juga telah lama tinggal dan berinteraksi
dengan masyarakat ahlul kitab, yahudi dan nasrani yang memeluk agama tauhid melalui
Nabi Musa AS dan Isa AS.14)

Sejarah dan Al-Quran menunjukkan bahwa masyarakat Arab yang penyembah berhala
tidak berarti mereka mengingkari eksistensi pencipta kreatif alam semesta ini. Al-Quran
menyatakan:


Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit
dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah",
maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). [QS Al-Ankabut
(29): 61]

19 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan
air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka
akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka
tidak memahami(nya). [QS Al-Ankabut (29): 63]

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui." Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat
menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat
petunjuk. Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu
Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari
dalam kubur). Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan
untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. [QS Az-Zukhruf (43): 9-12]

Masyarakat musyrik Arab pra-islam dalam hal ini jelas tidak mengingkari eksistensi
Tuhan. Tetapi mengapa terjadi pertentangan dan perselisihan dengan agama
Muhammad? Sayyid Quthb dan Thabathabai menggaris bawahi bahwa pertentangan itu
bukan terletak pada keyakinan mengenai eksistensi-Nya; itu lebih bersumber pada
persoalan-persoalan keesaan, kekuasaan dan pengendalian Allah atas dunia, kenabian
atas orang-orang terpilih, hari kebangkitan, pahala dan hukuman di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, kepercayaan seperti ini memiliki implikasi bahwa masyarakat Arab
jahiliyah tidak percaya bahwa urusan dunia dikendalikan oleh-Nya, atau bahwa Dia yang
harus disembah semata.

Eksistensi Allah di mata para filsuf


Persoalan eksistensi Tuhan telah menjadi perhatian yang panjang bagi para filsuf. Sebab
salah satu tema terpenting dalam diskursus filsafat adalah topik mengenai Tuhan,
manusia dan alam. Jadi, sangat mudah menemukan argumentasi-argumentasi eksistensi
Allah Sang Pencipta dalam sumber-sumber filsafat. Sekedar menampilkan beberapa
diantaranya adalah:
1. Pandangan Aristoteles
Aristoteles telah memberikan ulasan yang mendalam mengenai ketuhanan ini
dalam tulisannya Metaphysics. Sang guru filsafat ini berulang-ulang

20 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

menekankan menemukan sebab-sebab fundamental dari segala sesuatu dan


prinsip alam dengan pendekatan filosofis, yakni menggunakan pendekatan
hukum kausalitas, kebutuhan suatu akibat terhadap suatu sebab. Dalam
pandangannya, jika segala sesuatu di dunia ini merupakan objek alamiah dan
memiliki gerakan, eksistensi sesuatu yang akan bertindak sebagai pemula alam
dan gerak akan jadi tidak perlu karena di alam semesta ini tidak akan ada apa-apa
selain alam dan substansi yang bergerak. Namun, dalam pencariannya akan
pemahaman tentang sifat sejati segala sesuatu dan alam semesta, Aristoteles
berkesimpulan bahwa dunia tidak terbatas pada substansi-substansi natural yang
bergerak, ia mengakui sesuatu substansi-substansi mortal dan immortal. Dan
pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa segala sesuatu bersumber dari Substansi
yang sama, yaitu Substansi yang ada sendiri, yang Maha Hidup, Maha Mengetahui,
Maha Kuasa, dan penyebab segala gerakan.

2. Pandangan Ibnu Sina (isyarat wa tanbihat)


Pendekatan yang digunakan oleh Ibnu Sina dalam Isyarat wa tanbihat berbeda
dengan yang digunakan oleh Aristoteles yang bertumpu pada hukum dan proses
kausalitas. Ibnu Sina, lebih dari sekedar konsekuensi dari prinsip-prinsip alam,
ia memulai dan lebih menekankan dengan jenis-jenis eksistensi dengan
karakteristiknya. Ibnu Sina mengemukakan bahwa ada dua jenis eksistensi, yakni
eksistensi wajib (wajibul wujud) dan eksistensi mungkin (mumkinul wujud). Bagi
eksistensi mungkin, sesuatu itu menjadi ada karena adanya faktor-faktor
eksternal. Dan jika faktor eksternal ini sendiri merupakan wujud yang wajib, itu
adalah sumber dan pencipta; tetapi jika faktor eksternal tadi adalah wujud yang
mungkin, maka itu pasti akibat dari sesuatu yang bukan dirinya. Jika rangkaian
wujud mungkin ini membentang tidak terbatas tanpa mencapai titik mula, titik
asal, dan eksistensi wajib, wujud-wujud mungkin tersebut, yang ada dalam
rangkaian wujud tak terbatas ini, tidak akan memiliki realitas. Aktualisasi mata
rantai dalam rangkaian ini ditentukan oleh mata rantai sebelumnya. Meskipun
perkiraan seperti itu berlanjut tak berujung, tetap tidak akan mampu muncul dari
alam asumsi dan memiliki kepastian.
Sepanjang kita tidak mencapai suatu sebab yang memiliki realitasnya
sendiri, yang tidak bergantung pada yang lain, tidak ada mata rantai dalam
rangkaian ini yang dapat memiliki realitas. Dengan kata lain, kita harus mencapai
suatu Wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau eksistensi wajib. Pada titik ini
eksistensi berawal dan, begitu eksistensi itu bergerak menuruni rangkaian sebab
akibat, memberikan wujud dan realitas-realitasnya kepada setiap mata rantai.
Oleh karena itu, dalam bayang-bayang wujud tanpa syaratnya itulah segala
sesuatu yang lain mendapatkan eksistensi.
Dengan demikian, Ibnu Sina menemukan wujud wajib dan Tuhan, bukan
dengan cara mengkaji prinsip-prinsip dan asal-usul alam melainkan dengan cara
mengkaji secara seksama kemungkinan dan kewajiban, yang mungkin dan yang
wajib, serta kebergantungan apa yang mungkin pada yang wajib.

Allah dalam pandangan kaum naturalis


Kaum naturalis juga memiliki keyakinan mengenai eksistensi Allah Yang Mencipta.
Pengamatannya mengenai alam, pada aspek struktur benda-benda, keteraturannya dan
gerakannya, sampai pada kesimpulan bahwa semua itu tak mungkin berasal dari dirinya

21 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

sendiri. Dalam hal ini untuk dapat membuktikan eksistensi Allah, kaum naturalis
memiliki metode khusus. Mereka berkata bahwa benda-benda samawi bergerak dan
gerak mereka merupakan merupakan sesuatu yang jelas. Gerakan ini bukanlah suatu
gerakan alamiah (semacam gerakan yang sumbernya adalah dirinya sendiri dan gaya
berat yang ada antara dirinya dengan tempat orisinilnya), juga bukanlah suatu gerakan
yg memaksa (semacam gerakan yg bertentangan dengan tendensi alamiah objek yang
bergerak dan yang terjadi karena dipengaruhi objek lain). Oleh karena itu , hanya ada
satu penjelasan untuk gerakan ini, dan penjelasan ini adalah bahwa itu terjadi karena
sesuatu yang ilahiah, sesuatu yang sepenuhnya terpisah dari materi, yang memiliki daya
tak terbatas dan tidak melahirkan gerakan untuk dapat menyempurnakan dirinya. Jika
sebab ilahiah seperti itu adalah wujud yang niscaya atau wajib, hal itu adalah Tuhan. Dan
sebaliknya, jika itu bukan wujud yang niscaya atau wajib, hal itu pastilah suatu akibat dari
suatu wujud yang niscaya atau wajib, yaitu Tuhan. Bukti-bukti eksistensi Allah, baik
historis, filsof dan naturalis, telah diulas secara mendalam Muhammad Husaini Behesti
dalam bukunya Metafisika Al-Quran: Menangkap Intisari Tauhid.15)

22 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 3
SIFAT-SIFAT ALLAH
Menetapkan keberadaan Allah sebagai wujud yang wajib ada (wajibul wujud) tidaklah
cukup membangun tauhidullah secara benar. Keperluan mengenal sifat-sifat-Nya akan
membuka jalan bagi mengenal ketinggian dan kesempurnaan kualitas-Nya. Pengetahuan
terhadap kesempurnaan sifat-sifat ini akan menjadi penuntun bagi sikap dan perilaku
yang akan diberikan kepada-Nya. Sekalipun mengenal kesempurnaan Allah hanya sejauh
kapasitas akal yang sangat terbatas. Kesempurnaan sifat-sifat Allah sesungguhnya tak
akan pernah dicapai oleh akal pikiran manusia.16) Allah SWT berfirman:


Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.[QS Al-Anam (6): 103]


Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.[QS Thaahaa (20): 110]

Muhammad SAW bersabda:


Pikirkanlah segala makhluk Allah, dan jangan kamu pikirkan tentang zatnya, maka
karena itu kamu akan binasa (HR Abu Naim dan Tabrani).

Untuk menyaksikan kesempurnaan sifat-sifat Allah dan perbedaannya dengan sifat-sifat


makhluk, maka memahami sifat-sifat niscaya yang melekat pada wajibul wujud menjadi
pintu utamanya. Para ulama kalam telah membagi realitas (wujud, sesuatu yang ada) itu
menjadi dua, yakni (i) wajibul wujud (wujud niscaya ada, wujud yang semestinya ada),
dan (ii) mumkinul wujud (wujud yang mungkin ada).17) Wajibul Wujud adalah realitas
yang ada dengan sendirinya, keberadaannya tidak bergantung pada wujud yang lain;
sedangkan mumkinul wujud adalah realitas yang adanya tidak dengan sendirinya, tetapi
wujudnya disebabkan dan bergantung pada wujud-wujud yang lain. Jadi dalam
pandangan akal sehat, suatu realitas itu tidak pernah lepas dari hukum ini, jika tidak
mumkinul wujud musti wajibul wujud. Suatu wujud jika tidak sebagai wujud yang wajib
pastilah ia sebagai wujud yang mungkin. Pembagian ini pada saat yang sama menafikan
adanya wujud yang mustahil, artinya sesuatu yang mustahil ada bukanlah wujud, bukan
suatu realitas.

Syekh Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid mengungkapkan hal ini dengan
pendekatan yang sedikit berbeda, yakni dengan terminologi hukum akal. Para ahli tauhid
(ilmu kalam), membagi yang "Maklum" (Al-Maklum : yang dapat dicapai oleh akal)
kepada tiga bahagian. Yaitu "Mungkin" bagi zatnya, "Wajib" bagi zatnya, dan Mustahil"
bagi zatnya. Adapun yang "mustahil" menurut istilah mereka, ialah sesuatu yang zatnya
memang tidak mungkin ada. Adapun yang "wajib", ialah sesuatu yang zatnya memang
sudah semestinya ada. Sedang yang "mungkin", ialah sesuatu yang tidak ada wujudnya,
23 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya, karena ia bisa juga terwujud oleh
sesuatu sebab yang menyebabkan adanya.18)

Lalu bagaimanakah sifat-sifat kedua wujud tadi dalam pandangan hukum akal? Untuk
memudahkan dalam mengenal sifat-sifat kedua wujud ini, kita dapat memulai dengan
meneliti keberadaan wujud yang mungkin (mumkinul wujud) terlebih dahulu. Mumkinul
wujud adalah setiap wujud yang keberadaannya membutuhkan sebab-sebab
pengadanya. Sebab-sebab pengada suatu wujud yang mungkin dapat kita kelompokkan
kepada sebab-sebab ke satu, ke dua, ke tiga dan seterusnya, atau dapat kita namakan
dengan sebab primer, sekunder, tersier, dan seterusnya. Artinya, setiap wujud yang
mungkin memiliki sebab-sebab majemuk, kompleks dan berlapis. Mumkinul wujud
sebenarnya adalah realitas dari seluruh makhluk yang ada di alam raya ini. Tidak ada satu
makhlukpun di alam raya ini yang lepas dari karakteristik dan kualitas wujud yang
mungkin, sebab tiap-tiap wujud ini membutuhkan dan bergantung pada sebab-sebabnya
yang majemuk.

Seekor sapi atau kambing, eksistensinya membutuhkan banyak faktor. Ia membutuhkan


air, gas oksigen, makanan. Ketiga sumber ini dapat kita namakan sebagai sebab-sebab
primer. Sementara, mewujudnya air itu bergantung pada keberadaan unsur hidrogen dan
oksigen yang mana keduanya juga bergantung pada sumber pengadanya masing-masing.
Gas oksigen sendiri juga bergantung pada banyak hal, ia membutuhkan dua unsur O dan
produksinya bergantung pada tanaman berhijau daun yang melakukan fotosintesis.
Demikian pula yang terjadi pada makanan, ia bergantung dan membutuhkan sebab-
sebab pengada yang majemuk. Demikianlah seterusnya, rantai-rantai sebab itu terus
sambung-menyambung sebagai sebab sekunder, tersier, kwarter, dan seterusnya bagi
seekor ternak tadi. Itulah karakteristik dari makhluk-makhluk sebagai suatu wujud yang
mungkin, mumkinul wujud.

Akan tetapi, dalam pandangan akal mustahil rangkaian sebab-sebab tadi tidak berujung.
Ia musti berujung pada suatu sebab yang sebab ini tidak lagi bergantung pada apapun di
luar dirinya. Sebab seluruh wujud yang mungkin mustahil dapat berperan menjadi sebab
bagi dirinya secara mandiri, karena sifatnya mengharuskan demikian. Dan jika kita
menerima bahwa seluruh wujud adalah wujud yang mungkin (maksudnya tidak wujud
yang niscaya), maka tidak akan pernah ada sesuatu apapun. Dengan demikian, rangkaian
sebab-akibat tadi tidak akan pernah berhenti dan berakhir pada suatu wujud yang
sifatnya mumkinul wujud; ia musti bersumber dan berakhir pada wujud yang mandiri
secara mutlak, yakni wajibul wujud (wujud niscaya ada).

Dengan demikian, wajibul wujud sebagai ujung dari rangkaian sebab-akibat niscaya
bersifat mandiri, tidak memiliki permulaan, dan tidak akan berakhir. Syekh Muhammad
Abduh18) mengatakan:

Di antara hukum-hukum Wajib, bahwa Ia adalah kadim (tidak berpermulaan), lagi


pula azali. Karena Ia kalau tidak begitu, tentu Ia menjadi baharu. Sedang yang
baharu, ialah sesuatu yang terjadi didahului oleh tiada ('adam]. Dan segala sesuatu
yang wujudnya didahului oleh tiada, memerlukan kepada sebab yang memberinya
wujud. Kalau tidak demikian, tentu lazimlah menguatkan adanya sesuatu dengan
tiada alasan yang kuat, dan itu mustahil. Sekiranya tidaklah yang Wajib Ada itu
"kadim", tentu Ia dalam wujudnya itu berkehendak kepada adanya yang lain yang

24 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

mewujudkannya. Padahal telah diterangkan sebelumnya, bahwa yang Wajib Ada itu
mempunyai Zat wujudnya sendiri. Dan sekiranya Yang Wajib Ada itu masih didahului
oleh tiada, maka bukanlah "Wajib Ada" namanya, dan hal itu adalah suatu paradox
yang mustahil.

Selain wajibul wujud bersifat azali dan tidak berawal, ia mesti kekal abadi. Sebab adanya
akhir menunjukkan bahwa sesuatu itu akan rusak dan binasa. ia juga niscaya sederhana
(basathah) dalam wujudnya, tidak tersusun oleh bagian-bagian yang lebih spesifik. Sebab
setiap yang tersusun membutuhkan bagian-bagiannya, sedangkan wujud yang wajib ada
sebagai dzat yang mandiri suci dari segala sifat butuh kepada yang lain. Ini jugalah yang
menunjukkan ketunggalan dalam zatnya.

Al-wajibul wujud, dengan demikian, pastilah bukan salah satu diantara makhluk-makhluk
yang bertebaran di alam semesta ini, apakah itu ghaib ataupun syahadah, besar maupun
kecil. Al-wajibul wujud adalah sebab, pengada, pewujud, pencipta dan penopang segala
wujud yang mungkin, yakni alam semesta ini. Al-wajibul wujud dalam konsep islam ialah
Allah; dan Allah adalah Al-wajibul wujud, yang tidak terpisah dari-Nya sifat-sifat azali
tanpa permulaan (Qidam), kekal abadi (Baqa), mandiri (Qiyyamuhu binfasihi), dan
tunggal (Wahdah).

Al-Quran suci dalam berbagai ayat mengemukakan keniscayaan sifat-sifat demikian. Al-
Quran menyatakan bahwa Allah adalah Al-Awwal dan Al-Akhir:

Dialah yang awal dan yang akhir yang dhahir dan yang bathin (QS Al-Hadid (57):
3)

Yang dimaksud dengan yang Al-Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada,
Al-Akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, yang Zhahir ialah, yang
nyata adanya karena banyak bukti-buktinya, dan yang Bathin ialah yang tak dapat
digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal.

Dzat Allah juga niscaya kekal (Baqa). Allah berfirman dalam QS Ar-Rahman (55): 26-27


Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Dalam QS Al-Qashash (28): 88, Allah berfirman:

25 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan
hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Ketunggalan Dzat Allah difirmankan dalam QS Al-Ikhlas (112): 1:


Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

Dan dalam QS Ar-Radu (13): 16:


Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Dzat yang Maha
Tunggal lagi Maha Perkasa".

Allah adalah Wujud Yang Mandiri, mutlak independen tidak butuh kepada apapun di luar
diri-Nya. Allah berfirman:

Alif laam miim. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang
hidup kekal lagi berdiri sendiri. (QS Ali Imran (3): 1-2)


Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi
berdiri sendiri. (QS Al-Baqarah (2): 255)

Allamah Husein Behesti dalam Metafisika Al-Quran menjelaskan bahwa kata qayyum
memiliki akar kata yang sama dengan kata qiyam yang berarti berdiri. Kata qaim
mengandung makna subjek, artinya orang yang berdiri. Dengan demikian kata qayyum
merupakan suatu bentuk penyangatan yang memiliki arti berdiri dengan kukuh, atau
dengan kata-kata yang lebih tegas Dia yang ada selamanya. Dalam diskusi filsafat, kata
qayyum didefinisikan sebagai Al-qaim bi al-dzat muqawwim lighairihi yang berarti
mandiri dan tidak bergantung pada selainnya. Artinya eksistensinya tidak berasal dari
luar, dan bahkan memunculkan selainnya serta membuat mereka berdiri. Mungkin di
sinilah kaitannya dengan pemaknaan yang paling umum, qayyum dengan arti kekal dan
terus menerus mengurus makhluk-Nya.15)

26 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Sifat-sifat Dzat Allah


Jika kita merenungkan lebih dalam secara objektif mengenai wujud Allah, maka kita akan
menemukan bahwa Allah pasti memiliki sifat-sifat: Al-Hayat (Yang Hidup), Al-Ilmu (Yang
Mengetahui), dan Al-Qudrah (Yang Kuasa). Mengapa demikian? Sebab akal pikiran kita
niscaya mewajibkan ketiga sifat tersebut pada Dzat Allah, sebagai Pengada dan Pencipta
segala sesuatu. Tentu saja mustahil bagi Allah, Dia memberikan dan menciptakan
kehidupan sementara Dia sendiri tidak hidup; atau bagaimana mungkin Dia mengatur
dan mempertahankan keteraturan segala sesuatu sementara Dia tak memiliki
pengetahuan. Demikian pula, bagaimana mungkin Allah mencipta dan mengendalikan
segala sesuatu sedangkan ia tak memiliki kuasa. Dengan demikian, segala sesuatu di alam
raya ini tidak lain kecuali tanda-tanda dari sifat-sifat Dzat-Nya, yakni Dia Yang Hidup (Al-
Hayat), Yang Mengetahui (Al-Ilmu), Yang Kuasa (Al-Qudrah), dan Yang Berkehendak (Al-
Iradah).

Meskipun, Allah sebagai sebab pengada, pencipta dan pengendali segala sesuatu
memberikan sifat-sifatnya itu kepada ciptaan-Nya, pastilah sifat-sifatnya tidak
semartabat. Artinya, niscaya sifat-sifat Allah ini jauh lebih tinggi, mulia dan sempurna.
Sebagai contoh, sehebat apapun matahari memberikan cahaya dan energi bagi
kehidupan, tidak akan terus ada selama-lamanya, ia akan kehabisan cahaya dan
energinya. Allah tidaklah demikian, sifat-sifat Dzat Allah kekal dan sempurna menyatu
dengan Dzat-Nya. Oleh karena itu, wujud Allah tidak sama dengan makhluk-Nya (Laisa
kamitslihi syaiun). Allah SWT berfirman:


(dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (QS Asy-Syura
(42):11)

(a) Yang Hidup (Al-Hayat)


Allah adalah dzat yang memberikan kepada makhluk-makhluk-Nya kehidupan. Oleh
karena itu, Allah adalah dzat Yang Hidup, sebab setiap yang tidak memiliki sesuatu tidak
akan dapat memberikan sesuatu itu kepada selainnya. Namun demikian, Alah Yang Hidup
mesti lebih tinggi dan sempurna dari kualitas hidup makhluk-makhluk-Nya. Martabat
seperti ini dapat kita lihat pada seorang guru yang memberikan pengetahuan kepada
murid-muridnya. Sebanyak apapun ilmu yang diberikannya kepada murid-muridnya,
tidaklah mengurangi ilmu yang dimiliki sang guru. Ilmu sang guru lebih tinggi dan lebih
sempurna dari para murid. Meskipun permitsalan ini tidak setara untuk menggambarkan
martabat sifat-sifat Allah, tetapi cara berfikir ini dapat kita gunakan.

Allah SWT berfirman:

27 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). (QS Al-Baqarah (2): 255)


Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan
bertasbihlah dengan memuji-Nya. dan cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya. (QS Al-Furqan (25): 58)

Hidup Allah adalah hidup yang tidak pernah mati, hidup yang tidak kehilangan
kekuatannya, yang tidak pernah tidur dan mengantuk, hidup yang tidak pernah terlena
oleh apapun. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengagungan terhadap sifat-sifat tinggi dan
sempurna Allah, dalam bahasa Indonesia kita tambahkan kata Maha di depan kata
sifatnya. Jadi Al-Hayat adalah Dia Yang Maha Hidup.

(b) Yang Mengetahui (Al-Ilmu)


Di antara dalil dalil yang membuktikan tentang wajibnya sifat mengetahui (ilmu) bagi
Wajibul Wujud ialah penciptaan alam itu sendiri, demikian pula pada struktur (susunan)
dan kompleksitas alam raya ini. Setiap penciptaan membutuhkan pengetahuan, dan
seseorang menciptakan sesuatu mustahil tanpa pengetahuan. Dengan demikian
penciptaan alam ini mewajibkan pengetahuan bagi Penciptanya. Demikian pula suatu
karya yang lebih kompleks dan rumit membutuhkan pengetahuan yang lebih banyak dan
lengkap. Membangun rumah sederhana tidak membutuhkan ilmu selengkap membangun
gedung pencakar langit. Seperti arsitek gedung pencakar langit membutuhkan
pengetahuan yang banyak dan lengkap dibanding pembuat rumah sederhana. Dengan
demikian, susunan alam yang besar dan membentang ini, harmoni dan koheren ini adalah
tanda akan ketinggian dan kesempurnaan ilmu bagi Penciptanya. Maka Dzat Allah adalah
Dzat Yang Maha Tahu. Allah SWT berfirman:


Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang
serupa dengan itu? benar, Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta dan Maha mengetahui.
[QS Yaa Siin (36): 81]


Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui; dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui? [QS Al-Mulk (67): 14]

28 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. [Ath-Thalaq (65): 12]


Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di
langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya.
dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan
memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. [QS Al-Mujadilah (58): 7]


Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)". [QS Al-Anam (6): 59]

Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran
dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di

29 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar
zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang
lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."
[QS Yunus (10): 61]

Muhammad Abduh18) juga mengungkapkan:


Di antara sifat yang wajib bagi Zat Yang Wajib Ada, adalah sifat "ilmu" (maha
mengetahui). Yang dimaksud, ialah terbukanya tabir sesuatu bagi Zat yang telah tetap sifat
itu baginya,yakni yang menjadi sumber, pokok pangkal bagi terbukanya tabir sesuatu itu.
Sebab sifat ilmu, termasuk sifat-sifat wujudiah yang menjadi sifat bagi Yang Wajib Ada.
Segala sifat yang dipandang menjadi kesempurnaan bagi wujud, wajiblah ada pada
dirinya. Maka karena itu teranglah, bahwa Zat Yang Wajib Ada itu berilmu ('Alim, Maha
Mengetahui)


..... tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan
yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar,
melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." [QS Saba (34): 3]

Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak
(pula) di langit. [QS Ali Imran (3): 5]

Manusia juga memiliki pengetahuan, dan kita sering tajub dengan capaian pengetahuan
manusia di abad modern ini. Namun pengetahuan yang diperoleh manusia tak pernah
akan mencapai titik batas. Setinggi apapun manusia mencapai pengetahuan, ia bagaikan
satu tetes air dari ujung jari yang jatuh pada samudera yang sangat luas dan dalam.
Meskipun pengandaian itu tidak sempurna untuk menggambarkan pengetahuan Allah,
kita dapat menerima jalan berfikir demikian. Dengan demikian, tak akan ada yang
mampu mempersepsikan ketinggian dan kesempurnaan ilmu Allah, Pencipta dan
Pengurus alam semesta ini.

