Vous êtes sur la page 1sur 75

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahma, bimbingan dan petunjuk serta hidayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu..

Saya menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini tidak mungkin
terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak.

Akhirnya kata saya meminta maaf atas kesalahan serta kekhilafan yang penulis perbuat baik
sengaja maupun tidak sengaja. Saya berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi semua
pihak. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk serta rahmat-Nya kepada kita semua.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, April 2012

Penulis

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios
yang artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai
dalam berbagai bentuk.

Dalam kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.

Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan
moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya
menimbulkan bencana.
Dalam perkembangan sejarar etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu,
hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang
menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan
setiap kegiatan manusia mengejar tujuan, tujuan manusia adalah mendapatkan kebahagiaan.

DAFTAR ISI

BAB I. KATA PENGANTAR

BAB II. PENDAHULUAN

BAB III. PEMBAHASAN

I.PENGERTIAN AKSIOLOGI

II.KEGUNAAN AKSIOLOGI TERHADAP TUJUAN ILMU PENGETAHUAN

III. TEORI TEORI TENTANG NILAI

Objektivisme atau Realisme Aksiologi


Subjektivisme Aksiologi
Nominalisme Aksiologis atau Skeptisime (Emotivisme) Aksiologi.

IV. TEORI ETIKA

Perbedaan Normatif dengan Metaetik


Perbedaan Teleologis dengan Deontologis
Teori Etika Teleologis
Teori Etika Deontologis

V. JUSTIFIKASI MORALITAS

Etika Egoisme
Egoisme Psikologis
VII. TEORI TEORI ANALITIK ATAU MATAETIK

Teori teori Kognitivis dan Nonkongnitif..


Fallasi dengan Naturalistik.

VIII. ETIKA RELATIVISME

Relativisme Sosiologis.
Relativisme Etik.
Relativisme Metaetik.

BAB IV. PENUTUP

BAB V. DAFTAR PUSTAKA

BAB II . PEMBAHASAN

I.PENGERTIAN AKSIOLOGI

Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios
yang artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai
dalam berbagai bentuk.

Dalam kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.

Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :

1. Moral Conduct yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social
politik.

Menurut pandangan Kattsoff aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki


tentang hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.. Dan Barneld
juga
aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang nilai-nilai, menjelaskan berdasarkan
kriteria atau prinsip tertentu yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia

II.KEGUNAAN AKSIOLOGI TERHADAP TUJUAN ILMU PENGETAHUAN

Menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa
pengetahuan adalah kekuasaan. Ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidupnya dan ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk
melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. .

Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Filsafat sebagai pandangan hidup.

Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.

1. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar
dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah masalah itu dapat diselesaikan

III. TEORI TEORI TENTANG NILAI

Permula adanya teori umum dari terjadinya perdebatan antara Alexius Meinong dengan
Christian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Alexius Meinong
berpendapat sumber nilai adalah perasaan (feeling) atau perkiraan adanya kesenangan
terhadap suatu objek. Christian von Ehrenfels berpendapat sumber nilai adalah hasrat atau
keinginan (desire). Menurut pendapat keduanya nilai adalah milik objek itu sendiri .

Objektivisme atau Realisme Aksiologi


Penetapan nilai merupakan suatu yang dianggap objektif. Alexander mengatakan nilai, norma,
ideal, dan sebagainya merupakan unsure atau berada dalam objek atau berada pada realitas
objek . Penetapan suatu nilai memiliki arti benar atau salah, meskipun penilaian itu tidak dapat
diverifikasi, yaitu yang tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu.

Pendukung dari objektivisme aksiologi mencangkup Plato, Aristoteles , St. Thomas Aquinas,
Maritain, Rotce, Alexander , dan lain- lainnya.

Beberapa bentuk Ekspresi Objektivisme Aksiologi:

1. Bosanquet ( idealisme )
Nilai adalah kualitas tertentu dari suatu objek, kejujujuran apa adanya, tetapi
manifestasinya diilhamkan kedalam sikap pikiran manusia.

1. Scheler (fenomenologi)

Nilai adalah esensi yaitu entitas yang ada dengan sendirinya yang diintuisikan secara
emosional.

1. C.I. Lewis (Pragmatisme konseptual)

Penetapan nilai tunduk pada standar yang sama pada pengetahuan dan validitas seperti halnya
penilaian empiris kognitif lainnya.

1. G. E. moore ( Intuisime)

Nilai adalah suatu yang tidak dapat diterangkan , yakni tidak dapat dianalisis, tidak dapat
direduksi dari terma itu sendiri,meskipun nilai adalah suatu tindakan.

Subjektivisme Aksiologi

Penentuan nilai mereduksi penentuan nilai ke dalam statemen yang berkaitan dengan sikap
mental terhadap suatu objek atau situasi dan penentuan sejalan dengan pernyataan benar atau
salah. Subjektivisme aksiologi cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonism,
sebuah teori yang mengatakan kebahagian sebagai criteria nilai dan naturalism yang meyakini
bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam psikologis.

Pendukung subjektivisme aksiologi adalah Hume , Perry, Prall, Parker, Santayana, dan lainnya.

Beberapa bentuk Ekspresi Subjektivisme Aksiologi :

1. Hume ( skeptisime )

A memiliki nilai berarti orang menyukai A

1. Sarte (eksistensialisme)

Nilai adalah kualitas empiris yang tidak dapat dijelaskan menyatu dengan kebahagian perasaan
daripada berpikir bagaimana kita ingin merasakannya.
1. D. H. Parker (humanisme)

Nilai merupakan pengalaman , tidak berwujud objek.

1. Perry (naturalisme)

Semua objek dari kepentingan sebagai suatu hubungan yang saling terkait antara kepentingan
dengan objek.

Nominalisme Aksiologis atau Skeptisime (Emotivisme) Aksiologi.

Pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk
membujuk yang semua itu tidak faktual.

Emotivisme : Nilai adalah suatu nilai yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif walaupun
memiliki makna secara faktual.

Asal mula emotivisme yaitu dengan adanya G. E. Moore mengajarkan tentang kebahagian yang
tidak dapat dijelaskan tetapi kebaikan secara factual dletakkan pada suatu tindakan atau objek,
dengan I.A.Richard membedakan antara makna factual dan makna emotif.

Pendukung emotivisme aksiologi adalah Nietzsche,Ayer, Stevenson, Carnap, dan lainnya.

Beberapa bentuk Ekspresi Subjektivisme Aksiologi :

1. Nietzsche ( relativisme aksiologi)

Nilai adalah sebuah ekspresi perasaan dan kebiasaan daripada sebuah pernyataan terhadap
suatu fakta.

1. Ayer ( logika positivism)

Nilai adalah fungis ekspresif , member cela bagi perasaan , dan statemen yang bersifat emotif
atau nonkognitif.

1. Stevenson (logika empirisme)

Nilai adalah fungsi persuasive dan tidak memiliki objek kesalahan seperti benar dan salah,
maka persuasi diperlukan dapat diterima.

IV. TEORI ETIKA

Perbedaan Normatif dengan Metaetik

Dalam teori etika yang normative dan metaetik harus dibedakan dan dapat dilakukan :
1. Etika normative yaitu mengidentifikasikan satu atau lebih dari prinsip moral secara luas
yang setiap orang menggunakannya sebagai petunjuk, kode moralitas yang bersifat
ideal atau benar.
2. Etika Metaetik yaitu menganalisis satu atau lebih cara untuk penentuan moral yang
diterapkan secara actual.

Etika normatif dibedakan menjadi teleological atau deontologikal atau varian dari kombinasi
keduannya (masalah yang berkaitan dengan nilai). Sedangkan metaetika dibagi menjadi
kognitifis atau nonkognitifis.

Perbedaan Teleologis dengan Deontologis

Fakta fakta yang harus dipertimbangkan dalam pembedaan teori etika yang bersifat teleologis
dengan deontologis yaitu:

1. Memperhatikan tingkat penegasan daripada dasar pengeluaran timbal balik.


2. Unsur unsur dari teleologis dan deontologis ddapat ditemukan dalam teori etika
tertentu.
3. Terdapat perbedaan interprestasi yang dilakukan filosof terhadap setiap teori etika yang
lain.
4. Interprestasi sangat luas sebagian besar etika formalisme dan etika intuisime ke dalam
deontologis dan semua etika naturalistic yaitu hedonism, utilitarisme kedalam
kelompok teleologis.

Menurut Bentham teleologis adalah kebaikan konsekuensi dan nilai moral adalah hasilnya.

Deontologis adalah member jawaban yang berbeda berdasarkan cabang keduanya yaitu formal
atau intuisionistik.

Teori Etika Teleologis

Teori etika berkaitan dengan hasil akhir atau kebaikan ketimbang sebagai kewajiban moral.
Teori teleologis lebih cenderung mengembangkan satu kebaikan intrinsic a priorir sebagai
sebuah moral standar seperti kebahagian.

Pada saat teori teleologis bersifat naturalistik maka :

1. Penentuan etis dapat direduksi atau dianalisis ke dalam nonetis atau istilah deskriptif.
2. Penentuan etis dalam arti hasil akhir yang bersifat duniawi sebagai kebalikan dari
spiritual atau kebaikan yang lain.

Beberapa contoh teori etika teleologis :

i. Plato dan Aristoteles (eudnemonisme Yunani)

Baik adalah kesenangan sebagai sesuatu yang baik atau pemenuhan tujuan seseorang.

ii. Epicurus ( hendonisme egoistic)


Baik adalah kesenangan atau tidak ada yang sakit (kesenangan dalam pikiran).

iii. Bentham dan Mill (Ultilarianisme hedonistik atau hedonisme universalistic).

Baik adalah kebahagian tertinggi dalam jumlah besar.

iv. Perry (naturalisme)

Baik adalah objek dari semua kepentingan sebagai sebuah sikap rasional.

v. Paley ( utilitarianisme )

Baik adalah apa yang dikehendaki oleh Tuhan untuk kebahagian manusia.

Teori Etika Deontologis

Etika deontologis menekankan sifat pembuktian dari yang benar menjadi sesuatu yang lahir
sari penalaran, intuisi, dan rasa moral. Tindakan deontologis merupakan salah satu bentuk dari
etika kontekstual.

V. JUSTIFIKASI MORALITAS

Etika Egoisme

Setiap orang harus melakukan kepentingan pribadinya dan mengabaikan kepentingan orang
lain kecuali jika ada kaitannya dengan kepentingan pribadi.

Kepentingan sesorang seharusnya memaksimalkan kesenangan sendiri dan secara umum. Dan
penganut etika egoisme lainnya adalah protogoras dan filosoft yunani.

Egoisme Psikologis

Egoisme psikologi adalah sebuah teori etika tidak memiliki makna , karena tidak seorang pun
dapat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya.

VI. TEORI TEORI ANALITIK ATAU MATAETIK

Mataetik adalah sebuah kajian tentang moral atau penilaian moral sebagai kebaikan dari etika
normative deskriptif dan analisis daripasa preskriptif dan substantive.
Teori teori Kognitivis dan Nonkongnitif..

Teori kognitivis yaitu menyatakan term atau pernyataan etis itu bersifat informatif.

