Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1
Orientasi &Pembekalan Magang Mandiri CR
Sem 1 Sem 2 Sem 3 Sem4 Sem5 Sem6 Sem7
3 bulan kuliah
6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan
3 bulan di OK
Catatan : Waktu dan semester diatas tidak mengikat. Hasil pembelajaran (Learning outcome) bergantung
pada pencapaian kompetensi. Bila sudah dianggap kompeten bisa naik semester (Penilaian dilihat dari
kognitif, afektif, psikomotor. Kognitif : lulus ujian, menyelesaikan tugas ilmiah. Psikomotor: mencapai
jumlah kasus sesuai tabel dibawah. Afektif: penilaian tingkah laku/kepribadian)
Semester
No Modul SKS
I II III IV V VI VII
1 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I
2 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II
3 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III
2
4 Modul Kedokteran Perioperatif I
5 Modul Kedokteran Perioperatif II
6 Modul Persiapan Obat dan Alat Anestesia
7 Modul Traumatologi I
8 Modul Anestesi Umum
9 Modul Anestesi Regional I (Biers block, Spinal)
10 Modul Anestesi Regional II (Epidural, caudal, nerve block)
11 Modul Anestesi Bedah Ortopedi I
12 Modul Anestesi Bedah Ortopedi II
13 Modul Anestesi Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
14 Modul Anestesi Bedah Urologi
15 Modul Anestesi Obstetri I
16 Modul Anestesi Obstetri II
17 Modul Anestesi Bedah THT I
18 Modul Anestesi Bedah THT II
19 Modul Anestesi Bedah Mata
20 Modul Anestesi Bedah Pediatri I (simple procedure)
21 Modul Anestesi Bedah Pediatri II (advanced)
22 Modul Anestesi Bedah Saraf I
23 Modul Anestesi Bedah Saraf II
24 Modul Anestesi Bedah Rawat Jalan
25 Modul Anestesi Kardiotorasik I
26 Modul Anestesi Kardiotorasik II
27 Modul Anestesi Bedah Darurat
28 Modul Anestesi Bedah Invasif Minimal
29 Modul Anestesi Diluar Kamar Bedah
30 Modul Anestesi dan Penyakit Khusus
31 Modul Anestesi dan Uncommon Diseases
32 Modul Traumatologi II
33 Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU)
34 Modul Pengelolaan Nyeri
35 Modul Intensive Care I
36 Modul Intensive Care II
37 Modul Penelitian
38 Modul Kemampuan Komunikasi dan Profesionalisme
SKS 11 15 15 15 12 12 14 94
JENJANG 1 JENJANG 2
3
KETERAMPILAN DASAR
ANESTESIOLOGI I
MODUL 1 Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi untuk
Anestesiologi
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Selama Semester 1)
Sesi di dalam kelas 5 X 4 jam (kuliah kuliah )
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 jam (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinik 3 minggu ( saat sesi praktek keterampilan
dasar anestesia umum dan regional))
Persiapan Sesi
1. Komputer/Laptop,
2. Proyektor LCD dan Layar,
3. Flip chart,
4. Pemutar video,
5. OHP
1. Sistem pernafasan
2. Sistem kardiovaskuler
3. Sistem syaraf pusat
4. Sistem renal,
- Sarana belajar:
1. Ruang kuliah
2. Ruang diskusi
4
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006
1.RANAH KOMPETENSI
KOGNITIF
5
8. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi otak, syaraf pusat dan syaraf
perifer
9. Mampu menjelaskan mekanisme kesadaran, persepsi nyeri
10. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang berdampak pada susunan syaraf otak
dan syaraf perifer, dan syaraf otonom
11. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat pelumpuh otot dan antagonisnya, opioid dan
antagonisnya.
PSIKOMOTOR
1. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien penyakit atau
kelainan yang diderita seorang pasien dari bidang jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan
otak, syaraf serta fungsi kesadaran
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko obat-obat yang dipakai untuk pengobatan jalan nafas, pernafasan,
sirkulasi darah dan fungsi kesadaran
6
3. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko obat-obat anestesia dan analgesia
PROFESIONALISME
Pada keynotes tersebut dibawah ini akan ditekankan tentang fisiologi, untuk anatomi dan
farmakologi dapat dilihat pada buku rujukan Morgan.
Fisiologi
Fisiologi kardiovaskular:
1. Sangat berbeda dengan aksi potensial pada syaraf, aksi potensial pada jantung spike
diikuti dengan fase plateu selama 0.2 0.3 detik. Pada otot dan syaraf aksi potensial
terjadi oleh karena pembukaan kanal cepat natrium di membran sel.Pada otot jantung ini
terjadi karena pembukaan kanal cepat sodium (spike) dan kanal lebih lambat kalsium
(plateau).
2. Halothane, enflurane dan isoflurane mendepressi sinoatrial (SA) node secara otomatik.
Obat2 ini hanya memiliki efek langsung sedang pada atrioventricular (AV) node,
7
memperpanjang conduction time dan meningkatkan refrakter. Efek kombinasi ini yang
dapat menjelaskan mengapa sering timbul junctional tachycardia bilamana suatu
antikolinergik diberikan untuk sinus bradycardia selama anestesia inhalasi; junctional
pacemakers lebih ditingkatkan daripada SA node.
3. Studi2 menunjukkan bahwa semua anestetika volatile mendepresi kontraktilitas jantung
dengan menurunkan masuknya ion Ca kedalam sel selama depolarisasi. (mengenai kanal
Ca tipe T dan L), merubah kinetik pelepasan dan uptake ke dalam retikulum endoplasma,
dan menurunkan sensitivitas protein2 kontraktil terhadap kalsium.
4. Oleh karena cardiac index (CI) memiliki rentang lebar, relatif tidak sensitif sebagai
ukuran untuk menilai fungsi ventrikel. Nilai CI yang abmormal biasanya menunjukkan
gangguan ventrikel secara umum.
5. Bila tidak ada anemia berat atau hipoksia, pengukuran tekanan oksigen mixed venous
atau saturasi merupakan cara terbaik untuk menilai adekuat tidaknya cardiac output.
6. Oleh karena peran atrium dalam ventricular filling penting dalam mempertahankan low
mean ventricular diastolic pressures, pasien pasien dengan penurunan ventricular
compliance sangat terpengaruh oleh gangguan pada atrial systole.
7. Cardiac output pada pasien dengan gangguan yang jelas pada ventrikel kanan atau kiri
sangat sensitif terhadap peninggian after load.
8. Ventricular ejection fraction (EF) adalah fraksi dari end-diastolic ventricular volume yang
dipompakan keluar, merupakan penilaian ukuran fungsi sistolik yang paling umum
dipakai dalam klinik.
9. Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat dinilai secara klinik dengan echocardiography
Doppler, pemeriksaan secara transthracic atau transesophageal.
10. Oleh karena endocardium merupakan bagian intramural yang paling tertekan selama
sistole, ini cenderung merupakan bagian yang mudah rusak oleh akibat iskemia pada
waktu terjadi penurunan tekanan perfusi koroner.
11. Pada gagal jantung ketergantungan pada katekolamin meningkat. Penghentian tiba tiba
simpatatetik atau penurunan kadar katekolamin dalam sirkulasi, seperti terjadi sesudah
induksi anestesia, bisa menyebabkan dekompensasi jantung akut.
8
1. Anestesia umum menurunkan konsumsi O2 dan produksi CO2 kira kira 15%. Tambahan
penurunan sering terjadi pada hipotermia. Penurunan tertinggi konsumsi O2 terjadi di
otak dan jantung.
2. Pada akhir ekspirasi, tekanan intrapleural secara normal rata rata 5 cm H2O dan karena
tekanan alveolar adalah nol (tidak ada aliran/flow), tekanan transpulmoner adalh
+5cmH2O.
3. Volume paru pada akhir ekshalasi normal disebut functional residual capacity (FRC).
Pada volume ini, inward elastic recoil paru kira kira sama dengan outward elastic recoil
dada (termasuk tonus diafragma yang istirahat).
4. Closing capacity normal lebih rendah dari FRC, tetapi meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Peningkatan ini mungkin yang menyebabkan penurunan PaO2 terkait
dengan peningkatan umur.
5. Induksi anestesia secara konsisten menurunkan FRC 15-40% (400ml pada hampir semua
pasien), diluar yang terjadi akibat posisi telentang.
6. Forced Expiratory in one second (FEV1) dan forced vital capacity (FVC) ada upaya yang
dependent, forced midexpiratory flow (FEF25-75%) adalah upaya yang independent dan
mungkin lebih reliable untuk menilai obstruksi.
7. Faktor faktor lokal lebih penting daripada sistem otonom dalam mempengaruhi tonus
vaskuler paru. Hipoksia adalah stimulus kuat untuk vasokonstriksi pulmoner (kebalikan
dari efek sistemik).
8. Oleh karena ventilasi alveolar kira kira 4 liter/menit dan cardiac output 5liter/menit, maka
V/Q ratio keseluruhan adalah 0.8
9. Shunting menunjukkan proses dimana desaturasi, mixed venous dari jantung kanan
kembali ke jantung kiri tanpa mengalami resaturasi O2 di paru paru. Efek keseluruhan
dari shunting adalah menurunkan (dilusi) kandungan(content) O2: jenis shunt ini adalah
right to left shunt.
10. Anestesia umum biasanya meningkatkan venous admixture sampai 5-10%, mungkin
sebagai akibat atelektasis dan kollaps airway di area dependent dari pada paru paru.
11. Peningkatan PaCO2(>75mmHg) pada udara kamar akan menimbulkan hipoksia
(PaO2<60mmHg) tetapi tidak bilamana menghirup oksigen konsentrasi tinggi.
9
12. Ikatan O2 pada hemoglobin merupakan faktor prinsip transfer O2 dari gas alveolus ke
darah.
13. Makin besar shunt, makin kecil kemungkinan peningkatan FiO2 (fraksi O2 inspirasi)
akan dapat mencegah hipoksemia.
14. Pergeseran kekanan kurva dissosiasi oksigen, menurunkan affinitas O2, menggeser
tempat O2 dari hemoglobin, dan membuat O2 lebih tersedia di jaringan; pergeseran kekiri
meningkatkan affinitas O2, menurunkan ketersediaannya di jaringan.
15. Bikarbonat merupakan bagian terbesar fraksi CO2 dalam darah.
16. Kemoreseptor sentral terletak di permukaan anterolateral medulla dan berrespons
utamanya terhadap perubahan ion H dalam cairan serebrospinal. Mekanisme ini efektif
dalam pengaturan PaCO2 sebab blood brain barrier permeabel terhadap CO2 terlarut
tetapi tidak terhadap bikarbonat.
17. Dengan makin dalam anestesia, grafik PaCO2/ventilasi semenit menurun dan ambang
apnea meningkat.(?)
1. Cerebral Perfusion Pressure (CPP)adalah perbedan antara mean arterial pressure (MAP)
dengan inracranial pressure(ICP). (atau central venous pressure (CVP), mana yang lebih
besar)
2. Curva autoregulasi cerebral bergeser kekanan pada pasien pasien dengan hipertensi
arterial kronik.
3. Faktor ekstrinsik terbesar yang mempengaruhi cerebral blood flow (CBF) adalah tekanan
gas darah terutama PaCO2. CBF secara langsung berbanding lurus dengan PaCO2 antara
20-80mmHg. Aliran darah berubah 1-2ml/100g/menit per mmHg perubahan PaCO2.
4. CBF berubah 5 -7 % per 1derajat perubahan temperatur. Hipotermia menurunkan
cerebralmetabolic rate dan CBF, sementara pireksia mempunyai efek kebalikannya.
5. Perpindahan substansi menembus blood brain barrier ditentukan oleh ukuran, muatan
listrik, kelarutan dalam lemak, dan derajat ikatan dengan protein.
6. Blood brain barrier bisa rusak oleh hipertensi, tumor, trauma, stroke, infeksi, hiperkapnia
berat, hipoksia, dan kejang terus menerus.
10
7. Tengkorak kepala merupakan struktur dengan volume total yang fix, terdiri dari otak
(80%), darah (12%), cairan serebrospinal (8%). Setiap peningkatan satu komponen harus
di kompensasi dengan penurunan komponen yang lain agar mencegah peningkatan
tekanan intrakranial.
8. Dengan perkecualian ketamine, semua obat anestesi intravena memiliki efek ringan atau
menurunkan cerebral metabolic rate dan CBF.
9. Pada autoregulasi yang normal dan blood brain barrier ang intact, vasopressor
meningkatkan CBF hanya apabila MAP dibawah 50-60mmHg atau diatas 150-
160mmHg.
10. Otak sangat mudah terancam rusak akibat cedera oleh iskemia oleh karena konsumsi
oksigen yang relatif tinggi dan hampir semuanya bergantung pada metabolisme glukose
aerobik.
11. Hipotermia merupakan cara yang paling efektif untuk proteksi otak selama iskemia fokal
atau global.
12. Barbiturat efektif untuk brain protection pada iskemia focal pada manusia dan binatang.
11
7. Methoxyflurane disertai dengan gagal ginjal poliuria. Nefrotoksisnya bergantung pada
dosis dan sebagai akibat pelepasan ion fluoride hasil metabolismenya.
8. Kadar tinggi fluorid setelah anestesia dengan enflurane bisa terjadi pada pasien obesitas
dan mereka yang mendapat isoniazid
9. Compound A , hasil pemecahan sevoflurane yang terbentuk dengan low flow, dapat
terjadi renal damage pada binatang percobaan. Studi klinik pada pasien tidak
menunjukkan injury renal yang berarti.
10. Beberapa prosedur bedah secara significant menggangu fisiologi ginjal.
Pneumoperitoneum selama prosedur laparoskopi menimbulkan dampak seperti
abdominal compartment syndrome. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat
menimbulkan oliguria. Juga pada prosedur seperti cardiopulmonary bypass, cross
clamping aorta
3. GAMBARAN UMUM
Memahami ilmu dasar anatomi , fisiologi dan farmakologi sistem pernapasan, kardiovaskuler
dan sistem syaraf akan mendukung untuk memahami tindakan anestesia umum maupun
anestesia lokal/ regional dan tindakan lain yang terkait dengan anestesia, seperti penanggulangan
nyeri, shock. Sebagai contoh bahwa untuk dapat melakukan anestesia regional dengan baik
harus mengetahui landmark anatomi syaraf yang bersangkutan. Bahwa bila terjadi reaksi toksik
obat anestetika lokal akan mengetahui gejala gejala dan tindakan penanggulangannya,
diperlukan pengetahuan farmakologi obat anestetika lokal. Contoh lain adalah pasien dengan
depressi napas atau apnea berkepanjangan setelah anestesia. Untuk dapat menjelaskan
penyebabnya maka harus dapat memahami fisologi pernapasan, farmakologi obat obat yang
dapat menimbulkan apnea.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami
1. Anatomi
a. Anatomi jalan nafas
12
b. Anatomi paru dan organ nafas
c. Anatomi jantung, pembuluh darah dan darah
d. Anatomi otak, medula spinalis dan syaraf perifer baik sensoris, motoris maupun
otonom
2. Fisiologi
3.Farmakologi
5. METODE :
Peserta didik sudah harus mempelajari:
a. Kuliah pengantar
13
b. Belajar mandiri/ tugas membaca buku referensi
c. Pretest
d. Bimbingan atau diskusi dengan staff pengajar
e. Diskusi kelompok
f. Post test
g. Ujian Nasional
14
Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:
Untuk memberikan gambaran tentang keterampilan dan materi ilmu dasar secara komprehensif
dan terintegarsi.
Memahami anatomi pembuluh darah perifer daerah lengan dan tungkai , pembuluh darah sentral
daerah subklavia, leher untuk memudahkan akses vaskuler. Memahami anatomi dan fisiologi
jantung untuk mengerti hemodinamik, aliran darah , sehingga mengerti faktor2 yang penting
dalam menimbulkan tekanan darah.apa yang terjadi pada patologi atau kelainan organik,
kelainan katup, kelainan septum jantung, sehingga memahami hal hal yang harus dilakukan
maupun dihindari pada misalnya mitral stenosis.
Memahami anatomi syaraf, pleksus syaraf ekstremitas atas dan ekstremitas bawah,anatomi
vertebra tulang belakang dan medulla spinalis untuk landmark anestesia regional . Memahami
anatomi jalan napas atas untuk tindakan intubasi, krikotirotomi, trakesostomi.
6. MEDIA:
1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Diskusi kelompok
4. Tugas baca dan Belajar secara ber kelompok
5. Bimbingan dengan staff mengajar
6. Membahas soal2 terkait ilmu dasar.
8.EVALUASI
15
9.REFERENSI
Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006
Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
16
vasodilator pulmoner, darah, komponen darah, cairan
kristaloid, kolloid, diuretika
9. Anatomi sistem syaraf pusat, cerebrum, cerebellum,
batang otak, medulla spinalis, sistem ventrikel otak.
Syaraf otak, syaraf perifer, syaraf simpatetik dan
syaraf para simpatetik. Tulang belakang dan medula
spinalis, pleksus brakhialis, axillaris. Ruang
subarakhnoid, ruang epidural. Aliran darah otak.
10. Fisiologi sistem syaraf: kesadaran, motorik, nyeri
atau sensorik, simpatetik dan parasimpatetik. Refleks
spinal, refleks vagal, sistem nerohormonal, sistem
cairan serebrospinal, pengaturan tekanan intrakranial,
otoregulasi otak, Aliran darah dan metabolime otak
11. Patofisiologi sistem syaraf: Kesadaran menurun
cerebral/metabolik. Peningkatan tekanan intrakranial,
kejang kejang, paralisis, gangguan sistem otonom,
termasuk pusat pengaturan sistem vital.
12. Farmakologi obat anestesia umum inhalasi,
intravena, obat anestetika lokal, analgetiks,
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
17
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
melakukan prosedur
18
Tehnik anestesia meliputi dua tehnik utama yaitu anestesia umum, anestesia regional atau dapat
pula kombinasi keduanya. Obat anestetika umum dapat diberikan secara intravena atau secara
inhalasi atau kombinasi. Obat anestetika regional atau lokal dapat diberikan dengan cara
infiltrasi lokal, blok syaraf, blok pleksus syaraf atau blok neuraksial (blok subarakhnoid atau
epidural).
Bagaimana mempelajari ilmu dasarnya?. Pertama harus ada buku ajar rujukan untuk masing
masing ilmu dasar. Kedua kita memilih obat yang akan digunakan terkait dengan tindakan
anestesia apakah obat inhalasi, intravena atau anestetika lokal. Untuk mempelajari ilmu dasar
yang terkait dengan tindakan anestesia, dapat secara sekaligus mempelajari ketiganya secara
simultan yaitu anatomi, fisiologi dan farmakologi. Terminologi terminologi dalam ilmu
fisiologi, patofisiologi farmakologi, anatomi harus dimengerti secara benar. Karena dengan
mengerti terminologi tersebut akan memudahkan memahami secara keseluruhan ilmu dasar
klinik.
Contoh:
1. Kita akan mempelajari obat inhalasi. Kita harus membayangkan obat yang akan diberikan
itu akan dihirup oleh pasien (bila pasien bernapas spontan) atau didorong masuk (bila
pasien tidak bernapas spontan atau dengan napas kendali) melalui jalan napas yaitu
hidung, faring, laring dan seterusnya sampai ke dalam alveoli. Oleh karena itu kita
harus memahami anatomi jalan nafas. Tatkala obat tersebut akan masuk dari alveoli ke
dalam sistem sirkulasi, maka kita harus mempelajari sifat2 fisik obat inhalasi tersebut,
mempelajari fungsi paru, mempelajari fisiologi sistem kardiovaskular tentang perfusi
darah ke paru paru sehingga dapat mengerti difusi obat . Ketika obat tersebut diedarkan
ke seluruh tubuh, maka kita harus tahu farmakologi tentang distribusi obat, selanjutnya
harus mengerti lokasi receptor obat tersebut dan mengerti mekanisme kerja obat yang
menyebabkan pasien menjadi tidak sadar. Oleh karena itu kita harus mengerti fisiologi
dan anatomi sistem syaraf pusat maupun sistem sirkulasi pada susunan syaraf. Selain itu
kita harus mempelajari farmakologi bagaimana nasib obat tersebut sehingga efek obat
bisa hilang kembali. Apabila kemudian timbul efek samping obat, akan muncul dalam
bentuk gangguan fisiologi misalnya apakah meningkatkan tekanan intrakranial,
mendepressi napas, menimbulkan hipotensi atau hipertensi, mengganggu fungsi hepar
19
atau ginjal, sehingga kita harus mengerti dosis, indikasi dan kontra-indikasi obat inhalasi
tersebut.
Disamping itu kita harus mengerti cara menggunakan mesin anestesi agar dapat
memberikan obat inhalasi.
2. Kita akan mempelajari obat anestetika umum intravena. Kita harus dapat mempersiapkan
obat tersebut dan harus memahami sifat sifat fisik obat tersebut. Ketika kita akan
menyuntikkan intravena maka kita harus mengerti anatomi pembuluh vena, dari vena
dorsom manus ke vena cubiti, vena axillaris, vena subclavia, ke vena cava superior, ke
atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis dan sterusnya sampai ke jantung kiri dan
obat didistribusikan ke seluruh tubuh sampai ke reseptornya dan menimbulkan efek yang
diinginkan. Apa yang terjadi pada obat tersebut didalam darah, misalnya berapa persen
terikat protein, kecepatan aliran darah yang dilalui obat mulai perifer sampai ke jantung
kemudian distribusi obat sehingga sampai ke otak dan menimbulkan efek pasien tidak
sadar, mengapa pasien tidak sadar, dan mengapa dapat pulih sadar, bagaimana nasib obat
tersebut. Kita harus memahami efek samping obat, overdosis obat dan cara mengatasi
bila timbul efek yang berbahaya.
Oleh karena itu kita harus mengerti anatomi dan fisiologi sistem
sirkulasi, dan farmakologi , terkait dengan pemakaian obat
tersebut. Disamping itu kita harus mengerti tehnik pemberian
obat intravena, secara bolus tunggal, kontinyu intermittent,
kontinyu secara tetesan, atau kontinyu dengan syringe pump.
3. Kita akan mempelajari obat anestetika lokal untuk anestesi subarakhnoid. Kita harus
mengerti jenis obat yang akan digunakan, sifat sifat fisik , konsentrasi dan kandungan
obat. Ketika kita akan menyuntikkan obat tersebut harus diketahui lokasi yang aman
tempat suntikan dengan mempelajari anatomi tulang belakang lapisan yang akan
ditembus jarum spinal untuk sampai kerongga subarakhnoid. Setelah obat ditempatkan di
ruang subarakhnoid, harus memahami farmakologi obat yaitu tempat dan mekanisme
kerja efek obat sehingga menimbulkan blok sensorik, motorik dan simpatetik. Efek
samping yang timbul akibat blok simpatetik, hipotensi, juga harus dipahami melalui
20
pemahaman efek farmakologik dan dampak fisiologik agar dapat memahami cara
mencegah atau penanggulangannya.
4. Ilmu dasar terkait dengan anestesiologi
Anatomi : jalan napas atas dan jalan napas bawah, sistem syaraf perifer anggota gerak
atas dan bawah, pleksus axillaris, pleksus brakhialis, medulla spinalis, tulang belakang.
Fisiologi : volume paru, pengaturan pernapasan, oksigenisasi darah, pengaturan tekanan
darah, pengaturan frekuensi denyut jantung, pengaturan irama jantung, konduksi jantung,
sistem sirkulasi paru, pengaturan tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak.
Farmakologi: Obat anestesia umum yang menimbulkan penurunan tekanan darah,
peningkatan tekanan darah, mengganggu ritme jantung, mengganggu resistensi
pembuluh sistemik, resistensi sirkulasi paru, depressi miokard, depressi otak,
mengganggu tekanan intrakranial, menimbulkan kejang, depressi pernafaran,
mengganggu fungsi ginjal, hepar, Obat anestetika lokal, obat pelemas otot depolarisasi
dan non depolarisasi serta antagonisnya. Obat obat opioid dan antagonisnya
5. Lihat penuntun belajar pada daftar tilik.
a. Jantung: aksi potensial jantung, awal & konduksi impuls jantung, mekanisme
kontraksi, inervasi jantung, cardiac cycle, fungsi ventrikel (heart rate, stroke
volume, preload, after load, contractility, disfungsi valvular, kurva fungsi
ventrikel, penilaian fungsi sistolik, penilaian fungsi diastolik)
b. Sistem sirkulasi: autoregulasi, endothelium-derived factors, kendali otonom
pembuluh sistemik, tekanan darah arteri(immediate control, intermediate control,
long term control), anatomi dan fisiologi sirkulasi koroner (anatomi, perfusi
koroner, kendali aliran darah koroner, balans oksigen miokard, efek obat
anestetik)
c. Patofisiologi Heart Failure: mekanisme kompensasi ( peningkatan preload,
peningkatan tonus simpatetik, hipertrofi ventrikel).
21
1. Cellular Respiration: Aerobic metabolism, anaerobic metabolism, effectts of anesthesia on
cell metabolism
2. Functional Respiratory Anatomy: Rib Cage & Muscles of Respiration, tracheobronchial tree,
alveoli, Pulmonary circulation & lymphatics, pulmonary capilary, pulmonary lymphatics,
innervation.
3. Basic Mechanism of Breathing: Spontaneos Ventilalion, Mechanical Ventilation,effects of
anesthesia on respiratory pattern.
4. Mechanics of Ventialtion: Elastic Resistance; surface tension forces, compliance, Lung
volumes; functional residual capacity, closing capacity, vital capacity, Non Elastic resistances;
airway resistance to gas flow, volume-related airway collapse, flow related airway colapse,
forced vital capacity ( tissue resistance),Work of breathing; Effects of anesthesia on pulmonary
mechanics (effects of lung volumes and compliance, effects on airway resistance, effects on work
of breathing)
5. Ventilation/Perfusion Relationships: Ventilation; distribution of ventilation, time constant,
Pulmonary perfusion; distribution of pulmonary perfusion, ventilation/perfusion ratios, Shunts;
venous admixture, Effects of Anesthesia on Gas Exchange
6. Alveolar, Arterial, &Venous Gas Tensions: Oxygen; alveolar oxygen tension, pulmonary-end
capillary oxygen tension, arterial oxygen tension, mixed veous oxygen tension, Carbon dioxide;
pulmonary end-capillary carbon dioxide tension, arterial carbondioxide tension, end-tidal
carbondioxide tension.
22
23
Fisiologi system syaraf dan anestesia
Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat Morgan Chapter 25)
1. Cerebral physiology:
a. Cerebral metabolism
b. Cerebral Blood Flow
c. Regulation of Blood Flow: Cerebral Perfusion Pressure, Autoregulation,
Extrinsic Mechanisms; respiratory gas tension, temperature, viscosity, autonomic
influences.
d. Blood Brain Barrier
e. Cerebrospinal Fluid
f. Intracranial Pressure
24
1. Nephron
a. The glomerular capillaries
b. The proximal tubule
c. The loop of Henle
d. The distal tubule
e. The collecting Tubule: cortical collecting tubule, medullary collecting tubule, role
of the collecting tubule in maintaining a hypertonic medulla
f. TheJuxtaglomerular Apparatus
2. The Renal Circulation
a. Renal Blood Flow & Glomerular Filtration: clerance, renal blood flow,
glomerular filtration rate, control mechanisms; intrinsic regulation,
tubuloglomerular balance and feedback, hormonal regulation, neuronal
regulation
3. Effects of anesthesia on renal function
a. Indirect Effects: Cardiovascular effects, neural effects, endocrine effects.
b. Direct Anesthetic Effects: volatile agents, intravenous agents, other drugs.
c. Direct Surgical Effects
4. Diuretics
a. Osmotic diuretics (mannitol): Uses; prophylaxis against acute renal failure in
hihg risk patients, evaluation of acute oliguria, conversion of oliguriic renal
failure to non oliguric renal failure, acute reduction of intracranial pressure and
cerebral edema, acute reduction of intraocular pressure in the perioperative
periode, intravenous dosage, side effects.
b. Loop diuretics: Uses; edematous states (sodium overloads), hypertension,
evaluation of acute oliguria, conversion of oliguric renal failure to nonoliguric
renal failure, treatment of hyperglycemia, rapid correction of hyponatremia,
intravenous dosage, side effects.
c. Thiazide-type diuretics: Uses: hypertension, edematous disorders (sodium
overload), hypercalciuria, nephrogenic diabetes insipidus , oral dosages, side
effects.
25
d. Potassium-sparing diuretics: Aldosteron Antagonists (spironolactone); uses:
primary and secondary hyperaldosteronism, hirsutism, oral dosage, side effects.
Noncompetitive Potassium-Sparing Diuretics; uses: hypertension, congestive
heart failure, intravenous dosages, side effects.
e. Carbonic Anhydrase Inhibitors; Uses; correction of metabolic alkalosisi in
edematous patients, alakalinization of urine, reduction of intraocular pressure,
intravenous dosage, side effects
1. Functional Anatomy
2. Vascular Functions of the Liver : control of hepatic blood flow, reservoir function,
blood-cleansing function
3. Metabolic Functions: Carbohydrate metabolism, Fat metabolism, Protein Metabolism,
Drug metabolism, Other Metabolic Functions.
4. Bile formation & Excretion: Bile Acids & Fat Absorption, Bilirubi Excretion.
5. Liver Tests: Serum bilirubin, Serum Aminotransferase (transaminase), serum alkaline
phosphatase, serum albumin, blood ammonia, prothrombin time
6. Effect of Anesthesia on hepatic function: hepatic blood flow, metabolic functions, drug
metabolism, biliary function, liver tests.
7. Hepatic dysfunction associated with halogenated anesthetics.
26
KETERAMPILAN DASAR
MODUL 2 ANESTESIOLOGI II :
Pengelolaan Jalan Napas Neonatus -
Dewasa
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1, 2 dan 3)
Sesi di dalam kelas 2 X 2 jam (semester 1 pasien dewasa)
2 X 2 jam (semester 2 -3 pasien anak)
2 X 2 jam (semester 3 pasien neonatus)
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3X(3X2 jam) (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinik 3 X 3 minggu ( saat sesi praktek pasien)
Persiapan Sesi
Audiovisual
a. Laptop
b. LCD proyector dan layar
c. Flip chart
d. OHP
e. Video player
Materi kuliah : CD atau flashdisc Power point
a. Obstruksi jalan napas pada dewasa (sebab2, tanda tanda dan diagnosis)
b. Pengelolaan jalan napas tanpa alat
c. Pengelolaan jalan napas dengan alat (pipa orofaring, pipa nasofaring,
intubasi trakeal, pipa sungkup laring (LMA), krikotirotomie, trakeostomie)
d. Obstruksi jalan napas pada neonatus dan anak anak
e. Pengelolaan jalan napas atas secara manual.
f. Intubasi trakea pada neonatus dan anak anak
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
3. Ruang operasi
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat2 untuk pengelolaan jalan napas
Kasus :Pasien langsung
Penuntun belajar : Lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
27
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan menguasai
pengelolaan jalan nafas atas pada pasien dewasa, anak anak dan neonatus, yang merupakan
syarat mutlak selama tindakan anesthesia.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menilai kondisi
jalan napas, menilai dan melakukan pengelolaan jalan nafas, baik tanpa alat maupun dengan alat
alat bantu , seperti pemasangan guedel, Laringeal mask airway (LMA), intubasi endotrakeal,
krikotirotomi, trakesotomi perkutaneus, mengelola jalan napas pada difficult intubation
1. RANAH KOMPETENSI
Kognitif
Psikomotor
1. Mampu membebaskan jalan nafas secara manual (ekstensi kepala, angkat dagu, triple
maneuver ) pembersihan jalan nafas, pemasangan pipa orofaring, pemasangan
nasofaring.
2. Mampu melakukan pemasangan LMA
3. Mampu melakukan tindakan laringoskopi intubasi endotrakeal
4. Mampu mengidentifikasi indikasi dan indikasi kontra pemasangan LMA dan intubasi
endotrakea
5. Mampu mengenali dan menanggulangi komplikasi pemasangan pipa oro/nasofaring,
LMA dan pipa endotrakea
6. Mampu melakukan pemasangan LMA dan intubasi endotrakea pada pasien dengan
dugaan fraktur vertebra servikal.
7. Mampu melakukan pengelolaan jalan nafas menurut algoritma DIFFICULT AIRWAY
28
Komunikasi/ Hubungan interpersonal
1. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang manfaat dan resiko
tindakan pembebasan jalan nafas, terutama intubasi endotrakeal untuk mendapatkan
informed consent
2. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kemungkinan masalah yang ada
pada jalan napas , atau sedang atau akan timbul berkaitan dengan patensi jalan nafas dan
penanggulangannya selama masa perioperatif.
Profesionalime
1.Bila tehnik memegang face mask tidak benar, reservoir bag anestesia tidak akan mengembang ,
walaupun adjustable pressure limiting (APL) valve tertutup, biasanya disebabkan oleh kebocoran
sekitar sungkup muka. Keadaan yang kontras bilamana terjadi peningkatan tekanan di sirkuit
napas disertai sedikit gerakan dada dan suara napas berarti ada obstruksi jalan napas.
2. Laringeal mask airway (LMA) melindungi laring dari ekresi faring (tetapi tidak terhadap
regurgitasi lambung), dan harus dipertahanakn sampai ada refleks2 jalan napas.
3.Seteleh insersi endotracheal tube (ETT), cuff dikembangkan dengan sedikit udara cukup untuk
menghidari kebocoran selamam ventilasi tekanan positif untuk menghindari penyebarab tekanan
ke mukosa trakea.
4.Walaupun deteksi CO2 secara persisten dengan capnograph merupakan cara konfirmasi terbaik
penempatan ETT, ini tidak mendeteksi kemungkinan terjadi intubasi endobronkial. Manifestasi
paling dini terjadi intubasi endobronkial adalah peningkatan peak airway pressure.
5.Sesudah intubasi cuff ETT tidak boleh terletak setinggi di atas kartilago cricoid, sebab
penempatan di intralaring yang lama akan menimbulkan suara serak dan risiko terekstubasi.
6.Pencegahan intubasi esofagus bergantung pada visualisasi langsung daripada ujung ETT yang
masuk melalui pita suara, auskultasi suara napas sama kedua paru kiri kanan, tidak ada suara
gargling di lambung. Dan cara paling reliable adalah ada CO2 pada udara ekhalasi,
pemeriksaan fto torak, penggunaan bronkoskopi fibreoptik.
29
7.Cara mendiagnosis intubasi endobronkial termasuk suara napas unilateral, hipoksia yang tidak
diduga (pulseoximetry) dengan oksigen inspirasi tinggi dan penurunan breathing-bag compliance
8.Tekanan negatif intratorak yang besar yang ditimbulkan oleh upaya berat bernafas pasien
spasme laring dapat menimbulkan negative-pressure pulmonary edema bahkan pada pasien sehat
sekalipun.
13.Bila saat tindakan intubasi, terjadi desaturasi Hb, hentikan dulu upaya intubasi, berikan
oksigen dulu, sampai saturasi Hb meningkat kembali. Lanjutkan upaya intubasi.
14. Algoritme Difficult Airway harus selalu tersedia untuk jadi pedoman guna menghadapi
kesulitan intubasi yang tidak diprediksi.
3. GAMBARAN UMUM
Pengelolaan Jalan napas adalah suatu pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh
peserta didik calon dokter spesialis anestesiologi. Masalah jalan napas pada pasien sadar
maupun pasien tidak sadar oleh sebab apapun termasuk anestesi umum pada umumnya adalah
karena terjadi sumbatan jalan napas. Sumbatan jalan napas atas maupun jalan napas bawah
terutama yang berat adalah kondisi yang harus dikenali dan segera dilakukan pertolongan .
Keterlambatan mengatasi kondisi tersebut dapat berakibat fatal. Beberapa tehnik yang harus
dikuasai adalah pembebasan jalan napas secara manual maupun dengan alat. Keterampilan
keduanya hanya akan diperoleh melalui banyak latihan pada manekin dan diikuti dengan banyak
melakukan praktek dalam klinik.
4. TUJUAN PEBELAJARAN
30
5. Mampu melakukan pemasangan pipa endotrakeal secara oral dan nasal
7. Mampu merencanakan dan melaksanakan pengelolaan jalan napas pasien dengan difficult
airway
10. Mampu menggunakan alat alat bantu untuk difficult airway seperti:Glidescope,
Fibreoptic brochoscope dan alat lain untuk difficult airway ( Option).
5. METODE
Peserta didik sudah harus membaca/mempelajari buku referensi (Morgan) dan buku lain
mengenai pengeloaan jalan napas (option)
Tujuan 1 sampai dengan 10 merupakan paket pengelolaan jalan napas secara menyeluruh
Metode Pembelajaran:
1. Integrated learning
2. Independent learning
3. Problem base learning
4. Introductary lecture
5. Small group discussion and feed back
6. Patient management problem
7. Simulated patient, scenarios, displays etc
Psikomotor
31
2. Patient management problem
Komunikasi/ Hubungan interpersonall
1. Introductory lecture
2. Small group discussion, and feed backs.
g. Melakukan krikotirotomi
Tehnik Intubasi sadar dan Intubasi dengan nafas spontan pada prinsipnya sama diatas. Tetapi
memerlukan sedasi, dan anestesia topikal yang adekuat pada jalan nafas atas (laring dan
sekitarnya). Oleh karena tidak menggunakan obat relaksasi, secara tehnik lebih sulit dan lebih
traumatik.
32
6.MEDIA
a.Kuliah,
b.diskusi kelompok,
c.simulasi kasus,
e. bedside teaching,
g. praktek mandiri
f. Materi Kasus : Rumah Sakit kelas B (jumlah dan variasi kasus memadai)
8. EVALUASI
Pelatihan di skill lab Intubasi pada manekin dengan keberhasilan mendekati 100%
Pelatihan di kamar bedah intubasi pada pasien, dengan bimbingan dan pengawasan staff
pengajar.
33
1. Kognitif : EMQ (Extended Medical Question) lisan
Pengamatan dan penilaian beberapa kal
Beberapa pengamat
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
Evaluasi harian
2. Psikomotor: Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
OSCE
Evaluasi harian
3. Komunikasi dan hubungan interpersonal termasuk Attitude
Pengamatan dan penialaian beberapa kali
Beberapa pengamat
4. Professionalism: Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
5. Knowledge : MCQ (Pre test) dan Post Test
EMQ (Extended Medical Question)
9. REFERENSI
34
2. Melakukan angkat dagu (chin lift) dan ekstensi
kepala pada dewasa
11.DAFTAR TILIK
35
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
36
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
Mempertahankan jalan napas atas agar tetap bebas merupakan syarat mutlak selama tindakan
anestesia umum maupun regional.
Pasien dalam keadaan tidak sadar dapat mengalami sumbatan jalan nafas atas partial atau total.
Tanda tanda sumbatan ini harus dapat dikenali secara dini. Sumbatan partial ditandai dengan
adanya suara berisik saat inspirasi seperti ngorok, atau melengking, pengurangan aliran udara
37
keluar masuk paru, saat inspirasi terjadi retraksi pada suprasternal, supraklavikular atau
interkostal, mungkin gerakan dada paradoksal . Pada sumbatan total jalan napas gejala tersebut
akan terlihat makin berat, tetapi justru tidak terdengar suara nafas, sehingga bila tidak terawasi
dengan baik dapat membahayakan pasien, karena dapat menimbulkan desaturasi mengancam
nyawa. Pemantauan saturasi denyut sangat bermanfaat untuk mendeteksi secara dini terjadinya
desaturasi oksigen.
Peserta didik harus melakukan latihan pada manekin lebih dulu sampai mahir sebelum
melakukannya pada pasien.
Tanpa alat: melakukan ekstensi kepala, angkat dagu atau dengan triple maneuver
Dengan alat: memasang pipa orofaring, memasang pipa nasofaring, memasang laryngeal mask
airway (LMA), memasang pipa endotrakeal., melalukan cricothyrotomie, melakukan
tracheostomie
Mempertahankan jalan napas pada neonatus pada dasarnya sama dengan dewasa tetapi harus
dilakukan dengan cara lebih hati hati atau gentle.(Lihat modul anestesia pediatri)
Prosedur pemasangan pipa endotrakeal (intubasi endotrakeal) yang lazim dilakukan pada
anestesia umum
38
1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2. Berikan obat premedikasi, tunggu sampai efek premedikasi bekerja
3. Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, sampai pasien tidak sadar.
4. Berikat obat pelemas otot, tunggu sampai obt bekerja pada otot pernapasan ditandai
dengan apnea.
5. Berikan napas buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit
6. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bila(blade) bengkok
7. Pegang handle laringoskop dengan tangan kiri (atau tangan kanan lebih dulu)
8. Pastikan cahaya lampu laringosokop cukup terang
9. Buka mulut pasien dan masukkan blade dari sudut kanan mulut
10. Geser lidah kearah kiri sambil meneruskan masuk blade ke dalam rongga mulut
menelusuri pinggir kanan lidah menuju laring.. Perhatikan sampai tampak epiglotis.
Handle laringoskop sudah bisa mulai dipegang dengan tangan kiri
11. Tempatkan ujung blade pada valeculla
12. Angkat epiglottis dengan ujung handle ke depan (tidak diungkit). Handle harus dipegang
dengan tangan kiri
13. Bila epiglottis terangkat dengan baik akan tampak rima glottis, dan tampak pita suara
warna putih, bentuk V terbalik
14. Masukkan dengan hati hati pipa endotrakeal ke dalam trakea melalui rima glottis dengan
tangan kanan.
15. Tempatkan ujung pipa endotrakeal kira kira 3cm diatas carina (tidak masuk bronkus).
Auskultasi suara napas paru kanan dan kiri sama.
16. Kendala saat insersi pipa endotrakeal adalah, kesulitan mengekspose rima glottis dengan
jelas dan lengkung pipa endotrakeal yang tidak selalu sesuai.
Pengelolaan jalan napas pada anak anak dan neonatus pada prinsipnya sama dengan dewasa.
Struktur anatomi pada neonatus lebih rentan terhadap trauma, sehingga harus dilakukan secara
hati hati. Proporsi kepala bayi atau anak relatif lebih besar dari orang dewasa, sehingga posisi
tidak stabil menetap, menimbulkan kesulitan untuk fiksasi saat dilakukan intibasi endotrakeal.
Pipa endotrakeal neonatus tanpa cuff, nomer 2.5 atau 3. Pipa endotrakeal pada anak anak
hendaknya sampai usia 6-8 thn juga tanpa cuff. Pengelolaan jalan napas pada neonatus dan anak
dapat pula dilihat pada modul anestesia perdiatri.
dasar:
A. Difficult ventilation
B. Difficult intubation
39
C. Difficulty with patient cooperation or consent
D. Difficult tracheostomy.
A Awake Intubation
Succeed FAIL
Cancel Consider feasibility Invasive airway
Case of other options access
40
B Intubation Attempts after Induction
of General Anesthesia
Consider/attempt LMA
Call
Emergency non for help
ivasive airway ventilation
Alternative approaches to
intubation
41
KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLO GI III
MODUL 3
RJP Neonatus Dewasa
Persiapan Sesi
Audiovisual
1. Laptop
2. LCD proyector dan layar
3. Flip chart
4. OHP
5. Videoplayer
Materi kuliah : CD atau flashdisc Power point
1. RJP pada pasien dewasa.
2. RJP pada anak anak
3. RJP pada neonatus
4. RJPO (Resusitasi Jantung Paru Otak modul ICU)
5. Pengelolaan pasca cardiac arrest
6. Pencegahan cardiac arrest
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat2 untuk resusitasi jantung paru
Kasus : ilustrasi kasus/ retrospektif
Penuntun belajar : Lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
42
Salah satu kejadian paling berat pada pasien selama masa perioperatif adalah bila
terjadi cardiac arrest.Kejadian serupa dapat terjadi dimana saja, dikamar bedah atau
diluar kamar bedah.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan secara tim dan
secara individu melakukan resusitasi jantung paru dengan baik dan benar ,sebelum terlibat
atau terjun melakukan tindakan anesthesia
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan menjelaskan sebab
sebab cardiac arrest, mendiagnosis cardiac arrest, melakukan resusitasi jantung paru (RJP)
untuk bantuan hidup dasar, melakukan pembebasan jalan napas, melakukan pernapasan
buatan, melakukan kompressi dada luar, melakukan defibrillasi, memberikan obat obat
resusitasi, melakukan penilaian hasil resusitasi , menghentikan resusitasi dan/atau merujuk
pasien ke ICU pasca resusitasi. Kemampuan tersebut meliputi RJP pada pasien dewasa, anak
anak, dan neonatus baik dikamar operasi maupun diluar kamar operasi
1. RANAH KOMPETENSI
Kognitif
43
9. Mampu menjelaskan kompressi jatung/dada luar pada resusitasi jantung paru secara
benar (tempat tumpuan, frekuensi, kekuatan kompressi)
10. Mampu menjelaskan gambaran EKG pada cardiac arrest.
11. Mampu menjelaskan tentang defibrillasi pada cardiac arrest
12. Mampu menjelaskan farmakologi obat2an yang lazim dipakai pada RJP
13. Mampu menjelaskan hasil dari RJP
14. Mampu menjelaskan resusitasi otak (modul ICU)
15. Mampu mendiagnosis mati batang otak(modul ICU)
Psikomotor
1. Bila cardiac arrest terjadi dalam masa perioperatif, mampu berkomunikasi dengan
sejawat, dengan disiplin lain dan tenaga kesehatan lain untuk secara tim dapat melakukan
pertolongan RJP dengan menunjuk seorang atau bertindak sendiri sebagai kepala tim
(dari disiplin anetesi)
2. Mampu berkomunikasi secara kontinyu dengan keluarga pasien menjelaskan tentang
tindakan apa dan mengapa RJP dilakukan, perkembangan hasil RJP, sampai pasien
dirawat ICU dan bagaimana prognosisnya.