(c) Yang Kuasa (Al-Qudrah)


Kuasa adalah kemampuan atas tindakan, apakah ia mengadakan, menghilangkan,
mengendalikan, mengubah dan lain sebagainya. Allah adalah pengada segala sesuatu,
bagaimana mungkin sesuatu menjadi ada jika dalam Dzat-Nya tidak memiliki kuasa.
Maka wajib bagi Dzat-Nya sifat kuasa (Al-Qudrah). Demikian pula, setiap pelaku yang
memiliki kekuatan untuk membuat lebih banyak tindakan, atau melakukan tindakan
yang lebih sempurna maka semakin sempurnalah qudrahnya. Alam semesta adalah
ciptaan yang maha sempurna, dan ini menunjukkan kesempurnaan kuasa Yang Mencipta.
Allah menggambarkan kekuasaan-Nya dalam QS Al-Baqarah (2): 20:

30 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran)
es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka
ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu Hampir-hampir
menghilangkan penglihatan. Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai
penglihatan. Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari
hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki
sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS An-Nuur (24):
43-45]

Allah kuasa atas segala sesuatu mengandung makna bahwa kuasa Allah memiliki derajat
kekuatan dan kekuasaan paling tinggi. Tapi apalah arti suatu kemampuan dan kekuasaan
yang tinggi jika tidak bisa diwujudkan karena tidak memiliki kebebasan. Sesungguhnya
kuasa Allah tidak demikian, Kuasa Allah itu mengandung kebebasan (ikhtiar). Allah bebas
melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak melakukan sesuatu yang ia tidak kehendaki.
Tidak sesuatupun yang mampu mengatur dan memaksa tindakan Allah. Allah berfirman:


Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS An-Nuur (24): 43-45]

(d) Yang Berkehendak (Al-Iradah)


Ulama berbeda pendapat dalam mengkategorikan sifat iradah (kehendak) ini, sebagian
memasukkan dalam sifat Dzatiyah dan sebagian yang lain memasukkan dalam sifat
Filiyah. Tentu saja kehendak adalah karakter dari sesuatu yang hidup, maka Dzat Allah

31 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Yang Maha Hidup (Al-Hayat) wajib pada-Nya mengandung sifat Berkehendak (Al-iradah).
Ia adalah sifat (atribut) yang dapat menentukan, untuk penciptaan alam ini dengan salah
satu jalan-jalannya yang mungkin. Namun demikian, Iradah Allah tidaklah sama dengan
iradahnya makhluk. Iradah dalam horizon manusia sering diartikan bahwa orang yang
berkemauan leluasa melaksanakan kehendaknya atau untuk membatalkannya. Dalam
pandangan Muhammad Abduh pengertian yang seperti itu adalah mustahil pada diri Dzat
Yang Wajib Wujud. Karena makna seperti ini adalah merupakan keinginan-keinginan
manusia biasa, yang terbit dari kekurangan ilmu pengetahuan. Kemauan yang seperti itu
akan berubah-ubah menurut perubahan hukum, dan meragukan orang yang mempunyai
kemauan itu sendiri, untuk membuat keputusan dalam situasi: terus berbuat, atau tidak.
Kehendak Allah sejalan dengan Ilmu-Nya, artinya setiap perbuatan Allah adalah realisasi
kehendak-Nya dan musti sejalan dengan pengetahuan-Nya.

Sifat-Sifat Filiyah Allah


Sifat perbuatan Allah akan dikenal melalui pemikiran logis kita terkait hubungan Allah
dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Hubungan-hubungan ini tidak terbatas, tetapi
secara global dapat dibagi ke dalam 2 kelompok: (1) Kelompok pertama: yang
menciptakan, yang mengadakan, yang mewujudkan, Al-Khalqiyah: (2) Kelompok kedua:
yang memberi rezeki, yang mengurus makhluk-Nya melalui bermacam-macam jenis
perbuatan seperti halnya Al-Hafidz, Al-Muhyi, Al-Mumit, Ar-Razik, Al-Hadi, Al-Amr, An-
Nahi, dan lain sebagainya, Ar-Rubbubiyah.

32 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 4
TAUHID DZAT SIFAT AFAL

Allah Yang Tunggal


Membuktikan eksistensi Allah tidaklah sulit, sebagaimana kita telah bahas di bab-bab
terdahulu. Namun demikian, untuk membuktikan ketunggalan-Nya perlu kita tambahkan
beberapa hujah (argumentasi) supaya lebih mudah dipahami dan lebih jelas bahwa Allah
itu Tunggal adanya. Ada beberapa hujah yang dapat kita paparkan di sini, naqli maupun
aqli. Al-quran mulia menyatakan:


Katakanlah (wahai Muhammad); Allah itu tunggal. [QS Al-Ikhlas (112): 1]

Secara lugas, Al-Quran menyatakan bahwa Tuhan mustahil dua, tiga atau lebih dari itu.
Dia adalah Tunggal. Mengapa? Karena Allah adalah Pengada dan Pencipta satu-satunya
dari seluruh makhluk yang bertebaran di bentang jagad raya ini. Dia adalah wajibul
wujud, Dia adalah causa prima, sebagai satu-satunya sebab dari seluruh wujud yang
mungkin (mumkinul wujud). Setiap wujud yang mungkin satu dengan yang lain saling
topang menopang, kait mengkait; suatu wujud adalah sebab untuk, atau akibat dari
berbagai wujud mungkin lainnya. Ia adalah rangkaian sebab-akibat tunggal. Dengan
demikian, mustahil alam semesta ini memiliki sebab-sebab mandiri lebih dari satu. Segala
sesuatu penciptanya hanya satu; dan alam ini berasal dan bersumber dari sumber yang
satu, Allah.

Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah." Katakanlah: "Maka
patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka
tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?."
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita
dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan
mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang
Maha Tunggal lagi Maha Perkasa." [QS Ar-Radu (13): 16]

Dalam beberapa ayat, Al-Quran menggunakan kata fa-tho-ro dengan maksud dan
konotasi yang lebih khusus dari kata kho-la-qa meskipun keduanya memiliki
makna menciptakan. Fa-tho-ro mengandung makna menciptakan sesuatu pertama
kalinya, atau menciptakan sesuatu tanpa ada contoh. Jadi Allah hendak menegaskan
33 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

bahwa Dia menciptakan alam semesta ini serta segala isinya dari suatu ketiadaan; tidak
ada eksistensi (wujud) apapun yang mendahului alam semesta ini kecuali Diri-Nya
sendiri, wajibul wujud yang Tunggal. Dalam diksurus kalam maupun filsafat ketuhanan
biasa diberi istilah dengan creato ex nihilo, menciptakan dari ketiadaan.

Allah SWT berfirman:


Segala puji bagi Allah Pencipta (pertama kalinya) langit dan bumi, yang menjadikan
Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan
pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. [QS Fathir (35): 1]


Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Tunggal; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [QS Al-Baqarah (2): 163]

Bukti lain yang dapat dikemukakan adalah susunan alam semesta ini. Susunan alam yang
kompleks, harmoni, padu dan koheren ini tidak lain adalah bukti bahwa penciptanya
adalah tunggal. Al-Quran suci menyatakan:


Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan.[QS Al-Anbiya (21): 22]

Dalam ayat lain, Al-Quran menyatakan:


Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain)
beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa
makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui

34 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang
mereka persekutukan.[QS Al-Muminun (23): 91-92]
Alam semesta adalah tatanan tunggal, ia majemuk dalam komponen-komponennya
namun tunggal dalam sistemnya. Ketunggulan sistem inilah penopang dari
keseimbangan dan konsistensinya. Maka, jika ada pencipta-pencipta yang menguasai
tiap-tiap wujud pada alam ini, akan ada bagian-bagian yang akan diatur dan dikendalikan
oleh penciptanya masing-masing. Konsekuensinya alam ini akan terdiri dari banyak
sistem yang terpisah satu dengan lainnya, karena berada dalam pengendalian tuhannya
masing-masing. Lalu, bagaimana mungkin akan ada harmoni dan konsistensi jika ada
banyak tuhan, sementara tuhan-tuhan itu hanya berdaulat atas bagian-bagiannya
masing-masing? Yang terjadi adalah konflik dan anarki, lalu rusak binasalah alam ini.
Kenyataannya alam ini konsisten dan harmoni; itu artinya alam semesta ini ada dalam
satu sistem tunggal, bukan jamak. Ia berarti pula, alam semesta ini di bawah satu
kekuatan kendali, satu pengelola dan satu kedaulatan mutlak. Maka mustahil pencipta
dan pengurus alam semesta ini dua atau lebih, Ia tunggal adanya.

Dalam kaitannya dengan ini, persoalan pembuktian eksistensi dan ketunggalan Allah
dalam pandangan Fakhruddin Al-Razi19) bukanlah persoalan yang rumit. Ia menyatakan
bahwa pembuktian mengenai bahwa Allah itu ada dan tunggal, dapat dibuktikan melalui
lima macam perkara:
1. Dia menunjukkan bukti keesaannya dengan keberadaan mereka sendiri:
sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian,
2. Keberadaan orang tua dan nenek moyang: dan orang-orang sebelum kalian,
3. Kondisi bumi: yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu,
4. Kondisi langit: dan langit sebagai atap,
5. Berbagai kondisi yang berkaitan dengan langit dan bumi: dan Dia menurunkan air
hujan dari langit.
Keberadaan ciptaan menunjukkan adanya pencipta; sementara keteraturan/ketiadaan
cacat menunjukkan keesaan, sebab seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan
selain Allah, pasti keduanya akan rusak.

Tauhid Dzat
Salah satu makna dari wahdah adalah Tunggal dalam dzat-Nya (tauhid dzat). Artinya
adalah bahwa dzat Allah itu satu, sederhana (basathah), tidak terdiri dari berbagai unsur
yang dapat dipisah-pisahkan. Sebab setiap wujud yang tersusun dari berbagai anasir
keberadaannya tergantung dari unsur-unsurnya. Dan setiap ketersusunan dan
keterpisahan adalah keterbatasan, sedangkan Allah suci dari yang demikian.
Tauhid dzat juga bermakna tidak ada penyerta lain yang menyamai dzat-Nya.
Dengan kata lain tidak ada tuhan-tuhan lain yang layak dijadikan sekutu baginya. Tiada
wujud yang memiliki kualitas, sifat dan atribut setara dengan dzat-Nya. Allah berfirman:


(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-

35 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [QS Asy-Syura (42): 11]


dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." [QS Al-Ikhlas (112): 4]

Tauhid dzat juga bermakna bahwa dzat-Nya tidak bergantung terhadap apapun; dzat-
Nya mandiri. Allah berfirman:


Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. [QS Fathir (35): 15]

Tauhid Sifat
Tunggal dalam sifat-Nya adalah bahwa sifat-sifat Allah tidak dapat dipisahkan dari dzat-
Nya. Sifat Allah tidak seperti sifat-sifat yang melekat pada dzat ciptaan. Kristal-kristal
gula yang manis, butiran-butirannya dapat dipisahkan dari rasa manisnya dengan
melunturkan unsur-unsur kimia pemanisnya, atau menghilangkannya dengan senyawa-
senyawa yang berlawanan. Seorang yang lemah dapat dijadikan kuat dengan
menambahkan latihan-latihan. Orang yang memiliki sifat bodoh dapat dijadikan pintar
dengan memberikan dan menambahkan pengetahuan. Inilah karakteristik sifat-sifat
yang ada pada makhluk. Sifat demikian ini mustahil terjadi pada Allah. Dengan kata lain,
sifat Allah identik dengan dzat-Nya sendiri. Demikian pula, sifat-sifat-Nya tidak terpisah
satu dengan yang lain. Ketika berbagai ayat dalam kitab suci berbicara mengenai sifat-
sifat Allah tidak berarti bahwa sifat Allah adalah plural (majemuk). Sifat-sifat itu adalah
cara untuk menunjukkan kesempurnaan dzat-Nya agar dapat dipersepsi aqal manusia.
Sebab pluralitas, perpaduan, perubahan, dan keterpisahan sifat dari dzat adalah ciri-ciri
keterbatasan eksistensi.

Tauhid Perbuatan (Afal)


Tauhid perbuatan maknanya bahwa Allah dalam melakukan tindakan-tindakanya
mengurus alam semesta ini mandiri, tak satu sekutupun yang layak disandingkan dengan
Allah dalam melakukan perbuatannya. Allah tak membutuhkan penolong dari siapapun,
Ia mutlak mandiri. Tauhid afal juga memiliki makna bahwa setiap kejadian di alam
semesta ini hanya terjadi di bawah lingkup perbuatan Allah. Sekalipun Allah dalam
melakukan tindakan-tindakan-Nya sering membutuhkan sarana, itu tidak berarti bahwa
Allah bersandar pada sarana-sarana itu. Sebab sarana itu Allah juga yang
menciptakannya yang hanya efektif dengan izin-Nya saja.
Setiap eksistensi di alam semesta ini diciptakan oleh Allah, dan diberi kekuatan
oleh Allah jua. Sedangkan kekuatan itu mutlak adalah milik Allah.

36 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak
mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan
penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. [QS Al-
Isra (17): 111]

Tauhid Ibadah
Tauhid dzat, sifat dan afal mengajarkan kepada kita bahwa hanya ada satu realitas
(eksistensi) mutlak tunggal, yakni Allah. Dia adalah satu-satunya pencipta dan
pemelihara langit dan bumi serta segala isinya. Allah juga satu-satunya pemilik seluruh
perbendaharaan. Allah adalah sumber segala kekuatan, dan ia tempat bergantung segala
sesuatu. Dia lah yang memiliki kedaulatan atas langit dan bumi; Dia Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. Tak ada kehendak dan perintah, kecuali kehendak dan perintah Allah dibalik
segala urusan di dunia ini. Tak ada satupun kekuatan yang bekerja di alam ini secara
mandiri kecuali dengan kehendak dan kekuatan Allah.
Dengan demikian, manusia dan seluruh makhluk adalah realitas yang nisbi yang
maujud atas kemurahan dan kehendak Allah, Realitas Mutlak. Manusia dan segala
sesuatu adalah ciptaan dan milik Allah, dan eksistensinya bergantung dan bersandar
kepada Allah. Manusia dan alam semesta adalah makhluk yang fakir terhadap Allah, tak
ada gunanya bergantung dan bersandar kepada sesuatu yang tak mampu menopang
dirinya sendiri. Tak ada satu perbuatan pun, atau fenomena yang dapat terjadi tanpa
kehendak dan izin Allah.
Itulah pokok-pokok dari keyakinan tauhid yang harus diterima secara jernih
menjadi sebuah keimanan yang kokoh. Namun di sisi lain, justru dengan keyakinan
seperti inilah tauhid membawa banyak konsekuensi. Artinya, jika seseorang dalam
dirinya menerima bahwa Allah adalah Realitas Tunggal nan Absolut dengan segala sifat
kesempurnaan-Nya, maka konsekuensinya tiada yang layak disembah dan diibadahi oleh
manusia kecuali Allah. Dan inilah konsekuensi mendasar dari tauhid dzat, sifat dan afal,
yakni tauhid ibadah. Allah SWT berfirman:


Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu
janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan (sekutu-sekutu) bagi Allah, Padahal
kamu mengetahui.[QS Al-Baqarah (2): 21-22]

37 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Di ayat yang lain, Allah berfirman:


Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku. [QS Adz-Dzariyat (51): 56]

Sayyid Murtadha Muthahhari dalam Manusia dan Alam Semesta memberikan istilah
pada tauhid Dzat, sifat dan afal sebagai tauhid teoritis (yakni pemikiran dan pemahaman
yang harus diterima dan dimiliki dalam hati), sedangkan tauhid ibadah sebagai tauhid
praktis (yakni bukti dalam tindakan sebagai konsekuensi dari keyakinan tadi).4) Dapat
dikatakan pula bahwa tauhid Dzat, sifat dan afal adalah masalah ketunggalan Allah,
sedangkan tauhid ibadah adalah persoalan bagaimana menunggalkan Allah. Kita juga
dapat menyebut bahwa tauhid bagian pertama tadi sebagai tauhid objektif karena
memandang dan memahami Allah sebagai realitas objektif; dan tauhid ibadah sebagai
tauhid subjektif karena manusia adalah subjek dari perilaku-perilaku pengabdian
kepada Allah SWT. Meskipun demikian, apapun istilah yang digunakan haruslah lebih
baik dalam mengantarkan keyakinan-keyakinan tauhid ke dalam wilayah praktis. Sebab
tiada artinya keyakinan tauhid itu tanpa perbuatan tauhid, tak ada maknanya
memiliki keyakinan Allah itu Esa tanpa Mengesakan Allah.
Lalu bagaimanakah membuktikan tauhid ibadah tadi? Seorang muwahid adalah ia
yang hanya berharap dan berdoa hanya kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Allah
berfirman:


Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat
mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan
kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk
kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang
menakutkan; dalam Keadaan bingung, Dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya
kepada jalan yang Lurus (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami".
Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita
disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam, [QS Al-Anam (6): 71]

Dalam lain Allah berfirman:

38 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang
mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka,
melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya
sampai air ke mulutnya, Padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. dan doa (ibadat)
orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. [QS Ar-Radu (13):14]

Seorang muwahid adalah orang yang meminta pertolongan hanya kepada Allah. Allah
SWT berfirman:


Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang
menguasai di hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan. [QS Al-Fatihah (1): 2-5]

Seorang muwahid adalah orang yang hanya mencintai Allah dan apa-apa yang
diperintahkan-Nya untuk dicintai melebihi segala sesuatu. Pantang bagi seorang
muwahid mencintai objek-objek yang ia menjadi tandingan Allah, apakah itu benda,
manusia, nilai-nilai budaya, keyakinan, konsepsi-konsepsi dan ideologi, sehingga
kecintaan dan ketaannya kepada Allah menjadi terhalang atau berkurang. Allah SWT
berfirman:


Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya
(niscaya mereka menyesal). [QS Al-Baqarah (2): 165]

Lalu, sebagai bukti seseorang yang mencintai Allah tentu saja tidak ada yang dipuja dan
diagungkan kecuali Diri-Nya. Bagi seorang muwahid, Allah adalah idealitas yang ada
dalam hati dan jiwanya, dan Allah saja lah orientasi spiritualnya, dan menerima segala
perintah-perintah-Nya.

Dengan demikian, secara praktis tunduk dan patuh kepada perintah Allah saja adalah
bagian dari pembuktian tauhid ibadah paling penting dalam kehidupan sehari-hari. Al-
Quran menyebutkan:

39 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami
mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. [QS An-
Nuur (24): 51]


Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka
Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban
kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu
melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". [QS An-Nuur (24): 54]

Dengan demikian, tauhid ibadah atau tauhid praktis adalah menerima Allah saja sebagai
dzat yang layak untuk ditaati tanpa pamrih, memandang hanya Dia yang menjadi ideal
dan arah perilaku, dan menolak selain-Nya untuk ditaati dan dijadikan ideal. Tauhid
ibadah adalah tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup untuk-Nya
saja, serta mati untuk-Nya saja.


Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)". [QS Al-Anam (6) 162-163]

Sedangkan mentaati dan mematuhi selain kepada perintah-perintah Allah adalah sebuah
kemusyrikan dalam ibadah. Oleh karena itu, Allah SWT melarang mentaati dan mengikuti
orang-orang yang menyimpangkan, menggantikan, dan mengalahkan perintah-perintah
(hukum) Allah. Allah SWT berfirman:

40 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. [QS At-Taubah (9): 31]

Tauhid dan keesaan Tuhan tidak akan bermakna hingga diterjemahkan secara praktis ke
dalam tauhid ibadah dalam berbagai bentuk aktivitas seperti berdoa dan berharap,
memohon, meminta pertolongan, memuja dan mengagungkan, dan taat patuh kepada-
Nya saja.

41 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 5
RUBUBIYAH-ULUHIYAH-ASMA WA SIFAT

Tauhid rubbubiyah, uluhiyah dan asma wa sifat adalah klasifikasi tauhid yang paling
banyak ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Pembagian tauhid yang dilakukan para
ulama ke dalam Rubbubiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat dimaksudkan untuk memberi
penekanan lebih pada kedudukan Allah bagi alam semesta dan bagi manusia. Tauhid ini
tidak lagi membicarakan tentang Dzat-Nya meskipun dalam pengelompokan ini ada
bagian yang disebut dengan tauhid asma wa sifat. Dengan demikian, dalam sudut
pandang hubungan (relasional) antara alam dan manusia dengan Allah, manusia wajib
mengenal siapa diri-Nya dan apa peran-Nya bagi kehidupan semesta ini. Sebab mengenal
apa saja perbuatan Allah, dan bagaimana atribut dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya akan
membentuk sikap yang benar dan sempurna kepada Allah. Karenanya, memahamkan diri
akan persoalan tauhid ini menjadi kunci bagi kesempurnaan iman dan pengabdian
seorang hamba kepada Allah Yang Maha Sempurna. Adanya pendangkalan terhadap
konsep tauhid ini, salah persepsi (misperception), ataupun bentuk-bentuk pengurangan
(distorsi) hanya akan melahirkan sikap-sikap tauhid yang abu-abu, samar bahkan sangat
mungkin tidak mengeluarkan seorang beriman dari sikap mendua.

Tauhid Rubbubiyah
Penamaan tauhid rubbubiyah ini tentu saja bersumber dari berbagai ayat-ayat dalam Al-
Quran yang menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengurus tunggal alam
semesta beserta seluruh isinya, di dalamnya manusia. Tidak ada dzat lain, selain daripada
Allah, yang memberikan bukti bahwa ia berperan-serta dalam mencipta dan mengurus
alam semesta, sekalipun suatu benda ataupun makhluk yang paling sederhana. Segala
sesuatu hanyalah Allah saja yang mencipta sekaligus mengurusnya.

Secara lughawi, Rabb dalam bahasa arab bersumber dari kata Rabba Yarubbu Rabban
memiliki makna tuan, pemilik, pengurus, pengatur dan pemelihara. Al-Quran juga
menggunakan makna-makna itu dalam banyak ayatnya. Al-Quran suci menyebutkan:


Raja berkata: "Bawalah Dia kepadaku." Maka tatkala utusan itu datang kepada
Yusuf, berkatalah Yusuf: "Kembalilah kepada tuanmu (rabbmu) dan Tanyakanlah
kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya.
Sesungguhnya Tuhanku, Maha mengetahui tipu daya mereka. [QS Yusuf (12): 50]

42 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Hai kedua penghuni penjara: "Adapun salah seorang diantara kamu berdua, akan
memberi minuman tuannya dengan khamar; Adapun yang seorang lagi Maka ia
akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya. telah diputuskan
perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku). [QS Yusuf (12): 41

Menurut beberapa sumber dalam bahasa Arab sehari-hari, kata rabb digunakan untuk
menunjukkan arti-arti di atas, misalnya:
- Rabbud-Dar yang berarti tuan rumah atau pemilik rumah,
- Rabbul- Farasi yang menunjukkan pemilik kuda, dan dalam hadits rasulullah saw:
- hatta yazidaha rabbahu yang artinya sampai sang pemilik (unta)
menemukannya (HR Muttafaq alaih)

Inilah makna Rabb, yang di dalam Al-Quran suci kata ini banyak digunakan untuk
menunjukkan siapa Allah bagi langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Allah
memperkenalkan diri-Nya sekaligus membuktikan secara meyakinkan bahwa Dia adalah
pencipta, Dia adalah pengurus dan pemelihara seluruh ciptaan ini; tidak ada yang
mencipta dan mengurus kecuali hanya Allah. Allah SWT berfirman:


Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [QS Az-
Zumar (39): 62]


Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-
Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah,
Tuhan semesta alam. [QS Al-Araf (7): 54]


Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). [QS
Huud (11): 6]

43 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bahkan Allah menantang manusia untuk mengajukan bukti dan argumentasi jika
memang ada pencipta-pencipta dan pengurus lain selain Allah. Allah berfirman:


Inilah ciptaan Allah, Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. sebenarnya orang- orang
yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata. [QS Luqman (31): 11]


Atau siapakah Dia yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezki-Nya?
sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri? [QS
Al-Mulk (67): 21]

Dengan demikian, tauhid rubbubiyah adalah penegasan ketunggalan-Nya di dalam


menciptakan, mengurus dan memelihara alam semesta ini. Allah tidak memiliki sekutu
dalam mencipta dan mengurus seluruh ciptaan-Nya.

Meskipun demikian, perbuatan Allah SWT mengurus dan memelihara makhluk dapat
dilihat beberapa sudut pandang. Maksudnya adalah, perbuatan memelihara dan
mengurus itu dapat kita uraikan ke dalam berbagai aktivitas dan perbuatan, seperti
misalnya menghidupkan, mematikan, memberi rezeki, menyelamatkan, menjaga,
mengendalikan, mengabulkan, mendidik, memberi ilmu, menunjuki, memerintah, dan
lain sebagainya. Allah menghidupkan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia,
kemudian mematikannya adalah bagian dari mengurus alam semesta ini. Sulit bagi kita
membayangkan bagaimana alam semesta ini dapat terpelihara tanpa mekanisme
kehidupan dan kematian dari penghuni-penghuninya. Alam ini berisi kedua siklus
tersebut untuk mempertahankan keserasiannya dan keseimbangannya.

Untuk memelihara semesta ini, Allah juga memerintah para malaikat, benda-benda mati
maupun hidup untuk menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing agar alam
semesta ini tetap dalam satu sistem yang harmonis, terhindar dari kehancuran. Sebagian
malaikat menjalankan perintah untuk menurunkan rezeki, menurunkan wahyu dan
memberi petunjuk, mencabut nyawa, menopang arasy, dan sebagainya. Demikianlah
Allah mengurus alam semesta melalui beragam perbuatannya sehingga makhluknya
terjaga dan terpelihara hingga waktu yang dikehendaki-Nya.

Inilah yang dimaksud dengan kepengurusan (rubbubiyah) Allah secara umum, dan inilah
yang harus diakui dan diterima oleh setiap manusia. Dengan demikian, tauhid rubbubiyah
adalah sebuah keyakinan, pengakuan dan penerimaan akan kedudukan Allah sebagai
Sang Pencipta, sebagai Pengurus dan Pemelihara tunggal (satu-satunya) alam semesta ini
beserta isinya.

44 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Sebagian ulama meyakini bahwa masyarakat pra-Islam di Jazirah Arab telah memiliki
tauhid rubbubiyah. Artinya, bahwa masyarakat Arab jahiliyah mengakui bahwa tidak ada
pencipta dan pengurus langit dan bumi, dan seluruh isinya kecuali Allah. Banyak sekali
ayat Al-Quran yang menyatakan ini, diantaranya:


Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka menjawab: "Allah", Maka Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah )? [QS Az-Zukhruf (43): 87]


Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup
dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka
Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" [QS Yunus (10): 31]


Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan
air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" tentu mereka
akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka
tidak memahami(nya). [QS Al-Ankabuut (29): 3]

Dengan ayat-ayat Al-Quran seperti di atas dilengkapi fakta-fakta sejarah, para ulama
meyakini bahwa tidak ada persoalan di dalam tauhid rubbubiyah pada masyarakat Arab
pra-Islam. Meskipun demikian bila kita teliti lebih jauh mengenai esensi tauhid tersebut,
kesimpulan bahwa masyarakat Arab jahiliyah sudah bertauhid rubbubiyah tidak
seutuhnya benar. Kita akan bahas persoalan ini pada bab berikutnya, yakni pada tauhid
rubbubiyah, mulkiyah dan uluhiyah, insyaallah.

