Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PUTU SETIA
MENGGUGAT
BALI
Menelusuri Perjalanan Budaya
Menggugat Bali: Menelusuri Perjalanan Budaya
Putu Setia
Ilustrasi oleh: S. Prinka
ISBN 979-444-032-9
Pengantar Penerbit
S
etiap pembangunan niscaya membawa pergeseran nilai.
Dan Bali tak luput dari hukum besi itu. Bahkan di sini
-- sebuah kawasan yang paling gencar dilanda industri
pariwisata -- gerak laju pergeseran nilai berjalan jauh lebih
cepat dan bagi banyak pihak terasa mencemaskan: akan ke mana
Bali dengan khasanah kebudayaannya yang luhur itu?
Putu Setia, seorang putra Bali asli, bisa disebut pengamat per-
manen atas perubahaan yang terjadi di pulaunya. Ia bergelut erat
dengan budaya Bali dengan segala pernik-perniknya, kemudian
meninggalkan Bali pada awal 1978, merantau di budaya yang
lain. Dalam suatu kesempatan, ia berkunjung kembali ke tanah
kelahirannya pada awal 1986 yang memungkinkan baginya untuk
mengamati dari dekat serta merenungkan secara intens perkem-
bangan berbagai aspek budaya Bali. Hasilnya: ia menggugat. Atau
dengan kata lain, ia mempertanyakan perubahan sosial budaya yang
terjadi akibat pembangunan yang diterapkan secara menggebu, dan
mungkin ada sebagian yang salah.
Meski menggugat, Putu Setia masih melihat celah. Ia bukan
orang yang emoh dengan perubahan, melainkan sekadar mendam-
bakan perubahan yang berakar. Ia ingin melihat suatu dinamika
yang sehat dari masyarakat Bali sebagai perbenturan nilai yang
tidak terelakkan.
Hasil pengamatan itu adalah buku Menggugat Bali, terbit 1986
oleh Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, grup Tempo di mana Putu
Setia bekerja. Buku ini mendapat hadiah pertama sebagai buku
non-fiksi terbaik dari Yayasan Buku Utama Departemen Pendidi-
kan dan Kebudayaan pada 1986. Buku ini pun diterjemahkan ke
dalam bahasa Jepang dan menjadi rujukan wisatawan Jepang yang
ingin mempelajari budaya Bali.
Untuk menjaga keaslian buku ini, pada edisi online ini tak ada
perubahan apa pun yang dilakukan penulisnya. Dengan demikian
rekaman perjalanan budaya Bali ini dampai dengan tahun 1986
pada saat buku edisi cetak ini diterbitkan.
Ada rencana untuk melanjutkan menulis perjalanan budaya
Bali itu untuk menguji apakah yang ditulis dalam buku ini berubah
atau tida. Tunggu Menggugat Bali edisi Update.
Selamat menikmati Bali yang bergerak dengan sangat dina-
mis.
Daftar Isi
X. MADU DAN RACUN ANAK AGUNG MADE
CAKRA (Cerita Tentang Lagu Pop Bali yang
Marak) -- 164
XI. BUAH UPAKARTI I NYOMAN TOGOG (Seni
Kerajinan di Tengah Arus Pariwisata) -- 171
XII. LANGKAH-LANGKAH PANDE WAYAN SUT-
JA NEKA (Lukisan Bali dan Museum Seni) -- 186
XIII. I GUSTI ADNYA SUBRATA DI KUTA MIMBA
(Kasus Desa Kuta di Tengah Arus Pariwisata) -- 201
XIV. PARA PEWARIS RATU SAKTI PANCERING
JAGAT (Kasus Kepariwisataan di Desa
Trunyan) -- 219
XV. KECEMASAN DARI DESA KI PATIH TU-
JUNG BIRU (Kasus Kepariwisataan di Desa Kuno
Tenganan) -- 241
XVI. NYONYA GEDONG BAGUS OKA, GOOD
NIGHT (Ashram Hindu Gerakkan Dunia Wisata
Candi Dasa) -- 255
XVII. ASSALAMUALAIKUM NENGAH IBRAHIM
(Melihat Kampung Muslim Pegayaman) -- 272
XVIII. RINI WAHYUNI SEBUAH EPILOG (Ritual Bali
dan Wajah Hindu Nusantara) -- 280
KEPUSTAKAAN -- 296
TENTANG PENULIS -- 298
I
Pengantar Penulis
di Buku
Menggugat Bali
1986
Di Bali:
pantai, gunung, tempat tidur,
dan pura telah dicemarkan.
T
EMAN saya, seorang penyair muda di Yogyakarta, mem-
baca sajak Rendra yang berjudul Sajak Pulau Bali yang
diambil dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi
yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta. Sajak itu
tidak dibacanya di panggung, tetapi di ruang kerja saya, ketika
saya bermukim di Yogyakarta. la membacanya dengan keras dan
lebih keras lagi ketika sampai pada tiga baris penutup seperti di
atas.
Maksudnya mengejek saya, tentu. Apalagi, setelah pembacaan
sajak gratis itu, ia menambahkan, Bali benar-benar komersial.
Daerah itu berjalan menuju neraka. Saya tersenyum.
Rentetan umpatan sang penyair muda ini memang masih
panjang. Upacara adat dan upacara agama di Bali, katanya, sudah
bisa dibeli. Tari sakral sudah bisa dijinakkan oleh dolar. Tari itu
bisa main di mana saja, kapan saja, asal ada dolar. Bahkan bisa
diperpanjang dan diperpendek, tergantung acara tamu. Apa lagi
yang bisa dipertahankan oleh Bali-mu?
Tetapi, teman saya tak membutuhkan jawaban dari mulut saya.
Ia menjawab sendiri, Kukira tidak ada lagi. Pasir putih di pantai
dan lambaian nyiur bukan lagi milik nelayan Bali. Pantai itu milik
orang Jakarta, atau mungkin orang asing. Kau dengar, lelaki Bali
sekarang cukup menjadi budak cewek bule? Kau tahu, sepasang
turis dari Jepang atau Australia, aku tak jelas, kawin dengan
upacara Bali secara besar-besaran? Kau tahu, Kuta sekarang ini
sudah menjadi daerah asing seperti bukan bagian dari Indonesia
ini? Kau tahu . . ..
Saya agak malu menyebutkan sejumlah umpatan teman saya
seterusnya. Juga tidak lagi ingat kata-katanya yang persis. Yang
saya ingat, rasanya saya bertanya kepadanya, berapa lama ia
mengunjungi Bali. Saya tiga hari penuh berkeliling dengan me-
nyewa sepeda motor. Ini kunjungan saya yang pertama, dan saya
kecewa.
***
SEHARI itu dua puluh empat jam. Tiga hari berarti tujuh pu-
luh dua jam. Tak mungkin ia terus-menerus bepergian tanpa tidur.
Katakanlah sehari tidur enam jam, berarti ia menikmati Bali selama
54 jam. He, Bung, apa yang kau lihat selama 54 jam itu? Bali
tidak hanya Denpasar, Pantai Kuta, Sanur, Ubud, Tanah Lot, atau
Sangeh. Bali seluas 5.808,8 km2 dengan penduduk hampir tiga juta
jiwa. Kesenian Bali tak cuma kecak, barong, fragmen Ramayana.
Teman, kukira kesimpulanmu keluar terlalu eepat.
Teman saya, tentu saja, tidak mendengarnya. Pledoi saya ini,
hanya dalam batin, setelah teman saya pergi.
10
Saya yakin, tuduhan teman saya berlebihan. Banyak suara sum-
bang tentang Bali, dari orang-orang yang melakukan kunjungan
serba singkat. Namun, saya pun menyadari, tuduhan itu sebagian
benar. Perubahan telah menimpa pulau kelahiran saya, ini tak
mungkin saya bantah. Dinamika perubahan itu tak cuma melanda
daerah-daerah turis di Bali bagian selatan dan timur, tetapi juga
keseluruhan Bali. Hanya memang, di kantung-kantung turis di Bali
itu, gerak laju perubahan terasa lebih cepat. Perubahan, seperti
pula yang terjadi di mana saja di dunia ini, tentu tak semuanya
menakutkan.
Saya bersyukur, menyaksikan sebagian perubahan itu berjalan.
Saya mengikuti sebagian jalannya, walau tidak dengan kecermatan.
Boleh jadi, saya berada di dalamnya, dan ikut menggelinding
bersama perubahan itu.
Ketika Hotel Bali Beach dibangun di pantai Sanur hotel
pertama yang paling tinggi di Bali saya termasuk sekian bocah
yang merengek-rengek kepada Ibu, agar diantarkan melihat proyek
raksasa itu. Dalam usia seorang anak sekolah dasar, dan tinggal di
pegunungan, saya terbengong-bengong menyaksikan bagaimana
bangunan luar biasa itu dikerjakan. Dan, malam harinya, saya
menggigil ketakutan, ketika ibu saya bercerita, betapa banyak hantu
dan leak yang mengganggu buruh yang sedang bekerja di proyek
itu. Kata Ibu, malam-malam, hantu di pantai Sanur gentayangan.
Di adonan pasir dijumpai tengkorak, begitu diangkat, hilang. Di
tangga dijumpai rangda dengan mukanya yang seram. Kata Ibu,
leak dan hantu itu protes, karena hotel itu dibangun di atas peku-
buran, tanpa menggusur kerangka-kerangka yang ada di sana.
Desa Sanur, ketika saya masih bocah, adalah desa yang meny-
eramkan, pusat segala yang menakutkan. Mendengar nama Sanur
saja, seperti bercanda dengan maut. Ibu saya sering bercerita
tentang leak Sanur, untuk menidurkan adik-adik saya. Siang hari,
kalau kami bermain kelereng, untuk menghardik anak yang bandel
dan curang, saya biasanya mengumpat dengan kata-kata, Pantas
curang, nenekmu dari Sanur, ya? Juga untuk menunjukkan suatu
tempat yang jauh, misalnya, kelereng lawan bisa saya pukul jauh,
11
saya berteriak, Hore, . . . kelerengmu tiba di Sanur.
Bukankah suatu perubahan yang besar, jika sebuah pusat ilmu
hitam, sebuah daerah yang menjadi lambang keangkeran, tiba-tiba
di atasnya berdiri sebuah hotel besar? Dan, kini menjadi kawasan
wisata yang ramai?
Terbawa nasib, saya berada lebih dekat dengan kancah pe-
rubahan itu kalau biang perubahan di Bali disepakati karena
faktor pariwisata. Selama tiga tahun, saya bekerja sebagai juru
gambar di sebuah perusahaan instalatir listrik. Waktu itu, setiap
permohonan pemasangan listrik perlu disertai gambar instalasi
yang lebih ruwet dibandingkan sekarang. Puluhan hotel, losmen,
bungalow, home stay apa pun namanya lagi baik yang baru
berdiri, yang dipugar, yang ditambah, memerlukan gambar instalasi
untuk pengadaan daya listrik yang lebih besar. Di sektor ini saya
banyak terlibat. Bahkan jaringan listrik di seluruh kawasan Sanur
dan sekitarnya, dan juga ke jalur Nusa Dua yang dikerjakan oleh
perusahaan tempat saya bekerja, bukan saja gambar perencanaan-
nya yang saya buatkan, tetapi saya ikut mengawasi pekerjaan di
lapangan. Mau tak mau, saya menyaksikan dari dekat, dari hari
ke hari, bagaimana sebuah desa, sebuah kawasan, mengalami
perubahan.
Jalan hidup saya ikut berubah dan perubahan ini saya
senangi karena semakin dekat dengan perjalanan perubahan pulau
saya. Awal 1974, saya memulai karier baru sebagai wartawan,
keluar dari perusahaan instalatir listrik itu. Pekerjaan sebagai
wartawan, membuat saya banyak berjalan, banyak melihat, dan
banyak terlibat. Lebih-lebih saya terjun di bidang kebudayaan dan
pariwisata, yang saya minati setengah mati. Saya pun merasa diun-
tungkan pula, banyak mengikuti perjalanan Gubernur Bali (waktu
itu) Soekarmen, yang sangat suka menyelusup ke desa, menginap
di sebuah kota kabupaten padahal berapa, sih, jarak kota kabu-
paten di Bali dengan Denpasar? dan tak kenal lelah berjalan di
perkampungan yang becek, sambil menyapa rakyat dengan bahasa
Bali yang ama janggal. (Gubernur Mantra pengganti Soekarmen
juga banyak turun ke desa, tetapi saya sudah meninggalkan Bali
12
beberapa saat sebelum budayawan ini dilantik).
***
***
***
***
***
19
II
Tentang Kalender
Bali dan Baik
Buruknya Hari
J
IKA kamu mengadakan perjalanan jauh, perhatikanlah hari
baik dan hari buruk. Perjalanan pada hari yang baik sudah
merupakan awal dari suatu keberhasilan. Ayah sudah menga-
jarkan bagaimana caranya mencari hari yang baik.
Itulah kira-kira pesan ayah saya, kalau diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Pesan yang disampaikan ketika usia saya berja-
lan sebelas tahun pada 1962, sehari sebelum saya meninggalkan
keluarga. Saya pergi jauh, untuk pertama kalinya dilepas seorang
diri, ke kota kecamatan melanjutkan di SMP. Kakak dan ibu saya
bersedih dengan perpisahan ini. Maklum, saya anak lelaki pertama,
dan pergi seorang diri sejauh 26 km. Ya, cuma 26 km.
Pesan Ayah pasti tidak mengada-ada. Dalam usia sebelas
tahun, saya menguasai sebagian ilmu wariga, khususnya yang
berkenaan dengan pedewasaan mencari hari buruk dan hari
20
baik. Misalnya, kalau bepergian ke arah barat sebaiknya pada hari
ini, kalau mau potong rambut pada hari itu. Yang paling mudah
saya hafalkan, tentulah kalau berkaitan dengan judi. Saya gemar
berjudi di waktu kecil.
Ayah punya sedikitnya tujuh lontar mengenai ilmu wariga.
Saya boleh membacanya. Mencari hari baik dan hari buruk itu
(ala ayuning dewasa) umumnya memakai unsur pawukon (per-
wuku-an). Dalam penanggalan tradisional Bali, ada 30 wuku,
masing-masing berumur 7 hari. Wuku pertama bernama Sinta dan
yang ketiga puluh bernama Watugunung, hampir sama dengan
penanggalan Jawa. Jadi, setiap hari untuk wuku yang sama beru-
lang setelah 210 hari.
Selain wuku ada kelompok-kelompok hari berdasarkan siklus
edarnya, yang disebut wewaran, yang terdiri dari sepuluh wara.
Yaitu, ekawara, dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sad-
wara, saptawara, astawara, sangawara, dan dasawara. Dilihat
dari namanya saja, masing-masing beranggotakan satu, dua, tiga
sampai sepuluh hari. Sebuah hari dalam kalender Bali tradisional,
isi-nya harus sama. Yang saya maksudkan, misalnya, hari Senin
wuku Sinta 16 Januari 1986, harus sama komponennya dengan hari
Senin wuku Sinta tanggal 4 Agustus 1986. Begitu pula harus sama
dengan Senin wuku Sinta di tahun 1987 dan seterusnya. Isinya itu,
beteng dari unsur triwara, laba dari unsur caturwara, pon dari
unsur pancawara, dan seterusnya.
Untuk triwara yang terdiri dari pasah, beteng, kajeng, pan-
cawara yang terdiri dari umanis (di Jawa: legi), pahing, pon, wage,
kliwon, sadwara yang terdiri ari tungleh, aryang, urukung, pan-
iron, was, mahulu, dan saptawara yang rinciannya redite, coma,
anggara, buda, wraspati, sukra, saniscara, tidak timbul masalah
dengan peredaran ini, karena 210 hari habis dibagi tiga, lima, enam,
tujuh. Tetapi untuk caturwara yang beranggotakan sri, laba, jaya,
menala, astawara yang beranggotakan shri, indra, guru, yama,
rudra, brahma, kala, uma, dan sangawara yang beranggotakan
dangu, jangur, gigis, nohan, ogan, erangan, urungan, tulus, dadi,
akan timbul masalah karena 210 tidak habis dibagi empat, delapan,
21
dan sembilan. Maka, agar peredaran hari itu tetap membuat sebuah
hari komponennya sama, terjadi penyesuaian pada wuku tertentu,
dan ini telah ditetapkan rumusnya, tak bisa diubah-ubah.
Untuk caturwara dan astawara penyimpangan terjadi di wuku
Dungulan (wuku ke sebelas), dari hari Minggu sampai Selasa isinya
berturut-turut jaya (unsur caturwara) dan kala (unsur astawara).
Orang Bali menyebut penyimpangan ini kala-tiga (karena selama
tiga hari kala melulu), dan esoknya Rabu wuku Dungulan adalah
Hari Raya Galungan. Sedang untuk sangawara, penyimpangan di-
lakukan pada wuku Sinta mulai hari Minggu sampai Rabu. Selama
empat hari itu isinya dangu melulu. Adapun ekawara yang ang-
gotanya cuma luang, dwiwara yang beranggotakan menga, pepet,
dan dasawara yang beranggotakan pandita, pati, suka, duka, shri,
manuh, manusha, raja, dewa, raksasa, walaupun 210 hari itu bisa
dibagi habis satu, dua, dan sepuluh, penempatan anggota wara-nya
tidak berurutan. la bergantung pada urip (nilai hari) yang dihitung
dari urip unsur triwara dan pancawara pada saat itu.
Rumus-rumus seperti itu sudah saya kuasai sejak kalau tak
salah kelas empat sekolah dasar. Mencari hari dengan segala
komponennya cukup menggunakan ruas jari tangan kiri dan telun-
juk kanan menghitungnya. Kalau unsur-unsur hari itu sudah dik-
etahui, urip juga diperoleh, tinggal dicocokkan dengan keperluan,
baik atau tidak hari itu melaksanakan keperluan tadi.
Saya masih ingat, ketika Ayah meninggal dunia. Saat itu
menjelang kenaikan ke kelas dua SMP, dan pemberitahuan saya
terima di dalam kelas. Yang pertama kali saya lakukan ketika men-
dengar berita sedih itu, mencari dewasa untuk penguburan mayat.
Saya hitung-hitung ruas tangan kiri, seperti memijit kalkulator
tapi waktu itu kan belum ada kalkulator. Dan akhirnya saya
bisa mempersiapkan diri pulang kampung lebih tenang, dan tidak
terburu-buru mencari kendaraan, karena saya agak yakin, jenazah
Ayah baru bisa dikuburkan dua hari kemudian. Ternyata, benar.
Sebab, saya tahu kapan hari pantang menguburkan jenazah, dan
kapan kesempatan pertama diperbolehkan. Dalam hal mengubur-
kan jenazah, tak ada hari baik, yang ada hari pantangan.
22
***
***
***
***
33
***
35
III
Selintas Arsitek-
tur Bali dan Keleng-
kapan Upacara yang
Berubah Fungsi
K
ITA sudah tiba di Bali. Lihat gapura itu, seorang ayah
menunjuk candi bentar besar di dermaga Gilimanuk.
Empat anak beserta ibunya segera berpaling ke arah yang
ditunjuk ayahnya. Ferry membunyikan peluit pertanda sebentar
lagi akan berlabuh. Mesin mobil truk pun sudah menderu tak sabar,
walau pintu ferry belum dibuka.
Candi bentar, gapura yang terbelah dua itu, sepintas bentuknya
mirip gapura yang biasa dijumpai di Jawa Timur, atau juga di Jawa
Tengah. Perbedaan mencolok tentu saja pada bentuk candi bentar
yang lebih langsing meninggi dan ukiran-ukiran yang lebih rumit.
Juga warna candi bentar kebanyakan warna merah bata, sedang
gapura di Jawa sering berwarna hitam. Candi bentar di Gilimanuk
memang dibuat lebih tinggi sehingga mudah terlihat dari kejauhan,
dari tengah Selat Bali.
Selepas Gilimanuk, di mana-mana candi bentar. Boleh dise-
36
butkan, simbol Bali dalam dasawarsa ini adalah candi bentar. Di
Bandara Ngurah Rai pun ada candi bentar, dalam bentuk yang
lebih disesuaikan dengan bangunan di sekitarnya. Kira-kira sepa-
ruh dari candi bentar dermaga Gilimanuk. Di jalan-jalan raya,
sebelum menjumpai sebuah desa, bisa dilihat ada bangunan candi
bentar, satu bidang di kiri jalan, satu bidang di kanan jalan. Kita
berjalan di tengah candi bentar. Lalu ada tulisan: Selamat Datang
Di Desa ....
Candi bentar saat ini juga simbol selamat datang. Sebagai pintu
gerbang memasuki apa saja: pulau, kota, desa, rumah, stadion,
gedung pertunjukan, bahkan terdapat juga di kuburan Trunyan
di tepi Danau Batur. Pada obyek-obyek pariwisata, keberadaan
candi bentar itu seperti sebuah keharusan, tak peduli apakah itu
sudah sepantasnya atau mengganggu obyek itu sendiri. Di sepan-
jang jalan raya dari Desa Kapal sampai Desa Lukluk, Kabupaten
Badung, berderet-deret orang menjual candi bentar dalam bentuk
mini. Pabrik candi bentar juga berbagai bentuk sanggah yang
berbahan baku campuran pasir plus semen termasuk laris. Alat
cetaknya sedemikian rupa, sehingga begitu diangkat dari cetakan,
ukirannya sudah menyembul. Tentu, bentuknya lebih besar dan
kaku. Barang seharga Rp 45.000 sampai Rp 70.000 (di Jakarta Rp
125.000 sampai Rp 200.000) itu sudah banyak menghias rumah-
rumah penduduk.
Adakah yang salah? Ketika Drs. I Gusti Agung Gde Putra ma-
sih menjabat Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali beliau
sejak 1985 menjabat Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemrn
Agama dalam berbagai ceramah dan kuliahnya di Institut Hindu
Dharma selalu menilai kemajuan ini sebagai salah kaprah. Me-
wabahnya candi bentar sebagai pajangan barang seni dan seni
ini pun bisa diperdebatkan lagi dengan munculnya candi bentar ce-
takan membuat roh bangunan itu sudah tidak ada lagi. Dalam
bahasa Bali dikenal dengan istilah campah kurang lebih berarti
hambar, tak punya nilai magis. Akibat lain, banyak orang di Bali
sudah mulai tak mengerti lagi falsafah bangunan ini. Mereka tak
lagi ingin tahu kenapa bangunan itu dulu didirikan para leluhurnya,
37
dan bagaimana asal-usulnya.
Candi bentar adalah bangunan suci. Ia bagian tak terpisahkan
dari bangunan suci di sebuah pura. Tempat ibadat umat Hindu,
sebagai lambang bersemayamnya Yang Mahakuasa dalam mani-
festasinya sebagai Dewa Ciwa adalah kompleks pura dengan tiga
bangunan: candi bentar, kori agung, dan meru. Ketiganya ini
adalah simbol Gunung Mahameru. Candi bentar sebagai pangkal
gunung, kori agung sebagai tubuh (badan tengah) gunung, meru
sebagai puncak. Memang dari ketiga bangunan ini, candi bentar
yang nilai sakralnya paling rendah. Tetapi, pembangunan candi
bentar di halaman rumah, atau perkantoran, apalagi di kuburan,
oleh kalangan orang tua dianggap sebagai satu bentuk penghinaan.
Berarti, kori agung dan meru sama nilainya dengan kantor, atau
rumah, atau kuburan.
***
***
***
DAN ini kasus yang lain, tetapi mirip, atau entah apa namanya.
Pemerintah, lewat berbagai aparatnya, menganjurkan lebih
tepat memerintahkan agar bangunan-bangunan di pinggir jalan
disesuaikan dengan arsitektur Bali. Terjemahan dari anjuran ini,
di gedung-gedung yang dibangun bertingkat, pada toko-toko dan
rumah-rumah, terutama di bagian depan, ada bidang yang berukir.
Ya, pemilik bangunan menerjemahkan arsitektur tradisional Bali
itu sebagai memasang ukiran. Ukiran itu lalu menempel di dinding
depan, entah di pojok-pojok, di samping pintu dan jendeia, atau
menjadi bingkai nama toko. Bahkan yang banyak terlihat, di antara
dinding beton itu terpajang paras batu padas lunak yang bisa
diukir dalam keadaan aslinya. Alasannya, tentu saja, pemilik
bangunan siap memenuhi anjuran itu, tetapi belum punya ongkos
mencari tukang ukir. Maka, adalah pemandangan yang biasa kalau
di bangunan beton yang bagus itu tiba-tiba ada paras segi empat
yang lumutan. Atau paras itu sudah dibentuk-bentuk, tinggal di-
ukir. Anehnya, yang menganjurkan juga merasa puas.
Tentu saja, itu bukan arsitektur Bali. Itu hanya penempelan
ukiran Bali. Lantas, arsitektur tradisional Bali yang mana? Kom-
pleks Werdi Budaya (orang lebih senang mengucapkan art centre)
yang penuh ukir-ukiran itu? Kompleks gubernuran di Niti Mandala
itu? Atau gedung Jaya Sabha yang dibangun secara besar-besaran
di pusat Kota Denpasar itu? Semua itu bukan arsitektur Bali, itu
style Bali, kata seorang arsitek asli Bali di Denpasar.
