Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada anak.
Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia<2,5 g/dl,
edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus
akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui.
LAPORAN KASUS
Shafrizal
IDENTITAS
Identitas Pasien :
Nama : Agung Purnomo
Umur : 5 Tahun
Berat badan : 19 kg
Panjang badan : 75 cm
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Keluhan utama :
pada seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Ibunya
mengatakan Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sejak 1
minggu yang lalu, kemudian menjalar ke daerah, perut, dan kedua tungkai.
Pasien juga mengeluhkan batuk (+) dan pilek (+) sejak 1 minggu yang lalu.
mual (-), muntah (-), demam (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan
PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata
GCS : 4-5-6
2. Pengukuran :
HR : 86 x/menit
Temp : 36,5o C
RR : 22 x/menit
Berat badan : 19 kg
Tinggi badan : 75 cm
Kepala : Normochepali
Mata : - Conjungtiva anemi (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Palpebra Edema (+/+)
Telinga : Normotia
Sekret (-)
a. Dinding dada/paru :
Perkusi : sonor/sonor
b. Jantung :
3. Abdomen
Undulasi : (+)
4. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), CRT<2, edema (+) di pretibia dan
dorsum pedis dextra dan sinistra.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hitung Jenis :
Basofil - 0-1%
Eosinofil - 1-3%
Batang - 2-6%
Segmen - 50-70%
Limfosit - 20-40%
Monosit - 2-8%
HT 42,4% 40-50%
4. Pemeriksaan Urine
Urine :
Warna : Jernih
pH :
Protein : 3 +++
Bilirubin : (-)
Reduksi : (-)
Urobilinogen :
Sedimen :
Leukosit : 1-2/ lpb
Eritrosit : (-)
Epithel cell : (-)
Ca. Oxalat : (-)
Silinder : (-)
DIAGNOSA BANDING
Sindrom Nefrotik
Glomerulonefritis Akut
Gagal Jantung kongesti
DIAGNOSA
Sindrom Nefrotik
PENATALAKSANAAN
Bedrest
Furosemid 2 x 1
Prednison 5mg 4-3-3
Mucopect 3 x cth
PROGNOSIS
Follow Up
58
Lingkar pinggang (cm)
56
54
52
50
46
44
42
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7
Berat Badan (kg)
25
20
15
0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.Definisi
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan
pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini
paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah
1 tahun.7
a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel
berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG
pada dinding kapiler glomerulus.
Gambar 1. Gambaran histopatologis sindrom nefrotik primer jenis
kelainan minimal.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi
sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan
sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan
batang lobular.
Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-
IA rendah. Prognosis buruk.
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah infeksi, keganasan, penyakit
jaringan penyambung (connective tissue diseases), obat atau toksin, dan
akibat penyakit sistemik.8
Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberculosis, lepra
Keganasan
- Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,
multiple mieloma, dan karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
- SLE, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue
diseases)
Efek obat dan toksin
- Obat antiinflamasi nonsteroid, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, captopril, dan heroin
Lain-lain
- Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluk vesikoureter, atau sengatan lebah
1. Permeabilitas Glomerulus
Pada orang sehat, kurang dari 0,1% albumin plasma melewati barier
filtrasi glomerulus. Hingga saat ini, masih ada perdebatan mengenai
saringan yang dilewati albumin pada barier filtrasi glomerulus.
Perdebatan tersebut mengenai albumin yang terus-menerus berada di
dalam urin yang ekuivalen dengan uptake albumin di glomerulus.
Hasilnya, jumlah albumin di urin kurang lebih 80 mg atau kurang setiap
hari. Perdebatan ini didasarkan pada studi yang dilakukan pada
binatang percobaan. Namun, studi yang dilakukan pada manusia
dengan defek transport tubular mengesankan bahwa jumlah konsentrasi
albumin di urin adalah 3,5 mg/l. Dengan jumlah sebesar ini, dan
glomerular filtration rate (GFR) per hari 150 liter, diperkirakan tidak
lebih dari 525 mg albumin yang ada di urin per hari. Jumlah di atas
merupakan batas nilai albumin yang mengarah ke glomerular diseases.9
2. Proteinuria
4. Hiperlipidemia
5. Edema
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin.
Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana
basalis glomerulus yang permeabel.6
7. Hiperkoagulabilitas
2.4.Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah sembab di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.
Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis
yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
b. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
c. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
Albumin dan kolesterol serum
Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA
2.6.Diagnosis Banding
2. Glomerulonefritis akut.
2.7.Penatalaksanaan
B. Diuretik
C. Imunisasi
Catatan :
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis thresholddan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating.Bila relaps terjadi pada dosis prednison
antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan
prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi.
saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.Bila relaps
terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternatingtanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
2. Levamisol
3. Sitostatika
Keterangan :
Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent
ataualternating(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per
oral, dosis tunggal selama 8 minggu
Gambar 9. Pengobatan Sindrom Nefrotik dependen Steroid
Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2
LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Atau Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis
tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari
selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
4. Siklosporin (CyA)
Pada Sindrom Nefrotik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan Sindrom
Nefrotik resisten steroid.
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau
25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24
bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid
dapat dilihat pada Gambar 10.
Keterangan:
1. Siklofosfamid (CPA)
2. Siklosporin (CyA)
Keterangan:
Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 3-6 bulan
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama
pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-
off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
atau
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan
melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat
dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama
pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
3. Metilprednisolon puls
Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison
oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22
mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih
didapatkan setelah pemberian metilprednisolon selama 10 minggu.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat
ini belum direkomendasi di Indonesia.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
1. Infeksi
2. Trombosis
3. Hiperlipidemia
4. Hipokalsemia
5. Hipovolemia
6. Hipertensi
7. Efek samping steroid
2.9.Prognosis
1. Sukandar E, Sulaiman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta, Indonesia.
2. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta, Indonesia
3. Prodjosudjadi, Wiguno. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Penerbit FKUI. Jakarta, Indonesia.
4. Gunawan, A. Carta. 2006. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan
Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran. 150 (50-54).