Vous êtes sur la page 1sur 298



Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang N0. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar-


kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelang-
garan Hak Cipta atauHak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


PUTU SETIA

MENGGUGAT
BALI
Menelusuri Perjalanan Budaya


Menggugat Bali: Menelusuri Perjalanan Budaya
Putu Setia
Ilustrasi oleh: S. Prinka

Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta


Cetakan Pertama 1986
Cetakan Kedua 1987
Cetakan Ketiga oleh PT Pustaka Manikgeni Denpasar 2000

ISBN 979-444-032-9


Pengantar Penerbit

S
etiap pembangunan niscaya membawa pergeseran nilai.
Dan Bali tak luput dari hukum besi itu. Bahkan di sini
-- sebuah kawasan yang paling gencar dilanda industri
pariwisata -- gerak laju pergeseran nilai berjalan jauh lebih
cepat dan bagi banyak pihak terasa mencemaskan: akan ke mana
Bali dengan khasanah kebudayaannya yang luhur itu?
Putu Setia, seorang putra Bali asli, bisa disebut pengamat per-
manen atas perubahaan yang terjadi di pulaunya. Ia bergelut erat
dengan budaya Bali dengan segala pernik-perniknya, kemudian
meninggalkan Bali pada awal 1978, merantau di budaya yang
lain. Dalam suatu kesempatan, ia berkunjung kembali ke tanah
kelahirannya pada awal 1986 yang memungkinkan baginya untuk
mengamati dari dekat serta merenungkan secara intens perkem-
bangan berbagai aspek budaya Bali. Hasilnya: ia menggugat. Atau
dengan kata lain, ia mempertanyakan perubahan sosial budaya yang
terjadi akibat pembangunan yang diterapkan secara menggebu, dan

mungkin ada sebagian yang salah.
Meski menggugat, Putu Setia masih melihat celah. Ia bukan
orang yang emoh dengan perubahan, melainkan sekadar mendam-
bakan perubahan yang berakar. Ia ingin melihat suatu dinamika
yang sehat dari masyarakat Bali sebagai perbenturan nilai yang
tidak terelakkan.
Hasil pengamatan itu adalah buku Menggugat Bali, terbit 1986
oleh Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, grup Tempo di mana Putu
Setia bekerja. Buku ini mendapat hadiah pertama sebagai buku
non-fiksi terbaik dari Yayasan Buku Utama Departemen Pendidi-
kan dan Kebudayaan pada 1986. Buku ini pun diterjemahkan ke
dalam bahasa Jepang dan menjadi rujukan wisatawan Jepang yang
ingin mempelajari budaya Bali.
Untuk menjaga keaslian buku ini, pada edisi online ini tak ada
perubahan apa pun yang dilakukan penulisnya. Dengan demikian
rekaman perjalanan budaya Bali ini dampai dengan tahun 1986
pada saat buku edisi cetak ini diterbitkan.
Ada rencana untuk melanjutkan menulis perjalanan budaya
Bali itu untuk menguji apakah yang ditulis dalam buku ini berubah
atau tida. Tunggu Menggugat Bali edisi Update.
Selamat menikmati Bali yang bergerak dengan sangat dina-
mis.


Daftar Isi

I. SEBUAH PROLOG UNTUK BALI (Pengantar


Penulis di Buku Menggugat Bali 1986) -- 9
II. PADA AWALNYA I KETUT BANGBANG GDE
RAWI, (Tentang Kalender Bali dan Baik Buruknya
Hari) -- 20
III. SALAH KAPRAH. KATA I GUSTI AGUNG GDE
PUTRA (Selintas Arsitektur Bali dan Kelengkapan
Upacara yang Berubah Fungsi) -- 36
IV. BEBAN I WAYAN NESA WISUANDHA (Upacara
Pembakaran Mayat (Ngaben) yang Sederhana) -- 47
V. PENYAKIT GURUN TEKO (Berbagai Bentuk Judi
Tradisional Bali) -- 64
VI. I DEWA PUTU KARSA DALANG LEAK (Menge-
nai Ilmu Hitam dan Mahkluk Halus) -- 92
VII. KETIKA IDA BAGUS NGURAH MEMBANYOL
(Nasib Arja, Teater Rakyat Bali yang Merana) -- 108
VIII. DEWA AYU PUTU RAI ALIAS N1 LUH SUKE-
TI (Perjalanan Teater Rakyat Topeng, Janger, dan
Drama Gong) -- 119
IX. MADE TARO DI SASIH KARO (Pasang Surut Sas-
tra Bali Moderen & Tradisi) -- 139


X. MADU DAN RACUN ANAK AGUNG MADE
CAKRA (Cerita Tentang Lagu Pop Bali yang
Marak) -- 164
XI. BUAH UPAKARTI I NYOMAN TOGOG (Seni
Kerajinan di Tengah Arus Pariwisata) -- 171
XII. LANGKAH-LANGKAH PANDE WAYAN SUT-
JA NEKA (Lukisan Bali dan Museum Seni) -- 186
XIII. I GUSTI ADNYA SUBRATA DI KUTA MIMBA
(Kasus Desa Kuta di Tengah Arus Pariwisata) -- 201
XIV. PARA PEWARIS RATU SAKTI PANCERING
JAGAT (Kasus Kepariwisataan di Desa
Trunyan) -- 219
XV. KECEMASAN DARI DESA KI PATIH TU-
JUNG BIRU (Kasus Kepariwisataan di Desa Kuno
Tenganan) -- 241
XVI. NYONYA GEDONG BAGUS OKA, GOOD
NIGHT (Ashram Hindu Gerakkan Dunia Wisata
Candi Dasa) -- 255
XVII. ASSALAMUALAIKUM NENGAH IBRAHIM
(Melihat Kampung Muslim Pegayaman) -- 272
XVIII. RINI WAHYUNI SEBUAH EPILOG (Ritual Bali
dan Wajah Hindu Nusantara) -- 280
KEPUSTAKAAN -- 296
TENTANG PENULIS -- 298


I
Pengantar Penulis
di Buku
Menggugat Bali
1986

Sebuah Prolog Untuk Bali

Di Bali:
pantai, gunung, tempat tidur,
dan pura telah dicemarkan.

T
EMAN saya, seorang penyair muda di Yogyakarta, mem-
baca sajak Rendra yang berjudul Sajak Pulau Bali yang
diambil dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi
yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta. Sajak itu
tidak dibacanya di panggung, tetapi di ruang kerja saya, ketika
saya bermukim di Yogyakarta. la membacanya dengan keras dan
lebih keras lagi ketika sampai pada tiga baris penutup seperti di
atas.
Maksudnya mengejek saya, tentu. Apalagi, setelah pembacaan
sajak gratis itu, ia menambahkan, Bali benar-benar komersial.

Daerah itu berjalan menuju neraka. Saya tersenyum.
Rentetan umpatan sang penyair muda ini memang masih
panjang. Upacara adat dan upacara agama di Bali, katanya, sudah
bisa dibeli. Tari sakral sudah bisa dijinakkan oleh dolar. Tari itu
bisa main di mana saja, kapan saja, asal ada dolar. Bahkan bisa
diperpanjang dan diperpendek, tergantung acara tamu. Apa lagi
yang bisa dipertahankan oleh Bali-mu?
Tetapi, teman saya tak membutuhkan jawaban dari mulut saya.
Ia menjawab sendiri, Kukira tidak ada lagi. Pasir putih di pantai
dan lambaian nyiur bukan lagi milik nelayan Bali. Pantai itu milik
orang Jakarta, atau mungkin orang asing. Kau dengar, lelaki Bali
sekarang cukup menjadi budak cewek bule? Kau tahu, sepasang
turis dari Jepang atau Australia, aku tak jelas, kawin dengan
upacara Bali secara besar-besaran? Kau tahu, Kuta sekarang ini
sudah menjadi daerah asing seperti bukan bagian dari Indonesia
ini? Kau tahu . . ..
Saya agak malu menyebutkan sejumlah umpatan teman saya
seterusnya. Juga tidak lagi ingat kata-katanya yang persis. Yang
saya ingat, rasanya saya bertanya kepadanya, berapa lama ia
mengunjungi Bali. Saya tiga hari penuh berkeliling dengan me-
nyewa sepeda motor. Ini kunjungan saya yang pertama, dan saya
kecewa.

***

SEHARI itu dua puluh empat jam. Tiga hari berarti tujuh pu-
luh dua jam. Tak mungkin ia terus-menerus bepergian tanpa tidur.
Katakanlah sehari tidur enam jam, berarti ia menikmati Bali selama
54 jam. He, Bung, apa yang kau lihat selama 54 jam itu? Bali
tidak hanya Denpasar, Pantai Kuta, Sanur, Ubud, Tanah Lot, atau
Sangeh. Bali seluas 5.808,8 km2 dengan penduduk hampir tiga juta
jiwa. Kesenian Bali tak cuma kecak, barong, fragmen Ramayana.
Teman, kukira kesimpulanmu keluar terlalu eepat.
Teman saya, tentu saja, tidak mendengarnya. Pledoi saya ini,
hanya dalam batin, setelah teman saya pergi.
10
Saya yakin, tuduhan teman saya berlebihan. Banyak suara sum-
bang tentang Bali, dari orang-orang yang melakukan kunjungan
serba singkat. Namun, saya pun menyadari, tuduhan itu sebagian
benar. Perubahan telah menimpa pulau kelahiran saya, ini tak
mungkin saya bantah. Dinamika perubahan itu tak cuma melanda
daerah-daerah turis di Bali bagian selatan dan timur, tetapi juga
keseluruhan Bali. Hanya memang, di kantung-kantung turis di Bali
itu, gerak laju perubahan terasa lebih cepat. Perubahan, seperti
pula yang terjadi di mana saja di dunia ini, tentu tak semuanya
menakutkan.
Saya bersyukur, menyaksikan sebagian perubahan itu berjalan.
Saya mengikuti sebagian jalannya, walau tidak dengan kecermatan.
Boleh jadi, saya berada di dalamnya, dan ikut menggelinding
bersama perubahan itu.
Ketika Hotel Bali Beach dibangun di pantai Sanur hotel
pertama yang paling tinggi di Bali saya termasuk sekian bocah
yang merengek-rengek kepada Ibu, agar diantarkan melihat proyek
raksasa itu. Dalam usia seorang anak sekolah dasar, dan tinggal di
pegunungan, saya terbengong-bengong menyaksikan bagaimana
bangunan luar biasa itu dikerjakan. Dan, malam harinya, saya
menggigil ketakutan, ketika ibu saya bercerita, betapa banyak hantu
dan leak yang mengganggu buruh yang sedang bekerja di proyek
itu. Kata Ibu, malam-malam, hantu di pantai Sanur gentayangan.
Di adonan pasir dijumpai tengkorak, begitu diangkat, hilang. Di
tangga dijumpai rangda dengan mukanya yang seram. Kata Ibu,
leak dan hantu itu protes, karena hotel itu dibangun di atas peku-
buran, tanpa menggusur kerangka-kerangka yang ada di sana.
Desa Sanur, ketika saya masih bocah, adalah desa yang meny-
eramkan, pusat segala yang menakutkan. Mendengar nama Sanur
saja, seperti bercanda dengan maut. Ibu saya sering bercerita
tentang leak Sanur, untuk menidurkan adik-adik saya. Siang hari,
kalau kami bermain kelereng, untuk menghardik anak yang bandel
dan curang, saya biasanya mengumpat dengan kata-kata, Pantas
curang, nenekmu dari Sanur, ya? Juga untuk menunjukkan suatu
tempat yang jauh, misalnya, kelereng lawan bisa saya pukul jauh,
11
saya berteriak, Hore, . . . kelerengmu tiba di Sanur.
Bukankah suatu perubahan yang besar, jika sebuah pusat ilmu
hitam, sebuah daerah yang menjadi lambang keangkeran, tiba-tiba
di atasnya berdiri sebuah hotel besar? Dan, kini menjadi kawasan
wisata yang ramai?
Terbawa nasib, saya berada lebih dekat dengan kancah pe-
rubahan itu kalau biang perubahan di Bali disepakati karena
faktor pariwisata. Selama tiga tahun, saya bekerja sebagai juru
gambar di sebuah perusahaan instalatir listrik. Waktu itu, setiap
permohonan pemasangan listrik perlu disertai gambar instalasi
yang lebih ruwet dibandingkan sekarang. Puluhan hotel, losmen,
bungalow, home stay apa pun namanya lagi baik yang baru
berdiri, yang dipugar, yang ditambah, memerlukan gambar instalasi
untuk pengadaan daya listrik yang lebih besar. Di sektor ini saya
banyak terlibat. Bahkan jaringan listrik di seluruh kawasan Sanur
dan sekitarnya, dan juga ke jalur Nusa Dua yang dikerjakan oleh
perusahaan tempat saya bekerja, bukan saja gambar perencanaan-
nya yang saya buatkan, tetapi saya ikut mengawasi pekerjaan di
lapangan. Mau tak mau, saya menyaksikan dari dekat, dari hari
ke hari, bagaimana sebuah desa, sebuah kawasan, mengalami
perubahan.
Jalan hidup saya ikut berubah dan perubahan ini saya
senangi karena semakin dekat dengan perjalanan perubahan pulau
saya. Awal 1974, saya memulai karier baru sebagai wartawan,
keluar dari perusahaan instalatir listrik itu. Pekerjaan sebagai
wartawan, membuat saya banyak berjalan, banyak melihat, dan
banyak terlibat. Lebih-lebih saya terjun di bidang kebudayaan dan
pariwisata, yang saya minati setengah mati. Saya pun merasa diun-
tungkan pula, banyak mengikuti perjalanan Gubernur Bali (waktu
itu) Soekarmen, yang sangat suka menyelusup ke desa, menginap
di sebuah kota kabupaten padahal berapa, sih, jarak kota kabu-
paten di Bali dengan Denpasar? dan tak kenal lelah berjalan di
perkampungan yang becek, sambil menyapa rakyat dengan bahasa
Bali yang ama janggal. (Gubernur Mantra pengganti Soekarmen
juga banyak turun ke desa, tetapi saya sudah meninggalkan Bali
12
beberapa saat sebelum budayawan ini dilantik).

***

KETIKA saya meninggalkan Bali di akhir 1977, saya mera-


sakan, saya banyak tahu tentang perjalanan pulau ini. Ada kece-
masan yang saya bawa ke Pulau Jawa, tetapi lebih banyak ketidak-
cemasan yang saya taruh di Bali. Yang tak perlu saya cemaskan
itu, alasannya, masyarakat Bali sejak dulu kala terbukti pandai
menyaring, bagian mana kebudayaan luar yang bisa diserap, dan
bagian mana yang tidak. Ada filter pengaman yang ampuh. Ada
dinamisme dalam menyesuaikan diri dengan faktor luar yang
datang. Lihat saja upacara keagamaan atau berbagai bangunan,
unsur budaya Cina sangat dominan. Uang kepeng, misalnya, masih
merupakan alat kelengkapan sesajen, yang barangkali di daratan
Cina sana, sudah sulit ditemukan. Berbagai bentuk tari-tarian
menyerap tari dari luar, dipadukan, memperkaya, dan kemudian
menjadi bagian kebudayaan Bali.
Kecemasan yang saya bawa adalah terganggunya pikiran saya
tentang menderunya laju pariwisata, sementara masyarakat Bali
tak siap menyambut datangnya dolar yang besar itu. Akibat yang
terjadi, mereka hanya mengais sisa-sisa dolar dari mereka yang
lebih siap: entah itu pemilik hotel, biro perjalanan, guide yang
lebih banyak datang dari luar Bali. Dalam kais-mengais sisa ini,
beberapa hal diserahkan dengan kesadaran mengalah. Misalnya
saja, kesenian mutunya turun karena disesuaikan dengan keinginan
turis sesungguhnya lebih tepat disebut keinginan guide yang
menggembalakan turis itu. Disesuaikan dalam hal: lama pemen-
tasan, busana penari, dan tempat pertunjukan.
Sebelum saya meninggalkan Bali, saya melemparkan kecema-
san itu dengan kata-kata yang lebih dramatis, atau mungkin sinis.
Saya katakan, biro perjalanan, termasuk di dalamnya pramuwisata,
bisa memesan pertunjukan sesukanya, apakah ia perlu semangkuk
kecak atau cuma setengah mangkuk. Atau sepiring barong ditambah
secangkir fragmen Ramayana. Para grup tari dengan senangnya
13
pula meladeni pesanan itu, dengan busana yang gemerlapan, bu-
kan mendukung jalannya cerita, tetapi supaya lebih pas dan wah
dipotret turis. Dengan cara itulah grup tari memperoleh dolar.
Jadi, sesungguhnya saya mempunyai kecemasan dan kekha-
watiran tentang perjalanan pulau kelahiran saya, walau tidak
sebesar kecemasan atau ketakutan teman saya, penyair muda
kota gudeg tadi.

***

HAMPIR sepuluh tahun saya rneninggalkan Bali. Dalam rent-


ang waktu yang panjang itu, saya tak seratus persen melupakan
Bali. Saya masih memperhatikannya, walaupun takaran perhatian
itu menyusut dari tahun ke tahun.
Tahun pertama, saya masih rajin melayangkan tulisan men-
genai berbagai masalah di bidang pariwisata untuk media yang
terbit di Denpasar. Tahun 1979, misalnya, ketika Pemda Provinsi
Bali mengadakan sayembara penulisan pariwisata, saya melayang-
kan tulisan dari Yogya. Saya tuangkan gagasan, betapa perlunya
membuka jalur wisata baru untuk mengurangi kepadatan turis di
Bali selatan dan timur. Perlu menggiring turis ke utara dan barat.
Asalkan obyek dan kesenian itu ditata rapi, tak kalah menariknya.
Tulisan saya itu memenangkan lomba sebagai juara pertama.
Tahun-tahun berikutnya, perhatian saya mulai berkurang. Tidak
lagi perhatian aktif. Saya merasa kerasan di daerah budaya baru,
budaya Jawa. Lagi pula, untuk sebuah partisipasi aktif, saya merasa
semakin kekurangan data aktual.
Lama-lama, saya pun merasakan punya jarak. Melihat Bali
di peta bumi sama saja seperti melihat Sulawesi, atau Sumatera.
Memikirkan Bali kadang-kadang masih sempat menggoda
terbagi dengan memikirkan jalur wisata Solo Prambanan
Borobudur - Dieng, dan sebagainya. Malah beberapa daerah
wisata lain di luar Bali mengganggu pikiran saya. Tentang Nias
yang mirip Tenganan, tentang Tanah Toraja di Sulawesi yang bisa
disambung ke Danau Tentena, Sulawesi Tengah, yang ada gua-gua
14
yang mirip kuburan Trunyan.
Akhirnya, saya pun sadar betul, saya telah jadi Malin Kundang
baru. Coba saja, dalam bentang waktu ribuan hari itu, saya hanya
empat kali pulang ke tanah Bali. Itu pun, sungguh-sungguh, tanpa
niat melihat Bali. Saya pulang ke kampung, terlibat dalam urusan
persembahyangan keluarga. Letak kampung saya, kalau dicari dari
pintu gerbang domestik pelabuhan laut Gilimanuk, sama sekali tak
bersentuhan dengan turis asing. Lewat pintu itulah saya pulang,
dan kemudian balik lagi ke tanah Jawa.

***

SI anak durhaka, Malin Kundang, mulai terbunuh di dada saya,


Agustus 1985. Sebuah awal yang sangat sepele. Saya ditugasi ke
Bali, menulis tentang upacara ngaben pembakaran mayat me-
lengkapi tulisan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan
Mohamad, yang sebelumnya mereportase pembakaran jenazah
keluarga Puri Gianyar. Saya menyiapkan rencana yang matang,
karena tulisan ini untuk rubrik Selingan, lembaran khusus yang
halamannya panjang.
Inilah saat saya bercumbu lagi dengan Bali. Banyak hal yang
mengejutkan. Banyak perubahan yang saya lihat. Hotel yang dulu
dibanggakan tiba-tiba jadi bangkrut. Kegersangan yang dulu mena-
kutkan, disulap jadi kemewahan tiada tara. Juga tentang manusia-
manusia Bali. Lalu, ada kekagetan jenis lain, katakanlah kaget
positif. Apa yang dikhawatirkan orang luar, bahwa Bali menuju
neraka, sebenarnya kekhawatiran berlebihan. Dalam beberapa hal,
perjalanan Bali menuju surga.
Bercumbu selama tiga setengah hari dengan Bali mengental-
kan keyakinan saya bahwa saya benar-benar telah punya jarak.
Keyakinan ini penting, karena dengan itu rangsangan saya untuk
menyetubuhi Bali sampai orgasme bergelora. Delapan tahun lebih,
cukup untuk membuahkan rindu. Ibarat gadis, dulu saya kenali
betul lekuk-lekuk tubuhnya, sampai debur jantungnya. Kini, saya
ingin memeriksanya, apakah lekuk itu masih ada, masih di tem-
15
patnya semula, atau sudah pindah, atau bertambah.
Kesempatan itu datang. Saya boleh mengambil cuti sejak
akhir Januari sampai pertengahan Februari 1986. Saya ke Bali,
tanpa ada persembahyangan, tanpa ada hari besar keagamaan.
Betul-betul ingin melihat Bali. Dan lantaran ada jarak itu, kini
saya merasa mampu melihat dengan lebih jernih, suatu hal yang
mungkin sulit saya lakukan kalau saja saya tak pernah bercerai
dengan gadis Bali.

***

BUKU ini adalah hasilnya. Tidak! Buku ini tidak merupakan


hasil penelitian yang ilmiah. Saya tak melakukan penelitian, sep-
erti yang dilakukan para ahli. Dan, tentu saja, saya tak sanggup
melakukan hal itu, saya tak punya dasar yang baik sebagai peneliti.
Buku ini hanya coretan dari sebuah perjalanan. Dengan amat sadar,
perjalanan yang saya lakukan sejak awal dibekali semangat untuk
mencari perbandingan dengan masa lampau yang saya kenali itu.
Tentu saja, terbatas pada bidang-bidang yang saya minati. Saya tak
menulis soal olah raga, misalnya, walau kini ada yang membuat
saya takjub, seperti olah raga menyelam itu. Tidak, itu dunia yang
tidak saya kenali.
Saya berjalan, mencari lekuk-lekuk wanita yang bernama Bali
ini. Saya mendengar dari orang-orang, apa saja yang telah terjadi
pada gadis saya. Lalu, saya membuka catatan lama. Kemudian
saya menuliskannya, menuturkannya, dan sedikit berkomentar.
Saya tulis kasus per kasus sesuka hati saya, kadang mirip laporan
seorang wartawan, kadang ikut menuangkan opini, dan ada pula
seperti menulis sepotong otobiografi.
Pada akhirnya pula, lewat buku ini saya melampiaskan sekadar
rasa kurang puas saya, mengenai banyak buku tentang Bali, baik
oleh para penulis asing maupun para penulis domestik. Memang,
jasa para sarjana asing yang melakukan penelitian di Bali dan
kemudian membukukan hasil penelitiannya itu besar manfaat-
nya bagi kemajuan pariwisata di Bali. Sampai-sampai di luar neg-
16
eri, konon, nama Bali lebih terkenal dari nama Indonesia. Mereka,
sebut saja: R. Gorris, Vicki Baum, Jane Belo, Miguel Covarru-
bias, Clifford Geertz dan istrinya Hildred, Geoffrey Gorer, Colin
McPhee, Hiekman Powell, Willard A. Hanna, dan mungkin masih
banyak yang lain, yang bukunya belum sempat saya miliki.
Saya bisa mengatakan bahwa buku-buku mereka ini adalah
hasil penelitian di bawah tahun 1960-an, tetapi sampai kini me-
wakili kepustakaan mengenai Bali. Padahal, zaman berubah, Bali
juga. Sejumlah prasasti ditemukan, lembaga adat dan lembaga
keagamaan mulai menata diri setelah berakhirnya masa gontok-
gontokan di zaman PKI. Sejumlah lontar mulai dikaji. Maka, buku
para penulis asing itu, yang terbit atau diterbitkan ulang setelah
1970-an, terasa sebagai sebuah dongeng masa silam.
Karya Hugh Mabbett, The Balinese, tergolong buku baru, ha-
sil perjalanan baru, terbit 1985. Karena itu, Hugh Mabbett sudah
banyak menyuarakan ketakutan, termasuk juga celaan. Namun,
di luar data baru itu, ia pun banyak mengacu kepada kepustakaan
buku-buku penulis asing di atas, terutama karya Geertz yang
tak lagi relevan.
Yang lebih parah, justru buku yang dihasilkari penulis domes-
tik, berbahasa Indonesia, yang umumnya dibuat dengan tergesa-
gesa tanpa berkencan lebih lama dengan wanita yang bernama Bali
itu. Kesalahan yang diperbuatnya bisa dimaklumi, karena mereka
tidak mengenal rohnya Bali. Bayangkanlah, kalau ada yang tidak
mengetahui beda antara puri dan pura, sehingga menyebutkan
pura sudah begitu dikomersialkan. Lalu ada yang mencaci-maki
subak, bahwa itu bukan khas Bali. Penulis ini rupanya mendapat
informasi, subak itu adalah sawah di pegunungan yang meliuk-liuk
dengan petak yang indah, seperti tertulis di brosur pariwisata. Di
Pangalengan, Jawa Baral dan di daerah pegunungan lainnya
banyak dijumpai bentuk sawah seperti itu, tentu saja.
Padahal, subak, pada mulanya, memang khas Bali, karena
ia sistem pengairan yang dikaitkan dengan adat dan upacara
keagamaan agama Hindu. Kalau sistem pengairan itu sudah
diekspor ke Jawa dan wilayah lain, memang benar. Di Jawa Tengah,
17
misalnya, dikenal organisasi Dharma Tirta, sistemnya mencontoh
subak, minus upacara keagamaannya. Jadi, subak bukanlah bentuk
fisik petak-petak sawah.

***

PADA saat catatan perjalanan ini dalam proses penulisan,


awal April 1986, saya berkesempatan lagi pulang ke Bali selama
satu minggu. Kesempatan baik ini saya pergunakan untuk apa
yang lazim dilakukan seorang wartawan cheek and recheek.
Mencocokkan kembali data dan bahan yang telah saya peroleh.
Antara lain, saya bertemu dengan I Ketut Suwija, Ketua Yayasan
Gedong Kirtya, Singaraja. Di gedong inilah tersimpan sejarah
masa lampau Bali.
Jika kemudian catatan perjalanan ini banyak menyebutkan
sejumlah nama orang, maka sepanjang tidak ada penjelasan
tambahan di belakang nama-nama itu, orang itu benar-benar ada.
Tidak semuanya tokoh yang terkenal, tetapi pasti mereka punya
kaitan dengan konteks yang saya ketengahkan. Adapun tentang
nama-nama yang dijadikan judul setiap permasalahan, tidak berarti
orang itu paling banyak tahu dan paling banyak dikutip. Judul itu
sebuah kenakalan yang disengaja, dengan maksud sampingan,
memperkenalkan berbagai variasi nama orang Bali.
Kepada mereka yang namanya disebutkan itu sudah selayaknya
saya menyampaikan terima kasih. Khusus kepada Gde Aryantha
Suthama, Wayan Budiartha, Ketut Syahruwardi Abbas, mereka
yang banyak memberikan informasi dan kadang-kadang menjadi
teman selama perjalanan, saya menyampaikan terima kasih yang
tulus. Ketiga anak muda ini sedang berjuang keras untuk menghad-
irkan sebuah media yang menulis masalah-masalah kebudayaan di
Denpasar, melalui penerbitan yang bernama Karya Bhakti. Saya
salut pada perjuangan mereka, yang hingga kini masih menghadapi
berbagai tantangan terutama permodalan. Cita-cita mereka juga
cita-cita saya, sejak dulu.
Lalu, ada seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
18
Udayana yang banyak membantu saya, terutama mengumpulkan
catatan-catatan dan arsip-arsip tulisan saya yang oleh suatu sebab
tidak dibawa ke Jawa. Mahasiswa itu, Wayan Supartha, adik kan-
dung saya sendiri.
Made Sukarnithi, Rini Wahyuni, Wirya Suniatmaja, istri
dan kedua anak saya, rasanya tak patut dilewatkan untuk sebuah
terima kasih. Kehidupan tiga orang yang dekat dengan saya ini
menggampangkan saya menulis sebuah epilog yang banyak
menyinggung soal praktek menjalankan ibadat. Terutama Rini dan
Wirya, dua anak yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa,
berbahasa Jawa, akrab dengan masjid dan gereja, tetapi keduanya
mempelajari agama Hindu secara intensif di Pura Rawamangun
Jakarta suatu pelajaran yang tidak pernah diterima ayah ibunya
di sekolah.
Bagi saya sendiri, catatan perjalanan ini adalah sebuah per-
tanda, sampai kini saya masih memperhatikan Bali dari seberang
laut.
Ciputat, Mei 1986

19
II
Tentang Kalender
Bali dan Baik
Buruknya Hari

Pada Awalnya I Ketut


Bangbang Gde Rawi

J
IKA kamu mengadakan perjalanan jauh, perhatikanlah hari
baik dan hari buruk. Perjalanan pada hari yang baik sudah
merupakan awal dari suatu keberhasilan. Ayah sudah menga-
jarkan bagaimana caranya mencari hari yang baik.
Itulah kira-kira pesan ayah saya, kalau diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Pesan yang disampaikan ketika usia saya berja-
lan sebelas tahun pada 1962, sehari sebelum saya meninggalkan
keluarga. Saya pergi jauh, untuk pertama kalinya dilepas seorang
diri, ke kota kecamatan melanjutkan di SMP. Kakak dan ibu saya
bersedih dengan perpisahan ini. Maklum, saya anak lelaki pertama,
dan pergi seorang diri sejauh 26 km. Ya, cuma 26 km.
Pesan Ayah pasti tidak mengada-ada. Dalam usia sebelas
tahun, saya menguasai sebagian ilmu wariga, khususnya yang
berkenaan dengan pedewasaan mencari hari buruk dan hari

20
baik. Misalnya, kalau bepergian ke arah barat sebaiknya pada hari
ini, kalau mau potong rambut pada hari itu. Yang paling mudah
saya hafalkan, tentulah kalau berkaitan dengan judi. Saya gemar
berjudi di waktu kecil.
Ayah punya sedikitnya tujuh lontar mengenai ilmu wariga.
Saya boleh membacanya. Mencari hari baik dan hari buruk itu
(ala ayuning dewasa) umumnya memakai unsur pawukon (per-
wuku-an). Dalam penanggalan tradisional Bali, ada 30 wuku,
masing-masing berumur 7 hari. Wuku pertama bernama Sinta dan
yang ketiga puluh bernama Watugunung, hampir sama dengan
penanggalan Jawa. Jadi, setiap hari untuk wuku yang sama beru-
lang setelah 210 hari.
Selain wuku ada kelompok-kelompok hari berdasarkan siklus
edarnya, yang disebut wewaran, yang terdiri dari sepuluh wara.
Yaitu, ekawara, dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sad-
wara, saptawara, astawara, sangawara, dan dasawara. Dilihat
dari namanya saja, masing-masing beranggotakan satu, dua, tiga
sampai sepuluh hari. Sebuah hari dalam kalender Bali tradisional,
isi-nya harus sama. Yang saya maksudkan, misalnya, hari Senin
wuku Sinta 16 Januari 1986, harus sama komponennya dengan hari
Senin wuku Sinta tanggal 4 Agustus 1986. Begitu pula harus sama
dengan Senin wuku Sinta di tahun 1987 dan seterusnya. Isinya itu,
beteng dari unsur triwara, laba dari unsur caturwara, pon dari
unsur pancawara, dan seterusnya.
Untuk triwara yang terdiri dari pasah, beteng, kajeng, pan-
cawara yang terdiri dari umanis (di Jawa: legi), pahing, pon, wage,
kliwon, sadwara yang terdiri ari tungleh, aryang, urukung, pan-
iron, was, mahulu, dan saptawara yang rinciannya redite, coma,
anggara, buda, wraspati, sukra, saniscara, tidak timbul masalah
dengan peredaran ini, karena 210 hari habis dibagi tiga, lima, enam,
tujuh. Tetapi untuk caturwara yang beranggotakan sri, laba, jaya,
menala, astawara yang beranggotakan shri, indra, guru, yama,
rudra, brahma, kala, uma, dan sangawara yang beranggotakan
dangu, jangur, gigis, nohan, ogan, erangan, urungan, tulus, dadi,
akan timbul masalah karena 210 tidak habis dibagi empat, delapan,
21
dan sembilan. Maka, agar peredaran hari itu tetap membuat sebuah
hari komponennya sama, terjadi penyesuaian pada wuku tertentu,
dan ini telah ditetapkan rumusnya, tak bisa diubah-ubah.
Untuk caturwara dan astawara penyimpangan terjadi di wuku
Dungulan (wuku ke sebelas), dari hari Minggu sampai Selasa isinya
berturut-turut jaya (unsur caturwara) dan kala (unsur astawara).
Orang Bali menyebut penyimpangan ini kala-tiga (karena selama
tiga hari kala melulu), dan esoknya Rabu wuku Dungulan adalah
Hari Raya Galungan. Sedang untuk sangawara, penyimpangan di-
lakukan pada wuku Sinta mulai hari Minggu sampai Rabu. Selama
empat hari itu isinya dangu melulu. Adapun ekawara yang ang-
gotanya cuma luang, dwiwara yang beranggotakan menga, pepet,
dan dasawara yang beranggotakan pandita, pati, suka, duka, shri,
manuh, manusha, raja, dewa, raksasa, walaupun 210 hari itu bisa
dibagi habis satu, dua, dan sepuluh, penempatan anggota wara-nya
tidak berurutan. la bergantung pada urip (nilai hari) yang dihitung
dari urip unsur triwara dan pancawara pada saat itu.
Rumus-rumus seperti itu sudah saya kuasai sejak kalau tak
salah kelas empat sekolah dasar. Mencari hari dengan segala
komponennya cukup menggunakan ruas jari tangan kiri dan telun-
juk kanan menghitungnya. Kalau unsur-unsur hari itu sudah dik-
etahui, urip juga diperoleh, tinggal dicocokkan dengan keperluan,
baik atau tidak hari itu melaksanakan keperluan tadi.
Saya masih ingat, ketika Ayah meninggal dunia. Saat itu
menjelang kenaikan ke kelas dua SMP, dan pemberitahuan saya
terima di dalam kelas. Yang pertama kali saya lakukan ketika men-
dengar berita sedih itu, mencari dewasa untuk penguburan mayat.
Saya hitung-hitung ruas tangan kiri, seperti memijit kalkulator
tapi waktu itu kan belum ada kalkulator. Dan akhirnya saya
bisa mempersiapkan diri pulang kampung lebih tenang, dan tidak
terburu-buru mencari kendaraan, karena saya agak yakin, jenazah
Ayah baru bisa dikuburkan dua hari kemudian. Ternyata, benar.
Sebab, saya tahu kapan hari pantang menguburkan jenazah, dan
kapan kesempatan pertama diperbolehkan. Dalam hal mengubur-
kan jenazah, tak ada hari baik, yang ada hari pantangan.
22
***

PESAN almarhum Ayah yang sudah berumur 24 tahun tiba-


tiba terngiang kembali, ketika saya merencanakan pulang ke Bali
melakukan perjalanan ini. Saya merasa perlu mencari hari baik
untuk melakukan perjalanan. Akhirnya sia-sia, dan saya ketawa
dalam hati. Saya telah lupa pada banyak hal ilmu pedewasaan.
Kalau nama wuku yang 30 biji itu masih bisa saya ucapkan di
luar kepala dengan lancar. Nama wara-wara masih juga lancar,
paling yang tersendat astawara, sangawara, dan dasawara. Tetapi
kapan suatu hari ada unsur kliwon yang bercampur dengan dangu
dan beteng, misalnya, sudah lupa rumusnya, apalagi cara menghi-
tungnya. Juga saya lupa pada urip. Dan yang paling penting, saya
juga lupa berapa urip yang baik untuk berjalan ke arah timur, dari
Jakarta ke Bali.
Saya mencoba cara lain. Ada kalender Bali karya I Ketut Bang-
bang Gde Rawi. Saya telusuri ala ayuning dewasa di situ. Ternyata,
tak ada tertulis hari baik untuk melakukan perjalanan. Yang ada
hari baik untuk menanam benih, menanam padi, memelihara sapi,
membuat pancing, dan sebagainya. Tiba-tiba saya merasa tak puas
pada cara Gde Rawi mencantumkan hari baik itu, lebih banyak
masalah pertanian dan peternakan.
Saya memutar waktu ke belakang, kenapa saya sampai melu-
pakan ilmu warisan orangtua. Ayah meninggal saat saya menginjak
usia 12 tahun, pada 1963. Ibu melarang saya membawa lontar
Ayah ke tempat kos di kota, dan itu sudah saya duga. Anak-anak
di zaman saya kecil tidak boleh membaca lontar, aja wera bisa
kualat belajar ilmu untuk orang tua. Ayah saya melawan arus, me-
mang. Pada Ayah tak ada istilah aja wera. Lalu, di SMP dan SLTA
saya tak menerima pelajaran agama Hindu. Bahkan di SLTA saya
tak menerima pelajaran huruf Bali sama sekali. Faktor itu yang
menyebabkan saya jadi melupakan ilmu wariga.
Kalau pun ada yang masih saya ingat sekarang adalah hari
baik untuk memotong rambut. Yaitu hari Rabu Umanis. Disebut di
sana istilah mitra asih, artinya kurang lebih membuat disenangi
23
banyak kawan, terutama bisa jadi daya tarik perempuan. Kalau
sampai sekarang saya ingat hal itu, dan sering rnemotong rambut
pada hari Rabu tanpa peduli umanis atau kliwon pasti tak
lagi karena arti yang tersirat dari mitra asih. Kebetulan hari Rabu
waktu saya banyak kosong dari pekerjaan kantor, majalah tempat
saya bekerja sudah naik cetak dan beredar.
Begitulah, saya pun berangkat ke Bali tanpa pusing apakah
harinya baik atau tidak. Setiba saya di kampung, dan selama saya
berjalan di pulau kelahiran saya, sering saya menguji seseorang,
apakah dia tahu bagaimana menentukan hari baik dan hari buruk
untuk suatu hal. Jawaban yang saya terima, sebagian besar respon-
den saya tidak tahu, dan tidak pernah belajar. Di sekolah pun tak
lagi diajarkan, kecuali di SMP Dwijendra (milik swasta dari sebuah
yayasan keagamaan) dan di Institut Hindu Dharma. Untuk apa?
Lihat saja kalender Gde Rawi. Kalau toh tidak dicantumkan, tanya
saja pada sulinggih (ulama/pendeta), ini jawaban dari generasi
saya, juga dari generasi yang lebih tua.
Memasyarakatnya kalender Gde Rawi mempunyai dampak
buruk terhadap jalannya ilmu wariga dan ilmu pedewasaan. Ka-
laupun Gde Rawi tak mencantumkan hari baik tertentu, karena
lembar kalender sudah penuh, setiap hari dalam kalender itu sudah
dilengkapi dengan unsur-unsurnya. Bahkan tabiat sebuah hari
juga ditulis lengkap. Tinggal mencocokkan dengan keperluan.
Kebanyakan orang Bali, jika mereka melakukan pekerjaan yang
penting, menyangkut kehidupan, berkaitan dengan keagamaan
dan kepereayaan, pada awalnya selalu mencari kalender I Ketut
Bangbang Gde Rawi.

***

DIA, kini, sudah memasuki usia senja. Menginjak 76 tahun.


Ia menjadi perbekel (kepala desa) di kampungnya, Desa Celuk,
Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, sejak sebelum ke-
merdekaan, pada 1941. Dalam tugasnya itulah ia sering dimintai
tolong oleh warga desanya, untuk mencarikan dewasa. Gde Rawi
24
memang tahu banyak soal itu, ia mewarisi banyak lontar. Ia pun
ringan tangan membantu orang.
Selain sebagai perbekel pekerjaan ini benar-benar peng-
abdian tanpa tanah catu seperti umumnya di Jawa Gde Rawi
bekerja di kantor distrik (sekarang kecamatan) di Ubud. Rekan
sekerjanya pun sering meminta tolong supaya dicarikan hari baik
untuk berbagai hal.
Lama-lama, kemampuan Gde Rawi itu semakin tersiar luas dan
diketahui banyak oleh para sulinggih, sebutan pendeta di kalangan
Hindu. Berkali-kali Gde Rawi didesak oleh para sulinggih di sekitar
Gianyar, agar bersedia menyusun ilmunya itu secara tertulis dalam
huruf Latin. Awalnya Gde Rawi menolak. Wewenang membe-
berkan wariga dan pedewasaan adalah wewenang para pendeta,
saya ini orang kecil, begitu alasannya. Tetapi ia terus didesak
dan akhirnya terpojok. Ia mengajukan syarat: bersedia menuliskan
wariga dan menyusunnya dalam sebuah kalender yang juga berlaku
umum, asalkan ada anugerah (izin) dari para sulinggih. Pada 1948
atau 1949 (Gde Rawi lupa), ada rapat para sulinggih se-Bali dan
Lombok. Salah satu keputusan rapat itu, memberi kepercayaan ke-
pada Gde Rawi membuat kalender yang dilengkapi wariga. Maka,
1950 lahirlah kalender Gde Rawi yang pertama dalam bentuk yang
amat sederhana. Penerbitnya Pustaka Balimas, penerbit dan toko
buku terbesar di Bali, saat itu.
Nama Gde Rawi dengan cepat dikenal orang. Pergaulannya
yang luas, terutama dekatnya dengan para ulama, menyebabkan ia
diangkat menjadi anggota DPRD GR (Gotong Royong) Provinsi
Bali pada 1951. Setelah itu, kalender ciptaannya dipasangi potret
dirinya. Sebuah potret yang gagah, memakai kaca mata dan dasi,
maklum diambil di dalam gedung DPRD-GR. Uniknya, potret itu
terus terpampang sampai kini, tak pernah diganti-ganti, bahkan
mungkin seterusnya. Gde Rawi boleh saja tua renta, muka keriput
dengan rambut memutih, berjalan memakai tongkat karena rema-
tik, tetapi potret yang menyertai lembar demi lembar kalendernya
selalu yang itu, foto diri sewaktu muda.
Kalau foto itu diganti, banyak orang yang ragu-ragu mem-
25
beli kalender saya, apa betul karangan saya atau tidak, kata Gde
Rawi.
Sekali pernah foto diganti, sekitar tahun 1960-an (ia tidak
ingat kapan persisnya, ia mengaku sangat pelupa sekarang). Di-
pasang foto baru, disesuaikan dengan dirinya yang semakin tua,
dan karena tak lagi menjadi anggota DPRD-GR, ia merasa kikuk
dengan potret berdasi. Ternyata, kalender itu tak laku dan malah ada
protes datang ke rumahnya. Maka, jika kini atau nanti masih juga
didapati kalender dengan lelaki ganteng berkaca mata dan berdasi,
itu lebih merupakan merk dagang ketimbang identitas yang tertulis
di bawahnya: disusun oleh I Ketut Bangbang Gde Rawi.
Nama Bangbang ini pun sama uniknya dengan potret. Mestinya
Bambang. Karena salah cetak, nama Bambang ditulis Bangbang,
dan itu terus dipakai. Tetapi untuk diucapkan, tetap Bambang.
Bambang itu nama anak lelaki perkasa, anak lelaki saya semua
memakai Bambang, katanya.
Kalender Gde Rawi pernah mendapat saingan di awal tahun
1960-an. Kalender tandingan itu dikeluarkan oleh Djawatan Agama
Otonom (begitu namanya dulu). Penyusunnya enam orang, tokoh-
tokoh yang dikenal sebagai sulinggih dan ahli sastra Bali. Adanya
dua kalender ini membuat umat Hindu bingung, karena terjadi
perbedaan pada perhitungan wariga. Bukan saja pedewasaan
menjadi kacau, hari raya pun menjadi berbeda. Ada beda pendapat
dalam menentukan peredaran bulan, dan terjadi selisih walau cuma
sehari. Akibatnya, perayaan Hari Raya Nyepi berbeda di antara
dua kalender itu.
Gde Rawi menuturkan contoh kekacauan itu. Di sebuah desa,
orang merayakan Nyepi berdasarkan kalender Djawatan Agama
Otonom, sementara desa tetangganya mengadakan tawur kesanga
berdasarkan kalender Gde Rawi, pada hari yang sama. Tawur
Kesanga adalah ritual sehari sebelum Nyepi yang hingar-bingar,
sementara Nyepi adalah hari yang sangat sepi.
Karena umat bingung, Gde Rawi siap mengalah dan menarik
diri sebagai penyusun kalender. Tapi umat menghendaki, Gde Rawi
yang jalan terus. Alasannya, selain sudah berpengalaman, sebuah
26
kalender disusun oleh lebih dari seorang, apalagi enam orang,
tidak bisa dipegang kesatuan pendapatnya. Akhirnya, Gubernur
Bali, waktu itu, Anak Agung Sutedja, memerintahkan Gde Rawi
agar tetap menyusun kalender, dan Djawatan Agama Otonom tidak
boleh menerbitkan kalender lagi.
Setelah Parisada Hindu Dharma berdiri (1959), lembaga
tertinggi umat Hindu inilah yang meminta agar Gde Rawi tetap
membuat kalender, sampai sekarang. Jadi, saya selalu diberi ke-
percayaan. Sekarang saya tinggal menyerahkan naskah, Parisada
yang mencetak dan menerbitkan, juga yang menyalurkan. Soal
honor juga tak pernah saya tanyakan, anak saya yang mengurusnya.
Karena saya tak boleh mundur, dan selalu diberi anugerah, tujuan
saya cuma meladeni umat, agar terjadi ketenteraman, tidak ada
tumpang tindih dalam wariga, kata Gde Rawi.
Upaya peningkatan setiap tahun dilakukan Gde Rawi, me-
masukkan penanggalan dari daerah lain, misalnya, penanggalan
Jawa, Arab, Cina, dan kini Jepang. Para pemuka umat agama di
luar Hindu juga memberikan bahan-bahan. Dulu kalender saya,
yang berisi tahun Cina, pada kolom hari rayanya saya tulis hari
raya Cina, ternyata salah. Pemuka agama Kong Hu Cu datang ke
sini, meminta supaya istilah itu diganti menjadi hari raya Kong Hu
Cu. Ya, saya turuti, dia lebih ahli, ujar Gde Rawi.

***

BALI punya dua jenis hari raya, berdasar cara menghitungnya.


Yang satu peredaran pawukon dan wewaran, jadi siklusnya 210
hari. Satunya lagi berdasarkan peredaran bulan atau disebut sasih.
Yang pertama, misalnya, Hari Raya Galungan yang jatuh pada
Rabu Kliwon wuku Dungulan, Hari Raya Kuningan jatuh pada
Sabtu Kliwon wuku Kuningan, Hari Raya Saraswati (turunnya ilmu
pengetahuan) hari Sabtu Umanis (Sabtu Legi) wuku Watugunung,
Hari Raya Pagerwesi hari Rabu Kliwon wuku Sinta. Ini yang be-
sar-besar. Kemudian hari raya yang lebih khusus dan tingkatannya
kecil, misalnya Tumpek Landep, hari Sabtu Kliwon wuku Landep,
27
untuk mengupacarai segala jenis benda yang dibuat dari besi: keris,
tombak, gergaji, pahat, sampai mobil. Pada saat itu mobil di Bali
pasti ada hiasan di depannya, dan para pengukir tidak akan bekerja.
Lalu ada Tumpek Kandang hari Sabtu Kliwon wuku Uye, semacam
hari raya untuk binatang-binatang peliharaan. Ibu-ibu rumah
tangga membuang sesajen di kandang peliharaan ini, dan tentu
memerciki air suci ke binatang itu. Kemudian, persembahyangan di
tempat-tempat suci juga banyak ditentukan oleh siklus ini. Bahkan
pada orang Bali, ulang tahun secara tradisional (otonan) memakai
peredaran pawukon dan wewaran ini.
Untuk menentukan hari raya berdasarkan hitungan hari yang
210 ini, tak akan terjadi salah hitung, biarpun ada dua atau lebih
kalender yang disusun para ahli wariga yang berbeda. Bahkan
tanpa melihat kalender pun orang bisa mencari hari-hari itu se-
cara mudah, seperti yang pernah saya hafalkan sewaktu kanak-
kanak.
Yang dapat berbeda adalah hari raya berdasarkan peredaran
bulan. Misalnya, Hari Raya Nyepi atau tahun baru Caka, yang
sudah dijadikan hari libur nasional. Hari raya ini jatuh pada tang-
gal pisan (tanggal satu) sasih Kedasa. Sehari sebelum ini, yaitu
pada penutup tahun, dilangsungkan upacara tawur kesanga, yang
dilakukan di perempatan jalan.
Dalam perhitungan kalender Bali, jika hari menuju bulan be-
sar (bulan purnama) disebut tanggal atau penanggal. Kalau hari
menuju bulan mengecil atau bulan mati (tilem) disebut pengelong.
Jadi, ada penanggal 1 sampai 15 lalu disusul pengelong 1 sampai
15. Masalahnya, tidak selalu satu sasih terdiri dari tanggal dan
pengelong yang berumur 15 hari. Adakalanya berumur 14 hari.
Penyimpangan inilah yang sering menimbulkan silang pendapat di
antara para ahli, kapan penyimpangan itu terjadi. Selisihnya tidak
banyak, paling satu hari. Tetapi justru selisih satu hari itu menim-
bulkan masalah besar, kalau dua pendapat itu tak bisa disatukan.
Sebab, ini akan mempengaruhi Hari Raya Nyepi.
Di Kota Denpasar, yang dibelah Sungai Badung, pernah
terjadi keganjilan, ketika beredar dua kalender. Di sebelah timur
28
sungai, orang merayakan tawur kesanga, di sebelah barat sungai
merayakan Nyepi. Tentu yang menjalankan ibadat Nyepi sangat
terganggu, karena upacara tawur kesanga dan rentetannya yang
disebut ngerupuk, sebuah upacara ingar-bingar. Kentongan dipu-
kul, anak-anak memukul drum, membuat petasan bambu, dan
pawai obor. Bagaimana suasana Nyepi bisa khusyuk kalau tetangga
berpesta-pora.
Seperti halnya menentukan Hari Raya Idulfitri sama-sama
berdasarkan peredaran bulan sering dijumpai silang pendapat
di antara umat muslim. Namun, beda pendapat dan beda pelak-
sanaan salat Ied tidak mencuat ke permukaan, karena Departe-
men Agama, lewat suatu surat keputusan, menetapkan kapan hari
raya itu.
Di Bali tak ada ketetapan pemerintah mengenai Nyepi. Selama
ini orang selalu berpedoman kepada kalender Gde Rawi. Apalagi,
kalender ini dicetak, diterbitkan, dan disalurkan oleh lembaga
tertinggi umat Hindu itu. Boleh disebut, kalender itulah SK yang
patut dijadikan pegangan.

***

SAMPAI kapan Gde Rawi memonopoli penyusunan kalender?


Ini sudah terjawab memasuki tahun 1986. Sangat mengagetkan, ada
tiga jenis kalender yang beredar di Bali, kalender yang dilengkapi
wariga. Yakni susunan Gde Rawi, tanpa keterangan tambahan,
dan satu lagi disusun oleh I Wayan Gina dengan embel-embel Di-
periksa oleh Parisada Hindu Dharma Kabupaten Daerah Tingkat II
Karangasem. Pada setiap lembar kalender ini, di bagian atasnya
terpampang lambang besar Golkar, dan ada tulisan DPD Golkar
Tingkat II Karangasem. Seolah-olah partai itu ikut menyebarkan
kalender ini.
Kalender Gde Rawi mudah dikenali, karena begitulah coraknya
selama bertahun-tahun. Berbingkai ukiran dedaunan, di atasnya
ada lambang swastika dengan tulisan kecil Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat. Lalu foto Gde Rawi di masa masih menjadi ang-
29
gota DPRGR.
Pada kolom hari, ada empat versi nama-nama hari. Versi bahasa
Indonesia paling atas dan paling besar, dengan ejaan khas Gde
Rawi: Ahad, Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jumat, Sabtu. Kecu-
ali Ahad, yang asing bagi lidah orang Bali, ejaan Gde Rawi itu
memang sesuai yang diucapkan orang Bali pada umumnya. Jadi,
bukan Rabu, tetapi Rebo. Di bawah nama hari versi Indonesia ini
ada versi bahasa Bali. Tentu yang dicantumkan di sana anggota-
anggota Saptawara: Redite, Coma, Anggara, Buda, Wraspati,
Sukra, Saniscara. Di bawahnya lagi dalam bahasa Inggris. Nah, di
bawahnya ini sejak 1986 sesuai dengan awal dimasukkannya
penanggalan Jepang terdapat nama hari dalam bahasa negeri
Sakura itu: Nieiyobi, Getsuyobi, Kayobi, Suiyobi, Mokuyobi,
Kinyobi, Doyobi.
Di setiap lembar kalender Gde Rawi, tak ada bidang kosong.
Dalam satu kotak hari, ada tanggal (tanggal internasional, bukan
tanggal Bali) yang ditulis besar mencolok. Tanggal ini dikelilingi
huruf-huruf kecil. Jika diamati secara saksama, ada penanggalan
Jawa, penanggalan Cina, yang semuanya dilengkapi dengan nama
bulannya. Lalu ada penanggalan Bali, yang ditulis cuma tanggal
atau pengelong saja. Tanggal ditulis kecil dalam huruf berwarna
merah, dan jika tanggal 15 atau bulan purnama, ada bulatan merah
yang cukup besar. Pengelong ditulis dengan huruf juga, berwarna
hitam. Jadi, pada bulan mati (tilem) ada bulatan hitam. Dalam
kotak ini pun segala anggota wewaran dimasukkan, tentu dengan
huruf kecil-kecil. Juga nama sasih, watak hari untuk menentukan
hari baik atau buruk. Pokoknya, penuh.
Pada pinggir kanan tercantum ala ayuning dewasa yang harus
dikupas artinya, dan ini hanva bisa dimengerti oleh mereka yang
mempelajari ilmu wariga. Misalnya, untuk tanggal 31 Agustus
1986, yang jatuh pada hari Minggu. Ciri-ciri hari itu tertulis: Semut
sedulur, Kl (singkatan dari kala) dangu, pepedan, bojog munggah,
laku bintang, lebu ketiup angin, Ek (singkatan dari ekajala resi)
kemertaan, Per (singkatan dari pertiti) jati. Nah, apa artinya? Tak
ada dicantumkan di kalender ini. Tetapi para sulinggih, dan banyak
30
orang tua di Bali, tahu arti ungkapan-ungkapan itu. Dulu, sebagian
dari ungkapan itu saya pelajari, tetapi sekarang sudah banyak yang
saya lupa. Yang saya ingat cuma semut sedulur, yaitu sebuah hari
yang tidak boleh (pantang) untuk menguburkan jenazah. Saya
selalu mengingat ini karena teringat pada kematian Ayah.
Untuk masyarakat awam, di bagian bawah kalender ini ada
ala ayuning dewasa yang tak memakai ungkapan, dan tak perlu
dikupas lagi. Misalnya, hari baik belajar menari, lengkap dengan
jamnya. Hari baik memancing, hari baik membangun sumur, dan
banyak lagi tapi tak ada hari baik melakukan perjalanan dan
hari baik berjudi. Di sebelah petunjuk praktis ini ada lagi seleret
petunjuk, di mana ada persembahyangan. Tentu itu bisa diketahui,
karena persembahyangan di pura yang besar selalu mengikuti
siklus hari yang 210 itu.
Gde Rawi betul-betul anti bidang kosong. Kalau ketemu bidang
kosong, ia menyelipkan kata-kata mutiara dari falsafah Hindu,
yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, maaf, jelek sekali.
Sering pula tak jelas apa maunya. Lihat contoh lembar kalender
1986 bulan Januari. Di pojok kanan bawah, ia menulis, saya kutip
asli dengan ejaannya: PERHATIAN: PARA WISATAWAN dari
dalam-Luar Negeri semakin meningkat berkembang dengan baik
dan mengagumkan yang bersumber dari pada aslinya. Sehingga
terwujud PESTA SENI, hiburan hati nurani yang mendalam.
Apa maksudnya? Pesta seni itu sendiri diadakan pemerintah
daerah antara bulan Juli dan Agustus. Di sini amat kentara bahwa
tak ada editor untuk karya besar yang mulia ini, baik dari putra-
putra Gde Rawi, dari penerbit, dan dari tokoh lain di Parisada, mis-
alnya. Leiaki usia senja ini sudah membentuk pola kalender yang
persis di lembar besar yang dikerjakan di rumahnya. Ia menulis
dengan balpoin biasa, berwarna hitam dan merah. Di kertas itu,
Gde Rawi sudah memenuhi bidang yang dikehendakinya. Ketika
saya menyaksikan bagaimana Gde Rawi bekerja membuat lembar
kalender untuk bulan Juni 1987, saya tanyakan kenapa kata-kata
mutiara bahasanya janggal, dan seperti ada yang salah. Jawabnya,
Memang ada kata yang salah, tapi terpaksa diteruskan. Kalau
31
dihapus tak bisa, ini tinta bukan pensil. Ketika saya katakan ada
penghapus tinta atau bisa memakai tipp-ex, ia menjawab, Nanti
bisa kotor. Lho, ini kan bukan barang jadi, kan baru naskah?
Bagi saya ini hasil jadi, ini lukisan. Toh orang bisa mengerti mem-
bacanya. Begitulah, naskah awal kalender itu merupakan hasil
seni coretan tangan Gde Rawi, tak sekadar naskah percetakan.
Namun, perkara nama-nama hari, Gde Rawi ingin pula meng-
gantinya. Tapi saya pikir, nanti ada yang protes lagi, dikiranya
bukan kalender saya. Ya, biarlah tertulis Rebo dan Kemis. Ma-
syarakat payah, potret saya saja tak boleh diganti-ganti, ujarnya
sambil tertawa.
Dua kalender yang lain tak lagi orisinil. Bahkan kalender yang
tidak mencantumkan nama penyusunnya itu jelas-jelas jiplakan dari
kalender Gde Rawi. Kalender ini hanya memindahkan kolom men-
genai hari raya, digeser-geser, dikurangi, dan sebagainya. Isinya
sama, malah kotak-kotak hari itu tak berbeda sedikit pun. Tulisan
dan lambang Parisada Hindu Dharma dihilangkan. Kalender ini
ternyata laku, karena diedarkan sebelum kalender Gde Rawi terbit.
Kalender jiplakan ini untuk tahun 1986 sudah beredar September
1985, sementara kalender Gde Rawi seolah seperti disengaja
baru diedarkan pertengahan November 1985. Banyak orang
terjebak, karena mengira kalender jiplakan itu adalah susunan
Gde Rawi, yang hanya mencopot potretnya saja. Bahkan ada yang
menduga, Gde Rawi sudah meninggal dunia.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Saya menyerahkan semua lembar
kalender terlalu cepat. Untuk kalender 1986 saya menyerahkan
ke penerbit bulan Juni 1985, ujar Gde Rawi dengan polos. Ia
merasa dirugikan, tetapi tak tersirat untuk protes atau menuntut
atau mempersoalkan. Saya bekerja untuk menenteramkan umat.
Tak pernah berpikir soal uang, honor kalender ini pun diurus anak
saya, saya tak tahu berapa jumlahnya, kata Gde Rawi lagi. Asal
tahu saja, tahun 1985 kalender Gde Rawi konon dicetak 600.000
eksemplar dan setiap tahun kebutuhan akan kalender yang lengkap
wariga ini bertambah. Setiap rumah tangga di Bali hampir punya
kalender model ini. Bahkan sudah diedarkan ke Jawa. Apalagi
32
harganya relatif murah, Rp 800.
Karena dicetak dalam jumlah ratusan ribu eksemplar, kalen-
der memang jadi bisnis menarik. Dan kalender ketiga, karangan
I Wayan Gina, tampaknya asli karya dia sendiri, walau unsur
peniruan terhadap karya Gde Rawi juga besar sekali. Sepanjang
tahun 1986 tidak ada perbedaan pawukon dan wewaran (kalau ini
sampai beda keterlaluan), juga tak ada perbedaan sasih. Jadi, aman,
tak ada bahayanya. Tetapi ala ayuning dewasa (baik buruknya
waktu) ada perbedaan kecil. Untuk sekadar contoh, tanggal 31
Agustus 1986 itu, versi I Wayan Gina ini menambahkan satu tabiat
hari: Kala Tampak. Ternyata, tabiat hari ini tak banyak dikenal
orang, apa artinya.
Yang menarik pada karya I Wayan Gina, ia sudah memakai
ejaan baku. Ia tak menulis Rebo, tetapi Rabu. Bukan Kemis, tetapi
Kamis. Ahad tidak dipakainya, diganti Minggu. Bahasanya pun
lebih segar. Petunjuk praktis untuk hari baik dan hari buruk sedikit
sekali, seperti ia menyadari, orang sudah mulai tak menghiraukan
hal itu lagi.
Yang juga menarik dan ini kelebihannya pada lembar
kosong ia memberikan pelajaran dasar ilmu wariga. Ia membuat
rumus wewaran, ia menyusun tabel-tabel bagaimana mencari we-
waran dan pawukon, dan itu berlaku sampai tahun 2013 Masehi.
Dan tabel itu pun, konon, bisa diprogram ke mesin komputer.
Jadi, ia menjanjikan masa depan yang baik untuk generasi muda
Hindu, bagaimana mencari tabiat hari menggunakan kotak ajaib
yang bernama komputer itu.
Selebihnya, kalender I Wayan Gina ini terpengaruh Gde Rawi.
Dan unsur peniruan ini besar, karena kalender ini beredar ber-
samaan dengan kalender Gde Rawi. Apalagi, ketiga kalender ini
dicetak di tempat yang sama, percetakan milik Parisada Hindu
Dharma Pusat di Denpasar. Besar kemungkinan ada oknum per-
cetakan yang curang, memanfaatkan bisnis ini untuk kepentingan
prihadi, bukan kepentingan umat. Dari Parisada, anehnya, belum
ada tanda-tanda mempermasalahkan hal ini.

33
***

APAKAH di masa datang nanti, setiap orang yang merasa


mampu dan punya uang bisa menerbitkan kalender yang lengkap
dengan wariga itu? Perkembangan ini sangat menarik. Apalagi, ka-
lau misalnya terjadi perbedaan dalam menghitung peredaran bulan,
pemerintah daerah Bali atau Parisada toh bisa meniru Departemen
Agama yang mengeluarkan SK untuk Idul Fitri. Atau, karena Nyepi
sudah jadi libur nasional, sekalian Departemen Agama melahirkan
SK untuk penentuan Nyepi. Kenapa tidak?
Lantas bagaimana dengan tabiat hari untuk menentukan hari
baik dan hari buruk? Akankah kesimpangsiuran terjadi, jika beredar
banyak kalender? Ini kekhawatiran para orang tua di Bali, tetapi
tidak pada anak-anak muda.
Sepanjang baik-buruknya hari yang berkaitan dengan upacara
keagamaan, itu sudah ada ketetapannya, sudah menjadi ilmu yang
eksak. Pemuka desa adat punya hak menentukan hari baik dan hari
buruk untuk upacara keagamaan yang berlaku di wilayahnya. Ini
disesuaikan dengan falsafah Hindu: desa, kala, patra tempat,
waktu, dan keadaan, maksudnya situasi dan kondisi setempat.
Yang dikhawatirkan orang tua dan sekaligus sebaliknya
bagi anak muda tak ada lagi yang hirau hari baik dan hari buruk
untuk kegiatan non-agama, misalnya: mulai belajar menari, mem-
beli hewan piaraan, membuat sumur, dan bepergian. Juga, orang
tua khawatir, anak muda sekarang kurang menangkap pertanda
alam. Misalnya, kalau terjadi gempa bumi pada hari Senin, harus
dicarikan rumusnya, apa arti gempa itu. Bagi anak muda, gempa
itu artinya ada gunung mau meletus, atau pergeseran kerak bumi,
dan kalau ukurannya besar berarti bencana. Bagi orang tua di Bali,
gempa bisa berarti pertanda kemakmuran kalau terjadinya di sasih
ini, wara-nya ini, ini, ini . . . .
Pergeseran nilai-nilai terus terjadi di masyarakat Bali, dan ini
tak selalu berarti buruk. Aktivitas kehidupan, faktor ekonomi, juga
pendidikan, ikut menguburkan sebagian ilmu pedewasaan, teruta-
ma yang mengatur kehidupan non-agama. Di kampung halaman,
34
suatu hari saya menegur sahabat lama yang mencukur rambutnya
pada hari Jumat. Cukur rambut hari Jumat tidak baik. Itu hari
buruk, kata saya. Teman saya, pedagang hasil bumi, menjawab
dengan kalem, Hari baik dan hari buruk, itu urusan orang masa
lalu. Tak ada hari yang perlu ditakuti, kecuali harimau . . . .

35
III
Selintas Arsitek-
tur Bali dan Keleng-
kapan Upacara yang
Berubah Fungsi

Salah Kaprah, Kata


I Gusti Agung Gde Putra

K
ITA sudah tiba di Bali. Lihat gapura itu, seorang ayah
menunjuk candi bentar besar di dermaga Gilimanuk.
Empat anak beserta ibunya segera berpaling ke arah yang
ditunjuk ayahnya. Ferry membunyikan peluit pertanda sebentar
lagi akan berlabuh. Mesin mobil truk pun sudah menderu tak sabar,
walau pintu ferry belum dibuka.
Candi bentar, gapura yang terbelah dua itu, sepintas bentuknya
mirip gapura yang biasa dijumpai di Jawa Timur, atau juga di Jawa
Tengah. Perbedaan mencolok tentu saja pada bentuk candi bentar
yang lebih langsing meninggi dan ukiran-ukiran yang lebih rumit.
Juga warna candi bentar kebanyakan warna merah bata, sedang
gapura di Jawa sering berwarna hitam. Candi bentar di Gilimanuk
memang dibuat lebih tinggi sehingga mudah terlihat dari kejauhan,
dari tengah Selat Bali.
Selepas Gilimanuk, di mana-mana candi bentar. Boleh dise-
36
butkan, simbol Bali dalam dasawarsa ini adalah candi bentar. Di
Bandara Ngurah Rai pun ada candi bentar, dalam bentuk yang
lebih disesuaikan dengan bangunan di sekitarnya. Kira-kira sepa-
ruh dari candi bentar dermaga Gilimanuk. Di jalan-jalan raya,
sebelum menjumpai sebuah desa, bisa dilihat ada bangunan candi
bentar, satu bidang di kiri jalan, satu bidang di kanan jalan. Kita
berjalan di tengah candi bentar. Lalu ada tulisan: Selamat Datang
Di Desa ....
Candi bentar saat ini juga simbol selamat datang. Sebagai pintu
gerbang memasuki apa saja: pulau, kota, desa, rumah, stadion,
gedung pertunjukan, bahkan terdapat juga di kuburan Trunyan
di tepi Danau Batur. Pada obyek-obyek pariwisata, keberadaan
candi bentar itu seperti sebuah keharusan, tak peduli apakah itu
sudah sepantasnya atau mengganggu obyek itu sendiri. Di sepan-
jang jalan raya dari Desa Kapal sampai Desa Lukluk, Kabupaten
Badung, berderet-deret orang menjual candi bentar dalam bentuk
mini. Pabrik candi bentar juga berbagai bentuk sanggah yang
berbahan baku campuran pasir plus semen termasuk laris. Alat
cetaknya sedemikian rupa, sehingga begitu diangkat dari cetakan,
ukirannya sudah menyembul. Tentu, bentuknya lebih besar dan
kaku. Barang seharga Rp 45.000 sampai Rp 70.000 (di Jakarta Rp
125.000 sampai Rp 200.000) itu sudah banyak menghias rumah-
rumah penduduk.
Adakah yang salah? Ketika Drs. I Gusti Agung Gde Putra ma-
sih menjabat Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali beliau
sejak 1985 menjabat Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemrn
Agama dalam berbagai ceramah dan kuliahnya di Institut Hindu
Dharma selalu menilai kemajuan ini sebagai salah kaprah. Me-
wabahnya candi bentar sebagai pajangan barang seni dan seni
ini pun bisa diperdebatkan lagi dengan munculnya candi bentar ce-
takan membuat roh bangunan itu sudah tidak ada lagi. Dalam
bahasa Bali dikenal dengan istilah campah kurang lebih berarti
hambar, tak punya nilai magis. Akibat lain, banyak orang di Bali
sudah mulai tak mengerti lagi falsafah bangunan ini. Mereka tak
lagi ingin tahu kenapa bangunan itu dulu didirikan para leluhurnya,
37
dan bagaimana asal-usulnya.
Candi bentar adalah bangunan suci. Ia bagian tak terpisahkan
dari bangunan suci di sebuah pura. Tempat ibadat umat Hindu,
sebagai lambang bersemayamnya Yang Mahakuasa dalam mani-
festasinya sebagai Dewa Ciwa adalah kompleks pura dengan tiga
bangunan: candi bentar, kori agung, dan meru. Ketiganya ini
adalah simbol Gunung Mahameru. Candi bentar sebagai pangkal
gunung, kori agung sebagai tubuh (badan tengah) gunung, meru
sebagai puncak. Memang dari ketiga bangunan ini, candi bentar
yang nilai sakralnya paling rendah. Tetapi, pembangunan candi
bentar di halaman rumah, atau perkantoran, apalagi di kuburan,
oleh kalangan orang tua dianggap sebagai satu bentuk penghinaan.
Berarti, kori agung dan meru sama nilainya dengan kantor, atau
rumah, atau kuburan.

***

BERUBAH fungsinya bangunan suci menjadi hiasan, memang


tak cuma candi bentar. Di beberapa hotel besar, sanggah yaitu
hangunan kecil untuk persemhahyangan keluarga yang biasa juga
disebut tunggun karang sudah dijadikan tempat lampu taman.
Atau bangunan itu didirikan begitu saja untuk aksi-aksian, lalu
diselimuti kain poleng yang hitam putih berkotak-kotak seperti
papan catur itu padahal bangunan itu tanpa diupacarai sama
sekali. Bangunan itu betul-betul disesuaikan dengan keindahan
lingkungan, tidak ada lagi fungsinya secara sakral.
Sanggah atau tunggun karang ini didirikan oleh setiap ke-
luarga penganut Hindu, tak terkecuali yang menetap di Jakarta
sepanjang ia punya rumah. Semiskin-miskinnya orang Bali, ia
pasti mengusahakan adanya tempat ibadat kecil ini. Bisa dibuat
dari bata, batako, atau beli jadi di pabrik Desa Kapal itu. Dalam
keadaan darurat, tancapkan saja empat pohon dadap, lalu dipasang
anyaman bambu tempat menaruh sesajen di atas tiang dadap itu.
Biarkan pohon itu tumbuh.
Fungsi sakral bangunan ini adalah untuk menjaga keselamatan
38
seluruh isi rumah dari kekuatan-kekuatan luar yang mengganggu.
Di sana bersemayam Bhatara Kala. Dalam mitologi Hindu, Bhatara
Kala ini selalu merusak dan mengambil korban. Untuk itulah
dibuatkan sanggah agar ia tenang dan justru dimanfaatkan untuk
menjaga seisi pekarangan. Tunggun karang, dalam arti harfiahnya,
penunggu pekarangan. Jadi, sejenis satpam atau tentara yang men-
jaga rumah pejabat penting. Bangunan sanggah ini kebetulan pula
mirip rumah monyet atau gardu jaga.
Umbul-umbul kain panjang yang menghias bambu tinggi
melengkung itu yang biasanya bergambar naga atau wayang dari
tokoh kera, Hanoman, juga jatuh nilai sakralnya. Umbul-umbul ini
sudah dipasang di jalan-jalan menyambut ulang tahun proklamasi
atau pekan olah raga, juga di depan toko kerajinan yang bertebaran
di jalur pariwisata. Ia dipasang untuk hiasan, bukan lagi sebagai
petunjuk bahwa di sana ada persembahyangan.
Sementara itu, di tempat suci yang ada upacara persembahy-
angannya, umbul-umhul yang dipasang sudah dekil tak terawat,
dan terkesan asal-asalan. Ini sudah gejala umum dalam dasawarsa
terakhir, dan memprihatinkan banyak pemuka Hindu.
Yang lebih parah lagi adalah penjor. Ia mirip umbul-umbul.
Cuma di bambu tinggi melengkung itu bukan hiasan kain, tetapi
dari janur. Penjor yang semula dipasang di depan pura pada saat
upacara persembahyangan, atau dipasang di jalan depan rumah
pada saat Hari Raya Galungan, kini sudah dijumpai di mana-mana
sebagai hiasan semata. Pembukaan penataran, peresmian gedung,
penyambutan grup turis, bahkan di Jakarta bukan cuma pemeluk
Hindu penjor sudah umum dipasang sebagai pertanda, di sana
ada keramaian atau orang punya hajat, pesta perkawinan atau
sunatan.
Penjor dengan segala kelengkapannya adalah perwujudan rasa
terima kasih kepada Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)
karena manusia terhindar dari segala bencana terutama kelaparan.
Karena itu, di penjor digantungkan berbagai hasil bumi. Pada
pangkal hiasan janur, digantungkan kelapa, jagung, ketela. Naik
ke atas dihias dengan padi.
39
Penjor juga sebagai simbol Sang Hyang Naga Basuki, yang
dalam mitologi Hindu bermukim di Gunung Agung. Di lereng gu-
nung ini ada Pura Besakih asalnya dari Basukian, tempat (Naga)
Basuki. Sanggah kecil di depan penjor itulah simbol kepala Naga
Basuki. Kemudian hiasan janur yang melengkung dengan bulatan
kecil-kecil itu simbol bulu Naga Basuki, dan ekornya adalah ujung
penjor yang ada hiasan rangkaian janur yang disebut sampean.
Satu bentuk lagi yang sudah dikomersialkan untuk dunia
wisata adalah canang sari. Ini sesajen kecil, dibuat dari rang-
kaian janur, ada kembang, beras, uang kepeng. Ini bentuk paling
sederhana dari sebuah sesajen vang dipersembahkan kepada Yang
Mahakuasa untuk memohon keselamatan.
Sekarang, tamu penting, juga turis, yang turun dari pesawat
di Bandara Ngurah Rai, selalu disambut tari Pendet dan pada kli-
maksnya tamu itu mendapat sekuntum canang sari. Nah, semakin
jatuhlah nilai suci alat keagamaan ini. Persembahan kepada Tuhan
diterima seorang manusia yang entah beragama apa.
Dalam kaitan seperti inilah candi bentar yang terlihat di
mana-mana, sanggah yang dijumpai di hotel mewah, dan canang
sari untuk para tamu atau hiasan meja orang luar lalu punya
alasan menuding, upacara keagamaan di Bali sudah mulai dikomer-
sialkan hanya untuk tujuan menarik wisatawan. Yang menuding
tidak salah.

***

TELAH berulang kali diselenggarakan Seminar Kesatuan


Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu di Bali. Salah satu
materi yang sudah pernah dibahas adalah alat-alat kelengkapan
upacara yang disalah-fungsikan ini. Keputusan yang diambil me-
mang longgar dan berupa kompromi. Semua alat kelengkapan itu
bisa digunakan sebagai benda seni, asalkan tidak lagi lengkap.
Misalnya, penjor untuk hiasan seni tak boleh disertai sanggah kecil
di depannya, tak boleh digantungi kelapa dan padi. Canang sari tak
boleh disertai uang kepeng dan beras, apalagi dupa yang menyala.
40
Lalu namanya diganti. Candi bentar disebut bebentaran (tiruan dari
candi bentar), penjor menjadi pepenjoran (alias penjor-penjoran),
canang sari diganti menjadi urap-sari. Tapi apalah artinya nama.
Orang tetap saja menyebut candi bentar, penjor, dan canang sari.
Dan, tidak ada usaha mempopulerkan nama baru itu.
Yang memprihatinkan sebagian orang tetapi tidak bagi se-
bagian yang lebih besar umat Hindu di Bali mulai menganggap
remeh alat kelengkapan upacara seperti itu. Gde Aryantha Suthama,
penyair dan pemimpin redaksi Karya Bhakti di Denpasar, mula-
mula mengaku heran, kenapa untuk upacara keagamaan orang
membuat penjor asal jadi. Bambu yang dipakai asal ujungnya
melengkung, tak lagi menghiraukan kemulusan lengkungan. Ke-
mudian hiasan janurnya (di pegunungan yang tak tumbuh kelapa
dipakai ambu daun enau muda) tidak merata, hanya sekadar
mengisi bulatan saja. Bahkan untuk mengikat bulatan janur itu
tidak dibuatkan tali khusus dari bambu, tetapi dipergunakan tali
rafia. Tak ada nilai artistiknya sama sekali, kata Gde Aryantha.
Lalu, ia membantah bahwa jiwa seni orang Bali sudah macet
dalam urusan penjor ini. Ketika ada festival penjor di kawasan
Nusa Dua, muncul penjor yang bagus-bagus. Soalnya, hadiahnya
ratusan ribu, ujarnya. Bahkan ketika dua hotel besar di Nusa Dua
diresmikan, masyarakat Desa Bualu mendapat order rnembuat
penjor. Satu penjor berharga Rp 200.000. Ya, tentu saja dibuat
teliti dengan hiasan sedemikian rapi. Dan, saya tak heran lagi.
Masalahnya, faktor ekonomi.
Demikian pula nasib canang sari yang dihadiahkan kepada
tamu penting di Bandara Ngurah Rai dan di hotel-hotel berbintang.
Anyaman janurnya begitu rapi, bunganya segar, penuh rumbai-
rumbai yang indah. Satu canang sari harganya sampai Rp 25.000.
Lalu berapakah harga candi bentar di Ngurah Rai, di kawasan
Nusa Dua, di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta? Sudah pasti jutaan
rupiah. Jauh lebih mahal dari candi bentar di sebuah pura yang
hingga kini berfungsi sebagai tempat suci.
Pada akhirnya memang benar, apa yang dulu berkaitan erat
dengan keagamaan, toh menjadi runtuh ketika uang mulai bicara.
41
Dalam bentuk lain, misalnya, candi bentar di kuburan Trunyan
(Lihat: PARA PEWARIS RATU SAKTI PANCERING JAGAT)
masalahnya tidak cuma uang, tetapi kekuasaan. Barangkali betul
juga, orang Bali tidak lagi intens mengerjakan hasil seni untuk
Tuhan-nya, seintens mengerjakan untuk imbalan uang.

