Vous êtes sur la page 1sur 750

MODUL ANESTESIOLOGI 2008

1. Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I


2. Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II
3. Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III
4. Modul Kedokteran Perioperatif I
5. Modul Kedokteran Perioperatif II
6. Modul Persiapan Obat Dan Alat Anestesia
7. Modul Traumatologi I
8. Modul Anestesi Umum
9. Modul Anestesi Regional I (Biers block, Spinal)
10. Modul Anestesi Regional II (Epidural, caudal, nerve block)
11. Modul Anestesi Bedah Ortopedi I
12. Modul Anestesi Bedah Ortopedi II
13. Modul Anestesi Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
14. Modul Anestesi Bedah Urologi
15. Modul Anestesi Obstetri I
16. Modul Anestesi Obstetri II
17. Modul Anestesi Bedah THT I
18. Modul Anestesi Bedah THT II
19. Modul Anestesi Bedah Mata
20. Modul Anestesi Bedah Pediatri I (simple procedure)
21. Modul Anestesi Bedah Pediatri II (advanced)
22. Modul Anestesi Bedah Saraf I (semester 4)
23. Modul Anestesi Bedah Saraf II (semester 6)
24. Modul Anestesi Bedah Rawat Jalan
25. Modul Anestesi Kardiotorasik I
26. Modul Anestesi Kardiotorasik II
27 Modul Anestesi Bedah Darurat
28. Modul Anestesi Bedah Invasif Minimal
29. Modul Anestesi Diluar Kamar Bedah
30. Modul Anestesi dan Penyakit Khusus
31. Modul Anestesi dan Uncommon Diseases
32. Modul Traumatologi II
33. Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU)
34. Modul Pengelolaan Nyeri
35. Modul Intensive Care I
36. Modul Intensive Care II
37. Modul Penelitian
38. Modul Kemampuan Komunikasi dan Professionalisme

Peta Kurikulum Pendidikan Spesialis Anestesiologi

1
Orientasi &Pembekalan Magang Mandiri CR
Sem 1 Sem 2 Sem 3 Sem4 Sem5 Sem6 Sem7

3 bulan kuliah
6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan
3 bulan di OK

Catatan : Waktu dan semester diatas tidak mengikat. Hasil pembelajaran (Learning outcome) bergantung
pada pencapaian kompetensi. Bila sudah dianggap kompeten bisa naik semester (Penilaian dilihat dari
kognitif, afektif, psikomotor. Kognitif : lulus ujian, menyelesaikan tugas ilmiah. Psikomotor: mencapai
jumlah kasus sesuai tabel dibawah. Afektif: penilaian tingkah laku/kepribadian)

Peta Kurikulum Pendidikan Spesialis Anestesiologi (FINAL)

Semester
No Modul SKS
I II III IV V VI VII
1 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I
2 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II
3 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III

2
4 Modul Kedokteran Perioperatif I
5 Modul Kedokteran Perioperatif II
6 Modul Persiapan Obat dan Alat Anestesia
7 Modul Traumatologi I
8 Modul Anestesi Umum
9 Modul Anestesi Regional I (Biers block, Spinal)
10 Modul Anestesi Regional II (Epidural, caudal, nerve block)
11 Modul Anestesi Bedah Ortopedi I
12 Modul Anestesi Bedah Ortopedi II
13 Modul Anestesi Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
14 Modul Anestesi Bedah Urologi
15 Modul Anestesi Obstetri I
16 Modul Anestesi Obstetri II
17 Modul Anestesi Bedah THT I
18 Modul Anestesi Bedah THT II
19 Modul Anestesi Bedah Mata
20 Modul Anestesi Bedah Pediatri I (simple procedure)
21 Modul Anestesi Bedah Pediatri II (advanced)
22 Modul Anestesi Bedah Saraf I
23 Modul Anestesi Bedah Saraf II
24 Modul Anestesi Bedah Rawat Jalan
25 Modul Anestesi Kardiotorasik I
26 Modul Anestesi Kardiotorasik II
27 Modul Anestesi Bedah Darurat
28 Modul Anestesi Bedah Invasif Minimal
29 Modul Anestesi Diluar Kamar Bedah
30 Modul Anestesi dan Penyakit Khusus
31 Modul Anestesi dan Uncommon Diseases
32 Modul Traumatologi II
33 Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU)
34 Modul Pengelolaan Nyeri
35 Modul Intensive Care I
36 Modul Intensive Care II
37 Modul Penelitian
38 Modul Kemampuan Komunikasi dan Profesionalisme
SKS 11 15 15 15 12 12 14 94

JENJANG 1 JENJANG 2

3
KETERAMPILAN DASAR
ANESTESIOLOGI I
MODUL 1 Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi untuk
Anestesiologi
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Selama Semester 1)
Sesi di dalam kelas 5 X 4 jam (kuliah kuliah )
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 jam (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinik 3 minggu ( saat sesi praktek keterampilan
dasar anestesia umum dan regional))

Persiapan Sesi

- Sistem audio visual:

1. Komputer/Laptop,
2. Proyektor LCD dan Layar,
3. Flip chart,
4. Pemutar video,
5. OHP

- Materi kuliah: CD , flash disk powerpoint

Anatomi ,fisiologi, patofisiologi dan farmakologi klinik/terapan dalam anestesiologi:

1. Sistem pernafasan
2. Sistem kardiovaskuler
3. Sistem syaraf pusat
4. Sistem renal,

- Sarana belajar:

1. Ruang kuliah
2. Ruang diskusi

- Penuntun Belajar: lihat materi acuan


- Daftar tilik kompetensi: Lihat daftar tilik
- Referensi:

4
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk memahami
ilmu anatomi, fisiologi, farmakologi yang terkait dengan bidang anestesiologi.

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk memahami
ilmu dasar anatomi, fisiologi dan farmakologi , system pernafasan, kardiovaskuler, system syaraf
pusat dan perifer, dan system lain terkait seperti metabolisme dan ekskresi guna mendukung
pemahaman akan tugas tugasnya dalam memberikan anestesia umum maupun anestesia regional

1.RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

KOGNITIF

1. Mampu menjelaskan anatomi jalan nafas, paru dan organ nafas


2. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi jalan nafas, paru dan organ
nafas
3. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk mengatasi patologi
jalan nafas, paru dan organ nafas
4. Mampu menjelaskan anatomi jantung, pembuluh darah dan darah
5. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi jantung, pembuluh darah dan
darah
6. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk mengatasi patologi
jantung, pembuluh darah dan darah
7. Mampu menjelaskan anatomi otak, syaraf pusat dan syaraf perifer

5
8. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi otak, syaraf pusat dan syaraf
perifer
9. Mampu menjelaskan mekanisme kesadaran, persepsi nyeri
10. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang berdampak pada susunan syaraf otak
dan syaraf perifer, dan syaraf otonom
11. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat pelumpuh otot dan antagonisnya, opioid dan
antagonisnya.

PSIKOMOTOR

1. Secara khusus tidak ada, karena ini pengetahuan intelektual


2. Keterampilan kognitif secara komprehensif, menggabungkan antara praktek anestesia
dengan ilmu dasar anatomi, fisiologi dan farmakologi.
3. Mampu melakukan penilaian kesadaran setelah pemberian obat induksi.
4. Mampu melakukan penilaian patensi jalan napas dan adekuat tidaknya pernapasan
setelah pemberian obat obat anestesia.
5. Mampu melakukan penilaian tanda tanda perubahan sistem sirkulasi.
6. Mampu melakukan penilaian pemetaan (landmark) anatomi untuk anestesi lokal dan
regional.
7. Mampu melakukan penilaian pemetaan (landmark) anatomi untuk akses vena perifer dan
sentral.
8. Mampu melakukan penilaian anatomi jalan napas pada saat tindakan pembebasan jalan
napas.

KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL

1. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien penyakit atau
kelainan yang diderita seorang pasien dari bidang jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan
otak, syaraf serta fungsi kesadaran
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko obat-obat yang dipakai untuk pengobatan jalan nafas, pernafasan,
sirkulasi darah dan fungsi kesadaran

6
3. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko obat-obat anestesia dan analgesia

PROFESIONALISME

1. Menjamin bahwa dokter telah memiliki pengetahuan cukup untuk melakukan


tindakan medik atas penyakit dan kelainan dijalan nafas, pernafasan, sirkulasi darah,
jantung dan kesadaran seperti gagal nafas, penanggulangan shock, aritmia, resusitasi dan
penanggulangan coma serta kenaikan tekanan intrakranial
2. Menjamin bahwa dokter telah memiliki pengetahuan cukup tentang farmakologi
obat yang digunakan untuk mengobati penyakit dan kelainan dijalan nafas, pernafasan,
sirkulasi darah, jantung dan kesadaran seperti gagal nafas, penanggulangan shock,
aritmia, resusitasi dan penanggulangan coma serta kenaikan tekanan intrakranial

2. KEY NOTES (lihat Morgan)

Pada keynotes tersebut dibawah ini akan ditekankan tentang fisiologi, untuk anatomi dan
farmakologi dapat dilihat pada buku rujukan Morgan.

Untuk telaah lebih dalam dapat dilihat pada buku Stoelting

Fisiologi

Fisiologi kardiovaskular:

1. Sangat berbeda dengan aksi potensial pada syaraf, aksi potensial pada jantung spike
diikuti dengan fase plateu selama 0.2 0.3 detik. Pada otot dan syaraf aksi potensial
terjadi oleh karena pembukaan kanal cepat natrium di membran sel.Pada otot jantung ini
terjadi karena pembukaan kanal cepat sodium (spike) dan kanal lebih lambat kalsium
(plateau).
2. Halothane, enflurane dan isoflurane mendepressi sinoatrial (SA) node secara otomatik.
Obat2 ini hanya memiliki efek langsung sedang pada atrioventricular (AV) node,

7
memperpanjang conduction time dan meningkatkan refrakter. Efek kombinasi ini yang
dapat menjelaskan mengapa sering timbul junctional tachycardia bilamana suatu
antikolinergik diberikan untuk sinus bradycardia selama anestesia inhalasi; junctional
pacemakers lebih ditingkatkan daripada SA node.
3. Studi2 menunjukkan bahwa semua anestetika volatile mendepresi kontraktilitas jantung
dengan menurunkan masuknya ion Ca kedalam sel selama depolarisasi. (mengenai kanal
Ca tipe T dan L), merubah kinetik pelepasan dan uptake ke dalam retikulum endoplasma,
dan menurunkan sensitivitas protein2 kontraktil terhadap kalsium.
4. Oleh karena cardiac index (CI) memiliki rentang lebar, relatif tidak sensitif sebagai
ukuran untuk menilai fungsi ventrikel. Nilai CI yang abmormal biasanya menunjukkan
gangguan ventrikel secara umum.
5. Bila tidak ada anemia berat atau hipoksia, pengukuran tekanan oksigen mixed venous
atau saturasi merupakan cara terbaik untuk menilai adekuat tidaknya cardiac output.
6. Oleh karena peran atrium dalam ventricular filling penting dalam mempertahankan low
mean ventricular diastolic pressures, pasien pasien dengan penurunan ventricular
compliance sangat terpengaruh oleh gangguan pada atrial systole.
7. Cardiac output pada pasien dengan gangguan yang jelas pada ventrikel kanan atau kiri
sangat sensitif terhadap peninggian after load.
8. Ventricular ejection fraction (EF) adalah fraksi dari end-diastolic ventricular volume yang
dipompakan keluar, merupakan penilaian ukuran fungsi sistolik yang paling umum
dipakai dalam klinik.
9. Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat dinilai secara klinik dengan echocardiography
Doppler, pemeriksaan secara transthracic atau transesophageal.
10. Oleh karena endocardium merupakan bagian intramural yang paling tertekan selama
sistole, ini cenderung merupakan bagian yang mudah rusak oleh akibat iskemia pada
waktu terjadi penurunan tekanan perfusi koroner.
11. Pada gagal jantung ketergantungan pada katekolamin meningkat. Penghentian tiba tiba
simpatatetik atau penurunan kadar katekolamin dalam sirkulasi, seperti terjadi sesudah
induksi anestesia, bisa menyebabkan dekompensasi jantung akut.

Fisiologi sistem respirasi

8
1. Anestesia umum menurunkan konsumsi O2 dan produksi CO2 kira kira 15%. Tambahan
penurunan sering terjadi pada hipotermia. Penurunan tertinggi konsumsi O2 terjadi di
otak dan jantung.
2. Pada akhir ekspirasi, tekanan intrapleural secara normal rata rata 5 cm H2O dan karena
tekanan alveolar adalah nol (tidak ada aliran/flow), tekanan transpulmoner adalh
+5cmH2O.
3. Volume paru pada akhir ekshalasi normal disebut functional residual capacity (FRC).
Pada volume ini, inward elastic recoil paru kira kira sama dengan outward elastic recoil
dada (termasuk tonus diafragma yang istirahat).
4. Closing capacity normal lebih rendah dari FRC, tetapi meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Peningkatan ini mungkin yang menyebabkan penurunan PaO2 terkait
dengan peningkatan umur.
5. Induksi anestesia secara konsisten menurunkan FRC 15-40% (400ml pada hampir semua
pasien), diluar yang terjadi akibat posisi telentang.
6. Forced Expiratory in one second (FEV1) dan forced vital capacity (FVC) ada upaya yang
dependent, forced midexpiratory flow (FEF25-75%) adalah upaya yang independent dan
mungkin lebih reliable untuk menilai obstruksi.
7. Faktor faktor lokal lebih penting daripada sistem otonom dalam mempengaruhi tonus
vaskuler paru. Hipoksia adalah stimulus kuat untuk vasokonstriksi pulmoner (kebalikan
dari efek sistemik).
8. Oleh karena ventilasi alveolar kira kira 4 liter/menit dan cardiac output 5liter/menit, maka
V/Q ratio keseluruhan adalah 0.8
9. Shunting menunjukkan proses dimana desaturasi, mixed venous dari jantung kanan
kembali ke jantung kiri tanpa mengalami resaturasi O2 di paru paru. Efek keseluruhan
dari shunting adalah menurunkan (dilusi) kandungan(content) O2: jenis shunt ini adalah
right to left shunt.
10. Anestesia umum biasanya meningkatkan venous admixture sampai 5-10%, mungkin
sebagai akibat atelektasis dan kollaps airway di area dependent dari pada paru paru.
11. Peningkatan PaCO2(>75mmHg) pada udara kamar akan menimbulkan hipoksia
(PaO2<60mmHg) tetapi tidak bilamana menghirup oksigen konsentrasi tinggi.

9
12. Ikatan O2 pada hemoglobin merupakan faktor prinsip transfer O2 dari gas alveolus ke
darah.
13. Makin besar shunt, makin kecil kemungkinan peningkatan FiO2 (fraksi O2 inspirasi)
akan dapat mencegah hipoksemia.
14. Pergeseran kekanan kurva dissosiasi oksigen, menurunkan affinitas O2, menggeser
tempat O2 dari hemoglobin, dan membuat O2 lebih tersedia di jaringan; pergeseran kekiri
meningkatkan affinitas O2, menurunkan ketersediaannya di jaringan.
15. Bikarbonat merupakan bagian terbesar fraksi CO2 dalam darah.
16. Kemoreseptor sentral terletak di permukaan anterolateral medulla dan berrespons
utamanya terhadap perubahan ion H dalam cairan serebrospinal. Mekanisme ini efektif
dalam pengaturan PaCO2 sebab blood brain barrier permeabel terhadap CO2 terlarut
tetapi tidak terhadap bikarbonat.
17. Dengan makin dalam anestesia, grafik PaCO2/ventilasi semenit menurun dan ambang
apnea meningkat.(?)

Fisiologi sistem syaraf

1. Cerebral Perfusion Pressure (CPP)adalah perbedan antara mean arterial pressure (MAP)
dengan inracranial pressure(ICP). (atau central venous pressure (CVP), mana yang lebih
besar)
2. Curva autoregulasi cerebral bergeser kekanan pada pasien pasien dengan hipertensi
arterial kronik.
3. Faktor ekstrinsik terbesar yang mempengaruhi cerebral blood flow (CBF) adalah tekanan
gas darah terutama PaCO2. CBF secara langsung berbanding lurus dengan PaCO2 antara
20-80mmHg. Aliran darah berubah 1-2ml/100g/menit per mmHg perubahan PaCO2.
4. CBF berubah 5 -7 % per 1derajat perubahan temperatur. Hipotermia menurunkan
cerebralmetabolic rate dan CBF, sementara pireksia mempunyai efek kebalikannya.
5. Perpindahan substansi menembus blood brain barrier ditentukan oleh ukuran, muatan
listrik, kelarutan dalam lemak, dan derajat ikatan dengan protein.
6. Blood brain barrier bisa rusak oleh hipertensi, tumor, trauma, stroke, infeksi, hiperkapnia
berat, hipoksia, dan kejang terus menerus.

10
7. Tengkorak kepala merupakan struktur dengan volume total yang fix, terdiri dari otak
(80%), darah (12%), cairan serebrospinal (8%). Setiap peningkatan satu komponen harus
di kompensasi dengan penurunan komponen yang lain agar mencegah peningkatan
tekanan intrakranial.
8. Dengan perkecualian ketamine, semua obat anestesi intravena memiliki efek ringan atau
menurunkan cerebral metabolic rate dan CBF.
9. Pada autoregulasi yang normal dan blood brain barrier ang intact, vasopressor
meningkatkan CBF hanya apabila MAP dibawah 50-60mmHg atau diatas 150-
160mmHg.
10. Otak sangat mudah terancam rusak akibat cedera oleh iskemia oleh karena konsumsi
oksigen yang relatif tinggi dan hampir semuanya bergantung pada metabolisme glukose
aerobik.
11. Hipotermia merupakan cara yang paling efektif untuk proteksi otak selama iskemia fokal
atau global.
12. Barbiturat efektif untuk brain protection pada iskemia focal pada manusia dan binatang.

Fisiologi sistem renal

1. Aliran darah ke kedua ginjal normal adalah 20-25% Cardiac output


2. Autoregulasi aliran darah ginjal normal terjadi antara MAP 80-180mmHg.
3. Sintesis vasodilator prostaglandin (PGD2, PGE2, PGI2) penting sebagai mekanisme
proteksi selama periode hipotensi sistemik dan iskemia ginjal.
4. Dopamine dan fenoldopam mendilatasi erteriole afferent dan efferent melalui aktifasi
reseptor D-1. Infus Fenoldopam dan dosis kecil. Dopamine paling tidak dapat
mereverse-sebagian vasokonstriksi renal karena norepinephrine.
5. Penurunan aliran darah, glomerular filtration rate, urinary flow, dan ekskresi sodium
reversible terjadi selama anestesia regional maupun umum. Efek ini dapat paling tidak
dapat diatasi dengan mempertahankan volume intravaskuler yang adekuat dan tekanan
darah normal.
6. Respons endokrin terhadap pembedahan dan anestesia mungkin paling tidak
menimbulkan retensi cairan sementara pasca bedah, terjadi pada banyak pasien.

11
7. Methoxyflurane disertai dengan gagal ginjal poliuria. Nefrotoksisnya bergantung pada
dosis dan sebagai akibat pelepasan ion fluoride hasil metabolismenya.
8. Kadar tinggi fluorid setelah anestesia dengan enflurane bisa terjadi pada pasien obesitas
dan mereka yang mendapat isoniazid
9. Compound A , hasil pemecahan sevoflurane yang terbentuk dengan low flow, dapat
terjadi renal damage pada binatang percobaan. Studi klinik pada pasien tidak
menunjukkan injury renal yang berarti.
10. Beberapa prosedur bedah secara significant menggangu fisiologi ginjal.
Pneumoperitoneum selama prosedur laparoskopi menimbulkan dampak seperti
abdominal compartment syndrome. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat
menimbulkan oliguria. Juga pada prosedur seperti cardiopulmonary bypass, cross
clamping aorta

3. GAMBARAN UMUM

Memahami ilmu dasar anatomi , fisiologi dan farmakologi sistem pernapasan, kardiovaskuler
dan sistem syaraf akan mendukung untuk memahami tindakan anestesia umum maupun
anestesia lokal/ regional dan tindakan lain yang terkait dengan anestesia, seperti penanggulangan
nyeri, shock. Sebagai contoh bahwa untuk dapat melakukan anestesia regional dengan baik
harus mengetahui landmark anatomi syaraf yang bersangkutan. Bahwa bila terjadi reaksi toksik
obat anestetika lokal akan mengetahui gejala gejala dan tindakan penanggulangannya,
diperlukan pengetahuan farmakologi obat anestetika lokal. Contoh lain adalah pasien dengan
depressi napas atau apnea berkepanjangan setelah anestesia. Untuk dapat menjelaskan
penyebabnya maka harus dapat memahami fisologi pernapasan, farmakologi obat obat yang
dapat menimbulkan apnea.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami

1. Anatomi
a. Anatomi jalan nafas

12
b. Anatomi paru dan organ nafas
c. Anatomi jantung, pembuluh darah dan darah
d. Anatomi otak, medula spinalis dan syaraf perifer baik sensoris, motoris maupun
otonom

2. Fisiologi

a. Fisiologi jalan nafas


b. Fisiologi paru dan organ nafas
c. Fisiologi jantung, pembuluh darah dan darah
d. Fisiologi otak, medula spinalis dan syaraf perifer baik sensoris, motoris maupun
otonom

3.Farmakologi

a. Farmakologi obat-obat untuk patologi jalan nafas


b. Farmakologi obat-obat untuk patologi paru dan organ nafas
c. Farmakologi obat-obat untuk patologi jantung, pembuluh darah dan darah
d. Farmakologi obat-obat untuk patologi otak, medula spinalis dan syaraf perifer
baik sensoris, motoris maupun otonom

5. METODE :
Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (referensi: Morgan)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

Tujuan 1, 2 dan 3: memahami secara komprehensif, anatomi, fisiologi dan farmakologi


terkait dengan praktek anestesia sehingga dapat menjelaskan mengenai latar belakang
tindakan yang dilakukan, hal hal yang terjadi pada waktu tindakan, maupun setelah
tindakan
Metode pembelajaran:

a. Kuliah pengantar

13
b. Belajar mandiri/ tugas membaca buku referensi
c. Pretest
d. Bimbingan atau diskusi dengan staff pengajar
e. Diskusi kelompok
f. Post test
g. Ujian Nasional

14
Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:
Untuk memberikan gambaran tentang keterampilan dan materi ilmu dasar secara komprehensif
dan terintegarsi.
Memahami anatomi pembuluh darah perifer daerah lengan dan tungkai , pembuluh darah sentral
daerah subklavia, leher untuk memudahkan akses vaskuler. Memahami anatomi dan fisiologi
jantung untuk mengerti hemodinamik, aliran darah , sehingga mengerti faktor2 yang penting
dalam menimbulkan tekanan darah.apa yang terjadi pada patologi atau kelainan organik,
kelainan katup, kelainan septum jantung, sehingga memahami hal hal yang harus dilakukan
maupun dihindari pada misalnya mitral stenosis.
Memahami anatomi syaraf, pleksus syaraf ekstremitas atas dan ekstremitas bawah,anatomi
vertebra tulang belakang dan medulla spinalis untuk landmark anestesia regional . Memahami
anatomi jalan napas atas untuk tindakan intubasi, krikotirotomi, trakesostomi.

6. MEDIA:
1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Diskusi kelompok
4. Tugas baca dan Belajar secara ber kelompok
5. Bimbingan dengan staff mengajar
6. Membahas soal2 terkait ilmu dasar.

7.ALAT BANTU PEMBELAJARAN

a. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab/manekin


anatomi, Internet
b. LCD dan laptop computer, video, layar

8.EVALUASI

1. Kognitif: Uji lisan, MCQ dan Extended Medical Question,OSCE


dan evaluasi harian.
2. Komunikasi dan hub interpersonal: pengamatan beberapa observer
beberapa kali
3. Profesionalisme: pengamatan beberapa observer beberapa kali
4. Ujian Nasional tertulis oleh Badan Penguji Nasional IDSAI.

15
9.REFERENSI
Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006
Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

10.DAFTAR PENUNTUN BELAJAR

No Daftar Cek Penuntun Belajar (ilmu dasar terapan Sudah Belum


terkait praktek anestesiologi) dikerjakan dikerjakan
1. Anatomi sistem pernapasan : jalan napas atas dan
bawah, paru2, rongga torak, otot otot pernapasan
2. Fisiologi sistem pernapasan: pengaturan pernapasan,
volume pernapasan, pertukaran gas oksigenasi,
ventilasi, oxygen delivery
3. Patofisiologi sistem pernapasan: Gagal napas
oksigenasi dan/atau ventilasi, obstruksi jalan napas
atas dan bawah, gangguan difusi pertukaran gas,
prolonged apnea, pulmonary arrest
4. Farmakologi obat pelemas otot dan antidotumnya,
bronkodilator, depresan napas, interaksi obat,
sekretolitik, antikolinergik, antikolinesterase
5. Anatomi sistem kardiovakular: topografi batas2
jantung normal, ruang jantung, septum, katup
jantung, sirkulasi koroner, landmark vena vena
jugularis interna, subklavia, femoralis
6. Fisiologi sistem kardiovaskuler: pengaturan fungsi
jantung, tekanan darah, irama jantung, sirkulasi
koroner, oxygen delivery,
7. Patofisiologi sistem kardiovaslular: hipertensi,
hipotensi, syok, cardiac arrest, aritmia, gangguan
konduksi, gangguan sirkulasi koroner, infark jantung,
gangguan katup, gangguan septum, sindroma
Essenmenger, anemia
8. Farmakologi: inotropik, vasopressor, antihipertensi,
antiaritmia, vasodilator arteri, vasodilator vena,

16
vasodilator pulmoner, darah, komponen darah, cairan
kristaloid, kolloid, diuretika
9. Anatomi sistem syaraf pusat, cerebrum, cerebellum,
batang otak, medulla spinalis, sistem ventrikel otak.
Syaraf otak, syaraf perifer, syaraf simpatetik dan
syaraf para simpatetik. Tulang belakang dan medula
spinalis, pleksus brakhialis, axillaris. Ruang
subarakhnoid, ruang epidural. Aliran darah otak.
10. Fisiologi sistem syaraf: kesadaran, motorik, nyeri
atau sensorik, simpatetik dan parasimpatetik. Refleks
spinal, refleks vagal, sistem nerohormonal, sistem
cairan serebrospinal, pengaturan tekanan intrakranial,
otoregulasi otak, Aliran darah dan metabolime otak
11. Patofisiologi sistem syaraf: Kesadaran menurun
cerebral/metabolik. Peningkatan tekanan intrakranial,
kejang kejang, paralisis, gangguan sistem otonom,
termasuk pusat pengaturan sistem vital.
12. Farmakologi obat anestesia umum inhalasi,
intravena, obat anestetika lokal, analgetiks,

Obat sedasi, anti kejang, nerotropik, diuretik


osmotik, steroid, opioid dan antidotumnya

11. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

17
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak

melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

12. MATERI ACUAN

Keterampilan Dasar Anestesiologi I


Ilmu Dasar Anestesiologi :Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Terapan dalam anestesiologi.

18
Tehnik anestesia meliputi dua tehnik utama yaitu anestesia umum, anestesia regional atau dapat
pula kombinasi keduanya. Obat anestetika umum dapat diberikan secara intravena atau secara
inhalasi atau kombinasi. Obat anestetika regional atau lokal dapat diberikan dengan cara
infiltrasi lokal, blok syaraf, blok pleksus syaraf atau blok neuraksial (blok subarakhnoid atau
epidural).
Bagaimana mempelajari ilmu dasarnya?. Pertama harus ada buku ajar rujukan untuk masing
masing ilmu dasar. Kedua kita memilih obat yang akan digunakan terkait dengan tindakan
anestesia apakah obat inhalasi, intravena atau anestetika lokal. Untuk mempelajari ilmu dasar
yang terkait dengan tindakan anestesia, dapat secara sekaligus mempelajari ketiganya secara
simultan yaitu anatomi, fisiologi dan farmakologi. Terminologi terminologi dalam ilmu
fisiologi, patofisiologi farmakologi, anatomi harus dimengerti secara benar. Karena dengan
mengerti terminologi tersebut akan memudahkan memahami secara keseluruhan ilmu dasar
klinik.
Contoh:

1. Kita akan mempelajari obat inhalasi. Kita harus membayangkan obat yang akan diberikan
itu akan dihirup oleh pasien (bila pasien bernapas spontan) atau didorong masuk (bila
pasien tidak bernapas spontan atau dengan napas kendali) melalui jalan napas yaitu
hidung, faring, laring dan seterusnya sampai ke dalam alveoli. Oleh karena itu kita
harus memahami anatomi jalan nafas. Tatkala obat tersebut akan masuk dari alveoli ke
dalam sistem sirkulasi, maka kita harus mempelajari sifat2 fisik obat inhalasi tersebut,
mempelajari fungsi paru, mempelajari fisiologi sistem kardiovaskular tentang perfusi
darah ke paru paru sehingga dapat mengerti difusi obat . Ketika obat tersebut diedarkan
ke seluruh tubuh, maka kita harus tahu farmakologi tentang distribusi obat, selanjutnya
harus mengerti lokasi receptor obat tersebut dan mengerti mekanisme kerja obat yang
menyebabkan pasien menjadi tidak sadar. Oleh karena itu kita harus mengerti fisiologi
dan anatomi sistem syaraf pusat maupun sistem sirkulasi pada susunan syaraf. Selain itu
kita harus mempelajari farmakologi bagaimana nasib obat tersebut sehingga efek obat
bisa hilang kembali. Apabila kemudian timbul efek samping obat, akan muncul dalam
bentuk gangguan fisiologi misalnya apakah meningkatkan tekanan intrakranial,
mendepressi napas, menimbulkan hipotensi atau hipertensi, mengganggu fungsi hepar

19
atau ginjal, sehingga kita harus mengerti dosis, indikasi dan kontra-indikasi obat inhalasi
tersebut.

Disamping itu kita harus mengerti cara menggunakan mesin anestesi agar dapat
memberikan obat inhalasi.

2. Kita akan mempelajari obat anestetika umum intravena. Kita harus dapat mempersiapkan
obat tersebut dan harus memahami sifat sifat fisik obat tersebut. Ketika kita akan
menyuntikkan intravena maka kita harus mengerti anatomi pembuluh vena, dari vena
dorsom manus ke vena cubiti, vena axillaris, vena subclavia, ke vena cava superior, ke
atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis dan sterusnya sampai ke jantung kiri dan
obat didistribusikan ke seluruh tubuh sampai ke reseptornya dan menimbulkan efek yang
diinginkan. Apa yang terjadi pada obat tersebut didalam darah, misalnya berapa persen
terikat protein, kecepatan aliran darah yang dilalui obat mulai perifer sampai ke jantung
kemudian distribusi obat sehingga sampai ke otak dan menimbulkan efek pasien tidak
sadar, mengapa pasien tidak sadar, dan mengapa dapat pulih sadar, bagaimana nasib obat
tersebut. Kita harus memahami efek samping obat, overdosis obat dan cara mengatasi
bila timbul efek yang berbahaya.

Oleh karena itu kita harus mengerti anatomi dan fisiologi sistem
sirkulasi, dan farmakologi , terkait dengan pemakaian obat
tersebut. Disamping itu kita harus mengerti tehnik pemberian
obat intravena, secara bolus tunggal, kontinyu intermittent,
kontinyu secara tetesan, atau kontinyu dengan syringe pump.

3. Kita akan mempelajari obat anestetika lokal untuk anestesi subarakhnoid. Kita harus
mengerti jenis obat yang akan digunakan, sifat sifat fisik , konsentrasi dan kandungan
obat. Ketika kita akan menyuntikkan obat tersebut harus diketahui lokasi yang aman
tempat suntikan dengan mempelajari anatomi tulang belakang lapisan yang akan
ditembus jarum spinal untuk sampai kerongga subarakhnoid. Setelah obat ditempatkan di
ruang subarakhnoid, harus memahami farmakologi obat yaitu tempat dan mekanisme
kerja efek obat sehingga menimbulkan blok sensorik, motorik dan simpatetik. Efek
samping yang timbul akibat blok simpatetik, hipotensi, juga harus dipahami melalui

20
pemahaman efek farmakologik dan dampak fisiologik agar dapat memahami cara
mencegah atau penanggulangannya.
4. Ilmu dasar terkait dengan anestesiologi

Anatomi : jalan napas atas dan jalan napas bawah, sistem syaraf perifer anggota gerak
atas dan bawah, pleksus axillaris, pleksus brakhialis, medulla spinalis, tulang belakang.
Fisiologi : volume paru, pengaturan pernapasan, oksigenisasi darah, pengaturan tekanan
darah, pengaturan frekuensi denyut jantung, pengaturan irama jantung, konduksi jantung,
sistem sirkulasi paru, pengaturan tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak.
Farmakologi: Obat anestesia umum yang menimbulkan penurunan tekanan darah,
peningkatan tekanan darah, mengganggu ritme jantung, mengganggu resistensi
pembuluh sistemik, resistensi sirkulasi paru, depressi miokard, depressi otak,
mengganggu tekanan intrakranial, menimbulkan kejang, depressi pernafaran,
mengganggu fungsi ginjal, hepar, Obat anestetika lokal, obat pelemas otot depolarisasi
dan non depolarisasi serta antagonisnya. Obat obat opioid dan antagonisnya
5. Lihat penuntun belajar pada daftar tilik.

Fisiologi kardiovaskuler dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat Morgan Chapter 19)

a. Jantung: aksi potensial jantung, awal & konduksi impuls jantung, mekanisme
kontraksi, inervasi jantung, cardiac cycle, fungsi ventrikel (heart rate, stroke
volume, preload, after load, contractility, disfungsi valvular, kurva fungsi
ventrikel, penilaian fungsi sistolik, penilaian fungsi diastolik)
b. Sistem sirkulasi: autoregulasi, endothelium-derived factors, kendali otonom
pembuluh sistemik, tekanan darah arteri(immediate control, intermediate control,
long term control), anatomi dan fisiologi sirkulasi koroner (anatomi, perfusi
koroner, kendali aliran darah koroner, balans oksigen miokard, efek obat
anestetik)
c. Patofisiologi Heart Failure: mekanisme kompensasi ( peningkatan preload,
peningkatan tonus simpatetik, hipertrofi ventrikel).

Fisiologi Respirasi dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat Morgan Chapter 22)

21
1. Cellular Respiration: Aerobic metabolism, anaerobic metabolism, effectts of anesthesia on
cell metabolism
2. Functional Respiratory Anatomy: Rib Cage & Muscles of Respiration, tracheobronchial tree,
alveoli, Pulmonary circulation & lymphatics, pulmonary capilary, pulmonary lymphatics,
innervation.
3. Basic Mechanism of Breathing: Spontaneos Ventilalion, Mechanical Ventilation,effects of
anesthesia on respiratory pattern.
4. Mechanics of Ventialtion: Elastic Resistance; surface tension forces, compliance, Lung
volumes; functional residual capacity, closing capacity, vital capacity, Non Elastic resistances;
airway resistance to gas flow, volume-related airway collapse, flow related airway colapse,
forced vital capacity ( tissue resistance),Work of breathing; Effects of anesthesia on pulmonary
mechanics (effects of lung volumes and compliance, effects on airway resistance, effects on work
of breathing)
5. Ventilation/Perfusion Relationships: Ventilation; distribution of ventilation, time constant,
Pulmonary perfusion; distribution of pulmonary perfusion, ventilation/perfusion ratios, Shunts;
venous admixture, Effects of Anesthesia on Gas Exchange
6. Alveolar, Arterial, &Venous Gas Tensions: Oxygen; alveolar oxygen tension, pulmonary-end
capillary oxygen tension, arterial oxygen tension, mixed veous oxygen tension, Carbon dioxide;
pulmonary end-capillary carbon dioxide tension, arterial carbondioxide tension, end-tidal
carbondioxide tension.

a. Transport of Respiratory Gases in Blood: Oxygen; dissolved oxygen,


hemoglobin, hemoglobin dissociation curve, factors influencing the hemoglobin dissociation
curve, abnormal ligands & abnormal forms of hemoglobins, oxygen content, oxygen
transport, oxygen stores Carbon dioxide; dissolved carbon-dioxide, bicarbonate, carbamino
compound, effects of hemoglobin buffering on carbon dioxide transport, carbon dioxide
dissociation curve, carbon dioxide stores.
b. Control of Breathing: Central respiratory centers, Central sensors, Peripheral
sensors; peripheral chemoreceptors, lung receptors, other receptors, Effects of Anethesia on
the control of breathing.
c. Nonrespiratory functions of the lung: filtration and reservoir function,
metabolism

22
23
Fisiologi system syaraf dan anestesia
Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat Morgan Chapter 25)

1. Cerebral physiology:
a. Cerebral metabolism
b. Cerebral Blood Flow
c. Regulation of Blood Flow: Cerebral Perfusion Pressure, Autoregulation,
Extrinsic Mechanisms; respiratory gas tension, temperature, viscosity, autonomic
influences.
d. Blood Brain Barrier
e. Cerebrospinal Fluid
f. Intracranial Pressure

2. Effects of Anesthetic Agents on Cerebral Physiology


a. Effect of Inhalation Agents: Volatile Anesthetics; cerebral metabolic rate,
cerebral blood flow & volume, altered coupling of cerebral metabolic rate &
blood flow, cerebrospinal fluid dynamics, intracranial pressure. Nitrous oxyde
b. Effect of Intravenous Agents: Induction Agents; barbiturate, opioids, etomidate,
propofol, benzodiazepines, ketamine, Anesthetic Adjuncts. Vasopressors,
Vasodilators, neuromuscular Blocking Agents
3. Physiology of Brain Protection
a. Pathophysiology of Cerebral Ischemia
b. Strategies for Brain Protection: Hypothermia, anesthetic agents, specific
adjuncts, general measures
c. Effect of anesthesia on electrophysiological monitoring
d. Electroencephalography; Inhalation Anesthetics, Intravenous Agents,
e. Evoke Potentials; Inhalation anesthetics, intravenous anesthetics.

Fisiologi ginjal dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (Morgan chapter 31)

24
1. Nephron
a. The glomerular capillaries
b. The proximal tubule
c. The loop of Henle
d. The distal tubule
e. The collecting Tubule: cortical collecting tubule, medullary collecting tubule, role
of the collecting tubule in maintaining a hypertonic medulla
f. TheJuxtaglomerular Apparatus
2. The Renal Circulation
a. Renal Blood Flow & Glomerular Filtration: clerance, renal blood flow,
glomerular filtration rate, control mechanisms; intrinsic regulation,
tubuloglomerular balance and feedback, hormonal regulation, neuronal
regulation
3. Effects of anesthesia on renal function
a. Indirect Effects: Cardiovascular effects, neural effects, endocrine effects.
b. Direct Anesthetic Effects: volatile agents, intravenous agents, other drugs.
c. Direct Surgical Effects
4. Diuretics
a. Osmotic diuretics (mannitol): Uses; prophylaxis against acute renal failure in
hihg risk patients, evaluation of acute oliguria, conversion of oliguriic renal
failure to non oliguric renal failure, acute reduction of intracranial pressure and
cerebral edema, acute reduction of intraocular pressure in the perioperative
periode, intravenous dosage, side effects.
b. Loop diuretics: Uses; edematous states (sodium overloads), hypertension,
evaluation of acute oliguria, conversion of oliguric renal failure to nonoliguric
renal failure, treatment of hyperglycemia, rapid correction of hyponatremia,
intravenous dosage, side effects.
c. Thiazide-type diuretics: Uses: hypertension, edematous disorders (sodium
overload), hypercalciuria, nephrogenic diabetes insipidus , oral dosages, side
effects.

25
d. Potassium-sparing diuretics: Aldosteron Antagonists (spironolactone); uses:
primary and secondary hyperaldosteronism, hirsutism, oral dosage, side effects.
Noncompetitive Potassium-Sparing Diuretics; uses: hypertension, congestive
heart failure, intravenous dosages, side effects.
e. Carbonic Anhydrase Inhibitors; Uses; correction of metabolic alkalosisi in
edematous patients, alakalinization of urine, reduction of intraocular pressure,
intravenous dosage, side effects

Fisiologi hepar dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (Morgan chapter 34)

1. Functional Anatomy
2. Vascular Functions of the Liver : control of hepatic blood flow, reservoir function,
blood-cleansing function
3. Metabolic Functions: Carbohydrate metabolism, Fat metabolism, Protein Metabolism,
Drug metabolism, Other Metabolic Functions.
4. Bile formation & Excretion: Bile Acids & Fat Absorption, Bilirubi Excretion.
5. Liver Tests: Serum bilirubin, Serum Aminotransferase (transaminase), serum alkaline
phosphatase, serum albumin, blood ammonia, prothrombin time
6. Effect of Anesthesia on hepatic function: hepatic blood flow, metabolic functions, drug
metabolism, biliary function, liver tests.
7. Hepatic dysfunction associated with halogenated anesthetics.

26
KETERAMPILAN DASAR
MODUL 2 ANESTESIOLOGI II :
Pengelolaan Jalan Napas Neonatus -
Dewasa
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1, 2 dan 3)
Sesi di dalam kelas 2 X 2 jam (semester 1 pasien dewasa)
2 X 2 jam (semester 2 -3 pasien anak)
2 X 2 jam (semester 3 pasien neonatus)
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3X(3X2 jam) (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinik 3 X 3 minggu ( saat sesi praktek pasien)

Persiapan Sesi

Audiovisual
a. Laptop
b. LCD proyector dan layar
c. Flip chart
d. OHP
e. Video player
Materi kuliah : CD atau flashdisc Power point
a. Obstruksi jalan napas pada dewasa (sebab2, tanda tanda dan diagnosis)
b. Pengelolaan jalan napas tanpa alat
c. Pengelolaan jalan napas dengan alat (pipa orofaring, pipa nasofaring,
intubasi trakeal, pipa sungkup laring (LMA), krikotirotomie, trakeostomie)
d. Obstruksi jalan napas pada neonatus dan anak anak
e. Pengelolaan jalan napas atas secara manual.
f. Intubasi trakea pada neonatus dan anak anak
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
3. Ruang operasi
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat2 untuk pengelolaan jalan napas
Kasus :Pasien langsung
Penuntun belajar : Lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006

27
Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan menguasai
pengelolaan jalan nafas atas pada pasien dewasa, anak anak dan neonatus, yang merupakan
syarat mutlak selama tindakan anesthesia.

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menilai kondisi
jalan napas, menilai dan melakukan pengelolaan jalan nafas, baik tanpa alat maupun dengan alat
alat bantu , seperti pemasangan guedel, Laringeal mask airway (LMA), intubasi endotrakeal,
krikotirotomi, trakesotomi perkutaneus, mengelola jalan napas pada difficult intubation

1. RANAH KOMPETENSI

Kognitif

1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi jalan nafas atas


2. Mampu mendiagosis sumbatan jalan nafas dan kegawatan pernafasan yang memerlukan
pembebasan jalan nafas
3. Mampu menjelaskan tehnik membebaskan jalan nafas secara manual, memasang pipa
oro dan nasofaring, memasang LMA, intubasi endotrakeal.
4. Mampu menjelaskan indikasi dan indikasi kontra pemasangan LMA dan intubasi
endotrakea.
5. Mampu menjelaskan komplikasi pemasangan pipa oro/naso-faring, LMA dan pipa
endotrakeal.
6. Mampu mengenali dan menjelaskan algoritme DIFFICULT AIRWAY
7. Mampu menjelaskan penggunaan obat obat guna memudahkan pengelolaan jalan nafas

Psikomotor

1. Mampu membebaskan jalan nafas secara manual (ekstensi kepala, angkat dagu, triple
maneuver ) pembersihan jalan nafas, pemasangan pipa orofaring, pemasangan
nasofaring.
2. Mampu melakukan pemasangan LMA
3. Mampu melakukan tindakan laringoskopi intubasi endotrakeal
4. Mampu mengidentifikasi indikasi dan indikasi kontra pemasangan LMA dan intubasi
endotrakea
5. Mampu mengenali dan menanggulangi komplikasi pemasangan pipa oro/nasofaring,
LMA dan pipa endotrakea
6. Mampu melakukan pemasangan LMA dan intubasi endotrakea pada pasien dengan
dugaan fraktur vertebra servikal.
7. Mampu melakukan pengelolaan jalan nafas menurut algoritma DIFFICULT AIRWAY

28
Komunikasi/ Hubungan interpersonal

1. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang manfaat dan resiko
tindakan pembebasan jalan nafas, terutama intubasi endotrakeal untuk mendapatkan
informed consent
2. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kemungkinan masalah yang ada
pada jalan napas , atau sedang atau akan timbul berkaitan dengan patensi jalan nafas dan
penanggulangannya selama masa perioperatif.

Profesionalime

1. Menjamin bahwa alat STATIKS (Sungkup muka, Tube/Pipa, Airway, Tape/plester,


Introducer/mandrain, Konektor, Suction/Alat Isap), kateter intravena, peralatan infus,
resuscitator bag obat2 emergensi termasuk oksigen, cairan infus yang diperlukan
memenuhi syarat, siap pakai dan bekerja baik.
2. Bekerja sesuai prosedur.

2. KEY NOTES (Morgan)

1.Bila tehnik memegang face mask tidak benar, reservoir bag anestesia tidak akan mengembang ,
walaupun adjustable pressure limiting (APL) valve tertutup, biasanya disebabkan oleh kebocoran
sekitar sungkup muka. Keadaan yang kontras bilamana terjadi peningkatan tekanan di sirkuit
napas disertai sedikit gerakan dada dan suara napas berarti ada obstruksi jalan napas.

2. Laringeal mask airway (LMA) melindungi laring dari ekresi faring (tetapi tidak terhadap
regurgitasi lambung), dan harus dipertahanakn sampai ada refleks2 jalan napas.

3.Seteleh insersi endotracheal tube (ETT), cuff dikembangkan dengan sedikit udara cukup untuk
menghidari kebocoran selamam ventilasi tekanan positif untuk menghindari penyebarab tekanan
ke mukosa trakea.

4.Walaupun deteksi CO2 secara persisten dengan capnograph merupakan cara konfirmasi terbaik
penempatan ETT, ini tidak mendeteksi kemungkinan terjadi intubasi endobronkial. Manifestasi
paling dini terjadi intubasi endobronkial adalah peningkatan peak airway pressure.

5.Sesudah intubasi cuff ETT tidak boleh terletak setinggi di atas kartilago cricoid, sebab
penempatan di intralaring yang lama akan menimbulkan suara serak dan risiko terekstubasi.

6.Pencegahan intubasi esofagus bergantung pada visualisasi langsung daripada ujung ETT yang
masuk melalui pita suara, auskultasi suara napas sama kedua paru kiri kanan, tidak ada suara
gargling di lambung. Dan cara paling reliable adalah ada CO2 pada udara ekhalasi,
pemeriksaan fto torak, penggunaan bronkoskopi fibreoptik.

29
7.Cara mendiagnosis intubasi endobronkial termasuk suara napas unilateral, hipoksia yang tidak
diduga (pulseoximetry) dengan oksigen inspirasi tinggi dan penurunan breathing-bag compliance

8.Tekanan negatif intratorak yang besar yang ditimbulkan oleh upaya berat bernafas pasien
spasme laring dapat menimbulkan negative-pressure pulmonary edema bahkan pada pasien sehat
sekalipun.

9. Pemasangan LMA tidak dilakukan pada lambung penuh

10.Isi cuff pipa endotrakeal tidak boleh terlalu besar

11.Pemantauan ETCO2 dapat mendeteksi intubasi esofagus

12.SpO2 dapat mendeteksi kemungkinan intubasi endobronkial

13.Bila saat tindakan intubasi, terjadi desaturasi Hb, hentikan dulu upaya intubasi, berikan
oksigen dulu, sampai saturasi Hb meningkat kembali. Lanjutkan upaya intubasi.

14. Algoritme Difficult Airway harus selalu tersedia untuk jadi pedoman guna menghadapi
kesulitan intubasi yang tidak diprediksi.

3. GAMBARAN UMUM

Pengelolaan Jalan napas adalah suatu pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh
peserta didik calon dokter spesialis anestesiologi. Masalah jalan napas pada pasien sadar
maupun pasien tidak sadar oleh sebab apapun termasuk anestesi umum pada umumnya adalah
karena terjadi sumbatan jalan napas. Sumbatan jalan napas atas maupun jalan napas bawah
terutama yang berat adalah kondisi yang harus dikenali dan segera dilakukan pertolongan .
Keterlambatan mengatasi kondisi tersebut dapat berakibat fatal. Beberapa tehnik yang harus
dikuasai adalah pembebasan jalan napas secara manual maupun dengan alat. Keterampilan
keduanya hanya akan diperoleh melalui banyak latihan pada manekin dan diikuti dengan banyak
melakukan praktek dalam klinik.

4. TUJUAN PEBELAJARAN

1. Mampu menilai sumbatan jalan napas atas

2. Mampu melakukan pengelolaan jalan napas secara manual

3. Mampu melakukan pemasangan pipa orofaring dan pipa nasofaring

4. Mampu melakukan pemasangan laryngeal mask airway (LMA)

30
5. Mampu melakukan pemasangan pipa endotrakeal secara oral dan nasal

6. Mampu menilai pasien dengan difficult airway

7. Mampu merencanakan dan melaksanakan pengelolaan jalan napas pasien dengan difficult
airway

8. Mampu melakukan tindakan krikotirotomi

9. Mampu melakukan trakeostomi secara perkutaneus (option)

10. Mampu menggunakan alat alat bantu untuk difficult airway seperti:Glidescope,
Fibreoptic brochoscope dan alat lain untuk difficult airway ( Option).

5. METODE

Peserta didik sudah harus membaca/mempelajari buku referensi (Morgan) dan buku lain
mengenai pengeloaan jalan napas (option)

Tujuan 1 sampai dengan 10 merupakan paket pengelolaan jalan napas secara menyeluruh

Metode Pembelajaran:

a. Kuliah pengantar: Tanda2 obstruksi jalan napas; Pengelolaan jalan napas


b. Skill lab : tindakan pengelolaan jalan napas pada manekin
Demo oleh staf pengajar atau pembimbing
c. Bimbingan praktek pada pasien dikamar bedah oleh satff pengajar
d. Mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh organisasi profesi, khususnya
penggunaan alat bantu khusus untuk difficult airway (Glidescope, Fibreoptic
brochoscope dan alat alat lain).
Kognitif

1. Integrated learning
2. Independent learning
3. Problem base learning
4. Introductary lecture
5. Small group discussion and feed back
6. Patient management problem
7. Simulated patient, scenarios, displays etc
Psikomotor

1. Demonstrations/displays and clinical supervision

31
2. Patient management problem
Komunikasi/ Hubungan interpersonall

1. Demonstrate/display and clinical supervision


2. Patient management problem
Professionalism

1. Patient management problem


Knowledge

1. Introductory lecture
2. Small group discussion, and feed backs.

Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:

a. Menegakkan diagnosis obstruksi jalan napas atas dan bawah

b. Melakukan pengelolaan obstruksi jalan napas secara manual

c. Melakukan pemsangan pipa orofaring dan nasofaring

d. Melakukan pemasangan LMA

e. Melakukan intubasi endotrakeal secara konvesional

1. Intubasi sadar (awake) vs. Intubasi saat induksi anestesia umum

2. Intubasi nafas spontan vs. Intubasi dalam keadaan apnea.

f. Melakukan intubasi pada difficult airway ( satu atau dua tehnik)

g. Melakukan krikotirotomi

h. Melakukan trakeostomi (option)

i. Menggunakan alat alat bantu untuk mengatasi difficult airway

Tehnik Intubasi sadar dan Intubasi dengan nafas spontan pada prinsipnya sama diatas. Tetapi
memerlukan sedasi, dan anestesia topikal yang adekuat pada jalan nafas atas (laring dan
sekitarnya). Oleh karena tidak menggunakan obat relaksasi, secara tehnik lebih sulit dan lebih
traumatik.

32
6.MEDIA

a.Kuliah,

b.diskusi kelompok,

c.simulasi kasus,

d. demonstrasi pada manekin,

e. bedside teaching,

f. praktek dengan pengawasan

g. praktek mandiri

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

a. Sarana Belajar Mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Internet, ruang

Skill Lab, alat audiovisual

b. Manekin khusus untuk pengelolaan jalan napas

c. Pipa orofaring, Pipa nasofaring, Pipa endotrkeal (bermacam jenis), LMA

(bermacam jenis), Laryngoscope (blade lurus, lengkung)

d. Alat alat lain seperti Magill forceps, Bag mask valve,stetoscope.

e. Bila ada Glide scope, Fibreoptic bronchoscope

f. Materi Kasus : Rumah Sakit kelas B (jumlah dan variasi kasus memadai)

8. EVALUASI

Pelatihan di skill lab Intubasi pada manekin dengan keberhasilan mendekati 100%

Pelatihan di kamar bedah intubasi pada pasien, dengan bimbingan dan pengawasan staff
pengajar.

Diskusi tentang masalah intubasi sesuai sasaran pembelajaran (learning outcome)

33
1. Kognitif : EMQ (Extended Medical Question) lisan
Pengamatan dan penilaian beberapa kal
Beberapa pengamat
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
Evaluasi harian
2. Psikomotor: Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
OSCE
Evaluasi harian
3. Komunikasi dan hubungan interpersonal termasuk Attitude
Pengamatan dan penialaian beberapa kali
Beberapa pengamat
4. Professionalism: Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
5. Knowledge : MCQ (Pre test) dan Post Test
EMQ (Extended Medical Question)

9. REFERENSI

Airway Management, Benumoff ed. 2007

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

10.DAFTAR PENUNTUN BELAJAR

No Penuntun Pengelolaan Jalan napas pada dewasa, Sudah Belum


anak dan neonatus dikerjakan dikerjakan

1. Melakukan penilaian pasien tidak sadar

Melakukan penilaian patensi dan obstruksi jalan


napas atas dan jalan napas bawah

34
2. Melakukan angkat dagu (chin lift) dan ekstensi
kepala pada dewasa

3. Melakukan triple manuever

4. Melakukan pemasangan pipa orofaring

5. Melakukan pemasangan pipa naso faring

6. Melakukan pemasangan LMA

7. Melakukan intubasi endotrakeal

8. Melakukan krikotirotomie pasien/boneka?

9 Melkakukan pengelolaan jalan napas pada pasien


dengan difficult airway

10. Melakukan angkat dagu (chin lift) dan ekstensi


kepala pada anak anak

11. Melakukan triple manuever pada anak anak

12. Melakukan pemasangan pipa orofaring pada anak


anak

13. Melakukan pemasangan pipa naso faring pada anak


anak

14. Melakukan pemasangan LMA pada anak anak

15. Melakukan intubasi endotrakeal pada anak anak

16. Melakukan pengelolaan jalan napas difficult airway


pada anak anak

17. Melakukan pengelolaan jalan napas pada neonatus

18. Melakukan intubasi endotrakeal pada neonatus.

19. Melakukan pengelolaan difficult airway pada


neonatus.

11.DAFTAR TILIK

35
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

36
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

12. MATERI ACUAN

Pengelolaan jalan napas

Mempertahankan jalan napas atas agar tetap bebas merupakan syarat mutlak selama tindakan
anestesia umum maupun regional.

Pasien dalam keadaan tidak sadar dapat mengalami sumbatan jalan nafas atas partial atau total.
Tanda tanda sumbatan ini harus dapat dikenali secara dini. Sumbatan partial ditandai dengan
adanya suara berisik saat inspirasi seperti ngorok, atau melengking, pengurangan aliran udara

37
keluar masuk paru, saat inspirasi terjadi retraksi pada suprasternal, supraklavikular atau
interkostal, mungkin gerakan dada paradoksal . Pada sumbatan total jalan napas gejala tersebut
akan terlihat makin berat, tetapi justru tidak terdengar suara nafas, sehingga bila tidak terawasi
dengan baik dapat membahayakan pasien, karena dapat menimbulkan desaturasi mengancam
nyawa. Pemantauan saturasi denyut sangat bermanfaat untuk mendeteksi secara dini terjadinya
desaturasi oksigen.

Bagaimana melakukan pembebasan jalan napas atas?

Peserta didik harus melakukan latihan pada manekin lebih dulu sampai mahir sebelum
melakukannya pada pasien.

Tanpa alat: melakukan ekstensi kepala, angkat dagu atau dengan triple maneuver

Dengan alat: memasang pipa orofaring, memasang pipa nasofaring, memasang laryngeal mask
airway (LMA), memasang pipa endotrakeal., melalukan cricothyrotomie, melakukan
tracheostomie

Prosedur pemasangan LMA pada dewasa

1. Periksa kelengkapan alat (untuk dewasa umumnya LMA no 3 atau 4)


2. Berikan obat premedikasi atau penenang dan opioid (bila ada fentanyl)
3. Lakukan induksi anestesia
4. Yakinkan pasien sudah tidak sadar. Jaga jalan napas
5. Masukkan LMA dengan cuff kosong atau flat atau separuh terisi udara.
6. Basahi bagian dorsal atau punggung LMA(yang tidak menghadap laring) dengan NaCl
atau lubrikan pelicin untuk memudahkan dan mencegah trauma pada palatum saat insersi
7. LMA dimasukkan dengan bagian dorsal dengan cara menelusuri palatum durum sampai
bagian cuff LMA mencapai laring. Isi cuff LMA dengan udara sesuai anjuran (umumnya
30cc)
8. Kendala saat memasukkan atau insersi LMA adalah terhalang lidah. Dapat diatasi dengan
menarik lidah keluar saat insersi Posisi.
9. LMA dianggap tepat pada tempatnya bila terasa udara keluar masuk secara bebas, ada
gerakan kembang kempis pada kantong reservoir anestesia
10. Obstruksi setelah insersi biasanya oleh karena epiglottis terlipat kebawah atau spasme
laring ringan.
11. Lakukan fiksasi dengan baik.

Mempertahankan jalan napas pada neonatus pada dasarnya sama dengan dewasa tetapi harus
dilakukan dengan cara lebih hati hati atau gentle.(Lihat modul anestesia pediatri)

Prosedur pemasangan pipa endotrakeal (intubasi endotrakeal) yang lazim dilakukan pada
anestesia umum

38
1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2. Berikan obat premedikasi, tunggu sampai efek premedikasi bekerja
3. Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, sampai pasien tidak sadar.
4. Berikat obat pelemas otot, tunggu sampai obt bekerja pada otot pernapasan ditandai
dengan apnea.
5. Berikan napas buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit
6. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bila(blade) bengkok
7. Pegang handle laringoskop dengan tangan kiri (atau tangan kanan lebih dulu)
8. Pastikan cahaya lampu laringosokop cukup terang
9. Buka mulut pasien dan masukkan blade dari sudut kanan mulut
10. Geser lidah kearah kiri sambil meneruskan masuk blade ke dalam rongga mulut
menelusuri pinggir kanan lidah menuju laring.. Perhatikan sampai tampak epiglotis.
Handle laringoskop sudah bisa mulai dipegang dengan tangan kiri
11. Tempatkan ujung blade pada valeculla
12. Angkat epiglottis dengan ujung handle ke depan (tidak diungkit). Handle harus dipegang
dengan tangan kiri
13. Bila epiglottis terangkat dengan baik akan tampak rima glottis, dan tampak pita suara
warna putih, bentuk V terbalik
14. Masukkan dengan hati hati pipa endotrakeal ke dalam trakea melalui rima glottis dengan
tangan kanan.
15. Tempatkan ujung pipa endotrakeal kira kira 3cm diatas carina (tidak masuk bronkus).
Auskultasi suara napas paru kanan dan kiri sama.
16. Kendala saat insersi pipa endotrakeal adalah, kesulitan mengekspose rima glottis dengan
jelas dan lengkung pipa endotrakeal yang tidak selalu sesuai.

Pengelolaan jalan napas pada anak anak dan neonatus pada prinsipnya sama dengan dewasa.
Struktur anatomi pada neonatus lebih rentan terhadap trauma, sehingga harus dilakukan secara
hati hati. Proporsi kepala bayi atau anak relatif lebih besar dari orang dewasa, sehingga posisi
tidak stabil menetap, menimbulkan kesulitan untuk fiksasi saat dilakukan intibasi endotrakeal.
Pipa endotrakeal neonatus tanpa cuff, nomer 2.5 atau 3. Pipa endotrakeal pada anak anak
hendaknya sampai usia 6-8 thn juga tanpa cuff. Pengelolaan jalan napas pada neonatus dan anak
dapat pula dilihat pada modul anestesia perdiatri.

Algoritme Difficult Airway

1. Periksa kemungkinan kondisi klinik yang akan merupakan masalah

dasar:

A. Difficult ventilation

B. Difficult intubation
39
C. Difficulty with patient cooperation or consent

D. Difficult tracheostomy.

2. Secara terus menerus dan aktif memberikan oksigen selama proses

pengelolaan difficult airway berlangsung.

3. Perimbangkan manfaat dan kemungkinan kemungkinan pilihan

A. Awake intubation vs Upaya intubasi setelah induksi anestesia

B. Intubasi noninvasif vs Intubasi invasif

C. Napas spontan vs Napas tidak spontan(apnea)

4. Buatlah strategi primer dan Alternatif lain (ASA 2003)

A Awake Intubation

Airway approached by Airway secured by


non invansive intubation invasive access

Succeed FAIL
Cancel Consider feasibility Invasive airway
Case of other options access

40
B Intubation Attempts after Induction

of General Anesthesia

Initial Intubation Initial intubation attempts


attempts
successful UNSUCCESSFUL, FROM THIS POINT
ONWARD CONSIDER:

1.Calling for help

Face mask ventilation adequate Face mask ventilation not adequate

Consider/attempt LMA

LMA adequate Emergency pathway


LMA not adequate or not
Nonemergency pathway
feasible
Ventilation inadequate, intubation unsuccessful
Ventilation adequate
Intubation unsuccessful

Call
Emergency non for help
ivasive airway ventilation
Alternative approaches to
intubation

Successful intubation Fail after multiple attempts Successful ventilation FAIL


Emergency
invasive
airway
Invasive airway ventilation Consider feasibility of other options Awaken patient
access

41
KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLO GI III
MODUL 3
RJP Neonatus Dewasa

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1 minggu 1 4)


Sesi di dalam kelas 2 X 2 jam (RJP pada dewasa)
Kuliah khusus (RJPO) 2 X 2 jam (RJP pada neonatus dan anak)
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 jam (diskusi dengan pembimbing)
Sesi skill lab (RJP pada manekin) Sampai lulus

Persiapan Sesi

Audiovisual
1. Laptop
2. LCD proyector dan layar
3. Flip chart
4. OHP
5. Videoplayer
Materi kuliah : CD atau flashdisc Power point
1. RJP pada pasien dewasa.
2. RJP pada anak anak
3. RJP pada neonatus
4. RJPO (Resusitasi Jantung Paru Otak modul ICU)
5. Pengelolaan pasca cardiac arrest
6. Pencegahan cardiac arrest
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat2 untuk resusitasi jantung paru
Kasus : ilustrasi kasus/ retrospektif
Penuntun belajar : Lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006

3. AHA Guidelines for CPR 2005

42
Salah satu kejadian paling berat pada pasien selama masa perioperatif adalah bila
terjadi cardiac arrest.Kejadian serupa dapat terjadi dimana saja, dikamar bedah atau
diluar kamar bedah.

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan secara tim dan
secara individu melakukan resusitasi jantung paru dengan baik dan benar ,sebelum terlibat
atau terjun melakukan tindakan anesthesia

Tujuan Pembelajaran khusus

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan menjelaskan sebab
sebab cardiac arrest, mendiagnosis cardiac arrest, melakukan resusitasi jantung paru (RJP)
untuk bantuan hidup dasar, melakukan pembebasan jalan napas, melakukan pernapasan
buatan, melakukan kompressi dada luar, melakukan defibrillasi, memberikan obat obat
resusitasi, melakukan penilaian hasil resusitasi , menghentikan resusitasi dan/atau merujuk
pasien ke ICU pasca resusitasi. Kemampuan tersebut meliputi RJP pada pasien dewasa, anak
anak, dan neonatus baik dikamar operasi maupun diluar kamar operasi

1. RANAH KOMPETENSI

Kognitif

1. Mampu menjelaskan sebab sebab cardiac arrest


2. Mampu menjelaskan tanda tanda cardiac arrest
3. Mampu menjelaskan bila terjadi keterlambatan pertolongan cardiac arrest.
4. Mampu menjelaskan langkah langkah resusitasi jantung paru
5. Mampu menjelaskan algoritme resusitasi jatung paru (RJP)
6. Mampu menjelaskan advanced life support
7. Mampu menjelaskan pengelolaan jalan nafas basic (modul 1)
8. Mampu menjelaskan tehnik intubasi (modul 1)

43
9. Mampu menjelaskan kompressi jatung/dada luar pada resusitasi jantung paru secara
benar (tempat tumpuan, frekuensi, kekuatan kompressi)
10. Mampu menjelaskan gambaran EKG pada cardiac arrest.
11. Mampu menjelaskan tentang defibrillasi pada cardiac arrest
12. Mampu menjelaskan farmakologi obat2an yang lazim dipakai pada RJP
13. Mampu menjelaskan hasil dari RJP
14. Mampu menjelaskan resusitasi otak (modul ICU)
15. Mampu mendiagnosis mati batang otak(modul ICU)

Psikomotor

1. Mampu mendiagnosis pasien cardiac arrest


2. Mampu melakukan RJP dengan langkah langkah yang benar
3. Mampu melakukan pengelolaan jalan nafas dengan benar
4. Mampu melakukan pernafasan buatan dengan benar.
5. Mampu melakukan kompressi jantung/dada dengan benar
6. Mampu membaca EKG pasien cardiac arrest
7. Mampu melakukan defibrilasi sesuai guideline
8. Mampu melakukan pemberian obat obatan resusitasi dengan benar
9. Mampu melakukan penilaian hasil resusitasi
10. Mampu melakukan keputusan untuk menghentikan resusitasi
11. Mampu melakukan transportasi pasien pasca cardiac arrest ke ICU

Komunikasi/Hubungan inter personal

1. Bila cardiac arrest terjadi dalam masa perioperatif, mampu berkomunikasi dengan
sejawat, dengan disiplin lain dan tenaga kesehatan lain untuk secara tim dapat melakukan
pertolongan RJP dengan menunjuk seorang atau bertindak sendiri sebagai kepala tim
(dari disiplin anetesi)
2. Mampu berkomunikasi secara kontinyu dengan keluarga pasien menjelaskan tentang
tindakan apa dan mengapa RJP dilakukan, perkembangan hasil RJP, sampai pasien
dirawat ICU dan bagaimana prognosisnya.

2. KEY NOTES (Morgan)

1. RJP dan Emergency Cardiac Care harus dipertimbangkan setiap saat pada pasien yang
tidak mendapat oksigenasi secara adekuat atau ada gangguan perfusi organ tidak hanya
setelah terjadi cardiac arrest
2. Ventilasi dan kompressi jantung/dada luar harus tidak boleh terlambat oleh tindakan
intubasi apabila jalan nafas telah bebas dengan jaw trust maneuver
3. Upaya intubasi harus berhasil dalam 30 detik.
4. Kompressi dada harus dilakukan segera bila ada pasien pulseless

44
5. Petugas kesehatan yang bertugas di rumah sakit, rawat jalan harus mampu melakukan
defibrilasi dini segera pada pasien dengan fibrilasi ventrikel.. Shock harus dilakukan
dalam waktu 3 ( 1min) arrest.
6. Lidocaine, epinephrine, atropine, dan vasopressin dan bukan Na-bikarbonat dapat
diberikan melalui kateter dalam pipa trakea. Dosis 2-21/2 kali dosis IV, diencerkan dalam
10ml aguadest atau NaCl 0.9% pada pasien dewasa.
7. Bila akses Intravena sulit, pada anak anak dapat dilakukan Introsseus

3. GAMBARAN UMUM

Cardiac arrest merupakan keadaan yang dapat terjadi dimana saja dan memerlukan tindakan
segera Resusitasi Jantung Paru. Peluang yang besar kejadian cardiac arrest selama anestesi
mengharuskan setiap peserta didik memiliki kemampuan melakukan RJP dengan baik. Tindakan
RJP merupakan suatu paket berupa Airway(A), Breathing(B), Circulation (C) yang sering disebut
Basic Life Support dan bila dilanjutkan dengan Drugs (D), pemeriksaan EKG (E) dan
Fibrillation treatment (F) merupakan Advanced Life Support dan bila harus masuk ICU disebut
sebagai Prolonged Life Support. Pada modul ini hanya dibatasi pada RJP basic life support. Bila
RJP baru dilakukan pada cardiac arrest yang telah berlangsung 4 menit, kemungkinan akan
timbul kerusakan otak irreversible.

Keberhasilan RJP bergantung dari cepatnya memulai RJP dan tehnik RJP yang benar.
Kemampuan ini tidak terbatas dimiliki dokter anestesi tetapi juga oleh dokter atau pertugas
kesehatan lain yang terlibat pada pelayanan emergency dan darurat, dimana peluang besar terjadi
cardiac atau respiratory arrest

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

a. Mampu melakukan diagnosis cardiac arrest pada pasien

dewasa,ankanak dan neonatus

b. Mampu melakukan RJP pada pasien pasien tersebut

c. Mampu menilai hasil RJP

d. Mampu memutuskan kapan menghentikan RJP.

e. Mampu kapan merujuk pasien ke ICU

5. METODE

45
RJP merupakan satu paket tindakan secara keseluruhan yaitu yang tidak dapat dipisah pisahkan
antara A, B, C, oleh karena itu metode yang dilakukan untuk mencapai tujuan juga tidak dapat di
pisah pisahkan.

Metode Pembelajaran:

Kognitif

1. Kuliah pendahuluan RJP


2. Belajar bersama secara terintegrasi
3. Belajar mandiri
4. Problem base learning
5. Small group discussion and feed back
6. Patient management problem
7. Simulated patient, scenarios, displays etc
Psikomotor

Manekin based

1. Demonstrations/displays and skill supervision


2. Patient management problem (illustration case)
Komunikasi/ Hubungan interpersonall

1. Demonstrate/display and skill supervision


2. Patient management problem
Professionalism

1. Patient management problem


Knowledge

1. Introductory lecture
2. Small group discussion, and feed backs.

Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:

1. Melakukan diagnosis cardiac arrest pada dewasa, anak anak, dan neonatus

2. Melakukan pembebasan jalan napas atas

3. melakukan pernapasan buatan dengan mouth to mouth atau dengan bag mask valve

4. Melakukan kompresii dada dengan tehnik yang benar

5.Melakukan penilaian hasil RJP

6.Melakukan penghentian RJP.

46
6.MEDIA

a.Kuliah pendahuluan RJP

b. Belajar bersama secara terintegrasi


c. Belajar mandiri
d. Problem base learning
e. Small group discussion and feed back
f. Patient management problem
g. Simulated patient, scenarios, displays etc
h. Demonstration/ displays and skill supervision
i. Mengikuti workshop perkembangan mutakhir RJP.

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

a. Sarana Belajar Mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Internet, ruang Skill


Lab, alat audiovisual
b. Manekin untuk latihan RJP basic life support, manekin simulasi advanced life
support (option)
c. Bag mask valve resuscitator
d. Alat EKG dan Defibrillator manual atau option automatic external defibrillator
(AED)
e. Hard board untuk alas pasien
f. Alat alat untuk airway management (lihat modul 2)

8. EVALUASI

Evaluasi meliputi kognitif , keterampilan, komunikasi, profesionalisme

dan knowledge (pre-test dan post-test)

Pretest:

1. Bagaimana mendiagosis cardiac arrest?

2. Apa penyebab cardiac arrest?

3. Bagaimana langkah langkah melakukan pertolongan cardiac arrest?


4. Bagaimana cara mempertahankan jalan nafas dengan benar?
5. Bagaimana melakukan pernafasan buatan dengan benar?
6. Bagaimana cara melakukan kompresi dada luar dengan benar?
7. Bagaimana gambaran EKG pasien cardiac arrest?
8. Obat obatan apa yang digunakan pada penanggulangan cardiac arrest apa indikasinya?
9. Kapan resusitasi jantung paru dihentikan?

47
10. Kapan pasien indikasi rawat ICU

Evaluasi kemampuan dilakukan berdasarkan keterampilan RJP pada

manekin, keberhasilan lebih dari 75% dianggap kompetent melakukan

RJP.

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question) lisan

Pengamatan dan penilaian beberapa kali

Beberapa pengamat

2. Psikomotor:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali

Beberapa pengamat

3. Komunikasi dan hubungan interpersonal termasuk Attitude


Pengamatan dan penialaian beberapa kali

Beberapa pengamat

4. Professionalism:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali

Beberapa pengamat

5. Knowledge :
MCQ atau Essay (Pre test) dan Post Test

EMQ tertulis

Prosedur Resusitasi Jantung Paru (RJP)

Algorithm untuk cardiac arrest pada puleless cardiac arrest oleh karena VF, VT, PEA dan
Asystole (AHA Guidelines for CPR 2005)

48
PULSELESS ARREST
*BLS : Call for help, give CPR
*Give oxygen when available

*Attach monitor/defibrillator
2 when available 9
Shockable Check rhythm Not shockable Asystole/PEA
3
Shockable rhythm? 10
VF/VT
Resume CPR immediately for 5 cycles
When IV/IO available, give vasopressor
4
* Epinephrine 1mg IV/IO
Repeat every 3to5min
Give 1 shock or
*Manual biphasic: device specific * May give 1 dose of vasopressin 40U
(typically 120 to 200J) IV/IO to replace first or second dose of
If unknown, use 200J epinephrine
*AED: device specific
*Monophasic:360J Consider atropine 1mg IV/IO 11
Resume CPR immediately for asystole or slow PEA rate
Repeat every 3 to 5 min (up to 3 doses)
5 Give 5 cycles of CPR*
Give 5 cycles of CPR*
Check rhythm No
11

Shockable rhythm? Check rhythm


Shockable
6 Shockable rhythm?

Continue CPR while defibrillator is charging

Give 1 shock

Manual biphasic : device specific


No
Shockable
(same as first shock or higher dose)

Note:if unknown, use 200J

AED: device specific 12

Monophasic: 360J Go to
If Asystole , go to box 10
Give 5 cycles of CPR* Box 4
If electrical activity, check
7 No pulse.If no pulse, go to Box
Check rhythm 10

Shockable rhythm?

49
Box 12
7
No
Check rhythm

Shockable rhythm?

Shockable
8
During CPR During CPR
Continue CPR while defibrillator is charging
*Push hard and fast (100/min)
Give 1 shock
Rotate compressors every
*Manual biphasic: device specific
*Ensure full chest recoil
2 minutes with rhythm
(same as first shock or higher dose)
checks
Note: If unknown use 200J
*Minimize interruption in Search for and treat possible
*AED :device specific
chest compressions
contributing factors:
*Monophasic : 360J
- Hypovolemia
Resume CPR immediately after the shock *One cycle of CPR:
- Hypoxia
Consider antiarrhythmics; give during CPR 30 compressions then 2breaths
- Hydrogen ion (acidosis)

5cycles = 2 minutes - Hypo/hyperkalemia

*Avoid hyperventilation - Hypoglycemia

*Secure airway and confirm

placement

*After an advnnced airway is

placed, rescuers no longer


deliver cycles of CPR. Give
continuous

Chest compressions without

pauses for breaths. Give 8 to 10

breaths/minute. Check rthythm 50

every 2 minutes.
9. REFERENSI

Algorithm untuk cardiac arrest pada puleless cardiac arrest oleh karena VF, VT, PEA dan
Asystole (AHA Guidelines for CPR 2005)

51
10. DAFTAR PENUNTUN BELAJAR

No Penuntun Resusitasi Jantung Paru Sudah Belum


dikerjakan dikerjakan

1. Penilaian pasien henti jantung (cardiac arrest), henti


jantung mengancam

2. Melakukan kompressi dada/jantung luar atau


precordial tump

3 Melakukan pembebasan jalan napas atas

4. Menilai pasien bernapas/ tidak bernapas

5. Melakukan pernapasan buatan mouth to mouth dua


kali

6. Melakukan pernapasan buatan dengan resuscitator


bag dua kali

7 Melakukan penilaian denyut carotis

8 Melakukan kompressi jantung 30kali dengan laju


100x/menit

9 Melakukan kompressi : ventilasi 30 : 2

10 Melakukan penilaian hasil RJP basic

11 Melakukan tindakan intubasi

12 Memberikan obat2an adrenalin, dan lain lain

13. Melakukan defibrillasi

14. Memberikan obat obatan antifibrillasi

15. Melakukan penilaian hasil resusitasi

16 Menilai keadaan yang reversible penyebab henti


jantung

17. Melakukan resusitasi pada anak anak

52
18. Melakukan resusitasi pada neonatus.

17. Melakukan resusitasi otak (lihat modul ICU)

11. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

53
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

12. MATERI ACUAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardioppulmonary resuscitation (CPR) dikamar operasi
adalah tanggung jawab ahli anestesiologi, yang mengetahui lokasi dan fungsi alat resusitasi,

54
obat2an untuk resusitasi dan pembagian tugas. Pedoman dibawah ini telah dimodifikasi
mengikuti 2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resusucitation
and Emergency Cardiac Care.

Diagnosis cardiac arrest

Tidak terabanya denyut/pulsasi arteri perifer besar (carotis, radial atau femoral), tidak sadar.
EKG mungkin memperlihatkan asystole, ventricular fibrillation (VF), ventricular
tachycardia(VT), atau pulseless electrical activity (PEA).

Etiologi cardiac arrest

Sebab paling sering cardiac arrest adalah: hypoxemia, gangguan keseimbangan asam-basa,
gangguan kalium, calcium, dan magnesium, hipovolemia, adverse drug effects, pericardial
tamponade, tension pneumothorax, pulmonary embolus, hypotermia, infark miokard.

Dengan cardiac arrest akan berakibat aliran darah yang efektif berhenti, hipokasia jaringan,
metabolisme anaerobik, dan kumulasi sisa metabolisme sell. Fungsi organ teganggu, dan
kerusakan permanen akan timbul, kecuali resusitasi dilakukan dalam hitungan menit(tidak lebih
dari 4 menit). Acidosis dari metabolisme anaerobik menyebabkan vesodilatasi sistemik,
vasokonstriksi pulmoner, an penurunan respons terhadap katekolamin.

Resusitasi pada dewasa

A. Basic Life Support. Cardiac arrest harus selalu dicurigai pada pasien apapun yang tanpa
diharapkan jatuh tidak sadar. Bila tidak dapat dibangunkan, resusitasi ABCD (airway, breathing,
circulation, defibrillation) harus dilakukan setelah lebih dulu minta bantuan. Untuk penolong
tunggal/ sendirian pada setting orang awan ada aturan phone first/phone fast Untuk dewasa
dan diatas 12-14tahun dan semua anak anak dengan resiko disritmia dapat dilakukan automatic
external defibrillation (AED), kalau alat tersedia, sebelum resusitasi jantung paru (RJP) dimulai
oleh penolong yang sendirian.

1. Jalan napas dan pernapasan. Posisi kepala untuk pembebasan jalan napas, dibantu dengan
pemasangan pipa oro atau nasofaring. Napas spontan dinilai dengan observasi, merasakan dan
mendengar. Bila napas spontan tidak ada atau tidak efektif, lakukan bantuan napas buatan
dengan bag-valve mask (bvm) dengan oksigen 100%. Lakukan napas buatan dua kali lambat
pada tekanan rendah (untuk mencegah distensi gaster), dilanjutkan dengan 8 sampai 10kali napas

55
bantuan per menit. Bila ventilasi tidak mungkin, pikirkan akan adanya benda asing dijalan napas
dan bersihkan secara manual, lakukan Heimlich manuever, kompressi dada.

2. Sirkulasi. Sirkulasi dinilai dengan palpasi pada arteria carotis selama 5 detik. Bila tidak
teraba, lakukan kompresi dada luar. ( bila pulse teraba, tidak berarti bahwa tekanan arteri rata
rata adekuat, bila tidak ada napas, batuk batuk atau gerakan, kompressi jantung/dada luar boleh
dilakukan). Tempatkan pasien pada alas yang keras, kepala satu level dengan torak. Tumpuan
kompresi dada luar dilakukan dengan menempatkan pangkal tangan pada sternum diantara dua
nipple, tangan lain ditempatkan diatas tangan pertama. Ahli bedah dapat diminta bantuan untuk
melakukan tindakan tersebut. Lengan lurus, kompresi tegak lurus ke sternum, dengan kedalaman
1.5 2.0 inch ( 4-5cm) pada orang dewasa. Ratio kompressi :relaksasi 1:1 dengan laju kompresi
100x/menit. Pada pasien dengan posisi tengkurap yang tidak dapat dibuat telentang secara cepat,
seorang penolong dapat meletakkan kepalan tangan diantara subxiphoid dan meja operasi
sementara kompresi dilkukan pada punggung pada tempat yang sesuai. Ratio kompresi dada:
ventilasi adalah 30:2, pada dewasa dan anak bila hanya ada satu penolong. Bila ada dua
penolong dan sudah terpasang pipa endotrakeal atau laryngeal mask, ventilasi dapat diberikan 8
10 kali per menit dan kompresi dada harus diberikan dengan kecepatan kompresi 100 kali per
menit. Tanpa menunggu pause ventilasi.

3. Defibrillasi. Bila dirumah sakit harus dilakukan dalam waktu 3 menit. Atau dalam waktu 5
menit (sambil melakukan RJP dengan sangat baik) merupakan faktor utama yang menentukan
keberhasilan resusitasi karena ventricular fibrillation (VF) merupakan penyebab yang sering
pada cardiac arrest pasien dewasa. Adanya AED ditempat umum , defibrillasi dapat dilakukan
oleh tenaga seperti polisi, personil pemadam kebakaran, keamanan dan lain lain. Melalui
analisis frekuensi, amplitudo dan gambaran signal ECG, alat AED tersebut dapat digunakan
untuk indikasi shock atau tidak ada indikasi untuk shock.AED dipicu secara manual tidak secara
otomatik mendefibrillasi pasien.

4. Penilaian ulang RJP harus dinilai segera setelah dilakukan shock tanpa harus istirahat untuk
memeriksa pulse atau ritme dan harus dilanjutkan sampai lima cycles (atau kira kira 2 menit bila
pasien terintubasi) sebelum ritme dinilai ulang. Penolong harus memeriksa pulse bilamana ritme
yang teratur telah kembali. Bilamana tidak ada pulse atau tidak ada indikasi shock dengan AED,
RJP harus dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima cycles.

B. Advanced Cardiac Life Support (ACLS), termasuk pemasangan pipa endotrakeal, defibrillasi,
dan pemberian obat obatan, merupakan terapi definitif cardiac arrest. Protokol khusus

1. Intubasi, harus secara cepat dilakukan dengan interupsi kompresi dada dan seminimal
mungkin dan tanpa menunda defibrillasi, akan mengoptimalkan oksigenasi dan pengeluaran CO2

56
selama resusitasi. Bila ada alatnya dikonfirmasi dengan kapnografi. Jalur endotrakeal ini bisa
dipakai untuk memberikan obat bila akses Intra Vena sulit, misalnya naloxone, atropine,
vasopressine, epinephrine dan lidocaine (NAVEL). Obat diencerkan dengan 10ml NaCl steril
dan diberikan 2 sampai 3 kali.

2. Defibrillasi. Ventricle Tachycardia (VT) dan Ventricle Fibrillation (VF) bila berlangsung lama
aktifitas jantung menurun dan akan sulit untuk dikonversi ke ritme yang normal. Lakukan
defibrillasi sedini mungkin, tanpa melihat lapangan operasi. Itu merupakan tanggung jawab yang
melakukan defibrillasi agar anggota team resusitasi tidak kontak dengan pasien selama tindakan
defibrillasi.

a. Biphasic waveform defibrillations. Energi optimal untuk mengakhiri VF yang dipakai


bergantung pada spesifikasi alat antara 120 200 Joule, bila tidak ada pakai yang 200J.
Bilamana VF berhasil diatasi tetapi timbul VF ulang, shock berikut gunakan energi yang sama.

b. Monophasic waveform defibrillators, masih digunakan di banyak institusi, memberikan


energi secara unidirectional. Energi awal dan energi harus 360J.

c.Cardioversion untuk atrial flutter, disritmia supraventrikuler, seperti paroxysmal


supraventricular tachycardia (PSVT), dan VT dengan hemodinamik yang stabil umumnya
memerlukan energi 50 100 J monophasic, lebih kecil dibandingkan dengan atrial fibrillation
(AF) 100 120J. Energi optimal untuk kardioversi dengan biphasic waveform belum diketahui.
Energi 100 120J efektif dan dapat diberikan pada takiaritmia yang lain. Kardioversi tidak akan
efektif untuk terapi takikardia junctional atau takicardia ektopik atau multifokal. Sebab ritme ini
disebabkan oleh fokus otonom lebih dari reentry.

3. Pacing, Heart block high-grade dengan bradikardia yang menonjol adalah etiologi cardiac
arrest. Pacing temporer harus dipasang bila heart rate tidak meningkat dengan terapi
farmakologik.. Pacing transcutaneus adalah cara yang mudah untuk meningkatkan rate ventrikel.

4. Akses intravena merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil. Tempat terbaik adalah
vena sentral, vena jugularis interna, vena jugularis externa, vena subclavia, vena femoralis atau
vena perifer dengan kateter panjang, atau pendek tetapi aliran harus lancar.

5. Obat obatan, ikuti ACLS. Obat obat yang dipakai pada keadaan hemodinamik tak stabil,
iskemia atau infark miokard dan aritmia.

57
a. Adenosine, untuk mengkonversi PSVT ke irama sinus, waktu paruh 5 menit, memperlambat
A-V konduksi nodal, menginterupsi jalur reentry A-V node. Ini dapat pula digunakan untuk
membantu membuat diferensial diagnosis supraventricular tachycardia ( misalnya atrial flutter
dengan rapid response versus PSVT). Dosis 6mg dengan bolus IV cepat. Bila PSVT tak berhasil
diatasi, dapat diberikan suntikan kedua dengan dosis 12mg. Pada anak anak dosis 0.1mg/kg;
doisi ulang o.2mg/kg; dosis maksimal 12mg.

b. Amiodarone obat yang paling bermanfaat dalam ACLS. Memiliki sifat sifat antiaritmia,
memperpanjang aksi potensial, blokade kanal natrium, kronotropik negatif. Obat ini sangat
efektif dan tidak memiliki efek prodisritmik, sehingga disukai sebagai antidisritmia pada
gangguan fungsi kardiak yang berat. Dosis untuk VF dan VT yang tidak stabil, 300mg
diencerkan dalam 20 30 ml NaCl 0.9% atau Dextrose 5% secara cepat. Untuk pasien dengan
kondisi lebih stabil dosis 150mg diberikan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan infus
1mg/menit selama 6 jam kemudian 0,5mg/menit. Dosis maksimal adalah 2g sehari. Efek
samping yang timbul segera adalah bradikardia dan hipotensi. Pada anak anak dosis loading
5mg/kg, dosis maksimum 15mg/kg/hari. Indikasi penggunaan amiodarone adalah: (1) VT tidak
stabil (2) VF sesudah gagal dilakukan defibrilasi elektrik dan terapi adrenalin. (3)
Mengendalikan laju jantung selama VT yang monomorphic, Vtpolymorphik (4) Mengendalikan
laju ventrikel pada aritmia atrium yang tidak berhasil dengan terapi digitalis. Atau bilamana
takikardia sekunder oleh jalur lain. (5) Bagian dari kardioversi elektrik PSVT yang refrakter atau
takikardia atrial.

c.Atropine bermanfaat pada bradikardia atau A-V block. Ini meningkatkan laju irama sinus dan
meningkatkan konduksi A V node oleh karena efek vagolitik.

Dosisi atropine untuk bradikardia atau A-V block adalah 0.5mg diulang tiap 3-5 menit sampai
dososis total 0.04mg/kg. Untuk asystole, atropine diberilan 1mg bolus diulang tiap 3 5 menit
bila perlu.

Blok vagal total dicapai bila dosis kumulatif 3mg. (PALS:0.02mg/kg; dosis minimal 0.1mg,
dosisi maksimal 0.5mg pada anak, 1.0mg pada adolesence

d. Beta blocker (atenolol, metoprolol dan propanolol) sudah dipakai untuk pasien pasien dengan
unstable angina, infark miokard. Obat obat ini mengurangi iskemia rekurens, reinfark nonfatal,
VF postinfark. Kontrast dengan Penghambat calcium, beta blockers bukan inotrop negatif direk.
Esmolol, berguna pula untuk terapi akut PSVT, AF, Atrial flutter, ectopic atrial tachycardia. .
Dosis initial dan lanjut bila tolerans adalah: atenolol, 5mg selama 5 menit, ulangi sekali pada
10menit; metoprolol, 5mg sebanyak tiga kali setiap 5menit; propranolol, 0,1mg/kg dibagi dalam
tiga dosis setiap 2 -3 menit; esmolol, 0.5mg/kg dalam 1menit dilanjutkan dengan infus mulai dari
50mikrogram/menit.dan titrasi sampai 200mikrogram/menit. Kontraindikasi adalah heart block
derajat dua atau tiga, hipotensi dan congetsive heart failure berat. Atenolol dan metoprolol, relatif
lebih beta-1 blocker, lebih disukai daripada propranolol pada pasien dengan jalan napas reaktif.

58
Sebagian besar pasien dengan penyakit obstruktif menahun, umumnya tolerans terhadap beta-
blockers.

e. Calcium diindikasikan pada pasien cardiac arrest hanya bilamana dicurigai ada hiperkalemia,
hipermagnesemia, hipocalcemia, atau toksik karena calcium channel blockers. Calcium chloride
5 10 mg/kg IV, dapat diulang bila perlu. (PALS: 20mg/kg)

f. Calcium channel blockers: Verapamil dan diltiazem melambatkan konduksi dan


meningkatkan masa refrakter di AV-node. Keduanya dipakai untuk mengobati PSVT narrow
complex yang tidak respons terhadap manuver vagal atau adenosine. Keduanya dapat pula
dipakai untuk mengendalikan laju respons ventrikel pada AF atau atrial flutter. Dosis verapamil
initial adalah 2.5 5.0 mg IV , dengan dosis selanjutnya 5 sampai 10mg IV diberikan tiap 15
30 menit. Diltiazem diberikan dengan dosis initial bolus 0.25mg/kg sampai 0.35mg/kg dan infus
5 -15mg/jam bilamana perlu. Efek samping hipotensi, eksaserbasi congestive heart failure,
bradikardia. Hipotensi dapat direverse dengan Calcium Chloride 0.5 1.0g IV

g. Dopamine memiliki aktifitas dopaminergik (pada dosis kurang dari 2mikrog/kg/menit), beta-
adrenergik (pada 2 5 mikro/kg/menit), dan alpha adrenergik (pada 5 10mikro/kg/menit). Tapi
efek adrenergik tersebut dapat terjadi pada dosis terendah sekalipun. Mulai dengan
150mikro/menit dan titrasi sampai efek yang diinginkan (urine, tekanan darah meningkat, heart
rate meningkat).

h. Epinephrine masih merupakan terapi farmakologik utama pada cardiac arrest , meskipun
sedikit bukti akan memperbaiki survival. Efek vasokonstriksi alpha-adrenergik pembuluh
noncerebral dan noncoroner menimbulkan kompensasi shunting darah ke otak dan jantung. Dosis
tinggi tidak dianjurkan karena dapat ikut menimbulkan disfungsi miokard.

Dosis tinggi diindikasikan pada overdosis beta-blockers atau Ca-channel blockers. Dosis yang
dianjurkan adalah 1.0mg IV, ulangi tiap 3-5 menit, atau pemberian infus 1-4mikro/menit.
Epinephrine juga dipakai untuk bradikardia simptomatik (PALS: bradikardia 0.01 mikro/kg;
pulse arrest: 0.01mg/kg)

i.Isoproterenol adalah beta-1 dan beta-2 agonist adrenergik. Ini merupakan obat second line
untuk mengatasi bradikardia yang tidak responsive terhadap atropine dan dobutamin dimana
pacemaker temporer tidak tersedia. Aktivitas beta-2 dapat menyebabkan hipotensi. Isoproterenol
diberikan dengan IV 2 10mikro/menit, dititrasi untuk mencapai heart rate yang diinginkan.

j. Lidocaine dapat bermanfaat mengendalikan (bukan profilaksis) ektopik ventrikel selama


infark miokard akut. Dosis initial cardiac arrest adalah 1.0 1.5 mg/kg, dan ini dapat diulang 0.5
0.75mg/kg bolus setiap 3 5 menit sampai dosis total 3mg/kg. Infus kontinyu lidocaine 2
sampai 4 mg/menit diberikan setelah resusitasi berhasil. Dosis lidocaine harus diturunkan pada
pasien dengan cardiac outpu menurun, fungsi hepar terganggu, atau umur lanjut. (PALS: 1mg/kg;
infus, 20 -50mikro/kg/menit).

59
k. Magnesium adalah kofaktor dalam bermacam reaksi enzim termasuk Na, K-ATP ase.
Hipomagnesemia dapat mencetuskan VF yang refrakter sekaligus eksaserbasi hipokalemia.
Penggantian magnesium efektif untuk torsade de pointes akibat pemberian obat. Dosis untuk
keadaan segera 1 2 g dalam Dekstrose5% dalam 1 -2 menit. Efek samping dengan pemberian
cepat adalah hipotensi dan bradikardi (PALS: 25-50mg/kg, dosis maksimal 2g).

l.Oksigen (100%) harus diberikan pada semua pasien cardiac arrest, dengan/ tanpa napas bantu.

m.Procainamide mungkin bisa dipertimbangkan pada pasien pasien dengan yang masih ada
cadangan fungsi ventrikel. Loading dose adalah 20mg/menit sampai aritmia dapat tersupresi,
timbul hipotensi, kompleks QRS melebar 50% dari nilai asal atau dosis total 17mg/kg tercapai.
Bila aritmia dapat diatasi, infus maintenance 1 4 mg/menit harus dimulai, dosis kurangi bila
ada gagal ginjal.

n.Natrium bikarbonat pada cardiac arrest dapat memperburuk karena dapat menimbulkan
asidosis intraselular paradoksal. Ini dapat dipertimbangkan bila standar protokol ACLS gagal
dengan adanya asidosis metabolik berat, dan ini bisa membantu terpai hiperkalemia atau
keracunan anti depressant tricyclic.. Dosis awal 1mEq/kg IV, dengan dosis berikut 0.5mEq/kg
diberikan setiap 10menit (dipandu dengan nilai pH dan PaCO2). (PALS: 1mEq/kg)

o. Vasopressin, sebuah antidiuretik dan pressor bisa dipakai untuk pengganti dosis 1 dan dosis
2 epinefrin, pada terapi pulseless arrest (40unit IV), lebih efektif daripada epinefrin, konstriksi
otot polos vaskular pada dosis tinggi. Lebih efektif dalam mempertahankan coronary perfusion
pressure dan half life lebih panjang 10 20 menit.

6. Open chest direct cardiac compression bila ada sumber daya yang memadai untuk pengelolaan
trauma tembus dada, trauma abdominal dengan cardiac arrest, pericardial tamponade,
hypothermia, or pulmonary embolism. Kompresi langsung juga diindikasikan untuk pasien
pasien dengan kelainan antomi pada dada yang menyebabkan kompressi dada tertutup sulit.

7. Pengakhiran RJP. Tidak ada guidelines yang mutlak menentukan kapan mengehentikan
resusitasi yang tidak berhasil, tetapi peluang survival kecil setelah berlangsung 30menit. Ini
merupakan keputusan yang harus diambil oleh dokter yang bertugas untuk menentukan kapan
kardiovaskular gagal merespons bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjut dan bahwa
pasien telah meninggal.

8. Pernyataan do not resuscitate (DNR) menempatkan anestesiologist sebagai posisi kunci


pada masa intraoperatif dan postoperatif. Tidak berarti bahwa DNR berlaku pada masa
perioperatif. Pedoman tertulis khusus untuk institusi harus direview. Kelanjutan tindakan
resusitasi pada pasien dengan DNR harus disesuaikan dengan harapan pasien.

60
Resusitasi pada Pediatri

A. Basic Life Support. Kebutuhan untuk RJP pada pediatri setelah masa neonatus jarang.
Cardiac arrest pada pediatri biasanya karena hipoksemia terkait dengan gagal napas atau
obstruksi jalan napas. Pediatri meliputi infants ( usia 1bulan sampai 1tahun), anak anak (1
sampai 8 tahun). Untuk anak anak lebih besar dari 8tahun, resusitasi sama dengan dewasa.
Perbedaan resusitasi pada anak anak dan dewasa:

1. Airway dan breathing. Tindakan menjaga jalan napas sama dengan dewasa. Anak anak
kurang dari 1tahun, abdominal thrust tidak digunakan karena mudah merusak traktus digestif.
Hiperekstensi kepala leher neonatus head tilt/chain lift dapat menimbulkan obstruksi jalan napas.
Kompressi submental saat chin lift dapat menimbulkan obstruksi jalan napas karena lidah
terdorong ke dalam faring. Ventilasi harus diberikan secara lambat dengan tekanan jalan napas
rendah guna mencegah distensi gaster dan harus diberikan volume ventialsi yang baik

2.Circulation. Pada infant arteri brachialis dan arteri fmoralis dipakai untuk menilai denyut,
karena arteri karotis sulit diraba. Tidak ada denyut, kompresi dada dimulai dengan ratio
kompresi/relaksasi 1:1. dengan dua ujung jari atau dengan memegang sedemikian rupa sehingga
dengan kedua ujung ibu jari. Tempat tumpuan kompresi adalah di sternum satu jari dibawah
garis intermamiler. Pada anak lebih besar tempat tumpuan sama dengan dewasa, kompressi
dilakukan hanya dengan satu tangan menekan sternum sedalam 1/3 sampai kedalaman
anterior posterior torak. Untuk satu penolong ratio kompresi/ventilasi 30:2. Untuk dua penolong
15:2. Pernapasan diberikan 8 sampai 10 kali permenit, dan kompressi dada diberikan dengan
kecepatan 100 per menit.

B. Pediatric advanced life suppot. Sebagian terbesar cardiac arrest pediatri menunjukkan
gambaran EKG asistole atau bradikardia daripada aritmia ventrikel. Pada anak kurang 1tahun,
etiologi adalah idiopatik atau pernapasan. Perbedaan anatomi dan fisiologi dewasa dan anak anak
memerlukan setting defibrilator dan dosis obat berdasarkan berat.

1.Intubasi. Ukuran ETT berdasarkan pada usia pasien (= 4 +(usia/4) untuk anak anak usia
diatas 2 tahun. Gunakan ukran lebih kecil untuk ETT dengan cuff. Atropine, epinephrine,
lidocaine, atau nalokson dapat diberikan melalui ETT sebelum ada akses vena.

2. Defibrilasi. Defibrilator paddles untuk infant adalah dengan diameter 4,5cm dan untuk anak
lebih besar 8cm. Untuk alat monophasic dan biphasic level energi 2J/kg untuk awal shock dan
4J/kg satu level paling rendah yang sebelumnya telah menunjukkan keberhasilan. Hipoksema,
asidosis dan hipotermia harus dipertimbangkan sebagai penyebab arrest yang dapat diobati bila
upaya defibrilasi tidak berhasil. Untuk kardioversi mulai dengan energi 0,2J/kg, dinaikkan
sampai 1J/kg bila diperlukan.

61
3. Akses intravena. Akses vena sentral lebih disukai, tetapi bila ada jalur IV perifer harus segera
dipakai jangan ditunda2. Vena femoralis masih bisa dipakai denga kateter khusus yang cukup
panjang. Cara intraosseus dapat dipakai pada anak anak, dengan jarum khusus ditusukkan ke
bagian spongiosa tibia hindari epiphysis tibia, mencapai akses sinus vena sumsum tulang. Bila
tak satupun diatas tersedia, dapat diberikan melalui ETT dengan pengenceran 2 5 ml NaCl.

4.Medikasi. Semua obat yang dipakai pada ACLS dewasa dapat diberikan pada anak anak
(PALS) disesuaikan berat badan anak.

Resusitasi Neonatus. Neonatus adalah usia 28hari pertama kehidupan. Sesorang yang sudah
mahir dalam resusitasi neonatus harus hadir pada setiap persalinan. Resusitasi dibagi dalam 4
fase: stimulasi dan suctioning, ventilasi, kompressi dada dan pemberian obat dan cairan
resusitasi. Resusitasi sering diperlukan pada operasi Cesar emergensi atas indikasi fetal distress.
Dokter anestesi harus mengambil alih dalam terapi bayi baru lahir sampai ahli anak tiba.

A. Penilaian. Resusitasi segera neonatus merupakan hal yang sulit, karena hipoksemia berat
akan terjadi dengan cepat dan akan timbul ulang pada asidosis respirasi, sirkulasi fetal resisten
dan right-to-left shunt. Neonatus yang membutuhkan resusitasi cenderung mengalami rihgt-to-
left shunt.

1. Apgar score merupakan penilaian obyektif kondisi fisiologik bayi baru lahir pada 1 dan 5
menit sesudah lahir.

2. Apgar score 0-2 harus dilakukan RJP. Skor 3-4 memerlukan ventilasi bag dan mask dan
mungkin memerlukan resusitasi lebih lanjut. Suplemen oksigen dan stimulasi secara normal
cukup untuk bayi dengan skor 5 7. aktifitas respirasi harus dievaluasi dengan mengamati
gerakan dada dan auskultasi. Heart rate (HR) diperiksa dengan auskultasi atau perabaan
pembuluh umbilicalis.

1. Stimulasi dan suctioning. Tempatkan dalam lingkungan hangat untuk menghindarkan heat
loss dan exacerbasi asidosis. Letakkan dalam posisi Trendelenberg dengan posisi sniffing
untuk membuka airway dan mempermudah drainase sekresi. Mulut dan hidung harus di suction
(dengan alat khusus) untuk mengeluarkan darah, mukus, meconium. Suction paling lama
10detik, dan oksigen diberikan antara 2 upaya suction. Selama suction, denyut jantung harus
dipantau, terhadap timbulnya bradikardia akibat hipoksemia, refleks vagal atau stimulasi faring.
Suctioning dan mengeringkan merupakan stimulasi pernapasan yang adekuat. Cara lain
adalah secara lembut menggosok punggung atau menepuk telapak tumit kaki. Bayi lahir dengan
meconium dalam air ketuban, ahli obstetri melakukan suction jalan napas saat kepala lahir tetapi
torak belum lahir (intrapartum suctioning), tapi cara ini secara rutin tidak memberikan hasil lebih

62
baik terhadap risiko aspirasi, karna itu sudah tidak dianjurkan lagi. Suction melalui ETT tak
manfaat untuk bayi yang usaha napas kuat, tonus otot bagus, heart rate >100 kali/menit. Suction
melalui ETT harus dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan meconium dan diulangi
sampai trakea bersih. Tiap suction harus singkat untuk cegah bradikardia.

2. Ventilasi. Sesudah stimulasi dan stabilisasi, bayi yang bernapas dan HR

>100/menit tetapi tampak sianosis sentral ( wajah, tubuh dan membran mukosa), harus diberikan
suplemen oksigen. Sianosis akral (hanya dikaki dan tangan) biasanya normal dan tidak reliabel
menilai indikator hipoksemia. Ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% bila apnea, sianosis
dan HR <100x/menit. Bag dan mask harus dupayakan awal. Napas awal bisa memerlukan airway
pressure 30-40cm H2O tahan selama 2 detik. Semua napas harus dijaga dengan tekanan serendah
mungkin (pastikan paru mengembang dan cegah distensi lambung). Lakukan terus napas bantu
sampai napas spontan adekuat dan HR>100x/menit. ETT dipasang bilamana ventilasi dengan
mask tidak efektif, memerlukan suction melalui ETT (aspirasi meconium), atau memerlukan
ventilasi berkepanjangan.

3.Kompressi dada. Untuk HR <100, harus dievaluasi setelah pemberian ventilasi adekuat
dengan oksigen 100% selama 30detik. Bila HR <60 kompresi dada harus juga dilakukan
disamping bantuan napas. Dilakukan pada sepertiga bawah dari sternum, dan kompressi dada
sedalam 1/3 kedalaman antero-posterior. Kompressi dan ventilasi harus dikoordinasikan dengan
ratio 3:1, dengan 90kompressi dan 30 napas sehingga dalam 1 menit diperoleh 120 kali upaya.
Kompressi dihentikan seiap 30detik untuk menilai ulang respirasi, HR, warna dan harus
dilanjutkan terus sampai HR spontan >60x/menit

4.Pemberian obat obat dan cairan resusitasi . Obat obat resusitasi harus diberikan bila HR
masih <60x/menit kalaupun ventilasi sudah adekuat dengan oksigen 100% dan kompressi dada.
Vena umbilikalis, terbesar dan tertipis diantara 3 pembuluh darah dalam tali pusat, merupakan
akses vaskuler untuk resusitasi neonatus. Bila tak ada akses vaskuler, epinephrine, atropine,
lidocaine, naloxone, larutkan dalam 1 2 mL. dapat diberikan melalui ETT.

5.Dosis obat dan cairan

a. Suplemen oksigen harus diberikan pada waktu ventilasi tekanan positif. Berikan oksigen bila
napas spontan, tetapi ada sianosis sentral. Dianjurkan untuk tidak memberikan oksigen 100%
dalam waktu lama.

b. Epinephrine. Efek -adrenergik dari epinephrine meningkatkan HR selama resusitasi


neonatus. Indikasi pada asistol dan bradikardia<60 x/menit sekalipun sudah dengan ventilasi
tekanan positif dan kompressi dada. Dosis 0.01-0.03mg/kg larutan 1:10.000 IV. Melalui ETT
0.1mg/kg. Dosis dapat diulang setiap 3-5 menit, sesuai kebutuhan.

63
c.Naloxon adalah antagonis spesifik untuk opiate diberikan bila ada depressi napas pada
neonatus sekunder karena pemberian narkotik pada ibunya. Dosis 0.1mg/kg. Harus selalu
diobservasi akan timbulnya ulang depressi atau terjadai reaksi withdrawal.

d. Pemberian Sodium bicarbonate secara rutin tidak dianjurkan. Dapat dipertimbangkan selama
arrest yang berkepanjangan untuk mengatasi depressi fungsi miokard dan penurunan kerja
katekolamin yang ditimbulkan oleh asidosis. Perdarahan intraventrikuler pada bayi prematur
terjadi karena beban osmolar yang terjadi karena pemberian Na-bikarbonat. Preparat untuk
neonatus 4.2% atau 0.5mEq/mL dapat menghindarakan efek samping diatas. Dosis awal
1mEq/kg intavena diberikan selama 2menit. Selanjutnya 0.5mEq/kg diberikan setiap 10menit
dan pH dan PaCO2 harus selalu diperiksa.

e. Atropine, Calcium, Glucose tidak dianjurkan pada resusitasi neonatus kecuali dengan indikasi
khusus.

f. Cairan. Hipovolemia harus dipertimbangkan pada perdarahan peripartum atau bila hipotensi,
nadi lemah, tetap pucat sekalipun sudah dilakukan oksigenasi dan kompressi dada. Cairan yang
digunakan kristalloid 10ml/kg dan diulang bila perlu. Pemberian volume expander seperti
albumin secara cepat dapat menimbulkan perdarahan intraventrikuler.

MODUL 4 : KEDOKTERAN PERIOPERATIF I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1 dan2 )

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

64
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian 4 minggu (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang BEDAH (Bedah, Kebidanan dll)

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
3. Millers Anesthesia 6th ed 2005.
4. Perioperative Medicine, Gillman, J,1998
5. Perioperative Care, Stone,DJ,2004

1. Tujuan Pembelajaran Umum :


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didikan akan memiliki pengetahuan dan
keterampilan melakukan evaluasi, mempersiapkan anestesia, melakukan asuhan pasca bedah

65
untuk pasien ASA 1 dan 2 yang dilakukan pembedahan untuk mengurangi morbiditas bedah,
meningkatkan kualitas asuhan perioperatif dan menghemat biaya.

2. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

a. Kognitif

i. Memahami arti kedokteran perioperatif.


ii. Mampu menjelaskan tentang tanggapan fisiologi terhadap pembedahan dan
anesthesia.
iii. Mampu menjelaskan indikasi dan menilai hasil pemeriksaan laboratorium
hematology, fungsi ginjal, fungsi hati dan endokrin.
iv. Mampu menjelaskan indikasi dan menilai hasil pemeriksaan foto toraks dan EKG.
v. Mampu mengidentifikasikan riwayat penyakit atau kelainan pasien preoperative
yang mempengaruhi jalannya anestesi.
vi. Mampu menentukan dengan benar status fisik pasien berdasarkan klasifikasi ASA.
vii. Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan.
viii. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesi
umum.
ix. Mampu menjelaskan breathing circuit mesin anestesia pada anestesia umum.
x. Mampu menjelaskan dan meninterpretasikan hasil monitor.
xi. Mampu menjelaskan tanda-tanda kegawatan pasien.
xii. Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah

b. Psikomotor

i. Mampu melakukan pencatatan hal-hala penting yang terkait dengan tindakan


anestesia umum dalam rekan medik preoperative.
ii. Mampu mempersiapkan alat anestesia umum.
iii. Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar.
iv. Mampu memasang alat monitor dengan benar.
v. Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan
segera sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia.
vi. Mampu melakukan pencatatan rekam medik anestesia secara benar pada tindakan
yang dilakukan pada butir 2.
vii. Mampu melakukan penanggulangan nyeri pasca bedah.

c. Komunikasi/hubungan interpersonal

i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan
menghormati.

66
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien kepada sejawat senior atau
konsulen.
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta
risiko yang bisa terjadi.
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim diantara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar operasi.
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan
rasa tidak nyaman pasca bedah.

d. Profesionalisme

i. Mampu bekerja sesuai prosedur.


ii. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi.
iii. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedik dan tenaga
kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing.
iv. Mampu menjaga kerahasian pasien.
v. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya
tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.
vi. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

3. Key notes

a. Sasaran utama asesmen medik pra bedah dan pra prosedur pasien yang akan
menerima anestesia adalah untuk menurunkan angka kematian bedah, meningkatkan
kualiytas asuhan medik tetapi menurunkan biaya asuhan perioperatif dan pasien
kembali dengan fungsi yang diinginkan secepat mungkin.
b. Evaluasi dasar untuk pra bedah dan pra prosedur adalah data yang memperlihatkan
kondisi pasien dan optimasi asuhan perioperatif yang menjadi prediktor
signifikan untuk kematian pasca bedah.
c. Evaluasi pra bedah dan pra prosedur mengajukan oportuniti untuk memotivasi pasien
agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih tinggi dengan demikian memperbaiki
outcome secepatnya dan peningkatan jangka panjang.
d. Tiga area riwayat cepat yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah toleransi
latihan, riwayat penyakit sekarang dan kapan kunjungan akhir pasien ke rumah sakit
(primary care physician).
e. Tiga aspek riwayat menahun yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah
pengobatan alasan pemakaiannya serta alergi; riwayat sosial, termasuk obat (drug),
alkohol, pengunaan rokok dan penghentiannya; riwayat keluarga dan penyakit
sebelumnnya.
f. Tiga aspek pemeriksaan fisik adalah, jalan napas, kardiovaskular dan evaluasi paru.

67
g. Pada umumnya, tidak banyak benefit yang didapat tes laboratorium yang tak
terindikasi, dan tes sebaiknya dicadangkan untuk yang condong menghasilkan
meningkatkan mengobatan atau pencegahan problem potensial.
h. Prosedur bedah yang luas mempengaruhi kebutuhan tes rutin sedangkan prosedur
dengan risiko ringan tidak atau sedikit memerlukan tes diagnostik.

4. Pokok Bahasan
a. Definisi Kedokteran Perioperatif
b. Perubahan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan
c. Pemeriksaan laboratorium darah, fungsi ginjal, fungsi hati, dan endokrin
d. Membaca foto toraks dan elektrokardiogram
e. Faktor-faktor yang menentukan risiko perioperatif
f. Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia)
g. Penatalaksanaan Anestesia Umum
h. Monitoring
i. Pengelolaan pasca anestesia
j. Pengelolaa nyeri pasca bedah (Modul Pengelolaan Nyeri)

5. Waktu : Semester I 3 SKS

6. Metode:

a. Pretest

i. Jelaskan tanggapan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan.


ii. Jelaskan manfaat kunjungan pasien preoperative.
iii. Jelaskan dan berikan contoh tentang klasifikasi status fisik menurut American
Society of Anesthesiologist (ASA).
iv. Jelaskan persiapan pasien sebelum anestesi umum pada operasi berencana.
v. Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus
dipersiapkan untuk melakukan anestesi umum.
vi. Jelaskan pemantuan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama
tindakan anestesia umum.
vii. Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan.
viii. Jelaskan cara mengakhiri tindakan anesthesia.
ix. Jelaskan pengelolaan pasien pasca anestesia termasuk penanggulangan nyeri.

b. Kognitif

i. Kuliah pendahuluan

68
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis masalah
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien

c. Psikomotor

i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah

d. Komunikasi/hubungan interpersonal

i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah

e. Profesionalisme
i. Pengelolaan pasien berdasarkanmasalah

7. Sumber Pembelajaran
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet
8. Media
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi

9. Alat Bantu
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi

10. Evaluasi
a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments

11. Kata-kata Kunci


69
a. Kedokteran perioperatif
b. Risiko periopertif
c. Kunjungan praanestesi
d. Status fisik ASA
e. STATICS
f. Pemantauan periopertatif
g. Penanggulangan nyeri

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. DEFINISI KEDOKTERAN PERIOPERATIF

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESI

3. KUNJUNGAN PRAANESTESI

4. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


GINJAL

6. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


ENDOKRIN

8. MENILAI HASIL FOTO TORAKS

9. MENILAI HASIL EKG

10. MENENTUKAN STATUS FISIK ASA

11. PERSIAPAN PRAANESTESI DI KAMAR


OPERASI:

A. Persiapan mesin anestesi

B. Persiapan STATICS

C. Persiapan obat-obatan dan cairan Infus

D. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

70
E. Pemantauan selama anestesia

F. Pengelolaan pasca bedah di ruang pulih

G. Penanggulangan nyeri


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

71
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

72
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

73
MODUL 5 : KEDOKTERAN PERIOPERATIF II

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian 4 minggu (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

LCD Projector dan screen

Laptop

OHP

Flipchart

Video player

Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

Ruang belajar

Ruang pemeriksaan

Ruang Pulih

Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut

Kasus : pasien di ruang PACU

74
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

3. Millers Anesthesia 6th ed 2005.

4. Perioperative Medicine, Gillman, J,1998

5. Perioperative Care, Stone,DJ,2004

1.Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
pengetahuan dan ketrampilan melakukan anestesia umum dan anestesi regional

2.Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
kemampuan:

a. Kognitif

i.Mampu mengidentifikasikan riwayat penyakit atau kelainan pasien preoperative yang


akan mempengaruhi jalannya anestesia
ii.Mamapu menilai dan mengoptimalkan kondisi penyakit atau kelainan pasien perioperatif
iii.Mampu menjelaskan indikasi dan hasil pemeriksaan CT scan kepala, toraks dan
abdomen, serta Echocardiografi
iv.Mampu menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diperlukan berdasarkan
kondisi pasien
v.Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan
vi.Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesi
umum maupun anestesia regional
vii.Mampu menjelaskan dan meninterpretasikan hasil monitor
viii.Mampu menjelaskan tanda-tanda kegawatan pasien
ix.Mampu menjelaskan pengelolaan pencegahan terhadap komplikasi pasca bedah
x.Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah

75
xi.Mampu menjelaskan indikasi pasien rawat ICU

b. Psikomotor

i. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting yang terkait dengan tindakan anestesia
dalam rekam medik preoperative
ii. Mampu mengoptimalkan kondisi pasien dengan riwayat penyakit atau kelainan
preoperatif
iii. Mampu mempersiapkan alat anestesia umum atau regional yang diperlukan
iv. Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar
v. Mampu melakukan tindakan anestesia umum yaitu premedikasi, induksi, intubasi
trakhea atau LMA atau sungkup muka, pemeliharaan anestesia, dan pengelolaan pasca
anestesia
vi. Mampu melakukan tindakan anestesi regional (Biers, SAB) dan pengelolaan pasca
anestesianya
vii. Mampu memasang alat monitor invasif dan non invasif dengan benar
viii. Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan segera
sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia
ix. Mampu melakukan pencatatan rekam medik anestesia secara benar pada tindakan
yang dilakukan pada butir 2
x. Mampu melakukan penanggulangan nyeri pasca bedah
xi. Mampu menilai pasien yang indikasi rawat ICU

c. Komunikasi/hubungan interpersonal

i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien dan kemungkinan untuk
dilakukan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien kepada sejawat senior atau konsulen
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko
yang bisa terjadi
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim diantara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar operasi
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan rasa
tidak nyaman pasca bedah
vi. Mampu memperoleh kemudahan agar pasien dapat di rawat di ICU atau ruang rawat
lain sesuai kondisi pasien pasca bedah

d. Profesionalisme

i. Mampu bekerja sesuai prosedur


ii. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi

76
iii. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedik dan tenaga
kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing
iv. Mampu menjaga kerahasian pasien
v. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien
vi. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien

3. Key-notes

i.. Faktor kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol dan ketergantungan
merupakan problem yang harus dipertanyakan dan menjadi konsideran dalam
persiapan perioperatifp

ii. Penyakit penyerta selainan bedah yang akan menentukan nilai ASA menyadi
pertimbangan tersendiri dalam persiapan perioperatif.

iii. Obat yang diberikan pada pasien sebelum pembedahan dapat berinteraksi dengan
obat-obat yang akan diberikan selama anestesi yang menjadi pertibangan apakah
diteruskan , dihentikan atau perubahan dosis selama perioperatif.

4. Pokok Bahasan

a. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang seperti CT scan dan echocardiografi


b. Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia)
c. Penatalaksanaan Anestesia Umum
d. Penatalaksanaan Anestesia Regional (Modul Anestesia Regional I dan II)
e. Monitoring
f. Pengelolaan pasca anestesia
g. Pengelolaa nyeri pasca bedah (Modul Pengelolaan Nyeri)
h. Pengelolaan ICU (Modul Intensive Care I)

4. Waktu : Semester II

5. Metode:

a. Pretest

i. Jelaskan indikasi pemeriksaan echocardiografi


ii. Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan kelainan paru obstruktif dan restriktif
pada operasi berencana dan darurat

77
iii. Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan riwayat diabetes mellitus pada operasi
berencana dan darurat
iv. Jelaskan cara mengoptimalkan pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner
pada operasi berencana dan darurat
v. Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus
dipersiapkan untuk melakukan anestesi umum ataupun regional
vi. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama
tindakan anestesia umum ( pada butir 2-4)
vii. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada tindakan anaestesia regional (pada
butir 2-4)
viii. Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan
ix. Jelaskan cara mengakhiri tindakan anestesia
x. Jelaskan pengelolaan pasien pasca anestesia termasuk penanggulangan nyeri
xi. Jelaskan indikasi masuk pasien ke ICU

b. Kognitif

i. Kuliah pendahuluan
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis masalah
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien

c. Psikomotor

i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah

d. Komunikasi/hubungan interpersonal

i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah

e. Profesionalisme

i. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah

6.Sumber Pembelajaran

a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet

78
7. Media

a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi

8. Alat Bantu

a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
9. Evaluasi

a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments

10. Kata-kata kunci

a. status fisik ASA

b. penyakit paru obstruktif dan restriktif

c. diabetes mellitus

d. fungsi ventrikel kiri

e. pemantauan invasive dan non invasive

f. pengelolaan pasca bedah

g. pengelolaan nyeri

h. Intensive Care Unit

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

79
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. DEFINISI KEDOKTERAN PERIOPERATIF

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESI

3. KUNJUNGAN PRAANESTESI

4. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


GINJAL

6. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


ENDOKRIN

8. MENILAI HASIL FOTO TORAKS

9. MENILAI HASIL EKG

10. MENENTUKAN STATUS FISIK ASA

11. PERSIAPAN PRAANESTESI DI KAMAR


OPERASI:

A. Persiapan mesin anestesi

B. .Persiapan STATICS

C. PERSIAPAN OBAT-OBAT DAN CAIRAN INFUS

D. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

E. Pemantauan selama anestesia

F. Pengelolaan pasca bedah di ruang pulih

G. Penanggulangan nyeri


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

80
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. PERSIAPAN PRAANESTESI

a. Penilaian hasil laboratorium

b. Penilaian hasil Foto toraks

c. Penilaian hasil EKG

d. Penilaian hasil CT scan kepala/ toraks/ abdomen

e. Penilaian hasil Echocardiografi

f. Optimalisasi kondisi pasien

2. PERSIAPAN DI KAMAR OPERASI

a. Persiapan STATICS

b. Persiapan mesin anestesi

c. Persiapan peralatan anestesi regional

d. Persiapan dan pemasangan alat monitor noninvasif

f. .persiapan dan pemasangan alat monitor invasif

h. PEMANTAUAN SELAMA ANESTESI

i. Pencegahan dan pengelolaan segera kegawatan selama


anest

3. PENGELOLAAN PASCA BEDAH

a. Penanggulangan nyeri

b. Indikasi rawat ICU

81

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

82
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

83
MATERI ACUAN

11. URAIAN:
11.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anestesia/pembedahan,
dalam anestesi/pembedahan dan sesudah anestesi/pembedahan.
b. Ruang lingkup
Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anestesia dan
pembedahan, pengaruh anestesia dan pembedahan terhadap fisiologi tubuh dan risiko
maupun komplikasi yang diakibatkannya.
a. Risiko Perioperatif
Risiko yang berhubungan dengan anestesia dan pembedahan dapat diklasifikasikan
dalam:
1. risiko yang berhubungan dengan kondisi pasien
2. risiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. risiko yang berhubungan fasilitas termasuk sumber daya manusia di rumah sakit
4. risiko yang berhungan dengan obat atau teknik anestesia
c. Tanggapan fisiologi yang terjadi akibat pembedahan :
1. Pengaruh langsung obat anestesi terhadap sekresi hormone-hormon: ACTH,
cortisol, antidiuretik, tiroid, katekolamin, system renin-angiotensin-aldosteron,
insulin dan metabolisme glucose.
2. Pengaruh langsung obat anestesi terhadap system respirasi dan kardiovaskuler
d. Penilaian prabedah meliputi:
1. penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya
2. mengidentifikasi factor-faktor risiko anestesi, dan bila bermakna pasien harus
diberitahu
3. mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesi dan
pembedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb.
4. menentukan status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA)
5. merencanakan teknik anestesi dan pengelolaan perioperatif seperti terapi cairan dan
transfusi darah
6. menmperkenalkan diri kepada pasien agar dapat megurangi kecemasan dan akan
mempermudah dalam melakukan induksi anestesi
7. memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan atau dihentikan
pada hari pembedahan
8. mempersiapkan obat-obat premedikasi
d. Instruksi praanestesi kepada perawat ruangan harus tertulis dengan jelas meliputi:
1. pemeriksaan penunjang tambahan
2. lamanya puasa
3. persiapan darah atau produk darah, golongan darah dan jumlah yang diperlukan
4. jenis obat yang harus terus diberikan atau dihentikan pada hari pembedahan

84
5. terapi inhalasi pada pasien PPOK atau riwayat asma
6. pemasangan infus dekstrosa pada pasien diabetes
7. obat premedikasi: dosis, cara dan waktu pemberian
e. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan:

1. pemeriksaan darah lengkap

2. urinalisis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah)

3. ureum, kreatinin, elektrolit: pada pembedahan besar

4. EKG: umur > 40 tahun

5. Foto toraks: umur > 60 tahun

6. uji fungsi hati: pada pembedhan besar pasien umur > 50 tahun

f. Pemeriksaan penunjang berdasakan indikasi:


1. Pemeriksaan darah lengkap:
i. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya
ii. Gangguan ginjal
iii. Pasien dalam kemoterapi
2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit
i. Gangguan/penyakit hati dan ginjal
ii. Gangguan metabolik, seperti diabetes mellitus
iii. Riwayat diare, muntah
iv. Kondisi nutrisi buruk
v. Persiapan usus prabedah
vi. Riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretika, antihipertensi, steroid,
obat anti diabetes
3. Gula darah
i. Diabetes mellitus
ii. Penyakit hati berat
4. Elektrokardiogram
i. Hipertensi, penyakit jantung atau penyakit paru kronik
ii. Diabetes mellitus
5. Foto toraks
i. Gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru
ii. Penyakit jantung
6. Analisis gas darah arteri
i. Obesitas
ii. Pasien dengan gangguan nafas
iii. Penyakit paru sedang sampai berat
iv. Sakit kritis atau sepsis
v. Bedah toraks
7. Uji fungsi paru
i. Bedah toraks

85
ii. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkhiektasi, penyakit
paru restriksi
8. Uji fungsi hati
i. Penyakit hepatobilier
ii. Riwayat peminum alkohol
iii. Tumor dengan kemungkinan metastase ke hati
9. Uji hemostase dan koagulasi darah
i. Penyakit/kelainan darah
ii. Penyakit hati berat
iii. Koagulopati apapun sebabnya
iv. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
10. Uji fungsi tiroid
i. Riwyat penyakit tiroid
ii. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
iii. Bedah tiroid
11. Uji fungsi jantung: Echocardiography
i. Penyakit jantung
ii. Kelainan EKG yang bermakna
g. Terapi cairan perioperatif
1. menilai volume intravaskuler
i. pemeriksaan klinik
1. kesadaran
2. turgor kulit, suhu ujung-ujung ekstremitas
3. tekanan nadi, laju nadi, tekanan darah terhadap perubahan posisi
4. urin output
5. tampak perdarahan atau kehilangan cairan (muntah)
ii. pemeriksaan laboratorium
1. kadar hemoglobin dan hematokrit
2. kadar urea dan elektrolit
3. analisis gas darah, laktat darah
4. BJ urin, natrium urin
iii. pengukuran hemodinamik
1. tekanan vena sentral
2. tekanan arteri pulmoner
3. saturasi vena sentral
2. terapi cairan selama pembedahan
i. cairan pemeliharaan
ii. cairan pengganti defisit
iii. cairan pengganti perdarahan
3. terapi cairan pasca bedah: dapat diberikan berdasarkan
i. pembedahan non digesti dengan anestesia regional
ii. pembedahan minor non digesti dengan anestesia umum
iii. pembedahan mayor, atau pembedahan digestif

4. jenis cairan
i. cairan kristaloid

86
1. cairan hipotonik
2. cairan isotonik
3. cairan hipertonik
ii. cairan koloid
1. cairan koloid sintetik
a. cairan starch
b. cairan gelatin
2. cairan koloid derivat darah
a. human albumin
b. fraksi protein plasma

11.2. Kompetensi terkait dengan modul/ List of skill

Persiapan pra anestesi


Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Penentuan status fisik menurut ASA
Terapi cairan
Penanggulangan nyeri

Penilaian kapasitas fungsional pasien

Pasien yang akan menjalani operasi dan anestesi wajib dikunjungi oleh seorang anestesiolog.
Hal-hal yang harus dilakukan adalah :

Riwayat anestesia
Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai.
Melakukan evaluasi hasil pemeriksaan laboraturium
Anestesiolog sebaiknya membiarkankan pasien untuk mengajukan pertanyaan.
Mencatat kegelisahan pasien
Menginformasikan rencana pembiusan

Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal berikut yang ditemukan pada anamnesis

1. Riwayat penyakit terdahulu, operasi dan pembiusan sebelumnya.


2. Terapi obat-obatan seperti kortikosteroid, insulin, obat
antihipertensi, transquillizers, antidepresan trisiklik, antikoagulan, barbiturat, diuretik dan
alergi obat.
3. Gejala-gejala yang berhubungan dengan sistim respirasi, seperti
batuk, sputum, bronkospasme, kemampuan untuk mengeluarkan lendir.