Style Bali adalah bangunan yang lebih terencana penempatan
ukir-ukirannya dibandingkan main tempel seperti bangunan di
pinggir jalan. Jagonya dalam style Bali ini adalah Ida Bagus Tu-
42
gur. Dialah yang mengarsiteki bangunan induk di pusat kesenian
Werdi Budaya, kompleks kantor gubernur di Niti Mandala, Renon
pinggir timur Kota Denpasar. Gedung ini, sedemikian rupa
direncanakan sejak awal, di mana ada ukirannya, apa fungsi ukiran
itu, apakah lingkungan di sekitarnya mendukung ukiran itu.
Sayangnya, di sekitar gedung ini, penyesuaian terlalu men-
gada-ada. Memang lebih rapi sedikit dibandingkan asal ada ukiran
Bali seperti pada toko-toko milik Cina di Denpasar, tetapi tetap
saja terkesan ganjil. Lihatlah bangunan kantor pos, gedung BKK-
BN, gedung Kanwil Departemen P & K Bali, dan banyak lagi yang
bertebaran di Renon. Ukiran di sana-sini sama sekali tak membuat
gedung itu bertambah anggun. Ibarat perempuan mengenakan rok,
tetapi berselendang dan bersanggul, serta memakai sepatu boot.
Gejala seperti inilah yang mewabah di Bali belakangan ini, pada
kantor-kantor pemerintah dan pada kelas menengah di kota.
Arsitektur tradisional Bali, sumbernya ada dalam lontar Asta
Kosala Kosali. Ini dua jenis lontar, Asta Kosala tentang cara dan
ukuran membuat menara pengusung jenazah (bade) dan bangunan
tinggi lainnya, Asta Kosali berisi ukuran dan aturan membuat
rumah. Semua ukuran panjang di sini memakai anggota tubuh,
khususnya tangan dan kaki. Misalnya, jengkal adalah panjang dari
ujung ibu jari ke ujung jari tengah ketika tangan dimekarkan, ceng-
kang, ukuran dari ujung ibu jari ke ujung telunjuk, hasta ukuran
panjang dari siku ke pergelangan tangan, dan banyak lagi contoh
lain. Terlalu teknis kalau hal ini ditulis. Yang jelas, sama sekali ti-
dak memakai ukuran modern: sentimeter, meter, dan sebagainya.
Pola menetap masyarakat Bali tradisional yang benar-benar
mencerminkan kedua lontar tadi terdiri dari: merajan yaitu tempat
persembahyangan keluarga, bale daja atau sering disebut gedong
yaitu tempat tidur orangtua dan tempat untuk menyimpan harta
kekayaan keluarga, bale dauh yaitu tempat tidur keluarga, bale
dangin atau sering juga disebut bale adat yaitu tempat dilangsung-
kannya upacara keluarga, seperti tiga bulan anak, enam bulan anak,
potong gigi, membaringkan jenazah, atau ruang bermalas-malasan,
paon yaitu dapur untuk kegiatan memasak. Jika tanah pekarangan
43
masih tersisa setelah bangunan ini lengkap, baru dibangun jineng
yaitu lumbung untuk menyimpan hasil bumi.
Dalam arsitektur tradisional yang bersumber dari dua lontar
itu, jarak satu bangunan ke bangunan lain juga ditentukan ukuran-
nya. Karena jarak ini lebih panjang, tidak memakai jengkal tetapi
depa. Ada depa agung yaitu jarak kedua rentangan tangan dengan
jari terbuka, dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan.
Yang satu lagi depa alit jarak kedua rentangan tangan dengan jari
tergenggam.
Begitu pula untuk saka atau tiang balai yang akan dibangun.
Kalau memakai ukuran panjang 25 rahi maurip anyan kacing ber-
nama Prabu Murti Jinem. Kalau panjangnya 19 rahi maurip anyan
linjong bernama Mitra Asih. Arahi (satu rahi) adalah sepanjang
telunjuk, dari panggal sampai ke ujungnya. Sedang anyari artinya
satu ruas jari paling ujung. Racing, itu jari kelingking, linjong jari
tengah. Jadi, 25 rahi maurip anyari kacing sama dengan 25 panjang
jari telunjuk ditambah satu ruas atas jari kelingking. Seseorang
yang membangun rumah tentu saja sudah menentukan, sepanjang
berapa saka bangunan itu, berdasarkan hari kelahiran si empunya
rumah, letak pekarangan, kayu yang dipergunakan, dan banyak
pertimbangan lagi. Semua ukuran itu menggunakan tangan orang
dewasa, kalau tidak si pemilik rumah, bisa tangan undagi (arsitek)
yang merancang bangunan itu.
Tentu tidak hanya saka dan jarak bangunan punya ukuran
tertentu. Yang lain juga, seperti iga-iga, tempat tidur, mengatur
air jatuh dari atap. Diperlukan kitab tersendiri untuk menjelaskan
segala ukuran ini, termasuk arti yang terkandung di dalamnya.
Selain ukuran, ada aturan. Gedong, menurut aturan ini, nyaris
merupakan bangunan tertutup tanpa jendela. Pencipta arsitektur
ini para leluhur, entah siapa dan di zaman apa menempatkan
fungsi tempat tidur benar-benar untuk tidur, tidak mengerjakan
apa-apa. Karena itu, tak perlu pencahayaan terang, tak ingin dilihat
dari luar, tak ingin diintip. Tetapi kesegaran udara tetap terjamin,
karena dinding tak sampai penuh ke atas. Di antara dinding dan
usuk ada kerenggangan yang membuat udara tetap segar.
44
Sebaliknya, bale dangin merupakan balai terbuka. Di sanalah
anak-anak bermain, orangtua mengajari anaknya membaca lontar
dan sastra kuno, juga untuk bermalas-malasan. Adapun dapur
terletak paling depan. Jadi, begitu memasuki pekarangan rumah,
disongsong oleh bangunan dapur. Mungkin, karena dulunya para
leluhur orang Bali itu petani semua, sehingga begitu memasuki
kompleks rumah langsung menyerahkan hasil buminya ke dapur.
Dalam mitologi Hindu sendiri, dapur ini juga rumah Dewa
Brahma (dewa api). Jadi, kalau orang lain bermaksud jahat, belum
sampai ke gedong sudah hangus dibakar api.
Hal-hal seperti inilah kalau dijelaskan mendetail tentu luar
biasa panjangnya yang disebut arsitektur tradisional Bali. Jadi,
bukan ukir-ukiran itu. Sama sekali tak disebut ada ukir-ukiran di
dalam kedua lontar itu. Apakah arsitektur model begini masih
bertahan sekarang? Masih, tetapi di beberapa tempat saja, dan itu
pun umumnya pada orang-orang berada. Ada dua jenis kebertah-
anannya. Bertahan murni, dalam pengertian tetap sesuai dengan
pedoman lontar itu, dan tetap berfungsi seperti yang disebutkan.
Bertahan tidak murni, semua bangunan itu masih tetap utuh dan
patuh pada persyaratan-persyaratan sebuah arsitektur Bali, tetapi
tidak berfungsi sebenarnya. Bale dangin untuk menjual barang
kerajinan yang sudah jadi, bale dauh tempat para pengukir bekerja,
paon dijadikan gudang ukiran atau hasil kerajinan lainnya. Itu
rumah I Nyoman Togog, perajin yang meraih Hadiah Upakarti
1985 di Desa Peliatan. Atau kompleks perumahan berfungsi seb-
agai museum, seperti Museum Neka di Ubud. Bale dauh sampai
dapur hanya untuk memajang lukisan.
Pada kebanyakan orang, arsitektur tradisional Bali sudah
merupakan masa lalu. Tantangan untuk kelestariannya adalah
penduduk Bali yang semakin berjubel. Di mana ditempatkan
keluarga-keluarga baru itu, sementara tanah pekarangan mahal
dan sulit? Maka, jalan praktis ditempuh. Ketimbang menerapkan
ajaran lama, lebih baik membangun empat rumah yang modern,
masing-masing dilengkapi dapur, ruang tidur, ruang tamu, dalam
satu pekarangan yang sama luasnya.
45
Sungguh ironis, kalau pada masa kini orang berteriak, kem-
bali ke arsitektur Bali, sementara yang mereka artikan itu adalah
menempelkan sebagian padas di depan rumahnya.
Arsitektur tradisional Bali, sebuah ilmu warisan para leluhur
yang sebenarnya tak banyak diketahui orang Bali sendiri, apalagi
dipahami orang luar Bali. Di Fakultas Teknik Universitas Udayana
memang diajarkan. Tetapi toh semua orang bisa mengucapkannya,
dan sering terdengar orang memperbincangkannya dengan
pengertian yang salah.
46
IV
Upacara Pemba-
karan Mayat (Nga-
ben) yang Sederhana
A
DA asap hitam mengepul di bagian timur Kota Denpasar.
Ada tercium bau tak sedap, seperti daging panggang yang
gosong. Ada sedikit kemaeetan di jalan. Ada pengendara
sepeda motor yang mulutnya ditutupi sapu tangan.
Apa yang terjadi? Ah, sesuatu yang biasa. Asap datang dari api
yang berkobar di tengah kuburan. Sore itu, ada pembakaran mayat.
Istilah Bali-nya ngaben. Jenazah yang dibakar, seorang penduduk
dari Banjar Kelandis, tak jauh dari kuburan itu.
Kuburan itu kecil. Kalau tak salah hitung, mungkin kurang dari
satu hektar. Letaknya betul-betul di tengah kota. Di sisi jalan raya
yang ramai, yang menghubungkan pusat kota dengan bagian timur
kota, arah pusat-pusat pendidikan, pusat kesenian, dan bahkan
arah ke pantai Sanur. Dulu, jalan di sisi kuburan itu bernama Jalan
Sanur, kini menjadi Jalan Hayam Wuruk. Persis di timur kuburan,
terletak kompleks militer, perkantoran, dan asrama tentara. Orang
47
menyebutnya Asrama Kayumas.
Di depan kuburan, sebelah utara di seberang jalan, berdiri
pertokoan, yang kemudian disambung pusat perbelanjaan Pasar
Kamboja. Di selatan kuburan sebagian asrama tentara, dan seba-
gian lagi perkampungan. Di baratnya, mula-mula bengkel sepeda
motor, lalu ada perkantoran swasta. Awal tahun 1970-an, kantor
tempat saya bekerja, di lokasi itu. Jadi, bau tak sedap dan suasana
seperti itu, bagi saya, tak asing lagi.
Yang agak mengherankan sekarang, ada sebuah bis turis, dan
dua bis yang mengangkut rombongan pelajar sebuah SMA di Jawa
Timur yang nongkrong di sisi jalan dekat kuburan. Penumpangnya
masuk ke lokasi kuburan, menonton pembakaran mayat. Dulu,
sewaktu saya masih berkantor di sebelah kuburan itu, pembakaran
mayat di sini bukanlah tontonan.
Di kuburan ini, tak biasa ada pembakaran mayat yang diseleng-
garakan besar-besaran, menggunakan menara pengusung jenazah
yang disebut bade. Apalagi yang memakai prosesi meriah. Bukan
karena lokasi kuburan di tengah keramaian kota. Atau kuburan
berukuran kecil. Tetapi, penduduk desa-desa di sekitar kuburan
ini sudah terbiasa ngaben scara sederhana.
Juga pada sore itu. Lihatlah, hanya ada tungku pembakaran
yang terbuat dari batang pohon pisang, agar tak mudah dimakan
api. Lalu, sekitar empat Ielaki dengan tongkat kayu, membalik-
balikkan mayat yang sedang dilalap api, bagai menggoreng ikan.
Lelaki yang lain mengawasi dari jarak sekitar lima meter, sambil
siap melemparkan kayu bakar, atau mengambil alih tugas. Puluhan
yang lain jongkok di bawah pohon, berteduh dari panas matahari.
Para wanita, tidak begitu banyak, menyiapkan sesajen. Semua
memandang ke arah api.
Ada sekitar sepuluh turis yang berbaur dengan puluhan pe-
lajar dari seberang Bali juga memandang ke pusat api. Ada yang
memotret, ada yang menutup hidung. Ada yang berteriak kecil,
ketika sepotong tubuh nyangkut di tongkat pengaduk. iih, ngeri,
deh . . . kok kejam, ya, komentar seorang pelajar putri sambil
mendekap bahu temannya. Namun, ketika kobaran api mulai
48
padam, wajah-wajah mereka terutama turis asing itu men-
gandung ketidakpuasan. Sudah saya tanya ke mana-mana, hari-
hari ini tak ada pembakaran mayat secara besar. Apa boleh buat,
mereka ingin sekali, saya bawa ke sini, kata pramuwisata (guide)
yang mengantar rombongan orang asing itu.
Seorang pelajar bahkan bertanya, Ini upacara apa, Mas?
Setelah saya katakan, ini upacara ngaben, dia seolah tak percaya.
Kok rasanya tidak. Saya sudah mendengar, upacara seperti itu
kan meriah. Ada itunya, apa tuh namanya, yang tinggi itu. Yang
ini, orang di jalan saja nggak peduli. Ngaben apaan tuh.
Temannya menimpali. Ini kan di kota, kali lain. Katanya di
desa di Gianyar, besar-besaran.
Saya memberi penjelasan singkat bahwa di desa pun upacara
ngaben kebanyakan seperti ini, dengan pengusung jenazah yang
tidak bertingkat dan dihias seadanya, dan tidak melibatkan banyak
orang. Ah, Mas kayaknya tahu aja, kali yang ini bukan orang
Hindu asli, komentar mereka.
Memang sulit menjelaskan. Apalagi dengan kalimat sederhana
dalam waktu yang pendek. Lebih sulit lagi menuding siapakah
sebenarnya yang bersalah, kalau ada yang sampai terjebak. Brosur-
brosur pariwisata yang gemerlapan itu atau buku-buku yang ditulis
orang asing itu. Mungkin juga para pelukis, yang kalau memberi
judul ngaben dalam lukisannya selalu tentang bade yang tinggi,
atau lembu indah yang dibakar.
Ngaben tak selalu seperti itu. Besar-besaran, berhari-hari,
melibatkan ribuan orang, berhura-hura. Ngaben adalah upacara pe-
nyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk
tubuh manusia ke asalnya. Dalam agama Hindu, tubuh manusia
itu dibentuk oleh zat yang sama dengan alam semesta karena
itu dikenal istilah bhuwana agung dan bhuwana alit. Seseorang
yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (Sang
Atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan.
Ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan, supaya baur dengan
alam semesta. Unsur-unsur di dalam tubuh (bhuwana alit) sama
seperti yang ada di jagat raya (bhuwana agung). Dalam agama
49
Hindu disebut Panca Maha Bhuta. Yakni: pertiwi, apah, teja,
bqyu, dan akasa. Bahkan dikatakan, unsur dalam badan manusia
itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam.
Pinjaman itu yang harus dikembalikan, jika Sang Atma mening-
galkan badan kasar.
Pengembalian pinjaman itu semakin cepat semakin baik, agar
Sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahat-
nya terakhir: surga, atau mungkin neraka. Jika mayat cuma diku-
burkan di dalam tanah, proses kehancuran untuk menyatu dengan
tanah tentulah berlangsung berpuluh tahun. Sementara itu, Sang
Atma tetap saja berutang, dan tentu waswas ke tempatnya istirahat.
Itulah sebabnya ada ngaben, yang dilakukan oleh ahli warisnya.
Ngaben juga bukan hanya demi sang roh. Ritus ini pun menjadi
kewajiban ahli waris, kewajiban membayar utang. Agama Hindu
mengajarkan, setiap orang berutang kepada orangtua yang melahir-
kannya. Yaitu utang kama bang dan kama putih ini hormon laki
dan perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran. Dengan
ngaben, utang dua jenis kama itu dianggap lunas.
Kalau sesederhana itu masalahnya, cuma hancur-menghan-
curkan agar cepat berbaur ke alam, kenapa ada upacara ngaben
yang menghabiskan biaya besar dan bertele-tele? Jawabnya, bisa
saja dikembalikan dengan pertanyaan: kenapa untuk meresmikan
sebuah gedung, jembatan, pabrik, atau pelantikan lurah, bupati,
gubernur, juga menghabiskan biaya besar dan bertele-tele? Sama
dengan ngaben, ada sesuatu yang perlu mendapatkan kepuasan,
yakni: emosi, citarasa, keharuan, keindahan, basa-basi, gengsi,
atau sengaja pamer.
Semua kepuasan itu diberi jalan oleh agama. Karena itu, ada
tiga macam cara yang biasa dan bisa ditempuh umat dalam melak-
sanakan kewajiban ngaben. Yaitu cara nista, madia, dan utama
tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Dalam pelaksanaannya,
ketiga cara ini masih bisa dipecah masing-masing menjadi tiga lagi.
Ada nistaning nista (paling rendah), madianing nista (setengah ren-
dah), dan utamaning nista (cukup rendah). Tingkat-tingkat inilah
yang mempengaruhi jalannya upacara. Inilah yang membuat besar
50
kecilnya sesajen. Pada akhirnya, menyangkut waktu yang disita,
orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan.
Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta.
Kasta itu, dulu, suatu pengelompokan masyarakat karena tugas
sosialnya, bukan ajaran agama. Besar kecilnya upacara, dan bi-
aya ngaben, ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi keluarga
yang punya hajat. Kalau punya uang, bisa menempuh cara paling
tinggi (utamaning utama) tanpa memandang asal-usul. Begitu
sebaliknya.
Ngaben, salah satu dari lima jenis pengorbanan suci, apa yang
disebut Pancayadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya, artinya berkorban
untuk kebahagiaan leluhur. Seperti halnya setiap yadnya (pen-
gorbanan suci), seseorang diwajibkan melaksanakan upacaranya,
sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban. Dan
itu, tentu saja, tidak sama pada setiap orang. Kalau seorang pen-
gusaha hotel, atau pemilik toko kesenian yang punya penghasilan
bersih 100 dolar sehari jenis orang kaya baru di jalur pariwisata
Bali tentu saja tidak memikul beban berat jika ia harus ngaben
dengan biaya satu juta rupiah. Sebaliknya, masyarakat pedesaan,
yang hidupnya pas-pasan, yang belum menikmati gemerincing
dolar yang dibawa orang asing, ngaben dengan biaya Rp 25 ribu
sudah merupakan beban seumur hidup.
Untunglah, tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan
yang membuat hidup jadi susah. Ada petunjuk ngaben secara
hemat. Itu dimuat dalam lontar Yama Purwana Tatwa. Misalnya
diberi petunjuk, seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi
kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar. Dan,
kalau saja orang mati itu pas harinya, artinya tidak bersamaan den-
gan upacara persembahyangan di pura (Dewa Yadnya), atau tidak
pada bulan purnama atau bulan tilem (bulan mati), pokoknya ada
dewasa (Lihat: Pada Awalnya, I Ketut Bangbang Gde Rawi), pada
hari itu pula upacara ngaben bisa diselesaikan. Sehari tuntas.
Secara garis besar, pelaksanaannya begini. Mayat dibungkus
kain. Sesajen disiapkan, tirta (air suci) dimohonkan kepada yang
berhak, misalnya pendeta. Kemudian jenazah diusung dari rumah
51
ke kuburan. Di kuburan sudah siap tungku pembakaran, cukup
berdindingkan pohon pisang agar tak mudah dimakan api
lengkap dengan kayu bakarnya. Sebelum mayat dibaringkan di
tungku, upacara sederhana diadakan. Kain pembungkus jenazah
dibuka. Tubuh yang lemas tak bernyawa itu diperciki toya panem-
bak ini air suci untuk menyatakan jasad itu sudah tak bernyawa
lagi. Kemudian diperciki lagi tirta pangentas air suci yang
dimohonkan dari pendeta tadi. Maksudnya, agar roh yang dulu
menghuni tubuh manusia mati itu menjauh dari badan kasarnya.
Sang roh pergi, sehingga yang dibakar benar-benar badan kasar.
Di sisi tubuh yang telentang itu dipenuhi sesajen kecil. Ber-
bagai bentuk, agak rumit dan terlalu panjang untuk dijelaskan.
Lewat sesajen inilah dimohonkan bantuan Yang Mahakuasa, agar
jenazah itu cepat hangus. Lalu, pembakaran pun dimulai. Setelah
jadi abu, beberapa daging yang sulit terbakar langsung ditanam,
pembakaran dihentikan. Sejumput abu diambil dari bekas kepala,
tangan, punggung, dada, paha, dan kaki. Tentu, tidak persis abu
kepala benar-benar dari bekas kepala. Sebab, ketika api berkobar,
mayat itu diobrak-abrik, dibolak-balik. Pada akhirnya mana abu
kepala, mana abu kaki, sulit ditentukan. Lalu diputuskan saja, kalau
waktu telentangnya tadi kepala berada di ujung sana, maka abu
yang diambil dari ujung itu dianggap saja abu kepala. Abu kakinya,
tentu, di ujung yang satu lagi. Abu lain bisa diperkirakan saja.
Setelah dikumpulkan abu-abu ini, kemudian dimasukkan ke
dalam buah kelapa gading yang masih muda. Dilengkapi sedikit
sesajen lagi, abu ini pun dibawa ke laut, dihanyutkan. Kalau upa-
cara itu di sebuah desa pegunungan, sedangkan keluarga yang
punya hajat tidak bisa menyewa mobil, abu cukup dihanyutkan
ke sungai. Orang Bali percaya, setiap air yang mengalir di sungai
bermuara ke laut jua.
Sederhana dan hemat. Mungkin, jalan itu yang ditempuh oleh
keluarga yang punya hajat yang melakukan pembakaran mayat di
kuburan Kayumas, Denpasar, sore itu.
Namun, dulu, ketika penduduk Bali masih belum membludak,
sawah dan kebun masih cukup memberi kehidupan yang layak,
52
mereka seperti terbiasa mengadakan upacara ngaben mengikuti
warisan kebudayaan para raja sebelum kemerdekaan. Petunjuk
dalam lontar Yama Purwana Tatwa ini seperti dilupakan. Petunjuk
ini baru dihidupkan lagi, dikampanyekan oleh pemerintah daerah
bersama Parisada Hindu Dharma lembaga tertinggi umat Hindu
dan Departemen Agama.
Dan, memang ada sebabnya. Waktu itu, 1960, sudah diren-
canakan persembahyangan besar seratus tahun sekali di Pura Be-
sakih, pura induk umat Hindu di lereng Gunung Agung. Upacara
yang disebut Eka Dasa Rudra itu diniatkan sekitar bulan April
1963. Syarat utama dari upacara luar biasa ini adalah semua jenazah
umat Hindu di Bali harus sudah bersih dibakar. Semua jenazah
harus sudah lebur ke alam semesta, semua roh harus sudah berada
di tempatnya masing-masing.
Sementara itu, pemerintah menyadari, keadaan sosial ekonomi
masyarakat sedang payah. Jangankan ngaben dalam pengertian
warisan zaman raja-raja itu penduduk waktu itu masih antre
beras dan minyak tanah. Tapi, mau apa, kalau saatnya telah datang,
seratus tahun sekali?
Dibantu panitia upacara Karya Agung di Besakih, kampanye
ngaben hemat ini berhasil di desa-desa. Ada yang mengikuti persis
petunjuk dalam lontar tadi. Ada yang mengambil jalan tengah,
yakni tetap membuat bade indah dan besar, tetapi biaya ditang-
gung secara kolektif. Populer disebut: ngaben gerit. Bade-nya.
hanya satu, sesajennya satu paket, tetapi jenazah yang diupacarai
ada banyak, bisa sampai puluhan. Dengan demikian, pada puncak
acaranya, kelihatan bahwa pengabenan itu seperti besar.
Dampak positif dari niat upacara Eka Dasa Rudra tahun 1963,
umat diingatkan kepada ajaran yang lama didiamkan para raja,
ngaben hemat itu, selain munculnya variasi baru, ngaben secara
kolektif.
Sayang, karya besar di Besakih itu batal. Gunung Agung
meletus dengan hebat, dua bulan sebelum upacara direncanakan,
pada saat Bali hampir bersih dari jenazah yang belum diaben. Dan,
setelah amukan gunung itu mereda, para pemuka agama berkumpul
53
untuk membaca pertanda alam. Ditemukanlah sesuatu, yang
mencengangkan masyarakat. Ternyata, tahun 1963 bukan waktu
yang tepat untuk upacara seratus tahun di Besakih. Para pemuka
agama ternyata salah hitung.
Hitungan yang tepat baru terjadi 1979. Dan, seperti yang sudah
diketahui, Eka Dasa Rudra dalam abad ini dilangsungkan dengan
mulus tahun 1979, dihadiri Presiden Soeharto sebagai simbol raja.
Ini memang salah satu syarat bahwa pemimpin tertinggi masyara-
kat harus hadir, sementara raja di Bali sudah tak ada lagi sejak
kemerdekaan, baik formal maupun spiritual.
Tentu saja, menjelang 1979, di mana-mana masyarakat meny-
elenggarakan upacara ngaben. Karena kehidupan sudah lebih baik,
masyarakat lebih maju, pemerintah tak lagi mengkampanyekan
ngaben hemat. Semua diserahkan kepada masyarakat. Hemat,
silakan. Berhura-hura, tak dilarang.
