Vous êtes sur la page 1sur 177

KAJIAN PENANGANAN PASCA PANEN BELIMBING

WULUH (Averrhoa bilimbi. L) SEBAGAI BAHAN BAKU


PEMBUATAN BUBUK ASAM SUNTI MENGGUNAKAN
PENGERINGAN KABUT (SPRAY DRYER).

Oleh

IRHAMI
F153090051

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pembuatan Bubuk Asam
Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering
Kabut (Spray Dryer) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Irhami
NRP F153090051
ABSTRACT

IRHAMI. Study on Post-Harvest Handling of Wuluh Starfruit (Averrhoa


bilimbi L.) as a Raw Material to Produce Asam Sunti Powder Using Spray Dryer
Supervised by SUTRISNO and EMMY DARMAWATI.
Asam sunti is a kind of unique and popular seasoning in tradisional
food that made of the dried wuluh starfruit. Recently, asam sunti become
popular widely, not limited only in Aceh, therefore it is need to produce asam
sunti in powder form such as tumeric powder, pepper, chili and some other spices.
The problems in making asam sunti powder is the lack of quality standards of
semi-wet asam sunti to be the raw material for powder asam sunti. The quality of
wet asam sunti is greatly influenced by the level of ripeness of wuluh starfruit
and its moisture content. Hence necessary to study the influence of fruit maturity
level and mechanically drying temperature to produce of a semi-wet asam sunti
which is the raw material of powder asam sunti. The purpose of this research is to
determine a maturity level of fruit and the best drying temperature to produce
semi-wet asam sunti and then to define of spray dryer temperature and addition of
dextrin to produce asam sunti powder that meet with consumer preferences. The
study was began by measuring the physicochemical properties of wuluh
starfruit at three levels of maturity fruit, with parameter of color, size, firmness,
total acid, and oxalic acid as the preliminary data from fresh sampel. The second
stage of research was done to determine of drying time based on the final moisture
content which is close with the moisture content of the control sampel (asam sunti
from Aceh). The third stage of research was done to perform drying process of
wuluh starfruit using a cabinet dryer with drying time based on the results of the
second stage, and follow by the last stage to study of producing asam sunti
powder using a spray dryer. The best semi-wet asam sunti according to
consumers preferences are made from a half-mature starfruit (green-yellow) with
the drying temperature 50 C for 8 hours, where it has total acid 37.80%, oxalic
acid 4.76% and will perform a rendemen of 50.74%. After that, semi-wet asam
sunti is processed into asam sunti powder. The best asam sunti powder which is
based on consumer preferences is combination of addition dextrin 30%, drying
temperature 180 C, and will produce the products with moisture content 5.14%,
total acid 48.40%, oxalic acid 6.10%, and rendemen 11.28%. Meanwhile, when
the local asam sunti is used as raw material for asam sunti powder, the best result
based on consumer preferences should be produced by add 30% of dextrin with
drying temperature of 170C.
Keywords: Wuluh starfruit, maturity levels, dextrin, cabinet dryer, spray dryer.
RINGKASAN

IRHAMI. Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer). Dibimbing oleh
SUTRISNO dan EMMY DARMAWATI.

Belimbing wuluh merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di


Indonesia khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Biasanya belimbing
wuluh ini terlebih dahulu diolah menjadi makanan atau dikeringkan sebelum
dikonsumsi. Di daerah Aceh pembuatan asam sunti saat ini belum berbentuk
produk olahan yang praktis untuk digunakan seperti halnya bumbu masakan jahe,
kunyit, lada, cabe dan beberapa bumbu masakan lainnya. Pengguna asam sunti
yang tidak terbatas di wilayah Aceh, menjadi pendorong untuk membuat asam
sunti dalam bentuk bubuk seperti halnya bubuk dari bumbu-bumbu yang lain.
Masalah yang dihadapi saat ini dalam pembuatan asam sunti yaitu tidak
seragamnya produk yang dihasilkan karena tingkat kematangan buah yang
berbeda saat pengolahan, sehingga perlu adanya kajian terhadap penanganan
pasca panen buah belimbing wuluh berdasarkan tingkat kematangan baik dari segi
warna, ukuran maupun kekerasan dari komoditi tersebut untuk dijadikan produk
asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
kematangan belimbing wuluh dan perlakuan pengolahan dalam memproduksi
bubuk asam sunti terhadap mutu yang dihasilkan, sedangkan tujuan khusus dari
penelitian ini adalah (1) Menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh
dan suhu pengeringan (menggunakan pengering kabinet) untuk menghasilkan
asam sunti yang baik berdasarkan preferensi konsumen. (2) Menentukan suhu
pengeringan terbaik spray dryer untuk menghasilkan bubuk asam sunti. (3)
Menentukan perlakuan dekstrin yang optimum terhadap mutu bubuk asam sunti.
Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang terdiri dari
dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk menentukan tingkat kematangan dari
buah belimbing wuluh dengan melakukan pengukuran berdasarkan warna, ukuran,
kekerasan, total asam dan asam oksalat dan tahap kedua dilakukan untuk
menentukan lama waktu pengeringan belimbing wuluh yang terbaik pada masing-
masing perlakuan suhu dengan menggunakan kabinet dryer untuk menghasilkan
kadar air yang seragam (sesuai dengan kadar air asam sunti tradisional) dari
masing-masing perlakuan tingkat kematangan. Selanjutnya penelitian utama
terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama dilakukan pengeringan belimbing wuluh
dari tiga tingkat kematangan yaitu belum matang (hijau), setengah matang
(hijau:kuning) dan matang (kuning) dengan menggunakan kabinet dryer pada
suhu 50C, 65C dan 80C. Sedangkan penelitian tahap kedua dilakukan untuk
menghasilkan produk bubuk asam sunti yang dibuat dari asam sunti terbaik pada
tahap pertama dengan pencampuran dekstrin pada konsentrasi 30%, 40% dan 50%
dan proses pengeringan menggunakan spray dryer pada suhu 160C, 170C dan
180C dengan tekanan 2 bar pada kecepatan aliran 20 ml/menit. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 ulangan. Parameter
mutu yang diamati adalah rendemen, kadar air, pH, total asam, asam oksalat,
warna Lab dan daya kelarutan. Uji organoleptik meliputi rasa, warna, aroma,
tekstur dan penerimaan keseluruhan. Analisis nilai tambah untuk pembuatan asam
sunti semi basah dan bubuk asam sunti dihitung untuk melihat aspek
ekonomisnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah
belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50C selama 8 jam
merupakan produk terbaik yang dipilih sesuai dengan preferensi konsumen untuk
digunakan sebagai bahan baku pembuatan bubuk asam sunti dengan skor masing-
masing parameter adalah rendemen 50.74%, kadar air 74.85%, pH 1.74, total
asam 37.80% dan asam oksalat 4.76%; nilai kecerahan (L) 46.06, nilai a 0.05 dan
nilai b 26.49. Suhu pengeringan spray dryer 180C dengan konsentrasi dekstrin
30% merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan bubuk dari asam sunti
hasil penelitian yang sesuai dengan tingkat kesukaan konsumen. Skor dari
masing-masing parameter yang diperoleh yaitu rendemen 11.28%, kadar air
5.14%, pH 1.28, total asam 48.40%, asam oksalat 6.10% dan kelarutan 96.47%.
Sedangkan suhu pengeringan 170C dengan konsentrasi dekstrin 50% merupakan
suhu yang dipilih untuk menghasilkan bubuk asam sunti lokal yang sesuai dengan
tingkat kesukaan konsumen dengan masing-masing skor parameter yang diperoleh
yaitu rendemen 14.84%, kadar air 6.36%, pH 1.27, total asam 61.16%, asam
oksalat 7.71% dan kelarutan 82.80%. Hasil analisis nilai tambah proses produksi
asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti menyatakan bahwa sumbangan input
lain terutama pada penggunaan alat mekanis sangat berperan penting. Tetapi
proses produksi masih dapat dijalankan karena masih memberikan keuntungan
bagi pemilik usaha.

Kata kunci: Belimbing wuluh, tingkat kematangan, pengering kabinet, dekstrin,


pengering kabut.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atas seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PENANGANAN PASCA PANEN BELIMBING
WULUH (Averrhoa bilimbi. L) SEBAGAI BAHAN BAKU
PEMBUATAN BUBUK ASAM SUNTI MENGGUNAKAN
PENGERINGAN KABUT (SPRAY DRYER).

IRHAMI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Dyah Wulandani, M.Si
Judul Tesis : Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat
Pengering Kabut (Spray Dryer)
Nama : Irhami
NRP : F153090051
Program Studi/Mayor : Teknologi Pasca Panen

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si


Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Teknologi Pasca Panen

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 27 Juli 2012 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah pengolahan
asam sunti menjadi produk bubuk sebagai bumbu masakan, dengan judul Kajian
Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L)
Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer).
Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis haturkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si selaku
pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada
penulis mulai penyusunan proposal sampai pada penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si selaku penguji luar komisi atas saran dan
masukannya,
3. Ketua Mayor Teknologi Pascapanen, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB dan
staf,
4. Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen
Teknik Mesin dan Biosistem,
6. Bu Rus, Pak Mul, dan Pak Sulyaden yang sudah membantu dan memberikan
kemudahan dalam urusan administrasi Mayor TMB,
7. Orang tua penulis (H. Poniman Usman dan Dra. Hj. Sarwati Hamzah), suami
tercinta (Abdullah, S.TP), kakak dan adik tersayang (dr. Nurfitriani, Sp.P,
Nurbariah, M.Si, Muhammad Baiquni, ST) serta mertua atas segala kasih
sayang, kesabaran, doa dan dukungan selama penulis melaksanakan studi,
8. Rekan-rekan seperjuangan dalam TPP09; Riwan, Jati dan Mamad, serta tak
terlupakan temen-temen TPP10, terimakasih atas kebersamaan dan dukungan
selama studi,
10. Teman-teman Megakost; Epi, Tajul, Ayu, Putri, Vony, Nia, Mba Farida, Mba
Anty, Mba Tia, Mba Tami, terimakasih untuk kebersamaan dan canda
tawanya selama ini.
11. Serta masih banyak lagi ucapan terimakasih dan penghargaan penulis
sampaikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkat dan
anugerah-Nya berlimpah bagi beliau-beliau yang tersebut di atas. Sangat disadari
dalam karya ilmiah ini terdapat banyak kekurangan oleh karena itu semua saran
dan kritik penulis terima dengan lapang dada demi kesempurnaan penulisan karya
ilmiah ini. Akhirnya harapan penulis semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
kita semua. Amin.

Bogor, Juli 2012

Irhami
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Montasik, Aceh Besar pada tanggal 07 Juli 1980


sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Poniman Usman dan
Dra. Hj. Sarwati Hamzah. Penulis lulus dari MAN 2 Banda Aceh pada tahun 2000
lalu melanjutkan S1 tahun 2000 di Program Studi Tarbiyah Pendidikan Agama
Institut Agama Islam Negeri Arraniry (IAIN Arraniry) melalui jalur Undangan
dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis juga diterima di
Program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah
Kuala (UNSYIAH) melalui jalur UMPTN dan selesai tahun 2008. Pada tahun
2009, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) pada Departemen Teknik
Mesin dan Biosistem Mayor Teknologi Pascapanen di Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 5
2.1. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) ......................................... 5
2.2. Fisiologi Pasca Panen Buah Belimbing ........................................... 6
2.3. Asam Sunti..................................................................................... 8
2.4. Garam ............................................................................................ 8
2.5. Bubuk ............................................................................................ 10
2.6. Pengeringan ................................................................................... 11
2.6.1. Pengering Kabinet ................................................................ 12
2.6.2. Pengering Kabut ................................................................... 13
2.7. Dekstrin ......................................................................................... 14
2.8. Analisis Nilai Tambah (Metode Hayami) ....................................... 16
III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 19
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 19
3.2. Bahan dan Alat ............................................................................... 19
3.3. Metode Penelitian........................................................................... 20
3.3.1. Penelitian Pendahuluan ......................................................... 20
3.3.2. Penelitian Tahap Pertama ..................................................... 20
3.3.3. Penelitian Tahap Kedua ........................................................ 21
3.4. Rancangan Percobaan..................................................................... 22
3.5. Metode Analisis ............................................................................. 23
3.5.1. Rendemen............................................................................. 23
3.5.2. Kekerasan ............................................................................. 24
3.5.3. Warna ................................................................................... 24
3.5.4. Kadar Air.............................................................................. 24
3.5.5. Pengukuran pH ..................................................................... 25
3.5.6. Daya Kelarutan ..................................................................... 25
3.5.7. Total Asam ........................................................................... 25
3.5.8. Asam Oksalat ....................................................................... 26
3.5.9. Uji Organoleptik ................................................................... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 27
4.1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 27
4.1.1. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua ..................................... 27
4.1.2. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua ..................................... 29
4.2. Penelitian Utama .............................................................................. 31
4.2.1. Penelitian Utama Tahap Pertama ............................................ 31
4.2.1.1. Rendemen Asam Sunti............................................... 31
4.2.1.2. Kadar Air Asam Sunti................................................ 33
4.2.1.3. pH Asam Sunti .......................................................... 36
4.2.1.4. Total Asam ............................................................... 38
4.2.1.5. Asam Oksalat Asam Sunti ......................................... 41
4.2.1.6. Warna Produk Asam Sunti ......................................... 43
4.2.1.7. Uji Organoleptik Asam Sunti ..................................... 47
4.2.1.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa ............ 47
4.2.1.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna ......... 50
4.2.1.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma ........ 51
4.2.1.7.4. Penerimaan Sensori Terhadap Tekstur ....... 53
4.2.1.7.5. Penerimaan Keseluruhan ............................ 56
4.2.1.8. Perlakuan Terbaik Asam Sunti ................................... 58
4.2.2. Penelitian Utama Tahap Kedua ............................................... 59
4.2.2.1. Rendemen Bubuk asam Sunti .................................... 62
4.2.2.2. Kadar Air Bubuk asam Sunti ..................................... 65
4.2.2.3. pH Bubuk asam Sunti ................................................ 68
4.2.2.4. Total Asam Bubuk asam Sunti ................................... 71
4.2.2.5. Asam Oksalat Bubuk asam Sunti ............................... 74
4.2.2.6. Daya Kelarutan Bubuk asam Sunti............................. 76
4.2.2.7. Uji Organoleptik Bubuk asam Sunti ........................... 79
4.2.2.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa ............ 79
4.2.2.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna ......... 83
4.2.2.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma ........ 86
4.2.2.7.4. Penerimaan Keseluruhan ............................ 90
4.2.2.8. Perlakuan Terbaik Bubuk Asam Sunti........................ 94
4.3. Nilai Tambah Produk Asam Sunti Semi Basah dan Bubuk
Asam Sunti....................................................................................... 95
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 100
5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 100
5.2. Saran ................................................................................................ 101
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 102
LAMPIRAN ................................................................................................... 109
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Komposisi per 100 gram buah belimbing wuluh ...................................... 6
2 Analisis perhitungan nilai tambah Hayami .............................................. 18
3 Nilai warna, ukuran, kekerasan dan total asam belimbing wuluh dari
berbagai tingkat kematangan ................................................................... 28
4 Kadar air dan waktu lama pengeringan belimbing wuluh untuk
tiga tingkat kematangan .......................................................................... 30
5 Kandungan Asam Organik Buah Belimbing Wuluh ................................ 43
6 Analisis Nilai Tambah Pengolahan Asam Sunti Semi Basah ................... 97
7 Analisis Nilai Tambah Pengolahan Bubuk Asam Sunti ........................... 98
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Bagian dari tanaman belimbing wuluh (a) pohon, (b) bunga dan
(c) buah................................................................................................... 5
2 Skema respirasi klimakterik dan non-klimakterik .................................... 7
3 Alat pengering yang digunakan dalam penelitian (a) alat pengering
Kabinet dryer dan (b) alat pengering Spray dryer .................................... 19
4 Diagram pembuatan asam sunti ............................................................... 21
5 Diagram pembuatan asam sunti bubuk .................................................... 22
6 Tingkat kematangan buah belimbing wuluh; (a) belum matang (hijau),
(b) setengah matang (hijau:kuning) dan (c) matang (kuning) ................... 27
7 Perbandingan rendemen asam sunti berdasarkan tingkat kematangan
buah dan suhu pengeringan ..................................................................... 31
8 Perbandingan kadar air asam sunti berdasarkan tingkat kematangan
buah dan suhu pengeringan ..................................................................... 35
9 Perbandingan pH asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan.............................................................................. 37
10 Perbandingan total asam berdasarkan tingkat kematangan buah dan
suhu pengeringan .................................................................................... 39
11 Perbandingan asam oksalat asam sunti berdasarkan tingkat kematangan
buah dan suhu pengeringan ..................................................................... 42
12 Perbandingan tingkat kecerahan (Nilai L) asam sunti berdasarkan
tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ...................................... 44
13 Perbandingan nilai a asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan.............................................................................. 45
14 Perbandingan nilai b asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan.............................................................................. 45
15 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa asam sunti
berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan .................. 48
16 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan .......... 49
17 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna asam sunti
Berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan .................. 50
18 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan .......... 51
19 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma asam sunti
berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan .................... 52
20 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ............ 52
21 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap tekstur asam sunti
berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan .................... 54
22 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap tekstur asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ............ 55
23 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap produk
asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 56
24 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap
produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan .............................................................................................. 57
25 Hasil produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian dengan berbagai
tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ................. 61
26 Hasil produk bubuk dari asam sunti lokal dengan berbagai tingkat
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ............................. 61
27 Perbandingan rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ............................ 63
28 Perbandingan rendemen bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ................................................ 64
29 Perbandingan kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ............................ 66
30 Perbandingan kadar air bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ................................................ 67
31 Perbandingan pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ............................ 69
32 Perbandingan pH bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan .................................................................. 70
33 Perbandingan total asam bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ............................ 72
34 Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ................................................ 73
35 Perbandingan asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ............................ 74
36 Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ................................................ 75
37 Perbandingan daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ............................ 77
38 Perbandingan daya kelarutan bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ................................................ 77
39 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk dari
asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ...................................................................................... 80
40 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk
dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ...................................................................................... 81
41 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk asam
sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ........... 82
42 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk
asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan .............................................................................................. 83
43 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk dari
asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ...................................................................................... 84
44 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk dari
asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan .............................................................................................. 85
45 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk asam
sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ........... 86
46 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna bubuk
asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan .............................................................................................. 86
47 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk dari
asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan ............................................................................................ 87
48 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk
dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan .................................................................................... 88
49 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk asam
sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ......... 89
50 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk
asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan ............................................................................................ 90
51 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap bubuk
dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan .................................................................................... 91
52 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap
bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin
dan suhu pengeringan.............................................................................. 92
53 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap
bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan .................................................................................... 93
54 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap
bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan .................................................................................... 93
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Lama pengeringan dan kadar air dari beberapa tingkat kematangan
belimbing wuluh dan suhu pengeringan .................................................. 109
2 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti .................................... 110
3 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti .................................... 110
4 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap kadar air asam sunti ...................................... 111
5 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap kadar air asam sunti ..................................... 111
6 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap pH asam sunti ............................................... 112
7 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap pH asam sunti .............................................. 112
8 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap total asam asam sunti .................................... 113
9 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap asam oksalat asam sunti ................................ 113
10 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti............................. 114
11 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti ............................ 114
12 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap warna (nilai a) asam sunti ............................. 115
13 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap warna (nilai b) asam sunti ............................. 115
14 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis
Aceh ....................................................................................................... 116
15 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis
Aceh ....................................................................................................... 116
16 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis luar
Aceh ......................................................................................................... 117
17 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis luar
Aceh ......................................................................................................... 117
18 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam sunti panelis
Aceh ......................................................................................................... 118
19 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam sunti panelis luar
Aceh ......................................................................................................... 118
20 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis
Aceh ......................................................................................................... 119
21 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis
Aceh ......................................................................................................... 119
22 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis luar
Aceh ......................................................................................................... 120
23 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis luar
Aceh ......................................................................................................... 120
24 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis
Aceh ......................................................................................................... 121
25 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis
Aceh ......................................................................................................... 121
26 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis luar
Aceh ......................................................................................................... 122
27 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis luar
Aceh ......................................................................................................... 122
28 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis
Aceh ......................................................................................................... 123
29 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis
Aceh ......................................................................................................... 123
30 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis
luar Aceh ................................................................................................ 124
31 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis
luar Aceh ................................................................................................ 124
32 Data parameter yang diuji pada berbagai tingkat kematangan belimbing
Wuluh dan suhu pengeringan .................................................................. 125
33 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 126
34 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 126
35 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap rendemen bubuk asam sunti lokal........................... 127
36 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap rendemen
bubuk asam sunti lokal ............................................................................ 127
37 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian...... 128
38 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap kadar air
bubuk dari asam sunti hasil penelitian ..................................................... 128
39 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal ............................ 129
40 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal ............................ 129
41 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian .............. 130
42 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap pH bubuk dari
asam sunti hasil penelitian....................................................................... 130
43 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap pH bubuk asam sunti lokal ..................................... 131
44 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap
pH bubuk asam sunti lokal ...................................................................... 131
45 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap total asam bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ................................................................................................ 132
46 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap total asam bubuk asam sunti lokal .......................... 132
47 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap total asam
bubuk asam sunti lokal ............................................................................ 133
48 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil
penelitian .................................................................................................. 133
49 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap asam oksalat bubuk asam sunti lokal ........................ 134
50 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap asam oksalat
bubuk asam sunti lokal .............................................................................. 134
51 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil
penelitian .................................................................................................. 135
52 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal ..................... 135
53 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal ..................... 136
54 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap daya kelarutan
bubuk asam sunti lokal .............................................................................. 136
55 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada rasa bubuk dari
asam sunti hasil penelitian ......................................................................... 137
56 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap organoleptik
panelis Aceh pada rasa bubuk dari asam hasil penelitian ........................... 137
57 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa bubuk
dari asam sunti hasil penelitian .................................................................. 138
58 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan spray
dryer dan interaksi terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa
bubuk dari asam sunti hasil penelitian ....................................................... 138
59 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada rasa bubuk asam
sunti lokal ................................................................................................. 139
60 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa bubuk
asam sunti lokal ........................................................................................ 139
61 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada warna bubuk dari
asam sunti hasil penelitian ......................................................................... 140
62 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk
dari asam sunti hasil penelitian .................................................................. 140
63 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap
organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ................................................................................................ 141
64 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada warna bubuk asam
sunti lokal ............................................................................................... 141
65 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk
asam sunti lokal ...................................................................................... 142
66 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada aroma bubuk dari
asam sunti hasil penelitian....................................................................... 142
67 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk
dari asam sunti hasil penelitian ................................................................ 143
68 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap
organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ................................................................................................ 143
69 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada aroma bubuk
asam sunti lokal ...................................................................................... 144
70 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk
asam sunti lokal ...................................................................................... 144
71 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk
dari asam sunti hasil penelitian ................................................................ 145
72 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap penerimaan
keseluruhan panelis Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 145
73 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada
bubuk dari asam sunti hasil penelitian ..................................................... 146
74 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan dan
interaksi terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada bubuk
dari asam sunti hasil penelitian ................................................................ 146
75 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk
asam sunti lokal ...................................................................................... 147
76 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada
bubuk asam sunti lokal ............................................................................ 147
77 Data parameter bubuk asam sunti hasil penelitian yang diuji pada berbagai
tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ................. 148
78 Data parameter bubuk asam sunti lokal yang diuji pada berbagai tingkat
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ............................. 149
79 Data bahan baku dan bahan penolong, serta analisis nilai tambah
pengolahan asam sunti semi basah ............................................................ 150
80 Data bahan baku dan bahan penolong, serta analisis nilai tambah
pengolahan bubuk asam sunti .................................................................... 151
81 Formulir pengujian organoleptik (hedonic test) ......................................... 152
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) atau sering disebut belimbing
asam merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di Indonesia, khususnya
di Provinsi Aceh. Belimbing wuluh banyak ditanam masyarakat dan biasa dipakai
sebagai bumbu untuk beberapa masakan karena rasa khasnya tidak dapat
digantikan oleh buah lain. Biasanya belimbing wuluh ini terlebih dahulu diolah
menjadi makanan atau dikeringkan sebelum dikonsumsi (Lingga, 1997).
Di daerah Aceh, belimbing wuluh yang dikeringkan untuk bumbu
masakan dinamakan dengan asam sunti. Pembuatan asam sunti saat ini masih
dalam bentuk produk olahan semi basah, belum dijadikan produk olahan yang
lebih praktis untuk digunakan seperti halnya bumbu masakan seperti jahe, kunyit,
lada, cabe dan beberapa bumbu masakan lainnya. Upaya pembuatan bumbu-
bumbu dalam bentuk bubuk selain untuk kepraktisan dalam penggunaannya, juga
untuk meningkatkan nilai tambah melalui tindakan pemasaran yang lebih luas
dengan masa simpan lebih lama. Penggunaan asam sunti yang tidak terbatas
hanya di wilayah Aceh, menjadi pendorong untuk membuat asam sunti dalam
bentuk bubuk seperti halnya bubuk dari bumbu-bumbu yang lain.
Pengolahan asam sunti menjadi bubuk akan memudahkan dalam
penggunaannya karena bentuk bubuk lebih awet, penampakan lebih menarik dan
higienis, mudah dikemas dalam bentuk kemasan retail (eceran) yang menarik
sehingga dapat dipasarkan di pasar modern untuk meningkatkan nilai jual asam
sunti di luar Aceh.
Asam sunti (asam sunti semi basah) yang dihasilkan oleh masyarakat
Aceh pada umumnya diolah dari buah belimbing wuluh yang ada di lahan tanpa
memperhatikan kualitas bahan bakunya, diantaranya adalah tingkat kematangan
buah. Tingkat kematangan buah diduga akan berpengaruh terhadap mutu asam
sunti yang dihasilkan. Sebagai bahan baku bubuk asam sunti, maka asam sunti
yang dihasilkan dari pengolahan buah belimbing wuluh segar seharusnya
memiliki mutu yang baik dan distandarkan agar mudah dalam melakukan
pengolahan menjadi bubuk asam sunti pada skala industri. Kajian tingkat
kematangan buah dalam menghasilkan asam sunti perlu dilakukan untuk dapat
menetapkan tingkat kematangan dan lama pengeringan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan asam sunti dengan mutu yang baik dan diharapkan dapat dijadikan
standar bagi pembuatan bubuk asam sunti.
Penelitian pembuatan asam sunti secara mekanis dengan mesin
pengering telah dilakukan oleh Hayati (2002). Pada penelitian tersebut proses
pembuatan asam sunti dilakukan dengan menggunakan belimbing wuluh yang
umur petiknya 34 hari setelah bunga mekar. Hasil asam sunti terbaik diperoleh
pada perlakuan penggaraman awal saat pengeringan dengan suhu pengeringan
60C menggunakan cabinet dryer. Penggaraman dilakukan dengan penambahan
10% garam dalam tiga kali penambahan (Zuhra dan Syamsuddin, 2007).
Proses pembuatan bubuk berbahan hasil pertanian telah banyak
dilakukan dengan menggunakan proses spray drying (alat pengering kabut).
Metode pengeringan kabut mampu mengeringkan produk tanpa harus kontak
dengan permukaan panas sehingga komponen-komponen yang terdapat di dalam
bahan terutama yang peka terhadap panas tidak mengalami kerusakan setelah
menjadi produk. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan hanya
beberapa detik saja karena penguapan air terjadi pada permukaan yang luas,
sehingga produk yang dihasilkan memiliki sifat dan mutu yang dapat terkontrol
secara efektif. Pengeringan dengan spray drying dapat digunakan pada makanan
yang peka terhadap panas, menghasilkan produk yang relatif seragam dan
partikel-partikelnya berbentuk bulat mendekati proporsi yang sama.
Moreau dan Rosenberg (1996) mengemukakan bahwa pengeringan
dengan spray drying memberikan luas permukaan butiran yang sangat besar
sehingga mempertinggi proses oksidasi, oleh karena itu kulit yang melapisi
butiran harus mampu menahan masuknya O2. Penggunaan bahan penyalut untuk
enkapsulasi biasanya berupa hidrokoloid yaitu polimer rantai panjang dengan
berat molekul yang tinggi, memperlihatkan kelarutan yang tinggi dan memiliki
kemampuan mengemulsi, dapat membentuk lapisan film, serta memiliki
kemampuan mengering dan menghasilkan konsentrat larutan dengan viskositas
yang rendah.
Fitrotin et al (2008) menjelaskan bahwa kandungan vitamin C
menurun setelah sari buah tomat dibuat menjadi bubuk yang diduga akibat
kerusakan vitamin C yang disebabkan oleh proses oksidasi. Oleh karena itu
penambahan dekstrin diharapkan dapat mengurangi kerusakan vitamin C.
Fennema (1985) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang
dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses
oksidasi dapat dicegah. Semakin tinggi proporsi dekstrin yang digunakan, lapisan
film yang mengelilingi droplet akan semakin tebal dan kuat, sehingga ketika
proses pengeringan berlangsung partikel vitamin C akan terlindungi (Rosenberg
et al., 1990).
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan kajian dalam
penyediaan bahan baku berupa pemilihan tingkat kematangan belimbing wuluh
segar, proses pembuatan asam sunti menggunakan pengering mekanis dengan
perlakuan suhu pengering, dan proses pembuatan bubuk asam sunti menggunakan
spray drying.

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh
kematangan belimbing wuluh dan perlakuan pengolahan dalam memproduksi
bubuk asam sunti terhadap mutu yang dihasilkan.
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan
(menggunakan pengering kabinet) untuk menghasilkan asam sunti yang baik
berdasarkan preferensi konsumen.
2. Menentukan suhu pengeringan terbaik spray dryer untuk menghasilkan bubuk
asam sunti.
3. Menentukan perlakuan dekstrin yang optimum terhadap mutu bubuk asam
sunti.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai umur petik belimbing
wuluh (tingkat kematangan) yang terbaik untuk dijadikan sebagai bahan baku
bubuk asam sunti.
2. Memberikan alternatif produk asam sunti dalam bentuk bubuk instan yang
diharapkan mampu memberi nilai tambah, praktis dalam penggunaan dan
distribusinya.
3. Meningkatkan jangkauan distribusi dan nilai jual asam sunti di luar daerah
Aceh.
4. Membuka peluang industri olahan belimbing wuluh.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)


Buah belimbing adalah nama Melayu untuk jenis tanaman buah dari
keluarga Oxalidaceae, marga Averrhoa. Tanaman belimbing dibagi menjadi dua
jenis, yaitu belimbing manis (Averrhoacarambola) dan belimbing asam
(Averrhoabilimbi) atau disebut juga dengan belimbing wuluh atau belimbing
sayur, belimbing asam atau belimbing buluh, merupakan tanaman yang
mempunyai buah berasa asam yang kaya khasiat dan sering digunakan sebagai
bumbu sayuran atau campuran jamu (Lingga, 1997).
Tumbuhan belimbing wuluh berjenis pepohonan yang hidup di
ketinggian dari 5-500 meter di atas permukaan laut. Pohon ini dapat mencapai
tinggi 10 meter dengan batang yang tidak begitu besar dan mempunyai garis
tengah sekitar 30 cm. Batang belimbing wuluh kasar, percabangannya sedikit dan
arahnya condong ke atas, dimana cabang muda berambut halus seperti beledru,
warnanya coklat muda. Daunnya majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang
anak daun. Perbungaan berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau
percabangan yang besar, bunganya kecil-kecil berbentuk bintang dengan warna
ungu kemerahan. Buahnya merupakan buah buni dengan bentuk bulat lonjong
bersegi yang memiliki panjang 4-10 cm. Buahnya berwarna hijau bila masih muda
dan berwarna kuning sampai kuning pucat bila telah masak, dimana daging
buahnya berair dan sangat asam (Gambar 1). Biasanya buah belimbing wuluh
digunakan sebagai penyedap masakan, membersihkan noda pada kain,
mengkilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan, juga sebagai bahan obat
tradisional (Anonim, 2010).

Gambar 1. Bagian dari Tanaman Belimbing Wuluh (a) Pohon, (b) Bunga dan (c)
Buah
Belimbing wuluh selain mengandung vitamin A, B, dan C, juga
mengandung saponin dan flavonoid. Vitamin C dalam belimbing wuluh cukup
besar, tetapi kurang diminati oleh masyarakat karena rasanya sangat asam.
Belimbing wuluh jarang dimakan sebagai buah segar, tetapi lebih banyak
digunakan sebagai bumbu.
Kandungan gizi yang ada pada belimbing wuluh cukup banyak
sehingga bila tidak dimanfaatkan dengan baik akan sia-sia. Adapun komposisi
kimia yang terdapat dalam belimbing wuluh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi per 100 gram buah belimbing wuluh


Komponen Jumlah

Energi (kal) 32

Karbohidrat (gr) 7

Protein (gr) 0.4

Vitamin C (mg) 52

Kalsium (mg) 10

Phospor (mg) 10
Zat Besi (mg) 1
Sumber: Lingga, 1985 di dalam Haryati (2010)

2.2. Fisiologi Pasca Panen Buah Belimbing


Rahardi et al (2000) mengatakan bahwa buah belimbing wuluh
termasuk ke dalam golongan buah non-klimakterik. Buah non-klimakterik
mempunyai pola respirasi yang berbeda dengan buah klimakterik, dimana pada
buah non-klimakterik, jumlah CO2 yang dihasilkan terus menurun secara
perlahan-lahan sampai pada saat senescene, sedangkan pada buah klimakterik
menunjukkan adanya laju produksi CO2 yang sangat rendah saat praklimakterik,
diikuti dengan peningkatan mendadak saat puncak klimakterik dan penurunan laju
produksi CO2 pada fase senesence (Gambar 2) (Winarno, 2002). Secara praktis,
perbedaan antara buah klimakterik dan buah non klimakterik terkait dengan
tingkat kematangan buah setelah panen maupun sebelum dipanen. Buah
klimakterik yang dipanen pada saat sudah tua (mature), untuk mendapatkan
kematangan yang optimum dapat dilakukan dengan pemeraman (karbit), tetapi
pada buah non klimakterik kematangan hanya dapat diperoleh ketika buah masih
di pohon, bila buah dipanen dalam keadaan belum matang maka buah tersebut
tidak akan matang lagi setelah dipanen.

