Vous êtes sur la page 1sur 11

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


DIAGNOSA HIPOKSIA

LAPORAN KELOMPOK
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Maternitas

Disusun Oleh :

Nama NIM
Hariana
Ahmad 15.654
Sri Wahyuni 15.633
Nur Alya Alam

PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA III KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN YPPP
WONOMULYO
2016
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Nonatus atau bayi baru lahir (BBL) merupakan hasil reproduksi yang berhasil
dilahirkan oleh seorang ibu hamil, sebagai suatu makhluk yang unik oleh karena
mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan kehidupan ekstrauterin. Di dalam rahim
kebutuhan nutrisi dan oksigen dipenuhi sepenuhnya oleh ibu melalui mekanisme utero-
plasental. Begitu lahir seorang bayi harus mampu melakukan adaptasi agar bisa bertahan
hidup. Kemampuan adaptasi ini sangat tergantung pada maturitas organ, kondisi janin
(berat lahir, masa gestasi) dan faktor lingkungan (sebagian adalah faktor ibu). Proses
adaptasi yang tidak berjalan semestinya dapat mengakibatkan keadaan gawat darurat
neonatus yang dapat menjadi pangkal bencana, karena dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan (Kosim, 2006).
Hipoksia adalah suatu keadaan di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan oksigen
yang cukup (James et al, 2008). Hipoksia perinatal adalah kondisi terganggunya pertukaran
gas selama periode intrapartum yang apabila berkelanjutan mengakibatkan hipoksemia dan
hiperkarbia, dan fetal asidosis (Efendi & Minerva, 2013).

B. Etiologi
Hipoksia dapat terjadi pada periode antepartum dan intrapartum sebagai akibat dari
pertukaran gas melalui plasenta yang berdampak tidak adekuatnya suplai oksigen dan
perpindahan karbon dioksida serta hidrogen (H+) dari janin. Etiologi hipoksia perinatal
antara lain meliputi faktor maternal, uteroplasenta dan janin itu sendiri (Efendi & Minerva,
2013).
Faktor maternal antara lain infeksi (korioamnionitis), penyakit ibu (hipertensi kronik,
penyakit jantung, penyakit ginjal, dan diabetes. Faktor uteroplasenta juga berperan dalam
hal ini, yang tersering adanya insufisiensi plasenta, oligohidramnion, polihidramnion,
ruptur uterus, gangguan tali pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, prolaps tali
pusat). Faktor janin yaitu prematuritas, bayi kecil masa kehamilan, kelainan bawaan,
infeksi, depresi saraf pusat oleh obat-obatan, dan twin to twin transfusion (Efendi &
Minerva, 2013).

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan hipoksia menurut (Behrman,1999)
sebagai berikut:
1. Apgar skor yang rendah. Apgar skor 3 pada menit ke-10 termasuk faktor depresi
akibat anestesi, trauma, infeksi, dan gangguan kardiopulmonal
2. Gangguan pH (menurun). Gangguan asidosis berat didapatkan bila pH 7
3. Denyut jantung < 60 kali/menit
4. Memerlukan ventilasi tekanan positif pada menit 1 atau belum menangis lebih dari 5
menit
5. Kejang pada usia 12 sampai 24 jam pertama
6. Pucat
7. Sianosis
8. Apneu
9. Tidak memberikan respon terhadap rangsangan
10. Mengalami depresi
11. Gagal nafas secara spontan

D. Pathofisiologis
Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan pada dewasa. Hal ini
dibuktikan bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus berusaha mempertahankan
hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi) dari paru-paru, gastrointestinal, hepar,
ginjal, limpa, tulang, otot, dan kulit, menuju ke otak, jantung, dan adrenal (diving reflex).
Pada fetal distress maka peristaltik usus meningkat, spinchter ani terbuka, mekonium akan
keluar bercampur dengan air ketuban, skuama, lanugo, akan masuk ke trakea dan paru-
paru, sehingga tubuhnya berwarna hijau dan atau kekuningan. Kombinasi antara fetal
hypoxia yang kronis dengan cedera hipoksik iskemik akut setelah lahir mengakibatkan
kelainan neuropatologi yang sesuai dengan umur kehamilannya. Pada hipoksia yang
ringan, timbul detak jantung yang menurun, meningkatkan tekanan darah yang ringan
untuk memelihara perfusi pada otak, meningkatkan tekanan vena sentral, dan curah
jantung. Bila asfiksianya berlanjut dengan hipoksia yang berat, dan asidosis, timbul detak
jantung yang menurun, curah jantung yang menurun, dan menurunnya tekanan darah
sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan energi. Selama
asfiksia timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya jelek,
maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis yang sistemik, maka asam
laktat akan dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan perbaikan perfusi.
Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatifserebral sehingga asam laktat meningkat
dan pH menurun, dan akibatnya menyebabkan proses glikolisis anaerobik tidak efektif dan
produksi ATP berkurang. Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan
penggunaan glukosa. Adanya asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis,
hilangnya autoregulasi serebrovaskuler, dan menurunnya fungsi jantung, menyebabkan
iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada setiap jaringan. Cadangan glukosa
menjadi berkurang, cadangan energi berkurang, dan timbunan asam laktat meningkat.
Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun, dan
adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari oksidasi
fosforisasi dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, maka ion pump
terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+, glutamat,
dan aspartate ekstraseluler (Utomo, 2006).