***
ADA banyak hal yang masih saya kenang, ketika ayah saya me-
ninggal dunia pada 1962. Beliau wafat ketika sudah direncanakan
ada ngaben kolektif yang dilaksanakan keluarga besar kami,
yang terhimpun dalam satu persembahyangan namanya warga
dadia. Bahkan kepastian upacara ngaben dan harinya, ayah saya
ikut menentukannya. Ketika persiapan sudah dilakukan, kira-kira
sebulan sebelum harinya, Ayah tutup usia. Keluarga memutuskan,
Ayah ikut diaben. Tetapi, karena keluarga kami bukan orang kaya,
jenazah Ayah dikuburkan secara biasa, dan pada saatnya nanti,
digali kembali dari kubur untuk diupacarai. Bayangkan saja,
kalau jenazah disimpan di rumah, dan selama sebulan menjamu
warga desa. Belum lagi merawat jenazah, supaya tidak berbau.
Kenapa tidak ngaben sendirian, yang sederhana, sehari tuntas itu?
Mungkin karena rencana ngaben kolektif sudah pasti, atau warga
dadia ingin kelihatan ngaben secara besar.
Untuk ngaben kolektif, biasanya ada seseorang yang menjadi
sponsor. Tentu, ia adalah keluarga yang lebih mampu. Ketika itu,
54
sponsornya adalah keluarga Pemangku Puseh. Jenazah keluarga
itu sudah ditanam di sebuah tanah kebun, tak jauh dari kuburan,
satu setengah tahun sebelumnya. Inilah yang disebut mekingsan,
artinya jenazah dititipkan dulu. Tahap penitipan ini gunanya un-
tuk memberi kesempatan kepada keluarga si mati mengumpulkan
biaya. Titipan di dalam tanah itu tak boleh lebih dari dua tahun.
Sebabnya, selama masih ada jenazah titipan, warga desa kami
tak boleh menyelenggarakan persembahyangan di Pura Luhur,
di puncak Gunung Batukaru yang tingginya 2.276 meter di atas
permukaan laut. Jadi, sesungguhnya, keluarga yang menitipkan
jenazah itu siap untuk mengadakan upacara ngaben sendirian.
Dalam hal ini, para pendompleng, termasuk keluarga kami, bisa
saja ditolaknya.
Tentu saja, tak tega menolak para pendompleng yang masih
satu warga dadia. Kalau tak salah ingat, waktu itu ada tujuh pen-
dompleng, yang, tentu saja, jenazah yang ikut diaben itu dikubur-
kan biasa di kuburan.
Sebulan sebelum puncak upacara ngaben, masyarakat sudah
berbondong-bondong bergotong-royong mempersiapkan upacara.
Pusat upacara, tentu saja, di rumah sang sponsor. Perempuan-
perempuan membuat sesajen, siang dan malam. Para lelaki mem-
buat balai-balai, panggung-panggung hiburan, dan membantu
membuat bade. Dikatakan membantu karena arsitek bade itu
sendiri orang upahan, dari Klungkung, Bali Selatan.
Tujuh hari sebelum puncak acara, jenazah yang dititipkan
di tanah kebun itu digali. Ini namanya mungkah. Yang diambil
hanya tulang-tulangnya saja karena memang seusia itu jenazah
biasanya tinggal kerangka. Dan sejak tulang-tulang itu dibawa ke
rumah, ditempatkan di sebuah balai khusus, tiap malam selalu ada
keramaian: hiburan dan juga judi kecil-kecilan, misalnya, main
domino.
Esok hari setelah mungkah, para pendompleng datang ke
kuburan. Mereka tidak menggali jenazah yang dikuburkan, tetapi
mengambil sejumput tanah kuburan untuk simbol jenazah tentu
lewat upacara yang banyak memakan sesajen. Masyarakat Bali
55
tak mengenal penggalian jenazah dari dalam kubur kecuali
belakangan ini ada beberapa untuk urusan perkara kriminalitas.
Mungkah versi simbolis ini disebut nyewasta, artinya upacara
ngaben yang tidak menggunakan jenazah secara langsung. Istilah
ini juga digunakan untuk mengabenkan orang yang mayatnya tak
diketahui lagi, misalnya, kecemplung di tengah laut.
Esoknya lagi, semua jenazah baik berupa tulang maupun
yang simbolis mulai dimandikan ke sebuah tempat perman-
dian khusus, yang letaknya sekitar dua kilometer. Lagi-lagi, di
sini simbol dibuatkan. Tidak tulang yang dibungkus kain putih
itu digotong beramai-ramai, tetapi dibuatkan sebuah boneka
pipih, mirip wayang golek, yang dibuat dari kayu cendana. Ini
dinamakan pengawak. Begitu pula yang lain, yang jenazahnya
diwakili tanah kuburan itu, juga dibuatkan pengawak. Wayang
golek yang penuh hiasan plus cincin, kalung, dan perhiasan emas
lainnya tergantung kaya miskinnya keluarga itu digendong
ke permandian dalam suatu prosesi yang meriah. Sanak keluarga
yang diaben rebutan ingin menggendong boneka ini, sebagai wujud
bakti kepada orangtuanya.
Ada sesuatu yang berkesan di benak saya, dalam perkara
gendong-menggendong ini. Kakak sulung saya, suatu ketika,
menggendong boneka simbol ayah saya. Ketika mendaki tebing
pulang dari permandian, jalannya tertatih-tatih kepayahan sehingga
berada di urutan belakang. Keluarga kami menganggap soal itu
sangat biasa. Saya, saat itu pelajar kelas I SMP yang berusia sebelas
tahun, tak bisa menerima alasan yang diberikan. Dan, ketika suatu
kali sempat diberi kepercayaan menggendong boneka itu, ketika
mendaki tebing, saya juga kepayahan dan malah jauh tertinggal.
Kenapa? Menurut keyakinan, boneka itu benar-benar mewakili
orang yang diupacarai, ketika hidupnya. Ayah saya memang sakit-
sakitan, tak kuat mendaki tebing, bukan lelaki yang suka berburu
sebagaimana kegemaran orang di kampung kami. Maka, betapapun
kuatnya yang menggendong, kalau yang menjiwai boneka itu tak
kuat, ya, si penggendong tetap kepayahan.
Setelah kejadian aneh itu, saya lama berpikir, kenapa bisa be-
56
gitu. Apakah karena semalaman saya begadang, ikut main domino
sehingga, ketika pas diberi kepercayaan menggendong, saya lemah.
Ingin rasanya menggendong lagi, tapi tentu tak mungkin. Yang
antre begitu banyak, saudara kandung, saudara sepupu, dan juga
anggota grup kesenian yang dipimpin ayah saya.
Dua hari sebelum puncak acara dinamai hari nyuwung.
Maksudnya, menyepi menjelang karya besar. Segala kerepotan
yang berurusan dengan upacara dihentikan karena memang telah
selesai. Sesajen sudah komplet, bade sudah siap. Tak ada pekerjaan,
prosesi memandikan pengawak sudah usai pula. Yang ada hiburan
melulu, siang dan malam meski tahap itu disebut menyepi. Siang
hari, para ahli waris masing-masing mempertunjukkan keahlian-
nya menari. Saya ingat betul, saat itu saya menari baris. Seadanya,
karena memang tidak ahli, sekadar menunjukkan kepada roh Ayah
bahwa kami, putra-putrinya, masih setia berkesenian.
Malam harinya ada pementasan wayang kulit. Ceritanya,
Pandawa mencari air suci, tirta amerta. Dan ketika di layar, Pan-
dawa memperoleh tirta itu melalui perjuangan berat, Ki Dalang
juga membuat tirta untuk kepentingan puncak acara esok harinya.
Tirta ini termasuk yang dipercikkan ke jenazah di pekuburan, esok
harinya. Dengan begitu, penyajian wayang kulit semalam suntuk
itu tidak semata hiburan walau penuh gelak tawa melainkan
juga pertunjukan suci.
Pada puncak acara ngaben disebut palebon pagi-pagi,
bade sudah diletakkan di jalan, dekat dengan rumah yang jadi spon-
sor. Tentu saja, seisi kampung menonton bade yang baru diperlihat-
kan itu. Sementara itu, undaginya membuat upacara pemelaspasan,
meresmikan bade itu sebagai benda suci. Ini penting. Semua alat
kelengkapan upacara sebelum dipakai pasti dipelaspas. Sebab,
bukan mustahil bahan-bahan bade diperoleh dengan jalan tak
suci, misalnya ada bambu hasil curian. Atau, kertas-kertas yang
tergeletak ketika menghias bade ada yang dilangkahi perempuan
yang sedang kotor.
Yang masih saya kenang, setelah undagi bade melaksanakan
pemelaspasan, ia segera pergi jauh. Seorang undagi bade tak akan
57
melihat hasil karya seninya diusung ke kuburan, untuk dimusnah-
kan. Sampai sekarang saya belum paham tak ada sumber yang
meyakinkan yang saya peroleh kenapa bisa begitu. Waktu masa
bocah itu, saya pikir, arsitek itu hanya tak tega melihat hasil karyan-
ya berhari-hari, ukiran kertas dan bunga-bunga kapas warna-warni
yang dibuatnya dengan tekun, musnah dalam beberapa jam.
Jenazah tulang dan tanah kuburan itu dikeluarkan dari
balai dan diusung ke ruang yang telah disediakan di bagian tengah
bade. Para pemikul, dengan kain putih yang melilit kepala mas-
ing-masing, sudah siap mengitari bade. Di dasar bade, persis di
atas yang dipikul itu, ada seperangkat gender wayang kulit, yang
ditabuh mengalunkan suara memilukan, mengiringi perjalanan
sang atma meninggalkan jasad kasar.
Sedang untuk mengiringi arak-arakan ke pekuburan, ada seper-
angkat gong baleganjur dengan suara ingar-bingar yang memekak-
kan. Selain untuk menambah semangat para pemikul bade, gong
ini, konon juga berfungsi membangunkan Panca Maha Butha yang
akan menerima badan kasar yang meninggal itu.
Masih ada simbol penting lagi. Pada tubuh bade seorang lelaki
berdiri, mengawal jenazah. Satu tangannya memegang erat tiang
bade agar tidak jatuh, satu tangannya lagi membawa tongkat yang
bermahkotakan seekor burung Cenderawasih yang diawetkan,
tentu. Burung itu di Bali dijuluki Manuk Dewata, konon jenis
burung yang bisa mondar-mandir di dua dunia: yang fana ini, dan
dunia surga-neraka. Cenderawasih itulah yang akan menuntun sang
atma pergi ke dunia lain, agar tidak kesasar. Ini legenda yang hidup
di Bali, walaupun burung Cenderawasih tak pernah hidup di Bali,
apalagi di kampung saya entah kalau beratus tahun yang lalu.
Di kuburan, sebelum jenazah diturunkan, seseorang melem-
parkan ayam yang tadinya ditaruh di sekitar jenazah. Ini juga per-
lambang bahwa roh siap pergi meninggalkan badan kasar. Ayam
ini boleh jadi rebutan orang, tapi tidak boleh diambil oleh keluarga
yang punya hajat. Dan upacara ngaben pun mendekati akhir, jen-
azah tulang yang dibungkus dan tanah kuburan simbolis itu
diturunkan. Pendeta memimpin upacara, jenazah dibakar seeara
58
simbolis dengan tiga dupa harum, kemudian ditanam. Bade dibawa
ke sudut kuburan, direbahkan, dan jadi rebutan orang. Ada yang
mengambil kaca-kacanya, hiasannya, gambarnya.
Desa kami, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, termasuk
desa yang unik. Di sini tidak ada pembakaran mayat dalam arti
yang sebenarnya ketika upacara ngaben berlangsung. Pembakaran
mayat termasuk pembakaran tulang-tulang itu dianggap
mengganggu kesucian Pura Luhur, yang terletak di puncak Gu-
nung Batukaru, jika sampai abu jenazah terbang dibawa angin
dan mengotori puncak bukit. Itulah sebabnya, di sini tak dikenal
tungku pembakaran, atau lembu-lembu (petulangan).
Ngaben kolektif yang meriah ini menghabiskan biaya seratus
kuintal kopi penduduk desa kami memang petani kopi, segala
biaya dihitung dari berapa butir kopi yang dihabiskan. Itu masih
ditambah tak kurang dari seratus lima puluh ekor babi. Biaya-biaya
ini, selain untuk sesajen banyak contoh sesajen yang berunsur-
kan babi juga untuk honorarium arsitek bade, ongkos pendeta
yang didatangkan dari Bali selatan, juga untuk menjamu sekian
manusia hampir selama sebulan setidaknya dalam dua minggu
menjelang pelebon siang dan malam.
Saya tak tahu persis berapa para pendompleng ditarik iuran
oleh sponsor untuk upacara ini. Tapi, saya tahu pasti, keluarga
kami dimintai delapan kuintal kopi. Karena tak punya stok kopi,
Ibu menggadaikan sebidang kebun, dan saya sebagai lelaki tertua
walau baru berusia sebelas tahun harus ikut membubuhkan
tanda tangan di depan bendesa (sekarang Perbekel/Kepala Desa)
untuk urusan surat gadai. Kebun kopi yang digadaikan itu seka-
rang telah dijual, karena utang bertumpuk-tumpuk, kami tak bisa
melunasi.
***
63
V
Berbagai
Bentuk Judi
Tradisional Bali
Penyakit GurunTeko
B
ALI sedang dilanda gemuruh pariwisata. Hotel interna-
sional bermunculan di kawasan Nusa Dua, daerah yang
sepuluh tahun lalu masih sepi dengan bukit-bukit kapur
gersang. Pulau ini dibanjiri turis asing dari tahun ke tahun, dan
banyak orang menjadi kaya dengan memanfaatkan demam baru
ini. Tetapi, Gurun Teko tetap saja tak peduli.
Ia, Gurun Teko, jauh dari Nusa Dua, jauh dari daerah turis.
Ia penduduk Banjar Merta Sari, Kecamatan Pupuan, Kabupaten
Tabanan. Ia selalu menyebut dirinya orang gunung. Dengan
predikat itu, ia merasa tak berhak disangkut-pautkan dengan turis.
Dari tahun ke tahun, ia tetap saja seperti itu. Badannya gemuk,
suaranya keras menggelegar. Ia kocak dan tak pernah kekurangan
bahan guyon terutama menertawakan dirinya sendiri.
Bukan berarti kampung itu dilewati oleh perubahan. Buah kopi
sudah mulai langka. Pohon-pohon kopi robusta sudah banyak yang
bertumbangan. Gantinya, berdiri cengkih atau vanili. Sepeda mo-
64
tor sudah pula berlalu lalang membelah kampung itu. Kuda, yang
biasa ditunggangi anak-anak gunung itu, sekarang tinggal satu dua.
Permainan gasing pun sudah tak lagi jadi kegemaran penduduk. Tak
ada sarana bermain gasing, karena tanah padat untuk permainan itu
sudah tak ada lagi. Dulu, ketika buah kopi usai dijemur, lahan itulah
yang digunakan bermain gasing. Kini, empat buah meja bilyar di
kampung itu, barangkali, bisa menggantikan gasing. Orang pada
ngantre mengadu nasib di meja ini: ya, seperti halnya gasing, bilyar
pun dipakai sarana bertaruh. Ada satu lagi kemajuan yang sangat
layak dicatat. Di beberapa rumah, kelihatan ada antena menjulang.
Itu antena pesawat radio komunikasi, radio dua meteran.
Tetapi, Gurun Teko, tetap saja tak berubah. Menurut penuturan
orang, tak pernah ada yang melihat Gurun Teko mampir bermain
bilyar. Ia tetap tak bisa berpisah dengan ayam-ayamnya. Kegema-
ran saya, ya, hanya satu itu, tajen. Kalau sehari tak melihat ayam,
saya bisa sakit, katanya suatu kali.
Tajen adalah sabungan ayam. Di sebuah siang yang sejuk di
lereng Gunung Batukaru itu, saya melihat Gurun Teko tergopoh-
gopoh dengan bungkusan di tangan kanannya. Semula, saya men-
gira ia membawa pupuk, dan pergi ke kebun cengkih milik orang
lain sudah lama saya mengenalnya sebagai orang upahan. Beh,
kapan pulang dari Jawa. Ayo ikut Guru. Di Jawa, pasti tak ada tajen
sehebat di Bali. Ayam Guru pasti menang. Dewa ratu, semalam
Guru mimpi disambut bidadari, katanya sambil ketawa. Bidadari
menyambut Guru yang tak pernah mandi ini, ha... ha... ha.... Ia
terpingkal-pingkal sambil mencari daki di lengannya.
Guru adalah panggilan seorang anak untuk ayahnya di kam-
pung itu. Si ayah juga menyebut dirinya Guru jika berbicara kepada
si anak, atau orang lain yang bisa dianggap anak. Gurun menun-
jukkan seorang lelaki berkeluarga yang telah mempunyai anak
kandung, dan nama anaknya itu melekat di belakang kata Gurun
itu. Jadi, lelaki kocak bertubuh bagai atlet angkat berat ini, punya
anak sulung bernama Teko, sehingga nama panggilannya istilah
di Bali pungkusan menjadi Gurun Teko. Saya tak tahu siapa
nama asli Gurun Teko seperti pula anak-anak muda di kampung
65
itu, jarang yang tahu siapa nama asli ayah-ayah mereka.
Coba pegang bungkusan ini, ujar Gurun Teko lagi. Saya
meraba, dan kaget sekali. Ada ayam terbungkus karung bekas pu-
puk. Kok teganya menyiksa ayam seperti itu? Pakai otak, pakai
otak. Kalau polisi pakai otak, bebotoh juga punya otak. Kalau ayam
tidak dimasukkan karung, polisi akan cepat mengetahui ada tajen,
katanya setelah ia membaca keheranan saya. Jangan bilang-bilang,
Putu. Tajen hampir tiap hari ada. Omong kosong bisa dihapuskan
begitu saja. Ini warisan nenek moyang, enak saja dihapus, beh. . .
beh. . .. Gurun Teko kembali ketawa. Dalam angannya, mungkin,
ia telah berhasil mengecoh polisi.
Kalau dipaksakan mencari perubahan pada diri Gurun Teko,
selain usianya yang bertambah, ya, kebiasaannya membawa ayam
aduan itu. Perubahan yang tentu bukan kemauannya. Sejak pemer-
intah menghapuskan segala bentuk perjudian 1 April 1981, dan
sabungan ayam ikut dibreidel, ayam yang setiap hari dielus-elus itu
harus tega dimasukkan karung pupuk yang ujungnya diikat kuat-
kuat. Dulu, ayam seperti itu, dimasukkan kisa sangkar khusus
yang tak jarang berukir pula.
Sabungan ayam pun tak lagi mudah diketahui oleh yang bukan
bebotoh (penjudi). Tempatnya berpindah-pindah, dan biasanya
untuk kawasan kampung itu di sebuah tegalan kosong di
tengah-tengah perkebunan kopi. Atau di kuburan desa.
Siang itu, setelah berjalan sekitar dua kilometer ke arah gu-
nung, kami sampai ke tempat sabungan ayam. Ada sekitar lima
puluh petaruh yang hadir. Lalu, sejumlah anak-anak keeil. Ada
yang memanjat pohon bermain-main sambil menunggu orang-
tuanya berjudi. Ada pula anak kecil yang ikut berjudi. Di bawah
pohon nangka, seorang perempuan paruh baya, yang dibantu anak
lelakinya, berjualan nasi. Saya cepat mengenalnya, dulu, perem-
puan itu pun penjudi juga.
Dalam suasana seperti ini, perkebunan kopi menjadi saksi
bisu sebuah kemeriahan. Kalau ayam menjelang berlaga, suara
para petaruh menyatu menjagokan ayam pilihannya dan berusaha
mendapat lawan taruhan. Iramanya indah, bagai paduan suara
66
yang diiringi sebuah orkestra. Gurun Teko bertindak sebagai saya
semacam wasit yang mengawasi pertarungan ayam itu. Dan ia
satu-satunya saya di tajen gelap itu.
Belum lagi dua ayam itu dilepas oleh pakembar masing-mas-
ing, terdengar mesin sepeda motor menderu. Semua orang menoleh
ke arah jalan setapak. Perempuan yang berjualan nasi itu juga
dengan sigap mengemasi dagangannya. Tenang, tenang. Tak ada
polisi. Ini bebotoh dari Sanda datang, teriak seorang anak dari
atas pohon kopi. Bangsat, bangsat, dewa ratu, tolong mesin honda
itu dimatikan, beh. . . beh. . ., teriak Gurun Teko mengumpat
penjudi yang mengagetkan itu. Si penjudi yang berboncengan itu
menuntun Yamaha trail ke bawah pohon nangka dekat penjual
nasi di kampung itu setiap sepeda motor, apa pun merknya,
disebut honda.
Si penjual nasi, perempuan bergigi emas, dengan ramah me-
nerima titipan honda itu. Tapi toh, ia juga mengumpat. Ndas
keleng, bikin sakit jantung saja, katanya. Umpatan kasar-kasar
seperti ini hampir sama fungsinya dengan selamat siang atau
selamat pagi di Jakarta metropolitan. 0, ya, kalau sabungan ayam
sampai digerebek polisi, pedagang ikut diperiksa dan dagangan-
nya disita, dengan tuduhan membantu perjudian, setidak-tidaknya
mengetahui ada rencana perjudian tetapi tidak melaporkan ke pihak
yang berwajib.
Ayo mulai, ayo mulai. Sudah ada yang berjaga-jaga menga-
wasi polisi. Ayo . . . , teriak Gurun Teko. Para penjudi pun mulai
ramai lagi bersuara. Cok . . . Cok . . . buik . . . buik . . . gasal. . .
gasal....
Teriakan para penjudi ini ada dua jenis: tentang ayam yang
dijagokan, dan tentang sistem taruhan. Suara itu mendadak lenyap,
manakala ayam sudah dilepas oleh pakembar (pemegang ayam
aduan di arena sabungan), dan ayam mulai berlaga. Hanya dua
sabetan, seekor ayam kena pukul, tetapi belum ada darah mengu-
cur. Saya . . . saya . . ., teriak seorang pakembar yang ayamnya
berhasil memukul, tetapi lawannya tidak apa-apa. Teriakan ini
maksudnya memberi tahu wasit, ada sesuatu yang tidak beres.
67
Pluk! Gurun Teko memukul sepotong batang bambu di depannya,
bunyinya jeiek sekali. Artinya, sebagai wasit ia sependapat, ada
yang tak beres. Pakembar yang berteriak tadi langsung menyam-
bar punggung ayamnya, walau kedua makhluk itu sedang asyik
bertengkar. Agaknya, ada yang tak beres pada benang yang
mengikat taji pisau kecil bermata dua yang tajam sekali di
kaki ayam buik itu.
Sementara ikatan itu diperbaiki dengan menambah tali benang,
para petaruh mulai kedengaran suaranya satu dua, masih mencari
lawan taruh. Tidak seramai tadi, memang. Tentu saja, terlalu riskan
bertaruh setelah melihat dua sabetan pertarungan itu.
Lebang . . ., teriak Gurun Teko memberi aba-aba. Harap
maklum, perintah dalam sabungan ayam selalu harus diteriakkan
secara lantang, bukan karena kebetulan Gurun Teko terbiasa ber-
kata keras-keras. Perintah tadi berarti, ayam segera dilepas lagi.
Tiga kali sabetan, seekor ayam mengucurkan darah dari perutnya.
Tetapi, ia tak mau menyerah begitu saja. Keduanya terus bertarung.
Ayam yang mengucurkan darah itu sudah terseok-seok, tetapi bulu
lehernya terus berkibar, pertanda tak gentar.
Ciat Satu pukulan lagi dari si buik. Si putih yang terseok itu
telentang. Darah mengucur terus membasahi bulunya yang indah.
Gurun Teko menghitung sebelas kali sa, dua, tlu, pat, lima, nem,
pitu, kutus, sia, dasa, sa. Pluk, pluk, pluk. Gurun Teko memukul
bambu di depannya dan berteriak lagi: Kawon. . .. Teriakan tera-
khir ini berarti, ada yang telah kalah, dan ada yang telah menang.
Tentu saja, tak perlu ditunjukkan kepada petaruh, yang mana kalah-
menang itu. Beh, beh, bagus sekali ayam buik itu berkelahi, tak
Guru sangka. Guru bertaruh pada si putih. Kalah dua ribu, ujar
Gurun Teko kepada saya. Tak perlu heran, walaupun ia diangkat
menjadi wasit, ia juga bertaruh. Tak ada larangan wasit terlibat
dalam taruhan. Dan, walau yang dipertaruhkan itu sedang nahas,
wasit tak akan berpihak atau berat sebelah. Risikonya adalah nama
baik dan ini penting sekali untuk seorang penjudi.
Sementara itu, ayam-ayam yang akan diadu dicarikan lawan
tanding. Satu per satu ayam dikeluarkan dari kantung pupuk, me-
68
nikmati kebebasan sesaat. Para penjudi yang tidak membawa ayam
ikut berkelompok di tempat pemilik ayam. Yang lainnya membeli
nasi, sambil menghitung-hitung uang. Gurun Teko mentraktir saya
di warung yang satu-satunya itu. Ia kalah dua ribu, itu berarti lima
ribu rupiah. Taruhan adu ayam di Bali selalu menggunakan hitun-
gan ringgit (Rp 2,50). Sejak dulu begitu, entah kenapa.
