Vous êtes sur la page 1sur 39

REFERAT

DEFISIENSI VITAMIN A

Dosen Pembimbing
dr. Supriyanto, Sp.A

Disusun Oleh:
Rizqi Husni Mudzakkir G4A015132

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
DEFISIENSI VITAMIN A

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik


di SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Disusun Oleh:
Rizqi Husni Mudzakkir G4A015132

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal Juni 2017

Pembimbing,

dr. Supriyanto, Sp.A


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Vitamin A adalah nutrisi esensial yang diperlukan untuk

memelihara fungsi imun, berperan penting dalam pengaturan imunitas

cell-mediated dan dalam respon antibodi humoral. Defisiensi vitamin A

merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang terdapat di 60-78

negara berkembang, dan diperkirakan 78-253 juta anak usia presekolah

mengalami defisiensi vitamin A (Semba, 2002).


Asia Tenggara memiliki prevalensi defisiensi vitamin A pada

balita tertinggi dibandingkan dengan wilayah Afrika, Amerika, Eropa,

Timur Tengah, dan Pasifik Barat. Masalah defisiensi vitamin A di

Indonesia pada tahun 2011 sudah dapat dikendalikan, namun secara

subklinis prevalensi defisiensi vitamin A terutama pada kadar serum

retinol dalam darah kurang dari 20 g/dl masih mencapai 0,8% (West,

2003).
Penyebab defisiensi vitamin A terutama adalah kurangnya intake

vitamin A dalam tubuh. Intake vitamin A didapatkan dari asupan

makanan yang mengandung vitamin A. Permasalahan yang timbul di

masyarakat adalah mahalnya makanan yang mengandung vitamin A,

sehingga menjadi hambatan untuk mencukupi kebutuhan akan vitamin

A sehari-hari (Nadimin, 2011).


Kekurangan vitamin A adalah masalah kesehatan umum yang

luas. Anak usia prasekolah dan wanita di usia reproduktif merupakan

dua kelompok populasi yang paling berisiko. Defisiensi vitamin A

merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan pada

anak-anak. Saat ini tercatat sekitar 250.000-500.000 anak menjadi buta


setiap tahun dan setengah diantaranya akan meninggal di tahun tersebut.

Sekitar 150 juta anak lainnya menghadapi resiko yang meningkat untuk

meninggal dalam usia anak-anak karena penyakit infeksi yang

disebabkan oleh defisiensi vitamin A. Suplementasi vitamin A

menunjukkan adanya pengurangan insiden campak, diare, dan

kematian, serta meningkatkan beberapa aspek kesehatan mata (Joaquin,

2009). Karena dampak defisiensi vitamin A yang secara luas ditemukan

pada masyarakat dan dapat menyebabkan manifestasi okular yang parah

hingga kebutaan, maka sangat perlu dikaji lebih lanjut penyakit ini oleh

tenaga kesahatan.

B. Tujuan
Tujuan dari referat ini diantaranya adalah:
1. Untuk mengetahui definisi defisiensi vitamin A
2. Untuk mengetahui epidemiologi defisiensi vitamin A
3. Untuk mengetahui etiologi defisiensi vitamin A
4. Untuk mengetahui patomekanisme defisiensi vitamin A
5. Untuk mengetahui cara diagnosis dan diagnosis banding defisiensi

vitamin A
6. Untuk mengetahui tatalaksana defisiensi vitamin A
7. Untuk mengetahui prognosis dan komplikasi defisiensi vitamin A

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Defisiensi Vitamin A


Vitamin A merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan dalam

jumlah kecil untuk melaksanakan fungsi normal dari penglihatan,

pertumbuhan dan perkembangan, pemeliharaan integritas seluler,

imunitas, dan reproduksi. Defisiensi vitamin A terjadi saat kadar

vitamin A dalam tubuh menurun, sehingga dapat terjadi beberapa

gangguan pada fungsi tubuh. Penurunan kadar vitamin A terjadi ketika


asupan vitamin A tidak dapat mengganti cadangan vitamin A yang

terdapat dalam hepar. Hal ini dikarenakan vitamin A akan terus dipakai

untuk regenerasi sel, terlebih ketika wanita sedang menyusui (WHO,

2014).
Defisiensi vitamin A adalah suatu kondisi saat cadangan Vitamin

A dalam tubuh berkurang (Depkes RI, 2009). Keadaan ini ditunjukan

dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20 g/dl.

Xeroftalmia merupakan manifestasi klinis pada mata akibat defisiensi

vitamin A dalam tubuh. Xeroftalmia dapat menyebabkan terjadinya

gangguan fungsi sel retina yang dalam jangka waktu lama dapat

menyebabkan kebutaan, kekeringan pada konjungtiva dan kornea

(Depkes RI, 2003). Defisiensi vitamin A juga ditandai dengan

rendahnya kadar Vitamin A dalam hati dan melemahnya kemampuan

adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya konsumsi atau masukan

karotin dari Vitamin A (Salam, 2011).

B. Sumber Vitamin A
Sumber vitamin A dapat dibedakan atas preformed vitamin A

(vitamin A bentuk jadi) dan provitamin A (bahan baku vitamin A).

Vitamin A bentuk jadi atau retinol bersumber dari pangan hewani,

seperti daging, susu dan olahannya (mentega dan keju), kuning telur,

hati ternak dan ikan, minyak ikan (cod, halibut, hiu) (Barasi, 2009).
Provitamin A atau korotenoid umumnya bersumber pada sayuran

berdaun hijau gelap (bayam, singkong, sawi hijau), wortel, waluh (labu

parang), ubi jalar kuning atau merah, buah-buahan berwarna kuning

(pepaya, mangga, apricot, peach), serta minyak sawit merah.

Sayangnya, pada proses pengolahan lebih lanjut, banyak betakaroten


yang hilang, sehingga kadarnya hanya tinggal sedikit pada minyak

goreng (Barasi, 2009).


Betakaroten merupakan provitamin A yang paling efektif diubah

oleh tubuh menjadi retinol (bentuk aktif vitamin A). Karotenoid

lainnya, seperti lycopene (tomat dan semangka), xanthopyl (kuning

telur dan jagung), zeaxanthin (jagung), serta lutein, walaupun memiliki

aktivitas untuk peningkatan kesehatan, bukan merupakan sumber

vitamin A (Barasi, 2009).

