Vous êtes sur la page 1sur 15

ABSTRAK

Makalah ini merupakan hasil studi semi-ilmiah yang akan memaparkan praktik dan masalah
akuntabilitas partai politik di Indonesia serta hal-hal yangterkait. Dikatakan semi-ilmiah
karena studi dilakukan secara kepustakaandengan membangun sintesa yang menjelaskan dan
menghubungan variabel-variabel yang diduga kuat memiliki hubungan tanpa menguji
danmenganalisis kekuatan hubungan melalui alat-alat statistika. Praktikakuntabilitas yang
dikaji akan lebih banyak berhubungan dengan bentukakuntabilitas keuangan, baik mencakup
isi, sarana, maupun urgensi dan
alasan pelaporan. Selain itu, sedikit diulas juga gejala dan tendensi isomorfikorganisasi
parpol dalam menjalankan regulasi akuntabilitas.Kemudian, jika dilihat fakta di lapangan
menunjukkan bahwaakuntabilitas parpol menjadi semakin urgen untuk diterapkan
mengingatkapasitas parpol sebagai organisasi sektor publik. Parpol di Indonesia dalamlebih
dari satu dekade ini, tepatnya semenjak bergulirnya reformasimenunjukkan perkembangan
yang begitu pesat, baik dari segi kuantitasmaupun jumlah massa dari partai. Perubahan sistem
partai dari tiga partaimenjadi multi-partai mengindikasikan bahwa demokrasi pascareformasi
telahmulai dibangun dan semakin menunjukkan perkembangan yang cukupmenggembirakan.
Tentunya, hal positif ini harus didukung dengan
penguatan pada praktik akuntabilitas demi terkendalinya aktivitas parpol untuk bebasdari
tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta demi tegaknya pilar demokrasi.
PENDAHULUAN

Partai politik memiliki peran fundamental dalam masyarakat demokrasi. Merekamenjadi


perantara antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai organisasi yang hidup ditengah
masyarakat, partai politik menyerap, merumuskan, dan mengagregasi
kepentinganmasyarakat. Sedangkan sebagai organisasi yang menempatkan kader-kadernya di
lembagalegislatif maupun eksekutif, partai politik menyampaikan dan mendesakkan
kepentinganmasyarakat (Supriyanto dan Wulandari, 2012). Apalagi dengan di mulainya era
reformasiyang menandai terbukanya keran demokrasi membuat masyarakat begitu larut
dalam eforiademokrasi. Mereka memberikan ekspektasi yang besar pada partai politik
untukmemperjuangkan haknya, setelah selama kurang lebih 32 tahun terkukung dalam rezim
orde baru yangrepresif. Namun demikian, ibarat 2 mata koin selain memiliki manfaat parta
i politik jugamemberikan sesuatu yang merugikan bagi masyarakat apalagi jika melihat
bahwahaLdiatas bersifat normatif sementara realita di lapangan bicara lain. Peneliti CSIS, J K
ristiadi(Anonim, 2011 dalam kompas.com), mengatakan, perilaku elite yang berorientasi
kepadakekuasaan subjektif mengakibatkan setelah lebih dari satu dasawarsa transformasi
politik,masyarakat belum banyak mencapai kemajuan. Manuver politik didominasi oleh
nafsu berkuasa sehingga jagat politik Indonesia sarat dengan intrik, kompromi
politikyang pragmatis dan oportunistik, politik uang, tebar pesona, dan janji-
janji sebagai alat merayudukungan, oleh karena itu, akuntabilitas dan transparansi mutlak
diimplementasikan terhadapseluruh organisasi partai politik.Bentuk akuntabilitas yang urgen
dibutuhkan adalah mengenai keuangan partai,terutama berkenaan dengan sumber dana
(bantuan) partai politik dan penggunaannnya. Haltersebut disebabkan partai politik
menghadapi situasi dilematis. Di satu pihak, untukmembiayai kegiatan operasional dan
memenangkan pemilu, partai politik membutuhkan
uang banyak. Sementara itu di lain pihak, besarnya sumbangan dapat mengganggu kemandiri
an partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, besarnyasumb
angan perseorangan maupun perusahaan dapat mengganggu eksistensi partai politiksebagai
pemegang mandat rakyat karena partai politik bisa mengutamakan kepentingan penyumbang
daripada kepentingan rakyat.Ada dugaan kuat partai politik lebih suka memilih jalan pintas:
memaksa kadernya dilembaga legislatif dan eksekutif mengumpulkan dana ilegal, juga
menerima dana dari para penyumbang besar. Yang pertama tercermin dari banyaknya skandal
korupsiyangmelibatkan pengurus partai politik, mulai dari kasus dana DKP, pemilihan Deputi
Gubernur BankIndonesia, hingga kasus Nazaruddin. Sedangkan yang kedua terlihat makin
banyaknya pengusaha dan pensiunan birokrat dan jenderal, yang menjadi pengurus partai
politik.Partai politik pun mengabaikanprinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keua
ngan partai politik, karena undangundang yang dibuat oleh para kader partai politik di DPR d
an pemerintah belum mengaturnya secara tuntas.Dalam menghadapi situasi dilematis
tersebut, sejak 1970-an secara bertahap, negara-negara Eropa Barat menerapkan dua
kebijakan: pertama, melakukan pembatasan
sumbangan perseorangan dan perusahaan kepada partai politik; kedua, memberikan bantuan
keuangan

atau subsidi keuangan kepada partai politik, baik untuk kegiatan operasional partai
politik,maupun kegiatan kampanye. Agar kedua kebijakan itu berjalan baik, maka partai
politikdiwajibkan membuat laporan keuangan partai politik tahunan dan membuat laporan
keuangankampanye setelah pemilu selesai. Kedua laporan tersebut adalah instrumen untuk