87
4. Sistem kardiovaskuler : toleransi latihan, nyeri angina,
dekompensasi cordis, hipertensi yang tidak diterapi.
5. Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan anestesi
untuk mengurangi mual muntah pasca operasi
6. Riwayat kehamilan dan menstruasi.
7. Kebiasaan pasien ; merokok, minum alkohol, adiksi obat.
Penilaian preoperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang
komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog.

Pada pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan klinis yang lengkap, terutama

1. Tanda-tanda penyakit pernafasan : pola dan karakter pernafasan seperti dispneu, adanya
suara tambahan pada auskultasi, jari tabuh, sianosis. Gejala-gejala tambahan yang perlu
didiskusikan lagi pada kondisi-kondisi tertentu, seperti :

Nyeri tulang atau kelemahan otot pada keganasan.


Kelemahan umum, demam atau kehilangan berat badan pada TBC
Semua pasien harus ditanyakan mengenai kebiasaan merokok.

Pemeriksaan fisik

Warna dan kualitas suara harus dicatat


Mengi yang terdengar harus bisa dideteksi
Dispneu
Perhatian secara khusus harus berikan pada pola, ekskursi dan simetrisitas dari
gerakan pernafasan.
Adanya suara tambahan pada pasien yang tidak memiliki penyakit pernafasan
(ronchi) memberikan peringatan bahwa kaliber bronkus abnormal.
Rales atau crackles disebabkan oleh penutupan mendadak atau kolaps dari jalan
nafas. Keadaan ini terjadi di awal inspirasi pada pasien dengan obstruksi jalan
nafas dan pada akhir pernafasan jika berhubungan dengan penyakit paru restriktif.
Beberapa manifestasi penyakit paru dapat dideteksi, seperti : penggunaan otot-
otot tambahan dan tracheal tug adalah manifestasin dispneu berat, kecemasan dan
kegelisahan dapat disebabkan oleh hipoksia, hipertensi, berkeringat, vasodilatasi
perifer dan kebingungan dapat terjadi pada pasien dengan retensi CO2 akut.

Tes-tes yang tidak memerlukan peralatan

88
Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fungsi pernafasan dan terkadang
direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana
yang dapat dilakukandalam klinik adalah :

a. Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas
dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30
detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15
detik mengindikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi.
b. Tes Snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inci dari depan mulut.
Ketidakmampuan melakukan tes Snider mengindikasikan forced expiratory volume dalam
satu detik kurang dari satu liter.

2. Tanda-tanda penyakit jantung.

Penyakit jantung yang serius hampir selalu berhubungan dengan gejala dan tanda yang jelas
seperti nyeri dada sewaktu aktivitas, dispneu, hemoptisis, sinkope, palpitasi dan edema. Tetapi
iskemik miokardium akut dapat terjadi tanpa gejala yang jelas.

Pemeriksaan fisik

Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin
pada pembuluh darah kapiler.
Sianosis perifer berhubungan dengan peningkatan ekstraksi oksigen pada jaringan
berhubungan dengan penurunan aliran darah kapiler pada kulit. Hal ini terjadi saat cardiac
output menurun ; pada pasien yang normal ; berhubungan vasokonstriksi perifer saat terpapar
dingin.Pada sianosis sentral, kulit tetap hangat dan perubahan warna juga terlihat pada lidah
akibat tercampurnya darah yang mengalami desaturasi dan yang mengalami oksigenasi pada
jantung, pembuluh darah besar atau paru-paru.
Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi
volume dan karakter gelombang nadi hana dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis.
Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal
5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin dapat berubah akibat pembesaran
jantung atau faktor ekstrakardiak lain. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting
dibanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut.
Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara
jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi.
Murmur adalah bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik
tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat-tempat tertentu. Diastolik
murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murmur sistolik dengan tanpa
adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organik.
Adanya thrill mengindikasikan adanya penyakit jantung organik.

89
3. Status Gizi : obesitas atau malnutrisi

4. Warna kulit, terutama pucat, sianosis, kuning atau pigmentasi.

5 Status psikologis pasien, derajat kecemasan.

6. Jalan nafas,

Nilai kesulitan saat mempertahankan jalan nafas dan laringoskopi.


Nilai gigi-geligi seperti gigi yang menonjol atau ompong, tambalan atau mahkota gigi
terutama pada bagian depan.
Adanya hal-hal tersebut diatas perlu dicatat dan pasien biasanya diperingatkan
adanya kemungkinan untuk rusak
6. Kemudahan untuk kanulasi.

Investigasi

Secara umum diterima bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisik adalah metode terbaik untuk
skrining yang terbaik untuk menentukan adanya suatu penyakit. Sebelum meminta suatu
pemeriksaan yang lebih lanjut, seorang anestesiolog harus bertanya pada dirinya sendiri,
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :

Apakah investigasi ini menyedialan informasi yang tidak bisa disingkap oleh
pemeriksaan fisik ?
Apakah hasil dari pemeriksaan akan mengubah penatalaksanaan pasien ?

Perlu dicatat bahwa hal-hal ini hanya merupakan panduan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan
penilaian yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan klinis.

Anestesiolog disarankan untuk tidak menerima pasien pembedahan elektiof sampai investigasi
yang sesuai tersedia. Tes sederhana yang diindikasikan adalah sebagai berikut :

1. Tes urin, terutama gula, keton dan protein


1. Kadar hemoglobin, hitung jenis, waktu perdarahan dan pembekuan (BT/CT) dan golongan
darah.
2. Kadar ureum dan elektrolit tidak dibutuhkan secara rutin pada pasien kurang dari 50
tahun, akan tetapi harus diambil pada keadaan-keadaan berikut :
Jika terdapat riwayat diare, muntah, atau penyakit metabolik
Adanya penyakit ginjal atau hepar, diabetes, atau status nutrisi yang abnormal
Pada pasien yang mendapat medikasi diuretik, digoksin, antihipertensi, steroid,
atau obat hipoglikemik.
3. Tes fungsi liver diperlukan hanya pada pasien dengan :

90
Penyakit hepar
Status nutrisi abnormal atau penyakit metabolik
Riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (>80 g/ hari)
4. Konsentrasi gula darah

Pengukuran gula darah diperlukan pada pasien yang mempunyai penyakit diabetes
atau penyakit vaskular atau sedang mendapat terapi kortikosteroid.

5. Status sickle

Pasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan adanya
hemoglobinopathy hendaknya dilakukan pengukuran konsentrasi hemoglobin dan
elektroforesis hemoglobin

6. Analisa gas darah

Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispnea saat istirahat dan
pada pasien dengan rencana akan dilakukan torakotomi elektif

7. Roentgen thoraks

Roentgen thoraks tidak diperlukan secara rutin pada pasien di bawah usia 60
tahun tetapi harus dilakukan pada situasi :
1. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisik penyakit jantung atau penyakit
respirasi.
2. Jika terdapat kemungkinan metastasis dari karsinoma
3. Sebelum operasi thoraks
4. Pada imigran yang baru, dalam 12 bulan terakhir dari negara-negara dengan
endemik TBC
Roentgen thoraks umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua
pasien dengan penyakit paru. Hal-hal yang penting adalah apakah terdapat deviasi
trakhea atau distorsi, apakah terdapat deformitas pada dinding thoraks, dan
apakah terdapat kelainan lokal pada paru-paru atau pleura yang mungkin
terlewatkan pada pemeriksaan fisik.
Roentgen thoraks seringkali kurang memperlihatkan adanya kelainan fungsi paru

9. Fungsi paru

Tes fungsi paru dilakukan sebagai tambahan, bukan sebagai pengganti penilaian klinis.
Tes ini diindikasikan ketika diperlukan :

1. Melihat asal/ penyebab kelainan pulmoner, terutama pada sekitar dimana


beberapa kelainan mungkin berkontribusi pada diasabilitas
2. Untuk menilai berapa besar derajat kelainan yang sering sebagai dasar untuk
terapi
3. Untuk mengerti lebih lanjut mengenai patologi fisiologi
91
Tes fungsi paru yang sederhana, seperti forced expiratory volume dalam satu detik
(FEV 1.0), forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow rate dapat
langsung dilakukan di tempat tidur pasien menggunakan spirometer berukuran
paket dan Wright peak flowmeter.

Rasio FEV1.0 : FVC menurun pada penyakit paru obstruktif dan normal pada penyakit
restriktif.

Investigasi Fuller meliputi pemeriksaan FRC, RV dan TLC.

10. Elektrokardiogram

EKG 12 lead hendaknya diperiksa pada situasi-situasi berikut :

a. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisik penyakit penyakit jantung


b. Adanya penyakit hipertensi
c. Pada semua pasien dengan usia di atas 40 tahun.

11. Bedside pulse oxymeter

Pengukuran saturasi oksigen arterial udara nafas dan konsentrasi oksigen tinggi
memberikan indeks pertukaran gas pulmoner yang cepat dan berguna

12. Echogardiogram

Ini merupakan tes noninvasif yang sangat berguna yang memperlihatkan abnormalitas
anatomi dari jantung, menilai fungsi ventrikel dan gradien tekanan yang melalui katup
yang mengalami stenosis, dan mendeteksi adanya regurgitasi valvular. Ini dapat
dilakukan di tempat tidur pasien, tetapi memerlukan perlengkapan yang mahal dan
operator yang terlatih.

13. Pemeriksaan khusus yang lain yang mungkin diperlukan ketika diindikasikan

Penilaian status fisik

ASA mengklasifikasikan pasien kedalam beberapa tingkatan berdasarkan kondisi pasien :

ASA I : Pasien tidak memiliki kelainan organik, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri.

92
ASA II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan
di terapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainnya. Misalnya : penyakit organik
ringan pada jantung, diabetes, hipertensi ringan, anemia, kegemukan, bronkitis kronis ringan.
ASA III : keterbatasan melakukan aktivitas; pasien dengan gangguan sistemik berat atau
karena penyakit apapun penyebabnya, walaupun mungkin belum bisa dinilai derajat
kemampuannya, misalnya angina, diabetes berat, dan gagal jantung.

ASA IV : Penderita dengan kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, tidak selalu
dikoreksi dengan operasi, misalnya insufisiensi jantung, angina persisten, insufisiensi renal atau
hepatik.

ASA V : Penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa
operasi.

ASA VI : Penderita mati batang otak yang organ-organnya dapat digunakan untuk donor.

Klasifikasi E merupakan penjelasan untuk operasi darurat (emergency)

Klasifiksai ASA merupakan sistem yang secara umum sering digunakan untuk menilai status
fisik pasien, walaupun ahli anestesi yang lain tidak selalu setuju dengan klasifikasi ini.
Klasifikasi ini tidak dapat dipakai untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan penyakit
jantung koroner berat.

Penilaian resiko

Penilaian preoperatif mengenai resiko harus dititikberatkan pada 2 hal:

1. Apakah pasien dalam keadaan optimal untuk dianestesi?

2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari resiko anestesi dan pembedahan akibat
penyakit yang ada ?

Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki ( misalnya, penyakit
paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda, dan diberikan terapi yang
sesuai.

Terdapat hubungan antara menilai faktor-faktor preoperatif dan perkembangan morbiditas dan
mortalitas pasca operatif. Mungkin pada beberapa pasien dapat diukur secara tepat, tetapi tidak
dapat diterapkan secara tepat untuk masing-masing individu. Keputusan untuk meneruskan
penatalaksanaan hanya dapat dibuat setelah adanya diskusi antara ahli bedah dan anestesiolognya

93
Pada studi mortalitas dalam skala besar, umumnya, faktor-faktoir yang memberikan kontribusi
pada mortalitas anestesi meliputi :

1. Penilaian yang tidak adekuat selama periode preoperatif.

2. Supervisi dan monitoring yang tidak adekuat selama periode intraoperatif.

3. Penatalaksanaan dan supervisi postoperatif yang tidak adekuat.

1.Kebiasaan pasien

Merokok

Efek yang merusak dari merokok meliputi penyakit vaskular perifer, sirkulasi koroner dan
serebral, karsinoma paru dan bronkitis kronik. Mer

Merokok harus dihentikan 6 minggu sebelum operasi untuk meminimalisasi komplikasi paru
selama pembedahan, termasuk di antaranya infeksi, laringospasme dan bronkospasme.
Penghentian selama 12 jam sebelumnya mencegah efek samping dari CO dan nikotin pada
pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung. Berhenti selama beberapa hari akan memperbaiki
aktivitas siliar. Merokok juga dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Pada anak-anak yang
secara pasif terpapar dengan rokok, terjadi peningkatan insiden komplikasi jalan nafas, jika
dilakukan pembiusan.

Alkoholisme

Pada pasien dengan alkoholisme kronik, dapat terjadi toleransi dengan beberapa obat anestesia
seperti eter, terjadi resistensi terhadap obat-obatan anestesia.

94
Alkohol dieliminasi dengan oksidasi di hati tetapi juga dapat menginduksi enzim-enzim yang
memetabolisme obat-obatan, sehingga respon terhadap obat tidak dapat diperkirakan.

Dapat terjadi vasodilatasi perfifer, kardiomiopati, sirosis dan perioperative withdrawal crisis
(delirium tremens)

Alkohol sebaiknya tidak dihentikan saat menunggu operasi. Anestesi regional sebaiknya
dipertimbangkan namun fungsi koagulasi mungkin abnormal.

Untuk mencegah gejala withdrawal, pemberian alkohol 8-10% dalam NaCl 0,9% 500 ml dalam
beberapa jam dapat menolong.

To prevent withdrawal symptoms 8 10 % alcohol in salin 500 ml i.v. for over several hours
may be helpful.

Ketergantungan Obat (Narkotik)

Pasien-pasien ini dapat memanipulasi gejala-gejalanya untuk mendapatkan pembedahan dan


narkotik postoperatif, atau mengganggu proses penyembuhan luka untuk memperpanjang lama
perawatan di rumah sakit.

Tromboflebitis dan abses multipel dapat timbul akibat penyuntikan obat yang tidak higienis,
sehingga terapi intravena melalui vena sentral.

Sepsis, tbc, endokarditis, hepatitis B dan HIV / AIDS, lazim ditemukan.

Penderita dapat resisten terhadap semua obat sedatif/ narkotik.

Hipotensi umumnya terjadi selama operasi berlangsung. Gejala withdrawal narkotik termasuk
kram, muntah dan diare, dan dapat menyerupai obstruksi intestinal.

Adiksi obat (lainnya)

9-tetrahidronnabinol, dari kanabis, menyebabkan takikardia, hipertensi, dan eksaserbasi oleh


atropin atau anestetik lokal yang mengandung adrenalin. Kokain dapat menyebabkan iskemia

95
miokard dan kardiomiopati. Adiksi amfetamin dapat meningkatkan dosis anestetik yang
diperlukan.

96
MODUL 6 : PERSIAPAN ALAT DAN OBAT
ANESTESIA

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1 dan2 )

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian 4 minggu (facilitation & assessment)


kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi kuliah: CD PowerPoint
1. Persiapan alat2 dan obat2 untuk anestesia umum dan anestesia regional

2. Setup alat anestesia, alat infus, syringe pump, infusion pump

3. Setup alat monitor noninvasif dan invasif (option)

4. Persiapan alat2 dan obat2 dengan kelainan sistemik jantung, PPOK, ginjal,

hepar, diabetes mellitus, toksik tiroid

5.Obat2 dan alat alat untuk emergensi dan resusitasi

6. Rekam medik terkait tehnik, alat dan obat anestesia.

Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan

97
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : Alat alat, mesin anestesia dan obat obat virtual, boneka simulasi bila ada.
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
Bacaan yang dianjurkan

2. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical


Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Book/McGraw -
Hill; 2006

Peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk sub-modul
Persiapan alat dan obat anestesi yang lain.

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan
melakukan persiapan alat alat dan obat obat anestesia umum dan anestesia regional.

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:

1. KOMPETENSI

Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan persiapan alat alat
dan obat obat anestesia umum maupun regional secara tepat dan memadai , persiapan monitoring
yang memadai untuk mencegah kemungkinan akibat komplikasi lebih berat dan penanggulangan
secara dini bila terjadi komplikasi serta untuk penatalaksanaan pasca anestesia.

RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

98
Kognitif

1. Mampu mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien preoperatif yang akan


mempengaruhi persiapan alat dan obat anestesia.
2. Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan serta
alat dan obat2 yang diperlukan
3. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesia
umum atau anestesia regional.
4. Mampu menjelaskan secara umum cara kerja mesin anestesia, flowmeter, vaporizer, alat
monitor, kateter intravena, set infus cairan, set transfusi darah, set infus tetes mikro, set
infus tetes makro, alat syringe pump, infusion pump, mesin pengisap (suction) dan
kelengkapannya.
5. Mampu menjelaskan setup mesin anestesia secara benar, breathing circuit mesin
anestesia, termasuk filter, susunan vaporizer secara benar, trouble shooting sederhana,
pemeliharaan mesin dan accesoriesnya.
6. Mampu menjelaskan pemasangan dan menginterpretasikan hasil monitor
7. Mampu menjelaskan tanda tanda yang mengarah kegawatan pasien, alat alat dan obat
obat yang diperlukan
8. Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah, alat dan obat2 yang dibutuhkan.
9. Mampu menjelaskan alat alat dan obat yang dibutuhkan untuk transport pasien dan bila
pasien indikasi rawat ICU

Psikomotor

1. Mampu melakukan pencatatan hal hal penting dalam rekam medik preoperatif terkait
dengan alat alat dan obat obat yang dipakai dalam tindakan anestesia.
2. Mampu mempersiapkan dan memasang alat/ mesin anestesia dengan benar
3. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat alat dan obat untuk tindakan anestesia
umum, mulai premedikasi, induksi, intubasi atau laringeal mask airway(LMA) atau
intubasi atau sungkup muka , pemeliharaan anestesia, dan pengelolaan pasca anestesia
tehnik intravena total, anestesia inhalasi, anestesia balans, sungkup muka, tehnik intubasi,
sungkup muka, LMA
4. Mampu mempersiapkan dan mengoperasikan syringe pump, infusion pump, defibrillator.
5. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat alat dan obat obat untuk anestesia
regional, tehnik epidural, spinal atau blok syaraf lain.
6. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat alat dan obat obat untuk keadaan
emergensi dan resusitasi.
7. Mampu memasang dan menggunakan alat pemantau non invasif dan invasif dengan
benar
8. Mampu melakukan pencatatan rekam medik terkait alat dan obat anestesia yang dipakai
dalam anestesia secara benar
9. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk penanggulangan nyeri pasca bedah
10. Mampu mempersiapkan alat dan obat pada transportasi pasien masuk ICU.

Komunikasi/ Keterampilan interpersonal

99
1. Mampu menjelaskan tentang alat alat dan obat obat yang diperlukan pada tindakan
anestesia kepada orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
2. Mampu memberikan penjelasan kepada sejawat senior dan atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, kebutuhan obat2an, kebutuhan alat
alat dalam upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif
dan kebutuhan alat alat dan obat obat yang dibutuhkan terhadap kemungkinan resiko
yang dapat timbul.
4. Mampu menciptakan kondisi kerja sama tim diantara semua petugas kesehatan yang
terlibat dikamar bedah.
5. Mampu memberi penjelasan kebutuhan alat dan obat obat untuk penanggulangan nyeri
dan rasa tidak nyaman pasca bedah.
6. Mampu menjelaskan kebutuhan alat alat dan obat obat yang diperlukan untuk transportasi
dan perawatan di ICU.

Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur


2. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi dengan melakukan
persiapan alat alat dan pemberian obat secara benar dan memadai.
3. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedik dan tenaga
kesehatan lain atas dasar menghargai dan menghormati kompetensi masing masing.
4. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang alat alat dan obat
obat yang dibutuhkan sesuai kondisi pasien dan terhadap kemungkinan komplikasi
5. Memahami dan melaksanakan hal hal yang menjadi hak pasien (informed consent)
6. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien

2. KEYNOTES

1. Sebelum memulai melakukan setiap tindakan anestesia harus selalu diperiksa

kelayakan Mesin anestesia: Sistem perpipaan gas dan udara tekan rumah sakit

(bila ada),tabung gas portabel, flow meter, vaporizer, Fresh Gas Flow,

breathing circuit, katub inspirasi, katub ekspirasi, pop-off valve, reservoir bag.

2. Harus selalu dipikirkan untuk kemungkinan timbul masalah difficult airway

sehingga persiapan Alat alat airway management basic dan advanced dan

difficult airway selalu siap pakai.

3. Alat untuk akses vaskular perifer dan sentral, alat alat infus, syringe pump,

infusion pump dipersiapkan sesuai kebutuhan.

100
4. Alat monitor fungsi vital respirasi, kardiovaskular, suhu, merupakan

pemantauan baku yang harus tersedia.

5. Kesiapan alat alat dan obat obat untuk emergensi resusitasi harus selalu dicek

secara rutin dalamkeadaan siap pakai

6. Alat dan obat obat untuk penanggulangan nyeri.

3. GAMBARAN UMUM

Rencana anestesia harus dibuat agar secara optimal dapat mengakomodasikan kondisi fisiologik
pasien, termasuk penyakit saat ini, riwayat penyakit, riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat
anestesi dan kesiapan psikologik, gangguan atau keterbatasan aktifitas. Rencana preoperatif yang
tidak adekuat dan kesalahan dalam persiapan pasien merupakan sebab paling sering timbulnya
komplikasi anestesia, termasuk persiapan alat dan obat obat yang diperlukan. Alat alat tersebut
meliputi mesin anestesia, alat alat monitor, alat alat untuk emergensi dan resusitasi sekaligus
obat obat yang diperlukan. Bila obat atau alat tidak tersedia akan menimbulkan masalah.
Keterlambatan dalam penanggulangan karena kurangnya fasilitas atau persiapan tidak baik akan
dapat berakibat buruk sampai kematian. Pengertian akan mekanisme kerja alat dan obat obat
anestesia merupakan pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki calon spesialis anestesiologi.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:

1. Mempersiapkan alat alat dan obat obat yang dipergunakan dalam anestesia umum atau
anestesia regional secara tepat dan benar.
2. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat alat dan obat obat anestesia
secara benar
3. Melakukan persiapan alat alat dan pelaksanaan monitoring
4. Melakukan persiapan alat dan obat obat untuk transportasi pasien ke ICU

5. METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references) tentang alat alat dan jenis obat obat anestesia

101
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan alat alat anestesia
3. Cara menilai kesiapan alat alat anestesia.

Tujuan 1: mempersiapkan alat alat dan obat obat yang dipergunakan dalam anestesia
umum atau anestesia regional secara tepat dan benar

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pemasangan mesin anestesia sampai
siap pakai, sesuai check-list
2. Pengetahuan dan keterampilan dalam memasang mesin anestesia, untuk semiclosed
maupun semiopen system.
3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menetapkan alat2 dan obat2 anestesia regional
(spinal, epidural, kaudal, blok saraf ekstermitas atas dan bawah)

Tujuan 2:. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat alat dan obat obat
anestesia secara benar

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
4. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: Mengetahui, dan mampu menilai laik atau tidak
1. Sistem sumber gas sentral, perpipaan gas oksigen dan N2O bila fasilitas ada,
sampai sistem tersambung ke mesin anestesia.
2. Sistem aliran gas, flow-meter , vaporizer dalam mesin anestesia , breathing circuit
anesthesia.

Tujuan 3 : Melakukan persiapan alat alat dan pelaksanaan monitoring

Metode pembelajaran
1. Small group discussion

102
2. Bedside teaching

3 .Task-based medical education

Materi dan ketrampilan yang harus dikuasai:

Melakukan pemasangan alat monitoring untuk respirasi, kardiovaskular, metabolik dan


kesadaran.
Mampu menggunakan alat alat adn obat obat untuk keadaan keadaan emergensi dan
cardiac arrest
Mampu melakukan interpretasi terhadap kemungkinan gangguan fungsi alat

Tujuan 4 : Melakukan persiapan alat dan obat obat untuk transportasi pasien ke ICU

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Praktik klinik

Materi dan ketrampilan yang harus dikuasai :

Mengetahui prinsip dasar transportasi pasien kritis


Mengetahui alat monitor , obat obat minimal yang diperlukan untuk transportasi pasien
kritis

6. MEDIA

1. Kuliah
Kuliah khusus Persiapan Obat dan Alat Anestesia untuk anestesia umum

dan regional. .

2. Demo praktek pemasangan alat: mesin anestesia, monitor, syringe pump,


infusion pump, defibrillator dll.

3. Diskusi kelompok
4. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
5. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas, dikaitkan dengan keberadaan alat dan obat2an.
6. Continuing Profesional Development (CPD)

103
7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest
terdiri atas :

1. Persiapan alat, obat ,


2. Pengecekan alat anestesia umum, regional, monitor dan obat2an dan alat alat lain,
syringe pump, infusion pump, defibrillator dan lain lain.
3. Tehnik pemasangan dan penggunaan alat anestesia pada butir 2
4. Pemasangan monitoring fungsi vital dan interpreatsi hasil monitor.

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada pasien bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

104
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

1. Jelaskan tentang manfaat persiapan alat2 dan obat2 anestesia.


2. Jelaskan tentang set up mesin anestesia
3. Jelaskan tentang persiapan alat dan obat2 dan cairan untuk anestesia umum dan
anestesia regional
4. Jelaskan tentang alat monitor selama anestesia umum dan regional
5. Jelaskan tentang alat alat dan obat emergensi dan resusitasi.
6. Jelaskan apa saja yang harus dimonitor selama tindakan anestesia
7. Sebutkan tanda tanda pada monitor yang menunjukkan kegawatan mengancam nyawa.
atau alat yang tidak berfungsi baik
8. Jelaskan peralatan dan obat yang harus ada untuk transportasi pasien kritis
9. Jelaskan peralatan dan obat untuk pasien pasca anestesi
10. Jelaskan operasional alat alat tersebut diatas.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. KnowledgeKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments

105
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PERSIAPAN ALAT DAN OBAT


ANESTESIA.

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur persiapan alat Sudah Belum


dan obat dilakukan dilakukan

PERSIAPAN ALAT DAN OBAT2

1 Menentukan jenis alat dan obat yang diperlukan


untuk anestesia umum

2 Menentukan jenis alat alat dan obat yang diperlukan


untuk beberapa jenis anestesia regional

3 Menentukan jenis alat monitor yang diperlukan


untuk anestesia umum dan anestesia regional

4 Mengetahui indikasi untuk penggunaan alat syringe


pump dan infusion pump

5 Melakukan setup mesin anestesia, alat alat monitor,


dan syringe dan infusion pump, mesin pengisap
(suction)

ANESTESIA

1 Alat dan obat untuk induksi (intubasi, LMA)

2 Alat dan obat untuk Anestesia regional blok syaraf

3 Alat dan obat untuk Anestesia intravena

4 Alat untuk Pemberian cairan dan tranfusi

106
5. Alat untuk Pemanatauan fungsi vital, kesadaran,
kardiovaskuler, pernafasan. Tekanan darah, nadi,
Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada),
jumlah urine, suhu

6. Alat dan obat untuk Tindakan ekstubasi

PASCA BEDAH

7 Alat dan obat untuk mencegah dan menangani


komplikasi pasca bedah

8 Alat dan obat untuk transportasi pasien kritis

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standar atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinik 1 2 3 4 5

107
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN:

Persiapan alat dan obat anestesia

Pasien yang akan menjalani anestesi pada operasi elektif / darurat harus dilakukan
pemeriksaan preoperatif ; anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, informed
consent, penetapan status fisik ASA dan lakukan persiapan anestesia

108
( puasa, rencana premedikasi), termasuk persiapan alat dan obat obat yang diperlukan selama
tindakan anestesia.

Persiapan alat alat dan obat obat anestesia:

8. Mesin anestesia. Sebelum memeriksa mesin anestesia, lebih dulu periksa apakah sistem
sumber gas tersebut sentral atau tidak( tabung gas portabel ada pada mesin anestesia).
Periksa dulu sistem tersebut apakah sudah terhubung baik dengan mesin. Selanjutnya
periksa kerja flow- meter, vaporizer, katub inspirasi dan katub ekspirasi apakah berfungsi
dengan baik. Katub APL (adjustable pressure limit) valve, anesthetic breathing circuit,
Reservoir bag, CO2 absorber canister apakah telah terpasang dengan baik. Setelah itu
periksa apakah ada kebocoran gas atau uap dalam sistem circuit mesin tersebut. Perlu harus
diingat bila kondisi sudah menjadi rutin pengecekan ini sering dilupakan.
9. Alat alat yang diperlukan untuk anestesia umum: airway (oral, nasal), sungkup muka, LMA
(laringeal mask airway), laringoskop, pipa endotrakeal, Magill Forceps, stylet(introducer),
tape, stetoskop, konektor pipa endotrakeal dengan mesin, pipa nasogatrik. Alat pengisap
(suction) harus diperiksa berfungsi baik.
10. Obat obat anestesia umum, intravena( pentothal, propofol, ketamine) dan inhalasi N2O,
halothane, ethrane, isoflurane, sevoflurane..
11. Alat alat untuk anestesia regional: jarum jarum untuk anestesia spinal, jarum epidural,
kateter epidural atau jarum khusus lain untuk anestesia regional tertentu seperti blok
pleksus syaraf.. Bila ada perlu disiapkan nerve stimulator/nerve locator. Obat anestetik
lokal seperti lidokain, bupivakain.
12. Obat emergensi seperti oksigen, adrenalin, sulfas atropin, efedrin, aminofilin, steroid, obat
anti aritmia (lidokain, amiodaron), loop diuretics, inotropik, vasopressor(norepinephrine),
obat2 hipotensive (nitroglycerin, nitropruside), antikonvulsan (diazepam, pentothal
MgSO4), pelemas otot, obat antidotum( naloxon, anticholinesterase dan bila ada
flumazenil, dantrolen), Natriumbicarbonate, Calcium gluconas, Calcium chlorida, KCl,
morphine dan opioid lain, fentanyl, pethidine.
13. Alat untuk emergensi : (set Ambu bag dengan kelengkapannya) alat Defibrillator.
14. Alat alat untuk menanggulangi dificult intubation ( Glidescope, Brochoscope) termasuk
peralatan trakeosotmi merupakan option.
15. Cairan kristalloid dan kolloid termasuk jarum/kateter infus dan set infusnya. Obat obat
yang diberikan parenteral harus disiapkan tetesan mikro, syringe pump, atau infusion
pump.
16. Alat monitor standar non invasif seperti EKG, NIBP, saturasi O2, suhu, ETCO2 harus
dipersiapkan dan dicek layak pakai atau tidak. Alat monitor invasif dipersiapkan sesuai
indikasi saja.
17. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pasang jalur intravena pasang jalur infus dan jalankan infus Lakukan
anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau anestesia regional sesuai modul
anestesia regional. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau intramuskuler atau
inhalasi.Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, O2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu,
aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urine, jumlah perdarahan.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesi dan relaksasi. Akhir operasi
yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pasca bedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat
109
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran
anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap
komplikasi pasca bedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan
nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih
sadar. Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Pastikan rekam medik anestesia dibuat secara baik dan lengkap.

12. REFERENSI

Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

110
MODUL 7 TRAUMATOLOGI I

Mengembankan Kompetennsi Waktu (semester 3)

Sesi di dalam kelas Traumatologi I, adalah suatu rotasi


yang membutuhkan paling sedikit 2
Sesi dengan fasilitas Pembimbing bulan (8 minggu) semester 3 ke atas
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi yang meliputi penanganan trauma
pada tahan awal.

Persiapan Sesi

Audiovisual

LCD projector dan Screen

Laptop

OHP

Flipchart

Video pkayer

Materi prsentasi :

CD Powerr Point

Sarana

Ruang Belajar

Ruang pemeriksaan

Ruanfg Pulih

Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut

Kasus : pasien di ruang Resusitasi di Unit Gawat Darurat

111
Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

REFERENSI

Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Emergency Medicine Manual (to be announced)

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

Manual of Anaesthesia, CY. Lee 2006

1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk
melakukan pengelolaan awal pasien trauma

2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


a. KOGNITIF
1. Mampu menilai dengan cepat kegawatan pada pasien trauma
2. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas
3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas
4. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan syock
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan penurunan kesadaran
6. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan kejang
7. Mampu menjelaskan penatalaksanaan resusitasi cairan
8. Mampu menjelaskan kerja defibrilator dan indikasi defibrilasi
9. Mampu menjelaskan monitoring kontinyu invasif dan non invasif
10. Mampu merencanakan tindakan yang perlu untuk menanggulangi kegawatan
pasien trauma(airway, breathing, syock, defibrilasi)I
11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan keracunan dan dan
penyalahgunaan obat
12. Mampu menjelaskan pemakaian obat obatan emergency dan alat alat bantu
emergency

112
13. Mampu menjelaskan stabilsasi, tansportasi dan rujukan pasien trauma
14. Mampu menjelaskan peranan anetesi sebagai bagian dari emergency team

b. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan penilaian cepat pasien trauma (initial assement/primary
survey)
2. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas sampai paripurna
3. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas dan
memberikan tatalaksana pernafasan mekanik
4. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita syock
5. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran
6. Mampu melakukan penatalaksanaan penedrita kejang
7. Mampu melakukan pemasangan akses vena dengan jarum besar,melalui akses
vena tepi dan sentral (Untuk anak intra osseus)
8. Mampu melakukan penatalaksanaan resusitasi cairan
9. Mampu melakukan cardioversi
10. Mampu melakukan monitoring invasif dan noninvasif kontinyu

c. KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL


1. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat, risiko dan prosedur pertolongan awal korban trauma, stabilisasi dan
rujukan
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter dan tim perawat di alamat rujukan tentang
prosedur yang telah dikerjakan dan upaya rujukan selanjutnya

d. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medik penanganan awal
korban trauma, stabilisasi dan rujukan
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medik penanganan
awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki ketrampilan cukup untuk melakukan
tindakan medik penanganan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan
5. Leader shifting

6. KEY NOTES

1. Asesmen pertama pasien trauma dapat dibagi menjadi, primary survey, secondary
survey dan tetiary survey. Primary survey akan berlang sung 2 5 menit dan

113
mencakup urutan ABCDE trauma : Airway, Breathing, Circulation, Disability
dan Exposure. Resusitasi dan assesmen berlangsung simultan. Resusitasi trauma
mencakup 2 tahap: menghentikan perdarahan dan memperbaiki cedera.
Secondary dan tertiary survey lebih komprehensif mengikuti primary survey.

2. Lima kriteri meningkatkan risiko yang potensial tidak stabil pada tulang
servikal : 1) nyeri leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau
gejala neurologik, 4) intoksikasi, dan 5) penurunan kesadaran. Fraktur tulang
servikal harus dicurigai jika terdapat satu dari kriteria tersebut. Dengan kriteria
ini, kejadian cedera tulang servikal sekitar 2 %. Kejadian ketidakstabilan servikal
meningkat menjadi 10 % pada cedera kepala berat.

3. Hiperekstensi leher dan traksi berlebihan harus dihindarkan walaupun baru


dicurigai adanya ketidakstabilan servikal. Imobilisasi manual kepala dan leher
oleh asisten sebaiknya dipergunakan untuk menstabilkan servikal selama
laringoskopi (manual in-lina-stabilization or MLS).

4. Terapi utama syok hemorhagik adalah resusitasi cairan dan transfusi. Cateter
pendek (multiple short, 1.5 2 in, lubang besar (14 16 gauge atau 7 - 8.5 F)
ditempatkan di vena apa saja yang mudah diperoleh.

1. POKOK BAHASAN

A. Pemeriksaan cepat Survey dan Secondary Survey


B. Kegawatan gangguan nafas
i. Obstruksi jalan nafas
ii. Gagal nafas
iii. Edema paru akut
iv. Apnea
C. Kegawatan ganguan sirkulasi
i. Hipotensi dan hipertensi
ii. Shock hemorrhagik, hipovolemik, kardiogenik, anafilaktik
iii. Aritmia
iv. Infark miokard dan Acute Coronary Syndrome
v. Cardiac arrest
D. Kegawatan gangguan sistem saraf
i. Coma
ii. Cushing response
iii. Space occupying lesion
iv. Intoksikasi
v. Konvulsi
vi. Paresis paralisis

114
E. GAMBARAN UMUM
i. Setelah melalui sesi pada tahan ini peserta didik mampu mengelola
pasien trauma primary survey pada tahap awal

F. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


i. Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui
modul ini, diharapkan peserta didik memiliki kemampuan untuk:
ii. Melakukan survei primer ABCDE (A=Airway, B=Breathing,
C=Circulation, D=Disability, E=Exposure)
iii. Melakukan Resusitasi dan Stabilisasi
iv. Melakukan survei sekunder. Survei sekunder dilakukan bilamana
ABC pasien harus sudah stabil
v. Menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis,
tulang belakang dan ekstremitas.

1. METODE
Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)

2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

3. Ilmu klinis dasar

Tujuan1: melakukan survei primer ABCDE (A=Airway, B=Breathing,


C=Circulation, D=Disability, E=Exposure)

Metode pembelajaran
1. Small group medical education

2. Demo & Coaching discussion

3. Peer assisted learning (PAL)

4. Bedside teaching

5. Task-based
115
6. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Kemampuan mendiagnosis sumbatan jalan nafas, penyebab sumbatan jalan nafas,
melakukan tindakan pembebasan jalan nafas dan menjelaskan penyebab kegawatan
pernafasan pasien trauma.
2. Penilaian kesadaran pasien secara cepat AVPU (A=Awake, V= Verbal /respon bicara,
P= Pain/ respon nyeri, U= Unresposive/tidak ada respon)
3. Tindakan pembebasan jalan nafas: Chin Lift/ Jaw thrust, pemasangan pipa
oro/nasofaring, intubasi endotrakeal, LMA, Krikotirotomi
4. Pemberian oksigen dan melakukan pernafasan buatan (ventilasi)
5. Kemampuan mendiagnosis pasien syok, mencari penyebab syok dan melakukan
tindakan mengatasi syok pada pasien trauma, terutama syok hemoragik/perdarahan
6. Pemasangan dua jalur infus intravena dengan jarum besar (16-14G) dan memberikan
cairan resusitasi

Tujuan 2 : melakukan resusitasi dan stabilisasi

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion

3. Peer assisted learning (PAL)

4. Bedside teaching

5. Task-based

6. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Kemampuan menjelaskan tujuan dan melakukan pemberikan oksigen dan pernafasan


buatan (ventilasi)
2. Penatalaksanaa pasien syok
3. Kemampuan mendiagnosis syok hipovolemik/syok hemoragik, syok kardiogenik,
syok neurogenik, syok septik dan m
4. Penjelaskan penyebabnya.
5. Pemasangan jalur vaskular intravena dan intraarterial, kanulasi vena sentral
6. Tujuan pemberian larutan infus Ringer laktat yang dihangatkan

116
7. Kemampuan menjelaskan tentang tindak lanjut bila ada masalah yang mengancam
nyawa pada survei primer berlanjut

Tujuan 3 : melakukan survei sekunder yang dilakukan bilamana ABC pasien harus
sudah stabil

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Pemeriksaan kepala, batok kepala, kulit kepala, bola mata , telinga, jaringan lunak
periorbita
2. Pemeriksaan leher: luka tembus leher, emfisema subkutan, deviasi trakea, distensi
vena leher
3. Pemeriksaan neurologik : Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan fungsi medula
spinalis, penilaian sen sasi dan refleks
4. Pemeriksaan dada : clavicula, semua tulang iga, suara nafas dan jantung , pemantauan
EKG
5. Pemeriksaan abdomen: luka tembus abdomen yang memerlukan eksplorasi bedah ,
mampu melakukan pemasangan pipa nasogastrik pada trauma tumpul abdomen
6. Pemeriksaan dubur
7. Pemasangan kateter kandung kemih bila tidak ada darah di meatus externus urethrae
8. Pemeriksaan pelvis dan ekstremitas

Tujuan 4 : menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis,
tulang belakang dan ekstremitas

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based

117
6. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Pada trauma multipel, abdomen merupakan bagian tersering yang mengalami cedera,
evaluasi awal terhadap pasien trauma abdomen tetap harus menyertakan A(Airway
and C-Spine), B (breathing), C(circulation), dan D (disability dan penilaian
neurologik) dan E (exposure)
2. Kemampuan menjelaskan jenis trauma abdomen, trauma penetrasi luka tembak, luka
tusuk atau trauma non penetrasi, kompressi, hancur(crash), sabuk pengaman (seat
belt), cedera akselerasi/deselerasi.
3. Indikasi dan kontraindikasi DPL(Diagnostic Peritoneal Lavage)
4. Kemampuan menjelaskan masalah khusus fraktur tulang pelvis
5. Pemeriksaan tonus sfinkter anus, darah dalam rektum, pemeriksaan darah di meatus
urethrae eksterna.
6. Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi dengan segera dan immobilisasi
tulang leher
7. Penilaian tanda tanda fungsi vital dan derajat kesadaran (GCS) secara berulang ulang.
8. Kemampuan menjelaskan tanda klinis trauma tulang belakang, menjelaskan posisi
netral pada waktu pemeriksaan pasien trauma tulang belakang, log rolling, in-line
immobilization, pemasangan stiff cervical colllar.
9. Kemampuan menjelaskan gangguan fungsi otonom pada cedera medula spinalis.
10. Pemeriksaan/keadaan2 yang harus diperiksa, pasien dengan trauma ekstremitas
(warna dan suhu kulit, perabaan nadi distal, tempat tempat yang berdarah, deformitas
ekstremitas, gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif, gerakan ekstremitas tak wajar
dan ada krepitasi, derajat nyeri bagian yang cedera.
11. Sindroma kompartemen pada ekstremitas, penyebab dan terjadi pada kasus trauma
ekstermitas yang bagaimana dan menjelaskan kerusakan jaringan pada sindroma
kompartemen akibat hipoksemia dan akibat reperfusi
12. Pengelolaan cedera ekstremitas dengan tetap memelihara aliran darah ke jaringan
perifer, mencegah infeksi dan nekrosis kulit, mencegah kerusakan pada syaraf
perifer.
13. Penghentian perdarahan eksternal, immobilisai dan mengatasi nyeri.

2. SUMBER PEMBELAJARAN
g. SDM: Dokter Spesialis Anestesiologi sebagai pengajar, pelatih dan penilai
h. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah
Sakit setara Klas B pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c
(Metode)

118
3. MEDIA :
1. Workshop / pelatihan

Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, kanulasi vena dan arteri pada

manekin

2. Belajar mandiri

3. Kuliah

Kuliah khusus Anestesia Traumatologi I ,termasuk semua sub

pokok bahasan dilakukan semester 3 minggu 1.

4. Diskusi kelompok

a. Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif ,


b. Pengelolaan jalan nafas, resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum (intubasi,
LMA), regional
c. monitoring
d. pengelolaan pasca operasi
5. Pemeriksaan preoperatif

6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi

1. Pelatihan resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum dan regional di kamar bedah,
ruang resusitasi pada pasien trauma.
2. Dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)

8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas

9. Continuing Profesional Development (CPD)

4. ALAT BANTU :
1. Manikin dan simulator.
2. Perpustakaan, internet, skill lab

15. EVALUASI

119
15.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest
terdiri atas :

1. Pemilihan/seleksi pasien trauma


2. Survei primer, resusitasi dan stabilisasi, survei sekunder, manajemen trauma
3. Persiapan preoperatif
4. Persiapan alat, obat, pengecekan mesin, pemasangan alat monitor non-invasif dan
invasif
5. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pasien
trauma
6. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
7. Monitoring
8. Pengelolaan pasca anestesia pasien trauma

15.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

15.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

15.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

15.5.Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

15.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

15.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang


120
15.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

15.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

1. Jelaskan Survei Primer ABCDE pada penanggulangan pasien trauma


2. Jelaskan Resusitasi Awal pasien Trauma
3. Jelaskan Survei Sekunder pasien trauma
4. Jelaskan Monitor pada pasien trauma
5. jelaskan indikasi pemasangan kateter urine dan pipa nasogatrik pada pasien
trauma
6. Jelaskan indikasi pemeriksaan Rongent dan diagnosis dari
a. Dada
b. Pelvis
c. C-spine
d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
7. Jelaskan penanggulangan syok hipovolemik
8. Jelaskan penatalaksanaan jalan nafas pada trauma leher
9. Jelaskan diagnosis dan penanggulangan pneumotorak tension
10. Pada pasien trauma jelaskan penyebab syok selain syok hipovolemik.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. KnowledgeKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

121
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

16. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. DEFINISI TRAUMATOLOGI

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT TRAUMA

3. KUNJUNGAN PRA- RESUSITASI

4. KATAGORI TRAUMA (Primary, Secondary atau


Tertiary Survey)

5. MENENTUKAN KELAINAN AIRWAY

6. MENENTUKAN KELAINAN BREATHING

7. MENENTUKAN KELAINAN CIRCULATIOAN

8. MENENTUKAN KELAINAN DISABILITY

9. MENENTUKAN KELAINAN EXPOSURE

10. PERSIAPAN PRA-RESUSITASI UNIT GAWAT


DARU- RAT

a. Persiapan alat-alat resusitasi

b. Persiapan obat-obatan dan cairan Infus

c. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

122
d. Pemantauan selama resusitasi

e. Pengelolaan pasca resusitasi

f. Pelimpahan untuk pengelolaan selanjutnya, ke kamar


bedah, ICU, PACU atau ke bangsal biasa


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

16. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

123
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

124
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

1. MATERI ACUAN

Introduksi :

Pada pasien trauma pertama kali yang dilakukan adalah penilaian survey primer ABCDE, dan
pembebasan jalan nafas. Bila ada dugaan trauma leher, tindakan inline position. Lakukan
pemberian oksigenasi dan ventilasi bila perlu. Pasang akses vena dengan jarum 16-14 G, dan
resusitasi cairan kristalloid hangat. Selanjutnya adalah menghentikan perdarahan eksternal bila
ada.

Setelah ABC aman, lakukan survei sekunder meliputi [emeriksaan fisik kepala sampai
ekstremitas. Pasang monitoring, bila kondisi stabil lakukan pemeriksaan foto thorak, abdomen,
pelvis, C-spine bila perlu ultrasonografi (USG) untuk mendiagnosa adanya trauma dada,
fraktur iga, pneumotorak tension, flail chest, hemotorak, kontusio paru, aspirasi kontusio
miokard, trauma abdomen luka penetrasi, non penetrasi, nyeri abdomen , penyebab tidak jelas.
Pemeriksaan CT scan dilakukan bila ada indikasi seperti trauma kepala. Pemeriksaan DPL,
hematologi, golongan darah dan permintaan komponen darah bila diperlukan.

125
Pasien trauma yang menjalani anestesi harus dilakukan penatalaksanaan preoperatif ;
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, informed consent dan lakukan
persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi). Pasien dewasa elektif dipuasakan 6 8 jam,
anak 2, 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisik ASA. Persiapan anestesia meliputi statics,
obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang dipilih. Setelah semua persiapan
alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia. Lakukan
anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau anestesia regional sesuai modul
anestesia regional untuk pasien bedah digestif. Premedikasi dapat diberikan secara intravena
atau intramuskuler. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb (SpO2), tekanan
darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin,
jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan kateter vena sentral dan jalur intra arterial.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesi dan relaksasi. Untuk beberapa kasus
dibutuhkan pemasangan NGT.

Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila
direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pasca bedah). Bila perlu berikan antidotum
obat-obat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan
pengakhiran anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan
terhadap komplikasi pasca bedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi
jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih
sadar. Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Untuk kasus dan kondisi pasien tertentu memerlukan perawatan ICU pasca operasi.

Langkah-langkah penanganan pasien trauma

Asesmen pertama pada pasien trauma dapat dibagi menjadi pemeriksaan primer, sekunder dan
tertier (primary, secondary and tertiatry survey). N Primary survey akan berlangsung 2 5
menit dan terdiri dari urutan ABCDE trauma: Airway. Breathing , Circulation , Disability dan
Exposure. Jika fungsi tiga sistem pertama tergangu, resusitasi harus segera dilakukan
secepatnya. Pada pasien kritis, resusitasi dan asesmen berlangsung simultan oleh tim
pelaksana penangulangan trauma. Pemantauan dasar mencakup, EKG, tekanan darah
noninvasif dan oksimeter pulsa dapat diprakarsai dari tempat kejadian dan diteruskan selama
perteolongan. Prinsip-prinsip resusitasi Jantung Paru dapat dilihat dalam Modul 3:
Keterampilan Anestesiologi III. Resusitasi trauma terdiri dari 2 langkah : menghentikan
perdarahan dan memperbaiki cedera definitif. Primary survey akan diikuti oleh secondary dan
teriary survey yanhg lebih komprehensif.

126
Primary survey

Airway

Menentukan dan mempertahankan airway selalu meruipakan perioritas pertama. Jika pasien
dapat berbicara, airway selalu bersih; pasien yang tidak sadar akan selalu membutuhkan
bantuan airway dan ventilasi. Gejala penting obstruksi jalan termasuk, dengkur (snoring),
stridor dan gerakan dada paradoksal. Pada pasien yang tidak sadar sebaiknya
dipertimbangkan kemungkinan adanya benda asing. Menejemen jalan napas lanjut (seperti
intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakestomi) menjadi indikasi jika terjadi apnea,
obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus leher hematom
besar dan cedera dada berat.

Cedera tulang leher tidak mungkin pada pasien yang alert tanpa nyeri leher. Lima kriteria
dapat meningkatkan risiko yang berpotensi ketidakstabilan tulang servikal yaitu: 1) nyeri
leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau gejala neurologik, 4)
intoksikasi, 5) gangguan kesadaran. Fraktur servikal harus diduga jika terdapat salah satu
kriteria tersebut; walaupun dengan kriteria ini kejadian fraktur trauma servikal mendekati 2 %.
Angka kejadian ketidakstabilan tulang servikal meningkat sampai 10 % jika terjadi cedera
kepala berat. Hindarkan hiperekstensi leher; jaw-thrust maneuver (Triple maneuver) lebih baik
untuk mempertahankan keutuhan airway. Airways oral atau nasal dapat menolong
mempertahankan jalan napas. Pasien tidak sadar dengan trauma berat mempunyai risiko
tinggi aspirasi, karena itu airway harus segera diamankan dengan pipa endotrakea atau
trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial berlebihan harus dicegah dan immobilisasi
manual kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk menstabilkan tulang servikal
selama laringoskopi (manual in-line stabilization atau MILS). Asisten menempatkan kedua
tangan pada salahsatu sisi kepala, menahan bawah osiput dan mencegah rotasi kepala. Studi-
studi telah mendemonstrasikan, pergerakan leher terjadi terutama didaerah C1 dan C2 selama
ventilasi dengan sungkup muka dan laringoskopi langsung yang memerlukan upaya stabilisasi
(misalnya dengan: MILS,traksi aksial, bantal pasir, fiksasi kepala, kollare lunak atau kollar
keras). Dari emua teknik ini, MILS mungkin sangat efektif, tetapi juga mengakibatkan
laringoskopi menjadi lebih sulit. Karena alasan ini, beberapa ahli lebih menyukai intubasi
nasal (blind atau fiberoptik) poada pasien yang bernapas spontan dengan kecurigaan cedera
tulang servikal, walaupun teknik ini mempunyai risiko untuk aspirasi paru. Kebanyakan
praktisi sangat terbiasa dengan intubasi oral dilakukan pada pasien apne yang memmerlukan
intubasi segera. Intubasi nasal seharusnya dihindarkan untuk pasien dengan cedera muka
tengah (midface) atau fraktur tulang dasar tengkorak.

127
Trauma laring menyebabkan situasi lebih kompleks dan buruk. Cedera terbuka dapat
berkaitan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher, obstruksi jalan napas karena
hematom atau edema. Cedera tertutup laring kurang membahayakan tetapi dapat berdampak
kripitasi leher, hematoma, disfagi, hemoptisis atau hilang suara. Intubasi sadar dengan pipa
endotrakea kecil mempergunakan laringoskop direk atau brokoskop fiberoptik dan anestesi
topikal, dapat diupayakan jika laring dapat dilihat dengan baik. Jika cedera muka dan leher
tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi sebaiknya dipertimbangkan trakeostomi dengan
anestesi lokal.Obstruksi jalan napas akut mungkin memerlukan krikotomi emethgensi atau
trakeostomi perkutan atau bedah.

Breathing

Asesmen ventilasi dicapai dengan baik sekali dengan cara melihat, mendengar dan
merasakan. Melihat untuk sianosis, penggunaan otot napas asesories, flail chest, luka tembus
toraks. Mendengar untuk ada atau tidak ada atau penurunan suara napas. Merasakan untuk
emfesa subkutan, pergeseran trakea, iga patah. Adanya tension pneumothorax dan hemothorax
harus dapat dicurigai gangguan pernapasan sebelum dilakukan foto toraks. Kebanyakan
pasien trauma yang kritis membutuhkan napas bantu kalau tidak napas kendali. Bag-valve
devices (misaklnya, self inflating bag dengan one way valve) dapat dipergunakan untuk
ventilasi yang adekuat segera setelah intubasi selama transfortasi pasien. Oksigen 100 %
diberikan sampai gas darah arteri dapat dinilai.

Circulation

Sirkulasi yang adekuat berdasarkan laju nadi, kekuatan nadi, tekanan darah dan tanda-tanda
perfusi perifer. Gejala sirkulasi tidak adekua mencakup, takikardia, pulsa perifer lemah atau
tidak teraba, hipotensi, pucat, dingin atau ekstrimitas sianosis. Perioritas pertama adalah
menghentikan perdarahan, kalau terlihat dari luar tekan langsung; kedua, menggantikan
cairan intravaskular melalui kanul besar agar infus dapat diberikan cepat. Contoh carah harus
diambil

Perdarahan

Pertolongan pertama perdarahan adalah menekan dari luar, hati-hati kalau mempergunakan
tourniquet karena dapat menyebabakan cedera reperfusi. Derajat hipotensi pasien saat sampai
din ruang emergensi dan kamar operasi sangat menentukan mortalitas pasien. Respon

128
fisiologik perdarahan bervariasi yaitu, takikardia, perfusi kapiler buruk, penurunan tekanan
nadi pada hipotensi, takipne dan delerium. (Tabel)

Table . Clinical Classification of Shock.

Pathophysiology Clinical Manifestations

Mild (< 20% Decreased peripheral perfusion Patient complains of feeling


of blood only of organs able to cold. Postural hypotension
volume lost) withstand prolonged ischemia and tachycardia. Cool pale
(skin, fat, muscle, and bone). moist skin; collapsed neck
Arterial pH normal. veins; concentrated urine.

Moderate Decreased central perfusion of Thirst. Supine hypotension


(2040% of organs able to tolerate only and tachycar-dia (variable).
blood volume brief ischemia (liver, gut, Oliguria and anuria.
lost) kidneys). Metabolic acidosis
present.

Severe (> Decreased perfusion of heart Agitation, confusion, or


40% of blood and brain. Severe metabolic obtundation. Supine
volume lost) acidosis. Respiratory acidosis hypotension and tachycardia
possibly present. invariably present. Rapid,
deep respiration.

1
Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current
Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.
2
These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock
but apply to other types of shock as well.

Terapi cairan
Perdarahan massif memerlukan transfusi sel darah merah (SDM) yang sesuai. SDM gol. O
yang non-crossed, dicadangkan untuk perdarahan yang mengancam nyawa dan tidak dapat
lagi diganti dengan cairan lain. Transfusi SDM diberikan jika Hb < 7 gr / dl.

129
Cairan kritaloid yang diberikan akan memerlukan volume yang besar, karena tidak lama
bertahan dalam sirkulasio. Larutan ringer laktat lebih mudah menghasilkan asidosis
kloremik dibandingkan NaCl normal. Ringere laktat merupakan caiaran yang sedikit
hipotonik, tetapi p[emberian yang berlebiuhan akan berdampak edema serebri. Cairan
hipertonik seperti NaCL 3 7,5 % efektif untuk resusitasi cairan karena kurang mengakibat
edema serebri dibandingkan ringer laktat atau NaCl normal. Tetapi hati-hati memberikan
cairan hipertonik karena mudah memberi dampak hipernatremia.

Cairan yang mengandung dekstrose berlebihan mudah menyebabkan eksaserbasi iskhemi


otak

Cairan koloid lebih efek sebagai pengisi volum intravascular karena lebih lama bertahan
dalam sirkulasi; tetapi harga jauh lebih mahal. Sampai sekarang masih diperedebatkan
untung dan penggunaan kritaloid dsan koloid.

Cairan apapun yang dipilih, harus dihangatkan dulu sebelum diberikan. Infusi cepat yang
mempergunakan kanul besar (14- 16 gauge) dan cairan hangat sangat baik untuk transfuse
massif. Blanket hangat atau humidifier hangat juga sangat penting untuk mempertahankan
suhu tubuh. Hipotermia akan memperburuk gangguan asam-basa, koagulopati, dan fungsi
miokard.(Tabel)

Table. Deleterious Effects of Hypothermia.

Cardiac arrhythmias and ischemia

Increased peripheral vascular resistance

Left shift of the hemoglobinoxygen saturation curve

Reversible coagulopathy (platelet dysfunction)

Postoperative protein catabolism and stress response

Altered mental status

130
Impaired renal function

Decreased drug metabolism

Poor wound healing

Increased incidence of infection

Hipotermia juga akan menggeser kurve oksigen hemoglobin ke kiri dan menurunkan
metabolisme laktat, sitrat dan beberapa obat anestetik. Jumlah pemberian cairan
berdasarkan perbaikan gejala klinis tertutyama tekanan darah, tekanan nadi (pulse
preessure), dan lajhu nadi. Pengukuran CVP dan jumlah urine juga menjadi indikasi
pemulihan perfusi organ vital.

Perfusi organ yang tidak adekuat akan mengganggu metabolisme aerobik dan menghasilkan
asam laktat dan asisdosis metabnoliok. Na bikarbonat yang berdisosiasi menjadi ion
bikarbonat dan CO2, dapat memperburuk asidosis intrasel karena membran sel relatif sulit
larut bikarbonat dibandingkan dengan CO2. Ketidakseimbangan asam basa, akhirnya
diperbaiki dengan hidrasi dan pemulihan perfusi organ. Laktat akan dimetabolisme di hati
dan ion H akan diekskresi melalui ginjal.

Hipotensi pada pasien syok hipovolemik akan diatasi cairan intravena dan produt darah,
bukan oleh vasopresor ; kecuali hipotensi berat yang tidak respon terhadap terapi cairan,
syok kardiogenik atau henti jantung.

Disability

Upaya ini dilakukan untuk mengevaluasi neurologik dengan cepat, besar pupil, reaksi cahaya,
skala Glasgow Coma Scale (GCS), pergerakan spontan kaki dan tangan atau respon terhadap
stimulus.

131
Table 261. Glasgow Coma Scale.

Category Score

Eye opening

Spontaneous 4

To speech 3

To pain 2

Nil 1

Best motor response

To verbal command

Obeys 6

To pain

Localizes 5

Withdraws 4

Decorticate flexion 3

Extensor response 2

Nil 1

Best verbal response

Oriented 5

Confused conversation 4

Inappropriate words 3

Incomprehensible sounds 2

Nil 1

132
Exposure

Seluruh pasien dilepaskan agar dapat memeriksan semua cedeera yang ada. Mobilisasi in line
harus dipergunakan untuk cedera lehr dan tulang belakang

18. REFERENSI

Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Emergency Medicine Manual (to be announced)

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

Manual of Anaesthesia, CY. Lee 2006

133
MODUL 8 : ANESTESI UMUM

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian 4 minggu (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

6. LCD Projector dan screen


7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Operasi
Kasus : pasien di kamar operasi

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

134
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
7. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesi umum
intravena, inhalasi, intramuskuler baik nafas spontan atau kendali, diintubasi atau
dengan LMA pada pasien dengan status fisik ASA I-II.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :

Kognitif

1. Memahami cara kerja alat monitoring, mesin anestesi dan obat-obatan apa yang
perlu di tersedia di Kamar operasi.
2. Mengetahui mekanisme terjadinya anestesi umum
3. Mengetahui cara pemberian dan obat yang dipakai untuk induksi anestesi umum
4. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi selama anestesi: obstruksi jalan
nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi.
5. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestesi intra vena dan
anestetika inhalasi.
6. Mengetahui tentang balans anestesi umum intravena, balans anestesi umum
inhalasi.
7. Memahami indikasi dan cara melakukan anestesi dengan sungkup, LMA,
endotracheal.
8. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi untuk keperluan anestesi umum.
9. Memahami kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi.

Psikomotor

1. Mampu melakukan pembebasan jalan nafas tanpa alat (triple manuver), dengan
OPA, LMA, dan intubasi.
2. Mampu melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat.
3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat induksi intravena, induksi
inhalasi seperti obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi,
hipertensi.

135
4. Mampu mengetahui stadium anestesi.
5. Mampu melakukan ekstubasi.
6. Mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.
Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan


tindakan pembedahan .

Professionalisme

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi anestesi umum.


2. Mampu memberikan anestesi umum selancar mungkin (smooth induction and
maintenance of anesthesia).

KEYNOTES:

1. Memahami cara kerja mesin anestesi


2. Memahami cara memasang alat monitor.
3. Mengetahui dengan pasti indikasi anestesi umum
4. Mengetahui dengan pasti teknik induksi anestesi
5. Mengetahui dengan pasti cara pemeliharaan anestesi
6. Mengetahui dengan pasti dan mampu mengatasi bila terjadi komplikasi saat
induksi, maintenance dan saat emergens.
7. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestesi intravena dan
anestetika inhalasi
8. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik analgetik opioid, obat
pelumpuh otot
9. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik antidotum narkotik dan
pelumpuh otot.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat melakukan anestesi umum dengan aman diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan dalam mekanisme kerja alat monitoring, cara kerja mesin anestesi dan
obat-obatan apa yang perlu di ada di Kamar operasi, mekanisme terjadinya anestesi
umum, cara pemberian dan obat induksi anestesi umum, komplikasi yang sering
terjadi selama anestesi (obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi,
hipertensi), farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestesi intra vena dan
anestetika inhalasi, balans anestesi umum intravena, balans anestesi umum inhalasi,
indikasi dan cara anestesi dengan sungkup, LMA, endotracheal. Memahami indikasi
dan komplikasi intubasi unuk keperluan anestesi umum, kapan dilakukan ekstubasi
serta komplikasi ekstubasi, melakukan pembebasan jalan nafas tanpa alat (triple
manuver), dengan OPA, LMA, dan intubasi, melakukan induksi intravena dan

136
induksi inhalasi dengan tepat, mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi umum inhalasi
dan intravena pada pasien dengan status fisik ASA I-II.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

4. Bahan acuan (references)


5. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
6. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: mampu melakukan anestesi umum inhalasi.

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 2: mampu melakukan anestesi umum intravena.

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector

137
4. Pasien di kamar bedah .

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Professionalism
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pretest

138
10. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di kamar
operasi.
11. Bagaimana cara melakukan induksi inhalasi dan induksi intravena?
12. Jelaskan tentang komplikasi yang sering saat induksi anestesi dan saat
ekstubasi dan cara mengatasinya!
13. Jelaskan tentang indikasi anestesi umum.
14. Jelaskan tentang indikasi intubasi dan tekniknya untuk keperluan anestesi
umum.
15. Lelaskan tentang uptake dan distribusi anestetika inhalasi.
16. Jelaskan tentang MAC, MAC EI, MAC BAR, MAC awake dan keadaan apa
saja yang mempengaruhinya.
17. Jelaskan pasien efek obat anestesika inhalasi halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran, desfluran terhadap organ tubuh.
18. Jelaskan tentang efek obat anestesi intravena propofol, pentotal, ketamin,
etomidat terdap organ tubuh.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

1. Kognitif
a. EMQ (Extended Medical Question)
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e. Minicheck
2. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
3. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

139
Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

1 Pemasangan monitor

2 Pemasangan jalur vena.

3. Melakukan induksi intravena

4 Melakukan induksi inhalasi

5 Menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas


hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi.

6 Melakukan ventilasi dengan sungkup

7 Melakukan pemasangan OPA

8 Malakukan pemasangan LMA dan memeriksa


ketepatan posisinya.

9 Melakukan intubasi dan memeriksa ketepatan posisinya

10 Melakukan ventilasi mekanik manual

11 Melakukan ventilasi mekanik dengan ventilator mesin


anestesi.

12 Melakukan pengahiran anestesi

13 Melakukan ekstubasi

14 Melakukan pengelolaan pasien pasca ekstubasi

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

140
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

141
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

I. Pendahuluan
Anestesi adalah hilangnya sensasi sakit. Pada anestesi umum hilangnya rasa sakit
terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi
dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Pada
anestesi lokal hilangnya rasa sakit hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai
hilangnya kesadaran.

Anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskuler,

142
subkutan, per-oral, per-rektal. Anestesi lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi,
field block, blok saraf tepi, intravena (Biers technique), cadual, epidural dan spinal
analgesi.

Obat anestesi inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N 2O, cyclopropane dan
ethtylene. Yang berbentuk cair melalui alat penguap akan diubah menjadi gas. Obat
anestesi inhalasi yang berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan
halogen hidrokarbon misalnya halotan dan halogen eter yang contohnya adalah eter,
enflurane, isoflurane, desfluran, dan sevofluran. Teknik anestesi umum inhalasi bisa
dilakukan dengan napas spontan dengan sungkup muka, nafas spontan diintubasi, nafas
spontan dengan laringeal mask, nafas spontan dengan COPA (Cuffed Oropharyngeal
Airway) atau nafas kendali diintubasi.

Obat anestesi intravena antara lain : tiopental, propofol, ketamine, etomidate,


midazolam, diazepam, dan sebagainya. Obat anestesi yang dapat diberikan secara
intramuskuler adalah ketamine, diazepam, midazolam. Yang dapat diberikan per-rektal
adalah eter oil, ketamine, pentotal.

Anestesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa sakit diseluruh tubuh yang
disertai hilangnya kesadaran yang reversibel akibat pemberian obat anestesi. Pada
anestesi umum ada penekanan Susunan Saraf Pusat yang menurun secara ireguler.
Anestesi umum dapat didefinisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang mana sistim
fisiologi tertentu dari tubuh dibawah kendali pengaturan luar oleh obat-obat anestesi.
Urut-urutan Susunan Saraf Pusat yang terdepresi selama anestesi umum adalah corteks
dan pusat psikis, basal ganglia dan serebelum, medulla spinalis dan terakhir medula
oblongata

Anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intra muskuler, per oral
dan per rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara inhalasi dan
intravena. Agak jarang yang diberikan secara intramuskuler dan lebih jarang lagi yang
diberikan secara per rektal atau per oral.

Obat anestesi yang diberikan secara inhalasi adalah eter, halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara intravena adalah
pentotal, ketamin, propofol, etomidat, diazepam, midazolam. Yang diberikan secara
intramuskuler adalah ketamin. Contoh yang dapat diberikan per rektal adalah diazepam,
eter oil. Yang dapat diberikan secara oral adalah ketamin dan midazolam.

Dengan ditemukannya obat-obat anestesi yang baru maka definisi anestesi umum
tidak sesederhana sebagai suatu depresi SSP yang menurun. Kemampuan untuk
memberikan keadaan tidur terpisah dari keadaan analgesia dan relaksasai otot
menyebabkan dikenalnya keadaan yang disebut anestesi seimbang (balans anestesi)

143
yaitu masing -masing obat untuk setiap komponen anestesi umum.

Komponen Anestesi Umum

Pada anestesi umum terdapat trias anestesi yaitu hipnotik (hilang kesadaran),
analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik
dapat dilakukan dengan hambatan sensoris dan relaksasi dengan hambatan refleks dan
hambatan motoris.

Analgesia :

Terjadi hambatan sensoris, di sini stimulasi nyeri dihambat secara sentral sehingga
tidak dapat diartikan di korteks serebri. Analgesia bisa terjadi dalam berbagai tingkatan
dimulai dengan light analgesia (stadium I) sampai true analgesia dimana semua sensasi
hilang.

Relaksasi:

Bisa terjadi karena adanya hambatan motoris dan hambatan refleks. Pada
hambatan motoris terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan impuls efferent,
sehingga terjadi relaksasi otot skelet. Efek depresi motoris ini tergantung dari kedalaman
anestesi, dimana otot pernafasan / diafragma yang paling akhir ditekan.

Pada hambatan refleks, terjadi penekanan refleks misalnya ada sistim respirasi untuk
mencegah brokhospasme, laringospasme, pembentukan mukus. Pada sirkulasi untuk
mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual, muntah.

Hipnotik:

Terjadi hambatan mental. Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang, sedasi,
light sleep atau hipnosis, deep sleep atau narkosis, complete anaesthesia, dan terakhir
terjadi depresi medulla oblongata.

Indikasi anestesi umum adalah :


1. Infant dan anak-anak.
2. Operasi yang luas.
3. Pasien dengan kelainan mental.
4. Bila pasien menolak anestesi lokal.
5. Operasi yang lama.
6. Operasi dimana dengan anestesi lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan.
7. Pasien dalam terapi anti coagulant.

144
8. Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal.

Pada anestesi umum terjadi trias anestesi, yaitu : - hipnotik (tidur)

- analgetik (hilangnya rasa sakit)

- relaksasi

Pada anestesi umum inhalasi atau intravena, trias anestesi dapat diperoleh dengan dosis
besar satu macam obat anestesi inhalasi atau intravena, tetapi akan disertai adanya efek
samping. Misalnya dengan pentothal saja atau dengan halothane saja.

Untuk mencegah adanya efek samping tersebut, maka anestesi umum dilakukan dengan
konsep anestesi balans (anestesi seimbang) dimana pasien diberikan obat untuk setiap
komponen anestesi, yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi.

Contoh obat anestesi seimbang

Anestesi inhalasi Anestesi intravena

Hipnotik N2O, halotan, enfluran, isofluran, Pentothal, Propofol,


sevofluran. Diazepam, Midazolam,
Ketamine.

Analgetik Narkotik analgetik (Petidin, Morphin, Narkotik analgetik.


Fentanyl, Sufentanil, Alfentanil).

Relaksasi Semua obat pelemas otot Semua obat pelemas otot.


(Succinylcholine, Rocuronium,
Vecuronium, Atracurium)

Untuk terjadinya trias ini, maka pada anestesi umum inhalasi terjadi blok sensoris, blok
motoris, bolk refleks dan blok mental.

Blok sensoris:
Stimuli pada endorgan diblok secara sentral dan stimuli tidak masuk ke dalam cortex
tingkatan bervariasi, dari stadium I sampai dengan stadium III dimana semua sensasi
hilang
yang ditekan adalah cortex, hipothalamus, subcortical thalamic nuclei, semua sel
sensoris cranial.

145
Blok motoris
Yang ditekan adalah premotor dan motor cortex subcortical dan extrapyramidal.
Yang terakhir dipengaruhi adalah otot pernafasan. Mula-mula pada otot intercostal
bawah, lalu otot intercostal atas, dan kemudian otot diaphragma.

Blok refleks:
Refleks yang tidak menyenangkan harus diblok, misalnya pada sistem respirasi
adalah pembentukan mukus, spasme laring, spasme bronchus. Pada sistem
kardiovaskuler adanya aritmia, dan pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan
muntah.

Blok mental :
Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan :

1. Tenang.
2. Sedasi (ngantuk).
3. Hipnosis (light sleep).
4. Narkosis (deep sleep).
5. Anestesi penuh (complete anesthesia).
6. Paralisis pada medula (medullary paralysis).
Pada pemberian anestesi umum inhalasi, urutan bagian SSP yang terdepresi adalah :

1. Cortex cerebri dan pusat psikis.


2. Basal ganglia dan cerebellum.
3. Medula spinalis.
4. Medula oblongata.
Teori terjadinya anestesi umum belum jelas benar sehingga terdapat bermacam-macam
teori anestesi antara lain :

1. Colloid Theory (1875).


2. Lipid Solubility Theory (1899).
3. Surface Tension atau Adsorpsion Theory (1904).
4. Cell Permeability Theory (1907).
5. Biochemical Theories (1952).
6. Neurophysiologic Theories (1952).
7. Physical Theories (1961).
8. Multiple Mechanistic Theories (1967).

II. Uptake dan Distribusi


Untuk pengambilan gas anestesi dari paru-paru penyebarannya ke dalam jaringan

146
ada 4 faktor utama, yaitu : a. Faktor Respirasi

b. Faktor Sirkulasi

c. Faktor Gas Anestesi

d. Faktor Jaringan

a. Faktor Respirasi
Faktor Pulmoner :
Ada dua faktor yang menentukan kecepatan zat anestesi sehingga kadar zat
anestesi dalam alveoli meningkat, yaitu konsentrasi inspirasi dan ventilasi alveoli.

Kedua faktor ini disebut concentration effect.

Konsentrasi Inspirasi :
Semakin tinggi konsentrasi gas inspirasi, akan menyebabkan peninggian yang
lebih cepat dari konsentrasi alveolar.

Second Gas Effect :


Jika gas kedua diberikan bersama, misalnya pada N2O/O2 diberikan halothane,
maka peninggian halothane di alveoli akan lebih cepat. Hal ini terjadi karena
cepatnya N2O masuk ke dalam tubuh melalui paru, maka unsur lainnya yang ada
dalam udara inspirasi termasuk gas dan uap anestesi lainnya akan ikut masuk dengan
cepat.

Efek Ventilasi :
Jika ventilasi lebih besar, maka konsentrasi gas alveolar akan lebih cepat
meningkat.

b. Faktor Sirkulasi
Fase Sirkulasi :
Tergantung dari koefisien partisi (kelarutan), cardiac output dan perbedaan
tekanan gas pada alveoli dan vena.

Kelarutan :
Kelarutan suatu gas selalu konstan. Istilah kelarutan adalah partition coefficient
(p.c.), misalnya blood/gas p.c., tissue/gas p.c., oil/gas p.c. Contoh : blood/gas p.c. = 2,
artinya volume gas pada tekanan partial gas yang sama di kedua fase
perbandingannya adalah 2:1.

147
Pada tekanan parsial yang sama, volume gas anestesi dalam alveoli adalah 1 vol%.
Sedangkan pada darah adalah 2 vol%. Partition coefficient blood/gas adalah 2/1 =2.

Table : Partition coefficients of volatile anesthetics at 37oC

Agent Blood/Gas Brain/Blood Muscle/Blood Fat/Blood


Nitrous oxide 0.47 1.1 1.2 2.3
Halotan 2.40 2.9 3.5 60
Metoxyflurane 12.00 2.0 1.3 49
Enflurane 1.90 1.5 1.7 36
Isoflurane 1.40 2.6 4.0 45
Desflurane 0.42 1.3 2.0 27
Sevoflurane 0.59 1.7 3.1 48

Cardiac Output :
Darah membawa gas dari paru, maka bila cardiac output meningkat, uptake juga
meningkat. Pada keadaan curah jantung yang menurun terjadi penurunan gradient
tekanan gas dalam alveoli dengan tekanan gas dalam vena dan makin rendahnya
kelarutan gas anestesi, maka pengeluaran zat anestesi akan menurun.

Perbedaan tekanan parsial gas dalam alveoli dan vena :


-.Obat anestesi inhalasi menimbulkan kedalaman anestesi tergantung pada
tekanan parsial gas di otak.

-.Bila tekanan parsial gas lebih tinggi di darah daripada di otak, gas akan pindah
dari darah ke otak. Demikian pula sebaliknya.

-.Tekanan parsial gas di otak selalu mencoba equilibrium dengan tekanan gas di
dalam darah.

c. Faktor Gas Anestesi


Minimal Alveolar Concentration (MAC) :
Dosis obat pada umumnya ditentukan oleh berat badan. Misalnya : mg/kgBB atau
mcg/kgBB, tetapi dosis obat anestesi inhalasi ditentukan oleh MAC.

Ada beberapa istilah yang harus difahami :

MAC50, atau lebih sering disebut MAC saja, adalah konsentrasi minimal gas anestesi
di dalam alveoli pada tekanan 1 atmosfir dimana 50% penderita tidak bergerak bila

148
diberikan noxious stimuli. Ada istilah lain, yaitu MAC95, MACEI50, MACEI95,
MACBAR50, MACBAR95, dan MACAWAKE.

95 artinya 95% penderita. EI adalah singkatan dari Endotracheal Intubation, dan


BAR adalah singkatan dari blokade adreno receptor.

MAC95 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 95% penderita tidak bergerak bila diberikan noxious stimuli.

MACEI50 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 50% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakheal.

MACEI95 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 95% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakheal.

MACBAR50 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 50% penderita tidak memberikan respon adrenergik bila diberikan
noxious stimuli.

MACBAR95 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 95% penderita tidak memberikan respon adrenergik bila diberikan
noxious stimuli.

MACAWAKE (MACAWAKE50) adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli


pada tekanan 1 atmosfir dimana 50% penderita membuka mata bila dipanggil.

Di bawah ini dapat kita lihat perbedaan MAC obat anestesi inhalasi.

MAC Compared with Anesthetic Concentration


Agent MAC Induction Concentration Maintenance
(Vol%) Concentration (Vol%)

Methoxyflurane 0.16 Up to 3 0.2-1.0

Halothane 0.76 2-4 0.5-2.0

Isoflurane 1.12 2-4 1.0-3.0

Enflurane 1.68 2-5 1.5-3.0

149
Ether 1.92 10-30 4-15

Cyclopropane 9.2 20-50 10-20

Nitrous oxide 105.0 Up to 80 Up to 80

Concentration of halothane and enflurane required to prevent responses to


certain stimuly (comparison of MAC, MACEI and MACBAR).

Halothane Enflurane
MAC50 1.0 MAC (0.74 0.03%) 1.0 MAC (1.68 0.04%)
MACEI50 1.3 MAC 1.4 MAC
MACBAR50 1.5 MAC 1.6 MAC
MAC95 1.2 MAC 1.1 MAC
MACEI95 1.7 MAC 1.9 MAC
MACBAR95 2.1 MAC 2.6 MAC

These values have been age-adjusted.


MACEI = Concentrtation of volatile agent permiting laryngoscopy and
intubation without untoward movement.
MACBAR = Concentration of volatile agent required to block adrenergic
response to skin incision.
50 and 95 = Percentages of individuals in whom above responses are blocked
at concentrations stated.

Nilai MAC tidak selalu konstan, tetapi berubah-ubah tergantung beberapa keadaan
seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

Factors Influencing or Not Influencing Anesthetic Requirements (MAC)

MAC Decreased MAC Unchanged MAC Increased

Increasing Age Duration of anesthesia Alcoholism (chronic abuse)

150
CNS depressants Circardian rhythm Drugs increasing CNS
catecholamine
Alcohol (acute intake) Gender s
Barbiturates Species Cocaine
Benzodiazepines Hypertension Dextroamphetamine
Bromide ion Propanolol Ephedrine
Lidocaine Hyperkalemia Hypernatremia and other
(systemati factors increasing brain
cally) Hypocarbia
sodium
Narcotic analgetics Metabolic acidosis or
alkalosis Hyperthermia >42oC
Nitrous oxide and other Hypercarbia (PaCO2 > 95
anesthetic torr, CSF pH <
s 7.1)
Phenothiazines (with Hypoxemia (PaO2 < 38 torr)
sedative
actions) Anemia (Arterial O2 content
< 4.3 ml/dl)
-9-
tetrahydro
cannabino
l

Drugs decreasing CNS


catecholamines (e.g.,
reserpine, -
methyldopa)

Pancuronium

Cholinesterase inhibitors

Pregnancy

Hypercalcemia

Hypotension

Hypothermia

151
d. Faktor Jaringan
Jaringan dibagi atas 4 kelompok :
a. Kelompok jaringan kaya pembuluh darah :

otak, jantung, hepar, ginjal dan kelenjar endokrin.

Organ-organ ini beratnya < 7%BB, tetapi menerima 75% cardiac output. Jaringan
ini menerima zat anestesi dalam jumlah banyak sejak awal induksi.

b. Kelompok intermediate (menengah) :

otot, skelet, dan kulit. Perfusi jaringan rendah ( < 3ml darah/100mg
jaringan/menit).

c. Lemak merupakan depo yang efektif untuk penimbunan zat anestesi. Walaupun
perfusinya lebih rendah dari kelompok otot, tetapi mempunyai kemampuan besar
dalam pengambilan zat anestesi. Hal ini dapat melambatkan induksi maupun
pemulihan pada pasien yang gemuk.

d. Kelompok jaringan sedikit pembuluh darah :

ligamen dan tendo. Jaringan ini hampir tidak mengambil zat anestesi.

Pada pasien yang gemuk (obesitas) bisa terjadi reanestesi karena banyaknya obat
anestesi pada jaringan lemak (terutama yang larut dalam lemak).

III. Induksi Anestesi


Induksi adalah untuk menghantarkan penderita ke stadium operasi. Untuk
melakukan induksi dapat dilakukan dengan obat anestesi intravena, intramuskuler, atau
langsung dengan obat anestesi inhalasi. Bila dilakukan dengan anestesi inhalasi
tergantung dari jenis obat anestesi inhalasi yang diberikan, maka teknik induksinya akan
berbeda.

Bila penderita tidak sadar, maka masalah utama adalah jalan nafas, karena dapat
terjadi sumbatan jalan nafas yang bisa parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan parsial
adalah adanya dengkuran (snoring), keadaan tercekik (crowing), bunyi kumur-kumur
(gargling), atau wheezing, adanya retraksi dada dan sianosis. Bunyi itu tergantung lokasi
sumbatannya, misalnya snoring adalah akibat pangkal lidah jatuh ke belakang, crowing
adalah sumbatan pada daerah laring, dan whezing adalah sumbatan pada bronchus. Pada
sumbatan total tidak terdengar atau terasa aliran udara dari mulut / hidung, adanya
retraksi supraclavicular, retraksi interkostal, dada tidak mengembang bila dilakukan

152
ventilasi / inflasi paru, dan juga sianosis.

Masalah lain selama induksi anestesi adalah sungkup muka (face mask) yang tidak
rapat (misalnya karena hidung terlalu mancung, pasien ompong, atau janggutnya sangat
lebat), depresi nafas, batuk, spasme laring, adanya mukus dan saliva, atau juga muntah.
Semuanya harus segera ditanggulangi. Cara penanggulangannya adalah dengan
membebaskan jalan nafas, misalnya dengan Triple Manouver Safar (ekstensi kepala,
tarik angulus mandibula, buka mulut), pengisapan lendir / saliva / muntahan, pasang
pipa oropharing (mayo), intubasi endotrakheal, bahkan kalau tetap tidak bisa
membebaskan jalan nafas, bisa dilakukan cricotirotomy atau tracheostomy.

IV. Stadium Anestesi


Untuk menentukan kapan penderita bisa dioperasi, kita harus mengetahui
stadium anestesi.

Apabila menggunakan balans anestesi dengan N2O/O2 disertai halothane, enflurane,


isoflurane, atau sevoflurane serta narkotik sebagai analgetik, maka stadium anestesi
hanyalah berdasarkan skoring klinis yang disebut PRST SCORING.

PRST adalah singkatan P = Pressure (systolic arterial pressure) R = Rate (heart rate) S =
Sweat, T = Tears atau Lacrimation.

PRST Scoring Indexes

Index Condition Score

Systolic Arterial Pressure (mmHg) Less than control + 15 0

Less than control + 30 1

More than control + 30 2


Heart Rate (beats/minute) Less than control + 15 0

Less than control + 30 1

More than control + 30 2


Sweat Nil 0

Skin moist to touch 1

Visible beads of sweat 2


Tears or Lacrimation No excess tears when eyelids open 0

153
Excess tears visible when eyelids
open
1
Tear overflow from closed eyelids
2

Score 2-4 : Adequate Anesthetic.

V. Teknik Anestesi Umum Inhalasi


1. Open drop
2. Insuflasi
3. Ayre T System
4. Sistem dengan valve non-rebreathing
5. Teknik semi closed
6. Closed system

VI. Obat Anestesi Inhalasi


Suatu anestetika inhalasi disebut ideal bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
baunya menyenagkan dan tidak mengiritasi jalan nafas, kelarutan rendah, tidak toksik
pada organ, efek samping kardiovaskuler dan respirasi minimal, efek pada SSP
reversibel tanpa efekl stimulant, efektif pada oksigen konsentrasi tinggi, dapat
digunakan dengan vaporzer standar.

Nitrous Oxide = N2O :

Pertama kali dibuat oleh Priestley pada tahun 1776; berbentuk gas, tidak
berwarna, dan tidak merangsang. Senyawa ini 1,5 kali lebih berat dari udara; merupakan
obat anestesi lemah. Pemakaiannya harus selalu dicampur dengan oksigen 100% untuk
mencegah hipoksia; induksi-dan-pemulihan cepat, serta tidak menyebabkan iritasi;
analgesi kuat tetapi bisa menyebabkan mual-muntah; tidak ada relaksasi otot. Bisa
menyebabkan terjadinya agranulositosis, displasia sumsum tulang, maupun teratogenik
bila dipakai dalam jangka waktu lama. Maka dari itu hati-hati bila operasi lebih dari 7
jam.

Halothane :

Halothane dibuat pertama kali oleh C.W. Suckling di tahun 1951; merupakan zat
anestesi yang sangat poten dan tidak berwarna; dapat meningkatkan tekanan intra
kranial serta dapat menyebabkan relaksasi uterus. Halothane dapat menimbulkan
terjadinya halothane hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu
pendek (pemberian berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Induksi dan pemulihan
154
cepat; tidak menyebabkan iritasi; tidak mengakibatkan mual, dan berefek
bronchodilator. Mendepresi jantung; menyebabkan vasodilatasi, aritmia, mengiritasi
miokard bila ada epineprin. Obat ini dimetabolisme di hepar sebanyak 20-45%. Hasil
metabolismenya berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluoracetat, gas chlorodifluoroetilen serta
chlorotrifluoroetilen.

Enflurane / Ehtrane :

Dibuat pertama kali oleh Terrel pada tahun 1963; merupakan obat anestesi poten.
Dapat menimbulkan eksitasi SSP terutama bila ada hipokapnia. Induksi dan pemulihan
cepat. Tidak menimbulkan hipersekresi; bersifat bronchodilator, non-emetik, compatible
dengan epineprin; menyebabkan penurunan tekanan darah akibat depresi miokard dan
vasodilatasi perifer; dimetabolisme sebanyak 2,4%, dan 80% dikeluarkan dalam bentuk
utuh melalui paru-paru.

Isoflurane :

Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan pemulihannya
cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran,
Isoflurane berefek bronkhodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan bersifat
kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama besarnya dengan
halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan menurunkan tekanan darah,
terutama dengan mendepresi miokardium dan sedikit vasodilatasi. Ethrane menurunkan
tekanan darah dengan mendepresi miokardium dan vasodilatasi perifer. Isoflurane
menurunkan tekanan darah terutama dengan vasodilatasi perifer dan hampir tidak
mendepresi miokardium.

Sevofluran

Sevofluran adalah suatu obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan
kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.
Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi
inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah
menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dibandingkan dengan Desfluran,
Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05). Desfluran mempunyai
kelarutan yang lebih rendah, akan tetapi, iritasi jalan nafas lebih besar dengan
Desfluran, maka obat anestesi inhalasi yang paling cocok untuk teknik VIMA adalah
Sevofluran.
Tidak ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian
iritasi saluran nafas serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi
inhalasi (baik untuk pediatrik atau dewasa) akan lebih cepat dengan sevofluran
daripada dengan halotan. Pada induksi inhalasi kejadian batuk, menahan nafas,

155
spasme laring, eksitasi lebih rendah daripada halotan, sehingga VIMA dengan
Sevofluran akan lebih menyenangkan daripada dengan halotan.
Bangun dari anestesi, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih
cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.
Sevofluran mendepresi SSP, kardiovaskuler dan respirasi paralel dengan
isofluran. Sevofluran didegradasi oleh soda lime membentuk suatu haloalken yang
bersifat toksik pada ginjal tikus, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada manusia.
Aman digunakan untuk operasi bedah saraf, pasien dengan kelainan serebral,
bedah Caesar, CABG, pasien dengan risiko miokardial iskhemia, penyakit hepar,
penyakit ginjal.

VII. Obat Anestesi Intravena

Obat anestesi intravena yang tersedia adalah Pentotal, Propofol, Etomidate, Midazolam,
Diazepam

Obat anestesi intravena disebut ideal bila memenuhi persyaratan larut dalam air, tidak
iritasi pada vena, tidak mempunyai efek anta analgesik, induksi cepat dan lancar, stabil
kardiovaskuler pada dosis klinis, dan lama kerja pendek sehingga pemulihan cepat.

Thiopentone

Pentotal mempunyai efek menurunkan tekanan darah, denyut jantung dapat menurun
atau meningkat bergantung pada fungsi jantung, dilatasi prefer, menekan kontraksi
jantung, spasme laring, spasme bronchus, depresi nafas sampai terjadihenti nafas,. Dosis
pentotal adalah 4-6 mg/kg BB.

Kontraindikasi relatif pentotal adalah asthma bronkhiale, penyakit jantung berat,


penyakit ginjal berat, anemia berat, hipotensi dan syok.

Ketamin

Ketamin merupakan suatu dissociative anesthetic yang menimbulkan terjadinya delirium


dan halusinasi. Meningkatkan tekanan darah sistlik 23% dar nilai awal, meningkattkan
denyut jantung, dapat terjadi aritmia, hipersekresi.

Dosisnya 1-3 mg/kg I.v atau 9-11 mg/kg I.m

Indikasi penggunaan ketamin adalah untuk operasi yang berlansung singkat, akan tetapi
dengan dosis rendah dapat dipakai sebagai analgetik intraoperatif dan postoperatif.

156
Karena efek pada sistem kardivaskuler maka kontraindikasi penggunaan ketamin adalah
bila tekanan sistolik > 160 mmHg, aritmia, gagal jantung. Karena refleks jalan nafas
masih dipertahankan dan juga menimbulkan hipersekresi maka operasi faring dan laring
tanpa dilakukan intubasi merupakan kontraindikasi.

Propofol

Merupakan suatu obat anestesi intravena baru, dengan mula kerja yang berat, lama kerja
singkat, akumulasi minimal, pemulihan cepat, metabolisme ceapat. Tidak ada komlikasi
pada tempat suntikan. Dosisnya 2-2.5 mg/kg BW.

VIII. Pelumpuh Otot

Sangat berguna dalam anestesi umum misalnya laringoskopi dan intubasi jadi lebih
mudah serta menghindari cedera, digunakan selama operasi dengan ventilasi kendali.

Disebut Pelumpuh otot yang ideal bila termasuk golongan non depolarisasi, onset cepat,
mula kerja singkat, pemulihan cepat, potensi tinggi, tidak kumulatif, metabolitnya tidak
aktif, tidak ada efek kardiovaskuler, tidak ada pelepasan histamine, dapat dilawam
dengan anticholinesterase.

Terminologi dalam pelumpuh otot adalah :

ED 50 : dosis yang dapat melumpuhkan 50% kekuatan otot.

ED 90 : dosis yang dapat melumpuhkan 90% kekuatan otot.

Onset : interval antara mulai penyuntikkan sampai efek maksimal.

Obat pelumpuh otot Nondepolarisasi tidak menyenimbulkan fascikulasi, efeknya


menurun dengan obat anticholinesterase, obat pelumpuh otot golongan depolarisasi,
penurunan suhu tubuh, epinephrine, acetylcholine. Efeknya meningkat dengan obat
pelumpuh otot non-depolarizing, anestetika volatile.

Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi menyebabkan faskiculasi otot. Efeknya


meningkat dengan anticholinesterase , acetylcholine, hipotermi. Efeknya menurun
dengan pelumpuh otot non-depolarizing relax, anestetika inhalasi. Dose Succ choline : 1
mg/kg BW

157
IX. Narkotik Analgetik

Narcotic analgesic disebut ideal bila mempunyai Wide margin of safety yang lebar,
onsetnya cepat, lama kerja singkat, pengendalian analgesi mudah, analgesi kuat, tidak
ada pelepasan histamin, tidak mempunyai metabolit aktif.

Opiate dalam anestesi digunakan untuk premedikasi, induksi, anestesi berbasiskan


narkotik, bagian dalam komponen balans anestesi, adjuvant dalam anestesi regional,
neurolept anestesi, penanganan nyeri pascabedah.

Efek dari narcotic dapat menimbulkan

v Bradikardia akibat efek vagotonik sentral dan depresi nodus SA & AV .


v Depresi nafas : frekuensi, irama, respons CO2, volume semenit, volume tidal
v Kekakuan otot
v Mual muntah yang disebabkan stimulasi CTZ, mobilitas saluran cerna,
penurunan gaster mobilitas, peningkatan volume gaster.

Laringoskopi dan Intubasi Endotrakheal.


1. Laringoskopi :
Dalam praktek anestesi, laringoskop digunakan untuk melihat laring dan struktur
disekitarnya dengan tujuan utama untuk memasukkan pipa endotrakheal melalui glotis
ke dalam trakhea.

Laringoskop berbentuk huruf L, peganggannya disebut "handle" yang berisi batu batere
dan yang melengkungnya disebut "blade". Blade ada yang lurus, ada juga yang
melengkung. Puncak dari blade, pada saat melakukan laringoskopi, akan menyentuh
epiglotis atau vallecula (sudut yang dibentuk oleh lidah dan epiglotis) yang secara
langsung atau tidak langsung akan menaikkan epiglotis, sehingga pita suara akan
terlihat.

Teknik melakukan laringoskopi adalah :


-.pengaturan posisi kepala.

-.insersi blade laringoskop.

-.visualisasi epiglotis.

158
-.mengangkat epiglotis.

-.melihat laring dan struktur sekitarnya.

Posisi kepala :

Kepala diganjal dengan bantal setebal 5cm.

Insersi blade :
Handle dipegang tangan kiri, jari-jari tangan kanan membuka mulut, masukkan
blade laringoskop, lidah didorong ke kiri sehingga kita melihat melalui sisi
kanan mulut.

Visualisasi epiglotis :
Blade didorong ke dalam sampai epiglotis terlihat.

Mengangkat epiglotis :
Ada 2 teknik :
a) Cara pertama. Untuk blade yang lurus, dimasukkan di bawah
epiglotis, yang bila ujungnya diangkat pita suara akan terlihat.

b) Cara kedua. Untuk blade yang lengkung ujung blade diletakkan pada
valeculla. Dengan mengangkat dasar lidah, epiglotis juga akan
terangkat dan glotis akan terlihat.

Bagian superior epiglotis dipersarafi oleh N IX (glosopharyngeal) dan bagian inferior


(posterior) oleh N. laringeal. Jadi, disebabkan karena bagian inferior epiglotis tidak
disentuh dan tidak distimulasi, blade yang lengkung dapat dipergunakan pada "light
anestesia" tanpa menimbulkan spasme laring.

Selama laringoskopi, laringoskop harus diangkat naik-turun, jangan digunakan sebagai


pengungkit dengan gigi atas sebagai titik tumpu, karena bisa menimbulkan patahnya
gigi.

Komplikasi selama laringoskopi :


1) dapat terjadi aberasi, robekan / luka dari mulut, bibir pharing, laring dan oesophagus,
kerusakan gigi, gusi, ataupun gigi palsu.

159
2) perubahan tekanan darah dan irama jantung. Oksigensi sebelumnya, laringoskopi
yang cepat dan tidak traumatik akan mengurangi kemungkinan perubahan-perubahan
itu.

2. Intubasi Endotrakheal :
Ada istilah yang disebut anestesi endotrakheal, artinya adalah memasukkan gas anestesi
ke dalam trakhea melalui pipa yang dimasukkan melalui laring (atau tracheostoma) ke
dalam trakhea.

Memasukkan pipa tersebut dapat melalui mulut (orotrakheal), hidung (nasotrakheal)


atau trakheal stoma.

Indikasi intubasi endotrakheal adalah :


-.operasi kepala dan leher, misalnya craniotomy, struma.

-.operasi intra thorakal.

-.laparotomi.

-.operasi dengan posisi lateral (miring) atau telungkup (tengkurap).

-.bila diperkirakan akan sulit membebaskan jalan nafas dengan metoda


sederhana (ekstensi kepala, oropharyngeal airway).

-.pasien yang tidak dipuasakan (lambung penuh).

-.prosedur operasi dimana anestesiologist harus jauh dari pasien.

-.operasi dengan kemungkinan perdarahan yang banyak.

-.pasien dengan keadaan umum yang buruk.

-.teknik anestesi yang khusus : anestesi hipotensi, anestesi hipotermi.

-.pediatrik.

-.bila perlu IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing).

-.non-operatif (resusitasi).

Keuntungan Intubasi Endotrakheal.


-.Jalan nafas dijamin lancar.

160
-.dead space anatomi (normal 75ml) berkurang menjadi 25 ml.

-.ventilasi dapat dikendalikan tanpa masuknya gas ke dalam lambung dan


intestin.

-.resiko aspirasi sekret, darah, muntahan dapat dikurangi secara drastis.

-.ventilasi dapat dikendalikan pada pasien dengan posisi telungkup, miring atau
posisi lain yang tidak umum (bukan posisi terlentang).

-.respirasi dapat dikendalikan, bila kita memakai obat pelemas otot.

-.mudah melakukan pengisapan sekret dari paru-paru.

Kerugian Intubasi Endotrakheal.


-.dapat meningkatkan resistensi respirasi. Supaya peningkatan resistensi
minimal, pakailah pipa sebesar mungkin yang bisa masuk ke dalam trakhea.

-.trauma pada bibir, gigi, tenggorokan, maupun laring yang menimbulkan suara
serak, nyeri, atau juga sakit saat menelan. Bila terjadi aberasi mukosa, dapat
timbul ephysema. Bila terjadi perforasi membran dapat terjadi mediastinitis.

Alat-alat yang dipakai :


a). Pipa Endotrakheal (ETT -- Endotracheal Tube) :
-.Bahan dapat dibuat dari karet sintetis, polyethylene, atau PVC (polyvinyl chloride).

-.Tipe ETT bisa yang non-kingking (spiral) yang dibuat dari spiral coil nilon atau
kawat yang ditanam di dalam lateks. Yang king-king tentu tanpa spiral.

-.Bentuknya bisa single lumen atau double lumen.

-.ETT, untuk pediatrik umumnya tanpa balon (Cuff). Cuff ini harus diperiksa dahulu
sebelum digunakan, apakah bocor atau tidak. Setelah intubasi, cuff diisi udara kira-
kira 5-10ml, tapi hanya sampai tidak terdengar suara kebocoran bila diventilasi.

-.Yang paling umum dan sering digunakan adalah dari bahan PVC karena :

==.Pipanya lunak, dengan suhu tubuh akan menyesuaikan diri dengan


anatomi saluran nafas, sehingga kurang mengiritasi trakhea.

==.Kecenderungan untuk terjadi kingking lebih rendah daripada pipa karet.

-.Nomor ETT adalah ukuran diameter interna dalam mm. Misalnya ETT no.8, artinya
diameter internalnya 8mm.

161
b). Stylet.
Stylet harus dilubrikasi sebelum dimasukkan ke dalam ETT. Ujung stylet tidak
boleh keluar melewati ujung ETT, sebab ada sesiko injury pada fossa pyriformis,
membran crico thyroid, membran cricopharingeal dengan akibat terjadinya emphysema
subcutis, mediastinitis, pneumothoraks.

c). Oropharyngeal airway :


Pemasangan saat induksi anestesi adalah untuk mencegah obstruksi jalan nafas akibat
jatuhnya pangkal lidah disebabkan karena rileksnya lidah dan jaringan lunak pharyng.
Setelah dilakukan intubasi berguna untuk mencegah tergigitnya pipa endotracheal pada
saat bangun dari anestesi dan memudahkan pengisapan lendir.

Pemasangan oropharyngeal airway tidak bebas dari komplikasi :

-.pemasangan yang tidak betul akan mendorong lidah pada hipopharyng, sehingga
terjadi obstruksi jalan nafas .

-.lepasnya gigi karena pasien menggigit oropharyngeal airway.

-.bila terlalu panjang, ujungnya akan menyentuh epiglotis atau pita suara, sehingga
bisa terjadi batuk-batuk atau spasme laryng.

-. bila terlalu panjang, pada operasi yang lama bisa menimbulkan edema pharyng,
sakit menelan.

d). Pharyngeal pack (tampon).


Pharyngeal pack dipakai bila tidak menggunakan ETT dengan cuff; dipasang
pada kedua sisi ETT sampai cukup menyumbat pharyng untuk mencegah terjadinya
aspirasi. Ujungnya harus keluar dari mulut agar kita tidak lupa mengeluarkannya
sebelum melakukan ekstubasi.

e). Lubricant.
Lubricant dipakai untuk melicinkan ETT bila akan melakukan intubasi
nasotrakheal, untuk melicinkan stylet yang akan dimasukkan ke dalam ETT atau untuk
melicinkan pipa nasogastrik atau maag slang (NGT -- Nasogastric Tube)

f).Anestesi lokal semprot.


Anestesi lokal semprot digunakan untuk anestesi lokal pharyng dan laryng.

g). Kateter suction.


Kateter suction harus disediakan dalam berbagai ukuran untuk menghisap lendir

162
di pharyng, laryng, trakhea dan bronkhus.

3. Teknik Intubasi Endotrakheal.


Trakhea bisa diintubasi melalui mulut, hidung, atau stoma trakheal.

Intubasi bisa dilakukan dalam anestesi ringan dengan obat pelemas otot atau dalam
keadaan sadar (awake intubation).

Setelah melalui pita suara, cuff diisi dengan udara secukupnya sampai tidak terdengar
kebocoran udara saat diventilasi (tekanan dalam cuff < 25 mmHg). Cuff tersebut harus
ada di sebelah distal pita suara. Bila ETT tidak mempunyai cuff, harus dimasukkan
sampai 3-4 cm distal pita suara (pada dewasa), atau 1-2 cm distal pita suara (pada anak-
anak).

Intubasi nasotrakheal dilakukan bila ada indikasi sebagai berikut :

Operasi di daerah rongga mulut.


Operasi maxillofacial.
Keadaan-keadaan dimana tidak mungkin dilakukan intubasi orotrakheal.
Intubasi nasotrakheal dapat dilakukan dengan bantuan anestesi umum atau anestesi lokal
(awake).

4. Ekstubasi
Ekstubasi dilakukan bila operasi telah selesai, nafas adekuat. Pemakaian pipa
dilakukan saat pasien inspirasi maksimal. Tidak boleh ada kateter suction dalam pipa
saat penarikan pipa karena akan menurunkan PO2 dalam paru-paru. Bila ekstubasi
dilakukan pada light anaesthesia bisa terjadi komplikasi batuk-batuk, spasme laring dan
spasme bronkhus.

5. Komplikasi Intubasi Endotrakheal


Terdapat bermacam-macam komplikasi Intubasi Endotrakheal, yaitu :

a. Trauma selama Intubasi

pada intubasi nasotrakheal terjadi pendarahan dari hidung.


ETT atau stylet dapat menimbulkan injuri mukosa mulut, pharyng atau
laryng.
b. Intubasi Endotrakheal

Bila pipa dimasukkan terlalu dalam bisa masuk ke bronkhus primer kanan
sehingga bisa terjadi obstruksi, atelektasis, colleos dari paru-paru kiri dan

163
lobus atas paru-paru kanan. Maka setiap kali telah melakukan intubasi harus
diperiksa supaya ventilasi pada kedua paru-paru sama, dengan cara :

melihat pergerakan dada, harus sama kanan & kiri.


dengan auskultasi.
dengan melihat monitor saturasi O2, karena intubasi endotrakheal akan
menurunkan saturasi O2.
c. Intubasi Oesophageal

d. Laryngitis, suara serak, nteri tenggorokan (sore throat)

e. Tracheal stenosis.

f. Granuloma laring.

Table : Comporative Pharmacology of Intravenous Induction Agents

Agent Inducti Cardio Respirra Analge Amne Emergence


on tory sia sia
Vascular

Pentothal Smooth Dpression Transient None Mini Smooth /


/ rapid depressio mal rapid
(Thiopen n
tal)
Ketamin Excitat Stimulatio Minimal Yes Mini Stormy /
e pry / n mal intermediate
rapid
Etomidat Smooth None Transient None Mini Smooth /
e / rapid depressio mal rapid
n
Propofol Smooth Depressio Depressi None Mini Smooth /
/ rapid / n on mal rapid
pain
Diazepa Smooth Mininal Depressi None Yes Smooth /
m / slow / on prolonged
pain

164
Midazola Smooth Vasodilata Depressi None Yes Smooth /
m / tion on rapid
interme
diate
Alfentani Smooth Depressio Depressi Yes Mini Smooth /
l / rapid / n on mal rapid
rigidity
Sufentan Smooth Minimal Depressi Yes Mini Smooth /
il / rapid / on mal intermediate
rigidity

Adapted from White PF : Clinical Use of Newer Intravenous Induction Drugs,


Cleveland, IARS, Review Course Lectures, 1988 : 102-112.

Table : Benzodiazepines

Drug Inducti Intra- Amnesia Night


on Pre-op operative Hypnotic
Me Sedation
dic
ine
Midazolam

Diazepam

Lorazepam

Triazolam

Chlordiazep
oxide

Flurazepam

Oxazepam

Prazepam

Temazepam

165
Alprazolam

Modified from Reves JG : Benzodiazepines. In Prysoberts C, Hue CC, eds.


Pharmacokinetics of Anesthesia, Oxford, Blacwell, 1984

Table : Clinical use of the Benzodiazepines

Drug Dose Comments

Midazo 0.5 0.1 mg/kg M premed. Shortest duration*.


lam
0.5 2.5 mg/kg to 0.1 20 minutes of hypnosis after induction.
mg/kg i.v. sedation.

0.2 0.4 mg/kg i.v.


induction.

4 6 mg/h i.v. infusion.

Dizepa 0.1 0.2 mg/kg p.o. Postoperatives sedation may last for
m premed. several hours.

0.3 0.6 mg/kg i.v.


induction.

Triazol 0.25 0.5 mg p.o. premed. Shorter duration than diazepam with
am less postoperative sedation and greater
amnesia.

Loraze 2 4 mg i.m. Prolonged postoperative sedation.


pam
Amnesia at higher doses for 68 hours.

* Duration of Benzodiiazepines variabel sedation lasts much longer than


hyponis

166
Table : Physicochemical Properties of Most Widely Used Volatile Anesthetics

Physicochemical Halothane Enfluran Isoflurane Desfluran Sevoflurane


Properties e e
Odor Pleasant Unpleas Unpleasan Unpleasan Pleasant
ant t t

Irritating to No Yes Yes Yes No


Respiratory System

Molecular Weight 197.5 184.5 184.5 168.04 200.05

Boiling Point oC

(at 760 mmHg) 49.51 56.5 48.5 22.8 58.6

Specific Grafity 1.86 1.52 1.50 1.50 1.53

(25oC / 4oC)

Vapour Pressure

(mmHg @ 24/25oC) 288 218 295 798 197

(mmHg @ 20oC) 243 175 238 669 157

Conventional Yes Yes Yes No* Yes


Vaporizer

Blood/Gas Partition
Coefficient
4 2.35 1.91 1.4 0.42 0.63

Oil/Gas Partition 224 96 91 18.7 47


Coefficient

Brain/Blood 1.9 1.3 1.6 1.3 1.7


Partition
Coefficient

Minimum Alveolar
Concentration
(MAC.%)
0.76 1.68 1.15 6.0 2.05
(40 years of age)

167
Reacts with metals Yes No No No No

UV Light Stability No Stable Stable NA Stable

Soda Lime No No No No No
Stability

Antioxidant Needed Thymol No No No No

Minimum Flamable 4.8 % 5.8 % 7.0 % NA 7.5 %


Concentration in
100% O2 in
presence of a
source of energy

Flamable No No No No No

Explosive No No No --- No

Additives Required Thymol No No No No

Metabolism (%) 17-20 2.4 < 0.2 0.02 <5

Metabolites F-, Cl-, F-, CDA F-, TFA F-, TFA F-,
Br-, TFA,
BCDFE, HFIP
CDE,
CTE,
DBE

NA = Not Available; * = Requires a vaporizer especially designed for the drug rather
than a re-calibration of a general use vaporizer; TFA = trifluoroacetic acid; BCDFE =
2-bromo-2-chloro-1.1.-difluoroethylene; HFIP = hexafluoroisopropanol; CDA =
Chlorodifluoroacetate; CDE = 1.1.-difluoro-2-chloroethylene; CTE = 1.1.1.-trifluoro-
2-choroethrane; DBE = 1.1.-difluoro-2-bromo-2-chloroethylene.

168
Table : Clinical pharmacology of inhalational Anesthetics.
Hal Meth En- Iso- Des- Sevo-
N2
o- oxy- flura flurane flurane flurane
O
than fluran ne
e e

Cardiovascular

Blood Pressure N/C

Heart rate N/C N/C or N/C



Systemic vascular N/C N/C N/C
resistance
N/C N/C
Cardiac output* N/C or

Respiratory

Tidal volume

Respiratory rate
PaCO2

Resting N/C
Challenge

Cerebral

Blood flow

Intracranial
pressure

Cerebral metabolic
rate**

Seizures

Neuromuscular

169
Nondepolarizing
blockade***

Renal

Renal blood flow

Glomerular ? ?
filtration rate
? ?
Urinary output

Hepatic blood flow

Metabolism(%)**** 0.0 15- 50 2-5 0.2 < 0.1 2-3


* 04 20

* = Controlled ventilation; ** = CMRO2 would increase with enflurane-induced


seizure; *** = Depolarizing blockade is probably also prolonged by these agents,
but this is usually not clinically significant; ***** = Percentage of absorbed
anesthetic undergoing methabolism; N/C = No Change; ? = Uncertain.

TIVA dengan Pentotal

Pada saat ini obat-obat anestesi yang tersedia di Rumah Sakit Kabupaten,
umumnya adalah ether dengan alat EMO, ketamin, pentotal untuk induksi anestesi dan
alat serta obat untuk regional analgesia. Tanpa mengurangi arti dan efektivitas ether
yang diketahui sebagai obat anestesi dengan margin of safety yang luas, murah serta
mudah diperoleh, kita ketahui juga bahwa pemakaian ether adalah terbatas dan tidak
semua penderita dapat dilakukan anestesi dengan ether terlebih-lebih pasen dengan
kenaikan ICP, tidak boleh dianestesi dengan ether. Juga frekuensi mual-muntah pasca
bedah tinggi serta penderita lama untuk sadar. Faktor lain yang merugikan ether adalah
sifatnya yang menimbulkan polusi.

Demikian pula penggunaan ketamin tidak dapat dilakukan untuk semua penderita.
Ketamin diketahui mempunyai efek halusinasi, mual-muntah pasca bedah, menaikkan
tekanan darah dan ICP, serta mimpi buruk yang bisa terjadi sampai 24 jam pasca bedah.

Karena itu perlu diketahui suatu teknik anestesi yang dapat dilakukan dengan peralatan
yang sangat sederhana, obatnya murah serta mudah didapat, penggunaannya mudah
serta cukup menyenangkan untuk penderitanya. Untuk itu dipikirkan teknik TIVA (Total

170
Intra Venous Anaesthesia) dengan memakai Pentotal.

TIVA adalah suatu teknik anestesi yang menguntungkan, bukan saja untuk pasien
tetapi juga untuk dokter dan perawat yang mengelola pasien tersebut di kamar operasi
dan ruang pemulihan. Tetapi sayangnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil anestetist.
Mengapa ? Ada beberapa alasan, salah satunya adalah anestetist takut tidak
mendapatkan anestesi yang adekuat, pasien bergerak-gerak, awareness dan operator
tidak puas.

TIVA adalah teknik anestesi seimbang dimana terdapat trias anestesi, yaitu
hipnotik, analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat diperoleh dengan obat anestesi
intravena pentotal, propofol, ketamin, midazolam. Analgetik dengan petidin, morfin,
fentanil, alfentanil atau sufentanil. Relaksasi dengan pankuronium, vekuronium atau
atrakurium.

Syarat obat yang ideal untuk TIVA adalah :

- larut dalam air

- larutan yang stabil, tidak berubah bila kena cahaya

- tidak diserap oleh selang plastik dari infus set

- tidak merusak vena (sakit waktu suntikan, plebitis atau trombosis) atau
kerusakan jaringan bila ada ekstravasasi atau suntikan intraarteri

- tidur dalam satu waktu lengan-otak

- lama kerjanya pendek

- metabolitnya in-aktif, non-toksik dan larut dalam air

- efek pada kardiovaskuler dan respirasi minimal

Indikasi anestesi intravena :

- sebagai alternatif lain dari anestesi inhalasi

- sedasi pada anestesi regional

- untuk one-day-surgery diperlukan pemulihan yang cepat dan lengkap

- situasi dimana sulit memberikan anestesi inhalasi karena tidak adanya N2O

- dalam keadaan tertentu dimana pemberian N2O tidak menguntungkan

- mencegah awareness selama cardio pulmonary by pass, untuk proteksi otak pada

171
periode iskemia otak

Pemilihan obat tergantung dari sifat farmakologi obat tersebut.

Ada hal-hal yang tidak menguntungkan dalam pemakaian TIVA, misalnya :

- kesulitan keadekuatan anestesi terutama pada pasien yang paralisis, sehingga


kemungkinan terjadi awareness

- adanya depresi nafas pada periode paska bedah akibat efek narkotik

- memerlukan venous line yang berbeda

- memerlukan infusion pump

- pengontrolan kedalaman anestesi tidak mudah seperti anestesi inhalasi

Komplikasi dan efek samping seperti mual-muntah, rasa sakit hebat, lama
bangun, maupun pusing akan memperlambat pasien tinggal di ruang pemulihan, maka
pemilihan obat anestesi menjadi faktor penting untuk menghilangkan komplikasi ini.

TIVA dapat diberikan secara bolus, intermittent atau kontinyu. Teknik pemberian
kontinyu mempunyai efek samping yang lebih kecil dan pemulihan yang lebih cepat
daripada pemberian secara intermittent (White, 1983; White dkk 1986). Tetapi manakah
yang lebih baik antara TIVA dengan anestesi inhalasi untuk pasien bedah rawat jalan
sampai sekarang masih kontroversial.

Anestesi intravena paling sering digunakan untuk induksi karena cara


pemberiannya mudah, onsetnya cepat dan keberhasilannya tinggi. Pemeliharaan
anestesinya dengan N2O/O2 + volatile anestetik.

Obat anestesi intravena yang ideal adalah :

- harus non- iritant pada jaringan,

- mula kerja cepat, lama kerja pendek,

- tanpa efek eksitatori,

- tidak mendepresi kardiovaskuler,

- punya efek amnesia dan analgesia,

- menghasilkan kondisi operasi yang baik,

- pemulihan yang cepat dan penuh,

172
- tanpa efek samping,

- tidak menyebabkan mual-muntah

Walaupun obat anestesi yang ideal belum ada, tetapi beberapa obat tetap masih
bisa digunakan, tergantung dari tujuannya. Misalnya :

Untuk operasi pasien yang ICP-nya tinggi dapat dipakai TIVA dengan Pentotal +
Norkuron + Fentanil.

Untuk bedah rawat jalan dengan :

Pentotal 5mg/kg + Ketamin 1 mg/kg


Propofol 2,5 mg/kg + fentanil 3 ug/kg
Propofol 2,5 mg/kg + Ketamin 1 mg/kg.
Untuk sedasi pada regional anestesia dapat dengan Midazolam, Propofol atau
Ketamin.

Pentotal seperti halnya golongan barbiturat lainnya yaitu methohexiton dan


pentobarbiton merupakan suatu obat hipnotik yang pada dosis tertentu dapat bekerja
sebagai obat anestesi. Tetapi kebanyakan obat ini mempunyai mula kerja yang lambat
dan lama kerja yang lama, karena itu mempunyai nilai yang kecil untuk praktek
anestesi. Untuk tujuan praktek anestesi, hanya pentotal dan methohexiton dapat
dipertimbangkan.

Brooks dkk (1948), menunjukkan bahwa fase pertama adalah adanya redistribusi
yang sangat cepat kepada jaringan bukan neuron. Kembalinya kesadaran setelah pentotal
anestesia terutama disebabkan karena adanya redistribusi ke jaringan lain di luar
jaringan otak, bukan disebabkan karena obat tersebut dimetabolisme.

Pentotal, walaupun tidak seideal yang dipersyaratkan, mempunyai beberapa keuntungan


tertentu yaitu onsetnya yang cepat, selalu bekerja, induksi mulus, larut dalam air,
kejadian alergi sangat rendah, dan pada pemberian yang hati-hati depresi nafas tidak
merupakan masalah terutama bila penderita tidak dipremedikasi.

Kerugiannya adalah larutannya tidak stabil, pH-nya tinggi dan irritant bila terjadi
extravasasi, hiperalgesi pada dosis rendah, tidak mempunyai efek analgesik pada dosis
klinik, tidak menimbulkan relaksasi otot pada dosis yang aman dan bersifat
phorphyrogenic, serta kumulatif efek.

TIVA adalah merupakan anestesi seimbang dimana sebagai analgesik kita


berikan narkotik atau regional analgesia dan untuk relaksasi otot kita berikan obat
pelemas otot. Untuk mencapai kadar anestetik dalam darah maka dapat dilakukan
dengan memberikan pentotal secara bolus, intermittent atau kontinyu.

173
Pentotal kontinyu dapat dilakukan dengan :

- melarutkan pentotal pada cairan infus dalam botol infus dan diberikan secara tetes
dengan kecepatan tertentu.

- atau dilarutkan di dalam syringe kemudian diberikan ke pasen dengan kecepatan


tertentu melalui syringe pump.

- melalui komputer, dengan cara ini diperoleh hasil pemberian dosis yang betul-betul
sesuai dengan kebutuhan.

Karena adanya efek kumulatif, pentotal tidak disukai untuk dipakai pada TIVA karena
menimbulkan efek eksesif somnolent. Tetapi keadaan ini dapat dikurangi dengan cara
mengatur dosis dan pentotal dihentikan 30 menit sebelum operasi selesai.

Seperti halnya etomidate, yang menimbulkan mual-muntah sampai 30 - 40% kasus,


maka pentotal dan etomidate jarang digunakan untuk TIVA. Tetapi bila karena keadaan,
dimana kita tidak mempunyai obat lain kecuali pentotal, ketamin dan ether, maka
pemilihan TIVA dengan pentotal akan lebih menyenangkan pasen daripada dengan
menggunakan ether dan ketamin. Sekarang ini, TIVA dengan pentotal hanya digunakan
untuk anestesi bedah saraf. Bila tidak mempunyai syringe pump atau infus pump, kita
bisa mengatur tetesan secara biasa, dengan mencocokkan jumlah tetesan per menit.

Keuntungan TIVA dengan pentotal adalah :

- obatnya murah serta mudah didapat.

- alat yang dipakai tidak banyak, hanya perlu infus set dan bellow atau ambu
bag dan oksigen.

- polusi kamar bedah dapat dikurangi.

- dibanding ether dan ketamin, anestesi dengan pentotal lebih menyenang-kan


bagi penderita.

PLASMA KONSENTRASI SETELAH PEMBERIAN BOLUS


Setelah suatu dosis tunggal intravena, plasma konsentrasi obat ini akan
meningkat dengan cepat, mencapai puncak dalam waktu 1 menit. Kemudian plasma
konsentrasi menurun, mula-mula sangat cepat kemudian melambat.

Setelah suatu suntikan pentotal, dengan dosis 400 mg, penderita akan bangun
dalam waktu 15 menit. Keadaan ini bukan karena obat tersebut dimetabolisme, tetapi
terjadi redistribusi ke organ-organ lain seperti jaringan otot dan lemak.

174
MONITORING

Alat monitor yang dipasang adalah standar monitor di OK. Yang disebut standar
monitor untuk anestesi adalah tekanan darah noninvasif, pulse oxymetri (untuk
mengukur O2 saturasi dan denyut nadi), EKG, nerve stimulattor (untuk mengukur TOF =
Train of Four), capnometer. Karena kita tidak punya alat-alat monitor tersebut, maka kita
gunakan tensimeter yang biasa saja.

TOTAL INTRAVENOUS ANAESTHESIA (TIVA)

Teknik pemberian TIVA dengan pentotal dapat dilakukan secara bolus,


intermittent dan kontinyu.

1. TIVA secara Intermittent :

Persiapan pasen adalah seperti biasa, dipasang venous line 1 buah sesuai
dengan kebutuhan. Kanul vena yang dipakai adalah kanul vena yang mempunyai
lubang untuk memasukkan obat, misal dengan teflon, atau memasang konektor 3
cabang.

Selalu dipersiapkan larutan pentotal 2,5%. Induksi dilakukan dengan fentanil 1-


2ug/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB. Setelah mula kerja narkotik-analgetik tercapai
lalu berikan pentotal 4-5 mg/kgBB, fasilitas intubasi dengan obat pelemas otot non
depolarisasi seperti pancuronium (Pavulon) atau vecuronium (norcuron) dengan dosis
0,1 mg/kgBB. Karena efek maksimal pancuronium tercapai sekitar 2,5 menit dan
vecuronium 1,5 menit setelah penyuntikan, maka sebelum dilakukan laringoskopi
dan intubasi diberikan lagi pentotal 2-2,5 mg/kgBB, untuk mengurangi atau
menghilangkan pengaruh laringoskopi dan intubasi terhadap hemodinamik, serta
mengurangi kejadian awareness.

Pemberian pentotal yang berikutnya adalah pada 30 menit pertama setiap 10 menit
dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB. Setelah itu interval pemberian adalah setiap 30 menit.
Ventilasi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasen, untuk pasen yang diinginkan
PaCO2nya turun tentu harus dilakukan hiperventilasi, tetapi bila ingin PaCO2 dalam
batas normal dilakukan normoventilasi. Kebutuhan analgetik dan pelemas otot
disesuaikan dengan kebutuhan pasen. Selesai operasi, tergantung apakah sisa obat
pelemas otot masih ada atau tidak, dilakukan reverse dengan prostigmin yang
sebelummnya diberikan sulfas atropin dulu.

175
Karena pentotal mempunyai efek depresi miokard, maka harus selalu dilakukan
pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum kita memberikan dosis
ulangan pentotal.

Pentotal mempunyai sifat segera didistribusikan ke dalam jaringan di luar jaringan


otak, maka pentotal akan ada di dalam otot dan jaringan lemak dan bekerja sebagai
depot. Untuk mencegah eksesif somnolent pasca bedah, maka sebagai patokan
pemberian pentotal dihentikan sekitar 30 menit sebelum operasi selesai. Pada operasi
otak yang lama pemberian pentotal intermittent atau kontinyu dihentikan 30-60
menit sebelum operasi selesai, bila diperlukan evaluasi status neurologis segera
setelah operasi selesai.

2. TIVA secara kontinyu :

Persiapan pasen seperti biasa, dipasang kanul vena dengan konektor 3 cabang.
Kalau pada teknik intermittent, cabang yang ketiga dihubungkan dengan syringe
yang berisi pentotal 2,5% sekarang cabang yang ketiga ini dihubungkan dengan botol
infus yang berisi larutan pentotal atau dengan larutan pentotal dalam syringe pada
syringe pump.

Teknik anestesinya sebagai berikut :

a). Induksi dengan fentanil 1-2 mcg/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB lalu berikan
pentotal bolus 4-5 mg/kgBB dan pancuronium 0,1 mg/kgBB. Sesaat sebelum
laringoskopi dan intubasi berikan lagi dosis ulangan pentotal 2-2,5 mg/kgBB.
Rumatan anestesi diperoleh dengan membe-rikan pentotal 1-3 mg/kgBB/jam.
Kalau berat badan penderita sekitar 60 kg, maka dosisnya adalah 150 mg/jam atau
2,5 mg/menit. Jadi untuk maintenance anestesinya diberikan pentotal tetes
sebanyak 2,5 mg/menit. Tadi disebutkan bahwa cabang yang ketiga dihubungkan
dengan larutan dextrose 5% yang berisi pentotal. Supaya kita tidak memberikan
tetesan / cairan yang terlalu banyak terutama pada penderita-penderita tertentu,
maka kita buat larutan tiopental 1%, berarti 10 mg/ml. Tetesan pada infus set
dewasa diperkirakan 1 ml adalah 20 tetes. Untuk mencapai dosis 2,5 mg/menit
maka kita berikan 5 tetes per menit larutan tiopental 1%. Untuk pengaturan
kecepatan, kita bisa menggunakan infus pump.

b).Cara lain adalah berikan fentanil 1-2g/kgBB, lalu teteskan larutan pentotal 0,1-
0,2% sebanyak 80-180 tetes/menit, sampai penderita tidur. Untuk maintenance
anestesi diberikan 60-80 tetes/menit.

Atau : buat larutan 1000 mg pentotal dalam 500ml dextrose 5%. Beri pentotal 4-

176
5mg/kgBB secara bolus, setelah pasen tidur, beri succinyl cholin 1mg/kgBB,
ventilasi, intubasi, beri pentotal 60 tetes/menit dan untuk maintenance beri
pentotal 20-30 tetes/menit (2-3mg/menit). Analgetik dengan petidin 1 mg/kgBB,
pelemas otot dengan pancuronium 0,08 mg/kgBB.

c).Pentotal kontinyu yang lebih akurat lagi adalah dengan memberikan pentotal
melalui syringe pump. Teknik induksinya seperti tadi. Untuk rumatan anestesi,
pentotal diberikan kepada pasen dengan dosis 1-3 mg/kgbb/jam. Kita buat larutan
pentotal 2,5% di dalam syringe dan diberikan kepada pasen dengan dosis 1-
3mg/kgBB/jam. Misalnya berat badan pasen 60 kg, maka dosis pentotal adalah
150 mg/jam. Larutan pentotal yang kita buat adalah 2,5% berarti 25 mg/ml, jadi
berikan dengan kecepatan 6 ml/jam. Kita tinggal memutar angka pada syringe
pump ke angka 6, yang berarti kecepatannya adalah 6 ml/jam.

d).Pengaturan dosis dengan komputer :

Seperti halnya vaporizer yang memberikan plasma level tertentu untuk obat
anestesi inhalasi maka komputer dapat membantu infus memberikan level plasma
tertentu untuk obat anestesi intravena. Selanjutnya, mendapatkan level obat dalam
plasma untuk mencegah pergerakan terhadap stimuli bedah, kenaikan tekanan
darah atau takhikardi, jadi analog dengan MAC pada obat anestesi inhalasi. Obat
yang berbeda memerlukan program komputer yang berbeda, misalnya pemberian
3 macam obat (pentotal, pancuronium dan petidin) yang dilakukan melalui
program komputer akan memerlukan 3 buah komputer. Komputer akan membantu
mencegah tercapainya konsentrasi puncak dari obat seperti halnya pada pemberian
bolus atau intermittent.