1. RJP dan Emergency Cardiac Care harus dipertimbangkan setiap saat pada pasien yang
tidak mendapat oksigenasi secara adekuat atau ada gangguan perfusi organ tidak hanya
setelah terjadi cardiac arrest
2. Ventilasi dan kompressi jantung/dada luar harus tidak boleh terlambat oleh tindakan
intubasi apabila jalan nafas telah bebas dengan jaw trust maneuver
3. Upaya intubasi harus berhasil dalam 30 detik.
4. Kompressi dada harus dilakukan segera bila ada pasien pulseless
44
5. Petugas kesehatan yang bertugas di rumah sakit, rawat jalan harus mampu melakukan
defibrilasi dini segera pada pasien dengan fibrilasi ventrikel.. Shock harus dilakukan
dalam waktu 3 ( 1min) arrest.
6. Lidocaine, epinephrine, atropine, dan vasopressin dan bukan Na-bikarbonat dapat
diberikan melalui kateter dalam pipa trakea. Dosis 2-21/2 kali dosis IV, diencerkan dalam
10ml aguadest atau NaCl 0.9% pada pasien dewasa.
7. Bila akses Intravena sulit, pada anak anak dapat dilakukan Introsseus
3. GAMBARAN UMUM
Cardiac arrest merupakan keadaan yang dapat terjadi dimana saja dan memerlukan tindakan
segera Resusitasi Jantung Paru. Peluang yang besar kejadian cardiac arrest selama anestesi
mengharuskan setiap peserta didik memiliki kemampuan melakukan RJP dengan baik. Tindakan
RJP merupakan suatu paket berupa Airway(A), Breathing(B), Circulation (C) yang sering disebut
Basic Life Support dan bila dilanjutkan dengan Drugs (D), pemeriksaan EKG (E) dan
Fibrillation treatment (F) merupakan Advanced Life Support dan bila harus masuk ICU disebut
sebagai Prolonged Life Support. Pada modul ini hanya dibatasi pada RJP basic life support. Bila
RJP baru dilakukan pada cardiac arrest yang telah berlangsung 4 menit, kemungkinan akan
timbul kerusakan otak irreversible.
Keberhasilan RJP bergantung dari cepatnya memulai RJP dan tehnik RJP yang benar.
Kemampuan ini tidak terbatas dimiliki dokter anestesi tetapi juga oleh dokter atau pertugas
kesehatan lain yang terlibat pada pelayanan emergency dan darurat, dimana peluang besar terjadi
cardiac atau respiratory arrest
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
5. METODE
45
RJP merupakan satu paket tindakan secara keseluruhan yaitu yang tidak dapat dipisah pisahkan
antara A, B, C, oleh karena itu metode yang dilakukan untuk mencapai tujuan juga tidak dapat di
pisah pisahkan.
Metode Pembelajaran:
Kognitif
Manekin based
1. Introductory lecture
2. Small group discussion, and feed backs.
1. Melakukan diagnosis cardiac arrest pada dewasa, anak anak, dan neonatus
3. melakukan pernapasan buatan dengan mouth to mouth atau dengan bag mask valve
46
6.MEDIA
8. EVALUASI
Pretest:
47
10. Kapan pasien indikasi rawat ICU
RJP.
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question) lisan
Beberapa pengamat
2. Psikomotor:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
Beberapa pengamat
4. Professionalism:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
5. Knowledge :
MCQ atau Essay (Pre test) dan Post Test
EMQ tertulis
Algorithm untuk cardiac arrest pada puleless cardiac arrest oleh karena VF, VT, PEA dan
Asystole (AHA Guidelines for CPR 2005)
48
PULSELESS ARREST
*BLS : Call for help, give CPR
*Give oxygen when available
*Attach monitor/defibrillator
2 when available 9
Shockable Check rhythm Not shockable Asystole/PEA
3
Shockable rhythm? 10
VF/VT
Resume CPR immediately for 5 cycles
When IV/IO available, give vasopressor
4
* Epinephrine 1mg IV/IO
Repeat every 3to5min
Give 1 shock or
*Manual biphasic: device specific * May give 1 dose of vasopressin 40U
(typically 120 to 200J) IV/IO to replace first or second dose of
If unknown, use 200J epinephrine
*AED: device specific
*Monophasic:360J Consider atropine 1mg IV/IO 11
Resume CPR immediately for asystole or slow PEA rate
Repeat every 3 to 5 min (up to 3 doses)
5 Give 5 cycles of CPR*
Give 5 cycles of CPR*
Check rhythm No
11
Give 1 shock
Monophasic: 360J Go to
If Asystole , go to box 10
Give 5 cycles of CPR* Box 4
If electrical activity, check
7 No pulse.If no pulse, go to Box
Check rhythm 10
Shockable rhythm?
49
Box 12
7
No
Check rhythm
Shockable rhythm?
Shockable
8
During CPR During CPR
Continue CPR while defibrillator is charging
*Push hard and fast (100/min)
Give 1 shock
Rotate compressors every
*Manual biphasic: device specific
*Ensure full chest recoil
2 minutes with rhythm
(same as first shock or higher dose)
checks
Note: If unknown use 200J
*Minimize interruption in Search for and treat possible
*AED :device specific
chest compressions
contributing factors:
*Monophasic : 360J
- Hypovolemia
Resume CPR immediately after the shock *One cycle of CPR:
- Hypoxia
Consider antiarrhythmics; give during CPR 30 compressions then 2breaths
- Hydrogen ion (acidosis)
placement
every 2 minutes.
9. REFERENSI
Algorithm untuk cardiac arrest pada puleless cardiac arrest oleh karena VF, VT, PEA dan
Asystole (AHA Guidelines for CPR 2005)
51
10. DAFTAR PENUNTUN BELAJAR
52
18. Melakukan resusitasi pada neonatus.
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
53
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardioppulmonary resuscitation (CPR) dikamar operasi
adalah tanggung jawab ahli anestesiologi, yang mengetahui lokasi dan fungsi alat resusitasi,
54
obat2an untuk resusitasi dan pembagian tugas. Pedoman dibawah ini telah dimodifikasi
mengikuti 2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resusucitation
and Emergency Cardiac Care.
Tidak terabanya denyut/pulsasi arteri perifer besar (carotis, radial atau femoral), tidak sadar.
EKG mungkin memperlihatkan asystole, ventricular fibrillation (VF), ventricular
tachycardia(VT), atau pulseless electrical activity (PEA).
Sebab paling sering cardiac arrest adalah: hypoxemia, gangguan keseimbangan asam-basa,
gangguan kalium, calcium, dan magnesium, hipovolemia, adverse drug effects, pericardial
tamponade, tension pneumothorax, pulmonary embolus, hypotermia, infark miokard.
Dengan cardiac arrest akan berakibat aliran darah yang efektif berhenti, hipokasia jaringan,
metabolisme anaerobik, dan kumulasi sisa metabolisme sell. Fungsi organ teganggu, dan
kerusakan permanen akan timbul, kecuali resusitasi dilakukan dalam hitungan menit(tidak lebih
dari 4 menit). Acidosis dari metabolisme anaerobik menyebabkan vesodilatasi sistemik,
vasokonstriksi pulmoner, an penurunan respons terhadap katekolamin.
A. Basic Life Support. Cardiac arrest harus selalu dicurigai pada pasien apapun yang tanpa
diharapkan jatuh tidak sadar. Bila tidak dapat dibangunkan, resusitasi ABCD (airway, breathing,
circulation, defibrillation) harus dilakukan setelah lebih dulu minta bantuan. Untuk penolong
tunggal/ sendirian pada setting orang awan ada aturan phone first/phone fast Untuk dewasa
dan diatas 12-14tahun dan semua anak anak dengan resiko disritmia dapat dilakukan automatic
external defibrillation (AED), kalau alat tersedia, sebelum resusitasi jantung paru (RJP) dimulai
oleh penolong yang sendirian.
1. Jalan napas dan pernapasan. Posisi kepala untuk pembebasan jalan napas, dibantu dengan
pemasangan pipa oro atau nasofaring. Napas spontan dinilai dengan observasi, merasakan dan
mendengar. Bila napas spontan tidak ada atau tidak efektif, lakukan bantuan napas buatan
dengan bag-valve mask (bvm) dengan oksigen 100%. Lakukan napas buatan dua kali lambat
pada tekanan rendah (untuk mencegah distensi gaster), dilanjutkan dengan 8 sampai 10kali napas
55
bantuan per menit. Bila ventilasi tidak mungkin, pikirkan akan adanya benda asing dijalan napas
dan bersihkan secara manual, lakukan Heimlich manuever, kompressi dada.
2. Sirkulasi. Sirkulasi dinilai dengan palpasi pada arteria carotis selama 5 detik. Bila tidak
teraba, lakukan kompresi dada luar. ( bila pulse teraba, tidak berarti bahwa tekanan arteri rata
rata adekuat, bila tidak ada napas, batuk batuk atau gerakan, kompressi jantung/dada luar boleh
dilakukan). Tempatkan pasien pada alas yang keras, kepala satu level dengan torak. Tumpuan
kompresi dada luar dilakukan dengan menempatkan pangkal tangan pada sternum diantara dua
nipple, tangan lain ditempatkan diatas tangan pertama. Ahli bedah dapat diminta bantuan untuk
melakukan tindakan tersebut. Lengan lurus, kompresi tegak lurus ke sternum, dengan kedalaman
1.5 2.0 inch ( 4-5cm) pada orang dewasa. Ratio kompressi :relaksasi 1:1 dengan laju kompresi
100x/menit. Pada pasien dengan posisi tengkurap yang tidak dapat dibuat telentang secara cepat,
seorang penolong dapat meletakkan kepalan tangan diantara subxiphoid dan meja operasi
sementara kompresi dilkukan pada punggung pada tempat yang sesuai. Ratio kompresi dada:
ventilasi adalah 30:2, pada dewasa dan anak bila hanya ada satu penolong. Bila ada dua
penolong dan sudah terpasang pipa endotrakeal atau laryngeal mask, ventilasi dapat diberikan 8
10 kali per menit dan kompresi dada harus diberikan dengan kecepatan kompresi 100 kali per
menit. Tanpa menunggu pause ventilasi.
3. Defibrillasi. Bila dirumah sakit harus dilakukan dalam waktu 3 menit. Atau dalam waktu 5
menit (sambil melakukan RJP dengan sangat baik) merupakan faktor utama yang menentukan
keberhasilan resusitasi karena ventricular fibrillation (VF) merupakan penyebab yang sering
pada cardiac arrest pasien dewasa. Adanya AED ditempat umum , defibrillasi dapat dilakukan
oleh tenaga seperti polisi, personil pemadam kebakaran, keamanan dan lain lain. Melalui
analisis frekuensi, amplitudo dan gambaran signal ECG, alat AED tersebut dapat digunakan
untuk indikasi shock atau tidak ada indikasi untuk shock.AED dipicu secara manual tidak secara
otomatik mendefibrillasi pasien.
4. Penilaian ulang RJP harus dinilai segera setelah dilakukan shock tanpa harus istirahat untuk
memeriksa pulse atau ritme dan harus dilanjutkan sampai lima cycles (atau kira kira 2 menit bila
pasien terintubasi) sebelum ritme dinilai ulang. Penolong harus memeriksa pulse bilamana ritme
yang teratur telah kembali. Bilamana tidak ada pulse atau tidak ada indikasi shock dengan AED,
RJP harus dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima cycles.
B. Advanced Cardiac Life Support (ACLS), termasuk pemasangan pipa endotrakeal, defibrillasi,
dan pemberian obat obatan, merupakan terapi definitif cardiac arrest. Protokol khusus
1. Intubasi, harus secara cepat dilakukan dengan interupsi kompresi dada dan seminimal
mungkin dan tanpa menunda defibrillasi, akan mengoptimalkan oksigenasi dan pengeluaran CO2
56
selama resusitasi. Bila ada alatnya dikonfirmasi dengan kapnografi. Jalur endotrakeal ini bisa
dipakai untuk memberikan obat bila akses Intra Vena sulit, misalnya naloxone, atropine,
vasopressine, epinephrine dan lidocaine (NAVEL). Obat diencerkan dengan 10ml NaCl steril
dan diberikan 2 sampai 3 kali.
2. Defibrillasi. Ventricle Tachycardia (VT) dan Ventricle Fibrillation (VF) bila berlangsung lama
aktifitas jantung menurun dan akan sulit untuk dikonversi ke ritme yang normal. Lakukan
defibrillasi sedini mungkin, tanpa melihat lapangan operasi. Itu merupakan tanggung jawab yang
melakukan defibrillasi agar anggota team resusitasi tidak kontak dengan pasien selama tindakan
defibrillasi.
3. Pacing, Heart block high-grade dengan bradikardia yang menonjol adalah etiologi cardiac
arrest. Pacing temporer harus dipasang bila heart rate tidak meningkat dengan terapi
farmakologik.. Pacing transcutaneus adalah cara yang mudah untuk meningkatkan rate ventrikel.
4. Akses intravena merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil. Tempat terbaik adalah
vena sentral, vena jugularis interna, vena jugularis externa, vena subclavia, vena femoralis atau
vena perifer dengan kateter panjang, atau pendek tetapi aliran harus lancar.
5. Obat obatan, ikuti ACLS. Obat obat yang dipakai pada keadaan hemodinamik tak stabil,
iskemia atau infark miokard dan aritmia.
57
a. Adenosine, untuk mengkonversi PSVT ke irama sinus, waktu paruh 5 menit, memperlambat
A-V konduksi nodal, menginterupsi jalur reentry A-V node. Ini dapat pula digunakan untuk
membantu membuat diferensial diagnosis supraventricular tachycardia ( misalnya atrial flutter
dengan rapid response versus PSVT). Dosis 6mg dengan bolus IV cepat. Bila PSVT tak berhasil
diatasi, dapat diberikan suntikan kedua dengan dosis 12mg. Pada anak anak dosis 0.1mg/kg;
doisi ulang o.2mg/kg; dosis maksimal 12mg.
b. Amiodarone obat yang paling bermanfaat dalam ACLS. Memiliki sifat sifat antiaritmia,
memperpanjang aksi potensial, blokade kanal natrium, kronotropik negatif. Obat ini sangat
efektif dan tidak memiliki efek prodisritmik, sehingga disukai sebagai antidisritmia pada
gangguan fungsi kardiak yang berat. Dosis untuk VF dan VT yang tidak stabil, 300mg
diencerkan dalam 20 30 ml NaCl 0.9% atau Dextrose 5% secara cepat. Untuk pasien dengan
kondisi lebih stabil dosis 150mg diberikan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan infus
1mg/menit selama 6 jam kemudian 0,5mg/menit. Dosis maksimal adalah 2g sehari. Efek
samping yang timbul segera adalah bradikardia dan hipotensi. Pada anak anak dosis loading
5mg/kg, dosis maksimum 15mg/kg/hari. Indikasi penggunaan amiodarone adalah: (1) VT tidak
stabil (2) VF sesudah gagal dilakukan defibrilasi elektrik dan terapi adrenalin. (3)
Mengendalikan laju jantung selama VT yang monomorphic, Vtpolymorphik (4) Mengendalikan
laju ventrikel pada aritmia atrium yang tidak berhasil dengan terapi digitalis. Atau bilamana
takikardia sekunder oleh jalur lain. (5) Bagian dari kardioversi elektrik PSVT yang refrakter atau
takikardia atrial.
c.Atropine bermanfaat pada bradikardia atau A-V block. Ini meningkatkan laju irama sinus dan
meningkatkan konduksi A V node oleh karena efek vagolitik.
Dosisi atropine untuk bradikardia atau A-V block adalah 0.5mg diulang tiap 3-5 menit sampai
dososis total 0.04mg/kg. Untuk asystole, atropine diberilan 1mg bolus diulang tiap 3 5 menit
bila perlu.
Blok vagal total dicapai bila dosis kumulatif 3mg. (PALS:0.02mg/kg; dosis minimal 0.1mg,
dosisi maksimal 0.5mg pada anak, 1.0mg pada adolesence
d. Beta blocker (atenolol, metoprolol dan propanolol) sudah dipakai untuk pasien pasien dengan
unstable angina, infark miokard. Obat obat ini mengurangi iskemia rekurens, reinfark nonfatal,
VF postinfark. Kontrast dengan Penghambat calcium, beta blockers bukan inotrop negatif direk.
Esmolol, berguna pula untuk terapi akut PSVT, AF, Atrial flutter, ectopic atrial tachycardia. .
Dosis initial dan lanjut bila tolerans adalah: atenolol, 5mg selama 5 menit, ulangi sekali pada
10menit; metoprolol, 5mg sebanyak tiga kali setiap 5menit; propranolol, 0,1mg/kg dibagi dalam
tiga dosis setiap 2 -3 menit; esmolol, 0.5mg/kg dalam 1menit dilanjutkan dengan infus mulai dari
50mikrogram/menit.dan titrasi sampai 200mikrogram/menit. Kontraindikasi adalah heart block
derajat dua atau tiga, hipotensi dan congetsive heart failure berat. Atenolol dan metoprolol, relatif
lebih beta-1 blocker, lebih disukai daripada propranolol pada pasien dengan jalan napas reaktif.
58
Sebagian besar pasien dengan penyakit obstruktif menahun, umumnya tolerans terhadap beta-
blockers.
e. Calcium diindikasikan pada pasien cardiac arrest hanya bilamana dicurigai ada hiperkalemia,
hipermagnesemia, hipocalcemia, atau toksik karena calcium channel blockers. Calcium chloride
5 10 mg/kg IV, dapat diulang bila perlu. (PALS: 20mg/kg)
g. Dopamine memiliki aktifitas dopaminergik (pada dosis kurang dari 2mikrog/kg/menit), beta-
adrenergik (pada 2 5 mikro/kg/menit), dan alpha adrenergik (pada 5 10mikro/kg/menit). Tapi
efek adrenergik tersebut dapat terjadi pada dosis terendah sekalipun. Mulai dengan
150mikro/menit dan titrasi sampai efek yang diinginkan (urine, tekanan darah meningkat, heart
rate meningkat).
h. Epinephrine masih merupakan terapi farmakologik utama pada cardiac arrest , meskipun
sedikit bukti akan memperbaiki survival. Efek vasokonstriksi alpha-adrenergik pembuluh
noncerebral dan noncoroner menimbulkan kompensasi shunting darah ke otak dan jantung. Dosis
tinggi tidak dianjurkan karena dapat ikut menimbulkan disfungsi miokard.
Dosis tinggi diindikasikan pada overdosis beta-blockers atau Ca-channel blockers. Dosis yang
dianjurkan adalah 1.0mg IV, ulangi tiap 3-5 menit, atau pemberian infus 1-4mikro/menit.
Epinephrine juga dipakai untuk bradikardia simptomatik (PALS: bradikardia 0.01 mikro/kg;
pulse arrest: 0.01mg/kg)
i.Isoproterenol adalah beta-1 dan beta-2 agonist adrenergik. Ini merupakan obat second line
untuk mengatasi bradikardia yang tidak responsive terhadap atropine dan dobutamin dimana
pacemaker temporer tidak tersedia. Aktivitas beta-2 dapat menyebabkan hipotensi. Isoproterenol
diberikan dengan IV 2 10mikro/menit, dititrasi untuk mencapai heart rate yang diinginkan.
59
k. Magnesium adalah kofaktor dalam bermacam reaksi enzim termasuk Na, K-ATP ase.
Hipomagnesemia dapat mencetuskan VF yang refrakter sekaligus eksaserbasi hipokalemia.
Penggantian magnesium efektif untuk torsade de pointes akibat pemberian obat. Dosis untuk
keadaan segera 1 2 g dalam Dekstrose5% dalam 1 -2 menit. Efek samping dengan pemberian
cepat adalah hipotensi dan bradikardi (PALS: 25-50mg/kg, dosis maksimal 2g).
l.Oksigen (100%) harus diberikan pada semua pasien cardiac arrest, dengan/ tanpa napas bantu.
m.Procainamide mungkin bisa dipertimbangkan pada pasien pasien dengan yang masih ada
cadangan fungsi ventrikel. Loading dose adalah 20mg/menit sampai aritmia dapat tersupresi,
timbul hipotensi, kompleks QRS melebar 50% dari nilai asal atau dosis total 17mg/kg tercapai.
Bila aritmia dapat diatasi, infus maintenance 1 4 mg/menit harus dimulai, dosis kurangi bila
ada gagal ginjal.
n.Natrium bikarbonat pada cardiac arrest dapat memperburuk karena dapat menimbulkan
asidosis intraselular paradoksal. Ini dapat dipertimbangkan bila standar protokol ACLS gagal
dengan adanya asidosis metabolik berat, dan ini bisa membantu terpai hiperkalemia atau
keracunan anti depressant tricyclic.. Dosis awal 1mEq/kg IV, dengan dosis berikut 0.5mEq/kg
diberikan setiap 10menit (dipandu dengan nilai pH dan PaCO2). (PALS: 1mEq/kg)
o. Vasopressin, sebuah antidiuretik dan pressor bisa dipakai untuk pengganti dosis 1 dan dosis
2 epinefrin, pada terapi pulseless arrest (40unit IV), lebih efektif daripada epinefrin, konstriksi
otot polos vaskular pada dosis tinggi. Lebih efektif dalam mempertahankan coronary perfusion
pressure dan half life lebih panjang 10 20 menit.
6. Open chest direct cardiac compression bila ada sumber daya yang memadai untuk pengelolaan
trauma tembus dada, trauma abdominal dengan cardiac arrest, pericardial tamponade,
hypothermia, or pulmonary embolism. Kompresi langsung juga diindikasikan untuk pasien
pasien dengan kelainan antomi pada dada yang menyebabkan kompressi dada tertutup sulit.
7. Pengakhiran RJP. Tidak ada guidelines yang mutlak menentukan kapan mengehentikan
resusitasi yang tidak berhasil, tetapi peluang survival kecil setelah berlangsung 30menit. Ini
merupakan keputusan yang harus diambil oleh dokter yang bertugas untuk menentukan kapan
kardiovaskular gagal merespons bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjut dan bahwa
pasien telah meninggal.
60
Resusitasi pada Pediatri
A. Basic Life Support. Kebutuhan untuk RJP pada pediatri setelah masa neonatus jarang.
Cardiac arrest pada pediatri biasanya karena hipoksemia terkait dengan gagal napas atau
obstruksi jalan napas. Pediatri meliputi infants ( usia 1bulan sampai 1tahun), anak anak (1
sampai 8 tahun). Untuk anak anak lebih besar dari 8tahun, resusitasi sama dengan dewasa.
Perbedaan resusitasi pada anak anak dan dewasa:
1. Airway dan breathing. Tindakan menjaga jalan napas sama dengan dewasa. Anak anak
kurang dari 1tahun, abdominal thrust tidak digunakan karena mudah merusak traktus digestif.
Hiperekstensi kepala leher neonatus head tilt/chain lift dapat menimbulkan obstruksi jalan napas.
Kompressi submental saat chin lift dapat menimbulkan obstruksi jalan napas karena lidah
terdorong ke dalam faring. Ventilasi harus diberikan secara lambat dengan tekanan jalan napas
rendah guna mencegah distensi gaster dan harus diberikan volume ventialsi yang baik
2.Circulation. Pada infant arteri brachialis dan arteri fmoralis dipakai untuk menilai denyut,
karena arteri karotis sulit diraba. Tidak ada denyut, kompresi dada dimulai dengan ratio
kompresi/relaksasi 1:1. dengan dua ujung jari atau dengan memegang sedemikian rupa sehingga
dengan kedua ujung ibu jari. Tempat tumpuan kompresi adalah di sternum satu jari dibawah
garis intermamiler. Pada anak lebih besar tempat tumpuan sama dengan dewasa, kompressi
dilakukan hanya dengan satu tangan menekan sternum sedalam 1/3 sampai kedalaman
anterior posterior torak. Untuk satu penolong ratio kompresi/ventilasi 30:2. Untuk dua penolong
15:2. Pernapasan diberikan 8 sampai 10 kali permenit, dan kompressi dada diberikan dengan
kecepatan 100 per menit.
B. Pediatric advanced life suppot. Sebagian terbesar cardiac arrest pediatri menunjukkan
gambaran EKG asistole atau bradikardia daripada aritmia ventrikel. Pada anak kurang 1tahun,
etiologi adalah idiopatik atau pernapasan. Perbedaan anatomi dan fisiologi dewasa dan anak anak
memerlukan setting defibrilator dan dosis obat berdasarkan berat.
1.Intubasi. Ukuran ETT berdasarkan pada usia pasien (= 4 +(usia/4) untuk anak anak usia
diatas 2 tahun. Gunakan ukran lebih kecil untuk ETT dengan cuff. Atropine, epinephrine,
lidocaine, atau nalokson dapat diberikan melalui ETT sebelum ada akses vena.
2. Defibrilasi. Defibrilator paddles untuk infant adalah dengan diameter 4,5cm dan untuk anak
lebih besar 8cm. Untuk alat monophasic dan biphasic level energi 2J/kg untuk awal shock dan
4J/kg satu level paling rendah yang sebelumnya telah menunjukkan keberhasilan. Hipoksema,
asidosis dan hipotermia harus dipertimbangkan sebagai penyebab arrest yang dapat diobati bila
upaya defibrilasi tidak berhasil. Untuk kardioversi mulai dengan energi 0,2J/kg, dinaikkan
sampai 1J/kg bila diperlukan.
61
3. Akses intravena. Akses vena sentral lebih disukai, tetapi bila ada jalur IV perifer harus segera
dipakai jangan ditunda2. Vena femoralis masih bisa dipakai denga kateter khusus yang cukup
panjang. Cara intraosseus dapat dipakai pada anak anak, dengan jarum khusus ditusukkan ke
bagian spongiosa tibia hindari epiphysis tibia, mencapai akses sinus vena sumsum tulang. Bila
tak satupun diatas tersedia, dapat diberikan melalui ETT dengan pengenceran 2 5 ml NaCl.
4.Medikasi. Semua obat yang dipakai pada ACLS dewasa dapat diberikan pada anak anak
(PALS) disesuaikan berat badan anak.
Resusitasi Neonatus. Neonatus adalah usia 28hari pertama kehidupan. Sesorang yang sudah
mahir dalam resusitasi neonatus harus hadir pada setiap persalinan. Resusitasi dibagi dalam 4
fase: stimulasi dan suctioning, ventilasi, kompressi dada dan pemberian obat dan cairan
resusitasi. Resusitasi sering diperlukan pada operasi Cesar emergensi atas indikasi fetal distress.
Dokter anestesi harus mengambil alih dalam terapi bayi baru lahir sampai ahli anak tiba.
A. Penilaian. Resusitasi segera neonatus merupakan hal yang sulit, karena hipoksemia berat
akan terjadi dengan cepat dan akan timbul ulang pada asidosis respirasi, sirkulasi fetal resisten
dan right-to-left shunt. Neonatus yang membutuhkan resusitasi cenderung mengalami rihgt-to-
left shunt.
1. Apgar score merupakan penilaian obyektif kondisi fisiologik bayi baru lahir pada 1 dan 5
menit sesudah lahir.
2. Apgar score 0-2 harus dilakukan RJP. Skor 3-4 memerlukan ventilasi bag dan mask dan
mungkin memerlukan resusitasi lebih lanjut. Suplemen oksigen dan stimulasi secara normal
cukup untuk bayi dengan skor 5 7. aktifitas respirasi harus dievaluasi dengan mengamati
gerakan dada dan auskultasi. Heart rate (HR) diperiksa dengan auskultasi atau perabaan
pembuluh umbilicalis.
1. Stimulasi dan suctioning. Tempatkan dalam lingkungan hangat untuk menghindarkan heat
loss dan exacerbasi asidosis. Letakkan dalam posisi Trendelenberg dengan posisi sniffing
untuk membuka airway dan mempermudah drainase sekresi. Mulut dan hidung harus di suction
(dengan alat khusus) untuk mengeluarkan darah, mukus, meconium. Suction paling lama
10detik, dan oksigen diberikan antara 2 upaya suction. Selama suction, denyut jantung harus
dipantau, terhadap timbulnya bradikardia akibat hipoksemia, refleks vagal atau stimulasi faring.
Suctioning dan mengeringkan merupakan stimulasi pernapasan yang adekuat. Cara lain
adalah secara lembut menggosok punggung atau menepuk telapak tumit kaki. Bayi lahir dengan
meconium dalam air ketuban, ahli obstetri melakukan suction jalan napas saat kepala lahir tetapi
torak belum lahir (intrapartum suctioning), tapi cara ini secara rutin tidak memberikan hasil lebih
62
baik terhadap risiko aspirasi, karna itu sudah tidak dianjurkan lagi. Suction melalui ETT tak
manfaat untuk bayi yang usaha napas kuat, tonus otot bagus, heart rate >100 kali/menit. Suction
melalui ETT harus dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan meconium dan diulangi
sampai trakea bersih. Tiap suction harus singkat untuk cegah bradikardia.
>100/menit tetapi tampak sianosis sentral ( wajah, tubuh dan membran mukosa), harus diberikan
suplemen oksigen. Sianosis akral (hanya dikaki dan tangan) biasanya normal dan tidak reliabel
menilai indikator hipoksemia. Ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% bila apnea, sianosis
dan HR <100x/menit. Bag dan mask harus dupayakan awal. Napas awal bisa memerlukan airway
pressure 30-40cm H2O tahan selama 2 detik. Semua napas harus dijaga dengan tekanan serendah
mungkin (pastikan paru mengembang dan cegah distensi lambung). Lakukan terus napas bantu
sampai napas spontan adekuat dan HR>100x/menit. ETT dipasang bilamana ventilasi dengan
mask tidak efektif, memerlukan suction melalui ETT (aspirasi meconium), atau memerlukan
ventilasi berkepanjangan.
3.Kompressi dada. Untuk HR <100, harus dievaluasi setelah pemberian ventilasi adekuat
dengan oksigen 100% selama 30detik. Bila HR <60 kompresi dada harus juga dilakukan
disamping bantuan napas. Dilakukan pada sepertiga bawah dari sternum, dan kompressi dada
sedalam 1/3 kedalaman antero-posterior. Kompressi dan ventilasi harus dikoordinasikan dengan
ratio 3:1, dengan 90kompressi dan 30 napas sehingga dalam 1 menit diperoleh 120 kali upaya.
Kompressi dihentikan seiap 30detik untuk menilai ulang respirasi, HR, warna dan harus
dilanjutkan terus sampai HR spontan >60x/menit
4.Pemberian obat obat dan cairan resusitasi . Obat obat resusitasi harus diberikan bila HR
masih <60x/menit kalaupun ventilasi sudah adekuat dengan oksigen 100% dan kompressi dada.
Vena umbilikalis, terbesar dan tertipis diantara 3 pembuluh darah dalam tali pusat, merupakan
akses vaskuler untuk resusitasi neonatus. Bila tak ada akses vaskuler, epinephrine, atropine,
lidocaine, naloxone, larutkan dalam 1 2 mL. dapat diberikan melalui ETT.
a. Suplemen oksigen harus diberikan pada waktu ventilasi tekanan positif. Berikan oksigen bila
napas spontan, tetapi ada sianosis sentral. Dianjurkan untuk tidak memberikan oksigen 100%
dalam waktu lama.
63
c.Naloxon adalah antagonis spesifik untuk opiate diberikan bila ada depressi napas pada
neonatus sekunder karena pemberian narkotik pada ibunya. Dosis 0.1mg/kg. Harus selalu
diobservasi akan timbulnya ulang depressi atau terjadai reaksi withdrawal.
d. Pemberian Sodium bicarbonate secara rutin tidak dianjurkan. Dapat dipertimbangkan selama
arrest yang berkepanjangan untuk mengatasi depressi fungsi miokard dan penurunan kerja
katekolamin yang ditimbulkan oleh asidosis. Perdarahan intraventrikuler pada bayi prematur
terjadi karena beban osmolar yang terjadi karena pemberian Na-bikarbonat. Preparat untuk
neonatus 4.2% atau 0.5mEq/mL dapat menghindarakan efek samping diatas. Dosis awal
1mEq/kg intavena diberikan selama 2menit. Selanjutnya 0.5mEq/kg diberikan setiap 10menit
dan pH dan PaCO2 harus selalu diperiksa.
e. Atropine, Calcium, Glucose tidak dianjurkan pada resusitasi neonatus kecuali dengan indikasi
khusus.
f. Cairan. Hipovolemia harus dipertimbangkan pada perdarahan peripartum atau bila hipotensi,
nadi lemah, tetap pucat sekalipun sudah dilakukan oksigenasi dan kompressi dada. Cairan yang
digunakan kristalloid 10ml/kg dan diulang bila perlu. Pemberian volume expander seperti
albumin secara cepat dapat menimbulkan perdarahan intraventrikuler.
64
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang BEDAH (Bedah, Kebidanan dll)
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
3. Millers Anesthesia 6th ed 2005.
4. Perioperative Medicine, Gillman, J,1998
5. Perioperative Care, Stone,DJ,2004
65
untuk pasien ASA 1 dan 2 yang dilakukan pembedahan untuk mengurangi morbiditas bedah,
meningkatkan kualitas asuhan perioperatif dan menghemat biaya.
a. Kognitif
b. Psikomotor
c. Komunikasi/hubungan interpersonal
i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan
menghormati.
66
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien kepada sejawat senior atau
konsulen.
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta
risiko yang bisa terjadi.
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim diantara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar operasi.
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan
rasa tidak nyaman pasca bedah.
d. Profesionalisme
3. Key notes
a. Sasaran utama asesmen medik pra bedah dan pra prosedur pasien yang akan
menerima anestesia adalah untuk menurunkan angka kematian bedah, meningkatkan
kualiytas asuhan medik tetapi menurunkan biaya asuhan perioperatif dan pasien
kembali dengan fungsi yang diinginkan secepat mungkin.
b. Evaluasi dasar untuk pra bedah dan pra prosedur adalah data yang memperlihatkan
kondisi pasien dan optimasi asuhan perioperatif yang menjadi prediktor
signifikan untuk kematian pasca bedah.
c. Evaluasi pra bedah dan pra prosedur mengajukan oportuniti untuk memotivasi pasien
agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih tinggi dengan demikian memperbaiki
outcome secepatnya dan peningkatan jangka panjang.
d. Tiga area riwayat cepat yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah toleransi
latihan, riwayat penyakit sekarang dan kapan kunjungan akhir pasien ke rumah sakit
(primary care physician).
e. Tiga aspek riwayat menahun yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah
pengobatan alasan pemakaiannya serta alergi; riwayat sosial, termasuk obat (drug),
alkohol, pengunaan rokok dan penghentiannya; riwayat keluarga dan penyakit
sebelumnnya.
f. Tiga aspek pemeriksaan fisik adalah, jalan napas, kardiovaskular dan evaluasi paru.
67
g. Pada umumnya, tidak banyak benefit yang didapat tes laboratorium yang tak
terindikasi, dan tes sebaiknya dicadangkan untuk yang condong menghasilkan
meningkatkan mengobatan atau pencegahan problem potensial.
h. Prosedur bedah yang luas mempengaruhi kebutuhan tes rutin sedangkan prosedur
dengan risiko ringan tidak atau sedikit memerlukan tes diagnostik.
4. Pokok Bahasan
a. Definisi Kedokteran Perioperatif
b. Perubahan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan
c. Pemeriksaan laboratorium darah, fungsi ginjal, fungsi hati, dan endokrin
d. Membaca foto toraks dan elektrokardiogram
e. Faktor-faktor yang menentukan risiko perioperatif
f. Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia)
g. Penatalaksanaan Anestesia Umum
h. Monitoring
i. Pengelolaan pasca anestesia
j. Pengelolaa nyeri pasca bedah (Modul Pengelolaan Nyeri)
6. Metode:
a. Pretest
b. Kognitif
i. Kuliah pendahuluan
68
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis masalah
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien
c. Psikomotor
i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah
d. Komunikasi/hubungan interpersonal
i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah
e. Profesionalisme
i. Pengelolaan pasien berdasarkanmasalah
7. Sumber Pembelajaran
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet
8. Media
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
9. Alat Bantu
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
10. Evaluasi
a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
3. KUNJUNGAN PRAANESTESI
B. Persiapan STATICS
70
E. Pemantauan selama anestesia
G. Penanggulangan nyeri
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
71
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
72
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
73
MODUL 5 : KEDOKTERAN PERIOPERATIF II
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
Laptop
OHP
Flipchart
Video player
Materi presentasi:
CD PowerPoint
Sarana:
Ruang belajar
Ruang pemeriksaan
Ruang Pulih
74
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
1.Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
pengetahuan dan ketrampilan melakukan anestesia umum dan anestesi regional
2.Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
kemampuan:
a. Kognitif
75
xi.Mampu menjelaskan indikasi pasien rawat ICU
b. Psikomotor
i. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting yang terkait dengan tindakan anestesia
dalam rekam medik preoperative
ii. Mampu mengoptimalkan kondisi pasien dengan riwayat penyakit atau kelainan
preoperatif
iii. Mampu mempersiapkan alat anestesia umum atau regional yang diperlukan
iv. Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar
v. Mampu melakukan tindakan anestesia umum yaitu premedikasi, induksi, intubasi
trakhea atau LMA atau sungkup muka, pemeliharaan anestesia, dan pengelolaan pasca
anestesia
vi. Mampu melakukan tindakan anestesi regional (Biers, SAB) dan pengelolaan pasca
anestesianya
vii. Mampu memasang alat monitor invasif dan non invasif dengan benar
viii. Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan segera
sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia
ix. Mampu melakukan pencatatan rekam medik anestesia secara benar pada tindakan
yang dilakukan pada butir 2
x. Mampu melakukan penanggulangan nyeri pasca bedah
xi. Mampu menilai pasien yang indikasi rawat ICU
c. Komunikasi/hubungan interpersonal
i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien dan kemungkinan untuk
dilakukan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien kepada sejawat senior atau konsulen
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko
yang bisa terjadi
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim diantara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar operasi
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan rasa
tidak nyaman pasca bedah
vi. Mampu memperoleh kemudahan agar pasien dapat di rawat di ICU atau ruang rawat
lain sesuai kondisi pasien pasca bedah
d. Profesionalisme
76
iii. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedik dan tenaga
kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing
iv. Mampu menjaga kerahasian pasien
v. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien
vi. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien
3. Key-notes
i.. Faktor kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol dan ketergantungan
merupakan problem yang harus dipertanyakan dan menjadi konsideran dalam
persiapan perioperatifp
ii. Penyakit penyerta selainan bedah yang akan menentukan nilai ASA menyadi
pertimbangan tersendiri dalam persiapan perioperatif.
iii. Obat yang diberikan pada pasien sebelum pembedahan dapat berinteraksi dengan
obat-obat yang akan diberikan selama anestesi yang menjadi pertibangan apakah
diteruskan , dihentikan atau perubahan dosis selama perioperatif.
4. Pokok Bahasan
4. Waktu : Semester II
5. Metode:
a. Pretest
77
iii. Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan riwayat diabetes mellitus pada operasi
berencana dan darurat
iv. Jelaskan cara mengoptimalkan pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner
pada operasi berencana dan darurat
v. Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus
dipersiapkan untuk melakukan anestesi umum ataupun regional
vi. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama
tindakan anestesia umum ( pada butir 2-4)
vii. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada tindakan anaestesia regional (pada
butir 2-4)
viii. Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan
ix. Jelaskan cara mengakhiri tindakan anestesia
x. Jelaskan pengelolaan pasien pasca anestesia termasuk penanggulangan nyeri
xi. Jelaskan indikasi masuk pasien ke ICU
b. Kognitif
i. Kuliah pendahuluan
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis masalah
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien
c. Psikomotor
i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah
d. Komunikasi/hubungan interpersonal
i. Supervisi klinik
ii. Pengelolaan pasien berdasarkan masalah
e. Profesionalisme
6.Sumber Pembelajaran
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet
78
7. Media
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
8. Alat Bantu
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
9. Evaluasi
a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments
c. diabetes mellitus
g. pengelolaan nyeri
79
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
3. KUNJUNGAN PRAANESTESI
B. .Persiapan STATICS
G. Penanggulangan nyeri
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
80
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
1. PERSIAPAN PRAANESTESI
a. Persiapan STATICS
a. Penanggulangan nyeri
81
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
82
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
83
MATERI ACUAN
11. URAIAN:
11.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anestesia/pembedahan,
dalam anestesi/pembedahan dan sesudah anestesi/pembedahan.
b. Ruang lingkup
Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anestesia dan
pembedahan, pengaruh anestesia dan pembedahan terhadap fisiologi tubuh dan risiko
maupun komplikasi yang diakibatkannya.
a. Risiko Perioperatif
Risiko yang berhubungan dengan anestesia dan pembedahan dapat diklasifikasikan
dalam:
1. risiko yang berhubungan dengan kondisi pasien
2. risiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. risiko yang berhubungan fasilitas termasuk sumber daya manusia di rumah sakit
4. risiko yang berhungan dengan obat atau teknik anestesia
c. Tanggapan fisiologi yang terjadi akibat pembedahan :
1. Pengaruh langsung obat anestesi terhadap sekresi hormone-hormon: ACTH,
cortisol, antidiuretik, tiroid, katekolamin, system renin-angiotensin-aldosteron,
insulin dan metabolisme glucose.
2. Pengaruh langsung obat anestesi terhadap system respirasi dan kardiovaskuler
d. Penilaian prabedah meliputi:
1. penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya
2. mengidentifikasi factor-faktor risiko anestesi, dan bila bermakna pasien harus
diberitahu
3. mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesi dan
pembedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb.
4. menentukan status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA)
5. merencanakan teknik anestesi dan pengelolaan perioperatif seperti terapi cairan dan
transfusi darah
6. menmperkenalkan diri kepada pasien agar dapat megurangi kecemasan dan akan
mempermudah dalam melakukan induksi anestesi
7. memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan atau dihentikan
pada hari pembedahan
8. mempersiapkan obat-obat premedikasi
d. Instruksi praanestesi kepada perawat ruangan harus tertulis dengan jelas meliputi:
1. pemeriksaan penunjang tambahan
2. lamanya puasa
3. persiapan darah atau produk darah, golongan darah dan jumlah yang diperlukan
4. jenis obat yang harus terus diberikan atau dihentikan pada hari pembedahan
84
5. terapi inhalasi pada pasien PPOK atau riwayat asma
6. pemasangan infus dekstrosa pada pasien diabetes
7. obat premedikasi: dosis, cara dan waktu pemberian
e. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan:
6. uji fungsi hati: pada pembedhan besar pasien umur > 50 tahun
85
ii. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkhiektasi, penyakit
paru restriksi
8. Uji fungsi hati
i. Penyakit hepatobilier
ii. Riwayat peminum alkohol
iii. Tumor dengan kemungkinan metastase ke hati
9. Uji hemostase dan koagulasi darah
i. Penyakit/kelainan darah
ii. Penyakit hati berat
iii. Koagulopati apapun sebabnya
iv. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
10. Uji fungsi tiroid
i. Riwyat penyakit tiroid
ii. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
iii. Bedah tiroid
11. Uji fungsi jantung: Echocardiography
i. Penyakit jantung
ii. Kelainan EKG yang bermakna
g. Terapi cairan perioperatif
1. menilai volume intravaskuler
i. pemeriksaan klinik
1. kesadaran
2. turgor kulit, suhu ujung-ujung ekstremitas
3. tekanan nadi, laju nadi, tekanan darah terhadap perubahan posisi
4. urin output
5. tampak perdarahan atau kehilangan cairan (muntah)
ii. pemeriksaan laboratorium
1. kadar hemoglobin dan hematokrit
2. kadar urea dan elektrolit
3. analisis gas darah, laktat darah
4. BJ urin, natrium urin
iii. pengukuran hemodinamik
1. tekanan vena sentral
2. tekanan arteri pulmoner
3. saturasi vena sentral
2. terapi cairan selama pembedahan
i. cairan pemeliharaan
ii. cairan pengganti defisit
iii. cairan pengganti perdarahan
3. terapi cairan pasca bedah: dapat diberikan berdasarkan
i. pembedahan non digesti dengan anestesia regional
ii. pembedahan minor non digesti dengan anestesia umum
iii. pembedahan mayor, atau pembedahan digestif
4. jenis cairan
i. cairan kristaloid
86
1. cairan hipotonik
2. cairan isotonik
3. cairan hipertonik
ii. cairan koloid
1. cairan koloid sintetik
a. cairan starch
b. cairan gelatin
2. cairan koloid derivat darah
a. human albumin
b. fraksi protein plasma
Pasien yang akan menjalani operasi dan anestesi wajib dikunjungi oleh seorang anestesiolog.
Hal-hal yang harus dilakukan adalah :
Riwayat anestesia
Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai.
Melakukan evaluasi hasil pemeriksaan laboraturium
Anestesiolog sebaiknya membiarkankan pasien untuk mengajukan pertanyaan.
Mencatat kegelisahan pasien
Menginformasikan rencana pembiusan
Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal berikut yang ditemukan pada anamnesis
87
4. Sistem kardiovaskuler : toleransi latihan, nyeri angina,
dekompensasi cordis, hipertensi yang tidak diterapi.
5. Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan anestesi
untuk mengurangi mual muntah pasca operasi
6. Riwayat kehamilan dan menstruasi.
7. Kebiasaan pasien ; merokok, minum alkohol, adiksi obat.
Penilaian preoperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang
komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog.
1. Tanda-tanda penyakit pernafasan : pola dan karakter pernafasan seperti dispneu, adanya
suara tambahan pada auskultasi, jari tabuh, sianosis. Gejala-gejala tambahan yang perlu
didiskusikan lagi pada kondisi-kondisi tertentu, seperti :
Pemeriksaan fisik
88
Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fungsi pernafasan dan terkadang
direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana
yang dapat dilakukandalam klinik adalah :
a. Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas
dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30
detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15
detik mengindikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi.
b. Tes Snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inci dari depan mulut.
