Vous êtes sur la page 1sur 39

BAB I

Pendahuluan

Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada anak.
Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia<2,5 g/dl,
edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus
akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui.

Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika


Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.

Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra atau


pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia.
Kadang-kadang disertai oliguria, gejala infeksi,nafsu makan berkurang, diare,
nyeri perut akibat terjadinya peritonitis, dan hipovolemia. Prognosis sindrom
nefrotik menjadi gagal ginjal berkisar antara 4-25% dalam waktu 5-20 tahun. Hal
ini salah satunya dipengaruhi oleh diagnosis dini dan penatalaksanaan awal yang
tepat .

Kompetensi dokter umum untuk kasus sindrom nefrotik adalah tingkat


kemampuan dua yang artinya dokter mampu membuat diagnosis dan merujuk
pasien secepatnya kepada spesialis yang relevan dan mampu menindak lanjuti
sesudahnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai sindrom nefrotik
sehingga dapat mengenali secara dini sindrom nefrotik dengan harapan dapat
mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan
penatalaksanaan.Pada laporan kasus ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai
sindrom nefrotik, yang meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.
BAB II

LAPORAN KASUS

Nama Dokter Muda : Mutiara Balqis

Shafrizal

Tanggal : 13 Juni 2015

IDENTITAS

Identitas Pasien :
Nama : Agung Purnomo

Umur : 5 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Berat badan : 19 kg

Panjang badan : 75 cm

Agama : Islam

Alamat : Alur Pinang

Kebangsaan : Indonesia

MRS : 13 Juni 2015


ANAMNESIS

Diperoleh dari Alloanamnesa

Keluhan utama :

Bengkak seluruh badan

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang bersama orangtuanya ke RSUD Langsa dengan keluhan bengkak

pada seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Ibunya

mengatakan Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sejak 1

minggu yang lalu, kemudian menjalar ke daerah, perut, dan kedua tungkai.

Pasien juga mengeluhkan batuk (+) dan pilek (+) sejak 1 minggu yang lalu.

mual (-), muntah (-), demam (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu

- Anak baru pertama kali mengalami sakit seperti ini.


Riwayat Penyakit Keluarga

- Pada keluarga tidak ada keluhan seperti ini sebelumnya.


Riwayat Penggunaan Obatan

- Riwayat penggunaan obat disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalisata

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : compos mentis

GCS : 4-5-6
2. Pengukuran :

Tanda vital : TD : 90/60 mmHg

HR : 86 x/menit

Temp : 36,5o C

RR : 22 x/menit

Berat badan : 19 kg

Tinggi badan : 75 cm

Kepala : Normochepali
Mata : - Conjungtiva anemi (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Palpebra Edema (+/+)
Telinga : Normotia
Sekret (-)

Hidung : NCH (-)


Sekret (-)
Mulut : - Bibir : kering (-), sianosis (-),pucat (-)
- Lidah : beslag (-), tremor (-)
- Tonsil : T1/T1
- Faring : hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), midline trakea (+)
Thorak :

a. Dinding dada/paru :

Inspeksi : Bentuk : simetris

Retraksi : tidak ada

Dispnea : tidak ada


Palpasi : stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Suara Napas : vesikuler (+/+)

Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

b. Jantung :

Inspeksi : Iktus : tidak terlihat

Palpasi : Apeks : teraba

Thrill : tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra

Batas kiri : ICS V LMK sinistra

Batas atas : ICS II LPS dextra

Auskultasi : Murmur (-)

3. Abdomen

Inspeksi : Bentuk : cembung

Palpasi : Hati : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Ginjal : tidak teraba

Masa : tidak ada

Undulasi : (+)

Perkusi : timpani, shifting dullness (+), ascites (+)


Auskultasi : bising usus (+) normal

4. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), CRT<2, edema (+) di pretibia dan
dorsum pedis dextra dan sinistra.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 13 Juni 2015

