Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Makalah ini merupakan hasil studi semi-ilmiah yang akan memaparkan praktik dan masalah
akuntabilitas partai politik di Indonesia serta hal-hal yangterkait. Dikatakan semi-ilmiah
karena studi dilakukan secara kepustakaandengan membangun sintesa yang menjelaskan dan
menghubungan variabel-variabel yang diduga kuat memiliki hubungan tanpa menguji
danmenganalisis kekuatan hubungan melalui alat-alat statistika. Praktikakuntabilitas yang
dikaji akan lebih banyak berhubungan dengan bentukakuntabilitas keuangan, baik mencakup
isi, sarana, maupun urgensi dan
alasan pelaporan. Selain itu, sedikit diulas juga gejala dan tendensi isomorfikorganisasi
parpol dalam menjalankan regulasi akuntabilitas.Kemudian, jika dilihat fakta di lapangan
menunjukkan bahwaakuntabilitas parpol menjadi semakin urgen untuk diterapkan
mengingatkapasitas parpol sebagai organisasi sektor publik. Parpol di Indonesia dalamlebih
dari satu dekade ini, tepatnya semenjak bergulirnya reformasimenunjukkan perkembangan
yang begitu pesat, baik dari segi kuantitasmaupun jumlah massa dari partai. Perubahan sistem
partai dari tiga partaimenjadi multi-partai mengindikasikan bahwa demokrasi pascareformasi
telahmulai dibangun dan semakin menunjukkan perkembangan yang cukupmenggembirakan.
Tentunya, hal positif ini harus didukung dengan
penguatan pada praktik akuntabilitas demi terkendalinya aktivitas parpol untuk bebasdari
tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta demi tegaknya pilar demokrasi.
PENDAHULUAN
atau subsidi keuangan kepada partai politik, baik untuk kegiatan operasional partai
politik,maupun kegiatan kampanye. Agar kedua kebijakan itu berjalan baik, maka partai
politikdiwajibkan membuat laporan keuangan partai politik tahunan dan membuat laporan
keuangankampanye setelah pemilu selesai. Kedua laporan tersebut adalah instrumen untuk
memaksa
memberikan
feed
-
back
bagi lembaga-lembaga tersebut untuk terus memperbaiki kinerjanyasesuai dengan fungsi
masing-masing lembaga (
ongoing performance Management
). Risethanya beberapa saja, misalnya dikenal dan dipublikasikannya riset dengan judul:
Performance Accountability in Indonesian Government: A Symbolic Conformity
sertaAkuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah (oleh Akbar, dkk., 2012
danAkbar, 2009).Kemudian, berkenaan dengan parpol sudah cukup lama para ilmuwan
politikmenyatakan bahwa partai politik merupakan pilar dari kehidupan politik yang
demokratis.Keberadaannya menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip dasar kehidupan yang
demokratis(Bryce, 1921: Ismawan, 2004). Di Indonesia sendiri, semenjak bergulirnya
reformasi1997/1998 menunjukkan tendensi penguatan pola demokrasi. Hal tersebut ditandai
dengan pergeseran dari sistem partai
tiga
-
partai
(Golkar, PDIP, dan PPP), menjadi sistem multi- partai kompleks. Menjelang pemilihan
umum tahun 1999, tercatat ada 168 partai politik yangingin berpartisipasi, 48 partai berhak
ikut dalam pemilihan umum, dan hanya 5 partaimendapat suara signifikan (API, 1999;
Ismawan, 2004). Menjelang pemilihan umum 2004,tercatat 264 partai didirikan, 24
diantaranya menjadi kontestan resmi, dan hanya 7 partaimendapat suara signifikan serta
untuk pemilu 2009 diikuti oleh 38 parpol nasional dan 6 parpol lokal Aceh (KPU, 2004
dan 2009). Sementara itu, untuk sementara ini ada 16 parpolyang lolos verifikasi administrasi
oleh KPU untuk menjadi peserta pemilu 2014 (KPU, 2012).