Ketidakmampuan melakukan tes Snider mengindikasikan forced expiratory volume dalam
satu detik kurang dari satu liter.
Penyakit jantung yang serius hampir selalu berhubungan dengan gejala dan tanda yang jelas
seperti nyeri dada sewaktu aktivitas, dispneu, hemoptisis, sinkope, palpitasi dan edema. Tetapi
iskemik miokardium akut dapat terjadi tanpa gejala yang jelas.
Pemeriksaan fisik
Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin
pada pembuluh darah kapiler.
Sianosis perifer berhubungan dengan peningkatan ekstraksi oksigen pada jaringan
berhubungan dengan penurunan aliran darah kapiler pada kulit. Hal ini terjadi saat cardiac
output menurun ; pada pasien yang normal ; berhubungan vasokonstriksi perifer saat terpapar
dingin.Pada sianosis sentral, kulit tetap hangat dan perubahan warna juga terlihat pada lidah
akibat tercampurnya darah yang mengalami desaturasi dan yang mengalami oksigenasi pada
jantung, pembuluh darah besar atau paru-paru.
Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi
volume dan karakter gelombang nadi hana dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis.
Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal
5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin dapat berubah akibat pembesaran
jantung atau faktor ekstrakardiak lain. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting
dibanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut.
Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara
jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi.
Murmur adalah bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik
tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat-tempat tertentu. Diastolik
murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murmur sistolik dengan tanpa
adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organik.
Adanya thrill mengindikasikan adanya penyakit jantung organik.
89
3. Status Gizi : obesitas atau malnutrisi
6. Jalan nafas,
Investigasi
Secara umum diterima bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisik adalah metode terbaik untuk
skrining yang terbaik untuk menentukan adanya suatu penyakit. Sebelum meminta suatu
pemeriksaan yang lebih lanjut, seorang anestesiolog harus bertanya pada dirinya sendiri,
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
Apakah investigasi ini menyedialan informasi yang tidak bisa disingkap oleh
pemeriksaan fisik ?
Apakah hasil dari pemeriksaan akan mengubah penatalaksanaan pasien ?
Perlu dicatat bahwa hal-hal ini hanya merupakan panduan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan
penilaian yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Anestesiolog disarankan untuk tidak menerima pasien pembedahan elektiof sampai investigasi
yang sesuai tersedia. Tes sederhana yang diindikasikan adalah sebagai berikut :
90
Penyakit hepar
Status nutrisi abnormal atau penyakit metabolik
Riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (>80 g/ hari)
4. Konsentrasi gula darah
Pengukuran gula darah diperlukan pada pasien yang mempunyai penyakit diabetes
atau penyakit vaskular atau sedang mendapat terapi kortikosteroid.
5. Status sickle
Pasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan adanya
hemoglobinopathy hendaknya dilakukan pengukuran konsentrasi hemoglobin dan
elektroforesis hemoglobin
Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispnea saat istirahat dan
pada pasien dengan rencana akan dilakukan torakotomi elektif
7. Roentgen thoraks
Roentgen thoraks tidak diperlukan secara rutin pada pasien di bawah usia 60
tahun tetapi harus dilakukan pada situasi :
1. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisik penyakit jantung atau penyakit
respirasi.
2. Jika terdapat kemungkinan metastasis dari karsinoma
3. Sebelum operasi thoraks
4. Pada imigran yang baru, dalam 12 bulan terakhir dari negara-negara dengan
endemik TBC
Roentgen thoraks umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua
pasien dengan penyakit paru. Hal-hal yang penting adalah apakah terdapat deviasi
trakhea atau distorsi, apakah terdapat deformitas pada dinding thoraks, dan
apakah terdapat kelainan lokal pada paru-paru atau pleura yang mungkin
terlewatkan pada pemeriksaan fisik.
Roentgen thoraks seringkali kurang memperlihatkan adanya kelainan fungsi paru
9. Fungsi paru
Tes fungsi paru dilakukan sebagai tambahan, bukan sebagai pengganti penilaian klinis.
Tes ini diindikasikan ketika diperlukan :
Rasio FEV1.0 : FVC menurun pada penyakit paru obstruktif dan normal pada penyakit
restriktif.
10. Elektrokardiogram
Pengukuran saturasi oksigen arterial udara nafas dan konsentrasi oksigen tinggi
memberikan indeks pertukaran gas pulmoner yang cepat dan berguna
12. Echogardiogram
Ini merupakan tes noninvasif yang sangat berguna yang memperlihatkan abnormalitas
anatomi dari jantung, menilai fungsi ventrikel dan gradien tekanan yang melalui katup
yang mengalami stenosis, dan mendeteksi adanya regurgitasi valvular. Ini dapat
dilakukan di tempat tidur pasien, tetapi memerlukan perlengkapan yang mahal dan
operator yang terlatih.
13. Pemeriksaan khusus yang lain yang mungkin diperlukan ketika diindikasikan
ASA I : Pasien tidak memiliki kelainan organik, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri.
92
ASA II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan
di terapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainnya. Misalnya : penyakit organik
ringan pada jantung, diabetes, hipertensi ringan, anemia, kegemukan, bronkitis kronis ringan.
ASA III : keterbatasan melakukan aktivitas; pasien dengan gangguan sistemik berat atau
karena penyakit apapun penyebabnya, walaupun mungkin belum bisa dinilai derajat
kemampuannya, misalnya angina, diabetes berat, dan gagal jantung.
ASA IV : Penderita dengan kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, tidak selalu
dikoreksi dengan operasi, misalnya insufisiensi jantung, angina persisten, insufisiensi renal atau
hepatik.
ASA V : Penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa
operasi.
ASA VI : Penderita mati batang otak yang organ-organnya dapat digunakan untuk donor.
Klasifiksai ASA merupakan sistem yang secara umum sering digunakan untuk menilai status
fisik pasien, walaupun ahli anestesi yang lain tidak selalu setuju dengan klasifikasi ini.
Klasifikasi ini tidak dapat dipakai untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan penyakit
jantung koroner berat.
Penilaian resiko
2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari resiko anestesi dan pembedahan akibat
penyakit yang ada ?
Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki ( misalnya, penyakit
paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda, dan diberikan terapi yang
sesuai.
Terdapat hubungan antara menilai faktor-faktor preoperatif dan perkembangan morbiditas dan
mortalitas pasca operatif. Mungkin pada beberapa pasien dapat diukur secara tepat, tetapi tidak
dapat diterapkan secara tepat untuk masing-masing individu. Keputusan untuk meneruskan
penatalaksanaan hanya dapat dibuat setelah adanya diskusi antara ahli bedah dan anestesiolognya
93
Pada studi mortalitas dalam skala besar, umumnya, faktor-faktoir yang memberikan kontribusi
pada mortalitas anestesi meliputi :
1.Kebiasaan pasien
Merokok
Efek yang merusak dari merokok meliputi penyakit vaskular perifer, sirkulasi koroner dan
serebral, karsinoma paru dan bronkitis kronik. Mer
Merokok harus dihentikan 6 minggu sebelum operasi untuk meminimalisasi komplikasi paru
selama pembedahan, termasuk di antaranya infeksi, laringospasme dan bronkospasme.
Penghentian selama 12 jam sebelumnya mencegah efek samping dari CO dan nikotin pada
pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung. Berhenti selama beberapa hari akan memperbaiki
aktivitas siliar. Merokok juga dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Pada anak-anak yang
secara pasif terpapar dengan rokok, terjadi peningkatan insiden komplikasi jalan nafas, jika
dilakukan pembiusan.
Alkoholisme
Pada pasien dengan alkoholisme kronik, dapat terjadi toleransi dengan beberapa obat anestesia
seperti eter, terjadi resistensi terhadap obat-obatan anestesia.
94
Alkohol dieliminasi dengan oksidasi di hati tetapi juga dapat menginduksi enzim-enzim yang
memetabolisme obat-obatan, sehingga respon terhadap obat tidak dapat diperkirakan.
Dapat terjadi vasodilatasi perfifer, kardiomiopati, sirosis dan perioperative withdrawal crisis
(delirium tremens)
Alkohol sebaiknya tidak dihentikan saat menunggu operasi. Anestesi regional sebaiknya
dipertimbangkan namun fungsi koagulasi mungkin abnormal.
Untuk mencegah gejala withdrawal, pemberian alkohol 8-10% dalam NaCl 0,9% 500 ml dalam
beberapa jam dapat menolong.
To prevent withdrawal symptoms 8 10 % alcohol in salin 500 ml i.v. for over several hours
may be helpful.
Tromboflebitis dan abses multipel dapat timbul akibat penyuntikan obat yang tidak higienis,
sehingga terapi intravena melalui vena sentral.
Hipotensi umumnya terjadi selama operasi berlangsung. Gejala withdrawal narkotik termasuk
kram, muntah dan diare, dan dapat menyerupai obstruksi intestinal.
95
miokard dan kardiomiopati. Adiksi amfetamin dapat meningkatkan dosis anestetik yang
diperlukan.
96
MODUL 6 : PERSIAPAN ALAT DAN OBAT
ANESTESIA
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi kuliah: CD PowerPoint
1. Persiapan alat2 dan obat2 untuk anestesia umum dan anestesia regional
4. Persiapan alat2 dan obat2 dengan kelainan sistemik jantung, PPOK, ginjal,
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
97
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : Alat alat, mesin anestesia dan obat obat virtual, boneka simulasi bila ada.
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
Bacaan yang dianjurkan
Peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk sub-modul
Persiapan alat dan obat anestesi yang lain.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan
melakukan persiapan alat alat dan obat obat anestesia umum dan anestesia regional.
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:
1. KOMPETENSI
Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan persiapan alat alat
dan obat obat anestesia umum maupun regional secara tepat dan memadai , persiapan monitoring
yang memadai untuk mencegah kemungkinan akibat komplikasi lebih berat dan penanggulangan
secara dini bila terjadi komplikasi serta untuk penatalaksanaan pasca anestesia.
RANAH KOMPETENSI
98
Kognitif
Psikomotor
1. Mampu melakukan pencatatan hal hal penting dalam rekam medik preoperatif terkait
dengan alat alat dan obat obat yang dipakai dalam tindakan anestesia.
2. Mampu mempersiapkan dan memasang alat/ mesin anestesia dengan benar
3. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat alat dan obat untuk tindakan anestesia
umum, mulai premedikasi, induksi, intubasi atau laringeal mask airway(LMA) atau
intubasi atau sungkup muka , pemeliharaan anestesia, dan pengelolaan pasca anestesia
tehnik intravena total, anestesia inhalasi, anestesia balans, sungkup muka, tehnik intubasi,
sungkup muka, LMA
4. Mampu mempersiapkan dan mengoperasikan syringe pump, infusion pump, defibrillator.
5. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat alat dan obat obat untuk anestesia
regional, tehnik epidural, spinal atau blok syaraf lain.
6. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat alat dan obat obat untuk keadaan
emergensi dan resusitasi.
7. Mampu memasang dan menggunakan alat pemantau non invasif dan invasif dengan
benar
8. Mampu melakukan pencatatan rekam medik terkait alat dan obat anestesia yang dipakai
dalam anestesia secara benar
9. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk penanggulangan nyeri pasca bedah
10. Mampu mempersiapkan alat dan obat pada transportasi pasien masuk ICU.
99
1. Mampu menjelaskan tentang alat alat dan obat obat yang diperlukan pada tindakan
anestesia kepada orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
2. Mampu memberikan penjelasan kepada sejawat senior dan atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, kebutuhan obat2an, kebutuhan alat
alat dalam upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif
dan kebutuhan alat alat dan obat obat yang dibutuhkan terhadap kemungkinan resiko
yang dapat timbul.
4. Mampu menciptakan kondisi kerja sama tim diantara semua petugas kesehatan yang
terlibat dikamar bedah.
5. Mampu memberi penjelasan kebutuhan alat dan obat obat untuk penanggulangan nyeri
dan rasa tidak nyaman pasca bedah.
6. Mampu menjelaskan kebutuhan alat alat dan obat obat yang diperlukan untuk transportasi
dan perawatan di ICU.
Profesionalisme
2. KEYNOTES
kelayakan Mesin anestesia: Sistem perpipaan gas dan udara tekan rumah sakit
(bila ada),tabung gas portabel, flow meter, vaporizer, Fresh Gas Flow,
breathing circuit, katub inspirasi, katub ekspirasi, pop-off valve, reservoir bag.
sehingga persiapan Alat alat airway management basic dan advanced dan
3. Alat untuk akses vaskular perifer dan sentral, alat alat infus, syringe pump,
100
4. Alat monitor fungsi vital respirasi, kardiovaskular, suhu, merupakan
5. Kesiapan alat alat dan obat obat untuk emergensi resusitasi harus selalu dicek
3. GAMBARAN UMUM
Rencana anestesia harus dibuat agar secara optimal dapat mengakomodasikan kondisi fisiologik
pasien, termasuk penyakit saat ini, riwayat penyakit, riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat
anestesi dan kesiapan psikologik, gangguan atau keterbatasan aktifitas. Rencana preoperatif yang
tidak adekuat dan kesalahan dalam persiapan pasien merupakan sebab paling sering timbulnya
komplikasi anestesia, termasuk persiapan alat dan obat obat yang diperlukan. Alat alat tersebut
meliputi mesin anestesia, alat alat monitor, alat alat untuk emergensi dan resusitasi sekaligus
obat obat yang diperlukan. Bila obat atau alat tidak tersedia akan menimbulkan masalah.
Keterlambatan dalam penanggulangan karena kurangnya fasilitas atau persiapan tidak baik akan
dapat berakibat buruk sampai kematian. Pengertian akan mekanisme kerja alat dan obat obat
anestesia merupakan pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki calon spesialis anestesiologi.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:
1. Mempersiapkan alat alat dan obat obat yang dipergunakan dalam anestesia umum atau
anestesia regional secara tepat dan benar.
2. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat alat dan obat obat anestesia
secara benar
3. Melakukan persiapan alat alat dan pelaksanaan monitoring
4. Melakukan persiapan alat dan obat obat untuk transportasi pasien ke ICU
5. METODE PEMBELAJARAN
1. Bahan acuan (references) tentang alat alat dan jenis obat obat anestesia
101
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan alat alat anestesia
3. Cara menilai kesiapan alat alat anestesia.
Tujuan 1: mempersiapkan alat alat dan obat obat yang dipergunakan dalam anestesia
umum atau anestesia regional secara tepat dan benar
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pemasangan mesin anestesia sampai
siap pakai, sesuai check-list
2. Pengetahuan dan keterampilan dalam memasang mesin anestesia, untuk semiclosed
maupun semiopen system.
3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menetapkan alat2 dan obat2 anestesia regional
(spinal, epidural, kaudal, blok saraf ekstermitas atas dan bawah)
Tujuan 2:. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat alat dan obat obat
anestesia secara benar
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
4. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: Mengetahui, dan mampu menilai laik atau tidak
1. Sistem sumber gas sentral, perpipaan gas oksigen dan N2O bila fasilitas ada,
sampai sistem tersambung ke mesin anestesia.
2. Sistem aliran gas, flow-meter , vaporizer dalam mesin anestesia , breathing circuit
anesthesia.
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
102
2. Bedside teaching
Tujuan 4 : Melakukan persiapan alat dan obat obat untuk transportasi pasien ke ICU
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Praktik klinik
6. MEDIA
1. Kuliah
Kuliah khusus Persiapan Obat dan Alat Anestesia untuk anestesia umum
dan regional. .
3. Diskusi kelompok
4. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
5. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas, dikaitkan dengan keberadaan alat dan obat2an.
6. Continuing Profesional Development (CPD)
103
7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest
terdiri atas :
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada pasien bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
104
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist (terlampir)
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pretest :
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :
1. KnowledgeKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
105
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills
Tindakan / operasi :
ANESTESIA
106
5. Alat untuk Pemanatauan fungsi vital, kesadaran,
kardiovaskuler, pernafasan. Tekanan darah, nadi,
Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada),
jumlah urine, suhu
PASCA BEDAH
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih
107
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Pasien yang akan menjalani anestesi pada operasi elektif / darurat harus dilakukan
pemeriksaan preoperatif ; anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, informed
consent, penetapan status fisik ASA dan lakukan persiapan anestesia
108
( puasa, rencana premedikasi), termasuk persiapan alat dan obat obat yang diperlukan selama
tindakan anestesia.
8. Mesin anestesia. Sebelum memeriksa mesin anestesia, lebih dulu periksa apakah sistem
sumber gas tersebut sentral atau tidak( tabung gas portabel ada pada mesin anestesia).
Periksa dulu sistem tersebut apakah sudah terhubung baik dengan mesin. Selanjutnya
periksa kerja flow- meter, vaporizer, katub inspirasi dan katub ekspirasi apakah berfungsi
dengan baik. Katub APL (adjustable pressure limit) valve, anesthetic breathing circuit,
Reservoir bag, CO2 absorber canister apakah telah terpasang dengan baik. Setelah itu
periksa apakah ada kebocoran gas atau uap dalam sistem circuit mesin tersebut. Perlu harus
diingat bila kondisi sudah menjadi rutin pengecekan ini sering dilupakan.
9. Alat alat yang diperlukan untuk anestesia umum: airway (oral, nasal), sungkup muka, LMA
(laringeal mask airway), laringoskop, pipa endotrakeal, Magill Forceps, stylet(introducer),
tape, stetoskop, konektor pipa endotrakeal dengan mesin, pipa nasogatrik. Alat pengisap
(suction) harus diperiksa berfungsi baik.
10. Obat obat anestesia umum, intravena( pentothal, propofol, ketamine) dan inhalasi N2O,
halothane, ethrane, isoflurane, sevoflurane..
11. Alat alat untuk anestesia regional: jarum jarum untuk anestesia spinal, jarum epidural,
kateter epidural atau jarum khusus lain untuk anestesia regional tertentu seperti blok
pleksus syaraf.. Bila ada perlu disiapkan nerve stimulator/nerve locator. Obat anestetik
lokal seperti lidokain, bupivakain.
12. Obat emergensi seperti oksigen, adrenalin, sulfas atropin, efedrin, aminofilin, steroid, obat
anti aritmia (lidokain, amiodaron), loop diuretics, inotropik, vasopressor(norepinephrine),
obat2 hipotensive (nitroglycerin, nitropruside), antikonvulsan (diazepam, pentothal
MgSO4), pelemas otot, obat antidotum( naloxon, anticholinesterase dan bila ada
flumazenil, dantrolen), Natriumbicarbonate, Calcium gluconas, Calcium chlorida, KCl,
morphine dan opioid lain, fentanyl, pethidine.
13. Alat untuk emergensi : (set Ambu bag dengan kelengkapannya) alat Defibrillator.
14. Alat alat untuk menanggulangi dificult intubation ( Glidescope, Brochoscope) termasuk
peralatan trakeosotmi merupakan option.
15. Cairan kristalloid dan kolloid termasuk jarum/kateter infus dan set infusnya. Obat obat
yang diberikan parenteral harus disiapkan tetesan mikro, syringe pump, atau infusion
pump.
16. Alat monitor standar non invasif seperti EKG, NIBP, saturasi O2, suhu, ETCO2 harus
dipersiapkan dan dicek layak pakai atau tidak. Alat monitor invasif dipersiapkan sesuai
indikasi saja.
17. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pasang jalur intravena pasang jalur infus dan jalankan infus Lakukan
anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau anestesia regional sesuai modul
anestesia regional. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau intramuskuler atau
inhalasi.Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, O2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu,
aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urine, jumlah perdarahan.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesi dan relaksasi. Akhir operasi
yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pasca bedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat
109
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran
anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap
komplikasi pasca bedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan
nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih
sadar. Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Pastikan rekam medik anestesia dibuat secara baik dan lengkap.
12. REFERENSI
Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
110
MODUL 7 TRAUMATOLOGI I
Persiapan Sesi
Audiovisual
Laptop
OHP
Flipchart
Video pkayer
Materi prsentasi :
CD Powerr Point
Sarana
Ruang Belajar
Ruang pemeriksaan
Ruanfg Pulih
111
Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator
REFERENSI
112
13. Mampu menjelaskan stabilsasi, tansportasi dan rujukan pasien trauma
14. Mampu menjelaskan peranan anetesi sebagai bagian dari emergency team
b. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan penilaian cepat pasien trauma (initial assement/primary
survey)
2. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas sampai paripurna
3. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas dan
memberikan tatalaksana pernafasan mekanik
4. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita syock
5. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran
6. Mampu melakukan penatalaksanaan penedrita kejang
7. Mampu melakukan pemasangan akses vena dengan jarum besar,melalui akses
vena tepi dan sentral (Untuk anak intra osseus)
8. Mampu melakukan penatalaksanaan resusitasi cairan
9. Mampu melakukan cardioversi
10. Mampu melakukan monitoring invasif dan noninvasif kontinyu
d. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medik penanganan awal
korban trauma, stabilisasi dan rujukan
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medik penanganan
awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki ketrampilan cukup untuk melakukan
tindakan medik penanganan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan
5. Leader shifting
6. KEY NOTES
1. Asesmen pertama pasien trauma dapat dibagi menjadi, primary survey, secondary
survey dan tetiary survey. Primary survey akan berlang sung 2 5 menit dan
113
mencakup urutan ABCDE trauma : Airway, Breathing, Circulation, Disability
dan Exposure. Resusitasi dan assesmen berlangsung simultan. Resusitasi trauma
mencakup 2 tahap: menghentikan perdarahan dan memperbaiki cedera.
Secondary dan tertiary survey lebih komprehensif mengikuti primary survey.
2. Lima kriteri meningkatkan risiko yang potensial tidak stabil pada tulang
servikal : 1) nyeri leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau
gejala neurologik, 4) intoksikasi, dan 5) penurunan kesadaran. Fraktur tulang
servikal harus dicurigai jika terdapat satu dari kriteria tersebut. Dengan kriteria
ini, kejadian cedera tulang servikal sekitar 2 %. Kejadian ketidakstabilan servikal
meningkat menjadi 10 % pada cedera kepala berat.
4. Terapi utama syok hemorhagik adalah resusitasi cairan dan transfusi. Cateter
pendek (multiple short, 1.5 2 in, lubang besar (14 16 gauge atau 7 - 8.5 F)
ditempatkan di vena apa saja yang mudah diperoleh.
1. POKOK BAHASAN
114
E. GAMBARAN UMUM
i. Setelah melalui sesi pada tahan ini peserta didik mampu mengelola
pasien trauma primary survey pada tahap awal
1. METODE
Peserta didik sudah harus mempelajari:
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
4. Bedside teaching
5. Task-based
115
6. Praktik klinik
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
116
7. Kemampuan menjelaskan tentang tindak lanjut bila ada masalah yang mengancam
nyawa pada survei primer berlanjut
Tujuan 3 : melakukan survei sekunder yang dilakukan bilamana ABC pasien harus
sudah stabil
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
1. Pemeriksaan kepala, batok kepala, kulit kepala, bola mata , telinga, jaringan lunak
periorbita
2. Pemeriksaan leher: luka tembus leher, emfisema subkutan, deviasi trakea, distensi
vena leher
3. Pemeriksaan neurologik : Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan fungsi medula
spinalis, penilaian sen sasi dan refleks
4. Pemeriksaan dada : clavicula, semua tulang iga, suara nafas dan jantung , pemantauan
EKG
5. Pemeriksaan abdomen: luka tembus abdomen yang memerlukan eksplorasi bedah ,
mampu melakukan pemasangan pipa nasogastrik pada trauma tumpul abdomen
6. Pemeriksaan dubur
7. Pemasangan kateter kandung kemih bila tidak ada darah di meatus externus urethrae
8. Pemeriksaan pelvis dan ekstremitas
Tujuan 4 : menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis,
tulang belakang dan ekstremitas
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
117
6. Praktik klinik
1. Pada trauma multipel, abdomen merupakan bagian tersering yang mengalami cedera,
evaluasi awal terhadap pasien trauma abdomen tetap harus menyertakan A(Airway
and C-Spine), B (breathing), C(circulation), dan D (disability dan penilaian
neurologik) dan E (exposure)
2. Kemampuan menjelaskan jenis trauma abdomen, trauma penetrasi luka tembak, luka
tusuk atau trauma non penetrasi, kompressi, hancur(crash), sabuk pengaman (seat
belt), cedera akselerasi/deselerasi.
3. Indikasi dan kontraindikasi DPL(Diagnostic Peritoneal Lavage)
4. Kemampuan menjelaskan masalah khusus fraktur tulang pelvis
5. Pemeriksaan tonus sfinkter anus, darah dalam rektum, pemeriksaan darah di meatus
urethrae eksterna.
6. Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi dengan segera dan immobilisasi
tulang leher
7. Penilaian tanda tanda fungsi vital dan derajat kesadaran (GCS) secara berulang ulang.
8. Kemampuan menjelaskan tanda klinis trauma tulang belakang, menjelaskan posisi
netral pada waktu pemeriksaan pasien trauma tulang belakang, log rolling, in-line
immobilization, pemasangan stiff cervical colllar.
9. Kemampuan menjelaskan gangguan fungsi otonom pada cedera medula spinalis.
10. Pemeriksaan/keadaan2 yang harus diperiksa, pasien dengan trauma ekstremitas
(warna dan suhu kulit, perabaan nadi distal, tempat tempat yang berdarah, deformitas
ekstremitas, gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif, gerakan ekstremitas tak wajar
dan ada krepitasi, derajat nyeri bagian yang cedera.
11. Sindroma kompartemen pada ekstremitas, penyebab dan terjadi pada kasus trauma
ekstermitas yang bagaimana dan menjelaskan kerusakan jaringan pada sindroma
kompartemen akibat hipoksemia dan akibat reperfusi
12. Pengelolaan cedera ekstremitas dengan tetap memelihara aliran darah ke jaringan
perifer, mencegah infeksi dan nekrosis kulit, mencegah kerusakan pada syaraf
perifer.
13. Penghentian perdarahan eksternal, immobilisai dan mengatasi nyeri.
2. SUMBER PEMBELAJARAN
g. SDM: Dokter Spesialis Anestesiologi sebagai pengajar, pelatih dan penilai
h. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah
Sakit setara Klas B pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c
(Metode)
118
3. MEDIA :
1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, kanulasi vena dan arteri pada
manekin
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Diskusi kelompok
1. Pelatihan resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum dan regional di kamar bedah,
ruang resusitasi pada pasien trauma.
2. Dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
4. ALAT BANTU :
1. Manikin dan simulator.
2. Perpustakaan, internet, skill lab
15. EVALUASI
119
15.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest
terdiri atas :
15.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
15.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
15.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
15.5.Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
15.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
Isi pretest :
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :
1. KnowledgeKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
121
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
1. DEFINISI TRAUMATOLOGI
122
d. Pemantauan selama resusitasi
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
123
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
124
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
1. MATERI ACUAN
Introduksi :
Pada pasien trauma pertama kali yang dilakukan adalah penilaian survey primer ABCDE, dan
pembebasan jalan nafas. Bila ada dugaan trauma leher, tindakan inline position. Lakukan
pemberian oksigenasi dan ventilasi bila perlu. Pasang akses vena dengan jarum 16-14 G, dan
resusitasi cairan kristalloid hangat. Selanjutnya adalah menghentikan perdarahan eksternal bila
ada.
Setelah ABC aman, lakukan survei sekunder meliputi [emeriksaan fisik kepala sampai
ekstremitas. Pasang monitoring, bila kondisi stabil lakukan pemeriksaan foto thorak, abdomen,
pelvis, C-spine bila perlu ultrasonografi (USG) untuk mendiagnosa adanya trauma dada,
fraktur iga, pneumotorak tension, flail chest, hemotorak, kontusio paru, aspirasi kontusio
miokard, trauma abdomen luka penetrasi, non penetrasi, nyeri abdomen , penyebab tidak jelas.
Pemeriksaan CT scan dilakukan bila ada indikasi seperti trauma kepala. Pemeriksaan DPL,
hematologi, golongan darah dan permintaan komponen darah bila diperlukan.
125
Pasien trauma yang menjalani anestesi harus dilakukan penatalaksanaan preoperatif ;
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, informed consent dan lakukan
persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi). Pasien dewasa elektif dipuasakan 6 8 jam,
anak 2, 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisik ASA. Persiapan anestesia meliputi statics,
obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang dipilih. Setelah semua persiapan
alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia. Lakukan
anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau anestesia regional sesuai modul
anestesia regional untuk pasien bedah digestif. Premedikasi dapat diberikan secara intravena
atau intramuskuler. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb (SpO2), tekanan
darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin,
jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan kateter vena sentral dan jalur intra arterial.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesi dan relaksasi. Untuk beberapa kasus
dibutuhkan pemasangan NGT.
Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila
direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pasca bedah). Bila perlu berikan antidotum
obat-obat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan
pengakhiran anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan
terhadap komplikasi pasca bedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi
jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih
sadar. Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Untuk kasus dan kondisi pasien tertentu memerlukan perawatan ICU pasca operasi.
Asesmen pertama pada pasien trauma dapat dibagi menjadi pemeriksaan primer, sekunder dan
tertier (primary, secondary and tertiatry survey). N Primary survey akan berlangsung 2 5
menit dan terdiri dari urutan ABCDE trauma: Airway. Breathing , Circulation , Disability dan
Exposure. Jika fungsi tiga sistem pertama tergangu, resusitasi harus segera dilakukan
secepatnya. Pada pasien kritis, resusitasi dan asesmen berlangsung simultan oleh tim
pelaksana penangulangan trauma. Pemantauan dasar mencakup, EKG, tekanan darah
noninvasif dan oksimeter pulsa dapat diprakarsai dari tempat kejadian dan diteruskan selama
perteolongan. Prinsip-prinsip resusitasi Jantung Paru dapat dilihat dalam Modul 3:
Keterampilan Anestesiologi III. Resusitasi trauma terdiri dari 2 langkah : menghentikan
perdarahan dan memperbaiki cedera definitif. Primary survey akan diikuti oleh secondary dan
teriary survey yanhg lebih komprehensif.
126
Primary survey
Airway
Menentukan dan mempertahankan airway selalu meruipakan perioritas pertama. Jika pasien
dapat berbicara, airway selalu bersih; pasien yang tidak sadar akan selalu membutuhkan
bantuan airway dan ventilasi. Gejala penting obstruksi jalan termasuk, dengkur (snoring),
stridor dan gerakan dada paradoksal. Pada pasien yang tidak sadar sebaiknya
dipertimbangkan kemungkinan adanya benda asing. Menejemen jalan napas lanjut (seperti
intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakestomi) menjadi indikasi jika terjadi apnea,
obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus leher hematom
besar dan cedera dada berat.
Cedera tulang leher tidak mungkin pada pasien yang alert tanpa nyeri leher. Lima kriteria
dapat meningkatkan risiko yang berpotensi ketidakstabilan tulang servikal yaitu: 1) nyeri
leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau gejala neurologik, 4)
intoksikasi, 5) gangguan kesadaran. Fraktur servikal harus diduga jika terdapat salah satu
kriteria tersebut; walaupun dengan kriteria ini kejadian fraktur trauma servikal mendekati 2 %.
Angka kejadian ketidakstabilan tulang servikal meningkat sampai 10 % jika terjadi cedera
kepala berat. Hindarkan hiperekstensi leher; jaw-thrust maneuver (Triple maneuver) lebih baik
untuk mempertahankan keutuhan airway. Airways oral atau nasal dapat menolong
mempertahankan jalan napas. Pasien tidak sadar dengan trauma berat mempunyai risiko
tinggi aspirasi, karena itu airway harus segera diamankan dengan pipa endotrakea atau
trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial berlebihan harus dicegah dan immobilisasi
manual kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk menstabilkan tulang servikal
selama laringoskopi (manual in-line stabilization atau MILS). Asisten menempatkan kedua
tangan pada salahsatu sisi kepala, menahan bawah osiput dan mencegah rotasi kepala. Studi-
studi telah mendemonstrasikan, pergerakan leher terjadi terutama didaerah C1 dan C2 selama
ventilasi dengan sungkup muka dan laringoskopi langsung yang memerlukan upaya stabilisasi
(misalnya dengan: MILS,traksi aksial, bantal pasir, fiksasi kepala, kollare lunak atau kollar
keras). Dari emua teknik ini, MILS mungkin sangat efektif, tetapi juga mengakibatkan
laringoskopi menjadi lebih sulit. Karena alasan ini, beberapa ahli lebih menyukai intubasi
nasal (blind atau fiberoptik) poada pasien yang bernapas spontan dengan kecurigaan cedera
tulang servikal, walaupun teknik ini mempunyai risiko untuk aspirasi paru. Kebanyakan
praktisi sangat terbiasa dengan intubasi oral dilakukan pada pasien apne yang memmerlukan
intubasi segera. Intubasi nasal seharusnya dihindarkan untuk pasien dengan cedera muka
tengah (midface) atau fraktur tulang dasar tengkorak.
127
Trauma laring menyebabkan situasi lebih kompleks dan buruk. Cedera terbuka dapat
berkaitan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher, obstruksi jalan napas karena
hematom atau edema. Cedera tertutup laring kurang membahayakan tetapi dapat berdampak
kripitasi leher, hematoma, disfagi, hemoptisis atau hilang suara. Intubasi sadar dengan pipa
endotrakea kecil mempergunakan laringoskop direk atau brokoskop fiberoptik dan anestesi
topikal, dapat diupayakan jika laring dapat dilihat dengan baik. Jika cedera muka dan leher
tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi sebaiknya dipertimbangkan trakeostomi dengan
anestesi lokal.Obstruksi jalan napas akut mungkin memerlukan krikotomi emethgensi atau
trakeostomi perkutan atau bedah.
Breathing
Asesmen ventilasi dicapai dengan baik sekali dengan cara melihat, mendengar dan
merasakan. Melihat untuk sianosis, penggunaan otot napas asesories, flail chest, luka tembus
toraks. Mendengar untuk ada atau tidak ada atau penurunan suara napas. Merasakan untuk
emfesa subkutan, pergeseran trakea, iga patah. Adanya tension pneumothorax dan hemothorax
harus dapat dicurigai gangguan pernapasan sebelum dilakukan foto toraks. Kebanyakan
pasien trauma yang kritis membutuhkan napas bantu kalau tidak napas kendali. Bag-valve
devices (misaklnya, self inflating bag dengan one way valve) dapat dipergunakan untuk
ventilasi yang adekuat segera setelah intubasi selama transfortasi pasien. Oksigen 100 %
diberikan sampai gas darah arteri dapat dinilai.
Circulation
Sirkulasi yang adekuat berdasarkan laju nadi, kekuatan nadi, tekanan darah dan tanda-tanda
perfusi perifer. Gejala sirkulasi tidak adekua mencakup, takikardia, pulsa perifer lemah atau
tidak teraba, hipotensi, pucat, dingin atau ekstrimitas sianosis. Perioritas pertama adalah
menghentikan perdarahan, kalau terlihat dari luar tekan langsung; kedua, menggantikan
cairan intravaskular melalui kanul besar agar infus dapat diberikan cepat. Contoh carah harus
diambil
Perdarahan
Pertolongan pertama perdarahan adalah menekan dari luar, hati-hati kalau mempergunakan
tourniquet karena dapat menyebabakan cedera reperfusi. Derajat hipotensi pasien saat sampai
din ruang emergensi dan kamar operasi sangat menentukan mortalitas pasien. Respon
128
fisiologik perdarahan bervariasi yaitu, takikardia, perfusi kapiler buruk, penurunan tekanan
nadi pada hipotensi, takipne dan delerium. (Tabel)
1
Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current
Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.
2
These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock
but apply to other types of shock as well.
Terapi cairan
Perdarahan massif memerlukan transfusi sel darah merah (SDM) yang sesuai. SDM gol. O
yang non-crossed, dicadangkan untuk perdarahan yang mengancam nyawa dan tidak dapat
lagi diganti dengan cairan lain. Transfusi SDM diberikan jika Hb < 7 gr / dl.
129
Cairan kritaloid yang diberikan akan memerlukan volume yang besar, karena tidak lama
bertahan dalam sirkulasio. Larutan ringer laktat lebih mudah menghasilkan asidosis
kloremik dibandingkan NaCl normal. Ringere laktat merupakan caiaran yang sedikit
hipotonik, tetapi p[emberian yang berlebiuhan akan berdampak edema serebri. Cairan
hipertonik seperti NaCL 3 7,5 % efektif untuk resusitasi cairan karena kurang mengakibat
edema serebri dibandingkan ringer laktat atau NaCl normal. Tetapi hati-hati memberikan
cairan hipertonik karena mudah memberi dampak hipernatremia.
Cairan koloid lebih efek sebagai pengisi volum intravascular karena lebih lama bertahan
dalam sirkulasi; tetapi harga jauh lebih mahal. Sampai sekarang masih diperedebatkan
untung dan penggunaan kritaloid dsan koloid.
Cairan apapun yang dipilih, harus dihangatkan dulu sebelum diberikan. Infusi cepat yang
mempergunakan kanul besar (14- 16 gauge) dan cairan hangat sangat baik untuk transfuse
massif. Blanket hangat atau humidifier hangat juga sangat penting untuk mempertahankan
suhu tubuh. Hipotermia akan memperburuk gangguan asam-basa, koagulopati, dan fungsi
miokard.(Tabel)
130
Impaired renal function
Hipotermia juga akan menggeser kurve oksigen hemoglobin ke kiri dan menurunkan
metabolisme laktat, sitrat dan beberapa obat anestetik. Jumlah pemberian cairan
berdasarkan perbaikan gejala klinis tertutyama tekanan darah, tekanan nadi (pulse
preessure), dan lajhu nadi. Pengukuran CVP dan jumlah urine juga menjadi indikasi
pemulihan perfusi organ vital.
Perfusi organ yang tidak adekuat akan mengganggu metabolisme aerobik dan menghasilkan
asam laktat dan asisdosis metabnoliok. Na bikarbonat yang berdisosiasi menjadi ion
bikarbonat dan CO2, dapat memperburuk asidosis intrasel karena membran sel relatif sulit
larut bikarbonat dibandingkan dengan CO2. Ketidakseimbangan asam basa, akhirnya
diperbaiki dengan hidrasi dan pemulihan perfusi organ. Laktat akan dimetabolisme di hati
dan ion H akan diekskresi melalui ginjal.
Hipotensi pada pasien syok hipovolemik akan diatasi cairan intravena dan produt darah,
bukan oleh vasopresor ; kecuali hipotensi berat yang tidak respon terhadap terapi cairan,
syok kardiogenik atau henti jantung.
Disability
Upaya ini dilakukan untuk mengevaluasi neurologik dengan cepat, besar pupil, reaksi cahaya,
skala Glasgow Coma Scale (GCS), pergerakan spontan kaki dan tangan atau respon terhadap
stimulus.
131
Table 261. Glasgow Coma Scale.
Category Score
Eye opening
Spontaneous 4
To speech 3
To pain 2
Nil 1
To verbal command
Obeys 6
To pain
Localizes 5
Withdraws 4
Decorticate flexion 3
Extensor response 2
Nil 1
Oriented 5
Confused conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sounds 2
Nil 1
132
Exposure
Seluruh pasien dilepaskan agar dapat memeriksan semua cedeera yang ada. Mobilisasi in line
harus dipergunakan untuk cedera lehr dan tulang belakang
18. REFERENSI
133
MODUL 8 : ANESTESI UMUM
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Operasi
Kasus : pasien di kamar operasi
Referensi :
134
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
7. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesi umum
intravena, inhalasi, intramuskuler baik nafas spontan atau kendali, diintubasi atau
dengan LMA pada pasien dengan status fisik ASA I-II.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :
Kognitif
1. Memahami cara kerja alat monitoring, mesin anestesi dan obat-obatan apa yang
perlu di tersedia di Kamar operasi.
2. Mengetahui mekanisme terjadinya anestesi umum
3. Mengetahui cara pemberian dan obat yang dipakai untuk induksi anestesi umum
4. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi selama anestesi: obstruksi jalan
nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi.
5. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestesi intra vena dan
anestetika inhalasi.
6. Mengetahui tentang balans anestesi umum intravena, balans anestesi umum
inhalasi.
7. Memahami indikasi dan cara melakukan anestesi dengan sungkup, LMA,
endotracheal.
8. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi untuk keperluan anestesi umum.
9. Memahami kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi.
Psikomotor
1. Mampu melakukan pembebasan jalan nafas tanpa alat (triple manuver), dengan
OPA, LMA, dan intubasi.
2. Mampu melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat.
3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat induksi intravena, induksi
inhalasi seperti obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi,
hipertensi.
135
4. Mampu mengetahui stadium anestesi.
5. Mampu melakukan ekstubasi.
6. Mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.
Komunikasi
Professionalisme
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat melakukan anestesi umum dengan aman diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan dalam mekanisme kerja alat monitoring, cara kerja mesin anestesi dan
obat-obatan apa yang perlu di ada di Kamar operasi, mekanisme terjadinya anestesi
umum, cara pemberian dan obat induksi anestesi umum, komplikasi yang sering
terjadi selama anestesi (obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi,
hipertensi), farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestesi intra vena dan
anestetika inhalasi, balans anestesi umum intravena, balans anestesi umum inhalasi,
indikasi dan cara anestesi dengan sungkup, LMA, endotracheal. Memahami indikasi
dan komplikasi intubasi unuk keperluan anestesi umum, kapan dilakukan ekstubasi
serta komplikasi ekstubasi, melakukan pembebasan jalan nafas tanpa alat (triple
manuver), dengan OPA, LMA, dan intubasi, melakukan induksi intravena dan
136
induksi inhalasi dengan tepat, mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi umum inhalasi
dan intravena pada pasien dengan status fisik ASA I-II.
METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
MEDIA
1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
137
4. Pasien di kamar bedah .
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
4. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pretest
138
10. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di kamar
operasi.
11. Bagaimana cara melakukan induksi inhalasi dan induksi intravena?
12. Jelaskan tentang komplikasi yang sering saat induksi anestesi dan saat
ekstubasi dan cara mengatasinya!
13. Jelaskan tentang indikasi anestesi umum.
14. Jelaskan tentang indikasi intubasi dan tekniknya untuk keperluan anestesi
umum.
15. Lelaskan tentang uptake dan distribusi anestetika inhalasi.
16. Jelaskan tentang MAC, MAC EI, MAC BAR, MAC awake dan keadaan apa
saja yang mempengaruhinya.
17. Jelaskan pasien efek obat anestesika inhalasi halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran, desfluran terhadap organ tubuh.
18. Jelaskan tentang efek obat anestesi intravena propofol, pentotal, ketamin,
etomidat terdap organ tubuh.
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Kognitif
a. EMQ (Extended Medical Question)
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e. Minicheck
2. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
3. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
139
Tindakan / operasi :
1 Pemasangan monitor
13 Melakukan ekstubasi
DAFTAR TILIK
140
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
141
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
I. Pendahuluan
Anestesi adalah hilangnya sensasi sakit. Pada anestesi umum hilangnya rasa sakit
terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi
dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Pada
anestesi lokal hilangnya rasa sakit hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai
hilangnya kesadaran.
142
subkutan, per-oral, per-rektal. Anestesi lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi,
field block, blok saraf tepi, intravena (Biers technique), cadual, epidural dan spinal
analgesi.
Obat anestesi inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N 2O, cyclopropane dan
ethtylene. Yang berbentuk cair melalui alat penguap akan diubah menjadi gas. Obat
anestesi inhalasi yang berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan
halogen hidrokarbon misalnya halotan dan halogen eter yang contohnya adalah eter,
enflurane, isoflurane, desfluran, dan sevofluran. Teknik anestesi umum inhalasi bisa
dilakukan dengan napas spontan dengan sungkup muka, nafas spontan diintubasi, nafas
spontan dengan laringeal mask, nafas spontan dengan COPA (Cuffed Oropharyngeal
Airway) atau nafas kendali diintubasi.
Anestesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa sakit diseluruh tubuh yang
disertai hilangnya kesadaran yang reversibel akibat pemberian obat anestesi. Pada
anestesi umum ada penekanan Susunan Saraf Pusat yang menurun secara ireguler.
Anestesi umum dapat didefinisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang mana sistim
fisiologi tertentu dari tubuh dibawah kendali pengaturan luar oleh obat-obat anestesi.
Urut-urutan Susunan Saraf Pusat yang terdepresi selama anestesi umum adalah corteks
dan pusat psikis, basal ganglia dan serebelum, medulla spinalis dan terakhir medula
oblongata
Anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intra muskuler, per oral
dan per rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara inhalasi dan
intravena. Agak jarang yang diberikan secara intramuskuler dan lebih jarang lagi yang
diberikan secara per rektal atau per oral.
Obat anestesi yang diberikan secara inhalasi adalah eter, halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara intravena adalah
pentotal, ketamin, propofol, etomidat, diazepam, midazolam. Yang diberikan secara
intramuskuler adalah ketamin. Contoh yang dapat diberikan per rektal adalah diazepam,
eter oil. Yang dapat diberikan secara oral adalah ketamin dan midazolam.
Dengan ditemukannya obat-obat anestesi yang baru maka definisi anestesi umum
tidak sesederhana sebagai suatu depresi SSP yang menurun. Kemampuan untuk
memberikan keadaan tidur terpisah dari keadaan analgesia dan relaksasai otot
menyebabkan dikenalnya keadaan yang disebut anestesi seimbang (balans anestesi)
143
yaitu masing -masing obat untuk setiap komponen anestesi umum.
