Vous êtes sur la page 1sur 25

TUGAS BIOFARMASETIKA

MAKALAH MOTODE ABSORBSI OBAT SECARA DIFUSI DAN

REVIEW JURNAL

OLEH :

JURNIANTI F1F1 13 103

MARDILA F1F1 13 157

MUHAMAD ERWIN F1F1 13 032

MUHAMMAD IRFAN F1F1 13 083

MINTJE MARIS F1F1 13 166

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang

METODE ABSORPSI OBAT SECARA DIFUSI. Dalam penyusunan makalah

ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan

dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang

setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih

jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik

konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah

selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada

kita sekalian.

Kendari, juli 2017

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membran plasma tersusun atas lipid ganda dengan rantai hidrokarbon

menghadap ke bagian dalam lapisan ganda untuk membentuk fase hidrofobik

kontinu dan gugus hoidrofilik menghadap keluar. Protein-protein membran yang

tertempel pada lapisan ganda bertindak sebagai reseptor, saluran ion, dan

penghantar jalur-jalur sinyal elektrik dan kimia; banyak dari protein ini

merupakan target-target dari obat-obatan. Membran sel relatif permeabel terhadap

air dan aliran air yang besar dapat membawa serta molekul obat berukuran kecil

(< 200 Da).

Membran plasma merupakan batas kehidupan, batas yang memisahkan sel

hidup dari sekelilingnya yang mati. Setiap sel yang hidup harus selalu

memasukkan materi yang diperlukan dan membuang sisa-sisa metabolismenya.

Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan.

Umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan

melewati celah antar sel. Peristiwa ini dikenal dengan transpor lintas membran.

Banyaknya molekul yang masuk dan keluar membran menyebabkan

terciptanya transpor lintas membran. Transpor lintas membran digolongkan

menjadi dua cara, yaitu dengan difusi pasif untuk molekul-molekul yang mampu

melalui membran tanpa mekanisme khusus dan transpor aktif untuk molekul yang

membutuhkan mekanisme khusus.

3
Umumnya absorbsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-

mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel kemudian

molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran.

Pada proses ini obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain yang

memiliki kadar lebih rendah. Setelah taraf mantap dicapai, kadar obat bentuk non

ion kedua sisi membran akan sama.

A. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan absorpsi?

2. Apa yang dimaksud dengan difusi pasif?

3. Apa saja faktor yang memengaruhi difusi pasif obat?

B. Tujuan

Tujuan yang terdapat dalam makalah ini yaitu:

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan absorpsi.

2. Mengetahui proses difusi pasif.

3. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi proses difusi pasif obat.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi absorpsi

Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran

gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau

pinositosis. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja

permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang karena

pengangkatan sebagian dari usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat

yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak

di dalam usus halus oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya

terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).

Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran.

Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan

perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat

menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran

dengan proses menelan.

5
Gambar 1. Tiga proses utama dalam absorpsi obat melalui membran
gastrointestinal; yaitu absorpsi pasif, absorpsi aktif, dan pinositosis.

Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan protein,

sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus membran

gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier, baik berupa

enzim maupun protein, untuk melalui membran. Partikel-partikel besar menembus

membran jika telah menjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif

atau negatif). Obat-obat asam lemah, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan di

dalam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat. Asam

hidroklorida merusak beberapa obat, seperti penisilin. Oleh karena itu, penisilin

oral diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan lambung.

Peristiwa absorpsi, meliputi mekanisme pasif dan aktif diantaranya yaitu:

1. Difusi pasif melalui pori

Semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat

melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler epitel

usus halus dan lain-lain) berukuran kecil yaitu 4-7 dan hanya dapat dilalui

oleh senyawa dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150

untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika senyawanya terdiri

atas rantai panjang.

2. Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran

Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun

membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau

elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan

pada kedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai


6
keseimbangan tersebut mengikuti hukum difusi Fick. Karakteristik fisiko-

kimia sebagian besar molekul seperti polaritas dan ukuran molekul merupakan

hambatan penembusan transmembran oleh mekanisme pasif secara filtrasi dan

difusi.

