Vous êtes sur la page 1sur 5

Nama : Zara Kusumaning Ayu

NIM : J3B214061
Mata Kuliah : Wisata Budaya
A. Ide dan gagasan
1. Festival Budaya Erau

Erau merupakan salah satu festival budaya tertua di nusantara. Tradisi tahunan ini
telah berlangsung selama berabad-abad, seiring perjalanan sejarah Kesultanan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura. Bisa dikatakan, Erau telah berlangsung sejak masa awal
Kesultanan Kutai berdiri. Istilah erau berasal dari kata eroh yang dalam bahasa Melayu
Kutai Tenggarong bermakna keramaian pesta ria atau secara umum dapat dimaknai sebagai
pesta rakyat. Dahulu, Erau merupakan hajatan besar bagi Kesultanan Kutai dan masyarakat
di seluruh wilayah kekuasaannya yang kini mencakup sebagian besar wilayah Kalimantan
Timur. Pada awalnya, perhelatan ini berlangsung selama 40 hari 40 malam dan diikuti oleh
segenap lapisian masyarakat. Dalam perhelatan tersebut, rakyat dari berbagai penjuru
negeri berpesta ria dengan mempersembahkan sebagian dari hasil buminya untuk dibawa
ke Ibukota Kesultanan. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi dari Erau sebagai wujud
rasa syukur atas limpahan hasil bumi yang diperoleh rakyat Kutai. Keluarga besar
Kesultanan pun menjamu rakyatnya dengan beraneka sajian sebagai bentuk rasa terima
kasih atas pengabdian mereka kepada Kesultanan.
Menurut riwayat yang diyakini masyarakat Kutai secara turun temurun, Erau bermula
sejak abad ke-12 Masehi. Catatan sejarah menyebutkan Erau pertama kali berlangsung saat
Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia belia. Ia dikemudian hari diangkat menjadi sultan
pertama Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Seiring perjalanan waktu, Kesultanan Kutai
kemudian bergabung dalam wilayah Republik Indonesia. Sampai dengan tahun 1960, Kutai
berstatus Daerah Istimewa dengan Sultan sebagai kepala daerah. Setelahnya, status Kutai
beralih menjadi kabupaten dan kepala pemerintahan dipegang oleh bupati. Peralihan ini
menjadi penanda berakhirnya era Kesultanan Kutai yang telah berdiri selama lebih dari 7
abad. Meski demikian, Erau sebagai salah satu peninggalan budaya dari Kesultanan Kutai
tetap bertahan. Erau yang dilangsungkan menurut tata cara Kesultanan Kutai terakhir kali
diadakan pada tahun 1965. Kemudian, atas inisiatif pemerintah daerah dan izin dari pihak
Kesultanan, tradisi ini mulai dihidupkan kembali pada tahun 1971. Hanya saja,
penyelenggaraannya tidak satu tahun sekali melainkan menjadi dua tahunan dan dengan
beberapa persyaratan. Sejak saat itulah pelaksanaan Erau menjadi ajang pelestarian budaya
warisan Kesultanan Kutai dan berbagai etnis yang hidup di dalamnya.

Erau dilangsungkan bertepatan dengan hari jadi Kota Tenggarong, yaitu setiap tanggal 29
September. Tetapi, sejak tahun 2010, pelaksanaan festival ini dimajukan menjadi Bulan Juli
karena menyesuaikan dengan musim liburan sehingga lebih banyak wisatawan yang
datang. Festival ini dimeriahkan oleh beraneka kesenian, upacara adat dari Suku-suku
Dayak, dan lomba olahraga ketangkasan tradisional. Tahun 2013 menjadi penanda era baru
dari pelestarian budaya warisan Kutai Kartanegara. Untuk pertama kalinya, Erau
disandingkan dengan perhelatan budaya tradisional dari berbagai negara. Dalam perhelatan
bernama Erau International Folklore and Art Festival (EIFAF), berbagai kesenian dan
tradisi di lingkup Kesultanan Kutai bersanding dengan warisan budaya dunia dari berbagai
bangsa di penjuru dunia. Ajang ini sekaligus memperkenalkan peninggalan kearifan lokal
masyarakat Kutai kepada dunia. Para delegasi dari berbagai negara diundang untuk ikut
terlibat dalam berbagai ritual adat yang berlangsung selama pelaksanaan Erau.