E. Prognosis
Menurut Utomo (2006) menyebutkan bahwa prognosis akan menjadi buruk apabila :
1. Hipoksia berkepanjangan
2. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan multi
organ
3. Adanya oliguria persisten (produksi urin <1 ml/kg BB per jam selama 36 jam pertama)
4. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio lingkar kepala yang
didapatkan pada waktu lahir dibandingkan dengan usia 4 bulan dibagi rerata lingkar
kepala pada bayi seusianya kali 100 % > 3,1 % merupakan cara untuk memprediksi
timbulnya mikrosefali sebelum usia 18 bulan
5. Adanya kelainan CT Scan yang berupa perdarahan yang berat. Periventrikuler
leukomalasi (PVL) atau nekrosis
6. Kelaianan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir. Sebaliknya
pemeriksaan MRI yang normal pada 24-72 jam setelah lahir hampir selalu
menghasilkan prediksi outcome yang baik, walaupun pada neonatus yang mengalami
hipoksia berat dan asfksia berat.

F. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah pengumpulan riwayat kesehatan. Gunakan
teknik inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Keberhasilan pemeriksaan mengharuskan perawat
untuk menguasai landmarks anatomi toraks posterior, lateral, dan anterior. Gunakan
landmarks ini untuk menemukan letak dan mengetahui struktur organ di bawahnya,
terutama lobus paru, jantung, dan pembuluh darah besar. Bandingkan sisi yang satu dengan
sisi lainnya. Bandingkan teman pada satu sisis toraks dengan sisi toraks sebelahnya.
Palpasi, perkusi, dan auskultasi dilakukan dari depan ke belakang atau dari satu sisi toraks
ke sisi lainnya sehingga dapat mengevaluasi temuan dengan menggunakan sisi sebelahnya
sebagai standar perbandingan (Asih, 2003).
Kondisi dan warna kulit klien diperhatikan selama pemeriksaan toraks (pucat, biru,
kemerahan). Kaji tingkat kesadaran klien dan orientasikan selama pemeriksaan untuk
menentukan kecukupan pertukaran gas (Asih, 2003).
1. Inspeksi
Perhatikan manifestasi distress pernafasan saat ini : posisi yang nyaman,
takipnea, mengap-mengap, sianosis, mulut terbuka, cuping hidung mengembang,
dispnea, warna kulit wajah dan bibir, dan penggunaan otot-otot asesoris pernafasan.
Perhatiakn rasio inspirasi ke ekspirasi, karena lamanya ekspirasi normal dua kali dari
lamanya inspirasi normal, maka rasio normal ekspirasi : inspirasi adalah 2:1.
Inspeksi dimulai dengan pengamatan kepala dan area leher untuk mengetahui
setiap kelainan utama yang dapat mengganggu pernafasan. Perhatikan adanya
sputum atau tidak. Perhatikan pengembangan cuping hidung, nafas bibir dimonyong-
monyongkan, atau sianosis membrane mukosa. Catat adanya penggunaan otot
aksesori pernafasan, seperti fleksi otot sternokleidomastoid. Amati penampilan
umum klien, frekuensi serta pola pernafasan, dan konfigurasi toraks.
2. Palpasi
Dada dipalpasi untuk mengevaluasi kulit dan dinding dada. Palpasi dada dan
medulla spinalis adalah teknik skrining umum untuk mengidentifikasi adanya
abnormalitas seperti inflamasi. Perlahan letakkan ibu jari tangan yang akan
mempalpasi pada satu sisi trakea dan jari-jari lainnya pada sisi sebelahnya. Gerakkan
trakea dengan lembut dari satu sisi ke sisi lainnya sepanjang trakea sambil
mempalpasi terhadap adanya masa krepitus, atau deviasi dari garis tengah.
Palpasi dinding dada menggunakan bagian tumit atau ulnar tangan.
Abnormalitas yang ditemukan saat inspeksi lebih lanjut diselidiki selama
pemeriksaan palpasi. Palpasi dibarengi dengan inspeksi terutama efektif dalam
mengkaji apakah gerakan, atau ekskursi toraks selama inspirasi dan ekspirasi,
amplitudonya simetris atau sama. Selama palpasi kaji adanya krepitus, defek atau
nyeri tekan dinding dada, tonus otot, edema, dan fremitus taktil, atau vibrasi gerakan
udara melalui dinding dada.
3. Perkusi
Pengetukan dinding dada antara iga menghasilkan berbagai bunyi yang
digambarkan sesuai dengan sifat akustiknya, resonan, hiperesonan, pekak, datar, atau
timpani. Perkusi juga dilakukan untuk mengkaji ekskursi diafagma.
4. Auskultasi
Dengan mendengarkan paru-paru ketika klien bernafas, pemeriksa mampu
mengkaji karakter bunyi nafas dan adanya bunyi nafas tambahan. Dengarkan semua
area paru-paru dan dengarkan pada keadaan tanpa pakaian. Status patensi jalan nafas
dan paru dapat dikaji dengan mengauskultasi nafas dan bunyi suara yang
ditransmisikan melalui dinding dada.

G. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk diagnosis hipoksia.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan untuk memonitor fungsi maupun kelainan organ
sistemik dan cedera otak. Menurut Utomo (2006) pemeriksaan penunjang antara lain :
1. Pemeriksaan laboratorium darah
Pemeriksaan laboratorium darah yang biasa dilakukan meliputi pemeriksaan kadar
hemoglobin (Hb), leukosit, eritrosit, dan laju endap darah. Spesimen darah yang
biasa digunakan diambil dari darah vena (Asmadi, 2008).
2. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum diperlukan jika diduga terdapat penyakit paru-paru. Membrane
mukosa saluran pernafasan berespons terhadap inflamasi dengan meningkatkan
keluaran sekresi yang sering mengandung mikroorganisme penyebab penyakit
(Asmadi, 2008).
3. Gula darah
4. Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmolaritas
5. Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
6. Serum kreatinin
7. Faal pembekuan darah
8. Faal hati
9. Analisa gas darah
Analisa gas darah aretri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam pemeriksaan ini
diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri femoralis, radialis, atau
brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi heparin untuk mencegah
pembekuan darah (Asmadi, 2008).
10. Foto toraks
11. Pungsi lumbal dikerjakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya pendarahan
intracranial atau menyingkirkan adanya meningitis
12. Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan dan prognosis
penderita
13. Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan ultrasonografi kepala sangat membantu pada
bayi yang premature. Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya < 30 minggu,
minimal 1 kali, diulang pada umur 7-14 hari dan diperiksa kembali pada umur 36-40
minggu. Cara ini dapat mengidentifikasi pendarahan intraventikuler dan necrosis
basal ganglia dan thalamus
14. Computed tomography (CT) scan kepala. Pada bayi yang aterm yang mengalami
cedera hipoksia biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala pada usia 2-5 hari,
dimana pada waktu tersebut timbul edema cerebri yang maksimal. Proses pendarahan
akut dan klasifikasi intracranial akan lebih baik divisualisasi dengan pemeriksaan CT
scan dibandingkan dengan pemeriksan MRI. Pada bayi premature yang mengalami
hipoksia, pemeriksaan dengan CT scan kepala kurang memberikan hasil yang
memaskan karena pada bayi premature struktur jaringan otaknya masih imatur dan
lebih banyak mengandung cairan.
15. Magneting Resonance Imaging (MRI) kepala. Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi bayi prmeatur maupun aterm yang mengalami cedera hipoksia yang
mungkin tidak bisa divisualisasi dengan cara neuro imaging lainnya. Jika
pemeriksaan CT scan telah dilakukan dan tidak menghasilkan kesimpulan, maka
MRI dikerjakan antara umur 2-10 hari. Tetapi karena kesulitan teknik, membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk pemeriksaan dan sulitnya monitoring bayi yang
mengalami cedera hipoksia, maka penggunaannya dibatasi.
H. Diagnosa yang Mungkin Muncul
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 b.d ekspansi yang kurang adekuat.
2. Hipertermi b.d transisi lingkungan ekstra uterin neonatus.
3. Gangguan perfusi jaringan b.d kebutuhan Oksigen yang tidak adekuat.
4. Ketidakefektifan pola pernafasan b.d imaturitas paru dan neuromuskular, penurunan
energi, dan keletihan
5. Resiko tinggi trauma (jaringan otak) b.d hipoksemia atau hiperkapnia