Syirik dalam rubbubiyah dalam konteks tauhid seperti di atas, bermakna mengakui ada
pencipta lain, mengakui ada pengurus dan pemelihara lain bagi alam ini, atau bahkan
sama sekali menolak kedudukan-Nya sebagai Pencipta dan Pengurus. Sebagian manusia
menempatkan dan mempercayai ada pencipta dan pengurus selain Allah. Sebagian
manusia menetapkan dewa-dewa, sebagian lagi menetapkan tuhan-tuhan lain disamping
Allah yang Esa, sebagiannya lagi menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Al-
Quran menyatakan:

45 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi
sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah
(menganut agama) Islam?". [QS Ali Imran (3):80]


Dan mereka berkata: "Jikalau Allah yang Maha Pemurah menghendaki tentulah Kami
tidak menyembah mereka (malaikat)". mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun
tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. [QS Az-Zukhruf (43):20]

Sebagian kecil orang menafikan eksistensi Allah Sang Pencipta sekaligus Pengurus alam
semesta ini. Ada juga mereka yang meyakini adanya Allah, namun berprasangka bahwa
Allah kemudian pensiun pasca penciptaan itu. Jika demikian, bagaimana mungkin jantung
manusia itu tetap teratur berdenyut dan memompa darah ke seluruh tubuh? Sementara
tidak ada intervensi manusia yang dapat mengubah detak jantung itu. Di antara mereka
itu adalah Firaun, para ateis, kaum materialis dan komunis.

Tauhid Asma wa Sifat


Asma adalah jama dari kata ism yang artinya nama, sehingga asma menjadi bermakna
nama-nama. Nama adalah gambaran-gambaran atau imaji-imaji tentang wujud, benda,
atau objek-objek baik nyata maupun imajiner yang dapat ditangkap secara mental
sehingga manusia dapat mengidentifikasinya dan membedakannya dengan maujud
lainnya. Dengan demikian, asma dan sifat perlu diperkenalkan dengan baik agar suatu
maujud atau objek-objek dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Nama seringkali digunakan untuk menunjukkan (tetapnya) suatu sifat bagi suatu objek.
Maksudnya, nama-nama itu sering dijadikan sebagai sebutan untuk seseorang atau
benda sesuai dengan keistimewaan sifat seseorang atau benda tersebut. Penggunaan
nama seperti ini sudah tidak asing lagi dalam kehidupan manusia. Misalnya kita
mengenal nama-nama seperti di bawah ini:

Si fulan/fulanah diberi nama Humaira karena kulitnya wajahnya kemerah-merahan


Si Pemarah, Si Dermawan dll.

Dalam pembicaraan tauhid, asma digunakan sebagai kata ganti Allah untuk menunjukkan
dzat sekaligus kualitas-Nya. Ibnu Taimiyah8) mengatakan bahwa setiap nama dari nama-
nama-Nya menunjukkan kepada dzat yang disebutnya dan sifat yang dikandungnya,
seperti Al-Alim menunjukkan dzat dan Ilmu, Al-Qodir menunjukkan dzat dan qudrah, Ar-
Rahim menunjukkan dzat dan sifat rahmat. Jadi asma Allah itu menunjukkan kualitas
dzat sekaligus perbuatan-Nya.

Dalam berbagai ayat Allah memperkenalkan diri-Nya dengan asma-Nya agar manusia
memiliki konsep mental (pengetahuan), dan dapat mengidentifikasi wujud-Nya atau
dzat-Nya dalam batas-batas kapasitas aqal manusia; supaya Allah dikenali dengan baik
kualitas dan atribut-Nya sehingga manusia dapat memberikan sikap (tauhid) yang benar
kepada-Nya. Sebab, bagaimana halnya jika manusia hanya mengetahui bahwa Dia ada,
tetapi buta sama sekali terhadap kualitas-Nya? Apakah mungkin manusia memiliki sikap
yang memadai terhadap-Nya? Tentu saja kejahilan manusia mengenai kualitas dan sifat-

46 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

sifat-Nya tidak akan mampu menumbuhkan sikap cinta, memuja, takut, berharap dan
bersandar, berlindung kepada-Nya. Jika demikian, pengetahuan dan keyakinan akan
adanya Allah sama sekali menjadi tidak berarti.

Allah adalah Wujud Absolut dengan sifat-sifat sempurna, dan karenanya Dia memiliki
nama-nama yang sempurna dan absolut; nama-nama itu adalah gambaran dari sifat-sifat-
Nya, baik sifat dzat maupun sifat Afal. Secara keseluruhan, banyaknya nama-nama Allah
itu tidak berarti menunjukkan bahwa dzat Allah itu jamak, sekali-kali tidak; bahkan satu
dzat dengan (sifat) baik tunggal hanya menunjukkan keterbatasan kualitas dzat itu
sendiri. Jika seseorang memiliki sifat kuat, tetapi tidak memiliki karakter dermawan
maka ia bukanlah orang yang sempurna. Dengan demikian, nama-nama tersebut adalah
sebutan dan bukti kesempurnaan-Nya yang memiliki spektrum yang luas yang meliputi
seluruh kebaikan dan kebajikan yang dikenal oleh manusia. Asma Allah itu meliputi
seluruh keindahan (jamaliyah) dan seluruh keperkasaan (jalaliyah) yang jika kita
gabungkan ia adalah kesempurnaan (kamaliyah); dengan demikian nama-nama Allah itu
musti banyak.

Al-Quran mulia menyebutkan:


Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan. [QS Al-Araf (7): 180].

Dalam suatu sumber disebutkan:


Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Ya'qub Al Jurajani telah menceritakan
kepada kami Shafwan bin Shalih telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim
telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Abu Hamzah dari Abu Az Zinad dari Al A'raj
dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah ta'ala memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu.
Barang siapa yang hafal, mengamalkan dan membenarkannya akan masuk Surga. Yaitu;
Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia Ar Rahman, Ar Rahim, Al
Malik, Al Quddus, As Salamu, Al Mukmin, Al Muhaiminu, Al 'Aziz, Al Jabbar, Al Mutakabbir,
Al Khaliq, Al Bari-u, Al Mushawwiru, Al Ghaffaru, Al Qahhar, Al Wahhab, Ar Razzaq, Al
Fattah, Al 'Alim, Al Qabidh, Al Basith, Al Khafidh, Al Mu'iz, Al Mudzill, As Sami', Al Bashir, Al
Hakam, Al 'Adlu, Al Lathif, Al Khabir, Al Halim, Al 'Azhim, Al Qhafur, Asy Syakur, Al 'Aliyyu,
Al Kabir, Al Hafizh, Al Muqitu, Al Hasib, Al Jalil, Al Karim, Ar Raqib, Al Mujib, Al Wasi', Al
Hakim, Al Wadud, Al Majid, Al Ba'its, Asy Syahid, Al Haqqu, Al Wakil, Al Qawiyyu, Al Matin,
Al Waliyyu, Al Hamid, Al Muhshi, Al Mubdi`, Al Mu'id, Al Muhyi, Al Mumit, Al Hayyu, Al
Qayyum, Al Wajid, Al Majid, Al Wahid, Ash Shamad, Al Qadir, Al Muqtadir, Al Muqaddim, Al
Muakhkhir, Al Awwalu, Al Akhir, Azh Zhahir, Al Bathin, Al Wali, Al Muta' Ali, Al Barru, At
Tawwab, Al Muntaqimu, Al Qafuwwu, Ar Rauf, Malikul Mulk, Dzul Jalal wal Ikram, Al

47 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Muqsith, Al Jami', Al Ghani, Al Mani', Adh Dharr, An Nafi', Al Hadi, Al Badi', Al Baqi, Al Warits,
Ar Rasyid, Ash Shabur.

Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits gharib. Telah menceritakan kepada kami dengan
hadits tersebut lebih dari satu orang dari Shafwan bin Shalih dan kami tidak
mengetahuinya kecauli dari hadits Shafwan bin Shalih, dan ia adalah orang yang tsiqah
menurut ahli hadits. Dan hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan kami tidak mengetahui kebanyakan
riwayat-riwayat tersebut memiliki sanad yang shahih yang menyebutkan nama-nama
kecuali hadits ini. Dan Adam bin Abu Iyas telah meriwayatkan hadits ini dengan sanad
selain ini dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan padanya ia
menyebutkan nama-nama tersebut, dan tidakk memiliki sanad yang shahih.(H.R. At-
Tirmidzi)

Namun harus dipahami bahwa dzat Allah itu mustahil dikenali dengan penuh dan
sempurna oleh manusia, karena Allah sebagai wujud niscaya ada sama sekali berbeda
dengan seluruh wujud yang mungkin, yakni ciptaan-Nya. Seluruh sarana pengenalan dan
pengetahuan manusia mustahil mengetahui dzat-Nya secara utuh; demikian pula sifat-
sifat-Nya tak dapat diselami secara utuh oleh akal manusia. Sesuatu yang terbatas tidak
akan mampu mendefinisikan sesuatu yang tak terbatas.

Allah berfirman:


(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-
Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. [QS Asy-Syura (42): 11]

Tauhid Uluhiyah
Pengenalan dan pengakuan manusia kepada Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki dan
pengatur tunggal alam semesta dengan segala kesempurnaan (kamaliyah) asma wa sifat-
Nya, mustinya membawa suatu konsekuensi bagi dirinya. Konsekuensi itu adalah
pengangungan, pemujaan, penyembahan dan ibadah kepada Allah semata. Sebab tak ada
satu objek pun yang layak untuk disembah, diagungkan dan dipuja selain daripada Allah.
Inilah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah. Jadi tauhid uluhiyah adalah konsekuensi
alamiah dari tauhid rubbubiyah.

Dengan demikian, marifat kepada Allah adalah suatu proses penting menuju tauhid
rubbubiyah dan uluhiyah. Maksudnya adalah, untuk menumbuhkan dan membangun
keyakinan yang kokoh bahwa hidup manusia hanya untuk mengabdi dan menyembah
Allah semata memerlukan pengenalan mengenai kedudukan-Nya secara benar. Manusia
harus memahami dan menyadari betul, siapakah Allah bagi dirinya dan apa peranan-Nya,
sehingga dapat memberikan sikap yang benar kepada Allah Yang Maha Sempurna.

48 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Kegagalan manusia mengenal Allah secara sempurna berarti pula kegagalan dalam
tauhid uluhiyah. Oleh karena itu mengenal Allah secara utuh merupakan fase dari
membangun keyakinan tauhid secara utuh pula. Sebuah sumber menyebutkan:

Awwalu wajibin 'alal insani ma'rifatul ilahi bistiqani


kewajiban pertama setiap manusia adalah mengenal dan percaya kepada Tuhan dengan
tidak ada keraguan

Allah berfirman:


Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah. [QS
Muhammad (47): 19]

Mengenal Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, kedudukan-Nya akan mengantarkan kita


pada suatu kesimpulan bahwa Dia adalah sesembahan (ilah) bagi manusia. Dan gagasan
tauhid rubbubiyah hahikatnya adalah usaha para ulama untuk mengenalkan Allah kepada
manusia sehingga tumbuh sikap mengesakan-Nya secara benar, yakni tauhid uluhiyah.
Al-Quran suci menyebutkan:


Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu
janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui. [QS
Al-Baqarah (2): 21-22]

49 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?". Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah
kamu tidak ingat?" Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang
Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah:
"Maka Apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan
Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?" [QS Al-
Muminuun (23): 84-89]

Pengenalan terhadap Allah secara benar akan melahirkan suatu kesadaran bahwa tidak
ada objek apapun yang layak untuk disembah dan dipuja kecuali Allah. Dan Allah adalah
dzat yang berhak mendapatkan pemujaan dan totalitas penyerahan diri dari manusia,
meskipun Allah tidak mendapatkan manfaat apapun dari penyembahan manusia. Karena
Allah Maha Sempurna. Tetapi karena kuasa-Nya, rahman dan rahim-Nya, kesempurnaan-
Nya, dan rubbubiyah-Nya terhadap jagad raya dan manusia, membuat tidak ada satupun
selain diri-Nya layak mendapatkan pemujaan, pengagungan, tempat bersandar dan
berharap, dan penyerahan diri secara total. Ini berarti juga bahwa penyembahan dan
pengabdian kepada Allah adalah sikap yang paling alamiah dari manusia sebagai
makhluk kepada Rabbnya.

Dengan demikian, tauhid uluhiyah (pengesaan dalam penyembahan) adalah pilar penting
dalam konsepsi tauhid. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan perintah-
perintah berkenaan dengan tauhid uluhiyah. Dan tauhid uluhiyah adalah puncak dari
tauhid, serta merupakan seruan universal para nabi dan rasul pada setiap zaman.

Al-Quran menyebutkan:


Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku". [QS Al-Anbiyaa (21): 25]


Dan sesembahanmu adalah sesembahan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [QS Al-Baqarah (2): 163]


Allah bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu

50 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

(juga menyatakan yang demikian itu). tak ada sesembahan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS Ali Imran (3): 18]

Setiap nabi menyeru manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah saja, sesembahan
yang layak disembah. Tidak ada sesembahan selain daripada-Nya. Allah SWT berfirman:


Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai
kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. [QS Al-Araf (7):
59]


Dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. [QS Al-
Araf (7): 65]


Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya
telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. unta betina Allah ini menjadi
tanda bagimu, Maka biarkanlah Dia Makan di bumi Allah, dan janganlah kamu
mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan
yang pedih. [QS Al-Araf (7): 73]

Seruan ini juga berlaku pada nabi-nabi Allah lainnya (QS Al-Araf (7): 85, QS Huud (11):
50, 61, 84]. Dalam ayat-ayat terakhir ini kita juga mendapatkan pemahaman bahwa
uluhiyah semakna dengan ibadah. Allah sebagai ilah berarti pula sebagai Al-Mabud, yang
bermakna Yang disembah. Kemudian para ulama memberikan istilah lain bagi tauhid
uluhiyah dengan tauhid ibadah.

Realisasi Tauhid Uluhiyah


Jika tauhid rubbubiyah adalah keyakinan bathiniyah, yakni mengakui dalam hati dan
pikiran mengenai ketunggalan pencipta dan pengurus alam semesta ini, maka tauhid
uluhiyah lebih bermakna sebagai sikap dan perilaku, bukan sekedar keyakinan hati. Sikap
dan perilaku yang semestinya lahir dan hak diberikan kepada Allah, Sang Rabb. Oleh
karena itu realisasinya dalam praktek dan kenyataan mesti dapat disaksikan.

51 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Ar-Rabb sebagai pencipta dan pengurus alam semesta dan manusia, pada realitasnya
adalah Dia yang memberi rezeki, yang menjaga dan mengendalikan, yang memberi ilmu
dan mendidik, yang menunjuki, menghukumi dan memerintah. Oleh karena itu, tauhid
uluhiyah adalah tumbuhnya sikap dan perilaku berharap dan berdoa hanya kepada Allah
semata, bersandar dan bergantung, memuja dan mengagungkan, dan taat dan patuh
hanya kepada-Nya. Memberikan dan mengarahkan sikap dan perilaku ini kepada selain
Allah adalah syirik uluhiyah.

Dengan demikian, setidaknya tauhid uluhiyah dapat kita maknai sebagai berikut:

1) Doa dan harapan diarahkan dan disandarkan hanya kepada Allah semata.


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila
ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. [QS
Al-Baqarah (2): 186]

Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan. [QS Ar-Rahman (55): 29]


Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat
mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan
kepada kita......? [QS Al-Anam (6): 71]

2) Memohon pertolongan hanya kepada Allah.


Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan. [QS Al-Fatihah (1): 5]

3) Meminta rezeki hanya kepada Allah


4) Mencinta dan memuja hanya kepada Allah.

52 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya
(niscaya mereka menyesal). [QS Al-Baqarah (2): 165]

5) Taat dan patuh hanya kepada Allah, dan orang-orang yang diberi izin untuk
ditaati.


..Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan
semesta alam. [QS Al-Araf (7): 54]


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu. [QS Muhammad (47): 33]

Persoalan ithaah (ketaatan) adalah persoalan sangat penting, sebab ketaatan adalah
pembuktian tauhid yang paling riil dalam kehidupan praktis. Dan konteks kepentingan
manusia, ketaatan adalah jalan bagi terwujudnya tujuan diturunkannya agama, yakni
keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.

Dalam kehidupan, kenyataannya manusia tidak mungkin lepas dari dua ketaatan, yakni
ketaatan kepada makhluk (yakni kepada manusia lain) dan kepada Allah. Oleh karena itu,
dalam konteks ibadah ketaatan itu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, ketaatan
langsung kepada Allah dan ketaatan kepada manusia yang diberi izin oleh Allah untuk
ditaati, seperti para nabi dan rasul, imam, khalifah, dan pemimpin-pemimpin shaleh yang
berusaha membumikan perintah-perintah Allah dan menghidupkan sunnah-sunnah
rasul-Nya. Sebagian ulama memberi istilah pada jenis ketaatan kedua ini dengan wilayah.
Allah secara tegas melarang manusia memberikan ketaatannya kepada selain Allah dan
orang-orang yang tak diberi hak untuk ditaati. Sebab ketaatan yang di luar ini pastilah
akan menjauhkan manusia dari taatnya pada Allah, dan pastilah menghasilkan kehidupan
sulit dan pahit karena penuh dengan persoalan dan penyimpangan.

Allah melarang manusia taat kepada berhala, kahin, tukang sihir, syaithan, dan manusia-
manusia yang menolak aturan Allah. Karena mereka semua adalah oknum-oknum yang
menyimpangkan manusia dari taat kepada Allah, dan menjerumuskannya pada kesulitan
dan kecelakaan dunia akhirat. Inilah yang dalam Al-Quran mulia disebut dengan thoghut:

53 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah
pasti kesesatan baginya... [QS An-nahl (16): 36]

Tiada berarti apapun manakala kita beritikad mengesakan Allah sementara dalam
realitasnya kita memberikan ketaatan dan komitmen kepada orang-orang yang
menentang (syariah) Allah, syaitan, tukang sihir dan dukun, atau simbol-simbol berhala.
Karena jika demikian, tentu ketaatan kita tersebut hanya mewujud pada wilayah
bathiniyah saja seperti dalam pelaksanaan ibadah ritual, namun tidak sama sekali dalam
wilayah dhahir.

Al-Quran memberikan contoh riil mengenai persoalan ini supaya mudah bagi kita untuk
menerjemahkan ketaatan dalam kehidupan riil. Al-Quran menyebutkan:


Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-masih putera Maryam, Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. [QS At-Taubah (9): 31]

Dalam catatan-catatan kaki dari banyak mushaf Al-Quran, tidak ada yang memaknai
menjadikan orang alim dan rahib sebagai tuhan dalam arti rukuk dan sujud secara fisik
di depan mereka semua. Tetapi yang dimaksud dengan menjadikan tuhan di sini adalah
memberikan ketaatan dan kepatuhan kepada mereka, tanpa peduli perintah-perintah
mereka itu bertentangan dengan aturan Allah atau tidak. Secara ringkas perintah itu
dapat bersifat mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, atau menghalalkan apa
yang dilarang-Nya. Dan dalam kacamata yang lebih lebar, bermakna menolak syariah
Allah sebagian atau keseluruhannya. Ini juga merupakan contoh dalam kehidupan nyata;
sangat mungkin terjadi orang-orang yang mengaku beriman atau orang-orang alim
(ulama, faqih, ahli hukum) itu menolak aturan Allah, sebagian atau seluruhnya. Itu terjadi
pada alam kita saat ini, dan ini adalah bentuk syirik uluhiyah yang sangat nyata.
Naudzubillahi min dzalik.

6) Merujuk hukum hanya kepada Allah


Memiliki suatu hukum bagi suatu masyarakat dan bangsa adalah sebuah kemustian,
sebab tanpanya kehidupan menjadi rusak dan chaos. Artinya sebuah masyarakat dan

54 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

bangsa mustahil menggapai keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki tanpa


perlindungan hukum. Oleh karena itu, menetapkan hukum adalah persoalan paling
penting bagi kehidupan.

Orang-orang yang yakin (mumin) dan orang-orang yang berserah diri (muslim) kepada
Allah adalah orang-orang yang mempercayakan hidupnya hanya kepada Allah, dan
sebagai buktinya adalah kesiapan dan ketundukan terhadap segala aturan-Nya. Tidak ada
pilihan lain bagi mereka yang beriman kecuali mencukupkan diri hanya berhukum
kepada (hukum) Allah. Allah Yang Menciptakan alam semesta dan manusia, Dia pula yang
berhak menetapkan hukumnya. Sebab Dia Maha Tahu apa yang Dia ciptakan, sifat-sifat
dan karakteristik makhluknya, kecenderungannya, wataknya dan segala perilakunya.
Maka menetapkan dan membuat hukum itu merupakan hak-Nya.

Allah subhanahu wa taalaa berfirman:


Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku,
sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya
disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". [QS Al-
Anam (6):57]


Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang
sebenarnya. ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. dan Dialah
Pembuat perhitungan yang paling cepat. [QS Al-Anam (6):62]


Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu
pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; Namun demikian
aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan
menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan
hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri". [QS Yusuf (12):
67]

55 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? [QS Al-Maidah (5): 50]

56 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 6
RUBUBIYAH-MULKIYAH-ULUHIYAH

Membagi bab tauhid ke dalam rubbubiyah, mulkiyah dan uluhiyah adalah telaahan tauhid
yang sangat khas. Sebab di dalam kitab-kitab klasik sepanjang pengetahuan penulis
belumlah ada. Menurut berbagai sumber, pembagian ini baru muncul atau setidaknya
populer, pada masa-masa pergerakan islam di Indonesia. Tauhid rubbubiyah, mulkiyah
dan uluhiyah ini berangkat dari QS An-Nas (114): 1-3.


Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
Raja manusia. Sembahan manusia.

Jadi tauhid rubbubiyah mulkiyah uluhiyah berpijak pada kedudukan Allah secara
khusus bagi manusia seperti tertera dalam QS An-Nas, Allah sebagai Rabb, Malik dan Ilah
bagi manusia. Berbeda dengan tauhid rubbubiah, uluhiyah, dan asma wa sifat yang lebih
umum melingkupi hubungan antara Allah dengan seluruh alam semesta. Dalam
rubbubiyah, mulkiyah, dan uluhiyah, Allah SWT menekankan hubungan relasional
khususnya dengan manusia.

Lalu apa implikasi dari pendekatan tauhid ini? Secara esensial pendekatan ini tak ada
bedanya dengan tauhid rubbubiyah, uluhiyah, asma wa sifat. Manakala Allah berbicara
sebagai rabb bagi alam semesta, Ia berarti juga rabb bagi manusia. Namun demikian,
ketika Allah berbicara secara khusus kedudukannya terhadap manusia, ada konotasi
tuntutan sikap tegas dan jelas yang harus diberikan manusia kepada Allah Yang Maha
Sempurna. Manusia adalah makhluk yang diberi kehendak bebas; melalui kehendak dan
kesadaran ini Allah ingin manusia menerima sepenuh hati akan kedudukan-Nya yang
secara alamiah adalah hak-Nya. Sikap ini harus mewujud dalam kehidupan nyata dalam
seluruh dimensi yang Allah kehendaki.

Makna khusus tauhid rubbubiyah


Seperti telah dijelaskan pada uraian tauhid sebelumnya, rabb bermakna pemilik,
pengurus dan pemelihara. Dan Allah bekerja mengurusi dan memelihara makhluknya
melalui banyak perbuatan diantaranya adalah menghidupkan dan mematikan, memberi
rizki, mengabulkan doa dan permintaan, menjaga, mengendalikan, memerintah dan
menetapkan hukum. Jika Allah adalah rabbin nas, maka Allah-lah pengurus dan
pemelihara manusia. Pengakuan terhadap Allah sebagai rabb manusia memiliki
konsekuensi penerimaan terhadap rubbubiyah (kepengurusan)-Nya.

Lalu, bagaimanakah Allah mengatur dan memelihara manusia? Pertanyaan ini sangatlah
mendasar agar manusia mengetahui apa yang harus diakui dan diterima dari-Nya secara
nyata. Ini juga penting untuk menghindari salah sangka bahwa Allah mengurus dan
menjaga manusia seolah hanya melalui tangan-Nya dari balik alam gaib. Tentu saja
tidak salah jika kita memahami Allah menjaga manusia dengan cara-cara yang tidak kita
ketahui, tetapi membatasi cara-cara-Nya ke dalam lingkup ini saja adalah suatu kesalah-
fahaman.

57 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Allah memelihara manusia melalui dua cara, yakni dengan apa yang disebut dengan
takwin dan tasyri. Takwin adalah cara Allah memelihara dan mengurus manusia tanpa
ada intervensi manusia maupun makhluk lainnya, atau dengan cara-cara yang manusia
tidak ketahui. Perbuatan demikian adalah hak Allah semata. Perbuatan ini sangatlah
nyata jika kita melihat alam semesta; untuk benda-benda yang tidak memiliki kesadaran
layaknya manusia di sanalah tampak nyata perbuatan Allah. Matahari, bulan, bintang-
bintang beredar pada orbitnya, burung yang terbang, awan yang mengalir semua adalah
bukti takwiniyah Allah. Keharmonisan, keselarasan, dan koherensi alam semesta adalah
bukti nyata takwiniyah Allah SWT. Adakah takwin ini pada manusia? Tentu saja sama
nyatanya. Kedipan mata, detak jantung, aliran darah, tarikan nafas, adalah perbuatan
Allah semata. Adakah kekuatan dan intervensi manusia yang mengendalikan ini? tentu
saja jawabannya, tidak ada kendali manusia atas semua ini. sepanjang sain yang dicapai
manusia, tak ada kesimpulan menyebutkan ada energi kreatif yang menggerakkannya
yang bersumber dari senyawa-senyawa materiil. Ia adalah semata karya Sang Maha Agug.
Karenanya bukti-bukti takwiniyah Allah dalam diri manusia itu juga terlalu nyata untuk
diabaikan.

Berbeda dengan takwin, tasyri adalah cara Allah memelihara dan menjaga manusia
melalui sarana tindakan-tindakan manusia. Artinya, Allah menginginkan manusia
melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan petunjuk dan perintah-Nya untuk
tujuan keselamatan dan ketertiban manusia. Tanpa usaha-usaha itu, maka keselamatan
dan keterpeliharaan tidak akan tercapai. Seperti halnya, bagaimana seseorang bisa
selamat di jalan raya tanpa mengikuti tata tertib lalu lintas; bagaimana pula seseorang
hidup sehat sementara ia tinggal di lingkungan yang penuh penyakit. Untuk selamat di
jalan ataupun sehat, perlu ada usaha-usaha yang harus ditempuh karena usaha-usaha itu
menjadi sebab-sebab tercapainya selamat dan sehat tersebut.

