Vous êtes sur la page 1sur 5

Bab 5

Perbedaan-perbedaan antarpembelajar Bahasa

A. Pembelajar Bahasa
Pembelajar Bahasa kedua biasa dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Izzo
(1981), factor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua bias dibagi menjadi
tiga kategori besar : factor personal, factor situasional, dan aspek linguistik. Sebagai contoh,
model akulturasi yang dirumuskan Schulmann (1978) menyatakan bahwa proses-proses
kognitif seperti imitasi, generalisasi, inferensi dan memori, semuanya akan mempengaruhi
pada bagaimana bahasa kedua diakuisisi. Model ini memandang bahwa ada jarak social dan
jarak psikologis antara pmbelajar dengan budaya bahasa target dan bahwa pembelajaran
dipengaruhi juga oleh sikap pembelajar terhadap bahasa pertamanya endiri, motivasi
pembelajar serta tingkat kecemasan / kecemasan pembelajar.
Gardner (1979) model ini menekankan pada kondisi-kondisi sosial yang terjadi
pada saat seseorang belajar bahasa kedua. Kerangka yang diusulkan oleh Dulay, Burt, dan
Krashen (1982) menyatakan bahwa ada mekanisme pengolahan internal yang
mempengaruhi jenis input apa saja yang diambil oleh pembelajar dari lingkungan bahasa
untuk kemudian diolah. Ada peneliti lain, yaitu McLaughlin (1987) yang memaparkan
proses akuisisi bahasa dengan menggunakan perspektif kognitif. Pembelajaran bahasa
dipandang sebagai akuisisi terhadap keterampilan kognitif yang kompleks, yakni harus
melakukan berbagai macam tugas sampai tugas-tugas itu dapat dilakukan secara otomatis
oleh pembelajar.

B. Proses Akuisisi
Bahasa yang sedang dalam proses perkembangan ini disebut sebagai interlanguage (
Selinker, 1974 ). Interlanguage terletak ditengah-tengah antara bahasa pertama dengan
bahasa target sehingga dalam benaknya ada sebuah system yang berbeda dari sistem bahasa
pertamanya, tetapi sistem ini masih belum sempurna sehingga disebut anterlanguage, di
mana inter berarti antara. Artinya ketika siswa mulai belajar B2 siswa mengerti sedikit
mengenai B1 dalam benak siswa ada kesimpulan bahasa B2 tidak sama dengan B1 sehingga
siswa mengalami kesulitan. Ketika siswa belajar banya mengalami kesalahan, seperti yang
dikatakan Corder kesalahan-kesalahan itu meliputi: penambahan yang tidak perlu,
pengurangan yang berlebihan, substitusi yang tidak tepat dan susunan kata yang salah. Tiap-
tiap kesalahan ini biasa terjadi pada level bahasa yang berbeda-beda, seperti bias terjadi pada
level fonologi atau ortografi, level kosakata, level tata bahasa dan level wacana.
Generalisasi berlebihan terjadi ketika aturan yang sudah diketahui sebelumnya
diterapkan pada situasi baru, padahal sebenarnya aturan itu tidak berlaku seperti itu.
Interlanguage atau bahasa antara yang terbentuk dalam bentuk pembelajar adalah
perwujudan dari aturan-aturan linguistik yang rumit. Interlanguage dari beberapa pembelajar
B2 mengalami perkembangan secara terus menerus dan pada akhirnya menjadi sangat mirip
dengan sistem yang dimiliki oleh para penutur asli (dan ketika ini terjadi, si pembelajar
dikatakan sudah menguasai B2 itu). Namun ada kasus-kasus ketika struktur-struktur dalam
bahasa antara mengalami fosilisasi atau pembekuan : atau struktur-struktur yang salah
tetap bertahan dan tidak bisa hilang dari pikiran pembelajar, sehingga pembelajar gagal
untuk menguasai aturan-aturan bahasa target yang dipelajarinya.