Konsep Akuntabilitas Partai Politik dan Urgensinya
Akuntabilitas merupakan konsep yang kompleks dan memiliki segi yang banyak(Sinclair,
1995). Banyak pandangan mengenai definisi akuntabilitas, karena sudut pandang,sejarah,
dan/atau latar belakang adanya akuntabilitas berbeda-beda.Sehingga, akuntabilitashanya bisa
didefinisikan secara kasar. Melvin Dubnick misalnya, beliau menelusuri asal mulakonsep
akuntabilitas terhadap munculnya tradisi kerajaan yang sah sampai pada
munculnya birokrasi modern di Inggris (Dubnick, 2005; Erkkil, 2007). Tapi, konsep penelus
uranakuntabilitas dari waktu yang lama tersebut tidaklah cukup relevan karena pada masa
ituakuntansi keuangan belum diterapkan. Sehingga, yang lebih relevan akuntabilitas di
mulaidari penggunaan yang lebih luas Manajemen Publik Baru (
New Public Management
) padatahun 1980-an (Mulgan, 2003 dan Bovens, 2005; Erkkil, 2007).Selain memandang
sudut pandang sejarah, Mulgan juga memandang konsep awalakuntabilitas termasuk dalam
aspek responsibilitas/pertanggungjawaban (Mulgan, 2000;Erkkil, 2007), yang didasarkan
pada penelitian terdahulu (Harmon, 1980; Conroy, 2005).Sementara itu, Dubnick justru
cenderung memandang responsibilitas sebagai bagian dariakuntabilitas (Dubnick, 2005;
Erkkil, 2007). Namun, konteks yang lebih relevan sekarangini adalah pandangan bahwa
prinsip akuntabilitas dan responsibilitas termasuk dalam prinsip- prinsip yang dijadikan acuan
dalam pengembangan, penerapan, dan evaluasi tata kelola yang baik (
good governance
), bersama dengan transparansi, kemandirian, dan kewajaran (BPKP,2012).Berdasarkan
jenisnya, akuntabilitas dibedakan atas akuntabilitas politik, manajerial, publik, profesional,
dan personal (Sinclair, 1995; Conroy, 2005). Dalam dua dekade terakhir,akuntabilitas sektor
publik telah menjadi topik yang hangat dan mendunia (Akbar, 2009).Banyak Negara yang
telah mengintegrasikan konsep ini ke dalam tatanan regulasi dan
pengungkapan skandal-
skandal oleh KPK tersebut mendorong partai politik untukmemperketat pengelolaan
keuangan partai politik melalui perubahan undang-undang
partai politik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. UU No. 2 Tahun 2008 yang merupakan
pengganti UU No. 31/2002 malah melonggarkan pengaturan sumber keuangan partai
politik.Dalam undang-undang tersebut, walau dilakukan pembedaan
penyumbang perseorangan anggota partai politik dan penyumbang perseorangan bukan angg
ota partai politik namun jenis penyumbang perseorangan non-
anggota ini tidak dibatasi besaransumbangannya sehingga bisa menjadi jalan untuk
menampung dana dari siapapun sebesarapapun. Hal ini tentu dikhawatirkan terjadinya
penguasaan para pemilik uang yang selama inimenjadikan partai sebagai institusi oligarkhi,
elitis, dan personalistis (Messwati, 2011).UU No. 2 Tahun 2011 yang merupakan perubahan
terhadap UU No. 2 Tahun
2008 baru terjadi perubahan signifikan pada pengaturan sumber keuangan partai politik. Halt
ersebut nampak pada peningkatan besaran sumbangan perusahaan, dari Rp 4 miliar
menjadiRp 7,5 miliar. Namun demikian, terjadi juga pengetatan pada pengaturan bantuan
keuangan.UU No. 2 Tahun 2011 memang mempertahankan kriteria partai politik yang
berhakmenerima sumbangan, yakni partai politik yang mendapatkan kursi di DPR/DPRD.
Demikian juga cara penghitungan besaran sumbangan berdasarkan perolehan suara.Hal baru
dari UU No. 2 Tahun 2011 adalah peruntukan dana bantuan negara, yaknidiprioritaskan
untuk pendidikan politik daripada operasional sekretariat. Selain itu, untukmenegakan prinsip
transparansi dan akuntabilitas, laporan keuangan penggunaan bantuankeuangan partai politik
harus diaudit oleh BPK. Sementara itu, partai politik yang tidakmembuat laporan
pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan, bantuan
keuangan berikutnya dihentikan. Untuk mengetahui perbedaan dalam hal pengaturan bantuan
partai politik dengan UU sebelumnya, akan disarikan dalam tabel berikut:
Sarana Akuntabilitas: Standar Jenis, Bentuk, dan Isi, serta Praktik Pelaporan
Setidaknya, laporan keuangan partai politik dibedakan atas 2 jenis: laporan keuangantahunan
dan laporan keuangan pemilu. Berdasarkan pasal 39 UU No. 2 Tahun 2011,
partai politik diwajibkan membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana oleh akunta
n publik serta diumumkan secara periodik, yang meliputi: (a) laporan realisasi
anggaran partai politik; (b) laporan neraca; dan (c) laporan arus kas. Untuk laporan pemilu di
atur dengan peraturan KPU No. 1 Tahun 2009, yang mengharuskan pembuatan laporan perta
nggungjawaban (sumber) dana kampanye. Namun demikian, standar yang dipakai saatini
yakni PSAK No. 45 tentang Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba, di mana sangat
tidakmemadai karena tidak mengakomodasi karakteristik partai (Hafild, 2008).