Gambar 2. Skema Respirasi Klimakterik dan Non-Klimakterik

Menurut Muchtadi (1992), selama proses pematangan terjadi beberapa


perubahan penting pada buah-buahan, misalnya warna yang asalnya hijau menjadi
kuning atau merah, rasa yang asalnya asam menjadi manis, teksturnya menjadi
lebih lunak, terbentuknya vitamin, dan timbulnya aroma yang khas karena
terbentuknya senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatil). Proses di atas
dapat terjadi pada buah klimakterik pasca dipanen tetapi tidak dapat terjadi pada
buah non-klimakterik.
Mutu buah yang baik adalah apabila pemanenan dilakukan pada
tingkat kematangan yang tepat. Selama pematangan, buah mengalami beberapa
perubahan dalam warna, tekstur dan bau yang menunjukkan bahwa terjadi
perubahan-perubahan dalam susunannya. Pantastico (1997) mengatakan bahwa
pada jeruk manis perubahan warna diakibatkan oleh perombakan klorofil dan
pembentukan zat warna karotenoid. Sedangkan pada buah belimbing, perubahan
warna yang terjadi tidak menyolok, karena pada umur buah di atas 40 hari setelah
bunga mekar baru terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning.
Menetapkan tingkat kematangan buah pada saat panen akan sangat
menentukan kualitas dan kuantitas hasil, dan juga sangat berpengaruh pada
penanganan pascapanen buah tersebut. Umumnya selama proses pematangan
buah, kadar asam organik cenderung menurun akibat dikonversi menjadi gula
(Zulkarnain, 2010).
Menurut Prabowo (2009) umur panen buah belimbing sangat
dipengaruhi oleh letak geografi penanaman, yaitu faktor lingkungan dan iklim.
Ciri buah belimbing yang sudah saatnya dipanen adalah ukurannya besar
(maksimal), telah matang dan warna buahnya berubah dari hijau menjadi kuning.
Waktu panen merupakan faktor yang penting dalam mengurangi
kemerosotan kualitas karena dapat mempengaruhi kelunakan dari produk
akhirnya. Pelunakan buah biasanya disebabkan karena adanya perombakan
protopektin yang tidak larut menjadi larut atau hidrolisis zat pati atau lemak.

2.3. Asam Sunti


Asam sunti adalah jenis bumbu dapur khas Aceh yang terbuat dari
belimbing wuluh yang telah dikeringkan. Biasanya bumbu dapur ini digunakan
masyarakat Aceh dalam masakan yang memiliki rasa asam pedas seperti gulai
asam keeung (ikan bilis), uengkoet kemamah (ikan kayu), pepes ikan dan
sebagainya.
Di daerah Aceh, cara pembuatan asam sunti adalah buah belimbing
setelah dipanen, dicuci, kemudian dijemur pada sinar matahari. Setelah
penjemuran tahap pertama, belimbing kemudian diberi garam dan disimpan di
tempat yang teduh dan keesokan harinya dijemur kembali. Kandungan asam dan
garam yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan
oleh mikroorganisme. Penjemuran dilakukan secara berulang-ulang sampai
belimbing kering atau kandungan airnya menurun. Biasanya asam sunti yang
dihasilkan berwarna coklat dan teksturnya kenyal, bentuknya pipih, ukurannya
lebih kecil dari buah segar karena kadar airnya sudah berkurang, rasanya asam
dan asin. Asam sunti dapat disimpan dalam waktu lebih dari 3 bulan (Aceh Pedia,
2009).

2.4. Garam
Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia.
Bentuknya kristal putih, tetapi kadang-kadang berwarna kuning kecoklatan yang
berasal dari kotoran-kotoran yang ada di dalamnya, seringkali dihasilkan dari air
laut karena air laut mengandung 3% garam dapur. Biasanya garam dapur yang
tersedia secara umum adalah Natrium Klorida (NaCl).
Secara umum garam terdiri dari 39.39% Na dan 60.69% Cl dengan
kristalnya berbentuk seperti kubus dan berwarna putih. Garam digunakan sebagai
pengawet karena mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya proses osmose dalam bahan dan pada sel-sel
mikroorganisme yang menyebabkan plasmolisis sehingga air sel mikroorganisme
tertarik keluar dan mikroorganisme mati (Sastra, 2008).
Dalam proses penggaraman bahan akan mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain yaitu kadar air, berat akhir bahan,
pH, tekstur dan warna. Penggunaan garam dalam pengolahan bahan makanan
selain berfungsi untuk mencegah pembusukkan juga berfungsi untuk membentuk
cita rasa. Garam memiliki cita rasa yang khas sehingga penambahan garam pada
suatu bahan juga dapat meningkatkan cita rasa dari bahan tersebut. Penggunaan
garam dalam proses fermentasi seringkali menghasilkan komponen-komponen
yang membentuk cita rasa seperti pada pembuatan kecap, asinan, dan sebagainya.
Garam juga berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan bakteri
halofilik. Penggunaan garam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan bakteri
proteolitik (Winarno dan Fardiaz, 1982). Syarief dan Halid (1993), juga
berpendapat bahwa penggaraman bahan pangan akan membatasi jumlah dan jenis
mikroorganisme yang dapat tumbuh. Hal ini juga dapat disebabkan karena
pengurangan aktivitas air bahan pangan oleh garam itu sendiri. Penyimpanan ikan
asin pada kadar air 15 persen dengan kadar garam 5-20 persen dapat
mempertahankan daya simpan hingga lebih dari satu tahun. Beberapa jenis bakteri
yang toleran terhadap kadar garam yang tinggi bahkan tidak dapat tumbuh bila
kadar garam pada bahan pangan kurang dari 10 persen. Biasanya konsentrasi
garam dapur yang digunakan untuk mengawetkan ikan dan juga bahan-bahan lain
adalah minimal sebanyak 20% atau 2 ons/kg bahan (Anonim, 2000).
Menurut Muchtadi dan Tien (1989), cara penggaraman dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu metode penggaraman kering dan metode
penggaraman basah. Metode penggaraman kering yaitu menggunakan garam
dalam bentuk padat atau kristal, sedangkan metode penggaraman basah
menggunakan larutan garam pada bahan yang akan direndam. Pada pembuatan
asam sunti biasanya dilakukan penggaraman dengan cara kering dan konsentrasi
garam yang ditambahkan berkisar 10-20% dari berat buah belimbing wuluh.

2.5. Bubuk
Bubuk dan tepung biasanya dibedakan berdasarkan ukuran partikel.
Bubuk merupakan produk yang mempunyai ukuran partikel lebih kasar dan dapat
melewati saringan berukuran 10-60 mesh. Sedangkan tepung mempunyai ukuran
partikel yang lebih halus dan dapat disaring melalui saringan berukuran 100 mesh
(Muchtadi, 1989 ; Winarno, 1993).
Dalam proses pengolahan bahan pangan, pengayakan sering digunakan
untuk memisahkan campuran yang berbentuk butiran atau bubuk dalam suatu
interval ukuran tertentu. Pada tepung hasil pengayakan dapat dicapai dengan 80
mesh, sedangkan pada bubuk adalah 60 mesh. Perbedaan mesh ini disebabkan
karena bubuk masih dalam keadaan kasar, sedangkan tepung sudah dalam
keadaan halus sehingga mudah menembus pori-pori dari ayakan mesh yang
memiliki lubang sesuai dengan jumlah mesh yang dihasilkan (Mc Cabe et al.,
1994).
Produk bubuk selain bentuknya yang menarik, saat ini juga sangat
diminati oleh masyarakat karena memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah
dalam penggunaan, umur simpannya panjang karena kadar air bahan rendah,
bubuk yang dihasilkan tidak menggumpal sehingga perlu digunakan kemasan
yang kedap udara agar uap air dari lingkungan tidak masuk ke dalam kemasan,
dan tidak memakan banyak tempat untuk penyimpanannya.
Penelitian untuk membuat produk bubuk dari komoditi hasil pertanian
telah banyak dilakukan antara lain yaitu pembuatan bubuk Spice Blend dari
daging buah pala sebagai flavor, bubuk konsentrat kunyit, bubuk bawang putih,
bubuk cabe merah, bubuk pepaya terfermentasi, minuman bubuk jambu biji dan
masih banyak lagi komoditi pertanian lainnya yang diproduksi dalam bentuk
bubuk.
2.6. Pengeringan
Pengeringan merupakan bagian penting dari proses penanganan pasca
panen produk pertanian. Kadar air yang tinggi, membuat pertumbuhan
mikroorganisme sangat cepat yang akan mengakibatkan berbagai kerusakan baik
secara fisik maupun kimia. Hal tersebut akan menyebabkan umur simpan produk
pertanian menjadi sangat pendek.
Menurut Winarno (1993) pengeringan merupakan suatu cara untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan
menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi panas.
Biasanya, kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu sehingga
mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Selama proses
pengeringan, air dalam bahan pangan akan dipindahkan ke permukaan bahan dan
kemudian diuapkan jika RH (kelembaban) ruangan lebih rendah. Proses ini terjadi
hingga keseimbangan kadar air bahan dengan RH lingkungan tercapai (Kuswanto,
2003).
Taib et al (1988) menyatakan bahwa parameter yang mempengaruhi
kecepatan pengeringan antara lain adalah suhu, kelembaban, laju aliran udara,
kadar air bahan, jenis alat pengering dan bahan baku yang ditambahkan. Ukuran
bahan juga mempengaruhi cepat lambatnya proses pengeringan yang berlangsung.
Proses pengeringan akan berlangsung lebih lama dengan rendahnya suhu
pengeringan. Namun, jika suhu terlalu tinggi maka bahan akan mengalami
kerusakan baik secara fisik maupun kimia. Kelembaban berbanding lurus dengan
waktu pengeringan. Jika kelembaban udara tinggi, proses pengeringan akan
berlangsung lama. Laju pengeringan akan konstan sampai kadar air bebas di
permukaan telah hilang dan laju pengeluaran air makin lama makin berkurang.
Kadar air pada saat laju pengeringan berubah dari konstan ke pengeringan
menurun disebut kadar air kritis (Brooker et al., 1974).
Menurut Devahastin (2000), pengeringan terjadi melalui penguapan
cairan dengan pemberian panas ke bahan umpan basah. Panas yang diberikan
dapat disediakan melalui konveksi (pengering langsung), medium pemanas yang
dipakai biasanya udara panas atau gas-gas pembakaran ini kontak langsung
dengan bahan padat yang dikeringkan, kemudian terjadi difusi uap air dari dan di
dalam produk pangan. Konduksi (tidak langsung), medium pemanas yang
digunakan biasanya uap panas dan terpisah dari bahan padat yang akan
dikeringkan, radiasi atau secara volumetrik dengan menempatkan bahan basah
tersebut dalam medan elektromagnetik gelombang mikro atau frekuensi radio.
Seluruh cara pengeringan kecuali gelombang mikro atau frekuensi radio,
menyediakan panas pada batas objek yang dikeringkan sehingga panas berdifusi
ke dalam padatan dengan cara konduksi. Cairan harus bergerak ke batas bahan
sebelum diangkut keluar oleh gas pembawa (atau dengan penerapan vakum pada
pengeringan non konveksi).
Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu dijemur, pengeringan buatan (menggunakan alat pengering), dan
pengeringan beku (freeze drying). Pemilihan alat pengering disesuaikan dengan
sifat dan karakteristik bahan yang dikeringkan, bentuk produk akhir yang
diinginkan, dan cara kerja mesin pengering (Loesecke dalam Ginting, 2004).
Bahan pangan yang berbentuk padat umumnya dikeringkan dengan cabinet dryer,
tray dryer, tunnel dryer, dan lain-lain. Bahan pangan yang berbentuk cair
dikeringkan dengan menggunakan spray dryer dan drum dryer.

2.6.1. Pengering Kabinet


Pengering kabinet terdiri dari suatu ruangan dimana rak-rak untuk
produk yang dikeringkan dapat diletakkan di dalamnya. Di dalam pengering yang
berukuran besar tersebut, rak-rak pengering disusun di atas kereta untuk
memudahkan penanganannya, sedangkan dalam unit yang berukuran kecil, rak-
rak pengering dapat disusun di atas suatu penyangga yang tetap di dalam
pengering tersebut. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin melalui
suatu pemanas dan kemudian menembus rak-rak yang berisi bahan pangan yang
dikeringkan.
Pengering kabinet biasanya merupakan pengering yang paling murah
pembuatannya, mudah pemeliharaannya, dan sangat luwes penggunaannya. Pada
umumnya pengering ini digunakan untuk penelitian-penelitian dehidrasi sayuran
dan buah-buahan di dalam laboratorium, dan di dalam skala kecil serta digunakan
secara komersial (Desrosier, 1988).
2.6.2. Pengering Kabut (Spray Dryer)
Proses pengeringan dengan spray dryer adalah suatu proses mengubah
bahan fluida menjadi produk kering dalam satu operasi. Menurut Suharto (1991),
spray dryer digunakan untuk mengeringkan bahan yang berbentuk larutan kental
(viscous) serta berbentuk pasta (cream). Biasanya produk yang diperoleh dari
mesin ini yaitu dalam pengolahan susu menjadi tepung, susu telur menjadi tepung
telur maupun berbagai bahan lainnya. Prinsip pengeringan kabut ini cukup
sederhana, yang mana larutan disemprotkan menuju ke dalam ruang pengering.
Cairan yang diatomisasikan menggunakan nozzle dan butiran air kontak secara
mendadak dengan udara panas dalam ruang pengering. Hasil evaporasi yang cepat
mengandung suhu butiran yang rendah sehingga suhu pengering yang tinggal
dapat digunakan tanpa mempengaruhi produk. Waktu pengeringan yang sangat
singkat memungkinkan spray dryer digunakan untuk produk-produk yang peka
terhadap panas dan menghasilkan produk berkualitas tinggi (Widodo dan
Budiharti, 2006).
Suhu inlet dan suhu outlet yang digunakan pada spray dryer
tergantung dari bahan yang akan dikeringkan. Pola aliran udara, kelembaban,
suhu, aliran cairan dan pembentukan butiran merupakan variabel-variabel proses
utama dari spray dryer. Menurut Singh dan Heldman (2001), keuntungan dari
penggunaan alat spray dryer adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi dalam
ruang pengeringan (residence time) singkat dan produk akhir siap dikemas ketika
selesai proses dengan kadar air bahan yang dihasilkan berkisar 3% hingga 5%
dengan tekanan-tekanan nozzle sekitar 125 hingga 350 kg/cm2 (122.58 hingga
343.23 bar) (Suharto, 1991). Residence time pada alat pengering semprot yaitu
antara 5-100 detik dan partikel yang dihasilkan mempunyai ukuran 10-500 m
(Canovas dan Mercado, 1996). Oleh karena tuntutan produk, maka udara/uap
yang masuk pun dipergunakan penyaring untuk membersihkan udara panas ke
dalam ruang pengering. Tempat pengumpul hasil pengeringan berada pada bagian
paling bawah dari ruang pengering dan dikumpulkan dengan bantuan pengerok
ataupun klep yang berputar. Pada sebagian tipe mesin yang lain, bahan kering
keluar dari ruang pengeringan bersama-sama dengan udara panas/uap panas yang
keluar (Suharto, 1991).
Menurut Masters didalam Lindawati (1992), ada tiga elemen
terpenting pada alat spray dryer yaitu atomizer, ruang pengering dan pengumpul
partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut
memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung dari sifat bahan yang akan
dikeringkan. Untuk buah-buahan, suhu pengeringan yang umum digunakan
berkisar antara 135-180C.
Penelitian yang dilakukan Rahayu (1988), menghasilkan bubuk
bawang putih terbaik yaitu produk cukup kering dengan aroma yang masih tajam
dengan menggunakan spray dryer pada kisaran suhu 160-170C dibandingkan
dengan pengeringan menggunakan sinar matahari, oven biasa (Electric driyer
oven), cabinet dryer, dan oven vakum. Sedangkan pada penelitian Lindawati
(1992), produk minuman bubuk jambu biji terbaik diperoleh pada penggunaan
suhu spray dryer180C dengan tekanan 4,8 kg/cm2. Bila tekanan dinaikkan atau
diturunkan akan diperoleh produk yang agak basah (lengket).
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2002), menyatakan
bahwa suhu terbaik untuk mengeringkan gelatin tipe A dan tipe B dari kulit sapi
menggunakan spray dryer adalah suhu 170C dengan laju alir bahan 15 ml/menit.
Karakteristik kedua jenis gelatin tersebut masuk dalam standar SNI yang berlaku.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sharief (2006), penggunaan spray dryer
dengan suhu 180C, menghasilkan rendemen teh hijau instan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan suhu 120 dan 150C. Teh hijau instan yang
dihasilkan bersifat mudah larut pada air panas.

2.7. Dekstrin
Young et al (1993) mengatakan bahwa untuk bahan-bahan yang akan
menggunakan metode spray drying maka bahan penyalut yang digunakan harus
memperlihatkan kemampuan kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan
mengemulsi, dapat membentuk lapisan, kemampuan mengering dan menghasilkan
konsentrat larutan dengan viskositas yang rendah. Pada penggunaan spray dryer
untuk mengenkapsulasikan bahan, maka bahan yang akan dilakukan atomisasi
sebelumnya harus dilarutkan terlebih dahulu bersama bahan pengenkapsulasinya,
tetapi keduanya bersifat tidak saling melarutkan.
Senyawa yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi adalah pati
yang telah dimodifikasi oleh asam, basa dan enzim yang biasanya dipecah-pecah
sampai Dextrose Equivalent (DE) tertentu. Salah satu produk yang dihasilkan
oleh degradasi pati yang memiliki viskositas rendah serta DE lebih kecil dari 20
yaitu dekstrin.
Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati
secara tidak sempurna, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul yang lebih
kecil dan larut dalam air. Acton (1976) menyatakan bahwa dekstrin mempunyai
rumus molekul (C6H10O5)n dan struktur molekulnya lebih kecil dan bercabang
dibandingkan pati. Menurut Shallenberger dan Birch (1975), struktur molekul
dekstrin berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavor akan terperangkap di
dalam struktur spiral helix. Dengan demikian penambahan dekstrin dapat
menekan komponen volatil selama proses pengolahan.
Dekstrin merupakan campuran dari banyak jenis molekul
oligosakarida yang berbeda baik dalam ukuran maupun dalam derajat
percabangannya. Perbedaan struktur molekul pati dengan dekstrin menyebabkan
terjadinya perbedaan sifat antara pati dan dekstrin tersebut. Dalam pembuatan
dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh suatu enzim atau
hidrolisa asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu dengan
6-10 unit glukosa. Dengan berkurangnya panjang rantai, maka terjadi perubahan
sifat dimana pati yang tidak larut dalam air dingin menjadi dekstrin yang mudah
larut (Somaatmadja, 1970).
Fennema (1976) mengatakan bahwa dekstrin mempunyai viskositas
yang relatif rendah, karena itu pemakaian dekstrin dalam jumlah banyak masih
diijinkan. Hal ini sangat menguntungkan apabila pemakaian dekstrin sebagai
bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan
dalam bentuk bubuk.
Penambahan dekstrin tidak meningkatkan kekentalan secara berlebihan
sehingga dapat digunakan lebih banyak, tetapi konsentrasi dekstrin yang terlalu
banyak dapat mengakibatkan warna produk menjadi pucat. Penambahan dekstrin
juga dapat meningkatkan rendemen serta mempermudah proses pengeringan.
Penggunaan dekstrin sebagai bahan penyalut menghasilkan enkapsulasi vitamin,
flavor, lemak dan bahan-bahan lain, yang tidak mengkristal dan terbentuk
penampakan yang baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitrotin et al (2008), menyatakan
bahwa penambahan konsentrasi dekstrin 5% memberikan kualitas bubuk sari buah
tomat yang baik. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Murtala (1999),
menyatakan bahwa penambahan dekstrin 10% menghasilkan kualitas bubuk sari
buah markisa yang baik secara fisik, kimia dan organoleptik. Adapun pada
penelitian yang dilakukan oleh Lindawati (1992), menyatakan bahwa penambahan
konsentrasi dekstrin 9% memberikan hasil yang baik pada minuman bubuk jambu
biji daripada penambahan konsentrasi dekstrin 17% yang menghasilkan
penampakan produk yang kurang baik.

2.8. Analisis Nilai Tambah (Metode Hayami)


Nilai tambah didefinisikan sebagai pertambahan nilai yang terjadi pada
suatu komoditas karena komoditas tersebut mengalami proses pengolahan lebih
lanjut dalam suatu proses produksi (Harjanto, 1989). Analisis nilai tambah ini
merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar imbalan
bagi tenaga kerja dan keuntungan yang diperoleh pengusaha untuk setiap
kilogram bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. Nilai tambah yang
tinggi dapat digunakan sebagai parameter untuk pengembangan suatu
agroindustri. Salah satu metode yang digunakan untuk melakukan analisa nilai
tambah dari pengolahan hasil pertanian adalah metode Hayami (Tabel 2)
Pada perhitungan nilai tambah dapat diketahui kategori suatu
agroindustri berdasarkan rasio nilai tambahnya yang dihasilkan dari pembagian
antara nilai tambah dan nilai output dari produk dan dipersenkan. Dengan rasio
nilai tambah, maka suatu agroindustri dapat dikategorikan bernilai tambah rendah,
sedang atau tinggi. Kategori nilai tambah rendah, sedang dan tinggi ditentukan
dengan kriteria, yaitu nilai tambah dikatakan rendah jika nilai rasio <15%, sedang
jika nilai rasio berkisar 15%-40% dan tinggi jika nilai rasio >40% (Sari, 2011).
Pengolahan produk pertanian menjadi produk-produk tertentu untuk
diperdagangkan akan memberikan banyak arti ditinjau dari segi ekonomi menurut
(Soekartawi, 2001) antara lain:
1. Meningkatkan nilai tambah
Adanya pengolahan produk pertanian dapat meningkatkan nilai tambah, yaitu
meningkatkan nilai (value) komoditas pertanian yang diolah dan meningkatkan
keuntungan pengusaha yang melakukan pengolahan komoditas tersebut.
2. Meningkatkan kualitas hasil
Dengan kualitas hasil yang lebih baik, maka nilai barang akan menjadi lebih
tinggi. Kualitas hasil yang baik dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yang
digunakan. Perbedaan segmentasi pasar, tetapi juga mempengaruhi harga
barang itu sendiri.
3. Meningkatkan pendapatan
Selain pengusaha, petani penghasil bahan baku yang digunakan dalam industri
pengolahan tersebut akan mengalami peningkatan pendapatan.
4. Menyediakan lapangan kerja
Dalam proses pengolahan produk-produk pertanian menjadi produk lain
tentunya tidak terlepas dari adanya keikutsertaan tenaga manusia sehingga
proses ini akan membuka peluang bagi tersedianya lapangan kerja.
5. Memperluas jaringan distribusi
Adanya pengolahan produk-produk pertanian akan menciptakan atau
meningkatkan diversifikasi produk sehingga keragaman produk ini akan
memperluas jaringan distribusi.
Tabel 2. Analisis Perhitungan Nilai Tambah Hayami
Variabel Nilai
I. Output, Input dan Harga
1. Output (Kg) (1)
2. Input (Kg) (2)
3. Tenaga Kerja (HOK) (3)
4. Faktor Konversi (4) = (1)/(2)
5. Koefisien Tenaga Kerja (HOK) (5) = (3)/(2)
6. Harga Output (Rp/Kg) (6)
7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) (7)
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga bahan Baku (Rp/Kg) (8)
9. Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) (9)
10. Nilai Output (Rp/Kg) (10) = (4) x (6)
11. a. Nilai Tambah (Rp/Kg) (11a) = (10) (9) (8)
b. Rasio Nilai Tambah (%) (11b) = (11a)/(10) x 100%
12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/Kg) (12a) = (5) x (7)
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) (12b) = (12a)/(11a) x 100%
13. a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = (11a) (12a)
b. Tingkat Keuntungan (%) (13b) = (13a)/(11a) x 100%
III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg) (14) = (10) (8)
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) (14a) = (12a)/(14) x 100%
b. Sumbangan Input Lain (%) (14b) = (9)/(14) x 100%
c. Keuntungan Pemilik Perusahaan (%) (14c) = (13a)/(14) x 100%
Sumber: Hayami et al., 1987 di dalam Slamet (2005)
III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Pilot Plant SEAFAST (Southeast Asian Food
and Agriculture Science and Technology) Center, Laboratorium Teknik
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Laboratorium Pusat Antar
Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi,
Laboratorium Pengolahan Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan pada bulan April 2011 hingga Januari 2012.

3.2. Bahan dan Alat


Dalam penelitian ini bahan yang digunakan adalah belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi. L) yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan lain yang
digunakan adalah dekstrin, garam dapur beryodium yang diperoleh di Pasar
Anyar. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah amilum, iod 0.01 N, indikator
phenolftalen, NaOH 0.01 N, aquades, buffer pH 4 dan buffer pH 7.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah pengering mekanik
(pengering kabinet) dari New Land Engineering, pengering kabut (spray dryer)
mini merk Buchi 190 (Gambar 3), homogenizer, kain saring, timbangan analitik,
jangka sorong dan baskom. Alat yang digunakan untuk analisis adalah Rheometer
model CR-500 untuk mengukur kekerasan, Chromameter merk Minolta untuk
mengukur warna, pH meter, cawan porselin, oven, desikator/eksikator, tabung
reaksi, labu takar, pipet tetes, pompa vakum, dan kertas saring Whatman no 41
dan 42.

Gambar 3. Alat pengering yang digunakan dalam penelitian (a) Alat pengering
cabinet dryer dan (b) Alat pengering spray dryer

19
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan pertama dilakukan untuk menentukan tingkat
kematangan dari buah belimbing wuluh dengan melakukan pengukuran
berdasarkan warna, ukuran, kekerasan, total asam dan asam oksalat. Penelitian
pendahuluan kedua dilakukan untuk menentukan lama waktu pengeringan
belimbing wuluh yang terbaik pada masing-masing perlakuan suhu dengan
menggunakan cabinet dryer untuk menghasilkan kadar air yang seragam (sesuai
dengan kadar air asam sunti tradisional) dari masing-masing perlakuan tingkat
kematangan.

3.3.2. Penelitian Utama Tahap Pertama


Penelitian dilakukan untuk menentukan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh dan suhu cabinet dryer yang baik untuk menghasilkan asam
sunti dengan mutu yang bagus.
Belimbing wuluh dengan beberapa tingkat kematangan ditimbang dan
dicuci kemudian dilumuri dengan garam dengan rasio 20% dari berat bahan dan
didiamkan selama 24 jam, selanjutnya dikeringkan di dalam cabinet dryer pada
suhu 50, 65, dan 80C. Suhu lingkungan disekitar alat pengering berkisar 30-35C
dengan RH diwilayah Bogor 70%. Lama waktu pengeringan diperoleh dari
penelitian pendahuluan. Kemudian baru dihasilkan produk asam sunti.
Parameter yang diamati yaitu rendemen, kadar air, pH, total asam,
asam oksalat, warna menggunakan chromameter, organoleptik warna, rasa, aroma
dan tekstur. Berdasarkan parameter tersebut ditentukan tingkat kematangan dan
suhu pengeringan yang baik untuk menghasilkan asam sunti terbaik sebagai bahan
baku untuk pembuatan bubuk asam sunti. Penelitian tahap pertama digambarkan
dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Pembuatan Asam Sunti

3.3.3. Penelitian Utama Tahap Kedua


Penelitian dilakukan untuk menentukan perlakuan penambahan
dekstrin dan suhu pengering spray dryer terhadap mutu bubuk asam sunti yang
dihasilkan.
Prosedur yang dilakukan pada penelitian tahap kedua ini yaitu, asam
sunti dengan kualitas terbaik yang dihasilkan dari penelitian tahap pertama
ditimbang lalu dicampur air, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender.
Setelah halus dicampur dengan dekstrin sebanyak 30%, 40% dan 50% per berat
bahan awal, kemudian dilakukan pengadukan agar tercampur sempurna.
Kemudian dimasukkan ke dalam alat pengering spray dryer dengan suhu 160, 170
dan 180C pada tekanan 2 bar.
Parameter yang diamati pada produk bubuk asam sunti yaitu
rendemen, kadar air, pH, daya kelarutan, total asam, asam oksalat, organoleptik
warna, rasa, dan aroma. Adapun diagram alir dari penelitian tahap dua yaitu
pembuatan bubuk asam sunti dinyatakan pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Pembuatan Asam Sunti Bubuk

3.4. Rancangan Percobaan


Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap Faktorial (RAL Faktorial). Untuk penelitian tahap pertama terdiri dari 2
faktor yaitu tingkat kematangan buah belimbing wuluh sebanyak 3 taraf dan suhu
cabinet dryer sebanyak 3 taraf. Sedangkan penelitian tahap kedua terdiri dari 2
faktor yaitu penambahan dekstrin sebanyak 3 taraf dan suhu spray dryer sebanyak
3 taraf.
Model rancangan acak lengkap faktorial (RAL Faktorial) dengan dua
faktor dan tiga ulangan dapat dilihat pada persamaan berikut:

Yijk = + Ai + Bj + (AB)ij + ijk . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (1)

Keterangan :
Yijk = Respon setiap parameter yang diamati
= Nilai rata-rata umum
Ai = Pengaruh faktor ke-i
Bj = Pengaruh faktor ke-j
(AB)ij = Pengaruh interaksi faktor ke-ij
ijk = Galat percobaan

Untuk mengetahui signifikan pengaruh dari berbagai faktor yang ada,


selanjutnya dilakukan analisis sidik ragam terhadap parameter-parameter yang
diamati dan uji lanjut Duncan terhadap data-data yang dihasilkan sesuai model
rancangan percobaan yang digunakan. Data hasil penelitian diolah dengan
Microsoft Excell for Windows lalu dianalisis dengan program SPSS 17 for
windows.

3.5. Metode Analisis


3.5.1. Rendemen
Perhitungan rendemen untuk asam sunti semi basah dapat dilakukan
dengan persamaan sebagai berikut:

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2)

Dimana:
a = Asam sunti semi basah yang dihasilkan
b = Belimbing wuluh segar

Perhitungan rendemen menggunakan metode gravimetri, dilakukan


untuk mengetahui efisiensi proses pembuatan bubuk asam sunti dengan
persamaan sebagai berikut:

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3)
Dimana:
a = Berat bubuk asam sunti yang dihasilkan (gr)
b = Berat pasta asam sunti yang digunakan (gr)
c = Berat bahan pengisi yang digunakan (gr)

3.5.2. Kekerasan
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Rheometer CR-500
yang diset dengan mode 20, beban maksimum 2 kg, kedalaman probe 10.0 mm
dan laju penekanan 60 mm/menit. Bahan ditekan pada bagian pangkal, tengah dan
ujung petiol kemudian hasilnya dirata-ratakan. Nilai kekerasan diperlihatkan
dengan penunjukan angka pada display rheometer dalam satuan kgf.

3.5.3. Warna
Pengukuran warna belimbing wuluh dilakukan dengan menggunakan
alat Chromameter (R-200 Minolta). Alat ini mempunyai sistem notasi warna
hunter (sistem warna L, a, dan b). Sistem warna L menyatakan parameter
kecerahan (brightness) dengan L = 0 (hitam) dan L = 100 (putih). Sistem warna a
dan b merupakan koordinat-koordinat kromatisitas, menyatakan warna kromatik
campuran merah hijau dengan nilai +a dari 0 sampai +60 untuk warna merah dan
a dari 0 sampai -60 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik
campuran kuning biru dengan +b dari 0 sampai +60 untuk warna kuning dan nilai
b dari 0 sampai -60 untuk warna biru.

3.5.4. Kadar Air


Cawan porselen dikeringkan di dalam oven dengan kisaran suhu 100-
102C selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 20 menit
kemudian ditimbang. Sebanyak 2 gram sampel dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105C sampai berat konstan. Sebelum ditimbang, sampel didinginkan dahulu
di dalam eksikator. Kadar air dihitung dengan rumus:

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (4)
Dimana :
a = Berat sampel mula-mula (gr)
b = Berat sampel setelah dikeringkan (gr)

3.5.5. Pengukuran pH
Sebanyak 15 gram bahan dimasukkan ke dalam 30 ml aquades
kemudian dihaluskan. Pengukuran pH menggunakan pH meter, pH meter
dinyalakan dan dibiarkan stabil sampai 15 menit. Dalam setiap analisa pH meter
dikalibrasi dengan dua macam buffer yaitu buffer pH 4 dan buffer pH 7. Elektroda
dicelupkan pada larutan sampel sampai memperoleh pembacaan yang stabil,
dengan demikian pH sampel diperoleh, elektroda dibilas dengan aquades dan
dikeringkan dengan kertas tissue.