Demikian pula, manusia hanya mungkin terpelihara dan terjaga kehidupannya jika
manusia melakukan usaha-usaha yang menjadi sebab-sebab keselamatan itu. Allah
menjaga manusia dengan memberi berbagai arahan, petunjuk, perintah agar manusia
mengetahui jenis usaha apa yang relevan untuk keselamatan dan keterjagaan dirinya.
Dalam kehidupan manusia yang sangat kompleks dan rumit ini, terlalu sulit bahkan
mustahil bagi manusia untuk menyusun rumusan-rumusan aturan main yang sempurna
untuk menciptakan kehidupan yang baik. Oleh karena itu, Allah Yang Maha Bijaksana
mengutus nabi-nabi dan para rasul untuk memandu hidup manusia, dengan wahyu-Nya,
agar selamat di dunia ini dan di akhirat.

Apa yang dibawa para nabi dan rasul Allah adalah petunjuk, aturan dan konsepsi
kehidupan yang bisa menjadi jalan bagi keselamatan hidup. Ia adalah syariah hidup yang
tanpa penegakannya kehidupan ini akan jauh dari keterpeliharaan dan kebahagiaan.
Syariah, esensinya adalah aturan main, hukum, perundangan sebagai bukti rubbubiyah
Allah kepada manusia; inilah tasyri. Bahkan adanya tasyri ini juga menjadi bukti rahman
dan rahimnya Allah kepada manusia, sebab kehidupan ini diciptakan semata-mata
sebagai ekspresi kasih dan sayang-Nya.

Dengan demikian, tauhid rubbubiyah dalam kacamata ini adalah pengakuan manusia
tidak saja terhadap pengurusan Allah dalam cara-cara yang manusia tidak tahu (takwin),
tetapi juga menerima syariah-Nya, hukum dan undang-undang-Nya, sebagai suatu cara

58 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

dzahir Allah memelihara dan mengurus manusia. Jika Allah memberikan perintah pada
seluruh ciptaan di alam ini, dan menetapkan hukum untuk keteraturannya, maka Allah
juga memberi perintah dan hukum kepada manusia untuk keselamatannya. Kesadaran
akan hal ini menjadi sangat penting agar kita tidak melampaui batas-batas kemampuan
manusia ataupun hak Allah, yakni dalam menetapkan hukum-hukum bagi kehidupan.

menetapkan hukum adalah hak Allah [QS Al-Anam (6): 57]

Tauhid rubbubiyah, dengan demikian, bermakna menerima satu-satunya hukum dan


undang-undang Allah dalam kehidupan ini; serta menolak segala bentuk kesombongan
manusia yang merasa mampu menciptakan hukum yang menyelamatkan. Kita sering
lupa dan hanyut dalam logika-logika saudara kita yang karena alasan heterogenitas
budaya dan keyakinan lalu mendorong kita untuk membuat (kompromi) aturan hidup
sendiri. Ini adalah salah satu bentuk pelanggaran hak Allah, ini juga bentuk kesombongan
diri. Jika kita menerima logika seperti ini, secara tidak sadar kita telah menolak
kedudukan Allah Yang Maha Tahu sebagai pengurus dan pemelihara manusia, rabbin nas.
Untuk apa para nabi dan rasul dibangkitkan di setiap zaman jika aturannya tidak dapat
diterapkan? Persoalan ini muncul sejatinya dari keengganan manusia menerima Allah
dalam kehidupannya, atau kesalah-fahaman dalam mengenal Allah sebagai Tuhan
alamiah seluruh manusia.

Sikap tauhid seorang hamba seperti ini semata-mata lahir dari suatu kesadaran penuh
akan kegagahan dan kesempurnaan Allah. Kealfaan terhadap kegagahan dan
kesempurnaan-Nya adalah kealfaan kesadaran ini. Dia, Allah, yang mengawali seluruh
penciptaan dan kelak yang akan mengakhirinya; Dia juga yang menopang seluruh
kehidupan ini dengan kuasa-Nya; Dia Maha Tahu watak dan tabiat ciptaan-Nya, Dia juga
yang sanggup memberikan aturan-aturan terhadapnya. Dan karenanya, seorang mumin
adalah orang yang memandang dirinya dan seluruh manusia sebagai makhluk lemah
yang membutuhkan uluran tangan kuasa dan perlindungan Allah. Ia mempercayakan
hidupnya hanya kepada Allah, dan ia menolak bersandar pada kemampuan manusia yang
serba lemah.

Tauhid Mulkiyah
Quran surah An-Nas secara tegas menjelaskan bahwa Allah adalah Raja bagi manusia
(malikin nas). Allah sebagai Raja manusia memiliki makna bahwa bumi dan isinya adalah
kepunyaan dan kerajaan Allah. Tidak ada satu jengkal tanah di bumi ini yang bukan
kepunyaan dan kerajaan Allah. Malikin nas juga bermakna tidak ada sesuatu pun yang
memiliki kedaulatan terhadap manusia di bumi ini selain daripada Allah. Tiada sesuatu
yang memiliki hak menguasai dan mengendalikan atas bumi ini kecuali Allah. Allah Yang
Maha Agung berfirman:

59 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala
sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. [QS Al-Furqan
(25): 2]

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:


Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS Ali Imran (3): 26]

Doktrin dan keyakinan seperti ini memiliki implikasi yang sangat dalam pada kehidupan
manusia. Manusia yang sadar bahwa Allah adalah Raja manusia tidak akan melakukan
klaim-klaim terhadap jengkal tanah yang ia duduki, karena ini bumi Allah. Karena itu,
benua Amerika bukanlah milik orang Amerika, negeri Indonesia bukan milik orang
Indonesia, daratan Arab bukan milik orang Arab; semua itu milik Allah. Pengakuan
terhadap jengkal-jengkal bumi menjadi milik sekelompok manusia dan bangsa adalah
sebuah kepalsuan, dan merampas hak-hak Sang Pencipta. Klaim-klaim seperti ini di
sepanjang sejarah telah menimbulkan penjajahan, bencana dan penderitaan antara
manusia.

Setiap manusia yang sadar bahwa kedaulatan adalah milik Allah, ia akan menolak segala
konsepsi dan praktek kedaulatan manusia atas manusia, maupun manusia atas alam
sekalipun itu dilakukan atas nama konsesus, kesepakatan, dan persetujuan. Semacam ini
bagaimanapun juga melanggar hak-hak Allah. Karena manusia dan alam adalah ciptaan
dan milik-Nya. Ia menetapkan hukum-hukum padanya, dan Ia memiliki kendali atasnya.
Bila manusia boleh memiliki dan menguasai manusia lain, dan alam adalah hak milik
manusia maka ini adalah suatu pintu menuju penindasan dan eksploitasi terhadap
sesama makhluk. Dan ini sebuah kehancuran kemanusian dan alam.

Tauhid mulkiyah dengan demikian adalah pengakuan hamba bahwa bumi ini adalah
kerajaan-Nya, kekuasaan dan kedaulatan-Nya yang menjadi wadah, ruang atau media
dimana titah-titah-Nya itu direalisasikan. Menolak bumi sebagai bagian dari mulkiyah
Allah, memiliki arti menolak kedaulatan Allah atas dirinya, menafikan kekuasaan Allah
atas dirinya. Sikap penolakan demikian ini tidak dapat diterima dalam keyakinan tauhid
dan Islam. Bagaimana mungkin seorang pemilik rumah, dimana ia dapat mengatur rumah
itu dengan independen, lalu ada orang lain tinggal di dalamnya kemudian menyingkirkan

60 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

sang tuan rumah dan merampas hak-haknya? Semisal itulah manusia yang menganggap
bumi menjadi milik dan kewenangannya, sesungguhnya ia telah menyingkirkan hak dan
kewenangan Allah dari bumi. Bumi adalah tempat dimana semua kehendak agung-Nya
direalisasikan.

Tauhid Uluhiyah
Setiap muwahid meyakini bahwa kesempurnaan aturan itu hanyalah yang bersumber
dari Allah. Ia juga menerima dengan penuh kesadaran bahwa bumi ini adalah milik dan
kerajaan-Nya semata. Kedaulatan-Nya juga berlaku atasnya. Keyakinan dan kesadaran
seperti inilah yang mendorong seorang hamba berserah diri kepada Allah, lalu
memberikan penyembahan dan pengabdian kepada-Nya semata-mata. Inilah esensi dari
tauhid uluhiyah. Seluruh hidupnya adalah pengabdian kepada-Nya, yakni seluruh
aktivitas adalah upaya-upaya pelaksanaan dan implementasi aturan hukum dan
perundangan, atau syariah di setiap jengkal kerajaan-Nya.

Inilah hakekat dari firman Allah Yang Maha Mulia:


Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam. [QS Al-Anam (6): 162]

Dalam konsep tauhid uluhiyah ini, manusia tak dapat dikatakan menuhankan Allah,
menyembah-Nya, mengabdi kepada-Nya, dan mengesakan-Nya selama ia menolak dan
mengingkari syariah-Nya. Seandainya pun ia menerima aturan itu, bagaimana mungkin
aturan itu dapat dibumikan sedangkan ia menolak bumi sebagai kerajaan dan
kedaulatan-Nya? Sikap demikian ini akan memberi jalan bagi orang-orang yang
melampaui batas untuk menguasai manusia dan melakukan kerusakan. Sementara
aturan Allah hanya tersimpan dalam rak-rak kayu dan perak yang indah, tak memiliki
dampak apapun dalam kehidupan. Kesempurnaan tauhid uluhiyah tidak dapat dicapai
tanpa tauhid rubbubiyah dan mulkiyah.

Implikasi Rububiyah Mulkiyah Uluhiyah


Tauhid dengan demikian menjadi fundamen dalam membentuk sikap yang kokoh dalam
menjalani dan menghadapi perubahan-perubahan kehidupan. Seorang mumin yang
benar dalam hidupnya hanya siap dan ridlo menerima satu peraturan dan undang-
undang hidup, yakni undang-undang Allah. Karena penerimaan terhadap aturan-Nya
adalah pembuktian dari pengakuan dan penerimaan rubbubiyah-Nya. Dan seorang
mumin yang benar, hanya siap hidup di bawah kedaulatan Allah sebab tidak ada satu
jengkal tanah di bumi ini melainkan kerajaan dan kedaulatan-Nya semata. Dan
penerimaan kedaulatan ini adalah bukti tauhid mulkiyah seorang hamba. Di suatu tempat
diamana di bumi ini kedaulatan Allah dirampas oleh manusia durhaka, maka jalan bagi
perintah dan aturan-Nya untuk mewujud menjadi tertutup. Perintah-perintah Allah itu
membutuhkan wadah dan tempat untuk dapat diberlakukan. Wadah itu tidak lain adalah
kerajaan-Nya sendiri.

Oleh karena itu tauhid rubbubiyah tak dapat dipisahkan dari tauhid mulkiyah; tidak
mungkin seorang hamba menegakkan tauhid rubbubiyah-Nya sembari menolak dan
mengingkari mulkiyah-Nya, atau sebaliknya. Tidak ada satu konsepsi apapun yang bisa

61 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

mewujud dengan sempurna tanpa sebuah sistem yang mewadahinya. Dengan sikap
tauhid seperti ini, yakni menyatukan tauhid rubbubiyah dan mulkiyah, mumin memiliki
jalan untuk menjalankan perintah-perintah-Nya secara sempurna dalam seluruh dimensi
kehidupan. Inilah realisasi dari tauhid uluhiyah, puncak dari tauhid; ia adalah usaha-
usaha manusia menjalankan seluruh perintah dan petunjuk-Nya agar dapat menjadi jalan
keselamatan bagi manusia seluruhnya.

Secara gamblang kita menemukan kaitan antara tauhid uluhiyah dengan rubbubiyah dan
mulkiyah, ketiganya adalah satu kesatuan. Tidak akan sempurna uluhiyah tanpa
rubbubiyah dan mulkiyah. Tidak sempurna penyembahan dan pengabdian kepada Allah
tanpa penerimaan terhadap aturan dan kedaulatan dan kerajaan-Nya.

Dalam kenyataannya rubbubiyah Allah adalah peraturan dan undang-undang-Nya,


sedangkan mulkiyah adalah wadah, kelembagaan, atau daulah sebagai sistem tempat
berlakunya aturan. Dan uluhiyah adalah program-program sebagai upaya mewujudkan
aturan itu dalam seluruh aktivitas manusia, dari hal yang paling kecil hingga yang paling
besar. Dan tauhid ini secara praktis menjadi bermakna satunya aturan, wadah dan
program. Sebab tidak akan terjadi aturan Islam diterapkan pada wadah dan sistem
komunis; sebaliknya komunisme sebagai aturan tidak mungkin diletakkan dalam sistem
Islam. Masing-masing membutuhkan sistem dan kelembagaannya sendiri. Demikian pula
antara kapitalistik dihadapkan dengan komunisme, atau pun Islam.

Sebagian orang mungkin berfikir untuk memaksakan dua aturan yang bertentangan
dengan berbagai cara, misalnya dengan jalan kompromi, atau mengadopsi sebagian yang
bersesuaian dan meninggalkan sebagian lainnya karena berbenturan. Ini bisa saja terjadi,
namun pemaksaan seperti ini musti membawa penyimpangan-penyimpangan. Dalam
Islam, penyimpangan dan pembelokan adalah suatu hal yang bertentangan dengan
konsep dan nilai tauhid.

62 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 7
LAA ILAAHA ILLA ALLAH

Tauhid, persoalan etis atau kognitif?


Kalimat laa ilaaha illa Allah adalah kalimat yang sangat pendek dan sederhana, namun ia
adalah doktrin yang paling mendasar dan sentral dalam kehidupan Islam. Sebab kalimah
toyyibah ini sangat agung, sempurna, sarat dan kaya dengan makna, luas dan besar ruang
lingkupnya. Kalimah toyyibah ini meskipun pendek, ia adalah pemadatan dari seluruh
dimensi-dimensi spiritual, moral dan material dari konsepsi Islam untuk kehidupan.
Kesatuan sistem kepercayaan (sistema credo), kesatuan nilai dan moralitas, kesatuan ruh
dan materi, kesatuan budaya dan peradaban, sosial, politik dan ekonomi berakar pada
kalimat pendek ini, dan sudah barang tentu dalam realisasinya.

Karena begitu esensialnya, memahami kalimat ini secara utuh adalah suatu keniscayaan
bagi setiap mumin dan muslim. Dan memulai pembahasan kalimah laa ilaah illa Allah
dengan pertanyaan apakah tauhid ini merupakan persoalan etis atau kognitif, akan
sangat membantu membuka makna hakikinya. Kegagalan memahami laa ilaaha illa Allah
adalah kegagalan mengungkap kesempurnaan, keagungan, kekayaan dan keluasan
kalimah itu sendiri.

Apakah yang dimaksud tauhid sebagai urusan etis? Maksudnya adalah bahwa tauhid itu
urusan keyakinan hati seseorang yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun.
Keyakinan seperti ini menjadi wilayah pribadi seseorang yang orang lain atau bahkan
dirinya sendiri tidak perlu mempertanyakannya lagi; dia harus menerimanya sebagai
suatu kebenaran yang hati harus menerimanya tanpa melalui proses pemikiran yang
memadai. Sementara itu, yang dimaksud dengan persoalan kognitif adalah bahwa
keyakinan itu tidak semata urusan hati; justru suatu keyakinan musti lahir dan diperoleh
melalui proses berfikir menggunakan logika dan akal sehat. Jadi keyakinan itu mesti
merupakan suatu kesimpulan dari proses befikir yang mendalam. Sehingga, keyakinan
yang demikian itu adalah subjek yang teruji kebenarannya, dan kokoh kedudukannya.

Untuk mengungkap keutuhan kalimah itu kita perlu menjawab pertanyaan tersebut,
yakni apakah ia termasuk wilayah etis atau kognitif. Suatu kepercayaan, jika ia
ditempatkan dalam wilayah etis, biasanya cenderung sulit dan labil menghadapi
tantangan-tantangan pikiran yang terbuka, argumentatif dan realistis. Dan jika keyakinan
adalah semata urusan etis, maka keyakinan itu tidak membentuk pandangan kecuali
cakrawala yang sempit; ia akan gagal menemukan relevansinya dengan dunia yang luas,
bersifat majemuk dan multidimensi. Keyakinan seperti ini akan tetap tinggal dalam hati
pemiliknya dengan dampak dan pengaruh yang sangat terbatas dalam kehidupannya.

Lain halnya jika keyakinan itu adalah persoalan kognitif; ia akan membuka cakrawala
pandang yang luas yang dengannya ia dapat menghubungkan keyakinannya dengan
persoalan-persoalan sikap, perilaku, moralitas, dan dengan dunia luar dirinya yang
majemuk. Pikirannya akan tetap hidup, dan ia menemukan jawaban-jawaban dari
persoalan kehidupan itu berdasarkan keyakinannya itu. Jika demikian, mereka yang
menempatkan keyakinan dalam wilayah kognitif akan menemukan bahwa keyakinannya
itu adalah agung, sempurna, dan luas. Inilah makna dari tashdiq bi qolbi, membenarkan

63 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

dengan hati. Apresiasi jiwa terhadap keyakinan seperti ini tidak akan ditemukan pada
mereka yang menganggapnya sebagai persoalan etis. Tentu saja seseorang yang
menganggap tauhid sebagai persoalan etis dapat mengatakan bahwa keyakinan yang
dianutnya itu sempurna; namun ungkapan seperti itu adalah ungkapan semu sebab ia
sendiri gagal mengungkap kesempurnaan doktrin itu.

Sayangnya persoalan inilah yang menimpa pada mayoritas umat Islam; setiap orang
Islam mengakui bahwa keyakinan tauhid dan ajaran Islam adalah sempurna. Namun
sayangnya umat Islam gagal mengungkap kesempurnaan tauhid dan ketinggian Islam.
Hal ini nampak jelas dalam cara hidup (way of life) umat Islam di hampir seluruh dunia,
yang semakin asing dengan nilai tauhid dan Islam. Sumber persoalannya sangat jelas;
umat islam menempatkan tauhid sebagai persoalan etis bukan persoalan kognitif.
Dengan demikian, kita harus mengubah persepsi kita mengenai tauhid; dari sekedar
urusan etis menjadi urusan kognitif. Setiap kita harus melakukan proses berfikir sebelum
menyimpulkan, dan akhirnya menerima dan mengadopsi kebenaran keyakinan tauhid.
Agar kesempurnaan dan keagungan makna laa ilaaha illa Allah itu terealisasi dalam diri-
diri mumin dan umat Islam.

Inilah hakikat perintah Allah Yang Maha Agung kepada manusia untuk memahami laa
ilaaha illa Allah:


Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. [QS
Muhammad (47): 19]

Dengan demikian, adanya tuntutan memahami kalimah ini dengan utuh dan sempurna
mengisyaratkan bahwa keyakinan tauhid tidak dapat diadopsi secara taken for granted
(diterima begitu saja sebagai kebenaran) tanpa melalui proses pemikiran dan
pemaknaan. Suatu bangsa yang mayoritas muslim sekalipun yang menerima tauhid
secara taken for granted, ia akan kehilangan pengetahuannya mengenai ketinggian tauhid
dan Islam. Jumlah umat yang besar tidak akan banyak memiliki arti dan dampak pada
kehidupan islaminya; bahkan sebaliknya asing dari nilai-nilai tauhid bahkan sangat
mungkin hidupnya dalam kendali orang-orang yang menolak tauhid.

Tauhid, pengetahuan nukilan atau intelek?


Pertanyaan ini juga sangat membantu kita dalam memahami makna laa ilaaha illa Allah.
Sebab tauhid sebagai keyakinan adalah termasuk salah satu jenis pengetahuan. Secara
umum, mengacu pada terminologi William C. Chittick20), pengetahuan itu dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni pengetahuan nukilan dan intelek. Pengetahuan
nukilan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan mengacu sumber-sumber yang
dianggap memiliki nilai otentik atau otoritas seperti para ahli, atau pakar, alim-ulama,
bahkan dari para nabi dan kitab-kitab suci sekalipun. Seseorang menjadi tahu karena ada
transfer pengetahuan, atau menukil, meniru dari sumber-sumber seperti tersebut di atas.

64 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Sedangkan pengetahuan intelek adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses


internalisasi dalam jiwa. Jadi ia mencapai pengetahuan tertentu melalui proses tahqiq,
yakni pengujian (verifikasi) dan realisasi di dalam jiwanya sendiri.

Dengan pembagian pengetahuan seperti itu, maka termasuk manakah pengetahuan


tauhid atau laa ilaaha illa Allah itu? Kita yakin dapat bersepakat bahwa terlalu naif jika
seseorang menerima keyakinan tentang Tuhan itu Satu hanya karena kata ulama, atau
pakar, sekalipun kata nabi dan kitab suci tanpa melakukan verifikasi dan realisasi dalam
diri. Itu akan menjadi keyakinan yang sangat rapuh. Sebab keyakinan yang diperoleh
tanpa verifikasi tidak akan terealisasi dalam jiwa, karena ia tidak menemukan argumen-
argumen yang memadai yang dapat difahami oleh intelek dan jiwanya. Jika demikian,
pengetahuan tauhid tidak dapat disandarkan pada pundak orang lain. Ia harus
mengujinya oleh dirinya sendiri untuk kemudian menerima atau menolaknya.

Keimanan yang kokoh berbeda dengan fanatisme; fanatisme tidak bersumber dari
pengetahuan langsung (oleh jiwa). Oleh karena itu, tauhid yang kokoh harus lahir dari
penyaksian dalam diri seseorang itu sendiri. Seorang anak kecil dengan orang dewasa
tentu saja dapat sama-sama menjawab soal 2 x 2 = 4. Tetapi kita dapat membedakan
pengetahuan si anak kecil denga si orang dewasa. Seorang anak kecil menjawab soal tadi
berdasarkan hafalan atau tiruan, karena dia mendapatkan angka 4 sebagai hasil kali dari
2 dengan 2 dari seorang guru. Sedangkan orang dewasa menjawab soal tadi berdasarkan
pengetahuan intelek, yang dia memahami sendiri bahwa 2 x 2 = 4. Sehingga seorang
dewasa akan dapat menjawab soal 2 x 2 x 2 x 2 = 16 meskipun dalam pengalamannya
belum pernah ada yang menyampaikan itu. Sementara bagi si anak kecil, tidaklah
demikian; sepanjang belum ada sumber yang memberikan pengetahuan itu ia tidak akan
dapat menjawab soal tersebut. Demikianlah analogi pengetahuan nukilan dan intelek.

Akan menjadi ganjil jika tauhid dianggap sebagai salah satu jenis pengetahuan nukilan.
Bagaimana seseorang dapat kokoh memegang keyakinan tauhid sementara dia gagal
menemukan alasan-alasan logisnya dalam hati dan pikiran, atau ia tidak tahu dan
menyadari implikasi-implikasi dari keyakinan yang dipegangnya. Dan tentu saja ia gagal
menemukan relevansinya dengan realitas hidup yang tentu saja tidak semata ritual-
ceremonial keagamaan. Keyakinan itu sangat berbeda dengan persoalan-persoalan nyata
tata cara, prosedur, dan secara umum dengan dunia lahiriyah. Keyakinan itu bersemayam
dalam hati dan pikiran, sedang tata cara dan prosedur adalah gerakan fisik dan badan.
Pendek kata pengetahuan tauhid itu tidak sama dengan pengetahuan mengenai tata cara
sholat, ibadah haji, ekonomi Islam, dan lain-lain. Pengetahuan tauhid adalah pengetahuan
intelek sedangkan tata cara sholat, haji dan syariah masuk dalam kategori pengetahuan
nukilan. Dengan memahami ini, maka kita tidak cukup mengetahui bahwa Tuhan itu
Satu melalui suatu sumber sedangkan kita sendiri tidak menyaksikannya dalam intelek
dan mata hati. Kita membutuhkan akal dan hati untuk memahami, memverifikasi,
membenarkan, lalu kemudian menerima tauhid itu sebagai kebenaran, dengan segala
implikasi dan akibat-akibat dari keyakinan tauhid itu.

Allah SWT berfirman:

65 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu
(juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS Ali Imran (3): 18]

Banyak sumber klasik dan kontemporer yang menyatakan bahwa syahadah (penyaksian)
bukanlah cara mendapatkan ilmu dan pengetahuan nukilan, tiruan, teori-teori dan
hukum. Tetapi ia adalah metode mendapatkan pengetahuan intelek, yakni pengetahuan
melalui proses berfikir dan tahqiq. Dan ini menjadi ciri bagi mereka yang disebut oleh
Allah sebagai orang-orang yang berilmu dalam ayat ini. Yang demikian ini karena
mereka biasa melakukan tafakkur dan tadzabbur yang telah menjadi tradisi Islam dari
generasi ke generasi. Dan bersyahadah laa ilaaha illa Allah adalah hasil proses
memahami kebenaran tauhid dengan segala implikasi dan konsekuensinya. Sayyid Qutb
berkata Tauhid bukanlah semata urusan perasaan dalam hati atau gagasan pikiran tanpa
cobaan dalam hidup, atau sekedar ritual pengabdian tanpa tindakan apapun dalam
kehidupan masyarakat.21)

Laa ilaaha illa Allah


Kalimah toyyibah adalah doktrin paling asasi dalam Islam, dan dengan kalimah ini setiap
diri atau seluruh umat Islam membangun seluruh aspek dalam hidupnya. Kehidupan
personal, sosial, negara, moralitas dan etika, ekonomi, politik, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan teknologi terbit dari kalimah sederhana tersebut. Sebab dalam kalimah
laa ilaaha illa Allah ini terkandung tidak saja prinsip-prinsip kepercayaan dan
peribadahan, tetapi juga prinsip-prinsip kebenaran dan moralitas, spiritualitas, cara
pandang (outlook) mengenai manusia dan alam semesta, gagasan-gagasan mengenai
idealitas kehidupan. Dengan demikian tauhid merupakan tema sentral dalam Islam yang
memungkinkan manusia memahami segala sesuatu yang hadir di alam ini.