Teori nonkronganitif yaitu menolak term atau pernyataan etis itu bersifat informatif.

Fallasi Naturalistik.

Fallasi naturalistic adalah nama dari sebuah usaha dalam teori metaetika yang mendefinisikan
etis (nonnatural) ke dalam istilah nonetis (natural) mendefinisikan baik sebagai kesenangan.

VII. ETIKA RELATIVISME

Dalam teori etika relativisme menolak keberadaan standar moral secara luas.

Relativisme Sosiologis.

Relativisme sosialogis menyatakan bahwa fakta merupakan keyakinan moral yaitu berbeda
antara budaya satu dengan lainnya.

Relativisme Etik.

Menyatakan keyakinan moral adalah benar.

Relativisme Metaetik.

Mengatakan bahwa jika ada ketidaksepakatan moral, mungkin itu benar.

PENUTUP

KESIMPULAN

Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios
yang artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai
dalam berbagai bentuk

Kegunaan aksiologi terhadap ilmu pengetahuan:

1.Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.

2.Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar
dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah masalah itu dapat diselesaikan

Dan aksiologi terdiri dari berbagai macam sub seperti teori teori tentang nilai , teori etika,
justifikasi , teori-teori analitik atau mataetik dan etika relativisme.

DAFTAR PUSTAKA

Sumatriasumatri Jujun S.Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar


Harapan. 1988.
Hunnex, Milton D . Peta Filsafat. Jakarta: Teraju. 2004.
Habid, H. Mohammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2010 dan 2011.

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2124658-dimensi-aksiologi-dalam
filsafat-pendidikan/
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan manusia
istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah
yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Dia mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah
dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan.
Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada filsafat atau pengetahuan.
Salah satu kajian di dalam filsafat ilmu adalah aksiologi yang mana aksiologi yaitu kegunaan
ilmu pengetahuan bagi manusia. dalam hal ini menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya
kegunaan ilmu? Tentu saja jawaban setiap orang itu akan berbeda-beda. Oleh karena itu
dalam makalah ini kami sangat tertarik untuk membahas lebih jauh megenai dimensi
aksiologi.

B. Tujuan Penulisan
Dari latar belakang diatas dapat kia ambil tujuan dari penulisan makalah ini. Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini yaitu kami akan menjelaskan tentang dimensi aksiologis di
dalam kajian filsafat ilmu serta teori-teori yang membahas mengenai dimensi aksiologis
tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos
artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika[1]. Dalam
Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value
and valuation
Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian[2].
Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau
nilai dia[3].
Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios
yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama.
sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. (Koento,
2003: 13). Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi
aksiologi :
a. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh[4].
b. Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu[5].
c. Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer
mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi
lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara
moral.
d. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan
estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku
orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang
karya manusia dari sudut indah dan jelek.
e. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai
yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan[6].
Menurut Bramel dalam Amsal (2009), Aksiologi terbagi tiga bagian[7] :
1) Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2) Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3) Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social
politik.

B. Aksiologi Nilai Kegunaan Ilmu


Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika
dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi
kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan
pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam
memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai
subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada
ilmu dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia
agar lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi
karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan
teknologi. Berkat sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan
lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan,
pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang,
disamping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi
teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun
sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai
mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang?
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya
merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa
malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia
bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi
dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan
bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari
alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu
golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai
baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi
terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam
penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral golongan kedua mendasarkan pendapatnya
pada beberapa hal yakni: Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh
manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan
teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui
apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.Ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan
sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S.
Suriasumatri yaitu bahwa pengetahuan adalah kekuasaan apakah kekuasaan itu merupakan
berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan
ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk
melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya[8].

C. Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan


Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak
dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia,
dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut
Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa pengetahuan
adalah kekuasaan apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat
manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak
bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan
alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral,
ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat
ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika
seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau
sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan
mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya
diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan
hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi
banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita
tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah
itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang
sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka
biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya
dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

D. Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu


Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta.
Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang
akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima
oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang
membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada
objektifitasnya.Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan
kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam
menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang
ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya
be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat
pada nilai subjektif[9].

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut: Menurut
bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau
ilmu. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika
dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai
untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.

B. Kritik dan Saran


Kepada para pembaca yang budiman di dalam penulisan makalah ini kami yakin
terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi maupun penulisannya, hal itu disebabkan oleh
terbatasnya ilmu yang kami milikioleh karena itu, kami berharap kepada para pembaca agar
dapat memberikan kritik dan sarannya kepada kami supaya kami dapat lebih bisa
mengembangkan tulisan kami berikutnya

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra. . Integrasi Keilmuan. Jakarta : PPJM dan UIN Jakarta Press.
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Bidin, Masri Elmasyar, dkk. . Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum.
Jakarta : UIN Jakarta Press.
Kattsoff, Louis O. 2004. Unsur-Unsur Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Salam Burhanuddin. 1997. Logika Materil, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Reneka
Cipta.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Wihadi, Admojo, et.al. 1998. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Filsafat dalam bahasa arab berarti falsafah, dan dalam bahasa yunani philosopia yang
mempunyai arti philos adalah cinta dan sopia adalah pengetahuan atau dalam artian
philosopia adalah cinta kepada kebijaksanaan / kebenaran.

Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan tindakan, dalam filsafat juga ada yang
mempelajari tentang Aksiologi yang sangat berguna untuk berfilsafat. Keingintahuan adalah
salah satu pemicu kita untuk berfilsafat, dan begitu juga dengan keragu-raguan, filsafat
merupakan pemikiran secara rasional.

Jika mempelajari Aksiologi maka kita telah mempelajari sebagian cara berfilsafat,
dimana berfilsafat itu sangat penting dan jika kita tidak berfilsafat kita tidak akan maju, itu
dalam artian berfilsafat adalah berfikir secara abstrak.

2. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah :

1. Apakah Aksiologi itu ?


2. Dan apa saja kah yang di bahas dalam Aksiologi itu ?

3. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Agar kita mengetahui apa itu Aksiologi.


2. Agar kita dapat memahami apa saja yang di bahas dalam Aksiologi.

BAB II

PEMBAHASAN

1. AKSIOLOGI MASALAH NILAI

1. Apakah yang-baik itu


Bersama dengan filusuf-filusuf yang lain, socrates berpendapat bahwa masalah yang
pokok adalah kesusilaan, tetapi semenjak masa hidup socrates masalah hakikat yang-baik
senantiasa menarik banyak kalangan dan dipandang bersifat hakiki serta penting untuk dapat
mengenal manusia.[1]

Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan bahwa baik merupakan pengertian
yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu.[2]

2. Makna yang dikandung oleh Nilai dan Yang-Baik

Kata baik dipakai dalam arti yang berbeda-beda dalam masing-masing pernyataan,
sepertiini pisau baik, sudah pasti yang saya maksudkan berbeda apabila saya mengatakan
pisau merupakan sesuatu yang baik. Contoh lain pembelian yang baik, berarti pembelian
yang didalamnya Nilai uang yang dibayarkan lebih rendah dibandingkan dengan Nilai
barang yang dibelinya,[3]dengan kata lain penulis dapat menyimpulkan bahwa Yang-Baik
itu merupakan sesuatu yang didalamnya terdapat unsur yang bermanfaat bagi seseorang.

Kata Nilai merupakan kata jenis yang meliputi segenap macam kebaikan dan
sejumlah hal yang lain.[4]

Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam
segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya
dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif
akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti
perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang.[5]

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia


menggunakan ilmunya.[6]

Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and


valuation[7] :

1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai.

Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian[8] :


1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social
politik.

Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.[9]

Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk
(good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and
and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.[10]

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.[11]

Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat
dijawab dengan tiga macam cara yaitu[12]:

1. Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut


pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung dari pengalaman.
2. Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi,
namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut merupakan esensi
logis dan dapat diketahui melalui akal.
3. Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun
kenyataan.

Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan suatu
subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu obyek yang diberi
nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai ditambah perbuatan penilaian.[13]

Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi
artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat,kriteria dan status metafisik dari nilai.[14]
Problem utama aksiologi ujar runes berkaitan empat faktor [15]:

1. Kodrat nilai berupa problem mengenai apakah nilai itu berasl dari keinginan,
kesenangan, kepentingan, keinginan rasio murni.
2. Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan antara nilai intrinsik, ukuran untuk
kebijaksanaan nilai itu sendiri, nilai-nilai instrumental (baik barang-barang ekonomi
atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai intrinsik.
3. Kriteria nilai (ukuran nilai yang di butuhkan).
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum, sebagai
landasan ilmu, aksiologi membicarakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan?.[16]

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat Nilai, pada umumnya
ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.[17]

Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung kualitas-kualitas


pengirisan didalam dirinya, sedangkan Nilai Instrumentalnya ialah pisau yang baik adalah
pisau yang dapat digunakan untuk mengiris, [18]jadipenulis dapat menyimpulkan bahwa
Nilai Instrinsik ialah Nilai yang yang dikandung pisau itu sendiri atau sesuatu itu sendiri,
sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai sesuatu yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai
guna.

Situasi Nilai maliputi [19]:

1. Suatu subyek yang memberi Nilai yang sebaiknya kita namakan segi pragmatis.
2. Suatu obyek yang diberi Nilai-yang kita sebut segi semantis.
3. Suatu perbuatan peNilaian.
4. Suatu Nilaiditambah perbuatan peniaian.

Pendekatan-pendekatan dalam Aksiologi dapat dijawab dengan tiga macam cara[20]:

1. Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif.


2. Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun
tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
3. Nilai-Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.

Makna Nilai[21]:

1. Mengandung Nilai
2. Merupakan Nilai
3. Mempunyai Nilai
4. Memberi Nilai

A. NilaiMerupakan Kualitas Empiris Yang Tidak Dapat Didefinisikan

Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang barang
tersebut dan dapat membantu melukiskanya. [22]Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat
diketahui melalui pengalaman.[23]

Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu segi
dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu
melukiskannya.[24]Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui
atau dapat diketahui melalui pengalaman.[25]
Jika Nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek dan
perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas Nilai-Nilai, tetapi tidak mungkin
sebaliknya. Contoh pisang itu kuning tapi saya tidak bisa mengatakan bahwa kuning itu
pisang, karna kuning bermacam-macam.[26]

Kenyataan bahwa Nilai tidak dapat didefinisikan tidak berarti Nilai tidak dapat
dipahami. Nilai bersifat subyektif, contoh si A mengatakan bahwa si gadis itu cantik, tapi si
B mengatakan bahwa si gadis itu jelek[27]

B. NilaiSebagai Obyek Suatu Kepentingan

Ada yang mengatakan bahwa masalah Nilai sesungguhnya merupakan masalah


pengutamaan. Contoh ungkapan perang merupakan suatu keburukan kiranya diiringi oleh
tanggapan saya menentang perang.

Pandangan orang Amerika dalam bukunya bahwa jika saya mengatakan x berNilai
maka dalam arti yang sama saya dapat mengatakan saya mempunyaikepentingan pada x.
Sikap setuju atau menentang tersebut oleh Perry ditunjuk dengan istilah kepentingan.[28]

Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang
dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah nilai
berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey mengatakan
bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan. Pemberian nilai juga
menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan tujuan.[29]

Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai Nilai,[30] jadipenulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah
kepentingan.