memaksa

partai politik menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan


partai politik (Biezen, 2003; Supriyanto dan Wulandari, 2012).Lantas bagaimana dengan di
Indonesia? UU tentang partai politik yang baru, yakniUU No.2 Tahun 2011 justru menambah
batasan atas sumbangan dari pihak perusahaan dari 4miliar menjadi 7,5 miliar. Kemudian,
walau UU tersebut dan UU sebelumnya juga mengatursanksi terhadap parpol yang tidak
menyerahkan laporan pertanggungjawaban penggunaandana parpol, tapi pada kenyataannya
masih banyak parpol yang melanggarnya
(hasil pemeriksaan BPK, 2009; Supriyanto dan Wulandari 2012). Adapun parpol yang memat
uhiuntuk melakukan pelaporan, kualitas laporan yang dibuat masih jauh dari kualifikasi.
Bahkanada kecenderungan kuat bahwa dalam pembuatan laporan hanya dilakukan agar
terhindar darisanksi saja, bukan dilandaskan semangat menegakkan prinsip akuntabilitas dan
transparansi pengelolaan keuangan parpol. Perilaku seperti ini dalam teori
institutional isomorphism
disebut dengan
coercive isomorphism
(DiMaggio dan Powell, 1983).
Metoda dan Model Penelitian
Metoda penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatifmerupakan
sebuah penelitian yang didasarkan pada suatu fenomena, gejala, fakta, atauinformasi sosial
(Anzar, 2011). Sementara itu, menurut Bodgan dan Taylor dalam Anzar(2011) menjelaskan
bahwa metoda penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yangmenghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang atau perilakuyang dapat diamati.
Kemudian, dari semua hal tersebut akan dibangun semacam sintesa ataudengan kata lain
mengkaitkan antara fenomena, gejala, dan peristiwa untuk dianalisis gunamenghasilkan
temuan (awal) dan konklusi yang masih harus diuji lagi.Berkenaan dengan model, penelitian
ini bersifat deskriptif. Julia Brannen (1992)dalam Anzar (2011) menjelaskan bahwa model
penelitian deskriptif yaitu model penelitianyang digunakan untuk menemukan pengetahuan
seluas-luasnya terhadap objek penelitianyang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai gejala atau keadaaan yang
ada pada saat suatu penelitian dilakukan. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana praktik
akuntabilitas organisasi partai politik (parpol) dijalankan, urgensi dan manfaat
akuntabilitas parpol, isi dan sarana akuntabilitas, serta menjelaskan dugaan gejala isomorfik p
engurus parpol dalam menjalankan praktik akuntabilitas.Untuk memperkuat hasil dan
konklusi analisis dari makalah, penelitian ini didesaindengan banyak melakukan studi
kepustakaan. Studi kepustakaan difokuskan
pada pembandingan, penganalisisan, dan penghubungan antara teori, hasil penelitian pihak lai
nserta fakta/kondisi riil yang saat ini tengah bergejolak dan dinamis. Sehingga
diharapkanmakalah akan menampilkan analisis yang cukup mendalam dan hasil yang lebih
bisa diterima
dari segi keilmiahan
karena didasarkan pada pijakan teori yang kuat dan fenomena riil yang relevan.

ANALISIS DAN DISKUSIDemokrasi, Politik, dan Sistem Partai Politik


Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata dari bahasa Yunani, yakni
demos
yang berarti rakyat dan
kratos
yang bermakna pemerintahan. Istilah demokrasi sebenarnyadiperkenalkan pertama kali oleh
Aristoteles. Beliau menginterpretasikan demokrasi sebagaisuatu bentuk pemerintahan, yakni
pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan beradadi tangan orang banyak atau
dalam hal ini berarti rakyat. Kemudian Abraham Lincoln dalam pidato
Gettysburg
-nya mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, olehrakyat, dan untuk
rakyat (Lansford, 2007). Oleh karena itu, rakyat memiliki hak, kesempatan,dan suara yang
sama dalam mengatur kebijakan pemerintah.Kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat
merupakan suatu bentuk keniscayaandalam konsep demokrasi modern sekarang ini, karena
bentuk demokrasi yang berlaku disetiap Negara adalah demokrasi tidak langsung.
Konsekuensinya rakyat melalui pemilihanumum memilih wakilnya untuk menyampaikan
pendapat dan mengambil keputusan bagimereka (Lansford, 2007). Sehingga, demokrasi
diperlukan agar segala hal yang
dilakukan pemerintah itu dapat mengarah pada kepentingan rakyat dan upaya untuk mewujud
kankesejahteraan rakyat, pemenuhan hak rakyat, serta keadilan sosial.Konsep lain yang dekat
dengan demokrasi adalah ilmu politik. Menurut Brendan
OLeary (2000), ilmu politik merupakan disiplin akademis, dikhususkan pada penggambaran,
penjelasan, analisis, dan penilaian yang sistematis mengenai politik (kebijakan) dankekuasaa
n. Sehingga ilmu politik adalah kajian tentang Negara, tujuan-tujuan Negara danlembaga-
lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan antara Negaradengan warga
Negara serta dengan Negara-negara lain (Barents, 1965). Berkenaan denganlembaga-lembaga
pelaksana tujuan tersebut, prinsip yang cukup mapan, diakui, danditerapkan oleh banyak
Negara adalah prisnsip
Trias Politica
. Berdasarkan prinsip ini,kekuasaan politik Negara dibedakan atas tiga, yakni: eksekutif
(lembaga yang menjalankanundang-undang/regulasi), legislatif (lembaga yang membuat
undang-undang), dan yudikatif(lembaga yang memiliki kekuasaan untuk mengadili).Secara
normatif, politik sendiri harusnya oleh lembaga-lembaga Negara (lihat
kembali penjelasan di atas) digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat dan mewujudkan
tujuan Negara yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemenuhan hak
dasarrakyat, dan keadilan sosial. Namun pada kenyataanya, perilaku lembaga tersebut (baca:
wakilrakyat) mengarah pada upaya memenuhi kepentingannya sendiri beserta kroni-
kroninyasehingga tidak ayal perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) membudaya,
mengakar,dan menjadi penyakit yang akut. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya kasus
KKN dinegeri ini, misalnya: kasus hambalang, kasus wisma atlet, kasus korupsi di
departemenkeuangan, kasus suap pemilihan deputi gubernur senior BI (
check
pelawat MirandaGulhtom), dll. Tidak heran jika indeks persepsi korupsi di Indonesia masih
rendah yakni 2,8 pada tahun 2009 (hasil survei Transparency International; BPKP,
2010).Oleh karena itu, akuntabilitas publik menjadi hal yang begitu urgen dalam
menjagategaknya pilar demokrasi. Namun patut disayangkan, tidak banyak riset pada sektor
publikIndonesia terutama berkaitan dengan area akuntabilitas publik. Padahal riset
sangatdibutuhkan dalam rangka memberikan pengawasan bekerjanya lembaga Negara dan