3. Transpor aktif

Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran

yang sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan

adanya pembawa. Pembawa ini dengan molekul obat dapat membentuk

kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran

dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa

kembali menuju ke permukaan asalnya. Sistem transpor aktif bersifat jenuh.

Sistem ini menunjukkan adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau

suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa

molekul berafinitas tinggi yang menghambat kompetisi transpor dari molekul

berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi membran ke sisi membran

yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi. Tranpor ini

memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisis adenosin trifosfat (ATP)

dibawah pengaruh suatu ATP-ase.

4. Difusi terfasilitasi

Difusi ini merupakan cara perlintasan membran yang memerlukan suatu

pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif).

Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi pada

7
transpor ini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa

pembebasan energi.

5. Pinositosis

Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-

molekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi

dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran.

6. Transpor oleh pasangan ion

Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari

suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan

terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan

senyawa endogen seperti musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya

difusi pasif kompleks tersebut melalui membran.

Gambar 2. Absorpsi obat melalui saluran gastrointestinal.

8
B. Difusi Pasif

Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul

suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan

dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas,

misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk

menyelidiki proses difusi.

Difusi pasif adalah proses perpindahan obat atau senyawa dari

kompartemen yang berkonsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, yang merupakan

mekanisme transpor sebagian besar obat.

Tenaga penggerak difusi pasif dari suatu obat adalah perbedaan

konsentrasi yang melewati suatu membran yang memisahkan dua kompartemen

tubuh yaitu obat tersebut bergerak dari suatu bagian yang konsentrasinya tinggi ke

konsentrasi yang rendah. Difusi pasif tidak menggunakan suatu karier, tidak ada

titik jenuh dan kurang menunjukkan spesifitas struktural. Sebagian besar obat-

obat masuk kedalam tubuh dengan mekanisme ini. Obat-obat yang larut dalam

lemak mudah bergerak menembus kebanyakan membran-membran biologi,

sedangkan obat-obat yang larut dalam air menembus membran sel melalui saluran

aqua.

Umumnya absorbsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-

mula obat berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian

molekul obat akan melintasi membran dalam melarut dalam lemak membran.

Pada proses ini obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain.

9
Setelah taraf mantap (steady state) dicapai kadar obat bentuk non-ion kedua sisi

membran akan sama.

Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang penting dan mengeluarkan zat-zat

yang tidak diperlukan, sel melakukan berbagai jenis aktivitas, dan salah satunya

adalah difusi. Ada dua jenis difusi yang dilakukan, yaitu difusi biasa dan difusi

khusus.

Difusi biasa terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul

yang hidrofobik atau tidak berpolar/berkutub. Molekul dapat langsung berdifusi

ke dalam membran plasma yang terbuat dari fosfolipid. Difusi seperti ini tidak

memerlukan energi atau ATP (Adenosin Trifosfat).

Difusi khusus terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul

yang hidrofilik atau berpolar dan ion. Difusi seperti ini memerlukan protein

khusus yang memberikan jalur kepada partikel-partikel tersebut ataupun

membantu dalam perpindahan partikel. Hal ini dilakukan karena partikel-partikel

tersebut tidak dapat melewati membran plasma dengan mudah. Protein-protein

yang turut campur dalam difusi khusus ini biasanya berfungsi untuk spesifik

partikel.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu:

1. Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu

akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.

2. Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan

difusi.

3. Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.

10
4. Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan

difusinya.

5. Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak

dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi,

viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh

koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi

obat.

Contoh obat yang mekanisme transpornya menggunakan difusi pasif

adalah vitamin B12, elektrolit organik lemah (asam, basa), nonelektrolit organik,

glikosida jantung.

C. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Absorpsi Pasif Obat

Difusi pasif menyangkut senyawa yang dapat larut dalam komponen

penyususun membran. Karena ini menyangkut difusi murni, maka difusi ini tidak

dapat dihambat oleh senyawa analog dan melalui blokade metabolisme. Dilihat

secara kuantitatif, difusi pada pengambilan bahan ke dalam organisme terjadi

terutama melalui matriks lipid. Karena itu, kelarutan senyawa yang diabsorpsi

dalam lemak memegang peranan yang menonjol. Pori yang terdapat dalam

membran hanya memiliki arti tertentu untuk absopsi senyawa nonelektrolit yang

sukar larut dalam lemak serta senyawa yang terionisasi sempurna dengan bobot

molekul rendah.

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau

elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua

11
sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut

mengikuti hukum Fick:

dC/dt = K(CGIT Cblood)

di mana K merupakan koefisien permeabilitas spesifik yang dirumuskan sebagai

/
K=

Bila molekul semakin larut-lemak, maka koefisien partisinya semakin

besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa

organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat

tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses

difusi zat aktif.

Gambar 3. Absorpsi obat menurut hukum difusi Fick. GIT, saluran


gastrointestinal; dC/dt, laju absorpsi; Km/f, koefisien partisi obat antara membran
(lipid) dan cairan GIT (air); A, luas permukaan membran; D, koefisien difusi obat;
h, ketebalan membran; CGIT, konsentrasi obat dalam cairan GIT; CB, konsentrasi
obat dalam darah pada membran; CGIT CB, gradien konsentrasi antarmembran;
K, koefisien permeabilitas.

12
Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam

keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian

dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal

membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat

proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut

dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa

kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya

untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa

lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung

kelarutan bentuk tak terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan

(satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul.

Interrelasi antara parameter pH, pKa, dan kelarutan dalam lemak juga dikenal

sebagai teori pH-partisi absorpsi obat. Teori ini berdasarkan pada asumsi:

1. Obat diabsorpsi melalui difusi pasif

2. Obat lebih banyak diabsorpsi dalam bentuk tak terion

3. Obat memiliki kelarutan yang baik dalam lemak

Derajat ionisasi bergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson

Hasselbach) yaitu:

1. Tetapan disosiasi dari senyawa atau pKa (pH dimana bentuk terion dan bentuk

tak terion jumlahnya sama)

2. pH cairan dimana teradpat molekul zat aktif; pH dikedua sisi dapat berbeda.

Untuk asam lemah: pH pKa = log 1

13

Untuk basa lemah: pKa - pH = log 1

Pada setiap molekul tertentu, perjalan lintas-membran sangat berbeda pada

setiap daerah saluran perncernaan, karena pH saluran cerna beragam antara 1-3,5

untuk lambung, 5-6 untuk duodenum dan 8 pada ileum. Penyerapan efektif

terutama terjadi pada bentuk yang tak terionkan yaitu zat aktif bersifat asam

lemah pada lambung, sedangkan difusi basa lemah di lambung akan berkurang,

namun penyerapannya didalam usus halus menjadi sangat berarti karena bentuk

tak terionkan yang larut-lemak terdapat dalam jumlah yang banyak.

Terori ini secara nyata diterapkan dalam penyerapan zat aktif lainnya,

yaitu pada penetrasi zat aktif ke dalam tubuh, juga pada fase kinetik selanjutnya.

Demikian pula pada pengobatan dengan obat-obat yang berbahaya, yang dapat

melepaskan zat aktif dari tempat fiksasinya di jaringan dan peniadaannya.

Setelah molekul obat berhasil menembus membran barulah molekul

tersebut mengalami fase pengabsorpsian dan akan disampaikan ke reseptor

melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran

darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Distribusi obat di darah,

organ, dan sel tergantung dosis dan rute pemberian, lipid solubility obat,

kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke organ dan

sel. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi (metabolisme) dulu agar

dapat dikeluarkan dari tubuh (ekskresi). Pada dasarnya, tiap obat adalah zat asing

yang tidak diinginkan tubuh, sehingga tubuh berusaha merombak zat tersebut

menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresikan melalui

ginjal, jadi reaksi biotransformasi merupakan peristiwa detoksikasi.