3.5.6. Daya Kelarutan


Kelarutan bubuk asam sunti dapat dihitung dengan cara gravimetri.
Sebanyak kurang lebih 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml aquades dan
disaring menggunakan pompa vakum dengan menggunakan kertas saring
Whatman no. 42. Sebelum digunakan, kertas saring dikeringkan dalam oven pada
suhu 105C selama 30 menit, lalu ditimbang. Setelah proses penyaringan, kertas
saring beserta residu dikeringkan dalam oven 105C selama 3 jam, lalu ditimbang.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (5)

Dimana :
a = Berat kertas saring + residu (gr)
b = Berat kertas saring (gr)
c = Berat sampel yang digunakan (gr)
KA = Kadar air sampel (% b/b)

3.5.7. Total Asam


Sebanyak10 gram sampel ditimbang, lalu dilarutkan dengan aquades
dalam labu takar 250 ml. Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring
Whatman no. 41. Sehingga diperoleh bahan jernih. Pipet 25 ml bahan ke dalam
erlenmeyer, lalu ditetesi dengan larutan indikator pp 1% sebanyak 2 tetes.
Kemudian dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0.01 N, sampai terbentuk
warna merah jambu yang relatif stabil. Bilangan asam dihitung dengan
menggunakan rumus:

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (6)

Dimana :
P = Faktor pengenceran

3.5.8. Asam Oksalat


Sampel dihancurkan, kemudian ditimbang lebih kurang 10 gram lalu
dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan aquades sampai
tanda tera. Kemudian sampel disaring sehingga diperoleh bahan jernih, lalu
dipipet sebanyak 10 ml dan ditetesi dengan larutan indikator pp. Kemudian
dengan menggunakan NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi, lalu dicatat volume
titrasi dan dihitung dengan menggunakan rumus:

. . . . . . . . . (7)

BM Asam Oksalat = 126

3.5.9. Uji Organoleptik


Uji organoleptik akan dilakukan langsung pada produk yang dihasilkan
tanpa diolah terlebih dahulu. Uji organoleptik untuk asam sunti meliputi uji
hedonik terhadap rasa, warna, aroma, tekstur dan penerimaan keseluruhan
sedangkan uji organoleptik terhadap bubuk asam sunti meliputi uji hedonik
terhadap rasa, warna, aroma dan penerimaan keseluruhan. Pengujian dilakukan
oleh dua kelompok yaitu orang Aceh asli (orang yang telah mengenal asam sunti)
dan orang dari luar Aceh (orang yang belum mengenal asam sunti) yang masing-
masing terdiri dari 30 orang panelis. Tanggapan penilaian dikonversi ke dalam
skala 1 (sangat suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka),
dan 7 (sangat suka). Kemudian dilakukan perhitungan data yang diperoleh dalam
bentuk tabel dan grafik. Hasil uji organoleptik yang skornya melebihi 3.5 sebagai
perlakuan yang masih diterima oleh konsumen atau panelis.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penelitian Pendahuluan


4.1.1. Penelitian Pendahuluan Tahap Pertama
Penelitian pendahuluan tahap pertama dilakukan untuk melihat sifat
fisik dan kimia dari buah belimbing wuluh segar berdasarkan perbedaan tingkat
kematangannya. Pengukuran terhadap sifat fisik dan kimia belimbing wuluh
dilakukan untuk mendapatkan data awal yang diduga berpengaruh terhadap proses
pembuatan asam sunti dan mutu yang dihasilkannya. Sifat fisik dan kimia dari
buah belimbing wuluh yang diukur adalah warna, ukuran, kekerasan dan uji
proksimat berupa total asam, serta asam oksalat.
Pada penelitian ini, digunakan buah belimbing wuluh yang diperoleh
dari daerah Bogor dengan tiga tingkat kematangan. Tingkat kematangan
belimbing wuluh ditentukan berdasarkan umur buah setelah bunga mekar yaitu (a)
37 hari untuk buah belum matang (hijau), (b) 45 hari untuk buah setengah matang
(hijau:kuning), dan (c) 54 hari untuk buah matang penuh (kuning) (Gambar 6).

Gambar 6. Tingkat Kematangan Buah Belimbing Wuluh; (a) Belum Matang


(Hijau), (b) Setengah Matang (Hijau:Kuning) dan (c) Matang
(Kuning)

Adapun hasil pengukuran sifat fisik dan kimia yang dilakukan pada ke
tiga tingkat kematangan buah belimbing wuluh berupa warna, ukuran, kekerasan
dan uji proksimat total asam serta asam oksalat disajikan pada Tabel 3.

27
Tabel 3. Nilai warna, ukuran, kekerasan dan total asam belimbing wuluh dari
berbagai tingkat kematangan

Tingkat Nilai Warna Ukuran


Kadar Total Asam
Kematangan Kekerasan
Air Diameter Panjang Asam Oksalat
Belimbing L a b (kgf)
(%) (cm) (cm) (%) (%)
Wuluh
94.92 42.52 -13.06 23.11 21.87 2.76
Belum Matang
- - - - 1.87-2.20 4.4-5.55 0.68-1.02 - -
(Hijau)
94.99 46.84 -10.58 26.31 26.74 3.37

95.04 42.54 -11.77 23.42 21.55 2.72


Setengah Matang
- - - - 2.10-2.43 5.1-6.04 0.55-0.80 - -
(Hijau-Kuning)
95.73 47.37 -9.47 28.10 26.48 3.34

97.08 44.57 -11.36 24.00 21.26 2.68


Matang Penuh
- - - - 2.27-2.47 6.5-7.1 0.54-0.82 - -
(Kuning)
97.12 50.51 -8.48 28.67 25.07 3.16

Dari tabel diatas terlihat bahwa nilai kecerahan terbesar terdapat pada
buah belimbing wuluh matang penuh. Nilai a negatif terendah terdapat pada buah
yang belum matang, menandakan bahwa buah masih berwarna hijau. Seperti
ditunjukkan pada Gambar 6a, warna hijau pada buah belum matang masih terlihat
sangat dominan. Nilai b positif menunjukkan warna kuning, semakin kecil nilai b
maka semakin berkurang warna kuning dari buah. Pada tabel di atas terlihat
bahwa nilai b tertinggi terdapat pada buah belimbing yang telah matang atau
sudah berwarna kuning.
Buah-buahan yang masih muda umumnya mengandung klorofil yang
jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan karotenoid atau pigmen-
pigmen lainnya, sehingga buah tersebut berwarna hijau. Selama proses
pematangan buah akan terjadi degradasi klorofil sehingga kandungan klorofil
menjadi rendah dan muncul warna pigmen-pigmen lain yang akan menyebabkan
perubahan warna dari hijau menjadi kuning, oranye atau merah.
Warna merupakan hal yang sangat penting karena merupakan indikator
kematangan yang sangat dikenal oleh konsumen. Konsumen umumnya
mempunyai pengetahuan yang cukup mendalam tentang korelasi antara warna dan
tingkat kematangan buah dan sayuran.
Dimensi buah belimbing wuluh (diameter dan panjang) menunjukkan
perbedaan yang nyata untuk ke tiga tingkat kematangan buah. Perbedaan ukuran
buah akan berpengaruh pada saat proses pengeringan baik terhadap lama waktu
pengeringan maupun kadar air akhir produk yang dihasilkan. Buah yang belum
matang umumnya membutuhkan waktu pengeringan lebih lama dibandingkan
dengan buah yang sudah matang. Hal ini disebabkan kandungan air pada buah
yang belum matang lebih banyak dalam bentuk air terikat, sementara pada buah
yang matang lebih banyak dalam bentuk air bebas. Air bebas lebih cepat untuk
diuapkan dari jaringan buah dibandingkan air terikat.
Hasil pengukuran kekerasan buah menunjukkan bahwa buah yang
belum matang nilai kekerasannya lebih tinggi dibanding dengan buah setengah
matang dan matang, sementara antara buah setengah matang dan matang
perbedaan nilai kekerasannya kecil. Kandungan pektin di dalam buah
mempengaruhi kekerasan (tekstur) buah tersebut. Selama proses pematangan
buah, terjadi perubahan komponen pektin, dari bentuk pektin tidak larut menjadi
larut sehingga tekstur buah menjadi lunak. Kekerasan buah belimbing wuluh
diduga akan berpengaruh terhadap tekstur asam sunti yang dihasilkan.
Asam sunti merupakan produk bumbu yang diharapkan rasa asamnya,
sehingga kandungan awal total asam dalam buah belimbing wuluh akan
berpengaruh terhadap kandungan atau rasa asam dari asam sunti yang dihasilkan.
Berbeda dengan rasa asam yang diharapkan tinggi, maka kandungan asam oksalat
diupayakan untuk serendah mungkin karena sifat asam oksalat yang mempunyai
pengaruh buruk terhadap kesehatan tubuh bila dikonsumsi secara terus-menerus
dalam jangka panjang.
Buah yang belum matang (muda) memiliki total asam dan asam
oksalat yang lebih tinggi daripada buah yang telah matang. Hal ini disebabkan
pada buah muda banyak mengandung asam-asam organik dimana selama proses
pematangan buah, kandungan asam organik ini akan menurun. Data total asam
dan asam oksalat diperlukan dalam pembuatan asam sunti karena merupakan
salah satu parameter mutu dari asam sunti yang akan dihasilkan.

4.1.2. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua


Penelitian pendahuluan tahap kedua dilakukan untuk mengetahui dan
menentukan lama waktu pengeringan buah belimbing wuluh dengan tiga tingkat
kematangan dan suhu pengeringan yang berbeda. Parameter yang digunakan
untuk menetapkan lama pengeringan adalah kadar air akhir buah belimbing wuluh
nilainya mendekati dengan kadar air dari asam sunti kontrol (produk asam sunti
lokal dari Aceh). Pemilihan kadar air yang sesuai dengan kadar air kontrol
dikarenakan produk asam sunti dari Aceh (kontrol) merupakan produk yang
selama ini disukai dan digunakan oleh masyarakat Aceh.
Data kadar air dan lama waktu pengeringan hasil penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data tersebut ditetapkan lama waktu
pengeringan pada tiga tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan tiga tingkat
suhu pengeringan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kadar air dan waktu lama pengeringan belimbing wuluh untuk tiga
tingkat kematangan buah

Tingkat
Suhu Pengeringan Lama Pegeringan Kadar Air
Kematangan
(C) (Jam) (%)
Belimbing Wuluh
50 9 72.45
Belum Matang
65 7 72.39
(Hijau)
80 5 73.93
50 8 73.37
Setengah Matang
65 6 72.28
(Hijau:Kuning)
80 4 73.08
50 7 73.73
Matang Penuh
65 5 72.66
(Kuning)
80 3 72.79
Kontrol - - 71.99

Penetapan lama waktu pengeringan didasarkan pada kadar air yang


mendekati kadar air kontrol, walaupun beberapa kadar air akhir relatif lebih
tinggi dari kadar air kontrol. Penetapan tersebut dikarenakan bila diperpanjang
lama pengeringan akan menyebabkan kadar air akhir buah belimbing wuluh lebih
rendah dari kadar air kontrol.
Lama waktu pengeringan yang dihasilkan pada tahap ini, akan
digunakan dalam proses pembuatan asam sunti. Kombinasi tingkat kematangan
buah dan suhu pengering dengan lama waktu pengeringan yang telah ditetapkan,
menjadi perlakuan untuk menghasilkan asam sunti. Asam sunti dengan mutu
terbaik, akan dipilih untuk diolah menjadi bubuk. Adapun parameter yang
digunakan untuk membandingkan mutu asam sunti yang dihasilkan adalah
rendemen, kadar air, pH, total asam, asam oksalat, warna dan uji terhadap
preferensi konsumen menggunakan uji organoletik yang meliputi penilaian
terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur dari asam sunti yang dihasilkan.

4.2. Penelitian Utama


4.2.1. Penelitian Utama Tahap Pertama
Penelitian utama tahap pertama dilakukan untuk membuat asam sunti
semi basah dari tiga tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan tiga tingkat
suhu pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan produk asam sunti
semi basah yang memiliki mutu yang baik berdasarkan pada rendemen, kadar air,
pH, total asam, asam oksalat, dan kesukaan konsumen terhadap produk yang
dihasilkan. Asam sunti dengan mutu terbaik akan digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bubuk asam sunti pada penelitian selanjutnya.

4.2.1.1. Rendemen Asam Sunti


Rendemen merupakan nisbah antara hasil yang diperoleh dengan
bahan dasarnya. Bahan dasar (belimbing wuluh) yang digunakan pada penelitian
ini sebesar 1 kg pada setiap perlakuan. Dari hasil pengukuran dan perhitungan
didapatkan rata-rata rendemen asam sunti berkisar antara 25.36%-52.82%.
Asam sunti semi basah yang dihasilkan dari buah belimbing wuluh
matang penuh pada pengeringan dengan suhu 80C selama 3 jam menghasilkan
rendemen terendah, sedang rendemen tertinggi dihasilkan oleh buah belimbing
wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50C selama 9 jam (Gambar
7).

60
Rendemen

50
Belum Matang
(%)

40
30 Setengah Matang
20 Matang
10
0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 7. Perbandingan rendemen asam sunti berdasarkan tingkat kematangan


buah dan suhu pengeringan
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa tingkat
kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan memberikan pengaruh
yang nyata (P<0.05) terhadap rendemen asam sunti yang dihasilkan, sehingga
perlu dilakukannya uji lanjut Duncan. Pada Uji Duncan terlihat bahwa ada
perbedaan yang nyata terhadap rendemen asam sunti yang dihasilkan pada tiap
tingkat kematangan. Rendemen tertinggi dihasilkan dari buah belimbing wuluh
yang belum matang dan terendah dari buah belimbing wuluh yang telah matang.
Suhu pengeringan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen
asam sunti yang dihasilkan. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan suhu
pengeringan 50C, dan rendemen terendah terdapat pada suhu pengeringan 80C.
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa tiap tingkat suhu menghasilkan rendemen
yang berbeda nyata (Lampiran 3), sedang interaksi antara kedua perlakuan tingkat
kematangan dan suhu tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata
(P>0.05) terhadap rendemen asam sunti yang dihasilkan.
Dari data pengamatan yang dihasilkan menunjukkan bahwa semakin
tinggi suhu pengeringan, semakin rendah rendemen yang dihasilkan dan semakin
matang buah yang digunakan maka semakin sedikit rendemen yang dihasilkan.
Hal ini disebabkan karena pada buah yang matang banyak terdapat kandungan air
bebas.
Rendahnya rendemen yang dihasilkan pada buah belimbing wuluh
yang matang diduga dipengaruhi oleh perlakuan awal bahan sebelum dikeringkan.
Buah belimbing wuluh sebelum dikeringkan, terlebih dahulu direndam dengan
garam selama 24 jam. Perendaman dengan garam bertujuan untuk mengawetkan
atau penghambat pertumbuhan mikroba pada bahan pangan, penambah aroma dan
cita rasa atau flavor, selain itu juga untuk mempercepat proses pengeringan.
Selama proses perendaman terjadi penyerapan garam ke dalam jaringan buah
secara osmose. Larutan garam merembes ke dalam jaringan buah dan karena
larutan garam lebih pekat dibanding air maka air yang ada didalam jaringan buah
tertarik keluar dari sel atau jaringan buah sampai terjadi keseimbangan antara
kadar garam diluar dan didalam sel. Banyaknya air bebas yang ditarik oleh garam
didalam buah belimbing wuluh yang matang yang dilanjutkan dengan proses
pengeringan pada suhu tinggi menjadi penyebab rendahnya rendemen yang
dihasilkan.
Pada buah yang belum matang rendemen produk yang dihasilkan lebih
banyak, ini kemungkinan disebabkan karena pada buah yang belum matang
terdapat kandungan air terikat yang sulit untuk diuapkan sehingga menghasilkan
rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang matang. Semakin
matang buah dan tingginya suhu pengeringan maka rendemen produk yang
dihasilkan akan semakin sedikit, ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh
Tranggono (1989) bahwa kehilangan air dan susut berat akan lebih cepat pada
buah yang besar daripada buah yang kecil, hal ini sesuai dengan penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan bahwa ukuran buah yang belum matang lebih
kecil dibandingkan dengan buah yang telah matang.

4.2.1.2. Kadar Air Asam Sunti


Air dalam bahan pangan merupakan komponen terpenting karena
kandungan air dalam bahan ikut menentukan cita rasa, tekstur, serta kenampakan
makanan. Air merupakan tempat utama perkembangan mikroba pada bahan
pangan dan penyebab utama berbagai kerusakan bahan pangan. Salah satu kunci
pengawetan bahan pangan adalah dengan mengurangi kadar air atau mengubah
karakteristik dari air tersebut dengan proses pengeringan. Kadar air dalam bahan
pangan sangat mempengaruhi kualitas daya simpan dari bahan pangan tersebut.
Oleh karena itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar
dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapatkan penanganan yang
tepat.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh rataan kadar air asam
sunti berkisar antara 71.02%-74.97%, sedangkan kadar air asam sunti kontrol
adalah 71.99%. Nilai kadar air tersebut hasil dari pengeringan mekanis belimbing
wuluh dengan menggunakan suhu dan waktu pengeringan seperti yang telah
ditetapkan pada penelitian pendahuluan. Kadar air akhir yang dihasilkan tidak
selalu sama dengan kadar air yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan
walaupun dengan suhu dan lama waktu pengeringan yang sama. Kisaran nilai
kadar air hasil pengeringan pendahuluan 72.28%-73.93% sedangkan hasil dari
penelitian utama adalah 71.02%-74.97%. Besarnya perbedaan terbut masih dalam
range kadar asam sunti yang ada di pasar (sebagai kontrol). Perbedaan tersebut
dimungkinkan karena adanya tingkat kecepatan pengeringan produk yang tidak
sama pada saat proses berlangsung. Faktor yang diduga mempengaruhi laju
perubahan kadar air pada produk asam sunti antara lain sifat bahan dan ukuran
bahan yang dikeringkan. Jika beberapa bahan pangan dengan ukuran dan bentuk
yang sama dikeringkan pada kondisi yang sama, maka bahan tersebut akan
kehilangan air dengan kecepatan yang sama pula (Wirakartakusumah, 1992).
Keseragaman ukuran belimbing wuluh yang digunakan pada penelitian
pendahuluan dengan penelitian utama menjadi kendala dalam penelitian ini. Masa
produksi pohon belimbing yang sangat singkat menyebabkan buah yang
digunakan tidak selalu berasal dari pohon yang sama dimana ukuran buah dapat
berbeda dengan tingkat kematangan yang sama.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4), terlihat bahwa perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan berpengaruh
nyata (P<0.05) terhadap kadar air asam sunti yang dihasilkan. Untuk mengetahui
pengaruh tersebut, hasil analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Hasil uji
memperlihatkan bahwa tingkat kematangan belimbing wuluh yang memberikan
perbedaan nyata terhadap kadar air akhir hasil pengeringan adalah antara
belimbing wuluh belum matang dan matang penuh, sementara untuk belimbing
wuluh setengah matang tidak berbeda bila dibandingkan dengan yang belum
matang dan juga tidak berbeda bila dibandingkan dengan yang matang penuh.
Kadar air asam sunti terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing
wuluh matang penuh dan kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan buah
belimbing wuluh yang belum matang. Suhu pengeringan juga memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar air asam sunti yang dihasilkan. Suhu
pengeringan 80C terlihat tidak berbeda nyata dengan suhu pengeringan 50C dan
65C, akan tetapi terlihat adanya perbedaan yang nyata antara suhu pengeringan
50C dan 65C (Lampiran 5). Adapun interaksi antara perlakuan tingkat
kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan tidak memperlihatkan adanya
pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kadar air asam sunti yang dihasilkan,
sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan.
80
70

Kadar Air
60 Belum Matang

(%)
50
40 Setengah Matang
30
20 Matang
10
0
50 C 65 C 80 C

Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 8. Perbandingan kadar air asam sunti berdasarkan tingkat kematangan


buah dan suhu pengeringan

Dari grafik di atas terlihat bahwa nilai kadar air terendah terdapat pada
produk asam sunti dengan tingkat kematangan penuh buah belimbing wuluh pada
suhu pengeringan 65C selama 5 jam dan kadar air tertinggi diperoleh pada buah
belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50C selama 9
jam (Gambar 8). Tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan sangat
menentukan nilai kadar air suatu produk yang dihasilkan. Semakin matang buah
yang dikeringkan maka kadar airnya akan semakin berkurang karena didalam
buah yang matang banyak terkandung air bebas yang tidak sulit untuk diuapkan
dalam proses pengeringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syarief dan Halid
(1993), bahwa tinggi rendahnya kadar air suatu bahan sangat ditentukan oleh air
terikat dan air bebas yang terdapat dalam bahan. Air bebas menunjukkan sifat-
sifat air dengan keaktifan penuh, sedangkan air terikat menunjukkan air yang
terikat erat dengan komponen bahan pangan lainnya. Air terikat membutuhkan
suhu yang lebih tinggi untuk menguapkannya daripada air bebas yang
membutuhkan suhu yang relatif rendah untuk menguapkannya, sehingga bahan
yang memiliki air terikat lebih banyak cenderung memiliki kadar air lebih tinggi.
Air yang dibutuhkan untuk terjadinya berbagai reaksi di dalam bahan pangan serta
tumbuhnya mikroba adalah air bebas. Air yang terikat kuat secara kimia sulit
digunakan oleh mikroba untuk hidupnya.
Gaman dan Sherrington (1992), menyatakan bahwa hal yang paling
penting dalam proses pengeringan adalah suhu yang digunakan tidak terlalu
tinggi, karena akan menyebabkan perubahan yang tidak dikehendaki pada bahan
pangan. Jika suhu yang digunakan terlalu tinggi akan menyebabkan case
hardening yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan akan menjadi keriput
dan keras, sedangkan air terperangkap di dalamnya. Air ini tidak bisa menerobos
bahan dengan proses difusi secara normal. Jika suhu terlalu rendah pengeringan
akan berlangsung lama. Sementara jika suhu terlalu tinggi tekstur bahan akan
kurang baik.
Semakin tinggi suhu pengeringan, maka proses pengeringan akan
semakin cepat. Rata-rata waktu pengeringan buah dari tiga tingkat kematangan
berturut-turut untuk suhu 50C adalah 9, 8 dan 7 jam, suhu 65C adalah 7, 6 dan 5
jam, sedangkan untuk suhu 80C adalah 5, 4 dan 3 jam.Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa makin tinggi suhu pengeringan, maka laju pengeringan akan
semakin tinggi dan waktu pengeringan akan semakin singkat. Adapun nilai kadar
air asam sunti yang mendekati kadar air asam sunti kontrol yaitu pada perlakuan
buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu pengeringan 65C dengan
kadar air akhir pengeringan sebesar 71.12%, dan buah belimbing matang pada
suhu pengeringan 65C dan 80C dengan nilai kadar air masing-masing adalah
71.02% dan 71.69%.

4.2.1.3. pH Asam Sunti


Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan atau produk pangan.
Dari hasil pengamatan diperoleh rata-rata pH asam sunti berkisar antara 1.53-
1.93. Nilai pH produk asam sunti hasil penelitian tidak jauh berbeda dengan nilai
pH produk asam sunti tradisional (kontrol) yaitu 1.54.
Nilai pH terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh yang
belum matang dengan suhu pengeringan 80C selama 5 jam dan nilai pH tertinggi
terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh matang penuh dengan suhu
pengeringan 50C selama 7 jam dan 65C selama 5 jam (Gambar 9).
2
1.5
Belum Matang

pH
1 Setengah Matang
0.5 Matang
0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 9. Perbandingan pH asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah


dan suhu pengeringan

Dari Grafik di atas terlihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan


maka nilai pH akan semakin rendah. Penggunaan suhu tinggi pada pengeringan
mekanis mengakibatkan makin rendahnya pH karena pengeringan pada suhu
tinggi dengan cepat dapat menyebabkan kulit luar (testa) mengeras dan bersifat
tidak permeabel, sehingga asam-asam organik yang terdapat dalam bahan tidak
dapat terbebaskan secara sempurna. Derajat keasaman (pH) yang rendah dapat
memperlambat pertumbuhan mikroorganisme di dalam bahan pangan (Yanti dan
Rochima, 2009).
Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6), terlihat bahwa perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
pH asam sunti yang dihasilkan, sehingga dilanjutkan dengan uji Duncan. Dengan
uji lanjut Duncan diketahui bahwa pH asam sunti dari belimbing wuluh setengah
matang tidak berbeda nyata dengan pH asam sunti dari belimbing wuluh belum
matang dan matang penuh, tetapi nilai pH asam sunti dari belimbing wuluh belum
matang dan matang penuh berbeda nyata. Nilai pH terendah terdapat pada produk
asam sunti dari buah belimbing wuluh yang belum matang, sedangkan produk
asam sunti dari buah belimbing wuluh matang penuh memiliki nilai pH yang
paling tinggi (Lampiran 7). Suhu pengeringan dan interaksi antara perlakuan
tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan tidak memperlihatkan
adanya pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap pH asam sunti yang dihasilkan.
Tingkat kematangan belimbing wuluh sangat mempengaruhi nilai pH
atau tingkat keasaman yang ada didalam buah. Buah belimbing wuluh yang belum
matang memiliki pH lebih rendah dibandingkan dengan buah yang sudah matang.
Tingkat keasaman yang tinggi memberikan nilai pH yang rendah dapat
ditunjukkan oleh kadar asam total dari ketiga tingkat kematangan belimbing
wuluh yang digunakan yaitu 21.87-26.74 untuk belimbing wuluh yang belum
matang, 21.55-26.48 untuk belimbing wuluh setengah matang dan 21.26-25.07
untuk belimbing wuluh matang. Zulkarnain (2010) menyatakan bahwa selama
proses pematangan, kadar asam organik cenderung menurun akibat dikonversi
menjadi gula.
Tingkat keasaman atau pH berkaitan erat dengan konsentrasi ion
hidrogen yang terkandung pada suatu larutan atau produk pangan yang diukur.
Konsentrasi ion hidrogen dalam makanan merupakan faktor pengontrol beberapa
reaksi kimia dan mikrobiologi. Konsentrasi ion hidrogen dipengaruhi oleh sifat
dan jenis asam, suhu serta adanya zat-zat lain yang mungkin terlarut didalamnya.
Semakin tinggi tingkat keasaman suatu bahan pada larutan maka semakin besar
kecenderungan untuk melepaskan proton (ion H+) sehingga pH menjadi turun.
Derajat keasaman (pH) suatu bahan sangat mempengaruhi daya
simpannya, karena mikroba dapat tumbuh baik pada batas pH tertentu. Bakteri
paling baik tumbuh pada pH netral, beberapa suka suasana asam, sedikit asam
atau basa. Kapang tumbuh pada pH 2-8.5, biasanya lebih suka pada suasana asam.
Sedangkan khamir tumbuh pada pH 4-4.5 dan tidak tumbuh pada suasana basa
(Susiwi, 2009). Hayati (2002) menyatakan bahwa tidak ditemukan total bakteri,
bakteri asam laktat, kapang dan khamir dalam asam sunti hasil pengeringan
menggunakan cabinet dryer yang dilakukan dengan penambahan garam sebelum
dilakukan pengeringan, karena pH yang dihasilkan rendah yaitu 1.73-1.77.

4.2.1.4. Total Asam


Total asam merupakan nilai keseluruhan asam yang terdapat dalam
suatu produk. Dari hasil pengamatan diperoleh nilai total asam dari produk asam
sunti berkisar antara 32.31%-47%. Nilai total asam produk asam sunti hasil
penelitian tidak jauh berbeda dengan nilai total asam produk asam sunti kontrol
yaitu 47.33%. Meningkatnya nilai total asam setelah menjadi produk asam sunti
diduga karena adanya pengaruh perendaman garam pada buah belimbing wuluh
segar. Dalam proses penggaraman, bahan akan mengalami perubahan-perubahan
antara lain perubahan kadar air, berat akhir bahan, perubahan pH, perubahan
tekstur dan perubahan warna. Penggunaan garam dalam pengolahan bahan pangan
selain berfungsi untuk mencegah pembusukan juga berfungsi untuk membentuk
cita rasa. Garam memiliki cita rasa yang khas sehingga penambahan garam pada
suatu bahan akan meningkatkan cita rasa dari bahan tersebut.
Nilai total asam tertinggi produk asam sunti terdapat pada perlakuan
buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 80C selama
5 jam dan total asam terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh
matang dengan suhu pengeringan 65C selama 5 jam (Gambar 10).
Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8), terlihat bahwa perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh, suhu pengeringan serta interaksi
antara keduanya tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05)
terhadap total asam dari produk asam sunti yang dihasilkan, sehingga tidak
dilanjutkan dengan uji Duncan.

50
40
Total Asam

Belum Matang
30
(%)

Setengah Matang
20
Matang
10
0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 10. Perbandingan total asam berdasarkan tingkat kematangan buah dan
suhu pengeringan

Grafik di atas menunjukkan bahwa total asam tertinggi terdapat pada


produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh yang belum matang
dengan suhu pengeringan 80C dan total asam terendah terdapat pada produk
asam sunti dengan suhu pengeringan65C. Tingginya suhu pengeringan akan
menyebabkan terjadinya case hardening yaitu suatu keadaan dimana bagian luar
bahan (permukaan) sudah kering sedangkan di bagian dalamnya masih basah. Hal
ini disebabkan suhu yang tinggi di awal pengeringan akan menguapkan air yang
ada dipermukaan bahan secara cepat sehingga permukaan bahan menjadi kering
dan keras serta akan menghambat penguapan selanjutnya dari air yang terdapat di
bagian dalam bahan tersebut, sehingga asam organik terperangkap didalamnya
(Rachmawan, 2001).
Pada buah yang belum matang kandungan asamnya lebih tinggi
dibandingkan dengan buah yang telah matang karena pada buah matang selama
proses pematangannya kandungan asam yang ada didalam buah menjadi
berkurang akibat dikonversi menjadi gula. Kenaikan keasaman ini kemungkinan
juga disebabkan oleh biosintesa asam oksalat yang berlebihan pada waktu buah
masih hijau dan biosintesa asam malat yang dominan pada tingkat-tingkat
kemasakan berikutnya (Wyman dan Palmer dalam Pantastico, 1997).
Buah belimbing wuluh memiliki tingkat keasaman tinggi yang terdiri
dari beberapa senyawa kimia yang bersifat asam seperti: asam oksalat, asam sitrat,
asam tartarat dan asam suksinat, asam format, glukosit, flavonoid, kalium oksalat,
minyak menguap, fenol dan pektin (Nugrahawati et al. 2000). Asam-asam organik
banyak terdapat pada buah-buahan yang merupakan hasil proses metabolisme
terutama oleh siklus Kerbs (Winarno dan Fardiaz, 1982). Menurut
Subhadrabandhu (2001), asam yang dominan di dalam belimbing wuluh adalah
asam sitrat dan asam oksalat.
Asam sitrat merupakan asam organik yang secara alami terdapat pada
buah-buahan. Keberadaan asam sitrat dalam produk pangan bukan merupakan
masalah karena asam tersebut selain berfungsi sebagai penambah citarasa juga
sebagai pengawet. Asam sitrat dapat merangsang sel-sel darah putih untuk
berkembang sehingga membentuk antibodi yang dapat menghalangi beberapa
bibit penyakit yang ada dalam tubuh. Sebaliknya, kandungan asam oksalat tinggi
di dalam produk pangan harus dihindari. Asam oksalat bersama-sama dengan
kalsium dalam tubuh manusia akan membentuk senyawa yang tidak larut dan
tidak dapat diserap oleh tubuh. Oleh karena itu penggunaan kalsium yang juga
terdapat dalam produk-produk yang mengandung oksalat perlu dihindari. Asam
oksalat dan garamnya yang larut air juga dapat membahayakan, karena senyawa
tersebut bersifat toksis.
Karena pengaruh distropik oleh oksalat tergantung pada ratio molar
antara asam oksalat dan kalsium, hal ini dapat dicegah dengan cara membatasi
konsumsi bahan makanan yang banyak mengandung oksalat yang larut, yaitu
dengan menghindari makan dalam jumlah besar atau juga menghindari makan
dalam jumlah kecil tetapi berulang-ulang, mengkombinasikan beberapa makanan
yang banyak mengandung oksalat. Perebusan juga dapat mengurangi kandungan
oksalat dalam makanan dengan membuang air perebusan, sehingga memperkecil
proporsi asam oksalat dalam bahan pangan (Noonan dan Savage, 1999). Orang-
orang yang mengalami peningkatan batu kalsium oksalat harus mengindari
makanan dengan kandungan oksalat tinggi (Oscarsson dan Savage, 2007).