C. Teori Pragmatis Mengenai Nilai

Sejumlah hal yang telah saya perbincangkan yang bersifat penolakan terhadap teori
Nilai yang didasarkan atas kepentingan kiranya menyebabkan tampilnya teori lain, yaitu
Teori Pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan begitu pula halnya
dengan teori pragmatisme mengenai Nilai.[31]Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Teori
Pragmatis mengenai Nilai adalah akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap bernilai.

D. Nilai Sebagai Esensi

Sesungguhnya Nilai-Nilai merupakan hasil ciptaan yang-tahu (subyek yang


mengetahui).[32] Jika Nilai merupakan Nilai karena kita yang menciptakannya, maka tentu
kita akan dapat membuat baik menjadi buruk dan sebaliknya.[33]
Esensi adalah inti, sesuatu yang menjadi pokok utama, hakikat.[34] Contoh
Perdamaian merupakan sesuatu yang bernilai, maka ia memahami bahwa di dalam hakekat
perdamaian itu sendiri terdapat Nilai yang mendasarinya.[35] Jadi penulis menyimpulkan
Nilai sebagi esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang pasti ada dalam setiap sesuatu tersebut.

Esensi tidak dapat di tangkap secara inderawi. Ini berarti bahwa nilai tidak dapat di
lakukan sebagaimana kita memahami warna.

2. AKSIOLOGI SAIN

1) Kegunaan pengetahuan sain

Apa guna atau nilai dari Sain ? secara umum teori berarti pendapat yang beralasan,
sekurang-kurangnya kegunaan teori Sain ada tiga yakni[36]:

a. Sebagai alat membuat eksplanasi

Menurut teori Sain anak-anak yang orang tuanya cerai, pada umumnya akan
berkembang menjadi anak nakal, penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat
pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.

b. Teori sebagai alat peramal

Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengatahui juga faktor penyebab
terjadinya gejala itu, dengan mengutak-atik faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat
ramalan. Dalam bahasa ilmuwan ramalan itu di sebut prediksi.

c. Teori sebagai alat pengontrol

Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi anak-anak mereka akan nakal. Adakah upaya
agar anak-anak nakal ? Ada, upaya itulah yang di sebut kontrol.

2) cara sain menyelesaikan masalah

Adapun caranya adalah[37] :

a. Mengidentifikasi masalah

b. Mencari penyebab terjadiny masalah tersebut

c. Mencari cara untuk memperbaiki masalah

3) Netralitas Sain

Artinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada
kejahatan.[38]
3. AKSIOLOGI FILSAFAT

1) Kegunaan pengetahuan filsafat

Adapun kegunaanya adalah [39]:

a. Fisafat sebagai kumpulan teori filsafat

b. Sebagai metode pemecah masalah

c. Sebagai pandangan hidup

2) Cara filsafat menyelesaikan masalah

Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal, secara mendalam


berarti filsafat ingin mencari asal masalah, dan secara universal berarti filsafat ingin, masalah
dilihat dalam hubungan seluas-luasnya.[40]

4. AKSIOLOGI MISTIK

1) Kegunaan pengetahuan mistik

Di kalangan para sufi biasanya pengetahuan dapat mententramkan hati mereka,


pengetahuan mistik sering dapat menyelesaikan persoalan yang tidak dapat di selesaikan oleh
filsafat dan sain.[41]

2) Cara pengetahuan mistik menyelesaikan masalah

Pengetahuaan mistik tidak menyelesaikan masalah dengan proses inderawi dan tidak
juga melalui proses rasio. Mistik ialah kegiatan spiritual tanpa penggunaan rasio, sedangkan
mistik-magis adalah kegiatan mistik yang mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang diingini penggunanya.[42]

Mistik magis dibagi menjadi dua yaitu mistik magis putih yaitu mistik magis yang
kebanyakan digunakan untuk mengobati.[43] Pemilik mistik magis putih ini menyadari
bahwa kekuatan tuhan baik yang ada dalam diri-Nya atau yang ada dalam firmanya dapat di
gunakan oleh manusia, dan mistik magis hitam yaitu mistik yang digunakan untuk
meningkatkan harga diri dan dikatakan hitam karena penggunanya untuk kejahatan.[44]

BAB
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325) mengatakan bahwa baik merupakan pengertian
yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik itu

Kata Nilai merupakan kata jenis yang meliputi segenap macam kebaikan dan
sejumlah hal yang lain.

Bahwa Yang-Baik itu merupakan sesuatu yang didalamnya terdapat unsur yang
bermanfaat bagi seseorang.

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya
ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang barang
tersebut dan dapat membantu melukiskanya.Kualitas empiris ialah kualitas yang dapat
diketahui melalui pengalaman.

Menurut perry jika seorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal
tersebut mempunyai Nilai, jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa Nilai ialah kepentingan.

Teori Pragmatis mengenai Nilai adalah akibat-akibat dari sesuatu menjadi kita anggap
bernilai.

Nilai sebagi esensi ialah Nilai tentang sesuatu yang pasti ada dalam setiap sesuatu
tersebut.

1) Kegunaan pengetahuan sain

a. Sebagai alat membuat eksplanasi

b. Teori sebagai alat peramal

c. Teori sebagai alat pengontrol

2) cara sain menyelesaikan masalah

a. Mengidentifikasi masalah

b. Mencari penyebab terjadiny masalah tersebut

c. Mencari cara untuk memperbaiki masalah


Netralitas SainArtinya sain tidak memihak pada kebaikan dan juga tidak memihak pada
kejahatan.

1) Kegunaan pengetahuan filsafat

a. Fisafat sebagai kumpulan teori filsafat

b. Sebagai metode pemecah masalah

c. Sebagai pandangan hidup

Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal, secara mendalam


berarti filsafat ingin mencari asal masalah, dan secara universal berarti filsafat ingin, masalah
dilihat dalam hubungan seluas-luasnya.

Di kalangan para sufi biasanya pengetahuan dapat mententramkan hati mereka,


pengetahuan mistik sering dapat menyelesaikan persoalan yang tidak dapat di selesaikan oleh
filsafat dan sain.

Pengetahuaan mistik tidak menyelesaikan masalah dengan proses inderawi dan tidak
juga melalui proses rasio. Mistik ialah kegiatan spiritual tanpa penggunaan rasio, sedangkan
mistik-magis adalah kegiatan mistik yang mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh
sesuatu yang diingini penggunanya.

2. SARAN

Sebelumnya kami penyusun makalah ini mohon maaf apabila terdapat kesalahan
dalam penulisan kata-kata, dan makalah kami pun di sini masih belum sempurna, untuk itu
sekiranya apabila masih di rasa pembaca masih belum cukup bahasan-bahasan di dalam
makalah ini di sarankan untuk mencari sumber referensi dari buku-buku atau sumber-sumber
yang semacamnya.

[1] Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 325

[2]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

[3]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 326

[4]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 327

[5] http://suksespend.blogspot.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html

[6] http://yudiarputra05.blogspot.com/2011/08/makalah-aksiologi.html
[7]http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

[8]http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

[9] http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

[10]http://yaniskusmardanaspd.blogspot.com/2011/10/makalah-aksiologi-filsafat-ilmu.html

[11]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

[12]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

[13]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

[14]Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001
Hal 26

[15]Rizal Mustansyir Dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta : 2001
Hal 27

[16]Surajiyo. Filsafat Ilmu Dan Perkembanganya Di Indonesia. Bumi Aksasara. Jakarta :


2007

[17]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 327

[18]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 328

[19]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 329

[20]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 331

[21]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 332

[22]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 333

[23]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 333

[24]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

[25]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

[26]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 334
[27]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 335

[28]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 337

[29]http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/

[30]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 338

[31]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 339

[32]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 344

[33]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 345

[34]Sulchan Yasyin. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Amanah. Surabaya.Hal 150

[35]Soejono Soe Margono. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Tiara Wacana Yogya.
Yogyakarta: 1986. Hal 345

[36] Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 37

[37]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 43-44

[38]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 46

[39]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 89

[40]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 104

[41]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 123

[42]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 125

[43]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 123

[44]Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2004 Hal 124
Dalam mengkaji ilmu pengetahuan, terdapat sudut pandang yang dikategorikan ke dalam tiga

dimensi, yaitu dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Sebelum membahas spesifik mengenai

Aksiologi. Terlebih dahulu akan dibahas mengenai ketiga dimensi sudut pandang ilmu pengetahuan;

Menurut Ihsan (2010, hal 223) Pembedaan sudut pandang tersebut hanya merupakan

pengkategorian semata. Dalam praktiknya ketiga sudut pandang ini tidak terpisahkan.

Berikut definisi dari masing-masing sudut pandang:

1. Ontologis

Mengutip dari Angeles (Ihsan; 2010, hal 223) Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yang

berarti yang sungguh-sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya, sedangkan logos memiliki arti

studi tentang, sehingga Menurut Ihsan (2010, hal 223) Ontologi merupakan studi yang membahas

mengenasi sesuatu yang ada.Adapun yang dimaksud ontologi, mengutip Kastoff (Ihsan; 2010, hal

223) ontologi diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar

dari kenyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rasional dari kenyataan. Definisi lainnya

dari Sarwa (Jalaluddin; 2013, 157) ontologi adalah kajian yang memusatkan diri pada pemecahan

esensi sesuatu, atau wujud, tentang asas-asas dan realitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

ontologis merupakan kajian mengenai sesuatu yang berwujud dan rasional.

2. Epistimologis

Sudut pandang yang kedua adalah Epistimologis, dimana epistimologi berasal dari bahasa

Yunani episteme yang berarti Pengetahuan, pengetahuan yang benar,pengetahuan ilmiah, dan

logos yang berarti teori (Jalaluddin; 2013, 160). Epistimologi sering disebut Theory of knowledge.

Menurut Ihsan (2010, 225), epistimologi dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat yang

mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan. Menurut Suriasumantri

(Jalaluddin; 2013: 160) Epistimologi sebagai teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap

proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Epistimologi menjadi dasar
pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu ilmu pengetahuan untuk diakui sebagai disiplin

ilmu, Aspek epistimologi yang penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah metode

keilmuan (Ihsan, 2010: 226).

Epistimologi merupakan aspek yang membahas mengenai asal, sumber, proses suatu pengetahuan

sampai dapat diakui sebagai ilmu pengetahuan melalui metode keilmuan.

3. Aksiologis

Dimensi aksiologis berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan logos berarti ilmu atau

teori.(Ihsan, 2010: 207) Aksiologi membahas mengenai hakikat nilai, sehingga biasa disebut Filsafat

Nilai. Berikut Pembahasannya:

1.2. Teori-Teori dan Kajian tentang Aksiologis


Menurut Suriasumantri (2007:231) Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas

tentang nilai (value). Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai

sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,

serta penerapan ilmu. Dan definisi aksiologi menurut Bramel (dalam Amsal, 2009:163) aksiologi

terbagi menjadi tiga bagian:

1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3. Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori

atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of

value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri

(1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di

peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi

adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian

dan penggalian, serta penerapan ilmu.

Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk

(good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and).

Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Menurut Bramel

Aksiologi terbagi tiga bagian:

1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.

Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation:

1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik

dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk

kewajiban, kebenaran dan kesucian.

2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering

dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.

3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.

Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah

mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai

pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah

etika dan estetika.

1.3. Fakta
Menurut Vardiansyah (2008:3) pengertian fakta (bahasa Latin: factus) ialah segala sesuatu

yang tertangkap oleh indra manusia. Catatan atas pengumpulan fakta disebut data.

Di sisi lain, Lorens Bagus (1990) memberikan penjelasan tentang fakta objektif dan fakta

ilmiah. Fakta objektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan

atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakanrefleksi terhadap fakta obyektif

dalam kesadaran manuasia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsifakta obyektif dalam bahasa

tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bagunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis

itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan oleh bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan

kumpulan fakta ilmia membentuksuatu deskripsi ilmiah.

Fakta sering kali digunakan oleh para ilmuwan untuk merujuk pada data-data eksperimen

ataupun pengamatan objektif yang dapat diverifikasi. "Fakta" juga dapat digunakan secara lebih luas

untuk merujuk pada hipotesis apapun yang memiliki bukti-bukti yang sangat banyak dan kuat.

Fakta seringkali diyakini oleh orang banyak (umum) sebagai hal yang sebenarnya, baik karena

mereka telah mengalami kenyataan-kenyataan dari dekat maupun karena mereka dianggap telah

melaporkan pengalaman orang lain yang sesungguhnya.

Para ilmuwan sering kali menggunakan kata "fakta" untuk menjelaskan sebuah pengamatan.

Tetapi, para ilmuwan juga dapat menggunakan fakta untuk memaksudkan sesuatu yang telah diuji

ataupun terpantau berkali-kali sedemikiannya tidak terdapat lagi alasan yang kuat untuk terus-

menerus menguji ataupun mencari-cari contoh.

Dalam istilah keilmuan fakta adalah suatu hasil observasi yang obyektif dan dapat dilakukan

verifikasi oleh siapapun. Diluar lingkup keilmuan fakta sering pula dihubungkan dengan:

Suatu hasil pengamatan jujur yang diakui oleh pengamat yang diakui secara luas

- Galat biasa terjadi pada proses interpretasi makna dari suatu observasi.
- Kekuasaan kadang digunakan untuk memaksakan interpretasi politis yang benar dari suatu

pengamatan.

Suatu kebiasaan yang diamati secara berulang; satu pengamatan terhadap fenomena apapun tidak

menjadikan itu sebagai suatu fakta. Hasil pengamatan yang berulang biasanya dibutuhkan dengan

menggunakan prosedur atau definisi cara kerja suatu fenomena.

Sesuatu yang dianggap aktual sebagai lawan dari dibuat

Sesuatu yang nyata, yang digunakan sebagai bahan interpretasi lanjutan

Informasi mengenai subyek tertentu

Sesuatu yang dipercaya sebagai penyebab atau makna

1.4 Teori
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan

yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan

hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan

fenomena alamiah.

Menurut Creswell (2009) Teori merupakan pengetahuan ilmiah mencakup penjelasan

mengenai suatu sektor tertentu dari suatu disiplin ilmu, dan dianggap benar. Teori adalah

pengetahuan ilmiah yang memberi penjelasan mengapa suatu gejala terjadi. Teori memerlukan

tingkat keumuman yang tinggi, yaitu bersifat universal supaya lebih berfungsi sebagai teori ilmiah.

Ada 3 hal pokok yang diungkap dalam definisi teori:

a. Elemen teori terdiri dari variabel, definisi, dan dalil;

b. Elemen teori memberikan gambaran sistematis mengenai fenomena melalui penentuan hubungan

antar variabel;
c. Tujuan teori adalah untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena alamiah.

Ada tiga tipe teori, yaitu :

- Teori Formal, yaitu mencoba menghasilkan suatu skema konsep dan pernyataan dalam masyarakat

atau interaksi keseluruhan manusia yang dapat dijelaskan. Berusaha menciptakan agenda

keseluruhan untuk praktik teoritis masa depan terhadap klaim paradigma yang berlawanan, atau juga

berusaha mempunyai karakter yang fundasional, yaitu mencoba untuk mengidentifikasi seperangkat

prinsip tunggal yang merupakan landasan puncak untuk kehidupan dan bagaimana semuanya dapat

diterangkan.

- Teori Substantif, yaitu mencoba untuk tidak menjelaskan secara keseluruhan tetapi lebih kepada

menjelaskan hal-hal khusus, misalnya hak pekerja, dominasi politik, perilaku menyimpang.

- Teori Positivistik, yaitu mencoba untuk menjelaskan hubungan empiris antara variabel dengan

menunjukkan bahwa variabel-variabel itu dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan teoritis yang

lebih abstrak.

Sedangkan kegunanaan teori yaitu :

- Menjelaskan

Teori hukum dilaksanakan dengan cara menafsirkan sesuatu arti/pengertian, sesuatu syarat atau

unsur sahnya suatu peristiwa hukum, dan hirarkhi kekuatan peraturan hukum.

- Menilai

Teori hukum digunakan untuk menilai suatu peristiwa hukum.

- Memprediksi
Teori hukum digunakan untuk membuat perkiraan tentang sesuatu yang akan terjadi.
1.5 Hukum
Hukum merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih

dalam suatu kaitan sebab akibat sehingga memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi

sebagai akibat suatu kejadian. Misalnya, apa yang akan terjadi bila harga suatu barang naik

dihubungkan dengan permintaan atau penawaran.

Menurut Rahardjo (2009) pengertian hukum tersebut dibahas dari perspektif filsafati dan

bersifat normatif yang dilahirkan dari kehendak manusia atau masyarakat untuk menciptakan

keadilan.

Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk


tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya
masyarakat dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama, hukum mengandung
rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa
ide mengenai keadilan.

Menurut E. Utrecht, Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang

mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan

jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu. E. Utrecht

mengartikan keberadaan hukum ini yaitu, hukum sebagai alat daripada penguasa yang dapat

memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggar hukum karena dalam penegakan hukum jika

terjadi pelanggaran menjadi monopoli penguasa

Sedangkan menurut Van Kan, Hukum sebagai seluruh peraturan hidup manusia yang bersifat

memaksa demi melindungi kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat, tujuan hukum yakni

menjaga ketertiban dan perdamaian. Didirikannya Peraturan hukum membuat orang akan dapat

memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidup manusia dengan cara yang tertib. sehingga tercapai

tujuan kedamaian dalam hidup bermasyarakat.


Dari berbagai definisi hukum yang dikemukakan di atas bisa ditarik kesimpulan pengertian

hukum, merupakan sebuah sistem yang dibuat manusia untuk membatasi perilaku manusia agar

tingkah laku manusia ini dapat terkontrol dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum adalah aspek

paling penting dalam pelaksanaan sebuah rangkaian kekuasaan kelembagaan seperti kehidupan

bernegara.

Hukum secara tugas akan menjamin adanya kepastian peraturan dalam masyarakat. Maka

dari itu, di setiap masyarakat akan memiliki hak untuk mendapat pembelaan di mata hukum.

Sehingga hukum dapat diartikan sebagai peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis dan tidak

tertulis yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi yang

melakukan pelanggaran. Hal ini mungkin berbeda dengan hukum karma yang mungkin tidak memiliki

efek secara langsung. Namun hukum buatan manusia tentu harus kita patuhi, jika tidak akan langsung

berdampak pada sangsi.

1.6 Teknologi
Menurut Sukardi (2003:35) secara epimologis, akar kata teknologi adalah "techne" yang berarti
serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek, atau
kecakapan tertentu, atau pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode dan seni. Pendapat
lainnya dikemukakan oleh David L. Goetch (2000 : 50) : People tools, resources, to solve problems or
to extend their capabilities, Arnold Pacey The application on scientific and other knowledge to
practical task by ordered systems, that involve people and organizations, living things and machines
dan Jujun S. Suriasumantri (2007:12) teknologi adalah penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak
(software).

Beberapa pengertian teknologi yang dikaitkan dengan dimensi pengetahuan.

1. Teknologi adalah penerapan dari pengetahuan ilmiah kealaman (natural science).(Brinkmann,

1971:125)

2. Teknologi merupakan pengetahuan sistematis tentang seni industrial atau sebutan singkatnya sebagai

ilmu industrial. (The Liang Gie, 1982:82)


3. Bunge menyatakan teknologi adalah ilmu terapan yang dipilah menjadi 4 cabang yakni: teknologi fisik,

teknologi biologis, teknologi sosial dan teknologi pikir. (The Liang Gie, 1982:84)

4. Feibleman memandang teknologi sebagai pertengahan antara ilmu murni dan ilmu terapan, atau

merujuk pada makna teknologi sebagai keahlian atau skil. (The Liang Gie, 1982:84)

5. Layton memahami teknologi sebagai pengetahuan. (The Liang Gie, 1982:84)

6. Karl Mark menggunakan istilah teknologi dalam tiga makna yang berbeda, yakni sebagai alat kerja,

pengajaran praktis dari sekolah industrial, dan ilmu tentang teknik. (The Liang Gie, 1982:84)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan merupakan
kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu.
Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga
manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan,
komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat
manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat
menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk
memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat
negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di
Bali dan Jakarta baru-baru ini. Disinilah ilmu harus di letakkan proporsional dan memihak pada
nilai- nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka
yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan
pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung
jawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung
jawab akademis, dan tanggung jawab moral.
Pernyataan diatas berkaitan dengan wewenang penjelajahan sains, kaitan ilmu dengan
moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah
menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, salah satu aspek
pembahasan integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa itu Aksiologi
2. Sebagai pengetahuan mengenai teori nilai kegunaan ilmu.

C. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah Metode Pustaka.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori
atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Dalam
Encyclopedia of Philosophy(dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value
and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan
segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai.
Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada masalah etika dan estetika.
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna
terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material (Koento,
2003: 13).
Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
a. Menurut Suriasumantri (1990:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
b. Menurut Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan
ilmu.
c. Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi tentang
aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu
teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu
teori mengenai tindakan baik secara moral.
d. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan
estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku
orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang
karya manusia dari sudut indah dan jelek.
e. Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki
hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
f. Menurut Bramel (dalam Amsal 2009: 163). Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3. Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik.

B. Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu


Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna
etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan,
tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak
tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta.
Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang
akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup
manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan
perkembangan sains dan teknologi karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia
berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan
manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang
kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah
kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap- tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, disamping
lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya
manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Menghadapi
kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai mana adanya mulai
mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang?
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan
berkah dan penyelamat baagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan
wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini
bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang
menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada
esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan?
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama
yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara
ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai- nilai
hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan
pada moral.golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni:
Ilmu secara factual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan
dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui apa yang
mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.
Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial.
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S.
Suriasumatri yaitu bahwa pengetahuan adalah kekuasaan apakah kekuasaan itu merupakan
berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu,
karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya,
lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan
tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai
nilai khususnya etika. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat.
Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga
bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus
diperhatikan sebaik baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi
aksiologi keilmuan.Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan
sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
2. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna
etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan,
tingkah laku, atau yang lainnya.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kita adalah makhluk tuhan yang mempunyai kelebihan dari makhluk-makhluk ciptaan yang
lain karena kita diberikan akal untuk berfikir dan hati untuk mengatur emosi kita. Pada saat kita
tumbuh berkembang dari anak-anak sampai dewasa kita mencari tempat yang baik untuk dirinya
maupun anak-anaknya baik pendidikan formal dari SD sampai tingkat lanjutan atas dan perguruan
tinggi maupun pendidikan nonformal. Usaha untuk mendapatkan pendididkan yang baik inilah yang
menjadi usaha untuk mendapatkan ilmu. Menurut Jujun S, Suriasumantri (1990) ilmu merupakan
pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan
tinggi. Sehingga ilmu yang kita dapat setelah melalui tahapan pendidikan menjadi alat untuk
memperbaharui hidup, mencapai suatu keinginan dan membawa ketujuan hidup yaitu kebahagiaan.
Pada dasarnya ilmu yang kita pelajari bersifat netral karena ilmu tidak mengenal sifat baik maupun
buruk dalam ilmu itu sendiri tetapi tergantung pada orang yang memiliki ilmu tersebut, bagaimana dia
memanfaatkan ilmu yang telah didapatkannya dan bergunakah ilmu yang telah dipelajarinya untuk
kehidupan sosialnya. Dalam hal ini ilmu yang berkaitan dengan kegunaannya akan di bahas dalam
kajian filsafat yang ketiga yaitu aksiologi. Karena, pada hakikatnya ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kepentingan manusia sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan nilai atau etika, kodrat dan martabat manusia.

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud aksiologi?

2. Apa yang dimaksud ilmu dan moral?

3. Apa saja kegunaan aksiologi ilmu?

4. Sebutkan dan jelaskan macam-macam kategori dasar aksiologi?

5. Apa itu Tanggung Jawab Sosial Keilmuwan?

1.3.Tujuan
1. Untuk memahami arti dan maksud dari aksiologi.

2. Untuk memahami maksud dan arti ilmu dan moral.

3. Untuk mengetahui dan memahami kegunaan aksiologi ilmu.


4. Untuk menyebutkan dan menjelaskan kategori dasar aksiologi.

5. Untuk memahami tanggung jawab sosial keilmuwan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Aksiologi

Aksiologi merupakan bagian ketiga dari kajian filsafat setelah ontologi dan epistomologi. Jika
dalam kajian entologi mempertanyakan tentang objek apa yang akan ditelaah dan pada kajian
epistomologi berkaitan dengan bagaimana asal, sifat dan jenis pengetahuan, sedangkan aksiologi
merupakan cabang filsafat yang memepertanyakan bagaimana manusia menggunakan dan
memanfaatkan ilmunya.

Kata aksiologi berasal dari bahasa yunani, dari kata axsios yang artinya nilai dan logos artinya
ilmu atau teori. Aksiologi juga sering disebut dengan teori of value. Aksiologi adalah teori yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dalam kajian aksiologi ini pertanyaan
yang sering digunakan untuk membedakan antara aksiologi dan kajian filsafat yang lainnya yaitu: 1)
untuk apa pengetahuan itu digunakan?, 2) Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan
kaidah-kaidah moral?, 3) Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral.

2.2. Pengertian Ilmu Dan Moral

Menurut kamus besar bahasa indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala
tertentu dibidang pengetahuan ilmu. Ilmu bukan sekedar pengetahuan tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang tertentu.

Sedangkan kata moral berasal dari bahasa latin yaitu, mos yang berarti kebiasaan. Moral
berasal dari bahasa latin yaitu, moralitas adalah istilah manusia menyebut manusia atau orangl lainnya
dalam tindakan yang memepunyai nilai positif. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku,
tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan
pengalaman. Sedangkan manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral.
Yang tidak memiliki nilai positif dimata manusia lainnya sehingga moral adalah mutlak yang harus
dimiliki manusia.

Asal usul yang melatar belakangi filsafat moral adalah istilah etika yang dipakai aristoteles.
Etika bersal dari bahasa yunani kuno etika yaitu etos sedangkan jamaknya taeta. Etos mempunyai
banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa, kebiasaan atau adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berfikir. Sedangkan arti dari taeta yaitu adat kebiasaan.

Ilmu merupakan unsur dari pengetahuan manusia karena dengan ilmu manusia dapat
memenuhi kebutuhannya secara praktis sehingga ilmu merupakan alat atau sarana untuk menulong
hidup manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan
teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai
penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah praktis baik yang berupa perangkat keras
maupun perangkat lunak. Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan
pengertian atau pemahaman namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam
gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral
muncul kembali namun dal;am kaitannya dengan faktor lain, kalau dalam kontempolasi moral
berkaitan dengan metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara
penggunaan ilmu pengetahuan atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah
moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ilmu pengetahuan merupakan lanjutan konsepsional dari
ciri ingin tahu sebagai kodrat manusiawi. Tetapi ilmu pengetahuan itu menuntut persyaratan-
persyaratan khusus dalam pengaturannya (Bakker, 1990)

Teori tentang nilai dalam filsafat membahas tentang etika dan estetika dimana makna etika
mempunyai dua rati yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk emmebedakan perbuatan tingkah laku atau
yang lainnya. Nilai atau value dapat bersifat objektif kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tersebut tidak bergantung pada sabjek atau kesadaran yang menilai. Salah satu
nilai kegunaan ilmu yaitu dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Tugas filsafat ilmu
pengetahuan adalah membuka pikiran kita untuk mempelajari dengan serius proses logis dan
imajinatif dalam kerja ilmu pengetahuan (Keraf, 2011).

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak
(software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk tujuan pengertian dan
pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut
untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul kembali
namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kontempolasi moral berkaitan dengan
metafisika maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu
pengetahuan. Atau secara filsafati dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau
dari segi aksiologi keilmuwan (Endrotomo, 2004).

Menurut Bakhtiar (2010) bahwa Berdasarkan sejarah tradisi islam ilmu tidaklah berkembang pada
arahyang tak terkendai, tetapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikannya. Kekuasaan anusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh,
eksistensi ilmu pengetahuan bukan melulu untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah
yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri
kepada sang pencipta.

2.4. Kategori Dasar Aksiologi

Terdapat dua kategori dasar aksiologi :

1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang
dinilai.

2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi
(perasaan).

Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :

1. Teori nilai intuitif

2. Teori nilai rasional

3. Teori nilai alamiah

4. Teori nilai emotif

Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan
teori nilai emotif beraliran subyektivis.

1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)

Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan
suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis
dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang
bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam
hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia.
Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban
untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.

2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)

Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari
manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang
melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa
hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu
tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya
mengarahkan perilakunya.

3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)

Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-


hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji
oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan
naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat
relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.

4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)

Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini
memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan
ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun
diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia(Poedjawijatna, 2004).

2.5. Nilai Kegunaan Ilmu

Dalam kamus besar bahasa Indonesia ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara bersistem atau berhubungan menurut metode-metode tertentu yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Dalam aksiologi, hal yang paling
dipermasalahkan ialah nilai. Disini nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Selanjutnya, aksiologi dijelaskan sebagai
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Teori tentang nilai dalam filsafat dibagi menjadi
permasalahan etika dan estetika. Menurut (Rahmat , 2011) bahwa ilmu pengetahuan diperoleh secara
sahih dan andal dengan suatu penyelidikan ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah
proposisi yang timbul sebagai hasil dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang
sistematis dan terkontrol.

Etika dimaknai sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-
perbuatan manusia. Etika menilai perbuatan manusia yang berkaitan erat dengan norma-norma
kesusilaan manusia atau diartikan untuk mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan
tidak baik didalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Dalam filsafat estetika dapat dilihat pada sudut
indah dan jeleknya.

Nilai subjektif dapat bersifat subjektif dan objektif. Nilai dapat bersifat subjektif jika selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan,
intelektualitas. Hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang. Misalnya, seorang melihat matahari yang sedang terbenam disore hari. Akibat yang
dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari
terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain memiliki kualitas
yang berbeda. Sedangkan Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini didasarkan suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki
kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu,
melainkan pada objektivitas fakta.

Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang
hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau
hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka
sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.

2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima
kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah
untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.

3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak
masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu
masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak
cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang
digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian
yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan
manusia.

2.6. Tanggung Jawab Sosial Keilmuwan


Ilmu merupakan hasil karya ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat syarat keilmuwan maka pasti akan diterima dan
disunakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial yang besar.
Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi,
baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Hal ini dikarenakan dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Ilmuwan juga meniliki fungsi untuk
ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan.
Ilmuwan juga harus berusaha mempengaruhi opini masyarakat berdasarkan pemikirannya. Ilmuwan
juga mempunyai cara berpilir yang berbeda dari masyarakat awam. Masyarakat awam biasanya
terpukau oleh jalan pikiran yang cerdas. Kelebihan seorang ilmuwan juga nampak dalam cara berpikir
yang cermat dan teratur yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial.

Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung
dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Dibidang etika
tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh.
Seorang ilmuwan juga harus bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain,
kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Seorang ilmuwan secara moral tidak
akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain
meskipun yang mempergunakan bangsanya sendiri.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Dalam menggunakan ilmu kita harus menggunakannya
untuk kepentingan bersama karena ilmu merupakan alat untuk meningkatkan taraf hidup dan
bermanfaat bagi setiap orang apabila ilmu yang kita dapat digunakan berdasarkan nilai atau etika,
kodrat dan martabat manusia. Maka dari itu kegunaan dan manfaat dari ilmu itu sendiri dikaji dalam
aksiologi. Dimana, Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Ilmu
menghasilkan teknologi yang diterapkan dan dikembangkan pada masyarakat. Teknologi dalam
perkembangannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga dapat menjadi
bencana bagi manusia.

3.2. Saran

Dewasa ini teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang pesat. Manusia telah
menerapkan keduanya delam kehidupannya sehari hari. Namun, manusia juga masih banyak
menggunakan teknologi dan pengetahuan secara menyimpang maka hal ini yang menyebabkan
bencana pada manusia itu sendiri.