memberikan
feed
-
back
bagi lembaga-lembaga tersebut untuk terus memperbaiki kinerjanyasesuai dengan fungsi
masing-masing lembaga (
ongoing performance Management
). Risethanya beberapa saja, misalnya dikenal dan dipublikasikannya riset dengan judul:
Performance Accountability in Indonesian Government: A Symbolic Conformity
sertaAkuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah (oleh Akbar, dkk., 2012
danAkbar, 2009).Kemudian, berkenaan dengan parpol sudah cukup lama para ilmuwan
politikmenyatakan bahwa partai politik merupakan pilar dari kehidupan politik yang
demokratis.Keberadaannya menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip dasar kehidupan yang
demokratis(Bryce, 1921: Ismawan, 2004). Di Indonesia sendiri, semenjak bergulirnya
reformasi1997/1998 menunjukkan tendensi penguatan pola demokrasi. Hal tersebut ditandai
dengan pergeseran dari sistem partai
tiga
-
partai
(Golkar, PDIP, dan PPP), menjadi sistem multi- partai kompleks. Menjelang pemilihan
umum tahun 1999, tercatat ada 168 partai politik yangingin berpartisipasi, 48 partai berhak
ikut dalam pemilihan umum, dan hanya 5 partaimendapat suara signifikan (API, 1999;
Ismawan, 2004). Menjelang pemilihan umum 2004,tercatat 264 partai didirikan, 24
diantaranya menjadi kontestan resmi, dan hanya 7 partaimendapat suara signifikan serta
untuk pemilu 2009 diikuti oleh 38 parpol nasional dan 6 parpol lokal Aceh (KPU, 2004
dan 2009). Sementara itu, untuk sementara ini ada 16 parpolyang lolos verifikasi administrasi
oleh KPU untuk menjadi peserta pemilu 2014 (KPU, 2012).
Konsep Akuntabilitas Partai Politik dan Urgensinya
Akuntabilitas merupakan konsep yang kompleks dan memiliki segi yang banyak(Sinclair,
1995). Banyak pandangan mengenai definisi akuntabilitas, karena sudut pandang,sejarah,
dan/atau latar belakang adanya akuntabilitas berbeda-beda.Sehingga, akuntabilitashanya bisa
didefinisikan secara kasar. Melvin Dubnick misalnya, beliau menelusuri asal mulakonsep
akuntabilitas terhadap munculnya tradisi kerajaan yang sah sampai pada
munculnya birokrasi modern di Inggris (Dubnick, 2005; Erkkil, 2007). Tapi, konsep penelus
uranakuntabilitas dari waktu yang lama tersebut tidaklah cukup relevan karena pada masa
ituakuntansi keuangan belum diterapkan. Sehingga, yang lebih relevan akuntabilitas di
mulaidari penggunaan yang lebih luas Manajemen Publik Baru (
New Public Management
) padatahun 1980-an (Mulgan, 2003 dan Bovens, 2005; Erkkil, 2007).Selain memandang
sudut pandang sejarah, Mulgan juga memandang konsep awalakuntabilitas termasuk dalam
aspek responsibilitas/pertanggungjawaban (Mulgan, 2000;Erkkil, 2007), yang didasarkan
pada penelitian terdahulu (Harmon, 1980; Conroy, 2005).Sementara itu, Dubnick justru
cenderung memandang responsibilitas sebagai bagian dariakuntabilitas (Dubnick, 2005;
Erkkil, 2007). Namun, konteks yang lebih relevan sekarangini adalah pandangan bahwa
prinsip akuntabilitas dan responsibilitas termasuk dalam prinsip- prinsip yang dijadikan acuan
dalam pengembangan, penerapan, dan evaluasi tata kelola yang baik (
good governance
), bersama dengan transparansi, kemandirian, dan kewajaran (BPKP,2012).Berdasarkan
jenisnya, akuntabilitas dibedakan atas akuntabilitas politik, manajerial, publik, profesional,
dan personal (Sinclair, 1995; Conroy, 2005). Dalam dua dekade terakhir,akuntabilitas sektor
publik telah menjadi topik yang hangat dan mendunia (Akbar, 2009).Banyak Negara yang
telah mengintegrasikan konsep ini ke dalam tatanan regulasi dan

perundang-undangan (Fowles, 1993; Hyndman dan Anderson, 1995; Akbar, 2009).Eksistensi


