Vous êtes sur la page 1sur 3

Polusi Sungai Citarum

Masalah lingkungan yang menarik perhatian saya adalah tentang masalah polusi di Sungai
Citarum. Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa dan bertanggung jawab untuk
menyuplai air untuk 28 juta masyarakat serta luas area pertanian sebesar 420.000 hektar. Sungai
Citarum juga menopang sebesar 20% GDP Indonesia dengan banyaknya industri yang berada di
sepanjang sungai tersebut. Meskipun peran Sungai CItarum sangat signifikan bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya, Sungai Citarum dipublikasikan oleh huffington post sebagai salah satu sungai
paling tercemar di dunia.
Menurut BPLH Sungai Citarum telah mengalami penurunan kualitas air yang cukup signifikan
sehingga tidak layak dipakai untuk kebutuhan sehari hari. Penurunuan kualitas air ini dapat dilihat
dari warna sungai yang terkadang berwarna merah, kuning, atau hijau karena konsentrasi pewarna
tekstil yang besar. Kualitas hidup orang yang hidup di bantaran sungai tersebut juga
merepresentasikan kualitas Sungai Citarum. Penduduk yang tinggal di bantaran sungai tersebut sering
terkena diare, disentri, dan iritasi kulit.
Permasalahan penurunan kualitas Sungai Citarum dapat dikerucutkan menjadi 1 masalah
besar, yaitu ketidakpedulian terhadap limbah. Limbah tersebut dapat berupa limbah domestik dan
limbah industri. Limbah domestik datang dari penduduk yang tinggal di bantaran Sungai Citarum.
Limbah domestic tersebut biasa berupa sampah (plastik dan sampah lainnya) dan air limbah rumah
tangga yang tidak diproses sebelum dibuang ke sungai. Hal ini seharusnya tidak mempengaruhi
kualitas air secara signifikan. Tetapi dengan jumlah penduduk di bantaran sungai yang sangat banyak,
jumlah limbah rumah tangga juga sangat banyak sehingga menurunkan kualitas sungai secara drastis.
Sungai Citarum merupakan salah satu pusat industri di Indonesia. Industri terbesar yang
terdapat di sana diantaranya adalah tekstil, logam, dan elektronik [1]. Berbeda dengan limbah
domestik, limbah industri memiliki standar untuk diolah sebelum boleh dibuang. Namun industri yang
mengolah limbahnya hanya 47.2% dari pabrik yang berada di dekat sungai tersebut. Lebih parahnya
lagi, hanya 39,5% dari industri tersebut yang memenuhi baku mutu. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh greenpeace, limbah industri sangat berpengaruh terhadap keasaman air (pH),
kontaminan organik yang berkaitan dengan BOD dan COD, dan kandungan logam berat.
Ada tiga hal yang ditemukan oleh greenpeace berkaitan dengan tiga data tersebut. Pertama,
ditemukan bahwa ada 2 titik ekstrim perubahan keasaman yang terletak di Margaasih (pH 10,3) dan
Cihaur (pH 3,06). Diduga perubahan keasaman di daerah Margaasih terjadi karena limbah yang
dihasilkan pabrik tekstil. Sementara perubahan di daerah Cihaur diduga oleh pabrik obat yang
langsung membuang limbah tanpa mengolahnya lebih dulu. Kedua untuk kontaminan organik,
penilaian dilakukan dengan menghitung BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical
Oxygen Demand). Data yang didapatkan dari penelitian greenpeace, nilai BOD di Sungai Citarum lebih
besar sekitar 43 hingga 261 kali, sementara nilai COD lebih besar sekitar 11 sampai 111 kali diatas baku
mutu. Ketiga, di beberapa lokasi pengambilan sampel air, krom heksavalen (Cr6+), tembaga (Cu), Zinc
(Zn), timbal (Pb), merkuri (Hg), mangan (Mn) dan besi (Fe) berada pada konsentrasi yang
membahayakan. Menurut hasil penelitian tersebut, kandungan logam tersebut disebabkan oleh
proses dyeing dan printing yang dilakukan oleh industri tekstil. Selain ketiga faktor tersebut ada juga
senyawa organik berbahaya yang terkandung pada air sungai.
Seperti yang dijelaskan di awal, penyebab polusi di Sungai Citarum adalah ketidakpedulian
terhadap limbah. Dengan demikian solusi yang diterapkan harus terfokus untuk membuat domestik
dan industri lebih memperhatikan limbah yang dibuang. Langkah langkah yang bisa dilakukan adalah
penegakan kebijakan limbah yang lebih baik dan perubahan bahan baku industri sehingga memakai
bahan non-kontaminan dan non-toxic dalam produksi.
Penegakan kebijakan limbah yang lebih baik erat kaitannya dengan pengadaan kebijakan
yang jelas. Tertulis jurnal Greenpeace bahwa Hingga saat ini belum ada peraturan khusus yang
mempromosikan implementasi prinsip pencegahan pencemaran secara komprehensif dalam
pengelolaan limbah B3 maupun pengendalian pencemaran air. Menurut saya dengan adanya standar
untuk pengelolaan limbah, maka industri tidak akan semudah itu mendapatkan izin operasi jika tidak
memenuhi standar yang ada. Sehingga dapat dipastikan penurunan dalam jumlah limbah yang masuk
ke sungai dan juga penaikan kualitas limbah sehingga tidak mengurangi mutu baku.
Sementara itu, perubahan bahan baku produksi mengarah kepada pemakaian bahan baku
yang ramah lingkungan. Pada industri industri tersebut, dipakai banyak senyawa organik bercaun
serta banyak logam berat untuk mempercepat produksi dan lebih murah jika dibandingkan bahan
baku ramah lingkungan. Bahan bahan tersebut dapat berupa natural dye yang diambil dari bunga
atau rempah rempah, sehingga limbahnya pun bersifat organik dan dapat diolah menjadi bahan lain.
Sementara, untuk alternatif logam berat ilmuan menemukan sebuah lakase dari fungi yang memiliki
sifat sifat yang sama dengan logam logam tersebut.

Sumber:
https://www.chemistryworld.com/news/environmentally-friendly-alternative-to-toxic-heavy-metals-in-paint-
/5823.article
http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/469211/Full%20report%20_Bahan%20Beracun%20Lepas%20
Kendali.pdf
http://www.huffingtonpost.co.uk/2014/04/11/citarum-river-pollution-p_n_5132799.html
http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/toxics/Air/citarum/

Vous aimerez peut-être aussi