Vous êtes sur la page 1sur 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

2.1.1 Anatomi telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus
acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga terdiri
dari tulang rawan elastin dan kulit yang berfungsi mengumpulkan gelombang suara,
sedangkan liang telinga menghantarkan suara menuju membrana timpani
(Pearce,2008).

Liang telinga berbentuk huruf S dengan panjang 2,5-3 cm. Sepertiga bagian
luar terdiri dari tulang rawan yang banyak mengandung kelenjar serumen dan
rambut, sedangkan dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit
serumen (Lee KJ, 2008).

2.1.2 Anatomi telinga tengah

Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana timpani, cavum
timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian atas membran timpani
disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang terdiri dari dua lapisan,yaitu
lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani disebut pars tensa
(membran propria) yang memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan yang terdiri
dari serat kolagen dan sedikit serat elastin (Tortora & Derrickson, 2009).

Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan), dan


stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar ke dalam seperti rantai yang bersambung
dari membrana timpani menuju rongga telinga dalam (Pearce, 2008). Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian. Tuba eustachius menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga
tengah (Soetirto I; Hendarmin H; Bashiruddin J, 2007).
Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di
belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya disebut antrum
mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat
menjalar dari rongga telinga tengah sampai ke antrum mastoideus yang dapat
menyebabkan mastoiditis (Pearce, 2008).

2.1.3 Anatomi telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis
semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus, duktus
koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi oleh lapisan
tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh trabekula
(susunannya menyerupai spons) (Pearce, 2008).

Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung atau puncak
koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala vestibuli (sebelah
atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara skala vestibuli dan skala timpani
terdapat skala media (duktus koklearis) (Sherwood L., 2001). Skala vestibuli dan
skala timpani berisi perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l,
sedangkan skala media berisi endolimfa dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+
13 mEq/l. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut
membrana vestibularis (Reissners Membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membrana basilaris. Pada membran ini terletak organ corti yang mengandung
organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti
terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi 3000 sel dan tiga baris sel rambut
luar yang berisi 12000 sel. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung
bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat
pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, dikenal sebagai membran
tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang
terletak di medial disebut sebagai limbus (Lee KJ, 2008).

Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian, yaitu:
nervus vestibular (keseimbangan) dan nervus kokhlear (pendengaran). Serabut-
serabut saraf vestibular bergerak menuju nukleus vestibularis yang berada pada titik
pertemuan antara pons dan medula oblongata, kemudian menuju cerebelum.
Sedangkan, serabut saraf nervus kokhlear mula-mula dipancarkan kepada sebuah
nukleus khusus yang berada tepat dibelakang thalamus, kemudian dipancarkan lagi
menuju pusat penerima akhir dalam korteks otak yang terletak pada bagian bawah
lobus temporalis (Pearce, 2008).

Gambar 2.1 : Anatomi Telinga

2.2. Fisiologi Pendengaran

2.2.1 Fisiologi pendengaran normal

Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran telinga


luar kemudian membrana timpani bergetar sewaktu terkena getaran suara. Daerah-
daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-seling
menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar masuk
seirama dengan frekuensi gelombang suara. Telinga tengah memindahkan gerakan
bergetar membrana timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah
oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) yang berjalan melintasi
telinga tengah. Ketika membrana timpani bergetar sebagai respons terhadap
gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi yang
sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membrana timpani ke jendela
oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan
gerakan seperti gelombang pada cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama
dengan frekuensi gelombang suara semula. Namun, diperlukan tekanan yang lebih
besar untuk menggerakkan cairan. Tekanan tambahan ini cukup untuk
menyebabkan pergerakan cairan koklea (Sherwood L., 2001).

Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval


mengikuti dua jalur : (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe pada membrana
vestibularis ke depan kemudian mengelilingi helikotrema menuju membrana
basilaris yang akan menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar dan ke dalam
rongga telinga tengah untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dan (2) jalan
pintas dari skala vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani. Perbedaan
kedua jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui melalui membrana
basilaris menyebabkan membran ini bergetar secara sinkron dengan gelombang
tekanan (Tortora dan Derrickson, 2009).