***

DAN ini kasus yang lain, tetapi mirip, atau entah apa namanya.
Pemerintah, lewat berbagai aparatnya, menganjurkan lebih
tepat memerintahkan agar bangunan-bangunan di pinggir jalan
disesuaikan dengan arsitektur Bali. Terjemahan dari anjuran ini,
di gedung-gedung yang dibangun bertingkat, pada toko-toko dan
rumah-rumah, terutama di bagian depan, ada bidang yang berukir.
Ya, pemilik bangunan menerjemahkan arsitektur tradisional Bali
itu sebagai memasang ukiran. Ukiran itu lalu menempel di dinding
depan, entah di pojok-pojok, di samping pintu dan jendeia, atau
menjadi bingkai nama toko. Bahkan yang banyak terlihat, di antara
dinding beton itu terpajang paras batu padas lunak yang bisa
diukir dalam keadaan aslinya. Alasannya, tentu saja, pemilik
bangunan siap memenuhi anjuran itu, tetapi belum punya ongkos
mencari tukang ukir. Maka, adalah pemandangan yang biasa kalau
di bangunan beton yang bagus itu tiba-tiba ada paras segi empat
yang lumutan. Atau paras itu sudah dibentuk-bentuk, tinggal di-
ukir. Anehnya, yang menganjurkan juga merasa puas.
Tentu saja, itu bukan arsitektur Bali. Itu hanya penempelan
ukiran Bali. Lantas, arsitektur tradisional Bali yang mana? Kom-
pleks Werdi Budaya (orang lebih senang mengucapkan art centre)
yang penuh ukir-ukiran itu? Kompleks gubernuran di Niti Mandala
itu? Atau gedung Jaya Sabha yang dibangun secara besar-besaran
di pusat Kota Denpasar itu? Semua itu bukan arsitektur Bali, itu
style Bali, kata seorang arsitek asli Bali di Denpasar.
Style Bali adalah bangunan yang lebih terencana penempatan
ukir-ukirannya dibandingkan main tempel seperti bangunan di
pinggir jalan. Jagonya dalam style Bali ini adalah Ida Bagus Tu-
42
gur. Dialah yang mengarsiteki bangunan induk di pusat kesenian
Werdi Budaya, kompleks kantor gubernur di Niti Mandala, Renon
pinggir timur Kota Denpasar. Gedung ini, sedemikian rupa
direncanakan sejak awal, di mana ada ukirannya, apa fungsi ukiran
itu, apakah lingkungan di sekitarnya mendukung ukiran itu.
Sayangnya, di sekitar gedung ini, penyesuaian terlalu men-
gada-ada. Memang lebih rapi sedikit dibandingkan asal ada ukiran
Bali seperti pada toko-toko milik Cina di Denpasar, tetapi tetap
saja terkesan ganjil. Lihatlah bangunan kantor pos, gedung BKK-
BN, gedung Kanwil Departemen P & K Bali, dan banyak lagi yang
bertebaran di Renon. Ukiran di sana-sini sama sekali tak membuat
gedung itu bertambah anggun. Ibarat perempuan mengenakan rok,
tetapi berselendang dan bersanggul, serta memakai sepatu boot.
Gejala seperti inilah yang mewabah di Bali belakangan ini, pada
kantor-kantor pemerintah dan pada kelas menengah di kota.
Arsitektur tradisional Bali, sumbernya ada dalam lontar Asta
Kosala Kosali. Ini dua jenis lontar, Asta Kosala tentang cara dan
ukuran membuat menara pengusung jenazah (bade) dan bangunan
tinggi lainnya, Asta Kosali berisi ukuran dan aturan membuat
rumah. Semua ukuran panjang di sini memakai anggota tubuh,
khususnya tangan dan kaki. Misalnya, jengkal adalah panjang dari
ujung ibu jari ke ujung jari tengah ketika tangan dimekarkan, ceng-
kang, ukuran dari ujung ibu jari ke ujung telunjuk, hasta ukuran
panjang dari siku ke pergelangan tangan, dan banyak lagi contoh
lain. Terlalu teknis kalau hal ini ditulis. Yang jelas, sama sekali ti-
dak memakai ukuran modern: sentimeter, meter, dan sebagainya.
Pola menetap masyarakat Bali tradisional yang benar-benar
mencerminkan kedua lontar tadi terdiri dari: merajan yaitu tempat
persembahyangan keluarga, bale daja atau sering disebut gedong
yaitu tempat tidur orangtua dan tempat untuk menyimpan harta
kekayaan keluarga, bale dauh yaitu tempat tidur keluarga, bale
dangin atau sering juga disebut bale adat yaitu tempat dilangsung-
kannya upacara keluarga, seperti tiga bulan anak, enam bulan anak,
potong gigi, membaringkan jenazah, atau ruang bermalas-malasan,
paon yaitu dapur untuk kegiatan memasak. Jika tanah pekarangan
43
masih tersisa setelah bangunan ini lengkap, baru dibangun jineng
yaitu lumbung untuk menyimpan hasil bumi.
Dalam arsitektur tradisional yang bersumber dari dua lontar
itu, jarak satu bangunan ke bangunan lain juga ditentukan ukuran-
nya. Karena jarak ini lebih panjang, tidak memakai jengkal tetapi
depa. Ada depa agung yaitu jarak kedua rentangan tangan dengan
jari terbuka, dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan.
Yang satu lagi depa alit jarak kedua rentangan tangan dengan jari
tergenggam.
Begitu pula untuk saka atau tiang balai yang akan dibangun.
Kalau memakai ukuran panjang 25 rahi maurip anyan kacing ber-
nama Prabu Murti Jinem. Kalau panjangnya 19 rahi maurip anyan
linjong bernama Mitra Asih. Arahi (satu rahi) adalah sepanjang
telunjuk, dari panggal sampai ke ujungnya. Sedang anyari artinya
satu ruas jari paling ujung. Racing, itu jari kelingking, linjong jari
tengah. Jadi, 25 rahi maurip anyari kacing sama dengan 25 panjang
jari telunjuk ditambah satu ruas atas jari kelingking. Seseorang
yang membangun rumah tentu saja sudah menentukan, sepanjang
berapa saka bangunan itu, berdasarkan hari kelahiran si empunya
rumah, letak pekarangan, kayu yang dipergunakan, dan banyak
pertimbangan lagi. Semua ukuran itu menggunakan tangan orang
dewasa, kalau tidak si pemilik rumah, bisa tangan undagi (arsitek)
yang merancang bangunan itu.
Tentu tidak hanya saka dan jarak bangunan punya ukuran
tertentu. Yang lain juga, seperti iga-iga, tempat tidur, mengatur
air jatuh dari atap. Diperlukan kitab tersendiri untuk menjelaskan
segala ukuran ini, termasuk arti yang terkandung di dalamnya.
Selain ukuran, ada aturan. Gedong, menurut aturan ini, nyaris
merupakan bangunan tertutup tanpa jendela. Pencipta arsitektur
ini para leluhur, entah siapa dan di zaman apa menempatkan
fungsi tempat tidur benar-benar untuk tidur, tidak mengerjakan
apa-apa. Karena itu, tak perlu pencahayaan terang, tak ingin dilihat
dari luar, tak ingin diintip. Tetapi kesegaran udara tetap terjamin,
karena dinding tak sampai penuh ke atas. Di antara dinding dan
usuk ada kerenggangan yang membuat udara tetap segar.
44
Sebaliknya, bale dangin merupakan balai terbuka. Di sanalah
anak-anak bermain, orangtua mengajari anaknya membaca lontar
dan sastra kuno, juga untuk bermalas-malasan. Adapun dapur
terletak paling depan. Jadi, begitu memasuki pekarangan rumah,
disongsong oleh bangunan dapur. Mungkin, karena dulunya para
leluhur orang Bali itu petani semua, sehingga begitu memasuki
kompleks rumah langsung menyerahkan hasil buminya ke dapur.
Dalam mitologi Hindu sendiri, dapur ini juga rumah Dewa
Brahma (dewa api). Jadi, kalau orang lain bermaksud jahat, belum
sampai ke gedong sudah hangus dibakar api.
Hal-hal seperti inilah kalau dijelaskan mendetail tentu luar
biasa panjangnya yang disebut arsitektur tradisional Bali. Jadi,
bukan ukir-ukiran itu. Sama sekali tak disebut ada ukir-ukiran di
dalam kedua lontar itu. Apakah arsitektur model begini masih
bertahan sekarang? Masih, tetapi di beberapa tempat saja, dan itu
pun umumnya pada orang-orang berada. Ada dua jenis kebertah-
anannya. Bertahan murni, dalam pengertian tetap sesuai dengan
pedoman lontar itu, dan tetap berfungsi seperti yang disebutkan.
Bertahan tidak murni, semua bangunan itu masih tetap utuh dan
patuh pada persyaratan-persyaratan sebuah arsitektur Bali, tetapi
tidak berfungsi sebenarnya. Bale dangin untuk menjual barang
kerajinan yang sudah jadi, bale dauh tempat para pengukir bekerja,
paon dijadikan gudang ukiran atau hasil kerajinan lainnya. Itu
rumah I Nyoman Togog, perajin yang meraih Hadiah Upakarti
1985 di Desa Peliatan. Atau kompleks perumahan berfungsi seb-
agai museum, seperti Museum Neka di Ubud. Bale dauh sampai
dapur hanya untuk memajang lukisan.
Pada kebanyakan orang, arsitektur tradisional Bali sudah
merupakan masa lalu. Tantangan untuk kelestariannya adalah
penduduk Bali yang semakin berjubel. Di mana ditempatkan
keluarga-keluarga baru itu, sementara tanah pekarangan mahal
dan sulit? Maka, jalan praktis ditempuh. Ketimbang menerapkan
ajaran lama, lebih baik membangun empat rumah yang modern,
masing-masing dilengkapi dapur, ruang tidur, ruang tamu, dalam
satu pekarangan yang sama luasnya.
45
Sungguh ironis, kalau pada masa kini orang berteriak, kem-
bali ke arsitektur Bali, sementara yang mereka artikan itu adalah
menempelkan sebagian padas di depan rumahnya.
Arsitektur tradisional Bali, sebuah ilmu warisan para leluhur
yang sebenarnya tak banyak diketahui orang Bali sendiri, apalagi
dipahami orang luar Bali. Di Fakultas Teknik Universitas Udayana
memang diajarkan. Tetapi toh semua orang bisa mengucapkannya,
dan sering terdengar orang memperbincangkannya dengan
pengertian yang salah.

46
IV

Upacara Pemba-
karan Mayat (Nga-
ben) yang Sederhana

Beban I Wayan Nesa


Wisuandha

A
DA asap hitam mengepul di bagian timur Kota Denpasar.
Ada tercium bau tak sedap, seperti daging panggang yang
gosong. Ada sedikit kemaeetan di jalan. Ada pengendara
sepeda motor yang mulutnya ditutupi sapu tangan.
Apa yang terjadi? Ah, sesuatu yang biasa. Asap datang dari api
yang berkobar di tengah kuburan. Sore itu, ada pembakaran mayat.
Istilah Bali-nya ngaben. Jenazah yang dibakar, seorang penduduk
dari Banjar Kelandis, tak jauh dari kuburan itu.
Kuburan itu kecil. Kalau tak salah hitung, mungkin kurang dari
satu hektar. Letaknya betul-betul di tengah kota. Di sisi jalan raya
yang ramai, yang menghubungkan pusat kota dengan bagian timur
kota, arah pusat-pusat pendidikan, pusat kesenian, dan bahkan
arah ke pantai Sanur. Dulu, jalan di sisi kuburan itu bernama Jalan
Sanur, kini menjadi Jalan Hayam Wuruk. Persis di timur kuburan,
terletak kompleks militer, perkantoran, dan asrama tentara. Orang
47
menyebutnya Asrama Kayumas.
Di depan kuburan, sebelah utara di seberang jalan, berdiri
pertokoan, yang kemudian disambung pusat perbelanjaan Pasar
Kamboja. Di selatan kuburan sebagian asrama tentara, dan seba-
gian lagi perkampungan. Di baratnya, mula-mula bengkel sepeda
motor, lalu ada perkantoran swasta. Awal tahun 1970-an, kantor
tempat saya bekerja, di lokasi itu. Jadi, bau tak sedap dan suasana
seperti itu, bagi saya, tak asing lagi.
Yang agak mengherankan sekarang, ada sebuah bis turis, dan
dua bis yang mengangkut rombongan pelajar sebuah SMA di Jawa
Timur yang nongkrong di sisi jalan dekat kuburan. Penumpangnya
masuk ke lokasi kuburan, menonton pembakaran mayat. Dulu,
sewaktu saya masih berkantor di sebelah kuburan itu, pembakaran
mayat di sini bukanlah tontonan.
Di kuburan ini, tak biasa ada pembakaran mayat yang diseleng-
garakan besar-besaran, menggunakan menara pengusung jenazah
yang disebut bade. Apalagi yang memakai prosesi meriah. Bukan
karena lokasi kuburan di tengah keramaian kota. Atau kuburan
berukuran kecil. Tetapi, penduduk desa-desa di sekitar kuburan
ini sudah terbiasa ngaben scara sederhana.
Juga pada sore itu. Lihatlah, hanya ada tungku pembakaran
yang terbuat dari batang pohon pisang, agar tak mudah dimakan
api. Lalu, sekitar empat Ielaki dengan tongkat kayu, membalik-
balikkan mayat yang sedang dilalap api, bagai menggoreng ikan.
Lelaki yang lain mengawasi dari jarak sekitar lima meter, sambil
siap melemparkan kayu bakar, atau mengambil alih tugas. Puluhan
yang lain jongkok di bawah pohon, berteduh dari panas matahari.
Para wanita, tidak begitu banyak, menyiapkan sesajen. Semua
memandang ke arah api.
Ada sekitar sepuluh turis yang berbaur dengan puluhan pe-
lajar dari seberang Bali juga memandang ke pusat api. Ada yang
memotret, ada yang menutup hidung. Ada yang berteriak kecil,
ketika sepotong tubuh nyangkut di tongkat pengaduk. iih, ngeri,
deh . . . kok kejam, ya, komentar seorang pelajar putri sambil
mendekap bahu temannya. Namun, ketika kobaran api mulai
48
padam, wajah-wajah mereka terutama turis asing itu men-
gandung ketidakpuasan. Sudah saya tanya ke mana-mana, hari-
hari ini tak ada pembakaran mayat secara besar. Apa boleh buat,
mereka ingin sekali, saya bawa ke sini, kata pramuwisata (guide)
yang mengantar rombongan orang asing itu.
Seorang pelajar bahkan bertanya, Ini upacara apa, Mas?
Setelah saya katakan, ini upacara ngaben, dia seolah tak percaya.
Kok rasanya tidak. Saya sudah mendengar, upacara seperti itu
kan meriah. Ada itunya, apa tuh namanya, yang tinggi itu. Yang
ini, orang di jalan saja nggak peduli. Ngaben apaan tuh.
Temannya menimpali. Ini kan di kota, kali lain. Katanya di
desa di Gianyar, besar-besaran.
Saya memberi penjelasan singkat bahwa di desa pun upacara
ngaben kebanyakan seperti ini, dengan pengusung jenazah yang
tidak bertingkat dan dihias seadanya, dan tidak melibatkan banyak
orang. Ah, Mas kayaknya tahu aja, kali yang ini bukan orang
Hindu asli, komentar mereka.
Memang sulit menjelaskan. Apalagi dengan kalimat sederhana
dalam waktu yang pendek. Lebih sulit lagi menuding siapakah
sebenarnya yang bersalah, kalau ada yang sampai terjebak. Brosur-
brosur pariwisata yang gemerlapan itu atau buku-buku yang ditulis
orang asing itu. Mungkin juga para pelukis, yang kalau memberi
judul ngaben dalam lukisannya selalu tentang bade yang tinggi,
atau lembu indah yang dibakar.
Ngaben tak selalu seperti itu. Besar-besaran, berhari-hari,
melibatkan ribuan orang, berhura-hura. Ngaben adalah upacara pe-
nyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk
tubuh manusia ke asalnya. Dalam agama Hindu, tubuh manusia
itu dibentuk oleh zat yang sama dengan alam semesta karena
itu dikenal istilah bhuwana agung dan bhuwana alit. Seseorang
yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (Sang
Atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan.
Ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan, supaya baur dengan
alam semesta. Unsur-unsur di dalam tubuh (bhuwana alit) sama
seperti yang ada di jagat raya (bhuwana agung). Dalam agama
49
Hindu disebut Panca Maha Bhuta. Yakni: pertiwi, apah, teja,
bqyu, dan akasa. Bahkan dikatakan, unsur dalam badan manusia
itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam.
Pinjaman itu yang harus dikembalikan, jika Sang Atma mening-
galkan badan kasar.
Pengembalian pinjaman itu semakin cepat semakin baik, agar
Sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahat-
nya terakhir: surga, atau mungkin neraka. Jika mayat cuma diku-
burkan di dalam tanah, proses kehancuran untuk menyatu dengan
tanah tentulah berlangsung berpuluh tahun. Sementara itu, Sang
Atma tetap saja berutang, dan tentu waswas ke tempatnya istirahat.
Itulah sebabnya ada ngaben, yang dilakukan oleh ahli warisnya.
Ngaben juga bukan hanya demi sang roh. Ritus ini pun menjadi
kewajiban ahli waris, kewajiban membayar utang. Agama Hindu
mengajarkan, setiap orang berutang kepada orangtua yang melahir-
kannya. Yaitu utang kama bang dan kama putih ini hormon laki
dan perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran. Dengan
ngaben, utang dua jenis kama itu dianggap lunas.
Kalau sesederhana itu masalahnya, cuma hancur-menghan-
curkan agar cepat berbaur ke alam, kenapa ada upacara ngaben
yang menghabiskan biaya besar dan bertele-tele? Jawabnya, bisa
saja dikembalikan dengan pertanyaan: kenapa untuk meresmikan
sebuah gedung, jembatan, pabrik, atau pelantikan lurah, bupati,
gubernur, juga menghabiskan biaya besar dan bertele-tele? Sama
dengan ngaben, ada sesuatu yang perlu mendapatkan kepuasan,
yakni: emosi, citarasa, keharuan, keindahan, basa-basi, gengsi,
atau sengaja pamer.
Semua kepuasan itu diberi jalan oleh agama. Karena itu, ada
tiga macam cara yang biasa dan bisa ditempuh umat dalam melak-
sanakan kewajiban ngaben. Yaitu cara nista, madia, dan utama
tingkat rendah, menengah, dan tinggi. Dalam pelaksanaannya,
ketiga cara ini masih bisa dipecah masing-masing menjadi tiga lagi.
Ada nistaning nista (paling rendah), madianing nista (setengah ren-
dah), dan utamaning nista (cukup rendah). Tingkat-tingkat inilah
yang mempengaruhi jalannya upacara. Inilah yang membuat besar
50
kecilnya sesajen. Pada akhirnya, menyangkut waktu yang disita,
orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan.
Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta.
Kasta itu, dulu, suatu pengelompokan masyarakat karena tugas
sosialnya, bukan ajaran agama. Besar kecilnya upacara, dan bi-
aya ngaben, ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi keluarga
yang punya hajat. Kalau punya uang, bisa menempuh cara paling
tinggi (utamaning utama) tanpa memandang asal-usul. Begitu
sebaliknya.
Ngaben, salah satu dari lima jenis pengorbanan suci, apa yang
disebut Pancayadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya, artinya berkorban
untuk kebahagiaan leluhur. Seperti halnya setiap yadnya (pen-
gorbanan suci), seseorang diwajibkan melaksanakan upacaranya,
sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban. Dan
itu, tentu saja, tidak sama pada setiap orang. Kalau seorang pen-
gusaha hotel, atau pemilik toko kesenian yang punya penghasilan
bersih 100 dolar sehari jenis orang kaya baru di jalur pariwisata
Bali tentu saja tidak memikul beban berat jika ia harus ngaben
dengan biaya satu juta rupiah. Sebaliknya, masyarakat pedesaan,
yang hidupnya pas-pasan, yang belum menikmati gemerincing
dolar yang dibawa orang asing, ngaben dengan biaya Rp 25 ribu
sudah merupakan beban seumur hidup.
Untunglah, tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan
yang membuat hidup jadi susah. Ada petunjuk ngaben secara
hemat. Itu dimuat dalam lontar Yama Purwana Tatwa. Misalnya
diberi petunjuk, seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi
kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar. Dan,
kalau saja orang mati itu pas harinya, artinya tidak bersamaan den-
gan upacara persembahyangan di pura (Dewa Yadnya), atau tidak
pada bulan purnama atau bulan tilem (bulan mati), pokoknya ada
dewasa (Lihat: Pada Awalnya, I Ketut Bangbang Gde Rawi), pada
hari itu pula upacara ngaben bisa diselesaikan. Sehari tuntas.
Secara garis besar, pelaksanaannya begini. Mayat dibungkus
kain. Sesajen disiapkan, tirta (air suci) dimohonkan kepada yang
berhak, misalnya pendeta. Kemudian jenazah diusung dari rumah
51
ke kuburan. Di kuburan sudah siap tungku pembakaran, cukup
berdindingkan pohon pisang agar tak mudah dimakan api
lengkap dengan kayu bakarnya. Sebelum mayat dibaringkan di
tungku, upacara sederhana diadakan. Kain pembungkus jenazah
dibuka. Tubuh yang lemas tak bernyawa itu diperciki toya panem-
bak ini air suci untuk menyatakan jasad itu sudah tak bernyawa
lagi. Kemudian diperciki lagi tirta pangentas air suci yang
dimohonkan dari pendeta tadi. Maksudnya, agar roh yang dulu
menghuni tubuh manusia mati itu menjauh dari badan kasarnya.
Sang roh pergi, sehingga yang dibakar benar-benar badan kasar.
Di sisi tubuh yang telentang itu dipenuhi sesajen kecil. Ber-
bagai bentuk, agak rumit dan terlalu panjang untuk dijelaskan.
Lewat sesajen inilah dimohonkan bantuan Yang Mahakuasa, agar
jenazah itu cepat hangus. Lalu, pembakaran pun dimulai. Setelah
jadi abu, beberapa daging yang sulit terbakar langsung ditanam,
pembakaran dihentikan. Sejumput abu diambil dari bekas kepala,
tangan, punggung, dada, paha, dan kaki. Tentu, tidak persis abu
kepala benar-benar dari bekas kepala. Sebab, ketika api berkobar,
mayat itu diobrak-abrik, dibolak-balik. Pada akhirnya mana abu
kepala, mana abu kaki, sulit ditentukan. Lalu diputuskan saja, kalau
waktu telentangnya tadi kepala berada di ujung sana, maka abu
yang diambil dari ujung itu dianggap saja abu kepala. Abu kakinya,
tentu, di ujung yang satu lagi. Abu lain bisa diperkirakan saja.
Setelah dikumpulkan abu-abu ini, kemudian dimasukkan ke
dalam buah kelapa gading yang masih muda. Dilengkapi sedikit
sesajen lagi, abu ini pun dibawa ke laut, dihanyutkan. Kalau upa-
cara itu di sebuah desa pegunungan, sedangkan keluarga yang
punya hajat tidak bisa menyewa mobil, abu cukup dihanyutkan
ke sungai. Orang Bali percaya, setiap air yang mengalir di sungai
bermuara ke laut jua.
Sederhana dan hemat. Mungkin, jalan itu yang ditempuh oleh
keluarga yang punya hajat yang melakukan pembakaran mayat di
kuburan Kayumas, Denpasar, sore itu.
Namun, dulu, ketika penduduk Bali masih belum membludak,
sawah dan kebun masih cukup memberi kehidupan yang layak,
52
mereka seperti terbiasa mengadakan upacara ngaben mengikuti
warisan kebudayaan para raja sebelum kemerdekaan. Petunjuk
dalam lontar Yama Purwana Tatwa ini seperti dilupakan. Petunjuk
ini baru dihidupkan lagi, dikampanyekan oleh pemerintah daerah
bersama Parisada Hindu Dharma lembaga tertinggi umat Hindu
dan Departemen Agama.
Dan, memang ada sebabnya. Waktu itu, 1960, sudah diren-
canakan persembahyangan besar seratus tahun sekali di Pura Be-
sakih, pura induk umat Hindu di lereng Gunung Agung. Upacara
yang disebut Eka Dasa Rudra itu diniatkan sekitar bulan April
1963. Syarat utama dari upacara luar biasa ini adalah semua jenazah
umat Hindu di Bali harus sudah bersih dibakar. Semua jenazah
harus sudah lebur ke alam semesta, semua roh harus sudah berada
di tempatnya masing-masing.
Sementara itu, pemerintah menyadari, keadaan sosial ekonomi
masyarakat sedang payah. Jangankan ngaben dalam pengertian
warisan zaman raja-raja itu penduduk waktu itu masih antre
beras dan minyak tanah. Tapi, mau apa, kalau saatnya telah datang,
seratus tahun sekali?
Dibantu panitia upacara Karya Agung di Besakih, kampanye
ngaben hemat ini berhasil di desa-desa. Ada yang mengikuti persis
petunjuk dalam lontar tadi. Ada yang mengambil jalan tengah,
yakni tetap membuat bade indah dan besar, tetapi biaya ditang-
gung secara kolektif. Populer disebut: ngaben gerit. Bade-nya.
hanya satu, sesajennya satu paket, tetapi jenazah yang diupacarai
ada banyak, bisa sampai puluhan. Dengan demikian, pada puncak
acaranya, kelihatan bahwa pengabenan itu seperti besar.
Dampak positif dari niat upacara Eka Dasa Rudra tahun 1963,
umat diingatkan kepada ajaran yang lama didiamkan para raja,
ngaben hemat itu, selain munculnya variasi baru, ngaben secara
kolektif.
Sayang, karya besar di Besakih itu batal. Gunung Agung
meletus dengan hebat, dua bulan sebelum upacara direncanakan,
pada saat Bali hampir bersih dari jenazah yang belum diaben. Dan,
setelah amukan gunung itu mereda, para pemuka agama berkumpul
53
untuk membaca pertanda alam. Ditemukanlah sesuatu, yang
mencengangkan masyarakat. Ternyata, tahun 1963 bukan waktu
yang tepat untuk upacara seratus tahun di Besakih. Para pemuka
agama ternyata salah hitung.
Hitungan yang tepat baru terjadi 1979. Dan, seperti yang sudah
diketahui, Eka Dasa Rudra dalam abad ini dilangsungkan dengan
mulus tahun 1979, dihadiri Presiden Soeharto sebagai simbol raja.
Ini memang salah satu syarat bahwa pemimpin tertinggi masyara-
kat harus hadir, sementara raja di Bali sudah tak ada lagi sejak
kemerdekaan, baik formal maupun spiritual.
Tentu saja, menjelang 1979, di mana-mana masyarakat meny-
elenggarakan upacara ngaben. Karena kehidupan sudah lebih baik,
masyarakat lebih maju, pemerintah tak lagi mengkampanyekan
ngaben hemat. Semua diserahkan kepada masyarakat. Hemat,
silakan. Berhura-hura, tak dilarang.

***

ADA banyak hal yang masih saya kenang, ketika ayah saya me-
ninggal dunia pada 1962. Beliau wafat ketika sudah direncanakan
ada ngaben kolektif yang dilaksanakan keluarga besar kami,
yang terhimpun dalam satu persembahyangan namanya warga
dadia. Bahkan kepastian upacara ngaben dan harinya, ayah saya
ikut menentukannya. Ketika persiapan sudah dilakukan, kira-kira
sebulan sebelum harinya, Ayah tutup usia. Keluarga memutuskan,
Ayah ikut diaben. Tetapi, karena keluarga kami bukan orang kaya,
jenazah Ayah dikuburkan secara biasa, dan pada saatnya nanti,
digali kembali dari kubur untuk diupacarai. Bayangkan saja,
kalau jenazah disimpan di rumah, dan selama sebulan menjamu
warga desa. Belum lagi merawat jenazah, supaya tidak berbau.
Kenapa tidak ngaben sendirian, yang sederhana, sehari tuntas itu?
Mungkin karena rencana ngaben kolektif sudah pasti, atau warga
dadia ingin kelihatan ngaben secara besar.
Untuk ngaben kolektif, biasanya ada seseorang yang menjadi
sponsor. Tentu, ia adalah keluarga yang lebih mampu. Ketika itu,
54
sponsornya adalah keluarga Pemangku Puseh. Jenazah keluarga
itu sudah ditanam di sebuah tanah kebun, tak jauh dari kuburan,
satu setengah tahun sebelumnya. Inilah yang disebut mekingsan,
artinya jenazah dititipkan dulu. Tahap penitipan ini gunanya un-
tuk memberi kesempatan kepada keluarga si mati mengumpulkan
biaya. Titipan di dalam tanah itu tak boleh lebih dari dua tahun.
Sebabnya, selama masih ada jenazah titipan, warga desa kami
tak boleh menyelenggarakan persembahyangan di Pura Luhur,
di puncak Gunung Batukaru yang tingginya 2.276 meter di atas
permukaan laut. Jadi, sesungguhnya, keluarga yang menitipkan
jenazah itu siap untuk mengadakan upacara ngaben sendirian.
Dalam hal ini, para pendompleng, termasuk keluarga kami, bisa
saja ditolaknya.
Tentu saja, tak tega menolak para pendompleng yang masih
satu warga dadia. Kalau tak salah ingat, waktu itu ada tujuh pen-
dompleng, yang, tentu saja, jenazah yang ikut diaben itu dikubur-
kan biasa di kuburan.
Sebulan sebelum puncak upacara ngaben, masyarakat sudah
berbondong-bondong bergotong-royong mempersiapkan upacara.
Pusat upacara, tentu saja, di rumah sang sponsor. Perempuan-
perempuan membuat sesajen, siang dan malam. Para lelaki mem-
buat balai-balai, panggung-panggung hiburan, dan membantu
membuat bade. Dikatakan membantu karena arsitek bade itu
sendiri orang upahan, dari Klungkung, Bali Selatan.
Tujuh hari sebelum puncak acara, jenazah yang dititipkan
di tanah kebun itu digali. Ini namanya mungkah. Yang diambil
hanya tulang-tulangnya saja karena memang seusia itu jenazah
biasanya tinggal kerangka. Dan sejak tulang-tulang itu dibawa ke
rumah, ditempatkan di sebuah balai khusus, tiap malam selalu ada
keramaian: hiburan dan juga judi kecil-kecilan, misalnya, main
domino.
Esok hari setelah mungkah, para pendompleng datang ke
kuburan. Mereka tidak menggali jenazah yang dikuburkan, tetapi
mengambil sejumput tanah kuburan untuk simbol jenazah tentu
lewat upacara yang banyak memakan sesajen. Masyarakat Bali
55
tak mengenal penggalian jenazah dari dalam kubur kecuali
belakangan ini ada beberapa untuk urusan perkara kriminalitas.
Mungkah versi simbolis ini disebut nyewasta, artinya upacara
ngaben yang tidak menggunakan jenazah secara langsung. Istilah
ini juga digunakan untuk mengabenkan orang yang mayatnya tak
diketahui lagi, misalnya, kecemplung di tengah laut.
Esoknya lagi, semua jenazah baik berupa tulang maupun
yang simbolis mulai dimandikan ke sebuah tempat perman-
dian khusus, yang letaknya sekitar dua kilometer. Lagi-lagi, di
sini simbol dibuatkan. Tidak tulang yang dibungkus kain putih
itu digotong beramai-ramai, tetapi dibuatkan sebuah boneka
pipih, mirip wayang golek, yang dibuat dari kayu cendana. Ini
dinamakan pengawak. Begitu pula yang lain, yang jenazahnya
diwakili tanah kuburan itu, juga dibuatkan pengawak. Wayang
golek yang penuh hiasan plus cincin, kalung, dan perhiasan emas
lainnya tergantung kaya miskinnya keluarga itu digendong
ke permandian dalam suatu prosesi yang meriah. Sanak keluarga
yang diaben rebutan ingin menggendong boneka ini, sebagai wujud
bakti kepada orangtuanya.
Ada sesuatu yang berkesan di benak saya, dalam perkara
gendong-menggendong ini. Kakak sulung saya, suatu ketika,
menggendong boneka simbol ayah saya. Ketika mendaki tebing
pulang dari permandian, jalannya tertatih-tatih kepayahan sehingga
berada di urutan belakang. Keluarga kami menganggap soal itu
sangat biasa. Saya, saat itu pelajar kelas I SMP yang berusia sebelas
tahun, tak bisa menerima alasan yang diberikan. Dan, ketika suatu
kali sempat diberi kepercayaan menggendong boneka itu, ketika
mendaki tebing, saya juga kepayahan dan malah jauh tertinggal.
Kenapa? Menurut keyakinan, boneka itu benar-benar mewakili
orang yang diupacarai, ketika hidupnya. Ayah saya memang sakit-
sakitan, tak kuat mendaki tebing, bukan lelaki yang suka berburu
sebagaimana kegemaran orang di kampung kami. Maka, betapapun
kuatnya yang menggendong, kalau yang menjiwai boneka itu tak
kuat, ya, si penggendong tetap kepayahan.
Setelah kejadian aneh itu, saya lama berpikir, kenapa bisa be-
56
gitu. Apakah karena semalaman saya begadang, ikut main domino
sehingga, ketika pas diberi kepercayaan menggendong, saya lemah.
Ingin rasanya menggendong lagi, tapi tentu tak mungkin. Yang
antre begitu banyak, saudara kandung, saudara sepupu, dan juga
anggota grup kesenian yang dipimpin ayah saya.
Dua hari sebelum puncak acara dinamai hari nyuwung.
Maksudnya, menyepi menjelang karya besar. Segala kerepotan
yang berurusan dengan upacara dihentikan karena memang telah
selesai. Sesajen sudah komplet, bade sudah siap. Tak ada pekerjaan,
prosesi memandikan pengawak sudah usai pula. Yang ada hiburan
melulu, siang dan malam meski tahap itu disebut menyepi. Siang
hari, para ahli waris masing-masing mempertunjukkan keahlian-
nya menari. Saya ingat betul, saat itu saya menari baris. Seadanya,
karena memang tidak ahli, sekadar menunjukkan kepada roh Ayah
bahwa kami, putra-putrinya, masih setia berkesenian.
Malam harinya ada pementasan wayang kulit. Ceritanya,
Pandawa mencari air suci, tirta amerta. Dan ketika di layar, Pan-
dawa memperoleh tirta itu melalui perjuangan berat, Ki Dalang
juga membuat tirta untuk kepentingan puncak acara esok harinya.
Tirta ini termasuk yang dipercikkan ke jenazah di pekuburan, esok
harinya. Dengan begitu, penyajian wayang kulit semalam suntuk
itu tidak semata hiburan walau penuh gelak tawa melainkan
juga pertunjukan suci.
Pada puncak acara ngaben disebut palebon pagi-pagi,
bade sudah diletakkan di jalan, dekat dengan rumah yang jadi spon-
sor. Tentu saja, seisi kampung menonton bade yang baru diperlihat-
kan itu. Sementara itu, undaginya membuat upacara pemelaspasan,
meresmikan bade itu sebagai benda suci. Ini penting. Semua alat
kelengkapan upacara sebelum dipakai pasti dipelaspas. Sebab,
bukan mustahil bahan-bahan bade diperoleh dengan jalan tak
suci, misalnya ada bambu hasil curian. Atau, kertas-kertas yang
tergeletak ketika menghias bade ada yang dilangkahi perempuan
yang sedang kotor.
Yang masih saya kenang, setelah undagi bade melaksanakan
pemelaspasan, ia segera pergi jauh. Seorang undagi bade tak akan
57
melihat hasil karya seninya diusung ke kuburan, untuk dimusnah-
kan. Sampai sekarang saya belum paham tak ada sumber yang
meyakinkan yang saya peroleh kenapa bisa begitu. Waktu masa
bocah itu, saya pikir, arsitek itu hanya tak tega melihat hasil karyan-
ya berhari-hari, ukiran kertas dan bunga-bunga kapas warna-warni
yang dibuatnya dengan tekun, musnah dalam beberapa jam.
Jenazah tulang dan tanah kuburan itu dikeluarkan dari
balai dan diusung ke ruang yang telah disediakan di bagian tengah
bade. Para pemikul, dengan kain putih yang melilit kepala mas-
ing-masing, sudah siap mengitari bade. Di dasar bade, persis di
atas yang dipikul itu, ada seperangkat gender wayang kulit, yang
ditabuh mengalunkan suara memilukan, mengiringi perjalanan
sang atma meninggalkan jasad kasar.
Sedang untuk mengiringi arak-arakan ke pekuburan, ada seper-
angkat gong baleganjur dengan suara ingar-bingar yang memekak-
kan. Selain untuk menambah semangat para pemikul bade, gong
ini, konon juga berfungsi membangunkan Panca Maha Butha yang
akan menerima badan kasar yang meninggal itu.
Masih ada simbol penting lagi. Pada tubuh bade seorang lelaki
berdiri, mengawal jenazah. Satu tangannya memegang erat tiang
bade agar tidak jatuh, satu tangannya lagi membawa tongkat yang
bermahkotakan seekor burung Cenderawasih yang diawetkan,
tentu. Burung itu di Bali dijuluki Manuk Dewata, konon jenis
burung yang bisa mondar-mandir di dua dunia: yang fana ini, dan
dunia surga-neraka. Cenderawasih itulah yang akan menuntun sang
atma pergi ke dunia lain, agar tidak kesasar. Ini legenda yang hidup
di Bali, walaupun burung Cenderawasih tak pernah hidup di Bali,
apalagi di kampung saya entah kalau beratus tahun yang lalu.
Di kuburan, sebelum jenazah diturunkan, seseorang melem-
parkan ayam yang tadinya ditaruh di sekitar jenazah. Ini juga per-
lambang bahwa roh siap pergi meninggalkan badan kasar. Ayam
ini boleh jadi rebutan orang, tapi tidak boleh diambil oleh keluarga
yang punya hajat. Dan upacara ngaben pun mendekati akhir, jen-
azah tulang yang dibungkus dan tanah kuburan simbolis itu
diturunkan. Pendeta memimpin upacara, jenazah dibakar seeara
58
simbolis dengan tiga dupa harum, kemudian ditanam. Bade dibawa
ke sudut kuburan, direbahkan, dan jadi rebutan orang. Ada yang
mengambil kaca-kacanya, hiasannya, gambarnya.
Desa kami, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, termasuk
desa yang unik. Di sini tidak ada pembakaran mayat dalam arti
yang sebenarnya ketika upacara ngaben berlangsung. Pembakaran
mayat termasuk pembakaran tulang-tulang itu dianggap
mengganggu kesucian Pura Luhur, yang terletak di puncak Gu-
nung Batukaru, jika sampai abu jenazah terbang dibawa angin
dan mengotori puncak bukit. Itulah sebabnya, di sini tak dikenal
tungku pembakaran, atau lembu-lembu (petulangan).
Ngaben kolektif yang meriah ini menghabiskan biaya seratus
kuintal kopi penduduk desa kami memang petani kopi, segala
biaya dihitung dari berapa butir kopi yang dihabiskan. Itu masih
ditambah tak kurang dari seratus lima puluh ekor babi. Biaya-biaya
ini, selain untuk sesajen banyak contoh sesajen yang berunsur-
kan babi juga untuk honorarium arsitek bade, ongkos pendeta
yang didatangkan dari Bali selatan, juga untuk menjamu sekian
manusia hampir selama sebulan setidaknya dalam dua minggu
menjelang pelebon siang dan malam.
Saya tak tahu persis berapa para pendompleng ditarik iuran
oleh sponsor untuk upacara ini. Tapi, saya tahu pasti, keluarga
kami dimintai delapan kuintal kopi. Karena tak punya stok kopi,
Ibu menggadaikan sebidang kebun, dan saya sebagai lelaki tertua
walau baru berusia sebelas tahun harus ikut membubuhkan
tanda tangan di depan bendesa (sekarang Perbekel/Kepala Desa)
untuk urusan surat gadai. Kebun kopi yang digadaikan itu seka-
rang telah dijual, karena utang bertumpuk-tumpuk, kami tak bisa
melunasi.

***

KEHIDUPAN petani kopi di kampung kami memang merosot


terus setiap tahun, karena kopi yang tua-tua itu terlambat direma-
jakan. Di tengah keprihatinan ini, pada 1977, warga dadia kami
59
mengadakan lagi ngaben kolektif, dan sponsornya I Wayan Nesa
Wisuandha. Ia memang seorang tokoh, baik formal maupun infor-
mal. Ia kepala desa, dan ia juga ketua dadia. Ketika ngaben 1962,
ia pula yang dimintai tolong memimpin sebagai ketua panitia.
Apa yang saya bayangkan semula, ngaben ini akan berhura-
hura seperti dulu, tak terjadi. Justru saya yang kaget mungkin
pula karena saya merantau, tak lagi mengikuti perkembangan
di desa. Nesa tidak menitipkan jenazah kakeknya di luar kuburan.
Itu berarti, sang sponsor juga menggunakan jenazah secara sim-
bolis. Tiga pendomplengnya tidak dimintai iuran sama sekali,
alias gratis.
Ngaben ini tidak memakai bade bertingkat tujuh, sebagaimana
lazimnya di desa kami. Nesa tak membutuhkan waktu sebulan, atau
seminggu, tetapi hanya tiga hari. Dan yang sangat berani, Wayan
Nesa tidak membutuhkan seorang pendeta yang berstatus peranda
dari kalangan brahmana sebagaimana yang sudah mentra-
disi. Ia mengundang hanya seorang sri empu sulinggih/ulama
dari kalangan warga Pasek dan tugas ulama ini cuma menga-
wasi. Yang memimpin dan menyelesaikan upacara pengabenan itu
Wayan Nesa sendiri. Suatu kejutan dan suatu penyimpangan buat
masyarakat desa kami.
Upacara mungkah yang simbolis itu dilakukan dua
hari menjelang palebon. Bersama para penngikutnya, mereka
datang ke kuburan, membangunkan roh untuk menempati badan
kasar yang diwakili sejumput tanah kuburan. Esoknya diadakan
upacara pembersihan, yaitu memandikan boneka-boneka yang
disebut pengawak itu. Tidak ada hari nyuwung. Tak ada hiburan,
tak ada pementasan wayang kulit. Masyarakat yang datang pun
tidak banyak.
Pada hari palebon, yang mengusung bade kecil ini tak lebih
dari enam orang. Memang, ada seperangkat gong mengiringi usun-
gan ke pekuburan, tetapi ditabuh sekitar delapan anak-anak kecil,
dan asal bunyi saja. Tak ada gender. Tak ada burung cenderawasih.
Tidak ada ayam yang dilemparkan. Tak ada hiruk-pikuk. Toh,
upacaranya selesai secara agamawi, kata Wayan Nesa. Kalau
60
menunggu sampai terkumpul uang banyak, kapan bisa ngaben?
Dan, dari mana mengumpulkan uang?
Untuk upacara ngaben hemat ini, ia hanya mengeluarkan Rp
300.000 (tiga kuintal kopi). Itu sudah termasuk menjamu warga
desa yang datang, dan juga beberapa undangan dari kota kecamatan
dan kota kabupaten.
Boleh jadi, Wayan Nesa tokoh pembaru di desa kami. Bukan
cuma dalam masalah duniawi ia membawa desa kami menjadi
juara pertama lomba desa se-Provinsi Bali tahun 1980 tetapi
juga urusan rohani.
Ketika saya temui kembali pada awal 1986 ini, ia masih tetap
mengaku terus-menerus berpikir bagaimana menyederhanakan
bentuk-bentuk upacara keagamaan tanpa menyimpang dari ajaran
agama. Apa yang saya renungkan adalah bagaimana menyesuai-
kan upacara keagamaan dengan situasi dan kondisi, katanya.
Ketika saya singgung soal ngaben yang hemat dan cukup mem-
buat banyak orang tercengang itu untuk desa kami ia punya
alasan yang layak didengar. Biaya ngaben yang besar itu sudah
di luar batas beban. Padahal beban lain masih banyak, bagaimana
membiayai pendidikan anak-anak. Apalagi kalau ngaben dengan
berutang dan menjual kebun, sementara pendidikan anak-anak
tidak mendapat perhatian. Saya memilih yang terakhir, katanya
lagi. Dan, Wayan Nesa mengakui, cara yang ditempuhnya itu,
yang sesuai dengan ajaran agama, dan pernah dikampanyekan
menjelang 1963, memang sulit dipahami oleh sebagian masyara-
kat yang terbiasa ngaben berfoya-foya. Ngaben foya-foya hanya
mengikuti tradisi leluhur kita, yang waktu itu memang sesuai
dengan kondisi, katanya.
Wayan Nesa, di kampung kami, seorang intelektual. Lepas
umur 30-an, ia tekun mempelajari agama secara otodidak dan
mengumpulkan sendiri lontar-lontar dari sana-sini. Pendidikan for-
malnya lumayan, drop out sekolah menengah atas di Yogyakarta.
Setelah itu ia terjun di politik, menjadi pimpinan partai di tingkat
kecamatan, dan bertahun-tahun menjadi anggota DPRD (GR)
tingkat kabupaten mewakili Partai Nasional Indonesia. Ketika PNI
61
berfusi ke PDI dan sungguh partai ini tidak populer di kampung
kami yang pernah jadi basis PNI ia keluar dari kancah politik
dan tekun mempelajari agama. Hanya karena sulit mencari kepala
desa (bendesa), ia mau menjalankan tugas pengabdian itu, sambil
tetap menekuni agama. Ketika ilmu agama-nya dirasakan cukup,
ia mediksa kepada seorang pendeta. Mediksa ini semacam ujian
kerohanian. Ia dinyatakan lulus dan dianggap cukup mampu
memimpin upacara vadnya, tetapi tidak meneruskan sampai ke
jenjang sulinggih, pendeta Hindu.
Kini ia melepaskan jabatan kepala desa karena berhasil
menciptakan kader. Ia membabat kebun kopinya, diganti ceng-
kih. Ia aktif mengadakan semacam pengajian. Bahkan di kebun
cengkihnya itu, ia seperti mendirikan sebuah pesantren mini,
pesantren Hindu. Di kamarnya, yang selalu tercium dupa wangi,
tergeletak pesawat radio komunikasi. Saya suka ngebrik. Saya
pernah menuntun seseorang yang kesurupan setan dengan radio
ngebrik ini. Yang kesurupan jauhnya sebelas kilometer dari sini,
saya memberi petunjuk-petunjuk lewat ngebrik, ujar Nesa.
Pesawat ORARI memang lagi mode di desa-desa pegunungan
ini. Tapi, apakah mantra-mantra bisa disampaikan oleh radio ini?
Tentu tidak. Saya paling tidak setuju kalau kemajuan teknologi
digunakan untuk kelengkapan upacara keagamaan. Bagaimana
kalau nantinya puja-mantra ulama Hindu dikasetkan, dan kaset
itu diputar untuk kepentingan agama? Itu hemat yang keblinger,
katanya sambil ketawa.
Masalahnya sekarang, bagaimana menerjemahkan kata hemat
itu untuk kewajiban yadnya. Nesa kembali mengajak membicara-
kan hal-hal dasar dari arti yadnya, yakni beban. Ia ngaben hemat,
dengan biaya Rp 300.000, karena saat itu ia sedang membabat
kebun kopinya yang tua, dan membeli bibit cengkih. Ia juga ban-
yak mengeluarkan biaya untuk anak-anaknya yang disekolahkan-
nya di Denpasar. Semuanya adalah beban. Kalau eengkih saya
nantinya membuat saya kaya, dan kewajiban ngaben itu datang
lagi, saya akan membuat ngaben yang lebih besar. Kita bekerja
keras untuk mendidik anak dan membahagiakan leluhur, katanya.
62
Ia memang memimpikan ngaben besar lagi, dan memandangnya
perlu. Karena ngaben bukan sekadar urusan menyempurnakan
roh leluhur, tetapi ngaben yang besar berarti pula menghidupkan
kesenian, menumbuhkan ikatan sosial, semangat gotong royong.
Ia kemudian merenung sesaat. Saya percaya, ngaben besar, yang
dulunya lebih banyak dilangsungkan di puri-puri, akan masih tetap
ada. Kalau tidak di lingkungan puri, ya, di tempat-tempat lain di
luar puri, pada keluarga-keluarga kaya, katanya. .
Desa kami, 65 km dari Denpasar, sama sekali tidak berurusan
dengan turis. Kegiatan upacara keagamaan berlangsung tenang,
tanpa digoda. Jika pun di sana-sini perubahan cara melaksanakan
upacara keagamaan berlangsung juga, itu semata-mata soal biasa,
gerak dinamis sebuah agama.

63
V

Berbagai
Bentuk Judi
Tradisional Bali

Penyakit GurunTeko

B
ALI sedang dilanda gemuruh pariwisata. Hotel interna-
sional bermunculan di kawasan Nusa Dua, daerah yang
sepuluh tahun lalu masih sepi dengan bukit-bukit kapur
gersang. Pulau ini dibanjiri turis asing dari tahun ke tahun, dan
banyak orang menjadi kaya dengan memanfaatkan demam baru
ini. Tetapi, Gurun Teko tetap saja tak peduli.
Ia, Gurun Teko, jauh dari Nusa Dua, jauh dari daerah turis.
Ia penduduk Banjar Merta Sari, Kecamatan Pupuan, Kabupaten
Tabanan. Ia selalu menyebut dirinya orang gunung. Dengan
predikat itu, ia merasa tak berhak disangkut-pautkan dengan turis.
Dari tahun ke tahun, ia tetap saja seperti itu. Badannya gemuk,
suaranya keras menggelegar. Ia kocak dan tak pernah kekurangan
bahan guyon terutama menertawakan dirinya sendiri.
Bukan berarti kampung itu dilewati oleh perubahan. Buah kopi
sudah mulai langka. Pohon-pohon kopi robusta sudah banyak yang
bertumbangan. Gantinya, berdiri cengkih atau vanili. Sepeda mo-

64
tor sudah pula berlalu lalang membelah kampung itu. Kuda, yang
biasa ditunggangi anak-anak gunung itu, sekarang tinggal satu dua.
Permainan gasing pun sudah tak lagi jadi kegemaran penduduk. Tak
ada sarana bermain gasing, karena tanah padat untuk permainan itu
sudah tak ada lagi. Dulu, ketika buah kopi usai dijemur, lahan itulah
yang digunakan bermain gasing. Kini, empat buah meja bilyar di
kampung itu, barangkali, bisa menggantikan gasing. Orang pada
ngantre mengadu nasib di meja ini: ya, seperti halnya gasing, bilyar
pun dipakai sarana bertaruh. Ada satu lagi kemajuan yang sangat
layak dicatat. Di beberapa rumah, kelihatan ada antena menjulang.
Itu antena pesawat radio komunikasi, radio dua meteran.
Tetapi, Gurun Teko, tetap saja tak berubah. Menurut penuturan
orang, tak pernah ada yang melihat Gurun Teko mampir bermain
bilyar. Ia tetap tak bisa berpisah dengan ayam-ayamnya. Kegema-
ran saya, ya, hanya satu itu, tajen. Kalau sehari tak melihat ayam,
saya bisa sakit, katanya suatu kali.
Tajen adalah sabungan ayam. Di sebuah siang yang sejuk di
lereng Gunung Batukaru itu, saya melihat Gurun Teko tergopoh-
gopoh dengan bungkusan di tangan kanannya. Semula, saya men-
gira ia membawa pupuk, dan pergi ke kebun cengkih milik orang
lain sudah lama saya mengenalnya sebagai orang upahan. Beh,
kapan pulang dari Jawa. Ayo ikut Guru. Di Jawa, pasti tak ada tajen
sehebat di Bali. Ayam Guru pasti menang. Dewa ratu, semalam
Guru mimpi disambut bidadari, katanya sambil ketawa. Bidadari
menyambut Guru yang tak pernah mandi ini, ha... ha... ha.... Ia
terpingkal-pingkal sambil mencari daki di lengannya.
Guru adalah panggilan seorang anak untuk ayahnya di kam-
pung itu. Si ayah juga menyebut dirinya Guru jika berbicara kepada
si anak, atau orang lain yang bisa dianggap anak. Gurun menun-
jukkan seorang lelaki berkeluarga yang telah mempunyai anak
kandung, dan nama anaknya itu melekat di belakang kata Gurun
itu. Jadi, lelaki kocak bertubuh bagai atlet angkat berat ini, punya
anak sulung bernama Teko, sehingga nama panggilannya istilah
di Bali pungkusan menjadi Gurun Teko. Saya tak tahu siapa
nama asli Gurun Teko seperti pula anak-anak muda di kampung
65
itu, jarang yang tahu siapa nama asli ayah-ayah mereka.
Coba pegang bungkusan ini, ujar Gurun Teko lagi. Saya
meraba, dan kaget sekali. Ada ayam terbungkus karung bekas pu-
puk. Kok teganya menyiksa ayam seperti itu? Pakai otak, pakai
otak. Kalau polisi pakai otak, bebotoh juga punya otak. Kalau ayam
tidak dimasukkan karung, polisi akan cepat mengetahui ada tajen,
katanya setelah ia membaca keheranan saya. Jangan bilang-bilang,
Putu. Tajen hampir tiap hari ada. Omong kosong bisa dihapuskan
begitu saja. Ini warisan nenek moyang, enak saja dihapus, beh. . .
beh. . .. Gurun Teko kembali ketawa. Dalam angannya, mungkin,
ia telah berhasil mengecoh polisi.
Kalau dipaksakan mencari perubahan pada diri Gurun Teko,
selain usianya yang bertambah, ya, kebiasaannya membawa ayam
aduan itu. Perubahan yang tentu bukan kemauannya. Sejak pemer-
intah menghapuskan segala bentuk perjudian 1 April 1981, dan
sabungan ayam ikut dibreidel, ayam yang setiap hari dielus-elus itu
harus tega dimasukkan karung pupuk yang ujungnya diikat kuat-
kuat. Dulu, ayam seperti itu, dimasukkan kisa sangkar khusus
yang tak jarang berukir pula.
Sabungan ayam pun tak lagi mudah diketahui oleh yang bukan
bebotoh (penjudi). Tempatnya berpindah-pindah, dan biasanya
untuk kawasan kampung itu di sebuah tegalan kosong di
tengah-tengah perkebunan kopi. Atau di kuburan desa.
Siang itu, setelah berjalan sekitar dua kilometer ke arah gu-
nung, kami sampai ke tempat sabungan ayam. Ada sekitar lima
puluh petaruh yang hadir. Lalu, sejumlah anak-anak keeil. Ada
yang memanjat pohon bermain-main sambil menunggu orang-
tuanya berjudi. Ada pula anak kecil yang ikut berjudi. Di bawah
pohon nangka, seorang perempuan paruh baya, yang dibantu anak
lelakinya, berjualan nasi. Saya cepat mengenalnya, dulu, perem-
puan itu pun penjudi juga.
Dalam suasana seperti ini, perkebunan kopi menjadi saksi
bisu sebuah kemeriahan. Kalau ayam menjelang berlaga, suara
para petaruh menyatu menjagokan ayam pilihannya dan berusaha
mendapat lawan taruhan. Iramanya indah, bagai paduan suara
66
yang diiringi sebuah orkestra. Gurun Teko bertindak sebagai saya
semacam wasit yang mengawasi pertarungan ayam itu. Dan ia
satu-satunya saya di tajen gelap itu.
Belum lagi dua ayam itu dilepas oleh pakembar masing-mas-
ing, terdengar mesin sepeda motor menderu. Semua orang menoleh
ke arah jalan setapak. Perempuan yang berjualan nasi itu juga
dengan sigap mengemasi dagangannya. Tenang, tenang. Tak ada
polisi. Ini bebotoh dari Sanda datang, teriak seorang anak dari
atas pohon kopi. Bangsat, bangsat, dewa ratu, tolong mesin honda
itu dimatikan, beh. . . beh. . ., teriak Gurun Teko mengumpat
penjudi yang mengagetkan itu. Si penjudi yang berboncengan itu
menuntun Yamaha trail ke bawah pohon nangka dekat penjual
nasi di kampung itu setiap sepeda motor, apa pun merknya,
disebut honda.
Si penjual nasi, perempuan bergigi emas, dengan ramah me-
nerima titipan honda itu. Tapi toh, ia juga mengumpat. Ndas
keleng, bikin sakit jantung saja, katanya. Umpatan kasar-kasar
seperti ini hampir sama fungsinya dengan selamat siang atau
selamat pagi di Jakarta metropolitan. 0, ya, kalau sabungan ayam
sampai digerebek polisi, pedagang ikut diperiksa dan dagangan-
nya disita, dengan tuduhan membantu perjudian, setidak-tidaknya
mengetahui ada rencana perjudian tetapi tidak melaporkan ke pihak
yang berwajib.
Ayo mulai, ayo mulai. Sudah ada yang berjaga-jaga menga-
wasi polisi. Ayo . . . , teriak Gurun Teko. Para penjudi pun mulai
ramai lagi bersuara. Cok . . . Cok . . . buik . . . buik . . . gasal. . .
gasal....
Teriakan para penjudi ini ada dua jenis: tentang ayam yang
dijagokan, dan tentang sistem taruhan. Suara itu mendadak lenyap,
manakala ayam sudah dilepas oleh pakembar (pemegang ayam
aduan di arena sabungan), dan ayam mulai berlaga. Hanya dua
sabetan, seekor ayam kena pukul, tetapi belum ada darah mengu-
cur. Saya . . . saya . . ., teriak seorang pakembar yang ayamnya
berhasil memukul, tetapi lawannya tidak apa-apa. Teriakan ini
maksudnya memberi tahu wasit, ada sesuatu yang tidak beres.
67
Pluk! Gurun Teko memukul sepotong batang bambu di depannya,
bunyinya jeiek sekali. Artinya, sebagai wasit ia sependapat, ada
yang tak beres. Pakembar yang berteriak tadi langsung menyam-
bar punggung ayamnya, walau kedua makhluk itu sedang asyik
bertengkar. Agaknya, ada yang tak beres pada benang yang
mengikat taji pisau kecil bermata dua yang tajam sekali di
kaki ayam buik itu.
Sementara ikatan itu diperbaiki dengan menambah tali benang,
para petaruh mulai kedengaran suaranya satu dua, masih mencari
lawan taruh. Tidak seramai tadi, memang. Tentu saja, terlalu riskan
bertaruh setelah melihat dua sabetan pertarungan itu.
Lebang . . ., teriak Gurun Teko memberi aba-aba. Harap
maklum, perintah dalam sabungan ayam selalu harus diteriakkan
secara lantang, bukan karena kebetulan Gurun Teko terbiasa ber-
kata keras-keras. Perintah tadi berarti, ayam segera dilepas lagi.
Tiga kali sabetan, seekor ayam mengucurkan darah dari perutnya.
Tetapi, ia tak mau menyerah begitu saja. Keduanya terus bertarung.
Ayam yang mengucurkan darah itu sudah terseok-seok, tetapi bulu
lehernya terus berkibar, pertanda tak gentar.
Ciat Satu pukulan lagi dari si buik. Si putih yang terseok itu
telentang. Darah mengucur terus membasahi bulunya yang indah.
Gurun Teko menghitung sebelas kali sa, dua, tlu, pat, lima, nem,
pitu, kutus, sia, dasa, sa. Pluk, pluk, pluk. Gurun Teko memukul
bambu di depannya dan berteriak lagi: Kawon. . .. Teriakan tera-
khir ini berarti, ada yang telah kalah, dan ada yang telah menang.
Tentu saja, tak perlu ditunjukkan kepada petaruh, yang mana kalah-
menang itu. Beh, beh, bagus sekali ayam buik itu berkelahi, tak
Guru sangka. Guru bertaruh pada si putih. Kalah dua ribu, ujar
Gurun Teko kepada saya. Tak perlu heran, walaupun ia diangkat
menjadi wasit, ia juga bertaruh. Tak ada larangan wasit terlibat
dalam taruhan. Dan, walau yang dipertaruhkan itu sedang nahas,
wasit tak akan berpihak atau berat sebelah. Risikonya adalah nama
baik dan ini penting sekali untuk seorang penjudi.
Sementara itu, ayam-ayam yang akan diadu dicarikan lawan
tanding. Satu per satu ayam dikeluarkan dari kantung pupuk, me-
68
nikmati kebebasan sesaat. Para penjudi yang tidak membawa ayam
ikut berkelompok di tempat pemilik ayam. Yang lainnya membeli
nasi, sambil menghitung-hitung uang. Gurun Teko mentraktir saya
di warung yang satu-satunya itu. Ia kalah dua ribu, itu berarti lima
ribu rupiah. Taruhan adu ayam di Bali selalu menggunakan hitun-
gan ringgit (Rp 2,50). Sejak dulu begitu, entah kenapa.

***

SAYA baru pertama kali menyaksikan sabungan ayam gelap


seperti ini, di tengah perkebunan kopi dan tersembunyi pula. Se-
bagai putra Bali yang lahir di lereng gunung, saya akrab dengan
sabungan ayam yang resmi, yang dipergelarkan di sebuah balai
khusus sabungan ayam yang disebut wantilan. Menyaksikan sabun-
gan seperti tadi, tentu saja, saya merasakan kehilangan sesuatu.
Banyak sekali sesuatu itu.
Wasit atau yang disebut saya di sebuah sabungan besar
yang resmi dengan izin pemerintah, ada lima orang. Empat saya
mengawasi setiap sudut di tengah arena, karena itu dinamai saya
bilang bucu. Ia bertugas menyelesaikan perselisihan yang mung-
kin timbul di antara pakembar, dan memberi aba-aba kepada saya
yang satu lagi. Saya yang satu itu, duduk di atas menara, membawa
kempur itu gong keeil. Alat yang berbunyi nyaring ini sering
pula disebut kemong, karena bunyinya mong . . . mong .... Saya itu
pun disebut saya kemong.
Sarana penting lain yang dihadapi saya kemong adalah sebuah
belanga yang penuh air. Lalu ada gayung dari tempurung kelapa
yang bawahnya berlubang kecil, disebut ceeng. Gayung tak ber-
tangkai ini, kalau diletakkan di atas air di belanga itu, maka ia
akan tenggelam perlahan-lahan. Tiga kali ia tenggelam, adalah
waktu yang konon sama dengan hitungan sebelas. Inilah penunjuk
waktu dalam adu ayam. Dan kekuasaan saya kemong adalah yang
tertinggi. Kalau dalam pertandingan sepak bola, dialah wasitnya,
sedang saya bilang bucu adalah hakim garis.
Barangkali ada baiknya saya menuturkan perihal tajen ini
69
lebih rinci. Setidak-tidaknya, inilah upaya saya untuk merekam
sebuah budaya judi, yang pada suatu masa nanti mungkin hanya
tinggal dongeng.
Wantilan itu hampir dipunyai setiap desa adat, sebuah wilayah
yang tak sama persis dengan luas kelurahan. Bangunan ini luasnya
sekitar 50 X 50 meter. Dibuat berundak-undak menurun ke tengah.
Tetapi, persis di tengah itu, dibuat meninggi lagi, nah inilah arena
perkelahian ayam. Arena itu bentuknya bujur sangkar dengan
sisi sepuluh langkah kaki orang dewasa. Di tengah-tengah arena,
ada lagi bujur sangkar kecil bersisi satu langkah, ditandai dengan
garis.
Ayam yang siap dengan taji dibawa oleh pakembar. Bagi
pakembar yang fanatik, ia pasti ke tengah arena lebih awal, untuk
kemudian memilih dari arah mana ia melepas ayamnya. Kalau
pakembar pertama berada di timur, pakembar kedua mau tak mau
harus berada di barat.
Langkah awal adalah memperkenalkan kedua ayam kepada
petaruh yang mengelilingi arena. Caranya, kedua pakembar mem-
bawa ayamnya ke tengah bujur sangkar keeil, dihadap-hadapkan,
diadu, tetapi tidak dilepas. Akan kelihatan bagaimana kedua jago
itu berdiri tegak dengan leher menjulang. Atau ketika diadu perke-
nalan, betapa bulu di leher kedua ayam itu mekar bak ekor burung
cenderawasih yang kasmaran. Para penjudi mulai menebak, mana
yang layak dijagokan. Ketika sudah cukup perkenalan itu, dan pak-
embar berdiri, penjudi di luar arena mulai bertaruh. Pakembar itu
pun mengacung-acungkan tangannya yang memegang ayam. Tak
jarang, dia juga mencari lawan taruhan lagi, mungkin tidak puas
bertaruh dengan pakembar apalagi kalau ayamnya itu unggulan.
Ayam diberi nama dari warna dan keadaan bulunya tidak
seperti memberi nama burung perkutut. Bihing nama ayam berbulu
merah. Ijo berbulu hijau. Buik, bulunya campuran, warna-warni.
Wangkas, pada sayap berwarna merah sedangkan dadanya berisi
bulu putih. Serawah, badan dan sayap umumnya berwarna putih,
tetapi bulu leher ada yang berwarna hitam. Kelau, bulu berwarna
abu-abu. Sa, artinya putih mulus. Brumbun, kombinasi warna
70
merah, putih, dan hitam. Grungsang, pada bulu sayapnya mel-
ingkar seperti kuncir, tanpa mempedulikan warna bulu. Memang,
untuk tanda-tanda yang menonjol, nama keadaan bulu itu yang
disebutkan. Misalnya, walaupun bulu ayam itu putih mulus, kalau
bulu di sayapnya ada kuncir naik, ayam itu disebut grungsang,
bukan sa.
Keadaan bulu lainnya adalah ook, yaitu bulu lehernya sangat
lebat. Godeg, ini ayam yang kakinya tumbuh bulu. Godeg derupa
sama dengan godeg tadi tetapi di dekat lutut tumbuh bulu lagi. Jam-
bul, ini sudah umum dikenal, yaitu ada jambul di atas kepala ayam.
Khusus untuk sebutan jambul, hanya dipakai jika dua ayam yang
bertarung warna bulunya sama. Misalnya, kedua ayam brumbun
bertarung, ayam brumbun yang berjambul disebut jambul. Yang
satunya tetap brumbun. Tetapi kalau ayam brumbun berjambul itu
bertarung melawan ayam buik, maka ia disebut brumbun, bukan
jambul.
Kemudian ada ayam jantan semua ayam yang diadu tentu
saja ayam jantan yang sepintas kelihatan seperti ayam betina.
Ayam ini, tanpa memandang warna bulunya, disebut papak. Begitu
pula kalau bulu ekornya melingkar turun, disebut ayam sangkur,
apa pun warna bulunya. Untuk bertaruh, nama-nama itulah yang
disebut.
Pada setiap pertarungan, selalu ada ayam unggulan. Begitu
pakembar mengadakan perkenalan singkat berhadap-hadapan di
bujur sangkar kecil, seseorang berteriak: bihing . . . bihing . . ..
Kalau sampai pakembar berdiri tidak ada teriakan yang lain, berarti
ayam bihing itulah ayam unggulan. Suara petaruh selanjutnya tidak
lagi bihing atau menyebut nama ayam tetapi sebutan yang
mengarah ke sistem taruhan: cok, gasal, dapang, tindo, apit, satu
teng, dan sebagainya. Cok adalah sistem taruhan dengan perband-
ingan tiga lawan empat. Misalnya begini. Setelah diketahui ayam
unggulan itu bihing, jika seseorang berteriak: cok . . . cok . . . artinya
yang berteriak cok itu memegang ayam yang jadi musuh si bihing.
Dengan catatan, kalau ia menang ia mendapat uang sebesar taruhan,
tapi jika kalah hanya membayar tiga perempat dari besar taruhan.
71
Misalnya kesepakatan bertaruh empat puluh ribu (ingat: ringgit)
atau Rp 100.000, jika yang bersuara cok itu menang, ia mendapat
utuh Rp 100.000. Kalau kalah, ia hanya membayar Rp 75.000.
Gasal artinya sistem taruhan lima banding empat. Dapang,
sepuluh berbanding sembilan. Tindo, tiga berbanding dua. Apit,
dua berbanding satu. Yang paling ekstrem permintaannya, satu
teng atau juga disebut teluin, tiga berbanding satu.
Seorang petaruh cukup meneriakkan sistem taruhan, dan yang
berminat melawannya tinggal angkat tangan, tanpa berteriak apa-
apa. Jadi, petaruh yang berpihak ke ayam bukan unggulan saja yang
berteriak-teriak, karena ia berkepentingan mengajukan penawaran
sistem taruhan. Kecuali kalau dua ayam yang bertarung padu baret
kelihatan seimbang. Dalam situasi begini, nama ayam masih
sering disebut-sebut.
Para penjudi bisa melakukan transaksi taruhan dari jarak jauh.
Tak perlu datang berhadap-hadapan bayangkan kalau ini terjadi,
lalu lintas jadi kacau dan semrawut. Para penjudi itu memakai
kode jari tangannya, sementara uang taruhan tetap di saku atau
dompet masing-masing. Kalau pertandingan usai, justru yang ka-
lah datang ke tempat yang menang. Atau kalau jarak cukup dekat,
uang digulung dan dilemparkan. Uang-uang yang dilemparkan
itu tak akan disabet orang lain yang tak berhak. Para penjudi ini
tak mengenal kamus curang, misalnya, kalau ada gelagat kalah,
buru-buru kabur dan menyelinap di kerumunan orang ramai, atau
diam-diam menghilang dan pulang suatu hal yang sangat mudah
dilakukan. Para penjudi seperti punya etika dan mereka yakin, di
tempat lain suatu hari pasti bertemu lagi.
Yang tadi, cara bertaruh para penjudi yang tak ada sangkut
pautnya dengan si empunya ayam. Pemilik ayam punya aturan
lain lagi. Perundingan di antara sesama pemilik ayam terjadi pada
saat jedah, saat ketika ayam-ayam saling dicarikan lawan. Masa
jedah itu biasanya setelah lima pasang pertarungan. Pada saat
jedah begini, penjudi tanpa ayam menyerbu judian lain di hala-
man wantilan, atau membeli nasi, atau membeli pakaian untuk
oleh-oleh anak istri di rumah, atau menonton tukang obat yang
72
memperagakan sulap.
Sistem taruhan di antara pemilik ayam dan kelompoknya
(antara lain pakembar, pemilik ayam yang tak berani sebagai
pakembar, dan pemilik taji) selalu padu baret, artinya satu band-
ing satu. Ini juga ketentuan panitia penyelenggara tajen, untuk
memudahkan memungut komisi yang besarnya sepuluh persen
dari jumlah taruhan. Pemilik ayam tak mengenal istilah cok, gasal,
dapang, dan sebagainya.
Sebagai kompensasi, karena tak mungkin dua ayam sama
besar dan sama kukuh, terjadilah penyimpangan dalam mema-
sang taji. Ayam yang lebih kecil dan dianggap lebih lemah selalu
mendapat perlakuan istimewa. Taji dipasangkan sedemikian rupa
di jari tengah kaki kiri ayam itu dengan benang yang kuat dan
panjang. Pasangan taji membentuk sudut kira-kira 30 derajat dan
lurus dengan kaki ayam dilihat dari arah depan. Ayam yang lebih
besar mengalah, sampai pada batas-batas yang disepakati. Ada
beberapa jenis pasangan yang mengalah itu, yakni merang, mesor,
ngacing, ngepe. Merang dibagi lagi dua macam: merang samping,
artinya taji tetap diikat pada jari tengah ayam, tetapi arahnya agak
ke samping dilihat dari arah depan, dan merang dalem, artinya taji
juga diikat pada jari tengah tetapi sudutnya lebih dalam, sekitar
15 derajat.
Mesor, yaitu pasangan taji tidak di jari tengah, tetapi di ping-
girnya. Tentu saja, tak ada yang menjepit, dan pasti tidak sekuat
pasangan taji yang dijepit antara jari tengah, bagaimanapun cara
mengikatnya. Ngepe lebih konyol, selain pasangan tajinya tidak
kuat seperti mesor itu, taji yang dipasang lebih pendek ukurannya
dari lutut ayam taji normal sama tinggi dengan lutut ayam ketika
ayam berdiri tegak.
Pemasangan taji disaksikan oleh saya yang jumlahnya empat
itu. Pemasang taji begitu profesional, amat cepat, tangannya ber-
putar-putar mengulurkan benang yang tadinya tergulung, punya
aturan-aturan baku, kapan harus menjepit, kapan berputar, dan
sebagainya. Petaruh di luar arena tak harus diberi tahu adanya pe-
nyimpangan pemasangan taji ini. Mereka otomatis dianggap tahu,
73
ketika pakembar mengadakan perkenalan di bujur sangkar kecil.
Mong . . . Wasit memukul kemong. Pakembar, yang mondar-
mandir di arena setelah melewati babak perkenalan itu, diminta
kembali menghadapi garis bujur sangkar keeil. Kedua ayam kem-
bali diadu berhadap-hadapan. Ini bukan lagi perkenalan, tetapi uji
coba, apakah kedua ayam masih sama beringas. Petaruh pun mulai
bertambah keras suaranya, terutama yang belum dapat lawan, kare-
na ini kesempatan terakhir. Pada saat inilah biasanya ada petaruh
yang meneriakkan apit, atau satu teng, saking penasarannya.
Mong! Lebang . . . , teriak wasit kepala, yang di menara itu.
(Lebang artinya lepaskan). Artinya, wasit kepala sudah menyak-
sikan kedua jago tetap bergairah berlaga, sehingga diputuskan
dilepas. Pakembar berdiri, mundur beberapa langkah sampai di
pinggir arena. Dari sinilah ayam itu dilepas. Dua jago itu saling
menyongsong lawannya, saling tubruk dan langsung bergumul.
Jika terjadi penyimpangan, misalnya, taji menusuk tanah sehingga
ayam itu tak bisa bangkit, atau seekor ayam tertusuk taji lawannya,
dan taji itu menancap terus tak bisa lepas, saya yang mengawasi
pertarungan itu memberi tanda dengan tangannya. Wasit kepala
memukul kempur: mong! Pakembar mengambil ayamnya. Setelah
dibenahi sambil menggelitik jago masing-masing, ayam dilepas
kembali dari jarak jauh.
Pertarungan bisa berlama-lama, karena sama kuat, atau sama
lemah ayam itu hanya menggebuk sesekali dan lebih banyak
berputar-putar. Atau dalam keadaan sekarat, tak jarang ayam itu
hanya mendekati lawannya, tetapi tidak berlaga. Begitu ayam ti-
dak berlaga, saya kemong menaruh ceeng di belanga yang penuh
air. Jika tempurung kelapa itu tenggelam sampai tiga kali, ayam
itu tetap juga tidak berlaga, kemong dipukul. Kedua pakembar
mengambil ayamnya masing-masing, kemudian membawa ayam
itu ke garis bujur sangkar kecil di tengah arena. Dalam posisi
berhadapan langsung itu, ayam dilepas. Sebelumnya leher ayam
dipijit, pangkal pahanya digelitik, bulu dekat hidung ditarik, mulut
ayam ditiup, badan ditepuk. Maksudnya, supaya ayam itu tambah
beringas. Biasanya ayam terangsang untuk berlaga lagi, sampai
74
ada yang betul-betul terkapar kalah. Ayam dinyatakan kalah jika
kedua lututnya menyentuh tanah.
Sering pula terjadi, ayam itu ngambek, walau sudah berhadapan
langsung. (Siapa tahu mereka sadar diperdayakan manusia.) Saya
kemong menghitung lagi dengan tempurung kelapa yang dibena-
mkan ke air itu. Dan jika waktunya tiba, ayam tetap saja bandel,
kemong dibunyikan. Seorang saya di arena berteriak: pruput.
Nah, inilah adegan yang menegangkan bagi penjudi sabungan
ayam, seperti adu penalti dalam pertandingan sepak bola. Seorang
saya mengambil kurungan dari anyaman bambu. Seorang saya lagi
mengambil kedua ayam. Dalam posisi yang bertolak belakang,
kedua ayam itu dilepas di dalam kurungan dengan perhitungan
ketat dari saya kemong. Ayam mana yang mematuk lawannya lebih
dulu, itu dinyatakan menang, asalkan dalam batas waktu hitungan
pruput itu lawan yang dipatuk tidak membalas. Tetapi jika dalam
batas waktu pruput itu terjadi patuk-mematuk, kurungan diangkat
kembali, dan saya berteriak: palu .... Artinya, status kedua ayam
dinyatakan berlaga, tak ada menang, tak ada kalah. Sabar, pertand-
ingan belum selesai.
Ronde selanjutnya diulang seperti tadi, dilepas dari jarak
panjang, lalu jarak pendek, dan jika tetap tak ada kalah, kembali
pruput. Di ronde pruput ini, sering terjadi keajaiban. Ayam yang
lebih parah, lebih menderita, lebih lemah, tiba-tiba mengambil
inisiatif mematuk, dan tentu saja dinyatakan menang, kalau lawan-
nya tak membalas. Dalam kasus seperti ini, pakembar ayam yang
menang dipuji setinggi langit, karena berhasil merangsang ayam
yang sekarat itu. Tak jarang, ia menerima hadiah dari petaruh yang
menang banyak. Yang jelas, ia akan laris sebagai pakembar.
Keajaiban sebaliknya, ayam yang segar tiba-tiba di ronde pruput
merebahkan lututnya hingga menyentuh tanah. Wah, sial, ayam itu
dinyatakan kalah. Pakembar yang sial itu bisa berbulan-bulan tak
dipakai pemilik ayam. Ia disebut cali artinya tukang sial.
Tidak setiap pruput persoalan kalah menang bisa diselesaikan.
Sering pula terjadi, dalam jangka waktu pruput itu, kedua ayam
tidak saling mematuk, tetapi juga tak ada yang runtuh sampai lu-
75
tutnya menyentuh tanah. Maka, dinyatakan seri, alias draw. Seri
di ronde pruput ini, kedua ayam diambil pemiliknya dan langsung
disembelih. Ayam yang sial. Kalau seri sebelum berlaga pada
waktu perkenalan atau saat sebelum dilepas dari jarak panjang
ada juga, misalnya, salah satu ayam mogok bertanding. Ayam
yang mogok itu dipelihara baik-baik, dan tidak dinyatakan ayam
sial.
Ayam yang kalah menjadi hak pemilik ayam yang menang,
disebut cundang. Sedang pemilik taji yang ayamnya menang
mendapat bagian sepotong paha dari ayam cundang itu, selain tentu
saja menang bertaruh. Pemilik taji yang ayamnya kalah mendapat
betis ayam cundang mungkin supaya praktis mengembalikan
taji ke pemiliknya, tak usah lagi membuka ikatan benangnya pada
saat itu.
Arena sabungan ayam adalah pesta pora masyarakat pedesaan.
Hura-hura yang dinanti-nantikan warga desa. Ketika saya kecil,
tak jarang sampai bolos sekolah, atau pulang sebelum waktunya,
agar bisa ke tempat sabungan ayam. Lebih-lebih, letak sekolah
berdekatan dengan wantilan, bahkan halaman sekolah jadi tem-
pat parkir dan tempat tukang sulap menjajakan obatnya. (Begitu
kami menyebut, karena kami menganggap jual obat itu sambilan.
Buktinya, ketika tukang sulap mulai menawarkan obat, kerumunan
menghilang, dan kemudian datang lagi ketika sulapan dimulai).
Di sebuah desa yang ada sabungan ayam, warga desa itu tidak
dipungut karcis masuk ke kompleks wantilan. Namun, setiap ke-
pala keluarga, suka atau tidak suka berjudi, wajib membawa ayam,
disebut kena uran (kemungkinan besar kata ini berasal dari iuran).
Ketentuan ini umum ada di mana-mana, di seluruh pelosok desa di
Bali. Secara tak langsung, setiap lelaki dewasa di Bali diwajibkan
menjadi penjudi dengan wajib kena uran itu. Kalau tidak, di-
denda. Maka, saya teringat seorang paman saya, yang tak fanatik
berjudi. Setiap ada sabungan ayam di desa, yang panitianya dip-
impin kepala adat karena untuk menggali dana guna perbaikan pura
atau persembahyangan, ia meminjam ayam dari ayah saya. Kalau
ayah tak punya stok ayam yang layak dipertandingkan, Paman
76
diberi ayam yang belum siap dengan pesan jangan diperlagakan.
Risikonya, Paman hanya membawa ayam itu ke wantilan untuk
dilaporkan ke panitia, kemudian diam-diam, ayam disembunyikan
di sebuah warung. Supaya tidak ada pakembar atau petaruh lain
yang coba-coba mencarikan lawan tanding. Setiap ayam berstatus
uran, yang tempatnya di pinggir bawah arena, boleh diambil setiap
penjudi untuk dicarikan lawan. Tetapi jadi tidaknya berlaga diten-
tukan oleh pemiliknya, dengan alasan yang cukup diterima akal
sehat untuk ukuran penjudi. (Kalau alasannya tak punya uang
taruhan, atau tak suka berjudi, itu sih akal sakit bagi penjudi,
dan saya memutuskan ayam diperlagakan).
Ayah saya, terutama pada saat beliau kembali punya kesibukan
mengurus kesenian, juga sering membohongi panitia tajen. Beliau
memasukkan ayam uran, kemudian dijaganya terus. Setiap ada
yang mau mengambil, Ayah mengatakan, sudah diperlagakan tadi.
Beberapa jam kemudian, Ayah keluar wantilan, dengan senyum-
senyum. Kalau ditanya, dikatakannya ayamnya sudah menang. Kok
tidak ada cundang? Dijual ke warung, tanya saja anak saya ini,
jawab Ayah. Dan ketika saya ditanya, saya mengangguk, sesuai
dengan pesan Ayah. (Suatu hari, saya pernah bertanya: apakah ber-
bohong itu baik dan bukannya dosa, dan jawaban Ayah sampai
kini saya kenang sebagai sebuah ajaran orang dibenarkan
berbohong kepada lima jenis orang: antara lain, boleh berbohong
kepada penjudi untuk menghindari judi itu sendiri).
Sabungan ayam tetap saja pesta di tengah langkanya hiburan di
pedesaan, sebelum 1980-an itu. Anak-anak, yang memang bebas
dari karcis masuk, lebih banyak berjudi di halaman wantilan. Atau
hilir mudik mencari bulu ayam di saat jedah pertarungan. Atau
melayani penjudi yang menang, misalnya, membelikan rokok
akan diberi uang lelah yang cukup untuk makan mewah di warung
nasi. Tapi, uang lelah ini umumnya dipakai berjudi. Di keramaian
sabungan ayam, taruhan dan judi tak hanya pada ayam-ayam yang
berlaga. Di luar itu, judi jenis lain bertebaran.

