Vous êtes sur la page 1sur 6

Hubungan antara anti-protein C-reaktif dan aktivitas

penyakit pada pasien penderita lupus erythematosus


sistemik

Latar Belakang/Tujuan: Antibodi anti-protein C-reaktif (CRP) diperkenalkan


sebagai penanda biologik potensial pada lupus erythematosus sistemik (SLE). Tujuan
dari studi ini adalah untuk mengevaluasi konsentrasi antibodi anti-CRP pada pasien
penderita SLE.
Metode: Studi ini meneliti hubungan antara konsentrasi antibodi anti-CRP dan
penanda aktivitas penyakit, seperti komplemen, antibodi anti-DNA beruntai-dobe dan
indeks aktivitas penyakit SLE pada 34 pasien penderita SLE.
Hasil-hasil: Konsentrasi antibodi anti-CRP serum pasien penderita SLE lebih tinggi
secara signifikan daripada yang ditemukan pada kontrol yang sehat (11,3 5,6
g/mL vs. 9,1 2,8 g/mL). Persentase antibodi anti-CRP positip adalah 52,9% pada
SLE dan 27,8% pada kontrol. Durasi penyakit SLE menunjukkan korelasi yang
signifikan dengan antibodi anti-CRP (r = 0,234, p = 0,026). Akan tetapi tidak ada
diamati hubungan yang signifikan antara konsentrasi antibodi anti-CRP dan penanda
aktivitas penyakit.
Kesimpulan: Data ini menunjukkan bahwa konsentrasi antibodi anti-CRP pasien
penderita SLE lebih tinggi secara signifikan daripada yang ditemukan pada kontrol
yang sehat. Kami amati bahwa keberadaan antibodi anti-CRP tidak terkait dengan
aktivitas penyakit SLE.
PENDAHULUAN
Lupus erythematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimmun kronis yang
melibatkan beberapa organ dan memanifestasikan aneka ragam gejala klinik. Pada
lupus, antibodi autoimmun yang diproduksi oleh reaksi kekebalan abnormal berikatan
dengan antigen untuk membentuk kompleks kekebalan, yang menyebabkan

1
perubahan pada organ-organ internal. Banyak studi melaporkan korelasi antara
signifikansi klinik dari antibodi autoimmun dan penyakit. Khususnya, lupus nephritis
dan tingkat aktivitas penyakitnya berpengaruh penting pada masa perjalanan
pengobatan dan prognosis pasien. Akan tetapi, hanya sedikit studi melaporkan
tentang konsentrasi antibodi anti-protein C-reaktif (CRP) pada pasien penderita lupus
Korea. Dalam sebuah studi yang dilaksanakan oleh Jung et al. di mana 99 pasien
lupus dan 48 kontrol dibandingkan, konsentrasi antibodi anti-CRP tidak berkorelasi
signifikan dengan aktivitas penyakit atau perkembangan lupus nephritis, namun
konsentrasinya berbeda secara signifikan antar-kelompok. Studi-studi sebelumnya
yang dilaksanakan di negara lain melaporkan bahwa konsentrasi antibodi anti-CRP
terkait dengan tingkat aktivitas penyakit dan mempunyai hubungan penting dengan
prediksi, evaluasi reaksi pengobatan dan prognosis kesakitan lupus nephritis. Karena
itu, dalam studi ini, kami bertujuan untuk mengkaji hubungan konsentrasi antibodi
anti-CRP dengan aktivitas penyakit dan manifestasi klinik pada pasien penderita SLE
Korea.

METODE
Subjek dan metode
Subjek studi mencakup 34 pasien lupus yang diobati di Bagian Rhematologi
Keimyung University Dongsan Medical Center antara bulan Maret dan Nopember
2014. Semua pasien memenuhi kriteria klasifikasi lupus American College of
Rheumatology, yang direvisi tahun 1997, dan lupus nephritis didefinisikan menurut
klasifikasi kondisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kami juga merekrut subjek
yang sehat bersesuaian-usia dan jenis kelamin sebagai kelompok kontrol. Studi
disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Medis Keimyung University Dongsan Medical
Center (IRB 2013-12-009).
Selama kunjungan rawat jalan mereka, semua pasien menjalani pengujian
untuk antibodi anti-CRP serum, jumlah darah total, CRP, komplemen 3 (C3),

2
komplemen 4 (C4), antibodi anti-DNA beruntai-bobel (anti-dsDNA) dan urin. Selain
itu, indeks aktivitas penyakit lupus erythematosus sistemik (SLEDAI) dinilai.