Pada anestesi umum terdapat trias anestesi yaitu hipnotik (hilang kesadaran),
analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik
dapat dilakukan dengan hambatan sensoris dan relaksasi dengan hambatan refleks dan
hambatan motoris.
Analgesia :
Terjadi hambatan sensoris, di sini stimulasi nyeri dihambat secara sentral sehingga
tidak dapat diartikan di korteks serebri. Analgesia bisa terjadi dalam berbagai tingkatan
dimulai dengan light analgesia (stadium I) sampai true analgesia dimana semua sensasi
hilang.
Relaksasi:
Bisa terjadi karena adanya hambatan motoris dan hambatan refleks. Pada
hambatan motoris terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan impuls efferent,
sehingga terjadi relaksasi otot skelet. Efek depresi motoris ini tergantung dari kedalaman
anestesi, dimana otot pernafasan / diafragma yang paling akhir ditekan.
Pada hambatan refleks, terjadi penekanan refleks misalnya ada sistim respirasi untuk
mencegah brokhospasme, laringospasme, pembentukan mukus. Pada sirkulasi untuk
mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual, muntah.
Hipnotik:
Terjadi hambatan mental. Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang, sedasi,
light sleep atau hipnosis, deep sleep atau narkosis, complete anaesthesia, dan terakhir
terjadi depresi medulla oblongata.
144
8. Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal.
- relaksasi
Pada anestesi umum inhalasi atau intravena, trias anestesi dapat diperoleh dengan dosis
besar satu macam obat anestesi inhalasi atau intravena, tetapi akan disertai adanya efek
samping. Misalnya dengan pentothal saja atau dengan halothane saja.
Untuk mencegah adanya efek samping tersebut, maka anestesi umum dilakukan dengan
konsep anestesi balans (anestesi seimbang) dimana pasien diberikan obat untuk setiap
komponen anestesi, yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi.
Untuk terjadinya trias ini, maka pada anestesi umum inhalasi terjadi blok sensoris, blok
motoris, bolk refleks dan blok mental.
Blok sensoris:
Stimuli pada endorgan diblok secara sentral dan stimuli tidak masuk ke dalam cortex
tingkatan bervariasi, dari stadium I sampai dengan stadium III dimana semua sensasi
hilang
yang ditekan adalah cortex, hipothalamus, subcortical thalamic nuclei, semua sel
sensoris cranial.
145
Blok motoris
Yang ditekan adalah premotor dan motor cortex subcortical dan extrapyramidal.
Yang terakhir dipengaruhi adalah otot pernafasan. Mula-mula pada otot intercostal
bawah, lalu otot intercostal atas, dan kemudian otot diaphragma.
Blok refleks:
Refleks yang tidak menyenangkan harus diblok, misalnya pada sistem respirasi
adalah pembentukan mukus, spasme laring, spasme bronchus. Pada sistem
kardiovaskuler adanya aritmia, dan pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan
muntah.
Blok mental :
Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan :
1. Tenang.
2. Sedasi (ngantuk).
3. Hipnosis (light sleep).
4. Narkosis (deep sleep).
5. Anestesi penuh (complete anesthesia).
6. Paralisis pada medula (medullary paralysis).
Pada pemberian anestesi umum inhalasi, urutan bagian SSP yang terdepresi adalah :
146
ada 4 faktor utama, yaitu : a. Faktor Respirasi
b. Faktor Sirkulasi
d. Faktor Jaringan
a. Faktor Respirasi
Faktor Pulmoner :
Ada dua faktor yang menentukan kecepatan zat anestesi sehingga kadar zat
anestesi dalam alveoli meningkat, yaitu konsentrasi inspirasi dan ventilasi alveoli.
Konsentrasi Inspirasi :
Semakin tinggi konsentrasi gas inspirasi, akan menyebabkan peninggian yang
lebih cepat dari konsentrasi alveolar.
Efek Ventilasi :
Jika ventilasi lebih besar, maka konsentrasi gas alveolar akan lebih cepat
meningkat.
b. Faktor Sirkulasi
Fase Sirkulasi :
Tergantung dari koefisien partisi (kelarutan), cardiac output dan perbedaan
tekanan gas pada alveoli dan vena.
Kelarutan :
Kelarutan suatu gas selalu konstan. Istilah kelarutan adalah partition coefficient
(p.c.), misalnya blood/gas p.c., tissue/gas p.c., oil/gas p.c. Contoh : blood/gas p.c. = 2,
artinya volume gas pada tekanan partial gas yang sama di kedua fase
perbandingannya adalah 2:1.
147
Pada tekanan parsial yang sama, volume gas anestesi dalam alveoli adalah 1 vol%.
Sedangkan pada darah adalah 2 vol%. Partition coefficient blood/gas adalah 2/1 =2.
Cardiac Output :
Darah membawa gas dari paru, maka bila cardiac output meningkat, uptake juga
meningkat. Pada keadaan curah jantung yang menurun terjadi penurunan gradient
tekanan gas dalam alveoli dengan tekanan gas dalam vena dan makin rendahnya
kelarutan gas anestesi, maka pengeluaran zat anestesi akan menurun.
-.Bila tekanan parsial gas lebih tinggi di darah daripada di otak, gas akan pindah
dari darah ke otak. Demikian pula sebaliknya.
-.Tekanan parsial gas di otak selalu mencoba equilibrium dengan tekanan gas di
dalam darah.
MAC50, atau lebih sering disebut MAC saja, adalah konsentrasi minimal gas anestesi
di dalam alveoli pada tekanan 1 atmosfir dimana 50% penderita tidak bergerak bila
148
diberikan noxious stimuli. Ada istilah lain, yaitu MAC95, MACEI50, MACEI95,
MACBAR50, MACBAR95, dan MACAWAKE.
MAC95 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 95% penderita tidak bergerak bila diberikan noxious stimuli.
MACEI50 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 50% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakheal.
MACEI95 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 95% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakheal.
MACBAR50 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 50% penderita tidak memberikan respon adrenergik bila diberikan
noxious stimuli.
MACBAR95 adalah konsentrasi minimal gas anestesi di dalam alveoli pada tekanan 1
atmosfir dimana 95% penderita tidak memberikan respon adrenergik bila diberikan
noxious stimuli.
Di bawah ini dapat kita lihat perbedaan MAC obat anestesi inhalasi.
149
Ether 1.92 10-30 4-15
Halothane Enflurane
MAC50 1.0 MAC (0.74 0.03%) 1.0 MAC (1.68 0.04%)
MACEI50 1.3 MAC 1.4 MAC
MACBAR50 1.5 MAC 1.6 MAC
MAC95 1.2 MAC 1.1 MAC
MACEI95 1.7 MAC 1.9 MAC
MACBAR95 2.1 MAC 2.6 MAC
Nilai MAC tidak selalu konstan, tetapi berubah-ubah tergantung beberapa keadaan
seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.
150
CNS depressants Circardian rhythm Drugs increasing CNS
catecholamine
Alcohol (acute intake) Gender s
Barbiturates Species Cocaine
Benzodiazepines Hypertension Dextroamphetamine
Bromide ion Propanolol Ephedrine
Lidocaine Hyperkalemia Hypernatremia and other
(systemati factors increasing brain
cally) Hypocarbia
sodium
Narcotic analgetics Metabolic acidosis or
alkalosis Hyperthermia >42oC
Nitrous oxide and other Hypercarbia (PaCO2 > 95
anesthetic torr, CSF pH <
s 7.1)
Phenothiazines (with Hypoxemia (PaO2 < 38 torr)
sedative
actions) Anemia (Arterial O2 content
< 4.3 ml/dl)
-9-
tetrahydro
cannabino
l
Pancuronium
Cholinesterase inhibitors
Pregnancy
Hypercalcemia
Hypotension
Hypothermia
151
d. Faktor Jaringan
Jaringan dibagi atas 4 kelompok :
a. Kelompok jaringan kaya pembuluh darah :
Organ-organ ini beratnya < 7%BB, tetapi menerima 75% cardiac output. Jaringan
ini menerima zat anestesi dalam jumlah banyak sejak awal induksi.
otot, skelet, dan kulit. Perfusi jaringan rendah ( < 3ml darah/100mg
jaringan/menit).
c. Lemak merupakan depo yang efektif untuk penimbunan zat anestesi. Walaupun
perfusinya lebih rendah dari kelompok otot, tetapi mempunyai kemampuan besar
dalam pengambilan zat anestesi. Hal ini dapat melambatkan induksi maupun
pemulihan pada pasien yang gemuk.
ligamen dan tendo. Jaringan ini hampir tidak mengambil zat anestesi.
Pada pasien yang gemuk (obesitas) bisa terjadi reanestesi karena banyaknya obat
anestesi pada jaringan lemak (terutama yang larut dalam lemak).
Bila penderita tidak sadar, maka masalah utama adalah jalan nafas, karena dapat
terjadi sumbatan jalan nafas yang bisa parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan parsial
adalah adanya dengkuran (snoring), keadaan tercekik (crowing), bunyi kumur-kumur
(gargling), atau wheezing, adanya retraksi dada dan sianosis. Bunyi itu tergantung lokasi
sumbatannya, misalnya snoring adalah akibat pangkal lidah jatuh ke belakang, crowing
adalah sumbatan pada daerah laring, dan whezing adalah sumbatan pada bronchus. Pada
sumbatan total tidak terdengar atau terasa aliran udara dari mulut / hidung, adanya
retraksi supraclavicular, retraksi interkostal, dada tidak mengembang bila dilakukan
152
ventilasi / inflasi paru, dan juga sianosis.
Masalah lain selama induksi anestesi adalah sungkup muka (face mask) yang tidak
rapat (misalnya karena hidung terlalu mancung, pasien ompong, atau janggutnya sangat
lebat), depresi nafas, batuk, spasme laring, adanya mukus dan saliva, atau juga muntah.
Semuanya harus segera ditanggulangi. Cara penanggulangannya adalah dengan
membebaskan jalan nafas, misalnya dengan Triple Manouver Safar (ekstensi kepala,
tarik angulus mandibula, buka mulut), pengisapan lendir / saliva / muntahan, pasang
pipa oropharing (mayo), intubasi endotrakheal, bahkan kalau tetap tidak bisa
membebaskan jalan nafas, bisa dilakukan cricotirotomy atau tracheostomy.
PRST adalah singkatan P = Pressure (systolic arterial pressure) R = Rate (heart rate) S =
Sweat, T = Tears atau Lacrimation.
153
Excess tears visible when eyelids
open
1
Tear overflow from closed eyelids
2
Pertama kali dibuat oleh Priestley pada tahun 1776; berbentuk gas, tidak
berwarna, dan tidak merangsang. Senyawa ini 1,5 kali lebih berat dari udara; merupakan
obat anestesi lemah. Pemakaiannya harus selalu dicampur dengan oksigen 100% untuk
mencegah hipoksia; induksi-dan-pemulihan cepat, serta tidak menyebabkan iritasi;
analgesi kuat tetapi bisa menyebabkan mual-muntah; tidak ada relaksasi otot. Bisa
menyebabkan terjadinya agranulositosis, displasia sumsum tulang, maupun teratogenik
bila dipakai dalam jangka waktu lama. Maka dari itu hati-hati bila operasi lebih dari 7
jam.
Halothane :
Halothane dibuat pertama kali oleh C.W. Suckling di tahun 1951; merupakan zat
anestesi yang sangat poten dan tidak berwarna; dapat meningkatkan tekanan intra
kranial serta dapat menyebabkan relaksasi uterus. Halothane dapat menimbulkan
terjadinya halothane hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu
pendek (pemberian berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Induksi dan pemulihan
154
cepat; tidak menyebabkan iritasi; tidak mengakibatkan mual, dan berefek
bronchodilator. Mendepresi jantung; menyebabkan vasodilatasi, aritmia, mengiritasi
miokard bila ada epineprin. Obat ini dimetabolisme di hepar sebanyak 20-45%. Hasil
metabolismenya berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluoracetat, gas chlorodifluoroetilen serta
chlorotrifluoroetilen.
Enflurane / Ehtrane :
Dibuat pertama kali oleh Terrel pada tahun 1963; merupakan obat anestesi poten.
Dapat menimbulkan eksitasi SSP terutama bila ada hipokapnia. Induksi dan pemulihan
cepat. Tidak menimbulkan hipersekresi; bersifat bronchodilator, non-emetik, compatible
dengan epineprin; menyebabkan penurunan tekanan darah akibat depresi miokard dan
vasodilatasi perifer; dimetabolisme sebanyak 2,4%, dan 80% dikeluarkan dalam bentuk
utuh melalui paru-paru.
Isoflurane :
Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan pemulihannya
cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran,
Isoflurane berefek bronkhodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan bersifat
kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama besarnya dengan
halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan menurunkan tekanan darah,
terutama dengan mendepresi miokardium dan sedikit vasodilatasi. Ethrane menurunkan
tekanan darah dengan mendepresi miokardium dan vasodilatasi perifer. Isoflurane
menurunkan tekanan darah terutama dengan vasodilatasi perifer dan hampir tidak
mendepresi miokardium.
Sevofluran
Sevofluran adalah suatu obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan
kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.
Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi
inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah
menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dibandingkan dengan Desfluran,
Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05). Desfluran mempunyai
kelarutan yang lebih rendah, akan tetapi, iritasi jalan nafas lebih besar dengan
Desfluran, maka obat anestesi inhalasi yang paling cocok untuk teknik VIMA adalah
Sevofluran.
Tidak ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian
iritasi saluran nafas serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi
inhalasi (baik untuk pediatrik atau dewasa) akan lebih cepat dengan sevofluran
daripada dengan halotan. Pada induksi inhalasi kejadian batuk, menahan nafas,
155
spasme laring, eksitasi lebih rendah daripada halotan, sehingga VIMA dengan
Sevofluran akan lebih menyenangkan daripada dengan halotan.
Bangun dari anestesi, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih
cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.
Sevofluran mendepresi SSP, kardiovaskuler dan respirasi paralel dengan
isofluran. Sevofluran didegradasi oleh soda lime membentuk suatu haloalken yang
bersifat toksik pada ginjal tikus, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada manusia.
Aman digunakan untuk operasi bedah saraf, pasien dengan kelainan serebral,
bedah Caesar, CABG, pasien dengan risiko miokardial iskhemia, penyakit hepar,
penyakit ginjal.
Obat anestesi intravena yang tersedia adalah Pentotal, Propofol, Etomidate, Midazolam,
Diazepam
Obat anestesi intravena disebut ideal bila memenuhi persyaratan larut dalam air, tidak
iritasi pada vena, tidak mempunyai efek anta analgesik, induksi cepat dan lancar, stabil
kardiovaskuler pada dosis klinis, dan lama kerja pendek sehingga pemulihan cepat.
Thiopentone
Pentotal mempunyai efek menurunkan tekanan darah, denyut jantung dapat menurun
atau meningkat bergantung pada fungsi jantung, dilatasi prefer, menekan kontraksi
jantung, spasme laring, spasme bronchus, depresi nafas sampai terjadihenti nafas,. Dosis
pentotal adalah 4-6 mg/kg BB.
Ketamin
Indikasi penggunaan ketamin adalah untuk operasi yang berlansung singkat, akan tetapi
dengan dosis rendah dapat dipakai sebagai analgetik intraoperatif dan postoperatif.
156
Karena efek pada sistem kardivaskuler maka kontraindikasi penggunaan ketamin adalah
bila tekanan sistolik > 160 mmHg, aritmia, gagal jantung. Karena refleks jalan nafas
masih dipertahankan dan juga menimbulkan hipersekresi maka operasi faring dan laring
tanpa dilakukan intubasi merupakan kontraindikasi.
Propofol
Merupakan suatu obat anestesi intravena baru, dengan mula kerja yang berat, lama kerja
singkat, akumulasi minimal, pemulihan cepat, metabolisme ceapat. Tidak ada komlikasi
pada tempat suntikan. Dosisnya 2-2.5 mg/kg BW.
Sangat berguna dalam anestesi umum misalnya laringoskopi dan intubasi jadi lebih
mudah serta menghindari cedera, digunakan selama operasi dengan ventilasi kendali.
Disebut Pelumpuh otot yang ideal bila termasuk golongan non depolarisasi, onset cepat,
mula kerja singkat, pemulihan cepat, potensi tinggi, tidak kumulatif, metabolitnya tidak
aktif, tidak ada efek kardiovaskuler, tidak ada pelepasan histamine, dapat dilawam
dengan anticholinesterase.
157
IX. Narkotik Analgetik
Narcotic analgesic disebut ideal bila mempunyai Wide margin of safety yang lebar,
onsetnya cepat, lama kerja singkat, pengendalian analgesi mudah, analgesi kuat, tidak
ada pelepasan histamin, tidak mempunyai metabolit aktif.
Laringoskop berbentuk huruf L, peganggannya disebut "handle" yang berisi batu batere
dan yang melengkungnya disebut "blade". Blade ada yang lurus, ada juga yang
melengkung. Puncak dari blade, pada saat melakukan laringoskopi, akan menyentuh
epiglotis atau vallecula (sudut yang dibentuk oleh lidah dan epiglotis) yang secara
langsung atau tidak langsung akan menaikkan epiglotis, sehingga pita suara akan
terlihat.
-.visualisasi epiglotis.
158
-.mengangkat epiglotis.
Posisi kepala :
Insersi blade :
Handle dipegang tangan kiri, jari-jari tangan kanan membuka mulut, masukkan
blade laringoskop, lidah didorong ke kiri sehingga kita melihat melalui sisi
kanan mulut.
Visualisasi epiglotis :
Blade didorong ke dalam sampai epiglotis terlihat.
Mengangkat epiglotis :
Ada 2 teknik :
a) Cara pertama. Untuk blade yang lurus, dimasukkan di bawah
epiglotis, yang bila ujungnya diangkat pita suara akan terlihat.
b) Cara kedua. Untuk blade yang lengkung ujung blade diletakkan pada
valeculla. Dengan mengangkat dasar lidah, epiglotis juga akan
terangkat dan glotis akan terlihat.
159
2) perubahan tekanan darah dan irama jantung. Oksigensi sebelumnya, laringoskopi
yang cepat dan tidak traumatik akan mengurangi kemungkinan perubahan-perubahan
itu.
2. Intubasi Endotrakheal :
Ada istilah yang disebut anestesi endotrakheal, artinya adalah memasukkan gas anestesi
ke dalam trakhea melalui pipa yang dimasukkan melalui laring (atau tracheostoma) ke
dalam trakhea.
-.laparotomi.
-.pediatrik.
-.non-operatif (resusitasi).
160
-.dead space anatomi (normal 75ml) berkurang menjadi 25 ml.
-.ventilasi dapat dikendalikan pada pasien dengan posisi telungkup, miring atau
posisi lain yang tidak umum (bukan posisi terlentang).
-.trauma pada bibir, gigi, tenggorokan, maupun laring yang menimbulkan suara
serak, nyeri, atau juga sakit saat menelan. Bila terjadi aberasi mukosa, dapat
timbul ephysema. Bila terjadi perforasi membran dapat terjadi mediastinitis.
-.Tipe ETT bisa yang non-kingking (spiral) yang dibuat dari spiral coil nilon atau
kawat yang ditanam di dalam lateks. Yang king-king tentu tanpa spiral.
-.ETT, untuk pediatrik umumnya tanpa balon (Cuff). Cuff ini harus diperiksa dahulu
sebelum digunakan, apakah bocor atau tidak. Setelah intubasi, cuff diisi udara kira-
kira 5-10ml, tapi hanya sampai tidak terdengar suara kebocoran bila diventilasi.
-.Yang paling umum dan sering digunakan adalah dari bahan PVC karena :
-.Nomor ETT adalah ukuran diameter interna dalam mm. Misalnya ETT no.8, artinya
diameter internalnya 8mm.
161
b). Stylet.
Stylet harus dilubrikasi sebelum dimasukkan ke dalam ETT. Ujung stylet tidak
boleh keluar melewati ujung ETT, sebab ada sesiko injury pada fossa pyriformis,
membran crico thyroid, membran cricopharingeal dengan akibat terjadinya emphysema
subcutis, mediastinitis, pneumothoraks.
-.pemasangan yang tidak betul akan mendorong lidah pada hipopharyng, sehingga
terjadi obstruksi jalan nafas .
-.bila terlalu panjang, ujungnya akan menyentuh epiglotis atau pita suara, sehingga
bisa terjadi batuk-batuk atau spasme laryng.
-. bila terlalu panjang, pada operasi yang lama bisa menimbulkan edema pharyng,
sakit menelan.
e). Lubricant.
Lubricant dipakai untuk melicinkan ETT bila akan melakukan intubasi
nasotrakheal, untuk melicinkan stylet yang akan dimasukkan ke dalam ETT atau untuk
melicinkan pipa nasogastrik atau maag slang (NGT -- Nasogastric Tube)
162
di pharyng, laryng, trakhea dan bronkhus.
Intubasi bisa dilakukan dalam anestesi ringan dengan obat pelemas otot atau dalam
keadaan sadar (awake intubation).
Setelah melalui pita suara, cuff diisi dengan udara secukupnya sampai tidak terdengar
kebocoran udara saat diventilasi (tekanan dalam cuff < 25 mmHg). Cuff tersebut harus
ada di sebelah distal pita suara. Bila ETT tidak mempunyai cuff, harus dimasukkan
sampai 3-4 cm distal pita suara (pada dewasa), atau 1-2 cm distal pita suara (pada anak-
anak).
4. Ekstubasi
Ekstubasi dilakukan bila operasi telah selesai, nafas adekuat. Pemakaian pipa
dilakukan saat pasien inspirasi maksimal. Tidak boleh ada kateter suction dalam pipa
saat penarikan pipa karena akan menurunkan PO2 dalam paru-paru. Bila ekstubasi
dilakukan pada light anaesthesia bisa terjadi komplikasi batuk-batuk, spasme laring dan
spasme bronkhus.
Bila pipa dimasukkan terlalu dalam bisa masuk ke bronkhus primer kanan
sehingga bisa terjadi obstruksi, atelektasis, colleos dari paru-paru kiri dan
163
lobus atas paru-paru kanan. Maka setiap kali telah melakukan intubasi harus
diperiksa supaya ventilasi pada kedua paru-paru sama, dengan cara :
e. Tracheal stenosis.
f. Granuloma laring.
164
Midazola Smooth Vasodilata Depressi None Yes Smooth /
m / tion on rapid
interme
diate
Alfentani Smooth Depressio Depressi Yes Mini Smooth /
l / rapid / n on mal rapid
rigidity
Sufentan Smooth Minimal Depressi Yes Mini Smooth /
il / rapid / on mal intermediate
rigidity
Table : Benzodiazepines
Diazepam
Lorazepam
Triazolam
Chlordiazep
oxide
Flurazepam
Oxazepam
Prazepam
Temazepam
165
Alprazolam
Dizepa 0.1 0.2 mg/kg p.o. Postoperatives sedation may last for
m premed. several hours.
Triazol 0.25 0.5 mg p.o. premed. Shorter duration than diazepam with
am less postoperative sedation and greater
amnesia.
166
Table : Physicochemical Properties of Most Widely Used Volatile Anesthetics
Boiling Point oC
(25oC / 4oC)
Vapour Pressure
Blood/Gas Partition
Coefficient
4 2.35 1.91 1.4 0.42 0.63
Minimum Alveolar
Concentration
(MAC.%)
0.76 1.68 1.15 6.0 2.05
(40 years of age)
167
Reacts with metals Yes No No No No
Soda Lime No No No No No
Stability
Flamable No No No No No
Explosive No No No --- No
Metabolites F-, Cl-, F-, CDA F-, TFA F-, TFA F-,
Br-, TFA,
BCDFE, HFIP
CDE,
CTE,
DBE
NA = Not Available; * = Requires a vaporizer especially designed for the drug rather
than a re-calibration of a general use vaporizer; TFA = trifluoroacetic acid; BCDFE =
2-bromo-2-chloro-1.1.-difluoroethylene; HFIP = hexafluoroisopropanol; CDA =
Chlorodifluoroacetate; CDE = 1.1.-difluoro-2-chloroethylene; CTE = 1.1.1.-trifluoro-
2-choroethrane; DBE = 1.1.-difluoro-2-bromo-2-chloroethylene.
168
Table : Clinical pharmacology of inhalational Anesthetics.
Hal Meth En- Iso- Des- Sevo-
N2
o- oxy- flura flurane flurane flurane
O
than fluran ne
e e
Cardiovascular
Respiratory
Tidal volume
Respiratory rate
PaCO2
Resting N/C
Challenge
Cerebral
Blood flow
Intracranial
pressure
Cerebral metabolic
rate**
Seizures
Neuromuscular
169
Nondepolarizing
blockade***
Renal
Glomerular ? ?
filtration rate
? ?
Urinary output
Pada saat ini obat-obat anestesi yang tersedia di Rumah Sakit Kabupaten,
umumnya adalah ether dengan alat EMO, ketamin, pentotal untuk induksi anestesi dan
alat serta obat untuk regional analgesia. Tanpa mengurangi arti dan efektivitas ether
yang diketahui sebagai obat anestesi dengan margin of safety yang luas, murah serta
mudah diperoleh, kita ketahui juga bahwa pemakaian ether adalah terbatas dan tidak
semua penderita dapat dilakukan anestesi dengan ether terlebih-lebih pasen dengan
kenaikan ICP, tidak boleh dianestesi dengan ether. Juga frekuensi mual-muntah pasca
bedah tinggi serta penderita lama untuk sadar. Faktor lain yang merugikan ether adalah
sifatnya yang menimbulkan polusi.
Demikian pula penggunaan ketamin tidak dapat dilakukan untuk semua penderita.
Ketamin diketahui mempunyai efek halusinasi, mual-muntah pasca bedah, menaikkan
tekanan darah dan ICP, serta mimpi buruk yang bisa terjadi sampai 24 jam pasca bedah.
Karena itu perlu diketahui suatu teknik anestesi yang dapat dilakukan dengan peralatan
yang sangat sederhana, obatnya murah serta mudah didapat, penggunaannya mudah
serta cukup menyenangkan untuk penderitanya. Untuk itu dipikirkan teknik TIVA (Total
170
Intra Venous Anaesthesia) dengan memakai Pentotal.
TIVA adalah suatu teknik anestesi yang menguntungkan, bukan saja untuk pasien
tetapi juga untuk dokter dan perawat yang mengelola pasien tersebut di kamar operasi
dan ruang pemulihan. Tetapi sayangnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil anestetist.
Mengapa ? Ada beberapa alasan, salah satunya adalah anestetist takut tidak
mendapatkan anestesi yang adekuat, pasien bergerak-gerak, awareness dan operator
tidak puas.
TIVA adalah teknik anestesi seimbang dimana terdapat trias anestesi, yaitu
hipnotik, analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat diperoleh dengan obat anestesi
intravena pentotal, propofol, ketamin, midazolam. Analgetik dengan petidin, morfin,
fentanil, alfentanil atau sufentanil. Relaksasi dengan pankuronium, vekuronium atau
atrakurium.
- tidak merusak vena (sakit waktu suntikan, plebitis atau trombosis) atau
kerusakan jaringan bila ada ekstravasasi atau suntikan intraarteri
- situasi dimana sulit memberikan anestesi inhalasi karena tidak adanya N2O
- mencegah awareness selama cardio pulmonary by pass, untuk proteksi otak pada
171
periode iskemia otak
- adanya depresi nafas pada periode paska bedah akibat efek narkotik
Komplikasi dan efek samping seperti mual-muntah, rasa sakit hebat, lama
bangun, maupun pusing akan memperlambat pasien tinggal di ruang pemulihan, maka
pemilihan obat anestesi menjadi faktor penting untuk menghilangkan komplikasi ini.
TIVA dapat diberikan secara bolus, intermittent atau kontinyu. Teknik pemberian
kontinyu mempunyai efek samping yang lebih kecil dan pemulihan yang lebih cepat
daripada pemberian secara intermittent (White, 1983; White dkk 1986). Tetapi manakah
yang lebih baik antara TIVA dengan anestesi inhalasi untuk pasien bedah rawat jalan
sampai sekarang masih kontroversial.
172
- tanpa efek samping,
Walaupun obat anestesi yang ideal belum ada, tetapi beberapa obat tetap masih
bisa digunakan, tergantung dari tujuannya. Misalnya :
Untuk operasi pasien yang ICP-nya tinggi dapat dipakai TIVA dengan Pentotal +
Norkuron + Fentanil.
Brooks dkk (1948), menunjukkan bahwa fase pertama adalah adanya redistribusi
yang sangat cepat kepada jaringan bukan neuron. Kembalinya kesadaran setelah pentotal
anestesia terutama disebabkan karena adanya redistribusi ke jaringan lain di luar
jaringan otak, bukan disebabkan karena obat tersebut dimetabolisme.
Kerugiannya adalah larutannya tidak stabil, pH-nya tinggi dan irritant bila terjadi
extravasasi, hiperalgesi pada dosis rendah, tidak mempunyai efek analgesik pada dosis
klinik, tidak menimbulkan relaksasi otot pada dosis yang aman dan bersifat
phorphyrogenic, serta kumulatif efek.
173
Pentotal kontinyu dapat dilakukan dengan :
- melarutkan pentotal pada cairan infus dalam botol infus dan diberikan secara tetes
dengan kecepatan tertentu.
- melalui komputer, dengan cara ini diperoleh hasil pemberian dosis yang betul-betul
sesuai dengan kebutuhan.
Karena adanya efek kumulatif, pentotal tidak disukai untuk dipakai pada TIVA karena
menimbulkan efek eksesif somnolent. Tetapi keadaan ini dapat dikurangi dengan cara
mengatur dosis dan pentotal dihentikan 30 menit sebelum operasi selesai.
- alat yang dipakai tidak banyak, hanya perlu infus set dan bellow atau ambu
bag dan oksigen.
Setelah suatu suntikan pentotal, dengan dosis 400 mg, penderita akan bangun
dalam waktu 15 menit. Keadaan ini bukan karena obat tersebut dimetabolisme, tetapi
terjadi redistribusi ke organ-organ lain seperti jaringan otot dan lemak.
174
MONITORING
Alat monitor yang dipasang adalah standar monitor di OK. Yang disebut standar
monitor untuk anestesi adalah tekanan darah noninvasif, pulse oxymetri (untuk
mengukur O2 saturasi dan denyut nadi), EKG, nerve stimulattor (untuk mengukur TOF =
Train of Four), capnometer. Karena kita tidak punya alat-alat monitor tersebut, maka kita
gunakan tensimeter yang biasa saja.
Persiapan pasen adalah seperti biasa, dipasang venous line 1 buah sesuai
dengan kebutuhan. Kanul vena yang dipakai adalah kanul vena yang mempunyai
lubang untuk memasukkan obat, misal dengan teflon, atau memasang konektor 3
cabang.
Pemberian pentotal yang berikutnya adalah pada 30 menit pertama setiap 10 menit
dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB. Setelah itu interval pemberian adalah setiap 30 menit.
Ventilasi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasen, untuk pasen yang diinginkan
PaCO2nya turun tentu harus dilakukan hiperventilasi, tetapi bila ingin PaCO2 dalam
batas normal dilakukan normoventilasi. Kebutuhan analgetik dan pelemas otot
disesuaikan dengan kebutuhan pasen. Selesai operasi, tergantung apakah sisa obat
pelemas otot masih ada atau tidak, dilakukan reverse dengan prostigmin yang
sebelummnya diberikan sulfas atropin dulu.
175
Karena pentotal mempunyai efek depresi miokard, maka harus selalu dilakukan
pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum kita memberikan dosis
ulangan pentotal.
Persiapan pasen seperti biasa, dipasang kanul vena dengan konektor 3 cabang.
Kalau pada teknik intermittent, cabang yang ketiga dihubungkan dengan syringe
yang berisi pentotal 2,5% sekarang cabang yang ketiga ini dihubungkan dengan botol
infus yang berisi larutan pentotal atau dengan larutan pentotal dalam syringe pada
syringe pump.
a). Induksi dengan fentanil 1-2 mcg/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB lalu berikan
pentotal bolus 4-5 mg/kgBB dan pancuronium 0,1 mg/kgBB. Sesaat sebelum
laringoskopi dan intubasi berikan lagi dosis ulangan pentotal 2-2,5 mg/kgBB.
Rumatan anestesi diperoleh dengan membe-rikan pentotal 1-3 mg/kgBB/jam.
Kalau berat badan penderita sekitar 60 kg, maka dosisnya adalah 150 mg/jam atau
2,5 mg/menit. Jadi untuk maintenance anestesinya diberikan pentotal tetes
sebanyak 2,5 mg/menit. Tadi disebutkan bahwa cabang yang ketiga dihubungkan
dengan larutan dextrose 5% yang berisi pentotal. Supaya kita tidak memberikan
tetesan / cairan yang terlalu banyak terutama pada penderita-penderita tertentu,
maka kita buat larutan tiopental 1%, berarti 10 mg/ml. Tetesan pada infus set
dewasa diperkirakan 1 ml adalah 20 tetes. Untuk mencapai dosis 2,5 mg/menit
maka kita berikan 5 tetes per menit larutan tiopental 1%. Untuk pengaturan
kecepatan, kita bisa menggunakan infus pump.
b).Cara lain adalah berikan fentanil 1-2g/kgBB, lalu teteskan larutan pentotal 0,1-
0,2% sebanyak 80-180 tetes/menit, sampai penderita tidur. Untuk maintenance
anestesi diberikan 60-80 tetes/menit.
Atau : buat larutan 1000 mg pentotal dalam 500ml dextrose 5%. Beri pentotal 4-
176
5mg/kgBB secara bolus, setelah pasen tidur, beri succinyl cholin 1mg/kgBB,
ventilasi, intubasi, beri pentotal 60 tetes/menit dan untuk maintenance beri
pentotal 20-30 tetes/menit (2-3mg/menit). Analgetik dengan petidin 1 mg/kgBB,
pelemas otot dengan pancuronium 0,08 mg/kgBB.
c).Pentotal kontinyu yang lebih akurat lagi adalah dengan memberikan pentotal
melalui syringe pump. Teknik induksinya seperti tadi. Untuk rumatan anestesi,
pentotal diberikan kepada pasen dengan dosis 1-3 mg/kgbb/jam. Kita buat larutan
pentotal 2,5% di dalam syringe dan diberikan kepada pasen dengan dosis 1-
3mg/kgBB/jam. Misalnya berat badan pasen 60 kg, maka dosis pentotal adalah
150 mg/jam. Larutan pentotal yang kita buat adalah 2,5% berarti 25 mg/ml, jadi
berikan dengan kecepatan 6 ml/jam. Kita tinggal memutar angka pada syringe
pump ke angka 6, yang berarti kecepatannya adalah 6 ml/jam.
Seperti halnya vaporizer yang memberikan plasma level tertentu untuk obat
anestesi inhalasi maka komputer dapat membantu infus memberikan level plasma
tertentu untuk obat anestesi intravena. Selanjutnya, mendapatkan level obat dalam
plasma untuk mencegah pergerakan terhadap stimuli bedah, kenaikan tekanan
darah atau takhikardi, jadi analog dengan MAC pada obat anestesi inhalasi. Obat
yang berbeda memerlukan program komputer yang berbeda, misalnya pemberian
3 macam obat (pentotal, pancuronium dan petidin) yang dilakukan melalui
program komputer akan memerlukan 3 buah komputer. Komputer akan membantu
mencegah tercapainya konsentrasi puncak dari obat seperti halnya pada pemberian
bolus atau intermittent.
Konsentrasi pentotal 10 mcg/ml dalam darah arteri cukup adekuat untuk anestesia.
Dosis induksi dewasa, coba dengan 50 mg, lalu sisanya adalah 2,5 mg/kg LBM,
kemudian kecepatan pemberian ikuti tabel di bawah ini.
Dosis lebih berdasarkan pada LBM (Lean Body Mass) daripada berat badan total.
LBM diperkirakan dengan metoda yang dilaporkan oleh James dengan
menggunakan Berat Badan (kg) dan Tinggi Badan (cm), yakni sebagai berikut :
177
Table : Infusion rates (ml/h) for Pentotal to reach a desired arterial concentration
of 10ug/ml with a syringe concentration of 25mg/ml.
LBM 35 40 45 50 55 60 65 70 75
(kg)
Bolus 2.8 3.2 3.6 4.0 4.4 4.8 5.2 5.6 6.0
(ml)
(min) 0- 26. 30. 34. 37. 41. 45.3 49.1 52.9 56.7
5 5 2 0 8 6
5-10 18. 21. 23. 26. 29. 31.6 34.3 36.9 39.5
5 1 7 4 0
10-20 13. 15. 17. 19. 20. 22.8 24.7 26.6 28.5
3 2 1 0 9
20-30 10. 12. 13. 15. 17. 18.6 20.1 21.7 23.2
8 4 9 5 0
30-60 9.6 10. 12. 13. 15. 16.4 17.8 19.1 20.5
9 3 7 0
60-90 8.7 10. 11.2 12. 13. 15.0 16.2 17.5 18.7
0 5 7
90-120 8.3 9.4 10. 11.8 13. 14.2 15.3 16.5 17.7
6 0
120-150 7.9 9.1 10. 11.4 12. 13.6 14.8 15.9 17.0
2 5
150-180 7.7 8.9 10. 11.1 12. 13.3 14.4 15.5 16.6
0 2
Referensi :
178
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
179
MODUL 9 : ANESTESI REGIONAL I
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
180
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional,
farmakologi anestesia lokal, fisiologi anestesia neuraksial
dan anestesia regional intravena, dapat melakukan anestesia regional neuraksial dan anestesia
regional intravena secara baik dan benar, melakukan penatalaksanaan komplikasi anestesia regional
dan penatalaksanaan nyeri akut pasca bedah dengan anestesia neuraksial.
TUJUAN KHUSUS
Kognitif
a. Mampu menjelaskan jenis-jenis obat anestesi lokal, mekanisme kerja dan sifat obat anestesia
lokal
b. Mampu menjelaskan jenis-jenis serabut syaraf yang dihambat serta jenis hambatan motorik
dan sensorik yang dihasilkan dan cara pengecekkannya.
c. Mampu menjelaskan faktor-faktor patofisiologi yang mempengaruhi kerja obat anestesi
lokal.
d. Mampu menjelaskan dosis, dosis maksimum, mula kerja, masa kerja, cara pemberian
masing-masing obat anestesi lokal.
e. Mampu menjelaskan penggunaan klinik masing-masing obat anestesi lokal termasuk bentuk
preparasinya, penambahan dengan adjuvan lain.
f. Mampu menjelaskan berbagai efek samping dan toksisitas yang dapat ditimbulkan obat
anestesi lokal beserta tanda-tanda klinisnya
g. Mampu menjelaskan anatomi tulang belakang dan medula spinalis, lapisan-lapisannya mulai
dari kulit, ligamen-ligamen, sampai ke rongga subarahnoid , variasi anatomi yang mungkin
dijumpai, dan implikasinya terhadap anestesia subarahnoid
h. Mampu menjelaskan tentang fisiologi cairan serebrospinal
i. Mampu menjelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan
penatalaksanaan perubahan fisiologis yang terjadi.
j. Mampu menjelaskan fisiologi terjadinya analgesia pada anestesia regional intravena
k. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan anestesia subarahnoid dam
anestesia regional intravena
l. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesi dan
mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia
subarahnoid dan anestesia regional intravena.
m. Mampu menjelaskan persiapan alat , jenis-jenis jarum dan obat anestesi lokal yang
akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena.
n. Mampu menjelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional
intravena yang baik dan benar.
o. Mampu menyebutkan berbagai posisi pasien anestesia subarahnoid serta keuntungan dan
181
kerugiannya untuk efek penyebaran obat.
p. Mampu menjelaskan level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
q. Mampu menyebutkan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja
obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoid, serta jenis ajuvan yang
dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat anestesia lokal.
r. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat, ketinggian blok
anestesia subarahnoid, mula dan masa kerja anestesia subarahnoid
s. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
Psikomotor
a. Mampu memilih dan mempersiapkan jenis obat anestesi lokal yang akan dipakai dengan
dosis, konsentrasi dan pengenceran, penambahan adjuvan yang sesuai dengan indikasi dan
kebutuhan.
b. Mampu menjaga sterilitas dan melakukan penyimpanan obat anestesi lokal dengan baik dan
benar.
c. Mampu mengenali tanda-tanda klinis dan melakukan pemeriksaan adanya hambatan
sensorik dan motorik saat obat anestesi lokal mulai bekerja atau akan habis.
d. Mengenali tanda- tanda klinis , dan mampu mencegah dan melakukan penatalaksanaan efek
samping dan toksisitas obat anestesia lokal.
e. Mampu melakukan persiapan preoperatif yaitu kunjugan preanestesia, memilih pasien yang
sesuai untuk tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena, dan
mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia
subarahnoid dan anestesia regional intravena.
f. Mampu melakukan persiapan alat (alat anestesia subarahnoid , alat anestesia regional
intravena dan alat resusitasi) , monitor , dan obat obatan (anestesi lokal, ajuvan, obat
resusitasi) untuk anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena.
g. Mampu melakukan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional
intravena yang baik dan benar
h. Mampu melakukan prosedur anestesia subarahnoid dengan berbagai posisi pasien dan
melalui pendekatan midline dan paramedian
i. Mampu memeriksa level ketinggian minimal dan jenis blok pada anestesia subarahnoid
yang diinginkan termasuk dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan
operasi yang akan dilakukan.
j. Mampu menyiapkan berbagai jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran dan memakai
berbagai jenis obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoiddan
anestesia regional intravena, serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu
kerja obat anestesia lokal.
k. Mampu melakukan pemantauan pasien dalam anestesia subarahnoid dan anestesia regional
intravena
l. Mampu mengenali komplikasi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena, melakukan pencegahan dan mengatasi komplikasi yang tersebut
182
Ketrampilan komunikasi interpersonal
a. Mampu menjelaskan kepada pasien, keluarga pasien dan teman sejawat operator tentang
manfaat, efek yang ditimbulkan anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena dan
resiko yang dapat timbul dari pemberiannya
b. Berkomunikasi dengan pasien dan sejawat operator bila timbul efek samping.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum, selama dan
sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk kerjasama dalam
mengelola pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat timbul,
penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pasca bedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Hampir semua obat anestesi lokal memblok terowongan Na dari sisi sebelah dalam sel,
mencegah aktivasi terowongan dan terjadi Na influks secara selintas yang banyak dan
dihubungkan dengan depolarisasi membran. Konduksi impuls melambat, kecepatan
peningkatan dan besarnya aksi potensial menurun, dam ambang untuk eksitasi meningkat
dengan cepat sampai aksi potensial yang dihasilkan tidak lebih lama dan perambatan impuls
berakhir.
2. Tidak semua serabut saraf dipengaruhi obat anestesi lokal dengan akibat yang sama.
Sensitivitas terhadap blokade ditentukan oleh diameter akson, tebalnya meilinisasi, dan
berbagai faktor anatomi dan fisiologis lain.
3. Potensi berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak, itu adalah kemampuan molekul obat
anestesi lokal untuk menembus membran, yang merupakan lingkungan yang hidrophobic.
4. Mula kerja bergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan dalam lemak dan konsentrasi
relatif bentuk non-ion yang larut dalam lemak (B) dan bentuk ion yang larut dalam air (BH +),
yang ditunjukkan dengan pKa. Obat anestesi lokal dengan nilai pKa hampir sama dengan pH
fisiologis, mempunyai konsentrasi basa non-ion yang lebih tinggi yang dapat menembus
membran sel saraf, dan umumnya mempunyai onset yang lebih cepat.
183
5. Lama kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak. Lebih tinggi kelarutan obat
anestesi lokal dalam lemak lebih panjang lama kerjanya, kemungkinan disebabkan karena
sedikit diambil oleh aliran darah.
6. Disebabkan karena obat anestesi lokal disuntikkan sangat dekat ke site of action, gambaran
farmakokinetik umumnya lebih penting ditentukan oleh eliminasi dan toksisitas daripada
efek klinis.
8. Obat anestesi lokal golongan ester terutama dimetabolisme oleh pseudocholinesterase. Obat
anestesi lokal golongan amid dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzym
microsomal P-450 dalam liver.
9. Susunan saraf pusat tempat dari tanda permulaan dari overdosis pada pasien yang sadar.
Tanda dini adalah rasa baal, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan perasaan berupa tinitus, dan
pandangan kabur. Gejala eksitatori (misalnya gelisah, agitasi, cemas, paranoid) sering
mendahuli depresi SSP (misalnya bicara seperti menelan, ngantuk, dan tidak sadar).
Twitching otot merupakan petanda akan terjadinya kejang tonik-klonik.
10. Toksisitas kardiovaskuler yang berat umumnya memerlukan 3 kali konsentrasi dalam darah
yang menimbulkan kejang. Aritmia jantung atau kolaps sirkulasi merupakan tanda yang biasa
pada overdosis obat anestesi lokal selama anestesi umum.
11. Suntikan intravaskuler yang tidak disengaja dari bupivakain selama anestesi reguional
menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, AV blok, irama
idioventrikuler, dan aritmia yang mengancam nyawa seperti ventricular takikardia dan
fibrilasi.
12. Reaksi hipersensitivitas yang betul-betul disebabkan oleh obat anestesi lokalseperti dari
toksisitas sistemik yang disebabkan karena konsentrasi plasma yang besaradalah jarang
terjadi. Golongan ester lebih sering menimbulkan reaksi alergi disebabkan karena golongan
ester merupakan derivat para aminobenzoic acid yang diketahui merupakan suatu alergen.
13. Spinal, epidural dan caudal blok juga disebut sebagai Neuroaxial anestesi. Setiap blok ini
dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat dilakukan
pemberian secara intermiten atau kontinu.
14. Melakukan tusukan lumbal (subarachnoid) harus dibawah L1 pada dewasa (L3 pada anak)
untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medulla spinalis.