***
77
SAYA, tentu saja, sangat akrab dengan judi-judi itu. Tak ingat,
kapan persisnya saya belajar berjudi. Mungkin ketika di kelas 3
sekolah rakyat (SR), ketika usia baru saja delapan tahun. (Saya
memasuki SR pada usia lima tahun). Di kelas itu, saya pertama kali
mendapat pelajaran huruf Bali. Dan, saya tak puas dengan pelajaran
di sekolah, saya pun belajar pada Ayah di rumah. Ayah banyak
memiliki lontar. Ada lontar mengenai pengobatan, dewasa ayu,
upacara, dan lontar pegangan untuk penjudi. Lontar terakhir ini
yang paling mudah dibaca. Hurufnya lebih besar dan lebih jelas.
Selain itu, kalau saya membaca lontar yang lain, kakak-kakak
saya sering mengejek, belum apa-apa sudah membaca lontar un-
tuk orang dewasa, nanti giginya putus semua. Jadilah saya asyik
membaca lontar pegangan untuk penjudi. Dan, saya pun mem-
praktekkannya, bagaimana kita berebut arah kalau menghadapi
arena judi, berdasarkan baik-buruknya waktu dan juga berdasarkan
urip sebuah hari.
Kurang lebih, pada masa itulah saya mengenal judi tingkat
pemula, yakni bermain dadu. Di desa saya, permainan ini disebut
kocok-kocok, lantaran sebelum ditebak, dadu yang berjumlah tiga
itu dikocok dulu di kaleng yang tertutup. Lewat pengetahuan yang
diperoleh di lontar, saya memilih tempat duduk. Misalnya, hari
Senin Pahing. Senin urip-nya sekian, Pahing sekian, lalu digabung,
dan dicocokkan, maka duduknya sebelah sana. Selasa Umanis (di
Jawa, Selasa Legi; Umanis/Manis = Legi) tentu lain lagi. Pelaja-
ran-pelajaran itu komplet ada dalam lontar.
Dari Ibu, saya selalu memperoleh uang untuk berjudi. Saya
lelaki pertama setelah keempat kakak saya semua perempuan, jadi
saya amat dimanja. Kakak sulung saya, yang kawin dengan guru
sekolah itu sebabnya saya bisa sekolah dalam usia lebih muda
sering juga memberi uang, dengan perjanjian kalau menang,
hasilnya dibagi. Dia dan suaminya tak melarang saya berjudi.
Meski sudah mempraktekkan isi lontar, saya merasa tak sering
menang.
Masih amat kecil, saya sering diajak Ayah ke tempat sabungan
ayam yang jauh dari desa saya, dengan berkendaraan carteran.
78
Saya ingat, pernah diajak ke Pura Taman Ayun, Mengwi, tempat
sabungan ayam yang paling bergengsi hingga tahun 1970-an. Ayah
selalu membawa ayam. Tapi Ayah tak pernah menjadi pakembar,
karena Ayah takut memegang ayam yang sudah dipasangi taji.
Lagi pula, tampaknya Ayah takut menjadi pusat perhatian ribuan
ya, kalau di Taman Ayun ada sabungan ayam lebih dari ribuan
penjudi.
Saya tak pernah bisa bertaruh untuk ayam. Saya tak akrab den-
gan ayam, jadi tak tahu mana yang pantas diunggulkan. Kalau ke
tempat sabungan ayam, saya bermain judi di luar wantilan. Urutan
kegemaran saya, ini sesuai dengan tingkat usia: main dadu, keles,
trui. Kalau terpaksa, baru saya ikut judi togtog.
Main dadu agaknya tak perlu dijelaskan. Mudah sekali. Ada
tiga buah dadu ditaruh di dalam sebuah piring, kemudian ditutup
kaleng, lalu dikocok, lantas ditebak oleh petaruh, lewat selembar
kain yang digelarkan yang sudah berisi angka-angka berupa lam-
bang, sesuai dengan mata dadu. Permainan ini pun semakin matang
dalam teknik mengocok. Belakangan, tak perlu bandar mengocok
keras hingga berbunyi, tetapi digoyang ringan saja. Bahkan di
bawah piring ada alas yang empuk, sehingga tak kedengaran bunyi
dadu berbalik di dalam kotak. Sukar sekali menebak, apakah dadu
itu benar-benar berbalik, dan ke arah mana.
Saya biasanya punya teknik menebak. Kalau bandar men-
gangkat piring itu ke atas, maka sisi depan menjadi di atas. Kalau
digeser ke kiri lalu diangkat kecil, angka di sisi kanan yang di atas.
Tentu tak pasti, tergantung seberapa keras mengocoknya. Lagi pula,
harus diperhatikan posisi dadu sebelum ditutup kaleng, kemudian
harus pula diperhatikan, apakah bandar dadu tidak memutar piring
itu. Kalau diputar, berapa sudut. Soalnya, mata dadu sudah ada
ketentuannya. Di bawah bilangan satu, pasti enam, di bawah dua
angka lima, di bawah tiga angka empat. Atas dan bawah selalu
angkanya berjumlah tujuh.
Kalau permainan dadu, petaruh langsung melawan bandar,
tetapi keles, trui, dan togtog berbeda. Penyelenggara judian ini
disebut belandang. Dia hanya menarik jasa dari permainan itu.
79
Dari setiap penjudi yang menang, belandang memungut cukai
istilahnya memang begitu sepuluh persen. Bandar taruhan
berganti-ganti di antara penjudi. Siapa yang menang taruhan paling
banyak, dia yang berhak dan ditunjuk menjadi bandar taruhan.
Ketiga jenis judi ini menggunakan empat bidang taruhan, ses-
uai dengan arah empat mata angin: utara, barat, selatan, dan timur.
Nilai satu yang menang utara, dua barat, tiga selatan, dan empat
timur. Nilai selanjutnya berputar seperti itu, jadi lima dan sem-
bilan yang menang utara, enam dan sepuluh barat, dan seterusnya.
Kalau yang menang bidang barat, pemasang di bidang timur kalah.
Utara dan selatan, draw. Petaruh yang menang di barat dibayar
lebih dulu dari uang petaruh yang kalah di timur. Kalau yang
menang di barat lebih banyak sehingga tak eukup dibayar dari uang
taruhan yang kalah di timur, barulah bandar taruhan mengeluarkan
uangnya, sampai sebatas yang diperjanjikan sebelumnya. Artinya,
bandar kalah. Putaran selanjutnya, kedudukan bandar diganti oleh
pemenang terbesar.
Kalau yang menang di barat itu lebih kecil dari yang kalah
di timur, berarti bandar taruhan menang. Ia berhak terus sebagai
bandar. Kemujurannya, tergantung sisa uang dari selisih timur dan
barat itu, dan berapa jumlah modal sang bandar. Misalnya, bandar
hanya mengumumkan bermodal Rp 100.000, uang itu ditaruh dide-
pan tempat duduknya, sementara selisih uang di timur dan barat di
atas seratus ribu, kelebihan uang itu dikembalikan kepada pema-
sang yang terkecil, yang kalah di timur tadi. Kenapa yang terkecil?
Untuk permainan keles dan trui, yang paling berkuasa adalah jum-
lah taruhan terbesar. Siapa yang besar taruhannya, ia yang paling
awal menerima bayaran, dan risikonya paling awal pula diambil
uangnya jika kalah. Yang kecil-kecil dilayani terakhir.
Keles menggunakan uang kepeng Cina, tetapi bukan yang
digunakan untuk upacara keagamaan. Bentuk uangnya lebih be-
sar, tetapi lebih tipis. Gambarnya lebih indah. Disebut pipis jai.
Jumlahnya seratus dua puluh biji. Uang itu digeletakkan di depan
belandang. Bandar mengambil uang itu sebagian dengan tangan
kanannya. Supaya lebih dramatis dan membuat asyik ditebak, cara
80
mengambilnya sedemikian rupa seperti memijit-mijit. Kemudian
digenggam dan diangkat, tak boleh berceceran. Uang jai itu lalu
dimasukkan ke tempat yang telah disediakan, biasanya mangkuk.
Nah, petaruh memasang uangnya berdasarkan perkiraan, berapa
jumlah uang kepeng yang diambil bandar itu.
Jika petaruh sudah meletakkan uangnya di bidang yang di-
ingininya, belandang bertanya kepada bandar apakah ia menaikkan
modalnya. Tentu saja, bandar akan melihat posisi taruhan sebelum
menentukan sikap. Ia tentunya punya tebakan, berapa jumlah uang
yang diraihnya tadi. Bisa jadi tebakannya meleset, namanya saja
judi. Namun, penjudi profesional selalu menebak tepat berapa jum-
lah kepeng yang berada di genggamannya. Yang disebut modal itu
sebesar ia tadi menang taruhan setelah dipotong cukai. Tak boleh
modal dikurangi dari jumlah itu. Kalau ditambah, silakan.
Setelah bandar menentukan sikapnya, ditambah atau tidak
modalnya, belandang menghitung uang kepeng. Caranya, dike-
luarkan empat-empat. Cepat sekali, dan persis empat-empat.
(Kalau tak bisa menghitung persis dan cepat, jangan harap bisa
jadi belandang yang digemari petaruh). Setelah uang kepeng itu
tinggal belasan di tangan belandang, biasanya dikeluarkan dengan
serentak, dilempar lurus berbaris. Kalau sisa itu sebelas, penjudi
akan berteriak: selatan. Ini bagi yang menang. Sebelas dibagi emat
tentu sisa tiga, nah, tiga itu milik selatan.
Permainan trui hampir sama dengan keles, cuma alat yang
dipakai berbeda. Yakni bola bundar putih dari sejenis batu-batuan
atau kristal, lebih kecil dari telur ayam. Tidak persis bundar seperti
bola, memang. Pada dua ujung yang lonjong (lonjongnya juga
kentara sedikit saja) ditaruh angka kecil: satu dan dua. Tentu bu-
kan angka Latin, tapi perlambang seperti halnya mata dadu atau
mata domino. Kemudian sisi lain lambang bilangan tiga sampai
enam. Dua bola trui itu oleh bandar taruhan diputar di sebuah pir-
ing khusus, bersih mengkilat tanpa debu sedikit pun, dan letaknya
rata betul.
Dalam permainan keles, penjudi memasang setelah bandar
mengambil uang kepeng, tetapi main trui kebalikannya. Penjudi
81
memasang lebih dulu pada bidang-bidang yang tersedia. Setelah
usai, belandang memberi perintah kepada bandar taruhan untuk
melepas dua bola trui itu ke piring. Cara memutar terserah tabiat
para bandar. Bisa dua beriringan mengarah putaran jarum jam,
bisa sebaliknya, bisa pula hanya satu bola diputar, yang lain diam
sehingga terjadi benturan. Sekali lagi, tergantung perangai dan
ulah si bandar. Namun, ada syaratnya, tentu. Kalau bola trui itu
sampai keluar dari piring, satu kali dapat ampun. Dua kali dalam
satu periode sebagai bandar, ia didenda. Modal dasar bandar di-
ambil paksa dan dibagikan kepada pemasang dengan urutan yang
terbanyak bertaruh, tak peduli bidang mana. Ini namanya bandar
kena gebog.
Dua bola trui itu memang bergulir sangat rawan menjelang
putarannya habis. Di sini, petaruh biasanya memberi semangat
dengan menggoyangkan badannya ke samping atau ke belakang.
Tidak boleh menggoyangkan badan ke depan, ke arah piring itu,
karena bisa menimbulkan angin dan mempengaruhi gerak bola.
Setelah kedua bola berhenti, diperkirakan tidak akan bergoyang
lagi, belandang mencolek piring, pertanda angka paling atas dari
kedua bola trui itu sah untuk nilai kemenangan. Dua angka itu
digabung. Misalnya, yang satu angka enam, satunya lagi angka
empat, berarti sepuluh. Barat yang menang. Kalau ada petaruh
yakin sampai bisa mengalahkan bandar, ia langsung mengambil
dua mata trui itu dengan cara khas penjudi, ditangkap seperti me-
nyambar ayam. Lalu dikocok-kocok sampai menimbulkan bunyi.
Ini luapan kegembiraan. Petaruh jenis judi ini tak boleh meluapkan
rasa senangnya melalui teriakan, seperti misalnya dalam sabungan
ayam.
Untuk permainan keles dan trui, petaruh bisa memegang dua
bidang. Ini dinamakan pasangan ngurat. Yaitu uang ditaruh pada
garis pemisah dua bidang berdekatan, utara barat, utara timur,
selatan barat, selatan timur. Penjudi yang bertaruh ngurat utara
barat, akan kalah kalau yang menang timur. Juga kalah, kalau yang
menang selatan. Sebaliknya, ia menang jika utara atau barat yang
beruntung. Tak ada istilah seri untuk sistem ini.
82
Cara ini juga bisa dipakai untuk mendapat hasil kemenangan
berlipat, lebih besar dari uang taruhan. Disebut gandeng. Misalnya,
saya bertaruh di barat Rp 25.000, dan Gurun Teko memasang di
selatan dalam jumlah yang sama. Saya bisa berunding dengan
Gurun Teko, bagaimana kalau gandeng. Kalau Gurun Teko setuju,
tentu saja, pasangan ditaruh ngurat barat selatan, berarti taruhan
itu bernilai Rp 50.000. Nah, kalau barat menang, saya mendapat
bayaran Rp 50.000 padahal uang yang dipertaruhkan cuma Rp
25.000. Uang Gurun Teko dikembalikan. Celakanya, kalau kemu-
juran berada di utara, uang saya ikut amblas. Padahal, kalau tidak
gandeng, mestinya seri. Dalam sistem gandeng, seri hanya terjadi
kalau pasangan gandeng kita yang mujur.
Kemudian ada lagi petaruh tingkat tinggi, yang hanya berani
memegang satu bidang saja. Namanya pasangan deris. Prinsipnya
sama dengan gandeng, tetapi pemain gandeng itu sekaligus jadi
lawan kita. Kalau dalam contoh tadi, kemujuran berada di barat,
maka dari uang taruhan saya yang hanya Rp 25.000 itu, saya
mendapat bayaran Rp 75.000. Lima puluh ribu bayaran biasa, Rp
25.000 lagi dari Gurun Teko. Dalam hal ini tak ada istilah seri.
Kalau tidak kalah, ya, menang.
Taruhan dalam permainan togtog sedikit beda. Togtog me-
makai uang kepeng sebanyak 16 biji. Ada seonggok kayu atau
bata merah sebagai alas tangan menangkap uang kepeng. Bandar
memegang uang itu di tangan kanan. Tangan kiri siap menangkap
uang yang dilempar tangan kanan. Menangkapnya dengan telapak
tangan bertumpu ke kayu itu, seperti menepuk nyamuk di lantai.
Petaruh menebak bunyi uang yang ditangkap bandar, karena tak
mungkin bisa melihat uang yang ditangkap itu. Prosesnya terlalu
cepat. Bedanya dengan keles atau trui, petaruh saling mendahului
melempar uang taruhannya pada bidang-bidang taruhan. Yang
paling cepat menebak dan memasang uangnya, berarti uangnya
berada di deretan terdepan. Nantinya, paling awal pula dilayani,
baik menang maupun kalah, walau jumlahnya kecil.
Setelah semua petaruh memasang, dengan urutan siapa paling
cepat, belandang memberi isyarat kepada bandar, apakah uang
83
kepeng di bawah telapak tangan kiri itu ditambah lagi atau tidak.
Menambahnya tentu saja di luar, tidak dimasukkan. Jika ditambah,
petaruh juga berhak berpindah sesuai dengan tambahan uang
kepeng itu. Misalnya, kalau diperkirakan uang kepeng di bawah
telapak tangan kiri bandar cuma lima, petaruh tentu memasang di
utara. Kalau ditambah dua, berarti ada tujuh, petaruh pindah ke
selatan.
Apa, sih, gunanya menambah uang kepeng itu? Inilah seni tog-
tog. Togtog tak mengenal nilai angka kemenangan di atas sepuluh.
Kalau uang kepeng sepuluh, yang menang bidang barat seperti
judi lainnya tetapi di atas sepuluh sampai enam belas, tetap
saja yang menang bidang barat. Di sinilah bandar dan petaruh sal-
ing mengadu kelicikan. Seorang profesional bisa memberi kesan
uang kepeng yang ditangkap tangan kirinya sedikit sekali, padahal
sebenarnya jumlah itu banyak. Atau kedengarannya banyak, tapi
sesungguhnya sedikit. Teknik ini bisa dipelajari dari cara meme-
gang uang kepeng longgar atau padat dan cembung tidaknya
tangan kiri yang menangkap itu.
Contohnya, bandar taruhan mengatur memang bisa diatur
sebelum dilempar oleh tangan kanan uang kepeng itu delapan
biji. Setelah ia melihat banyak petaruh memasang di timur, tentu
saja ia akan kalah. Bandar pasti main coba-coba dengan jalan
menambah uang kepeng itu. Mula-mula satu, pemasang di timur
bergeser ke utara. Tambah satu lagi, petaruh bergeser ke barat.
Tambah satu lagi, berarti sebelas, ada petaruh yang bergeser ke
selatan. Tambah satu lagi, sekarang dua belas, ada petaruh yang
bergeser lagi ke timur. (Kalau saya berjudi di sini, saya pasti batal
bertaruh, saya mudah terjebak). Kenapa petaruh itu terus mengikuti
jumlah uang kepeng tambahan? Mereka tadi memasang di timur,
karena mengira uang kepeng di tangan kiri bandar hanya empat,
bukan delapan. Empat ditambah empat menjadi delapan, sama saja
yang menang timur. Terjebak, petaruh ini akhirnya kalah, karena
uang kepeng yang dua belas itu memenangkan barat.
Begitulah akal-akalan judi ini. Bandar taruhan yang cerdik bisa
memasukkan uang kepeng sepuluh biji dengan bunyi seolah-olah
84
cuma dua. Tapi bisa memasukkan dua dengan bunyi seperti banyak.
Tentu saja, petaruh pun cukup cerdik menebak. Juga dengan cerdik
melihat perubahan wajah bandar taruhan. Si bandar juga pintar
bermain sandiwara. Misalnya, sebelum menambah, ia pura-pura
menghitung uang yang sisa, kesannya ada banyak sisa, padahal
hanya beberapa biji.
Penjudi togtog adalah aktor-aktor yang baik. Terus terang, saya
lebih sering kalah berjudi di tempat ini, sulit menebak, apalagi
dengan cepat. Saya hanya bermain togtog kalau keles dan trui
sudah penuh sesak.
Keles, trui, togtog, dan kocok-kocok selalu ada di luar arena
tajen, di halaman wantilan. Fungsinya memanfaatkan waktu je-
dah sabungan ayam. Namun judian ini juga muncul di keramaian,
misalnya, di luar arena pertunjukan kesenian, bahkan tragisnya di
halaman pura ketika persembahyangan berlangsung.
Masih ada judi tradisional Bali, yang lebih bersifat pribadi,
karena pemainnya terbatas, yaitu ceki dan domino. Ini judi kelas
rumah. Ceki dimainkan lima orang, karena itu secara bergurau
disebut judi pancasila menggunakan kartu Cina (tapi sudah
dicetak di Bali), berjumlah seratus dua puluh. Semuanya punya
nama. Setiap jenis berjumlah empat, jadi dari keseluruhan kartu itu
ada tiga puluh macam. Tiga puluh ini terbagi lagi menjadi sepuluh
persekutuan.
Cara berjudi ini rumit dan sulit menjelaskan tanpa prak-
tek langsung. Saya sudah bisa memainkan sejak kelas lima
sekolah dasar (sekolah rakyat), dan sampai sekarang masih tetap
hafal nama-nama kartu itu walau bertahun-tahun tak pernah
memainkan lagi.
Akan halnya domino, saya kurang suka. Main domino di Bali
menggunakan kartu lima di tangan, dan satu kartu diletakkan se-
bagai pembuka, tidak diturunkan oleh pemain, seperti umumnya
main gaple di Jawa. Dengan begitu, ada kartu sisa yang tidak
dipakai, karena pemain domino hanya empat orang. Kalau seorang
pemain tak bisa menjalankan kartunya, ia harus mematikan sebuah
kartunya dan menaruh di bawah tertelungkup. Jadi, selain menebak
85
kartu lawan, penjudi domino versi Bali juga harus bisa menebak
kartu apa yang tidak main. Penjudi profesional di Bali akan heran
melihat permainan domino di Jawa yang umumnya semua kartu
dimainkan, dan kalau tidak jalan lewat begitu saja. Gampang
sekali, tinggal menebak kartu di tangan pemain, begitu komentar
orang di desa saya, ketika saya memperkenalkan permainan gaple
versi Jakarta.
Mengocok domino di Bali tak boleh lebih dari dua kali. Kartu
itu cukup dihura-hura di bawah, kemudian setelah terkumpul,
dikocok sekali saja. Lebih dari sekali, apalagi berkali-kali, tidak
sah. Dianggap curang, karena bisa mengatur letak kartu-kartu itu.
Memang penjudi domino di Bali cerdik sekali mempermainkan
kartu yang hanya 28 buah itu, kalau boleh dikocok lebih dari
sekali. Beda dengan di Jawa, kartu malah dikocok berkali-kali
untuk menghindari tuduhan curang.
Karena agak pribadi itulah, dan sifatnya membutuhkan ke-
tenangan, judi ini diselenggarakan di rumah-rumah, atau menemani
begadang melayat orang kematian. Jarang menemani judi yang
ingar-bingar seperti tajen itu.

***

SEJAK 1 April 1981, semua jenis judi itu, secara resmi, telah
jadi hikayat masa silam. Keponakan saya bercerita, seorang polisi
pernah memaksa dua anak di desa saya memakan sebuah kartu
domino, sebagai bentuk hukuman.
Sabungan ayam, ada kekecualian. Masih ada yang resmi
dengan izin pemerintah. Tetapi tanpa embel-embel taruhan, tanpa
hukum-hukum yang berlaku sebagaimana sabungan ayam untuk
para bebotoh. Ini adalah jenis sabungan ayam yang berkaitan den-
gan upacara keagamaan, yang disebut tabuh rah. Karena itu pula,
tempatnya tidak di wantilan, tetapi di jaba pura bagian paling
luar sebuah pura. Jumlah pertarungan dibatasi hanya tiga pasang,
lazim disebut tiga saet.
Tabuh rah mempunyai landasan konsepsional dalam agama
86
Hindu. Yakni merupakan sarana untuk mengharmoniskan hubun-
gan bhuwana agung dengan bhuwana alit. Di dalam pengertian
harmonis, terjadilah penyatuan unsur-unsur yang sesuai. Jadi,
yadnva (pengorbanan suci) kepada Panca Maha Bhuta haruslah
menggunakan sarana yang sesuai dengan unsur-unsur di dalam
Panca Maha Bhuta itu. Unsur itu, yang paling dominan, adalah
zat cair. Di bhuwana agung zat cair ini diwakili oleh air, sedang
di bhuwana alit diwakili oleh darah merah.
Di dalam ajaran agama Hindu disebutkan, kalau menghar-
moniskan hubungan antara dua jagat itu datangnya dari bhuwana
agung ke bhuwana alit, maka sarananya adalah air, ini yang disebut
tirta atau air suci. Sebaliknya, dari badan kecil ke dunia mahaluas,
sarananya adalah darah hewan, dan ini disebut tabuh rah. Upacara
ini tergolong Bhuta Yadnya, salah satu dari Panca Yadnya itu.
Masalahnya adalah, kenapa untuk acara tabuh rah itu, dua
ayam mesti diperlagakan. Kenapa tidak disembelih saja, dan da-
rahnya dipercikkan di tempat upacara?
Kembali lagi kepada ciri khas orang Bali sejak dahulu, se-
lalu me-nyeni-kan jalannya upacara. Diperkirakan, kesenian
tabuh rah ini muncul di awal abad ke sebelas, pada pemerintahan
Raja Udayana. Ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti Batur
Abang bertahun 933 Saka (1011 Masehi). Ada sepotong kalimat
bertulis: Mwang yan pakaryyakarya, masanga kunang, wegila
ya manawunga makanlang tlung parahatan, ithanya. tanpamwila
tan pawwata ring nayaka saksi. Arti bebas: Bila mengadakan
upacara-upacara, misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan
sabungan ayam tiga angkatan (saet) di desanya, tidaklah (perlu)
minta izin, tidaklah memberitahukan kepada pengawas (pemer-
intah).
Prasasti Batur Abang ini didukung lagi dengan prasasti Batuan
yang bertahun 944 Saka (1022 Masehi), yang menulis sebagai
berikut: Kunang yan manawanga ing pangudwan maka tang
tlung marahatan, tan pamwitan ring nyaka saksi mwang sawung
tunggur. tan hana minta pamili. Artinya: Adapun bila mengadu
ayam di tempat suci dilakukan tiga angkatan (saet) tidak minta
87
izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas sabungan tidak
dikenai pajak.
Dari kedua prasasti yang ditemukan di tempat terpisah itu,
diduga penyelenggaraan tabuh rah sudah diselewengkan sejak
beratus tahun yang lalu. Tabuh rah ini memang dilakukan tatkala
tawur ke sanga (sehari sebelum Hari Raya Nyepi tahun baru
Saka), dan juga diselenggarakan di tempat suci (pura) setelah
selesai upaeara Dewa Yadnya.
Namun, ketika para pemuka agama di Bali mengadakan
seminar Januari 1983, yang membahas acara tabuh rah ini, tak
ditemukan dalam lontar dan kitab suci ajaran Hindu bahwa tabuh
rah mesti dengan perkelahian dua ayam. Dengan begitu, prasasti
Balur Abang dan Batuan, keduanya tidak relevan untuk dikaitkan
dengan agama. Prasasti itu lebih berbicara sebagai catatan tentang
sabungan ayam, bukan dalam kaitan pelaksanaan tabuh rah. Semi-
nar akhirnya menetapkan bahwa tabuh rah tidak harus dilakukan
dengan menyabung ayam, boleh dengan menyembelih. Sebuah
kesimpulan lunak untuk menjaga perasaan umat.
Masyarakat Bali adalah penganut gugon tuwon. Apa yang
sudah diwarisi berabad lalu seolah senilai sama dengan agama.
Antara warisan budaya dan ajaran agama, terkadang sulit diadakan
pemisahan, lebih-lebih bagi masyarakat pedesaan yang berpendi-
dikan rendah. Jadi, mereka tak bisa melepaskan begitu saja tabuh
rah dalam versi lama, yakni menyabung ayam. Dan pemerintah
daerah, dalam rangka menjaga perasaan umat beragama itu, men-
gizinkan adanya sabungan ayam tiga saet di tempat suci pada
bagian luar yang disebut jaba. Mencegah adanya penyimpangan,
izin baru diberikan setelah pukul tiga sore hari. Maksudnya, kalau
penyelenggara nakal, mengadakan lebih dari tiga pasang pertarun-
gan, malam pun keburu datang. Pantang menyabung ayam pada
senjakala. Tentu saja, dalam izin itu dilarang keras adanya taruhan
suatu hal yang amat sulit dikontrol, karena jaba pura adalah
tempat bersenang-senang.
Kalau sekarang ini ada sabungan ayam yang resmi, jenis inilah
adanya.
88
***

KAMI pulang menjelang sore. Gurun Teko tak mau berterus


terang apakah ia menang atau kalah. Besok ada lagi tajen di
dekat kuburan. Kalau mau ikul, datanglah lebih pagi, ujarnya.
Apa tidak takut digerebek polisi? Ia ketawa. Beh, jangan takut.
Di sini banyak hate. Di kuburan, ada panitia yang membawa
hate, di jalan orang yang mengawasi polisi juga membawa hale.
Begitu ada polisi, hate-hate itu saling ngebrik. Beh, beh, polisi di
sini, hate saja tidak punya. Ha ... ha ... ha ... polisi kalah, kalah
alat, kalah akal, kalah macam-macam . . . . Gurun Teko ketawa
terpingkal-pingkal.
Ini memang kemajuan lain lagi dari begitu mewabahnya pe-
sawat komunikasi radio amatir, terutama jenis HT kebanyakan
pesawat liar atau setidak-tidaknya baru memperoleh izin lokal
dari ORARI setempat tanpa callsign dari Perumtel. Para penjudi
pun sudah memakai sarana ampuh ini, untuk mengumumkan di
mana dan kapan ada sabungan ayam, juga memonitor gerak-gerik
polisi.
Judi gelap juga bukan milik desa-desa pegunungan. Di Den-
pasar, kota yang sedikit banyak dibangun pula dari hasil judi,
sabungan ayam gelap tetap ada. Dulu, sabungan ayam resmi ber-
pusat di bagian barat kota dengan kompleks yang bernama Taman
Hiburan Setra Gandamayu Pemedilan. Sebelum judi dihapuskan,
Pemda Kabupaten Badung mendapat uang rata-rata Rp 40 juta
sebulan dari judi ini. Sekarang sabungan ayam gelap pindah ke
bagian timur kota, di sekitar wilayah Yang Batu. Para penjudi
menyebutnya branangan.
Di wilayah Bali timur Kabupaten Gianyar, Klungkung,
dan Karangasem lahir pula istilah baru untuk menyebut sabun-
gan ayam. Yakni gamang. Gamang sebenarnya nama salah satu
makhluk halus versi Bali. yang pekerjaannya menyembunyikan
anak kecil. Semula saya tak mengerti, ketika suatu hari mampir
di sebuah warung babi guling di Gianyar, mendengar obrolan
89
begini, Sekarang, di mana ada gamang? tanya pemilik warung.
Di Lebih ada, di Peliatan juga ada. Kalau yang ramai di Lebih,
dari pagi sampai sore, jawab lelaki perlente yang baru selesai
makan. Apa polisi tidak bisa menemukan tempat gamang. Lelaki
perlente itu menjawab santai saja, sambil mengambil tusuk gigi.
Lama-lama polisi juga malas mengurusi gamang. Polisinya juga
orang Bali.
Saya tak habis pikir, urusan apa polisi dengan makhluk halus?
Baru beberapa saat kemudian saya tahu, dari pemilik warung,
gamang sekarang artinya sabungan ayam. Itu pun baru diberita-
hukan setelah saya berbasa-basi akan ikut berjudi.
Istilah seperti gamang dan branangan tentu pula tak akan ber-
tahan lama, maklum, istilah gelap. Lain bulan, istilah yang dipakai
bisa berganti. Penjudi segera tahu apa kata sandi yang baru. Penjudi
di Bali mungkin juga di daerah lain seperti sebuah organisasi
tanpa bentuk dan tanpa nama.
Perjudian, tentu saja, haram hukumnya dalam setiap agama.
Termasuk dalam agama Hindu. Uraian kitab Manawa Dharma
Sastra IX seloka (bait) 221, 222, 223. 224, dan 227 jelas-jelas mela-
rang umatnya berjudi. Bahkan seorang pendeta dianggap tidak sah
memimpin upacara agama jika ia masih digoda nafsu bebotoh.
Toh, judi tetap subur, terutama sabungan ayam. Yang mengher-
ankan, keles, trui, togtog, dadu bisa menghilang. Kenapa? Karena
ada penggantinya, buntut undian harapan, dan buntut-buntut lain.
Itu judi untuk orang-orang sekolahan, kutak-kutik angka. Guru tak
suka judi itu. Guru tak mengerti, ini alasan Gurun Teko.
Masuk akal juga. Dan, tidak hanya di kota, tapi di pelosok
desa pun beredar banyak buntut dari TSSB (Tanda Sumbangan
Sosial Berhadiah) yang oleh masyarakat masih tetap disebut undian
harapan. Untuk menebak angka yang keluar itu, beredar selebaran
stensilan yang berisi ramalan-ramalan. Kertas yang penuh dengan
angka dan gambar-gambar binatang.
Jenis judi buntut ini judi orang-orang sekolahan menurut
Gurun Teko memang berkembang dengan subur. Ditambah
lagi munculnya Porkas Sepak Bola setiap minggu. Petaruh bisa
90
memasang nomor di kios koran, di tempat penjual rokok tertentu,
di terminal bus antarkota, atau ada orang yang hilir mudik datang
ke desa-desa. Tak ada bedanya dengan judi buntut di Jawa, atau di
pulau lain lagi di wilayah Nusantara ini. Ini judi yang sudah mena-
sional, dan penjudi di Pulau Bali sebagian menemukan pe-
nyaluran baru, yang ternyata tetap saja judi. Ibarat sakit keturunan,
yang obatnya suatu saat hilang kini muneul obat pengganti. Hanya
penyakit yang diderita Gurun Teko-Gurun Teko tak bisa sembuh
oleh obat versi baru yang setengah halal ini. Beh, beh, beh . . . .

91
VI
Mengenai
Ilmu Hitam dan
Mahkluk Halus

I Dewa Putu Karsa


Dalang Leak

D
IAH Ratna Menggali parasnya cantik. Tapi aneh tidak
ada pemuda yang melamarnya, naksir pun tidak. Men-
gapa? Ratna diduga bisa ngeleak bisa menjadi leak.
Dugaan ini didasarkan kepada hukum keturunan. Kalau ibunya
bisa ngeleak, anaknya pun mewarisi ilmu hitam itu.
Sang ibu, Calonarang, seorang janda, sedih bercampur berang.
Sedih, karena ia khawatir, putrinya bakal menjadi perawan tua. Itu
berarti ia tidak bakalan pernah memomong cucu. Berang, karena
putrinya dituduh bisa ngeleak.
Maka, pada suatu malam yang kelam, Calonarang memanggil
murid-muridnya. Di depan anak didiknya itu, Calonarang mem-
berikan perintah: buatlah gerubug wabah yang bisa mematikan
di wilayah Kediri.
Betul! Kerajaan Kediri gempar. Tak sedikit penduduk yang
tiba-tiba jatuh sakit, tanpa ketahuan sakit apa. Lalu, mati. Peman-
92
dangan yang tampak sehari-hari adalah, orang mengusung mayat
ke kuburan dalam selisih waktu yang singkat. Seseorang yang ta-
dinya mengantar mayat ke kuburan, tidak berselang lama, ia sendiri
yang diusung ke kuburan. Anjing pun melolong-lolong sepanjang
malam. Burung gagak bersenandung saban malam, menyanyikan
lagu kematian.
Raja Kediri pun panik. Mpu Bharadah segera dipanggil untuk
dimintai nasihat. Sang mpu lalu mengatur siasat dan strategi. Mpu
Bahula, putra Mpu Bharadah, diminta mengawini Diah Ratna
Menggali. Bukan untuk melenyapkan kemarahan Calonarang
karena putrinya ada yang meminang, tapi Mpu Bahula diharap-
kan berhasil mencuri rahasia ilmu pengeleakan milik janda sakti
itu. Dengan diketahuinya ajaran ilmu hitam itu, Mpu Bharadah
tentu bisa menyiapkan ilmu penangkisnya, dan pada akhirnya bisa
menanggulangi bencana gerubug.
Singkat cerita, Mpu Bahula meminang Diah Ratna Menggali,
lalu kawin, dan berhasil mencuri ilmu milik mertuanya. Setelah
ilmu itu diserahkan ke ayahnya, maka pertarungan pun terjadi.
Pertarungan yang hebat antara Mpu Bharadah dan pengikutnya,
dengan Calonarang bersama anak didiknya. Peperangan seram,
karena ilmu hitam yang bertempur. Penuh kejadian yang tak masuk
akal, lengkingan teriakan yang menakutkan. Belum jelas, siapa
yang menang dan siapa yang kalah.
Tiba-tiba, kayon ditancapkan di kelir.

***

PERTUNJUKAN wayang kulit yang mengambil lakon Calo-


narang itu membuat saya kecewa, karena pertunjukan itu sangat
mengabaikan unsur seni dan keindahan. Tetikasan (gerak tari way-
ang) semrawut, seadanya saja. Sesendon atau juga disebut tandak
(nyanyian ki dalang, dalam wayang kulit Bali tak ada waranggana
seperti wayang kulit Jawa) tidak serasi dengan irama gender yang
mengiringi pementasan itu.
Tapi, yang membuat saya heran, penonton membludak. Bahkan
93
pertunjukan wayang kulit, yang dulu tak pernah dikomersialkan di
Bali, saat itu cukup ampuh untuk menggali dana. Wantilan dulu
arena sabung ayam Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabu-
paten Tabanan, itu penuh sesak hingga bernapas pun terasa sulit.
Desa itu hanya 3 km dari kampung saya, dibatasi kebun kopi
yang tak habis-habisnya. Sejak berangkat dari rumah, Ketut
Grundung, yang mengajak saya ikut menonton, tak henti-hentinya
berceloteh, Saya ingin sekali melihat leak, bagaimana bentuknya.
Siapakah yang kalah, dalang atau leak. Bli (kakak) pasti melihat
pemandangan yang aneh, tapi jangan pulang sebelum pertunjukan
selesai. Di tengah jalan kita bisa dihadang leak, saya takut.
Celotehan Ketut Grundung, keponakan saya yang masih kelas
6 SD, tentu saja karena pengaruh kampanye panitia pertunjukan
wayang kulit Calonarang siang harinya. Juru kampanye itu berte-
riak dengan mikrofon tangan mengatakan pada pertarungan Mpu
Bharadah melawan Calonarang, terjadi pula pertempuran antara ki
dalang dan semua leak di Kecamatan Pupuan. Ki dalang dari Yang
Batu, Kabupaten Badung, itu sudah menantang dan mengundang
leak se-Kecamatan Pupuan untuk mengeroyok dirinya. Karena
desa kami termasuk Kecamatan Pupuan, kalau pulang sebelum
waktunya, ada kemungkinan ketemu leak di jalan leak yang
berangkat perang. Begitu jalan pikiran Ketut Grundung.
Ternyata, sampai kayon ditancapkan di kelir, tak terjadi apa-
apa. Saya pulang dengan kecewa dan heran, bukan karena leak,
tapi mutu pementasan itu. Ketut Grundung pulang mungkin dengan
kecewa juga, tak bisa menemui leak yang sudah kalah dan jinak.
Leak, ternyata, sudah dikomersialkan di Bali. Leak bisa ber-
partisipasi dalam pembangunan, menghimpun dana.

***

TERUS terang, seperti halnya keponakan saya, seumur ini


saya pun belum pernah melihat leak. Keeuali leak-leakan dalam
pementasan topeng atau drama gong, malah saya sering memain-
kannya. Karena belum pernah membuktikan keberadaan leak itu,
94
saya pun antara percaya dan tidak. Percaya, karena banyak orang
bisa bercerita dengan yakin. Tidak, ya, karena tak pernah melihat,
tak ada fakta.
Ketika saya baru berpisah dengan keluarga kurang lebih tiga
bulan bersekolah di SMPN Bajera Ayah mengunjungi saya di
tempat kos. Ketika Ayah bertanya, apa tidak takut tidur sendirian,
saya bilang takut. Takut kalau dicari leak. Ayah ketawa sambil
memeluk saya saya begitu dimanja sebagai lelaki pertama
setelah empat anak Ayah perempuan melulu. Dan Ayah bilang, leak
itu omong kosong. Leak itu tidak ada. Leak itu berasal dari kata
liat (bahasa Indonesianya melihat). Misalnya seseorang yang me-
mang penakut, dan pikirannya dibayang-bayangi makhluk seram.
Di tengah malam ia melihat daun pisang yang bergoyang diembus
angin, apalagi jika daun pisang itu basah dan diterpa sinar bulan,
maka daun itu bisa kelihatan seperti makhluk aneh yang membawa
kain putih. Itu semata-mata salah liat.
Saya tak mudah percaya. Tetapi, Ayah kemudian bilang, kurang
lebih begini, Putu, keluarga kita tak akan pernah melihat leak.
Melihat saja tidak, apalagi sampai diganggu. Kakekmu seorang
pemangku. Ayah juga. Kita berdarah panas, dekat dengan Tuhan.
Rajinlah sembahyang, leak tak akan berani.
Saya tak ingat pembicaraan selanjutnya. Mungkin saya tertidur
dikeloni Ayah. Ketika Ayah meninggal dalam statusnya sebagai
pemangku rohaniawan yang memimpin persembahyangan di
pura desa kami semua kata-kata di tahun-tahun akhir hayatnya
itu saya tulis. Yang membuat saya bingung, pesan Ayah berten-
tangan. Di satu pihak mengatakan leak itu hanya dari perasaan
takut kita sendiri, di lain pihak leak itu tak akan bisa mengganggu
saya, keturunan pemangku di sebuah desa yang disebut orang
sebagai desa suci, karena letaknya paling dekat dengan puncak
Gunung Batukaru.
Jadi, leak itu bisa diusir dengan rajin sembahyang, seperti kata
Ayah. Kalau begitu, leak itu ada atau tidak?
Leak itu memang betul-betui ada, kata I Gusti Ketut Kaler,
seorang tokoh agama, pensiunan Kepala Bimas Hindu dan Budha
95
Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali. Menurut Pak Kaler,
ilmu leak ini bisa dipelajari dari lontar-lontar yang memuat serang-
kaian ilmu hitam, yakni: cambrabrag, sampaian emas, tang ting
mas, jung biru. Yang jelas, lontar-lontar itu tak ada dalam koleksi
keluarga saya.
Lontar itu, menurut Pak Kaler pula, ditulis pada zaman Er-
langga, yakni pada masa Calonarang hidup. Lontar itu, berikut
ajaran-ajarannya, merembet ke Bali, tak jelas sejarahnya, siapa
yang membawa.
Lontar itu tergolong aji wegig. Aji berarti ilmu, wegig berarti
begig, yaitu suatu sifat yang suka mengganggu orang lain. Karena
sifatnya yang negatif, maka ilmu itu sering disebut ngiwa, yang
berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri. Sebagai lawannya,
disebut aji usada, ilmu putih yang bisa dipakai untuk menyem-
buhkan orang yang sakit karena diganggu leak. Karena aji usada
berhaluan kanan, maka disebut tengen.
Entah di mana lontar itu bisa diperoleh sekarang. Tetapi banyak
orang mengatakan, ilmu tentang leak bisa dipelajari tanpa lewat
lontar itu, cukup dibimbing oleh leak senior. Bahkan alat untuk
bisa menjadi leak bisa dibeli.
Ilmu yang bisa dibeli itu berupa sabuk (ikat pinggang) sehingga
sebenarnya lebih tepat disebut alat ketimbang ilmu. Siapa pun
yang memakai sabuk sakti itu bisa ngeleak, sesuai dengan pamor
sabuk. Kalau sabuk itu memang spesialisasinya untuk jadi rangda,
ya, orang itu bisa berubah rupa menjadi rangda. Kalau untuk men-
jadi monyet, ya, jadi monyet. Tentu semakin tinggi tingkatannya,
semakin sakti sabuk itu, semakin mahal pula harganya. Tingkatan
leak, paling tinggi menjadi bade (menara pengusung jenazah), di
bawahnya menjadi burung, di bawahnya binatang-binatang lain.
Para pedagang yang ingin jualannya laris, konon, bisa mem-
beli salah satu bagian dari ilmu hitam itu, juga sejenis sabuk. Ilmu
untuk pedagang ini namanya panglatih. Tapi, bila yang empunya
alat tidak mampu memelihara alat itu, tak mampu menyediakan
korbannya, tak mampu menahan pantangannya, alat itu bisa
mencelakakan. Amit-amit.
96
Di tengah-tengah penumpasan orang-orang PKI di kampung
saya, 1966, sejumlah pemuda mengadakan penggeledahan. Sa-
sarannya tertuju pada orang-orang yang dicurigai bisa ngeleak
atau yang punya ilmu hitam berupa alat-alat itu. Tak tanggung-
tanggung. Seorang ibu tua ditelanjangi di sebuah balai desa,
karena menyimpan sabuk di lipatan setagennya. Sabuk itu memang
ditemukan, kemudian dibakar di perempatan jalan desa dengan
disaksikan ratusan penduduk. Saya sendiri ikut menyaksikan,
warnanya putih.
Menurut Pak Kaler, kalau orang bisa menjadi leak dari cara
memakai sabuk itu, maka ilmunya masih rendah, karena banyak
dibantu alat yang sudah setengah jadi. Yang berilmu tinggi tak
perlu alat. Ia cukup memakai kain putih di atas lutut, seperti sering
dilihat dalam pementasan teater rakyat di Bali. Ada tempat-tempat
tertentu. Bila ingin menjadi monyet, ngelekas (bersalin rupa dengan
mengucapkan mantra-mantra) di depan pintu luar rumah. Jika ingin
jadi bangkung (babi betina), berubah wujudlah di kandang babi.
Bila ingin jadi rangda, tempatnya ngelekas di perempatan jalan
atau di kuburan. Tentu saja pada tengah malam buta.
Saya memang sejak dulu suka sekali mendengar kisah-kisah
tentang leak. Mungkin karena saya bernasib sial, belum pernah
melihat barang ajaib itu. Berikut ini, saya ceritakan beberapa kisah
yang ada kaitannya dengan dunia per-leak-an, yang terjadi di ta-
hun-tahun terakhir ini, yang saya kumpulkan dari beberapa sumber
selama melakukan perjalanan di tanah air leak.

Dalang leak
I Dewa Putu Karsa, bukan nama sebenarnya, sejak kecil suka
mendalang. Sewaktu bocah, ia memakai wayang daun nangka
atau daun kamboja. Dengan teman-teman sebayanya, ia pentas di
seputar desanya, di Kabupaten Gianyar. Penanggapnya juga dari
kalangan anak-anak, dengan honor uang kepeng. Tentu tanpa pang-
gung, cukup di halaman rumah dipanggang terik mentari.
Menginjak remaja, ia terus mempelajari cara-cara memainkan
wayang dan menghafal cerita-cerita pewayangan. Namun, pada
97
saat itu pula ia terkena semacam sakit ingatan. Di rumahnya, ia
suka bertelanjang bulat, kadang menangis meraung-raung, kadang
tertawa terbahak-bahak. Keluarganya pun mengurung Putu Karsa,
dengan alasan malu dilihat orang. Sudah banyak dukun dimintai
pertolongan, tak juga ada kemajuan.
Seorang dukun, akhirnya, memberikan pengobatan berupa
nasihat. Seorang dalang harus mempelajari asal-usul leluhurnya
lebih dahulu, sebelum mempelajari dan mengotak-atik leluhur ke-
luarga Pandawa, Kurawa, Rama, dan sebagainya. Sungguh kualat
kalau mempelajari asal-usul keluarga tokoh wayang itu tapi tidak
tahu asal-usul leluhur sendiri, nasihat sang dukun.
Setelah menyatakan sanggup mengikuti nasihat itu, I Dewa
Putu Karsa sembuh berangsur-angsur. Ia pun belajar menjadi
dalang yang sebenarnya, termasuk ilmu kebatinan yang wajib di-
miliki seorang dalang di Bali. Selain itu ia belajar menatah wayang
sendiri. Pekerjaan terakhir ini sangat ditekuninya. Ia sibuk mencari
contoh bentuk wayang yang bagus.
Di Desa Payangan, tak jauh dari desanya, ia menemukan
wayang kulit dengan tokoh rangda. Wayang rangda wayang
ini tak lazim disimpan di sebuah pura, tentu saja keramat. Ke-
keramatannya, wayang kulit itu pantang dicontoh. Konon, sudah
dua orang menjadi korban karena lancang mencontoh wayang
rangda itu.
I Dewa Putu Karsa, setelah sempat ragu, akhirnya punya akal.
Ia tetap mencontoh wayang rangda itu, bentuknya, besarnya, ciri-
cirinya. Tapi, warnanya dibedakan. Jadi, tak persis. Putu Karsa
ternyata tidak kualat.
Dengan jimat wayang itu, ia menjadi terkenal sebagai dalang
Calonarang pementasan wayang kulit yang mengundang leak.
Di Nusa Penida, ia pernah membuat heboh. Ceritanya, tatkala ia
sedang pentas mengundang leak, seorang penonton pulang, padahal
sudah dinasihatkan jangan pulang sebelum pementasan berakhir
kalau pengecut. Penonton yang pulang itu ketemu leak yang wu-
judnya berupa rangda pula. Lalu ia berlari balik ke tempat pemen-
tasan dan menceritakan kepada penonton lain. Gempar. Akhirnya
98
pementasan wayang kulit dihentikan, karena orang-orang meminta
ki dalang turun dulu mengusir leak yang gentayangan.
Di Buleleng, Putu Karsa punya pengalaman lain. Seperti
diminta oleh penanggapnya, ia kembali mengundang leak dalam
pementasannya. Penonton patuh menunggu sampai pementasan
berakhir. Ketika pergelaran usai, terjadilah sebuah keanehan. Dua
wanita setengah haya tetap mematung berdiri di pinggir panggung.
Mereka merengek-rengek minta tirta air suci yang memang
tersedia di sesajen Ki Dalang. Puluhan penonton ikut menyaksikan
keajaiban itu. Penonton yang tampaknya tahu dua wanita itu adalah
leak yang kalah dan kembali menjadi manusia mengejek,
Apa mau tirta dari air kencingku? Penonton lain berteriak kepada
Ki Dalang. Jangan diberi tirta, Pak Dalang
Tetapi, I Dewa Putu Karsa memberikan juga tirta. Dan wanita
itu pun kembali ke rumahnya. Saya tak tega mengikat mereka
lebih lama. Mereka sudah minta ampun, ya, saya ampuni, kata
dalang itu, yang mengakui telah mengikat kedua wanita tadi dengan
ilmu batinnya.
Di mana rahasia kesaktian Putu Karsa? Tanpa panjang lebar
memberi penjelasan, ia segera mengambil wayang rangda dari
dalam gedog tempat penyimpanan wayang kulit itu. Putu Karsa
kini laris memainkan cerita Calonarang, dan penggemarnya jarang
yang tahu siapa nama aslinya. Di setiap saat bisa berbeda, dan untuk
gampangnya, ia disebut dengan Pak Dalang Leak.

Baju Harimau
Seorang tukang kayu dari Desa Tapesan, Kecamatan Kediri,
Kabupaten Tabanan, mendapat pekerjaan di Desa Wanagiri,
Kecamatan Selemadeg, kabupaten yang sama. Ia bersama teman-
temannya menginap di rumah yang diperbaiki itu.
Suatu malam, ada pertunjukan joged bumbung di Desa
Sarinbuana, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Wanagiri.
Ketut Krubuk, demikian nama tukang kayu itu, mengajak teman-
temannya menonton.
Apa kalian tidak takut di jalan? tanya tuan rumah.
99
Apa yang harus ditakuti? jawab Ketut Krubuk bernada
meremehkan. Toh terang bulan, saya tak takut leak.
Baiklah, kata tuan rumah, lelaki tua yang kumis dan jang-
gutnya mulai memutih.
Pertunjukan joged bumbung itu meriah. Tari pergaulan muda-
mudi sejenis jaipongan ini memang digemari di pedesaan, apalagi
penontonnya bisa ngibing. Karena itu, Ketut Krubuk dan teman-
temannya pulang sampai larut.
Dalam perjalanan pulang, yang harus menempuh jalan setapak
di perkebunan kopi, Ketut Krubuk dan teman-temannya mendengar
suara harimau mengaum di belakangnya. Ketika Krubuk menoleh,
dilihatnya harimau betulan. Tanpa aba-aba, mereka mengambil
langkah seribu.
Tiba di pemondokannya, tak lama kemudian, tuan rumahnya
muncul.
Lha, kok pada pucat?
Kami dikejar harimau, jawab Ketut Krubuk.
Ha ... ha ... tuan rumah ketawa. Kalian pengecut. Harimau
yang tadi itu, aku sendiri. Kalian mau menjadi harimau?
Semua yang mendengar bengong. Tapi, diam-diam, Ketut
Krubuk ingin juga menjadi harimau, ingin merasakan kebolehan
itu. Tanpa setahu teman-temannya, ia mendekati tuan rumahnya.
Baiklah, besok kau coba ilmu itu. Tapi harus di tempat yang
sepi, nasihat tuan rumahnya.
Keesokan harinya, tuan rumahnya memberi sebuah baju kecil,
dan mantra yang pendek saja, sebelum memakai baju itu dan sebe-
lum melepasnya. Ketut Krubuk pun memanggil teman-temannya,
diajaknya berjalan di kebun. Pada saat itu, Ketut Krubuk mencari
tempat sepi, dan memakai baju pemberian tuan rumahnya tadi. Ia
merasa biasa-biasa saja, ia tak merasa menjadi harimau. Karena
itu, ia menyusul teman-temannya. Tapi, teman-temannya itu malah
pada lari, karena yang dilihatnya betul-betul harimau. Ketut Kru-
buk yang merasa ditinggal itu ikut mengejar kawan-kawannya
sambil memanggil-manggil. Kawan-kawannya justru lari semakin
kencang karena mendengar suara harimau mengaum. Sial, harimau
100
terus berlari kehilangan jejak, sementara kawan-kawan Krubuk
tampaknya berlari pulang.
Ketut Krubuk yang merasa dirinya biasa-biasa saja ikut pulang.
Tetapi setiap ketemu orang, orang itu lari tunggang langgang.
Ketut Krubuk pun akhirnya sadar, karena baju yang dipakainya
itu. Ia melepaskan bajunya itu, tapi ia lupa mantranya. Tentu saja,
orang lain tetap melihat wujud harimau, sehingga penduduk desa
itu pun gempar.
Untung, tuan rumah tempat Ketut Krubuk menumpang segera
datang. Padahal, beberapa penduduk sudah siap-siap mengeluar-
kan senapan. Saya kapok, saya kapok . . ., berulang-ulang Ketut
Krubuk menyesal. Tukang kayu tak sepantasnya belajar macam-
macam. Ia kini tinggal di desanya, tetap sebagai tukang kayu.

Perang Antarleak
Orang belajar leak tak cuma bisa bikin onar. Keahlian ini
pun suka didemonstrasikan antardunia leak, mungkin semacam
POAL (Pekan Olah Raga Antar-Leak). Perang entah itu per-
ang-perangan atau perang sungguhan dikenal dengan sebutan
siat wengi.
Orang Bali di pedesaan, kalau mendadak meninggal dunia, tak
ada yang sampai berpikir kena penyakit jantung atau pendarahan
otak dan sebagainya. Keluarga si mati diam-diam mencari tahu,
lewat menyiramkan air klungah (kelapa muda) ke tubuh mayat.
Kalau ada bagian tubuh yang berwarna biru, itu berarti almarhum
kalah di pertempuran malam hari, siat wengi. Jika ahli warisnya
memiliki ilmu itu, akan mencari tahu, siapa yang mengalahkan,
lalu ditantang. Tentu antardunia perleakan.
Bagaimana suasana siat wengi itu? Tentu sulit direportase oleh
mata telanjang biasa, sementara leak-man dan leak-wati akan no
eomment kalau ditanya perkara ini. (0, ya, bagaimana menanyakan-
nya, bukankah orang Bali sangat tersinggung kalau dituduh bisa
ngeleak?) Maka, banyak cerita yang bisa dihimpun dari mereka
yang kebetulan melihat selintas. Pan Miasa, misalnya, menuturkan
pengalamannya sebagai berikut:
101
Suatu malam, guru sebuah SMA di Gianyar ini mencari ikan
dengan temannya, membawa lampu petromaks. Alat penangkap
ikannya bukan pancing, tetapi sebuah jala kecil yang disebut sau.
Ketika sedang asyik di pinggir sungai, tiba-tiba sekelebat bola api
sebesar telur ayam muncul di depannya. Ia terkejut.
Wah, bahaya. Ayo kita pulang, ajaknya kepada temannya,
Ketut Karta. Temannya tak menanggapi.
Tetapi tiba-tiba, temannya ketakutan juga. Malah berteriak-
teriak dengan wajah pucat, dan bergerak seperti menghindari
sesuatu, sampai kecemplung ke kali. Sambil basah kuyup, Ketut
Karta kemudian menuturkan, ia hampir saja ditubruk pesawat
terbang keeil. Karena sama-sama mengalami suatu hal yang tak
beres, keduanya sepakat pulang.
Keesokan harinya, Pan Miasa menuturkan peristiwa aneh itu
kepada Pan Mayun, tetangganya. Ternyata, Pan Mayun juga me-
lihat sesuatu dari kejauhan.
Semalam aku di gubukku. Dari jauh, aku melihat dengan
jelas percikan api yang jumlahnya ratusan di kali itu. Peperangan
sangat dahsyat semalam. Mengapa engkau berani menangkap ikan
di kali itu?
Pan Miasa pun melongo. Rupanya, sungai keeil itu menjadi
stadion siat wengi.
Yang lebih menarik adalah siat wengi yang terjadi di seputar
pantai Padang Galak, sekitar 2 km sebelah timur Hotel Bali Beach,
Sanur. Tapi kejadian ini agak lama, di tahun 1980. Siat wengi itu
berlangsung beberapa malam, sempat disaksikan ratusan penonton
di sepanjang Jalan Tanjung Bungkak, pinggiran timur Kota Den-
pasar. Tua muda, laki perempuan, berebut menyaksikan peperangan
antarleak itu. Koran yang terbit di Denpasar, bahkan juga sebuah
majalah hiburan yang terbit di Jakarta, meliput peristiwa itu dengan
bumbu-bumbu yang menarik.
Kabarnya, menurut penonton di sekitar Padang Galak yang
terdekat dengan tempat kejadian berkali-kali terjadi benturan
api. Perang leak itu betul-betul perang sungguhan, antara sekelom-
pok leak dari Desa Lebih dan sekelompok leak dari Desa Sanur.
102
Kedua desa itu memang dari dulu dikenal sebagai pusat ilmu
hitam. Tak jelas apa yang diperebutkan kedua kelompok leak itu.
Mungkin berebut pengaruh, karena di pantai Padang Galak ada
kuburan orang-orang asing korban pesawat Pan Am yang jatuh
di Bali pada 1974. Tempat itu sering dikunjungi orang, tentu para
leak ingin menguasai daerah itu. Ini barangkali, lho.
Ribuan orang yang sempat berduyun-duyun menyaksikan per-
ang leak itu, ada yang mengaku bisa melihat api beterbangan, dan
entah benda apa lagi. Ada pula yang tak melihat apa-apa. Konon
begitu, ada orang yang bisa melihat leak, ada yang tidak, walau
mereka di tempat yang sama. Yang jelas, bemo ke jurusan Tanjung
Bungkak penuh sesak setiap malam. Waktu itu, saya masih di Yo-
gya, dan berniat pulang ke Bali. Tapi teman di Denpasar keburu
mengirim surat, kata dia, itu cuma akal-akalan sopir bemo yang
trayeknya harus melewati daerah Tanjung Bungkak.

Men Rempun Sadar


Ini kisah seorang janda yang sudah tua. Panggilan sehari-
harinya Men Rempun, tinggal di Desa M, Kabupaten Badung. Ia
dikenal ramah.
Di balik keramahannya, konon, sudah banyak orang yang jadi
korban. Keponakannya, gadis cilik bernama Made Sudi, suatu hari
sakit keras. Dokter Puskesmas sudah berusaha mengobati, Made
Sudi tetap tak sembuh-sembuh.
Pilihan terakhir, biasa, tertuju kepada seorang dukun. Hasil
pemeriksaan dukun, ada musuh di dalam selimut. Lalu, orang pun
menuding Men Rempun. Dan, yang dituding mengaku secara diam-
diam menyakiti Made Sudi dan berjanji tidak melakukan perbuatan
buruk itu lagi. Pengakuan ini disampaikan secara rahasia hanya
kepada dukun itu, karena diancam. Maklum, dukun itu rupanya
lebih sakti. Made Sudi pun berangsur-angsur sembuh.
Beberapa bulan kemudian, Nyoman Ruta kena giliran sakit.
Keponakan Men Rempun yang lain ini, sebelum jatuh sakit sempat
dipijit-pijit oleh janda sakti itu. Pertolongan dokter juga tak mem-
buahkan hasil. Maka, seperti juga Made Sudi, keluarga si sakit
103
menanyakan kepada seorang dukun. Hasil pemeriksaan, lagi-lagi
Men Rempun disebut biang keladinya. Men Rempun pun berjanji
lagi untuk tidak menyakiti Nyoman Ruta.
Mengapa tega menyakiti keponakan sendiri? Memelihara
alat atau jimat pangeleakan ada banyak syaratnya. Pada taraf
awal bisa ngeleak, konon, harus berhasil membunuh sebelas bayi,
agar ilmu leak-nya bertambah tinggi. Celakanya, tatkala ilmu itu
sudah tinggi, orang itu akan selalu kecanduan dan selalu ingin
menyakiti orang, terutama anak-anak. Kalau tak ada anak tetangga,
akhirnya keluarga sendiri. Dalam keadaan kepepet dan ketagihan
memuncak, konon, tega pada anaknya sendiri.
Itu pulalah yang terjadi pada Men Rempun. Ia melihat ke-
ponakannya sendiri sebagai makanan yang lezat di malam hari.
Karena sudah telanjur diketahui keluarga, Men Rempun diminta
melepaskan ilmu jahatnya itu. Ternyata, sulit dilakukan sendiri.
Maka, dukun sakti tadi diundang untuk menghilangkan kesaktian
Men Rempun.
Pada saat peleburan ilmu itu, anggota keluarga yang lain ber-
jaga-jaga, kalau terjadi sesuatu. Benar juga, setelah sang dukun
mengucapkan mantra, tiba-tiba Men Rempun meronta sekuat
tenaga. Ia dipegang erat-erat. Dalam keadaan seperti itu, janda tua
ini lebih kuat dari pada biasanya.
Sambil berteriak entah apa yang diucapkannya, dari lipatan
kainnya keluar seekor ular kecil sebesar anak belut. Ular kecil
itu berlari ke luar pintu gerbang pekarangan dan dilindas mobil
yang kebetulan lewat. Men Rempun kemudian lemas, lalu ia
dilepas. Esok harinya, ia seperti biasa, ramah, suka bergurau dan
menampakkan kasih sayang yang lebih kepada seluruh anggota
keluarganya. Ia menjadi orang tua yang sadar.

Leak mencuri vanili


Satu komplotan penjahat yang mencuri vanili di kebun-kebun
sekitar Negara (Bali barat) menggunakan teknik leak. Seorang
dari komplotan itu berubah wujud menjadi rangda itu tokoh
jahat dalam kepercayaan orang Bali yang bertaring serta berambut
104
panjang terurai yang biasa ditarikan sebagai musuh barong. Leak
yang berupa rangda itu masuk gubuk di sebuah kebun vanili, suatu
malam. Penjaga kebun yang terbangun langsung pingsan melihat
makhluk yang mengerikan itu. Karena penjaga malam sudah teler,
komplotan pencuri ini langsung menggasak habis buah vanili tua
yang ada di pohon-pohon. Tanpa sisa lagi.
Berita itu tersebar luas dengan cepat. Petani vanili lalu melaku-
kan penjagaan ketat. Siskamling ditingkatkan, melibatkan pula
tokoh-tokoh kebatinan.
Beberapa malam kemudian, komplotan pencuri dengan se-
seorang yang berupa rangda itu muncul lagi. Mula-mula yang
terlihat hanya rangda saja, komplotan lainnya diduga masih
mengawasi situasi. Tetapi pemilik kebun sudah siap menghadapi
leak ini. Ada yang membawa pentungan dari kayu sua dan kayu
peradah jenis kayu yang ditakuti leak. Begitu leak itu muncul,
langsung dikejar ramai-ramai. Rangda itu lari pontang-panting dan
rambutnya tersangkut di sebuah dahan. Rambut itu, setelah diteliti,
ternyata dari ijuk. Petani vanili ini pun semakin bernafsu mengejar
rangda yang sudah gundul itu. Berhasil, rangda itu terkepung. Lalu,
rangda itu pun melepaskan atributnya. Maka, terlihatlah seorang
lelaki biasa yang meringis minta ampun, sambil memegang topeng
rangda yang banyak dijual di toko-toko kesenian.
Persoalan selanjutnya memang berbuntut panjang, menjadi
urusan polisi. Tapi bukan pencuri yang bertopeng rangda itu yang
diperiksa polisi, melainkan petani vanili. Soalnya, si pencuri telan-
jur digebuki ramai-ramai sampai tewas.

***

VIEKY Baum dalam bukunya, A Tale of Bali, menulis, Bali


yang dikenal sebagai pulau kahyangan, tempat para dewa dan dewi
turun, juga dikenal sebagai pulau hantu, tempat setan dan roh-roh
jahat gentayangan. Vieky pun sadar, dunia mistik ini sulit diteliti
secara ilmiah.
Ada benarnya. Tetapi seperti kebanyakan penulis asing, mereka
105
umumnya tak paham benar beda antara leak dan makhluk halus.
Leak adalah perwujudan lain dari seorang manusia sakti. Orang
yang ilmu leak-nya tinggi, ia bisa seperti tidur di kamarnya, dan
badan halusnya yang keluar menjelma menjadi leak, gentayangan
mencari mangsa. Leak jenis ini kelihatan menjadi api, cahaya,
burung, pesawat, dan bentuk lain yang berkelebat dan bisa ter-
bang. Sedang yang ilmunya rendah, apalagi memakai alat seperti
sabuk, baju, dan sejenisnya, bentuknya menjadi monyet, kamb-
ing, harimau, dan lainnya. Sedang makhluk halus, yang di Jawa,
misalnya, dikenal sebagai tuyul, gendruwo, dan lain-lain, di Bali
dikenal dengan nama memedi, samar alias gamang, banaspati,
dan lainnya lagi. Dan makhluk halus ini bukan perwujudan lain
dari manusia.
Seperti umumnya di Jawa dan mungkin pula di daerah lain
makhluk halus versi Bali itu juga menyukai tempat-tempat
yang memang dengan mata telanjang menimbulkan kesan seram.
Misalnya di sebuah pohon beringin yang lebat, atau di pohon kepuh
yang tinggi dan rimbun.
Banaspati termasuk yang paling mengerikan, ini kata orang.
Wujudnya seperti barong, atau sejenis dengan itu. Ia bisa melahap
orang.
Memedi itu hanya makhluk halus yang profesinya menggoda
orang. Ia tidak jahat, konon. Ia hanya melenggang-lenggok atau
mencibir atau menari dengan tawanya yang cekikikan. Samar alias
gamang termasuk makhluk halus yang paling berbudaya. Konon,
mereka seperti manusia juga. Bentuk tubuhnya mirip dengan ma-
nusia, hanya di antara bibir dan hidung tidak ada cekungan.
Samar ini punya dunia tersendiri, punya perkampungan. Menu-
rut cerita-cerita orang yang pernah kesasar ke perkampungan
samar, kebudayaan mereka dan pembangunan di dunia mereka
itu jauh lebih maju dari dunia kita ini. Ada seorang pemuda yang
terpikat dengan gadis bangsa samar. Dan pemuda ini tatkala
lepas dari dunia samar itu bisa menuturkan bagaimana keajaiban
perkampungan mereka. Semuanya serba gemerlapan. Namun,
kalau diintip tingkah laku pemuda itu pada saat kencan dengan
106
pacar-nya, yang terlihat si pemuda itu duduk merenung di pinggir
sungai, atau di bawah kayu di tengah kebun yang sepi.
Ada pula cerita mengenai dalang wayang kulit yang ditanggap
oleh masyarakat samar. Ki dalang sama sekali tak curiga. Mereka
menjamunya seperti umumnya di dunia kita ini. Mereka ketawa
kalau pementasan wayang kulit itu sudah lucu. Tetapi begitu per-
tunjukan usai, ki dalang melihat dirinya berada di tebing sebuah
sungai.
Banyak contoh lain di sekitar pertemuan manusia dengan
masyarakat samar ini. Tetapi lebih banyak yang rasanya sulit
dipercaya.

107
VII
Nasib Arja,
Teater Rakyat
Bali yang
Merana

Ketika Ida Bagus Ngurah


Membanyol

S
EBUAH pesta yang memprihatinkan, pada pertengahan
Februari 1986. Di Pusat Kesenian Bali (Art Centre) Abian
Kapas, Denpasar, berlangsung Pekan Arja se-Bali. Delapan
kabupaten di Bali mengirimkan wakil-wakil untuk mempertunjuk-
kan kebolehannya dalam mementaskan arja sebuah teater rakyat
yang begitu lengkap unsur-unsurnya, ada tari, tabuh, drama, vokal,
seni rias, seni busana, dan entah apa lagi. Dahulu, kegiatan seperti
ini selalu disertai ingar-bingar.
Kalau saja pekan arja itu berlangsung dua puluh tahun yang
lalu, bukan saja masyarakat Denpasar, tapi mungkin seluruh pen-
duduk Bali mengarahkan perhatiannya ke Abian Kapas. Sekarang
tidak. Delapan arja yang masing-masing mewakili kabupaten ini
pun datang dengan niat sekadar memenuhi undangan. Atau lebih
tegas, sekadar untuk menunjukkan bukti bahwa arja masih bisa
digarap.
108
Kesenian arja sudah sedemikian jatuh gengsinya di masyarakat
Bali. Tontonan ini tak lagi menggetarkan pemuda dan pemudi desa.
Lamban, melempem, bikin ngantuk, begitu-begitu saja, tontonan
masa lalu, begitu komentar anak-anak muda. Pertunjukan ini me-
mang harus dilihat dengan serius, harus dinikmati dengan telaten,
tembangnya harus disimak dengan tenang. Tanpa itu, tak ada pesan
apa pun yang bisa ditangkap.
Tontonan ini pun tak laku dijual kepada turis asing, apalagi
turis domestik. Bukan karena tergolong tari sakral, tetapi dialog-
dialognya agak sulit dicerna untuk mereka yang tidak punya akar
sastra Bali. Nah, kalau sastra tradisional Bali itu sendiri sudah lama
pingsan, bagaimana kesenian ini bisa hidup.
Arja tak laku lagi; kasarnya, tak bisa memancing dolar, juga
rupiah. Maka, desa-desa yang dulu menjadi pusat kesenian ini, kini
telah dilupakan. Kalaupun sekarang ini ada arja, maka itu tak lagi
mewakili sebuah desa, tetapi mungkin kecamatan, atau kabupaten,
seperti pekan arja se-Bali itu. Sifatnya pun temporer.

***

ARJA muncul abad ke-19, pada pemerintahan I Dewa Gde


Sakti di Puri Klungkung. Menantu Gde Sakti, I Gusti Ayu Karan-
gasem, mengadakan upacara pembakaran mayat untuk suaminya,
I Dewa Agung Gde Kusamba, dan madunya, I Gusti Ayu Jambe.
Pada upacara itu semua raja di Bali diundang. Atas prakarsa I
Dewa Agung Manggis, dibuatlah suatu tontonan yang pemainnya
semua lelaki, tetapi sebagian berperan sebagai wanita. Lakon yang
dipentaskan, Kesayang Limbur, suatu sindiran untuk I Gusti Ayu
Karangasem yang sempat dimadu. Pada saat itu, konon, musik
yang mengiringinya begitu sederhana, dan para pemain bertembang
bersahutan. Selesai seseorang memerankan tokohnya, ia duduk di
tikar. Kalau tokoh itu diperlukan, berdiri lagi.
Kesenian ini akhirnya berkembang di Singapadu, Kabupaten
Gianyar. Pada awal abad ke-20 itu, dikenal dengan sebutan Arja
Doyong. Penarinya masih tetap laki-laki semua. Tidak ada langse
109
(layar yang terbelah bak kelambu) tempat keluar-masuknya penari,
seperti pola pertunjukan arja sekarang ini. Pemain semuanya ber-
jongkok, menari pun jongkok, seperti salah satu jenis tari keraton
di Yogyakarta. Dialog pemain lewat tembang-tembang yang di-
ucapkan pelan dan lambat.
Adalah Raja Gianyar yang kemudian mengembangkan drama
tari arja ini. Mula-mula dikembangkan di Sukawati. Busana penari
mulai dibenahi, musik dipakai yang sederhana, terdiri dari kend-
ang, kempur, kajar, klenang, dan suling. Gamelan sederhana yang
lebih banyak mengalun sedih ini disebut geguntangan. Lakon yang
dipentaskan Pakangraras, salah satu jenis cerita panji. Tentu saja,
para pemainnya masih tetap laki-laki.
Pada 1930 revolusi drama tari arja terjadi. Pemain wanita mulai
masuk. Bukan saja untuk peran-peran wanita, tetapi juga untuk
peran raja yang pembawaannya halus, yang disebut Mantri. Pe-
main laki-laki hanyalah Punta dan Wijil yang berfungsi sebagai
panakawan kakak beradik. Dan sejak itu, lakon yang dipentaskan
selalu soal raja, terutama Raja Daha, Raja Pajarakan, Raja Kediri
atau cerita Jayaprana yang ada Raja Kalianget. Pokoknya, raja
sentris.
Arja jenis inilah yang berkembang dan mendapat tempat di
masyarakat. Pertumbuhannya sampai melewati batas Kerajaan
Gianyar. Bahkan ketika raja-raja sirna dari Bali, diganti dengan
pemerintahan republik, arja hidup subur. Di mana-mana muncul
arja. Di kampung halaman saya pun muncul juga sekeha (grup)
arja. Dan Ayah, almarhum, adalah pelatihnya, tepatnya pelatih
pendamping untuk merangkai cerita, sementara pelatih tarinya dari
Kabupaten Gianyar. Saya nyaris diikutkan bermain, tetapi karena
masih kecil dan belum cukup umur menjadi Wijil, saya hanya
puas menjadi tukang pukul klenang yang dibuat dari bambu.
Bunyinya, plir . . . plir . . . plir.