14
Biotransformasi berlangsung terutama di hati, saluran pencernaan, plasma dan

mukosa intestinal.

15
REVIEW JURNAL

Nama Jurnal : PENGEMBANGAN UJI PELEPASAN IN VITRO UNTUK

CAPSAICIN TOPIKAL FORMULASI GEL DENGAN

MENGGUNAKAN FRANZ DIFFUSION CELL

Judul Jurnal : International Journal of Pharma and Bio Sciences

Tahun Jurnal: 2014

Pengenalan :

Uji pelepasan in vitro (IVRT) dikembangkan untuk mengevaluasi profil

pelepasan Capsaicin dari formulasi gel topikal Capsaicin. Metode ini

dikembangkan dengan menggunakan sel difusi Vertikal Franz, selaput sintetis

yang tersedia secara komersial, media reseptor hidrolik dan kuantifikasi oleh

HPLC dengan deteksi UV.

Difusi Franz sering digunakan untuk memastikan bahwa kualitas dan

kinerja produk dipertahankan dari waktu ke waktu dan dengan adanya perubahan.

Tingkat pelepasan in vitro dapat mencerminkan efek kombinasi beberapa

parameter fisik dan kimia, termasuk kelarutan dan ukuran partikel bahan aktif dan

sifat reologi dari bentuk sediaan. Sel difusi Franz biasanya digunakan dengan kulit

manusia atau hewan yang dipalsukan. Namun, bila kulit biologis tidak tersedia,

membran sintetis yang digunakan dalam penelitian difusi obat oleh sel Franz

memiliki dua fungsi: simulasi kulit dan kontrol kualitas

16
Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

a. Sel difusi Franz Vertikal dengan auto sampler

b. sistem Aliansi HPLC dengan deteksi UV

c. perangkat lunak Pemberdayaan (Make: Waters)

d. keseimbangan ganda XS205 (Make: Mettler Toledo)

e. Sonicator sonel bandelin sonar

f. labu volumetrik

g. pipet

h. gelas the

i. glukosa dalam darah (Nilai: 10%)

2. Bahan

a. Etanol

b. metanol

c. glukosa

PARAMETER UJI PELEPASAN IN VITRO

Penelitian dilakukan dengan sel Franz terdiri dari enam sel vertikal dan

pemandian air yang digunakan untuk menjaga suhu pada suhu 32 1 C. Sekitar

200 sampai 300 mg sampel gel topikal Capsaicin diaplikasikan pada membran

Teflon 0.2m (membran sintetis) dari ruang donor dan benar-benar tersumbat

dengan menutupi bentuk sediaan dengan parafilm. Bilik diisi dengan Etanol: Air

17
(70:30,% v / v) sebagai media reseptor dan diaduk pada 600 rpm dengan

pengaduk magnet. Media reseptor dipilih karena kelarutan berair rendah dari

Capsaicin. Semua membran telah dibasahi sebelumnya dalam media reseptor

selama 15 menit sebelum digunakan. Setiap penelitian dilakukan selama 8 jam

dan sampel ditarik pada interval 0,5, 1, 2, 4, 6 & 8 jam dari masing-masing sel

dan diisi ulang dengan media reseptor segar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A) Seleksi media reseptor

Faktor yang paling penting untuk pemilihan media reseptor adalah

kelarutan obat dalam media. Media reseptor harus menyediakan wastafel

diffusional untuk bahan aktif yang dilepaskan dari formulasi semipadat.