184
15. Tempat kerja utama blok neuroaxial adalah pada nerve root (radiks saraf).
16. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih
tinggi dari blok sensoris (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade
motoris. Sensoris 2 segmen lebih tinggi dari motoris.
17. Interupsi transmisi eferen otonom pada radiks nerves spinalis dapat menimbulkan blokade
simpatis dan parasimpatis.
18. Blokade neuroaxial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut jantung
dan kontraksi jantung.
19. Efek kardiovaskuler yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi.
Loading volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling
vena.
20. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopressor.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat melakukan anestesi regional diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tentang
farmakologi obat anestesi lokal, mekanisme terjadi blok saraf, teknik melakukan anestesi regional,
mencegah dan melakukan terapi bila ada komplikasi
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan dan memehami:
METODE PEMBELAJARAN
185
pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang masalah yang timbul pada anestesia subarahnoid sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual
MEDIA
- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.
EVALUASI
Pretest
11. Jelaskan mekanisme kerja obat anestesi lokal pada anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena.
186
intravena
11. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan anestesia
regional intravena.
12.Jelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan anestesia regional intravena yang baik
dan benar.
13.Sebutkan beberapa cara penusukkan jarum spinal
14.Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom yang
dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan.
15.Jelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan anestesia spinal dan anestesia regional intravena
16.Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja obat
anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia spinal dan anestesia regional intravena serta
jenis ajuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat anestesia lokal.
17.Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat, ketinggian
blok anestesia subarahnoid.
18.Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia spinal dan anestesia regional intravena,
tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
Kognitif
-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
-
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-
Minicheck
Communication and Interpersonal Skills
-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
Knowledge
- MCQ (pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)
187
N Prosedur Anestesia Blok
o Subarahnoid
Sudah Belum
(pendekatan cara midline) dikerjakan dikerjakan
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR ANESTESIA
SUBARAHNOID
188
10 Dorong jarum sampai melewati
resistensi ligamentum flavum dan dura,
terasa loss of resistence pada rongga
subarahnoid.
DURANTE ANESTESIA
SUBARAHNOID
PASCA BEDAH
189
1 Monitor ABC di ruang pulih
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR ANESTESIA
REGIONAL INTRAVENA
190
diblok
DURANTE ANESTESIA
REGIONAL INTRAVENA
1 Monitor ABC
PASCA BEDAH
191
2 Monitor ABC di ruang pulih
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
192
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
I. Mekanisme Kerja
Seperti telah diketahui bahwa sel-sel saraf dalam keadaan rehat (resting state). Begitu ada
193
rangsangan terhadap perubahan permeabilitas dari membran sel, sehingga dinding sel relatif lebih
permeabel terhadap ion Na daripada ion K, maka terjadi influx Na kedalam sel, kemudian diikuti
dengan keluarnya ion K. Jadi pada waktu Na masuk ke dalam sel, maka di dalam sel relatif lebih
positif, sedangkan di luar lebih negatif, maka terjadi depolarisasi.
Pada waktu pemulihan, terjadi pergerakan ion-ion yang sebaliknya, dan kembali kepada
keadaan resting state, selanjutnya siap untuk menerima rangsang kembali dalam beberapa
mili-detik. Pemberian obat anestesi lokal mencegah terjadinya migrasi ion-ion ini
(membran sel stabil dalam keadaan resting state) dengan akibat terjadinya hambatan
impuls saraf.
3. Kompetisi obat anestesi lokal dan acetyl choline yang selalu diproduksi oleh sel-sel saraf yang
terkena rangsang terhadap reseptor site.
II. Farmakologi
Komponen kimia yang menunjukkan aktivitas lokal anestesi umumnya mempunyai ujung
aromatik, ujung amine, dan rantai intermediate. Obat anestesi lokal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
amino-ester dan amino-amid.
Obat anestesi lokal dengan suatu rantai ester diantara bagian aromatik dan rantai intermediet
disebut amino-ester, misalnya prokain, kloroprokain, dan tetrakain. Obat anestesi lokal dengan rantai
amid antara ujung aromatik dan rantai intermediet disebut amino-amid, misalnya lidokain,
mepivakain, prilokain, bupivakain dan etidokain. Perbedaan dasar antara golongan ester dan amid
adalah dalam cara metabolisme obat dan potensial alerginya. Golongan ester dihidrolisa di plasma
oleh enzym di liver. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah paraaminobenzoic acid yang
dapat menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amid tidak menghasilkan paraaminobenzoic
acid, dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat jarang.
1) Lipid solubility
2) Protein binding
3) pKa
194
4) Non-nervous tissue diffusibility
1) Lipid solubility :
Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat anestesi lokal tersebut.
Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten obat tersebut. Lipid solubility prokain kurang
dari satu, dan obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain,
tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi. Obat ini
menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik
anestesinya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan antara lipid solubility dan potensi intrinsik
anestesi selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran
saraf terdiri dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% axolemma terdiri dari lemak. Karena itu obat
anestesi lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf dengan lebih mudah,
yang direfleksikan sebagai peningkatan potensi.
2) Protein binding :
Kekhasan protein binding adalah mempengaruhi lama kerja obat anestesi lokal tersebut.
Prokain, pengikatan oleh proteinnya buruk, maka lama kerjanya (duration of action -nya) pendek.
Sebaliknya, tetrakain, bupivakain, etidokain protein binding nya tinggi, maka lama kerjanya panjang.
Hubungan antara protein binding obat anestesi lokal dan lama kerjanya adalah konsisten dengan
struktur dasar membran saraf. Protein membran saraf 10%. Karena itu obat yang menembus
axolemma dan diikat pada protein membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktivitas obat.
3) pKa :
pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH dimana bentuk ion dan non-ion ada dalam
keseimbangan. Obat anestesi lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggungjawab untuk difusi
menembus selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus
epineurium, yang kolerasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar. Persentase dari obat anestesi lokal
dalam bentuk dasar bila disuntikkan ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah sebaliknya
proporsional pada pKa obat tersebut. Sebagai contoh, lidokain yang mempunyai pKa 7,74 adalah
65% dalam bentuk ion dan 35% dalam bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Dari penelitian invivo
dan invitro telah dikonfirmasikan bahwa obat anestesi lokal yang mempunyai pKa hampir mendekati
pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada obat anestesi lokal dengan pKa yang
tinggi.
195
4) Non-nervous tissue diffusion :
Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja obat anestesi lokal. Tingkatan dan
lamanya blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat anestesi lokal yang menembus ke reseptor
pada membran saraf. Setelah suntikan obat anestesi lokal sebagian obat akan diambil jaringan saraf
dan beberapa bagian akan diabsorpsi ke dalam sistim sirkulasi. Derajat absorpsi vaskuler
berhubungan dengan aliran darah ke daerah dimana disuntikkan obat anestesi lokal. Semua obat
anestesi lokal, kecuali kokain, bersifat vasodilator, tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh
setiap obat berbeda-beda. Pada penelitian invitro telah ditunjukkan bahwa potensi intrinsik obat
anestesi lidokain lebih besar daripada mepivakain, tetapi invivo, mepivakain mempunyai potensi
yang sama dan lama kerja yang lebih panjang dari pada lidokain. Perbedaan antara invivo dengan
invitro adalah akibat lebih besarnya vasodilator activity dari lidokain sehingga absorpsi lidokain lebih
besar dan obat yang tersisa untuk memblokade saraf tinggal sedikit.
Obat anestesi lokal relatif bebas dari efek samping bila diberikan dalam dosis yang tepat dan lokasi
anatomis yang tepat. Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskuler atau dosis
besar subarakhnoid. Pemberian dosis yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat dapat membawa ke
arah toksisitas sistemik setelah absorpsi vaskuler obat anestesi lokal tersebut.
Pengaruh toksisitas tergantung dari kadar obat anestesi lokal dalam plasma. Bila kadarnya
6g/ml gejalanya adalah gangguan penglihatan, disorientasi dan ngantuk. Bila kadarnya 10g/ml
gejalanya adalah tidak sadar, twitching otot, tremor (muka, ujung ekstrimitas). Bila kadarnya
12g/ml timbul kejang-kejang, dan bila kadarnya 20g/ml terjadi henti nafas.
Eksitasi
196
Depresi
Hipertensi
Hipotensi
Iritasi Lokal
(1) Kerusakan serabut saraf
(2) Kerusakan otot skelet
Lain-lain
(1) Alergi
(2) Methemoglobinemia (prilokain)
(3) Kecanduan (Kokain)
Toksisitas Sistemik :
Toksisitas sistemik obat anestesi lokal secara primer umumnya mengenai susunan saraf pusat
dan sistim kardiovaskuler. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistim kardiovaskuler.
Penelitian pada anjing dan biri-biri menunjukkan bahwa diperlukan dosis dan kadar obat anestesi
lokal yang lebih kecil untuk menimbulkan toksisitas SSP daripada toksisitas kardiovaskuler.
CNS excitation
Tinnitus
Lightheadedness
Confusion
Circumoral numbness
Tonic-clonic convulsions
Drowsiness
197
Unconciousness
Respiratory arrest
2. Kadar CO2: bila kadar CO2 darah meningkat, ambang konvulsi menurun.
Pada sukarelawan yang diinfus obat anestesi lokal merasakan adanya perasaan melayang, pening,
diikuti gangguan penglihatan dan pendengaran (seperti kesulitan memfokuskan pandangan dan
tinnitus) serta adanya disorientasi dan mual. Tanda-tanda lain adalah adanya eksitasi, menggigil,
twitching otot dan tremor pada otot-otot muka dan bagian distal ekstrimitas dan terjadi kejang-kejang
yang menyeluruh. Bila dosis besar diberikan secara sistemik, gejala pertama SSP eksitasi segera
diikuti oleh SSP depresi, depresi nafas dan henti nafas. Perbandingan relatif toksisitas SSP dari
bupivakain, etidokain dan lidokain adalah 4:2:1.
Toksisitas Kardiovaskuler :
Obat anestesi lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistim kardiovaskuler.
Pemberian secara sistemis dapat mempengaruhi otot jantung dan otot polos dinding pembuluh darah.
Lidokain :
Lidokain biasanya digunakan untuk terapi aritmia (ventricular extrasystole). Efek primer dari
lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi. Bupivakain dapat mempresipitasi
timbulnya aritmia jantung, yaitu adanya blok unilateral dan suatu aritmia jantung tipe reentrant.
Tergantung dosisnya, obat anestesi lokal bisa bersifat inotropik negatif. Makin poten obat anestesi
lokal tersebut, semakin kuat mendepresi jantung.
Lidokain :
Onsetnya lebih cepat dan lama kerja lebih lama dari prokain.
Efek topikalnya baik.
Sering dipakai sebagai anti aritmia.
Dipakai untuk menumpulkan rangsangan akibat laringoskopi-intubasi yang
menimbulkan kenaikkan tekanan darah dan frekuensi nadi dengan dosis 1-1,5 mg/kg
198
BB intravena.
Obat anestesi lokal yang paling banyak dipakai dan sebagai pembanding obat anestesi lokal
lainnya.
Konsentrasi untuk pemberian infiltrasi 0,5-1%, epidural 1-2%, blok saraf 1-1,5%, topikal
4%, spinal 5%.
Onsetnya cepat, duration 60-120 menit.
Dosis maksimalnya 300mg tanpa epinephrin, 500mg bila dicampur dengan epinephrin.
Dosis rata-ratanya 7-8mg/kgBB.
Bupivakain :
Potensinya lebih kuat.
Duration-nya lebih lama.
Toksisitasnya hampir sama dengan tetrakain, 4-5 kali lebih besar dari lidokain.
Motor blockade lebih lemah daripada lidokain.
Onset-nya lebih lama daripada lidokain.
Banyak dipakai pada nyeri pascabedah dan analgesi pada persalinan.
Konsentrasi infiltrasinya 0,25-0,5%, nerve block 0,25-0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5.
Onset-nya lambat, duration 180-300 menit.
Single dose maksimumnya 175mg.
Dosis rata-ratanya 3-4mg/kgBB.
Tergantung dari jenis teknik anestesi lokal apa yang akan digunakan. Secara umum pasien
harus diberitahu bahwa untuk yang bersangkutan anestesi terbaik adalah anestesi lokal. Bila perlu
bisa juga sedikit dijelaskan tentang cara melakukan tindakan anestesi lokal tersebut. Pasien tetap
dianjurkan puasa untuk mencegah muntah bila diperlukan kombinasi dengan anestesi umum.
Diperiksa tempat yang akan disuntik, apakah memungkinkan dilakukan tindakan anestesi lokal.
Diberikan premedikasi sedatif dan analgetik kalau perlu. Contoh premedikasi misalnya dengan
diazepam atau lorazepam. Pada keadaan-keadaan tertentu lebih baik tidak dilakukan anestesi lokal,
misalnya pasien tidak kooperatif, ditemukan penyakit saraf, anemia berat, ataupun infeksi kulit.
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena deposit obat
anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior
dan posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas
199
otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-
fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi
lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris.
Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.
Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan
kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat
anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.
Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi
kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesi.
2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.
3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik, rectosigmoid,
kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi spinal anestesi untuk
abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan
perubahan fisiologis yang hebat.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan
cairan serebrospinal.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernikiosa, neurosyphilys, dan
porphiria.
7. Hipotensi.
200
Kontra Indikasi Relatif :
3. Anak-anak.
Anatomi :
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4
coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat
penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan
epidural berakhir di vertebra S2.
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medulla spinalis, dari
luar ke dalam adalah sebagai berikut :
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.
2. Posisi pasien :
a) Posisi Lateral.
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut,
kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk.
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang
telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk
memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle
201
block.
c) Posisi Prone.
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau
prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit ditutupi
dengan doek bolong steril.
4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil
diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan
keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi
lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain, bupivakain,
levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang
poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5%
dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan
lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk
operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia
tinggi.
Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.
Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut : level
segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit,
sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk
keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :
--. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral.
202
--. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen
torakal bawah, lumbal dan sakral.
--. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk segmen torakal,
lumbal, dan sacral.
--. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk segmen torakal
4-12, lumbal, dan sacral.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan hipotensi, serta
respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.
Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan,
valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan.
Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga akan
semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita
mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua
obat anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan
subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga akan
menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan
turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang
dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.
Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor,
maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat
jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035,
sedangkan hipobarik 1,001-1,002.
Perawatan Selama pembedahan.
Perawatan Pascabedah.
203
3. Cegah trauma pada daerah analgesi.
5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.
7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan
darah dan frekuensi nadi.
--. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus
vasokonstriksi simfatis.
--. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.
--. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya
vasokonstriksi.
Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan darah
turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla
oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari
tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat
vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau
NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-
50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-
20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi
myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac
accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan
mungkin juga tekanan darah.
204
2. Sistim Respirasi
Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia
medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena
terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi
batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.
3. Sistim Gastrointestinal :
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien
sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter
bedah manipulasi traktus gastrointestinal).
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor
serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan
semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka
bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml
dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien
terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak
terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :
--. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak
merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
--. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan
menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
--. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat
kebocoran.
Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar
(no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami
sakit kepala daripada laki-laki.
205
5. Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesi.
6. Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum
pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi
vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.
Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya
adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memaki syringe dan jarum yang
disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik
antiseptik.
Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari
ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
206
MODUL 10 ANESTESI REGIONAL II
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 3)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
207
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional ,
fisiologi anestesia epidural , kaudal dan anestesia regional blok perifer, dapat melakukan
anestesia anestesia epidural , kaudal dan anestesia regional blok perifer secara baik dan benar,
melakukan penatalaksanaan komplikasi anestesia epidural , kaudal dan anestesia regional blok
perifer
TUJUAN KHUSUS
Kognitif
208
blok anestesia epidural,dan kaudal
o. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja obat pada
anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral
p. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, kaudal,
blok pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral, tanda- tanda dan gejala, cara
mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
q. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pencabutan kateter epidural pada pasien yang
mendapat terapi antikoagulan.
Psikomotor
Komunikasi/Hubungan interpersonal
a. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif manfaat dan resiko tindakan anestesia epidural, kaudal, blok pleksus
brakhialis, blok pleksus lumbosakral untuk mendapatkan informed consent.
b. Mampu menjelaskan kepada sejawat senior atau konsulen tentang kondisi pasien untuk
kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum,
209
selama dan sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk
kerjasama dalam mengelola pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat
timbul, penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pasca bedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Spinal, epidural dan caudal blok juga disebut sebagai Neuroaxial anestesi. Setiap blok
ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat
dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinu.
2. Melakukan tusukan lumbal (subarachnoid) harus dibawah L1 pada dewasa (L3 pada
anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medulla spinalis.
3. Tempat kerja utama blok neuroaxial adalah pada nerve root (radiks saraf).
5. Interupsi transmisi eferen otonom pada radiks nerves spinalis dapat menimbulkan
blokade simpatis dan parasimpatis.
6. Blokade neuroaxial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut
jantung dan kontraksi jantung.
8. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan
vasopressor.
210
9. Kontraindikasi neuroaxial blokade adalah pasien menolak, gangguan perdarahan,
hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi di tempat suntikan,
penyakit katup jantung stenosis berat atau obstruksi outflow ventricular.
10. Untuk anestesi epidural, hilangnya tahanan yang tiba-tiba menunjukkan jarum masuk
rongga epidural. Untuk spinal anestesi ditandai dengan keluarnya liquor serebrospinalis.
11. Epidural anestesi adalah suatu teknik neuroaksial yang tempat pemasangannya
mempunyai rentang yang lebih luas daripada Spinal Anestesi. Epidural blok dapat
dilakukan pada level lumbal, torakal, cervical.
12. Epidural teknik digunakan secara luas untuk anestesi operasi, obstetri analgesia,
pengelolaan nyeri pascabedah, pengelolaan nyeri kronis.
13. Onset epidural anestesi lebih lambat (10-20 menit), dan kurang dalam dibandingkan
dengan spinal anestesi.
14. Kuantitas (volume dan konsentrasi) obat anestesi lokal yang diperlukan untuk epidural
anestesi lebih banyak dibandingkan dengan spinal anestesi. Toksisitas yang nyata dapat
terjadi bila jumlah tersebut disuntikkan intratekal atau intravena. Panduan yang aman
adalah gunakan test dose dan berikan secara incremental.
15. Epidural Caudal anestesi adalah salah satu teknik regional anestesi yang sering
digunakan pada pasien pediatrik.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat melakukan anestesi regional spinal atau eidural lumbal/epidural caudal diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan dalam anatomi, farmakologi obat, komplikasi akaibat obat
anestesi, pemasangan alat, dan komplikasi akibat perubahan fisiologis yang besar.
TUJUAN PEMBELAJARAN
211
4. Blok pleksus lumbosakral : blok sciatic, blok femoralis, blok poplitea
METODE PEMBELAJARAN
- Kuliah Persiapan Anestesia Epidural , Blok Kaudal, Blok Pleksus Brakhialis, Blok
Pleksus lumbosakral dilakukan pada semester 3
- Pelatihan di skill lab anestesia epidural lumbal dan blok kaudal pada manekin epidural
dilakukan semester 3
- Pelatihan di skill lab dengan sukarelawan untuk menggambar landmark blok plesus
brakhialis dan blok pleksus lumbosakral
- Pelatihan di kamar bedah anestesia epidural lumbal, blok kaudal, blok pleksus brakhialis
dan blok pleksus lumbosakral pada pasien dilakukan semester 3 dan selanjutnya
terintegrasi dengan rotasi lainnya, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang masalah yang timbul pada anestesia epidural lumbal , blok
kaudal, blok pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual
MEDIA
- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.
- Sukarelawan
EVALUASI
Pretest
212
dan cabang- cabangnya
5. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural
6. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada blok kaudal
7. Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.
8. Jelaskan mekanisme kerja obat anestesi lokal pada anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis dan blok pleksus lumbosakral
9. Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesi, pemilihan pasien yang
sesuai dan mengidentifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi
jalannya anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakhialis dan blok pleksus
lumbosakral
10. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia epidural, blok
kaudal, blok pleksus brakhialis, dan blok pleksus lumbosakral .
11. Jelaskan prosedur tindakan anestesia epidural dan blok kaudal yang baik dan benar.
12. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus brakhialis pendekatan interskalenus
dan aksilaris dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
13. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus lumbosakral : blok sciatic, blok
femoralis, blok poplitea dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
14. Sebutkan beberapa cara penusukan jarum epidural
15. Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom , osteotom,
miotom yang dipengaruhinya untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus
brakhialis, blok pleksus lumbosakral untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
16. Jelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis (interskalenus dan aksilaris), blok pleksus lumbosakral (sciatic,
femoral, poplitea)
17. Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama
kerja obat anestesi lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis (interskalenus, aksilaris) dan blok pleksus lumbosakral ( sciatic,
femoral, poplitea) serta jenis ajuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja
obat anestesia lokal.
18. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat,
penyebaran dan intensitas blok anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakhialis,
blok pleksus lumbosakral .
19. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakhialis (interskalenus , aksilaris), blok pleksus lumbosakral (sciatic,
femoralis, poplitea), tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi
tersebut.
Kognitif
213
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Communication and Interpersonal Skills
- MCQ (pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)
Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Epidural Lumbal Tehnik Loss of Resistance
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR ANESTESIA
EPIDURAL
214
premedikasi bila perlu
215
kurang 4 cm (fiksasi di kulit :
kedalaman ruang epidural + 4 cm)
DURANTE ANESTESIA
EPIDURAL
216
pasien
PASCA BEDAH
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
217
8 Berikan anestesi lokal pada kulit di atas
kornu sakralis
218
5 Penatalaksanaan ketidaknyamanan
pasien bila ada
PASCA BEDAH
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS
219
6 Posisikan pasien dengan kepala pasien
miring ke arah sisi yang tidak diblok
DURANTE BLOK
INTERSKALENUS PLEKSUS
BRAKHIALIS
220
3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan
dan penatalaksanaannya
PASCA BEDAH
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS
221
4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas
lain yang tidak diblok
222
dan penatalaksanaannya
PASCA BEDAH
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
223
lain yang tidak diblok
224
PASCA BEDAH
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
225
7 Gambar landmark blok femoralis :
lipatan inguinal da denyut arteri
femoralis
PASCA BEDAH
226
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
227
10 Jarum stimulator 4 inch dihubungkan dengan
nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA,
disuntikkan dengan arah tegak lurus
PASCA BEDAH
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
228
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
229
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Sama seperti spinal anestesi. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugian epidural
anestesi dibandingkan dengan spinal anestesi, maka :
b) Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan blokade yang adekuat lebih singkat.
230
c) Level anestesi lebih pasti.
e) Dapat dipertahankan untuk 1-2 hari dengan memakai kateter untuk terapi sakit
pascabedah.
b) Karena ruangan epidural sangat vaskuler dan diperlukan obat anestesi lokal yang
lebih banyak, maka kemungkinan reaksi sistemis akibat absorpsi vaskuler lebih
besar.
c) Bila ada kesalahan menusuk dura dan jarum masuk ke ruangan subarakhnoid, lalu
diberikan jumlah besar obat anestesia yang bisa menyebabkan henti nafas, hilangnya
kesadaran, mungkin juga blokade simfatis yang menyeluruh.
d) Diperlukan 5-10 kali lebih banyak obat untuk mencapai level anestesi yang
diinginkan.
c) Dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pelemas otot (misalnya
myasthenia gravis).
Anatomi :
Duramater berakhir di ujung foramen magnum. Hal ini menguntungkan karena dapat
mencegah masuknya obat anestesi lokal dari ruangan peridural ke ruangan otak. Kantong dura
berakhir di S2, kira-kira 1cm di bawah dan medial dari level spina iliaca posterior superior.
Ruangan epidural dibatasi oleh duramater di sebelah dalam, ligamentum flavum dan periosteum
231
di sebelah luar.
Ruangan epidural meluas mulai dari dasar kepala (foramen magnum) dimana terjadi fusi
duramater dengan periosteum sampai coccygeus (membran sacrococcygeal). Diameternya
0,5cm dan paling lebar di daerah L2. Jarak rata-rata antara kulit dengan ruangan epidural
adalah 4-5cm. Ruangan epidural berisi jaringan pengikat, lemak, vena dan arteri serta pembuluh
limfe dan saraf. Vena di sini berhubungan dengan vena di pelvis dan vena intrakranial, karena itu
obat anestesi lokal atau udara yang disuntikkan ke fleksus venosus ini dapat langsung naik ke
otak. Vena menjadi distensi pada keadaan batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga
ruangan epidural ini mengecil pada gravida aterm.
Dosis obat anestesi lokal yang diperlukan untuk mencapai level tertentu dari obat
berbeda-beda karena :
--. Variasi ukuran ruangan epidural.
--. Foramen intervertebralis libih permeabel pada orang muda daripada usia tua, maka
pada pemberian dosis yang sama dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi
pada orang tua.
Pada metode loss of resistance, digunakan syringe yang diisi udara atau NaCl atau obat
anestesi lokal. Ketika jarum menusuk ligamentum flavum, dirasakan ada tahanan; dan ketika
menembus ligamentum flavum dan masuk ke ruangan epidural, kita akan merasakan sekonyong-
konyong kehilangan tahanan. Bila digunakan udara, maka udara yang masuk ke ruangan
epidural jangan melebihi 3ml. Dengan metoda hanging drop, maka tetesan air akan terisap ke
ruangan epidural akibat tekanan negatif dalam ruangan epidural.
c) Setelah tindakan a dan antiseptik, pada tempat yang akan disuntik beri lokal anestesi,
232
misalnya dengan lidokain 1% sebanyak 2ml.
d) Suntikkan jarum epidural; dan setelah menembus ligamen interspinal, cabut touchy-nya, dan
pasang syringe 10ml yang telah diisi udara / NaCl / obat anestesi lokal.
Test dose 3ml (10% dari dosis total), tunggu selama 5 menit untuk melihat apakah ada blokade
subarakhnoid. Kecepatan penyuntikan 1ml/detik dengan jumlah total obat anestesi lokal tidak
melebihi 20ml.
Komplikasi :
1. Duramater tertusuk.
--. Bisa terjadi high atau total spinal anestesia bila disuntikkan lebih dari 7ml obat anestesi
lokal.
--. Post spinal headache yang terjadi sekunder akibat kebocoran cairan serebrospinal.
2. Reaksi sistemik karena absorpsi yang cepat dari obat anestesi lokal dan epinefrin.
Pasien mungkin mengeluh rasa pahit di lidah, sakit kepala berat, mendenging, iritabilitas,
kejang-kejang, hipotensi, dan hilangnya kesadaran. Overdosis epinefrin bisa menyebabkan
takikardia, tremor, hipertensi dan iskemia lokal pada medula spinalis.
Caudal Anesthesia
Caudal anesthesia dapat diperoleh dengan menyuntikkan obat anestesi lokal melalui
hiatus sacralis ke dalam ruangan epidural pada canalis sacralis.
233
Kaudal Anestesi tidak memerlukan jarum khusus seperti spinal atau epidural lumbal.
Kita bisa memakai syringe 20ml, 10ml, atau 5ml dengan jarum no. 21 atau 22. Pasien
dalam posisi lateral atau telungkup dengan diganjal di daerah pubis. Cari landmark
dengan meraba kornu sakralis kanan kiri, dan diantaranya adalah membran
sacrococcygeal.
Kerugian Caudal Anesthesia adalah :
--. Sulit mencapai level anestesi yang tinggi.
Referensi :
234
MODUL 11. ANESTESIA BEDAH ORTOPEDI I
Sesi praktik dan pencapaian Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, emergensi
kompetensi dan trauma.
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang perawatan, kamar operasi, ruang pulih.
235
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum dengan
sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional block subarachnoid (SAB), untuk prosedur
bedah ortopedi tertentu ( misalnya reposisi patah tulang tertutup, debridement patah tulang
terbuka, ORIF anggota gerak bawah, arthroscopy sendi lutut, dll ), mencakup evaluasi pasien
preoperatip, merancang pelaksanaan anestesia, monitoring intra operatip, penatalaksanaan
masa pulih dan penatalaksanaan nyeri pasca bedah
236
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :
Kognitif
1. Menjelaskan tindakan anestesia umum dengan sungkup dan regional SAB, TIVA
untuk operasi fraktur anggota gerak bawah, hip fracture, arthroscopy,
2. Mengidentifikasi masalah preoperatif yang umum ditemukan pada pasien ortopedi
dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk prosedur bedah ortopedi yang paling
sering .
3. Mengidentifikasi dan mengelola masalah masalah umum pada pasien trauma serta
menjelaskan persiapan preoperatip untuk pembedahan emergensi dan trauma,
termasuk puasa dan penggunaan antacid, antagonis H2 dan antiemetik.
4. Merencanakan dan memilih obat anestesi inhalasi untuk prosedur anstesi umum
dengan sungkup.
5. Menjelaskan farmakologi obat anestesi inhalasi .
6. Merencanakan dan memilih obat anestesi intravena.
7. Menjelaskan farmakologi obat anestesi intravena.
8. Merencanakan dan memilih alat dan obat anestetika lokal untuk semua prosedur
anesthesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan berat penyakit.
9. Menjelaskan farmakologi anestetika lokal, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
10. Mengidentifikasi dan mengelola masalah masalah yang dapat terjadi selama
pembedahan, misalnya syok perdarahan.
11. Membahas topik topik spesifik dalam anestesia ortopedi, termasuk pneumatic
tourniquet, fat embolism, penyebab deep vein thrombosis, thromboembolism,
pulmonary embolism.
12. Menjelaskan dampak dari penyakit penyakit yang menyertai pasien ortopedi, seperti
hipertensi, penyakit arteri koroner, rheumatoid arthritis, diabetes mellitus, ankylosing
spondylitis.
13. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA), subarachnoid, anestesika lokal intra-artikular, non-steroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs)
237
Psikomotor
1. Melakukan anestesia umum dengan sungkup, anestesia spinal, dengan peralatan dan
obat obatan yang benar dan mengelola pasien intraoperatip dengan intervensi minimal
supervisor.
2. Memberikan anestesia yang benar dan aman untuk:
a. debridement fraktur terbuka anggota gerak bawah
Komunikasi
238
Professionalisme
KEYNOTES:
239
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat melakukan anestesi untuk operasi ortopedi diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan dalam memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan, penatalaksanan
nyeri pascabedah, penggunaan pneumatic tourniquet, memahami patofisiologi emboli lemak,
rheumatoid arthritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), thromboemboli dan emboli
paru, serta hubungan antara anestesi regional dan anti koagulan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi untuk operasi
ortopedi berupa tindakan anestesia umum dengan sungkup atau LMA, anestesia regional
untuk , anestesi dengan TIVA, memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan,
penatalaksanan nyeri pascabedah, penggunaan pneumatic tourniquet, memahami patofisiologi
emboli lemak, rheumatoid arthritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), thromboemboli
dan emboli paru, serta hubungan antara anestesi regional dan anti koagulan.
METODE PEMBELAJARAN
240
emergensi, Post Anesthetic Care Unit (PACU).
MEDIA
1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Workshop / Pelatihan
4. Group diskusi
5. Visite, bed site teaching PACU
6. Bimbingan di kamar bedah.
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing Profesional Development (CPD)
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
241
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
4. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pre test:
1. Jelaskan tentang tehnik anestesia umum atau lokal atau regional untuk
prosedur bedah ortopedi rawat jalan dan rawat inap.
2. Jelaskan tentang tehnik anesthesia blok subarachnoid (SAB).
3. Jelaskan tentang pemberian terapi cairan selama dan pasca pembedahan
4. Jelaskan pemberian transfusi darah dan komponen darah
5. Jelaskan tentang dampak pneumatic tourniquet.
6. Jelaskan tentang fat embolism, deep vein thrombosis, pulmonary
embolism.
7. Jelaskan tentang penanggulangan nyeri pasca bedah ortopedi
Bentuk Ujian :
1. Ujian pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan.
1.Kognitif
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Anestesia subarahnoid
3 Anestesia intravena
243
2 Penanganan mual muntah dan nyeri pasca bedah
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
244
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
a.definisi :
245
tindakan bedah pada kasus kasus ortopedi sederhana ( misalnya reposisi patah tulang tertutup,
debridement patah tulang terbuka , ORIF anggota gerak bawah, arthroscopy sendi lutut, dll),
dengan PSASA 1-2, bisa berupa sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional SAB.
b. ruang lingkup :
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesi akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesi dan penerapannya dapat
dikerjakan di RS Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.
Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak anak )
Pasang infus dengan IV kateter yang besar
Periksa sumber oksigen dan gas anestesi lainnya (N2O)
Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan
ventilator
Premedikasi dengan Opiod (Petidin,Fentanyl,Morphin) dan Sedatif (Diazapam,
Midazolam) selama 10-15 menit
Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit
Induksi dengan Induktor seperti Propofol,Pentotal,Ketamin,Etomidate
Sungkup
246
(Halotan,Isofluran,Sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas
Flow (FGF) sementsra pasien bernapas spontan.
LMA
Bila menggunakan LMA maka LMA dipasang setelah pasien dalam keadaan tidur
dalam ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata, kemudian di sambungkan ke
konektor mesin Anestesi dan berikan Obat Anestesi Inhalasi 1 kali MAC.
Maintenance O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan Obat Anestesi Inhalasi
(Halotan,Isofluran,Sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas
Flow (FGF) dan pasien bernapas spontan
Selesai Operasi pasien di bangunkan dengan nenurunkan obat inhalasi secara bertahap
sampai nol dan mematikan N2O dan menaikkan O2 6-8 l/ menit sampai pasien sadar
benar bisa angkat kepala atau bisa berkomunikasi
Pasien ditransport ke PACU dan di observasi minimal 2jam
Komplikasi Anestesi
Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak anak )
Pasang infus dengan IV kateter yang besar
Periksa sumber oksigen dan gas anestesi lainnya (N2O)
Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan baging manual maupun dengan
ventilator
Premedikasi dengan opiod (Petidin, Fentanyl, Morphin) dan sedatif (Diazapam,
Midazolam) selama 10-15 menit
Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit
Induksi dengan Anestesi Intravena seperti Propofol, Pentotal, Ketamin, Etomidate
Maintenance dengan Anestesi Intravena seperti Propofol, Pentotal, Ketamin,
Etomidate sesuai dengan dosis
Selesai Operasi pasien di bangunkan sampai pasien sadar benar bisa angkat kepala
atau bisa berkomunikasi
Pasien ditransport ke PACU dan di observasi minimal 2jam
Komplikasi
Depresi napas
Nyeri daerah suntikan
247
Anestesi dengan Regional Sub Arachnoid Block (SAB)
248
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid
3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.
4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.
6 Berikan anestesi lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.
7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi
anestesi lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit
membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.
8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa loss
of resistence pada rongga subarahnoid.
9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan cerebrospinal yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran liquor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
liquor tidak keluar atau keluar darah.
10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat anestesi lokal yang sudah
dipersiapkan. Aspirasi sedikit liquor, bila lancar suntikan obat anestesi lokal secara
perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi
yang tepat dan suntikan kembali obat.
11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang
diinginkan.
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti diatas, hanya jarum
spinal disuntikkan pada 1,5 cm lateral dan 1cm kaudal dari celah penyuntikkan
yang dituju.
249
ANESTESIA UNTUK BEDAH ORTOPEDI II
MODUL 12
Komplikasi
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 4)
Sulit
Sesi bernapas
di dalam kelaskarena ketinggian Block (Th 4pada
Rotasi keatas)
Semester 4 (total 8 minggu/2bulan)
Hipotensi
Sesi dengan
Post fasilitasi
Dural PuncturePembimbing
Headeche (PDPH) Meliputi
atau Nyeribedah ortopedi
Kepala Pasca SAB elektif tertentu,
Hematom daerah insersi emergensi dan trauma.
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori
dan praktek dilakukan utamanya di kamar bedah
Referensi : elektif dan emergensi
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
PERSIAPAN SESI PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
2. Barash
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum
M0DUL 13 ANESTESIA BEDAH ONKOLOGI
DAN PLASTIK
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia bedah umum dan digestif khusus
dengan penyulit
2. Persiapan preoperatif
3. Tehnik anestesia
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
251
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk sub-modul Persiapan alat dan obat anestesi yang lain.
Setelah melalui sesi ini peserta didik mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan
pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah onkologi dan bedah plastik, mencakup
evaluasi pasien preoperative, merancang pelaksanaan anesthesia, pemberian anesthesia
intraoperatif , monitoring pasien, dan penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan masa
pemulihan
Kognitif
1. Menjelaskan anesthesia untuk bedah onkologi umum, bedah rekonstruksi atau bedah
plastik, prosedur flap, abdominoplasty, breast reduction, skin grafting.
2. Mengidentifikasi masalah preoperatif yang umum ditemukan pada pasien onkologi dan
plastik/rekonstruksi dan membuat rencana anesthesia yang tepat untuk prosedur bedah
yang paling sering .
3. Mengidentifikasi dan mengelola masalah masalah umum pada pasien onkologi dan bedah
rekonstruksi trauma serta menjelaskan persiapan preoperative untuk pembedahan
252
onkologi/rekonstruksi termasuk puasa dan penggunaan antacid, antagonis H2 dan
antiemetik
4. Merencanakan dan memilih alat dan obat anestetika local untuk semua prosedur
anesthesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan beratnya penyakit.
5. Menjelaskan dasar farmakologi anestetika local, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
6. Membahas topik topik anestesia yang khusus untuk bedah onkologi dan rekonstruksi
7. Menjelaskan masalah penyakit penyerta, seperti penyakit respirasi, hipertensi, penyakit
arteri coroner, diabetes mellitus dan penyakit endokrin/metabolik yang lain.
8. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA) menggunakan beberapa jenis opiat , subarachnoid, epidural, kateter
saraf perifer kontinyu, non-steroidal anti-inflammatory drugs.
9. Menjelaskan tehnik hemodilusi dan konservasi darah perioperatif.
Psikomotor
1. melakukan anestesia umum dengan alat dan obat yang benar dan mengelola pasien
intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staff.
2. Melakukan anestesia regional dengan alat dan obat yang benar dan mengelola pasien
intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staff.
3. Melakukan tindakan anestesi yang benar dan aman untuk:
a. bedah onkologi kepala dan leher
b. bedah plastik kepala dan leher
c. prosedur flap
d. abdominoplasty
e. breast reduction dan reconstruction
f. skin grafting.
4. Mampu mengelola difficult airway pada bedah onkologi dan bedah plastik daerah kepala
leher
253
Profesionalisme
3. Key notes
2. Setelah pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat terjadi
perdarahan yang sulit terjadi
4. Waktu : Rotasi atau stase selama 2 bulan pada tahapan klinik pertama/semester 2
5. Metode:
Pretest
1. Menjelaskan tehnik anestesia umum dan anestesia regional yang dibutuhkan untuk bedah
onkologi dan bedah plastik
2. Menjelaskan pengelolaan difficult airway
Kognitif
1. Integrated learning
2. Independent learning
3. Problem base learning
4. Introductary lecture
5. Small group discussion and feed back
6. Patient management problem
7. Simulated patient, scenarios, displays etc
254
Skill
1. Introductory lecture
2. Small group discussion, and feed backs.
6. Sumber Pembelajaran/Media
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
7. Evaluasi
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
255
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
4. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/raters
5. Knowledge
MCQ (Pre test)
8. Uraian:
1. Melakukan kunjungan preoperatif untuk menilai kondisi pasien dan prosedur operasi
yang akan dilakukan (lihat modul perioperative care)
2. Menetapkan status fisik pasien, merencanakan tindakan anestesia yang akan dilakukan
dan melakukan informed consent
3. Bila akan dilakukan anestesia umum lihat modul anestesia umum
4. Bila akan dilakukan anestesia regional lihat modul anestesia regional
5. Tindakan pada masa siuman atau emergence lihat modul anestesia umum
6. Penangulangan nyeri pasca bedah lihat modul anestesia umum dan anestesia regional.
1. Anestesia umum
2. Anestesia regional
3. Penanggulangan nyeri pasca bedah
4. Difficult intubation
5. Bedah onkologi
6. Bedah plastic dan rekonstruksi
7. Nyeri pasca bedah
256
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anetesia
Kunjungan preoperasi
6. Informed consent
Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
257
v Memuaskan: Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
T/D Tidak diamati: Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik
Daftar Tilik
1 2 3 4 5
258
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih/pengajar
Layak
Tidak layak
MATERI ACUAN :
Kasus pasien bedah onkologi pada umumnya adalah kasus dengan pembesaran yang tampak
dan atau teraba pada permukaan kulit mulai dari kepala sampai ujung kaki. Kasus bedah plastic
adalah bedah plastic rekonstruksi dan bedah plastic kosmetik. Anestesia pada bedah onkologi-
plastik dapat dilakukan dengan anesthesia umum atau anestesia regional.
259
Beberapa masalah yang dapat dihadapi pada tindakan anestesia adalah kusulitan jalan napas,
perdarahan atau karena kondisi penyakit primer berat yang dialami pasien.
Kasus kasus dengan kesulitan ventilasi atau kesulitan intubasi misalnya tumor besar daerah leher
kepala, tumor rongga mulut apalagi bila mudah berdarah, harus selalu dipikirkan rencana
tindakan pengelolaan jalan napas dan anestesi yang akan dilakukan. Pada keadaan bahwa
kesulitan mempertahankan jalan napas sudah dapat diprediksi, algoritma difficult airway sudah
harus direncanakan, sehingga alat alat dan obat2an yang diperlukan sudah dipersiapkan lebih
dulu (lihat modul Anestesia bedah THT). Apabila diprediksi bahwa tidak akan sulit ternyata sulit
intubasi, dan pasien sudah dalam keadaan tidak sadar upayakan untuk membangunkan pasien
kembali. Pada kasus yang diduga akan timbul perdarahan karena operasi, jalur intravena dengan
kanula intravena diameter besar harus sudah dipersiapkan.
REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
260
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
6. LCD Projector dan Screen
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint Presentation
1. Indikasi persiapan anestesia bedah urologi dengan penyulit
Sarana:
6. Ruang belajar
7. Ruang pemeriksaan pasien
8. Kamar operasi
9. Ruang pemulihan
10. Bangsal perawatan
Kasus: anestesia pasien langsung , di ruang rawat, di kamar pemeriksaan, dan kamar operasi
Alat Bantu Latih: Model Anatomi / Simulator tidak ada
Penuntun Belajar: lihat Materi Acuan
Daftar Tilik Kompetensi: lihat Daftar Tilik
Referensi:
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006
3. Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone;
2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk Sub-Modul Persiapan Alat dan Obat Anestesi yang lain.
261
Setelah mengikuti modul ini, peserta didik akan mampu melakukan anestesia pada tindakan
diagnostik dan/atau bedah urologi, sistoskopi, bedah prostat, onkologi urologi, operasi batu ginjal terbuka,
dan operasi uretero-reno sistoskopi.
1.1.1.Kognitif:
1.1.2.Psikomotor:
Mampu melakukan pengelolaan jalan nafas normal atau dengan derajat kesulitan sedang memakai bag-
mask, LMA, dan pipa endotrakeal
Mampu mengoperasionalkan alat-alat pemantauan secara benar dan menjelaskan resiko dan keuntungan
penggunaan pemantauan invasif
Mampu melakukan dan mempertahankan akses vena
Mampu melakukan induksi dan pemeliharaan anestesia umum pada pasien ASA-I dan II, serta ASA III
dan IV dengan lebih mandiri
Mampu melakukan dan mengelola anestesia regional spinal, epidural secara lebih mandiri
Mampu menginterpretasi hasil analisa gas darah, dan menjelaskan gangguan keseimbangan asam-basa
yang paling sering, termasuk asidosis dan alkalosis metabolik serta perencanaan terapinya
Mampu mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma TURP dan cara penatalaksanaannya.
262
1.1.3.2.Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk mendapatkan informed
consent tentang manfaat dan resiko anestesia.
1.1.3.4.Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan
pasien
1.1.3.5.Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien kebutuhan dan manfaat dari
obat analgetik.
1.1.3.7.Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi urologi tertentu.
1.1.3.9.Mampu melakukan komunikasi tentang kondisi pasien dengan petugas ruang pemulihan
tentang kesulitan pengelolaan pasien (misal sindroma TURP)
1.1.4.Professionalisme:
1.1.4.5.Mampu mengetahui dan mengelola masalah-masalah yang terjadi pada saat maupun
pasca pembedahan urologi khusus, misalnya sindroma TURP dan perdarahan pasca
bedah.
1.1.4.7.Mampu mengatasi nyeri pasca bedah yang optimal dengan berbagai teknik analgesia
2.Keynotes
263
2.1.Posisi litotomi merupakan posisi yang paling sering dipergunakan untuk pasien bedah urologi dan
ginekologi. Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera iatrogenik.
2.2.Posisi litotomi berkaitan dengan perubahan fisiologi yang penting; kapasitas residu fungsional
berkurang, memprediksi pasien terjadi atelektasis dan hipoksia. Menaikkan kaki akan
meningkatkan aliran balik vena. Elevasi kedua tungkai dapat meningkatkan aliran balik darah
vena mendadak. Tekanan Arteri Rerata (MAP) sering meningkat, tetapi curah jantung tidak
berubah signifikan. Sebaliknya, menurunkan kedua tungkai mendadak akan menurunkan aliran
balik darah vena yang menyebabkan hipotensi. Tekanan darah selalu segera diukur setelah
tungkai diturunkan.
2.3.Karena durasi prosedur pendek (15-20 menit) dan setting outpatient dari sistoskopi, biasanya
dipergunakan anestesi umum.
2.4.Anestesi epidural dan spinal dapat dapat menghasilkan anestesi yang memuaskan. Level blok
sampai T10 menghasilkan anestesia yang baik untuk hampir semua prosedur traktus urinarius
bagian bawah misalnya sistoskopi, sedangkan level blok sampai T 6 untuk tindakan traktus urinarius
bagian atas.