C. Gaya Belajar
Individu memiliki gaya belajar yang berbeda dengan individu lain biarpun mereka
belajar materi yang sama. Semua orang memiliki gaya belajar sendiri-sendiri dimana gaya
belajar ini dipengaruhi oleh karakteristik personal, karakteristik lingkungan dan pilihan
persepsi, orientasi kognitif dan kebutuhan social (Galloway dan Labarca, 1990). Gaya belajar
terdiri dari cirri kognitif, cirri afektif, dan cirri fisiologis. Papalia (1986) berpendapat untuk
mengukur perbedaan gaya belajar siswa ada tujuh aspek: (1) gaya kognitif; (2) mode
pancaindrawi; (3) mode pembelajaran interaktif; (4) kebiasaan kerja; (5) ciri kepribadian; (6)
tingkat ketergantungan intelektual; dan (7) tingkat kemandirian intelektual dan orisinalitas.
Selanjutnya Reid (1987) membagi gaya bahasa menjadi empat modalitas/ jenis
dasar yaitu: (1) modalitas visual/ penglihatan; (2) modalitas auditori/ pendengaran; (3)
pembelajaran kinestetik; dan (4) modalitas tactile/kesigapan. Ada beberapa hal yang tidak
diinginkan yang bisa terjadi ketika informasi tentang gaya belajar digunakan secara tidak
tepat. Siswa bisa jadi akan dipandang dengan menggunakan prasangka-prasangka/ stereotip
yang telah dibentuk oleh guru bedasarkan respon yang diberikan siswa. Siswa belum tentu
melaporkan secara akurat apa yang mereka lakukan dalam sebuah tugas pembelajaran.

D. Strategi Pembelajaran
Siswa dapat belajar bahasa kedua dengan menggunakan bebagai macam cara.
Strategi pembelajaran memungkinkan siswa untuk mengembangkan kompetensi pada bahasa
target dengan menggunakan berbagai macam teknik untuk membantu mereka dalam
memahami, menyimpan dan mengingat kembali informasi-informasi baru dan keterampilan-
keterampilan baru, Chamot dan Kupper, (1989). Strategi pembelajaran yang digunakan
siswa-siswi sekolah menengah telah diteliti oleh Ramirez (1986) dan Chamot dan Kupper
(1989). Menurut mereka ada delapan strategi yang menurutnya dapat memberikan kontribusi
yang berbeda-beda terhadap kesuksesan dari para pembelajar remaja di sekolah menengah
ini: (1) meminta penjelasan atau verifikasi; (2) penggunaan ketrampilan inferensi atau
penalaran deduktif, (3) menciptakan peluang-peluang untuk praktik; (4) menghafal; (5)
menggunakan teknik-teknik yang menggunakan pembelajaran kosakata; (6) menggunakan
isyarat-isyarat linguistic dan kontekstual yang ada; (7) mampu menguasai kinerja yang ada
pada diri sendiri; dan (8) praktik.
Chamot dan Kupper (1989) melakukan sebuh penelitian terhadap siswa-siswa yang
menggunakan tiga kategori pembelajaran umum berikut ini: (1) strategi metakognitif, yaitu
ketika pembelajar berpikir tentang proses pembelajaran yang sedang dijalaninya, sehingga
pembelajar membuat perencanaannya sendiri bagi proses pembelajarannya sendiri; (2)
strategi kognitif, yaitu dimana pembelajar berinteraksi dengan materi yang dipelajari; dan (3)
strategi sosial dan afektif dimana siswa berinteraksi dengan orang lain dengan orang lain atau
menggunakan kendali afektif untuk mmbntu dirinya di dalam mmpelajari sebuah tugas.
Pembelajar yang baik menurut Rubbin adalah pembelajar yang,
1. Memiliki kemauan dan mampu menebak dengan akurat
2. Memiliki dorongan yang kuat untuk berkomunikasi
3. Tidak merasa malu / segan dan bersedia mengalami kesalahan ketika belajar atau ketika
mencoba berkomunikasi.
4. Memfokuskan pada bentuk-bentuk bahasa dengan melihat pada pola-pola dan
mengklasifikasikan serta menganalisisnya.
5. Memanfaatkan semua peluang yang ada untuk praktik.
6. Membantu ucapan-ucapannya sendiri serta ucapan-ucapan orang lain disekitarnya.
7. Memerhatikan makna.
Pembelajar yang baik menurut Rubbin menggunakan beberapa strategi tertentu,
misalnya strategi kognitif ( yaitu nomor 1,4,6,7 di atas), strategi afektif (2 dan 5di atas) dan
karakteristik kepribadian (nomor 3 di atas).