C. Metabolisme Vitamin A
Saat dikonsumsi, provitamin A (beta karoten) akan dilepaskan dari

protein di lambung. Retinil ester akan dihidrolisis menjadi retinol di

usus halus, karena bentuk ini akan mudah diserap. Kira-kira 50-90 %

retinol yang telah dicerna akan diserap melalui usus halus dan diangkut,

bersama dengan kilomikron, ke hati, tempat retinol mulai disimpan

sebagai retinil palmitat. Ketika diperlukan retinol akan dilepaskan ke

dalam darh sebagai retinol dalam gabungan dengan retinol binding

protein (RBP), suatu protein pengangkut spesifik yang diurai oleh hati.

Dalam serum, kompleks RBP-retinol bergabung dengan transiterin,

suatu protein besar yang juga disintesis di hati. Retinol kemudian

dipindahkan dari serum dan digunakan oleh sel sasaran, seperti

fotoreseptor retina dan sel epitel (Annstas, 2012).


Di dalam jaringan, retinol diikat oleh protein-protein sel pengikat

retinoid, yaitu cellular retinoid-binding protein I (CRBPI) dan cellular

retinoid-binding protein II (CRBPII). Pada kompleks ini, retinol bisa

saja diesterifikasi atau dioksidasi lebih lanjut dengan retinol menjadi

asam retinoik yang akhirnya terikat pada satu set faktor transkripsi di
dalam nukleus. Retinol intraseluler di jaringan perifer juga bisa

berkombinasi dengan protein plasma pengikat retinol di dalam jaringan

atau tergabung menjadi ester retinyl di lipoprotein. Siklus antara organ

penyimpanan utama seperti hepar dan jaringan epitel yang

membutuhkan vitamin A untuk diferensiasi seluler merupakan siklus

yang luas dan efisien (Annstas, 2012).


Vitamin A yang tidak diabsorpsi di saluran cerna, diekskresikan di

feses, dan derivat metabolisme yang inaktif diekskresikan di urin.

Ketika asupan vitamin A rendah, efisiensi absorpsi tetap tinggi,

pemecahan karotenoid dipertinggi, plasma transport tetap ada di level

normal, mekanisme penggunaan dan recycling menjadi lebih efisien,

dan ekskresi menurun dengan nyata. Ketika asupan vitamin A tinggi,

efisiensi absorpsi dikurangi, transportasi vitamin A dalam plasma tetap

sama, recycling menjadi kurang efisien, oksidasi vitamin A meningkat,

ekskresi bilier meningkat dengan jelas, ekskresi urin dan fekal

diaugmentasi (Annstas, 2012).


Gambar 2.1 Skema metabolisme vitamin A (Sommer, 2007)

Seorang anak dengan gizi dan asupan vitamin A yang minimal

mempunyai simpanan vitamin A yang sangat terbatas. Penurunan yang

tiba-tiba baik yang disebabkan akibat perubahan pola makan atau

gangguan absorbsi (seperti pada gastroenteritis), atau peningkatan tiba-

tiba dari kebutuhan metabolik (demam, khususnya campak, atau

lonjakan pertumbuhan) akan menyebabkan penurunan yang cepat dari

cadangan yang terbatas itu. Jika simpanan retinol hati sangat tinggi,

manusia dapat bertahan selama berbulan- bulan tanpa vitamin A dan

tidak menderita penyakit yang serius (Sommer, 2007).


Adanya vitamin A yang tersimpan tergantung juga pada status gizi

anak secara umum. Anak dengan defisiensi protein dan malnutrisi berat

mengikat protein pengikat retinol dengan kecepatan yang sangat


rendah. Oleh karena itu kadar retinol serum dapat subnormal, walaupun

simpanan di hati tinggi. Selain itu, bila hati dalam keadaan sakit, tidak

dapat menyimpan retinol, atau membuat protein pengikat retinol

sebanyak hati normal (Sommer, 2007).

D. Fungsi Vitamin A
Fungsi vitamin A adalah pada fungsi penglihatan mata, yaitu ketika

jaringan retinol kehilangan vitamin A, fungsi sel rod (batang) dan sel

cone (kerucut) pada mata mengalami kegagalan. Hal inilah yang

menyebabkan gangguan kemampuan adaptasi gelap mata. Vitamin A

juga berperan dalam pertumbuhan, reproduksi, sintesa glikooprotein,

stabilisasi membrandan kekebalan tubuh. Defisiensi Vitamin A terjadi

jika kebutuhan vitamin A tidak tercukupi. Kebutuhan vitamin A

tergantung golongan umur, jenis kelamin dan kondisi tertentu. Angka

Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah seperti pada tabel berikut

(Joko, 2002):
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Vitamin A
(Joko, 2002)

Pada anak-anak, kekurangan vitamin A berakibat lebih parah

dibandingkan dewasa. Pertumbuhan badan terganggu dan kekebalan

terhadap penyakit infeksi berkurang. Pada beberapa penelitian sering


ditemukan hubungan peningkatan defisiensi vitamin A terjadi seiring

peningkatan angka kesakitan khususnya pada penyakit infeksi.

Konsumsi vitamin A dan provitamin A yang rendah (di bawah

kecukupan konsumsi vitamin A yang dianjurkan), berlangsung dalam

waktu lama, akan mengakibatkan suatu keadaan yang dikenal dengan

defisiensi vitamin A (Joko, 2002).

E. Epidemiologi
WHO menyatakan bahwa terdapat lebih dari 250 juta anak di

dunia mengalami defisiensi vitamin A. Proporsi angka kejadian

defisiensi vitamin A pada anak di bawah usia sekolah berdasarkan

benua antara lain adalah Asia Selatan/Asia Tenggara (33%), Afrka

(32,1%), Eropa timur (29,6%), Mediterania Timur (21,2%), Amerika

(17,3%) dan Pasifik Barat (14%) (West, 2003). Saat ini prevalensi

defisiensi vitamin A lebih banyak terjadi pada anak yang belum

sekolah, ibu hamil, dan menyusui. Angka kejadian defisiensi vitamin A

di Indonesia saat ini sudah lebih baik. Pada survey yang dilakukan pada

tahun 2006, ditemukan bahwa balita yang meunjukan kadar serum

retinol kurang dari 20 g/dl sebesar 14.6%, jika dibandingkan pada

tahun 1992 yang mencapai 50% (Depkes RI, 2009).