2.5.Manifestesi sindroma TURP mencakup terutama overload cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan
biasanya toksisitas cairan irigasi.
2.6.Absorpsi cairan irigasi yang terjadi tergantung lama irigasi dan tekanan / tinggi letak cairan
irigasi.
2.7.Jika dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi regional sedikit menimbulkan kejadian
trombosis pasca bedah; juga lebih sedikit menyembunyikan gejala dari sindroma TURP atau
perforasi buli-buli.
2.8.Pasien dengan riwayat aritmia jantung dan pasien yang mempunyai alat pacu jantung atau
internal cardiac defibrilator (ICD) dapat mempunyai risiko yang dicetuskan oleh shock wave
selama extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Shock wave dapat merusak komponen
dalam pacu jantung dan ICD.
264
4.Waktu
Rotasi dilakukan selama 2 (dua) bulan dapat dilakukan pada tahun pertama untuk kasus operasi
urologi ringan sampai sedang dan tahun ketiga untuk kasus-kasus operasi urologi berat (lihat pemetaan
kurikulum).
5.Metode
5.1.Pretest:
5.2.Strategi Pembelajaran:
5.2.1.Integrated Learning
5.2.2.Independent Learning
5.3.Proses Pembelajaran:
5.3.1.Kuliah introduksi
265
6.Media
6.1.Virtual patients
6.2.Reading assignment
6.3.Audio Visual
7.1.Ruang Kuliah
7.2.Kamar operasi
7.3.Pasien
8.Evaluasi
8.3.Multiple observers
Sudah Belum
No Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesi
Dikerjakan Dikerjakan
1 Informed consent
266
5 Pemeriksaan peralatan dan instrumen anestesi lainnya
6 Obat-obat anestesi
7 Obat-obat darurat
1 Premedikasi
2 Induksi anestesi
2 Pemeliharaan anestesi
3 Pemulihan aanestesi
Catatan:
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
267
Memuaskan Langkah-langkah, tugas atau ketrampilan dikerjakan oleh peserta didik
sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Peserta didik tidak mampu untuk mengerjakan langkah-langkah, tugas
memuaskan atau ketrampilan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah-langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta
latih selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinik
1 2 3 4 5
268
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinik
1 2 3 4 5
No Kasus ke
1 2 3 4
269
MATERI ACUAN:
1.Pendahuluan:
1.1.Definisi :
Yang dimaksud dengan anestesia bedah urologi adalah tindakan anestesia untuk tindakan bedah
pada kasus-kasus urologi seperti sistostomi, operasi batu buli-buli, open prostatectomy, TUR buli-buli,
TUR Prostat, URS, ESWL, operasi batu ginjal, operasi pengangkatan ginjal (nephrectomy), operasi
tumor ginjal dan buli-buli dengan PS ASA 1-4, dapat berupa anestesi umum (inhalasi dengan intubasi
ETT atau LMA) maupun anestesi regional (SAB atau epidural).
1.2.Ruang Lingkup:
1.3.Iindikasi:
1.3.1.Sistostomi
1.3.3.Open prostatectomy
1.3.4.TUR buli-buli
1.3.5.TUR Prostat
1.3.6.URS
1.3.7.ESWL,
270
1.4.Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan status fisik (PS) ASA, berdasarkan
status atau keadaan pasien saat tersebut.
Bedah atau tindakan urologi meliputi cystoscopy, ureteroscopy, transurethral resection of the
prostate (TURP), open prostatectomy, nephrolithotomy, nephrectomy, radical cystectomy, orchidopexy,
orchiectomy, urogenital plastic surgery, laparoscopy techniques, renal transplantation, extracorporeal
shock wave lithotripsy (ESWL), dan laser surgery.
Tindakan anestesia dapat dilakukan dengan anestesia umum, anestesia regional epidural atau
subarakhnoid atau mungkin hanya anestesia topikal., bergantung pada jenis tindakan yang dilakukan.
Anestesia umum untuk prosedur singkat dapat dilakukan dengan anestesia intravena. Anestesia regional
untuk prosedur instrumentasi atau operasi traktus urinarius bagian atas memerlukan ketinggian blok
mencapai T6, sedang untuk traktus urinarius bagian bawah cukup sampai T 10. Bilamana akan dilakukan
anestesia umum, maka batuk harus dicegah atau pasien bergerak-gerak karena hal ini dapat menyebabkan
peningkatan perdarahan atau perforasi buli-buli karena instrumentasi.
Teknik anestesia umum dan anestesia epidural dan subarakhnoid pada bedah urologi umumnya
tidak berbeda dengan prosedur bedah lain. Pemantauan fungsi-fungsi vital juga tidak berbeda dengan
tindakan bedah lain.
Beberapa hal khusus dalam bedah urologi adalah posisi, usia, komplikasi. Posisi litotomi harus
dilakukan sedemikian rupa agar tidak terjadi komplikasi akibat penekanan atau peregangan saraf
berlebihan demikian juga dengan posisi ginjal lateral decubitus.
Usia lanjut yang sering pada pasien dengan hipertrofi prostat harus diwaspadai akan
kemungkinan menderita gangguan penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan pernafasan, diabetes
mellitus, gangguan ginjal dan lain lain. Teknik anestesia yang akan dilakukan harus dilakukan sesuai
dengan gangguan yang diderita pasien. Komplikasi perdarahan sering terjadi pada operasi open prostate,
batu cetak/staghorn, nefrektomi dengan perlengkatan pada pembuluh darah besar.
Syndroma TURP merupakan komplikasi yang terjadi karena absorpsi cairan irigasi secara
berlebihan pada waktu operasi prostat dengan TURP. Gejala dapat timbul segera/dini (absorbsi
intravascular langsung) atau setelah beberapa jam (absorpsi peritoneal dan perivaskular). Gejala
syndrome TURP meliputi: perubahan pada susunan saraf pusat, agitasi, nausea, confusion, gangguan
penglihatan, kejang, dan koma. Gangguan kardiovaskular berupa: hiper- atau hipotensi, bradikardia,
disritmia, edema paru, henti jantung (cardiac arrest), karena fluid shift hipervolemia masuk ke ruang
interstitial, dan gangguan elektrolit. Terapi restriksi cairan, pemberian diuretik (furosemide), larutan
garam hipertonik untuk hiponatremia simptomatik secara lambat peningkatan tidak melebihi 12 mEq/L
per hari.
271
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesi akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesi dan penerapannya dapat dikerjakan di
RS Pendidikan atau RS Jaringan Pendidikan.
Tahapan-tahapan anestesi:
3.1.Persiapan Preanestesi:
3.1.1.Anamnesis
3.1.2.Pemeriksaan fisik
3.1.3.Pemeriksaan penunjang
3.1.4.Informed consent
3.2.Persiapan Premedikasi
3.4.Pelaksanaan Anestesi:
3.5.Pengakhiran Anestesi
Tidak ada
5.Teknik Anestesia
272
5.2.Anestesi umum (inhalasi) dengan LMA
5.1.1.Persiapan operasi: puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak anak )
5.1.4.Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan
ventilator
5.1.5.Pasien di premedikasi dengan opiod (Petidin, Fentanyl, atau Morphin) dan sedatif
(Diazapam, Midazolam) selama 10-15 menit
5.1.8.Injeksi relaksan (depolarisasi atau non depolarisasi) seperti suksinilkolin atau rocuronium
5.1.11.Untuk LMA; LMA dipasang setelah pasien sudah tidur dalam ditandai dengan hilangnya
Refleks Bulu Mata, kemudian di sambungkan ke konektor mesin anestesi dan diberikan
inhalation Agent 1 kali MAC dan maintenance O 2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan
inhalasi agent (Halotan, Isofluran, atau Sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai
dengan Fresh Gas Flow (FGF) dan pasien bernapas spontan
5.1.12.Selesai operasi, pasien dibangunkan dengan menurunkan inhalation agent secara bertahap
sampai nol dan menutup N2O dan menaikkan flow O2 6-8 ltr/menit sampai pasien sadar
benar (dapat angkat kepala atau dapat berkomunikasi)
5.1.13.Untuk yang menggunakan relaksan otot, direversal dengan prostigmin dan atropin sulfat
setelah pasien sudah napas spontan dan bisa mengangkat kepala
5.1.14.Ekstubasi setelah pasien sadar penuh dan dapat mengangkat kepala dan mengikuti perintah
273
5.2.Komplikasi Anestesi:
5.2.3.Depresi napas
5.2.4.Spasme bronkialis
5.2.5.Sadar lama
274
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid
(Pendekatan Midline)
3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.
4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosesus
spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).
5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada landmark yang telah ditentukan.
6 Suntikkan anestetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.
7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi anestetik
lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosessus spinosus atau sedikit membentuk
sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.
8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, sampai terasa
loss of resistence pada rongga subarahnoid.
9 Cabut mandrin jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan serebrospinal (CSS) yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran cairan yang keluar. Penusukkan harus diulang bila CSS
tidak keluar atau keluar darah.
10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat anestetik lokal yang sudah dipersiapkan.
Aspirasi sedikit CSS, bila lancar suntikan obat anestetik lokal secara perlahan-lahan.
Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan
suntikan kembali obat.
11 Setelah selesai, cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan.
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1,5 cm lateral dan 1 cm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.
5.4.Komplikasi:
5.4.2.Hipotensi
5.4.3.Post Dural Puncture Headache (PDPH) atau Nyeri Kepala Pasca Penusukan Dura
275
No Prosedur Anestesia Blok Epidural
(Pendekatan Midline)
Loading dengan cairan kristaloid atau koloid (RL, R sol, NS, atauKoloid) 500-1000 mL
3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.
4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau prosessus
spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).
6 Suntikkan anestetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum epidural.
7 Lakukan penusukan jarum epidural pada celah yang telah diberi anestetik lokal.
Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut
ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.
8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum, lalu cabut mandrin jarum
9 Pangkal jarum epidural dihubungkan dengan spuit 10 cc yang berisi NaCl 0,9% atau
udara, dan jarum didorong sampai ke rongga epidural yang ditandai dengan adanya loss
of resistance
10 Lakukan tes dose, tes dose(-), cabut spuit, masukkan epidural kateter sesuai kebutuhan
tinggi blok,
11 Setelah selesai cabut jarum, dan fiksasi dengan baik serta kembalikan posisi pasien
sesuai dengan yang diinginkan.kemudian injeksikan anestetiklokal sesuai kebutuhan.
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1,5 cm lateral dan 1 cm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.
5.6.Komplikasi:
276
5.6.2.Sulit bernapas
5.6.3.Hipotensi
6.Referensi
6.1.Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.
6.2.Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006
6.3.Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone; 2005
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
277
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum dan regional pada pasien
obstetrik sederhana tanpa penyulit untuk memperoleh keberhasilan yang tinggi,
melakukan monitoring intraoperatif dengan baik dan mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
278
4. Memiliki pengetahuan farmakologi dan interaksi obat antara sintocinon, metergin,
magnesium sulfat, indocin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada pasien
obstetrik dengan obat anestesi.
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa
untuk pasien obstetrik elektif.
6. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid).
7. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien
obstetrik tanpa penyulit.
8. Mampu menjelaskan rencana anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah sesar
(lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid).
9. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur
bedah sesar termasuk tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan
nafas pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
10. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase.
11. Memiliki pengetahuan tentang aortocaval compression dan penanganannya.
12. Mampu menjelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan post partum, penanganan nyeri dan mual
muntah pascabedah.
Psikomotor
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
279
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta resiko yang
dapat timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Morbiditas paling umum pada pasien obsetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan beresiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. hampir semua opioid analgesik dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus barier plasenta dan mempengaruhi foetus. Teknik anestesi
regional lebih disukai untuk pengelolaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat anestesi lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk pengelolaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kalaII persalinan.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesi diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam pengelolaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai pengelolaan pasca
bedah. Melalukan pengelolaan nyeri persalinan dan memberikan anestesi umum atau
280
regional untuk bedah sesar pada bedah sesar tanpa penyulit.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan pengelolaan obstetri
anestesi dari mulai persiapan preoperatif, pengelolaan jalan nafas ibu hamil, fisiologi
kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola persalinan normal, pengawasan
ibu dan janin, deselerasi cepat, lambat dan variabel denyut jantung janin, variabilitas
denyut jantung janin, persalinan prematur, multipara, perdarahan trimester ke tiga,
asfiksia dan resusitasi neonatus, anestesia regional untuk ibu melahirkan (ILA, PCEA),
persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesar sebelumnya, anestesia dengan crash
atau rapid sequence induction, akses vaskuler, terapi cairan dan tranfusi darah,
penatalaksanaan anestesia umum dan regional, monitoring, pengelolaan pasca anestesia.
METODE PEMBELAJARAN
D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih
pasca operasi.
MEDIA
1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manekin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 1 termasuk
281
semua sub pokok bahasan dilakukan semester 2 minggu 1.
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif, pengelolaan jalan nafas,
anestesia umum atau subrahnoid, monitoring dan pengelolaan pasca operasi.
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid pada pasien Obstetrik
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas :
282
bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran
Pretest :
283
pasien obstetrik dan elektif.
7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan subarahnoid (lihat
prosedur anestesia umum dan regional).
8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien obstetrik
sederhana tanpa penyulit.
9. Jelaskan tehnik anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah obstetrik (lihat
modul dan prosedur anestesia regional).
10. Jelaskan tehnik anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur bedah sesar
termasuk tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan nafas pada
ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan tehnik anestesia intravena untuk tindakan kuretase.
12. Jelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan post partum, penanganan nyeri dan mual muntah pasca
bedah.
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Knowledge
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
284
- Multiple observers
5.Professionalism
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Anestesia subarahnoid
3 Anestesia intravena
285
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
286
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
287
MATERI ACUAN
Anestesi untuk obstetri berbeda dengan tindakan anestesi yang lain karena :
Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan fisiologi sistim
respirasi, kardiovaskuler, susunan saraf pusat, susunan saraf perifer, gastrointestinal,
muskuloskeletal, dermatologi, jaringan mammae, dan mata.
a. Sistim Respirasi
Ventilasi semenit meningkat pada aterm kira-kira 50% diatas nilai waktu tidak
hamil. Peningkatan volume semenit ini disebabkan karena peningkatan volume tidal
(40%) dan peningkatan frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveoli meningkat seperti
volume tidal tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi.
288
tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar 30-40%. Peningkatan ini disebabkan
kebutuhan metabolisme untuk foetus, uterus, plasenta serta adanya peningkatan kerja
jantung dan respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor ini akan
menimbulkan penurunan yang cepat dari PaO2 selama induksi anestesi, untuk
menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien mutlak harus diberikan oksigen 100%
selama 3 menit (nafas biasa) atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan
O2 100%). Vital capacity dan resistensi paru-paru menurun.
Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi karena adanya rasa sakit (his) yang
dapat menurukan PaCO2 sampai 18 mmHg, dan menimbulkan asidosis foetal. Pemberian
analgetik (misal : epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter respirasi ini
akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12 minggu post partum.
289
terjadinya DIC.
Delapan minggu setelah melahirkan volume darah kembali normal. Jumlah perdarahan
normal partus pervaginam kurang lebih 400-600ml dan 1000ml bila dilakukan sectio
caesarea, tapi pada umumnya tidak perlu dilakukan tranfusi darah.
Disritmia benigna
Gelombang ST, T, Q terbalik
Left axis deviation
GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. Renal
blood flow dan Glomerular filtration rate meningkat 150% pada trimester pertama
kehamilan, tetapi menurun lagi sampai 60% diatas wanita yang tidak hamil pada saat
kehamilan aterm. Hal ini akibat pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, blood urea
nitrogen, uric acid juga menurun tapi umumnya normal. Suatu peningkatan dalam
filtration rate menyebabkan penurunan plasma blood urea nitrogen (BUN) dan
konsentrasi kreatinin kira-kira 40-50%. Reabsorpsi natrium pada tubulus meningkat,
tetapi, glukosa dan asam amino tidak diabsorpsi dengan efisien, maka glikosuri dan
amino acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan ureter
berdilatasi dan peristaltiknya menurun. Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien
(BUN 8-9 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak hamil.
Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak hamil berarti ada
kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada diambang gagal ginjal, walaupun hasil
pemeriksaan laboratorium normal. Diuresis fisiologi pada periode post partum, terjadi
291
antara hari ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum hamil pada
minggu ke-6 post partum.
Aktivitas serum cholin esterase berkurang 24% sebelum persalinan dan paling rendah
(33%) pada hari ke-3 post partum. Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal
succinyl choline untuk intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya
blokade neuromuskuler selama kehamilan. Karena perubahan-perubahan tersebut
wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh, dengan tidak mengindahkan
waktu makan terakhir misalnya walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih
penuh. Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting sebelum
operasi Caesar dan sebelum induksi regional anestesi. Walaupun efek mekanis dari
uterus yang gravid pada lambung hilang dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang
lain kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 6 minggu post partum .
Susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer berubah selama kehamilan, MAC
menurun 25-40% selama kehamilan. Halotan menurun 25%, isofluran 40%,
methoxyflurane 32%. Peningkatan konsentrasi progesteron dan endorfin adalah
penyebab penurunan MAC tersebut. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa
konsentrasi endorfin tidak meningkat selama kehamilan sampai pasien mulai ada his,
maka mungkin endorfin tidak berperan dalam terjadinya perbedaan MAC tetapi yang
lebih berperan adalah akibat progesteron.
292
Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada parturien setelah epidural
anestesi bila dibandingkan dengan yang tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural
menyempit karena pembesaran plexus venosus epidural disebabkan karena kompresi
aortocaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian yang baru
menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada kehamilan muda (8-12 minggu)
dimana uterus masih kecil sehingga efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka
faktor-faktor lain penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah :
Respiratory alkalosis compensata.
Penurunan protein plasma atau protein likuor cerebro spinal.
Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).
Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas susunan saraf pusat dan
susunan saraf perifer pada anestesi umum dan antesi regional belum diketahui tetapi
dosis obat anestesi pada wanita hamil harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap
lokal anestesi untuk epidural atau spinal anestesi tetap ada sampai 36 jam post partum.
Buah dada membesar. Tekanan intra oculer menurun selama kehamilan karena
peningkatan kadar progesteron, adanya relaxin, penurunan produksi humor aqueus
disebabkan peningkatan sekresi chorionic gonado trophin. Akibat relaksasi ligamentum
dan kalogen pada kolumna vertebralis dapat terjadi lordosis. Pembesaran buah dada
terutama pada ibu dengan leher pendek dapat menyebabkan kesulitan intubasi.
Perubahan pada tekanan intra oculer bisa menimbulkan gangguan penglihatan.
293
UAP UVP
UBF = ------------------
UVR
Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan
resistensi vaskuler uterus akan menurunkan UPBF dan akhirnya menurunkan umbilical
blood flow (UmBF). Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung atau sekitar 500-
700ml/menit akan memasok uterus dimana 80%-nya akan memasuki plasenta.
Pembuluh plasenta berdilatasi secara maksimal, jadi placental blood flow sangat
tergantung pada tekanan perfusi.
Sectio Caesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi abdominal dan dinding
uterus. Keberhasilan anestesi untuk Sectio Caesarea dapat dilakukan dalam berbagai
jalan, tetapi anesthesiologist harus betul-betul mengerti tentang fisologi, patofisiologi
dan farmakologi Ibu hamil dan foetus.
Tindakan anestesi yang biasa dilakukan adalah anestesi regional dan anestesi
umum. Anestesi regional yang akan dibicarakan disini adalah spinal dan epidural
anestesi karena kami jarang melakukan infiltrasi atau field block untuk sectio caesarea.
I. SPINAL ANALGESIA
Keuntungan spinal anestesi untuk Sectio Caesarea adalah tekniknya sederhana,
induksinya cepat, kontak foetus dengan obat-obatan minimal, pasiennya sadar dan
bahaya aspirasi sedikit.
Masalah pada spinal anestesi adalah adanya hipotensi. Setelah induksi spinal
anestesi untuk sectio caesarea, kejadian hipotensi maternal (sistolik kurang dari
100mmHg atau turun lebih dari 30mmHg dari tekanan darah awal) adalah sebesar 80%.
Perubahan hemodinamik ini disebabkan karena blokade simfatis dan diperbesar oleh
penekanan aorta dan vena cava inferior oleh uterus yang gravid ketika pasien dalam
posisi supine.
Lebih tinggi blokade simfatis, lebih tinggi risiko hipotensi dan timbulnya gejala
muntah-muntah. Posisi supine meningkatkan kejadian hipotensi secara nyata. Ueland
dkk mengamati adanya pengurangan tekanan darah rata-rata dari 124/72 ke 67/38
mmHg pada Ibu yang diletakkan dalam posisi supine setelah dilakukan spinal anestesi,
tetapi bila dalam posisi lateral tekanan darah rata-rata sekitar 100/60mmHg.
295
Maternal hipotensi bisa mengancam kehidupan Ibu dan foetus bila penurunan
tekanan darah dan curah jantung tidak cepat dikoreksi. Keadaan hipotensi maternal yang
singkat, bisa menye-babkan penurunan Apgar score, pemanjangan waktu mencapai
keadaan nafas yang adekuat, dan menyebabkan asidosis pada foetus. Bila hipotensi tidak
lebih dari 2 menit, asidosis foetal minimal dan tidak ada pengaruh pada neurobehavioral
bayi yang baru lahir pada umur 2-4 jam. Dengan lebih lamanya periode hipotensi
Holman dkk menunjukkan adanya perubahan neurologis paling sedikit 48 jam pada
infant yang lahir dari Ibu yang dilakukan sectio caesarea dengan epidural analgesia.
Vasopressor :
beri cairan
bila memungkinkan rubah posisi pasien
beri efedrin, dimulai dengan dosis 5-10mg intravena. (Dosis efedrin 0,1-
0,2mg/kgBB)
Dalam beberapa keadaan, timbulnya takikardi akibat efedrin merupakan kontra indikasi,
bila demikian kita bisa memberikan phenylephrine. Penelitian terakhir, menunjukkan
bahwa pem-berian phenylephrine 40g intravena, intra operatif setelah dilakukan spinal
anaestesia atau epidural anestesia untuk terapi maternal hipotensi selama sectio caesarea,
tidak mempunyai efek yang jelek pada foetus, tetapi harus diingat bahwa penelitian
tersebut dilakukan pada Ibu yang sehat, bayi yang sehat dan tanpa insufisiensi
uteroplasenta.
Kejadian hipotensi selama spinal anestesi untuk sectio caesarea pada pasien
dengan persalinan fase aktif lebih rendah dari pada yang sedang tidak dalam persalinan,
296
hal ini karena :
Mual-muntah sering terjadi pada spinal anestesi. Hal ini disebabkan karena :
Mual-muntah setelah bayi lahir dapat dikurangi dengan pemberian dosis kecil
droperidol atau metoclopramide.
Sakit Kepala :
Sakit kepala paska spinal merupakan masalah utama setelah spinal anestesi pada
obstetri. Kejadian post spinal headache bervariasi dari satu institusi ke institusi yang
lainnya, berkisar 0-10%.
ujung jarum, kejadian post spinal headache dengan pencil point lebih rendah
297
daripada Quincke. Dengan no. 25 pencil point kejadian post spinal headache sekitar
1%. Kebanyakan post spinal headache ringan dan bisa sembuh sendiri. Pemberian
caffein intravena atau peroral kadang-kadang dapat menurunkan kejadian sakit
kepala .
Ringkasan Spinal anestesi untuk Sectio Caesarea :
1. Berikan cairan yang tidak mengandung dextrose (2000ml) jika tidak ada kontra
indikasi.
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2.
3. Obat anestesi bupivacain 0,5% atau levobupivacain 0,5%
4. Gunakan jarum spinal Quincke No.27 atau Whitacre No.27.
5. Posisi right lateral saat induksi spinal anestesi.
6. Posisi pasien miring kiri sampai bayi lahir.
7. Terapi penurunan tekanan darah Ibu dengan efedrin 5-10 mg dan berikan cairan. Bila
ada kontra indikasi pemberian efedrin, berikan phenylephrine 40ug.
8. Berikan oksigen melalui masker.
Kontra indikasi spinal anestesi untuk Sectio Caesarea :
1. perdarahan hebat pada Ibu.
2. hipotensi hebat
3. gangguan pembekuan
4. kelainan neurologis
5. pasien menolak
6. kesulitan teknis
7. tubuh pasien pendek atau morbid obesiti
8. sepsis, baik lokal atau general.
III. ANESTESI UMUM
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
kegagalan anestesi tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi.
Maternal aspirasi :
Cimetidin dan ranitidin suatu histamin (H2) reseptor antagonis dapat menghambat
sekresi asam lambung dan menurunkan volume gaster.
Metoclopramid dapat meningkatkan motilitas gaster dan karena itu tonus sphincter
oesophagus meningkat, sering diberikan sebelum anestesi umum pada sectio caesarea.
Metoclopramide juga berefek anti emetik sentral yang bekerja di CTZ (chemoreceptor
trigger zone).
Induksi yang cepat dengan tekanan Cricoid (Sellick's maneuver) diikuti intubasi
endotrakheal adalah metode yang sering dilakukan. Monitor O2 dan CO2 harus
dilakukan. Masalah lain untuk anestesi umum pada sectio caesarea adalah kesulitan
intubasi. Bila hal itu terjadi, harus dilakukan ventilasi melalui masker atau dipasang
laryngeal mask, tetapi masalah adanya aspirasi tetap tidak bisa dihilangkan.
Depresi Neonatus :
1. Penyebab fisiologis :
hipoventilasi Ibu
hiperventilasi Ibu
penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortocaval.
2. Penyebab Farmakologi :
obat-obat induksi
pelemas otot
rendahnya konsentrasi oksigen
N2O dan obat anestesi inhalasi lainnya
efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery.
1. Penyebab fisiologis :
299
Perubahan-perubahan fisiologis dan kehamilan menyebabkan parturien lebih
mudah terpengaruh oleh perubahan yang cepat dari gas darah. Hipoventilasi akan
mengurangi tekanan oksigen pada ibu dan akan menyebabkan perubahan asam-basa
pada neonatus atau depresi biokimia. Hiperventilasi ibu selama anestesi umum akan
menyebabkan penurunan tekanan O2 feotal karena :
2. Penyebab farmakologis :
a. Obat induksi :
penurunan yang cepat dari konsentrasi thiobarbiturat dalam darah Ibu karena
redistrubusi yang cepat.
distribusi yang tidak homogen dalam ruangan intervilli.
ekstraksi thiobarbiturat dari darah vena umbilikal oleh liver feotus.
dilusi yang progresif melalui shunting pada sirkulasi feotal.
Ketamin 1-1,5mg/kg mungkin merupakan obat induksi yang terpilih pada kasus-kasus
perdarahan. Propofol dengan dosis 2-2,5mg/kg tidak menunjukkan kelebihan untuk
sectio caesarea. Etomidate 0,3mg/kg efek depresi miokardium lebih kecil dan
hemodinamik lebih stabil dibandingkan dengan tiopental.
b. Muscle relaxant :
300
peningkatan tekanan intragastrik, tetapi tidak semua anesthesiologist setuju pada konsep
ini dengan alasan :
c. Oksigenasi :
d. N2O :
N2O menembus plasenta dengan cepat dan mencapai ratio konsentrasi dalam
darah arteri umbilical/vena umbilical 0,8 setelah pemberian 15 menit. Pemberian N 2O
konsentrasi tinggi yang lama dapat menyebabkan rendahnya Apgar score, mungkin
disebabkan karena difusi hipoksia dan depresi susunan saraf pusat secara langsung.
Dalam praktek tidak pernah memberikan N2O lebih dari 50%.
Ada pemikiran yang berbeda tentang waktu optimal untuk melahirkan bayi bila
digunakan anestesi umum untuk sectio caesarea. Beberapa peneliti menemukan keadaan
neonatus yang lebih baik bila interval ID kurang dari 10 menit. Yang lebih baru,
Crawford dkk, mengatakan bahwa bila kompresi aortocaval dihindari, konsentrasi O 2
inspirasi 65-70%, tidak ada hipotensi, maka pada ID 30 menit tidak terdapat pengaruh
301
yang nyata pada status asam-basa bayi.
Bila digunakan N2O/O2 50% : 50% dan konsentrasi kecil volatile untuk
mendapatkan amnesia, tidak ada efek yang nyata pada status asam-basa bayi dan Apgar
score bila bayi dilahirkan dalam waktu 10 menit. Faktor lain yang mempengaruhi
kondisi bayi adalah interval UD. Pada Spinal anestesia, bila tidak ada hipotensi,
pemanjangan ID interval tidak mempengaruhi Apgar dan status asam-basa bayi, tetapi
bila UD interval lebih dari 180 detik dihubungkan dengan lebih rendahnya Apgar score
dan bayi yang asidotik.
Selama anestesi umum, bila ID interval lebih dari 8 menit atau UD interval sama
atau lebih dari 180 detik, ditemukan adanya penurunan Apgar score (kurang dari 7) dan
asidosis neonatal.
Awareness :
Masalah utama anestesi umum untuk sectio caesarea adalah kejadian awareness
karena kita memakai dosis kecil dan konsentrasi rendah obat anestesi untuk mengurangi
efek pada foetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan konsentrasi kecil
volotile anestetic dapat mencegah awareness dan recall tanpa efek yang jelek pada
neonatus atau perdarahan uterus yang banyak.
1. Premedikasi dengan metoclopramide dan beri antasid yang tidak berpartikel (30
ml).
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2, capnograph, suhu, TOF.
3. Pasien miring kiri.
4. Preoksigenasi dengan O2 100%.
5. Induksi dengan pentotal/ketamine/propofol + relaxant.
6. Intubasi dengan endotrakheal tube + balon.
7. N2O/O2 50% + isofluran 0,75% atau enfluran 1% atau sevofluran 2%.
302
8. Hindari hiperventilasi atau hipoventilasi.
9. Kosongkan lambung dengan NGT.
1. ID interval singkat.
2. UD interval singkat.
3. Berikan narkotik pada Ibu setelah bayi lahir.
4. Ekstubasi bila Ibu sudah sadar penuh.
Referensi :
LAMPIRAN
5 Lakukan intubasi
6 Isi cuff pipa endotrakea sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)
303
9 Atur aliran oksigen, aliran gas anestesia (N2O) dan atur kadar
zat anesthesi volatile
Tehnik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti diatas. Tetapi memerlukan anestesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal.Pipa endotrakea dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong kearah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forcep Magill). Tehnik ini juga dapat dilakukan
secara blind.
1 2 3 4
304
1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)
1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan Sellick maneuver
(penekanan pada krikoid)
306
kanan dan kiri sama dengan ventilasi buatan
1 2 3 4
307
9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat
yang ditandai dengan mengalir keluar cairan cerebrospinal
yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran liquor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
liquor tidak keluar atau keluar darah.
308
ANESTESIA OBSTETRI II
MODUL 16 :
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
309
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesi diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam pengelolaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai pengelolaan pasca
bedah. Melalukan pengelolaan nyeri persalinan dan memberikan anestesi umum atau
regional untuk bedah sesar pada bedah sesar tdengan penyulit.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta resiko yang
311
dapat timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan pasien untuk rawat ICU atau ruang lain
sesuai kondisi pasien pasca bedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Morbiditas paling umum pada pasien obstetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan beresiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. hampir semua opioid analgesik dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus barier plasenta dan mempengaruhi foetus. Teknik anestesi
regional lebih disukai untuk pengelolaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat anestesi lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk pengelolaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kalaII persalinan.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesi diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam pengelolaan perioperatif dari mulai persiapan prabedah sampai pengelolaan
pascabedah. Melalukan pengelolaan nyeri persalinan dan memberikan anestesi umum
atau regional untuk bedah sesar pada pasien bedah sesar tanpa penyulit.
312
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan pengelolaan obstetri
anestesi pada kasus sulit:
Sindrom Meigs
METODE PEMBELAJARAN
D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih
MEDIA
1. Workshop / pelatihan
2. Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, subarahnoid, epidural, dan kaudal pada
manekin.
3. Belajar mandiri
4. Kuliah
5. Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 2
313
termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 minggu 1.
6. Diskusi kelompok
7. Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan jalan nafas,
anestesia umum atau regional, monitoring dan pengelolaan pasca operasi.
8. Kunjungan preoperatif
9. Bimbingan pembiusan dan asistensi
10. Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid, epidural dan kaudal pada
pasien Obstetrik dan dengan bimbingan dan pengawasan staf
pengajar.
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas :
314
dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Pretest :
315
7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan regional meliputi
subarahnoid, epidural, kaudal (lihat prosedur anestesia umum dan regional).
8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau regional untuk kasus obstetrik dan dengan
penyulit dan penyakit penyerta.
9. Jelaskan rencana anestesia regional untuk prosedur bedah obstetrik dan (lihat
modul dan prosedur anestesia regional).
10. Jelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan termasuk
tehnik rapid sequence induction dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu
hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan penatalaksanaan cairan dan tranfusi darah pada kasus obstetrik- .
12. Jelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik.
14. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi.
15. Jelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient controlled
epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam.
16. Jelaskan tindakan resusitasi ibu hamil.
17. Jelaskan penatalaksanaan post partum dan pasca bedah termasuk penanganan
nyeri dan mual muntah.
18. Jelaskan indikasi rawat ICU pasca bedah.
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. Knowledge
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
Kelainan/penyulit :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
317
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
318
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
319
MATERI ACUAN
PLASENTA PRAEVIA
Perdarahan antepartum adalah penyebab utama kematian Ibu pada pasien-pasien
kebidanan. Perdarahan hebat pada periode antepartum umumnya disebabkan karena
plasenta praevia atau solutio plasenta. Kejadian plasenta praevia antara 0,1-1%.
Perdarahan ini disebabkan karena robeknya plasenta. Pada plasenta praevia dengan
perdarahan aktif, sectio caesarea dilakukan dengan anestesi umum. Berikan kristaloid,
koloid atau darah untuk mempertahankan volume intravaskuler yang dilihat dari tekanan
darah, frekuensi nadi, CVP dan diuresis. Bila plasenta praevia sudah ada perdarahan,
anestesi dilakukan dengan anestesi umum. Bila belum ada perdarahan dapat dengan
spinal atau epidural anestesia.
Induksi anestesi dengan dosis kecil tiopental atau ketamin (1mg/kg) bila ada
hipotensi. Apabila operasinya bekas sectio, maka penanganan plasenta praevia ini harus
lebih hati-hati karena mungkin ada plasenta acreta, increta atau percreta sehingga
diperlukan histerektomi setelah dilakukan sectio caesarea. Penanganan anestesi pada
sectio caesarea pada bekas sectio harus dipasang jarum infus yang besar, selimut
penghangat dan darah. Clark dkk, mengamati hubungan antara jumlah sectio caesarea
sebelumnya dan kejadian plasenta praevia. Kejadian plasenta acreta pada plasenta
praevia bila pasien pernah satu kali di sectio adalah 24%, bila sudah menjadi 4 kali atau
lebih sectio caesarea, kejadian plasenta acreta mencapai 67%.
Teknik anestesi yang ideal untuk prosedur ini masih kontroversial, bisa dengan
regional atau anestesi umum dengan berbagai keuntungan dan kerugiannya masing-
masing.
SOLUTIO PLASENTAE
Adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal dari decidua
basalis, kejadiannya 0,2-2% dan mortaliti perinatal sekitar 50%. Diklasifikasikan
sebagai ringan, sedang dan berat. Penyebabnya bisa karena trauma, tali pusat yang
pendek, yang tiba-tiba pada penekanan uterus, dan hipertensi. Perdarahan mungkin
tersembunyi dan berkumpul dibelakang plasenta. Gejala klinis awal berupa sakit perut
hebat disertai dengan tanda-tanda foetal distress.
Pada solutio plasentae ada gangguan pembekuan darah maka harus diperiksa Hb,
hematokrit, bleeding time, thrombosit, prothrombin time, fibrinogen dan partial
thromboplastin time. Bila tidak ada hipovolemia Ibu atau insufisiensi uteroplasenta dan
bila pemeriksaan pembekuan normal dapat digunakan epidural analgesia kontinyu untuk
persalinan pervaginam. Pada solutio plasenta berat, maka perlu dilakukan sectio
320
caerarea dengan anestesi umum dan mungkin diperlukan tranfusi darah masif. Bila
ketika dilahirkan bayinya masih hidup, maka perlu resusitasi aktif sebab maternal
hipovolemia akan menyebabkan terjadinya syok pada neonatus.
Perbedaan solutio plasenta dan plasenta praevia terlihat pada tabel dibawah ini :
RUPTURA UTERI
Ruptur uteri paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami operasi pada
uterus misalnya sectio caesarea atau invasi throphoblast. Pada beberapa keadaan harus
dilakukan histerektomi. Jadi pasien-pasien yang melahirkan pervaginam tetapi ada
riwayat sectio caesarea atau operasi uterus harus diobservasi dengan ketat, karena ada
kemungkinan terjadi ruptur uteri karena adanya sikatrik pada uterus merupakan masalah
utama, sehingga epidural analgesi untuk persalinan pada pasien-pasien tersebut menjadi
kontra indikasi relatif karena hilangnya gejala sakit dari ruptur uteri, karena rasa sakit
diblokade oleh epidural analgesia.
321
Disebut pre-eklampsi ringan bila pada wanita yang sebelumnya normotensi ada
kenaikan tekanan diastolik menjadi > 90 mmHg dengan protein uria < 0,25 gr/lt. Disebut
pre-eklampsi berat bila tekanan sistolik > 160mmHg atau diastolik > 110 mmHg,
peningkatan yang cepat dari protein uria, oliguria < 100 ml/24 jam, ada gangguan
cerebral atau penglihatan, pulmonary edema atau sianosis. Pre-eklampsi bisa menjadi
ekslampsi pada setiap tingkatan bila terjadi kejang-kejang. Kejang-kejang bisa terjadi
sebelum persalinan, selama persalinan dan segera pada periode post partum.
Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti setuju bahwa kelainan yang
esensial adalah adanya ischemia utero plasental. Ada 3 faktor :
hipertensi
lesi pada glomerulus yang menyebabkan protein uria
penurunan glomerular filtration rate yang menimbulkan peningkatan reabsorpsi
sodium dan terjadi edema.
Penyebab kematian Ibu adalah edema paru dengan congestive heart failure, hipertensive
322
cerebral encephalopathy, perdarahan otak, abruptio plasentae, renal failure, necorosis
hypophyse.
Terjadi penurunan volume darah kira-kira 10-15% dibandingkan dengan wanita hamil
normal. Systemic Vascular Resistance (SVR) meningkat. Peneliti lain, mendapatkan
bahwa sampai 25% dari pasien menunjukkan fungsi myocardial yang sub optimal,
dan menyokong bahwa ada ketidak sesuai antara CVP dan PCWP (Pulmonary
Capillary Wedge Pressure), walaupun keduanya umumnya rendah.
Dibandingkan dengan kehamilan yang normal, pada pre eklampsi volume
intravaskuler menurun, curah jantung menurun, dan sistemik vascular resisten
meningkat.
c) Koagulasi :
323
(Haemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platelets) dan DIC terjadi kira-kira 7%
kasus. Kelton dkk, menyokong bahwa defisit fungsi thrombocyt bisa terlihat tanpa
dihubungkan dengan jumlah thrombocytnya.
Ramanathan dkk., menyatakan bahwa wanita dengan pre-eklampsi berat mempunyai
bleeding time yang memanjang dengan jumlah thrombocyt yang adequat, hematokrit
meningkat akibat hemokonsentrasi.
d) Sistim Respirasi :
Bisa terjadi kesulitan intubasi karena gangguan lapangan penglihatan oleh karena
adanya edema saluran nafas bagian atas dan laryng.
e) Liver :
Disfungsi hepar mungkin penyebab dari keluhan sakit epigastrium, dan telah
diketahuai bahwa disebabkan karena ischemia hepatic necrosis, walaupun hal ini juga
bisa disebabkan karena perdarahan sub capsula hepatis. Hipotensi yang tiba-tiba bisa
disebabkan karena ruptur hepar spontan, walaupun jarang terjadi tetapi dapat
menyebabkan kematian. Penurunan fungsi liver dapat merubah clearance obat yang
dimetabolisme di hepar dan memerlukan penyesuaian dosis obat untuk mencegah
overdosis.
f) Ginjal :
Kerusakan ginjal dIbuktikan dengan adanya protein uria, walaupun oliguria lebih
sering disebabkan hipovolemia dan penurunan Renal blood flow daripada oleh
kerusakan ginjal. Telah dibuktikan bahwa lesi primernya adalah renal vasospasme
dan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap molekul yang besar. Dapat terjadi
ARF (Acut Renal Failure) yang memerlukan dialisis yang bisa dipresipitasi oleh
adanya hipotensive terapi yang berlebihan atau oleh Hb-uria (adanya HELLP
syndrome). Tetapi prognosisnya baik, Sibai melaporkan dari 18 pasien ARF akibat
eklampsi, 16 pasien baik tanpa sequele. Sedangkan yang 2 lagi, meninggal akibat
penyebab di luar ginjal.
Microangiopathic
hemolytic anemia + + +
324
Thrombocytopenic
bleeding + + + +
Neurological
dysfunction + ++
g) Feto-plasental unit :
a) Pengendalian Convulsi
325
Inggris dengan obat-obat anti convulsant sedangkan di Amerika dengan MgSO 4.
Sedangkan di negara-negara lain dengan memakai kedua obat tadi, anti convulsant
dan MgSO4. Pemberian MgSO4 sendiri tidak bekerja sebagai anti convulsan karena
tidak menembus blood brain barier, tetapi memberikan gambaran palsu dengan
hilangnya kejang-kejang karena efek MgSO4 untuk blokade neuromuskuler, tapi
alasan ini tidak kena untuk pasien yang bangun dan bernafas spontan. Prinsip adanya
cerebral vasospasme menyokong pemberian MgSO4 karena magnesium adalah suatu
cerebral vasodilator kuat, maka rasional kalau bisa mengendalikan komplikasi SSP.
Obat-obat Anticonvulsant :
1) Magnesium Sulphate :
Magnesium Sulphate adalah suatu SSP depresant dan vasodilator ringan. Dengan
relaksasi myometrium, ia juga menyebabkan peningkatan utero plasental blood
flow. Setelah loading dose 40-80 mg/kg secara i.v., diikuti infus continyu 1-2
gr/jam, Magnesium Sulphate dipertahankan 6-8 meq/lt. Refleks tendon yang
dalam dikurangi pada kadar Magnesium Sulphate 10 meq/lt, dan bisa terjadi
respiratoriparalisis dan heart block bila kadar Magnesium Sulphate di atas 12-15
meq/lt. Magnesium potensiasi dengan non depolarizing dan polarizing muscle
relaxant. Tranfer melalui plasenta menyebabkan bayi jadi lemah dan depresi
nafas. Calsium intra vena bisa mengurangi kelemahan pada post operative akibat
magnesium. Bahaya terbesar dari Magnesium infus adalah blokade
neuromuskuler, juga menurunkan resistensi perifer, dan meningkatkan curah
jantung. Efek samping dan efek toksik Magnesium pada Ibu adalah :
326
diekskresi melalui ginjal.
2) Diazepam :
3) Phenytoin :
Phenytoin lebih populer daripada diazepam karena kurangnya efek samping sedasi
dan level terapeutik 40-100 mol/lt. Loading dose 10 mg/kg dilarutkan dalam 100
ml NaCl fisiologis, diberikan i.v. dengan kecepatan 50 mg/menit. Dua jam
kemudian, diberikan bolus yang kedua, diberikan dengan cara yang sama dengan
dosis 5 mg/kg. Terapi maintenance dimulai 12 jam setelah bolus yang kedua
dengan kecepatan 200 mg/8 jam secara oral atau intravena. Penggunaan cara ini
sering menimbulkan komplikasi rasa terbakar pada tempat infus, diikuti dengan
327
pusing dan vertigo. Komplikasi hipotensi bisa terjadi, tapi sangat jarang.
b) Pengelolaan Kardiovaskuler
1. Monitoring
2. Pengendalian hipertensi :
Pasien harus dirawat di Rumah Sakit dan istirahat. Harus dipertimbangkan efek
postural, terutama untuk menghindari kompresi aortacaval. Pasien pre-eklampsi
umumnya relatif hipovolemia, juga ada vasospasme, yang dapat mengurangi perfusi
jaringan, sehingga akan berefek buruk pada Ibu dan bayi. Walaupun ada anjuran
untuk terapi hipertensi secara agresif, kebanyakan penulis setuju untuk menurunkan
tekanan darah secara graduil sampai level di atas tekanan normal, pada umumnya
pada tekanan diastolik 90mmHg. Perhatian ditujukan pada perfusi plasenta dan fungsi
ginjal Ibu, juga adanya cedera serebral bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat.
Dalam hal konsep adanya cerebral vasospasme dan cerebral ischemia, penurunan
tekanan darah secara hati-hati disertai dengan monitoring kardiovaskuler yang
adequat sangat baik sekali.
Harus diingat bahwa, sebelum pemakaian vasodilator, harus dilakukan dulu koreksi
hipovolemia, kalau tidak, bisa terjadi penurunan tekanan darah yang hebat. Obat yang
dipilih adalah yang menimbulkan arteriolar vasodilatasi daripada yang venodilatasi
yang akan mencegah kenaikkan curah jantung. Dihydralazine adalah obat yang paling
populer karena berefek dilatasi arterial dan onset of action cepat.
a. Dihydralazine
328
Hydralazine (Apresoline) meningkatkan utero-plasental serta renal blood flow
dan merupakan obat vasodilator yang paling umum digunakan. Dosis 5-10 mg
i.v. berefek dalam waktu 15 menit dan berakhir sampai 6 jam. Penambahan
dosis 5 mg secara i.v., diikuti dengan infus 5-20 mg/jam, diberikan secara titrasi
tergantung tekanan darah. Efek obat bisa menyebabkan hipotensi dan takikardi.