4.2.1.5. Asam Oksalat Asam Sunti


Asam oksalat (H2C2O4) merupakan asam organik yang tersebar di
seluruh bagian tanaman (Liebman, 2002). Garamnya terdapat dalam bentuk
oksalat terlarut dan tidak terlarut (Huang et al., 1992). Asam oksalat dapat
ditemukan dalam bentuk bebas ataupun dalam bentuk garam. Bentuk yang lebih
banyak ditemukan adalah bentuk garam. Kedua bentuk asam oksalat tersebut
terdapat baik dalam bahan nabati maupun hewani. Jumlah asam oksalat dalam
tanaman lebih besar daripada hewan (Noonan dan Savage, 1999). Asam oksalat
merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat daripada asam
asetat.
Kadar total asam oksalat dalam produk asam sunti hasil penelitian
berkisar antara 4.07-5.92%, sedangkan pada asam sunti kontrol 5.96%. Nilai
tersebut lebih tinggi dari kadar asam oksalat dari buah belimbing segar yang
berkisar antara 2.72-3.34. Meningkatnya kadar asam oksalat setelah menjadi
produk asam sunti semi basah diduga karena telah dilakukan proses perendaman
dengan garam dan pengeringan sehingga kadar air berkurang. Perendaman dengan
garam akan mempermudah keluarnya air dalam belimbing wuluh sehingga
kandungan asam oksalat akan lebih tinggi pada produk asam sunti yang
dihasilkan.
Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9), terlihat bahwa perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh, suhu pengeringan serta interaksi
antara keduanya tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05)
terhadap asam oksalat dari asam sunti yang dihasilkan, sehingga tidak dilanjutkan
dengan uji Duncan.
6

Asam Oksalat
5
4 Belum Matang

(%)
3 Setengah Matang
2
Matang
1
0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 11. Perbandingan asam oksalat asam sunti berdasarkan tingkat


kematangan buah dan suhu pengeringan

Grafik di atas menunjukkan bahwa nilai asam oksalat terendah


terdapat pada produk asam sunti dari buah belimbing wuluh setengah matang
dengan suhu pengeringan 65C selama 6 jam dan asam oksalat tertinggi diperoleh
pada produk asam sunti dari buah belimbing wuluh belum matang dengan suhu
pengeringan 80C selama 5 jam (Gambar 11). Penyebab tingginya asam oksalat
pada asam sunti yang dikeringkan dengan suhu tinggi sama seperti halnya kadar
total asam. Suhu pengeringan yang tinggi akan terjadi pengerasan pada kulit luar
buah yang dikeringkan sehingga asam organik terperangkap didalamnya.
Tingginya kandungan asam oksalat pada buah yang belum matang (hijau) sesuai
seperti yang dikemukakan oleh Love dan Paull (2011), bahwa kandungan asam
oksalat pada buah hijau lebih tinggi berkisar 10.5-14.7 mg/g bahan dibandingkan
dengan buah yang matang yaitu berkisar 8.45-10.8 mg/g bahan. Oscarsson dan
Savage (2007), juga mengatakan bahwa pada daun talas muda mengandung total
oksalat 35.8 mg/100g bahan, sedangkan daun talas tua mengandung total oksalat
15.0 mg/100g bahan. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pada komoditi
yang masih muda lebih banyak terkandung asam oksalat dibandingkan dengan
komoditi yang sudah matang. Hal ini juga dipengaruhi oleh iklim pada saat
pemanenan buah, sesuai dengan pendapat Joseph & Mendonca di dalam Lima et
al. (2001), bahwa buah belimbing memiliki variasi tingkat asam oksalat di dua
musim yang berbeda. Buah-buahan yang dikumpulkan pada musim hujan
memiliki tingkat oksalat yang tertinggi yaitu 11.2-14.7 mg/g dalam buah-buahan
hijau dan 9.86-10.8 mg/g dalam buah-buahan matang dan buah belimbing yang
dipanen pada musim kemarau memiliki tingkat oksalat yang lebih rendah yaitu
10.50-14.00 mg/g dalam buah-buahan hijau dan 8.45-9.00 mg/g dalam buah-
buahan matang.
Asam-asam organik banyak terdapat pada buah-buahan yang
merupakan hasil proses metabolisme terutama oleh siklus Kerbs (Winarno dan
Fardiaz, 1982). Kandungan asam organik yang dominan pada belimbing wuluh
adalah asam sitrat dan asam oksalat. Kandungan asam organik dalam belimbing
wuluh disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Asam Organik Buah Belimbing Wuluh


Jumlah
Asam Organik
(meq asam/100 g total padatan)
Asam asetat 1.6 1.9
Asam sitrat 92.6 133.8
Asam format 0.4 0.9
Asam laktat 0.4 1.2
Asam oksalat 5.5 8.9
Sedikit asam malat
Sumber: Subhadrabandhu (2001)

Asam oksalat bersama dengan kalsium dan zat besi didalam tubuh
manusia membentuk kristal yang tidak larut sehingga dapat menghambat
penyerapan kalsium oleh tubuh. Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi
asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Individu
yang memiliki kerentanan khusus dengan oksalat harus membatasi asupan asam
oksalat, sedangkan orang yang sehat mungkin tidak perlu, dengan tetap menjaga
agar konsumsi bahan pangan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus dalam
jangka panjang (Noonan dan Savage, 1999 ; Mariana, 2008). Asam oksalat dan
garamnya tergolong senyawa yang berbahaya karena bersifat toksik. Senyawa
oksalat dengan dosis 4-5 g dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa,
tetapi dosis yang dapat menyebabkan pengaruh fatal biasanya adalah 10-15 g
(Noonan dan Savage, 1999).

4.2.1.6. Warna Produk Asam Sunti


Warna merupakan parameter penting yang harus diperhatikan karena
menentukan kesan awal penerimaan produk oleh konsumen. Pengukuran warna
secara objektif dinyatakan dengan nilai L, a, dan b. Nilai L menunjukkan
kecerahan (lightness) bernilai 100 untuk warna putih dan 0 untuk warna hitam.
Semakin tinggi nilai L warna semakin cerah dan mengarah ke putih. Nilai a dan b
adalah koordinat kromositas. Nilai a positif (+) menyatakan warna merah, warna
abu-abu bila positif nol, dan warna hijau bila bernilai negatif (-). Sedangkan nilai
b positif (+) menunjukkan warna kuning, warna abu-abu bila bernilai nol, dan
warna biru bila bernilai negatif (-).
Nilai L asam sunti hasil penelitian ada pada kisaran 44.42-51.33. Nilai
L tertinggi terdapat pada produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing
wuluh matang dengan suhu pengeringan 65C selama 5 jam, sedangkan nilai
terendah terdapat pada produk asam sunti dari buah belimbing wuluh yang belum
matang dengan suhu pengeringan 50C selama 9 jam (Gambar 12).

60
50
Kecerahan
(Nilai L)

40 Belum Matang
30 Setengah Matang
20
Matang
10
0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 12. Perbandingan tingkat kecerahan (nilai L) asam sunti berdasarkan


tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan

Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin matang buah belimbing


wuluh, tingkat kecerahannya semakin tinggi. Kecerahan (nilai L) asam sunti hasil
penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan asam sunti lokal (kontrol) yaitu
33.84. Rendahnya nilai kecerahan asam sunti kontrol ini kemungkinan karena
terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis yaitu suatu proses pencoklatan yang
disebabkan oleh enzim fenolase yang kontak dengan oksigen dan udara sehingga
mengubah fenolik menjadi metanin yang berwarna coklat. Proses pembuatan
asam sunti dengan cara dijemur dibawah sinar matahari menyebabkan produk
kontak langsung dengan oksigen dan udara sehingga kecerahan dari produk asam
sunti kontrol lebih rendah daripada asam sunti hasil penelitian.
Asam sunti hasil penelitian mempunyai kisaran nilai a 0.04-0.96. Nilai
a asam sunti terendah diperoleh dari buah belimbing wuluh setengah matang
dengan suhu pengeringan 65C selama 6 jam dan nilai a asam sunti tertinggi
diperoleh dari buah belimbing wuluh matang penuh dengan suhu pengeringan
80C selama 3 jam (Gambar 13). Peningkatan nilai a menunjukkan berkurangnya
warna hijau sehingga warnanya menjadi gelap atau kecoklatan.

1
0.8
Nilai a
0.6 Belum Matang
0.4 Setengah Matang
0.2 Matang
0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 13. Perbandingan nilai a asam sunti berdasarkan tingkat kematangan


buah dan suhu pengeringan

Grafik di atas menunjukkan bahwa terjadinya variasi nilai a positif


(pengurangan warna hijau) pada produk asam sunti yang dihasilkan. Hal ini
mungkin disebabkan karena berbedanya waktu lama pengeringan pada tiga
tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan yang dilakukan.
Nilai b produk asam sunti yang dihasilkan berkisar antara 25.74-
29.64. Nilai b tertinggi terdapat pada produk asam sunti yang dibuat dari
belimbing wuluh matang pada suhu pengeringan 80C selama 3 jam dan nilai b
asam sunti terendah dari buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu
pengeringan 65C selama 7 jam (Gambar 14). Nilai b asam sunti tradisional yaitu
15.55 yang nilainya lebih rendah dibandingkan asam sunti hasil penelitian.
Rendahnya nilai b asam sunti kontrol menunjukkan semakin berkurangnya warna
kuning. Asam sunti kontrol yang di datangkan dari Aceh berwarna coklat tua,
sedangkan asam sunti hasil penelitian berwarna coklat agak kekuningan.

30
Belum Matang
Nilai b

20
Setengah Matang
10
Matang
0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 14. Perbandingan nilai b asam sunti berdasarkan tingkat kematangan


buah dan suhu pengeringan
Dari grafik di atas terlihat bahwa semakin matang buah dan semakin
tinggi suhu pengeringan maka nilai b produk asam sunti semakin tinggi karena
waktu yang diperlukan untuk mengeringkan bahan lebih cepat dibandingkan
dengan menggunakan suhu rendah sehingga warna kuningnya masih dapat
dipertahankan.
Dari hasil analisis sidik ragam nilai L, a, dan b (Lampiran 10, 12 dan
13), terlihat bahwa perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh
memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap nilai L atau kecerahan asam
sunti yang dihasilkan, sehingga dilakukan uji lanjut Duncan. Dari hasil uji
Duncan untuk nilai L (Lampiran 11), memperlihatkan bahwa buah belimbing
wuluh setengah matang tidak berbeda nyata dengan buah belimbing wuluh yang
belum matang dan buah belimbing wuluh matang akan tetapi buah belimbing
wuluh yang belum matang terlihat berbeda nyata dengan buah belimbing wuluh
yang sudah matang. Suhu pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tidak
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap nilai kecerahan
(L) produk asam sunti yang dihasilkan. Sedangkan perlakuan tingkat kematangan
buah belimbing wuluh, suhu pengeringan serta interaksi antara kedua perlakuan
tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap
nilai a dan nilai b produk asam sunti yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil uji kesukaan panelis terhadap warna produk asam
sunti hasil penelitian maupun asam sunti lokal masih disukai. Warna asam sunti
yang dihasilkan nantinya akan mempengaruhi warna dari suatu masakan. Karena
asam sunti ini akan dijadikan ke dalam produk bubuk, maka akan sangat
mempengaruhi warna dari bubuk yang akan dihasilkan. Dari hasil pengamatan
kecerahan warna asam sunti, diperkirakan asam sunti hasil penelitian akan
menghasilkan ekstrak yang lebih cerah warnanya daripada asam sunti lokal.
Sehingga warna bubuk asam sunti hasil penelitian juga akan lebih cerah daripada
warna bubuk dari asam sunti lokal.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk
produk bubuk, warna yang diinginkan adalah tergantung dari jenis bahan baku
yang digunakan untuk membuat bubuk. Pada penelitian yang dilakukan oleh
kumalasari (2001), warna yang disukai untuk minuman madu bubuk adalah warna
madu yang lebih kuat dan warna putih yang lebih lemah. Hal ini menandakan
bahwa warna bubuk madu yang putih tidak disukai. Pada produk minuman instan
sari kurma, warna coklat transparan lebih disukai daripada yang berwarna putih
(Bahctiar, 2011). Sedangkan pada produk bubuk konsentrat pala, warna yang
disukai adalah warna putih (Mulia, 1998). Warna suatu produk merupakan
parameter awal yang akan dilihat oleh konsumen, oleh sebab itu warna yang
diharapkan dari suatu produk tergantung dari preferensin konsumen terhadap
produk yang dihasilkan. Berdasarkan kebiasaan yang ada, masyarakat Aceh
menyukai asam sunti yang berwarna coklat.

4.2.1.7. Uji Organoleptik Asam Sunti


Penerimaan dengan indra disebut juga dengan penilaian organoleptik
atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif.
Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam
industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Kadang-kadang penilaian ini
dapat memberikan hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian
dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif (Susiwi, 2009).
Tujuan dilakukannya uji organoleptik terkait langsung dengan selera.
Setiap orang di setiap daerah memiliki kecenderungan selera tertentu sehingga
produk yang dipasarkan harus disesuaikan dengan selera masyarakat
setempat.Adapun penilaian indera dengan cara uji organoleptik meliputi penilai
terhadap tekstur suatu bahan, yaitu salah satu unsur kualitas bahan pangan yang
dapat dirasa dengan rabaan ujung jari, lidah, mulut atau gigi, faktor kenampakan
yang meliputi warna dan kecerahan (gloss) dapat dinilai melalui indera
penglihatan, serta flavor adalah suatu rangsang yang dapat dirasakan oleh indera
pembau dan perasa secara bersama-sama. Penilaian Flavor langsung berhubungan
dengan indera manusia, sehingga merupakan salah satu unsur kualitas yang hanya
bisa diukur secara subyektif (Anonim, 2011)

4.2.1.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa


Rasa merupakan komponen sifat sensori yang penting dalam
penerimaan produk pangan. Hasil penilaian uji hedonik dari panelis Aceh
terhadap rasa produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 3.6-4.5
(mendekati netral sampai agak suka), sedangkan untuk rasa produk asam sunti
lokal 5.4 (agak suka), ini menunjukkan bahwa panelis Aceh lebih menyukai
produk asam sunti lokal dibandingkan asam sunti hasil penelitian walaupun skor
yang diperoleh hampir mendekati produk lokal. Nilai rata-rata tertinggi produk
asam sunti hasil penelitian terdapat pada perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh setengah matang dan matang penuh dengan suhu pengeringan
80C selama 3 jam dan rata-rata terendah pada perlakuan tingkat kematangan
buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 50C selama
9 jam (Gambar 15).

5.0
Nilai Rasa

4.0
Belum Matang
3.0
Setengah Matang
2.0
1.0 Matang
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 15. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan

Penilaian uji hedonik panelis dari luar Aceh terhadap rasa produk asam
sunti hasil penelitian berkisar antara 3.1-3.7 (agak tidak suka sampai mendekati
netral), sedangkan untuk produk asam sunti lokal diperoleh nilai 3.4 (agak tidak
suka), ini menunjukkan bahwa panelis dari luar Aceh kurang menyukai rasa asam
yang dimiliki oleh produk asam sunti. Nilai rata-rata tertinggi diperoleh dari
perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu
pengeringan 80C selama 4 jam dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan
penuh buah belimbing wuluh dengan suhu pengeringan 65C selama 5 jam
(Gambar 16).
4.0

Nilai Rasa
3.0
Belum Matang
2.0
Setengah Matang
1.0 Matang
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 16. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan

Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik panelis dari Aceh
(Lampiran 14), terlihat bahwa perlakuan suhu pengeringan memberikan pengaruh
yang nyata (P<0.05) terhadap nilai organoleptik rasa asam sunti, sehingga pada
hasil uji Duncan (Lampiran 15) menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada
perlakuan suhu pengeringan 80C yang berbeda nyata dengan perlakuan suhu
pengeringan 50C dan 65C, sedangkan nilai organoleptik rasa terendah terdapat
pada perlakuan suhu pengeringan 50C yang tidak berbeda nyata dengan suhu
pengeringan 65C akan tetapi berbeda nyata dengan suhu pengeringan 80C.
Sedangkan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua
perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05)
terhadap nilai organoleptik rasa asam sunti yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi keduanya tidak
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa produk asam sunti yang
dihasilkan.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam uji organoleptik rasa panelis
luar Aceh (Lampiran 16), memperlihatkan bahwa perlakuan suhu pengeringan
juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penerimaan panelis luar
Aceh terhadap rasa asam sunti yang dihasilkan (P<0.05). Pada uji Duncan terlihat
bahwa penggunaan suhu pengering 50C tidak berbeda hasilnya dengan
menggunakan suhu pengering 65C dan 80C, akan tetapi penggunaan suhu
pengering 65C berbeda nyata dengan suhu 80C (Lampiran 17). Tingkat
kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut
tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap nilai organoleptik rasa
asam sunti, sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan. Hal ini diduga bahwa
perlakuan tersebut tidak mempengaruhi kesukaan panelis luar Aceh terhadap rasa
asam sunti yang dihasilkan.

4.2.1.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna


Warna merupakan parameter pertama yang menentukan tingkat
penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Nilai kesukaan panelis Aceh
terhadap warna produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 4.2-5 (netral
sampai agak suka), sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang diperoleh
dari panelis adalah 4.6 (mendekati agak suka), ini menunjukkan bahwa panelis
dari Aceh agak menyukai warna produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti
lokal walaupun ada perbedaan dari warna kedua produk tersebut. Nilai rata-rata
warna asam sunti tertinggi terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh
setengah matang dengan suhu pengeringan 50C selama 8 jam dan terendah
terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh matang pada suhu pengeringan
80C selama 3 jam (Gambar 17).

6.0
5.0
Nilai Warna

Belum Matang
4.0
3.0 Setengah Matang
2.0
Matang
1.0
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 17. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan

Nilai penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap warna produk asam
sunti hasil penelitian berkisar antara 3.7-4.5 (mendekati netral sampai agak suka),
sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang diperoleh dari panelis adalah
3.6 (mendekati netral). Hasil ini menunjukkan bahwa penilaian panelis dari luar
Aceh terhadap warna produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti lokal
tidak berbeda, walaupun pada kenyataannya warna yang dihasilkan dari kedua
produk tersebut agak berbeda. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan
tingkat kematangan belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan
50C selama 8 jam dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan penuh buah
belimbing dengan suhu pengeringan 65C selama 5 jam (Gambar 18).

Nilai Warna 5.0


4.0
3.0 Belum Matang
2.0 Setengah Matang
1.0 Matang
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 18. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna
asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan

Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik warna panelis dari Aceh
(Lampiran 18) dan panelis dari luar Aceh (Lampiran 19), terlihat bahwa
perlakuan tingkat kematangan buah belimbing wuluh, suhu pengeringan dan
interaksi antara kedua perlakuan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang
nyata (P>0.05) terhadap nilai organoleptik warna asam sunti yang dihasilkan,
sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan. Hal ini menunjukkan bahwa suhu
pengeringan dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis
terhadap aroma produk asam sunti yang dihasilkan.

4.2.1.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma


Aroma merupakan salah satu faktor penting bagi konsumen dalam
memilih produk makanan yang disukai. Penerimaan panelis dari Aceh terhadap
aroma produk asam sunti hasil penelitian berkisar antara 4.2-4.8 (netral sampai
mendekati agak suka), sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang
diperoleh dari panelis adalah 5.4 (agak suka). Panelis dari Aceh ternyata agak
menyukai aroma produk asam sunti lokal, sedangkan aroma beberapa produk
asam sunti hasil penelitian adalah sama. Rata-rata nilai aroma produk asam sunti
tertinggi terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh setengah matang dengan
suhu pengeringan 50C selama 8 jam dan nilai aroma produk asam sunti terendah
terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh yang sudah matang dengan suhu
pengeringan 65C selama 5 jam dan 80C selama 3 jam (Gambar 19).

5.0
Nilai Aroma 4.0
Belum Matang
3.0
Setengah Matang
2.0
1.0 Matang
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 19. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan

Penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap aroma produk asam sunti
hasil penelitian berkisar antara 3.7-4.3 (mendekati netral sampai netral),
sedangkan untuk produk asam sunti lokal nilai yang diperoleh dari panelis adalah
4.3 (netral), ini menunjukkan bahwa kepekaan panelis dari luar Aceh terhadap
aroma produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti lokal tidak berbeda. Nilai
aroma produk asam sunti tertinggi diperoleh dari perlakuan belimbing wuluh yang
belum matang dengan suhu pengeringan 80C selama 5 jam dan nilai produk
asam sunti terendah diperoleh dari perlakuan belimbing wuluh setengah matang
dengan suhu pengeringan 65C selama 6 jam (Gambar 20).

5.0
Nilai Aroma

4.0
Belum Matang
3.0
Setengah Matang
2.0
1.0 Matang
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 20. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma
asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan

Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik panelis dari Aceh
terhadap aroma produk asam sunti (Lampiran 20), terlihat bahwa perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh memberikan pengaruh yang nyata
(P<0.05) terhadap nilai organoleptik aroma asam sunti yang dihasilkan. Oleh
karena itu dilakukan uji lanjut Duncan (Lampiran 21), yang menunjukkan bahwa
nilai penerimaan terendah diperoleh pada produk asam sunti yang terbuat dari
buah belimbing wuluh matang penuh dan nilai penerimaan tertinggi diperoleh
pada produk asam sunti yang terbuat dari belimbing wuluh setengah matang.
Produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh yang tidak matang
memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap asam sunti yang
terbuat dari belimbing wuluh setengah matang dan matang penuh, tetapi asam
sunti yang terbuat dari belimbing wuluh dengan tingkat kematangan setengah
matang berbeda nyata dengan asam sunti yang terbuat dari belimbing wuluh
matang penuh. Sedangkan perlakuan suhu pengeringan dan interaksi antara kedua
perlakuan tersebut tidak terperlihat adanya pengaruh yang nyata (P>0.05)
terhadap penerimaan panelis pada aroma produk asam sunti yang dihasilkan. Hal
ini menunjukkan bahwa suhu pengeringan dan interaksi kedua perlakuan tersebut
tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk asam sunti
yang dihasilkan.
Hasil uji sidik ragam panelis dari luar Aceh terhadap tingkat kesukaan
aroma produk asam sunti (Lampiran 22), menunjukkan bahwa tingkat kematangan
belimbing wuluh memberikan pengaruh yang nyata terhadap organoleptik aroma
asam sunti yang dihasilkan, sehingga dilakukanlah uji lanjut Duncan. Hasil uji
Duncan untuk penerimaan panelis dari luar Aceh (Lampiran 23), menunjukkan
bahwa skor penerimaan aroma terendah diperoleh pada produk asam sunti yang
terbuat dari buah belimbing wuluh setengah matang yang berbeda nyata dengan
asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh belum matang dan matang
penuh, sedangkan skor penerimaan aroma tertinggi diperoleh pada produk asam
sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh belum matang yang tidak berbeda
nyata dengan buah belimbing wuluh matang penuh tetapi berbeda nyata dengan
belimbing wuluh setengah matang.

4.2.1.7.4. Penerimaan Sensori Terhadap Tekstur


Penerimaan panelis dari Aceh terhadap tekstur produk asam sunti hasil
penelitian berkisar antara 3.8-4.2 (mendekati netral sampai netral), sedangkan
nilai panelis untuk produk asam sunti lokal adalah 5.2 (agak suka). Dari data yang
diperoleh menunjukkan bahwa panelis Aceh agak lebih menyukai tekstur produk
asam sunti lokal yang lebih kenyal daripada produk asam sunti hasil penelitian.
Rata-rata nilai tertinggi terdapat pada perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50C selama 8 jam
dan 80C selama 5 jam, serta perlakuan tingkat kematangan belimbing wuluh
yang belum matang dengan suhu pengeringan 65C selama 7 jam. Sedangkan
rata-rata nilai terendah terdapat pada perlakuan tingkat kematangan penuh
belimbing wuluh pada suhu pengeringan 65C selama 5 jam dan tingkat
kematangan belimbing wuluh yang belum matang pada suhu pengeringan 80C
selama 5 jam (Gambar 21).

5.0
Nilai Tekstur

4.0
Belum Matang
3.0
Setengah Matang
2.0
1.0 Matang

0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 21. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap tekstur asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan

Nilai penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap produk asam sunti
hasil penelitian berkisar antara 3.1-4 (agak tidak suka sampai netral) dan untuk
produk asam sunti lokal adalah 4.2 (netral). Panelis dari luar Aceh ternyata kurang
menyukai tekstur produk asam sunti baik produk hasil penelitian maupun produk
lokal, sehingga penilaian terhadap tekstur dianggap sama. Rata-rata nilai tertinggi
terdapat pada produk asam sunti dengan perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 80C selama 5
jam dan terendah pada perlakuan tingkat kematangan penuh buah belimbing
wuluh pada suhu pengeringan 50C selama 7 jam (Gambar 22).
5.0

Nilai Tekstur
4.0
Belum Matang
3.0
Setengah Matang
2.0
Matang
1.0
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 22. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap tekstur
asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan

Dari hasil analisis sidik ragam uji organoleptik panelis Aceh


(Lampiran 24), terlihat bahwa interaksi antara tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap
organoleptik tekstur asam sunti yang dihasilkan, sedangkan perlakuan tingkat
kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan memperlihatkan
pengaruh yang tidak nyata(P>0.05) terhadap nilai organoleptik tekstur asam sunti
yang dihasilkan. Adapun uji lanjut Duncan dari interaksi perlakuan tingkat
kematangan dan suhu pengeringan terhadap penerimaan tekstur panelis Aceh
(Lampiran 25), menunjukkan bahwa nilai penerimaan tertinggi terdapat pada
produk asam sunti yang terbuat dari buah belimbing wuluh setengah matang pada
suhu pengeringan 50C yang berbeda nyata dengan perlakuan buah belimbing
wuluh matang pada suhu pengeringan 50C dan 65C, serta tingkat kematang
buah belimbing wuluh yang belum matang dengan suhu pengeringan 80C, tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan penerimaan terhadap
tekstur dengan nilai terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh
matang dengan suhu pengeringan 65C yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan belimbing wuluh yang belum matang pada suhu pengeringan 80C,
buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu pengeringan 65C dan buah
belimbing wuluh matang penuh pada suhu pengeringan 50C, tetapi berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya.
Hasil analisis sidik ragam panelis dari luar Aceh (Lampiran 26),
memperlihatkan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata
(P<0.05) terhadap organoleptik tekstur asam sunti yang dihasilkan, tetapi tingkat
kematangan dan interaksi kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang
nyata (P>0.05) terhadap organoleptik tekstur asam sunti yang dihasilkan. Hasil uji
Duncan untuk penerimaan panelis dari luar Aceh terhadap tekstur produk asam
sunti (Lampiran 27), menunjukkan bahwa nilai penerimaan tertinggi terdapat pada
produk asam sunti dengan proses pengeringan pada suhu 80C yang berbeda
nyata dengan produk asam sunti pada proses pengeringan suhu 50C dan 65C,
sedangkan nilai penerimaan terendah terdapat pada produk asam sunti dengan
proses pengeringan pada suhu 65C yang tidak berbeda nyata dengan produk
asam sunti yang diproses pada suhu pengeringan 50C.

4.2.1.7.5. Penerimaan Keseluruhan


Penerimaan keseluruhan merupakan penerimaan panelis secara umum
terhadap parameter uji hedonik yang ada (rasa, warna, aroma dan tekstur). Nilai
penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap produk asam sunti hasil penelitian
berkisar antara 4.1-4.6 (netral sampai mendekati agak suka), sedangkan produk
asam sunti lokal adalah 6 (suka). Dari nilai yang ada dapat diketahui bahwa
produk asam sunti hasil penelitian dan asam sunti lokal masih dapat diterima oleh
panelis Aceh walaupun produk asam sunti lokal yang lebih disukai baik dari segi
rasa, warna, aroma dan tekstur. Nilai rata-rata tertinggi penerimaan keseluruhan
terhadap produk asam sunti terdapat pada perlakuan buah belimbing wuluh
setengah matang pada suhu pengeringan 50C selama 8 jam dan penerimaan
keseluruhan terendah terdapat pada perlakuan buah belimbing yang sudah matang
dengan suhu pengeringan 65C selama 5 jam (Gambar 23).

5.0
Keseluruhan

4.0
Belum Matang
Nilai

3.0
Setengah Matang
2.0
Matang
1.0
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 23. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap


produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan
Hasil uji kesukaan terhadap penerimaan keseluruhan panelis dari luar
Aceh berkisar antara 3.6-4 (mendekati netral sampai netral), sedangkan nilai
penerimaan keseluruhan untuk produk asam sunti lokal adalah 3.9 (mendekati
netral). Dari nilai yang ada dapat diketahui bahwa panelis luar Aceh menganggap
bahwa produk asam sunti hasil penelitian maupun asam sunti lokal adalah sama
baik dari segi rasa, warna, aroma dan tekstur, sehingga produk ini dikategorikan
masih dapat diterima. Nilai rata-rata penerimaan tertinggi terdapat pada perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang pada suhu
pengeringan 50C selama 8 jam dan terendah pada tingkat kematangan penuh
buah belimbing dengan suhu pengeringan 65C selama 5 jam (Gambar 24).

5.0
Keseluruhan

4.0
3.0 Belum Matang
Nilai

2.0 Setengah Matang


1.0 Matang
0.0
50 C 65 C 80 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 24. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh


terhadap produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan

Dari hasil analisis sidik ragam penerimaan keseluruhan panelis Aceh


(Lampiran 28), menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap nilai
penerimaan keseluruhan asam sunti yang dihasilkan, akan tetapi suhu pengeringan
dan interaksi antara kedua perlakuan tidak memperlihatkan adanya pengaruh yang
nyata (P>0.05) terhadap penerimaan keseluruhan panelis pada produk asam sunti
yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan untuk penerimaan keseluruhan dari
panelis Aceh (Lampiran 29) terhadap produk asam sunti, memperlihatkan bahwa
nilai tertinggi terdapat pada perlakuan dengan belimbing wuluh setengah matang
yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan belimbing wuluh yang belum matang,
akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan belimbing wuluh matang penuh yang
merupakan nilai terendah dari perlakuan yang ada.
Analisis sidik ragam penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh
terhadap produk asam sunti yang dihasilkan (Lampiran 30), menunjukkan bahwa
perlakuan suhu pengeringan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap produk asam
sunti yang dihasilkan, sehingga diperoleh hasil uji lanjut Duncan untuk
penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh (Lampiran 31), yaitu nilai tertinggi
terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 80C yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan suhu 50C, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan suhu 65C
yang merupakan nilai terendah dari perlakuan yang ada. Akan tetapi perlakuan
tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan interaksi antara kedua perlakuan
tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh nyata (P>0.05) terhadap produk
asam sunti yang dihasilkan.

4.2.1.8. Perlakuan Terbaik Asam Sunti


Dari hasil penelitian utama tahap pertama yang telah dilakukan, maka
dicari perlakuan terbaik dari produk asam sunti yang dihasilkan untuk digunakan
pada penelitian utama tahap kedua. Hasil perlakuan terbaik yang didapatkan
mengacu pada banyaknya penerimaan keseluruhan panelis pada setiap perlakuan
asam sunti yang disajikan dan tidak terlepas dari analisis fisik dan kimia yang
telah dilakukan.
Pemilihan Perlakuan terbaik berdasarkan kesukaan panelis terhadap
suatu produkdidasarkan pada suatu pemikiran bahwa kualitas produk tidak hanya
dinilai dari sudut obyektif, tetapi produk pangan juga mempunyai kualitas dari
sudut subyektif. Sebaliknya, kualitas subyektif ditentukan dari penilaian
instrumen manusia atau yang lebih dikenal sebagai sifat sensori (organoleptik).
Uji sensori (organoleptik) dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan
konsumen terhadap suatu produk. Menurut Soekarto (1990) uji fisik dan kimia
serta uji gizi dapat menunjukkan suatu produk pangan bermutu tinggi, namun
tidak akan ada artinya jika produk tersebut tidak dapat dikonsumsi karena tidak
enak atau sifat organoleptiknya tidak membangkitkan selera atau tidak dapat
diterima konsumen.
Berdasarkan dari penilaian keseluruhan baik panelis Aceh maupun
panelis luar Aceh terhadap produk asam sunti, perlakuan tingkat kematangan buah
belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50C selama 8 jam
merupakan produk yang masih dapat diterima oleh panelis dengan nilai yang lebih
tinggi dibandingkan pada perlakuan lainnya. Adapun nilai parameter dari
perlakuan terbaik yang diperoleh antara lain rendemen 50.74%, kadar air 74.85%,
pH 1.74, total asam 37.80% dan asam oksalat 4.76%; nilai kecerahan (L) 46.06,
nilai a 0.05 dan nilai b 26.49; nilai kesukaan panelis Aceh terhadap rasa, warna,
aroma, tekstur dan keseluruhan berturut-turut adalah 4.3, 5, 4.8, 4.2, dan 4.6,
sedangkan nilai kesukaan panelis luar Aceh terhadap rasa, warna, aroma, tekstur
dan keseluruhan berturut-turut adalah 3.6, 4.5, 4.1, 3.7 dan 4. Setelah dilakukan
pengamatan terhadap nilai dari hasil analisis lainnya maka perlakuan tingkat
kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan
50C memiliki nilai yang tidak lebih rendah dari perlakuan lainnya. Tabel urutan
nilai dari hasil setiap analisis disajikan pada Lampiran 32.