***

KALAU diukur dengan begitu beragamnya drama tari sekarang


110
ini, arja memang membosankan. Soalnya, ia punya pakem yang
sulit dikembangkan lagi kalau masih mau disebut arja. Yang bisa
dibuat variasinya, paling-paling ceritanya; itu pun harus mencari
(dengan membuat karangan baru) yang ada tokoh raja. Pakem itu
menyangkut jumlah pemain dan urutan-urutan keluarnya.
Yang pertama muncul Inya, seorang pelayan yang setia. Se-
belum keluar dari langse, ia menyanyi. Sambil terus menyanyi
ia membuka langse perlahan-lahan, sampai satu bait sekar alit
biasanya pupuh Sinom lalu diteruskan satu bait lagi dengan
menari mengitari panggung. Usai tari dan nyanyi ini, ia berdialog
seorang diri (monolog) dan menceritakan kegembiraannya men-
jadi emban seorang putri yang cantik. Setelah cukup menjelaskan
kegembiraan dan keberadaannya (di kerajaan mana), maka ia pun
pura-pura baru sadar, kok ngomong sendiri. Maka, tuan putri pun
dipanggil sambil bersimpuh di depan langse.
Tuan putri itu adalah Galuh. Pola keluarnya juga sama dengan
Inya bahkan semua pola keluar pelaku arja sama saja, menyanyi
di dalam, diteruskan menyanyi sambil menari di langse lalu men-
gitari panggung. Hanya saja, ketika Galuh menyanyi dan menari
setelah lepas dari langse, setiap baris nyanyiannya diselingi dia-
log pujian dari Inya. Begitulah sampai bait lagu berakhir. Di sini
yang dipamerkan adalah kemahiran menembang dan kepintaran
menari.
Setelah pamer nyanyi dan tari, cerita pun dimulai. Inya
bertanya dengan dialog yang lambat mengalun seperti dia-
log wayang wong Jawa tetapi diakhiri bunyi meninggi, kadang
melengking apa yang menyebabkan tuan putri keluar. Galuh,
yang tadi membelakangi Inya, menoleh dengan gerak tari halus,
lalu menceritakan maksudnya. Galuh tak boleh berbicara seperti
Inya. Galuh selalu menembang. Itulah sebabnya, drama tari arja
ini dianggap sebagai cikal-bakal perkembangan sastra tradisional
jenis sekar alit.
Walau bahasa yang dipakai Galuh dalam tembangnya bahasa
Bali madya, dan penonton umumnya paham, Inya selalu mener-
jemahkan lewat dialog tanpa tembang, dengan bahasa yang lebih
111
lumrah. Dan, dari dialog-tembang itu, penonton mudah menebak
apa yang keluar selanjutnya. Kalau Galuh menceritakan menemui
ibunya, maka yang keluar nanti adalah pasangan Limbur dengan
embannya bernama Desak Rai. Tapi, kalau yang dicari suaminya
atau ayahnya (Raja), pokoknya orang laki, yang keluar setelah
itu pasangan Punta dan Wijil. Tapi, tunggu dulu, pasangan yang
keluar selanjutnya, selalu setelah pasangan yang ada di panggung
masuk ke dalam.
Katakanlah yang keluar adalah pasangan Limbur dan Desak
Rai. Walau Desak Rai ini emban, yang lebih dulu keluar selalu
Limbur. Setelah melewati aturan-aturan keluar panggung itu,
Limbur berdialog sendiri. Nah, bahasanya adalah bahasa Kawi.
Intinya sama, menceritakan keberadaan dirinya. Setelah keha-
bisan bahan (kalau arja dari desa yang pelakunya berpendidikan
rendah, kadar improvisasinya miskin sekali, apa yang dilatih, itu
saja yang dikeluarkan) Limbur memanggil Desak Rai. Bahasanya
kasar, maklum bicara dengan pembantu. Desak Rai ini seorang
pembantu yang urakan. Ia pun pura-pura sedang tidur, lalu men-
dengar orang berteriak, dan ia ngomel dari dalam dengan bahasa
yang kasar juga.
Maksudnya memancing ketawa. Limbur tentu marah, kemu-
dian berbicara lebih kasar sambil mengatakan apakah Desak Rai
tidak tahu siapa yang memanggil. Desak Rai pun menjawab, tahu
siapa yang memanggil itu, yakni: pedagang garam (kalau arja
itu bermain di desa pinggir laut), atau buruh pemetik kopi (kalau
pentas di pegunungan). Dan keduanya berdebat, tetapi tetap Desak
Rai berada di dalam langse, belum dilihat penonton. Debat-debat
ini perdebatannya pun sudah ada pakemnya terus berlanjut
sampai penonton tidak ada yang ketawa. Akhirnya, ya, Desak Rai
sadar siapa yang diajaknya bicara. Maka, ia pun berjanji akan ke-
luar, cuma perlu mempersiapkan diri, misalnya, perlu berdandan.
(Bagi pemain arja yang pengetahuannya banyak, di sini kesempa-
tan mengkritik bagaimana wanita hanya bersoiek saja, misalnya.
Tetapi, ketika ayah saya memimpin arja di tahun 1960-an, sepuluh
kali pentas, bicaranya tetap saja itu-itu, ya, maklum pemainnya
112
SD pun tidak tamat). Saat Desak Rai mengucapkan janji bersiap
keluar, itu berarti pertanda agar Limbur masuk ke dalam langse,
mengaso dulu.
Setelah panggung kosong, Desak Rai keluar, juga dengan
aturan-aturan tadi, tari dan tembang. Setelah satu bait lagu sele-
sai, baru Desak Rai menyanyikan satu bait lagu gembira, diiringi
tari yang rada miring. Juga diselingi ucapan-ucapan yang jenaka.
Soal keperawanannya, soal tak ada pemuda yang melamar, soal
gemah-ripahnya kerajaan. Terakhir, ia bicara soal pribadi induk
semangnya, si Limbur itu. Mula-mula diceritakannya baik, lalu
cerita buruk-buruk. Saat menceritakan segi negatif ini, diam-diam
Limbur keluar dari langse. Desak Rai pura-pura tidak tahu. Akh-
irnya nanti berdebat lagi. Lelucon lagi.
Pasangan selanjutnya, Punta dan Wijil. Yang keluar dulu Punta,
dengan tembang Durma dan tabuh berbunyi keras. Pola pepeson
(keluarnya pemain) sama dengan Limbur. Punta pun, setelah cukup
menari dan monolog, memanggil adiknya, Wijil. Perdebatan pun
terjadi, mirip Limbur-Desak Rai. Hanya saja, Wijil keluar tak perlu
mempersiapkan diri, langsung membuka langse dengan mata
diusap-usap. Maka, Wijil dimarahi dan dinasehati bagaimana ber-
tingkah sebagai seorang pemuda harapan kerajaan, yang tahu tata
krama. Penonton digurui oleh sopan santun dan berbagai wejangan
kalau pemain memang punya bekal yang cukup.
Setelah Wijil di beberapa desa juga disebut Kartala sa-
dar cara keluarnya tadi salah, ia pun menuju langse kembali, dan
menari dengan iringan tembang Dangdang Gula. Karena ini pupuh
sedih, isi tembang itu tentang kesengsaraan menjadi pemuda yang
menghamba yang tentu saja dikomentari oleh Punta: jangan
berputus asa.
Kedua panakawan ini mengabdi ke seorang raja (tergantung
cerita, bisa pula anak raja) yang disebut Mantri Cenik. (Cenik
berarti kecil, karena drama tari arja punya dua mantri). Mantri
Cenik ini diperankan seorang wanita yang sangat pandai men-
embang karena ia memang tak boleh berdialog biasa dan
paling cantik di antara pelaku. Bertubuh langsing, karena ia me-
113
merankan seorang laki-laki dan berpakaian mirip Punta. Selama
Punta dan Wijil mendampingi Mantri Cenik ini, tidak boleh ada
lelucon. Mantri yang satu ini selalu serius dan memang tak boleh
menghadirkan humor.
Pasangan terakhir adalah pasangan yang paling banyak ditung-
gu penonton, karena biasanya paling meriah dengan lelucon. Punta
dan Wijil yang mengabdi kepada seorang raja yang tamak dise-
but Mantri Buduh (buduh berarti gila). Pola keluarnya sama saja
dengan Punta dan Wijil yang pertama. Cuma, kedua panakawan
ini tidak memanggil rajanya, tetapi raja gila itulah yang memang-
gil-manggil, dengan bahasa campur aduk. Kadang kasar, kadang
halus, kadang dengan bahasa asing, Cina entah beneran atau
tidak -- yang penting lancar. Punta dan Wijil pun menerjemahkan
kata asing ini sekenanya ini memang maksudnya melucu.
Rangkaian cerita baru disusun kembali setelah semua pemain
keluar. Siapa yang menemui siapa, siapa yang membunuh siapa.
Teater rakyat Bali hampir selalu ada bunuh-bunuhan (supaya sedih
dan penonton menangis), tetapi cerita harus happy ending, jadi
yang mati tadi dihidupkan oleh seorang yang sakti dilambang-
kan dengan teriakan dari dalam langse, diiringi gamelan keras-
keras, kemudian bunga dilempar. Soalnya, tak ada sisa pemain lagi
yang memerankan tokoh sakti, karena pemain sudah ditentukan
jumlahnya.
Kecuali untuk cerita yang mengharuskan adanya dua putri,
yang biasanya kedua putri itu bertengkar memperebutkan raja yang
masih perjaka. Maka, ada pemain tambahan, yakni anak dari Lim-
bur. Ia disebut Liku yaitu putri yang serakah, gila, suka merebut
pacar orang, pokoknya yang negatif. Orang yang memerankan ini
biasanya dicari yang pintar, sama pintarnya dengan Mantri Buduh.
Dituntut improvisasi yang tinggi, karena ia tak hanya pintar men-
embang, melainkan juga berbicara kasar, halus, sembrono.
Juga pada cerita tertentu, seperti Jayaprana, yang mengharus-
kan ada seorang mahapatih, yang bertugas khusus membunuh.
Disisipkan pemain pria yang disebut Pengrancab. Ia pun orang
pintar, yang bisa berkhotbah, bagaimana membunuh tanpa kena
114
dosa, bagaimana perjalanan roh orang yang akan dibunuhnya,
bagaimana menceritakan kesangsian melakukan pekerjaan mem-
bunuh itu, dikaitkan kemudian dengan kewajiban seorang mahap-
atih yang mengabdi pada raja. Dalam sejarah arja di Bali, tokoh
yang tiada duanya memerankan ini adalah Ida Bagus Ngurah dari
Desa Buduk, seorang dalang wayang kulit yang amat tersohor, dan
kini sudah almarhum.
Permainan arja semalam suntuk, dan panggungnya memakai
tapal kuda. Tak ada dekorasi apa-apa. Bahkan pemain pria (Punta
dan Wijil) bisa saja di tengah-tengah pentas memompa lampu
petromaks yang mau mati, atau menghalau anjing yang masuk
arena pentas.
Masa jaya arja mulai kelihatan suram ketika drama gong
muncul di tahun 1968. Drama gong ini kesenian ingar-bingar yang
meriah, karena diiringi seperangkat gong lengkap jauh beda
dengan arja yang memakai gamelan dari bambu. Masyarakat pun
tersentak. Di mana-mana muncul grup drama gong.
Rupanya, para karyawan kesenian daerah RRI Denpasar
yang setiap Minggu siang, sampai sekarang, menyiarkan arja se-
lama tiga jam tak kekurangan akal dalam upaya menghidupkan
arja. Mereka menghimpun penari arja terkenal dari seluruh Bali,
yang populer kemudian dengan sebutan Arja Bon Bali. Bahkan
belakangan diberi nama baru, Arja Candra Metu RRI Denpasar.
Kelompok ini melakukan revolusi dengan membuang gamelan
geguntangan (dari bambu itu) dan digantinya dengan seperangkat
gong lengkap, seperti drama gong. Jadinya lebih meriah.
Bahkan pola pepeson dijungkir-balikkan. Desak Rai, dalam
suatu kali (tidak selalu) keluar lebih dahulu, tak lagi menjadi sim-
bol wanita malas. Perubahan besar terjadi pada pasangan Punta
dan Wijil yang menghamba Mantri Buduh. Punta dimainkan oleh
Sadru, Wijil dimainkan oleh Monjong, dan Mantri Buduh oleh
Ribu. Trio Sadru-Monjong-Ribu (entah siapa nama-nama lengkap
ketiga seniman ini) sangat populer di Bali. Punta keluar ke pentas
pertama kali, bahkan tak perlu menyanyi. Ia langsung berdialog,
kadang-kadang memakai bahasa Indonesia dan menyebut dirinya
115
pemimpin. Untuk membuktikan dirinya pemimpin, ia memerin-
tahkan juru tabuh menari, maka para penabuh gong lengkap yang
tak kurang dari 25 orang ini menari kecak, mengikuti perintah
Punta.
Monjong pun jarang menembang walau suaranya bagus
sekali. Ia menyanyi dengan irama lagu Jawa atau lagu Sunda atau
mungkin lagu Batak, ditingkah ilustrasi gamelan yang memang
sudah berpadu. Humor trio ini selalu segar dengan kritiknya yang
tajam. Misalnya, ketika ia menceritakan bagaimana makmurnya
kerajaan, ia pun menyebutkan, penduduk menyimpan pakaiannya
yang begitu banyak di lumbung, sampai-sampai turis asing tak bisa
membeli pakaian karena setiap muncul pakaian baru diborong
penduduk. Turis pun berpakaian setengah bugil. Para pejabat,
pemuka agama, tak lewat dari kritikannya.
Ida Bagus Ngurah, yang dikenal sebagai Pengrancab tiada
duanya dalam memamerkan ilmu filsafatnya, ikut-ikutan mem-
banyol. Ketika dalam cerita ia bertugas membunuh Galuh, ia pun
berkata ke arah penonton, Tak usah berpanjang lebar, ini perintah
atasan. Namanya monoloyalitas, kalau tak mau memilih perintah
ini, nanti dipecat, begitu kira-kira ucapannya dengan bahasa
campuran, IndonesiaBali, sambil memberi isyarat kepada pe-
main yang akan dibunuh masuk ke langse saja. Ucapan seperti
ini membuat gedung pertunjukan bergemuruh dan tepuk tangan
berkepanjangan. Bayangkanlah, kalau ucapan itu dikeluarkan
menjelang Pemilu 71, saat ketika mayoritas PNI digiring menjadi
mayoritas Golkar, dan pegawai negeri kena garis monoloyalitas
memilih Golkar.
Lakon paling populer Arja Bon Bali ini adalah Sampik In-
gthai ejaan ini sudah amat populer di Bali. Ini kisah tentang
Sampik yang bersekolah di kota dan indekos bersama Ingthai yang
menyamar sebagai pria. Mereka berjanji sehidup semati sebagai
teman. Tetapi ketika tamat sekolah dan ketahuan Ingthai seorang
wanita, Sampik pun penasaran jatuh cinta, sembari menyesal
berkepanjangan karena selama sekamar sudah sering tidur saling
peluk. Sampik terlambat melamar Ingthai karena kurang cerdik
116
menafsirkan perjanjian. Ingthai dikawinkan dengan Macun (ini
cerita dari Cina, entah bagaimana ejaan yang benar). Sampik pun
patah hati, tidur terus-menerus di kamar.
Yang memerankan ayah Sampik ini adalah Ida Bagus Ngurah,
sebagai tokoh sisipan dan pola arja membenarkan, karena Pen-
grancab tidak ada. Bisa dibayangkan, bagaimana nasihat-nasihat
yang keluar dari Ida Bagus Ngurah, dan kritiknya yang tajam
kepada anak-anak sekolah. Kerewelan ayah Sampik ini akhirnya
membuat marah ibu Sampik (Limbur), apalagi ternyata dan ini
tentu dicari-cari ayah Sampik itu kawin nyentana. Ini perkawi-
nan adat Bali di mana lelaki yang menumpang ke rumah sang
istri. Dalam status perkawinan begini, yang berhak atas anak-anak
adalah ibu. Limbur pun mempreteli pakaian ayah Sampik di atas
pentas, yang tinggal hanya celana kolor. Tubuh Ida Bagus Ngurah
yang gendut dengan celana kolor kedodoran, dan sikapnya yang
kemudian bloon pergi ke kursi penonton minta rokok dan ulah-
ulah lain membuat penonton terpingkal-pingkal.
Belum lagi adegan trio Sadru-Monjong-Ribu. Ribu, sebagai
Macun (Mantri Buduh) yang kaya, keluar dengan tari kreasi baru
yang melambangkan naik mobil sedan mewah, maklum pengusaha
Cina. Sadru dan Monjong tidak menyebut dirinya Punta atau
Wijil, tetapi memakai nama-nama Cina, diambil dari nama-nama
pengusaha terkenal.
Populernya Arja Bon Bali ini tak lepas dari kritikan. Para
seniman tua gelisah, karena arja ini merusakkan pakem yang telah
ada, dan mengarah ke drama gong. Tetapi mayoritas orang menga-
cungkan jempol, karena kreasi mereka terutama tabuhnya dan
humornya selalu berganti-ganti. Maklum, mereka karyawan
kesenian daerah RRI yang tiap hari berkumpul.
Arja kelompok ini bertahan terus, seirama dengan mewabahnya
drama gong, kesenian modern berlatar belakang tradisional
cerita dan musiknya. Akibatnya, jika orang menyebut arja, maka
yang dimaksud adalah kelompok Arja Bon Bali itu. Sudah tentu,
kelompok Arja Sebunan grup yang anggotanya tinggal di satu
desa berangsur mati. Kalaupun masih ada, sudah tidak berarti
117
lagi, paling dipertunjukkan di lingkungan desanya sendiri jika ada
upacara keagamaan dengan gratis.
Sampai datang 1986. Tak ada lagi grup arja selain milik RRI
Denpasar dan arja mendadak dari mahasiswa Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI) Bali. Sampai pemerintah merasa perlu membuat
Pekan Arja se-Bali dan menurut sebuah sumber pemainnya
juga dari mahasiswa ASTI yang pulang ke desa, hanya untuk
keperluan mewakili kabupaten dalam pekan ini.
Kesenian arja yang tragis. Kepada siapakah tuduhan harus
dialamatkan, sebagai penanggungjawah kepunahan teater rakyat
Bali yang satu ini? Sadru, Monjong, Ribu, Ida Bagus Ngurah, atau
masyarakat sendiri yang selalu menoleh, membuat perbandingan,
dan terpengaruh pada kesenian yang datang menyusul?

118
VIII
Perjalanan
Teater Rakyat
Topeng, Janger, dan
Drama Gong

Dewa Ayu Putu Rai


Alias Ni Luh Sukerti

S
ATU bentuk kesenian yang sudah memasyarakat bisa saja
tiba-tiba lenyap. Setidak-tidaknya, ia berangsur-angsur
ditinggalkan masyarakat penontonnya. Orang terguncang
oleh satu bentuk kesenian yang baru muncul. Masyarakat merasa
diwakili oleh bentuk kesenian yang datangnya belakangan. Itulah
sisi lain perjalanan teater rakyat di Bali.
Gambuh, yang di masa sebelum kemerdekaan, konon, mendapat
tempat di hati masyarakat, tiba-tiba menyurut ketika topeng muncul
sebagai teater yang lebih akrab. Topeng dan arja yang bisa hidup
berdampingan, yang sempat menggebu-gebu itu, pudar juga ketika
drama gong mewabah di Bali. Dalam perjalanannya kemudian
saat ini drama gong pun sudah sampai pada titik gawat ketika
layar tancep memasuki pedesaan dengan cerita-cerita yang mudah
dikenal masyarakat, legenda Jaka Tarub, Nyai Blorong, Nyai Roro
119
Kidul, Jaka Gledek, Jayaprana, dan banyak lagi.
Dibandingkan dengan gambuh dan arja, topeng barangkali tak
akan mati sungguh-sungguh. Masalahnya, topeng dalam penger-
tian penutup wajah itu di Bali disebut tapel masih banyak
disimpan dan di beberapa tempat ditaruh di sebuah pura. Dengan
kata lain, tapel itu dikeramatkan.
Tetapi topeng sebagai seni pertunjukan tidak digolongkan tari
sakral, seperti misalnya Tari Sang Hyang. Drama tari ini digolong-
kan jenis tari bebali artinya suatu pertunjukan yang sering kali
diadakan dalam rangkaian upacara persembahyangan di sebuah
pura, sebagai hiburan umat yang datang bersembahyang. Cerita
yang dipergelarkan selalu diambil dari sejarah Bali. Karena itu,
tidaklah salah kalau kesenian ini disebut pengungkap sejarah, entah
itu sejarah yang lebih besar kisah-kisah para raja di Bali atau
sejarah berdirinya sebuah desa, sebuah pura, dan sebagainya. Tentu
saja, semua kisah ini tak bisa dikarang-karang. Adapun ceritanya
diambil dari Babad Bali, dari Prabu Mayadanawa, Kerajaan Gelgel
di abad ke-15, sampai perang Puputan Badung di abad ke-20.
Adalah kesenian ini yang paling banyak punya beban untuk
membentuk manusia Bali seutuhnya. Lewat teater topeng, ma-
syarakat diajak membuka lembar-lembar sejarah masa lalunya, di-
kuliahi masalah agama, digurui soal sopan santun. Bentuk kesenian
ini adalah sarana pendidikan, penerangan, dan bahkan propaganda
politik. Di masa penjajahan, para penari topeng banyak yang dije-
bloskan ke penjara karena menghina pemerintah kolonial.
Drama tari topeng memang kelanjutan gambuh sebuah
drama tari klasik yang lebih tua dari arja. Gambuh dan arja tidak
menggunakan tapel, dan kedua drama tari ini lebih ketat dengan
pakem, baik tari maupun ucapan. Tetapi topeng lebih banyak
menyediakan tempat untuk improvisasi, baik itu improvisasi tari
maupun dialog. Musik pengiring (gamelan) dalam topeng sudah
tersedia dalam bentuknya yang pendek-pendek. Dan itu kemudian
diulang sesuai dengan keinginan pemain. Dalam drama tari ini,
pemainlah yang memberi isyarat, tabuh apa yang dibunyikan. Itu
bedanya dengan gambuh yang penarinya terikat oleh pakem tabuh,
120
yang tak bisa diubah seenaknya dalam satu pergelaran.
Bagi pemain yang tidak boleh berdialog, misalnya Dalem
(Raja) dan Pepatih, pada drama tari gambuh gerak tari pemain itu
lebih indah, luwes, dan mengesankan gerakan yang abstrak. Sedang
penari topeng dalam tokoh yang sama memungkinkan gerak yang
lebih lincah dengan gaya pantomim. Begitu pula untuk pemain
yang bebas berdialog. Pada gambuh dialog-dialog itu diucapkan
halus, nyaris berlagu, dan sangat serius tanpa humor. Sebaliknya
pada topeng. Apalagi kalau sudah muncul topeng bebondresan,
topeng-topeng lucu yang menggambarkan berbagai perangai dan
bentuk wajah manusia di masyarakat. Tapel hanya menutup wajah
di atas bibir, sehingga pemain tak terhalang suaranya. Pemain bebas
mengekspresikan tapel yang digunakan, ada yang pura-pura tuli
bisu, suka marah-marah, dan sebagainya.
Seperti halnya pada setiap bentuk teater rakyat Bali, tak ada
skenario tertulis sebelum pementasan itu dimulai. Kendatipun be-
gitu, sebelum pementasan para pemain berkumpul dan seseorang
membeberkan cerita. Siapa yang lebih menguasai cerita, dialah
yang biasanya menjadi penasar (panakawan), karena dari pemain
ini yang bebas berdialog -- cerita diuraikan ke penonton. Yang
tak menguasai cerita atau kurang sreg dengan cerita yang di-
pentaskan bermain sebagai dalem atau pepatih, yang tugasnya
hanya menari dan memberi gerak-gerak bergaya pemain pantomim.
Atau menjadi pemain bebondresan, topeng yang boleh bicara
ngawur, hanya membuat lelucon.
Pembeberan cerita beberapa saat sebelum pentas itu pent-
ing karena para penari topeng tak mesti menghimpun diri dalam
satu sekeha (grup) permanen. Bisa saja para penari dicomot dari
desa-desa yang berlainan dan mereka baru berkumpul pada saat
pementasan itu.
Jumlah penari untuk satu pementasan juga tidak tentu. Berapa
pun jumlah penari yang tersedia, pementasan bisa jalan jadi
beda lagi dengan gambuh atau arja. Hal ini dimungkinkan, karena
terbukanya kesempatan untuk main rangkap. Dengan tiga penari
saja, pementasan cerita sudah komplet, asalkan tentu saja tapel
121
tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan ada pementasan
topeng yang dimainkan oleh seorang saja. Disebut topeng pajegan.
Untuk jenis ini, tentulah pemain harus matang betul. Selain setiap
saat berganti tapel ia harus bisa memberi kesan kepada penonton,
ada tokoh yang tidak terlihat, hanya bayang-bayang.
Teater topeng yang digolongkan tari bebali ini pernah diangkat
menjadi tari bali-balian yaitu bentuk kesenian yang bisa dipen-
taskan setiap saat untuk hiburan (dan dikomersialkan) dan tidak
harus dalam rangkaian upacara keagamaan. Ada yang mencapai
sukses, yaitu grup topeng dari Carangsari, Kabupaten Badung. Di
tahun-tahun 1970-an, grup ini begitu digemari masyarakat. Tentu
saja bukan tarinya yang digemari, tetapi leluconnya, yang lebih
banyak mengarah ke porno. Apalagi, di antara topeng bebondresan
itu, grup ini punya tapel yang menggambarkan seorang wanita
yang nakal. Dari sinilah lelucon itu diangkat. Dan karena para
pemainnya orang-orang yang punya wawasan lebih luas, lelucon
mengalir dengan lebih banyak mengaitkan pada masalah-masalah
aktual di masyarakat, termasuk melontarkan kritik. Bahkan porsi
ini yang lebih dominan, sehingga pengungkapan sejarah yang
menjadi misi teater ini, pada grup Topeng Carangsari, hampir hanya
menjadi sampiran.
Jika grup ini akhirnya menanggalkan statusnya sebagai tari
bali-balian karena sudah mulai jarang ditanggap ada sebab
lain yang mempercepat kejatuhannya, yakni kaset. Cerita-cerita
grup topeng ini banyak yang direkam, tentu saja atas izin. Dan ka-
set ini diperjual-belikan secara luas. Celakanya, penyebaran kaset
juga lewat pemutaran di radio amatir lebih cepat ketimbang
memproduksi banyolan baru. Akibatnya, pementasan grup to-
peng ini tak lagi menggigit, banyolannya banyak yang mengulang.
Sering terjadi, penonton berteriak mengejek, dan bahkan penonton
lebih pintar dengan mengucapkan kata-kata yang belum diucapkan
pemain.
Jadilah, kesenian ini kembali memasuki sangkarnya, sebagai
tari bebali sebagai sarana hiburan pada upacara keagamaan. Di
sana ia memang tak tertandingi, salah satu sebab karena bentuk
122
tari arja dan drama gong yang berlarut-larut itu tidak cocok untuk
hiburan di saat menjalankan ibadat agama. Topeng, keistimewaan-
nya yang lain, bisa dipersingkat, bisa diperpanjang tergantung
waktu yang disediakan. Bisa pula hanya beberapa puluh menit,
yang dipentaskan beberapa topeng pengelembar yakni topeng
tanpa cerita.
Yang membuat jenis teater rakyat ini menyingkir dari pang-
gung-panggung pertunjukan komersial, munculnya satu bentuk ke-
senian baru yang tidak jelas pakemnya, tidak mudah ditebak urutan
ceritanya karena lebih banyak fiktif. Yakni: drama gong.

***

DI masa pergolakan partai-partai, kesenian janger berkembang


di Bali. Tari muda-mudi ini digemari karena seleret remaja laki
berbalas pantun dengan seleret remaja wanita. Di sela-sela pantun
itu ada tari-tari gembira. Seorang pemain ibarat seminar ia men-
jadi moderator disebut dag. Ia yang memimpin dan mengawasi
pantun-pantun itu, yang umumnya soal percintaan dan janji-janji
gombal memang sengaja dibuat lucu.
Karena kemasukan semangat partai, syair-syair itu tak
melulu soal cinta, tetapi sudah diracuni kampanye partai. Lekra
merancang syair untuk PKI, LKN merancang syair janger untuk
PNI. Temanya sama saja. Mula-mula penari lelaki merayu si
wanita, si wanita mula-mula menolak. Kemudian penari lelaki
menyebutkan, ia adalah kader partai yang ingin menikah dengan
kader partai sealiran. Nah, si wanita menerimanya, karena ia juga
kader partai. Begitulah, dengan syair-syair yang dilagukan secara
kompak, program partai dikumandangkan. Dag kemudian ber-
fungsi sebagai komentator, tak kalah dengan juru kampanye yang
akan berpidato di podium. (Kesenian janger ini lebih banyak pentas
sebagai hiburan menunggu pemimpin partai berbicara).
Tarian kaum lelaki dalam janger itu pun kemudian berkem-
bang. Tak lagi asal saling tuding, berlenggang berkacak pinggang,
tetapi sudah kena jurus-jurus partai. Janger Lekra, misalnya,
123
membuat tarian orang mengetukkan palu dan menyabit rumput,
sambil meneriakkan koor: Sama rasa, sama rata. Janger LKN
memperagakan banteng yang mendengus dengan membungkuk-
kan tubuh dan mengibaskan kepalanya, sambil berkoor: Marhaen
Menang, Pancasila Jaya.
Ketika konfrontasi dengan Malaysia sedang digalakkan, dan
para sukarelawan dilatih di mana-mana, kesenian janger ikut pula
terpengaruh. (Ini memang kesenian gampangan, di kelas III SMP
itu, 1964, saya ikut sebagai penari Janger dari kelompok GSNI
Gerakan Siswa Nasional Indonesia). Para penari lelaki pun
dalam syairnya bercerita akan berangkat ke medan perang, meng-
hancurkan negara boneka Malaysia. Baik syair maupun slogan
dan komentar dag diucapkan dalam bahasa gado-gado, campuran
bahasa Bali dan bahasa Indonesia.
Pada masa konfrontasi ini, muncul pula di Tabanan, janger
yang bercerita. Tidak memakai dag. Sederet penari lelaki keluar,
bernyanyi, lalu duduk. Kemudian sederet penari wanita muncul
satu per satu bernyanyi, lalu duduk berhadapan dengan deretan
pria. Mereka bersyair sebentar sebagai pembuka dan basa-basi
kepada penonton. Lalu menceritakan keadaan masa sekarang yang
sedang berjuang menghancurkan Malaysia.
Muncullah drama, pemain-pemain keluar. Walaupun ceritanya
soal pengiriman sukarelawan ke Malaysia, kemudian ada adegan
perang segala, pemain lelaki (dari kelompok drama, bukan penari
laki janger itu) selalu menyebut identitas dirinya. Misalnya, aku
si marhaen, orang yang akan membawa rakyat menuju adil mak-
mur, akan berangkat bersama marhaen-marhaen lain ke pedala-
man Kalimantan, memakai bahasa Indonesia yang secara tata
bahasa apalagi dialek tak ketulungan jeleknya. Tapi penonton
kagum, ya, kesenian ini memang untuk orang-orang desa yang
mungkin sulit menangkap bahasa Indonesia. ,
Setelah era hitam G-30-S/PKI lewat, janger pun menguap.
Kampanye politik memang sudah tak ada lagi. PNI tak punya sain-
gan lagi, setelah PKI dibubarkan. Ada satu dua janger yang masih
pentas. Dan menariknya, pementasan itu sudah mulai komersial,
124
penonton membayar karcis. Janger jenis ini, janger yang bercerita,
yang memang cerita itu yang diharap-harapkan penontonnya. Tidak
lagi banyak mengumbar kata-kata marhaen mungkin karena
saingannya tak ada lagi walau kelompok kesenian ini tetap
mengatasnamakan LKN. Ceritanya pun lebih panjang, lebih urut,
misalnya, kepahlawanan Untung Surapati.
Janger inilah embrio drama gong. Janger itu sendiri meng-
hilang, dan tinggal dramanya. Karena tak lagi ada berbalas pan-
tun, musik pengiringnya diganti dengan yang lebih meriah, yakni
seperangkat gong. Bahasa yang dipakai tetap bahasa Indonesia,
kecuali pada leluconnya yang agak dicampur-campur.
Drama gong ini boleh disebut lahir di Kabupaten Gianyar,
tokohnya Anak Agung Raka Payadnya dari Desa Abian Base.
Pemunculan drama gong ini segera menjalar ke kabupaten lain-
nya. Mula-mula Klungkung lalu Badung, kemudian Bangli, dan
akhirnya di seluruh Bali. LKN memprakarsai festival drama gong
se-Bali pada 1968.
Sementara itu, polemik pun muncul di surat-surat kabar, soal
nama. Kenapa harus memakai gong, kenapa tidak cukup drama
saja. Polemik ini juga menandakan bahwa drama gong tidak
sekadar kesenian orang desa, tetapi sudah menjadi kesenian orang
kota. Dramawan tanpa gong, seperti Abu Bakar, Hemannegara,
Yudha Paniek, Sutikno, terlibat dalam urusan ini. Mungkin karena
bahasa Indonesianya itu, atau semangat kepartaian yang saat itu
masih tetap lengket.
Wabah drama gong merayapi Bali. Di desa, di kota, di sekolah,
muncul drama gong. Ketika orang desa saya mendengar, saya ikut
drama gong di Denpasar, saya pun berkali-kali disuruh pulang kam-
pung, melatih drama gong. Yang diharapkan para pemuda-pemudi
desa bukan latihan akting, cara bermain, vokal, dan sebagainya. Itu
soal mudah buat mereka, tak perlu latihan, cukup meniru pemen-
tasan sebelumnya. Yang mereka maui, buatkan cerita, dan buatkan
dialog-dialog. Jadi, pada mulanya drama gong muncul, teater ini
sudah memakai skenario tertulis.
Tetapi begitulah, dialog pendek-pendek. Kalau menonton
125
drama gong di desa, banyak sekali kata-kata janggal. Misalnya,
pada adegan pertengkaran antar pepatih, terdengar ucapan kuseret
darahmu. Bagaimana darah diseret? Sabar, seret itu dalam bahasa
Bali berarti meneguk. Jadi, kuseret darahmu berarti darah itu
diteguk setelah lawan dicekik tak berkutik. Atau kata-kata ini: Apa
kataku? Maksudnya, apa katamu? Atau lagi: Jangan mencuci
maki begitu, maksudnya mencaci maki. Penonton tak ada yang
ketawa dengan kata yang salah itu, mungkin pula tak menangkap
apa artinya. Yang dilihat, pemain bertengkar, habis perkara.
Kira-kira dua tahun setelah festival drama yang diselenggara-
kan LKN, Drama Gong Abian Base pimpinan Raka Payadnya ini
mengubah pementasannya, bukan saja ceritanya mulai mendekati
Bali, tetapi bahasanya memakai bahasa Bali. Terkenal saat itu, la-
kon Jayaprana. Sambutan penonton luar biasa. Hampir tiap malam
drama gong ini ditanggap. Penanggap bahkan memesan sampai
empat bulan di muka. Para petani Abian Base sudah melepaskan
cangkulnya. Sawah-sawah di desa itu dicarikan penggarap orang
luar.
Pembaruan ini tentu membawa akibat lain. Bahasa Bali
ternyata lebih sulit dipelajari orang desa, terutama di desa-desa
Tabanan, Buleleng, Badung. Sulitnya, karena cerita drama gong
selalu mengenai raja-raja, sehingga jika memakai bahasa Bali tentu
berbagai bentuk hormat dipakai. Adegan di kerajaan, para pepatih
atau rakyat akan berbicara dengan bahasa Bali halus kepada raja.
Dalam adegan di luar kerajaan, dipakai bahasa Bali menengah. Ad-
egan pertengkaran memakai bahasa Bali kasar. Dan tingkat-tingkat
bahasa ini sangat sulit untuk daerah-daerah yang jauh dari puri.
Apalagi buat anak-anak muda. Maka, banyak grup yang rontok
tiba-tiba termasuk grup di sekolah saya.
Ada yang bertahan dengan tetap memakai bahasa Indonesia,
misalnya Drama Gong Kacang Dawa di Klungkung. Sebagai
pemikat, grup ini menyelipkan tiupan seruling, seperti banyak
terlihat dalam film-film India. Bunyi seruling itu mengalun dit-
ingkahi bunyi gong, merupakan eksperimen baru dilihat dari segi
musiknya. Yang populer dari grup ini, lakon Sukrasena, seorang
126
manusia yang mengawini bidadari. Seruling itu berbunyi kalau
sang tokoh memanggil bidadari.
Musik seruling itu pun ditiru di banyak grup. Karena tak lagi
punya keistimewaan, drama gong dari Kabupaten Klungkung ini
ikut memakai bahasa Bali, tetapi kalah pamornya dari drama gong
Gianyar yang begitu menguasai tata krama bahasa Bali. Masyarakat
Gianyar sehari-harinya memang menggunakan bahasa Bali dalam
berbagai tingkat ini, sehingga pemain drama gong dari sini ting-
gal mengangkat bahasa Bali keseharian itu ke pentas. Itu bedanya
dengan drama gong di luar Gianyar, yang harus berkutat berbulan-
bulan mempelajari bahasa Bali dalam bentuk hormat.
Di Kabupaten Buleleng, Jembrana, dan sebagian Tabanan,
untuk menutupi kelemahan berbahasa Bali, grup drama gong
melengkapi pentasnya dengan layar-layar bergambar, seperti pe-
mentasan ketoprak di Jawa. Bahkan tidak sekadar layar yang bisa
digulung-diturunkan, tetapi juga berbagai kreasi, misalnya, hujan
buatan, awan buatan, tetamanan dengan air mancur buatan, sampai
dengan sungai yang berair deras yang dibuat dari berbagai layar
tipis, benang, dan tata cahaya.
Pemilihan umum pertama di masa Orde Baru, 1971, ternyata
membawa pengaruh juga. Drama gong di beberapa tempat beran-
takan, karena wadah bernaung kesenian itu, LKN, rontok. Golkar
masuk dengan cepat dan mendadak, membuat PNI bubar seketika,
dibubarkan atau membubarkan diri. Kesenian yang sudah merakyat
ini pun pingsan pula.
Setelah situasi normal, ekses peng-Golkar-an rampung dan
dilupakan masyarakat, pemerintah dengan aparat Listibiya (Majelis
Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) menyelenggarakan
festival drama gong. Tidak antargrup, tetapi mewakili delapan
kabupaten se-Bali. Bahkan juga difestivalkan drama gong anak-
anak maksudnya pemainnya adalah anak-anak sekolah dasar.
Dari sinilah lalu muncul grup drama gong dengan nama tertentu,
tidak memakai nama desanya, karena memang para pemainnya
tidak bergabung dalam satu desa. Grup bon ini tumbuh banyak
di Bali bagian selatan, sementara di Bali utara grup bekas LKN
127
di beberapa tempat masih tetap bertahan, tinggal mencopot kata
LKN-nya.
Denpasar punya stasiun pemancar dan stasiun produksi televisi.
Drama gong pun masuk ke kotak ajaib itu. Setiap Ahad malam,
TVRI Denpasar menyiarkan acara drama gong. Ternyata, acara
ini semacam publikasi terselubung untuk grup-grup yang muncul.
Grup yang muncul itu memang lebih profesional, baik dari segi
penguasaan pada drama-drama sebenarnya, akting, vokal, cara
bercerita, maupun tata bahasanya. Maka, semakin rontoklah grup
drama gong yang berada di desa-desa.
Kini, menginjak 1986, grup drama gong sudah bisa dihitung
dengan jari. Pemain-pemain yang baik pun tidak begitu banyak.
Pementasan juga sangat jarang. Grup yang masih aktif, baik pentas
maupun rekaman kaset, semuanya grup bon di Bali bagian selatan.
Yakni, grup Dewan Kesenian Denpasar, Kerti Bhuwana, Duta
Bon Bali, Bintang Bali Timur. Itu pun dengan pemain yang sering
pindah-pindah. Misalnya, Dewa Ayu Rai, yang sekarang bermain
di Drama Gong Kerti Bhuwana, suatu saat bisa saja bermain di
Drama Gong Duta Bon Bali.
Dewa Ayu Rai adalah pemain putri yang paling populer saat
ini di Bali. Pemain putranya, I Wayan Lodra, dikenal sangat
ahli berfilsafat dengap tutur bahasanya yang bagus. Memang, ia
karyawan Kanwil Departemen Agama yang biasa mengadakan
penyuluhan-penyuluhan di desa. Kepopuleran I Wayan Lodra
periode 1980-an ini sama dengan populernya Anak Agung Raka
Payadnya pada periode 1970-an.

***

SEBAGAI salah satu bentuk teater rakyat, drama gong me-


mang lebih bebas dibandingkan gambuh, arja, maupun topeng.
Jumlah pemain tidak terbatas. Jumlah tabuh (jenis musik pengir-
ingnya) tidak pula dibatasi, bahkan sangat dimungkinkan eksperi-
men baru.
Namun, pola ceritanya hampir seragam. Dan selalu tentang
128
raja-raja, walau itu dibuat-buat. Tiru-meniru dengan mengubah
judul dan nama tokoh dalam cerita selalu terjadi ketika wabah
drama gong itu melanda. Abian Base punya cerita top berjudul
Tapa Lara, seminggu kemudian muncul drama gong lain dengan
judul Made Lara. Menyusul Sukra Tapa. Ceritanya itu-itu juga,
tinggal dibolak-balik, atau dibongkar sana-sini.
Selalu ada dua raja muda (pangeran), yang satu raja muda
yang sopan jujur, bahasanya bagus, dan biasanya diambil dari
pemain yang ganteng. Masyarakat menyebutnya pemain muda.
Yang satu lagi, raja muda yang kasar, bicaranya ngawur, rakus,
dan masyarakat Bali menyebutnya raja buduh arti persisnya
raja gila. Kedua raja ini diiringi panakawan yang sifat-sifatnya
sama dengan raja mudanya.
Lalu ada raja tua, raja yang masih memegang tampuk pemer-
intahan. Bisa ada dua, tiga, atau lebih. Raja ini pun punya pepatih.
Di antara pepatihnya itu, ada dua golongan, yang bertabiat
buruk suka memfitnah dan menjilat untuk kepentingan jelek
ada pepatih yang setia. Dalam sidang kerajaan, dua pepatih ini
berdebat, dan mengalirlah berbagai pelajaran keagamaan, filsafat,
masalah kenegaraan menurut agama, dan bermacam-macam.
Selain kelompok raja, ada kelompok masyarakat biasa. Dan
selalu sepasang suami istri yang mandul, sehingga disebut Pan
Bekung dan Men Bekung. Tokoh-tokoh ini menjadi semacam
jembatan, di antara dua raja yang bertengkar.
Ciri yang lain lagi adalah celuluk sejenis rangda yang
kepalanya botak-- topeng yang banyak dijual di toko-toko kes-
enian. Celuluk ini bisa simbol binatang buas, atau bisa pula naik
tingkat menjadi utusan Bethara yang akan menghidupkan tokoh
yang meninggal dunia. Teater rakyat Bali sangat menghindari
cerita berakhir sedih. Karena itu, setelah kematian ada adegan
menghidupkan kembali. Pokoknya, setiap pertengkaran, setiap
pergulatan, pada akhirnya selalu yang menang pihak yang benar.
Dan kalau yang benar ini pada pertengahan cerita meninggal dari
tokoh jahat, Tuhan berbaik hati untuk menghidupkannya. Celuluk
itu pun muncul di pentas.
129
Saya berkali-kali mengikuti grup drama gong di desa saya,
memainkan lakon Jayaprana lakon yang angker karena
cerita ini benar-benar pernah terjadi. Kalau bermain di kota, atau
pinggiran kota, cerita dibiarkan berakhir dengan kesedihan. Yaitu
meninggalnya Jayaprana secara pasrah di Teluk Terima setelah
dibunuh Pepatih Sawunggaling atas perintah Raja Kalianget. Ini
memang adegan yang memilukan. Sawunggaling sebenarnya tak
tega membunuh Jayaprana, karena bukan lawan, dan bukan orang
jahat. Pepatih ini menusuk leher Jayaprana di pangkuannya dengan
pelan, dengan linangan air mata.
Jayaprana memang pasrah, karena ia sejak kecil diasuh di
kerajaan, dibesarkan dan dididik di tembok puri. Kalau raja mem-
besarkannya, dan kini atas perintah raja pula kematiannya datang,
untuk apa harus dicegah? Justru Jayaprana bersyukur, hidupnya
bisa diperpanjang oleh raja, karena dipungut dalam keadaan sekarat
di masa keeil, ditinggal mati ayah ibunya.
Adegan antara Sawunggaling dan Jayaprana yang penuh kes-
edihan ini bisa menguras air mata penonton. Apalagi adegan itu
berlanjut terus dengan sedih, bagaimana Layonsari mencari tahu,
kenapa suaminya belum pulang dari Teluk Terima. Bagaimana
Sawunggaling tak tega menceritakan kematian itu kepada Layon-
sari. Dan akhirnya Layonsari bunuh diri, setelah tahu, kematian
Jayaprana atas kehendak raja dengan maksud raja menikahi Lay-
onsari. Cerita berakhir.
Bagi penduduk pedesaan, cerita model begini tidak bisa
diterima. Itu sebabnya, setiap cerita di luar Jayaprana walaupun
polanya meniru Jayaprana tak akan berakhir dengan tragedi
seperti itu. Maka, pada suatu pentas, atas permintaan penanggap
yang ingin cerita Jayaprana tetapi tak ingin cerita berakhir sedih,
saya memelencengkan cerita di bagian akhir. Setelah Layonsari
bunuh diri, Raja Kalianget mengamuk. Rakyat ramai-ramai me-
nyerang kerajaan dan memaki-maki raja yang sudah tewas. Den-
gan banyolan itu yang dalam kisah sebenarnya tak pernah ada
penonton melupakan kesedihannya.
Atau suatu kali ada teknik baru. Begitu selesai Layonsari bunuh
130
diri, layar tipis bergambar awan diturunkan. Tata cahaya lampu
diatur. Jayaprana keluar dari awan mendatangi mayat Layonsari,
dibawanya naik ke awan. Lalu, layar awan digulung naik, diganti
layar tetamanan. Jayaprana dan Layonsari muncul lagi, kali ini
menari gembira dengan gamelan riang dan dialog-dialog yang
menandakan kebahagiaan, bahwa mereka toh berkumpul di surga.
Penonton puas dan bergembira.

***

INILAH cerita Ni Luh Sukerti, yang kasetnya direkam atas


nama Drama Gong Bintang Bali Timur, produksi Aneka Stereo
Record.
Cerita ini tamat dalam empat kaset dan menurut produser,
sudah dicetak lebih dari 200.000 kaset.
Raja Kauripan punya dua putra. Yang pertama bernama Angga
Pati, adiknya bernama Jaya Semara. Angga Pati, yang digambar-
kan sebagai anak yang bodoh, gemar berjudi, agak sinting, sudah
mengambil istri, yakni Putri Pejarakan anak Raja Pajarakan.
Jaya Semara masih membujang.
Dalam suatu sidang kerajaan, Raja mengutarakan maksudnya
untuk menyerahkan tahtanya ke Angga Pati, karena sesuai dengan
tradisi sebagai putra tertua. Tetapi Angga Pati menolak. Alasannya
ngawur saja, tidak suka menjadi raja. Dibujuk-bujuk oleh adiknya,
dengan alasan akan dibantu memimpin kerajaan, Angga tetap tidak
bersedia. Malah dia menawarkan tahta itu kepada adiknya.
Pembicaraan belum selesai, karena ayam yang dibawa
panakawan Angga Pati lari. Pangeran sinting ini ikut mengejar
ayam itu, dan tak muncul-muncul lagi.
Sepeninggal Angga Pati, Raja bingung mengambil keputusan.
Patih Anom, yang dimintai pendapatnya, memberikan usul agar
Jaya Semara saja dikukuhkan sebagai raja. Setelah cukup mengadu
argumentasi, Jaya Semara menyanggupi, dengan catatan ia diperke-
nankan menumut ilmu ke tengah hutan kepada seorang resi.
Keputusan ini di pihak lain menjadi bibit pertentangan antara
131
Patih Anom dan Patih Agung yang tak setuju Jaya Semara
menjadi raja.
Sementara itu, Putri Pejarakan juga kesal, karena suaminya
belum bisa menjadi raja. Padahal, sebelum ia dibawa ke Kauripan,
ia sudah mengajukan syarat, bersedia diajak kawin asal nantinya
menjadi permaisuri. Pada saat ia mengumbar kekesalan itu, Jaya
Semara datang mengabarkan tentang Angga Pati yang menolak
menjadi raja. Jaya Semara pun mengabarkan, dirinya akan segera
menuntut ilmu, karena dipersiapkan menjadi raja. Putri Pejarakan
terpukul, walau itu disimpannya dalam-dalam.
Ketika Jaya pergi, muncul Angga, katanya baru pulang dari
tempat sabungan ayam. Langsung saja pangeran ini disemprot
habis-habisan oleh istrinya. Sekali lagi istrinya meminta agar
Angga tetap menjadi raja.
Tersebutlah kisah lain, di tengah hutan. Ada seorang resi atau
dukuh yang bijak. Ia punya dua anak: Ni Luh Sukerti dan Luh
Mongkeg. Keduanya juga punya perangai yang berbeda. Sukerti
halus, tutur bahasanya baik; sementara Mongkeg suka ceplas-ce-
plos, urakan, dan sering mengumpat-umpat.
Di tempat inilah Jaya Semara belajar. Bukan saja ilmu yang
diperolehnya, tetapi juga ia mengikat tali cinta dengan Sukerti. Dan
akhirnya, lewat berbagai teknik dan taktik, Jaya Semara berhasil
mengawini Sukerti dan diboyongnya ke Puri Kauripan.
Sementara itu, di Kauripan, pada saat Angga Pati meminta
uang kepada ayahnya untuk bekal berjudi, Jaya Semara muncul dan
langsung memperkenalkan Sukerti. Ketika Raja bertanya, apakah
ilmu yang didapat Jaya Semara cukup, pangeran ini menjawabnya,
belum. Untuk itu, besok pagi, ia akan pergi ke tempat resi yang
lain untuk melengkapi ilmunya.
Sepeninggal Jaya, Angga pun terpikat pada Sukerti. Angga
berusaha membujuk dan memaksa Sukerti meladeni nafsu jahat-
nya. Pada saat tarik-tarikan ini, Putri Pejarakan datang. Tentu sang
putri marah dan langsung mengusut siapa yang membuat onar lebih
dulu. Putri semakin dendam pada Sukerti.
Di bagian lain, di tengah perjalanan, Jaya Semara diingatkan
132
oleh panakawannya karena tak membawa keris pusaka. Ia balik pu-
lang dan sebelum sampai di puri berjumpa dengan Putri Pejarakan.
Sang putri langsung mengatakan, memang ada niat menyusul Jaya.
Ada sesuatu yang ingin disampaikannya, yakni niat jahat Sukerti
yang menggoda suaminya. Singkat kata Sukerti difitnah. Jaya pun
marah luar biasa. Akhirnya Jaya menyiksa istrinya, rnengumpat
dengan kata-kata yang kasar. Sukerti diusir.
Sukerti yang malang itu pulang ke tempat ayahnya. Semula
ayahnya marah, tetapi ketika Sukerti menjelaskan ia kena fitnah,
dan dilakukan oleh Putri Pejarakan, sang resi diam terpaku. Rupa-
nya, ada suatu misteri. Dan benar, beberapa saat, resi itu sungkem
dan menyembah Sukerti. Ia menjelaskan, Sukerti dipungut sejak
keeil, tak lain dari Putri Daha anak Kerajaan Daha. Negeri
ini hancur karena suatu pertempuran licik. Yang menghancurkan
Kerajaan Pejarakan. Sukerti pun lantas bangkit dan menantang
Putri Pejarakan, suatu saat nanti.
Kembali kisah ke Istana Kauripan. Putri Pejarakan memanggil
Patih Agung untuk menyusun siasat, bagaimana caranya mem-
bunuh Raja. Targetnya, setelah mertuanya terbunuh, lalu disusul
membunuh suaminya. Patih Agung meminta agar mencuri keris
Angga Pati. Keris itulah yang nantinya akan dipakai Patih Agung
membunuh Raja.
Rencana buruk itu berjalan lancar. Raja mati di kamar tidurnya,
sesuai dengan skenario Patih Agung. Rakyat pun gempar. Ketika
dilacak, ditemukanlah keris Angga Pati. Tuduhan langsung kepada
pangeran yang agak sinting ini. Pada saat diusut, Angga Pati tak
mengakui telah berbuat jahat seperti dituduhkannya. Tetapi karena
banyak suara yang menuduh dirinya dan dengan alasan ketentera-
man, Angga bersedia dibunuh. Jaya Semara langsung mencabut
kerisnya, dan berkata kepada rakyat: hukum tak pandang bulu,
siapa pun yang bersalah harus dibunuh, tak terkecuali saudara
sendiri. Pada saat ia menusuk kakaknya, Patih Anom menghalangi.
Patih ini berjanji akan mencari si pembunuh dalam waktu tiga hari.
Jaya akhirnya setuju.
Patih Anom melihat gerak-gerik Patih Agung mencurigakan.
133
Tetapi yang ia usut adalah panakawan Angga Pati, orang yang
dibawa dari Pejarakan. Panakawan ini mengaku, melihat Patih
Agung membawa keris menuju kamar Raja. Maka, Patih Agung
dikejar, dan Putri Pejarakan pun diusir oleh suaminya sendiri.
Angga Pati juga berjanji untuk mengubah tabiatnya, sementara Jaya
Semara menyesal telah mengusir Luh Sukerti. Ia berjanji mencari
Sukerti dan meminta maaf.
Kaset berakhir.

***

CERITA drama gong memang sederhana. Selalu hitam dan


putih. Tetapi setelah dipergelarkan secara khusus dengan penon-
ton terbatas untuk kepentingan rekaman, pemain drama gong ini
bisa menyuguhkan cerita dalam masa putar lebih dari empat jam.
Banyak sekali variasi.
Bisa diurut dari awal. Satu pangeran didampingi dua
panakawan, berarti ada empat panakawan. Bayangkanlah berapa
waktu tersita untuk banyolan para panakawan ini, apalagi kalau
sedang menggoda seorang dayang emban Putri Pejarakan.
Kemudian pertengkaran Angga Pati dengan istrinya mengalir
berbagai ajaran, bagaimana seharusnya menjadi raja dan mening-
galkan mental penjudi.
Di tengah hutan, pun diselipkan pertengkaran Sukerti dengan
Mongkeg, dan di sini berhamburan pula sopan santun, bagaimana
menghormati orangtua. Lalu gaya bercinta Jaya Semara dengan
Sukerti, yang sudah memakai rayuan gaya modern, seperti pada
film-film Indonesia. Terselip pula masalah kasta, karena Sukerti
mempersoalkan hal itu, sebagai orang kebanyakan yang akan
dikawini orang ningrat. Jaya Semara, dengan segala keahliannya,
membentangkan bagaimana soal kasta itu sudah kuno, apalagi
dikaitkan dengan perkawinan. Pada saat bercinta secara gombal,
lalu berfilsafat dan sebagainya, tak terasa hari menjadi malam.
Nah, kepergok Mongkeg, lalu dilaporkan kepada ayahnya. Maka,
khotbah pun meluncur, bagaimana seharusnya hubungan lelaki dan
134
perempuan sebelum perkawinan.
Perpisahan Sukerti dengan ayahnya pun penuh dengan nasihat,
tentu dari sang ayah. Begitu pula perpisahan Sukerti ketika diting-
gal Jaya Semara di puri, banyak nasihat meluncur. Yang paling ber-
panjang-panjang, tetapi mengasyikkan didengar, cara Jaya Semara
mencaci-maki Sukerti, setelah adanya fitnah itu. Diperbandingkan
penderitaan Sukerti di hutan dan gemerlapan istana. Kesedihan
Sukerti berjalan pulang ke hutan juga panjang, dan di sini musik
berkesempatan memamerkan lagu-lagu duka.
Sebagai puncak tentu saja cara Patih Anom mengusut
panakawan, dan sebelum itu ada kisah kebimbangan Jaya Semara
untuk membunuh kakaknya.
Pemain drama ini boleh disebut kalangan intelektual. Orang
seperti I Wayan Lodra (yang menjadi Jaya Semara), I Gde Yudana
(Angga Pati), Dewa Ayu Putu Rai (Sukerti), Anak Agung Rai Ka-
lam (Patih Anom), sehari-harinya memang sudah terlibat dalam
berbagai masalah keagamaan.
Kalau lakon Luh Sukerti itu dipentaskan tanpa maksud di-
rekam, tentu cerita tak berakhir di situ. Kisah akan dilanjutkan,
sampai Sukerti kembali ke Puri Kauripan dan perkawinan di-
langsungkan besar-besaran. Dan rakyat berperang melawan Putri
Pejarakan yang tentu saja dilukiskan bisa menjadi leak.
Boleh jadi pula, untuk mengulur-ulur waktu pementasan
drama gong di pedesaan berakhir sampai pagi beberapa sisi-
pan adegan dilakukan. Misalnya, adegan Angga Pati ke tempat
sabungan ayam, dan sabungan ayam itu sendiri. Adegan ini untuk
memperjelas betapa jeleknya tabiat pangeran ini, selain untuk
bahan lelucon. Juga adegan Sukerti menangis ke tengah hutan
akan lebih berpanjang-panjang dalam pementasan biasa. Mun-
cul burung-burung, binatang-binatang dan apa saja yang ada
topengnya membantu Sukerti berjalan, mencarikan makanan.
Pokoknya, seisi hutan solider dalam tangis. Penonton biasanya
ikut larut dalam tangis.
Dewa Ayu Putri Rai, gadis berlesung pipit yang sehari-hari
karyawan sipil di Polda Nusa Tenggara di Denpasar, kini tak lagi
135
dipanggil Rai, atau Ayu Rai, atau Putu Rai. Nama pemberian orang-
tuanya itu seperti tak laku lagi untuk panggilan. Ia kini dipanggil
Sukerti. Bahkan ia sendiri sampai mengaku sering lupa, punya
nama yang panjang.
I Wayan Lodra, ketika mengadakan penyuluhan agama di desa-
desa, sering dipanggil Pak Jaya Semara. Begitu pula I Gde Yudana,
sehari-hari adalah letnan polisi, sudah terbiasa dan tidak marah
kalau teman-temannya memanggil Raja Buduh.
Kenyataan ini menunjukkan perkembangan baru, drama gong
sudah mulai mengenal sistem bintang. Masyarakat di pedesaan
juga mulai menokohkan para pemain teater rakyat itu sejajar
dengan bintang-bintang film yang mereka kenal baik. Dulu ma-
syarakat tak peduli dengan bintang-bintang itu. Mereka hanya
mengenal, drama gong ini baik, yang ini jelek. Mungkin, karena
begitu banyaknya drama gong, masyarakat penonton tidak sempat
menokohkan para bintang.
Akibat sistem bintang ini, pemain-pemain top yang merasa
dirinya jadi bintang suka mengembara dari satu grup ke grup
yang lain. Dewa Ayu Rai, misalnya, pernah bermain di grup Bin-
tang Bali Timur, lalu ke grup Kerti Bhuwana, kemudian di grup
Dewan Kesenian Denpasar. I Wayan Lodra bahkan lebih leluasa,
selain di tiga grup di atas, ia juga sering nampang di grup Bhara
Budaya grup drama gong yang di bawah pembinaan Polda Nusa
Tenggara. Sudah tentu pasangan-pasangan dalam permainan tidak
tetap. I Wayan Lodra sebagai raja muda kadang berpasangan den-
gan Komang Anggreni yang bermain sebagai putri (peran utama
wanita). Dewa Ayu Rai sekali waktu berpasangan dengan Supadma
yang bermain sebagai raja muda (peran utama pria). Jadi, sudah
mirip pembuatan film.
Ada yang diuntungkan dengan sistem ini. Tentu saja pemain
top itu. Ia bisa mengajukan harga tinggi untuk sebuah pementasan.
Dewa Ayu Rai dibayar Rp 30.000 sampai Rp 50.000 untuk setiap
pementasan. Dibandingkan dengan artis nasional katakanlah
penyanyi atau bintang film tentu angka itu tak seberapa. Tetapi
sebagai ukuran pendapatan seorang seniman di Bali, harga untuk
136
Dewa Ayu Rai sudah kelewat tinggi. Bandingkanlah dengan pe-
main pembantu yang hanya dibayar Rp 5.000. Atau para penabuh
yang hanya dibayar Rp 50.000 untuk satu grup yang beranggotakan
sekitar 20 orang. Ini berarti para seniman di Bali walaupun baru
terbatas pada pemain top drama gong sudah menghargai keahli-
annya dengan uang. Suatu hal yang dulunya tak begitu dipikirkan
para seniman tradisional.
Karena itu, pertunjukan drama gong sekarang ini sudah men-
jadi mahal. Hampir mencapai jumlah Rp 500.000 untuk sekali
pentas. Panitia amal di desa-desa berpikir banyak kali untuk me-
mutuskan apakah memilih drama gong atau yang lainnya, untuk
menarik dana dari masyarakat. Jika mereka memilih drama gong,
mereka harus merebut pemain top, kalau bisa pasangan yang pop-
uler dalam lakon Sukerti itu walau ceritanya boleh diganti. Juga
harus diperhitungkan, apakah hari cerah atau hujan.
Dan pilihan yang risikonya kecil sudah tersedia. Mendatangkan
layar tancep alias film keliling. Dengan modal Rp 150.000 sampai
Rp 200.000 sudah bisa mendatangkan dua film cerita, yang diputar
berurutan. Dengan modal yang jauh lebih kecil, penonton yang
digaet sama banyak, sehingga keuntungan lebih besar. Soalnya
harga karcis masuk untuk pentas drama gong itu ditarik sama
besar untuk dua film cerita itu. Pilihan ini yang banyak terjadi
sekarang.
Apakah drama gong menjadi kian mati? Tidak. Karena grup
yang ada sekarang itu jumlahnya di bawah sepuluh tetapi kian
profesional masih tetap melayani pementasan-pementasan.
Pada akhirnya, memang, kalau jumlah yang kecil itu melayani
seluruh luas Pulau Bali, terasa sekali ketidak-beradaannya. Bukti
lain, masyarakat tetap berbondong-bondong menatap televisi se-
tiap Ahad malam, ketika TVRI Stasiun Denpasar memancarkan
siaran drama gong. Julukan yang paling tepat, barangkali seperti
apa yang dikatakan Gde Dharna, seniman drama baik drama
gong maupun drama modern yang mengatakan drama gong
sekarang sedang pingsan. Kesenian ini musiman. Nanti pasti
tumbuh lagi, katanya.
137
Pingsannya drama gong itu, karena faktor dari dalam, juga
karena faktor luar: terdesak film-film yang masuk desa. Mudah-
mudahan betul hanya pingsan.

138
IX

Pasang Surut
Sastra Bali
Moderen
& Tradisi

Made Taro di Sasih Karo

Sasih karo ring Bali


sediain saput alembar
suryane ngedengang raga, nanging kenyem ipun dingin
katiba ring kopine acangkir

Angin daret tur angin pesisi


mayus ipun ngupinin taru-taruan
rauh ring puncak meru
nenten wenten kidung rahina mangkin
mawinan nenten rahinan katur ring
suryan jagat, angin tur garba

Sasih karo ring Bali


ambil saput alembar

139
kurung ragane serahina
ngiring mapaos raga-raga
sareng kopi acangkir

T
EMAN saya agak heran ketika menemukan sajak berbahasa
Bali di atas, di antara tumpukan buku tentang kesusastraan
Indonesia. Ia menyebutkan, belum pernah mendengar ada
sajak berbahasa Bali. Dan lebih luas, ia belum pernah mendengar
kesusastraan Bali modern ada di tengah-tengah kesusastraan In-
donesia. Bisa diterjemahkan? pintanya.
Sajak karya Made Taro di atas yang berjudul Sasih Karo Ring
Bali saya terjemahkan untuk menghormati seorang kawan yang
tampaknya begitu berminat.

Sasih Karo di Bali

Sasih karo di Bali


sedialah selembar selimut
matahari menampakkan diri, tapi senyumnya dingin
pada secangkir kopi

Angin darat dan angin laut


kemalasannya menerpa pepohonan
sampai ke puncak-puncak meru
tiada yang didendangkan hari ini
karena tiada hari raya bagi
matahari, angin dan hati nurani

Sasih karo di Bali


ambillah selembar selimut
dan bungkuslah diri sehari-hari
mari berdialog sendiri
bersama secangkir kopi

Sajak ini ditulis Made Taro pada 1976 dan sudah dimuat dalam
140
kumpulan puisi Galang Kangin yang diterbitkan Yayasan Saba
Sastra Bali Denpasar. Ia melukiskan suasana Bali pada Sasih Karo
(bulan kedua tahun Saka, atau sekitar bulan Agustus) yang memang
udaranya agak dingin.
Apakah puisi jenis ini masih banyak di Bali? Apakah penyair
sastra Bali ini cukup banyak jumlahnya? Pertanyaan teman
saya yang agak kekanak-kanakan ini hampir saja membuat saya
terpingkal-pingkal.
Tentu saja banyak. Di Jakarta, saya masih memiliki beberapa
koleksi, antara lain, kumpulan puisi Ganda Sari (1973) dan Joged
Bungbung (1975). Ada lagi, Kembang Rampe Kasusastraan Bali
Anyar (1978), yang diterbitkan Balai Penelitian Bahasa Singaraja
yang memuat bunga rampai kesusastraan Bali modern dalam ben-
tuk prosa dan puisi. Buku-buku ini memang tipis, dicetak seder-
hana, dan karena itu terselip di antara buku-buku lain. Memang
sebuah buku yang sama sekali tidak menarik perhatian.
Saya berjanji kepada teman saya, dalam perjalanan pulang
ke Bali ini akan mengumpulkan buku mengenai sastra Bali yang
lebih banyak. Ketika saya meninggalkan Bali, pemerintah daerah
Bali tampaknya berminat sekali mengembangkan sastra ini. Har-
ian Bali Post, pada edisi Minggunya, sering memuat puisi Bali
modern begitu istilahnya untuk sajak sejenis karya Made Taro
ini. Sayembara pun sering diadakan oleh pemerintah. Saya pikir,
sastra Bali modern masih menggairahkan.

***.

TERNYATA, saya meleset. Kehidupan sastra Bali modern


boleh disebut pingsan di awal 1986. Dari pembicaraan dengan
beberapa teman, saya mendapatkan kabar lebih buruk, sastra Bali
modern itu sudah lama pingsan, memasuki tahun 1980-an. Har-
ian Bali Post tidak lagi memajang sajak-sajak berbahasa Bali.
Penerbitan yang dikelola Yayasan Saba Sastra Bali betapapun
sederhana dan tidak menarik-nya juga macet. Pemerintah
daerah pun, entah pertimbangan apa, tak lagi gencar mengadakan
141
sayembara-sayembara.
Dari para penyair timbul keluhan, tidak ada media yang me-
nampung karya-karya mereka. Penulis akan menulis kalau ada
yang mau membacanya. Buat apa membikin puisi atau cerpen kalau
orang lain tidak membacanya? ini kata Made Taro, penyair dan
guru SMA di Denpasar yang dulu mengasuh ruang sastra Bali di
harian Bali Post itu. Dari kalangan penerbit muncul pula keluhan,
pembaca sastra Bali jenis ini tidak banyak sehingga sama sekali
tidak laku. Adalah pertimbangan bisnis kalau media yang dulu
memuat sastra Bali sekarang mulai menghentikan rubrik itu. Ten-
tang ini, yakni berkurangnya peminat sastra Bali modern, agaknya
perlu sebuah penelitian untuk membuktikan kebenarannya. Meski-
pun, memang, sastra jenis ini adalah konsumsi kalangan pelajar,
mahasiswa, dan orang-orang kota.
Sastra Bali modern, kehidupannya memang sejak dulu terting-
gal dibandingkan sastra Jawa atau sastra Sunda, misalnya. Sebelum
kemerdekaan, pada masa Balai Pustaka, begitu banyaknya roman
berbahasa Jawa terbit, Bali hanya diwakili 2 buah saja. Nemu
Karma karya Wayan Gobiah diterbitkan Balai Pustaka 1931. Ke-
mudian menyusul Melancaran ke Sasak karya Gde Srawana yang
dimuat bersambung di majalah Jatayu, yang terbit di Bali saat itu.
Kedua roman (novel) ini menjadi tonggak kehidupan sastra Bali
modern. Sayangnya, tonggak itu tidak bertunas, tidak bercabang
lagi, dalam jenisnya. Sampai saat ini (1986) tetap tidak ditemukan
bentuk roman (novel) berbahasa Bali. Sastrawan Bali rupanya
kehabisan napas untuk menuangkan cerita yang panjang.
Dua puluh delapan tahun kemudian, yakni 1959, baru dite-
mukan sajak bebas (puisi) berbahasa Bali. Judulnya, Basa Bali,
karya Suntari Pr yang dimuat dalam majalah Medan Bahasa pada
rubrik Bahasa Bali. Majalah ini terbit di Yogyakarta. Puisi ini
pula merupakan puisi pertama berbahasa Bali walaupun tidak
diketahui apakah pengarangnya orang Bali yang memakai nama
samaran atau benar-benar orang luar Bali, melihat dari namanya.
Puisi itu lengkapnya begini:

142
Basa Bali

Tan uning titiang ring karananipun


Sukseman titiange kadi kategul antuk benang sutra
Ngeranjing manyusup tulang ngantos kasumsum
Sane dados bagian awak titiange
Sareng maurip saking ayunan ngantos kelih
Seduke ngipi memanah tur ngamedalang rasa

Ring sajroning basa ibu


Manah titiange sampun kelih antuk cayane
Maborbor sukseman titiange antuk cayane
Titiang manggihin pribadin titiange
Titiang magubugan ring masarakat
Terus masemetonan sareng sawitra
Baktin titiang ring rerama nenten ja kirang
Kasih kinasihan sareng alit-alite

Sane encen kirang terang kapikayun


Titiang nyelipang raos anyar
Anggen titiang payas sane cocok ring kala punika
Kapanggih rupanipun ngenyagang manah

Puisi berbahasa Bali yang menggugah orang untuk menulis


memakai bahasa ibu karya Suntari Pr itu, tetap saja tidak mengger-
akkan sastrawan Bali memakai bahasa ibunya. Kekosongan tetap
terjadi. Bisa jadi, dalam masa-masa itu puisi berbahasa Indonesia
pun tidak banyak punya pengikut di Bali. Kalau bentuk puisi
berbahasa Indonesia saja tak punya peminat, apalagi memindahkan
bahasa Bali ke bentuk itu.
Tiba-tiba saja, I Ketut Suwija, pada 16 Juni 1968, lewat harian
Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara yang terbit di Denpasar
memasang karyanya, sebuah sajak berjudul Angin. Ini adalah
terjemahan bebas dari karya Boris Pasternak dalam bukunya
yang tersohor, Doctor Zhivago. Sajak yang aslinya berjudul Wind
143
merupakan bagian dari The Poems of Yum Zhivago. Dalam buku
Dokter Zhivago terjemahan Trisno Sumardjo terbitan PT Pustaka
Jaya, puisi-puisi ini tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Sajak itu aslinya begini:

Wind

I have died, but you are still among the living


And the wind, keening and complaining
Makes the country house and the forest rock
Not each pine by it self
But all the trees as one
Together with the illinestable distance
It makes them rock as the hulls of sailboats
Rock on the mirrorous waters of a boat basin
And this the wind does not out of bravado
Or in a senseless rage
But so that in its desolation
It may find words to fashion a lullaby for you.

I Ketut Suwija menerjemahkan ke bahasa Bali seperti di bawah


ini:

Angin

Ragane lampus, nanging jerone sinarengan ngemong jiwita


Miwah angin, ngrubeda masesambatan
Ngardiang alase miwah pondok-pondok panegarane
magejeran
Nenten saking wit camara masiok pragayan
Sami ipun tarune dados mingsiki
Santukan taler i kapal tan mari mogahan
Mombakan ring sagara masuluh danu genah melayar
Tan sangkaning angine kaon
Geleng ring kamurkan kandugi tanwenten pisaratang
144
Pikenoh ipun ring jalaran pangrusake
Mangda manggihin gita pangiket
Anggen pralambang katur ring jerone.

Karya inilah yang menggetarkan para tokoh bahasa. Terutama


disebabkan oleh mampunya bahasa Bali berbicara secara terhor-
mat, menerjemahkan bahasa asing, Inggris. Lembaga Bahasa
Nasional Cabang I Singaraja lantas merangsang sastrawan Bali
berkarya. Lembaga ini mengadakan sayembara, tahun itu juga,
dengan maksud agar Angin tak berhenti bertiup. Agar Angin yang
didatangkan I Ketut Suwija terus berembus. Dalam sayembara
ini, selain dilombakan puisi berbahasa Bali, juga drama dan cerita
pendek berbahasa Bali.
Angin baru bertiup. Tak disebutkan berapa banyak peserta
sayembara. LBN I Singaraja hanya menyebutkan, pesertanya
banyak. Pemenangnya juara I, Ngurah Yupa dengan sajaknya Bali.
Pemenang II, Ida Bagus Arthanegara dengan sajaknya Geguritan
Pianak Bendega, pemenang III, Wayan Rugeg Nataran dengan
sajaknya Pura Agung Jagatnatha, dan pemenang harapan, Ketut
Putru dengan sajaknya Galang Bulan.
Karya Ngurah Yupa betul-betul dipuji para juri. Selain ben-
tuknya, juga isinya yang mengisahkan cinta kasih seseorang pada
Bali, pada alamnya, pada masyarakatnya, pada kebudayaannya.
Lihatlah:

Bali

Tabuh, solah lan wirama deriki masikian


idup kaidupang antuk dasar manah suci
suara bajra ida pedanda melarapan weda-weda
juru kidung matimpuh ngidungang wargasari
sekadi maayunan ring muncuk-muncuk penjore
megejeran ring oncer canang sari
luhur masucian tur dahating ngulangunin
sajroning manah
145
(Buin pidan tiang liang
apang liang dini
di tengah-tengah oleg tamulilingan)

Ngiring mangkin sikiang ragane


nyegjegang warisan leluhur sami
mabalik sumpah ring manah soang-soang
anggen sanjata dahating sakti
pacang warisin oka putune ungkuran
(Buin pidan tiang sebet
apang sebet dini
katembangan pupuh semarandana)

Wentenke
becikan ring hidup pasuka-dukan
salunglung sabiantaka
ngulangunin suara suling pangangon
bajang-bajang nembang ngalih saang
semar pagulingan di jaba pura
wentenke?
(Buin pidan tiang mati
apang mati dini
keanterang kakawin prihantemen)

Boleh jadi, puisi ini tidak begitu bergetar kalau diterjemahkan


ke dalam bahasa Indonesia. Karena rasa atau mungkin roh
bahasa Ball sulit diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kenikmatan
setiap bahasa tentu berbeda-beda. Coba lihat, terjemahan puisi Bali
itu yang dikerjakan oleh Made Taro seorang guru yang juga
banyak menulis cerita untuk anak-anak, berbahasa Indonesia.

Bali

Tabuh, tari dan lagu di sini berpadu


saling menghidupkan dari hati yang suci
146
suara genta pendeta beriring mantra-mantra
orang-orang bersimpuh menyanyikan wargasari
seakan berayun-ayun di puncak penjor
menggetarkan canang sari
begitu suci dan mempesona
sampai ke hati
(bila saatnya aku bersuka-ria
biar bersuka di sini
di tengah tari tamulilingan)

Satukanlah dirimu kini


tegakkan warisan leluhur
bersumpahlah di hati masing-masing
untuk senjata yang ampuh
diwariskan anak-cucu kemudian hari
(bila saatnya aku berduka
biar berduka di sini
diiringi lagu semarandana)

Adakah
yang lebih baik dari hidup bersuka-duka
senasib sepenanggungan
menikmati seruling gembala
dan tembang gadis-gadis mencari kayu api
dan suara semar pegulingan di halaman pura
adakah?
(bila saatnya aku mati
biar mati di sini
diantar kekawin prihantemen).

Sajak ini juga berhasil karena lambang-lambang yang dipak-


ainya tepat. Tari Tamulilingan, suatu tari riang yang melambangkan
muda-mudi sedang bercinta, bermesraan. Semarandana, suatu kid-
ung sedih yang sering sekali dialunkan kalau seseorang mengalami
hati yang pilu. Semarandana ini termasuk salah satu dari sekar alit
147
(macapat di Jawa), lainnya adalah Sinom, Pucung, Dangdang Gula,
Ginada, dan banyak lagi. Adapun prihantemen ini nama dari satu
jenis kekawin berbahasa Kawi, lagu duka yang dinyanyikan untuk
mengiringi jenazah.
Tahun 1969, kembali LBN I Singaraja mengadakan sayembara
serupa. Puisi yang masuk: 14 karya asli dan satu karya terjemahan.
Juri menetapkan pemenang pertama sebuah puisi yang diakui
sangat sulit untuk dimengerti, karya Putu Sedana, berjudul Mati
Nguda. Puisi ini tidak konsisten dalam menggunakan sor-singgih
(bentuk hormat dan jenjang-jenjang) bahasa Bali. Ia mencampur-
adukkan bahasa kasar, menengah, dan bahasa Bali halus. Kalau
tiga puisi tadi, Sasih Karo ring Bali, Basa Bali, dan Bali, semuanya
menggunakan bahasa tingkat menengah, Matli Nguda sangat me-
nyepelekan tingkat-tingkat bahasa itu.
Coba diperhatikan:

mati nguda

madiane magantung sanjata lanang


sirahne matekes bendera gelah
barak-barak lembene maulas kenyung
putih-putih karsane tulus mulus
legal pangkung katerabak tan sawetara
matatah mirah parangan
ngarorok duin urip
mirib mapinunas jelap lekad apang maan buka keto
sambilanga sing nawang nyen nunden miwah ngajinin

ingat sukune pancer gumi


sukane aketi mabakti ken pertiwi
takut surane sing katimpalan
masuriak nyerit belanda musuh kai
suara barak suria barak laksana barak

anggane tidong gelah


148
kentelan serbuk tanah

idupe tungkulang suling tawah


atmane sing dadi puun
ngawewehin surane tandi cadik
musuhe katon kalepon
lantas marumbag pagelaran yuda
masuriak nyerit belanda musuh kai
kanti nepukin unduk buka jam

madiane magantung sanjata lanang


sirahne matakes bendera gelah
marengin kenyitan apine kuning bering
nyohsoh maserah angga marep pretiwi
magrebiug
tangkahe belong

barak-barak lambene maulas kenyung


putih-putih karsane tulus mulus
ambune sumirit ngebekin jagat

Sajak ini bercerita tentang kepahlawanan seorang pejuang


yang mati muda dalam pertempuran melawan Belanda. Tidak
bisa ditangkap apakah mati muda itu tatkala masih anak-anak,
atau remaja, atau yang dimaksud, mati sebelum pertempuran yang
sengit muda dalam pengertian usia peperangan. Lain halnya
kalau, misalnya, ditulis mati truna artinya mati saat remaja. (Sa-
jak ini sulit saya terjemahkan ke bahasa Indonesia karena takut
menyimpang artinya).
Munculnya sajak ini sebagai pemenang, ternyata, membuat
puisi Bali modern ikut-ikutan mati muda. Tak ada kegairahan
mengarang sajak berbahasa Bali yang rumit-rumit orang selalu
mencontoh sajak pemenang sebagai panutan karya berikutnya. Ko-
ran-koran yang terbit di Denpasar mulai kekurangan naskah sajak
berbahasa Bali. Yang banyak justru lagu pop berbahasa Bali.
149
Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya)
Bali pada 1972 menyelenggarakan sayembara mengarang puisi
berbahasa Bali bersamaan dengan sayembara mengarang sekar alit
dan kekawin yang ini memakai bahasa Kawi. Dua yang terakhir
ini bentuknya juga seperti puisi, cuma ia punya aturan jumlah kata
setiap baris, bunyi tertentu pada akhir baris dan jumlah baris dalam
satu bait. Keduanya memang didendangkan sesuai dengan pupuh-
pupuh-nya. Misalnya pupuh Sinom aturannya lain dengan pupuh
Pangkur atau pupuh Mas Kumambang, dan sebagainya.
Yang menarik dari hasil sayembara ini, juri memilih sajak
berjudul Suara Saking Setra, karya I Made Sanggra, sebagai pe-
menang pertama. Puisi berbahasa Bali ini dipengaruhi oleh puisi
mbeling (dalam bahasa Indonesia) yang saat itu lagi populer di
media massa terbitan Jakarta.
Coba saja tengok bentuknya:

Suara saking Setra

haaaa ... ha .. . ha, ha ...


hi . .. hi... hi, hi. . .
suwud ja, suwud. . . ! entegang bayune!

. . . ah, suwud . . .
mapelalian aji api
tondenke merasa limane
puwun?
ingsun tan purna
tan lila
yen gegumuk ingsun
kasambehin kembang ura
ngatahun
nanging lali ring sasana
tiwal ring swadharma

haaaa .. . ha. . . ha, ha . . .


150
hii ... hi. .. hi, hi. . .
suwud ja, suwud. . . ! patutang rawose!

. . . ah suwud
mageburan marep ring anak
malalung
tonden ke merasa ragane
lepeg belus?
indayang tingalin tangkahe
tolih tundune
kengken. . . ? nah ne jani
dabdabang tindakane
sadereng gonge macegur

haaaa.. . . ha .. . ha, ha . . .
hiiii ... hi. . . hi, ...
suwud ja, suwud. . . ! tunggalang idepe!

Terjemahannya:

Suara dari Kuburan

haaaa ... ha . . . ha, ha. . .


hiiii... hi. . . hi, hi...
hentikanlah, hentikan! tenangkan jiwamu!

. . . ah, berhentilah
bermain dengan api
belum juga terasa tanganmu
terbakar?
belum puas aku
belum puas
bila nisanku
ditaburi kembang ura
tiap tahun
151
tiap lupa kewajiban
lalai swadharma

haaaa.... ha. . . ha, ha.. .


hiiii... hi. . . hi, hi. . .
hentikanlah, hentikan . . . ! bicaralah yang benar!

. , . ah, berhentilah
berhamburan menghadap orang
yang telanjang
belumkah merasa diri
basah kuyup?
coba lihat dadamu
lihat punggungmu
bagaimana . . . ? nah sekaranglah
atur langkahmu
sebelum gong dipukul

haaaa . . . ha . . . ha, ha . . .
hiiii... hi ... hi. ; ...
hentikanlah, hentikan . . . ! satukanlah hatimu!