Pemeriksaan 13/06/2015 Nilai Rujukan

HB 13,9 g/dl L: 14-16 g/dl

Leukosit 12.800 /ulx103 L: 8000-12.000

Trombosit 114.000 /ulx103 L: 150.000- 350.000

Hitung Jenis :

Basofil - 0-1%

Eosinofil - 1-3%

Batang - 2-6%

Segmen - 50-70%

Limfosit - 20-40%

Monosit - 2-8%

HT 42,4% 40-50%

2. Pemeriksaan Kimia Darah tanggal 13 Juni 2015


Pemeriksaan 13/06/2015 Nilai Rujukan
Total Protein 4,1 6,3-8,8g/dl
Albumin 1,5 3,2-5,2g/dl
Globulin 2,6 2,6-3,6
Total Bilirubin 0,7 0,3-1,0mg/dl
Direct Bilirubin 0,6 0,0-0,7mg/dl
SGOT 23 52u/l
SGPT 16 29u/l
Alk. Phospatase 456 80-306u/l
Urium 10 10-50mg/dl
Creatinine 0,5 1,1mg/dl
Uric Acid 4,7 3,4-7,0mg/dl
Tryglycerine 452 150mg
Total Cholesterol 542 200mg
Glucose Nuchter 107 70-110ml
HDL 47 >50 u/l
LDL 405 <130u/l

3. Pemeriksaan Elektrolit Darah Tanggal 13 Juni 2015


Pemeriksaan 13/06/2015 Nilai Rujukan
Chlorida (Cl) 104 90-105mmol/I
Natrium (Na) 131 130-145mmol/I
Kalium (K) 4,0 3,3-5,2mmol/I

4. Pemeriksaan Urine
Urine :
Warna : Jernih
pH :
Protein : 3 +++
Bilirubin : (-)
Reduksi : (-)
Urobilinogen :
Sedimen :
Leukosit : 1-2/ lpb
Eritrosit : (-)
Epithel cell : (-)
Ca. Oxalat : (-)
Silinder : (-)
DIAGNOSA BANDING

Sindrom Nefrotik
Glomerulonefritis Akut
Gagal Jantung kongesti

DIAGNOSA

Sindrom Nefrotik

PENATALAKSANAAN
Bedrest
Furosemid 2 x 1
Prednison 5mg 4-3-3
Mucopect 3 x cth

PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Follow Up

58
Lingkar pinggang (cm)
56

54

52

50

Lingkar pinggang (cm)


48

46

44

42
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Berat Badan (kg)
25

20

15

Berat Badan (kg)


10

0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Definisi

Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering


dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh
per hari), hipoalbuminemia (albumin kurang dari 3 gram/dl), edema anasarka,
hiperlipidemia.Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula
hipertensi, hematuria, bahkan kadang-kadang azotemia Sindroma nefrotik
merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonefritis. Pada proses awal
sindrom nefrotik atau sindrom nefrotik ringan untuk menegakkan diagnosis tidak
perlu semua gejala tersebut ditemukan. 1,2,3,7

3.2.Etiologi dan Klasifikasi

Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini
paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah
1 tahun.7

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer


dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study
of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of
Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht
(1971).8

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik


primer
1. Kelainan minimal (KM)
2. Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
7. Glomerulopati membranosa (GM)
8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sementara itu, berdasarkan histopatologis, Churk dkk membagi


sindrom nefrotik primer menjadi empat, yaitu:

a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG
pada dinding kapiler glomerulus.
Gambar 1. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis
kelainan minimal.

b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.

Gambar 2. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis


glomerulopati membranosa.

c. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi
sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan
sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular.
Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.

Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-
IA rendah. Prognosis buruk.

Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.


d. Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
atrofi tubulus. Prognosis jenis ini adalah buruk.

Gambar 3. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis


glomerulosklerosis fokal segmental.