***
***
77
SAYA, tentu saja, sangat akrab dengan judi-judi itu. Tak ingat,
kapan persisnya saya belajar berjudi. Mungkin ketika di kelas 3
sekolah rakyat (SR), ketika usia baru saja delapan tahun. (Saya
memasuki SR pada usia lima tahun). Di kelas itu, saya pertama kali
mendapat pelajaran huruf Bali. Dan, saya tak puas dengan pelajaran
di sekolah, saya pun belajar pada Ayah di rumah. Ayah banyak
memiliki lontar. Ada lontar mengenai pengobatan, dewasa ayu,
upacara, dan lontar pegangan untuk penjudi. Lontar terakhir ini
yang paling mudah dibaca. Hurufnya lebih besar dan lebih jelas.
Selain itu, kalau saya membaca lontar yang lain, kakak-kakak
saya sering mengejek, belum apa-apa sudah membaca lontar un-
tuk orang dewasa, nanti giginya putus semua. Jadilah saya asyik
membaca lontar pegangan untuk penjudi. Dan, saya pun mem-
praktekkannya, bagaimana kita berebut arah kalau menghadapi
arena judi, berdasarkan baik-buruknya waktu dan juga berdasarkan
urip sebuah hari.
Kurang lebih, pada masa itulah saya mengenal judi tingkat
pemula, yakni bermain dadu. Di desa saya, permainan ini disebut
kocok-kocok, lantaran sebelum ditebak, dadu yang berjumlah tiga
itu dikocok dulu di kaleng yang tertutup. Lewat pengetahuan yang
diperoleh di lontar, saya memilih tempat duduk. Misalnya, hari
Senin Pahing. Senin urip-nya sekian, Pahing sekian, lalu digabung,
dan dicocokkan, maka duduknya sebelah sana. Selasa Umanis (di
Jawa, Selasa Legi; Umanis/Manis = Legi) tentu lain lagi. Pelaja-
ran-pelajaran itu komplet ada dalam lontar.
Dari Ibu, saya selalu memperoleh uang untuk berjudi. Saya
lelaki pertama setelah keempat kakak saya semua perempuan, jadi
saya amat dimanja. Kakak sulung saya, yang kawin dengan guru
sekolah itu sebabnya saya bisa sekolah dalam usia lebih muda
sering juga memberi uang, dengan perjanjian kalau menang,
hasilnya dibagi. Dia dan suaminya tak melarang saya berjudi.
Meski sudah mempraktekkan isi lontar, saya merasa tak sering
menang.
Masih amat kecil, saya sering diajak Ayah ke tempat sabungan
ayam yang jauh dari desa saya, dengan berkendaraan carteran.
78
Saya ingat, pernah diajak ke Pura Taman Ayun, Mengwi, tempat
sabungan ayam yang paling bergengsi hingga tahun 1970-an. Ayah
selalu membawa ayam. Tapi Ayah tak pernah menjadi pakembar,
karena Ayah takut memegang ayam yang sudah dipasangi taji.
Lagi pula, tampaknya Ayah takut menjadi pusat perhatian ribuan
ya, kalau di Taman Ayun ada sabungan ayam lebih dari ribuan
penjudi.
Saya tak pernah bisa bertaruh untuk ayam. Saya tak akrab den-
gan ayam, jadi tak tahu mana yang pantas diunggulkan. Kalau ke
tempat sabungan ayam, saya bermain judi di luar wantilan. Urutan
kegemaran saya, ini sesuai dengan tingkat usia: main dadu, keles,
trui. Kalau terpaksa, baru saya ikut judi togtog.
Main dadu agaknya tak perlu dijelaskan. Mudah sekali. Ada
tiga buah dadu ditaruh di dalam sebuah piring, kemudian ditutup
kaleng, lalu dikocok, lantas ditebak oleh petaruh, lewat selembar
kain yang digelarkan yang sudah berisi angka-angka berupa lam-
bang, sesuai dengan mata dadu. Permainan ini pun semakin matang
dalam teknik mengocok. Belakangan, tak perlu bandar mengocok
keras hingga berbunyi, tetapi digoyang ringan saja. Bahkan di
bawah piring ada alas yang empuk, sehingga tak kedengaran bunyi
dadu berbalik di dalam kotak. Sukar sekali menebak, apakah dadu
itu benar-benar berbalik, dan ke arah mana.
Saya biasanya punya teknik menebak. Kalau bandar men-
gangkat piring itu ke atas, maka sisi depan menjadi di atas. Kalau
digeser ke kiri lalu diangkat kecil, angka di sisi kanan yang di atas.
Tentu tak pasti, tergantung seberapa keras mengocoknya. Lagi pula,
harus diperhatikan posisi dadu sebelum ditutup kaleng, kemudian
harus pula diperhatikan, apakah bandar dadu tidak memutar piring
itu. Kalau diputar, berapa sudut. Soalnya, mata dadu sudah ada
ketentuannya. Di bawah bilangan satu, pasti enam, di bawah dua
angka lima, di bawah tiga angka empat. Atas dan bawah selalu
angkanya berjumlah tujuh.
Kalau permainan dadu, petaruh langsung melawan bandar,
tetapi keles, trui, dan togtog berbeda. Penyelenggara judian ini
disebut belandang. Dia hanya menarik jasa dari permainan itu.
79
Dari setiap penjudi yang menang, belandang memungut cukai
istilahnya memang begitu sepuluh persen. Bandar taruhan
berganti-ganti di antara penjudi. Siapa yang menang taruhan paling
banyak, dia yang berhak dan ditunjuk menjadi bandar taruhan.
Ketiga jenis judi ini menggunakan empat bidang taruhan, ses-
uai dengan arah empat mata angin: utara, barat, selatan, dan timur.
Nilai satu yang menang utara, dua barat, tiga selatan, dan empat
timur. Nilai selanjutnya berputar seperti itu, jadi lima dan sem-
bilan yang menang utara, enam dan sepuluh barat, dan seterusnya.
Kalau yang menang bidang barat, pemasang di bidang timur kalah.
Utara dan selatan, draw. Petaruh yang menang di barat dibayar
lebih dulu dari uang petaruh yang kalah di timur. Kalau yang
menang di barat lebih banyak sehingga tak eukup dibayar dari uang
taruhan yang kalah di timur, barulah bandar taruhan mengeluarkan
uangnya, sampai sebatas yang diperjanjikan sebelumnya. Artinya,
bandar kalah. Putaran selanjutnya, kedudukan bandar diganti oleh
pemenang terbesar.
Kalau yang menang di barat itu lebih kecil dari yang kalah
di timur, berarti bandar taruhan menang. Ia berhak terus sebagai
bandar. Kemujurannya, tergantung sisa uang dari selisih timur dan
barat itu, dan berapa jumlah modal sang bandar. Misalnya, bandar
hanya mengumumkan bermodal Rp 100.000, uang itu ditaruh dide-
pan tempat duduknya, sementara selisih uang di timur dan barat di
atas seratus ribu, kelebihan uang itu dikembalikan kepada pema-
sang yang terkecil, yang kalah di timur tadi. Kenapa yang terkecil?
Untuk permainan keles dan trui, yang paling berkuasa adalah jum-
lah taruhan terbesar. Siapa yang besar taruhannya, ia yang paling
awal menerima bayaran, dan risikonya paling awal pula diambil
uangnya jika kalah. Yang kecil-kecil dilayani terakhir.
Keles menggunakan uang kepeng Cina, tetapi bukan yang
digunakan untuk upacara keagamaan. Bentuk uangnya lebih be-
sar, tetapi lebih tipis. Gambarnya lebih indah. Disebut pipis jai.
Jumlahnya seratus dua puluh biji. Uang itu digeletakkan di depan
belandang. Bandar mengambil uang itu sebagian dengan tangan
kanannya. Supaya lebih dramatis dan membuat asyik ditebak, cara
80
mengambilnya sedemikian rupa seperti memijit-mijit. Kemudian
digenggam dan diangkat, tak boleh berceceran. Uang jai itu lalu
dimasukkan ke tempat yang telah disediakan, biasanya mangkuk.
Nah, petaruh memasang uangnya berdasarkan perkiraan, berapa
jumlah uang kepeng yang diambil bandar itu.
Jika petaruh sudah meletakkan uangnya di bidang yang di-
ingininya, belandang bertanya kepada bandar apakah ia menaikkan
modalnya. Tentu saja, bandar akan melihat posisi taruhan sebelum
menentukan sikap. Ia tentunya punya tebakan, berapa jumlah uang
yang diraihnya tadi. Bisa jadi tebakannya meleset, namanya saja
judi. Namun, penjudi profesional selalu menebak tepat berapa jum-
lah kepeng yang berada di genggamannya. Yang disebut modal itu
sebesar ia tadi menang taruhan setelah dipotong cukai. Tak boleh
modal dikurangi dari jumlah itu. Kalau ditambah, silakan.
Setelah bandar menentukan sikapnya, ditambah atau tidak
modalnya, belandang menghitung uang kepeng. Caranya, dike-
luarkan empat-empat. Cepat sekali, dan persis empat-empat.
(Kalau tak bisa menghitung persis dan cepat, jangan harap bisa
jadi belandang yang digemari petaruh). Setelah uang kepeng itu
tinggal belasan di tangan belandang, biasanya dikeluarkan dengan
serentak, dilempar lurus berbaris. Kalau sisa itu sebelas, penjudi
akan berteriak: selatan. Ini bagi yang menang. Sebelas dibagi emat
tentu sisa tiga, nah, tiga itu milik selatan.
Permainan trui hampir sama dengan keles, cuma alat yang
dipakai berbeda. Yakni bola bundar putih dari sejenis batu-batuan
atau kristal, lebih kecil dari telur ayam. Tidak persis bundar seperti
bola, memang. Pada dua ujung yang lonjong (lonjongnya juga
kentara sedikit saja) ditaruh angka kecil: satu dan dua. Tentu bu-
kan angka Latin, tapi perlambang seperti halnya mata dadu atau
mata domino. Kemudian sisi lain lambang bilangan tiga sampai
enam. Dua bola trui itu oleh bandar taruhan diputar di sebuah pir-
ing khusus, bersih mengkilat tanpa debu sedikit pun, dan letaknya
rata betul.
Dalam permainan keles, penjudi memasang setelah bandar
mengambil uang kepeng, tetapi main trui kebalikannya. Penjudi
81
memasang lebih dulu pada bidang-bidang yang tersedia. Setelah
usai, belandang memberi perintah kepada bandar taruhan untuk
melepas dua bola trui itu ke piring. Cara memutar terserah tabiat
para bandar. Bisa dua beriringan mengarah putaran jarum jam,
bisa sebaliknya, bisa pula hanya satu bola diputar, yang lain diam
sehingga terjadi benturan. Sekali lagi, tergantung perangai dan
ulah si bandar. Namun, ada syaratnya, tentu. Kalau bola trui itu
sampai keluar dari piring, satu kali dapat ampun. Dua kali dalam
satu periode sebagai bandar, ia didenda. Modal dasar bandar di-
ambil paksa dan dibagikan kepada pemasang dengan urutan yang
terbanyak bertaruh, tak peduli bidang mana. Ini namanya bandar
kena gebog.
Dua bola trui itu memang bergulir sangat rawan menjelang
putarannya habis. Di sini, petaruh biasanya memberi semangat
dengan menggoyangkan badannya ke samping atau ke belakang.
Tidak boleh menggoyangkan badan ke depan, ke arah piring itu,
karena bisa menimbulkan angin dan mempengaruhi gerak bola.
Setelah kedua bola berhenti, diperkirakan tidak akan bergoyang
lagi, belandang mencolek piring, pertanda angka paling atas dari
kedua bola trui itu sah untuk nilai kemenangan. Dua angka itu
digabung. Misalnya, yang satu angka enam, satunya lagi angka
empat, berarti sepuluh. Barat yang menang. Kalau ada petaruh
yakin sampai bisa mengalahkan bandar, ia langsung mengambil
dua mata trui itu dengan cara khas penjudi, ditangkap seperti me-
nyambar ayam. Lalu dikocok-kocok sampai menimbulkan bunyi.
Ini luapan kegembiraan. Petaruh jenis judi ini tak boleh meluapkan
rasa senangnya melalui teriakan, seperti misalnya dalam sabungan
ayam.
Untuk permainan keles dan trui, petaruh bisa memegang dua
bidang. Ini dinamakan pasangan ngurat. Yaitu uang ditaruh pada
garis pemisah dua bidang berdekatan, utara barat, utara timur,
selatan barat, selatan timur. Penjudi yang bertaruh ngurat utara
barat, akan kalah kalau yang menang timur. Juga kalah, kalau yang
menang selatan. Sebaliknya, ia menang jika utara atau barat yang
beruntung. Tak ada istilah seri untuk sistem ini.
82
Cara ini juga bisa dipakai untuk mendapat hasil kemenangan
berlipat, lebih besar dari uang taruhan. Disebut gandeng. Misalnya,
saya bertaruh di barat Rp 25.000, dan Gurun Teko memasang di
selatan dalam jumlah yang sama. Saya bisa berunding dengan
Gurun Teko, bagaimana kalau gandeng. Kalau Gurun Teko setuju,
tentu saja, pasangan ditaruh ngurat barat selatan, berarti taruhan
itu bernilai Rp 50.000. Nah, kalau barat menang, saya mendapat
bayaran Rp 50.000 padahal uang yang dipertaruhkan cuma Rp
25.000. Uang Gurun Teko dikembalikan. Celakanya, kalau kemu-
juran berada di utara, uang saya ikut amblas. Padahal, kalau tidak
gandeng, mestinya seri. Dalam sistem gandeng, seri hanya terjadi
kalau pasangan gandeng kita yang mujur.
Kemudian ada lagi petaruh tingkat tinggi, yang hanya berani
memegang satu bidang saja. Namanya pasangan deris. Prinsipnya
sama dengan gandeng, tetapi pemain gandeng itu sekaligus jadi
lawan kita. Kalau dalam contoh tadi, kemujuran berada di barat,
maka dari uang taruhan saya yang hanya Rp 25.000 itu, saya
mendapat bayaran Rp 75.000. Lima puluh ribu bayaran biasa, Rp
25.000 lagi dari Gurun Teko. Dalam hal ini tak ada istilah seri.
Kalau tidak kalah, ya, menang.
Taruhan dalam permainan togtog sedikit beda. Togtog me-
makai uang kepeng sebanyak 16 biji. Ada seonggok kayu atau
bata merah sebagai alas tangan menangkap uang kepeng. Bandar
memegang uang itu di tangan kanan. Tangan kiri siap menangkap
uang yang dilempar tangan kanan. Menangkapnya dengan telapak
tangan bertumpu ke kayu itu, seperti menepuk nyamuk di lantai.
Petaruh menebak bunyi uang yang ditangkap bandar, karena tak
mungkin bisa melihat uang yang ditangkap itu. Prosesnya terlalu
cepat. Bedanya dengan keles atau trui, petaruh saling mendahului
melempar uang taruhannya pada bidang-bidang taruhan. Yang
paling cepat menebak dan memasang uangnya, berarti uangnya
berada di deretan terdepan. Nantinya, paling awal pula dilayani,
baik menang maupun kalah, walau jumlahnya kecil.
Setelah semua petaruh memasang, dengan urutan siapa paling
cepat, belandang memberi isyarat kepada bandar, apakah uang
83
kepeng di bawah telapak tangan kiri itu ditambah lagi atau tidak.
Menambahnya tentu saja di luar, tidak dimasukkan. Jika ditambah,
petaruh juga berhak berpindah sesuai dengan tambahan uang
kepeng itu. Misalnya, kalau diperkirakan uang kepeng di bawah
telapak tangan kiri bandar cuma lima, petaruh tentu memasang di
utara. Kalau ditambah dua, berarti ada tujuh, petaruh pindah ke
selatan.
Apa, sih, gunanya menambah uang kepeng itu? Inilah seni tog-
tog. Togtog tak mengenal nilai angka kemenangan di atas sepuluh.
Kalau uang kepeng sepuluh, yang menang bidang barat seperti
judi lainnya tetapi di atas sepuluh sampai enam belas, tetap
saja yang menang bidang barat. Di sinilah bandar dan petaruh sal-
ing mengadu kelicikan. Seorang profesional bisa memberi kesan
uang kepeng yang ditangkap tangan kirinya sedikit sekali, padahal
sebenarnya jumlah itu banyak. Atau kedengarannya banyak, tapi
sesungguhnya sedikit. Teknik ini bisa dipelajari dari cara meme-
gang uang kepeng longgar atau padat dan cembung tidaknya
tangan kiri yang menangkap itu.
Contohnya, bandar taruhan mengatur memang bisa diatur
sebelum dilempar oleh tangan kanan uang kepeng itu delapan
biji. Setelah ia melihat banyak petaruh memasang di timur, tentu
saja ia akan kalah. Bandar pasti main coba-coba dengan jalan
menambah uang kepeng itu. Mula-mula satu, pemasang di timur
bergeser ke utara. Tambah satu lagi, petaruh bergeser ke barat.
Tambah satu lagi, berarti sebelas, ada petaruh yang bergeser ke
selatan. Tambah satu lagi, sekarang dua belas, ada petaruh yang
bergeser lagi ke timur. (Kalau saya berjudi di sini, saya pasti batal
bertaruh, saya mudah terjebak). Kenapa petaruh itu terus mengikuti
jumlah uang kepeng tambahan? Mereka tadi memasang di timur,
karena mengira uang kepeng di tangan kiri bandar hanya empat,
bukan delapan. Empat ditambah empat menjadi delapan, sama saja
yang menang timur. Terjebak, petaruh ini akhirnya kalah, karena
uang kepeng yang dua belas itu memenangkan barat.
Begitulah akal-akalan judi ini. Bandar taruhan yang cerdik bisa
memasukkan uang kepeng sepuluh biji dengan bunyi seolah-olah
84
cuma dua. Tapi bisa memasukkan dua dengan bunyi seperti banyak.
Tentu saja, petaruh pun cukup cerdik menebak. Juga dengan cerdik
melihat perubahan wajah bandar taruhan. Si bandar juga pintar
bermain sandiwara. Misalnya, sebelum menambah, ia pura-pura
menghitung uang yang sisa, kesannya ada banyak sisa, padahal
hanya beberapa biji.
Penjudi togtog adalah aktor-aktor yang baik. Terus terang, saya
lebih sering kalah berjudi di tempat ini, sulit menebak, apalagi
dengan cepat. Saya hanya bermain togtog kalau keles dan trui
sudah penuh sesak.
Keles, trui, togtog, dan kocok-kocok selalu ada di luar arena
tajen, di halaman wantilan. Fungsinya memanfaatkan waktu je-
dah sabungan ayam. Namun judian ini juga muncul di keramaian,
misalnya, di luar arena pertunjukan kesenian, bahkan tragisnya di
halaman pura ketika persembahyangan berlangsung.
Masih ada judi tradisional Bali, yang lebih bersifat pribadi,
karena pemainnya terbatas, yaitu ceki dan domino. Ini judi kelas
rumah. Ceki dimainkan lima orang, karena itu secara bergurau
disebut judi pancasila menggunakan kartu Cina (tapi sudah
dicetak di Bali), berjumlah seratus dua puluh. Semuanya punya
nama. Setiap jenis berjumlah empat, jadi dari keseluruhan kartu itu
ada tiga puluh macam. Tiga puluh ini terbagi lagi menjadi sepuluh
persekutuan.
Cara berjudi ini rumit dan sulit menjelaskan tanpa prak-
tek langsung. Saya sudah bisa memainkan sejak kelas lima
sekolah dasar (sekolah rakyat), dan sampai sekarang masih tetap
hafal nama-nama kartu itu walau bertahun-tahun tak pernah
memainkan lagi.
Akan halnya domino, saya kurang suka. Main domino di Bali
menggunakan kartu lima di tangan, dan satu kartu diletakkan se-
bagai pembuka, tidak diturunkan oleh pemain, seperti umumnya
main gaple di Jawa. Dengan begitu, ada kartu sisa yang tidak
dipakai, karena pemain domino hanya empat orang. Kalau seorang
pemain tak bisa menjalankan kartunya, ia harus mematikan sebuah
kartunya dan menaruh di bawah tertelungkup. Jadi, selain menebak
85
kartu lawan, penjudi domino versi Bali juga harus bisa menebak
kartu apa yang tidak main. Penjudi profesional di Bali akan heran
melihat permainan domino di Jawa yang umumnya semua kartu
dimainkan, dan kalau tidak jalan lewat begitu saja. Gampang
sekali, tinggal menebak kartu di tangan pemain, begitu komentar
orang di desa saya, ketika saya memperkenalkan permainan gaple
versi Jakarta.
Mengocok domino di Bali tak boleh lebih dari dua kali. Kartu
itu cukup dihura-hura di bawah, kemudian setelah terkumpul,
dikocok sekali saja. Lebih dari sekali, apalagi berkali-kali, tidak
sah. Dianggap curang, karena bisa mengatur letak kartu-kartu itu.
Memang penjudi domino di Bali cerdik sekali mempermainkan
kartu yang hanya 28 buah itu, kalau boleh dikocok lebih dari
sekali. Beda dengan di Jawa, kartu malah dikocok berkali-kali
untuk menghindari tuduhan curang.
Karena agak pribadi itulah, dan sifatnya membutuhkan ke-
tenangan, judi ini diselenggarakan di rumah-rumah, atau menemani
begadang melayat orang kematian. Jarang menemani judi yang
ingar-bingar seperti tajen itu.
***
SEJAK 1 April 1981, semua jenis judi itu, secara resmi, telah
jadi hikayat masa silam. Keponakan saya bercerita, seorang polisi
pernah memaksa dua anak di desa saya memakan sebuah kartu
domino, sebagai bentuk hukuman.
Sabungan ayam, ada kekecualian. Masih ada yang resmi
dengan izin pemerintah. Tetapi tanpa embel-embel taruhan, tanpa
hukum-hukum yang berlaku sebagaimana sabungan ayam untuk
para bebotoh. Ini adalah jenis sabungan ayam yang berkaitan den-
gan upacara keagamaan, yang disebut tabuh rah. Karena itu pula,
tempatnya tidak di wantilan, tetapi di jaba pura bagian paling
luar sebuah pura. Jumlah pertarungan dibatasi hanya tiga pasang,
lazim disebut tiga saet.
Tabuh rah mempunyai landasan konsepsional dalam agama
86
Hindu. Yakni merupakan sarana untuk mengharmoniskan hubun-
gan bhuwana agung dengan bhuwana alit. Di dalam pengertian
harmonis, terjadilah penyatuan unsur-unsur yang sesuai. Jadi,
yadnva (pengorbanan suci) kepada Panca Maha Bhuta haruslah
menggunakan sarana yang sesuai dengan unsur-unsur di dalam
Panca Maha Bhuta itu. Unsur itu, yang paling dominan, adalah
zat cair. Di bhuwana agung zat cair ini diwakili oleh air, sedang
di bhuwana alit diwakili oleh darah merah.
Di dalam ajaran agama Hindu disebutkan, kalau menghar-
moniskan hubungan antara dua jagat itu datangnya dari bhuwana
agung ke bhuwana alit, maka sarananya adalah air, ini yang disebut
tirta atau air suci. Sebaliknya, dari badan kecil ke dunia mahaluas,
sarananya adalah darah hewan, dan ini disebut tabuh rah. Upacara
ini tergolong Bhuta Yadnya, salah satu dari Panca Yadnya itu.
Masalahnya adalah, kenapa untuk acara tabuh rah itu, dua
ayam mesti diperlagakan. Kenapa tidak disembelih saja, dan da-
rahnya dipercikkan di tempat upacara?
Kembali lagi kepada ciri khas orang Bali sejak dahulu, se-
lalu me-nyeni-kan jalannya upacara. Diperkirakan, kesenian
tabuh rah ini muncul di awal abad ke sebelas, pada pemerintahan
Raja Udayana. Ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti Batur
Abang bertahun 933 Saka (1011 Masehi). Ada sepotong kalimat
bertulis: Mwang yan pakaryyakarya, masanga kunang, wegila
ya manawunga makanlang tlung parahatan, ithanya. tanpamwila
tan pawwata ring nayaka saksi. Arti bebas: Bila mengadakan
upacara-upacara, misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan
sabungan ayam tiga angkatan (saet) di desanya, tidaklah (perlu)
minta izin, tidaklah memberitahukan kepada pengawas (pemer-
intah).
Prasasti Batur Abang ini didukung lagi dengan prasasti Batuan
yang bertahun 944 Saka (1022 Masehi), yang menulis sebagai
berikut: Kunang yan manawanga ing pangudwan maka tang
tlung marahatan, tan pamwitan ring nyaka saksi mwang sawung
tunggur. tan hana minta pamili. Artinya: Adapun bila mengadu
ayam di tempat suci dilakukan tiga angkatan (saet) tidak minta
87
izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas sabungan tidak
dikenai pajak.
Dari kedua prasasti yang ditemukan di tempat terpisah itu,
diduga penyelenggaraan tabuh rah sudah diselewengkan sejak
beratus tahun yang lalu. Tabuh rah ini memang dilakukan tatkala
tawur ke sanga (sehari sebelum Hari Raya Nyepi tahun baru
Saka), dan juga diselenggarakan di tempat suci (pura) setelah
selesai upaeara Dewa Yadnya.
Namun, ketika para pemuka agama di Bali mengadakan
seminar Januari 1983, yang membahas acara tabuh rah ini, tak
ditemukan dalam lontar dan kitab suci ajaran Hindu bahwa tabuh
rah mesti dengan perkelahian dua ayam. Dengan begitu, prasasti
Balur Abang dan Batuan, keduanya tidak relevan untuk dikaitkan
dengan agama. Prasasti itu lebih berbicara sebagai catatan tentang
sabungan ayam, bukan dalam kaitan pelaksanaan tabuh rah. Semi-
nar akhirnya menetapkan bahwa tabuh rah tidak harus dilakukan
dengan menyabung ayam, boleh dengan menyembelih. Sebuah
kesimpulan lunak untuk menjaga perasaan umat.