Dengan didukung oleh teknologi yang modern dan perkembangan ilmu pengetahuan yang
pesat seharusnya manusia memanfaatkan hal tersebut sebaik mungkin. Manusia dapat berpikir kreatif
agar memperoleh sesuatu yang diharapkan.
BAB 10
AKSIOLOGI
ILMU PENGETAHUAN
DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA

A. HAKIKAT AKSIOLOGI
Aksiologi yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai
landasan ilmu aksiologi mempertanyakan untuk pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan?
Bagaimana kaitan ntara cara penggunaan itu dan kaidah moral? Bagaimana penentuan jek yang
ditelaah berdasarkan pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang
merupakan operasionaliaasi metode ilmiah dan norma-norma moral atau profesional?
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri (2010)
mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Menurut Francia Bacon dalam Jujun bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan"
apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang
kalaupun terjadi malapetaka yang diaebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu
merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal
baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunaannya.
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, layak, pantas, patut
dan Logos yang berarti teori, pemikiran. Jadi Aksiologi adalah "teori tentang nilai". Aksiologi
merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu
ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan (seni/estetika). Ketiga, sosio political
life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Jadi, aksiologi
yaitu teori tentang nilai-nilai ketiga aspek ini, yakni moral, keindahan, dan sosial politik.
Lebih lanjut, menurut John Sinclair dalam Jujun S. Suriasumantri (2010), dalam
lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial,
dan agama. Adapun nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap
insan. Aksilogi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Jadi, Aksiologi merupakan ilmu yang mempelaiari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfadtkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik
pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus diaesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan
moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu itu dapat dirasakan oleh masyarakat
dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan
menimbulkan bencana.
Aksiologi bisa juga diaebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut
Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Aksiologi merupakan kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi, Aksiologi yaitu bagian dari filsafat yang
menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong),
serta tentang cara dan tujuan (means and objective). Aksiologi mencoba merumuskan suatu
teori yang konsiaten untuk perilaku etis.
Dewasa ini perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, melainkan
bahkan kemungkinan menciptitakan tujuan hidup itu sendiri. Di sinilah moral sangat berperan
sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu, serta dituntut tanggung jawab sosial
ilmuwan dengan kapasitas keilmuannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.
Nilai suatu ilmu berkaitan dengan kegunaan. Guna suatu ilmu bagi kehidupan manusia
akan mengantarkan hidup semakin tahu tentang kehidupan. Kehidupan itu ada dan berproses
yang membutuhkan tata aturan. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa ilmu itu digunakan.
Ilmu tidak akan menjadi sia-sia jika kita dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dan
di jalan yang baik pula.

B. KATEGORI DASAR AKSIOLOGI


Menurut Susanto (2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama,
objectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek
yang dinilai. Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses
penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu teori
nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif teori nilai intuitif dan
teori nilai rasional beraliran objektivia, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif
beraliran subjektivia.

1. Teori Nilai Intuitif (The Intuitive Theory of Value)


Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefimisikan
suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu
eksia dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada tatanan
moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksia sebagai piranti objek atau
menyatu dalam hubungan antar-objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi
atau perilaku manusia. Sekali mengakui dan menemukan seseorang nilai itu melalui proses
intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan
preskripsi moralnya.

2. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)


Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat obiektif dan murni
independen dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta
bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu
benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalat yang melakukan sesuatu ber-
lawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai ultimo,
objektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.

3. Teori Nilai Alamiah (The Naturaliatic Theory of Value)


Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang
dislaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji oleh
individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan
naturalia mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersifat
relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.

4. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)


Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka
teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan
hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak
bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan
manusia.
C. NILAI DAN KEGUNAAN ILMU (AKSIOLOGI ILMU)
Erliana Hasan (2011) mengatakan, bahwa nilai (value) termasuk dalam pokok bahasan
penting dalam filsafat ilmu, diaamping itu digunakan juga untuk menunjuk kata benda yang
abstrak dan dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Menilai
berarti menimbang, yakni suatu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain yang
kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan ini menyatakan apakah
sesuatu itu bernilai positif atau sebaliknya. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada
pada manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaannya. Dengan demikian, nilai
dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bemanfaat bagi kehidupan manusia,
baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku.
Terdapat empat pengelompokan nilai, yaitu: (1) kenikmatan, (2) kehidupan, (3)
kejiwaan, dan (4) kerohanian. sesuatu dikatakan material apabila sesuatu itu berguna bagi
jasmani manusia. Demikian juga sesu'tu dikatakan bernilai vital ketika ia berguna bagi manusia
untuk dapat mengadakan kegiatan, dan sesuatu bernilai kerohanian apabila ia berguna bagi
rohani manusia.
Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi value and valuation ada tiga
bentuk:
a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan
segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas
merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai
lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi ialah bagian
dari etika. Lewia menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai
instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau
kebaikan seperi estetis dari suatu karya seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam
dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang
memberikan kontribusi.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata suatu nilai atau nilai-nilai, ia
sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan
sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai
sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai.
Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal itu secara aktif digunakan untuk menilai
perbuatan. Dewey membedakan dia hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan
mengevaluasi.
Dari defimisi mengenai aksiologi yang dikemukakan, Amsal Bakhtiar (2011)
menyimpulkan, bahwa permasalahan yang utama dalam aksiologi itu mengenai nilai. Nilai
yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang siapa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika. Selanjutnya. dikatakan Surajiyo (2010), pengetahuan ilmiah yaitu
pengetahuan yang didalam dirinya memiliki karakteristik kritia, rasional, logis, objektif, dan
terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya.
Namun selain itu, masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu
bangunan yang kuat yaitu masalah kegunaan ilmu telah membawa manusia. Memang tidak
dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar.
Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kukuh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia,
bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak sangat
diperlukan. Oleh karena itu, penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat
ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal
sebagaimana dikemukakan Idzan Fautanu (2012), yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori
filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya yaitu untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu, setiap keluar
dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, multi dari cara
yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan sangat sederhana, maka
biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Adapun dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan aksiologi dinamakan dengan
value and valuation:
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan
segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata suatu nilai atau nilai-nilai. Ia
sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, atau dinilai. Dari
defimisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama yaitu mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada
masalah etika dan estetika.
Pandangan Susanto (2011) mengatakan, filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan
ilmiah pada hal-hal berikut: Pertama, persepsi manusia akan kenyataan. Kedua, pemahaman
berbagai dinamika alam. Ketiga, saling keterkaitan antara logika dan matematika, dan antara
logika dan antara matematika pada satu sisi dan kenyataan pada sisi lain. Keempat, berbagai
keadaan dari keberadaan teoretis. Kelima, berbagai sumber pengetahuan dan
pertanggungjawabannya. Keenam, hakikat manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya di
tengah-tengah semua keberadaan lain, paling sedikit yang berada di lingkungan dekatnya.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di
mana makna etika memiliki dua arti, yaitu suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan,
tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan
berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak
tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya,
nilai menjadi subjektif apabila subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia
menjadi tolak ukur penilaian.
Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk
kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang
membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom,
manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia,
tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada
penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu
pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan
untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan.
Selanjutnya dikatakan berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa
ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah
wajah dunia. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti: pertama, etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Seperti ungkapan
"saya pernah belajar etika". Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan hal-hal, perbuatan, atau manusia yang lain. Seperti ungkapan "ia bersifat etis atau
seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa objek formal
etika yaitu norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari
tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang
normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Adapun estetika berkaitan dengan
nilai pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya.
Nilai itu objektif atau subjektifkah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul
dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa memper-
timbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian, nilai subjektif akan
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan.
Intelektualitas dan nilai hasil subjektif selalu mengarah pada sesuatu suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang. Misalnya seseorang melihat matahari terbenam di sore hari. Akibat
yang dimunculkannya yaitu menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya
matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain
akan memiliki kualitas yang berbeda. Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat
tentang objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya,
sesuatu yang memiliki kadar realitas benar-benar ada. Misalnya kebenaran tidak bergantung
pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau
diperlemah oleh prosedur. Demikian juga dengan nilai orang yang berselera rendah tidak
mengurangi keindahan suatu karya seni.
Gagasan aksiologi dipelopori juga oleh Lotze Brentano, Husserl, Scheller, dan Nocolai
Hatmann. Scheller mengontraskan dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai
hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas menge-
nai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya terdapat dua bidang yang paling populer saat ini,
yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian,
kita mengenai aksiologi alam dua jenis, yaitu etika dan estetika. Etika yaitu bagian filsafat yang
mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia dari sudut baik atau jahat. Etika dalam
bahasa Yunani ethos, yang artinya kebiasaan atau habit atau custom. Estetika merupakan
bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek, secara
umum estetika mengkaji mengenai apa yang membuat rasa senang.
Dagobert Runes mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang
menyangkut hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai. Mengenai hakikat
nilai banyak dikemukakan diantaranya teori valuntariame. Teori ini mengemukakan bahwa
nilai yaitu suatu pemuasan terhadap suatu keinginan atau kemauan. Menurut kaum hedoniame
menyatakan bahwa hakikat nilai yaitu "pleasure" atau kesenangan. Semua manusia mengarah
pada kesenangan. Menurut forma-lism nilai yaitu kemauan yang bijaksana yang didasarkan
pada akal
rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai
instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan.
Adapun tipe nilai dapat dibedakan antara lain intrinsik dan nilai instrumental. Nilai
intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental merupakan
alat untuk mencapai nilai intrinsik. Sebagai contoh nilai intrinsik yaitu nilai yang dipancarkan
oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu merupakan nilai intrinsik dan merupakan suatu
perbuatan yang sangat luhur. Nilai instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan
mencegah perbuatan yang keji atau jahat, yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya
mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Yang dimaksud dengan kriteria nilai yaitu sesuatu yang menjadi ukuran nilai, bagaimana nilai
yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Kaum hedoniame menemukan nilai sejumlah
"kesenangan" (pleasure) yang dicapai oleh individu atau masyarakat. Bagi kaum pragmatic,
kriteria nilai yaitu "kegunaannya" dalam kehidupan bagi individu atau masyarakat. Adapun
yang dimaksud metafisik nilai yaitu bagaimana hubungan nilai-nilai itu dengan realitas, dan
dibagi menjadi tiga bagian: Pertama, subjektivisme: value ia entirely dependent on and relative
to human experience of it. Kedua, logikal objektivisme, value are logical essences for
subsiatences, independent of their being known, yet not eksistensial status of action in relity.
Ketiga, metaphysical objektivisme, values or norm or ideals are integral objective an active
constituents of the Metaphysical real.
Dalam pandangan objektivisme, nilai itu berdiri sendiri namun bergantung dan
berhubungan dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara
manusia yang satu dan yang lainnya. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu kehidupan
yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya, namun tidak memiliki status dan
gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik, nilai yaitu sesuatu yang lengkap,
objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.