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak


berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya
44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik
primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7%
tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi.9,10
2. Sindrom nefrotik sekunder

Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah infeksi, keganasan, penyakit
jaringan penyambung (connective tissue diseases), obat atau toksin, dan
akibat penyakit sistemik.8

Tabel 2. Penyebab Sindrom Nefrotik Sekunder

Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberculosis, lepra
Keganasan
- Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,
multiple mieloma, dan karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
- SLE, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue
diseases)
Efek obat dan toksin
- Obat antiinflamasi nonsteroid, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, captopril, dan heroin
Lain-lain
- Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluk vesikoureter, atau sengatan lebah

Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada


glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus atau virus hepatitis B,
akibat obat misalnya obat antiinflamasi nonsteroid atau preparat emas
organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya SLE dan diabetes
melitus.8
3.3.Patogenesis

1. Permeabilitas Glomerulus

Pada orang sehat, kurang dari 0,1% albumin plasma melewati barier
filtrasi glomerulus. Hingga saat ini, masih ada perdebatan mengenai
saringan yang dilewati albumin pada barier filtrasi glomerulus.
Perdebatan tersebut mengenai albumin yang terus-menerus berada di
dalam urin yang ekuivalen dengan uptake albumin di glomerulus.
Hasilnya, jumlah albumin di urin kurang lebih 80 mg atau kurang setiap
hari. Perdebatan ini didasarkan pada studi yang dilakukan pada
binatang percobaan. Namun, studi yang dilakukan pada manusia
dengan defek transport tubular mengesankan bahwa jumlah konsentrasi
albumin di urin adalah 3,5 mg/l. Dengan jumlah sebesar ini, dan
glomerular filtration rate (GFR) per hari 150 liter, diperkirakan tidak
lebih dari 525 mg albumin yang ada di urin per hari. Jumlah di atas
merupakan batas nilai albumin yang mengarah ke glomerular diseases.9

Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium fenestrasi yang menduduki


membran basement glomerulus dan ditutupi oleh epitel glomerulus atau
podosit. Podosit merupakan selubung kapiler dengan perpanjangan
seluler yang disebut foot processes. Diantara foot processes merupakan
celah filtrasi. Barier filtrasi glomerulus terdiri atas 3 struktur, yaitu
endotelium fenestrasi, podosit, dan epitel glomerulus. Gambar 1
merupakan gambaran skematik dari barier filtrasi glomerulus.8
Gambar 4. Gambaran skematik barier filtrasi glomerulus

2. Proteinuria

Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar


berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya
sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan integritas membran basalisglomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Derajat
proteinuria tidak berhubungan dengan langsung dengan keparahan
kerusakan glomerulus. Lewatnya protein plasma yang berukuran lebih
dari 70 kD melalui membrana basalais glomrulus normalnya dibatasi
oleh charge selective barrier dan size selective barrier. Charge
selective barrier merupakan suatu polyanionic glycosaminoglycan.
Pada nefropati lesi minimal, proteinuria disebabakan terutama oleh
hilangnya charge selective barrier, sedangkan pada nefropati
membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya charge selective
barrier.1,8
3. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan


peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat. Namun, masih tidak memadai untuk menggantikan
kehilangan albumin dalam urin.1,8

4. Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density


lipoprotein, trigliserida meningkat, sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer
(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron, dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
penurunan tekanan onkotik.8

5. Edema

Menurut teori underfill, edema pada sindrom nefrotik disebabkan oleh


penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia dan retensi
natrium. Hipovolemia menyebabkan peningkatan renin, aldosteron,
hormon antidiuretik dan katekolamin serta penurunan atrial natriuretic
peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume,
meningkat laju filtrasi glomerulus dan eksresi fraksional NaCl dan air
yang menyebabkan edema berkurang.1,8

Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi


volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta
peningkatan ANP. Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan
kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema
merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun
secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama
fase diuresis1,8
6. Lipiduria

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana
basalis glomerulus yang permeabel.6

7. Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S,


C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya
faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi
trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor
zimogen (faktor IX, XI).6

8. Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat


ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus.Pada SN juga
terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi
bronkopneumoni dan peritonitis.6

2.4.Manifestasi Klinis

Gejala utama yang ditemukan adalah:7


1. Proteinuria masif. Proteinuria > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam
atau > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.
Biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya
mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe
yang lain.
2. Hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua
pada sindrom nefrotik. Disebut hipoalbuminemia apabila kadar albumin
serum < 2,5 g/dl.
3. Edema anasarka. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan edema muka, asites, dan efusi pleura.
4. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia. Kadar
kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL
menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan trombosis vena dan
arteri.