Prevalensi defisiensi yang tertinggi ditemukan pada anak pra

sekolah, ibu hamil dan menyusui. Namun tingkat defisiensi vitamin A

subklinik juga terlihat banyak pada anak sekolah dan dewasa di

beberapa lokasi. Anak usia lebih muda dan berat badan lebih rendah

memiliki risiko mengalami defisiensi vitamin A lebih tinggi (Ribero-

Silva, 2014). Data yang selalu tersedia di setiap negara hanyalah


prevalensi dari anak prasekolah yang berarti prevalensi pada kelompok

umur lainnya tidak tersedia (Depkes RI, 2009)


Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari menyebabkan

setiap tahunnya sekitar 1 juta anak balita di seluruh dunia menderita

penyakit mata tingkat berat (xeropthalmia) diantaranya menjadi buta

dan 60 % dari yang buta ini akan meninggal dalam beberapa bulan.

Kekurangan vitamin A menyebabkan anak berada dalam resiko besar

mengalami kesakitan, tumbuh kembang yang buruk dan kematian dini.

Terdapat perbedaan angka kematian sebesar 30 % antara anak-anak

yang mengalami kekurangan vitamin A dengan rekan-rekannya yang

tidak kekurangan vitamin A (Depkes RI, 2009)


Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Berdasarkan survai kesehatan indera penglihatan dan pendengaran

tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari

jumlah penduduk atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih

tinggi dibanding Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand (0,3 %).

Kekurangan vitamin A (defisiensi vitamin A) yang mengakibatkan

kebutaan pada anak-anak telah dinyatakan sebagai salah satu masalah

gizi utama di Indonesia. Kebutaan karena kekurangan vitamin A

terutama dikalangan anak pra sekolah masih banyak terdapat didaerah-

daerah. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010 pada pasca

persalinan, atau masa nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya

52,2 persen (rentang: 33,2% di Sumatera Utara dan 65,8% di Jawa

Tengah). Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu nifas yang tidak

sekolah mendapat kapsul vitamin A hanya 31 persen dibanding yang


tamat PT (62,5%). Demikian pula kesenjangan yang cukup lebar antara

ibu nifas di perkotaan dan pedesaan, serta menurut tingkat pengeluaran.

Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk anak umur 6-59 bulan

sebesar 69,8%. Persentase tersebut bervariasi antar provinsi dengan

persentase terendah di Papua Barat (49,3%) dan tertinggi di D.I.

Yogyakarta (91,1%) (Rinaningsih, 2007).

F. Etiologi
Penyebab defisiensi vitamin A pada anak antara lain adalah sebagai

berikut (Depkes RI, 2003):

1. Asupan vitamin A dan provitamin A melalui makanan kurang

memadai,
2. Pemberian ASI dengan jumlah yang tidak memadai dan jangka

waktu tidak cukup


3. Infeksi berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernapasan

akut

4. Kekurangan zat yang diperlukan untuk penyerapan dan penggunaan

vitamin A seperti lemak, protein, seng, dan zat gizi lain akibiat

menu makanan tidak seimbang


5. Tedapat gangguan dalam penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A.

Hal ini biasanya terjadi pada penyakit pankreas, diare kronik,

kurang energi protein.


6. Terdapat gangguan fungsi hepar yang diakibatkan oleh

kwashiorkhor dan hepatitis kronik. Hal ini dapat menyebabkan

terjadinya gangguan pembentukan retinol binding protein dan pre-

albumin.
7. Pemberian makanan pelengkap yang tidak sesuai waktunya (seperti

pengenalan makanan padat yang rendah nilai gizinya)


8. Tingkat pendidikan keluarga yang rendah
9. Kurangnya kewaspadaan dan pengetahuan tentang peran penting

vitamin A terhadap kesehatan anak

G. Faktor risiko
1. Faktor sosial budaya lingkungan dan pelayanan kesehatan (Depkes

RI, 2003):
a. Ketersediaan pangan sumber vitamin A
b. Pola makan dan cara makan
c. Masa paceklik atau rawan pangan
d. Adanya pandangan tabu terhadap makanan sumber vitamin A
e. Sarana pelayanan kesehatan sulit dijangkau
f. Keadaan darurat (bencana alam, perang, dll.)
2. Faktor keluarga (Depkes RI, 2003):
a. Pendidikan orang tua rendah
b. Tingkat sosioekonomi rendah
c. Jumlah anak terlalu banyak
d. Pola asuh kurang perhatian
3. Faktor individu (Depkes RI, 2003):
a. Jenis kelamin laki-laki
b. Usia prasekolah (<5 tahun)
c. Berat badan lahir rendah (BBL <2,5 Kg) dan bayi premature

yang memiliki cadangan vitamin A yang masih kurang


d. Tidak mendapat ASI eksklusif
e. Tidak mendapat MP-ASI cukup dalam segi kualitas dan

kuantitas anak kurang gizi


f. Pola makan kurang mendandung serat dan vitamin A, baik

karotin preformed atau provitamin A


g. Penyakit infeksi berulang, khususnya campak dan diare yang

meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap vitamin A, disertai

dengan kecenderungan anak sakit untuk menolak makan

sehingga asupan vitamin A kurang


h. Bayi dengan malnutrisi (kurang asupan energi, protein, vitamin

A, dll.)
i. Kurangnya frekuensi kunjungan ke posyandu
H. Patomekanisme
Defisiensi vitamin A adalah suatu penyakit sistemik yang

mempengaruhi sel dan organ seluruh tubuh, hasil perubahan arsitektur

epitel tersebut disebut dengan metaplasia keratinisasi. Metaplasia

keranisasi pada saluran napas dan saluran kemih serta perubahan epitel

intestinal yang saling terkait mungkin timbul pada awal penyakit,

bahkan sebelum timbulnya perubahan mata yang dapat dideteksi secara

klinis. Walaupun demikian, karena perubahan nonokular ini sebagian

besar tidak terlihat, maka perubahan ini tidak memberikan suatu dasar

yang kuat untuk diagnosis klinik spesifik. Oleh karena itu, diantara

populasi dengan dengan defisiensi vitamin A, maka anak-anak dengan

campak, penyakit saluran napas, diare, atau malnutrisi energi protein

yang nyata harus dicurigai memiliki defisiensi vitamin A dan diberi

pengobatan yang sesuai (Annstas, 2012).


Defisiensi vitamin A menekan imunitas humoral dan imunitas cell-

mediated. Efek utama dari inadekuatnya vitamin A pada fungsi imun

bisa jadi karena konsekuensi dari terganggunya pertumbuhan dan

diferensiasi jaringan myeloid. Vitamin A secara khusus sangat penting

untuk menjaga integritas epitel dan pemeliharaan sekresi di mukosa,

yang mana, jika terganggu, bisa meningkatkan paparan terhadap

mikroorganisme dan risiko infeksi (Annstas, 2012).