Umumnya hal ini mirip dengan kondisi fisiologis kulit, juga penting untuk

memastikan pelepasan obat dapat diukur tanpa bias. Media reseptor yang tepat

seperti penyangga air untuk obat-obatan terlarut dalam air atau media hidro-

alkohol untuk obat-obatan yang larut dalam air atau media lain dengan

pembenaran yang tepat dapat digunakan. Capsaicin tidak larut dalam air dan larut

dalam alkohol. Oleh karena itu kelarutan capsaicin dalam komposisi air dan

alkohol yang berbeda (media hidro-alkohol) dicoba dan menemukan bahwa media

yang mengandung 50% alkohol dalam air cukup baik untuk mencapai kondisi

wastafel. Oleh karena itu, percobaan IVRT dilakukan dengan komposisi etanol

dan air yang berbeda seperti 50:50, 60:40, 70:30 & 80:20% v / v sebagai media

reseptor, membran Teflon 0.2m sebagai penghalang, sekitar 200 mg sampel

18
aplikasi Dan jangka waktu 8 jam. Kemudian diamati profil pelepasan Capsaicin

dari formulasi gel dengan menggunakan media reseptor yang berbeda. Hubungan

Q (Cumulative amount release) vs T (akar kuadrat waktu) berasal dari model

Higuchi. Pelepasan kumulatif Capsaicin vs T berkenaan dengan medium

reseptor yang berbeda ditunjukkan pada gambar:

B) pemilihan membran

Membran pilihan memungkinkan obat berdifusi ke media reseptor karena

dilepaskan dari sampel dan tidak boleh mengandung leachables yang dapat

menyebabkan gangguan pada kuantifikasi obat. Tiga membran sintetis yang

berbeda 0.2m Nylon, 0.2m Teflon dan polysulphone 0.2m dicoba dengan

Etanol: Air (70:30,% v / v) sebagai media reseptor untuk studi pelepasan

Capsaicin dari formulasi gel topikal.

C) parameter peralatan lainnya & perhitungan pelepasan obat

Suhu belajar yang akan dipilih berdasarkan penerapan formulasi pada

organ target. Aplikasi dasar formulasi gel Capsaicin pada kulit, kemudian suhu 32

C digunakan selama percobaan. Jumlah sampel gel yang digunakan (200 mg)
19
pada membran dipilih berdasarkan jumlah yang dibutuhkan untuk penyebaran

seragam dan penutupan daerah membran. Umumnya enam sel difusi Franz

digunakan untuk pengujian seperti dalam pengujian disolusi untuk meniadakan

variabilitas bentuk sediaan individu. Sampel interval penelitian ini diselesaikan

sebagai 0,5, 1, 2, 4, 6 & 8 jam berdasarkan pelepasan Capsaicin yang cukup.

Sampling dilakukan dengan auto sampler dan ada penggantian sampel yang

lengkap dengan media reseptor segar. Oleh karena itu, tidak ada batasan untuk

pengumpulan sampel volume kecil pada setiap interval dan penggantian sampel

secara lengkap dengan media reseptor segar menghasilkan kondisi wastafel yang

mudah untuk obat yang memiliki kelarutan yang buruk

d) metode HPLC untuk kuantifikasi

metode analisis yang sensitif telah dikembangkan untk menghitung level

rendah dari Capsaicin dalam medium reseptor. Pemisahan yang baik dari

Capsaicin dalam matriks gel diketahui dengan menggunakan Grace Alltima C18

(25cm 4.6 mm, 5m) sebagai fase gerak dan campuran 0.1% v/v asam asetat

glasial, metanol, acetonitrile (40:35:25, % v/v) sebagai fase diam. Fase diam

dijalankan pada laju alir 1.0 ml/menit dalam mode isocratic selama 22 menit

untuk dilakukan pemisahan

e) Penggunaan IVRT untuk monitoring pelepasan formulasi gel Capsaicin yang

berbeda

Formulasi yang berbeda gel Capsaicin F1(Capsaicin dengan 7% Propylene

glycol dalam komposisi gel), F2 (Capsaicin dengan 28% Propylene glycol dalam

20
komposisi gel) and F3 (Capsaicin dengan 30% Propylene glycol dalam komposisi

gel) diuji dengan mengembangkan metode dan sifat pelepasan CapsaicinHasil

Flux, pelepasan kumulatif obat. hasil yang didapatkan bahwa formula F1

menunjukan pelepasan yang baik dari Capsaicin dibandingkan dengan F2 dan F3.