Perbedaankaraketristik tentu akan mengakibatkan perbedaan transaksi keuangan, bentuk
laporankeuangan, dan pengukuran-pengukuran tertentu terhadap pos-pos dalam laporan
keuangan.
Selain masalah belum memadainya standar, praktik pelaporan keuangan parpolsebagai sarana
mewujudkan akuntabilitas dan transparansi partai politik tidak berjalansebagaimana yang
diharapkan. Misalnya adalah hampir semua laporan
pertanggungjawaban partai politik buruk karena melaporkan penggunaan dana bantuan keuan
gan tidak sesuaidengan peruntukan. Namun, partai politik yang menyampaikan laporan
pertanggungjawabansesungguhnya sudah lebih baik karena kenyataannya banyak partai
politik yang tidakmenyampaikan laporan pertanggungjawaban. Padahal, sebagaimana diatur
dalam PP No. 5Tahun 2009 yang diperjelas lagi oleh Permendagri No. 24 Tahun 2009,
format laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan
keuangan itu sangat sederhana sebagaimanatampak pada tabel berikut:
Dari hasil pemeriksaan BPK, tampak bahwa partai politik pada semua tingkatan
tidakmemahami bagaimana laporan penggunaan dana subsidi negara dari APBN/APBD,
meskipunPP No. 5 Tahun 2009 dan Permendagri No. 24 Tahun 2009 sudah menjelaskan
mana kegiatanyang boleh dan mana yang tidak boleh didanai oleh dana subsidi. Akibatnya,
banyak parpol pada tiap daerah di Indonesia tidak menyusun laporan penggunaan dana
subsidi parpol. Dari20 daerah tingkat 1 dan 2 yang diperiksa, hanya 5 daerah saja yang semua
parpolnyamelakukan penyusunan laporan penggunaan dana bantuan. Daerah tersebut
diantaranya: DKIJakarta, Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Bandung, Kota Semarang, dan
KotaBanjarmasin (BPK, 2009; Supriyanto dan Wulandari, 2012).Selain itu, BPK telah
menunjukkan adanya berbagai masalah dan pelanggaranterhadap ketentuan penggunaan dana
subsidi ABPN/APBD. Namun sampai sejauh ini, hasil pemeriksaan BPK tidak dijadikan
tolok ukur untuk memberikan sanksi kepada partai politikyang terbukti telah melanggar
ketentuan penggunaan dana subsidi.UU No. 2 Tahun 2011 mewajibkan partai politik
menyampaikan laporan pertanggung-
jawaban penggunaan bantuan keuangan untuk diaudit BPK dan bisa diakses publik. Namun k
enyataannya, banyak partai politik tidak membuat laporan pertanggungjawaban. Hal tersebut
akan berpengaruh pada lambatnya pencairan dana bantuanyakni pada perioda Oktober-
November dan pada gilirannya prinsip transparansi danakuntabilitas penggunaan dana
bantuan keuangan partai politik tidak berjalan baik(Supriyanto dan Wulandari, 2012).
Dengan perioda pencairan dana yang dekat
dengan perioda untuk membuat laporan, maka sangat masuk akal jika kualitas laporan yangdi
hasikan juga rendah apalagi aktivitas parpol sendiri sudah banyak, mulai dari
kampanye,muktamar, pengkaderan, kunjungan kerja, dll.Untuk mengatasi hal di atas, UU No.