2. Bepelas
Setiap malam selama tujuh hari penyelenggaraan Erau, akan terdengar suara
menggelegar dari depan Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara (Museum Mulawarman).
Suara tersebut adalah suara dentuman dari meriam yang terdapat di pelataran depan
museum. Dentuman meriam menjadi pertanda bahwa ritual bepelas tengah dilakukan.
Ruang Stinggil (Siti Hinggil) dipenuhi kerabat Kesultanan dan tamu undangan yang
mengelilingi Tiang Ayu. Dewa (wanita pengabdi ritual) dan belian (pria pengabdi ritual)
melakukan tari-tarian sakral dan menghaturkan mantra kepada para arwah di alam gaib.
Bepelas menjadi salah satu rangkaian ritual sakral di Erau. Dalam ritual ini, Sultan atau
Putra Mahkota Kutai melakukan ritual berjalan menuju Tiang Ayu dengan tangan kiri
berpegangan pada kain cinde dan tangan kanan memegang tali juwita. Sesampainya di
hadapan Tiang Ayu, Sultan atau Putra Mahkota akan menginjak pusaka Gong Raden Galuh
yang segera disambut dengan dentuman meriam. Biasanya, bepelas dilakukan oleh Sultan
pada malam pertama hingga ketiga, sedangkan malam-malam selanjutnya dilakukan oleh
putra Mahkota.

Banyaknya Gong Raden Galuh diinjak berbeda-beda setiap harinya, sesuai urutan
hari pelaksanaanya. Jumlah dentuman meriam yang terdengar pun berbeda-beda mengikuti
berapa kali Sultan menginjak gong pada malam tersebut. Di hari pertama, akan terdengar
satu dentuman. Pada hari kedua terdengar dua dentuman, begitu seterusnya hingga hari
ketujuh.
Ritual bepelas berlangsung setelah prosesi merangin selesai dilaksanakan di Serapo Belian,
kecuali ketika jatuh pada malam Jumat. Sebelum Sultan atau Putra Mahkota
melakukan bepelas,dewa dan belian terlebih dahulu menjalankan sejumlah ritual. Ritual
yang dilakukan dimulai dengan berputar mengelilingi Tiang Ayu sebanyak tujuh putaran.
Setelah tujuh putaran, parabelian duduk berjajar di sisi kiri Tiang Ayu sedangkan
para dewa duduk di sisi kanan dari Tiang Ayu. Selanjutnya, dilakukan sejumlah tarian
sakral oleh para dewa. Tari yang pertama dilakukan adalah tari selendang dengan
mengelilingi Tiang Ayu sebanyak satu kali. Lalu dilanjutkan tari kipas dan tari jung njuluk.
Selanjutnya, pawang dewa mengucapkan mantra (memang) untuk menghadirkan Dewa
Karang dan Pangeran Sri Ganjur yang dipercaya menjadi penjaga Tiang Ayu dari gangguan
alam gaib sepanjang pelaksanaan bepelas. Kemudian, seorang dewa akan melakukan tari
dewa memanah. Tari ini dilakukan menggunakan sebuah busur dan batang kayu berapi
sebagai anak panahnya. Sang penari akan berkeliling satu putaran lalu melepaskan anak
panah berapi tersebut ke empat penjuru saat berputar untuk kedua kalinya. Jika api yang
ada di anak panah mati, sang penari harus menyalakannya kembali dengan api dari nyala
lilin yang mengelilingi Tiang Ayu. Selepas tari tersebut, dilakukan tari ganjur oleh empat
orang pria, dengan mengenakan ikat kepala khusus dan gada kain (ganjur). Tari ini
dilakukan sebanyak satu putaran lalu dilakukan kembali satu putaran oleh empat orang
yang berbeda (beganjur), biasanya mengajak dua tamu kehormatan yang didampingi dua
orang kerabat Kesultanan. Setelah putaran kedua, dilakukan tari ganjur oleh seorang pria,
diikuti oleh beberapa orang dewa. Selepas rangkaian prosesi tersebut dilakukan,
barulah bepelas dilakukan oleh Sultan atau Putra Mahkota.