4.2.2. Penelitian Utama Tahap Dua


Penelitian utama tahap kedua dilakukan pada produk asam sunti hasil
penelitian (pengering cabinet dryer) dan asam sunti lokal (penjemuran). Asam
sunti hasil penelitian yang digunakan untuk pembuatan bubuk merupakan asam
sunti dari perlakuan terbaik yang diperoleh pada penelitian tahap pertama yaitu
asam sunti dengan menggunakan belimbing wuluh setengah matang pada suhu
pengeringan 50C. Sedangkan asam sunti lokal yang digunakan merupakan asam
sunti yang didatangkan dari daerah Aceh dengan proses pengeringan matahari.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh beberapa
konsentrasi dekstrin yang ditambahkan ke dalam ekstrak asam sunti dan tingkat
suhu pengeringan spray dryer yang digunakan terhadap sifat fisik, kimia dan
organoleptik produk akhir (bubuk asam sunti), serta menentukan mutu terbaik
bubuk asam sunti yang dihasilkan berdasarkan preferensi konsumen.
Tahap proses pembuatan bubuk asam sunti dilakukan dengan cara
mencampur asam sunti dan air. Adapun tujuan dari penambahan air adalah untuk
menaikkan volume cairan yang akan dikeringkan. Perbandingan antara asam sunti
dan air yang dicampur adalah 1:1.5 (500 gr asam sunti: 1.5 liter air), kemudian
campuran tersebut (asam sunti dan air) diblender. Selanjutnya dilakukan
pengepresan dan penyaringan dengan menggunakan kain saring. Penyaringan ini
digunakan untuk memisahkan sari asam sunti dengan ampas asam sunti, setelah
dihasilkan ekstrak asam sunti kemudian ditambahkan dengan bahan pengisi yaitu
dekstrin. Konsentrasi dekstrin yang diuji adalah 30%, 40% dan 50%. Campuran
ekstrak asam sunti dengan dekstrin diaduk menggunakan alat homogenizer,
setelah homogen dikeringkan dengan spray dryer pada suhu 160, 170 dan 180C.
Penggunaan konsentrasi dekstrin yang tinggi pada penelitian ini
disebabkan karena produk yang dikeringkan bersifat asam, sehingga akan
menghasilkan produk yang lengket pada saat pengeringan berlangsung. Proses
kerja dari spray dryer adalah dengan cara melewatkan cairan yang akan
dikeringkan pada suatu nozzle (semacam saringan bertekanan) sehingga keluar
dalam bentuk butiran (droplet) yang sangat halus. Butiran ini selanjutnya masuk
ke dalam ruang pengering yang dilewati oleh aliran udara panas. Evaporasi air
akan berlangsung dalam hitungan detik, meninggalkan bagian padatan produk
dalam bentuk tepung. Kecepatan aliran bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah 20 ml/menit dengan tekanan 2 bar, jika kecepatan dinaikkan maka produk
yang dihasilkan akan lengket. Menurut Master di dalam Lindawati (1992),
semakin cepat putaran atomizer akan menurunkan ukuran droplet, semakin
banyak droplet yang terbentuk dengan kecepatan gerak yang tinggi sehingga
droplet tidak sempat kering ketika sampai di dinding ruang pengering semprot.
Berikut disajikan produk bubuk yang dihasilkan dari asam sunti hasil
penelitian dan asam sunti lokal dari berbagai macam perlakuan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer (Gambar 25 dan 26).
Gambar 25. Hasil produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian dengan berbagai
tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer

Gambar 26. Hasil produk bubuk dari asam sunti lokal dengan berbagai tingkat
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer
Keterangan gambar 25 dan 26:
a = Dekstrin 30%, suhu pengeringan 160C
b = Dekstrin 40%, suhu pengeringan 160C
c = Dekstrin 50%, suhu pengeringan 160C
d = Dekstrin 30%, suhu pengeringan 170C
e = Dekstrin 40%, suhu pengeringan 170C
f = Dekstrin 50%, suhu pengeringan 170C
g = Dekstrin 30%, suhu pengeringan 180C
h = Dekstrin 40%, suhu pengeringan 180C
i = Dekstrin 50%, suhu pengeringan 180C

4.2.2.1. Rendemen Bubuk Asam Sunti


Nilai rendemen dihitung berdasarkan perbandingan antara berat
produk akhir, yaitu bubuk asam sunti dengan berat total larutan yang masuk ke
alat pengering atau spray dryer, kemudian dihitung dan dinyatakan dalam persen.
Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rendemen bubuk dari asam sunti dengan
pengering mekanis berkisar antara 6.73-11.28% dan nilai rendemen bubuk dari
asam sunti lokal berkisar antara 8.76-14.92%. Semakin tinggi nilai rendemen
semakin besar output yang dihasilkan. Tingginya nilai rendemen pada bubuk
asam sunti lokal diduga karena saat asam sunti diekstraksi menghasilkan larutan
yang encer sehingga pada waktu pengeringan air yang terdapat di dalam partikel
tidak seluruhnya teruapkan. Hal ini menyebabkan tingginya kadar air bubuk asam
sunti lokal yang dihasilkan, yang mengakibatkan rendemen menjadi lebih tinggi.
Kendala yang dihadapi selama pengeringan dengan spray dryer pada
saat penelitian ini berlangsung adalah tingginya kandungan asam pada bahan baku
yang menyebabkan produk mudah lengket dan menggumpal, seperti yang
disampaikan oleh Gaula dan Adamopoulos (2010) bahwa produk yang akan
dikeringkan dengan menggunakan spray dryer dikategorikan dalam dua jenis
yaitu produk yang tidak lengket dan produk yang lengket. Faktor penyebab bahan
pangan tersebut mempunyai sifat lengket yang tinggi adalah sifat higroskopis
yang tinggi, kelarutan yang tinggi, suhu leleh yang rendah, dan suhu transisi gelas
yang rendah. Asam sunti termasuk salah satu produk yang lengket ketika akan
dikeringkan. Penggunaan dekstrin dengan konsentrasi yang tepat dapat
menghindari terjadinya lengket saat proses pengeringan berlangsung karena
partikel memiliki lapisan dinding yang tebal. Tetapi penggunaan dekstrin dengan
konsentrasi yang tidak tepat (rendah) maka akan menyebabkan produk menjadi
lengket dan menggumpal. Salah satu faktor yang menyebabkan mengapa
rendemen bubuk asam sunti rendah karena terjadinya penggumpalan pada dasar
wadah yang diduga akibat penggunaan dekstrin dengan konsentrasi yang rendah,
sehingga lapisan dinding yang mengelilingi partikel kurang tebal sehingga bahan
yang bersifat higroskopis mudah menyerap uap air dalam wadah penampung
plastik yang tidak dapat menyerap panas sehingga bahan menjadi lengket dan
rendemen menjadi rendah.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam bubuk dari asam sunti yang
berasal dari pengering kabinet (Lampiran 33), menunjukkan bahwa konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05),
sehingga analisis ini dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil uji Duncan (Lampiran
34), memperlihatkan bahwa konsentrasi dekstrin memberikan perbedaan nyata
terhadap rendemen bubuk dari asam sunti dengan pengering kabinet adalah
konsentrasi dekstrin 30% dan 50%, sementara konsentrasi dekstrin 40% tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin 30% dan 50%. Begitu juga
dengan suhu pengeringan yang digunakan terlihat bahwa suhu pengeringan 170C
tidak berbeda nyata dengan suhu pengeringan 160C dan 180C, akan tetapi suhu
pengeringan 160C dan 180C memperlihatkan adanya perbedaan nyata antara
kedua perlakuan tersebut.

15
Rendemen (%)

10 Dekstrin 30 %
Dekstrin 40 %
5
Dekstrin 50 %
0
160 C 170 C 180 C

Suhu Pengeringan (C)

Gambar 27. Perbandingan rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Grafik di atas memperlihatkan bahwa nilai rendemen tertinggi bubuk


dari asam sunti dengan pengering kabinet adalah pada perlakuan konsentrasi
dekstrin 50% dan suhu pengeringan 180C, sedangkan nilai rendemen terendah
terdapat pada perlakuan dekstrin 30% dengan suhu pengeringan 160C.
Hasil analisis sidik ragam untuk bubuk asam sunti lokal (Lampiran 35)
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P<0,05) pada perlakuan dekstrin,
yang mana hasil uji Duncan (Lampiran 36) menunjukkan bahwa konsentrasi
dekstrin 30%, 40% dan 50% saling berbeda nyata satu sama lain. Akan tetapi
perlakuan suhupengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05), sehingga tidak dilakukan
uji lanjut Duncan.

15
Rendemen (%)

10 Dekstrin 30 %
Dekstrin 40 %
5
Dekstrin 50 %

0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan (C)

Gambar 28. Perbandingan rendemen bubuk asam sunti lokal berdasarkan


konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Dari grafik di atas terlihat bahwa nilai rendemen tertinggi produk


bubuk asam sunti lokal terdapat pada perlakuan konsentrasi dekstrin 50% dengan
suhu pengeringan 180C, sedangkan nilai rendemen terendah pada konsentrasi
dekstrin 30 % dengan suhu pengeringan 160C. Dari kedua hasil perlakuan baik
pada bubuk asam sunti dari pengering mekanis dan bubuk asam sunti lokal
memperlihatkan rendahnya rendemen yang dihasilkan dengan penggunaan
dekstrin 30% dengan suhu pengeringan 160C.
Pada pengamatan yang telah dilakukan saat penelitian, terlihat bahwa
dengan konsentrasi dekstrin serta suhu pengeringan yang rendah akan
menyebabkan terjadinya pengeringan yang tidak sempurna pada produk, sehingga
saat produk bubuk sampai ke dalam wadah penampung yang terbuat dari plastik
akan terjadinya penguapan air dari produk tersebut dan didukung juga oleh
produk yang bersifat asam dan wadah plastik yang tidak dapat menyerap panas
sehingga bubuk pada dasar wadah menjadi lengket, yang mengakibatkan
rendahnya rendemen yang dihasilkan. Sedangkan dengan penggunaan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan yang tinggi menghasilkan rendemen bubuk yang
tinggi pula. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Master di dalam Lindawati
(1992), bahwa semakin banyak bahan pengisi yang ditambahkan maka rendemen
bubuk asam sunti yang dihasilkan akan semakin meningkat. Penambahan bahan
pengisi ke dalam suatu larutan dimaksudkan untuk meningkatkan total padatan
pada bahan yang akan dikeringkan. Semakin tinggi total padatan pada bahan yang
akan dikeringkan maka semakin tinggi pula rendemen yang dihasilkan.

4.2.2.2. Kadar Air Bubuk Asam Sunti


Air merupakan kandungan penting dalam bahan pangan. Adanya air
mempengaruhi kemerosotan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi.
Begitu pula penghilangan air penting pada beberapa metode pengawetan makanan
(Deman, 1997). Penentuan kadar air merupakan analisis paling penting dan paling
luas dilakukan dalam pengolahan dan pengujian pangan, karena kadar air suatu
bahan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan daya simpan bahan tersebut.
Kadar air juga dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada
produk yang dihasilkan. Oleh karena itu pengukuran kadar air suatu bahan sangat
penting agar mendapatkan penanganan yang tepat. Kadar air dalam bahan
pangan menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar
air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir
berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan
(Winarno, 1997).
Hasil pengukuran kadar air bubuk asam sunti dari asam sunti hasil
penelitianada pada kisaran nilai 5.14-7.31% dan hasil pengukuran kadar air bubuk
asam sunti lokal nilainya berada pada kisaran 5.77-8.05%. Nilai kadar air bubuk
dari asam sunti hasil penelitian lebih rendah dibandingkan kadar air bubuk asam
sunti lokal. Hal ini diduga karena asam sunti lokal menghasilkan larutan yang
lebih encer dibandingkan asam sunti hasil penelitian dengan cara yang sama.
Semakin encer ekstrak bahan yang digunakan maka semakin besar kadar air yang
terkandung dalam bubukyang dihasilkan (Srihari et al, 2010). Begitu juga dengan
banyaknya penambahan dekstrin, maka semakin kecil kadar air yang terkandung
dalam bubuk asam sunti yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
besar total padatan dalam umpan yang dikeringkan, semakin sedikit jumlah air
yang harus dievaporasi.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 37) menunjukkan bahwa adanya
penambahan dekstrin pada pembuatan bubuk asam sunti memberikan pengaruh
yang nyata (P<0.05) terhadap kadar air yang diperoleh, yang mana pada uji
Duncan (Lampiran 38) terlihat bahwa penggunaan dekstrin 30% dan 50%
memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar air yang diperoleh, tetapi
penggunaan dekstrin 40% tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata
terhadap konsentrasi dekstrin 30% dan 50%. Sedangkan perlakuan suhu
pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memperlihatkan
adanya pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kadar air yang dihasilkan.
Pada Gambar 29, terlihat bahwa kadar air terendah dihasilkan dengan
penggunaan konsentrasi dekstrin 50% pada suhu pengeringan 180C dan kadar air
tertinggi dihasilkan pada penggunaan dekstrin 30% dengan suhu pengeringan
180C. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan
konsentrasi dekstrin serta suhu pengeringan yang tinggi, maka akan dihasilkan
produk dengan kadar air yang rendah.

10
Kadar Air (%)

8
Dekstrin 30 %
6
4 Dekstrin 40 %
2 Dekstrin 50 %
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan (C)

Gambar 29. Perbandingan kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Hasil analisis sidik ragam bubuk asam sunti lokal (Lampiran 39)
menunjukkan adanya perlakuan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kadar air bubuk asam sunti
lokal, sehingga perlu dilakukan dengan uji Duncan. Akan tetapi interaksi kedua
perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar air
bubuk yang dihasilkan.
Pada hasil uji Duncan yang dilakukan (Lampiran 40), untuk penggunaan dekstrin
dengan konsentrasi 30% menghasilkan kadar air yang tertinggi serta terlihat
adanya perbedaan yang nyata pada penggunaan dekstrin 40% dan 50%,
sedangkan kadar air terendah dihasilkan dari penggunaan dekstrin 50% yang tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin 40%, tetapi memberikan
perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi dekstrin 30%. Sedangkan hasil uji
Duncan untuk penggunaan suhu pengeringan terhadap kadar air bubuk asam sunti
lokal menunjukkan bahwa dengan penggunaan suhu 180C menghasilkan kadar
air yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan suhu lainnya. Pada
penggunaan suhu 180C terlihat adanya perbedaan yang nyata dengan
penggunaan suhu 160C dan 170C. Adapun penggunaan suhu pengeringan
160C menghasilkan kadar air yang lebih tinggi serta memberikan perbedaan
yang nyata pada pengeringan dengan suhu 180C, tetapi tidak memberikan
perbedaan yang nyata dengan suhu pengeringan 170C. Hal ini sesuai dengan
pendapat Solval et al. (2012), bahwa penggunaan suhu 170C memiliki kadar air
bubuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan suhu 180C, seperti
yang diharapkan dengan peningkatan suhu pengeringan semprotan, maka akan
semakin tinggi jumlah air yang menguap dan kadar air produk menjadi semakin
rendah(Aguilar et al., 2011).

10
Kadar Air (%)

8
Dekstrin 30 %
6
Dekstrin 40 %
4
2 Dekstrin 50 %

0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 30. Perbandingan kadar air bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Dari grafik di atas terlihat bahwa dengan menggunakan konsentrasi


dekstrin 50% dan suhu pengeringan 180C akan menghasilkan kadar air yang
rendah pada produk bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan, tetapi dengan
penggunaan dekstrin 30% dan suhu pengeringan 160C maka produk bubuk asam
sunti lokal akan menghasilkan kadar air yang tinggi (Gambar 30). Perlakuan pada
bubuk asam sunti hasil penelitian dan bubuk asam sunti lokal ternyata
memberikan hasil yang sama yaitu, pada penggunaan dekstrin serta suhu
pengering yang tinggi akan menghasilkan kadar air yang rendah dan sebaliknya.
Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung persatuan bahan dan
merupakan salah satu parameter mutu yang penting untuk produk-produk kering
karena akan menentukan kecenderungan kerusakan pada bahan tersebut. Semakin
tinggi konsentrasi bahan pengisi yang ditambahkan, maka kadar air semakin
rendah. Hal ini disebabkan karena total padatan yang semakin tinggi akan
mempercepat laju pengeringan bahan dan jumlah air yang diuapkan semakin
banyak. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual, penggunaan
dekstrin 50% serta suhu pengeringan 180C menghasilkan produk yang tidak
lengket pada dasar wadah penampung dan hanya sedikit yang menempel pada
drying chamber tetapi masih berupa bubuk yang dapat diambil sehingga
mendapatkan bubuk asam sunti yang lebih banyak. Produk bubuk baik asam sunti
hasil penelitian maupun asam sunti lokal masih memenuhi syarat SNI rempah-
rempah bubuk yaitu maksimum kadar air 12% b/b (SNI, 1995).

4.2.2.3. pH Bubuk Asam Sunti


Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter penting untuk
diukur jika dihubungkan dengan perubahan kualitas suatu produk pangan yang
disimpan. Tingkat keasaman (pH) menunjukkan banyaknya ion hidrogen pada
suatu bahan. Setiap bahan pangan mempunyai pH yang berbeda-beda. Tingkat
keasaman bahan pangan sangatmempengaruhi kehidupan mikroba dalam bahan
tersebut baik selama pengolahan, penyimpanan maupun distribusinya.
Pertumbuhan mikroba membutuhkan pH tertentu berkaitan dengan permeabilitas
membran sitoplasma dan metabolisme mikrobia (Iryanti, 2009).
Nilai pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian berkisar antara 1.10-
1.58, sedangkan pH bubuk dari asam sunti lokal berkisar antara 1.15-1.49. Nilai
pH yang dihasilkan dari bubuk asam sunti sangat rendah dikarenakan tingginya
kadar keasaman pada produk ini. Nilai pH suatu produk dipengaruhi oleh pH
bahan-bahan penyusunnya. Semakin rendah nilai pH akan menunjukkan tingginya
keasaman dari suatu produk.
Berdasarkan analisis sidik ragam nilai pH bubuk dari asam sunti hasil
penelitian memperlihatkan adanya pengaruh (P<0.05) penggunaan dekstrin
terhadap nilai pH bubuk yang dihasilkan(Lampiran 41). Nilai pH bubuk dari asam
sunti hasil penelitian yang dibuat dengan menambahkan 50% dekstrin dan
dikeringkan pada suhu 170C mempunyai nilai tertinggi diantara perlakuan
lainnya, sedangkan nilai pH terendah terdapat pada bubuk asam sunti yang dibuat
dengan penambahan dekstrin 30% pada suhu pengeringan 170C (Gambar 31).
Penambahan dekstrin 40% dan 30% tidak memberikan perbedaan pada nilai pH
bubuk yang dihasilkan, tetapi dengan dekstrin 50%, nilai pHnyaberbeda dengan
dua perlakuan yang lain (Lampiran 42). Penggunaan suhu pengering dan interaksi
antara variasi dekstrin dan suhu tidak memberikan pengaruh (P>0.05) pada nilai
pH bubuk asam sunti hasil penelitian.Penggunaan bahan pengisi dengan
konsentrasi yang tinggi akan menyebabkan pH bubuk menjadi tinggi. Tingginya
suhu pengeringan juga akan mempengaruhi nilai pH dari suatu bahan. Semakin
tinggi suhu yang digunakan akan semakin rendah nilai pH yang diperoleh, karena
air yang terdapat dalam bahan akan menguap pada saat proses pengeringan
berlangsung sehingga akan menurunkan nilai pH bahan tersebut (Yanti dan
Rochima, 2009).

2
1.5
Dekstrin 30%
pH

1
Dekstrin 40%
0.5 Dekstrin 50%
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 31. Perbandingan pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Hasil analisis sidik ragam nilai derajat keasaman (pH) bubuk asam
sunti lokal (Lampiran 43), memperlihatkan bahwa penggunaan dekstrin dengan
berbagai variasi konsentrasi tidak berpengaruh (P>0.05) terhadap nilai pH bubuk
asam sunti lokal yang dihasilkan. Sedangkan penggunaan variasi suhu pengering
dan interaksi antara dekstrin dan suhu berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai
pH bubuk yang dihasilkan. Hasil uji Duncan (Lampiran 44), menunjukkan adanya
perbedaan pada penggunaan dekstrin 40% dengan suhu pengering 170C terhadap
perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut memiliki tingkat pH terendah pada bubuk
asam sunti lokal. Pada perlakuan dekstrin 50% dan suhu pengering 170C terlihat
tidak ada perbedaan nilai pH yang signifikan pada perlakuan dekstrin dan suhu
pengering masing-masing yaitu 30%:160C, 30%:180C, 40%:160C,
50%:160C, 50%:180C, tetapi berbeda dengan perlakuan 30%:170C dan
40%:180C. Adapun perlakuan konsentrasi 30% dekstrin dan suhu pengering
160C tidak berbeda dengan perlakuan 40%:160C, 30%:180C, 50%:160C,
tetapi berbeda pada perlakuan 30%:70C, 40%:180C dan 40%:170C.
Sedangkan pada perlakuan dekstrin 30% dan suhu pengering 180C tidak terlihat
adanya perbedaan pada perlakuan 50%:180C, 50%:160C, 30%:170C,
40%:180C, namun berbeda dengan perlakuan 40%:160C, 30%:160C,
50%:170C dan 40%:170C. Pembuatan bubuk menggunakan konsentrasi
dekstrin 50% pada proses pengeringan dengan suhu 180C memperoleh nilai pH
yang paling tinggi. Ketidak seimbangan nilai pH yang dihasilkan pada bubuk
asam sunti lokal diduga karena asam sunti semi basah yang dipakai untuk
pembuatan bubuk diperoleh dari buah yang tidak seragam umur petiknya.

2
1.5 Dekstrin 30%
pH

1 Dekstrin 40%
0.5 Dekstrin 50%
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 32. Perbandingan pH bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi


dekstrin dan suhu pengeringan

Bubuk asam sunti lokal yang dibuat dengan menggunakan konsentrasi


dekstrin 40% pada suhu pengering 170C menghasilkan pH yang paling rendah,
sedangkan dengan penggunaan dekstrin 30% pada suhu pengeringan 170C
menghasilkan nilai pH bubuk yang lebih tinggi. Tingginya nilai pH menandakan
tingkat keasaman dari suatu produk pangan berkurang (Gambar 32).
Kandungan asam dalam buah bervariasi dan dipengaruhi juga oleh
umur buah, asal pohon, kondisi lingkungan, kondisi saat panen dan proses
pengolahan. Proses pengolahan dengan pengeringan akan menyebabkan sebagian
asam terdisosiasi. Perbedaan jumlah asam terdisosiasi pada masing-masing
sampel akan mempengaruhi pH sampel, karena nilai pH tersebut diukur
berdasarkan kandungan asam-asam organik dalam bentuk terdisosiasi. Kandungan
asam yang tinggi pada asam sunti semi basah akan menimbulkan rasa asam pada
sampel bubuk. Derajat keasaman akan mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada
produk yang dihasilkan.
Pada umumnya pertumbuhan optimum mikroba terjadi pada pH 7 dan
dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5-8. Kecuali pada kelompok bakteri
asam cuka yang tumbuh optimal pada pH 5.4-6.3 dan bakteri asam laktat yang
tumbuh optimal pada pH 5.5-6.0. Pada umumnya jamur dan yeast mempunyai pH
minimum yang lebih rendah daripada bakteri, walaupun pH maksimumnya
hampir sama. pH yang sangat asam atau sangat alkali dapat menghambat bahkan
merusak pertumbuhan sel mikroba (Iryanti, 2012). Karena rendahnya nilai pH
yang dihasilkan dari bubuk asam sunti, maka diduga mikroba tidak dapat tumbuh
pada produk ini.

4.2.2.4. Total Asam Bubuk Asam Sunti


Total asam merupakan jumlah keseluruhan asam yang ada didalam
suatu bahan. Total asam yang tinggi sangat diharapkan pada produk bubuk asam
sunti, karena akan mempengaruhi keasaman suatu masakan yang dihasilkan.
Kisaran nilai total asam yang dihasilkan pada produk bubuk asam sunti hasil
penelitian yaitu 44.89-52.98%. Sedangkan total asam bubuk asam sunti lokal
memiliki kisaran 49.18-72.56%. Dalam bentuk grafik, kadar total asam bubuk
asam sunti dari masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 33.
Perbedaan nilai total asam dari ke dua produk tersebut kuat diduga
karena kandungan total asam dari ke dua bahan baku berbeda dimana asam sunti
semi basah dari Aceh mempunyai total asam yang lebih tinggi dibanding dengan
asam sunti semi basah hasil penelitian. Nilai total asam bubuk asam sunti dari
asam sunti semi basah yang didatangkan langsung dari Aceh mempunyai kisaran
yang cukup besar, disebabkan oleh sifat heterogenitas bahan baku yang
digunakan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada kriteria
standar dalam membuat asam sunti tradisional baik dari bahan baku, bahan
tambahan dan proses pengeringan. Hasil ini dapat menjadi kajian lebih lanjut bila
akan membuat bubuk asam sunti berbahan baku asam sunti semi basah
tradisional.
Kadar total asam dari bubuk asam sunti lebih tinggi dari asam sunti
semi basah, diduga karena ekstraksi (pemerasan) yang dilakukan pada proses
pembuatan bubuk asam sunti. Pada proses pemerasan ini kemungkinan asam-
asam organik yang ada didalam asam sunti ikut bersama sari asam sunti yang
dihasilkan, sehingga menyebabkan kadar asam bubuk lebih tinggi dari asam sunti
semi basah.

80
Total Asam (%)

70
60 Dekstrin 30%
50
40 Dekstrin 40%
30 Dekstrin 50%
20
10
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan (C)

Gambar 33. Perbandingan total asam bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Hasil analisis ragam pada Lampiran 45. menunjukkan tidak adanya


pengaruh yang nyata terhadap nilai total asam bubuk yang dihasilkan dengan
penggunaan variasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi antara kedua perlakuan
tersebut. Walaupun kedua faktor tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh
terhadap total asam dari bubuk yang dihasilkan, tetapi pada Gambar 33. terlihat
bahwa dengan penambahan dekstrin sebanyak 40% yang dikeringkan
menggunakan suhu 170C memiliki total asam yang lebih tinggi. Sedangkan
bubuk yang dibuat dengan konsentrasi dekstrin 50% pada suhu pengeringan
170C menghasilkan total asam bubuk yang rendah. Hal ini disebabkan karena
semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi yang ditambahkan maka semakin
rendah nilai total asam bubuk yang dihasilkan. Rendahnya total asam yang
dihasilkan diduga karena total asam yang tertitrasi atau yang terbentuk hanya
berasal dari sari asam sunti saja, sedangkan total asam dari bahan pengisi tidak
dapat tertitrasi karena banyak membutuhkan NaOH untuk menitrasi sampel yang
diujikan. Semakin meningkatnya konsentrasi bahan pengisi akan mengakibatkan
total asam produk semakin rendah.

80
Total Asam (%)

70
60
50 Dekstrin 30%
40 Dekstrin 40%
30
20 Dekstrin 50%
10
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan (C)

Gambar 34. Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Pada Lampiran 46. penggunaan dekstrin untuk menghasilkan bubuk


asam sunti menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P<0.05) pada nilai total
asam bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan. Konsentrasi 40% dekstrin terlihat
tidak berbeda dengan konsentrasi 30% dan 50%, akan tetapi dengan penggunaan
dekstrin 30% nilai total asam bubuk yang dihasilkan akan berbeda dengan
konsentrasi 50% dekstrin (Lampiran 47). Sedangkan pada penggunaan berbagai
suhu pengering dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap total asam dari
bubuk asam sunti lokal. Nilai total asam tertinggi daribubuk asam sunti lokal ada
pada penggunaan konsentrasi dekstrin 30% dan suhu pengering 160C, sedangkan
penggunaan dekstrin 50% pada suhu pengering yang sama yaitu 160C
menghasilkan bubuk dengan keasaman yang lebih rendah. Semakin tinggi
konsentrasi dekstrin maka total asam akan semakin rendah, tetapi pada Gambar
34. terlihat adanya nilai total asam yang fluktuatif pada penggunaan suhu 170C.
Total asam dengan konsentrasi dekstrin 40% lebih tinggi dibandingkan dengan
dekstrin 30%. Hal ini diduga karena bahan baku yang digunakan berasal dari
berbagai umur petik yang berbeda.
4.2.2.5. Asam Oksalat Bubuk Asam Sunti
Asam oksalat merupakan senyawa kimia yang memiliki rumus H2C2O4
dengan nama sistematis asam etanadioat. Asam oksalat hanya terdiri dari dua
atom C pada masing-masing molekul, sehingga dua gugus karboksilat berada
berdampingan. Karena letak gugus karboksilat yang berdekatan, asam oksalat
mempunyai konstanta dissosiasi yang lebih besar daripada asam-asam organik
lain (Azad, 2007).
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh
kisaran nilai asam oksalat bubuk asam sunti yang berasal dari asam sunti hasil
penelitian adalah 5.66-6.68%. Sedangkan nilai asam oksalat dari bubuk asam
sunti lokal berkisar antara 6.20- 9.14%. Kadar asam oksalat di dalam bubuk asam
sunti lokal lebih tinggidibandingkan dengan bubuk dari asam sunti hasil
penelitian. Hal ini diduga karena adanya perbedaan ketika memperoleh bahan
baku awal dalam membuat asam sunti lokal baik dari segi umur petik yang tidak
seragam maupun proses pengolahannya. Kadar asam oksalat yang diperoleh
setelah produk menjadi bubuk juga lebih tinggi dari kadar asam oksalat pada saat
masih dalam bentuk asam sunti semi basah. Hal ini diduga saat ekstraksi
berlangsung kandungan asam yang ada didalam bahan ikut bersama filtrat yang
dihasilkan, sehingga menyebabkan kadar asam oksalat bubuk asam sunti lebih
tinggi dari asam sunti semi basah.

10
Asam Oksalat (%)

9
8
7 Dekstrin 30%
6
5 Dekstrin 40%
4
3 Dekstrin 50%
2
1
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan (C)

Gambar 34. Perbandingan asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Jumlah asam oksalat yang terdapat didalam bubuk asam sunti hasil
penelitian tidak dipengaruhi (P>0.05) oleh penggunaan dekstrin, suhu pengering
maupun interaksi kedua perlakuan tersebut (Lampiran 48). Kadar asam oksalat
yang rendah diperoleh pada penggunaan dekstrin 50% dengan suhu pengeringan
170C dan asam oksalat yang tinggi terdapat pada bubuk asam sunti dengan
perlakuan dekstrin 30% juga pada suhu 170C (Gambar 34).
Hasil anaslisi sidik ragam pada Lampiran 49 memperlihatkan adanya
pengaruh (P<0.05) jumlah asam oksalat dalam bubuk asam sunti lokal dengan
penggunaan berbagai konsentrasi dekstrin. Nilai asam oksalat di dalam bubuk
asam sunti lokal pada penggunaan dekstrin 40% tidak berbeda nyata hasilnya
dengan penggunaan dekstrin 30% dan 50%, tetapi penggunaan dekstrin 30% akan
menghasilkan asam oksalat bubuk yang berbeda dengan penggunaan dekstrin
50% (Lampiran 50). Sedangkan penggunaan suhu pengering dan interaksi antara
kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata
(P>0.05) terhadap kandungan asam oksalat bubuk yang dihasilkan.

10
Asam Oksalat (%)

9
8
7 Dekstrin 30%
6
5 Dekstrin 40%
4
3 Dekstrin 50%
2
1
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan (C)

Gambar 36. Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Bubuk yang mengandung asam oksalat tertinggi terdapat pada perlakuan


konsentrasi dekstrin 30% dengan suhu pengering 160C, sedangkan asam oksalat
terendah terdapat pada perlakuan dekstrin 50% pada suhu pengering 160C
(Gambar 36). Kadar asam oksalat yang diharapkan dalam suatu produk pangan
adalah kadar asam oksalat yang rendah. Asam oksalat bersama-sama dengan
kalsium dalam tubuh manusia akan membentuk senyawa yang tidak larut dan
tidak dapat diserap tubuh. Semakin lama dengan berjalannya waktu senyawa
tersebut akan membentuk batu di ginjal maupun di kandung kemih. Biasanya,
produk-produk limbah larut dalam urine, pada saat perjalanan ke ginjal produk
limbah akan dieliminasi dari tubuh. Urine mengandung berbagai bahan kimia
yang membantu menjaga semua komponen dalam urine dalam bentuk larutan
untuk mencegah pembentukan kristal. Tetapi batu ginjal akan terbentuk ketika
bahan kimia dalam urine tidak seimbang dengan komponen kemih lainnya, seperti
kalsium dan oksalat. Hal ini dapat disebabkan karena asupan berlebihan dari
makanan kaya oksalat. Oleh karena itu asupan makanan dengan oksalat tinggi
harus dihindari. Kadar asam oksalat yang tinggi akan berbahaya bagi kesehatan
bila dikonsumsi secara terus menerus.