Pengukuran konsentrasi antibodi anti-CRP serum


Konsentrasi antibodi anti-CRP serum diukur dengan menggunakan enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA). Sampel darah kapiler diperoleh dari pasien
maupun kontrol, dan diproses segera dalam separator centrifugal pada 120.000 rpm
selama 20 menit. Hanya serum yang dipisahkan yang disimpan dalam freezer pada -
70C hingga pengukuran konsentrasi antibodi anti-CRP serum. Konsentrasi antibodi
anti-CRP diukur dengan menggunakan perangkat ELISA antibodi anti-CRP. Sebelum
pengukuran setiap spesimen diencerkan dengan ratio 1:100 dalam saline
berpenyangga-fosfat dan dikultur pada 37C selama 2 jam setelah kelompok-
kelompok spesimen 100-L ditransfer dengan menggunakan pipet ke pelat mikrotiter
96-sumur. Setelah pencucian dengan penyangga pencuci, reaksi warna diinduksi pada
37C selama 25 menit dengan penambahan larutan substrat dan kemudian dihentikan
dengan penambahan larutan stop. Pembaca ELISA (VICTOR3) digunakan untuk
mengukur kepadatan optik (OD). OD yang diperoleh dihitung dengan kurva standar
yang dihasilkan melalui pengenceran serial serum (r2 = 0,998). Nilai patokan
ditetapkan sebagai mean OD + 2SD kontrol yang sehat.

Analisa statistik
Penanganan data dan analisa statistik dilaksanakan dengan menggunakan
SPSS versi 18.0. Hasil studi dipresentasikan di sini sebagai mean standar deviasi.
Konsentrasi antibodi anti-CRP dibandingkan antara kelompok pasien dan kelompok
kontrol dengan menggunakan uji U Mann-Whitney non-parametrik. Korelasi antara
konsentrasi antibodi anti-CRP dan indikator aktivitas penyakit lupus nephritis dikaji
dengan menghitung koefisien korelasi non-parametrik untuk variabel ordinal (rho
Spearman). Signifikansi statistik dipastikan jika nilai p < 0,05.

3
HASIL-HASIL
Dari 34 pasien, laki-lali tiga orang dan perempuan 31 orang. Mean usia adalah
38,5 12,28 dan mean durasi penyakit adalah 72,64 56,11 bulan. Biopsi ginjal
dilaksanakan untuk lima pasien (14,7%), di mana satu di antaranya mengalami
penyakit kelas II dan empat mengalami penyakit kelas IV menurut kriteria klasifikasi
WHO. Pasien dengan lupus nephritis hanya lima, karenanya kami tidak dapat
menganalisa antibodi anti-CRP berdasarkan lupus nephritis. Pemeriksaan
laboratorium menghasilkan nilai-nilai berikut: leukosit, 5.638,8 2.635,0/L;
hemoglobin, 12,1 2,0 g/dL; trombosit, 236,3 38,8 103/L; laju sedimentasi
eritrosit, 26,3 25,5 mm/jam; CRP, 0,4 0,9 mg/dL; C3, 83,1 28,5 mg/dL; C4, 16,3
7,0 mg/dL; dan antibodi anti-dsDNA, 45,6 141,1 U/mL. SLEDAI adalah 6,5
8,8 (Tabel 1).
Konsentrasi antibodi anti-CRP adalah 11,3 5,6 g/mL pada kelompok
pasien dan 9,1 2,8 g/mL pada kelompok kontrol, yang menunjukkan konsentrasi
lebih tinggi pada kelompok pasien (p = 0,043) (Gambar 1). Konsentrasi antibodi anti-
CRP positip adalah 52,9% pada SLE dan 27,8% pada kontrol. Konsentrasi antibodi
anti-CRP, ciri-ciri klinik dan aktivitas penyakit dibandingkan dalam Tabel 2. Satu
variabel, durasi penyakit SLE, menunjukkan korelasi yang signifikan dengan antibodi
anti-CRP (r = 0,234, p = 0,026). Akan tetapi, tidak ada diamati korelasi yang
signifikan dengan komplemen, antibodi anti-dsDNA, skor SLEDAI dan variabel
lainnya. Pasien dibagi dalam dua subkelompok menurut tingkat aktivitas penyakit,
dan efek dari setiap antibodi anti-CRP dikaji. Akan tetapi, tidak ada ditemukan
perbedaan yang signifikan. Subkelompok-subkelompok juga tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan, misalnya, dalam hasil test darah, gejala-gejala dan
penggunaan obat (Tabel 3). Kami juga mengevaluasi antara pasien positip anti-CRP
(n = 18) dan pasien negatip anti-CRP (n = 16). Akan tetapi tidak ada variabel yang
berbeda secara statistik antar-kelompok (data tidak diperlihatkan).