I. Penatalaksanaan
1. Upaya utama untuk pencegahan adalah dengan mengidentifikasi dan mencegah fetus
dan neonatus yang mempunyai resiko mengalami hipoksia dan asfiksia sejak dalam
kandungan hingga persalinan.
2. Segera lakukan resusitasi bayi setelah bayi lahir dan mengalami apnea dan atau
ensefalopati hipoksik iskemik.
a. Oksigenasi yang adekuat. Hipoksi akan menyebabkan pressure-passive circulation
san neuron injury yang disebabkan karena adanya gangguan autoregulasi vaskuler
serebral.
b. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO2 dalam kadar
yang fisiologis.
c. Perfusi yang adekuat. Mempertahankan tekanan darah arterial dalam batas normal
sesuai dengan umur kehamilan dan beratnya. Jika terlalu rendah akan mengalami
iskemik, bila terlalu rendah akan mengalami perdarahan pada daerah germinal matrix
dan intraventrikuler pada bayi prematur.
d. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL, untuk
menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme otak. Hindarilah
hyperglycemia untuk mencegah hyperosmolality dan kemungkinan meningkatnya
kadar asam laktat dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan edema cerebri dan
mengganggu autoregulasi vaskuler sehingga timbul pendarahan. Bila kadar glukosa
rendah dapat menimbulkan neuronal injury dan memperluas daerah yang mengalami
infark.
e. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mencegah timbulnya
edema cerebri dengan cara mencegah overload cairan. Retriksi cairan dengan
pemberian 60 mL/kg BB per hari. Waspadailah bayi kemungkinan timbul SIADH
(Syndrome Inappropriate Anti Deuretic Hormon)
3. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat (delayed neural
death) dengan cara memberikan neuroprotektif. Mencegah kerusakan otak, banyak
penelitian yang masih berkembang dalam mengatasi kematian otak bayi dengan
hipoksia dan asfiksia :
a. Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan
allopurinol superoxide dismutas, vitamin E, resusitasi dengan udara ruangan
b. Mencegah hipotermi, dengan berbagai cara antara lain selective head cooling dan
mild systemic hypothermi.
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
2. Riwayat Kesehatan
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran : normal, apatis, somnolen, stupor, koma
Nilai APGAR : normal = 7 - 10
asfiksia ringan-sedang =4-6
asfiksia berat =0-3
b. Kepala
c. Leher
d. Toraks
e. Refleks/neurologi
Gangguan neurologi neonates : kejang, koma, hipotonia
f. Punggung
g. Kulit
h. Tanda-tanda vital
Suhu tubuh : normal, hipertermia, hipotermia
RR : normal, takipnea, bradipnea
Nadi : normal, takikardi, bradikardi
i. Usia kehamilan
j. Berat Lahir, Panjang Lahir, Lingkar Kepala
k. Genitalia
l. Ekstremitas
4. Intervensi
a. Ketidakefektifan pola pernafasan b.d imaturitas paru dan neuromuskular,
penurunan energi, dan keletihan
1) Tujuan :
Pasien memperlihatkan parameter oksigenasi yang adekuat :
a) Oksigenasi jaringan adekuat, gas darah arteri dan keseimbangan asam
basa dalam batas yang tepat untuk usia pasca konsepsi
b) Frekuensi dan pola respirasi dalam batas yang tepat untuk usia dan berat
badan
2) Intervensi Keperawatan/Rasional :
a) Posisi untuk pertukaran udara yang optimal. Posisikan telungkup bila
mungkin. Atau posisi telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung
menghadap ke atas dalam posisi mengendus
Rasional : posisi telungkup menghasilkan oksigenasi lebih baik, lebih
toleransi terhadap pemberian makan, dan poal tidur-istirahat lebih
terorganisasi. Posisi telentang mencegah penyempitan jalan napas.
b) Hindari Hiperekstensi leher.
Rasional : hiperekstensi dapat mengurangi diameter trakea
c) Observasi adanya tanda gawat napas, pernapasan cuping hidung, retraksi,