Jaringan epitel di mata, paru-paru, dan usus menjadi rusak pada

keadaan defisiensi vitamin A. Pada jaringan-jaringan tersebut, turnover

atau pergantian sel epitel tinggi. Pada manusia, berbagai penelitian

menunjukkan bahwa level vitamin A yang rendah di sirkulasi

berhubungan dengan meningkatnya risiko kerusakan epitel di mata,


Rusaknya integritas epitel dan barier mukosa akan memfasilitasi

translokasi mikrooeganisme dan berkontribusi terhadap meningkatnya

derajat infeksi (Annstas, 2012).


Vitamin A memiliki dua peran di metabolisme okuler. Pertama di

retina, vitamin A tersedia sebagai prekursor terhadap pigmen visual

fotesensitif yang berpartisipasi dalam inisiasi impuls saraf dari

fotoreseptor. Kedua, vitamin A dibutuhkan untuk sintesis RNA dan

glikoprotein sel epitel konjungtiva, yang membantu memelihara stroma

kornea, dan mukosa konjungtiva (Annstas, 2012).


Pada retina terdapat 2 sistem fotoreseptor yang berbeda, sel kerucut

dan sel batang. Sel batang bertanggung jawab terhadap penglihatan

dalam situasi cahaya yang redup atau rendah, sedangkan sel kerucut

bertanggung jawab penglihatan berwarna dan situasi cahaya yang

terang. Vitamin A merupakan kekuatan utama dari pigmen visual kedua

macam sel ini. Perbedaannya terletak pada jenis protein yang terikat

pada retinol. Pada sel batang, bentuk aldehid dari vitamin A (retinol)

dan protein opson bergabung membentuk rhodopsin yang merupakan

pigmen fotosensitif (Annstas, 2012).


Vitamin A adalah nutrisi yang penting dalam proses imun, proses

penglihatan dan proses diferensiasi sel. Pada xeroftalmia, derfisiensi

vitamin A pertama kali menimbulkan gangguan pada fotoreseptor,

terutama sel batang yang berfungsi untuk mempersepsikan gelap terang.

Saat sel batang terganggu, proses metabolisme dalam sel batang

terganggu sehingga timbul gejala nyctalopia (stadium XN)

(McCullough, 2009).
Pada tahap selanjutnya, terjadilah gangguan pada proses
epitelialisasi conjunctiva. Mata akan terlihat kering, kusam, tidak

bercahaya dan tidak nyaman sehingga timbul xerosis konjunctiva.

Selanjutnya, epitel dan keratin yang mati di daerah conjunctiva bulbi

akan menumpuk dan timbul bercak bitot. Lalu, kekeringan meluas

sampai ke daerah kornea, sehingga timbul xerosis kornea. Pada jangka

waktu lama, kornea yang kering akan melunak dan berwarna putih,

sehingga timbul keratomalacia. Pada tahap selanjutnya, retina dan

koroid pun terkena dampak defisiensi vitamin A karena matinya sel

batang yang dapat dilihat dengan funduskopi sehingga teerjadilah

Xerophtalmia fundus (Ansstas, 2012).

I. Manifestasi Klinis

Defisiensi vitamin A subklinis biasanya tidak memiliki gejala,

namun resiko terjadinya infeksi saluran pernapasan, diare, dan

pertumbuhan terhambat (Anstas, 2012).

Vitamin A berperan dalam menjaga fungsi epitel. Pada saluran cerna

dalam keadaan normal sel epitel mensekresi mukus yang berguna sebagai

barrier terhadap patogen yang dapat menyebabkan diare. Pada saluran

pernafasan epitel mensekresi mukus berguna untuk membuang zat-zat

asing dan toksik yang masuk kedalam saluran pernafasan. Perubahan

epitel pada saluran pernafasan dapat menyebabkan obstruksi bronkial.

Pada keadaan defisiensi vitamin A perubahan-perubahan pada epitel

meliputi proliferasi sel basal, hiperkeratosis dan stratifikasi dari epitel

squamous. Metaplasia sel squamous di renal, ureter, epitel vaginal,

pankreas dan saluran saliva dapat meningkatkan resiko infeksi di lokasi


tersebut. Pada kandung kemih gangguan epitel dapat menyebabkan

terjadinya pyuria dan hematuria. Perubahan epitel pada kulit akibat

defisiensi vitamin A menyebabkan kulit menjadi kering, bersisik,

terbentuknya hiperkeratosis yang biasanya ditemukan di lengan, tungkai,

bahu dan bokong (Annstas, 2012).

Secara umum, defisiensi vitamin A dalam tubuh dapat menyebabkan

kelainan sistemik yang memengaruhi epitel pada organ-organ tubuh,

akan tetapi manifestasi klinis yang pertama kali terjadi pada orang yang

mengalami defisiensi vitamin A akan muncul pada mata (Depkes RI,

2003).

Perubahan yang terjadi pada organ selain mata terjadi akibat adanya

metaplasia keratinisasi yang terdapat pada saluran napas, saluran kemih,

dan saluran gastrointestinal. Selain itu, metaplasia keratinisasi dapat

terjadi pada kulit yang dapat membuat kulit pada tungkai bawah bagian

depan dan lengan atas bagian belakang tampak kering dan bersisik

(Guntur, 2002). Tahapan terjadinya manifestasi klinis oleh karena

defisiensi vitamin A tercantum dalam grafik berikut ini (Sommer, 2007):

Gambar 2.2 Manifestasi Klinis Defisiensi Vitamin A (Sommer, 2007)


Gangguan fisiologis dari defisiensi vitamin A seperti nyctalopia,

gangguan epitalisasi konjunctiva dimulai ketika kadar vitamin A dibawah

10 mo/L, terutama di bawah 0,7 mo/L (200 g/dL). Xeroftalmia

ringan bisa muncul pada kadar vitamin A dibawah 0,7 mo/L (200

g/dL), akan tetapi lebih sering ditemui pada kadar lebih rendah lagi,

yaitu 0,35 mo/L (100 g/dL). Risiko gangguan metabolism zat besi

mungkin dapat terjadi walaupun sebelum munculnya xeroftalmia, akan

tetapi secara progresif meningkan jika kadar vitamin A menurun jauh

lebih rendah lagi. Xeroftalmia masih menjadi manifestasi klinis paling

spesifik dan dapat dikenali, dan dapat digunakan untuk memberikan

kriteria definitive untuk menilai derajat defisiensi vitamin A. Akan tetapi,

tetap saja pening untuk melakukan pencegahan melalui pemberian

vitamin A secara massal (Sommer, 2007).