parpol yang semakin berkembang kompleks semenjak bergulirnya reformasi, baikdari segi
kuantitas dan jumlah massa partai begitu urgen memerlukan akuntabilitas. Haltersebut
dikarenakan kapasitas parpol sebagai organisasi sektor publik yang menyerap sertamengelola
dana dari masyarakat atau Negara (Bastian, 2001).Akuntabilitas sektor publik secara umum
diukur dengan indikator keuangan dankinerja. Untuk organisasi atau instansi pemerintah
sekarang ini akan lebih melihat indikatorkinerja daripada indikator keuangan. Karena,
kapasitas dan tanggung jawab pemerintahsebagai pelayan publik secara langsung. Indikator
kinerja memiliki peran yang signifikandalam pengendalian manajemen untuk menjamin
bahwa organisasi pemerintah dikeloladengan baik guna melayani para
stakeholder
-nya sebaik mungkin (Akbar, 2009).Sementara itu, indikator akuntabilitas yang relevan
mendapatkan perhatian intensif pada parpol adalah indikator keuangan. Hal tersebut karena
parpol tidak memiliki kewajibanuntuk memberikan pelayanan publik, namun menyerap dana
subsidi dari APBN sertaeksistensinya mempengaruhi jalannya pemerintahan Negara dan
tegaknya demokrasi.
Lagi pula tuntutan untuk dilakukannya akuntabilitas belum lama bergaung. Sehingga, saranaa
kuntabilitas yang urgen dibutuhkan sekarang sebagai fase awal perwujudan akuntabilitasdan
transparansi pada parpol adalah dengan menyusun laporan keuangan terkait dengansumber
dana bantuan parpol dan alokasi belanja parpol, kemudian memberikan akses publikterhadap
laporan tersebut.
Akuntabilitas Keuangan Partai Politik
Sekarang ini, akuntabilitas keuangan parpol terutama berkenaan dengan
sumber pendanaan dan penggunaan bantuan dana parpol merupakan sesuatu hal yang harusdi
implementasikan. Hal tersebut mengingat pengeluaran operasional parpol yang cukuptinggi
sementara sumber pendanaan yang legal tidak begitu memadai. Jangan sampai parpolmelalui
politikusnya mencari sumber pendanaan ilegal yang justru mengarah pada skandalkorupsi,
politik uang, dan pencucian
uang. Namun sungguh ironi, di saat masyarakat dan regulator membutuhkan laporanakuntabil
itas dalam rangka mengawasi pengelolaan dana dan kegiatan partai tidak dibarengidengan
komitmen parpol untuk menyajikan dan menyampaikan laporan keuangan parpol
ke publik. Penelitian yang dilakukan oleh Emmy Hafild bersama Transparency Internationalt
ahun 2008, menunjukkan partai politik di tingkat pusat sangat rendah kepatuhannya
terhadapkewajiban menyajikan laporan keuangan partai politik yang baik dan benar
sehinggaakuntabilitas partai politik di tingkat pusat rendah, karena masyarakat tidak dapat
mengaksessecara luas sumber-sumber pendanaan yang digunakan oleh partai politik.
Regulasi Bantuan Partai Politik
Pascapemilu 2004, kasus-kasus perburuan dana ilegal oleh politisi dan partai politikmulai
terungkap ke permukaan, seperti skandal korupsi dana Kementerian Kelautan danPerikanan
dan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang melibatkan
sejumlah politisi dari beberapa partai politik. Kemudian yang terbaru, mulai terkuaknya kasus
hambalang membuat Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga) yang notabenenya salah
satu petinggi partai penguasa, harus nonaktif dari posisinya sebagai menteri. Semestinya

pengungkapan skandal-
skandal oleh KPK tersebut mendorong partai politik untukmemperketat pengelolaan
keuangan partai politik melalui perubahan undang-undang
partai politik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. UU No. 2 Tahun 2008 yang merupakan
pengganti UU No. 31/2002 malah melonggarkan pengaturan sumber keuangan partai
politik.Dalam undang-undang tersebut, walau dilakukan pembedaan
penyumbang perseorangan anggota partai politik dan penyumbang perseorangan bukan angg
ota partai politik namun jenis penyumbang perseorangan non-
anggota ini tidak dibatasi besaransumbangannya sehingga bisa menjadi jalan untuk
menampung dana dari siapapun sebesarapapun. Hal ini tentu dikhawatirkan terjadinya
penguasaan para pemilik uang yang selama inimenjadikan partai sebagai institusi oligarkhi,
elitis, dan personalistis (Messwati, 2011).UU No. 2 Tahun 2011 yang merupakan perubahan
terhadap UU No. 2 Tahun
2008 baru terjadi perubahan signifikan pada pengaturan sumber keuangan partai politik. Halt
ersebut nampak pada peningkatan besaran sumbangan perusahaan, dari Rp 4 miliar
menjadiRp 7,5 miliar. Namun demikian, terjadi juga pengetatan pada pengaturan bantuan
keuangan.UU No. 2 Tahun 2011 memang mempertahankan kriteria partai politik yang
berhakmenerima sumbangan, yakni partai politik yang mendapatkan kursi di DPR/DPRD.
Demikian juga cara penghitungan besaran sumbangan berdasarkan perolehan suara.Hal baru
dari UU No. 2 Tahun 2011 adalah peruntukan dana bantuan negara, yaknidiprioritaskan
untuk pendidikan politik daripada operasional sekretariat. Selain itu, untukmenegakan prinsip
transparansi dan akuntabilitas, laporan keuangan penggunaan bantuankeuangan partai politik
harus diaudit oleh BPK. Sementara itu, partai politik yang tidakmembuat laporan
pertanggungjawaban penggunaan bantuan keuangan, bantuan
keuangan berikutnya dihentikan. Untuk mengetahui perbedaan dalam hal pengaturan bantuan
partai politik dengan UU sebelumnya, akan disarikan dalam tabel berikut:

Tabel 1.1Pengaturan Sumber Keuangan Partai Politik dalam Empat Undang-undang


Perihal UU No.2/1999 UU No. 31/2002 UU No. 2/2008 UU No. 2/2011Sumber Iuran anggot
a;sumbangan; usahalain yang sah; bantuan negaraIuran anggota;sumbangan; bantuan
negaraIuran anggota;sumbangan; bantuan negaraIuran anggota;sumbangan; bantuan
negaraBatasansumbangan(bantuannon-negara)Perseorangananggota maksimalRp15
juta; perusahaanmaksimal Rp150 jutaPerseorangananggotamaksimal
Rp200 juta; perusahaanmaksimal Rp800 jutaPerseorangananggotamaksimal
Rp1miliar; perusahaanmaksimal Rp4miliarPerseoranganmaksimal
Rp1miliar; perusahaanmaksimal
Rp7,5miliarMetoda penetapan jumlah bantuannegara(tidak diatur) Secara proporsional berdas
arkan jumlah kursiSecara proporsional berdasarkan jumlah perolehan
suaraSecara proporsional berdasarkan jumlah perolehansuaraPenerima bantuannegaraParpol
yangmemperoleh suaradalam pemiluParpol yangmemiliki kursi diDPR/DPRDParpol
yangmemiliki kursi diDPR/DPRDParpol yangmemiliki kursi diDPR/DPRD

Sarana Akuntabilitas: Standar Jenis, Bentuk, dan Isi, serta Praktik Pelaporan
Setidaknya, laporan keuangan partai politik dibedakan atas 2 jenis: laporan keuangantahunan
dan laporan keuangan pemilu. Berdasarkan pasal 39 UU No. 2 Tahun 2011,
partai politik diwajibkan membuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana oleh akunta
n publik serta diumumkan secara periodik, yang meliputi: (a) laporan realisasi
anggaran partai politik; (b) laporan neraca; dan (c) laporan arus kas. Untuk laporan pemilu di
atur dengan peraturan KPU No. 1 Tahun 2009, yang mengharuskan pembuatan laporan perta
nggungjawaban (sumber) dana kampanye. Namun demikian, standar yang dipakai saatini
yakni PSAK No. 45 tentang Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba, di mana sangat
tidakmemadai karena tidak mengakomodasi karakteristik partai (Hafild, 2008).
Perbedaankaraketristik tentu akan mengakibatkan perbedaan transaksi keuangan, bentuk
laporankeuangan, dan pengukuran-pengukuran tertentu terhadap pos-pos dalam laporan
keuangan.

Peruntukan (tidak diatur) (tidak diatur) Pendidikan politik danopersionalsekretariatDiprioritas


kanuntuk pendidikan politikLaporan pertanggung-
jawaban(tidak diatur) (tidak diatur) Menyampaikanlaporan pertanggung-
jawaban kepada pemerintahsetelah diperiksaBPKMenyampaikanlaporan pertanggung-
jawaban kepadaBPK untukdiauditSanksi
tidakmenyerahkanlaporan(tidak diatur) (tidak diatur) Penghentian bantuan sampailaporan
diterima pemerintahPenghentian bantuan sampailaporan diterima pemerintah
Sumber: UU No. 2/1999, UU No. 31/2002, UU No. 2/2008, UU No. 2/2011

Organisasi Nirlaba Organisasi politik


UU yayasan UU partai politik dan pemilu
Tidak ada batasan penyumbang Ada batasan penyumbang
Tidak ada kewajiban melaporkan Daftar penyumbang wajib dilaporkan
daftar penyumbang
Hasil kegiatan berupa jasa layanan dan Hasil kegiatan brupa kegiatan politik
kepentngan umum
Akuntabilitas berupa kegiatan sesuai Akuntabilitas berupa bersih dari politik
dengantujuan organisasi dan uang,kepatuhan terhadap hukum, dan posisi
manajemen yang baik politiksesuai dengan janji kepada rakyat
Kinerjanya dinilai dari rasio biaya Kinerjanya dinilai dari rasio biaya
terhadapkualitas jasa dan jasa/produk dan jumlah suara yang didapatkannya dalam pemilu
sosial yangdihasilkan
Kecuali untuk ormas, pada Merupakan organisasi publik sehinggakebutuhan
umumnyaorganisasi merupakan publik untuk menilai kinerja partai
organisasi publik sehingga kebutuhan politik lebih besar dibanding organisasinirlaba
publik untuk menilaikinerjanya lebih lainnya
kecil dibandingkan parpol
Sumber : IAI 2003

Selain masalah belum memadainya standar, praktik pelaporan keuangan parpolsebagai sarana
mewujudkan akuntabilitas dan transparansi partai politik tidak berjalansebagaimana yang
diharapkan. Misalnya adalah hampir semua laporan
pertanggungjawaban partai politik buruk karena melaporkan penggunaan dana bantuan keuan
gan tidak sesuaidengan peruntukan. Namun, partai politik yang menyampaikan laporan
pertanggungjawabansesungguhnya sudah lebih baik karena kenyataannya banyak partai
politik yang tidakmenyampaikan laporan pertanggungjawaban. Padahal, sebagaimana diatur
dalam PP No. 5Tahun 2009 yang diperjelas lagi oleh Permendagri No. 24 Tahun 2009,
format laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan
keuangan itu sangat sederhana sebagaimanatampak pada tabel berikut:

Tabel 1.3Format Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Bantuan Keuangan

NO JENIS PENGELUARAN JUMLAH (RP) REALISASI (RP) KET


1 2 3 4 5
A PENDIDIKAN POLITIK
B OPRASIONAL SEKRETARIAT
Administrasi umum
Keperluan atk
Rapat internal sekertariat
Ongkos perjalanan dinas dalam
rangka oprasional sekertariat
Langganan daya dan jasa
Telpon dan listrik
Air minum
Jasa dan pos giro
Surat menyurat
Pemeliharaan jasa dan arsip
Pemeliharaan peralatan kantor
JUMLAH
Sumber: PP No. 5 Tahun 2009 dan Permendagri No. 24 Tahun 2009