Organ corti menumpang pada membrana basilaris, sehingga sel-sel rambut


juga bergerak naik turun sewaktu membrana basilaris bergetar. Rambut-rambut
tersebut akan membengkok ke depan dan ke belakang sewaktu membrana basilaris
menggeser posisinya pada membran tektorial sehingga menyebabkan saluran-
saluran ion gerbang-mekanis terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini
mengakibatkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, yang menimbulkan
perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga terjadi perubahan
pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Gelombang suara
diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dipersepsikan otak sebagai sensasi suara
(Sherwood L., 2001).
Gambar 2.2 : Transmisi Gelombang Suara

2.3. Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total


untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan
pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai
dari gangguan pendengaran ringan (20-39 dB), gangguan pendengaran sedang (40-
69 dB) dan gangguan pendengaran berat (70-89 dB).

Gangguan pendengaran merupakan istilah yang digunakan untuk


menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO, 2006).
Gangguan pendengaran adalah perubahan tingkat pendengaran yang mengakibatkan
kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami
pembicaraan (Buchari, 2007).

Normalnya telinga manusia dapat mendengar suara berfrekuensi 20 - 20000 Hz


dengan intensitas dibawah 80 dB. Jika seseorang secara terus- menerus mendengarkan
suara di atas ambang normal, maka akan merusak fungsi sel-sel rambut sehingga terjadi
gangguan pendengaran (Buchari, 2007).

2.4 Klasifikasi Gangguan Pendengaran

2.4.1 Berdasarkan Derajat


Tabel 2.1 : Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut ISO (International
Standard Organization) dan ASA (American Standard Association)

Derajat Gangguan ISO (dB) ASA (dB)


Pendengaran
Pendengaran Normal 10-25 10-15
Ringan 26-40 16-29
Sedang 41-55 30-44
Sedang Berat 56-70 45-59
Berat 71-90 60-79
Sangat Berat > 90 > 80

2.4.2 Berdasarkan Jenis

A. Gangguan Pendengaran Konduktif

Gangguan pendengaran konduktif terjadi apabila terdapat kerusakan di


telinga luar atau telinga tengah sehingga gelombang suara tidak dapat dihantarkan
untuk menggetarkan cairan di telinga dalam (Sherwood L., 2001)

Gangguan pendengaran konduktif bisa disebabkan oleh gangguan pada


telinga luar atau telinga tengah. Gangguan pada telinga luar yang dapat
menyebabkan tuli konduktif misalnya atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen,
otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang telinga. Sedangkan gangguan pada
telinga tengah yang dapat menyebabkan tuli konduktif adalah tuba katar/ sumbatan
tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, dan
dislokasi tulang pendengaran (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai adanya sekret dalam kanal
telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah.
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes berbisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata
yang mengandung nada rendah (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).
B. Gangguan Pendengaran sensorineural

Pada gangguan pendengaran sensorineural gelombang suara dapat


disalurkan ke telinga dalam, tetapi tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang
diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara yang disebabkan adanya
kerusakan pada organ Corti (Sherwood L., 2001).

Gangguan pendengaran sensorineural dibagi dua, yaitu gangguan


pendengaran sensorineural koklea dan retrokoklea. Gangguan pendengaran
sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirinitis (bakteri/
virus), intoksikasi streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin,kina, asetosal atau
alkohol. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness),
trauma kapitis, trauma akustik, dan pajanan bising. Sedangkan gangguan
pendengaran sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor
sudut pons serebellum, mieloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan
kelainan otak lainnya (Soetirto, I; Hendarmin, H; Bashiruddin, J., 2007).

Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai kanal telinga luar dan selaput
gendang telinga tampak normal. Pada tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata
yang mengandung nada tinggi (Soetirto, I; Hendarmin, H; Bashiruddin, J., 2007).

Tabel 2.2 : Hasil pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garpu tala

Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach Diagnosis


Positif Tidak ada Sama dengan Normal
lateralisasi pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke Memanjang Tuli konduktif
telinga yang sakit
Positif Lateralisasi ke Memendek Tuli sensorineural
telinga yang sehat
C. Gangguan Pendengaran Campuran

Gangguan pendengaran campuran merupakan kombinasi antara gangguan


pendengaran konduktif dan sensorineural. Gejala yang timbul juga merupakan
kombinasi kedua gangguan pendengaran tersebut. Pada pemeriksaan fisik atau
otoskopi dijumpai tanda-tanda seperti gangguan pendengaran sensorineural. Pada
tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak
lima meter dan sukar mendengar kata-kata bernada rendah maupun bernada tinggi.
Tes garpu tala Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, dan Swabach
memendek (Bashiruddin J, 2009).