Pada mata, manifestasi klinis dapat dilihat berdasarkan klasifikasi

WHO, yang terlihat dalam tabel berikut ini (Budiono, 2013; Oetama,

2008):

Tabel 2.2 Klasifikasi Xeroftalmia


Stadium Deskripsi Singkat
XN Nigth Blindness / Nyctalopia
X1A Xerosis konjunctiva
X1B Bitot spot
X2 Xerosis kornea
X3A Ulserasi kornea/keratomalasia
<1/3 permukaan kornea
X3B Ulserasi kornea/keratomalasia
1/3 permukaan kornea
XS Skar kornea
XF Xerophtalmic Fundus
1. Xerosis nyctalopia (XN)
a. Ketidaksanggupan melihat cahaya remang-remang (buta senja)

akibat gangguan pada sel batang retina


b. Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/

menabrak benda didepannya, karena tidak dapat melihat.


c. Bila anak belum dapat berjalan, sulit untuk mengatakan anak

tersebut buta senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam

memojok bila di dudukkan ditempat kurang cahaya karena tidak

dapat melihat benda atau makanan didepannya.

Gambar 2.3 Nyctalopia (Oetama, 2008).

2. Xerosis konjunctiva (X1A) (Budiono, 2013).


a. Tidak bisa melihat di sore hari (nocturnal amblyopia)
b. Mata tidak nyaman, panas
c. Mata terlihat xerotic, konjunctiva bulbi tampak kurang mengkilat

atau sedikit kering, berkeriput, berpigmentasi dengan permukaan

kasar dan suram kecoklatan.


Gambar 2.4 Xerosis konjunctiva (Budiono, 2013).

Gambar 2.5 Gambaran histopatologi xerosis conjunctiva.


Terlihat permukaan konjunctiva berkeratin (Sommer, 2007)

3. Bercak bitot (bitot spot) (X1B)


a. Terdapat bercak putih kekuningan seperti busa atau sabun
b. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang

merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga

dipakai sebagai kriteria penentuan prevalensi kurang vitamin A

dalam masyarakat.

Gambar 2.6 Bitot spot (Budiono, 2013).

4. Xerosis kornea (X2)


a. Pandangan mata kabur
b. Penglihatan menurun pada ruangan terang
c. Pasien melihat halo di sekitar objek
d. Kornea suram, kering, permukaan kasar

e. Keadaan umum biasanya buruk (gizi buruk, menderita penyakit

infeksi atau penyakit sistemik lain)

Gambar 2.7 Xerosis Kornea. Kornea tampak kering, kusam,


tidak bersinar (Budiono, 2013).

5. Ulserasi kornea / keratomalasia (X3A)


a. Penurunan visus ireversibel
b. Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus
c. Tampak ulserasi kornea mengenai kurang dari 1/3 permukaan

kornea
d. Bisa terjadi perforasi kornea

Gambar 2.8 Keratomalacia X3A (Budiono, 2013).

6. Ulserasi kornea / keratomalasia (X3B)


a. Kebutaan total
b. Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus
c. Tampak ulserasi kornea mengenai lebih dari 1/3 permukaan

kornea
d. Bisa terjadi perforasi kornea
Gambar 2.9 Keratomalacia X3B (Budiono, 2013).

7. Xeroftalmia skar (XS)


1) Kornea putih
2) Bola mata tampak mengecil
3) Penderita buta (visus 0) walaupun dengan cangkok kornea
4) Bila luka kornea sembuh, akan terbentuk sikatrik (Budiono,

2013)

Gambar 2.10 Xeroftalmia Skar. Tampak bola mata


mengecil/mengempis (Budiono, 2013).

8. Xeroftalmia fundus (XF)

Xeroftalmia jenis ini dapat dikenali dari gambaran funduskopi.

Gambar 2.11 Xeroftalmia fundus (Budiono, 2013)

Kelainan pada kulit dapat ditemukan adanya kulit kering bersisik

yang dikenal kulit katak atau phrynoderma dan meningkatnya resiko

terjadinya infeksi. Hiperkeratosis follikularis pada defisienssi vitamin A

disebut sebagai Phrynoderma merupakan suatu bentuk manifestasi pada


kulit berupa "kulit katak", ditandai dengan adanya plak keratotik pada

folikel rambut yang biasanya terdapat pada ekstremitas bagian dorsal dan

ventral, dapat berwarna sama dengan kulit atau sedikit hiperpigmentasi

disekitarnya (Thappa, 2009).

Gambar 2.12 Phrynoderma (Ostler, 2004)

J. Diagnosis
1. Anamnesis

Keluhan utama yang biasanya dikeluhkan oleh orang yang

menderita kekurangan vitamin A pada mata adalah tidak dapat

melihat pada sore hari atau terdapat kelainan bentuk pada matanya.

Keluhin lain antara lain kulit menjadi kering, bersisik, terbentuknya

hiperkeratosis yang biasanya ditemukan di lengan, tungkai, bahu dan

bokong. Selain itu, bisa juga ditemukan adanya diare, infeksi saluran

kemih dan infeksi saluran pernafasan, atau gejala-gejala campak.

Pada anamnesis perlu juga ditanyakan mengenai hal-hal berikut

seperti untuk mengetahui penyebab defisiensi vitamin A (Depkes RI,

2013):

1. Identitas Pasien
Data awal yang perlu didapat antara lain adalah nama, umur,

jenis kelamin, jumlah anak dalam keluarga, jumlah anak balita


dalam keluarga, anak ke berapa, dan berat badan lahir, serta

identitas dan status sosioekonomi orang tua.


2. Keluhan
Keluhan yang perlu digali antara lain adalah keluhan tidak

bisa melihat pada sore hari, atau kelainan pada mata, diare, batuk

sesak, dan upaya pengobatannya jika memang terdapat gejala


3. Riwayat penyakit dahulu

Perlu ditanyakan mengenai penyakit yang dapat

menyebabkan gangguan penyerapan dan penyimpanan vitamin

A, seperti infeksi pada saluran gastrointestinal, gangguan hepar.

Selain itu, perlu dicari juga riwayat campak, diare, ISPA,

pneumonia, cacingan, dan tuberkulosis.

4. Pelayanan kesehatan

Perlu ditanyakan juga apakah pasien mendapatkan

suplementasi kapsul vitamin A di fasilitas kesehatan saat balita

yang dapat dilihat pada KIA/KMS.

5. Pola makan

Pelacakan pola makan perlu dilakukan dari sejak lahir,

sehingga perlu ditanyakan menganai pemberian ASI eksklusif,

MP-ASI, dan pola makan setiap harinya.