4.2.2.6. Daya Kelarutan Bubuk Asam Sunti


Kelarutan merupakan suatu kemampuan bahan untuk larut dalam air.
Kelarutan produk diukur untuk mengetahui daya kelarutannya didalam pelarut
(air). Daya larut bahan semakin tinggi dengan meningkatnya nilai kelarutan.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai kelarutan bubuk asam sunti dari
asam sunti hasil penelitian memiliki kisaran 88.60-96.47% dan nilai kelarutan
bubuk asam sunti lokal berkisar antara 73.23-84.99%. Dari data yang diperoleh
terlihat bahwa bubuk asam sunti dari asam sunti hasil penelitian memiliki
kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubuk asam sunti lokal. Hal ini
diduga karena kelarutan dipengaruhi oleh kadar air bubuk yang dihasilkan. Bila
kadar air bubuk rendah akan membuat bubuk mudah larut (Goula dan
Adamopoulos, 2005), sehingga ditandai dengan tingginya nilai kelarutan.
Hasil analisis sidik ragam bubuk asam sunti dari pengering kabinet
pada Lampiran 51. menunjukkan bahwa penggunaan dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap
kelarutan bubuk asam sunti yang dihasilkan. Penggunaan dekstrin 50%
menghasilkan kelarutan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan dekstrin 30%,
akan tetapi tidak berbeda nyata dengan dekstrin 40%. Sedangkan dekstrin 30%
menghasilkan kelarutan terendah yang berbeda nyata dengan dekstrin 40% dan
50%. Perlakuan suhu pengeringan 170C memberikan perbedaan yang tidak nyata
terhadap suhu pengeringan 160C dan 180C. Kelarutan tertinggi diperoleh pada
penggunaan suhu pengeringan 180C dan terendah pada suhu pengeringan 160C
yang memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara keduanya (Lampiran
52). Sedangkan interaksi antara konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray
dryer tidak mempengaruhi daya kelarutan bubuk asam sunti dari pengering
kabinet.

100
Daya Kelarutan (%)
90
80
70 Dekstrin 30 %
60
50 Dekstrin 40 %
40
30 Dekstrin 50 %
20
10
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 37. Perbandingan daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 53) dan uji lanjut Duncan
(Lampiran 54), menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi dekstrin
memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap nilai kelarutan bubuk asam
sunti lokal. Semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang ditambahkan, maka nilai
kelarutan bubuk akan semakin meningkat. Penambahan dekstrin sebesar 30%
berbeda nyata dengan konsentrasi dekstrin 50% dan 40%, namun penambahan
dekstrin 50% tidak berbeda nyata dengan penambahan dekstrin 40% tetapi
berbeda nyata dengan konsentrasi dekstrin 30%. Sedangkan penggunaan suhu
pengeringan dan interaksi antara kedua pelakuan tidak memperlihatkan tidak
adanya pengaruh nyata terhadap nilai kelarutan bubuk yang dihasilkan.

100
Daya Kelarutan (%)

90
80
70 Dekstrin 30 %
60
50 Dekstrin 40 %
40
30 Dekstrin 50 %
20
10
0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 38. Perbandingan daya kelarutan bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan
Dari Gambar 37 di atas, terlihat nilai kelarutan tertinggi terdapat pada
penggunaan dekstrin 50% dengan suhu pengeringan180C dan terendah pada
penggunaan dekstrin 30% dengan suhu pengeringan 160C. Pada Gambar 38.
juga terlihat bahwa konsentrasi dekstrin 50% dengan suhu pengering 180C
meningkatkan daya kelarutan bubuk, sedangkan dekstrin 30% pada suhu
pengeringan 160C menghasilkan kelarutan bubuk yang rendah. Bubuk asam
sunti dari asam sunti hasil penelitian dan bubuk asam sunti lokal pada perlakuan
yang sama menghasilkan tingkat kelarutan yang sama pula, hanya nilai
kelarutannya yang berbeda.
Menurut Khotimah (2006), kelarutan berhubungan dengan kadar air
bahan, dimana semakin tinggi kadar air kelarutan cenderung semakin kecil,
karena jika kadar air tinggi terbentuk gumpalangumpalan sehingga dibutuhkan
waktu yang lama untuk memecah ikatan antar partikel dan kemampuan produk
untuk larut menurun, sebagai akibat total padatan yang tersaring pada kertas
saring meningkat. Kelarutan juga berhubungan dengan konsentrasi dekstrin yang
digunakan, semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang ditambahkan maka nilai
kelarutan produk akan semakin tinggi pula. Hal ini diduga karena sifat dekstrin
yang sangat mudah larut dalam air dingin maupun dalam air panas sehingga daya
larut produk semakin tinggi.
Menurut Goula dan Adamopoulos (2005), kelarutan juga ditunjukkan
dengan peningkatan suhu inlet. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh suhu
udara inlet terhadap kadar air. Rendahnya kadar air bubuk membuat bubuk mudah
larut. Peningkatan suhu udara pengering pada umumnya menghasilkan
peningkatan ukuran partikel dan penurunan waktu terlarutnya bubuk. Semakin
besar partikel maka sulit untuk larut. Waktu yang dibutuhkan untuk terlarutnya
bubuk seiring dengan peningkatan laju aliran udara yang termampatkan, ukuran
partikel akan mempengaruhi laju kelarutan. Bila ukuran partikel besar maka akan
mengendap, dimana partikel yang kecil akan mengapung di atas air sehingga
partikel tersebut tidak terbasahi dengan sempurna dan akhirnya terjadi
pengenceran.Rendahnya kadar air dan tingginya kelarutan menghasilkan produk
yang lebih baik. Pada penelitian ini suhu pengeringan 180C merupakan suhu
pengeringan yang optimum untuk menghasilkan produk bubuk asam sunti dengan
kelarutan yang tinggi.

4.2.2.7. Uji Organoleptik Bubuk Asam Sunti


4.2.2.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa
Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu produk pangan.
Rasa suatu produk pangan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup
cecapan yang terletak pada papila yaitu bagian noda merah jingga pada lidah
(Winarno, 1997). Rasa merupakan komponen terakhir dalam menentukan enak
tidaknya suatu pangan. Rasa asam adalah ciri khas dari bubuk asam sunti yang
dibuat. Hasil uji skoring dapat dilihat bahwa nilai yang diberikan panelis Aceh
terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian berkisar antara 4-4.8 (netral
sampai mendekati agak suka) dan nilai kesukaan panelis dari luar Aceh terhadap
bubuk dari asam sunti hasil penelitian memiliki kisaran antara 3.5-4.7 (netral
sampai mendekati agak suka). Dari nilai kesukaan yang diperoleh terlihat bahwa
baik panelis Aceh maupun panelis luar Aceh memiliki tingkat kesukaan yang
sama terhadap bubuk asam sunti, walaupun nilai kesukaan yang dihasilkan dari
panelis luar Aceh lebih kecil dibandingkan dengan nilai kesukaan dari panelis
Aceh tetapi masih dikategorikan dalam tingkat kesukaan yang sama.
Pada Lampiran 55. diperlihatkan bahwa penambahan dekstrin
memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap tingkat kesukaan panelis Aceh
pada rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian. Penambahan dekstrin 40%
berbeda nyata dengan penambahan dekstrin 30%, tetapi tidak memberikan
perbedaan yang nyata dengan dekstrin 50%. Sedangkan penambahan dekstrin
30% memberikan perbedaan yang nyata terhadap dekstrin 40% dan 50%
(Lampiran 56). Penggunaan suhu pengering dan interaksi antara perlakuan
dekstrin dan suhu memperlihatkan tidak adanya pengaruh yang nyata (P>0.05)
terhadap tingkat kesukaan panelis pada rasa bubuk asam sunti. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan dekstrin memberikan kepekaan kepada panelis
terhadap rasa bubuk asam sunti yang diuji. Dengan penambahan dekstrin 50%,
rasa bubuk yang dihasilkan pada saat uji organoleptik, panelis menyatakan bahwa
ada rasa tepung dekstrin yang lebih kuat walau rasa asam masih terasa.
5.0
4.0

Nilai Rasa
Dekstrin 30%
3.0
Dekstrin 40%
2.0
Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 39. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk
dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan

Grafik di atas memperlihatkan bahwa tingkat kesukaan tertinggi


panelis Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian terdapat pada
perlakuan konsentrasi dekstrin 30% dengan suhu pengeringan 160C dan terendah
dengan penambahan dekstrin 50% pada pengeringan 180C. Jika penambahan
dekstrin terlalu banyak maka citarasa produk yang diperoleh akan semakin
berkurang. Panelis Aceh lebih menyukai rasa asam dari bubuk yang dihasilkan
karena sudah terbiasa dengan rasa asam tersebut disebabkan asam sunti
merupakan bumbu tradisional daerah yang sering digunakan dalam masakan.
Hasil analisis ragam yang diperoleh pada tingkat kesukaan panelis luar
Aceh terhadap bubuk dari asam sunti hasil penelitian (Lampiran 57),
memperlihatkan bahwa perlakuan penambahan dekstrin, suhu pengeringan dan
interaksi antara kedua perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang nyata
(P<0.05) terhadap tingkat kesukaan panelis luar Aceh terhadap bubuk dari asam
sunti hasil penelitian. Berdasarkan uji Duncan akan diperoleh perbedaan antara
satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Pada Lampiran 58. terlihat bahwa
perlakuan dekstrin 50% dan suhu pengering 160C berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya dan merupakan nilai terendah panelis luar Aceh terhadap rasa
bubuk dari asam sunti dengan pengering kabinet. Sedangkan perlakuan yang
mendapatkan respon tertinggi dari panelis adalah dengan penggunaan dekstrin
30% dan 40% pada suhu pengeringan 180C yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan dekstrin dan suhu pengering yaitu 50%:180C, 30%:170C, 50%:170C
dan 30%:160C. Penggunaan dekstrin dengan konsentrasi rendah pada ekstrak
asam sunti ternyata menghasilkan rasa produk bubuk yang lebih disukai panelis
dibandingkan dengan konsentrasi dekstrin yang tinggi.

5.0
Nilai Rasa 4.0
Dekstrin 30%
3.0
Dekstrin 40%
2.0
Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 40. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa
bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan

Pengujian tingkat kesukaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk dari
asam sunti hasil penelitian pada grafik di atas terlihat dengan penambahan
dekstrin 30% pada suhu pengeringan 180C tingkat kesukaannya lebih tinggi dan
penambahan dekstrin 50% pada suhu pengeringan 160C tingkat kesukaan panelis
lebih rendah. Dari tingkat kesukaan yang telah diperoleh baik panelis Aceh
maupun panelis Luar Aceh dapat disimpulkan bahwa panelis kurang menyukai
bubuk dengan penambahan dekstrin yang lebih tinggi (50%) karena akan
mengurangi rasa asam pada saat produk menyentuh indra pencecap.
Tingkat kesukaan panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal
memiliki kisaran nilai antara 4.3-4.5 (netral sampai mendekati agak suka).
Sedangkan tingkat kesukaan panelis luar Aceh memperoleh nilai dengan kisaran
4.8-5.1 (mendekati agak suka sampai suka). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran
53), terlihat penggunaan dekstrin, suhu pengering dan interaksi antara kedua
perlakuan tersebut tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05)
terhadap rasa bubuk asam sunti lokal yang diuji coba oleh panelis Aceh. Hal ini
berarti bahwa baik dekstrin maupun suhu pengering tidak mempengaruhi
kepekaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan.
Analisis ragam pada Lampiran 59. memperlihatkan tingkat kesukaan
rasa panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal dengan penambahan dekstrin,
suhu pengeringan dan interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05). Hal ini menandakan
bahwa penggunaan dekstrin dan suhu pengering yang bervariasi tidak
mempengaruhi kepekaan rasa panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal yang
diuji.
Pada Gambar 41. terlihat tingkat kesukaan tertinggi panelis Aceh
terhadap rasa bubuk asam sunti lokal terdapat pada perlakuan dengan penambahan
dekstrin 30% dan suhu pengeringan 170C. Tingkat kesukaan terendah pada
penambahan dekstrin 50% dengan menggunakan suhu pengeringan 170C.
Panelis Aceh lebih menyukai rasa asam karena dengan penambahan dekstrin 30%
tidak mengurangi rasa asam yang diinginkan dari produk asam sunti.

6.0
5.0
Nilai Rasa

4.0 Dekstrin 30%


3.0 Dekstrin 40%
2.0 Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 41. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk
asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan

Hasil analisis ragam (Lampiran 60) terlihat bahwa penggunaan


dekstrin dan suhu pengeringan, serta interaksi antara kedua perlakuan tidak
menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap tingkat kesukaan
rasa panelis luar Aceh pada bubuk asam sunti lokal. Hal ini juga menandakan
bahwa penggunaan dekstrin dan suhu pengering yang bervariasi tidak
mempengaruhi kepekaan rasa panelis luar Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal
yang diuji.
6.0
5.0

Nilai Rasa
4.0
3.0 Dekstrin 30%
2.0 Dekstrin 40%
1.0
0.0 Dekstrin 50%
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 42. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa
bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan

Dari grafik di atas terlihat bahwa penggunaan dekstrin 50% dengan


suhu pengeringan 170C mendapatkan nilai tertinggi dari panelis terhadap rasa
bubuk asam sunti lokal, sedangkan nilai terendah yang diperoleh dari hasil uji
hedonik terdapat pada penggunaan dekstrin 50% pada suhu pengeringan 160C,
dekstrin 40% pada suhu pengeringan 170C dan dekstrin 50% pada suhu
pengeringan 180C. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa panelis
luar Aceh kurang dapat membedakan rasa bubuk asam sunti lokal dari berbagai
variasi bahan pengisi disebabkan tingkat keasamannya yang tinggi.

4.2.2.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna


Warna merupakan nama umum untuk semua pengindraan yang
berasal dari aktivitas retina mata. Jika cahaya mencapai retina, mekanisme saraf
mata menanggapi dan salah satunya memberi sinyal warna (Deman, 1997).
Hasil pengamatan uji hedonik warna bubuk asam sunti dari pengering
kabinet oleh panelis Aceh, maka didapatkan kisaran nilai antara 4.2-4.6 (netral
sampai mendekati agak suka). Sedangkan nilai yang diperoleh dari panelis luar
Aceh terhadap warna bubuk berkisar antara 4.2-4.6 (netral sampai mendekati agak
suka). Dari data diatas terlihat bahwa baik panelis Aceh maupun panelis luar
Aceh memberikan nilai yang sama terhadap warna bubuk asam sunti yang
dihasilkan, ini berarti para panelis mengganggap bahwa antara satu perlakuan
dengan perlakuan lainnya menghasilkan bubuk dengan warna yang tidak jauh
berbeda.
Perlakuan variasi dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi kedua
perlakuan tersebut pada hasil analisis ragam (Lampiran 61), memperlihatkan tidak
adanya pengaruh nyata (P<0.05) terhadap tingkat kesukaan panelis Aceh pada
warna bubuk yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang
dilakukan tidak mempengaruhi tingkat kepekaan panelis terhadap warna bubuk
dari asam sunti hasil penelitian. Pada Gambar 43. terlihat panelis lebih menyukai
perlakuan dekstrin dan suhu pengeringan yaitu 30%:160C dan 30%:180C untuk
warna bubuk asam sunti yang dihasilkan. Sedangkan untuk perlakuan 30%:170C,
50%:170C dan 50%:180C mendapatkan skor terendah dari panelis, walaupun
nilai rataan yang dihasilkan dari setiap perlakuan tidak jauh berbeda yaitu antara
netral sampai suka.

5.0
Nilai Warna

4.0
3.0 Dekstrin 30%
2.0 Dekstrin 40%
1.0 Dekstrin 50%
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 43. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk
dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan

Pada Lampiran 62. terlihat hasil analisis ragam pada perlakuan


dekstrin dan interaksi antara dekstrin dengan suhu pengering memberikan
pengaruh nyata (P>0.05) terhadap warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian,
tetapi tidak memberikan pengaruh nyata (P<0.05) pada variasi suhu pengeringan.
Warna bubuk yang dihasilkan dengan penggunaan dekstrin 30% pada suhu
pengeringan 170C mendapatkan respon yang paling rendah dari panelis luar
Aceh. Sedangkan warna bubuk dengan respon tertinggi terdapat pada perlakuan
konsentrasi dekstrin 30% dengan suhu pengeringan 180C yang tidak
memperlihatkan adanya perbedaan dengan konsentrasi deksrin dan suhu
pengeringan yaitu 40%:180C, 30%:160C, 40%:170C, 40%:160C dan
50%:170C. Warna bubuk dengan konsentrasi dekstrin rendah serta suhu
pengering yang tinggi ternyata lebih disukai oleh panelis dari luar Aceh. Uji
Duncan ini tersaji pada Lampiran 63.

5.0

Nilai Warna
4.0 Dekstrin 30%
3.0 Dekstrin 40%
2.0
Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 44. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa
bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan

Nilai penerimaan tertinggi terhadap warna bubuk asam sunti yaitu


pada perlakuan dekstrin dan suhu pengering masing-masing adalah 30%:160C,
40%:170C, 30%:180C dan 40%:180C. Adapun nilai terendah terdapat pada
perlakuan 50%:160C dan 30%:170C. nilai warna yang dihasilkan sangat
fluktuatif karena penerimaan panelis yang satu dengan yang lainnya akan berbeda
dari tingkat kesukaannya terhadap suatu parameter produk (Gambar 44).
Berdasarkan uji organoleptik panelis Aceh terhadap parameter warna
bubuk asam sunti lokal memiliki kisaran nilai antara 4.3-4.8 (netral sampai
mendekati agak suka). Nilai kesukaan terhadap warna yang diperoleh dari panelis
luar Aceh yaitu antara 5-5.3 (suka). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan
bahwa panelis luar Aceh suka terhadap warna bubuk asam sunti lokal yang diuji,
begitu juga dengan panelis Aceh yang mengganggap warna bubuk adalah biasa
tetapi tetap disukai.
Hasil analisis ragam pada Lampiran 64. menunjukkan bahwa
penggunaan dekstrin dan suhu pengeringan, serta interaksi antara dekstrin dengan
suhu pengering tidak mempengaruhi (P<0.05) penilaian panelis Aceh terhadap
warna bubuk asam sunti lokal yang dihasilkan. Panelis Aceh lebih menyukai
warna dari bubuk dengan penggunaan dekstrin 30% dan suhu pengering 170C,
sedangkan untuk warna yang bubuk yang kurang diminati adalah penggunaan
dekstrin 40% dengan suhu pengering 170C (Gambar 45).
6.0
5.0

Nilai Warna
4.0
Dekstrin 30%
3.0
2.0 Dekstrin 40%
1.0 Dekstrin 50%
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 45. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk
asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan

Penerimaan panelis luar Aceh pada penggunaan dekstrin dan suhu


pengering, serta interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memberikan
pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap warna bubuk asam sunti lokal (Lampiran
65). Hal ini menandakan bahwa perlakuan yang dilakukan tidak mempengaruhi
kepekaan panelis luar Aceh terhadap penilaian warna bubuk yang diuji. Dari
berbagai perlakuan yang ada panelis lebih menyukai pengunaan dekstrin dan suhu
pengering (30%:160C, 50%:160C dan 50%:170C), sedangkan tingkat
kesukaan terendah ada pada perlakuan dekstrin dan suhu pengering (40%:160C,
40%:180C dan 50%:180C), tersaji pada Gambar 46.

6.0
SKOR WARNA

5.0
4.0 Dekstrin 30%
3.0 Dekstrin 40%
2.0
1.0 Dekstrin 50%
0.0
160 C 170 C 180 C
SUHU PENGERINGAN ( C)

Gambar 46. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna
bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan

4.2.2.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma


Pengamatan yang dilakukan pada panelis Aceh terhadap aroma bubuk
dari asam sunti hasil penelitian memiliki nilai antara 4.4-5 (netral sampai suka).
Panelis Aceh mengganggap bahwa bubuk yang dihasilkan memiliki aroma yang
biasa, namun juga disukai karena menghasilkan aroma yang asam. Panelis luar
Aceh juga mengganggap aroma bubuk adalah biasa, walaupun sebagian tetap
disukai dengan kisaran nilai 4-4.8 (netral sampai mendekati suka).
Hasil analisis sidik ragam tingkat kesukaan panelis Aceh terhadap
aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian menunjukkan bahwa dekstrin, suhu
pengeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata
(P<0.05) pada bubuk yang dihasilkan (Lampiran 66). Berdasarkan uji
organoleptik didapatkan aroma bubuk yang paling disukai oleh panelis adalah
pada penambahan dekstrin 30% dengan menggunakan suhu pengering 180C dan
penerimaan terendah dengan menggunakan dekstrin 50% pada suhu pengeringan
160C (Gambar 47). Kesukaan panelis terhadap aroma didukung oleh kepekaan
pembau masing-masing panelis pada produk yang diuji. Pada uji yang dilakukan
terlihat panelis Aceh lebih menyukai aroma bubuk dengan penggunaan dekstrin
dalam konsentrasi yang rendah. Hal ini mungkin karena aroma bubuk yang yang
dihasilkan lebih tajam.

5.0
Nilai Aroma

4.0 Dekstrin 30%


3.0 Dekstrin 40%
2.0
Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 47. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk
dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan

Berdasarkan hasil sidik ragam dan uji Duncan (Lampiran 67, 68),
dekstrin dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) pada
tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bubuk yang dihasilkan, yang mana
perlakuan dekstrin 40% tidak berbeda dengan dekstrin 30% dan 50%, namun
perlakuan dekstrin 30% yang merupakan skor kesukaan tertinggi berbeda dengan
dekstrin 50% yang memiliki tingkat kesukaan terendah. Adapun interaksi antara
perlakuan dekstrin dan suhu pengering tidak memberikan pengaruh yang nyata
(P<0.05) terhadap kesukaan panelis pada aroma bubuk asam sunti. Tingkat
kesukaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian
terlihat sama dengan tingkat kesukaan panelis Aceh. Panelis lebih menyukai
aroma bubuk yang dibuat dengan dekstrin 30% melalui proses pengeringan pada
suhu 180C, namun pada penggunaan dekstrin 30% dengan suhu pengering 160C
diperoleh tingkat kesukaan panelis yang lebih rendah, walaupun tingkat
kesukaannya berada pada skala netral (Gambar 48).

5.0
Nilai Aroma

4.0
Dekstrin 30%
3.0
2.0 Dekstrin 40%
1.0 Dekstrin 50%
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 48. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma
bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan

Dari uji hedonik terhadap aroma bubuk asam sunti lokal oleh panelis
Aceh, didapatkan nilai kesukaan berkisar antara 4.2-5.1 (netral sampai suka),
sedangkan nilai yang diperoleh berdasarkan kesukaan panelis luar Aceh pada
bubuk asam sunti lokal adalah 5-5.4 (suka). Dari data yang diperoleh sepertinya
panelis Aceh merasakan aroma yang biasa atau sama antara satu perlakuan
dengan perlakuan lainnya, tetapi tetap menyukai aroma dari perlakuan yang ada.
Sedangkan panelis luar Aceh menyukai bubuk asam sunti lokal dari seluruh
perlakuan yang ada. Hal ini mungkin disebabkan karena aroma bubuk asam sunti
lokal lebih tajam daripada bubuk asam sunti dari pengering kabinet.
Perlakuan variasi dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi kedua
perlakuan tersebut tidak memperlihatkan adanya pengaruh (P<0.05) terhadap
kepekaan panelis Aceh pada aroma bubuk asam sunti lokal yang diperoleh
(Lampiran 69). Tetapi berdasarkan grafik yang tersaji pada Gambar 49. terlihat
panelis lebih suka dengan penambahan dekstrin 30% pada suhu pengeringan
160C dan 170C daripada dengan penambahan dekstrin 40% pada suhu
pengeringan 170C. Hal ini diperkirakan dengan penambahan dekstrin yang
rendah aroma yang dihasilkan akan lebih tajam seperti pada analisis tingkat
kesukaan sebelumnya, yang mana panelis juga menyukai aroma bubuk dengan
konsentrasi dekstrin rendah (Gambar 49).

6.0
5.0
Nilai Aroma Dekstrin 30%
4.0
3.0 Dekstrin 40%
2.0
1.0 Dekstrin 50%
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 49. Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk
asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan

Dari analisis ragam(Lampiran 70), ternyata penggunaan dekstrin, suhu


pengeringan dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh (P<0.05) terhadap
kepekaan panelis luar Aceh pada aroma bubuk asam sunti lokal. Perlakuan
tersebut ternyata tidak mempengaruhi kepekaan panelis luar Aceh maupun panelis
Aceh terhadap aroma bubuk yang dihasilkan. Penggunaan konsentrasi dekstrin
40% pada suhu pengeringan 160C dan 170C ternyata mendapatkan tingkat
penerimaan yang paling tinggi dari panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk asam
sunti lokal. Bila dibandingkan dengan penambahan dekstrin 50% pada suhu
pengeringan 160C dan 180C yang memperoleh tingkat penerimaan yang paling
rendah (Gambar 50). Berdasarkan data sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
panelis Aceh maupun panelis dari luar Aceh lebih menyukai aroma bubuk yang
dibuat dengan penambahan dekstrin rendah yaitu 30% atau 40%, terbukti dengan
tingginya skor penerimaan yang ada. Sedangkan untuk dekstrin 50% kebanyakan
skor penerimaan berada pada tingkat yang rendah.
6.0
5.0

Nilai Aroma
4.0 Dekstrin 30%
3.0 Dekstrin 40%
2.0
Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 50. Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma
bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan

4.2.2.7.4. Penerimaan Keseluruhan


Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap tingkat penerimaan
keseluruhan yang bertujuan untuk mengetahui penerimaan panelis secara umum
terhadap rasa, warna dan aroma bubuk asam sunti yang diuji. Penerimaan panelis
Aceh terhadap bubuk dari asam sunti dengan pengering berkisar antara 4.2-4.9
(netral sampai mendekati agak suka), sedangkan nilai penerimaan panelis dari luar
Aceh memiliki kisaran 3.8-4.7 (mendekati netral sampai mendekati agak suka).
Berdasarkan hasil sidik ragam pada Lampiran 71 menunjukkan bahwa
konsentrasi dekstrin memberikan pengaruh (P>0.05) terhadap hasil penerimaan
keseluruhan panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti, yang mana konsentrasi
dekstrin 40% tidak berbeda dengan konsentrasi dekstrin 30% dan 50%. Akan
tetapi antara dekstrin 30% berbeda dengan 50%. Konsetrasi dekstrin 30%
merupakan penerimaan keseluruhan panelis tertinggi, sedangkan dekstrin 50%
memperoleh respon yang sangat rendah dari panelis (Lampiran 72). Pada
perlakuan variasi suhu pengering dan interaksi antara dekstrin dengan suhu
pengeringan tidak memberikan pengaruh (P<0.05) terhadap bubuk yang
dihasilkan.
Respon panelis Aceh terhadap tingkat penerimaan keseluruhan
tertinggi bubuk dari asam sunti dengan pengering kabinet terdapat pada perlakuan
dekstrin 30% pada suhu pengeringan 180C, dan tingkat penerimaan terendah
pada penambahan dekstrin 50% dengan suhu pengering 170C (Gambar 51). Dari
penerimaan keseluruhan terlihat bahwa panelis Aceh ternyata lebih menyukai
bubuk asam sunti baik dari segi rasa, warna dan aroma dengan menggunakan
bahan pengisi yang lebih rendah dan suhu pengering yang lebih tinggi. Sedangkan
dengan bahan pengisi yang lebih tinggi kurang disukai oleh panelis Aceh karena
mempengaruhi rasa, warna dan aroma bubuk yang dihasilkan.

Keseluruhan 5.0
4.0
Dekstrin 30%
Nilai

3.0
Dekstrin 40%
2.0
1.0 Dekstrin 50%
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 51. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap


bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan

Analisis sidik ragam (Lampiran 73) yang diperoleh memperlihatkan


bahwa penggunaan dekstrin, suhu pengering dan interaksi antara kedua perlakuan
tersebut memiliki pengaruh (P>0.05) terhadap penerimaan keseluruhan panelis
luar Aceh pada bubuk asam sunti yang dihasilkan, sehingga dilakukan uji lanjut
Duncan pada interaksi perlakuan yang dihasilkan (Lampiran 74). Hasil uji lanjut
menunjukan adanya perbedaan nyata pada perlakuan dekstrin dan suhu
pengeringan 50%:180C terhadap perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut
merupakan perlakuan yang mendapatkan nilai penerimaan keseluruhan yang lebih
rendah dari panelis. Adapun perlakuan dekstrin dan suhu pengering 40%:160C
tidak berbeda dengan perlakuan 30%:160C, 30%:170C, 40%:170C,
50%:170C dan 50:180C, tetapi berbeda dengan perlakuan30%:180C dan
40%:180C. Perlakuan dekstrin dan suhu pengering 40%:170C juga
memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada perlakuan 30%:160C,
30%:170C, 30%:180C, 40%:180C, 50%:170C dan 50:180C. Perlakuan
dekstrin dan suhu pengering yang menunjukan nilai tertinggi terhadap tingkat
penerimaan panelis pada bubuk asam sunti yang diuji yaitu pada perlakuan 30%
dekstrin dan 180C suhu pengering. Ternyata panelis dari luar Aceh juga
menyukai rasa, warna dan aroma bubuk dengan penggunaan bahan pengisi yang
rendah.
Dari Gambar 52. juga diperlihatkan perlakuan 30% dekstrin dan
180C suhu pengering akan meningkatkan kesukaan panelis terhadap rasa, warna
dan aroma bubuk yang dihasilkan, sebaliknya dengan perlakuan 50% dekstrin
dan 160C suhu pengering malah akan menurunkan kesukaan panelis terhadap
parameter rasa, warna dan aroma bubuk yang dihasilkan. Semakin rendah
konsentrasi dekstrin yang ditambahkan menyebabkan peningkatan penerimaan
keseluruhan panelis dari luar Aceh terhadap parameter yang diuji.

5.0
Keseluruhan

4.0 Dekstrin 30%


3.0
Nilai

Dekstrin 40%
2.0
1.0 Dekstrin 50%
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 52. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh


terhadap bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan

Pada uji hedonik panelis Aceh terhadap penerimaan keseluruhan


bubuk asam sunti lokal mendapatkan nilai dengan kisaran 4.4-5.1 (netral sampai
suka), sedangkan nilai penerimaan dari panelis luar Aceh berkisar antara 5-5.3
(suka). Dari data yang diperoleh setelah dilakukan uji secara organoleptik
terhadap keseluruhan parameter (rasa, warna dan aroma) dari bubuk asam sunti
lokal, ternyata produk masih dapat diterima oleh panelis.
Hasil analisis sidik ragam tingkat penerimaan keseluruhan panelis
Aceh pada bubuk asam sunti lokal menunjukkan tidak adanya pengaruh (P<0.05)
tingkat kesukaan panelis terhadap bubuk asam sunti dengan penggunaan variasi
dekstrin, suhu pengering maupun interaksi antara kedua perlakuan tersebut
(Lampiran 75). Hal ini menunjukkan bahwa kepekaan panelis Aceh terhadap
penerimaan umum parameter yang ada tidak dipengaruhi oleh perlakuan
perlakuan tersebut. Tetapi dari grafik pada Gambar 53. terlihat bahwa respon
panelis terhadap parameter keseluruhan (rasa, warna dan aroma) tertinggi ada
pada perlakuan dekstrin 30% dengan suhu pengeringan 160C dan 170C,
sedangkan respon terendah terdapat pada penggunaan dekstrin 40% dengan suhu
pengering 170C. Dari penerimaan keseluruhan parameter uji, terbukti bahwa
panelis lebih menyukai bubuk dengan konsentrasi bahan pengisi yang rendah baik
dari segi rasa, warna dan aroma.

6.0
5.0
Keseluruhan

4.0 Dekstrin 30%


Nilai

3.0 Dekstrin 40%


2.0
Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 53. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap


bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan

Pada Lampiran 76. juga terlihat tidak adanya pengaruh (P<0.05)


respon keseluruhan panelis luar Aceh dengan penggunaan variasi dekstrin, suhu
pengering maupun interaksi antara kedua perlakuan tersebut terhadap bubuk asam
sunti lokal yang dihasilkan. Pada perlakuan dekstrin 50% dan suhu pengeringan
170C mendapatkan respon yang lebih tinggi dari panelis, ini menandakan bahwa
perlakuan tersebut lebih diminati oleh panelis luar Aceh baik dari segi rasa, warna
maupun aroma. Sedangkan penggunaan 40% dekstrin pada suhu pengering 170C
memperoleh respon yang lebih rendah dari panelis terhadap penerimaan
keseluruhan parameter rasa, warna dan aroma (Gambar 54).