Dari hasil pemeriksaan BPK, tampak bahwa partai politik pada semua tingkatan
tidakmemahami bagaimana laporan penggunaan dana subsidi negara dari APBN/APBD,
meskipunPP No. 5 Tahun 2009 dan Permendagri No. 24 Tahun 2009 sudah menjelaskan
mana kegiatanyang boleh dan mana yang tidak boleh didanai oleh dana subsidi. Akibatnya,
banyak parpol pada tiap daerah di Indonesia tidak menyusun laporan penggunaan dana
subsidi parpol. Dari20 daerah tingkat 1 dan 2 yang diperiksa, hanya 5 daerah saja yang semua
parpolnyamelakukan penyusunan laporan penggunaan dana bantuan. Daerah tersebut
diantaranya: DKIJakarta, Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Bandung, Kota Semarang, dan
KotaBanjarmasin (BPK, 2009; Supriyanto dan Wulandari, 2012).Selain itu, BPK telah
menunjukkan adanya berbagai masalah dan pelanggaranterhadap ketentuan penggunaan dana
subsidi ABPN/APBD. Namun sampai sejauh ini, hasil pemeriksaan BPK tidak dijadikan
tolok ukur untuk memberikan sanksi kepada partai politikyang terbukti telah melanggar
ketentuan penggunaan dana subsidi.UU No. 2 Tahun 2011 mewajibkan partai politik
menyampaikan laporan pertanggung-
jawaban penggunaan bantuan keuangan untuk diaudit BPK dan bisa diakses publik. Namun k
enyataannya, banyak partai politik tidak membuat laporan pertanggungjawaban. Hal tersebut
akan berpengaruh pada lambatnya pencairan dana bantuanyakni pada perioda Oktober-
November dan pada gilirannya prinsip transparansi danakuntabilitas penggunaan dana
bantuan keuangan partai politik tidak berjalan baik(Supriyanto dan Wulandari, 2012).
Dengan perioda pencairan dana yang dekat
dengan perioda untuk membuat laporan, maka sangat masuk akal jika kualitas laporan yangdi
hasikan juga rendah apalagi aktivitas parpol sendiri sudah banyak, mulai dari
kampanye,muktamar, pengkaderan, kunjungan kerja, dll.Untuk mengatasi hal di atas, UU No.
2 Tahun 2011 sebetulnya secara eksplisit sudahmengatur tentang pemberian sanksi bagi
parpol yang tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban
penggunaan keuangan. Sanksi berupa dihentikannya
bantuan keuangan pada tahun anggaran berjalan. Kenyataannya, sanksi tersebut tidak pernah
dijatuhkansehingga semua partai politik pada setiap tingkatan. Pada akhirnya mereka tetap
menerima bantuan keuangan setiap tahun anggaran (dari berbagai sumber,
disarikan).Mengapa demikian? Diduga kuat, selain karena tekanan partai politik melalui
wakil-wakilnya di DPR/DPRD kepada pemerintah agar terus mencairkan dana bantuan setiap
tahun, pemerintah juga tidak bisa memastikan partai mana yang harus mendapatkan sanksi, d
an partai mana yang tidak, karena mekanisme dan siklus pencairan dana bantuan keuangan be
lum jelas diatur oleh peraturan pemerintah. Oleh karena itu, UU No. 2 Tahun 2011
menegaskan kembali, bahwa partai politikyang tidak menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan tahunansebelumnya, pencairan dana bantuan
tahun anggaran berjalan bisa ditangguhkan,
maka peraturan pemerintah harus mengatur penjatuhan sanksi ini. Pengenaan sanksi ini akan
mudah dilakukan apabila siklus bantuan keuangan partai politik diatur secara jelas
dalam peraturan pemerintah. Gejala Isomorfik dalam Organisasi Parpol

Teori Isomorfisme Institusional


Teori isomorfisme merupakan suatu teori yang terbentuk dari teori birokrasi,
yangnotabenenya cukup mapan diterapkan pada sektor publik, terutama di pemerintahan.
Dalam birokrasi ditemukan suatu kecenderungan antar organisasi dalam dimensi cakupan dan
kondisi lingkungan yang sama melakukan operasi perusahaan dengan berdasar pada
struktur,tujuan, visi, dan misi yang sama. Konsep ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk
umumorganisasional. Hal ini membuat organisasi-organisasi beroperasi secara mirip/sama.
Bentukoperasi yang terstandardisasi lebih menitikberatkan pada legitimasi dan kekuatan
politik.Identik dengan birokrasi, teori isomorfisme institusional juga masih menjelaskangejala
dan fenomena homogenisasi atau standardisasi. Hanya saja, teori ini
menitikberatkan pada aspek keperilakuan dalam proses menjalankan aturan. Isomorfisme dap
at dikatakansebagai proses desakan yang mendorong satu unit organisasi cenderung sama
denganorganisasi lain yang punya kekuatan dalam suatu lingkungan yang sama (Hawley,
1968;DiMaggio dan Powell, 1983).Ada dua jenis isomorfisme, yaitu isomorfisme kompetitif
(competitive isomorphism)dan isomorfisme institusional (institutional isomorphism). Pada
hakikatnya kedua jenis isomorfisme ini sama, yang membedakan hanyalah bagaimana cara
organisasi mendapatkankekuatan untuk mengatur. Jenis yang pertama, dalam rangka
mendapatkan kekuatan untukmengatur, organisasi harus menang dalam kompetisi pasar.
Sementara itu, jenis yang keduadiperoleh melalui persaingan politik untuk mendapatkan
kekuatan politik dan legitimasiinstitusional. Studi ini mengadopsi jenis yang kedua karena
organisasi sektor publik dalamhal ini partai politik tidak berada dalam lingkungan kompetisi
bebas dan terbuka sepenuhnya.Kemudian, untuk mengetahui dorongan eksternal yang
membuat organisasimenjalankan standar atau regulasi yang ditetapkan organisasi di atasnya
dapat dijelaskanmelalui tiga mekanisme perubahan isomorfik institusional berikut ini
(DiMaggio dan Powell,1983):1.