Onset of action lambat, dan pengulangan dosis tidak boleh diberikan dengan
interval kurang dari 20 menit, bila tidak, akan terjadi hipotensi yang hebat.
Meninggikan renal blood flow dan uterine blood flow, serta meningkatkan
denyut jantung dan curah jantung. Adanya takikardia dapat diterapi dengan
Beta bloker misalnya proponolol.
b. Methyl dopa
Obat ini umumnya untuk pasien dengan hipertensi kronis. Dipakai dalam dosis
standar, tapi dapat menyebabkan ngantuk, depresi dan postural hipotensi, tapi
aman pada Ibu hamil pada dosis 1-3 g/hari dengan pembagian dosis.
c. Nifedipine
d. Trimethaphan
Keuntungan obat ini adalah tidak adanya efek cerebral vasodilatasi. Obat
dipecah oleh cholinesterase dan karena tidak menembus barier plasenta dapat
menyebabkan pemanjangan efek suxamethonium. Bisa terjadi takikardia dan
menyebabkan penurunan venous return.
Nitrogliserin bekerja primer pada kapasitas vena dan terbukti kurang efektif
bila sebelumnya diberikan expansi volume. Dianjurkan untuk pengendalian
tekanan darah pada waktu intubasi. Nitroprusside, sodium nitroprusside
(Nipride) adalah suatu vasodilator dengan onset yang cepat dan lama kerja yang
pendek. Obat ini ideal untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang sangat
berbahaya waktu induksi anestesi atau untuk terapi krisis hipertensi. Tetapi
pada pregnancy hanya dipakai untuk mengendalikan tekanan darah akibat
intubasi, karena ketakutan akan adanya intoksikasi sianida pada feotus. Kedua
obat ini mempanyai tendensi untuk menaikkan tekanan intra kranial Ibu.
329
f. Beta adrenergic blocking drugs
4. Pengelolaan Respirasi
Masalah utama adalah pengelolaan jalan nafas, karena ada laporan tentang
adanya edema hebat pada jalan nafas bagian atas. Bila ada konvulsi, bisa terjadi trauma
pada lidah yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas, dan intubasi menjadi sangat
sulit. Adanya edema paru terutama disebabkan karena pemberian cairan yang
berlebihan. ARDS jarang terjadi.
5. Fungsi Ginjal
Walaupun ada oliguria dan edema, tidak dianjurkan pemberian diuretik, sebab
penyebabnya adalah vasospasme dan penurunan volume sirkulasi darah. Pemberian
volume dan vasodilator akan meningkatkan renal blood flow dan curah jantung.
Pemakaian dopamin dengan dosis <_5g/kg/menit, cukup menguntungkan, walaupun
ada peningkatan sensitivitas Ibu terhadap kathecholamin disirkulasi dengan akibat resiko
terjadinya hipertensi. Pemakaian nifedipine juga dicoba untuk memperbaiki renal
output. Diuretik jangan digunakan kecuali bila ada hipertensi berat, congestive heart
failure, retensi air yang hebat, bila diperlukan efek potensiasi dengan obat anti
hipertensi.
330
6. Koagulopathi
DIC bisa terjadi pada pre-eklampsi yang berat. Pemberian thrombocyt, fresh
frozen plasma, sel darah merah sering diperlukan. Bila ada DIC, regional analgesia
merupakan kontra indikasi.
Teknik Anestesia
Bisa digunakan untuk Sectio Caesarea pada pasien pre-eklampsi dengan volume
cairan dan pembekuan yang normal. Dengan regional anestesia terjadi pengurangan
endogenous epinephrin dan norepinephrin, jadi akan memperbaiki uteroplasental
blood flow. Penurunan rasa sakit dan anxieti mengurangi gejolak tekanan darah dan
kebutuhan narkotik.
Dihubungan dengan hipotensi yang berat dan tiba-tiba akibat blokade simpatis,
yang bisa menyebabkan penurunan perfusi uteroplasental dan foetal asfiksia.
2. Anestesi Umum :
Anestesi umum indikasi untuk Sectio Cesarea emergensi karena induksi cepat dan
menghindari pelebaran ruangan intra vaskuler akibat blokade simfatis.
Indikasinya :
1. N2O
Sedikit sekali atau hampir tidak mendepresi bayi bila diberikan dengan minimal 50% O 2
dan diberikan dalam periode < 20 menit. Tidak ada depresi yang nyata pada bayi,
bila diberikan N2O 50% sebelum bayi lahir. Untuk sectio caesarea berikan O2 50-
70%.
2. Halotan
Pada konsentrasi anestesi menyebabkan
Indikasi pemakaian halotan hanya untuk relaxasi uterus, misalnya : kontraksi tetanic
uterus, versi luar atau versi dalam, pelepasan plasenta secara manual, inversi uterus,
Bandl's ring.
3. Pentotal
Pada dosis 4 mg/kg tidak menyebabkan depresi pada infant.
4. Muscle Relaxant
Untuk fasilitas intubasi bisa dipakai succinyl cholin, curare, vekuronium, pancuronium,
atracurium. Obat-obat ini tidak menembus barier plasenta.
5. Pitocin
Obat-obat oxytocics yang paling sering digunakan adalah syntetik hormon pituitary
posterior yaitu oxytocin (Pitocin) dan ergot alkaloid ergonovine (Ergotrat) dan
methyl ergonovine (methergin).
Oxytocin bekerja pada otot polos uterus untuk menstimulasi frekuensi dan kekuatan
kontraksi. Efek pada sistim kardio vaskuler adalah penurunan tekanan sistolik,
diastolik, takikardia, aritmia. Pada dosis tinggi, bisa bekerja sebagai anti diuretic,
yang bisa membawa kearah intoksikasi air, cerebral edema, convulsi bila diberikan
cairan i.v. yang berlebihan.
6. Ergot alkaloids
Dalam dosis kecil meningkatkan kekuatan dan frekuensi kontraksi uterus,
dilanjutkan dengan relaxasi normal uterus. Pada dosis yang lebih tinggi, kontraksi
332
menjadi lebih kuat dan lama. Tonus saat istirahat meningkat, dan terjadi kontaksi
tetanic. Efek pada sistim kardio vaskuler adalah vasokontriksi dan hipertensi,
terutama dengan adanya obat-obatan vasopressor. Bisa diberikan intramuskuler atau
per oral. Suntikan intra vena bisa menimbulkan terjadinya hipertensi, convulsi,
stroke, kerusakan retina, edema paru.
Ekstubasi :
Pada saat Ekstubasi bisa terjadi kenaikan tekanan darah. Untuk mengatasinya
bisa diberikan analgetic (fentanil), lidokain, MgSO4, beta-bloker.
Kesimpulan
DIABETES MELLITUS
Masalah utama pada wanita hamil yang menderita diabetes mellitus adalah :
333
Diabetic ketoasidosis merupakan faktor utama peningkatan kejadian morbiditi dan
mortaliti perinatal. Ada bukti bahwa ketone dapat menembus plecenta dan menurunkan
PaO2 foetus.
Pengelolaan anestesi :
a. Persalinan pervaginam :
Dapat diberikan epidural analgesia. Telah diketahui bahwa foetus pada permulaan
kala II kurang asidotik bila Ibu menerima epidural anestesia dari pada foetus yang
tidak menerima analgesia.
Dipasang infus yang tidak mengandung dextrose bila diperlukan untuk terapi
hipotensi. Juga penting bahwa foetus pada Ibu yang diabetes lebih cenderung
hipoksia akibat hipotensi Ibu.
Kejadian depresi kardiovaskuler lebih tinggi pada regional anestesi untuk sectio
caesarea dan dihubungkan dengan lebih tingginya blokade simfatis karena penekanan
vena cava inferior dan aorta oleh uterus yang gravid.
Penelitian tahun 1977 yang membandingkan spinal anestesi dan anestesi umum untuk
Sectio Cesarea sehat dan Ibu diabetes. Ternyata bahwa infant dari Ibu diabetes yang
menerima spinal anestesi lebih asidotik dari pada infant dari Ibu diabetes yang
menerima anestesi umum. Asidosis ini dihubungkan dengan Ibu diabetes dan mengalami
hipotensi. Bila dilakukan epidural analgesia, asidosis neonatal sekitar 60% kejadian ini
akibat hipotensi Ibu, sebab pH selalu lebih dari 7,2 bila bila tidak ada hipotensi Ibu.
Faktor-faktor yang menyebabkan bayi asidosis pada Ibu yang diabetes adalah :
334
plasenta memproduksi laktat, terutama bila ada hipoksia atau peningkatan
penyimpangan glikogen.
fetal lactic acidemia bisa terjadi akibat hipoksia (sekunder terhadap hipotensi Ibu)
pada keadaan hiperglikemia Ibu.
Hiperinsulinisme dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Hiperglikemia dan
hiperinsulinisme foetal bisa menyebabkan penurunan oksigenasi foetal.
Spinal anestesi aman digunakan untuk Sectio Caesarea pada Ibu diabetes, asal :
diabetes terkontrol
jangan berikan dextrose untuk mengisi volume sebelum dilakukan spinal anestesi.
hindari hipotensi Ibu.
Jadi berikan infus yang bebas dextrose dan terapi segera hipotensi dengan efedrin dan
posisi pasien miring kekiri.
ASTHMA BRONKHIALE
Progesteron mempunyai efek relaksasi bronkhus, sehingga ada perbaikan
penyakit asthma selama kehamilan, tetapi hal ini tidak selalu pasti. Terapi obat-obatan
untuk masalah respirasi sama antara wanita hamil dan wanita yang tidak hamil.
Bila diperlukan analgesia untuk persalinan biasanya epidural kontinyu. Bila akan
dilakukan Sectio Cesarea harus diingat kemungkinan interaksi obat karena penderita
asthma umumnya mendapat terapi :
Pada pasien dengan masalah respirasi ini sebaiknya dihindari pemberian anestesi umum.
Tetapi bila diperlukan anestesi umum, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
335
sentral), intubasi dengan succinylcholin atau vekuronium. Obat-obat anetesi inhalasi
halotan, enfluran dan isofluran berefek bronkhodilator. Tetapi pemakaian halotan dapat
menyebabkan ventriculer takikardia dan aritmia pada pasien yang diberi aminophyllin
atau obat beta-mimetik.
HAMIL KEMBAR
kompresi aortocaval lebih besar dan lebih tinggi angka kejadian hipotesi.
diapraghma tertekan keatas sehingga mudah terjadi hipoksia.
risiko aspirasi lebih besar.
bayinya sering prematur atau growth retardasi. Pengelolaam anestesinya : lebih
disukai epidural dari spinal analgesia, sebab dengan epidural kejadian hipotensi
lebih jarang, kemungkinanan kecil terjadi penyebaran obat anestesi lokal yang
lebih tinggi. Dengan spinal anestesi kejadian hipotensi lebih besar dan besar
kemungkinan penyebaran obat anestesi yang lebih tinggi.
Anestesi umum juga dapat digunakan. Yang harus diperhatikan ID dan UD interval
harus singkat sebab ada resiko pelepasan plasenta.
OBESITAS
Obesitas adalah gambarab klinis yang sering ditemukan di negara-negara dimana
malnutrisi dan kemelaratan jarang dijumpai.
BB sebenarnya
(kg)
BB relatif = x
-------------------- 100%
-----
TB (cm) - 100
336
antara 90%- : normal
110%
lebih 110%- :
120% overweight
lebih 120% : obesitas
Morbid obesity dibagi 2 golongan yaitu Simple Obesity (SO) dan Obesity
Hypoventilation Syndrome (OHS) atau Pickwickian
syndrome. OHS adalah bila sudah ada hipoventilasi, hiperkapnia. Pasien OHS terlihat
somnolent, lethargi, plethora, sianosis, edema, pembesaran jantung kanan, polisitemia,
penurunan kapasitas vital, hipertensi pulmonal, hipervolemia.
337
EMBOLI CAIRAN AMNION
Terapinya adalah resusitasi, segera lahirkan bayinya. Intubasi dan FiO2 tinggi, PEEP,
berikan furosemid, tranfusi komponen darah untuk mengoreksi edema paru dan
perubahan hematologi.
Referensi :
LAMPIRAN
338
3 Berikan premedikasi secara IV atau IM
5 Lakukan intubasi
6 Isi cuff pipa endotrakea sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)
Tehnik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti diatas. Tetapi memerlukan anestesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal.Pipa endotrakea dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong kearah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forcep Magill). Tehnik ini juga dapat dilakukan
secara blind.
339
No Prosedur anestesia intravena Kasus ke
1 2 3 4
340
sampai ke ruang pulih sadar
341
No Prosedur Rapid Sequence Induction Kasus ke
1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan Sellick maneuver
(penekanan pada krikoid)
1 2 3 4
342
4 Tentukan landmark celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah
antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina
iliaka anterior superior.
343
1 2 3 4
344
pembuluh darah.
1 2 3 4
345
memastikan posisi ujung jarum sudah tepat dengan tidak
adanya tahanan. Penusukkan harus dihentikan dan jarum
dicabut bila menembus rongga subarahnoid yang ditandai
keluarnya liquor atau keluar darah.
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur
bedah THT sederhana tanpa penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, monitoring
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pasca bedah (pemulihan).
TUJUAN KHUSUS
Kognitif
1. Mampu menginterpretasikan anatomi jalan nafas atas, laring hingga trakea dan
telinga.
2. Mampu mendiskusikan efek pemakaian N2O pada bedah telinga tengah.
347
3. Mampu mendiskusikan tingginya insiden PONV pascabedah telinga.
4. Mampu menjelaskan teknik hipotensi.
5. Mampu menjelaskan interaksi katekolamin dengan zat volatil.
6. Mampu menjelaskan pengaruh vasokonstriktor lokal terhadap kardiovaskular
dan penatalaksanaan masuknya secara tak sengaja infiltrasi epinefrin ke dalam
intravaskular.
7. Mampu menjelaskan tehnik pembiusan tonsilektomi beserta risiko dan
komplikasi serta penanganannya.
8. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring dan penanganannya.
9. Mengetahui patofisiologi sleep apnea .
10. Menjelaskan alasan untuk mengeliminasi N2O dari campuran gas anestetik
selama periode apnea.
11. Mendiskusikan apneic oxygenation dan kecepatan peningkatan PaCO2 yang
terjadi.
Psikomotor :
Komunikasi :
Profesionalisme :
348
KEYNOTES:
1. Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah THT.
2. Keadaan patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi,
deformitas kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas akut atau kronis, perdarahan, dan kemungkinan difficult airway.
3. Penggunaan N2O dan pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus
dilakukan. Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok
berat, kecanduan alkohol, obstructive sleep apnoe, dan infeksi kronis saluran
nafas bagian atas.
4. Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Perdarahan jalan nafas bagian atas yang banyak, edema, atau patologi
mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat melakukan anestesi untuk bedah THT diperlukan pengetahuan dan
ketrampilan dalam: evaluasi jalan napas sulit, blok saraf untuk jalan napas, obat
vasokonstriktor, jalan napas bersama, bedah endobronkial, epiglotitis, abses
retrofaringeal, tumor jalan nafas, angioedema jalan napas, post-tonsillectomy bleeding,
The ASA Difficult Airway.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang: anatomi jalan
napas, analgesia topical, evaluasi jalan napas, blok saraf untuk jalan napas, obat
vasokonstriktor, tehnik hipotensi, dan jalan napas bersama.
METODE PEMBELAJARAN
349
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir
MEDIA
1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab : intubasi dan pemasangan LMA pada manekin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 1 termasuk semua sub pokok
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah, intubasi, LMA pada pasien THT dengan
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada.
350
Materi pretest terdiri atas :
- analgesia topikal
- obat vasokonstriktor
- tehnik hipotensi
351
memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran :
Isi pretest :
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semeser).
Bentuk ujian :
1. Knowledge
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
352
- Ujian lisan
2.Kognitif
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
353
3 Anestesi intravena
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
354
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
355
Tanda tangan dan nama terang
MATERI ACUAN
I. Pertimbangan Umum
Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah. Keadaan
patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi, deformitas
kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akut atau
kronis, perdarahan, dan kemungkinan difficult airway. Diskusi prabedah dengan ahli
bedah dan analisis catatan anestesi yang lalu mengenai pengelolaan jalan nafas
perioperatif, ukuran dan posisi pipa endotrakheal, posisi pasien, penggunaan N2O dan
pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus dilakukan. Pasien mungkin
memerlukan pemeriksaan jalan nafas saat pasien masih sadar dengan diberikan sedasi
dan anestesi topikal atau intubasi saat masih sadar dengan fiberoptik sebelum induksi
anestesi umum.
Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok berat, kecanduan
alkohol, obstructive sleep apnoe, dan infeksi kronis saluran nafas bagian atas. Mungkin
diperlukan pemeriksaan laboratorium prabedah, imaging, dan pemeriksaan fungsi
jantung, paru dan hepar.
Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Tampon faring diambil, faring di suction, dan pasien di oksigenasi. Ekstubasi
dilakukan bila refleks jalan nafas telah pulih kembali secara penuh. Perdarahan jalan
nafas bagian atas yang banyak, edema, atau patologi mungkin menunda ekstubasi di
kamar bedah.
356
Pertimbangan Umum
Selama pembedahan, kepala pasien sering dalam posisi elevasi dan diputar pada
satu sisi. Posisi kepala yang ekstrim harus dinilai sebelum operasi untuk menentukan
batas rentang pergerakan, terutama pada pasien artritis atau penyakit serebrovaskuler.
Mata harus ditutup dengan plester.
Anestesi
Induksi dengan hipnotik (pentotal, propofol, atau etomidate) dan pelumpuh otot
yang mempunyai lama kerja singkat atau dengan induksi inhalasi, pemeliharaan
anestesi dengan anestetika volatil. Penggunaan N2O harus di diskusikan dengan ahli
bedah, N2O harus dihentikan 30 menit sebelum pemasangan graft membran timpani.
Harus diberikan antiemetik karena kejadian PONV sangat sering pada operasi
telinga.
357
III. Operasi Nasal
Operasi nasal dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau anestesi umum. Pada
kedua teknik anestesi tersebut, ahli bedah akan memberikan kokain 4% pada mukosa
nasal, diikuti dengan suntikan lidokain 1-2% yang mengandung adrenalin 1/100.000
1/200.000 untuk hemostasis. Obat ini dapat menimbulkan terjadinya takikardi,
hipertensi, dan aritmia, terutama bila dilakukan anestesi dengan halotan. Pada pasien
dewasa sehat, kokain jangan diberikan melebihi 1,5 mg/kg bb (setiap tetes larutan
kokain 4% mengandung 3 mg kokain). Harus diberikan dosis yang lebih kecil bila
digunakan besama-sama dengan epinefrin, anestesi dengan halotan, atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Anestesi umum diberikan supaya pasien tidak bergerak,
proteksi jalan nafas, dan amnesia.
Setelah operasi kosmetik nasal, hidung tidak stabil dan pemasangan face mask
harus dengan penuh perhitungan atau malahan jangan dilakukan. Emergens (bangun dari
anestesi) dan ekstubasi yang mulus merupakan suatu keharusan untuk menurunkan
pedarahan pascabedah dan menghindari spasme laring dan keperluan ventilasi tekanan
positif dengan face mask.
Kehilangan darah selama operasi nasal banyak dan sulit diperkirakan. Tampon
mulut dapat mengurangi kejadian PONV dengan mencegah masuknya darah kedalam
lambung. Tampon ini harus dukeluarkan sebelum dilakukan ekstubasi. Pipa orogastrik
harus dipasang untuk mengeluarkan darah yang masuk ke lambung.
Pasien dengan epistaksis berat yang dilakukan ligasi arteri maksilaris interna atau
dilakukan embolisasi sering mengalami cemas, lelah, hipertensi, takikardi, dan
hipovolemi. Pasien ini memerlukan penenteraman hati, hidrasi, dan perawatan. Pasien
ini dianggap lambung penuh dan induksi anestesi dan intubasi endotrakheal harus
direncanakan dengan tepat. Hipertensi harus dikontrol untuk mengurangi kehilangan
darah. Tampon nasal posterior, walaupun berguna, dapat menyebabkan edema dan
hipoventilasi. Disebabkan karena kehilangan darah yang banyak sulit dinilai, harus
dilakukan pemasangan jalur vena yang adekuat ( no 16 atau no 14) dan darah untuk
transfusi harus tersedia. Penarikan packing nasal posterior dapat menyebabkan
kehilangan darah yang banyak.
358
obstructive sleep apnoe mungkin obes/gemuk dan mungkin ventilasi dan intubasi sulit.
Banyak pasien mempunyai penyakit infeksi saluran nafas atas yang kronis dan berulang-
ulang terjadinya. Bila pasien sedang mengalami infeksi akut yang ditandai dengan
adanya demam, batuk produktif, gejala saluran nafas bagian bawah, disertai penyakit
lain, atau umur < 1 tahun dipertimbangkan untuk mengundurkan operasinya atau
dirawat di ICU untuk observasi.
Pada akhir pembedahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan
untuk mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring.
Eksubasi dapat dilakukan saat anestesi dalam atau serelah pasien bangun dan reflek
proteksi jalan nafas telah pulih. Batuk akibat adanya ETT dapat ditekan dengan
pemberian ldokain 1-1,5 mg/kg ntravena 5 menit sebelum ekstubasi. Penggunaan
orophraryngeal airway (OPA) setelah pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka
operasi dan perdarahan bila penempatan tidak dilakukan secara hati-hati di garis tengah.
Nasal airway dapat sebagai alternatif.
Referensi :
359
360
MODUL 18 : ANESTESIA BEDAH THT II
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang bangasal THT atau Poliklinik THT
Referensi :
361
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,
4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur
bedah THT yang disertai penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, monitoring
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pasca bedah (pemulihan).
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
Psikomotor :
362
2. Mengevaluasi jalan nafas yang abnormal secara klinis dan radiologis.
3. Melakukan anestesia untuk tindakan bronkoskopi rigid dan fiberoptik.
4. Melakukan asistensi/ membantu prosedur intubasi dengan bronkoskopi
fiberoptik.
5. Melakukan anestesia untuk pembedahan tumor kepala-leher, termasuk
pemantauan, manajemen cairan dan penanganan nyeri pascabedah.
6. Memberikan anesthesia topikal pada jalan nafas, termasuk injeksi transkrikoid.
7. Mempertahankan jalan nafas dengan positive airway pressure pada obstruksi
parsial jalan nafas atas.
8. Melakukan teknik hipotensi.
9. Memperagakan tindakan krikotirotomi emergensi pada manekin.
10. Melakukan krikotirotomi jarum dan ventilasi jet pada pasien.
Komunikasi :
Profesionalisme :
KEYNOTES:
363
sedikit head down harus dilakukan untuk melindungi trachea dan glotis
dari aspirasi darah atau cairan lambung.
4. Abses parafaringeal atau Abses tonsilar dapat disertai dengan adanya
trismus, disfagia, dan distorsi serta compromised jalan nafas.
5. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi, sering membuat visualisasi
dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit.
6. Anestesi umum merupakan kontra indikasi kalau terjadi stridor pada saat
istirahat. Pertimbangan dilakukan tracheostomi dengan anestesi lokal
melalui daerah yang selulitis, walaupun tidak ideal, untuk menjamin jalan
nafas.
7. Indikasi tindakan laringoskopi adalah untuk diagnostik (biopsi) atau
terapi (mengambil polip pita suara) yang mempunyai kemungkinan
membahayakan jalan nafas.
8. Pada direk laringoskopi dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah.
GAMBARAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
THT dengan resiko tinggi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang bagaiaman cara
melakukan anestesi untuk operasi THT dengan resiko tinggi dengan aman, dapat
mencegah dan melakukan terapi segera bila terjadi komplikasi.
METODE PEMBELAJARAN
364
ruang pulih pasca operasi.
MEDIA
1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manekin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 2 termasuk semua
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, IVA pada pasien THT
pengajar.
EVALUASI
365
kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :
366
belajar.
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran :
Isi pretest :
1. Jelaskan semua pengelolaan jalan napas sulit sesuai the ASA difficult airway
algorithm
2. Jelaskan teknik anestesia yang aman pada perdarahan tonsil yang memerlukan
tindakan bedah ulang
3. Jelaskan tehnik anestesia untuk tindalkan panendoskopi (laringoskopi,
esofagoskopi, bronkoskopi)
4. Jelaskan patofisiologi sleep apnea
5. Jelaskan komplikasi trakheostomi yang dilakukan untuk ventilasi lama dan
trakheotomi akut untuk mengatasi obstruksi jalan napas.
6. Jelaskan bentuk pita suara pada berbagai keadaan, pada trauma adanya tumor
atau paralisis.
7. Jelaskan adanya co-existing problem pada tumor kepala leher.
8. Jelaskan rancangan pemberian anestesi umum pada pasien yang dilakukan
glossektomi atau mandibulektomi.
9. Jelaskan perawatan pascabedah pasien dengan bedah laring seperti
hemilaringektomi, supraglotik, atau laringektomi total.
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Knowledge
367
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
368
1 Induksi anestesia umum (intubasi, LMA)
3 Anestesi intravena
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
369
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
370
melakukan prosedur
MATERI ACUAN
1. Tonsil Bleeding
Induksi anestesi pada anak dengan perdarahan dan hipovolemi dapat menyebabkan
hipotensi berat dan henti jantung. Diperlukan akses intravena yang adekuat dan pasien
harus diresusitasi dengan adekuat (bila diperlukan dengan produk darah) sebelum
dilakukan tindakan pembedahan. Hematokrit, pemeriksaan koagulasi, dan tersedianya
produk darah harus dipastikan. Dosis obat anestesi harus dikurangi pada pasien dengan
hipovolemia.
Dapat disertai dengan adanya trismus, disfagia, dan distorsi serta compromised
jalan nafas. Ahli bedah harus mampu untuk melakukan dekompresi abses dengan
melakukan aspirasi dengan jarum sebelum induksi anestesi. Bila diperlukan, dilakukan
intubasi dengan fiber optik dengan pasien dalam keadaan bagun. Pengelolaan anestesi
dan prosedur ekstubasi sama dengan untuk tonsilektomi. Pada angina Ludwig suatu
371
selulitis pada rongga submandibula dan sublingua yang dapat meluas ke compartment
leher di bagian anterior. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi sering membuat
visualisasi dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit. Anestesi umum merupakan
kontra indikasi kalau terjadi stridor pada saat istirahat. Pertimbangan dilakukan
tracheostomi dengan anestesi lokal melalui daerah yang selulitis, walaupun tidak ideal,
untuk menjamin jalan nafas.
3. Direct Laringoscopy
Pada direct laringoskopi dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah, dan untuk
terapi dapat diberikan dexametason 4-10 mg intravena. Tambahan terapi lain adalah
elevasi kepala, humidifikasi oksigen melalui mask, nebulizer racemic epinefrin.
Kadang-kadang, penghentian nebulizer racemic epinefrin menimbulkan kembalinya
edema airway.
Referensi :
372
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang Mata atau Poliklnik Mata
Referensi :
TUJUAN UMUM
373
Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mempunyai cukup pengetahuan dan
kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah
mata baik untuk operasi rawat jalan maupun rawat inap, mencakup evaluasi pasien
preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif,
monitoring pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) yang mulus, mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi dan penatalaksanaan pasca bedah (pemulihan).
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
Psikomotor:
1. Melakukan pemeriksaan dan persiapan anestesia yang benar untuk pasien bedah
mata.
374
2. Mendeteksi kelainan fisik maupun sistem tubuh yang diderita pasien bedah mata,
membuat klasifikasi ASA dengan benar serta merencanakan teknik anestesia
yang tepat, termasuk persiapannya.
3. Menjelaskan teknik anestesia regional untuk bedah mata.
4. Melakukan teknik anestesia untuk mencegah peningkatan tekanan intraokular.
5. Melakukan anestesia umum dengan teknik yang tepat untuk bedah mata.
6. Melakukan pemantauan yang cermat dihubungkan dengan risiko dan komplikasi
bedah mata.
7. Dapat mendeteksi dini komplikasi yang terjadi dan mengambil tindakan yang
tepat untuk mengatasi.
8. Mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian ekstubasi sadar dan ekstubasi
dalam.
Komunikasi:
1. Dapat menjelaskan secara lisan maupun tertulis kepada pasien atau keluarganya
tentang teknik anestesia yang akan dilakukan, kemungkinan interaksi dengan
teknik pembedahan serta kemungkinan komplikasinya.
2. Mengadakan komunikasi dengan ahli bedah tentang interaksi keadaan pasien
dengan teknik anestesia dan mendiskusikan hal-hal yang perlu ditempuh untuk
mencegah komplikasi.
3. Melakukan serah terima pasien dengan memberikan menjelaskan secara terang
dengan petugas di ruang pulih.
Profesionalisme:
1. Menyadari perlunya komunikasi dengan seluruh tim bedah mata untuk mencegah
dan mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul selama dan sesudah
prosedur bedah mata.
2. Merencanakan dan melakukan anestesia denga penuh tanggungjawab sesuai
SOP, etika dan norma yang berlaku dengan prioritas pada keselamatan pasien.
3. Disiplin waktu, datang tepat waktu
4. Bekerja efisien dan cepat menyesuaikan
5. Memahami kebutuhan pasien pasien geriatri
KEYNOTES:
375
jantung meningkat, 2) konfirmasi adekuat ventilasi, oksigenasi, dan
kedalaman anestesi, 3) berikan atropin intravena (10 ug/kg) bila
gangguan konduksi menetap, 4) pada episode yang membandel, lakukan
infiltrasi otot rektus dengan anestesi lokal. Refleks pada umumnya
melemah sendiri (hilang sendiri) dengan pengulangan traksi pada otot
ekstraokuler.
5. Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorpsi melalui pembuluh
darah dalam sakus konjunctiva dan mukosa duktus nasolacrimalis
sehingga dapat mempunyai efek sistemik.
GAMBARAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
mata baik operasi mata elektif atau emergensi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang Anatomi mata
dan fisiologi tekanan intraokular, Farmakologi obat-obatan topikal mata, Farmakologi
obat-obat anestesia lokal, Kelainan-kelainan kongenital multipel yang melibatkan
kelainan mata, Patofisiologi mual-muntah, Patofisiologi refleks okulokardiak,
Patofisiologi malignant hyperthermia-like syndrome, Anestesia bedah mata intraokuler,
Anestesia bedah mata ekstraokuler, Pemantauan pasien dalam sedasi ringan sampai
berat, Pengelolaan pasca bedah mata terhadap nyeri, mual muntah dan komplikasi yang
lain, Anestesia umum nafas spontan vs anestesia umum nafas kendali
METODE PEMBELAJARAN
376
D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi,
MEDIA
1. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manekin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Bedah Mata termasuk
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang masalah preoperatif , pengelolaan
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, pada pasien bedah mata
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas :
377
- Farmakologi obat-obatan topikal mata
mata
- Pengelolaan pasca bedah mata terhadap nyeri, mual muntah dan komplikasi
lainnya
378
- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran :
Isi pretest :
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Knowledge
- MCQ
379
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
380
2 Teknik MAC
4 Pemberian cairan
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
381
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
382
melakukan prosedur
MATERI ACUAN
Mata dapat dipertimbangkan sebagai suatu bidang cekung dengan dinding yang
kaku. Bila isi dari cekungan itu meningkat, tekanan intraokuler (TIO yang normalnya
12-20 mmHg) akan meningkat. Sebagai contoh, glaukoma adalah suatu keadaan yang
disebabkan obstruksi aliran humor aqueous. Hal yang sama, tekanan intraokuler akan
naik bila volume darah dalam bola mata meningkat. Suatu peningkatan dari tekanan
vena akan meningkatkan tekanan intraokuler dengan menurunkan drainase aqueous dan
meningkatkan volume darah choroidal. Perubahan ekstrem tekanan darah dan ventilasi
juga mempengaruhi tekanan intraokuler (lihat tabel 1). Setiap kejadian anestesi yang
merubah parameter ini dapat mempengaruhi tekanan intraokuler (misalnya laringoskopi,
intubasi, obstruksi jalan nafas, batuk, posisi trendelenburg).
383
Tabel 1: Pengaruh variabel Kardiak dan Respirasi terhadap TIO
Meningkat
Menurun
Meningkat
Menurun
PaCO2
Meningkat (hipoventilasi)
Menurun (hiperventilasi)
PaO2
Meningkat 0
Menurun
Bila bola mata terbuka selama operasi tertentu (tabel 2) atau setelah trauma yang
menimbulkan perforasi, tekanan intraokuler sama dengan tekanan atmosfir. Setiap faktor
yang normalnya meningkatkan tekanan intraokuler akan bertendensi menurunkan
volume intraokuler dengan drainase aqueous atau ekstrusi vitreus melalui luka yang
terbuka. Ekstrusi vitreus adalah suatu komplikasi yang serius yang dapat menimbulkan
kerusakan penglihatan yang permanen.
384
Tabel 2: Prosedur pembedahan Open eye
Ekstraksi katarak
Iridektomi perifer
Vitrectomi
Anestetika inhalasi
Anestetika volatil
385
N2O
Anestetika intravena
Barbiturat
Benzodiazepin
Ketamin ?
Opioid
Pelumpuh Otot
Depolarizer (succinylcholin)
Non depolarizer 0/
386
Oculocardiac reflexs
Traksi otot ekstraokuler atau tekanan pada bola mata dapat menimbulkan variasi
yang lebar dari aritmia jantung dari mulai bradikardi dan ventrikular ectopik sampai
sinus arest atau ventrikular fibrilasi. Refleks ini, permulaannya diuraikan pada tahun
1908, terdiri dari jalur trigeminal aferent (V1) dan vagal aferent. Refleks okulocardiak
paling umum terjadi pada pasien pediatri yang dilakukan operasi strabismus. Meskipun
demikian, refleks ini dapat terjadi semua kelompok umur dan selama prosedur mata
apapun, termasuk ekstraks katarak, enukleasi, perbaikan ablasio retina. Pada pasien yang
bangun, adanya okulocardiak refleks akan menyebabkan pasien jadi somnolen dan mual.
Gelembung gas mungkin disuntikkan oleh dokter mata kedalam posterior chamber
selama operasi vitreous. Suntikan udara intravitreal akan bertendensi mendatarkan retina
yang ablasio dan terjadi penyembuhan secara anatomi. Gelembung udara ini akan
diserap dalam 5 hari dengan difusi gradual melalui jaringan dan masuk kedalam aliran
darah. Bila pasien diberikan N2O, besarnya gelembung ini akan meningkat, hal ini
disebabkan karena N2O 35 kali lebih larut daripada nitrogen didalam darah. Jadi, hal ini
bertendensi untuk difusi kedalam gelembung udara lebih cepat daripada nitrogen
(komponen utama udara) yang diabsorpsi kedalam aliran darah. Bila gelembung udara
membesar setelah mata ditutup/dijahit, akan terjadi kenaikan tekanan intraokuler.
Sulfur hexaflourida (SF6) adalah gas yang innert yang kurang larut dalam darah
dibandingkan dengan nitrogen dan N2O. Mempunyai lama kerja yang lebih panjang
(sampai 10 hari) dibandingkan dengan gelembung udara sehingga dapat memberikan
387
keuntungan bagi dokter mata. Ukuran gelembung menjadi dua kali lipat dalam waktu 24
jam setelah penyuntikkan disebabkan nitrogen dari udara inspirasi masuk ke gelembung
lebih cepat daripada SF6 difusi ke aliran darah. Meskipun demikian, kecuali kalau
volume besar dari SF6 disuntikkan, pembesaran gelembung yang lambat tidak selalu
meningkatkan tekanan intraokuler. Kalau pasien diberikan N2O, ukuran gelembung
akan meningkat dengan cepat dan menyebabkan hipertensi intraokuler. Inspirasi dengan
N2O 70% akan meningkatkan gelembung 3 kali lipat dari 1 ml gelembung dan
peningkatan tekanan dua kali lipat pada mata yang tertutup dalam waktu 30 menit.
Penghentian N2O akan menyebabkan reabsorpsi gelembung, yang menjadi campuran
N2O dengan SF6. Konsekuensi dari penurunan tekanan intraokuler akan mempresipitasi
pelepasan retina.
Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorpsi melalui pembuluh darah dalam
sakus konjunctiva dan mukosa duktus nasolacrimalis. Satu tetes (kira-kira 1/20 ml) dari
phenilefrin 10% berisi 5 mg obat, sebanding dengan dosis intravena phenilefrin 0,05-1
mg yang digunakan untuk terapi hipotensi. Obat yang diberikan secara topikal
diabsorpsi dengan kecepatan intermediate antara suntikan intravena dan subkutis (dosis
toksik phenilefrin yang diberikan secara subkutan adalah 10 mg). Anak-anak dan geriatri
beresiko untuk efek toksik dari obat yang diberikan secara topikal dan harus menerima
paling banyak larutan phenilefrin 2,5%.
388
Acetazolamide Inhibisi carbonik anhidrase Diuresis, hipokalemi,
(menurunkan TIO) metabolik asidosis
389
berakibat penurunan aktivitas cholineserase plasma. Disebabkan karena succinylcholin
dan mivacurium dimetabolisme oleh enzym ini, echotiopate akan memperpanjang lama
kerjanya. Penghambatan aktivitas cholinesterase berakhir untuk 3-7 minggu setelah
pemberian echotiopate tetes dihentikan. Efek samping muskarinik, seperti bradikardi
selama induksi, dapat dicegah pemberian anticholinergic misalnya atropin dan
glikopirolate.
Pemilihan antara anestesi umum dan anestesi lokal harus dilakukan dengan
mengikut sertakan pasien, spesialis anestesi, dan spesialis bedah mata yang melakukan
tindakan pembedahan. Beberapa pasien menolak dilakukan anestesi lokal disebabkan
kecemasan takut bangun selama prosedur pembedahan atau sakit saat dilakukan anestesi
lokal. Walaupun tidak ada bukti bahwa salah satu teknik anestesi lebih aman, anestesi
lokal kurang menimbulkan stres. Anestesi umum diindikasikan untuk pasien anak dan
dewasa yang tidak kooperatif, misalnya kepala sedikit bergerak yang dapat
menimbulkan kecelakaan selama dilakukan bedah mikro. Kombinasi lokal-general
anestesi, suatu teknik sedasi dalam, sering menimbulkan masalah dengan airway, maka
harus dihindari disebabkan mempunyai resiko kombinasi akibat anestesi lokal dan
anestesi umum.
Premedikasi
Pasien yang dilakukan operasi mata mungkin ketakutan, terutama bila dilakukan
multiple prosedur dan ada kemungkinan kebutaan yang permanen. Pasien pediatrik
sering dihubungkan dengan adanya cacat kongenital (misalnya sindrom rubela, sindrom
Goldenhar, Down sindrom). Pasien dewasa pada umumnya geriatri, dengan banyak
sekali penyakit sistemik (misalnya hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung
koroner). Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan bila memilih premedikasi.
390
Induksi
Pemilihan teknik induksi untuk operasi mata bergantung terutama pada penyakit
yang menyertainya daripada kepada penyakit mata atau tindakan pembedahannya. Satu
pengecualian adalah pasien dengan ruptur bola mata. Kunci dari induksi anestesi pada
pasien dengan cedera mata terbuka adalah mengendalikan tekanan intraokuler dengan
melakukan induksi yang mulus. Khususnya, batuk selama induksi harus dihindari
dengan mendalamkan anestesi dan paralisis. Respon TIO terhadap laringoskopi dan
intubasi, dapat ditumpulkan dengan pemberian lidokain intravena 1,5 mg/kg bb atau
opioid (misalnya remifentanil 0,5-1 ug/kg atau alfentanil 20 ug/kg). Pelumpuh otot yang
digunakan jangan succinylcholin karena mempengaruhi TIO. Kebanyakan pasien
dengan cedera bola mata terbuka tidak puasa/lambung penuh dan memerlukan teknik
rapid-sequence induction.
Pada operasi mata, anestesiologist jauh dari jalan nafas pasien, sehingga penting
untuk melakukan monitoring ketat dengan pulse oksimetri dan capnograph. Kinking dan
obstruksi pipa endotrakheal dapat dikurangi dengan menggunakan pipa endotrakheal
khusus yang melengkung didaerah bibir. Kemungkinan aritmia yang disebabkan
okulokardiak refleks menyebabkan pentingnya dilakukan monitoring EKG kontinyu dan
suara denyutan nadi harus dapat didengar. Pada pediatri, temperatur tubuh infant sering
meningkat selama operasi mata karena kain operasi yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Pemantauan End-tidal CO2 dapat membedakannya dengan malignan hipertermia.
Nyeri dan stress oleh operasi mata lebih kecil dibandingkan operasi abdomen
besar. Level anestesi yang lebih dangkal sudah cukup asal pasien tidak bergerak saat
operasi. Kurangnya stimulasi kardiak dari operasi mata digabung dengan kebutuhan
kedalaman anestesi dapat menyebabkan hipotensi pada geriatri. Masalah ini umumnya
dapat dicegah dengan mempertahankan hidrasi yang adekuat, memberikan dosis kecil
efedrin (2-5 mg), atau paralisis adekuat dengan pelumpuh otot non depolarizing. Dengan
memakai pelumpuh otot maka dapat diatur level anestesi yang lebih dangkal.
391
diberikan pada pasien yang menerima opioid atau ada riwayat PONV. Dexametason (4
mg pada dewasa) juga diberikan pada pasien dengan riwayat PONV yang sangat jelas.
Walaupun benang jahit modern dan teknik penutupan luka operasi menurunkan
resiko terbukanya luka operasi pascabedah, tetap harus dilakukan emergens dari anestesi
yang mulus. Batuk akibat adanya pipa endotrakehal dapat dicegah dengan esktubasi saat
level anestesi yang cukup dalam. Ketika operasi berahir, pelumpuh otot di reverse dan
pasien bernafas spontan. Obat anestesi diteruskan saat melakukan pengisapan jalan
nafas. N2O kemudian dihentikan, dan diberikan lidokain 1,5 mg/kgbb untuk
menumpulkan reflek batuk sementara. Ekstubasi dilakukan 1-2 menit setelah pemberian
lidokain dan selama bernafas spontan dengan oksigen 100%. Kontrol jalan nafas yang
tepat sangat penting sampai refleks batuk dan menelan pulih. Akan tetapi, teknik ini
tidak menyenangkan untuk pasien dengan resiko aspirasi yang tinggi.
Nyeri hebat setelah operasi mata tidak biasa terjadi. Prosedur sklera
buckling/tekuk, enukleasi dan perbaikan ruptur bola mata adalah operasi mata yang
paling sakit. Dosis kecil narkotik intravena (misalnya petidin 15-25 mg untuk dewasa)
umumnya cukup efektif. Nyeri hebat mungkin merupakan tanda adanya hipertensi
intraokuler, aberasi kornea, atau komplikasi bedah lainnya.
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
392
MODUL 20:
ANESTESI BEDAH
PEDIATRI I
Sesi di dalam kelas Anestesia bedah pediatri 1 adalah suatu rotasi yang
membutuhkan waktu 1 bulan (4 minggu) untuk
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing residen anestesi semester 2, yang meliputi anestesi
untuk jenis operasi tht sederhana tanpa penyulit.
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Pulih
8. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang bangsal Anak atau dari Poliklinik Anak
Referensi :
393
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
1. TUJUAN.
Kognitif :
1. Mampu menjelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi dan psikologis pada bayi anak dan
orang dewasa.
2. Mampu menjelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan anak.
3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran
nafas atas.
4. Mampu menjelaskan jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop , sistem sirkuit napas beserta
peralatan pelengkap lain (Magill forceps, stylet,jalan nafas oro/nasofarings, dll) yang dipakai
untuk anestesia bayi, anak.
5. Mampu menjelaskan pemberian cairan perioperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan
yang diberikan.
6. Mampu menghitung volume darah total dan banyaknya perdarahan yang boleh hilang selama
operasi dan kapan membutuhkan tranfusi darah.
394
7. Mampu menjelaskan obat premedikasi apa saja , cara pemberiannya serta penyulit yang bisa
ditimbulkan dari pemberian obat premedikasi untuk bayi dan anak.
8. Mampu menjelaskan cara induksi kasus bedah sederhana untuk bayi dan anak.
9. Mampu menjelaskan bagaimana melaksanakan pemulihan yang mulus dan mengatasi nyeri pasca
operasi pada kasus sederhana bayi dan anak.
10. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glottis pada
bayi dan anak.
11. Mampu menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis
yang terjadi pada bayi dan anak.
12. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia regional caudal epidural , dosis dan jenis obat
anestetik lokal apa saja yang dapat dipakai untuk bayi dan anak serta penyulit yang bisa
ditimbulkan.
Psikomotor :
1. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah
sederhana bayi dan anak.
2. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah, dokter anak dan pihak yang terkait
mengenai penatalaksanaan perioperatif.
3. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
4. Melakukan information for consent yang adekuat secara lisan dan tertulis.
395
5. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
6. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.
Profesionalisme :
KEYNOTES
2. POKOK BAHASAN.
KATA KUNCI :
Neonatus , pediatri , kelainan congenital , anatomi , fisiologi , farmakologi , psikologi , jalan nafas , terapi
cairan dan elektrolit , transfusi , resusitasi , anestesi regional-umum , bedah darurat , perawatan paska
bedah-anestesi , pengelolaan nyeri.
396
WAKTU.