Kalimah toyyibah adalah kalimah yang pendek namun padat, lengkap dan sempurna;
kesempurnaan dan ketinggian kalimah ini dengan demikian tidak dapat dilihat dari satu
sudut pandang saja. Kita membutuhkan sudut pandang yang berbeda untuk mengungkap
kesempurnaan dan integralitas prinsip keyakinan ini, sekaligus dampaknya dalam
kehidupan manusia. Ringkas kata, memaknai laa ilaaha illa Allah tentu saja tidak cukup
dengan mengetahui dan mengakui bahwa Tuhan itu Tunggal dan mengabaikan implikasi
dan konsekuensinya dalam hidup. Sebab terlalu jelas bukti-bukti keesaan Allah itu untuk
ditolak. Masyarakat Arab pra-Islam juga telah mengakui keesaan Allah.Tidak cukup juga
memaknai laa ilaaha illa Allah dengan mengakui bahwa Allah itu Esa lalu mengikutinya
dengan penyembahan ritual seperti sholat misalnya, sementara dalam dimensi lainnya ia
berikan pengabdian itu untuk sesuatu selain Allah. Sholatnya akan menjadi sesuatu yang
tidak dapat menolongnya dari azab Allah. Allah SWT berfirman:

66 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Sholat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.
Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. [QS Al-Anfal (8): 35]

Menerima tauhid sebagai pengakuan keesaan Allah semata, diikuti dengan pelaksanaan
ritual-ritual semata-mata adalah sebuah kesalah-fahaman dan pendangkalan dari
kedalaman makna laa ilaaha illa Allah. Oleh karena itu, kita membutuhkan suatu
pendekatan yang berbeda dari kebiasaan agar kita dapat sampai pada keutuhan makna
laa ilaaha illa Allah dengan segala konsekuensi yang dituntut dari prinsip ini.

Setidaknya kita dapat mendekati makna kalimah toyyibah dari 2 kacamata: (1) kacamata
keyakinan, yang dalam hal ini sebagai poros atau axis dari doktrin itu sendiri, dan (2)
kacamata worldview atau outlook, dimana kalimah toyyibah itu sebagai teropong untuk
melihat berbagai persoalan riil kehidupan manusia. Dengan dua sudut pandang ini
setidaknya kita akan menemukan sistem kepercayaan Islam, dan relevansinya dengan
dunia nyata dimana nilai-nilai tauhid itu memiliki jalan untuk mempengaruhi dan
membangun dunia yang positif. Tentu saja mengupas makna kalimah toyyibah dalam dua
pendekatan ini membutuhkan waktu yang cukup panjang, setidaknya beberapa bab
terpisah. Di bab ini, insyaallah dengan pertolongan Allah SWT, akan dikemukakan makna
kalimah toyyibah dengan kaca mata pertama, dan sisanya akan dibahas pada beberapa
bab setelahnya, insyaallah.

Makna ilaah
Manusia yang sehat akalnya siapapun dalam berbuat, bertindak, memutuskan, dan
memilih sesuatu dalam hidup musti didasarkan pada suatu kepentingan. Artinya,
gerakan dan aktivitas manusia itu pastilah didorong dan didominasi oleh sesuatu yang
paling penting dan berharga. Manusia menetapkan penilaian-penilaian (valuing)
terhadap objek-objek di luar dirinya, dan merelakan dirinya didominasi oleh sesuatu
yang dianggap paling penting. Jadi kualitas manusia, keinginan-keinginan dan apa yang
berarti baginya dapat dilihat dari objek-objek apa yang menarik dan mengendalikannya.

Jika seseorang dihadapkan pada dua urusan atau benda, A dan B, lalu dia memilih A dan
mengabaikan B maka menemukan alasan pemilihan ini sangat sederhana. Jawabannya
adalah karena A bagi si pemilih jauh lebih berharga dan lebih penting dibanding B.
Kemudian si pemilih dapat mengambil manfaat dan mendapat keuntungan secara
maksimal dari kelebihan-kelebihan yang terdapat di A. Tidak mungkin seseorang
mengambil sesuatu yang tidak penting dan mengabaikan hal-hal yang penting dan
berharga untuk dirinya. Hidup manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan, dan karenanya
ia memiliki kecenderungan-kecenderungan terhadap suatu perkara di atas perkara
lainnya.

Bagaimana seseorang menetapkan nilai terhadap suatu objek atau urusan agar ia betul-
betul mendapat manfaat atau pengaruh positif secara ultimat? Sesuatu akan memberi
pengaruh atau manfaat secara maksimal adalah dari sesuatu yang memiliki kualitas lebih
baik dan sempurna. Dan sesungguhnya manusia dapat menemukan tolok ukur untuk itu,

67 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

dan ia mesti sesuai dengan kecenderungan paling asli manusia. Manusia cenderung pada
sesuatu yang kekal dibanding yang binasa; manusia memilih sesuatu yang kuat dibanding
yang lemah; manusia mencintai yang riil daripada yang abstrak dan imaginer; manusia
menyukai sesuatu yang melindunginya daripada sebaliknya; manusia lebih suka yang
indah dari yang buruk; dan sebagainya.

Kita sekarang dapat menemukan jawaban mengapa dalam hidupnya seseorang mengejar
harta benda; karena ia menyangka bahwa materi adalah sesuatu yang paling berharga
bagi dirinya. Seseorang juga berjuang mendapatkan kedudukan karena ia melihat
kedudukan adalah hal paling penting yang dapat memberikan banyak kebaikan untuk
dirinya. Demikian pula mereka yang selalu memimpikan dan berharap pada hal-hal
lainnya, seperti popularitas, pengaruh, pujian, pengikut, anak-anak dan sebagainya.
Pastilah itu dianggap paling berharga sehingga dirinya diarahkan untuk itu, dan hidupnya
dikendalikan olehnya. Al-quran suci menyebutkan:


Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. [QS Al-
Humazah (104): 1-3]


Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah Tinggi bangunan untuk bermain-main.
Dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? [QS
Asy-Syuara (26): 128-129]

Al-quran menunjukkan bahwa manusia melakukan pilihan, dan pilihan itu pastilah
sesuatu yang dianggap (dipersepsikan) paling penting dan ultimat dalam hidupnya.
Manusia kemudian merelakan dirinya dikendalikan dan dikontrol olehnya,
menempatkannya sebagai yang paling tinggi dan mendapatkan prioritas. Inilah mengapa
ilaah menjadi kata-kata kunci dalam prinsip keyakinan agama Allah, karena ilaah secara
literal bermakna sesuatu yang dipentingkan dalam hidup. ilaah juga berarti
kecenderungan terhadap sesuatu, atau sembahan yang diharapkan memberikan
pertolongan dan perlindungan. ilaah adalah reasoning paling dalam bagi manusia untuk
seluruh tindakannya, ia juga tujuan puncak bagi hidup manusia. Berpijak dari kenyataan
ini, seorang aktivis dakwah menyimpulkan bahwa tuhan (ilaah) adalah sesuatu yang
dianggap penting atau dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa sehingga manusia
itu membiarkan dirinya dikuasai atau didominir oleh sesuatu itu.22) Oleh karena itu,
ilaah ditempatkan dalam credo paling fundamental dalam keyakinan agama samawi,
khususnya Islam. Karena ilaah berperan sebagai pemberi warna, kualitas, pendorong dan
pemberi arah bagi totalitas hidup manusia.

Karena ini adalah persoalan paling tinggi (ultimacy), maka manusia mutlak harus
memiliki kesadaran penuh atas apa yang menjadi pilihan dalam hidupnya, dan atas apa
yang paling penting bagi dirinya. Pilihan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi puncak

68 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

juga dalam hidup manusia; ia berkaitan dengan keseluruhan perilaku hidup, ia juga
berkaitan dengan kebahagiaan dan kesengsaraan yang kekal. Di sinilah peran agama,
kerasulan dan kenabian; mengingatkan kembali di sepanjang sejarah apa yang paling
berarti dan berharga bagi kehidupan manusia, dan menunjukkan kembali apa yang
paling kekal baginya, apa yang layak dicari, dipuja, disembah dan memiliki kendali atas
hidupnya. Para nabi juga menunjukkan apa yang harus ditolak dalam hidup ini: dunia
yang fana, kepalsuan, dan khayalan (imagination). Itulah refleksi dalam seruan para nabi
dan rasul Allah: laa ilaaha illa Allah.... wa ilaahukum ilaahu wahid fabuduh, tidak ada
ilaah selain Allah.... dan ilaah kamu sekalian adalah ilaah yang Tunggal maka sembahlah
Ia.

Persaksian laa ilaaha illa Allah mengandung suatu pengakuan terhadap realitas tunggal.
[Realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti "hal yang nyata; yang benar-
benar ada"]. Realitas hakiki nan absolut itu tunggal adanya, ia adalah Allah sumber segala
sesuatu yang maujud, penopang dan pemelihara segala sesuatu, asal segala sesuatu dan
akhir segala sesuatu, Ia pemilik seluruh kesempurnaan kualitas, Ia kekal, dan Ia adalah
kebenaran. Sesuatu selain-Nya adalah realitas semu karena ia semata ciptaan dengan
seluruh sifat-sifat rendahnya; ia bersifat fana, sementara, tergantung, dan terbatas. Suatu
ciptaan hadir menjadi sesuatu atas kehendak dan kemurahan Allah semata. Jadi,
bagaimana mungkin kesadaran kita dapat menerima untuk meninggikan sesuatu yang
rendah? Menggantungkan diri pada sesuatu yang ia sendiri bergantung pada sesuatu
yang lain? Bagaimana mungkin manusia berharap kekal dengan sesuatu sementara
sesuatu itu rusak dan binasa? Bagaimana mungkin manusia mengabdi dan memuja
sesuatu yang rendah, hina dan semu?

Penetapan Allah sebagai satu-satunya ilaah, Tuhan bagi manusia, tidak akan dicapai
sebelum kesadaran manusia sanggup mengenali dan menolak seluruh ilaah-ilaah palsu.
Ilaah-ilaah palsu adalah segala sesuatu yang mungkin paling dipentingkan oleh manusia,
memiliki kendali dan dominasi atas dirinya, selain daripada Allah Yang Kekal dan
Absolut. Ilah-ilah palsu itu dapat berwujud materi, kekuasaan, tokoh dan penguasa, alim
dan rahib atau pendeta, ideologi dan budaya, bahkan hawahu seseorang. Dengan
demikian, sikap tauhid tidak lahir secara tiba-tiba melainkan ia melalui proses pemikiran,
pengujian dan tahqiq hingga ia merasakan betul-betul dalam jiwanya ketergantungan
dan kecintaan terhadap Allah SWT. Itulah salah satu hikmah terbesar dari kalimah
toyyibah laa ilaaha illa Allah.

Dengan demikian laa ilaaha illa Allah mengandung dua dimensi yang saling terkait. Para
alim-ulama membagi ke dalam (1) nafi (penolakan), seperti yang diekspresikan pada laa
ilaaha, dan (2) itsbat (penetapan, peneguhan), seperti yang terurai pada illa Allah.
Peneguhan Allah sebagai Tuhan Tunggal yang berhak dipuja, disembah dan ditaati
perintah-Nya tidak akan berarti tanpa penolakan terhadap tuhan-tuhan palsu yang
memiliki kendali atas manusia. Itsbat tidak dapat dilakukan tanpa nafi.

Nafi, dengan demikian, bermakna suatu penolakan terhadap segala sesuatu yang bukan
realitas atau yang berhubungan dengannya. Artinya, tauhid berarti pula penolakan
terhadap segala bentuk kepalsuan, keraguan, spekulasi, imaginasi, dan semua
pengetahuan yang menipu dan klaim tak pasti mengenai realitas. Nafi juga menyiratkan
penolakan akan adanya sesuatu yang memiliki kekuatan absolut dan otoritas atas alam
dan manusia melainkan Allah semata. Nafi berarti pula menolak adanya sembahan-

69 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

sembahan atau menyandingkan sesuatu dengan Dia. Nafi juga bermakna menolak segala
kebenaran, nilai (values), dan tolok ukur syah kecuali Al-haq. Jika penolakan-penolakan
terhadap segala sesuatu seperti di atas telah diketahui dengan utuh, maka menetapkan
(itsbat) Allah sebagai satu-satunya ilaah (Tuhan dan sembahan) akan menimbulkan
dampak yang mendalam pada jiwa, dan perubahan yang besar dalam kehidupan.

70 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 8
SYIRIK DAN JAHILIYAH

Evolusi penyembahan berhala


Kita membutuhkan suatu tinjauan mengenai perkembangan manusia di dalam
menyembah berhala agar dapat mendefinisikan syirik dengan tepat dan benar, begitu
pula dengan tauhid. Dalam catatan sejarah banyak data menunjukkan bahwa manusia
dalam perjalanannya itu banyak menyembah patung-patung berhala yang beraneka
ragam. Sekalipun demikian, ini bukanlah kesimpulan bahwa agama itu bermula dan
berkembang dari kemusyrikan lalu berubah menuju tauhid. Kesimpulan seperti ini telah
ditolak oleh banyak sejarawan, dan sama sekali bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam, khususnya terkait fitrah manusia. Namun demikian, hal ini bukan tema kita dalam
bab ini untuk mengungkapkannya. Kita di sini lebih membutuhkan suatu pengamatan
mengapa suatu kelompok manusia atau bangsa itu menyembah berhala dan apa yang
menjadi latar belakangnya. Kita membutuhkan pengetahuan mengenai substansi
kemusyrikan dan ciri-ciri utamanya agar kita memahaminya dalam konteks kekinian,
atau sekalipun untuk masa depan.

Dalam banyak catatan sejarah diungkapkan bahwa praktek penyembahan berhala telah
ada sejak zaman batu (Stone Age). Fakta-fakta itu sudah ada sejak periode Neolitik
(setelah 8.300 SM), Mesolitik (10.000-8.300 SM), sekalipun Paleolitik (sebelum 10.000
SM). Sekalipun beraneka ragam hipotesis mengenai nilai-nilai dari simbol-simbol bagi
masyarakatnya, mayoritas sejarawan bersepakat bahwa simbol-simbol itu adalah bagian
dari praktek keagamaan. Artinya patung-patung itu atau simbol-simbol lainnya adalah
media untuk penyembahan pada kekuatan supranatural (kemudian dikenal dengan
dewa-dewa) yang dianggap dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan mental-
spiritual masyarakat saat itu.23)

Jika kita membaca catatan-catatan di era Paleolitik misalnya, kita dapat menemukan
bahwa sekelompok masyarakat primitif itu menyembah patung-patung kepala rusa.
Mengapa patung rusa yang disembah, dan bukan patung binatang lainnya? Hal ini sangat
terkait erat dengan pola hidup masyarakat tersebut dan secara lebih umum hal ini sangat
terkait dengan tingkat peradabannya. Penyembahan patung rusa ini ditemukan dalam
sekelompok masyarakat yang hidupnya nomaden. Di era dimana sistem pertanian belum
ditemukan, banyak kelompok masyarakat hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain. Masyarakat seperti ini sangat bergantung pada hewan-hewan buruan
untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Jika di suatu tempat hewan buruan
yang dicari sudah tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka mereka segera berpindah
ke tempat lain yang lebih menjamin.

Rusa merupakan binatang yang dikenal sebagai binatang buruan sejak lama dalam
masyarakat nomaden. Dan kita dapat menilai betapa penting rusa-rusa ini bagi
masyarakat primitif pada waktu itu. Rusa-rusa buruan itu bahkan menjadi sesuatu yang
paling penting dalam kehidupan seperti itu. Kelangsungan hidup menjadi sesuatu paling
utama dan prioritas. Masyarakat primitif tentu saja sangat berbeda dalam hal prioritas
hidup dengan masyarakat modern. Kebutuhan makan tidak lagi menjadi prioritas dalam
suatu masyarakat dimana pemenuhannya tidak lagi menjadi masalah. Masyarakat

71 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

modern memiliki banyak kebutuhan penting yang jauh lebih kompleks: tempat tinggal
yang nyaman, kendaraan yang bagus, alat komunikasi, internet, pendidikan yang tinggi,
dan fasilitas-fasilitas lain yang tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat primitif saat
itu. Jika mencoba menyelami kehidupan masyarakat nomaden pada saat itu, maka kita
akan tahu betapa mereka sangat tergantung pada rusa-rusa tersebut, karena rusa itulah
yang menjamin keberlangsungan hidupnya.

Kebutuhan dan ketergantungannya pada rusa dituangkan dalam patung-patung rusa


sebagai media untuk berhubungan dengan kekuatan supranatural agar kekuatan itu
terus menjamin adanya rusa. Lalu, pemujaannya pada kekuatan gaib itu diekspresikan
dengan ruku sujud di depan patung rusa dan seringkali disertai dengan persembahan-
persembahan. Patung rusa sendiri menjadi objek yang disakralkan karena ia
dipersepsikan sebagai perwujudan dewa yang mereka harapkan perlindungan dan
pertolongannya. Jadilah ritual-ritual pemujaan terhadap patung rusa menjadi tradisi
dalam masyarakat primitif seperti itu. Di tempat lain, objek pemujaan dapat berbeda
tergantung pada kondisi dan situasi yang melingkupi suatu masyarakat. Di tempat lain
ditemukan sekelompok masyarakat yang memuja dan menyembah patung beruang, atau
patung-patung binatang lainnya.

Jika kita lacak pada era berikutnya, di era Mesolitik misalnya, simbol-simbol itu berubah.
Sebagian bukti menunjukkan bahwa sekelompok masyarakat menyembah patung
wanita, patung kerbau, dan sebagainya. Perubahan simbol-simbol yang dipuja ini sangat
bergantung pada perubahan-perubahan sosial-budaya di masanya. Seorang sarjana
barat, Jacques Cauvin24), dalam bukunya The birth of the Gods and the origins of
agriculture mengatakan bahwa masyarakat Neotilik sangat dipengaruhi oleh perubahan
cara befikir sejalan dengan perubahan-perubahan lingkungannya; Penyembahan
terhadap patung kerbau dan patung wanita muncul setelah teknik bertani ditemukan.

Simbol-simbol dewa itu kita dapati berbeda-beda dari jaman ke jaman. Penyembahan
dewi (dewa perempuan) termasuk yang bertahan lama sepanjang sejarah, dari jaman
batu hingga sekarang tentu saja dengan nilai-nilai yang berbeda sesuai dengan konteks
sosial-budaya masyarakatnya masing-masing. Simbol perempuan sangat berkaitan
dengan sebagian besar aspek kehidupan termasuk kelahiran, permulaan, perkawinan,
reproduksi, dan kematian. Citra seorang dewi dapat juga merupakan simbol fertilitas,
tanaman, dan dalam kebudayaan Roma dikenal Venus sebagai dewa cinta dan
keindahan. Di Arab pra-Islam ada berhala perempuan yang dinamai Lata, Uzza dan
Manah. Al-quran menyebutkan:


Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza,
dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?
[QS An-Najm (53): 19-20]

Bagaimanapun juga kita memahami bahwa simbol-simbol yang disembah itu berganti-
ganti sejalan dengan perkembangan sosial-budaya manusia. Jacques Cauvin menyebut
perubahan-perubahan simbol ini dengan istilah Revolution of the Symbols sebagai
pertanda evolusi cara berfikir manusia, dan evolusi dari persepsi dan dualitas. James

72 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Preston dalam Encyclopedia of Religion menyatakan bahwa simbolisme dewa-dewa ini


akan berubah menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kompleks manusia yang
disebabkan oleh perkembangan organisasi sosial yang dipicu oleh meningkatnya bentuk-
bentuk pertanian dan urbanisasi.25) Kebutuhan dan idealisme manusia sungguh lebih
kompleks, dari sekedar untuk mengenyangkan perut di masa lalu menjadi lebih
bergantung kepada konsepsi dan ideolog di masa kini.

Ada fenomena lain yang sangat penting yang perlu dicatat dalam kaitannya dengan
evolusi penyembahan berhala tadi, yakni perubahan dalam ekspresi (pengungkapan)
dan praktek pemujaan. Ada hubungan antara perkembangan intelektual dan ilmu
pengetahuan manusia dengan praktek-praktek penyembahan secara fisik, yakni rukuk
dan sujud di depan patung. Makin maju intelektualitas dan peradaban manusia, makin
hilang praktek rukuk sujud di depan patung-patung berhala tersebut. Ini bukanlah untuk
mengatakan bahwa simbol-simbol yang dipuja juga itu hilang; ekspresi penyembahan
secara fisiknya saja yang hilang. Jika masyarakat primitif menunjukkan hubungan
spiritualnya dengan objek yang disembah melalui rukuk sujud secara fisik di depan
berhala tersebut, karena memang itulah yang difahami pada saat itu. Manusia di
kemudian hari tidak lagi melakukan itu, sebab dalam persepsinya perbuatan itu tidak
memberikan banyak arti karena hubungan sebab-akibatnya tidak dapat difahami.
Ekspresi pemujaan dan penyandaran suatu kelompok masyarakat terhadap sesuatu
berubah dari secara fisik menjadi lebih substantif di era modern seperti ini.
Bagaimanapun juga manusia tetap memiliki dan mempertahankan ideal-ideal yang
semakin kompleks di dalam peradaban yang terus berkembang. Nilai-nilai yang
diidealkan itu membutuhkan simbol-simbol sekalipun simbolnya sendiri tidak lagi
dipuja-puja secara fisik.

Apa yang dapat kita pelajari dari evolusi penyembahan berhala tersebut? Simbol-simbol
yang dipuja itu bersumber dan muncul dari suatu nilai yang didambakan, dipentingkan,
atau idealisme suatu masyarakat, baik itu masyarakat primitif maupun modern. Simbol
dengan nilai-nilainya itu terus berubah dan berkembang menyesuaikan dengan
kompleksitas kemajuan manusia. Sekalipun secara fisik tidak lagi menyembah simbol,
manusia tetap mengidealkan dan mendewa-dewakan nilai-nilai yang dianggap mampu
memberikan kebahagiaan baginya. Manusia dalam kelompok kecil atau besar sebagai
bangsa, terus merumuskan nilai-nilai, konsepsi-konsepsi bersama simbol-simbolnya
yang diyakini dapat memberikan keadilan, kesejahteraan, keteraturan, dan kebahagiaan
masyarakatnya. Dengan demikian, dalam konteks kemusyrikan dan jahiliyah, yakni suatu
masa dimana kedudukan Allah diabaikan, kita dapat melihat dengan jelas bahwa
penyembahan terhadap tuhan-tuhan dan berhala terus ada dan mengalami evolusi. Kita
tidak dapat mengatakan bahwa hari ini kemusyrikan itu telah sirna oleh karena
penyembahan terhadap patung-patung sudah tiada. Sejatinya kemusyrikan itu terus
berlangsung hanya bentuk dan polanya saja yang berbeda.

Ciri utama syirik dan jahiliyah


Uraian diatas menegaskan bahwa esensi syirik adalah pengabaian terhadap kedudukan
Allah Yang Maha Agung dalam kehidupan masyarakat manusia. Ketika manusia
merumuskan dan menyakralkan nilai-nilai dan konsepsi dengan simbol-simbolnya yang
datangnya dari dirinya sendiri atau dari sumber lain yang bukan dari Allah, maka
kedudukan Allah untuk mengatur dan mengurus kehidupan manusia telah digantikan.
Allah SWT berfirman:

73 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


dan diantara manusia ada orang-orang yang mengambil tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-
orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. [QS Al-Baqarah (2): 165]

Jika sudah demikian, orientasi individual maupun sosial tidak lagi tertuju kepada Allah
tetapi beralih pada objek-objek tersebut yang dalam persepsi masyarakat adalah baik
dan benar. Masyarakat yang menjadikan sesuatu sebagai andad (tandingan-tandingan)
akan menciptakan benturan-benturan dengan risalah; meliputi benturan ritualitas,
benturan konsepsi dan ideologi, dan benturan undang-undang hidup. Inilah ciri utama
dari kemusyrikan yang paling mendasar. Ini pula mengapa Allah SWT mengingatkan
bahwa mengimani jibti dan taghut adalah sebuah kesalahan:


Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab?
mereka percaya kepada jibti dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman. [QS An-Nisa (4): 51]

Jibti dan taghut adalah seperti simbol dengan isinya, lambang dan maknanya, atau
gambar dengan nilainya, yang itu seluruhnya bukan bersumber dari Allah Yang Maha
Mulia.

Dengan demikian jahiliyah adalah kehidupan yang tidak mengikuti akal sehat dan tidak
realistis, karena ia meletakkan dan menyandarkan kehidupan ini pada nilai-nilai maupun
aturan yang rapuh yang dibangun atas prasangka (dzon) yang dianggap dapat
menggantikan aturan Allah. Secara praktis masyarakat dan bangsa jahiliyah adalah
mereka yang berpaling dari Allah, dan meletakkan kehidupan ini di atas konsepsi dan
aturan yang bersumber dari filsafat, tokoh masyarakat dan bangsa, budaya, ilmu
pengetahuan, dan hawa nafsu, bukan pada aturan-Nya.


Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? [QS Al-Maidah (5): 50]

74 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan
mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati
bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek
moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidak (pula) mendapat petunjuk? [QS Al-Maidah (5): 104]

Senada dengan ini Ali Khamenei menyatakan26):


Menyekutukan Allah tidak hanya terbatas pada menyembah suatu objek (sembahan)
selain Dia tetapi juga mencakup kedudukan Allah tetap tidak dikenal, dan manusia
mengetahui bahwa makhluk dan undang-undang adalah kepunyaan Allah (yaitu,
seperti halnya dengan hukum penciptaan (takwini) yakni hukum yang berkenaan
dengan pergerakan langit dan bumi, siang dan malam, manusia, kelahiran dan
kematian, adalah milik Allah semata. Demikian pula, hukum atau pengaturan
masyarakat dan kehidupan ada di bawah otoritas-Nya. inilah arti dari kedudukan Allah
di dalam hidup manusia). Mereka menerima mahzab-mahzab pemikiran tertentu
sebagai pemandu mereka, manusia tertentu sebagai para penguasa mereka, dan adat
dan tradisi tertentu sebagai pola hidup mereka.

Mengapa Ibrahim as tetap dibakar?


Al-quran Al-Karim menyajikan peristiwa yang sangat baik bagi kita untuk memahami
makna musyrik dan tauhid dengan baik. Kisah nabiyullah Ibrahim as menjadi bahan
renungan yang sangat tepat. Al-quran suci menyampaikan:

75 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


(ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung
Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?". Mereka menjawab: "Kami
mendapati bapak-bapak Kami menyembahnya". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya
kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata". Mereka menjawab:
"Apakah kamu datang kepada Kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu
Termasuk orang-orang yang bermain-main?". Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan
kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya: dan aku Termasuk
orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu". Demi Allah,
Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah
kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur
berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar
mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: "Siapakah yang
melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan Kami, Sesungguhnya Dia Termasuk
orang-orang yang zalim." Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang
mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim". Mereka berkata: "(Kalau
demikian) bawalah Dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka
menyaksikan". Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini
terhadap tuhan-tuhan Kami, Hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung
yang besar Itulah yang melakukannya, Maka Tanyakanlah kepada berhala itu, jika
mereka dapat berbicara". Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu
berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang Menganiaya (diri
sendiri)", kemudian kepala mereka Jadi tertunduk (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu
(hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara."
Ibrahim berkata: Maka Mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak
dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada
kamu?" Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka Apakah
kamu tidak memahami? Mereka berkata: "Bakarlah Dia dan bantulah tuhan-tuhan
kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak".