Berdasarkan perhitungan komputer tadi, kita bisa mengadaptasikannya kepada


kecepatan dan dosis dengan menggunakan syringe pump.

Konsentrasi pentotal 10 mcg/ml dalam darah arteri cukup adekuat untuk anestesia.
Dosis induksi dewasa, coba dengan 50 mg, lalu sisanya adalah 2,5 mg/kg LBM,
kemudian kecepatan pemberian ikuti tabel di bawah ini.

Dosis lebih berdasarkan pada LBM (Lean Body Mass) daripada berat badan total.
LBM diperkirakan dengan metoda yang dilaporkan oleh James dengan
menggunakan Berat Badan (kg) dan Tinggi Badan (cm), yakni sebagai berikut :

LBM (laki-laki) = [1,10 x (BB total)] - [128 x (BB total/TB)2]


LBM (perempuan) = [1,07 x (BB total)] - [148 x (BB total/TB)2]

177
Table : Infusion rates (ml/h) for Pentotal to reach a desired arterial concentration
of 10ug/ml with a syringe concentration of 25mg/ml.

LBM 35 40 45 50 55 60 65 70 75
(kg)
Bolus 2.8 3.2 3.6 4.0 4.4 4.8 5.2 5.6 6.0
(ml)
(min) 0- 26. 30. 34. 37. 41. 45.3 49.1 52.9 56.7
5 5 2 0 8 6
5-10 18. 21. 23. 26. 29. 31.6 34.3 36.9 39.5
5 1 7 4 0
10-20 13. 15. 17. 19. 20. 22.8 24.7 26.6 28.5
3 2 1 0 9
20-30 10. 12. 13. 15. 17. 18.6 20.1 21.7 23.2
8 4 9 5 0
30-60 9.6 10. 12. 13. 15. 16.4 17.8 19.1 20.5
9 3 7 0
60-90 8.7 10. 11.2 12. 13. 15.0 16.2 17.5 18.7
0 5 7
90-120 8.3 9.4 10. 11.8 13. 14.2 15.3 16.5 17.7
6 0
120-150 7.9 9.1 10. 11.4 12. 13.6 14.8 15.9 17.0
2 5
150-180 7.7 8.9 10. 11.1 12. 13.3 14.4 15.5 16.6
0 2

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.

178
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

179
MODUL 9 : ANESTESI REGIONAL I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester Semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian 4 minggu (facilitation & assessment)


kompetensi
PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.

180
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional,
farmakologi anestesia lokal, fisiologi anestesia neuraksial

dan anestesia regional intravena, dapat melakukan anestesia regional neuraksial dan anestesia
regional intravena secara baik dan benar, melakukan penatalaksanaan komplikasi anestesia regional
dan penatalaksanaan nyeri akut pasca bedah dengan anestesia neuraksial.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu untuk :

Kognitif

a. Mampu menjelaskan jenis-jenis obat anestesi lokal, mekanisme kerja dan sifat obat anestesia
lokal
b. Mampu menjelaskan jenis-jenis serabut syaraf yang dihambat serta jenis hambatan motorik
dan sensorik yang dihasilkan dan cara pengecekkannya.
c. Mampu menjelaskan faktor-faktor patofisiologi yang mempengaruhi kerja obat anestesi
lokal.
d. Mampu menjelaskan dosis, dosis maksimum, mula kerja, masa kerja, cara pemberian
masing-masing obat anestesi lokal.
e. Mampu menjelaskan penggunaan klinik masing-masing obat anestesi lokal termasuk bentuk
preparasinya, penambahan dengan adjuvan lain.
f. Mampu menjelaskan berbagai efek samping dan toksisitas yang dapat ditimbulkan obat
anestesi lokal beserta tanda-tanda klinisnya
g. Mampu menjelaskan anatomi tulang belakang dan medula spinalis, lapisan-lapisannya mulai
dari kulit, ligamen-ligamen, sampai ke rongga subarahnoid , variasi anatomi yang mungkin
dijumpai, dan implikasinya terhadap anestesia subarahnoid
h. Mampu menjelaskan tentang fisiologi cairan serebrospinal
i. Mampu menjelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan
penatalaksanaan perubahan fisiologis yang terjadi.
j. Mampu menjelaskan fisiologi terjadinya analgesia pada anestesia regional intravena
k. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan anestesia subarahnoid dam
anestesia regional intravena
l. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesi dan
mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia
subarahnoid dan anestesia regional intravena.
m. Mampu menjelaskan persiapan alat , jenis-jenis jarum dan obat anestesi lokal yang
akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena.
n. Mampu menjelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional
intravena yang baik dan benar.
o. Mampu menyebutkan berbagai posisi pasien anestesia subarahnoid serta keuntungan dan

181
kerugiannya untuk efek penyebaran obat.
p. Mampu menjelaskan level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
q. Mampu menyebutkan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja
obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoid, serta jenis ajuvan yang
dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat anestesia lokal.
r. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat, ketinggian blok
anestesia subarahnoid, mula dan masa kerja anestesia subarahnoid
s. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.

Psikomotor

a. Mampu memilih dan mempersiapkan jenis obat anestesi lokal yang akan dipakai dengan
dosis, konsentrasi dan pengenceran, penambahan adjuvan yang sesuai dengan indikasi dan
kebutuhan.
b. Mampu menjaga sterilitas dan melakukan penyimpanan obat anestesi lokal dengan baik dan
benar.
c. Mampu mengenali tanda-tanda klinis dan melakukan pemeriksaan adanya hambatan
sensorik dan motorik saat obat anestesi lokal mulai bekerja atau akan habis.
d. Mengenali tanda- tanda klinis , dan mampu mencegah dan melakukan penatalaksanaan efek
samping dan toksisitas obat anestesia lokal.
e. Mampu melakukan persiapan preoperatif yaitu kunjugan preanestesia, memilih pasien yang
sesuai untuk tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena, dan
mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia
subarahnoid dan anestesia regional intravena.
f. Mampu melakukan persiapan alat (alat anestesia subarahnoid , alat anestesia regional
intravena dan alat resusitasi) , monitor , dan obat obatan (anestesi lokal, ajuvan, obat
resusitasi) untuk anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena.
g. Mampu melakukan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional
intravena yang baik dan benar
h. Mampu melakukan prosedur anestesia subarahnoid dengan berbagai posisi pasien dan
melalui pendekatan midline dan paramedian
i. Mampu memeriksa level ketinggian minimal dan jenis blok pada anestesia subarahnoid
yang diinginkan termasuk dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan
operasi yang akan dilakukan.
j. Mampu menyiapkan berbagai jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran dan memakai
berbagai jenis obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoiddan
anestesia regional intravena, serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu
kerja obat anestesia lokal.
k. Mampu melakukan pemantauan pasien dalam anestesia subarahnoid dan anestesia regional
intravena
l. Mampu mengenali komplikasi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena, melakukan pencegahan dan mengatasi komplikasi yang tersebut

182
Ketrampilan komunikasi interpersonal

a. Mampu menjelaskan kepada pasien, keluarga pasien dan teman sejawat operator tentang
manfaat, efek yang ditimbulkan anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena dan
resiko yang dapat timbul dari pemberiannya
b. Berkomunikasi dengan pasien dan sejawat operator bila timbul efek samping.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum, selama dan
sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk kerjasama dalam
mengelola pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat timbul,
penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pasca bedah.

Profesionalisme

a. Mampu bekerja sesuai prosedur dengan efisien.


b. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi.
c. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedik dan tenaga medis lain
atas dasar menghargai kompetensi masing-masing.
d. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi
pasien sesuai hak pasien.

KEYNOTES:

1. Hampir semua obat anestesi lokal memblok terowongan Na dari sisi sebelah dalam sel,
mencegah aktivasi terowongan dan terjadi Na influks secara selintas yang banyak dan
dihubungkan dengan depolarisasi membran. Konduksi impuls melambat, kecepatan
peningkatan dan besarnya aksi potensial menurun, dam ambang untuk eksitasi meningkat
dengan cepat sampai aksi potensial yang dihasilkan tidak lebih lama dan perambatan impuls
berakhir.

2. Tidak semua serabut saraf dipengaruhi obat anestesi lokal dengan akibat yang sama.
Sensitivitas terhadap blokade ditentukan oleh diameter akson, tebalnya meilinisasi, dan
berbagai faktor anatomi dan fisiologis lain.

3. Potensi berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak, itu adalah kemampuan molekul obat
anestesi lokal untuk menembus membran, yang merupakan lingkungan yang hidrophobic.

4. Mula kerja bergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan dalam lemak dan konsentrasi
relatif bentuk non-ion yang larut dalam lemak (B) dan bentuk ion yang larut dalam air (BH +),
yang ditunjukkan dengan pKa. Obat anestesi lokal dengan nilai pKa hampir sama dengan pH
fisiologis, mempunyai konsentrasi basa non-ion yang lebih tinggi yang dapat menembus
membran sel saraf, dan umumnya mempunyai onset yang lebih cepat.

183
5. Lama kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak. Lebih tinggi kelarutan obat
anestesi lokal dalam lemak lebih panjang lama kerjanya, kemungkinan disebabkan karena
sedikit diambil oleh aliran darah.
6. Disebabkan karena obat anestesi lokal disuntikkan sangat dekat ke site of action, gambaran
farmakokinetik umumnya lebih penting ditentukan oleh eliminasi dan toksisitas daripada
efek klinis.

7. Kecepatan absorpsi sistemik adalah sebanding dengan vaskularisasi tempat suntikan:


intravena > tracheal > interkostal > caudal > paraservical > epidural > flekus brachialis >
sciatic > subkutan.

8. Obat anestesi lokal golongan ester terutama dimetabolisme oleh pseudocholinesterase. Obat
anestesi lokal golongan amid dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzym
microsomal P-450 dalam liver.

9. Susunan saraf pusat tempat dari tanda permulaan dari overdosis pada pasien yang sadar.
Tanda dini adalah rasa baal, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan perasaan berupa tinitus, dan
pandangan kabur. Gejala eksitatori (misalnya gelisah, agitasi, cemas, paranoid) sering
mendahuli depresi SSP (misalnya bicara seperti menelan, ngantuk, dan tidak sadar).
Twitching otot merupakan petanda akan terjadinya kejang tonik-klonik.

10. Toksisitas kardiovaskuler yang berat umumnya memerlukan 3 kali konsentrasi dalam darah
yang menimbulkan kejang. Aritmia jantung atau kolaps sirkulasi merupakan tanda yang biasa
pada overdosis obat anestesi lokal selama anestesi umum.

11. Suntikan intravaskuler yang tidak disengaja dari bupivakain selama anestesi reguional
menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, AV blok, irama
idioventrikuler, dan aritmia yang mengancam nyawa seperti ventricular takikardia dan
fibrilasi.

12. Reaksi hipersensitivitas yang betul-betul disebabkan oleh obat anestesi lokalseperti dari
toksisitas sistemik yang disebabkan karena konsentrasi plasma yang besaradalah jarang
terjadi. Golongan ester lebih sering menimbulkan reaksi alergi disebabkan karena golongan
ester merupakan derivat para aminobenzoic acid yang diketahui merupakan suatu alergen.

13. Spinal, epidural dan caudal blok juga disebut sebagai Neuroaxial anestesi. Setiap blok ini
dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat dilakukan
pemberian secara intermiten atau kontinu.

14. Melakukan tusukan lumbal (subarachnoid) harus dibawah L1 pada dewasa (L3 pada anak)
untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medulla spinalis.

184
15. Tempat kerja utama blok neuroaxial adalah pada nerve root (radiks saraf).

16. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih
tinggi dari blok sensoris (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade
motoris. Sensoris 2 segmen lebih tinggi dari motoris.

17. Interupsi transmisi eferen otonom pada radiks nerves spinalis dapat menimbulkan blokade
simpatis dan parasimpatis.

18. Blokade neuroaxial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut jantung
dan kontraksi jantung.

19. Efek kardiovaskuler yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi.
Loading volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling
vena.

20. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopressor.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat melakukan anestesi regional diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tentang
farmakologi obat anestesi lokal, mekanisme terjadi blok saraf, teknik melakukan anestesi regional,
mencegah dan melakukan terapi bila ada komplikasi

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan dan memehami:

1. Farmakologi Obat Anestesi Lokal


2. Anestesia subarahnoid
3. Anestesia regional intravena

METODE PEMBELAJARAN

- Kuliah Persiapan Preanestesia Regional, Farmakologi Obat Anestesi Lokal, Monitoring


Anestesia Regional, Anestesia subarahnoid dan Anestesia Regional Intravena dilakukan pada
semester 1
- Pelatihan di skill lab anestesia subarahnoid pada manekin subarahnoid dilakukan semester 1
- Pelatihan di skill lab anestesia regional intravena dengan menggunakan manekin
- Pelatihan di kamar bedah anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena pada pasien
dilakukan semester 1 mulai dari minggu ke 18 dan semester 2, dengan bimbingan dan

185
pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang masalah yang timbul pada anestesia subarahnoid sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual

MEDIA

- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

- Manekin anestesia regional


- Manekin pemasangan kateter intravena

EVALUASI

Pretest

1.Jelaskan jenis-jenis obat anestesi lokal.

a. Jelaskan mekanisme kerja dan sifat obat anestesi lokal.


2. Jelaskan jenis-jenis serabut syaraf yang dihambat serta jenis hambatan motorik dan sensorik
yang dihasilkan dan cara pengecekkannya.
3. Jelaskan faktor-faktor patofisiologi yang mempengaruhi kerja obat anestesi lokal.
4. Jelaskan dosis, dosis maksimum, mula kerja, masa kerja, cara pemberian masing-masing obat
anestesi lokal.
5. Jelaskan penggunaan klinik masing-masing obat anestesi lokal termasuk bentuk preparasinya,
penambahan dengan adjuvan lain.
6. Jelaskan berbagai efek samping dan toksisitas yang dapat ditimbulkan obat anestesi lokal beserta
tanda-tanda klinisnya.
7. Jelaskan cara mencegah dan menangani komplikasinya akibat pemberian obat anestesi lokal.
8. Jelaskan anatomi tulang belakang dan rongga subarahnoid
9. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia subarahnoid
10.Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.

11. Jelaskan mekanisme kerja obat anestesi lokal pada anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena.

10.Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesi dan mengidentifikasi kelainan


atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia spinal dan anesteia regional

186
intravena
11. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena.
12.Jelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena yang baik
dan benar.
13.Sebutkan beberapa cara penusukkan jarum spinal
14.Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom yang
dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan.
15.Jelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan anestesia spinal dan anestesia regional intravena
16.Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja obat
anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia spinal dan anestesia regional intravena serta
jenis ajuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat anestesia lokal.
17.Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat, ketinggian
blok anestesia subarahnoid.
18.Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia spinal dan anestesia regional intravena,
tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.

Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Skill

-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
-
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-
Minicheck
Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


-Multiple observers
Professionalism

-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
Knowledge

- MCQ (pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)

Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Blok Subarahnoid

187
N Prosedur Anestesia Blok
o Subarahnoid
Sudah Belum
(pendekatan cara midline) dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR ANESTESIA
SUBARAHNOID

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang


diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien

5 Posisikan pasien lateral dekubitus atau


duduk, ganjal bahu dan kepala pasien
bila diposisikan lateral dekubitus.

6 Tentukan landmark celah antara L2-3,


L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari
spina iliaka anterior superior.

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis


pada landmark yang ditentukan.

8 Berikan anestesi lokal pada celah yang


akan dilakukan penusukan jarum spinal.

9 Lakukan penusukan jarum spinal (atau


introduser) pada celah yang telah diberi
anestesi lokal. Penusukan jarum harus
sejajar dengan prosesus spinosus atau
sedikit membentuk sudut kearah
sefalad, dengan arah bevel ke lateral
atau sefalad.

188
10 Dorong jarum sampai melewati
resistensi ligamentum flavum dan dura,
terasa loss of resistence pada rongga
subarahnoid.

11 Cabut mandren jarum, dan pastikan


posisi jarum sudah tepat yang ditandai
dengan mengalir keluar cairan
cerebrospinal yang bening. Jarum dapat
dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran liquor yang keluar.
Penusukkan harus diulang bila liquor
tidak keluar atau keluar darah.

12 Sambungkan jarum dengan spuit berisi


obat anestesi lokal yang sudah
dipersiapkan. Aspirasi sedikit liquor,
bila lancar suntikan obat anestesi lokal
secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang
untuk memastikan ujung jarum tetap
pada posisi yang tepat dan suntikan
kembali obat.

13 Setelah selesai cabut jarum dan


kembalikan posisi pasien sesuai dengan
yang diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada


dasarnya sama seperti diatas, hanya
jarum spinal disuntikkan pada 1,5 cm
lateral dan 1cm kaudal dari celah
penyuntikkan yang dituju.

DURANTE ANESTESIA
SUBARAHNOID

1 Monitor ABC dan ketinggian blok

2 Amati perubahan fisiologis yang terjadi


, pencegahan dan penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCA BEDAH

189
1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Regional Intravena

N Prosedur Anestesia Blok


o Regional Intravena
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR ANESTESIA
REGIONAL INTRAVENA

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang


diperlukan dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas


lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan ekstremitas


yang akan diblok dielevasi selama 1-2
menit

7 Lengan dibalut dengan vellband dan


tourniquet duoble cuff dipasang pada
bagian proksimal ekstremitas yang

190
diblok

8 Kateter intravena 22 G dipasang pada


dorsum manus atau dorsum pedis pada
lengan/kaki yang akan diblok

9 Elevasi ekstremitas 1 menit untuk


exsanguinasi

10 Pembalut Esmarch dipasang dengan


baik secara sistematis dari ujung jari
sampai cuff distal

11 Inflasikan cuff distal sampai 300 mmHg

12 Inflasikan cuff proksimal sampai 300


mmHg

13 Deflasikan cuff distal

14 Pembalut Esmarch dilepaskan

15 Cek ekstremitas untuk warna (pucat)


dan oklusi arteri (tidak ada denyut
arteri)

16 Ekstremitas diturunkan, obat anestesia


lokal disuntikkan melalui kateter
intravena pada ekstremitas yang akan
diblok

DURANTE ANESTESIA
REGIONAL INTRAVENA

1 Monitor ABC

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama anestesia regional
intravena

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila durasi blok akan


habis

PASCA BEDAH

1 Lepaskan tourniquet pelan dan bertahap

191
2 Monitor ABC di ruang pulih

3 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

192
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

I. Mekanisme Kerja
Seperti telah diketahui bahwa sel-sel saraf dalam keadaan rehat (resting state). Begitu ada

193
rangsangan terhadap perubahan permeabilitas dari membran sel, sehingga dinding sel relatif lebih
permeabel terhadap ion Na daripada ion K, maka terjadi influx Na kedalam sel, kemudian diikuti
dengan keluarnya ion K. Jadi pada waktu Na masuk ke dalam sel, maka di dalam sel relatif lebih
positif, sedangkan di luar lebih negatif, maka terjadi depolarisasi.

Pada waktu pemulihan, terjadi pergerakan ion-ion yang sebaliknya, dan kembali kepada
keadaan resting state, selanjutnya siap untuk menerima rangsang kembali dalam beberapa
mili-detik. Pemberian obat anestesi lokal mencegah terjadinya migrasi ion-ion ini
(membran sel stabil dalam keadaan resting state) dengan akibat terjadinya hambatan
impuls saraf.

Ada beberapa teori anestesi lokal terhadap membran saraf :


1. Molekul-molekul lokal anestesi berikatan dengan membran sel sehingga dapat
memblokir pori-pori tempat migrasi ion-ion.
2. Pelepasan ikatan kalsium pada membran sel saraf pada waktu transmisi impuls dicegah oleh obat
anestesi lokal, sehingga kalsium lebih banyak terikat pada membran sel saraf.

3. Kompetisi obat anestesi lokal dan acetyl choline yang selalu diproduksi oleh sel-sel saraf yang
terkena rangsang terhadap reseptor site.

II. Farmakologi

Komponen kimia yang menunjukkan aktivitas lokal anestesi umumnya mempunyai ujung
aromatik, ujung amine, dan rantai intermediate. Obat anestesi lokal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
amino-ester dan amino-amid.

Obat anestesi lokal dengan suatu rantai ester diantara bagian aromatik dan rantai intermediet
disebut amino-ester, misalnya prokain, kloroprokain, dan tetrakain. Obat anestesi lokal dengan rantai
amid antara ujung aromatik dan rantai intermediet disebut amino-amid, misalnya lidokain,
mepivakain, prilokain, bupivakain dan etidokain. Perbedaan dasar antara golongan ester dan amid
adalah dalam cara metabolisme obat dan potensial alerginya. Golongan ester dihidrolisa di plasma
oleh enzym di liver. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah paraaminobenzoic acid yang
dapat menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amid tidak menghasilkan paraaminobenzoic
acid, dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat jarang.

Gambaran anestesi dari suatu komponen kimia tergantung dari :

1) Lipid solubility

2) Protein binding

3) pKa

194
4) Non-nervous tissue diffusibility

5) Intrinsic vasodilator activity

Gambaran tersebut terlihat pada tabel berikut ini.

1) Lipid solubility :

Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat anestesi lokal tersebut.
Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten obat tersebut. Lipid solubility prokain kurang
dari satu, dan obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain,
tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi. Obat ini
menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik
anestesinya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan antara lipid solubility dan potensi intrinsik
anestesi selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran
saraf terdiri dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% axolemma terdiri dari lemak. Karena itu obat
anestesi lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf dengan lebih mudah,
yang direfleksikan sebagai peningkatan potensi.

2) Protein binding :

Kekhasan protein binding adalah mempengaruhi lama kerja obat anestesi lokal tersebut.
Prokain, pengikatan oleh proteinnya buruk, maka lama kerjanya (duration of action -nya) pendek.
Sebaliknya, tetrakain, bupivakain, etidokain protein binding nya tinggi, maka lama kerjanya panjang.
Hubungan antara protein binding obat anestesi lokal dan lama kerjanya adalah konsisten dengan
struktur dasar membran saraf. Protein membran saraf 10%. Karena itu obat yang menembus
axolemma dan diikat pada protein membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktivitas obat.

3) pKa :

pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH dimana bentuk ion dan non-ion ada dalam
keseimbangan. Obat anestesi lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggungjawab untuk difusi
menembus selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus
epineurium, yang kolerasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar. Persentase dari obat anestesi lokal
dalam bentuk dasar bila disuntikkan ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah sebaliknya
proporsional pada pKa obat tersebut. Sebagai contoh, lidokain yang mempunyai pKa 7,74 adalah
65% dalam bentuk ion dan 35% dalam bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Dari penelitian invivo
dan invitro telah dikonfirmasikan bahwa obat anestesi lokal yang mempunyai pKa hampir mendekati
pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada obat anestesi lokal dengan pKa yang
tinggi.

195
4) Non-nervous tissue diffusion :

Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi melalui perineurium. Lapisan


pembungkus serabut saraf dari dalam keluar adalah endoneurium, perineurium, dan epineurium.
Lapisan ini terdiri dari jaringan pengikat kolagen dan elastis. Pada invivo, obat anestesi lokal harus
menembus jaringan pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus
jaringan yang bukan saraf. Sebagai contoh, prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang sama dan
onset yang sama pada saraf yang diisolasi (invitro), tetapi invivo, onset time kloroprokain lebih
pendek daripada prokain, ini menunjukkan bahwa kloroprokain lebih cepat menembus jaringan yang
bukan jaringan saraf.

5) Intrinsic vasodilator activity :

Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja obat anestesi lokal. Tingkatan dan
lamanya blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat anestesi lokal yang menembus ke reseptor
pada membran saraf. Setelah suntikan obat anestesi lokal sebagian obat akan diambil jaringan saraf
dan beberapa bagian akan diabsorpsi ke dalam sistim sirkulasi. Derajat absorpsi vaskuler
berhubungan dengan aliran darah ke daerah dimana disuntikkan obat anestesi lokal. Semua obat
anestesi lokal, kecuali kokain, bersifat vasodilator, tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh
setiap obat berbeda-beda. Pada penelitian invitro telah ditunjukkan bahwa potensi intrinsik obat
anestesi lidokain lebih besar daripada mepivakain, tetapi invivo, mepivakain mempunyai potensi
yang sama dan lama kerja yang lebih panjang dari pada lidokain. Perbedaan antara invivo dengan
invitro adalah akibat lebih besarnya vasodilator activity dari lidokain sehingga absorpsi lidokain lebih
besar dan obat yang tersisa untuk memblokade saraf tinggal sedikit.

III. Toksisitas Obat Anestesi Lokal

Obat anestesi lokal relatif bebas dari efek samping bila diberikan dalam dosis yang tepat dan lokasi
anatomis yang tepat. Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskuler atau dosis
besar subarakhnoid. Pemberian dosis yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat dapat membawa ke
arah toksisitas sistemik setelah absorpsi vaskuler obat anestesi lokal tersebut.

Pengaruh toksisitas tergantung dari kadar obat anestesi lokal dalam plasma. Bila kadarnya
6g/ml gejalanya adalah gangguan penglihatan, disorientasi dan ngantuk. Bila kadarnya 10g/ml
gejalanya adalah tidak sadar, twitching otot, tremor (muka, ujung ekstrimitas). Bila kadarnya
12g/ml timbul kejang-kejang, dan bila kadarnya 20g/ml terjadi henti nafas.

Tabel : Toksisitas Obat Anestesi Lokal


(1) Susunan Saraf Pusat

Eksitasi

196
Depresi

(2) Sistem Kardiovaskuler

Hipertensi

Hipotensi

Iritasi Lokal
(1) Kerusakan serabut saraf
(2) Kerusakan otot skelet
Lain-lain

(1) Alergi
(2) Methemoglobinemia (prilokain)
(3) Kecanduan (Kokain)

Toksisitas Sistemik :

Toksisitas sistemik obat anestesi lokal secara primer umumnya mengenai susunan saraf pusat
dan sistim kardiovaskuler. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistim kardiovaskuler.
Penelitian pada anjing dan biri-biri menunjukkan bahwa diperlukan dosis dan kadar obat anestesi
lokal yang lebih kecil untuk menimbulkan toksisitas SSP daripada toksisitas kardiovaskuler.

Tabel : Signs and symptoms of local anesthetic related CNS


toxicity

CNS excitation

Tinnitus

Lightheadedness

Confusion

Circumoral numbness

Tonic-clonic convulsions

Drowsiness

197
Unconciousness

Respiratory arrest

Toksisitas Susunan Saraf Pusat :

Toksisitas SSP berhubungan dengan :


1. Potensi obat: bupivakain 8 kali lebih poten daripada prilokain; toksisitasnya juga jauh lebih berat.

2. Kadar CO2: bila kadar CO2 darah meningkat, ambang konvulsi menurun.

3. pH darah: bila pH darah menurun, ambang konvulsi menurun

Pada sukarelawan yang diinfus obat anestesi lokal merasakan adanya perasaan melayang, pening,
diikuti gangguan penglihatan dan pendengaran (seperti kesulitan memfokuskan pandangan dan
tinnitus) serta adanya disorientasi dan mual. Tanda-tanda lain adalah adanya eksitasi, menggigil,
twitching otot dan tremor pada otot-otot muka dan bagian distal ekstrimitas dan terjadi kejang-kejang
yang menyeluruh. Bila dosis besar diberikan secara sistemik, gejala pertama SSP eksitasi segera
diikuti oleh SSP depresi, depresi nafas dan henti nafas. Perbandingan relatif toksisitas SSP dari
bupivakain, etidokain dan lidokain adalah 4:2:1.

Toksisitas Kardiovaskuler :

Obat anestesi lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistim kardiovaskuler.
Pemberian secara sistemis dapat mempengaruhi otot jantung dan otot polos dinding pembuluh darah.

Obat-obat anestesi lokal.

Lidokain :

Lidokain biasanya digunakan untuk terapi aritmia (ventricular extrasystole). Efek primer dari
lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi. Bupivakain dapat mempresipitasi
timbulnya aritmia jantung, yaitu adanya blok unilateral dan suatu aritmia jantung tipe reentrant.
Tergantung dosisnya, obat anestesi lokal bisa bersifat inotropik negatif. Makin poten obat anestesi
lokal tersebut, semakin kuat mendepresi jantung.

Lidokain :

Onsetnya lebih cepat dan lama kerja lebih lama dari prokain.
Efek topikalnya baik.
Sering dipakai sebagai anti aritmia.
Dipakai untuk menumpulkan rangsangan akibat laringoskopi-intubasi yang
menimbulkan kenaikkan tekanan darah dan frekuensi nadi dengan dosis 1-1,5 mg/kg

198
BB intravena.
Obat anestesi lokal yang paling banyak dipakai dan sebagai pembanding obat anestesi lokal
lainnya.
Konsentrasi untuk pemberian infiltrasi 0,5-1%, epidural 1-2%, blok saraf 1-1,5%, topikal
4%, spinal 5%.
Onsetnya cepat, duration 60-120 menit.
Dosis maksimalnya 300mg tanpa epinephrin, 500mg bila dicampur dengan epinephrin.
Dosis rata-ratanya 7-8mg/kgBB.

Bupivakain :
Potensinya lebih kuat.
Duration-nya lebih lama.
Toksisitasnya hampir sama dengan tetrakain, 4-5 kali lebih besar dari lidokain.
Motor blockade lebih lemah daripada lidokain.
Onset-nya lebih lama daripada lidokain.
Banyak dipakai pada nyeri pascabedah dan analgesi pada persalinan.
Konsentrasi infiltrasinya 0,25-0,5%, nerve block 0,25-0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5.
Onset-nya lambat, duration 180-300 menit.
Single dose maksimumnya 175mg.
Dosis rata-ratanya 3-4mg/kgBB.

IV. Persiapan Anestesi

Tergantung dari jenis teknik anestesi lokal apa yang akan digunakan. Secara umum pasien
harus diberitahu bahwa untuk yang bersangkutan anestesi terbaik adalah anestesi lokal. Bila perlu
bisa juga sedikit dijelaskan tentang cara melakukan tindakan anestesi lokal tersebut. Pasien tetap
dianjurkan puasa untuk mencegah muntah bila diperlukan kombinasi dengan anestesi umum.
Diperiksa tempat yang akan disuntik, apakah memungkinkan dilakukan tindakan anestesi lokal.
Diberikan premedikasi sedatif dan analgetik kalau perlu. Contoh premedikasi misalnya dengan
diazepam atau lorazepam. Pada keadaan-keadaan tertentu lebih baik tidak dilakukan anestesi lokal,
misalnya pasien tidak kooperatif, ditemukan penyakit saraf, anemia berat, ataupun infeksi kulit.

VII. Spinal Anestesi

Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena deposit obat
anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior
dan posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas

199
otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-
fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi
lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris.
Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.

Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan
kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat
anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.
Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi
kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesi.

Indikasi Spinal Anestesi :


1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah.

2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.

3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik, rectosigmoid,
kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi spinal anestesi untuk
abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan
perubahan fisiologis yang hebat.

5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).

6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

Kontra Indikasi Absolut :


1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi
perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan
cairan serebrospinal.

4. Bila pasien menolak.

5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.

6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernikiosa, neurosyphilys, dan
porphiria.

7. Hipotensi.

200
Kontra Indikasi Relatif :

1. Pasien dengan perdarahan.

2. Problem di tulang belakang.

3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

Anatomi :

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4
coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat
penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan
epidural berakhir di vertebra S2.

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medulla spinalis, dari
luar ke dalam adalah sebagai berikut :

1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.

Teknik Spinal Anestesi :


1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-operatif),
sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka
pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.

2. Posisi pasien :

a) Posisi Lateral.

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut,
kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk.

Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang
telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk
memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle

201
block.

c) Posisi Prone.

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau
prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit ditutupi
dengan doek bolong steril.

4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil
diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan
keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi
lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

Obat-obat yang dipakai :

Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain, bupivakain,
levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang
poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5%
dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan
lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk
operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia
tinggi.
Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.

Pengaturan Level Analgesia :

Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut : level
segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit,
sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk
keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :
--. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral.

202
--. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen
torakal bawah, lumbal dan sakral.

--. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk segmen torakal,
lumbal, dan sacral.

--. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk segmen torakal
4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan hipotensi, serta
respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.

Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan,
valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan.
Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga akan
semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita
mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua
obat anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan
subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga akan
menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan
turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang
dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.

Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor,
maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat
jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035,
sedangkan hipobarik 1,001-1,002.
Perawatan Selama pembedahan.

1. Posisi yang enak untuk pasien.

2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.

4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.

6. Berikan oksigen per nasal.

Perawatan Pascabedah.

1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.

2. Minum banyak, 3 lt/hari.

203
3. Cegah trauma pada daerah analgesi.

4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.

6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan
darah dan frekuensi nadi.

Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal :


1. Sistim Kardiovaskuler :

a) Penurunan resistensi perifer :

--. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus
vasokonstriksi simfatis.

--. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.

--. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya
vasokonstriksi.

b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata

Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan darah
turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla
oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari
tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat
vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau
NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-
50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-
20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.

c) Penurunan denyut jantung.

Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi
myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac
accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan
mungkin juga tekanan darah.

204
2. Sistim Respirasi

Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia
medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena
terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi
batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.

3. Sistim Gastrointestinal :

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien
sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter
bedah manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor
serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan
semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka
bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml
dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien
terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak
terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :

--. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).

--. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak
merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

--. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan
menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :

--. Memakai abdominal binder.

--. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat
kebocoran.

--. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar
(no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami
sakit kepala daripada laki-laki.

205
5. Backache

Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesi.

6. Retensio Urinae

Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum
pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi
vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya
adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memaki syringe dan jarum yang
disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik
antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari
ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

206
MODUL 10 ANESTESI REGIONAL II
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 3)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4 minggu (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

2. LCD Projector dan screen


3. Laptop
4. OHP
5. Flipchart
6. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th


ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

207
TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional ,
fisiologi anestesia epidural , kaudal dan anestesia regional blok perifer, dapat melakukan
anestesia anestesia epidural , kaudal dan anestesia regional blok perifer secara baik dan benar,
melakukan penatalaksanaan komplikasi anestesia epidural , kaudal dan anestesia regional blok
perifer

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu untuk :

Kognitif

a. Mampu menjelaskan anatomi tulang belakang, medula spinalis dan rongga


epidural,lapisan-lapisannya mulai dari kulit, ligamen-ligamen, sampai ke rongga
epidural, regio sakralis, hiatus sakralis, fungsional anatomi pleksus brakhialis dan
pleksus lumbosakral
b. Mampu menjelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural, kaudal,
pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral.
c. Mampu menjelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.
d. Mampu menjelaskan mekanisme kerja obat anestesia lokal pada anestesia epidural,
kaudal ,blok pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral .
e. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesi dan
mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya
anestesia epidural, kaudal, blok perifer pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral.
f. Mampu menjelaskan rencana penatalaksanaan anestesia epidural, kaudal, blok perifer
pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral untuk prosedur bedah yang akan dilakukan.
g. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia
epidural, kaudal, blok pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral .
h. Mampu menjelaskan cara kerja nerve- stimulator dan metode lainnya untuk identifikasi
syaraf , keuntungan dan keugiannya
i. Mampu menjelaskan prosedur tindakan anestesia epidural, kaudal, berbagai pendekatan
blok pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral yang baik dan benar.
j. Mampu menyebutkan beberapa cara pemasangan jarum epidural .
k. Mampu menjelaskan level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
l. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan anestesia epidural, kaudal,
blok pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral.
m. Mampu menyebutkan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja,
lama kerja obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, kaudal, blok
pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral serta jenis ajuvan yang dapat
mempengaruhi atau membantu kerja obat anestesia lokal.
n. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat, ketinggian

208
blok anestesia epidural,dan kaudal
o. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja obat pada
anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral
p. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, kaudal,
blok pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral, tanda- tanda dan gejala, cara
mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
q. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pencabutan kateter epidural pada pasien yang
mendapat terapi antikoagulan.

Psikomotor

a. Mampu melakukan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesi ,memilih


pasien yang sesuai untuk anestesia epidural lumbal , kaudal, blok pleksus brakhialis dan
pleksus lumbosakral , dan mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan
mempengaruhi jalannya anestesia.
b. Mampu melakukan persiapan alat (alat anestesia epidural, kaudal ,blok perifer dan alat
resusitasi) dan obat (anestesia lokal, ajuvan, obat resusitasi) untuk anestesia epidural
lumbal, kaudal, blok perifer dan blok pleksus lumbosakral dengan baik dan benar.
c. Mampu melakukan prosedur tindakan anestesia epidural lumbal , kaudal , blok pleksus
brakhialis, blok pleksus lumbosakral yang baik dan benar dengan berbagai cara
pendekatan.
d. Mampu memeriksa level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom, miotom dan osteotom yang dipengaruhinya pada anestesia epidural lumbal,
kaudal, blok pleksus brakhialis, blok pleksus lumbosakral sehingga sesuai untuk
kebutuhan masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan.
e. Mampu menyiapkan berbagai jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran dan memakai
berbagai jenis obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural lumbal,
kaudal, blok pleksus brakhialis, blok pleksus lumbosakral, serta jenis ajuvan yang dapat
mempengaruhi atau membantu kerja obat anestesia lokal.
f. Mampu melakukan monitor pasien dalam anestesia epidural lumbal, kaudal, blok
pleksus brakhialis, blok pleksus lumbosakral
g. Mampu mengenali perubahan fisiologis yang terjadi pada anestesia epidural lumbal,
blok kaudal, blok pleksus brakhialis , blok pleksus lumbosakral dan
penatalaksanaannya
h. Mampu mengenali tanda- tanda dini komplikasi yang terjadi pada anestesia epidural
lumbal, kaudal, blok pleksus brakhialis, blok pleksus lumbosakral ,melakukan
pencegahan dan mengatasi komplikasi tersebut.
i. Mampu melakukan pencabutan kateter epidural dengan benar terutama pada pasien
yang mendapat terapi antikoagulan.

Komunikasi/Hubungan interpersonal

a. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif manfaat dan resiko tindakan anestesia epidural, kaudal, blok pleksus
brakhialis, blok pleksus lumbosakral untuk mendapatkan informed consent.
b. Mampu menjelaskan kepada sejawat senior atau konsulen tentang kondisi pasien untuk
kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum,

209
selama dan sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk
kerjasama dalam mengelola pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat
timbul, penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pasca bedah.

Profesionalisme

a. Mampu bekerja sesuai prosedur dengan efisien.


b. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi.
c. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedik dan tenaga medis
lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing.
d. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien

KEYNOTES:

1. Spinal, epidural dan caudal blok juga disebut sebagai Neuroaxial anestesi. Setiap blok
ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat
dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinu.

2. Melakukan tusukan lumbal (subarachnoid) harus dibawah L1 pada dewasa (L3 pada
anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medulla spinalis.

3. Tempat kerja utama blok neuroaxial adalah pada nerve root (radiks saraf).

4. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen


lebih tinggi dari blok sensoris (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada
blokade motoris. Sensoris 2 segmen lebih tinggi dari motoris.

5. Interupsi transmisi eferen otonom pada radiks nerves spinalis dapat menimbulkan
blokade simpatis dan parasimpatis.

6. Blokade neuroaxial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut
jantung dan kontraksi jantung.

7. Efek kardiovaskuler yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat


hipotensi. Loading volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk
mengkompensasi pooling vena.

8. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan
vasopressor.

210
9. Kontraindikasi neuroaxial blokade adalah pasien menolak, gangguan perdarahan,
hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi di tempat suntikan,
penyakit katup jantung stenosis berat atau obstruksi outflow ventricular.

10. Untuk anestesi epidural, hilangnya tahanan yang tiba-tiba menunjukkan jarum masuk
rongga epidural. Untuk spinal anestesi ditandai dengan keluarnya liquor serebrospinalis.

11. Epidural anestesi adalah suatu teknik neuroaksial yang tempat pemasangannya
mempunyai rentang yang lebih luas daripada Spinal Anestesi. Epidural blok dapat
dilakukan pada level lumbal, torakal, cervical.

12. Epidural teknik digunakan secara luas untuk anestesi operasi, obstetri analgesia,
pengelolaan nyeri pascabedah, pengelolaan nyeri kronis.

13. Onset epidural anestesi lebih lambat (10-20 menit), dan kurang dalam dibandingkan
dengan spinal anestesi.

14. Kuantitas (volume dan konsentrasi) obat anestesi lokal yang diperlukan untuk epidural
anestesi lebih banyak dibandingkan dengan spinal anestesi. Toksisitas yang nyata dapat
terjadi bila jumlah tersebut disuntikkan intratekal atau intravena. Panduan yang aman
adalah gunakan test dose dan berikan secara incremental.

15. Epidural Caudal anestesi adalah salah satu teknik regional anestesi yang sering
digunakan pada pasien pediatrik.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat melakukan anestesi regional spinal atau eidural lumbal/epidural caudal diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan dalam anatomi, farmakologi obat, komplikasi akaibat obat
anestesi, pemasangan alat, dan komplikasi akibat perubahan fisiologis yang besar.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan:

1. Anestesia epidural lumbal


2. Blok kaudal
3. Blok pleksus brakhialis pendekatan interskalenus dan aksilaris

211
4. Blok pleksus lumbosakral : blok sciatic, blok femoralis, blok poplitea

METODE PEMBELAJARAN

- Kuliah Persiapan Anestesia Epidural , Blok Kaudal, Blok Pleksus Brakhialis, Blok
Pleksus lumbosakral dilakukan pada semester 3
- Pelatihan di skill lab anestesia epidural lumbal dan blok kaudal pada manekin epidural
dilakukan semester 3
- Pelatihan di skill lab dengan sukarelawan untuk menggambar landmark blok plesus
brakhialis dan blok pleksus lumbosakral
- Pelatihan di kamar bedah anestesia epidural lumbal, blok kaudal, blok pleksus brakhialis
dan blok pleksus lumbosakral pada pasien dilakukan semester 3 dan selanjutnya
terintegrasi dengan rotasi lainnya, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang masalah yang timbul pada anestesia epidural lumbal , blok
kaudal, blok pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual

MEDIA

- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.
- Sukarelawan

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

- Manekin anestesia epidural

EVALUASI

Pretest

1.Jelaskan anatomi tulang belakang dan rongga epidural

2. Jelaskan anatomi regio sakralis, hiatus sakralis dan variasinya


3. Jelaskan anatomi dan dermatom, osteotom, miotom yang disyarafi pleksus brakhialis
dan cabang- cabangnya
4. Jelaskan anatomi dan dermatom, osteotom, miotom yang disyarafi pleksus lumbosakral

212
dan cabang- cabangnya
5. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural
6. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada blok kaudal
7. Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.
8. Jelaskan mekanisme kerja obat anestesi lokal pada anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral
9. Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesi, pemilihan pasien yang
sesuai dan mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi
jalannya anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakhialis dan blok pleksus
lumbosakral
10. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia epidural, blok
kaudal, blok pleksus brakhialis, dan blok pleksus lumbosakral .
11. Jelaskan prosedur tindakan anestesia epidural dan blok kaudal yang baik dan benar.
12. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus brakhialis pendekatan interskalenus
dan aksilaris dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
13. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus lumbosakral : blok sciatic, blok
femoralis, blok poplitea dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
14. Sebutkan beberapa cara penusukan jarum epidural
15. Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom , osteotom,
miotom yang dipengaruhinya untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus
brakhialis, blok pleksus lumbosakral untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
16. Jelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis (interskalenus dan aksilaris), blok pleksus lumbosakral (sciatic,
femoral, poplitea)
17. Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama
kerja obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis (interskalenus, aksilaris) dan blok pleksus lumbosakral ( sciatic,
femoral, poplitea) serta jenis ajuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja
obat anestesia lokal.
18. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat,
penyebaran dan intensitas blok anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakhialis,
blok pleksus lumbosakral .
19. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis (interskalenus , aksilaris), blok pleksus lumbosakral (sciatic,
femoralis, poplitea), tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi
tersebut.

Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Skill

- Multiple observation and assessments

213
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
Knowledge

- MCQ (pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)

Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Epidural Lumbal Tehnik Loss of Resistance

N Prosedur Anestesia Blok


o Epidural
Sudah Belum
(pendekatan cara midline) dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR ANESTESIA
EPIDURAL

1 Periksa kesiapan alat (epidural,


resusitasi) dan obat (epidural,
resusitasi) yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien,

214
premedikasi bila perlu

5 Posisikan pasien lateral dekubitus atau


duduk, ganjal bahu dan kepala pasien
bila diposisikan lateral dekubitus.

6 Tentukan landmark celah antara L2-3,


L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari
spina iliaka anterior superior.

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis


pada landmark yang ditentukan.

8 Berikan anestesi lokal pada celah yang


akan dilakukan penusukan jarum Tuohy

9 Lakukan penusukan jarum Tuohy pada


celah yang telah diberi anestesi lokal
sampai jarum Tuohy terfiksasi di
ligamentum. Penusukan jarum harus
sejajar dengan prosesus spinosus atau
sedikit membentuk sudut kearah
sefalad, dengan arah bevel ke lateral
atau sefalad. Cabut stylet dan
hubungkan jarum dengan syringe yang
berisi NaCl 0,9%.

10 Dengan tangan non dominan menahan


jarum pada punggung pasien, tangan
dominan mendorong maju jarum Tuohy
pelan sambil menekan plunger syringe
sampai ujung distal jarum epidural
sampai di ruang epidural yang ditandai
dengan adanya loss of resistance.

11 Cabut syringe dan kateter epidural


dimasukkan sampai ujung kateter
melewati ujung jarum epidural

10 Cabut jarum epidural sambil


mendorong kateter epidural sedemikian
sehingga kateter tidak ikut tercabut

11 Pastikan kateter epidural yang masuk


ke ruang epidural sepanjang lebih

215
kurang 4 cm (fiksasi di kulit :
kedalaman ruang epidural + 4 cm)

12 Sambungkan kateter dengan filter yang


sudah diisi NaCl0,9%. . Aspirasi untuk
memastikan kateter tidak masuk ruang
subarachnoid. Fiksasi kateter, tutup
dengan kasa steril/ tegaderm.

13 Lakukan test dose untuk memastikan


ujung kateter tidak terletak di ruang
subarachnoid atau intravaskular

14 Masukkan anestesia lokal dengan pelan


dan aspirasi sering

15 Cara penyuntikkan paramedian pada


dasarnya sama seperti diatas, hanya
jarum Tuohyl disuntikkan pada 1,5 cm
lateral dan 1cm kaudal dari celah
penyuntikkan yang dituju.

Cara hanging drop pada dasarnya


sama dengan tehnik loss of resistance
hanya identifikasi ruang epidural
dilakukan dengan cara mengamati
tertariknya tetesan Nacl o,9% pada hub
jarum Tuohy oleh tekanan negatif
ruang epidural

DURANTE ANESTESIA
EPIDURAL

1 Monitor ABC ,ketinggian blok,


intensitas blok

2 Amati perubahan fisiologis yang terjadi


, pencegahan dan penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

5 Topping-up dose bila pembedahan


berlangsung lama

6 Monitor kenyamanan pasien dan


penatalaksanaan rasa tidak nyaman

216
pasien

PASCA BEDAH

1 Monitor ABC , intensitas blok di ruang


pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Pencabutan kateter epidural

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Kaudal

N Prosedur Anestesia Blok


o Kaudal
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK KAUDAL

1 Periksa kesiapan alat (blok kaudal,


resusitasi) dan obat yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien,


premedikasi bila perlu

5 Posisikan pasien pada posisi Sims

6 Identifikasi kornu sakralis dan SIPS

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis


pada landmark yang ditentukan.

217
8 Berikan anestesi lokal pada kulit di atas
kornu sakralis

9 Lakukan penusukan jarum kateter


intravena / Tuohy dengan sudut 45
derajat dengan sacrum di antara kedua
kornu sakralis, setelah jarum dirasakan
melalui membran sacracoccygeal atau
kontak dengan bagian ventral kanalis
sacralis, jarum ditarik beberapa mm
dari periosteum, diturunkan 5 sampai
15 derajat, dan kateter diteruskan
masuk beberapa mm (bayi/anak ) atau
cm (dewasa). Perhatikan ujung jarum
tidak melewati garis imajiner yang
menghubungkan kedua SIPS

10 Cabut stylet jarum kateter intravena/


Tuohy

11 Hubungkan syringe berisi NaCl0,9%


dengan hub kateter/ Tuohy, aspirasi ,
bila negatif, injeksikan sambil
merasakan loss of resistance ruang
epidural dan meraba tidak adanya
penyuntikan intramuscular/ subkutan

13 Lakukan test dose untuk memastikan


ujung jarum tidak terletak di ruang
subarachnoid atau intravaskular

14 Masukkan anestesia lokal dengan pelan


dan aspirasi sering sambil tangan non
dominan meraba regio sakrum

DURANTE BLOK KAUDAL

1 Monitor ABC ,ketinggian blok,


intensitas blok

2 Amati perubahan fisiologis yang


terjadi, pencegahan dan
penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

218
5 Penatalaksanaan ketidaknyamanan
pasien bila ada

PASCA BEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Interskalenus Pleksus Brakhialis

N Prosedur Anestesia Blok


o Interskalenus Pleksus
Sudah Belum
Brakhialis
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,


resusitasi) dan obat (blok perifer,
resusitasi) yang diperlukan dan cek
kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas


lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

219
6 Posisikan pasien dengan kepala pasien
miring ke arah sisi yang tidak diblok

7 Gambar landmark blok interskalenus :


bagian posterior otot
sternocleidomastoideus pars
clavicularis, vena jugularis eksterna,dan
clavicula. Raba otot scalenus anterior
dan medial di bagian posterior otot
sternocleidomastoideus pars clavicula,
di dekat vena jugularis eksterna

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Anestesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum stimulator 2 inch dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan pada daerah antara
otot skalenus anterior dan medial
dengan arah sedikit caudal dan
posterior. Perhatikan jarum jangan
masuk lebih dari 2cm

11 Amati adanya respon positif berupa


twitch otot deltoid, lengan atas , lengan
bawah atau tangan. Kecilkan arus
sampai didapat twitch adekuat dengan
arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi
jarum bila perlu.

12 Hubungkan syringe berisi anestesia


lokal dengan jarum stimulator. Aspirasi
dan injeksikan anestesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK
INTERSKALENUS PLEKSUS
BRAKHIALIS

1 Monitor ABC, intensitas blok dan


dermatom, osteotom, miotom yang
terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama blok interskalenus
pleksus brakhialis

220
3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan
dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCA BEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Aksilaris Pleksus Brakhialis

N Prosedur Anestesia Blok


o Aksilaris Pleksus Brakhialis
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer ,


resusitasi)dan obat yang diperlukan dan
cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

221
4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas
lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan kepala pasien


miring ke arah sisi yang tidak diblok,
dan lengan yang akan diblok abduksi
dan fleksi di sendi siku sehingga aksila
terekspose

7 Raba denyut arteri aksilaris pada lengan


yang akan diblok

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Anestesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum stimulator 2 inch dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan pada daerah di
atas denyut arteri aksilaris

11 Amati adanya respon twitch tangan.


Kecilkan arus sampai didapat twitch
adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA.
Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12 Hubungkan syringe berisi anestesia


lokal dengan jarum stimulator. Aspirasi
dan injeksikan anestesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

13 Bila perlu dapat dicari respon motorik


nervus medianus, ulnaris, radialis satu
persatu.

DURANTE BLOK AKSILARIS


PLEKSUS BRAKHIALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan


dermatom, osteotom , miotom yang
terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama blok interskalenus
pleksus brakhialis

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan

222
dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCA BEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Sciatic Pleksus Sakralis

N Prosedur Anestesia Blok Sciatic


o Pleksus Sacralis
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK SCIATIC


PLEKSUS SACRALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,


resusitasi)dan obat yang diperlukan dan
cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas

223
lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan posisi lateral


sedikit jatuh ke ventral dengan tungkai
yang akan diblok di sebelah atas,
dengan fleksi sendi panggul dan lutut

7 Gambar landmark blok sciatic : 4 cm


dari pertengahan garis yang
menghubungkan SIPS dan trochanter
mayor

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Anestesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum stimulator 4 inch dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan dengan arah tegak
lurus semua plana.

11 Amati adanya respon twitch otot


hamstring, betis atau kaki. Kecilkan
arus sampai didapat twitch adekuat
dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan
posisi jarum bila perlu.

12 Hubungkan syringe berisi anestesia


lokal dengan jarum stimulator. Aspirasi
dan injeksikan anestesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK SCIATIC


PLEKSUS SACRALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan


dermatom, osteotom , miotom yang
terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

224
PASCA BEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Femoralis Pleksus Lumbalis

N Prosedur Anestesia Blok


o Femoralis Pleksus Lumbalis
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK FEMORALIS


PLEKSUS LUMBALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,


resusitasi) dan obat yang diperlukan
dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan


amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas


lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien supine

225
7 Gambar landmark blok femoralis :
lipatan inguinal da denyut arteri
femoralis

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Anestesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum stimulator 2 inch dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan dengan arah
hampir tegak lurus tepat di sebelah
denyut arteri femoralis

11 Amati adanya respon twitch otot


quadriceps femoris .Kecilkan arus
sampai didapat twitch adekuat dengan
arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi
jarum bila perlu.

12 Hubungkan syringe berisi anestesia


lokal dengan jarum stimulator. Aspirasi
dan injeksikan anestesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK FEMORALIS


PLEKSUS LUMBALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan


dermatom, osteotom , miotom yang
terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCA BEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi

226

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Poplitea Pleksus Sakralis

No Prosedur Anestesia Blok Poplitea


Pleksus Sakralis
Sudah Belum
(pendekatan posterior) dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisik dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK POPLITEA PLEKSUS


SAKRALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi)


dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis


dan antisepsis

3 Pasang monitor standar pada pasien dan amati


tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain


yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan posisi prone

7 Gambar landmark blok poplitea : 8 cm dari


lipatan poplitea ke arah kaudal di pertengahan
tendon otot semimembranosus dan otot biceps
femoris

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Anestesia lokal daerah penyuntikan

227
10 Jarum stimulator 4 inch dihubungkan dengan
nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA,
disuntikkan dengan arah tegak lurus

11 Amati adanya respon twitch otot kaki. Kecilkan


arus sampai didapat twitch adekuat dengan arus
0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12 Hubungkan syringe berisi anestesia lokal


dengan jarum stimulator. Aspirasi dan
injeksikan anestesia lokal secara pelan dan
aspirasi sering

DURANTE BLOK POPLITEA PLEKSUS


SACRALIS

1 Monitor ABC, intensitas dan dermatom,


osteotom, miotom yang terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien


selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan


penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCA BEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda


DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan

228
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

229
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Lumbal Epidural Anestesi


Dapat dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal di ruangan epidural di daerah
lumbal. Penusukan dapat dilakukan di daerah torakal. Tetapi umumnya di bawah L2, mengingat
pada L2 adalah akhir medulla spinalis. Hal ini untuk mengurangi resiko kesalahan penusukan
yang terlalu dalam sehingga menembus medulla spinalis.

Indikasi dan kontraindikasi :

Sama seperti spinal anestesi. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugian epidural
anestesi dibandingkan dengan spinal anestesi, maka :

Keuntungan Spinal Anestesi adalah :


a) Obat anestesi lokal yang dipakai lebih sedikit.

b) Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan blokade yang adekuat lebih singkat.

230
c) Level anestesi lebih pasti.

d) Teknik lebih mudah.

Keuntungan Epidural Anestesi adalah :


a) Bisa anestesi segmental.

b) Tidak terjadi sakit kepala pascabedah.

c) Hipotensi lambat terjadinya.

d) Efek motoris lebih rendah.

e) Dapat dipertahankan untuk 1-2 hari dengan memakai kateter untuk terapi sakit
pascabedah.

Kerugian Epidural Anestesi dibandingkan dengan Spinal anestesi :


a) Teknik epidural anestesia lebih sulit daripada spinal anestesi.

b) Karena ruangan epidural sangat vaskuler dan diperlukan obat anestesi lokal yang
lebih banyak, maka kemungkinan reaksi sistemis akibat absorpsi vaskuler lebih
besar.

c) Bila ada kesalahan menusuk dura dan jarum masuk ke ruangan subarakhnoid, lalu
diberikan jumlah besar obat anestesia yang bisa menyebabkan henti nafas, hilangnya
kesadaran, mungkin juga blokade simfatis yang menyeluruh.

d) Diperlukan 5-10 kali lebih banyak obat untuk mencapai level anestesi yang
diinginkan.

Keuntungan Epidural Anestesi dibandingkan dengan Anestesi Umum :


a) Sedikit mempengaruhi respirasi, maka epidural anestesi sangat menguntungkan untuk
pasien-pasien dengan asthma, bronkhitis, atau emphysema.

b) Bisa diperoleh analgesia, relaksasi otot, dan usus.

c) Dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pelemas otot (misalnya
myasthenia gravis).

Anatomi :
Duramater berakhir di ujung foramen magnum. Hal ini menguntungkan karena dapat
mencegah masuknya obat anestesi lokal dari ruangan peridural ke ruangan otak. Kantong dura
berakhir di S2, kira-kira 1cm di bawah dan medial dari level spina iliaca posterior superior.
Ruangan epidural dibatasi oleh duramater di sebelah dalam, ligamentum flavum dan periosteum

231
di sebelah luar.

Ruangan epidural meluas mulai dari dasar kepala (foramen magnum) dimana terjadi fusi
duramater dengan periosteum sampai coccygeus (membran sacrococcygeal). Diameternya
0,5cm dan paling lebar di daerah L2. Jarak rata-rata antara kulit dengan ruangan epidural
adalah 4-5cm. Ruangan epidural berisi jaringan pengikat, lemak, vena dan arteri serta pembuluh
limfe dan saraf. Vena di sini berhubungan dengan vena di pelvis dan vena intrakranial, karena itu
obat anestesi lokal atau udara yang disuntikkan ke fleksus venosus ini dapat langsung naik ke
otak. Vena menjadi distensi pada keadaan batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga
ruangan epidural ini mengecil pada gravida aterm.

Dosis obat anestesi lokal yang diperlukan untuk mencapai level tertentu dari obat
berbeda-beda karena :
--. Variasi ukuran ruangan epidural.

--. Foramen intervertebralis libih permeabel pada orang muda daripada usia tua, maka
pada pemberian dosis yang sama dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi
pada orang tua.

Metode untuk menentukan ruangan epidural :


1. Metoda loss of resistance.

2. Metoda hanging drop.

Pada metode loss of resistance, digunakan syringe yang diisi udara atau NaCl atau obat
anestesi lokal. Ketika jarum menusuk ligamentum flavum, dirasakan ada tahanan; dan ketika
menembus ligamentum flavum dan masuk ke ruangan epidural, kita akan merasakan sekonyong-
konyong kehilangan tahanan. Bila digunakan udara, maka udara yang masuk ke ruangan
epidural jangan melebihi 3ml. Dengan metoda hanging drop, maka tetesan air akan terisap ke
ruangan epidural akibat tekanan negatif dalam ruangan epidural.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anetesi lokal dalam ruangan


epidural adalah volume dan konsentrasi obat anestesi lokal. Untuk memblokade 4
segmen biasanya cukup dengan 10-15ml. Penambahan epinefrin 1/200.000 akan
meningkatkan lama kerja obat. Kecepatan suntikan, posisi pasien sedikit
mempengaruhi penyebaran obat, sedangkan berat jenis obat anestesi lokal tidak
memegang peranan.
Cara-cara melakukan epidural anestesia :
a) Seperti untuk spinal anestesi, posisi pasien bisa duduk atau miring.

b) Tentukan land mark.

c) Setelah tindakan a dan antiseptik, pada tempat yang akan disuntik beri lokal anestesi,

232
misalnya dengan lidokain 1% sebanyak 2ml.

d) Suntikkan jarum epidural; dan setelah menembus ligamen interspinal, cabut touchy-nya, dan
pasang syringe 10ml yang telah diisi udara / NaCl / obat anestesi lokal.

e) Tentukan loss of resistance.

f) Masukkan kateter epidural 1-2cm dan fiksasi kateternya.


g) Aspirasi, bila tidak ada darah atau likuor, masukkan obat anestesi lokal.

Test dose 3ml (10% dari dosis total), tunggu selama 5 menit untuk melihat apakah ada blokade
subarakhnoid. Kecepatan penyuntikan 1ml/detik dengan jumlah total obat anestesi lokal tidak
melebihi 20ml.

Komplikasi :
1. Duramater tertusuk.

--. Bisa terjadi high atau total spinal anestesia bila disuntikkan lebih dari 7ml obat anestesi
lokal.

--. Post spinal headache yang terjadi sekunder akibat kebocoran cairan serebrospinal.

2. Reaksi sistemik karena absorpsi yang cepat dari obat anestesi lokal dan epinefrin.

Pasien mungkin mengeluh rasa pahit di lidah, sakit kepala berat, mendenging, iritabilitas,
kejang-kejang, hipotensi, dan hilangnya kesadaran. Overdosis epinefrin bisa menyebabkan
takikardia, tremor, hipertensi dan iskemia lokal pada medula spinalis.

Caudal Anesthesia
Caudal anesthesia dapat diperoleh dengan menyuntikkan obat anestesi lokal melalui
hiatus sacralis ke dalam ruangan epidural pada canalis sacralis.

Indikasi Caudal Anesthesia :


Indikasi dilakukan kaudal anestesi untuk operasi-operasi daerah perineal seperti
haemoroid, fistula ani, dan kista bartolini

Kontra indikasi Caudal Anesthesia :


Sama dengan epidural anestesia.

233
Kaudal Anestesi tidak memerlukan jarum khusus seperti spinal atau epidural lumbal.
Kita bisa memakai syringe 20ml, 10ml, atau 5ml dengan jarum no. 21 atau 22. Pasien
dalam posisi lateral atau telungkup dengan diganjal di daerah pubis. Cari landmark
dengan meraba kornu sakralis kanan kiri, dan diantaranya adalah membran
sacrococcygeal.
Kerugian Caudal Anesthesia adalah :
--. Sulit mencapai level anestesi yang tinggi.

--. Masih bisa terjadi reaksi sistemik.

--. Karena kelainan anatomi, kegagalannya bisa mencapai 5-10%.

--. Komplikasi sama dengan epidural lumbal.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th


ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
3. Hadzic Admir : Peripheral Nerve Block, 1st ed, 2006

234
MODUL 11. ANESTESIA BEDAH ORTOPEDI I

Mengembangkan Kompetensi Waktu

Sesi di dalam kelas Rotasi pada Semester 1 dan 2 (total 8

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing minggu/2bulan)

Sesi praktik dan pencapaian Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, emergensi
kompetensi dan trauma.

Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori dan


praktek dilakukan utamanya di kamar bedah elektif
dan emergensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang perawatan, kamar operasi, ruang pulih.

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

235
Referensi :

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Miller RD. Millers Anaesthesia 4th ed, 2005

2. Robert K. Stoelting. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice . 2006

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum dengan
sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional block subarachnoid (SAB), untuk prosedur
bedah ortopedi tertentu ( misalnya reposisi patah tulang tertutup, debridement patah tulang
terbuka, ORIF anggota gerak bawah, arthroscopy sendi lutut, dll ), mencakup evaluasi pasien
preoperatip, merancang pelaksanaan anestesia, monitoring intra operatip, penatalaksanaan
masa pulih dan penatalaksanaan nyeri pasca bedah

236
TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :

Kognitif

Pada akhir stase atau rotasi peserta akan mampu:

1. Menjelaskan tindakan anestesia umum dengan sungkup dan regional SAB, TIVA
untuk operasi fraktur anggota gerak bawah, hip fracture, arthroscopy,
2. Mengidentifikasi masalah preoperatif yang umum ditemukan pada pasien ortopedi
dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk prosedur bedah ortopedi yang paling
sering .
3. Mengidentifikasi dan mengelola masalah masalah umum pada pasien trauma serta
menjelaskan persiapan preoperatip untuk pembedahan emergensi dan trauma,
termasuk puasa dan penggunaan antacid, antagonis H2 dan antiemetik.
4. Merencanakan dan memilih obat anestesi inhalasi untuk prosedur anstesi umum
dengan sungkup.
5. Menjelaskan farmakologi obat anestesi inhalasi .
6. Merencanakan dan memilih obat anestesi intravena.
7. Menjelaskan farmakologi obat anestesi intravena.
8. Merencanakan dan memilih alat dan obat anestetika lokal untuk semua prosedur
anesthesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan berat penyakit.
9. Menjelaskan farmakologi anestetika lokal, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
10. Mengidentifikasi dan mengelola masalah masalah yang dapat terjadi selama
pembedahan, misalnya syok perdarahan.
11. Membahas topik topik spesifik dalam anestesia ortopedi, termasuk pneumatic
tourniquet, fat embolism, penyebab deep vein thrombosis, thromboembolism,
pulmonary embolism.
12. Menjelaskan dampak dari penyakit penyakit yang menyertai pasien ortopedi, seperti
hipertensi, penyakit arteri koroner, rheumatoid arthritis, diabetes mellitus, ankylosing
spondylitis.
13. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA), subarachnoid, anestesika lokal intra-artikular, non-steroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs)

237
Psikomotor

Pada akhir stase atau rotasi peserta harus mampu:

1. Melakukan anestesia umum dengan sungkup, anestesia spinal, dengan peralatan dan
obat obatan yang benar dan mengelola pasien intraoperatip dengan intervensi minimal
supervisor.
2. Memberikan anestesia yang benar dan aman untuk:
a. debridement fraktur terbuka anggota gerak bawah

b. reposisi tertutup fraktur atau dislokasi anggota gerak.

c. ORIF fraktur tulang panjang anggota gerak bawah

d. total knee arthroplasty

Komunikasi

Pada akhir stase peserta akan :

1. Mengetahui pembuatan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur prosedur


sebelum masuk kamar operasi.
2. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk mendapatkan informed
consent tentang manfaat dan resiko anestesia.
3. Mengetahui kebutuhan kebutuhan untuk mendukung prosedur anestesia, seperti
anestesia regional dan monitor selama tindakan anestesia dan pembedahan.
4. Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan
pasien
5. Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kebutuhan dan manfaat dari
analgetika.
6. Mengetahui kebutuhan antibiotika untuk pasien
7. Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi ortopedi tertentu.
8. Mampu membicarakan bersama (diskusi) dengan sejawat bagian bedah kemungkinan
kemungkinan yang terjadi dari prosedur bedah yang akan dilakukan.
9. Mampu mengkomunikasikan komplikasi komplkasi yang mungkin terjadi mengikuti
prosedur yang dijalankan, seperti terjadinya emboli lemak, thromboembolism dll.
10. Mengetahui masa atau lamanya pemasangan tourniquet.

238
Professionalisme

Pada akhir stase peserta harus

1. Mengetahui rencana pembedahan


2. Mampu melakukan tindakan anestesi yang dipilih sesuai prosedur baku.
3. Mampu memberi kemudahan untuk prosedur bedah
4. Mampu mengkomunikasikan masalah masalah pasien kepada ahli bedah.
5. Mampu mengetahui dan mengelola masalah masalah yang terjadi pada saat maupun
pasca pembedahan.
6. Mampu menciptakan kemudahan perawatan di Post Anesthesia Care Unit (PACU)
7. Mampu mengatasi nyeri pasca bedah dengan pemberian analgesia yang optimal.

KEYNOTES:

1. Manifestasi klinik sindroma implantasi semen tulang mencakup hipoksia


(peningkatan pintas paru), hipotensi, disritmia (termasuk blok dan henti jantung),
hipertensi pulmonal ( peningkatan resistensi pembuluh darah paru) dan penurunan
curah jantung.
2. Turnikuet pneumotik sering dipergunakan pada bedah arthroskopi lutut untuk
mendapatkan lapangan operasi yang bersih (bloodless) yang memfasilitasi
pembedahan. Walapun, tornikuet terkait dengan masalah yang potensial yang
mencakup, perubahan hemodinamik, nyeri, gangguan metabolik, tromboemboli
arteri, dan juga emboli paru.
3. Sindroma klasik emboli lemak terjadi dalam 24 jam setelah operasi tulang panjang,
pelvik, dengan trias dispnea, confusi dan petechiae.
4. Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT)dan emboli paru dapat menjadi
penyebab utama kesakitan dan kematian setelah operasi ortopedi pelvis dan tungkai
bawah.
5. Anestesi neuroaksial atau kombinasi dengan anestesi umum dapat mengurangi
komplikasi tromboembolik dengan beberapa mekanisme, meliputi terjadinya
simpatektomi yang akan meningkatkan aliran darah vena ekstremitas bawah, efek anti
inflamatori sistemik dari obat anestesi lokal, menurunkan reaktivitas platelet,
mengurangi peningkatan faktor VIII dan von Willebrand pascabedah, mengurangi
penurunan antitrombin III pascabedah, dan perubahan pelepasan stress hormon.
6. Pemasangan jarum atau kateter epidural (atau penarikannya) umumnya tidak
dilakukan dalam 6-8 jam setelah pemberian dosis kecil subkutan dari unfractionated
heparin, atau dalam 12-24 jam low molecular weight heparin. Walaupun kemungkinan
trauma lebih kecil, spinal anestesi dapat mempunyai resiko yang sama.

239
GAMBARAN UMUM

Untuk dapat melakukan anestesi untuk operasi ortopedi diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan dalam memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan, penatalaksanan
nyeri pascabedah, penggunaan pneumatic tourniquet, memahami patofisiologi emboli lemak,
rheumatoid arthritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), thromboemboli dan emboli
paru, serta hubungan antara anestesi regional dan anti koagulan.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi untuk operasi
ortopedi berupa tindakan anestesia umum dengan sungkup atau LMA, anestesia regional
untuk , anestesi dengan TIVA, memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan,
penatalaksanan nyeri pascabedah, penggunaan pneumatic tourniquet, memahami patofisiologi
emboli lemak, rheumatoid arthritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), thromboemboli
dan emboli paru, serta hubungan antara anestesi regional dan anti koagulan.

METODE PEMBELAJARAN

Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode:

1. Integrated, Independent, dan problem base learning.


2. Introductary lecture
3. Small group discussion and feed back
4. Peer assisted learning (PAL)
5. Bedside teaching, patient management problem
6. Simulated patient, scenarios, displays etc
7. Task-based medical education.

Peserta didik paling tidak sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

Penuntun belajar (learning guide) terlampir

Tempat belajar (training setting), kamar bedah elektif, kamar bedah

240
emergensi, Post Anesthetic Care Unit (PACU).

MEDIA

1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Workshop / Pelatihan
4. Group diskusi
5. Visite, bed site teaching PACU
6. Bimbingan di kamar bedah.
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

241
Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Professionalism
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pre test:

1. Jelaskan tentang tehnik anestesia umum atau lokal atau regional untuk
prosedur bedah ortopedi rawat jalan dan rawat inap.
2. Jelaskan tentang tehnik anesthesia blok subarachnoid (SAB).
3. Jelaskan tentang pemberian terapi cairan selama dan pasca pembedahan
4. Jelaskan pemberian transfusi darah dan komponen darah
5. Jelaskan tentang dampak pneumatic tourniquet.
6. Jelaskan tentang fat embolism, deep vein thrombosis, pulmonary
embolism.
7. Jelaskan tentang penanggulangan nyeri pasca bedah ortopedi

Bentuk Ujian :

1. Ujian pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan.

2. Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)

3. Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

1.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
242
- Minicheck
20. Skill/psikomotor
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
21. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia subarahnoid

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

243
2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

244
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

a.definisi :

Anestesia untuk bedah ortopedi I , dimaksudkan merupakan tindakan anestesia untuk

245
tindakan bedah pada kasus kasus ortopedi sederhana ( misalnya reposisi patah tulang tertutup,
debridement patah tulang terbuka , ORIF anggota gerak bawah, arthroscopy sendi lutut, dll),
dengan PSASA 1-2, bisa berupa sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional SAB.

b. ruang lingkup :

Sungkup atau LMA inhalasi


TIVA
Regional SAB
c. indikasi :

Kasus bedah ortopedi sederhana, seperti :

Reposisi patah tulang tertutup


Debridement patah tulang terbuka
ORIF anggota gerak bawah
Arthroscopy sendi lutut.
d. pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan PS ASA , berdasarkan status


atau keadaan pasien saat tersebut.

Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesi akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesi dan penerapannya dapat
dikerjakan di RS Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.

Anestesi umum dengan sungkup atau LMA

Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak anak )
Pasang infus dengan IV kateter yang besar
Periksa sumber oksigen dan gas anestesi lainnya (N2O)
Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan
ventilator
Premedikasi dengan Opiod (Petidin,Fentanyl,Morphin) dan Sedatif (Diazapam,
Midazolam) selama 10-15 menit
Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit
Induksi dengan Induktor seperti Propofol,Pentotal,Ketamin,Etomidate
Sungkup

Gunakan Sungkup (FaceMask) dengan Obat Anestesi Inhalasi


(Halotan,Isofluran,Sevofluran) dengan menaikkan konsentrasinya secara bertahap
setiap 4 kali tarikan napas sampai mencapai 1-2 kali MAC
Maintenance dengan O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan Obat Anestesi Inhalasi

246
(Halotan,Isofluran,Sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas
Flow (FGF) sementsra pasien bernapas spontan.
LMA

Bila menggunakan LMA maka LMA dipasang setelah pasien dalam keadaan tidur
dalam ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata, kemudian di sambungkan ke
konektor mesin Anestesi dan berikan Obat Anestesi Inhalasi 1 kali MAC.
Maintenance O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan Obat Anestesi Inhalasi
(Halotan,Isofluran,Sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas
Flow (FGF) dan pasien bernapas spontan
Selesai Operasi pasien di bangunkan dengan nenurunkan obat inhalasi secara bertahap
sampai nol dan mematikan N2O dan menaikkan O2 6-8 l/ menit sampai pasien sadar
benar bisa angkat kepala atau bisa berkomunikasi
Pasien ditransport ke PACU dan di observasi minimal 2jam

Komplikasi Anestesi

Trauma ( iritasi) daerah wajah yang disebabkan sungkup (face mask)


LMA dapat menyebabkan trauma di rongga mulut
Depresi Napas
Sadar lama

Anestesi Total Intra Vena

Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak anak )
Pasang infus dengan IV kateter yang besar
Periksa sumber oksigen dan gas anestesi lainnya (N2O)
Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan baging manual maupun dengan
ventilator
Premedikasi dengan opiod (Petidin, Fentanyl, Morphin) dan sedatif (Diazapam,
Midazolam) selama 10-15 menit
Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit
Induksi dengan Anestesi Intravena seperti Propofol, Pentotal, Ketamin, Etomidate
Maintenance dengan Anestesi Intravena seperti Propofol, Pentotal, Ketamin,
Etomidate sesuai dengan dosis
Selesai Operasi pasien di bangunkan sampai pasien sadar benar bisa angkat kepala
atau bisa berkomunikasi
Pasien ditransport ke PACU dan di observasi minimal 2jam

Komplikasi

Depresi napas
Nyeri daerah suntikan

247
Anestesi dengan Regional Sub Arachnoid Block (SAB)

248
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

(pendekatan cara midline)

Preload dengan Cairan (RL,Rsol,NS,Koloid) 500-1000 ml

1 Periksa kesiapan alat dan obat anestesi lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang ditentukan.

6 Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi
anestesi lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit
membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa loss
of resistence pada rongga subarahnoid.

9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan cerebrospinal yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran liquor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
liquor tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat anestesi lokal yang sudah
dipersiapkan. Aspirasi sedikit liquor, bila lancar suntikan obat anestesi lokal secara
perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi
yang tepat dan suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang
diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti diatas, hanya jarum
spinal disuntikkan pada 1,5 cm lateral dan 1cm kaudal dari celah penyuntikkan
yang dituju.

249
ANESTESIA UNTUK BEDAH ORTOPEDI II

MODUL 12
Komplikasi
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 4)
Sulit
Sesi bernapas
di dalam kelaskarena ketinggian Block (Th 4pada
Rotasi keatas)
Semester 4 (total 8 minggu/2bulan)
Hipotensi
Sesi dengan
Post fasilitasi
Dural PuncturePembimbing
Headeche (PDPH) Meliputi
atau Nyeribedah ortopedi
Kepala Pasca SAB elektif tertentu,
Hematom daerah insersi emergensi dan trauma.
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori
dan praktek dilakukan utamanya di kamar bedah
Referensi : elektif dan emergensi
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
PERSIAPAN SESI PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
2. Barash
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

Morgan GE. Clinical Anaesthesia 4th ed 2006


Barash PG. Clinical Anaesthesia 4th ed. 2006
Miller RD. Millers Anaesthesia 4th ed, 2005
Robert K. Stoelting. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice . 2006
TUJUAN UMUM
250

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum
M0DUL 13 ANESTESIA BEDAH ONKOLOGI
DAN PLASTIK

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 3)

Sesi dalam kelas 2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasiitas pembimbing 3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 8 minggu (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia bedah umum dan digestif khusus

dengan penyulit

2. Persiapan preoperatif

3. Tehnik anestesia

4. Pencegahan komplikasi anestesia

5. Penatalaksaan pasien pasca anestesia

6. Tehnik rekam medis anestesia

Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
251
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006

Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk sub-modul Persiapan alat dan obat anestesi yang lain.

1. Tujuan Pembelajaran umum

Setelah melalui sesi ini peserta didik mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan
pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah onkologi dan bedah plastik, mencakup
evaluasi pasien preoperative, merancang pelaksanaan anesthesia, pemberian anesthesia
intraoperatif , monitoring pasien, dan penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan masa
pemulihan

2.Tujuan Pembelajaran Khusus

Kognitif

Pada akhir stase atau rotasi peserta mampu

1. Menjelaskan anesthesia untuk bedah onkologi umum, bedah rekonstruksi atau bedah
plastik, prosedur flap, abdominoplasty, breast reduction, skin grafting.
2. Mengidentifikasi masalah preoperatif yang umum ditemukan pada pasien onkologi dan
plastik/rekonstruksi dan membuat rencana anesthesia yang tepat untuk prosedur bedah
yang paling sering .
3. Mengidentifikasi dan mengelola masalah masalah umum pada pasien onkologi dan bedah
rekonstruksi trauma serta menjelaskan persiapan preoperative untuk pembedahan

252
onkologi/rekonstruksi termasuk puasa dan penggunaan antacid, antagonis H2 dan
antiemetik
4. Merencanakan dan memilih alat dan obat anestetika local untuk semua prosedur
anesthesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan beratnya penyakit.
5. Menjelaskan dasar farmakologi anestetika local, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
6. Membahas topik topik anestesia yang khusus untuk bedah onkologi dan rekonstruksi
7. Menjelaskan masalah penyakit penyerta, seperti penyakit respirasi, hipertensi, penyakit
arteri coroner, diabetes mellitus dan penyakit endokrin/metabolik yang lain.
8. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA) menggunakan beberapa jenis opiat , subarachnoid, epidural, kateter
saraf perifer kontinyu, non-steroidal anti-inflammatory drugs.
9. Menjelaskan tehnik hemodilusi dan konservasi darah perioperatif.

Psikomotor

Pada akhir stase peserta harus mampu:

1. melakukan anestesia umum dengan alat dan obat yang benar dan mengelola pasien
intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staff.
2. Melakukan anestesia regional dengan alat dan obat yang benar dan mengelola pasien
intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staff.
3. Melakukan tindakan anestesi yang benar dan aman untuk:
a. bedah onkologi kepala dan leher
b. bedah plastik kepala dan leher
c. prosedur flap
d. abdominoplasty
e. breast reduction dan reconstruction
f. skin grafting.
4. Mampu mengelola difficult airway pada bedah onkologi dan bedah plastik daerah kepala
leher

Komunikasi dan Keterampilan interpersonal

Pada akhir rotasi, peserta akan:

1. Mengetahui cara mengadakan rencana bersama anethesia-bedah untuk prosedur prosedur


yang akan dilakukan sebelum masuk kamar bedah
2. Mengetahui kebutuhan untuk tim kamar bedah guna mendukung tindakan anesthesia,
seperti anesthesi regional dan monitoring invasif
3. Menjamin cukup tenaga untuk memposisikan pasien dan pemindahan pasien
4. Mengetahui jenis kebutuhan antibiotik untuk pasien
5. Menentukan kebutuhan dan ketersediaan darah
6. Komunikasi dengan ahli bedah tentang waktu torniquet

253
Profesionalisme

1. Mampu mengidentifikasi rencana pembedahan


2. Mampu memberi kemudahan pada ahli bedah
3. Mampu memberitahukan keadaan pasien pada ahli bedah
4. Mampu memberi analgesi yang adekuat pasca bedah

3. Key notes

1. Untuk pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat


mempengaruhi airway

2. Setelah pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat terjadi
perdarahan yang sulit terjadi

3. Pokok bahasan /Subpokok bahasan

Residen pada akhir rotasi harus mengerti:

1. Bedah onkologi umum


2. Bedah plastik dan rekonstruksi
3. Anestesia umum pada bedah onkologi dan bedah plastik
4. Anestesia regional pada bedah onkologi dan bedah plastik

4. Waktu : Rotasi atau stase selama 2 bulan pada tahapan klinik pertama/semester 2

5. Metode:

Pretest

1. Menjelaskan tehnik anestesia umum dan anestesia regional yang dibutuhkan untuk bedah
onkologi dan bedah plastik
2. Menjelaskan pengelolaan difficult airway
Kognitif

1. Integrated learning
2. Independent learning
3. Problem base learning
4. Introductary lecture
5. Small group discussion and feed back
6. Patient management problem
7. Simulated patient, scenarios, displays etc

254
Skill

1. Demonstrations/displays and clinical supervision


2. Patient management problem
Communication and Interpersonal Skill

1. Demonstrate/display and clinical supervision


2. Patient management problem
Professionalism

1. Patient management problem


Knowledge

1. Introductory lecture
2. Small group discussion, and feed backs.

6. Sumber Pembelajaran/Media

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual

7. Evaluasi

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills

255
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Professionalism
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/raters

5. Knowledge
MCQ (Pre test)

EMQ (Extended Medical Question)

8. Uraian:

Anestesia pada bedah onkologi dan bedah plastik

1. Melakukan kunjungan preoperatif untuk menilai kondisi pasien dan prosedur operasi
yang akan dilakukan (lihat modul perioperative care)
2. Menetapkan status fisik pasien, merencanakan tindakan anestesia yang akan dilakukan
dan melakukan informed consent
3. Bila akan dilakukan anestesia umum lihat modul anestesia umum
4. Bila akan dilakukan anestesia regional lihat modul anestesia regional
5. Tindakan pada masa siuman atau emergence lihat modul anestesia umum
6. Penangulangan nyeri pasca bedah lihat modul anestesia umum dan anestesia regional.

9. Kata kata kunci

1. Anestesia umum
2. Anestesia regional
3. Penanggulangan nyeri pasca bedah
4. Difficult intubation
5. Bedah onkologi
6. Bedah plastic dan rekonstruksi
7. Nyeri pasca bedah

10. Daftar cek penuntun belajar prosedur anesthesia

256
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anetesia

Kunjungan preoperasi

1. Penilaian pasien pemeriksaan fisik dan laboratorium

2. Penetapan status fisik pasien

3. Merencanakan tindakan anestesi umum atau regional

4. Merencanakan algoritme pada difficult intubation

5. Merencanakan penanggulangan nyeri pasca bedah

6. Informed consent

7. Menyiapkan kelengkapan alat2 dan obat2 untuk tindakan


anesthesia yang telah direncakan, termasuk mesin
anestesi, cairan, darah, alat dan obat2 resusitasi dll

8. Menyiapkan jenis pemantauan selama anestesia

9. Menyiapkan pengaturan posisi pasien selama operai

10. Merencakan tehnik khusus : seperti tehnik hipotensi bila


diperlukan

11. Melakukan antisipasi terhadap keadaan emergence

12. Mempersiapkan terapi nyeri pasca bedah

13. Mengetahui indikasi pasien masuk ICU

11. Daftar tilik

Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

257
v Memuaskan: Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau

penuntun

x Tidak memuaskan: Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tuga sesuai prosedur

standar atau penuntun

T/D Tidak diamati: Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik

selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No.Rekam medik

Daftar Tilik

No Kegiatan/ Tindakan Anestesia Kesempatan ke

1 2 3 4 5

258
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih/pengajar

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur Nama terang pelatih/pengajar

MATERI ACUAN :

Materi Acuan Anestesi bedah onkologi-plastik

Kasus pasien bedah onkologi pada umumnya adalah kasus dengan pembesaran yang tampak
dan atau teraba pada permukaan kulit mulai dari kepala sampai ujung kaki. Kasus bedah plastic
adalah bedah plastic rekonstruksi dan bedah plastic kosmetik. Anestesia pada bedah onkologi-
plastik dapat dilakukan dengan anesthesia umum atau anestesia regional.

Tehnik anestesia umum maupun regional tidak ada kekhususan tertentu.

259
Beberapa masalah yang dapat dihadapi pada tindakan anestesia adalah kusulitan jalan napas,
perdarahan atau karena kondisi penyakit primer berat yang dialami pasien.

Kasus kasus dengan kesulitan ventilasi atau kesulitan intubasi misalnya tumor besar daerah leher
kepala, tumor rongga mulut apalagi bila mudah berdarah, harus selalu dipikirkan rencana
tindakan pengelolaan jalan napas dan anestesi yang akan dilakukan. Pada keadaan bahwa
kesulitan mempertahankan jalan napas sudah dapat diprediksi, algoritma difficult airway sudah
harus direncanakan, sehingga alat alat dan obat2an yang diperlukan sudah dipersiapkan lebih
dulu (lihat modul Anestesia bedah THT). Apabila diprediksi bahwa tidak akan sulit ternyata sulit
intubasi, dan pasien sudah dalam keadaan tidak sadar upayakan untuk membangunkan pasien
kembali. Pada kasus yang diduga akan timbul perdarahan karena operasi, jalur intravena dengan
kanula intravena diameter besar harus sudah dipersiapkan.

REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

M0DUL 13 ANESTESIA BEDAH UROLOGI


Mengembangkan kompetensi Waktu: Semester 3

Sesi dalam kelas 2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 8 minggu (facilitation & assessment)

260
Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
6. LCD Projector dan Screen
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint Presentation
1. Indikasi persiapan anestesia bedah urologi dengan penyulit

2. Persiapan-persiapan preanestesia bedah urologi

3. Teknik anestesia bedah urologi

4. Pencegahan komplikasi-komplikasi anestesia bedah urologi

5. Penatalaksaan pasien pasca anestesia bedah urologi

6. Teknik rekam medis anestesia bedah urologi

Sarana:
6. Ruang belajar
7. Ruang pemeriksaan pasien
8. Kamar operasi
9. Ruang pemulihan
10. Bangsal perawatan
Kasus: anestesia pasien langsung , di ruang rawat, di kamar pemeriksaan, dan kamar operasi
Alat Bantu Latih: Model Anatomi / Simulator tidak ada
Penuntun Belajar: lihat Materi Acuan
Daftar Tilik Kompetensi: lihat Daftar Tilik
Referensi:
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006
3. Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone;
2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk Sub-Modul Persiapan Alat dan Obat Anestesi yang lain.

1.Tujuan Pembelajaran Umum

261
Setelah mengikuti modul ini, peserta didik akan mampu melakukan anestesia pada tindakan
diagnostik dan/atau bedah urologi, sistoskopi, bedah prostat, onkologi urologi, operasi batu ginjal terbuka,
dan operasi uretero-reno sistoskopi.

1.1.Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

1.1.1.Kognitif:

Menjelaskan indikasi untuk pembedahan urologi


Menjelaskan persiapan preanestesia untuk pembedahan urologi, termasuk pasien gagal ginjal dengan
hemodialisa reguler.
Menjelaskan implikasi perioperatif gagal ginjal akut/kronik
Menjelaskan konsekuensi fisiologik operasi endoskopik prostat
Menjelaskan posisi untuk nefrektomi
Menjelaskan implikasi perdarahan vena cava inferior karena keganasan ginjal
Menjelaskan implikasi penyakit primer yang menyertai bedah urologi termasuk distress pernafasan,
hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes
Menjelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah dengan Obat-obat Anti Inflamasi Non-Steroid
(NSAID)dan opioid epidural/sistemik
Menjelaskan anestesia regional untuk bedah urologi mayor
Menjelaskan implikasi Extracorporeal Shock Wave Lithothrypsi (ESWL)
Menjelaskan gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma Transurethral Resection of the Prostate
(TURP syndrome)

1.1.2.Psikomotor:

Mampu melakukan pengelolaan jalan nafas normal atau dengan derajat kesulitan sedang memakai bag-
mask, LMA, dan pipa endotrakeal
Mampu mengoperasionalkan alat-alat pemantauan secara benar dan menjelaskan resiko dan keuntungan
penggunaan pemantauan invasif
Mampu melakukan dan mempertahankan akses vena
Mampu melakukan induksi dan pemeliharaan anestesia umum pada pasien ASA-I dan II, serta ASA III
dan IV dengan lebih mandiri
Mampu melakukan dan mengelola anestesia regional spinal, epidural secara lebih mandiri
Mampu menginterpretasi hasil analisa gas darah, dan menjelaskan gangguan keseimbangan asam-basa
yang paling sering, termasuk asidosis dan alkalosis metabolik serta perencanaan terapinya
Mampu mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma TURP dan cara penatalaksanaannya.

1.1.3.Keterampilan Komunikasi Interpersonal(KIP):

Pada akhir stase peserta didik akan:

1.1.3.1.Mengetahui pembuatan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur-prosedur


sebelum masuk ke kamar operasi.

262
1.1.3.2.Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk mendapatkan informed
consent tentang manfaat dan resiko anestesia.

1.1.3.3.Mengetahui kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung prosedur anestesia, seperti


anestesia regional dan pemantauan selama tindakan bedah-anestesia

1.1.3.4.Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan
pasien

1.1.3.5.Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien kebutuhan dan manfaat dari
obat analgetik.

1.1.3.6.Mengetahui kebutuhan antibiotika profilaksis untuk pasien

1.1.3.7.Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi urologi tertentu.

1.1.3.8.Mampu membicarakan bersama (diskusi) dengan bagian bedah kemungkinan-


kemungkinan yang terjadi dari prosedur bedah yang akan dilakukan, misalnya
sindroma TURP.

1.1.3.9.Mampu melakukan komunikasi tentang kondisi pasien dengan petugas ruang pemulihan
tentang kesulitan pengelolaan pasien (misal sindroma TURP)

1.1.4.Professionalisme:

Pada akhir stase peserta didik harus:

1.1.4.1.Mengetahui rencana pembedahan

1.1.4.2.Mampu melakukan tindakan sesuai prosedur baku.

1.1.4.3.Mampu memberi kemudahan untuk prosedur bedah

1.1.4.4.Mampu mengkomunikasikan masalah-masalah pasien kepada ahli bedah urologi


terutama dalam kondisi yang tidak baik.

1.1.4.5.Mampu mengetahui dan mengelola masalah-masalah yang terjadi pada saat maupun
pasca pembedahan urologi khusus, misalnya sindroma TURP dan perdarahan pasca
bedah.

1.1.4.6.Mampu menciptakan kemudahan perawatan di Post Anesthesia Care Unit (PACU)

1.1.4.7.Mampu mengatasi nyeri pasca bedah yang optimal dengan berbagai teknik analgesia

2.Keynotes

263
2.1.Posisi litotomi merupakan posisi yang paling sering dipergunakan untuk pasien bedah urologi dan
ginekologi. Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera iatrogenik.

2.2.Posisi litotomi berkaitan dengan perubahan fisiologi yang penting; kapasitas residu fungsional
berkurang, memprediksi pasien terjadi atelektasis dan hipoksia. Menaikkan kaki akan
meningkatkan aliran balik vena. Elevasi kedua tungkai dapat meningkatkan aliran balik darah
vena mendadak. Tekanan Arteri Rerata (MAP) sering meningkat, tetapi curah jantung tidak
berubah signifikan. Sebaliknya, menurunkan kedua tungkai mendadak akan menurunkan aliran
balik darah vena yang menyebabkan hipotensi. Tekanan darah selalu segera diukur setelah
tungkai diturunkan.

2.3.Karena durasi prosedur pendek (15-20 menit) dan setting outpatient dari sistoskopi, biasanya
dipergunakan anestesi umum.

2.4.Anestesi epidural dan spinal dapat dapat menghasilkan anestesi yang memuaskan. Level blok
sampai T10 menghasilkan anestesia yang baik untuk hampir semua prosedur traktus urinarius
bagian bawah misalnya sistoskopi, sedangkan level blok sampai T 6 untuk tindakan traktus urinarius
bagian atas.

2.5.Manifestesi sindroma TURP mencakup terutama overload cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan
biasanya toksisitas cairan irigasi.

2.6.Absorpsi cairan irigasi yang terjadi tergantung lama irigasi dan tekanan / tinggi letak cairan
irigasi.

2.7.Jika dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi regional sedikit menimbulkan kejadian
trombosis pasca bedah; juga lebih sedikit menyembunyikan gejala dari sindroma TURP atau
perforasi buli-buli.

2.8.Pasien dengan riwayat aritmia jantung dan pasien yang mempunyai alat pacu jantung atau
internal cardiac defibrilator (ICD) dapat mempunyai risiko yang dicetuskan oleh shock wave
selama extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Shock wave dapat merusak komponen
dalam pacu jantung dan ICD.

3.Pokok Bahasan/Subpokok Bahasan

1. Gagal ginjal akut


2. Gagal ginjal kronik
3. Hemodialisis .
4. Akses vena untuk hemodialisis ( kanulasi kateter HD-lumen )
5. Gejala-gejala uremik
6. Sindroma TURP
7. Prostatektomi radikal
8. Operasi ileal conduit pada keganasan buli-buli
9. Anestesia regional pada bedah prostat

264
4.Waktu

Rotasi dilakukan selama 2 (dua) bulan dapat dilakukan pada tahun pertama untuk kasus operasi
urologi ringan sampai sedang dan tahun ketiga untuk kasus-kasus operasi urologi berat (lihat pemetaan
kurikulum).

5.Metode

5.1.Pretest:

5.1.1.Jelaskan kekhususan teknik anestesia pada bedah urologi

5.1.2.Jelaskan cara melakukan posisi pasien pada operasi ginjal

5.1.3.Jelaskan kekhususan pasien dengan hipertrofi prostat

5.1.4.Jelaskan sindroma TURP

5.1.5.Jelaskan teknik anestesia pada gagal ginjal kronik

5.1.6.Jelaskan teknik anestesia pada gagal ginjal akut

5.1.7.Jelaskan anestesia pada litotripsi

5.2.Strategi Pembelajaran:

5.2.1.Integrated Learning

5.2.2.Independent Learning

5.2.3.Problem Base Learning

5.2.4.Practice Base Learning

5.3.Proses Pembelajaran:

5.3.1.Kuliah introduksi

5.3.2.Small Group Discussion and Feed Backs

5.3.3.Patient Management Problem

5.3.4.Simulated patient, scenarios, and displays

265
6.Media

6.1.Virtual patients

6.2.Reading assignment

6.3.Audio Visual

7.Alat Bantu Pembelajaran

7.1.Ruang Kuliah

7.2.Kamar operasi

7.3.Pasien

8.Evaluasi

8.1.EMQ (Extended Medical Question)

8.2.Multiple observationl and assessments

8.3.Multiple observers

8.4.OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

9. Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesi

Sudah Belum
No Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesi
Dikerjakan Dikerjakan

PERSIAPAN PRE ANESTESI:

1 Informed consent

2 Puasa yang cukup

3 Pemeriksaan mesin anestesi menyeluruh

4 Pemasangan akses intravena

266
5 Pemeriksaan peralatan dan instrumen anestesi lainnya

6 Obat-obat anestesi

7 Obat-obat darurat

ANESTESI UMUM DENGAN SUNGKUP/ETT/


LMA/TIVA:

1 Premedikasi

2 Induksi anestesi

2 Pemeliharaan anestesi

3 Pemulihan aanestesi

ANESTESI REGIONAL: EPIDURAL BLOCK /


SUB ARACHNOID BLOCK

1 Posisi pasien (duduk atau lateral)

2 Landmark daerah tempat insersi jarum

2 Desinfeksi daerah tempat insersi jarum dan sekitarnya

3 Pemasangan kain penutup steril

4 Alat-alat dan obat-obat anestesi regional

PERAWATAN PASCA ANESTESI

1 Komplikasi dan penatalaksanaannya

2 Pengawasan terhadap jalan napas, pernapasan, dan


sirkulasi (Airway, Breathing, dan Circulation)

Catatan:

Sudah dikerjakan / Belum dikerjakan beri tanda

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan

267
Memuaskan Langkah-langkah, tugas atau ketrampilan dikerjakan oleh peserta didik
sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Peserta didik tidak mampu untuk mengerjakan langkah-langkah, tugas
memuaskan atau ketrampilan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah-langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta
latih selama penilaian oleh pelatih

Nama Peserta Didik: Tanggal Penilaian:


Nomor Peserta Didik:
Nama Pasien Nomor Rekam Medis:

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinik
1 2 3 4 5

268
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tandatangan Instruktur


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
(tandatangan dan nama terang)

No Kasus ke

1 2 3 4

1. Anestesia untuk bedah batu buli-buli

2. Anestesia untuk URS (Uretero Reno Sistoskopi)

3. Anestesia pada TURP (Transurethral Resection of the Prostate)

4. Anestesia pada TUR Buli

5. Anestesia pada batu ginjal dan posisi ginjal

6. Anestesia pada ileal conduit

7. Anestesia pada ESWL

8. Anestesia pada keganasan ginjal dengan perdarahan

9. Anestesia regional pada bedah urologi

10. Mendiagnosis Sindroma TURP

11. Melakukan penanggulangan Sindroma TURP

269
MATERI ACUAN:

URAIAN ANESTESIA BEDAH UROLOGI

1.Pendahuluan:

1.1.Definisi :

Yang dimaksud dengan anestesia bedah urologi adalah tindakan anestesia untuk tindakan bedah
pada kasus-kasus urologi seperti sistostomi, operasi batu buli-buli, open prostatectomy, TUR buli-buli,
TUR Prostat, URS, ESWL, operasi batu ginjal, operasi pengangkatan ginjal (nephrectomy), operasi
tumor ginjal dan buli-buli dengan PS ASA 1-4, dapat berupa anestesi umum (inhalasi dengan intubasi
ETT atau LMA) maupun anestesi regional (SAB atau epidural).

1.2.Ruang Lingkup:

1.2.1.Anestesi umum (inhalasi) dengan intubasi ETT atau LMA

1.2.2.Anestesi Regional SAB

1.2.3.Anestesi Regional Epidural

1.3.Iindikasi:

Kasus-kasus bedah urologi seperti:

1.3.1.Sistostomi

1.3.2.Operasi batu buli-buli

1.3.3.Open prostatectomy

1.3.4.TUR buli-buli

1.3.5.TUR Prostat

1.3.6.URS

1.3.7.ESWL,

1.3.8.Operasi batu ginjal (nephrectomy)

1.3.9.Operasi tumor ginjal

270
1.4.Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan status fisik (PS) ASA, berdasarkan
status atau keadaan pasien saat tersebut.

2.Materi Acuan Anestesia Bedah Urologi

Bedah atau tindakan urologi meliputi cystoscopy, ureteroscopy, transurethral resection of the
prostate (TURP), open prostatectomy, nephrolithotomy, nephrectomy, radical cystectomy, orchidopexy,
orchiectomy, urogenital plastic surgery, laparoscopy techniques, renal transplantation, extracorporeal
shock wave lithotripsy (ESWL), dan laser surgery.

Tindakan anestesia dapat dilakukan dengan anestesia umum, anestesia regional epidural atau
subarakhnoid atau mungkin hanya anestesia topikal., bergantung pada jenis tindakan yang dilakukan.
Anestesia umum untuk prosedur singkat dapat dilakukan dengan anestesia intravena. Anestesia regional
untuk prosedur instrumentasi atau operasi traktus urinarius bagian atas memerlukan ketinggian blok
mencapai T6, sedang untuk traktus urinarius bagian bawah cukup sampai T 10. Bilamana akan dilakukan
anestesia umum, maka batuk harus dicegah atau pasien bergerak-gerak karena hal ini dapat menyebabkan
peningkatan perdarahan atau perforasi buli-buli karena instrumentasi.

Teknik anestesia umum dan anestesia epidural dan subarakhnoid pada bedah urologi umumnya
tidak berbeda dengan prosedur bedah lain. Pemantauan fungsi-fungsi vital juga tidak berbeda dengan
tindakan bedah lain.

Beberapa hal khusus dalam bedah urologi adalah posisi, usia, komplikasi. Posisi litotomi harus
dilakukan sedemikian rupa agar tidak terjadi komplikasi akibat penekanan atau peregangan saraf
berlebihan demikian juga dengan posisi ginjal lateral decubitus.

Usia lanjut yang sering pada pasien dengan hipertrofi prostat harus diwaspadai akan
kemungkinan menderita gangguan penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan pernafasan, diabetes
mellitus, gangguan ginjal dan lain lain. Teknik anestesia yang akan dilakukan harus dilakukan sesuai
dengan gangguan yang diderita pasien. Komplikasi perdarahan sering terjadi pada operasi open prostate,
batu cetak/staghorn, nefrektomi dengan perlengkatan pada pembuluh darah besar.

Syndroma TURP merupakan komplikasi yang terjadi karena absorpsi cairan irigasi secara
berlebihan pada waktu operasi prostat dengan TURP. Gejala dapat timbul segera/dini (absorbsi
intravascular langsung) atau setelah beberapa jam (absorpsi peritoneal dan perivaskular). Gejala
syndrome TURP meliputi: perubahan pada susunan saraf pusat, agitasi, nausea, confusion, gangguan
penglihatan, kejang, dan koma. Gangguan kardiovaskular berupa: hiper- atau hipotensi, bradikardia,
disritmia, edema paru, henti jantung (cardiac arrest), karena fluid shift hipervolemia masuk ke ruang
interstitial, dan gangguan elektrolit. Terapi restriksi cairan, pemberian diuretik (furosemide), larutan
garam hipertonik untuk hiponatremia simptomatik secara lambat peningkatan tidak melebihi 12 mEq/L
per hari.

271
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesi akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesi dan penerapannya dapat dikerjakan di
RS Pendidikan atau RS Jaringan Pendidikan.

3.Kompetensi Terkait dengan Modul (List of Skill)

Tahapan-tahapan anestesi:

3.1.Persiapan Preanestesi:

3.1.1.Anamnesis

3.1.2.Pemeriksaan fisik

3.1.3.Pemeriksaan penunjang

3.1.4.Informed consent

3.2.Persiapan Premedikasi

3.3.Persiapan Pasien, Alat-alat, Obat-obatan, dan Cairan

3.4.Pelaksanaan Anestesi:

3.4.1.Konsulen demonstrasi dengan kelompok

3.4.2.Dengan bimbingan konsulen

3.4.3.Melakukan sendiri atas pengawasan konsulen

3.5.Pengakhiran Anestesi

3.6.Follow-up Pasca Anestesi:

3.6.1.Manajemen nyeri pasca bedah.

3.6.2.Terapi cairan, nutrisi, dan lain-lain.

4.Algoritme dan Prosedur

Tidak ada

5.Teknik Anestesia

5.1.Anestesi umum dengan intubasi ETT

272
5.2.Anestesi umum (inhalasi) dengan LMA

5.3.Anestesi regional subarachnoid block (SAB)

5.4.Anestesi regional epidural block

5.1. Anestesi Umum dengan Intubasi ETT atau LMA:

5.1.1.Persiapan operasi: puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak anak )

5.1.2.Pasang akses vena (infus) dengan kateter intravena diameter besar

5.1.3.Periksa sumber oksigen dan gas anestesi lainnya (N2O)

5.1.4.Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan
ventilator

5.1.5.Pasien di premedikasi dengan opiod (Petidin, Fentanyl, atau Morphin) dan sedatif
(Diazapam, Midazolam) selama 10-15 menit

5.1.6.Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-5 menit

5.1.7.Induksi dengan induktor seperti Propofol, Pentotal, Ketamin, atau Etomidate

5.1.8.Injeksi relaksan (depolarisasi atau non depolarisasi) seperti suksinilkolin atau rocuronium

5.1.9.Intubasi dengan ETT (kingking atau non-kingking)

5.1.10.Maintenance anestesi dengan O 2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan inhalation agent


(Halotan, Isofluran, atau Sevofluran) 0,5-2% untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas
Flow (FGF) dan relaksan otot.

5.1.11.Untuk LMA; LMA dipasang setelah pasien sudah tidur dalam ditandai dengan hilangnya
Refleks Bulu Mata, kemudian di sambungkan ke konektor mesin anestesi dan diberikan
inhalation Agent 1 kali MAC dan maintenance O 2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan
inhalasi agent (Halotan, Isofluran, atau Sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai
dengan Fresh Gas Flow (FGF) dan pasien bernapas spontan

5.1.12.Selesai operasi, pasien dibangunkan dengan menurunkan inhalation agent secara bertahap
sampai nol dan menutup N2O dan menaikkan flow O2 6-8 ltr/menit sampai pasien sadar
benar (dapat angkat kepala atau dapat berkomunikasi)

5.1.13.Untuk yang menggunakan relaksan otot, direversal dengan prostigmin dan atropin sulfat
setelah pasien sudah napas spontan dan bisa mengangkat kepala

5.1.14.Ekstubasi setelah pasien sadar penuh dan dapat mengangkat kepala dan mengikuti perintah

5.1.15.Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi selama 2 (dua) jam

273
5.2.Komplikasi Anestesi:

5.2.1.Trauma rongga mulut dan plika vokalis

5.2.2.Untuk LMA trauma di rongga mulut

5.2.3.Depresi napas

5.2.4.Spasme bronkialis

5.2.5.Sadar lama

5.3.Anestesi dengan Regional Sub Arachnoid Block (SAB):

274
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

(Pendekatan Midline)

Loading dengan cairan (RL, R solution, NS, atau Koloid) 500-1000 ml

1 Periksa kesiapan alat-alat dan obat anestetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus
spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang telah ditentukan.

6 Suntikkan anestetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi anestetik
lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosessus spinosus atau sedikit membentuk
sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, sampai terasa
loss of resistence pada rongga subarahnoid.

9 Cabut mandrin jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan serebrospinal (CSS) yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran cairan yang keluar. Penusukkan harus diulang bila CSS
tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat anestetik lokal yang sudah dipersiapkan.
Aspirasi sedikit CSS, bila lancar suntikan obat anestetik lokal secara perlahan-lahan.
Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan
suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai, cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1,5 cm lateral dan 1 cm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

5.4.Komplikasi:

5.4.1.Sulit bernapas karena ketinggian blok (Th4 keatas)

5.4.2.Hipotensi

5.4.3.Post Dural Puncture Headache (PDPH) atau Nyeri Kepala Pasca Penusukan Dura

5.4.4.Hematom pada daerah insersi

275
No Prosedur Anestesia Blok Epidural

(Pendekatan Midline)

Loading dengan cairan kristaloid atau koloid (RL, R sol, NS, atauKoloid) 500-1000 mL

1 Periksa kesiapan alat-alat dan obat-obat anestetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

5.5.Regional dengan Blok Epidural

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosessus
spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang ditentukan.

6 Suntikkan anestetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum epidural.

7 Lakukan penusukan jarum epidural pada celah yang telah diberi anestetik lokal.
Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut
ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum, lalu cabut mandrin jarum

9 Pangkal jarum epidural dihubungkan dengan spuit 10 cc yang berisi NaCl 0,9% atau
udara, dan jarum didorong sampai ke rongga epidural yang ditandai dengan adanya loss
of resistance

10 Lakukan tes dose, tes dose(-), cabut spuit, masukkan epidural kateter sesuai kebutuhan
tinggi blok,

11 Setelah selesai cabut jarum, dan fiksasi dengan baik serta kembalikan posisi pasien
sesuai dengan yang diinginkan.kemudian injeksikan anestetiklokal sesuai kebutuhan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1,5 cm lateral dan 1 cm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

5.6.Komplikasi:

5.6.1.Post Dural Puncture Headache (PDPH)

276
5.6.2.Sulit bernapas

5.6.3.Hipotensi

5.6.4.Hematom daerah insersi

6.Referensi

6.1.Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.

6.2.Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006

6.3.Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone; 2005

6.4.Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006

MODUL 15 : ANESTESIA OBSTETRI I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia obstetrik-1 adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu 1 bulan (4 minggu) untuk
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing residen anestesi semester 2, yang meliputi
Sesi praktik dan pencapaian anestesi untuk jenis operasi obstetrik (bedah
kompetensi sesar), kuretase.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

277
CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, 4th ed, 2006


2. Clinical Anesthesia PG Barash, 4th ed, 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller, 6th ed, 2005

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum dan regional pada pasien
obstetrik sederhana tanpa penyulit untuk memperoleh keberhasilan yang tinggi,
melakukan monitoring intraoperatif dengan baik dan mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Memiliki pengetahuan tentang fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal,


sirkulasi janin, pola persalinan normal, pengawasan ibu-janin, variabilitas denyut
jantung janin, persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia neonatus.
2. Memiliki pengetahuan tentang sirkulasi uteroplasenta.
3. Memiliki pengetahuan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam
dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.

278
4. Memiliki pengetahuan farmakologi dan interaksi obat antara sintocinon, metergin,
magnesium sulfat, indocin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada pasien
obstetrik dengan obat anestesi.
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa
untuk pasien obstetrik elektif.
6. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid).
7. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien
obstetrik tanpa penyulit.
8. Mampu menjelaskan rencana anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah sesar
(lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid).
9. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur
bedah sesar termasuk tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan
nafas pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
10. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase.
11. Memiliki pengetahuan tentang aortocaval compression dan penanganannya.
12. Mampu menjelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan post partum, penanganan nyeri dan mual
muntah pascabedah.
Psikomotor

1. Mampu menentukan status fisik pasien berdasarkan klasifikasi ASA I-II


2. Mampu menilai kondisi jalan nafas pasien hamil dan membuat rencana
penatalaksanaannya dengan baik.
3. Mampu melakukan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa
untuk kasus obstetrik elektif.
4. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid).
5. Mampu melakukan anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah sesar dan operasi
tanpa penyulit (lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid).
6. Mampu melakukan anestesia umum untuk prosedur bedah sesar termasuk tehnik
rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan nafas pada ibu hamil (lihat
modul dan prosedur anestesia umum).
7. Mampu melakukan anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase
8. Mampu melakukan evaluasi bayi baru lahir (lihat modul anestesia umum dan
pediatrik).
9. Mampu melakukan penatalaksanaan post partum, penanganan nyeri dan mual
muntah pasca bedah.
10. Mampu melakukan pencatatan hal penting dalam rekam medik preoperatif, intra
dan pasca operasi terkait dengan tindakan anestesia.

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
279
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta resiko yang
dapat timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.

Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur.


2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedik dan tenaga kesehatan
lain atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing.
3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya
tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.
5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

KEYNOTES:

1. Morbiditas paling umum pada pasien obsetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan beresiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. hampir semua opioid analgesik dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus barier plasenta dan mempengaruhi foetus. Teknik anestesi
regional lebih disukai untuk pengelolaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat anestesi lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk pengelolaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kalaII persalinan.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesi diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam pengelolaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai pengelolaan pasca
bedah. Melalukan pengelolaan nyeri persalinan dan memberikan anestesi umum atau

280
regional untuk bedah sesar pada bedah sesar tanpa penyulit.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan pengelolaan obstetri
anestesi dari mulai persiapan preoperatif, pengelolaan jalan nafas ibu hamil, fisiologi
kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola persalinan normal, pengawasan
ibu dan janin, deselerasi cepat, lambat dan variabel denyut jantung janin, variabilitas
denyut jantung janin, persalinan prematur, multipara, perdarahan trimester ke tiga,
asfiksia dan resusitasi neonatus, anestesia regional untuk ibu melahirkan (ILA, PCEA),
persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesar sebelumnya, anestesia dengan crash
atau rapid sequence induction, akses vaskuler, terapi cairan dan tranfusi darah,
penatalaksanaan anestesia umum dan regional, monitoring, pengelolaan pasca anestesia.

METODE PEMBELAJARAN

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

22. Small group discussion


23. Peer assisted learning (PAL)
24. Bedside teaching
25. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide) terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih

pasca operasi.

MEDIA

1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manekin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 1 termasuk

281
semua sub pokok bahasan dilakukan semester 2 minggu 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif, pengelolaan jalan nafas,
anestesia umum atau subrahnoid, monitoring dan pengelolaan pasca operasi.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid pada pasien Obstetrik

dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas :

- Anatomi, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal

- Penegakan diagnosis dan ASA

- Tehnik pembiusan (umum, regional)

- Pengawasan intra operasi

- Komplikasi dan penanganannya

- Penatalaksanaan pasca operasi

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam


penuntun belajar pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer
assisted learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di

282
bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk


memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran

Pretest :

1. Jelaskan tentang fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola


persalinan normal, pengawasan ibu-janin, variabilitas denyut jantung janin.
2. Jelaskan tentang komplikasi persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia
neonatus.
3. Jelaskan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat
seksio sesar sebelumnya.
4. Jelaskan farmakologi dan interaksi obat antara sintocinon, metergin, magnesium
sulfat, indocin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada kasus obstetrik
dengan obat anestesia.
5. Jelaskan patofisiologi preeklampsia dan eklampsia, penatalaksanaannya dan
pengaruhnya terhadap tindakan anestesia.
6. Jelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa untuk

283
pasien obstetrik dan elektif.
7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan subarahnoid (lihat
prosedur anestesia umum dan regional).
8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien obstetrik
sederhana tanpa penyulit.
9. Jelaskan tehnik anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah obstetrik (lihat
modul dan prosedur anestesia regional).
10. Jelaskan tehnik anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur bedah sesar
termasuk tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan nafas pada
ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan tehnik anestesia intravena untuk tindakan kuretase.
12. Jelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan post partum, penanganan nyeri dan mual muntah pasca
bedah.
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Knowledge

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments

284
- Multiple observers
5.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia subarahnoid

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

285
DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

286
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

287
MATERI ACUAN

Anestesi untuk obstetri berbeda dengan tindakan anestesi yang lain karena :

Ibu masuk rumah sakit pada hari saat akan melahirkan.


Ada dua insan yang perlu diperhatikan, yaitu Ibu dan bayi yang akan dilahirkan.
Terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang dimulai pada tiga bulan terakhir
kehamilan.
Adanya resiko muntah, regurgitasi dan aspirasi setiap saat.
Efek obat yang diberikan dapat mempengaruhi bayi karena menembus barier
plasenta.

Pada Sectio Caesarea dengan pasien normal, harus diperhatikan perubahan-perubahan


fisiologi dan anatomi, karena perubahan tersebut akan mempengaruhi tindakan anestesi.
Bila pasien disertai penyulit lain seperti preeklampsi, asthma bronkhiale, maka tindakan
anestesinya akan lebih spesifik lagi. Untuk hal itu diperlukan pengetahuan yang
mendalam mengenai fisiologi ibu hamil, fisiologi foetal, aliran darah uterus sehingga
dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.

Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan fisiologi sistim
respirasi, kardiovaskuler, susunan saraf pusat, susunan saraf perifer, gastrointestinal,
muskuloskeletal, dermatologi, jaringan mammae, dan mata.

a. Sistim Respirasi

Perubahan pada parameter respirasi mulai pada minggu ke-4 kehamilan.


Perubahan fisiologi dan anatomi selama kehamilan menimbulkan perubahan dalam
fungsi paru, ventilasi dan pertukaran gas.

Ventilasi semenit meningkat pada aterm kira-kira 50% diatas nilai waktu tidak
hamil. Peningkatan volume semenit ini disebabkan karena peningkatan volume tidal
(40%) dan peningkatan frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveoli meningkat seperti
volume tidal tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi.

Pada kehamilan aterm PaCO2 menurun (32-35mmHg). Peningkatan konsentrasi


progesteron selama kehamilan menurunkan ambang pusat nafas di medula oblongata
terhadap CO2.

Pada kehamilan aterm functional residual capacity, expiratory reserve volume


dan residual volume menurun. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena diafragma
terdorong keatas oleh uterus yang gravid. FRC (Functional Residual Capacity) menurun
15-20%, menimbulkan peningkatan "Shunt" dan kurangnya reserve oksigen. Dalam
kenyataannya, "airway closure" bertambah pada 30% gravida aterm selama ventilasi

288
tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar 30-40%. Peningkatan ini disebabkan
kebutuhan metabolisme untuk foetus, uterus, plasenta serta adanya peningkatan kerja
jantung dan respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor ini akan
menimbulkan penurunan yang cepat dari PaO2 selama induksi anestesi, untuk
menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien mutlak harus diberikan oksigen 100%
selama 3 menit (nafas biasa) atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan
O2 100%). Vital capacity dan resistensi paru-paru menurun.

Terjadi perubahan-perubahan anatomis, mukosa menjadi vaskuler, edematus dan


gampang rusak, maka harus dihindari intubasi nasal dan ukuran pipa endotrakheal harus
yang lebih kecil daripada untuk intubasi orotrakheal.
Penurunan functional residual capacity, peningkatan ventilasi semenit, juga
penurunan MAC akan menyebabkan parturien lebih mudah dipengaruhi obat anestesi
inhalasi dari pada penderita yang tidak hamil. Cepatnya induksi dengan obat anestesi
inhalasi karena :

hiperventilasi akan menyebabkan lebih banyaknya gas anestesi yang masuk ke


alveoli.
pengenceran gas inhalasi lebih sedikit karena menurunnya FRC.
MAC menurun.

Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi karena adanya rasa sakit (his) yang
dapat menurukan PaCO2 sampai 18 mmHg, dan menimbulkan asidosis foetal. Pemberian
analgetik (misal : epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter respirasi ini
akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12 minggu post partum.

b. Perubahan Volume Darah

Volume darah ibu meningkat selama kehamilan, termasuk peningkatan volume


plasma, sel darah merah dan sel darah putih. Volume plasma meningkat 40-50%,
sedangkan sel darah merah meningkat 15-20% yang menyebabkan terjadinya anemia
fisiologis (normal Hb : 12gr%, hematokrit 35%). Disebabkan hemodilusi ini, viskositas
darah menurun kurang lebih 20%. Mekanisme yang pasti dari peningkatan volume
plasma ini belum diketahui, tetapi beberapa hormon seperti renin-angiotensin-
aldosteron, atrial natriuretic peptide, estrogen, progesteron mungkin berperan dalam
mekanisme tersebut. Volume darah, faktor I, VII, X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada
proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah thrombosit menurun.
Perubahan-perubahan ini adalah untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik
tapi juga akan merupakan predisposisi terhadap fenomena thromboemboli. Karena
plasenta kaya dengan tromboplastin, maka bila pada solusio plasenta, ada risiko

289
terjadinya DIC.

Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting :

Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran uterus


dan unit foeto-placenta.
Mengisi peningkatan reservoir vena.
Melindungi ibu dari perdarahan pada saat melahirkan.
Selama kehamilan ibu menjadi hiperkoagulopati.

Delapan minggu setelah melahirkan volume darah kembali normal. Jumlah perdarahan
normal partus pervaginam kurang lebih 400-600ml dan 1000ml bila dilakukan sectio
caesarea, tapi pada umumnya tidak perlu dilakukan tranfusi darah.

c. Perubahan sistim Kardiovaskuler

Curah jantung meningkat sebesar 30-40% dan peningkatan maksimal dicapai


pada kehamilan 24 minggu. Permulaannya peningkatan denyut jantung ketinggalan
dibelakang peningkatan curah jantung dan kemudian akhirnya meningkat 10-15 kali
permenit pada kehamilan 28-32 minggu. Peningkatan curah jantung mula-mula
bergantung pada peningkatan stroke volume dan kemudian dengan peningkatan denyut
jantung, tetapi lebih besar perubahan stroke volume daripada perubahan denyut jantung.

Dengan ekhokardiografi terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan pada end


diastolic dan ada penebalan dinding ventrikel kiri. Curah jantung bervariasi bergantung
pada besarnya uterus dan posisi ibu saat pengukuran dilakukan.

Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi aortocaval ketika


wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan hal ini akan menyebabkan
penurunan venous return dan maternal hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut
supine hypotensive syndrome. Sepuluh persen dari wanita hamil menjadi hipotensi dan
diaforetik bila berada dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat
menimbulkan penurunan aliran darah uterus dan foetal asfiksia. Efek ini akan lebih
hebat lagi pada pasien dengan polihidramnion atau kehamilan kembar. Curah jantung
meningkat selama persalinan dan lebih tinggi 50% dari saat sebelum persalinan. Segera
pada periode post partum, curah jantung meningkat secara maksimal dan dapat
mencapai 80% diatas periode pra persalinan dan kira-kira 100% diatas nilai ketika
wanita tersebut tidak hamil, hal ini disebabkan karena pada saat kontraksi uterus terjadi
290
plasental ototranfusi sebanyak 300-500ml. CVP meningkat 4-6cm H2O karena ada
peningkatan volume darah ibu. Peningkatan stroke volume dan denyut jantung adalah
untuk mempertahankan peningkatan curah jantung. Peningkatan curah jantung ini tidak
bisa ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penyakit jantung valvula (misal : aorta
stenosis, mitral stenosis) atau penyakit jantung koroner. Decompensatio cordis yang
berat dapat terjadi pada kehamilan 24 minggu, selama persalinan dan segera setelah
persalinan. Curah jantung, denyut jantung, stroke volume menurun ke sampai nilai
sebelum persalinan pada 24-72 jam post partum dan kembali ke level saat tidak hamil
pada 6-8 minggu setelah melahirkan. Kecuali peningkatan curah jantung, tekanan darah
sistolik tidak berubah selama kehamilan, tetapi, tekanan diastolik turun 1-15mmHg. Ada
penurunan MAP sebab ada penurunan resistensi vaskuler sistemik. Hormon-hormon
kehamilan seperti estradiol-17- dan progesteron mungkin berperan dalam perubahan
vaskuler ini.

Turunnya pengaturan dan reseptor juga memegang peranan penting. Selama


kehamilan jantung tergeser ke kiri dan atas karena diafragma tertekan ke atas oleh uterus
yang gravid.

Gambaran EKG yang normal pada parturien :

Disritmia benigna
Gelombang ST, T, Q terbalik
Left axis deviation

d. Perubahan pada Ginjal

GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. Renal
blood flow dan Glomerular filtration rate meningkat 150% pada trimester pertama
kehamilan, tetapi menurun lagi sampai 60% diatas wanita yang tidak hamil pada saat
kehamilan aterm. Hal ini akibat pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, blood urea
nitrogen, uric acid juga menurun tapi umumnya normal. Suatu peningkatan dalam
filtration rate menyebabkan penurunan plasma blood urea nitrogen (BUN) dan
konsentrasi kreatinin kira-kira 40-50%. Reabsorpsi natrium pada tubulus meningkat,
tetapi, glukosa dan asam amino tidak diabsorpsi dengan efisien, maka glikosuri dan
amino acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan ureter
berdilatasi dan peristaltiknya menurun. Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien
(BUN 8-9 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak hamil.
Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak hamil berarti ada
kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada diambang gagal ginjal, walaupun hasil
pemeriksaan laboratorium normal. Diuresis fisiologi pada periode post partum, terjadi

291
antara hari ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum hamil pada
minggu ke-6 post partum.

e. Perubahan pada GIT

Perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan merupakan faktor predisposisi


terjadinya oesophageal regurgitasi dan aspirasi paru. Uterus yang gravid menyebabkan
peningkatan tekanan intragastrik dan merubah posisi normal gastro oesophageal
junction. Alkali fosfatase meningkat. Plasma cholinesterase menurun kira-kira 28%,
kemungkinan disebabkan karena sintesanya yang menurun dan karena hemodilusi.
Walaupun dosis moderat succynil choline umumnya dimetabolisme, pasien dengan
penurunan aktivitas cholinesterase ada risiko pemanjangan blokade neuro-muskuler.

Disebabkan karena peningkatan kadar progesteron plasma, pergerakan GIT, absorpsi


makanan dan tekanan sphincter oesophageal bagian distal menurun. Peningkatan sekresi
hormon gastrin akan meningkatkan sekresi asam lambung. Obat-obat analgesik akan
memperlambat pengosongan gaster. Pembesaran uterus akan menyebabkan gaster
terbagi menjadi bagian fundus dan antrum, sehingga tekanan intragastrik akan
meningkat.

Aktivitas serum cholin esterase berkurang 24% sebelum persalinan dan paling rendah
(33%) pada hari ke-3 post partum. Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal
succinyl choline untuk intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya
blokade neuromuskuler selama kehamilan. Karena perubahan-perubahan tersebut
wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh, dengan tidak mengindahkan
waktu makan terakhir misalnya walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih
penuh. Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting sebelum
operasi Caesar dan sebelum induksi regional anestesi. Walaupun efek mekanis dari
uterus yang gravid pada lambung hilang dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang
lain kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 6 minggu post partum .

f. Perubahan SSP dan susunan saraf perifer.

Susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer berubah selama kehamilan, MAC
menurun 25-40% selama kehamilan. Halotan menurun 25%, isofluran 40%,
methoxyflurane 32%. Peningkatan konsentrasi progesteron dan endorfin adalah
penyebab penurunan MAC tersebut. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa
konsentrasi endorfin tidak meningkat selama kehamilan sampai pasien mulai ada his,
maka mungkin endorfin tidak berperan dalam terjadinya perbedaan MAC tetapi yang
lebih berperan adalah akibat progesteron.

292
Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada parturien setelah epidural
anestesi bila dibandingkan dengan yang tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural
menyempit karena pembesaran plexus venosus epidural disebabkan karena kompresi
aortocaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian yang baru
menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada kehamilan muda (8-12 minggu)
dimana uterus masih kecil sehingga efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka
faktor-faktor lain penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah :
Respiratory alkalosis compensata.
Penurunan protein plasma atau protein likuor cerebro spinal.
Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).

Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas susunan saraf pusat dan
susunan saraf perifer pada anestesi umum dan antesi regional belum diketahui tetapi
dosis obat anestesi pada wanita hamil harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap
lokal anestesi untuk epidural atau spinal anestesi tetap ada sampai 36 jam post partum.

g. Perubahan sistim muskuloskeletal, dermatologi, mammae dan mata :

Hormon relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum dan melunakkan jaringan


kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah muka, leher, garis tengah abdomen akibat
melanocyt stimulating hormon.

Buah dada membesar. Tekanan intra oculer menurun selama kehamilan karena
peningkatan kadar progesteron, adanya relaxin, penurunan produksi humor aqueus
disebabkan peningkatan sekresi chorionic gonado trophin. Akibat relaksasi ligamentum
dan kalogen pada kolumna vertebralis dapat terjadi lordosis. Pembesaran buah dada
terutama pada ibu dengan leher pendek dapat menyebabkan kesulitan intubasi.
Perubahan pada tekanan intra oculer bisa menimbulkan gangguan penglihatan.

Uteroplasental Blood Flow

Maintenance uteroplasental blood flow (UPBF) sangat penting untuk


berlangsungnya kehidupan foetus yang baik, maka pengetahuan tentang UPBF ini
sangat penting untuk tenaga medis dan paramedis yang merawat penderita hamil. UPBF
dirumuskan sebagai berikut :

293
UAP UVP
UBF = ------------------
UVR

UBF =uterine blood flow UVP =uterine venous pressure

UAP =uterine arterial pressure UVR=uterine vascular


resistance

Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan
resistensi vaskuler uterus akan menurunkan UPBF dan akhirnya menurunkan umbilical
blood flow (UmBF). Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung atau sekitar 500-
700ml/menit akan memasok uterus dimana 80%-nya akan memasuki plasenta.
Pembuluh plasenta berdilatasi secara maksimal, jadi placental blood flow sangat
tergantung pada tekanan perfusi.

Tabel : Causes of Decreased Uterine Blood Flow


Decreased perfusion pressure Increased uterine vascular resistance

Decreased uterine arterial pressure Endogenous vasoconstrictors

Supine position (aortocaval Catecholamines (stress)


compression)
Hemorrhage/hypovolemia Vasopressin (in response to
Drug-induced hypotension hypovolemia)
Hypotension during sympathetic
Exogenous vasoconstrictors
blockade
Increased uterine venous pressure Epinephrine
Vasopressors (phenylephrine
Vena caval compression ephedrine)
Uterine contractions Local anesthetics (in high
Drug-induced uterine hypertonus concentrations)
(oxytocin local anesthetics)
Skeletal muscle hypertonous (seizures,
Valsava)
Dua arteri uterina merupakan sumber utama pasokan darah ke uterus, sedangkan
pasokan dari arteri ovarica sangat bervariasi tergantung dari spesiesnya. Kompleksnya
pasokan arteri ini menyebabkan pengukuran langsung UBF sangat sulit, terutama pada
294
manusia, dan pada kebanyakan kasus keadekuatan perfusi plasenta dapat diperkirakan
secara tidak langsung dengan monitor denyut jantung foetus dan keadaan asam-basa.
Pembuluh darah uterus, misalnya arteri spinalis, banyak mengandung serabut simfatis
yang terutama terdapat pada tunika media. Penelitian pada distribusi relatif dan
reseptor adrenergik pada pembuluh darah ini menunjukkan reseptor ini berkurang
atau bahkan tidak ada. Karena itu terapi vasopresor dapat membahayakan foetus. Obat
adrenergik dapat menurunkan UPBF.

ANESTESI UNTUK SECTIO CAESAREA

Sectio Caesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi abdominal dan dinding
uterus. Keberhasilan anestesi untuk Sectio Caesarea dapat dilakukan dalam berbagai
jalan, tetapi anesthesiologist harus betul-betul mengerti tentang fisologi, patofisiologi
dan farmakologi Ibu hamil dan foetus.

Tindakan anestesi yang biasa dilakukan adalah anestesi regional dan anestesi
umum. Anestesi regional yang akan dibicarakan disini adalah spinal dan epidural
anestesi karena kami jarang melakukan infiltrasi atau field block untuk sectio caesarea.

I. SPINAL ANALGESIA
Keuntungan spinal anestesi untuk Sectio Caesarea adalah tekniknya sederhana,
induksinya cepat, kontak foetus dengan obat-obatan minimal, pasiennya sadar dan
bahaya aspirasi sedikit.

Kerugian spinal anestesi adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-muntah


intrapartum, kemungkinan adanya post spinal headache, lama kerja obat anestesi
terbatas.

Masalah pada spinal anestesi adalah adanya hipotensi. Setelah induksi spinal
anestesi untuk sectio caesarea, kejadian hipotensi maternal (sistolik kurang dari
100mmHg atau turun lebih dari 30mmHg dari tekanan darah awal) adalah sebesar 80%.
Perubahan hemodinamik ini disebabkan karena blokade simfatis dan diperbesar oleh
penekanan aorta dan vena cava inferior oleh uterus yang gravid ketika pasien dalam
posisi supine.

Lebih tinggi blokade simfatis, lebih tinggi risiko hipotensi dan timbulnya gejala
muntah-muntah. Posisi supine meningkatkan kejadian hipotensi secara nyata. Ueland
dkk mengamati adanya pengurangan tekanan darah rata-rata dari 124/72 ke 67/38
mmHg pada Ibu yang diletakkan dalam posisi supine setelah dilakukan spinal anestesi,
tetapi bila dalam posisi lateral tekanan darah rata-rata sekitar 100/60mmHg.

295
Maternal hipotensi bisa mengancam kehidupan Ibu dan foetus bila penurunan
tekanan darah dan curah jantung tidak cepat dikoreksi. Keadaan hipotensi maternal yang
singkat, bisa menye-babkan penurunan Apgar score, pemanjangan waktu mencapai
keadaan nafas yang adekuat, dan menyebabkan asidosis pada foetus. Bila hipotensi tidak
lebih dari 2 menit, asidosis foetal minimal dan tidak ada pengaruh pada neurobehavioral
bayi yang baru lahir pada umur 2-4 jam. Dengan lebih lamanya periode hipotensi
Holman dkk menunjukkan adanya perubahan neurologis paling sedikit 48 jam pada
infant yang lahir dari Ibu yang dilakukan sectio caesarea dengan epidural analgesia.

Karena spinal anestesi mempunyai keuntungan-keuntungan untuk seksio


caesarea, berbagai usaha dilakukan untuk mencegah hipotensi maternal. Dicoba dengan
pemberian 1000-1500 ml Ringer laktat 15-30 menit sebelum spinal anestesi. Bila
diberikan larutan dextrose untuk mengisi volume, beberapa peneliti melihat adanya
hiperglikemia feotal, asidosis dan ahkirnya neonatal hipoglikemia. Sebaliknya beberapa
peneliti menganjurkan pemberian sedikit dekrose (1% dekrose di dalam RL) untuk
mempertahankan euglikemia. Penggunaan sejumlah kecil koloid dikombinasikan
dengan kristaloid tidak menunjukkan hasil yang konsisten untuk menurunkan kejadian
hipotensi maternal.

Vasopressor :

Nilai pemberian vasopressor untuk profilaksis masih kontroversial. Pemberian


efedrin secara rutin untuk mencegah hipotensi tidak diperlukan untuk semua kasus,
malahan bisa terjadi iatrogenik hipertensi bila kita gagal melakukan spinal analgesia.
Tetapi ada suatu persetujuan bahwa bila terjadi hipotensi maternal tindakan yang
dilakukan adalah :

beri cairan
bila memungkinkan rubah posisi pasien
beri efedrin, dimulai dengan dosis 5-10mg intravena. (Dosis efedrin 0,1-
0,2mg/kgBB)
Dalam beberapa keadaan, timbulnya takikardi akibat efedrin merupakan kontra indikasi,
bila demikian kita bisa memberikan phenylephrine. Penelitian terakhir, menunjukkan
bahwa pem-berian phenylephrine 40g intravena, intra operatif setelah dilakukan spinal
anaestesia atau epidural anestesia untuk terapi maternal hipotensi selama sectio caesarea,
tidak mempunyai efek yang jelek pada foetus, tetapi harus diingat bahwa penelitian
tersebut dilakukan pada Ibu yang sehat, bayi yang sehat dan tanpa insufisiensi
uteroplasenta.

Kejadian hipotensi selama spinal anestesi untuk sectio caesarea pada pasien
dengan persalinan fase aktif lebih rendah dari pada yang sedang tidak dalam persalinan,

296
hal ini karena :

Autotranfusi sekitar 300ml darah ke dalam sirkulasi maternal akibat kontraksi


uterus.
Penurunan ukuran uterus sekunder hilangnya cairan amnion, bila ketuban sudah
pecah.
Lebih tingginya katekholamine Ibu pada wanita yang sedang dalam persalinan.
Mual-muntah :

Mual-muntah sering terjadi pada spinal anestesi. Hal ini disebabkan karena :

hipotensi sistemik yang menyebabkan menurunnya cerebral blood flow dan


menyebabkan cerebral hipoksia.
Traksi peritonium atau viskera yang menyebabkan reaksi vagal berupa bradikardi
dan penurunan curah jantung.
Telah dilakukan evaluasi terhadap keefektipan terapi yang cepat untuk setiap
penurunan tekanan darah untuk pencegahan mual-muntal. Kesimpulannya bahwa
pemberian efedrin intravena, jika diberikan segera bila tekanan darah turun, dapat
mencegah penurunan tekanan darah dan akan mengurangi kejadian mual-muntah. Dan
sebagi tambahan, nilai asam-basa darah umbilical bayi yang Ibunya segera diterapi bila
ada hipotensi lebih baik daripada Ibu yang jelas mengalami hipotensi. Traksi pada uterus
dan atau peritonium bisa meningkatkan kejadian mual-muntah bila regional anestesinya
tidak adekuat. Sakit viskeral dari traksi pada peritonium atau viscera abdominalis akan
merangsang pusat muntah melalui nervus vagus. Penambahan opiat intratekal atau
epidural akan memperbaiki kualitas anestesi dan akan menurunkan kejadian mual-
muntah selama operasi.

Mual-muntah setelah bayi lahir dapat dikurangi dengan pemberian dosis kecil
droperidol atau metoclopramide.
Sakit Kepala :

Sakit kepala paska spinal merupakan masalah utama setelah spinal anestesi pada
obstetri. Kejadian post spinal headache bervariasi dari satu institusi ke institusi yang
lainnya, berkisar 0-10%.

Beberapa teknik untuk mengurangi kejadian post spinal headache :

suntikan jarum spinal harus paralel dengan arah serabut duramater.


makin kecil jarumnya, makin sedikit kejadian post spinal headache.
Kami (di Bandung) menggunakan jarum spinal No.25 / 27.

Dengan No.27 kejadian post spinal headache 2-3%.

ujung jarum, kejadian post spinal headache dengan pencil point lebih rendah

297
daripada Quincke. Dengan no. 25 pencil point kejadian post spinal headache sekitar
1%. Kebanyakan post spinal headache ringan dan bisa sembuh sendiri. Pemberian
caffein intravena atau peroral kadang-kadang dapat menurunkan kejadian sakit
kepala .
Ringkasan Spinal anestesi untuk Sectio Caesarea :
1. Berikan cairan yang tidak mengandung dextrose (2000ml) jika tidak ada kontra
indikasi.
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2.
3. Obat anestesi bupivacain 0,5% atau levobupivacain 0,5%
4. Gunakan jarum spinal Quincke No.27 atau Whitacre No.27.
5. Posisi right lateral saat induksi spinal anestesi.
6. Posisi pasien miring kiri sampai bayi lahir.
7. Terapi penurunan tekanan darah Ibu dengan efedrin 5-10 mg dan berikan cairan. Bila
ada kontra indikasi pemberian efedrin, berikan phenylephrine 40ug.
8. Berikan oksigen melalui masker.
Kontra indikasi spinal anestesi untuk Sectio Caesarea :
1. perdarahan hebat pada Ibu.
2. hipotensi hebat
3. gangguan pembekuan
4. kelainan neurologis
5. pasien menolak
6. kesulitan teknis
7. tubuh pasien pendek atau morbid obesiti
8. sepsis, baik lokal atau general.
III. ANESTESI UMUM
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
kegagalan anestesi tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi.

Kerugiannya adalah : kemungkinan adanya aspirasi, masalah pengelolaan jalan nafas,


bayi terkena obat-obat narkotik serta ada kemungkinan awareness.

Maternal aspirasi :

Aspirasi pneumonia akibat aspirasi cairan lambung disebut sebagai Mendelson


syndrome, maka penting sekali menetralkan asam lambung. Tetapi pemberian antasid
jangan berbentuk partikel. Robert dan Shirley melaporkan adanya aspirasi isi lambung
selama anestesi untuk sectio caesarea walaupun sebelumnya diberi antasid yang
berpartikel. Pada penelitian hewan dilaporkan bila terjadi aspirasi partikel antasid, bisa
menyebabkan perubahan struktur dan fisiologi paru-paru. Antasid yang tidak berpartikel
dapat menghilangkan masalah ini.

Glycopyrrolate suatu anticholinergic dapat menurunkan sekresi gaster, tetapi


dapat menyebabkan relaksasi sphincter gastrooesophageal, sehingga meningkatkan
298
risiko regurgitasi dan aspirasi.

Cimetidin dan ranitidin suatu histamin (H2) reseptor antagonis dapat menghambat
sekresi asam lambung dan menurunkan volume gaster.

Metoclopramid dapat meningkatkan motilitas gaster dan karena itu tonus sphincter
oesophagus meningkat, sering diberikan sebelum anestesi umum pada sectio caesarea.
Metoclopramide juga berefek anti emetik sentral yang bekerja di CTZ (chemoreceptor
trigger zone).

Pengelolaan jalan nafas :

Hal ini dihubungkan dengan peningkatan konsumsi O2 dan penurunanfunctional residual


capacity. Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai
induksi anestesi. Norris dan Dewo membandingkan dua cara preoksigenasi,yang
pertama dengan oksigen 100% selama 3 menit dan yang kedua dengan 4 kali nafas
dalam yang maksimal selama 30 detik. Ternyata P aO2 rata-rata tidak berbeda antara
kedua kelompok. Oleh karena itu dalam keadaan foetal distress akut, 4 kali nafas dalam
dengan oksigen 100% mungkin sudah mencukupi.

Induksi yang cepat dengan tekanan Cricoid (Sellick's maneuver) diikuti intubasi
endotrakheal adalah metode yang sering dilakukan. Monitor O2 dan CO2 harus
dilakukan. Masalah lain untuk anestesi umum pada sectio caesarea adalah kesulitan
intubasi. Bila hal itu terjadi, harus dilakukan ventilasi melalui masker atau dipasang
laryngeal mask, tetapi masalah adanya aspirasi tetap tidak bisa dihilangkan.
Depresi Neonatus :

Penyebab depresi Neonatus pada anestesi umum :

1. Penyebab fisiologis :

hipoventilasi Ibu
hiperventilasi Ibu
penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortocaval.
2. Penyebab Farmakologi :

obat-obat induksi
pelemas otot
rendahnya konsentrasi oksigen
N2O dan obat anestesi inhalasi lainnya
efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery.

1. Penyebab fisiologis :

299
Perubahan-perubahan fisiologis dan kehamilan menyebabkan parturien lebih
mudah terpengaruh oleh perubahan yang cepat dari gas darah. Hipoventilasi akan
mengurangi tekanan oksigen pada ibu dan akan menyebabkan perubahan asam-basa
pada neonatus atau depresi biokimia. Hiperventilasi ibu selama anestesi umum akan
menyebabkan penurunan tekanan O2 feotal karena :

terjadi vasokontriksi pembuluh umbilical sekunder terhadap hipokarbi ibu.


perubahan hemodinamik ibu akibat peningkatan tekanan intratorakal yang
menyebabkan penurunan aortic blood flow dan uterine blood flow.
Ventilasi semenit yang lebih dari 100ml/kg/menit selama anestesi umum, harus
dihindari. Kompresi aortocaval menjadi lebih penting bila ada fetal asfiksia. Bila pasien
diletakan dalam posisi supine akan lebih memperburuk foetus. Bayi akan lebih baik bila
kita menghindari kejadian kompresi aortocaval.

2. Penyebab farmakologis :

a. Obat induksi :

Yang paling umum dipakai adalah pentotal dengan dosis 4mg/kgBB.


Thiobarbiturat menembus plasenta dengan cepat dan ditemukan dalam darah feotus
dalam beberapa detik setelah suntikan intravena pada ibu. Konsentrasi dalam darah vena
umbilical lebih rendah dari darah vena ibu, konsentrasi dalam darah arteri umbilical
lebih rendah dari darah vena umbilikal. Adanya perbedaan ini karena :

penurunan yang cepat dari konsentrasi thiobarbiturat dalam darah Ibu karena
redistrubusi yang cepat.
distribusi yang tidak homogen dalam ruangan intervilli.
ekstraksi thiobarbiturat dari darah vena umbilikal oleh liver feotus.
dilusi yang progresif melalui shunting pada sirkulasi feotal.
Ketamin 1-1,5mg/kg mungkin merupakan obat induksi yang terpilih pada kasus-kasus
perdarahan. Propofol dengan dosis 2-2,5mg/kg tidak menunjukkan kelebihan untuk
sectio caesarea. Etomidate 0,3mg/kg efek depresi miokardium lebih kecil dan
hemodinamik lebih stabil dibandingkan dengan tiopental.

b. Muscle relaxant :

Penelitian-penelitian pada -tubocurarine, pancuronium, metocurine, dan


succinylcholine menunjukkan bahwa setelah pemberian obat-obatan ini, sedikit jumlah
obat yang menembus plasenta dan tidak mempengaruhi feotus. Tetapi, blokade
neuromuskuler yang lama pada Ibu dan bayi telah dilaporkan setelah pemberian succynil
choline pada Ibu. Hal ini disebabkan karena atypical pseudocholine esterase pada Ibu
dan bayi baru lahir. Banyak penulis menganjurkan pemberian dosis kecil pelemas otot
non depolarizing sebelum penggunaan succinylcholine untuk mencegah fasciculasi dan

300
peningkatan tekanan intragastrik, tetapi tidak semua anesthesiologist setuju pada konsep
ini dengan alasan :

pada parturien jarang terjadi fasciculasi setelah pemberian succinylcholine.


succinylcholine menyebabkan kenaikkan tekanan intragastrik yang tidak konsisten
dan tidak dapat diperkirakan.
succinylcholin bertendensi meningkatkan tekanan sphincter oesophageal bagian
distal.
intubasi menjadi lebih sulit bila diberikan non-depolarizing sebelum pemberian
succinylcholin.
sakit otot setelah pemberian succinylcholin tidak perlu diperhatikan setelah sectio
caesarea.
Atracurium : transfer plasenta hanya 5-20%.

c. Oksigenasi :

Oksigenasi feotus dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen inspirasi Ibu. Lebih


tinggi konsentrasi oksigen inspirasi akan meninggikan tekanan O2 pada Ibu dan foetal
dan akan memperbaiki kondisi bayi saat lahir. Konsentrasi O 2 65-75% cukup untuk
mendapatkan hasil yang optimal.

d. N2O :

N2O menembus plasenta dengan cepat dan mencapai ratio konsentrasi dalam
darah arteri umbilical/vena umbilical 0,8 setelah pemberian 15 menit. Pemberian N 2O
konsentrasi tinggi yang lama dapat menyebabkan rendahnya Apgar score, mungkin
disebabkan karena difusi hipoksia dan depresi susunan saraf pusat secara langsung.
Dalam praktek tidak pernah memberikan N2O lebih dari 50%.

Berbagai obat anestesi inhalasi telah dipakai bersama-sama N2O misalnya


halotan, enfluran, isofluran dan mendapatkan hasil yang baik dengan beberapa efek
samping.

e. Efek interval Induction-delivery (ID) dan Uterine incision delivery (UD) :

Ada pemikiran yang berbeda tentang waktu optimal untuk melahirkan bayi bila
digunakan anestesi umum untuk sectio caesarea. Beberapa peneliti menemukan keadaan
neonatus yang lebih baik bila interval ID kurang dari 10 menit. Yang lebih baru,
Crawford dkk, mengatakan bahwa bila kompresi aortocaval dihindari, konsentrasi O 2
inspirasi 65-70%, tidak ada hipotensi, maka pada ID 30 menit tidak terdapat pengaruh

301
yang nyata pada status asam-basa bayi.

Bila digunakan N2O/O2 50% : 50% dan konsentrasi kecil volatile untuk
mendapatkan amnesia, tidak ada efek yang nyata pada status asam-basa bayi dan Apgar
score bila bayi dilahirkan dalam waktu 10 menit. Faktor lain yang mempengaruhi
kondisi bayi adalah interval UD. Pada Spinal anestesia, bila tidak ada hipotensi,
pemanjangan ID interval tidak mempengaruhi Apgar dan status asam-basa bayi, tetapi
bila UD interval lebih dari 180 detik dihubungkan dengan lebih rendahnya Apgar score
dan bayi yang asidotik.

Selama anestesi umum, bila ID interval lebih dari 8 menit atau UD interval sama
atau lebih dari 180 detik, ditemukan adanya penurunan Apgar score (kurang dari 7) dan
asidosis neonatal.

Baru-baru ini, penelitian pemanjangan UD interval selama regional anestesi,


dihubungkan dengan peningkatan norepinephrin arteri umbilical foetus dan
dihubungkan dengan foetal asidosis.

Hasil yang jelek karena pemanjangan UD interval adalah karena :

efek manipulasi uterus pada uteroplasental dan umbilical blood flow.


tekanan pada uterus dengan menitik beratkan pada kompresi aortocaval.
penekanan pada kepala bayi ketika kesulitan melahirkan bayi.
inhalasi cairan amnion akibat pernafasan gasping bayi dalam uterus.
Adanya peningkatan konsentrasi epineprin pada foetus merupakan tanda adanya foetal
hipoksia.

Awareness :

Masalah utama anestesi umum untuk sectio caesarea adalah kejadian awareness
karena kita memakai dosis kecil dan konsentrasi rendah obat anestesi untuk mengurangi
efek pada foetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan konsentrasi kecil
volotile anestetic dapat mencegah awareness dan recall tanpa efek yang jelek pada
neonatus atau perdarahan uterus yang banyak.

Kesimpulan anestesi umum untuk sectio Caesarea :

1. Premedikasi dengan metoclopramide dan beri antasid yang tidak berpartikel (30
ml).
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2, capnograph, suhu, TOF.
3. Pasien miring kiri.
4. Preoksigenasi dengan O2 100%.
5. Induksi dengan pentotal/ketamine/propofol + relaxant.
6. Intubasi dengan endotrakheal tube + balon.
7. N2O/O2 50% + isofluran 0,75% atau enfluran 1% atau sevofluran 2%.

302
8. Hindari hiperventilasi atau hipoventilasi.
9. Kosongkan lambung dengan NGT.
1. ID interval singkat.
2. UD interval singkat.
3. Berikan narkotik pada Ibu setelah bayi lahir.
4. Ekstubasi bila Ibu sudah sadar penuh.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

LAMPIRAN

No Prosedur anesthesia umum Kasus ke

(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2 Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat


obat anestesia.

3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Lakukan induksi dengan obat intravena

5 Lakukan intubasi

6 Isi cuff pipa endotrakea sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)

7 Cek kedalaman pipa endotrakea dengan inspeksi gerakan dada


dan auskultasi suara nafas paru kiri dan kanan.

8 Hubungkan mesin anestesi dengan pipa endotrakeal

303
9 Atur aliran oksigen, aliran gas anestesia (N2O) dan atur kadar
zat anesthesi volatile

10 Berikan nafas buatan menggunakan bag anestesia sambil


mengatur katup

11 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran
cairan infus, produksi urine, perdarahan.

12 Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, kebutuhan


zat inhalasi, dan kebutuhan pelemas otot.

13 Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat.(kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pasca bedah) Bila perlu berikan antidotum zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

14 Ektubasi dilakukan bila nafas adekuat dan refleks protektif


baik

15 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan pasca


ekstubasi

16 Berikan analgetika adekuat pascabedah..

Tehnik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti diatas. Tetapi memerlukan anestesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal.Pipa endotrakea dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong kearah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forcep Magill). Tehnik ini juga dapat dilakukan
secara blind.

No Prosedur anestesia intravena Kasus ke

1 2 3 4

304
1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2 Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat


obat anestesia.

3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Berikan oksigen 3- 6 l/ mnt dengan nasal kanul atau sungkup


muka

5 Lakukan induksi dengan obat intravena

6 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran
cairan infus, produksi urine, perdarahan.

7 Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, dan


kebutuhan sedasi

8 Akhir tindakan yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pasca bedah) Bila perlu berikan antidotum zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

9 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan


sampai ke ruang pulih sadar

10 Berikan analgetika adekuat pascabedah..

Prosedur Intubasi LMA Kasus ke


No
(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan

2 Pastikan LMA telah dikempeskan dan diberi lubrikasi dengan


NaCl 0,9% atau lidokain

3 Berikan obat premedikasi sesuai indikasi

4 Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, pastikan pasien


sudah tertidur cukup dalam

5 Berikan obat pelumpuh otot bila diperlukan


305
6 Posisikan kepala pasien pada sniffing position.

7 Buka mulut dan masukkan LMA menyusuri palatum, dengan


jari tengah dorong LMA kearah kranial sambil menyusuri
palatum.

8 Dorong LMA terus sampai menemui resistensi di dasar


hipofaring.

9 Kembangkan cuff LMA, pastikan posisi LMA dengan baik dan


lihat kembangan dada simetris untuk memastikan ventilasi
yang adekuat.

No Prosedur Rapid Sequence Induction Kasus ke

1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan Sellick maneuver
(penekanan pada krikoid)

3 Berikan preoksigenisasi dengan oksigen 100% selama 3-5


menit

4 Berikan obat induksi dan pelupuh otot kerja cepat

5 Posisikan kepala pasien dengan leher ekstensi

6 Asisten melakukan penekanan pada krikoid

7 Buka mulut dan masukkan blade laringoskop melalui sudut


kanan mulut

8 Tempatkan ujung blade pada valekula

9 Angkat epiglotis sampai tampak rima glotis dan pita suara

10 Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan

11 Asisten tetap melakukan penekanan pada krikoid sampai posisi


pipa endotrakeal sudah tepat diatas karina, dimana suara nafas

306
kanan dan kiri sama dengan ventilasi buatan

Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid Kasus ke

(pendekatan cara midline)

1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat anestesi lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan


kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah


antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina
iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang


ditentukan.

6 Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah


yang telah diberi anestesi lokal. Penusukan jarum harus sejajar
dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut
kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum


dan dura, terasa loss of resistence pada rongga subarahnoid.

307
9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat
yang ditandai dengan mengalir keluar cairan cerebrospinal
yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran liquor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
liquor tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat anestesi lokal


yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit liquor, bila lancar
suntikan obat anestesi lokal secara perlahan. Lakukan aspirasi
ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang
tepat dan suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien


sesuai dengan yang diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti


diatas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 cm lateral
dan 1cm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

308
ANESTESIA OBSTETRI II

MODUL 16 :

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Anestesia obstetrik- 2 adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8
Sesi di dalam kelas minggu) untuk residen anestesi semester 3
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing keatas, yang meliputi anestesi untuk semua
jenis operasi obstetrik, terutama untuk kasus
Sesi praktik dan pencapaian dengan penyulit atau penyakit penyerta.
kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

309
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006


2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesi diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam pengelolaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai pengelolaan pasca
bedah. Melalukan pengelolaan nyeri persalinan dan memberikan anestesi umum atau
regional untuk bedah sesar pada bedah sesar tdengan penyulit.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Memiliki variabilitas denyut jantung janin, persalinan kurang bulan


(prematur), asfiksia neonatus.
2. Memiliki pengetahuan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam
dengan riwayat seksio sesar sebelumnya, perdarahan ante, intra dan
postpartum.
3. Memiliki pengetahuan tentang preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP .
4. Mampu menjelaskan tanda-tanda emboli air ketuban dan penatalaksanaannya.
5. Mampu menjelaskan tanda-tanda pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom
Mendellson.
6. Memiliki pengetahuan tentang sindrom Meigs pada kasus tumor .
7. Mampu menjelaskan kelainan atau penyakit pasien obstetrik- dengan resiko
tinggi yang akan mempengaruhi jalannya anestesia.
8. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
regional meliputi subarahnoid, epidural, kaudal (lihat prosedur anestesia
umum dan regional).
9. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau regional untuk kasus
obstetrik dan dengan penyulit dan penyakit penyerta.
10. Mampu menjelaskan rencana anestesia regional untuk prosedur bedah
obstetrik dan (lihat modul dan prosedur anestesia regional).
11. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik
dan termasuk tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan
nafas sulit pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
310
12. Mampu menjelaskan penatalaksanaan cairan dan tranfusi darah pada kasus
obstetrik- .
13. Mampu menjelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir.
14. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada
pasien obstetrik.
15. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi.
16. Mampu menjelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA
(Patient controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam.
17. Mampu menjelaskan tindakan resusitasi ibu hamil.
18. Mampu menjelaskan penatalaksanaan post partum dan pasca bedah termasuk
penanganan nyeri dan mual muntah.
19. Mampu menjelaskan indikasi rawat ICU pasca bedah.
Psikomotor

1. Mampu menentukan status fisik pasien obstetrik- dengan penyulit atau


penyakit penyerta berdasarkan klasifikasi ASA (III keatas).
2. Mampu menilai kondisi jalan nafas pasien hamil dengan tingkat kesulitannya,
dan membuat rencana penatalaksanaannya dengan baik.
3. Mampu mengidentifikasi kelainan atau penyakit penyulit preoperatif pasien
dengan resiko tinggi (preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP, kelainan
jantung, sindrom Meigs dll) yang akan mempengaruhi jalannya anestesia dan
melakukan penatalaksanaannya.
4. Mampu melakukan anestesia regional meliputi subarahnoid, epidural, kaudal
untuk prosedur bedah kasus obstetrik dan dengan penyulit atau kelainan
penyerta (lihat modul dan prosedur anestesia regional).
5. Mampu melakukan anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan
termasuk tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan nafas
sulit pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
6. Mampu mengenali komplikasi (hipertensi, hipotensi, edema paru, aspirasi,
penurunan kesadaran dll) pada kasus obstetrik dan cara penanganannya.
7. Mampu melakukan terapi cairan dan tranfusi darah pada kasus obsterik .
8. Mampu melakukan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik.
9. Mampu melakukan anestesia operasi laparoskopi.
10. Mampu melakukan ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient
controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam
11. Mampu melakukan resusitasi ibu hamil.
12. Mampu melakukan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir (lihat modul
anestesia umum dan pediatrik).
13. Mampu melakukan penatalaksanaan post partum, penanganan nyeri dan mual
muntah.
14. Mampu melakukan pencatatan hal penting dalam rekam medik preoperatif,
intra dan pasca operasi terkait dengan tindakan anestesia.
15. Mampu menentukan indikasi rawat ICU pasca bedah.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta resiko yang

311
dapat timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan pasien untuk rawat ICU atau ruang lain
sesuai kondisi pasien pasca bedah.
Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur.


2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedik dan tenaga
kesehatan lain atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing.
3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya
tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.
5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

KEYNOTES:

1. Morbiditas paling umum pada pasien obstetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan beresiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. hampir semua opioid analgesik dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus barier plasenta dan mempengaruhi foetus. Teknik anestesi
regional lebih disukai untuk pengelolaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat anestesi lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk pengelolaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kalaII persalinan.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesi diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam pengelolaan perioperatif dari mulai persiapan prabedah sampai pengelolaan
pascabedah. Melalukan pengelolaan nyeri persalinan dan memberikan anestesi umum
atau regional untuk bedah sesar pada pasien bedah sesar tanpa penyulit.

312
TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan pengelolaan obstetri
anestesi pada kasus sulit:

Preeklampsia atau eklampsia.

Kehamilan dengan penyakit berat yang menyertai.

Emboli air ketuban.

Pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom Mendellson.

Sindrom Meigs

METODE PEMBELAJARAN

A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih

pasca operasi, ruang rawat ICU.

MEDIA

1. Workshop / pelatihan
2. Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, subarahnoid, epidural, dan kaudal pada
manekin.

3. Belajar mandiri
4. Kuliah
5. Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 2

313
termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 minggu 1.

6. Diskusi kelompok
7. Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan jalan nafas,
anestesia umum atau regional, monitoring dan pengelolaan pasca operasi.

8. Kunjungan preoperatif
9. Bimbingan pembiusan dan asistensi
10. Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid, epidural dan kaudal pada
pasien Obstetrik dan dengan bimbingan dan pengawasan staf

pengajar.

11. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


12. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
13. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas :

- Anatomi, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal

- Penegakan diagnosis dan ASA

- Tehnik pembiusan (umum, regional)

- Pengawasan intra operasi

- Komplikasi dan penanganannya

- Penatalaksanaan pasca operasi

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun


belajar pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning),

314
dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran dengan pre dan post test.

Pretest :

1. Jelaskan tentang variabilitas denyut jantung janin, persalinan kurang bulan


(prematur), asfiksia neonatus.
2. Jelaskan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat
seksio sesar sebelumnya, perdarahan ante, intra dan postpartum beserta
komplikasinya.
3. Jelaskan patofisiologi preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP .
4. Jelaskan tanda-tanda emboli air ketuban dan penatalaksanaannya.
5. Jelaskan tanda-tanda pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom Mendellson.
6. Jelaskan kelainan atau penyakit pasien obstetrik- dengan resiko tinggi yang akan
mempengaruhi jalannya anestesia.

315
7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan regional meliputi
subarahnoid, epidural, kaudal (lihat prosedur anestesia umum dan regional).
8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau regional untuk kasus obstetrik dan dengan
penyulit dan penyakit penyerta.
9. Jelaskan rencana anestesia regional untuk prosedur bedah obstetrik dan (lihat
modul dan prosedur anestesia regional).
10. Jelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan termasuk
tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu
hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan penatalaksanaan cairan dan tranfusi darah pada kasus obstetrik- .
12. Jelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik.
14. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi.
15. Jelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient controlled
epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam.
16. Jelaskan tindakan resusitasi ibu hamil.
17. Jelaskan penatalaksanaan post partum dan pasca bedah termasuk penanganan
nyeri dan mual muntah.
18. Jelaskan indikasi rawat ICU pasca bedah.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Knowledge

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
316
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

Kelainan/penyulit :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia regional (subarahnoid, epidural)

3 Anestesia persalinan pervaginam (ILA, PCEA)

3 Pemberian cairan dan tranfusi darah

4 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

317
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

318
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

319
MATERI ACUAN

PLASENTA PRAEVIA
Perdarahan antepartum adalah penyebab utama kematian Ibu pada pasien-pasien
kebidanan. Perdarahan hebat pada periode antepartum umumnya disebabkan karena
plasenta praevia atau solutio plasenta. Kejadian plasenta praevia antara 0,1-1%.
Perdarahan ini disebabkan karena robeknya plasenta. Pada plasenta praevia dengan
perdarahan aktif, sectio caesarea dilakukan dengan anestesi umum. Berikan kristaloid,
koloid atau darah untuk mempertahankan volume intravaskuler yang dilihat dari tekanan
darah, frekuensi nadi, CVP dan diuresis. Bila plasenta praevia sudah ada perdarahan,
anestesi dilakukan dengan anestesi umum. Bila belum ada perdarahan dapat dengan
spinal atau epidural anestesia.

Induksi anestesi dengan dosis kecil tiopental atau ketamin (1mg/kg) bila ada
hipotensi. Apabila operasinya bekas sectio, maka penanganan plasenta praevia ini harus
lebih hati-hati karena mungkin ada plasenta acreta, increta atau percreta sehingga
diperlukan histerektomi setelah dilakukan sectio caesarea. Penanganan anestesi pada
sectio caesarea pada bekas sectio harus dipasang jarum infus yang besar, selimut
penghangat dan darah. Clark dkk, mengamati hubungan antara jumlah sectio caesarea
sebelumnya dan kejadian plasenta praevia. Kejadian plasenta acreta pada plasenta
praevia bila pasien pernah satu kali di sectio adalah 24%, bila sudah menjadi 4 kali atau
lebih sectio caesarea, kejadian plasenta acreta mencapai 67%.

Teknik anestesi yang ideal untuk prosedur ini masih kontroversial, bisa dengan
regional atau anestesi umum dengan berbagai keuntungan dan kerugiannya masing-
masing.

SOLUTIO PLASENTAE
Adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal dari decidua
basalis, kejadiannya 0,2-2% dan mortaliti perinatal sekitar 50%. Diklasifikasikan
sebagai ringan, sedang dan berat. Penyebabnya bisa karena trauma, tali pusat yang
pendek, yang tiba-tiba pada penekanan uterus, dan hipertensi. Perdarahan mungkin
tersembunyi dan berkumpul dibelakang plasenta. Gejala klinis awal berupa sakit perut
hebat disertai dengan tanda-tanda foetal distress.

Pada solutio plasentae ada gangguan pembekuan darah maka harus diperiksa Hb,
hematokrit, bleeding time, thrombosit, prothrombin time, fibrinogen dan partial
thromboplastin time. Bila tidak ada hipovolemia Ibu atau insufisiensi uteroplasenta dan
bila pemeriksaan pembekuan normal dapat digunakan epidural analgesia kontinyu untuk
persalinan pervaginam. Pada solutio plasenta berat, maka perlu dilakukan sectio

320
caerarea dengan anestesi umum dan mungkin diperlukan tranfusi darah masif. Bila
ketika dilahirkan bayinya masih hidup, maka perlu resusitasi aktif sebab maternal
hipovolemia akan menyebabkan terjadinya syok pada neonatus.

Perbedaan solutio plasenta dan plasenta praevia terlihat pada tabel dibawah ini :

Table : Differential Diagnosis (Plasenta Previa vs. Abruptio Plasenta)


Clinical Features Plasenta Previa Abruptio Plasentae
Bleeding Painless Painful

Blood Fresh Dark, old, mixed with cloths

Clothing problems Uncommon Common

Sudden fetal distress Uncommon Common

RUPTURA UTERI
Ruptur uteri paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami operasi pada
uterus misalnya sectio caesarea atau invasi throphoblast. Pada beberapa keadaan harus
dilakukan histerektomi. Jadi pasien-pasien yang melahirkan pervaginam tetapi ada
riwayat sectio caesarea atau operasi uterus harus diobservasi dengan ketat, karena ada
kemungkinan terjadi ruptur uteri karena adanya sikatrik pada uterus merupakan masalah
utama, sehingga epidural analgesi untuk persalinan pada pasien-pasien tersebut menjadi
kontra indikasi relatif karena hilangnya gejala sakit dari ruptur uteri, karena rasa sakit
diblokade oleh epidural analgesia.

Beberapa penelitian dengan memakai bupivacain 0,25-0,37% menunjukkan


bahwa konsentrasi ini tidak menghilangkan sakit akibat ruptur uteri. Demiaczuk dkk.
menyokong adanya beberapa keuntungan dari epidural analgesi untuk persalinan pada
pasien dengan bekas sectio. Kesimpulan akhir adalah epidural analgesia dapat
digunakan untuk persalinan per vaginam pasien-pasien bekas sectio tetapi denyut
jantung bayi dan intensitas kontraksi uterus harus terus dimonitor.

PRE-EKLAMPSI DAN EKLAMPSI


Pre-eklampsi adalah suatu kelainan yang tidak manifest sebelum kehamilan 20
minggu. Kejadian paling tinggi pada primi gravida, dan prevalensi terbesar pada multi
para. Pre-eklampsi khas dengan adanya Trias : Hypertensi, protein uria, dan edema yang
menyeluruh.

321
Disebut pre-eklampsi ringan bila pada wanita yang sebelumnya normotensi ada
kenaikan tekanan diastolik menjadi > 90 mmHg dengan protein uria < 0,25 gr/lt. Disebut
pre-eklampsi berat bila tekanan sistolik > 160mmHg atau diastolik > 110 mmHg,
peningkatan yang cepat dari protein uria, oliguria < 100 ml/24 jam, ada gangguan
cerebral atau penglihatan, pulmonary edema atau sianosis. Pre-eklampsi bisa menjadi
ekslampsi pada setiap tingkatan bila terjadi kejang-kejang. Kejang-kejang bisa terjadi
sebelum persalinan, selama persalinan dan segera pada periode post partum.

Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti setuju bahwa kelainan yang
esensial adalah adanya ischemia utero plasental. Ada 3 faktor :

injury imunologis pada plasenta


ischemia uterus
timbulnya koagulasi intravasculer
Mekanisme dasarnya dihubungkan dengan faktor genetik, ketidakseimbangan
metabolisme rostaglandin, gangguanan defisiensi nutrisi atau kombinasi dari faktor-
faktor tadi. Yang menarik, penyakit ini mempunyai penyebaran geographi dan sosio
ekonomi, lebih banyak di negara berkembang, nyata menurun pada daerah yang lebih
berkembang. Jelas hal ini menyokong faktor nutrisi, genetik dan interaksi antara
keduahal itu, tetapi walaupun hal ini terlihat pada beberapa penelitian, etiologi pasti
tetap belum jelas. Kemungkinan ketidakseimbangan produksi thromboxandan
prostacycline merupakan mekanisme dasar yang harus dipertimbangkan. Sering pada
primigravida, kejadian lebih tinggi bila ada pembesaran uterus yang cepat misalnya
kehamilan lebih dari satu (kembar), diabetes mellitus, polyhydramnion, mola
hydatidosa.

Patofisiologi Pre-eklampsi / Eklampsi

Perubahan patofisiologi dari pre-eklampsi disebabkan karena perubahan-


perubahan vaskuler dalam plasenta selama trimester pertama kehamilan. Suatu reaksi
antigen antibodi antara jaringan Ibu dan foetal menimbulkan vasculitis plasenta. Pada
kehamilan lebih lanjut akan membawa kearah anoxia jaringan dan pelepasan
thromboplastin-like substance ke sirkulasi Ibu, menyebabkan gejala pre-eklampsi.
Ischemia uteroplasenta menyebabkan ekskresi renin-like substance, yang menyebabkan
peningkatan produksi angiotensin dan aldoeteron. Diduga ada penghambatan sistem
substansi vasodilator, terutama prostaglandin. Akibat vasokontriksi menimbulkan
terjadinya :

hipertensi
lesi pada glomerulus yang menyebabkan protein uria
penurunan glomerular filtration rate yang menimbulkan peningkatan reabsorpsi
sodium dan terjadi edema.
Penyebab kematian Ibu adalah edema paru dengan congestive heart failure, hipertensive

322
cerebral encephalopathy, perdarahan otak, abruptio plasentae, renal failure, necorosis
hypophyse.

a) Susunan Saraf Pusat :

Komplikasi neurologis dari kehamilan, termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan,


hiperrefleksia adalah tanda-tanda adanya ancaman terjadinya convulsi, tapi convulsi
dapat juga terjadi tanpa tanda-tanda sebelumnya. Convulsi sulit diatasi, dan bisa
terjadi status epileptikus. Beberapa peneliti menyatakan cerebral edema adalah faktor
utama untuk terjadinya convulsi, tapi penelitian baru-baru ini meragukan keterangan
tadi. Sheehan dan Lynch menemukan tidak ada fakta bahwa ada pembengkakan otak
dan menyatakan bahwa cerebral edema tidak mungkin terjadi pada eklampsi.
Penelitian dengan CT scan pada 43 wanita hamil dengan eklampsi menemukan
edema terjadi pada 27 penderita, dan beratnya edema dihubungkan dengan lamanya
kejang-kejang intermittent. Pada 5 penderita menunjukkan adanya kenaikan sekilas
dari tekanan intra kranial, dan perdarahan intra kranial, yang bisa fatal, ditemukan
pada 4 penderita. Daerah hipoksic-ischemia merupakan lesi yang paling penting.
Penelitian yang lain dengan CT-Scan, MRI, dan cerebral angiography menyokong
konsep bahwa prinsip dasar patologi adalah vasospatic ischemia injury dari pada
edema yang menyeluruh. Bila convulsi berat dan berlangsung lama, bisa terjadi
edema otak yang menyeluruh, jadi edema ini akibat convulsi bukan sebagai penyebab
convulsi eklampsi.

Convulsi eklampsi berbeda etiologinya dengan convulsi hipertensi encephalopathi.


Pada hipertensi encephalopathi, convulsi umumnya terjadinya bila kenaikan tekanan
darah melewati ambang autoregulasi otak. Pada keadaan tersebut, terjadi vasodilatasi
di focal area akibat rusaknya barier darah otak, dan terjadi extravasasi.
b) Sistim Kardiovaskuler :

Terjadi penurunan volume darah kira-kira 10-15% dibandingkan dengan wanita hamil
normal. Systemic Vascular Resistance (SVR) meningkat. Peneliti lain, mendapatkan
bahwa sampai 25% dari pasien menunjukkan fungsi myocardial yang sub optimal,
dan menyokong bahwa ada ketidak sesuai antara CVP dan PCWP (Pulmonary
Capillary Wedge Pressure), walaupun keduanya umumnya rendah.
Dibandingkan dengan kehamilan yang normal, pada pre eklampsi volume
intravaskuler menurun, curah jantung menurun, dan sistemik vascular resisten
meningkat.

c) Koagulasi :

Gangguan koagulasi sering terjadi pada pasien pre eklampsi/eklampsi dengan


thrombocytopenia, terjadi pada 1/3 pasien pre-eklampsi. Juga bisa terjadi hemolisis,
terutama dihubungkan dengan kelainan fungsi hepar dan disebut HELLP syndrome

323
(Haemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platelets) dan DIC terjadi kira-kira 7%
kasus. Kelton dkk, menyokong bahwa defisit fungsi thrombocyt bisa terlihat tanpa
dihubungkan dengan jumlah thrombocytnya.
Ramanathan dkk., menyatakan bahwa wanita dengan pre-eklampsi berat mempunyai
bleeding time yang memanjang dengan jumlah thrombocyt yang adequat, hematokrit
meningkat akibat hemokonsentrasi.
d) Sistim Respirasi :

Bisa terjadi kesulitan intubasi karena gangguan lapangan penglihatan oleh karena
adanya edema saluran nafas bagian atas dan laryng.

e) Liver :

Disfungsi hepar mungkin penyebab dari keluhan sakit epigastrium, dan telah
diketahuai bahwa disebabkan karena ischemia hepatic necrosis, walaupun hal ini juga
bisa disebabkan karena perdarahan sub capsula hepatis. Hipotensi yang tiba-tiba bisa
disebabkan karena ruptur hepar spontan, walaupun jarang terjadi tetapi dapat
menyebabkan kematian. Penurunan fungsi liver dapat merubah clearance obat yang
dimetabolisme di hepar dan memerlukan penyesuaian dosis obat untuk mencegah
overdosis.
f) Ginjal :

Kerusakan ginjal dIbuktikan dengan adanya protein uria, walaupun oliguria lebih
sering disebabkan hipovolemia dan penurunan Renal blood flow daripada oleh
kerusakan ginjal. Telah dibuktikan bahwa lesi primernya adalah renal vasospasme
dan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap molekul yang besar. Dapat terjadi
ARF (Acut Renal Failure) yang memerlukan dialisis yang bisa dipresipitasi oleh
adanya hipotensive terapi yang berlebihan atau oleh Hb-uria (adanya HELLP
syndrome). Tetapi prognosisnya baik, Sibai melaporkan dari 18 pasien ARF akibat
eklampsi, 16 pasien baik tanpa sequele. Sedangkan yang 2 lagi, meninggal akibat
penyebab di luar ginjal.

Table : Differential Diagnosis of HELLP Syndrome, Throbotic Throbocytic


Purpura, Hemolytic-Uremic Syndrome, and Fatty Liver of Pregnancy
Disorder HELLP TTP HUS FLP

Microangiopathic
hemolytic anemia + + +

324
Thrombocytopenic
bleeding + + + +

Neurological
dysfunction + ++

Renal dysfunction + +++ +

FLP = Fatty Liver of Pregnancy.

g) Feto-plasental unit :

Terjadinya disfungsi plasenta dengan gambaran morfologi yang abnormal dan


keabnormalan pertumbuhan plasenta merupakan penyebab utama dari terjadinya
preeklampsi. Sering terjadi penurunan perfusi plasenta dan solutio plasenta, sehingga
bisa menimbulkan retardasi pertumbuhan intra uterine dan terjadi kematian foetus.
Dengan pertimbangan keselamatan Ibu, sering bayi segera dilahirkan, dan sebagai
akibatnya kejadian respiratory distress lebih tinggi pada neonatus yang lahir dari Ibu
preeklampsi/eklampsi. Neonatus yang imature juga menderita perkembangan sistim
metabolisme yang jelek, jadi mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap obat dari
pada infant yang sehat dari Ibu yang gravida aterm.

Pengelolaan Pasien Pre-eklampsi

Pengelolaan pasien eklampsi/pre-eklampsi idealnya dilakukan multi disiplin dan


anestetist ikut dalam pengelolaan pre-eklampsi berat pada stadium dini. Bila diberikan
MgSO4, anestetist dapat menaksir fungsi neuromuskuler, sehingga dapat memberikan
advis dalam proteksi airway dan depresi nafas. Terapi terbaik untuk pre-eklampsi adalah
cepat-cepat melahirkan foetus dan gejala umumnya reda dalam 48 jam setelah bayi
dilahirkan. Pengelolaan adalah simptomatis, sasaran utama adalah mencegah convulsi,
memperbaiki perfusi organ dan utero plasental, penurunan tekanan darah, koreksi
gangguan pembekuan. Pada kasus yang berat, diperlukan monitoring tekanan arteri,
CVP dan tekanan arteri pulmonalis.

a) Pengendalian Convulsi

Terapi untuk kejang-kejang terdiri dari oksigenasi, ventilasi, anti convulsant.


Pengendalian convulsi pada pasien pre eklampsi masih dalam perdebatan, di Eropa /

325
Inggris dengan obat-obat anti convulsant sedangkan di Amerika dengan MgSO 4.
Sedangkan di negara-negara lain dengan memakai kedua obat tadi, anti convulsant
dan MgSO4. Pemberian MgSO4 sendiri tidak bekerja sebagai anti convulsan karena
tidak menembus blood brain barier, tetapi memberikan gambaran palsu dengan
hilangnya kejang-kejang karena efek MgSO4 untuk blokade neuromuskuler, tapi
alasan ini tidak kena untuk pasien yang bangun dan bernafas spontan. Prinsip adanya
cerebral vasospasme menyokong pemberian MgSO4 karena magnesium adalah suatu
cerebral vasodilator kuat, maka rasional kalau bisa mengendalikan komplikasi SSP.

Dibandingkan dengan diazepam, diazepam + pentazocine, diphenylhydantoin atau


epinutum, MgSO4 paling baik untuk terapi convulsi. Megnesium lebih unggul
daripada diazepam bila dilihat dari efeknya terhadap bayi, tapi pada penelitian lain,
yang terbaik untuk neonatus adalah diphenyl hydantoin.

Obat-obat Anticonvulsant :

1) Magnesium Sulphate :

Magnesium Sulphate adalah suatu SSP depresant dan vasodilator ringan. Dengan
relaksasi myometrium, ia juga menyebabkan peningkatan utero plasental blood
flow. Setelah loading dose 40-80 mg/kg secara i.v., diikuti infus continyu 1-2
gr/jam, Magnesium Sulphate dipertahankan 6-8 meq/lt. Refleks tendon yang
dalam dikurangi pada kadar Magnesium Sulphate 10 meq/lt, dan bisa terjadi
respiratoriparalisis dan heart block bila kadar Magnesium Sulphate di atas 12-15
meq/lt. Magnesium potensiasi dengan non depolarizing dan polarizing muscle
relaxant. Tranfer melalui plasenta menyebabkan bayi jadi lemah dan depresi
nafas. Calsium intra vena bisa mengurangi kelemahan pada post operative akibat
magnesium. Bahaya terbesar dari Magnesium infus adalah blokade
neuromuskuler, juga menurunkan resistensi perifer, dan meningkatkan curah
jantung. Efek samping dan efek toksik Magnesium pada Ibu adalah :

kelemahan otot Ibu


paralisis pernafasan
perubahan EKG : interval P-Q memanjang, QRS melebar, SA dan AV
blok
hilangnya reflex tendon profunda
cardiac arrest
Efek samping pada bayi :

penurunan tonus otot


depresi nafas dan apnoe
Antidotum magnesium ialah dengan pemberian calcium intra vena. Umumnya
diberikan dengan dosis 1gr Ca.gluconas atau Ca.chlorida intra vena. Magnesium

326
diekskresi melalui ginjal.

Table : Effets of Increasing Plasma Magnesium Levels


Observed Condition mEq/L
Normal plasma level 1.5--2.0

Therapeutic range 4.0--6.0

ECG ranges (P-Q interval prolonged, QRS 5.0--10


complex widens)
10
Loss of deep tendon reflexes
15
Sinoatrial and atrioventricular block
15
Respiratory paralysis
25
Cardiac arrest

2) Diazepam :

Diazepam dengan dosis 5-10mg, bisa diberikan berulang-ulang sampai ada


efeknya. Dosis kontinyu 10 mg/jam sering digunakan untuk profilaksis, tapi bisa
menimbulkan sedasi yang dalam dengan resiko gangguan airway. Bisa terjadi
depresi foetal terutama pada bayi prematur karena obat ini menembus barier
plasenta sehingga bisa menyebabkan neonatal hipotonia, depresi nafas dan
hipotermia. Penggunaan flumazenil untuk mereverse efek sedasi pada Ibu hamil,
Ibu dan anak, belum dilaporkan. Karena itu tiopental 50-100mg i.v. lebih disukai
sebagai anti convulsant.

3) Phenytoin :

Phenytoin lebih populer daripada diazepam karena kurangnya efek samping sedasi
dan level terapeutik 40-100 mol/lt. Loading dose 10 mg/kg dilarutkan dalam 100
ml NaCl fisiologis, diberikan i.v. dengan kecepatan 50 mg/menit. Dua jam
kemudian, diberikan bolus yang kedua, diberikan dengan cara yang sama dengan
dosis 5 mg/kg. Terapi maintenance dimulai 12 jam setelah bolus yang kedua
dengan kecepatan 200 mg/8 jam secara oral atau intravena. Penggunaan cara ini
sering menimbulkan komplikasi rasa terbakar pada tempat infus, diikuti dengan

327
pusing dan vertigo. Komplikasi hipotensi bisa terjadi, tapi sangat jarang.

b) Pengelolaan Kardiovaskuler

1. Monitoring

Tekanan darah (invasif, non invasif)


CVP
CVWP
Masih diperdebatkan tentang monitoring kardiovaskuler yang paling adekuat
untuk pasien dengan pre-eklampsi berat. Harus diingat bahwa CVP tidak selalu
menunjukkan tekanan pengisian jantung kiri, dan konsekuensinya, ada resiko terjadinya
edema paru bila ada kelebihan volume pada pasien yang mempunyai disfungsi ventrikel
kiri. Karena volume loading sering diperlukan pada pasien-pasien ini, maka CVP
merupakan alat monitoring yang minimal pada pasien dengan pre-eklampsi berat,
walaupun diakui bahwa CVP tidak atau kurang menunjukkan tekanan pengisian
ventrikel kiri. Bila ada hipertensi yang berat, dan digunakan obat-obat vasodilator kuat,
mungkin sebaiknya dipasang alat monitor tekanan darah invasif (arteri line).
Penggunaan kateter arteri pulmonalis jarang dipakai, karena harganya mahal, kecuali
pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi hidralazine dosis normal untuk menurunkan
tekanan darah, edema paru, unresponsive oliguria. Tetapi pada pengalaman-pengalaman
penggunaan monitor tekanan darah non invasif dan CVP cukup baik untuk mengelola
pasien.

2. Pengendalian hipertensi :

Pasien harus dirawat di Rumah Sakit dan istirahat. Harus dipertimbangkan efek
postural, terutama untuk menghindari kompresi aortacaval. Pasien pre-eklampsi
umumnya relatif hipovolemia, juga ada vasospasme, yang dapat mengurangi perfusi
jaringan, sehingga akan berefek buruk pada Ibu dan bayi. Walaupun ada anjuran
untuk terapi hipertensi secara agresif, kebanyakan penulis setuju untuk menurunkan
tekanan darah secara graduil sampai level di atas tekanan normal, pada umumnya
pada tekanan diastolik 90mmHg. Perhatian ditujukan pada perfusi plasenta dan fungsi
ginjal Ibu, juga adanya cedera serebral bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat.
Dalam hal konsep adanya cerebral vasospasme dan cerebral ischemia, penurunan
tekanan darah secara hati-hati disertai dengan monitoring kardiovaskuler yang
adequat sangat baik sekali.
Harus diingat bahwa, sebelum pemakaian vasodilator, harus dilakukan dulu koreksi
hipovolemia, kalau tidak, bisa terjadi penurunan tekanan darah yang hebat. Obat yang
dipilih adalah yang menimbulkan arteriolar vasodilatasi daripada yang venodilatasi
yang akan mencegah kenaikkan curah jantung. Dihydralazine adalah obat yang paling
populer karena berefek dilatasi arterial dan onset of action cepat.
a. Dihydralazine

328
Hydralazine (Apresoline) meningkatkan utero-plasental serta renal blood flow
dan merupakan obat vasodilator yang paling umum digunakan. Dosis 5-10 mg
i.v. berefek dalam waktu 15 menit dan berakhir sampai 6 jam. Penambahan
dosis 5 mg secara i.v., diikuti dengan infus 5-20 mg/jam, diberikan secara titrasi
tergantung tekanan darah. Efek obat bisa menyebabkan hipotensi dan takikardi.
Onset of action lambat, dan pengulangan dosis tidak boleh diberikan dengan
interval kurang dari 20 menit, bila tidak, akan terjadi hipotensi yang hebat.
Meninggikan renal blood flow dan uterine blood flow, serta meningkatkan
denyut jantung dan curah jantung. Adanya takikardia dapat diterapi dengan
Beta bloker misalnya proponolol.

b. Methyl dopa

Obat ini umumnya untuk pasien dengan hipertensi kronis. Dipakai dalam dosis
standar, tapi dapat menyebabkan ngantuk, depresi dan postural hipotensi, tapi
aman pada Ibu hamil pada dosis 1-3 g/hari dengan pembagian dosis.

c. Nifedipine

Tidak banyak penelitian dalam pemakaian nifedipine untuk mengendalikan


tekanan darah pada eklampsi / pre-eklampsi. Prinsipnya Calcium antagonis
merupakan terapi yang logis dan dosis nifedipine sub lingual 10 mg tiap 20
menit sampai maksimum 30 mg. Ada laporan-laporan yang menguntungkan
dari fungsi ginjal, jumlah platelet.

d. Trimethaphan

Keuntungan obat ini adalah tidak adanya efek cerebral vasodilatasi. Obat
dipecah oleh cholinesterase dan karena tidak menembus barier plasenta dapat
menyebabkan pemanjangan efek suxamethonium. Bisa terjadi takikardia dan
menyebabkan penurunan venous return.

e. Nitroprusside dan Nitroglyserine

Nitrogliserin bekerja primer pada kapasitas vena dan terbukti kurang efektif
bila sebelumnya diberikan expansi volume. Dianjurkan untuk pengendalian
tekanan darah pada waktu intubasi. Nitroprusside, sodium nitroprusside
(Nipride) adalah suatu vasodilator dengan onset yang cepat dan lama kerja yang
pendek. Obat ini ideal untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang sangat
berbahaya waktu induksi anestesi atau untuk terapi krisis hipertensi. Tetapi
pada pregnancy hanya dipakai untuk mengendalikan tekanan darah akibat
intubasi, karena ketakutan akan adanya intoksikasi sianida pada feotus. Kedua
obat ini mempanyai tendensi untuk menaikkan tekanan intra kranial Ibu.

329
f. Beta adrenergic blocking drugs

Obat-obat ini jarang digunakan karena adanya fakta-fakta yang menyokong


efek beta bloker pada foetus. Baru-baru ini Labetalol telah dipakai pada terapi
eklampsi/pre-eklampsi dengan hasil yang baik, walaupun ada laporan yang
menganjurkan pemakaian secara hati-hati terutama bila bayinya premature.

3. Pengendalian Volume Intravaskuler

Meskipun ada bukti-bukti yang nyata pada eklampsi/ preeklampsi terdapat


penurunan volume intravaskuler, masih ada perdebatan tentang loading cairan, setiap
pasien harus dipertimbangkan tersendiri berdasarkan data kardiovas-kulernya. Tetapi
prinsip dasar adalah loading cairan harus dilakukan sebelum terapi dengan vasodilator.
Apakah yang diberikan koloid atau kristaloid masih diperdebatkan, terutama pada pasien
yang mempunyai tekanan onkotik rendah dan kebocoran kapiler. Bila ada edema yang
luas, berarti ada kebocoran kapiler, maka volume loading harus diberikan dengan hati-
hati. Ini penting untuk dipikirkan bahwa beberapa dari pasien-pasien ini mempunyai
penurunan ventricular compliance, dan dapat terjadi peningkatan CPWP yang besar
secara tidak diduga-duga setelah pemberian sejumlah kecil volume loading. Konsep
lama tentang pemakaian diuretik berdasarkan pada adanya edema, tidak disokong lagi
dan kebanyakan klinisi percaya bahwa pemakaian diuretik ini akan memperhebat devisit
volume, dan penggunaan diuretik umumnya disalahkan.

4. Pengelolaan Respirasi

Masalah utama adalah pengelolaan jalan nafas, karena ada laporan tentang
adanya edema hebat pada jalan nafas bagian atas. Bila ada konvulsi, bisa terjadi trauma
pada lidah yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas, dan intubasi menjadi sangat
sulit. Adanya edema paru terutama disebabkan karena pemberian cairan yang
berlebihan. ARDS jarang terjadi.

5. Fungsi Ginjal

Walaupun ada oliguria dan edema, tidak dianjurkan pemberian diuretik, sebab
penyebabnya adalah vasospasme dan penurunan volume sirkulasi darah. Pemberian
volume dan vasodilator akan meningkatkan renal blood flow dan curah jantung.
Pemakaian dopamin dengan dosis <_5g/kg/menit, cukup menguntungkan, walaupun
ada peningkatan sensitivitas Ibu terhadap kathecholamin disirkulasi dengan akibat resiko
terjadinya hipertensi. Pemakaian nifedipine juga dicoba untuk memperbaiki renal
output. Diuretik jangan digunakan kecuali bila ada hipertensi berat, congestive heart
failure, retensi air yang hebat, bila diperlukan efek potensiasi dengan obat anti
hipertensi.

330
6. Koagulopathi

DIC bisa terjadi pada pre-eklampsi yang berat. Pemberian thrombocyt, fresh
frozen plasma, sel darah merah sering diperlukan. Bila ada DIC, regional analgesia
merupakan kontra indikasi.

Teknik Anestesia

Pada keadaan emergensi yang betul-betul memerlukan operasi yang segera,


pengoptimalan keadaan pasien harus selalu dijalankan. Perbaikan volume darah,
pengendalian hipertensi, memperbaiki fungsi ginjal, anti convulsi terapi akan
mempermudah pengelolaan anestesi. Regional analgesia tidak boleh dilakukan bila
jumlah thrombocyt < 100.000/mm3.

1.a. Epidural Anestesia :

Bisa digunakan untuk Sectio Caesarea pada pasien pre-eklampsi dengan volume
cairan dan pembekuan yang normal. Dengan regional anestesia terjadi pengurangan
endogenous epinephrin dan norepinephrin, jadi akan memperbaiki uteroplasental
blood flow. Penurunan rasa sakit dan anxieti mengurangi gejolak tekanan darah dan
kebutuhan narkotik.

1.b. Spinal anestesia :

Dihubungan dengan hipotensi yang berat dan tiba-tiba akibat blokade simpatis,
yang bisa menyebabkan penurunan perfusi uteroplasental dan foetal asfiksia.

2. Anestesi Umum :

Mungkin diperlukan untuk Sectio Caesarea emergensi dengan foetal distress.


Adanya edema jaringan lunak dapat menyebabkan kesulitan saat induksi karena adanya
pembengkakan peri glottic. Adanya hipertensi sistemik dan hipertensi pulmonal
meningkatkan resiko terjadinya stroke dan pulmonary edema. Dihindari pemakaian
ketamin. Bisa dipakai 0,67 MAC enfluran, halotan atau isofluran. Karena ada sensitasi
muscle relaxant dengan Magnesium, perlu dipakai monitor nerve stimulator (TOF =
Train of Four).

Anestesi umum indikasi untuk Sectio Cesarea emergensi karena induksi cepat dan
menghindari pelebaran ruangan intra vaskuler akibat blokade simfatis.

Indikasinya :

Hypovolemia yang dihubungkan dengan hemorhagi. Pasien dengan plasenta praevia


atau solutio plasenta akan lebih buruk dengan regional daripada dengan anestesi
umum.
331
Acut foetal distress : Pada keadaan ini diperlukan melahirkan bayi dengan segera.
Dengan regional anestesi akan lebih lambat, karena menunggu bekerjanya obat dan
persiapannya.

Obat-obat yang dipakai selama anestesi Umum :

1. N2O
Sedikit sekali atau hampir tidak mendepresi bayi bila diberikan dengan minimal 50% O 2
dan diberikan dalam periode < 20 menit. Tidak ada depresi yang nyata pada bayi,
bila diberikan N2O 50% sebelum bayi lahir. Untuk sectio caesarea berikan O2 50-
70%.

2. Halotan
Pada konsentrasi anestesi menyebabkan

atonia uteri dan pendarahan post partum


depresi respirasi pada infant
Halotan jarang sekali digunakan kecuali untuk manipulasi uterus, supaya dinding uterus
menjadi rileks. Sehingga halotan sebaiknya tidak dipakai untuk Sectio Caesarea.

Indikasi pemakaian halotan hanya untuk relaxasi uterus, misalnya : kontraksi tetanic
uterus, versi luar atau versi dalam, pelepasan plasenta secara manual, inversi uterus,
Bandl's ring.

3. Pentotal
Pada dosis 4 mg/kg tidak menyebabkan depresi pada infant.

4. Muscle Relaxant
Untuk fasilitas intubasi bisa dipakai succinyl cholin, curare, vekuronium, pancuronium,
atracurium. Obat-obat ini tidak menembus barier plasenta.

5. Pitocin
Obat-obat oxytocics yang paling sering digunakan adalah syntetik hormon pituitary
posterior yaitu oxytocin (Pitocin) dan ergot alkaloid ergonovine (Ergotrat) dan
methyl ergonovine (methergin).

Oxytocin bekerja pada otot polos uterus untuk menstimulasi frekuensi dan kekuatan
kontraksi. Efek pada sistim kardio vaskuler adalah penurunan tekanan sistolik,
diastolik, takikardia, aritmia. Pada dosis tinggi, bisa bekerja sebagai anti diuretic,
yang bisa membawa kearah intoksikasi air, cerebral edema, convulsi bila diberikan
cairan i.v. yang berlebihan.

6. Ergot alkaloids
Dalam dosis kecil meningkatkan kekuatan dan frekuensi kontraksi uterus,
dilanjutkan dengan relaxasi normal uterus. Pada dosis yang lebih tinggi, kontraksi

332
menjadi lebih kuat dan lama. Tonus saat istirahat meningkat, dan terjadi kontaksi
tetanic. Efek pada sistim kardio vaskuler adalah vasokontriksi dan hipertensi,
terutama dengan adanya obat-obatan vasopressor. Bisa diberikan intramuskuler atau
per oral. Suntikan intra vena bisa menimbulkan terjadinya hipertensi, convulsi,
stroke, kerusakan retina, edema paru.

Ekstubasi :

Pada saat Ekstubasi bisa terjadi kenaikan tekanan darah. Untuk mengatasinya
bisa diberikan analgetic (fentanil), lidokain, MgSO4, beta-bloker.

Post operative care :

Walaupun terapi untuk pre-eklampsi adalah cepat-cepat melahirkan bayi, tetapi


convulsi masih bisa terjadi 10 hari sampai 2 minggu setelah melahirkan. Terapi anti
convulsi, anti hipertensi mungkin masih diteruskan bila ada indikasi. Analgesi paska
bedah harus diberikan karena rasa sakit akan menaikkan tekanan darah.

Kesimpulan

Pengelolaan pasien dengan pre-eklampsi berat merupakan tantangan di klinik.


Anestetist harus bekerja dalam hal menghilangkan rasa sakit, pengelolaan fungsi
kardiovaskuler, pengendalian balans cairan, fungsi respirasi, SSP dan organ lain.

Kunci untuk praktek klinik :

Cegah dan terapi convulsi dengan phenytoin atau MgSO4.


Fungsi kardiovaskuler : hati-hati dalam mengganti volume defisit dan berikan
vasodilator (misal : hidralazine) untuk terapi hipertensi.
Jika tidak ada kontra indikasi, pilihan pertama adalah epidural anestesia.
Anestesi umum memerlukan :
pengelolaan jalan nafas yang trampil.
pengendalian tekanan darah saat intubasi dengan Nitroglyserine atau
MgSO4/alfentanyl.
hati-hati potensiasi dan interaksi obat, terutama magnesium dan pelemas otot.
hati-hati pengelolaan paska bedah.

DIABETES MELLITUS

Masalah utama pada wanita hamil yang menderita diabetes mellitus adalah :

insufisiensi plasenta superimposed preeclampsi


diabetic nephropathia diabetic ketoasidosis

333
Diabetic ketoasidosis merupakan faktor utama peningkatan kejadian morbiditi dan
mortaliti perinatal. Ada bukti bahwa ketone dapat menembus plecenta dan menurunkan
PaO2 foetus.

Pemberian anestesia pada parturien yang diabetes berdasarkan pada perubahan-


perubahan patofisiologi yang terjadi, antara lain gangguan uteroplasental blood flow dan
gangguan transportasi oksigen. UPBF berkurang 35-45%. Makin tinggi kadar gula
darahnya, UPBF makin terganggu.

Pengelolaan anestesi :

a. Persalinan pervaginam :

Dapat diberikan epidural analgesia. Telah diketahui bahwa foetus pada permulaan
kala II kurang asidotik bila Ibu menerima epidural anestesia dari pada foetus yang
tidak menerima analgesia.

Asidosis metabolik yang dihubungkan dengan tingginya konsentrasi laktat. Suatu


laporan penelitian mengatakan bahwa epidural analgesia akan mengurangi kadar
katekholamin endogen Ibu selama persalinan dan hal ini akan menguntungkan perfusi
plasenta.

Spinal anestesi juga dapat digunakan.

Dipasang infus yang tidak mengandung dextrose bila diperlukan untuk terapi
hipotensi. Juga penting bahwa foetus pada Ibu yang diabetes lebih cenderung
hipoksia akibat hipotensi Ibu.

b. Anestesi untuk Sectio Caesarea :

Kejadian depresi kardiovaskuler lebih tinggi pada regional anestesi untuk sectio
caesarea dan dihubungkan dengan lebih tingginya blokade simfatis karena penekanan
vena cava inferior dan aorta oleh uterus yang gravid.

Penelitian tahun 1977 yang membandingkan spinal anestesi dan anestesi umum untuk
Sectio Cesarea sehat dan Ibu diabetes. Ternyata bahwa infant dari Ibu diabetes yang
menerima spinal anestesi lebih asidotik dari pada infant dari Ibu diabetes yang
menerima anestesi umum. Asidosis ini dihubungkan dengan Ibu diabetes dan mengalami
hipotensi. Bila dilakukan epidural analgesia, asidosis neonatal sekitar 60% kejadian ini
akibat hipotensi Ibu, sebab pH selalu lebih dari 7,2 bila bila tidak ada hipotensi Ibu.

Faktor-faktor yang menyebabkan bayi asidosis pada Ibu yang diabetes adalah :

334
plasenta memproduksi laktat, terutama bila ada hipoksia atau peningkatan
penyimpangan glikogen.
fetal lactic acidemia bisa terjadi akibat hipoksia (sekunder terhadap hipotensi Ibu)
pada keadaan hiperglikemia Ibu.
Hiperinsulinisme dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Hiperglikemia dan
hiperinsulinisme foetal bisa menyebabkan penurunan oksigenasi foetal.

Spinal anestesi aman digunakan untuk Sectio Caesarea pada Ibu diabetes, asal :

diabetes terkontrol
jangan berikan dextrose untuk mengisi volume sebelum dilakukan spinal anestesi.
hindari hipotensi Ibu.

Jadi berikan infus yang bebas dextrose dan terapi segera hipotensi dengan efedrin dan
posisi pasien miring kekiri.

ASTHMA BRONKHIALE
Progesteron mempunyai efek relaksasi bronkhus, sehingga ada perbaikan
penyakit asthma selama kehamilan, tetapi hal ini tidak selalu pasti. Terapi obat-obatan
untuk masalah respirasi sama antara wanita hamil dan wanita yang tidak hamil.

Bila diperlukan analgesia untuk persalinan biasanya epidural kontinyu. Bila akan
dilakukan Sectio Cesarea harus diingat kemungkinan interaksi obat karena penderita
asthma umumnya mendapat terapi :

methylxanthine, misalnya theophylin, aminophyllin


beta-mimetik, misalnya metaproterenol, albuterol (salbutamol), terbutaline,
fenoterol.
kortikosteroid.
Regional anestesi mempunyai sedikit pengaruh pada respirasi, bisa dengan spinal
anestesi atau epidural anestesi. Ada beberapa laporan tentang kejadian bronkhospasme
pada pasien asthma yang dilakukan spinal anestesi. Spinal anestesi memblokade motoris
sehingga dapat mempengaruhi otot abdomen sehingga mempengaruhi fungsi ekspirasi.

Pada pasien dengan masalah respirasi ini sebaiknya dihindari pemberian anestesi umum.
Tetapi bila diperlukan anestesi umum, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

hindari pemakaian H2 receptors blockers seperti cimetidin, ranitidine.


pemberian premedikasi sulfas atropin dapat mengurangi sekresi dan bersifat
bronkhodilator.
berikan antasid kurang lebih 30 ml.

Induksi dengan ketamin (berefek bronkhodilator karena pelepasan katecholamine

335
sentral), intubasi dengan succinylcholin atau vekuronium. Obat-obat anetesi inhalasi
halotan, enfluran dan isofluran berefek bronkhodilator. Tetapi pemakaian halotan dapat
menyebabkan ventriculer takikardia dan aritmia pada pasien yang diberi aminophyllin
atau obat beta-mimetik.

HAMIL KEMBAR

Dapat dengan spinal anestesi, epidural anestesi atau anestesi umum.

Masalah pada hamil kembar adalah :

kompresi aortocaval lebih besar dan lebih tinggi angka kejadian hipotesi.
diapraghma tertekan keatas sehingga mudah terjadi hipoksia.
risiko aspirasi lebih besar.
bayinya sering prematur atau growth retardasi. Pengelolaam anestesinya : lebih
disukai epidural dari spinal analgesia, sebab dengan epidural kejadian hipotensi
lebih jarang, kemungkinanan kecil terjadi penyebaran obat anestesi lokal yang
lebih tinggi. Dengan spinal anestesi kejadian hipotensi lebih besar dan besar
kemungkinan penyebaran obat anestesi yang lebih tinggi.

Anestesi umum juga dapat digunakan. Yang harus diperhatikan ID dan UD interval
harus singkat sebab ada resiko pelepasan plasenta.

OBESITAS
Obesitas adalah gambarab klinis yang sering ditemukan di negara-negara dimana
malnutrisi dan kemelaratan jarang dijumpai.

Ada beberapa cara menghitung berat badan :

1) Berat badan relatif

BB sebenarnya
(kg)
BB relatif = x
-------------------- 100%
-----

TB (cm) - 100

Kriterianya : kurang 90% : kurus

336
antara 90%- : normal
110%
lebih 110%- :
120% overweight
lebih 120% : obesitas

2) Dengan Body Mass Index (BMI) :


BB (kg)
BMI = -----------
---
TB
(cm)2

Kriterianya : BMI kurang 25 : non obese


antara 25--29 : overweight
lebih atau sama : obesitas
dengan 30

Morbid obesity adalah bila berat badannya 2 kali BB ideal.

Morbid obesity dibagi 2 golongan yaitu Simple Obesity (SO) dan Obesity
Hypoventilation Syndrome (OHS) atau Pickwickian

syndrome. OHS adalah bila sudah ada hipoventilasi, hiperkapnia. Pasien OHS terlihat
somnolent, lethargi, plethora, sianosis, edema, pembesaran jantung kanan, polisitemia,
penurunan kapasitas vital, hipertensi pulmonal, hipervolemia.

Masalah utama pada Ibu obesitas adalah :

adanya penyakit sertaan seperti hipertensi, insufisiensi respirasi, diabetes mellitus.


banyaknya volume isi lambung dengan pH yang rendah.
sulit melakukan regional anestesi
komplikasi obstetrinya tinggi
laringoskopi-intubasi sulit
kejadian accidental dural puncture tinggi
kegagalan epidural analgesi lebih tinggi (42% dibanding 6% pada pasien biasa).

337
EMBOLI CAIRAN AMNION

Emboli cairan amnion terjadi 1 : 20.000 / 1 : 30.000 persalinan dan kebanyakan


meninggal. Patogenesis kelainan ini adalah robekan amnion atau chorion, terbukanya
vena uterin dan endocervical dan tekanan mendorong cairan amnion masuk ke sirkulasi
vena. Gejala-gejalanya adalah respiratory distress, syok, pendarahan (dari DIC), coma,
edema paru, sianosis, perubahan mental, kejang-kejang. Bila pasien bisa hidup, masalah
yang lainnya adalah gagal ginjal, gagal nafas dan koagulopati.

Faktor predisposisinya adalah pasien dengan pemberian Oxytocin, muconium dalam


cairan amnion, intra urine fetal death, solusio plasenta, umur tua, multipara, manipulasi
vagina, sectio caesarea.

Terapinya adalah resusitasi, segera lahirkan bayinya. Intubasi dan FiO2 tinggi, PEEP,
berikan furosemid, tranfusi komponen darah untuk mengoreksi edema paru dan
perubahan hematologi.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

LAMPIRAN

No Prosedur anesthesia umum Kasus ke

(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2 Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat


obat anestesia.

338
3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Lakukan induksi dengan obat intravena

5 Lakukan intubasi

6 Isi cuff pipa endotrakea sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)

7 Cek kedalaman pipa endotrakea dengan inspeksi gerakan


dada dan auskultasi suara nafas paru kiri dan kanan.

8 Hubungkan mesin anestesi dengan pipa endotrakeal

9 Atur aliran oksigen, aliran gas anestesia (N2O) dan atur


kadar zat anesthesi volatile

10 Berikan nafas buatan menggunakan bag anestesia sambil


mengatur katup

11 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran
cairan infus, produksi urine, perdarahan.

12 Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, kebutuhan


zat inhalasi, dan kebutuhan pelemas otot.

13 Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat.(kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pasca bedah) Bila perlu berikan antidotum2 zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

14 Ektubasi dilakukan bila nafas adekuat dan refleks protektif


baik

15 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan


pasca ekstubasi

16 Berikan analgetika adekuat pascabedah..

Tehnik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti diatas. Tetapi memerlukan anestesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal.Pipa endotrakea dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong kearah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forcep Magill). Tehnik ini juga dapat dilakukan
secara blind.

339
No Prosedur anestesia intravena Kasus ke

1 2 3 4

1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2 Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat


obat anestesia.

3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Berikan oksigen 3- 6 l/ mnt dengan nasal kanul atau sungkup


muka

5 Lakukan induksi dengan obat intravena

6 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran
cairan infus, produksi urine, perdarahan.

7 Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, dan


kebutuhan sedasi

8 Akhir tindakan yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pasca bedah) Bila perlu berikan antidotum zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

9 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan

340
sampai ke ruang pulih sadar

10 Berikan analgetika adekuat pascabedah..

Prosedur Intubasi LMA Kasus ke


No
(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan

2 Pastikan LMA telah dikempeskan dan diberi lubrikasi dengan


NaCl 0,9% atau lidokain

3 Berikan obat premedikasi sesuai indikasi

4 Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, pastikan pasien


sudah tertidur cukup dalam

5 Berikan obat pelumpuh otot bila diperlukan

6 Posisikan kepala pasien pada sniffing position.

7 Buka mulut dan masukkan LMA menyusuri palatum, dengan


jari tengah dorong LMA kearah kranial sambil menyusuri
palatum.

8 Dorong LMA terus sampai menemui resistensi di dasar


hipofaring.

9 Kembangkan cuff LMA, pastikan posisi LMA dengan baik dan


lihat kembangan dada simetris untuk memastikan ventilasi
yang adekuat.

341
No Prosedur Rapid Sequence Induction Kasus ke

1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan Sellick maneuver
(penekanan pada krikoid)

3 Berikan preoksigenisasi dengan oksigen 100% selama 3-5


menit

4 Berikan obat induksi dan pelupuh otot kerja cepat

5 Posisikan kepala pasien dengan leher ekstensi

6 Asisten melakukan penekanan pada krikoid

7 Buka mulut dan masukkan blade laringoskop melalui sudut


kanan mulut

8 Tempatkan ujung blade pada valekula

9 Angkat epiglotis sampai tampak rima glotis dan pita suara

10 Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan

11 Asisten tetap melakukan penekanan pada krikoid sampai


posisi pipa endotrakeal sudah tepat diatas karina, dimana
suara nafas kanan dan kiri sama dengan ventilasi buatan

Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid Kasus ke

(pendekatan cara midline)

1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat anestesi lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan


kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

342
4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah
antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina
iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang


ditentukan.

6 Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah


yang telah diberi anestesi lokal. Penusukan jarum harus sejajar
dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut
kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum


dan dura, terasa loss of resistence pada rongga subarahnoid.

9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat


yang ditandai dengan mengalir keluar cairan cerebrospinal
yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran liquor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
liquor tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat anestesi lokal


yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit liquor, bila lancar
suntikan obat anestesi lokal secara perlahan. Lakukan aspirasi
ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang
tepat dan suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien


sesuai dengan yang diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti


diatas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 cm lateral
dan 1cm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

Prosedur Anestesia Blok Epidural

No Prosedur Anestesia Blok Epidural Kasus ke

(pendekatan cara midline)

343
1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat anestesi lokal yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan


kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah


antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina
iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang


ditentukan.

6 Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum epidural

7 Lakukan penusukan jarum epidural pada celah yang telah


diberi anestesi lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan
prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut kearah
sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Cabut mandren dan sambungkan jarum dengan spuit yang


berisi 3 ml udara atau cairan NaCl 0,9%.

9 Dorong jarum perlahan dengan penekanan yang konstan pada


spuit sampai melewati resistensi ligamentum flavum, terasa
loss of resistence pada rongga epidural yang dapat dirasakan
saat udara atau cairan dalam spuit dapat didorong dengan
mudah. Penusukkan harus dihentikan dan jarum dicabut bila
menembus rongga subarahnoid yang ditandai keluarnya liquor
atau keluar darah.

10 Pastikan bevel jarum mengarah ke sefalad, perlahan masukan


kateter epidural sampai kira-kira 4-5 cm keluar dari ujung
jarum dan perlahan tarik jarum keluar.

11 Fiksasi kateter pada punggung pasien dan kembalikan posisi


pasien sesuai semula

12 Lakukan aspirasi pada kateter untuk memastikan tidak ada


liquor atau darah dan lakukan test dose dengan obat anestesi
lokal lidokain 2% 3 ml dan epinefrin 1:200.000 untuk
memastikan kateter tidak menembus rongga subarahnoid atau

344
pembuluh darah.

Cara penyuntikkan dengan tehnik hanging drop pada

dasarnya sama seperti diatas hanya saja kepala jarum


epidural ditetesi cairan NaCl 0,9% dan bila ujung jarum
mencapai rongga epidural maka tekanan negatif dalam
rongga akan menarik cairan kedalam.

Prosedur anestesia blok kaudal

No Prosedur anestesia blok kaudal Kasus ke

1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat anestesi lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis.

3 Posisikan pasien lateral dekubitus dan ganjal bahu dan kepala


pasien.

4 Tentukan landmark pada hiatus sakralis yang letaknya pada


garis tengah kira-kira 5 cm dari ujung tulang koksigeus.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang


ditentukan.

6 Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum kaudal.

7 Lakukan penusukan jarum kaudal pada celah yang telah diberi


anestesi lokal. Penusukan jarum membentuk sudut 45 dengan
kulit dengan arah bevel ke sefalad menembus membran
sakrokoksigeus dan menyentuh bagian anterior tulang sakrum.
Arahkan jarum membentuk 30 dengan kulit dorong sampai
terasa seperti loss of resistence.

8 Cabut mandren dan sambungkan jarum dengan spuit yang


berisi 3 ml cairan NaCl 0,9%.

9 Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak keluarnya liquor


atau darah. Dorong cairan yang ada dalam spuit untuk

345
memastikan posisi ujung jarum sudah tepat dengan tidak
adanya tahanan. Penusukkan harus dihentikan dan jarum
dicabut bila menembus rongga subarahnoid yang ditandai
keluarnya liquor atau keluar darah.

10 Suntikan obat anestesi lokal yang sudah disiapkan dalam spuit.

11 Kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan.

MODUL 17: ANESTESI BEDAH THT I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia THT 1 adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu 1 bulan (4 minggu) untuk
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing residen anestesi semester 2, yang meliputi
Sesi praktik dan pencapaian anestesi untuk jenis operasi THT sederhana
kompetensi tanpa penyulit.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
346
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur
bedah THT sederhana tanpa penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, monitoring
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pasca bedah (pemulihan).

TUJUAN KHUSUS

Kognitif

1. Mampu menginterpretasikan anatomi jalan nafas atas, laring hingga trakea dan
telinga.
2. Mampu mendiskusikan efek pemakaian N2O pada bedah telinga tengah.

347
3. Mampu mendiskusikan tingginya insiden PONV pascabedah telinga.
4. Mampu menjelaskan teknik hipotensi.
5. Mampu menjelaskan interaksi katekolamin dengan zat volatil.
6. Mampu menjelaskan pengaruh vasokonstriktor lokal terhadap kardiovaskular
dan penatalaksanaan masuknya secara tak sengaja infiltrasi epinefrin ke dalam
intravaskular.
7. Mampu menjelaskan tehnik pembiusan tonsilektomi beserta risiko dan
komplikasi serta penanganannya.
8. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring dan penanganannya.
9. Mengetahui patofisiologi sleep apnea .
10. Menjelaskan alasan untuk mengeliminasi N2O dari campuran gas anestetik
selama periode apnea.
11. Mendiskusikan apneic oxygenation dan kecepatan peningkatan PaCO2 yang
terjadi.

Psikomotor :

1. Melakukan anestesia pada semua prosedur yang disebutkan dalam sasaran


ketrampilan kognitif
2. Menangani perubahan kardiovaskular akibat penggunaan epinefrin oleh ahli
bedah THT.
3. Melakukan anestesia untuk pembedahan tumor kepala-leher, termasuk
pemantauan, manajemen cairan dan penanganan nyeri pascabedah.
4. Mencegah dan mengatasi PONV.
5. Memberikan anesthesia topikal pada jalan nafas, termasuk injeksi transkrikoid.
6. Memberikan propofol untuk induksi anesthesia maupun untuk sedasi.
7. Melakukan teknik hipotensi.

Komunikasi :

1. Melakukan informed consent yang adekuat.


2. Berkoordinasi dengan tim bedah tentang manajemen jalan nafas yang harus
berbagi tempat dengan ahli bedah.
3. Berkoordinasi dengan tim bedah jika terjadi gangguan pada jalan nafas.
4. Menginformasikan tim bedah jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik akibat
injeksi epinefrin.
5. Menyatakan ketidaklayakan penggunaan teknik hipotensi kepada tim bedah.

Profesionalisme :

1. Bekerja sesuai standar yang berlaku.


2. Memastikan persiapan matang sebagai antisipasi kesulitan penanganan jalan
nafas.
3. Menjaga dengan seksama jalan nafas pasien selama dan sesudah operasi.

348
KEYNOTES:

1. Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah THT.
2. Keadaan patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi,
deformitas kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas akut atau kronis, perdarahan, dan kemungkinan difficult airway.
3. Penggunaan N2O dan pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus
dilakukan. Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok
berat, kecanduan alkohol, obstructive sleep apnoe, dan infeksi kronis saluran
nafas bagian atas.
4. Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Perdarahan jalan nafas bagian atas yang banyak, edema, atau patologi
mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat melakukan anestesi untuk bedah THT diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan dalam: evaluasi jalan napas sulit, blok saraf untuk jalan napas, obat
vasokonstriktor, jalan napas bersama, bedah endobronkial, epiglotitis, abses
retrofaringeal, tumor jalan nafas, angioedema jalan napas, post-tonsillectomy bleeding,
The ASA Difficult Airway.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang: anatomi jalan
napas, analgesia topical, evaluasi jalan napas, blok saraf untuk jalan napas, obat
vasokonstriktor, tehnik hipotensi, dan jalan napas bersama.

METODE PEMBELAJARAN

A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

349
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi,

ruang pulih pasca operasi.

MEDIA

Perpustakaan, internet, skill lab

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab : intubasi dan pemasangan LMA pada manekin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 1 termasuk semua sub pokok

bahasan dilakukan semester 2 minggu 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan

jalan nafas, anestesia umum dengan intubasi, LMA, IVA, monitoring

dan pengelolaan pasca operasi.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah, intubasi, LMA pada pasien THT dengan

bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada.

350
Materi pretest terdiri atas :

- anatomi jalan napas

- analgesia topikal

- evaluasi jalan napas

- blok saraf untuk jalan napas

- obat vasokonstriktor

- tehnik hipotensi

- jalan napas bersama

- penegakan diagnosis dan ASA

- Pengawasan intra operasi

- Komplikasi dan penanganannya

- Penatalaksanaan pasca operasi

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam


penuntun belajar pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer
assisted learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di


bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya


tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada
pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk

351
memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

1. Jelaskan semua pertanyaan pada pengelolaan jalan napas


2. Jelaskan teknik anestesia yang aman untuk operasi tonsilektomi (T&A) termasuk
premedikasi, dan nyeri pasca bedah.
3. Jelaskan mengatasi komplikasi kejadian mual dan muntah pasca bedah telinga.
4. Jelaskan penaruh difusi N2O kedalam telinga tengah.
5. Apa bahaya pemakaian cocain dan adrenalin yang dilakukan oleh ahli THT
untuk vasokonstriktor.
6. Jelaskan kapan dipergunakan teknik hipotensi kendali pada operasi THT
7. Jelaskan penatalaksanaan cairan intraoperatif pada kasus bedah kepala-leher.
8. Bagaimana memberikan medikasi dan melaksanakan pemulihan yang mulus
dan mengatasi nyeri pasca bedah.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semeser).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Knowledge

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)

352
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Induksi Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Maintenance dan pengakhiran anestesi

353
3 Anestesi intravena

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

354
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

355
Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

I. Pertimbangan Umum

Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah. Keadaan
patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi, deformitas
kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akut atau
kronis, perdarahan, dan kemungkinan difficult airway. Diskusi prabedah dengan ahli
bedah dan analisis catatan anestesi yang lalu mengenai pengelolaan jalan nafas
perioperatif, ukuran dan posisi pipa endotrakheal, posisi pasien, penggunaan N2O dan
pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus dilakukan. Pasien mungkin
memerlukan pemeriksaan jalan nafas saat pasien masih sadar dengan diberikan sedasi
dan anestesi topikal atau intubasi saat masih sadar dengan fiberoptik sebelum induksi
anestesi umum.

Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok berat, kecanduan
alkohol, obstructive sleep apnoe, dan infeksi kronis saluran nafas bagian atas. Mungkin
diperlukan pemeriksaan laboratorium prabedah, imaging, dan pemeriksaan fungsi
jantung, paru dan hepar.

Sebagai tambahan pada monitoring standar, mungkin diperlukan tekanan darah


intra-arterial dan urine output.

Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Tampon faring diambil, faring di suction, dan pasien di oksigenasi. Ekstubasi
dilakukan bila refleks jalan nafas telah pulih kembali secara penuh. Perdarahan jalan
nafas bagian atas yang banyak, edema, atau patologi mungkin menunda ekstubasi di
kamar bedah.

II. Operasi Telinga

356
Pertimbangan Umum

Operasi telinga sering termasuk melakukan pemotongan dan pemeliharaan saraf


fasial (saraf otak ke VII). Telinga Tengah berhubungan dengan orofaring melalui Tuba
Eustachii. Kalau tuba ini terganggu akibat trauma, edema, inflamasi, atau kelainan
kongenital, lubang angin (venting) normal dari tekanan telinga tengah tidak terjadi. Pada
keadaan ini, konsentrasi N2O yang tinggi dapat meningkatkan tekanan telinga tengah
sampai 300-400 mmHg dalam waktu 30 menit. Sebaliknya, pemberhentian tiba-tiba dari
N2O dapat menimbulkan resorpsi yang cepat dan menimbulkan tekanan negatif dalam
telinga tengah. Perubahan ini dapat mengakibatkan perubahan anatomi telinga tengah,
ruptur membran timpani, disartikulasi stapes artificial, kerusakan/disrupsi graft, dan
mual muntah pascabedah (PONV).

Selama pembedahan, kepala pasien sering dalam posisi elevasi dan diputar pada
satu sisi. Posisi kepala yang ekstrim harus dinilai sebelum operasi untuk menentukan
batas rentang pergerakan, terutama pada pasien artritis atau penyakit serebrovaskuler.
Mata harus ditutup dengan plester.

Anestesi

Induksi dengan hipnotik (pentotal, propofol, atau etomidate) dan pelumpuh otot
yang mempunyai lama kerja singkat atau dengan induksi inhalasi, pemeliharaan
anestesi dengan anestetika volatil. Penggunaan N2O harus di diskusikan dengan ahli
bedah, N2O harus dihentikan 30 menit sebelum pemasangan graft membran timpani.

Tindakan bedah mikro pada telinga memerlukan hemostasis adekuat. Anestetika


volatil dan alpha atau beta adrenergik antagonis bagus untuk mempertahankan tekanan
darah rerata 60-70 mmHg. Elevasi kepala 150 untuk menurunkan bendungan vena dan
pemberian epinefrin lokal untuk vasokonstriksi umumnya dapat memperbaiki kondisi
lapangan operasi.

Miringotomi dengan pemasangan pipa paling sering dilakukan untuk operasi


bedah anak sehari (bedah rawat jalan anak/ambulatori). Prosedur ini sangat singkat dan
umumnya dapat dilakukan dengan anestesi face mask dengan atau tanpa pemasangan
jalur vena. Tidak diperlukan pelumpuh otot. Bila prosedur dilakukan tanpa memasang
jalur vena, fentanyl intranasal (1-2 ug/kg bb) dan acetaminofen prabedah (20 mg/kg)
dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri pascabedah.

Harus diberikan antiemetik karena kejadian PONV sangat sering pada operasi
telinga.

357
III. Operasi Nasal

Operasi nasal dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau anestesi umum. Pada
kedua teknik anestesi tersebut, ahli bedah akan memberikan kokain 4% pada mukosa
nasal, diikuti dengan suntikan lidokain 1-2% yang mengandung adrenalin 1/100.000
1/200.000 untuk hemostasis. Obat ini dapat menimbulkan terjadinya takikardi,
hipertensi, dan aritmia, terutama bila dilakukan anestesi dengan halotan. Pada pasien
dewasa sehat, kokain jangan diberikan melebihi 1,5 mg/kg bb (setiap tetes larutan
kokain 4% mengandung 3 mg kokain). Harus diberikan dosis yang lebih kecil bila
digunakan besama-sama dengan epinefrin, anestesi dengan halotan, atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Anestesi umum diberikan supaya pasien tidak bergerak,
proteksi jalan nafas, dan amnesia.

Setelah operasi kosmetik nasal, hidung tidak stabil dan pemasangan face mask
harus dengan penuh perhitungan atau malahan jangan dilakukan. Emergens (bangun dari
anestesi) dan ekstubasi yang mulus merupakan suatu keharusan untuk menurunkan
pedarahan pascabedah dan menghindari spasme laring dan keperluan ventilasi tekanan
positif dengan face mask.

Kehilangan darah selama operasi nasal banyak dan sulit diperkirakan. Tampon
mulut dapat mengurangi kejadian PONV dengan mencegah masuknya darah kedalam
lambung. Tampon ini harus dukeluarkan sebelum dilakukan ekstubasi. Pipa orogastrik
harus dipasang untuk mengeluarkan darah yang masuk ke lambung.

Pasien dengan epistaksis berat yang dilakukan ligasi arteri maksilaris interna atau
dilakukan embolisasi sering mengalami cemas, lelah, hipertensi, takikardi, dan
hipovolemi. Pasien ini memerlukan penenteraman hati, hidrasi, dan perawatan. Pasien
ini dianggap lambung penuh dan induksi anestesi dan intubasi endotrakheal harus
direncanakan dengan tepat. Hipertensi harus dikontrol untuk mengurangi kehilangan
darah. Tampon nasal posterior, walaupun berguna, dapat menyebabkan edema dan
hipoventilasi. Disebabkan karena kehilangan darah yang banyak sulit dinilai, harus
dilakukan pemasangan jalur vena yang adekuat ( no 16 atau no 14) dan darah untuk
transfusi harus tersedia. Penarikan packing nasal posterior dapat menyebabkan
kehilangan darah yang banyak.

III. Tonsilektomi dan Adenoidektomi

Pemeriksaan prabedah seperti riwayat gangguan perdarahan, obstructive sleep


apnoe, tidak ada gigi (ompong). Harus dilakukan pemeriksaan koagulasi. Pasien dengan

358
obstructive sleep apnoe mungkin obes/gemuk dan mungkin ventilasi dan intubasi sulit.
Banyak pasien mempunyai penyakit infeksi saluran nafas atas yang kronis dan berulang-
ulang terjadinya. Bila pasien sedang mengalami infeksi akut yang ditandai dengan
adanya demam, batuk produktif, gejala saluran nafas bagian bawah, disertai penyakit
lain, atau umur < 1 tahun dipertimbangkan untuk mengundurkan operasinya atau
dirawat di ICU untuk observasi.

Kebanyakan pasien anak dilakukan induksi inhalasi, diikuti dengan pemasangan


jalur vena. Teknik anestesinya umumnya dilakukan dengan volatil anestetika ditambah
dengan opioid (misalnya morfin 0,1 mg/kg intravena). Glikopirolate (5-10 ug/kg
intravena) kadang-kadang diberikan untuk mengurangi sekresi dan dipertimbangkan
pemberian antiemetik. Untuk fasilitas intubasi dilakukan dengan pelumpuh otot, akan
tetapi, tidak selalu diperlukan pelumpuh otot untuk dapat dilakukannya intubasi. Selama
manipulasi kepala dan mouth gag dapat terjadi obstruksi pipa ETT, diskoneksi, atau
tercabut. Oral RAE tube memberikan oral akses yang lebih baik untuk ahli bedah dan
kurang kinking dengan adanya retraktor. Oral RAE tube, sama seperti ETT oral yang
lainnya, harus difiksasi pada garis tengah mandibula.

Pada akhir pembedahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan
untuk mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring.
Eksubasi dapat dilakukan saat anestesi dalam atau serelah pasien bangun dan reflek
proteksi jalan nafas telah pulih. Batuk akibat adanya ETT dapat ditekan dengan
pemberian ldokain 1-1,5 mg/kg ntravena 5 menit sebelum ekstubasi. Penggunaan
orophraryngeal airway (OPA) setelah pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka
operasi dan perdarahan bila penempatan tidak dilakukan secara hati-hati di garis tengah.
Nasal airway dapat sebagai alternatif.

Setelah ekstubasi pasien ditempatkan disatu sisi, dengan posisi sedikit


Trendelenburg dan berikan O2 100%. Dengarkan adanya obstruksi pernafasan sebelum
pasien dikirim ke Post Anesthsia Care Unit (PACU). Transport pasien dengan pemberian
oksigen. Di PACU, pasien diberi oksigen via mask, monitoring tergantung protokol di
PACU, dan periksa apakah faring sudah kering sebelum dipulangkan dari rumah sakit.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

359
360
MODUL 18 : ANESTESIA BEDAH THT II

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia THT 2 adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing minggu) untuk residen anestesi semester 3
Sesi praktik dan pencapaian keatas, yang meliputi anestesi untuk jenis
kompetensi operasi THT dengan penyulit.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang bangasal THT atau Poliklinik THT

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

361
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,
4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur
bedah THT yang disertai penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, monitoring
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pasca bedah (pemulihan).

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Mampu menilai tingkat kesulitan jalan nafas.


2. Mampu menjelaskan urutan langkah-langkah tindakan panendoskopik
(laringoskopi, esofagoskopi, bronkoskopi dll).
3. Merencanakan teknik, obat-obat dan peralatan anestesia yang akan digunakan,
termasuk pemantauan pasien untuk bronkoskopi fiberoptik dan bronkoskopi
kaku.
4. Mampu menyimpulkan kemungkinan komplikasi tindakan panendoskopi.
5. Mampu membuat daftar teknik yang digunakan untuk mengendalikan
hemodinamik pada saat laringoskopi dan bronkoskopi kaku.
6. Mampu menjelaskan risiko dan komplikasi tonsilektomi serta penanganannya.
7. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring dan penanganannya.
8. Mampu menjelaskan algoritma penanganan kesulitan jalan nafas.
9. Mampu menjelaskan teknik tonsilektomi emergensi pada abses peritonsilar
dengan trismus.
10. Mampu menjelaskan prosedur trakeostomi perkutan dan krikotirotomi
emergensi.
11. Mampu menjelaskan prinsip ventilasi jet venturi pada bedah laser, laring dan
trakea.
12. Mengetahui patofisiologi sleep apnea .

Psikomotor :

1. Melakukan anestesia pada semua prosedur yang disebutkan dalam sasaran


ketrampilan kognitif

362
2. Mengevaluasi jalan nafas yang abnormal secara klinis dan radiologis.
3. Melakukan anestesia untuk tindakan bronkoskopi rigid dan fiberoptik.
4. Melakukan asistensi/ membantu prosedur intubasi dengan bronkoskopi
fiberoptik.
5. Melakukan anestesia untuk pembedahan tumor kepala-leher, termasuk
pemantauan, manajemen cairan dan penanganan nyeri pascabedah.
6. Memberikan anesthesia topikal pada jalan nafas, termasuk injeksi transkrikoid.
7. Mempertahankan jalan nafas dengan positive airway pressure pada obstruksi
parsial jalan nafas atas.
8. Melakukan teknik hipotensi.
9. Memperagakan tindakan krikotirotomi emergensi pada manekin.
10. Melakukan krikotirotomi jarum dan ventilasi jet pada pasien.

Komunikasi :

1. Melakukan informed consent yang adekuat.


2. Berkoordinasi dengan tim bedah tentang manajemen jalan nafas yang harus
berbagi tempat dengan ahli bedah.
3. Berkoordinasi dengan tim bedah jika terjadi gangguan pada jalan nafas.
4. Menginformasikan tim bedah jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik akibat
injeksi epinefrin.
5. Menyatakan ketidaklayakan penggunaan teknik hipotensi kepada tim bedah.
6. Mendiskusikan perlunya perawatan pascabedah di ICU.

Profesionalisme :

1. Bekerja sesuai standar yang berlaku.


2. Memastikan persiapan matang sebagai antisipasi kesulitan penanganan jalan
nafas.
3. Menghargai kegunaan dengan demikian menggunakan dengan hati-hati dan
benar bronkoskopi fiberoptik.
4. Menjaga dengan seksama jalan nafas pasien selama dan sesudah operasi.

KEYNOTES:

1. Perdarahan kembali (re-bleeding) setelah tonsilektomi pada pediatri


umumnya terjadi dalam 24 jam setelah operasi tapi bisa juga lebih lambat
sampai 5-10 hari.
2. Induksi anestesi pada anak dengan perdarahan karena tonsil bleeding dan
hipovolemi dapat menyebabkan hipotensi berat dan henti jantung.
3. Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya rapid
sequence induction dengan tekanan pada cricoid dan dengan posisi

363
sedikit head down harus dilakukan untuk melindungi trachea dan glotis
dari aspirasi darah atau cairan lambung.
4. Abses parafaringeal atau Abses tonsilar dapat disertai dengan adanya
trismus, disfagia, dan distorsi serta compromised jalan nafas.
5. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi, sering membuat visualisasi
dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit.
6. Anestesi umum merupakan kontra indikasi kalau terjadi stridor pada saat
istirahat. Pertimbangan dilakukan tracheostomi dengan anestesi lokal
melalui daerah yang selulitis, walaupun tidak ideal, untuk menjamin jalan
nafas.
7. Indikasi tindakan laringoskopi adalah untuk diagnostik (biopsi) atau
terapi (mengambil polip pita suara) yang mempunyai kemungkinan
membahayakan jalan nafas.
8. Pada direk laringoskopi dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah.

GAMBARAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
THT dengan resiko tinggi.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang bagaiaman cara
melakukan anestesi untuk operasi THT dengan resiko tinggi dengan aman, dapat
mencegah dan melakukan terapi segera bila terjadi komplikasi.

METODE PEMBELAJARAN

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi,

364
ruang pulih pasca operasi.

MEDIA

1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manekin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 2 termasuk semua

sub pokok bahasan dilakukan semester 3 minggu 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan

jalan nafas sulit, rencana anestesia umum , monitoring dan

pengelolaan pasca operasi.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, IVA pada pasien THT

dengan penyulit di bawah bimbingan dan pengawasan staf

pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1.Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan

lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi

365
kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :

1. anatomi jalan napas


2. analgesia topical
3. evaluasi jalan napas sulit
4. blok saraf untuk jalan napas
5. obat vasokonstriktor
6. jalan napas bersama
7. bedah endobronkial
8. epiglottitis
9. abses retrofaringeal
10. angioedema jalan napas
11. tumor jalan nafas
12. post-tonsillectomy bleeding
13. The ASA Difficult Airway
14. Komplikasi dan penanganannya
15. Penatalaksanaan pasca operasi dan indikasi rawat ICU

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam


penuntun belajar pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer
assisted learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di


bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien,


misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga
kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk


memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun

366
belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

1. Jelaskan semua pengelolaan jalan napas sulit sesuai the ASA difficult airway
algorithm
2. Jelaskan teknik anestesia yang aman pada perdarahan tonsil yang memerlukan
tindakan bedah ulang
3. Jelaskan tehnik anestesia untuk tindalkan panendoskopi (laringoskopi,
esofagoskopi, bronkoskopi)
4. Jelaskan patofisiologi sleep apnea
5. Jelaskan komplikasi trakheostomi yang dilakukan untuk ventilasi lama dan
trakheotomi akut untuk mengatasi obstruksi jalan napas.
6. Jelaskan bentuk pita suara pada berbagai keadaan, pada trauma adanya tumor
atau paralisis.
7. Jelaskan adanya co-existing problem pada tumor kepala leher.
8. Jelaskan rancangan pemberian anestesi umum pada pasien yang dilakukan
glossektomi atau mandibulektomi.
9. Jelaskan perawatan pascabedah pasien dengan bedah laring seperti
hemilaringektomi, supraglotik, atau laringektomi total.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Knowledge

367
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

368
1 Induksi anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Maintenace dan pengakiran anestesi

3 Anestesi intravena

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

369
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak

370
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

1. Tonsil Bleeding

Perdarahan kembali (rebleeding) setelah tonsilektomi pada pediatri umumnya


terjadi dalam 24 jam setelah operasi tapi bisa juga lebih lambat sampai 5-10 hari. Dapat
terlihat adanya hematemesis, takikardi, sering menelan, pucat dan obstruksi jalan nafas.
Banyaknya kehilangan darah sering tidak dapat diperkirakan karena darahnya ditelan.

Induksi anestesi pada anak dengan perdarahan dan hipovolemi dapat menyebabkan
hipotensi berat dan henti jantung. Diperlukan akses intravena yang adekuat dan pasien
harus diresusitasi dengan adekuat (bila diperlukan dengan produk darah) sebelum
dilakukan tindakan pembedahan. Hematokrit, pemeriksaan koagulasi, dan tersedianya
produk darah harus dipastikan. Dosis obat anestesi harus dikurangi pada pasien dengan
hipovolemia.

Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya rapid sequence


induction dengan tekanan pada cricoid dan dengan posisi sedikit head down harus
dilakukan untuk melindungi trachea dan glotis dari aspirasi dari darah atau cairan
lambung. Dua buah suction harus siap dan stylet pipa endotracheal satu nomor lebih
kecil dari yang diperkirakan harus sudah tersedia. Ahli bedah harus sudah siap di kamar
bedah. Ekstubasi paling aman setelah pasien bangun.

2. Abses parafaringeal atau Abses tonsilar

Dapat disertai dengan adanya trismus, disfagia, dan distorsi serta compromised
jalan nafas. Ahli bedah harus mampu untuk melakukan dekompresi abses dengan
melakukan aspirasi dengan jarum sebelum induksi anestesi. Bila diperlukan, dilakukan
intubasi dengan fiber optik dengan pasien dalam keadaan bagun. Pengelolaan anestesi
dan prosedur ekstubasi sama dengan untuk tonsilektomi. Pada angina Ludwig suatu

371
selulitis pada rongga submandibula dan sublingua yang dapat meluas ke compartment
leher di bagian anterior. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi sering membuat
visualisasi dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit. Anestesi umum merupakan
kontra indikasi kalau terjadi stridor pada saat istirahat. Pertimbangan dilakukan
tracheostomi dengan anestesi lokal melalui daerah yang selulitis, walaupun tidak ideal,
untuk menjamin jalan nafas.

3. Direct Laringoscopy

Indikasi tindakan laringoskopi adalah untuk diagnostik (biopsi) atau terapi


(mengambil polip pita suara) yang mempunyai kemungkinan membahayakan jalan
nafas. Evaluasi pemeriksaan imaging (MRI atau CT-scan) dan pemeriksaan laboratorium
(pulmonary flow-volume loops) dapat menolong mengidentifikasi abnormalitas jalan
nafas dan kemungkinan masalah perioperatif. Banyak pasien mempunyai riwayat
perokok dan penyakit kardiopulmonal.

Pada direct laringoskopi dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah, dan untuk
terapi dapat diberikan dexametason 4-10 mg intravena. Tambahan terapi lain adalah
elevasi kepala, humidifikasi oksigen melalui mask, nebulizer racemic epinefrin.
Kadang-kadang, penghentian nebulizer racemic epinefrin menimbulkan kembalinya
edema airway.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

MODUL 19 : ANESTESI BEDAH MATA

372
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Anestesia bedah mata adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8
Sesi di dalam kelas minggu) untuk residen anestesi semester 2
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing keatas, yang meliputi anestesi bedah mata
rawat inap dan rawat jalan.
Sesi praktik dan pencapaian
kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang Mata atau Poliklnik Mata

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

373
Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mempunyai cukup pengetahuan dan
kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah
mata baik untuk operasi rawat jalan maupun rawat inap, mencakup evaluasi pasien
preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif,
monitoring pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) yang mulus, mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi dan penatalaksanaan pasca bedah (pemulihan).

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Memahami anatomi mata dan inervasi yang dapat berhubungan dengan


anestesia.
2. Memahami fisiologi tekanan intraokular dan hal-hal yang mempengaruhinya.
3. Memahami farmakologi dan dampak fisiologik obat-obat topikal yang biasa
digunakan dalam prosedur bedah mata serta interaksinya dengan obat-obat
anestetik.
4. Memahami seleksi pasien untuk bedah mata rawat jalan.
5. Memahami persiapan prabedah, antara lain:
puasa pada pasien dewasa dan pediatrik
premedikasi
informed consent
Memahami pemantauan standar yang harus ada pada setiap prosedur
bedah mata.
Memahami teknik anestesia yang benar untuk berbagai prosedur bedah
mata.
Memahami risiko dan komplikasi berbagai prosedur bedah mata.

Psikomotor:

1. Melakukan pemeriksaan dan persiapan anestesia yang benar untuk pasien bedah
mata.
374
2. Mendeteksi kelainan fisik maupun sistem tubuh yang diderita pasien bedah mata,
membuat klasifikasi ASA dengan benar serta merencanakan teknik anestesia
yang tepat, termasuk persiapannya.
3. Menjelaskan teknik anestesia regional untuk bedah mata.
4. Melakukan teknik anestesia untuk mencegah peningkatan tekanan intraokular.
5. Melakukan anestesia umum dengan teknik yang tepat untuk bedah mata.
6. Melakukan pemantauan yang cermat dihubungkan dengan risiko dan komplikasi
bedah mata.
7. Dapat mendeteksi dini komplikasi yang terjadi dan mengambil tindakan yang
tepat untuk mengatasi.
8. Mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian ekstubasi sadar dan ekstubasi
dalam.
Komunikasi:

1. Dapat menjelaskan secara lisan maupun tertulis kepada pasien atau keluarganya
tentang teknik anestesia yang akan dilakukan, kemungkinan interaksi dengan
teknik pembedahan serta kemungkinan komplikasinya.
2. Mengadakan komunikasi dengan ahli bedah tentang interaksi keadaan pasien
dengan teknik anestesia dan mendiskusikan hal-hal yang perlu ditempuh untuk
mencegah komplikasi.
3. Melakukan serah terima pasien dengan memberikan menjelaskan secara terang
dengan petugas di ruang pulih.

Profesionalisme:

1. Menyadari perlunya komunikasi dengan seluruh tim bedah mata untuk mencegah
dan mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul selama dan sesudah
prosedur bedah mata.
2. Merencanakan dan melakukan anestesia denga penuh tanggungjawab sesuai
SOP, etika dan norma yang berlaku dengan prioritas pada keselamatan pasien.
3. Disiplin waktu, datang tepat waktu
4. Bekerja efisien dan cepat menyesuaikan
5. Memahami kebutuhan pasien pasien geriatri

KEYNOTES:

1. Kebanyakan obat anestesi menurunkan atau tidak mempunyai pengaruh


pada tekanan intraokuler
2. Tekanan Intraokuler normalnya adalah 12-20 mmHg
3. Traksi otot ekstraokuler atau tekanan pada bola mata dapat menimbulkan
variasi yang lebar dari aritmia jantung dari mulai bradikardi dan
ventrikular ectopik sampai sinus arest atau ventrikular fibrilasi
(oculocardiac reflexs).
4. Pengelolaan bila terjadi oculocardiac reflexs adalah: 1) segera beritahu
ahli bedahnya dan hentikan sementara pembedahan sampai denyut

375
jantung meningkat, 2) konfirmasi adekuat ventilasi, oksigenasi, dan
kedalaman anestesi, 3) berikan atropin intravena (10 ug/kg) bila
gangguan konduksi menetap, 4) pada episode yang membandel, lakukan
infiltrasi otot rektus dengan anestesi lokal. Refleks pada umumnya
melemah sendiri (hilang sendiri) dengan pengulangan traksi pada otot
ekstraokuler.
5. Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorpsi melalui pembuluh
darah dalam sakus konjunctiva dan mukosa duktus nasolacrimalis
sehingga dapat mempunyai efek sistemik.

GAMBARAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
mata baik operasi mata elektif atau emergensi.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang Anatomi mata
dan fisiologi tekanan intraokular, Farmakologi obat-obatan topikal mata, Farmakologi
obat-obat anestesia lokal, Kelainan-kelainan kongenital multipel yang melibatkan
kelainan mata, Patofisiologi mual-muntah, Patofisiologi refleks okulokardiak,
Patofisiologi malignant hyperthermia-like syndrome, Anestesia bedah mata intraokuler,
Anestesia bedah mata ekstraokuler, Pemantauan pasien dalam sedasi ringan sampai
berat, Pengelolaan pasca bedah mata terhadap nyeri, mual muntah dan komplikasi yang
lain, Anestesia umum nafas spontan vs anestesia umum nafas kendali

METODE PEMBELAJARAN

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

376
D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi,

ruang pulih pasca operasi.

MEDIA

1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manekin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Bedah Mata termasuk

semua sub pokok bahasan dilakukan semester 2 minggu 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan

jalan nafas, anestesia umum (intubasi, LMA), monitoring dan

pengelolaan pasca operasi.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, pada pasien bedah mata

dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas :

- Anatomi mata dan fisiologi tekanan intraokular

377
- Farmakologi obat-obatan topikal mata

- Farmakologi obat-obat anestesia lokal

- Kelainan-kelainan kongenital multipel yang melibatkan kelainan

mata

- Patofisiologi mual-muntah (PONV)

- Patofisiologi oculocardiac reflexs

- Patofisiologi malignant hyperthermia-like syndrome

- Anestesia bedah mata intraokuler

- Anestesia bedah mata ekstraokuler

- Pemantauan pasien dalam sedasi ringan sampai berat

- Anestesia umum nafas spontan vs anestesia umum nafas kendali

- Pengawasan intra operasi, komplikasi dan penanganannya

- Pengelolaan pasca bedah mata terhadap nyeri, mual muntah dan komplikasi
lainnya

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam


penuntun belajar pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer
assisted learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di


bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien,


misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga
kurang memberi kenyamanan kepada pasien

378
- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk


memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi bola mata


2. Jelaskan pembentukan dan pengaliran humor aqueosa
3. Jelaskan fisiologi tekanan intraokular dan pengaruh anestesia dan pembedahan
terhadap tekana intraokular
4. Jelaskan refleks yang terjadi yang berkaitan dengan manipulasi mata
5. Jelaskan obat yang dipergnakan pada mata terhadap pelaksanaan anestesia
6. Bagaimana mempersiapkan anestesia untuk berbagai macam operasi mata serta
penatalakasanaan anestesia pada berbagai situasi .
7. Jelaskan komplikasi mata pasca bedah

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Knowledge

- MCQ

379
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

380
2 Teknik MAC

3 Ekstubasi dan emergens yang mulus

4 Pemberian cairan

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

381
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak

382
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Fisiologi Tekanan Intraokuler

Mata dapat dipertimbangkan sebagai suatu bidang cekung dengan dinding yang
kaku. Bila isi dari cekungan itu meningkat, tekanan intraokuler (TIO yang normalnya
12-20 mmHg) akan meningkat. Sebagai contoh, glaukoma adalah suatu keadaan yang
disebabkan obstruksi aliran humor aqueous. Hal yang sama, tekanan intraokuler akan
naik bila volume darah dalam bola mata meningkat. Suatu peningkatan dari tekanan
vena akan meningkatkan tekanan intraokuler dengan menurunkan drainase aqueous dan
meningkatkan volume darah choroidal. Perubahan ekstrem tekanan darah dan ventilasi
juga mempengaruhi tekanan intraokuler (lihat tabel 1). Setiap kejadian anestesi yang
merubah parameter ini dapat mempengaruhi tekanan intraokuler (misalnya laringoskopi,
intubasi, obstruksi jalan nafas, batuk, posisi trendelenburg).

Alternatifnya, pengurangan ukuran bola mata tanpa perubahan proporsional pada


isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Tekanan pada mata dari face mask yang
sangat rapat, posisi telungkup yang tidak baik, perdarahan retrobulber dapat
menyebabkan peningkatan TIO yang besar.

Tekanan intraokuler menolong mempertahankan bentuk dan karena itu berarti


untuk fungsi mata untuk melihat. Variasi tekanan intraokuler yang temporari umumnya
dapat ditolerensi dengan baik oleh mata yang normal. Dalam kenyataannya,
berkedip/blinking meningkatkan tekanan sebesar 5 mmHg dan melirik
/mengedip/squinting meningkatkan tekanan sebesar 26 mmHg. Keadaan episode
peningkatan TIO selintas pada pasien dengan tekanan arteri optalmik rendah (misalnya
hipotensi kendali, arteriosclerosis yang mengenai arteri retina), akan tetapi, mungkin
membahayakan perfusi retina dan menyebabkan iskemi retina.

383
Tabel 1: Pengaruh variabel Kardiak dan Respirasi terhadap TIO

Variabel Efek pada TIO

Tekanan vena sentral

Meningkat

Menurun

Tekanan darah arteri

Meningkat

Menurun

PaCO2

Meningkat (hipoventilasi)

Menurun (hiperventilasi)

PaO2

Meningkat 0

Menurun

Keterangan : = menurun (ringan, sedang, berat), = (ringan, sedang, berat), 0=

tidak ada efeknya.

Bila bola mata terbuka selama operasi tertentu (tabel 2) atau setelah trauma yang
menimbulkan perforasi, tekanan intraokuler sama dengan tekanan atmosfir. Setiap faktor
yang normalnya meningkatkan tekanan intraokuler akan bertendensi menurunkan
volume intraokuler dengan drainase aqueous atau ekstrusi vitreus melalui luka yang
terbuka. Ekstrusi vitreus adalah suatu komplikasi yang serius yang dapat menimbulkan
kerusakan penglihatan yang permanen.

384
Tabel 2: Prosedur pembedahan Open eye

Ekstraksi katarak

Perbaikan laserasi kornea

Transplantasi kornea (keratoplasti penetrasi)

Iridektomi perifer

Pengambilan benda asing

Perbaikan ruptur bola mata

Implantasi lensa intraokuler sekunder

Trabekulektomi (dan prosedur filtering yang lain)

Vitrectomi

Perbaikan luka yang bocor

Efek Obat Anestesi terhadap Tekanan Intraokuler

Kebanyakan obat anestesi menurunkan atau tidak mempunyai pengaruh pada


tekanan intraokuler (tabel 3). Anestetika inhalasi menurunkan tekanan intraokuler
sebanding dengan dalamnya anestesi, makin dalam anestesi makin turun tekanan
intraokuler. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai hal : 1) penurunan tekanan darah
mengurangi volume choroidal, 2) relaksasi otot ekstraokuler akan menurunkan tegangan
dinding bola mata, 3) konstriksi pupil memfasilitasi pengaliran aqueous. Obat anestesi
intra vena juga menurunkan TIO dengan pengecualian ketamin yang umumnya
menaikkan tekanan darah dan tidak menimbulkan relaksasi otot ekstraokuler.

Tabel : Efek Obat Anestesi pada Tekanan Intraokuler

Obat Efek pada TIO

Anestetika inhalasi

Anestetika volatil

385
N2O
Anestetika intravena

Barbiturat

Benzodiazepin

Ketamin ?

Opioid
Pelumpuh Otot

Depolarizer (succinylcholin)

Non depolarizer 0/

Pemberian topikal obat anticholinergic menyebabkan dilatasi pupil (midriasis),


yang mempresipitasi angle-closure glaucoma. Dosis sistemik sulfas atropin tidak
dihubungkan dengan hipertensi intraokuler, dengan pengecualian pasien dengan
glaucoma.

Succinylcholin meningkatkan tekanan intraokuler sebesar 5-10 mmHg selama 5-10


menit setelah pemberian, melalui kontraksi otot ekstraokuler. Tidak seperti otot skelet
yang lainnya, otot ekstraokuler mengandung sel dengan mutiple neuromuscular junction.
Pengulangan depolarisasi dari sel ini oleh succinylcholin menyebabkan kontraksi yang
lama. Peningkatan tekanan intraokuler mempunyai beberapa efek. Itu akan
menyebabkan nilai pengukuran palsu dari pemeriksaan tekanan intraokuler dibawah
anestesi pada pasien glaukoma, sehingga ada kemungkinan terjadinya dilakukan
tindakan operasi yang sebetulnya tidak diperlukan. Selanjutnya, peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan ekstrusi dari isi bola mata melalui luka operasi atau
trauma. Efek akhir dari kontraksi yang lama dari otot ekstraokuler adalah abnormalnya
forced duction test selama 20 menit. Tindakan ini untuk mengevaluasi penyebab
imbalance otot ekstraokuler dan mungkin dipengaruhi oleh tipe operasi strabismus yang
dilakukan. Bendungan dari pembuluh darah choroidal juga berperanan terhadap
kenaikan tekanan intraokuler. Obat pelumpuh non depolarisasi tidak meningkatkan
tekanan intraokuler.

386
Oculocardiac reflexs

Traksi otot ekstraokuler atau tekanan pada bola mata dapat menimbulkan variasi
yang lebar dari aritmia jantung dari mulai bradikardi dan ventrikular ectopik sampai
sinus arest atau ventrikular fibrilasi. Refleks ini, permulaannya diuraikan pada tahun
1908, terdiri dari jalur trigeminal aferent (V1) dan vagal aferent. Refleks okulocardiak
paling umum terjadi pada pasien pediatri yang dilakukan operasi strabismus. Meskipun
demikian, refleks ini dapat terjadi semua kelompok umur dan selama prosedur mata
apapun, termasuk ekstraks katarak, enukleasi, perbaikan ablasio retina. Pada pasien yang
bangun, adanya okulocardiak refleks akan menyebabkan pasien jadi somnolen dan mual.

Obat anticholinergik sering menolong dalam mencegah Oculocardiac reflexs.


Atropin atau glikopirolat intravena segera sebelum dilakukan operasi lebih efektif
daripada premedikasi intramuskuler. Ini harus diingat bahwa pemberian anticholinergik
dapat berbahaya pada pasien tua, yang mempunyai penyakit jantung koroner. Blok
retrobulber atau mendalamkan anestesi dapat digunakan, akan tetapi, teknik ini
mempunyai resiko tersendiri. Blok retrobulber dalam kenyataannya dapat menimbulkan
Oculocardiac reflexs. Kebutuhan profilaksis masih kontroversial.

Pengelolaan bila terjadi Occulocardiac reflexs adalah: 1) segera beritahu ahli


bedahnya dan hentikan sementara pembedahan sampai denyut jantung meningkat, 2)
konfirmasi adekuat ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesi, 3) berikan atropin
intravena (10 ug/kg) bila gangguan konduksi menetap, 4) pada episode yang
membandel, lakukan infiltrasi otot rektus dengan anestesi lokal. Refleks pada umumnya
melemah sendiri (hilang sendiri) dengan pengulangan traksi pada otot ekstraokuler.

Ekspansi Gas Intraokuler

Gelembung gas mungkin disuntikkan oleh dokter mata kedalam posterior chamber
selama operasi vitreous. Suntikan udara intravitreal akan bertendensi mendatarkan retina
yang ablasio dan terjadi penyembuhan secara anatomi. Gelembung udara ini akan
diserap dalam 5 hari dengan difusi gradual melalui jaringan dan masuk kedalam aliran
darah. Bila pasien diberikan N2O, besarnya gelembung ini akan meningkat, hal ini
disebabkan karena N2O 35 kali lebih larut daripada nitrogen didalam darah. Jadi, hal ini
bertendensi untuk difusi kedalam gelembung udara lebih cepat daripada nitrogen
(komponen utama udara) yang diabsorpsi kedalam aliran darah. Bila gelembung udara
membesar setelah mata ditutup/dijahit, akan terjadi kenaikan tekanan intraokuler.