Masyarakat Bali adalah penganut gugon tuwon. Apa yang
sudah diwarisi berabad lalu seolah senilai sama dengan agama.
Antara warisan budaya dan ajaran agama, terkadang sulit diadakan
pemisahan, lebih-lebih bagi masyarakat pedesaan yang berpendi-
dikan rendah. Jadi, mereka tak bisa melepaskan begitu saja tabuh
rah dalam versi lama, yakni menyabung ayam. Dan pemerintah
daerah, dalam rangka menjaga perasaan umat beragama itu, men-
gizinkan adanya sabungan ayam tiga saet di tempat suci pada
bagian luar yang disebut jaba. Mencegah adanya penyimpangan,
izin baru diberikan setelah pukul tiga sore hari. Maksudnya, kalau
penyelenggara nakal, mengadakan lebih dari tiga pasang pertarun-
gan, malam pun keburu datang. Pantang menyabung ayam pada
senjakala. Tentu saja, dalam izin itu dilarang keras adanya taruhan
suatu hal yang amat sulit dikontrol, karena jaba pura adalah
tempat bersenang-senang.
Kalau sekarang ini ada sabungan ayam yang resmi, jenis inilah
adanya.
88
***
91
VI
Mengenai
Ilmu Hitam dan
Mahkluk Halus
D
IAH Ratna Menggali parasnya cantik. Tapi aneh tidak
ada pemuda yang melamarnya, naksir pun tidak. Men-
gapa? Ratna diduga bisa ngeleak bisa menjadi leak.
Dugaan ini didasarkan kepada hukum keturunan. Kalau ibunya
bisa ngeleak, anaknya pun mewarisi ilmu hitam itu.
Sang ibu, Calonarang, seorang janda, sedih bercampur berang.
Sedih, karena ia khawatir, putrinya bakal menjadi perawan tua. Itu
berarti ia tidak bakalan pernah memomong cucu. Berang, karena
putrinya dituduh bisa ngeleak.
Maka, pada suatu malam yang kelam, Calonarang memanggil
murid-muridnya. Di depan anak didiknya itu, Calonarang mem-
berikan perintah: buatlah gerubug wabah yang bisa mematikan
di wilayah Kediri.
Betul! Kerajaan Kediri gempar. Tak sedikit penduduk yang
tiba-tiba jatuh sakit, tanpa ketahuan sakit apa. Lalu, mati. Peman-
92
dangan yang tampak sehari-hari adalah, orang mengusung mayat
ke kuburan dalam selisih waktu yang singkat. Seseorang yang ta-
dinya mengantar mayat ke kuburan, tidak berselang lama, ia sendiri
yang diusung ke kuburan. Anjing pun melolong-lolong sepanjang
malam. Burung gagak bersenandung saban malam, menyanyikan
lagu kematian.
Raja Kediri pun panik. Mpu Bharadah segera dipanggil untuk
dimintai nasihat. Sang mpu lalu mengatur siasat dan strategi. Mpu
Bahula, putra Mpu Bharadah, diminta mengawini Diah Ratna
Menggali. Bukan untuk melenyapkan kemarahan Calonarang
karena putrinya ada yang meminang, tapi Mpu Bahula diharap-
kan berhasil mencuri rahasia ilmu pengeleakan milik janda sakti
itu. Dengan diketahuinya ajaran ilmu hitam itu, Mpu Bharadah
tentu bisa menyiapkan ilmu penangkisnya, dan pada akhirnya bisa
menanggulangi bencana gerubug.
Singkat cerita, Mpu Bahula meminang Diah Ratna Menggali,
lalu kawin, dan berhasil mencuri ilmu milik mertuanya. Setelah
ilmu itu diserahkan ke ayahnya, maka pertarungan pun terjadi.
Pertarungan yang hebat antara Mpu Bharadah dan pengikutnya,
dengan Calonarang bersama anak didiknya. Peperangan seram,
karena ilmu hitam yang bertempur. Penuh kejadian yang tak masuk
akal, lengkingan teriakan yang menakutkan. Belum jelas, siapa
yang menang dan siapa yang kalah.
Tiba-tiba, kayon ditancapkan di kelir.
***
***
Dalang leak
I Dewa Putu Karsa, bukan nama sebenarnya, sejak kecil suka
mendalang. Sewaktu bocah, ia memakai wayang daun nangka
atau daun kamboja. Dengan teman-teman sebayanya, ia pentas di
seputar desanya, di Kabupaten Gianyar. Penanggapnya juga dari
kalangan anak-anak, dengan honor uang kepeng. Tentu tanpa pang-
gung, cukup di halaman rumah dipanggang terik mentari.
Menginjak remaja, ia terus mempelajari cara-cara memainkan
wayang dan menghafal cerita-cerita pewayangan. Namun, pada
97
saat itu pula ia terkena semacam sakit ingatan. Di rumahnya, ia
suka bertelanjang bulat, kadang menangis meraung-raung, kadang
tertawa terbahak-bahak. Keluarganya pun mengurung Putu Karsa,
dengan alasan malu dilihat orang. Sudah banyak dukun dimintai
pertolongan, tak juga ada kemajuan.
Seorang dukun, akhirnya, memberikan pengobatan berupa
nasihat. Seorang dalang harus mempelajari asal-usul leluhurnya
lebih dahulu, sebelum mempelajari dan mengotak-atik leluhur ke-
luarga Pandawa, Kurawa, Rama, dan sebagainya. Sungguh kualat
kalau mempelajari asal-usul keluarga tokoh wayang itu tapi tidak
tahu asal-usul leluhur sendiri, nasihat sang dukun.
Setelah menyatakan sanggup mengikuti nasihat itu, I Dewa
Putu Karsa sembuh berangsur-angsur. Ia pun belajar menjadi
dalang yang sebenarnya, termasuk ilmu kebatinan yang wajib di-
miliki seorang dalang di Bali. Selain itu ia belajar menatah wayang
sendiri. Pekerjaan terakhir ini sangat ditekuninya. Ia sibuk mencari
contoh bentuk wayang yang bagus.
Di Desa Payangan, tak jauh dari desanya, ia menemukan
wayang kulit dengan tokoh rangda. Wayang rangda wayang
ini tak lazim disimpan di sebuah pura, tentu saja keramat. Ke-
keramatannya, wayang kulit itu pantang dicontoh. Konon, sudah
dua orang menjadi korban karena lancang mencontoh wayang
rangda itu.
I Dewa Putu Karsa, setelah sempat ragu, akhirnya punya akal.
Ia tetap mencontoh wayang rangda itu, bentuknya, besarnya, ciri-
cirinya. Tapi, warnanya dibedakan. Jadi, tak persis. Putu Karsa
ternyata tidak kualat.
Dengan jimat wayang itu, ia menjadi terkenal sebagai dalang
Calonarang pementasan wayang kulit yang mengundang leak.
Di Nusa Penida, ia pernah membuat heboh. Ceritanya, tatkala ia
sedang pentas mengundang leak, seorang penonton pulang, padahal
sudah dinasihatkan jangan pulang sebelum pementasan berakhir
kalau pengecut. Penonton yang pulang itu ketemu leak yang wu-
judnya berupa rangda pula. Lalu ia berlari balik ke tempat pemen-
tasan dan menceritakan kepada penonton lain. Gempar. Akhirnya
98
pementasan wayang kulit dihentikan, karena orang-orang meminta
ki dalang turun dulu mengusir leak yang gentayangan.
Di Buleleng, Putu Karsa punya pengalaman lain. Seperti
diminta oleh penanggapnya, ia kembali mengundang leak dalam
pementasannya. Penonton patuh menunggu sampai pementasan
berakhir. Ketika pergelaran usai, terjadilah sebuah keanehan. Dua
wanita setengah haya tetap mematung berdiri di pinggir panggung.
Mereka merengek-rengek minta tirta air suci yang memang
tersedia di sesajen Ki Dalang. Puluhan penonton ikut menyaksikan
keajaiban itu. Penonton yang tampaknya tahu dua wanita itu adalah
leak yang kalah dan kembali menjadi manusia mengejek,
Apa mau tirta dari air kencingku? Penonton lain berteriak kepada
Ki Dalang. Jangan diberi tirta, Pak Dalang
Tetapi, I Dewa Putu Karsa memberikan juga tirta. Dan wanita
itu pun kembali ke rumahnya. Saya tak tega mengikat mereka
lebih lama. Mereka sudah minta ampun, ya, saya ampuni, kata
dalang itu, yang mengakui telah mengikat kedua wanita tadi dengan
ilmu batinnya.
Di mana rahasia kesaktian Putu Karsa? Tanpa panjang lebar
memberi penjelasan, ia segera mengambil wayang rangda dari
dalam gedog tempat penyimpanan wayang kulit itu. Putu Karsa
kini laris memainkan cerita Calonarang, dan penggemarnya jarang
yang tahu siapa nama aslinya. Di setiap saat bisa berbeda, dan untuk
gampangnya, ia disebut dengan Pak Dalang Leak.
Baju Harimau
Seorang tukang kayu dari Desa Tapesan, Kecamatan Kediri,
Kabupaten Tabanan, mendapat pekerjaan di Desa Wanagiri,
Kecamatan Selemadeg, kabupaten yang sama. Ia bersama teman-
temannya menginap di rumah yang diperbaiki itu.
Suatu malam, ada pertunjukan joged bumbung di Desa
Sarinbuana, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Wanagiri.
Ketut Krubuk, demikian nama tukang kayu itu, mengajak teman-
temannya menonton.
Apa kalian tidak takut di jalan? tanya tuan rumah.
99
Apa yang harus ditakuti? jawab Ketut Krubuk bernada
meremehkan. Toh terang bulan, saya tak takut leak.
Baiklah, kata tuan rumah, lelaki tua yang kumis dan jang-
gutnya mulai memutih.
Pertunjukan joged bumbung itu meriah. Tari pergaulan muda-
mudi sejenis jaipongan ini memang digemari di pedesaan, apalagi
penontonnya bisa ngibing. Karena itu, Ketut Krubuk dan teman-
temannya pulang sampai larut.
Dalam perjalanan pulang, yang harus menempuh jalan setapak
di perkebunan kopi, Ketut Krubuk dan teman-temannya mendengar
suara harimau mengaum di belakangnya. Ketika Krubuk menoleh,
dilihatnya harimau betulan. Tanpa aba-aba, mereka mengambil
langkah seribu.
Tiba di pemondokannya, tak lama kemudian, tuan rumahnya
muncul.
Lha, kok pada pucat?
Kami dikejar harimau, jawab Ketut Krubuk.
Ha ... ha ... tuan rumah ketawa. Kalian pengecut. Harimau
yang tadi itu, aku sendiri. Kalian mau menjadi harimau?
Semua yang mendengar bengong. Tapi, diam-diam, Ketut
Krubuk ingin juga menjadi harimau, ingin merasakan kebolehan
itu. Tanpa setahu teman-temannya, ia mendekati tuan rumahnya.
Baiklah, besok kau coba ilmu itu. Tapi harus di tempat yang
sepi, nasihat tuan rumahnya.
Keesokan harinya, tuan rumahnya memberi sebuah baju kecil,
dan mantra yang pendek saja, sebelum memakai baju itu dan sebe-
lum melepasnya. Ketut Krubuk pun memanggil teman-temannya,
diajaknya berjalan di kebun. Pada saat itu, Ketut Krubuk mencari
tempat sepi, dan memakai baju pemberian tuan rumahnya tadi. Ia
merasa biasa-biasa saja, ia tak merasa menjadi harimau. Karena
itu, ia menyusul teman-temannya. Tapi, teman-temannya itu malah
pada lari, karena yang dilihatnya betul-betul harimau. Ketut Kru-
buk yang merasa ditinggal itu ikut mengejar kawan-kawannya
sambil memanggil-manggil. Kawan-kawannya justru lari semakin
kencang karena mendengar suara harimau mengaum. Sial, harimau
100
terus berlari kehilangan jejak, sementara kawan-kawan Krubuk
tampaknya berlari pulang.
Ketut Krubuk yang merasa dirinya biasa-biasa saja ikut pulang.
Tetapi setiap ketemu orang, orang itu lari tunggang langgang.
Ketut Krubuk pun akhirnya sadar, karena baju yang dipakainya
itu. Ia melepaskan bajunya itu, tapi ia lupa mantranya. Tentu saja,
orang lain tetap melihat wujud harimau, sehingga penduduk desa
itu pun gempar.
Untung, tuan rumah tempat Ketut Krubuk menumpang segera
datang. Padahal, beberapa penduduk sudah siap-siap mengeluar-
kan senapan. Saya kapok, saya kapok . . ., berulang-ulang Ketut
Krubuk menyesal. Tukang kayu tak sepantasnya belajar macam-
macam. Ia kini tinggal di desanya, tetap sebagai tukang kayu.
Perang Antarleak
Orang belajar leak tak cuma bisa bikin onar. Keahlian ini
pun suka didemonstrasikan antardunia leak, mungkin semacam
POAL (Pekan Olah Raga Antar-Leak). Perang entah itu per-
ang-perangan atau perang sungguhan dikenal dengan sebutan
siat wengi.
Orang Bali di pedesaan, kalau mendadak meninggal dunia, tak
ada yang sampai berpikir kena penyakit jantung atau pendarahan
otak dan sebagainya. Keluarga si mati diam-diam mencari tahu,
lewat menyiramkan air klungah (kelapa muda) ke tubuh mayat.
Kalau ada bagian tubuh yang berwarna biru, itu berarti almarhum
kalah di pertempuran malam hari, siat wengi. Jika ahli warisnya
memiliki ilmu itu, akan mencari tahu, siapa yang mengalahkan,
lalu ditantang. Tentu antardunia perleakan.
Bagaimana suasana siat wengi itu? Tentu sulit direportase oleh
mata telanjang biasa, sementara leak-man dan leak-wati akan no
eomment kalau ditanya perkara ini. (0, ya, bagaimana menanyakan-
nya, bukankah orang Bali sangat tersinggung kalau dituduh bisa
ngeleak?) Maka, banyak cerita yang bisa dihimpun dari mereka
yang kebetulan melihat selintas. Pan Miasa, misalnya, menuturkan
pengalamannya sebagai berikut:
101
Suatu malam, guru sebuah SMA di Gianyar ini mencari ikan
dengan temannya, membawa lampu petromaks. Alat penangkap
ikannya bukan pancing, tetapi sebuah jala kecil yang disebut sau.
Ketika sedang asyik di pinggir sungai, tiba-tiba sekelebat bola api
sebesar telur ayam muncul di depannya. Ia terkejut.
Wah, bahaya. Ayo kita pulang, ajaknya kepada temannya,
Ketut Karta. Temannya tak menanggapi.
Tetapi tiba-tiba, temannya ketakutan juga. Malah berteriak-
teriak dengan wajah pucat, dan bergerak seperti menghindari
sesuatu, sampai kecemplung ke kali. Sambil basah kuyup, Ketut
Karta kemudian menuturkan, ia hampir saja ditubruk pesawat
terbang keeil. Karena sama-sama mengalami suatu hal yang tak
beres, keduanya sepakat pulang.
Keesokan harinya, Pan Miasa menuturkan peristiwa aneh itu
kepada Pan Mayun, tetangganya. Ternyata, Pan Mayun juga me-
lihat sesuatu dari kejauhan.
Semalam aku di gubukku. Dari jauh, aku melihat dengan
jelas percikan api yang jumlahnya ratusan di kali itu. Peperangan
sangat dahsyat semalam. Mengapa engkau berani menangkap ikan
di kali itu?
Pan Miasa pun melongo. Rupanya, sungai keeil itu menjadi
stadion siat wengi.
Yang lebih menarik adalah siat wengi yang terjadi di seputar
pantai Padang Galak, sekitar 2 km sebelah timur Hotel Bali Beach,
Sanur. Tapi kejadian ini agak lama, di tahun 1980. Siat wengi itu
berlangsung beberapa malam, sempat disaksikan ratusan penonton
di sepanjang Jalan Tanjung Bungkak, pinggiran timur Kota Den-
pasar. Tua muda, laki perempuan, berebut menyaksikan peperangan
antarleak itu. Koran yang terbit di Denpasar, bahkan juga sebuah
majalah hiburan yang terbit di Jakarta, meliput peristiwa itu dengan
bumbu-bumbu yang menarik.
Kabarnya, menurut penonton di sekitar Padang Galak yang
terdekat dengan tempat kejadian berkali-kali terjadi benturan
api. Perang leak itu betul-betul perang sungguhan, antara sekelom-
pok leak dari Desa Lebih dan sekelompok leak dari Desa Sanur.
102
Kedua desa itu memang dari dulu dikenal sebagai pusat ilmu
hitam. Tak jelas apa yang diperebutkan kedua kelompok leak itu.
Mungkin berebut pengaruh, karena di pantai Padang Galak ada
kuburan orang-orang asing korban pesawat Pan Am yang jatuh
di Bali pada 1974. Tempat itu sering dikunjungi orang, tentu para
leak ingin menguasai daerah itu. Ini barangkali, lho.
Ribuan orang yang sempat berduyun-duyun menyaksikan per-
ang leak itu, ada yang mengaku bisa melihat api beterbangan, dan
entah benda apa lagi. Ada pula yang tak melihat apa-apa. Konon
begitu, ada orang yang bisa melihat leak, ada yang tidak, walau
mereka di tempat yang sama. Yang jelas, bemo ke jurusan Tanjung
Bungkak penuh sesak setiap malam. Waktu itu, saya masih di Yo-
gya, dan berniat pulang ke Bali. Tapi teman di Denpasar keburu
mengirim surat, kata dia, itu cuma akal-akalan sopir bemo yang
trayeknya harus melewati daerah Tanjung Bungkak.
***
107
VII
Nasib Arja,
Teater Rakyat
Bali yang
Merana
S
EBUAH pesta yang memprihatinkan, pada pertengahan
Februari 1986. Di Pusat Kesenian Bali (Art Centre) Abian
Kapas, Denpasar, berlangsung Pekan Arja se-Bali. Delapan
kabupaten di Bali mengirimkan wakil-wakil untuk mempertunjuk-
kan kebolehannya dalam mementaskan arja sebuah teater rakyat
yang begitu lengkap unsur-unsurnya, ada tari, tabuh, drama, vokal,
seni rias, seni busana, dan entah apa lagi. Dahulu, kegiatan seperti
ini selalu disertai ingar-bingar.
Kalau saja pekan arja itu berlangsung dua puluh tahun yang
lalu, bukan saja masyarakat Denpasar, tapi mungkin seluruh pen-
duduk Bali mengarahkan perhatiannya ke Abian Kapas. Sekarang
tidak. Delapan arja yang masing-masing mewakili kabupaten ini
pun datang dengan niat sekadar memenuhi undangan. Atau lebih
tegas, sekadar untuk menunjukkan bukti bahwa arja masih bisa
digarap.
108
Kesenian arja sudah sedemikian jatuh gengsinya di masyarakat
Bali. Tontonan ini tak lagi menggetarkan pemuda dan pemudi desa.
Lamban, melempem, bikin ngantuk, begitu-begitu saja, tontonan
masa lalu, begitu komentar anak-anak muda. Pertunjukan ini me-
mang harus dilihat dengan serius, harus dinikmati dengan telaten,
tembangnya harus disimak dengan tenang. Tanpa itu, tak ada pesan
apa pun yang bisa ditangkap.
Tontonan ini pun tak laku dijual kepada turis asing, apalagi
turis domestik. Bukan karena tergolong tari sakral, tetapi dialog-
dialognya agak sulit dicerna untuk mereka yang tidak punya akar
sastra Bali. Nah, kalau sastra tradisional Bali itu sendiri sudah lama
pingsan, bagaimana kesenian ini bisa hidup.
Arja tak laku lagi; kasarnya, tak bisa memancing dolar, juga
rupiah. Maka, desa-desa yang dulu menjadi pusat kesenian ini, kini
telah dilupakan. Kalaupun sekarang ini ada arja, maka itu tak lagi
mewakili sebuah desa, tetapi mungkin kecamatan, atau kabupaten,
seperti pekan arja se-Bali itu. Sifatnya pun temporer.
***
***
118
VIII
Perjalanan
Teater Rakyat
Topeng, Janger, dan
Drama Gong
S
ATU bentuk kesenian yang sudah memasyarakat bisa saja
tiba-tiba lenyap. Setidak-tidaknya, ia berangsur-angsur
ditinggalkan masyarakat penontonnya. Orang terguncang
oleh satu bentuk kesenian yang baru muncul. Masyarakat merasa
diwakili oleh bentuk kesenian yang datangnya belakangan. Itulah
sisi lain perjalanan teater rakyat di Bali.
Gambuh, yang di masa sebelum kemerdekaan, konon, mendapat
tempat di hati masyarakat, tiba-tiba menyurut ketika topeng muncul
sebagai teater yang lebih akrab. Topeng dan arja yang bisa hidup
berdampingan, yang sempat menggebu-gebu itu, pudar juga ketika
drama gong mewabah di Bali. Dalam perjalanannya kemudian
saat ini drama gong pun sudah sampai pada titik gawat ketika
layar tancep memasuki pedesaan dengan cerita-cerita yang mudah
dikenal masyarakat, legenda Jaka Tarub, Nyai Blorong, Nyai Roro
119
Kidul, Jaka Gledek, Jayaprana, dan banyak lagi.
Dibandingkan dengan gambuh dan arja, topeng barangkali tak
akan mati sungguh-sungguh. Masalahnya, topeng dalam penger-
tian penutup wajah itu di Bali disebut tapel masih banyak
disimpan dan di beberapa tempat ditaruh di sebuah pura. Dengan
kata lain, tapel itu dikeramatkan.
Tetapi topeng sebagai seni pertunjukan tidak digolongkan tari
sakral, seperti misalnya Tari Sang Hyang. Drama tari ini digolong-
kan jenis tari bebali artinya suatu pertunjukan yang sering kali
diadakan dalam rangkaian upacara persembahyangan di sebuah
pura, sebagai hiburan umat yang datang bersembahyang. Cerita
yang dipergelarkan selalu diambil dari sejarah Bali. Karena itu,
tidaklah salah kalau kesenian ini disebut pengungkap sejarah, entah
itu sejarah yang lebih besar kisah-kisah para raja di Bali atau
sejarah berdirinya sebuah desa, sebuah pura, dan sebagainya. Tentu
saja, semua kisah ini tak bisa dikarang-karang. Adapun ceritanya
diambil dari Babad Bali, dari Prabu Mayadanawa, Kerajaan Gelgel
di abad ke-15, sampai perang Puputan Badung di abad ke-20.
Adalah kesenian ini yang paling banyak punya beban untuk
membentuk manusia Bali seutuhnya. Lewat teater topeng, ma-
syarakat diajak membuka lembar-lembar sejarah masa lalunya, di-
kuliahi masalah agama, digurui soal sopan santun. Bentuk kesenian
ini adalah sarana pendidikan, penerangan, dan bahkan propaganda
politik. Di masa penjajahan, para penari topeng banyak yang dije-
bloskan ke penjara karena menghina pemerintah kolonial.
Drama tari topeng memang kelanjutan gambuh sebuah
drama tari klasik yang lebih tua dari arja. Gambuh dan arja tidak
menggunakan tapel, dan kedua drama tari ini lebih ketat dengan
pakem, baik tari maupun ucapan. Tetapi topeng lebih banyak
menyediakan tempat untuk improvisasi, baik itu improvisasi tari
maupun dialog. Musik pengiring (gamelan) dalam topeng sudah
tersedia dalam bentuknya yang pendek-pendek. Dan itu kemudian
diulang sesuai dengan keinginan pemain. Dalam drama tari ini,
pemainlah yang memberi isyarat, tabuh apa yang dibunyikan. Itu
bedanya dengan gambuh yang penarinya terikat oleh pakem tabuh,
120
yang tak bisa diubah seenaknya dalam satu pergelaran.
Bagi pemain yang tidak boleh berdialog, misalnya Dalem
(Raja) dan Pepatih, pada drama tari gambuh gerak tari pemain itu
lebih indah, luwes, dan mengesankan gerakan yang abstrak. Sedang
penari topeng dalam tokoh yang sama memungkinkan gerak yang
lebih lincah dengan gaya pantomim. Begitu pula untuk pemain
yang bebas berdialog. Pada gambuh dialog-dialog itu diucapkan
halus, nyaris berlagu, dan sangat serius tanpa humor. Sebaliknya
pada topeng. Apalagi kalau sudah muncul topeng bebondresan,
topeng-topeng lucu yang menggambarkan berbagai perangai dan
bentuk wajah manusia di masyarakat. Tapel hanya menutup wajah
di atas bibir, sehingga pemain tak terhalang suaranya. Pemain bebas
mengekspresikan tapel yang digunakan, ada yang pura-pura tuli
bisu, suka marah-marah, dan sebagainya.