Apa yang dapat diambil dari kisah di atas? Hal mendasar yang harus kita pahami adalah
bahwa para penyembah berhala itu tidak pernah meyakini bahwa patung simbol itu
mampu memberikan sesuatu yang diharapkan oleh mereka. Kesadaran ini sangat jelas,
seperti dalam ayat yang menyatakan:

76 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu
sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri kemudian kepala mereka
jadi tertunduk). (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui
bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara." [QS Al-Anbiya (21): 64-65]

Mengapa Ibrahim tetap ditangkap dan dibakar oleh kaumnya? Persoalannya tidak semata
terletak pada hancurnya patung-patung yang dipuja dan disembah. Sebab satu patung
yang hancur dapat dibuat patung lain yang baru. Fakta-fakta sejarah membuktikan
bahwa simbol-simbol yang diadospsi oleh sekelompok masyarakat atau bangsa
mengandung makna-makna, nilai dan idealisme yang disakralkan. Jika seorang Ibrahim
as menghancurkan patung, sesungguhnya dia tidak sekedar menghancurkan simbol
tetapi juga menghina dan menghancurkan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh
masyarakat saat itu. Itulah mengapa Ibrahim tetap ditangkap; ia menentang tradisi dan
sistem sosial yang sudah mapan selama turun temurun.

Lalu apa yang terjadi pada masyarakat primitif penyembah berhala rusa, beruang, simbol
binatang-binatang lainnya? Apa pula yang terjadi di masa Abu Sofyan, Abu Jahal yang
menyembah 360 berhala? Yakinkah mereka bahwa patungnya dapat memberikan apa
yang mereka inginkan? Lihatlah dialok Abu Sofyan dengan Rasulullah saw pada detik-
detik terakhir penaklukan Kota Mekah; patung bagi Abu Sofyan tidak dapat memberi
manfaat maupun madorot sedikitpun pada manusia.

Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Sofyan:Celakalah engkau wahai Abu Sofyan.
Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada Ilah selain
Allah? Abu Sofyan berkata:Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, engkau sungguh
orang yang murah hati, mulia dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Jauh-jauh
hari aku sudah mengira, andaikan ada sesembahan lain bersama Allah, tentunya aku
tidak membutuhkan sesuatupun setelah ini. Beliau bersabda: Celakalah engkau
wahai Abu Sofyan. Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa aku
adalah rasul Allah? Abu Sofyan berkata: Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu,
engkau sungguh orang yang murah hati, mulia dan selalu menjaga hubungan
kekeluargaan. Kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang
mengganjal hingga saat ini.27)

Sesungguhnya akal sehat sederhana mereka semua memahami patung-patung itu tidak
memberikan apapun. Tetapi sesungguhnya mereka itu mendambakan dan
mengutamakan nilai-nilai yang ada dibalik simbol-simbol tersebut. Simbol yang
disembah adalah abstraksi dari nilai yang diidealkan dan disakralkan.

77 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 9
TAUHID DAN KENABIAN

Para nabi dan rasul adalah manusia-manusia pilihan dan utusan Allah untuk
menyampaikan pesan-pesan-Nya. Para nabi adalah pusat seruan tauhid; dengan
demikian perjalanan para nabi adalah realisasi tauhid yang paling nyata. Dari masa ke
masa para nabi telah menunjukkan komitmen tunggalnya untuk menampilkan tauhid
dan pengabdian kepada Allah yang paling murni. Kenabian adalah realitas sejarah
manusia yang disana manusia dapat mengambil pelajaran dan contoh dalam
mempraktekkan dan mewujudkan tauhid. Dari masa ke masa, satu nabi akan diikuti oleh
nabi berikutnya demi penyempurnaan syariah sejalan dengan perkembangan manusia.
Ia adalah proses berkelanjutan hingga syariah itu mencapai puncaknya, lengkap dan
sempurna, dan manusia memiliki sarana dan prasarana lengkap untuk
mengimplementasikan syariah sebagai aspek lahiriyah/praktis dari tauhid itu sendiri.
Al-quran suci menyatakan:


Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: "Sungguh, apa saja
yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah kemudian datang kepadamu
seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-
sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu
mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab:
"Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku
menjadi saksi (pula) bersama kamu". [QS Ali Imran (3): 81]

Kesamaan misi, dan keberlanjutan para nabi hingga sempurna bagi manusia. Finalitas
kenabian itu tercapai pada kenabian Muhammad SAW.

Dua misi besar kenabian


Setiap muslim perlu mengidentifikasi dan mengenali misi-misi pokok kenabian.
Mengapa? Sebab mengenali misi dan tujuan membuat kita mudah menangkap dan
memahami setiap gerak-gerak langkah nabi, dan untuk tujuan apa semua tindakan itu
dilakukan. Setiap gerak dan langkah para nabi mesti terhubung dengan misi dan tujuan
besar yang telah diamanahkan Allah pada pundak-pundak mereka. Apabila seorang
mumin gagal memahami misi dan tujuan kenabian, maka gerak-gerik yang dilakukan
sebagai bukti ikut kepadanya, menjadi kehilangan makna sama sekali. Tugas seperti ini
menjadi utama dan prioritas khususnya bagi para pemimpin umat dan ulama, sebab
mereka adalah pembimbing masyarakat dan tempat bertanya dalam masalah-masalah
kehidupan. Para ulama dan sarjana Islam harus menyadari bahwa kedudukannya di
tengah masyarakat bukan semata sebagai narasumber dalam masalah-masalah fiqih

78 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

ubudiyah, tetapi jauh lebih besar dari itu. Mereka musti menempatkan diri sebagai
pengganti dan pewaris anbiya dalam tugas paling penting yakni mengeluarkan umat
manusia dari kegelapan kepada cahaya; memimpin sebuah perubahan yang diinginkan
Allah SWT.

Lalu, apakah misi-misi besar kenabian itu? Al-quran suci setidaknya menyebut dua hal
yang mengikat setiap kebangkitan nubuwah, yakni (1) menyeru pada tauhid, dan (2)
menegakkan keadilan. Al-quran menyebutkan:


Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah
pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [QS An-Nahl (16):
36]


Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya
dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi
Maha Perkasa. [QS Al-Hadid (57): 25]

Jika diperhatikan, dua perkara ini (keyakinan dan keadilan) adalah isu terbesar di dalam
kehidupan manusia sebab keduanya adalah dimensi antropologis paling mendasar dan
paling besar. Persoalan keyakinan berkaitan erat dengan nilai paling esensial, yakni
tentang nilai dan makna menjadi manusia. Seluruh konsepsi hidup yang komperehensif
apapun mesti menyentuh dan mengait persoalan-persoalan nilai manusiawi. Karenanya,
persoalan ini menjadi perhatian paling besar dalam agama dan nubuwah. Dan meskipun
keyakinan tauhid berbicara mengenai keesaan Allah, ia menjadi asas sebuah konsepsi
hakiki tentang manusia dan kehidupan. Sedangkan keadilan, ia adalah interes

79 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

(kepentingan) paling besar dalam hidup masyarakat manusia. Keadilan adalah salah satu
pilar utama kebahagiaan manusia; dan bangsa-bangsa di dunia ini ada dibangun dengan
satu alasan, yakni menciptakan keadilan. Jadi kenabian menempatkan keadilan
disamping tauhid; keduanya misi kenabian paling besar dan utama.

Pada hakikatnya seruan tauhid adalah pengingat kembali kodrat dasar manusia yang
cenderung dan bersandar kepada kekuatan maha perkasa, agung, sempurna, dan kekal.
Karena manusia, seperti halnya seluruh ciptaan, memiliki ketergantungan pada sebab-
sebab bagi eksistensinya. Kodrat ini menjadi sebuah kesadaran paling dalam manusia,
dengan apa yang dikenal sebagai fitrah. Manusia sifat dasarnya adalah mencari
pelindung, tempat bersandar dan pertolongan, dan menggantungkan harapan. Jiwa
manusia hanya akan terpuaskan oleh kekuatan yang mutlak, abadi, dan sempurna yang
mampu mengatasi segala kekerasan dan kesulitan hidup, serta dapat memenuhi
harapan-harapannya. Manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri bahwa ia bergantung,
mengharap, bersandar, memuja dan berlindung pada kekuatan mutlak dan sempurna itu.
Ini yang dalam Al-quran suci disebut sebagai perjanjian pra-eksistensi atau perjanjian
primordial, yakni perjanjian sebelum manusia lahir ke dunia fana ini:


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami
menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)". [QS Al-Araf (7): 172]

Pun demikian jiwa manusia itu terus tumbuh dan berkembang; karena manusia haus
akan kesempurnaan. Dan karenanya manusia adalah pencari, pecinta dan pemuja
kesempurnaan. Perkembangan mental manusia sejak lahir hingga akhir kematian adalah
proses perkembangan mental dan spiritual. Bayi yang lahir materialis sama sekali
tumbuh-berkembang tahap demi tahap menjadi dewasa dan tua yang semakin non-
materialis (spiritualis). Jiwa manusia menuju fase kematangannya lebih mencintai hal-
hal yang bersifat abstrak dan ruhaniyah. Ia cinta kebenaran, pengetahuan, kebijaksanaan,
ketenangan dan kedamaian, kesucian, keabadian, dan kesempurnaan.

Kecenderungan dasar (fitrah) manusia, harapan-harapan, dan kecintaan-kecintaan


terhadap kekuatan mutlak, kebenaran, keabadian, pemuas kebutuhan jiwa, itu semuanya
ada pada Allah Sang Pencipta dan Pemilik alam semesta. Karenanya para nabi dan utusan
Allah hadir untuk membangkitkan kembali kesadarannya itu, dan memberikan alasan
bagi akal sehatnya bahwa Allah adalah satu-satunya yang dicari manusia. Maka seruan
para nabi itu tidak lain adalah mengajak manusia menyembah dan memuja Allah saja. Al-
quran mulia menyatakan:

80 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku". [QS Al-Anbiya (21): 25]


Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain
Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?" [QS Al-Muminun (23): 23]


Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu
dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi. [QS Az-Zumar (39): 65]

Kecenderungan manusia dan harapannya itu mustahil dipenuhi oleh makhluk dengan
derajat dan kualitas sama seperti dirinya yang juga bergantung pada sesuatu yang lain,
lemah, semu, rusak dan binasa. Secara tegas para nabi melarang manusia mencari dan
memuja sesuatu yang binasa. Manusia diharamkan dari menyembah dunia, berhala,
syaithan, diri sendiri, dan thaghut, yakni segala sesuatu yang dianggap dapat
menggantikan kedudukan Allah SWT. Al-quran menyebutkan:


Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah
pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [QS An-Nahl (16):
36]

81 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat
memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?" dan Allah-lah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [QS Al-Maidah (5): 76]

Memuja dan mengabdi selain Allah bertentangan dengan akal sehat; bersandar dan
bergantung pada pertolongan sesuatu yang binasa adalah absurd, apalagi menyembah
kekuatan-kekuatan (syaithan) yang menolak kekuasaan dan kebenaran Allah. Dengan
demikian, menyandingkan objek-objek lain dan menyekutukan Allah adalah suatu
kesesatan yang amat nyata.


Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". [QS Luqman (31):
13]

Jika tauhid sebagai sebuah keyakinan adalah dimensi vertikal manusia, maka keadilan
adalah dimensi horizontalnya. Keadilan adalah perihal menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Keadilan menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia, dan
manusia dengan alam lingkungannya. Hubungan manusia sangat kompleks sebab
menyangkut hubungan antar pribadi, kelompok, masyarakat dan negara. Hubungan ini
sangatlah rumit yang dalam Islam akal manusia terlalu lemah untuk merumuskan sebuah
konsepsi yang sanggup memotret dan merangkum seluruh aspek kehidupan secara
komperehensif, lengkap, dan integral, sekaligus mensucikan. Konsepsi keadilan yang haq
dalam pandangan Islam ia yang bersumber dari Allah Yang Maha Adil. Allah melalui
syariah-Nya mengintervensi kehidupan agar tujuan hakiki dari eksistensi manusia itu
bisa diraih.


Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan. [QS Shaad (38): 26]

Para ulama dan pemimpin umat khususnya, setiap mumin pada umumnya, dituntut
menyadari masalah ini. Keadilan adalah aspek duniawi dari misi dan ajaran Islam yang

82 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

harus direalisasikan. Ia adalah tanggung-jawab manusia, apalagi dalam konteks


kedudukannya sebagai wakil Allah (khalifah) di muka bumi. Keadilan juga merupakan
pembuktian kebenaran konsepsi Islam atas konsepsi-konsepsi apapun buatan manusia
yang terlalu sarat dengan interes, muatan kelompok, dan keterbatasan serta kelemahan.

Hubungan tauhid dengan keadilan


Dua misi besar kenabian, tauhid dan keadilan, pada kenyataannya bukanlah dua hal yang
terpisah. Satu dengan yang lain saling terhubung melalui berbagai dimensi kausalitas,
sebab dan akibat. Dalam pandangan Islam, keadilan itu tidak akan tegak sepanjang tauhid
itu diabaikan; sebaliknya tauhid menjadi tidak utuh di lingkungan masyarakat yang
penuh penindasan. Bagaimana mungkin ini hal ini dapat dijelaskan?

Apabila kita merujuk pandangan Imam Ali bin Abi Thalib (karamaallohu wajhah), ia
menyebut dua ciri utama masa jahiliyah (baca: masa pangabaian tauhid) yaitu (1)
kekurangan material, dan (2) kehampaan spiritual.28) Di era modern ini, kedua karakter
ini sangat jelas nampak di negeri-negeri barat, bahkan sekalipun di negeri-negeri yang
mayoritas penduduknya memeluk Islam. Tentu saja persoalan utama dari kekurangan
material ini adalah keadilan, dimana sekelompok kecil orang menguasai sebagian besar
sumber daya sehingga akses itu menjadi terbatas untuk khalayak. Negara sekalipun
menuju kebangkrutan karena lilitan hutang yang tak terbayarkan oleh kemampuan
negara meski sebagian rakyatnya hidup bermewah-mewahan. Ini adalah akibat dari
penyembahan terhadap dunia; ini juga sebuah ekspresi dari kekeringan ruhani manusia.
Khamenei mengatakan26):

Ciri paling menonjol dari masyarakat semacam itu adalah keterasingan manusia dari
fitrah suci mereka sebagai hamba Allah yang menyebabkan berkembangnya arus aspirasi
material dalam suatu kelompok masyarakat tertentu sebagai pelaku penciptaan komoditi
material, monopoli perdagangan dan pertambahan angka produk-produk material
lainnya, yg pada gilirannya, menghasilkan kemiskinan di masyarakat lain.

Secara jelas bahwa cinta dan penuhanan terhadap dunia adalah sumber eksploitasi,
penindasan dan sebab dari runtuhnya keadilan. Menukar ketinggian ruhaniyah menjadi
semata-mata materialis sama artinya dengan menjatuhkan derajat manusia ke dalam
kehinaan dan kerusakan. Al-quran suci menyebutkan:


Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan
kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam;
mereka masuk kedalamnya; dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman. [QS Ibrahim
(14): 28-29]

Dalam Islam, seruan terhadap penyembahan dan pemujaan kepada Allah semata
bukanlah sekedar konsekuensi dari kepercayaan bathin. Tetapi ia hakekatnya juga

83 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

sebagai satu bentuk peningkatan dan penyempurnaan kualitas ruhani (spiritual)


manusia. Dengan tauhid, para nabi membimbing manusia untuk mementingkan dan
memprioritaskan Allah atas segala sesuatu. Karena Allah adalah realitas sesungguhnya,
kebenaran, kesucian, sumber kesempurnaan dan kemuliaan. Jiwa manusia akan menjadi
suci dan sempurna ketika hanya diarahkan kepada-Nya saja. Allah adalah pusat orientasi
dan maksud dari seluruh gerak manusia. Dengan demikian, tauhid adalah pembebasan
manusia dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan kecenderungan duniawi dalam seluruh
bentuknya, harta benda, kekuasaan, pasangan hidup, popularitas, pengaruh, pujian
manusia, dan lain sebagainya.

Jiwa yang bebas dari belenggu rendah duniawi, tidak terikat olehnya, membuatnya
mudah melepas interes-interes individu dan kelompok. Kebaikan (kemaslahatan) umum
adalah orientasi orang-orang beriman. Mendapatkan maqam jiwa seperti ini
membuatnya mudah melakukan segala bentuk perintah dan aturan, apalagi datangnya
dari Dzat yang diagungkan dan disembah, yakni Allah. Bahkan segala bentuk perbuatan
atas perintah Allah adalah kemuliaan dan kesucian, dan ini menjadi pendorong yang
paling baik bagi terlaksananya segala bentuk perbuatan baik, amal shaleh.

Tauhid juga bermakna perlawanan terhadap tuhan-tuhan palsu dan thaghut yang
merampas kedudukan Allah atas alam dan manusia. Tuhan-tuhan palsu itu bukan saja
sebagai sumber pencemaran ruhani dan akal sehat, secara sosial ia adalah sumber
eksploitasi manusia atas manusia dan alam. Tuhan palsu hakekatnya adalah wujud dari
berbagai jenis penolakan terhadap keadilan. Sejarah panjang para nabi adalah saksi akan
penentangan terhadap segala bentuk tuhan-tuhan dan thaghut tersebut. Jadi para
pewaris para nabi, pemimpin umat, dan umat Islam adalah mereka yang tauhidnya
menjelma menjadi sebuah perlawanan terhadap thaghut, agar kedudukan dan keadilan
Allah terealisasi di dunia ini. Al-quran suci menyebutkan:


Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu..... [QS An-Nahl (16): 36]


......Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [QS Al-Baqarah (2): 256]

Revolusi para nabi dan tanggung jawabnya


Para nabi adalah pembawa pesan-pesan kebenaran ilahiyah, dan memiliki kewajiban
merealisasikan kebenaran itu dalam kehidupan nyata. Ini berarti bahwa para nabi
memiliki kewajiban mengubah situasi jahiliyah menjadi cahaya yang terang benderang;

84 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

memutar orientasi manusia dari dunia menjadi akhirat; menentang kekuasaan syaithan
dan thaghut yang merenggut kekuasaan Allah, dan menggantikan ketundukan manusia
atas manusia dan hawa nafsu menjadi kepatuhan terhadap Allah semata. Al-quran suci
menyebutkan:


Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi. [QS Al-Fath
(48): 28]

Revolusi yang dilakukan para nabi berakar dari tauhid, dan bukan bersumber dari motif
materiil dan pertentangan kelas. Meski demikian revolusi para nabi erat kaitannya
dengan persoalan keadilan. Sehingga, perubahan yang dilakukan oleh para nabi memiliki
perhatian yang sangat besar terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik.

Kesulitan, penderitaan, bencana-bencana sosial, dan penindasan manusia tidaklah


datang tiba-tiba. Kondisi-kondisi ini melingkupi kehidupan masyarakat berakar dari
kealfaan manusia, kebingungan, dan kebodohannya terhadap kemuliaan derajat manusia
itu sendiri dan ke-Maha Sempurna-an Allah. Sehingga manusia menjauhi Allah dan
terasing dari kecenderungan-kecenderungan tinggi; akhirnya terjatuh ke dalam
pemujaan-pemujaan rendah duniawi yang menciptakan penindasan dan eksploitasi. Jadi
watak pergerakan para nabi adalah spiritual dan bathiniyah. Revolusi sosial yang
dilakukan para nabi tak dapat dipisahkan dari revolusi spiritual. Sebab, kondisi lahiriyah
kehidupan manusia hanyalah sebuah cerminan dari keadaan bathin saja. Jadi sumber dari
kekeringan jiwa adalah pengabaian terhadap tauhid.

Setiap revolusi sosial yang tidak bermotif ilahiyah dan spiritual, tidak melahirkan suatu
keadaan kecuali bentuk-bentuk keterasingan jiwa serta kesulitan-kesulitan baru. Inilah
yang terjadi pada revolusi Bolshevik 1917, revolusi yang betul-betul murni materialistik
dengan bahan bakar pertentangan kelas. Seorang penulis seperti Maxim Gorky (nama asli
Aleksey Maksimovich Peshkov, 1868-1936) dalam bukunya yang terkenal Mother
membuktikan pada kita semua bahwa gerakan buruhlah yang melahirkan revolusi
Oktober tersebut di Rusia, suatu revolusi yang tidak mengantarkan pada tujuan yang
sesungguhnya diinginkan manusia.

Jelas bagi kita bahwa perubahan yang diinginkan oleh Islam adalah kebangkitan
pengetahuan dan kesadaran manusia. Kesadaran akan nilai manusia yang paling dalam,
asasi dan mulia. Gerakan memanusiakan manusia, sebagai makhluk materiil sekaligus
spirituil. Tugas-tugas para nabi, dengan demikian, adalah membukakan jalan berfikir
manusia melalui pembacaan dan refleksi tanda-tanda ilahiyah sehingga bangkit suatu
pengetahuan dan kesadaran paling murni. Kesadaran yang juga mampu memisahkan dan
meninggikan kemurnian dan kesucian dari kepicikan dan kekotoran pikiran, sikap dan
harta benda. Kesadaran mengenai ketentuan-ketentuan dan rahasia hidup yang benar.
Al-quran suci menyebutkan:

85 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [QS Ali
Imran (3): 164]

Inilah basis gerakan perubahan yang dilakukan oleh para nabi, dan yang diinginkan
Islam. Ini juga menjadi tantangan paling besar bagi para pejuang agama Allah di
sepanjang sejarah manusia, kebangkitan jiwa.

Penolakan terhadap Toghut


Kemurnian dan kesempurnaan tauhid hanya dapat dicapai dengan penolakan terhadap
thaghut; dan penolakan terhadap thaghut adalah misi yang melekat pada seruan tauhid
yang dibawa oleh para nabi dan utusan Allah. Al-quran suci menyebutkan:


Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" [QS An-Nahl (16):36]


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. [QS Al-Baqarah (2): 256]

Para nabi dan utusan Allah telah menampilkan keyakinan dan praktek tauhid secara
sempurna meski dalam latar belakang sosial zamannya masing-masing. Banyak kisah
dalam kitab suci mengenai sepak terjang para nabi, dan sejarawan telah merekam
peristiwa-peristiwa penting di dalamnya. Namun tidak mudah serta merta kita
memahami dan mengidentifikasi apa itu thaghut. Kemurnian tauhid membutuhkan
pengetahuan mengenai thaghut agar tidak tercemar oleh kemusyrikan. Syirik adalah

86 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

dualisme pengabdian; di satu sisi mengabdi kepada Allah, di sisi lain menyembah dan
mengikuti thaghut.

Secara etimologi thaghut memiliki akar kata yang sama dengan Thaghaa yang berarti
melampaui batas, dan thaghuun yang berarti orang atau kaum yang melampaui batas.
Al-quran menyatakan:


Pergilah kepada Fir'aun; Sesungguhnya ia telah melampaui batas.[QS Taa Haa (20): 24]


Dan janganlah kamu Mengadakan Tuhan yang lain disamping Allah. Sesungguhnya aku
seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. Demikianlah tidak seorang
Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka
mengatakan: "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila." Apakah mereka saling
berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang
melampaui batas (thaghun). Maka berpalinglah kamu dari mereka dan kamu sekali-kali
tidak tercela. Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. [QS Adz-Dzariyat (51): 52-55]

Sehingga thaghut secara literal dapat dimaknai sebagai sistem nilai dan praktek yang
dianut suatu kaum atau kelompok masyarakat dengan melampaui batas-batas hak-hak
Allah. Hak Allah atas hamba-hambanya adalah mengurusinya, dan mendapatkan
penyembahan darinya. Sehingga secara riil, thaghut adalah segala sesuatu yang
menggantikan kedudukan Allah dalam mengurusi manusia, dan kepadanya manusia
memberikan ketundukan, penyembahan, pemujaan, dan menyandarkan keputusan-
keputusan dalam urusan-urusan mereka.

Dalam suatu masyarakat, tentu saja banyak objek yang dapat dijadikan sebagai sumber
tata nilai dan landasan praktek kehidupan yang menggantikan peran dan kedudukan
Allah bagi manusia. Dari satu masa ke masa lain, objek-objek itu dapat berbeda satu
dengan yang lain; tergantung pada apa yang dianggap paling penting dan sakral bagi
masyarakatnya. Nilai-nilai itu biasanya disimbolkan atau dilambangkan dalam bentuk
dan citra tertentu yang disembah, dijadikan referensi, dipuja dan disakralkan. Dalam
berbagai kitab tafsir klasik, thaghut dimaknai sebagai syaitan, berhala, tukang sihir,
dukun, batu, matahari, bintang, tokoh atau orang suci yang dipuja, dan lain sebagainya.

Jika kita mengacu pada pendapat Mujahid29), thaghut adalah syaitan dalam bentuk
manusia yang kepadanya masyakat mengacu keputusan-keputusan, sekaligus berperan
sebagai penanggung jawab dalam urusan mereka. Dalam konteks kekinian, masyarakat

87 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

dan bangsa-bangsa mengadopsi berbagai jenis sistem dan aturan hidup yang kepadanya
berbagai urusan masyarakat itu merujuk. Al-quran suci secara jelas menunjukkan bahwa
thaghut adalah objek-objek yang dijadikan sebagai sumber legislasi, perlindungan, dan
sistem hidup yang dengannya penyembahan kepada Allah secara total dan ketaatan
terhadap perintah-perintah-Nya diabaikan dan ditentang. Al-quran suci menyebutkan:


Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya. [QS An-Nisa (4): 60]

Dalam ayat lain:


Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab?
mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan berkata kepada orang-orang kafir (musyrik
Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. [QS An-
Nisa (4): 51]

88 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 10
TAUHID, IDEOLOGI, WAY OF LIFE

Tauhid dan pengaruhnya dalam kehidupan


Jika kita meyakini tauhid adalah sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan, maka
hal itu dikarenakan keluasan dan kesempurnaan pengaruhnya bagi manusia. Yakni
tauhid dapat diterjemahkan secara riil pada realitas kompleks, dan menjadi solusi bagi
problematika-problematika besar maupun kecil. Artinya, konsepsi tauhid itu membumi
dan memiliki jalan dalam memberikan dampak pada kehidupan nyata. Suatu konsepsi
tidak berharga sama sekali ketika tidak dapat diterapkan, atau hanya mempengaruhi
sebagian kecil dari kehidupan.