Sajak mbeling berbahasa Bali ini merangsang kembali lahirnya


puisi-puisi Bali modern. Beberapa seniman kembali aktif menulis.
Made Taro, misalnya, yang menangani langsung harian Bali Post
edisi Minggu di rubrik sastra Bali modern, kewalahan menampung
sajak-sajak yang masuk. Pengarang-pengarang yang aktif, antara
lain, Made Dharna, Wayan Jendra, Raka Teja, Nyoman Manda,
Yudha Paniek (nama aslinya I Gusti Ngurah Yudha), Uttara Wungsu
(nama aslinya I Gusti Ketut Kaler), Made Rena, Rugeg Nataran.
Menyusul generasi mudanya, pengarang yang banyak meman-
faatkan sayembara-sayembara itu, seperti Made Suarsa, Agastia,
Ngurah Parsua, Nyoman Nada Sariada, Arthanegara, Nyoman
Tusthi Eddy. Empat yang terakhir ini juga aktif di sastra Indonesia.
Masih banyak yang lain. Menggairahkan sekali kehidupan sastra
152
Bali modern, kala itu.
Semua puisi berbahasa Bali hasil sayembara Listibya dibuku-
kan. Pada 1973, muncul pula buku Ganda Sari, diterbitkan Yayasan
Dharma Bhudaya, Gianyar, yang berisi 34 sajak berbahasa Bali
karya Made Sanggra dan Nyoman Manda. Made Sanggra, seorang
veteran tua yang keempat anak lelakinya menjadi wartawan,
menerbitkan pula kumpulan cerita pendek berbahasa Bali berjudul
Ketemu ring Tampak Siring, 1975. Nyoman Manda tak mau kalah.
Pada tahun yang sama, ia menerbitkan pula kumpulan cerita pendek
sejenis, berjudul Togog.
Di Denpasar, Yayasan Saba Sastra Bali juga menerbitkan kum-
pulan puisi Bali modern. Buku yang cukup populer adalah Galang
Kangin, 1976, berisi 18 sajak karya bersama Agastia, Aryottama,
Raka Tedja, Uttara Wungsu, Made Taro, Wayan Jendra, dan Made
Sanggra. Sajak-sajak yang dimuat di sini merupakan sajak pilihan.
Sementara itu, di Bali utara, Made Dharna tetap aktif menulis
naskah drama (modern) berbahasa Bali, dan mementaskannya
bersama Sanggar Embun Pagi.
Para sastrawan Bali yang berkarya dengan bahasa ibu ini um-
umnya datang dari kalangan terpelajar. Mereka mahasiswa Institut
Hindu Dharma, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana,
guru SMA, pegawai di lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Yang di luar itu umumnya adalah tokoh panutan di
bidang agama.
Karya-karya mereka juga menangkap perubahan zaman
selain tetap mengikuti perkembangan puisi modern berbahasa
Indonesia. I Gusti Ketut Kaler, tokoh tua seangkatan dengan Made
Sanggra, misalnya, banyak melahirkan puisi mbeling yang berisi
nasihat-nasihat dan peringatan untuk kaum muda. Karya-karya
Made Sanggra pun banyak bercerita tentang kekhawatiran akibat
ekses negative pariwisata di Bali. Mungkin karena ia tinggal di
Sukawati, Gianyar, daerah yang padat turis.
Agastia, yang kala itu mahasiswa Fakultas Sastra Unud,
termasuk pengarang produktif yang banyak menulis perubahan
hidup di pedesaan karena masuknya berbagai teknologi. Salah
153
satu karyanya:

Selip

pidan, di teban pan polose


tuara jejeh luh-luhe ngetelang peluh
nguyeng ngiu napinang jijih
nyajah tuyuh mesuang gending
dag dig dug deg dag dig dug deg dag
deg dug dag dig deg dug dag
dig dug deg dag

jani, di sisin jalan aspale


elah luh-luhe buka nuduk taluh
maan meneman makutu lulus
baan aluh namping selip
mata kiap bungut nguab nagih pules
ningehang gending mameneng sing matembang
duddudduddudduddudduddudduddudduddudduddud

beh
aluh negak bangun maduhan
tuyuh magae pulese ngengkis

Sajak yang ditulis Agastia bertanggal 10 Maret 1975 ini men-


gisahkan perbandingan masa lalu dan masa sekarang di pedesaan.
Dulu, para wanita dengan gembira dan penuh keringat menumbuk
padi di lesung. Irama yang muncul dari lesung itu mampu men-
gusir kelelahan. Sekarang, para wanita justru kelelahan duduk di
pinggir jalan aspal, menunggu beras mereka selesai dikerjakan
pabrik penyosohan. Deru mesin yang begitu-begitu saja membuat
wanita ini mengantuk, kesakitan, mengaduh, padahal tanpa kerja
dan tanpa keringat.
Dalam kumpulan Galang Kangin, penyair ini juga menulis
sajak yang mempermainkan kata-kata. Sajak-sajak pendek, tetapi
154
berseri, berjudul Kumbang. Tentu, sajak seperti ini dipengaruhi
besar oleh perkembangan sajak berbahasa Indonesia, kala itu.
Coba baca Kumbang (1).

Kumbang (1)

kembange kembang
kumbange liang
kembange layu
kumbange tanpa bayu.

Terjemahannya begini:

Kumbang (1)
kembang berkembang
kumbang riang
kembang layu
kumbang pun lesu.

***

MENYEDIHKAN, jika kegairahan yang telah pernah ada


kini hilang tanpa ditemukan siapa sebenarnya yang membunuh
sastra Bali modern itu. Kalau pun ditelusuri liku-likunya, yang
ditemui hanya lingkaran setan, tiada berujung dan bertepi. Agastia,
Made Sanggra, dan kawan-kawannya sudah tak lagi menciptakan
puisi berbahasa Ball. Made Sanggra sudah tua, beliau menyendiri
momong cucunya di desa. Pak Kaler sudah uzur, lagi pula beliau
sakit-sakitan. Agastia, yang kini sudah sarjana, lebih banyak terli-
bat di organisasi kemasyarakatan. Ia malah menjadi Ketua Dewan
Pimpinan Daerah Peradah Bali organisasi pemuda Hindu yang
dekat dengan Golkar . Ida Bagus Arthanegara pun terjun di kelom-
pok kader memimpin KNPI Daerah Bali, sambil tetap bekerja
di lingkungan Departeman P dan K.
155
Atau barangkali mereka masih tetap menulis puisi berbahasa
Bali dan menaruhnya di laci mejanya? Mungkin. Jika itu terjadi,
memang patut disayangkan, tidak ada penerbitan di Bali yang
bermurah hati menyalurkan karya-karya itu.
Sastra Jawa masih kukuh dengan tegak, barangkali betul karena
penerbitan berbahasa Jawa masih mudah dijumpai. Mekar Sari dan
Jaka Lodang di Yogya. Panyebar Semangat (Surabaya), Darma
Kanda (Solo) masih tetap laku dijual. Juga sastra Sunda masih
bisa berjaya. Mangle, majalah berbahasa Sunda itu, bahkan dengan
mudah dibeli di toko-toko di Denpasar, seperti halnya membeli
majalah Mekar Sari yang terbitan Yogyakarta. Penerbitan yang
berbahasa Ball? Tidak ada.
Apresiasi sastra Bali di sekolah-sekolah pun boleh disebut
mengalami kemacetan. Sulit diperoleh guru yang berminat dalam
mata pelajaran itu kalaupun beberapa sekolah mencantumkan
itu sebagai mata pelajaran. Bahkan pelajaran bahasa Bali di seko-
lah-sekolah di Bali, kurikulumnya sedang disusun oleh Pemerintah
Daerah Bali. Sampai Februari 1986, seperti yang diceritakan oleh
seorang guru yang banyak tahu soal itu, kurikulum itu pun belum
rampung seluruhnya.
Di televisi Denpasar, lebih dari sekali saya menyaksikan ada
deklamasi yang diiringi seperangkat gong Bali. Semula, sua-
sananya menjanjikan suasana Bali, perempuan yang berdeklamasi
itu berkain khas Bali. Tapi, ketika suaranya keluar, yang diteriak-
kannya adalah puisi berbahasa Indonesia.
Juga beberapa tabuh kreasi baru yang sudah direkam ke dalam
kaset, dan ramai dijualbelikan, ada beberapa sajak sebagai variasi:
berbahasa Indonesia. Rasanya, amat sia-sia perjalanan saya men-
elusuri perkembangan sastra Bali modern di awal 1986 ini. Sastra
Bali itu ternyata telah macet lagi, sudah lama, mungkin empat atau
lima tahun yang lalu.

***

BAGAIMANA nasib saudara tuanya, sastra Bali tradisional?


156
Atau orang banyak menyebutnya sastra Bali klasik? Kalau yang
dimaksudkan adalah karya cipta baru, lebih tragis. Sudah macet
puluhan tahun lalu. Orang yang gemar mendendangkan sekar alii
selalu mengambil kitab-kitab lama, cerita Dukuh Suladri, Dukuh
Siladri, Jayaprana, Basur, Japatuan, Cupak Grantang, Sampik
Ingthai yang terakhir ini diangkat dari legenda Cina. Mungkin
masih ada beberapa lagi.
Puisi ini adalah puisi tembang. Di Bali, sekar alit (macapat)
tergolong tembang yang mudah dipelajari. Setidak-tidaknya ada 14
macam pupuh (irama lagu berdasarkan jumlah bait), yakni Sinom,
Ginada, Durma, Dangdang, Pangkur, Ginanti, Semarandana, Pu-
cung, Mas Kumambang, Mijil, Megatruh, Gambuh, Demung, dan
Adri. Setiap pupuh ini masih juga dibagi, khusus untuk iramanya
sementara baris dan suara akhir setiap kalimat tak boleh diubah
misalnya ada Dangdang Gula, ada Dangdang Lumrah, ada
Sinom Sasak, Sinom Wug Payangan, Sinom Silir, dan berbagai
jenis pembagian lagi. Pecahan-pecahan baru ini diduga karena
perubahan setempat, disesuaikan dengan dialek bahasa bahasa
Bali punya berbagai macam dialek yang kemudian populer
melewati batas dialek.
Satu cerita yang utuh, terbagi dalam berbagai pupuh, mirip
pembagian bab dalam sebuah buku. Misalnya dalam cerita Sampik
Ingthai, dipakai pupuh Sinom, Pangkur, Kinanti dan Mas Ku-
mambang. Setiap pupuh mewakili suasana tertentu. Untuk adegan
marah, suasana yang tegang, biasa dipergunakan pupuh Durma.
Untuk suasana gembira dipergunakan pupuh Sinom, Ginada,
Adri. Untuk melukiskan kesedihan, dipakai Semarandana, Mas
Kumambang, Demung. Melukiskan suasana aman dipakai pupuh
Mijil, Pucung. Untuk benang merahnya cerita biasanya dipakai
Ginada atau Sinom.
Ada beberapa penyimpangan yang dikenal dalam sastra tradis-
ional ini. Yakni cerita Jayaprana dan Basur. Kedua karya sastra ini
memakai satu jenis pupuh, yakni Ginada. Namun, kedua Ginada itu
iramanya lain. Pada cerita Basur, yang tegang dan menyeramkan
itu bercerita soal ilmu hitam tembangnya lebih mencekam,
157
dan disebut saja Ginada Basur. Sedang cerita Jayaprana, tentang
kepasrahan seorang pemuda yang bersedia menerima ajal, ditem-
bangkan dengan agak sendu tapi tidak sesendu Semarandana
lalu disebut Ginada Jayaprana. Bisa saja orang menyanyikan
(membaca) cerita Jayaprana dengan tembang Ginada Basur, karena
hukum baris, bunyi akhir dan bait disebut padanglingsa tidak
ada perbedaan. Cuma, tentu saja, kalau itu dinyanyikan di depan
umum, terasa janggal dan bisa ditertawakan orang. Cerita-eerita ini
mungkin karena tak terlalu banyak jumlahnya sudah menjadi
milik setiap orang Bali, semua orang tahu meski tidak utuh.
Setiap orang bisa saja menciptakan puisi Sinom, karena
memang mudah. Saya sering menciptakannya, ketika di SMP
ketika sekar alit menjadi mata pelajaran penting dan bagian
dari mata pelajaran seni suara. Tetapi tidak merupakan suatu cerita
panjang, sehingga layak disebut sebuah karya sastra. Paling hanya
dua bait, dan itu tentu saja tak akan bisa dimasyarakatkan.
Pada harian Bali Post sejak 1974 sampai 1977 ketika saya
masih di sana di sela-sela puisi Bali modern juga ada beberapa
bait pupuh. Tentang turis bugil di pantai Kuta, nasihat untuk anak
muda yang berpacaran, dan guyonan lainnya. Belakangan, pada
edisi pedesaan harian itu, ada sekar alit yang lebih panjang, bisa
mencapai sepuluh atau lima belas bait. Isinya, mengenai Pancasila,
program PKK, dan, tentu saja, kampanye keluarga berencana.
Semuanya ini tak bisa digolongkan sebagai karya sastra, yang
sejajar dengan karya-karya Dukuh Siladri, misalnya, yang terdiri
dari ratusan bait, yang penuh dengan petuah, filsafat, dalam suatu
roman yang utuh.
Pada awal 1977, Anak Agung Alit Konta menerbitkan kisah
Puputan Badung dengan puisi melalui sekar alit itu. Motivasinya
menerbitkan kisah ini, karena Alit Konta, yang merasa banyak
punya koleksi lontar tentang Puputan Badung, dan pewaris dekat
Raja Pemecutan yang melakukan perang puputan itu, tak tega
melihat kesimpangsiuran eerita perjuangan melawan Belanda
ini, yang selama ini beredar dalam bentuk prosa biasa. Kalau ini
bisa disebut sebagai karya sastra tradisional Bali memang me-
158
menuhi syarat sebagai karya sastra inilah cipta yang terakhir
dari seorang pengawi (pengarang) Bali. Namun, kisah ini tidak
populer di masyarakat pedesaan, karena lebih banyak tentang
perjuangan fisik, lebih banyak reportase. Yang dibutuhkan
orang-orang desa masyarakat pendukung sastra tradisional ini
kisah yang penuh pergulatan dalam batin, yang mengandung
ajaran agama, dan legenda atau dongeng. Singkatnya, sebuah fiksi
yang tidak mengkultuskan seseorang atau anak-cucu pewaris yang
masih hidup.
Pada kalangan terpelajar, katakanlah mereka yang ingin men-
genal sejarah Puputan Badung, karya Alit Konta ini juga tidak
populer lantaran bahasa Bali yang dipakainya bahasa Bali halus.
Ini memang tidak lazim. Kisah-kisah Jayaprana, Sampik, dan
lain-lain itu semuanya memakai bahasa Bali madya (menengah),
dan memang begitulah tingkat bahasa yang dipakai untuk jenis
sekar alit.
Saya sertakan beberapa contoh kutipan, sambil memperkenal-
kan jenis pupuh yang ada kemiripan dengan macapat di Jawa
yang semuanya diambil dari buku Puputan Badung ini.
Satu bait pupuh Sinom:

Ing tahun Sunia Segara


kala nuju wulan mei
tanggal pitu likur mangko
kapal Srikomala kampih
kapal Wangkang Banjarmasin
tekania makapus apus
nyelap wantah kekandasang
dadalania ngardi wiwil
sida lebur
ing pasisi Padanggalak ,

Bayangkanlah, betapa sulitnya mengartikan kalimat-kalimat


ini bagi mereka yang tak mengenal bilangan tahun, ungkapan-un-
gkapan khas bahasa kromo inggil. Bait di atas bercerita tentang,
159
pada tahun 04
Sunia Segara maksudnya 1904, kebetulan bulan Mei tanggal
27, kapal Srikomala kandas di pantai Padanggalak. Kapal milik
Cina Wangkang Banjarmasin itu sengaja dikandaskan Belanda
untuk menyulut peperangan.
Satu bait lagi pupuh Dangdang

Mandda bagia tandangku mangdadi


jana pada
rasa tanpa guna
ye mon mengkene uripe
tinilar de re sanghulun
kaya tanpa yayah bibi
bingung tanpa ngadiyaya
siapa pinakaruk
susuhan usus lebar
ya manunggal
amor ri sira Hyang Widhi
lah panon uga manira

Bahasa yang dipakai Alit Konta sudah bercampur-baur dengan


bahasa Kawi. Masuk akal kalau cerita yang sebenarnya penting
ini dari segi sejarah akhirnya kandas karena penggunaan
bahasa yang tidak tepat. Kenapa tidak sekalian saja memakai
bentuk kekawin?

***

KEKAWIN adalah bentuk yang paling tua dari sastra Bali


tradisional. Bahkan para pengamat kebudayaan menyebutkan,
kekawin adalah kesusastraan Jawa kuno yang sampai kini masih
hidup di Bali, walau tidak sesubur masa lalu. Karya sastra ini
adalah Ramayana, Bharata Yudha, Sutasoma, Arjuna Wiwaha,
Tantri, dan Niti Sastra.
Kekawin pun berbentuk puisi, dan bukan prosa. Salah satu
160
contoh, saya kutipkan satu bait yang mengawali Kekawin Rama-
yana sebuah bait yang begitu populer sehingga banyak dihafal
orang.

hana sira ratu dibya rengen


pracastha ring rat musuh nira pranata
jaya pandita ring aji kabeh
Sang Dasaratha nama ta moli
sira ta triwikrama pita
pinaka bapa batara wisnu mangjanma
inaka nikang bhuwana kabeh
ya ta donira, nimitaning janma
gunamanta sang dasaratha
wruh sira ring weda bhakti ring dewa
tar malupeng pitra puja
masih ta sireng swagotra kabeh

Ada perkumpulan khusus untuk membaca kekawin pada


sekelompok masyarakat. Perkumpulan ini disebut pesantian dan
kegiatannya disebut mabebasan atau mapepaosan.
Seseorang membaca teks dengan wirama (lagu) tertentu yang
kedengarannya agak mendekati mantra-mantra pendeta. Kemu-
dian seseorang lagi menerjemahkan apa yang dibaca itu dengan
tafsirannya sendiri. Pada saat pembaca dan penerjemah melakukan
tugasnya, anggota pesantian yang lain tekun mendengarkan. Kalau
ada wirama yang tidak cocok atau terjemahan kurang tepat, setiap
orang langsung memberi tanggapan. Perdebatan seperti ini sering
terjadi, terutama dalam menafsirkan. Apalagi kalau menyangkut
dialog-dialog sang tokoh dalam karya sastra itu, yang penuh dengan
pesan berupa simbol. Karya sastra ini memberi kemungkinan yang
banyak untuk ditafsirkan.
Mabebasan ini dilakukan oleh kelompok pesantian secara
berkala. Biasanya sebulan sekali, misalnya setiap tumpek (Sabtu
Kliwon). Di tahun 1970-an, kelompok pesantian ini masih tumbuh
dengan subur. Hampir di setiap desa adat ada grup pesantian. Bah-
161
X

Cerita Tentang
Lagu Pop Bali
yang Marak

Madu dan Racun


Anak Agung Made Cakra

B
ANGUNAN tempat tukang cukur itu tetap saja tak berubah.
Saya tak tahu pasti apakah kursi-kursi dan balai-balai di
tukang cukur itu pernah diganti atau tidak. Sekitar tahun
1971-1974 saya sering berkunjung ke sana. Yang jelas, tukang
cukurnya sendiri tetap saja dia, Anak Agung Made Cakra.
Kalau sekarang saya datang mengunjungi Anak Agung Made
Cakra, maksud utamanya tentu saja bukan cukur rambut atau seka-
dar berkangen-kangenan dengan orang tua yang suka humor itu.
Dulu pun, setelah 1974, sesekali saya suka mampir di sini, tidak
ada urusan dengan cukur-mencukur. Made Cakra punya profesi
lain, yang agak sulit dicari hubungannya dengan gunting, yakni
bermain musik. Ia jago memainkan biola. Pernah, ketika pekan seni
pelajar di pertengahan 1976, ia mendapat julukan Idris Sardi-nya
Pulau Bali. Dan predikat itu terus melekat.
Bukan cuma pemain biola suatu profesi yang menyimpang

162
bagi kesenimanan orang Bali tradisional Made Cakra juga
pelopor penciptaan musik pop Bali. Bahkan bersama Band Putra
Dewata yang dipimpinnya, ia memelopori rekaman musik pop Bali,
pada 1976. Saat itu, di mana-mana di seantero Bali terdengar lagu
Kusir Dakar dari kaset yang diputar keras-keras. Kaset itu dicetak
100.000 buah dan direkam oleh perusahaan kaset di Banyuwangi,
Jawa Timur. Habis terjual. Kusir Dakar, sebuah lagu humor,
berkisah tentang kusir dokar yang memacu kudanya lari kencang
sampai menabrak tukang obat di pinggir jalan. Dalam kaset ini ada
13 lagu lainnya, tetapi hanya lagu itu, yang kebetulan dijadikan
sampul kaset, yang top hit.
Sejarah musik pop Bali memakai bahasa Bali tentu saja
termasuk baru. Apalagi kalau diiringi oleh seperangkat band
atau orkes atau biola saja. Kalau lagu pop bersyair Bali tanpa
diiringi alat-alat modern, sudah dikenal di awal 1960-an, ketika
masyarakat diguncang hampir setiap malam oleh kampanye partai-
partai. Syair lagu pop itu hampir seluruhnya mencela lawan par-
tainya, dan menjadi alat propaganda, dinyanyikan pemuda-pemudi
partai, di sela-sela pidato pemimpin partai. Lagu ini dinyanyikan
dalam bentuk koor, kalaupun ada pengiringnya, itu biasanya dari
angklung. Made Dharna, seniman LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional) di Singaraja tercatat paling produktif mengarang syair
untuk menjagoi PNI.
Kemunculan Band Putra Dewata di Denpasar pada 1963 hanya
terdengar suaranya di sekitar kelahirannya. Ia tenggelam oleh
gemuruhnya lagu-lagu partai yang berkumandang di desa-desa,
dinyanyikan oleh pemuda-pemudi yang berbaju hitam (PNI) atau
berbaju merah (PKI). Baru, setelah pemberontakan G-30-S/PKI
yang gagal itu, Band Putra Dewata mulai kedengaran namanya.
Lagu ciptaan Made Cakra, yang kebanyakan syairnya bernada
canda, dinyanyikan oleh pemuda-pemuda desa, sebagai lagu yang
netral. Dan barangkali cukup untuk menghibur diri di sela-sela
bayangan seram penumpasan orang-orang PKI di Bali. Putra De-
wata pun sudah menggunakan alat-alat modern, ada gitar, biola,
drum, dan sebagainya.
163
Walaupun peralatan waktu itu sangat sederhana. Drumnya
dari piring seng, kata Made Cakra mengenang. Bekas penyanyi
keroncong dan guru musik di perguruan Saraswati ini sering pula
diminta main di pentas-pentas hiburan. Tapi masih tetap kalah
dengan cabang seni yang sedang demam pada masa itu, drama
gong.
Wabah drama gong mulai menyurut setelah Pemilu 1971
salah satu sebab, hancurnya PNI di Bali dilanda Golkar, dan
grup drama gong yang bernaung di bawah LKN membubarkan
diri atau dibubarkan. Pada saat itulah Band Putra Dewata seperti
bangkit dan mulai mengkampanyekan syair-syair lagu berbahasa
Bali. Sampai akhirnya, sebuah perusahaan rekaman kaset yang
sebelumnya banyak merekam drama gong mencari Made Cakra
untuk masuk dapur rekaman. Tukang cukur ini bersedia. Reka-
man itu ternyata sulit, perlu waktu tiga bulan, kata Made Cakra.
Memang, ini pengalaman baru buat mereka, juga buat perusahaan
rekaman itu. Kalau merekam drama gong cukup menaruh mike
rekaman di panggung pertunjukan, merekam lagu ini harus di
studio tersendiri. Dan itu dilakukan di Banyuwangi. Produser reka-
man di Denpasar itu pun akhirnya bekerja sama dengan pengusaha
rekaman di Banyuwangi.
Begitulah kisah meledaknya kaset Kusir Dakar. Radio-radio
swasta di Bali mulai memutar lagu-lagu pop Bali. Radio Menara
Denpasar, yang punya daya pancar kuat dan bisa diterima di dae-
rah pegunungan, setiap hari mengumandangkan lagu pop Bali.
Kalau acara pilihan pendengar lagu Bali sebelumnya diputar
gending-gending Bali baik itu gamelan Bali maupun kerawitan
Bali kini diganti lagu pop Bali versi Made Cakra. Harian Bali
Post, terutama edisi Minggunya juga memuat ciptaan baru lagu-
lagu pop Bali.
Ladang baru buat Made Cakra. Di sela-sela menunggu lang-
ganannya yang mencukur rambut, ia mencorat-coret kertas, menga-
rang lagu. Produser kaset yang membawanya ke tangga popularitas
itu juga menunggu tak sabar. Hanya enam bulan setelah Kusir
Dakar, muncul albumnya yang lain, Putri Bali. Enam bulan lagi
164
muncul Galang Bulan. Satu album paling sedikit ada sembilan
lagu.
Sementara itu, di Tabanan muncul pula grup band yang sejenis
Putra Dewata, yang menyanyikan khusus lagu pop Bali. Grup ini
dipimpin Putu Joni. Ia pun rekaman pula, tentu dari produser yang
lain dengan produsernya Made Cakra. Juga di Gianyar, muncul
grup band, yang langsung masuk ke dapur rekaman.
Anak Agung Made Cakra, bangsawan yang jadi tukang cukur
itu, memang tak sampai meninggalkan pekerjaannya menggunting
rambut. Tetapi dari tangannya terus mengalir lagu-lagu pop Bali. Ia
mulai menggarap tema-tema cerita rakyat dan legenda. Muncullah
kemudian album-album yang berjudul Sampek Ingthai, Raja Pala,
I Durma. Seperti biasanya, lagu-lagu ini laku keras. Seratus ribu
kaset terjual, untuk ukuran Bali, sungguh terlalu banyak.
Demam lalu berakhir. Tidak drastis, tetapi pelan-pelan saja.
Apa yang terjadi? TVRI yang jadi biang kerok kali ini. Siaran
televisi pusat mulai dapat ditangkap di Bali, dan masuk ke desa-
desa. Apalagi setelah Denpasar punya stasiun produksi, dan hampir
seluruh daerah Bali bisa menikmati siaran ini. Masyarakat pedesaan
memang penggemar lagu pop Bali itu daerah pedesaan mulai
berkenalan dengan kotak ajaib ini. Mereka menyaksikan berbagai
ragam lagu dari penjuru tanah air. Dan, tiba-tiba saja, dendang pop
Bali seperti sudah kuno atau sangat ketinggalan zaman. Lebih-
lebih, ketika di kotak ajaib itu muncul grup vokal anak-anak Bali,
yang dipelopori sekolah-sekolah menengah di Denpasar, juga dari
Bina Vokalia Denpasar. Celakanya, grup vokal ini, dengan begitu
bergairah dan bersemangat, mendendangkan lagu berbagai daerah.
Lagu pop Bali tiba-tiba tidak menggigit lagi. Sekarang di desa,
kalau ada keramaian, muda-mudi setempat pasti mementaskan
grup vokal. Lagunya Made Cakra tak laku lagi, cerita seorang
pemuda di kampung saya.
Ada apa dengan lagu-lagu pop Bali ciptaan Made Cakra, yang
dinyanyikannya sendiri bersama putrinya? Iramanya monoton,
irama slendro dan melodinya banyak pengulangan. Syair-syair cip-
taan Made Cakra mulai menggurui, dari sopan santun berpacaran
165
sampai nasihat untuk tidak melakukan korupsi. Semua ini din-
yanyikan dalam gaya bertutur dengan irama seriosa. Kadang pula
dengan irama keroncong. Sebagian besar nyanyian itu dibawakan
seperti orang bergumam akan penyesalan. Irama riang seperti Kusir
Dakar, entah kenapa, ditinggalkan Made Cakra.
Lagu pop Bali memang tidak mati cuma demamnya yang
hilang. Putu Joni, misalnya, sudah tidak memproduksi kaset lagi.
Grup bandnya juga menghilang. Made Dharna lebih banyak menu-
lis naskah drama berbahasa Bali, ketimbang menulis lagu Bali.
Made Cakra masih melemparkan dua album di tahun 1984,
berjudul Guna Karya dan Kepupungan, masing-masing berisi
dua belas lagu. Tahun 1985, sebuah kaset lagi ia keluarkan, tetap
dengan produsernya yang lama, Bali Record, berjudul Dagang
Koran. Di kaset ini ada 13 lagu dinyanyikan enam penyanyi: I
Made Mudira, Anak Agung Rai Sukani, Ketut Bimbo, Mulyono,
Mud Mainah, dan Anak Agung Antara.
Dari segi syair, tak ada kemajuan apa-apa pada ciptaan Made
Cakra. Gaya bercandanya tak muncul lagi, malah kebanyakan beri-
si pesan-pesan pembangunan. Misalnya, Bali Pulau Taman, lagu
yang terdapat di kaset Dagang Koran, isinya hanya pujian-pujian
tentang alam Bali yang hijau dan indah. Lagu ini pun dinyanyikan
I Made Mudira dengan irama yang mendekati keroncong. Beda
sekali dengan musik tradisional Bali, misalnya, termbang janger
atau berbagai gending yang mengiringi tarian Bali, penuh kerian-
gan. Dan, satu hal lagi, Made Cakra tak lagi menyanyi, dengan
alasan tua, suaranya sudah lain. Usianya kini 56 tahun.
Salah seorang penyanyi Band Putra Dewata, Ketut Bimbo
kata orang ini nama samaran sempat berdiri sendiri den-
gan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Ia tidak menggunakan
Band Putra Dewata, dan entah di mana pula mendapatkan musik
pengiring. Album Ketut Bimbo ini, menurut penyalur kaset di Den-
pasar, tergolong laku. Sudah dua album dilahirkan Ketut Bimbo
sejak kemunculannya yang terpisah dengan Putra Dewata. Saya
tak berhasil mendapatkan album pertamanya. Album keduanya,
Aksi Boss, berisi sepuluh lagu, dari segi syair sudah menunjukkan
166
gejala memberontak kepada lagu pop Bali yang didominasi Made
Cakra. Ketut Bimbo banyak mengejek, antara lain, lewat lagu
Aksi Boss, Ojek, Kumpul Kebo. Lagu ini pun dibawakan dengan
sangat dipengaruhi lagu Iwan Fals. Selebihnya, pengaruh Made
Cakra baik dalam syair maupun irama masih tersisa. Misalnya lagu
Sing Nau Nau Jumah (tak kerasan di rumah) syairnya tidak begitu
jeiek, tetapi iramanya, dan cara mendendangkannya, seperti orang
menyesal berkepanjangan. Monoton sekali iramanya.
Kaset lagu pop Bali yang paling laku sampai akhir 1985
ternyata grup baru yang tak keruan juntrungannya dan alamatnya,
Sagita & Sayub. Kaset ini diproduksi Aneka Record. Toko Aneka
di Denpasar, yang menjadi penyalur utama kaset ini, juga tak tahu
alamat kedua penyanyi itu. Tampaknya antara Aneka yang toko
dan Aneka yang merekam, tidak ada hubungan, atau entah mereka
mengelak dengan alasan curiga pada saya yang dikiranya akan
merazia kaset bajakan atau kaset tanpa pita cukai, mungkin.
Kaset ini laris karena judulnya: Madu teken Tube (Madu dan
Racun). Sudah bisa ditebak, lagu ini adalah terjemahan Madu dan
Racun yang sangat populer itu. Terjemahannya memang bebas dan
kata-kata yang dipakai bukan bahasa Bali bentuk hormat. Mereka
mencantumkan dalam kaset itu, syairnya diciptakan Ionk.S, entah
siapa pula orang ini.
Begini syairnya:

Madu & Tube

Luh sane jegeg


Kenyiran manis
Care gule ental
Keneh tiang demen
Tekening iluh
Nanging tiang bingung

Kerane tiang tiwas


Tur tuara ngelah pokok
167
Cara jani jaran Jepang anggo pengeger

Ref. Madu di lime kenawan


Tube di kebot iluhe
Tiang sing nawang sane ken
Lakar luh serahang jak tiang

Kalau diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia,


begini:

Madu & Racun

Engkau yang cantik


Senyummu manis
Seperti gula aren
Ingin aku jatuh cinta
Kepada engkau
Tapi aku bingung

Lantaran aku miskin


Dan tidak punya modal
Zaman ini kuda Jepang buat pemikat

Ref. Madu di tangan kananmu


Racun di tangan kirimu
Aku tak tahu yang mana
Akan engkau serahkan padaku

Lagu ini menarik karena iramanya betul-betul meniru Madu


dan Racun yang populer itu. Orang-orang Bali yang menyanyikan
lagu ini sudah mengganti kata tube menjadi racun karena kata
racun itu sudah umum sekali, seperti halnya kata bingung yang
tak perlu lagi diterjemahkan.
Dari dua belas lagu dalam album Madu teken Tube ini, hanya
lagu ini yang layak didengar telinga. Selebihnya jelek, baik
168
musiknya maupun vokalnya. Padahal, syairnya, terutama yang
dibuat oleh Ionk.S bagus-bagus, walaupun sedikit jorok. Syair lagu
ini mengingatkan saya pada syair lagu Doel Sumbang, penyanyi
dari Bandung itu. Nakal, jorok, bermain-main, dan menyelip-ny-
elipkan kata Inggris.
Dilihat dari perkembangan ini, lagu pop Bali memang belum
mati. Di beberapa radio, lagu saya masih diputar, walaupun tidak
lagi tiap hari. Di desa-desa masih laku, juga di daerah transmi-
grasi, ujar Made Cakra. Bagi tukang cukur ini, musik pop Bali
bukan saja menelurkan kaset, tetapi juga piagam Kerti Budaya
yang diterimanya dari Pemda Bali pada 1980.

***

SAYA menaruh kecurigaan yang besar, tidak berkembangnya


lagu pop Bali apalagi sampai ke tingkat nasional sama
dengan sastra Bali modern, orang Bali tak begitu fanatik dengan
bahasanya. Bisa dicari contoh lain soal ini, misalnya tidak adanya
penerbitan populer yang berbahasa Bali. Atau, gejala yang umum
belakangan ini, kalau dua orang Bali ketemu di luar Bali, keduanya
lebih senang memakai bahasa Indonesia. Bahkan, selama saya
berada di Bali, berjalan dari ujung selatan ke utara, dari ujung
barat ke timur, mereka yang paham bahasa Indonesia lebih senang
mempergunakan bahasa itu ketimbang berbahasa Bali. Dapat
dimengerti, kalau mereka berbahasa Bali, mereka harus tahu sor
singgih bahasa.
Para generasi muda Bali sudah banyak tak lancar lagi dalam
soal berbahasa sor singgih itu, sehingga jalan pintas pun diambil,
pakai bahasa Indonesia. Maka, kemunduran ini membawa pen-
garuh surutnya kebanggaan menggunakan bahasa Bali.
Kebanggaan yang kurang ini menyebabkan produk-produk
kesenian yang menggunakan bahasa Bali seperti tidak banyak
mendapat dukungan, baik oleh orang Bali di Bali terutama di
kota-kota maupun oleh orang Bali di luar Bali. Nasib itulah
yang mempengaruhi lagu pop Bali, tak bergema di kalangan
169
orang Bali di luar Bali, dan juga tak bergema di kalangan orang
Bali terpelajar.
Mungkin ada sebab lain. Yaitu tidak ada warna khas untuk
lagu-lagu pop Bali, seperti halnya pop Jawa, pop Batak, atau lagu
Sunda. Lalu, karena tidak didukung kalangan terpelajar, tidak ada
bintang yang mempopulerkan lagu pop Bali itu. Para penyanyi
pop Indonesia, katakanlah itu orang Bali, hampir tak pernah terden-
gar membawakan lagu pop Bali. Made Cakra pernah mengatakan,
seorang produser di Jakarta meminta dia mengirim dua album lagu
pop Balinya untuk dicoba pada suara Hetty Koes Endang. Berita
selanjutnya tidak ada lagi.
Lagu pop Bali memang ada, dan masih ada, tetapi seperti tak
pernah tampak keberadaannya. Sayang ....

170
XI
Seni Kerajinan
di Tengah Arus
Pariwisata

Buah Upakarti
I Nyoman Togog

D
ESA Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar,
sudah lama dikenal sebagai perkampungan seniman.
Segala bentuk kesenian lahir di desa ini, dan terkenal
melewati batas laut dan mancanegara. Sekeha gong Peliatan sudah
melanglang buana ke berbagai negara sebelum 1960-an. Penduduk
desa, yang sejak dulu bertani, memanfaatkan waktu senggangnya
untuk melukis dan memahat. Masuknya pelukis-pelukis luar
memberi kegairahan pelukis lokal. Mereka mendapat pelajaran
dan pengalaman secara tak langsung. Kini, kegiatan kesenimanan
tidak lagi merupakan kegiatan sampingan. Tetapi pekerjaan bertani
tidak pula ditinggalkan. Warga Desa Peliatan semuanya mengaku
bertani dan berkesenian.
Desa itu tetap menampakkan sebuah wajah desa. Tidak
seperti wajah desa tetangganya, Desa Ubud dan Desa Mas, yang
berderet-deret toko kesenian, galeri, dan sejenisnya. Yang mem-
171
bedakan dengan desa-desa lain di pedalaman Bali adalah, Desa
Peliatan dipenuhi papan-papan nama di pinggir jalan, yang me-
nyebutkan di sana berdomisili para pelukis dan pengukir. Papan itu
pun tidak terlalu mencolok mata. Kecil saja, seperti papan nama
praktek dokter.
Di pinggir gang sempit, sebuah papan nama kecil yang rnuram
bertuliskan I Nyoman Togog Wood Carver. Gang itu sepi, tak ada
anak-anak berkeliaran, tak ada turis yang lalu lalang. Kesannya,
tidak ada kegiatan di sekitar gang kampung ini.
Sekitar seratus meter dari jalan raya, di sebuah rumah dalam
gang, baru ditemukan kegiatan. Puluhan perempuan dan beberapa
lelaki, asyik bekerja di sebuah bangunan. Di antaranya beberapa
anak kecil. Mereka kebanyakan menghaluskan ukir-ukiran dengan
amplas di tangan. Yang lainnya memberi warna, dengan pelan,
teliti, dan penuh konsentrasi.
Bangunan-bangunan lain di dalam kompleks itu dipenuhi
berbagai barang kerajinan, baik yang telah jadi maupun yang
setengah jadi. Walaupun sudah dipajang dengan penataan yang
rapi, karena berjubelnya benda seni itu, bangunan tampak seperti
gudang yang kesesakan. Itulah kompleks rumah I Nyoman Togog,
peraih penghargaan Upakarti Departemen Perindustrian pada akhir
1985. Penghargaan tertinggi bidang perindustrian ini nilainya
sama dengan penghargaan Kalpataru di bidang lingkungan hidup,
yang sudah dikenal sebelumnya.
Ini tempat tinggal I Nyoman Togog, sejak ia lahir, dewasa,
dan terkenal seperti saat ini. Dilihat dari komposisi dan struktur
bangunan rumahnya, ia masih setia pada arsitektur tradisional Bali.
Ada pemerajan, ada gedong, ada bale dangin, ada bale dauh, ada
paon, dan ada jineng. Bangunan yang lengkap sesuai dengan pola
menetap masyarakat Bali tradisional, yang tersurat dalam lontar
Asta Kosali. Karena Nyoman Togog kini telah hidup melesat dan
karya seninya telah bersentuhan dengan turis, serta kehidupannya
membaik, bangunan-bangunan itu pun disesuaikan dengan kebutu-
han modern. Lantai sudah kena tegel, bahkan marmar yang mahal.
Saka bangunan berukir dan berwarna-warni. Apalagi pemerajan,
172
tempat suci di keluarga itu, dikelilingi tembok dengan ukiran halus
bukan ukiran cetakan.
Jika pola bangunan itu masih bertahan dengan arsitektur
tradisional Bali, fungsinya sudah berubah sama sekali. Mungkin,
fungsi yang tak pernah dibayangkan oleh para leluhur yang men-
ciptakan arsitektur Bali itu, kecuali pemerajan, yang tetap utuh
menjadi tempat persembahyangan keluarga. Gedong dipenuhi
dengan ukir-ukiran yang sudah jadi. Ada ukiran pohon pisang kecil,
ukiran bunga anggrek, berbagai bentuk binatang, susunan sesajen
persembahyangan, patung kecil melukiskan tokoh-tokoh wayang.
Selebihnya, berderet piagam penghargaan yang diterima Nyoman
Togog selama hidupnya, dari piagam tingkat kabupaten sampai
tingkat nasional. Lalu, berbagai potret yang bisa membanggakan
keluarga ini. Dari Nyoman Togog diterima Bupati Gianyar sampai
ngobrol dengan Presiden Soeharto.
Bale dangin, balai adat menurut fungsi arsitektur Bali itu,
penuh juga dengan ukir-ukiran jadi yang lebih besar. Tak ada bi-
dang kosong sedikit pun di sini. Isinya ukiran melulu, tanpa piala
dan potret lagi.
Paon, yang semestinya berfungsi sebagai dapur keluarga,
di sini menjadi laboratorium tempat menampung berbagai
jenis ukir-ukiran. Yang unik, Togog membuat perbandingan
antara karyanya dan karya seniman lain yang meniru karyanya.
Misalnya, ukiran pohon pisang karyanya sendiri dipersandingkan
dengan ukiran pohon pisang karya orang lain yang tidak diketahui
siapa pembuatnya. Ukiran pepaya karya Togog didampingi ukiran
pepaya orang lain. Begitu seterusnya. Karya jiplakan itu dibelinya
di toko-toko kesenian di pinggir jalan. Togog ingin mengatakan
kepada pengunjung setelah ia menerima Upakarti banyak juga
pejabat yang berkunjung bagaimana mutu ukirannya dibanding-
kan karya orang lain. Apakah itu perbedaan bahan baku, kerapian
memahat, ketelitian memberi warna, juga masalah harga.
Bale dauh, yang fungsi aslinya sebagai tempat tidur keluarga,
dijadikan ruang terbuka tempat bengkel kerja seni. Di sinilah pu-
luhan perernpuan duduk bersimpuh menghaluskan ukiran-ukiran
173
kayu dengan arnplas di tangannya. Di sinilah warna-warna diberi-
kan. Togog mempekerjakan 35 buruh di rumahnya. Sementara
itu, puluhan orang lagi bekerja di rumahnya masing-masing, dan
hasilnya disetor ke rumah Togog.
Di manakah keluarga ini tidur? Ada jineng, yang fungsi
aslinya lumbung keluarga tempat menyimpan segala hasil bumi.
Dan bangunan inilah disulap menjadi tempat tidur keluarga. Toh,
pada sudut lain, masih tergeletak seonggok ukiran besar setengah
jadi, ukiran pohon pisang. Ini ukiran yang dikerjakan sendiri oleh
sang tokoh.
Sesuai dengan yang diizinkan oleh arsitektur tradisional Bali
(Lihat: Salah Kaprah. Kata I Gusti Agung Gde Putra) yaitu adanya
bangunan tambahan sepanjang ada sisa tanah perumahan, Nyoman
Togog membangun balai lain di sekhar jineng itu. Dan bangunan
terbuka ini ia fungsikan sebagai gudang ukir-ukiran yang belum
disentuh amplas dan pewarnaan.
Dari keadaan bangunan ini, ada kesan Nyoman Togog tak
ingin kualat, misalnya jika mengubah bentuk bangunan itu dari
arsitektur tradisional Bali menjadi yang sesuai dengan kebutu-
han. Kekayaan Nyoman Togog tak mengubah kepatuhannya pada
warisan teluhurnya.
Ya, rumah ini warisan orang tuanya, warisan neneknya.

***

IA lahir sebagai anak yang melarat dari sebuah keluarga yang


tidak memiliki tanah sawah, kecuali tanah perumahan itu. Ayahnya
seorang undagi tukang bikin rumah yang bekerja dari satu desa
ke desa lainnya. Togog, yang lahir 1944, tidak bisa menikmati masa
kecilnya secara layak. Ia harus bekerja, apa saja yang bisa men-
datangkan uang atau makanan. Ia tak bisa meneruskan sekolahnya,
karena tak punya batu tulis. Ia berhenti sekolah menjelang naik ke
kelas dua sekolah rakyat (SD sekarang), pada saat semua murid
harus punya batu tulis untuk belajar menulis huruf. Jangankan
membeli batu tulis, makan pun harus dibagi bersama kakak dan
174
adiknya.
Di Bali, kehidupan di masa itu memang sedang timpang. Kaum
ningrat hidup dengan segala kemewahannya, dengan berhektar-
hektar tanah. Di luar tembok keningratan ini tergeletak rakyat
miskin yang serba kekurangan. Para ningrat memang masih berse-
dia memberi makan kaum jelata ini, asalkan bersedia menghamba
di puri, menjadi parekan atau jongos dalam istilah masa kini. Maka,
Nyoman Togog, menginjak usia sembilan tahun, menyerahkan
hidupnya di Jero Peliatan. Saya menjadi babu, menjadi jongos,
seperti di Srimulat itu. Malahan lebih menderita, cerita Togog
membuat perbandingan.
Pada usia sepuluh tahun, Togog tak tahan terkungkung dalam
tembok puri, bekerja di bawah perintah orang lain, dengan makan
yang tetap saja tidak teratur. Ia minggat dari sana. Ia kembali ke
pangkuan ayah dan ibunya. Tapi ia tetap bingung apa yang akan
dikerjakannya. Ia melihat banyak anak sebayanya yang melukis
di desanya. Ia melihat banyak anak-anak bisa memahat di Desa
Uud, desa tetangganya. Ingin saya melukis dan memahat, tapi
saya tak mungkin membeli pahat dan membeli cat, kenang Togog.
Akhirnya, ia bekerja sebagai tukang panjat pohon kelapa.
Trauma bekerja di Jero Peliatan dibawa terus lelaki ini. Ia
tak ingin bekerja diperintah orang lain, sekalipun itu sebagai
tukang panjat pohon. Malam hari, diam-diam, Togog mencuri
pahat ayahnya. Ia membuat binatang-binatangan dari kayu yang
dipungutnya di jalan. Ia membuat kodok-kodokan, mengukir bu-
rung hantu. Dengan pahat untuk membuat rumah, yang tentu tak
cocok untuk pahat tukang ukir, Togog mengerjakan patung kodok
dan burung hantu itu dengan tekun. Itulah awal hidupnya sebagai
pengukir di tahun 1956.
Kodok dan burung hantu itu ia bawa sendiri ke kios kesenian
di belakang Bali Hotel, Denpasar dulu kios di sini sangat akrab
dengan seniman kecil. Pemilik kios menerima pahatan anak kecil
ini dengan bayaran yang murah. Tetapi Togog puas, apalagi ketika
hasil bayaran murah itu bisa untuk membeli pahat bekas yang san-
gat tumpul. Di suatu hari yang bersejarah Togog kini menyesal
175
tak bisa mengingat hari apa bulan apa pahat bekas itu ia asah di
rumahnya seharian tanpa mengisi perutnya dengan nasi. Ibunya tak
menyisihkan nasi untuk anak ketiga ini. Togog hanya mengganjal
perutnya dengan tiga butir ketela rambat, pemberian tetangga.
Esok harinya, esoknya lagi, dan terus esok-esoknya, Togog
mengukir. Ia tetap membuat kodok. Kodok dan kodok melulu,
sesuai dengan permintaan pemilik kios di belakang Bali Hotel itu.
Burung hantu tak mau, karena pahatannya masih kasar. Namun,
suatu hari, ketika Togog membawa patung burung hantu dengan
pahatan lebih halus, pemilik kios kerajinan itu menerimanya. Dan
esoknya, si pemilik toko yang mendatangi Togog, meminta agar
dibuatkan burung hantu yang lebih banyak. Maka, berhari-hari
Togog mengerjakan patung burung hantu.
Togog, yang sudah mulai menikmati uang dari pahat bekasnya,
lama-lama mendapat saingan, entah siapa dan entah dari mana.
Tiba-tiba berbagai kios sudah dipenuhi patung kodok dan burung
hantu. Begitulah kehidupan seni di Bali, penjiplakan bukanlah
perbuatan nista. Hal ini membuat Togog merasa ditantang untuk
menciptakan bentuk patung yang lain. Pada 1968, ia keluar dari
jenis patung kodok dan burung hantu, ia membuat ukiran buah-
buahan. Yang pertama kali dibuatnya, buah manggis, lalu buah
pisang, kemudian buah pepaya. Ternyata, laku keras.
Di suatu bulan pada 1968 itu, Togog mendapat pesanan un-
tuk membuat ukiran buah-buahan dalam jumlah yang banyak.
Saking gembiranya, ia langsung berniat mengawini pacarnya,
gadis sedesanya. Kegembiraan Togog ternyata buntu. Si pemesan
membatalkan secara sepihak, dan buah-buahan itu tak diambil-
nya. Dijual ke kios tak semuanya laku. Sementara itu, Togog pun
kawin. Perkawinan diadakan dalam keadaan masih melarat. Istri
saya bingung melihat ukiran buah-buahan yang tak laku itu, lalu
ia iseng-iseng memberi warna, tutur Togog. Warna itu menolong,
ukiran itu laku dijual. Mulai 1969, yang beredar di kios kerajinan
hanya ukiran buah-buahan berwarna. Dan, lagi-lagi kreasi Togog
ini ditiru dalam waktu yang singkat.
Perkenalannya dengan seniman Ida Bagus Tilem membawa
176
udara baru bagi bekas babu Jero Peliatan ini. Ida Bagus Tilem,
seniman pemahat dan putra seniman Ida Bagus Nyana di Desa
Mas, ini meminta kepada Togog agar berkarya lebih tekun dan
membuat ukiran lebih halus, jangan asal dapat duit saja. Tentu
dengan janji, hasil karya Togog boleh dipajang di galeri Ida Bagus
Tilem. Togog menurut, karena memajang karya di galeri terkenal
seperti itu berarti menaikkan statusnya sebagai pengukir. Ternyata,
ukiran buah-buahan Togog laku di galeri itu, setelah ditata menjadi
satu himpunan buah seperti layaknya buah di meja makan rumah
gedongan. Itu berarti, karya Togog naik tingkat. Selama ini hanya
disalurkan di kios pinggiran jalan, sekarang bisa laku di kelas
galeri. Malah ada turis yang penasaran, dan langsung datang ke
rumah Togog, ingin melihat bagaimana ukiran buah-buahan ini
dibuat sehingga persis aslinya.
Pada 1977, sejarah baru terkuak. Ida Bagus Tilem menganjur-
kan lagi, agar Togog tidak hanya membuat ukiran buah-buahan
saja, tetapi disarankan juga membuat pepohonan. Togog kemu-
dian berpikir, pohon apa yang layak dan indah diukir yang ada
buahnya. Ia memilih pohon pisang. Ukiran pohon pisang pertama
kali itu dibuat setinggi 1,5 meter, ia kerjakan selama enam bulan
terus-menerus. Sesudah diberi warna, karena tak puas, diukirnya
lagi. Ida Bagus Tilem sampai mangkel, karena sudah tiga kali
ukiran pohon pisang itu dimintanya, Togog belum juga merasa
sreg menyerahkannya. Yang keempat kalinya berhasil, terutama
karena Ida Bagus Tilem segera pameran di Jakarta. Ukiran pohon
pisang itu diangkut ke Jakarta. Dan, konon, langsung dibeli Ibu
Tien Soeharto ketika pameran.
Sejak itu, mengalir pesanan patung pohon pisang ke rumah
Nyoman Togog. Ia pun kewalahan, dan mulai mencari anak buah.
Di bawah pengawasan Togog, anak buahnya ini mulai memahat
patung pohon pisang. Togog memberi gambar, bagaimana lekuk
daunnya, bagaimana komposisi pohon dan buahnya. Sementara
anak buah Togog mengerjakannya, ia memulai ukiran lain, patung
pohon kelapa dan pohon pepaya.
Pada 1983, Departemen Perindustrian membawa ukiran-ukiran
177
Togog untuk dipamerkan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, yang
dibuka Ibu Tien Soeharto. Menurut Togog, semua hasil karyanya
diboyong Ibu Tien. Togog sendiri yang mengantarkannya ke Jalan
Cendana. Jutaan rupiah uang dibawa Togog pulang dari Jakarta.
Ukiran pepohonan itu menjadi mode di mana-mana. Bukan
saja para pejabat tinggi, tetapi masyarakat menengah dan bawah
pun menyukai pohon-pohonan ini. Karena permintaan pasar yang
begitu banyak dan beragam kemampuannya membeli, para pen-
gukir di sekitar Peliatan, Ubud, Mas, bahkan di seluruh Kabupaten
Gianyar mulai mengalihkan perhatian untuk membuat ukiran
pepohonan. Menurut catatan Departemen Perindustrian, dua ribu
pengukir Bali mengerjakan pohon pisang saja. Itu virus yang
disebarkan Togog, luar biasa.
Togog, yang selalu mengakui tamatan PBH (Pemberantasan
Buta Huruf), telah menciptakan lapangan pekerjaan baru buat para
pengukir. Togog pelopornya, pengukir lain cuma membebek. Uki-
ran pohon pisang ada di mana-mana. Dari yang harganya Rp 3.500
sampai yang harganya Rp 15 juta. Dari yang kayunya lembek,
keropos dan habis dimakan rayap belum setahun, sampai yang be-
rat, diawetkan berbulan-bulan. Dari ukiran daun yang nyaris lurus
sampai yang berlekuk-lekuk. Lihat saja di seluruh kios kesenian,
di mana saja di Bali, juga di Jakarta, kalau kios itu tidak memajang
ukiran pepohonan, terasa tak lengkap koleksi barang seni itu.

***

JIPLAK-MENJIPLAK dalam kehidupan berkesenian di Bali


memang sesuatu yang sah. Ketika I Nyoman Tjokot, pematung
terkenal dari Desa Tegallalang, memulai karyanya yang unik
dengan lebih banyak memanfaatkan kayu asal untuk membentuk
imajinasinya, para pemahat lain tak begitu peduli. Bahkan, apa
yang dihasilkan Tjokot itu pun sesungguhnya ada kelanjutan dari
gaya Sebatu di awal 1940-an. Tetapi nasib membawa lain, seniman
Sebatu tak berhasil memasarkan patungnya. Tjokot yang lebih
ketiban rezeki.
178
Alkisah, pada 1951, perusahaan dagang Tropics Traders milik
seorang insinyur dari Amerika, menemukan karya Tjokot lewat
Art Shop Nuratni di Kesiman, Denpasar. Sejak itu patung Tjokot
tersebar ke Amerika. Patung Tjokot pulalah pada 1968 dipamerkan
di Queensland Industries Fair. Orang pun mulai membicarakan
Tjokot, memujinya, dan ramai-ramai memburu karyanya. Di
pertengahan 1960 sampai 1970-an, karya Tjokot laku keras, dicari
oleh banyak kolektor dan turis asing. Bentuk patung Tjokot karena
sulitnya untuk disudutkan pada aliran tertentu, lalu disebut gaya
Tjokot atau Tjokotisme, suatu pahatan yang sangat memperhatikan
dan mempertimbangkan bahan awal sebelum tersentuh pahat. Juga
mengarah ke patung primitif.
Peniruan pun muncul. Tidak hanya pemahat di Kecamatan
Tegallalang, tetapi juga pemahat yang menghamba di berbagai
art shop. Para peniru ini pastilah bukan karena mengagumi karya
Tjokot, tetapi mereka dengan sadar membuat karya yang mirip
itu demi uang. Para peniru, tentu saja, tak pernah mencantumkan
namanya di balik patung Tjokotisme itu, dengan maksud supaya
dikira itu karya Tjokot atau putra-putra Tjokot. Pemilik art shop
yang nakal malah jelas-jelas menulis nama Tjokot pada patung
tiruan itu, walau sang maestro sudah tiada di tahun 1971.
Hal itu pulalah yang dialami oleh pemahat besar Ida Bagus
Nyana, ayah Ida Bagus Tilem, yang sudah almarhum juga. Karya
Nyana begitu menggugah, melukiskan hidup keseharian, patung-
patung manusia dengan sentuhan yang tajam. Ekspresinya luar
biasa, patungnya menyimpan cerita tentang kemanusiaan yang
begitu dalam. Karya Nyana ini sudah ditiru oleh puluhan pematung
lain. Nyanaisme berkembang setelah Tjokotisme memudar.
Dalam hal tiru-meniru ini, pemahat yang karyanya ditiru sama
sekali tidak protes, atau marah, atau uring-uringan. Ida Bagus Nya-
na pernah mengatakan begini kepada I Nyoman Tusan pelukis
dan pejabat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Saya sangat senang mendengar kalau ada orang lain yang bisa
hidup dan menghidupi keluarganya dari karya patungnya, yang
hasil peniruan dari karya saya. Toh, kemampuan saya ini tidak
179
akan hilang.
Dengan kenyataan ini, I Nyoman Tusan akhirnya menyimpul-
kan, ada segi positif yang lahir dari peniruan ini. Yakni, peniruan
tidak sekadar asal meniru, tetapi sekaligus ada usaha pengemban-
gan pribadi dalam karya tiruannya itu. Bahkan tak jarang, kemudian
peniru ini menjadi seniman terkemuka dan mandiri.
Seni pahat dan seni ukir di Bali sudah menjadi suatu industri,
bukan lagi sekadar menjadi ekspresi jiwa estetis semata. Seni itu
telah menjadi suatu bisnis. Para pematung dan pengukir itu tidak
bekerja secara individu lagi. Seniman yang sudah berhasil lalu
menghimpun penduduk sekitarnya yang punya keterampilan, untuk
ramai-ramai memproduksi barang kesenian itu. Untuk membuat
ukiran buah manggis, duku, jagung, Togog tak lagi mengerjakan
sendiri, kecuali pepohonan yang ukuran besar. Ia sudah punya
puluhan anak buah. Tetapi semua karya itu, setelah dipajang dan
dijual, diakui sebagai karya Togog.
Ida Bagus Tilem pun tidak setiap hari mematung. Karyanya
yang abstrak tak mudah ditiru orang. Ia hanya memahat kalau in-
spirasinya ada, dan itu ia kerjakan sampai lupa makan dan mandi.
Soalnya, ia tak lagi harus memikirkan urusan dapur, ia tak lagi
memikirkan uang belanja anak istri. Bisa dimengerti kalau karya
Tilem yang betul-betul dikerjakannya sendiri punya nilai jutaan
rupiah.
Tetapi Tilem juga seorang pengusaha yang sukses. Ia sadar, ia
harus pula menghidupi sekian karyawan, sekian pematung yang
bekerja di galerinya. Maka, karya-karya anak buahnya ini dibuat
semirip-mirip karya Tilem, atau karya ayahnya yang sudah diboy-
ong pembeli entah ke mana. Boleh disebut, ini hasil karya yang
dengan sadar mengarah ke bisnis, ke suatu dunia industri. Yang
membedakan Tilem dengan yang lain, ia masih punya etik. Pada
bagian bawah patung-patung itu, ditulisi Disain oleh Ida Bogus
Tilem. Bukan karya tetapi disain. Siapa yang memahat? Bisa
seorang, bisa lebih, dan tak diperlukan lagi sebuah nama.
Seniman-seniman yang bergabung langsung di art shop, yang
bekerja ikut seniman lain, yang berkarya mengatasnamakan seni-
180
man pembimbingnya, kemandiriannya banyak bergantung pada
situasi tertentu, atau nyaris kebetulan. Tak jarang, ia segera melecut
keluar dari kungkungan itu, dan berdiri sendiri, membuka studio
atau sanggar sendiri. Kematangan dan kesenimanannya bukan
ditentukan oleh gurunya atau bosnya, tetapi oleh pembeli atau
kolektor. Kalau ia bisa meyakinkan pembeli dan kolektor, bahwa
patung yang dipajang itu adalah karyanya, bukan karya pemilik
art shop, maka saat itulah ia bisa melepaskan diri dari belenggu
majikan.
Tak banyak yang mampu menembus belenggu itu. Bahkan
lebih sial lagi, kreasi mereka betul-betui terbelenggu oleh art
shop sebagai pemilik modal. Seniman yang juga menjadi barang
pajangan ini karena sering menjadi obyek kamera turis asing
hanya mengikuti perintah majikan, barang apa yang dibuat
dan lagi laris. Seorang pemahat di sebuah art shop di Desa Celuk
mengatakan, sudah enam tahun mereka selalu mengerjakan bebek-
bebekan. Temannya sudah empat tahun ini selalu mengerjakan
burung-burungan. Tak bisa lain, otaknya dibelenggu, perutnya
dibelenggu. Mereka adalah mesin-mesin seni.
Seniman yang kreatif memang harus jadi majikan dulu, atau
menempuh cara kompromi. I Wayan Pendet, pematung dari Nyuh
Gading, Ubud, misalnya, sadar sekali ia harus membuat dua
kategori karya patung. Yang pertama, ia berkarya menuruti jiwa
seninya. Patungnya punya gaya khas, lucu, ironi dan sinisme ber-
gabung jadi satu. Karyanya itu lahir dari pengamatan pada alam
di sekelilingnya, atau membuka perpustakaan mengenai berbagai
legenda dan cerita masa lalu. Ia sentuhkan pahat di kayu dengan
kematangan seorang seniman besar.
Di pihak lain, ia sadar, karyanya ini tak akan laku, atau kurang
laku lantaran harga yang tinggi pula. Contohnya, di pertengahan
1985, ia pameran di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, dan
bulan berikutnya di Balai Budaya, juga di Jakarta. Sponsornya
Departemen Perindustrian. Menurut Pendet, yang laku hanya dua
patung. Ia rugi, bukan rugi materi, tetapi rugi waktu. Ia tak rugi
materi, karena selama pameran ada yang mengongkosi. Bagaimana
181
ia menopang kehidupan keluarganya sehari-hari? Itulah, ia juga
berkarya untuk uang. Ia masih membuat patung-patung dari
kayu gepeng untuk hiasan dinding. Ia menyebutkan, selain ber-
kesenian juga melakukan berkerajinan. Patung yang ia buat
dengan mencurahkan ekspresi total ia sebut berkesenian. Patung
untuk hidup, yang dibuat sembari ngobrol, adalah berkerajinan.
Wayan Pendet pun mengembangkan gaya yang sulit pula
dikelompokkan ke dalam aliran tertentu. Mestinya disebut gaya
Pendet atau Pendetisme, tapi ia tak suka. Ia lebih senang disebut
gaya Nyuh Kuning (nama desanya), karena ia punya pengikut,
yaitu pemahat-pemahat di desanya. Gaya pahatannya mirip, karena
memang pengikut ini sesungguhnya anak buah Wayan Pendet.
Tapi Pendet tak suka ada istilah anak buah dan bapak buah, maji-
kan dan pekerja. Semua karya pengikutnya mengatasnamakan diri
masing-masing, tak ada nama yang dicatut. Pendet tak meminta
agar patung pengikutnya diakui sebagai karyanya atau sekadar
desain, misalnya.
Kini, di desa yang tak jauh dari kota kecamatan Ubud itu,
Pendet merintis museum patung gaya Nyuh Kuning. Ada sebersit
kecemasan, kalau patung bernilai tinggi ini lenyap begitu saja
diboyong orang asing. Karena ia sadar, walaupun patung Nyuh
Kuning itu sulit laku, kalau semua pembelinya turis asing, lama-
lama karya-karya itu sulit dilacak. Wayan Pendet ingin sekali, ada
seseorang yang kaya membeli karyanya, lalu menyimpannya di
museum itu sebagai sumbangan. Setidak-tidaknya di museum di
Bali, di mana saja.

***

I NYOMAN TOGOG bercerita dengan lugunya, dengan bahasa


Indonesia yang tak lancar dan takut salah, tetapi dengan istilah yang
cukup keren. Ketika saya menciptakan ukiran bunga anggrek,
seminggu saya tak tidur, memikirkan bahan tangkai bunganya.
Makan pun rasanya tak enak, katanya. Tangkai itu, ingin dibuat-
nya halus, dan kalau ditiup angin juga bergoyang, sehingga persis
182
anggrek yang asli. Semula saya pakai kawat, tapi ini kan ukiran,
ini hasil seni bukan teknologi, ujarnya dengan pelan. Setelah
seminggu mencoba-coba, ia menemukan akar pohon kopi.
Ketika hasil penemuannya itu dipamerkan dan dibeli orang,
bermunculan pula ukiran bunga anggrek dari perajin lain, entah
siapa dan entah di mana. Togog selalu berada di depan, dan ia tak
pernah menyesal. Karya saya selalu dicari dan selalu mahal,
kata ayah lima anak ini.
Ia selalu menjaga kualitas bahannya. Sebuah pohon pisang
setinggi 2,5 meter dikerjakannya setahun lebih. Untuk memahat
ukiran itu, ia perlu waktu delapan bulan Bali Togog sampai
sekarang menghitung hari dengan bulan Bali versi wariga. Satu
bulan Bali yang dimaksud Togog adalah pertemuan antara Sap-
tawara dan Pancawara, misalnya, Senin Kliwon, Selasa Wage,
dan seterusnya, jadi siklusnya 35 hari. Bukan bulan Bali dalam
pengertian sasih.
Setelah ukiran itu selesai, kayunya itu dikeringkan lagi selama
enam bulan. Lalu, diberi warna selama sebulan. Total 15 bulan Bali
dihabiskan untuk membuat pohon pisang dari kayu bentawas. Ia
tak menyebutkan berapa nilai jual karyanya itu, tetapi seorang anak
buahnya menyebutkan angka di atas Rp 3 juta.
Ukiran pohon pisang karya anak buah Togog, yang dibuat di
bawah pengawasan Togog, harganya juga tinggi. Bahannya ber-
beda dengan ukiran yang dijual di pinggir jalan, lekukan daunnya
juga beda, kata Togog. Sebagai perbandingan, Togog mengajak
melihat koleksinya di balai paon yang ia ubah bangunan itu men-
jadi laboratorium begitu istilah keren Togog. Sebuah ukiran
pohon pisang setinggi satu meter karya perajin lain yang bukan di
bawah pengawasannya, harganya Rp 70.000 dan bahannya dari
kayu benau. Memahat kayu benau bisa sambil berjalan-jalan.
Yang dipakai juga bukan pahat, cukup pisau. Kayunya ringan,
katanya. Di samping pohon pisang itu ada ukiran pohon pisang
karya anak buahnya dengan bahan kayu bentawas. Harganya Rp
500.000. Lihat lekuk daunnya. Dan kayu ini tak mudah dimakan
rayap, kata Togog lagi, tanpa bermaksud promosi.
183
Datanglah ke pasar seni di Sukawati, atau di kios kerajinan
mana saja di Bali. Akan mudah dijumpai pohon pisang kecil yang
harganya cuma Rp 3.500. Sedang karya Togog dan anak buahnya
hanya bisa diperoleh di rumah Togog di Peliatan dan di sebuah
hotel besar di Nusa Dua. Harga ukiran pohon pisang terkecil Rp
25.000.

***

APAKAH seni ukir Bali merosot? Apakah seni patung Bali


menurun mutunya? Sulit untuk mengatakan ya. Togog masih
mengerjakan ukiran berbulan-bulan, malah berbilang tahun. Ida
Bagus Tilem masih memahat sampai lupa anak, lupa istri, dan lupa
jadi orang kaya. Wayan Pendet masih berkunang-kunang matanya
membaca lontar untuk menemukan ilham. Ketiganya contoh
kecil saja masih saja sayang melepaskan hasil karyanya walau
dibayar jutaan. Karya mereka ini masih tetap bernilai tinggi. Togog
menyimpan sebagian karyanya di laboratoriumnya. Pendet men-
gusahakan museum di desanya. Tilem memajangnya di galerinya
dengan tulisan not sold. Kegairahan mereka mencipta sama seperti
dulu, diselingi tugas mengawasi.
Kalau seni ukir, seni patung, seni kerajinan kini membanjiri
toko kelas menengah dan di sudut-sudut hotel berbintang, dan itu
dihasilkan dari kelonipok Togog, kelompok Tilem, dan kelompok
Pendet, itu tak lain dari sebuah kompromi untuk meneruskan
cita-cita berkesenian. Ketiganya perlu hidup, perlu membiayai
anak-anaknya sekolah, dan menolak untuk jatuh miskin. Mereka
umumnya punya sejarah pahit, seperti kisah Togog di awal tulisan
ini, walau ketiganya berbeda cara melemparkan karyanya: Togog
dengan mengakui semua karya anak buahnya sebagai karyanya,
Tilem dengan mencantumkan kata-kata desain, Pendet dengan ti-
dak mencatut karya pengikutnya tetapi disarankan menulis Sanggar
Nyuh Kuning, karya-karya ini tak sampai jatuh mutu seninya.
Barangkali yang mencuatkan kesan bahwa ukiran Bali sudah
merosot ke titik nista adalah apa yang ditemukan di kios-kios
184
pinggir jalan, yang dibawa para pedagang acung, yang ditaruh
berjubel di pasar-pasar seni, yang kesemuanya dibeli dengan ta-
war-menawar. Itu adalah karya mesin-mesin seni yang bernapas,
yang kebanyakan dipelihara oleh majikan di art shop, yang
menyediakan kayu, yang menyediakan pahat, yang menyediakan
tempat berkumpul.
Tetapi, apakah itu salah? Bukankah ini menciptakan lapan-
gan kerja? Dan, bukankah orang-orang kelas bawah, masyarakat
pedesaan termasuk warga desa di Bali yang tak bisa mengukir
perlu juga gengsi menaruh ukiran pohon pisang atau patung ne-
layan di ruang tamu rumahnya? Kelas ini tak membutuhkan karya
Togog, karya Tilem, karya Pendet, juga belum mampu membeli
karya anak buah ketiga seniman itu. Masyarakat ini membutuhkan
barang, bukan nama. Mereka lalu mencari barang itu di kaki lima,
dengan cara-cara berbelanja di kaki lima.

185
XII
Lukisan Bali
dan
Museum Seni

Langkah-Langkah
Pande Wayan Suteja Neka

I
NILAH sebuah langkah yang terpuji untuk menyelamatkan
seni lukis Bali dari tangan-tangan luar yang hendak memboy-
ongnya. Datangnya mungkin terlambat, tetapi tak mengurangi
keluhurannya, apalagi gagasan itu muncul dari seorang pedagang
lukisan.
Moral pedagang, mestinya mencari barang dengan harga
semurah-murahnya, lalu menjual semahal-mahalnya, tak peduli
siapa pembelinya, dan diboyong ke mana. Tapi pedagang yang
satu ini sadar betul, kalau semua lukisan yang bermutu tinggi itu
lenyap dari Bali, bagaimanakah generasi nanti melacak sejarah
seni lukis di Bali? Maka, sebuah langkah ia ayunkan, ia membeli
lukisan dari tangan pelukis dengan susah payah, dan kemudian
menaruhnya di sebuah bangunan untuk ditatap oleh siapa saja
186
pengunjung bangunan itu.
Salah seorang pedagang itu disebut salah seorang karena
gejala ini mulai diikuti yang lain bernama Pande Wayan Suteja
Neka, penduduk asli Desa Ubud. Bangunan tempat ia memajang
lukisan itu bahkan sudah berbentuk museum.
Suteja Neka Neka itu diambil dari nama ayahnya selama
ini dikenal sebagai pemilik art shop yang sukses di Ubud. Ayahnya,
Wayan Neka, seorang pematung yang sangat diperhitungkan di
Bali. Wayan Neka ikut bergabung dalam Pita Maha organisasi
seni rupa yang pertama di Bali pada 1935. Suteja, sang anak, yang
lahir 1939, tidak punya bakat seperti ayahnya. Anak ini malah
memilih bersekolah di SGA (Sekolah Guru Atas) dan selanjutnya
menjadi guru.
Ketika 1960, Wayan Neka memenangkan hadiah pertama
sayembara patung untuk Provinsi Bali, sang anak baru tahu kehe-
batan ayahnya. Itu pun setelah hadiah untuk ayahnya datang, satu
truk sawo kecik, uang Rp 2.500, dan sepuluh meter kain tekstil.
Melihat keberhasilan ayahnya, Suteja lantas mulai mengumpulkan
patung-patung ayahnya yang bertebaran di halaman rumah. Ia kum-
pulkan patung itu di sebuah ruangan paling depan, dekat dengan
jalan. Dengan demikian, memudahkan sang ayah mematung di
belakang rumah, dan memudahkan juga peminat membeli patung
itu. Usaha Suteja inilah yang lama-lama berkembang menjadi
kios seni, apa yang populer disebut art shop, setelah usaha ini
menjamur di Bali.
Banyaknya turis yang datang ke Bali setelah Hotel Bali
Beach beroperasi 1966 semakin banyak pula turis yang datang
ke Ubud, melihat langsung kehidupan para pelukis dan pematung
di sana. Kios seni Suteja pun semakin bermanfaat, ibarat etalase
sebuah toko. Ruangan diperbesar, isinya tidak lagi patung, tetapi
juga lukisan. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, Suteja
secara aktif mencari lukisan dan kemudian menjualnya kepada
wisatawan. Pekerjaannya sebagai guru ditinggalkannya.
Barangkali, karena Suteja bekas guru, ia tiba-tiba merasa ce-
mas, kalau semua karya seni bermutu diboyong turis ke negaranya,
187
bagaimana menceritakan kepada anak-anak nanti tentang sejarah
kesenian di Bali? Kesadaran itu tumbuh di awal 1970-an pada
saat itu ia memang sudah kaya. Ia pun mulai menahan lukisan yang
dianggapnya baik. Ia tak lagi sebagai pedagang semata-mata, tetapi
mulai sebagai kolektor.
Art shop-nya tetap jalan, dikelola sang istri. Suteja Neka pun
mulai pemburuannya yang mengasyikkan, karena yang diburu hasil
karya seni dari seniman yang ulahnya macam-macam. Suteja Neka
banyak bercerita tentang suka dukanya berburu lukisan. Suatu kali,
ia ingin punya koleksi lukisan Anak Agung Gde Sobrat. Berulang
kali Suteja ke rumah Sobrat, bermaksud membeli lukisannya.
Jawaban yang diperoleh, lukisan sudah ada yang memesan, atau
dikatakannya belum rampung. Suatu hari, Sobrat pameran di Hotel
Bali Beach bersama pelukis-pelukis Padangtegal, nama banjar di
wilayah Desa Ubud tempat Sobrat bermukim dan menghimpun
anak buahnya. Harga lukisan itu mahal, disesuaikan dengan tem-
pat pameran. Suteja, yang sudah berhari-hari mengincar lukisan
Sobrat, membelinya sebuah. Melihat itu Sobrat heran, karena
lukisannya dibeli oleh orang satu desa. Maka, Sobrat pun per-
caya, orang ini betul-betui berniat mengoleksi lukisan, dan bukan
berdagang. Ia kemudian malah menyarankan, lukisan jenis apa
yang layak dikoleksi.
Mencari lukisan Ida Bagus Made lebih sulit. Pelukis nyentrik
yang jarang memakai baju ini sangat anti-art shop. Di matanya,
art shop yang menjatuhkan seni lukis Bali. Berulang kali saya
ke sana, apalagi rumah saya berdekatan, tapi Ida Bagus Made tak
pernah mau melepaskan lukisannya, ujar Suteja Neka. Ia hampir
putus asa.
Suatu hari datang kolektor lukisan dari Negeri Belanda ke art
shop Suteja di Ubud. Kolektor ini ingin memiliki koleksi Suteja
yang tidak dijual. Belanda itu tampaknya sangat berminat dan
mengatakan akan sangat menyesal meninggalkan Bali kalau tidak
membawa lukisan yang diidam-idamkannya. Akhirnya Suteja ber-
sedia melepaskan lukisan itu asal diganti dengan salah satu karya
Ida Bagus Made. Kolektor Belanda itu ngeluyur sesaat dan sore
188
harinya ia sudah datang membawa bungkusan berisi lukisan Ida
Bagus Made yang bertema sabungan ayam. Lukisan itu memang
saya incar bertahun-tahun, ujar Suteja. Jelas, sikap Ida Bagus
Made, ia dengan mudah melepaskan lukisannya kepada orang
asing ketimbang teman sedesanya. Bagi Made, turis bukanlah
pedagang.
Dari dua contoh kisah perburuan ini bisa ditarik suatu kesan,
kenapa para pelukis terkenal sulit sekali karyanya dibeli oleh pe-
milik art shop. Memang demikianlah yang terjadi, art shop di Bali
sudah telanjur berbuat curang. Pemilik toko ini membeli lukisan
dengan harga yang murah, dan menjual dengan harga yang tinggi.
Pemilik art shop bisa kaya-kaya, pelukis tetap saja miskin, ini
kata Ida Bagus Made. Selain itu, kecurangan yang sangat dicela
para pelukis, ulah art shop untuk memproduksi lukisan seban-
yak-banyaknya. Yang dimaksudkan, sebuah lukisan dari pelukis
ternama setibanya di art shop akan dijadikan model oleh pelukis-
pelukis yang bermukim di art shop itu.
Dalam situasi itulah, Suteja Neka mencari koleksi untuk
cita-citanya mendirikan museum. Tentu saja, banyak yang tidak
percaya pada niat baik ini, dan karenanya pelukis ragu melepaskan
karyanya walau dibayar sama tinggi.
Setelah tanah di Campuan sebelah barat Desa Ubud di-
beli keluarga Neka, dan bangunan untuk museum sudah bertahap
didirikan, mulai ada kepercayaan untuk seorang Suteja Neka.
I Gusti Nyoman Lempad (kini almarhum), misalnya, langsung
meminta agar Suteja datang ke rumahnya, memilih sendiri lukisan
yang diminatinya. Wah, saya kaget dan berdebar-debar, berapa
lukisan itu dihargai, Suteja Neka mengenang. Setelah dipilih
dua buah lukisan, Lempad berkata dengan kalemnya, Tidak usah
dibayar, bawa sajalah karena untuk dikoleksi dan tidak diperda-
gangkan.