D. KARAKTERISTIK NILAI AKSIOLOGI


Erliana Hasan (2011) mengatakan ada dua karakteristik yang berkaitan dengan teori
nilai, yaitu: Pertama, nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya,
maknanya, dan validitasnya tergantung pada realisasinya subjek yang melakukan penilaian,
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik. Suatu nilai dikatakan objektif
apabila nilai itu memiliki kebenarannya tanpa memperhatikan pemilihan dan penilaian
manusia. Contohnya, nilai-nilai baik, jika benar, cantik, merupakan realitas alam, yang
merupakan bagian dari sifat yang dimiliki oleh Benda atau tindakan itu. Nilai itu subjektif
apabila memiliki preferensi pribadi, dikatakan baik karena dinilai oleh seseorang. Kedua, nilai
dikatakan absolut atau abadi. Apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa
lampau dan akan berlaku secara absah sepanjang masa serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa
memperhatikan atau kelas sosial.
Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan harapan
dan keinginan manusia yang selalu berubah, maka nilai itu pun mengungkapkan perubahan itu.
Nilai berubah merespons dalam kondisi baru, ajaran baru, agama baru, penemuan baru dalam
sains dan teknologi, kemajuan dalam pendidikan, dan lainnya.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika
yaitu cabang filsafat yang membahas secara kritia dan sistematis masalah moral. Kajian etika
lebih fokus pada perilaku, norma, dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah satu cabang
filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa ocrates dan para
kaum sofia. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan, dan
sebagainya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnin Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritia, sistematis, dan mendasar tentang ajaran dan pandangan
moral. Isi dari pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan diatas norma-norma, adat,
wejangan, dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak
menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, tatapi suatu pemikiran yang kritia
dan mendasar tujuan dari etika yaitu agar manusia mengetahui dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk
ilmu itu digunakan. Selanjutnya Erliana mengutip pendapat Bramel,
alam aspek aksiologi ini ada moral conduct, estetic expresion, dan sosiolitical. Setiap ilmu bisa
untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan. Namun salah satu tanggung jawab seorang
ilmuwan yaitu dengan melakukan sosialiaasi tentang penemuannya, sehingga tidak ada
penyalahgunaan dengan hasil penemuan itu. Dan, moral yaitu hal yang paling susah dipahami
ketika sudah mulai banyak orang yang meminta permintaan, moral yaitu suatu tuntutan. Ilmu
bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam segala
hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metodis, sistematis, dan universal. Dan,
knowledge yaitu keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman maupun
pemahaman dari suatu objek.
Pandangan lain Amsal Bakhtiar (2011) mengatakan, sains merupakan kumpulan hasil
observasi yang terdiri dari perkembangan dan pengujian hipotesis, teori, dan model yang
berfungsi menjelaskan data. Dihadapkan dengan masalah dalam ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama
berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis
maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah
kepada orang lain untuk menggunakannya, apakah akan diguanakan untuk tujuan yang baik
ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu
secara total. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah
terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan
nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: (a) ilmu
secara faktual telah digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya
dua perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan; (b) ilmu telah berkembang dengan
pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses yang mungkin
terjadi bila terjadi penyalahgunaan; (c) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling
hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.

E. KORELASI ANTARA FILSAFAT ILMU DAN AKSIOLOGI


Dalam kaitan antara nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat
dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu
seseorang dapat mengubah wajah dunia. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat
subjektif Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada
objekitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila subjek berperan dalam memberi
penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan
yang akan pengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima
oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan
antara pernyataan ilmiah dan anggapan umum yaitu terletak pada objektivitasnya. Seorang
ilmuwan harus melihat realitas emperis dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat
ideologis, agama, dan budaya. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen. Ketika Seorang ilmuwan bekerja, dia hanya
tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai
aktif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di
mana makna etika memiliki dua arti, yaitu merupakan satu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan
perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang
bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergangu pada subjek atau kesadaran
yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan ada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjeknya berperan dalam
memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian, nilai
subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sains dan teknologi dikembangkan
untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia
berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, karena itu kita tidak bisa
dimungkiri peradaban manusia berutang budi pada sains dan teknologi. berkat sains dan
teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.
Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan
komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, di samping itu
ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya
manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang melampaui perkembangan budaya dan
peradaban manusia.

F. SIKAP DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN


Sikap seorang ilmuwan dilihat dari sudut atau cara berpikirnya, yang pada hakikatnya
adalah mereka yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya yang
mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan
pemikirannya dikaji dengan teliti. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan
cara berpikir orang awam.
Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
luas. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu akan
menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah, jika ilmuwan
memiliki tanggung jawab yang besar bukan saja karena ia merupakan warga masyarakat,
melainkan karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Fungsinya selaku
ilmuwan tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi juga bertanggung jawab atas
hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung jawab dalam
mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalahgunakan.
Selain itu pula, dalam masyarakat sering kali terdapat berbagai masalah yang belum
diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya
analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah itu. Seorang ilmuwan
dengan kemampuan berpikirnya mampu memengaruhi opini masyarakat terhadap suatu
masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat
dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggungjawab sosial seorang ilmuwan yaitu memberikan
perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang
objektif apat dimungkinkan.
Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan yaitu dalam bidang etika. Dalam
bidang etika ilmuwan harus memosisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang ilmuwan
haruslah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam
pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat lainnya
merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada
hakikatnya merupakan manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan
tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Di
sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan
seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia
mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia
mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang
lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu. Sudah seharusnya pula
terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri teladan dalam masyarakat.
Dengan kemampuan pengetahuannya, seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi
opini masyarakat terhadap masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda
dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan
bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisianya, melainkan juga integritas kepribadiannya. Di bidang
etika, tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi melainkan
memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka,
menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dinggap benar,
dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya
sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Seorang ilmuwan secara
moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya digunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang menggunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat, para
ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka
melanggar asas-asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat
dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk itulah
tanggung jawab ilmuwan harus dipupuk subur kembangkan dan berada pada tempat yang tepat,
baik tanggung jawabnya secara akademis maupun tanggung jawab moral dan sosial
masyarakat.
G. HIERARKI DAN ASPEK NILAI DALAM PENGETAHUAN
Sutardjo Wiramihardja (2007) menguraikan ada tiga pandangan yang berkaitan dengan
hierarki nilai: Pertama, kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, di
mana nilai spiritual lebih tinggi daripada nonspiritual (nilai material). Mereka menempatkan
nilai religi pada tingkat yang tinggi karena nilai religi membantu manusia dalam menemukan
akhir hidupnya, dan merupakan kesatuan dengan nilai spiritual. Kedua, kaum realis juga
berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai, di mana mereka menempatkan nilai rasional dan
emperis pada tingkatan atas, sebab membantu manusia realitas objektif, hukum alam dan aturan
berpikir logis. Ketiga, kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka
suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya apabila memuaskan kebutuhan yang penting
dan memiliki nilai instrumental.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah
bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen. Kebebasan
inilah nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan
bekerja, ia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil
dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-
nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, dan nilai adat. Bagi seorang
ilmuwan kegiatan ilmiahnya dan kebenaran ilmiahnya sangat penting.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk
kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia. Manusia terbebas dari kutuk
yang membawa malapetaka dan kesengsaraan. Memang dengan jalan mempelajari teknologi
seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi
dan keselamatan manusia tetapi di pihak lain hal ini juga bisa berakibat sebaliknya, yakni
membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya sebagaimana
adanya, mulai dipertanyakan untuk apa ebenarnya nilai itu digunakan? Untuk menjawab
pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling pada hakikat moral? Bahwa ilmu
itu berkaitan erat pada persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai moral
(agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Conpernicus mengemukakan teorinya "Bumi
berputar mengelilingi matahari" sementara ajaran agama menilai sebaliknya maka timbullah
interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonota&i metafisik, sedangkan di pihak lain
terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan yang terdapat dalam ajaran di
luar bidang keilmuan, di antaranya agama. Timbul konflik yang bersumber pada penafsiran
metafisik ini, yang berkulmiasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan
dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari
pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih 2,5 abad memengaruhi proses
perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini para ilmuwan berjuang untuk
menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan "ilmu
yang bebas nilai", setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan mem-
peroleh keotonomian ilmu. Artinya, kebebasan dalam melakukan penelitian dalam rangka
mempelajari alam sebagaimana adanya.
Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap misi yang bersifat
dogmatis, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan. Lirinya baik dalam bentuk abstrak
maupun konkret, seperti teknologi. eknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia.
Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses
dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan atau masalah moral? Apakah
teknologi itu menimbulkan akses yang negatif terhadap masyarakat.
Dihadapkan dalam masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat
merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat
bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun
aksiologis, dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah pada orang
lain untuk menggunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk
tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melajutkan tradisi ilmu secara total seperti pada waktu
era Galileo. Golongan yang kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya
terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-
nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: Pertama,
ilmu secara faktual telah digunakan secara deduktif oleh manusia yang dibuktikan dengan
adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan. Kedua, ilmu telah
berkembang dengan pesat dan makin esoteris hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang
ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. Ketiga, ilmu telah berkembang
pesat sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan
sosial.
Berdasarkan hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral
harus ditunjukkan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan hakikat dan mengubah
kemanusiaan. Dari kedua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada
epiatemologisnya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun, selain kepada kebenaran yang
nyata. Adapun secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik
dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai
landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok
yang menakutkan.
Etika keilmuwan merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuwan yaitu agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-
prinsip moral, yaitu yang baik dan yang menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku
keilmuannya. Sehingga ia menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku
ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap
perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan
apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada "elemen-elemen" kaidah
moral, yaitu hati nurani kebebasan dan serta tanggung jawab nilai dan norma yang bersifat
utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu penghayatan tentang yang baik dan yang buruk
yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai dan norma nilai.
Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri,
tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada
seperti nilai agama, hukum, dan budaya; yang paling utama dalam nilai moral yaitu yang terkait
dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik
ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya
akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu
berupa teknologi ataupun teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah
memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu
pengetahuan itu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah mayarakat
luasdan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi di
masyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun tidak semua teknologi dan ilmu pengetahuan
mempunyai dampak positif ketika berada di tengah masyarakat. Kadang kala teknologi
berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu teknologi
bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan yang telah ada sebelumnya,
seperti rekayasa genetik (cloning manusia), yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat
manusia atau ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut. Bagi seorang
ilmuwan, apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia harus berjiwa besar, bersifat terbuka
untuk menerima kritik dari masyarakat. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil
penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologi yang tepat.
Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi
melainkan harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan
menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalau berani
mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran
secara ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan
harus tampil di depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan
memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang
membangun, seorang ilmuwan harus bersikap seperti seorang pendidik dengan memberikan
contoh yang baik.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu pengetahuan yang terkait dengan nilai-nilai?
Suwardi Endraswara (2012) mengemukakan, ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya
dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia
menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya
pada tataran praksis, pada kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur'an
terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai yaitu dengan cara mengembagikan ilmu
pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia
dan alam, bukan sebaliknya membawa mudarat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak
terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang
utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mendesak kemanusiaan melainkan
kemanusiaan yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka
penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filsuf dan
para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi
orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan hal ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan
untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut
mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu
pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk menambah kesenangan manusia dalam kehidupan yang terbatas di muka
Bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban
hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang
nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan kesehatan.
Adapun pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
meningkatkan kebudayaan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.
Lebih jauh Suwardi mengemukakan ilmuwan perlu menjaga kredibilitas ilmu yang
dimiliki. Ilmu pengetahuan perlu diraih dengan langkah-langkah yang tepat, jauh dari
plagiarisme. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi suatu teknologi yang benar-
benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari moral ilmuwannya. Untuk
seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan Serta masalah bebas nilai.
Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada
tempat yang tepat. Tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral mengenal apa yang
dimaksud aksiologi. Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal
ini, ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya, melainkan juga
integritasnya. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa
pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara
berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat.
Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada
masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membuat
mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Berbicara tentang aspek nilai dalam ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012)
mengatakan nilai-nilai kehidupan menjadi wilayah garapan dalam aksiologi. Nilai akademik
selalu membingkai perilaku keilmuan. Nilai akan mengukur, apakah seseorang melanggar etika
akademik atau tidak. Nilai merupakan konsep abstrak mengenai masalah dasar baik yang
merupakan sifat maupun sikap, perilaku perbuatan seseorang atau kelompok yang sangat
penting dan berguna bagi kehidupan manusia dan masyarakat lahir dan batin.
Keingintahuan seseorang dalam bidang ilmu, jika tanpa nilai, akan berjalan tidak wajar.
Akibatnya banyak yang menerjang etika keilmuan. Rasa keingintahuan manusia ternyata
menjadi titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Namun rasa ingin tabu itu perlu
diimbangi dengan etika tertentu. Etika yaitu bangunan nilai, yang diterapkan untuk mengukur
perilaku manusia. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesis awal
manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat merupakan titik awal
sejarah perkembangan pemikiran manusia di mana manusia berusaha untuk mengorek,
memerinci, dan melakukan pembuktian yang tak lepas dari kungkungan. Kemudian
dirumuskanlah suatu teori pengetahuan di mana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi
beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir suatu konsep yang dinamakan
ilmu.
Kemudian Suwardi menjelaskan lebih jauh bagaimana dengan nilai dalam ilmu
pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai
bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari
malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom nuklir,
manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia,
tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia pada
penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka bagi manusia. Di sinilah fungsi ilmu
teruji keberadaannya, apakah dia bernilai atau tidak bagi kemaslahatan manusia, atau
sebaliknya menjadi malapetaka bagi kehidupan makhluk dan manusia.
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francia Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S.
Suriasumantri, yaitu bahwa "pengetahuan yaitu kekuasaan", apakah kekuasaan itu merupakan
berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena
ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula
ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk tetapi tergantung pada
pemilik atau manusia dalam menggunakannya.