Isomorfisme Koersif (
coercive isomorphism
)Koersif merupakan bentuk isomorfik yang disebabkan oleh paksaan dari
kepastianaturan/standar yang diberikan. Suatu pihak diharuskan untuk mengikuti atau
menjalankanaturan yang diberikan, karena ada alat untuk menekan berupa sanksi atau
hukuman. Jika adamandat/perintah dari pemegang kekuasaan maka pihak yang dipimpin
secara langsungmemberikan respon.2.

Mimetik (
mimetic isomorphism
)Berbeda dengan perilaku isomorfik koersif yang disebabkan faktor kepastian
(aturan), proses mimetik justru disebabkan oleh hal-
hal yang sifatnya tidak pasti. Organisasi di sinidihadapkan dengan masalah kompleks yang
tidak jelas penyebabnya. Untuk itu, dalamrangka mendapatkan solusi yang cepat dan aman
maka organisasi memilih untuk menirukebanyakan organisasi lainnya dalam mematuhi suatu
regulasi.3.

Normatif (
normativeisomorphism
)Bentuk perilaku/proses isomorfik ini adalah yang terbaik karena muncul atas
dasar profesionalisme. Profesionalisme timbul dari proses pembelajaran yang baik dan
kepercayaanyang kuat dari organisasi. Organisasi sadar bahwa sesuatu (aturan) itu dilakukan
karenatanggung jawabnya sebagai pihak yang diatur. Organisasi tersebut juga sadar dan
percaya bahwa tanggung jawab yang dilakukan, nantinya juga akan memberikan manfaat pad
aorganisasi tersebut.
Isomorfisme di Organisasi Parpol tehadap Regulasi Penyelenggaraan Akuntabilitas
Pada praktik penyerahan laporan partai politik secara periodik kepada pemerintahterutama
terkait dengan sumber pendanaan partai dan penggunaan dana bantuan tidakmenunjukkan
indikasi adanya isomorfisme institusional. Hal tersebut dikarenakan dalam
UU No. 2 Tahun 2011 tidak mengatur sanksi yang tegas bagi partai politik yang tidakmenyel
enggarakan akuntabilitas dan transparansi. Sanksi yang dijatuhkan bagi parpol pelanggar
aturan ini hanya berupa penghentian bantuan dari APBN sampai laporan diterima pemerintah.
Sementara itu, nilai bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya 1,3% daritotal
kebutuhan operasional partai politik per tahun (Anggraini, 2012; Supriyanto danWulandari,
2012). Kepatuhan yang rendah pada regulasi ini tidak sejalan dengan teoriisomorfisme
institusional.Gejala adanya isomorfisme pada partai politik justru diduga kuat terjadi
terhadap praktik pelaporan dana kampanye yang diatur oleh KPU melalui peraturan KPU No.
1 Tahun2009. Aturan ini memberikan sanksi tegas berupa penganuliran kemenangan parpol
peserta

12

pemilu dan/atau calon eksekutif dan legislatif yang diusungnya jika tidak menyerahkanlapor
an pertanggungjawaban dana kampanye pada KPU sampai batas waktu yang
ditetapkan.Selaras dengan teori isomorfisme institusional, KPU melalui regulasinya memiliki
kekuatandan legitimasi untuk menekan partai politik dalam rangka menyelenggarakan
pelaporan pertanggungjawaban dana kampanye. Oleh karena itu, dalam konteks inilah isomor
fismekoersif kemungkinan besar hadir di dalam organisasi partai politik.Dugaan penulis
selaras atau diperkuat dengan penelitian dari Anzar (2011) terhadap pelaksanaan pemilu
di Banten tahun 2009. Anzar menemukan bahwa calon anggota legislatifyang menjadi
informan dalam penelitiannya merasa tidak ada kewajiban moral bagi merekauntuk
melaporkan kepada publik seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yangtelah
mereka peroleh dan pergunakan selama masa kampanye dan pada saat pemungutansuara,
karena dana yang mereka peroleh berasal dari dana pribadi dan pihak ketiga yang
tidakmeminta laporan atas dana yang diterima dan digunakan oleh mereka.
KONKLUSI
Bergulirnya reformasi tahun 1998 menandai runtuhnya rezim orde baru yang represif.Rakyat
begitu larut pada eforia demokrasi setelah sebelumnya terbelenggu kebebasannyaselama
kurang lebih 32 tahun. Eksistensi partai politik pun memiliki peran yang begitu vitaldemi
tegaknya demokrasi karena dianggap sebagai konektor rakyat dengan
pemerintahan.Ekspektasi rakyat yang besar diberikan kepada parpol melalui kader-kadernya
di lembagaeksekutif dan legislatif untuk mendesakkan aspirasi rakyat atau parpol oposisi
yang bertindakuntuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro-
rakyat. Namun demikian, ekspektasi yang besar hanyalah hal normatif. Realita sekarangmenu
njukkan parpol justru cenderung dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk
memenuhiambisi/kepentingan mereka dan acapkali merugikan rakyat. Hal tersebut
dibuktikan
dengan banyaknya skandal korupsi, suap, politik uang, dan pencucian uang yang melibatkan
kader partai bahkan ironinya partai penguasa itu sendiri. Oleh karena itu, tuntutan
penyelenggaraanakuntabilitas kian kencang berkumandang.Bentuk akuntabilitas yang begitu
urgen adalah berkenaan dengan keuangan parpolterutama sumber dana sumbangan dan
kampanye parpol beserta penggunaannya. Pengeluaranoperasional parpol yang besar
sementara sumber dana resmi tidak cukup memadaimendorong parpol mencari dana ilegal.
Ada tendensi kuat kader-kader partai yangmenduduki anggota eksekutif maupun legislatif
dipaksa untuk korupsi uang Negara. Haltersebut tidak lain adalah untuk menyumbang partai
demi membiayai operasional parpol bermanuver politik yang sarat akan