Seperti halnya pada setiap bentuk teater rakyat Bali, tak ada
skenario tertulis sebelum pementasan itu dimulai. Kendatipun be-
gitu, sebelum pementasan para pemain berkumpul dan seseorang
membeberkan cerita. Siapa yang lebih menguasai cerita, dialah
yang biasanya menjadi penasar (panakawan), karena dari pemain
ini yang bebas berdialog -- cerita diuraikan ke penonton. Yang
tak menguasai cerita atau kurang sreg dengan cerita yang di-
pentaskan bermain sebagai dalem atau pepatih, yang tugasnya
hanya menari dan memberi gerak-gerak bergaya pemain pantomim.
Atau menjadi pemain bebondresan, topeng yang boleh bicara
ngawur, hanya membuat lelucon.
Pembeberan cerita beberapa saat sebelum pentas itu pent-
ing karena para penari topeng tak mesti menghimpun diri dalam
satu sekeha (grup) permanen. Bisa saja para penari dicomot dari
desa-desa yang berlainan dan mereka baru berkumpul pada saat
pementasan itu.
Jumlah penari untuk satu pementasan juga tidak tentu. Berapa
pun jumlah penari yang tersedia, pementasan bisa jalan jadi
beda lagi dengan gambuh atau arja. Hal ini dimungkinkan, karena
terbukanya kesempatan untuk main rangkap. Dengan tiga penari
saja, pementasan cerita sudah komplet, asalkan tentu saja tapel
121
tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan ada pementasan
topeng yang dimainkan oleh seorang saja. Disebut topeng pajegan.
Untuk jenis ini, tentulah pemain harus matang betul. Selain setiap
saat berganti tapel ia harus bisa memberi kesan kepada penonton,
ada tokoh yang tidak terlihat, hanya bayang-bayang.
Teater topeng yang digolongkan tari bebali ini pernah diangkat
menjadi tari bali-balian yaitu bentuk kesenian yang bisa dipen-
taskan setiap saat untuk hiburan (dan dikomersialkan) dan tidak
harus dalam rangkaian upacara keagamaan. Ada yang mencapai
sukses, yaitu grup topeng dari Carangsari, Kabupaten Badung. Di
tahun-tahun 1970-an, grup ini begitu digemari masyarakat. Tentu
saja bukan tarinya yang digemari, tetapi leluconnya, yang lebih
banyak mengarah ke porno. Apalagi, di antara topeng bebondresan
itu, grup ini punya tapel yang menggambarkan seorang wanita
yang nakal. Dari sinilah lelucon itu diangkat. Dan karena para
pemainnya orang-orang yang punya wawasan lebih luas, lelucon
mengalir dengan lebih banyak mengaitkan pada masalah-masalah
aktual di masyarakat, termasuk melontarkan kritik. Bahkan porsi
ini yang lebih dominan, sehingga pengungkapan sejarah yang
menjadi misi teater ini, pada grup Topeng Carangsari, hampir hanya
menjadi sampiran.
Jika grup ini akhirnya menanggalkan statusnya sebagai tari
bali-balian karena sudah mulai jarang ditanggap ada sebab
lain yang mempercepat kejatuhannya, yakni kaset. Cerita-cerita
grup topeng ini banyak yang direkam, tentu saja atas izin. Dan ka-
set ini diperjual-belikan secara luas. Celakanya, penyebaran kaset
juga lewat pemutaran di radio amatir lebih cepat ketimbang
memproduksi banyolan baru. Akibatnya, pementasan grup to-
peng ini tak lagi menggigit, banyolannya banyak yang mengulang.
Sering terjadi, penonton berteriak mengejek, dan bahkan penonton
lebih pintar dengan mengucapkan kata-kata yang belum diucapkan
pemain.
Jadilah, kesenian ini kembali memasuki sangkarnya, sebagai
tari bebali sebagai sarana hiburan pada upacara keagamaan. Di
sana ia memang tak tertandingi, salah satu sebab karena bentuk
122
tari arja dan drama gong yang berlarut-larut itu tidak cocok untuk
hiburan di saat menjalankan ibadat agama. Topeng, keistimewaan-
nya yang lain, bisa dipersingkat, bisa diperpanjang tergantung
waktu yang disediakan. Bisa pula hanya beberapa puluh menit,
yang dipentaskan beberapa topeng pengelembar yakni topeng
tanpa cerita.
Yang membuat jenis teater rakyat ini menyingkir dari pang-
gung-panggung pertunjukan komersial, munculnya satu bentuk ke-
senian baru yang tidak jelas pakemnya, tidak mudah ditebak urutan
ceritanya karena lebih banyak fiktif. Yakni: drama gong.
***
***
***
***
138
IX
Pasang Surut
Sastra Bali
Moderen
& Tradisi
139
kurung ragane serahina
ngiring mapaos raga-raga
sareng kopi acangkir
T
EMAN saya agak heran ketika menemukan sajak berbahasa
Bali di atas, di antara tumpukan buku tentang kesusastraan
Indonesia. Ia menyebutkan, belum pernah mendengar ada
sajak berbahasa Bali. Dan lebih luas, ia belum pernah mendengar
kesusastraan Bali modern ada di tengah-tengah kesusastraan In-
donesia. Bisa diterjemahkan? pintanya.
Sajak karya Made Taro di atas yang berjudul Sasih Karo Ring
Bali saya terjemahkan untuk menghormati seorang kawan yang
tampaknya begitu berminat.
Sajak ini ditulis Made Taro pada 1976 dan sudah dimuat dalam
140
kumpulan puisi Galang Kangin yang diterbitkan Yayasan Saba
Sastra Bali Denpasar. Ia melukiskan suasana Bali pada Sasih Karo
(bulan kedua tahun Saka, atau sekitar bulan Agustus) yang memang
udaranya agak dingin.
Apakah puisi jenis ini masih banyak di Bali? Apakah penyair
sastra Bali ini cukup banyak jumlahnya? Pertanyaan teman
saya yang agak kekanak-kanakan ini hampir saja membuat saya
terpingkal-pingkal.
Tentu saja banyak. Di Jakarta, saya masih memiliki beberapa
koleksi, antara lain, kumpulan puisi Ganda Sari (1973) dan Joged
Bungbung (1975). Ada lagi, Kembang Rampe Kasusastraan Bali
Anyar (1978), yang diterbitkan Balai Penelitian Bahasa Singaraja
yang memuat bunga rampai kesusastraan Bali modern dalam ben-
tuk prosa dan puisi. Buku-buku ini memang tipis, dicetak seder-
hana, dan karena itu terselip di antara buku-buku lain. Memang
sebuah buku yang sama sekali tidak menarik perhatian.
Saya berjanji kepada teman saya, dalam perjalanan pulang
ke Bali ini akan mengumpulkan buku mengenai sastra Bali yang
lebih banyak. Ketika saya meninggalkan Bali, pemerintah daerah
Bali tampaknya berminat sekali mengembangkan sastra ini. Har-
ian Bali Post, pada edisi Minggunya, sering memuat puisi Bali
modern begitu istilahnya untuk sajak sejenis karya Made Taro
ini. Sayembara pun sering diadakan oleh pemerintah. Saya pikir,
sastra Bali modern masih menggairahkan.
***.
142
Basa Bali
Wind
Angin
Bali
Wentenke
becikan ring hidup pasuka-dukan
salunglung sabiantaka
ngulangunin suara suling pangangon
bajang-bajang nembang ngalih saang
semar pagulingan di jaba pura
wentenke?
(Buin pidan tiang mati
apang mati dini
keanterang kakawin prihantemen)
Bali
Adakah
yang lebih baik dari hidup bersuka-duka
senasib sepenanggungan
menikmati seruling gembala
dan tembang gadis-gadis mencari kayu api
dan suara semar pegulingan di halaman pura
adakah?
(bila saatnya aku mati
biar mati di sini
diantar kekawin prihantemen).
mati nguda
. . . ah, suwud . . .
mapelalian aji api
tondenke merasa limane
puwun?
ingsun tan purna
tan lila
yen gegumuk ingsun
kasambehin kembang ura
ngatahun
nanging lali ring sasana
tiwal ring swadharma
. . . ah suwud
mageburan marep ring anak
malalung
tonden ke merasa ragane
lepeg belus?
indayang tingalin tangkahe
tolih tundune
kengken. . . ? nah ne jani
dabdabang tindakane
sadereng gonge macegur
haaaa.. . . ha .. . ha, ha . . .
hiiii ... hi. . . hi, ...
suwud ja, suwud. . . ! tunggalang idepe!
Terjemahannya:
. . . ah, berhentilah
bermain dengan api
belum juga terasa tanganmu
terbakar?
belum puas aku
belum puas
bila nisanku
ditaburi kembang ura
tiap tahun
151
tiap lupa kewajiban
lalai swadharma
. , . ah, berhentilah
berhamburan menghadap orang
yang telanjang
belumkah merasa diri
basah kuyup?
coba lihat dadamu
lihat punggungmu
bagaimana . . . ? nah sekaranglah
atur langkahmu
sebelum gong dipukul
haaaa . . . ha . . . ha, ha . . .
hiiii... hi ... hi. ; ...
hentikanlah, hentikan . . . ! satukanlah hatimu!
Selip
beh
aluh negak bangun maduhan
tuyuh magae pulese ngengkis
Kumbang (1)
kembange kembang
kumbange liang
kembange layu
kumbange tanpa bayu.
Terjemahannya begini:
Kumbang (1)
kembang berkembang
kumbang riang
kembang layu
kumbang pun lesu.
***
***
***
Cerita Tentang
Lagu Pop Bali
yang Marak
B
ANGUNAN tempat tukang cukur itu tetap saja tak berubah.
Saya tak tahu pasti apakah kursi-kursi dan balai-balai di
tukang cukur itu pernah diganti atau tidak. Sekitar tahun
1971-1974 saya sering berkunjung ke sana. Yang jelas, tukang
cukurnya sendiri tetap saja dia, Anak Agung Made Cakra.
Kalau sekarang saya datang mengunjungi Anak Agung Made
Cakra, maksud utamanya tentu saja bukan cukur rambut atau seka-
dar berkangen-kangenan dengan orang tua yang suka humor itu.
Dulu pun, setelah 1974, sesekali saya suka mampir di sini, tidak
ada urusan dengan cukur-mencukur. Made Cakra punya profesi
lain, yang agak sulit dicari hubungannya dengan gunting, yakni
bermain musik. Ia jago memainkan biola. Pernah, ketika pekan seni
pelajar di pertengahan 1976, ia mendapat julukan Idris Sardi-nya
Pulau Bali. Dan predikat itu terus melekat.
Bukan cuma pemain biola suatu profesi yang menyimpang
162
bagi kesenimanan orang Bali tradisional Made Cakra juga
pelopor penciptaan musik pop Bali. Bahkan bersama Band Putra
Dewata yang dipimpinnya, ia memelopori rekaman musik pop Bali,
pada 1976. Saat itu, di mana-mana di seantero Bali terdengar lagu
Kusir Dakar dari kaset yang diputar keras-keras. Kaset itu dicetak
100.000 buah dan direkam oleh perusahaan kaset di Banyuwangi,
Jawa Timur. Habis terjual. Kusir Dakar, sebuah lagu humor,
berkisah tentang kusir dokar yang memacu kudanya lari kencang
sampai menabrak tukang obat di pinggir jalan. Dalam kaset ini ada
13 lagu lainnya, tetapi hanya lagu itu, yang kebetulan dijadikan
sampul kaset, yang top hit.
Sejarah musik pop Bali memakai bahasa Bali tentu saja
termasuk baru. Apalagi kalau diiringi oleh seperangkat band
atau orkes atau biola saja. Kalau lagu pop bersyair Bali tanpa
diiringi alat-alat modern, sudah dikenal di awal 1960-an, ketika
masyarakat diguncang hampir setiap malam oleh kampanye partai-
partai. Syair lagu pop itu hampir seluruhnya mencela lawan par-
tainya, dan menjadi alat propaganda, dinyanyikan pemuda-pemudi
partai, di sela-sela pidato pemimpin partai. Lagu ini dinyanyikan
dalam bentuk koor, kalaupun ada pengiringnya, itu biasanya dari
angklung. Made Dharna, seniman LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional) di Singaraja tercatat paling produktif mengarang syair
untuk menjagoi PNI.
Kemunculan Band Putra Dewata di Denpasar pada 1963 hanya
terdengar suaranya di sekitar kelahirannya. Ia tenggelam oleh
gemuruhnya lagu-lagu partai yang berkumandang di desa-desa,
dinyanyikan oleh pemuda-pemudi yang berbaju hitam (PNI) atau
berbaju merah (PKI). Baru, setelah pemberontakan G-30-S/PKI
yang gagal itu, Band Putra Dewata mulai kedengaran namanya.
Lagu ciptaan Made Cakra, yang kebanyakan syairnya bernada
canda, dinyanyikan oleh pemuda-pemuda desa, sebagai lagu yang
netral. Dan barangkali cukup untuk menghibur diri di sela-sela
bayangan seram penumpasan orang-orang PKI di Bali. Putra De-
wata pun sudah menggunakan alat-alat modern, ada gitar, biola,
drum, dan sebagainya.
163
Walaupun peralatan waktu itu sangat sederhana. Drumnya
dari piring seng, kata Made Cakra mengenang. Bekas penyanyi
keroncong dan guru musik di perguruan Saraswati ini sering pula
diminta main di pentas-pentas hiburan. Tapi masih tetap kalah
dengan cabang seni yang sedang demam pada masa itu, drama
gong.
Wabah drama gong mulai menyurut setelah Pemilu 1971
salah satu sebab, hancurnya PNI di Bali dilanda Golkar, dan
grup drama gong yang bernaung di bawah LKN membubarkan
diri atau dibubarkan. Pada saat itulah Band Putra Dewata seperti
bangkit dan mulai mengkampanyekan syair-syair lagu berbahasa
Bali. Sampai akhirnya, sebuah perusahaan rekaman kaset yang
sebelumnya banyak merekam drama gong mencari Made Cakra
untuk masuk dapur rekaman. Tukang cukur ini bersedia. Reka-
man itu ternyata sulit, perlu waktu tiga bulan, kata Made Cakra.
Memang, ini pengalaman baru buat mereka, juga buat perusahaan
rekaman itu. Kalau merekam drama gong cukup menaruh mike
rekaman di panggung pertunjukan, merekam lagu ini harus di
studio tersendiri. Dan itu dilakukan di Banyuwangi. Produser reka-
man di Denpasar itu pun akhirnya bekerja sama dengan pengusaha
rekaman di Banyuwangi.
Begitulah kisah meledaknya kaset Kusir Dakar. Radio-radio
swasta di Bali mulai memutar lagu-lagu pop Bali. Radio Menara
Denpasar, yang punya daya pancar kuat dan bisa diterima di dae-
rah pegunungan, setiap hari mengumandangkan lagu pop Bali.
Kalau acara pilihan pendengar lagu Bali sebelumnya diputar
gending-gending Bali baik itu gamelan Bali maupun kerawitan
Bali kini diganti lagu pop Bali versi Made Cakra. Harian Bali
Post, terutama edisi Minggunya juga memuat ciptaan baru lagu-
lagu pop Bali.
Ladang baru buat Made Cakra. Di sela-sela menunggu lang-
ganannya yang mencukur rambut, ia mencorat-coret kertas, menga-
rang lagu. Produser kaset yang membawanya ke tangga popularitas
itu juga menunggu tak sabar. Hanya enam bulan setelah Kusir
Dakar, muncul albumnya yang lain, Putri Bali. Enam bulan lagi
164
muncul Galang Bulan. Satu album paling sedikit ada sembilan
lagu.
Sementara itu, di Tabanan muncul pula grup band yang sejenis
Putra Dewata, yang menyanyikan khusus lagu pop Bali. Grup ini
dipimpin Putu Joni. Ia pun rekaman pula, tentu dari produser yang
lain dengan produsernya Made Cakra. Juga di Gianyar, muncul
grup band, yang langsung masuk ke dapur rekaman.
Anak Agung Made Cakra, bangsawan yang jadi tukang cukur
itu, memang tak sampai meninggalkan pekerjaannya menggunting
rambut. Tetapi dari tangannya terus mengalir lagu-lagu pop Bali. Ia
mulai menggarap tema-tema cerita rakyat dan legenda. Muncullah
kemudian album-album yang berjudul Sampek Ingthai, Raja Pala,
I Durma. Seperti biasanya, lagu-lagu ini laku keras. Seratus ribu
kaset terjual, untuk ukuran Bali, sungguh terlalu banyak.
Demam lalu berakhir. Tidak drastis, tetapi pelan-pelan saja.
Apa yang terjadi? TVRI yang jadi biang kerok kali ini. Siaran
televisi pusat mulai dapat ditangkap di Bali, dan masuk ke desa-
desa. Apalagi setelah Denpasar punya stasiun produksi, dan hampir
seluruh daerah Bali bisa menikmati siaran ini. Masyarakat pedesaan
memang penggemar lagu pop Bali itu daerah pedesaan mulai
berkenalan dengan kotak ajaib ini. Mereka menyaksikan berbagai
ragam lagu dari penjuru tanah air. Dan, tiba-tiba saja, dendang pop
Bali seperti sudah kuno atau sangat ketinggalan zaman. Lebih-
lebih, ketika di kotak ajaib itu muncul grup vokal anak-anak Bali,
yang dipelopori sekolah-sekolah menengah di Denpasar, juga dari
Bina Vokalia Denpasar. Celakanya, grup vokal ini, dengan begitu
bergairah dan bersemangat, mendendangkan lagu berbagai daerah.
Lagu pop Bali tiba-tiba tidak menggigit lagi. Sekarang di desa,
kalau ada keramaian, muda-mudi setempat pasti mementaskan
grup vokal. Lagunya Made Cakra tak laku lagi, cerita seorang
pemuda di kampung saya.
Ada apa dengan lagu-lagu pop Bali ciptaan Made Cakra, yang
dinyanyikannya sendiri bersama putrinya? Iramanya monoton,
irama slendro dan melodinya banyak pengulangan. Syair-syair cip-
taan Made Cakra mulai menggurui, dari sopan santun berpacaran
165
sampai nasihat untuk tidak melakukan korupsi. Semua ini din-
yanyikan dalam gaya bertutur dengan irama seriosa. Kadang pula
dengan irama keroncong. Sebagian besar nyanyian itu dibawakan
seperti orang bergumam akan penyesalan. Irama riang seperti Kusir
Dakar, entah kenapa, ditinggalkan Made Cakra.
Lagu pop Bali memang tidak mati cuma demamnya yang
hilang. Putu Joni, misalnya, sudah tidak memproduksi kaset lagi.
Grup bandnya juga menghilang. Made Dharna lebih banyak menu-
lis naskah drama berbahasa Bali, ketimbang menulis lagu Bali.
Made Cakra masih melemparkan dua album di tahun 1984,
berjudul Guna Karya dan Kepupungan, masing-masing berisi
dua belas lagu. Tahun 1985, sebuah kaset lagi ia keluarkan, tetap
dengan produsernya yang lama, Bali Record, berjudul Dagang
Koran. Di kaset ini ada 13 lagu dinyanyikan enam penyanyi: I
Made Mudira, Anak Agung Rai Sukani, Ketut Bimbo, Mulyono,
Mud Mainah, dan Anak Agung Antara.
Dari segi syair, tak ada kemajuan apa-apa pada ciptaan Made
Cakra. Gaya bercandanya tak muncul lagi, malah kebanyakan beri-
si pesan-pesan pembangunan. Misalnya, Bali Pulau Taman, lagu
yang terdapat di kaset Dagang Koran, isinya hanya pujian-pujian
tentang alam Bali yang hijau dan indah. Lagu ini pun dinyanyikan
I Made Mudira dengan irama yang mendekati keroncong. Beda
sekali dengan musik tradisional Bali, misalnya, termbang janger
atau berbagai gending yang mengiringi tarian Bali, penuh kerian-
gan. Dan, satu hal lagi, Made Cakra tak lagi menyanyi, dengan
alasan tua, suaranya sudah lain. Usianya kini 56 tahun.
Salah seorang penyanyi Band Putra Dewata, Ketut Bimbo
kata orang ini nama samaran sempat berdiri sendiri den-
gan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Ia tidak menggunakan
Band Putra Dewata, dan entah di mana pula mendapatkan musik
pengiring. Album Ketut Bimbo ini, menurut penyalur kaset di Den-
pasar, tergolong laku. Sudah dua album dilahirkan Ketut Bimbo
sejak kemunculannya yang terpisah dengan Putra Dewata. Saya
tak berhasil mendapatkan album pertamanya. Album keduanya,
Aksi Boss, berisi sepuluh lagu, dari segi syair sudah menunjukkan
166
gejala memberontak kepada lagu pop Bali yang didominasi Made
Cakra. Ketut Bimbo banyak mengejek, antara lain, lewat lagu
Aksi Boss, Ojek, Kumpul Kebo. Lagu ini pun dibawakan dengan
sangat dipengaruhi lagu Iwan Fals. Selebihnya, pengaruh Made
Cakra baik dalam syair maupun irama masih tersisa. Misalnya lagu
Sing Nau Nau Jumah (tak kerasan di rumah) syairnya tidak begitu
jeiek, tetapi iramanya, dan cara mendendangkannya, seperti orang
menyesal berkepanjangan. Monoton sekali iramanya.
Kaset lagu pop Bali yang paling laku sampai akhir 1985
ternyata grup baru yang tak keruan juntrungannya dan alamatnya,
Sagita & Sayub. Kaset ini diproduksi Aneka Record. Toko Aneka
di Denpasar, yang menjadi penyalur utama kaset ini, juga tak tahu
alamat kedua penyanyi itu. Tampaknya antara Aneka yang toko
dan Aneka yang merekam, tidak ada hubungan, atau entah mereka
mengelak dengan alasan curiga pada saya yang dikiranya akan
merazia kaset bajakan atau kaset tanpa pita cukai, mungkin.
Kaset ini laris karena judulnya: Madu teken Tube (Madu dan
Racun). Sudah bisa ditebak, lagu ini adalah terjemahan Madu dan
Racun yang sangat populer itu. Terjemahannya memang bebas dan
kata-kata yang dipakai bukan bahasa Bali bentuk hormat. Mereka
mencantumkan dalam kaset itu, syairnya diciptakan Ionk.S, entah
siapa pula orang ini.
Begini syairnya:
***
170
XI
Seni Kerajinan
di Tengah Arus
Pariwisata
Buah Upakarti
I Nyoman Togog
D
ESA Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar,
sudah lama dikenal sebagai perkampungan seniman.
Segala bentuk kesenian lahir di desa ini, dan terkenal
melewati batas laut dan mancanegara. Sekeha gong Peliatan sudah
melanglang buana ke berbagai negara sebelum 1960-an. Penduduk
desa, yang sejak dulu bertani, memanfaatkan waktu senggangnya
untuk melukis dan memahat. Masuknya pelukis-pelukis luar
memberi kegairahan pelukis lokal. Mereka mendapat pelajaran
dan pengalaman secara tak langsung. Kini, kegiatan kesenimanan
tidak lagi merupakan kegiatan sampingan. Tetapi pekerjaan bertani
tidak pula ditinggalkan. Warga Desa Peliatan semuanya mengaku
bertani dan berkesenian.
Desa itu tetap menampakkan sebuah wajah desa. Tidak
seperti wajah desa tetangganya, Desa Ubud dan Desa Mas, yang
berderet-deret toko kesenian, galeri, dan sejenisnya. Yang mem-
171
bedakan dengan desa-desa lain di pedalaman Bali adalah, Desa
Peliatan dipenuhi papan-papan nama di pinggir jalan, yang me-
nyebutkan di sana berdomisili para pelukis dan pengukir. Papan itu
pun tidak terlalu mencolok mata. Kecil saja, seperti papan nama
praktek dokter.
Di pinggir gang sempit, sebuah papan nama kecil yang rnuram
bertuliskan I Nyoman Togog Wood Carver. Gang itu sepi, tak ada
anak-anak berkeliaran, tak ada turis yang lalu lalang. Kesannya,
tidak ada kegiatan di sekitar gang kampung ini.
Sekitar seratus meter dari jalan raya, di sebuah rumah dalam
gang, baru ditemukan kegiatan. Puluhan perempuan dan beberapa
lelaki, asyik bekerja di sebuah bangunan. Di antaranya beberapa
anak kecil. Mereka kebanyakan menghaluskan ukir-ukiran dengan
amplas di tangan. Yang lainnya memberi warna, dengan pelan,
teliti, dan penuh konsentrasi.
Bangunan-bangunan lain di dalam kompleks itu dipenuhi
berbagai barang kerajinan, baik yang telah jadi maupun yang
setengah jadi. Walaupun sudah dipajang dengan penataan yang
rapi, karena berjubelnya benda seni itu, bangunan tampak seperti
gudang yang kesesakan. Itulah kompleks rumah I Nyoman Togog,
peraih penghargaan Upakarti Departemen Perindustrian pada akhir
1985. Penghargaan tertinggi bidang perindustrian ini nilainya
sama dengan penghargaan Kalpataru di bidang lingkungan hidup,
yang sudah dikenal sebelumnya.
Ini tempat tinggal I Nyoman Togog, sejak ia lahir, dewasa,
dan terkenal seperti saat ini. Dilihat dari komposisi dan struktur
bangunan rumahnya, ia masih setia pada arsitektur tradisional Bali.