Sulfur hexaflourida (SF6) adalah gas yang innert yang kurang larut dalam darah
dibandingkan dengan nitrogen dan N2O. Mempunyai lama kerja yang lebih panjang
(sampai 10 hari) dibandingkan dengan gelembung udara sehingga dapat memberikan

387
keuntungan bagi dokter mata. Ukuran gelembung menjadi dua kali lipat dalam waktu 24
jam setelah penyuntikkan disebabkan nitrogen dari udara inspirasi masuk ke gelembung
lebih cepat daripada SF6 difusi ke aliran darah. Meskipun demikian, kecuali kalau
volume besar dari SF6 disuntikkan, pembesaran gelembung yang lambat tidak selalu
meningkatkan tekanan intraokuler. Kalau pasien diberikan N2O, ukuran gelembung
akan meningkat dengan cepat dan menyebabkan hipertensi intraokuler. Inspirasi dengan
N2O 70% akan meningkatkan gelembung 3 kali lipat dari 1 ml gelembung dan
peningkatan tekanan dua kali lipat pada mata yang tertutup dalam waktu 30 menit.
Penghentian N2O akan menyebabkan reabsorpsi gelembung, yang menjadi campuran
N2O dengan SF6. Konsekuensi dari penurunan tekanan intraokuler akan mempresipitasi
pelepasan retina.

Komplikasi-komplikasi ini termasuk pembesaran gelembung gas dapat dicegah


dengan menghentikan N2O paling lambat 15 menit sebelum menyuntikkan udara atau
SF6. Dengan jelas jumlah waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan N2O dari darah
akan bergantung pada beberapa faktor, termasuk fresh gas flow rate dan ventilasi alveoli
yang adekuat. Kedalamam anestesi harus dipertahankan dengan pemberian obat anestesi
yang lain. N2O harus dihindari sampai gelembung diserap (5 hari setelah penyuntikkan
udara dan 10 hari setelah penyuntikkan SF6).

Efek Sistemik dari Obat Mata

Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorpsi melalui pembuluh darah dalam
sakus konjunctiva dan mukosa duktus nasolacrimalis. Satu tetes (kira-kira 1/20 ml) dari
phenilefrin 10% berisi 5 mg obat, sebanding dengan dosis intravena phenilefrin 0,05-1
mg yang digunakan untuk terapi hipotensi. Obat yang diberikan secara topikal
diabsorpsi dengan kecepatan intermediate antara suntikan intravena dan subkutis (dosis
toksik phenilefrin yang diberikan secara subkutan adalah 10 mg). Anak-anak dan geriatri
beresiko untuk efek toksik dari obat yang diberikan secara topikal dan harus menerima
paling banyak larutan phenilefrin 2,5%.

Tabel 3: Efek Sistemik dari Obat Mata

Obat Mekanisme Kerja Efek

Acetylcholin Cholinergik agonist (miosis) Bronhospasme, bradikardi,


hipotensi

388
Acetazolamide Inhibisi carbonik anhidrase Diuresis, hipokalemi,
(menurunkan TIO) metabolik asidosis

Atropin Anticholinergik (midriasis) Central anticholinergik


syndrome

Cyclopentolate Anticholinergik (midriasis) Disorientasi, psikosis,


convulsi

Echotiopate Cholinesterase inhbitor (miosis, Bronkhospasme,


penurunan TIO) pemanjangan efek
succinylcholin dan
mivacurium

Epinefrin Simpathetic agonis (midriasis, Hipertensi, bradikardi,


menurunkan TIO) takikardi, sakit kepala

Phenylefrin Alpha adrenergik agonis Hipertensi, takikardi,


(midriasis, vasokonstriksi) disritmia

Scopolamine Anticholinergik (midriasis, Central anticholinergic


vasokonstriksi) syndrome

Timolol Beta adrenergik bloking Bradikardi, asthma, gagal


(menurunkan TIO) jantung congestif

Echothiopate adalah suatu cholinesterase inhibitor ireversibel yang digunakan


untuk terapi glaukoma. Pada pemberian topikal dapat terjadi absorpsi sistemik dan

389
berakibat penurunan aktivitas cholineserase plasma. Disebabkan karena succinylcholin
dan mivacurium dimetabolisme oleh enzym ini, echotiopate akan memperpanjang lama
kerjanya. Penghambatan aktivitas cholinesterase berakhir untuk 3-7 minggu setelah
pemberian echotiopate tetes dihentikan. Efek samping muskarinik, seperti bradikardi
selama induksi, dapat dicegah pemberian anticholinergic misalnya atropin dan
glikopirolate.

Tetes mata epinefrin dapat menyebabkan hipertensi, takikadi, dan ventrikular


disritmia, efek disritmogenik potensiasi dengan halotan. Pemberian langsung epinefrin
pada anterior chamber mata tidak menimbulkan toksisitas kardiovaskuler.

Timolol, suatu beta adrenergik antagonis non selektif, mengurangi tekanan


intraokuler dengan menurunkan produksi humor aqueous. Pemberian timolol topikal
pada mata, umumnya digunakan untuk terapi glaukoma, jarang dihubungkan dengan
bradikardi yang resisten dengan atropin, hipotensi, dan brokhospasme selama anestesi
umum.

Anestesi Umum untuk Bedah Mata

Pemilihan antara anestesi umum dan anestesi lokal harus dilakukan dengan
mengikut sertakan pasien, spesialis anestesi, dan spesialis bedah mata yang melakukan
tindakan pembedahan. Beberapa pasien menolak dilakukan anestesi lokal disebabkan
kecemasan takut bangun selama prosedur pembedahan atau sakit saat dilakukan anestesi
lokal. Walaupun tidak ada bukti bahwa salah satu teknik anestesi lebih aman, anestesi
lokal kurang menimbulkan stres. Anestesi umum diindikasikan untuk pasien anak dan
dewasa yang tidak kooperatif, misalnya kepala sedikit bergerak yang dapat
menimbulkan kecelakaan selama dilakukan bedah mikro. Kombinasi lokal-general
anestesi, suatu teknik sedasi dalam, sering menimbulkan masalah dengan airway, maka
harus dihindari disebabkan mempunyai resiko kombinasi akibat anestesi lokal dan
anestesi umum.

Premedikasi

Pasien yang dilakukan operasi mata mungkin ketakutan, terutama bila dilakukan
multiple prosedur dan ada kemungkinan kebutaan yang permanen. Pasien pediatrik
sering dihubungkan dengan adanya cacat kongenital (misalnya sindrom rubela, sindrom
Goldenhar, Down sindrom). Pasien dewasa pada umumnya geriatri, dengan banyak
sekali penyakit sistemik (misalnya hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung
koroner). Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan bila memilih premedikasi.

390
Induksi

Pemilihan teknik induksi untuk operasi mata bergantung terutama pada penyakit
yang menyertainya daripada kepada penyakit mata atau tindakan pembedahannya. Satu
pengecualian adalah pasien dengan ruptur bola mata. Kunci dari induksi anestesi pada
pasien dengan cedera mata terbuka adalah mengendalikan tekanan intraokuler dengan
melakukan induksi yang mulus. Khususnya, batuk selama induksi harus dihindari
dengan mendalamkan anestesi dan paralisis. Respon TIO terhadap laringoskopi dan
intubasi, dapat ditumpulkan dengan pemberian lidokain intravena 1,5 mg/kg bb atau
opioid (misalnya remifentanil 0,5-1 ug/kg atau alfentanil 20 ug/kg). Pelumpuh otot yang
digunakan jangan succinylcholin karena mempengaruhi TIO. Kebanyakan pasien
dengan cedera bola mata terbuka tidak puasa/lambung penuh dan memerlukan teknik
rapid-sequence induction.

Monitoring dan Maintenance

Pada operasi mata, anestesiologist jauh dari jalan nafas pasien, sehingga penting
untuk melakukan monitoring ketat dengan pulse oksimetri dan capnograph. Kinking dan
obstruksi pipa endotrakheal dapat dikurangi dengan menggunakan pipa endotrakheal
khusus yang melengkung didaerah bibir. Kemungkinan aritmia yang disebabkan
okulokardiak refleks menyebabkan pentingnya dilakukan monitoring EKG kontinyu dan
suara denyutan nadi harus dapat didengar. Pada pediatri, temperatur tubuh infant sering
meningkat selama operasi mata karena kain operasi yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Pemantauan End-tidal CO2 dapat membedakannya dengan malignan hipertermia.

Nyeri dan stress oleh operasi mata lebih kecil dibandingkan operasi abdomen
besar. Level anestesi yang lebih dangkal sudah cukup asal pasien tidak bergerak saat
operasi. Kurangnya stimulasi kardiak dari operasi mata digabung dengan kebutuhan
kedalaman anestesi dapat menyebabkan hipotensi pada geriatri. Masalah ini umumnya
dapat dicegah dengan mempertahankan hidrasi yang adekuat, memberikan dosis kecil
efedrin (2-5 mg), atau paralisis adekuat dengan pelumpuh otot non depolarizing. Dengan
memakai pelumpuh otot maka dapat diatur level anestesi yang lebih dangkal.

Muntah yang disebabkan stimulasi vagal umumnya merupakan masalah


pascabedah, terutama pada operasi strabismus. Efek valsalva dan peningkatan tekanan
vena sentral karena muntah, mempunyai efek buruk terhadap hasil operasi dan
meningkatkan resiko tejadinya aspirasi. Pemberian metoclopramide (10 mg pada
dewasa) atau 5-HT3 antagonis (misalnya ondansetron 4 mg pada dewasa) intraoperatif
menurunkan kejadian post operative nausea and vomiting (PONV). Antiemetik harus

391
diberikan pada pasien yang menerima opioid atau ada riwayat PONV. Dexametason (4
mg pada dewasa) juga diberikan pada pasien dengan riwayat PONV yang sangat jelas.

Ekstubasi dan Emergens

Walaupun benang jahit modern dan teknik penutupan luka operasi menurunkan
resiko terbukanya luka operasi pascabedah, tetap harus dilakukan emergens dari anestesi
yang mulus. Batuk akibat adanya pipa endotrakehal dapat dicegah dengan esktubasi saat
level anestesi yang cukup dalam. Ketika operasi berahir, pelumpuh otot di reverse dan
pasien bernafas spontan. Obat anestesi diteruskan saat melakukan pengisapan jalan
nafas. N2O kemudian dihentikan, dan diberikan lidokain 1,5 mg/kgbb untuk
menumpulkan reflek batuk sementara. Ekstubasi dilakukan 1-2 menit setelah pemberian
lidokain dan selama bernafas spontan dengan oksigen 100%. Kontrol jalan nafas yang
tepat sangat penting sampai refleks batuk dan menelan pulih. Akan tetapi, teknik ini
tidak menyenangkan untuk pasien dengan resiko aspirasi yang tinggi.

Nyeri hebat setelah operasi mata tidak biasa terjadi. Prosedur sklera
buckling/tekuk, enukleasi dan perbaikan ruptur bola mata adalah operasi mata yang
paling sakit. Dosis kecil narkotik intravena (misalnya petidin 15-25 mg untuk dewasa)
umumnya cukup efektif. Nyeri hebat mungkin merupakan tanda adanya hipertensi
intraokuler, aberasi kornea, atau komplikasi bedah lainnya.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

392
MODUL 20:
ANESTESI BEDAH
PEDIATRI I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia bedah pediatri 1 adalah suatu rotasi yang
membutuhkan waktu 1 bulan (4 minggu) untuk
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing residen anestesi semester 2, yang meliputi anestesi
untuk jenis operasi tht sederhana tanpa penyulit.
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

6. LCD Projector dan screen


7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Pulih
8. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang bangsal Anak atau dari Poliklinik Anak

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

393
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

1. TUJUAN.

Tujuan Pembelajaran Umum :

1. Memiliki pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, patofisiologi, farmakologi,dan prinsip-prinsip


tehnik anestesia pada bayi dan anak.
2. Melatih kemampuan dan ketrampilan dalam melakukan anestesia untuk prosedur pembedahan
bayi dan anak yang sederhana , mencakup evaluasi dan penilaian kondisi pasien preoperatif,
merancang penatalaksanaan anestesia, melakukan tindakan anestesia intraoperatif, pemantauan
selama operasi, penatalaksanaan masa siuman dan pemulihan serta penanggulangan nyeri pasca
bedah.
3. Melatih kemampuan untuk mengatasi kondisi kedaruratan dan komplikasi tindakan anestesia
pada bayi dan anak.

Tujuan Pembelajaran Khusus :

Kognitif :

1. Mampu menjelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi dan psikologis pada bayi anak dan
orang dewasa.

2. Mampu menjelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan anak.

3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran
nafas atas.

4. Mampu menjelaskan jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop , sistem sirkuit napas beserta
peralatan pelengkap lain (Magill forceps, stylet,jalan nafas oro/nasofarings, dll) yang dipakai
untuk anestesia bayi, anak.

5. Mampu menjelaskan pemberian cairan perioperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan
yang diberikan.

6. Mampu menghitung volume darah total dan banyaknya perdarahan yang boleh hilang selama
operasi dan kapan membutuhkan tranfusi darah.

394
7. Mampu menjelaskan obat premedikasi apa saja , cara pemberiannya serta penyulit yang bisa
ditimbulkan dari pemberian obat premedikasi untuk bayi dan anak.

8. Mampu menjelaskan cara induksi kasus bedah sederhana untuk bayi dan anak.

9. Mampu menjelaskan bagaimana melaksanakan pemulihan yang mulus dan mengatasi nyeri pasca
operasi pada kasus sederhana bayi dan anak.

10. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glottis pada
bayi dan anak.

11. Mampu menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis
yang terjadi pada bayi dan anak.

12. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia regional caudal epidural , dosis dan jenis obat
anestetik lokal apa saja yang dapat dipakai untuk bayi dan anak serta penyulit yang bisa
ditimbulkan.

Psikomotor :

1. Mampu melakukan resusitasi jantung paru pada bayi dan anak.


2. Mampu melakukan tindakan anestesia , pemantauan , penatalaksanaan masa siuman dan
pemulihan pada kasus bedah sederhana.
3. Mampu mengevaluasi jalan nafas yang normal dan abnormal secara klinis dan
radiologist pada bayi dan anak.
4. Mampu melakukan ventilasi pada bayi dan anak dengan jalan nafas yang normal maupun dengan
kelainan, menggunakan sungkup muka, balon dan jalan nafas orofarings yang sesuai.
5. Mampu melakukan intubasi pada bayi dan anak dengan jalan nafas yang normal maupun dengan
kelainan, menggunakan laringoskop, ETT, LMA yang sesuai.
6. Mampu memasang jalur intravena, intraosseus,vena umbilicalis pada pasien bayi dan anak.
7. Mampu memberikan terapi cairan perioperatif kasus bayi dan anak.
8. Mampu melakukan tranfusi darah dan memakai penghangat intraoperatif kasus bayi dan anak.
9. Mampu melakukan anestesia regional caudal epidural pada bayi.
10. Mampu melakukan penatalaksanaan nyeri pasca bedah pada bayi dan anak.
11. Mampu mengenali dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glottis dan trakea pada
bayi dan anak.

Komunikasi dan Ketrampilan Interpersonal :

1. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah
sederhana bayi dan anak.
2. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah, dokter anak dan pihak yang terkait
mengenai penatalaksanaan perioperatif.
3. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
4. Melakukan information for consent yang adekuat secara lisan dan tertulis.

395
5. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
6. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.

Profesionalisme :

1. Bekerja sesuai standar prosedur yang berlaku.


2. Memastikan persiapan yang matang dalam melakukan tindakan, mengantisipasi kesulitan dan
masalah yang dapat timbul.
3. Mampu memberikan keyakinan dan mendapatkan kepercayaan dari pihak orangtua maupun dari
ahli bedah yang bersangkutan.
4. Menjaga kondisi pasien dengan seksama selama dan sesudah operasi selesai.

KEYNOTES

2. POKOK BAHASAN.

Sub pokok bahasan :

1. Anatomi , fisiologi & psikologi bayi dan anak.


2. Farmakologi obat anestesi untuk bayi dan anak.
3. Terapi cairan dan elektrolit pada bayi dan anak.
4. Persiapan prabedah anak dan bayi.
5. Kondisi jalan nafas normal dan abnormal.
6. Pengelolaan kasus anak di Ruang Pulih Sadar.
7. Pengelolaan nyeri paska bedah.
8. Kasus bedah darurat anak sederhana.
9. Spasme laring, bronkus, edema glotis.
10. Anestesi regional caudal epidural.
11. Pediatric Life Support.
12. Neonatal Life Support.

KATA KUNCI :

Neonatus , pediatri , kelainan congenital , anatomi , fisiologi , farmakologi , psikologi , jalan nafas , terapi
cairan dan elektrolit , transfusi , resusitasi , anestesi regional-umum , bedah darurat , perawatan paska
bedah-anestesi , pengelolaan nyeri.

396
WAKTU.

Rotasi pendidikan anestesia bedah bayi dan anak untuk peserta PPDS dilakukan pada semester IV keatas,
berlangsung selama 3 x 4 minggu, yang mencakup 8 minggu di kamar operasi dan 4 minggu di ruang
rawat intensif bayi dan anak.

3. METODE.

A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode:


1) small group discussion
2) peer assisted learning (PAL)
3) bedside teaching
4) task-based medical education
B. Peserta didik paling tidak sudah harus mempelajari:
1) bahan acuan (references)
2) ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3) ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide) terlampir
D. Tempat belajar (training setting): bangsal bedah, kamar operasi, bangsal perawatan pasca
operasi ,ruang resusitasi.

Pelaksanaan.

- Kuliah dilakukan pada semester IV minggu 1.


- Latihan penatalaksanaan jalan nafas dan intubasi pada manekin bayi pada semester IV minggu 1.
- Laporan dan diskusi kasus dibawah dan bimbingan pengawasan staf pengajar sesuai sasaran
pembelajaran.
- Bedside teaching dan penanganan pasien secara langsung di kamar persiapan anestesi, kamar
operasi , ruang resusitasi , ruang pulih sadar , ruang perawatan

4. MEDIA.

1. Workshop / Pelatihan
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Group diskusi
5. Visite, bed site teaching
6. Bimbingan Tindakan Anestesi dan Pemulihan
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing Profesional Development

397
5. NARASUMBER SARAN & ALAT BANTU PEMBELAJARAN.

- SDM : Staf Pengajar Divisi Anestesia Pediatrik Departemen Anestesiologi-Reanimasi dan Terapi
Intensif FK bersangkutan serta RS pendidikan yang terkait.
- Sarana : ruang kuliah dan perpustakaan Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif, fasilitas
internet, seluruh ruang operasi elektif dan darurat di lingkungan RS pendidikan terkait.
- Alat bantu : manekin bayi / anak.

6. EVALUASI.

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk,MCQ, essay dan oral sesuai dengan tingkat
masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki peserta didik dan untuk
mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pre-test terdiri atas:

Perbedaan anatomi,fisiologi,farmakologi dan psikologi anak dan dewasa.


Menilai kondisi penderita saat kunjungan prabedah : Anamnesa/heteroanamnesa,pemeriksaan
fisik & penunjang.
Penatalaksanaan puasa pada bayi/anak.
Menyiapkan perencanaan premedikasi, induksi dan rumatan anestesi sesuai masalah
aktual/potensial yang ada.
Perencanaan pemantauan selama anestesi dan pembedahan.
Peralatan dan perlengkapan anestesi pediatri.
Terapi cairan perioperatif dan kapan perlu transfusi.
Obat-obat premedikasi dan induksi
Obat-obat anestesi inhalasi dan parenteral
Anestesi regional caudal epidural untuk pediatri
Anestesi pada pembedahan sederhana bayi dan anak.
Pengelolaan nyeri pasca bedah pada penderita pediatrik
Pengelolaan penderita pediatrik di Ruang Pulih Sadar.

2. Selanjutnya dilakukan small group discussion bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan penuntun belajar,
kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-
langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk role-play dengan teman-temannya (peer
assisted learning) atau kepada SP (standardized patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar dipegang oleh teman-temannya untuk
melakukan evaluasi (peer assisted evaluation). Setelah dianggap memadai, melalui metoda bedside
teaching di bawah pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan penuntun belajar kepada
nodel anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk
melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak dilaksanakan

398
Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan terlalu lama atau kurang
memberi kenyamanan kepada pasien
Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan penjelasan dari
berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk
memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assessment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar
6. Pendidik/fasilitas:
Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form (terlampir)
Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
Kriteria penilaian keseluruhan: cakap/ tidak cakap/ lalai.
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran:
Evaluasi.

Isi evaluasi :

Perbedaan anatomi,fisiologi,farmakologi dan psikologi anak dan dewasa.


Menilai kondisi penderita saat kunjungan prabedah : Anamnesa/heteroanamnesa,pemeriksaan
fisik & penunjang.
Penatalaksanaan puasa pada bayi/anak.
Menyiapkan perencanaan premedikasi, induksi dan rumatan anestesi sesuai masalah
aktual/potensial yang ada.
Perencanaan pemantauan selama anestesi dan pembedahan.
Peralatan dan perlengkapan anestesi pediatri.
Terapi cairan perioperatif dan kapan perlu transfusi.
Obat-obat premedikasi dan induksi
Obat-obat anestesi inhalasi dan parenteral
Anestesi pada pembedahan sederhana bayi dan anak.
Anestesi regional caudal epidural untuk pediatri
Pengelolaan nyeri pasca bedah pada penderita pediatrik
Pengelolaan penderita pediatrik di Ruang Pulih Sadar.

Bentuk evaluasi :

Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Skill

- Multiple observation and assessments

399
-Multiple observers
-OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-Minicheck
Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
Knowledge

- MCQ (pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)

7. Daftar Cek Penuntun belajar Prosedur anestesi PEDIATRIK.

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesi
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRE ANESTESI

1 Information for consent

2 Persiapan puasa

3 Anamnesa/Heteroanamnesa & Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tambahan

Pendekatan psikologis

4 Pemeriksaan Mesin Anestesi , gas anestesi , penghisap

5 Cairan dan Darah tersedia

Infus lancar

6 Peralatan intubasi dan obat2an anestesi , obat darurat

Pemantauan fungsi vital

DC shock siap & berfungsi

PELAKSANAAN ANESTESI

1 Premedikasi

Induksi anestesi

400
Intubasi dan/atau regional anestesi

1 Penderita diatur dalam posisi yag diperlukan

Perhatikan penyulit potensial akibat posisi

2 Rumatan anestesi

Pemulihan dari anestesi

3 Perawatan dan pemantauan di ruang pulih sadar

Pengelolaan nyeri paska bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda


8. DAFTAR TILIK.

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur

401
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

402
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

9. Referensi.

1. Fundamental of Anatomy & Physiology FH Martini 7th ed 2006


2. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
3. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006

403
4. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
5. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
6. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice RK Stoelting 4th ed 2006.

7. Anesthesia for Infants and Children Smith et al 7th ed 2006.

404
M0DUL 21 ANESTESIA PEDIATRIK II
Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 4)

Sesi dalam kelas 2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasiitas pembimbing 3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 8 minggu (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia

2. Persiapan preoperatif

3. Tehnik persiapan alat, mesin dan obat anestesi

4. Pencegahan komplikasi anestesia

5. Penatalaksaan pasien pasca anestesia

6. Tehnik rekam medis anestesia

Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : Model anatomi (manekin pediatrik)
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :

405
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk sub-modul Persiapan alat dan obat anestesi yang lain.

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan prinsip-prinsip dasar dan tehnik
lanjutan anestesia pediatrik, mampu mempersiapkan, melakukan anestesia dan mengelola pasca anestesia
elektif maupun emergensi untuk berbagai tindakan bedah pediatrik dengan kondisi penyulit dan
kelainan jalan nafas.

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:

1. KOMPETENSI

Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan pembiusan umum maupun
regional yang baik dan tepat, monitoring, mecegah komplikasi dan penatalaksanaan pasca anestesia
pediatrik dengan penyulit.

RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

Kognitif

1. Menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan masalah sepsis,
kelainan jalan nafas, kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral
komplit, Pierre Robin, tumor gigi mulut dan jalan nafas.
2. Menjelaskan hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel
trakeoesofagus.Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel
trakeoesofagus.
3. Menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan trakea pada
bayi dan anak.

406
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya hipotermia pada kasus pediatrik, cara mencegah, cara
mengatasi dan komplikasi apa saja yang dapat ditimbulkannya
5. Menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan
trakea yang terjadi pada bayi dan anak.
6. Menjelaskan penatalaksanaan anestesia regional, dosis dan jenis obat anestetik lokal apa saja
yang dapat dipakai untuk bayi dan anak.

Psikomotor

1. Mampu mengevaluasi jalan nafas yang normal dan abnormal secara klinis dan radiologis pada
pasien pediatrik.
2. Mampu menyiapkan kamar bedah secara lengkap untuk operasi pediatrik.
3. Mampu memasang dan mengatur alat, obat obat, cairan dan kelengkapan lain yang diperlukan
untuk operasi pediatrik.
4. Mampu mempersiapkan alat untuk monitor non invasif dan invasif.
5. Mampu mempersiapkan alat untuk transfusi darah pasien pediatrik.
6. Mampu melakukan pengecekan kelengkapan alat pembiusan, mesin anestesia dan obat , cairan
yang diperlukan untuk anestesia umum maupun regional.
7. Mampu melakukan akses vena perifer dengan jarum 20-24G dan akses vena sentral.
8. Mampu melakukan induksi anestesia umum pada pasien pediatrik dengan penyulit.
9. Mampu melakukan ventilasi pada pasien pediatrik dengan kelainan jalan nafas menggunakan
sungkup muka, bag dan oral airway yang sesuai.
10. Mampu melakukan intubasi trakea dengan/tanpa tehnik cepat (tehnik rapid sequence), terutama
pada pasien pediatrik dengan penyulit maupun kelainan jalan nafas.
11. Mampu melakukan ventilasi tekanan positif melalui pipa trakea.
12. Mampu melakukan anestesi pediatrik dengan posisi pasien lateral, litotomi dan telungkup.
13. Mampu melakukan tindakan anestesia pada kasus khusus dengan kelainan kongenital dan
anomali (lihat prosedur anestesia umum, intubasi dan pemasangan LMA).
14. Mampu melakukan jalur akses / pengambilan darah intraarterial.
15. Mampu melakukan transportasi pasien ke ruang pulih, ruang rawat atau PICU
16. Mampu melakukan tindakan atau terapi terhadap komplikasi yang biasa terjadi di ruang pulih.

Kemampuan komunikasi

7. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah bayi
dan anak.
8. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah dan dokter anak mengenai
penatalaksanaan perioperatif, terutama untuk kasus sulit dan bermasalah.
9. Mengumpulkan data dan literatur mengenai penatalaksanaan anestesia bayi dan anak, terutama
untuk kasus sulit dan bermasalah.
10. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
11. Melakukan informed consent yang adekuat secara lisan dan tertulis.
12. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
13. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.
14. Mendiskusikan perlunya perawatan di ruang perawatan intensif anak pasca operatif.

407
Profesionalisme

1. Menghormati dan bersikap etis pada pasien, keluarga pasien, sejawat lain atasan, bawahan
2. Mengetahui tugas tugas sehari hari
3. Datang /hadir tepat waktu
4. Mampu melakukan pekerjaan sesuai prosedur
5. Mengatasi masalah bersama ahli bedah agar tidak terjadi penundaan operasi.

2. KEYNOTES

1. Kapasitas residu fungsional pada bayi lebih kecil sehingga cadangan oksigen pada periode apneu
terbatas, sehingga mudah terjadi atelektasis dan hipoksemia.
2. Bayi memiliki kepala yang besar, lidah yang besar, laring yang lebih sempit, lebih anterior dan
cefalad, epiglotis yang lebih panjang, trakea yang lebih pendek dan bagian tersempit sekitar
kartilage krikoid, dan bernafas terutama lewat hidung, sehingga memerlukan tehnik khusus dalam
melakukan ventilasi dan intubasi.
3. Fungsi pompa jantung kiri yang belum sempurna dimana cardiac output sangat tergantung dari
laju jantung (heart rate).
4. Hipotermia sangat mudah terjadi karena kulit yang tipis, cadangan lemak coklat yang sedikit, luas
penampang tubuh yang mempermudah pelepasan panas, sehingga akibatnya dapat menghambat
proses siuman dan pemulihan, mengganggu fungsi jantung dan mendepresi pernafasan, dan
mempengaruhi kerja obat anestesi.
5. Bayi dan anak memiliki volume ventilasi permenit yang lebih tinggi dengan kapasitas residu
fungsional yang rendah terhadap aliran darah paru yang tinggi menyebabkan konsentrasi gas
inhalasi alveoli cepat meningkat sehingga proses induksi dan pemulihan lebih cepat terjadi.
6. Infeksi saluran nafas atas dalam 2-4 minggu sebelum tindakan anestesia dan intubasi
meningkatkan resiko terjadinya spasme laring.
7. Spasme laring dapat dicegah dengan melakukan ekstubasi saat pasien masih teranestesi cukup
dalam atau saat sudah sadar betul.
8. Edema laring dan trakea sering terjadi pada anak usia dibawah 4 tahun, antara lain akibat intubasi
berulang, penggunaan ETT yang terlalu besar, operasi daerah kepala leher yang lama.
9. Tehnik pembiusan untuk bedah pediatrik didasarkan pada pengetahuan mengenai anatomi,
fisiologi, patofisiologi, farmakologi, pemberian cairan dan tranfusi darah.
10. Pemilihan tehnik anestesia berdasarkan kasus bedah elektif atau emergensi, tergantung jenis
operasi, lama operasi, pengelolaan pasca bedah dan fasilitas rumah sakit.
11. Terjadi perubahan fisiologi pernafasan, kardiovaskular akibat tindakan selama anestesia pada
operasi pediatrik.
12. Pada kasus operasi abdomen pediatrik terdapat indikasi untuk melakukan induksi cepat (rapid
sequence)
13. Setting ventilator merupakan hal penting selama anestesi umum untuk bedah pediatrik.
14. Beberapa prosedur operasi memiliki posisi dan resiko tersendiri misalnya posisi telungkup,
miring, duduk, litotomi, posisi ginjal.
15. Terapi cairan dan tranfusi darah merupakan salah satu prosedur yang sering dilakukan sesuai
indikasi selama operasi.
16. Pasien pediatrik terutama neonatus memiliki resiko hipotermia yang tinggi sehingga perlu
diketahui penyebabnya, cara pencegahan, cara penanggulangan dan komplikasi yang dapat
ditimbulkannya

408
17. Penting memiliki pengetahuan mengenai farmakologi klinik obat anestesia intravena, inhalasi,
opioid, sedatif, pelemas otot.
18. Mual muntah, hipotermi dan nyeri pasca operasi merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca
operasi pediatrik.

3. GAMBARAN UMUM

Anestesia Pediatrik II diperlukan pada kasus-kasus pediatrik/neonatus elektif maupun darurat yang
disertai penyulit. Kasus pediatrik tersebut misalnya operasi hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis,
fistel trakeoeofageal, atresia ileum, jejunum yang disertai distensi abdomen, labiopalatognatoskisis,
operasi tumor jalan nafas, yang disertai kondisi penyulit seperti sepsis, gangguan/anomali organ,
kongenital, maupun kelainan jalan nafas. Dengan demikian, pemilihan jenis prosedur dan obat-
obatan/bahan anestesia harus dipadankan dengan kondisi pasien, jenis tindakan bedah, lamanya prosedur
bedah, risiko dan fasilitas rumah sakit. Hal-hal seperti inilah yang kemudian perlu untuk diketahui dan
dikuasai oleh petugas pelaksana anestesia dan modul ini disusun untuk mencapai tujuan tersebut.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:

1. memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi penyulit
2. melaksanakan persiapan preoperatif
3. menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pediatrik
4. melakukan anestesia umum dan regional
5. melakukan monitoring
6. mengelola pasca anestesia pasien pediatrik

5. METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1 : memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi
penyulit

Metode pembelajaran
1. Small group medical education

409
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Pemilihan pasien tergantung kepada kasus elektif atau darurat, kondisi pasien, jenis operasi,
lama operasi, pengelolaan pascabedah, dan fasilitas rumah sakit.

Tujuan 2 : melaksanakan persiapan preoperatif

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Semua pasien apakah muda atau tua, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang
prabedah, informed consent dan dilakukan persiapan preoperatif (puasa, premedikasi, cairan,
persiapan komponen darah bila diperlukan) sebelum dimulai tindakan anestesi.

Tujuan 3 : menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia
pediatrik

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
5. Demo & Coaching
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Mengetahui bahwa anestesi kasus bedah pediatrik sederhana tanpa penyulit dapat dilakukan
dengan anestesi umum, anestesi regional, atau MAC (Monitored Anesthesia Care).
2. Menguasai jenis-jenis anestesi untuk tindakan bedah pediatrik sederhana tanpa kondisi penyulit
dan persiapan untuk melaksanakan prosedur tersebut.
3. Menguasai resusitasi neonatus lanjutan (advanced neonatal resuscitation)

Tujuan 4 : melaksanakan anestesia umum dan regional

410
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Anestesia umum inhalasi dengan sungkup muka, intubasi dan LMA, intravena (lihat modul
anestesia umum dan prosedur intubasi pediatrik).
Anestesia regional spinal, epidural, kaudal (lihat modul anestesia regional)

Tujuan 5 : melakukan monitoring

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


lihat modul anestesi umum dan regional

1. Monitoring anestesi kasus bedah pediatrik non invasif dan invasif meliputi EKG, NIBP, saturasi
O2, temperatur, keluaran urin, tekanan vena sentral dan IABP
2. Monitoring selama prosedur anestesi sejak awal hingga akhir prosedur bedah

Tujuan 6 : mengelola pasca anestesia pasien bedah pediatrik

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Mual muntah, hipotermi dan nyeri pasca bedah merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca
bedah pediatrik
2. Penggunaan anestetika inhalasi meningkatkan resiko mual muntah pasca operasi.
3. Masalah yang berhubungan dengan anestesia spinal atau epidural adalah hipotensi orthostatik,
blokade sensoris dan motoris yang memanjang dan retensi urin.

411
6. MEDIA

1. Workshop / pelatihan

Pelatihan di skill lab ventilasi sungkup, intubasi, LMA pada manekin

Pediatrik.

2. Belajar mandiri

3. Kuliah

Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Bedah Pediatrik I

termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3.

4. Diskusi kelompok

e.Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif ,


f.pengelolaanjalan nafas, anestesia umum (intubasi, LMA), regional
g.monitoring
h.pengelolaan pasca operasi
5. Pemeriksaan preoperatif

6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi

a. Pelatihan anestesia umum dan regional di kamar bedah

pada pasien bedah pediatrik

b. Dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan staf

pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)

8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas

9. Continuing Profesional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

412
8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :

1. Pemilihan/seleksi pasien operasi pediatrik sederhana


2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia bedah pediatrik
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Monitoring
6. Pengelolaan pasca anestesia pasien pediatrik

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

413
1. Jelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi pada bayi anak dan orang dewasa.
2. Jelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan
anak.
3. Jelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran nafas atas.
4. Jelaskan perbedaan, jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop dan sistem sirkuit napas yang
dipakai untuk anestesia bayi, anak dan orang dewasa.
5. Jelaskan pemberian cairan intraoperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan yang
diberikan.
6. Bagaimana menghitung volume darah total pada bayi dan anak, banyaknya perdarahan yang
boleh hilang selama operasi dan kapan membutuhkan tranfusi darah.
7. Jelaskan obat premedikasi apa saja dan cara pemberiannya untuk bayi dan anak.
8. Jelaskan cara induksi apa saja yang dapat dilakukan untuk bayi dan anak.
9. Jelaskan prinsip persiapan anesthesia untuk bedah pediatrik elektif dan emergensi
10. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan masalah jalan nafas,
kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral komplit, Pierre Robin,
tumor gigi mulut dan jalan nafas.
11. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan kelainan kongenital
dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeoesofagus, dan
hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada masing-masing kelainan.
12. Jelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah pasien pediatrik.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. KnowledgeKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
2. Skill

-Multiple observation and assessments


-
Multiple observers
-
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-
Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

414
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
4.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

5 Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia regional

3 Anestesia intravena dan MAC

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5. Pemanatauan fungsi vital, kesadaran, kardiovaskuler,


pernafasan. Tekanan darah, nadi, Saturasi Hb (SpO2),
ventilasi (ETCO2 bila ada), jumlah urine, suhu

6. Pengakhiran anestesia, masa siuman

7. Tindakan ekstubasi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital pasca bedah

2 Penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskuler,


kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual muntah) dan

415
nyeri pasca bedah

3 Penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang rawat

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

Prosedur Intubasi pada pasien pediatrik :

416
No. Prosedur Intubasi Endotrakeal pada Pasien Pediatrik Dilakukan

(Intubasi Setelah Anestesia Umum)

1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan. Periksa laringoskop dan
lampunya berfungsi dengan baik.

- Laringoskopi bayi (millerr dan macintosh)


- ETT dengan cuff atau tanpa cuff
- Mandrain bayi
- Magill forceps
- Sungkup bayi
- Mate device
Berikan obat premedikasi untuk menenangkan pasien.

Posisikan pasien dalam sniffing position dengan mengganjal bagian bawah


leher, atau mengganjal bawah bahu setinggi 5-10 cm. Hindari hiperekstensi
leher.

2. Berikan oksigen 100% melalui sungkup muka. Pastikan tidak ada kesulitan
ventilasi.
3.
Pegang sungkup sembari melakukan chin lift maneuver dengan satu tangan.
Jika ventilasi tidak bebas, lakukan mouth opening dan jaw thrust dengan dua
tangan.

Yakinkan ventilasi baik dengan melihat kembang-kempisnya balon (anesthetic


4.
bag).

Berikan obat induksi. Pastikan kesadaran pasien hilang.


5. Bila jalan nafas aman dapat diberikan pelumpuh otot. Pastikan obat telah
bekerja pada otot nafas.

Berikan nafas buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit.

Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah lurus (Miller).


6.
Pegang handle dengan tangan kiri.

Pastikan lagi cahaya lampu laringoskop cukup terang.


7.
Buka mulut pasien. Masukkan blade melalui sudut kanan mulut.
8.
Geser lidah ke kiri sambil meneruskan blade ke dalam, menyusuri pinggir
kanan lidah menuju laring. Perhatikan epiglottis.

9. Letakkan ujung blade pada vallecula.

10. Angkat epiglotis ke depan (bukan diungkit) dengan blade.

11. Bila epiglotis terangkat dengan benar akan tampak rima glottis dengan pita
suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik.

Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan hingga batas berwarna hitam
12. melewati pita suara, atau jika pipa mempunyai balon (cuff) dimasukkan hingga
13. seluruh balon melewati pita suara.

14. Yakinkan bunyi nafas kanan dan kiri sama. 417

Lakukan fiksasi pipa endotrakeal.

Berikan nafas buatan dengan resuscitation bag atau anesthesia bag.


10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur standar
atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinik 1 2 3 4 5

418
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN: ANESTESIA PEDIATRIKII

Pasien kasus bedah pediatrik dengan penyulit yang menjalani anestesi harus dilakukan penatalaksanaan
preoperatif ; allo/autoanamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, informed consent dan
lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi). Pasien elektif anak puasa 2, 4, 6, 8 jam
tergantung intake nya. Dilakukan penetapan status fisik ASA.

Persiapan anestesia meliputi statics, obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang dipilih.
Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan seperti : laringoskop bayi/anak (miller dan macintosh) dan
lampunya berfungsi dengan baik, ETT dengan cuff atau tanpa cuff, mandrain bayi, magill forcep,
sungkup bayi, LMA. Berikan obat premedikasi untuk menenangkan pasien, bisa secara oral atau
intramuskuler. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pemasangan jalur intravena dan jalur infus terkadang memerlukan premedikasi atau
induksi inhalasi terlebih dahulu. Posisikan pasien dalam sniffing position dengan mengganjal bagian
bawah leher, atau mengganjal bawah bahu setinggi 5-10 cm. Hindari hiperekstensi leher. Berikan oksigen
100% melalui sungkup muka. Pastikan dulu apakah ada kesulitan ventilasi. Pegang sungkup sembari
melakukan chin lift maneuver dengan satu tangan. Jika ventilasi tidak bebas, lakukan mouth opening dan
jaw thrust dengan dua tangan. Bila ventilasi sulit dapat dilakukan dengan berbagai sungkup muka atau
LMA atau intubasi sadar tanpa relaksan. Bila ventilasi baik dengan melihat kembang-kempisnya balon
(anesthetic bag). Berikan obat induksi. Pastikan kesadaran pasien hilang. Bila jalan nafas aman dapat
diberikan pelumpuh otot. Pastikan obat telah bekerja pada otot nafas. Berikan nafas buatan dengan
oksigen 100% selama 2-3 menit. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah lurus (Miller). Pegang

419
handle dengan tangan kiri. Pastikan lagi cahaya lampu laringoskop cukup terang. Buka mulut pasien.
Masukkan blade melalui sudut kanan mulut. Geser lidah ke kiri sambil meneruskan blade ke dalam,
menyusuri pinggir kanan lidah menuju laring. Perhatikan epiglottis. Letakkan ujung blade pada vallecula.
Angkat epiglotis ke depan (bukan diungkit) dengan blade. Bila epiglotis terangkat dengan benar akan
tampak rima glottis dengan pita suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik. Masukkan pipa
endotrakeal dengan tangan kanan hingga batas berwarna hitam melewati pita suara, atau jika pipa
mempunyai balon (cuff) dimasukkan hingga seluruh balon melewati pita suara. Yakinkan bunyi nafas
kanan dan kiri sama. Lakukan fiksasi pipa endotrakeal. Berikan nafas buatan dengan resuscitation bag
atau anesthesia bag. Jika dilakukan intubasi sadar atau dengan nafas spontan, harus diberikan sedasi yang
cukup dan anestetik topikal. Untuk menghindari refleks vagal dapat diberikan injeksi atropin 0,1 mg
intravena. Anestesia regional dilakukan sesuai modul anestesia regional dengan memakai prinsip anatomi,
fisiologi dan farmakologi untuk pasien pediatrik. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi
Hb (SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada,
produksi urin, jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan jalur vena sentral atau intra arterial. Atur
kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesi dan relaksasi. Untuk beberapa kasus dibutuhkan
pemasangan NGT.

Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pasca bedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang
menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia dengan mulus,
dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi pasca bedah dan
penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea,
apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar. Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi
awal, ASA, atau penyakit penyerta.

12. REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006

420
421
MODUL 22 ANESTESI BEDAH SARAF I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 4)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian 4 minggu (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

422
1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNACC participant workbook 2007.

Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk anestesi untuk Bedah Saraf seperti yang diuraikan berikut
ini:

1. Matta BF, Menon DK, Turner JM (eds) Textbook of Neuroanaesthesia and


Critical care, 1st ed., Greenwich Medical Media Ltd., London.
2. Albin MS (1997). Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Neuroscience Perspectives. McGraw-Hill, New York.1137-1175.
3. Bisri T, Himendra A, Surahman E. Neuroanestesi. Bandung 1998.

TUJUAN UMUM

mampu melakukan pengelolaan perioperatif pasien bedah saraf.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :

Kognitif:

1. Memahami neurofisologi, neurofarmakologi.


2. Memahami penilaian preoperatif pasien untuk operasi intrakranial
3. Memahami patofisiologi kelainan intraserebral baik trauma atau non trauma.
4. Memahami bagaimana mengidentifikasi peningkatan tekanan intrakranial
5. Memahami pemantauan untuk prosedur intrakranial
6. Memahami persiapan pengelolaan jalan nafas pada operasi servikal
7. Memahami pemilihan anestesia untuk bedah saraf
8. Memahami cara pendekatan kegawatan pada kraniotomi
9. Memahami cara merencanakan anestesia yang memungkinkan dilakukan
pemantauan neurofisiologi

423
10. Memahami pilihan-pilihan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial
11. Memahami cara melakukan proteksi otak perioperatif.

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan untuk operasi intrakranial


2. Mampu menilai GCS secara cepat
3. Mampu melakukan manajemen jalan nafas pada operasi spinal servikal
4. Melakukan pemasangan jalur intraarterial dan intravena dengan jarum
besar (keberhasilan 75%)
5. Mampu memasang kateter vena sentral tanpa mengganggu drainase vena
serebral (75% berhasil)
6. Mampu melakukan induksi anestesia umum untuk operasi besar (masih
di supervisi)
7. Mampu melakukan intubasi pasien dengan kelanan serebral atau cervikal
dengan benar (dengan fibreoptic intubation, kalau ada).
8. Mampu memberikan anestesia pada prosedur diagnostik (MRI, CTScan)
9. Mampu menangani komplikasi pasca bedah saraf diruang pulih
10. Mampu melakukan proteksi otak perioperatif.

Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah tentang prosedur yang akan dilakukan,


posisi yang diperlukan, dan keadaan kekhususan lainnya.
2. Mengetahui hasil pemeriksaan diagnostik yang diperlukan untuk rencana
anestesia
3. Ikut dalam rencana pemantauan pasca bedah pada pasien bedah saraf yang
kritikal.

Professionalism

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan perioperatif pasien
bedah saraf.

KEYNOTES:

2. Tekanan perfusi serebral adalah perbedaan tekanan arteri rerata dan


tekanan intrakranial (CPP=MAP-ICP).
3. Kurfe autoregulasi bergeser kekanan pada pasien dengan hipertensi
kronis
4. Aliran darah otak (normalnya 50-54 ml/100 g jaringan/menit) diatur oleh
autoregulasi, PaCO2, dan PaO2.
5. Aliran darah otak berubah pada PaCO2 20-80 mmHg, setiap perubahan 1
424
mmHg aliran darah otak berubah 5% (1-2 ml/100 gr jaringan/menit).
6. Aliran darah berubah 5-7% per 10C. Hipotermi menurunkan aliran darah
otak dan metabolisme otak, sedangkan hipertermia akan meningkatkan
aliran darah otak dan metabolisme otak.
7. Proteksi otak dilakukan pada periode perioperatif dengan basic metod
(ABC : Clear airway, breathing, circulation), hipotermi, dan
farmakologik.
8. Monitoring selama anestesi dan periode pascabedah dengan standar
monitoring : tekanan darah, heart rate, SpO2, suhu, kalau ada train of
four. Indikasi monitoring arteri line adalah . Indikasi monitoring CVP
adalah
9. Barier otak dapat rusak pada tumor, trauma, hipertensi, strokes,
hiperkapnia berat, hipoksia, dan kejang.
10. Isi rongga cranium adalah jaringan otak (80%), darah (12%), dan cairan
serebrospinal (8%). Setiap peningkatan salah satu komponen akan
dikompensasi dengan penurunan volume yang lain untuk mencegah
kenaikan tekanan intrakranial.
11. Dengan pengecualian ketamin, semua obat anestesi intravena
menurunkan metabolisme otak dan aliran darah otak.
12. Autoregulasi antara MAP 50-150 mmHg. MAP yang < 50 mmHg akan
menimbulkan iskemia otak dan bila MAP > 150 mmHg dapat
menimbulkan edema otak atau perdarahan otak.
13. Hipotermi merupakan metode yang efektif untuk proteksi otak selama
iskemia fokal atau global.
14. Pada penelitian manusia dan binatang barbiturat efektif untuk brain
protection pada keadaan fokal iskemia.
15. Semua obat anestesi inhalasi bersifat serebral vasodilator.
16. Sasaran terapi pada trauma otak adalah normotensi, normokania,
normovolemia, isoosmoler, normotermi
17. Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg, bila sudah > 20 mmHg harus
segera diterapi, akan tetapi Herniasi otak sudah dapat terjadi pada
tekanan intrakranial 18 mmHg

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami serta mampu mengelola tentang Neuroanatomi, Neurofisiologi,
Neurofarmakologi, Monitoring, Pengelolaan Kenaikan Tekanan Intrakranial, Anestesia
untuk trauma otak, Proteksi otak perioperatif.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu:

425
Melakukan anestesia pada operasi intrakranial, operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: Mampu melakukan anestesia pada operasi intrakranial, Metode pembelajaran

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 2: Mampu melakukan anestesia untuk operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak.

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 3: Mampu melakukan anestesi untuk bedah spinal dan columna verebralis,

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah dan PACU

426
ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill / psikomotor:
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Afektif : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pretest

1. Jelaskan anatomi susunan saraf pusat : supatentorian dan infratentorial.


2. Jelaskan fisiologi susunan saraf pusat: CBF, CMRO2, ICP.
3. Jelaskan tentang efek obat anestesi intravena, anestetika inhalasi, narkotik
analgetik, pelumpuh otot, mannitol, lasix terhadap aliran darah otak, produksi

427
likuor serebrospinalis, metabolisme otak, dan tekanan intrakranial.
4. Terangkan tentang airway management pada pasien dengan traumatic brain
injury.
5. Jelaskan tentang patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial (hal hal apa saja
yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial).
6. Terangkan tentang cara penilaian GCS.
7. Bagaimana tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang masih
sadar dan tidak sadar.
8. Bagaimana pengelolaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
9. Jelaskan tentang ABCDE neuroanestesi.
10. Jelaskan tentang cara melakukan proteksi otak pada periode perioperatif.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

1. Kognitif
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observation and assessments

Multiple observers

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill/psikomotor
Multiple observation and assessments

Multiple observers

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

428
3. Afektif: Professionalism Communication and Interpersonal Skills
Multiple observation and assessments

Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Induksi, maintenance dan pengakhiran anestesia umum

2 Monitoring

3 Pemberian cairan dan tranfusi

4 Komplikasi dan penanganannya

5 Ekstubasi

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan komplikasi dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

429
DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

430
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Dokter anestesi akan terlibat secara menyeluruh dalam penanganan pasien cedera
kepala, mulai di Unit Gawat Darurat (UGD), kamar bedah, dan perawatan di Unit
Perawatan Intensif (UPI). Pengelolaan perioperatif ini memerlukan pengetahuan yang

431
mendalam mengenai fisiologi otak yang normal dan patofisiologi cedera kepala akut
sehingga harus mengerti tentang fisiologi dan farmakologi dari aliran darah otak,
metabolisme serebral, dan tekanan intrakranial.

Aliran darah otak

Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan resistensi
pembuluh-pembuluh serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-
54_ml/100_gr/menit. Bila aliran darah otak 20 ml/100 gr/menit, elektroencefalografi
(EEG) menunjukkan tanda iskemik. Bila aliran darah otak 6-9 ml/100 gr/menit, Ca 2+
masuk ke dalam sel. Aliran darah otak proporsional terhadap tekanan perfusi otak.

Tekanan perfusi otak adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata (pada saat masuk)
dengan tekanan vena rata-rata (saat keluar) pada sinus sagitalis lymph / cerebral venous
junction. Nilai normalnya 80-90_mmHg. Akan tetapi, secara praktis, adalah perbedaan
tekanan arteri rata-rata (MAP= mean arterial pressure) dan tekanan intrakranial rata-rata
yang diukur setinggi foramen Monroe. Tekanan perfusi otak _=_MAP_ tekanan
intrakranial, akan menurun bila ada penurunan tekanan arteri atau kenaikkan tekanan
intrakranial. Bila tekanan perfusi otak turun sampai 50 mmHg, elektroensefalografi
(EEG) akan terlihat melambat dan ada perubahan-perubahan ke arah serebral iskemia.
Tekanan perfusi otak kurang dari_40_mmHg, EEG menjadi datar, menunjukkan adanya
proses iskemik yang berat yang bisa reversible atau irreversible. Bila tekanan perfusi
otak kurang dari_20_mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi iskemik neuron yang
ireversible .

Pasien cedera kepala dengan tekanan perfusi otak kurang dari 70 mmHg akan
mempunyai prognosa yang buruk. Pada tekanan intrakranial yang tinggi, supaya tekanan
perfusi otak adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau
sedikit lebih tinggi. Usaha kita adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak
normal, oleh karena itu, hipertensi yang memerlukan terapi adalah bila tekanan arteri
rata-rata lebih besar dari_130-140_mmHg.

432
Gambar 2.1 : Fungsi Otak Dihubungkan dengan PaO 2, DO2, Aliran Darah Otak
dan Tekanan Perfusi Otak.

Tabel 2.1 : Ambang Aliran Kritis


Aliran darah otak
(ml/100g/min)

< 20 EEG iskemik


< 15 EEG isoelektrik

evok potensial negatif

ATP normal

Fosfokreatin menurun
8-10 Kegagalan metabolisme

ATP menurun

Potasium extraselular meningkat


6-9 Kalsium masuk kedalam sel

433
12-20 Penumbra

Gambar 2.2 : Interaksi antara Tingkatan dan Lamanya Penurunan Aliran Darah
Otak

pada Fungsi Otak

Aliran darah otak diatur oleh Otoregulasi, Pa_CO2, Pa_O2

a. Otoregulasi

Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP_50-150_mmHg. Pengaturan


ini disebut otoregulasi yang disebabkan oleh kontraksi otot polos dinding pembuluh
darah otak sebagai jawaban terhadap perubahan tekanan transmural. Jika melebihi batas
ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau konstriksi maksimal dari pembuluh darah
otak, aliran darah otak akan mengikuti tekanan perfusi otak secara pasif. Bila aliran
darah otak sangat berkurang (MAP_<_50 mmHg) serebral iskemia bisa terjadi. Jika di
atas batas normal (MAP_>_150 mmHg), tekanan akan merusak daya konstriksi
pembuluh darah dan aliran darah otak akan naik dengan tiba-tiba. Dengan demikian,
terjadilah kerusakan blood-brain barier (BBB), yang dapat menimbulkan terjadinya

434
edema serebral dan perdarahan otak.

Berbagai keadaan dapat merubah batas otoregulasi, misalnya hipertensi kronis.


Pada hipertensi kronis otoregulasi bergeser ke kanan sehingga sudah terjadi serebral
iskemia pada tekanan darah yang dianggap normal pada orang sehat. Serebral iskemia,
serebral infark, trauma kepala, hipoksia, abses otak, diabetes, hiperkarbi berat, edema
sekeliling tumor otak, perdarahan subarakhnoid, aterosklerosis serebrovaskuler, obat
anestesi inhalasi juga mengganggu otoregulasi. Karena pada cedera kepala otoregulasi
terganggu, adanya hipotensi yang tiba-tiba bisa menimbul-kan cedera otak sekunder.

b. Pa CO2

Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95-1,75 ml/100_gr/menit) setiap mmHg


perubahan PaCO2 antara 25-80 mmHg. Jadi, jika dibandingkan dengan keadaan
normokapni, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO2 80 mmHg dan setengahnya
pada PaCO2 20_mmHg. Karena hanya sedikit perubahan aliran darah otak pada P aCO2 <
25 mmHg, malahan bisa terjadi serebral iskemia akibat perubahan biokimia, maka harus
dihindari hiperventilasi yang berlebihan. Pada operasi tumor otak dipasang pemantau
kapnogram untuk mengukur end Tidal CO2, umumnya dipertahankan end Tidal CO2_25-
30_mmHg yang setara dengan PaCO2 29 - 34 mmHg, tetapi pada cedera kepala akut
PaCO2 jangan 35 mmHg.

c. Pa O2

Bila PaO2 < 50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah otak
akan meningkat. Suatu peningkatan PaO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi
pembuluh darah serebral. Pada binatang percobaan bila PaO2_>_450 mmHg terjadi
sedikit penurunan aliran darah otak walaupun tidak nyata. Akan tetapi, pada manusia
selama operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg.

435
Gambar 2.3 : Pengaturan aliran darah otak.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi aliran darah otak :

a. Simfatis dan Parasimfatis

Stimulasi simfatis menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan stimulasi parasimfatis


menyebab-kan vasodilatasi. Perubahan-perubahan tersebut pada aliran darah otak tidak
lebih dari 5-10%. Stimulasi serabut simfatis menimbulkan perubahan pada kurfa
otoregulasi. Pada perdarahan terjadi stimulasi simfatis, otoregulasi akan bergeser ke
kanan sehingga batas bawah otoregulasi aliran darah otak (toleransi terendah yang bisa
menimbulkan iskemia) akan bergeser ke kanan. Disamping itu, otoregulasi akan
bergeser ke kanan baik pada keadaan cemas, sakit, marah, maupun berlatih. Hal ini
bermanfaat untuk melindungi otak dari kenaikan tekanan darah yang tiba-tiba.

b. Hematokrit

Hematokrit mempengaruhi aliran darah otak secara nyata. Bila hematokrit


meningkat di atas nilai normal, aliran darah otak akan menurun karena ada peningkatan
viskositas darah. Isovolemik atau hemodilusi hipervolemia (hematokrit_33%)
menunjukkan peningkatan aliran darah otak tanpa ada gangguan penghantaran oksigen.

c. Temperatur

Penurunan temperatur tubuh akan memperlambat metabolisme serebral. Hal ini


berarti menurunkan aliran darah otak. Setiap penurunan temperatur 1oC, aliran darah
otak menurun kira-kira 5%.

Otoregulasi adalah suatu mekanisme yang sangat sensitif terhadap cedera dan

436
terganggu setelah cedera otak, anestetika inhalasi, dan stimulasi simfatis. Efek yang
segera timbul pada otoregulasi adalah menurunkan batas atas dari otoregulasi sehingga
pada tekanan darah sedikit di atas normal bisa terjadi kerusakan BBB dan edema otak.
Pada daerah yang terganggu (iskemia, trauma atau neoplasma) terjadi penekanan fungsi
neuron, asidosis laktat, edema, gangguan otoregulasi, dan kemungkinan juga gangguan
reaksi terhadap CO2 .

Gambar 2.4 : Luxury Perfusion

Asidosis jaringan menimbulkan terjadinya dilatasi lokal arteri serebral yang


meluas ke jaringan normal. Bila otoregulasi hilang, aliran darah akan bergantung pada
tekanan darah sehingga suatu penurunan tekanan perfusi otak akan menyebabkan
penurunan aliran darah otak secara proporsional. Bila reaksi terhadap CO 2 juga hilang,
maka aliran darah betul-betul tergantung dari tekanan darah. Keadaan ini disebut
serebral vasoparalisis. Bila tekanan perfusi adekuat, perfusi pada daerah yang asidotik
akan berlebihan dengan kebutuhan metabolik dan saturasi oksigen vena tinggi, keadaan
ini disebut luxury perfusion. Akan tetapi, bila tekanan perfusi turun, aliran darah akan
berkurang, dan cepat terjadi iskemia, seperti yang terjadi pada keadaan hipotensi atau
steal phenomena.

Bila stimuli vasodilatasi cerebral terjadi secara global, aliran darah otak regional
akan meningkat pada daerah-daerah yang normal dengan mengorbankan daerah-daerah
yang mengalami vasomotor paralisis. Keadaan ini disebut intracerebral steal, dan terjadi
bila asidotik fokal telah mempengaruhi reaksi terhadap CO 2. Hiperkarbia akan
menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh yang normal dan konsekuensinya darah akan
diambil (steal) dari daerah yang dipasok pembuluh yang sudah stenosis. Bila stimulus
vasodilator tersebut menyebabkan penurunan tekanan darah atau kenaikkan tekanan
intrakranial, aliran darah ke daerah yang ada vasoparalisis akan lebih berkurang lagi.

437
2. Tekanan Intrakranial

Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak (86%), darah (4%) dan cairan serebrospinal
(10%). Cairan serebrospinal dibentuk dengan kecepatan konstan, 80% atau lebih dibuat
di pleksus koroideus, sisanya dibuat di parenkim otak. Fungsi cairan serebrospinal
adalah untuk proteksi, sokongan, dan regulasi kimia otak. Produksi cairan serebrospinal
kira-kira 0,35-0,4_ml/menit atau 30_ml/jam atau 500-600 ml/hari. Absorpsinya
bergantung pada perbedaan tekanan cairan serebrospinal dan vena. Absorpsi tersebut
terjadi melalui villi khorialis. Beberapa obat anestesi mempengaruhi produksi dan
absorpsi cairan serebrospinal. Adanya darah pada cairan serebrospinal dapat menyumbat
granulasio-arahnoid sehingga mengganggu absorpsi cairan serebrospinal dan
menyebabkan terjadinya hidrosefalus. Volume dan tekanan cairan serebrospinal berbeda
pada anak dan dewasa.

Tabel 2.2 : Volume dan Tekanan Cairan Serebrospinal.


Volume dan Tekanan Cairan Serebrospinal Rentang Nilai
pada Manusia

Tekanan Cairan Serebrospinal (mmHg)

Anak-anak 3,0-7,5
Dewasa 4,5-13,5

Volume (ml)
Infant 40-60
Young children 60-100
Older Children 80-120

Dewasa 100-160

Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg. Tekanan ini tidak selalu konstan bergantung
pada pulsasi arteri, respirasi, dan batuk. Peningkatan volume salah satu komponen (otak,
darah atau cairan serebrospinal) akan dikompensasi dengan penurunan volume
komponen yang lainnya.
Volume intrakranial selalu konstan. Bila volume bertambah, misalnya karena ada
hematom, untuk mengurangi volume, cairan serebrospinal dan darah juga akan
berkurang, keluar dari ruangan intrakranial sehingga tekanan intrakranial akan tetap

438
normal. Bila batas kompensasi dilewati, tekanan intrakranial akan meningkat.

Gambar 2.5 : Hubungan Volume dan Tekanan Intrakranial

Bila tekanan intrakranial meningkat dengan cepat, terjadi perubahan sistemik


seperti hipertensi, hipotensi, takikardia, bradikardia, perubahan irama jantung,
perubahan EKG, gangguan elektrolit, hipoksia, dan NPE (Neurogenic Pulmonary
Edema). Cushing menuliskan adanya Trias Cushing pada pasien dengan kenaikkan
tekanan intrakranial. Trias itu terdiri atas hipertensi, bradikardia dan melambatnya
respirasi. Peningkatan tekanan darah ini merupakan mekanisme untuk mempertahankan
aliran darah otak yang terjadi akibat peningkatan kadar adrenalin, nor-adrenalin,
dopamin dalam sirkulasi. Bradikardi tidak selalu terjadi pada setiap pasien. Bradikardi
dapat juga terjadi selintas. Yang paling sering terjadi yaitu takikardia dan atau aritmia
ventrikel.

Peningkatan tekanan intrakranial, selain dihubungkan dengan peningkatan mortalitas, juga


bila pasien bertahan hidup, keadaan neuropsikologis sering lebih buruk daripada penderita
tanpa kenaikkan tekanan intrakranial.

Tabel 2.3 : Hubungan antara Tekanan Intrakranial dan Mortalitas pada


Cedera Kepala
Tekanan rata-rata (mmHg) Mortalitas
0-20 19%

21-40 28%

41-80 79%

439
Pada keadaan tekanan intrakranial yang meningkat bisa terjadi spasme arteri serebral,
yang bisa menimbulkan serebral iskemia dan serebral infark. Pada cedera kepala berat
bisa terjadi laktik asidosis cairan serebrospinal, yang juga akan meningkatkan tekanan
intrakranial.

3. Metabolisme Serebral

Berat otak hanya 2-3% berat badan. Pada istirahat otak mengkonsumsi 20%
oksigen yang diambil. Basal metabolic rate untuk oksigen adalah 3,3 ml/100 gr/menit
dan untuk glukosa 4,5 mg/100 gr/menit. Keadaan ini relatif konstan pada saat tidur
dan bangun. Otak memerlukan pasokan substrat yang konstan karena metabolismenya
yang tinggi. Glukosa merupakan bahan bakar untuk jaringan saraf walaupun keton dapat
dipakai selama periode puasa dan ketoacidosis.

Aliran darah otak dan Cerebral Metabolic Rate (CMR) berlangsung bersama-
sama. Peningkatan metabolisme akan meningkatkan aliran darah otak. Obat anestesi
inhalasi menyebab-kan peningkatan aliran darah otak dan penurunan CMRO 2. Dari
semua obat anestesi inhalasi, isofluran merupakan serebral metabolik depresant yang
paling kuat, dan menurunkan 50% CMRO2 pada konsentrasi end-tidal isofluran 2,5%.
Semua obat anestesi intravena (kecuali ketamin) menurunkan CMRO 2. Barbiturat
menurunkan CMRO2 dan aliran darah otak paling kuat.

Hipotermi menurunkan CMRO2 7% per 1oC dan hipertermi meningkatkan


CMRO2. Suhu di atas 42oC akan menyebabkan kematian sel neuron. Kejang-kejang
akan meningkatkan aliran darah otak dan CMRO2.

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial


Berbagai manuver dan obat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Sebagai contoh, pemberian diuretik atau steroid, hiperventilasi, pengendalian tekanan
darah sistemik telah digunakan untuk mengurangi edema serebral dan brain bulk,
dengan demikian akan menurunkan tekanan intrakranial.

Tabel 1 : Metode untuk mengendalikan hipertensi intracranial

Osmotik diuretic (mannitol, NaCl hipertonik), tubular (furosemid).

Kortikosteroid : deksametason (effektif untuk edema yang terlokalisir

sekeliling tumor).

Ventilasi adekuat : PaO2 > 100 mmHg, PaCO2 35 mmHg, hiperventilasi sesuai

440
kebutuhan.

Optimal hemodinamik (MAP, CVP, PCWP, HR), mempertahankan tekanan

perfusi otak.

Hindari overhidrasi, sasarannya normovolemi.

Posisi untuk memperbaiki cerebral venous return (netral, head-up).


Obat yang menimbulkan vasokontriksi serebral (barbiturat, indometasin).
Pengendalian temperatur : hindari hipertermi, moderat intraoperatif hipotermi.

Drainase cairan serebrospinal.

MAP=mean arterial pressure; CVP =central venous pressure;


PCWP=pulmonary capillary wedge pressure; HR = heart rate

Diuretik:
Penurunan tekanan intrakranial yang cepat dapat dicapai dengan pemberian
diuretik. Dua macam diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik mannitol
dan loop diuretik furosemid. Mannitol diberikan secara bolus intravena dengan dosis
0,25-1 gr/kg BB. Bekerja dalam waktu 10-15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam.
Mannitol tidak menembus BBB yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas darah
relatif terhadap otak, mannitol menarik air dari otak kedalam darah. Bila BBB rusak,
mannitol dapat memasuki otak dan menyebabkan rebound kenaikan tekanan intrakranial
sebab ada suaru reversal dari perbedaan osmotik. Akumulasi mannitol dalam otak terjadi
pada dosis besar dan pengulangan pemberian.

Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang bergantung dari besarnya dosis dan
kecepatan pemberiannya. Vasodilatasi akibat mannitol dapat menyebabkan peningkatan
volume darah otak dan tekanan intrakranial secara selintas yang simultan dengan
penurunan tekanan darah sistemik. Disebabkan karena mannitol pertama-tama dapat
meningkatkan tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara perlahan (infus 10
menit) dan dilakukan bersama dengan manuver yang menurunkan volume intrakranial
(misalnya hiperventilasi).
Obat hipertonik misalnya harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Pada pasien ini, peningkatan selintas volume intravaskuler
dapat mempresipitasi gagal jantung kiri. Furosemid mungkin obat yang lebih baik untuk
mengurangi tekanan intrakranial pada pasien ini. Penggunaan mannitol jangka panjang
dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit, hiperosmolalitas, dan gangguan

441
fungsi ginjal. Hal ini terutama bila serum osmolalitas meningkat diatas 320 mOsm/kg.

Furosemid mengurangi tekanan intrakranial dengan menimbulkan diuresis,


menurunkan produksi cairan serebrospinal, dan memperbaiki edema serebral dengan
memperbaiki transport air seluler. Furosemid menurunkan tekanan intrakranial tanpa
meningkatkan volume darah otak atau osmolalitas darah, tetapi, tidak seefektif mannitol
dalam menurunkan tekanan intrakranial. Furosemid dapat diberikan tersendiri dengan
dosis 0,5 1 mg/kg atau dengan mannitol, dengan dosis yang lebih rendah (0,15-0,3
mg/kg). Suatu kombinasi mannitol dengan furosemid lebih efektif daripada mannitol
saja dalam mengurangi brain bulk dan tekanan intrakranial tapi lebih menimbulkan
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit. Bila dilakukan kombinasi terapi,
diperlukan pemantauan serum elektrolit dan osmolalitas dan mengganti kalium bila ada
indikasi.

NaCl hipertonik, lebih berguna pada pasien tertentu misal refraktori hipertensi
intrakranial atau yang memerlukan restorasi cepat dari volume intravaskuler dan
penurunan tekanan intrakranial. Kerugian utama dari NaCl hipertonik adalah terjadinya
hipernatremia. Pada suatu penelitian pasien bedah saraf selama operasi elektif tumor
supratentorial, volume yang sama mannitol 20% dan NaCl 7,5% dapat mengurangi
brain bulk dan tekanan cairan serebrospinal, tapi serum Na meningkat selama pemberian
NaCl hipertonik dan mencapai puncak 150 meq/lt.

Steroid :

Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak. Kortikosteroid


memerlukan beberapa jam atau hari sebelum mengurangi tekanan intrakranial.
Pemberian kortikosteroid sebelum reseksi tumor sering menimbulkan perbaikan
neurologis mendahului pengurangan tekanan intrakranial. Steroid dapat memperbaiki
kerusakan barier darah-otak. Postulat mekanisme steroid dapat mengurangi edema otak
adalah dehidrasi otak, perbaikan barier darah-otak, pencegahan aktivitas lisosom,
mempertinggi transport elektrolit serebral, merangsang ekresi air dan elektrolit, dan
menghambat aktivitas fosfolipase A2. Komplikasi yang potensial dari pemberian steroid
yang lama adalah hiperglikemia, ulkus peptikum akut, peningkatan kejadian infeksi.
Walaupun pada tahun 70-an dan permulaan tahun 80-an digunakan secara ektensif,
untuk terapi edema serebral pada cedera kepala akut, sekarang steroid jarang digunakan
pada protokol pengelolaan cedera kepala.

Pengelolaan Ventilasi :

442
Hiperventilasi telah dipakai untuk pengelolaan hipertensi intrakranial acut dan
subakut. CO2 adalah serebrovasodilator kuat dan penurunan CO 2 serebrovaskular
menurunkan volume otak dengan menurunkan aliran darah otak melalui vasokontriksi
serebral yang cepat. Setiap perubahan 1 mmHg PaCO 2, aliran darah otak berubah 1-2
ml/100gr/menit. Hiperventilasi efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial hanya
untuk 4-6 jam, bergantung dari pH cairan serebrospinal dan utuhnya reaktivitas terhadap
CO2 pada pembuluh darah otak. Gangguan reaksi terhadap perubahan PaCO2 terjadi di
daerah vasoparalisis, yang dihubungkan dengan penyakit intrakranial luas seperti
iskemia, trauma, tumor, dan infeksi.

Hiperventilasi dapat berbahaya. Ada bukti bahwa agresif hiperventilasi dan


vasokontriksi dapat menimbulkan iskemia, terutama bila aliran darah otak rendah. Telah
ditunjukkan bahwa aliran darah otak setelah cedera kepala paling rendah pada hari
pertama dan secara perlahan meningkat pada 3-6 hari kemudian. Telah diperlihatkan
adanya korelasi langsung dari hiperventilasi agresif (PaCO2 25 mmHg) dan outcome
yang lebih buruk setelah cedera kepala berat.
Bila hiperventilasi dimulai untuk pengendalian hipertensi intrakranial, PaCO2 harus
dipertahankan dalam rentang 30-35 mmHg untuk mencapai pengendalian tekanan
intrakranial seraya mengurangi risiko iskemia. Hiperventilasi untuk mencapai PaCO2
kurang dari 30 mmHg harus dipertimbangkan hanya bila diperlukan terapi sekunder
untuk hipertensi intrakranial yang refrakter.
Pengukuran SJO2 kontinu digunakan dalam praktek klinik untuk menentukan
pasien mendapatkan hasil yang menguntungkan atau merugikan akibat hiperventilasi.
Pada situasi emergensi, harus dikontinu melakukan hiperventilasi bila ada pertimbangan
pasien dalam kedaan hipettensi intrakranial. Tetapi, bila situasi klini tidak memerlukan
hiperventilasi lebih lama atau ada bukti adanya iskemia serebral, maka harus dilakukan
normoventilasi.

Pengelolaan Cairan dan Tekanan Arteri :

Penelitian binatang dan survai klinik menyokong konsep bahwa otak yang cedera
sangat rentan terhadap perubahan kecil hipoksia atau hipotensi. Keterangannya adalah
setelah cedera kepala, pada beberapa pasien menunjukkan adanya daerah otak yang
sangat rendah aliran darahnya, dengan gangguan otoregulasi. Bila otoregulasi hilang,
aliran darah otak menjadi tergantung dari tekanan darah. Karena itu, pasien cedera
kepala dengan aliran darah otak rendah sangat rentan terhadap hipotensi sistemik.
Observasi ini mempunyai akibat dalam lebih besarnya dukungan pada support tekanan
darah yang agresif pada pasien cedera kepala. Penelitian dengan SJO 2 dan TCD
menunjukkan bahwa tekanan perfusi otak yang adekuat mulai memburuk pada tekanan
perfusi otak rerata < 70 mmHg. The Brain Trauma Foundation dan American
Associaton of Neurologic Surgeon menganjurkan target tekanan perfusi otak adalah 70
mmHg pada pasien cedera kepala.
Restriksi intake cairan merupakan cara tradisional untuk terapi dekompresi

443
intrakranial tetapi sekarang jarang digunakan untuk terapi menurunkan tekanan
intrakranial. Restriksi cairan yang berat dalam beberapa hari dapat menimbulkan
hipoviolemia, dan menyebabkan hipotensi, penurunan aliran darah otak, dan hipoksia.
Kekurangan volume intravaskuler harus diperbailki sebelum induksi anestesi untuk
mencegah hipotensi. Resusitasi dan rumatan cairan untuk pasien bedah saraf adalah
larutan kristaloiud iso-osmolar yang bebas glokosa. Larutan hipoosmolar misalnya NaCl
0,45% dan RL lebih meningkatkan air otak daripada larutan isoosmoler NaCl 0,9%.
Larutan yang mengandung glukosa dihindari pada semua pasien bedah saraf dengan
metabolisme glukosa yang normal, sebab larutaini dapat mengeksaserbasi kerusakan
iskemik. Hiperglikemia memperberat kerusakan iskemik dengan pempromosi produksi
laktat neuron, yang memperberat cedera seluler. Cairan intravena yang mengandung
glukosa dan air (dektrosa 5% dalam air atau dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl) juga
memperberat edema otak, sebab glokusa dometabolis,e dan air akan tetap tinggal
ruangan cairan intrakranial. Studi klinis menunjukkan suatu hubungan yang kuat antara
kadar glukosa plasma dan outcome neurologis setelah stroke dan cedera otak. Karena
itu, glukosa hanya diberikan bila ada risiko hipoglikemia dan kadar glukosa darah harus
dipantau dan dipetahankan pada rentang bawah dar nilai normal.
Selama resusitasi cairan pasien cedera kepala, sasarannya adalah untuk
mempertahankan osmolality serum normal, menghindari penurunan tekanan tekanan
koloid osmotic yang besar, dan mengembalikan sirkulasi darah yang normal. Terapi
yang segera adalah langsung pada mencegah hipotensi dan mempertahankan CPP diatas
70 mmHg. Bila ada indikasi, pasang monitor ICP untuk panduan resusitasi cairan dan
mencegah kenaikkan ICP. Kristaloid iso-osmolar, koloid atau keduanya diberikan segera
untuk mempertahankan volume sirkulasi. Perdarahan yang banyak memerlukan transfusi
darah. Hematokrit minimal antara 30-33% dianjurkan untuk memaksimalkan
transportasi oksigen.
Larutan NaCl hipertonik mungkin sangat berguna untuk resusitasi volume pada
pasien cedera kepala karena mempertahankan volume intravaskuler seraya menurunkan
ICP dan memperbaiki aliran darah otak regional. NaCl hipertonik menimbulkan suatu
efek osmotic diuretic sama seperti mannitol. Dengan penggunaan jangka panjang, ada
kemungkinan kompliasi dari peningkatan Na serum, penurunan kesadaran dan kejang.

Posisi :

Untuk kebanyakan pasien bedah saraf, posisi netral, head up 15-30 o dianjurkan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan jalan memperbaiki drainase vena
serebral. Kepala fleksi atau rotasi dapat menimbulkan obstruksi drainase vena serebral,
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Penurunan posisi kepala menyebabkan
gangguan drainase vena serebral, yang secara cepat meningkatkan brain bulk dan
tekanan intrakranial.

444
Obat yang menimbulkan Vasokontriksi Serebral :

Pemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah serebral dapat


secara cepat mengurangi tekanan intrakranial. Pentotal dan pentobarbital adalah obat
yang paling banyak digunakan untuk tujuan ini. Barbiturat menurunkan CMR dan aliran
darah otak. Masalah utama dengan barbiturat adalah adanya penurunan tekanan arteri
rerata, yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan tekanan perfusi otak.
Pada dosis tinggi (10-55 mg/kg) pentotal dapat menimbulkan EEG isoelektrik dan
menurunkan CMR sampai 50%. Metabolik efek pentotal yang langsung adalah
menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang menurunkan aliran darah otak
dan karena itu menurunkan peningkatan tekanan intrakranial.

Pentobarbital digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara terapi


lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30 menit dilanjutkan dengan dosis 1-
1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma. Level dalam darah secara periodik diukur untuk
mencegah overdosis dan adjusted kira-kira 3 mg/dl. Pasien memerlukan ventilasi
mekanis, hidrasi, pemantauan tekanan intrakranial, pemantauan tekanan arteri invasif
dan mungkin vasopresor. EEG digunakan untuk memantau pola burst supresi sebagai
bukti penekanan adekuat dari aktivitas serebral. Sasaran dari barbiturat koma adalah
pengendalian ICP jangka panjang sampai faktor yang memperburuk tekanan intrakranial
dapat dihilangkan.

Barbiturat mungkin juga memberikan proteksi otak dengan menurunkan


metabolisme otak. Beberapa dari proximate mekanisme yang mana barbiturat
menurunkan metabolisme otak termasuk penurunan Ca influks, blokade terowongan Na,
menghambat pembentukan radikal bebas, memberbesar aktivitas GABA, dan
menghambat transfer glukosa menembus barier darah-otak. Semua dari mekanisme ini
konsisten dengan laopran Goodman dkk bahwa pentobarbital koma mengurangi laktat,
glutamat dan aspartat pada ruangan ekstraseluler pada pasien cedera kepala dengan
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat. Pada penelitian invitro menyokong bahwa
tiopental juga memperlambat hilangnya perbedaan elektrik transmembran yang
disebabkan karena aplikasi NMDA dan AMPA. Sayangnya, hanya trial klinis yang
memberikan bukti dari proteksi barbiturat.

Penelitian binatang dan laporan pendahuluan penggunaan indomethasin dalam


pengelolaan hipertensi intrakranial. Indomethasine menyebabkan vasokonstriksi serebral
dan penurunan aliran darah otak dengan tanpa menpengaruhi CMRO2. Mungkin
menurunkan tekanan intrakranial dengan menurunkan edema serebral, menghambat
produksi cairan serebrospinal dan mengendalikan hipertermia.

Mekanisme penurunan aliran darah otak oleh indomethasine tidak dimengerti


dengan jelas. Penelitian binatang menyokong bahwa

445
Pengendalian Temperatur :

Hipotermia ringan telah ditunjukkan untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien
dengan cedera kepala dengan menurunkan metabolisme otak, aliran darah otak, volume
darah otak dan produksi cairan serebrosponalis. Obat yang menekan menggigil secara
sentral, pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik
hipotermi.

Drainase cairan serebrospinal :

Drainase cairan serebrospinal 10-20 ml dengan tusukan langsung pada ventrikel lateral
atau dari kateter spinal lumbal dapat performed mengurangi brain tension secara cepat.
Drainase cairan serebrospinal lumbal harus dilakukan secara hati-hati hanya bila dura
terbuka dan pasien dilakukan hiperventilasi ringan untuk mencegah hernia otak akut.

Referensi:

1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNACC participant workbook 2007.

446
447
MODUL 23 ANESTESI BEDAH SARAF II

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 6)

Sesi di dalam kelas 1 bulan

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

Sesi praktik dan pencapaian


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;

448
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNACC participant workbook 2007.

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu:

Melakukan anestesia pada operasi intrakranial, operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis, anestesia pada prosedur
intervensional neuroradiologi didalam maupun diluar kamar operasi. Mampu melakukan
proteksi otak selama periode perioperatif

TUJUAN KHUSUS

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

Kognitif:

1. Memahami neurofisiologi, neurofarmakologi.


2. Memahami penilaian preoperatif pasien untuk operasi intrakranial
3. Memahami patofisiologi kelainan intraserebral baik trauma atau non trauma.
4. Memahami bagaimana mengidentifikasi peningkatan tekanan intrakranial
5. Memahami pemantauan untuk prosedur intrakranial
6. Memahami persiapan pengelolaan jalan nafas pada operasi servikal
7. Memahami pemilihan anestesia untuk bedah saraf
8. Memahami cara pendekatan kegawatan pada kraniotomi
9. Memahami cara merencanakan anestesia yang memungkinkan dilakukan
pemantauan neurofisiologi
10. Memahami cara-cara untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial
11. Memahami proteksi otak selama periode perioperatif

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan untuk operasi intrakranial


2. Mampu menilai GCS secara cepat
3. Mampu menilai adanya herniasi otak.
4. Mampu melakukan manajemen jalan nafas pada operasi spinal servikal

449
5. Melakukan pemasangan jalur intraarterial dan intravena dengan jarum besar
(keberhasilan 75%)
6. Mampu memasang kateter vena sentral tanpa mengganggu drainase vena
serebral (75% berhasil).
7. Mampu melakukan induksi anestesia umum untuk operasi besar, rumatan,
ekstubasi tanpa gejolak hemodinamik.
8. Mampu melakukan intubasi pasien dengan kelanan serebral atau cervikal
dengan benar (dengan fibreoptic intubation, kalau ada).
9. Mampu melakukan teknik anestesia hipotensif.
10. Mampu menilai adanya emboli udara dan menanganinya.
11. Mampu memberikan anestesia pada prosedur diagnostik (MRI, CTScan)
12. Mampu menangani komplikasi pasca bedah saraf diruang pulih
13. Mampu melakukan tindakan proteksi otak selama periode perioperatif.

Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah tentang prosedur yang akan dilakukan,


posisi yang diperlukan, dan keadaan kekhususan lainnya.
2. Mengetahui hasil pemeriksaan diagnostik yang diperlukan untuk rencana
anestesia
3. Ikut dalam rencana pemantauan pasca bedah pada pasien bedah saraf yang
kritikal.
Professionalisme

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan perioperatif pasien
bedah saraf.

KEYNOTES:

1. Tekanan perfusi serebral adalah perbedaan tekanan arteri rerata dan


tekanan intrakranial (CPP=MAP-ICP).
2. Kurfe autoregulasi bergeser kekanan pada pasien dengan hipertensi
kronis
3. Aliran darah otak (normalnya 50-54 ml/100 g jaringan/menit) diatur
oleh autoregulasi, PaCO2, dan PaO2.
4. Aliran darah otak berubah pada PaCO2 20-80 mmHg, setiap
perubahan 1 mmHg aliran darah otak berubah 5% (1-2 ml/100 gr
jaringan/menit).
5. Aliran darah berubah 5-7% per 10C. Hipotermi menurunkan aliran
darah otak dan metabolisme otak, sedangkan hipertermia akan
meningkatkan aliran darah otak dan metabolisme otak.
6. Proteksi otak dilakukan pada periode perioperatif dengan basic metod

450
(ABC : Clear airway, breathing, circulation), hipotermi, dan
farmakologik.
7. Monitoring selama anestesi dan periode pascabedah dengan standar
monitoring : tekanan darah, denyut jantung, SpO2, suhu, kalau ada
train of four. Indikasi monitoring arteri line dan monitoring CVP.
8. Barier otak dapat rusak pada tumor, trauma, hipertensi, strokes,
hiperkapnia berat, hipoksia, dan kejang.
9. Isi rongga cranium adalah jaringan otak (80%), darah (12%), dan
cairan serebrospinal (8%). Setiap peningkatan salah satu komponen
akan dikompensasi dengan penurunan volume yang lain untuk
mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
10. Dengan pengecualian ketamin, semua obat anestesi intravena
menurunkan metabolisme otak dan aliran darah otak.
11. Autoregulasi antara MAP 50-150 mmHg. MAP yang < 50 mmHg
akan menimbulkan iskemia otak dan bila MAP > 150 mmHg dapat
menimbulkan edema otak atau perdarahan otak.
12. Hipotermi merupakan metode yang efektif untuk proteksi otak selama
iskemia fokal atau global.
13. Pada penelitian manusia dan binatang barbiturat efektif untuk brain
protection pada keadaan fokal iskemia.
14. Semua obat anestesi inhalasi bersifat serebral vasodilator.
15. Sasaran terapi pada trauma otak adalah normotensi, normokania,
normovolemia, isoosmoler, normotermi
16. Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg, bila sudah > 20 mmHg
harus segera diterapi, akan tetapi Herniasi otak sudah dapat terjadi
pada tekanan intrakranial 18 mmHg.
17. Masalah utama pada operasi tumor supratentorial/meningioma besar
adalah perdarahan.
18. Masalah utama pada operasi fossa posterior/infratentorial adalah
emboli udara.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami serta mampu mengelola tentang Neuroanatomi, Neurofisiologi,
Neurofarmakologi, Monitoring, Pengelolaan Kenaikan Tekanan Intrakranial, Anestesia
untuk trauma otak, Proteksi otak perioperatif, Anestesi untuk bedah tumor otak, Emboli
udara pada anestesia posisi kepala lebih tinggi/posisi duduk, Pengelolaan cedera medula
spinalis, Anestesi untuk neuroradiologik Intervensional

TUJUAN PEMBELAJARAN

451
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu:

Melakukan anestesia pada operasi tumor intrakranial, operasi diluar otak akan tetapi
pasiennya mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: Mampu melakukan anestesia pada operasi intrakranial.

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 2: Mampu melakukan anestesia untuk operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak.

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 3: Mampu melakukan anestesi untuk bedah spinal dan columna verebralis,

1. Small group discussion


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector

452
4. Pasien di kamar bedah dan PACU

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Professionalism
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

5. Knowledge
MCQ (Pre test)

EMQ (Extended Medical Question)

453
Pretest

1. Terangkan tentang pengaturan aliran darah otak.


2. Terangkan tentang airway management pada pasien dengan traumatic brain
injury.
3. Jelaskan tentang patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial (hal hal apa
saja yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial).
4. Terangkan tentang cara penilaian GCS.
5. Bagaimana tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang
masih sadar dan tidak sadar.
6. Bagaimana pengelolaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
7. Jelaskan tentang ABCDE neuroanestesi.
8. Bagaimana melakukan proteksi otak perioperatif.

Strategi Pembelajaran : Integrated learning

Independent learning

Problem base learning

Practice base learning

Proses Pembelajaran

Kuliah introduksi

Small Group Discussion and feed backs

Patient management problem

Simulated patient, scenarios, displays

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

454
1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Induksi dan pemeliharaan Anestesia umum

2 Monitoring

3 Pemberian cairan dan tranfusi

4 Komplikasi dan penanganannya

5 Ekstubasi yang mulus

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

455
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

456
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Pendahuluan
Anestesi untuk bedah syaraf memerlukan pengetahuan mengenai prinsip dasar dari
neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi). Kebanyakan prosedur bedah syaraf intrakranial adalah karena
adanya lesi massa. Prosedur supratentorial termasuk operasi untuk tumor, hematom,
trauma, dan vaskuler. Walaupun gambaran patofisiologis berbeda untuk setiap lesi
yang berbeda, tetapi pertimbangan anestesinya sama.
Pada tahun 2001 di USA > 180.000 pasien di diagnosa tumor serebri. Kira-kira
36.000 pasien didiagnosa sebagai tumor otak primer dan lebih dari 150.000 pasien
merupakan metastase dari tumor mammae, paru, melanoma atau kanker ditempat
lain. Tumor otak primer yang dilaporkan adalah meningioma (26%), glioblastoma
(23%), dan astrositoma (13%). Kira-kira 10% tumor otak primer terjadi pada anak
dan mempunyai predominan yang berbeda dengan dewasa, misalnya astrositoma
37,5%, meduloblastoma 16%. Umumnya tumor otak lebih banyak mengenai laki-laki
daripada wanita. Distribusi dari keseluruhan tumor otak dan tumor SSP menunjukkan
bahwa kebanyakan merupakan tumor supratentorial (36%) dan hanya 6,5%
merupakan tumor infratentorial.
Astrosit anaplastik dan glioblastoma merusak BBB. Aliran darah ke tumor bervariasi,

457
akan tetapi, autoregulasi umumnya hilang dan adanya hipertensi menyebabkan
meningkatnya aliran darah ke tumor. Adanya edema yang luas di sekeliling tumor
akan menambah efek massa. Daerah ini juga mungkin menderita iskemia akibat
kompresi, aliran darah peritumor 28 % lebih rendah dari jaringan hemisfer yang
kontralateral. Reseksi meningioma total akan menyebabkan rendahnya rekurent
daripada reseksi parsial, maka prosedur bedah untuk meningioma lebih rumit dan
lebih lama daripada debulking untuk tumor glia. Prosedur bedah untuk supratentorial
sering melalui frontal atau pterional. Pendekatan pterional dilakukan melalui lobus
temporal dan memerlukan pemutaran kepala pasien ke posisi yang berlawanan. Pada
pendekatan frontal, termasuk bi-frontal kraniotomi untuk lesi bi-lateral atau lesi di
garis tengah. Karena sinus sagitalis berjalan transversal, maka ada resiko perdarahan
dan emboli udara pada pendekatan bi-frontal.
Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena efek penekanan pada struktur
syaraf sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau kenaikan ICP yang tidak spesifik,
atau adanya kejang-kejang. Kejang dan defisit neurologis fokal bisa disebabkan karena
efek penekanan oleh tumor. Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal.
Beberapa tumor harus dieksisi, lainnya hanya paliatif dengan dekompresi, pemasangan
VP-shunt, atau radioterapi. Edema hebat disekeliling tumor sering terjadi pada tumor
malignan. Meningioma yang besar tetapi jinak sering khas dengan tingginya shunting
aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan tumor autoregulasi hilang, juga hal ini terjadi
di jaringan sekeliling tumor. Bila ada penekanan dan efek tekanan yang nyata oleh
tumor, dan selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi herniasi tentorial. Karena itu
pertimbangan prinsip untuk anestesi tumor cerebri adalah pengendalian ICP.

Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak, dan astrositoma yang kurang


agresif dapat diangkat secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa tumor,
misalnya meningioma yang berdekatan dengan struktur penting atau tumor basis.
Kebanyakan malignan glioma berhubungan rapat dengan jaringan otak normal dan
hanya partial debulking yang mungkin dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan
neurologis. Jika lesi terdapat pada lobus temporal atau frontal, pengangkatan tumor yang
lengkap dapat dilakukan dengan lobektomi.

Meningioma merupakan suatu tantangan bagi anestetist dan dokter bedah syaraf,
karena jinak dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma
bisa mencapai ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskular
yang bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak saat dilakukan pembedahan.
Beberapa konveksitas meningioma menekan ke dalam vauet tulang tengkorak,
Anestetist harus mempersiapkan terhadap adanya kemungkinan adanya perdarahan yang
banyak ketika tulang diangkat. Bahaya ini juga terdapat operasi ulangan (redo
craniotomi) untuk meningioma reccurent. Dalam keadaankeadaan ini, juga pada tumor
yang berasal dari pembuluh darah harus dipasang monitor CVP. Tumor yang lebih besar
dan vaskuler, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah perdarahan. Kadang kadang

458
pasien menunjukkan adanya edema otak setelah tumor direseksi semuanya. Dalam
keadaan ini monitor ICP harus dipasang dan pasien harus diventilasi pascabedah untuk
menjamin bahwa edema otak yang telah ada tidak diperburuk oleh hipoksia atau
hiperkapnia, serta adanya resiko episode apneu yang tiba tiba. Adanya ICP monitor
akan menyebabkan kita waspada terhadap adanya hematoma pascabedah. Pada keadaan
ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau
hipertensi. Bila pembengkakan otak terjadi setelah operasi tumor, steroid harus
diteruskan post-operatif. Di beberapa center memberikan tambahan bolus deksametason
12 16 mg perioperatif, diikuti dengan penambahan dosis untuk beberapa hari pertama
pascabedah. Daerah yang iskemik atau trauma pada tempat operasi seperti halnya darah
dalam ventrikel akan merupakan predisposisi terjadinya konvulsi, karena itu berikan
antikonvulsi.

Jadi sasaran anestesiologist adalah :

- Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor.


- Pasien tidak bergerak, relaksasi otak, pengendalian tanda vital.
- Menjamin CPP yang adekwat.
- Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk pemeriksaan neurologis.
Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas yang membahayakan pada
periode pascabedah.

Patofisiologi dan Gambaran Klinis


Pasien dengan tumor otak menunjukan variasi gejala klinik bergantung pada tipe tumor
dan lokasinya, misalnya adanya kejang, hilangnya pendengaran dan penglihatan,
hemiparesis, numbness atau ataksia, pandangan ganda atau sakit kepala. Penyakit
supratentorial pada umumnya dihubungkan dengan masalah pengelolaan peningkatan
tekanan intrakranial, sedangkan tumor infratentorial dihubungkan dengan adanya efek
massa pada struktur vital pada medulla oblongata dan peningkatan tekanan intrakranial
akibat obstruksi hidrosefalus.
Tumor supratentorial (meningioma, glioma, dan lesi metastase) mengubah
intrakranial dinamik predictably. Permulaannya, bila lesinya kecil serta pertumbuhannya
lambat, kompensasi terjadi dengan penekanan kompartemen cairan serebrospinal dan
nearly vena serebral yang mencegah kenaikkan tekanan intrakranial. Dengan
bertumbuhnya lesi, mekanisme kompensasi habis dan pertumbuhan tumor lebih jauh
akan meningkatkan tekanan intrakranial secara progresif. Kompartemen intrakranial
dapat berkompensasi sampai suatu titik tertentu.
Peningkatan tekanan intrakranial yang nyata mempunyai efek yang berbahaya
yaitu terjadinya iskemia dan herniasi otak. CPP adalah MAP ICP, maka apabila terjadi
kenaikan ICP lebih besar dari MAP, akibatnya terjadi penurunan CPP. Bila ICP
meningkat sufficiently, otak menjadi iskemi. Efek penting kedua dari peningkatan ICP
adalah terjadinya herniasi otak. Herniasi dapat melintasi meningen, turun ke kanalis

459
spinalis, atau melalui kraniotomi. Herniasi dapat dengan cepat menimbulkan neurologic
deterioration dan kematian. Beberapa faktor yang berkontribusi pada herniasi otak
terlihat pada tabel dibawah ini. Elemen-elemen yang dapat meningkatkan volume darah
otak, seperti hipertensi, hiperkarbia dan hipoksia adalah merupakan faktor yang dapat
diterapi dan harus dihindari perioperatif.

Tabel 1 : Faktor yang berkontribusi pada Herniasi Otak

Lesi Massa Intrakranial

Koagulopati

Terapi hematom yang tidak adekuat

Peningkatan Volume Jaringan Otak

Edema serebral sitotoksik

Edema serebral vasogenik

Peningkatan Volume Darah Otak

Hipertensi disertai gangguan autoregulasi

Hiperkarbia

Hipoksia

Obat anestesi yang bersifat vasodilator

Obstruksi jugularis

Pengelolaan Anestesi
Evaluasi preoperatif:

Suatu pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan dengan perhatian khusus pada level
kesadaran, ada atau tidak adanya kenaikan tekanann intrakranial, extent of defisit
neurologis dan riwayat kejang.

460
Evaluasi prabedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesi
lainnya dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan
paru. Pada prosedur bedah syaraf, seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan
morbiditas dan mortalitas anestesi perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau jantung.

a. Anamnesa :
Pasien bedah syaraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP. Gejala
kenaikan ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis fokal akibat efek
penekanan lokal dari tumor. Perdarahan otak atau cerebrovascular accident
sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis. Telaahlah dengan hati hati
hasil operasi intrakranial atau prosedur diagnostik sebelumnya, dan pertimbangkan
kemungkinan pneumocephalus residu atau interaksi anestetik lain.
Telaahlah kembali obatobatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian
kita pada obatobatan yang mempunyai efek pada periode preoperatif. Terapi obat
obatan pada pasien bedah syaraf dapat menyebabkan penurunan volume intravaskuler.
Manitol dan diuretik lain yang digunakan prabedah untuk mengurangi edema serebral,
dapat menimbulkan hipovolemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yang bisa
menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan aritmia pada saat induksi anestesi.
Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan edema serebral, akan
meningkatkan kadar glukosa darah dengan stimulasi glukoneogenesis dan menyebabkan
penekanan adrenal secara langsung yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan
insufisiensi kardiovaskuler dengan adanya stress bedah. Obat anti hipertensi dapat
merubah volume intravaskuler. Trisiklik antidepresan dan levodopa telah nyata dapat
memicu terjadinya hipertensi intraoperatif dan cardiac disritmia. Benzodiazepin,
phenotiazin dan butirophenon dapat berperan terjadinya hipertensi perioperatif.

b. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik prabedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistim kardiovaskuler
dan SSP. Pada pasien pasien dengan penyakit sertaan, pemeriksaan ditujukan
terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien pasien bedah syaraf sering
somnolent dan intake oral yang tidak adekwat yang dapat menyebabkan keadaan
hipovolemi. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis akibat diabetes insipidus, atau
pemberian diuretik. Hipovolemi ringan atau sedang umumnya dapat ditolerir dengan
baik, tetapi hipovolemi yang nyata harus dikoreksi sebelum induksi anestesi.
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap defisit sensoris
/ motoris harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di kamar operasi sesaat
sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan tanda tanda kenaikan ICP, seperti adanya
sakit kepala, mual, muntah, midriasis unilateral, pupil edema, palsy occulomotor atau
abduscen. Bila ICP meningkat lebih jauh, kesadaran pasien memburuk dan diikuti
dengan disfungsi respirasi dan jantung. Adanya pernafasan Cheyne Stokes atau
bradikardi disertai hipertensi merupakan tanda penekanan batang otak.
Tujuan dari penilaian neurologis adalah untuk mengerti tentang tipe dan beratnya

461
proses intrakranial. Hal ini penting sebab pengelolaan anestesi akan tergantung pada
volume intrakranial. Untuk mendapatkan penilaian yang tepat pertanyaan
pertanyaan dibawah ini harus ditanyakan.
1. Bagaimana keadaan pasien ? Gejala kenaikan tekanan intrakranial termasuk
sakit kepala, mual, muntah, penglihatan blurred, dan somnolen. Gejala
penekanan lokal dari tumor misalnya adanya kejang, dan defisit neurologis fokal.
2. Dimana lokasi tumor ?
3. Apa diagnosa tumornya ?
4. Bagaimana bukti adanya kenaikan ICP ?
5. Apa terapi yang telah diberikan ?
6. Apakah pasien pernah dilakukan kraniotomi ?

c. Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum dan
koagulasi harus dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis akan menurunkan kadar K
serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa serum > 200 mg
% diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai normal yang
berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolariti serum harus diukur
pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala sering EKGnya abnormal,
maka pemantauan EKG prabedah harus dilakukan, untuk melihat perubahan selama
operasi dan anestesi. Pemeriksaan radiologis prabedah untuk informasi tentang
ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya, edema serebral, dan mid-line shift.
Mid-line shift 0,5 cm pada MRI atau CT-scan atau gangguan dari jaringan otak pada
sisterna basalis menunjukkan adanya kenaikan ICP.

d. Pengelolaan Obat :
Sekali diagnosa dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan, tujuan prinsip
pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi epilepsi. Steroid efektif
untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan komplians otak pada pasien
tumor ganas dan meningioma. Dosis umum deksametason adalah 4 mg 3x sehari
bersama sama dengan hidrogen reseptor antagonis. Epilepsi diterapi dengan
phenitoin 100 mg 3x sehari. Rentang normal terapeutik adalah 40 100 umol/l.

e. Premedikasi
Sedasi prabedah merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penurunan kesadaran,
jadi pasien lethargi tidak memerlukan premedikasi. Bila premedikasi diperlukan,
misalnya pasien yang sadar dan cemas dapat diberikan anxiolitik seperti
benzodiazepin ( diazepam, lorazepam atau midazolam ). Diazepam 5 10 mg atau
lorazepam 1 2 mg atau midazolam 5 mg dapat diberikan 1 2 jam pra bedah
peroral. Diazepam dan lorazepam mempunyai paruh waktu yang cukup panjang dan
bisa memperlambat bangun pascabedah, karena itu mungkin lebih baik dengan
midazolam jang diberikan intravena, intramuskuler atau oral.

462
Bila ada keraguan tentang level kesadaran pasien, pasien dapat diberikan sedasi atau
analgesi di kamar bedah dibawah pengawasan spesialis anestesi dan diberikan setelah
terpasang jalur vena. Narkotik harus dihindari karena meningkatkan resiko muntah
dan hipoventilasi, yang keduanya dapat meningkatkan ICP. Akan tetapi, bila akan
memasang alat pantau invasif pada saat prainduksi (CVP, jalur arteri) dosis kecil
narkotik dapat dipertimbangkan untuk menghindari rasa tidak nyaman ketika
menusukkan jarum untuk memasang alat pantau invasif tersebut.

Pertimbangan obat anestesi

Sasaran pemberian anestesi pada pasien ini adalah untuk memaksimalkan cara terapi
untuk mengurangi volume intrakranial. ICP harus dapat dikendalikan sebelum
kranium dibuka dan optimal kondisi operasi dengan cara menghasilkan otak yang
slack brain. Berbagai manuver dan obat dapat digunakan untuk mengurangi brain
bulk (tabel 2)

Tabel 2 : Metoda untuk mengendalikan Hipertensi Intrakranial

Diuretik Osmotik diuretik (mannitol, NaCl hipertonik), tubular


(furosemid)

Kortikosteroid Deksametason (efektif untuk edema serebral yang


terlokalisisr sekeliling tumor, memerlukan waktu 12-36 jam)

Ventilasi adekuat PaO2 > 100 mmHg, PaCO2 35 mmHg, hiperventilasi


tergantung kebutuhan

Hemodinamik Optimal hemodinamik (MAP, CVP, HR, PCWP),


mempertahankan CPP

Cairan Hindari overhidrasi, sasarannya normovolemi

Posisi Posisi untuk memperbaiki drainase vena serebral (posisi


netral, head-up)

Obat Obat yang menyebabkab vasokonstriksi serebral (pentotal,


propofol)

Pengendalian Suhu Hindari hipertermi, moderat intraoperatif hipotermi

Cairan serebrospinal Drainase cairan serebrospinal

Diuretik
Dehidrasi otak dan penurunan ICP yang cepat dapat diperoleh dengan

463
pemberian osmotik diuretik mannitol (0,25 1 gr/kg intravena yang mulai berefek
dalam waktu 10-15 menit dan berakhir kira-kira 2 jam) atau loop diuretik furosemid (0,5
1 mg/kg atau 0,15 0,3 mg/kg intravena bila dikombinasikan dengan mannitol).
Disebabkan karena mannitol pertama-tama menimbulkan efek peningkatan ICP (efek
dari vasodilatasi akibat mannitol), maka mannitol harus diberikan perlahan-lahan (10
menit atau lebih) disertai manuver lain untuk menurunkan ICP (misalnya hiperventilasi
atau pemberian steroid). Mannitol harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Pada pasien ini, peningkatan selitas volume intravaskuler dapat
mempresipitasi gagal jantung kiri. Furosemid merupakan obat yang lebih disukai
dalammengurangi ICP pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Kombinasi mannitol
dengan furosemid lebih efektif dalam menurunkan ICP dan brain bulk daripada mannito
sebagai obat tunggal, akan tertapi lebih besar menimbulkan dehidrasi dan gangguan
keseimbangana elektrolit sehingga diperlukan pemantauan elektrolt intraoperatif dan
penggantian kalium bila memang diperlukan.

NaCl Hipertonik
NaCl hipertonik merupakan osmotik diuretik lain yang baru-baru ini sedang
diteliti lagi. Terapi NaCl hipertonik mungkin lebih efektif daripada diuretik lain pada
kondisis klinis tertentu, misalnya pasien dengan hipertensi intrakranial yang refrakter
atau yang emerlukan debulking otakatauuntuk memepertahankan volume intravaskuler.
NaCl hipertonik juga dapat digunakan sebagai suatau alternatif atau tambahan pada
pemakaian mannitol intraoperatif. Data yang telah dipublikasikan encouraging, akan
tetapi, ada beberapa akibat yang merugikan akibat pemberian NaCl hipertonik.

Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak tetapi memerlukan
beberapa jam atau hari sebelum penurunan ICP terlihat. Pemberian steroid prabedah
sering menimbulkan perbaikan neurologis sebelum terjadi penurunan ICP, hal ini
mungkin karena perbaikan dari BBB yang sebelumnya abnormal.

Hiperventilasi
Hiperventilasi mengurangi volume otak dengan menurunkan CBF dengan cara
vasokonstriksi serebral. Setiap 1 mmHg perubahan PaCO2, CBF berubah 1-2 ml/100gr
jaringan/menit. Hiperventilasi hanya efektif bila reaktivitas terhadap CO2 dari pembuluh
darah otak masih intact. Faktor yang mempengaruhi reaktivitas terhadap CO2 adalah
iskemia, trauma, tumor, dan infeksi. Obat anestesi inhalasi berbeda-beda pengaruhnya
pada reaktivitas CO2 pembuluh darah otak, oleh karena itu penting sekali pemilihan obat

464
anestesi inhalasi yang tepat (paling kecil mempengaruhi reaktivitas CO 2 dan
autoregulasi adalah sevofluran).

Target PaCO2 untuk operasi tumor otak adalah 30-35 mmHg (hasil analisa gas
darah). Pada keadaan PaCO2 kurang dari 25-30 mmHg dapat menimbulkan iskemia otak
akibat vasokonstriksi serebral.

Optimal hemodinamik : sasaran normotensi


Sasaran terapi adalah untuk mempertahankan CPP (CPP = MAP ICP) dan
mengendalikan dinamika intrakranial untuk mencegah iskemia serebral, edema,
perdarahan, dan herniasi. Karena itu, hipotensi berat (dapat menimbulkan iskemia
serebral) dan hipertensi berat (dapat menimbulkan edema serebral, perdarahan, herniasi)
harus dihindari.

Terapi Cairan : sasaran normovolemia


Volume intravaskuler harus dipertahankan normovolemia sebelum induksi
anestesi untuk mencegah hipotensi saat induksi. Resusitasi dan pemeliharan cairan
diberikan dengan cairan kristaloid isoosmoler yang bebas glukosa untuk mencegah
peningkatan air otak (akibat dari hiposmolalitas) dan kerusakan iskemik (akibat
hiperglikemia). Untuk kraniotomi rutin, pasien diberikan kebutuhan cairan per jam dan
penggantian urine yang keluar. Kehilangan darah diganti kira-kira perbandingan
kristaloid : darah adalah 3:1 untuk mencapai hematokrit 30% tetapi hal ini bergantung
kepada status fisiologis sebelumnya.

Monitoring

Monitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah


noninvasif, arteri line, stetoskop oesofageal, FiO2, pulse oksimetri, temperatur,
nerve stimulator, kateter urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi
V5 ditempelkan pada semua pasien dengan penyakit jantung iskemik. Arteri line
digunakan bukan saja untuk memantau tekanan darah dari denyut ke denyut
jantung, tetapi juga untuk analisa gas darah serta dapat juga menolong melihat
status volume pasien : (tekanan nadi = tekanan sistolik tekanan diastolik ). Untuk
melihat CPP, transduser arteri line ditempelkan ke level sirkulisi Wilisi setinggi
meatus akustikus eksterna. Indikasi monitor arteri terlihat pada tabel di bawah ini :

Indikasi Pemasangan Monitoring Tekanan Arteri Invasif


- Operasi yang menyebabkan perubahan tekanan darah yang cepat.
465
- Resiko kehilangan darah yang cepat.
- Hipotensi kendali
- Diperlukan ventilasi pascabedah
- Disertai dengan penyakit sertaan lain.

Monitor Et CO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO 2, adanya
diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan kehilangan
darah yang banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas dipasang monitor CVP
dan dapat dipertimbangkan dipasang PA kateter. Pergeseran cairan akut akibat diuretik
atau manitol memerlukan monitoring CVP, sebab urine output tidak dapat dipercaya
untuk mendeteksi hipovolemia. Indikasi pemasangan CVP monitor terlihat pada tabel di
bawah ini :

Indikasi pemasangan CVP

- Resiko kehilangan darah yang banyak


- Penaksiran status volume
- Posisi duduk
- Untuk pemberian obat vasoaktif

Monitoring ICP untuk operasi supratentorial masih kontroversial. Walaupun


beberapa praktisi menasihatkan untuk digunakan secara rutin, tetapi praktisi yang lain
menunjukkan tidak adanya penelitian yang menyebutkan keuntungan penggunaan
monitor ICP. Tetapi pada pasien dengan resiko peningkatan ICP yang hebat (ukuran
tumor > 3 cm dengan mid line shift atau edema yang nyata ) akan menguntungkan jika
dipasang monitor ICP.

Sebagai tambahan pada pemantauan rutin, pengukuran tekanan darah intra-


arterial, gas darah arteri, CVP, diuresis dianjurkan untuk semua bedah saraf yang besar.
Suatu kanula arteri yang dipasang sebelum induksi anestesi untuk memantau secara
kontinu tekanan darah dan untuk memperkirakan CPP. Pemeriksaan gas darah penting
untuk menilai adekuatnya ventilasi. Disebabkan karena kebanyakan pasien bedah saraf
dehidrasi prabedah, dan kemudian intraoperatif diberikan diuretika, pengukuran cardiac
preload dan urine output penting dilaksanakan. Kateter pada atrium kanan akan
merefleksikan preload dan hal itu digunakan untuk melihat defisit cairan prabedah dan
kecepatan infus intraoperatif. Pemantauan ICP prabedah jarang digunakan untuk operasi
tumor supratentorial. Suatu pemantauan bulbus vena jugularis dapat untuk secara
kontinu CEO2 (SaO2 SjvO2) menyebabkan dapat menarik kesimpulan tentang
adekuatnya perfusi serebral global.

466
Pengelolaan anestesi
Sasaran utama selama induksi anestesi adalah mempertahankan level normal dari
ICP sambil mempertahankan CPP yang adekwat. Sasaran ini kebanyakan dilakukan
dengan menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai kompensasi
pada kenaikan ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan volume CSF,
tetapi di kamar operasi penurunan volume darah otak umumnya dilakukan dengan terapi
farmakologik atau ventilasi.

Kejadian emboli udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah
kurang lebih 14,6 %, karena itu diperlukan monitoring end tidal CO2.

a. Induksi Anestesi :

Walaupun induksi anestesi untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan berbagai


macam obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Pentotal akan
menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Propofol juga menurnkan CMRO 2, CBF dan ICP.
Narkotik juga menurunkan CMRO2 tetapi lebih kecil daripada penurunan CBF, sehingga
dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah iskemia, walaupun demikian efek ini
tidak relevan secara klinis. Narkotik memberikan pengendalian tekanan darah dan
denyut jantung yang lebih baik, sehingga selalu dipakai dalam anestesi.

Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan ICP serta
menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada
neuroanestesi. Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan.
Pasien dipreoksigenasi lalu diberikan Pentotal 3 5 mg/kg atau Propofol (1,25-
2,5mg/kg) intravena, diikuti dengan fentanil 3-5ug/kg dan pelumpuh otot.harus diikuti
dengan ventilasi melalui sungkup muka untuk menjamin patensi jalan nafas dan
hiperventilasi. Neuromuskular blokade dapat dilakukan dengan vecuronium ( 0,1 0,15
mg/kg ) atau rocuronium ( 0,6 0,8 mg/kg ) IV, lalu dihiperventilasi melalui sungkup
muka dengan oksigen 100% atau O2 Isofluran konsentrasi rendah ( 0,5% ). Lidokain
IV ( 1,5 mg/kg dberikan 90 detik sebelum laringoskopi/intubasi) dan dosis obat
anestesi intravena (Pentotal 2-3 mg/kg) untuk induksi diberikan menit sebelum
dilakukan intubasi. Setelah induksi, dilakukan ventilasi kendali untuk mepertahankan
PaCO2 antara 30-35 mmHg.
Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskuler.
Kombinasi narkotik (fentanyl 5 ug/kg atau sufentanyl 0,5 1 ug/kg ) dan dosis kecil
pentotal dapat mengendalikan ICP serta kardiovaskuler tetap stabil. Ventilasi adekwat
harus dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan hiperkarbia akibat narkotik
yang akan menyebabkan kenaikan CBF.

467
b. Pemeliharaan Anestesi :
Teknik teknik ini umumnya termasuk dalam 3 kategori : obat anestesi inhalasi,
teknik anestesi intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian
anestesi adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya teknik
tersebut digunakan.

Disebabkan obat anestesi mempengaruhi tekanan intrakranial, sampai sekarang


masih ada kontroversi apakah diberikan anestesi intravena (TIVA) atau dengan anestesi
inhalasi, akan tetapi yang paling umum diberikan adalah N2O-isofluran/sevofluran-
fentanyl.

Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesi dengan dasar narkotik dengan
N2O atau dosis rendah isofluran (< 1 %) dalam oksigen, cukup optimal. Tetapi baru
baru ini teknik tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian mual muntah
pascabedah dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi atau mesin berbasiskan
propofol. Bila anestesi berbasiskan narkotik, maka dapat digunakan fentanyl, alfentanyl
atau sufentanyl. Sufentanyl mungkin mempengaruhi ICP dan CPP (tak menguntungkan /
tak baik ). Fentanyl 5 ug/kg dikombinasikan dengan isofluran < 1 % dalam oksigen
mungkin cukup baik. Alternatif lain, sufentanyl 0,5 1 ug/kg bolus, diikuti intermittent
dengan dosis tidak lebih dari 0,5 ug/kg/jam, atau infus 0,25 0,5 ug/kg/jam kombinasi
dengan isofluran < 1 % dalam O2. Sufentanyl kontinyu dihentikan +/- 1 jam sebelum
akhir operasi.

Obat anestesi inhalasi lebih disukai isofluran dengan sedikit atau tanpa
suplement narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi isofluran < 1 % umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi
intrakranial berlangsung lama, bila pada akhir operasi ada kenaikan tekanan darah dan
frekwensi nadi, lebih baik diatasi dengan labetolol atau esmolol, bukan dengan
menaikkan konsentrasi obat anestesi inhalasi, supaya pasien lebih cepat bangun.

N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumocephalus (trauma atau
postcraniotomi) atau emboli udara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik
dan isofluran serta bangun dari anestesi dengan tenang.

TIVA dapat dilaksanakan dengan propofol dan fentanyl. Setelah induksi,


propofol dimulai dengan 200 ug/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai dengan
infus, fentanyl 2 ug/kg/jam. Teknik ini akan memberikan anestesi yang stabil dan pasien
cepat bangun, serta kejadian mual muntahnya rendah. Setiap teknik anestesi ini
menyebabkan keadaan anestesi yang baik, tetapi seni memberikan anestesi, pengalaman
pengalaman dan pengetahuan anestetist akan menolong supaya tidak terjadi pemberian
obat yang berlebihan atau kurang. Jika pasien sulit bangun paska bedah, salah satu
kemungkinannya adalah ekses obat anestesi. Kemungkinan yang lain adalah kerusakan

468
jaringan otak (operasi, perdarahan, iskemia) gangguan elektrolit, hipotermi.

Hiperventilasi merupakan tambahan tindakan yang penting. Hipokapni akan


menurunkan ICP sebelum dura dibuka, melawan vasodilatasi akibat obat anestesi
inhalasi dan menyebabkan otak menjadi rileks selama operasi. Optimal hiperventilasi
adalah untuk mencapai PaCO2 25 30 mmHg. Jika peningkatan ICP masih merupakan
masalah, mungkin menguntungkan untuk menurunkan PaCO2 menjadi 20 25 mmHg.
PaCO2 harus dikorelasikan dengan EtCO2. Normalnya PaCO2 4 8 mmHg lebih tinggi
dari EtCO2. Penurunan lebih besar dari PaCO 2 tidak menunjukkan adanya perubahan
yang nyata pada ICP dan hipokapni yang ekstrim dapat memberi pengaruh yang buruk
pada metabolisme seluler, menyebabkan pergeseran ke kiri kurve disosiasi Oxy Hb,
atau terjadi vasokonstriksi maksimal.

Pelemas otot mencegah pasien bergerak pada saat saat kritis. Juga bisa
menurunkan ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan tekanan
intrakranial dan terjadi drainase vena serebral yang baik. Pemilihan obat harus berdasar
pada lamanya operasi dan pengaruh obat pada hemodinamik serta ICP. Untuk
kebanyakan operasi supratentorial dipilih norcuron /esmeron/atracurium.

Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9 %. Pemberian cairan dibatasi
selama induksi anestesi dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik stabil dan
produksi urine baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai hematokrit tidak
menunjukkan perlunya darah, maka dapat diberikan koloid sebanyak 500 1000 cc.

Meningioma, karakteristik dengan adanya vaskularisasi yang banyak. Sering ada


hubungan yang berlebihan antara sirkulasi carotis eksternal dan internal, maka tulang
tengkorak sangat vaskuler. Bisa terjadi masalah pembekuan akibat dari tipe tumornya,
atau akibat transfusi darah masif dan beberapa kasus DIC telah dilaporkan terjadi pada
pasien dengan tumor serebri primer, juga sering terjadi edema serebri pascabedah.

Cara cara mengurangi kehilangan darah :

- Teknik hipotensi kendali


- Embolisasi selektif prabedah.
Saat terjadinya kehilangan darah adalah pada saat mengangkat tulang dan mengangkat
tumor. Bila ada hubungan antara pembuluh darah tumor dengan pembuluh darah
ekstrakranial, perdarahan dari tulang tengkorak biasanya terjadi pada saat membor
tulang kepala, tetapi pada umumnya dapat diatasi dengan bone wax. Perdarahan
selanjutnya terjadi pada saat tulang diangkat dengan kraniotom dan tidak dapat
dikendalikan sampai seluruh tulang tersebut selesai diangkat, sehingga bila terjadi
kesulitan pengangkatan tulang kepala, dapat terjadi perdarahan yang banyak.

Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang, lebih baik dengan

469
trimetaphan daripada dengan nitroprusid. Pada awalnya tekanan sistolik dipertahankan
antara 70 80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level yang lebih tinggi
pada pasien yang hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan darah bisa diturunkan
lagi (tetapi harus diingat dalam menurunkan tekanan darah ini, harus diperhatikan CPP
adekwat).

Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan sirkulasi tanpa
ada edema serebral pascabedah. Disebabkan bahaya dari gangguan pembekuan, maka
FFP dan trombosit harus diberikan setelah jumlah perdarahan mencapai 2 liter bila
perdarahan terus berlangsung. Pemberian ini lebih dini daripada yang biasanya, karena
untuk mencegah terjadinya DIC, sebab hal ini secara nyata tidak mungkin untuk
mengobati kadaan ini pada pasien bedah syaraf karena kebutuhan heparin dan
penggantian cairan secara masif.

N2O:

N2O secara tersendiri bersifat serebral stimulan, meningkatkan CMR, CBF dan ICP.
Untuk otak yang normal, efek ini dapat dihilangkan dengan hiperventilasi/hipokapni
atau obat anestesi intravena. Volatil anestetika menambah peningkatan CBF akibat N 2O.
Penelitian menunjukkan bahwa isofluran mempunyai efek yang kurang daripada N2O
terhafap CBF dan ICP.

Volatil anestetika:

Isofulran, Sevofluran, desfluran menurunkan CMR, meningkatkan CBF (direk


vasodilatasi), ICP, dan menganggu autoregulasi. Efek peningkatan CBF, ICP dan
ganguan terhadap autoregulasi ini paling kecil dengan sevofluran dibandingkan dengan
isofluran dan desfluran. Pada pasien tanpa iskemia otak, peningkatan ICP dan brain bulk
problem, gunakan dengan hiperventilasi sedang, berikan < 1 MAC dan hindari
kombinasi dengan N2O.

Anestetika intravena (Pentotal, Propofol, Midazolam)


Mengurangi CMR bergantung pada besarnya dosis, CBF menurun (direk
vasokonstriksi), penurunan CBV, dan penurunan ICP. Reaktivitas terhadap CO 2 dan
autoregulasi tetap intact. Fentanil atau remifentanil sedit atau tidak menyebabkan
penurunan CBF dan CMR. Sufentanil duhubungkan dengan peningkatan ICP, mungkin
bukan disebabkan karena efek langsung menimbulkan vasodilatasi serebral akan tetapi
karena refleks vasodilatasi serebral akibat penurunan tekanan darah). Bila ICP sangat
tinggi dan tight brain dianjurkan TIVA dengan pentotal 2-3 mg/kg/jam.

470
Pengelolaan edema serebral intraoperatif

Optimalkan ventilasi dan gas darah

Maksimalkan drainase vena serebral

Dalamkan anestesi dengan cara : berikan anestesi intravena


(pentotal)

Diuretik : Mannitol (0,25-1 gr/kh) + furosemid (0,25-0,5 mg/kg)

CSF darinase

Kurangi CMRO2 : bolus lidokain, pentotal atau propofol

Pertimbangkan penambahan dosis mannitol dan furosemid

c. Akhir Anestesi :
Bangun dari anestesi sesudah operasi supratentorial harus lancar dan gentle.
Keputusan apakah pasien harus bangun dan diekstubasi bergantung pada derajat
kesadaran prabedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat yang diberikan.

Pasien yang prabedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di sentral, tidak
usah segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan bangun pelan pelan di
ICU setelah terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi klinis dimana pasien yang
sebelumnya koma dicoba untuk bangun sesegera mungkin :

Drainage dari epidural hematom atau subdural hematom.

VP- shunt dari hidrocephalus akut.

Kebanyakan pasien operasi supratentorial diekstubasi di kamar operasi. Labetolol atau


esmolol dan lidokain 1,5 mg/kg IV, dapat digunakan untuk terapi hipertensi, takikardi
dan stimulasi simpatis yang dihubungkan pada periode sesaat sebelum ekstubasi.
Adanya hipertensi pada periode ini harus diterapi karena bisa terjadi perdarahan otak
pada daerah luka operasi.

Bangun dari anestesia harus smooth dan hindari straining atau bucking akib at adanya
ETT, hipertensi arterial dan kenaikan ICP. Untuk menghindari bucking saat bangun

471
dari anestesi, pelumpuh otot jangan direverse sampai selesai membalut kepala.
Lidokain intravena (1,5 mg/kg) dapat diberikan 90 detik sebelum pengisapan lendir
dan ekstubasi untuk mengurangi batuk, straining dan hipertensi. Adanya hipertensi
saat bangun dari anestesi dapat menimbulkan terjadinya hematom intrakranial
pascabedah.
Pada operasi tumor supratentorial diharapkan pasien segera bangun dan
diekstubasi pada ahir operasi supaya dapat mengevaluasi hasil pembedahan dan fungsi
neurologis pascabedah. Keuntungan dan kerugian antara segera bangun dan pasien
dibiarkan tidur pascabedah masih diperdebatkan. Faktor diluar obat anestesi yang
menyebabkan pasien lama sadar adalah tumor intrakranial yang besar, prabedah sudah
ada penurunan kesadaran, komplikasi bedah (kejang, edema serebral, hematoma,
pnemosefalus, oklusi pembuluh darah/iskemia), gangguan elektrolit, dan hipotermi.

Cara baru dalam mencegah hipertensi saat bangun dari anestesi seraya pasien
tetap akan sadar, adalah dengan pemberian alpha 2 agonis dexmedetomidin yang
dimulai 10 menit sebelum ekstubasi, dengan dosis rerata 0,4 ug/kg/jam.

Simpulan
Masalah pada operasi tumor supratentorial adalah adanya iskemia atau herniasi serta
banyaknya perdarahan saat eksisi tumor. Penilaian status neurologis prabedah,
penentuan adanya kenaikan tekanan intrakranial dan mengoptimalkan penyakit sertaan
harus dilakukan. Dapat digunakan teknik anestesi intravena atau inhalasi dengan
pemilihan obat anestesi inhalasi yang paling kecil meningkatkan aliran darah otak,
mempengaruhi autoregulasi, dan reaktivitas terhadap CO2. Pertahankan normotensi,
normovolemia, dan slack brain intraoperatif. Bangun dari anestesi harus mulus dan cepat
untuk memudahkan evaluasi neurologis pascabedah. Tidak diperlukan analgesi opioid
pascabedah yang kuat untuk menghilangkan sakit pascabedah.

Referensi :

1. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :


Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
2. Cotrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed. St Louis : Mosby;
2001.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNACC participant workbook 2007

472
MODUL 24
ANESTESI BEDAH PASIEN

473
RAWAT JALAN

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia bedah pasien rawat jalan adalah suatu
rotasi yang membutuhkan waktu paling sedikit 2
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing bulan (8 minggu) untuk residen anestesi semester 2
keatas, yang meliputi anestesi bedah pasien rawat
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
jalan.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

6. LCD Projector dan screen


7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Pulih
8. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien dari Poliklinik Bedah atau Bidang lain

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th


ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

474
1. TUJUAN

Tujuan pembelajaran umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif pasien ambulatori
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum maupun regional yang baik dan tepat, monitoring
dan penatalaksanaan pasca operasi pasien ambulatori.

Tujuan pembelajaran khusus

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan kriteria pemilihan pasien untuk operasi ambulatori.


2. Mampu menjelaskan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi
pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat.
3. Mampu menjelaskan status fisik pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
4. Mampu menjelaskan kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan resikonya,
seperti bayi prematur dan ex-prematur, pasien dengan riwayat gangguan respirasi seperti ISPA,
apneu, spasme bronkus, pasien dengan penyakit jantung seperti CHF, kelainan jantung
kongenital, pasien dengan riwayat hipertermia maligna, pasien obesitas morbid, pasien dengan
keganasan, gangguan jalan nafas sulit, operasi besar yang memungkinkan kehilangan banyak
darah, yang membutuhkan monitoring dan penanganan nyeri khusus pasca operasi.
5. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
6. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum seperti anestesia intravena, sungkup, LMA atau
intubasi ETT, dan regional seperti spinal, epidural, kaudal maupun blok perifer untuk operasi
pasien ambulatori yang akan dilakukan.
7. Mampu menjelaskan persiapan alat anestesi umum maupun regional, dan obat-obatan dengan
masa kerja singkat yang sesuai untuk anestesia ambulatori.
8. Mampu menjelaskan monitoring yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
9. Mampu menjelaskan cara pemulihan pembiusan yang cepat (Fast track anesthesia) untuk pasien
ambulatori.
10. Mampu menjelaskan penatalaksanan nyeri, mual muntah pasca bedah untuk pasien ambulatori.
11. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat timbul pasca operasi ambulatori.
12. Mampu menjelaskan kriteria pasien keluar dari PACU/ruang pulih fase 1 ke ruang pulih fase 2
(dengan Modifikasi Aldretes score) pulang kerumah (PADSS score) atau harus dirawat pasca
operasi ambulatori.