2.5 Faktor Penyebab

Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat


berasal dari genetik maupun didapat :

1. Faktor Genetik.

Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa


gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin bersifat
statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan
dengan kromosom X (contoh: Hunters Syndrome, Alport Syndrome, Norries
disease) kelainan mitokondria (contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan
suatu malformasi pada satu atau beberapa organ telinga (contoh: stenosis atau
atresia kanal telinga eksternal sering dihubungkan denganmalformasi pinna dan
rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).

2. Faktor Didapat.

Antara lain dapat disebabkan:

1. Infeksi : Rubela kongenital, Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, virus


herpes simpleks (tabel 1), meningitis bakteri, otitis media kronik
purulenta, mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis. Toksoplasma,
Rubela, Cytomegalovirus menyebabkan gangguan pendengaran pada
18% dari seluruh kasus gangguan pendengaran dimana gangguan
pendengaran sejak lahir akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar 50%,
infeksi Rubela kongenital 50%, dan Toksoplasma kongenital 10%-15%,
sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%. Gangguan
pendengaran yang terjadi bersifat tuli sensorineural. Penelitian oleh
Rivera menunjukkan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi
sitomegalovirus kongenital mengalami gangguan pendengaran sejak
lahir atau selama masa neonatus. Pada meningitis bakteri melalui laporan
post-mortem dan beberapa studi klinis menunjukkan adanya kerusakan
di koklea atau saraf pendengaran, sayangnya proses patologis yang
terjadi sehingga menyebabkan gangguan pendengaran masih belum
dapat dipastikan.

2. Neonatal hiperbilirubinemia

3. Masalah perinatal : Prematuritas, anoksia berat, hiperbilirubinemia,


obat ototoksik

4. Obat ototoksik : Obat- obatan yang dapat menyebabkan gangguan


pendengaran adalah : Golongan antibiotika: Erythromycin, Gentamicin,
Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin (pada pemakaian tetes
telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin.Golongan diuretika:
furosemide.

5. Trauma : Fraktur tulang temporal, perdarahan pada telinga tengah atau


koklea, dislokasi osikular, trauma suara.

6. Neoplasma : Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis 2),


cerebellopontine tumor, tumor pada telinga tengah (contoh:
rhabdomyosarcoma, glomus tumor).

Tabel 2.3 : Karakteristik gambaran klinis infeksi perinatal

Organisme
Manifestasi Klinis
( jalur transmisi )

Cytomegalovirus Intra Uterine Growth Retardation


(transmisi melalui transplasenta lebih (IUGR), Hepatosplenomegali,
sering daripada jalur transmisi korioretinitis, petekie, mikroftalmia,
intrapartum) kalsifikasi serebral, mikrosefali, dan
kelainan pada struktur koklea serta
kerusakan sel organ korti dan nervus
kedelapan.
Rubela (Transplasenta) Penyakit jantung kongenital, IUGR,
hepatosplenomegali, ikterik, purpura,
katarak, glaukoma, korioretinitis,
retinopati, bone lesions, mikrosefali dan
reaksi inflamasi dan lesi destruktif pada
koklea
Herpes simpleks (Ascending intrapartal Vesikel pada kulit, keratokonjungtivitis
pada masa neonatus, meningoensefalitis,
infection)
mikrosefali, retardasi mental,
mikroftalmia, displasia retinal.
Toksoplasma (Hanya melalui
Korioretinitis, hidrosefalus, mikrosefali.
transplasenta)

2.6 Faktor Risiko Terjadinya Gangguan Pendengaran Pada Neonatus :

1. Riwayat keluarga ditemukan ketulian


2. Infeksi intrauterin
3. Abnormalitas pada kraniofasial
4. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar
5. Penggunaan obat ototoksik aminoglikosida lebih dari 5 hari atau
penggunaan antibiotik tersebut dengan obat golongan loop diuretic.
6. Meningitis bakteri
7. Apgar skor <4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau apgar skor
< 6 pada menit kelima.
8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.
9. Berat lahir < 1500 gram
10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian.

Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi


untuk dilakukan pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan
pendengaran, akan tetapi di lapangan ditemukan bahwa 50% neonatus dengan
gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor risiko. Oleh karena itu
direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada seluruh
neonatus setelah lahir atau setidaknya usia tiga bulan.
2.7 Pemeriksaan Pendengaran

Tes penala merupakan pemeriksaan pendengaran kualitatif dan terdiri


atas berbagai macam tes. Tes penala lebih akurat dalam mendeteksi adanya
penurunan pendengaran daripada tes bisikan dan dapat menentukan jenis tuli,
apakah konduktif atau sensorineural. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan apapun
hasil dari tes bisikan. Pada LTM ini, yang akan dibahas adalah tes Rinne, tes Weber,
dan tes Schwabach.