Jika kita meyakini doktrin (ajaran) tauhid sebagai konsepsi yang sempurna, maka melihat
dan membuktikan relevansi tauhid dengan kehidupan nyata adalah sebuah keniscayaan.
Sayangnya hari ini kita kesulitan menemukan hubungan seperti itu. Itu tidaklah berarti
tauhidnya yang tak sempurna, ini semata-semata karena kegagalan orang-orang beriman
menerjemahkan kesempurnaannya. Dengan demikian kita membutuhkan suatu telaah
ulang terhadap cara kita memahami doktrin tauhid. Tanpa usaha seperti ini, cahaya
tauhid akan tetap terhalang oleh awan kejumudan - tidak menemukan celah untuk
menyinari kalbu-kalbu manusia.

Kalimah toyyibah, laa ilaaha illa Allah, adalah abstraksi dan saripati tauhid yang mestinya
menghasilkan dampak luas dalam kehidupan. Tidak semestinya pengaruh tauhid itu
dipagar dalam batas-batas dinding masjid, atau persoalan-persoalan ritual, ataupun
sembunyi dalam jantung-jantung orang beriman. Dinding-dinding penjara tauhid itu
harus dibongkar agar ia menemukan ruang kerja sejatinya dalam kehidupan. Bagaimana
ini bisa terbukti dan menjadi kenyataan? Ini tidak terjadi kecuali dengan cara menarik
benang merah tauhid dengan dimensi kehidupan yang luas secara logis dan realistis agar
hati dan pikiran bisa menerimanya dengan penuh kesadaran.

Allah SWT telah membuat perumpamaan mengenai tauhid agar kita dapat memahaminya
secara utuh dan sempurna. Allah SWT berfirman:


Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon
itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. [QS Ibrahim
(14): 24-25]

Tauhid ditunjukkan sebagai kalimah toyyibah, ia laksana pohon yang baik yang akarnya
menghunjam kokoh dalam tanah, sedangkan batang dan dahannya menjulang tinggi ke
langit, lalu setiap saat menghasilkan buah. Sesungguhnya memang pohon yang utuh

89 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

adalah pohon yang memiliki bagian-bagian yang lengkap: akar batang dan dahan dan
buah; kehilangan satu bagiannya menjadikan pohon itu tidak sempurna karena ia banyak
kehilangan fungsi dan manfaat. Jika kita menginginkan sebuah kehidupan yang baik maka
ia tidak boleh kehilangan unsur-unsur utama penopangnya. Dengan demikian Kalimah
toyyibah sebagai pembangun kehidupan yang baik maka ia musti mengandung unsur-
unsur tersebut.

Akar yang menghunjam dari pohon kalimah toyyibah itu adalah keyakinan yang kokoh,
sedangkan buahnya tidak lain adalah seluruh amal kebajikannya. Lalu apakah batang dan
dahannya sebagai pangkal dari kemunculan buah-buah itu? Ia adalah sikap pendirian
yang teguh. Seseorang yang memilih dan memutuskan tindakan-tindakan tertentu dalam
hidupnya musti disandarkan pada suatu alasan dan penilaian; kemudian alasan-alasan
tersebut membangun suatu pendirian tertentu yang akhirnya menjelma menjadi suatu
tindakan yang dipilihnya. Suatu jenis dan kualitas kehidupan tertentu pada dasarnya
dibina dan tidak terlepas dari tiga unsur, yakni (1) keyakinan, (2) sikap pendirian, dan (3)
amal perbuatan. Dengan cara ini suatu keyakinan tertentu akan membentuk sikap dan
pendirian tertentu pula, yang kemudian melahirkan suatu amal perbuatan. Jika amal
perbuatan itu adalah perwujudan dari suatu sikap pendirian, maka sikap pendirian itu
hakekatnya adalah cara pandang (outlook) seseorang dan ideologinya. Hal ini sangat jelas
jika kita refleksikan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang
menganut isme-isme tertentu.

Dengan demikian menjadi sangat mendasar menempatkan kalimah toyyibah sebagai satu
kesatuan keyakinan, cara pandang dan ideologi, dengan amal perbuatan. Laa ilaaha illa
Allah sebagai keyakinan mustinya melahirkan dan membentuk suatu cara pandang dan
visi mengenai kehidupan, yang tanpanya kita tak dapat memilah dan memilih amal
perbuatan yang perlu dan tidak perlu, baik dan buruk, benar dan salah. Kegagalan kita
menemukan hubungan seperti ini pada kalimah toyyibah adalah kegagalan mengungkap
relevansi tauhid dengan kehidupan yang luas, kompleks dan multidimensi. Jika itu
terjadi, kesempurnaan dan ketinggian tauhid akan tetap terkubur bersama kejumudan
dan kejahilan kita, dan pengaruhnya hilang dari kehidupan.

Islam mengajarkan bahwa seluruh amal perbuatan mumin adalah realisasi sekaligus
potret dari keyakinan tauhid. Kalimah laa ilaaha illa Allah menjadi sumber nilai yang
mendorong dan membentuk seluruh gerak dan tindakan. Dalam konsep Islam, aqidah tak
dapat dipisahkan dengan amal. Semestinya kita menghindari kesalah-fahaman mengenai
tauhid. Maksudnya, tauhid itu bukanlah semata-mata pencarian akan Tuhan dalam arti
mempercayai bahwa Tuhan itu Esa, tetapi pencariannya adalah memahami implikasi-
implikasi dari keesaan itu sepenuhnya dan seutuhnya. Karena manusia telah mengetahui
bahwa Allah itu Tunggal, dan realitas seperti ini terlalu jelas untuk diragukan.

Tauhid dan ideologi


Para ulama, pemikir, dan ideolog telah mengungkapkan dan bersepakat bahwa tindakan-
tindakan manusia sangat dipengaruhi atau bergantung pada apa yang menjadi isi
pikirannya. Pikiran ini maksudnya adalah cara pandangnya mengenai ideal-ideal yang
menjadi harapan, impian dan cita-citanya sehingga suatu tindakan itu layak dilakukan.
Inilah yang menjadikan suatu tindakan/perbuatan memiliki arti bagi pelakunya. Mustahil
seorang manusia sehat menjalani hidupnya dengan berbagai tindakan tanpa sebuah arti
di dalamnya, meskipun memiliki arti itu tidak selalu bermakna positif, baik, dan benar.

90 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Sehingga kita dapat melihat dengan jelas bahwa setiap tindakan, aktifitas dan amal
perbuatan memiliki alasannya (reasoning) masing-masing. Karena idealisme dan
gagasan itu sangat bergantung pada masukan-masukan yang mengisi pikiran; ia dapat
bersumber dari pengalaman, teori-teori, budaya, kekuasaan, dan lain sebagainya.
Idealisme dan gagasan-gagasan tentang hiduplah yang mengendalikan pilihan-pilihan
dan perbuatan-perbuatan, sekalipun idealisme seseorang itu seringkali tidak beranjak
dari derajat yang paling rendah dan dasar, seperti misalnya menetapkan kehidupan ini
sebagai semata-mata hidup biologis.

Sekelompok orang yang memiliki idealisme kehidupan biologis semata, maka tujuan,
cita-cita, dan kerangka pikir yang dianut bagi tindakan-tindakannya tidak akan keluar
daripada aras kehidupan biologis. Yakni kehidupan yang lekat dengan karakter makhluk
biologis seperti makan, minum, tempat tinggal, dan hubungan lawan jenis. Kebahagiaan
baginya adalah pemenuhan seluruh kebutuhan-kebutuhan biologis. Jiwa, spiritualitas,
intelek adalah sesuatu yang asing bagi konsepsi seperti ini. Inilah contoh gambaran
mengenai suatu ideologi.

Ideologi adalah sekumpulan gagasan yang memuat cita-cita, harapan-harapan dan


tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh seseorang atau kelompok masyarakat.
Seorang sarjana barat, Francis Bacon, menyatakan bahwa ideologi adalah hasil dari
proses sintesis pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Dan, suatu ideologi
membimbing seseorang ataupun sekelompok orang terkait dengan tindakan apa yang
harus dilakukan atau tidak dilakukan, sebab ia merupakan sebuah visi yang
komprehensif, sebagai cara melihat dan menilai segala sesuatu.30) Ideologi, dengan
demikian, akan menentukan jenis dan kualitas kehidupan manusia, dan peranannya
sangat fundamental bagi keberlangsungan ras manusia.

Murtadha Muthahhari dalam Manusia dan Alam Semesta menggaris bawahi pentingnya
seseorang atau masyarakat menganut suatu ideologi.4) Diantara alasan-alasan paling
penting tersebut adalah:
1) Karena kebahagiaan manusia itu sendiri; sebab tujuan final dari seluruh usaha
manusia adalah kebahagiaan. Hanya saja makna kebahagiaan itu bisa sangat
spekulatif, artinya setiap orang dan kelompok masyarakat dapat
mendefinisikannya sendiri-sendiri. Apa itu kebahagiaan? Bagaimana cara
mewujudkannya? Jawabannya dapat sangat tergantung pada individu dan
kelompok masyarakat masing-masing.
2) Karena manusia sebagai makhluk sosial; artinya kehidupan manusia itu sangat
kompleks yang mengandung beribu-ribu problematika. Setiap individu tidak
mungkin mengadopsi idealisme tertentu untuk dirinya sendiri tanpa
memperhatikan kepentingan masyarakat. Kebahagiaannya, aspirasinya, standar
baik dan buruk, jalan hidup tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, masing-
masing saling berkelindan. Hidup bersama anggota masyarakat lainnya
membutuhkan suatu kerangka untuk mewujudkan kebahagiaan bersama.

Lalu, apa yang terjadi jika seseorang atau sekelompok masyarakat tidak memiliki ideal-
ideal dalam hidupnya? Tentu ia akan menjadi masyarakat yang tidak punya pendirian,
selalu dipenuhi keraguan, dan mudah goyah oleh pemikiran-pemikiran orang lain. Sebab
ia sendiri tidak mampu meyakinkan dirinya sendiri, apa yang penting dan perlu dicapai,
apa yang harus dilakukan, dengan cara apa, dan sebagainya. Dengan demikian,

91 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

masyarakat yang demikian tidak akan tahu apa tugas-tugas hidupnya. Orang yang tidak
tahu apa tugas hidupnya, menjadikannya buta akan nilai-nilai moral dan sosialnya.

Dari berbagai sisi, menegaskan bahwa tauhid mengandung dan melahirkan suatu cara
pandang dan ideologi tidak dapat dielakkan. Agar umat melihat identitas sejati Islam
secara jelas, hingga dapat memahami dan mengikutinya secara utuh, dan terhindar dari
kejahatan syaitan yang menentang tauhid. Di masa umat Islam bak hidangan yang
diperebutkan oleh para pemangsa seperti saat ini, menunjukkan kesempurnaan dan
ketinggian tauhid merupakan jalan keluar satu-satunya. Para penguasa lalim, di masa lalu
ataupun masa kini, selalu menghembuskan pikiran-pikiran sesat bahwa tauhid dan Islam
bukanlah ideologi; dengan dalih Islam adalah sebuah agama (ritual) dengan maksud
mengasingkan karakter aslinya sebagai doktrin yang sanggup membentuk pandangan
hidup, ideologi, dan isme yang mampu memperbaiki sendi-sendi kehidupan yang telah
runtuh.

Propaganda itu betul-betul telah menipu umat Islam. Ideologi Islam telah mereka ganti
dengan ideologi nasionalisme dan sosialisme cauvinis, materialisme, komunisme,
kapitalisme, anarkhisme, dan isme-isme lainnya meskipun ritual-ritual agama masih
diberi kebebasan. Suatu ideologi dapat berorientasi kepada apa saja, tokoh, budaya,
filsafat, sains, dan agama. Sedangkan tauhid, laa ilaaha illa Allah, adalah sumber cara
pandang dan ideologi, bahkan satu-satunya konsepsi yang realistis, alamiah, sekaligus
mensucikan. Syaikh Wahiduddin Khan mengelompokkan ideologi menjadi 2 jenis: (1)
ideologi manusia, yakni ideologi yang berorientasi pada pikiran manusia, dan (2) ideologi
Tuhan, suatu ideologi yang dibangun di atas petunjuk-petunjuk ilahiah melalui ajaran-
ajaran yang disampaikan para nabi dan rasul.31) Sungguh memprihatinkan jika tokoh-
tokoh Islam tidak menyadari bahwa tauhid adalah aqidah sekaligus ideologi, bahkan
aqidah itu sendiri memiliki konotasi ideologi.

Ayat demi ayat yang dibaca dari kitab suci layaknya membentuk cara pandang mengenai
dunia dan kehidupan; tauhid mestinya sanggup membangun suatu ideologi yang
menopang kebahagiaan manusia. Al-quran menyebutkan:


Al Quran ini adalah pandangan hidup bagi manusia, petunjuk hidup dan rahmat bagi
kaum yang meyakini. [QS Al-Jatsiah (45): 20]

Kemudian, bagaimana caranya kita menegaskan kembali bahwa laa ilaaha illa Allah
adalah keyakinan yang berhubungan dengan paandangan hidup, ideologi dan amal
perbuatan? Ideologi hanya dapat dibangun melalui proses berfikir, sebab kesimpulan-
kesimpulan mengenai berbagai konsepsi tentang hidup hanya dapat dimunculkan dan
diterima melalui pemikiran. Maka, kesalah-fahaman mengenai tauhid hanya dapat
diluruskan melalui koreksi jalan berfikir. Jalan paling utama untuk menemukan relasi-
relasi tersebut adalah re-interpretasi konsep tauhid dengan pikiran dan akal yang sehat
dan jernih.

92 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Beberapa ayat dalam Al-quran yang mendorong berfikir dan memahami tauhid perlu
kita tegaskan kembali:


Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
kamu tinggal. [QS Muhammad (47): 19]


Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS Ali Imran
(3): 18]

Kunci utama menemukan hubungan antara tauhid dengan visi, cara pandang, ideologi,
dan aspek praktisnya adalah dimulai dengan memahami sentralitas tauhid. Setelah
sentralitas konsepsi itu ditemukan, maka visi dan seluruh spektrumnya dalam wilayah
praktis dapat diungkapkan. Itulah mengapa Al-Ghazali dalam Al-Munqidh min al-Dalal
melukiskan bahwa iman adalah suatu visi yang menempatkan seluruh data dan fakta
dalam perspektif yang sesuai dengan dan keperluan bagi sebuah pemahaman
sejatinya.32) Itulah mengapa kalimah toyyibah ini sangat pendek dan sederhana tetapi
bagi yang memahami dengan baik, sejatinya kalimat ini sangat agung dan penuh dengan
makna. Ismail R. Al-Faruqi mengatakan bahwa seluruh budaya, peradaban, sejarah suatu
bangsa sering dapat dinyatakan ke dalam satu kalimat.33) Dan inilah sesungguhnya yang
terjadi dalam kalimah syahadah. Seluruh keberagaman, kemakmuran dan sejarah,
budaya dan pendidikan, kebijaksanaan dan peradaban Islam disingkat dalam satu
kalimat yang sangat pendek Laa ilaaha illa Allah.

Bagaimana kita meyakinkan bahwa tauhid merupakan pusat (sentralitas) dari kehidupan
seluruh insan beriman? Ini karena laa ilaaha illa Allah menegaskan bahwa Allah adalah
Realitas Tunggal, sebagai asal-usul dan pusar dari seluruh eksistensi dan segala sesuatu
yang maujud. Dengan demikian laa ilaaha illa Allah mengandung prinsip-prinsip yang
jelas dan jernih dalam akal-pikiran dan keyakinan kita; sebagian di antaranya adalah:
- Segala sesuatu adalah satu penciptanya, yakni Allah
- Segala sesuatu adalah satu pemilik dan pengurusnya, yakni Allah
- Seluruh fenomena dan kejadian hanya satu sebabnya, Allah

93 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

- Setiap gerakan seluruh makhluk ada di bawah satu bimbingan, yakni bimbingan
Allah
- Segala sesuatu satu asal-usulnya, dan akan kembali ke sumber yang sama, Allah
- Segala kejadian dapat terjadi dengan kehendak Allah, dan batal dengan kemauan
Allah
- Keserasian dan keteraturan alam semesta ini satu hukumnya, hukum Allah. Segala
sesuatu dan seluruh ciptaan saling terhubung
- Hanya ada satu kebenaran mutlak, Al-Haq.

Tauhid dan haluan hidup


Prinsip-prinsip yang terkandung dalam tauhid di atas jika dapat disarikan lagi sejatinya
adalah sebuah visi tentang realitas, yakni sesuatu yang ada secara hakiki. Akal manusia
yang sehat ketika melihat, menilai dan mengukur sesuatu, mencari dan memuja sesuatu
hakekatnya adalah pencarian realitas. Laa ilaaha illa Allah adalah suatu konsep dan visi
tentang realitas. Laa ilaaha illa Allah menegaskan bahwa Allah-lah Realitas hakiki nan
absolut, abadi, mulia dan sempurna. Sesuatu di luar diri-Nya adalah nisbi, hina, rusak dan
binasa. Segala sesuatu ada di bawah kekuasan-Nya, milik-Nya dan tergantung pada
kehendak-Nya. Kebenaran adalah Dia, dan Dia adalah Kebenaran. Allah adalah sumber
segala kejadian dan kepada-Nya semua akan kembali.

Dengan demikian ini, tauhid secara jelas memberikan gagasan-gagasan fundamental


mengenai apa dan bagaimana hidup ini bagi manusia. Secara ringkas, Ismail R. Al-Faruqi
menyatakan bahwa tauhid adalah suatu pandangan umum mengenai realitas, mengenai
dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan tujuannya. Dengan tauhid manusia dapat
memahami asal-usul dan nasib kosmos dan jiwa, dan kita dapat memahami status dunia
sekarang tempat hidup kita. Tauhid juga menjawab persoalan-persoalan utama dan
membiarkan orang untuk menyesuaikan diri sendiri dalam kerangka permulaan dan
akhir yang hakiki.33)

Bagi mumin yang memahami kalimah tauhid ini dengan baik, maka implikasi paling
mendasar adalah adanya kesadaran bahwa tujuan hidup ini hanya untuk mencari Allah
semata. Allah adalah realitas dan kebenaran hakiki, dan karenanya Allah adalah tujuan
dari seluruh kegiatan manusia. Allah adalah ultimasi, finalitas terminus dan poros bagi
seluruh aktivitas manusia. Allah adalah orientasi kehidupan individual maupun sosial.
Allah Yang Maha Suci berfirman:


dan tidak Aku ciptakan bangsa jin dan manusia melainkan untuk mengabdi-Ku.
[QS Adz-Dzariyat (51): 56]

Berikutnya, dengan tauhid lahirlah sebuah kesadaran bahwa hidup ini harus ditempuh
dengan aktifitas dan cara yang sesuai agar manusia dapat mencapai tujuannya. Ajaran
tauhid telah menunjukkan bahwa Allah-lah yang ada dibalik seluruh gerakan makhluk
dan alam semesta; di bawah bimbingan-Nya alam semesta ini koheren dan harmoni.
Keserasian dan keteraturan alam raya ini berada dalam satu hukum, yakni hukum Allah.
Oleh karena itu, untuk menggapai tujuannya manusia membutuhkan sumber bimbingan
yang sama, yakni bimbingan Allah. Bimbingan itu adalah cahaya dan petunjuk yang

94 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

diberikan melalui para utusan-Nya yang suci, para nabi dan rasul. Mumin yang baik dan
benar, adalah dia yang melalui hidup ini dengan haluan hidup (way of life) yang diberikan
Allah Yang Maha Mengetahui, yakni jalan Islam.


Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [QS Al-Jatsiyah (45):18]

95 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 11
TAUHID DAN PANDANGAN HIDUP

Tauhid adalah cahaya yang menerangi kehidupan manusia dari kegelapan. Tetapi, tauhid
baru menjadi cahaya hanya jika sentralitas tauhid itu diterjemahkan ke dalam seluruh
aspek kehidupan. Kalimah laa ilaaha illa Allah bukan saja sebagai poros keyakinan dalam
Islam, tetapi ia mengandung prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dapat digunakan untuk
meneropong berbagai persoalan kehidupan. Jika seseorang mampu menarik benang
merah dari prinsip-prinsip ini dalam realitas kehidupan artinya telah menemukan
makna-makna yang paling luas, dalam dan kaya dalam keseluruhan (keutuhan) Islam.
Seluruh aspek dalam kehidupan manusia, individual, keluarga, masyarakat, negara,
moralitas dan etika, ekonomi, pendidikan, militer, sains dan teknologi, seluruhnya
tertanam dalam paradigma tauhid ini. Dengan demikian, tauhid sebagai doktrin sentral
dalam Islam memungkinkan manusia memahami segala sesuatu yang ada di alam raya
ini.

Pandangan tauhid tentang moralitas dan hukum


Kalimah laa ilaaha illa Allah adalah ungkapan bahwa Allah adalah Realitas sesungguhnya,
segala sesuatu selain-Nya hanyalah realitas yang mumkin, yang hadir atas kehendak-Nya
saja. Allah adalah kebenaran (Al-haq), dan kebenaran adalah Allah. Oleh karena itu,
ketunggalan Allah dan ketunggalan kebenaran tak dapat dipisahkan. Tiada kebenaran
selain kebenaran yang datangnya dari Allah. Allah adalah sumber puncak seluruh
kebaikan, kesempurnaan dan nilai.

Manusia membutuhkan nilai-nilai dan norma-norma tentang benar dan salah serta baik
dan buruk sebagai pegangan bagi seluruh tindakannya, baik sebagai individu maupun
kelompok. Nilai dan norma seperti ini terkandung di dalam moralitas. Bagaimanapun
juga, manusia tanpa nilai-nilai moral sama artinya dengan menggiring dirinya ke dalam
kekacauan dan kehancuran. Manusia memiliki kehendak bebas (free will), dan berbagai
tanggung jawab lazim dibebankan pada pundaknya. Sebab tanpa tanggung jawab,
manusia tidak perlu memikirkan apakah tindakannya itu benar atau salah, merugikan
atau menguntungkan, dan lain-lain. Sebagai makhluk sosial, seorang individu
bertanggung jawab pada individu-individu lain serta seluruh masyarakatnya agar tidak
menyelisihi kepentingan bersamanya. Manusia juga harus bertanggung jawab terhadap
alam, karena manusia dan alam memiliki ketergantungan resiprokal (dua arah) yang
yang saling menopang keberlanjutan masing-masing. Tanggung jawab-tanggung jawab
seperti inilah yang menegaskan manusia membutuhkan moralitas bagi tindakan-
tindakannya.

Allah SWT secara tegas mengatakan bahwa bumi, langit dan alam semesta diciptakan
tidak sia-sia. Alam diciptakan dengan keseimbangan, koherensi, dan konsistensi yang di
dalamnya manusia memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan. Kehidupan sosial,
demikian pula, harus terintegrasi dan sejalan dengan keharmonisan alam semesta;
kehancuran kehidupan sosiologis adalah kehancuran alam semesta. Kenyataan seperti
inilah yang menjadi sumber nilai-nilai bagi moralitas manusia.

Namun demikian, seberapa kuat suatu nilai moral bertahan dalam masyarakat jika
moralitas itu didasarkan sekedar pada hubungan dengan sesamanya, atau dengan alam?

96 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Seseorang dapat menahan suatu perbuatan jahat di depan sesamanya; tetapi di


belakangnya ia dapat melakukan perbuatan tersebut karena tidak ada yang
mengawasinya. Moralitas yang seperti ini sangat lemah dan rapuh. Persoalan yang lebih
besar dan mendasar bagi moralitas manusia adalah relativitas moral (moral relativism)
yang hasilnya adalah pluralisme moral (moral pluralism). Moral relativism adalah suatu
paradigma yang menerima nilai-nilai dan standar moralitas itu sebagai relatif, tidak
mutlak. Sehingga setiap diri, masyarakat, dan bangsa dapat mengadopsi standarnya
masing-masing; inilah moral pluralism. Implikasinya, nilai-nilai moral ini menjadi tidak
permanen, tidak abadi, dan terus berubah. Suatu tindakan di suatu tempat dianggap baik,
di tempat lain dapat dianggap buruk. Hari ini suatu perbuatan dinilai salah, esok lusa
menjadi sebuah kebenaran. Inilah yang sedang terjadi di abad modern ini, suatu era yang
diletakkan diatas etika humanisme murni dan sekularisme.

Sesungguhnya, inilah tantangan terbesar bagi kemanusiaan. Di dunia Barat, perubahan-


perubahan nilai moral itu sangat mencolok mata. Jika di masa lalu mesum, narkotik,
nudisme publik dianggap tabu, saat ini menjadi suatu hal yang lumrah. Jika kelainan
dalam hal orientasi seksual dulu dianggap suatu penyakit jiwa, sekarang justru dilegalkan
ke dalam suatu perkawinan. Di dunia Timur seperti belahan Asia Timur dan Selatan, atau
Eropa Timur banyak negara yang menganut moralitas komunisme, yakni moralitas
kerakyatan, yang betul-betul humanis sekaligus materialis. Tentu saja tanggung jawab
moral terhadap rakyat tertindas adalah tindakan mulia; tetapi menetapkan moral ini
sebagai acuan pertama dan utama sama sekali mengabaikan kehidupan manusia yang
kompleks.

Inilah mengapa Dostoyevski, seorang sarjana Rusia, mengatakan bahwa seandainya


Allah tidak ada, semua diperbolehkan.34) Artinya, kehidupan dimana agama ditinggalkan
maka manusia menghadapi persoalan moralitas; meski Jean-Paul Sartre (1905-1980),
salah seorang filsuf ateis dari Perancis, dengan tegas menolak perkataan Dostoyevski
tadi.35) Tidak benar bahwa bagi orang yang tidak beragama semua hal diperbolehkan;
menurut dia, manusia memang tidak bertanggung-jawab kepada Tuhan, namun ia tetap
bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Mestinya Sartre menyaksikan fakta sejarah
bagaimana tragedi-tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh regime yang
mengandalkan moralitas ateisme.