Psikomotor

1. Mampu melakukan pemilihan pasien untuk operasi ambulatori.


2. Mampu melakukan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi
pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat.

475
3. Mampu mengklasifikasi status fisik pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
4. Mampu menilai kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan resikonya,
seperti bayi prematur dan ex-prematur, pasien dengan riwayat gangguan respirasi seperti ISPA,
apneu, spasme bronkus, pasien dengan penyakit jantung seperti CHF, kelainan jantung
kongenital, pasien dengan riwayat hipertermia maligna, pasien obesitas morbid, pasien dengan
keganasan, gangguan jalan nafas sulit, operasi besar yang memungkinkan kehilangan banyak
darah, yang membutuhkan monitoring dan penanganan nyeri khusus pasca operasi.
5. Mampu melakukan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
6. Mampu melakukan anestesia umum seperti anestesia intravena, sungkup, LMA atau intubasi
ETT, dan regional seperti spinal, epidural, kaudal untuk operasi pasien ambulatori yang akan
dilakukan (lihat prosedur anestesia umum dan regional).
7. Mampu melakukan persiapan alat anestesi umum maupun regional.
8. Mampu melakukan pemberian obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk
anestesia ambulatori.
9. Mampu melakukan monitoring yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
10. Mampu melakukan penatalaksanan nyeri, mual muntah pasca bedah untuk pasien ambulatori.
11. Mampu mengenali tanda-tanda dan mengatasi komplikasi yang dapat timbul pasca operasi
ambulatori.
12. Mampu menilai kondisi pasien keluar dari PACU/ruang pulih fase 1 ke ruang pulih fase 2
dengan Modifikasi Aldrete score atau pulang (dengan PADSS score), atau dirawat pasca operasi
ambulatori.

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta resiko yang dapat timbul pada pasien ambulatori.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien
untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk
mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim
yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan jika pasien tidak dapat pulang dan harus dirawat sesuai
kondisi pasien pasca bedah.

Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur.


2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedik dan tenaga kesehatan lain atas
dasar saling menghormati kompetensi masing-masing.
3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi
pasien sesuai hak pasien.
5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

476
KEYNOTES

2. POKOK BAHASAN / SUB POKOK BAHASAN

1. Pemilihan pasien ambulatori


2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia ambulatori
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Monitoring
6. Pengelolaan pasca anestesia pasien ambulatori
7. Modified Aldrete Score, Post Anesthesia Discharge Scoring System

3. WAKTU DAN METODE

Waktu

Mulai semester 3 selama 1 bulan

Metode

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

4. Small group discussion


5. Peer assisted learning (PAL)
6. Bedside teaching
7. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

7. Bahan acuan (references)


8. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
9. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi,

ruang pulih pasca operasi.

477
4. MEDIA

7. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manekin.

8. Belajar mandiri
9. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Ambulatori termasuk

semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 minggu 1.

10. Diskusi kelompok


Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan

jalan nafas, anestesia umum (intubasi, LMA), monitoring

pengelolaan pasca operasi dan kriteria pasien pulang.

11. Pemeriksaan preoperatif


12. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, pada pasien ambulatori

dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

13. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


14. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
15. Continuing Profesional Development (CPD)

5. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

6. EVALUASI

6.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :

5. Pemilihan pasien ambulatori


6. Persiapan preoperatif
7. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia ambulatori
8. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
9. Monitoring
10. Pengelolaan pasca anestesia pasien ambulatori
11. Modified Aldrete Score, Post Anesthesia Discharge Scoring System

478
6.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

6.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

6.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

6.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

6.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

6.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

6.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.

6.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

19. Jelaskan kriteria pemilihan pasien yang sesuai untuk operasi ambulatori.
20. Jelaskan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi pemeriksaan fisik
dan penunjang yang tepat.
21. Jelaskan status fisik yang sesuai untuk pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
22. Jelaskan kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan resikonya.
23. Jelaskan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
24. Jelaskan jenis anestesia umum dan regional yang sesuai untuk operasi pasien ambulatori yang
akan dilakukan.
25. Jelaskan persiapan alat anestesi umum maupun regional untuk anestesia ambulatori.
26. Jelaskan jenis obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk anestesia ambulatori,
dosis dan cara pemberiannya.
27. Jelaskan monitoring yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
28. Jelaskan cara pemulihan pembiusan yang cepat untuk pasien ambulatori.

479
29. Jelaskan penatalaksanan nyeri, mual muntah pasca bedah untuk pasien ambulatori.
30. Jelaskan komplikasi yang dapat timbul pasca operasi ambulatori.
31. Jelaskan kriteria pasien pulang atau dirawat pasca operasi ambulatori (dengan Modifikasi
Aldrete score dan PADSS score).

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Knowledge

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

-Multiple observation and assessments


-
Multiple observers
-
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-
Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

7. REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

480
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Tatang Bisri : Literasi Anestesiologi : Ambulatori Anestesi, 2007.

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia subarahnoid, epidural, kaudal

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

481
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur standar
atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinik 1 2 3 4 5

482
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERIN ACUAN

URAIAN : ANESTESIA AMBULATORI

8.1 Kompetensi terkait dengan modul (list of skill)

- Kunjungan preanestesia : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, informed


consent
- Kriteria pasien ambulatori dan penentuan ASA
- Persiapan preanestesia (statik, obat, alat pembiusan)
- Asistensi tindakan pembiusan
- Melakukan tindakan pembiusan (bimbingan, mandiri)
- Penanganan komplikasi
- Penatalaksanaan pasca operasi dan penilaian pasien pulang
8.2 Prosedur

1. Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam

2. Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat obat

483
anestesia.

3. Pasang jalur intravena.

4. Berikan premedikasi secara IV atau IM

5. Lakukan tindakan pembiusan (lihat prosedur intubasi, LMA).

6. Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2), ventilasi(ETCO2),

tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, produksi urine,

perdarahan.

7. Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, kebutuhan zat

inhalasi, dan kebutuhan pelemas otot.

8. Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas

adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan bantuan

nafas pasca bedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang

menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

9. Berikan analgetika adekuat pascabedah

8.3 Komplikasi

- mual-muntah

- nyeri pasca bedah

- bradipnea-apnea

8.4 Mortalitas

Tergantung kondisi awal, ASA dan penyakit penyerta

8.5 Penatalaksanaan pasca operasi

- Pasien diobservasi tanda vitalnya di ruang pulih sadar pasca operasi


- Penanganan nyeri pasca operasi
8.6 Kata kunci :

Kriteria pasien ambulatori, persiapan preoperatif, farmakologi obat anestesia ambulatori, anestesia umum
dan regional, monitoring, PONV, nyeri pasca bed, Modified Aldrete Score, Post Anesthesia Discharge
Scoring System

484
Tabel . Criteria for Fast Tracking and Discharge

Post Anesthesia Recovery Score

(Modified Aldrete Score)

Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.

1=moves two extremities

0=unable to move extremities

Respiration
2=breathes deeply & cough freely

1=dyspneic, shallow or limited breathing.

0=apneic

Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level

1=BP20-50 mm of preanesthetic level

0=BP50 mm of preanesthetic level

Oxygen saturation
2=SpO2 > 92% on room air

1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90%

0=SpO2<92% with O2 supplementation

10 = total score; 9 = for PACU discharge/bypass

Tabel : PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

485
REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002

2.Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Tatang Bisri : Literasi Anestesiologi : Ambulatori Anestesi, 2007.

486
Modul 25 ANESTESIA BEDAH KARDIOTORASIK
I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 6)

487
Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4 minggu (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
6. LCD Projector dan screen
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Persiapan prabedah toraks

2. Ventilasi satu paru

3. Teknik anestesia bedah toraks

4. Pencegahan komplikasi ventilasi satu paru

5. Perawatan pasien pascaanestesia bedah toraks

6. Persiapan pasien massa mediastinum

7. Sindrom vena cava superior

8. Teknik anestesia pada operasi massa mediastinum

9. Myasthenia gravis

10. Teknik anestesia pada pasien Myasthenia gravis

11. Perawatan pascabedah pasien Myastyhenia gravis

12. Trauma toraks

13. Anestesia pada pembedahan emergensi trauma toraks

Sarana:

488
6. Ruang belajar
7. Ruang perawatan prabedah
8. Kamar operasi toraks
9. Ruang Perawatan Intensif pascabedah toraks

Kasus : anestesia pasien langsung , di kamar operasi


Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplan JA, Slinger PD. Thoracic Anesthesia, 3rd ed, 2003

1. KOMPETENSI

Mampu melakukan persiapan praoperatif pasien bedah toraks, melakukan pembiusan dan
pemantauan yang baik dan tepat, dan penatalaksanaan pascaoperasi pasien bedah toraks.

RANAH KOMPETENSI

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi paru normal.


2. Mampu menjelaskan patofisiologi berbagai kelainan paru dan hubungannya dengan
anestesia.
3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan kelainan paru, termasuk
persiapan prabedah yang baik.

489
4. Mampu menjelaskan fisiologi pada ventilasi satu paru.
5. Mampu menjelaskan indikasi, indikasi kontra dan komplikasi ventilasi satu paru.
6. Mampu menjelaskan teknik anestesia, peralatan dan pemantauan yang diperlukan pada
ventilasi satu paru.
7. Mampu menjelaskan berbagai lokasi massa mediastinum dan konsekuensi fisiologiknya.
8. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan massa mediastinum.
9. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada massa mediastinum.
10. Mampu menjelaskan patofisiologi sindrom vena cava superior.
11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan sindrom vena cava
superior.
12. Mampu menjelaskan patofisiologi myasthenia gravis dan implikasinya pada teknik
anestesia.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien myasthenia gravis.
14. Mampu menjelaskan kegawatan torasik yang mengancam nyawa, termasuk trauma
toraks.
15. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada bedah emergensi trauma toraks.
16. Mampu menjelaskan pengelolaan pascabedah dan tatalaksana nyeri pasien bedah toraks.

Psikomotor

1. Mampu melakukan pemeriksaan praoperatif pasien untuk

bedah toraks, meliputi pemeriksaan fisis dan penunjang yang

tepat.

2. Mampu menilai kelayakan anestesia untuk bedah toraks.

3. Mampu menilai kondisi pasien yang tidak sesuai untuk teknik

ventilasi satu paru dan risikonya.

4. Mampu melakukan persiapan praoperatif bedah toraks,

termasuk fisioterapi dada dan terapi inhalasi.

5. Mampu mempersiapkan peralatan dan pemantauan yang

diperlukan untuk anestesia dengan ventilasi satu paru.

6. Mampu melakukan teknik anestesia dan pemantauan

dengan ventilasi satu paru.

7. Mampu melakukan intubasi dengan Double Lumen Tube.

490
8. Mampu melakukan anestesia pada pasien dengan massa

mediastinum.

9. Mampu melakukan anestesia pada bedah emergensi toraks.

10. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk

anestesia bedah toraks.

11. Mampu melakukan penatalaksanan pascabedah toraks,

termasuk tatalaksana nyeri.

12. Mampu mengenali tanda-tanda dan mengatasi komplikasi

yang dapat timbul pascaoperasi toraks .

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien

tentang kondisi prabedah pasien, tindakan anestesia yang

akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien

bedah toraks.

2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat

atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan

pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau

upaya optimalisasi kondisi pasien.

3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada

operator sebelum operasi terutama untuk mencegah terjadi

keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.

4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan

menciptakan kondisi kerjasama tim yang terlibat di kamar

491
bedah.

Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur.

2. Mampu bekerja dengan kemampuan tertinggi yang dimiliki,

demi mengutamakan keselamatan pasien.

3. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedik

dan tenaga kesehatan lain atas dasar saling menghormati

kompetensi masing-masing.

4. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.

5. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien

atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.

6. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

2. KEYNOTES:

1. Keberhasilan anestesia pada bedah toraks bergantung pada kondisi prabedah dan
antisipasi terhadap komplikasi yang mungkin timbul selama atau pascabedah.
2. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
3. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
4. Pemantauan yang optimal sangat penting.
5. Komplikasi pascabedah toraks terutama mengenai sistem pernafasan.
6. Nyeri pascabedah yang tidak diatasi dapat meningkatkan komplikasi.
7. Komplikasi pada pasien dengan massa mediastinum berhubungan dengan obstruksi
mekanik oleh massa pada struktur vital di sekitarnya, terutama jalan nafas.
8. Komplikasi pada pasien dengan myasthenia gravis terutama akibat patofisiologi
penyakitnya.
9. Komplikasi pada pasien dengan sindrom vena cava superior berhubungan dengan
gangguan hemodinamik akibat obstruksi pada vena cava superior.

492
3. GAMBARAN UMUM

Anestesia Bedah Toraks sangat bervariasi, bergantung jenis kelainan dan jenis
pembedahannya. Kasus yang memerlukan pembedahan bervariasi dari kelainan paru
meliputi infeksi; tumor dan trauma atau kelainan nonparu seperti massa mediastinum.
Persamaan dari semua prosedur adalah dibukanya rongga toraks dengan segala
konsekuensinya. Seringkali operasi memerlukan ventilasi satu paru yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi yang dapat menimbulkan komplikasi.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:

1. melaksanakan persiapan praoperatif pasien bedah toraks,

elektif maupun emergensi

2. menentukan pasien yang layak menjalani ventilasi satu paru

3. menguasai teknik anestesia dengan ventilasi satu paru

4. menguasai teknik anestesia pada pasien dengan massa

mediastinum, termasuk penderita myasthenia gravis dan

sindroma vena cava superior

5. melakukan monitoring untuk bedah toraks, termasuk yang

menggunakan teknik ventilasi satu paru

6. mengelola pascaanestesia pasien bedah toraks, termasuk

pengelolaan nyeri pascabedah

5. METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)

2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

3. Ilmu klinis dasar

493
Tujuan 1: Melaksanakan persiapan praoperatif

Metode pembelajaran
1. Small group discussion

2. Peer assisted learning (PAL)

3. Bedside teaching

4. Task-based medical education

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Mengetahui bahwa pada setiap pasien bedah toraks dapat

terjadi manipulasi rongga toraks maupun paru-paru dengan

implikasi pada perubahan fisiologi pernafasan.

2. Memahami bahwa dalam setiap kegawatan toraks dapat

terlibat beberapa sistem dan organ vital, seperti sistem dan jalan

nafas, paru-paru dan pembuluh-pembuluh

3. Menguasai persiapan-persiapan yang diperlukan sesuai dengan

jenis penyakit dan pembedahan yang akan dijalani, termasuk

bedah toraks emergensi.

Tujuan 2: Menenentukan pasien yang layak menjalani ventilasi satu paru

Metode pembelajaran
1. Small group discussion

2. Peer assisted learning (PAL)

3. Bedside teaching

4. Task-based medical education

5. Demo & Coaching

494
6. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Memahami perubahan fisiologi yang dapat terjadi selama

ventilasi satu paru dan cara mengatasi komplikasi akibat

perubahan tersebut.

2. Mengetahui pasien yang mampu mentoleransi perubahan

fisiologi selama dan sesudah ventilasi satu paru.

3. Mengetahui persiapan dan pemeriksaan yang diperlukan untuk

mengetahui apakah pasien dapat menjalani ventilasi satu paru.

Tujuan 3: Menguasai teknik anestesia dengan ventilasi satu paru

Metode pembelajaran
1. Small group discussion

2. Studi Kasus

3. Bedside teaching

4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan

5. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Lihat modul anestesia umum (elektif dan emergensi).

Cara-cara mengempiskan satu paru, termasuk intubasi Double Lumen Tube


Hypoxic Pulmonary Vasoconstriction adalah mekanisme tubuh yang dapat mengurangi
ventilation-perfusion mismatch selama ventilasi satu paru
Penggunaan anestetik volatil termasuk hal-hal yang mempengaruhi mekanisme Hypoxic
Pulmonary Vasoconstriction.
Teknik dan prosedur untuk meminimalkan ventilation-perfusion mismatch selama
ventilasi satu paru, termasuk posisi lateral dekubitus pasien.
Teknik mengembangkan kembali paru setelah dikempiskan.

495
Mengganti Double Lumen Tube dengan ETT biasa untuk prosedur bronkoskopi.

Tujuan 4: Menguasai teknik anestesia pada pasien dengan massa mediastinum

Metode pembelajaran
1. Small group discussion

2. Studi Kasus

3. Bedside teaching

4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan

5. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Teknik intubasi tanpa pelumpuh otot. Posisi pasien tidak selalu supine. Intubasi juga
dapat dilakukan meskipun pasien hanya dapat mentoleransi posisi duduk.
Berbagai prosedur, tremasuk sternotomi segera jika terjadi obstruksi total jalan nafas oleh
massa mediastinum.
Pasien dengan sindroma vena cava superior memerlukan perhatian khusus. Pemeriksaan
imaging perlu untuk mengetahui struktur vital yang terlibat. Persiapan anestesia termasuk
pembuatan akses vena dari ekstremitas bawah. Posisi kepala selalu 30 di atas bidang
datar.

Tujuan 5: Melakukan monitoring untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan


teknik ventilasi satu paru

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan
5. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


lihat modul anestesia umum

Spesifik untuk anestesia bedah toraks:

496
1. Monitoring anestesia untuk bedah toraks secara garis besar sama

dengan anestesia untuk pembedahan lain.

2. Perhatian lebih besar terhadap ventilasi dan oksigenasi selama

ventilasi satu paru.

3. Tanda-tanda vital berupa peningkatan tonus simpatis yang

merupakan respon terhadap hiperkapnia.

4. Penilaian kondisi CO2 absorber sebelum dan selama prosedur.

5. Monitoring tanda vital terutama tekanan darah yang dapat

turun ketika mengembangkan paru yang kempis.

Tujuan 6: Pengelolaan pascaanestesia pasien bedah toraks

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


4. Masalah yang paling sering timbul pascabedah toraks adalah pernafasan. Semua
parameter yang dapat mengindikasikan ganggu ventilasi maupun oksigenasi harus
dipantau ketat.
5. Pengelolaan nyeri pascabedah sangat penting, karena nyeri dapat menjadi pemicu atau
memperberat komplikasi pernafasan.
6. Tanda-tanda vital sedapat mungkin dipantau secara kontinyu agar gangguan pernafasan
maupun hemodinamik dapat segera ditindak.

6. MEDIA

1. Workshop / pelatihan.

Pelatihan di skill lab, intubasi Double Lumen Tube pada manekin.

16. Belajar mandiri.

497
17. Kuliah .
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Toraks termasuk

semua subpokok bahasan dilakukan semester 6.

18. Diskusi kelompok


Laporan dan diskusi tentang masalah praoperatif , pengelolaan

jalan nafas, anestesia umum, intubasi dengan Double Lumen Tube,

ventilasi satu paru, monitoring dan pengelolaan pascaoperasi dan

tatalaksana nyeri.

19. Pemeriksaan praoperatif.


20. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi.
Pelatihan di kamar bedah intubasi Double Lumen Tube, dengan

bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

21. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading).


22. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas.
23. Continuing Profesional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest
terdiri atas :

12. Persiapan praoperatif


13. Penentuan pasien yang layak menjalani ventilasi satu paru
14. Teknik anestesia dengan ventilasi satu paru
15. Teknik anestesia pada pasien dengan massa mediastinum, termasuk penderita
myasthenia gravis dan sindroma vena cava superior
16. Monitoring untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan teknik ventilasi satu paru
17. Pengelolaan pascaanestesia pasien bedah toraks, termasuk tatalaksana nyeri
pascabedah

498
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa

langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien,

misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang

memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist

(terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

32. Jelaskan persiapan praoperatif pasien bedah toraks, meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisis dan penunjang yang tepat serta terapi yang diperlukan sebelum pembedahan.

499
33. Jelaskan hubungan antara hasil spirometri dengan risiko bedah toraks.
34. Jelaskan kondisi-kondisi yang dapat menjadi penyulit selama anestesia dan
pembedahan toraks.
35. Jelaskan kondisi pasien yang tidak layak untuk menjalani bedah toraks dan ventilasi
satu paru.
36. Jelaskan persiapan alat anestesia yang diperlukan untuk anestesia bedah toraks.
37. Jelaskan teknik anestesia untuk ventilasi satu paru.
38. Jelaskan pembagian anatomi rongga medastinum dan implikasinya pada anestesia.
39. Jelaskan teknik anestesia untuk massa mediastinum sesuai lokasi massanya.
40. Jelaskan tentang penyakit myasthenia gravis dan hubungannya dengan anestesia.
41. Jelaskan tentang sindroma vena cava superior dan teknik anestesia yang sesuai pada
pasien dengan kelainan ini.
42. Jelaskan monitoring yang sesuai untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan
teknik ventilasi satu paru.
43. Jelaskan pengelolaan pascaanestesia pasien bedah toraks,
44. Jelaskan tatalaksana nyeri pascabedah toraks.

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi post test tertulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. KnowledgeKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments

500
- Multiple observers
4.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRAANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

5 Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi ETT/ DLT)

2 Anestesia

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5. Pemanatauan fungsi vital, kesadaran, kardiovaskuler,


pernafasan. Tekanan darah, nadi, Saturasi Hb (SpO2),
ventilasi (ETCO2 bila ada), jumlah urine, suhu

501
6. Pengakhiran anestesia, masa siuman

7. Tindakan ekstubasi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital pasac bedah

2 Penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskuler,


kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual muntah)
dan nyeri pasca bedah

3 Penetapan kriteia untuk laik boleh dipulangkan.

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standar atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinik 1 2 3 4 5

502
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN: ANESTESIA BEDAH TORAKS

Pasien yang menjalani bedah toraks harus dilakukan pemeriksaan praoperatif ; anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed consent dan dilakukan persiapan

503
anestesia (inhalasi, puasa, rencana premedikasi). Pasien dewasa dipuasakan 6 8 jam, anak-
anak 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisis ASA dan informed consent. Persiapan
anestesia (statics, obat, mesin anestesia). Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap,
pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia.

Pasang jalur intravena dan infus. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb
(SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, ETCO2 kalau ada. Premedikasi dapat diberikan
secara intravena. Untuk pasien yang tidak ada masalah obstruksi atau potensi obstruksi jalan
nafas, lakukan anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum. Untuk pasien yang perlu
vantilasi satu paru intubasi dilakukan dengan Double Lumen Tube (DLT). Teknik anestesia
sedikit berbeda pada massa mediastinum anterior, myasthenia gravis atau sindroma vena cava
superior.

Selama anestesia selalu dilakukan monitoring oksigenasi dengan saturasi Hb (SpO2), tekanan
darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi
urin, jumlah perdarahan. Setidaknya satu kali selama anestesia dilakukan pemeriksaan
Analisis Gas Darah. Atur kebutuhan cairan, obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan
relaksasi. Harus diingat bahwa tanpa perdarahan berarti pun, kehilangan cairan dapat hebat
ketika rongga toraks terbuka.

Pada akhir operasi, jika menggunakan DLT harus diganti dengan ETT biasa untuk tindakan
bronkoskopi dan penghisapan sekret. Sebelum anestesia berakhir pastikan analgesia
pascabedah telah dimulai. Anelgesia pascabedah dapat diberikan melalui kateter epidural,
blok saraf interkostal, infiltrasi anestetik lokal, bolus analgetik intravena, infusi kontinyu
analgetik (opioid atau morfin) maupun kombinasi beberapa hal tersebut.

Pascabedah umumnya pasien memerlukan perawatan intensif untuk pemantauan ketat


pernafasan dan hemodinamik. Analgesia pascabedah sangat krusial karena dapat memicu
atau meningkatkan morbiditas.

Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi awal dan status fisis, penyakit penyerta atau
trauma operasi.

12. REFERENSI

1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

504
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplan JA, Slinger PD. Thoracic Anesthesia, 3rd ed, 2003

Modul 26 ANESTESIA BEDAH KARDIOTORASIK


II

(MODUL PILIHAN)

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 6)

Sesi di dalam kelas 4 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 4 X 1 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 8 minggu (facilitation & assessment)

505
Persiapan Sesi

Audiovisual Aid :
11. LCD Projector dan screen
12. Laptop
13. OHP
14. Flipchart
15. Video player

Materi presentasi : CD PowerPoint


1. Anatomi dan fisiologi jantung normal

2. Pembagian penyakit jantung

3. Penyakit jantung koroner

4. Kelainan katup jantung

5. Penyakit jantung bawaan

6. Berbagai jenis operasi jantung

7. Anestesia pada pembedahan koroner

8. Anestesia pada pembedahan katup jantung

9. Anestesia pada pembedahan penyakit jantung bawaan

10. Pemantauan hemodinamik

11. Perawatan pascabedah jantung bawaan

12. Kedaruratan kardiovaskular perioperatif

13. Cardiopulmonary Bypass (CPB)

14. Obat-obat kardiovaskular

Sarana :

10. Ruang belajar


11. Ruang perawatan prabedah
12. Kamar operasi jantung
13. Ruang perawatan intensif pascabedah jantung

506
Kasus : anestesia pasien langsung , di kamar operasi
Alat bantu latih : model anatomi /simulator
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

2.Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplans Cardiac Anesthesia, 5th ed, Saunders, 2006

5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005

1. KOMPETENSI

Mampu melakukan persiapan praoperatif pasien dengan kelainan jantung dengan optimal
(termasuk informed consent), baik untuk bedah kardiak maupun nonkardiak, melakukan
pemantauan yang baik dan tepat, melakukan pemasangan dan interpretasi monitor invasif serta
penatalaksanaan pascaoperasi pasien bedah jantung, mampu berespon adekuat dalam kegawatan
kardiovaskular dan mampu menggunakan obat-obat kardiovaaskular dengan tepat.

RANAH KOMPETENSI

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi jantung normal


2. Mampu menjelaskan pembagian penyakit-penyakit jantung.
3. Mampu menjelaskan tentang penyakit jantung koroner beserta patofisiologi, risiko dan
komplikasi dihubungkan dengan anestesia
4. Mampu menjelaskan berbagai kelainan katup jantung beserta patofisiologinya

507
5. Mampu menjelaskan berbagai penyakit jantung bawaan yang sering dijumpai
6. Mampu menjelaskan berbagai jenis operasi jantung, terbuka maupun tertutup
7. Mampu menjelaskan persiapan prabedah jantung dewasa
8. Mampu menjelaskan persiapan prabedah jantung anak
9. Mampu menjelaskan anesthesia pada penderita kelainan jantung pada pembedahan non
jantung.
10. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan koroner
11. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan katup jantung
12. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan penyakit jantung
bawaan
13. Mampu menjelaskan prinsip kerja dan komplikasi teknik Pintas Jantung-Paru
(Cardiopulmonary Bypass)
14. Mampu menjelaskan pemantauan hemodinamik yang diperlukan sebelum, selama dan
sesudah bedah jantung
15. Mampu menjelaskan prinsip perawatan pascabedah jantung
16. Mampu menjelaskan keadaan yang dimaksud dengan kedaruratan kardiovaskular
perioperatif
17. Mampu menjelaskan berbagai obat-obat kardiovaskular dan penggunaannya

Psikomotor

13. Mampu melakukan pemeriksaan praoperatif pasien untuk bedah jantung, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang yang tepat.
14. Mampu menilai kelayakan anestesia untuk bedah jantung dan bedah non jantung.
15. Mampu menentukan pasien yang berisiko tinggi untuk tindakan bedah jantung dan
bedah non jantung.
16. Mampu melakukan persiapan praoperatif bedah jantung dan bedah non jantung,
termasuk menentukan puasa dan premedikasi, dengan pengawasan dan persetujuan
konsulen .
17. Mampu mempersiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk anestesia
bedah jantung dan bedah non jantung, atas persetujuan konsulen.
18. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia bedah jantung dan
bedah non jantung, dengan pengawasan ketat konsulen.
19. Mampu melakukan pemasangan monitor invasif, seperti pemasangan kateter vena
sentral (CVC) dan kanul arteri untuk pemantauan tekanan darah arterial, di bawah
supervisi konsulen.
20. Mampu melakukan pengelolaan pascabedah pasien bedah jantung dan bedah non
jantung, dengan supervisi ketat konsulen.
21. Mampu mengenali tanda-tanda komplikasi yang dapat timbul pascaoperasi jantung.
22. Mampu melakukan tindakan penyelamatan nyawa, termasuk RJP pada kegawatan
kardiovaskular sebelum, selama dan sesudah operasi bedah jantung dan bedah non
jantung.
23. Mampu menggunakan obat-obat kardiovaskular dengan tepat indikasi, tepat dosis dan
tepat cara pemberian.

508
Komunikasi/Hubungan Interpersonal

6. Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang kondisi prabedah pasien,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien
bedah jantung dan bedah non jantung.
7. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang garis besar tindakan
pembedahan dan penggunaan teknik CPB beserta risiko dan komplikasinya.
8. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya
optimalisasi kondisi pasien.
9. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi, terutama
untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
10. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama
tim yang terlibat di kamar bedah.

Profesionalisme

6. Mampu bekerja sesuai prosedur.


7. Mampu berespon secara cepat dan tepat terhadap segala kondisi kegawatan.
8. Mampu bekerja dengan kemampuan tertinggi yang dimiliki, demi mengutamakan
keselamatan pasien.
9. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedik dan tenaga kesehatan lain
atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing.
10. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
11. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien.
12. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

2. KEYNOTES :

10. Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya.
11. Anestesia pada bedah jantung dan bedah non jantung juga sangat bervariasi, bergantung
pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan dijalani.
12. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
13. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
14. Pemantauan hemodinamik secara kontinyu adalah krusial.
15. Komplikasi pascabedah jantung dan bedah non jantung menyangkut semua sistem dan
organ tubuh.

3. GAMBARAN UMUM

509
Bedah jantung adalah kerja tim yang memerlukan keterlibatan penuh ahli bedah,
anestesiologis, perfusionis dan tenaga medis lain. Prosedur anestesia untuk bedah jantung
dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan jantung sangat bervariasi,
bergantung diagnosis, kondisi klinis dan jenis pembedahannya. Penatalaksanaan
anestesia bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan jantung
adalah penatalaksanaan perioperatif. Seorang anestesiologis yang akan melakukan
anestesia bedah jantung dan bedah non jantung harus terlibat sejak prabedah, selama
pembedahan maupun pascabedah. Pada pasien dengan kelainan jantung, kedaruratan
dapat terjadi setiap saat. Oleh karena itu seorang anestesiologis harus menguasai benar
RJP dan obat-obat kardiovaskular.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:

5. menilai kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non jantung pada
pasien dengan kelainan jantung
6. melaksanakan penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung, di bawah supervisi konsulen (Konsultan
Anestesia Kardiovaskular)
7. memberi penjelasan yang adekuat kepada pasien atau keluarga pasien tentang hal-hal
yang berhubungan dengan pembedahan, menyangkut risiko dan kemungkinan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik pembedahannya
sendiri
8. melakukan pemasangan dan interpretasi monitoring untuk bedah jantung, invasif
maupun tidak
9. melakukan pengelolaan pascabedah jantung
10. mendeteksi dan melakukan tindakan penyelamatan dengan cepat dan tepat pada
kegawatan kardiovaskular
11. menggunakan obat-obat kardiovaskular secara tepat

5. METODE PEMBELAJARAN

Materi yang harus dikuasai peserta didik i:

Bahan acuan (references)

Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

Ilmu klinis dasar

510
Tujuan 1 : Menentukan kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran
Small group discussion
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Demo & Coaching
Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
7. Menguasai klasifikasi NYHA.
8. Memahami bahwa kondisi yang optimal bagi pasien dengan kelainan jantung dapat
sangat individual.
9. Memahami bahwa kondisi tertentu mungkin tidak dapat mentoleransi anestesia,
pembedahan atau digunakannya teknik CPB.
10. Menguasai batas nilai-nilai berbagai parameter yang dapat mentoleransi bedah jantung.
11. Menguasai persyaratan penghentian beberapa medikamentosa prabedah atau konversi
obat perioperatif.

Tujuan 2: Melaksanakan persiapan praoperatif bedah jantung dan bedah non jantung
pada pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran
Small group discussion
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Memahami bahwa operasi jantung adalah tindakan berisiko tinggi terhadap pasien yang
juga berisiko tinggi dan dapat meningkat oleh karena faktor-faktor tambahan, seperti
kebiasaan/gaya hidup, usia, kelainan endokrin, kelainan ginjal dlll.
2. Menguasai teknik anamnesis yang sesuai untuk kelainan jantung yang bertujuan
mengetahui beratnya penyakit, faktor risiko dan penyulit lain.
3. Memahami interpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
4. Menguasai persiapan prabedah jantung, termasuk pemeriksaan tambahan yang
diperlukan, pemberian premedikasi dan penentuan puasa, penghentian obat-obat oral
prabedah.

511
Tujuan 3: Menguasai teknik memberikan penjelasan yang adekuat tentang risiko dan
kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik
pembedahannya sendiri

Metode pembelajaran
Small group discussion

Studi Kasus

Bedside teaching

Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan

Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Memberi pendidikan kepada pasien dan keluarganya tentang kelainan jantung yang diderita,
dalam bahasa yang difahami pasien.

Memberi penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimilikI pasien yang dapat menjadi
penyulit anestesia maupun keseluruhan prosedur pembedahan, dalam bahasa yang
difahami pasien.

Memberi penjelasan kepada sejawat yang merawat pasien tentang penatalaksanaan prabedah
yang diperlukan.

Memberi penjelasan kepada tim bedah tentang risiko maupun penyulit pada pasien dan
mendiskusikan cara-cara untuk mengurangi komplikasi yang dapat timbul.

Tujuan 4: Melakukan pemasangan dan interpretasi monitoring, invasif maupun tidak


untuk bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran
Small group discussion
Studi Kasus
Bedside teaching
Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan

512
Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Menguasai operasional semua alat monitor yang ada. Monitor standar untuk bedah
jantung memiliki minimal 8 channels (EKG 2 leads, 2 invasive pressure, SpO2, suhu,
ETCO2, RR/ NIBP).
2. Mempersiapkan peralatan untuk pemantauan kontinyu, termasuk pemasangan transducer
line. Pressure bag diatur hingga tekanan 300 mmHg dan cairan transducer adalah
kristaloid berisi 500-1000 IU heparin per 500 cc.
3. Mempersiapkan perlatan untuk insersi pemantauan invasif. Ukuran CVC dan kanul arteri
disesuaikan dengan umur dan berat badan pasien. CVC minimal 2 lumen, satu untuk
pemantauan kontinyu dan satu lumen untuk jalur obat infusi.
4. Menguasai teknik insersi kateter vena sentral (CVC) dan kanula arteri, di bawah
pembiusan maupun anestetik lokal. Insersi CVC dianjurkan melalui v. jugularis atau vena
subklavia. Insersi kanula arteri dapat melalui a. radialis, a. brakhialis atau a. femoralis.
5. Menguasai proses kalibrasi pemantauan invasif.
6. Melakukan pemantauan noninvasif (suhu inti tubuh, produksi urin, SpO2) harus
dilakukan secara kontinyu. Penggunaan CPB dan kardioplegia memerlukan hipotermia.
Suhu ruangan yang dapat diatur adalah krusial. Pada periode rewarming suhu pasien
pun ditingkatkan bertahap. Penggunaan blanket roll/ heater-cooler balnket juga
keharusan.
7. Menguasai interpretasi hasil pemantauan kontinyu dan berespon cepat terhadap
perubahan nilai parameter yang mengancam nyawa.
8. Setiap bentuk aritmia harus diwaspadai. Aritmia yang mengancam nyawa harus diatasi,
dengan defibrilasi/ kardioversi; baik internal (ketika rongga toraks terbuka) maupun
eksternal (ketika toraks intak); atau dengan medikamentosa.

Tujuan 5: Melakukan pengelolaan pascabedah jantung dan bedah non jantung pada
pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran

Small group discussion


Studi Kasus
Bedside teaching
Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
Praktik klinik

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Semua pasien pascabedah jantung memerlukan perawatan intensif guna pemantauan ketat
dan kontinyu, terutama hemodinamik dan oksigenasi/ ventilasi.

513
2. Komplikasi pascabedah dapat berupa perdarahan, aritmia, low cardiac output syndrome,
stroke, sepsis atau gagal multiorgan. Kemampuan mendeteksi dini semua hal tersebut
harus dimiliki semua peserta didik.
3. Semua peserta didik harus mampu mengenali tanda-tanda tamponade jantung dan krisis
hipertensi pulmonal, sehingga dapat berespon segera.
4. Nyeri dapat menyebabkan peningkatan tonus simpatis yang dapat memicu komplikasi
hemodinamik pascabedah. Tatalaksana nyeri pascabedah dapat dilakukan dengan infus
kontinyu opioid atau morfin atau blok epidural torakal.
5. Nyeri juga dapat menghambat imobilisasi pasien. Inhalasi, fisioterapi dada dan
penghisapan lendir harus sering dilakukan.

6. MEDIA

24. Workshop / pelatihan.


Pelatihan di skill lab, insersi CVC dan kanula arteri pada manekin.

25. Belajar mandiri.


26. Kuliah .
Kuliah khusus Penatalaksanaan Perioperatif Anestesia Bedah

Jantung termasuk semua subpokok bahasan dilakukan di semester

6.

27. Diskusi kelompok


Laporan dan diskusi tentang masalah praoperatif, anestesia umum,

monitoring, pengelolaan pascabedah dan tatalaksana nyeri,

kegawatan perioperatif, obat-obat kardiovaskular.

28. Pemeriksaan praoperatif, informed consent, premedikasi.


29. Demonstrasi pembiusan dan asistensi di kamar operasi.
Pelatihan di kamar bedah insersi CVC dan kanul arteri , dengan

bimbingan dan pengawasan konsulen/ Konsultan Anestesia

Kardiovaskular.

30. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading).


31. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas.
32. Continuing Profesional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

514
8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk esai dan

lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi

kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :

18. kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien
dengan kelainan jantung
19. penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien
dengan kelainan jantung
20. risiko dan kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun
teknik pembedahan jantung
21. monitoring invasif maupun noninvasif untuk bedah jantung
22. pengelolaan pascabedah jantung dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan
jantung
23. kedaruratan kardiovaskular
24. obat-obat kardiovaskular

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa

langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien,

misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang

memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

515
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist

(terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

1. Jelaskan pembagian kelainan jantung.


2. Jelaskan pembagian kelas fungsional menurut NYHA.
3. Jelaskan obat-obat yang harus dihentikan sebelum bedah jantung dan berapa lama.
4. Jelaskan risiko dan kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia,
CPB maupun teknik pembedahan jantung.
5. Jelaskan monitoring invasif maupun noninvasif yang harus ada untuk bedah
jantung.
6. Jelaskan komplikasi yang sering terjadi pascabedah jantung.
7. Jelaskan hal-hal yang dapat disebut kedaruratan kardiovaskular.
8. Sebutkan contoh obat-obat kardiovaskular:
- golongan inotropik
- golongan vasokonstriktor
- golongan vasodilator
- golongan inodilator
- golongan antiaritmia

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan

Bentuk ujian :

516
- Ujian akhir stase/ rotasi post test tertulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. KnowledgeKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRAANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang,


informed consent

2 Penentuan NYHA

3 Persiapan alat, mesin anestesia, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor noninvasif

517
5 Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi ETT)

2 Insersi CVC

3 Insersi kanula arteri

4 Pemberian cairan dan tranfusi

5. Pemanatauan fungsi vital, hemodinamik, ventilasi,


oksigenasi.

Tekanan darah arteri, laju nadi, segmen ST, ritme


jantung. Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila
ada), jumlah urin, suhu inti

6. Pengakhiran anestesia, kestabilan hemodinamik,


oksigenasi, perdarahan

7. Transportasi pasien ke ICU

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

1 Tekanan darah arteri, CVP, PAP (kalau ada), SPO2,


ETCO2 (kalau ada), perdarahan, produksi urin,
pemeriksaan laboratorium, Xray, kesadaran/
neurologik, usaha nafas.

2 Komplikasi dan penanganannya

Low cardiac output syndrome, krisis hipertensi


pulmonal, tamponade jantung, aritmia

3 Penetapan kriteia untuk llayak ekstubasi, layak keluar


ICU.

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

518
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standar atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinik 1 2 3 4 5

519
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN: ANESTESIA BEDAH JANTUNG

Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya. Anestesia pada bedah
jantung sangat bervariasi, bergantung pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan
dijalani. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan

prabedah untuk mengetahui derajat beratnya penyakit, mempertimbangkan risiko dan


kemungkinan komplikasi serta merencanakan tindakan anestesia yang tepat. Status kelas
fungsional menurut NYHA harus ditentukan. Pemeriksaan penunjang harus memberi petunjuk
fungsi sistem dan organ-organ vital, misalnya sistem koagulasi darah, fungsi ginjal, pernafasan,
dsb.

Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi

anestesia. Fungsi pernafasan yang buruk sebaiknya diterapi dulu dengan inhalasi, fisioterapi,
terapi oksigen dan bila perlu antibiotika.

Pasien yang mendapat antidiabetika oral harus dikonversi dengan insulin, setidaknya 24 jam
sebelum pembedahan. Diuretika sebaiknya dihentikan. Antihipertensi dapat diteruskan hingga
pagi sebelum operasi. Demikian pula obat antiaritmia. Obat-obat antikoagulan oral harus sudah
dihentikan 1 minggu sebelum pembedahan. Jika pasien mempunyai risiko trombosis dapat
diberikan heparin. Pemberian heparin dihentikan 6 jam prabedah.

520
Informed consent adalah mutlak. Pasien dan keluarganya harus mengerti benar prosedur
anestesia dan pembedahan yang akan dijalani, risiko yang dimiliki pasien dan kemungkinan
komplikasi yang mungkin terjadi. Premedikasi disesuaikan. Pada pasien dengan kondisi yang
sangat buruk tidak perlu diberikan premedikasi. Penentuan puasa sama dengan operasi yang lain.

Pemantauan tanda-tanda vital harus segera dilakukan begitu pasien tiba dalam kamar bedah.
EKG, SpO2, NIBP segera dipasang. Dalam bedah jantung diperlukan pemantauan hemodinamik
invasif dan kontinyu. Insersi kateter vena sentral (CVC) dan kanula arteri dapat dilakukan
sebelum induksi, terutama pada pasien dengan kondisi yang buruk. Pemasangan CVC dan kanula
arteri pada anak-anak dilakukan setelah induksi dan intubasi.

CVC juga sangat berguna untuk jalur pemberian obat-obatan. Seringkali sejak awal diperlukan
pemberian inotropik untuk menjaga hemodinamik pasien. Obat-obat lain, seperti antiperdarahan,
antiinflamasi dll diberikan sebelum CPB dimulai.

Induksi pada bedah jantung dapat dilakukan dengan berbagai obat, namun dianjurkan dengan
dosis titrasi. Patut dihindari obat-obat yang sangat mendepresi fungsi kardiovaskular. Analgesia
yang baik adalah krusial, karena itu digunakan analgetik yang kuat (opioid). Pelumpuh otot
disesuaikan dengan efeknya pada hemodinamik dan lama kerjanya.

Komplikasi pascabedah jantung dapat sangat luas, bukan hanya menyangkut sistem
kardiovaskular namun juga semua sistem dan organ tubuh. Perawatan intensif pascabedah
bertujuan untuk stabilisasi hemodinamik. Pemantauan ketat dan kontinyu harus dilakukan untuk
semua sistem dan organ. Deteksi dini keadaan yang dapat membahayakan nyawa diikuti dengan
respon yang cepat.

12. REFERENSI

1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplans Cardiac Anesthesia, 5th ed, Saunders, 2006

5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005

521
Modul 27 ANESTESI BEDAH DARURAT

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 3)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4 minggu (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar

522
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS Jiwa
5. Ruang Pulih
6. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang Bedah Emergensi

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Emergency Surgery. New York: Churchill
Livingstone; 1987.

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi untuk bedah darurat.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:

Kognitif

2. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di kamar operasi
bedah darurat.
3. Memahami persiapan anestesi untuk operasi bedah darurat
4. Memahami teknik anestesi untuk operasi bedah darurat baik anestesi umum atau
anestesi regional.
5. Memahami komplikasi anestesi untuk operasi bedah darurat
6. Memahami kasus-kasus yang dilakukan operasi bedah darurat.

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi operasi bedah
darurat
2. Mampu melakukan persiapan pemberian anestesi untuk operasi bedah darurat
3. Mampu memberikan anestesi untuk bedah darurat baik anestesi umum atau anestesi
regional.
4. Mampu mengatasi komplikasi anestesi untuk operasi bedah darurat

523
Mampu melakukan Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi .

Professionalisme

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasiyang terjadi.


2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan anestesi operasi bedah darurat

KEYNOTES:

1. Operasi emergensi dapat mengenai semua kelompok umur pasien dan semua
kelompok satus fisik.
2. Tidak cukup waktu untuk mengevaluasi dan mempersiapkan pasien.
3. Lambung penuh yang memperbesar resiko terjadinya aspirasi pneumonia
4. Dapat disertai intoksikasi obat atau alkohol
5. Adanya hipoksia dan hiperkarbia prabedah
6. Adanya kemungkinan ketidak stabilan hemodinamik prabedah
7. Adanya kemungkinan cedera multiple.
8. Bedah darurarat dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien pembedahan gawat darurat maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di kamar operasi
bedah darurat, memahami persiapan anestesi untuk operasi bedah darurat, memahami teknik
anestesi untuk operasi bedah darurat, memahami komplikasi anestesi untuk operasi bedah
darurat, memahami kasus-kasus yang dilakukan operasi bedah darurat.

524
TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu melakukan persiapan obat dan
alat untuk melakukan anestesi operasi bedah darurat, mampu melakukan persiapan pemberian
anestesi untuk operasi bedah darurat, mampu memberikan anestesi untuk bedah darurat, mampu
mengatasi komplikasi anestesi untuk operasi bedah darurat.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

10. Bahan acuan (references)


11. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
12. Ilmu klinis dasar
Metode pembelajaran
5. Small group discussion
6. Peer assisted learning (PAL)
7. Bedside teaching
8. Task-based medical education

MEDIA

5. Papan tulis
6. Komputer
7. LCD dan slide projector
8. Pasien di ruang diagnostik dan ECT

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

5. Virtual patients
6. Reading assigment
7. Audiovisual
8. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

5. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

525
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

6. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

7. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

8. Professionalism
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pretest

1. Terangkan tentang persiapan pasien yang akan dilakukan bedah


darurat
2. Sebutkan tentang bedah darurat apa pada bedah saraf, mata, THT,
toraks, abdominal, pediatrik, Obstetri.
3. Kenapa glaukoma maligna merupakan operasi emergensi ? bagaimana
cara melakukan anestesinya?
4. Bagaimana cara persiapan dan anestesi untuk tonsil bleding?
5. bagaimana persiapan anestesi pasien dengan ileus obstruktif?
6. bagaimana cara persiapan dan teknik anestesi untuk epidural
hematoma dengan GCS <8?
7. Bagaimana persiapan dan teknik anestesi untuk operasi pediatrik
dengan gastrischizis?
8. Bagaimana persiapan dan teknik anestesi untuk Sectio Caesarea
dengan gawat janin?
9. Apakah keuntungan da kerugian anestesi regional untuk operasi
darurat?
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

526
- Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)
- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

4. Kognitif
a. EMQ (Extended Medical Question)
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e. Minicheck
5. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
6. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

1. Persiapan alat dan obat

1 Pemasangan alat monitor

2 Teknik induksi

4 Pemeliharaan dan pengakhiran anestesi

5 Pencegahan aspirasi saat induksi

6 Pemilihan anestesi regional

7 Pengaturan posisi pasien pascabedah

8 Pemberian oksigen pascabedah dengan kanul binasal atau


simpel mask/non rebreathing mask.

9 Pemberian cairan pascabedah

527
10 Pemberian analgetik pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

528
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Pendahuluan:
Rentang pasien yang memerlukan anestesi untuk operasi bedah atau obstetri

529
emergensi mengenai semua kelompok umur dan berbagai status fisisk. Sejumlah
masalah terdapat dalam setting emergensi yang memerlukan pertimbangan khusus
bila dilakukan anestesi untuk pasien-pasien ini. Tidak adekuatnya waktu untuk
melakukan evaluasi prabedah dan mengoptimalkan masalah medik prabedah.
Kekurangan pengendalian masalah medik prabedah merupakan faktor utama untuk
tingginya mortalitas pada operasi emergensi dibandingkan dengan operasi terencana.
Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat pengosongan
lambung umumnya terdapat pada situasi emergensi seperti nyeri, sedasi, cemas, syok,
persalinan. Problem medis lain yang memperlambat pengosongan lambung adalah
diabetes, obesitas, hiatal hernia, dan baru dilakukan dialisa.
Masalah lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi obat atau alkohol.
Hipoksia sering terjadi pada pasien dengan kecelakaan lalu lintas, dan penyebab
hipoksia adalah cedera jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi
paru, cedera kepala, cedera medulla spinalis, luka bakar pada saluran nafas dan
smoke inhalasi, sepsis, overload cairan, emboli paru. Pasien mungkin mengalami
instabilitas hemodinamik, atau cedera di berbagai tempat (multiple injury).
Persiapan:
Kesiapsiagaan untuk operasi emergensi adalah persiapan kamar bedah dan alat-alat
anestesi yang siap pakai misalnya:
1) mesin anestesi yang telah disiapkan, 2) alat-alat untuk ventilasi, oksigensi,
intubasi, dan suction, 3) alat monitor, 4) set untuk infus dan transfusi, 5) pompa untuk
pemberian darah dan penghangat darah, 6) selimut pemanas, 7) label untuk obat dan
8) defibrilator.
Penilaian Pasien:
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebeleum pembedahan dan kadang-kadang saat
pasien didorong kemeja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip triage yaitu
Airway control and cervical spine control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan
stabilitas hemodinamik termasuk pengendalian aritmia jantung dan perdarahan,
evaluasi problem medis dan cedera lain, lakukan observasi dan monitoring terus
menerus. Anamnesa tentang penyakit yang menyertai, riwayat alergi, komplikasi
yang terjadi bila telah mengalami anestesi dan tranfusi, obat yang dmakan, riwayat
pengalam keluarga yang telah mengalami pembedahan/anestesi, makan-minum
terakhir.
Persiapan Pasien:
Perbaikan kondisi pasien dilakukan semampu mungkin karena kita berkejaran dengan
waktu bahwa pasien harus segera dilakukan tindakan pembedahan. Persiapan ini,
yang walaupun hanya tersedia waktu yang singkat, misalnya pembedahan darurat
untuk bedah sesar, harus dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Keadaan ini terutama untuk pasien dengan gagal jantung, penyakit jantung iskemik,
dan gagal ginjal.
Premedikasi:
Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan karena tidak

530
adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi, premedikasi tetap
diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi tidak betul-betul emergensi, dan pasien
memerlukan dukungan psikologis. Hal ini sering terlupakan oleh personail yang
bekerja di kamar bedah emergensi. Dokter anestesi dapat memberikan keterangan
kepada pasien dengan hati-hati, pelahan dan tenang kenapa dan bagaimana proses
anestesi akan dilakukan.
Pemberian obat untuk menaikkan pH gaster, menurunkan volume gaster,
meningkatkan tonus sphincter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi cairan gaster. Obat yang diberikan
antara lain antasid, anticholinergik, H2 reseptor antagonis, dan metoclopramid. Obat
tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu, tapi tidak 100% efektif, jadi
tetap diperlukan tindakan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi selama induksi
anestesi.
Obat Keuntungan Kerugian
Antasid pH gaster meningkat Volume gaster meningkat
Beberapa jenis partikulate
menyebabkan sekuele pulmonal bila
teraspirasi
Antikholinergik Mungkin meningkatkan pH Menurunkan tonus shincter
gaster gastroeosophageal
Memperlambat pengosongan lambung
H2-reseptor Menurunkan produksi cairan Tidak mempengaruhi volume atau pH
blocker lambung : menurunkan isi gaster
volume gaster, meningkatkan
Efeknya baru ada bila diberikan 60-90
pH gaster.
menit bila diberikan peroral atau IM.
Tidak menurunkan tonus
Cimetidin dapat menyebabkan aritmia
sphincter gastrooesofageal
jantung bila diberikan intravena.
Dapat menimbulkan bronkhopasme
pada pasien asthma
Metoclopramid Menurunkan volume gaster Tidak meningkatkan pH gaster
Meningkatkan tonus Dapat menimbulkan sedasi dan gejala
sphincter gastroosophageal. ekstrapiramidal.

Operasi emergensi untuk bedah saraf adalah untuk memindahkan space occupying
lesion dalam rangka untuk menghilangkan tekanan pada otak atau medulla spinalis.
Penting untuk diingat bahwa pasien dengan lesi massa intrakranial melebihi 100 ml
beresiko untuk terjadi hipertensi intrakranial bila mengalami stres. Sasaran dokter
anestesi adalah mencegah terjadinya stress yang mempresipitasi atau memperburuk
hipertensi intrakranial.
Kondisi yang memerukan opearsi emergensi mata adalah glaukoma malignan, ablasi
retina, trauma, dan transplantasi kornea.

531
Trauma pada muka dapat berupa kombinasi dari kontusio jaringan lunak,laserasi,
fraktur maksilofasial, dan kerusakan gigi. Bergantung pada penyebab trauma,
mungkin dihubungkan dengan terjadinya trauma pada mata, laringotrakheal, atau
serebrospinal. Disebabkan karena > 50% semua trauma maksilofasial akibat
kecelakaan lalau lintas, maka dapat juga diserta dengan trauma dada, abdomen,
tulang panjang sehngga pertimbangan umumnya adalah pemeliharaan jalan nafas
yang adekuat, pengendalian perdarahan, dan lambung penuh. Operasi emergensi
akibat tonsil bleeding memerlukan perhatian pada masih adanya efek anestesi,
hipovolemia akibat perdarahan, dan lambung penuh darah yang tertelan sehingga ada
bahaya aspirasi saat induksi anestesi.

Referensi:
1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Emergency Surgery. New York: Churchill
Livingstone; 1987.

532
MODUL 28 ANESTESIA BEDEAH

INVASIF MINIMAL

Mengembangkan Komepetensi Waktu, Semester 4 dan Semester 6

Sesi di dalam klelas Terintegrasi saat stase Anestesia Bedah


Digestif II selama 2 bulan dan Anestesia
Sewsi dengan fasilitas Pembimbing Bedah OBGIN II selama m2 bulan
dilanjutkan pada stase senior sebagai chief
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
resident untuk pendalaman.

Persiapan Sesi

Audiovisual

1.LCD projector dan Screen

26. Laptop
27. OHP
28. Flipchart
29. Video pkayer

533
Materi prsentasi :

CD Powerr Point

Sarana

1. Ruang Belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruanfg Pulih
4. Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien di ruang Bedah Digesttif dan Kebidanan

Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : liohat daftar tilik

Referensi :

1. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004


2. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005
5. Berry & Kohns Operating room technique, 10th ed 2004

Tujuan pembelajaran umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan tatalaksana perioperatif operasi invasif
minimal (selanjutnya disingkat dengan OIM) atau operasi laparoskopi (selanjutnya disingkat OL) yang
meliputi; evaluasi dan persiapan preoperatif dengan baik dan cermat, melakukan pengelolaan anestesia
secara benar dan aman sehingga menghasilkan trias anestesia yang optimal, melakukan pengelolaan
reanimasi yang adekuat selama prosedur berlangsung, melakukan monitoring, melakukan prosedur
pemulihan anestesia yang aman dan mulus serta melakukan tatalaksana pasca anestesia/operasi yang
rasional.

Tujuan pembelajaran khusus :

534
Kognitif

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menjelaskan Langkah-langkah
evaluasi preoperatif yang meliputi; anamnesis, pemeriksaaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
konsultasi untuk menentukan status fisik ASA preoperatif pasien OIM atau OL.

1. Penyakit sistemik lain yang diderita pasien yang dapat mempengaruhi jalannya anestesia
untuk OIM atau OL.
2. Deskripsi prosedur OIM atau OL, elemen esensial, bahaya dan pertimbangan keamanan
pasien yang akan dilakukan OIM atau OL.
3. Persiapan preoperatif yang harus dilaksanakan baik persiapan rutin maupun persiapan
khusus; di rumah (pada pasien rawat jalan), di bangsal/ruang perawatan, di kamar persiapan IBS dan
di kamar operasi.
4. Rencana anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL
5. Monitoring dan penyulit yang dapat terjadi selama OIM atau OL.
6. Perubahan fisiologi akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi Trendelenburg, anti-
Trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk OIM atau OL.
7. Cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
8. Pemantauan, beberapa penyulit yang dapat terjadi dan penatalaksanaannya pasca OIM atau
OL.
9. Rekam medik perioperatif pasien OIM atau OL.

Psikomotor

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

1. Melakukan langkah-langkah evaluasi preoperatif yang meliputi; anamnesis, pemeriksaaan


fisik, pemeriksaan penunjang, dan konsultasi untuk menentukan status fisik ASA preoperatif pasien
OIM atau OL.
2. Menentukan Status Fisik ASA dan mendiagnosis penyakit sistemik lain yang diderita
pasien yang dapat mempengaruhi jalannya anestesia untuk OIM atau OL.
3. Mengidentifikasi dengan benar perihal indikasi prosedur OIM atau OL yang minimal,
moderat atau yang kompleks dan kontraindikasinya terkait dengan butir 2 diatas.
4. Melakukan persiapan preoperatif yang harus dilaksanakan baik persiapan rutin maupun
persiapan khusus; di rumah (pada pasien rawat jalan), di bangsal/ruang perawatan, di kamar
persiapan IBS dan di kamar operasi.
5. Melakukan pengelolaan anestesia secara benar dan aman sehingga menghasilkan trias
anestesia yang optimal, melakukan pengelolaan reanimasi yang adekuat selama prosedur
berlangsung dan melakukan prosedur pemulihan anestesia yang aman dan mulus.
6. Melakukan monitoring dan segera melakukan penanggulangan terhadap penyulit yang
dapat terjadi selama OIM atau OL.
7. Melakukan antisipasi terhadap perubahan fisiologi akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan
posisi Trendelenburg, anti-Trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia
untuk OIM atau OL.

535
8. Mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
9. Melakukan pemantauan, mendiagnosis penyulit-penyulit yang dapat terjadi dan melakukan
penatalaksanaannya pasca OIM atau OL.
10. Membuat rekam medik perioperatif OIM atau OL.

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan berkomunikasi /hubungan
interpersonal, untuk :

1. Menjelaskan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien preoperatif, tindakan
anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan dan risiko yang dapat timbul selama OIM atau OL.
2. Menjelaskan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan
pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk mencegah
terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim yang
terlibat di kamar bedah.
5. Memperoleh dan atau memberikan kemudahan kepada pasien untuk dirawat di ICU atau ruang
lain sesuai kondisi pasien pasca bedah.

Profesionalisme

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

1. Memahami teknologi OIM atau OL


2. Mengidentifikasi dengan benar perihal prosedur OIM atau OL yang minimal, moderat atau yang
kompleks.
3. Melakukan tindakan anestesia dan reanimasi untuk OIM atau OL sesuai dengan prosedur yang
telah ditetapkan.
4. Berpartisipasi aktif menunjang perubahan keputusan dari rencana OIM atau OL ke prosedur
operasi terbuka.
5. Berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedik dan tenaga kesehatan lain atas dasar saling
menghormati kompetensi masing-masing.
6. Mengenal komplikasi pasca OIM atau OL dan mampu memberikan penjelasan kepada pasien
dan atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai dengan hak pasien.
7. Menjaga kerahasiaan pasien.
8. Melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien.

Key notes :

1. CO2 pneumperitunium dapat mempengaruhi perubahan ventilasi dan pernapasan.


Pneurmopeeritonioumdapat menurunkan komplian torakopulmoner. PaCO meningkat (15 %
menjadi 25 %) karena absopsi CO2 dari rongga pereitonium. Kapnograf mencerminkan kenaikan
ini dengan benar yang mendatar (plateau ) setelah 20 30 menit.

536
2. Pada pasien yang tidak baik(uncompromised patients), gangguan kardiorespiratori memperbesar
kenaikan PaCO2 dan memperbesar gradien antara PaCO2 dan PETCO2.

3. Kenaikan PETCO2 lebih dari 25 % dan / atau terjadi lebih dari 30 menit setelah memulai insuflasi
CO2 ke dalam peritonioum akan memberi kesan emfisema subkutan, komplikasi yang paling
saering selama laparaskopiu.

4. Insuflasi peritonium menyebabkan ganguan hemidinamik yang karakteristik berupa curah jantung
turun, tekanan nadi naik dan peningkatan resistensi pembuyluhg darah sistemik dan pulmoner.

5. Perubahan patofisiologi hemodinamik dapat dikurangi atau dicegah dengan optimasi preload
sebelum pneumoperitonium, obat vasodilator, antagoinis 2- reseptor adrenergik, opioid dosis
besar, dan obat bloker.

6. Perubahan patofisiologik yang sama terjadi selama kehamilan dan pada anak-anak. Laparaskopi
dapat dilaksanakan dengan aman pada kehamilan sebelum minggu ke 23, asal saja hindari
hiperkarbia. Laparaskopi terbnuka sebaiknya dipertimbangkan untuk menghindarkan kerusakan
uterus.

7. Lap[arkopi dengan sedikit gas dapat menolong mengurangi perubahan patofisiologi yang
dicetuiskna oleh pneumoperitonium CO2 tetapi sayang sekali akan menambah kesulitan teknik
operasi.

8. Laparkopi menghasilkan berbagai keuntungan pasca bedah seperti pemulihan cepat dan
mempersingkat perawatan rumah sakit. Keuntungan bertambah dengan meningkatnya keberhasilan
laparskopi yang untuk banyak prosedur pembedfahan.

9. Walaupun tidak ada teknik anestesia yang superior secara klinis dari yang lain, anestesia umum
dengan napoas kendali nampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi laparaskopi.

10. Peningkatan ilmu sebagai konsequensi laparaskopi intraoperatif, memungkinkan manajem yang
aman untuk pasien dengan penyakit kardiorespiratori yang makin berat, yang dapat menghasilkan
benefit berikutnya dari keuntungan pasca bedah yang ditawarkan oleh teknik ini

Pokok bahasan / Sub pokok bahasan

No POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN

1 Prosedur OIM atau OL 1.1.Deskripsi prosedur OIM atau OL

1.2.Elemen esensial untuk OIM atau OL

1.3.Penyulit atau bahaya OIM atau OL

1.4.Pertimbangan keamanan pasien OIM atau OL

537
2 Pengelolaan perioperatif 2.1. Evaluasi praanestesia/bedah
OIM atau OL

2.2. Persiapan praanestesia/bedah

2.3. Pengelolaan Anestesia dan Reanimasi.

2.4. Pengelolaan pasca anestesia/bedah

Target

Target jumlah kasus : Bedah Digestif = 3 kasus OIM

OBGIN = 3 kasus diagnostik dan 2 kasus operatif

Gambaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien bedah digestif dan bedah obstetri
ginekologi untuk operasi laparaskopi.

Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang pneumopertoneum dan posisi
pasien untuk laparaskopi yang dapat mencetuskan perubahan patofisilogi yang dapat mempersulit
tindakan anestesia. Lama tindakan untuk beberapa operasi laparaskopi, risiko cedera visera yang tak
terduga, dan kesulitan melakukan evaluasi perdarahan menjadi faktor yang penyebab bahwa anestesia
untuk laparkopi merupakan prosedur dengan risiko tinggi. Pengertian patofisiologi peningkatan tekanan
intra-abdominal sangat penting untuk seorang anestesiologis yang seharusnya dihindarkan; atau bila
tidak m ungkin perubhan ini harus dapat dievaluasi dan pasien disiapkan dengan baik.

Metode Pembelajaran

No Komponen Kompetensi Strategi Belajar Situasi Belajar

1 Kognitif Integrated learning Introductary lecture

Independent learning Classroom orientation

Problem base learning Small Group Discussion and

538
feedbacks.

Patient management problem


(morning report).

Simulated patient, scenarios,


displays, etc

2 Psikomotor Practise-base learning Demonstrations/displays

and clinical supervision

Patient management problem

3 Komunikasi Practise base learning Demonstrate/displays and


clinical supervision

Patient management problem

4 Profesionalisme Practise base learning Demonstrate/displays and


clinical supervision

Patient management problem

Media dan Alat Bantu Belajar

No Komponen Kompetensi Media Alat Bantu Belajar

1 Kognitif Ruang Kuliah/Diskusi Buku teks/diktat/protap


(dengan sarana Papan
tulis, Audiovisual; Skenario kasus
komputer. LCD)
Pasien (Laporan Pagi)
Perpustakaan

Internet

2 Psikomotor Ruang Skill Lab, Manikin dan Pasien


Poliklinik, Bangsal

Kamar Operasi dan ICU

3 Komunikasi Poliklinik, Bangsal Buku teks/diktat/protap

Kamar Operasi dan ICU Skenario kasus dan Pasien

4 Profesionalisme Poliklinik, Bangsal Buku teks/diktat/protap

Kamar Operasi dan ICU Skenario kasus dan Pasien

539
Evaluasi

No Komponen Kompetensi Metoda Evaluasi

1 Kognitif MCQ (pretest and post test)

MEQ (Modified Essay Question)

2 Psikomotor Multiple observations and assessments

Multiple observers

Minicex (check list)

Logbook

3 Komunikasi Multiple observations and assessments

Multiple observers

4 Profesionalisme Multiple observations and assessments

Multiple observers

Kuliah, Tugas Belajar, Penilaian Mandiri dan Bahan Pembelajaran

No POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN

1 Prosedur OIM atau OL 1.1.Deskripsi prosedur OIM atau OL

1.2.Elemen esensial untuk OIM atau OL

1.3.Penyulit atau bahaya OIM atau OL

1.4.Pertimbangan keamanan pasien OIM atau OL

2 Pengelolaan perioperatif 2.1. Evaluasi praanestesia/bedah


OIM atau OL

2.2. Persiapan praanestesia/bedah

2.3. Pengelolaan Anestesia dan Reanimasi.

2.4. Pengelolaan pasca anestesia/bedah

1. Prosedur OIM atau OL

540
Waktu : 50 menit

Dosen : Sub Spesialis Anestesia Bedah Umum/OBGIN

Sasaran Belajar : Menjelaskan


1. Deskripsi prosedur OIM atau OL
2. Elemen esensial untuk OIM atau OL
3. Penyulit atau bahaya OIM atau OL
4. Pertimbangan keamanan pasien OIM atau OL
Tugas Belajar :

Skenario Kasus

Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-munah dan nyeri waktu berjalan. Dokter Bedah Umum di Poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke Divisi Bedah Digestif untuk pertimbangan operasi dengan
teknik OIM atau OL.

Tugas :

1. Jelaskan secara singkat apa yang mendasari Dokter Bedah Umum untuk mempertimbangkan
prosedur OIM atau OL untuk penderita ini.
2. Uraikan secara singkat elemen asensial yang dibutuhkan untuk prosedur OIM pada apendektomi
3. Menurut analisis saudara apa saja kemungkinan penyulit atau bahaya OIM atau OL pada
apendektomi.
4. Jelaskan upaya-upaya untuk mengamankan pasien dari sudut pandang prosedur OIM atau OL
pada apendektomi

Penilaian Mandiri :

1. Jelaskan secara singkat deskripsi/terminologi yang berkaitan dengan OIM atau OL dan latar
belakang perkembangan OIM
2. Uraikan secara singkat 8 (delapan) elemen esensial untuk OIM atau OL .
3. Uraikan secara singkat 3 (tiga) bahaya potensial pada saat puncture endoscopy.
4. Jelaskan beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan untuk keamanan dan keselamatan pasien
OIM atau OL.

Referensi :

541
Endoscopic Surgery di dalam buku Berry & Kohns; Operating Room Technique edisi 10. 2004. hal 622
634.

2. Pengelolaan perioperatif OIM atau OL

Waktu : 3 x 50 menit

Dosen : Sub Spesialis Anestesia Bedah Umum/OBGIN

Sasaran Belajar : Menjelaskan :

1. Evaluasi praanestesia/bedah pasien OIM atau OL


2. Persiapan praanestesia/bedah OIM atau OL
3. Pengelolaan Anestesia dan Reanimasi OIM atau OL.
4. Pengelolaan pasca anestesia/bedah OIM atau OL
Tugas Belajar :

Skenario Kasus

Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-munah dan nyeri waktu berjalan. Dokter Bedah Umum di Poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke Divisi Bedah Digestif untuk pertimbangan operasi dengan
teknik OIM atau OL. Divisi Bedah Digestif sepakat untuk melakukan prosedur OIM atau OL untuk
apendektomi berencana.

Tugas :

1. Jelaskan langkah-langkah evaluasi preanestesia yang perlu dilakukan untuk menilai kebugaran
pasien preanestesia OIM atau OL untuk apendektomi berencana
2. Jelaskan persiapan preanestesi yang harus dilakukan pada prosedur OIM atau OL untuk
apendektomi berencana
3. Uraikan secara singkat tatalaksana pengelolaan anestesia dan reanimasi untuk prosedur OIM
atau OL untuk apendektomi berencana
4. Uraikan secara singkat tatalaksana pengelolan pasca anestessia/bedah OIM atau OL untuk
apendektomi berencana.

542
Penilaian Mandiri.

5. Jelaskan kelainan atau penyakit lain yang diderita pasien preoperatif yang akan mempengaruhi
jalannya anestesia untuk prosedur OIM atau OL
6. Jelaskan rencana langkah-langkah evaluasi yang diperlukan untuk memastikan adanya kelainan
atau penyakit lain yang dideritanya.
7. Jelaskan langkah-langkah persiapan praanestesi yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko
perioperatif.
8. Jelaskan rencana anestesia umum yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL, mulai dari
premedikasi, induksi, pemeliharaan trias anestesia dan pemulihannya..
9. Jelaskan langkah-langkah reanimasi (usaha untuk mempertahankan hidup) yang harus dilakukan
untuk mengantisipasi bahaya OIM dan risiko akibat anestesia yang diberikan.
10. Jelaskan pemantauan dasar intraoperatif pada prosedur OIM atau OL.
11. Jelaskan perubahan fisiologi akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi Trendelenburg, anti-
Trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk prosedur OIM atau
OL
12. Jelaskan cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 pada prosedur OIM atau
OL
13. Jelaskan penatalaksanaan pasca OIM atau OL di ruang pulih dan selanjutnya baik untuk pasien
tanpa mondok, dirawat di bangsal atau di ICU termasuk penanggulangan nyeri, terapi cairan dll sesuai
dengan indikasi

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

I EVALUASI PRA OPERASI

543
1 Anamnesis

2 Pemeriksaan fisik

3 Pemeriksaan penunjang

4 Konsultasi

5 Kesimpulan status fisik ASA

II PERSDIAPAN PRA OPERASI

1 Informed consent

2 Persiapan di ruang perawatan (a.l. puasa, donor dll)

3 Persiapan di kamar persiapan operasi (a.l. premedikasi,


infusi dll)

4 Persiapan di kamar operasi (a.l. posisi, alat pantau dll)

III TINDAKAN ANESTESIA

1 Induksi konvensional atau rapid sequence induction

2 Pemasangan sonde lambung dan LMA atau PET dan


penatalaksanaan jalan napas yang lain sesuai kebutuhan

3 Pemeliharaan trias anestesia dan puresi simpatikus

4 Penatalaksanaan ventilasi mekanik

5 Pemantauan dasar intyraoperatif

6 Penatalaksanaan terapi cairan dan transfusi darah

7 Pemulihan anesthesia termasuk ekstubasi LMA atau PET


dan sonse lambung

IV PERAWEATAN PASCA ANESTESIA

1 Pemantauan nilai Aldreta dan oksigenasi di ruang pulih

2 Terapi mual / muntah

3 Penatalakjsanaan nyeri akut

4 Terapi nyteri bahu akibat residu CO2 di dalam perituonium

5 Terrapi cairan dan nutrisi

6 Kriteria penbgeluaran dari ruang pulih

544
Catatan : Sudah / Beluim dikerjakan beri tanda V

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

545
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

Materi Acuan

Evaluasi pra bedah dan premedikasi

Tanpa memperhatikan indikasi kontra bedah, indikasi kontra mutlak laparkopi dan pneumoperitoneum
jarang terjadi. Pneumoperitoneum tidak diinginkan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial

546
(misalnya tumor, hidrosefalus, cedera kepala), hipovolemia, pintas ventrikular peritoneal dan pintas
peritoneojugular. Walaupun demikian pneumoperiteum dapat dilakukan dengan aman pada pasien
dengan pintas-pintas tersebut, pintas dijepit dulu (clamped) sebelum insuflasi peritoneal.

Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi karena perubahan hemodinamik
dipacu oleh pneuperitoneum dan posisi pasien terutamna pasien dengan ganguan ventrikel.(Tabel 1)
Pasien dengan penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup lebih condong memberikan
komplikasi dari pada pasien dengan penyakit jantung iskemia selama laparskopi. Mengecilkan gas untuk
laparskopi dikalukan sebagai alternatif.

Tabel 1. Manajemen pasien dengan kelainan jantung untuk laparaskopi

______________________________________________________________

Evaluasi pra bedah : ekhokardiografi

Jika ejection raction ventrikel kiri < 30 %

Pemantauan intraoperatif

Jalur intra arteri

Kateter arteri pulmonal ?

Ekhokardiografi transesofagus ?

Analisis ST segmen kontinu

Laparaskopi dengan sedikit gas ?

Laparatomi ?

Manajemen intraopertatif

Insuflasi lambat

Tekanan Intra-abdomen rendah

Optimasi hemodinamik sebelum pneumoperitoneum

(augmentasi preload)

Badan pasien miring ke depan setelah insuflasi

Anestesia : fentanil atau remifentanil, obat dan anestetik berefek

vasodilasi ( nitrgliserin, nikardipin), obat kardiotonik

Ahli bedah yang berpengalaman

547
Perawatan pasca bedah

Pemulihan anestesia lambat (benefit dari klonidin)

_______________________________________________________________

Pasien penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup terminal akan cenderung mengfalami
komplikasi jantung dari pada pasien dengan penyakit jantu ng iskhemik selama laparaskopi. Jika
laparaskopi lebih berbahaya dari pada laparatomi, pada pasien-pasien yang belum dipelajari dengan
seksama, selayaknya pertimbangan dilakukan dengan hati-hati. Untuk pasien-pasien ini benefit pasca
bedah laparaskopi harus dibandingkan dengan risiko intraoperatif (Tabel 2). Laparaskopi dengan sedikit
gas mungkin menjadi alternatif untuk pasien ini.

Tabel 2. Perbandingan laparatomi dan laparaskopi

Hal-hal yang menonjol Laparatomi Laparaskopi

Faktor-faktor intraoperatif

Faktor-faktor hemodinamik Stimulasi oleh stres bedah Depresi pneumoperitone-


um > stimulasi bedah

++
Perubahan Ventilasi +
++
Elevasi diafragma +
++
Peningkatan tekanan intratoraks 0
++
Absorpsi CO2 0
++
Napas kendali (ventilasi min) +
++
Posisi pasien +

=
Ketubutuhan anestesia =
++
Respon endokrin ++
+
Trauma bedah ++

548
Faktor-faktor pasca bedah +

Nyeri (kebutuhan analgesik) ++ +

Disfungsi paru ++ +

Respon metabolik fase reaksi akut ++ +

Fatigue pasca bedah ++ +

Pemulihan ++ +

Puasa ++ ++

Mual, muntah + +

Lama tinggal di rumah sakit ++ (+)

Mortalitas + (+)

Morbiditas +

0 : bukan faktor penting = : tidak berbeda (+) : problem minimal

+ : problem ringan sampai sedang ++ : problem berat

Karena dampak samping peningkat TIA terhadap fungsi ginjal, untuk pasien dengan gagal ginjal
memerlukan optimasi hemodinamik selama pneumoperitoneum dan hindarkan bersama pengunaan obat
nefrotoksik.

Pasien dengan penyakit respirasi, laparskopi nampaknya lebih baik daripada laparatomi karena
penurunan disfungsi respirasi pasca bedah. Efek positif ini menjadi counterbalance risiko pneumotoraks
selama pneumoperitneum dan risiko pertukaran gas yang inadekuat dari Va/Q mismatching.

Stasis vena vena tungkai selama laparaskopi dapat mencegah trombosis vena dalam (deep vein
thrombosis) sebaiknya dipertimbangkan sebelum pembedahan.

Premedikasi sebaiknya disesuaikan dengan lama tindakan laparaskopi yang menginginkan cepat pulih.
Pemakaian NSAID dapat menolong mengatasi nyeri pasca bedah. Klondin atau deksmedetomidin pra
bedah mengurangi respon stres intraoperatif dan memperbaiki ke stabilisasi hemodin amik.

549
Posisi dan pemantauan untuk laparaskopi

Pasien harus diletakkan pada posisi menghindari cedera saraf; ganjal (padding) sebaiknya melindungi
tekanan pada saraf dan penahan bahu, jika perlu ditempatkan diatas prosesus korakoid. Kemiringan
pasien keatas tidak melebihi 15 20 derajat. Kemiring dilakukan harus dilakukan perlahan untuk
mencegah perubahan hemodinamik dan respirasi yang cepat. Perubahan posisi harus diikuti dengan
pengontrolan pipa endotrakea. Induksi dan pengeluaran pneumoperitoneum dilakukan dengan mulus.
Ventilasi dengan sungkup muka sebelum intubasi dapat mengisi udara lambung yang harus diaspirasi
sebelum operator memasang trokar untuk mencegah perforasi lambung terutama pada laparaskopi
suprmesokolik. Kendung kencinjg dikorongkan sebelum prosedur laparaskopi.

Selama anestesia dan prosedur laparaskopi, tekanan darah, lakju jantung, EKG, kapnograf, oksimketer
pulsa harus dipantau kontinu. Walapun tingkat pemantyauan ini bermanfaat untuk endeteksi aritmia
jantung, emboli, emfisma cO2 subkutan dan pneumotoraks, tetapi hanya menunjukkan perubahan indirek
hemodinamik yang dicetuskan oleh pneuperitoneum. Pemantauan hemodinamik invasif lain masih
diperlukan pada pasien penyakit jantung, pasien dengan peningkatan pasien dengan peningkatan tekanan
intratoraks, peningkatan tekanan intratoraks yang diukur melalui pengiukuran CVP, Ekhokardiografi
transesofagus mungkin lebih membantu untuk pasien jantung berat. PETCO dan SpO2 memberikan
refleksi yang lebih di dipercaya PaCO2 dan SaO2 . Walapun a - ETCO2 (gradien antara PaCO2 dan
end tidal karbon dioksida) bervariasi dari pasien ke pasien dan pada pasien yang sama selama tindakan
laparaskopi. PETCO2 harus dipantau dengan hati-hati untuk menghindari hiperkapnia dan mendeteksi
emboli gas. Gradien ini dapat bertambah pada pasien dengan penyakit jantung dan respirasi. Kanulasi
arteri radialis dapat menolong mengukur langsung Pa CO2.

Teknik anestesia

Anestesia, anestesi lokal dan anestesi regional dapat dipergunakan dengan aman untuk laparaskopi
dengan kondisi yang sesuai.

Anestesi umum

Anestesi umum dengan intubasi endotrake dan napas kendali merupakan teknik yang paling aman,
kartena itu direkomendasikan untuk pasien rawat inap dan prosedur laparaskopi yang lama. Selama
pneumoperitoneum, napas kendali harus disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2 sekitar 35 mm
Hg. Menambah laju napas lebih baik dari pada meningkatkan volum tidal untuk pasien dengan PPOM
dan pasien dengan riwayat pneumotoraks spontan atau dengan bula efesema untuk mencegah
mengembungan alveoli dan mengurangi risiko pneumotoraks. Dianjurkan untuk memberikan obat
vasodilator seperti nikardipin, reseptor 2- adrenergik agonis seperti klonidin dan deksmedetomidin,
fentanil atau remifentanil untuk mengurangi hemodinamik reperkusi pneumoperitoneum dan
memfasilitasi menejemen pasien jantung. Belum terbukti keuntungannya untuk tidak mempergunakan
N2O; kontribusi N2 O sebagai penyebab mual dan muntah masih kontroversial. N2O bukan merupakan

550
indikasi kontra untuk laparaskopi kholesistektomi; menghentian penggunaan N2O dapat memperbaiki
kondisi bedah untuk operasi usus dan kolon. Pilihan anestetika tidak berperan penting untuk menentukan
output pasien.

TIA sebaiknya dipantau; usahakan serendah mungkin dan tidak lebih dari 20 mmHg untuk mengurangi
perubahan hemodinamik dan respirasi. Peningkatan tonus vagal selama laparaskopi dapat dicegah
dengan pemberian atropin.

LMA yang lebih sedikit memberikan komplikasi sakit menelan dianjurkan sebagai altertnatif intubasi
endotrakea, walapun tidak menjamin terhindar dari aspirasi isi lambung. Dengan LMA, napas kendali
dapat dilakukan dengan akurat dengan pemantauan PETCO2. Tetapi penurunan komplian
torakopulmonal selama pneumoperitneum sering mengakibatkan tekanan jalan napas bertambnah lebih
dari 20 cm H2O. Karena LMA tidak dapat menjamin sekitar sungkup, napas kendali hanya terbatas untuk
pasien yang sehat dan pasien kurus.

Anestesi umum dengan napas spontan tanpa intubasi dan tanpa obat pelumpuh otot masih mungkin
untuk tindaka laparaskopi terbatas, yaitu singkat, TIA rendah dan kemiringan sedikit.

Anestesi lokal danm anestesi regional

Laparakopi terbatas masih dapat dilakukan dengan anestesi lokal seperti ligasi tuba; keuntungannya
cepat, mual dan muntah pasca bedah sedikit perubahan hemodinamik ringan. Tetapi ahli bedfah harus
terapil dan cepat, karena pasien masih kesakitan, ansietas dan diskomfort selama manipulasi pelvik dan
norgan obdominal. Untuk ini masih diperlukan pemberian suplementasi sedatif intravena. Kombinasi
pneumoperitoneum dan sedatif condong mengakibatkan hipoventilasi dan penurunan saturasi oksigen.

Anestesia regional seperti, teknik epidural atau spinal yang dikombinasi dengan posisi kepala rendah
(head-down) dipergunakan untuk laparaskopi ginekologi tanpa banyak mengganggu ventilasi. Sistektomi
laparaskopik telah berhasil dilakukan dengan anestesi epidural pada pasien dengan PPOM. Respon
metabolik berkurang pada anestesi regional. Anestesi regional beberapa keuntungan antara lain, lebih
sedikit memerlukan sedatif dsan narkotif, relaksasi cukup baik untuk tindakan laparaskopi selain ligasi
tuba. Nyeri baru karena rangsangan diafragma dan diskomfort karena distensi abdomen tidak mereda
pada anestesi epidural. Tambahan opioid dan klonidin pada anestesi epidural dapat menambahn efek
analgesia yang adekuat. Keberhasilan anestesi epidural pada laparaskopi memerlukan kerjasama pasien,
pengalaman dan ketertampiulan operator, TIA rendah dan kemiringan pasien tidak berlebihan serta
prosedur tidak terlalu lama.

Pemulihan dan pemantauan pasca bedah

Pemantauan hemodinamik harus dilaksanakan pasca bedah secara kontinu. Perubahan hemodinamik
dipacu oleh pneumoperitoneum, terutama pada peningkatan resistensi pembuluh darah saat
mempertahankan dan dan mengeluarkan pneumoperitoneum., Keadaan hiperdinamik setelah laparaskopi
pada pasien penyakit jantung cenderung membawa pada perubahan hemodinak yang membahayakan.

551
Karena penurunan fungsi paru pasca bedah, PaO2 masih rendah setelah laparaskopi kholesistomi,
oksigen tetap diberikan pasca bedah walapun pasien sehat.

Pencegahan dan pengobatan mual, muntah dan nyeri penting dilaksanakan tertutama setelah prosedur
laparaskopiu pasien rawat jalan.

Referensi :

6. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004


7. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
8. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
9. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005
10. Berry & Kohns Operating room technique, 10th ed 2004

552
MODUL 29 ANESTESI DILUAR KAMAR
BEDAH

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 3)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4 minggu (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS Jiwa

553
5. Ruang Pulih
6. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang ECT atau radiodiagnostik

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Hurford WE et al. Clincal Anesthsia Procedure of the Massachusetts General Hospital.


6th ed, Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2002.
2. Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis : Mosby 1996, 297-329.

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi diluar kamarbedah

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:

Kognitif

1. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di tempat ECT
dan radiologi
2. Mengetahui teknik anestesi untuk CT-scan
3. Mengetahui teknik anestesi untuk MRI
4. Mengetahui teknik anestesi untuk Neuroradiolgi
5. Mengetahui teknik anestesi untuk Terapi Radiasi
6. Mengetahui teknik Monitore Anesthesia Care (MAC)
7. Mengetahui teknik anestesi ECT
8. Mengetahui interaksi obat anestesi dan obat psikiatri

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi duluar kamar
bedah.
2. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk CT-scan
3. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk MRI
4. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk Neuroradiologi
5. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk Terapi Radiasi

554
6. Mampu melakukan pemberian anestesi dengan teknik Monitored Anesthesia Care
(MAC)
7. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk ECT
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat iteraksi obat anestesi dan obat
psikiatri.
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk radiodiagnostik.

Komunikasi

2. Berkomunikasi dengan ahli radiologi bila terjadi komplikasi .

Professionalisme

3. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasiyang terjadi.


4. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan anestesi duliar kamar bedah
dan kerja sama dengan perawat yang tidak biasa dengan situasi emergensi seperti
halnya di kamar bedah.

KEYNOTES:

1. Walaupun prosedur diagnostik hanya menyebabkan rasa sakit yang minimal,


spesialis anestesi akan ikut serta dalam penanganan pasien tersebut dengan
alasan antara lain pemberian sedasi yang sulit untuk pasien usia lanjut,
klaustrofobia (penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan tertutup), penyakit
neurologis dan sistemik yang berat, serta ketidak mampuan pasien untuk tidak
bergerak selama prosedur diagnostik.
2. Spesialis anestesi dihadapkan pada situasi umum memberikan anestesi dalam
lingkungan yang asing diluar kamar bedah dan hampir semua prosedur
neurodiagnostik mensyaratkan spesialis anestesi di posisi jauh dari pasien yang
berbeda situasinya dengan di kamar bedah dimana dokter anestesi selalu dekat
dengan pasien.
3. Pemilihan teknik anestesi bergantung pada berbagai pertimbangan seperti umur,
kondisi, dan prosedur (posisi, lama, kemungkinan nyeri).
4. Selama dilakukan CT Scan, beberapa pasien dewasa dan anak-anak usia sekolah
memerlukan pemberian sedasi.
5. Saat MRI alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami
pemanasan dan berpindah tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai
di kamar bedah dapat menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia
alat-alat tersebut yang khusus digunakan di ruangan MRI.
6. Respons terhadap zat kontras bervariasi dari perasaan panas sampai terjadinya
syok anafilaksis saat obat disuntikkan.

GAMBARAN UMUM

555
Untuk dapat melakukan anestesi diluar kamar bedah diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi duluar kamar bedah,
pemberian anestesi untuk CT-scan, MRI, Neuroradiologi, Terapi Radiasi, Monitored Anesthesia
Care (MAC), ECT, Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat iteraksi obat anestesi dan
obat psikiatri serta menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk radiodiagnostik.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola anestesi diluar kamar bedah,
mengatasi komplikasi yang terjadi, bekerja sama dengan tenaga medis dan paramedis yang tidak
biasa bekerja di kamar bedah.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

13. Bahan acuan (references)


14. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
15. Ilmu klinis dasar
Metode pembelajaran
9. Small group discussion
10. Peer assisted learning (PAL)
11. Bedside teaching
12. Task-based medical education

MEDIA

9. Papan tulis
10. Komputer
11. LCD dan slide projector
12. Pasien di ruang diagnostik dan ECT

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

9. Virtual patients
10. Reading assigment
11. Audiovisual
12. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

556
9. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

10. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

11. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

12. Professionalism
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pretest

10. Jelaskan cara melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi diluar
kamar bedah.
11. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk CT-scan
12. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk MRI
13. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk Neuroradiologi
14. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk Terapi Radiasi
15. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi dengan teknik Monitored Anesthesia
Care (MAC)
16. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk ECT
17. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat anestesi dan
obat psikiatri.
18. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk
radiodiagnostik.

557
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

7. Kognitif
a.EMQ (Extended Medical Question)
b.Multiple observation and assessments
c.Multiple observers
d.OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e.Minicheck
8. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
9. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

1. Persiapan alat dan obat

1 Pemasangan alat monitor khusus

2 Teknik anestesi untuk CT-scan

4 Teknik anestesi untuk MRI

5 Teknik anestesi untuk untuk Neuroradiologi

6 Teknik anestesi untuk Terapi Radiasi

7 Teknik anestesi Monitored Anesthesia Care (MAC)

558
8 Teknik anestesi untuk ECT

9 Menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat


anestesi dan obat psikiatri

10 Menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk


radiodiagnostik.

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

559
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

560
MATERI ACUAN

Pendahuluan
Sejak diperkenalkannya CT scan yang pertama pada tahun 1975, alat-alat diagnostik dari
spesialis radiologi neuroimaging berkembang secara konsisten. Walaupun prosedur
diagnostik hanya menyebabkan rasa sakit yang minimal, spesialis anestesi akan ikut
serta dalam penanganan pasien tersebut dengan alasan antara lain pemberian sedasi yang
sulit untuk pasien usia lanjut, klaustrofobia (penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan
tertutup), penyakit neurologis dan sistemik yang berat, serta ketidak mampuan pasien
untuk tidak bergerak selama prosedur diagnostik.
Banyak Bagian Radiologi yang mengambil panduan pemberian sedasi dari AAPCD (American
Academy of Pediatrics Committee on Drugs) seperti yang terlihat pada tabel 1. Seleksi pasien,
puasa prabedah, alat-alat, monitoring, dan kriteria pemulangan pasien sudah dimasukkan pada
panduan ini dan seleksi kriteria yang ketat mengurangi efek samping yang terjadi akibat
pemberian sedatif. Akan tetapi, sekitar 10-15% pemberian sedasi gagal dan screening sebelum
prosedur sering mendapatkan pasien kesulitan membebaskan jalan nafas atau dalam keadaan
sakit berat yang mana dianjurkan keterlibatan spesialis anestesi.

Tabel 1: Teknik Sedasi untuk Anak

Obat Dosis Rute Onset (menit) Efek puncak


(menit)

Choral hydrat 20-75 mg/kg Po,pr 20-30 30-90


(maksimal 2 g)

Pentobarbital 2-4 mg/kg Iv 5-10 60-90

Midazolam 0,02-0,15 mg/kg iv 1-5 iv 20-30

0,3-0,75 mg/kg Po/pr

Methohexital 1-2 mg/kg Iv 5 45

20-30 mg/kg pr 10-15

Tabel 2 . Sedative pada anak untuk MRI

561
Obat Dosis Keterangan

Chloral hydrat 75-120 mg/kg po Onset 15-20 menit, paling baik untuk
infant, dosis jangan melebihi 2 g.

Midazolam 0,01-0,05 mg/kg Penggunaan sebagai suplement.


Tidak akan mencegah bergeraknya
pasien.

Pentobarbital 5 mg/kg po Onset 20 menit

3-4 mg/kg iv Onset cepat, lama kerja panjang

Ketamin 4-5 mg/kg im Untuk pasien tidak kooperatif tanpa


akses intravena

Propofol 2-3 mg/kg iv Sakit saat penyuntikan, dapat


menimbulkan apnoe.
infant: 75-100 ug/kg/menit

Pertimbangan Umum
Sekali terlibat dalam prosedur neuroradiologi, spesialis anestesi dihadapkan pada
situasi umum memberikan anestesi dalam lingkungan yang asing diluar kamar bedah
dan hampir semua prosedur neurodiagnostik mensyaratkan spesialis anestesi di posisi
jauh dari pasien yang berbeda situasinya dengan di kamar bedah dimana dokter
anestesi selalu dekat dengan pasien. Sebagai tambahan, alat-alat dan pemantauan
nonferromagetic harus tersedia di kamar MRI serta adanya persoalan contras media
dengan efek osmolar dan kemungkinan reaksi toksik harus dipertimbangkan.
Finalnya, pola fasilitas medis modern sering memerlukan pemulihan pasien dengan
personal medis yang qualified di ruangan yang berbatasan dengan ruangan radiologi
atau ditransfer ke ruang pulih anestesi yang jaraknya jauh dari ruang radiologi.
Evaluasi prabedah yang baik harus dilakukan pada setiap pasien yang direncanakan
untuk dilakukan prosedur diagnostik. Perhatian utama harus ditujukan pada
pemeriksaan neurologis, akan tetapi riwayat penyakit sebelumnya, anestesi dan
sedasi, adanya alergi, obat yang telah dan sedang dimakan harus diketahui. Pasien
harus dievaluasi tentang tanda-tanda adanya kenaikkan tekanan intrakranial, defisit
neurologis, dan pada kasus emergensi harus diketahui keadaan kolumna vertebralis,
medulla spinalis dan organ tubuh lainnya.
Alat-alat yang tersedia di ruang radiologi harus seperti di kamar bedah. Adanya
monitor EKG, pulse oksimetri, tekanan darah yang harus kompatibel dengan alat
MRI. Alat lain yang mampu memberikan pasokan gas anestesi, oksigen 100%, alat
pengisap (suction apparatus), alat untuk membebaskan jalan nafas, alat resusitasi,
serta obat harus tersedia.

562
Persiapan Pasien
Berlawanan dengan bedah rawat jalan yang pada umumnya dalam keadaan sehat,
kebanyakan pasien saraf atau bedah saraf yang dijadwalkan untuk dilakukan tindakan
diluar kamar bedah, dalam keadaan sakit akut atau kronis, terganggu fungsi
neurologis dan nutrisi, mempunyai riwayat telah dilakaukan beberapa tindakan
sebelumnya dan mendapatkan terapi obat-obatan termasuk kemoterapi.
Sering pasien dalam keadaan infeksi traktus respiratorius bagian atas, atau adanya
efek samping pengobatan seperti mual, muntah dan diare, akan tetapi pasien tidak
dapat menunggu untuk perbaikan kondisinya. Harus diingat kemungkinan adanya
hipoglikemi dan hipovolemi pada pasien dewasa dengan bedrest atau anak dengan
sakit kronis. Kemoterapi yang baru dilaksanakan dapat mempengaruhi penggunaan
volatil anestetika potent.
Kebanyakan pasien dengan gangguan neurologis tidak mampu untuk menjawab
pertanyaan saat anamnesa. Informasi pasien harus dicari dari semua sumber yang ada
misalnya status lama, catatan perawatan pasien dirumah, keluarga) dan memeriksa
adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial. GCS harus dicatat sebagai data
dasar. Pasien gangguan neurologis dapat terjadi aritmia, respons ventilasi terhadap
obat anestesi abnormal, perubahan reaksi terhadap obat anestesi seperti
succinylcholin dan pelumpuh otot non depolarisasi. Mereka juga sering mendapat
terapi kortikosteroid untuk terapi kenaikkan ICP dan mesti dberikan kortikosteroid
sebelum, selama dan setelah tindakan.

Pemilihan Teknik dan Obat Anestesi


Pemilihan teknik anestesi bergantung pada berbagai pertimbangan seperti umur,
kondisi, dan prosedur (posisi, lama, kemungkinan nyeri). Bantuan dari Bagian
Anestesi diperlukan bila tindakan pemberian sedasi oleh non-anesthesiologist gagal,
dan anestesiologist harus memberikan kondisi ideal untuk dilakukan prosedur
tersebut. Teknik anestesi dapat dilakukan dengan MAC (Monitored Anesthesia Care),
sedasi ringan sampai dalam, anestesi umum, atau anestesi regional.
Premedikasi harus dipertimbangkan. Tujuan premedikasi adalah menghilangkan
kecemasan, sedasi dengan pasien mudah dibangunkan, analgesi, amnesia,
mengurangi saliva dan sekresi gaster, meningkatkan pH gaster, menurunkan akivitas
vagal. Pasien dengan gangguan neurologis mungkin meningkatkan resiko karena
gangguan menghandel sekresi, adanya tracheostomi, atau berkurangnya atau
hilangnya refleks menelan.
Barbiturat mempunyai keuntungan sebagai sedatif dengan depresi nafas dan sirkulasi
minimal dan jarang menimbulkan mual dan muntah, akan tetapi, tidak mempunyai
efek analgesi, mempunyai efek antalgesik dan disorientasi serta tidak ada
antagonisnya. Pemberian pentotal dengan dosis induksi 6 mg/kg telah dilaporkan
dipakai sebagai obat tunggal untuk CT dan MRI pada 200 anak dengan rentang umur
1 bulan sampai 12 tahun.

563
Narkotik mengurang keperluan total obat anestesi, analgetik pra dan post prosedur,
dan dapat direverse dengan naloxon. Walaupun narkotik tidak diperlukan untuk
prosedur yang tidak sakit, tetapi sangat berguna untuk radiologi intervensi dan yang
tidak tioleran terhadap volati anestetika, seperti setelah kemoterapi dengan
anthracyclin dengan adanya gangguan miokardium. Narkotik mendrepresi puat nafas,
dan harus menjadi pertimbangan pada apsin tumor otak yang mendapat terapi radiasi.
Narkotik juga dapat menimbulkan mual muntah.
Diazepam menimbulkan rasa sangat sakit selama suntikan intravena dan dapat
menimbulkan terjadinya thromboplebitis. Midazolam larut dalam air, karena lebih
nyaman bila digunakan secara intravena atau intramuskuler.
Ketamin sangat populer lebih dari 20 tahun untuk sedasi dan anestesi diluar kamar
bedah disebabkan karena tidak mendepresi sirkulasi dan respirasi, serta efek analgesi
baik. Tidak diberikan pada pasien dengan peningkatan ICP. Bisa terjadi toleransi
setelah pemberian berulang, dan kemungkinan terjadi obstruksi jalan nafas partial
atau total, hipersekresi, dan refleks jalan nafas menhjadi hiperaktif, menimbulkan
mimpi buruk dan nyeri bila disuntikan intramuskuler.
Propofol diberikan untuk sedasi dan anestesi untuk diagnostik, terapeutik dan
prosedur interventional.

Computed Tomography (CT) Scan


Selama dilakukan CT Scan, beberapa pasien dewasa dan anak-anak usia sekolah
memerlukan pemberian sedasi. Kadang-kadang, midazolam intravena dititrasi dengan
dosis 0,5 mg atau propofol dengan dosis 25-100 ug/kg/menit mungkin efektif. Pada
pasien dengan tanda-tanda adanya kenaikan tekanan intrakranial atau jalan nafas
tidak bebas lebih baik dilakukan dengan anestesi umum. Harus diingat temperatur di
ruangan CT yang dingin, karena harus menjaga temperatur pasien terutama anak dan
usia tua.
Pada situasi dimana tekanan intrakranial merupakan faktor kritis yang harus
dipertimbangkan, pemasangan jalur vena harus didahului dengan pemberian EMLA
(lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%) krim dan induksi anestesi dapat dilakukan secara
intravena. Pada pasien dewasa, induksi intravena dengan memakai pentotal (3-4
mg/kg), propofol 1-2 mg/kg, atau etomidate 0,15-0,3 mg/kg, narkotik fentanyl 50-100
ug (1-2 ug/kg), kemudian untuk fasilitas intubasi diberikan succynilcholin 1 mg/kg
yang sebelumnya diberikan lidokain 1-1,5 mg/kg untuk menurunkan peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung akibat laringoskopi-intubasi. Pemeliharaan anestesi
dapat dengan anestetika inhalasi sevofluran atau anestesi intravena propofol, karena
pasien harus segera bangun/pulih dari efek anestesi segera setelah prosedur
diagnostik selesai.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Ruangan MRI merupakan ruangan yang berlawanan dengan keinginan spesialis
anestesi. Spesialis anestesi terpaksa harus jauh dari pasien yang menyulitkan untuk
melakukan pertolongan segera pada pasien. Beberapa hal yang harus

564
dipertimbangkan antara lain:
Alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami pemanasan dan
berpindah tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai di kamar bedah
dapat menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia alat-alat tersebut yang
khusus digunakan di ruangan MRI.
Alat metal yang kecil dapat tersedot kearah magnet. Alat yang lebih besar seperti
tabung oksigen dapat terdorong kearah magnet, bisa jatuh dan melukai personil medis
dan pasien, maka secara umum semua alat metal harus jauh dari magnet dan
terfiksasi dengan kuat. Personil medis harus meninggalkan alat metal yang dimiliki
seperti jam tangan, kacamata, kartu kredit dsbnya dan disimpan di ruang persiapan.
Baru-baru ini sudah tersedia alat monitor seperti tekanan darah, kapnograf, pulse
oksimetri, doppler, mesin anestesi, ventilator yang kompatibel dengan mesin MRI.
Juga tersedia laringokop plastik, akan tetapi batrei dalam handel laringoskop dapat
terisap ke pusat magnet. Masalah lain adalah adanya kesulitan memantau pasien,
adanya hipotermi, serta pasien obesitas yang sulit masuk ke jalur MRI.
Pengelolaan anestesi dengan pemberian sedasi dapat dipertanggung jawabkan, juga
untuk infant. Akan tetapi, pada kasus dimana spesialis anestesi dipanggil untuk
membantu MRI pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kritis atau
problem jalan nafas, maka membebaskan jalan nafas dengan intubasi endotrakheal
merupakan pilihan utama, lalu dilakukan ventilasi kendali melalui sirkuit anestesi
yang panjang untuk menjamin adekuatnya ventilasi.

Cerebral Angiography
Angiografi serebral penting untuk mengevaluasi perdarahan subarachnoid dan
penyakit arteri karotis. Paling aman dan paling sering digunakan adalah melalui arteri
femoralis dan penggunaan transfemoral kateter yang didorong sampai ke arteri
karotis. Sayangnya, problem neurologis akibat angiografi masih terjadi. Pada
penelitian prospektif pada 1002 angiogram, kejadian iskemik pada 0-24 jam setelah
prosedur sekitar 1,3% dan 2,5% pada pasien yang sedang diperiksa karena penyakit
serebrovaskuler. Komplikasi kateterisasi yang lain adalah amnesia global selintas,
kebutaan kortikal, sindroma emboli kolesterol multipel.
Bila spesialis anestesi diminta untuk membantu prosedur diagnostik angiografi harus
diingat bahwa medium kontras dapat menyebabkan vasodilatasi dan perasaan
terbakar. Sering dosis sedatif harus dinaikkan untuk melawan rasa tidak enak
tersebut.

Mielografi
Mielografi dilakukan untuk melihat isi sakus thecalis dan setiap penekanan intrinsik
atau ekstrinsik. Kontras media yang dimasukkan langsung ke ruangan subarakhnoid,
akan membypass blood-brain barier. Obat kontras mielografi terbaru bersifat
osmolaritas rendah, nonionik, dan tercampur baik dengan cairan serebrospinal.
Komplikasi utama dari mielografi adalah sakit kepala, komplikasi akibat kontras,

565
suntikan subdural atau epidural, hematom kanalis spinalis, meningitis, kejang, dan
berbagai bentuk defisit neurologis.
Pertimbangan anestesi adalah posisi pasien terutama infant dan anak karena meja
mielogram berputar untuk mendapatkan aliran kontras yang baik.

Obat untuk Kontras


Iodinated agent digunakan untuk angiografi dan mielografi. HOCAs (High Osmolar
Contras Agents) adalah monomer ionik, mempunyai osmolaritas 5-8 kali osmolaritas
serum, sedangkan LOCAs (Low Osmolar Contras Agents) suatu nonionik monomer
mempunyai osmolaritas 2-3 kali osmolaritas serum. LOCAs bersifat lebih hidrofilik
dan sedikit diikat oleh jaringan. Walaupun LOCAs harganya lebih mahal, akan tetapi
karena lebih menguntungkan untuk pasien, maka LOCAs lebih banyak digunakan.
Iodinated contrast agent bersifat nefrotoksik. Setelah efek vasodilatasi ringan,
pembuluh darah renal mengalami vasokonstriksi yang lama. Pasien dengan
insufisiensi renal, diabetes melitus, sindrom curah jantung rendah, beresiko untuk
terjadinya nefrotoksisitas akibat zat kontras ini.
Respons terhadap zat kontras bervariasi dari perasaan panas sampai terjadinya syok
anafilaksis saat obat disuntikkan. Penelitian multi institusi yang besar menunjukkan
bahwa pasien yang diberikan kontras nonionik mempunyai kemungkinan reaksi
alergi berat 1 berbanding 10.000. Pasien yang kemungkinan mempunyai masalah
dengan pemakaian zat kontras adalah yang sebelumnya ada riwayat alergi terhadap
zat kontras, alergi obat, makanan, asthma, dan juga penyakit jantung. Penggunaan
kortikosteroid methylprednisolon 2 kali 32 mg dosis oral, yang pertama diberikan 6-
12 jam sebelum suntikan dan lainnya 2 jam sebelum suntikan, secara nyata
mengurangi kemungkinan terjadi reaksi yang berat. Beberapa pusat menambahkan
pemakaian antihistamin pada regimen steroid tersebut.
Tidak jarang terjadi rasa gatal, merah dan bengkak di muka, leher, dada dan dapat
diterapi dengan pemberian antihistamin. Manifestasi reaksi yang berat dapat berupa
kesulitan bernafas, hipotensi, iritasi kulit yang luas memerlukan terapi epinefrin
intravena (100ug). Alat-alat harus siap di ruang radiologi untuk pengendalian jalan
nafas emergensi dan penambahan beta-2 agonist mungkin berguna untuk terapi
bronkhospasme. Kadang-kadang diperlukan penambahan cairan seperti juga
diperlukannya obat vasoaktif untuk memperbaiki tekanan darah.

ECT (Electroconvulsive Therapy)


ECT digunakan untuk terapi pasien dengan depresi berat yang tidak respons terhadap
terapi obat. Sasaran anestesi adalah memberikan amnesia dengan pemulihan
kesadaran yang cepat, mencegah terjadinya cedera akibat tonic-clonic contracture
misalnya patahnya tulang panjang, mengendalikan respons hemodinamik, dan
menghindari terjadinya kejang. Kontra indikasi absolut dari ECT adalah pasien
dengan hipertensi intrakranial. Kontra indikasi relatif adalah adanya massa
intrakranial dengan tekanan intrakrnial yang normal, aneurisma serebral, infark

566
jantung yang baru terjadi, abgina, gagal jantung cingestif, glauma yang tidak diobati,
fraktur tulangpanjang, thromboplebitis, kehamilan, dan ablasio retina. Pasien yang
sedang diterapi dengan benzodiazepin atau litium, obat tersebut harus dihentikan
sebelum dilakukan ECT. Benzodiazepin adalah antikonvulsan dan menghilangkan
atau mengurangi induced seizure akibat ECT. Litium dihubungkan dengan delirium
setelah ECT. Teknik anestesinya tidak memerlukan premedikasi, pasien tetapp
dipuasakan. Sulfas atropin hanya diberikan bila pasien sebelunnya bradikardia.
Pasang kanula intravena, standar monitor, berikan preoksigenasi dengan oksigen
100%. Anestesi dibereikan dengan propofol dan succinylcholin.

Referensi:
1. Hurford WE et al. Clincal Anesthsia Procedure of the Massachusetts General Hospital.
6th ed, Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2002.
2. Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis : Mosby 1996, 297-329.
3. Matta BF, Menon DK, Turner JM. Textbook of Neuroanesthesia and Critical
care. London :Greenwich Medical Media 2000,413-25.
4. Newfield P, Cottrell JE., eds. Handbook of Neuroanesthesia, 3 rd ed,
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 1999:310-25.

567
MODUL 30 ANESTESIA PASIEN DENGAN
PENYAKIT KHUSUS

Mengembangkan Komepetensi Waktu, Semester 4dan Semester 6

Sesi di dalam kelas Terintegritas waktu menangani pasien


Bangsal dan ICU selama 2 minggu.
Sewsi dengan fasilitas Pembimbing

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual

1.LCD projector dan Screen

30. Laptop
31. OHP
32. Flipchart
33. Video pkayer
Materi prsentasi :

CD Powerr Point

Sarana

5. Ruang Belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruanfg Pulih
8. Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien dari berbagaI bidanga Ilmu dari Bangsal biasa dan ICU

Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : liohat daftar tilik

Referensi :

568
- Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
- Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
- Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

Tujuan Umum :

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat melakukan anestesi dan perioperative care
pada pasien dengan penyakit dan kondisi khusus yang umum didapatkan.

Tujuan Khusus :

Kognitif
1. Mampu menjelaskan patofisiologi gangguan hormon tiroid,dan gangguan
metabolisme karbohidrat

2. Mampu menjelaskan patofisiologi malnutrition- obesitas


3. Mampu menjelaskan perubahan tubuh pada adiksi narkotik
4. Mampu menjelaskan patofisiologi COPD dan Asthma Bronchiale
5. Mampu menjelaskan perubahan fungsi sistim tubuh akibat perubahan degeneratif pada usia
lanjut .
6. Mampu merencanakan anestesi dan postoperative care untuk pasien dengan hipertiroid dan
Diabetes mellitus.
7. Mampu merencanakan anestesi dan post operative care untuk pasien dengan obesitas
8. Mampu merencanakan anestesi dan post operative care untuk pasien dengan adiksi narkotik
9. Mampu merencanakan anestesi dan perioperative care untuk pasien dengan PPOM adan
Asma Bronkiale.
10. Mampu merencanakan anestesi dan postoperative care untuk pasien geriatri
11. Mampu mengatasi komplikasi yang terjadi selama anestesi dan masa perioperatif
pasien dengan penyakit khusus.

Psikomotor
Mampu melakukan anamnesis dan diagnosis fisik pada pasien dengan penyakit khusus yang
akan mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau penyakit lain yang menyertai.

Mampu melakukan persiapan pra anestesi untuk pasien dengan penyakit khusus

569
Mampu melakukan pengelolaan anestesi pada pasien dengan penyakit khusus

Mampu melakukan postoperative care pada pasien dengan penyakit khusus

Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan masalah pasien dan bekerjasama dengan spesialis Bedah

Profesionalism

1. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur


anestesi,pengelolaan nyeri ,kemungkinan efek samping dan prediksi keberhasilan
prosedur anestesi.

2. Mampu mendiskusikan tentang perioperative care,proses anestesi, masalah anestesi


,kemungkinan komplikasi selama pembedahan dan pascabedah dengan spesialis bedah.

Key notes :

1.a. Pada pasien geriatri ,pelbagai perubahan fungsi organ dan adanya berbagai penyakit yang
menyertai membutuhkan pemilihan tehnik dan obat anestesi yang sesuai.

b. Perubahan fungsi ginjal dan liver mempengaruhi dosis pendahuluan maupun

maintenance dan penggunaan multidrug sebaiknya dihindari

2.a. Anestesi dan pembedahan tidak dilakukan pada saat eksarsebasi akut

dan adanya infeksi traktus respiratori pada penderita PPOM dan astma bronkiale.

b. Performance fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator

diindikasikan pada pembedahan besar.

c. Persiapan terapi status asmatikus selama anestesi dan pembedahan adalah mutlak.

3.a. Kadar gula darah dan komplikasi yang diakibatkannya harus terkendali pada

570
persiapan prabedah elektif pasien DM (hipoglikemi, hiperglikemi, ketidakseimbangan
elektrolit,ketoasidosis dll )

b. Perhatian khusus pada kemungkinan telah terjadinya autonomic neurophaty terutam


cardiac autonomic neuropathy yang dapat berakibat fatal.

c. Pengendalian medikamentosa untuk mencapai eutiroid mutlak pada pembedahan elektif


pasien hipertiroid,demikian juga persiapan untuk mengendalikan krisis tiroid selama
pembedahan.

4. Gangguan fungsi tubuh karena obesitas terutama sistim kardivaskuler dan pernafasan
meningkatkan risiko anestesi baik dari segi kesulitan tehnik,pengendalian fungsi vital dan
perawatan pasca bedah.

5.a. Prabedah dapat dilakukan terapi pengganti dengan metadone,premedikasi

dengan opiod. Anestesi pada pasien umumnya berhasil baik dengan obat anestesi
inhalasi.

b. Perhatian terhadap kemungkinan hipotensi yang dapat disebabkan insufisiensi

adrenal.

Gambaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola anesteri dan melaksanakan
asuhan perioperatif pada pasien dengan penyakit-penyakit khusus yang umum didapat.

Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit khusus
yang umum ditemukan, seperti penyakit jantung, penyakit ginjal dan hipertensi, penyakit
endokrin, penyakit paru dan gangguan respirasi, gangguan nutrisi dan obesiats, penyakit hati,
pasien geriatri dan gangguan degeratif, pasien dengan adiksi obat seperti narkotika dan
amfetamin. Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar
hal tersebut dapat direncana tekni, dan jenis obat yang akan dipergunakan. Asuhan medik
perioperatiof sudah tentu dapat dilaksanakan dengan baik

571
Waktu:

Selama semester 5-7,masing masing penyakit khusus 2 kasus

Sumber Pembelajaran
- Buku teks,jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat,ruang pembedahan,PACU

Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperative visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment

Pokok Bahasan Kuliah Interaktif dan Diskusi kelompok


1.Patofisiologi Hipertiroid dan Diabetes Mellitus

2.Patofisiologi Obesitas

3.Perubahan respon tubuh pada adiksi narkotik

4.Patofisiogi PPOM dan Asma bronkiale

5.Perubahan respon tubuh karena usia lanjut dan penyakit penyerta

Evaluasi:
- Pre- test
Dilakukan dengan tes tulis,materi basic knowlegde

- Post test
Dilakukan dengan tes tulis,clinical vignette

- Clinical Performance Assessment


- OSCE

572
- Practice

Kemampuan kognitif,psikomotor dan afeksi yang direfleksikan sebagai


Clinical performance dinilai dari pengelolaan kasus simulasi maupun aktual.

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESI

Sudah Belum
No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesi
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRE OPERASI

1 Informed consent

2 Laboratorium

3 Pemeriksaan tambahan

4 Antibiotik propilaksis

5 Cairan dan Darah

6 Peralatan dan instrumen khusus

ANESTESI

1 Tehnik anestesi

2 Obat anestesi

PERSIAPAN ANESTESI REGIONAL/LOKAL


DAERAH OPERASI

Penderita diatur dalam posisi sesuai dengan letak


1
kelainan

Lakukan desinfeksi dan tindakan asepsis/antisepsis pada


2
daerah operasi

3 Lapangan anestesi dipersempit dengan linen steril

TINDAKAN ANESTESI

1 Induksi, intubasi

573
2 Maintenance

3 Ekstubasi

PERAWATAN PASCA BEDAH

1 Komplikasi dan penangannya

2 Pengawasan terhadap fungsi vital

3 Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : Sudah/Belum dikerjakan beri tanda

Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan
berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan

Memuaskan Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun

x Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan prosedur

Memuaskan standar atau penuntun

DAFTAR TILIK

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

574
DAFTAR TILIK

No. Kegiatan/langkah klinik Kesempatan ke

1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

575
Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

Materi Acuan

1. Menilai kapasitas fungsional pasien dengan obesitas

Penyakit-penyakit penyerta dan perubahan fungsi fisiologis pada pasien gemuk memerlukan
penilaian preoperatif yang lebih teliti; karena hipertensi, aterosklerosis dan kardiomegali
sering ditemukan, juga dapat disertai diabetes. Perubahan patologis yang berat dapat terjadi
pada banyak sistem organ pada pasien obese. Walaupun tidak ada penyakit yang menyertai,
obesitas meningkatkan resiko anestesi.

Fungsi pernapasan: Kapasitas vital dan kapasitas residu fungsional menurun, tetapi closing
volume meningkat. Akibatnya, shunting meningkat sehingga mudah terjadi hipoksemia.
Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan tekanan abdominal terhadap diafragma pada posisi
Supine, Trendelenberg, dan lithotomy. Compliance paru atau dada menurun, kerja napas dan
kebutuhan oksigen meningkat, produksi CO2 meningkat, sehingga menyebabkan hiperventilasi.

Secara teknis, operasi menjadi lebih sulit, karena kehilangan darah lebih banyak dan
meningkatkan resiko infeksi luka operasi.

Balans cairan harus dimonitor lebih ketat. Ventilasi mekanik pasca operasi harus
dipertimbangkan terutama setelah pembedahan abdomen.

Tromboemboli paru dan komplikasi luka lebih sering terjadi sehingga pencegahan, pemeriksaan,
diagnosis dini serta pengobatan penting.

Sindrom Pickwickian ditandai dengan adanya kombinasi obesitas, episode somnolen dan
hipoventilasi yang disertai sianosis, polisitemia, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Pencegahan terjadinya hipoksia sangat penting dan ventilasi mekanik pasca operasi mungkin
diperlukan, terutama setelah pembedahan abdomen.

2. Penilaian pasien dengan diabetes

576
50% pasien yang menjalani pembedahan menderita diabetes. Morbiditas dan mortalitas
perioperatif lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan non diabetes. Terdapat 2 tipe
diabetes:

-Tipe I; tergantung insulin; terjadinya penyakit pada usia muda namun tidak selalu dari kecil.
Penyakit ini ditandai dengan tidak adanya atau aktivitas insulin yang rendah disertai
kecenderungan terjadinya ketoasidosis. Pengobatan terdiri dari penggunaan insulin seumur hidup
dikombinasi dengan diet dan olahraga.

-Tipe II; biasanya timbul pada usia lebih tua (> 40 tahun); tipe ini dapat memiliki kadar insulin
plasma yang rendah, normal, atau tinggi dan kebanyakan disertai obesitas, juga sering
membutuhkan tambahan insulin dari luar untuk mengatasi gejala hiperglikemia. Tipe ini jarang
mengalami ketosis dan tidak tergantung pada insulin.

Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai komplikasi dari diabetes, seperti adanya
pandangan yang tidak normal, harus diperiksa apakah ada perdarahan atau eksudat. Kelainan
denyut nadi dan tekanan darah pada perubahan posisi atau ortostatik dapat menandakan adanya
gangguan fungsi otonom. Harus dilakukan pemeriksaan proprioseptif dan sensorik pada
ekstremitas atas dan bawah untuk mendeteksi adanya neuropati. Jika pada pemeriksaan fisik
jantung, pernapasan dan ekstremitas ditemukan kelainan maka harus dievaluasi apakah ada
insufisiensi aliran pembuluh darah.

Kadar gula darah harus diperiksa. Penilaian kadar gula darah harian dapat membantu penilaian
terhadap derajat diabetes.

Fungsi ginjal harus dievaluasi dengan mengukur kadar ureum kreatinin, klirens kreatinin, nilai
ekskresi protein, elektrolit, analisis urin dan analisis gas darah.

Belum ada kesepakatan mengenai regimen terapi tunggal untuk penanganan perioperatif
penderita diabetes. Pembedahan yang akan dilakukan juga harus dipertimbangkan; satu protokol
perioperatif saja mungkin tidak sesuai untuk semua jenis pembedahan, sehingga penatalksanaan
perioperatif harus dilakukan dengan pendekatan individual.

577
Pengukuran gula darah perioperatif harus dilakukan secara rutin dan pemberian insulin
disesuaikan. Target gula darah sekitar 200 250 mg/dL. Diharapkan dapat mencegah
hipoglikemia maupun hiperglikemia berat.

Masalah yang dapat terjadi pada penderita diabetes antara lain :

- Tingginya gula darah : menimbulkan poliuri, rasa haus, infeksi dan sulitnya penyembuhan
luka
- Ketoasidosis : metabolic asidosis berat, kehilangan natrium dan air ekstrasel, gagal sirkulasi
dan koma
- Penyakit jantung : arteriosclerosis koroner dan meningkatnya resiko operasi
- Gangguan pembuluh darah perifer : pembedahan pada arteri besar sering dibutuhkan dan
memiliki resiko lebih tinggi daripada pasien non diabetes
- Nefropati diabetes : menyebabkan sindrom nefrotik dan uremia
- Neuropati perifer : menyebabkan ulkus pedis
- Neuropati autonom : menyebabkan henti nafas-henti jantung, hipotensi postural,gastroparesis
dan retensi urin. Sleep apnea dan kematian mendadak dapat terjadi karena pemberian obat
yang mendepresi pernafasan
- Retinopati dan katarak : memerlukan oeprasi

Pemberian insulin harus dipertimbangkan pada pasien diabetes yang akan menjalani
pembedahan. Insulin dapat mencegah hiperglikemia dan menghambat mobilisasi lemak, yang
dapat memperberat terbentuknya keton. Dengan pengecualian pasien diabetes tipe 2 yang
terkontrol dengan diet, semua pasien diabetes membutuhkan pemberian insulin sebelum
pembedahan.

3. Penatalaksanaan pasien dengan asma

Penyakit asma ditandai dengan gejala wheezing, sesak nafas atau batuk yang disebabkan
penyempitan jalan nafas ringan sampai berat dalam suatu periode waktu dan membaik secara
spontan atau dengan terapi. Gejala yang timbul disebabkan oleh spasme otot polos bronchial,
sumbatan mucus dan edema jalan nafas, dan dapat dialami pasien semua umur.

Ada 2 tipe penyakit asma :

- Ekstrinsik, disebabkan allergen eksternal yang terlihat

- Intrinsik, gejala timbul pada usia dewasa, bersifat kronik, terus menerus dan sering memerlukan
terapi steroid jangka panjang.

578
Penilaian kondisi penyakit meliputi :

- Anamnesis, frekuensi dan beratnya serangan, faktor pencetus dan riwayat pengobatan
- Pemeriksaan fisik : dengan atau tanpa ronki, fase ekspirasi yang memanjang, overdistensi
rongga dada, adanya infeksi
- Uji fungsi paru (spirometri) : FEV1.0 / FVC sebelum dan sesudah inhalasi bronkodilator,
analisa gas darah bila perlu pada kasus berat.

Hampir 10% dari pasien asma dewasa rentan terhadap aspirin dan obat jenis NSAIDs, sehingga
pemakaian obat tersebut harus hati-hati kecuali terbukti tidak mencetuskan serangan.

4. Penatalaksanaan pasien PPOK

PPOK meliputi semua pasien yang memiliki gangguan/keterbasan inspirasi ekspirasi yang
ireversibel karena bronkitis kronik dan emfisema.

1. Bronkitis kronik adalah kelainan yang ditandai dengan batuk kronik dan berulang yang
ditimbulkan oleh sekresi mukus bronkus yang berlebihan. Hipoksia kronik yang terjadi
dapat menyebabkan polisitemia dan cor pulmonale (blueboater). Hipoventilasi
menyebabkan PCO2 meningkat dan pusat pernafasan menjadi tidak sensitif. Sehingga
bila ada infeksi paru hipoventilasi yang terjadi akan semakin berat. Sputum harus
dikeluarkan dengan drainase postural sebelum dilakukan anestesia. Sebaiknya dilakukan
fisioterapi pre dan post operasi.
2. Emfisema adalah kelainan yang ditandai dengan melebarnya jalan nafas distal sampai ke
bronkiolus terminalis karena kerusakan pada dindingnya. Hal ini menyebabkan hilangnya
kemampuan elastis recoil paru, terjadinya ekspansi rongga dada yang berlebihan,
penutupan jalan nafas yang lebih cepat pada ekspirasi dan gas trapping. Ventilasi dapat
berfungsi dengan baik tapi dengan kerja nafas yang berat (pink puffer). Diafragma
menjadi lebih horisontal dan mendatar dan akan menarik iga bagian bawah pada saat
inspirasi. Otot nafas tambahan seperti otot skalenus dan sternomastoid juga ikut bekerja
saat inspirasi.

Penatalaksanaan preoperatif meliputi:

Deteksi dan pengobatan infeksi aktif. Kultur sputum dan uji sensitifitas harus dilakukan untuk
pemilihan antibiotik.
579
Pengobatan terhadap obstruksi jalan nafas

Pemeriksaan foto thorak untuk mendeteksi adanya pneumothorak spontan atau bula paru.

Pengobatan untuk gagal jantung kongestif yang sering terjadi pada pasien PPOK dan diatasi
dengan pemberian diuretik.

Menghentikan kebiasaan merokok.

7. Penilaian pada penderita penyakit jantung iskemik

Pada penderita ini, sebanyak 15% tidak menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan
fisik maupun EKG saat istirahat. Sebesar 5% penderita berusia lebih dari 35 tahun memiliki
penyakit jantung iskemik tanpa gejala. Pada penderita yang mengalami anestesi dan pembedahan
dalam jangka waktu 3 bulan setelah terjadinya infark, sebesar 40% penderita beresiko untuk
timbul perioperatif infark. Angka ini menurun 15% pada waktu 3 6 bulan dan menurun 5% lagi
setelah 6 bulan.

Angka mortalitas terjadinya infark kembali pasca operasi adalah 40 60%.

Pembedahan elektif seharusnya ditunda sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terjadinya infark


kembali kecuali kalau sangat mendesak.

Unstable angina berhubungan dengan meningkatnya resiko infark miokard perioperatif dan
seharusnya dikontrol dengan beta bloker, nitrat atau kalsium chanel bloker sebelum pembedahan.

Tidak ada bukti bahwa insidens infark postoperatif menurun dengan penggunaan teknik anestesi
lokal atau regional.

Memahami potensi terjadinya interaksi obat perioperatif

Pada penggunaan 2 atau lebih obat yang menghasilkan efek yang tidak diharapkan, dokter
anestesiologi harus mempertimbangkan terjadinya suatu interaksi obat sebagai penyebabnya.
Oleh karena banyaknya kombinasi obat yang digunakan maka semua interaksi obat tidak dapat
diketahui atau diprediksi. Pengetahuan mengenai klasifikasi obat, mekanisme aksi dan potensi
terjadinya efek yang tidak diinginkan dapat membantu memprediksi terjadinya interaksi obat.

580
Interaksi obat terjadi ketika suatu obat merubah intensitas efek farmakologi obat lain yang
diberikan hampir bersamaan. Interaksi obat menggambarkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik. Hasil suatu interaksi obat adalah bertambahnya atau berkurangnya efek dari
satu atau kedua obat, sehingga dapat timbul efek yang diinginkan.