***

MUSEUM Neka berdiri di atas tanah seluas 6.900 m2, di


189
pinggir jalan raya Desa Campuan. Di sekelilingnya masih tanah
sawah. Bangunan fisik itu dimulai 1972, dengan menerapkan pola
arsitektur tradisional Bali. Hanya polanya saja, tidak fungsinya.
Jadi, ada gedong, bale dauh, bale dangin, paon, dan pemerajan.
Yang bernama pemerajan tidak ada sanggah dan bukan tempat suci.
Bale dangin, karena merupakan bangunan terbuka tanpa dinding,
dijadikan ruang perpustakaan. Ada seperangkat kursi untuk duduk-
duduk di sana, membaca berbagai kisah dan pengetahuan tentang
seni lukis Bali dan masalah kebudayaan secara urnum. Jadi, balai
ini mendekati fungsi arsitektur Bali.
Atas saran Rudolf Bonnet, pelukis Belanda yang lama menetap
di Ubud, Suteja Neka melakukan perjalanan ke kota-kota besar di
Eropa, pada 1975 untuk study banding soal museum lukisan. Yang
dijelajahinya: Amsterdam, London, Roma, Jenewa, Paris. Yang
paling berkesan ketika mengunjungi British Museum di London.
Di sana terdapat koleksi barang-barang seni Bali, juga ada buku
sastra Bali dari kertas ulantaga, ujar Suteja Neka. Ulantaga adalah
kertas dari kulit kayu yang digunakan untuk menyaring air suci
ketika upacara ngaben, suatu kertas yang mulai langka dan jarang
lagi digunakan.
Sepulang dari Eropa, ia lebih bergairah membangun gedung
yang akan dipakai museum. Ia pun menghubungi berbagai pihak
yang mengurusi masalah permuseuman, termasuk Menteri P dan K
(waktu itu) Daoed Joesoef. Setelah diteliti oleh Direktorat Museum
Ditjen Kebudayaan Departemen P dan K, gagasan Museum Neka
itu memenuhi syarat International Council of Museum (ICOM),
badan permuseuman nasional yang didirikan Unesco.
Akhirnya museum yang sudah pasang papan nama sejak 1976
itu diresmikan 7 Juli 1982, dikelola oleh sebuah yayasan yang
bernama Yayasan Dharma Seni, yang diketuai Suteja Neka dan
penasihat Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, gubernur Balii. Ketika
diresmikan Menteri Daoed Joesoef, museum ini bermodal 45
lukisan, kata Suteja. Dan Yayasan Dharma Seni, lewat berbagai
seleksi yang dilakukan pelukis-pelukis ternama di Ubud, setiap
saat membeli lukisan bermutu untuk koleksi museum itu. Sampai
190
awal 1986, jumlah lukisannya sudah 142 buah.
Museum Neka terbagi ke dalam empat gedung. Gedung I, yang
berada paling depan (dalam pola arsitektur Bali, gedung ini paon},
tempat dipajangnya hasil karya pelukis-pelukis Bali terkemuka.
Di sana ada satu ruang berisi lukisan karya Lempad, karyanya
sebelum Perang Dunia Pertama sampai yang terakhir menjelang
wafat. Juga ada lukisan Lempad yang sempat diboyong ke Eropa,
menjadi koleksi Claire Holt. Keluarga Neka berhasil membawa
pulang lukisan itu ke Bali lewat barter lukisan.
Selain lukisan Lempad, di gedung ini juga dipajang karya
Anak Agung Sobrat, Ida Bagus Made, I Gusti Ketut Kobot, I
Gusti Made Deblog, Ida Bagus Widja. Penataannya sedemikian
rupa, sehingga mewakili sejarah seni lukis Bali dalam berbagai
generasi dan berbagai aliran. Dari gaya wayang Kamasan, gaya
Batuan, gaya Ubud, dan gaya Lempad yang tak ada duanya itu.
Dari yang berwarna muram, agak cerah, sampai hitam putih khas
Lempad dan hitam putih khas Made Deblog. Di gedung ini pula
ada lukisan gaya Kamasan dengan kertas ulanlaga.
Di gedung II, kalau dilihat dari kaca mata arsitektur Bali ini
adalah bale dauh, dipajang karya-karya pelukis Indonesia yang
juga mewakili berbagai aliran. Ada lukisan Affandi, Widayat, Fajar
Sidik, Achmad Sadali, Srihadi, Popo Iskandar, Hendra Gunawan,
Rusli, Nashar, Abas Alibasyah, Sudjojono, Nyoman Tusan, Dullah,
Abdul Aziz, Nyoman Gunarsa. Untuk memilih lukisan-lukisan di
gedung itu, Suteja Neka dibantu oleh, antara lain, Drs. Sudarmadji,
Direktur Balai Seni Rupa Jakarta.
Gedung III gedong dalam arsitektur Bali tempat mema-
jangkan tiga pelukis asing yang tinggal menetap di Bali dan ada
hubungannya dengan seni lukis Bali. Mereka adalah Walter Spies,
Rudolf Bonnet, dan Arie Smith. Ketiga pelukis ini memberi penga-
ruh kepada para pelukis Bali. Mereka ikut mendirikan Pita Maha,
organisasi seni pertama di Bali itu. Mereka ikut memasarkan seni
lukis Bali, mereka bahkan mendidik dan jadi guru sejumlah pelu-
kis Bali. Dalam kata lain, ketiga pelukis ini menyatu dan menjadi
bagian dari sejarah seni lukis Bali.
191
Di gedung IV ini bangunan yang mirip gedung III tetapi
melihat pola letaknya adalah pemerajan dalam arsitektur Bali
dipajang karya pelukis asing yang pernah tinggal menetap di
Bali, mendapatkan inspirasi dari lingkungan alam dan kebudayaan
Bali. Tetapi mereka hanya melukis untuk dirinya sendiri, artinya
mereka tidak bergaul dengan pelukis Bali. Mereka tidak memberi
pengaruh dan sama sekali tidak terlibat dengan pelukis-pelukis
Bali. Mereka adalah Theo Meier, W.G. Hofker, Han Snel, Antonio
Maria Blanco, Donald Friend. Juga ada lukisan Covarrubias, pelu-
kis yang menulis buku Island of Bali yang terkenal itu.
Di setiap gedung, Suteja Neka juga meletakkan brosur-brosur
mengenai kehidupan sang pelukis. Memang bukanlah brosur leng-
kap, dan belum memberi riwayat yang panjang mengenai keseni-
manan seseorang. Tetapi, ada usaha Suteja Neka untuk mencetak
brosur yang lebih lengkap, juga untuk menjelaskan kepada pengun-
jung bagaimana tema sebuah lukisan dan proses penggarapannya.
Apalagi untuk lukisan Bali, yang umumnya bercerita itu, memang
diperlukan penuturan panjang.

***

MUSEUM Neka bukan museum lukisan yang pertama di Bali


dengan gagasan muluk untuk menyelamatkan seni lukis Bali. Bah-
kan tak jauh dari Museum Neka ini sudah lama berdiri Puri Lukisan
Ubud, yang dikelola oleh Yayasan Ratna Warta. Museum lukisan
ini dirintis oleh Rudolf Bonnet, pelukis kelahiran Belanda, bersama
Cokorde Gde Agung Sukawati, Cokorde Agung Mas, dan Cokorde
Anom Raka, pada 1953. Di sinilah tersimpan lukisan-lukisan Bali
sebelum kemerdekaan, bahkan sebelum Perang Dunia Pertama.
Museum lukisan pertama di Bali yang dibuka untuk umum
Januari 1956 ini bisa bercerita tentang sejarah seni lukis Bali
dari generasi awal abad ke-20, dan yang menonjol adalah koleksi
lukisan pada saat terbentuknya Pita Maha dan pengaruh adanya Pita
Maha itu. Namun, museum ini pada akhirnya kehilangan langkah,
setelah tokoh-tokoh pendirinya meninggal dunia. Dana pun jadi
192
macet. Mengandalkan karcis masuk yang cuma Rp 100 per orang,
dan sumbangan dari pemerintah yang tidak kelewat besar, museum
ini menjadi merana. Bukan saja bangunan fisiknya yang telantar
gedung rnuram dan halamannya ditumbuhi rumput liar tetapi
koleksi lukisannya perlu diselamatkan. Gagasan para pendirinya,
untuk menyelamatkan seni lukis Bali, macet karena tak mampu
lagi membeli lukisan baru.
Museum Bali di Denpasar, yang berada langsung di bawah
Departemen P dan K juga punya koleksi lukisan yang memadai.
Usaha membeli lukisan baru juga masih tampak. Tetapi museum
ini tak khusus mengelola lukisan, sehingga dana yang dimilikinya
juga terpecah untuk bidang-bidang seni yang lain, plus pemeli-
haraan yang mahal. Penataan lukisannya pun tidak mencerminkan
riwayat perjalanan seni lukis Bali, tidak dikelompokkan, misalnya,
ke dalam aliran-aliran.
Begitu pula koleksi lukisan yang dimiliki Pusat Keserrian Bali
Werdi Budaya (art centre) di Abian Kapas, sebelah timur Kota
Denpasar. Di gedung Mahudara Mandhara Giri Bhuwana ini
gedung induk art centre bisa dilihat hasil karya pelukis Bali
dari gaya Kamasan sampai lukisan modern yang sama sekali jauh
dari napas Bali. Gedung ini memang bukan museum, dan juga
bukan cuma memamerkan lukisan. Maka, sulit melacak perjalanan
panjang seni lukis Bali kalau hanya mengunjungi pameran tetap
ini, apalagi tiadanya brosur yang bisa dibaca. Yang ada hanya judul
lukisan, nama pelukis, dan tahun pembuatan.
Ada satu lagi museum lukisan, tetapi yang ini lebih khusus dan
sejak semula memang diniatkan untuk museum pribadi. Yakni,
Museum Lukisan Le Mayeur di pantai Sanur. Le Mayeur, pelukis
Belgia yang datang ke Bali pada 1932, memang hampir-hampir
tak bersentuhan dengan pelukis Bali yang kebanyakan bermukim
di sekitar Ubud. Le Mayeur lebih banyak menetap di sekitar
Denpasar, dan lebih sering melukis model sampai-sampai ia
mengawini Ni Polok, salah seorang modelnya dari Desa Kelan-
dis, Denpasar. Bangunan museum yang terimpit di sela-sela hotel
mewah ini keadaannya semakin merana setelah Ni Polok, yang
193
menunggui museum itu bertahun-tahun, meninggal dunia 21 Juli
1985. A. Jean Le Mayeur, yangdikenal sebagai pelukis impresionis
itu, sudah tiada jauh sebelumnya, pada 1958.
Walau Le Mayeur agak sulit dikaitkan dengan sejarah seni
lukis Bali, koleksinya sangat perlu diselamatkan, sebagai kenan-
gan kepada dedikasinya yang tinggi pada Bali, tanah airnya yang
kedua. Bahwa pernah menetap seorang pelukis asing yang tidak
bergaul dengan pelukis pribumi, dan tidak pula melukis alam
Bali yang konon indah itu, mungkin merupakan warna sejarah
itu sendiri.

***

TULISAN ini tak ingin mengulang buku-buku yang telah ada,


yang sudah banyak bercerita tentang sejarah seni lukis Bali. Apa-
lagi, setiap buku mengenai Bali yang terbit di luar negeri hampir
tak satu pun melewatkan cerita mengenai seni lukis Bali. Mungkin
karena penulis-penulis asing itu akrab dengan pelukis-pelukis as-
ing yang menetap di Bali. Dan pelukis asing inilah yang memang
melahirkan sejarah seni lukis Bali.
Seni lukis Bali mengalami kemajuan pesat dengan ban-
yaknya wisatawan yang menyerbu Bali. Perkembangan ini mela-
hirkan berbagai corak dan gaya yang ditimbulkan oleh pengaruh
luar itu. Kalau dibuatkan klasifikasi perkembangan seni lukis itu
saat ini, bisa digolongkan ke dalam empat hal: seni lukis Kama-
san, seni lukis Batuan, seni lukis Ubud, seni tukis modern, atau
seni lukis kelompok akademis. Untuk seni lukis Ubud masih bisa
dipecah dua, seni lukis tradisional dan seni lukis yang menyebut
dirinya The Young Artist.
Seni lukis gaya Kamasan, masih hidup sampai kini, masih
diwarisi oleh para generasi muda Kamasan, sebuah desa di Kabu-
paten Klungkung. Tema yang dimasukkan ke dalam kanvasnya di-
angkat dari cerita Mahabarata, Ramayana, Malat, dan cerita-cerita
rakyat seperti Suthasoma, Suladri, Jaka Tarub, dan lainnya lagi. Di
sinilah pusatnya seni lukis yang menggambarkan palelintangan,
194
semacam kalender yang meramalkan watak kelahiran seseorang
menurut pawukon. Juga pusat lukisan palelindon ramalan
mengenai pengaruh lindu atau gempa bumi dan lukisan yang
bercerita tentang ilmu wariga. Ciri khas gaya Kamasan ini, kanvas
biasanya menggunakan kain blacu yang dibubuhi bubur tepung
beras, kemudian digosok agar padat dan rata. Pewarnaannya pun
masih tradisional, warna hitam dibuat dari mangsi (jelaga), warna
putih dibuat dari abu tulang babi belakangan dipakai tulang sapi
atau tulang hewan lain untuk menghormati pemesan yang meng-
haramkan babi. Warna kuning dibuat dari atal semacam tanah
liat. Warna biru dari daun taum, warna cokelat dari pere.
Para pelukis di sini masih mengerjakan lukisan secara kolektif.
Seorang membuat sketsa, yang lain memberi warna dasar, yang
lain lagi menggambar detail, dan seterusnya kanvas itu digilir.
Mangku Mura boleh disebut pelopor dan tetua untuk gaya ini, yang
sering melukis secara individual. Dan sekarang, Made Mandra dari
Banjar Sangging, Desa Kamasan, tokoh yang berpengaruh yang
menghimpun para seniman Kamasan ini untuk bertani di ladang
kanvas. Mandra, selain ikut memandori lukisan kolektif itu, juga
banyak melukis secara individual.
Seni lukis Batuan sesungguhnya merupakan perkembangan
seni lukis klasik yang lebih menekankan gaya hitam putih atau
dikenal dengan teknik sigar mangsi. Dalam perkembangannya
kini, muncul variasi warna, warna hijau kelam dan merah tua
kecokclatan dengan latar belakang tetap gelap. Tema ceritanya
lebih banyak pada cerita Tantri, dan juga cerita rakyat lainnya.
Perkembangan masa kini dan arus permintaan turis menyebabkan
gaya Batuan diambil dari nama desa sebelah selatan Ubud
juga menoleh tema kekinian seperti lukisan berselancar di
pantai Kuta, hidup keseharian turis asing di pedalaman Bali, dan
cerita-cerita lucu di sekitar pertemuan dua kutub budaya: budaya
Barat dan budaya Bali.
Misalnya, dalam satu lukisan digambarkan keadaan pasar
secara tradisional selalu perempuan Bali digambarkan tanpa
baju, hanya selendang dengan buah dada menyembul lalu ada
195
turis dengan mobil dan kamera. Atau perempuan bertelanjang
dada menumbuk padi, di atasnya melintas helikopter. Pada gen-
erasi muda Batuan, terlihat adanya pengaruh seni lukis tradisional
Ubud, walau mereka masih memiliki ciri tersendiri. Yang tercatat
menonjol saat ini adalah Wayan Radjin, Wayan Bendi, dan sejum-
lah nama lain. Tokoh-tokoh tuanya adalah Ida Bagus Made Togog,
Made Widja.
Seni lukis tradisional Ubud banyak dipengaruhi oleh Walter
Spies dan Rudolf Bonnet, yang pernah menjadi warga desa itu. Dari
segi tema, pengungkapannya lebih bebas, tak hanya melukiskan
tema pewayangan saja tetapi juga keindahan sehari-hari: perkam-
pungan, persawahan, upacara, tari-tarian. Figur yang ditampilkan
lebih luwes dan dinamis, komposisi diperhatikannya dengan
sempurna. Juga tampak adanya penggunaan proporsi anatomi per-
spektif dan gelap terang dalam pencahayaan. Tokoh-tokoh mereka
tercatat hingga kini seperti Wayan Turun, Dewa Putu Bedil, dan
banyak yang lain.
Adapun aliran The Young Artist boleh disebut semacam
pemberontakan yang dilakukan oleh Arie Smith di tahun 1960.
Pelukis Belanda yang sudah menjadi warga negara Indonesia ini
kini menetap di Sanur dan menyepi sendirian mengumpulkan
sejumlah anak muda berusia dua betas tahunan di Desa Panestaan,
tetangga Desa Ubud. Ia beri anak muda itu kanvas dan cat, ia bebas-
kan anak muda itu melukis apa saja. Eksperimen ini menimbulkan
lukisan dengan tema keseharian dengan warna cerah. Pewarnaan
yang sangat bebas dan cemerlang itu tidak terikat lagi dengan
warna alam sesungguhnya. Laut, misalnya, tak lagi warna biru,
tetapi bisa merah, kuning, atau hijau. Mereka kemudian memberi
nama kelompoknya The Young Artist.
Sekarang ini, Desa Panestaan sudah menjadi desa young artist.
Lukisan model ini sudah tak lagi menjadi gaya lukis anak-anak,
atau mereka yang dulu memelopori lukisan itu. Para orang tua pun
mulai melukis dengan gaya ini. Produksi masal ini tentu akibat
samping arus wisatawan dan permintaan pasar. Itu sebabnya, antara
lain, Arie Smith lari dari Panestaan.
196
Seni lukis modern dari kelompok akademis muncul belakan-
gan ini dari para seniman yang mengenyam pendidikan seni rupa,
khususnya yang belajar di luar Bali. Mereka masih mengikuti tema
berbagai gaya klasik itu, tetapi tema itu dituangkan dalam bentuk
abstrak, kubis, ekspresionis, juga dalam bentuk realis impresionis.
Teknik pun berkembang, dari teknik sapuan kuas, teknik pisau
palet, teknik ujung jari seperti bermain-main cap jempol itu, sampai
teknik batik. Lukisan teknik ini yang kini banyak menghuni ruang
pameran Werdi Budaya di sebelah gedung Mahudara Mandhara
Giri Bhuwana. Drs. Anak Agung Rai Kalam, Dr. Moerdowo, Drs.
Nyoman Gunarsa, Drs. Nyoman Tusari, P.N. Whardane, Made
Wianta, dan puluhan nama lain, adalah barisan pelukis akademis
ini.

***

MANUSIA Bali adalah mereka yang tak pernah lepas dari


kehidupan banjar, lingkungan sosial terkecil. Tak terkecuali para
pelukis itu. Mereka tak akan memegang kuas kalau di banjar ada
kegiatan: upacara keagamaan, kematian, berbagai bentuk upacara
yang banyak itu. Dan pekerjaan melukis tidak sama dengan pega-
wai negeri, umpamanya. Kalau ada kegiatan di banjar, seorang
pegawai negeri bisa tidak ikut kegiatan itu dengan alasan tidak
mendapat izin atasannya di kantor, tetapi seorang pelukis? Tak
ada izin.
Belakangan, menjamurnya art shop menyebabkan banyak
pelukis Bali terutama dari generasi muda menjadi hamba
toko kesenian. Mereka bekerja tak ubahnya sebagai buruh. Mereka
digaji bulanan, kebebasan mencipta mereka pun dipasung se-
bagaimana pematung di art shop itu pula. Dari sinilah muncul
reproduksi masal atau copy-copy-an dari lukisan pelukis ternama.
Hubungan kerja yang tak sehat ini melahirkan lukisan kodian. Dari
sini kemudian ada tudingan, seni lukis Bali telah turun mutunya.
Gejala seperti ini yang menyebabkan pelukis ternama di sekitar
Ubud juga dari kelompok akademis anti-art shop. Bahkan
197
Ida Bagus Made bukan saja anti-art shop, ia juga anti pejabat,
anti orang berbaju safari. Di mata Ida Bagus Made, orang-orang
ini adalah makelar seni. Dengan begitu, orang seperti Ida Bagus
Made hanya mengandalkan kedatangan kolektor atau turis asing
yang langsung datang ke rumahnya. Sulit diharapkan ia hidup
dari hasil lukisan. Tetapi, mereka ini umumnya siap miskin, dan
pekerjaan lain tetap tak dilupakan: bertani.
Pelukis kelompok akademis tidak sampai jatuh miskin
karena mereka umumnya pegawai negeri dan dosen. Rai Kalam,
putra Anak Agung Sobrat, adalah dosen di Universitas Udayana.
Dr. Moerdowo selain dosen juga dokter internis yang laris para
pelukis bisa berobat gratis di sini. Nyoman Gunarsa masih setia
di Yogyakarta, dosen di ASRI (kini Fakultas Seni Rupa Institut
Seni Indonesia). Yang lebih muda seperti Made Wianta, memang
menganggur, tetapi istrinya adalah dosen di Universitas Udayana,
sehingga ia tak sampai melarat.
Ada yang bersikap kompromi, misalnya, pelukis nyentrik
Wayan Taher, yang bermukim di pantai Tanah Lot, Kabupaten
Tabanan. Ia sejak semula teguh dengan gaya yang disebutnya su-
realis religius. Ia melukis setelah melakukan semacam meditasi.
Lukisannya aneh, sulit dimengerti, kadang primitif. Diperlukan
satu brosur berupa buku untuk menjelaskan arti lukisan saya ini.
Dan brosur ke arah itu sedang saya persiapkan, kata Taher di ten-
gah deburan ombak pantai Tanah Lot yang ganas. la bermukim di
sini sejak 1974, dengan amat melarat. Berbulan-bulan hidup hanya
dari singkong. Istrinya ditelantarkan di desanya, Desa Brembeng,
yang jauhnya 35 km dari Tanah Lot. Taher mengunjungi istrinya
berjalan kaki menyusuri pantai.
Ia bertekad hidup dan diam di Tanah Lot, bukan memanfaat-
kan alamnya untuk obyek lukisan, tetapi suasana religiusnya yang
dicarinya. Lukisannya mahal, rata-rata sebuah lukisan berharga
Rp 2 juta. Lakunya memang sulit, dan itu pun kadang ia tak tega
melepas lukisannya untuk turis asing, karena sulit kemungkinan
untuk dilihat kembali. Lukisan saya mahal-mahal, karena materi-
alnya juga mahal. Material yang saya maksudkan itu, meditasinya,
198
katanya dengan nada lemah.
Tapi Wayan Taher tak bisa hidup berlama-lama hanya dari
singkong. Ia pun kemudian merasa malu menelantarkan istrinya.
Maka, sejak 1983, ia menempuh kompromi. Ia membuat satu balai
tempat melukis lagi. Di sana ia melukis untuk menunjang kehidu-
pannya sehari-hari. Ia membuat lukisan realis tentang orang-orang
dan alam Bali. Saya harus membiayai tiga anak, satu di IKIP Sin-
garaja, satu di SSRI Denpasar, satu di SMP Bajera. Inilah lukisan
untuk hidup itu, ya, apa boleh buat, mengalah sedikit, katanya
sembari menunduk, seperti ada sesuatu yang disesalinya. Istrinya
sudah kembali mendampinginya di Tanah Lot, dan mengajar di
SD Beraban, desa terdekat dengan pantai itu. Dengan cara itu,
Taher tetap bisa melukis dengan teknik meditasi di ruangan lain
yang ia anggap suci. Kalaupun ia pameran, ia selalu menghadirkan
karyanya yang religius, bukan karya dapur itu.
Kompromi jenis lain misalnya di Kamasan. Pelukis di sini
menerapkan sistem art shop, melukis ramai-ramai. Turis atau
kolektor bisa memesan apa saja, baik ukuran maupun temanya.
Warna-warna pun bisa cerah. Bahkan kalau lukisan yang dipesan
ada cerita bidadarinya, sang bidadari itu pun bisa dibuat mirip Eva
Arnaz, atau Suzzanna, atau mungkin Madonna. Lengkap dengan
buah dadanya yang menyembul. Tetapi, yang mereka pegang teguh
adalah mereka tak akan melayani lukisan yang hanya menggam-
barkan keindahan alam, misalnya, pemandangan alam, riak air
sungai, dan persawahan dengan latar belakang gunung.
Tentu saja, perkecualian kompromi ini ada pada Made Mandra,
sang tokoh, yang hingga kini masih tetap ingin setia pada gaya
warisan leluhurnya. Sebuah lukisan yang bisa menyampaikan
pesan-pesan, sebuah lukisan yang bisa menjadi cermin kehidupan
yang lurus, sebuah lukisan yang bisa mengerem orang untuk ber-
buat buruk, dan untuk itulah lukisan Made Mandra digantung.
Seni lukis Bali sedang dalam perjalanan diombang-ambing
arus wisatawan dengan banyak sekali kaki tangan menjerat, dari
art shop sampai peranan guide. Sementara itu, masih banyak seni-
man yang tekun dan kreatif dengan mempertahankan mutu, dan
199
tidak terpengaruh gemerincirig dolar. Karya mereka, walaupun
sulit laku, toh dikhawatirkan akan tetap diboyong ke luar Bali.
Karenanya, langkah-langkah Pande Wayan Suteja Neka untuk
mencoba menjadi penyelamat dengan museum swastanya itu,
setidaknya, membantu pemerintah untuk menyelamatkan sejarah
seni lukis Bali.

200
XIII
Kasus
Desa Kuta
di Tengah Arus
Pariwisata

I Gusti Adnya Subrata


di Kuta Mimba

P
ANTAI Kuta, menjelang matahari ditelan laut. Awan cerah.
Warna merah, warna kuning, membias di hamparan laut
yang biru. Ombak tetap bergemuruh. Masih ada satu orang
berselancar, dan tampak seperti kelelahan. Bagai semut di tengah
piring yang penuh air. Dan, ratusan lebih orang menatapnya.
Orang-orang pada duduk di pasir, memandang ke arah matahari
yang kelihatan semakin besar itu. Beberapa turis asing masih
menelentangkan tubuhnya, ditutupi kain handuk. Tak jauh dari
sana, seorang wanita paruh baya pribumi duduk di pasir dengan
tas plastiknya. Ia baru saja memijat si bule itu.
Matahari tinggal beberapa sentimeter lagi dari permukaan laut.
Warna merah yang membias di laut semakin besar dan kemilau.
Puluhan orang sudah berhenti mandi, dan kini mereka menatap
laut dari pasir yang basah. Sesekali air laut masih menerpa pantat
mereka. Sementara di pasir putih yang kering, gerombolan manu-
sia kian bertambah. Hampir tak ada yang hilir mudik. Semuanya
menatap ke arah matahari. Kamera-kamera sudah mulai dibidikkan.
Buku-buku yang tadi dibaca turis asing sambil menggeletakkan
201
diri di pasir, sudah dicampakkan. Wanita dengan tas plastik itu
ikut juga menatap sang surya, yang bertahun-tahun sudah akrab
dengannya. Sekarang karena semua orang mengagumi matahari
itu, ia ikut mencari dan mencoba mengerti makna matahari yang
ditelan laut.
Hup! Separuh matahari sudah kecebur laut. Lingkaran merah
itu membesar. Jelas sekali lingkaran itu, tak silau mata meman-
dangnya. Kemilau di laut kian temaram. Perlahan-lahan matahari
menghilang, seperti ia mengerti ditonton ratusan orang di pantai
Kuta. Ya, matahari itu seperti milik orang Kuta, matahari itu telah
menghidupi sekian ratus penduduk Kuta.
Hup!
Matahari telah hilang, meninggalkan warna kuning di langit.
Ratusan orang pun tersentak. Deru mesin mobil sudah mulai
terdengar. Orang-orang pada bangkit dari pasir. Anak-anak kecil
berlari di pasir-pasir yang basah. Turis bule sudah memperbaiki
handuknya, dan siap melangkah menuju penginapannya. Dua
pemuda tanggung menderu di atas sepeda motor trail, memecah
kebisingan.
Sejumlah orang bergerak. Mungkin pulang ke rumah. Mung-
kin pulang ke hotel. Mungkin berjalan ke pantai Legian, mencari
semak-semak, melanjutkan kencannya. Mungkin mencari tempat
sunyi, bisik-bisik, menjual ganja atau jenis narkoba lainnya.
Pantai Kuta menghidangkan segala kemungkinan. Pantai Kuta
tak cuma milik penduduk Kuta. Ia milik banyak orang, banyak
suku bangsa, berbagai negara.

***

DESA Kuta, sejak ratusan tahun lalu, memang dihuni bera-


gam suku bangsa. Mereka datang dari Jawa, bersama bala tentara
Kerajaan Majapahit. Lalu datang penduduk lain dari desa-desa
yang jauh. Kemudian muncul orang-orang Cina pedagang. Bisa
dibuktikan dengan kelenteng yang diduga sudah berumur lebih dari
dua ratus tahun. Kelenteng ini, konon, erat hubungannya dengan
202
kelenteng yang ada di Batu Dodol, Banyuwangi.
Dari buku Monografi Kelurahan Kuta yang dicetak stensilan
oleh LKMD Kelurahan Kuta, terdapat sejarah yang remang-remang
tentang asal-usul penduduk Kuta. Mereka adalah pengikut tentara
Kerajaan Majapahit yang mengadakan penyerbuan ke Bali sekitar
tahun 1334. Tentara Majapahit yang dipimpin langsung Mahapatih
Gajahmada ini menyusuri pantai Bali barat dan berlabuh di selatan
pantai Kuta yang sekarang. Tempat itu disebut Pasih Perahu arti
harfiahnya lautan perahu.
Tempat pendaratan perahu yang ditumpangi Gajahmada itu kini
berupa onggokan batu karang yang secara turun-temurun dijaga ke-
lestariannya. Karena pendaratan yang sukses di tengah gelombang
besar itu, para menega (nelayan) yang mengikuti tentara ini, sering
datang ke karang itu. Dari tempat ini mereka memuja kebesaran
Yang Mahakuasa. Lama-lama, tempat yang dilestarikan ini men-
jadi tempat pemujaan. Kalau masyarakat di sekitarnya mengalami
bencana, misalnya banyak penduduk yang sakit, mereka memohon
keselamatan dari tempat ini. Jadi, tak sekadar tempat para nelayan
memuja kebesaran Hyang Baruna dewa laut. Sekarang, di
tempat ini dibangun pura dan diberi nama Pura Pesanggaran, arti
harfiahnya pura tempat persinggahan atau peristirahatan.
Tampaknya, Gajahmada selalu memberi nama-nama yang sama
untuk pelabuhan di daerah jajahannya dengan nama pelabuhan di
Majapahit. Maka, nama Tuban diberikan untuk tempat tentaranya
berlabuh di Bali selatan dan nama ini tetap dijadikan nama desa
di sebelah selatan Kuta, yang kini sebagian menjadi lapangan ter-
bang internasional Ngurah Rai. Lapangan terbang ini pun dulunya
bernama Tuban. Kemudian di utara pantai Kuta yang sekarang
diberi nama Canggu. Kedua nama ini, Tuban dan Canggu, adalah
nama pelabuhan Majapahit di Jawa yang sampai sekarang masih
memakai nama itu.
Di antara dua pelabuhan kecil Tuban dan Canggu itulah, Ga-
jahmada memberi nama Kuta. Nama ini berarti benteng. Ketika
Gajahmada melanjutkan serangannya ke Kerajaan Bedahulu dan
bala tentaranya mendarat di pantai Lebih, Gianyar, di sana pun ia
203
membangun benteng, dan nama yang diberikan juga Kuta. Tampak-
nya mahapatih yang punya wibawa besar ini suka sekali memakai
nama Kuta, sampai-sampai buku mengenai hukum yang dikarang
oleh Gajahmada memakai nama Kuta Ramanawa.
Demikianlah, kawasan yang ramai sekarang ini dengan nama
Kuta, tak lain pemberian nama dari Gajahmada sendiri. Hanya
saja, ketika daerah ini dikuasai oleh Kerajaan Mengwi sekitar
awal abad ke-18, nama itu ditambah menjadi Kuta Mimba, yang
berarti Alas Kuta atau hutan Kuta. Dulu daerah itu memang masih
merupakan hutan bakau.
Ketika Kuta Mimba ditaklukkan oleh Kerajaan Badung, nama
asli pemberian Gajahmada dilestarikan lagi, nama Mimba dihilan-
gkan oleh Raja Badung. Pada saat itulah mulai datang penduduk
baru, termasuk orang-orang Cina. Pelaut dan pedagang-pedagang
dari Eropa juga berlabuh di Pasir Perahu, sebagai pintu gerbangnya
ke daratan Bali. Tercatat seorang kulit putih, Mads Yohansen Lange,
yang mendirikan Loji di Gilingan, di tepi sungai Mengening, pada
1838. Kuta menjadi daerah pelabuhan yang ramai. Penduduk dari
berbagai desa di Bali pun berdatangan ke Kuta, mencoba rnengadu
nasib, di berbagai sektor pekerjaan, termasuk nelayan.
Kuta pada akhirnya didiami oleh penduduk campuran, le-
luhurnya bukan dari satu himpunan keluarga.

***

SEJARAH Kuta itu penting untuk dipaparkan lebih awal,


karena banyak kecaman yang datang sekarang ini, yang men-
gatakan upacara keagamaan di Kuta mulai luntur setelah kawasan
itu menjadi perkampungan turis. Mereka yang datang ke Kuta
setelah mengunjungi desa-desa lain di Bali ataupun sebaliknya
akan selalu punya kesan, di Kuta tidak banyak tempat persem-
bahyangan. Kalau tempat persembahyangan (pura) saja tidak
banyak, tentu upacara-upacara keagamaan juga kurang. Maka,
kekurangan ini dihubungkan dengan turis asing dan ingar-bingar
dunia pariwisata.
204
Ada yang menuduh, pura telah diubah menjadi restoran, atau
diskotek. Penduduk Kuta tak sempat lagi menjalankan ibadat
agamanya sebagaimana biasa, karena sibuk mengejar dolar. Ada
yang lebih mementingkan berjualan barang kerajinan, ada yang
lebih mementingkan menampung turis kelas bawah, atau menjadi
hamba cewek bule, kawin kontrak. Tuduhan-tuduhan ini lalu
bermuara ke satu titik: terjadi kemerosotan di bidang akhlak dan
kemunduran dalam bidang agama.
Mereka yang mengecam Kuta seperti itu tidak tahu duduk soal-
nya. Karena penduduk desa ini campuran, leluhurnya bertebaran di
mana-mana dan bukan merupakan satu himpunan keluarga, maka
tidak mungkin ada tempat persembahyangan yang bernama Pura
Dadia dan Pura Kawitan. Kelurahan Kuta yang luasnya 714,240
hektar dan terbagi menjadi tiga desa adat (Desa Adat Kuta, Desa
Adat Legian, dan Desa Adat Seminyak) hanya punya satu Pura
Kawitan yaitu Pura Kawitan Agung di Desa Adat Kuta. Di dua desa
adat (sebelum dikenal sistem kelurahan setiap desa adat itu meru-
pakan satu desa yang berdiri sendiri) malah tak dijumpai sebuah
pun Pura Kawitan. Yang ada hanyalah Tri Kahyangan di tiap desa
adat. Dengan begitu, jadwal persembahyangan di kawasan ini tak
sepadat di desa lain. Warga Kuta lebih banyak bersembahyang ke
desa lain, ke tempat asal-usul leluhurnya, bukan di desanya sendiri.
Pura Tri Kahyangan yang ada tetap dipelihara dengan baik, jadwal
persembahyangan di sini tak pernah melenceng oleh kepentingan
lain, kepentingan melayani turis asing, misalnya.

***

PERTENGAHAN 1968, Dokter Made Mandara membenahi


rumahnya di Kuta untuk menampung koleganya yang mengadakan
penelitian. Waktu itu, jalan masuk ke Desa Kuta seperti kubangan
kerbau. Malam hari gelap. Pantai kotor. Perahu nelayan berham-
buran tak teratur. Para peneliti di bidang medis ini sering kedapatan
mandi di pantai, bercengkerama dengan para nelayan.
Ketika para peneliti ini meninggalkan Kuta, muncul lagi penel-
205
iti lain, yang tak ada hubungannya dengan dunia kedokteran. Tamu
yang datang ini diterima dengan baik oleh yang punya rumah.
Sementara itu, pantai Kuta mulai dikenal orang-orang kota,
terutama para remaja yang gemar bermain ombak. Pantai Sanur
mulai kurang digemari karena jalan masuk ke pantai banyak yang
ditutup gara-gara dibangunnya hotel-hotel. Pantai Kuta menjadi
penyaluran baru.
Ulah Made Mandara diikuti tetangga-tetangganya. Ruang-ru-
ang tidur mulai disewakan untuk turis-turis asing yang berkantung
tipis. Tarif semalam hanya satu dolar AS. Penduduk pada mulanya
hanya menyewakan kamar, tanpa ada apa-apa lagi. Untuk malam
hari disediakan lampu minyak tanah.
Listrik masuk Kuta tahun 1970-an. Sementara itu, pantai sema-
kin ramai. Turis gembel pun semakin banyak berseliweran. Maka,
penduduk Kuta, tanpa malu-malu, menyewakan tempat-tempat
tidurnya. Pada bangunan itu ditambah dengan kamar mandi dan
WC. Pemda Kabupaten Badung memberi izin untuk usaha baru
itu, malah hampir tanpa syarat apa-apa.
Ketika Konperensi PATA berlangsung di Bali 1974, yang dis-
ambut dengan ingar-bingar di kawasan Sanur, turis kelas bawah
justru semakin banyak memanfaatkan penginapan murah di Kuta.
Ledakan turis yang diharap-harapkan setelah Konperensi PATA
tak terjadi di hotel-hotel mewah. Justru ledakan turis kelas gembel
terjadi di Kuta. Penduduk pun ramai-ramai membangun home stay.
Setelah sebuah kamar dilengkapi listrik dan satu rumah penginapan
yang rata-rata terdiri dari empat kamar ada sebuah kamar mandi
dan WC, sewa pun naik, dari satu dolar menjadi satu setengah dolar
AS. Kemudian naik lagi menjadi dua dolar AS dengan breakfast
seadanya: sebuah telur setengah matang, dua pisang, dan secangkir
teh. Pada 1977, rumah penginapan yang dikelola rakyat ini sudah
berjumlah 108 buah. Rata-rata lima sampai delapan kamar untuk
setiap rumah penginapan. Pada saat itu, sewa kamar semalam
paling mahal Rp 4.000. Tentu saja, ini sudah tergolong kelas VIP,
artinya satu kamar memiliki kamar mandi khusus.
Cepat sekali perkembangan yang terjadi di Kuta. Setelah bisnis
206
rakyat ini membesar, datanglah pemilik modal. Mulai dibangun
hotel-hotel kelas menengah di Kuta. Restoran pun berdiri di setiap
sudutjalan. Rumah-rumah penduduk disewa oleh pemilik modal
itu penduduk yang tidak siap untuk ikut nimbrung di bisnis
ini. Dua disko sekaligus muncul di tahun 1977 itu, La Barong dan
Rum Jungle.
Dengan kesadaran yang penuh rakyat Kuta mulai mengalihkan
jalan hidupnya ke dunia ingar-bingar. Yang tak punya modal beru-
saha kecil-kecilan, berdagang minuman, pakaian, patung ke pantai.
Barang-barang itu diacungkan ke depan turis, sehingga mereka pun
disebut pedagang acung. Banyak di antaranya anak-anak kecil,
yang begitu ketat menempel turis sambil berteriak dalam bahasa
Inggris versi Kuta: bae mi se, wan dolar.
Datangnya pemilik modal yang mendirikan hotel kelas menen-
gah ini, ternyata, memberikan warna baru yang suram untuk
niasyarakat kelas bawah. Di tahun 1980, home stay sudah tak laku
lagi. Hotel kelas menengah itu membanting tarif kamarnya sampai
seharga Rp 6.000. Tentu saja, turis asing lebih senang tidur di kamar
hotel kelas menengah yang ber-AC itu dengan hanya selisih uang
Rp 2.000 dibandingkan tidur di home stay bertarif Rp 4.000. Maka,
sedikit demi sedikit gaya home stay diubah menjadi bungalows.
Yang tak punya modal untuk perubahan itu merelakan rumah pen-
ginapannya disewa pemilik modal, untuk restoran, kios-kios yang
menjual berbagai barang souvenir, atau toko kaset.

***

SEKARANG, Kuta tak pernah tidur. Kuta tetap hiruk-pikuk,


ketika kawasan lain terlelap dalam mimpi. Turis berseliweran
dengan pakaiannya yang khas: celana pendek dengan pantat me-
nyembul dan kaus singlet yang bergambar warna-warni. Cewek
bule tanpa kutang, kelihatan buah dadanya menyembul. Mereka
berpasangan, berjalan hilir mudik menuju pub-pub. Di sana wak-
tunya dihabiskan sambil minum.
Tak semua pub ramai. Ada yang sepi melompong, dan pelay-
207
annya berdiri melongo menunggu tamu. Pemerataan tak terjadi
di sektor ini. Satu restoran penuh sesak, turis banyak yang antre
tempat duduk, di restoran lain, kursi-kursi teratur tanpa ada yang
menduduki. Esok harinya, mungkin giliran yang kosong itu penuh,
yang penuh itu kosong. Ini tidak aneh di Kuta. Menurut orang-
orang Kuta, ada orang yang menggerakkan turis untuk datang ke
suatu restoran, katakanlah semacam organisasi tanpa bentuk.
Penggeraknya bisa pula di kalangan turis itu sendiri. Konon, perte-
muan-pertemuan besar semacam itu diatur oleh sebuah organisasi
atau entah apa namanya, mereka yang homoseks. Bisa dilihat,
misalnya, di sebuah restoran yang sesak, semua bule adalah cowok.
Mereka asyik ngobrol berpasangan, ketawa, saling singgul, saling
mengelus paha.
Pasangan-pasangan normal selalu berjalan ke arah Legian. Di
sana ada banyak disko, baik yang diizinkan pemerintah maupun
yang tidak punya izin karena dicabut. Suasana restoran, pub,
dan disko di Legian kelihatan lebih seronok. Musik bergelegar
memekakkan telinga. Video, dengan tambahan layar lebih besar,
diputar. Di layar penyanyi rock dari Barat berjingkrak-jingkrak,
di restoran setelah kursi digeser sedikit pasangan bule ikut
berjingkrak. Musik berakhir, layar tak memantulkan gambar, lampu
meredup beberapa saat, pasangan bule itu bercium-ciuman. Pelayan
restoran tenang saja mengambil piring yang sudah kosong atau
menambah tuangan bir ke gelas di meja.
Di halaman Diskotek Bali Kacang, banyak lelaki muda pribumi
yang duduk bergerombol sambil mengepulkan asap rokok tak hen-
ti-henti. Jika ada cewek-cewek bule yang datang tanpa pengawal,
si pemuda pribumi menyapanya dengan Hallo, are you alone?
Jika jawabannya simpatik, maka sapaan pun berlanjut. Pemuda
hitam geropal itu ikut memasuki disko. Dan urusan selanjutnya,
hanya mereka saja yang tahu. Mungkin saja terus berlanjut, tak
hanya di ruang disko yang memekakkan itu.
Tak hanya di tempat pub, restoran, atau disko yang ramai.
Toko kaset di Kuta buka sampai jauh larut malam. Tumpukan
kaset di depan meja coba yang dilengkapi tape berjejer tanpa ada
208
ruang kosong. Puluhan turis dengan gayanya masing-masing me-
nyimak suara musik lewat headphone. Kuta yang semarak adalah
perkampungan turis.

***

MULA-MULA memang pantai. Dan pantai Kuta ini, punya


kisah perjalanan yang lain, di luar matahari terbenam, bule telan-
jang, pemijat paruh baya ataupun pasir putih. Pantai ini sekarang
menjadi pusat olah raga bahari. Sebagian besar olah raga itu
berbau internasional. Berselancar, lomba dayung, perahu layar,
juga selam.
Yang paling populer tentu saja berselancar (surfing). Olah
raga meniti ombak ini hampir setiap hari bisa dilihat dan meru-
pakan hiburan tersendiri bagi penikmat pantai. World Life Saving
Interclub Surf Championship yang diselenggarakan di pantai ini
1981 mendapat publikasi luas di berbagai penjuru dunia. Sudah
ditetapkan, kegiatan serupa itu diselenggarakan lagi sekitar 1990.
Sedang kejuaraan lokal antarperkumpulan se-Bali, atau tingkat
nasional dengan mengundang satu dua perkumpulan dari Australia,
bisa diadakan sewaktu-waktu.
Siapakah yang memperkenalkan pantai ini untuk kegiatan olah
raga? Sang perintis tiada lain I Gde Berata, atlet bulu tangkis di ta-
hun 1960-an. Tokoh olah raga ini sekarang menjabat, antara lain,
Ketua Pengda PBSI Bali menghimpun para pemuda di kam-
pungnya, Banjar Wangaya Kaja, Denpasar. Pemuda itu dibawanya
ke Kuta, dilatih berenang, berlari di pasir dan berbagai latihan fisik
lainnya. Tujuan Gde Berata semula hanya mendapatkan sejumlah
pemuda yang punya ketahanan fisik prima, untuk mengikuti olah
raga tradisional gerak jalan PuputanBadung, gerak jalan yang
tiap tahun diselenggarakan di Bali. Pemuda Wangaya Kaja berkali-
kali menjuarai perlombaan ini.
Pemuda dari Wangaya Kaja itu pun semakin akrab dengan
tempat latihan fisiknya, pantai Kuta. Mereka akhirnya berbaur
dengan perenang-perenang amatir, baik turis lokal maupun turis
209
asing. Ketika kecelakaan di laut yang berombak ganas itu beruntun
terjadi, I Gde Berata melahirkan gagasan mendirikan suatu tim
penyelamat pantai. Maka, lahirlah Waja Surf Life Saving Club
pada 28 Oktober 1972. Waja singkatan dari Wangaya Kaja. Me-
mang organisasi swasta ini beranggotakan pemuda-pemuda dari
kampung di tengah Kota Denpasar itu.
Gde Berata agaknya semakin tertarik dengan air laut Kuta.
Setahun setelah mendirikan klub penyelamat pantai itu, ia pergi
ke Sydney, Australia, mengikuti pendidikan life saving. Sepulang
dari sana, semakin giat ia melatih anak buahnya. Keamanan di
pantai Kuta pun semakin terjamin, karena ada orang yang menga-
wasi orang-orang berenang. Bendera kuning pun ditancapkan di
pantai. Daerah aman untuk berenang adalah daerah di antara kedua
bendera itu. Aman karena arus di sana tidak menyeret seseorang
ke tengah laut.
Setelah enam tahun Gde Berata memimpin organisasi yang
sifatnya sukarela tanpa ada yang memberi imbalan pemer-
intah akhirnya melihat manfaat besar tim penyelamat pantai ini.
Pada 31 Agustus 1978, organisasi itu diubah namanya menjadi
Badung Surf Life Saving.
Keanggotaannya tidak lagi dimonopoli pemuda Wangaya Kaja.
Pemuda setempat (Kuta dan Legian) dilibatkan. Konsekuensi
perubahan nama ini, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten
Badung memberi bantuan dana yang dimasukkan dalam APBD.
Organisasi ini diletakkan di bawah koordinasi Bagian Ketertiban
Umum. Mulailah para penyelamat pantai ini mendapat uang makan
dan honor sekadarnya.
Dari tahun ke tahun, orang berenang di pantai ini semakin ra-
mai. Angka kecelakaan pun semakin besar. Tahun 1972 misalnya,
terjadi 14 kasus, 6 orang dapat diselamatkan, 7 orang ditemukan
meninggal, 1 orang hilang. Tahun berikutnya ada 23 kecelakaan,
14 dapat diselamatkan, 7 meninggal, 1 orang hilang. Tahun 1974,
51 kecelakaan, 45 orang diselamatkan, 6 orang meninggal. Angka
kecelakaan itu terus bertambah setiap tahun, tetapi yang dapat
diselamatkan lebih banyak lagi. Yang diselamatkan itu bukan cuma
210
turis domestik, tetapi juga turis asing. Karena itulah, pada 1 April
1980, badan penyelamat pantai ini berada di bawah koordinasi
Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Badung. Dinas ini punya
anggaran lebih besar, dan pula mudah meminta sumbangan dari
pemilik hotel di Kuta. Sejak itu anggota tim penyelamat mulai
mendapat uang transpor, ujar Gde Berata, lelaki berkulit hitam
legam.
Di tahun 1986 ini, pantai Kuta diawasi 24 orang beach inspec-
tor yang mendapat honor Rp 50.000 sampai Rp 85.000 per bulan,
ditambah makan siang. Lalu ada 51 tenaga yang disebut beach pa-
trol yang membantu beach inspector itu. Honornya cuma Rp 7.500
sebulan, ditambah makan siang dan uang transpor. Tugas mereka
memang tidak setiap hari seperti halnya para inspektur itu.
Selain petugas-petugas ini masih ada 20 orang anggota ke-
hormatan, yang terdiri dari para dokter, pejabat pemerintahan,
dan tokoh di masyarakat Kuta. Masih ada yang disebut anggota
simpatisan, jumlahnya sekitar 300 orang, kata Berata yang tetap
dipercaya menjadi ketua badan penyelamat pantai ini.
Organisasi ini memang rapi. Punya bangunan besar di pinggir
pantai, punya menara yang dilengkapi pengeras suara. Dan orang-
orangnya selalu siap di pantai dengan mata yang tak lepas dari
laut. Data yang ada dari 1972 (saat organisasi ini berdiri) sampai
Maret 1986, terjadi 931 kecelakaan, 800 orang dapat diselamatkan,
131 yang meninggal dunia dan hilang. Bayangkanlah kalau badan
penyelamat pantai ini tidak ada.
Malah sejak 1983, tak ada lagi kategori korban hilang. Pada
1983 itu, dari 113 kasus, 101 diselamatkan, 12 meninggal. Tahun
1984, 95 kasus 168 kecelakaan, 88 diselamatkan, dan 7 sudah
menjadi mayat. Tahun 1985 ada 67 kasus, 62 diselamatkan, 5 sudah
menjadi mayat. Kita sekarang punya perlengkapan lebih baik,
ada motor boat yang mampu menerjang ombak yang ganas itu,
sehingga yang hilang semakin tipis, kata Berata lagi. Kecelakaan
memang masih kerap terjadi. Biasa, orang-orang yang berenang
bandel, tidak mengikuti petunjuk-petunjuk yang dikumandangkan
lewat pengeras suara.
211
Adanya badan penyelamat pantai dengan tenaga yang men-
cukupi, di sektor lain menggairahkan pula kehidupan olah raga
di laut. Tim penyelamat tidak cuma mengawasi mereka yang ke-
cebar-kecebur bercanda di ombak, tetapi juga mengawasi pemain
selancar. Anggota badan penyelamat ini pulalah yang meramaikan
laut Kuta dengan dayung, selancar, selam, dan sebagainya, kalau
mereka tidak mendapat giliran tugas. Yang bertugas tentu harus
tetap berada di sekitar menara pengawas. Maka, I Gde Berata
dan anak buahnya bukan saja mernberikan bantuan kemanusiaan,
tetapi mereka juga atlet-atlet bahari yang tangguh. Berata, yang
pernah mengikuti seluk-beluk olah raga ini di London, Hawaii,
Hong Kong, Taiwan, Kanada, dan Australia, mungkin satu-satunya
pelatih yang punya pengetahuan paling luas di bidang olah raga
laut jenis selancar di Indonesia.
Turis asing termasuk yang gemar olah raga laut ini. Dan mereka
belum tentu tinggal di Kuta. Boleh jadi mereka menghuni kamar-
kamar mewah di Nusa Dua atau Sanur.

***

KENDATI turis asing membanjiri Kuta, bahkan orang luar


menuding telah terjadi pergeseran di Kuta, bagi kami kekhawati-
ran itu terlalu berlebihan. Kehidupan di Kuta tetap seperti sedia
kala, ujar Lurah Kuta, I Gusti Adnya Subrata. Lurah yang masih
muda (lahir 1950, asli Kuta) dan datang dari warga ABRI ini
justru merasa gembira, karena warga Kuta, dalam menjalankan
agamanya dan melestarikan adatnya, semakin bergairah dan se-
makin semarak. Itu karena kehidupan yang sudah mulai baik,
masyarakat punya dana berlebihan untuk melaksanakan berbagai
upacara,kata Lurah lagi.
Pendapat ini senada dengan pendapat bendesa (pimpinan desa
adat) Kuta. Kehadiran turis asing justru secara tak langsung men-
didik warga Kuta dan semakin meluaskan cakrawala pikirannya.
Dulu, kalau ada perkawinan, sering berlangsung dengan kawin
lari, dan menimbulkan sengketa. Sekarang malah mulai meminang,
212
bukankah itu semakin beradab? Dengan kehadiran turis yang ber-
pakaian sembrono itu, justru menantang muda-mudi Kuta untuk
memberi contoh berpakaian yang sopan, ini kata-kata bendesa
Kuta, Dewa Putu Ngurah. Pimpinan adat yang berusia 32 tahun
ini sudah memperbaiki awig-awig (semacam undang-undang)
desa adat Kuta bersarna mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Udayana. Masyarakat Kuta terikat pada hukum adat yang men-
gatur berbagai masalah kemasyarakatan. Yang melanggar hukum
diberi peringatan, kalau tak dipatuh juga, dikeluarkan dari desa
adat. Tapi sampai kini, belum ada warga yang dikeluarkan karena
melanggar awig-awig kata Putu Ngurah lagi.
Dalam hal melayat orang mati atau mengunjungi orang yang
punya upacara adat, misalnya, potong gigi, Warga Kuta tak lagi
hanya membawa beras, sebagaimana tradisi orang Bali sejak dulu,
tapi sudah ditambah uang, dimasukkan ke dalam amplop, ujar
Putu Ngurah. Ini kan kemajuan?

***

MEN Mayun sayang sekali ini bukan nama aslinya beru-


sia sekitar 55 tahun. Ibu dengan tujuh anak ini masih tampak kekar.
Ia asyik rnemijat seorang turis bule yang tidur telentang di pasir.
Yang dipijat membaca buku saku, seorang lelaki kekar, berjenggot,
dan bercambang.
Men Mayun tak punya keterampilan khusus dalam dunia baru
ini. Dulu, ia pedagang acung, menjajakan baju daster, baju kaus
anak-anak yang bergambar barong, kaus oblong yang bertulis Kuta.
Sudah tak boleh berjualan di pantai ini lagi, kata Men Mayun.
Pedagang acung itu ditertibkan (baca: dilarang) oleh pemer-
intah sekitar 1984 dengan alasan merusakkan keharmonisan per-
gaulan di pantai. Mereka menjajakan barangnya terlalu memaksa,
langsung mendesakkan barangnya ke calon pembeli. Juga harga
barang menjadi mahal.
Para wanita bekas pedagang acung itu tak kehabisan akal.
Kini mereka mengalihkan profesi baru, jadi tukang pijat, istilah
213
kerennya massage. Mereka berbekal tas butut, baju seragam warna
oranye, dan rata-rata tak ada yang berpengalaman sebagai tukang
pijat. Hasilnya tak tentu, ada tamu yang memberi seribu rupiah,
ada yang lebih. Berapapun diberi saya terima, ujar Men Mayun.
Karena jumlah tukang pijat ini banyak, 150 orang, ditentukan
pembagian kerjanya. Berkat campur tangan orang-orang kelura-
han, wanita pemijat ini dibagi tiga kelompok: kelompok selatan
di seputar Hotel Kartika Plaza, kelompok tengah di pantai Kuta
yang ramai itu, dan kelompok utara di seputar pantai Legian. Tidak
boleh melanggar wilayah yang sudah dipetak-petak ini.
Sehari bisa tiga tamu yang saya pijat, kata Nengah Nitri,
pemijat di seputar Legian. Sehari yang dimaksud, tentu tidak dari
pagi. Cuma siang sampai menjelang petang. Yang dilakukan para
pemijat ini, lebih banyak melumuri tubuh bule itu dengan minyak
kelentik bercampur obat gosok semacam reumason. Kulit si bule
menjadi panas dan kemerah-merahan. Itu yang dia cari di pantai
Kuta, agaknya.
Kalau para pemijat tak menemukan mangsa, mereka berke-
lompok duduk di pinggir pantai. Atau, tak jarang, sepasang turis
berlainan jenis, dikerumuni oleh empat pemijat. Satu badan dipijat
dua orang. Sementara yang dipijat asyik membaca, atau ngobrol.
Dan sesekali berciuman, sementara kaki mereka masing-masing
dilumuri minyak. Ibu-ibu paruh baya yang memijat itu sama sekali
tak risi melihat langganannya cipok-cipokan.
Suami saya masih bekerja di ladang. Anak-anak saya ada yang
bekerja di hotel, membersihkan kamar. Yang lain juga bekerja di
restoran. Tak ada yang menganggur di rumah, ujar Men Mayun
lagi. Ia sendiri pulang dari pantai sekitar pukul enam sore, dan
langsung memasak untuk makan malam harinya. Malam hari saya
tak bekerja apa-apa, saya tidur. Capek, lagi pula sudah tua, katanya
lagi. Kalau hari raya, apa masih ke pantai? Ya, masih. Sesajen kan
bisa dibeli, tak lagi seperti dulu, apa-apa dibuat sendiri, katanya.
Ia kemudian berlari kecil, seorang temannya memanggil. Rupanya,
ada mangsa baru lagi, seorang perempuan yang sudah tidur men-
elungkup dan menanggalkan kutangnya, minta diurut.
214
***

SUDAH banyak yang mengikuti jejak Men Mayun. Maksud-


nya, bukan hanya menjadi tukang pijat, tetapi membeli sesajen
untuk upacara di lingkungan sanggah tempat persembahyangan
keluarga. Sibuknya orang-orang Kuta mencari uang membuat Ny-
oman Lepig juga sibuk, sebagai tukang buat sesajen. Setiap hari
Nyoman Lepig membuat sesajen, dari yang kecil seperti canang
sari sampai sesajen untuk upacara yang lebih besar. Penghasilannva
juga lumayan. Sebuah canang sari dijualnya Rp 50 kadang bisa Rp
100. Padahal, itu hanya dibuat dari sebuah janur ditambah bunga
seadanya. Setiap hari Nyoman Lepig bisa membuat lima ratus
canang sari. Sesajen kecil ini banyak dibeli orang untuk ditaruh
di sela-sela barang dagangannya.
Sebelum turis banjir di Kuta, setiap ibu rumah tangga akan
membuat sendiri sesajennya. Bahkan, kalau ada upacara di Pura
Desa, warga banjar bekerja membuat sesajen berhari-hari. Seka-
rang sesajen dibuat oleh ahlinya, yang sehari-hari memang mem-
buat sesajen. Warga banjar tinggal menyerahkan uang saja, ujar
bendesa adat Kuta.
Apakah ini namanya kemunduran atau kemajuan? Mungkin
kedua-duanya. Kemunduran kalau dilihat dampaknya di belakang
hari nanti, mungkin saja banyak orang yang lupa bagaimana mem-
buat sesajen untuk berbagaijenis upacara. Kemajuan, karena ada
spesialisasi dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dari segi waktu,
tenaga, peralatan, tentu lebih hemat. Ada yang tukang pijat, ada
yang menjaga art shop, ada yang tukang cuci seprai, lalu ada yang
membuat sesajen. Pembagian kerja yang sudah menganut prinsip-
prinsip masyarakat modern.

***

TAPI tukang pijat juga berfungsi ganda. Ibu-ibu paruh baya


ini tak jarang yang menjadi mak comblang. Kepada cewek bule,
mereka bisik-bisik, apakah si bule berminat mendapatkan teman
215
kencan seorang cowok berkulit legam. Kalau ternyata berminat,
tukang pijat itu akan mencarikannya. Tidak semua tukang pijat
punya keahlian seperti itu.
Memang ada pemuda tanggung di sekitar Kuta yang peker-
jaannya melayani cewek bule. Istilahnya, kawin kontrak. Mereka
menemani ceweknya itu, ke mana saja dalam perjalanannya di Bali.
Lelaki berkulit legam itu berfungsi sebagai penunjuk jalan seperti
guide, memboncengkan dengan motor sewaan, juga sampai men-
emani tidur. Tatkala sang cewek pulang ke negerinya, si pemuda
legam menerima upah. Pemuda semacam itu bisa dihitung dengan
jari. Lagi pula, kebanyakan mereka itu dari luar Kuta, kata Made
Mastra, ketua karang taruna Kelurahan Kuta. Ini dibenarkan oleh
lurah. Pemuda luar Kutalah yang lebih banyak berulah tingkah
seperti itu, tetapi pemuda Kuta yang kena getahnya.
Agak sulit untuk mendapatkan kepastian, apakah polah tingkah
para pemuda yang melacurkan dirinya ini penduduk Kuta atau ti-
dak. Namun, yang menggembirakan memang ada, generasi muda
Kuta banyak melakukan kegiatan yang positif. Di tengah-tengah
deru kehidupan bergaya Barat itu, di tengah-tengah kebudayaan
disko, para remaja Kuta mengembangkan kesenian kerawitan
tradisional Bali, atau lazim disebut pesantian dan juga mekidung.
Kehidupan remaja ini semakin sumringah, karena untuk mengong-
kosi kegiatan mereka itu, tampaknya, tidak ada problem. Selain
ada sumbangan dari penduduk yang bergerak di bidang rumah
penginapan dan juga restoran, pemerintah kelurahan dengan sum-
berdananya yang banyak itu, memberi bantuan yang tidak sedikit.
Dulu, untuk kegiatan seperti ini, para pemuda mencari dana dari
turun ke sawah atau memetik kelapa, ujar bendesa Kuta. Lewat
sarana mekidung dan pesantian ini pula, para remaja itu ditatar
masalah bahaya narkoba.
Untuk mengamankan generasi muda ini pula, antara lain, Gu-
bernur Bali menertibkan disko di Kuta. Sekarang hanya diizinkan
sebuah disko di sana, yaitu diskotek Bali Kacang. Padahal, sampai
pertengahan 1985, tak kurang dari selusin disko ada di kawasan
Kuta dan Legian. Disko itu pula, bukan rahasia umum lagi, me-
216
nyediakan perempuan penghibur, yang bisa digaet turis dibawa ke
penginapan-nya. Perempuan itu kebanyakan dari Jawa Timur.
Kebijaksanaan Gubernur Bali soal disko ini memang menim-
bulkan banyak reaksi. Hotel dan restoran Kayu Api, yang punya
disko terkenal, yang sering mendatangkan grup band dari luar
negeri, mengaku rugi besar. Tanpa adanya disko, mana ada tamu
yang datang kemari? ujar seorang karyawan di sana. Walau disk-
onya itu tutup secara resmi, restoran Kayu Api tetap jalan, tetap
memekakkan telinga, dan tetap jadi ajang jingkrak-jingkrak dengan
menggeser kursi-kursinya jika malam semakin kelam.

***

ADA upacara persembahyangan di pura Desa Kuta, malam hari


9 April 1986. Hari itu disebut Tilem Kedasa (bulan mati pada bulan
kesepuluh). Gamelan mengalun, kidung sayup-sayup terdengar.
Pe-rempuan-perempuan Desa Kuta hilir mudik di sekitar pura,
berkain khas Bali dan di atas kepalanya bertengger hiasan bunga
emas. Umbul-umbul warna-warni menghias pura.
Pura itu persis di sebelah Kuta Beach Hotel. Di sisi yang lain,
berjejer kios-kios yang menjual baju, kaset, juga restoran, dan
supermarket. Turis pun hilir mudik di jalanan, di luar pura. Aneh,
tak ada turis yang menoleh ke pura, apalagi memasuki halaman
depan pura itu. Tak ada turis yang coba-coba mengabadikan
upacara di pura itu. Padahal, upacara persembahyangan di Kuta
termasuk jarang.
Pada siang harinya, di pantai Kuta sebelah selatan juga ada
upacara menghanyutkan abu jenazah yang dilakukan oleh pen-
duduk Desa Ubung, 15 km dari Kuta. Upacara ini pun meriah,
masyarakat Ubung berbondong-bondong mengiringi pembuangan
abu jenazah yang baru saja dibakar itu. Turis asing yang sedang
menikmati pantai Kuta tak ada yang tertarik melihat upacara ini.
Bule-bule itu tetap saja berjemur, atau dipijit. Hanya turis domestik
yang asyik menikmati upacara Pitra Yadnya itu. Di antara turis
domestik ini ada yang bergumam, Kok masih ada upacara begini
217
di pantai Kuta.
Turis datang ke Kuta memang bukan untuk melihat kebuday-
aan Bali. Dan itu juga berarti, kebudayaan, kesenian, adat istiadat,
dan sebagainya, yang ada di Kuta, sama sekali tak dijual kepada
turis. Kuta hanya menyediakan tempat, menyediakan perkampun-
gan, menyediakan pantai, dan rumah penginapan. Turis datang
dengan tetap menikmati kebudayaannya sendiri, minum minuman
keras, musik disko, berkencan dengan bebas. Di tahun 1970-an,
pernah ada sekelompok kesenian di Kuta mengadakan pergelaran,
dengan maksud menghibur turis. Ternyata, tak ada turis yang ber-
minat. Kesenian Bali tak laku di Kuta. Upacara persembahyangan
tak dilirik oleh turis di Kuta.
Lalu, apa sebenarnya yang perlu dikhawatirkan di Kuta?
Tentu bukan soal upacara keagamaan yang luntur dan sejenisnya.
Tetapi, mungkin yang ini, gejala homoseks yang bisa merembet ke
penduduk pribumi. bukan kebudayaan Bali yang tereemar, tetapi
barangkali soal AIDS.
Kuta perkampungan turis yang memang berbeda dengan Nusa
Dua, Sanur, Ubud atau yang berkembang di Candi Dasa dan pantai
Lovina sekarang ini. Di sana turis menikmati dan larut dengan
budaya Bali, di Kuta tidak.

218
XIV

Kasus
Kepariwisataan
di Desa Trunyan

Para Pewaris Ratu Sakti


Pancering Jagat

K
ABUT menyelimuti Danau Batur, di bulan Januari yang
tua. Hujan masih turun, rintik-rintik berkepanjangan. Sepi
di danau. Perahu-perahu bermotor bertambat di pantai di-
ombang-ambing gelombang. Di dermaga, puluhan tukang perahu
jongkok berselimutkan sarung. Udara dingin, dan mereka kelihatan
menggigil. Suhu bergerak dari 14 sampai 16 derajat Celsius.
Di pelabuhan Desa Kedisan, Kintamani, itu kehidupan
terlambat dimulai, karena cuaca. Warung-warung di belakang
tempat parkir kendaraan masih banyak yang tutup. Hanya tiga kios
yang sudah buka. Dua kios berupa warung yang menjual kopi dan
makanan kecil. Sekelompok lelaki menikmati kopi pagi di sana. Se-
buah kios lagi, di ujung agak jauh, menjual barang kelontong, juga
film dan kaset lagu. Dari kios inilah kehangatan sedikit merambat,
lewat lagu yang diputar dengan pengeras suara yang menggelepar.
Madu dan Racun, dalam berbagai versi, termasuk versi terjemahan
219
ke dalam bahasa Bali, berulang-ulang diputar.
Saya masih duduk di kursi panjang di kios makanan itu. Me-
nikmati kopi yang rasanya agak pahit kegemaran masyarakat
Kedisan. Danau masih sepi, angin memang berembus agak ken-
cang.
Sebentar lagi penyeberangan dibuka, asal cocok saja, Pak,
ujar seorang lelaki, yang sejak tadi membuntuti saya. Saya tetap
menggelengkan kepala. Saya tak jelas menangkap profesi lelaki
ini. Entah tukang perahu, juragan perahu, hansip yang lagi pre-
man, atau calo.
Tadi, begitu saya memasuki areal parkir di tengah hujan, ada
enam lelaki yang mengerubungi mobil saya. Dua di pintu kiri, tiga
di pintu kanan, dan seorang lagi di moncong mobil.
Bapak mau ke Trunyan? Penyeberangan ditutup. Angin sangat
besar, Pak. Ombak danau besar, Pak. Penyeberangan ditutup, Pak.
Tak ada perahu yang boleh jalan, Pak. Penyeberangan ditutup,
Pak. Kata-kata itu terus diulang-ulang, dan panggilan pak dengan
logat Kintamani yang dilambankan membuat kesal juga. Takjelas
siapa yang bersuara paling banyak di antara enam lelaki itu. Karena
saya tak bereaksi, mereka mulai bosan juga. Kemudian seseorang
dengan kalimat datar, yang tidak begitu keras, mulai menawarkan,
Rp 40.000, Pak, kalau mau sebentar lagi penyeberangan dibuka.
Tapi Rp 40.000, Pak. Belum sempat saya menjawab, lelaki itu
sudah menambahi, Kalau harga turis Rp 60.000. Ombaknya kan
besar. Sekarang masih ditutup, sebentar lagi baru dibuka.
Saya turun dari mobil dan tiba-tiba saya terjebak bertanya,
Kalau hujan terus, penyeberangan tak dibuka, apanya yang Rp
40.000?
Kalau Bapak mau Rp 40.000, sebentar lagi dibuka, langsung
lelaki itu bersemangat.
Ombaknya besar begini, memangnya aman?
Aman, Pak. Nanti dipakai motor tempel yang kuat. Pasti
aman. Kita sudah jadi hamba Dewi Danu. Tahu Dewi Danu, Pak,
itu yang menjaga danau ini. Nanti sambil berangkat saya ceritakan
mengenai dewanya itu.
220
Saya berlari ke kios makanan, karena hujan tambah lebat.
Ketika saya memesan kopi, lupa dengan penyamaran, saya meng-
gunakan bahasa Bali. Dan itu didengar lelaki-lelaki Kedisan yang
terus mengerubungi saya. Wajah mereka langsung menampakkan
kekecewaan.
Beh, beh, bapake anak Bali. . ., gumam di antara mereka.
Lalu, pembicaraan pun seperti macet. Tawar-menawar seperti
buntu tanpa sebab. Keempat lelaki di kursi panjang saling ledek.
Saya sesekali menimpali.
Sudah berapa kali Bapak ke Trunyan? tanya seorang lelaki,
yang gesit tadi juga. la memakai bahasa campur, BaliIndone-
sia.
Empat kali.
Begini saja. Rp 25.000. Sebentar lagi I Rarud datang. Rp
25.000 murah, Pak. Sama-sama orang Bali. Bapak kaya, punya mo-
bil, uang Rp 25.000 apa artinya. I Rarud sebentar lagi datang.
Siapa I Rarud? tanya saya.
Kepala Desa Kedisan. Dia berkuasa, penyeberangan ditutup
atau tidak, tergantung dia.
Memangnya kalau membayar Rp 25.000, penyeberangan
bisa dibuka?
Ketujuh orang di warung itu ketawa semua. Pemilik warung,
seorang ibu muda, langsung nyeletuk, Namanya manusia, Pak.
Ada uang, apa yang tak bisa dilakukan. Beh, bapake . . ..
Kami akhirnya bercanda, saling mengolok-olok. Soal logat
bahasa, soal anjing Kintamani yang terkenal itu, soal danau yang
ada dewinya, soal ombak, soal lagu, lalu soal Rarud. Kalau benar
ia Kepala Desa Kedisan yang berkuasa membuka penyeberangan
ke Trunyan, sungguh sial nasibnya. Ia diolok-olok secara kasar oleh
lelaki-lelaki ini. Sungguh kelewatan, sampai ke masalah kehidupan
pribadinya. Rarud punya istri dualah, ingin kawin lagilah ....
Dan I Rarud yang digosipkan itu muncul. Ia berjalan menuju
dermaga, tidak menoleh ke warung. Pakaiannya parlente, celana
panjang, berjaket, bertopi, maklum kepala desa.
Raruuuuddd . . .? dua lelaki berteriak bersamaan. Tetapi
221
I Rarud tak menoleh ke arah kami. Ia langsung menuju pos di
dermaga.
Rp 25.000, Pak. Lha, bapake, apa artinya uang segitu,
mobil bapake bagus, nomornya B. Lha, bapake . . ., lelaki itu
merengek.
Rp 20.000, kata saya, dan lagi-lagi terjebak.
Pokoknya, Rp 25.000, dan lelaki itu berlari ke dermaga.
Sepuluh menit kemudian dia kembali. Hujan mulai menipis. Pe-
nyeberangan masih ditutup, Bapak tak mau Rp 25.000, ya, sudah.
I Rarud tak berani mengambil risiko. Ombak masih besar, angin di
tengah danau masih kencang. Kalau perahu terbalik, ayo . . ..
Ya, sudahlah. Tak jadi ke Trunyan juga tak apa-apa. Saya
tinggal lapor kepada Pak Gubernur, tugas tak bisa jalan, jawab
saya seenaknya.
Bapak dapat tugas dari Gubernur? lelaki itu bertanya dengan
heran. Semua orang di warung itu tiba-tiba heran.
Baru tahu, ya? Di mobil itu, kan ada seorang lelaki. Dia orang
penting dari Jakarta. Dia yang menentukan apakah jalan aspal dari
Kedisan ini akan tembus ke Trunyan atau sudah cukup sampai di
Songan seperti sekarang, kata saya semakin berbohong.
Wah, jangan, Pak. Jalan aspal itu cukup sampai di Songan. Ka-
lau tembus ke Trunyan, perahu-perahu pada mati semua, Pak.
Alaaah . . . tak mungkin pemerintah bisa membuat jalan aspal
ke Trunyan, berapa banyak membongkar tebing, celetuk pemilik
warung.
Kan ibu tadi bilang, ada uang, apa yang tak bisa dilakukan?
kata saya dengan wajah yang serius.
Begini, Pak. Bapak punya kertas? Tulis nama Bapak dan nama
tamu Bapak. Keperluannya disebutkan. Nah, saya sodori I Rarud,
kata lelaki yang gesit dan tampaknya tak sabaran itu. Karena tak ada
kertas, dan hujan masih rintik-rintik, tukang perahu menyodorkan
bungkus rokok. Saya tulis nama seseorang ngawur saja den-
gan jabatan staf ahli Gubernur Bali. Lelaki itu membawa bungkus
rokok ke dermaga. Kelihatannya ia memasuki sebuah ruangan. Tak
lama, ia muncul di emper dermaga dan memanggil-manggil dengan
222
isyarat tangan. Lalu saya ke mobil, membangunkan Gde Aryantha
Suthama, penyair yang juga pemimpin koran Karya Bhakti. Gde
Aryantha kelihatan terlalu capek. Sudah dua hari ini menemani
perjalanan saya, dan sejak pagi ia tidur di mobil.
Ketika naik di perahu, ternyata tukang perahu itu adalah lelaki
kurus yang sedari tadi jongkok berselimut sarung di pinggir der-
maga. Adapun lelaki yang gesit tadi, pastilah salah satu dari sekian
banyak calo. Tukang perahu, konon, tak bisa berkutik menghadapi
calo. Mereka, tukang perahu itu, kebanyakan bukan penduduk
Kedisan. Mereka penghuni desa-desa kecil di pantai danau, Abang,
Songan, Toyabung-kah, Trunyan. Sementara itu, urusan penump-
ang adalah urusan orang Kedisan, urusan orang darat.
Lelaki parlente yang bernama I Rarud itu, agaknya, punya
kekuasaan besar. Dia bisa nyelem putihang gumi di Kedisan, sep-
erti yang diolok-olokkan para Ielaki tadi. Artinya, dia bisa bilang
putih, bisa bilang hitam. Dia menentukan apakah Danau Batur
yang panjangnya 9 km dan lebarnya 5 km itu bisa diarungi perahu
motor atau tidak. Caranya menentukan kebijaksanaan itu pun rada
aneh. Lebih condong ke uang. Bukan angin, bukan ombak, bukan
hujan.
Benarkah I Rarud itu Kepala Desa Kedisan?
Saya tak sempat melihatnya tadi. Biasanya, pagi begini, Pak
Perbekel (sebutan kepala desa) Kedisan belum datang, kata tukang
perahu ketika perahu sudah bertolak.
Beberapa puluh meter meninggalkan dermaga, saya jadi ngeri.
Ombak besar membuat perahu oleng dengan keras. Ditambah
rintik hujan dan angin yang membuat badan menggigil. Namun,
di danau ini . sudah tampak kemajuan, ya, motor tempel ini. Desa
Trunyan yang kami tuju mulai kelihatan atap rumah penduduknya
yang mengkilap, di antara kabut.

***

DESA Trunyan pun sudah maju. Jauh lebih modern diband-


ingkan sepuluh tahun yang lalu. Lihat saja, begitu perahu berlabuh
223
di pantai Trunyan, sebuah dermaga dengan candi bentar menyam-
but pelancong yang menjejakkan kaki di desa Bali Aga ini. Dalam
bentuk lebih kecil, dermaga dan candi bentar itu mengingatkan
orang pada dermaga Gilimanuk, pintu gerbang Bali lewat jalan
darat.
Bersama Gde Aryantha, kami sepakat untuk menggunakan
bahasa Indonesia selama di Trunyan, sedikit penyamaran dirasa
perlu. Anak-anak Trunyan pun merubung kami. Ada yang meny-
odorkan payung, persis di Candi Borobudur, di Candi Prambanan,
atau di Ratu Plaza, Jakarta, kalau hari hujan. Tidak bayar, Pak.
Tidak bayar, Pak, teriak anak-anak kecil itu berbahasa Indonesia.
Saya sempat melirik di pos dermaga Trunyan, sebuah tulisan yang
berbunyi: sumbangan pemakaian payung Rp 1.000. Anak-anak
Trunyan paham betui berbahasa, sumbangan memang tidak sama
dengan bayaran. Kami menolak payung.
Dua orang lelaki dewasa, mengenakan sarung dan berjaket
kulit, menggiring kami menuju sebuah balai, di depan Pura Pancer-
ing Jagat tempat suci terpenting dan terbesar di Desa Trunyan.
Kami disodori buku tamu yang kumal, lusuh, penuh sobekan dan
coretan. Banyak tertera nama orang asing dan nama orang luar
Bali di buku tamu itu. Setelah nama, alamat, tujuan, kemudian ada
kolom: sumbangan sukarela. Angka-angka di situ, besar-besar. Ada
Rp 10.000, ada Rp 25.000, bahkan ada Rp 50.000. Paling kecil
tertulis Rp 5.000.
Melirik angka nol dari tulisan yang tampak dikurek-kurek, saya
pun ketawa dalam hati. Angka itu, tentu kreativitas. Tujuannya
mengelabui penyumbang. Siapa tahu terjebak ikut-ikutan. Tapi,
kali ini saya tidak terjebak, sudah berpengalaman di makam Raja
Udayana di Gunung Kawi bukan Gunung Kawi Jawa Timur.
Saya menyumbang Rp 1.000, dan kedua lelaki itu menerimanya
dengan sikap yang dingin. Saya berani bertaruh,jika besok saya
sempat ke sana lagi, dan disodori buku tamu yang sama, pasti angka
itu berubah menjadi Rp 10.000. Siapakah yang mengatakan, tidak
ada kemajuan di Trunyan? Dan buku tamu itu, sudah pasti, bukan
buku tamu milik Kepala Desa yang resmi.
224
Seperti yang sudah saya perkirakan, Kepala Desa Trunyan, I
Nengah Tekes, tak ada di kantornya hari itu. Kepala desa ini tidak
menetap di induk Desa Trunyan. Ia berdiam di Tempek Puseh
dibatasi tebing tetapi masih bagian administrative Desa Trunyan.
I Nengah Tekes punya rumah bagus untuk ukuran Trunyan di
desa induk, persis di depan Pura Pancering Jagat. Kantor Kepala
Desa juga di desa induk. Tidak ada kegiatan kantor, tampaknya.
Musim hujan, siapa yang mau datang ke Trunyan? Dan, kalau tak
ada yang datang, untuk apa berkantor?
Di Balai Desa, hari itu ada empat gadis Trunyan sedang kursus
menenun. Sebetulnya ada sembilan pengikut kursus, tetapi lima
orang berhalangan. Seorang gadis, bukan dari Trunyan, bertindak
sebagai pengajar. la pegawai negeri, petugas Bipik (Bimbingan dan
Penyuluhan Industri Kecil) Departemen Perindustrian. Ini sudah
angkatan ketiga. Sudah 17 orang gadis Trunyan selesai mengikuti
kursus, kata gadis Bipik itu. Apakah mereka kini giat menenun?
Tidak seorang pun. Mereka tak punya modal, katanya lagi terus
terang.
Dari empat gadis yang berguru itu, seseorang menceritakan,
dia mengikuti kursus, semula karena dipaksa. Setelah tiga hari
kursus, mulai betah. Selain dapat makan gratis dua kali sehari,
mereka mendapat uang saku Rp 700 sehari. Bahwa selesai kursus
yang lamanya tiga bulan itu mereka akan kembali mencari rumput
tiap hari mendaki tebing, itu urusan lain.
Dua lelaki dewasa yang mengantar kami selama di desa induk
Trunyan itu bak guide yang berpengalaman. Ia selalu ngoceh,
menjelaskan keanehan-keanehan desanya, dan mengajak kami
berkeliling di Pura Pancering Jagat. Tanpa diminta, dia juga
menjelaskan asal-usul desanya, termasuk ternpat sucinya itu. Tapi
dia tak bisa menerangkan kenapa beberapa bangunan di Pura Pan-
cering Jagat dibuat dari beton. Kenapa pula pintu gerbang pura itu
dibuat dengan gaya pura di tempat lain di luar Trunyan, memakai
kori agung. Ketika ditanyakan apakah itu tidak menghilangkan
identitas Trunyan, lelaki itu menjawab, Memang, semuanya ini
menyebabkan tidak ash, tapi bangunan ini sumbangan pemerin-
225
tah. Pemerintah itu apakah pemerintah provinsi, kabupaten, dinas
agama, Parisada Hindu Dharma, atau dinas pariwisata yang banyak
menaruh kepentingan di desa kuno ini, kedua lelaki itu tidak tahu.
Selama ini tak ada yang menanyakan itu, kecuali Bapak. Yang
saya tahu, pintu gerbang Pura Pancering Jagat ini dibangun bersa-
maan dengan candi bentar di dermaga, ujar lelaki itu. Dibangun
tiga tahun yang lalu. Di kuburan juga ada candi bentar.
Agak rikuh mata memandang. Di kuburan Trunyan yang sempit
dan tempat yang menyebabkan kawasan ini menjadi daya tarik
wisatawan, ada dermaga dengan pintu candi bentar. Dermaga itu
pun tak selalu berfungsi, hanya kalau ada pejabat atau tamu ter-
hormat yang datang dengan perahu yang lebih besar. Pengunjung
biasa, termasuk turis asing, perahunya berlabuh di pantai danau,
bukan di dermaga itu. Trunyan dan kuburannya memang menjadi
lebih cantik. Kulit luarnya telah diberi bedak dan gincu yang tebal.
Trunyan tampak genit.