Ada pemerajan, ada gedong, ada bale dangin, ada bale dauh, ada
paon, dan ada jineng. Bangunan yang lengkap sesuai dengan pola
menetap masyarakat Bali tradisional, yang tersurat dalam lontar
Asta Kosali. Karena Nyoman Togog kini telah hidup melesat dan
karya seninya telah bersentuhan dengan turis, serta kehidupannya
membaik, bangunan-bangunan itu pun disesuaikan dengan kebutu-
han modern. Lantai sudah kena tegel, bahkan marmar yang mahal.
Saka bangunan berukir dan berwarna-warni. Apalagi pemerajan,
172
tempat suci di keluarga itu, dikelilingi tembok dengan ukiran halus
bukan ukiran cetakan.
Jika pola bangunan itu masih bertahan dengan arsitektur
tradisional Bali, fungsinya sudah berubah sama sekali. Mungkin,
fungsi yang tak pernah dibayangkan oleh para leluhur yang men-
ciptakan arsitektur Bali itu, kecuali pemerajan, yang tetap utuh
menjadi tempat persembahyangan keluarga. Gedong dipenuhi
dengan ukir-ukiran yang sudah jadi. Ada ukiran pohon pisang kecil,
ukiran bunga anggrek, berbagai bentuk binatang, susunan sesajen
persembahyangan, patung kecil melukiskan tokoh-tokoh wayang.
Selebihnya, berderet piagam penghargaan yang diterima Nyoman
Togog selama hidupnya, dari piagam tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional. Lalu, berbagai potret yang bisa membanggakan
keluarga ini. Dari Nyoman Togog diterima Bupati Gianyar sampai
ngobrol dengan Presiden Soeharto.
Bale dangin, balai adat menurut fungsi arsitektur Bali itu,
penuh juga dengan ukir-ukiran jadi yang lebih besar. Tak ada bi-
dang kosong sedikit pun di sini. Isinya ukiran melulu, tanpa piala
dan potret lagi.
Paon, yang semestinya berfungsi sebagai dapur keluarga,
di sini menjadi laboratorium tempat menampung berbagai
jenis ukir-ukiran. Yang unik, Togog membuat perbandingan
antara karyanya dan karya seniman lain yang meniru karyanya.
Misalnya, ukiran pohon pisang karyanya sendiri dipersandingkan
dengan ukiran pohon pisang karya orang lain yang tidak diketahui
siapa pembuatnya. Ukiran pepaya karya Togog didampingi ukiran
pepaya orang lain. Begitu seterusnya. Karya jiplakan itu dibelinya
di toko-toko kesenian di pinggir jalan. Togog ingin mengatakan
kepada pengunjung setelah ia menerima Upakarti banyak juga
pejabat yang berkunjung bagaimana mutu ukirannya dibanding-
kan karya orang lain. Apakah itu perbedaan bahan baku, kerapian
memahat, ketelitian memberi warna, juga masalah harga.
Bale dauh, yang fungsi aslinya sebagai tempat tidur keluarga,
dijadikan ruang terbuka tempat bengkel kerja seni. Di sinilah pu-
luhan perernpuan duduk bersimpuh menghaluskan ukiran-ukiran
173
kayu dengan arnplas di tangannya. Di sinilah warna-warna diberi-
kan. Togog mempekerjakan 35 buruh di rumahnya. Sementara
itu, puluhan orang lagi bekerja di rumahnya masing-masing, dan
hasilnya disetor ke rumah Togog.
Di manakah keluarga ini tidur? Ada jineng, yang fungsi
aslinya lumbung keluarga tempat menyimpan segala hasil bumi.
Dan bangunan inilah disulap menjadi tempat tidur keluarga. Toh,
pada sudut lain, masih tergeletak seonggok ukiran besar setengah
jadi, ukiran pohon pisang. Ini ukiran yang dikerjakan sendiri oleh
sang tokoh.
Sesuai dengan yang diizinkan oleh arsitektur tradisional Bali
(Lihat: Salah Kaprah. Kata I Gusti Agung Gde Putra) yaitu adanya
bangunan tambahan sepanjang ada sisa tanah perumahan, Nyoman
Togog membangun balai lain di sekhar jineng itu. Dan bangunan
terbuka ini ia fungsikan sebagai gudang ukir-ukiran yang belum
disentuh amplas dan pewarnaan.
Dari keadaan bangunan ini, ada kesan Nyoman Togog tak
ingin kualat, misalnya jika mengubah bentuk bangunan itu dari
arsitektur tradisional Bali menjadi yang sesuai dengan kebutu-
han. Kekayaan Nyoman Togog tak mengubah kepatuhannya pada
warisan teluhurnya.
Ya, rumah ini warisan orang tuanya, warisan neneknya.
***
***
***
***
185
XII
Lukisan Bali
dan
Museum Seni
Langkah-Langkah
Pande Wayan Suteja Neka
I
NILAH sebuah langkah yang terpuji untuk menyelamatkan
seni lukis Bali dari tangan-tangan luar yang hendak memboy-
ongnya. Datangnya mungkin terlambat, tetapi tak mengurangi
keluhurannya, apalagi gagasan itu muncul dari seorang pedagang
lukisan.
Moral pedagang, mestinya mencari barang dengan harga
semurah-murahnya, lalu menjual semahal-mahalnya, tak peduli
siapa pembelinya, dan diboyong ke mana. Tapi pedagang yang
satu ini sadar betul, kalau semua lukisan yang bermutu tinggi itu
lenyap dari Bali, bagaimanakah generasi nanti melacak sejarah
seni lukis di Bali? Maka, sebuah langkah ia ayunkan, ia membeli
lukisan dari tangan pelukis dengan susah payah, dan kemudian
menaruhnya di sebuah bangunan untuk ditatap oleh siapa saja
186
pengunjung bangunan itu.
Salah seorang pedagang itu disebut salah seorang karena
gejala ini mulai diikuti yang lain bernama Pande Wayan Suteja
Neka, penduduk asli Desa Ubud. Bangunan tempat ia memajang
lukisan itu bahkan sudah berbentuk museum.
Suteja Neka Neka itu diambil dari nama ayahnya selama
ini dikenal sebagai pemilik art shop yang sukses di Ubud. Ayahnya,
Wayan Neka, seorang pematung yang sangat diperhitungkan di
Bali. Wayan Neka ikut bergabung dalam Pita Maha organisasi
seni rupa yang pertama di Bali pada 1935. Suteja, sang anak, yang
lahir 1939, tidak punya bakat seperti ayahnya. Anak ini malah
memilih bersekolah di SGA (Sekolah Guru Atas) dan selanjutnya
menjadi guru.
Ketika 1960, Wayan Neka memenangkan hadiah pertama
sayembara patung untuk Provinsi Bali, sang anak baru tahu kehe-
batan ayahnya. Itu pun setelah hadiah untuk ayahnya datang, satu
truk sawo kecik, uang Rp 2.500, dan sepuluh meter kain tekstil.
Melihat keberhasilan ayahnya, Suteja lantas mulai mengumpulkan
patung-patung ayahnya yang bertebaran di halaman rumah. Ia kum-
pulkan patung itu di sebuah ruangan paling depan, dekat dengan
jalan. Dengan demikian, memudahkan sang ayah mematung di
belakang rumah, dan memudahkan juga peminat membeli patung
itu. Usaha Suteja inilah yang lama-lama berkembang menjadi
kios seni, apa yang populer disebut art shop, setelah usaha ini
menjamur di Bali.
Banyaknya turis yang datang ke Bali setelah Hotel Bali
Beach beroperasi 1966 semakin banyak pula turis yang datang
ke Ubud, melihat langsung kehidupan para pelukis dan pematung
di sana. Kios seni Suteja pun semakin bermanfaat, ibarat etalase
sebuah toko. Ruangan diperbesar, isinya tidak lagi patung, tetapi
juga lukisan. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, Suteja
secara aktif mencari lukisan dan kemudian menjualnya kepada
wisatawan. Pekerjaannya sebagai guru ditinggalkannya.
Barangkali, karena Suteja bekas guru, ia tiba-tiba merasa ce-
mas, kalau semua karya seni bermutu diboyong turis ke negaranya,
187
bagaimana menceritakan kepada anak-anak nanti tentang sejarah
kesenian di Bali? Kesadaran itu tumbuh di awal 1970-an pada
saat itu ia memang sudah kaya. Ia pun mulai menahan lukisan yang
dianggapnya baik. Ia tak lagi sebagai pedagang semata-mata, tetapi
mulai sebagai kolektor.
Art shop-nya tetap jalan, dikelola sang istri. Suteja Neka pun
mulai pemburuannya yang mengasyikkan, karena yang diburu hasil
karya seni dari seniman yang ulahnya macam-macam. Suteja Neka
banyak bercerita tentang suka dukanya berburu lukisan. Suatu kali,
ia ingin punya koleksi lukisan Anak Agung Gde Sobrat. Berulang
kali Suteja ke rumah Sobrat, bermaksud membeli lukisannya.
Jawaban yang diperoleh, lukisan sudah ada yang memesan, atau
dikatakannya belum rampung. Suatu hari, Sobrat pameran di Hotel
Bali Beach bersama pelukis-pelukis Padangtegal, nama banjar di
wilayah Desa Ubud tempat Sobrat bermukim dan menghimpun
anak buahnya. Harga lukisan itu mahal, disesuaikan dengan tem-
pat pameran. Suteja, yang sudah berhari-hari mengincar lukisan
Sobrat, membelinya sebuah. Melihat itu Sobrat heran, karena
lukisannya dibeli oleh orang satu desa. Maka, Sobrat pun per-
caya, orang ini betul-betui berniat mengoleksi lukisan, dan bukan
berdagang. Ia kemudian malah menyarankan, lukisan jenis apa
yang layak dikoleksi.
Mencari lukisan Ida Bagus Made lebih sulit. Pelukis nyentrik
yang jarang memakai baju ini sangat anti-art shop. Di matanya,
art shop yang menjatuhkan seni lukis Bali. Berulang kali saya
ke sana, apalagi rumah saya berdekatan, tapi Ida Bagus Made tak
pernah mau melepaskan lukisannya, ujar Suteja Neka. Ia hampir
putus asa.
Suatu hari datang kolektor lukisan dari Negeri Belanda ke art
shop Suteja di Ubud. Kolektor ini ingin memiliki koleksi Suteja
yang tidak dijual. Belanda itu tampaknya sangat berminat dan
mengatakan akan sangat menyesal meninggalkan Bali kalau tidak
membawa lukisan yang diidam-idamkannya. Akhirnya Suteja ber-
sedia melepaskan lukisan itu asal diganti dengan salah satu karya
Ida Bagus Made. Kolektor Belanda itu ngeluyur sesaat dan sore
188
harinya ia sudah datang membawa bungkusan berisi lukisan Ida
Bagus Made yang bertema sabungan ayam. Lukisan itu memang
saya incar bertahun-tahun, ujar Suteja. Jelas, sikap Ida Bagus
Made, ia dengan mudah melepaskan lukisannya kepada orang
asing ketimbang teman sedesanya. Bagi Made, turis bukanlah
pedagang.
Dari dua contoh kisah perburuan ini bisa ditarik suatu kesan,
kenapa para pelukis terkenal sulit sekali karyanya dibeli oleh pe-
milik art shop. Memang demikianlah yang terjadi, art shop di Bali
sudah telanjur berbuat curang. Pemilik toko ini membeli lukisan
dengan harga yang murah, dan menjual dengan harga yang tinggi.
Pemilik art shop bisa kaya-kaya, pelukis tetap saja miskin, ini
kata Ida Bagus Made. Selain itu, kecurangan yang sangat dicela
para pelukis, ulah art shop untuk memproduksi lukisan seban-
yak-banyaknya. Yang dimaksudkan, sebuah lukisan dari pelukis
ternama setibanya di art shop akan dijadikan model oleh pelukis-
pelukis yang bermukim di art shop itu.
Dalam situasi itulah, Suteja Neka mencari koleksi untuk
cita-citanya mendirikan museum. Tentu saja, banyak yang tidak
percaya pada niat baik ini, dan karenanya pelukis ragu melepaskan
karyanya walau dibayar sama tinggi.
Setelah tanah di Campuan sebelah barat Desa Ubud di-
beli keluarga Neka, dan bangunan untuk museum sudah bertahap
didirikan, mulai ada kepercayaan untuk seorang Suteja Neka.
I Gusti Nyoman Lempad (kini almarhum), misalnya, langsung
meminta agar Suteja datang ke rumahnya, memilih sendiri lukisan
yang diminatinya. Wah, saya kaget dan berdebar-debar, berapa
lukisan itu dihargai, Suteja Neka mengenang. Setelah dipilih
dua buah lukisan, Lempad berkata dengan kalemnya, Tidak usah
dibayar, bawa sajalah karena untuk dikoleksi dan tidak diperda-
gangkan.
***
***
***
***
200
XIII
Kasus
Desa Kuta
di Tengah Arus
Pariwisata
P
ANTAI Kuta, menjelang matahari ditelan laut. Awan cerah.
Warna merah, warna kuning, membias di hamparan laut
yang biru. Ombak tetap bergemuruh. Masih ada satu orang
berselancar, dan tampak seperti kelelahan. Bagai semut di tengah
piring yang penuh air. Dan, ratusan lebih orang menatapnya.
Orang-orang pada duduk di pasir, memandang ke arah matahari
yang kelihatan semakin besar itu. Beberapa turis asing masih
menelentangkan tubuhnya, ditutupi kain handuk. Tak jauh dari
sana, seorang wanita paruh baya pribumi duduk di pasir dengan
tas plastiknya. Ia baru saja memijat si bule itu.
Matahari tinggal beberapa sentimeter lagi dari permukaan laut.
Warna merah yang membias di laut semakin besar dan kemilau.
Puluhan orang sudah berhenti mandi, dan kini mereka menatap
laut dari pasir yang basah. Sesekali air laut masih menerpa pantat
mereka. Sementara di pasir putih yang kering, gerombolan manu-
sia kian bertambah. Hampir tak ada yang hilir mudik. Semuanya
menatap ke arah matahari. Kamera-kamera sudah mulai dibidikkan.
Buku-buku yang tadi dibaca turis asing sambil menggeletakkan
201
diri di pasir, sudah dicampakkan. Wanita dengan tas plastik itu
ikut juga menatap sang surya, yang bertahun-tahun sudah akrab
dengannya. Sekarang karena semua orang mengagumi matahari
itu, ia ikut mencari dan mencoba mengerti makna matahari yang
ditelan laut.
Hup! Separuh matahari sudah kecebur laut. Lingkaran merah
itu membesar. Jelas sekali lingkaran itu, tak silau mata meman-
dangnya. Kemilau di laut kian temaram. Perlahan-lahan matahari
menghilang, seperti ia mengerti ditonton ratusan orang di pantai
Kuta. Ya, matahari itu seperti milik orang Kuta, matahari itu telah
menghidupi sekian ratus penduduk Kuta.
Hup!
Matahari telah hilang, meninggalkan warna kuning di langit.
Ratusan orang pun tersentak. Deru mesin mobil sudah mulai
terdengar. Orang-orang pada bangkit dari pasir. Anak-anak kecil
berlari di pasir-pasir yang basah. Turis bule sudah memperbaiki
handuknya, dan siap melangkah menuju penginapannya. Dua
pemuda tanggung menderu di atas sepeda motor trail, memecah
kebisingan.
Sejumlah orang bergerak. Mungkin pulang ke rumah. Mung-
kin pulang ke hotel. Mungkin berjalan ke pantai Legian, mencari
semak-semak, melanjutkan kencannya. Mungkin mencari tempat
sunyi, bisik-bisik, menjual ganja atau jenis narkoba lainnya.
Pantai Kuta menghidangkan segala kemungkinan. Pantai Kuta
tak cuma milik penduduk Kuta. Ia milik banyak orang, banyak
suku bangsa, berbagai negara.
***
***
***
***
***
***
***
***
***
218
XIV
Kasus
Kepariwisataan
di Desa Trunyan
K
ABUT menyelimuti Danau Batur, di bulan Januari yang
tua. Hujan masih turun, rintik-rintik berkepanjangan. Sepi
di danau. Perahu-perahu bermotor bertambat di pantai di-
ombang-ambing gelombang. Di dermaga, puluhan tukang perahu
jongkok berselimutkan sarung. Udara dingin, dan mereka kelihatan
menggigil. Suhu bergerak dari 14 sampai 16 derajat Celsius.
Di pelabuhan Desa Kedisan, Kintamani, itu kehidupan
terlambat dimulai, karena cuaca. Warung-warung di belakang
tempat parkir kendaraan masih banyak yang tutup. Hanya tiga kios
yang sudah buka. Dua kios berupa warung yang menjual kopi dan
makanan kecil. Sekelompok lelaki menikmati kopi pagi di sana. Se-
buah kios lagi, di ujung agak jauh, menjual barang kelontong, juga
film dan kaset lagu. Dari kios inilah kehangatan sedikit merambat,
lewat lagu yang diputar dengan pengeras suara yang menggelepar.
Madu dan Racun, dalam berbagai versi, termasuk versi terjemahan
219
ke dalam bahasa Bali, berulang-ulang diputar.
Saya masih duduk di kursi panjang di kios makanan itu. Me-
nikmati kopi yang rasanya agak pahit kegemaran masyarakat
Kedisan. Danau masih sepi, angin memang berembus agak ken-
cang.
Sebentar lagi penyeberangan dibuka, asal cocok saja, Pak,
ujar seorang lelaki, yang sejak tadi membuntuti saya. Saya tetap
menggelengkan kepala. Saya tak jelas menangkap profesi lelaki
ini. Entah tukang perahu, juragan perahu, hansip yang lagi pre-
man, atau calo.
Tadi, begitu saya memasuki areal parkir di tengah hujan, ada
enam lelaki yang mengerubungi mobil saya. Dua di pintu kiri, tiga
di pintu kanan, dan seorang lagi di moncong mobil.
Bapak mau ke Trunyan? Penyeberangan ditutup. Angin sangat
besar, Pak. Ombak danau besar, Pak. Penyeberangan ditutup, Pak.
Tak ada perahu yang boleh jalan, Pak. Penyeberangan ditutup,
Pak. Kata-kata itu terus diulang-ulang, dan panggilan pak dengan
logat Kintamani yang dilambankan membuat kesal juga. Takjelas
siapa yang bersuara paling banyak di antara enam lelaki itu. Karena
saya tak bereaksi, mereka mulai bosan juga. Kemudian seseorang
dengan kalimat datar, yang tidak begitu keras, mulai menawarkan,
Rp 40.000, Pak, kalau mau sebentar lagi penyeberangan dibuka.
Tapi Rp 40.000, Pak. Belum sempat saya menjawab, lelaki itu
sudah menambahi, Kalau harga turis Rp 60.000. Ombaknya kan
besar. Sekarang masih ditutup, sebentar lagi baru dibuka.
Saya turun dari mobil dan tiba-tiba saya terjebak bertanya,
Kalau hujan terus, penyeberangan tak dibuka, apanya yang Rp
40.000?
Kalau Bapak mau Rp 40.000, sebentar lagi dibuka, langsung
lelaki itu bersemangat.
Ombaknya besar begini, memangnya aman?
Aman, Pak. Nanti dipakai motor tempel yang kuat. Pasti
aman. Kita sudah jadi hamba Dewi Danu. Tahu Dewi Danu, Pak,
itu yang menjaga danau ini. Nanti sambil berangkat saya ceritakan
mengenai dewanya itu.
220
Saya berlari ke kios makanan, karena hujan tambah lebat.
Ketika saya memesan kopi, lupa dengan penyamaran, saya meng-
gunakan bahasa Bali. Dan itu didengar lelaki-lelaki Kedisan yang
terus mengerubungi saya. Wajah mereka langsung menampakkan
kekecewaan.
Beh, beh, bapake anak Bali. . ., gumam di antara mereka.
Lalu, pembicaraan pun seperti macet. Tawar-menawar seperti
buntu tanpa sebab. Keempat lelaki di kursi panjang saling ledek.
Saya sesekali menimpali.
Sudah berapa kali Bapak ke Trunyan? tanya seorang lelaki,
yang gesit tadi juga. la memakai bahasa campur, BaliIndone-
sia.
Empat kali.
Begini saja. Rp 25.000. Sebentar lagi I Rarud datang. Rp
25.000 murah, Pak. Sama-sama orang Bali. Bapak kaya, punya mo-
bil, uang Rp 25.000 apa artinya. I Rarud sebentar lagi datang.
Siapa I Rarud? tanya saya.
Kepala Desa Kedisan. Dia berkuasa, penyeberangan ditutup
atau tidak, tergantung dia.
Memangnya kalau membayar Rp 25.000, penyeberangan
bisa dibuka?
Ketujuh orang di warung itu ketawa semua. Pemilik warung,
seorang ibu muda, langsung nyeletuk, Namanya manusia, Pak.
Ada uang, apa yang tak bisa dilakukan. Beh, bapake . . ..
Kami akhirnya bercanda, saling mengolok-olok. Soal logat
bahasa, soal anjing Kintamani yang terkenal itu, soal danau yang
ada dewinya, soal ombak, soal lagu, lalu soal Rarud. Kalau benar
ia Kepala Desa Kedisan yang berkuasa membuka penyeberangan
ke Trunyan, sungguh sial nasibnya. Ia diolok-olok secara kasar oleh
lelaki-lelaki ini. Sungguh kelewatan, sampai ke masalah kehidupan
pribadinya. Rarud punya istri dualah, ingin kawin lagilah ....
Dan I Rarud yang digosipkan itu muncul. Ia berjalan menuju
dermaga, tidak menoleh ke warung. Pakaiannya parlente, celana
panjang, berjaket, bertopi, maklum kepala desa.
Raruuuuddd . . .? dua lelaki berteriak bersamaan. Tetapi
221
I Rarud tak menoleh ke arah kami. Ia langsung menuju pos di
dermaga.
Rp 25.000, Pak. Lha, bapake, apa artinya uang segitu,
mobil bapake bagus, nomornya B. Lha, bapake . . ., lelaki itu
merengek.
Rp 20.000, kata saya, dan lagi-lagi terjebak.
Pokoknya, Rp 25.000, dan lelaki itu berlari ke dermaga.
Sepuluh menit kemudian dia kembali. Hujan mulai menipis. Pe-
nyeberangan masih ditutup, Bapak tak mau Rp 25.000, ya, sudah.
I Rarud tak berani mengambil risiko. Ombak masih besar, angin di
tengah danau masih kencang. Kalau perahu terbalik, ayo . . ..
Ya, sudahlah. Tak jadi ke Trunyan juga tak apa-apa. Saya
tinggal lapor kepada Pak Gubernur, tugas tak bisa jalan, jawab
saya seenaknya.
Bapak dapat tugas dari Gubernur? lelaki itu bertanya dengan
heran. Semua orang di warung itu tiba-tiba heran.
Baru tahu, ya? Di mobil itu, kan ada seorang lelaki. Dia orang
penting dari Jakarta. Dia yang menentukan apakah jalan aspal dari
Kedisan ini akan tembus ke Trunyan atau sudah cukup sampai di
Songan seperti sekarang, kata saya semakin berbohong.
Wah, jangan, Pak. Jalan aspal itu cukup sampai di Songan. Ka-
lau tembus ke Trunyan, perahu-perahu pada mati semua, Pak.
Alaaah . . . tak mungkin pemerintah bisa membuat jalan aspal
ke Trunyan, berapa banyak membongkar tebing, celetuk pemilik
warung.
Kan ibu tadi bilang, ada uang, apa yang tak bisa dilakukan?
kata saya dengan wajah yang serius.
Begini, Pak. Bapak punya kertas? Tulis nama Bapak dan nama
tamu Bapak. Keperluannya disebutkan. Nah, saya sodori I Rarud,
kata lelaki yang gesit dan tampaknya tak sabaran itu. Karena tak ada
kertas, dan hujan masih rintik-rintik, tukang perahu menyodorkan
bungkus rokok. Saya tulis nama seseorang ngawur saja den-
gan jabatan staf ahli Gubernur Bali. Lelaki itu membawa bungkus
rokok ke dermaga. Kelihatannya ia memasuki sebuah ruangan. Tak
lama, ia muncul di emper dermaga dan memanggil-manggil dengan
222
isyarat tangan. Lalu saya ke mobil, membangunkan Gde Aryantha
Suthama, penyair yang juga pemimpin koran Karya Bhakti. Gde
Aryantha kelihatan terlalu capek. Sudah dua hari ini menemani
perjalanan saya, dan sejak pagi ia tidur di mobil.
Ketika naik di perahu, ternyata tukang perahu itu adalah lelaki
kurus yang sedari tadi jongkok berselimut sarung di pinggir der-
maga. Adapun lelaki yang gesit tadi, pastilah salah satu dari sekian
banyak calo. Tukang perahu, konon, tak bisa berkutik menghadapi
calo. Mereka, tukang perahu itu, kebanyakan bukan penduduk
Kedisan. Mereka penghuni desa-desa kecil di pantai danau, Abang,
Songan, Toyabung-kah, Trunyan. Sementara itu, urusan penump-
ang adalah urusan orang Kedisan, urusan orang darat.
Lelaki parlente yang bernama I Rarud itu, agaknya, punya
kekuasaan besar. Dia bisa nyelem putihang gumi di Kedisan, sep-
erti yang diolok-olokkan para Ielaki tadi. Artinya, dia bisa bilang
putih, bisa bilang hitam. Dia menentukan apakah Danau Batur
yang panjangnya 9 km dan lebarnya 5 km itu bisa diarungi perahu
motor atau tidak. Caranya menentukan kebijaksanaan itu pun rada
aneh. Lebih condong ke uang. Bukan angin, bukan ombak, bukan
hujan.