Suatu contoh interaksi obat yang menguntungkan adalah propanolol dengan hydralazine untuk
mencegah peningkatan denyut jantung akibat kompensasi turunnya tekanan darah oleh karena
hydralazine. Interaksi obat juga sering digunakan untuk mengkontra efek agonis obat, misalnya
penggunaan naloxone untuk mengantagonis opioid.

Efek terapi obat yang telah digunakan sebelum perioperatif

Obat anti-hipertensi: Biasanya dilanjutkan sampai saat pembedahan. Terapi yang adekuat
menghasilkan volume darah normal dan mengurangi resiko terjadinya peningkatan atau
penurunan tekanan darah yang berbahaya saat induksi anestesia. Pengisian volume sebelum
induksi dapat mencegah penurunan tekanan darah dan menghindari terjadinya hipovolemi saat
pembedahan adalah hal yang penting. Bradikardi lazim terjadi pasien yang diterapi dengan beta
bloker. Obat parenteral alternatif mungkin diperlukan untuk mengganti obat antihipertensi yang
hanya dapat digunakan secara oral saja, misalnya ACE-inhibitor.

Obat anti-angina: Misalnya calsium channel blocker atau nitrat (NTG) seharusnya tidak
dihentikan sebelum pembedahan tanpa ada alasan spesifik. Kalau perlu, glyceryl trinitrate patch
transdermal yang ditempelkan di dada lateral dapat bertahan selama 24 jam. Spray NTG
sublingual dapat digunakan untuk mula kerja cepat.

Lithium seharusnya dihentikan 2 hari sebelum pembedahan mayor karena dapat mempotensiasi
pelumpuh otot non-depolarisasi; tetapi pada kasus darurat pelumpuh otot depolarisasi
(suxamethonium) dan blok regional dapat dipertimbangkan sebagai alternatif. Toksisitas lithium
dapat terjadi jika pasien dalam keadaan dehidrasi. Umumnya, terapi lithium aman dilanjutkan
sebelum pembedahan minor, asalkan keseimbangan cairan dan elektrolit diperhatikan.

581
Inhibitor MAO tipe A, seperti phenelizine, isocarboxazil dan khususnya tranylsypramine
seharusnya dihentikan 2 minggu sebelum pembedahan elektif. Cara kerja obat ini tidak dipahami
sepenuhya. Reaksi terhadap pethidin, fentanyl dan morfin pernah dilaporkan pada penderita yang
menggunakan MAO inhibitor dan pernah terjadi kematian. Reaksi berupa koma, kedutan otot,
hipotensi, ataksia dan eksitasi serebral. Tidak semua pasien menunjukkan reaksi tersebut, dan
dosis kecil petidin dapat digunakan dengan mengawasi nadi dan tekanan darah. Efek berbahaya
akibat hipertensi dan bahkan kematian dapat terjadi jika obat vasopresor (misalnya adrenalin)
digunakan pada pasien dengan terapi MAO inhibitor, namun dapat dikontra oleh phentolmine.
Untuk analgesi pasca operasi pada penderita dengan terapi MAO inhibitor, kombinasi kodein dan
chlorpromazine dapat digunakan tanpa terjadi efek samping. Analgesia regional dan NSAID juga
dapat digunakan.

Terapi steroid

Sekresi normal hidrokortison dari korteks adrenal adalah 20 mg/hari, namun dapat
meningkat 300 500 mg/ hari sebagai respon terhadap pembedahan dan anestesia.

Terapi steroid mensupresi produksi ACTH (hormone adrenocorticotrophine) di kelenjar


pituitari anterior. Terjadi atrofi kortex adrenal dan selanjutnya tidak bisa lagi mensekresi ACTH.
Hal ini mengakibatkan hipotensi selama dan sesudah anestesi dengan adanya penurunan
sensitivitas terhadap katekolamin. Terapi kortikosteroid selama 1 minggu dapat menyebabkan
depresi korteks; biasanya pulih 2 bulan setelah penghentian steroid, namun efeknya dapat
berlangsung lebih dari setahun dan pada sebagian kasus tidak dapat pulih sama sekali. Tidak ada
tes sederhana yang memuaskan untuk menilai cadangan adrenokortikal. Umumnya lebih aman
untuk mengamsumsi bahwa tidak ada cadangan adrenal dan untuk memberikan hidrokortison
ekstra selama perioperatif (misalnya hidrokortison 100 mg intramuskular sebelum pembedahan
dan dilanjutkan 6 8 jam untuk 24 jam setelah pembedahan minor; dan terapi selama 3 hari pada
pembedahan mayor.

Tabel: Mekanisme interaksi obat

CONTOH EFEK

1.Inkompatibilitas Thiopenton dan Presipitat


suxamethonium
farmasetik
Analgesik opioid & obat
2.Mengganggu absorpsi oral Absorpsi lebih lama

Obat Aspirin & warfarin

582
3.Perubahan distribusi obat Perdarahan

(mis. tidak berada di

tempat ikatan protein

plasma) Adrenalin dan propanolol

4.Reseptor kompetitif Antagonisme

5.Perubahan metabolisme

Hepatik Phenobarbital dan warfarin

- Induksi enzim Cimetidine dan obat Penurunan efek warfarin


- Inhibisi enzim lainnya
Pemanjangan efek
Halothane & ketamine
- Perubahan aliran
darah hepatik
6.Gangguan ekskresi Eliminasi lebih lama

- Renal
Probenesid & penisilin

7.Antagonisme atau
Konsentrasi tinggi
potensiasi obat yang Alkohol dan barbiturat penisilin

bekerja di sistem Potensiasi

fisiologis yang sama atau


pada waktu yang sama

8.Perubahan
keseimbangan cairan dan
elektrolit

9. Dan lain-lain

583
Table : Mechanism of drug interaction

Premedikasi

Target dari pemberian premedikasi adalah :

1. Mengatasi kecemasan, takut dan nyeri


2. Mengurangi sekresi jalan nafas
3. Membantu efek hipnotik obat anestesia umum
4. Mengurangi mual muntah pasca operasi
5. Menimbulkan amnesia
6. Mengurangi volume dan meningkatkan pH isi lambung
7. Mencegah reflek vagal
8. Mencegah respon simpatoadrenal.

Mengatasi kecemasan

Rasa cemas secara efektif dapat diatasi dengan cara non farmakologis yaitu dengan psikoterapi.
Cara ini dapat dilakukan saat kunjungan preoperative dengan menjelaskan apasaja yang akan
dilakukan selama perioperatif dan mendapat kepercayaan sehubungan dengan yang dicemaskan
dan ditakutkan pasien. Pada beberapa pasien penjelasan dan memberi keyakinan tidak cukup
efektif menghilangkan rasa cemas dan takut, sehingga diperlukan bantuan medikasi yang bersifat
anxiolitik seperti benzodiazepine.

Mengurangi sekresi jalan nafas

Obat anestesi lama seperti eter dapat menimbulkan sekresi jalan nafas faring dan kelenjar
bronkial yang berlebihan, sehingga premedikasi antikolinergik seperti atropin sangat diperlukan.
Dengan keberadaan obat-obat anestesia modern saat ini seperti halotan, maka efek yang
dihasilkan menjadi tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tanpa pemberian. Walaupun
demikian beberapa ahli anestesia tetap menggunakan obat antikolinergik untuk mengurangi
sekresi yang terjadi karena penggunaan alat-alat untuk mengamankan jalan napas seperti pipa

584
orofaring atau pipa endotrakea. Penggunaan ketamin juga dapat menimbulkan sekresi yang
berlebihan sehingga pemberian antikolinergik sangat diperlukan.

Sedasi

Sedasi berbeda dengan penghilang kecemasan (anxiolysis). Beberapa obat seperti barbiturat dan
opioid mempunyai efek sedasi namun tidak mempunyai efek menghilangkan kecemasan. Pada
umumnya tidak diperlukan penggunaan sedasi sebelum operasi kecuali pasien merasa perlu.

Antiemetik pasca operasi

Antiemetik dapat diberikan sebagai premedikasi namun akan lebih efektif bila diberikan pada
saat pengakhiran anestesia.

Menimbulkan amnesia

Pasien seharusnya mengalami amnesia sesaat menjelang operasi karena operasi adalah suatu
pengalaman yang kurang menyenangkan bagi banyak pasien. Akan tetapi beberapa ahli anestesi
berpendapat bahwa amnesia tidak seharusnya diberikan pada pasien anak, karena akan
menyamarkan keadaan tidur alami atau efek akibat amnesia sehingga pasien anak akan
terbangun pada saat diinsisi.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa amnesia retrograde tidak akan tercapai. Namun
amnesia anterograde ( setelah pemnberian obat ) dapat diperoleh dengan penggunaan
bezodiazepin.

Menurunkan volume dan meningkatkan pH isi lambung

585
Pada pasien dengan resiko muntah dan regurgitasi, dapat dipergunakan obat untuk membantu
pengosongan lambung dan peningkatan pH isi lambung. Hal ini dapat dicapai dengan
menggunakan :

Metoclopramide, untuk obat antiemetik


Antacids, untuk meningkatkan pH lambung
Cimetidine and Ranitidine (histamine H2-receptor antagonists), untuk meningkatkan pH
isi lambung dan menurunkan volume asam lambung.

Penurunan reflek vagal

Bradikardi adalah menifestai dari stimulasi reflek vagal yang dapat berakibat fatal. Hal ini dapat
terjadi pada beberapa keadaan :

Penarikan otot-otot mata, yang lebih sering terjadi pada otot rectus medialis pada operasi
strabismus yang menyebabkan bradikardi dan atau aritmia (reflek okulokardiak). Premedikasi
dengan atropine dapat mencegah efek ini.

Pemberian berulang suxamethonium sering diikuti dengan bradikardi yang dapat menyebabkan
asistole. Pemberian atropine sebelum pemberian suxamethonium akan membantu mencegah
kejadian ini.

Induksi anestesia dengan menggunakan halotan pada anak dikaitkan dengan kejadian bradikardi.
Pemberian atropin dapat mencegah komplikasi ini.

Mengurangi respon simpatoadrenal

Induksi anestesia dan intubasi dihubungkan dengan aktivitas simpatoadrenal, yang


bermanifestasi dengan takikardia, hipertensi dan peningkatan katekolamin plasma.respon ini
dapat membahayakan pasien dengan hipertensi atau penyakit jantung iskemik. Untuk
menurunkan respon tersebut dapat digunakan beberapa obat sebagai premedikasi :

Opioid
- bloker
Agonis reseptor 2

586
Referensi :

1. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004

2. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006

3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.

4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

MODUL 31 ANESTESIA PASIEN DENGAN


PENYAKIT LANGKA

Mengembangkan Komepetensi Waktu, Semester 6

Sesi di dalam kelas Terintegritas waktu menangani pasien


Bangsal , Kamar Operasi dan ICU selama 2
Sewsi dengan fasilitas Pembimbing minggu.
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual

1. LCD projector dan Screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video pkayer
Materi prsentasi :

CD Powerr Point

Sarana

587
1. Ruang Belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruanfg Pulih
4. Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien dari berbagaI bidanga Ilmu dari Bangsal biasa dan ICU

Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Anesthesia and Uncommon Diseases edisi 5, Lee A. Fleisher, MD.


2. Anesthesia and Uncommon Diseases, Jonathan Benummof dan Katj

Tujuan Umum :

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat melakukan anestesi dan perioperative care pada
pasien dengan penyakit langka..

Tujuan Khusus :

Kognitif
1. Mampu merencanakan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau
penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu menjelaskan patofisiologi penyakit-penyakit langka.
3. Mampu menjelaskan anestesi dan perawatan pasca anestesi untuk pasien penderita penyakit
langka.
4. Mampu menjelaskan komplikasi yang terjadi selama anestesi dan masa perioperatif pasien
dengan penyakit langka.

588
Psikomotor
1. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
untuk diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit
primer atau penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu melakukan persiapan dan optimalisasi pra anestesi untuk pasien dengan penyakit langka.
3. Mampu melakukan pengelolaan anestesi pada pasien dengan penyakit langka.
4. Mampu melakukan perawatan pasca anestesi pada pasien dengan penyakit langka.

Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan masalah pasien dan bekerjasama dengan spesialis terkait.

Profesionalisme

1. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur


anestesi,pengelolaan nyeri ,kemungkinan efek samping dan prediksi keberhasilan prosedur
anestesi.

2. Mampu mendiskusikan tentang perioperative care,proses anestesi, masalah anestesi ,kemungkinan


komplikasi selama pembedahan dan pascabedah dengan spesialis spesialis terkait.

Key notes :

1. Penyakit langka adalah penyakit yang jarang dijumpai, tidak hanya karena jumlahnya
yang sedikit, tapi juga mempunyai gejala, patofisiologi, dan morfology yang tidak biasa.
2. Penyakit langka melibatkan dan mempengaruhi beberapa system tubuh yang mempunyai
konsekuensi yang sangat berbeda terhadap.
3. Penyakikt langka memerlukan penanganan multidisipliner, perwatan dan monitoring
khusus.

Gambaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola anestesi dan melaksanakan asuhan
perioperatif pada pasien penyakit langka yang dirawat karena penyakitnya atau penyakit penyerta.

589
Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit langka,
Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar hal tersebut dapat
direncana pemilihan teknis, obat, perawatan, dan monitoring yang akan dipergunakan. Asuhan medik
perioperatiof penyakit langka dilaksanakan dengan baik

Waktu:

Selama semester 6, selama 2 minggu.

Sumber Pembelajaran
- Buku teks,jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat,ruang pembedahan,PACU

Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperative visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment

Pokok Bahasan Kuliah Interaktif dan Diskusi kelompok


1.Patofisiologi Penyakit langka.

2.Penatalaksanaan anestesi penyakit langka.

Evaluasi:
- Pre- test
Dilakukan dengan tes tulis,materi basic knowlegde

- Post test
Dilakukan dengan tes tulis,clinical vignette

- Clinical Performance Assessment


- OSCE

590
- Practice

Kemampuan kognitif,psikomotor dan afeksi yang direfleksikan sebagai


Clinical performance dinilai dari pengelolaan kasus simulasi maupun aktual.

Pre test

a) Marfans syndrom
1. Sebutkan manifestasi klinis marfans syndrom
2. Bagaimanakah patofisology kelainan marfans syndrom
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesi pada marfans syndrom
b) Tetralogy of Fallots
1. Sebutkan manifestasi klinis tetralogy of fallots
2. Bagaimanakah patofisiology Tetralogy of Fallot
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesi pada penderita tetralogy of
fallots
4. Apa yang dimaksud ted spell dan bagaimana penatalaksanaanya
c) Myasthenia gravis
1. Sebutkan gejala dan klinis tanda tanda klinis myasthenia gravis
2. Bagaimanakah patofisology myasthenia gravis
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesi myasthenia gravis
d) Pheochromocytoma
1. Sebutkan gejala dan tanda klinis pheochromocytoma
2. Bagaimanakah patofisiology pheochromocytoma
3. Pemeriksaan apakah yang diperlukan untuk pheochromocytoma
4. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesi pada penderita pheochromocytoma
e) Hiperthemi maligna
1. Sebutkan manifestasi klinis dan diagnosa hyperthermi maligna
2. Bagaimanakah patofisiology hyperthermi maligna
3. Bagaimanakah penatalaksanaan anesthesi pada curiga hypertermy maligna
4. Bagaimanakah penatalakanaan hyperthermi maligna
f) Thalasemia
1. Bagaimanakah patofisilogy thalasemia
2. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesi penderitra thalasemia
3. Apakah potensial problem anestesi pada thalasemia

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESI

No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesi Sudah dikerjakan Belum dikerjakan

591
PERSIAPAN PRE OPERASI

1 Informed consent

2 Laboratorium

3 Pemeriksaan tambahan

4 Antibiotik propilaksis

5 Cairan dan Darah

6 Peralatan dan instrumen khusus

ANESTESI

1 Tehnik anestesi

2 Obat anestesi

3 Lapangan anestesi dipersempit dengan linen steril

TINDAKAN ANESTESI

1 Induksi, intubasi

2 Maintenance

3 Ekstubasi

PERAWATAN PASCA BEDAH

1 Komplikasi dan penangannya

2 Pengawasan terhadap fungsi vital

3 Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : Sudah/Belum dikerjakan beri tanda

Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan
berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan

Memuaskan Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun

x Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan prosedur

Memuaskan standar atau penuntun

592
DAFTAR TILIK

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK

No. Kegiatan/langkah klinik Kesempatan ke

1 2 3 4 5

593
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

Materi Acuan

Pheochromocytoma

Pheocromacytoma adalah suatu tumor glandula suprarenalis yang menghasilkan


cathecolamine.sehingga menyebabkan hipertensi, meski insidensi hypertensi karena pheochromocytoma
kecil < 0,1%. Tetapi angka kematian pheochromocytoma yang berhubungan dengan tinggi 25 - 50%.

Catecholamine dilepas dari akhir syaraf simpathis postganglion. Catecholamine disentesa dari
tyrosine melaluli hydroksilasi menjadi dopa, dopa melalui dekarboksilasi menjadi dopamine di dalam sel
dopamine diubah menjadi norepinephrine, norephineprine oleh phenyl-ethanolamine-Ntranferase diubah
menjadi epinephrine di adrenal, sedikit di dalam system saraf dan sebagian diglia.

Nyeri dan tress intubasi menyebabkan pelepasan catecholamine yang berlebihan. Pada penderita
pheochromocytoma dengan stres ringan apat menyebabkan piningkatan kadar cathecholamin sampai 10x
pada pasien normal.manipulasi pada tumor meski hati hati dapat meyebabkan peningkatan kadar
catecholamine didarah hingga 100 -500x.

Tanda tanda klinis penderita pheocrhomocytoma : paroksimal sweating hiprertensi, sakit kepala,
sebagai tanda klinik yang sensitif dan spesifik dibandingtest laboratrium.

Obat obat antagonist adrenergik preoperatif,( bloker)direkomaendasikan karena ( bloker)


menurunkan komplikasi insiden krisis hipertensi perioperatif dan menurunkan insiden dysfungsi myocard
perioperatif. Obat obatan anestesi secara theory menguntungkan tapi ytidak secara klinis. Persipan

594
preoperatif yang optimal, hati hati induksi anestesi bertahap dan komunikasi yang baik antara team bedah
dan team anestesi merupakan hal yang penting.

Malignant hyperthermia

Malignant hyperthermia jarang terjadi, pada pasien anak-anak 1: 15.000, pada pasien dewasa 1:40.000.

Myopati yang karakteristik oleh kejadi

an acute hypermetabolistik state dalam jaringan otot akibat induksi general anasthesia dapat juga terjadi
pada pasca bedah lebih dari 1 jam setelah anestesai tanpa diketahui agen yang mencetuskannya.

Tanda-tanda malignant hperthermia

Hypermetabolisme

- kenaikan produksi CO2


- kenaikan konsumi oksigen
- asidosis metabolik
- cyanosis
- low mixed venoumgs oxgen tension
- mottling

peningkatan aktivitas simpatis

- takikardia
- intial hypertension
- aritmia
-
- hipernatremia
- hiperfosfatemia
- mioglobinemia
- mioglobinuria

kerusakan otot

- spasme masseter
- generalized rigidity
- kenaikan serum kreatin kinase
- hiperkalemia

Hipertermi

- demam
- berkeringat

595
Patofisiologi MH

- suksinilkolin atau anestesi inhalasi sendiri dapat mencetuskan episode MH

obat-obat yang di ketahui dapat mencetuskan MH

- obat anestesi inhalasi


- siklopropane
- halotane
- methoxyflurane
- enflurane
- isoflurane
- desflurane
- sevoflurane
- pelumpuh otot depolarisasi

Penatalaksanaan MH

1. Penghentian obat anestesi volatil dan suksinilkolin. Call for Help


2. Hiperventilasi dengan Oksigen 100% dengan aliran tinggi
3. Pemberian sodium bikarbonat, 1-2 mEq/kgBB IV
4. Campuran dantrolene sodium dengan aqua bidest dan berikan 2,5 mg/kg IV, secepat mungkin
5. Institute cooling measures (lavage, cooling blanket, cold intravenus soluttion)
6. pemberian obat inotropik dan antiaritmia bila perlu
7. Penambahan obat dantrolene jika dibutuhkan
8. Ganti pipa anestesi dan sodalime
9. Memantau urine output, kalium, kalsium, gas darah, end tidal CO2, melakukan pemeriksaan
pembekuan
10. Obati hiperkalemia berat dengan dextrose, 25-50 g IV, dan reguler insulin, 10-20 U intravenous.
11. Mempertimbangkan pemasangan monitoring invasiv dari tekanan darah dan CVP

MYASTHENIA GRAVIS

Adalah gangguan pada neuro muscular junction (NMJ) dengan karakteristik kelemahan otot yang
fluktuasi dan kelemahan yang abnormal. NMJ dimulai dari presinaptic dan postsinaptik yang dipisahkan
oleh ruang sinap. Terminal saraf mengndung acitelcoline membrane-enclosed synaptic vesicles, yang
akan dilepas sebagai respon terhadap potensial aks. Molekul asetilkolin kemudaian akan diikat oleh
reseptor postsinap dan menimbulkan suatu potensial aksi otot. Selain acquired myastenia gravis dan
Eaton-Lambert syndrome, beberapa toksin dan obat-obatan dapat menebabkan myasthenic-like syndrom
yang menyerupai NMJ, termasuk Botulism, tetanus, racun ular, aminoglikosida, hipermagnesemia,
quinidine, dan racun organophosfat

596
Acquired Myasthenia Gravis

Sindroma klasik berupa kelemahan yang fluktuasi dan kelelahan termasuk ocular dan otot-otot lain yang
dipersarafi nervus kranialis. Dengan memburuknya gejala dalam satu hari. Menyerang berbagai usia,
wanita pada usia < 40 tahun dan pria > 60 tahun. Gangguan terjadi akibat penurunan asetilkolin pada
postsinaptik. Reseptor asetilkolin dinonaktifkan oleh antibodi dengan cara blokade jalan masuk ke
reseptor asetilkolin.

Differential Diagnosis dari Myasthenia gravis

Tanda-tanda :

- kelemahan yang fluktuatif


- kekakuan dari otot mata dan otot lain yang dipersarafi saraf kranial
- rasio gender
perempuan : laki 3:2

perempuan umur 40 tahun, laki umur 60 tahun.

- 2/3 hiperplasia timus; 10 % tymoma


- Dalam 50 % keluhan awal pasien melibatkan otot extra okular
- Ptosis
- Diplopia
- Pandagan yang selalu mengarah keatas
Wajah tanpa ekspresi

- suara kasar dan pelan


kesulitan mengunyah dan menelan, resiko aspirasi

sesak napas daari ringan sampai sedang.

Dua pertiga pasien mempunyai hiperplasia timus dan 10% timoma. Sekitar 10 % dari kasus MG
dihubungkan dengan penyakit autoimun, termasuk hipertiroidesme, polimiolitis, SLE, Syogren syn,
rematoid artritis, ulcerative colitis, sarcoidosis dan anemia pernisiosa. MG dapat pula terjadi pada pasien
yang diterapi D-Penisilamine dan terapi interferon dan setelah transplantasi bone marrow.

Sekitar 50 % pasien dengan gejala awal melibatkan otot extra oculer, tetapi bulbar dan otot anggota gerak
mungkin juga terlihat di awal.

597
Klasifikasi MG

I. Ocular myasthenia
II. Chronic generalized
A. Mild
B. Moderate
III. Acute, Fulminating
IV. Late, Severe

Faktor resiko dihubungkan dengan Intubasi lama setelah krisis MG

Serum HCO3 > 30 mg/dl sebelum intubasi

Vital Capacity puncak < 25 mL/kg

Umur > 50 tahun

Komorbid : atelektasis, anemia, congestive heart failure, infeksi clostridium

Sindroma Marfan

Sindroma Marfan adalah kelainan pada jaringan konektif, utamanya mengenai kardiovaskular,
tulang, dan sistem ocular. Akan tetapi kulit, fasia, paru-paru, otot rangka, dan jaringan lemak dapat juga
terkena. Etiologi adalah mutasi pada FBNI, gen yang memberikan sandi fibrillin-1, suatu komponen
utama dari myofibril-miofibril ekstrasellular, yang merupakan komponen-komponen utama dari serabut-
serabut elastik yang menyangga dermis, epidermis dan zonula okuler. Jaringan konektif pada kelainan ini
menurunkan kekuatan regangan dan elastisitas.

Manifestasi-manifestasi kardiovaskular termasuk dilatasi aorta asendens dan insufisiensi aorta.


Kehilangan serabut-serabut elastik pada bagian tengah dapat juga sebagai penyebab dilatasi pada arteri
pulmonal dan insufisiensi mitral akibat dari meregangnya korda tendinea. Iskemia miokard
memperlihatkan nekrosis medial arteriol-arteriol koroner demikian juga halnya dengan disritmia dan
gangguan-gangguan konduksi telah diketahui dengan baik.

Ahli anestesi sebaiknya menyiapkan untuk kemungkinan terjadinya potensi intubasi yang sulit
(lihat tabel di bawah ini).

Pertimbangan-pertimbangan Anestetik pada Pasien dengan Sindroma Marfan

598
Intubasi sulit

Kista paru

Penyakit restriktif paru

Gangguan-gangguan disritmia dan/atau konduksi

Dilatasi aorta dan arteri pulmoner, diseksi/ruptur aneurisma aorta

Insufisiensi aorta dan/atau mitral

- Pertimbangkan antibiotik profilaksis untuk endokarditis bakterial subakut

Iskemia miokard; gagal jantung

- Pertimbangkan blocker

Kecenderungan dislokasi mandibula/servikal/pinggul

Laringoskopi hendaknya dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan jaringan dan
utamanya untuk mencegah hipertensi dengan resiko diseksi aorta yang menyertai. Penderita sebaiknya
diposisikan dengan hati-hati untuk menghindari cidera-cidera pada tulang belakang servikal atau sendi
lainnya termasuk dislokasi. Bahaya hipertensi pada pasien dengan sindroma Marfan telah diketahui
dengan jelas. Adanya insufisiensi aorta menjamin bahwa tekanan darah (khususnya tekanan diastolik)
yang cukup tinggi untuk memberikan aliran darah koroner yang cukup tetapi tidak begitu tinggi yang
berisiko menyebabkan diseksi aorta. Memelihara tekanan darah pasien normal adalah rencana yang
terbaik. Tidak ada satupun obat anestetik atau teknik anestesi intraoperatif yang memperlihatkan
keunggulannya. Namun jiika terdapat kista paru, ventilasi tekanan positif dapat menyebabkan
pneumotoraks. Pada saat ekstubasi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah mencegah peningkatan
tekanan darah atau denyut jantung yang tiba-tiba. Penatalaksanaan nyeri pasca operatif yang adekuat
sangat penting untuk mencegah efek-efek yang merugikan dari hipertensi dan takikardia.

Referensi :

1. Anesthesia and Uncommon Diseases edisi 5, Lee A. Fleisher, MD.


2. Anesthesia and Uncommon Diseases, Jonathan Benummof dan Katz

599
MODUL 32 TRAUMATOLOGI II

Mengembankan Komepensi Waktu (semester 4)

Sesi di dalam kelas Traumatologi I, adalah suatu rotasi


yang membutuhkan paling sedikit 1
Sesi dengan fasilitas Pembimbing bulan (4 minggu) semester 2 ke atas
yang meliputi penanganan trauma pada
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
tahan awal.

Persiapan Sesi

Audiovisual

LCD projector dan Screen

Laptop

OHP

Flipchart

Video pkayer

Materi prsentasi :

CD Powerr Point

Sarana

Ruang Belajar

Ruang pemeriksaan

Ruanfg Pulih

Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut

Kasus : pasien di ruang Resusitasi di Unit Gawat Darurat/ICU/Bangsal Biasa

Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

600
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :
Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Emergency Medicine Manual (to be announced)

Trauma anesthesia and critical care (ITACCS publication)

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk melakukan
pengelolaan lanjut pasien trauma baik fase critical care tanpa pembedahan, fase pembedahan dan
pasca bedah

2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

e. KOGNITIF
1. Mampu menjelaskan kebutuhan monitoring fungsi vital pada pasien trauma yang tidak
memerlukan pembedahan segera
2. Mampu menjelaskan kebutuhan life support pada pasien trauma yang tidak memerlukan
pembedahan segera
3. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk berbagai pembedahan
penyelamatan (damage control surgery)
4. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk pembedahan definitif
5. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, renal support, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang tidak memerlukan pembedahan segera
6. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, renal support, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang menjalani pembedahan dan pada masa pasca bedah
7. Mampu menjelaskan tehnik hemodilusi dan transfusi masif
8. Mampu menjelaskan hipotermia insidental maupun hipotermia yang disengaja untuk
konservasi organ

f. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan perawatan perioperatif dan peritrauma
2. Mampu melakukan monitoring fungsi vital dengan alat maupun tanpa alat

601
3. Mampu melakukan Prolonged Life Support di bidang pernafasan, sirkulasi darah dan
kesadaran serta fungsi otak.
4. Mampu melakukan komunikasi dan koordinasi perawatan pasien dengan Tim Dokter
Spesialis lain dan Tim Perawat serta Paramedik lainnya
5. Mampu melakukan anestesia khusus untuk pembedahan penyelamatan maupun
pembedahan definitif.
6. Mampu membaca ECG dan foto sinar-X thorax, vertebra cervical, dan CT scan kepala.

g. KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL


1. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang manfaat,
risiko dan prosedur perawatan lanjut korban trauma
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter dan tim perawat untuk perawatan komprehensif
multi-disiplin korban trauma

h. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medik penanganan lanjut korban
trauma
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medik penanganan lanjut
korban trauma ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki ketrampilan cukup untuk melakukan tindakan
medik penanganan lanjut korban trauma secara multi-disiplin dan komprehensif

3. KEY NOTES

1. Obat induksi yang umum dipergunakan untuk pasien trauma adalah ketamin dan
etomidat. Walaupun setelah resusitasi cairan cukup, kebutuhan intuksi dengan propofol
sangan berkurang untuk pasien trauma (80 90 %). Walaupun obat-obat seperti ketamin
dan N2O yang normalnya tidak langsung menstimulasi fungsi jantung, dapat
memperlihat efek kardiodepresan pada pasien dalam keadaan syok dan telah menerima
stiumulan simpatikus. Hipotensi dapat diatasi setelah pemberian etomidat.

2. Pemantauan invasif (arteri langsung, vena sentral, monitor arteri pulmonal) sangat
menolong dalam memandu resusitasi cairan tetapi penempatan monitor ini tidak akan
mengurangi resusitasi sendiri. Serial Ht atau Hb, pengukuran gas darah arteri, elektrolit
serum (terutama K+ ) sangat berharga pada resusitasi yang berkepanjangan.

3. Korban trauma dengan gangguan kesadaran harus ditertimbagkan menderita cedera


otan.Tingkat kesadaran dinilai dengan Serial Glasgow Coma Scale

602
4. POKOK BAHASAN

i. Monitoring fungsi vital jangka panjang dengan pemindai elektronik


ii. Penggunaan ventilator dengan berbagai patologi pasien yang menyebabkan
interaksi berbeda
iii. Thoracic drainage dan pompanya
iv. Monitoring tekanan intra-kranial
v. Penggunaan pompa infus, pompa suntik (syringe-pump), alat untuk membuat
hipotermia / hipertermia
vi. Pembacaan foto sinar-X dan CT scan kepala
vii. Resusitasi otak
viii. Sedasi dan analgesia pasien trauma

5. GAMBARAB UMUM

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien trauma yang telah mendapat
resusitasi tahap awal untuk dilakukan terapi selanjutnya di ICU atau anestesia untuk pembedahan
dan pengelolaan pasca bedah serta penangulangan nyeri pasca bedah.

6. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pada sesi Traumatologi II ini, peserta dididik untuk mampu mengelola setelah pasien melalui
Primary Survey urutan ABC. Pasien menjalani berbagai pemeriksaan, klinik, neurologik,
laboratorium, radiologi, CTScan, dan pemeriksaan diagnostik lain invasif atau noninvasif untuk
persiapan anestesia jika diperlukan pembedahan; sesuai lokasi trauma yang dialami pasien. Dalam
sesi ini peserta akan mampu mengelola periperatif sampai pasien dirawat di ICU.

5. METODE :

d. Kuliah
h. Pretest dan Post test
i. Latihan dengan manikin dan simulator
j. Praktik pada pasien yang dirawat di Ruang Resusitasi Gawat Darurat, Ruang Observasi
Intensif, ICU atau yang setara

6. SUMBER PEMBELAJARAN

a. SDM: Dokter Spesialis Anestesiologi sebagai pengajar, pelatih dan penilai

603
b. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah Sakit setara Klas B
pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c (Metode)

7. MEDIA : LCD dan laptop computer, video

8. ALAT BANTU : Manikin dan simulator

9. EVALUASI

a. Kognitif: Uji lisan, MCQ dan Extended Medical Question,OSCE dan evaluasi harian.

b. Psikomotor: OSCE dan evaluasi harian

c. Komunikasi dan hub interpersonal: pengamatan beberapa observer beberapa kali

d.Profesionalisme: pengamatan beberapa observer beberapa kali

10. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. EVALUASI PASIEN TRAUMA PASCA RESUSITASI


AWAL

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESI

3. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN NEUROLOGIK,


termasuk Skala GCS

4. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL

6. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI ENDOKRIN

8. MENILAI HASIL FOTO-FOTO SESUAI LOKASI


TRAUMA, CTScan atau lainya seperti, FAST, DPL

9. MENILAI HASIL EKG

604
10. MENENTUKAN STATUS FISIK ASA

11. PERSIAPAN PRAANESTESI DI KAMAR OPERASI:

A. Persiapan mesin anestesi

B. .Persiapan STATICS

C. PERSIAPAN OBAT-OBAT DAN CAIRAN INFUS

D. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

E. Pemantauan selama anestesia

F. Pengelolaan pasca bedah di ruang pulih

G. Penanggulangan nyeri

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. PERSIAPAN PRAANESTESI

a. Penilaian hasil laboratorium

b. Penilaian hasil Foto toraks

c. Penilaian hasil EKG

d. Penilaian hasil CT scan kepala/leher/ toraks/ abdomen

e. Penilaian hasil Echocardiografi

605
f. Optimalisasi kondisi pasien

2. PERSIAPAN DI KAMAR OPERASI

a. Persiapan STATICS

b. Persiapan mesin anestesi

c. Persiapan peralatan anestesi regional

d. Persiapan dan pemasangan alat monitor noninvasif

f. .persiapan dan pemasangan alat monitor invasif

h. PEMANTAUAN SELAMA ANESTESI

i. Pencegahan dan pengelolaan segera kegawatan selama anest

3. PENGELOLAAN PASCA BEDAH

a. Penanggulangan nyeri

b. Indikasi rawat ICU

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

606
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

607
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Secondary survey mulai hanya bila urutan ABC stabil. Pasien dievaluasi dari kepala sampai kaki jika
terdapat indikasi, misalnyaadiologi, tes laboratoriuym atau prosedur diagnotsik invasif. Pemeriksaan
kepala mencakup kulit kepala dan rambnt, mata dan telinga. Pemeriksaan neuroligik meliputi, skala
GCS, fungsi motorik dan sensorik dan refleks-refleks. Pemeriksaan dada untuk menilai adanya
pneumotoraks, tanponade perikard. Pemeriksaan abdomen untuk evaluasi anya perdarahan intraabdomen.
Pemeriksaan ekstrimitas untuk menentukan adanya fraktur atau luksasi. Kateter urin dan pipa nasogastrik
biasanya juga dipasang.

Pemeriksaan laboratorium termasuk darah lengkap (Hb, Ht), elektrolit, gula dfarah, ureum, kreatinine.
Analisa gas darah akan sangat menolong. Foto toraks harus dibuat pada trauma berat. Pada trauma leher
harus diperiksa foto PA, Lateral dan swimmer view leher; kalau perlu CTScan. FAST (Focused
assessment with sonography for trauma) dilakukan bnila mungkin untuk mendeteksi perdarahan

608
intraperitoneal atau tamponade perikard. Tergantung lokasi cedera dan status hemodinamik pemeriksaan
imaging lain dapat dianjurkan CTScan dada, angiografi atau diagnotic peritoneal lavage (DPL) jika ada
indikasi.

Pada beberapa trauma senter juga menyelenggarakan tertiary trauma survey untuk menghindari missed
injuries(cedera yang tidak tertangkap). Antara 2 % 50 % cedera trauma luput dari primary dan
secondary survey terutama setelah trauma tajam multipel (kecelakaan kendaraan). Tertiary survey dapat
didefinisikan sebagai evaluasi pasien yang mengidentifikasi dan mendaftar semua cedera setelah
resusitasi awal dan intervensi operatif. Hal yang tipikal ini dilakukan dalam 24 jam setelah cedera.
Evaluasi (delayed evaluation) ini biasanya berakhir pada pasien yang sudah mulai sadar yang dapat
mengkomunikasikan semua keluhan dan lebih terperinci menjelaskan terjadinya cedera. Tertiary
survey terjadi sebelum pasien dipulangkan untuk reevaluasi dan konfermasi cedera yang diketahui dan
identifikasi hal yang tidak mungkin terjadi. Reevaluasi ini termasuk pemeriksaan head to toe dan
mempelajari semua pemeriksaan laboratorium dan imaging. Missed injuries dapat mencakup fraktur
tungkai dan pelvik, medula spinalis dan cedera kepala dan saraf abdominal dan saraf perifer.

Konsiderasi anestesia

Konsiderasi umum

Anestesia regional tidak praktis dan tidak tepat untuk pasien dengan kondisi hemodinamik yang tidak
stabil dan keselamatan teranjam.

Kalau pasien tiba di kamar operasi sudah terintubasi perbaiki posisi . Pasien dengan kecurigaan trauma
kepala dilakukan hiperventilasi untuk menurunkan tekanan intrakranial. Jika tidak terintubasi, prinsip-
prinsip yang tetap dipergunakan mempertahankan airway di kamar operasi. Jika memungkinkan ,
hipovolemia diperbaiki dulu sebelum melakukan intubasi. Resusitasi cairan dan transfusi SDM selama
induksi dan pemeliharaan anestesia..

Lambang penuh adalah kondisi yang akan dihadapi pada trauma mendadak; dimana kita tidak mungkin
mengaman jalan napas dengan obat yang menurunkan volume gastrik dan keasaman lambung. Upaya
yang tepat melaklukan induksi cepat (rapid sequence induction) dan penekanan krikoid. Hati-hati jika
menekan krikoid pada pasien dengan fraktur servikal karena berpotensi merusak medula spinalis
servikal.

Sebagai tindakan alternatif intubasi pipa endotrakea, LMA masih dapat dipergunakan untuk proteksi
trakea, atau untuk memfasilitasi intubasi yang akan dibantu dengan bronkoskop fiberoptik. Pada pasien
dengan trauma maksilofasial , LMA dapat pula dipergunakan untuk menghindari aspirasi bekuan darah

609
dan sekret faring . Walaupun LMA dapat dipakai untuk ventilasi tekanan positif tetapi sulit dilaksan akan
untuk pasien dengan kontusio paru, edema atau aspirasi. Problem ini mungkin diatasi lagi dengan teknik
mempergunakan intubating laryngeal mask (ILM) yaitu intubasi buta dengan memasukkan pipa
endotrakea kecil ( No, 6) melalui LMA.

Induksi anestesia pada pasien trauma umumnya mempergunakan ketamin atau etomidat. Propofol
dipergunakan dengan dosis yang sangat diturunkan (80 90 %) pada trauma berat walaupun telah diberi
resusitasi cfairan yang adekuat. Ketamin dan N2O yang normalnya merupakan stimulan kardiak tak
langsung, masih berefek kardiodepresan pada pasien pada pasien yang mengalami syok dan sudah
terjadi stimulasi simpatikus maksimal. Hipotensi dapat juga dihanbat setelah induksi etomidat.

Pemeliharaan anestesia pada pasien yang tidak stabil mempergunakan terutama obat pelumpuh otot dan
titrasi anestetik umum (MAP > 50 60 mmHg) yang cukup menghasilkan amnesia. Intermiten ketamin (
10 15 mg tiap 15 menit) cukup baik memberikan toleransi dan membuat pasien lupa, terutama jika
dipergunakan volatil anestetik dosis kecil (< 0,5 MAC).

TABLE. SUMMARY OF NONVOLATILE ANESTHETIC EFFECTS ON ORGAN SYSTEMS

Cardiovascular Respiratory Cerebral

Agent HR MAP Vent B'dil CBF CMRO2 ICP

Barbiturates

Thiopental

Thiamylal

Methohexital 0

Benzodiazepines

Diazepam 0/ 0

Lorazepam 0/ 0

Midazolam 0

Opioids

Meperidine 2 2

610
Cardiovascular Respiratory Cerebral

Agent HR MAP Vent B'dil CBF CMRO2 ICP

Morphine2 2 2

Fentanyl 0

Sufentanil 0

Alfentanil 0

Remifentanil 0

Ketamine

Etomidate 0 0

Propofol 0 0

Droperidol 0 0 0

HR, heart rate; MAP, mean arterial pressure; Vent, ventilatory drive; B'dil, bronchodilation; CBF, cerebral blood flow; CMRO 2, cerebral oxygen
consumption; ICP, intracranial pressure; 0, no effect; 0/ , no change or mild increase; , decrease (mild, moderate, marked); , increase (mild,
moderate, marked).

2
The effects of meperidine and morphine on MAP and bronchodilation depend upon the extent of histamine release.

Adjuvan lain agar pasien tidak ingat dapat dipergunakan midazolam (1 mg intermiten) atau skopolamin
0,3 mg. Penggunaan N2O dibatasi pada pasien taruma yang diduga pneumotoraks. Pada pasien yang
mengalami syok lebih mempergunakan pola penatalaksanaan yang aman untuk pasien yaitu pemberian
dosis secara inkremental untuk semua obat anestetik.

Pemanatauan invasif ( arteri langsung, CVP, PAWP) akan sangat menolong untuk memandu resusitasi
cvairan, tetapiu insersinya tidak akan menghambat reesusitasi itu sendiri.

Trauma Kepala dan Medula Spinalis

611
Tiap Korban trauma dengan ganguan kesadaran dipikirkan adanya cedera otak.. Tingkat kesadaran
dinilai dengan mempergunakan skala GCS Scale. Umumnya cedera ini memerlukan tindakan bedah
segera termasuk, hematom epidural, subdural hematom akut, cedera tembus otak, atau tekanan pecahan
tulang tengkorak. Cedera lain yang dapat dikelola secara konservatif, adalah fraktur basis kranii dan
hematom intra serebral. Fraktur basis krani sering memberikan gejala memar pada kedua kelopak mata
(raccoon eyes), atau hematom diatas prosesus mastoid (Battles sign), cairan serebrospinal keluar
melalui hidung dan telinga (CSF rhinorrhea). Gejala lain cedera otak, berupa gelisah, konvulsi, disfungsi
saraf otak (misalnya pupil nonreaktif). Gejala klasik Triad Cushing (hipertensi, bradikardia, gangguan
pernapasan) adalah terlambat dan tidak dapat dipastikan yang biasanya mendahuli herniasi otak.
Hipotensi jarang karena hanya cedera kepala.

Cedera otak sering disertai oleh peningkatan tekanan intrakranial karena perdarahan otat atau edema.
Hipertensi intrakranial dikontrol dengan kombinasi resktriksi caiaran (kecuali terdapat syok
hipovolemik), diuretik (misalnya mannitol 0,5 g /kg), barbiturat dan hyperventilasi agar terjadi
deliberate hypocapnia (Pa CO2 28 32 mmHg); dua yang terakhir memerlukan intubasi endotrakea.
Hipertensi atau takikardia selama intubasi dapat ditekan dengan pemberian lidokain atau fentanil
intravena. Intubasi sadar dapat cepat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemasangan pipa nasotrakea
atau pipa nasogastrik pada pasien dengfan fraktur basis kranii mempunyai risiko perforasi plat
kribriformis (bagian etmoid) dan infeksi cairan serebrospinal. Meninggikan posisi kepala dapat
memperbaiki drainage vena dan menurunkan tekanan intrakranial. Pemakaian kortikosteroid pada
cedera kepala masih kontroversial. Hiperglikemia harus dicegah dan diobati dengan insulin. Hipotermia
sedang terbukti menguntungkan untuk pasien dengan cedera kepala karena dapat mencegah iskemi
yang dicetuskan oleh trauma (ischemia-induced injury).

Pada bagaian otak yang cedera, autoregulasi aliran darah otakterganggu; hipertensi arterial akan
memperburuk edema serebri dan meningkatkan tekanan intrakranial.Tetapi hipotensi arterial
menyebabkan iskemia serebral. Umumnya tekanan perfusi serebral (selisih MAP pada level otak dan
CVP yang lebih besar atau ICP) yang seharusnya dipertahankan sekitar 60 mm Hg.

Pasien dengan cedera otak berat lebih mudah mengalami hipoksemia arterial karena tak sebandingnya
pintas paru (pulmonary shunting) ventilasi / perfusi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh aspirasi,
atelektasis, atau efek neurologik langsung terhadap pembuluh darah paru. Hipertensi intrakranial dapat
mempengaruhi pasien terjadi edema paru karena peningkatan outflow simpatikus.

Tingkat gangguan fisiologik setelah cedera medula spinalis proporsional dengan level lesi. Selama
intubasi dan transportasi harus dilakukan hati-hati untu mencegah kerusakan lebih berat. Lesi tulang
servikal dapat melibatkan saraf frenikus (C3-C5) dan mengakibatkan apne. Hilang fungsi interkostal
terbatas pada cadangan paru dan kemampuan batuk. Cedera torak tinggi (T1-T4) akan mengganggu
saraf simpatikus jantung hingga condong bradikardia. Cedera mendadak medula spinalis dapat
menyebabkan syok medula spinalis, kondisi spesifik karena hilangnya tonus simpatikus pada pembuluh

612
darah dibawah lesi; akibatnya terjadi hipotensi, bradikardia, arefleksia, atonia gastrointestinal. Gejala
yang segera terlihat, distensi vena kaki. Hipotensi memerlukan resusitasi cairan yang cepat, tetapi
diperlambat jika kemungkinan edema paru. Suksinil koline dapat berakibat fatal diberikan cedera
medula spinalis karena menyebabkan hiperkalemia hebat yang mengancam jiwa. Tetapi dilaporkan
masih aman jika diberi dalam 48 jam setelah trauma. Kortikosteroid dosis tinggi (metilprednisolon 30
mg/jg kemudian 5,4 mg/kg/jam selama 23 jam) dapat memperbaiki outcome neurologik pada pasien
dengan trauma medula nspinalis. Hiperrefleksi autonomik berkaitan dengan lesi di atas T5 tetapi tidak
menjadi masalah selama menejen mendadak.

Trauma dada

Trauma dada dapat sangat membahayakan fungsi jantung dan paru.terutama syok kardiogenik dan
hipoksia. Pneumotoraks sederhana adalah adanya akumlasi udara diantara pleura prietalis dan viseralis.
Ipsilateral jarinan paru kolaps akan menyebabkan gangguan hebat ventilasi / perfusi dan hipoksia. N2O
akan memperbesar pneumotoraks, karena itu menjadi kontra indikasi untuk pasien ini. Pengobatannya
masang waters seal; drainage pada sela iga 4 5 di garis midaksiler antrerior. Jika masih bocor, yang
cedera mungkin mengenai cabang bronkus utama.

Pneumotoraks tegang (tension pneumothorax) terjadi bila udara masuk ke dalam rongga pleura jalan
berkatup (one-way valve) di paru atau dada; atau udara masuk dengan paksa melalui inspirasi tetapi tidak
dapat keluar selama ekspirasi. Akibatnya ipsilateral paru kolap sedang kan mediastinum dan trakea
bergeser ke sisi kontra lateral. Pneumotoraks sederhana dapat berkembang menjadi pneumotoraks
tegang bila ventilasi diberi tekanan positif. Darah balik ke jantung dan ekspansi paru kontra lateral
terganggu. Gejala klinik adalah hilangnya suara napas pasa sisi ipsilateral dan hiperresonan pada perkusi,
trakea bergeser kontralateral serta vena-vena leher membesar. Terapinya, tusukan jarum ukuran 14 gauge
se dalam 3 6 cm pada sela iga ke 2 di garis midklavikular; akan merubah pneumotoraks tegang
menjadi pneumotoraks terbuka (open pneuthorax).Selanjut dilakukan terapi definitif seperti
pneumotoraks biasa.

Fraktur iga multipel akan mengganggu integritas toraks hingga terjadi flail chest. Hipoksia sering
diperburuk oleh kontusion paru atau hemotoraks sebelumnya pada pasien ini. Hemotoraks dan
hemomediastinum dapat menyebabkan syok hemorhagik. Hemoptisis masif mungkin memerlukan
pemasangan double lumen tube (DLT) atau single lumen tube dan bronchial blocker agar bekuan darah
tidak masuk ke paru sehat.

Tamponade jantung adalah ceder dada yang mengancam keselamatan pasie yang harus segera diketahui.
Gejala berupa, Trias Beck (distendid vena leher, hipotensi, suara jantung lemah), pulsus paradoxus (a >

613
10 mmHg tekanan darah turun selama napas spontan. Pengobatan sementara dapat dilakukan berupa
perikardiosentesis. Penatalaksanaan anestesia harus memaksimalkan efek kardioinotropik,
khronotropik,dan preload. Karena alasan ini ketamin dapat dianjurkan sebagai obat induksi.

Kontusio miokard biasanya didiagnosis denbgan melihat perubahan ECG berupa iskhemia (elevbasi ST
segmen), elevasi enzim ( kreatin kinase MB atau level tyroponin), atau ekhokardigram abnormal.

ARDS (acute respiratory distress syndrome) biasanya merupakan komplikasi kemudia setelah trauma
yang mempunyai banyak penyebab : sepsis, cedera toraks, aspirasi, cedera kepala, emboli lemak,
transfusi masif, keracunan oksigen. Kematian ARDS dapat mencapai 50 % walapun sudah dilakukan
dengan teknologi tinngi.

Trauma abdomen

Pasien dengan trauma berat sebaiknya dipertimbangkan juga mengalami cedera abdomen sampai terbukti
tidak. Hampir 20 % pasien dengan cedera intraabdominal tidak nyeri dan tanpa gejala iritasi peritoneum
(defans otot, nyeri ketok atau ileus) pada pemeriksaan pertama.

Luka tembus abdomen biasanya jelas dengan tanda masuk ke perut atau dada bagian bawah; mengenai
organ hati. Pasien cenderung dimasukkan menjadi 3 kelompok : 1) pulseless, 2) hemodynamically
unstable, 3) stable. Pasien dengan pulseless dan unstable hemodynamic, sulit mempertahankan
tenkanan darah antara 80 90 mmHg dengan 1 2 L resusitasi cairan; segera untuk persiapan
laparatomi. Sebaliknya pada trauma tembus abdomen dengan hemodinamik stabil dan tidak disertai gejala
klinis peritonitis memerlukan evaluasi yang teliti untuk menghindari tindakan laparatomi yang tidak
perlu. Gejala klinis cedera intra-abdominal mencakup adanya udara bebas dibawah diafragma
(pemeriksaan radiologi), darah dari nasogastrik, hematuria, darah dari rektum. Trauma tumpul yang yang
paling menonjol sebagai penyebab kematian dan kesakitan dari trauma dan yang paling terkenal adalah
trauma intraabdominal. Yang paling sering terjadi adalah limpa robek atau pecah.

Hipotensi berat dapat terjadi setelah rongga perut dibuka karena efek tamponade dari ekstravasasi darah
atau usus yang distendid dikeluarkan. Bila waktu memungkinkan, persiapkan dulu pasien dengan
rsusitasi cairan atau darah sebelum tindakan ;laparatomy. Pemakaian N2O dihindarkan untuk mencegah
dilatasi usus. Transfusi masif sebaiknya diantisipasi terutama bila trauma abdomen berkaitan dengan
perdarahan dari pembuluh darah hati, limpa, atau cedera ginjal, fraktur pelvik, atau retroperitoneal. Jika
terjadi komplikasi hiperkalemia karena transfusi darah masif, harus segera diobati.

614
Perdarahan masif intra abdomen memerlukan resusitasi caiaran dan darah yang banyak dan kadang-
kadang operator menjepit aorta abdominal dengan risiko injuri iskhemic hati, ginjal dan kungkai. Hal ini
harus diantisipasi dengan baik tidak sampai terjadi komplikasi, gagal organ terkait bdan rabdomiolisis.

Edema usus progresif karena cedera dan resusitasi cairan dapat mengganggu penutupan dinding perut
pada akhir operasi. Kalau dinding perut terlalu tegang, tekanan intra-abdomen meningkat dan
mengakibatkan abdominal compartment syndrome hingga terjadi iskemia ginjal dan splanknikus.
Oksigenisasi dan ventilasi sering sangat terganggu, walapun otot dinding perut sudah cukup relasasi
(paralisis). Pada kasus ini dinding perut dibiarkan terbuka dan hanya ditutup dengan plastik steril selama
48 72 jam sampai edema hilang dan penutupan sekunder dapat dilakukan..

Trauma ekstrimitas

Cedera ekstrimitas dapat mengancam nyawa karena berkaitan dengan cedera pembuluh darah besar
komplikasi infeksi sekunder. Cedera pembuluh darah dapat cederung masif dan mengancap
kelangsungan hidup tungkai. Misaknya, fraktur femur dapat dikaitkan dengan kehilangan 1 2 L darah
dan fraktur tertutup pelvik kehilangan darah lebih banyak lagi dan mengakibatkan syok hipvolemik.

Emboli lemak berkaitan dengan fraktur pelvik dan fraktur tulang panjang, hingga menyebabakan
insufisiensi, disritmia, petechera kulit dan kemunduran mental dalam 1 3 hari setelah trauma.

REFERENSI

Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Emergency Medicine Manual (to be announced)

Trauma anesthesia and critical care (ITACCS publication)

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 200

615
MODUL 33
POST ANESTHESIA CARE
UNIT (PACU)

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4 minggu (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

11. LCD Projector dan screen


12. Laptop
13. OHP
14. Flipchart
15. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

8. Ruang belajar
9. Ruang pemeriksaan
10. Ruang Pulih
11. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

616
Referensi :

8. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
9. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The Ambulatory Anesthesia Handbook.
St Louis: Mosby;1995,431-49.
2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology 2002; 96(3).

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum
dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh
dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau
perlu operasi lagi.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:

Kognitif

10. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di PACU
11. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,
12. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
13. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
14. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
15. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
16. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
17. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
18. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
19. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
20. Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk anestesi lokal atau akibat
kateternya.
21. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah ke ruangan atau ke
PACU fase 2).
22. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah).
23. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU.

617
Psikomotor

7. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan obat-obatan yang harus ada
di PACU.
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan
nafas,
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
10. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
11. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
12. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
13. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
14. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
15. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
16. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
17. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: akibat
penusukan jarum untuk anestesi regional atau kateternya.
18. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi
Aldretes score
19. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah)
dengan PADSS score.
20. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU.

Komunikasi

2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan ulang akibat pembedahannya.
3. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter untuk anestesi regional.

Professionalisme

3. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi pascabedah.


4. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan postoperatif pasien pascabedah
baik yang dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional.

KEYNOTES:

10. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum stabil, ventilasi dan
oksigenasi adekuat, stabil hemodinamik.
11. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan
curah jantung. Efek fisiologis sering kurang dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan
fungsi paru dan jantung.
12. Masalah respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi, yang dihubungkan dengan
obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.
13. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu obat anestesi
14. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi pada
pasien yang mengalami hipoventilasi.
15. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi di PACU

618
16. Nyeri dari daerah insisi, intubasi endotrakheal, distensi kandung kemih merupakan
penyebab hipertensi.
17. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret score
18. Pemulangan pasien kerumahnya berdasarkan kriteria PADSS

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan ketrampilan dalam
membuat design PACU, emergens dari anestesi umum, transportasi dari OK, pemulihan dari
anestesi umum, pemulihan dari anestesi regional, pengelolaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil
dan hipotermi, kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria pemulangan dari RS ke
rumah, pengelolaan komplikasi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi,
hipertensi, aritmia.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum
dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh
dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau
perlu operasi lagi.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

16. Bahan acuan (references)


17. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
18. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: mampu mengelola pasien pasca anestesi umum dan regional di PACU

Metode pembelajaran
13. Small group discussion
14. Peer assisted learning (PAL)
15. Bedside teaching
16. Task-based medical education

Tujuan 2: mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori)

Metode pembelajaran
5. Small group discussion
6. Peer assisted learning (PAL)

619
7. Bedside teaching
8. Task-based medical education

Tujuan 2: kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap)

Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

13. Papan tulis


14. Komputer
15. LCD dan slide projector
16. Pasien di kamar bedah dan PACU

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

13. Virtual patients


14. Reading assigment
15. Audiovisual
16. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

13. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

14. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

620
15. Communication and Interpersonal Skills
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

16. Professionalism
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pretest

45. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di PACU!
46. Bagaimana cara mendesign PACU?
47. Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan cara mengatasinya!
48. Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldretes score!
49. Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS!
50. Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal sebelumnya tidak
direncanakan masuk ICU!

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

10. Kognitif
a.
EMQ (Extended Medical Question)
b.
Multiple observation and assessments
c.
Multiple observers
d.
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e.
Minicheck
11. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
12. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments

621
b. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PENGENALAN KOMPLIKASI

1 Pemasangan monitor

2 menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas,

3. menilai dan mengatasi komplikasi hipoksemia

4 menilai dan mengatasi komplikasi hiperkarbia.

5 menilai dan mengatasi komplikasi hipotensi.

6 menilai dan mengatasi komplikasi hipertensi.

7 menilai dan mengatasi komplikasi: aritmia.

8 menilai dan mengatasi komplikasi menggigil.

9 menilai dan mengatasi komplikasi PONV.

10 menilai dan mengatasi komplikasi delirium.

11 menilai dan mengatasi komplikasi akibat penusukan jarum


untuk anestesi regional atau kateternya.

12 menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan


Modifikasi Aldretes score

13 menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh


pulang kerumah) dengan PADSS score.

14 menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

622
DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

623
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Definisi Pemulihan
Pemulihan adalah proses yang kontinu dan proses tersebut secara tradisional dibagi
dalam 3 bagian yang saling tumpang tindih: early recovery, saat pasien bangun dari anestesi;
intermediate recovery, bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila pasien
kembali ke keadaan fisiologis seperti sebelum operasi.

Early recovery (phase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat anestesi supaya pasien
bangun, pulih refleks proteksi jalan nafas, dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya
terjadi di PACU dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang suatu
sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1,
atau 2 ditujukan untuk aktivitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor

624
maksimalnya 10. Penggunaan pulse oximetri dapat menolong lebih akuratnya indikator
oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna
pada Aldrete skor dengan SpO2 pada Modifikasi Aldrete Skoring sistem. Bila pasien mencapai
skor 9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke ruang pulih fase 2 dimana fase 2
recovery terjadi sampai mencapai kriteria untuk dipulangkan. Phase 3 recovery terjadi setelah
keluar dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari.

Tabel 1: Aldrete Scoring System dan Modifikasi Aldrete Scoring System

untuk menentukan kapan pasien siap keluar dari PACU.

Tabel 2. Criteria for Fast Tracking and Discharge

Post Anesthesia Recovery Score

(Modified Aldrete Score)

Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.

1=moves two extremities

625
0=unable to move extremities

Respiration
2=breathes deeply & cough freely

1=dyspneic, shallow or limited breathing.

0=apneic

Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level

1=BP20-50 mm of preanesthetic level

0=BP50 mm of preanesthetic level

Oxygen saturation
2=SpO2 > 92% on room air

1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90%

0=SpO2<92% with O2 supplementation

10 = total score; 9 = for PACU discharge/bypass

Fast Tracking
Tersedianya obat dengan mula kerja cepat dan lama kerja pendek untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi akan memfasilitasi cepatnya pulih setelah operasi bedah sehari. Sebagai
hasilnya, pasien dapat mencapai skor 9 atau 10 ketika tiba di PACU. Pasien-pasien ini juga
mungkin lebih cepat pulih di unit phase 2. Biasanya, semua pasien ditransfer ke PACU, tak
terkecuali dengan Aldrete skor 9 atau 10, tetap diperlukan untuk tinggal di PACU hanya sebagai
persyaratan/protokol perawatan. Faktor-faktor ini yang kadang memperlambat pasien yang telah
betul-betul pulih untuk meninggalkan PACU.

Teknik Fast-tracking akan menyebabkan pasien dari kamar bedah langsung dipindahkan
ke pemulihan phase 2 tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti
akan menekan biaya sehingga akan menguntungkan bagi pasien. Pada kasus pediatrik, orang tua
pasien tidak diperbolehkan ada di PACU karena tempatnya terbatas, akan tetapi, diijinkan masuk
ASU (Ambulatory Surgical Unit) saat induksi anestesi. Anak-anak mendapat keuntungan
tambahan dengan fast-tracking karena cepat berkumpul dengan orang tuanya.

Penelitian Song menunjukkan bahwa pasien yang dianestesi dengan desfluran dan
sevofluran untuk rumatan anestesi ketika ligasi tuba, menunjukkan lebih cepat bangun daripada
dengan propofol. Modifikasi Aldrete aslinya digunakan untuk memenuhi syarat fast track.
Sistem skoring ini tidak mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang
sering terlihat di PACU. White dkk, memasukkan faktor nyeri dan muntah kedalam Skoring
Aldrete. Dengan sistem skoring yang baru skor maksimum adalah 14 dan bila skore pasien 12
dapat dapat langsung ke fase 2 .

626
Tabel 3: Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan kapan

pasien dapat ditransfer langsung dari kamar bedah ke Recovery

Phase 2.

Score

Level of consciousness

Awake and oriented 2

Arousable with minimal stimulation 1

Responsive only to tactile stimulation 0

Physical activity

Able to move all extremities on command 2

Some weakness in movement of extrimities 1

Unable to voluntarily move extremities 0

Hemodynamic stability

Blood pressure < 15% baseline MAP value 2

Blood pressure 15-30% of baseline MAP value 1

Blood pressure > 30% of baseline MAP value 0

Respiratory stability

Able to breathe deeply 2

Tachypnoe with good cough 1

Dyspneic with weak cough 0

Oxygen saturation status

Maintains value >90% on room air 2

Requires supplemental oxygen (nasal prong) 1

Saturation < 90% with supplemental oxygen 0

Postoperative pain assessment

627
None or mild discomfort 2

Moderate to severe pain controlled with iv analgesics 1

Persistent severe pain 0

Postoperative emetic symptoms

None or mild nausea with no active vomiting 2

Transient vomiting or retching 1

Persistent moderate to severe nausea and vomiting 0

Total score 14

MAP=mean arterial pressure

Definisi Postanesthetic care: Kepustakaan tidak memberikan standar definisi


postanesthetic care. Pada Practice Guidelines, postanesthetic care dihubungkan dengan
aktivitas yang dilakukan untuk mengelola pasien setelah selesainya operasi dan anestesi.

Adanya Practice Guideline for Post Anesthetic Care (PGPAC) ini bertujuan untuk
memperbaiki outcome postanesthetic care yang diberikan anestesi atau sedasi dan analgesi. Hal
ini dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti-bukti dan memberikan rekomendasi untuk
penilaian pasien, pemantauan, dan pengelolaan dengan sasaran optimalisasi keselamatan pasien.
Diharapkan bahwa setiap rekomendasi akan individual bergantung pada kebutuhan setiap
pasien.

Fokus dari Guidelines pada pengelolaan pasien perioperatif dengan sasaran


memperbaiki kualitas hidup post anestesia, mengurangi efek yang tidak diinginkan pascabedah,
memberikan penilaian pemulihan pasien yang seragam, dan pelurusan kriteria postoperative
care dan discharge. Guidelines ini diperuntukan untuk semua umur yang telah mendapat
anestesi umum, anestesi regional, sedasi sedang dan dalam. Guidelines ini mungkin perlu
dimodifikasi untuk pasien anak atau geriatri. Guidelines ini tidak ditujukan untuk pasien yang
dilakukan infiltrasi anestesi lokal tanpa sedasi, pasien yang menerima sedasi minimal, dan
pasien yang harus dirawat di ICU .

Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and Monitoring

Routine Selected patients

Respiratory

Respiratory rate

628
Airway patency

Oxygen saturation

Cardiovascular

Pulse rate Electrocardiogram

Blood pressure

Neuromuscular

Physical examination Neuromuscular blockade

Nerve stimulator

Mental Status

Temperature

Pain

Nausea and Vomiting

Urin

Voiding

Output

Drainage and bleeding

Pengelolaan perioperatif dan postanesthetic pasien termasuk penilaian secara periodik


dan pemantauan dari fungsi respirasi dan kardiovaskuler, neuromuskuler, status mental,
temperatur, nyeri, mual dan muntah, drainase dan perdarahan, serta urin.

Fungsi respirasi: literatur menunjukkan bahwa penilaian dan pemantauan fungsi


respirasi selama pemulihan, dengan pulse oksimetri, dapat mendeteksi secara dini adanya
hipoksemia. Penilaian dan pemantauan secara periodik/ berkala dari patensi jalan nafas,
frekuensi nafas, SpO2 harus dilakukan pada emergence dan pemulihan.

Fungsi kardiovaskuler: pemantauan denyut nadi, tekanan darah, elektrokardiografi dapat


mendeteksi komplikasi kardiovaskuler, mengurangi outcome yang buruk, dan harus dilakukan
selama emergence dan pemulihan.

Dari tabel diatas yang rutin berarti harus dilakukan secara rutin pada semua kasus
sedangkan selected patient tidak selalu dilakukan bergantung pada kasusnya, jadi bersifat
individual.

629
Pemulangan Pasien
Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang tepat
waktu setelah anestesi. Chung dkk membuat sistim skoring yang disebut PADSS
(Postanesthesia discharge scoring system) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk
dipulangkan. Untuk menjamin pendelegasian yang aman pada perawat, suatu sistem skoring
harus praktis, simpel, mudah untuk diingat, dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan
5 kriteria yaitu: 1) tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, temperatur), 2)
ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5) perdarahan akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor
mencapai 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan
bahwa dengan menggunakan PADSS pasien dapat dipulangkan dalam waktu 1-2 jam
pascabedah.

Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien yang aman
antara lain:
Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery.

Vital signs must have been stable for at least 1 hour

The patient must be

Oriented to person, place, and time

Able to retain orally administered fluids

Able to void

Able to dress

Able to walk without assistance

The patients must not have

More than minimal nausea and vomiting

Excessive pain

Bleeding

The patient must be discharge by both the person who administered

anaesthesia and the person who performed surgery, or by their designates.

Written instruction for the postoperative period at home, including a

contact place and person, must be reinforced.

The patient must have a responsible, vested adult escort them home and

630
stay with them at home.

Tabel 6: PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS seperti terlihat dibawah
ini:

Tabel 7: Modified PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

631
AFTER
GUIDE
LINES

Dapatkah pasien aman dipulangkan tanpa toleransi terhadap cairan peroral?


Di masa lalu, klinisi enggan untuk memulangkan pasien kerumahnya bila tidak bisa
minum karena adanya mual atau alasan lainnya. Kepustakaan tidak cukup untuk
mengevaluasi keuntungan minum cairan sebelum pulang. Schreiner dkk meneliti anak
dan menemukan lebih tingginya kejadian mual dan lambat pulang pada yang disuruh
minum daripada yang minum bila merasa haus .
PGPAC merekomendasikan bahwa minum pascabedah tidak dimasukkan kedalam
protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu. Karena itu, staf
medis dan perawat harus berfikir bahwa minum bukan merupakan prasyarat untuk pemulangan
pasien sehingga protokol untuk pemulangan pasien harus dimodifikasi.

Apakah Voiding/kencing diperlukan sebelum dipulangkan?


Voiding umumnya dipertimbangkan sebagai syarat mutlak untuk pulang setelah operasi
rawat jalan untuk mencegah berkembangnya retensi urin setelah pasien dipulangkan. Tuntutan
bahwa pasien harus kencing sebelum dipulangkan mungkin tidak perlu memperpanjang lama
tinggal di RS. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan urin telah dilaporkan memperlambat
kepulangan pada 5-19% pasien setelah bedah rawat jalan.

Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi
bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri,
kecemasan, atau efek sisa dari anestesi spinal atau epidural. Faktor resiko untuk retensi urin
adalah ada riwayat retensi urin, anestesi spinal/epidural, operasi pelvik atau urologi, katerisasi
perioperatif. PGPAC merekomendasikan bahwa urinasi sebelum pasien dipulangkan tidak

632
merupakan bagian dari protokol pemulangan pasien dan mungkin hanya diperlukan untuk untuk
pasien tertentu. Bila voiding merupakan bagian dari pemulihan, pasien dapat dipulangkan
dengan instruksi yang jelas untuk minta pertolongan apabila tidak bisa kencing dalam 6-8 jam
pascabedah.

Pemulangan pasien setelah Anestesi Regional


Sejumlah teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan mulai dari
anestesi spinal sampai ke blok ekstrimitas. Pasien yang dilakukan anestesi regional mempunyai
kriteria pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesi umum.

Anestesi Spinal
Anestesi spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan anestesi umum yaitu lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan
nyeri pascabedah. Disamping keuntungan tsb, anestesi spinal bukannya tanpa masalah. Lidokain
adalah obat yang populer untuk anestesi spinal akan tetapi mempunyai masalah dengan
terjadinya TNS (transient neurologic symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian
lidokain intratekal dan kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%.

Penelitian menunjukkan perbedaan pendapat. Vaghadia dkk menemukan bahwa anestesi


spinal dengan lidokain memperlambat pemulihan, peneliti yang lain mengatakan pemulangan
pasien dengan anestesi spinal lebih cepat daripada anestesi umum. Wong dkk menemukan
bahwa pemulangan pasien sama antara spinal dan anestesi umum pada pasien yang mengalami
antroskopi.

Akibat adanya kekhawatiran kemungkinan efek neurotoksik dari lidokain


membawa minat kearah pemilihan obat anestesi lokal yang lain. Bupivakain merupakan
alternatif lain dari lidokain, akan tetapi mempunyai lama kerja yang lebih panjang, yang
memungkinkan akan memperlambat pemulangan pasien. Berbagai usaha dilakukan
untuk mengurangi dosis bupivakain yang diperlukan untuk anestesi dengan harapan
pemulihannya cepat. Dosis kecil bupivakain 4-8 mg dapat digunakan untuk mencapai
pemulangan yang sama dengan spinal lidokain. Penambahan fentanyl menyebabkan
sinergistik analgesia dan dapat mengurangi dosis bupivakain, lebih cepatnya ambulasi,
dan mengurangi resiko retensi urin. Banyak penelitian yang mendukung hal ini
(misalnya tambahkan 10 ug fentanyl pada 5mg bupivakain). Sebelum pasien
diperbolehkan berjalan, penting untuk menilai apakah motor blok telah regresi. Bila
sensasi perianal (S4-5) normal, pleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki, pasien
aman untuk dimulainya ambulasi.

Faktor yang memperlambat Pemulangan Pasien


Tujuan suksesnya unit ambulatory adalah pemulangan pasien yang aman tepat waktu.
Ada beberapa faktor yang memperlambat waktu pemulangan pasien. Meningkatnya umur
dihubungkan dengan lambatnya pemulihan, suatu perbedaan umur 10 tahun dihubungkan

633
dengan 2% perubahan lama tinggal. Operasi THT, strabismus, congestive heart failure
merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya pemulangan. Faktor intraoperatif
adalah anestesi umum, operasi yang lama, adanya kejadian kardiak intraoperatif. Nyeri
pascabedah dan PONV juga merupakan faktor yang memperlambat pemulangan pasien, selain
itu kadang-kadang masalah logistik akan memperlambat pemulangan pasien.

Nyeri pascabedah dan PONV adalah 2 faktor utama yang memperlambat pemulihan.

Nyeri
Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestesi yang baru,
spesialis anestesi harus mengembangkan untuk pengelolaan nyeri pascabedah yang
efektif, yang harus dipikirkan sejak saat prabedah. Analgesi harus dimulai di kamar
bedah dan dilanjutkan dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya
pemberian obat, dan dengan mempertimbangkan faktor emosional yang akan menambah
nyeri, adalah elemen penting untuk keberhasilan terapi nyeri.
Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk nyeri
pascabedah, akan tetapi, adanya efek samping seperti depresi nafas, sedasi, PONV akan
mengurangi keuntungan opioid untuk analgesi pascabedah. Keadaan ini yang
menyebabkan berkembangnya pemakaian NSAID pada pasien bedah rawat jalan.
Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac, fentanyl
memberikan hasil yang unggul dalam 15 menit pertama, karena itu, kedua kelompok
obat (opioid dan opioid) memberikan hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,5-
2mg/kg) memberikan hasil yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada
opioid, dan adanya peningkatan perdarahan akan membatasi pemakaian ketorolac pada
beberapa kasus bedah.
Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri pascabedah yang minimal yang
dapat dikendalikan dengan analgesik per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan
analgesia, nyeri masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak
dengan dokter keluarga, dan untuk menjadi dirawatnya pasien yang direncanakan bedah rawat
jalan.

Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti tentang pola nyeri dan
membatasi setiap faktor yang menimbulkan nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008
pasien bedah rawat jalan untuk mengidentifikasi faktor resiko untuk nyeri hebat. Operasi
ortopedi mempunyai kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat pascabedah, terutama operasi bahu
dan pengangkatan metal. Lama operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri
pascabedah. Bila lama operasi lebih dari 90 menit, 10% pasien akan mengalami nyeri hebat. Bila
operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan mengalami nyeri hebat.

Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya prabedah untuk
menjamin pemulihan yang bebas nyeri. Pendekatannya harus multimodal, menggunakan
NSAIDs, opioid, dan anestesi lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30 menit
untuk menjadi effektif dan sediaan parenteral lebih mahal daripada sediaan per oral.

634
PONV
PONV masih merupakan masalah yang umum setelah bedah rawat jalan, dan
kejadiannya sekitar 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan masih terjadi pada
35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi
pasien. Chung menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling penting yang menyebabkan
pasien bedah rawat jalan lambat dipulangkan.

Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu sistem skoring untuk
resiko terjadinya PONV yang terdiri dari 4 kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat
PONV dan mabuk perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila satu,
dua, tiga, atau empat faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah 10%, 20%, 39%, dan
79%. Prosedur bedah yang lama dan jenis operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya
resiko terjadinya PONV. Kejadian PONV yang tinggi terjadi pada operasi intraabdominal,
operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi payu dara, mata, dan THT. Disebabkan karena
bila telah terjadi PONV biaya akan lebih mahal daripada pencegahan, maka identifikasi faktor
prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat diberikan terapi profilaksis.

Dibandingkan dengan plasebo, dexamethason 10 mg secara nyata mengurangi PONV


dari 73% menjadi 34% dalam 24 jam setelah laparoskopi. Dexamethason 4 mg sebanding
dengan ondansetron 4 mg setelah operasi ginekologis rawat jalan. Dalam suatu metaanalisis,
Henzi dkk melaporkan dexamethason terutama efektif melawan late PONV. Kombinasi
droperidol dan ondansetron dapat mengurangi kejadian PONV sampai 90%, karena droperidol
lebih baik dalam melawan nausea daripada emesis, sedangkan 5HT3 antagonis lebih
menguntungkan untuk melawan emesis daripada nausea.

PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja terjadi pada pasen
rawat inap setelah kembali ke ruangan atau pasien rawat jalan setelah pasien pulang
kerumahnya. Sebelum itu, sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien
dipulangkan kerumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien dipulangkan akan
mengurangi kejadian PONV setelah pasien dipulangkan kerumah. Pasien dengan resiko
besar untuk terjadi PONV seperti laparoskopi, strabismus sebaiknay diberikan
ondansetron sesaat sebelum pasien dipulangkan. Profilaksis antiemetik dengan intravena
droperidol 0,625 mg, ondansetron 4 mg, metoclopramide 10 mg, dexamethason 150
uk/g atau sampai 8 mg iv efektif untuk mencegah PONV.
Pada tanggal 5 Desember 2001, FDA menyatakan peringatan black box untuk
droperidol. Hal ini disebabkan karena adanya kematian tiba-tiba pada dosis tinggi
droperidol (>25 mg) pada kasus psikiatri, adanya resiko aritmia jantung. Peringatan ini
berdasarkan pada 9 laporan kasus. Pada 7 laporan dimana diberikan 2,5 mg droperidol,
4 orang meninggal sedangkan 3 orang lagi dapat selamat setelah terjadi henti jantung.
Henti jantung juga terjadi pada 2 pasien yang diberi droperidol dengan dosis 1 mg,
dimana 1 pasien meninggal. Oleh karena itu, sebaiknya tidak memberikan droperidol
untuk terapi PONV.

635
Table 9. Summary of Treatment recommendation

Prophylaxis and treatment Antiemetic agent (5-HT3 antagonist, droperidol,


of PONV dexamethason, metoclopramide) may be use for
prophylaxis or treatment when indicated.
Multiple agent maybe use for prophylaxis or
treatment when indicated.
Other antiemetic or nonpharmacologic agent maybe
use for treatment when indicated, although the
evidence supporting their use is less robust.
Supplemental oxygen Supplemental

Fluid administration and


management

Normalizing patient
temperature

Pharmacologic agent for


the reduction of shivering

Antagonism of the effects


of sedatives, analgesics,
and neuromuscular block

Faktor Lain yang memperlambat pemulangan


Simptom yang lain seperti adanya nyeri tenggorokan, sakit kepala, ngantuk, pusing
dapat terjadi setelah anestesi bedah rawat jalan. Teknik yang sederhana, seperti hidrasi
perioperatif dengan 20 ml/kg BB cairan intravena akan mengurangi simptom pascabedah seperti
rasa haus, nausea, pusing, ngantuk sampai 24 jam pascabedah. Penelitian pada 5264 pasien
menunjukkan kejadian sore throat sekitar 12,1%. Faktor yang menimbulkan kejadian sore throat
adalah intubasi endotrakheal, jenis kelamin wanita, pasien muda, penggunaan suksinilkholin,
operasi ginekologis.

Wu dkk meneliti simptom keseluruhan setelah pasien dipulangkan dan kejadiannya kira-
kira 45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk muntah, simptom lainnya adalah ngantuk,
pusing, dan lemah.

Pesan/instruksi pada pasien sebelum dipulangkan


Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab
membawanya pulang dan menjaganya dirumahnya karena akan mengurangi kejadian adanya
efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus
diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktivitas, dan nomor telepon bila ada
kejadian emergensi. Pasien secara rutin diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat
keputusan penting dalam 24 jam. Pasien jangan menyetir untuk 24 jam bila dianestesi kurang

636
dari 1 jam, bila lama anestesi 2 jam atau lebih, pasien tidak boleh nyetir sampai 48 jam, ini bila
dianestesi dengan pentotal dan halotan. Dengan adanya obat anestesi yang baru yaitu Propofol,
sevofluran, desfluran, remifentanyl maka penelitian Sinclair dengan simulator nyetir
menyebutkan bahwa hanya perlu 3 jam.

Harus diingat faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah
rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar
bedah, diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan,
pengelolaan PONV dan nyeri pasca bedah, pemasangan jalur vena yang lancar, dan hindari
keterlambatan.

Simpulan
2. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan
bedah rawat inap, juga menguntungkan untuk pasien dan keluarganya.
3. Pemantauan di PACU (Pemulihan Phase I/early recovery) dengan Modifikasi
sistem Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau kamar bedah bila
skor mencapai 9 atau lebih.
4. Pemantauan di ruang pulih phase II (intermediate recovery) dengan PADSS dan
pasien boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore 9 atau lebih.
5. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama yang
dapat dikurangi dengan perencanaan anestesi yang tepat.
6. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan harus jelas dan
tertulis.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th


ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

637
MODUL 34 Pengelolaan nyeri

Mengembangkan Komepetensi Waktu, Semester 2dan Semester 6

Sesi di dalam kelas Terintegritas waktu menangani pasien


PACU dan ICU
Sewsi dengan fasilitas Pembimbing

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual

1.LCD projector dan Screen

34. Laptop
35. OHP
36. Flipchart
37. Video pkayer
Materi prsentasi :

CD Powerr Point

Sarana

- Ruang Belajar
- Ruang pemeriksaan
- Ruanfg Pulih
- Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU dan ICU

Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : liohat daftar tilik

Referensi :

638
38. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
39. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
40. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
41. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

1. Tujuan Umum :

Setelah menyelesaikan modul ini,peserta didik akan mampu melakukan pengelolaan nyeri
akut dan khronik termasuk nyeri kanker dan pendekatan farmakologis dan non farmakologis
menggunakan tehnik non invasif maupun invasif.

2. Tujuan Khusus :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan pendekatan farmakologis dan non farmako logis


yang dipergunakan dalam pengelolaan nyeri khronik

2. Mampu menjelaskan titik tangkap kerja pendekatan farmakalogis

maupun non farmakologis pada nyeri khronik

3. Mampu menjelaskan pengelolaan nyeri pada nyeri khusus antara lain nyeri pada luka
bakar,nyeri herpes,nyeri neuropatik diabetikum.

4. Mampu menjelaskan aspek psikologis,efek plasebo pada pengelolaan nyeri khronik

Psikomotor

1. Mampu melakukan evaluasi dan menilai efektifitas pengelolaan nyeri khronik

2. Mampu memilih dan menetapkan kombinasi penkatan yang dipergunakan pada nyeri
khronik termasuk nyeri kanker sesuai tahapannya.

3. Mampu mengenali dan mengelola efek samping yang disebab

kan pengelolaan nyeri khronik

639
4. Mampu melakukan pengelolaan nyeri pada pasien nyeri khronik mengalami nyeri akut
karena pembedahan

Komunikasi
1. Mampu berinteraksi dan menciptakan kondisi kerjasama tim dengan sejawat yang terkait
dari keahlian lain,perawat dan petugas home care.

2. Mampu menjelaskan tentang program pengelolaan nyeri,langkah langkah dan efek


samping yang mungkin terjadi

3. Mampu menjelaskan kepada pasien maupun keluarga tentang tindakan dan efek samping
yang mungkin terjadi

Profesionalisme
1. Mampu bekerja dengan etis dan sesuai standar prosedur .

2. Mampu bekerja dalam tim dan menghargai sejawat lain,termasuk perawat, petugas
kesehatan dan perugas home care sesuai kompetensinya masing masing.

3. Mampu menghargai dan mendapatkan kepercayaan pasie

4. Mampu menentukan pilihan pendekatan untuk pasien yang berada pada stadium akhir
dan terapi paliatif .

5. Mampu memberi informasi dan penjelasan profesional kepada keluarga pasien

3. Key notes
1. Nyeri dapat diklasoifikasi menurut patofisiologfi (misalnya, nyeri nosiseptif, atau nyeri
neuropatik), etiologi (misalnya, nyeri pasca bedah atau nyeri kanker), atau area yang
menderita( misalnya, nyeri kepala atau nyeri bokong bawah/low back pain).

2. Nyerti nosiseptif disebabkan oleh aktifasi atau sensitisasi nosiseptor perifer, reseptor
yang menghantarkan stimuli noksious. Nyeri neuropatik adalah akibat cedera atau
kelainan yang didapat pada struktur perifer atau sewntral.

3. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabakan oleh stimulasi noksious
karena cedera, proses penyakit, atau funsi abnormal otot atau visera. Hampir selalu
merupakakan nyeri nosiseptif.

640
4. Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi perjalanan satu penyakit
atau setelah waktu penyembuhan terjadi; periode dapat bervariasi antara 1 sampai 6
bulan. Nyeri kronik mungkin nyerf atau neuropatik atau campuran.

5. Modulasi nyeri terjadi perifer pada nosiseptor, di medula spinalis atau di struktur
supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat (supresi) atau mempermudah (memperkuat)
nyeri.

6. Nyeri akut yang moderat sampai berat, di mana saja letaknya dapat mengenai setiap
fungsi organ serta memperburuk morbiditas dan mortalitas pasca bedah.

7. Blok neuron dengan anestetik lokal dapat dipergunakan untuk menggambarkan


menkanisme nyeri, tetapi lebih penting melaksanakan peranan besar dalam pengelolaan
pasien dengan nyeri akut atau kronik. Peran sistem simpatikus dan jaringannya dapat
dievaluasi.

8. Antidepresan umumnya sangat berguna untuk pasiehn dengan nyari neuropatik. Obat ini
terbukti memberikan efek analgesia pada dosis yang lebih kecil dari pada dosis sebagai
antidepresan.

9. Antikovulsan telah dibukti sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik.

10. Pemberian neuroaksial campuran anestetik lokal-opioid (terutama epidural) adalah


teknik anestesi yang sempurna untuk penanganan nyeri pasca bedah setelah operasi
abdominal, pelvik, toraks, atau ortopedik ekstrimitas bawah.

11. Dampak samping yang berat opioid epidural atau intratekal tergantung dosis dan depressi
napas tunda (delayed respiratory depression). Kebanyakan kasus depresi napas terjadi
pada pasien yang bersamaan mendapat opioid atau sedatif parentral.

Gambaran Umum

Setelah melalui sesi peserta didik mampu menangani nyeri akut terutama nyeri pasca bedah,
nyeri kronik terutama nyeri kanker. Peserta didik dilatih melakukan pendekatan yang
multisdisiplin untuk bekerjasama dengan bidang ilmu lain seperti, internis, neurologis,
onkologis, psikolog atau akupungturis.

Tujuan Pembelajaran
Selama mengikuti sesi ini peserta akan mengetahui definisi dan klaisfikasi nyeri akut dan
nyeri kronik , serta anatomi dan fisiologi nosiseptif. Karena nyeri bersifat multi modulasi,
maka intervensi ditempuh berbagai cara yaitu secara farmakologik atau blok neuroaksial
atau kombinasi. Khususnya untuk nyeri pasca bedah peserta didik juga harus mampu
mengelola analgesia preemptif.

641
Sumber Belajar
- Buku teks,Jurnal ilmiah
- Spesialis Anestesi sebagai pengajar dan pelatih

Metode belajar:

Diskusi Kelompok,Belajar mandiri

Magang,Melakukan dengan pendampingan.

Media Pembelajaran
Perpustakaan

Animasi di komputer (interaktif)

Pasien di kamar bedah,Poli Paliatif dan Klinik nyeri

Kata Kunci:

1 .Aspek psikologis sangat berperan pada pengelolaan nyeri khronik

2. Penanganan terpadu dari dokter,perawat,petugas home care,petugas

sosial sangat diperlukan.

3.Evaluasi efektifitas obat dan perubahan toleransi obat harus dilakukan

secara berkala untuk re ajustment.

Evaluasi:

- Pre test

- tes tulis (entry behaviour,kognitif)

- Post test

- tes tulis

- diskusi/laporan pengelolaan kasus

642
- clinical performance test(pasien)

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PENGELOLAAN NYERI

Sudah Belum
N
Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesi dikerja dikerja
o.
kan kan

PERSIAPAN

1 Informed consent

History taking dan pemeriksaan fisik.Prioritas fungsi


2
vital stabil,pada kasus darurat.

3 Evaluasi tingkat nyeri dan aspek psikologis

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan terkait


3
prosedur/obat (Faal hemostasis,Liver profile)

4 Pemilihan tehnik pendekatan

5 Persiapan alat,obat

6 Pendekatan psikologis

PERSIAPAN ANESTESI REGIONAL/LOKAL

1. Penjelasan prosedur pada penderita

Penderita diatur dalam posisi sesuai dengan tehnik yang


2
dipilih dan senyaman mungkin.

Lakukan desinfeksi dan tindakan asepsis/antisepsis pada


3
daerah anestesi

TINDAKAN ANESTESI

643
1 Induksi, intubasi

2 Maintenance

3 Ekstubasi

PERAWATAN PASCA BEDAH

1 Komplikasi dan penangannya

2 Pengawasan terhadap fungsi vital

3 Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : Sudah/Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan
berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan

Memuaskan Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun

x Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan prosedur

Memuaskan standar atau penuntun

644
Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK

No. Kegiatan/langkah klinik Kesempatan ke

1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

Layak

645
Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN : Pengelolaan Nyeri

Nyeri adalah gejala umum yang membawa pasien datang ke dokter, yang hampir selalu
merupakan manifestasi proses patologik. Umumnya pengelolaan nyeri ini merupakan bagian
dari disiplin anestesiologi tetapi pada perkembangan kemudian pemakaian di luar kamar
operasi. Dalam praktik pengelolaan nyeri dibagi menjadi pengelolaan nyeri akut dan
pengelolaan nyeri kronik. Pada mulanya mengelola nyeri pasien yang selesai dari operasi atau
karena kondisi akut penyakit sebagai pasien rawat inap, sedangkan yang kemudian pengelolaan
nyeri untuk berbagai kelompok sebagai pasien rawat jalan. Sudah tentu ada overlap antara
keduanya mialnya pasien nyeri kanker yang dapat menjadi pasien rawsat inap dan rawat jalan.

Praktik pengelolaan nyeri tidak terbatas pelayanan anestesiologi saja tetapi akan mencakup
praktisi lain seperti, intgernis, onkologi, neurologi, atau non-dokter seperti, psikologi,
akupungtur. Yang jelas bidang adalah memerlukan penderkatan multidisiplin.

Anestesiologi yang terlatih dalam pengelolaan nyeri dapat menjadi koordinatoir pengelolan nyeri
yang multidisiplin di klinik nyeri karena telah terlatih menagani nyeri pasien bedah, obstetri-
ginekologi, pediatrik atau spesialis lain dengan pendekatan farmakologi atau neuroaksial dengan
cara blok saraf perifer atau saraf pusat.

DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI

646
Persepsi nyeri tergantung neuron yang berfungsi, apakah sebagai reseptor, detektor stimulus,
dan kemudian transdusi dan konduksi ke dalam susunan saraf pusat. Sensasi sering dibagi
sebagai protopatik (noksious) atau epikritik (non-noksious). Sensasi epikritik (cahaya, perabaan,
tekanan, proprioseptif, suhu) yang diberi tanda oleh reseptor ambang rendah (low-
thresholdreceptors) dan umumnya dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin (large
myelinated nerve fibers). Sebaliknya sensasi protopatik (nyeri) dilayani oleh reseptor ambang
tinggi (high-threshold rceptors) dan dihantarkan oleh serabut saraf kecil bermielin ( mielinated
nerve fibers) (Adan serabut saraf tak bermielin (unmyelinated nerve fibers) (C).

Nyeri tidak hanya modaliti sensasi tetapi suatu pengalaman. The International Association for
the Study of Pain ( IASP) mendefinisikan nyeri sebagai: as unpleasant sensory and emotional
experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such
damage

Nosiseptif (nociception), berasal dari bahasa Latin : noci (cedera atau injury), dipergunakan
untuk menjelaskan respon neural hanya terhadap trauma atau stimulus noksious. Semua
nosiseptif menghasilkan nyeri, tetapi tidak semua nyeri akibat dari nosiseptif. Banyak pula
pasien mengalami nyeri tidak disertai stimuli noksious. Karena itu untuk penggunaan klinik,
nyeri dibagi menjadi : 1) nyeri akut, yang terutama karena nosiseptif; 2) nyeri kronik, yang
mungkin disebabkan oleh nosiseptif, tetapi faktor psikologi dan behavior yang lebih banyak
berperan. Tabel yang dipergunakan untuk menanganan nyeri.

Table. Terms used in pain management.

Term Description

Allodynia Perception of an ordinarily nonnoxious stimulus as pain

Analgesia Absence of pain perception

Anesthesia Absence of all sensation

Anesthesia dolorosa Pain in an area that lacks sensation

647
Term Description

Dysesthesia Unpleasant or abnormal sensation with or without a stimulus

Hypalgesia Diminished response to noxious stimulation (eg, pinprick)


(hypoalgesia)

Hyperalgesia Increased response to noxious stimulation

Hyperesthesia Increased response to mild stimulation

Hyperpathia Presence of hyperesthesia, allodynia, and hyperalgesia usually associated


with overreaction, and persistence of the sensation after the stimulus

Hypesthesia Reduced cutaneous sensation (eg, light touch, pressure, or temperature)


(hypoesthesia)

Neuralgia Pain in the distribution of a nerve or a group of nerves

Paresthesia Abnormal sensation perceived without an apparent stimulus

Radiculopathy Functional abnormality of one or more nerve roots

Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi, (misalnya: nyeri nosiseptif atau nyeri
neuropatik; etiologi (pasca bedah atau kanker);area yang terkena ( nyeri kepala, nyeri punggung
baweah). Klisifikasi di[pergunakan untuk menentukan modaliti pengobatan dan jenis obat ysng
dipergunakan. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer,
terutama reseptor yang menghantarkan stimuli noksious. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang
disebabkan oleh cedera atau kelainan yanh didapat pada struktur saraf perif atau saraf pusat

a. Nyeri akut

Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh stimulus noksious karena
cedera, fungsi abnormal dari otot atau visera. Nyeri nosiseptif membantu untuk mendeteksi,
melokalisir dan membatasi kerusakan jaringan melalui 4n proses : transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Jenis nyeri ini tipikal dan berkaitan dengan stres neurendokrin yang
proporsional dengan intensitasnya. Bentuk yang paling umum meliputi: nyeri pasca trauma,
nyeri perioperatif dan nyeri obstretrik dan penyakut akut seperti, seperti, infark miokard,
pnkreatitis, dan batu ginjal. Nyeri ini pudar sendiri atau dengan pengobatan setelah beberapa
hari atau minggu. Kalau tidak menghilang mungkin disebabkan oleh penyembuhan yang

648
abnormal atau pengobatan tidak adekuat. Nyeri akut dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1)
Nyeri somatik dan 2) Nyeri viseral

1. Nyeri somatik

Nyeri somatik dapat diklasifikasi lebih jkauh lagi menjadi : nyeri somatik dalam dan
permukaan. Nyeri somatik permukaan terjadi karena masukan nosiseptif muncul dari kulit,
jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri berkarakteristik dan terlokalisasi jelas, dapat
dideskripsi sebagai nyeri yang tajam, menusuk, berdenyut atau sensasi terbakar.

Nyeri somatik dalam, berasal dari otot, tendon, sendi atau tulang sebagai nyeri tumpul dan
lokalisasi kurang jelas; contohnya trauma pada siku tetapi lokalisasi nyeri ada pada hampir
seluruh lengan.

2. Nyeri viseral

Nyeri viseral adalah nyeri akut yang muncul proses abnormal organ internal atau yang
menutupinya (misalnya pleura parietalis, perikardium, atau peritoneum). Nyeri viseral masih
dibagi menjadi 4 subtipe: 1) true localized visceral pain; 2) localized parietal pain; 3)
reffered visceral pain; 4) reffered parietal pain.Nyeri viseral murni biasanya tumpul difus
dan di garis tengah. Biasanya sering disertai dengan peningkatan aktifitas simpatikus atau
parasimpatikus hingga menyebabkan, mual, muntah berkeringat dan perubahan tekanan
darah dan laju nadi. Nyeri parietalis khas tajam dan sering didiskripsikan sebagai bsensasi
tusukan dengan lokasi sekitar organ atau dialihkan lebih jauh (reffered to a distant site.

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melampaui waktu perjalanan penyakit akut atau
setelah waktu yang wajar untuk terjadi penyembuhan; waktu ini dapat bervariasi antara 1 6
bulan. Nyeri dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik atau campuran. Aspek mekanisme
psikologi dan faktor lingkungan sering sangat berperan dalam menentukan perbedaan gambaran
nyeri kronik tersebut. Pasien dengan nyeri kronik sering menekan atau menghilangkan respon
stres neuroendokrin hingga cenderung mengalami gangguan tidur dan afektif (mood).Nyeri
neuropatik adalah paroksismal klasik dan rasa tersayat serta terasa panas dan berkaitan dengan
hiperpati.

Bentuk nyeri kronik yang paling umum berkait dengan gangguan muskuloskeletal, gangguan
viseral kronik, lesi saraf perifer, radiks saraf (nerve roots), (termasuk neuropatik diabetik,
kausalgia, nyeri fantom dan neuralgia posterpetik), lesin sistem saraf pusat(stroke, cedera medula
spinalis, dan multipel skelerosis), dan nyeri kanker. Kebanyakan nyeri gangguan muskuloskeletal

649
(misalnya reumatoid artritis, dan osteoartritis) adalah nyeri nosiseptif, dimana nyeri bercampur
dengan ngangguan saraf perifer dan sentral yang terutama neuropatik. Nyeri yang berkaitan
dengan gangguan-gangguan seperti, kanker dan nyeri punggung kronik (terutama setelah opersi)
sering merupakan nyeri campuran. Beberapa klinikus menyebutnya sebagai nyeri kronik
benigna.

ANATOMI DAN FISIOLOGO NOSISEPTIF

Pathways nyeri

Lihat gambar :

Untuk mempermudah menyerderhanakan ilustrasi, nyeri dihantarkan melalui 3 jaring neuron


(three-neuron pathways) yang menghantarkan stimuli noksious dari perifer sampai korteks
serebri (Gambar). Neuron aferen primer berada di radiks dorsalis ganglia (dorsal root ganglia),
yang terletak di foramen vertebra pada tiap level medula spinalis. Setipa neuron mempunyai
satu akson yang terbagi dua, satu ujung menuju ke jaringan perifer yang dipersarafi, dan yang
lain masuk ke tanduk dorsalis (dorsal horn) medula spinalis. Di tanduk dorsalis neuron aferen
primer bersinaps dengan neuron kedua (second order neuron) yang aksonnya menyilang garis
tengah dan naik di kontralateral traktus spinotalamikus sampai ke talamus. Neuron kedua

650
bersinaps di nukleus talamikus dengan neuron ketiga (third order neuron) yang membelok
menuju girus postsentralis di korteks serebri melalui kapsul interna (Gambar).

Fisiologi nosiseptif

1. Nosiseptor

Sensasi noksious sering diperinci lagi menjadi 2 komponen memnjadi nyeri pertama dan nyeri
kedua. Nyeri pertama, cepat, tajam dan lokasi sensasi baik, dihantarkan oleh serabut A dengan
latensi yang pendek (0.1 s); nyeri kedua, tumpul, onset lambat, dan lokasi sensasi sering tidak
jelas yang dihantarkan oleh serabut C.

Nosiseptor kutaneous

Nosiseptor kutaneous ada di kedua jaringan somatik dan viseral.. Neuron aferen primer
sampai ke jaringan melalui somatik, simpatikus da parasimpatikus spinal. Nosiseptor somatik
ada di kulit(kutaneous) dan jaringan dalam (otot, tendon, fasia dan tulang), sedangkan
nosiseptor viseral ada di organ dalam.

651
Nosiseptor somatik dalam (deep somatic nocviceptors)

Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif dari pada nosiseptor kutaneous, tetapi
disensitifkan oleh inflamansi. Karakter nyeri yang timbul tumpul dan lokasi tidak jelas.
Nyeri nosiseptor ini berada di otot, sendi dan respon terhadap stimuli mekanik, panas dan
kimia

Nosiseptor viseral

Organ viseral umumnya adalah jaringan yang kurang sensitif, yang terutama
mengandung silnet nociceptors, seperti jantung, paru dan saluran empedu. Kebanyakan
organ seperti usus dipersarafi oleh nosiseptor polimodal nosiseptor yang tanggap terhadap
spasme otot, iskhemia, dan inflamasi (alogens). Sebagian kecil organ seperti otak tidak
mempunyai nosiseptor samasekali, walapun pemukaan selaput otak meninggeal berisi
banyhak nosiseptor.

Seperti halnya nosiseptor somatik di visera tidak terdapat ujung saraf dari neuron aferen
primer yang sel saraf (cell bodies) terletak di tanduk dorsalis medula spinalis. Serabut saraf
aferen ini berjalan berrsama serabut saraf eferen simpatikus sampai ke visera.

2. Mediator kimiawi untuk nyeri

Beberapa neuropeptid dan asam amino eksitatori berfungsi sebagai neutransmiter untuk neuron
aferen yang menghntarkan nyeri. (Tabel)

Table. Major Neurotransmitters Mediating or Modulating Pain.

Neurotransmitter Receptor1 Effect on Nociception

Substance P NK1 Excitatory

Calcitonin gene-related peptide Excitatory

Glutamate NMDA, AMPA, kainite, quisqualate Excitatory

652
Neurotransmitter Receptor1 Effect on Nociception

Aspartate NMDA, AMPA, kainite, quisqualate Excitatory

Adenosine triphosphate (ATP) P1, P2 Excitatory

Somatostatin Inhibitory

Acetylcholine Muscarinic Inhibitory

Enkephalins , , Inhibitory

-Endorphin , , Inhibitory

Norepinephrine 2 Inhibitory

Adenosine A1 Inhibitory

Serotonin 5-HT1 (5-HT3) Inhibitory

-Aminobutyric acid (GABA) A, B Inhibitory

Glycine Inhibitory

1
NMDA, N-methyl-D-aspartate; AMPA, 2-(aminomethyl)phenylacetic acid; 5-HT, 5-
hydroxytryptamine

Kebanyakan, walaupun tidak semua neuron mengandung lebih dari satu neurotransmiter yang
dilepaskan secara simultan. Neurotransmiter terpenting yaitu : Substance P, calcitonin gene-
related piptide(CGRP). Glutamate adalah eksitatori asam amino yang terpenting. Neuron yang
melepaskan substance P juga mempersarafi visera dan berkolateral dengan serabut saraf yang
menuju ganglion simpatikus para vertebra; stimulasi kuat pada visera akan menyebabkan
langsung postgaanglionic sympathetic discharge.

3. Modulasi Nyeri

653
Modulasi nyeri terjadi di perifer pada nosiseptor dalam medula spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menekan (suppres) atau memperkuat (aggravate) nyeri.

5. Analgesia preemptif
Kiat ini adalah pemberian picu farmakologik hingga terjadi efek analgesia efektif sebelum
trauma bedah. Termasuk cara ini, termasuk infiltrasi sekitar luka operasi, pemberian obat blok
neural sentra, atau pemberian opioid dengan dosis efektif, NSAID, atau ketamin.

PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK

Nyeri kronik mungkin disebabkan oleh komdinasi pengaruh sentral, perifer dan psikologik.
Sensitisasi nosiseptif memainkan peran besar pada nyeri dengan mekanisme perifer seperti
gangguan muskuloskeletal dan viseral. Nyeri neuropatik melibatkan saraf sentral dan perifer.
Mekanisme sentral yang kompleks dan umumnya berhubungan lesi parsial atau keseluruhan
dari saraf perifer, ganglia radiks dorsalis,radiks sarea, atau struktur yang lebih sentral (Tabel)

Table. Mechanisms of Neuropathic Pain.

Spontaneous self-sustaining neuronal activity in the primary afferent neuron (such as a


neuroma).

Marked mechanosensitivity associated with chronic nerve compression.

Short-circuits between pain fibers and other types of fibers following demyelination, resulting in
activation of nociceptive fibers by nonnoxious stimuli at the site of injury (ephaptic
transmission).

Functional reorganization of receptive fields in dorsal horn neurons such that sensory input from
surrounding intact nerves emphasizes or aggravates any input from the area of injury.

Spontaneous electrical activity in dorsal horn cells or thalamic nuclei.

Release of segmental inhibition in the spinal cord.

654
Loss of descending inhibitory influences that are dependent on normal sensory input.

Lesions of the thalamus or other supraspinal structures.

Sistem saraf simpatikus nampaknya memegang peran besar pada pasien denbgan mekanisme
perifer dan sentral. Keampuhan blok saraf simpatikus pada beberapa pasien mendukung konsep
pemeliharaannyeri simpatikus; gangguan dengan nyeri yang sering menjadi respon terhadap
blok simpatikus termasuk distrofi simpatikus, sindroma karena amputasi, neuralgia pasca
herpes.

Mekanisme psikologi atau faktor lingkungan jarang merupakan satu-satunya mekanisme nyeri
kronik, tretapi umumnya berhubungan dengban mekanisme lain (Tabel)

Table. Psychological Mechanisms or Environmental Factors Associated with Chronic Pain.

Psychophysiological mechanisms in which emotional factors act as the initiating cause for
somatic or visceral dysfunction (eg, tension headaches).

Learned or operant behavior in which chronic behavior patterns are rewarded (eg, by attention
of a spouse) following an often minor injury.

Psychopathology due to psychiatric disorders such as major affective disorders (depression),


schizophrenia, and somatization disorders (conversion hysteria) in which the patient has an
abnormal preoccupation with bodily functions.

Pure psychogenic mechanisms (somatoform pain disorder), in which real suffering is


experienced despite the absence of any nonciceptive input.

INTERVENSI FARMAKOLOGI NYERI

Intervensi farmokolig pada pengelolaan nyeri mencakup COX inhibitor, opioid, antidepresan,
neroleptik, kortikosteroid, pemakaian intrave obat , pemakaian lokal anestetik secara sistemik.
655
COX inhibitor dapat dipergunakan untuk managemen nyeri pasca bedah, Opioid dipergunakan
terutama untuk nyeri akut moderat sampai nyeri berat6 dan kanker.

Antidepresan

Obat ini mempunyai efek analgesia pada dosis yuang lebih kecil dari pada dosis antidepresan..
kedua efek ini disebabakan oleh blokade reuptake serotonin atau noepinefrin atau keduanya
dari presinaptik. Antidepresan umumnya sangat bermanfaat untuk pasien dengan nyeri
neuropatik, misalnya neuralgia pasca herpes, dan neuropati diabetik.

Antikonvulsan

Antikonvulsan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik, terutama neuralgia
trigeminus, neuropatik diabetik. Obat ini juga efektif sebagai adjuvant untuk nyeri pasca besah
misalnya gabapentin. Dalam Tabel dibawah diperlihatkan daftar obat antikovulsan.

Table 1810. Anticonvulsants Possibly Useful in Pain Management.

Anticonvulsant Half-Life (h) Daily Dose (mg) Therapeutic Level1 ( g/mL)

Carbamazepine (Tegratol) 1020 2001200 412

Clonazepam (Clonopin) 1830 118 0.010.08

Gabapentin (Neurontin) 57 9001800 >2

656
Anticonvulsant Half-Life (h) Daily Dose (mg) Therapeutic Level1 ( g/mL)

Lamotrigine (Lamictal) 24 25400 220

Phenytoin (Dilantin) 22 200600 1020

Topiramate (Topamax) 2030 25200 Unknown

Valproic acid (Depakene) 616 7501250 50100

1
Efficacy in pain management may not correlate with blood level.

Neuroleptik

Neulrptik bermanfaat untuk nyeri neuropatik refrakter. Neuroleptik juga sangat berguna untuk
pasien yang agitasi ataui dengan gejala psikotik. Obat-obat yang banyak dan umum dipakai
adalah; haloperidol, flufenazin, klorpromazin, dan perferazin. Efek terapeutik obat ini karena
blokade reseptor dopaminertgik di sisi mesolimbik Sayang sekali obat ini dapat memberikan
dampak samping gejala ektrapiramidal. Obat ini juga dapat memberikan efek, antihistamin,
antimuskarininl, blok -adrenergik.

Kortikosteroid

Glukokortikooid sangat ekstensif diperegunakan pengelolaan nyeri karena efek antiinflamasi


dan analgesia. Obat dapat diberikan topikal, oral atau perentral.(intravena, subkutan, intrabursa,
intraartkular, dan epidural). Tabel dibawah ini diperlihatkan daftar obat yang sering
dipergunakan.

Table. Selected Corticosteroids.1

Drug Routes Glucocorticoid Mineralocorticoid Equivalent Half-


Given2 Activity Activity Dose (mg) Life
(h)

Hydrocortisone O, I, T 1 1 20 812

657
Drug Routes Glucocorticoid Mineralocorticoid Equivalent Half-
Given2 Activity Activity Dose (mg) Life
(h)

Prednisone O 4 0.8 5 1236

Prednisolone O, I 4 0.8 5 1236

Methylprednisolone O, I, T 5 0.5 4 1236


(Depo-Medrol, Solu-
Medrol)

Triamcinolone O, I, T 5 0 4 1236
(Aristocort)

Betamethasone O, I, T 25 0 0.75 3672


(Celestone)

Dexamethasone O, I, T 25 0 0.75 3672


(Decadron)

1
Adapted from Goodman LS, Gilman AG: The Pharmacologic Basis of Therapeutics, 8th ed.
Pergamon, 1990.
2
O, oral; I, injectable; T, topical.
Kalau aktivitas glukokortikoid berlebihan dapat menghasilkan, hipertensi, hiperglikemia,
rentaninfeksi, ulkus pepetikus,nekrosis aseptik kaput humerus, prokksimal miopati, katarak dan
psikosis (jarang);dan juga gambaran sindroma Cushing. Tertlalu berlebihanm mineralokortikoid
dapat memacu terjadi gagal jantung.

Anestetik lokal sistemik

Obat anestetik lokal biasanya diberikan sistemik untuk pasien nyeri neuriopatik dan
menghasilkan sedasi dan analgesia; analgesia sering bertahan lebih lamna dari profil
farmakokinetik obat anestetik lokal dan memutuskan pain cycle. Obat yang banyak
dipergunakan adalah lidokain, prokain dan kloroprokain. Lidokain diberikan secara infusi
selama 5 30 menit denga dosisi total 1 5 mg/kg; prokain diberikan 200 400 mg intravena
selama 1 2 jam; sedangkan kloroprokain (1 % ) diberika infusi dengan kecepatan 1 mg /kg /
menit untuk total 10 20 mg/kg. Pemantaauan sebaiknya mempergunakan, EKG, tekanan darah,

658
respirasi dan status mental;alat resusitasi harus tertsedia. Kalau terdapat tanda-tanda toksik
seperti, tenitus, sedasi berlebihan, atau nistagmus, segera infusi diperlambat atau hentikan.

2- agonis adrenergik

Efek utama obat golongan ini seperti klonidin dan deksmedetomidin adalh mengaktivasi jaras
desending inhibisi (descending inhibitory pathways) di tanduk dorsali medula spinalis dan
dimsusunan saraf pusat. Obat dapat diberikan secara sistemik (parentral), peroral, perkutan
(patch), dan neuroaksial. A2-agonis adrenergi epidural atau intratekal efektif untuk nyeri
neuroptik dan toleransi opioid.

NYERI PASCA BEDAH

Konsep analgesia preemptif (diatas) dianggap pengelolaan nyeri pasca bedfah terbaik yang
dimulai pra-bedah. Penempatan kateter yang dan dipertahankan untuk nyeri pasca bedah
merupakan carakan yang ekselen. Analgesia interkostal dan epidural tambahan dapat
memperbaiki fungsi respirasi setelah bedah toraks dan abdominal atas. Anestesi epidural dan
spinal dapat menurunkan kejadian tromboemboli operasi panggul dan mengurangi
hipercoagulasi setelah prosedur vaskular.

Kontrol nyeri pasca bedah umum terbaik jika dikelola oleh seorang anestesiologi, karena mereka
dapat melakukan intervensi dengan anestesi regiponal atau farmakologik atau keduanya..

Modaliti analgesia pasca bedah mencakup pemberian analgesia oral, analgesia parentral, blok
saraf, blok neuroaksial, dengan anestetik lokal, opioids intra spinal dan juga teknik adjuvan
seperti TENS dan terapi fisik. Seleksi teknik analgesia umumnya berdasarkan, tiga faktor, yaitu :
pasien, prosedur dan setting (rawat jalan atau rawat inap)

Pasien rawat jalan

1. Analgesik oral

659
Kebanyakan pasien dengan nyeri ringan sampai sedang setelah operasi dapat ditanggulangi
dengan COX inhibitor oral, opioid, atau kombinasi. Pasien yang mungkin mendapat oral
intakate atau nyeri hebat memerlukan pemberian seperti rawat inap tanpa memperhatikan
prosedur./

Inhibitor Siklooksigenase (Cyclooxygenase ihibitors / COX inhibitors)

Analgesik oral nonopioid, adalah salisilat, asetaminofen, dan NSAIOD (Tabel).

Table 1812. Selected Oral Nonopioid Analgesics.

Analgesic Half- Onset Dose Dosing Maximum Daily


Life (h) (h) (mg) Interval (h) Dosage (mg)

Salicylates

Acetylsalicylic acid 23 0.51.0 500 4 36006000


(aspirin) 1000

Diflunisal (Dolobid) 812 12 500 812 1500


1000

Choline magnesium 812 12 500 12 20003000


trisalicylate (Trilisate) 1000

p-Aminophenols

Acetaminophen

(Tylenol, others) 14 0.5 500 4 12004000


1000

Proprionic acids

Ibuprofen (Motrin, 1.82.5 0.5 400 46 3200


others)

Naproxen (Naprosyn) 1215 1 250 12 1500


500

Naproxen sodium 13 12 275 68 1375

660
Analgesic Half- Onset Dose Dosing Maximum Daily
Life (h) (h) (mg) Interval (h) Dosage (mg)

(Anaprox) 550

Indoles

Indomethacin (Indocin) 4 0.5 2550 812 150200

Ketorolac (Toradol) 46 0.51 10 46 40

COX-2 Inhibitors

Celecoxib (Celebrex) 11 3 100 12 400


200

Obat-obat ini menghambat sintesisi prostaglandin (COX) dan mempunyai berbagai


khasiat analgesia, antipiretik, antiinflamasi. Asetaminofen sedikit mempunyai aktivitas
antiinflamasi. Analgesia disebabkan oleh blokade sistesis prostaglandin, yang menambah peka
dan memperkuat input nosiseptif. Beberapa jenis nyeri terutama nyeri setelah bedah ortopedi
dan ginekologi,

Setidak-tidaknya dikenal 2 jenid COX inhibitor; COX 1 cukup kuat dan tersebar
ke seluruh tubuh, tetapi COX 2 menonjol dengan inflamasi. Selektif COX 2
inhibitor seperti celecoxib, nampaknya sedikit toksik terutama dampak terhadap
gastrointestinal; selain itu tidak mengganggu agrfegasi tarombosit., tetapi rofecoxib
lebih mudah memberikan komplikasi kardiovaskulkar.

Asetaminofen mempunyai dampak samping paling kecil, tetapi pada dosis besar mudah
terjadi hepatotoksik. Aspirin dan NSAID lain, paling banyak memberikan dampak, nyeri
lambung, nausea, dispepsia. Kecuali asetaminofen dan COX 2, semua COX
inhibitors memacu disfung trombosit. Aspirin dan NSAID dapat mencetuskan bronkospasme
pasien tria nasal, polip, rinits dan astma. NSAID dapat menyebabkan insufisiensi
ginjal dan nekrosisi papilari ginjal.

Opioid

661
Nyeri sedang pasca bedah sebaiknya diatasi dengan opiod oral seperti tertera dalam
Tabel.

Table. Oral Opioids.

Opioid Half- Onset Duration Relative Initial Dosing


Life (h) (h) Potency Dose Interval
(h) (mg) (h)

Codeine 3 0.25 34 20 3060 4


1.0

Hydromorphone 23 0.3 23 0.6 24 4


(Dilaudid) 0.5

Hydrocodone1 13 0.5 36 3 57.5 46


(Oxycontin) 1.0

Oxycodone2 23 0.5 36 3 510 6

Levorphanol (Levo- 1216 12 68 0.4 4 68


Dromoran)

Methadone 1530 0.5 46 1 20 68


(Dolophine) 1.0

Propoxyphene 612 12 36 30 100 6


(Darvon)3

Tramadol (Ultram) 67 12 36 30 50 46

Morphine solution4 24 0.51 4 1 10 34


(Roxanol)

Morphine 24 1 812 1 15 812


controlled-release4
(MS Contin)

662
1
Preparations also contain acetaminophen (Vicodin, others).
2
Preparations may contain acetaminphen (Percocet) or aspirin (Percodan).
3
Some preparations contain acetaminophen (Darvocet).
4
Used primarily for cancer pain.
Umumnya opioid dikombinasi dengan COX inhibitor oral; Yng akan menambah efek
analgesia dan mengurangi dampak samping.

1. Infiltrasi anestesi lokal

Infiltrasi sekitar insisi luka blok dengan anestetik lokal adalah cara yang paling dan aman
menghilangkan nyeri pasca bedah. Blok saraf ilioinguinal dan femoral dapat dipergunakan
untuk pasca heniotomi dan prosedur skrotum; blok saraf penile untuk sirkumsisi; dengan
mempergunakan obat anestetika lokal bupivakain. Efek analgesia dapat melebihi durasai
farmakokinetik obat anestetika lokal. Lebih baik anestetik diberikan sebelum pemebdahan
dilakukan untuk mendapat efek preemtif analgesia.

Suntikan intraartkular obat anestetika lokal atau opioid atau kombinasi sangat efektif prosedur
artroskopi.

Pasien rawat inap

Kebanyakan pasien dengan nyeri sedang sampai berat pasca bedah membutuhkan analgesik
parentra atau blok saraf dengan anestetika lokal selama 1- 6 hari setelah pembadahgan. Jika
pasien dapat memulai denga intake oral dan intensitas nyeri berkurang, analgesik oral
diteruskan. Analgesik paentraltermasuk NSAIDs (ketorolak), opioid dan ketamin. Ketorolak

663
dapat diberikan secara intramuskular atau intravena, sedangkan oipioid dapat diberikan
subkutan, intramuskular, intravena atau intraspinal. Opioid transdermantidak dianjurkan untuk
nyeri pascva bedah.

1. Opioid

Analgesia opioid dicapai pada level darah tertentu setiap pasien untuk diberikan pada intesitas
nyeri. Pasien dengan nyeri berat melaporkan nyeri secara khusus dan kontinu sampai level darah
analgesia tercapai, diatas konsentrasi tertentu dengan pengalaman analgesia pasien dan beratnya
segera berkurang. Titik (point) tersebut dinyatakan sebagai konsetrasi efektif analgesia
minimum (the minimum effective analgesic concentration / MEAC). Sedikit kenaikan diatas titik
tersebut akan sangat meningkatkan analgesia.

Suntikan subkutan dan intramuskular

Kedua cara pemberian ini tidak dianjurkan karena sakit suntikan dan level dalam darah
tidak dapat diperkirakan karena absorpsi tidak pasti. Pasien biasanya tidak puas, karena
pemberian terlambat dan dosis kurang tepat.

Pemberian intravena

Balans optimal antara analgesia, sedasi dan depresi respirasi dapat dicapai dengan cara
frequen, intermiten dan dosis kecil (misalnya morfin 1-2 mg). Tanpa memperhatikan
seleksi obat dan karena distribusi obat durasi efek yang singkat diobservasi hingga beberapa
telah diberikan; kemudian level dalam darah dapat dipertahankan melalui infusi kontinu.
Sayang sekali teknik ini merupakan kerja intensif dan pemantauan respirasi ketat. Karena itu
teknik ini terbatas untuk PACU, ICU atau Unit khusus Ongkologi.

PCA (Patient-Controlled Analgesia)

Teknologi komputer telah memungkinkan perkembangan PCA. Dengan menekan tombol


pasien dapat memberikan sendiri dengan dosis tepat opioid intravena (atau intraspinal)
sesuai kebutuhannya. Dokter memprogram pump infusi untuk memberikan dosis tertentu,
interval minimum antara dosis-dosis (lockout period), dan jumlah maksimum opioid yang
diberikan dalam satu periode (biasanya 1 atau 4 jam); infusi basal dapat juga diberikan
secara simultan (Tabel)

664
Table. General Guidelines for Patient-Controlled Analgesia
(PCA) Orders for the Average Adult.

Opioid Bolus Dose Lockout (min) Infusion Rate1

Morphine 13 mg 1020 01 mg/h

Meperidine (Demerol) 1015 mg 515 020 mg/h

Fentanyl (Sublimaze) 1525 g 1020 050 g/h

Hydromorphone (Dilaudid) 0.10.3 mg 1020 00.5 mg/h

1
The authors do not recommend continuous infusion for most patients.

Jika PCA pertama kali dipergunakan, dosis loading opioid harus diberikan dan
ditunggu oleh dokter; tergantung setting pasien mungkin memberikan loading sendiri.

2. Blok saraf perifer

Blok pada pleksus interkosta, interpleura, brakial dan saraf femoral dapat memberikan analgesia
pascva bedah yang baik sekali. Pemasanagan kateter memungkin pemberian anestetik lokal
secara intermiten atau kontinu (bupivakain 0.125 % atau ropivakain 0.125 % yang dapat
menghasilkan analgesia selama 3 5 hari pasca bedah.

3. Blokade Neuroaksial sentra & Opioid intraspinal

Pemberian campuran anestetika lokal opioid neuroaksial (terutama epidural) merupakan


teknik yang ekselen untuk pengelolaan nyeri pasca bedah setelah prosedur abdominal, pelvik,
toraks atau ortopedi pada ekstrimitas bawah. Pasien sering mempunyai preservasi fungsi
respirasi yang lebih baik, dapat segera dipuilangkan dan keuntun gan seera dapat latihan fisik.
Satu suntikan tunggal neuroaksial (subaraknoid atau epidural) anestetik lokal, opioid atau

665
kombinasidapat dipergunakan untuk preemptif analgesia pada hari operasi. Teknik ini akan
efektif jika mempergunakan kateter dan ditinggalkan agar obatanestetik lokal diberika
intermiten atau kontinu.

Anestetika lokal

Anestetik lokal saja dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik tetapi berdampak
blokade simpatikus dan motorik. Pengenceran anestetik lokal masih memberikan efefk
analgesia tetapi blok motorik ringan. Bupivakain dan rpivakain 0,125 0,25 % sangat
dipergunakan untuk kebutuhan diatas.

Opioid

Opioid intratekal dapat dilihat pada Tabel

Table. Epidural Opioids.

Opioid Relative Dose Onset Peak Duration Infusion PCA1 PCA


Lipid (min) (min) (h) Rate Dose Lockout
Solubility (min)

Morphine 1 25 1530 60 424 0.30.9 0.2 30


mg 90 mg/h 0.3
mg

Fentanyl 600 50 510 10 13 2550 20 15


100 20 g/h 30 g
g

Hydromorphone 1.5 0.75 1015 20 618 0.10.2 0.15 30


1.5 30 mg/h g
mg

Morfin intratekal 0.2 -0.4 mg (Untuk orang Indonesia 0,02 0,04 mg) dapat memberikan
analgesia yang sangat baik uyntuk 4 24 jam. Morfin epidural 3 -5 mg (untuk orang
Indoinesia 0,3 0,5 mg) memberikan efek yang sama dan lebih umum dipergunakan..

666
Opioid yang diberikan epidural atau intratekal berpenetrasi ke dalam medula spinalis dan
tergantung waktu dan konsentrasi. Obat hidrofilik yang diberikan epidural (seperti morfin)
menghasilkan analgesia pada level dalam darah yang lebih rendah darai pada obat lipofilik
(seperti fentanil). Yang terakhir mungkin menghasilkan efek segmental jadi sebaikya
hanya dipergunakan bila ujung kateter dekat dengan dermatom insisiopnal. Leve dalam
darah sistemik fentanil selama infusi epidural hampir equivalen pemebrian intravfena.
Kekuatan alfentanil epidural dan mungkin juga sufentanil tampaknya semuanya karena
absorpsi sistemik

Obat hidrofilik menyebar ke atas dengann waktu; jadi morfin yang disuntikkan dari
lumbah bawah, dapat menghasilkan analgesia untuk toraks dan abdominal atas (walaupun
terlambat). Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dosis pemberian mencakup, lokasi
ujung kateter, yang terkait dengan insisi dan usia pasien. Jika ujung kateter lebih dekat
dengan dermatom insisi, opioid yang dibutuhkan lebih sedikit. Kalau morfin epidural
dipergunakan sebagai analgesik tunggal infusi kontinu (0.1 mg/mL), 3 5 mg bolus
inisial diberikan, kemudian diikuit infusi 0.1 0.7 mg / jam. Teknik bolus intermiten dapat
juga dipergunakan, tetapi infusi kontinu mungkin lebih sedikit memhasilkan dampak
samping seperti retensi urin dan gatal-gatal.

Fentanil sangat sering dipergunakan sebagai obat lipofilik berupa larutan 3 10 g / mL


dengan kecepatan 5 10 mL / jam.

Anestetik lokal & Campuran Opioid

Walapun opioid intraspinal sendiri dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik,
banyak pasien mengalami dampak samping yang signifikan dengan tergantung dosis,
terutama dengan opioid larut lemak. Kalau larutan anestetik lokal dikombinasi dengan
opioid, akan terlihat sinergi yang signifikan. Buvipakain0.0625 - 0.125 % (atau
ropivakain 0.1 0.2 %) dikombinasi dengan morfin 0.1 mg / mL (atau fentanil 5 g
/mL) memberikan analgesia sangat baik dengan dosis lebih kecil dan sedikit efek samping.
Penambahan epinefrin walapun dosis kecil (2 g / mL) memperkuat dan memperpanjang
analgesia epidural dan dapat mengurangi absorpsi sistemik opioid lipofilik (misalnya
fentanil). Penambahan klonidin dosis kecil (50 75 g) sama juga menambah
memperpanjang analgesia epidural.

Indikasi kontra

Indikasi kontra mencakup, penolakan pasien, koagulopati, atau tarombosit abnormal, dan
adanya infeksi atau tumor sekitar tusukan. Infeksi sistemik hanya indikasi kontra relatif kecuali

667
terbukti ada bakterimia. Pemasangan kateter intraspinal pada pasien yang akan menjalani
heparinisasi intraopoeratif masih kontroversial karena kemungkinan terjadi hematoma
epidural.

Efek samping opioid intraspinal

Dampak samping yang serius opioid epidural atau intratekal, adalah tergantung dosis
berupa depresi respirasi tunda (delayed respiratory depression). Terjadinya karena difusi
opioid ke dalam cairan serebrospinal yang bermigrasi ke pusat respirasi medula. Kejadian
depresi respirasi lebih besar setelah pemberian intratekal daripada epidural. Depresi awal
dapat juga terjadi setelah opoioid epidural (dalam waktu 1 2 jam), mekanismenya berbeda
yaitu absorpsi opioid sistemik melalui pembuluh darah spinal. Angka kejadian depresi respirasi
serius dengan opioid epidural yang memerlukan nalokson masih rendah yaitu 0.1 %.

Jumlah nalokson yang diberikan berdasarkan urgensi kondisi klinik. Depresi


respirasi yang jelas membutuhkan penghobatan nalokson dosis besar (0.4 mg). Infusi
nalokson kontinu mungkin masih diperlukan karena masa paro (half life) nalokson umumnya
lebih singkat daripada opioid. Dosis kecil nalokson (0.04 mg) dapat menawarkan depresi
napas tetapi tidak menghilangkan analgesia.

Dampak samping lain, adalah gatal, mual , muntah, retensi urin, sedasi dan ileus. Angka
kejadian pruritus dapat mencapai 30 %sedangkan retensi urin dilaporkan sampai 40 100 %.
Mekanisme pruritus belum dapat dipastikan tetapi tidak ada hubungannya dengan
pelepasan histamin. Nalokson dosis kecil (0.04 mg) dapat menawarkan pruritus tetapi tidak
menghilangkan efek analgesia.