***

TRUNYAN yang dulu rasanya lebih punya roh. Ada getar-


getar. Mengunjungi Desa Trunyan semestinya membaca legenda
dan menikmati semacam dongeng. Berkunjung ke sana adalah
menatap masa lalu, bersentuhan dengan zaman pra-Hindu. Sebuah
desa yang unik, tak ada duanya. Desa kecil di tepi Danau Batur,
berada di kawah Gunung Batur Purba, berada di ketinggian 1.038
meter dari permukaan laut.
Bukan cuma kemajuan fisik Trunyan yang simpang siur. Se-
jarah desa itu sendiri simpang siur pula. Mungkin, dulu-dulunya,
banyak prasasti yang hilang, sebelum sempat dibaca. Kemudian
sisa-sisa prasasti itu dikeramatkan penduduk setempat, sebagai
sesuatu yang suci hal yang biasa terjadi di mana-mana di
belahan bumi Bali ini. Bagi orang tua di pedesaan Bali, melihat
prasasti suatu hal yang bisa dikaitkan dengan kualat, apalagi mem-
bacanya. Itu rupanya yang menyebabkan sejarah desa ini menjadi
remang-remang. Apalagi, sejarah itu diceritakan dari mulut ke
226
mulut oleh warga Trunyan secara turun-temurun. Setiap generasi
melebihi atau mengurangi, setiap orang memberi tambahan atau
memperpendek.
James Danandjaja, antropolog yang selama setahun hidup di
tengah penduduk Trunyan, dan menghasilkan gelar doktor dari desa
ini, mengumpulkan tidak kurang dari sebelas legenda rakyat untuk
mencoba merekonstruksi asal-usul Desa Trunyan. Semuanya ber-
dasarkan penuturan tetua desa itu. Toh, James tetap sulit membuat
sesuatu yang bisa diterima akal sehat, bagaimana sesungguhnya
sejarah dan perkembangan desa ini.
Tentang nama Trunyan itu, misalnya. Sekelompok penduduk
Trunyan mengartikan dari kata turun dan hyang. Turun sama arti-
nya dengan bahasa Indonesia. Hyang adalah Tuhan dalam mani-
festasinya sebagai dewa atau dewi. Penduduk Trunyan percaya,
leluhur mereka. adalah keturunan dari langit, dewi yang turun ke
bumi. Turun hyang lama-lama menjadi Trunyan.
Sekelompok lain mencarinya dari alasan yang menyebabkan
sang dewi turun di sana. Karena, di tepi danau yang indah dan
sejuk itu, ada pohon yang memancarkan bau harum sampai ke
kahyangan. Itu adalah pohon menyan (benzoin). Dalam bahasa
Bali halus, pohon adalah taru. Maka, taru menyan lama-lama
menjadi Trunyan.
Legenda yang hidup di Desa Trunyan tentang asal-usul seki-
tar dewi itu begini: Sang Dewi, yang begitu terangsang akan bau
harum dari bumi, turun mencari sumber bau itu. Karena dewi, ia
mudah saja menemukannya, dan turunlah ia di belongan sebuah
tanah datar di antara tebing pinggir danau yang ditumbuhi
pohon menyan. Dewi berdiam terus di sana, bagai tak bisa lepas
dari sihir bau harum itu.
Sementara itu, Batara Surya diceritakan gusar, karena ses-
eorang (baca: sesedewa atau sesedewi) dari penghuni kahyangan
nyasar ke bumi. Dan Batara Surya (dalam mitos Bali, beliau ini
adalah matahari) mengamat-amati, di mana gerangan sang dewi
berada. Merasa diamati, sang dewi, yang masih betah di bawah
kerindangan pohon harum itu, mangkel juga. Dewi lantas mencibir.
227
Caranya, menunggingkan pantatnya ke arah matahari, sampai-sam-
pai kemaluannya terlihat. Namanya saja legenda, maka tersebutlah
sang surya yang dicibir itu bertambah penasaran, lalu ia memperm-
alukan dewi. Kemaluan sang dewi itu disetubuhi dari jarak jauh.
Dewi pun mengandung, lalu melahirkan anak kembar: kakaknya
lelaki, adiknya perempuan. Setelah kedua anak ini besar, sang dewi
kembali ke langit, simbol sebuah dunia antah-berantah.
Sampai di sini, legenda tentang Desa Trunyan bisa berakhir.
Tetapi bisa pula diperpanjang. Kalau pengunjung mendapatkan
guide yang tak sabaran, atau pengunjung tidak cerewet bertanya-
tanya lagi, maka akhir legenda itu mudah saja: kakak beradik ketu-
runan sang dewi adalah manusia-manusia pertama orang Trunyan.
Dua bersaudara kembar berlainan jenis itulah nenek moyang orang
Trunyan yang sekarang. Nah, puas?
Jika tidak puas, legenda bisa berpanjang-panjang, dan di-
hubung-hubungkan dengan segala hal yang bisa berbekas, sebagai
peninggalan di Desa Trunyan dan di sekitar Danau Batur. Cerita
belum berakhir, tentu saja. Maka, tersebutlah kemudian, keluarga
ningrat dari Keraton Solo. Anda tidak usah bertanya, apakah itu
trah Pakubuwono atau Mangkunagoro, tak akan terjawab. Po-
koknya, pohon harum semerbak wangi di pantai Danau Batur itu
tercium sampai ke Solo. Empat orang bersaudara kandung, yang
merupakan anak-anak raja Solo, secara bersama-sama mencari di
mana pohon harum itu berada. Dari empat putra ningrat itu di
Bali, orang ningrat sebelum lahirnya kasta-kasta seperti sekarang
disebut dalem yang paling kecil seorang perempuan. Keempat-
nya tidak bernama.
Alkisah, dalam pengembaraan keempat dalem Solo itu, mereka
pun sudah mendekati sumber keharuman. Mereka sudah di pinggir
selatan Danau Batur. Berapa jam atau hari atau bulan perjalanan
dari Solo ke Danaii Batur, tidak diceritakan. Anda jangan terlalu
cerewet mendengarkan legenda, karena Solo yang dimaksudkan
di sini belum pasti pula Solo yang di Jawa Tengah itu. Ini bukan
sejarah, lho.
Entah kenapa, setiba di kaki selatan Gunung Batur, si perem-
228
puan dalem Solo tiba-tiba tidak meneruskan pencarian sumber
harum. Penduduk Trunyan, yang memiliki legenda ini, bisa men-
erangkan dengan versi: si perempuan itu kelelahan dan merasa tak
kuat lagi berjalan setelah melihat sulitnya medan, harus mendaki
tebing yang curam. Anda boleh bertanya, apakah tadinya dari Solo
ke Gunung Batur tak ada melewati tebing curam. Tentu, tak ada
jawaban. Sebaiknya Anda mengangguk, dan jika perlu menambahi
versi pembetulan: ya, mana kuat seorang perempuan menyusuri
tebing curam bukit sebelah timur Danau Batur. Singkat kata, si
kecil dalem Solo itu ditinggalkan seorang diri. Rupanya, si kecil
punya jasa luar biasa dalam lingkungan tempat barunya, entah
apa. Buktinya, beliau dipuja setaraf dcwi, dan kini bergelar Ratu
Ayu Mas Maketeg.
Tiga lelaki dari Solo itu terus berjalan. Di sebuah tanah datar
yang cukup luas di pinggir danau, lelaki termuda berteriak saking
girangnya, karena mendengar suara burung. Kedua kakaknya
marah, karena teriakan kegirangan itu tidak layak untuk sebuah
penderitaan dalam mengejar suatu cita-cita luhur. (Jika Anda
menonton tcater Bali: arja, drama gong, gambuh, toping, setiap
pencarian suci adalah sebuah penderitaan yang harus ditempuh
dengan penuh keprihatinan, pantang bersukaria). Si sulung dalem
Solo itu memerintahkan adiknya untuk tidak meneruskan per-
jalanan, dan tinggal di tempat itu. Si kecil menolak. Kakaknya
semakin berang, dan menendang adiknya itu, sehingga sang adik
jatuh dalam posisi duduk bersila. Tanah datar itu disebut Kedisan,
asal kata dari kedis, yang berarti burung. Dan, di Kedisan yang kini
menjadi desa itu, ada patung batu menggambarkan orang duduk
bersila. Masyarakat setempat memberi gelar, Ratu Sakti Sang Hy-
ang Jero. Patung itu sudah menjadi benda suci, dan ditempatkan
di sebuah pura yang disebut Pura Dalem Pingit arti harfiahnya
pura tempat bersemayam dalem yang suci.
Masih tinggal dua lelaki dari Solo. Keduanya terus menyu-
suri tebing sebelah timur danau yang curam. Di sebuah dataran
lain, kedua dalem ini menemukan dua wanita yang sedang asyik
mencari kutu. Begitu gembiranya melihat manusia, wanita lagi
229
sejak awal tadi tak diceritakan mereka berjumpa dengan manu-
sia, aneh memang putra kedua raja Solo ini langsung menegur
wanita tadi. Perbuatan adiknya ini amat tidak disenangi kakaknya.
(Dan memang, jika Anda menemukan dua atau lebih wanita Bali
di pedesaan sedang asyik mencari kutu di halaman rumahnya,
dan Anda ingin menyapa misalnya bertanya tentang sesuatu
sebelumnya berbuatlah sesuatu yang menyebabkan keasyikan
mencari kutu itu terganggu. Misalnya batuk-batuk, mendehem, atau
membuat kegaduhan kecil). Sang kakak memerintahkan kepada
adiknya agar tak usah rneneruskan perjalanan. Keberisikan sep-
erti itu mengganggu perjalanan suci mencari sumber harum yang
dikategorikan sama dengan melakukan semadi. Lagi-lagi si adik
menolak, dengan sikap melawan. Kakaknya marah, ditendangnya
adiknya itu keras-keras. Sang adik jatuh tertelungkup. Jatuh dalam
posisi begitu, di Bali, disebut melingkuh. Dari asal kata ini, dataran
itu kemudian bernama Dukuh sekarang bernama Abang Dukuh,
karena merupakan bagian administratif Desa Abang. Di sini pula,
konon, pernah ada patung dalam posisi tertelungkup, yang diberi
gelar Ratu Sakti Dukuh. Patung itu sudah hilang tertimbun pasir,
ketika Gunung Agung bukan Gunung Batur meletus dahsyat
pada 1963.
Nah, tidak ada lagi godaan bagi dalem Solo yang tinggal
sendirian mencari sumber harum di ujung timur Danau Batur.
Tebing yang curam-curam terus ditelusurinya. Dan akhirnya, dia
menemukan pohon yang memancarkan keharuman itu. Sayangnya,
pohon itu ditongkrongi oleh seorang wanita ini anak dewi yang
turun dari langit. Dalem Solo tak kekurangan akal, wanita itu di-
kawininya. Sebelum perkawinan diselenggarakan, dalem mencari
kakak wanita tadi (lelaki yang lahir kembar itu) untuk memohon
restu. Restu ternyata mudah diperoleh, asalkan dengan syarat,
dalem Solo bersedia menjadi pemimpin di kawasan itu nantinya.
Dalem Solo setuju.
Memimpin kawasan baru itu, pasangan ini mengembangkan
sistem pemerintahan yang modern dengan bentuk kerajaan,
konon, meniru Solo. Tentu saja hal itu baru bisa dilakukan setelah
230
mereka beranak-pinak. Dan, karena khawatir keharuman pohon
di kawasan itu akan tetap menggiurkan para petualang lain, dan
mereka takut diserbu, dalem Solo ini menemukan akal. Keharu-
man pohon itu harus dilenyapkan, tanpa menumbangkan pohon.
Caranya, jika ada orang meninggal, mayatnya digeletakkan saja di
bawah pohon, tidak dikuburkan. Bau harum pohon dan bau busuk
mayat akan membuat tak tercium bau apa-apa. Kebiasaan itulah
yang dipegang turun-temurun oleh anak keturunan dalem Solo,
orang-orang Trunyan yang sekarang.
Pura yang ada di induk Desa Trunyan itulah, sekarang ini dise-
but tempat bersemayamnya roh dalem Solo, yang sudah dianggap
sebagai dewa tertinggi orang Trunyan. Semula dewa mahatinggi
itu disebut Da Tonta artinya Tuhan Kita. Dan kemudian, karena
banyaknya tekanan yang datang ke Trunyan, agar nama-nama dewa
diseragamkan dengan nama dewa-dewa Hindu di tempat lain di
luar Trunyan, Da Tonta punya gelar baru: Ratu Sakti Pancering
Jagat. Istri dalem Solo juga punya gelar yang disesuaikan, yang
memang berbau Hindu, Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar.
Legenda asal-usul orang Trunyan ini seperti juga masih
ada beberapa legenda lainnya masih terus dituturkan dari gen-
erasi ke generasi di Trunyan. Sarana penuturan itu, biasanya, pada
upacara di Pura Pancering Jagat, yang jatuh setiap bulan purnama
keempat, Purnama Kapat, sekitar bulan Oktober. Pada saat itu ada
upacara besar atau orang Trunyan menyebutnya Sabha Gede. Di
antara rentetan upacara, dipergelarkan suatu jenis tarian suci yang
disebut Bethara Berutuk. Drama tari bisu inilah yang mengisahkan
legenda di atas, mulai dari dalem Solo terdampar di tepi Danau
Batur dan mengawini putri dewi. Mungkin, karena drama tari ini
bisu, pewarisan legenda dari orangtua kepada anaknya bisa berbeda
di setiap keluarga.

***

ADA baiknya kalau saya mengutip beberapa karya ilmiah


di sekitar legenda ini, sebuah legenda yang memang perlu dikaji.
231
I Gusti Ngurah Djelantik, dalam bukunya Salinan Babad Batur,
mengutip lagi karangan Sertu Klungkung, mengenai sejarah Desa
Trunyan. Di sana disebutkan, dalem Solo, yang kemudian berge-
lar ratu Sakti Pancering Jagat, berasal dari Kerajaan Majapahit.
Ia putra dari Ida Ratu Majapahit (Ida Ratu berarti raja jadi tidak
disebutkan siapa nama raja ini) yang beristrikan Ida Ayu Malejeng.
Dalem Solo yang terdampar di Trunyan itu, maksudnya untuk
mencari permukiman baru, bernama I Gede Manik Pancer. Tam-
paknya tulisan ini memberi kesan, gelar Pancering Jagat bukan
sekadar karena dalem Solo itu diangkat menjadi pemimpin di
Trunyan, tetapi betul-betui dari nama kecil dalem Solo: Pancer.
Sebuah kajian lain menyebutkan, Pancering Jagat berasal dari
kata pancer yang berarti pasak, dan jagat berarti bumi. Akhiran
ing dalam kosakata bahasa Bali sama dengan nya, jadi Pancering
Jagat berarti Pasaknya Bumi, kias dari sang pemimpin.
Sayangnya, Salinan Babad Batur ini menjadi kacau, kalau
Majapahit yang dimaksud dalam karangan itu adalah Kerajaan
Majapahit yang dikenal dalam sejarah Indonesia, yang dipelajari
di sekolah sekarang ini. Seperti yang tersurat di buku sejarah,
Kerajaan Majapahit baru didirikan pada 1293 Masehi. Tentulah,
dalem Solo kalau ia dari Majapahit yang ini berangkat ke
Bali setelah tahun-tahun itu.
Kekacauan ini kalau dihubungkan dengan prasasti yang
ditemukan di Trunyan, yang oleh R. Goris diberi nomor prasasti
Trunyan Al. Dalam prasasti ini disebutkan, sekelompok orang
hendak mendirikan tempat suci untuk Da Tonta. Prasasti itu sendiri
bertahun 833 Caka atau 912 Masehi. Prasasti ini masih disimpan
di kompleks Pura Pancering Jagat sebagai seperti juga prasasti
di tempat lain benda suci.
Kalau berpegangan kepada prasasti dan ini kadar ilmiahnya
lebih tinggi tentulah pada 912 Masehi ini, Da Tonta sudah lama
meninggal dunia, sehingga layak dikenang sebagai personifikasi
Tuhan Kita, sebuah kebudayaan pra-Hindu yang menyembah le-
luhur.
Tak mungkin Da Tonta siapa pun nama aslinya berasal
232
dari Kerajaan Majapahit, kerajaan yang kita pelajari berdiri jauh
di belakang tahun prasasti Trunyan itu.

***

APA pun yang terjadi, bagaimanapun muramnya asal-usul itu,


Trunyan memang desa kuno. Tetapi kekunoan itu, ternyata, amat
sulit dipertahankan. Perubahan zaman, perubahan peradaban, nafsu
untuk saling menguasai dan mempengaruhi terjadi terus-menerus.
Sejarah perkembangan Trunyan membuktikan, perubahan yang
terjadi lebih besar disebabkan oleh pihak luar.
Dalam cerita-cerita kuno (babad) sejarah Bali, dalam cerita
Babad, Blahbatuh, ada disebutkan, kawasan Trunyan pernah
diserang Panji Sakti dari Kerajaan Gelgel pada abad ke-14. Dan,
tokoh Panji Sakti ini memang berhasil menanamkan pengaruhnya
di desa-desa sekitar Danau Batur, bahkan terus ke Bali utara. Tetapi
dalam legenda Trunyan, Panji Sakti tak berhasil menguasai daerah
itu, karena diserang tawon putih yang keluar dari Pura Pancering
Jagat. Orang Trunyan diselamatkan oleh Da Tonta.
Sebelum itu datang pula ke Trunyan penyebar agama Hindu
dari warga Pasek, juga dari Kerajaan Gelgel. Tujuan mereka untuk
menyeragamkan tata cara keagamaan di seluruh Kerajaan Gelgel,
kerajaan besar yang menguasai Bali, bahkan sampai ke Semenan-
jung Blambangan, Jawa Timur, dan Lombok Barat. Baik para
penyebar agama ini maupun para pengikut Panji Sakti ada juga
yang sebagian menetap di belongan kecil sekitar Trunyan yang
kini belongan itu menjadi bagian dari Desa Trunyan secara wilayah
administratif.
Yang menarik dari penyebaran agama Hindu itu adalah,
warga Trunyan menerima sebagian karena takut, dan menolak
yang bisa ditolaknya. Yang sebagian diterima itu hanyalah kulit
luarnya, misalnya penyeragaman nama-nama dewa: Dewi Sri,
Ratu Sakti Rambut Sedana, Ratu Sakti Kemulan Ulun Suwi, dan
lain-lain termasuk usaha mengganti nama Da Tonta menjadi Ratu
Sakti Pancering Jagat, tetapi tidak kebudayaan dan tata upacara
233
keagamaan. Misalnya, di Trunyan tidak ada Tri Kahyangan, yaitu
Pura Puseh, Pura Dalem, Pura Desa, yang fungsinya seperti Tri
Kahyangan orang Hindu di desa lain. Akibatnya pula, tak dikenal
Bethara Brahma, Wisnu, dan Ciwa pencipta, pemelihara, dan
perusak alam.Juga tak dikenal hari raya Nyepi, Ciwalatri, Galun-
gan, Kuningan, Pagerwesi, Saraswati. Penduduk Trunyan, kalau
ditanya hari raya umat Hindu itu, dan dewa-dewa itu, suka berdusta
dengan pura-pura tahu, untuk tidak dituduh yang bukan-bukan.
Anehnya, para pendatang yang bukan keturunan langsung
dalem Solo misalnya mereka yang mengikuti Panji Sakti dan
orang Pasek itu justru larut dengan kebudayaan Trunyan. Ke-
turunan Pasek, misalnya, masih banyak di Trunyan. Mereka ikut
dalam tata upacara keagamaan versi Trunyan.
Usaha menyeragamkan upacara keagamaan di Trunyan dengan
desa-desa lainnya di Ball kasarnya menghindukan secara total
orang Trunyan terus dicoba, anehnya oleh pemerintah daerah,
yang tentu saja atas anjuran lembaga-lembaga keagamaan umat
Hindu, setelah zaman merdeka ini. Sebuah contoh menarik tentang
ini ditulis James Danandjaja dalam bukunya Kebudayaan Petani
Desa Trunyan di Bali, berdasarkan penuturan tetua orang Trunyan.
Sarinya begini:
Tahun 1959, wilayah Desa Trunyan mengalami kebakaran
hebat. Setelah bencana itu ditanggulangi dan rumah-rumah mulai
dibangun kembali, diperlukan upacara manca sanak dalam versi
orang Trunyan, yang di desa-desa (Hindu) lainnya disebut mecaru.
Persiapan sudah dilakukan dengan rapi di Trunyan. Tiba-tiba ada
perintah dari bupati Bangli (Ida Bagus Made Suta, kini almarhum)
agar persiapan itu dihentikan karena menyalahi ketentuan agama
Hindu. Bupati bahkan mengirim ke Trunyan seorang pendeta Hindu
dari kasta Brahmana, yang disebut pedanda. Tokoh ini disertai tu-
kang membuat sesajen. Menurut perintah Bupati, hanya pedanda
beserta sesajen yang dibuat para pengikut pedanda yang sah untuk
upacara keagamaan setingkat itu. Tentu saja ini berbeda dengan
keyakinan orang Trunyan. Bertahun-tahun upacara keagamaan
sebenarnya masih bisa diperdebatkan apakah itu agama atau
234
kepercayaan jika dilihat masa sekarang di Trunyan diselesaikan
sendiri oleh orang Trunyan, dipimpin pedulu (di luar Trunyan jenis
pekerjaan ini disebut pemangku) orang Trunyan dan sesajennya
adalah versi Trunyan. Serba Trunyan, tak ada impor dari seberang
danau.
Karena takut disangka melawan pemerintah, warga Trun-
yan menyerah kalah. Sesajen versi mereka dibuang begitu saja,
diganti sesajen versi pedanda. Dan, tentu saja, banyak kerugian
yang diderita orang Trunyan, karena sesajen versi pedanda ini
pun dibiayai sendiri oleh orang Trunyan. Celakanya, tiga bulan
setelah upacara yang dipimpin tokoh luar itu, penduduk setempat
menyaksikan gejala alam yang aneh. Salah satu balai yang bernama
belagung tilem di kompleks Pura Pancering Jagat, penuh dengan
kotoran anjing. Bagi penduduk Trunyan, ini adalah pertanda, dewa
tertinggi mereka, Da Tonta, murka. Maka, warga Trunyan kembali
menyelenggarakan upacara permintaan maaf versi mereka. Se-
jak upacara itu, tak ada lagi kotoran anjing di pura tertinggi orang
Trunyan itu. Mereka yakin, permintaan maaf mereka diterima.

***

PARA pewaris Da Tonta atau setelah kena pengaruh Hindu:


Ratu Sakti Pancering Jagat terus-menerus menghadapi serbuan
yang lama-lama bisa mengubah kebudayaan asli mereka. Serbuan
jenis baru tidak lagi datang dari raja Gelgel, tidak dari raja Maja-
pahit, tidak dari raja di mana-mana. Tetapi dari raja baru yang
lebih berkuasa dan lebih ditakuti, yakni pemerintah. Dalihnya,
Trunyan mau dilibatkan ke dalam peta pariwisata di Bali. Serangan
ini mulai gencar 1973, memuncak sekitar 1978.
Candi bentar itu, misalnya. Jelas, tujuannya hanya untuk mem-
perindah Desa Trunyan dan kuburan Trunyan. Juga sekadar sebagai
lambang bahwa itu Bali, atau itu obyek pariwisata. Tak pernah
dikenal selama bertahun-tahun bangunan candi bentar seperti
itu dalam arsitektur masyarakat Trunyan. Candi bentar itu baru
dibuat pemerintah tiga tahun yang lalu, kata lelaki Trunyan yang
235
mengantarkan saya mengelilingi desanya. Dengarlah baik-baik,
dibuat oleh pemerintah.
Bangunan Pura Pancering Jagat juga dipoles dengan bantuan
pemerintah. Yakni diperkenalkannya kori agung, dan tak tanggung-
tanggung beratap tujuh tingkat. Lagi-lagi suatu bangunan yang tak
pernah dikenal sebelum ini dalam kebudayaan masyarakat Trunyan.
Tetapi karena dibuat oleh pemerintah, dan bersamaan dengan itu
dibuat pula balai pertemuan yang sekarang dilengkapi lagi pe-
sawat televisi maka masyarakat Trunyan terus-menerus diracuni
bagaimana cara meminta-minta kepada pemerintah. Karena pemer-
intah mendatangkan turis, pada akhirnya turis ini pun layak dim-
intai apa saja, sebagai simbol lain dari orang pemerintah. Maka,
anak-anak Desa Trunyan dianjurkan orangtuanya ramai-ramai
menyerbu pelancong, entah itu turis atau orang Jawa sebutan
untuk orang luar Bali untuk dimintai uang. Di dermaga, di pura
suci, di kuburan, di mana saja sempat menghadang turis, tadahkan
tangan dan katakan: gip mi wan dolar ser. Atau menodong pengun-
jung dengan bantuan alat: payung, buku tamu, jukung misalnya
menghalang-halangi perahu pelancong mendarat atau dengan
tengkorak, dengan apa saja. Kebetulan warisan meminta-minta
itu seperti sah, ketika kawasan ini menderita parah akibat hujan
pasir meletusnya Gunung Agung pada 1963.
Memasukkan Trunyan ke dalam peta pariwisata, ternyata
dengan cara dan pola yang itu-itu juga. Misalnya, dijadikan pola
art shop. Turis yang tiba di Trunyan, setelah tiga puluh menit
berperahu dari Kedisan, disuguhi sebuah desa yang tak bisa lagi
dikenali keasliannya, kecuali berputar-putar di Pura Pancering
Jagat yang tak lagi berkesan tua itu. Rupanya, para penata pari-
wisata sadar hal itu, lalu disuruhnya orang Trunyan, terutama
para gadisnya, melakukan kegiatan seni. Dibuatlah balai yang
berdempetan dengan kantor Kepala Desa sebagai tempat gadis
Trunyan menenun. Jadi, persis memasuki art shop atau galeri yang
bertebaran di Celuk dan Mas. Pelancong yang tak puas melihat
mutu kesenian Bali dicoba dialihkan dengan demonstrasi mema-
tung, memahat, dan menenun.
236
Kuburan Trunyan, yang luasnya tak lebih dari satu hektar itu,
barangkali satu-satunya kuburan di Bali yang berpintu gerbang
candi bentar. (Lihat: Salah Kaprah. Kata I Gusli Agung Gde Pu-
tra). Kuburan yang dimaksud di sini adalah sema wayah, yaitu
pemakaman untuk orang-orang dewasa, orang yang meninggal
dunia ketika setelah menikah. Inilah kuburan yang jadi daya pikat
para pelancong.
Di Desa Trunyan, ada lagi kuburan yang lebih kecil, yang
disebut sema nguda, tempat pemakaman orang-orang yang mati
sebelum kawin, orang yang masih dianggap suci. Penguburan
mayat di sema nguda ini, biasa saja seperti di tempat lain, dita-
nam di dalam tanah. Jadi, memang tak punya daya pikat. Tak ada
pelancong ke sini, walau letaknya di antara desa induk Trunyan
dan sema wayah.
Perjalanan dari desa induk Trunyan ke sema wayah, satu-sa-
tunya cara adalah lewat air, mendayung sekitar lima belas menit,
atau dengan perahu motor sekitar sepuluh menit. (Hati-hati ketika
menyewa perahu di dermaga Kedisan. Mintalah paket perjalanan
TrunyanKuburan Trunyan dan biasanya diteruskan ke Toy-
abungkah. Dengan hanya menyebut tujuan Trunyan, Anda bisa-bisa
tidak dibawa ke kuburan Trunyan, kalau tidak menambah bayaran
ini kesempatan Anda diperas).
Dalam tradisi penguburan masyarakat Trunyan, mayat tidak
boleh dibawa dengan perahu bermotor, dan selalu perahu dayung.
Pengantarnya boleh. Sesampai di sema wayah, jenazah baru itu
tidak langsung digeletakkan, ada beberapa upacara. Pemilik mayat
harus membeli petak tanah tempat jenazah secara ritual. Ini penting,
karena di kuburan itu hanya ada tujuh petak tempat penyimpanan
jenazah, sehingga mayat baru secara simbolis harus dibelikan
satu petak yang sudah terisi. Tentu saja, yang dibeli adalah petak
yang diisi mayat paling tua, artinya yang paling dulu ada di antara
yang tujuh itu. Nah, mayat yang paling tua ini disingkirkan dari
petak, dan tulang-tulangnya kadang masih ada sebagian isinya
digeletakkan begitu saja di luar petak-petak. Petaknya diisi
mayat baru.
237
Mayat baru ini diselimuti kain sukla, artinya kain yang belum
pernah dipakai sama sekali, kain yang baru dibeli dari toko. Hanya
kepala mayat yang dibiarkan tanpa tutup. Kemudian lingkaran
petak yang dibuat dari anyaman bambu itu diperbarui. Begitulah
tradisi penguburan mayat orang dewasa di Trunyan, tidak ditimbuni
tanah, cukup dibaringkan dan dikelilingi anyaman bambu yang
disebut ancak saji. Penguburan ini disebut mepasah.
Jadi, tengkorak-tengkorak dan tulang-tulang yang berserakan
di kuburan Trunyan adalah mayat tua yang petaknya digusur mayat
baru. Tengkorak itulah yang belakangan ini ditata oleh orang-orang
Trunyan, untuk disuguhkan kepada pelancong. Ada tengkorak yang
dikumpulkan di depan candi bentar, lalu ditaruh piring dan uang
receh di atasnya. Kadang ada asap dupa mengepul. Pengunjung
mengira, ada kewajiban menaruh uang receh di piring itu.

***

K.ETIKA saya meninggalkan kuburan Trunyan, Danau Ba-


tur masih berkabut dan hujan masih tetap rintik-rintik, bagaikan
mengetahui kedukaan saya. Saya sedih melihat penduduk Trunyan
seperti dimasukkan ke sebuah museum, dan bangunan museum
itulah yang dipugar, isinya tidak. Kenapa harus mengangkut ber-
zak-zak semen hanya untuk candi bentar, kori agung, dermaga,
lorong-lorong ke pura, suatu hal yang asing dalam kebudayaan
Trunyan? Kenapa tidak membantu irigasi agar perladangan di
Trunyan semakin baik, atau untuk pendidikan, atau membina
kesenian khas Trunyan? Kenapa menenun? Kenapa tidak subsidi
perahu motor untuk menyemarakkan wisatawan perairan danau,
atau mengembangkan budi daya ikan danau?
Tukang perahu yang kurus itu menggigil kedinginan, berselim-
utkan handuk kumal. Tiba-tiba ia bertanya, berapakah saya mem-
bayar carteran perahu ini. Saya katakan terus terang, Rp 20.000.
Tukang perahu pun menyumpah-nyumpah, karena ia hanya diberi
tahu Rp 17.500. Berceritalah si kurus dengan nada mengeluh dan
minta dikasihani. Bahwa dari sewa Rp 17.500 itu, masih dipotong
238
calo Rp 2.500. Kemudian membayar karcis kepada I Rarud itu
tetapi lewat calo Rp 2.500. Lalu untuk menyewa motor tempel
merk Yamaha, Rp 4.000. Berlabuh di dermaga Trunyan membayar
lagi Rp 2.500. Lalu dipotong bahan bakar, bensin sepuluh liter,
yang harganya Rp 500 per liter. Sisanya berapa, Pak? tanya
tukang perahu. Wah, saya tidak menghitung. Saya menyuruh
dia mengulangi sekali lagi semua pengeluarannya. Sisanya Rp
1.000, kata saya. Setengah hari cuma dapat seribu, risikonya
besar sekali, katanya setengah memelas.
Saya larut dengan penderitaan tukang perahu ini. Saya banyak
mendengar kisah pemerasan di tengah Danau Batur ini, sebuah
perahu yang dicarter turis, tiba-tiba dimatikan mesinnya, kalau
penumpangnya tidak menambah bayaran. Ketika saya merasakan
perahu terlalu oleng memang ombaknya masih besar saya
tiba-tiba jadi ngeri. Nanti di dermaga saya tambah ongkosnya,
sekarang tak ada uang kecil. Tapi yang aman, ya? kata saya kepada
tukang perahu. Dan janji itu saya laksanakan ketika mendarat di
dermaga Kedisan, setelah menukarkan uang ke warung makanan.
Wah . . . bapake ditipu, tak ada pungutan-pungutan sebesar itu,
paling untuk calo dan karcis saja, tapi tidak sebesar itu. Bensin
yang habis hanya enam liter. Bapake ditipu, tak ada tukang perahu
menyewa motor tempel, ini kata-kata pemilik warung sambil me-
nyerahkan sebungkus rokok dan uang kembali. Saya tak membeli
rokok, tetapi untuk menukarkan uang tanpa membeli apa-apa, tak
ada yang menerima.
Pemilik warung ternyata benar, ketika esoknya saya mampir
di Kantor Bupati Bangli, yang mewilayahi daerah pariwisata
Kintamani dan sekitar Danau Batur. Sudah ada tariff resmi paket
perjalanan ke Trunyan yang meliputi kuburan Trunyan ke Toy-
abungkah, yaitu besarnya Rp 15.000. Dan ini ditetapkan pemer-
intah setelah mengumpulkan para pemilik perahu. Dari harga itu,
tukang perahu memperoleh Rp 10.000, masuk ke kas Desa Kedisan
Rp 250, kas pemerintah daerah Rp 250, LLAJR Rp 100, biaya
keamanan hansip Rp 900, dan Rp 3.500 untuk pemandu wisata
yang mendampingi pengunjung dalam perjalanan itu. Saya tak
239
melihat peraturan itu selama di dermaga Kedisan. Apalagi melihat
pemandu wisata segala, kata saya. Jawaban yang saya terima dari
sang pejabat, memang klise, Barangkali kebetulan hari itu tidak
ada, karena hujan.
Yang mana harus saya percayai? Di Danau Batur, di Kedisan,
di Trunyan, kejujuran itu terlalu mahal.

240
XV
Kasus
Kepariwisataan
di Desa Kuno
Tenganan

Kecemasan dari Desa


Ki Patih Tunjung Biru

R
AJA Bedahulu kehilangan seekor kuda yang sangat di-
sayanginya. Semua pepatih diperintahkan mencari, di
mana kuda itu ngumpet. Ke segala arah orang disebar. Ki
Patih Tunjung Biru mencarinya ke arah timur. Ia mengajak serta
beberapa penduduk dari Paneges sebuah desa pinggir laut yang
lahan pertaniannya terkikis air samudra.
Rombongan ini yang berhasil. Kuda kerajaan ditemukan di
sebuah hutan lebat yang dikelilingi bukit-bukit kecil. Namun,
sangat menyedihkan, kuda yang dikeramatkan itu tergeletak mati.
Tidak diketahui sebab-sebabnya. Tak ada bekas luka, tak ada
tanda penyakit. Ketika Raja Bedahulu dilapori kematian binatang
kesayangannya itu, beliau menjadi murung. Seorang raja tentu tak
boleh murung berkepanjangan. Maka, dia memerintahkan Ki Patih
Tunjung Biru menjaga bangkai kuda yang telah membusuk itu. Ki
Patih diperbolehkan membangun perkampungan dan mengajak
241
serta orang Paneges yang dibawanya. Hanya saja luas perkampun-
gan, sejauh bau busuk kuda itu tercium.
Ki Patih Tunjung Biru bukanlah orang bodoh. Bangkai kuda
itu pun dipotong-potongnya, dan potongan itu dilempar ke segenap
penjuru. Dengan kelicikan itu, semakin luaslah bau busuk tercium.
Perkampungan yang dibangun Ki Patih bersama pengikutnya
menjadi lebih memenuhi syarat.
Daerah berbukit yang menjadi luas itu kemudian dibagi tiga:
wilayah perkampungan, daerah hutan lindung, dan kawasan
pertanian. Di wilayah perkampungan, dibuat petak-petak karang
(kapling) untuk perumahan yang sama besarnya. Bentuk-bentuk
rumah yang akan dibangun pun diseragamkan. Tak ada yang lebih
besar, tak ada yang lebih kecil.
Begitu pula hutan lindung yang mengelilingi perkampungan
itu ditetapkan milik bersama, milik adat. Semua hasilnya tak boleh
dimiliki secara pribadi. Hanya di daerah pertanian tanah dibagi-
bagi, tetapi itu pun hanya untuk pengolahannya saja, tanah tetap
tak bisa dimiliki secara pribadi. Kawasan itu hidup berkembang
dan subur. Ki Patih Tunjung Biru, bekas patih Kerajaan Bedahulu
sisa-sisa kerajaan itu masih berbekas di sebelah timur Goa
Gajah, Kabupaten Gianyar memimpin di kawasan baru itu. Ia
tidak mcnyebut dirinya raja, tidak mengenakan gelar baru, bahkan
tidak menyebut dirinya pemimpin.
Wilayah kekuasaan Ki Patih Tunjung Biru itu sekarang ber-
nama Tenganan. Lebih tepat disebut Desa Adat Tenganan Pegrings-
ingan tambahan pegringsingan berasal dari kata gringsing, nama
kain tenun khas Tenganan. Nama Tenganan Pegringsingan hanya
untuk membedakan dengan Desa Tenganan secara administratif
pemerintahan, karena secara administratif Kelurahan Tenganan
juga mewilayahi desa lain yang tidak memiliki kekhasan seperti
Tenganan Pegringsingan.
Desa Adat Tenganan Pegringsingan selanjutnya disebut
Tenganan saja sebuah desa kuno yang sampai sekarang ini tetap
memelihara tempat-tempat suci, pemujaan, dan adat istiadat yang
berasal dari zaman megalithic. Tempat pemujaan itu berkaitan
242
dengan mitologi kuda yang ditemukan Ki Patih Tunjung Biru.
Di bukit bagian utara Tenganan, terdapat candi (monolit) yang
menggambarkan kemaluan kuda berdiri tegak. Masyarakat Ten-
ganan menyebutnya kaki dukun. Menurut kepercayaan setempat,
kalau ada pasangan suami istri mandul, boleh datang ke tempat
ini untuk memohon anak.
Tak jauh dari sini, ada bentuk monolit terbesar, yang diberi
nama batu taikik. Ini dianggap sebagai bekas cercahan isi perut
kuda. Tempat ini disucikan untuk pemujaan memohon kemakmu-
ran di wilayah itu. Lalu ada onggokan batu-batu kali yang tersusun
sedemikian rupa, yang dipercayai penduduk Tenganan sebagai
bekas kepala kuda. Ini disebut rambut pule.
Di bukit sebelah barat, namanya bukit Papuhun, ada pening-
galan yang dipercayai sebagai bekas paha kuda, disebut penimba-
lan. Di sini sering dilangsungkan upacara yang berkaitan dengan
masalah teruna masa keremajaan seorang lelaki. Sedang tempat
kuda itu pertama kali ditemukan tergeletak, disebut batujaran.
Lokasinya di bukit barat laut.
Keunikan yang langsung bisa ditatap dengan mata telanjang di
Tenganan 65 km sebelah timur Denpasar adalah pola mene-
tap masyarakat, yakni perkampungan itu sendiri. Perkampungan
dikelilingi tembok, bak benteng pertahanan untuk menghadapi se-
rangan musuh. Pengunjung memasuki Tenganan dari arah selatan,
dari Desa Pasedahan. Di mulut Tenganan tidak ada candi bentar
di sini pengunjung langsung berada di sebuah jalan kampung
yang lebarnya sekitar 50 meter, jalan tanah yang membelah dua
leret pekarangan rumah. Jalan seperti ini oleh masyarakat Tenganan
disebut awangan. Awangan ini berundak-undak, ke utara semakin
meninggi. Jalan besar ini juga berfungsi sebagai pekarangan tiap
rumah yang berhadap-hadapan. Batas awangan adalah selokan air
yang selalu terpelihara baik, di musim hujan ataupun kemarau.
Ada tiga awangan di perkampungan ini, semuanya membujur
utaraselatan dan selalu di bagian utara meninggi. Inilah yang
membuat perkampungan itu rapi, mirip penataan rumah-rumah
yang dibuat Perumnas, seragam dan berpetak-petak lurus. Ketiga
243
awangan itu: awangan barat, awangan tengah,dan awangan timur.
Awangan tengah dan timur lebih keeil, sekitar separuh lebar awa-
ngan barat. Masalahnya, di barat itu pusat keramaian, apakah itu
keramaian adat atau keramaian yang bersifat nasional misalnya
perayaan 17 Agustus dan juga menjadi pusat kunjungan turis
yang dilengkapi beberapa kios minuman dan toko kerajinan.
Satu kapling perumahan ditempati oleh satu kepala keluarga.
Luas petak itu sama besar, bangunannya juga mempunyai bentuk
yang sama, dan bahan yang sama pula, kecuali untuk bangunan
bale melon (tempat tidur utama) dan paon (dapur) yang boleh
dibuat sesuai dengan kemauan dan kemampuan kepala keluarga
bersangkutan, asal tidak menyerobot bagian petak orang lain.
Selain kedua bangunan itu, ada bale bunga, yakni tempat upacara-
upacara keluarga, dan juga dipakai tempat tidur bagi orang-orang
tua menginjak umur tertentu.
Kemudian bale tengah, sebuah bangunan bertingkat. Bagian
atas berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan padi dan ha-
sil pertanian lainnya, bagian bawah untuk ruang duduk, tempat
menerima tamu, dan juga untuk tidur. Bagian bawah ini hanya
berdinding papan. Paon yang boleh disesuaikan bentuknya itu
biasanya memiliki tiga ruangan, memanjang di belakang bangu-
nan-bangunan tadi. Di sana ada tempat menumbuk padi, tempat
memasak, dan tempat menyimpan peralatan sehari-hari, misalnya:
cangkul, sabit, dan lesung. Di belakang ini ada tebe, yaitu sebuah
pekarangan tanpa bangunan yang biasanya diisi tanaman bunga,
sebagian untuk mengandangkan babi peliharaan, sebagian lagi
untuk membuang sampah. Dalam satu kapling itu, tentu saja ada
sanggah (pura kecil untuk persembahyangan keluarga).
Yang menarik, selain pembagian kapling yang sama luas, satu
kapling hanya ada satu pintu keluar, dan semuanya menghadap ke
awangan. Pintu itu biasa saja, bukan candi bentar. Jadi, pengun-
jung punya kesan sebagai sebuah perkampungan yang tertutup,
dan kelihatan supek. Padahal, kalau dimasuki satu kapling itu,
ada bangunan bagus-bagus di dalamnya, dan tidak sesempit yang
di-bayangkan dari luar.
244
Di Tenganan berlaku sistem pola menetap terpisah. Artinya,
setiap terjadi keluarga baru, mereka harus memisahkan diri dari
keluarga induknya. Keluarga baru ini berhak menempati satu
kapling yang disediakan oleh desa. Imbalannya, keluarga baru
itu diwajibkan memikul beban-beban adat. Apakah kapling desa
tidak penuh, karena pertambahan penduduk? Ternyata, tidak, atau
sampai triwulan pertama 1986 ini, belum. Rupanya, sejak dulu
pemimpin adat di sana mempersiapkan kapling-kapling cadangan
yang dibiarkan kosong.
Sebuah penelitian menyebutkan, tidak adanya problem pe-
rumahan itu karena perkembangan penduduk Tenganan tidak
melonjak sedrastis penduduk di desa lain. Artinya, pola keluarga
kecil di sini sudah ditanamkan sejak dulu, jauh sebelum pemer-
intah meneriakkan soal keluarga berencana. Hal lain lagi sebagai
penyebab, penduduk Tenganan yang mencari pekerjaan di luar
desanya dalam bentuk permanen misalnya menjadi pegawai
negeri yang bertugas di tempat jauh wajib mengembalikan
kapling perumahannya yang diperoleh dari desa. Sebagai imbalan,
mereka dibebaskan dari kewajiban adat. Namun, kalau ada upa-
cara di desa itu, keluarga jauh itu boleh hadir secara adat untuk
mengikuti upacara agama. Ikatan batin tetap harmonis, ikatan adat
telah terputus.
Banyak terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Bali.
Demikian pula pola menetap masyarakat Bali umumnya dalam
bentuk pembagian-pembagian bangunan dalam satu kompleks
rumah, banyak berubah. Tetapi di Tenganan, hal itu tidak terjadi.
Mereka tetap mempertahankan pola yang telah diwarisi bertahun-
tahun. Kalaupun mereka membangun bale meten secara permanen
disesuaikan dengan kebutuhan sekarang, mereka tak akan men-
gotak-atik bagian bangunan yang lain, apalagi sampai menjamah
tembok keliling kaplingnya itu. Lagi pula, ada kebiasaan, mereka
membangun tidak jor-joran, ada tenggang rasa yang kuat.
Penduduk Tenganan bukanlah penduduk yang ketinggalan
zaman, daerah ini pun bukan daerah terisolasi jauh lebih ter-
buka dibandingkan Desa Trunyan. Memang, sebagian besar mata
245
pencarian penduduk bertani, tetapi sudah banyak intelektual
muncul dari desa ini: pegawai negeri, mahasiswa, sarjana. Mereka
inilah yang justru tetap konsisten mempertahankan adat seperti itu.
Wabah pariwisata, yang menghendaki segalanya serba mewah,
indah, dan gemerlapan, tak mampu menembus desa yang masih
bertahan dengan keasliannya ini. Sentuhan pariwisata di Tenganan
tidak sampai mengalahkan obyeknya.

***

KALAU sejarah Desa Tenganan ini benar sesuai dengan


mitologi yang hingga sekarang diyakini masyarakat berasal dari Ki
Patih Tunjung Biru serta pengikutnya, maka warga Tenganan sudah
penganut Hindu sejak awal. Kerajaan Bedahulu sudah merupakan
kerajaan Hindu. Barangkali itu sebabnya, ketika Kerajaan Gelgel
menjadi maharaja di Bali dan menguasai raja-raja kecil, tidak ada
niat lagi menghindukan Tenganan, dalam pengertian menyer-
agamkan upacara dan tata kebudayaan keagamaan. Pada akhirnya,
bukan saja upacara keagamaan dan kebudayaan Tenganan tetap
lestari, pengaruh kasta-kasta pun tidak masuk ke wilayah ini.
Masyarakat Tenganan tidak mengenal pembagian kasta seperti
yang terjadi di luar Tenganan, betapapun kasta itu salah kaprah.
Padahal, masyarakat Tenganan pun bisa dikelompok-kelompokkan
sesuai dengan fungsi sosialnya di masyarakat, sebagai cikal bakal
lahirnya kasta yang ternyata kemudian bertentangan dengan
ajaran Hindu itu. Tunjung Biru tetap bergelar Ki Patih, jabatan
yang dibawanya dari Bedahulu. Tidak menggantinya dengan Anak
Agung fungsi sosial karena ia pemimpin dan pengikutnya,
plus anak-pinaknya kemudian hari, tak juga memakai nama-nama
gelar sesuai dengan fungsi sosial leluhurnya itu.
Jika dicari kelompok kekerabatan orang Tenganan, bisa di-
golongkan dari asal-usul keturunannya, yakni dari anak-pinak
para pengikut Ki Patih Tunjung Biru. Kelompok atau golongan
yang pernah dikenal di Tenganan itu ada sepuluh buah: sanghyang,
ngijeng, batu guling, batu guling maga, embak buluh, prajurit,
246
pande emas, pande besi, pasek, dan bendesa. Menurut tetua Desa
Tenganan, golongan pasek termasuk pendatang baru, bukan dari
pengikut Ki Patih Tunjung Biru.
Sekarang ini, beberapa dari kelompok itu telah punah, ada
yang keluar dari Tenganan dan tidak kembali-kembali, ada pula
yang putung tidak punya keturunan. Yang tinggal sekarang
ini: sanghyang, ngijeng, batu guling, embak buluh, prajurit, dan
bendesa. Untuk pimpinan upacara keagamaan, biasanya dipilih
dari kelompok sanghyang.
Tak pernah terdengar ada kasus keagamaan akibat campur
tangan pihak luar. Tak ada upacara keagamaan di Tenganan yang
dipimpin pendeta Hindu yang diimpor dari desa lain. Lagi pula,
kalaupun ada paksaan, apa mungkin pendeta Hindu luar Tenganan
memimpin upacara di sana? Upacara dan adat di Tenganan lain.
Bahkan penanggalan dan pedewasaan (menentukan hari baik dan
hari buruk untuk upacara keagamaan) di Tenganan berbeda dengan
yang berlaku di luar desa itu.
Mereka tetap membagi tahun dengan 12 bulan (sasih), dan
nama-nama bulan itu pun sama. Yakni: kasa, karo, ketiga, kapat,
kelima, kanem, kepitu, kewolu, kesanga, kedasa, desta, dan sada.
Tetapi kasa di Tenganan belum tentu kasa di Bali non-Tenganan.
Kalau di luar Tenganan pedewasaan umumnya didasarkan kepada
perhitungan Triwara (pasah, beteng dan kajeng) dan pancawara
(umanis di Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) maka di
Tenganan hal itu tidak berlaku. Mereka punya sistem sendiri,
berdasarkan peredaran bulan di langit (bulan mati dan bulan
purnama). Karena itu, jika pun orang-orang Tenganan memasang
kalender yang disusun I Ketut Bambang Gde Rawi di rumahnya,
fungsi kalender itu sama saja dengan kalender yang bergambar
Rhoma Irama.
Setiap sasih di Tenganan ada upacara keagamaan ini tentu
beda sekali dengan di Bali umumnya. Pada sasih kasa, ada upacara
ngusaha kasa. Upacara ini dilakukan di Bale Agung, ditujukan
kepada Bethara Dharma. (Nah, nama dewa di Tenganan tidak
dikutak-katik dan tidak diseragamkan dengan dewa Hindu yang
247
berlaku di Bali, seperti yang berhasil masuk secara dipaksakan
di Trunyan). Upacara untuk Bethara Dharma ini berlangsung se-
lama tujuh hari. Pada upacara inilah ada tari rejang abuang tari
pergaulan muda-mudi Tenganan yang khas itu.
Pada sasih karo, ada upacara yang dinamai neduh, dilaksanakan
di Pura Besaka dan di tempat suci Pakuwon. Upacara ini bertujuan
memohon restu kepada Yang Mahakuasa untuk menghilangkan
hama di sawah dan di ladang. Intinya adalah mohon kemakmuran.
Di Pura Besaka, upacaranya dilakukan oleh orang laki, dan di
Pakuwon khusus untuk wanita.
Pada sasih ketiga, ada dua jenis upacara, yaitu mebabi barak
yang dilakukan di Bale Agung. Ini upacara untuk menentukan se-
cara adat pergeseran anggota desa. Siapa yang sudah membentuk
keluarga baru dan berhak dapat kapling perumahan, siapa yang
meninggalkan desa, diresmikan secara adat dan agama. Walaupun
tidak ada pergeseran, upacara tetap diadakan secara simbotis. Upa-
cara yang satu lagi, metail, dilakukan di Bale Banjar. Ini khusus
untuk anggota masyarakat lelaki, berupa sangkep rapat adat
selama tiga kali berturut-turut.
Di sasih kapat, ada upacara yang disebut mesanggah jumu, ini
berlangsung di Bale Agung juga. Dalam upacara ini ada kepercay-
aan unik, yakni ada rapat adat tempat dua orang lelaki selalu ber-
teriak: kaki kilap . . . kaki kilap ... (ia mengundang petir). Menurut
orang sana, upacara ini semacam mengundang datangnya hujan,
menjelang musim tanam.
Pada sasih kepitu, upacaranya disebut mesanggah tengah yang
pelaksanaannya juga di Bale Agung. Sasih kawolu, upacara dise-
but mesanggah gedebong. Upacara ini dilakukan di Pura Gaduh,
memohon perlindungan dan kemakmuran juga. Pada sasih kesanga
ada lagi upacara membabi barak, sama dengan sasih ketiga. Lalu
sasih kedasa ada juga jadwal upacara mebabi barak itu, hanya
saja bedanya kali ini ada balai khusus untuk tempat sesajen. Lebih
dari sekali upacara mebabi barak dalam setahun agaknya memberi
kesempatan kepada keluarga baru untuk segera diresmikan dan
mendapat hak tanah perumahan. Artinya, betapa pentingnya dan
248
dihormatinya hak-hak desa itu bagi masyarakat Tenganan.
Pada sasih desta, upacaranya dilangsungkan di Pura Du-
lunswarga. Dulu, upacara ini hanya dilangsungkan oleh golon-
gan bendesa, tetapi belakangan dilakukan oleh seluruh warga
tanpa peduli golongan. Dan terakhir, di sasih sada, ada upacara di
Dalemjero yang ditujukan kepada Ki Patih Tunjung Biru. Tentulah
upacara ini adalah mengenang dan menghormati leluhur orang
Tenganan.
Jangan dibayangkan upacara-upacara itu berlangsung meriah,
besar-besaran, dan hura-hura. Kecuali upacara di sasih kasa dan
sasih kelima yang ada rejang abuang dan mekare-kare. Upacara
lain yang rutin itu tak lebih dari sarana pertemuan antarwarga.
Barangkali bentuk lain dari arisan rukun tetangga di perumahan-
perumahan yang dibangun dengan fasilitas kredit BTN.
Rejang abuang dan mekare-kare inilah yang menarik pelan-
cong ke Tenganan. Rejang abuang itu, menurut kalender inter-
nasional, terjadi sekitar bulan Februari. Semua remaja Tenganan
turun dengan busana khas mereka, berkain gringsing kain khas
inilah yang menyebabkan Desa Adat Tenganan disebut Tenganan
Pegringsingan. Di kepala remaja putri (daha) bertengger bunga
yang terbuat dari emas. Selain memakai kain gringsing, mereka
juga memakai selendang gringsing, yang tentu saja motifnya
berbeda. Bagi keluarga yang kaya, dijari remaja putri itu berteng-
ger cincin permata yang mahal-mahal. Di tangannya melingkar
gelang emas.
Remaja putra (truna) juga memakai kain gringsing. Mereka
menyelipkan keris yang gagangnya bertatahkan emas. Baik daha
maupun truna tidak memakai baju. Truna memakai kain (kemben)
persis di bawah ketiak. Untuk daha cara memakai kemben seperti
biasa, tetapi ada setagen yang melilit sampai di bawah ketiaknya.
Setagen ini dilapisi kain gringsing yang motif dan warnanya ber-
beda dengan kain yang diakai.
Rejang abuang adalah tari pergaulan. Geraknya mirip tari
serampang dua belas, bahkan lebih pelan. Sungguh, tari ini tidak
mencerminkan tari Bali yang umum dikenal selama ini, agresif dan
249
lincah. Rejang abuang lemah gemulai, tangan lebih banyak mekar,
ya, semacam jaipongan tetapi tanpa gerak pinggul. Pada mulanya,
para daha yang turun menari berkelompok. Para truna duduk men-
gamat-amati. Jika ada tanda para daha memanggil truna, remaja
putra ini pun langsung menari, memilih pasangan masing-masing.
Bagi mereka yang sudah berpacaran, tentu saja langsung mencari
pacarnya. Bagi yang belum punya pacar, biasanya malu-malu.
Saling melihat situasi, takut-takut jangan-jangan ada yang punya.
Biasanya anak-anak dan orang-orang tua mendorong-dorong
pemuda-pemuda yang malu-malu itu, sambil mengatakan: si gadis
belum ada yang punya. Ketawa berderai.
Tari ini bersifat keagamaan (atau adat) dan bukan satu-satunya
sarana untuk mencari jodoh. Sekali lagi, orang-orang Tenganan
bukan orang terisolasi. Para remaja itu mungkin sudah mengenal
adat pacaran di sekolahnya masing-masing, seperti para remaja
di kota.
Atraksi yang paling banyak diserbu pelancong adalah perang
pandan atau mekare-kare. Ini pada sasih kelima versi Tenganan
atau sekitar Juni-Juli, pada upacara ngusaba sambah. Menurut adat,
hanyalah para truna yang melakukan perang dengan bersenjatakan
seikat tangkai pandan yang berduri itu. Namun, karena adanya
semangat meramaikan pesta, orang tua dan anak-anak kecil ikut
melakukan duel tapi cuma untuk lelaki.
Ini duel, memang. Masing-masing membawa seikat pandan
penuh duri sepanjang kira-kira 30 cm. Hanya pada bagian yang
dipegang saja, duri itu dihilangkan. Tangan kanan pegang senjata,
tangan kiri memegang tamiang tameng bundar yang dibuat dari
anyaman bambu yang dihias, berfungsi sebagai penangkal.
Diiringi tetabuhan suci dari gamelan selonding hanya ada di
Tenganan dua petarung siap di sebuah lingkaran yang dikelilingi
pcnonton. Ada juri yang mengawasi pertandingan ini, mencegah
terjadinya pergumulan. Jika seseorang sudah terkena duri pandan
lawannya, dan darah mengucur, pertandingan dihentikan juri. Tak
ada kesempatan membalas. Lelaki yang menjadi juri tak punya
kekuatan magis, seperti pawang debus, misalnya. Ia lelaki biasa
250
saja.
Yang menjadi sasaran dalam perang landing ini, anggota badan
di atas pusar, kecuali muka. Sasaran yang biasanya dicari punggung
lawan. Untuk menyerang dada tentu sulit, karena ada tamiang itu,
Tentu saja, para kesatria yang melakukan duel ini bertelanjang
dada. Mereka mengenakan kain yang dililitkan ke belakang.
Sakitkah terkena duri pandan? Tentu! Tak ada istilah orang
kebal di desa ini. Juga tak ada istilah ilmu hitam. Yang terkena duri,
dan lukanya mengucurkan darah, tentu meringis menahan sakit.
Tapi, ada obat yang disediakan. Setelah luka diperiksa, barangkali
ada duri pandan yang melekat, luka itu diberi obat tradisional,
berupa boreh (ramuan) dari isen dan kunir yang diparut halus, dan
ditambah cuka. Begitu luka diberi ramuan, penderita akan merin-
gis lebih keras, karena rasanya semakin perih. Namun, tak lama,
perih hilang, luka pun cepat kering. Tak ada lelaki Tenganan yang
punggungnya ada bekas luka akibat perang pandan.
Tak ada penjelasan yang cukup bisa dipegang dari tetua Desa
Tenganan, apa makna upacara ini dari segi agama. Mereka sudah
mendapatkan kebudayaan itu secara turun-temurun. Mereka tak
menemukan asal-usulnya, tetapi karena kebudayaan itu tidak
merugikan, dan malah bisa berfungsi sebagai hiburan, mereka
tinggal meneruskannya. (Ini bedanya dengan orang Trunyan.
Jika orang Trunyan ditanyai keanehan-keanehan di desanya,
mereka akan selalu mencari-cari jawaban, yang akibatnya justru
membuat kesimpangsiuran karena ada berbagai versi). Menurut
dugaan sekali lagi dugaan Drs. I Gusti Putu Darsana, yang
menghasilkan skripsi kesarjanaan dari desa ini, perang pandan
itu kemungkinan semacam tabuh rah di desa lainnya. Tabuh rah,
dalam kaitan upacara mecaru, adalah bentuk pengorbanan suci
yang mengucurkan darah binatang, untuk menjaga keharmonisan
alam semesta.
***

SEMUA adat, semua kebudayaan, masih hidup di Tenganan.


Siapa yang berani memetik buah di hutan lindung yang mengelilingi
251
desa itu didenda secara adat. Menurut I Wayan Mudita Adnyana,
memetik satu buah durian dendanya 25 kg beras. Hutan lindung
milik desa adat itu penuh dengan buah-buahan: durian, nangka,
mangga, kemiri, enau, pisang, dan macam-macam lagi. Pohon kayu
di hutan ini sama sekali tak boleh ditebang, bagaimanapun tua dan
keringnya. Tetapi, kalau ranting sudah lepas dari dahan, buah sudah
jatuh dari pohon, siapa saja boleh mengambilnya. Pemandangan
setiap pagi membuktikan, banyak anak-anak kecil yang berada
di hutan lindung, mencari buah kemiri yang jatuh. Hutan inilah
yang berkali-kali dipuji Menteri KLH Prof. Dr. Emil Salim, karena
hutan diawasi secara adat dan setiap orang di desa adat itu bisa
bertindak sebagai polisi: menangkap dan menyerahkannya kepada
pimpinan desa adat.
Sentuhan pariwisata memang tak menyingkirkan adat dan
kebudayaan orang Tenganan. Tetapi tidaklah berarti, sentuhan ini
tak membekas dalam kecemasan. Seorang tua di Tenganan, I Gde
Mangku Wayan Widia, mencemaskan satu hal: punahnya kain
gringsing.
Kepunahan itu disebabkan mulai jarangnya ada pembuatan
kain gringsing belakangan ini. Ketika saya berjalan-jalan di Desa
Tenganan akhir Januari 1986, tak seorang pun yang sedang mene-
nun kain gringsing. Proses pembuatan kain tenun itu sangat rumit,
bertele-tele, dan dilihat dari kemajuan zaman tidak praktis.
Untuk scbuah kain yang bisa dililitkan di tubuh, diperlukan proses
sekitar sepuluh tahun. Bayangkan! Dibuat dari kapas Bali tana-
man kapas Bali sendiri sudah mulai langka kemudian dipintal
menjadi benang, lalu dibalut untuk mendapatkan motif-motif yang
dikehendaki, dan dicelup untuk memperoleh warna-warna tertentu.
Pewarnaan itu sendiri menggunakan warna alam. Misalnya, warna
merah dibuat dari ramuan babakan kayu sunti, pohon yang hanya
bisa tumbuh di Nusa Penida. Warna hitam dibuat dari ramuan
rumput laut, yang hidup di Bugbug, sekitar Karangasem. Warna
kuning dari minyak kemiri. Mencelup-celupkan untuk mendapat-
kan warna sejati inilah yang bertahun-tahun.
Dalam kepustakaan Wayan Widia, dikenal sebelas motif kain
252
gringsing, yaitu: pepare, kebo, lubeng, pat likur, pedang dasa, putri,
sesempakan, semplang, cawet, anteng, dan pat likur isi. Sekarang
tidak semua motif ini ada di Desa Tenganan. Bahkan, diperkirakan
tidak setiap keluarga masih menyimpan gringsing. Lho, pada
kcmana? Nah, inilah kecemasan Wayan Widia. Ia menunjuk dua
kios yang menjual barang kerajinan di Tenganan. Kedua kios itu
menjual kain gringsing.
Harga kain gringsing yang dijual sebagai souvenir Tenganan
itu memang sulit dijangkau kebanyakan orang. Sebuah selendang
ukuran 30 X 150 cm, yang warnanya sudah lusuh penuh tambalan
saking tuanya punya harga Rp 250.000. Adapun kain gring-
sing yang tanpa tambalan, tetapi warna sudah tak keruan, punya
harga Rp 10 juta selembar. Ada saja pembelinya, mengherankan.
Memang, kain gringsing yang dijual itu diperkirakan yang sudah
tak bisa dipakai lagi oleh pemiliknya, tua dan khawatir robek saat
dipakai. Tetapi, bagi Wayan Widia, ini kecemasan yang sudah
sangat merisaukan. Berarti, sebagian masyarakat Tenganan ter-
goda untuk menjual harta miliknya yang sangat erat kaitannya
dengan kesucian. Ia memberi alasan, kain gringsing adalah kain
wajib untuk dipakai para daha dan truna dalam upacara rejang
abuang.
Kecemasan ini ia kaitkan dengan kecemasan lain. Kalau
gringsing mulai dijual, bagaimana jika nantinya alat-alat suci juga
dijual? la menyebutkan alat-alat yang dimaksud, misalnya tumbak
(tombak), lamiang, lokan (lampu minyak kelapa dalam upacara
sambah), dan banyak lagi yang lain. Namun, kecemasan terakhir ini
tidak merisaukan pemilik kios kerajinan. Benda-benda itu kecil,
buat saja duplikatnya yang tidak suci. Malah bisa mendatangkan
mata pencarian baru, katanya.
Memang, kalau diperhatikan mereka yang menawar kain gring-
sing, baik turis asing maupun domestik yang berduit, semuanya
bermaksud membawa kenang-kenangan bahwa ia telah mengun-
jungi Tenganan. Soal harga, urusan kedua. Soalnya, tidak ada ke-
nangan lain yang bisa dibawa selain gringsing yang terkenal itu.
Menjadi pertanyaan sebenarnya, kenapa penduduk Tenganan
253
tidak tergerak untuk membuat barang souvenir lebih kecil seperti
tamiang, tombak, lokan. Pertanyaan ini harus dipikirkan untuk
perlu tidaknya dilontarkan, karena sebenarnya masyarakat Ten-
ganan yang agraris itu tak peduli dengan turis yang berkunjung
ke desanya. Para turis, walaupun diperlakukan sebagai tamu, tak
pernah dimintai apa-apa, sumbangan uang, misalnya. Penduduk
Tenganan tetap bekerja seperti biasa, menyapu halaman setiap
pagi, membersihkan tembok pekarangan setiap datang upacara ke-
agamaan. Mereka tak akan memasang umbul-umbul atau mengecat
tembok rumahnya karena diperintah pemerintah atau biro perjala-
nan karena ada grup turis. Kalaupun mereka menenun gringsing,
mereka mengerjakan di petak rumahnya, terhalang tembok dilihat
dari awangan. Orang Tenganan selalu bersikap dan berbuat tanpa
ada niat pamer.
Ataukah pihak-pihak yang menangani pariwisata tidak mampu,
menjejakkan pengaruhnya di Tenganan? Dan, mereka kalah dari
pengaruh yang sudah ditanamkan Ki Patih Tunjung Biru? Waktu
terus bergulir, sepuluh tahun lagi saya ingin menyaksikan

254
XVI

Ashram Hindu
Gerakkan
Dunia Wisata
Candi Dasa

Nyonya Gedong Bagus


Oka, Good Night
Candi Dasa, di bulan Oktober 1977,
tanggal dan harinya lupa.

B
US jurusan Amlapura Denpasar yang saya tumpangi
berhenti di depan pura Candi Dasa. Suasana sepi. Kolam
di depan pura kelihatan kotor. Rumput-rumput tidak ter-
awat. Semak meninggi. Air kolam pun keruh. Di pantai ombak
bergemuruh.
Pura Candi Dasa dibangun pada tahun Caka 1112 (tahun 1190
M) oleh Raja Jayapangus Arkajalancana. Bangunan meninggi itu,
yang sekaligus sebagai pelindung tebing bukit, di beberapa bagian
terlihat longsor. Tempat suci yang merana, sementara lalu lintas di
depannya begitu padat.
Di sisi jalan raya, kawasan ini lengang. Kebun kelapa, yang
menjorok sampai ke pinggir pantai, seperti tidak ada yang memi-

255
liki. Tak ada manusia yang kelihatan di antara pohon-pohon itu.
Saya melangkah terus ke arah barat. Beruntung, seorang lelaki
tanpa mengenakan baju, bercelana pendek kumal, dan membawa
sabit, muncul dari kebun. Saya segera menghampiri.
Bapak tahu di mana tempat ashram di sini? tanya saya.
Ashram? Apa itu ashram?
Ashram tempatnya Ibu Gedong.
Tidak, tidak . . ., lelaki itu berkali-kali menggeleng.
Mobil lewat, tetapi tidak berhenti. Saya berjalan lagi. Dua
sepeda motor lewat, juga tak berhenti. Saya terus berjalan. Ternya-
ta, di timur jalan raya, ada sebuah rumah. Kelihatannya seperti
warung yang tutup. Saya menuju bangunan itu. Dan, kebetulan,
ketika saya berada di depan rumah itu, seorang ibu dengan dua
anaknya muncul dari balik pintu.
Bu, tahu di mana tempat ashram di sini?
Ashram, ashram?
Tempat Bu Gedong mendirikan pondok untuk sekolahan
itu.
Ibu Gedong Oka?
Ya, Ibu Gedong Oka.
Dosen?
Ya, dosen.
Ya, ini, jalannya di sebelah ini. Terus ke belakang sampai ada
bangunan, di sana ada muridnya.
Dengan langkah gembira saya menyusuri jalan yang agak le-
bar itu. Di kerindangan pohon nyiur, terdapat beberapa bangunan
beratap ilalang. Pada pinggir-pinggir bangunan mungil, ditanami
bunga warna-warni. Bangunan sederhana, orang-orang menyebut-
nya pondok. Tidak ada tulisan yang menunjukkan bahwa pondok-
pondok itu adalah ashram. Dari bangunan yang paling dekat dengan
jalan, hanya terlihat gambar besar Mahatma Gandhi.
Seorang lelaki yang sedang menyapu halaman mendekati
saya.
Permisi, apakah di sini ashram Ibu Gedong? tanya saya
mendahului.
256
Betul. Silakan naik.
Saya membuka sepatu, naik ke lantai bangunan yang memang
dibuat lebih tinggi dari jalan. Ada kursi kayu berderet, kursi yang
sangat sederhana. Meja di tengahnya juga sederhana. Lantai ban-
gunan ini hanya disemen biasa.
Bapak ingin melihat-lihat ashram?
Ya, kalau bisa, juga ingin bertemu Ibu.
Ibu tidak ada, beliau di Denpasar. Hari Kamis, Ibu datang ke
sini. Di Denpasar, Ibu mengajar hari Senin sampai Rabu.
Saya memang tak mengadakan perjanjian. Kedatangan saya
ke Candi Dasa ini pun tak direncanakan sebelumnya. Tiba-tiba
ingin begitu saja dan memutuskan turun mdi sini sepulang dari
tugas di Amiapura.
Diantar lelaki itu, saya berkeliling di ashram. Tidak banyak
yang bisa dilihat, kecuali beberapa bangunan sederhana, dan pantai
yang semakin terkikis gelombang ganas. Di luar kompleks ashram
itu, kebun kelapa yang sepi. Pemiliknya, entah berumah di mana,
mungkin di Desa Bugbug, desa terdekat. Candi Dasa, kawasan
yang lengang. Ashram itu tak banyak diketahui orang.

***

Candi Dasa, 20 Januari 1986, sore hari.


JALAN raya yang membelah kawasan itu begitu ramai. Mobil
tak henti-henti menurunkan atau menaikkan penumpang. Sepeda
motor berseliweran. Timbunan pasir ada di mana-mana. Orang
lalu lalang pun begitu banyak. Di antaranya, turis asing dengan
pakaiannya yang khas, bercelana pendek dan berkaus oblong.
Candi Dasa telah berubah. Pohon-pohon kelapa, yang dulu
kesepian, sudah banyak yang tumbang. Diganti rumah-rumah
penginapan yang kecil mungil. Di pinggir jalan, rumah makan
bertebaran. Ada yang berdiri sendiri, ada yang langsung menjadi
bagian dari rumah penginapan di belakangnya. Semua menu di
situ ditulis dengan bahasa Inggris. Masakannya pun disesuaikan
dengan lidah Barat.
257
Musik disko pasti dari kaset menggelegar dari sebuah
rumah makan yang berhalaman luas, yang pada bagian luarnya
diberi sekat anyaman bambu. Apa yang dilakukan pengunjung
di halaman dalam rumah makan itu tak terlihat dari jalan raya.
Kawasan ini telah hidup menjadi perkampungan turis yang ramai.
Sejak tiga tahun lalu, kata orang-orang di sana, yang sedang mem-
bangun rumah penginapan. Memang, masih banyak yang akan
membangun rumah penginapan.
Pura Candi Dasa berubah jadi anggun. Tidak ada bagian yang
longsor lagi. Semuanya disemen halus. Bahkan, bagian luar, per-
sis di pinggir jalan, ada tembok khas Bali yang berukir. Di pintu
gerbangnya, siap seorang perempuan. Setiap kendaraan berhenti
di depan pintu gerbang itu. Kernetnya turun memberi sesajen, dan
perempuan itu meletakkan sesajen di sanggah yang ada di pintu
gerbang. Di dalam sesajen itu, pastilah ditaruh uang receh, Rp 50
atau Rp 100, yang biasa disebut sarin banten. Uang itu diambil
si perempuan, dan kernet mendapat bunga dan dibawa ke mobil.
Uang itu, dikumpul-kumpulkan, dan kemudian dipakai membiayai
perawatan pura, setelah dipotong untuk upah si perempuan
penunggu pura itu. Kalau kernet mobil tak menyiapkan sesajen, ia
cukup memberi sarin banten berupa uang. Dia tinggal sembahyang
kilat dan mengambil bunga di sana. Kalau saja sehari ada seratus
mobil yang lewat, atau ditambah sepeda motor, bisa diperkirakan
berapa uang yang dipungut.
Kolam di depan pura juga kelihatan bersih dan asri. Dan, kolam
ini sekarang dikitari rumah-rumah penginapan, seolah-olah kolam
milik desa adat itu menjadi taman dari rumah penginapan yang
berada di sekitarnya.
Namun, ashram yang didirikan Nyonya Gedong Bagus Oka
sama saja seperti dulu, tak ada papan penunjuk dijalan. Yang
membedakannya sekarang, siapa pun yang ditanya, laki atau
perempuan, anak kecil atau dewasa, juga turis asing, pasti bisa
menunjukkan letak ashram. Bu Gedong demikian orang me-
nyebutnya secara ringkas begitu terkenalnya di kawasan Candi
Dasa. Dialah cikal-bakal yang menyebabkan kawasan ini menjadi
258
perkampungan turis.
Senja telah turun. Saya berada di ruang tamu ashram. Potret be-
sar pemimpin India, Mahatma Gandhi, terlihat di sudut-sudut ruan-
gan. Ashram, arti harfiahnya, adalah sekumpulan orang beragama.
Namun, ashram di ujung timur Pulau Bali ini boleh disebut sebagai
pesantren Hindu. Belajar agama Hindu dari sumbernya yang asli,
India. Dengan begitu, ketokohan Mahatma Gandhi menjadi lebih
menonjol. Bu Gedong memang pengikut setia Mahatma Gandhi.
Bu Gedong muncul dari balik pintu kamarnya. Ia memakai
kain dan berkebaya kekuning-kuningan, dengan rambut memutih
yang disisir ke belakang seperti orang bersanggul. Di pinggang-
nya melilit selendang, ambed, kata orang Bali. Pakaian untuk
bersembahyang.
Pada jam begini, anak-anak bersembahyang. Bagaimana, kita
ngobrol atau ikut bersembahyang?
Ya, saya mau ikut, kata saya.
Kuat duduk bersila selama satu jam?
Saya ketawa dan mengangguk. Saya mengikuti Bu Ge-
dong menuju balai tempat bersembahyang. Ternyata, itu ruang
perpustakaan, dan tidak begitu besar. Persembahyangan sudah
dimulai. Mantram, atau puja, sudah diucapkan atau tepatnya
dilagukan. Bu Gedong langsung menuju barisan depan, tempat
yang sudah disediakan, karena tadinya kosong. Saya duduk di
belakang, punggung bersandar di tembok. Belakangan menyusul
masuk seorang wanita kulit putih. Melihat gelagatnya, ia sudah
terbiasa, langsung duduk dan ikut bersembahyang.
Saya betul-betul menjadi orang asing, lebih asing dari si kulit
putih. Rasanya, seperti berada di sebuah gedung bioskop yang me-
mutar film India. Mantram-mantram itu tak pernah saya kenal dan
dengar sebelum ini. Mereka menggunakan bahasa Sanskerta, dan
lagunya seperti film India. Lama sekali puja itu diucapkan, entah
sudah berapa bait, atau diulang-ulang, saya tak bisa menangkapnya.
Berkali-kali saya menjulurkan kaki karena tak kuat duduk bersila.
Sudah ganti-berganti kaki kiri dan kaki kanan saya kesemutan. Puja
persembahyangan tak juga selesai.
259
Akhirnya, seorang murid Bu Gedong mengambil tirta (air
suci) di atas tungku. Tirta dari mangkuk besar itu dipecah-pecah
lagi ke tempat lebih kecil, dan disebar ke semua yang hadir. Saya
melihat setiap orang memercikkan sendiri air suci itu ke kepalanya.
Termasuk si wanita kulit putih. Ketika giliran saya diberi air suci
itu, saya pun meniru yang di depan.
Setelah semua rnemperoleh air suci, Bu Gedong membalikkan
badannya. Semua peserta menatap ke arah Bu Gedong. Dengan
suara pelan dan tidak begitu keras, Bu Gedong melakukan khot-
bah, atau dalam agama Hindu disebut dharmawacana. Saya kaget,
ternyata Bu Gedong mempergunakan bahasa Inggris. Semua yang
hadir agaknya paham betul apa yang diomongkan Bu Gedong,
kecuali dua atau tiga anak kecil di sisinya yang merupakan murid-
murid baru. Perempuan tua ini berbicara tentang kesucian hati dan
perbuatan-perbuatan yang jauh dari dosa.
Kemudian si anak kecil, dan murid-murid yang lain, diajaknya
berdialog dengan tetap menggunakan bahasa Inggris. Sesekali Bu
Gedong menjelaskan kata-kata baru, kalau semua yang ditunjuk
tak tahu artinya. Peserta sembahyang itu, kalau gagap berbicara,
dituntunnya. Yah, ini pelajaran bahasa Inggris dengan tema tak lari
dari keheningan suci memuja Yang Mahakuasa.
Acara ini berakhir setelah semua orang kena giliran diajak
berdialog, termasuk wanita kulit putih itu. Dia ditanya sekitar ke-
sannya setelah beberapa hari mengikuti pendidikan di ashram. Si
kulit putih bilang, masih belum mengerti banyak hal. Lalu semua
berdiri mengucapkan salam kepada Bu Gedong.
Good night balas Bu Gedong, sambil melangkah ke luar.
Perempuan tua ini memang dosen bahasa Inggris di Fakultas Sastra
Universitas Udayana, Denpasar.