B. Aktivitas

Upacara perkawinan suku kutai


Tradisi perkawinan suku kutai berbeda dengan suku-suku di daerah lainnya. Dalam adat
kutai, terdapat berbagai prosesi yang dilakukan pada saat acara perkawinan di antaranya:
1. Upacara Bepacar
Pacar adalah terbuat dari bahan daun pacar yang ditumbuk dan diberi bentuk bundar seperti
kelereng kemudian dengan suatu upacara diletakan ke ujung jari telunjuk dan jari manis
masing-masing mempelai,kemudian (kurang lebih 6 jam) bila pacar lepas akan
meninggalkan bekas warna merah. dalam upacara ini, pacar dari mempelai pria dan wanita
di tempatkan dalam wadah tradisional kemudian dipertukarkan dan diarak ketempat
mempelai masing-masing yang diramaikan dengan barisan rebana / hadrah.
2. Upacara Mendi-mendi
Dalam upacara ini mempelai dimandikan atau disiram dengan air bunga dan mayang. Bagi
mempelai wanita dilaksanakan oleh para wanita sesepuh keluarga dan untuk pria
dilaksanakan oleh para pria sesepuh keluarga.
3. Upacara Bealis
Setelah melakukan upacara mendi-mendi, mempelai berpakaian menurut adat tradisional
dan di dudukan di atas tilam kesturi penduduk disediakan sebanyak orangyang akan
mengalis mempelai wanita dilaksanakan secara bergilir oleh para wanita sesepuh keluarga.
Sebaliknya, untuk mempelai pria dilakukan oleh para pria sesepuh keluarga. Kening
mempelai dialis sebagai syarat atau formalitas saja, kemudian disuapi gula merah dan
kelapa serta diberi minum air. Setelah ditepung tawari, maka mempelai dihamburi beras
kuning.
4. Upacara Naik pengantin
Upacara ini merupakan puncak acara adat perkawinan kutai yang terdiri dari mengarak
pengantin pria oleh para penggapit, pembawa sumahan, serta diramaikan oleh barisan
hadrah ketempat pengantin rumah. Setelah itu, sampai ketempat pengantin wanita
mengucapakan shalawat nabi dihamburi beras kuning. Kemudian lawa cinde dan lawa
bokor merupakan ujian dan persyaratan yang harus dilewati oleh pengantin pria untuk
sampai ke pelaminan dimana pengntin wanita telah menunggu kedatanganya
5. Upacara Geta
Dalam upacara ini kedua mempelai duduk bersila, berhadap-hadapan saling menukar
kembang genggam,saling menyuapi lempit sirih, kemudian dikurung dalam kain dijahit
kainnya, besaong lilin dan beradu berdiri. Setelah kedua pengntin bersanding keemudian
diadakan upacara menghitung uang sumahan antara tetuha kedua mempelai , kemudian
dimeriahkan dengan pembacaan tersul yaitu berupa syair pujian untuk kedua mempelai.
6. Upacara Naik Mentuha
Dalam upcara ini, kedua mempelai diantar ketempat orangtua dan disebut dengan upacara
mencuci kaki diatas cobek batu tebal, memotong daun nipah di gagang tembok pusaka dan
menarik ketika lepas.