E. Strategi-strategi Komunikasi
Ada beberapa klasifikasi atau tipografi dari strategi komunikasi yang telah
dirumuskan. Tipologi dari Tarone (1980) menggunakan perspektif interaksional yaitu dia
memandang bahwa strategi komunikasi adalah berfungsi untu menjembatani kesenjangan
antara pengetahuan linguistic dari pembelajar B2 denga lawan bicaranya di dalam situasi
komunikasi nyata. Untuk mengatasi masalah-masalah komunikasi, si pembelajar B2 dapat
menggunakan : strategi transfer dari B1,strategibahasa kedua, atau bisa menggunakan
strategi reduksi Willems (1987) menggunakan data dari penelitian Faerch dan Kasper (1987)
untuk membuat tipologi dari strategi komunikasi yang membagi strategi-strategi komunikasi
menjadi dua, yaitu strategi komunikasi negatif (strategi reduksi). Cara-cara yang digunakan
dalam kedua jenis strategi ini ada bermacam-macam, termasuk di dalamnya strategi
interlingual, strategi intralingual dengan bahasa kedua, rencana psikolinguistik dan strategi
paralinguistic yang yang bersifat non-verbal.
Ellis (1985) dalam tinjauannya terhadap temuan-temuan dari penelitian empiris
mengenai strategi komunikasi menyimpulkan bahwa masih belum ada kejelasan tentang apa
dampak dari strategi komunikasi itu terhadap perkembangan linguistik pembelajar.
Penggunaan berbagai macam strategi tampaknya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
level profisiensi yang sudah dicapai pembelajar, situasi pembelajaran, kepribadian
pembelajar, dan jenis masalah linguistik yang dihadapi. Dalam kelas interaktif yang
beriorentasi pada profisiensi, pengembangan strategi komunikasi bagi para pembelajar
semestinya adalah sebuah tujuan pengajaran yang penting untuk dicapai karena dapat
diarahkan untuk membantu pembelajar dalam menguasai kompetensi strategis.

F. Sikap, Motivasi, dan Kecemasan Pembelajar


Pembelajaran kedua mengharuskan para pembelajar untuk menggunakan strategi-
strategi pembelajaran secara sadar, adanya kesedihan untuk berlatih, serta pembelajar perlu
memiliki keinginan yang kuat untuk berkomunikasi, serta pembelajar perlu memiliki sikap
positif terhadap bahasa target. Gardner dan Lambert (1972) telah memperkenalkan dua
konsep, yaitu motivasi interatif dan motivasi instrumental untuk menggambar kan apa yang
terjadi ketika seseorang belajar sebuah bahasa kedua. Seorang pembelajar yang memiliki
motivasi integratif adalah pembelajar yang belajar bahasa kedua karena minat pribadi yang
sungguh-sungguh terhadap orang dan budaya lain 9Gardner dan Lambert, 1972:132 )
sementara pembelajar yang memiliki motivasi instrumental adalah pembelajar yang tertarik
untuk menguasai bahasa kedua demi tujuan-tujuan lain di luar bahasa seperti agar bisa lulus
ujian.
Brown (1981) mengidentifikasi bahwa ada jenis motivasi : (1) motivasi global,
yaitu orientasi umum terhadap tujuan pembelajaran, (2) motivasi situasional, yaitu motivasi
yang berbeda-beda tergantung konteks dimana pembelajaran itu terjadi, dan (3) motivasi
tugas yaitu dorongan kemauan untuk melaksanakan berbagai jenis tugas pembelajaran.

Vous aimerez peut-être aussi