4
DISKUSI
Konsentrasi CRP jarang tinggi pada pasien penderita SLE, bahkan dalam
meningkatnya tingkat aktivitas penyakit. Jika pasien penderita SLE mengalami
peningkatan konsentrasi CRP, penyebab lainnya terlebih dahulu dipertimbangkan.
Peningkatan kecil dalam konsentrasi CRP pada SLE ternyata terkait dengan eliminasi
oleh autoantibodi. Beberapa studi melaporkan bahwa konsentrasi antibodi anti-CRP
berkorelasi dengan aktivitas penyakit dan kejadian lupus nephritis. Pada pokoknya,
Sjowall et al. menunjukkan dalam sebuah studi di mana 10 pasien lupus ditindak-
lanjuti seiring berjalannya waktu bahwa konsentrasi antibodi anti-CRP bervariasi
tergantung pada tingkat aktivitas penyakit. Khususnya, konsentrasi antibodi anti-CRP
meningkat bila tingkat aktivitas penyakit lupus nephritis meningkat. Akan tetapi,
dalam studi ini, kami tidak menemukan korelasi yang signifikan antara konsentrasi
antibodi anti-CRP dan penanda aktivitas penyakit seperti komplemen, antibodi anti-
dsDNA dan skor SLEDAI. Selain itu, konsentrasi antibodi anti-CRP tidak berbeda
antara pasien dengan dan pasien tanpa lupus nephritis yang terjadi bersamaan. Kami
yakin bahwa satu alasan mengapa kami tidak menemukan adanya korelasi yang
signifikan dengan aktivitas penyakit ini atau kejadian lupus nephritis dalam studi
kami, berbeda dengan studi lainnya, mungkin terkait dengan tingkat aktivitas
penyakit lupus yang rendah pada pasien kami. Rerata konsentrasi komplemen pada ke
34 pasien adalah 83,1 28,5 mg/dL untuk C3 dan 16,3 7,0 mg/dL untuk C4. Rerata
SLEDAI adalah 6,5 8,8. Hanya lima pasien yang mengalami lupus nephritis yang
terjadi bersamaan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konsentrasi antibodi
anti-CRP bisa berubah tergantung pada tingkat aktivitas penyakit. Lebih jauh lagi,
pada pasien penderita lupus nephritis, penurunan yang signifikan dalam konsentrasi
antibodi anti-CRP diamati setelah terapi induksi. Akan tetapi, aktivitas penyakit pada
pasien dalam studi ini tetap terjaga pada tingkat yang relatip stabil, yang mungkin
merupakan alasan mengapa tidak ada ditemukan korelasi yang signifikan.

5
Akan tetapi, ditemukan korelasi yang signifikan antara konsentrasi antibodi
anti-CRP dan rerata durasi penyakit; yaitu semakin lama durasi penyakit, semakin
tinggi konsentrasi antibodi anti-CRP. Sebuah studi sebelumnya tidak menemukan
perbedaan yang signifikan dalam rerata durasi penyakit antara kelompok positip-anti-
CRP dan kelompok negatip-anti-CRP. Akan tetapi, dalam studi ini, durasi penyakit
tidak berkorelasi secara statistik dengan penanda aktivitas penyakit manapun, yang
meliputi komplemen, antibodi anti-dsDNA, SLEDAI dan proteinuria. Selain itu,
rerata durasi penyakit adalah 72,6 56,1 bulan. Akan tetapi, tiga pasien yang
mempunyai konsentrasi antibodi anti-CRP lebih tinggi daripada konsentrasi rata-rata
mengalami lupus masing-masing selama 187, 175 dan 167 bulan, di mana semuanya
lebih besar dari dua kali standar deviasi. Karena itu, kami menganggap bahwa temuan
korelasi yang signifikan dengan durasi penyakit adalah disebabkan sedikit nilai tinggi
pada sampel kecil. Kami anjurkan kiranya studi penelitian prospektif dengan sampel
besar pasien dilakukan untuk penafsiran hasil yang lebih akurat.
Sebagai kesimpulan, dalam studi ini, kami konfirmasikan bahwa konsentrasi
antibodi anti-CRP pasien penderita SLE lebih tinggi secara signifikan daripada yang
ditemukan pada kontrol. Akan tetapi, berbeda dengan temuan-temuan yang
dilaporkan dalam studi penelitian sebelumnya, konsentrasi antibodi anti-CRP tidak
berkorelasi secara signifikan dengan aktivitas penyakit lupus. Untuk pemahaman
lebih lanjut tentang efek antibodi anti-CRP pada pasien penderita lupus, dibutuhkan
studi penelitian prospektif tindak lanjut dengan jumlah pasien yang lebih besar.

PESAN UTAMA
1. Konsentrasi antibodi anti-protein C-reaktif (anti-CRP) pasien penderita lupus
erythematosus sistemik lebih tinggi secara signifikan daripada yang
ditemukan pada kontrol yang sehat.
2. Konsentrasi antibodi anti-CRP tidak berkorelasi secara signifikan dengan
aktivitas penyakit lupus.

Vous aimerez peut-être aussi