C. Benda-benda Hasil Karya

1. Sulam Tumpar
Kain sulaman khas Kalimantan Timur ini memiliki corak yang beragam dengan warna-
warna yang cerah. Inilah sulam tumpar, kerajinan tangan kebanggaan masyarakat provinsi
yang memiliki ibukota di Samarinda ini.
Tidak hanya dalam bentuk kain sulaman, sulam tumpar juga banyak diaplikasikan ke
berbagai barang seperti tas, pakaian, hingga ke hiasan dinding. Aneka ragam corak seperti
flora dan fauna menambah cantik kain sulaman yang banyak memikat hati para wisatawan
yang berkunjung ke Kota Samarinda ini.

Kain sulam tumpar sendiri dibuat dari hasil alam yaitu pohon ulap doyo. Pohon yang
banyak tumbuh di wilayah Kalimantan ini memang digunakan untuk bahan beberapa
kerajinan. Selain sulam tumpar, tenun badong tancep dan tenun ulap doyo juga
menggunakan pohon ini sebagai bahannya.
Tidak sulit untuk menemukan Kain sulaman sulam tumpar, di pusat oleh-oleh yang banyak
tersebar di Kota Samarinda kain ini bisa ditemukan. Dengan harga yang relatif terjangkau,
sulam tumpar bisa menjadi alternatif pilihan buah tangan untuk keluarga di rumah.
2. Ulap Doyo
Ulap doyo merupakan jenis tenun ikat berbahan serat daun doyo (Curliglia latifolia).
Daun ini berasal dari tanaman sejenis pandan yang berserat kuat dan tumbuh secara liar di
pedalaman Kalimantan, salah satunya di wilayah Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat.
Agar dapat digunakan sebagai bahan baku tenun, daun ini harus dikeringkan dan disayat
mengikuti arah serat daun hingga menjadi serat yang halus. Serat-serat ini kemudian dijalin
dan dilinting hingga membentuk benang kasar. Benang daun doyo kemudian diberi warna
menggunakan pewarna alami dari tumbuhan. Warna yang umum ditemukan antara lain
merah dan cokelat. Warna merah berasal dari buah glinggam, kayu oter, dan buah londo.
Adapun warna cokelat diperoleh dari kayu uwar. Tenun ulap doyo diduga telah ada sejak
berabad-abad silam, bahkan diduga usianya hampir sama dengan usia keberadaan Kerajaan
Hindu Kutai. Hal ini dikuatkan dengan temuan antropologi yang menyebutkan ada korelasi
antara motif pada tenun ulap doyo dengan strata sosial dari kelompok masyarakat
pemakainya.
Secara umum, motif dalam kain ulap doyo terinspirasi flora dan fauna yang ada di tepian
Sungai Mahakam atau tema peperangan antara manusia dengan naga. Motif yang terdapat
pada kain pun menjadi identitas si pemakai. Motif waniq ngelukng, misalnya, yang
digunakan oleh masyarakat biasa, sedangkan motif jaunt nguku digunakan kalangan
bangsawan atau raja. Pembedaan strata sosial ini mengindikasikan adanya sistem kasta
yang berlaku dalam masyarakat, seperti yang terdapat pada Hindu. Proses pembuatan
tenun ulap doyo diwariskan secara turun temurun melalui suatu proses yang unik. Kaum
wanita Dayak Benuaq mulai menguasai proses pembuatan tenun ini sejak usia belasan
tahun secara spontan, tanpa melalui proses latihan. Mereka menguasai tehnik ini hanya
dengan melihat proses kerja para wanita yang lebih tua seperti ibu dan sesepuh mereka
secara berulang-ulang. Karena transfer keterampilan yang berlangsung secara unik ini,
hampir dipastikan sulit menemukan orang yang menguasai tehnik tenun ulap doyo di luar
Suku Dayak Benuaq.

Vous aimerez peut-être aussi