2. Pemeriksaan Fisik (Kurana, 2007)


a. Antropometri dan penilaian status gizi
b. Konjunctiva bulbi
1) Xerosis konjunctiva (konjunctiva kering) (X1A)
2) Bitot spot (X1B)
3) Pigmentasi (X1A)
c. Kornea
1) Kekeruhan kornea (X2)
2) Ulserasi kornea (X3B)
3) Edem kornea (X3B)
4) Sikatrik (XS)
5) Kornea putih (XS)
d. Bola mata
1) Mengecil (XS)
e. Funduskopi (Fundus Xeroftalmia, XF)

Tampak bercak-bercak kuning keputihan yang tersebar dalam

retina, umunya terdapat di tepi sampai arcade vaskular temporal

f. Pemeriksaan kulit untuk melihat apakah ada lesi phrynoderma,

kering, berisik, atau tanda-tanda penyakit campak.


g. Pemeriksaan thorax untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi

saluran pernafasan
h. Pemeriksaan abdomen untuk melihat apakah ada tanda-tanda

infeksi saluran pernapasan, dan infeksi saluran kemih.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan serum retinol, menurun jika hasilnya < 20 ug/dl.
c. Pemeriksaan serum karotennoid, menurun jika hasilnya < 500

ug/L
d. Pemeriksaan albumin, biasanya < 2.5 ug/dl pada penderita

xeroftalmia
e. Tes adaptasi gelap (Ilyas, 2005)

Secara sederhana, tes ini dilakukan dengan meliuhat apakah

pasien menabrak sesuatu ketika tiba-tiba cahaya di dalam ruangan

diremang-remangkan. Cara lainnya adalah dengan alat yang

bernama adaptometri untuk mengetahui kadar vitamin A tanpa

mengambil sampel darah menggunakan suntikan. Patokan

seseorang berada dalam ruangan gelap adalah tidak dapat melihat

huruf berukuran tinggi 10 sentimeter dan tebal 1,5 sentimeter

dengan tinta hitam pada kertas putih.


Gambar 2.13 Adaptometri (Budiono, 2013)

f. Sitologi impresi konjunctiva untuk melihat keberadan sel goblet

dan sel epitel abnormal yang mengalami keratinisasi (Garcia-

Ferrer, 2007)
g. Uji schirmer untuk menilai kuantitas air mata (Budiono, 2013)
1) Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas

berlekuk diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior

pada pertemuan medial dan1/3 temporal palpebra inferior.

Pasien dianjurkan menutup mata perlahan lahan tetapi

sebagian peneliti menganjurkan mata tetap dibuka dan

melihatkeatas. Lama pemeriksaan 5 menit dan diukur bagian

kertas yang basah,diukur mulai dari lekukan. Nilai normal

adalah 10 mm25 mm 11, 10 mm 30 mm.


Gambar 2.14 Uji Schirmer (Budiono, 2013).

2) Uji Schirmer II dengan penetesan anestesi topikal untuk

menghilangkan efek iritasi lokal pada sakkus konjuntiva.

Kemudian syaraf trigeminus dirangsangdengan memasukkan

kapas lidi kemukosa nasal atau dengan zat aromatic

amonium, maka nilai schirmer akan bertambah oleh adanya

reflek sekresi.Pemeriksaan ini yang diukur adalah sekresi

basal karena stimulasi dasar terhadap refleks sekresi telah

dihilangkan.
i. Pemeriksaan stabilitas film air mata (Tear Film Break Up Time,

TBUT) (Garcia-Ferrer, 2007)

Pada tes ini akan positif didapatkan sel epitel yang rusak

dilepaskan dari kornea sehingga meninggalkandaerah-daerah

yang kecil yang dapat dipulas dan daerah tersebut akan tampak

jika dibasahi fluorescein.

Pada mata normal, TBUT sekitar > 15 detik dan berkurang

pada penggunaananastetik lokal, manipulasi mata atau dengan


menahan palbebra tetap terbuka.Pasien dengan TBUT kurang dari

3 detik dklasifikasikan dalam mata kering.Jika terdapat defisiensi

air, maka film air mata akan tampak lebih tipis

Gambar 2.15 TBUT (Garcia-Ferrer, 2007).

j. Flourescein test untuk melihat daerah erosi dan luka pada epitel

kornea (Ilyas, 2005)

Gambar 2.16 Flourescein test (Garcia-Ferrer, 2007).

k. Bengal rose 1% test untuk melihat adanya epitel kornea mati yang

tidak dilapisi oleh musin (Ilyas, 2005)

Gambar 2.17 Bengal rose test (Garcia-Ferrer, 2007).


l. Pemulasan Lissamin hijau untuk melihat epitel kornea yang mati

(Ilyas, 2005)

Gambar 2.16 Lissamine test (Garcia-Ferrer, 2007).

m. Evaluasi elektrolit dan pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan

untuk mengevaluasi status gizi dan volume.


n. Pemeriksaan radiografi pada anak-anak mungkin berguna untuk

evaluasi pertumbuhan tulang, termasuk mengamati adanya

deposisi berlebihan tulang periosteal.

K. Diagnosis Banding

1. Retinitis pigmentosa
Retinitis pigmentosa merupakan kelainan autosomal resesif,

autosomal dominan, X-linked resesif atau simpleks.Retinitis

pigmentosa ditandai dengan tanda karakteristik degenerasi sel epitel

retina terutama sel batang dan atrofi saraf optic, menyebar tanpa

gejala dan peradangan.Penyakit ini merupakan kelainan yang

berjalan progresif yang bermula sejak masa kanak-

kanak.Kabanyakan pasien tanpa riwayat penyakit pada keluarga

sebelumnya. Umumnya proses mengenai seluruh lapisan retina

berupa terbentuknya jaringan ikat secara progresif lambat disertai

proliferasi sel pigmen pada seluruh lapisannya. Terjadi pembentukan

masa padat putih kebiru-biruan yang masuk ke dalam badan kaca

(Ilyas, 2005).
Gejalanya sukar melihat di malam hari selain lapang pandang

menjadi sempit dibanding normal, penglihatan sentral dinyatakan

dengan adanya buta warna.Pada funduskopi terlihat penumpukan

pigmen perivascular dibagian perifer retina.Terdapat atrofi pigmen

epitel retina, arteri menciut, sel dalam badan kaca dan papil

pucat.Sering disertai pigmentasi retina berkelompok dan gangguan

penglihatan dan katarak supkapsular (Ilyas, 2005).