H. ASPEK PENELITIAN DALAM PEMANFAATAN


DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Solly Lubis (2012) mengatakan dasar pendekatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan adalah sama, tetapi di dalam perkembangan metode yang digunakan mengalami
perbedaan dalam penggunaan pendekatan metode penelitian. Hal ini berkaitan dengan
pemanfaatan, pertumbuhan dan perkembangan bidang-bidang ilmu pengetahuan itu sendiri.
Metode ilmiah untuk pengembangan dapat berbeda-beda antara ilmu sosial dan yang lainnya.
Adapun metode penelitian pada hakikatnya sama untuk semua bidang ilmu pengetahuan.
Penelitian dapat berperan dalam ilmu pengetahuan di dalam hal berikut: Pertama, menemukan
bidang baru pengetahuan dengan penemuan dan motivasi. Kedua, memantapkan dan
mengukuhkan bidang baru itu melalui pengujian atas hipotesis yang relevan dengan bidang
ilmu yang dikaji. Ketiga, mengembangkan jangkauan wewenang ilmu itu dengan teori dan
disiplin.
Adapun peran konkret penelitian dalam pengembangan ilmu, kata Solly yaitu: Pertama,
penyusunan teori (teoretisasi). Dari hasil penelitian atas fakta, diperoleh penjelasan yang
berupa pengertian tentang fenomena alamiah, dan diberi generalisasi dari fenomena itu. Dari
generalisasi ini disusun prinsip yang merupakan hubungan antara fenomena yang satu dan yang
lainnya, dan selanjutnya jika ini telah mapan, ia akan menjadi hukum atau aturan main. jika
hukum ini telah berlaku umum, tidak tergantung kepada waktu dan tempat ditemukannya
fenomena alamiah tersebut, pertama kali ia akan dibangun menjadi teori atau hipotesis umum
dari bidang ilmu. Teori ini harus terdiri dari aksioma, yakni ketentuan yang berupa anggaran
dasar, teorama atau dalil, hipotesis, yang merupakan kesimpulan dan metode. Ada tiga syarat
agar suatu teori dapat meningkat menjadi ilmu yaitu bahwa teori itu harus mengandung suatu
statement, metode tertentu, dan hipotesis, yang semuanya itu harus teruji kebenarannya.
Kedua, verifikasi (memeriksa). Dari teori ilmu pengetahuan yang kadang-kadang
seorang ilmuwan menemukan gejala atau fenomena ada, kadang yang relevan dengan teori
tertentu, tetapi ia merasakan adanya ketidakcocokan yang untuknya merupakan keadaan
problematik. Dari keadaan ini ia memformulasikan masalahnya. Sebagaimana hal yang logis
dalam ilmu pengetahuan, maka ia akan menyusun suatu kesimpulan sementara atau hipotesis
dari fenomena itu. Oleh Jujun S. Suriasumantri (2010) dan proses ilmu pengetahuan melalui
metode ilmiah ini disebut dengan logico, hipotetico, dan verifikasi.
Tindak selanjutnya dari ilmuwan itu yaitu mengumpulkan informasi dari berbagai
sumber yang relevan dengan masalah tersebut. Tindakan ini yang sebenarnya merupakan
penelitian, akan memberikan hasil yang dapat mendukung hipotesis atau menolak hipotesis itu.
Dari hasil penolakan atau dukungan atas hipotesisnya, si ilmuwan dapat menerima atau tidak
dapat menerima teori pengetahuan tentang fenomena alamiah ilmu.
Pernikiran rasional yaitu setiap pemikiran yang sesuai dengan norma-norma logika.
Yang dimaksud di sini yaitu membedakan benda-benda tidak identik dan diikuti dengan proses
penalaran silogistik tentang hubungan dari benda atau sesuatu. Tetapi rasionalitas logis
tidak mempunyai hubungan satu-satu dengan ilmu pengetahuan, sebab rasionalitas juga
menjadi sumber yang lainnya, seperti keindahan, rasa, dan etik. Ilmu pengetahuan hanya
ada jika sesuatu yang tersedia untuk dirasakan
oleh indra kita atau oleh instrumen ilmiah. Oleh karena itu ilmu pengetahuan harus rasional
dan empiris.
Fungsi utama ilmu pengetahuan yaitu sebagai himpunan ide siatematik dan umum yang
merupakan inti dari ilmu pengetahuan modern yang telah berkembang. Yang dimaksud
dengan skema konseptual yaitu sistem umum proposisi dari acuan empiris yang menyatakan
kondisi penentu di mana fenomena empiris berhubungan satu sama lain. Skema konseptual
yang baik merupakan komponen kumulatif yang utama dari ilmu pengetahuan.
Bentuk ideal dari skema konseptual yaitu yang memiliki generalitas yang luas, yakni
yang didalamnya jumlah dari kategori konseptual atau variabel kecil dalam artian proporsi
umum yang abstrak. Hal seperti ini hanya terdapat dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi tidak
demikian dalam ilmu pengetahuan sosial. Tetapi skema konseptual memiliki acuan kepada data
empiris, maka harus ada teknik untuk mengumpulkan data dan teknik lain untuk menyusun
data itu kepada kategori konseptual yang sesuai. Hubungan antara skema konseptual dan teknik
bukanlah sesuatu yang sederhana, kendatipun ada ketergantungan satu sama lain.
Di sana juga ada kebebasan satu sama lain. Skema konseptual dengan penalaran deduktif dapat
secara independen meramalkan data di mana teknik yang ada tidak mampu
mengobservasinya.
Sebaliknya, teknik observasi dan penyusunan data yang ada dapat mengumpulkan data
yang tidak cocok ke dalam skema konseptual. Hal ini sesuatu yang lumrah dalam ilmu
pengetahuan, dan keadaan ini sering kali menimbulkan stimulasi untuk rekonstruksi skema
konseptual yang ada, yang merupakan jalan ke kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan tidak hanya merupakan kumpulan dari sejumlah besar fakta. Tetapi
ia merupakan kumpulan dan susunan fakta dalam kaitan satu skema konseptual, yakni skema
yang selalu direkonstruksi jika penggunaannya atau digunakannya teknik pengumpulan data
dan menghasilkan fakta baru. Skema konseptual dan teknik mungkin sekali tidak terpadu
secara sempurna dan sering kali dari kesenjangan ini fakta yang dapat mengkonstruksi skema
konseptual yang lebih umum dan sistematis.
Dari penjelasan di atas dan perkembangannya, di dunia ilmu pengetahuan ada dua
pandangan tentang ilmu pengetahuan yakni pandangan statis dan dinamis. Dari sudut
pandangan statis, ilmu pengetahuan yaitu suatu kegiatan yang menyajikan informasi secara
sistematis kepada dunia. Tugas seorang ilmuwan hanya menemukan fakta baru dan kemudian
menambahkannya kedalam informasi yang telah ada. Jadi, ilmu pengetahuan hanya merupakan
kumpulan fakta dan cara untuk menjelaskan fenomena yang diamati.
Solly Lubis (2012) mengatakan lebih jauh, ada dua pandangan tentang fungsi ilmu
pengetahuan. Pertama, untuk seorang praktisi, ilmu pengetahuan merupakan satu disiplin atau
kegiatan yang diarahkan untuk memperbaiki sesuatu dalam membuat kemajuan. Maka fungsi
ilmu pengetahuan yaitu membuat penemuan mempelajari fakta, demi untuk mengembangkan
pengetahuan atau memperbaiki sesuatu.
Adapun pandangan kedua dari kalangan teoretisi, di mana fungsi ilmu pengetahuan
membentuk hukum umum yang meliputi perilaku dari peristiwa emperis atau objek, sehingga
kita mampu mengembangkan pengetahuan atas peristiwa yang terpisah, dan dapat membuat
ramalan atas peristiwa yang belum diketahui.
Secara definitif, teknokrat merupakan tokoh yang memiliki kemampuan teknis
berdasarkan disiplin ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus ia terlibat dalam kegiatan
berkuasa dan memerintah. Dari hal ini terdapat fungsi ganda pada kalangan teknokrat, yakni:
Pertama, selaku teoretisi, ia menganggap bahwa fungsi ilmu pengetahuan yaitu membentuk
hukum umum dari temuan peristiwa empiris atau objek, yaitu mengembangkan pengetahuan,
selain menjelaskan apa hakikat peristiwa yang diamatinya, dan membuat prediksi ke depan.
Kedua, selaku praktisi, teknokrat itu memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin
kegiatan berpikir dan bertindak menganalisis fakta, dengan tujuan untuk menawarkan solusi
sejauh diperlukan.
Dalam konteks sikap terhadap ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012)
mengungkapkan bahwa setiap sikap dan perilaku terkait dengan ilmu pengetahuan harus ada
nilai-nilai yang berhubungan dengan seluruh keyakinan. Di dalam ilmu sendiri sebenarnya
terdapat proses keyakinan. Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
Berbagai ragam nilai akan menawarkan pilihan bagi kehidupan. Manusia harus menjatuhkan
pilihan sesuai keinginan. Pilihan nilai itu berkaitan pula dengan percobaan manusia untuk
mewujudkan rasa ingin tabu terhadap ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Vous aimerez peut-être aussi