6.0
5.0
Keseluruhan

Dekstrin 30%
4.0
Nilai

3.0 Dekstrin 40%


2.0
Dekstrin 50%
1.0
0.0
160 C 170 C 180 C
Suhu Pengeringan ( C)

Gambar 54. Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh


terhadap bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin
dan suhu pengeringan
4.2.2.8. Perlakuan Terbaik Bubuk Asam Sunti
Berdasarkan dari hasil pengamatan pada penelitian utama tahap kedua,
maka dilakukan pemilihan perlakuan terbaik yang didasarkanpada preferensi
konsumen terhadap produk bubuk yang dihasilkandengan mempertimbangkan
parameter-parameter mutu lainnya. Hasil perlakuan terbaik yang diperoleh
mengacu pada banyaknya penerimaan keseluruhan panelis terhadap rasa, warna
dan aroma produk bubuk yang diujikan dengan berbagai variasi perlakuan
dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer.
Dari penilaian keseluruhan baik panelis Aceh maupun panelis luar
Aceh terhadap produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian, perlakuan dengan
konsentrasi dekstrin 30% pada suhu pengeringan 180C merupakan produk yang
mendapatkan respon lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Adapun nilai parameter dari perlakuan terbaik yang diperoleh yaitu rendemen
11.28%, kadar air 5.14%, pH 1.28, total asam 48.40%, asam oksalat 6.10% dan
kelarutan 96.47%. Sedangkan pada uji hedonik, respon kesukaan panelis Aceh
terhadap produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian yaitu nilai rasa 4.6, warna
4.6, aroma 5 dan penerimaan keseluruhan memperoleh nilai 4.9. Panelis luar Aceh
memberikan nilai kesukaan terhadap rasa, warna, aroma, tekstur dan penerimaan
keseluruhan pada produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian yaitu berturut-
turut adalah 4.7, 4.6, 4.8 dan 4.7. Setelah dilakukan pengamatan pada nilai hasil
analisis lainnya maka perlakuan terbaik (dekstrin 30% dan suhu pengering 180C)
dari bubuk asam sunti hasil penelitian memiliki nilai yang tidak lebih rendah dari
perlakuan lainnya dan masih dapat diterima oleh panelis (Lampiran 77).
Pada produk bubuk asam sunti lokal, uji hedonik yang dilakukan oleh
panelis Aceh dan panelis luar Aceh ternyata memberikan perbedaan terhadap nilai
kesukaan dari perlakuan proses pembuatan bubuk asam sunti lokal. Berdasarkan
tingkat kesukaannya maka panelis Aceh memilih perlakuan dengan konsentrasi
dekstrin 30% pada suhu pengeringan 170C (D1S2) dan skor kesukaan dari
parameter rasa, warna, aroma dan penerimaan keseluruhan yaitu berturut-turut
adalah 4.8, 5.2, 5.1, 5.1. Sedangkan penerimaan panelis luar Aceh terhadap bubuk
asam sunti lokal ada pada perlakuan dekstrin 50% pada suhu pengeringan 170C
(D3S2) dengan nilai kesukaan terhadap rasa, warna, aroma dan penerimaan
keseluruhan yaitu bertutur-turut adalah 5.1, 5.3, 5.3, 5.3 (Lampiran 78).
Adanya perbedaan preferensi konsumen terhadap perlakuan pada
pembuatan bubuk asam sunti lokal, maka perlakuan terbaik yang dipilih adalah
dengan melihat parameter fisik dan kimia yang memiliki nilai sesuai dengan mutu
yang nantinya diharapkan akan lebih baik. Dari pertimbangan yang ada, maka
perlakuan terbaik dipilih berdasarkan hasil uji hedonik panelis luar Aceh yaitu
pada perlakuan dekstrin 30% dan suhu pengering 170C (D3S2). Hal ini sebabkan
parameter mutu lainnya seperti rendemen dan kelarutan yang lebih tinggi yaitu
masing-masing 14.84% dan 82.80%, kadar air, pH dan asam oksalat yang lebih
rendah yaitu masing-masing adalah 6.36%, 1.27 dan 7.71%. Sedangkan total
asam yang diperoleh dari perlakuan D3S2 yaitu 61.16%, walaupun lebih rendah
dari perlakuan D1S2 yaitu 61.92 tetapi tidak lebih rendah dari perlakuan lainnya,
sehingga perlakuan D3S2 dapat dipilih menjadi perlakuan terbaik dari hasil
preferensi konsumen dan pertimbangan pada parameter mutu lainnya.

4.3. Nilai Tambah Produk Asam sunti Semi Basah dan Bubuk Asam Sunti
Nilai tambah merupakan pertambahan nilai komoditas karena
mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan. Nilai tambah
dalam proses pengolahan buah belimbing wuluh menjadi produk asam sunti semi
basah dan akhirnya menghasilkan bubuk asam sunti bertujuan untuk melihat
apakah produk ini memiliki nilai tambah, sehingga layak untuk diproduksi dalam
skala yang lebih besar. Prosedur perhitungan nilai tambah yang dicari adalah
berdasarkan dari perlakuan terbaik asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti
yang dihasilkan, sehingga nantinya dapat diketahui apakah proses pengolahan dari
perlakuan yang terpilih memiliki nilai tambah baik terhadap bahan baku yang
diolah atau faktor produksi lain yaitu tenaga kerja dan sumbangan input lain.
Bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan asam sunti adalah buah
belimbing wuluh yang dibeli dengan harga Rp 5000/kg, sedangkan asam sunti
semi basah yang akan dijadikan dalam bentuk bubuk biasanya dijual dengan harga
Rp 35000/kg. Harga bahan baku merupakan salah satu faktor yang nantinya akan
mempengaruhi nilai tambah suatu aktifitas produksi. Tenaga kerja diukur
berdasarkan standar Hari Orang Kerja (HOK) yaitu delapan jam perhari yang
terlibat dalam satu kali proses produksi. Nilai tenaga kerja menggambarkan
produktifitas tenaga kerja yaitu efisiensi penggunaan tenaga kerja dalam proses
produksi belimbing wuluh menjadi asam sunti maupun pengolahan asam sunti
menjadi bubuk. Biasanya tenaga kerja memperoleh upah langsung yang diterima
pada saat pengolahan produk dengan hitungan Rp/HOK. Sedangkan sumbangan
input lain diperoleh dari biaya pemakaian input lain per kilogram bahan baku,
yang mana sumbangan input lain merupakan persentase input lain terhadap
marjin.
Proses pengolahan belimbing wuluh menjadi asam sunti adalah
melalui tahapan penyortiran, pencucian, penggaraman dan pengeringan. Waktu
kerja yang dibutuhkan untuk mengolah 1 kg bahan baku (belimbing wuluh)
dibutuhkan waktu 55 menit setara dengan 0.11 HOK dengan asumsi 1 hari kerja
adalah 8 jam. Bila upah tenaga kerja per HOK adalah Rp 20000 maka biaya
untuk tenaga kerja adalah 2200/kg. Sumbangan input dari pembuatan asam sunti
semi basah adalah bahan tambahan berupa garam, air dan alat pengering mekanis
yang besarnya untuk 1 kg bahan baku adalah Rp 6840, secara rinci dapat dilihat di
Lampiran 79. Hasil perhitungan nilai tambah disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Nilai Tambah Pengolahan Asam Sunti Semi Basah
Variabel Nilai
I. Output, Input dan Harga
1. Output (Kg) 0.5074
2. Input (Kg) 1
3. Tenaga Kerja (HOK) 0.1100
4. Faktor Konversi 0.5074
5. Koefisien Tenaga Kerja 0.1100
6. Harga Output (Rp/Kg) 35000
7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 2200
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku 5000
9. Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) 6840
10. Nilai Output 17759
11. a. Nilai Tambah (Rp/Kg) 5919
b. Rasio Nilai Tambah (%) 33.3296
12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/Kg) 242
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) 4.0885
13. a. Keuntungan (Rp/Kg) 5677
b. Tingkat Keuntungan (%) 95.9115
III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg) 12759
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 1.8967
b. Sumbangan Input Lain (%) 53.6092
c. Keuntungan Pemilik Perusahaan (%) 44.4941

Hasil analisis nilai tambah, menunjukkan bahwa komponen


sumbangan input lain mempunyai persentase yang cukup tinggi terhadap margin
yang dihasilkan yaitu sebesar 53.61%. Biaya penggunaan alat pengering mekanis
merupakan komponen utama pada sumbangan input lain yaitu sebesar 76% (Rp
5240 dari Rp 6840). Hal ini mengindikasikan bahwa biaya alat pengering
mekanis sangat berperan dalam membentuk nilai tambah. Hasil analisis nilai
tambah juga menunjukkan persentase keuntungan bagi pemilik usaha yang cukup
tinggi yaitu 44.49%, hal ini berarti bahwa peluang usaha pembuatan asam sunti
secara mekanis dapat memberikan kegiatan yang menguntungkan. Dari rasio nilai
tambah yang dihasilkan yaitu 33.33%, maka dapat dikategorikan bahwa proses
produksi asam sunti memiliki nilai tambah yang sedang (Sari, 2011).
Pada proses pengolahan asam sunti semi basah menjadi bubuk asam
sunti dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu proses pengecilan ukuran
(blender), pemerasan, pencampuran dan pengadukan, serta pengeringan dengan
menggunakan spray dryer. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk proses tersebut
adalah 1 orang yang membutuhkan waktu 65 menit untuk melakukan kegiatan
pengolahan kg asam sunti menjadi bubuk yang setara dengan 0.14 HOK bila
diasumsikan 1 hari kerja adalah 8 jam. Upah tenaga kerja per HOK diasumsikan
Rp 20000, maka untuk 1 kg bahan baku yang diolah tenaga kerja mendapatkan
upah sebesar 2800/kg. Dalam proses pengolahan bubuk asam sunti tidak terlepas
dari bahan penunjang lainnya seperti dekstrin, air dan biaya sewa alat sebagai
sumbangan input lain terhadap proses pengolahan sebesar Rp 12240 untuk 1 kg
bahan baku. Rincian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 80. Hasil
perhitungan nilai tambah disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis Nilai Tambah Pengolahan Bubuk Asam Sunti


Variabel Nilai
I. Output, Input dan Harga
1. Output (Kg) 0.1640
2. Input (Kg) 0.5000
3. Tenaga Kerja (HOK) 0.1400
4. Faktor Konversi 0.3280
5. Koefisien Tenaga Kerja 0.2800
6. Harga Output (Rp/Kg) 126000
7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 2800
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku (Rp/Kg) 17500
9. Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) 12240
10. Nilai Output 41328
11. a. Nilai Tambah (Rp/Kg) 11588
b. Rasio Nilai Tambah (%) 28.0391
12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/Kg) 784
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) 6.7656
13. a. Keuntungan (Rp/Kg) 10804
b. Tingkat Keuntungan (%) 93.2344
III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg) 23828
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 3.2902
b. Sumbangan Input Lain (%) 51.3681
c. Keuntungan Pemilik Perusahaan (%) 45.3416
Nilai tambah yang diperoleh pada pengolahan asam sunti semi basah
menjadi bubuk asam sunti dapat dilihat pada tabel 7. Produksi bubuk untuk satu
kali proses sebesar 0.164 kg, yang dihasilkan dari 0.500 kg asam sunti semi basah.
Sehingga faktor konversi yang diperoleh adalah sebesar 0.33 karena disebabkan
adanya penambahan bahan penolong seperti dekstrin dan air. Persentase yang
diperoleh dari sumbangan input lain terhadap marjin adalah sebesar 51.37%,
sedangkan persentase keuntungan bagi pemilik usaha yaitu 45.34%. Marjin yang
didistribusikan untuk sumbangan input lain merupakan bagian terbesar bila
dibandingkan dengan pendapatan tenaga kerja langsung dan keuntungan pemilik
usaha. Hal ini disebabkan penggunaan alat pengering merupakan komponen
utama pada sumbangan input lain yaitu sebesar 61% (Rp 7500 dari Rp 12240).
Persentase sumbangan input lain yang lebih besar mengindikasikan bahwa
penggunaan alat pengering berperan dalam proses produksi yang dilakukan. Rasio
nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan bubuk yaitu 28.04%, maka
dapat dikategorikan bahwa proses produksi bubuk asam sunti juga memiliki nilai
tambah yang sedang (Sari, 2011).
Dari hasil analisis yang telah dilakukan pada kedua produk tersebut,
terlihat bahwa rasio nilai tambah dari pengolahan belimbing wuluh menjadi asam
sunti semi basah lebih besar dibandingkan dengan rasio nilai tambah pengolahan
asam sunti menjadi bubuk. Hal ini disebabkan rendemen yang dihasilkan untuk
produk asam sunti lebih tinggi dibandingkan dengan produk bubuk. Tetapi kedua
proses produksi dapat dilakukan karena masih memiliki keuntungan bagi pelaku
usaha walaupun nilai tambah yang dihasilkan berkategori sedang (rasio nilai
tambah 15% - 40%).
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dengan suhu
pengeringan 50C selama 8 jam merupakan produk yang dipilih sesuai dengan
preferensi konsumen untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan bubuk
asam sunti dengan nilai masing-masing parameter adalah rendemen 50.74%,
kadar air 74.85%, pH 1.74, total asam 37.80% dan asam oksalat 4.76%; nilai
kecerahan (L) 46.06, nilai a 0.05 dan nilai b 26.49.
2. Suhu pengeringan spray dryer 180C merupakan suhu terbaik untuk
menghasilkan bubuk dari asam sunti hasil penelitian yang sesuai dengan
tingkat kesukaan konsumen. Nilai dari masing-masing parameter yang
diperoleh yaitu rendemen 11.28%, kadar air 5.14%, pH 1.28, total asam
48.40%, asam oksalat 6.10% dan kelarutan 96.47%. Sedangkan suhu
pengeringan 170C merupakan suhu yang dipilih untuk menghasilkan bubuk
asam sunti lokal yang sesuai dengan tingkat kesukaan konsumen dengan nilai
masing-masing parameter yang diperoleh yaitu rendemen 14.84%, kadar air
6.36%, pH 1.27, total asam 61.16%, asam oksalat 7.71% dan kelarutan
82.80%.
3. Konsentrasi dekstrin 30% merupakan konsentrasi yang optimum untuk
menghasilkan produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian, sedangkan
konsentrasi dekstrin optimum untuk produk bubuk asam sunti lokal adalah
50% yang sesuai dengan tingkat kesukaan konsumen.
4. Hasil analisis nilai tambah menunjukkan bahwa proses produksi asam sunti
semi basah dan bubuk asam sunti dapat dijalankan karena masih memberikan
keuntungan bagi pemilik usaha dan tenaga kerja langsung. Pada proses
produksi asam sunti, pemilik usaha medapatkan keuntungan sebesar 44.49%
dan produk bubuk sebesar 45.34%. Sedangkan tenaga kerja langsung
memperoleh pendapatan sebesar 1.90% pada produksi asam sunti dan 3.29%
pada produksi bubuk. Adapun sumbangan input lain pada produksi asam sunti
maupun bubuk mempunyai persentase yang lebih tinggi yaitu masing-masing
53.61% dan 51.37%. Komponen terbesar nilai tambah adalah pada komponen
penggunaan alat yaitu sebesar 76% untuk alat pengering asam sunti semi
basah dan 61% untuk alat pengering spray dryer. Pada proses pengolahan baik
produk asam sunti maupun bubuk, alat merupakan komponen yang penting
dalam presentase marjin karena dapat meningkatkan nilai tambah dari produk
yang dihasilkan.

5.2. Saran
Penelitian pembuatan asam sunti masih bisa terus dikaji terutama
terkait dengan belimbing wuluh sebagai bahan baku seperti varietas, wilayah
tumbuh dan kondisi iklim saat pemetikan. Faktor-faktor tersebut sangat
berpengaruh terhadap kadar air awal, kandungan asam maupun ukuran buah yang
akan mempengaruhi perlakuan proses pembuatan asam sunti semi basah.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang bahan pengemas yang
sesuai sehubungan dengan sifat bubuk asam sunti yang higroskopis dan
pendugaan umur simpan bubuk asam sunti.
DAFTAR PUSTAKA

Aceh Pedia. 2009. Asam Sunti. http://www.acehblogger.org. [15 November 2010]

Acton W. 1976. The Manufacture of Dextrins and British Gum, di dalam : JA.
Radlet (ed). Strach Production Technology. London: Applied Science Publ.
Ltd.

Aguilar DMJ, Regules AEO, Ramirez JDR, Perez MCIP, Carter EJV, Chanes JW.
2011. Color and Chemical Stability of Spray-Dried Blueberry Extract Using
Mesquite Gum as Wall Material. J. Food Composition and Analysis.
24:889894.

Andarwulan N, Koswara S. 1992. Kimia Vitamin. PAU Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor. Jakarta: Rajawali Pers.

Anonim. 2010. Pikel Mentimun dan Terong. Tekno Pangan dan Agroindustri,
Vol. 1, Nomor 9. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB.
www.warintek.ristek.go.id.[12 Maret 2012]

. 2011. Pelatihan Pengujian Organoleptik Produk Sensory Evaluation.


Bogor: PT. Embrio Biotekindo. http://mbrio-
food.com/pelatihan%20organoleptik.pdf [12 Oktober 2011]

. Penilaian Indera dengan Uji Organoleptik.


http://pengolahanpangan.blogspot.com. [6 Januari 2011]

Azad AN. 2007.Asam Oksalat. http://saifurss07.wordpress.com/2010/04/11/asam-


oksalat. [19 Desember 2011]

Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 1995. SNI 01-3709-1995. Rempah-


Rempah Bubuk. BSN. Indonesia.

Brooker DB, Bakker AFW, Hall CW. 1974. Drying Cereal Grains. Westport:
AVI Publishing Company.

Canovas GVB, Mercado HV. 1996. Dehydration of Food. New York: Chapman
and Hall.

Deman JM.1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB

Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI Press.

Devahastin S. 2001. Panduan Praktis Mujumdar Untuk Pengeringan Industrial.


Terjemahan: Tambunan, AH, Wulandani D, Hartulistiyoso E, Nelwan LO.
Bogor: IPB Press.

102
Fennema OR. 1976. Principles of Food Science 1 : Food Chemistry. New York:
Marcel Dekker, Inc.

Fitrotin U, Purnomo H, Susanto T. 2008. Pembuatan Bubuk Sari Buah Tomat


dengan Metode Spray Drying. Kajian dari pH Awal, Konsentrasi Dekstrin,
Tween 80 dan Lama Penyimpanan. http://www.ntb.litbang.deptan.go.id. [5
Maret 2010]

Gaman, PM, Sherrington KB. 1994. Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan
Mikrobiologi. Penerjemah Gardjito M, Naruki S, Murdiati A, Sardjono.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ginting MO. 2004. Pengaruh Kondisi Pengeringan Terhadap Kulaitas Serbuk


Minuman Labu Kuning (Curcurbita pepo L.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Goula AM, Adamopoulos KG. 2005. Spray Drying of Tomato Pulp in


Dehumidified air: II. The Effect on Powder Properties. J. Food Engineering
66:35-42.

. 2010. A New Technique for Spray Drying Orange


Juice Concentrate. J. Innovative Food Science and Emerging Technologies
11:342351.

Harjanto E. 1989. Manajemen Produksi dan operasi Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.

Haryati, S. 2010. Pengaruh Lama Pengeringan Terhadap Kadar Vitamin C, pH


dan Sifat Organoleptik Manisan Belimbing Wuluh.
http://www.digilib.unimus.ac.id. [7 November 2010]

Hayati R. 2002. Kajian Penggaraman dan Pengeringan Belimbing Wuluh


(Averrhoa bilimbi L.) dalam Pembuatan Asam Sunti dari Aceh [Tesis].
Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Iryanti T. 2012. Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan


Mikroba.http://www.artikelkimia.info/pengaruh-ph-terhadap-pertumbuhan-
mikroba-20332320042012. [12 Maret 2012]
Khotimah K. 2006. Pembuatan Susu Bubuk Dengan Foam-Mat Drying : Kajian
Pengaruh Bahan Penstabil Terhadap Kualitas Susu Bubuk. J. Protein 1:13
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/protein/article/view/23. [13 Maret
2011]

Kumalasari VDAR. 2001. Pembuatan madu Bubuk dengan Metode Pengeringan


Semprot pada Komposisi Bahan Pengisi (Gum Arab dan Dekstrin) yang
Berbeda [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Kuswanto H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Lindawati L.1992. Mempelajari Cara Pembuatan Minuman Bubuk Jambu Biji


(Psidium guajava L.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Lingga P. 1997. Bertanam Belimbing. Jakarta: Penebar Swadaya.

Lima VLAGD, Melo EDA, Lima LDS. 2001. Phsicochemical Characteristics of


(Averrhoa bilimbi L.). Rev. Bras. Frutic., Jaboticabal SP, 2:23:421-423.

Love K, Paull RE. 2011. Bilimbi . Manoa: College of Tropical Agriculture and
Human Resource, University of Hawaii.

Mariana R. 2008. Mencegah Batu Ginjal Dan Batu


Empedu.http://www.indofarma.co.id. [2 Desember 2010]

Mc Cabe WL, Smith JC, Harriot P.1994. Operasi Teknik Kimia Jilid I. Jakarta:
Erlangga.

Moreau SS, Rosenberg M. 1996. Oxidative Stability of Anhydrous


Nicroencapsulated in Whey Protein. J. Food Sci. 10(2):43-50.

Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan. Bogor:


Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Mulia MBA. 1998. Mempelajari Pembuatan Bubuk Konsentrat Pala (Myristica


fragrans houtt) dengan Menggunakan Alat Pengering Semprot [Skripsi].
Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Noonan SC, Savage GP. 1999. Oxalate Content of Food and Its Effect on
Humans. Asia Pacific J. Clinical Nutrition. 8(1):64-74

Nugrahawati D, Rahayu YN, Wahyu HS. 2009. Pemanfaatan Buah Belimbing


Wuluh (Avrerhoa bilimbi) Sebagai Cairan Akumulator Secara Alami dan
Ramah Lingkungan. Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Oscarsson KV, Savage GP. 2007. Composition and Availability of Soluble and
Insoluble Oxalates in Raw and Cooked Taro (Colocasia esculenta var.
Schott) leaves. J. Food Chemistry. 101:559562.

Pantastico ERB. 1997. Fisiologi Pasca Panen. Diterjemahkan oleh Kamariyani.


Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press.

Prabowo AY. 2009. Belimbing Wuluh. http://bibaz24.wordpress.com. [12


November 2010]
Rachmawan O. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditi
Pertanian. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Proyek
Pengembangan Sistem dan Standar pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan
Menengah Kejuruan.

Rahardi F. Yovita HI, Haryono. 2000. Agribisnis Tanaman Buah. Jakarta:


Penebar Swadaya.

Rahayu W. 1988. Pengaruh Penambahan Bahan Pengisi dalam Pembuatan


Bubuk Bawang Putih (Allium sativum L) dengan Spray Drying [Skripsi].
Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rosenberg M, Kopelman IJ, Talmon Y.1990. Factor Affecting Retention in


Spray Drying Microencapsulation. J. Food Sci. 50:139-144.

Sari RP. 2011. Analisis nilai tambah dan kelayakan usaha agroindustri chip ubi
kayu sebagai bahan baku pembuatan mocaf (modified cassava flour) di
kabupatentrenggalek [Skripsi]. Malang: Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. http://www.scribd.com/doc/54459361/SKRIPSI. [25 Desember
2011].

Sastra W.2008. Fermentasi Rusip [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Shallenberger RS, Birch GG.1975. Sugar Chemistry. London: AVI Publishing.


Co., Inc. Westport, Connecticut.

Sharief DA. 2006. Optimasi Proses Ektraksi dan Pengeringan Semprot pada Teh
Hijau Instan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Singh RP, Heldman DR. 2001. Food Process Engineering. London: AVI
Publishing Co., Inc. Westport. Connecticut.

Slamet UU. 2005. Nilai Tambah dan Balas jasa Faktor Produksi Pengolahan
Hasil-hasil Pertanian. Buletin Penelitian No. 08.

Soekartawi. 2001. Pengantar Agroindustri.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekarto ST. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan Mutu dan Standarisasi Mutu Pangan.
Bogor: IPB Press.

Solval KM, Sundararajan S, Alfaro L, Sathivel S. 2012. Development of


Cantaloupe (Cucumis melo)Juice Powders Using Spray Drying Technology.
J. Food Science and Technology. 46:287-293.

Somaatmadja D. 1970. Pengolahan Jagung.Bogor: Balai Penelitian Kimia.


Srihari E, Lingganingrum FS, Wijaya H. 2010. Pengaruh Penambahan
Maltodekstrin pada Pembuatan Santan Kelapa Bubuk. Surabaya:Seminar
Rekayasa Kimia dan Proses,Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas Surabaya.

Subhadrabandhu S. 2001. Under-Utilized Tropical Fruits of Thailand.


http://ftp.fao.org. [12 Desember 2011).

Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan.Jakarta: PT. Reneka Cipta.

Susiwi S. 2009. Penilaian Organoleptik. Matakuliah Regulasi Pangan Fakultas


MIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. http://file.upi.edu. [5 Januari
2011]

. Kerusakan Pangan. Matakuliah Regulasi Pangan Fakultas


MIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. http://file.upi.edu. [5 Januari
2011]

Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Penerbit


Arcan.

Taib G, Said G, Sutedja W. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil


Pertanian. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa.

Tranggono. 1989. Teknologi Pasca Panen. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi,
UGM..

Widodo P, Budiharti U. 2006. Pengering Semprot (Spray Dryer) Untuk Membuat


Tepung Lidah Buaya.Serpong: Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian.

Winarno FG, Fardiaz D. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen.Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama.

. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor: M-Brio


Press.

Wirakartakusumah A. 1992. Petunjuk Laboratorium Peralatan dan Unit


Proses Industri Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar
Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Yanti AR, Rochima E. 2009. Pengaruh Suhu Pengeringan terhadap Karakteristik
Kimiawi Filet Lele Dumbo Asap Cair pada Penyimpanan Suhu Ruang. J.
Bionatura, 1:11: 21-36.http://jurnal.pdii.lipi.go.id. [ 2 Januari 2011]

Young SL, Sarda X, Rosenberg M. 1993. Microencapsulating Properties of Whey


Proteins with Carbohydrate. J. Dairy Sci. 76:2878:2885.

Yulianto R. 2002. Penentuan Kondisi Pengeringan Terbaik Gelatin dari Kulit


Sapi Menggunakan Alat Pengering Semprot (Spray Dryer) [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Zuhra, Syamsuddin Y. 2007. Pengaruh Konsentrasi Garam dan Metode


Pengeringan Terhadap Mutu Asam Sunti Bubuk. Banda Aceh: Laporan
Penelitian Pengembangan Ilmiah, Fakultas Teknik Pertanian Universitas
Syiah Kuala.

Zulkarnain H. 2010. Dasar-Dasar Hortikultura.Jakarta: Bumi Aksara.


LAMPIRAN
Lampiran 1. Lama Pengeringan dan Kadar Air dari Beberapa Tingkat
Kematangan Belimbing Wuluh dan Suhu Pengeringan

Tingkat Kematangan Suhu Pengeringan Lama Pengeringan Kadar Air


Belimbing Wuluh (C) (Jam) (%)
8 73.09
50 9 72.45
10 70.00

6 74.90
Belum Matang
65 7 72.39
(Hijau)
8 69.42

2 80.79
80 3 73.93
4 68.84

7 74.47
50 8 73.37
9 71.24

5 74.65
Setengah Matang
65 6 72.28
(Hijau:Kuning)
7 68.91

3 78.30
80 4 73.08
5 64.40

6 75.94
50 7 73.73
8 67.89

2 73.00
Matang Penuh
65 3 72.66
(Kuning)
4 67.19
2 78.30
80 3 72.76
4 70.02
Lampiran 2. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti
Dependent Variable: Rendemen
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1978.339a 8 247.292 12.706 .000


Intercept 44242.211 1 44242.211 2273.165 .000
Belimbing 1412.059 2 706.030 36.276 .000*
Suhu 500.087 2 250.044 12.847 .000*
Belimbing * Suhu 66.192 4 16.548 .850 .512
Error 350.331 18 19.463
Total 46570.881 27
Corrected Total 2328.670 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap
rendemen asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 3. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh


dan suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti

Duncana,,b
Subset
Belimbing N
1 2 3
3.00 9 30.6633
2.00 9 42.9022
1.00 9 47.8733
Sig. 1.000 1.000 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada = 0.05

Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2 3
80.00 9 35.2822
65.00 9 40.3356
50.00 9 45.8211
Sig. 1.000 1.000 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 4. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap kadar air asam sunti

Dependent Variable: KadarAir


Type III Sum of
Source df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model 64.632a 8 8.079 2.246 .073
Intercept 144233.613 1 144233.613 40093.643 .000
Belimbing 32.261 2 16.130 4.484 .026*
Suhu 26.238 2 13.119 3.647 .047*
Belimbing * Suhu 6.132 4 1.533 .426 .788
Error 64.754 18 3.597
Total 144362.998 27
Corrected Total 129.385 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap
kadar air asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 5. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh


dan suhu pengeringan kadar air asam sunti

Duncana,,b
Subset
Belimbing N
1 2
3.00 9 71.6456
2.00 9 73.3311 73.3311
1.00 9 74.2900
Sig. .076 .298
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05

Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2
65.00 9 71.7244
80.00 9 73.5233 73.5233
50.00 9 74.0189
Sig. .059 .586
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 6. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap pH asam sunti

Dependent Variable: pH
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .540a 8 .068 2.154 .084


Intercept 79.259 1 79.259 2528.042 .000
Belimbing .270 2 .135 4.305 .030*
Suhu .219 2 .109 3.490 .052
Belimbing * Suhu .051 4 .013 .410 .799
Error .564 18 .031
Total 80.363 27
Corrected Total 1.105 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh berpengaruh nyata terhadap pH asam sunti pada
taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 7. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh


dan suhu pengeringan pH asam sunti

Duncana,,b

Subset
Belimbing N
1 2

1.00 9 1.5867
2.00 9 1.7222 1.7222
3.00 9 1.8311
Sig. .122 .208
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 8. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap total asam asam sunti

Dependent Variable: TotalAsam

Type III Sum


Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 633.973a 8 79.247 1.261 .322

Intercept 43596.104 1 43596.104 693.651 .000

Belimbing 304.422 2 152.211 2.422 .117

Suhu 291.738 2 145.869 2.321 .127

Belimbing * Suhu 37.813 4 9.453 .150 .960

Error 1131.303 18 62.850

Total 45361.380 27
Corrected Total 1765.276 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh, suhu pengeringan dan interaksi keduanyatidak
berpengaruh nyata terhadap total asam asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 9. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh


dan suhu pengeringan terhadap asam oksalat asam sunti

Dependent Variable: AsamOksalat

Type III Sum


Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 10.080a 8 1.260 1.264 .321

Intercept 692.107 1 692.107 694.128 .000


Belimbing 4.835 2 2.417 2.425 .117

Suhu 4.643 2 2.321 2.328 .126

Belimbing * Suhu .603 4 .151 .151 .960


Error 17.948 18 .997

Total 720.135 27
Corrected Total 28.028 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh, suhu pengeringan dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap total asam asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 10. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti

Dependent Variable: Nilai L

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares

Corrected Model 195.470a 8 24.434 2.303 .068


Intercept 62661.945 1 62661.945 5906.949 .000
Belimbing 168.895 2 84.448 7.961 .003*
Suhu 13.714 2 6.857 .646 .536
Belimbing * Suhu 12.860 4 3.215 .303 .872
Error 190.947 18 10.608
Total 63048.362 27
Corrected Total 386.417 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh berpengaruh nyata terhadap kecerahan asam sunti
pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 11. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti

Duncana,,b

Subset
Belimbing N
1 2

1.00 9 45.0833
2.00 9 48.2322 48.2322
3.00 9 51.2089
Sig. .055 .068
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 12. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap warna (nilai a) asam sunti

Dependent Variable: Nilai a


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2.437a 8 .305 .498 .842


Intercept 5.035 1 5.035 8.234 .010
Belimbing 1.064 2 .532 .870 .436
Suhu .530 2 .265 .433 .655
Belimbing * Suhu .843 4 .211 .345 .844
Error 11.007 18 .612
Total 18.480 27
Corrected Total 13.444 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh, suhu pengeringan dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap warna (nilai a) asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 13. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing


wuluh dan suhu pengeringan terhadap warna (nilai b) asam sunti

Dependent Variable: Nilaib


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 58.242a 8 7.280 1.118 .397


Intercept 20683.050 1 20683.050 3176.610 .000
Belimbing 20.130 2 10.065 1.546 .240
Suhu 27.778 2 13.889 2.133 .147
Belimbing * Suhu 10.333 4 2.583 .397 .808
Error 117.199 18 6.511
Total 20858.490 27
Corrected Total 175.441 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh, suhu pengeringan dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap warna (nilai b) asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 14. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam
sunti panelis Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Rasa


Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2.287a 8 .286 4.337 .005


Intercept 457.156 1 457.156 6934.388 .000
Belimbing .436 2 .218 3.309 .060
Suhu 1.205 2 .603 9.140 .002*
Belimbing * Suhu .646 4 .161 2.449 .084
Error 1.187 18 .066
Total 460.630 27
Corrected Total 3.474 26
Perbedaan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap organoleptik rasa asam sunti pada taraf
kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 15. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti
panelis Aceh

Duncana,,b

Subset
Suhu N
1 2

50.00 9 3.9333
65.00 9 4.0000
80.00 9 4.4111
Sig. .589 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 16. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam
sunti panelis Luar Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Rasa


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .987a 8 .123 2.469 .053


Intercept 321.023 1 321.023 6420.452 .000
Belimbing .216 2 .108 2.163 .144
Suhu .572 2 .286 5.719 .012*
Belimbing * Suhu .199 4 .050 .996 .435
Error .900 18 .050
Total 322.910 27
Corrected Total 1.887 26
Perbedaan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap organoleptik rasa asam sunti pada taraf
kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 17. Uji lanjut Duncan pengaruh suhu pengeringan terhadap


organoleptik rasa asam sunti panelis luar Aceh

Duncana,,b

Subset
Suhu N
1 2

65.00 9 3.2778
50.00 9 3.4333 3.4333
80.00 9 3.6333
Sig. .157 .074
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 18. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam
sunti panelis Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Warna


Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.387a 8 .173 1.747 .155


Intercept 543.156 1 543.156 5472.093 .000
Belimbing .287 2 .144 1.448 .261
Suhu .561 2 .280 2.825 .086
Belimbing * Suhu .539 4 .135 1.358 .287
Error 1.787 18 .099
Total 546.330 27
Corrected Total 3.174 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh, suhu pengeringan dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 19. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing


wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam
sunti panelis Luar Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Warna


Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.312a 8 .164 1.002 .468


Intercept 452.231 1 452.231 2762.500 .000
Belimbing .643 2 .321 1.964 .169
Suhu .467 2 .234 1.428 .266
Belimbing * Suhu .201 4 .050 .308 .869
Error 2.947 18 .164
Total 456.490 27
Corrected Total 4.259 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh, suhu pengeringan dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 20. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam
sunti panelis Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Aroma


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .907a 8 .113 1.962 .112


Intercept 525.363 1 525.363 9092.827 .000
Belimbing .527 2 .263 4.558 .025*
Suhu .162 2 .081 1.404 .271
Belimbing * Suhu .218 4 .054 .942 .462
Error 1.040 18 .058
Total 527.310 27
Corrected Total 1.947 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh berpengaruh nyata terhadap organoleptik aroma
asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 21. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti
panelis Aceh
Duncana,,b

Subset
Belimbing N
1 2

3.00 9 4.2667
1.00 9 4.3667 4.3667
2.00 9 4.6000
Sig. .389 .054
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 22. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam
sunti panelis Luar Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Aroma


Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .621a 8 .078 2.465 .053


Intercept 442.463 1 442.463 14054.694 .000
Belimbing .267 2 .134 4.247 .031*
Suhu .130 2 .065 2.059 .157
Belimbing * Suhu .224 4 .056 1.776 .178
Error .567 18 .031
Total 443.650 27
Corrected Total 1.187 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh berpengaruh nyata terhadap organoleptik aroma
asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 23. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti
panelis Luar Aceh
Duncana,,b

Subset
Belimbing N
1 2

2.00 9 3.9111
3.00 9 4.0889
1.00 9 4.1444
Sig. 1.000 .515
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 24. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam
sunti panelis Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Tekstur

Type III Sum


Source df Mean Square F Sig.
of Squares

Corrected Model .787a 8 .098 3.588 .012


Intercept 439.230 1 439.230 16025.959 .000
Belimbing .180 2 .090 3.284 .061
Suhu .029 2 .014 .527 .599
Belimbing * Suhu .578 4 .144 5.270 .005*
Error .493 18 .027
Total 440.510 27
Corrected Total 1.280 26
Perlakuan interaksi berpengaruh nyata terhadap organoleptik aroma asam sunti pada taraf
kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 25. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti
panelis Aceh

Duncana,,b
Subset
Interaksi N
1 2 3 4
3*65 3 3.7667
1*80 3 3.8000 3.8000
3*50 3 3.8667 3.8667 3.8667
2*65 3 4.0000 4.0000 4.0000 4.0000
1*50 3 4.1000 4.1000 4.1000
3*80 3 4.1667 4.1667
2*80 3 4.1667 4.1667
1*65 3 4.2000
2*50 3 4.2333
Sig. .129 .055 .059 .141
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 26. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam
sunti panelis Luar Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Tekstur


Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2.492a 8 .311 2.298 .068


Intercept 335.668 1 335.668 2476.240 .000
Belimbing .379 2 .189 1.396 .273
Suhu 1.032 2 .516 3.806 .042*
Belimbing * Suhu 1.081 4 .270 1.995 .139
Error 2.440 18 .136
Total 340.600 27
Corrected Total 4.932 26
Perbedaan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap organoleptik tekstur asam sunti pada taraf
kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 27. Uji lanjut Duncan pengaruh suhu pengeringan terhadap


organoleptik tekstur asam sunti panelis Luar Aceh
Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2
65.00 9 3.2778
50.00 9 3.3444
80.00 9 3.6778
Sig. .664 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 28. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan
asam sunti panelis Aceh

Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan


Type III Sum of
Source df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model .527a 8 .066 1.932 .117
Intercept 491.520 1 491.520 14425.043 .000
Belimbing .276 2 .138 4.043 .035*
Suhu .047 2 .023 .685 .517
Belimbing * Suhu .204 4 .051 1.500 .244
Error .613 18 .034
Total 492.660 27
Corrected Total 1.140 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh berpengaruh nyata terhadap organoleptik
keseluruhan asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 29. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam
sunti panelis Aceh
Duncana,,b
Subset
Belimbing N
1 2

3.00 9 4.1556
1.00 9 4.2444 4.2444
2.00 9 4.4000
Sig. .321 .091
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 30. Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing
wuluh dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan
asam sunti panelis Luar Aceh
Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan
Type III Sum
Source df Mean Square F Sig.
of Squares
Corrected Model .941a 8 .118 3.489 .013
Intercept 380.063 1 380.063 11276.582 .000
Belimbing .181 2 .090 2.681 .096
Suhu .534 2 .267 7.923 .003*
Belimbing * Suhu .226 4 .056 1.676 .199
Error .607 18 .034
Total 381.610 27
Corrected Total 1.547 26
Perbedaan tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan berpengaruh nyata
terhadap organoleptik keseluruhan asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 31. Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh
dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam
sunti panelis Luar Aceh
Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2
65.00 9 3.5556
50.00 9 3.8222
80.00 9 3.8778
Sig. 1.000 .529
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 32. Data Parameter yang Diuji Pada Berbagai Tingkat Kematangan Belimbing Wuluh dan Suhu Pengeringan
Rendemen Kadar Air Total Asam Asam Oksalat
Perlakuan pH Nilai L Nilai a Nilai b
(%) (%) (%) (%)
B1S1 52.82 74.97 1.58 44.28 5.58 44.42 0.64 25.84
B2S1 50.74 74.85 1.74 37.80 4.76 46.06 0.05 26.49
B3S1 34.03 72.23 1.93 33.28 4.19 51.03 0.13 26.53
B1S2 46.38 73.03 1.65 40.66 5.12 44.79 0.45 25.74
B2S2 42.02 71.12 1.81 38.96 4.91 49.71 0.04 28.81
B3S2 32.60 71.02 1.93 32.31 4.07 51.33 0.74 29.62
B1S3 44.42 74.86 1.53 47.00 5.92 46.04 0.51 27.99
B2S3 36.07 74.02 1.61 45.51 5.74 48.92 0.37 28.44
B3S3 25.36 71.69 1.63 41.85 5.27 51.27 0.96 29.64
KONTROL - 71.99 1.54 47.33 5.96 33.84 12.21 15.55

Panelis Aceh Panelis Luar Aceh


Perlakuan
Rasa Warna Aroma Tekstur Keseluruhan Rasa Warna Aroma Tekstur Keseluruhan
B1S1 3.6 4.7 4.3 4.1 4.2 3.5 4.3 3.9 3.9 3.9
B2S1 4.3 5 4.8 4.2 4.6 3.6 4.5 4.1 3.7 4
B3S1 4 4.4 4.4 3.9 4.1 3.3 4 4.2 3.1 3.6
B1S2 4.1 4.3 4.5 4.2 4.3 3.5 4.1 4.1 3.2 3.7
B2S2 4.1 4.4 4.5 4 4.4 3.2 4 3.7 3.2 3.8
B3S2 3.8 4.5 4.2 3.8 4.1 3.1 3.7 4.1 3.4 3.6
B1S3 4.3 4.5 4.3 3.8 4.2 3.6 4 4.3 4 4
B2S3 4.5 4.4 4.5 4.2 4.4 3.7 4.2 3.9 3.6 3.9
B3S3 4.5 4.2 4.2 4.1 4.2 3.6 4 4 3.7 3.8
KONTROL 5.4 4.6 5.4 5.2 6 3.4 3.6 4.3 4.2 3.9

Keterangan:
B1 = Belimbing Belum Matang (Hijau) S1 = Suhu Pengeringan 50C
B2 = Belimbing Setengah Matang (Hijau:Kuning) S2 = Suhu Pengeringan 65C
B3 = Belimbing Matang (Kuning) S3 = Suhu Pengeringan 80C

125
Lampiran 33. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap rendemen bubuk dari asam
sunti hasil penelitian
Dependent Variable: Rendemen
Type III Sum of
Source df Mean Square F Sig.
Squares
Corrected Model 62.657a 8 7.832 2.426 .056
Intercept 1910.163 1 1910.163 591.750 .000
Dekstrin 22.970 2 11.485 3.558 .050*
Suhu 33.278 2 16.639 5.155 .017*
Dekstrin * Suhu 6.409 4 1.602 .496 .739
Error 58.104 18 3.228
Total 2030.925 27
Corrected Total 120.761 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap rendemen bubuk
asam sunti pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 34. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap rendemen bubuk dari asam
sunti hasil penelitian

Duncana,,b
Subset
Dekstrin N
1 2
30.00 9 7.2411
40.00 9 8.4967 8.4967
50.00 9 9.4956

Sig. .156 .254


Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05

Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2

160.00 9 7.0667
170.00 9 8.3811 8.3811
180.00 9 9.7856
Sig. .138 .115
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 35. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap rendemen bubuk asam sunti
lokal

Dependent Variable: Rendemen


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 183.010a 8 22.876 5.497 .001


Intercept 3671.967 1 3671.967 882.419 .000
Dekstrin 162.889 2 81.445 19.572 .000*
Suhu 8.070 2 4.035 .970 .398
Dekstrin * Suhu 12.051 4 3.013 .724 .587
Error 74.903 18 4.161
Total 3929.880 27
Corrected Total 257.913 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap rendemen bubuk asam sunti lokal pada
taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 36. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap


rendemen bubuk asam sunti lokal

Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2 3

30.00 9 8.8411
40.00 9 11.3167
50.00 9 14.8278
Sig. 1.000 1.000 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 37. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap kadar air bubuk dari asam sunti
hasil penelitian

Dependent Variable: KadarAir


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 14.127a 8 1.766 1.829 .137


Intercept 990.083 1 990.083 1025.418 .000
Dekstrin 8.004 2 4.002 4.145 .033*
Suhu 5.435 2 2.717 2.814 .086
Dekstrin * Suhu .687 4 .172 .178 .947
Error 17.380 18 .966
Total 1021.590 27
Corrected Total 31.506 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap rendemen bubuk asam sunti lokal pada
taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 38. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap kadar
air bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2

50.00 9 5.3422
40.00 9 6.1611 6.1611
30.00 9 6.6633
Sig. .094 .293
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 39. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap kadar air bubuk asam sunti
lokal

Dependent Variable: KadarAir


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 13.868a 8 1.733 4.544 .004


Intercept 1188.693 1 1188.693 3116.235 .000
Dekstrin 4.353 2 2.177 5.706 .012*
Suhu 8.511 2 4.256 11.156 .001*
Dekstrin * Suhu 1.003 4 .251 .658 .629
Error 6.866 18 .381
Total 1209.427 27
Corrected Total 20.734 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar air bubuk
asam sunti lokal pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 40. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap kadar air bubuk asam sunti
lokal

Duncana,,b
Subset
Dekstrin N
1 2
50.00 9 6.2389
40.00 9 6.4811
30.00 9 7.1856
Sig. .416 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05

Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2
180.00 9 5.8856
170.00 9 6.7833
160.00 9 7.2367
Sig. 1.000 .137
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 41. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap pH bubuk asam sunti hasil
penelitian

Dependent Variable:pH
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .545a 8 .068 2.173 .082


Intercept 44.237 1 44.237 1410.812 .000
Dekstrin .364 2 .182 5.805 .011*
Suhu .035 2 .018 .564 .579
Dekstrin * Suhu .146 4 .036 1.162 .360
Error .564 18 .031
Total 45.346 27
Corrected Total 1.110 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap pH bubuk asam sunti hasil penelitian
pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 42. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap pH


bubuk asam sunti hasil penelitian
Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2

30.00 9 1.1544
40.00 9 1.2511
50.00 9 1.4344
Sig. .262 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 43. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap pH bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable:pH
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .252a 8 .031 5.076 .002


Intercept 49.695 1 49.695 8010.489 .000
Dekstrin .016 2 .008 1.270 .305
Suhu .081 2 .041 6.568 .007*
Dekstrin * Suhu .155 4 .039 6.234 .002*
Error .112 18 .006
Total 50.058 27
Corrected Total .364 26
Perbedaan suhu pengeringan dan interaksi berpengaruh nyata terhadap pH bubuk asam sunti lokal
pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 44. Uji lanjut Duncan pengaruh suhu pengeringan spray dryer dan
interaksi terhadap pH bubuk asam sunti lokal

Duncana,,b

Subset
Interaksi N
1 2 3 4

40*170 3 1.1500
50*170 3 1.2733 1.2733
30*160 3 1.3133 1.3133
40*160 3 1.3367 1.3367
30*180 3 1.3900 1.3900 1.3900
50*180 3 1.3967 1.3967 1.3967
50*160 3 1.4100 1.4100 1.4100
30*170 3 1.4500 1.4500
40*180 3 1.4900
Sig. .071 .074 .074 .178
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada = 0.05
Lampiran 45. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap total asam bubuk dari asam
sunti hasil penelitian

Dependent Variable: TotalAsam


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 203.295a 8 25.412 .798 .612


Intercept 66520.579 1 66520.579 2088.655 .000
Dekstrin 142.856 2 71.428 2.243 .135
Suhu 17.347 2 8.674 .272 .765
Dekstrin * Suhu 43.092 4 10.773 .338 .849
Error 573.273 18 31.849
Total 67297.147 27
Corrected Total 776.568 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
total asam bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 46. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap total asam bubuk asam sunti
lokal

Dependent Variable: TotalAsam


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1945.529a 8 243.191 3.086 .022


Intercept 94173.532 1 94173.532 1195.182 .000
Dekstrin 640.298 2 320.149 4.063 .035*
Suhu 530.537 2 265.269 3.367 .057
Dekstrin * Suhu 774.694 4 193.673 2.458 .083
Error 1418.297 18 78.794
Total 97537.358 27
Corrected Total 3363.826 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap total asam bubuk asam sunti lokal pada
taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%
Lampiran 47. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap total
asam bubuk asam sunti lokal

Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2

50.00 9 53.5378
40.00 9 58.2533 58.2533
30.00 9 65.3844
Sig. .275 .106
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05

Lampiran 48. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap asam oksalat bubuk asam sunti
hasil penelitian

Dependent Variable: AsamOksalat


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3.218a 8 .402 .794 .615

Intercept 1056.313 1 1056.313 2086.064 .000

Dekstrin 2.270 2 1.135 2.241 .135

Suhu .269 2 .134 .266 .770

Dekstrin * Suhu .679 4 .170 .335 .851

Error 9.115 18 .506

Total 1068.646 27

Corrected Total 12.332 26


Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi tidah berpengaruh nyata terhadap
total asam bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 49. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap asam oksalat bubuk asam sunti
lokal

Dependent Variable: AsamOksalat


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 30.952a 8 3.869 3.046 .024


Intercept 1496.780 1 1496.780 1178.402 .000
Dekstrin 10.369 2 5.184 4.082 .035*
Suhu 8.245 2 4.123 3.246 .063
Dekstrin * Suhu 12.337 4 3.084 2.428 .085
Error 22.863 18 1.270
Total 1550.595 27
Corrected Total 53.815 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap pH bubuk asam sunti lokal pada taraf
kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 50. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap asam
oksalat bubuk asam sunti lokal

Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2

50.00 9 6.7456
40.00 9 7.3389 7.3389
30.00 9 8.2522
Sig. .279 .103
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 51. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk dari asam
sunti hasil penelitian

Dependent Variable: Daya Kelarutan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 150.022a 8 18.753 3.614 .011


Intercept 234612.368 1 234612.368 45212.600 .000
Dekstrin 99.198 2 49.599 9.558 .001*
Suhu 48.237 2 24.119 4.648 .024*
Dekstrin * Suhu 2.587 4 .647 .125 .972
Error 93.404 18 5.189
Total 234855.793 27
Corrected Total 243.426 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap daya kelarutan
bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 52. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk dari asam
sunti hasil penelitian

Duncana,,b
Subset
Dekstrin N
1 2
30.00 9 90.6356
40.00 9 93.7900
50.00 9 95.2244
Sig. 1.000 .198
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05

Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2
160.00 9 91.4089
170.00 9 93.6422 93.6422
180.00 9 94.5989
Sig. .052 .385
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 53. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk asam
sunti lokal

Dependent Variable: DayaKelarutan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 402.152a 8 50.269 1.890 .125


Intercept 171818.996 1 171818.996 6458.488 .000
Dekstrin 345.957 2 172.978 6.502 .007*
Suhu 53.315 2 26.658 1.002 .387
Dekstrin * Suhu 2.880 4 .720 .027 .998
Error 478.865 18 26.604
Total 172700.013 27
Corrected Total 881.017 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal
pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 54. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap daya
kelarutan bubuk asam sunti lokal

Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2

30.00 9 74.8267
40.00 9 81.3111
50.00 9 83.1800
Sig. 1.000 .452
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 55. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada
rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Dependent Variable: Organoleptik Rasa


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2.027a 8 .253 2.452 .054


Intercept 512.213 1 512.213 4956.903 .000
Dekstrin 1.602 2 .801 7.753 .004*
Suhu .136 2 .068 .656 .531
Dekstrin * Suhu .289 4 .072 .699 .603
Error 1.860 18 .103
Total 516.100 27
Corrected Total 3.887 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin berpengaruh nyata terhadap organoleptik rasa bubuk asam sunti
hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 56. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap


organoleptik panelis Aceh pada rasa bubuk dari asam sunti hasil
penelitian

Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2

50.00 9 4.0889
40.00 9 4.3000
30.00 9 4.6778
Sig. .181 1.000
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 57. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh
pada rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Dependent Variable:Organoleptik Rasa


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3.185a 8 .398 8.083 .000


Intercept 493.228 1 493.228 10012.902 .000
Dekstrin .734 2 .367 7.451 .004*
Suhu 1.805 2 .903 18.323 .000*
Dekstrin * Suhu .646 4 .161 3.278 .035*
Error .887 18 .049
Total 497.300 27
Corrected Total 4.072 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi berpengaruh nyata terhadap
organoleptik rasa bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 58. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu


pengeringan spray dryer dan interaksi terhadap organoleptik
panelis luar Aceh pada rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Duncana,,b
Subset
Interaksi N
1 2 3 4

50.16 3 3.5333
40.16 3 3.9667
40.17 3 4.0667 4.0667
30.16 3 4.3667 4.3667 4.3667
50.17 3 4.3667 4.3667 4.3667
30.17 3 4.4000 4.4000
50.18 3 4.4333 4.4333
40.18 3 4.6000
30.18 3 4.7333
Sig. 1.000 .056 .084 .088
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 59. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada
rasa bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Rasa


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .643a 8 .080 .781 .625


Intercept 563.984 1 563.984 5477.540 .000
Dekstrin .250 2 .125 1.212 .321
Suhu .067 2 .034 .327 .725
Dekstrin * Suhu .326 4 .081 .791 .546
Error 1.853 18 .103
Total 566.480 27
Corrected Total 2.496 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik rasa bubuk asam sunti lokal pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 60. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh
pada rasa bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Rasa


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .212a 8 .026 .526 .822


Intercept 650.231 1 650.231 12909.007 .000
Dekstrin .027 2 .014 .272 .765
Suhu .067 2 .034 .669 .524
Dekstrin * Suhu .117 4 .029 .581 .680
Error .907 18 .050
Total 651.350 27
Corrected Total 1.119 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik rasa bubuk asam sunti lokal pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 61. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada
warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Dependent Variable: Organoleptik Warna


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .593a 8 .074 1.410 .258


Intercept 514.830 1 514.830 9789.021 .000
Dekstrin .216 2 .108 2.049 .158
Suhu .269 2 .134 2.556 .105
Dekstrin * Suhu .109 4 .027 .518 .724
Error .947 18 .053
Total 516.370 27
Corrected Total 1.540 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik rasa bubuk asam sunti lokal pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 62. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh
pada warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Dependent Variable: Organoleptik Warna


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .739a 8 .092 4.297 .005


Intercept 532.445 1 532.445 24786.224 .000
Dekstrin .272 2 .136 6.328 .008*
Suhu .056 2 .028 1.310 .294
Dekstrin * Suhu .410 4 .103 4.776 .008*
Error .387 18 .021
Total 533.570 27
Corrected Total 1.125 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin dan interaksi berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna
bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%
Lampiran 63. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi
terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk dari
asam sunti hasil penelitian

Duncana,,b
Subset
Interaksi N
1 2 3
30*170 3 4.1667
50*160 3 4.2333 4.2333
50*180 3 4.2667 4.2667
50*170 3 4.4333 4.4333 4.4333
40*160 3 4.5000 4.5000
40*170 3 4.5667
30*160 3 4.5667
40*180 3 4.6000
30*180 3 4.6333
Sig. .054 .054 .154
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05

Lampiran 64. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada
warna bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Warna


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.579a 8 .197 2.057 .097


Intercept 632.685 1 632.685 6595.556 .000
Dekstrin .614 2 .307 3.201 .065
Suhu .116 2 .058 .606 .556
Dekstrin * Suhu .848 4 .212 2.210 .109
Error 1.727 18 .096
Total 635.990 27
Corrected Total 3.305 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 65. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh
pada warna bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Warna


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .341a 8 .043 1.055 .434


Intercept 716.623 1 716.623 17751.202 .000
Dekstrin .099 2 .049 1.220 .318
Suhu .199 2 .099 2.459 .114
Dekstrin * Suhu .044 4 .011 .271 .893
Error .727 18 .040
Total 717.690 27
Corrected Total 1.067 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 66. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada
aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Dependent Variable: Organoleptik Aroma


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .923a 8 .115 1.372 .273


Intercept 578.704 1 578.704 6883.260 .000
Dekstrin .234 2 .117 1.392 .274
Suhu .547 2 .274 3.256 .062
Dekstrin * Suhu .141 4 .035 .421 .792
Error 1.513 18 .084
Total 581.140 27
Corrected Total 2.436 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 67. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh
pada aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian
Dependent Variable:Organoleptik Aroma

Type III Sum


Source df Mean Square F Sig.
of Squares

Corrected Model 1.587a 8 .198 4.219 .005


Intercept 543.156 1 543.156 11547.409 .000
Dekstrin .379 2 .189 4.024 .036*
Suhu .761 2 .380 8.087 .003*
Dekstrin * Suhu .448 4 .112 2.382 .090
Error .847 18 .047
Total 545.590 27
Corrected Total 2.434 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengering berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna
bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 68. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi
terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk dari
asam sunti hasil penelitian
Duncana,,b
Subset
Dekstrin N
1 2
50.00 9 4.3333
40.00 9 4.5000 4.5000
30.00 9 4.6222
Sig. .120 .247
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05

Duncana,,b
Subset
Suhu N
1 2
160.00 9 4.2778
170.00 9 4.4889 4.4889
180.00 9 4.6889
Sig. .054 .066
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 69. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada
aroma bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Aroma


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2.067a 8 .258 2.108 .090


Intercept 618.246 1 618.246 5043.094 .000
Dekstrin .867 2 .434 3.538 .051
Suhu .032 2 .016 .130 .879
Dekstrin * Suhu 1.168 4 .292 2.382 .090
Error 2.207 18 .123
Total 622.520 27
Corrected Total 4.274 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 70. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh
pada aroma bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Aroma


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .613a 8 .077 1.286 .311


Intercept 733.203 1 733.203 12295.957 .000
Dekstrin .180 2 .090 1.509 .248
Suhu .247 2 .123 2.068 .155
Dekstrin * Suhu .187 4 .047 .783 .551
Error 1.073 18 .060
Total 734.890 27
Corrected Total 1.687 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 71. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis
Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .939a 8 .117 1.770 .150


Intercept 528.898 1 528.898 7977.793 .000
Dekstrin .534 2 .267 4.028 .036*
Suhu .287 2 .144 2.168 .143
Dekstrin * Suhu .117 4 .029 .441 .777
Error 1.193 18 .066
Total 531.030 27
Corrected Total 2.132 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengering berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna
bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 72. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap


penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk dari asam sunti
hasil penelitian

Duncana,,b

Subset
Dekstrin N
1 2

50.00 9 4.2556
40.00 9 4.4222 4.4222
30.00 9 4.6000
Sig. .187 .160
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 73. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis
luar Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.519a 8 .190 6.101 .001


Intercept 520.961 1 520.961 16745.190 .000
Dekstrin .512 2 .256 8.226 .003
Suhu .570 2 .285 9.155 .002
Dekstrin * Suhu .437 4 .109 3.512 .028
Error .560 18 .031
Total 523.040 27
Corrected Total 2.079 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin dan suhu pengering berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna
bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
* = Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%

Lampiran 74. Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu pengering
dan interaksi terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh
pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian

Duncana,,b
Subset
Interaksi N
1 2 3
50*160 3 3.8333
40*160 3 4.2667
40*170 3 4.3333 4.3333
50*180 3 4.3667 4.3667
30*170 3 4.4333 4.4333
50*170 3 4.4333 4.4333
30*160 3 4.5333 4.5333
40*180 3 4.6667
30*180 3 4.6667
Sig. 1.000 .116 .055
Keterangan: Angka-angka yang terdapat pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada = 0.05
Lampiran 75. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis
Aceh pada bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.159a 8 .145 1.278 .314


Intercept 620.161 1 620.161 5472.013 .000
Dekstrin .690 2 .345 3.042 .073
Suhu .003 2 .001 .013 .987
Dekstrin * Suhu .466 4 .116 1.028 .420
Error 2.040 18 .113
Total 623.360 27
Corrected Total 3.199 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.

Lampiran 76. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan
panelis luar Aceh pada bubuk asam sunti lokal

Dependent Variable: Organoleptik Keseluruhan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model .227a 8 .028 .600 .766


Intercept 707.379 1 707.379 14921.281 .000
Dekstrin .021 2 .010 .219 .806
Suhu .045 2 .023 .477 .629
Dekstrin * Suhu .161 4 .040 .852 .511
Error .853 18 .047
Total 708.460 27
Corrected Total 1.081 26
Perbedaan konsentrasi dekstrin, suhu pengering dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap
organoleptik warna bubuk asam sunti hasil penelitian pada taraf kepercayaan 95%.
Lampiran 77. Data Parameter Bubuk Asam Sunti Hasil Penelitian yang Diuji Pada Berbagai Tingkat Konsentrasi
Dekstrin dan Suhu Pengeringan Spray Dryer
Rendemen Kadar Air Total Asam Asam Oksalat Daya Kelarutan
Perlakuan pH
(%) (%) (%) (%) (%)
D1S1 6.73 7.31 1.16 52.80 6.65 88.60
D2S1 7.07 7.06 1.19 52.64 6.63 92.30
D3S1 7.39 5.70 1.44 46.43 5.85 93.31
D1S2 7.05 6.45 1.10 52.98 6.68 90.72
D2S2 8.29 5.75 1.31 48.10 6.06 94.32
D3S2 9.81 5.19 1.58 44.89 5.66 95.88
D1S3 7.95 6.23 1.21 50.59 6.37 92.58
D2S3 10.13 5.68 1.25 49.89 6.29 94.74
D3S3 11.28 5.14 1.28 48.40 6.10 96.47

Organoleptik Bubuk Asam Sunti dari Asam sunti Hasil Penelitian


Panelis Aceh Panelis Luar Aceh
Perlakuan
Rasa Warna Aroma Keseluruhan Rasa Warna Aroma Keseluruhan
D1S1 4.8 4.6 4.5 4.5 4.4 4.6 4.6 4.5
D2S1 4.5 4.5 4.5 4.4 4.0 4.5 4.2 4.3
D3S1 4.1 4.4 4.4 4.3 3.5 4.2 4.0 3.8
D1S2 4.6 4.2 4.8 4.4 4.4 4.2 4.4 4.4
D2S2 4.1 4.3 4.7 4.3 4.1 4.6 4.6 4.3
D3S2 4.2 4.2 4.6 4.2 4.4 4.4 4.5 4.4
D1S3 4.6 4.6 5.0 4.9 4.7 4.6 4.8 4.7
D2S3 4.3 4.4 4.7 4.5 4.6 4.6 4.7 4.7
D3S3 4.0 4.2 4.6 4.3 4.4 4.3 4.5 4.4

Keterangan:
D1 = Dekstrin 30% S1 = Suhu Pengeringan 160C
D2 = Dekstrin 40% S2 = Suhu Pengeringan 170C
D3 = Dekstrin 50% S3 = Suhu Pengeringan 180C
Lampiran 78. Data Parameter Bubuk Asam Sunti Lokal yang Diuji Pada Berbagai Tingkat Konsentrasi Dekstrin dan
Suhu Pengeringan Spray Dryer
Rendemen Kadar Air Total Asam Asam Oksalat Daya Kelarutan
Perlakuan pH
(%) (%) (%) (%) (%)
D1S1 8.76 8.05 1.31 72.56 9.14 73.23
D2S1 9.28 7.07 1.34 52.60 6.63 79.51
D3S1 14.73 6.59 1.41 49.18 6.20 81.75
D1S2 8.80 7.40 1.45 61.92 7.80 75.11
D2S2 11.88 6.58 1.15 71.61 9.02 80.78
D3S2 14.84 6.36 1.27 61.16 7.71 82.80
D1S3 8.97 6.10 1.39 62.01 7.81 76.14
D2S3 12.80 5.79 1.40 50.54 6.37 83.64
D3S3 14.92 5.77 1.49 50.28 6.33 84.99

Organoleptik Bubuk Lokal


Panelis Aceh Panelis Luar Aceh
Perlakuan
Rasa Warna Aroma Keseluruhan Rasa Warna Aroma Keseluruhan
D1S1 4.5 5.0 5.1 5.1 4.9 5.3 5.3 5.2
D2S1 4.4 4.6 4.6 4.7 4.9 5.0 5.4 5.1
D3S1 4.5 4.8 4.5 4.6 4.8 5.3 5.0 5.1
D1S2 4.8 5.2 5.1 5.1 5.0 5.2 5.3 5.2
D2S2 4.7 4.4 4.2 4.4 4.8 5.2 5.4 5.0
D3S2 4.3 5.1 4.9 4.8 5.1 5.3 5.3 5.3
D1S3 4.7 4.8 4.8 4.8 4.9 5.1 5.1 5.1
D2S3 4.6 4.9 4.9 4.8 4.9 5.0 5.1 5.1
D3S3 4.5 4.7 4.8 4.7 4.8 5.0 5.0 5.0

Keterangan:
D1 = Dekstrin 30% S1 = Suhu Pengeringan 160C
D2 = Dekstrin 40% S2 = Suhu Pengeringan 170C
D3 = Dekstrin 50% S3 = Suhu Pengeringan 180C
Lampiran 79. Data Bahan Baku dan Bahan Penolong, serta Analisis Nilai
Tambah Pengolahan Asam Sunti Semi Basah

1. Komponen Bahan Baku dan Bahan Penolong dalam Pembuatan Asam Sunti
Semi Basah untuk Satu kali Proses

Nama Bahan Satuan Jumlah Komponen


Bubuk Asam Sunti
Belimbing Wuluh Kg 1
Garam Kg 0.200
Air - 3000

2. Daftar Perincian Hari Orang Kerja (HOK) untuk Satu Kali Proses
(1000 gr Belimbing Wuluh)

Kegiatan Jenis TK Jumlah Orang Lama Kerja (menit)

Penyortiran 10
Pencucian 15
Laki-laki 1
Penggaraman 15
Pengeringan 15
Jumlah 1 55

3. Perhitungan Sumbangan Input Lain Pengolahan Asam Sunti Semi basah


Harga Jumlah
Input Lain Satuan Volume
Persatuan Biaya
Garam Kg 5.600 0.200 1.120
Air - 0.160 3000 480
Biaya Sewa Alat - 5240 1 5240
Jumlah Input Lain - - - 5721.120
Sumbangan Input Lain/Bahan
- - - 5721.120
Baku (Rp/gr)
Lampiran 80. Data Bahan Baku dan Bahan Penolong, serta Analisis Nilai
Tambah Pengolahan Bubuk Asam Sunti

1. Komponen Bahan Baku dan Bahan Penolong dalam Pembuatan Asam Sunti
Semi Basah untuk Satu kali Proses
Jumlah Komponen
Nama Bahan Satuan
Bubuk Asam Sunti
Asam Sunti Kg 0.500
Dekstrin Kg 0.300
Air - 1500

2. Daftar Perincian Hari Orang Kerja (HOK) untuk Satu Kali Proses
(500 gr Asam Sunti)

Kegiatan Jenis TK Jumlah Orang Lama Kerja (menit)

Pengecilan ukuran
15
(blender)
Pemerasan 20
Laki-laki 1
Pencampuran dan
15
Pengadukan
Pengeringan 15
Jumlah 1 65

3. Perhitungan Sumbangan Input Lain Pengolahan Bubuk Asam Sunti


Harga Jumlah
Input Lain Satuan Volume
Persatuan Biaya
Dekstrin Kg 15000 0.300 4500.000
Air - 0.160 1500 240
Biaya Sewa Alat Kg 30000 0.500 15000.000
Jumlah Input Lain 19740.000
Sumbangan Input
19.740
Lain/Bahan Baku (Rp/Kg)
Lampiran 81. Formulir Pengujian Organoleptik (Hedonic Test)

Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Instruksi : Nyatakan penilaian Anda dengan menuliskan skor kesukaan
(antara 1 - 7) pada kolom tanggapan terhadap rasa, warna, aroma,
tekstur dan penerimaan keseluruhan dengan terlebih dahulu
menuliskan kode sampel pada kolom yang tersedia.

Tingkat kesukaan yang diuji


Kode Sampel Penerimaan
Rasa Warna Aroma Tekstur
keseluruhan

Keterangan notasi: 1. Sangat tidak suka


2. Tidak suka
3. Agak tidak suka
4. Netral
5. Agak suka
6. Suka
7. Sangat suka

Vous aimerez peut-être aussi