2. Kelainan refraksi mata
Kelainan refraksi adalah penurunan ketajaman penglihatan

yang dapat dikoreksi dengan kaca mata.Ketajaman penglihatan

dikatakan normal apabila mata tanpa akomodasi dapat dengan jelas

melihat gambar/ tulisan pada jarak 6 meter dengan sudut pandang 5

(sudut visualis). Terdapat berbagai macam kelainan refraksi,

diantaranya adalah myopia (rabun jauh), hipermetropia, dan

astigmatisme (Ilyas, 2005).


3. Pinguecula
Pinguekula merupakan benjolan pada konjuntiva bulbi yang

ditemukan pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat

rangsangan sinar matahari, debu, dan angina panas.Letak bercak ini

pada celah kelopak mata terutama bagian nasal.Pinguekula

merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.

Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila

meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan

terlihat pembuluh darah yang melebar. Pinguekula tidak memerlukan

pengobatan, akan tetapi bila terlihat tanda peradangan, dapat

diberikan obat-obat antiperadangan (Ilyas, 2005).


L. Tatalaksana

Penatalaksanaan defisiensi vitamin A pada mata dapat dibagi

menjadi beberapa bagian, yaitu (Ilyas, 2005; Depkes RI, 2003):

1. Pencegahan

Prinsip dasar pencegahan terjadinya defisiensi vitamin A pada

mata adalah dengan melakukan beberapa hal berikut:

a. Pemantauan faktor risiko di masyarakat


b. Pengenalan tanda dan gejala defisiensi vitamin A secara sistemik
c. Suplementasi vitamin A pada bayi dan anak secara periodik satu

tahun sekali. Menurut program nasional suplementasi vitamin A

diberikan pada bulan Februari dan Agustus yang diberikan

dengan dosis 100.000 IU. Sedangkan pada anak dibawah lima

tahun diberikan dua kali dalam setahun dengan dosis 200.000 IU

pada bulan Februari dan Agustus.


d. Edukasi pemberian ASI Eksklusif
e. Pengobatan gizi buruk dan peningkatan status gizi masyarakat
f. Suplementasi vitamin A pada ibu nifas sebanyak 200.000 IU
g. Edukasi pada masyarakat untuk meningkatkan konsumsi vitamin

A dan provitamin A
2. Pemberian kapsul vitamin A

Pemberian kapsul vitamin A dapat diberikan dengan dosis berikut:

Tabel 2.3 Dosis Pemberian Vitamin A Berdasarkan Usia


Usia Dosis
<6 bulan 3 x 50.000 IU (1/2 kapsul biru)
6 11 bulan 100.000 IU (1 kapsul biru)
1 5 tahun 200.000 IU (1 kapsul merah)
Anak/Dewasa 30.000 IU/hari selama 1 minggu

Sementara itu, Penanganan xeroftalmia dan penyakit campak


pada semua kelompok usia berdasarkan Sommer, (2005) terlihat
pada tabel berikut ini:

Tabel 2.4 Dosis Pemberian Vitamin A Menurut Sommer, (2005)


Anak berusia
Anak
Anak bulan > 12,
berusia
Waktu Pemberian berusia 0- remaja, dan
6-12
5bulan dewasa laki-
bulan
lakib
Segera pada saat
100 000
diagnosis 50 000 IU 200 000 IU
IU
ditegakkan
Hari berikutnya
(diserahkan kepada
ibu untuk diberikan 100 000
50 000 IU 200 000 IU
di rumah pada hari IU
berikutnya juka
diperlukan)
Pada kontak
berikutnya 100 000
50 000 IU 200 000 IU
(sedikitnya 2 IU
minggu kemudian)

3. Pemantauan dan Respon pengobatan dengan kapsul vitamin A

Pemantauan respon terhadap kapsul vitamin A dilihat sesuai

dengan tanda klinis yang ditemukan sebelumnya.

Tabel 2.5 Perbaikan Gejala Berdasarkan Stadium Xeroftalmia


Tanda Gejala Perbaikan
XN 1 2 hari setelah pemberian
2 3 hari setelah pemberian dan menghilang
X1A & X1B
dalam waktu 2 minggu
2 5 hari setelah pemberian dan menghilang
XB
dalam waktu 2 3 minggu

4. Pemberian obat mata

Pemberian obat tetes mata diberikan jika terdapat infeksi yang

menyertai gejala xeroftalmia. Obat tetes mata yang diberikan adalah


antibiotik tanpa kortikosteroid seperti kloramfenikol 0.25 1%,

tetrasiklin 1 %, atau gentamisin 0.3% dengan dosis 4x1 tetes perhari

pada penderita X2, X3A, dan X3B. Pemberian obat diberikan

minimal 7 hari hingga gejala-gejala infeksi menghilang.

5. Terapi gizi medis

Terapi gizi medis dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki

kadar vitamin A dalam tubuh dan memperbaiki kadar zat yang dapat

membantu penyerapan dan penyimpanan vitamin A dalam tubuh

(Sediaoetama, 2006).

a. Energi
Energi diberikan cukup untuk mencegah pemecahan protein

menjadi sumber energi dan untuk penyembuhan. Pada kasus gizi

buruk, diberikan bertahap mengikuti fase stabilisasi, transisi dan

rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kgBB, 150 kalori/kgBB dan 200

kalori/kgBB (Sediaoetama, 2006).


b. Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam

pembentukan Retinol Binding Protein dan Rodopsin. Pada gizi

buruk diberikan bertahap yaitu: 1D 1,5 gram/kgBB/hari; 2D

3 gram/kgBB/hari dan 3D 4 gram/kgBB/hari (Sediaoetama,

2006).
c. Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal.

Pemberian minyak kelapa yang kaya akan asam lemak rantai

sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides). Penggunaan

minyak kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan, tetapi

rasanya kurang enak (Sediaoetama, 2006).


d. Vitamin A
Diberikan tinggi untuk mengoreksi defisiensi. Sumber

vitamin A yaitu ikan, hati, susu, telur terutama kuning telur,

sayuran hijau (bayam, daun singkong, daun katuk, kangkung),

buah berwarna merah, kuning, jingga (pepaya, mangga dan

pisang raja), waluh kuning, ubi jalar kuning, Jagung kuning

(Sediaoetama, 2006).
e. Bentuk makanan
Mengingat kemungkinan kondisi sel epitel saluran cerna juga

telah mengalami gangguan, maka bentuk makanan diupayakan

mudah cerna (Sediaoetama, 2006).