Garpu tala yang dapat digunakan berfrekuensi 512, 1024, dan 2048 Hz
karena untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif terdengar adalah bunyi
antara 500-2000 Hz. Apabila tidak memungkinkan penggunaan tiga garpu tala yang
telah disebut, maka yang digunakan adalah garpu tala dengan frekuensi 512 Hz.
Garpu tala tersebut tidak terlalu dipengaruhi suara bising lingkungan. Interpretasi
tes penala dapat dilihat pada Tabel 1.

2.7.1 Tes Rinne

Tes ini digunakan untuk membandingkan hantaran melalui udara dengan


hantaran melalui tulang. Cara melakukannya adalah dengan menggetarkan penala,
lalu meletakkan tangkainya di prosesus mastoid. Setelah suara tidak terdengar lagi
oleh pasien, pegang penala di depan telinga dalam jarak kira-kira 2,5 cm. Bila suara
masih terdengar, maka tes Rinne disebut positif (+) sedangkan bila tidak terdengar
disebut RInne negatif (-).

2.7.2 Tes Weber

Pada tes Weber, penala digetarkan lalu diletakkan pada garis tengah kepala,
misalnya di tengah dahi. Pasien lalu diminta menyebutkan apakah bunyi terdengar
lebih keras di telinga tertentu. Pada orang normal, bunyi sama-sama terdengar atau
bisa juga terdapat lateralisasi. Apabila terdapat lateralisasi, pelaporannya adalah
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila bunyi terdengar sama kerasnya di kedua
telinga, pelaporannya adalah Weber tidak ada lateralisasi.

2.2.3 Tes Schwabach


Setelah digetarkan, penala diletakkan di prosesus mastoideus. Ketika bunyi
menghilang, penala dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa. Apabila bunyi
masih terdengar, berarti pendengaran pasien telah mengalami pemendekan. Namun
apabila bunyi sudah tidak terdengar lagi, maka kemungkinannya adalah
pendengaran pasien normal atau memanjang. Untuk memastikannya. Dilakukan tes
yang sama tapi dengan perubahan urutan; penala digetarkan mula-mula pada
prosesus mastoid pemeriksa, lalu setelah bunyinya hilang dipindahkan ke prosesus
mastoid pasien. Apabila pasien masih dapat mendengar bunyi, berarti
pendengarannya memanjang (Schwabach memanjang), sedangkan bila ia tidak
dapat mendengar lagi maka pendengarannya normal (Schwabach sama dengan
pemeriksa).

2.8 Audiometri

Pemeriksaan Rinne dan Weber merupakan pemeriksaan skrining. Untuk


memastikan, diperlukan pemeriksaan audiometri. Pengukuran pendengaran
dilakukan dengan mengamati dua komponen, yaitu frekuensi dan intensitas bunyi.
Pemeriksaan audiometri dapat mengukur dan membuat grafik pendengaran
seseorang pada berbagai frekuensi dan intensitas. Frekuensi diukur dengan siklus
gelombang perdetik [Hz] sedangkan intensitas dalam desibel [dB]. Pemeriksaan
audiometri seringkali dilakukan oleh dokter layanan primer karena prosedur yang
tidak kompleks dan peralatan yang tidak banyak. Pemeriksaan audiometri dapat
menentukan jenis (tuli konduktif, sensorineural, atau tuli campur) dan derajat
ketulian serta gap.

Ketulian dapat diukur derajatnya melalui perhitungan dengan indeks


Fletcher:

AD = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz

Akan tetapi, menurut kepustakaan terbaru, perhitungan dengan ambang dengar


4000 Hz perlu diperhitungkan karena berperan penting dalam pendengaran.
Apabila ambang dengar dalam 4000 Hz juga dihitung, berarti penyebut rumus yang
telah disebut di atas adalah 4.

Yang dihitung pada saat menentukan derajat ketulian hanyalah ambang


dengar hantaran udara (AC).Klasifikasi derajat ketulian dapat dilihat pada Tabel
2.1.