takipnea, apnea, grunting, sianosis, saturasi oksigen (SaO2) rendah
d) Suction untuk mengeluarkan mukus yang terkumpul dari nasofaring,
trakea dan pipa endotrakea
e) Suction hanya bila perlu, berdasarkan pada pengkajian (mis. Auskultasi
dada, bukti penurunan oksigenasi, peningkatan iritabilitas), jangan
melakukan suction secara rutin, karena dapat menyebabkan
bronkospasme, bradikardia akibat rangsang saraf vagus, hipoksia lebih
parah, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), mencetuskan bayi pada
pendarahan tekanan intrakranial
f) Gunakan teknik suction dua orang karena asisten dapat memberikan
hiperoksigenasi sebelum dan sesudah pemasangan kateter
g) Lakukan perkusi, vibrasi dan drainase postural sesuai permintaan untuk
memfasilitasi drainase sekresi.
h) Laksanakan program yang ditetapkan untuk terapi suplemen oksigen
(pertahankan konsentrasi oksigen ruangan pada tingkat FiO2 minimal
berdasarkan pada gas darah arteri dan SaO2)
i) Pertahankan suhu lingkungan bayi netral untuk menghemat penggunaan
O2
j) Pantau dengan ketat pengukuran gas darah arteri dan SaO2
k) Observasi dan kaji respon bayi terhadap ventilasi dan oksigenasi
3) Hasil yang diharapkan
a) Jalan napas tetap paten
b) Pernapasan memfasilitasi oksigenasi dan pembuangan CO2 yang adekuat
c) Frekuensi dan pola respirasi dalam batas yang memadai untuk usia dan
berat badan
d) Gas darah arteri dan keseimbangan asam-basa berada dalam batas normal
untuk usia gestasi
e) Oksigenasi jaringan memadai
b. Resiko tinggi trauma (jaringan otak) yang berhubungan dengan hipoksemia atau
hiperkapnia
1) Tujuan :
Pasien mendapatkan asuhan untuk mencegah cedera dan mempertahankan
alirah darah sistemik dan orak adekuat, tidak menunjukkan adanya
pendarahan intraventrikular (kecuali sudah ada pada kondisi sebelumnya)
2) Intervensi :
a) Cegah hipoksia. Pertahankan oksigenasi yang adekuat
Rasionalisasi : hipoksia akan meningkatkan aliran darah otak dan tekanan
intakranial (TIK)
b) Pantau terapi oksigen, ventilasi dan IV
c) Kurangi rangsang lingkungan terutama panas berlebih, pertahankan
lingkungan suhu netral.
Rasional : respon stres, terutama peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung akan meningkatkan demand oksigen dan dapat meningkatkan
resiko peningkatan TIK
d) Hindari obat dan larutan hipertonis karena akan meningkatkan TIK
e) Tinggikan kepala tempat tidur atau kasur antara 15-20 derajat untuk
mengurangi TIK
f) Hindari memutar kepala ke samping tiba-tiba, yang akan mengurangi
aliran arteri karotis dan oksigenasi ke otak
g) Observasi dan tangani kejang, berikan antikonvulsan
h) Dukung keluarga, berikan panduan untuk penanganan keluarga pada
kerusakan neurologis ringan sampai berat
3) Hasil yang diharapkan :
Bayi tidak memperlihatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
atau pendarahan intraventrikel.
DAFTAR PUSTAKA
James, Joice., Baker, Colin & Swain, Helen. 2008. Prinsip-Prinsip Sains untuk keperawatan.
Jakarta: Erlangga.
Efendi, Sjarif Hidayat & Kadir, Minerva Riani. 2013. Dampak Jangka Panjang Hipoksia
Perinatal. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Kosim, M. Sholeh. 2006. Sari Pediatri. Gawat Darurat Neonatus pada Persalinan Preterm. Vol 7
(4): 225-231.
Richard E, Behrman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Utomo,T.Martono, et al. 2006. ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK PERINATAL (Perinatal
Hypoxic Ischemic Encephalopathy). Surabaya : Open Urika.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : EGC.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika.
Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Ed. 6, Vol. 1. Jakarta : EGC.

Vous aimerez peut-être aussi