2 Tahun 2011 sebetulnya secara eksplisit sudahmengatur tentang pemberian sanksi bagi
parpol yang tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban
penggunaan keuangan. Sanksi berupa dihentikannya
bantuan keuangan pada tahun anggaran berjalan. Kenyataannya, sanksi tersebut tidak pernah
dijatuhkansehingga semua partai politik pada setiap tingkatan. Pada akhirnya mereka tetap
menerima bantuan keuangan setiap tahun anggaran (dari berbagai sumber,
disarikan).Mengapa demikian? Diduga kuat, selain karena tekanan partai politik melalui
wakil-wakilnya di DPR/DPRD kepada pemerintah agar terus mencairkan dana bantuan setiap
tahun, pemerintah juga tidak bisa memastikan partai mana yang harus mendapatkan sanksi, d
an partai mana yang tidak, karena mekanisme dan siklus pencairan dana bantuan keuangan be
lum jelas diatur oleh peraturan pemerintah. Oleh karena itu, UU No. 2 Tahun 2011
menegaskan kembali, bahwa partai politikyang tidak menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan tahunansebelumnya, pencairan dana bantuan
tahun anggaran berjalan bisa ditangguhkan,
maka peraturan pemerintah harus mengatur penjatuhan sanksi ini. Pengenaan sanksi ini akan
mudah dilakukan apabila siklus bantuan keuangan partai politik diatur secara jelas
dalam peraturan pemerintah. Gejala Isomorfik dalam Organisasi Parpol
Isomorfisme Koersif (
coercive isomorphism
)Koersif merupakan bentuk isomorfik yang disebabkan oleh paksaan dari
kepastianaturan/standar yang diberikan. Suatu pihak diharuskan untuk mengikuti atau
menjalankanaturan yang diberikan, karena ada alat untuk menekan berupa sanksi atau
hukuman. Jika adamandat/perintah dari pemegang kekuasaan maka pihak yang dipimpin
secara langsungmemberikan respon.2.
Mimetik (
mimetic isomorphism
)Berbeda dengan perilaku isomorfik koersif yang disebabkan faktor kepastian
(aturan), proses mimetik justru disebabkan oleh hal-
hal yang sifatnya tidak pasti. Organisasi di sinidihadapkan dengan masalah kompleks yang
tidak jelas penyebabnya. Untuk itu, dalamrangka mendapatkan solusi yang cepat dan aman
maka organisasi memilih untuk menirukebanyakan organisasi lainnya dalam mematuhi suatu
regulasi.3.
Normatif (
normativeisomorphism
)Bentuk perilaku/proses isomorfik ini adalah yang terbaik karena muncul atas
dasar profesionalisme. Profesionalisme timbul dari proses pembelajaran yang baik dan
kepercayaanyang kuat dari organisasi. Organisasi sadar bahwa sesuatu (aturan) itu dilakukan
karenatanggung jawabnya sebagai pihak yang diatur. Organisasi tersebut juga sadar dan
percaya bahwa tanggung jawab yang dilakukan, nantinya juga akan memberikan manfaat pad
aorganisasi tersebut.
Isomorfisme di Organisasi Parpol tehadap Regulasi Penyelenggaraan Akuntabilitas
Pada praktik penyerahan laporan partai politik secara periodik kepada pemerintahterutama
terkait dengan sumber pendanaan partai dan penggunaan dana bantuan tidakmenunjukkan
indikasi adanya isomorfisme institusional. Hal tersebut dikarenakan dalam
UU No. 2 Tahun 2011 tidak mengatur sanksi yang tegas bagi partai politik yang tidakmenyel
enggarakan akuntabilitas dan transparansi. Sanksi yang dijatuhkan bagi parpol pelanggar
aturan ini hanya berupa penghentian bantuan dari APBN sampai laporan diterima pemerintah.
Sementara itu, nilai bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya 1,3% daritotal
kebutuhan operasional partai politik per tahun (Anggraini, 2012; Supriyanto danWulandari,
2012). Kepatuhan yang rendah pada regulasi ini tidak sejalan dengan teoriisomorfisme
institusional.Gejala adanya isomorfisme pada partai politik justru diduga kuat terjadi
terhadap praktik pelaporan dana kampanye yang diatur oleh KPU melalui peraturan KPU No.
1 Tahun2009. Aturan ini memberikan sanksi tegas berupa penganuliran kemenangan parpol
peserta
12
pemilu dan/atau calon eksekutif dan legislatif yang diusungnya jika tidak menyerahkanlapor
an pertanggungjawaban dana kampanye pada KPU sampai batas waktu yang
ditetapkan.Selaras dengan teori isomorfisme institusional, KPU melalui regulasinya memiliki
kekuatandan legitimasi untuk menekan partai politik dalam rangka menyelenggarakan
pelaporan pertanggungjawaban dana kampanye. Oleh karena itu, dalam konteks inilah isomor
fismekoersif kemungkinan besar hadir di dalam organisasi partai politik.Dugaan penulis
selaras atau diperkuat dengan penelitian dari Anzar (2011) terhadap pelaksanaan pemilu
di Banten tahun 2009. Anzar menemukan bahwa calon anggota legislatifyang menjadi
informan dalam penelitiannya merasa tidak ada kewajiban moral bagi merekauntuk
melaporkan kepada publik seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yangtelah
mereka peroleh dan pergunakan selama masa kampanye dan pada saat pemungutansuara,
karena dana yang mereka peroleh berasal dari dana pribadi dan pihak ketiga yang
tidakmeminta laporan atas dana yang diterima dan digunakan oleh mereka.