6. Pengobatan penyakit infeksi atau sistemik

Biasanya pada pasien yang megnalami xeroftalmia akan terdapat

penyakit penyerta seperti infeksi saluran pernafasan, pneumonia,

campak, cacingan, tuberkulosis, diare, dan dehidrasi.

7. Rujukan

Rujukan kepada dokter spesialis mata jika ditemukan tanda-tanda

kelainan mata X3A, X3B, dan XS

M. Prognosis
Prognosis pasien yang mengalami defisiensi vitamin A tergantung

pada gejala yang telah dialami pasien. Pada Xeroftalmia di mata, gejala

XN hingga X2 dapat sembuh secara sempurna dengan pemberian

vitamin A dengan dosis yang sesuai. Sedangkan, pada gejala lanjutar

X3 hingga XF memiliki prognosis penglihatan yang buruk, ditambah

lagi jika pasien memiliki penyakit penyerta seperi kekurangan energi


protein. Pada sistem lain, prognosis tergantung kecepatan, ketepatan

tindakan serta tingkat keparahan penyakit (Khurana, 2007; Depkes RI,

2003).

N. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami

defisiensi vitamin A antara lain (Sommer, 2007):


1. Kebutaan
Komplikasi ini sangat mungkin terjadi jika gejala xeroftalmia

pada mata sudah mencapai stadium akhir dan tanpa pengobatan

segera. Xeroftalmia akan menyebabkan gangguan kornea sehingga

terjadi gangguan refraksi mata. Selain itu, gangguan pada retina pun

menyebabkan anak memiliki risiko tinggi untuk mengalami

kebutaan (Sommer, 2007).


2. Penyakit infeksi akut
Beberapa penyakit infeksi akut sangat berisiko terjadi pada anak

dengan defisiensi vitamin A, diantaranya adalah measles, chicken

pox, malaria, laringotrakeobronkitis, pneumonia, diare, dan

seterusnya. Hal tersebut terjadi karena kurangnya vitamin A yang

berperan penting dalam imunitas, epitelialisasi dan metabolism

tubuh (Sommer, 2007).

3. Malnutrisi
Malnutrisi terjadi karena adanya penyakit infeksi (diare,

penyakit infeksi saluran nafas, otitis akut, dll) yang membuat

kebutuhan nutrisi anak meningkat, dan ditambah lagi dengan anak

yang biasanya tidak mau makan jika dalam kondisi sakit. Hal ini

harus segera diterapi dengan pemberian vitamin A dengan dosis


sesuai usia (Sommer, 2007).
4. Kematian
Anak dengan defisiensi dan telah mengalami komplikasi measles

memiliki case fatality rate lebih dari 1%. Pasien ini harus diterapi

segera dengan vitamin A dosis tinggi sesuai usia selama 2 hari.

Anak-anak dengan penyakit measles berat, mengancam nyawa dan

semua anak usia di bawah 2 tahun yang menderita measles harus

mendapat terapi vitamin A walaupun tidak berasal dari populasi

risiko tinggi (Sommer, 2007).


III. KESIMPULAN

1. Defisiensi vitamin A adalah suatu kondisi saat cadangan vitamin A

dalam tubuh berkurang


2. Di dunia, terdapat sekitar 250 juta anak mengalami defisiensi vitamin A
3. Etiologi defisiensi vitamin A berbagai macam, diantaranya asupan yang

kurang, infeksi berulang, malnutrisi, pemberian ASI, dan faktor

sosioekonomi lain.
4. Patomekanisme defisiensi vitamin A secara umum adalah gangguan

imunitas, gangguan epitelilisasi dan gangguan metabolisme


5. Diagnosis defisiensi vitamin A dilakukan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


6. Diagnosis Banding defisiensi vitamin A antara lain adalah retinitis

pigmentosa, kelainan refraksi dan pinguecula


7. Tatalaksana defisiensi vitamin A meliputi pencegahan, edukasi dan

tatalaksana medikamentosa
8. Prognosis tergantung kecepatan, ketepatan tindakan serta tingkat

keparahan penyakit
9. Komplikasi defisiensi vitamin A bermacam-macam, baik sistemik

maupun lokal di mata, bahkan bisa sampai mengakibatkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Ansstas, G. 2012. Vitamin A Deficiency. Medscape. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/126004-overview (diakses
pada tanggal 24 Juli 2016).

Barasi, M.E. 2009. Ilmu Gizi: At a Glance. Jakarta: Erlangga.

Budiono. 2013. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit


Mata FKUGM.

Depkes RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia. Jakarta:


Depkes RI.

Depkes RI. 2009. Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A. Jakarta:


Departemen Kesehatan.

Garcia-Ferrer, F.J. 2007. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta:


EGC.

Ilyas, S.H. 2005.Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Joaquin, M.S. 2009. Malaria and vitamin A deficiency in African children: a


vicious circle?.Malaria Journal.

Khurana, A.K. 2007. Disease of Kornea: Comprehensive Ophthalmology.


New Delhi: New Age International (P) Ltd. 2007.

McCullough, F.S. 2009. The effect of vitamin A on epithelial integrity.. Proc


Nutr Soc. 58(2):289-93.

Oetama, S. 2008. Vitamin dalam Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi
Jilid I. Jakarta. Dian Rakyat. 2008. Hal. 111-112

Ostler, B. H., 2004. Disease of The Eye & Skin: A color Atlas. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Ribero-Silva, R.C. 2014. Prevalence and factors associated with Vitamin A


deficiency in children and adolescents. Journal de Pediatria. 90:
486-92.

Salam. 2011. Peranan Suplemen Vitamin A Pada Pengobatan TB. Available


at: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4207613.pdf

Sediaoetama, A.D. 2006. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.


Semba, R.D. 2002. The anemia of vitamin A deficiency: epidemiology and
pathogenesis. European Journal of Clinical Nutrition.

Semba, R.D. 2007. Handbook of Nutrition and Ophthalmology. New Jersey:


Humana Press.

Sommer, A. 2007. Vitamin A deficiency and Its Consequences A Field


Guide To Detection and Control. Geneva: WHO.

Thappa, D.M. 2009. Clinical Pediatric Dermatology. India: Elsevier.

West, K.P. 2003. Vitamin A deficiency disorders in children and women.


Food and Nutrition Bulletin. 24(4): 578-590.

World Health Organization: Department of Nutrion for Health and


Development. 2014. Xerophthalmia and night blindness for the
assessment of clinical vitamin A deficiency in individuals and
populations. Vitamins and Mineral Nutrition Information System.
14(4): 1 6.

Vous aimerez peut-être aussi