Jenis tuli dapat diamati melalui audiogram yang dihasilkan dari plotting
pengukuran dengan audiometri. Pada pendengaran telinga normal, AC dan BC
sama atau kurang dari 25 dB. Pada tuli sensorineural satu telinga,, AC dan BC turun
lebihd ari 25 dB tetapi berhimpit. Pada tuli konduktif unilateral, BC bisa normal
atau kurang dari 25 dB, AC turun lebih dari 25 dB, dan terdapat gap pada AC dan
BC. Pada tuli campuran unilateral, BC turun lebih dari 25 dB, AC turun lebih besar
dari BC dan terdapat gap. Grafik hasil audiogram dapat dilihat pada Gambar 1.
Keterangan notasi audiogram dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2.3 : Audiogram

2.7 Penilaian Gangguan Pendengaran

Anak terlalu kecil bukan sebagai halangan untuk melakukan penilaian


definitif gangguan pendengaran pada anak terhadap status fungsi telinga tengah dan
sensitifitas koklea serta jalur suara. Kecurigaan terhadap adanya gangguan
pendengaran pada anak harus dilakukan secara tepat. Jenis-jenis pemeriksaan
pendengaran yang direkomendasikan oleh American Academy of Pediatrics (AAP)
adalah pemeriksaan yang disesuaikan dengan umur anak, anak harus merasa
nyaman terhadap situasi pemeriksaan, pemeriksaan harus dilakukan pada tempat
yang cukup sunyi dengan gangguan visual dan audio yang minimal. Beberapa
pemeriksaan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.4. Pada pemeriksaan dengan
BERA, secara fisiologik mekanisme jalur auditorius mulai dari saraf auditorius
sampai ke korteks auditorius sangat kompleks. Terdapat lima gelombang yang
mencerminkan daerah yang diperiksa, antara lain :

1. Gelombang I timbul dari bagian distal nervus VIII.


2. Gelombang II dari bagian proksimal nervus VIII dengan kemungkinan
bagian distal nervus VIII masih ikut berperan.
3. Gelombang III dari kompleks olivari superior.
4. Gelombang IV berasal dari neuron ke tiga di nukleus olivarius superior
kompleks, nukleus koklearis dan lemniskus lateralis.
5. Gelombang V berasal dari kolikulus inferior.

Bila ditemukan keadaan tuli konduktif, kurva serial latensi/intensitas


mempunyai kemiringan yang sama seperti orang normal tetapi mengalami
pergeseran ke intensitas pendengaran yang lebih tinggi, maka akan ditemukan
semua gelombang (I-V) akan bergeser ke kanan (memanjang), sedangkan
interwave latency interval (IWI) dalam batas normal. Lesi tipe sensorineural
mempunyai latensi puncak yang sebanding dengan orang normal pada intensitas
stimulasi tinggi, tetapi pada intensitas yang lebih rendah, latensi tersebut
memanjang secara signifikan. Untuk membantu interpretasi BERA dalam
membedakan gangguan konduktif dan lesi retokoklear diperlukan tes audiometrik
khusus yang cermat dan teliti seperti timpanometri.
Tabel 2.4 : Tes Pendengaran Pada Bayi

Usia Jenis Tes serta Tipe Prosedur Keuntungan Kelemahan


Perkembangan waktu yang Pengukuran Pemeriksaan
dibutuhkan
Segala Usia Evoked Tes Probe kecil Untuk Bayi atau anak
Otoacoustic fisologis yang berisi mengetahui harus relatif tak
emissions yng spesifik microphone fungsi outer aktif selama
(OAEs), 10 mengukur sensitif hair cell pada pemeriksaan,
Menit respon ditempatkan koklea, tidak bukan pemeriksaan
kokleasr pada liang tergantung pendengaran yang
(outer hair tleinga untuk pada keadaan teliti karena tidak
cell) mendeteksi anak tidur menilai proses
terhadap hantaran atau tidak, akses kortikal suara
stimulus stimulus dan waktu
respon pengerjaan
cepat
Saat Lahir Automated Pengukuran Elektroda pada Spesifik Bayi atau anak
hingga usia 9 auditory elektrofisiol kepala anak menggambark harus tenang
Bulan brainstem ogi aktivitas mendeteksi an keadaan selama
response (ABR), saraf stimulus suara telinga, pemeriksaan, tidak
15 menit pendengara yang terutama menilai proses
n dan jalur dihasilkan mengukur akses kortikal suara
batang otak earphone pada fungsi
sala satu neurologi
telinga pada hingga batang
saat otak
pemeriksaan

Vous aimerez peut-être aussi