Benarkah I Rarud itu Kepala Desa Kedisan?
Saya tak sempat melihatnya tadi. Biasanya, pagi begini, Pak
Perbekel (sebutan kepala desa) Kedisan belum datang, kata tukang
perahu ketika perahu sudah bertolak.
Beberapa puluh meter meninggalkan dermaga, saya jadi ngeri.
Ombak besar membuat perahu oleng dengan keras. Ditambah
rintik hujan dan angin yang membuat badan menggigil. Namun,
di danau ini . sudah tampak kemajuan, ya, motor tempel ini. Desa
Trunyan yang kami tuju mulai kelihatan atap rumah penduduknya
yang mengkilap, di antara kabut.
***
***
***
***
***
***
240
XV
Kasus
Kepariwisataan
di Desa Kuno
Tenganan
R
AJA Bedahulu kehilangan seekor kuda yang sangat di-
sayanginya. Semua pepatih diperintahkan mencari, di
mana kuda itu ngumpet. Ke segala arah orang disebar. Ki
Patih Tunjung Biru mencarinya ke arah timur. Ia mengajak serta
beberapa penduduk dari Paneges sebuah desa pinggir laut yang
lahan pertaniannya terkikis air samudra.
Rombongan ini yang berhasil. Kuda kerajaan ditemukan di
sebuah hutan lebat yang dikelilingi bukit-bukit kecil. Namun,
sangat menyedihkan, kuda yang dikeramatkan itu tergeletak mati.
Tidak diketahui sebab-sebabnya. Tak ada bekas luka, tak ada
tanda penyakit. Ketika Raja Bedahulu dilapori kematian binatang
kesayangannya itu, beliau menjadi murung. Seorang raja tentu tak
boleh murung berkepanjangan. Maka, dia memerintahkan Ki Patih
Tunjung Biru menjaga bangkai kuda yang telah membusuk itu. Ki
Patih diperbolehkan membangun perkampungan dan mengajak
241
serta orang Paneges yang dibawanya. Hanya saja luas perkampun-
gan, sejauh bau busuk kuda itu tercium.
Ki Patih Tunjung Biru bukanlah orang bodoh. Bangkai kuda
itu pun dipotong-potongnya, dan potongan itu dilempar ke segenap
penjuru. Dengan kelicikan itu, semakin luaslah bau busuk tercium.
Perkampungan yang dibangun Ki Patih bersama pengikutnya
menjadi lebih memenuhi syarat.
Daerah berbukit yang menjadi luas itu kemudian dibagi tiga:
wilayah perkampungan, daerah hutan lindung, dan kawasan
pertanian. Di wilayah perkampungan, dibuat petak-petak karang
(kapling) untuk perumahan yang sama besarnya. Bentuk-bentuk
rumah yang akan dibangun pun diseragamkan. Tak ada yang lebih
besar, tak ada yang lebih kecil.
Begitu pula hutan lindung yang mengelilingi perkampungan
itu ditetapkan milik bersama, milik adat. Semua hasilnya tak boleh
dimiliki secara pribadi. Hanya di daerah pertanian tanah dibagi-
bagi, tetapi itu pun hanya untuk pengolahannya saja, tanah tetap
tak bisa dimiliki secara pribadi. Kawasan itu hidup berkembang
dan subur. Ki Patih Tunjung Biru, bekas patih Kerajaan Bedahulu
sisa-sisa kerajaan itu masih berbekas di sebelah timur Goa
Gajah, Kabupaten Gianyar memimpin di kawasan baru itu. Ia
tidak mcnyebut dirinya raja, tidak mengenakan gelar baru, bahkan
tidak menyebut dirinya pemimpin.
Wilayah kekuasaan Ki Patih Tunjung Biru itu sekarang ber-
nama Tenganan. Lebih tepat disebut Desa Adat Tenganan Pegrings-
ingan tambahan pegringsingan berasal dari kata gringsing, nama
kain tenun khas Tenganan. Nama Tenganan Pegringsingan hanya
untuk membedakan dengan Desa Tenganan secara administratif
pemerintahan, karena secara administratif Kelurahan Tenganan
juga mewilayahi desa lain yang tidak memiliki kekhasan seperti
Tenganan Pegringsingan.
Desa Adat Tenganan Pegringsingan selanjutnya disebut
Tenganan saja sebuah desa kuno yang sampai sekarang ini tetap
memelihara tempat-tempat suci, pemujaan, dan adat istiadat yang
berasal dari zaman megalithic. Tempat pemujaan itu berkaitan
242
dengan mitologi kuda yang ditemukan Ki Patih Tunjung Biru.
Di bukit bagian utara Tenganan, terdapat candi (monolit) yang
menggambarkan kemaluan kuda berdiri tegak. Masyarakat Ten-
ganan menyebutnya kaki dukun. Menurut kepercayaan setempat,
kalau ada pasangan suami istri mandul, boleh datang ke tempat
ini untuk memohon anak.
Tak jauh dari sini, ada bentuk monolit terbesar, yang diberi
nama batu taikik. Ini dianggap sebagai bekas cercahan isi perut
kuda. Tempat ini disucikan untuk pemujaan memohon kemakmu-
ran di wilayah itu. Lalu ada onggokan batu-batu kali yang tersusun
sedemikian rupa, yang dipercayai penduduk Tenganan sebagai
bekas kepala kuda. Ini disebut rambut pule.
Di bukit sebelah barat, namanya bukit Papuhun, ada pening-
galan yang dipercayai sebagai bekas paha kuda, disebut penimba-
lan. Di sini sering dilangsungkan upacara yang berkaitan dengan
masalah teruna masa keremajaan seorang lelaki. Sedang tempat
kuda itu pertama kali ditemukan tergeletak, disebut batujaran.
Lokasinya di bukit barat laut.
Keunikan yang langsung bisa ditatap dengan mata telanjang di
Tenganan 65 km sebelah timur Denpasar adalah pola mene-
tap masyarakat, yakni perkampungan itu sendiri. Perkampungan
dikelilingi tembok, bak benteng pertahanan untuk menghadapi se-
rangan musuh. Pengunjung memasuki Tenganan dari arah selatan,
dari Desa Pasedahan. Di mulut Tenganan tidak ada candi bentar
di sini pengunjung langsung berada di sebuah jalan kampung
yang lebarnya sekitar 50 meter, jalan tanah yang membelah dua
leret pekarangan rumah. Jalan seperti ini oleh masyarakat Tenganan
disebut awangan. Awangan ini berundak-undak, ke utara semakin
meninggi. Jalan besar ini juga berfungsi sebagai pekarangan tiap
rumah yang berhadap-hadapan. Batas awangan adalah selokan air
yang selalu terpelihara baik, di musim hujan ataupun kemarau.
Ada tiga awangan di perkampungan ini, semuanya membujur
utaraselatan dan selalu di bagian utara meninggi. Inilah yang
membuat perkampungan itu rapi, mirip penataan rumah-rumah
yang dibuat Perumnas, seragam dan berpetak-petak lurus. Ketiga
243
awangan itu: awangan barat, awangan tengah,dan awangan timur.
Awangan tengah dan timur lebih keeil, sekitar separuh lebar awa-
ngan barat. Masalahnya, di barat itu pusat keramaian, apakah itu
keramaian adat atau keramaian yang bersifat nasional misalnya
perayaan 17 Agustus dan juga menjadi pusat kunjungan turis
yang dilengkapi beberapa kios minuman dan toko kerajinan.
Satu kapling perumahan ditempati oleh satu kepala keluarga.
Luas petak itu sama besar, bangunannya juga mempunyai bentuk
yang sama, dan bahan yang sama pula, kecuali untuk bangunan
bale melon (tempat tidur utama) dan paon (dapur) yang boleh
dibuat sesuai dengan kemauan dan kemampuan kepala keluarga
bersangkutan, asal tidak menyerobot bagian petak orang lain.
Selain kedua bangunan itu, ada bale bunga, yakni tempat upacara-
upacara keluarga, dan juga dipakai tempat tidur bagi orang-orang
tua menginjak umur tertentu.
Kemudian bale tengah, sebuah bangunan bertingkat. Bagian
atas berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan padi dan ha-
sil pertanian lainnya, bagian bawah untuk ruang duduk, tempat
menerima tamu, dan juga untuk tidur. Bagian bawah ini hanya
berdinding papan. Paon yang boleh disesuaikan bentuknya itu
biasanya memiliki tiga ruangan, memanjang di belakang bangu-
nan-bangunan tadi. Di sana ada tempat menumbuk padi, tempat
memasak, dan tempat menyimpan peralatan sehari-hari, misalnya:
cangkul, sabit, dan lesung. Di belakang ini ada tebe, yaitu sebuah
pekarangan tanpa bangunan yang biasanya diisi tanaman bunga,
sebagian untuk mengandangkan babi peliharaan, sebagian lagi
untuk membuang sampah. Dalam satu kapling itu, tentu saja ada
sanggah (pura kecil untuk persembahyangan keluarga).
Yang menarik, selain pembagian kapling yang sama luas, satu
kapling hanya ada satu pintu keluar, dan semuanya menghadap ke
awangan. Pintu itu biasa saja, bukan candi bentar. Jadi, pengun-
jung punya kesan sebagai sebuah perkampungan yang tertutup,
dan kelihatan supek. Padahal, kalau dimasuki satu kapling itu,
ada bangunan bagus-bagus di dalamnya, dan tidak sesempit yang
di-bayangkan dari luar.
244
Di Tenganan berlaku sistem pola menetap terpisah. Artinya,
setiap terjadi keluarga baru, mereka harus memisahkan diri dari
keluarga induknya. Keluarga baru ini berhak menempati satu
kapling yang disediakan oleh desa. Imbalannya, keluarga baru
itu diwajibkan memikul beban-beban adat. Apakah kapling desa
tidak penuh, karena pertambahan penduduk? Ternyata, tidak, atau
sampai triwulan pertama 1986 ini, belum. Rupanya, sejak dulu
pemimpin adat di sana mempersiapkan kapling-kapling cadangan
yang dibiarkan kosong.
Sebuah penelitian menyebutkan, tidak adanya problem pe-
rumahan itu karena perkembangan penduduk Tenganan tidak
melonjak sedrastis penduduk di desa lain. Artinya, pola keluarga
kecil di sini sudah ditanamkan sejak dulu, jauh sebelum pemer-
intah meneriakkan soal keluarga berencana. Hal lain lagi sebagai
penyebab, penduduk Tenganan yang mencari pekerjaan di luar
desanya dalam bentuk permanen misalnya menjadi pegawai
negeri yang bertugas di tempat jauh wajib mengembalikan
kapling perumahannya yang diperoleh dari desa. Sebagai imbalan,
mereka dibebaskan dari kewajiban adat. Namun, kalau ada upa-
cara di desa itu, keluarga jauh itu boleh hadir secara adat untuk
mengikuti upacara agama. Ikatan batin tetap harmonis, ikatan adat
telah terputus.
Banyak terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Bali.
Demikian pula pola menetap masyarakat Bali umumnya dalam
bentuk pembagian-pembagian bangunan dalam satu kompleks
rumah, banyak berubah. Tetapi di Tenganan, hal itu tidak terjadi.
Mereka tetap mempertahankan pola yang telah diwarisi bertahun-
tahun. Kalaupun mereka membangun bale meten secara permanen
disesuaikan dengan kebutuhan sekarang, mereka tak akan men-
gotak-atik bagian bangunan yang lain, apalagi sampai menjamah
tembok keliling kaplingnya itu. Lagi pula, ada kebiasaan, mereka
membangun tidak jor-joran, ada tenggang rasa yang kuat.
Penduduk Tenganan bukanlah penduduk yang ketinggalan
zaman, daerah ini pun bukan daerah terisolasi jauh lebih ter-
buka dibandingkan Desa Trunyan. Memang, sebagian besar mata
245
pencarian penduduk bertani, tetapi sudah banyak intelektual
muncul dari desa ini: pegawai negeri, mahasiswa, sarjana. Mereka
inilah yang justru tetap konsisten mempertahankan adat seperti itu.
Wabah pariwisata, yang menghendaki segalanya serba mewah,
indah, dan gemerlapan, tak mampu menembus desa yang masih
bertahan dengan keasliannya ini. Sentuhan pariwisata di Tenganan
tidak sampai mengalahkan obyeknya.
***
254
XVI
Ashram Hindu
Gerakkan
Dunia Wisata
Candi Dasa
B
US jurusan Amlapura Denpasar yang saya tumpangi
berhenti di depan pura Candi Dasa. Suasana sepi. Kolam
di depan pura kelihatan kotor. Rumput-rumput tidak ter-
awat. Semak meninggi. Air kolam pun keruh. Di pantai ombak
bergemuruh.
Pura Candi Dasa dibangun pada tahun Caka 1112 (tahun 1190
M) oleh Raja Jayapangus Arkajalancana. Bangunan meninggi itu,
yang sekaligus sebagai pelindung tebing bukit, di beberapa bagian
terlihat longsor. Tempat suci yang merana, sementara lalu lintas di
depannya begitu padat.
Di sisi jalan raya, kawasan ini lengang. Kebun kelapa, yang
menjorok sampai ke pinggir pantai, seperti tidak ada yang memi-
255
liki. Tak ada manusia yang kelihatan di antara pohon-pohon itu.
Saya melangkah terus ke arah barat. Beruntung, seorang lelaki
tanpa mengenakan baju, bercelana pendek kumal, dan membawa
sabit, muncul dari kebun. Saya segera menghampiri.
Bapak tahu di mana tempat ashram di sini? tanya saya.
Ashram? Apa itu ashram?
Ashram tempatnya Ibu Gedong.
Tidak, tidak . . ., lelaki itu berkali-kali menggeleng.
Mobil lewat, tetapi tidak berhenti. Saya berjalan lagi. Dua
sepeda motor lewat, juga tak berhenti. Saya terus berjalan. Ternya-
ta, di timur jalan raya, ada sebuah rumah. Kelihatannya seperti
warung yang tutup. Saya menuju bangunan itu. Dan, kebetulan,
ketika saya berada di depan rumah itu, seorang ibu dengan dua
anaknya muncul dari balik pintu.
Bu, tahu di mana tempat ashram di sini?
Ashram, ashram?
Tempat Bu Gedong mendirikan pondok untuk sekolahan
itu.
Ibu Gedong Oka?
Ya, Ibu Gedong Oka.
Dosen?
Ya, dosen.
Ya, ini, jalannya di sebelah ini. Terus ke belakang sampai ada
bangunan, di sana ada muridnya.
Dengan langkah gembira saya menyusuri jalan yang agak le-
bar itu. Di kerindangan pohon nyiur, terdapat beberapa bangunan
beratap ilalang. Pada pinggir-pinggir bangunan mungil, ditanami
bunga warna-warni. Bangunan sederhana, orang-orang menyebut-
nya pondok. Tidak ada tulisan yang menunjukkan bahwa pondok-
pondok itu adalah ashram. Dari bangunan yang paling dekat dengan
jalan, hanya terlihat gambar besar Mahatma Gandhi.
Seorang lelaki yang sedang menyapu halaman mendekati
saya.
Permisi, apakah di sini ashram Ibu Gedong? tanya saya
mendahului.
256
Betul. Silakan naik.
Saya membuka sepatu, naik ke lantai bangunan yang memang
dibuat lebih tinggi dari jalan. Ada kursi kayu berderet, kursi yang
sangat sederhana. Meja di tengahnya juga sederhana. Lantai ban-
gunan ini hanya disemen biasa.
Bapak ingin melihat-lihat ashram?
Ya, kalau bisa, juga ingin bertemu Ibu.
Ibu tidak ada, beliau di Denpasar. Hari Kamis, Ibu datang ke
sini. Di Denpasar, Ibu mengajar hari Senin sampai Rabu.
Saya memang tak mengadakan perjanjian. Kedatangan saya
ke Candi Dasa ini pun tak direncanakan sebelumnya. Tiba-tiba
ingin begitu saja dan memutuskan turun mdi sini sepulang dari
tugas di Amiapura.
Diantar lelaki itu, saya berkeliling di ashram. Tidak banyak
yang bisa dilihat, kecuali beberapa bangunan sederhana, dan pantai
yang semakin terkikis gelombang ganas. Di luar kompleks ashram
itu, kebun kelapa yang sepi. Pemiliknya, entah berumah di mana,
mungkin di Desa Bugbug, desa terdekat. Candi Dasa, kawasan
yang lengang. Ashram itu tak banyak diketahui orang.
***
***
***
***
***
271
XVII
Melihat
Kampung Muslim
Pegayaman
Assalamualaikum
Nengah Ibrahim
S
IAPA namamu? Wayan? Nyoman? Made? Wah, pasti dari
Bali. Itu kan nama baptis orang Bali, nama orang Hindu.
Ya, kan?
Ternyata, tidak. Sering sekali orang mengira nama-nama itu ada
hubungannya dengan agama Hindu. Bahwa nama itu menunjuk-
kan seseorang berasal dari Bali, ada benarnya. Walaupun sekarang
orang Bali telah menyebar di berbagai penjuru tanah air, sebagai
transmigran, pegawai negeri, karyawan swasta, buruh kasar, dan
sebagainya. Betul kalau nama itu pada mulanya hanya dipakai
orang Bali. Tetapi minus Putu, karena di Maluku dikenal misalnya
Putuhena, tokoh yang pernah menjadi menteri pekerjaan umum di
masa revolusi. Dan mungkin ada Putu-Putu yang lain.
Nama-nama itu hanya nama urut kelahiran. Dalam dokumen
resmi ijazah, akta kelahiran, akta perkawinan nama itu bi-
asanya masih tercantum dengan lengkap. Lebih-lebih di pedesaan.
272
Pada orang kota, nama urut itu sudah banyak menguap. Apalagi
kalau nama aslinya (setelah dikurangi gelar kasta --suatu istilah
yang salah kaprah-- dan nama urut) masih terdiri dari dua kata.
Misalnya, Oka Mahendra dan Raka Netra keduanya anggota
DPR - atau Putera Astaman (Polri), dan Awet Sara (TNI-AD).
Sebagai contoh bahwa nama itu tak ada hubungannya dengan
agama adalah nama berikut ini: Wayan Muhammad Saleh, Nengah
Ibrahim, Nyoman Ali, Ketut Syahruwardi Abbas. Mengada-ada?
Tidak! Mereka adalah penduduk Bali yang sejak awal sudah
memeluk Islam. Juga nama ini: Wayan Yusuf. Dia orang Bali yang
memeluk Kristen.
***
***
***
279
XVIII
Ritual Bali
dan Wajah Hindu
Nusantara
Rini Wahyuni,
Sebuah Epilog
P
URA Aditya Jaya, tempat persembahyangan umat Hindu
yang terbesar di Jakarta. Di ibu kota republik ini, setiap
wilayah punya tempat persembahyangan. Wilayah Jakarta
Timur malah memiliki tiga tempat, dua yang lain di Kompleks
Kopassus Cijantung dan Pura Kertha Bumi di dalam Taman Mini
Indonesia Indah.
Kegiatan persembahyangan di Pura Aditya teratur. Setiap bulan
mati (tilem) dan bulan penuh (purnama) diadakan persembahyan-
gan petang hari. Bagi orang Bali yang pertama kali ke pura ini,
mungkin merasakan sesuatu yang unik. Di tengah-tengah semba-
hyang, mengalun azan magrib dari masjid di sebelah pura, yang
cuma dibatasi tembok. Azan itu mengalun lewat pengeras suara,
sementara puja pendeta tidak berpengeras suara. Tapi tak ada yang
terganggu dalam semangat kerukunan antar-umat beragama.
Setelah persembahyangan, biasanya ada renungan suci. Atau
280
sekadar ngobrol-ngobrol, membicarakan apa yang perlu dan akan
dibangun (lagi) di kompleks pura.
Pada hari raya Galungan dan Kuningan, Pura Aditya Jaya jadi
pusat kunjungan umat. Dari pagi hingga malam, tak henti-henti-
nya umat datang. Dalam keadaan seperti itu, pendeta Hindu yang
memang disediakan rumah di dalam kompleks, memimpin doa
secara bersambung. Juga pada hari raya Saraswati turunnya
ilmu pengetahuan Pura Aditya Jaya menjadi pusat kunjungan
umat di Jakarta. Pada hari Saraswati, pura di dekat kampus Uni-
versitas Negeri Jakarta ini merayakan piodalan semacam hari
ulang tahunnya.
Di luar hari-hari suci itu, pura ini pun tak pernah lengang. Ada
saja orang yang datang. Mungkin menanyakan hari baik dewasa
kepada pendeta di sana. Atau organisasi umat Pemuda Hindu
Indonesia, banjar suka duka dan ada beberapa lagi mengadakan
pertemuan di balai pura ini. Mumpung datang ke pura, mereka
umumnya menyisihkan waktu untuk bersembahyang, lima menit
selesai. Di pura ini disediakan selendang, dupa, air suci, dan air
untuk membasuh tangan dan kaki. Persembahyangan dilakukan
sendiri-sendiri, tanpa dipimpin pendeta.
Hari Minggu, anak-anak berkeliaran di kompleks pura. Tempat
parkir juga penuh sesak. Ada pendidikan agama Hindu, dan anak-
anak biasanya menyebut les atau sekolah Minggu. Les ini diasuh
oleh sebuah yayasan pendidikan yang diakui oleh Parisada Hindu
Dharma dan mendapat pengesahan dari Kanwil Departemen P dan
K DKI Jakarta. Artinya, nilai di sekolah Minggu itu bisa dimasuk-
kan dalam nilai rapor dari sekolah mana si anak berasal. Seminggu
sebelum pembagian rapor di sekolah masing-masing, anak-anak
Hindu mengantungi nilai dari pura. Les seperti ini ada di setiap
tempat persembahyangan, kecuali di Taman Mini. Juga ada di luar
pura, misalnya pada asrama-asrama tentara. Tetapi, diakui, Pura
Rawamangun yang paling favorit gurunya lengkap dan suasana
belajarnya memadai.
Karena bangunan yang dipakai belajar terbatas daya tampung-
nya, anak-anak tidak setiap Minggu datang. Murid SD masuk
281
setiap hari Minggu tanggal ganjil. Minggu tanggal genap untuk
murid SMP dan SMA. Mahasiswa? Sampai sekarang belum dia-
tur. Peminatnya sedikit. Entah kenapa, padahal nilai agama untuk
mahasiswa itu wajib.
Pendidikan di sini menggunakan kata pengantar bahasa Indo-
nesia. Bukan saja muridnya sebagian besar tak mengerti bahasa
Bali, gurunya pun ada yang tidak lancar lagi berbahasa Bali. Lagi
pula, tidak semua muridnya anak-anak keturunan Bali. Ada orang
Jawa yang Hindu, orang Sulawesi yang Hindu, dan juga anak-anak
orang India di Jakarta. Karena itu pula, buku teks yang dipakai
berbahasa Indonesia. Sementara pura itu berfungsi sebagai labo-
ratorium, tempat praktek beribadat. Murid dituntun oleh guru
kelasnya, secara berkala bersembahyang di pura ini. Bagaimana
cara mengambil bunga, cara memegangnya, cara memuja, berapa
kali memuja. Dan doa yang dipakai, mengikuti bahasa aslinya,
Sanskerta jadi bukan bahasa Bali.
***
***
***
***
***
295
KEPUSTAKAAN
297
Tentang Penulis
P
utu Setia dilahirkan di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan,
Kabupaten Tabanan, Bali, pada 4 April 1951. Ayahnya
seorang budayawan, juga tokoh spiritual. Nama yang
diberikan ayahnya memang cuma itu, tanpa ada embel-embel
apapun di depan nama Putu Setia -- sesuatu yang tidak lazim di
Bali, saat itu. Dalam catatan yang memakai huruf Bali, di belakang
namanya hanya tertulis hari kelahiran, Budha Paing Krulut. Putu
Setia adalah anak kelima dari sembilan bersaudara, tetapi ia lelaki
yang pertama.
Selepas sekolah menengah, Putu mengenyam pendidikan ju-
rnalistik di sebuah universitas swasta dan kursus jurnalistik yang
diselenggarakan LP3ES di Jakarta. Ia kemudian bergabung sebagai
wartawan harian Bali Post yang terbit di Denpasar merangkap kore-
sponden Majalah Tempo di Bali. Tahun 1978 ia sepenuhnya bekerja
di Majalah Tempo dan dipindahkan ke Yogyakarta. Selama lima
tahun di Yogyakarta, Putu suka mengunjungi pesantren-pesantren
dan ia, misalnya, sangat akrab dengan KH Hamam Djafar (kini
almarhum), pimpinan Pesantren Pabelan, Muntilan.
Tahun 1982 ia dipindahkan ke Jakarta, sampai ia pensiun dari
Tempo pada April 2006 dengan status Redaktur Senior. Kini ia
kembali pulang ke kampungnya di Bali, menulis dan membina
pasraman (ashram), menjadi pendeta. Ia dinobatkan sebagai pen-
deta Hindu dengan bhiseka (nama baru kependetaan): Ida Pandita
Mpu Jaya Prema Ananda, pada 21 Agustus 2009.
Sudah banyak buku yang diterbitkannya, dari fiksi dan non-
fiksi. Setelah menjadi pendeta Hindu, ia menulis juga buku-buku
keagamaan.
298