nafsu berkuasa

. Kalaupun sumber dana dari pihakswasta, realita sekarang menunjukkan tendensi terjadinya
skandal suap atau pencucian uangdan tentu sarat akan

kepentingan tertentu

. Oleh karena itu, akuntabilitas keuangan parpoldapat dijadikan sarana untuk mengawasi
parpol agar terhindar dari praktik-praktik tersebut.Praktik akuntabilitas parpol sendiri saat ini
terdapat beberapa masalah.
Selain persoalan standar keuangan yang dinilai tidak memadai karena tidak sesuai dengankar
akteristik parpol, komitmen parpol juga rendah dalam menyelenggarakan laporankeuangan.
Banyak partai politik yang tidak menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana sumbangan, padahal format laporan yang sederhana (
disarikan dari hasil pemeriksaan BPK dan transparency international Indonesia: tinjau kembal
i penjelasansebelumnya). Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh sanksi yang kurang tegas
yakni
hanya berupa penghentian bantuan dari APBN sampai laporan diterima, padahal bantuan ters
ebuthanya cukup mendanai 1,3% saja dari total pengeluaran partai.

Kemudian, untuk dana kampanye tingkat kepatuhan pembuatan laporan akuntabilitasdiduga


kuat cukup tinggi. Hal tersebut karena sanksi dari KPU sebagaimana tertuang dalamPeraturan
KPU No. 1 Tahun 2009 yang menganulir kemenangan parpol atau kader yangdiusungnya.
Namun demikian, kepatuhan pembuatan pelaporan diduga kuat terjadi
coerciveisomorphism
bagi parpol dan kadernya mengingat rendahnya kualitas laporan dan rendahnyakomitmen
akuntabilitas yang selama ini ditunjukkan parpol.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Rusdi. 2009


. Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah. Diajukan
dalam rangka
Seminar Nasional Inisiatif BPK Dalam Peningkatan Transparansi
dan Akuntabilitas Keuangan Negara dan Daerah Melalui Pengembangan KapasitasSumber
Daya Manusia Pemerintah Pusat dan Daerah
. Jakarta: BPK RI.Anonim.
2003. Akuntansi Parpol dan Audit Dana Kampanye. Dalam
http://iaiglobal.or.id. Diakses tanggal 27 Desember 2012.Anonim.
2011. Dana Parpol Tak Jelas, Demokrasi Buruk. Dalam
http://nasional.kompas.com/. Diakses tanggal 25 Desember 2012.Anzar, Dahnil. 2011
. Akuntabilitas Keuangan Partai Politik di Banten. Dalam
Jurnal LAB- ANE dan proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011
. ISBN: 978-602-96848-2-7. Banten: FISIP Universitas Ageng Tirtayasa.Barents J.. 1965.
Ilmu Politik Suatu Perkenalan Lapangan
, Terjemahan L. M. Sitorus.Jakarta: Pembangunan.Bastian, Indra. 2001.
Akuntansi Sektor Publik di Indonesia
. Yogyakarta: BPFE.BPKP.
2010. Rencana Strategis BPKP 2010
-
2014. Dalam http
://www.bpk.go.id. Diaksestanggal 20 November 2012.BPKP.
2012. Program Pengembangan GCG. Dalam
http://www.bpkp.go.id/konten/423/GCG.bpkp. Diakses tanggal 20 November 2012.Conroy,
Denise K..
2005. Non
-profit Organisations and Accountability: A Comment on theMulgan and Sinclair
Frameworks

. Dalam
Jurnal Third Sector Review
, 11 (1). pp.103-116. Brisbane: Queensland University of Technology.DiMaggio, P. J., and
W. W. Powell.
1983. The Iron Cage Revisited: InstitutionalIsomorphism and Collective Rationality in
Organizational Fields. Dalam
AmericanSociological Review
48: 147-160.Erkkil, Tero.
2007. Governance and Accountability

A Shift in Conceptualisation. Dalam


PAQ SPRING dan Konferensi Tahunan EGPA
.Hafild, Emmy.
2008. Laporan Studi Standar Akuntansi Keuangan Khusus Partai Politik.
ISBN 979-9381-35-5. Jakarta: Transparency International Indonesia.Ismawan, Riswandha.
2004. Partai Politik di Indonesia: Pergulatan
Setengah Hati, Mencari
Jati Diri. Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah
Mada dalam Rangka Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial danPolitik tanggal
4 September 2004 di Yogyakarta.Komisi Pemilihan Umum. 2012. Dalam http://kpu.go.id./
Diakses tanggal 26 Desember 2012.Lansford, Tom. 2007.
Democracy: Political System of World
. Marshall Cavendish. ISBN978-0-7614-2629-5.Messwati, Elok Dyah.
2011. Penting, Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Parpol Dalam
http://nasional.kompas.com/read/2011/08/25/20291287/Penting.Akuntabilitas.Pengelolaan.K
euangan.Parpol. Diakses tanggal 25 Desember 2012.14

O
leary, Brendan.
2000. Ilmu Politik dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial
, Diterjemahkan Haris Munandar, dkk. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.Peraturan KPU No.
1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye.Permendagri No. 24 Tahun
2009.PP No. 5 Tahun 2009.Sinclair, A..
1995. The Chameleon of Accountability: Forms and Disclosures.
Dalam
Accounting Organizations and Society
, 20 (2&3): 219-237.Supriyanto, Didik dan Wulandari, Lia. 2012.
BANTUAN KEUANGAN PARTAI POLITIK: Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan
Akuntabilitas Pengelolaan
. Jakarta:Perludem.UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2002.UU No. 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008.UU No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik sebagai Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1999.

Vous aimerez peut-être aussi