KONKLUSI
Bergulirnya reformasi tahun 1998 menandai runtuhnya rezim orde baru yang represif.Rakyat
begitu larut pada eforia demokrasi setelah sebelumnya terbelenggu kebebasannyaselama
kurang lebih 32 tahun. Eksistensi partai politik pun memiliki peran yang begitu vitaldemi
tegaknya demokrasi karena dianggap sebagai konektor rakyat dengan
pemerintahan.Ekspektasi rakyat yang besar diberikan kepada parpol melalui kader-kadernya
di lembagaeksekutif dan legislatif untuk mendesakkan aspirasi rakyat atau parpol oposisi
yang bertindakuntuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro-
rakyat. Namun demikian, ekspektasi yang besar hanyalah hal normatif. Realita sekarangmenu
njukkan parpol justru cenderung dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk
memenuhiambisi/kepentingan mereka dan acapkali merugikan rakyat. Hal tersebut
dibuktikan
dengan banyaknya skandal korupsi, suap, politik uang, dan pencucian uang yang melibatkan
kader partai bahkan ironinya partai penguasa itu sendiri. Oleh karena itu, tuntutan
penyelenggaraanakuntabilitas kian kencang berkumandang.Bentuk akuntabilitas yang begitu
urgen adalah berkenaan dengan keuangan parpolterutama sumber dana sumbangan dan
kampanye parpol beserta penggunaannya. Pengeluaranoperasional parpol yang besar
sementara sumber dana resmi tidak cukup memadaimendorong parpol mencari dana ilegal.
Ada tendensi kuat kader-kader partai yangmenduduki anggota eksekutif maupun legislatif
dipaksa untuk korupsi uang Negara. Haltersebut tidak lain adalah untuk menyumbang partai
demi membiayai operasional parpol bermanuver politik yang sarat akan
nafsu berkuasa
. Kalaupun sumber dana dari pihakswasta, realita sekarang menunjukkan tendensi terjadinya
skandal suap atau pencucian uangdan tentu sarat akan
kepentingan tertentu
. Oleh karena itu, akuntabilitas keuangan parpoldapat dijadikan sarana untuk mengawasi
parpol agar terhindar dari praktik-praktik tersebut.Praktik akuntabilitas parpol sendiri saat ini
terdapat beberapa masalah.
Selain persoalan standar keuangan yang dinilai tidak memadai karena tidak sesuai dengankar
akteristik parpol, komitmen parpol juga rendah dalam menyelenggarakan laporankeuangan.
Banyak partai politik yang tidak menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana sumbangan, padahal format laporan yang sederhana (
disarikan dari hasil pemeriksaan BPK dan transparency international Indonesia: tinjau kembal
i penjelasansebelumnya). Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh sanksi yang kurang tegas
yakni
hanya berupa penghentian bantuan dari APBN sampai laporan diterima, padahal bantuan ters
ebuthanya cukup mendanai 1,3% saja dari total pengeluaran partai.
DAFTAR PUSTAKA
. Dalam
Jurnal Third Sector Review
, 11 (1). pp.103-116. Brisbane: Queensland University of Technology.DiMaggio, P. J., and
W. W. Powell.
1983. The Iron Cage Revisited: InstitutionalIsomorphism and Collective Rationality in
Organizational Fields. Dalam
AmericanSociological Review
48: 147-160.Erkkil, Tero.
2007. Governance and Accountability
O
leary, Brendan.
2000. Ilmu Politik dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial
, Diterjemahkan Haris Munandar, dkk. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.Peraturan KPU No.
1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye.Permendagri No. 24 Tahun
2009.PP No. 5 Tahun 2009.Sinclair, A..
1995. The Chameleon of Accountability: Forms and Disclosures.
Dalam
Accounting Organizations and Society
, 20 (2&3): 219-237.Supriyanto, Didik dan Wulandari, Lia. 2012.
BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK: Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan
Akuntabilitas Pengelolaan
. Jakarta:Perludem.UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2002.UU No. 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008.UU No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1999.