Hasil yang didapatkan pada rentang pelepasan Capsaicin akan mempengaruhi

sifatnya jika terjadi perubahan konsentrasi propilen glikol (viskositas) dari

formulasi.

KESIMPULAN

Pengembangan metode IVRT bertujuan untuk menggunakan membran

sintetik sebagai uji pelepasan in vitro. metode ini merupakan metode yang

sensitif, Capsaicin digunakan pada rentang konsentrasi 0.25- 6.25 g/ml

mempunyai korelasi linearitas 0.9998. Metode ini digunakan untuk melihat profil

atau sifat dari pelepasan yang berbeda dari sedian topikal gel.

Metode ini menunjukan kekuatan diskriminatif dengan memperhatikan

perubahan komposisi dari formulasi. Metode ini menyediakan alat yang berguna

untuk melihat kualitas produk yang dibutuhkan oleh SUPAC-SS. metode ini bisa

digunakan dalam industri farmasi dan kosmetik untuk memantau batch ke batch

agar produk tersebut seragam dengan memperhatikan perubahan dalam proses dan

komposisi formulasi dan pengujian komparatif IVRT.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Obat melintasi lapisan sel dengan cara menembusnya, bukan dengan

melewati celah antar sel. Peristiwa ini dikenal dengan transpor lintas membran.

Mekanisme lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi

mekanisme pasif dan aktif, antara lain:

1. Difusi pasif melalui pori

2. Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran

3. Transpor aktif

4. Difusi terfasilitasi

5. Pinositosis

6. Transpor oleh pasangan ion

Difusi pasif adalah proses perpindahan obat atau senyawa dari

kompartemen yang berkonsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, yang merupakan

mekanisme transpor sebagian besar obat.

Tenaga penggerak difusi pasif dari suatu obat adalah perbedaan

konsentrasi yang melewati suatu membran yang memisahkan dua kompartemen

tubuh yaitu obat tersebut bergerak dari suatu bagian yang konsentrasinya tinggi ke

konsentrasi yang rendah. Difusi pasif tidak menggunakan suatu karier, tidak ada

titik jenuh dan kurang menunjukkan spesifitas struktural.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu:

22
1. Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu

akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.

2. Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan

difusi.

3. Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.

4. Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan

difusinya.

5. Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak

dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi,

viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh

koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi

obat.

Setelah molekul obat berhasil menembus membran barulah molekul

tersebut mengalami fase pengabsorpsian dan akan disampaikan ke reseptor

melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran

darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Distribusi obat di darah,

organ, dan sel tergantung dosis dan rute pemberian, lipid solubility obat,

kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke organ dan

sel. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi (metabolisme) dulu agar

dapat dikeluarkan dari tubuh (ekskresi). Pada dasarnya, tiap obat adalah zat asing

yang tidak diinginkan tubuh, sehingga tubuh berusaha merombak zat tersebut

menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresikan melalui

23
ginjal, jadi reaksi biotransformasi merupakan peristiwa detoksikasi.

Biotransformasi berlangsung terutama di hati, saluran pencernaan, plasma dan

mukosa intestinal.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Kee, Joyce L., Evelyn R. Hayes. 1996. Farmakologi: Pendekaran Proses

Keperawatan. Jakarta: EGC.

2. Goodman dan Gilman. 2011. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta: EGC.

3. Mycek Mary J. 1997. Farmakologi Ulasan Bergambar. Lippincott,

Philadelphia USA.

4. Tanu, Ian. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi IV. Jakarta: Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Syukri, Y. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press.

6. Agoes, Goeswin. 2008. Seri Farmasi Industri 3: Sistem Penghantaran Obat

Pelepasan Terkendali. Bandung: Penerbit ITB.

7. Martinez, Marilyn N. dan Gordon L. Amidon. A Mechanistic Approach to

Understanding the Factors Affecting Drug Absorption: A Review of

Fundamentals. Journal of Clinical Pharmacology 2002;242:620-64.

8. Jambhekar, S.S. & Breen, P.J. 2009. Basic Pharmacokinetics. Pharmaceutical

Press.

25

Vous aimerez peut-être aussi