Manifestasi klinik utama sindrom nefrotik adalah sembab, yang tampak


pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara
lambat sehingga keluarga mengira anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab
sering bersifat intermiten. Biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah seperti daerah periorbita, skrotum atau
labia. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka/generalisata).7
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur dan kemudian menjadi sembab
pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab
hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.7
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.7
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.7
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada
penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga
dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi
terganggu.7
Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah
yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita,
skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum
dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami
restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa takipnea. Akibat sembab kulit,
anak tampak lebih pucat.7
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari ke-90 persentil
umur.7
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM.Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom
nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan
secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran
asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.7
2.5.Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah sembab di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.

2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.
Kadang-kadang ditemukan hipertensi.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis
yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
b. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
c. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
Albumin dan kolesterol serum
Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA
2.6.Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada sindrom nefrotik adalah sebagai berikut:7

1. Sembab non-renal: gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, dan edema


hepatal.

2. Glomerulonefritis akut.

3. Lupus sistemik eritematosus.

2.7.Penatalaksanaan

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah


tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi
pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam
waktu 10-14 hari. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada
anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada
tabel 3.7

Tabel 3. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada sindrom


nefrotik.
Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4
mg/m2/jam selama3 hari berturut-turut.
Kambuh Proteinuria + 2 atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah
mengalami remisi.
Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam
periode 12 bulan.
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa
tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah
terapi steroid dihentikan.
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi
prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60
mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya
responsif-steroid.

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di


rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua. 9

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan


berikut:

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat


edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.
A. Dietetik

Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena


akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

B. Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan


loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak
berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat ( 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan
dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-
pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar
5.
Furosemide 1-3 mg/KgBB/Hari + Spironolakton 2-4 mg/KgBB/Hari
respon(-)
Berat bada tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48 jam

Dosis furosemide dinaikkan 2 kali lipat ( Maksimum 4-6 mg/KgBB/hari )
respon (-)
Tambahkan hidroklorothiazid 1-2mg/KgBB/Hari
respon (-)
Bolus Furosemid IV 1-3mg/KgBB/Dosis
Atau per infus dengan kecepatan 0,1-1mg/KgBB/jam
respon (-)
Albumin 20% 1g/KgBB Intravena diikuti dengan furosemide intravena

Gambar 5. Algoritma pemberian diuretik

C. Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/


hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah
obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated
polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan
vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela.

D. Pengobatan Dengan Kortikosteroid

Pada Sindrom Nefrotik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali


bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
a. Terapi insial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik tanpa kontraindikasi


steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60
mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan
ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating(selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 6).

Gambar 6. Pengobatan Inisial Kortikosteroid

b. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan


prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
dosis alternatingselama 4 minggu. Pada pasien Sindrom Nefrotik remisi yang
mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian
prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan
prednison mulai diberikan.
Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps

Catatan :

Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap


hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan
prednison intermittent atau alternating(AD) 40 mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.

c. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering Atau Dependen

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang


2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.

1. Steroid jangka panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis thresholddan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating.Bila relaps terjadi pada dosis prednison
antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan
prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi.

Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan


secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai
satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada

saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.Bila relaps
terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternatingtanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:

1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternatingatau


2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain
hipovolemia, trombosis, dan sepsis

diberikansiklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-


12 minggu.

2. Levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol


diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak


adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal (Gambar 8), maupun
secara intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls diberikan dengan dosis 500
750 mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan
selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek amping CPA adalah mual,
muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan
dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin
<8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin>8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai
dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8


minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik
berupa kejang dan infeksi.

Gambar 8. Pengobatan SN Relaps Sering dengan CPA Oral

Keterangan :

Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent
ataualternating(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per
oral, dosis tunggal selama 8 minggu
Gambar 9. Pengobatan Sindrom Nefrotik dependen Steroid

Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2
LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Atau Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis
tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari
selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).

4. Siklosporin (CyA)

Pada Sindrom Nefrotik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan Sindrom
Nefrotik resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24
bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid
dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Keterangan:

1. Pengobatan steroid jangka panjang


2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

E. Pengobatan Sindrom Nefrotik Dengan Kontraindikasi Steroid

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,


seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

F. Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat


menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian
CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 11.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total


sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:

Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 1.


nanogram/mL
Kadar kreatinin darah berkala.
Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.

Gambar 11. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid.

Keterangan:
Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 3-6 bulan
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama
pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-
off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
atau
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan
melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat
dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama
pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
3. Metilprednisolon puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil


prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

Tabel 4. Protokol metilprednisolon dosis tinggi.

Minggu ke- Metilprednisolon Jumlah Prednison oral


12 30 mg/kgbb, 3 x 6 Tidak diberikan
seminggu
3 10 30 mg/kgbb, 1 x 8 2 mg/kgbb, dosis
seminggu tunggal
11 18 30 mg/kgbb, 2 minggu 4 Dengan atau tanpa
sekali taper off
19 50 30 mg/kgbb, 4 minggu 8 Taper off pelan-pelan
sekali
51 82 30 mg/kgbb, 8 minggu 4 Taper off pelan-pelan
sekali

Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison
oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22
mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih
didapatkan setelah pemberian metilprednisolon selama 10 minggu.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat
ini belum direkomendasi di Indonesia.

Skema tata laksana sindrom nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada


Gambar 8.

G. Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi


Proteinuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23 Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan
hasil penurunan proteinuria lebih banyak.

Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:

a) Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari,


enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb
dosis tunggal
b) Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
2.8.Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan pada sindrom nefrotik adalah sebagai


berikut:7

1. Infeksi
2. Trombosis
3. Hiperlipidemia
4. Hipokalsemia
5. Hipovolemia
6. Hipertensi
7. Efek samping steroid

2.9.Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:7


1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas
enam tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang


baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.7
BAB IV
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasiklinis yang


ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemia,edema anasarka, hiperlipidemia,
lipiduria dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer
glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu.
Penegakan diagnosis sindrom nefrotik dapat dilakukan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa
urinalisis.Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakanpedoman
pengobatan rasional sebagian besar pasien sindrom nefrotik.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik meliputi terapi spesifik untuk
kelainandasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkanatau mengurangi
proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia sertamencegah dan mengatasi
komplikasi-komplikasi yang ditimbulkannya. Semakin cepat penatalaksanaan
diberikan, maka semakin sedikit juga komplikasi yang akan timbul.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sukandar E, Sulaiman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta, Indonesia.
2. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta, Indonesia
3. Prodjosudjadi, Wiguno. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbit FKUI. Jakarta, Indonesia.
4. Gunawan, A. Carta. 2006. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan
Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran. 150 (50-54).

5. Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2006. Sindrom Nefrotik.


Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya,
Indonesia.
6. Wila, Wirya IGN. 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi
Anatomis Sindrom Nefrotik Primer pada Anak Di Jakarta. Disertasi.
Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia.
7. Noer, M. S. 1997. Sindrom Nefrotik. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya:
GRAMIK FK Universitas Airlangga. 137-46.
8. Prodjosudjadi, Wiguno. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia.
9. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius. Jakarta, Indonesia.
10. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2012.
Tata Laksana Sindroma Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Balai Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, Indonesia.

Vous aimerez peut-être aussi