Persoalan dan tantangan moralitas manusia dapat dijawab dengan tauhid, sebab tauhid
memperhatikan kepentingan (interest) manusia tetapi tauhid juga mengunggulinya.
Allah adalah Al-Haq dan sentralitas kehidupan yang kepada-Nya lazimnya manusia
bertanggung jawab. Manusia berasal dari-Nya, hidup untuk menjalankan tugas-tugas-
Nya, dan kelak bertanggung jawab kepada-Nya. Dalam dimensi horizontal, penciptaan
alam dan manusia, keseimbangan dan integralitasnya adalah sumber moralitas pula.
Manusia dalam tindakannya tidak saja dibatasi oleh hak-hak saudaranya sesama
manusia, tetapi juga oleh alam semesta. Dalam pandangan tauhid, manusia bertanggung
jawab kepada Allah, sesama manusia, dan alam semesta. Inilah sumber-sumber
moralitas. Allah berfirman:

97 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Bukanlah suatu kebajikan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu, akan
tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar; dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa. [QS Al-Baqarah (2): 177]

Laa ilaaha illa Allah juga meletakkan prinsip bahwa Allah adalah satu-satunya pemilik
hukum (Al-Hakim) atas alam semesta dan atas manusia. Allah yang mencipta, Dia yang
tahu karakter dan tabiat seluruh ciptaan-Nya. Hukum-Nya menjamin keteraturan dan
harmoni, intergralitas dan keutuhan sistem alam ini. Kehidupan manusia juga ada di
bawah kendalinya, keluar darinya adalah kehancuran. Allah SWT berfirman:


menetapkan hukum adalah hak Allah [QS Al-Anam (6): 57]

Dalam konteks yang lebih luas, syariat bahkan bermakna pengendalian dan pengurusan
Allah atas manusia. Syariat itu berisi adab, etika dan moral yang konsisten satu dengan
yang lain, serta hukum-hukum. Syariat adalah sumber hukum untuk mengatur
kehidupan masyarakat, bukan masyarakat yang memilih apa yang akan menjadi hukum.
Hukum Allah bukanlah hasil pikiran manusia, karenanya ia terbebas dari vested interest.
Hukum Allah itu permanen seperti halnya nilai-nilai moral (moral values); demikian pula
hukum Allah itu mensucikan. Berbeda dengan hukum yang dibuat manusia yang
mengandung terlalu banyak kelemahan, kepentingan, keberpihakan-keberpihakan pada
kelompok tertentu, mudah berubah, dan sebagainya. Hukum Allah juga bersifat
komprehensif dan fleksibel. Keluwesan hukum Allah dituangkan dalam derajat-derajat
hukum bagi perbuatan manusia (wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah), agar
manusia mudah mengikutinya. Tauhid memandang bahwa Allah adalah sumber hukum,
Allah adalah The Lawgiver, dan hukum-Nya saja yang sempurna. Allah Yang Maha
Bijaksana berfirman:

98 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? [QS Al-Maidah (5): 50]


Maka Apakah mereka mencari aturan yang lain dari aturan Allah, Padahal kepada-Nya-
lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. [QS Ali Imran (3): 83]

Seorang sarjana Barat, Jean Jacques Rousseau dalam Social Contract, pada bab The
Lawgiver mengatakan: Untuk menemukan hukum/undang-undang masyarakat yang
paling sesuai bagi bangsa-bangsa, perlu adanya sebuah kecerdasan superior yang dapat
memahami segala keinginan manusia tanpa kecenderungan pada siapapun, yang naluri
alamiahnya tidak sama dengan kita tetapi mengerti naluri alamiah tersebut sampai ke
akar-akarnya, yang kebahagiaannya tidak tergantung pada kebahagiaan kita tetapi
menjadikan kebahagiaan kita sebagai perhatiannya. Kenyataannya kita membutuhkan
seorang utusan Tuhan sebagai pembuat undang-undang.36) Islam membawa ketertiban
dan keharmonisan antara yang diciptakan besar dan kecil, antara hukum alam dan
spiritual, antara yang material dan metafisikal, individual dan sosial, keimanan dan
filsafat. Islam membantu manusia agar tidak bertubrukan dengan hukum alam yang
melandasi keberaturan alam semesta, karena pelanggaran hukum alam juga dapat
menghancurkan segala urusan manusia.37)

Pandangan tauhid tentang masyarakat


Laa ilaaha illa Allah adalah doktrin yang meletakkan pondasi dan prinsip-prinsip
bermasyarakat. Kalimah ini adalah suatu pernyataan dan pengakuan bahwa otoritas
terhadap alam dan manusia adalah kepunyaan Allah. Allah adalah sembahan satu-
satunya bagi manusia, dan manusia adalah hamba-Nya. Tidak ada dzat yang berhak
disembah kecuali Allah; ketundukan dan ketaatan manusia adalah hak Allah. Dengan
demikian, penghambaan manusia atas manusia adalah pelanggaran terhadap hak-hak
Allah, dan itu adalah sebuah kejahatan. Setiap individu manusia sama kedudukannya di
hadapan Allah. Sama dalam arti tidak ada keuggulan satu ras di atas ras lain, tidak ada
keunggulan kasta dan status sosial, pendidikan, ekonomi. Sama juga memiliki arti setiap
individu memiliki kesempatan mengabdi kepada Allah secara langsung, dan sama dalam
hal hak dan kewajiban.

Alam semesta dan masyarakat adalah kesatuan sistem tunggal. Jika alam ini teratur
karena tunduk kepada Penciptanya, maka keseimbangan kehidupan masyarakat
manusia pun sama. Manusia adalah makhluk sosial; akibatnya adalah jenis kehidupan
masyarakat yang dibentuk sangat tergantung pada pilihan-pilihan anggotanya.
Sebaliknya, suatu kehidupan sosial sangat menentukan kualitas individu-individunya.

99 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Sehingga setiap manusia memiliki tanggung-jawab yang sama di dalam menciptakan dan
memelihara keseimbangan dan keadilan masyarakatnya. Ini dapat dicapai jika seluruh
kehidupan sosial yang dibangun hanya berorientasi pada Allah semata, bukan selain-Nya.
Orang yang paling tinggi derajatnya adalah mereka yang memiliki ketundukan-
kepatuhan kepada Allah, mempunyai tanggung jawab sosial tinggi dengan kesalehan-
kesalehan mereka, bukan mereka yang berasal dari ras tertentu, kasta tertentu, dan
status sosial tertentu. Allah SWT berfirman:


Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal. [QS Al-Hujurat (49): 13]

Al-Quran mulia menyatakan bahwa risalah hadir memiliki dua tujuan besar, tauhid dan
keadilan. Tauhid adalah fundamen bagi membangun keadilan, dan keadilan tidak dapat
dibangun tanpa tauhid. Al-Quran menyebutkan:


Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". [QS An-Nahl (16): 36]


Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. [QS Al-Hadid (57): 25]

Tauhid adalah keyakinan mengenai keseimbangan dan keadilan, yakni keadilan di bawah
kekuasaan Tuhan. Kehidupan tauhid adalah kehidupan yang anti terhadap ketidak-
adilan; dan seorang muwahid siap menentang penyalah-gunaan kekuasaan dan kekuatan,
penumpukan kekayaan, dan mereka siap melawan dominansi kelas sosial tertentu atas
lainnya.

Inilah tauhid yang ditunjukkan oleh para nabi dan rasul di setiap zaman. Namun satu hal
yang paling disayangkan, lebih tepatnya sebagai tragedi terbesar di zaman kita, adalah
distorsi dan salah interpretasi mengenai tauhid sebagai prinsip paling mendasar dari
agama; sebab tidak ada lagi konsep atau doktrin dalam sejarah gagasan manusia yang
memiliki kekuatan dan potensi untuk kebebasan dan emansipasi masyarakat

100 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

tertindas.38) Tauhid bukanlah kepercayaan yang semata-mata sebagai teori intelektual


dan filsafat, tetapi sesungguhnya tauhid adalah doktrin sosial, ekonomi, dan politik juga.

Pandangan tauhid tentang politik


Meyakini laa ilaaha illa Allah artinya menerima bahwa Allah adalah penguasa tertinggi
atas alam dan manusia; Allah adalah Raja bagi langit, Dia juga Raja bagi manusia. Langit
dan bumi adalah kedaulatan-Nya. Hak memerintah penduduk langit adalah kepunyaan-
Nya, demikian pula hak-Nya atas penduduk bumi, manusia. Hak mencipta dan
memerintah adalah hak istimewa Diri-Nya. Al-quran mulia menyebutkan:






Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. [QS Al-Araf (7):
54]

Tidak ada sesuatupun yang layak menggantikan dan merampas hak-hak-Nya. Sekalipun
bumi ini diperuntukkan bagi manusia tidak berarti bahwa bumi adalah milik manusia.
Manusia diserahi bumi untuk suatu tugas menerjemahkan dan membumikan kehendak
agung-Nya atas manusia dan bumi. Manusia adalah wakil Allah di muka bumi
(khalifatulllah fil ardl) sebagai kepanjangan tangan kepengurusan Allah.


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". [Al-Baqarah (2): 30]

Seperti para malaikat di kerajaan langit, manusia adalah eskekutif bagi kebijaksanaan
Allah di kerajaan bumi dalam menegakkan keseimbangan, keadilan dan penyempurnaan
jiwa manusia. Hak menentukan kebijaksanaan (legislatif) dan menetapkan hukum
(yudikatif) tetap milik-Nya. Para nabi telah diutus dengan membawa ketentuan-
ketentuan-Nya (risalah) untuk memandu manusia. Manusia sebagai khalifahnya
diharamkan untuk melakukan intervensi dalam hukum-hukum dan ketentuan-Nya.
Intervensi terhadap ketentuan dan hukum Allah melalui vested interest dan hawahu
merusak kesempurnaan kebijaksanaan-Nya dan merusak keadilan. Jika manusia
membuat hukum, itu adalah untuk menerjemahkan hukum dan ketentuan pokok dari
Allah. Allah berfirman:

101 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, Maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. [QS Shaad (38): 26]

Dengan demikian tauhid memandang bahwa menegakkan kedaulatan politik adalah


suatu tugas suci sebagai pengejawantahan khalifah fil ardl; suatu tugas dengan tetap
meneguhkan kedaulatan Allah atas manusia. Islam bertentangan dengan demokrasi
(kehendak rakyat, suara terbanyak). Sebab Islam memberikan hak istimewa pada
kehendak Allah Sang Pencipta, daripada sekedar kecenderungan dan sentimen mayoritas
umat manusia yang tak karuan. Islam menolak tidak disertakannya Tuhan dalam kontrol
kekuasaan legislatif dan yuridis.37) Jika kedaulatan politik yang berorientasi, tunduk,
patuh dan berserah diri pada kekuasaan Tuhan, disebut sebagai kedaulatan politik Islam,
maka negara Islam sesungguhnya bukanlah semata-mata administrasi politik tetapi ia
adalah suatu otoritas politik dengan visi dan tujuan membumikan hukum Allah Yang
Maha Agung.

Pandangan tauhid tentang ekonomi


Tauhid menerima fakta bahwa Allah SWT adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu.
Tidak ada satu dalilpun yang dapat dijadikan klaim bahwa ada bagian-bagian di alam
semesta ini menjadi milik manusia. Oleh karena itu, manusia tidak berhak mengambil alih
kepemilikan alam ini dari Pemiliknya. Tanah Amerika bukan milik orang Amerika, tanah
nusantara bukan milik orang Indonesia, dan seterusnya. Allah berfirman:


Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang
dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-
orang yang bertakwa. [QS Al-Araf (7): 128]


Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika
kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS Al-Baqarah (2): 284]

Dengan demikian, konsepsi bahwa sumberdaya boleh dimonopoli dan dimiliki seluas-
luas oleh segelintir orang tidak sesuai dengan konsepsi Islam. Monopoli seperti ini

102 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

menutup akses khalayak terhadap sumberdaya secara seimbang dan menutup keadilan
bagi banyak orang. Kapitalisme modern, yang lahir sebagai hasil industrialisasi yang
sangat cepat difasilitasi oleh kemajuan sains dan teknologi yang begitu hebat,
berdasarkan ekonomi pasar bebas, tanpa atau sedikit intervensi negara, bunga dan bank.

Namun demikian, Allah juga menetapkan bahwa kekayaan bumi ini diperuntukkan bagi
manusia, dan manusia diberi keleluasaan untuk memanfaatkannya. Siapapun individu
boleh menguasai sumberdaya tetapi dengan cara-cara dan persyaratan yang telah
ditetapkan oleh syariah. Allah SWT berfirman:


Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu. [QS Al-Baqarah (2): 29]


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu. [QS An-Nisa (4): 29]

Sehingga, ide menghilangkan kepemilikan pribadi, serta harta dikuasai negara


sepenuhnya dengan alasan menjamin keadilan sosial tidak sejalan dengan Islam;
Sosialisme seperti ini percaya bahwa kontrol ekonomi secara penuh oleh negara, dan
kepemilikan penuh oleh negara atas alat-alat produksi menjadi jalan menciptakan
keadilan sepenuhnya. Menghilangkan kepemilikan individu keluar dari fitrah manusia.

Islam mengajarkan bahwa penggunaan kekayaan harus menjamin keadilan, keadilan


bukan dalam arti kesamaan penghidupan semua orang tetapi keadilan dalam arti
kesamaan kesempatan untuk berjuang untuk mendapatkan penghidupan. Kesamaan
penghidupan dalam Islam tidak dapat diterima sebab setiap orang berbeda dalam hal
kemampuan, kesempatan, dan kesanggupan untuk mendapatkan penghidupan. Dengan
demikian keadilan juga bermakna memperkecil kesenjangan ekonomi antara orang yang
kaya dengan orang yang lemah; dan membagikan kekayaan bagi orang-orang yang
membutuhkan adalah amal kebajikan dalam Islam. Al-quran mengungkapkan:

103 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH


Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya. [QS Al-Hasyr (59): 7]

Keadilan juga mencakup hak-hak hidup makhluk lain selain manusia; Manusia tidak
diperbolehkan melanggar hak-hak makhluk hidup lain di dalam pemanfaatan
sumberdaya. Allah SWT berfirman:


Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.
[QS Fushilat (41): 10]

104 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Bagian 12
MEWUJUDKAN TAUHID: PENUTUP

Pada akhirnya, sebagai seorang mumin dan muslim harus memiliki gambaran tentang
bagaimana seharusnya mewujudkan tauhid secara benar; dan hal yang paling tepat
adalah mentafakkuri dan mentadzabburi bagaimana keesaan Allah itu wujud dalam
realitas.

Sebagai perumpamaan, kita yakin bahwa matahari tak pernah berhenti bersinar yang
dengannya permukaan bumi itu menjadi terang benderang. Tetapi ada kalanya sinar
matahari itu tak sampai ke permukaan bumi, menyebabkannya menjadi gelap gulita.
Gelapnya permukaan bumi tidak berarti matahari telah berhenti bersinar; itu semata-
mata karena sinarnya terhalang oleh awan-awan tebal nan hitam. Bagaimana sinar
matahari itu dapat dirasakan kembali oleh penduduk bumi? Tentu saja jawabannya
adalah awan hitam pengalang itu harus pergi menyingkir. Demikian pula, seorang raja
yang agung dan besar, kendati sifat-sifatnya besar dan agung, tidak menjadi agung dan
besar ketika wilayah kekuasaannya diambil orang lain sementara dia dalam pelarian, dan
titah-titahnya tidak dapat diberlakukan. Untuk mengembalikan kebesaran Sang raja
maka jalannya adalah mengembalikan wilayah kekuasaan kepadanya, dan titah-titahnya
diberlakukan. Hanya dengan cara ini kebesaran sang raja dapat direalisasikan dan
dirasakan oleh rakyatnya.

Demikian halnya dengan keesaan dan kebesaran Allah SWT. Sepanjang titah-Nya tidak
berlaku, sepanjang kerajaan-Nya diambil oleh manusia-manusia melampaui batas dan
durhaka, keesaan-Nya dan keakbaran-Nya tidak terwujud. Sepanjang awan kemusyrikan,
hawahu dan rayu masih menutupi dan menguasai pikiran serta hati manusia, cahaya
tauhid tidak dapat menyinari kehidupan. Tauhidullah itu wujud ketika para hamba telah
mengembalikan kerajaan bumi ini kepada pemiliknya; lalu Dia menjadi penguasa tunggal
atas manusia dan memerintah dengan kekuasaan-Nya. Tauhid wujud manakala perintah
dan syariat Allah telah diterima dan dipraktekkan oleh manusia.

Baginda Rasulullah SAW telah menunjukkan tauhid yang sesungguhnya kepada seluruh
insan beriman. Diujung usaha mendakwahkan tauhid dan mengakbarkan Allah dia
tunjukkan dengan menumbangkan segala simbol berhala dan sistem keberhalaan yang
selama itu berlaku dan menguasai negeri Mekah. Dan sejak futuh itu, negeri Arab menjadi
negeri yang berserah diri, tunduk patuh pada satu tuhan yakni Allah, sebagai negara
Islam. Negeri yang berserah diri pada satu kebenaran, satu nilai, satu tolok ukur; negeri
yang mengacu pada satu moralitas universal, anti-penindasan, menolak penciptaan kelas
sosial, dan berkomitmen pada keadilan, yakni keadilan Allah. Allah SWT berfirman:


dan hendaklah kamu mengakbarkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur. [QS Al-Baqarah (2): 185]
Kewajiban manusia mengesakan Allah tidaklah berarti bahwa Allah itu belum esa.
Tentu saja Allah itu Esa dengan diri-Nya. Dalam konteks hubungan manusia dengan Allah,
ketunggalan-Nya seringkali tidak dapat disaksikan dan dirasakan oleh manusia

105 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

disebabkan banyak kendala. Ketika manusia menetapkan berbagai orientasi kehidupan,


memilih banyak referensi dan acuan untuk mengatur kehidupannya, maka tauhid
(menunggalkan) itu menjadi bias. Jadi persoalan mengesakan itu adalah persoalan sikap-
perilaku manusia kepada Allah.

Kehidupan tauhid adalah kehidupan yang tunggal, yakni tunggal dalam tujuan dan
orientasi hidup, tunggal dalam konsepsi, tunggal dalam rujukan dan referensi, dan
tunggal dalam aturan dan jalan hidup. Allah Yang Maha Agung berfirman:


Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh
beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi
milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? segala puji
bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. [QS Az-Zumar (39): 29]

Ketika manusia meninggalkan penciptanya dan berpaling pada konsepsi-konsepsi angan-


angan manusia, hawa nafsu, pemikiran, maka sesungguhnya manusia telah menjauh dari
tauhid. Manusia dalam situasi ini terjatuh sikap pada taktsir, yakni memperbanyak ilah
dan terjebak pada kebingungan karena satu ilah dengan ilah yang lain saling
berbenturan. Dan itulah mengapa manusia kemudian di setiap masa diperintahkan untuk
menunggalkan satu ilah, yakni Allah.

Allahu alam bish-shawab.

106 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Daftar Pustaka
1. Al-quran al-kariem
2. Al-hadits
3. Sayyid Sabiq. 2006. Aqidah islamiyah (terjemahan Al-aqidatul islamiyyati).
Robbani Press, Jakarta.
4. Murtadha Muthahhari. 2002. Manusia dan Alam Semesta. Penerbit Lentera,
Jakarta.
5. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. 2012. Kitab tauhid (terjemahan Aqidatut tauhid
kitabut tauhid lis-shaff Al-awwal Ats-tsalis Al-Aly). Ummul Qura, Jakarta.
6. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. 2012. Buku induk akidah Islam.
Darul Haq, Jakarta.
7. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. 1426H. Kitab Tauhid. Islamic Propagation
Office in Rabwah, Riyadh.
8. Syekh Ahmad Ibnu Taymiyah, Syekh Muhammad Ibnu Abdul Wahab. 1991.
Majmuatut tauhid. Darul Fikri.
9. http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_religions (diakses tgl 21 Januari
2014 )
10. Marshall Cavendish. 1995. Man, myth, and magic: An illustrated encyclopedia of
the mythology, religion and the unknown. BPC Publishing Ltd. p. 1763.
11. Al Shihah (oleh Al Jauhari)
12. Kamus Al-Misbah
13. Jafar Shadiq
14. Karen Armstrong. 2013. Muhammad: Prophet of our time. Mizan, Bandung.
15. Muhammad Husein Beheshti. 2003. Metafisika Al-Quran: menangkap intisari
tauhid. Arasy, Bandung.
16. Ayatullah Sayyid Abu'l Qasim al-Khu'i. 1978. Rationality of Islam. Islamic
Seminary Publications, Pakistan.
17. Muhammad Taqi Misbah Yazdi. 2003. Filsafat tauhid: mengenal Allah melalui
nalar dan firman. Arasy, Bandung.
18. Syekh Muhammad Abduh. 1979. Risalah tauhid, cetakan ke tujuh. Penerbit
Bulan-Bintang, Jakarta.
19. Fakhruddin Al-Razi. 2012. Kecerdasan bertauhid (terjemahan). Zaman, Jakarta.
20. William C. Chittick. 2007. Kosmologi islam dan dunia modern, relevansi ilmu-
ilmu intelektualisme islam. Mizan, Bandung.
21. Sayyid Qutb Sayyid Qutb. 1996. The Islamic Concept and Its Characteristics, (tr)
Mohammed Moinuddin Siddiqui. Delhi: n.p, pp. 156-157.
22. Muhammad Imaduddin Abdurrahim. 1980. Kuliah tauhid. Pustaka Salman ITB,
Bandung.
23. https://en.wikipedia.org/wiki/Paleolithic_religion
24. Jacques Cauvin; Trevor Watkins. 2000. The birth of the Gods and the origins of
agriculture. Cambridge University Press. Retrieved 1 April 2011.
25. James Preston. 2005. Goddess Worship: An Overview. Encyclopedia of Religion.
26. Sayyid Ali Khamenei. 2011. Mendaras tauhid mengeja kenabian. Al-Huda,
Jakarta.
27. Syaikh Shafiyyurahman. 2006. Sirah Nabawiyah (terjemahan). Pustaka Al-
Kautsar
28. Nahjul Balaghah
29. Mujahid definisi thaghut. Maalim at-tanzil

107 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

30. http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi
31. Maulana Wahiduddin Khan. 2009. Three Periods of History of Tawheed. CPS
International, New Delhi.
32. Abu Hamid Al-Ghazali. 1956. Al-munqidh min Al-dalal. Damascus: University
Press.
33. Ismail R. Faruqi (1982). Al-Tawhid and Its Implication for Thought and Life.
Herndon: HIT
34. 1 Dostoyevski
35. Sartre, Jean-Paul. 1993. Essays in existensialism. Citadel Press, New Jersey.
36. Jean Jacques Rousseau. 1762. Social contract (Translated by G. D. H. Cole, public
domain).
37. Mujtaba Musawi Lari. 2010. Islam: spirit sepanjang zaman. Al-Huda, Jakarta.
38. Ayatullah Sayyid Ali Khamenei. -----. Al-Tawhid and Its Social Implications.
Oneness of God as a World outlook, outlook of human existence and as a social
approach. Ahlul Bayt World Assembly.
39. Syed Abul Ala Maududi. -----. Economic system of Islam. Islamic Publication
Ltd. Lahore, Pakistan
40. Mahmoud Rajabi. 2003. Horison manusia. Al-Huda, Jakarta
41. Nahjul Balaghah
42. Mohammad Hashim Kamali. 2008. Membumikan syariah, pergulatan
mengaktualkan Islam (terjemahan). Mizan, Bandung.
43. Imam Khomeini. 2002. Sistem pemerintahan Islam. Pustaka Zahra, Jakarta
44. Sayyid Hossein Nasr. 2003. The heart of Islam: Pesan-pesan universal Islam
untuk kemanusiaan. Mizan. Bandung.
45. Md. Yousuf Ali. 2006. Al-tauhid and its effects on mans life. Jurnal Usuluddin, Bil
23-24:1-34
46. Karen Armstrong. 2003. A History of God. alt.binaries.e-book (PDF) and (HTML-
PIC-TEXT-PDB Bundle)
47. Manouchehr Paydar. 2003. Legitimasi negara Islam: Problem otoritas syariah
dan politik penguasa. Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.

108 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

Biodata Penulis

Penulis adalah pria kelahiran Sukoharjo Jawa Tengah pada tanggal 30


Mei 1969. Setelah tamat dari SMA Negeri Sukoharjo pada tahun 1988,
ia melanjutkan kuliah di Departemen Biologi Universitas Padjadjaran.
Setelah mendapatkan gelar sarjana Biologi pada tahun 1994, kemudian
ia meneruskan pendidikan masternya di Biologi ITB, dan dilanjutkan
dengan program doctor di Department of Environmental Science and
Human Engineering Saitama University Japan. Tahun 2005 ia mendapatkan gelar Ph.D
dari universitas tersebut dan kembali ke Universitas Padjadjaran untuk mengajar di
Departemen Biologi dan Sekolah Pascasarjana Ilmu Lingkungan (PSMIL). Saat ini ia
menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas
Padjadjaran. Selain aktif mengajar ia juga aktif terlibat dalam riset di bidang lingkungan
hidup bersama mitra-mitranya dari dalam dan luar negeri, seperti University of Tokyo,
Mie University, dan Kwansei Gakuin University Jepang, dan Radboud University dan
University of Twente di Belanda, dan BTU Cottbus di Jerman. Ia juga pernah menjadi
visiting professor dan visiting researcher di beberapa universitas mitra tersebut. Suami
dari Mutia Hapsah dan bapak dari lima anak (Ilham Yahya, Ainul Mardiyah, Ikmal
Askariyah, Mahdzar Ali, dan Himmah Aliyah) ini juga aktif dalam pengembangan
pemikiran islam, dan mendirikan Rumah Pandangan Hidup Islam (House of Islamic
Worldview) di Bandung. Banyak artikel ilmiah telah ditulis dalam jurnal nasional dan
internasional, termasuk beberapa buku diantaranya: (1) Perlindungan Lingkungan:
sebuah perspektif dan spiritualitas islam (2008), (2) Falsafah Ibadah (2013), (3)
Resettlement policy in Large Development Projects (2015, Book Chapter), dan (4)
Biodiversitas Taman Nasional Alas Purwo (2016). Buku yang kelima ini, Mengesakan
Allah, juga merupakan salah satu sumbang sih pemikiran islam darinya untuk
masyarakat Islam.

109 | P a g e
MENGESAKAN ALLAH

110 | P a g e

Vous aimerez peut-être aussi