Vous êtes sur la page 1sur 9

ASKEP BPH

Pengertian
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral
dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat.
Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).

2. Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-
Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan
bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen
mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus
medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia.
(Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada
usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan.

3. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20gram. Menurut Mc Neal
(1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000), membagi kelenjar prostat
dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional,
zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki, 2000). Sjamsuhidajat (2005),
menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar
prostat.
4. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu
lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin
dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitasotot
detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun
untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK
atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flowin kontinen).

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa :


Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,
dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun
pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a. Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
b. Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
c. Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
d. Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
e. Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan1).
Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi
urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

6. Penatalaksanaan Medis
1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang
diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau
Madsen Iversen 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup
edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi
pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS
yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan watchful waiting.
Saran yang diberikan antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi
miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
2. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan
adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi
operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi,
hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP
adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila
volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik.
Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu
besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi
terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan
apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor /
divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari
100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)

7. Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan


1. Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
a. Penghambat adrenergik alfa
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra
pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan
cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin.
Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga
pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah.

b. Penghambat enzim 5 reduktase


Obat ini menghambat kerja enzim 5 reduktase sehingga testosteron tidak diubah
menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein
terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya
antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.
c. Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum
Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea
pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui,
namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth Factor terutama
b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen,
menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel prostat,
pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher
vesika.(Sjamsuhidajat, 2004)
Daftar Pustaka
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI,
Katalog Dalam Terbitan (KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press:
Surabaya
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Vous aimerez peut-être aussi