NYERI KANKER

Hampir 19 juta penduduk dunia mengalami penyakit kanker setiap tahun. 40 80 % dari jumal
tersebut mengalami nyeri mulai sedang sampai berat. Nyeri kanmker disebabkan oleh, lesi kaker
itu sendiri, metastasis, komplikasi seperti kompresi neuronal atau infeksi, pengobatan atau
faktor-faktor yang yang tidak terkait.

Kebanyakan pasien, dapat diobati dengan analgesik oral. WHO merekomendasikan pendekatan
3 langkah (Three Step Approach): 1) analgesik nonopioid seperti aspirin, astominofen, atau

668
NSAID untuk nyeri sedangha; 2) opioid oral lemah (kodein, oksikodon) untuk nyeri sedang, dan
3) opioid kuat (morfin, dan hidromorfin) untuk nyeri berat. Terapi parentral perlu untuk nyeri
refrakter atau bila pasien dapat menerima terapiu oral atau absoprsi enteral tidak baik.Tanpa
memperhatikan jenis obatnya, terapi harus mengikuti jadwal waktu tertentu .

Terapi opioid oral

Nyeri kanker sedang sampai berat biasanya kanker biasanya diobati dengan morfin lepas
cepat (immediate-release morphine) (misalnya, morphine liquid, Roxanol, 10 30 mg every 1
4 h.)Prepareat ini mempunyai masa paro 2 4 jam. Bila pasien elah ditentukan kebutuhan
per hari, dosisi yang sama dapat diberikan dalam bentuk morfin lepas lambat (sustained-release
morphine) (MS Cortin atau Oramorph SR). Yang diberikan setiap 8 12 jam.

Hidromorfin (dilaudid) adalah alternatif yang baik untuk morfin, terutama pasien tua dan pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Metadon dilaporkan mempunyai masa paro 15 30 jam tetapi
durasi klink lebih pendek dan sangat bervariasi (6 8 jam). Toleransi psikologik, dengan
perubahan behavior karena menginginkan obat jarang pada pasien kanker,Toleransi yang
muncul berbeda diantara orang-orang dan mengakibatkan efek yang diinginkan seperti,
kesadaran menurun, nause, depresi respirasi. Ketergantung fisik terjadi pada pasien yang
mendapat opioid dosis besar untukjangka waktu tertentu. Fenomena ketagihan (withdrawal)
dapat dipercepat oleh pemberian antagonis opioid. Penggunaan yang cocok kedepan
antagonis opioid perifer yang tidak menembus sawar darah otak (blood brain barrier) seperti
metilnaltrekson dan alvimopan, dapat menolong mengurangi efek samping sistemik tanpa
mengurangi analgesia dengan signifikan.

Opioid transdermal

Fentanil transderma merupakan alternatif yang baik untuk preparat morfin lepas lambat,
terutama medikasi oral tidak memungkinkan. Tambalan (patch) dibuat sebagai reservoir obat
yang dipisahkan dari kulit oleh membran mikropor dan polimer adhesif. Fentanil akan berdifusi
melalui kulit. Tambalan transdermal fentanil mempunyai ukuran 25, 50, 75 dan 100 g / jam.
Yang dapat memberikan obat selama 2 3 hari. Tambalan yang terbesar equivalen dengan 60 mg
/ hari morfin intravena.

Kerugian cara ini adalah mula kerja lambat dan merubah dosis kalau tidak dilakukan dengan
cepat. Level fentanil dalam darah setelah dipasang bertambah dan mencapai plateau dalamwaktu
12 18 jam, dengan konsentrasi rata-rata 1, 1.5, dan 2 ng / ml untuk tambalan 50, 75 dan 100.

669
Dermis bekerja sebagai reservoir sekunder walaupun tambalan dilepaskan, absorpsi fentanil
diteruskan untuk beberapa jam.

Terapi parentral

Beberapa nyeri kanker yang tak terkontrol memerlukan konversi dari oral opioid menjadi
parentral atau intraspinal opioid. Kalau karakter nyeri berubah signifikan, penting sekali untuk
melakukan reevaluasi progresi penyakitr pasien. Dalam banyak hal, pengobatan adjuvan seperti,
pembedahan, radiasi, kemoterapi atau terapi hormonal sangat menolong.

Terapi opioid parentral biasanya dicapai dengan infusi intravena kontinu atau dapat juga
diberikan subkutan melalui jarum bersayap (butterfly needle)

Opioid intraspinal

Penggunaan opioid intraspinal menjadi alternatif yang sangat baik untuk pasien yang gagal
mengatasi nyeri dengan cara lain. atau mengalami dampak yang hebat. Opioid epidural atau
subaraknoid dapat menghatasi secara substansial denga dosis lebih rendah dan sedikit efek
samping. Kateter epidural atau intratekal dapat dipergunakan, kalai perlu ditempatlkan perkutan
atau implan untuk pemberian jangka panjang.

Masalah opioid intraspinal adalah terdinya toleransi. Umumnya terjadi lambat tetapi pada
beberapa orang berlangsung cepat. Dalam hal ini. Harus dipergunakan terapi adjuvan seperti,
anestesi lokal intermiten, atau campuran opioid dengan anestetik lokal, atau klonidin intratyekal
atau epidural 2 4 g /kg /jam.

Teknik neurolitik

Blok neurolitik pada pleksus celiakus sangat efektif untuk keganasan intraabdominal, terutama
kanker pankreas. Simpatikus lumbal, pleksus hipogastrikus, atau ganglion rusak karena blok
neurolitik dapat dipergunakan untuk tumor malignan di pelvik. Blok neurolitik interkostal
dapat menolong pasien dengan metastase di tulang iga. Pasien dengan nyeri pelvik refrakter, blok
pelana neurolitik dapat mgnhilangkan nnyeri; meskipun akan terjadi disfungsi usus dan buli-
buli. Karena angka kejadian kesakitan yang signifikan pasien yang mendapat blok neurolitik
(hilang fungsi motorik dan sensorik), teknik sebaiknya dipakai hanya setelah
mempertimbangkan dengan cermat semua alternatif. Prosedur neurodestruktif, seperti
adenolisis hipofisis dan kordotomi dapat dipergunakan ujntuk pasien terminal.

670
Referensi :

a. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004.


b. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.

Millers Anesthesia RD 6th ed

671
KEDOKTERAN CRITICAL CARE /
INTENSIVE CARE
MODUL 35 dan MODUL 36 :
(I dan II)

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4 minggu (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

16. LCD Projector dan screen


17. Laptop
18. OHP
19. Flipchart
20. Video player
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

12. Ruang belajar


13. Ruang pemeriksaan
14. Ruang Pulih
15. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang ICU dan HCU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

672
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk modul ICU seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Texbook of Critical Care

Modul ini terdiri dari modul dasar (Modul 1) atau Modul 36 dan modul lanjut (Modul 2) atau
Modul 37. Modul dasar diberikan pada residen yunior selama 2 bulan dan Modul lanjut
diberikan pada residen senior selama 3 bulan . Panduan untuk lama stase ICU yunior dan senior
mungkin berbeda beda pada masing masing pusat pendidikan tetapi hasil sasaran pembelajaran
diharapkan akan sama.

1.Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki latar belakang kemampuan
intelektual dan keterampilan dalam merawat pasien kritis surgical dan non-surgikal Program
pendidikan ini dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi konsultan intensive care, meliputi

673
pengetahuan teori dan klinik yang penting dalam praktek multidisiplin maupun multiprofesi
dalam kedokteran critical care dan intensive care

Setelah menyelesaikan Modul 1 ICU peserta didik diharapkan:

1. Memiliki bekal yang memadai tentang dasar dasar : pengetahuan ,


keterampilan , perubahan sikap dalam bidang kedokteran intensive care.
2. Memahami prinsip umum kedokteran intensive care, mengetahui indikasi
masuk ICU, dapat mengidentifikasi pasien yang beresiko gagal organ.
3. Melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien pasien kritis.
4. Mengetahui keterbatasan kemampuan diri dan urgensi untuk meminta
bantuan senior

Setelah menyelesaikan Modul 2 ICU peserta didik diharapkan :

1. Mengetahui lebih detail aspek aspek umum critical care


2. Mampu mengembangkan keterampilan yang diperoleh pada Modul 1
lebih lanjut,
3. Melakukan stabilisasi, penilaian, pengelolaan dan investigasi rutin setiap
hari
4. Meningkatkan keterampilan diagnosis pasien kritis
5. Secara proaktif melakukan pengajaran/pendidikan pada petugas/
mahasiswa kedokteran/ paramedik yunior.
6. Secara proaktif melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan yunior
7. Mengembangkan keterampilan secara integratif.
8. Mengetahui secara umum organisasi pengelolaan ICU
9. Mengetahui keterbatasan kemampuan diri untuk meminta tolong atau
konsultasi

2. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mengikuti Modul ICU 1 dan 2 ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan meliputi:

1. Indikasi pasien masuk ICU

2. Tanda2 pasien yang memerlukan resusitasi dan stabilisasi awal di ICU

674
3. Penilaian klinis pasien ICU

4. Investigasi/ pemeriksaan penunjang , interpretasi data dan diagnosis

5. Support organ dan prosedur prosedur praktis terkait

6. Pemantauan dan pengukuran klinik

7. Pemakaian alat alat di ICU dengan aman

8. Kondisi khusus (tidak termasuk trauma, luka bakar dan pasien pediatri)

a. Sistem respirasi

b. Sistem Kardiovaskular

c. Sistem Renal

d. Sistem Syaraf

e. Trauma dan luka bakar

f. Pasien Pediatrik

g. Pasien Obstetri

h. Sepsis dan Pengendalian Infeksi

i. Transportasi pasien kritis

9.End-of- Life- Care

Kognitif

Sasaran pembelajaran modul 1 (M1) dan

sasaran pembelajaran modul 2 (M2)

V+ : Modul untuk jenjang Fellow

No Kognitif Sasaran Belajar

Modul 1 Modul 2

675
Memahami Resusitasi dan Stabilisasi Awal (Modul 36) (Modul 37)

1. Pasien kritis mengancam nyawa termasuk


cardiopulmonary arrest
V

2. Cara2 melakukan resusitasi kardiopulmoner V V

3. Memahami pengelolaan segera pasien pasien


emergensi medik (gagal nafas akut, asthma akut,
PPOK, hipertensi, infark miokard akut, gagal V V
jantung, hipotensi, syok, gangguan irama jantung,
penurunan kesadaran)

4. Cara2 menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi V


trakea pada pasien kritis

5. Cara2 melakukan nafas buatan V

6. Cara mencegah dan mengelola aspirasi pnemonia V V


karena muntahan

7. Pengelolaan difficult airway dan kegagalan intubasi V

8. Pengelolaan jalan nafas pada cedera kepala lambung V


penuh, obstruksi jalan nafas, syok

9. Farmakologi obat2 untuk resusitasi, dan obat2 untuk V


keadaan kritis

10. Farmalokogi obat2 sedasi, analgesi dan pelemas otot. V

11. Tanda2 dan pengelolaan reaksi anafilaksis dan V V


anafilaktoid

12. Masalah pada pasien obesitas atau immobilitas V V

13. Cara2 melakukan akses vaskular yang cepat dan V V


aman

Modul 1 Modul 2

Memahami Penilaian klinis (Modul 36) (Modul 37)

1. Manfaat anamnesis untuk diagnosis V V

676
2. Tanda2 fisik pada pasien kritis V V

3. Reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ V

4. Dampak terapi obat terhadap fungsi sistem organ V V

5. Infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi V+

6. Patogenesis disfungsi organ multipel V V

7. Prinsip2 pencegahan disfungsi organ multipel V V

Modul 1 Modul 2

Memahami Investigasi, Interpretasi data dan (Modul 36) (Modul 37)


diagnosis

1. Memahami pemeriksaan laboratorium yang sesuai V

2. Keuntungan dan kerugian pemeriksaan laboratorium V

3. Indikasi dan Interpretasi dasar pemeriksaan2 : EKG,


ECHO, USG, Gas darah, test fungsi paru, foto torak,
rongent: kepala, vertebra dan iga2, level cairan bebas V V+
di abdomen, CT Scan, MRI, mikrobiologi, Balans
cairan, hematologi, Urea/creatinine, Elektrolit (Na,
K, Ca, Mg), Test fungsi hati, Kadar obat dalam darah,
Fungsi endokrin:diabetes, gangguan tiroid, gagal
V V+
adrenal.

Memahami Support sistem organ dan prosedur2 Modul 1 Modul 2


praktis terkait
(Modul 36) (Modul 37)

1. Indikasi ventilasi mekanik V V

2. Modus ventilasi mekanik dasar (CMV, SIMV, V


PS,CPAP)

677
3. Modus ventilasi mekanik lanjut (PCV, PSV, BiPAP, V+

NIV)

4. Komplikasi ventilasi mekanik dan pengelolaannya V

5. Deteksi dan pengelolaan pnemotorak V V

6. Indikasi bronkoskopi V

7. Prinsip weaning dari ventilasi mekanik V V

8. Kanulasi vena perifer dan sentral V V

9. Punksi dan kateterisasi arterial V V

10. Penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator,


vasokonstriktor,
V V

11. Penggunaan kristaloid, koloid, darah dan produk V V


darah

12. Prinsip IABP, TEE, Esophageal Dopler, transvenous V+


cardiac pacing

13. Cara2 mencegah gagal ginjal V V

14. Investigasi gangguan fungsi ginjal V V

15. Obat obat nefrotoksik V

16. Penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal V

17. Renal Replacement Therapy V+

18. Prinsip2 penilaian status nutrisi pada pasien ICU V

19. Prinsip2 nutrisi enteral dan parenteral pasien ICU V V

20. Kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal V V

21. Insersi pipa Sengstaken V+

22. Pencegahan stress ulcer V

23. Prinsip2 support gagal hepar V+

24. Tehnik mencegah translokasi mikroba V

25. Prinsip2 pengelolaan cedera kepala tertutup V

678
26. Prinsip2 pengelolaan peningkatan tekanan V V+
intrakranial

27. Prinsip2 pengelolaan cedera spinal V V+

28. Pencegahan pressure sores V V

29. Kebutuhan surveillance mikrobiologi V

30. Pemakaian antibiotik yang benar V

Memahami Pemantauan dan Pengukuran klinik Modul 1 Modul 2

(Modul 36) (Modul 37)

1. Peran penilaian klinik dalam monitoring V

2. Indikasi dan indikasi kontra penggunaan alat monitor V

3. Interpretasi informasi dari alat monitor V

4. Identifikasi penyebab error alat V

5. Prinsip monitor minimal V

6. Komplikasi akibat alat monitor V

7. Cara2 mengukur suhu V

8. Cara2 menilai nyeri dan sedasi V

9. Cara menilai sistem skoring keparahan penyakit V

10. Glasgow Coma Scale V

11. Pemantauan kadar obat

Modul 1 Modul 2

Memahami Penggunaan alat secara aman (Modul 36) (Modul 37)

1. Alat alat untuk jalan nafas, airway, LMA, ETT, terapi V


oksigen, bag, humiidifikasi, nebulizer

2. Ventilator invasif dan non-invasif dan accessoriesnya V V

679
3. Alat alat monitor dan accessoriesnya V V

4. Pembersihan dan sterilisasi alat V V

5. Keamanan kelistrikan V

6. Jarum2 untuk akses vaskular, spinal, epidural, torak V

7. Alat2 resusitasi, defibrilator dan alat transfusi V V

8. Alat2 untuk hemofiltrasi V+

9. Alat bronkoskopi V+

10. Alat ECHO V+

Modul 1 Modul 2

Memahami kondisi medis dan Pengelolaan (Modul 36) (Modul 37)

1. Gagal nafas oksigenasi V

2. Gagal nafas ventilasi V

3. Acute lung Injury, ARDS V+

4. Obstruksi jalan nafas V

5. Nosocomial pneumonia V

6. Ventilator- associated pneumonia V

7. Aspiration pneumonia V

8. Asthma V

9. PPOK V

10. Edema paru kardiogenik V V

11. Effusi pleura, Pneumotorak (simple, tension) V

12. Syok hipovolemik V

13. Syok kardiogenik V

14. Hipotensi, Hipertensi V V

15. Infark miokard akut V+

680
16. Gagal jantung kiri V+

17. Gagal jantung kanan V+

18. Hipertensi pulmonal V+

19. Gangguan irama jantung V+

20. Cardiac arrest V V

21. Oliguria, anuria, polyuria V

22. Gagal ginjal akut V

23. Urosepsis V

24. Confusion dan Coma V V

25. Traumatic brain injury V

26. Spontaneous intracranial hemorrhage V+

27. Subarachnoid hemorrhage V+

28. Hypoxic brain damage V

29. Convulsion, Status epilepticus V

30. Meningitis, Encephalitis V+

31. Neuro muscular (Guillain-Barre, Myasthenia gravis, V+


tetanus, malignant hyperpyrexia)

32. Spinal Injury V V+

33. Brainstem death V

34. Gangguan koagulasi V+

35. Pasien immunocompromised V+

36. DIC V+

37. Gangguan elktrolit, Na, K, V

38. Gangguan elektrolit Ca, Mg V

39. Kegawatan pada Diabetes Melitus V+

40. Disfungsi Thyroid V+

41. Keracunan akut V V+

681
42. Preeklamsia, Eklamsia, Sindroma HELLP V V

43. Perdarahan peripartum V

44. Gangguan jantung pada kehamilan. V

45. SIRS, Sepsis, Severe Sepsis, Septic Shock V V

46. Pireksia dan hipotermia V

Modul 1 Modul 2

Memahami Transportasi pasien kritis (Modul 36) (Modul 37)

1. Prinsip2 transfer pasien kritis dengan aman V

2. Mengerti pemantauan saat transportasi. V

Memahami End of life Care Modul 1 Modul 2


(Modul 36)
(Modul 37)

1. Prinsip2 etika dasar V

2. With-holding dan withdrawing therapy V+

3. Decision making V

4. Cara2 menilai atau mengukur quality of life V+

Psikomotor

Pada akhir stase peserta didik akan memiliki keterampilan

1. Menjelaskan hal hal yang telah difahami pada wawasan kognitif

2. Menjelaskan diferensial diagnosis, fisiologi, dan manajemen masalah

masalah umum sistem organ atau kondisi penyakit yang mengancam

nyawa pada kasus kasus neurologi, respirasi, kardiovaskular, renal,

gastrointestinal, metabolic

682
3.Menjelaskan Farmakologi dasar dan pemakaian obat obat: antiaritmia,

Antihipertensi, Inotropik, vasoaktif , vasopressor, metabolik, anti

trombotik/antikoagulan, metabolik, analgetik, pelemas otot

4.Menjelaskan dasar Indikasi, Kontra indikasi, dan atau interpretasi

tentang a. Intubasi Endotrakeal

b. Ventilasi mekanik, modus dasar dan tehnik weaning

c. Pemeriksaan radiologi

d. Renal Replacement Therapy termasuk tehnik dialisis

e. Gas darah dan Elektrolit

f. Monitor hemodinamik

g. Monitor tekanan vena sentral bedside

h. Tehnik non-invasif untuk oksigenasi dan ventilasi

i. Nutrisi enteral dan parenteral

j. Tehnik manajemen sedasi dan nyeri

k. Pemasangan kateter arteri pulmonalis

5. Peserta didik senior harus mampu

a. Menjelaskan lebih mendalam pengetahuan yang didapat waktu

yunior

b. Mengajar dan membimbing residen yunior dan mahasiswa

medik/paramedik

c. Melakukan atau berpartisipasi dalam penelitian

d. Bertindak sebagai konsultan untuk beberapa masalah intensive

care yang umum

6. Pada akhir sesi peserta didik akan mampu

683
a. Melakukan koordinasi pasien masuk, penilaian dan manajemen pasien pasien yang
menjadi tanggung jawabnya.
b. Melakukan prosedur klinik ICU (lihat matriks)
c. Melakukan pengelolaan medik, administrative, social pasien pasien kritis

Keterampilan Komunikasi Interpersonal

Pada akhir sesi peserta didik akan mampu

a. Melakukan pengumpulan data/informasi pasien untuk dijelaskan pada waktu


ronde
b. Melakukan komunikasi dengan keluarga pasien tentang perkembangan keadaan
pasien dan kasus end of life care
c. Melakukan komunikasi dengan keahlian disiplin dan profesi lain yang terkait
d. Melakukan identifikasi secara benar pasien pasien yang membutuhkan ICU
e. Mampu mengkomunikasikan pada team ICU terhadap pasien pasien kritis yang
ada diluar ICU
Professionalisme

a. Mampu menghadapi kasus dengan end of life


b. Mampu bekerja sama dengan dokter primer dalam pengelolaan pasien kritis
c. Bekerja sesuai standard prosedur
d. Proaktif untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan profesi mengikuti
perkembangan.

Keynotes

1. Kriteria mati batang otak hanya dapat dapat diterapkan bila tidak terdapat
hipotermia, hipotensi, kelainan metabolik atau endokrin, penggunaan zat blokade
neuromuskulkar, atau obat yang diketahui mendepresi fungsi otak
2. Risiko retinopati prematuritas (retinopathy of prematurity /ROP) bertambah
dengan menurunnya berat dan kompleksnya komorbiditas (misalnya, sepsis).
Sebaliknya pada toksisitas pulmonar, lebih terkait dengan tekanan O2 arterial dari
pada tekanan O2 alveolar..
3. Pressure controlled ventilation (PCV) sama dengan pressure support ventilation
dalam peak tekanan jalan napas, tetapi berbeda dalam rate mandatory, inspiratory
time. Seperti halnya dengan pressure support, gas flow berhenti bila level pressure
tercapai; walapun ventilator tidak bekerja selama ekspirasi sampai preset
inspiratory time telah dilewati.
4. Kerugian PCV adalah volum tidal tidak pasti.
5. Kalau dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu lama di ICU,
intubasi nasal mungkin lebih nyaman untuk pasien, lebih aman, dan sedikit
menyebabkan cedera laring.

684
6. Mempertahankan intubasi oral atau nasal lebih dari 2-3 minggu cenderung
mengakibatkan stenosis subglotik. Jika diperlukan ventilasi mekanik jangka
pamnjang sebaiknya diganti dengan pipa trakeostomi yang mempunyai balon.
7. PEEP berlebihan atau penambahan tekanan positif kontinu terbukti dapat
meningkatkan kejadian barotraumka paru, terutama pada level lebih darei 20 cm
H2O.
8. Manuver yang yang menghasilkan sustained maximum lung inflation seperti
penggunaan incentive spirometer sangat menolong merangsang batuk dan
mencegah atelektasis serta mempertahankan volum paru normal.
9. Pada pasien dengan ARDS dengan VT > 10 mL/kg berkaitan dengan peningklatan
mortalitas.
10. Intubasi takea dini dianjurkan bila terdapat terdapat gejala hebat dari cedera panas
pada jalan napas.
11. Usia lanjut (> 70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, pemakaian alat invasif
yang lama, gagarl napas, gagal ginjal, ceder4a kepala, dan luka bakar akan
mempermudah terjadi infeksi nosokomiaL.
12. Venodilatasi sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan mengakibatkan
hipovolemia relatif Pada pasien sepsis.
13. Berlawanan dengan pasien yang nonstres yang memerlukan sekitar 0,5 g /kg /hari
protein, umumnya pasien sakit kritis membutuhkan 1,0 1,5 g / kg / hari protein.
14. Bantuan nutrisi melalui jalur gastrointestinal merupakan pilihan untuk pasien
dengan integritas fungsional yang intak.
15. Penghentian mendadak nutrisi parentral (TPN) dapat m,encetuskan hipoglikemia
karena level darah insulin tinggi; tetapi umumnya mudah diatasi dengan
substitusi glukosa 10 % secara temporer kemudian dihentikan bertahap.

3.Kata kata kunci

d. Indikasi pasien masuk ICU


e. Resusitasi dan penilaian awal pasien kritis
f. Investigasi , interpretasi data dan diagnosis
g. Support sistem organ, prosedur tindakan terkait dan Terapi farmakologik
h. Monitoring dan pengukuran klinik
i. Gagal organ dan gagal multiorgan
j. Sepsis, severe sepsis dan septic shock, pengendalian infeksi
k. Prognostic score
l. End of life care
m. Cost effectiveness therapy

4.Pokok bahasan/Sub pokok bahasan

1. Pengelolaan pasien dengan gangguan kesadaran


2. Pengelolaan pasien gagal nafas

685
3. Pengelolaan pasien gagal sirkulasi
4. Pengelolaan pasien gangguan metabolik
5. Pengelolaan pasien infeksi dan sepsis
6. Pengelolaan pasien gagal ginjal
7. Pengelolaan gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit
8. Pengelolaan nutrisi.

5.Waktu pendidikan : Yunior , semester 3 (2bln),

Senior, semester 6 (3bulan)

6. Metode Pengajaran

1. Keterampilan Kognitif:

a. Strategi Pendidikan

- Integrated learning
- Independent learning
- Problem base learning
b. Situasi Belajar

- Introductory lecture
- Small Group Discussion and feed back
- Patient Management Problem
- Simulated patient, scenarios, displays etc.
c.Sumber belajar

- Virtual patients

- Reading assignment

- Audio Visual

d.Penilaian

- EMQ (Extended Medical Question)

- Multiple observations and assessment

- Multiple observers

- OSCE (Objective Structure clinical Examination

- Minicheck

686
2. Keterampilan Tehnik/ Psikomotor

a. Strategi Pendidikan

- Practice-based learning

b. Situasi Belajar

- Demonstrations/Displays and clinical supervision

- Patient management problem

c. Sumber belajar

- Virtual patients

d. Penilaian

- Multiple observations and assessments

- Multiple observers

- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

- Minicheck

3. Keterampilan Komunikasi Interpersonal

a. Strategi Pendidikan

- Practice based learning

b. Situasi belajar

- Demonstrate/displays dan clinical supervision

- Patient management problem

c. Sumber belajar

- Virtual patient

d. Penilaian

- Multiple observations dan assessment

687
- Multiple observers

4. Professionalisme

a. Strategi Pendidikan

- Patient-based learning

b. Situasi belajar

- Patient management problem

c. Sumber belajar

- Virtual patients

d. Penilaian

- Multiple observations dan assessments

- Multiple observers

5. Knowledge

a. Strategi Pendidikan

- Integrated learning

- Independent learning

b. Situasi belajar

- Introductory lecture

- Small Group Discussion , and feedbacks

c. Sumber belajar

- Reading assignment

- Audiovisual

d. Penilaian

- MCQ (pretest)

688
- EMQ (Extended Medical Question)

7..Media:

5. Virtual Patients di ICU


6. Audiovisual
8. Evaluasi :

Pretest:

1. Jelaskan indikasi pasien masuk ICU

2. Jelaskan resusitasi dan penilaian awal pasien dalam kondisi kritis

3. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan respirasi

4. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan sirkulasi

5. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan sistem syaraf

pusat

6. Jelaskan beberapa jenis pemeriksaan mendukung diagnosis

kegawatan diatas

7. Jelaskan interpretasi data hasil investigasi masing masing jenis

kegawatan

8. Jelaskan tentang delivery oxygen

9. Jelaskan tentang EGDT

10. Jelaskan support dengan ventilasi mekanik

11. Jelaskan support dengan vassopressor dan inotropik

12. Jelaskan support pada gagal ginjal.

13. Jelaskan tentang SIRS, Severe Sepsis dan Septic shock

14. Jelaskan tentang withdrawing dan withholding therapy

15. Jelaskan tentang end of life care

689
16. Jelaskan tentang DNR dan mati batang otak

Evaluasi Kognitif:

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observations and assessments
- Multiple observers/raters
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Evaluasi Psikomotor:

- Multiple observations and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Evaluasi Komunikasi dan Hubungan interpersonal dan Evaluasi Profesionalisme

- Multiple observationa dan assessments


- Multiple observers/rater
Evaluasi knowledge:

- MCQ ( pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)

9.Referensi:

1.GE Morgan Jr. Clinical Anesthesiology

2.Texbook of Critical Care

10.Daftar cek penuntun belajar Modul 36 dan Modul 37

No Prosedur Pengelolaan(Umum) Pasien Kritis Kasus ke

1 2 3 4

Antisipasi terhadap kondisi yang mengancam nyawa

Penolong mencuci tangan dengan antiseptik/ pakai sarung


tangan steril, masker

690
1. Penilaian kesadaran

2. Penilaian Jalan nafas pasien kritis

3. Pembebasan jalan nafas

4. Pemberian Oksigen dan Ventilasi dengan Bag-Valve-Mask

5. Penilaian circulation/kardiovaskuler

6. Pemasangan artificial airway (intubasi, LMA, Krikotirotomi)

7. Pemasangan akses vena perifer

8. Pemasangan akses vena sentral

9. Menentukan pasien gagal nafas

10. Penanggulangan awal gagal nafas

11. Setting ventilator pada pasien gagal nafas

12. Menentukan pasien dalam keadaan gagal sirkulasi

13 Resusitasi cairan pada pasien syok

14. Penggunaan cairan kristaloid

15 Penggunaan cairan kolloid

16 Melakukan target resusitasi dalam 6jam Early Goal Directed


Therapy (EGDT)

17. Melakukan pemasangan ventilator dengan setting yang benar

18. Melakukan pemberian obat obat vasoaktif (inotropik dan


vasopresor)

19. Menentukan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan untuk


investigasi: darah perifer lengkap, kimia darah fungsi ginjal,
fungsi hepar, hemostasis, kultur dan resistensi test, EKG 12 lead,
radiologi, imaging lain (CT, USG, Echo), Bronkoskopi, analisis
gas darah, elektrolit, lain lain sesuai indikasi

Menentukan skor prognosis bila ada.

20. Melakukan pemantauan Kesadaran, Tekanan darah (S,D,MAP),


heart rate, EKG, SpO2, ETCO2, suhu, produksi urine,

691
keseimbangan cairan

21. Melakukan terapi titrasi untuk mencapai target fungsi vital

:pernafasan, kardiovaskular, susunan syaraf, metabolic, renal.

Melakukan dukungan terapi nutrisi enteral

Melakukan dukungan terapi nutrisi parenteral

22. Melakukan posisi pasien, pencegahan stress ulcer, pencegahan


DVT, pencegahan dekubitus, pencegahan infeksi nosokomial,
pencegahan pnemonia karena ventilator (VAP)

23. Melakukan terapi simptomatik dan life support

24. Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang : biokimia


oksigenasi, hasil imaging, hasil kultur dan resisitensi test.

25. Melakukan terapi kausal sesuai hasil investigasi

26. Melakukan interpretasi hasil terapi titrasi

27. Melakukan konsultasi/koordinasi dengan spesialis lain dan


kolaborasi dengan profesi lain.

28. Melakukan prosedur invasif untuk pemantauan maupun terapi


sesuai indikasi: pemasangan pipa torak, trakeostomi perkutaneus

29. Melakukan follow up pasien terhadap hasil terapi atau tindakan


invasif secara terus menerus dengan interval waktu sesuai kondisi
pasien sampai kondisi stabil normal

30. Melakukan penilaian prognosis pasien dengan APACHE II

31. Melakukan penilaian prognosis pasien dengan SAPS II

32. Melakukan penilaian prognosis pasien dengan SOFA

33. Melakukan perkiraan beaya untuk menilai manfaat dan risiko

33. Menetapkan Do Not Resuscitate (DNR) pada pasien

34. Memutuskan Withdrawing dan Withholding therapy

35. Memutuskan End of Life Care

36. Menetapkan mati batang otak

692
11. Daftar tilik

Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

v Memuaskan: Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau

penuntun

x Tidak memuaskan: Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tuga sesuai prosedur

standar atau penuntun

T/D Tidak diamati: Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik

selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No.Rekam medik

Daftar Tilik

No Kegiatan/ Tindakan Anestesia Kesempatan ke

1 2 3 4 5

693
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih/pengajar

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur Nama terang pelatih/pengajar

12. Materi Acuan

694
INTENSIVE CARE

GAMBARAN UMUM

Intensive Care Unit (ICU) adalah ruangan khusus dengan peralatan dan sumber daya
manusia /petugas kesehatan khusus untuk merawat pasien pasien kritis yang mengancam nyawa,
yang potensial dapat pulih kembali. Peralatan khusus adalah alat alat monitor fungsi vital dan
alat alat untuk memberikan bantuan hidup apakah bantuan pernafasan, bantuan kardiovaskular
atau bantuan system ginjal, maupun bantuan untuk system yang lain. Sumber daya manusia
khusus adalah dokter, nurse yang telah terlatih untuk mengelola pasien ICU, ditambah dengan
petugas kesehatan lain, seperti fisioterapist, ahli farmasi, petugas laboratorium, radiology, ahli
nutrisi maupun petugas petugas non kesehatan seperti tenaga administrasi, keuangan, rekam
medik, tehnik maupun pekarya.

Indikasi pasien masuk ICU dapat berdasarkan prioritas, diagnosis atau nilai2 parameter hasil
laboratorium. Pasien mengancam nyawa atau akan mengancam nyawa yang memerlukan
pemantauan dan atau terapi dengan pengawasan ketat. Pasien dengan diagnosis misalnya tetanus
berat, myasthenia gravis. Pasien dengan hasil laboratorium hiperkarbia, hipoksemia berat atau
hipokalemia berat. Bagi pasien pasien dengan penyakit primer yang kecil kemungkinan sembuh
seperti keganasan lanjut, maka indikasi rawat ICU tidak merupakan prioritas utama.

Bilamana pasien masuk ICU maka lakukan resusitasi awal dan lakukan stabilisasi artinya
pasien misalnya dengan gagal napas atau ancaman gagal napas maka fungsi pernapasan, jalan
napas maupun ventilasi harus diambil alih. Tanda tanda klinik pasien gagal atau ancaman gagal
napas merupakan hal sangat penting dan harus dikuasai dengan baik. Tindakan ambil alih fungsi
napas harus didahulukan, tidak usah menunggu pemeriksaan anamnesis dan fisik lengkap.

Pasien dengan gagal napas, apapun penyebabnya tindakan awalnya akan sama .Upaya untuk
memperbaiki oksigenasi maupun ventilasi tidak lepas dari kondisi sirkulasi yang baik. Bukankah
V/Q ratio adalah ratio ventilasi/perfusi dan merupakan dasar patofisiologi untuk menjelaskan
pasien dengan gagal napas? Oleh karena itu keterampilan melakukan insersi kateter ke dalam
vena perifer dan vena sentral harus dikuasai.

Pasien dengan gagal sirkulasi, segera lakukan resusitasi dengan pemberian cairan lebih dulu, dan
bila volume sirkulasi dianggap adekuat tapi tekanan darah belum adekuat dapat diberikan secara
titrasi inotropik dengan tanpa vasopressor. Kondisi sirkulasi adekuat atau tidak dapat dinilai
secara klinik disesuaikan dengan penuntun tekanan vena sentral, kalau mungkin tekanan kapiler
baji paru.

Pasien dengan kesadaran menurun lebih dulu harus dilakukan pembebasan jalan napas, lakukan
ventilasi dan oksigenasi, untuk mencegah hipoksi dan hiperkarbia, sementara itu lakukan

695
kanulasi vena dan lakukan resusitasi dengan cairan untuk menjamin tekanan darah atau perfusi
yang adekuat.

Setelah upaya awal atau primary survey diatas dilakukan dan kondisi stabil, artinya segala
sesuatu menyangkut fungsi vital tersebut adekuat dan terkendali, lakukan pemeriksaan
pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk mencari penyebabnya, mulai dari anamnesis
atau alloanamnesis riwayat penyakit, dan pemeriksan fisik menyeluruh.

Selama pasien di ICU akses jalan napas dan vaskuler sekaligus fungsi pernapasan dan
kardiovaskular harus selalu dijamin aman. Oleh karena itu keterampilan keterampilan
pemasangan jalan napas artifisial, setting ventilator, pemberian resusitasi cairan, penggunaan
inotropik dan vasopressor, monitor fungsi vital dan interpretasi hasil monitor harus dikuasai
dengan baik.

Salah satu tulang punggung utama pelayanan ICU adalah ners ICU yang terampil, terlatih
dengan baik dan berupaya mengembangkan diri secara terus menerus, serta mempunyai dedikasi
yang baik. Dalam bahasa perang, ners ICU berfungsi digaris depan, artinya ners yang baik akan
mengenal kondisi pasien yang mengalami perburukan, dan mengerti apa yang harus awal
dilakukan. Beberapa aspek keilmuan ners banyak tumpang tindih dengan ilmu kedokteran.
Komunikasi yang baik dengan ners dalam mengelola pasien akan menjamin kenyamanan bekerja
dan mendatangkan manfaat pada pasien.

Beberapa kasus ICU memerlukan konsultasi atau komunikasi dengan disiplin lain untuk
terapi yang menyangkut tingkat kekhususan tertentu apakah nerologi, ginjal, jantung,
hematologi, subdivisi bedah, bedah syaraf, bedah torak, bedah digestif, THT, obgin, endokrin,
paru, fisioterapi, farmasi, gizi klinik, mikrobiologi dan lain lain.

Sampai batas mana konsultasi dilakukan? Bila masih menyangkut kondisi kritis dan pasien yang
dapat ditanggulangi segera maka tidak perlu dikonsultasikan, tetapi bila telah sampai terapi
definitif yang sangat khusus terhadap kausa perlu dikomunikasi dengan disiplin
terkait.Kemampuan komunikasi merupakan proses dan ini harus dilatih secara terus menerus.

Kedokteran gawat darurat (critical care medicine) dan Unit terapi Intensif (Intensive Care Unit)
merupakan komponen yang essensial dari sistem pelayanan kesehatan modern, dimana ilmu ini
mengajarkan cara untuk menanggulangi penyakit gawat (kritis) dengan cara memperbaiki
keadaan gagal fungsi-fungsi vital dari sistem dan organ tubuh sehingga pasien dapat pulih dari
penyakit kritis tersebut.

696
ASPEK EKONOMI, ETIK DAN HUKUM

Di Amerika, jumlah tempat tidur ICU hanya 8-10% dari kapasitas rumah sakit, namun dapat
menghabiskan >20% biaya pengeluaran rumah sakit, atau 1% dari Gross national product
pertahun.

Mengingat biaya perawatan ICU cukup mahal, dokter harus dapatt mengetahui syarat-syarat
merujuk pasien ke ICU. Faktor yang mempengaruhi angka keberhasilan pasien adalah derajat
penyakit, reversibilitas, status kesehatan premorbid dan umur. Oleh karena itu diperlukan suatu
metode yang dapat dipercaya untuk memperkirakan pasien mana yang mendapat manfaat bila
dirawat di ICU. Beberapa sistem skoring telah diciptakan misalnya APACHE (Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation) dan TISS (Therapeutic Intervention Scoring System, namun
sejauh ini belum ada yang memuaskan.

ASPEK ETIK DAN HUKUM

Banyak pasien yang masuk ICU menjadi lebih baik dan sebagian lagi meninggal dengan cepat,
walau diberi terapi yang paling canggih. Bagi mereka tidak bisa disembuhkan lagi, timbul
pertanyaan apakah yang harus dilakukan ?. Bila pasien dengan prognosis tidak ada harapan lagi
diberi terapi, maka sebenarnya terapi ini hanyalah memperpanjang proses kematian. Pada
kenyataannya, biasanya diberikan terapi heroic yang komplek, menggunakan prosedur dan
peralatan canggih seperti RJP, ventilasi mekanik, pemberian vasoaktif dan inotropik yang sangat
mahal.

Bila pada suatu waktu, pasien tidak ada harapan sembuh, maka serigngkali tepatlah tindakan
untuk menghentikan sebagian terapi yang sudah terlanjur diberikan, atau tanpa menghentikan
terapi yang sedang diberikan, tidak lagi memberi terapi untuk kelainan baru yang timbul
belakangan.

Pada situasi penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/paliatif tidak ada gunanya, maka
tindakan tersebut dapat dihentikan. Penghentian tindakan tersebut diatas sebaiknya
dikonsultasikan dengan pasien dan keluarganya dan harus sesuai dengan kebijakan rumah sakit
serta hukum yang berlaku.

Eutanasia merupakan tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan dan di banyak
negara tidak dapat diterima, sedangkan menarik kembali atau menolak terapi merupakan
tindakan yang dapat diterima dan dibenarkan manakala penangann medis hanya memperpanjang
proses kematian. Penghentian bantuaan hidup tidak berarti meninggalkan pasien, tetapi hanya
mengehentikan terapi yang tidak efektif dan dapat disertai dengan terapi yang lebih tepat
(misalnya meredakan nyeri, sedasi dan sebagainya).

697
GANGGUAN KESADARAN

Bilamana pasien masuk dalam keadaan tidak sadar, harus didahulukan bahwa jalan napas,
pernapasan, akses vaskuler dijamin aman. Lakukan resusitasi awal artinya fungsi pernapasan dan
kardiovaskular dikendalikan dalam batas normal, dengan pemberian cairan dan dengan napas
kendali atau napas bantu secra manual lebih dulu, targetnya adalah tekanan darah adekuat,
oksigenasi dan ventilasi adekuat. Upaya ditujukan untuk menghindarkan peningkatan tekanan
intrakranial lebih lanjut, memperbaiki cerebral perfusion pressure. Untuk mempertahankan
kondisi tersebut mungkin perlu dilanjutkan dengan nafas kendali dengan ventilator dan
pemberian cairan terukur dengan/tanpa inotropik dan vasopressor.

Secara blind dapat diberikan Dekstrose, Natrium dan vitamin B1 intravena. Bilamana dari
anamnesis ditemukan penyebab yang dapat diatasi dengan cepat misalnya keracunan morphin
dapat diberikan antidotumnya. Selanjutnya untuk mencari penyebab tidak sadar harus dipikirkan
apakah penyebabnya cerebral atau non-cerebral. Lakukan pemeriksaan CT scan atau MRI,
lakukan pemeriksaan fungsi hepar, ginjal, gula darah, kadar elektrolit Na, laktat, kadar obat
(misalnya diduga keracunan obat tidur), periksa liquor serebrospinal.

Resusitasi otak dimaksudkan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dapat


dilakukan pendekatan secara fisiologik maupun farmakologik. Pendekatan secara fisiologik
posisikan kepala pasien dengan dengan head up position 30-45 derajat, cegah batuk, kendali
napas normoventilasi, hindarkan hipertemia, pertahankan osmolaritas dalam batas batas normal,
pertahankan mean arterial presure 90mmHg (bergantung nilai base line tekanan darah), PaO2
100mmHg, nilai Hb 10g%, pertahankan balans cairan imbang atau sedikit negatif. Pendekatan
secara farmakologik memerlukan komunikasi atau diskuasi dengan ahli nerologi, misalnya untuk
pemberian obat obatan yang dapat mengurangi edema otak atau memperbaiki metabolisme sel
otak.

Trakeostomi merupakan tindakan jalan napas artifisial yang sudah harus secara dini
direncanakan pada pasien tidak sadar yang pulih sadarnya sulit diprediksi.

Mati Otak

Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO). Kebanyakan kalangan yang
berwenang dalam kedokteran dan hukum , sekarang mendefinisikan kematian dalam pengertian
MO walaupun jantung masih berdnyut. Dokter yang merawat dapat membenarkan dilepasnya
ventilator karena meneruskan ventilasi mekanik memberikan stress bagi keluarga. Selain itu
terapi yang diteruskan secara tidak langsung memberikan keluarga pasien suatu harapan palsu.

698
Ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MO memungkinkan
perolehan organ untuk tujuan transplantasi.

Penentuan MO dapat dilakukan bila tidak terdapat kondisi hipotermi, hipotensi, ganguan
metabolik atau endokrin, pemakaian obat pelumpuh otot dan obat obatan yang dapat menekan
fungsi otak. Pemeriksaan toksiologi perlu dilakukan apabila waktunya cukup (minimal 3 hari).

Kriteria MO adalah sebagai berikut :

- Koma

- Tidak ada aktivitas motorik, termasuk deserebrasi dan dekortikasi

- Tidak adanya reflek batang otak, yaitu : reflek pupil dan ckornea, vestibulookular,

reflek batuk dan/ muntah

- Tidak adanya usaha nafas, dengan pCO2 60 mmHg atau menikngkat 20% setelah

dilakukan test.

GAGAL NAFAS

Gagal nafas adalah ketidakmampuan paru-paru memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini
dapat terjadi akibat kegagalan oksigenasi pada tingkat jaringan dan atau kegagalan homeostasis
karbondioksida (CO2).

Fungsi sistem respirasi adalah untuk menghantarkan oksigen dari atmosfir kedalam darah dan
mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Secara klinik gagal nafas ditegakkan bila
didapatkan PaO2 <60 mmHg bila bernafas dengan udara atau PaCO2 > 50 mmhg. Gagal nafas
dapat diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu gagal nafas hipoksemik (tipe 1) dan gagal nafas
hiperkapnik (tipe 2).

Gagal napas tidak selalu mengancam nyawa, bergantung kepada derajat berat ringan gagal napas,
mungkin tidak memerlukan rawat ICU. Pasien gagal napas akut dan mengancam nyawa, dapat
dinilai secara klinik, yang dikenal sebagai distres pernapasan. Kesadaran apatis, delirium,
sampai tidak sadar, pernapasan cepat, dangkal, napas cuping hidung, berkeringat, kesadaran
menurun, mungkin sianosis. Tanda tanda klinik hiperkarbia sering tumpang tindih dengan tanda
tanda hipoksemia. Bila tanda tanda tersebut nyata, harus dilakukan antisipasi, dengan
mengambil alih fungsi pernapasan, memberikan oksigen dan melakukan ventilasi dengan baik,
tanpa harus menunggu hasil analisis gas darah.

699
Hasil analisis gas darah, gagal napas tipe oksigenasi bila PaO2 menurun lebih rendah dari
60mmHg dan tipe ventilasi bila PaCO2 meningkat lebih tinggi dari 55mmHg.

Terapi gagal napas oksigenasi adalah terapi oksigen dan terapi gagal napas ventilasi adalah
mengambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator. Terapi oksigen dapat dilakukan dengan cara
nasal canule, sungkup muka (rebreathing, non rebreathing, venture mask), atau mungkin
memerlukan ventilator.

Indikasi pasien membutuhkan ventilator harus diketahui dengan baik. Modus dasar ventilasi
mekanik juga harus diketahui dengan baik. Begitu pasien masuk ventilator, pasien dalam napas
kendali, dan harus tetap disadari bahwa ventilator hanya sebagai alat bantuan napas untuk
mempertahankan agar fungsi napas tetap dalam batas batas normal, dan terapi terhadap penyebab
gagal napas harus dicari agar dapat dilakukan terapi definitif.

Mencari sebab gagal napas secara sistematik dapat dicari satu persatu, apakah ada proses di
susunan syaraf pusat, batang otak, medulla spinalis, torak, fraktur iga, kelumpuhan otot napas
interkostal /diafragma, effusi pleura, proses diparu paru, masalah pada jalan napas. Proses
tersebut dapat berupa reaksi radang atau infeksi, tumor, perdarahan, trauma, gangguan
vaskularisasi, proses auto imunologik, penumpukan cairan dalam paru. Proses yang terjadi dalam
paru kemungkinan bisa disebabkan oleh proses lain diluar paru, misalnya sepsis, traumatic wet
lung, neurogenic pulmonary edema, transfusion related acute lung injury (trali)

Melepaskan pasien dari ventilator bukan merupakan hal yang mudah, metode penyampihan
atau modus untuk weaning harus diketahui dengan baik. Mulai penyapihan dari FiO2 sampai
kurang 50% dan bila analisis gas darah menunjukkan batas batas normal, mulai dengan
menyapih ventilator dari napas kendali menjadi napas dengan modus weaning, artinya usaha
napas spontan mulai ditimbulkan dan pasien akan mendapat sebagian napas dari usaha pasien
sendiri dan sebagian masih dari ventilator. Demikian selanjutnya secara bertahap usaha napas
spontan makin ditingkatkan, sampai akhirnya sebagian besar dan seluruh napas spontan berasal
dari pasien sendiri.

Kondisi gagal napas yang merupakan masalah besar dan sulit adalah acute lung injury (ALI)
dan acute respiratory distress syndromes (ARDS). Strategi yang dianjurkan pada pasien ini
adalah modus dengan pressure control, low tidal volume 6cc/kg, permissive hypercapnia,
inspiratory plateu pressure tidak lebih dari 30cmH2O, PEEP tinggi 10-20cmH2O. Salah satu
prinsip adalah open the lung open and keep the open.

Akhirnya sebaik apapun upaya ventilasi mekanik dilakukan harus disertai dengan kondisi
hemodinamik yang baik oleh karena upaya memperoleh hasiloksigenasi dan ventilasi yang baik
tidak hanya memerlukan ventilasi tetapi juga memerlukan perfusi yang baik.

Gagal nafas tipe 1 merupakan gagal nafas yang paling sering terjadi. Secara klinik didapatkan
PaO2< 60 mmHg, sedang level PaCO2 normal atau rendah. Penyebabnya adalah gangguan

700
jantung, misalnya shunting intrakardiak ( shunting dari kanan ke kiri : tetralogy falot). Penyebab
lain adalah kelainan patologis dari paru sendiri, misalnya adanya shunting intra pulmonar karena
pneumonia, atelektasis dan ARDS.

Gagal tipe 2 terjadi bila paCO2>50 mmHg. Biasanya disertai dengan keadaan hipoksemia,
sedangkan pH tergantung pada level HCO3 yang juga tergantung pada lamanya mengalami
hiperkapnea. Berdasarkan onsetnya serangan bisa terjadi akut atau kronik eksaserbasi akut. Pada
serangan akut didapatkan pH darah rendah. Serangan ini dapat disebabkan oleh overdosis obat
sedasi, kelemahan otot akut (misalnya myastenia gravis) dan penyakit paru berat (astma atau
pneumonia) sehingga ventilasi alveolar tidak dapat dipertahankan.

Serangan kronik eksaserbasi akut terjadi pada pasien dengan retensi CO2 kronik yang memburuk
dan terjadi peningkatan CO2 serta penurunan pH. Mekanisme terjadinya karena adanya
kelelahan otot-otot pernfasan.

Patofisiologi gagal nafas

Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal nafas adalah shunting (perfusi tanpa ventilasi), dead
space ventilation (ventilasi tanpa perfusi), difusi abnormal dan hipoventilasi alveolar.

1. Shunting
Shunting terjadi bila ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang (V/Q mismatch) dimana
alveoli yang tidak terventilasi (disebabkan karena kolaps, terdapat pus atau cairan) akibatnya
darah yang melewati alveoli tidak teroksigenasi

Pada shunting, penderita relatif resisten terhadap terapi oksigen. Peningkatan FiO2 hanya
akan berefek sedikit.

2. Dead space ventilation


Merupakan kebalikan dari shunting. Gas yang masuk dan keluar dari alveoli tidak mengalami
pertukaran gas oleh karena alveoli tidak mengalami perfusi dan ventilasi menjadi tidak
efektif, namun jika penderita mampu mengkompensasi keadaan ini, peningkatan ventilasi
yang efektif akan meningkatan paCO2. Penyebabnya adalah curah jantung yang rendah,
tekanan alveolar yang tinggi pada pasien dengan ventilasi mekanik.

3. Difusi abnormal
Disebabkan oleh abnormalitas membran alveolar atau penurunan jumlah alveoli yang
mengakibatkan pengurangan alveolar surface area, misalnya ARDS atau penyakit paru
fibrotik.

4. Hipoventilasi alveolar

701
Ketka CO2 melewati alveolus dan O2 melewati darah, terjadi perbedaan tekanan antara gas
alveolar dan darah secara bertahap. Ventilasi diperlukan untuk mengembalikan perbedaan
tekanan tersebut. Hipoventilasi ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2.
Penyebabnya bisa karena trauma/perdarahan batang otak, tumor medula spinalis, sindrom
guillan barre, myastenia gravis, penggunaan obat depresan, malnutrisi atau kelainan paru
karena sumbatan jalan nafas dan penurunan kompliance.

Tanda klinis gagal nafas

Manifestasi gagal nafas berupa kompensasi pernafasan (takipneu, penggunaan otot-otot bantu
nafaas, nafas flaring, retraksi dinding dada), peningkatan tonus simpatis (takikardi, hipertensi,
berkeringat), hipoksia organ (penurunan kesadaran, bradikardi) serta desaturasi (sianosis). Pada
hipoksemia kronik akan timbul kpmpensasi polisitemia.

Penatalaksanaan

Prinsip penanganan penderita gagal nafas adalah menangani hipoksemia dengan terapi oksigen
atau ventilasi mekanik. Tujuan selanjutnya adalah mengontrol paCO2 dan asidosis respiratorik
dan yang paling penting adalah terapi penyebab dasarnya.

RESPIRATORY CARE

Ventilasi mekanik

Udara dapat masuk kedalam paru karena adanya perbedaan antara tekanan udara luar dengan
tekanan udara dalam alveoli. Pada pernafasan spontan, perbedaan tersebut terjadi karena pada
awal inspirasi terjadi tekanan negatif (tekanan dalam alveoli lebih rendah daripada tekanan
udara luar). Pada saat inspirasi kontraksi diafragma dan otot-otot interkostal menimbulkan
pengembangan rongga dada dan tekanan negatif pada alveoli, sehingga udara luar masuk. Pada
keadaan normal ekspirasi akan berlangsung pasif.

Pada nafas buatan atau mekanik perbedaan tekanan tersebut terjadi karena adanya tekanan
positif yang ditimbulkan oleh mesin

702
Macam-macam mode ventilasi

1. Controlled Mechanical ventilation (CMV)


Ada 2 macam, yaitu Volume-CMV (V-CMV) dan Pressure-CMV (P-CMV). Pada mode ini,
perpindahan inspirasi ke ekspirasi (cycling) terjadi setelah interval waktu yang telah
ditentukan. Pada mode ini dilakukan pembatasan bantuan (limitation) berdasarkan pressure
(P-CMV) atau volume (V-CMV). Awal bantuan (initiating) ditentukan berasarkan triger
waktu.

Ciri khas pada mode ini adalah pasien bersifat pasif, artinya tidak ada usaha nafas. Berarti
semua variabel dalam pernafasan tergantung sepenuhnya pada seting ventilator.

2. Assist-control mechanical Ventilation (ACMV)


Pada prinsipnya sama dengan CMV. Perbedaannya terletak pada trigerya. Pada ACMV yang
mentrigger ventilator adalah pasien, yaitu dengan menimbulkan perbedaan tekanan (pressure
triggering) atau perbedaan aliran gas (flow triggering). Dengan demikian yang menentukan
frekuensi pernafan adalah pasien, sedang ventilator menentukan besarnya volume tidal (A-
CMV) atau tekanan (P-ACMV)

3. SYNCHRONIZED INTERMITTENT MANDATORY VENTILATION (SIMV)


Mode ini bekerja dengan mengawali bantuan (initiating) berasal dari triger nafas pasien.
Bantuan ventilasi dibatasi oleh presure (P-SIMV) atau volume (V-SIMV). Perpindahan
inspirasi ke ekspirasi (cycling) ditentukan oleh waktu.

Pada prinsipnya mode ini adalah ACMV yang diberikan secara intermitten dengan frkwensi
bantuan yang jauh lebih sedikit dibanding ACMV / sehingga pasien diberi kesmpatan untuk
bernafas spontn diluar bantuan.

4. PRESSURE SUPPORT VENTILATION (PSV)


Pada mode ini initiaiting (awal bantuan) berasal dari triger pasien, bantuan nafas yang
diberikan dibatasi (limitation) oleh pressure dan perpindahan inspirasi ke ekspirasi (cycling)
ditentukan dengan flow / ETS (ekspiratory trigger sensitivity).

Setelah ada trigger dari pasien, gas pada ventilator akan mengalir untuk mempertahankan
tekanan sesuai dengan seting dan kebutuhan pasien dan pasien akan melakukan inspirasi
(inspiratory flow) turun dibawah seting ETS, katup ekspirasi akan terbuka kemudian pasien
akan memulai ekspirasi. Oleh karenanya jumlah volume yang diinspirasi oleh pasien (VT)
tergantung dari seting pressure dan ETS. Bila ETS rendah maka waktu inspirasi akan lama
dan volume tidal akan besar.

5. CPAP (CONTINOUS POSITIVE AIRWAY PRESSURE)


Akhir ekspirasi masih ada tekanan positif di alveoli.

703
Perawatan pasien dengan ventilator

Intubasi

Intubasi nasal atau oral relatif cukup aman dipakai dalam 2-3 minggu. Dibandigkan dengan
intubasi oral, intubasi nasal lebih nyaman untuk pasien, lebih aman (insiden kecelakan ektubasi
lebih kecil) dan lebih sedikit menyebabkan kerusakan laring. Intubasi nasal mempunyai beberapa
efek samping, seperti perdarahan nasal, bakteriemia, iritasi, diseksi mukosa, sinusitis dan otitis
media (akibat obstruksi tuba auditory).

Bila pasien memerlukan bantuan ventilasi mekanik lebih dari 2-3 minggu, intubasi nasal dan oral
memberi kecenderungan terjadi stenosis subglotis. Pada kondisi ini sebaiknya dilakukan
tracheostomy, sejak beberapa hari pertama intubasi.

Seting awal ventilator

Pada umumnya frekuensi pernafasan diset 10-12 kali permenit dan volume tidal 8-10 mL/kg.
VT lebih rendah (6-8 mL/kg) mungkin dibutuhkan untuk menghindari plateu pressure berlebih
(>35-40 cmH20), barotrauma dan volume trauma. Airway pressure tinggi ( transalveolar pressure
> 35 cmH20 ) menyebabkan overdistensi alveolus, pada eksperiment terbukti menyebabkan
lung injury.

Pasien dengan nafas spontan SIMV harus bisa mengatasi resistensi tambahan karena adanya
ETT, demand valve, dan sirkuit nafas. Pada orang dewasa, ukuran ETT kecil (diameter internal
<7mm) sebisa mungkin dihindari. Penggunaan pressure support 5-15 cmH20 selama SIMV dapat
mengkompensasi resistensi dari ETT dan sirkuit.

Penambahan PEEP 5-8 cmH20 selama ventilasi tekanan positif dapat mempertahankan FRC dan
pertukaran gas. PEEP fisiologis ini bertujan untuk mengkompensasi hilangnya intrinsic PEEP
dan penurunan FRC pada pasien yang terintubasi.

Sedasi dan pelumpuh otot

Sedasi yang dalam dan pelumpuh otot mungkin diperlukan pada pasien yang mengalami agitasi
dan melawan ventilator. Batuk berulang (bucking) dan mengejan mempunyai pengaruh buruk
pada hemodinamik, menggangu pertukaran gas, dan dapat menyebabkan barotrauma . Sedasi
dengan atau tanpa pelumpuh otot mungkin diperlukan pula pada bila pasien yang mengalami
takipneu (f >16-18 x/mnt).

Umumnya, digunakan sedatif opioid (morfin atau fetanil), benzodiazepin, propofol dan
dexmedetomidin.

704
Penyapihan dari bantuan ventilasi mekanik

Untuk memulai weaning pertamakali dipertimbangkan bahwa bantuan ventilasi mekanik tidak
akan berhasil dihentikan apabila problem yang mengeindikasikan bantuan ventilasi mekanik
belum sembuh/teratasi. Untuk menilai hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis
bronkospasme, gagal janrtung, malnutrisi , asidosis atau alkalosis metabolik, peningkatan
produksi CO2 akibat kelebihan intake karbohidrat, tingkat kesadaran, dan adanya gangguan
tidur.

Parameter penyapihan yang sangat bermanfaat adalah tekanan parsial gas arteri, frekuensi
pernafasan, dan rapid shallow breathing index (RSBI). Oksigenasi yang adekuat ( saturasi
oksigen >90% pada FiO2 40-50% dan PEEP < 5 cmH20) harus tercapai sebelum dilakukan
ekstubasi. RSBI bermanfaat untuk memprediksi keberhasilan penyapihan dari ventilasi mekanik
dan ekstubasi. Pengukuran dilakukan pada saat pasien bernafas spontan dengan T-pice.

RSBI = f ( nafas/menit)

TV (L)

Nilai RSBI < 100 dapat dilakukan ekstubasi.

Nilai RSBI > 120 bantuan ventilasi mekanik sebaiknya jangan dilepas.

Penyapihan dengan SIMV

Penyapihan dilakukan dengan pengurangan bantuan ventilasi secara gradual. Otot pernafasan
pasien tetap melakukan kerja ketika terjadi nafas spontan maupun nafas mandtorik. Beberapa
pasien bisa mengalami dissynchrony pada SIMV dengan rate rendah. Pada umumnya SIMV
dilakukan kombinasi dengan PSV.

Penyapihan dengan PSV

Penyapihan dilakukan dengan pengurangan secara gradual level PSV untuk mencapai target
volume tidal dan frekuensi nafas. PSV diturunkan levelnya sampai terendah antara 5-8 cmH20,
bila target pola nafas dan pertukaran gas dapat dipertahankan, maka ventilasi mekanik dapat
dihentikan.

705
Penyapihan dengan T-piece atau CPAP

Teknik ini dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria Pa02/Fi02 > 200mmHg, PEEP <5
cmH20, reflek jalan nafas baik dan tidak memerulkan topangan obat intotropik atau vasoaktif.

Pasien yang bisa mentoleransi T-piece dengan baik selama 30 sampai 120 menit, berarti sudah
tidak memerlukan ventilator dan dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pada umumnya pasien
merespon sama baik antara T-piece dan CPAP level 0 pada ventilator. Pada CPAP Fi02
dipertahankan seperti ketika masih dengan bantuan ventilasi mekanik.

PEEP (Positive End Expiratory Pressure))

Yaitu tekanan positif yang diberikan di jalan nafas (tepatnya di alveoli) pada akhir ekspirasi.
Tujuan pemberian PEEP adalah agar alveoli tidak kolaps dan agar oksigen dapat berdifusi dari
alveoli ke kapiler lebih baik sehingga dengan demikian Sa02 dan Pa02 lebih baik. Level PEEP
diset dengan memperhatikan kompliance paru dan target oksigenasi.

Perlu diperhatikan adanya efek negatif seperti gangguan hemodinamik, barotrauma.

GAGAL SIRKULASI

Kegagalan sirkulasi atau syok di ICU bisa hipovolemik, kardiogenik atau septic. Pada dasarnya
tanda tanda klinik syok adalah sama; tekanan darah menurun, laju nadi naik serta adanya
gangguan perfusi perifer, capillary filling yang lambat, gelisah sampai kesadaran menurun,
jumlah urine menurun, pemeriksaan gas darah mungkin asidosis, hiperkalemia, peningkatan
laktat. Pada dasarnya target yang akan dicapai untuk terapi pasien syok adalah sama dengan
target terapi pasien gagal napas yaitu memperbaiki oxygen delivery. Dalam hal syok adalah
bagaimana memperbaiki cardiac output. Cardiac output ditentukan oleh stroke volume dan heart
rate. Stroke volume bergantung pada preload, kontraktilitas dan after load. Pada syok
hipovolemik diberikan cairan. Pada syok kardiogenik diberikan inotropik, bila volume sirkulasi
sudah dianggap cukup.

GAGAL GINJAL

Definisi gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara cepat yang dan
tidak dapat dipulihkan secara cepat walaupun dilakukan perbaikan faktor eksternal seperti

706
tekanan darah, volume intra vaskular, kardiak out put dan volume urin. Gejala utama dari gagal
ginjal adalah azotemia dan oliguria.

Gagal ginjal akut dapat dikenali dengan peningkatan BUN dan kreatiin plasma dalam 24-72 jam.
Penyebab azotemia bisa dibagi karena faktor prerenal, renal dan post renal.

Azotemia

Azotemia prerenal terjadi sebagai akibat hipoperfusi ginjal, jika tidak diterapi akan berkembang
menjadi gagal ginjal akut. Hipoperfusi ginjal paling sering diasebabkan oleh penurunan tekanan
perfusi arteri. Diagnosa azotemia prerenal dilakukan berdasarkan gejala klinis dan dikonfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium (lihat tabel dibawah). Terapi azotemia prerenal ditujukan
untuk mengoreksi defisit cairan intra vaskular, memperbaiki fungsi jantung, mempertahankan
tekanan darah normal dan mengatasi vasokonstriksi vaskular ginjal.

Azotemia postrenal timbul akibat adanya obstruksi tractus urinarius. Obstruksi yang komplit
dapat berkembang menjadi gagal ginjal akut, sedang obstruksi parsial dalam jangka lama dapat
menimbulkan gangguan ginjal kronis. Diagnosis dan penanganan obstruksi yang cepat dapat
segera memulihkan fungsi ginjal

Tabel 2 Urinary indices in azotemia

Indek Prerenal Renal Postrenal

Specific gravity > 1.018 <0.012 variable

Osmolality (mmol/kg) > 500 <350 variable

Urine/plasma urea nitrogen ratio >8 <3 variable

Urin/plasma creatinin ratio >40 <20 variable

Urine/sodium (mEq/L) <10 >40 variable

Fractional excretion of sodium <1 >3 variable


(%)

Renal failure index <1 >1 variable

Azotemia reversible vs gagal ginjal akut

707
Kemampuan untuk membedakan azotemia prerenal dan post renal sangatlah penting. Yang
paling mudah pertamakali adalah dengan menyingkirkan kemungkinan obstruksi post renal.
Kelainan prerenal biasanya bisa dilihat dengan melihat respon terhadap perbaikan perfusi ginjal.
Analisa indek urin pada tabel di atas juga dapat membantu membedakan ketiga hal tersebut.

Perhitungan fractional excretion of filter sodium (FE Na+) sangat berguna pada kondisi oliguria.

Urine Na+/ Serum Na+

FE Na+ = ---------------------------------------- x 100%

Urin creatinin/ Serum creatinin

Nilai FE Na+ <1% dan disertai oliguri terdapat pada azotemia prerenal, nilai >3% terdapat pada
pasien ARF nonoliguri. Nilai 1-3% mungkin terdapat pada pasien ARF nonoliguri.

Renal failure index ( Na+ urin / plasma creatinin ratio ) merupakan indek yang paling sensitif
untuk mendiagnosa gagal ginjal, namun penggunaan diuretik akan meningkatkan sekresi Na
sehingga nilainya tidak akurat.

Etiologi gagal ginjal akut dapat dilihat pada tabel 3. hampir 50% terjadi pada kasus trauma
mayor atau pembedahan ; dan sebagian besar diakibatkan oleh iskemi dan nefrotoksin.

Patogenesis gagal ginjal sangat komplek karenaa melibatkan sistem vaskular dan tubulus ginjal.
Konstriksi arteriola afferet, penurunan permeabilitas glomerulus, injuri langsung sel epitel dan
obstruksi tubular oleh debris intra lumen atau edema, dapat mengurangi filtrasi ginjal.

Iskemia ginjal atau hipoksia merupakan faktor pencetus pada hampir semua kasus.
ketidakseimbangan antara produksi ATP dan kebutuhan sel epitel memyebabkan perubahan
transport ion, pembengkakan sel, mengganggu metabolisme phospholipid dan menyebabkan
penumpukan calcium di dalaam sel. Produksi radikal bebas selama perode reperfusi dan
reoksigenasi dapat pula menimbulkan injury sel.

708
Gagal ginjal akut terjadi hampir 15% pada pasien ICU, dengan mortalitas mencapai 50%. Terapi
utama gagal ginjal akut bersifat suportif. Diuretik dan manitol mungkin bermanfaat pada kasus
gagal ginjal nonoligurik, walaupun beberapa penelitian menunjukkan tidak menurunkan
mortalitasnya. Terapi simptomatis diberikan sesuai dengan kondisi pasien misalnya koreksi
gangguan elektrolit dan koreksi keseimbangan cairan. Perlu diperhatikan pada emberian obat-
obat yang diekskresi melalui ginjal, harus dilakukan penghitungan dosis sesuai dengan klirens
ginjal agar tidak terjadi akumulasi.

SEPSIS

Menurut ACCP/SCCM Consensus Conference, sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang disertai
dengan 2 atau lebih manifestasi sistemik dari SIRS ( tabel 3). Septik syok adalah sepsis yang
disertai hipotensi refrakter walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adeqwat. Kriteria
hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau MAP < 65 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik > 40 mmHg. Syok septik biasanya disertai gangguan perfusi jaringan dan
disfungsi sel yang ditandai dengan asidosis laktat, oliguria atau penurunan kesadaran.

Tabel 3. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)

Temperature > 38C or < 36C

Heart rate > 90 beats/min

Respiratory rate > 20 breaths/min or PaCO2 < 32 mm Hg

WBC count > 12,000/mm3 , < 4000/mm3 , or > 10% immature (band) forms.

Pathophysiology

Syok septik paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri gram-negatif yang berasal dari tractus
genitourinarius atau dari paru-paru. Bakteriemia bisa ditemukan bisa tidak. Peningkatan kadar
nitric oxide mungkin menjadi penyebab vasodilatasi. Hipotensi juga terjadi karena penurunan
volume intravascular akibat kebocoran vaskular. Pemeriksaan jantung dapat menunjukan adanya
depresi myokard. Aktivasi plateled dan kaskade koagulasi menimbulkan pembentukan agregrat
fibrin-platelet, yang dapat mengganggu aliran darah, bila terjadi di paru-paru akan menimbulkan

709
hipoksemia / ARDS. Dikeluarkannya bahan-bahan vasoactive, pembentukan microtrombus di
sirkulasi paru, akan memperburuk fungsi paru karena meningkatnya resistensi vaskular paru.

Menurut guideline dari Surviving sepsis campaign tahun 2008, dalam 6 jam pertama setelah
sepsis didignosa, harus dapat dilakukan resusitasi sesuai dengan protocol Early Goal-Directed
Therapy (EGDT). Pasien dengan hipotensi diberikan resusitasi cairan koloid atau kristaloid
sampai mencapai cvp 8-12 mmHg. Apabila MAP < 65 mmHg, diberikan obat vasoaktif
(noerepinefrin atau dopamin). Apabila MAP telah 65mmHg, dilakukan pengukuran Saturasi
oksigen vena Central /vena cava superior. Target ScVO2 >70% atau mixed venous >65%
harus dapat dicapai. Bila target saturasi oksigen vena tidak tercapai, diberikan tranfusi Packed
Red Cells sampai hematocrit 30% . Apabila hematokrit telah mencapai target tetapi saturasi
oksigen vena sentral masih rendah, maka mulai diberikan infus dobutamine.

Apabila hasil kultur kuman belum ada, terapi antibiotik empirik diberikan seawal mungkin
dalam jam pertama EGDT. Antibiotik broad-spectrum diberikan secara intra vena dipilih
berdasarkan dugaan bakteri / fungi yang menjadi sumber sepsis.

Effect of inotropes and vasopressors in septic patient

Agent Blood Cardiac Oxygen


pressure output Delivery

Dopamin

Dobutamin

Norepinefrin 0 0

Epinefrin

Vasopresin 0 0

710
Gambar 1. Protocol for Early Goal-Directed Therapy.

CVP : central venous pressure, MAP : mean arterial pressure, dan ScvO :
central venous oxygen saturation.

Diambil dari Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for

management of severe sepsis and septic shock: 2008

PERDARAHAN SALURAN CERNA

Perdarahan akut sering menjadi alasan utnuk mengirim pasien ke ICU. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan mortalitas adalah umur (>60tahun), penyakit komorbid, hipotensi, perdarahan
masif (>5 unit) dan perdarahan berulang.

711
Penatalaksanaan di icu meliputi evaluasi, identifikasi sumber perdarahan dan stabilisasi. Pasien
harus dipasang 2 kanula vena besar (14-16G), kalau mungkin dipasang CVC dan arteri line.
Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, trombosiit, PT dan aPTT serta persiapan tranfusi darah harus
dilakukan. Monitoring yang dilakukan meliputi hematokrit serial dan penilaian hemodinamik
kontiyus.

Perdarahan Saluran cerna Bagian atas

Penyebab perdarahan paling sering adalah ulkus duodenum, ulkus gaster, gastritis erosif dan
varises esofagus. Yang terakhir biasanya disebabkan oleh stress, konsumsi alkohol, aspirin ,
NSAID dan obat obat steroid.

Esophagogastroduodenoscopy (EGD) atau arteriografi sebaiknya dilakukan untuk menentukan


diagnosa penyebab perdarahan. Keuntungan kedua pemeriksaan tersebut adalah dapat dipakai
untuk menghentikan perdarahan. Pembedahan biasanya diperlukan apabila terjadi perdarahan
hebat (>5 U) atau perdarahan berulang. Pemakaian H2 reseptor bloker tidak efektif untuk
mengehentikan perdarahan tetapi mungkin mengurangi resiko perdarahan ulang. Infus
vasopresin atau embolisasi arteri dapat dilakukan secara selektif melalui arteriografi.

Terapi paling efektif untuk gastritis erosif adalah melakukan pencegahan dengan proton pum
inhibitor, H2 receptor bloker, antasid dan sucralfat. Namun apabila perdarahan sudah terjadi
semua obat ini tidak akan efektif.

Terapi endoskopi dengan elektrokoagulasi bipolar atau probe heater, merupakan terapi nonbedah
yang efektif untuk mengurangi tranfusi, perdarahan ulang, lama rawat dan resiko operasi.

Perdarahan Saluran cerna bagian bawah

Penyebab umum adalah divertikulosis, angiodysplasia, inflamasion bowel disease, colitis


iskemik, colitis infeksi dan penyakit anorectal (hemoroid, fissura, fistula). Diagnosis bisa
ditegakkan dengan pemeriksaan rectal, anoscopy, sigmoidoscopy, colonoscopy, EGD dan
technetium-99-labeled red blood scan.

Terapi yang dilakukan adalah kauterisasi sumber perdarahan via colonoscopi, embolisasi / infus
vasopresin via arteriografi, dan dilakukan operasi bila perdarahan berulang.

TERAPI NUTRISI

712
Pasien sakit kritis biasanya mengalami injury jaringan, stress neuroendokrin dan kakeksia.
Respon terhadap injury yang terjadi meliputi peningkatan sekresi katekolamin, kortisol,
gliukagon, tiroksin, angiotensin, aldosteron , growth hormon dan ACTH, hormon antidiuretik
dan TSH. Pada awalya sekresi insulin sedikit turun tetapi kemudian akan meningkat sesuai
dengan peningkatan kadar growth hormon.

Katekolamin, glukagon dan growth hormon akan memacu glykogenolisis, dimana glukagon dan
kortisol mungkin memacu glukoneogenesis. Hal tersebut ditambah dengan penurunan utilitas
oleh jaringan perifer menyebabkan hiperglikemi. Penurunan toleransi terhadap glukosa,
tampaknya diakibatkan oleh penurunan seksresi insulin dan peningkatan resistensi. oleh jaringan
perifer. Kedua efek tersebut terjadi karena peningkatan sekresi katekolamin, yang juga
meningkatkan lipolisis.

Sintesa dan pemecahan protein meningkat, namun pemecahannya lebih besar daripada sintesa
sehingga terjadi penurunan massa otot. Selama sepsis pemakaian lemak dan karbohidrat otot
mengalami gangguan, mengakibatkan pemecahan protein meningkat. Disamping itu sel sel lebih
banyak memakai asam amino rantai cabang, misalnya glutamin, Glutamin merupakan asam
amino yang banyak diperlukan untuk jalur metabolisme.

Pemberian glukosa selama fase akut tidak dapat menekan pemecahan proteein. Intake kalori dan
protein yang adekuat dapat mengurangi tetapi tidak dapat mencegah katabolisme pada pasien

Penilaian status nutrisi

Penilaian status nutrisi bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai metode misalnya
subjective global assessment (SGA), berat badan, lingkar lengan atas, eksresi kretinin urin, kadar
albumin dan transferin dalam darah, dll

Pasien yang memerlukan perhatian khusus apabila mempunyai berat badan kurang dari 80%
berat normal, mengalami penurunan BB >10% dalam 6 bulan terakhir, hipoalbumin <3 g/dL atau
transferin <150 mg/dL, kulit lembek atau jumlah limfosit darah < 1200 sel/mL

Penilaian kebutuhan energi

Ada berbagai metode perhitungan energi, namun pada pasien sakit kritis umumnya cukup
diberikan 20-30 kcal/kg per hari dengan pertimbangan karena mengalami gangguan metabolisme
sel ; glukosa dan asam lemak tidak dapat dioksidasi secara sempurna.

Kebutuhan energi tersebut dipenuhi dengan komposisi : karbohidrat 30-70%, protein 15-20%
(1-2 gr/kg/hari), dan lemak 20-50%.

713
Nutrisi enteral

Pemberian nutrisi enteral adalah cara pemberian nutrisi melalui selang menuju saluran cerna.
Selang yang dipakai bermacam-macam, yaitu nasogastric tube, orogastric tube, naso-duodenal
tube, gastrostomi, jejunostami, dan ileostomi.

Keuntungan cara ini adalah integritas dan morfologi mukosa usus tetap terjaga, menguraangi
resiko translokasi bakteri, murah dan mudah.

Cara pemberian nutrisi secara kontinyu artinya diberikan terus menerus dalam 24 jam dengan
kecepatan konstan, dapat mengurangi resiko aspirasi. Untuk merangsang nafsu makan pasien ,
beberapa ahli gizi tidak memberikan nutrisi pada malam hari saat tidur. Pemberian nutrisi enteral
intermiten, artinya nutrisi diberikan bertahap beberapa kali perhari. Biasanya satu kali
pemberian dilakukan dalam 20-30 menit menggunakan syring pump atau feeding bag

Masalah yang sering timbul dengan nutrisi enteral adalah diare, biasanya berhubungan dengan
hiperosmolaritas sediaan dan intoleransi laktosa. Masalah lain yaitu retensi lambung dan residu
gaster yang berlebihan sehingga bisa menyebabkan aspirasi.

Nutrisi Parenteralenteral.

Cara pemberian nutrisi parenteral adalah pemberian nutrisi langsung ke pembuluh vena.
Pemberian nutrisi ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu nutrisi parenteral perifer dan nutrisi perenteral
total (TPN). Syarat pemberain nutrisi parenteral adal hemodinamik pasien dalam kondisi stabil.
Pada pemberian TPN sebaiknya melalui CVC karena osmolaritas sediaan biasanya cukup tinngi.

Indikasi TPN adalah apabila saluran cerna mengalami obstruksi, atau sluran cerna tidak
berfungsi. Pemberian TPN memerlukan perhitungan komposisi yang lebih sulit karena harus
menyesuaikan antra volume cairan dan kandungan nutrisi didalamnya. Komplikasi yang terjadi
disebabkan oleh faktor cvc atau komposisi nutrien. Komplikasi yang berkaitan dengan komposisi
yang tidak adekwat adalah hiperglikemi, hipoglikemi, hipertrigliseridemia, asidosis metabolik,
dan gangguan elektrolit.

Monitoring pemberian nutrisi penting untuk meminimalkan komplikasi yang timbul.


Hiperglikemi dapat timbul karena tetesan infus terlalu cepat, dapat diatasi dengan mengurangi
kecepatan tetesan. Apabila pasien mengalami sepsis, bisa diberikan insulin drip dan mengatasi
sepsisnya.

714
Hipoglikemi kadang-kadang terjadi karena infus distop dalam waktu cukup lama, bisa diatasi
denganpemberian D40%. Pemeriksaan elektrolit sebaiknya dilakukan setiap hari dan diatasi
dengan mengatur komposisi elktrolit pada nutrisi. Azotemia bisa terjadi pada pemberian asam
amino yang berlebihan, terapinya adalah mengurangi asupan asam amino atau bila tidaak ada
masalaah bisa diberikan tambahan air.

715
PENELITIAN
MODUL 37 :

Mengembangkan Kompetensi Waktu

Sesi di dalam kelas Proposal Penelitian disusun dan diajukan pada


permulaan semester 5
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing
Penelitian dilaksanakan selama semester 5-7
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
Ujian Penelitian dilaksanakan sebelum atau
bersamaan dengan ujian akhir untuk spesialis.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Projector dan screen


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart

Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Pitono S, Putra ST dan Harjanto. Filsafat Ilmu Kedokteran,GRAMIK FK Unair,2000.


2. Widodo JP, Herjanto Purnomo, Moch Hasan Machfoed. Metode Penelitian dan Statistik
Terapan, Airlangga University Press,1995
3. Arjatmo Tjokronegoro, Sumedi Sudarsono. Metodologi Penelitian Bidang Kedoteran,

716
Fakultas Kedokteran UI,1995
4. Beauchamp TL,Childress JF. Principle of Biomedical Ethic, Oxford University Press
1994
5. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto,2002
6. Matthews JR, Bowen JM, Matthews RW. Successful scientific writing. Cambridge
University Press,2006 .

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan mampu menerapkan alur pikir ilmiah
dengan menggunakan pendekatan ilmu kedokteran dasar maupun klinik untuk meneliti
permasalahan dalam bidang anestesiologi, perioperative care,critical care dan pengelolaan
nyeri.

TUJUAN KHUSUS

Kognitif :

1. Mampu menjelaskan pengertian filsafat ilmu


2. Mampu mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang mempunyai kontribusi
profesionil (anestesiologi, perioperative care, critical care dan pengelolaan nyeri)
3. Mampu menerapkan alur pikir ilmiah dengan pendekatan ilmu dasar dan klinik
untuk meneliti permasalahan klinik.
4. Mampu menyusun kerangka konsep dari penelitian
5. Mampu memilih metode penelitian yang sesuai
6. Mampu meng analisis dan mensintesis sumber ilmiah terkait
7. Mampu menerapkan prinsip evidence based dalam memilih sumber informasi
ilmiah
8. Mampu menetapkan analisis stastistik yang sesuai
9. Mampu menyimpulkan hasil penelitian dan menulis laporan penelitian
10. Mampu mempertahankan kesimpulan penelitian pada sidang ujian.

Psikomotor
1.Mampu melakukan pengambilan data penelitian

2.Mampu melakukan komunikasi interpersonal, pemeriksaan fisik maupun


laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya terkait penelitian.

3.Mampu melatih bila diperlukan tim pendukung yang membantu proses penelitian

Komunikasi:

1.Mampu melakukan kolaborasi dengan tim pendukung penelitian

717
2.Mampu memberikan penjelasan kepada subjek penelitian

3.Mampu melakukan komunikasi efektif dengan pembimbing penelitian.

Profesional
1.Mampu bekerjasama dengan sesama sejawat anestesi, bidang ilmu lain, perawat,
maupun petugas kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan penelitian.

2.Mampu mempertahankan nilai etis dalam rancangan dan pelaksanaan penelitian.

3.Mampu memperlakukan subjek penelitian dengan etis dan penghargaan

4.Mampu membuat rancangan biaya dengan memperhitungkan cost benefit ratio dan
tenggat waktu.

KEYNOTES:

1. Permasalahan yang dipilih harus researchable


2. Hasil penelitian seyogianya mempunyai kontribusi profesional
3. Feasibility dari segi waktu dan biaya harus dipertimbangkan
4. Memperhatikan Aspek Etik dan Medicolegal

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat membuat Usulan Penelitian dan menulis Laporan Penelitian (Tesis) diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan dalam cara menulis laporan, pengetahuan metodelogi penelitian,
filsafat penelitan, statistik, dan kejujuran dalam melakukan penelitian.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu membuat usulan penelitian, mengerti
tentang dasar penelitian dari mulai filsafat penelitian, metode, statistik untuk penarikan besar
sampel, dan statistik untuk melakukan uji data penelitian, serta mampu menarik kesimpulan
penelitian serta kegunaannya.

Pokok Bahasan Kuliah dan Diskusi:

1.Filsafat Ilmu

2.Bio-etik

718
3.Metodologi Penelitian

4.Epidemiologi Klinik

5.Statistika dan EBM

6.Penulisan Karya Ilmiah

METODE PEMBELAJARAN

- Kuliah Interaktif
- Diskusi dengan dosen pembimbing spesialis anestesi
- Diskusi dengan dosen pembimbing bidang lain terkait penelitian(expert)
- Belajar Mandiri

MEDIA

- Audiovisual
- Perpustakaan & e Library

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Usulan Penelitian dan Tesis yang sudah disetujui dan disidangkan.

EVALUASI

- Seminar pra penelitian


Seminar pra penelitian dilakukan untuk mengevaluasi usulan/proposal penelitian yang
telah disusun.

Evaluasi dilakukan oleh pembimbing maupun pakar terkait dari

anestesiologi maupun bidang ilmu lain yang terkait.

Proposal dapat langsung diterima atau diterima dengan perbaikan.

Selanjutnya penelitian dapat dilaksanakan setelah diperoleh ethical clearance dari


komisi etik Rumah sakit.

- Seminar hasil penelitian


Seminar hasil penelitian dilakukan untuk mengevaluasi laporan penelitian

termasuk hasil penelitian.

719
Evaluasi dilakukan oleh pembimbing dan pakar dari anestesiologi maupun bidang
ilmu lain yang terkait.

Evaluasi ini akan menentukan apakah peserta didik dapat segera menempuh ujian
penelitian atau memerlukan perbaikan dengan menambah data yang diperlukan.

- Ujian
Ujian Penelitian dilakukan untuk menilai pola dan kemampuan berpikir ilmiah peserta
didik yang di refleksikan oleh kemampuan menganalisis dan menyimpulkam hasil
penelitian.

Pretest

1. Bagaimana cara membuat suatu judul penelitian, apa syaratnya bisa diteliti?
2. Apa yang ditulis dalam Tema Sentral Masalah?
3. Apa yang disebut metode deduksi dan induksi? Apa perbedaan dan keuntungan-
kerugainnya masing-masing?
4. Apa definisi hipotesis?
5. Apa yang disebut variabel? Terangkan tentang bebas, variabel terikat, dan variabel
perancu!
6. Apa yang disebut definisi operasional variabel? Beri contohnya1
7. Bagaimana cara membuat hipotesis yang baik?
8. Bagaimana cara membuat premis yang baik?

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

STUDI LITERATUR

1 Mencari topik penelitian

2 Membuat judul yang merupakan hubungan variabel

3 Membuat latar belakang : alasan kenapa penelitian perlu


dilakukan

4 Membuat Tema Sentral Masalah

5 Membuat Rumusan Masalah

720
6 Membuat Maksud dan Tujuan Penelitian

7 Membuat Kegunaan Penelitian

8 Membuat Kerangka Pemikiran

9 Membuat Premis dan Hipotesis

10 Menentukan subjek penelitian, kriteria inklusi, eklui, drop


out

11 Menentukan variabel penelitian

12 Menentuka definisi operasional variabel

13 Menentukan besar sampel

14 Membuat narasi Tata Cara Kerja

15 Maju UP di Bagian

16 Maju UP di Komite Etik Peneltian

17 Melakukan Penelitian

18 Pengumpulan Data

19 Uj Statistik

20 Membuat Tesis

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

721
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5

722
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Cara Membuat Usulan Penelitian dan Menulis Tesis

Usulan Penelitian (UP) adalah rencana penelitian tertulis yang bersifat formal, yang dapat
berbeda dari institusi ke institusi dan diperlukan untuk :

- Memperoleh persetujuan penelitian dari institusi tempat ia meneliti.

- Sebagai alat untuk menuntun peneliti dalam melaksanakan seluruh proses

penelitian.

- Untuk mengajukan permintaan dana.

5 Hal Pokok dalam menyiapkan UP adalah:

Latar belakang pengetahuan tentang topik yang diteliti.


Persoalan tentang Maksud dan Tujuan serta Kegunaan Penelitian.
Persoalan tentang data yang diperlukan.
Persoalan tentang penentuan sampel (Teknik sampling).
Persoalan tentang teknik analisis data.

Pemilihan Topik Penelitian

Topik berada dalam jangkauan kemampuan


Cukup tersedia data yang diperlukan
Cukup penting untuk diteliti.
Cukup menarik untuk diteliti

723
Sistematika UP

Judul penelitian
Pendahuluan
Latar Belakang Penelitian

Rumusan Masalah

Maksud dan Tujuan Penelitian

Kegunaan Penelitian

Tinjauan Pustaka, Kerangka Pemikiran, Premis, dan Hipotesis


Subjek dan Metode
Daftar Pustaka.
Lampiran.

Judul

Judul merupakan identitas atau cermin dari keseluruhan isi dan proses kegiatan
penelitian yang akan dilakukan.
Judul perlu dinyatakan dengan menggunakan kata-kata yang jelas, singkat, dan
ekspresif, kalimat yang sederhana, kalau perlu dapat dibuat sub-judul.
Terdiri dari 2 variabel yang berkaitan: Variabel bebas berkaitan dengan variabel terikat
Pendahuluan:
Latar Belakang Penelitian

Pertama kali tentukan masalahnya karena tidak semua masalah kesehatan dapat
dikembangkan menjadi penelitian.
Syarat masalah dapat diangkat jadi penelitian: kemampulaksanaan, menarik,
memberikan sesuatu yang baru, etis, serta relevan FINER (Feasible, Interesting,
Novel, Ethical, Relevant)
Feasible

Tersedia subjek penelitian


Tersedia dana
Tersedia waktu
Tersedia alat
Tersedia keahlian
Interesting, Novel, Ethical, Relevant

Interesting : Masalah hendaknya menarik bagi peneliti.


Novel : membantah atau mengkonfirmasi penelitian terdahulu, melengkapi-
mengembangkan hasil penelitian terdahulu, menemukan sesuatu yang
baruorisinalitas.
Ethical: tidak bertentangan dengan etikaharus ada persetujuan Komisi Etika Medis
Relevant: dg kemajuan ilmu, untuk tata- laksana pasien, dasar penelitian selanjutnya
Sumber masalah penelitian

Studi kepustakaan

724
Hasil konferensi, seminar, simposium, lokakarya.
Pengalaman dalam praktek sehari-hari.
Pendapat pakar yang masih spekulatif.
Sumber non-ilmiah.
Apapun sumbernya masalah akan ada kalau banyak membaca.
Apakah masalah layak dan sesuai untuk diteliti ?

FINER
Pertimbangan dari arah masalahnya: apakah akan memberi sumbangan pada
pengembangan teori dan pemecahan masalah praktis.
Pertimbangan dari arah Peneliti: biaya, waktu, alat dan perlengkapan, kemampuan
teoritis, penguasaan metode yang diperlukan.
Komponen yang harus nampak dalam Latar Belakang

Ada fenomena masalah


Implikasi masalah tersebut terhadap berbagai aspek
Pendekatan umum yang akan digunakan dalam meneliti masalah.
Kegunaan umum dari masalah yang akan diteliti.
Masalahalasan alternatif pemecahan masalah.
Latar belakang.

Latar belakang Situasional


Latar belakang kondisional
Apa tantangannya
jadi apa kepentingannya, untuk apa, apa dampak positifnya, dan ditekan

dampak negatifnya.

Buat Tema sentral masalah yang isisnya adalah latar belakang situasi, kondisi dan apa
tantangannya. Tantangan ini akan dijabarkan dalan Rumusan Masalah.

Rumusan Masalah

Syaratnya : dikemukakan dalam kalimat tanya, substansi harus khas, bila terdapat
beberapa pertanyaan maka harus dipisah.
Dimulai dengan kalimat pembuka. Contoh:
1) berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian tersebut diatas dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

2) Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan dan

diidentifikasikan masalah yang timbul yang patut diteliti, yaitu:

Contoh Rumusan Masalah

Apakah pentotal dapat menurunkan metabolisme otak ?


Apakah obat A menurunkan curah jantung ?
Tidak disebutkan sbb:

725
1) Apakah pentotal mempunyai efek proteksi otak?

2) Apakah obat A mempengaruhi fungsi ventrikel kiri ?

Karena banyak parameter untuk menentukan fungsi ventrikel kiri atau proteksi otak.

Maksud dan Tujuan Penelitian

Kalimat positif, merupakan kebalikan dari kalimat tanya pada Rumusan Masalah.
Didahului kata pembuka, misalnya: Mengacu pada RM, maksud dan tujuan penelitian
ini adalah:.
Bila RM ada 2, maka Maksud dan Tujuan ada 2, dan Hipotesis ada 2.
Kegunaan Penelitian

Diuraikan manfaat apa yang diharapkan diperoleh dari penelitian yang dilakukan nanti.
Biasanya disebutkan manfaat dalam bidang akademik atau ilmiah, pelayanan
masyarakat serta pengembangan penelitian itu sendiri
Kerangka pemikiran

Mencari teori, konsep yang dijadikan landasan teoritis penelitian penelaahan


kepustakaan.
Sumber kepustakaan : sumber acuan umum (buku), sumber acuan khusus (jurnal,
buletin penelitian, tesis, disertasi, laporan penelitian lain)
Prinsipnya harus mutakhir dan relevan.
Premis dideduksi menjadi hipotesis
Dari Premis diuraikan lebih luas menjadi bagian dari Kerangka Pemikiran.
Tidak semua penelitian perlu hipotesis (penelitian deskriftif).
Penelitian analitik : perlu hipotesis, karena mencari hubungan antar variabel.
Hipotesis

Adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya masih harus
diuji secara empiris.
Dibuat secara induksi atau deduksi dari premis.
Premis merupakan pernyataan yang benar yang diambil dari buku, jurnal.
Pada deduksi ada premis mayor, premis minor dan simpulan (hipotesis)

Uji hipotesis

H0 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya saling hubungan antara 2 variabel
atau tidak ada perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
HA ((Hipotesis Alternatif) menyatakan adanya saling hubungan antara 2 variabel atau
ada perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya.
Hipotesis penelitian boleh H0 atau HA
Sasaran uji statistik pada umumnya menolak H0 (menerima HA)

Syarat hipotesis yang baik

726
Dinyatakan dalam kalimat deklaratif yang jelas dan sederhana.
Mempunyai landasan teori yang kuat (ingat Hipotesis dibuat berdasarkan premis)
Menyatakan hubungan antara variabel tergantung dengan satu atau lebih variabel bebas
Memungkinkan diuji secara empirik
Rumusan harus khas dan menggambarkan variabel yang diukur
Dikemukakan apriori: dikemukakan sebelum penelitian dimulai

BAB III Subjek dan Metode Penelitian

Subjek Penelitian
Pemilihan Subjek : kriteria inklusi,

kriteria eksklusi, kriteria pengeluaran

Penentuan Besar Sampel

Metode Penelitian
Tipe dan Rancangan Penelitian

Definisi Konsepsional dan Operasional variabel

Definisi Konsepsional: Variabel bebas, terikat, perancu

Definisi Operasional :

Analisis Data

Tata Cara Kerja Penelitian

Pemilihan Obat dan Alat

Tata cara Kerja

Tempat dan Lama Penelitian

Kriteria Inklusi

Merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subjek penelitian.


Umumnya mencakup karakteristik klinis (misal ASA-I), demografis, geografis dan
periode waktu.
Yang sering dipakai diagnosis, jenis kelamin, kelompok umur, pasien yang datang dalam
periode waktu tertentu

Kriteria Eksklusi

Keadaan yang menyebabkan subjek yang sudah memenuhi kriteria inklusi tidak dapat
diikutsertakan dalam penelitian.
Kontraindikasi, terdapatnya penyakit lain yang mempengaruhi variabel yang diteliti,
kepatuhan pasien, pasien menolak diteliti, masalah etik.

727
Kriteria pengeluaran

Sample sudah masuk inklusi kriteria, sudah dirandom, tapi karena sesuatu hal tidak
diikutkan dalam penelitian.
Dalam perhitungan statistik harus diikutkan.

Besar sampel

Bila ada 3 perlakuan:


t ( r-1 ) > 6

3 ( r-1) > 6

3r3 >6

3r >9

r >3

Gomes & Gomes : Principles and Procedure of Statistik.

Rule of thumb : setiap variable 10 sampel.


(n-1)(t-1) 16
dll

Desain:

Hal penting sebelum menentukan jenis desain

Sejak pertama peneliti harus menentukan apakah akan melakukan penelitian


intervensi/eksperimental atau hanya observasi. Peneltian dibagi atas 2 macam:
Observasional dan eksperimental. Observasional misalnya laporan kasus, serial kasus,
kohort, case conrrol. Eksperimental misalnya randomized control trial.

Bila memilih observasi tentukan apakah hanya pengamatan sewaktu (cross sectional)
atau melakukan follow up (studi longitudinal).
Apakah retrospektif atau prospektif.
Harus diingat jenis penelitian yang satu tidak lebih unggul dari yang lain. Jenis
penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian.

Contoh desain penelitian

Penelitian eksperimental dengan RCT untuk mengetahui manfaat penambahan obat X


pada anestesi cedera ekstrimitas.

728
Penelitian ini merupakan studi cross sectional untuk menentukan prevalens miokarditis
pada pasien demam tipoid.

Definisi konsepsional variabel

Semua variabel yang diteliti harus diidentifikasi.


Variabel bebas (prediktor, kausa)
Variabel tergantung (outcome, efek)
Variabel perancu (confounding variable)

Variabel: contoh

Membandingkan pengaruh obat anestesi A dan B terhadap tekanan darah.


Variabel bebas : obat Anestesi A dan B

Variabel tergantung: tekanan darah

Variabel perancu : faktor lain yang akan menurunkan tekanan darah bila diberi

obat A atau B, misalnya hipovolemia, payah jantung jadi pasien harus

normovolemia, tidak payah jantung

Definisi operasional variabel:

Supaya tidak ada makna ganda dari semua istilah yang digunakan.

Contoh:

1. Cedera kepala berat adalah cedera kepala yang pada pemeriksaan klinis
menunjukkan nilai GCS < 8.
2. Hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg
3. Cerebral iskemia adalah bila SJO2 < 50%

Rencana Pengumpulan Data: Pengukuran dan Alat Ukur

Pengukuran adalah observasi fenomena dengan maksud agar dapat dilakukan analisis
menurut aturan tertentu.
Standarisasi cara pengukuran, pelatihan pengukur, penyempurnaan instrumen, kalibrasi
alat.
Contoh: gas darah dengan I-stat yang telah dikalibrasi dan dibandingkan dengan alat lain
yang telah dikalibrasi. Tekanan darah dilakukan secara noninvasif dengan Tekanan
Darah otomatis.

Rencana pengolahan dan analisis data

Sebutkan analisa statistik yang digunakan, misal uji-t.


Tentukan batas kemaknaan yang dipakai. Signifikan bila p<0,05

729
Daftar Pustaka

Perhatikan cara penulisan kepustakaan yang diminta. Penulisan titik, titik koma, titik dua
harus diperhatikan.

Contoh:

1. Cooper KR, Boswell PA.Save use of PEEP in patient with severe head injury. J
Neurosurg 1995;63(2):552-55.
2. Wilson RF. Trauma.In: Shoemaker WC, Thomson WL,eds.Textbook of Critical
Care. Philadelphia:WB Saunders;1984.877-912.

Prinsip: mengikuti pedoman yg dikeluarkan oleh organisasi internasional, contoh dari BJA

Referensi

1. Pitono S, Putra ST dan Harjanto. Filsafat Ilmu Kedokteran,GRAMIK FK Unair,2000.


2. Widodo JP, Herjanto Purnomo, Moch Hasan Machfoed. Metode Penelitian dan Statistik
Terapan, Airlangga University Press,1995
3. Arjatmo Tjokronegoro, Sumedi Sudarsono. Metodologi Penelitian Bidang Kedoteran,
Fakultas Kedokteran UI,1995
4. Beauchamp TL,Childress JF. Principle of Biomedical Ethic, Oxford University Press
1994
5. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto,2002
6. Matthews JR, Bowen JM, Matthews RW. Successful scientific writing. Cambridge
University Press,2006 .

730
MODUL 39 :MANAJEMEN ANESTESIA KOMPREHENSIF

MODUL 39 : MANAJEMEN ANESTESIA


KOMPREHENSIF

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 7)

Sesi dalam kelas 5 x 2 jam (classroom session)

Sesi dengan fasiitas pembimbing 5 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 24 minggu (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
16. LCD Projector dan screen
17. Laptop
18. OHP
19. Flipchart
20. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Rencana dan indikasi anestesi
2. Persiapan perioperatif pasien
3. Tehnik anestesia umum, regional, kombinasi atau MAC
4. Penatalaksanaan pasca operasi
5. Indikasi rawat intensif
6. Penatalaksanaan pasien rawat intensif
Sarana:
14. Ruang belajar
15. Ruang pemeriksaan
16. Kamar operasi elektif dan darurat
17. Ruang Pulih
18. Bangsal Rawat
19. ICU / HCU
Kasus : penatalaksanaan pasien langsung di ruang rawat, kamar pemeriksaan, kamar operasi elektif ,
IGD dan rawat jalan, ruang radiologi, ruang endoskopi, ICU
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :

731
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia : Lipincott
William & Wilkins ; 2006

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan
penatalaksanaan kasus-kasus yang kompleks; baik pasien dengan tingkat komorbid yang tinggi maupun
tehnik pembedahan yang sangat kompleks atau keduanya, dan melakukan manajemen dan supervisi
terhadap residen yang lain

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:

1. KOMPETENSI

Mampu melakukan penatalaksanaan perioperatif dan pembiusan pada seluruh jenis kasus, dan
pengelolaan pasien rawat intensif.

RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

Kognitif:

1. Menjelaskan rencana anestesi pada seluruh jenis kasus.


2. Menjelaskan informed consent yang benar pada seluruh jenis kasus.
3. Menjelaskan tehnik manajemen dan supervisi yang sesuai.
4. Menjelaskan prinsip-prinsip konsultasi yang benar.
5. Menjelaskan indikasi rawat intensif.
6. Menjelaskan penatalaksanaan dan manajemen pasien rawat intensif.

Psikomotor :

732
1. Melakukan sebagian besar tehnik anestesia umum.
2. Melakukan sebagian besar tehnik anestesia regional
3. Melakukan anestesia pada kasus yang kompleks: komorbid tinggi, tehnik operasi yang sulit.
4. Melakukan penatalaksanaan pasca operasi termasuk nyeri pasca bedah.
5. Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.
6. Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesi yang
dilakukan residen lain.

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Melakukan komunikasi dan menciptakan kondisi kerja yang baik dengan seluruh tim.
2. Melakukan komunikasi yang baik dengan staf konsulen, rekan ahli bedah dan personel kamar
bedah yang lain.
3. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disiplin lain, melakukan konsultasi terutama
untuk kasus yang sulit.
4. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disoplin lain, konsultasi dengan konsulen,
kerjasama dengan tim perawat unit perawatan intensif.
5. Melakukan komunikasi yang naik dan informed consent yang benar dengan pasien dan
keluarganya.

Profesionalisme :

7. Mampu bekerja sesuai prosedur.


8. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedik dan tenaga kesehatan lain
atas dasar menghargai kompetensi masing masing.
9. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

2. KEYNOTES

1. Ketrampilan dasar anestesiologi


2. Kedokteran perioperatif
3. Persiapan anestesia
4. Post Anestesia Care Unit (PACU)
5. Anestesia Bedah Umum dan Digestif
6. Anestesia Bedah Ortopedi
7. Anestesia Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
8. Anestesia Bedah Urologi
9. Anestesia Obstetri Ginekologi
10. Anestesia Bedah THT
11. Anestesia Bedah Mata
12. Anestesia Bedah Pediatrik
13. Anestesia Bedah Neuro
14. Anestesia Kardiothorasik
15. Anestesia Rawat Jalan
16. Anestesia Bedah Darurat
17. Anestesia Bedah Invasif Minimal
18. Anestesia Di luar Kamar Bedah
19. Anestesia dan Penyakit Khusus

733
20. Pengelolaan Nyeri
21. Anestesia Regional
22. Traumatologi
23. Intensive Care

3. GAMBARAN UMUM

Manajemen Anestesia Komprehensif merupakan suatu metode pembelajaran dimana peserta didik sudah
melewati semua tahap pembelajaran tehnik pembiusan berbagai macam kasus dan tehnik operasi dari
yang mudah sampai yang kompleks serta melewati tahap pembelajaran di unit perawatan intensif.
Selama 1 semester (24 minggu) peserta didik bertanggung jawab untuk mengatur pembagian tugas dan
melakukan supervisi terhadap peserta didik yang lain (terutama yang lebih junior) dalam penatalaksanaan
anestesia maupun perawatan intensif semua jenis kasus. Selain itu peserta didik juga melakukan tindakan
anestesia dan perawatan intensif secara mandiri di rumah sakit pendidikan utama dan rumah sakit
pendidikan yang lain.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:

1. Melakukan sebagian besar tehnik anestesia umum secara mandiri.


2. Melakukan sebagian besar tehnik anestesia regional secara mandiri.
3. Melakukan anestesia pada kasus yang kompleks: komorbid tinggi, tehnik operasi yang sulit atau
keduanya.
4. Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.
5. Melakukan penatalaksanaan dan manajemen pasien rawat intensif.
6. Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesi yang
dilakukan residen lain.

5. METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

3. Bahan acuan (references)


4. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
5. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1 : Melakukan sebagian besar tehnik anestesia umum secara mandiri.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)

734
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Tehnik anestesia umum dengan obat intravena, inhalasi dengan sungkup muka, LMA, intubasi
dan MAC (lihat modul ketrampilan dasar anestesia, anestesia umum)
2. Tehnik monitoring dan pemasangan akses vaskuler sepertikanulasi vena, arterial, kanulasi vena
sentral (lihat modul ketrampilan dasar anestesia)

Tujuan 2 : Melakukan sebagian besar tehnik anestesia regional secara mandiri.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Tehnik anestesia regional neuroaksial seperti subarahnoid, epidural, kaudal (lihat modul
anestesia regional)
2. Tehnik blok ekstremitas atas seperti blok skalenus, blok pleksus brakialis, blok aksilaris, blok
radialis dan ulnaris (lihat modul anestesia regional)
3. Tehnik blok ekstremitas bawah seperti blok skiatik, femoral, pudendal, politea, ankle blok

Tujuan 3 : Melakukan anestesia pada kasus yang kompleks: komorbid tinggi, tehnik operasi yang
sulit atau keduanya.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Tehnik balanced anesthesia, opioid based balanced anesthesia, terutama untuk pasien dengan
komorbid tinggi atau ketidakstabilan hemodinamik.
2. Tehnik penatalaksanaan jalan nafas terutama pada pasien dengan jalan nafas sulit
3. Tehnik anestesia kombinasi (umum dan regional)
4. Tehnik anestesia untuk operasi dengan tehnik khusus dan sulit (tumor jalan nafas, operasi besar
digestif, operasi vaskuler besar, bedah thorasik, operasi transplantasi)

735
Tujuan 4 : Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Prinsip umum kedokteran perawatan intensif, indikasi masuk ICU dan dapat mengidentifikasi
pasien yang beresiko gagal organ
2. Ketrampilan melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
3. Ketrampilan diagnosis pasien kritis, tindakan stabilisasi, penilaian, pengelolaan dan investigasi
rutin setiap hari.

Tujuan 5 : Melakukan penatalaksanaan dan manajemen pasien rawat intensif.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Proaktif melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan peserta didik lain di ICU terutama yang
lebih junior.
2. Pendidikandan pengajaran kepada petugas, mahasiswa kedokteran maupun paramedik di ICU.
3. Pengetahuan umum organisasi pengelolaan ICU.
4. Kemampuan untuk bekerjasama dan konsultasi dengan konsulen maupun ahli disiplin limu yang
lain.
Tujuan 6: Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan
anestesi yang dilakukan residen lain.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan mengenai sistim dan jadwal semua jenis operasi dan tindakan lain yang
memerlukan tindakan anestesi, MAC maupun perawatan intensif.

736
2. Kemampuan melakukan pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesi yang
dilakukan peserta didik terutama yang lebih junior.
3. Bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberi sangsi bila ada yang melakukan
pelanggaran dari tugas yang telah diatur.
4. Kemampuan melakukan komunikasi dan lingkungan kerja yang baik antar sesama peserta didik,
konsulen maupun rekan disiplin lain.

6. MEDIA

2. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manekin

3. Belajar mandiri
4. Kuliah
Kuliah khusus mengenai penatalaksanaan dan masalah dari kasus

tiap stase/modul pembelajaran

5. Diskusi kelompok
a. Laporan dan diskusi tentang masalah perioperatif elektif maupun darurat
b. Pengelolaan pasien unit perawatan intensif
c. Organisasi, pembagian tugas dan supervisi peserta didik
d. Pendidikan dan pengajaran mahasiswa kedokteran, perawat maupun peserta didik yang
lebih junior
6. Pemeriksaan preoperatif
7. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
a. Pelatihan anestesia umum dan regional di kamar bedah elektif maupun darurat secara
mandiri
b. Untuk kasus kompleks atau tehnik operasi dan pembiusan yang sulit mendapat
bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
8. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
9. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
10. Continuing Profesional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :

7. Pemilihan/seleksi pasien semua jenis operasi untuk kasus sederhana maupun dengan penyulit
8. Persiapan preoperatif
9. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk semua kasus terutama kasus
kompleks

737
10. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
11. Monitoring
12. Pengelolaan pasca anestesia
13. Indikasi dan penatalakintensifsanaan pasien rawat

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist

(terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pretest :

1. Jelaskan prinsip persiapan anesthesia untuk elektif dan emergensi.


2. Jelaskan perbedaan pengelolaan anestesia dan pasca anetesia untuk operasi elektif dan emergensi
3. Jelaskan tehnik pembiusan dengan balanced anesthesiadan opioid base balanced anesthesia
4. Jelaskan algoritme penatalaksanaan jalan nafas sulit
5. Jelaskan monitoring apasaja yang dapat dilakukan selama tindakan anestesia

738
6. Jelaskan dampak posisi pasien selama operasi khusus (terlungkup, miring, lumbotomi,
trendelenburg, anti-trendelenburg, litotomi)
7. Jelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah operasi besar atau khusus
8. Jelaskan pengelolaan pernafasan pasca bedah operasi besar atau khusus
9. Jelaskan indikasi perawatan intensif
10. Jelaskan prinsip-prinsip resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
11. Jelaskan cara dan isi informed consent yang baik dan benar

Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. KnowledgeKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
2. Skill

-Multiple observation and assessments


-
Multiple observers
-
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-
Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Professionalism

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

739
No Daftar cek penuntun belajar tindakan anestesia dan
perawatan intensif

Memahami Resusitasi dan Stabilisasi Awal Sudah Belum


dilakukan dilakukan

1. Diagnosa kondisi mengancam nyawa termasuk


cardiopulmonary arrest

2. Cara2 melakukan resusitasi kardiopulmoner

3. Memahami pengelolaan segera pasien pasien emergensi


medik (gagal nafas akut, asthma akut, PPOK, hipertensi,
infark miokard akut, gagal jantung, hipotensi, syok,
gangguan irama jantung, penurunan kesadaran)

4. Cara2 menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi trakea


pada pasien kritis

5. Cara2 melakukan nafas buatan

6. Cara mencegah dan mengelola aspirasi pnemonia karena


muntahan

7. Pengelolaan difficult airway dan kegagalan intubasi

8. Pengelolaan jalan nafas pada cedera kepala lambung


penuh, obstruksi jalan nafas, syok

9. Farmakologi obat2 anestesi, resusitasi, dan obat2 untuk


keadaan kritis

10. Farmalokogi obat2 sedasi, analgesi dan pelemas otot.

11. Tanda2 dan pengelolaan reaksi anafilaksis dan


anafilaktoid

12. Masalah pada pasien obesitas atau immobilitas

13. Cara2 melakukan akses vaskular yang cepat dan aman

PENILAIAN KLINIS PRA ANESTESIA

1. Manfaat anamnesis untuk diagnosis

2. Pemeriksaan fisik termasuk pasien kritis

3. Reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ

4. Dampak terapi obat terhadap fungsi sistem organ

740
5. Infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi

6. Patogenesis disfungsi organ multipel

7. Prinsip2 pencegahan disfungsi organ multipel

Memahami Investigasi, Interpretasi data dan diagnosis

1. Memahami pemeriksaan laboratorium yang sesuai

2. Keuntungan dan kerugian pemeriksaan laboratorium

3 Indikasi dan Interpretasi dasar pemeriksaan2 : EKG,


ECHO, USG, Gas darah, test fungsi paru, foto torak,
rongent: kepala, vertebra dan iga2, level cairan bebas di
abdomen, CT Scan, MRI, mikrobiologi, Balans cairan,
hematologi, Urea/creatinine, Elektrolit (Na, K, Ca, Mg),
Test fungsi hati, Kadar obat dalam darah, Fungsi
endokrin:diabetes, gangguan tiroid, gagal adrenal.

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1. Menentukan ASA

2. Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

3. Pemasangan monitor non-invasif dan invasif

4. Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1. Anestesia umum (intubasi, LMA)

2. Anestesia regional

3. Anestesia intravena dan MAC

4. Pemberian cairan dan tranfusi

5. Pemantauan fungsi vital, kesadaran, kardiovaskuler,


pernafasan. Tekanan darah, nadi, Saturasi Hb (SpO2),
ventilasi (ETCO2 bila ada), jumlah urine, suhu

6. Pengakhiran anestesia, masa siuman

7. Tindakan ekstubasi

8. Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH

741
1. Pengawasan ABC dan tanda vital pasca bedah

2. Penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskuler,


kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual muntah) dan
nyeri pasca bedah

3. Penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang rawat


biasa atau ICU

Memahami Support sistem organ dan prosedur


praktis terkait di ICU

1. Indikasi ventilasi mekanik

2. Modus ventilasi mekanik dasar (CMV, SIMV, PS,CPAP)

3. Modus ventilasi mekanik lanjut (PCV, PSV, BiPAP,

NIV)

4. Komplikasi ventilasi mekanik dan pengelolaannya

5. Deteksi dan pengelolaan pnemotorak

6. Indikasi bronkoskopi

7. Prinsip weaning dari ventilasi mekanik

8. Kanulasi vena perifer dan sentral

9. Punksi dan kateterisasi arterial

10. Penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator,


vasokonstriktor,

11. Penggunaan kristaloid, koloid, darah dan produk darah

12. Prinsip IABP, TEE, Esophageal Dopler, transvenous


cardiac pacing

13. Cara2 mencegah gagal ginjal

14. Investigasi gangguan fungsi ginjal

15. Obat obat nefrotoksik

16. Penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal

17. Renal Replacement Therapy

18. Prinsip2 penilaian status nutrisi pada pasien ICU

19. Prinsip2 nutrisi enteral dan parenteral pasien ICU

742
20. Kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal

21. Insersi pipa Sengstaken

22. Pencegahan stress ulcer

23. Prinsip2 support gagal hepar

24. Tehnik mencegah translokasi mikroba

25. Prinsip2 pengelolaan cedera kepala tertutup

26. Prinsip2 pengelolaan peningkatan tekanan intrakranial

27. Prinsip2 pengelolaan cedera spinal

28. Pencegahan pressure sores

29. Kebutuhan surveillance mikrobiologi

30. Pemakaian antibiotik yang benar

Memahami Pemantauan dan Pengukuran klinik

1. Peran penilaian klinik dalam monitoring

2. Indikasi dan indikasi kontra penggunaan alat monitor

3. Interpretasi informasi dari alat monitor

4. Identifikasi penyebab error alat

5. Prinsip monitor minimal

6. Komplikasi akibat alat monitor

7. Cara2 mengukur suhu

8. Cara2 menilai nyeri dan sedasi

9. Cara menilai sistem skoring keparahan penyakit

10. Glasgow Coma Scale

11. Pemantauan kadar obat

Memahami Penggunaan alat secara aman

1. Alat alat untuk jalan nafas, airway, LMA, ETT, terapi


oksigen, bag, humiidifikasi, nebulizer

2. Ventilator invasif dan non-invasif dan accessoriesnya

3. Alat alat monitor dan accessoriesnya

743
4. Pembersihan dan sterilisasi alat

5. Keamanan kelistrikan

6. Jarum2 untuk akses vaskular, spinal, epidural, torak

7. Alat2 resusitasi, defibrilator dan alat transfusi

8. Alat2 untuk hemofiltrasi

9. Alat bronkoskopi

10. Alat ECHO

Memahami kondisi medis dan Pengelolaan

1. Gagal nafas oksigenasi

2. Gagal nafas ventilasi

3. Acute lung Injury, ARDS

4. Obstruksi jalan nafas

5. Nosocomial pneumonia

6. Ventilator- associated pneumonia

7. Aspiration pneumonia

8. Asthma

9. PPOK

10. Edema paru kardiogenik

11. Effusi pleura, Pneumotorak (simple, tension)

12. Syok hipovolemik

13. Syok kardiogenik

14. Hipotensi, Hipertensi

15. Infark miokard akut

16. Gagal jantung kiri

17. Gagal jantung kanan

18. Hipertensi pulmonal

19. Gangguan irama jantung

744
20. Cardiac arrest

21. Oliguria, anuria, polyuria

22. Gagal ginjal akut

23. Urosepsis

24. Confusion dan Coma

25. Traumatic brain injury

26. Spontaneous intracranial hemorrhage

27. Subarachnoid hemorrhage

28. Hypoxic brain damage

29. Convulsion, Status epilepticus

30. Meningitis, Encephalitis

31. Neuro muscular (Guillain-Barre, Myasthenia gravis,


tetanus, malignant hyperpyrexia)

32. Spinal Injury

33. Brainstem death

34. Gangguan koagulasi

35. Pasien immunocompromised

36. DIC

37. Gangguan elktrolit, Na, K,

38. Gangguan elektrolit Ca, Mg

39. Kegawatan pada Diabetes Melitus

40. Disfungsi Thyroid

41. Keracunan akut

42. Preeklamsia, Eklamsia, Sindroma HELLP

43. Perdarahan peripartum

44. Gangguan jantung pada kehamilan.

45. SIRS, Sepsis, Severe Sepsis, Septic Shock

46. Pireksia dan hipotermia

745
TRANSPORTASI PASIEN KRITIS

1. Prinsip2 transfer pasien kritis dengan aman

2. Mengerti pemantauan saat transportasi.

END OF LIFE CARE

1. Prinsip2 etika dasar

2. With-holding dan withdrawing therapy

3. Decision making

4. Cara2 menilai atau mengukur quality of life

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur standar
atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinik 1 2 3 4 5

746
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN:

Modul Manajemen Anestesia Komprehensif ini merupakan tahap pembelajaran setelah peserta didik
melewati semua tahap stase anestesia maupun perawatan intensif (ICU). Modul ini memerlukan waktu
selama 1 semester (24 minggu) dan merupakan modul integrasi dari semua modul yang harus dikuasai
oleh peserta didik.

Selama menjalani tahap ini peserta didik pertama kali harus dapat membuat rencana manajemen yang
akan mereka lakukan selama 24 minggu kedepan yang meliputi pembagian tugas, pelaksanaan pelayanan

747
anestesia untuk semua kasus yang sederhana maupun yang kompleks, baik kasus yang ringan, komorbid
tinggi atau tehnik operasi yang sulit.

Selain itu peserta didik harus aktif melakukan pengajaran dan supervisi terhadap peserta didik yang lebih
junior dan mahasiswa kedokteran. Bila terjadi pelanggaran dari tugas yang telah ditentukan peserta didik
dalam tahap ini harus dapat bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberikan sangsi.

Selama tahap ini peserta didik diharapkan sudah mampu melakukan sebagian besar tehnik anestesia
umum, regional, MAC secara mandiri baik di rumah sakit pendidikan utama maupun rumah sakit
pendidikan yang lain. Selain pelayanan anestesia peserta didik selama tahap ini juga diharapkan mampu
melakukan penatalaksanaan pasien di ruang perawatan intensif secara mandiri.

Secara terperinci dalam tahap pembelajaran ini peserta didik telah mampu melakukan resusitasi dan
stabilisasi awal yang meliputi diagnosa kondisi mengancam nyawa termasuk cardiopulmonary arrest,
cara melakukan resusitasi kardiopulmoner, pengelolaan segera pasien pasien emergensi medik (gagal
nafas akut, asthma akut, PPOK, hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, hipotensi, syok, gangguan
irama jantung, penurunan kesadaran), dapat menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi trakea pada
pasien kritis, melakukan nafas buatan, mencegah dan mengelola aspirasi pnemonia karena muntahan,
pengelolaan difficult airway dan kegagalan intubasi, pengelolaan jalan nafas pada cedera kepala lambung
penuh, obstruksi jalan nafas, syok, mengenali tanda dan pengelolaan reaksi anafilaksis dan anafilaktoid,
masalah pada pasien obesitas atau immobilitas, dapat melakukan akses vaskular yang cepat dan aman,
dan memiliki pengetahuan mengenai farmakologi obat2 anestesi, resusitasi, obat anti aritmia, inotropik,
vasopresor, sedasi, analgesi dan pelemas otot. Dalam penilaian klinis pra anestesia peserta didik dapat
melakukan dan melakukan penilaian dari anamnesis untuk diagnosis, pemeriksaan fisik termasuk pasien
kritis, mengenali reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ, mengetahui dampak terapi obat
terhadap fungsi sistem organ, mendiagnosa infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi,
mengetahui patogenesis disfungsi organ multipel dan prinsip pencegahan disfungsi organ multipel.

Peserta didik juga harus memahami berbagai pemeriksaan, dapat melakukan interpretasi data dan
menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang sesuai dan sesuai indikasi seperti:
EKG, ECHO, USG, Gas darah, test fungsi paru, foto torak, rongent: kepala, vertebra dan iga2, level
cairan bebas di abdomen, CT Scan, MRI, mikrobiologi, Balans cairan, hematologi, Urea/creatinine,
Elektrolit (Na, K, Ca, Mg), Test fungsi hati, Kadar obat dalam darah, Fungsi endokrin:diabetes, gangguan
tiroid, gagal adrenal.

Sebelum melakukan tindakan anestesia dilakukan penentuan ASA, persiapan alat, mesin pembiusan,
STATICS, obat, pemasangan monitor non-invasif dan invasif dan interpretasi hasil monitor.

Secara mandiri peserta didik dapat melakukan sebagian besar tehnik anestesia umum (intubasi, LMA),
anestesia regional, anestesia intravena dan MAC untuk semua kasus baik yang sederhana maupun yang
disertai penyulit , melakukan pemberian cairan dan tranfusi, pemantauan fungsi vital, kesadaran,
kardiovaskuler, pernafasan seperti tekanan darah, nadi, Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada),
jumlah urine, suhu. Dapat melakukan pengakhiran anestesia dan masa siuman yang mulus, melakukan
tindakan ekstubasi dengan aman, mencegah dan menangani komplikasinya. Peserta didik juga
bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasca bedah meliputi pengawasan ABC dan tanda vital pasca
bedah, penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskuler, kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual

748
muntah), penanganan nyeri pasca bedah dan penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang rawat
biasa atau ICU.

Tindakan memberi bantuan sistem organ dan prosedur praktis terkait di ICU yang harus dipahami dan
dapat dilakukan adalah pemahaman indikasi ventilasi mekanik, modus ventilasi mekanik dasar
(CMV, SIMV, PS,CPAP), modus ventilasi mekanik lanjut (PCV, PSV, BiPAP, NIV), komplikasi ventilasi
mekanik dan pengelolaannya, deteksi dan pengelolaan pnemotorak, indikasi bronkoskopi, prinsip
weaning dari ventilasi mekanik, pemasangan kanulasi vena perifer dan sentral, punksi dan kateterisasi
arterial, penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator, vasokonstriktor, pemberian kristaloid, koloid,
darah dan produk darah, prinsip IABP, TEE, Esophageal Dopler, transvenous cardiac pacing,
pencegahan gagal ginjal, monitor fungsi ginjal, pengawasan pemberian obat nefrotoksik, penyesuaian
dosis obat pada gagal ginjal, Renal Replacement Therapy, penilaian status nutrisi dan pemberian nutrisi
enteral dan parenteral pasien ICU, kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal,pencegahan stress ulcer, prinsip
support gagal hepar, pencegahan translokasi mikroba, pengelolaan cedera kepala tertutup, pengelolaan
peningkatan tekanan intrakranial, pengelolaan cedera spinal, pencegahan pressure sores, surveillance
mikrobiologi dan pemakaian antibiotik yang benar. Peserta didik harus melakukan pemantauan dan
memiliki pengetahuan mengenai indikasi dan indikasi kontra penggunaan alat monitor, interpretasi
informasi dari alat monitor, identifikasi penyebab error alat, prinsip monitor minimal, komplikasi akibat
alat monitor, pengukuran suhu, penilaian nyeri dan sedasi, penilaian sistem skoring keparahan penyakit,
Glasgow Coma Scale pemantauan kadar obat. Penggunaan alat secara aman seperti alat untuk jalan
nafas, airway, LMA, ETT, terapi oksigen, bag, humiidifikasi, nebulizer, ventilator invasif dan non-invasif
dan accessoriesnya, alat monitor dan accessoriesnya, pembersihan dan sterilisasi alat, keamanan
kelistrikan, alat resusitasi, defibrilator dan alat transfusi, alat hemofiltrasi, bronkoskopi dan ECHO.
Pemahaman kondisi medis dan pengelolaan pasien kritis yang harus dikuasai adalah gagal nafas
oksigenasi, gagal nafas ventilasi, Acute lung Injury, ARDS, Obstruksi jalan nafas, Nosocomial
pneumonia, Ventilator- associated pneumonia, Aspiration pneumonia, asthma, PPOK, edema paru
kardiogenik, effusi pleura, pneumotorak (simple, tension), syok hipovolemik, syok kardiogenik,
hipotensi, hipertensi, Infark miokard akut, gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal,
gangguan irama jantung, Cardiac arrest, oliguria, anuria, polyuria, gagal ginjal akut, urosepsis,
confusion dan koma, traumatic brain injury, spontaneous intracranial hemorrhag, subarachnoid
hemorrhage, hypoxic brain damage, convulsion, status epilepticus, meningitis, encephalitis,
neuromuskular (Guillain-Barre, Myasthenia gravis, tetanus, malignant hyperpyrexia), spinal Injury,
Brainstem death, gangguan koagulasi, pasien immunocompromised, DIC, gangguan elktrolit, Na, K,
gangguan elektrolit Ca, Mg, kegawatan pada Diabetes Melitus, disfungsi thyroid, keracunan akut,
preeklamsia, eklamsia, sindroma HELLP, perdarahan peripartum, gangguan jantung pada kehamilan,
SIRS, Sepsis, Severe Sepsis, Septic Shock, pireksia dan hipotermia. Peserta didik dapat melakukan
transportasi pasien kritis berdasarkan prinsip transfer pasien kritis dengan aman dan mengerti
pemantauan saat transportasi. Sasaran terakhir adalah pengetahuan tentang end of life care yang meliputi
prinsip etika dasar, with-holding dan withdrawing therapy, pengambilan keputusan dan penilaian quality
of life.

Selama menjalankan tugasnya peserta didik harus dapat bekerja sama, berkomunikasi dan menciptakan
lingkungan kerja yang baik dengan sesama peserta didik, perawat, paramedik dan konsulen di kamar
operasi maupun ICU.

749
12. REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins ; 2006

750

Vous aimerez peut-être aussi