Vous êtes sur la page 1sur 2

ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah

berjalan sejak akhir 2015, dimana ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang sangat
potensial di kawasan ASEAN maupun dunia. Barang, jasa, modal dan investasi akan bergerak
bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional memang suatu kecenderungan dan
keharusan di era global saat ini. Hal ini menyiratkan aspek persaingan yang menyodorkan
peluang sekaligus tantangan bagi semua negara. Skema AEC 2015 tentang ketenagakerjaan,
misalnya, memberlakukan liberalisasi tenaga kerja profesional, seperti dokter, insinyur,
akuntan dan sebagainya. Celakanya Human Development Index (HDI) Indonesia masih
tergolong rendah. Di antara 182 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 111. Bahkan di
Asia Tenggara, Indonesia masih berada di urutan keenam dari 10 negara. Kita masih berada
di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.

Dalam pembangunan infrastruktur, kebutuhan tenaga kerja insinyur yang merupakan salah
satu kekuatan Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga baik dari segi jumlah/rasio
serta sertifikasi keahlian. Seperti yang disampaikan Bapak Presiden Ir. Joko Widodo beberapa
hari lalu: Ini yang kita khawatirkan, kita akan menggarap infrastruktur, baik jalan tol, kereta
api, dermaga, kemudian investor sudah masuk, ketakutan dan kekhawatiran kita kekurangan
SDM di bidang teknik, ini yang agak sedikit kita khawatirkan. Presiden Ir. Joko Widodo
khawatir pembangunan infrastruktur besar-besaran yang akan mulai dibangun 2015 dan lima
tahun mendatang terkendala. Sebab, Indonesia saat ini mengalami kekurangan insinyur.

Dalam lain kesempatan, Menko Perekonomian, Sofyan Djalil, mengatakan bahwa saat
ini sebagian insinyur yang ada, bekerja di luar bidangnya. Kita kekurangan insinyur
untuk pembangunan infrastruktur kita. Ini sedang kita hitung, dan kita khawatir hal
ini, jelasnya. Harus diakui tenaga kerja insinyur sangat dibutuhkan dalam menggerakkan
industri EPC (Engineering Procurement, and Construction) nasional. Masalahnya, saat ini,
70% proyek besar di Indonesia dikuasai industri EPC asing seperti pembangkit listrik,
pengeboran migas laut dalam, dan lainnya. Kemudian EPC nasional masih dianggap
kurang mampu dalam pekerjaan yang menuntut kompleksitas tinggi. Dengan melihat
permasalahan dan peluang yang ada, maka perlunya penerbitan kebijakan yang
mensyaratkan keterlibatan pelaku industri EPC nasional dalam setiap pelaksanaan
proyek infrastruktur. Dimana target yang diharapkan yaitu pelaku industri EPC
Indonesia memiliki daya saing untuk mengerjakan proyek infrastruktur nasional,
bahkan regional maupun internasional. Tentunya dengan kualifikasi dan kompetensi
tingkat dunia. Disamping itu perlunya peningkatan jumlah perusahaan swasta yang
mendukung industri EPC tersebut, dalam hal ini yaitu industri pemasok kontraktor seperti
baja, semen, heavy equipment, dan lainnya. Maka disinilah pentingnya memersiapkan
generasi insinyur technopreneur, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan tersebut,
bukan hanya pencari pekerjaan dengan gaji tinggi yang selama ini didominasi perusahaan
asing. Untuk dapat menjadi prioritas dalam pembangunan infrastruktur tersebut, tentunya
perlu dipersiapkan pula pendidikan Insinyur yang tidak hanya menghasilkan tenaga pelaksana
lapangan pembangunan infrastruktur saja, namun mampu menggerakkan proses bisnis
pembangunan infrastruktur tersebut.

Beberapa solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan peran insinyur Indonesia dalam
pembangunan infrastruktur menghadapi AEC 2015 di antaranya adalah mengubah
mindset dari pencari kerja menjadi pencipta kerja produktif sehingga kita bisa
mengurangi pengeluaran dan memperbesar pemasukan bagi negara kita. Diversifikasi
dan peningkatan nilai tambah bahan (added value) peran insinyur dalam
pembangunan infrastruktur agar tidak hanya mendahulukan EPC asing, namun
melibatkan EPC nasional yang berdaya saing internasional. Meningkatkan
`competitiveness sumberdaya manusia khususnya insinyur karena kunci dari
kemajuan bangsa adalah bukan karena kekayaan alamnya melainkan SDM yang ada di
dalamnya. Memersiapkan lulusan perguruan tinggi yang mampu berkompetisi minimal
di tingkat ASEAN (kedepan semua profesi harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN)
dan membangkitkan semangat tinggi seluruh tenaga profesional.***

Vous aimerez peut-être aussi