***

KENTONGAN dipukul bertalu-talu. Ini jam makan. Kalau


mau lihat anak-anak makan, lihatlah. Tapi, nanti kita makan ber-
sama tamu-tamu, ujar Bu Gedong. Saya mengikuti dua bocah
260
kecil anak kembar yang baru enam bulan dititipkan orangtuanya
di ashram menuju ruang makan. Letaknya di sebelah gedung
perpustakaan.
Mereka antre menunggu giliran mengambil makanan. Lauknya,
sayur kecambah, tempe, perkedel, telur. Di ashram ini tidak ada
makanan yang diharamkan agama. Babi tidak boleh, karena
diharamkan Islam. Sapi tidak boleh, karena diharamkan Hindu.
Yang menarik, tidak ada piring. Sebagai gantinya ada tempurung
kelapa. Bersih dan halus mengkilap. Semua penghuni ashram ber-
doa sebelum makan, doa yang asing itu. Di sini juga disediakan
susu, kacang hijau, dan berbagai jenis makanan kecil yang dibuat
penghuni ashram.
Seorang gadis penghuni ashram memanggil saya. Rupanya,
saya harus ikut bersama tamu makan malam. Untuk makan malam
para tamu ini, ada balai tanpa dinding di pinggir pantai, luasnya
sekitar 5x8 meter. Letaknya agak jauh dari bangunan-bangunan
ashram. Di balai ini ada sebuah meja panjang dari kayu, dan
sekitar sepuluh kursi. Semua benda itu buatan ashram, sederhana,
memang.
Ada empat tamu asing. Bu Gedong memperkenalkan tamu-
tamu itu, yang semuanya berpasangan. Mereka adalah peneliti dan
ahli filsafat. Mereka, katanya, akan menulis buku tentang agama-
agama besar di dunia. Selebihnya, Bu Gedong minta identitas tamu
ini tak diumumkan.
Ada tiga gadis ashram melayani tamu makan malam. Di sini
tidak memakai piring tempurung kelapa. Baik cara menghidang-
kan maupun alat-alatnya, semuanya bergaya Barat disesuaikan
dengan tamu. Gadis-gadis itu pun menyuguhkannya secara profe-
sional. Tetapi yang menjadi ciri khas pesantren Hindu ini, lauk dan
berasnya, semuanya dari produksi ashram. Ada kacang rebus,
hasil dari perkebunan ashram. Ada telur, juga hasil peternakan
di ashram. Beras itu sendiri adalah hasil panen sawah milik Bu
Gedong yang dikerjakan oleh penghuni ashram. Bahkan minyak
kelapa untuk menggoreng masakan itu pun buatan sendiri. Kela-
panya dipetik dari pohon di ashram. Ciri khas lain, mengucapkan
261
puja-puja sebelum makan. Puja dipimpin seorang gadis. Praktis
hanya empat orang yang mengucapkan puja, tiga gadis ashram
dan seorang lagi, siapa lagi kalau bukan Bu Gedong. Tamu lain,
termasuk saya, mencakupkan tangan di atas kening.
Dengan lincahnya Bu Gedong memperkenalkan berbagai
makanan yang terhidang, yang tampaknya masih asing bagi orang
Barat. Semua jenis sayur-mayur dan beras itu ditanam tanpa ban-
tuan pupuk kimia. Ashram ini antipupuk yang mengandung unsur
kimia, kecuali pupuk kandang. Untuk memperoleh badan yang
sehat dan kuat, pikiran yang jernih, bahan makanan harus pula
terbebas dari segala macam unsur kimia. Biarkanlah alam mem-
besarkan sendiri segala jenis tetumbuhan untuk dimakan manusia
itu. Kurang lebih itulah dasar pijak Bu Gedong.
Sambil makan, saya lebih banyak berbincang dengan Bu Ge-
dong, soal ashram, soal agama Hindu, soal penduduk sekitarnya,
soal tantangan yang dihadapi masyarakat Bali di kemudian hari.
Tentu dengan bahasa Indonesia. Sesekali Bu Gedong mencamp-
urnya dengan bahasa Bali khas Karangasem yang rada halus. Tapi
kemudian, dengan amat malu, saya meminta agar dipakai bahasa
Indonesia saja, karena saya sudah mulai lupa istilah-istilah bahasa
Bali.

***

SEMAKIN banyak berbincang, semakin banyak yang tidak


saya ketahui. Kenapa ashram ini harus berdiri, dan di mana le-
taknya dalam peta agama Hindu apalagi kalau dihubungkan
dengan agama Hindu di Bali. Ashram ini sesuatu yang asing.
Puja-puja itu, cara mereka melakukan sembahyang, tak pernah
dipraktekkan atau mungkin tak pernah diketahui oleh pemuka
Hindu di luar ashram.
Dilihat dari sudut ini, saya bisa mengerti bahwa kesalahpaha-
man pernah terjadi di tahun-tahun awal berdirinya ashram ini.
Pada saat itu, lembaga-lembaga umat Hindu mencurigai kegiatan
Bu Gedong sebagai membuat agama baru di dalam tubuh agama
262
Hindu. Dan, mereka yang mencurigai ini cepat-cepat mempenga-
ruhi pihak penentu kebijaksanaan, agar kegiatan ini digolongkan
sebagai bukan kegiatan keagamaan. Maksudnya jelas, mau digiring
ke kandang aliran kepercayaan.
Namun, Bu Gedong sangat luwes. Bangsawan intelektual ini
sangat lincah, walau tampak diam. Ia tak menanggapi suara-suara
itu. Ia hanya mempersilakan orang datang ke ashramnya. Dengan
cara begitu, kecurigaan orang jadi hilang. Yang dilakukannya
tidak menyimpang dari ajaran Hindu. Hanya cara yang ditempuh
berbeda.
Pada penganut Hindu umumnya, upacara keagamaan lebih ban-
yak dengan simbol-simbol berupa sesajen beraneka ragam. Pada
Bu Gedong, simbol itu diganti dengan puja yang panjang. Arahnya
sama, yang dituju sama. Penganut Hindu di luar ashram, jika
mereka bersembahyang memuja kebesaran Tuhan, separuh lebih
sarananya sudah dibantu orang lain, yakni berupa sesajen itu. Atau,
kalau sesajen itu dibuat sendiri, proses memujanya sudah lama
dipersiapkan dengan bantuan simbol-simbol itu. Ketika mereka
menghadap Yang Mahakuasa, mereka sudah tinggal menghaturkan
saja diiringi puja itu pun kalau bisa sekadarnya. Sedang di
dalam ashram, jika seorang akan memuja Yang Mahakuasa, orang
itu harus siap memuja tanpa dibantu simbol-simbol lagi, karena
mereka sudah tahu jalannya, sudah tahu apa yang diucapkan untuk
menuju jalan itu. Sarananya sudah ada di dalam tubuhnya, tak
perlu lagi simbol.
Untuk tahu kehidupan ashram dan tahu tujuan ashram, kamu
paling tidak harus seminggu di sini, ujar Bu Gedong. Saya tak
punya waktu. Dan, saya pikir, waktu seminggu pun belum tentu
cukup. Seorang pemuda ashram yang saya tanya sore harinya sudah
dua tahun di ashram ini. la mengaku baru pada tahap mengenal,
belum tahu.

***

ASHRAM Candi Dasa memang meniru ashram yang didirikan


263
Mahatma Gandhi di tahun 1915, dengan penyesuaian pada iklim
Indonesia, atau iklim Bali. Gandhi, Bapak India itu, menetapkan
beberapa ajaran di ashramnya. Antara lain yang penting: swadehsi
yaitu segala sesuatu dicukupi dari diri sendiri. Meminjam istilah
di masa Bung Karno adalah berdiri di atas kaki sendiri alias ber-
dikari. Aparigraha, memilih hidup miskin, artinya hidup dengan
penuh kesederhanaan tanpa mengejar kehidupan materi. Ahimsa,
yaitu tidak melakukan kekerasan. Sat, selalu mencari kebenaran.
Nirbaya, tidak mengenal takut untuk suatu kebenaran.
Di ashram ini tidak dikenal perbedaan suku, bahkan perbedaan
agama. Setiap orang yang datang boleh saja mengikuti pelajaran,
mengikuti persembahyangan, tidak ditanya dari mana, agama apa,
dan sebagainya. Syaratnya, hanya tunduk kepada peraturan ashram.
Yaitu, tidak boleh merokok, tidak boleh minum minuman keras,
tidak boleh meludah sembarangan, berpakaian sopan, melepas alas
kaki kalau memasuki bangunan-bangunan ashram. Kalau orang itu
menginap di dalam ashram, ketentuan di atas ditambah dengan:
kalau berpasangan harus suami istri. Kalau tidak, mereka dipisah
di bangunan berbeda.
Ashram ini mulai dirintis sekitar tahun 1970-an, di bawah
Yayasan Bali Canti Sena, yang diketuai Bu Gedong sendiri. Sedikit
demi sedikit bangunan didirikan. Sekarang, ashram ini luasnya
sekitar 4 hektar dan tampaknya tidak akan bisa diperluas lagi
karena di sekelilingnya penuh dengan rumah-rumah penginapan
komersial. Bangunan ashram paling depan, sebuah poliklinik yang
diberi nama Kosala Usada Gandhi arti harfiahnya ruang pengo-
batan Gandhi. Poliklinik ini terbuka untuk masyarakat sekitarnya,
tidak melulu buat penghuni ashram. Ada foto besar Mahatma Gan-
dhi sewaktu menjenguk orang sakit, dipasang di dinding. Juga ada
foto Gandhi lain yang berisi tulisan: God is Truth, Truth is God.
Poliklinik ini buka setiap hari dari pukul 8.30 sampai 11.00. Ada
petugas kesehatan khusus di sana. Kunjungan dokter puskesmas
hanya setiap hari Kamis, juga dokter gigi dari Dokabu (Dokter
Kabupaten) Karangasem muncul setiap Kamis. Semua peralatan
praktek, termasuk peralatan dokter gigi itu milik ashram yang
264
ini tentu saja peralatan modern, bukan swadehsi.
Di ruang poliklinik ini setiap hari juga buka praktek seorang
akupungturis. Dia, Nyoman Sadra, si akupungturis itu, sore harinya
mengajar di sebuah SMA. Ia dari Tenganan, desa kuno yang tak
jauh dari Candi Dasa.
Semua bangunan di ashram ini berdwifungsi, bagian bawah
tempat kegiatan sehari-hari (sembahyang, dapur, ruang baca, ruang
praktek dokter, dan sebagainya), di atasnya tempat tidur. Di atas
poliklinik ini, misalnya, dipakai tempat tidur anak-anak laki berusia
di bawah 15 tahun. Ada sepuluh anak yang tidur di sana.
Di belakang poliklinik ada bangunan induk, tempat Bu Gedong
tidur dan menerima tamu. Di sebelahnya ada dapur. Kemudian
di kompleks ini ada lima buah tempat penginapan khusus untuk
tamu-tamu ashram. Rumah penginapan itu dilengkapi dengan
kamar mandi, ruang duduk, tempat tidur di bawah dan ruang
tidur di atas. Yang di atas memanfaatkan langit-langit rumah dari
papan, yang digelari kasur begitu saja. Ada jendela yang persis
mengarah ke laut. Sebagaimana halnya pada setiap bangunan, di
rumah penginapan ini pun tergantung potret Mahatma Gandhi, dan
kutipan-kutipan ajarannya.
Pengikut Bu Gedong tidak banyak. Ketika awal-awal ashram
ini berdiri, pengikutnya hanya puluhan orang, itu pun kebanyakan
mahasiswa yang ingin belajar bahasa Inggris. Kemudian masyara-
kat di sekitar Desa Bugbug silih berganti datang. Silih berganti pula
pergi. Ada yang tidak tahan dengan ketentuan ashram, ada yang
memang tidak berbakat. Bu Gedong sendiri tidak peduli dengan
jumlah anak buahnya. Dia tidak mencari pengikut, dia hanya
menerima pengikut.
Sekarang penghuni ashram ada 35 orang. Ada anak kecil, ada
remaja yang masih sekolah, ada yang drop out. Yang masih sekolah
tetap saja bersekolah -- di luar ashram -- dan sepulangnya baru
melaksanakan kewajibannya sebagai penghuni ashram.
Tahun 1982, Bu Gedong mendirikan SD di ashram ini. Alasan-
nya, watak anak-anak yang telah dibinanya bisa jadi dilupakannya
apabila bersekolah di tempat lain. Maka, SD itu didirikan di pinggir
265
pantai. Di ruang kelas, tanpa bangku. Anak-anak duduk di lantai
beralas tikar, di depannya ada meja berkaki rendah untuk alas mem-
baca dan menulis. Gurunya, semua tamatan Sekolah Pendidikan
Guru yang sewaktu sekolah dibiayai oleh ashram ini.
Pagi hari, setelah kentongan berbunyi, anak-anak SD ini ber-
deret di depan kelas masing-masing, sebuah bangunan berdinding
bambu dan beratap ilalang. Kurikulum sekolah ini sama saja den-
gan sekolah negeri, cuma ditambah dengan pelajaran keterampilan.
Jadi, ada pelajaran menganyam, bercocok tanam, atau pertukangan.
Dan siang hari, menjelang anak-anak ini pulang ke rumahnya
masing-masing, mereka diberi makan. Tentu saja, sebelum makan,
mereka berdoa dengan puja-puja versi ashram.
Pulang ke rumah? Memang begitu. Anak-anak ini kebanyakan
dari desa di sekitar Candi Dasa, dan tidak pengikut ashram yang
makan-tidur di ashram. Mereka hanya menumpang belajar. Tentu
saja, ada beberapa anak yang betul-betul menjadi penghuni ash-
ram yang dititipkan oleh orangtuanya, termasuk si kembar yang
berumur kurang dari sepuluh tahun itu. Tidak ada pungutan di SD
ini, juga tak ada pungutan apa-apa di ashram.
Bagi penghuni ashram, kegiatan dimulai sejak subuh. Pukul
4.00 pagi, kentongan sudah dibunyikan. Semua penghuni menuju
bale gede, yaitu ruang perpustakaan. Mereka tidak membaca,
tetapi bersembahyang pagi. Mereka duduk bersila menghadap ke
arah timur, ke arah matahari terbit. Di antara dupa yang mengepul,
mereka mengucapkan puja-puja, dilanjutkan upanisad Bu Gedong
yang menggunakan bahasa Inggris.
Usai sembahyang pagi, para penghuni ashram mengganti
pakaiannya dengan pakaian olah raga. Mereka menuju pantai,
yang mulai menyempit karena gelombang di sini amat besar tanpa
penghalang. Mereka melakukan senam pagi, tentu saja tidak senam
pagi yang dikenal lewat televisi itu. Senam mereka adalah awal
pelajaran yoga, yang disebut Surya Namaskar. Mereka melakukan-
nya sambil menatap matahari yang baru terbit. Yoga ini berakhir
sekitar pukul 6.30.
Kegiatan selanjutnya adalah rutin sehari-hari. Penghuni ash-
266
ram yang masih sekolah di SMP dan SMA berangkat ke sekolah
di luar ashram, yaitu di Desa Sengkidu, sekitar empat kilometer
dari ashram. Yang tidak bersekolah praktek pertukangan: membuat
kursi, meja,,. kutak-katik mesin, montir radio. Yang perempuan
menganyam berbagai anyaman dari bambu.
Ada yang ke sawah, sawah milik Bu Gedong di Desa Subagan
seluas 1,5 hektar. Sawah ini betul-betui dikerjakan dengan keten-
tuan ashram. Yang ditanam padi lokal, tidak menggunakan pupuk
urea. Untuk menjadikan beras, tidak pula menggunakan mesin
giling, tetapi padi itu ditumbuk dengan tangan.
Ada pula penghuni ashram yang berkebun di sekitar ashram.
Tetapi hasil sayur-mayur dari kebun ini kadang tidak memenuhi
kebutuhan sendiri, karena sempitnya lahan. Untuk itu, Bu Gedong
punya perkebunan luas di Candi Kuning, Bedugul, Kabupaten
Tabanan, yang dikelola oleh suaminya, Ida Bagus Oka, pensiunan
pamong praja. Jarak Candi Kuning dengan ashram 100 km tak
memungkinkan penghuni ashram mengerjakan kebun itu setiap
hari. Namun, kebun di Candi Kuning itu tetap ditanami dengan
prinsip ashram, tanpa pupuk kimia.
Pada saat penghuni ashram bekerja pagi itu, Bu Gedong juga
bekerja. Ia bekerja dengan mesin ketik, menerjemahkan buku-buku
asing yang ada hubungannya dengan agama dan filsafat. Bekas
anggota DPR mewakili cendekiawan ini sudah menerjemahkan
olobiografi Mahatma Gandhi.
Pukul 11.30 penghuni ashram sudah mulai istirahat dari peker-
jaannya. Ada yang membaca buku, membaca koran (koran terbitan
Denpasar dan Jakarta memang datang siang di ashram ini), ada pula
yang berlatih atau sekadar membunyikan gamelan Ball, yang
memang tersedia di ashram walaupun tidak komplet jumlahnya.
Mereka istirahat sambil menunggu kentongan tepat pukul 12.00
ketika matahari berada persis di puncak. Kentongan siang hari ini
adalah pertanda makan.
Usai makan siang, penghuni ashram berkelompok-kelompok
belajar bahasa Inggris. Kelompok ini diadakan sesuai dengan
tingkat kemampuan. Pelajaran siang hari itu tidak dipimpin Bu
267
Gedong. Salah seorang yang dianggap mampu di antara kelompok
itu yang memimpinnya.
Tidak ada batas waktu belajar bahasa Inggris di siang hari.
Bisa berlama-lama sampai saat bersembahyang pukul 17.00. Ka-
lau jenuh, bisa pula bubar dan melakukan pekerjaan bebas. Atau
belajar pelajaran lain, mengerjakan PR bagi murid SMP-SMA,
merawat tanaman bunga, atau melanjutkan pekerjaan pagi harinya.
Jika kentongan berbunyi sore hari, itu pertanda persembahyangan
dimulai yang asing bagi pemeluk Hindu di luar ashram di-
lanjutkan dharmawacana bahasa Inggris, lalu makan malam, dan
belajar sesuai dengan bidang masing-masing. Bagi yang drop out,
mereka belajar mewirama yaitu kerawitan dengan membaca lon-
tar-lontar berhuruf Bali, biasanya berisi cerita-cerita yang banyak
mengungkapkan filsafat Hindu. Yang terakhir ini memang tak asing
bagi masyarakat Bali.
Begitulah hari-hari di ashram Candi Dasa, yang saya peroleh
ceritanya dari para penghuni ashram, dan seperti yang saya lihat
sebagian.

***

Candi Dasa, 21 Januari 1986. Pagi hari.


SAYA gelisah dan terus tergolek di tempat tidur di sebuah pen-
ginapan di luar ashram yang tarifnya Rp 4.000 semalam. Memang
saya menolak tidur di ashram. Saya ingin mencicipi udara Candi
Dasa yang mulai diramaikan turis kelas menengah ke bawah. Saya
ingin melihat ulah turis di kampung yang boleh disebut terpencil
ini. Saya menyaksikan kehidupan ingar-bingar, yang sebaliknya
dengan suasana ashram.
Banyak yang saya pikirkan, karena itu saya gelisah. Yang berat-
berat, dan akhirnya saya tidak mampu menuangkannya ke dalam
kata-kata, tetap pikiran tentang ashram itu.
Ajaran Bu Gedong boleh disebut melawan arus jadi
tidak sekadar asing. Ia mengurangi sesajen, karena itu hanyalah
alat pembantu. Kalau seseorang bisa memuja Ida Sang Hyang
268
Widhi Wasa tanpa perlu lagi alat pembantu, bukankah lebih baik?
Ya, betul. Kalaupun Bu Gedong membuat sesajen mengurangi
tidak berarti meniadakan sama sekali tidak akan menggunakan
daging binatang. Bahkan mecaru atau rangkaian upacara tabuh
rah yang di luar ashram dilaksanakan dengan mengucurkan
darah binatang, tidak-akan ditemukan di ashram ini. Itu berarti
menyakiti binatang, tidak sesuai dengan prinsip ahimsa. Padahal,
di luar ashram, upacara itu ditujukan kepada Bhuta Kala untuk
keharmonisan jagat. Di ashram, ahimsa justru untuk keharmonisan
dunia juga.
Lalu, konsepnya tentang swadehsi, berdiri di atas kaki sendiri,
juga konsep memerangi kemiskinan dengan menempuh hidup
miskin. Bagaimanakah hal ini harus saya carikan bandingannya?
Bali sejak dulu dikenal sebagai pulau yang selalu diserang penga-
ruh asing, dan selalu bisa menyerap pengaruh asing yang positif
itu. Tentu saja, sebagaimana halnya pulau lain, Bali tak bisa bebas
dari ketergantungan pada pihak luar. Dan, tiba-tiba, swadehsi?
Namun, lihat pulalah ini. Bu Gedong mengampanyekan be-
berapa jenis masakan Bali kepada tamu-tamunya orang asing.
Buah-buahan dari Bali, ubi-ubian dari Bali, sayur-mayur produksi
Bali, bisa disulap jadi biskuit ala Barat. Lawar, tum, telengis, je-
nis-jenis masakan Bali yang mulai menghilang, dihidupkan lagi
di ashram ini. Dan, di luar makanan-makanan itu, kesenian Bali
tetap berkembang di ashram. Ada tari, ada gamelan, ada pekerjaan
menatah wayang kulit, ada yang mengukir, ada yang mempelajari
sastra Bali kuno (mewirama). Dan yang mahapenting, pendidi-
kan penghuni ashram itu, walau tidak sepenuhnya hasil tempaan
ashram karena yang SMP dan SMA menuntut ilmu di luar
merupakan karya Bu Gedong yang sangat layak dipuji. Apalagi,
penghuni itu tidak membayar sepeser pun tinggal di ashram. Bu
Gedong punya sawah, punya perkebunan, dan punya lima rumah
penginapan untuk tamu-tamu khusus di ashram. Penginapan ini
tidak komersial dan hanya untuk tamu ashram yang diseleksi ketat,
tetapi toh mendatangkan hasil juga untuk memenuhi kebutuhan
penghuni ashram.
269
Memang sulit untuk bisa mengerti keberadaan ashram ini,
hanya dari perjalanan mampir yang sehari dua. Masyarakat Bali
pun juga tetangga Candi Uasa sulit mengetahui apa sesung-
guhnya tujuan ashram ini. Ditambah lagi pribadi Bu Gedong
yang tak pernah bersedia menggembar-gemborkan ashramnya,
karena itu berarti kesombongan. Maka, sudah mudah diperkirakan,
ashram ini tak populer dan pengikut Bu Gedong tidak pernah
banyak.
Dilihat dari sudut itu, masalah ajarannya, memang pengikut
Bu Gedong tak pernah banyak. Sekali lagi, perempuan berusia
65 tahun ini (Lahir di Amiapura 3 Oktober 1921) bukan mencari
pengikut, ia hanya menerima pengikut. Tetapi, bagi masyarakat
Candi Dasa, Desa Bugbug, jasa Bu Gedong luar biasa. Tanyalah
pemilik-pemilik rumah penginapan, yang sampai akhir Januari
1986 sudah berjumlah 32 buah. Siapakah yang menyebabkan
daerah Candi Dasa itu berkembang? Bu Gedong. Siapakah yang
membawa turis ke Candi Dasa? Bu Gedong. Siapakah yang men-
ganjurkan Pura Candi Dasa dipelihara baik-baik dan ditunggui? Bu
Gedong. Siapakah yang menyarankan agar dinding pantai ditem-
bok untuk menahan empasan gelombang? Bu Gedong. Siapakah
yang membawa dokter ke Candi Dasa? Bu Gedong. Siapakah yang
menganjurkan agar anak-anak kecil di Candi Dasa bersekolah dan
giginya diperiksakan secara teratur? Bu Gedong. Masyarakat di
sini, kalau membangun rumah penginapan, atau restoran, atau toko
kerajinan, selalu meminta nasihat Bu Gedong. Ia orangtua kami,
itu yang terlontar dari pemilik rumah penginapan yang mulai me-
menuhi kawasan Candi Dasa. Dan, Bu Gedong mengakui, Sering
Ibu mengadakan pertemuan dengan mereka, agar tanah ini, satu-
satunya kekayaan mereka, tidak jatuh ke tangan orang luar.
Pantas, dan pada tempatnya, kalau masyarakat di sini sangat
menghormati perempuan berusia senja yang masih sehat dan ma-
sih sering mengunjungi berbagai negara ini. Masyarakat setempat
menilai, Bu Gedong orang yang berilmu tinggi, pengalamannya
luas, dan segala nasihatnya patut dicontoh. Tapi soal ashram, soal
lain. Prinsip Bu Gedong dalam menerapkan ajarannya, dan keta-
270
atannya pada ajaran Mahatma Gandhi, tak pernah dinasihatkannya
kepada masyarakat di luar ashram, sebagaimana ia menasihatkan
membangun rumah penginapan.
Ashram dan perkembangan di luar ashram, dua kutub yang
berbeda. Tapi Bu Gedong hanya satu, dosen yang kini mulai pen-
siun dan tinggal di desa.

271
XVII

Melihat
Kampung Muslim
Pegayaman

Assalamualaikum
Nengah Ibrahim

S
IAPA namamu? Wayan? Nyoman? Made? Wah, pasti dari
Bali. Itu kan nama baptis orang Bali, nama orang Hindu.
Ya, kan?
Ternyata, tidak. Sering sekali orang mengira nama-nama itu ada
hubungannya dengan agama Hindu. Bahwa nama itu menunjuk-
kan seseorang berasal dari Bali, ada benarnya. Walaupun sekarang
orang Bali telah menyebar di berbagai penjuru tanah air, sebagai
transmigran, pegawai negeri, karyawan swasta, buruh kasar, dan
sebagainya. Betul kalau nama itu pada mulanya hanya dipakai
orang Bali. Tetapi minus Putu, karena di Maluku dikenal misalnya
Putuhena, tokoh yang pernah menjadi menteri pekerjaan umum di
masa revolusi. Dan mungkin ada Putu-Putu yang lain.
Nama-nama itu hanya nama urut kelahiran. Dalam dokumen
resmi ijazah, akta kelahiran, akta perkawinan nama itu bi-
asanya masih tercantum dengan lengkap. Lebih-lebih di pedesaan.
272
Pada orang kota, nama urut itu sudah banyak menguap. Apalagi
kalau nama aslinya (setelah dikurangi gelar kasta --suatu istilah
yang salah kaprah-- dan nama urut) masih terdiri dari dua kata.
Misalnya, Oka Mahendra dan Raka Netra keduanya anggota
DPR - atau Putera Astaman (Polri), dan Awet Sara (TNI-AD).
Sebagai contoh bahwa nama itu tak ada hubungannya dengan
agama adalah nama berikut ini: Wayan Muhammad Saleh, Nengah
Ibrahim, Nyoman Ali, Ketut Syahruwardi Abbas. Mengada-ada?
Tidak! Mereka adalah penduduk Bali yang sejak awal sudah
memeluk Islam. Juga nama ini: Wayan Yusuf. Dia orang Bali yang
memeluk Kristen.

***

DESA PEGAYAMAN, sembilan kilometer sebelah selatan


Kota Singaraja, Bali bagian utara, sebagian besar penduduknya
beragama Islam. Oleh masyarakat Bali, mereka disebut nyama
selam artinya masyarakat yang beragama Islam, dalam konteks
sebuah persahabatan yang tulus. (Masyarakat Bali pedesaan me-
nyebut Islam itu selam, mereka tak biasa mengucapkan kata awal
Is). Warga Pegayaman ini, tentu saja, berbahasa Bali. Dan mereka,
kalau saling menyapa, juga begini: Bli Ketut, atau mbok Nengah . . .
Bli sebutan untuk kakak laki-laki, mbok sebutan kakak perempuan,
mbak dalam bahasa Jawa. Atau kalau mereka menyapa lebih hor-
mat dengan salam takzim, akan keluar ucapan: Assalamualaikum
Nengah Ibrahim. Walaikumsalam Wayan Muhammad Saleh.
Warga Islam ini mengaku seratus persen anggota Nahdatui
Ulama. Mereka tak sedikit pun risi menyerap budaya Bali. Tata
sosial kemasyarakatan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari hampir tak berbeda dengan tata sosial nyama bali.
Mereka mengenal sistem banjar. Desa itu terbagi menjadi
empat banjar, yaitu Banjar Dangin Rurung, Banjar Dauh Rurung,
Banjar Lebah, dan Banjar Amertha Sari. Banjar Dangin Rurung
dan Banjar Dauh Rurung dibelah oleh jalan utama di desa itu.
(Dangin berarti timur, dauh berarti barat, rurung berarti jalan).
273
Sedang dua banjar yang lain beradadi seputar persawahan, di luar
desa induk.
Rumah mereka memang agak beda dengan rumah-rumah orang
Bali pada umumnya. Mereka tak suka memasang ukir-ukiran Bali.
Dulu, tak ada candi bentar, baik sebagai pintu gerbang masuk desa
seperti yang mewabah belakangan ini maupun pada pintu
gerbang memasuki halaman rumah. Ada penduduk yang men-
gatakan bahwa candi bentar itu termasuk yang ditabukan. Tidak
jelas apakah itu juga tergolong haram. Juga, tak jelas apakah ini
terkait dengan ajaran agama (Islam) atau penolakan itu karena
tradisi setempat saja. Masalahnya, masjid raya di tengah Kota
Denpasar, pintu gerbang ke halamannya memakai candi bentar
yang besar.
Di Pegayaman ada masjid, tentu. Hanya satu, tetapi bisa me-
nampung sekitar 750 jemaah atau lebih. Di bulan Maulud, mereka
mempertunjukkan kesenian khas Pegayaman, yakni burda. Alat
tabuh ini semacam rebana, cuma lebih besar karena tubuhnya
dibuat dari batang pohon kelapa. Mereka menyanyikan ayat-ayat
suci dan menembangkan kisah kelahiran nabi besar Muhammad
saw diringi tetabuhan burda. Sekeha burda ini (mereka memakai
kata sekeha juga, yang berarti kelompok) memakai pakaian tra-
disional Bali, sama dengan pakaian orang di luar Pegayaman.
Memakai destar, berkain yang ujungnya meruncing di tengah, atau
istilah Bali, mekancut.
Di sela-sela lagu pujian berbahasa Arab tetapi tembangnya
mirip kidung wargasari yang dikenal di kalangan Hindu ke-
luar seorang penari. Penari laki ini juga berpakaian khas Bali.
Gerak tarinya, kombinasi antara gerak-gerak silat dan tari Bali.
Memang khas sekali. Namanya tari Selendang, Tari Tampan, Tari
Perkawinan, Tari Pukul Dua. Saya tak tahu sejarah tari ini, kami
mewarisinya sudah tujuh turunan lebih, kata Nyoman Abdullah
Mahmud, penari burda itu.
Pekerjaan pokok penduduk Pegayaman bertani dan berkebun.
Itu yang menyebabkan mereka menyebut dirinya penduduk Bali
asli. Bukan Islam pendatang, yang selalu punya konotasi sebagai
274
penjual sate, penjual mercon, dan sebagainya. Kalau panen kopi,
penduduk sekitar Pegayaman yang Hindu ramai-ramai ikut
berburuh memetik ke Pegayaman. Dua umat ini rukun saja, dan
mereka selalu mengakui sebagai satu rumpun warga, dengan per-
awakan dan kulit yang sama, yang hanya dibedakan oleh keyakinan
menjalankan ibadat agama.
Warga Pegayaman pun mengenal subak tata organisasi
pengairan khas Bali yang terkenal itu. Lengkap dengan upacara
religiusnya. Kalau di luar Pegayaman, organisasi subak lekat
benar dengan upacara Hindu, di Pegayaman tentu dengan cara
yang sesuai dengan keyakinan mereka. Menurut Guru Wayan Haji
Abdul Wasyid Karim, seorang guru (sebutan untuk kiai di sini),
upacara selamatan dalam rangkaian subak ini memakai ketupat
kecil-kecil. Upacara itu diselenggarakan di tempat mata air dan
yang dibaca doa-doa selamatan dari kitab barzanji dilanjutkan
aqidatul awam.
Dalam kaitan subak itu, mereka juga punya sekeha manyi
(perkumpulan menuai padi), sekeha malapan (perkumpulan me-
metik kopi). Semangat gotong-royong mereka dalam membangun
rumah, apalagi masjid, begitu kuat, tak kalah dengan masyarakat
Hindu di sekitarnya. Cuma, pakaian keseharian mereka yang cepat
sekali menandakan bedanya dengan nyama Bali, yaitu berkopiah
untuk lelaki dan berkerudung untuk perempuan. Bahasa? Warga
Pegayaman berbahasa Bali, tentu saja. Bahkan untuk kegiatan di
masjid, bahasa yang dipakai bahasa Bali halus, seperti pula orang
Bali yang Hindu berbahasa halus di pura.
Bagaimana asal-usul nyama selam ini? Tidak ada sejarah yang
mengungkapkan hal itu secara pasti. Kalau menurut penuturan para
tetua di Pegayaman, asal-usulnya sebagai berikut:
Tersebutlah Ki Panji Sakti setelah berhasil menyerbu dan
menanamkan pengaruhnya di Bali utara, mengangkat dirinya men-
jadi Raja Buleleng. Hal ini membuat murka raja Gelgel, karena Ki
Panji Sakti semula hanyalah seorang pepatih. (Lihat Para Pewaris
Ratu Sakti Pancering Jagat). Tentara Kerajaan Gelgel pun dikirim
ke Bali utara. Ki Panji Sakti merasa tak mampu membendung se-
275
rangan ini, maka beliau meminta bantuan ke Kerajaan Blambangan,
Jawa Timur. Ketika perang selesai, tentara dari Blambangan itu
tidak pulang ke Jawa. Sebagian tinggal di Buleleng, dan perkam-
pungan mereka itu sekarang dikenal dengan nama Banjar Jawa.
Sebagian lagi tinggal dan diberi tanah di Pegayaman. Malah salah
seorang tentara yang tinggal di Pegayaman itu dikawinkan dengan
putri raja Buleleng. Keturunan inilah yang sampai kini menetap di
Pegayaman, punya tanah perkebunan dan menyerap kebudayaan
Bali tanpa meninggalkan agamanya yang asli, Islam.
Di Gedong Kirtya Singaraja tempat disimpannya berbagai
lontar tentang sejarah Bali tak ditemukan sejarah Desa Pegaya-
man. Tentang Ki Panji Sakti, itu jelas ada, dan beliau memang
pendiri Kota Singaraja pada abad ke-15. Tapi tak pernah disangkut-
pautkan dengan Panji Sakti dari Kerajaan Gelgel.
I Ketut Suwija, Ketua Yayasan Gedong Kirtya, hanya men-
gatakan, setelah Kerajaan Majapahit runtuh, raja Buleleng Ki Panji
Sakti menerima hadiah seekor gajah dari raja Solo tak disebut-
kan nama raja itu dengan tiga orang pemelihara. Hadiah gajah
itu adalah lambang persahabatan, bukan lambang penaklukan.
Salah seorang pemelihara gajah ini oleh Ki Panji Sakti dimukimkan
di pedesaan, dan perkampungan itu disebut Pegayaman, berasal
dari kata gayam, jenis buah-buahan yang banyak di situ.
Ada pula catatan dalam lontar yang bisa dibaca di Gedong
Kirtya, yakni pada pemerintahan I Gusti Ketut Jelantikdi Bule-
leng, pada 1850, sekelompok imigran Islam datang, dan beberapa
di antaranya bermukim di Pegayaman. Diduga ini orang Bugis,
karena sampai kini warga Pegayaman ada yang mengaku sebagai
keturunan orang Bugis. Cuma tak jelas kenapa mereka juga me-
nyerap kebudayaan setempat.
Kalau bisa disebut sebagai budaya Pegayaman, maka ke-
budayaan itu terus diwariskan ke anak cucu. Burda, rudat, tradisi
subak, dan sebagainya tetap dipertahankan. Sayangnya, pemerintah
terlalu banyak campur belakangan ini. Hanya karena Pegayaman
disiapkan sebagai desa yang ikut berlomba, di ujung-ujung desa
itu sudah ada candi bentar. Dan keran-keran air minum pun dibuat
276
dari batu padas berukir, ukiran khas Bali.

***

MASUKNYA agama Kristen di Bali, tentu saja, jauh tertinggal


dibandingkan masuknya Islam di Pegayaman. Kristen masuk ke
Bali baru di abad ke-20 ini. Wayan Yusuf, Kelihan Banjar (ketua)
Untal-untal, Desa Dalung, Kabupaten Badung, yang sebagian
besar warganya penganut Kristen, menuturkan sedikit asal-usul
pengkristenan ini. Waktu itu, 1933, penjajah Belanda mengizinkan
seorang penginjil kelahiran Korea untuk menyebarkan agama
Protestan di Bali. Sasarannya masyarakat keturunan Cina. Penginjil
itu bernama Cang To Hang.
Namun, Cang To Hang bukan saja mendekati warga keturunan
Cina, tetapi juga akrab dengan orang Bali. Di Desa Buduk, Kabu-
paten Badung, Cang berteman baik dengan Pan Loting, seorang
pemuka desa yang ahli dalam pengobatan (balian). Bahkan Pan
Loting ini juga menguasai ilmu hitam dan ahli membuat sabuk
pangeleakan (ikat pinggang untuk mereka yang belajar ilmu leak).
Tentu saja; Pan Loting punya pengikut yang bertebaran di pelosok
desa, terutama di Kabupaten Badung itu.
Entah bagaimana prosesnya, lama-lama Pan Loting terbujuk
Cang, dan raja leak ini masuk Protestan. Puluhan pengikut dan
murid Pan Loting ikut masuk Protestan, terutama yang berada di
Desa Dalung, tetangga Desa Buduk. Menurut Wayan Yusuf, pem-
baptisan Pan Loting dan pengikutnya urnat Kristen pertama di
daerah itu pada 30 November 1933. Inilah sejarahnya, kenapa
Desa Dalung menjadi basis bergesernya umat Hindu ke Kristen.
Sekarang, terutama di Desa Dalung, ada sepuluh gereja dijalan-
jalan utama desa itu. Desa yang terdiri dari 16 banjar ini hampir
sebagian besar pemeluk Protestan. Di Banjar Untal-untal umumnya
Protestan, sedang di Banjar Tuka, pemeluk Katolik. Kalaupun di
antara mereka ada yang masih Hindu, mereka hanyalah kalangan
tua, yang pada 1933 tidak ikut dibaptis. Tetapi anak-anaknya sudah
beralih ke Protestan. Dari 105 kk di Banjar Tuka hanya 5 kk yang
277
masih Hindu, ini contoh saja.
Walau mereka pindah agama, mereka masih tetap mempertah-
ankan kebudayaan Bali. Gereja mereka tentu saja dihias dengan
ukiran Bali, dengan candi bentar dan kori agung. Khotbah mereka
pun dengan bahasa Bali dan kidung-kidung pujaan berbahasa Bali,
dengan pendeta yang asli Bali. Buku Injil mereka pun berbahasa
Bali. Yesus misalnya disebut Sang Hyang Yesus. Pada hari raya
Hindu seperti Galungan, umat Kristen ini juga ikut ngelawar
membuat makanan khas Bali itu. Cuma, lawar itu tidak untuk
upacara, hanya untuk pesta makan-makan. Pada hari Natal, umat
ini juga merayakan keramaian dengan memasukkan unsur Balinya.
Misalnya, mereka membuat penjor-penjor sebagai hiasan. Cuma
hiasan memang, karena di penjor itu tak ada lagi simbol-simbol
keagamaan yang biasa terlihat pada penjor upacara keagamaan
umat Hindu. Menurut Wayan Yusuf, yang diambil hanya fungsi
seni-nya.
Generasi muda orang Bali Protestan banyak yang meninggal-
kan pekerjaan di sawah. Mereka sudah menyerbu pekerjaan kota,
di sektor pariwisata dan jasa. Memang harus diakui, segi pendidi-
kan generasi mereka lebih baik dari umat Hindu. Sekolah-sekolah
Katolik dan Protestan di Denpasar banyak memberikan beasiswa
untuk umatnya ini. Malah putra-putri Wayan Yusuf dikirim belajar
ke Jerman Barat.

***

TULISAN singkat ini tidak ingin menyentuh lebih dalam


masalah Islam maupun Kristen di Bali. Juga tak bermaksud
menguraikan lebih dalam bagaimana kedua (atau ketiga) agama
itu masuk, sejarahnya, efek sosialnya, juga konflik-konflik yang
pernah timbul di masa lalu. Itu memerlukan studi tersendiri dan
terlalu kecil untuk dikabarkan di sini. Ada niat, memang, untuk
menulisnya secara tersendiri.
Yang ingin disampaikan di sini adalah, Bali tidak identik
dengan Hindu. Agama minoritas itu, Islam, Protestan, Katolik,
278
dan Budha Direktur Agama Budha di Departemen Agama Drs.
Oka Diputra adalah orang Bali asli yang tadinya Hindu hidup
rukun berdampingan dengan mayoritas Hindu, sebagaimana mi-
noritas Hindu di bagian lain Nusantara ini. Nyama selam, nyama
kristen, maupun nyama buda di abad teknologi ini tak pernah lagi
konflik dengan nyama Bali. Mereka semuanya orang-orang Bali
bertumpah darah di Bali. Perkawinan campuran sering terjadi, dan
sebagaimana halnya tradisi perkawinan di Bali, pihak perempuan
melepaskan ikatan dengan keluarga asal, maka pengantin wanita
ini ikut agama suaminya. Perempuan Protestan menjadi Hindu,
perempuan Islam menjadi Hindu, jika ia disunting pemuda Hindu.
Begitu sebaliknya. Mereka, dan anak-anak mereka yang lahir,
masih setia memakai nama tradisi Bali. Jadi, Wayan, Nyoman,
Nengah, bukan nama baptis, bukan nama orang Hindu ....

279
XVIII
Ritual Bali
dan Wajah Hindu
Nusantara

Rini Wahyuni,
Sebuah Epilog

P
URA Aditya Jaya, tempat persembahyangan umat Hindu
yang terbesar di Jakarta. Di ibu kota republik ini, setiap
wilayah punya tempat persembahyangan. Wilayah Jakarta
Timur malah memiliki tiga tempat, dua yang lain di Kompleks
Kopassus Cijantung dan Pura Kertha Bumi di dalam Taman Mini
Indonesia Indah.
Kegiatan persembahyangan di Pura Aditya teratur. Setiap bulan
mati (tilem) dan bulan penuh (purnama) diadakan persembahyan-
gan petang hari. Bagi orang Bali yang pertama kali ke pura ini,
mungkin merasakan sesuatu yang unik. Di tengah-tengah semba-
hyang, mengalun azan magrib dari masjid di sebelah pura, yang
cuma dibatasi tembok. Azan itu mengalun lewat pengeras suara,
sementara puja pendeta tidak berpengeras suara. Tapi tak ada yang
terganggu dalam semangat kerukunan antar-umat beragama.
Setelah persembahyangan, biasanya ada renungan suci. Atau
280
sekadar ngobrol-ngobrol, membicarakan apa yang perlu dan akan
dibangun (lagi) di kompleks pura.
Pada hari raya Galungan dan Kuningan, Pura Aditya Jaya jadi
pusat kunjungan umat. Dari pagi hingga malam, tak henti-henti-
nya umat datang. Dalam keadaan seperti itu, pendeta Hindu yang
memang disediakan rumah di dalam kompleks, memimpin doa
secara bersambung. Juga pada hari raya Saraswati turunnya
ilmu pengetahuan Pura Aditya Jaya menjadi pusat kunjungan
umat di Jakarta. Pada hari Saraswati, pura di dekat kampus Uni-
versitas Negeri Jakarta ini merayakan piodalan semacam hari
ulang tahunnya.
Di luar hari-hari suci itu, pura ini pun tak pernah lengang. Ada
saja orang yang datang. Mungkin menanyakan hari baik dewasa
kepada pendeta di sana. Atau organisasi umat Pemuda Hindu
Indonesia, banjar suka duka dan ada beberapa lagi mengadakan
pertemuan di balai pura ini. Mumpung datang ke pura, mereka
umumnya menyisihkan waktu untuk bersembahyang, lima menit
selesai. Di pura ini disediakan selendang, dupa, air suci, dan air
untuk membasuh tangan dan kaki. Persembahyangan dilakukan
sendiri-sendiri, tanpa dipimpin pendeta.
Hari Minggu, anak-anak berkeliaran di kompleks pura. Tempat
parkir juga penuh sesak. Ada pendidikan agama Hindu, dan anak-
anak biasanya menyebut les atau sekolah Minggu. Les ini diasuh
oleh sebuah yayasan pendidikan yang diakui oleh Parisada Hindu
Dharma dan mendapat pengesahan dari Kanwil Departemen P dan
K DKI Jakarta. Artinya, nilai di sekolah Minggu itu bisa dimasuk-
kan dalam nilai rapor dari sekolah mana si anak berasal. Seminggu
sebelum pembagian rapor di sekolah masing-masing, anak-anak
Hindu mengantungi nilai dari pura. Les seperti ini ada di setiap
tempat persembahyangan, kecuali di Taman Mini. Juga ada di luar
pura, misalnya pada asrama-asrama tentara. Tetapi, diakui, Pura
Rawamangun yang paling favorit gurunya lengkap dan suasana
belajarnya memadai.
Karena bangunan yang dipakai belajar terbatas daya tampung-
nya, anak-anak tidak setiap Minggu datang. Murid SD masuk
281
setiap hari Minggu tanggal ganjil. Minggu tanggal genap untuk
murid SMP dan SMA. Mahasiswa? Sampai sekarang belum dia-
tur. Peminatnya sedikit. Entah kenapa, padahal nilai agama untuk
mahasiswa itu wajib.
Pendidikan di sini menggunakan kata pengantar bahasa Indo-
nesia. Bukan saja muridnya sebagian besar tak mengerti bahasa
Bali, gurunya pun ada yang tidak lancar lagi berbahasa Bali. Lagi
pula, tidak semua muridnya anak-anak keturunan Bali. Ada orang
Jawa yang Hindu, orang Sulawesi yang Hindu, dan juga anak-anak
orang India di Jakarta. Karena itu pula, buku teks yang dipakai
berbahasa Indonesia. Sementara pura itu berfungsi sebagai labo-
ratorium, tempat praktek beribadat. Murid dituntun oleh guru
kelasnya, secara berkala bersembahyang di pura ini. Bagaimana
cara mengambil bunga, cara memegangnya, cara memuja, berapa
kali memuja. Dan doa yang dipakai, mengikuti bahasa aslinya,
Sanskerta jadi bukan bahasa Bali.

***

RINI Wahyuni, murid kelas 5 Sekolah Dasar Negeri IV Ciputat,


Kabupaten Tangerang, Jawa Barat, salah seorang murid di Pura
Aditya Jaya. Ia menjadi murid sekolah Minggu ini sejak kelas 3 SD,
begitu ia mengenal Jakarta mengikuti ayahnya yang pindah tugas.
Kelas 3 dan kelas 4 SD ditempuhnya di SD Trisula, Pegangsaan,
Jakarta Pusat. Bapaknya tinggal di Griya Wartawan, Cipinang
Muara. Itu sebabnya, Rini dititipkan di Pura Rawamangun.
Naik ke kelas 5, Rini pindah sekolah ke SD Negeri IV Ciputat,
karena ayahnya pindah rumah. Guru kelas Rini di sekolah baru
itu begitu pula kepala sekolahnya tak mengharuskan Rini
mencari nilai agama. Ia cukup diberi nilai agama melalui pendi-
dikan budi pekerti. Kadang dicoba pula diberi tes agama Islam
mungkin coba-coba saja. Rini sering menjawab dengan tepat,
kecuali kalau ada tulisan Arabnya.
Bukankah nilai sekolah Minggu di Pura Rawamangun itu hanya
berlaku untuk sekolah di DKI Jakarta? Bukankah SD Ciputat itu
282
termasuk wilayah Jawa Barat? Jadi, sesungguhnya, Rini bisa ber-
henti bersekolah Minggu di Pura Aditya Jaya.
Tapi, tidak. Belajar agama bukan untuk rapor, begitu kata
ayahnya suatu ketika. Dan Rini, untungnya, bersedia terus bangun
lebih pagi di setiap hari Minggu tanggal ganjil. Ayah Rini juga
bersedia mengantar nnenempuh jarak 35 km. Sekalian rekreasi,
dari pura toh bisa lebih dekat ke Ancol, misalnya.
Minggu siang di bulan April 1986, Rini rupanya baru saja
selesai ulangan di pura. Begitu naik di mobil ayahnya, ia sudah
merengut.
Sialan, deh, Pak. Saya lupa satu lagi isi Sad Ripu. Apa, sih,
Pak, kasih tahu, dong, rengeknya.
Ayahnya menghidupkan mobil.
Pak, apa, sih, isi Sad Ripu? Penasaran, nih . . ..
Ayahnya menggeleng.
Idiih . . . tidak tahu, ya? Rini mencibir.
Begitu tiba di rumah di kawasan perumahan sederhana di
Ciputat, Rini langsung menyerbu ibunya.
Bu, Sad Ripu itu apa, sih? Saya cuma tahu lima, kurang
satu.
Sudah, makan dulu. Ibu tak pernah belajar begituan, kata
ibunya. Dan Rini, mungkin penasaran sekali, membuka-buka buku
pelajarannya. Pada saat itu temannya memanggil.
Rin, kita putar video yang kemarin, yuk. Biasa, di rumah
Erna.
Tapi kita ke gereja dulu, Rin, sebentar saja, kata temannya
yang lain.
Lho, aku nungguin di mana? tanya Rini.
Ikut masuk saja. Masa bodoh, dulu juga mau.
Ya, deh, asal dikasih izin sama babe-ku.
Rini mendapat izin pergi, tentu setelah makan. Empat gadis
cilik itu sudah berboncengan dengan dua sepeda. Ayah Rini tidak
keberatan atau tepatnya tidak melarang Rini memasuki gereja.
Lelaki itu tahu, Rini tak mungkin canggung di pelukan gereja. Dua
tahun di taman kanak-kanak, kemudian di kelas 1 dan 2 SD, Rini
283
belajar di sekolah Tarakanita, Bumijo, Yogyakarta. Di sekolah ini,
setiap orangtua menandatangani surat pernyataan, tidak keberatan
anaknya dididik secara Katolik.

***

SAYA ayah Rini seperti yang mungkin sudah Anda baca


di dalam prolog. Saya memang belum begitu memikirkan secara
dalam-dalam apakah salah mendidik Rini seperti itu. Anak ini lahir
di Denpasar dengan nama Made Rini Wahyuni. Sesuai dengan
adat di lingkungan keluarga kami, kami hanya memakai nama
tradisional yang menyatakan nomor urut kelahiran saja di depan
nama orang. Tak ada embel-embel apa-apa lagi. Itu pun betul-betui
menyimpang bukan lagi nomor urut yang sebenarnya. Penyim-
pangan yang lain, tertulis Made, tetapi dipanggil Kadek.
Sejak kecil Kadek Rini diajari berbahasa Indonesia. Dalam
usia tiga tahun, Rini ikut kami ke Yogya. Ketika ia bersekolah
di Tarakanita, kami tak pernah memikirkan memberi les agama
Hindu, mungkin lantaran kewajiban mengikuti agama Katolik itu.
Dan, belakangan saya tahu pula, di Yogyakarta (waktu itu) tak ada
les agama Hindu seperti di Jakarta.
Yang unik dari Rini, di sekolah ia Katolik, di lingkungan kelu-
arga ia Hindu ibunya memerciki air suci setiap usai persemba-
hyangan di luar rumah dan luar sekolah ia tertarik dengan Islam.
Tertarik dalam ukuran dan pengertian bocah seusia dia. Ia mulai
membuang nama Made dan Kadek, ia ikut tarawih bersama anak-
anak pembantu kami, juga besama anak-anak tetangga. Bahkan
dalam usia tujuh tahun, Rini sudah mengenal beberapa pesantren
di sekitar Yogyakarta, lantaran diajak main oleh wartawati Tempo,
Solichah Muflia Rachman, yang ketika itu masih mahasiswi IAIN
Yogyakarta. Rini bahkan tak pernah kikuk di lingkungan keluarga
Kiai Haji Hamam Djafar, pemimpin Pesantren Pabelan Muntilan.
Rini ke sana diajak oleh wartawan Tempo, berkali-kali.
Baru setelah di Jakarta, Rini mengenal agama Hindu. Dan ia
kaget, agama Hindu ternyata punya pelajaran yang bisa dibaca,
284
dihafal, dan dites untuk mencari nilai rapor. Sayangnya mungkin
lebih tepat menyedihkan apa yang dipelajari Rini di Pura Ad-
itya Jaya tidak pernah diterima ibunya di sekolah menengah dulu.
Saya, ayah Rini, juga tak pernah menerima pelajaran seperti itu
di sekolah. Maklum, kami sama-sama keluaran sekolah kejuruan
yang disiapkan untuk menjadi tukang. Tetapi, beberapa pelajaran
Rini, ada yang pernah saya dengar. Sad Ripu itu, misalnya, saya
tahu artinya, enam musuh utama yang harus diperangi dalam
nafsu manusia. Tetapi apa yang enam itu, maaf saja. Istilah sep-
erti Sad Ripu dan lain-lain saya ketahui lewat kesenian: wayang
kulit, topeng, drama, arja. Kesenian inilah les agama Hindu untuk
masyarakat Bali.
Adakah istri saya bukan penganut Hindu yang baik? Minta
perhatian, jangan coba-coba melemparkan pertanyaan itu secara
langsung. Mungkin istri saya akan tersinggung. Dan ia siap mem-
beberkan fakta, dan mungkin akan berkata, dialah orang Bali yang
paling rajin bersembahyang di Jakarta.
Soal sembahyang itu, betul. Ia tahu persis saatnya bersembahy-
ang. Ia menganggap enteng urusan membuat sesajen. Bagaimana
pun rumitnya sesajen itu, ia tahu cara membuatnya. Suatu hari ia
pernah nyaris lupa ada hari suci persembahyangan. Ia baru ingat
menjelang pukul lima sore. Maka, sebuah taksi dicarternya dari
Ciputat untuk mengantar ke Pasar Mester Jatinegara, hanya mem-
beli janur. Ia tak tahu bagaimana mendapatkan janur selain di pasar
itu. Ketika pulang hari telah gelap, ia menyiapkan sesajen dengan
tekun. Sembahyang bisa juga dilakukan malam hari.
Adalah istri saya pula yang mensponsori berdirinya serang-
kaian tiga buah sanggah tempat persembahyangan keluarga,
seperti pura tetapi kecil di rumah, baik ketika di Yogya maupun
di Ciputat. (Di Griya Wartawan tidak membangun sarana itu karena
rumah kontrakan. Jadi, kami sembahyang di dalam rumah). Istri
saya pula setiap pagi membuat punjung, suatu bentuk pemujaan
untuk para leluhur yang telah tiada, sebelum kami sekeluarga
mencicipi hidangan yang dimasak pagi itu. Bagi istri saya, mem-
bangun sanggah biaya dan upacaranya mahal, mendatangkan
285
keluarga dari Bali lebih penting dari membangun garasi mobil
atau dapur moderen.
Sukar diragukan ketaqwaan istri saya. Saya barangkali ma-
sih bisa digugat soal bersembahyang. Tapi, melalaikan agama?
Mungkin tidak. Sebagai kepala keluarga, saya menyiapkan sarana
persembahyangan. Selain mendirikan sanggah, saya membelikan
istri saya dupa, janur, kembang walau membelinya karena sering
diingatkan. Saya menyelusup berdesakan ke Pasar Jatinegara un-
tuk membeli janur, dan membawa janur itu berjalan ratusan meter
karena mobil tak bisa parkir di dalam pasar. Kadang kehujanan,
tetapi nikmat karena itu urusan agama. Saya juga menyerahkan
anak saya ke guru agama dan mengantarkannya dengan rajin. Ham-
pir setiap hari raya persembahyangan di Pura Dadia di kampung
saya kadang dua tahun sekali, tergantung banyak hal saya
pulang ke Bali.
Memang, dalam urusan bersembahyang, saya seperti orang
mengheningkan cipta memperingati Hari Pahlawan. Kalaupun
saya memohon ini dan itu yang dimohon tentu saja keselamatan
dan selalu berjalan di jalan Tuhan hanya di dalam batin. Lagi
pula, walaupun di dalam batin, untuk lancarnya, saya memakai
bahasa Indonesia. Saya lupa bagaimana menggunakan bahasa Bali
halus bentuk normal untuk persembahyangan. Itu yang mem-
bedakan saya dengan istri saya. Dia bersembahyang dengan puja
yang lancar, dengan kata yang diucapkan keluar. Jadi, kalau kami
bersembahyang bersama, saya selalu menjadi pendamping.
Begitu pula Rini. Bahkan, kalau Rini misalnya lagi les musik
atau les Inggris, dan waktu bersembahyang tiba, les itu yang lebih
penting. Pulang les, ia cukup diperciki air suci persembahyangan.
Di masyarakat pedesaan di Bali, keuntungan ini juga banyak
dinikmati lelaki dewasa, tinggal diperciki air suci oleh istrinya.
Kami, saya dan istri, belajar agama dari masyarakat. Seb-
agaimana umumnya penduduk Bali, kami belajar agama langsung
di laboratorium yakni pura itu. Lab yang bertebaran di Bali itu
memiliki kurikulum yang sama mendidik siswanya. Hampir tak
pernah ada di sebuah pura, orang membicarakan, apa itu buku suci
286
agama Hindu, siapa nabi agama Hindu, dan sebagainya. Jarang
sekali, dan memang tidak biasa, persembahyangan didahului khot-
bah, atau do Bali disebut dharmawacana. Hanya di Pura Agung
Jagatnatha Denpasar, dharmawacana itu berlangsung ajek. Di
dalam khotbah itu, pelajaran agama biasanya diselipkan. Namun,
harap dicatat, pengunjung pura ini adalah pelajar dan mahasiswa,
mereka jauh dari keluarga, mereka memerlukan seorang penuntun,
pengganti ibunya yang memercikkan air suci.
Walau kami sama-sama keluaran laboratorium, pengetahuan
saya tentang ajaran agama Hindu lebih baik dari istri saya, pasti.
Itu karena saya wartawan, sering ditugasi menulis berita dari
persembahyangan di Pura Jagatnatha. Juga saya suka kesenian
rakyat, bukan saja sebagai penonton, tetapi juga terlibat bermain.
Teater rakyat Bali ini banyak menyelipkan ajaran agama Hindu, apa
pun ceritanya. Para pemain teater rakyat ini boleh jadi tak pernah
belajar agama di bangku sekolah. Para seniman itu mengetahui
dari pelatihnya atau bagi yang tekun membuka-buka lontar yang
berbahasa dan berhuruf Bali.
Itu bedanya kami dengan Rini. Anak ini boleh disebut paling
ahli dalam hal ajaran agama Hindu. Sudah tiga buku tulis penuh
catatan. Juga buku-buku terbitan Direktorat Bimas Hindu dan
Budha yang sejak 1980-an mulai menyebarkan buku agama.
Belakangan saya suka mengintip buku catatan Rini. Aduhai rumit-
nya, dan asingnya istilah-istilah itu.
Pernah secara iseng, saya mengetes istri saya, memakai buku
catatan Rini. Saya tanyakan apakah istri saya tahu arti dan uraian
Tri Kaya Parisudha. Seperti yang saya duga, istri saya menggeleng.
Lalu saya jelaskan, itu berarti berpikir, berkata, dan berbuat yang
baik. Ketiga tindakan ini harus selaras. Memang, kita harus satu
kata dan perbuatan dari apa yang kita pikirkan. Bukan saja harus
baik, tetapi harus jujur dan mengandung kebenaran. Nasihat seperti
itu sejak kecil saya terima di kampung, jawab istri saya.
Ajaran, menurut Rini. Nasihat, menurut istri saya. Masyarakat
Bali sudah mempraktekkan ajaran agamanya melalui nasihat-nasi-
hat. Boleh pula dikatakan, ajaran tanpa istilah. Entah kepada siapa
287
lalu dilemparkan kesalahan, kalau selama ini banyak istilah agama
Hindu yang tidak populer. Pada sekolah-sekolah formal? Berapa
jamkah pelajaran agama di sekolah dasar dan sekolah menengah?
Berapa gurukah yang punya dasar untuk itu? Mungkinkah kesala-
han itu dilemparkan ke lembaga-lembaga informal, seperti sekeha
kidung, pesantian, dan kesenian-kesenian tradisional yang mulai
berkurang jumlah dan perannya? Bagaimana pula kalau jalur na-
sihat itu tak lagi mentradisi?

***

SEORANG utusan dari luar Bali ketika mengikuti Mahasaba


(kongres) Parisada Hindu Dharma di Denpasar bulan Februari 1986
sempat mengeluh, sepanjang pengamatannya, orang Bali jarang
yang melakukan sembahyang Trisandya. Utusan itu mengaku rajin
bersembahyang tiga waktu setiap hari itu.
Kesan seperti itu benar sekali. Memang banyak yang melaku-
kan sembahyang Trisandya, tetapi kalau dilihat dengan jumlah
umat, yang taat bersembahyang tiga kali sehari itu sangat sedikit.
Kenapa ajaran seperti ini tidak dikembangkan, kenapa harus sibuk
dengan upacara-upacara yang menghabiskan daun, bunga, janur
itu? keluh seorang peserta Mahasaba.
Banyak kritik yang dilontarkan kepada lembaga umat Hindu
soal mandek-nya agama Hindu sampai pada tingkat upacara.
Prof. I Gusti Ngurah Bagus berpendapat, perlunya ada terobosan
baru di bidang ajaran agama, dalam arti menimba lebih banyak
filsafat. Dalam suatu wawancara dengan Gde Aryantha Suthama
(wawancara ini untuk buku Apa & Siapa 1985/1986 yang oleh
Aryantha rekaman kasetnya dikirim ke saya), Ngurah Bagus
mengajak umat Hindu mendalami ajaran agamanya yang tersirat
dalam etika dan filsafat. Dengan pendalaman ini, agama Hindu bisa
menjawab masalah-masalah pembangunan, masalah kemiskinan,
keterbelakangan, keresahan jiwa, masalah pendidikan, dan banyak
lagi. Untuk itu tidak cukup hanya dengan ibadat yang kesannya
selama ini pada upacara melulu, kata Ngurah Bagus.
288
Tantangan untuk masalah pendalaman agama ini, menurut
dosen antropologi Universitas Udayana ini, antara lain mener-
jemahkan secara besar-besaran buku-buku agama, baik dari lontar-
lontar maupun dari bahasa lainnya. Yang dimaksud bahasa lain,
tentu, Sanskerta. Setelah penerjemahan itu selesai, doronglah
anak-anak muda dalam situasi peralihan ini untuk belajar agama.
Jalan pintas ini harus ditempuh, katanya.
Penerjemahan yang dimaksud Ngurah Bagus juga termasuk
menafsirkan secara bebas ajaran-ajaran itu. Dari tafsiran inilah,
kelak agama Hindu bisa menjawab berbagai problem di masyara-
kat. Dan bersama umat beragama lain dalam kaitan dialog
antaragama memecahkan masalah kenegaraan, apakah itu soal
kemiskinan, pendidikan atau narkotik. Umat Hindu di luar Bali su-
dah mulai aktif. Di kampus UGM Yogya, dan di berbagai banjar di
Jakarta, sudah ada kelompok-kelompok studi masalah keagamaan.
Tetapi, anehnya, di Bali tidak. Mungkin pikiran anak-anak muda di
Bali mengikuti orangtuanya yang tradisional dan masalah agama
seperti berkutat di sekitar upacara itu saja.
Mendengar Ngurah Bagus, saya teringat lagi kepada Rini.
Ketika suatu kali di kampung, ia ditanya neneknya, apakah bapak
dan ibu bersembahyang di Jawa, Rini menjawab, Tentu saja
bersembahyang, tetapi tidak sebanyak di Bali, hampir tiap hari
membuat sesajen.
Yang lucu, ketika Rini dituntun bersembahyang oleh neneknya,
serta bibi-bibinya. Nenek dan bibinya ini kata Rini heran
ketika Rini bersembahyang dengan lima kali memuja. Kok banyak
sekali, ajaran siapa? tanya bibinya, konon. Dan Rini memberi
kuliah di sana, setiap melaksanakan sembahyang, harus lima
kali, dan itu bernama Pancasembah. Adik Rini, (Komang) Wirya
Suniatmaja, yang ikut dalam rombongan bersembahyang itu,
sempat menjelaskan arti Pancasembah itu. Pancasembah kan
pelajaran di kelas dua SD, kata Wirya, seperti yang diceritakan
Rini kepada saya.
Keluarga saya di kampung pasti menjalankan ibadat agama
dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Dan Rini serta Wirya men-
289
jalankan ibadat berdasarkan ajaran yang diterima dari guru dan
buku-buku. Dan istri saya? Kalau kami bersembahyang bersama,
istri saya sering ditegur anak-anaknya: Bu, sekarang tangan ko-
song, jangan pakai bunga. Istri saya pun menyesuaikan diri.
Pada akhirnya intelektual Hindu yang bakal lahir nanti atau
sudah lahir lewat kampus Institut Hindu Dharma tentulah
akan sependapat dengan ide Ngurah Bagus: agama Hindu harus
lebih keluar dari tradisinya yang selama ini dikesankan dengan
upacara saja. Segi upacara mungkin dikurangi, bisa pula tidak,
tetapi pendalaman dan pembahasan di luar aspek upacara itu akan
semakin punya gerak yang lebih besar. Dan yang menggembirakan,
Rini-Rini yang lain dengan ilmu agama yang lebih tentunya
bertebaran di luar Bali, dan semakin meningkat dewasa, baik
dalam usia maupun kematangan. Saya percaya, di Bali pun pem-
baru-pembaru seperti itu sudah lebih dulu lahir. Kalau gemanya
tidak muncul secara nasional, itu faktor lain.

***

JIKA diamati perkembangan yang terjadi di masyarakat Bali,


banyak yang telah berubah, tanpa gembar-gembor dan tanpa ekses.
Juga tanpa perlu lewat pengukuhan yang, misalnya, formal.
Katakanlah, misalnya, soal kasta. Pada sebagian orang, lebih-
lebih orang luar Bali, kasta itu seperti bagian dari agama Hindu.
Padahal, tidak. Dan kasta di Bali tidak mengikuti pola pembagian
kelas seperti yang ada di India. I Gusti Ketut Kaler, pensiunan
Kepala Bimas Hindu dan Budha pada Kanwil Departemen Agama
Provinsi Bali, berkali-kali menyebutkan, Di Bali tidak ada kasta
Sudra seperti pengertian yang ada di India, yang dibatasi hak-
haknya dalam menjalankan ibadat agama. Juga I Gusti Agung Gde
Putra, yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Budha, dalam kuliahnya
di IHD serial kuliahnya ini dibukukan dan dilempar ke tengah
masyarakat sering mengatakan, di Bali sesungguhnya tidak
ada kasta, yang ada warna fungsi sosial seseorang di dalam
masyarakat.
290
Awal adanya warna, fungsi sosial itu, ketika Bali diperintah
oleh Maharaja Dalem Dimade, sekitar abad ke-16. Ada empat
warna, karena itu disebut catur warna. Golongan pertama, mereka
yang memimpin upacara-upacara keagamaan. Kepada golongan
ini diberikan pangkat di depan namanya. Pangkat atau gelar itu,
Ida Bagus untuk yang lelaki, dan Ida Ayu untuk yang perempuan.
Golongan kedua, mereka yang menjalankan roda pemerintahan.
Karena tingkat-tingkat di pemerintahan itu banyak ragamnya, gelar
yang diberikan juga banyak. Yaitu, Anak Agung, Cokorde, Gusti
Ngurah, Gusti, Dewa untuk barisan lelaki. Yang perempuan, Anak
Agung Istri, Cokorde Istri, Gusti Ayu, Desak. Yang terakhir ini,
Desak, supaya sebutannya lebih manis, sering pula disesuaikan
menjadi Dewa Ayu. Golongan ketiga, yang bergerak di bidang
ekonomi. Gelarnya Si, baik untuk lelaki maupun perempuan.
Golongan keempat, para petani, yang jadi soko guru kerajaan.
Cukup bergelar pendek untuk memudahkan sebutan, I untuk lelaki,
Ni untuk perempuan.
Manipulasi gelar ini terjadi setelah Dalem Dimade tak lagi men-
jadi maharaja di Bali yang berpusat di Gelgel. Yakni, gelar-gelar
itu diwariskan ke anak turunannya, walaupun anak keturunannya
itu sudah berubah fungsi. Misalnya, seorang anak tetap melekatkan
nama Ida Bagus di depan namanya, walaupun ia tidak lagi punya
keahlian memimpin upacara keagamaan. Karena adanya pengaruh
budaya dari India, penggolongan itu pun diberi nama seperti kasta
di India: Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra.
Yang lebih tragis entah di zaman raja yang mana ada
ketentuan yang membatasi perkawinan antargolongan. Jika wanita
yang berkasta lebih tinggi kawin dengan lelaki berkasta lebih ren-
dah, disebut perkawinan Asu Pundung. Jika wanita yang kastanya
lebih rendah kawin dengan lelaki berkasta lebih tinggi, disebut
Anglangkahi Karang Hulu. Kedua jenis perkawinan ini dilarang.
Pada zaman raja-raja masih berkuasa tentu setelah dinasti Di-
made yang melanggar dengan menempuh cara perkawinan itu
bisa dihukum mati.
Kemudian oleh pemerintah penjajahan Belanda, ketentuan ini
291
dibuat tertulis, dan dikenal dengan ketentuan Paswara bertahun
1910. Hukumannya diperingan menjadi hukuman buangan seumur
hidup. Lalu diperingan lagi menjadi hukuman buangan sepuluh ta-
hun, kemudian menjadi buangan tiga tahun. Di alam kemerdekaan,
mestinya ketentuan semacam ini otomatis tak lagi berlaku, tetapi
karena ada orang yang ragu-ragu, DPRD Bali mengeluarkan kepu-
tusan nomor ll/DPRD/1951 yang menegaskan, segala ketentuan
Asu Pundung dan Anglangkahi Karang Hulu tidak berlaku lagi.
Dalam tahun 1980-an ini, persoalan kasta sudah tidak lagi
menjadi pembicaraan yang ramai. Dan diam-diam, nama yang
semula merupakan gelar itu sudah ditanggalkan sendiri oleh
para pemakainya, apalagi kalau ia merasa sudah jauh menyimpang
dari fungsi sosialnya, seperti apa yang digariskan para leluhur di
Bali dulu. Apalagi, faktanya sekarang, keluarga-keluarga yang
bergelar tinggi, kehidupan sosialnya tidak lebih baik dari mereka
yang bergelar karena fungsi sosialnya dulu petani. Dulu, seorang
Ni berbicara dengan bahasa halus dan sikap penuh hormat kepada
Ida Ayu. Seorang I berbicara sambil menyembah-nyembah kepada
Ida Bagus. Sebaliknya, Ida Bagus dan Ida Ayu berbicara kasar
dengan sikap tinggi dan angkuh kepada I dan Ni.
Di tahun 1986, hal itu sudah jarang, dan pembicaraan sudah
mulai sejajar, sama-sama memakai bahasa tinggi atau sama-sama
memakai bahasa menengah. Bahkan bentuk hormat pemakaian
bahasa Bali sekarang tidak lagi mengikuti kasta kalaulah istilah
ini masih dipakai melainkan kehidupan sosial. Di Kuta, seorang
I membentak dengan kasar seorang Ida Bagus, dan yang terakhir
ini menunduk dengan amat takut sambil berbicara dengan agak
hormat. Kebetulan I seorang manajer hotel, dan Ida Bagus pelayan
yang telat memberi sarapan pagi kepada tamu hotel.
Bulan April 1986, ketika tulisan ini sedang saya buat, saya
kaget sekali mendengar Pemimpin Redaksi Bali Post, Raka
Wiratma, meninggal dunia. Pertama, kaget seperti biasa karena
seorang yang sangat dekat, telah tutup usia. Kedua, kaget dalam
kaitan dengan materi tulisan ini. Ternyata, Bapak Raka Wiratma,
yang bertahun-tahun menjadi pimpinan saya, yang tak pernah
292
menulis nama lain selain yang sudah dikenal itu, bergelar I Gusti.
Dan itu pun masih ditambah Gde. Di dalam surat kabar yang dip-
impinnya, di kartu keanggotaan PWI, nama I Gusti Gde tak pernah
disebut-sebut. Tiba-tiba nama itu muncul, dibacakan, ditulis, pada
saat yang punya nama tak bisa berbuat apa-apa.

***

SEMANGAT apakah yang saya peroleh setelah pulang dari


Bali dan merenungi perjalanan ini dari sebuah kota metropolitan?
Yang ada dalam dada saya tetap suatu pergolakan, dan tetap tak
bisa menyimpulkan adakah Bali berjalan menuju jurang neraka
atau taman surga yang indah. Mungkin terlalu angkuh pikiran untuk
menyimpul-nyimpulkan itu. Yang lebih sederhana barangkali, kini
saya melihat perjalanan perubahan budaya di Bali seirama dengan
perjalanan budaya di bagian-bagian lain bumi Indonesia ini. Ada
yang mencemaskan, ada yang tidak.
Upacara keagamaan di Kuta, misalnya, tetap berjalan walau
kawasan itu menjadi perkampungan turis yang pikuk. Di depan kios
seni, di depan disko yang gemerlapan, di depan pusat penjualan
kaset, masih tetap ada seonggok sesajen kecil yang disebut canang
sari. Bahkan kini bentuknya lebih bagus, karena ada tukang khusus
yang membuatnya, dan menjualnya.
Kesenian berjalan mengikuti siklus. Bahwa ada jenis tari dan
drama tari yang hilang, diganti dengan jenis yang baru, itu suatu
proses dari sebuah kebudayaan yang dinamis. Dari rekaman pem-
bicaraan dengan beberapa tokoh seni, ada tersirat satu keyakinan
bahwa suatu saat kesenian yang hilang itu akan muncul kembali.
Sulit dibayangkan, dari sebuah kampung yang ingar-bingar di Kuta,
muncul grup pesantian dari muda-mudi setempat. Faktanya, grup
itu ada saat ini.
Joged bumbung, misalnya, yang sudah lama hilang, kini
muncul dengan semangat baru ketika ada gelitikan dari rekan-
nya: jaipongan. Seniman-seniman yang bermarkas di ASTI telah
melahirkan berbagai jenis tari baru yang banyak mengambil unsur
293
gerakan tari Jawa dan Sunda. Sementara itu, tari klasik sudah
mulai didokumentasikan, bahkan mulai dirintis pula pembuatan
notasi tari.
Bagaimana dengan pertunjukan untuk konsumsi turis yang
dijajakan di sepanjang jalan jalur wisata? Kecemasan saya yang
dulu, bahwa dari pertunjukan ini terkesan kesenian di Bali menu-
run mutunya, merupakan kecemasan saya yang berlebihan. Kini
terlihat ada arus balik. Yaitu, masyarakat pendukung kesenian itu
sudah betul-betul menyadari fungsinya sebagai penghibur. Yang
dihibur, turis yang memang tak banyak punya waktu. Sementara
mereka menjalankan fungsi menghibur, di saat lain para seniman
rakyat ini memenuhi kebutuhan seninya. Mereka masih tetap ber-
kesenian untuk kegiatan banjar, kegiatan adat, kegiatan agama. Dan
ini tetap dipelihara, dipergelarkan, ada atau tidak ada turis.
Turis yang datang pun mulai mengerti antara lain karena
mulai ada semangat kejujuran pada sejumlah biro perjalanan dan
guide bahwa kesenian pinggir jalan itu adalah sebuah etalase
dari kesenian Bali yang sesungguhnya. Kalau turis memang punya
waktu yang luang, mereka bisa menikmati kesenian yang bukan
etalase. Tidak di sembarang tempat, tidak di sembarang jam.
Semangat lain yang saya tangkap, adanya kesadaran baru yang
tumbuh dari bawah bukan dari atas: pemerintah atau lembaga
formal yang tetap ingin menyelamatkan Bali dan sejarahnya.
Misalnya, berdirinya museum lukisan, museum pahat. Lalu mun-
culnya berbagai pikiran untuk mendalami ajaran agama Hindu
yang benar-benar tertulis dan menafsirkannya untuk dihadapkan
kepada masalah-masalah yang menantang zaman. Bukan lagi
berkiblat kepada kebiasaan leluhur saja, bukan lagi yang diwujud-
kan dengan upacara-upacara saja. Sehingga, agama Hindu bukan
hanya hura-hura di jalan, bukan cuma kidung mengalun di pura,
tetapi masuk ke ruang seminar yang membahas berbagai persoalan
kemasyarakatan. Kalau ini tidak dikembangkan, kalau kegiatan
keagamaan itu mandek pada tingkat upacara, bagaimana umat
Hindu yang berada di luar Bali? Tentu tak bisa menyesuaikan
diri dengan saudaranya di Bali.
294
Semangat yang saya bawa kini adalah semangat yang tetap in-
gin menggugat Bali. Menggugat, karena memang ada beberapa hal
yang tak bisa saya mengerti. Mengapa misalnya di kuburan Trun-
yan dan di permukiman Muslim Pegayaman harus diletakkan candi
bentar, suatu hal yang bukan saja merusakkan keaslian wilayah
itu, tetapi juga sesuatu yang tidak dikehendaki masyarakatnya?
Mengapa Gurun Teko harus dikejar-kejar ketika ia membawa ayam
aduan, sementara gerombolan orang memecahkan ramalan buntut
yang sama sekali tak nalar itu tidak pula dikejar-kejar?
Semangat untuk menggugat Bali ini semestinya dimiliki setiap
orang yang mencintai Bali. Semangat yang perlu diembuskan,
semangat menggugat yang positif.

295
KEPUSTAKAAN

Danandjaja, James: Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali,


Pustaka Jaya, 1980.
Kaler, I Gusti Ketut: Upacara Pitra Yadnya, naskah yang
belum diterbitkan.
LKMD Kelurahan Kuta: Monografi Kelurahan Kuta, brosur
stensilan
milik Kelurahan Kuta, 1984.
^
Mabbett, Hugh: The Balinese, January Books, New Zealand,
1985.
Neka, P.W. Suteja: Museum Neka Terdepan dalam Lukisan,
brosur stensilan khusus untuk museum Neka.
296
Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik (Tradis-
ional) dan Baru: Mengenal Dramatari Arja di Bali, 1975.
Proyek Pengembangan Permuseuman Bali: Pameran Seni Rupa
Bali Karya Seniman Muda, brosur pameran yang diselenggarakan
di Bangli, 1983.
Saba Sastra Bali: Galang Kangin, kumpulan puisi berbahasa
Bali, 1976.
Soebandi, Ktut: Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali, CV
Kayumas, Denpasar.

297
Tentang Penulis

P
utu Setia dilahirkan di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan,
Kabupaten Tabanan, Bali, pada 4 April 1951. Ayahnya
seorang budayawan, juga tokoh spiritual. Nama yang
diberikan ayahnya memang cuma itu, tanpa ada embel-embel
apapun di depan nama Putu Setia -- sesuatu yang tidak lazim di
Bali, saat itu. Dalam catatan yang memakai huruf Bali, di belakang
namanya hanya tertulis hari kelahiran, Budha Paing Krulut. Putu
Setia adalah anak kelima dari sembilan bersaudara, tetapi ia lelaki
yang pertama.
Selepas sekolah menengah, Putu mengenyam pendidikan ju-
rnalistik di sebuah universitas swasta dan kursus jurnalistik yang
diselenggarakan LP3ES di Jakarta. Ia kemudian bergabung sebagai
wartawan harian Bali Post yang terbit di Denpasar merangkap kore-
sponden Majalah Tempo di Bali. Tahun 1978 ia sepenuhnya bekerja
di Majalah Tempo dan dipindahkan ke Yogyakarta. Selama lima
tahun di Yogyakarta, Putu suka mengunjungi pesantren-pesantren
dan ia, misalnya, sangat akrab dengan KH Hamam Djafar (kini
almarhum), pimpinan Pesantren Pabelan, Muntilan.
Tahun 1982 ia dipindahkan ke Jakarta, sampai ia pensiun dari
Tempo pada April 2006 dengan status Redaktur Senior. Kini ia
kembali pulang ke kampungnya di Bali, menulis dan membina
pasraman (ashram), menjadi pendeta. Ia dinobatkan sebagai pen-
deta Hindu dengan bhiseka (nama baru kependetaan): Ida Pandita
Mpu Jaya Prema Ananda, pada 21 Agustus 2009.
Sudah banyak buku yang diterbitkannya, dari fiksi dan non-
fiksi. Setelah menjadi pendeta Hindu, ia menulis juga buku-buku
keagamaan.

298

Vous aimerez peut-être aussi