Vous êtes sur la page 1sur 7

MAKALAH

RESIKO ANESTESI PADA TONSILOADENOIDEKTOMI

Penguji :
dr. Aflah Eddin, Sp.An

Disusun oleh :
Fitria Fadzri R. (1102012091)

KEPANITERAAN ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO
PERIODE 29 MEI 16 JUNI 2017
1.1 Definisi

Anestesi umum adalah suatu tindakkan yang menyebabkan perubahan


fisiologik yang reversibel dan dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani
berbagai prosedur medis. Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan
seluruh tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina
dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal.1,2,5

1.2 Anatomi

Gambar 1.

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang
terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.

1.2.1 Perdarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu :

1) Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri


tonsilaris dan arteri palatina asenden;

2) Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden;

3) Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal;

1
4) Arteri faringeal asenden.

1.2.3 Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX


(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

1.3 Teknik Anestesi


Anestesi umum biasanya dilakukan untuk tonsilektomi dan adenoidektomi pada
anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan untuk
menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak
menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk
tonsilektomi pada orang dewasa. 3,4,6

Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi :


1). Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
2). Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
3). Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-
obatan yang dibutuhkan
4). Menyediakan rapid emergence.

1.4 Resiko anestesi pada Tonsiloadenoidektomi 3,4,6


a. Gelisah

Gelisah terjadi karena akan dilakukan tindakan operasi dan memulai induksi.

b. Batuk

Reflex batuk karena efek dari obat analgesik dan muscle relaxant mulai menghilang.
Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang
alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan :

2
1. Mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas.
2. Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran
nafas.

c. Laringospasme

Laringospasme terjadi karena tindakan anestesi dengan menggunakan ETT dapat


mengiritasi pita suara.

d. Mual dan muntah (PONV Post Operation Nausea and Vomitus)


Banyak variabel terkait anesthesia telah dibuktikan menjadi faktor resiko
PONV, mencakup penggunaan anestesi volatile, nitro oxida, keseimbangan antara
anestesi inhalasi dan total intra vena anestesi, dan neostigmine dosis besar ( 2.5
mg). Pilihan pada anestesi volatile, misalnya, isoflurane lawan sevoflurane lawan
enflurane, nampaknya tidak berefek pada resiko PONV. Penggunaan opioids
intraoperative atau postoperasi dan dosis besar perioperative dan postoperasi dari
obat ini juga dihubungkan dengan PONV. Bagaimanapun, beberapa penemuan
yang berlawanan telah dilaporkan berkenaan dengan opioid sesudah operasi
digunakan pada orang dewasa, intraoperative atau opioid sesudah operasi
digunakan pada anak-anak, atau penggunaan opioid intraoperative pada populasi
campuran antara dewasa dan pediatrik.

Penggunaan opioids long acting dibanding short acting adalah, paling baik,
sebagai faktor resiko PONV yang mungkin. Walaupun sedikit penelitian terbaru
yang mengamati hubungan antara penggunaan fentanyl lawan remifentanil sebagai
suatu tambahan pada pemeliharaan dengan profofol dengan PONV, sejumlah
penelitian yang sama menemukan tidak ada hubungan antara penggunaan alfentanil
lawan remifentanil dengan PONV. Lebih dari itu, 5199-patient multifactorial
multinasional merancang studi intervensi anti-PONV (11) yang gagal untuk
membuktikan fentanyl lawan remifentanil sebagai faktor resiko PONV. Lebih jauh
lagi, tetapi belum terlaksana, faktor resiko PONV yang terkait anestesi meliputi
jangka waktu anesthesia yang lebih panjang atau anestesi umum lawan jenis
anesthesia lain, misalnya, regional atau pemberian obat penenang. Bersama-sama

3
dengan penggunaan opioid atau isoflurane sesudah operasi, mereka menjadi faktor
resiko yang terkait anestesi dengan menggunakan sistem penilaian resiko.
Penggunaan oksigen standard (30%) dibanding yang bersifat tambahan (50% atau
80%) oksigen nampak telah dibuktikan-balik sebagai faktor resiko, di samping
bukti awal tentang kebenaran nya.

e. Perdarahan pasca tonsilektomi


Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang
robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan
yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar,
dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak
menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam, kemudian pilar
anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri
karotis eksterna. Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang
terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat
umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan
dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi sendi
temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.

Pasca bedah dapat berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan


dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk belum
sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi.
Asfiksi inilah yang dapat mengakibatkan tersumbatnya saluran napas dan membuat
komplikasi yang berat dan mengancam jiwa. Penyebabnya diduga karena hemostasis
yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.

f. Stridor postoperasi

Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di tenggorok.

4
g. Obstruksi saluran napas postoperasi

Obstruksi dapat terjadi akibat menumpuknya lender atau darah di tenggorok dan
pembengkakkan pada airway

j. Pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.


Pembengkakan faring terjadi akibat respon trauma dengan alat yang digunakan saat
operasi .

1.5 Komplikasi anestesi


Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
dan adenoidektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:

a. Laringospasme
b. Gelisah pasca operasi
c. Mual muntah
d. Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
e. Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi
f. Henti jantung
g. Hipersensitif terhadap obat anestesi

5
DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, CalhourKH, Friedman NR,


Newlands SD, Vrabec JT,editors. Atlas of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Philadelphia:LippincottWilliams & Wilkins 2001.2nd
edition.p.327-2-327-6.
2. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomyversus non-surgical
treatment forchronic/recurrent acute tonsillitis (CochraneReview). In: The
Cochrane Library, Issue 3,2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
3. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia forotolaryngology procedures. In: Cote
CJ, TodresID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. APractice of anesthesia
for infants and children.Philadelphia: WB Saunders Company 2001.
3rded.p.461-67.
4. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, andthroat surgery. In: Longnecker
DE, Tinker JH,Morgan GE,editors. Principles and practice
ofanesthesiology. London: Mosby 1998.2nded.p.2208-10.
5. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence,clinical practice and
uncertainties. Barcelona:CAHTA, 1999.
6. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: SnowJC. Anesthesia in
otolaryngology andophthalmology.USA:Charles C Thomas1979.p.245-57.

Vous aimerez peut-être aussi