Rotasi pendidikan anestesia bedah bayi dan anak untuk peserta PPDS dilakukan pada semester IV keatas,
berlangsung selama 3 x 4 minggu, yang mencakup 8 minggu di kamar operasi dan 4 minggu di ruang
rawat intensif bayi dan anak.
3. METODE.
Pelaksanaan.
4. MEDIA.
1. Workshop / Pelatihan
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Group diskusi
5. Visite, bed site teaching
6. Bimbingan Tindakan Anestesi dan Pemulihan
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing Profesional Development
397
5. NARASUMBER SARAN & ALAT BANTU PEMBELAJARAN.
- SDM : Staf Pengajar Divisi Anestesia Pediatrik Departemen Anestesiologi-Reanimasi dan Terapi
Intensif FK bersangkutan serta RS pendidikan yang terkait.
- Sarana : ruang kuliah dan perpustakaan Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif, fasilitas
internet, seluruh ruang operasi elektif dan darurat di lingkungan RS pendidikan terkait.
- Alat bantu : manekin bayi / anak.
6. EVALUASI.
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk,MCQ, essay dan oral sesuai dengan tingkat
masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki peserta didik dan untuk
mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pre-test terdiri atas:
2. Selanjutnya dilakukan small group discussion bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan penuntun belajar,
kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-
langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk role-play dengan teman-temannya (peer
assisted learning) atau kepada SP (standardized patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar dipegang oleh teman-temannya untuk
melakukan evaluasi (peer assisted evaluation). Setelah dianggap memadai, melalui metoda bedside
teaching di bawah pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan penuntun belajar kepada
nodel anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk
melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak dilaksanakan
398
Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan terlalu lama atau kurang
memberi kenyamanan kepada pasien
Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan penjelasan dari
berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk
memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assessment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar
6. Pendidik/fasilitas:
Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form (terlampir)
Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
Kriteria penilaian keseluruhan: cakap/ tidak cakap/ lalai.
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran:
Evaluasi.
Isi evaluasi :
Bentuk evaluasi :
Kognitif
399
-Multiple observers
-OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-Minicheck
Communication and Interpersonal Skills
- MCQ (pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesi
dikerjakan dikerjakan
2 Persiapan puasa
Pemeriksaan tambahan
Pendekatan psikologis
Infus lancar
PELAKSANAAN ANESTESI
1 Premedikasi
Induksi anestesi
400
Intubasi dan/atau regional anestesi
2 Rumatan anestesi
8. DAFTAR TILIK.
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
401
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
402
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
9. Referensi.
403
4. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
5. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
6. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice RK Stoelting 4th ed 2006.
404
M0DUL 21 ANESTESIA PEDIATRIK II
Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 4)
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
1. LCD Projector dan screen
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia
2. Persiapan preoperatif
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : Model anatomi (manekin pediatrik)
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
405
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk sub-modul Persiapan alat dan obat anestesi yang lain.
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan prinsip-prinsip dasar dan tehnik
lanjutan anestesia pediatrik, mampu mempersiapkan, melakukan anestesia dan mengelola pasca anestesia
elektif maupun emergensi untuk berbagai tindakan bedah pediatrik dengan kondisi penyulit dan
kelainan jalan nafas.
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:
1. KOMPETENSI
Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan pembiusan umum maupun
regional yang baik dan tepat, monitoring, mecegah komplikasi dan penatalaksanaan pasca anestesia
pediatrik dengan penyulit.
RANAH KOMPETENSI
Kognitif
1. Menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan masalah sepsis,
kelainan jalan nafas, kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral
komplit, Pierre Robin, tumor gigi mulut dan jalan nafas.
2. Menjelaskan hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel
trakeoesofagus.Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel
trakeoesofagus.
3. Menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan trakea pada
bayi dan anak.
406
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya hipotermia pada kasus pediatrik, cara mencegah, cara
mengatasi dan komplikasi apa saja yang dapat ditimbulkannya
5. Menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan
trakea yang terjadi pada bayi dan anak.
6. Menjelaskan penatalaksanaan anestesia regional, dosis dan jenis obat anestetik lokal apa saja
yang dapat dipakai untuk bayi dan anak.
Psikomotor
1. Mampu mengevaluasi jalan nafas yang normal dan abnormal secara klinis dan radiologis pada
pasien pediatrik.
2. Mampu menyiapkan kamar bedah secara lengkap untuk operasi pediatrik.
3. Mampu memasang dan mengatur alat, obat obat, cairan dan kelengkapan lain yang diperlukan
untuk operasi pediatrik.
4. Mampu mempersiapkan alat untuk monitor non invasif dan invasif.
5. Mampu mempersiapkan alat untuk transfusi darah pasien pediatrik.
6. Mampu melakukan pengecekan kelengkapan alat pembiusan, mesin anestesia dan obat , cairan
yang diperlukan untuk anestesia umum maupun regional.
7. Mampu melakukan akses vena perifer dengan jarum 20-24G dan akses vena sentral.
8. Mampu melakukan induksi anestesia umum pada pasien pediatrik dengan penyulit.
9. Mampu melakukan ventilasi pada pasien pediatrik dengan kelainan jalan nafas menggunakan
sungkup muka, bag dan oral airway yang sesuai.
10. Mampu melakukan intubasi trakea dengan/tanpa tehnik cepat (tehnik rapid sequence), terutama
pada pasien pediatrik dengan penyulit maupun kelainan jalan nafas.
11. Mampu melakukan ventilasi tekanan positif melalui pipa trakea.
12. Mampu melakukan anestesi pediatrik dengan posisi pasien lateral, litotomi dan telungkup.
13. Mampu melakukan tindakan anestesia pada kasus khusus dengan kelainan kongenital dan
anomali (lihat prosedur anestesia umum, intubasi dan pemasangan LMA).
14. Mampu melakukan jalur akses / pengambilan darah intraarterial.
15. Mampu melakukan transportasi pasien ke ruang pulih, ruang rawat atau PICU
16. Mampu melakukan tindakan atau terapi terhadap komplikasi yang biasa terjadi di ruang pulih.
Kemampuan komunikasi
7. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah bayi
dan anak.
8. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah dan dokter anak mengenai
penatalaksanaan perioperatif, terutama untuk kasus sulit dan bermasalah.
9. Mengumpulkan data dan literatur mengenai penatalaksanaan anestesia bayi dan anak, terutama
untuk kasus sulit dan bermasalah.
10. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
11. Melakukan informed consent yang adekuat secara lisan dan tertulis.
12. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
13. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.
14. Mendiskusikan perlunya perawatan di ruang perawatan intensif anak pasca operatif.
407
Profesionalisme
1. Menghormati dan bersikap etis pada pasien, keluarga pasien, sejawat lain atasan, bawahan
2. Mengetahui tugas tugas sehari hari
3. Datang /hadir tepat waktu
4. Mampu melakukan pekerjaan sesuai prosedur
5. Mengatasi masalah bersama ahli bedah agar tidak terjadi penundaan operasi.
2. KEYNOTES
1. Kapasitas residu fungsional pada bayi lebih kecil sehingga cadangan oksigen pada periode apneu
terbatas, sehingga mudah terjadi atelektasis dan hipoksemia.
2. Bayi memiliki kepala yang besar, lidah yang besar, laring yang lebih sempit, lebih anterior dan
cefalad, epiglotis yang lebih panjang, trakea yang lebih pendek dan bagian tersempit sekitar
kartilage krikoid, dan bernafas terutama lewat hidung, sehingga memerlukan tehnik khusus dalam
melakukan ventilasi dan intubasi.
3. Fungsi pompa jantung kiri yang belum sempurna dimana cardiac output sangat tergantung dari
laju jantung (heart rate).
4. Hipotermia sangat mudah terjadi karena kulit yang tipis, cadangan lemak coklat yang sedikit, luas
penampang tubuh yang mempermudah pelepasan panas, sehingga akibatnya dapat menghambat
proses siuman dan pemulihan, mengganggu fungsi jantung dan mendepresi pernafasan, dan
mempengaruhi kerja obat anestesi.
5. Bayi dan anak memiliki volume ventilasi permenit yang lebih tinggi dengan kapasitas residu
fungsional yang rendah terhadap aliran darah paru yang tinggi menyebabkan konsentrasi gas
inhalasi alveoli cepat meningkat sehingga proses induksi dan pemulihan lebih cepat terjadi.
6. Infeksi saluran nafas atas dalam 2-4 minggu sebelum tindakan anestesia dan intubasi
meningkatkan resiko terjadinya spasme laring.
7. Spasme laring dapat dicegah dengan melakukan ekstubasi saat pasien masih teranestesi cukup
dalam atau saat sudah sadar betul.
8. Edema laring dan trakea sering terjadi pada anak usia dibawah 4 tahun, antara lain akibat intubasi
berulang, penggunaan ETT yang terlalu besar, operasi daerah kepala leher yang lama.
9. Tehnik pembiusan untuk bedah pediatrik didasarkan pada pengetahuan mengenai anatomi,
fisiologi, patofisiologi, farmakologi, pemberian cairan dan tranfusi darah.
10. Pemilihan tehnik anestesia berdasarkan kasus bedah elektif atau emergensi, tergantung jenis
operasi, lama operasi, pengelolaan pasca bedah dan fasilitas rumah sakit.
11. Terjadi perubahan fisiologi pernafasan, kardiovaskular akibat tindakan selama anestesia pada
operasi pediatrik.
12. Pada kasus operasi abdomen pediatrik terdapat indikasi untuk melakukan induksi cepat (rapid
sequence)
13. Setting ventilator merupakan hal penting selama anestesi umum untuk bedah pediatrik.
14. Beberapa prosedur operasi memiliki posisi dan resiko tersendiri misalnya posisi telungkup,
miring, duduk, litotomi, posisi ginjal.
15. Terapi cairan dan tranfusi darah merupakan salah satu prosedur yang sering dilakukan sesuai
indikasi selama operasi.
16. Pasien pediatrik terutama neonatus memiliki resiko hipotermia yang tinggi sehingga perlu
diketahui penyebabnya, cara pencegahan, cara penanggulangan dan komplikasi yang dapat
ditimbulkannya
408
17. Penting memiliki pengetahuan mengenai farmakologi klinik obat anestesia intravena, inhalasi,
opioid, sedatif, pelemas otot.
18. Mual muntah, hipotermi dan nyeri pasca operasi merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca
operasi pediatrik.
3. GAMBARAN UMUM
Anestesia Pediatrik II diperlukan pada kasus-kasus pediatrik/neonatus elektif maupun darurat yang
disertai penyulit. Kasus pediatrik tersebut misalnya operasi hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis,
fistel trakeoeofageal, atresia ileum, jejunum yang disertai distensi abdomen, labiopalatognatoskisis,
operasi tumor jalan nafas, yang disertai kondisi penyulit seperti sepsis, gangguan/anomali organ,
kongenital, maupun kelainan jalan nafas. Dengan demikian, pemilihan jenis prosedur dan obat-
obatan/bahan anestesia harus dipadankan dengan kondisi pasien, jenis tindakan bedah, lamanya prosedur
bedah, risiko dan fasilitas rumah sakit. Hal-hal seperti inilah yang kemudian perlu untuk diketahui dan
dikuasai oleh petugas pelaksana anestesia dan modul ini disusun untuk mencapai tujuan tersebut.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:
1. memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi penyulit
2. melaksanakan persiapan preoperatif
3. menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pediatrik
4. melakukan anestesia umum dan regional
5. melakukan monitoring
6. mengelola pasca anestesia pasien pediatrik
5. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1 : memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi
penyulit
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
409
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Pemilihan pasien tergantung kepada kasus elektif atau darurat, kondisi pasien, jenis operasi,
lama operasi, pengelolaan pascabedah, dan fasilitas rumah sakit.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Tujuan 3 : menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia
pediatrik
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
5. Demo & Coaching
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Mengetahui bahwa anestesi kasus bedah pediatrik sederhana tanpa penyulit dapat dilakukan
dengan anestesi umum, anestesi regional, atau MAC (Monitored Anesthesia Care).
2. Menguasai jenis-jenis anestesi untuk tindakan bedah pediatrik sederhana tanpa kondisi penyulit
dan persiapan untuk melaksanakan prosedur tersebut.
3. Menguasai resusitasi neonatus lanjutan (advanced neonatal resuscitation)
410
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Anestesia umum inhalasi dengan sungkup muka, intubasi dan LMA, intravena (lihat modul
anestesia umum dan prosedur intubasi pediatrik).
Anestesia regional spinal, epidural, kaudal (lihat modul anestesia regional)
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktik klinik
1. Monitoring anestesi kasus bedah pediatrik non invasif dan invasif meliputi EKG, NIBP, saturasi
O2, temperatur, keluaran urin, tekanan vena sentral dan IABP
2. Monitoring selama prosedur anestesi sejak awal hingga akhir prosedur bedah
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktik klinik
411
6. MEDIA
1. Workshop / pelatihan
Pediatrik.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Diskusi kelompok
pengajar.
412
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pretest :
413
1. Jelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi pada bayi anak dan orang dewasa.
2. Jelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan
anak.
3. Jelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran nafas atas.
4. Jelaskan perbedaan, jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop dan sistem sirkuit napas yang
dipakai untuk anestesia bayi, anak dan orang dewasa.
5. Jelaskan pemberian cairan intraoperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan yang
diberikan.
6. Bagaimana menghitung volume darah total pada bayi dan anak, banyaknya perdarahan yang
boleh hilang selama operasi dan kapan membutuhkan tranfusi darah.
7. Jelaskan obat premedikasi apa saja dan cara pemberiannya untuk bayi dan anak.
8. Jelaskan cara induksi apa saja yang dapat dilakukan untuk bayi dan anak.
9. Jelaskan prinsip persiapan anesthesia untuk bedah pediatrik elektif dan emergensi
10. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan masalah jalan nafas,
kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral komplit, Pierre Robin,
tumor gigi mulut dan jalan nafas.
11. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan kelainan kongenital
dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeoesofagus, dan
hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada masing-masing kelainan.
12. Jelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah pasien pediatrik.
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :
1. KnowledgeKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
414
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
4.Professionalism
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Anestesia regional
7. Tindakan ekstubasi
415
nyeri pasca bedah
416
No. Prosedur Intubasi Endotrakeal pada Pasien Pediatrik Dilakukan
1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan. Periksa laringoskop dan
lampunya berfungsi dengan baik.
2. Berikan oksigen 100% melalui sungkup muka. Pastikan tidak ada kesulitan
ventilasi.
3.
Pegang sungkup sembari melakukan chin lift maneuver dengan satu tangan.
Jika ventilasi tidak bebas, lakukan mouth opening dan jaw thrust dengan dua
tangan.
11. Bila epiglotis terangkat dengan benar akan tampak rima glottis dengan pita
suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik.
Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan hingga batas berwarna hitam
12. melewati pita suara, atau jika pipa mempunyai balon (cuff) dimasukkan hingga
13. seluruh balon melewati pita suara.
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur standar
atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih
418
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Pasien kasus bedah pediatrik dengan penyulit yang menjalani anestesi harus dilakukan penatalaksanaan
preoperatif ; allo/autoanamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, informed consent dan
lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi). Pasien elektif anak puasa 2, 4, 6, 8 jam
tergantung intake nya. Dilakukan penetapan status fisik ASA.
Persiapan anestesia meliputi statics, obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang dipilih.
Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan seperti : laringoskop bayi/anak (miller dan macintosh) dan
lampunya berfungsi dengan baik, ETT dengan cuff atau tanpa cuff, mandrain bayi, magill forcep,
sungkup bayi, LMA. Berikan obat premedikasi untuk menenangkan pasien, bisa secara oral atau
intramuskuler. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pemasangan jalur intravena dan jalur infus terkadang memerlukan premedikasi atau
induksi inhalasi terlebih dahulu. Posisikan pasien dalam sniffing position dengan mengganjal bagian
bawah leher, atau mengganjal bawah bahu setinggi 5-10 cm. Hindari hiperekstensi leher. Berikan oksigen
100% melalui sungkup muka. Pastikan dulu apakah ada kesulitan ventilasi. Pegang sungkup sembari
melakukan chin lift maneuver dengan satu tangan. Jika ventilasi tidak bebas, lakukan mouth opening dan
jaw thrust dengan dua tangan. Bila ventilasi sulit dapat dilakukan dengan berbagai sungkup muka atau
LMA atau intubasi sadar tanpa relaksan. Bila ventilasi baik dengan melihat kembang-kempisnya balon
(anesthetic bag). Berikan obat induksi. Pastikan kesadaran pasien hilang. Bila jalan nafas aman dapat
diberikan pelumpuh otot. Pastikan obat telah bekerja pada otot nafas. Berikan nafas buatan dengan
oksigen 100% selama 2-3 menit. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah lurus (Miller). Pegang
419
handle dengan tangan kiri. Pastikan lagi cahaya lampu laringoskop cukup terang. Buka mulut pasien.
Masukkan blade melalui sudut kanan mulut. Geser lidah ke kiri sambil meneruskan blade ke dalam,
menyusuri pinggir kanan lidah menuju laring. Perhatikan epiglottis. Letakkan ujung blade pada vallecula.
Angkat epiglotis ke depan (bukan diungkit) dengan blade. Bila epiglotis terangkat dengan benar akan
tampak rima glottis dengan pita suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik. Masukkan pipa
endotrakeal dengan tangan kanan hingga batas berwarna hitam melewati pita suara, atau jika pipa
mempunyai balon (cuff) dimasukkan hingga seluruh balon melewati pita suara. Yakinkan bunyi nafas
kanan dan kiri sama. Lakukan fiksasi pipa endotrakeal. Berikan nafas buatan dengan resuscitation bag
atau anesthesia bag. Jika dilakukan intubasi sadar atau dengan nafas spontan, harus diberikan sedasi yang
cukup dan anestetik topikal. Untuk menghindari refleks vagal dapat diberikan injeksi atropin 0,1 mg
intravena. Anestesia regional dilakukan sesuai modul anestesia regional dengan memakai prinsip anatomi,
fisiologi dan farmakologi untuk pasien pediatrik. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi
Hb (SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada,
produksi urin, jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan jalur vena sentral atau intra arterial. Atur
kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesi dan relaksasi. Untuk beberapa kasus dibutuhkan
pemasangan NGT.
Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pasca bedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang
menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia dengan mulus,
dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi pasca bedah dan
penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea,
apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar. Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi
awal, ASA, atau penyakit penyerta.
12. REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
420
421
MODUL 22 ANESTESI BEDAH SARAF I
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
422
1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNACC participant workbook 2007.
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk anestesi untuk Bedah Saraf seperti yang diuraikan berikut
ini:
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :
Kognitif:
423
10. Memahami pilihan-pilihan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial
11. Memahami cara melakukan proteksi otak perioperatif.
Psikomotor
Komunikasi
Professionalism
1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan perioperatif pasien
bedah saraf.
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami serta mampu mengelola tentang Neuroanatomi, Neurofisiologi,
Neurofarmakologi, Monitoring, Pengelolaan Kenaikan Tekanan Intrakranial, Anestesia
untuk trauma otak, Proteksi otak perioperatif.
TUJUAN PEMBELAJARAN
425
Melakukan anestesia pada operasi intrakranial, operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis.
METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 2: Mampu melakukan anestesia untuk operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak.
Tujuan 3: Mampu melakukan anestesi untuk bedah spinal dan columna verebralis,
MEDIA
1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah dan PACU
426
ALAT BANTU PEMBELAJARAN
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill / psikomotor:
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
Multiple observers/rater
Pretest
427
likuor serebrospinalis, metabolisme otak, dan tekanan intrakranial.
4. Terangkan tentang airway management pada pasien dengan traumatic brain
injury.
5. Jelaskan tentang patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial (hal hal apa saja
yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial).
6. Terangkan tentang cara penilaian GCS.
7. Bagaimana tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang masih
sadar dan tidak sadar.
8. Bagaimana pengelolaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
9. Jelaskan tentang ABCDE neuroanestesi.
10. Jelaskan tentang cara melakukan proteksi otak pada periode perioperatif.
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Kognitif
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers
Minicheck
2. Skill/psikomotor
Multiple observation and assessments
Multiple observers
Minicheck
428
3. Afektif: Professionalism Communication and Interpersonal Skills
Multiple observation and assessments
Multiple observers
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Monitoring
5 Ekstubasi
429
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
430
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Dokter anestesi akan terlibat secara menyeluruh dalam penanganan pasien cedera
kepala, mulai di Unit Gawat Darurat (UGD), kamar bedah, dan perawatan di Unit
Perawatan Intensif (UPI). Pengelolaan perioperatif ini memerlukan pengetahuan yang
431
mendalam mengenai fisiologi otak yang normal dan patofisiologi cedera kepala akut
sehingga harus mengerti tentang fisiologi dan farmakologi dari aliran darah otak,
metabolisme serebral, dan tekanan intrakranial.
Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan resistensi
pembuluh-pembuluh serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-
54_ml/100_gr/menit. Bila aliran darah otak 20 ml/100 gr/menit, elektroencefalografi
(EEG) menunjukkan tanda iskemik. Bila aliran darah otak 6-9 ml/100 gr/menit, Ca 2+
masuk ke dalam sel. Aliran darah otak proporsional terhadap tekanan perfusi otak.
Tekanan perfusi otak adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata (pada saat masuk)
dengan tekanan vena rata-rata (saat keluar) pada sinus sagitalis lymph / cerebral venous
junction. Nilai normalnya 80-90_mmHg. Akan tetapi, secara praktis, adalah perbedaan
tekanan arteri rata-rata (MAP= mean arterial pressure) dan tekanan intrakranial rata-rata
yang diukur setinggi foramen Monroe. Tekanan perfusi otak _=_MAP_ tekanan
intrakranial, akan menurun bila ada penurunan tekanan arteri atau kenaikkan tekanan
intrakranial. Bila tekanan perfusi otak turun sampai 50 mmHg, elektroensefalografi
(EEG) akan terlihat melambat dan ada perubahan-perubahan ke arah serebral iskemia.
Tekanan perfusi otak kurang dari_40_mmHg, EEG menjadi datar, menunjukkan adanya
proses iskemik yang berat yang bisa reversible atau irreversible. Bila tekanan perfusi
otak kurang dari_20_mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi iskemik neuron yang
ireversible .
Pasien cedera kepala dengan tekanan perfusi otak kurang dari 70 mmHg akan
mempunyai prognosa yang buruk. Pada tekanan intrakranial yang tinggi, supaya tekanan
perfusi otak adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau
sedikit lebih tinggi. Usaha kita adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak
normal, oleh karena itu, hipertensi yang memerlukan terapi adalah bila tekanan arteri
rata-rata lebih besar dari_130-140_mmHg.
432
Gambar 2.1 : Fungsi Otak Dihubungkan dengan PaO 2, DO2, Aliran Darah Otak
dan Tekanan Perfusi Otak.
ATP normal
Fosfokreatin menurun
8-10 Kegagalan metabolisme
ATP menurun
433
12-20 Penumbra
Gambar 2.2 : Interaksi antara Tingkatan dan Lamanya Penurunan Aliran Darah
Otak
a. Otoregulasi
434
edema serebral dan perdarahan otak.
b. Pa CO2
c. Pa O2
Bila PaO2 < 50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah otak
akan meningkat. Suatu peningkatan PaO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi
pembuluh darah serebral. Pada binatang percobaan bila PaO2_>_450 mmHg terjadi
sedikit penurunan aliran darah otak walaupun tidak nyata. Akan tetapi, pada manusia
selama operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg.
435
Gambar 2.3 : Pengaturan aliran darah otak.
b. Hematokrit
c. Temperatur
Otoregulasi adalah suatu mekanisme yang sangat sensitif terhadap cedera dan
436
terganggu setelah cedera otak, anestetika inhalasi, dan stimulasi simfatis. Efek yang
segera timbul pada otoregulasi adalah menurunkan batas atas dari otoregulasi sehingga
pada tekanan darah sedikit di atas normal bisa terjadi kerusakan BBB dan edema otak.
Pada daerah yang terganggu (iskemia, trauma atau neoplasma) terjadi penekanan fungsi
neuron, asidosis laktat, edema, gangguan otoregulasi, dan kemungkinan juga gangguan
reaksi terhadap CO2 .
Bila stimuli vasodilatasi cerebral terjadi secara global, aliran darah otak regional
akan meningkat pada daerah-daerah yang normal dengan mengorbankan daerah-daerah
yang mengalami vasomotor paralisis. Keadaan ini disebut intracerebral steal, dan terjadi
bila asidotik fokal telah mempengaruhi reaksi terhadap CO 2. Hiperkarbia akan
menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh yang normal dan konsekuensinya darah akan
diambil (steal) dari daerah yang dipasok pembuluh yang sudah stenosis. Bila stimulus
vasodilator tersebut menyebabkan penurunan tekanan darah atau kenaikkan tekanan
intrakranial, aliran darah ke daerah yang ada vasoparalisis akan lebih berkurang lagi.
437
2. Tekanan Intrakranial
Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak (86%), darah (4%) dan cairan serebrospinal
(10%). Cairan serebrospinal dibentuk dengan kecepatan konstan, 80% atau lebih dibuat
di pleksus koroideus, sisanya dibuat di parenkim otak. Fungsi cairan serebrospinal
adalah untuk proteksi, sokongan, dan regulasi kimia otak. Produksi cairan serebrospinal
kira-kira 0,35-0,4_ml/menit atau 30_ml/jam atau 500-600 ml/hari. Absorpsinya
bergantung pada perbedaan tekanan cairan serebrospinal dan vena. Absorpsi tersebut
terjadi melalui villi khorialis. Beberapa obat anestesi mempengaruhi produksi dan
absorpsi cairan serebrospinal. Adanya darah pada cairan serebrospinal dapat menyumbat
granulasio-arahnoid sehingga mengganggu absorpsi cairan serebrospinal dan
menyebabkan terjadinya hidrosefalus. Volume dan tekanan cairan serebrospinal berbeda
pada anak dan dewasa.
Anak-anak 3,0-7,5
Dewasa 4,5-13,5
Volume (ml)
Infant 40-60
Young children 60-100
Older Children 80-120
Dewasa 100-160
Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg. Tekanan ini tidak selalu konstan bergantung
pada pulsasi arteri, respirasi, dan batuk. Peningkatan volume salah satu komponen (otak,
darah atau cairan serebrospinal) akan dikompensasi dengan penurunan volume
komponen yang lainnya.
Volume intrakranial selalu konstan. Bila volume bertambah, misalnya karena ada
hematom, untuk mengurangi volume, cairan serebrospinal dan darah juga akan
berkurang, keluar dari ruangan intrakranial sehingga tekanan intrakranial akan tetap
438
normal. Bila batas kompensasi dilewati, tekanan intrakranial akan meningkat.
21-40 28%
41-80 79%
439
Pada keadaan tekanan intrakranial yang meningkat bisa terjadi spasme arteri serebral,
yang bisa menimbulkan serebral iskemia dan serebral infark. Pada cedera kepala berat
bisa terjadi laktik asidosis cairan serebrospinal, yang juga akan meningkatkan tekanan
intrakranial.
3. Metabolisme Serebral
Berat otak hanya 2-3% berat badan. Pada istirahat otak mengkonsumsi 20%
oksigen yang diambil. Basal metabolic rate untuk oksigen adalah 3,3 ml/100 gr/menit
dan untuk glukosa 4,5 mg/100 gr/menit. Keadaan ini relatif konstan pada saat tidur
dan bangun. Otak memerlukan pasokan substrat yang konstan karena metabolismenya
yang tinggi. Glukosa merupakan bahan bakar untuk jaringan saraf walaupun keton dapat
dipakai selama periode puasa dan ketoacidosis.
Aliran darah otak dan Cerebral Metabolic Rate (CMR) berlangsung bersama-
sama. Peningkatan metabolisme akan meningkatkan aliran darah otak. Obat anestesi
inhalasi menyebab-kan peningkatan aliran darah otak dan penurunan CMRO 2. Dari
semua obat anestesi inhalasi, isofluran merupakan serebral metabolik depresant yang
paling kuat, dan menurunkan 50% CMRO2 pada konsentrasi end-tidal isofluran 2,5%.
Semua obat anestesi intravena (kecuali ketamin) menurunkan CMRO 2. Barbiturat
menurunkan CMRO2 dan aliran darah otak paling kuat.
sekeliling tumor).
Ventilasi adekuat : PaO2 > 100 mmHg, PaCO2 35 mmHg, hiperventilasi sesuai
440
kebutuhan.
perfusi otak.
Diuretik:
Penurunan tekanan intrakranial yang cepat dapat dicapai dengan pemberian
diuretik. Dua macam diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik mannitol
dan loop diuretik furosemid. Mannitol diberikan secara bolus intravena dengan dosis
0,25-1 gr/kg BB. Bekerja dalam waktu 10-15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam.
Mannitol tidak menembus BBB yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas darah
relatif terhadap otak, mannitol menarik air dari otak kedalam darah. Bila BBB rusak,
mannitol dapat memasuki otak dan menyebabkan rebound kenaikan tekanan intrakranial
sebab ada suaru reversal dari perbedaan osmotik. Akumulasi mannitol dalam otak terjadi
pada dosis besar dan pengulangan pemberian.
Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang bergantung dari besarnya dosis dan
kecepatan pemberiannya. Vasodilatasi akibat mannitol dapat menyebabkan peningkatan
volume darah otak dan tekanan intrakranial secara selintas yang simultan dengan
penurunan tekanan darah sistemik. Disebabkan karena mannitol pertama-tama dapat
meningkatkan tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara perlahan (infus 10
menit) dan dilakukan bersama dengan manuver yang menurunkan volume intrakranial
(misalnya hiperventilasi).
Obat hipertonik misalnya harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Pada pasien ini, peningkatan selintas volume intravaskuler
dapat mempresipitasi gagal jantung kiri. Furosemid mungkin obat yang lebih baik untuk
mengurangi tekanan intrakranial pada pasien ini. Penggunaan mannitol jangka panjang
dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit, hiperosmolalitas, dan gangguan
441
fungsi ginjal. Hal ini terutama bila serum osmolalitas meningkat diatas 320 mOsm/kg.
NaCl hipertonik, lebih berguna pada pasien tertentu misal refraktori hipertensi
intrakranial atau yang memerlukan restorasi cepat dari volume intravaskuler dan
penurunan tekanan intrakranial. Kerugian utama dari NaCl hipertonik adalah terjadinya
hipernatremia. Pada suatu penelitian pasien bedah saraf selama operasi elektif tumor
supratentorial, volume yang sama mannitol 20% dan NaCl 7,5% dapat mengurangi
brain bulk dan tekanan cairan serebrospinal, tapi serum Na meningkat selama pemberian
NaCl hipertonik dan mencapai puncak 150 meq/lt.
Steroid :
Pengelolaan Ventilasi :
442
Hiperventilasi telah dipakai untuk pengelolaan hipertensi intrakranial acut dan
subakut. CO2 adalah serebrovasodilator kuat dan penurunan CO 2 serebrovaskular
menurunkan volume otak dengan menurunkan aliran darah otak melalui vasokontriksi
serebral yang cepat. Setiap perubahan 1 mmHg PaCO 2, aliran darah otak berubah 1-2
ml/100gr/menit. Hiperventilasi efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial hanya
untuk 4-6 jam, bergantung dari pH cairan serebrospinal dan utuhnya reaktivitas terhadap
CO2 pada pembuluh darah otak. Gangguan reaksi terhadap perubahan PaCO2 terjadi di
daerah vasoparalisis, yang dihubungkan dengan penyakit intrakranial luas seperti
iskemia, trauma, tumor, dan infeksi.
Penelitian binatang dan survai klinik menyokong konsep bahwa otak yang cedera
sangat rentan terhadap perubahan kecil hipoksia atau hipotensi. Keterangannya adalah
setelah cedera kepala, pada beberapa pasien menunjukkan adanya daerah otak yang
sangat rendah aliran darahnya, dengan gangguan otoregulasi. Bila otoregulasi hilang,
aliran darah otak menjadi tergantung dari tekanan darah. Karena itu, pasien cedera
kepala dengan aliran darah otak rendah sangat rentan terhadap hipotensi sistemik.
Observasi ini mempunyai akibat dalam lebih besarnya dukungan pada support tekanan
darah yang agresif pada pasien cedera kepala. Penelitian dengan SJO 2 dan TCD
menunjukkan bahwa tekanan perfusi otak yang adekuat mulai memburuk pada tekanan
perfusi otak rerata < 70 mmHg. The Brain Trauma Foundation dan American
Associaton of Neurologic Surgeon menganjurkan target tekanan perfusi otak adalah 70
mmHg pada pasien cedera kepala.
Restriksi intake cairan merupakan cara tradisional untuk terapi dekompresi
443
intrakranial tetapi sekarang jarang digunakan untuk terapi menurunkan tekanan
intrakranial. Restriksi cairan yang berat dalam beberapa hari dapat menimbulkan
hipoviolemia, dan menyebabkan hipotensi, penurunan aliran darah otak, dan hipoksia.
Kekurangan volume intravaskuler harus diperbailki sebelum induksi anestesi untuk
mencegah hipotensi. Resusitasi dan rumatan cairan untuk pasien bedah saraf adalah
larutan kristaloiud iso-osmolar yang bebas glokosa. Larutan hipoosmolar misalnya NaCl
0,45% dan RL lebih meningkatkan air otak daripada larutan isoosmoler NaCl 0,9%.
Larutan yang mengandung glukosa dihindari pada semua pasien bedah saraf dengan
metabolisme glukosa yang normal, sebab larutaini dapat mengeksaserbasi kerusakan
iskemik. Hiperglikemia memperberat kerusakan iskemik dengan pempromosi produksi
laktat neuron, yang memperberat cedera seluler. Cairan intravena yang mengandung
glukosa dan air (dektrosa 5% dalam air atau dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl) juga
memperberat edema otak, sebab glokusa dometabolis,e dan air akan tetap tinggal
ruangan cairan intrakranial. Studi klinis menunjukkan suatu hubungan yang kuat antara
kadar glukosa plasma dan outcome neurologis setelah stroke dan cedera otak. Karena
itu, glukosa hanya diberikan bila ada risiko hipoglikemia dan kadar glukosa darah harus
dipantau dan dipetahankan pada rentang bawah dar nilai normal.
Selama resusitasi cairan pasien cedera kepala, sasarannya adalah untuk
mempertahankan osmolality serum normal, menghindari penurunan tekanan tekanan
koloid osmotic yang besar, dan mengembalikan sirkulasi darah yang normal. Terapi
yang segera adalah langsung pada mencegah hipotensi dan mempertahankan CPP diatas
70 mmHg. Bila ada indikasi, pasang monitor ICP untuk panduan resusitasi cairan dan
mencegah kenaikkan ICP. Kristaloid iso-osmolar, koloid atau keduanya diberikan segera
untuk mempertahankan volume sirkulasi. Perdarahan yang banyak memerlukan transfusi
darah. Hematokrit minimal antara 30-33% dianjurkan untuk memaksimalkan
transportasi oksigen.
Larutan NaCl hipertonik mungkin sangat berguna untuk resusitasi volume pada
pasien cedera kepala karena mempertahankan volume intravaskuler seraya menurunkan
ICP dan memperbaiki aliran darah otak regional. NaCl hipertonik menimbulkan suatu
efek osmotic diuretic sama seperti mannitol. Dengan penggunaan jangka panjang, ada
kemungkinan kompliasi dari peningkatan Na serum, penurunan kesadaran dan kejang.
Posisi :
Untuk kebanyakan pasien bedah saraf, posisi netral, head up 15-30 o dianjurkan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan jalan memperbaiki drainase vena
serebral. Kepala fleksi atau rotasi dapat menimbulkan obstruksi drainase vena serebral,
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Penurunan posisi kepala menyebabkan
gangguan drainase vena serebral, yang secara cepat meningkatkan brain bulk dan
tekanan intrakranial.
444
Obat yang menimbulkan Vasokontriksi Serebral :
445
Pengendalian Temperatur :
Hipotermia ringan telah ditunjukkan untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien
dengan cedera kepala dengan menurunkan metabolisme otak, aliran darah otak, volume
darah otak dan produksi cairan serebrosponalis. Obat yang menekan menggigil secara
sentral, pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik
hipotermi.
Drainase cairan serebrospinal 10-20 ml dengan tusukan langsung pada ventrikel lateral
atau dari kateter spinal lumbal dapat performed mengurangi brain tension secara cepat.
Drainase cairan serebrospinal lumbal harus dilakukan secara hati-hati hanya bila dura
terbuka dan pasien dilakukan hiperventilasi ringan untuk mencegah hernia otak akut.
Referensi:
1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNACC participant workbook 2007.
446
447
MODUL 23 ANESTESI BEDAH SARAF II
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;
448
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNACC participant workbook 2007.
TUJUAN UMUM
Melakukan anestesia pada operasi intrakranial, operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis, anestesia pada prosedur
intervensional neuroradiologi didalam maupun diluar kamar operasi. Mampu melakukan
proteksi otak selama periode perioperatif
TUJUAN KHUSUS
Kognitif:
Psikomotor
449
5. Melakukan pemasangan jalur intraarterial dan intravena dengan jarum besar
(keberhasilan 75%)
6. Mampu memasang kateter vena sentral tanpa mengganggu drainase vena
serebral (75% berhasil).
7. Mampu melakukan induksi anestesia umum untuk operasi besar, rumatan,
ekstubasi tanpa gejolak hemodinamik.
8. Mampu melakukan intubasi pasien dengan kelanan serebral atau cervikal
dengan benar (dengan fibreoptic intubation, kalau ada).
9. Mampu melakukan teknik anestesia hipotensif.
10. Mampu menilai adanya emboli udara dan menanganinya.
11. Mampu memberikan anestesia pada prosedur diagnostik (MRI, CTScan)
12. Mampu menangani komplikasi pasca bedah saraf diruang pulih
13. Mampu melakukan tindakan proteksi otak selama periode perioperatif.
Komunikasi
1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk pengelolaan perioperatif pasien
bedah saraf.
KEYNOTES:
450
(ABC : Clear airway, breathing, circulation), hipotermi, dan
farmakologik.
7. Monitoring selama anestesi dan periode pascabedah dengan standar
monitoring : tekanan darah, denyut jantung, SpO2, suhu, kalau ada
train of four. Indikasi monitoring arteri line dan monitoring CVP.
8. Barier otak dapat rusak pada tumor, trauma, hipertensi, strokes,
hiperkapnia berat, hipoksia, dan kejang.
9. Isi rongga cranium adalah jaringan otak (80%), darah (12%), dan
cairan serebrospinal (8%). Setiap peningkatan salah satu komponen
akan dikompensasi dengan penurunan volume yang lain untuk
mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
10. Dengan pengecualian ketamin, semua obat anestesi intravena
menurunkan metabolisme otak dan aliran darah otak.
11. Autoregulasi antara MAP 50-150 mmHg. MAP yang < 50 mmHg
akan menimbulkan iskemia otak dan bila MAP > 150 mmHg dapat
menimbulkan edema otak atau perdarahan otak.
12. Hipotermi merupakan metode yang efektif untuk proteksi otak selama
iskemia fokal atau global.
13. Pada penelitian manusia dan binatang barbiturat efektif untuk brain
protection pada keadaan fokal iskemia.
14. Semua obat anestesi inhalasi bersifat serebral vasodilator.
15. Sasaran terapi pada trauma otak adalah normotensi, normokania,
normovolemia, isoosmoler, normotermi
16. Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg, bila sudah > 20 mmHg
harus segera diterapi, akan tetapi Herniasi otak sudah dapat terjadi
pada tekanan intrakranial 18 mmHg.
17. Masalah utama pada operasi tumor supratentorial/meningioma besar
adalah perdarahan.
18. Masalah utama pada operasi fossa posterior/infratentorial adalah
emboli udara.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami serta mampu mengelola tentang Neuroanatomi, Neurofisiologi,
Neurofarmakologi, Monitoring, Pengelolaan Kenaikan Tekanan Intrakranial, Anestesia
untuk trauma otak, Proteksi otak perioperatif, Anestesi untuk bedah tumor otak, Emboli
udara pada anestesia posisi kepala lebih tinggi/posisi duduk, Pengelolaan cedera medula
spinalis, Anestesi untuk neuroradiologik Intervensional
TUJUAN PEMBELAJARAN
451
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu:
Melakukan anestesia pada operasi tumor intrakranial, operasi diluar otak akan tetapi
pasiennya mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis.
METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 2: Mampu melakukan anestesia untuk operasi diluar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak.
Tujuan 3: Mampu melakukan anestesi untuk bedah spinal dan columna verebralis,
MEDIA
1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
452
4. Pasien di kamar bedah dan PACU
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
4. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
5. Knowledge
MCQ (Pre test)
453
Pretest
Independent learning
Proses Pembelajaran
Kuliah introduksi
Tindakan / operasi :
454
1 Anamnesis, periksaan fisik, pemeriksaan penunjang
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Monitoring
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standar atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
455
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
456
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Pendahuluan
Anestesi untuk bedah syaraf memerlukan pengetahuan mengenai prinsip dasar dari
neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi). Kebanyakan prosedur bedah syaraf intrakranial adalah karena
adanya lesi massa. Prosedur supratentorial termasuk operasi untuk tumor, hematom,
trauma, dan vaskuler. Walaupun gambaran patofisiologis berbeda untuk setiap lesi
yang berbeda, tetapi pertimbangan anestesinya sama.
Pada tahun 2001 di USA > 180.000 pasien di diagnosa tumor serebri. Kira-kira
36.000 pasien didiagnosa sebagai tumor otak primer dan lebih dari 150.000 pasien
merupakan metastase dari tumor mammae, paru, melanoma atau kanker ditempat
lain. Tumor otak primer yang dilaporkan adalah meningioma (26%), glioblastoma
(23%), dan astrositoma (13%). Kira-kira 10% tumor otak primer terjadi pada anak
dan mempunyai predominan yang berbeda dengan dewasa, misalnya astrositoma
37,5%, meduloblastoma 16%. Umumnya tumor otak lebih banyak mengenai laki-laki
daripada wanita. Distribusi dari keseluruhan tumor otak dan tumor SSP menunjukkan
bahwa kebanyakan merupakan tumor supratentorial (36%) dan hanya 6,5%
merupakan tumor infratentorial.
Astrosit anaplastik dan glioblastoma merusak BBB. Aliran darah ke tumor bervariasi,
457
akan tetapi, autoregulasi umumnya hilang dan adanya hipertensi menyebabkan
meningkatnya aliran darah ke tumor. Adanya edema yang luas di sekeliling tumor
akan menambah efek massa. Daerah ini juga mungkin menderita iskemia akibat
kompresi, aliran darah peritumor 28 % lebih rendah dari jaringan hemisfer yang
kontralateral. Reseksi meningioma total akan menyebabkan rendahnya rekurent
daripada reseksi parsial, maka prosedur bedah untuk meningioma lebih rumit dan
lebih lama daripada debulking untuk tumor glia. Prosedur bedah untuk supratentorial
sering melalui frontal atau pterional. Pendekatan pterional dilakukan melalui lobus
temporal dan memerlukan pemutaran kepala pasien ke posisi yang berlawanan. Pada
pendekatan frontal, termasuk bi-frontal kraniotomi untuk lesi bi-lateral atau lesi di
garis tengah. Karena sinus sagitalis berjalan transversal, maka ada resiko perdarahan
dan emboli udara pada pendekatan bi-frontal.
Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena efek penekanan pada struktur
syaraf sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau kenaikan ICP yang tidak spesifik,
atau adanya kejang-kejang. Kejang dan defisit neurologis fokal bisa disebabkan karena
efek penekanan oleh tumor. Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal.
Beberapa tumor harus dieksisi, lainnya hanya paliatif dengan dekompresi, pemasangan
VP-shunt, atau radioterapi. Edema hebat disekeliling tumor sering terjadi pada tumor
malignan. Meningioma yang besar tetapi jinak sering khas dengan tingginya shunting
aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan tumor autoregulasi hilang, juga hal ini terjadi
di jaringan sekeliling tumor. Bila ada penekanan dan efek tekanan yang nyata oleh
tumor, dan selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi herniasi tentorial. Karena itu
pertimbangan prinsip untuk anestesi tumor cerebri adalah pengendalian ICP.
Meningioma merupakan suatu tantangan bagi anestetist dan dokter bedah syaraf,
karena jinak dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma
bisa mencapai ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskular
yang bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak saat dilakukan pembedahan.
Beberapa konveksitas meningioma menekan ke dalam vauet tulang tengkorak,
Anestetist harus mempersiapkan terhadap adanya kemungkinan adanya perdarahan yang
banyak ketika tulang diangkat. Bahaya ini juga terdapat operasi ulangan (redo
craniotomi) untuk meningioma reccurent. Dalam keadaankeadaan ini, juga pada tumor
yang berasal dari pembuluh darah harus dipasang monitor CVP. Tumor yang lebih besar
dan vaskuler, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah perdarahan. Kadang kadang
458
pasien menunjukkan adanya edema otak setelah tumor direseksi semuanya. Dalam
keadaan ini monitor ICP harus dipasang dan pasien harus diventilasi pascabedah untuk
menjamin bahwa edema otak yang telah ada tidak diperburuk oleh hipoksia atau
hiperkapnia, serta adanya resiko episode apneu yang tiba tiba. Adanya ICP monitor
akan menyebabkan kita waspada terhadap adanya hematoma pascabedah. Pada keadaan
ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau
hipertensi. Bila pembengkakan otak terjadi setelah operasi tumor, steroid harus
diteruskan post-operatif. Di beberapa center memberikan tambahan bolus deksametason
12 16 mg perioperatif, diikuti dengan penambahan dosis untuk beberapa hari pertama
pascabedah. Daerah yang iskemik atau trauma pada tempat operasi seperti halnya darah
dalam ventrikel akan merupakan predisposisi terjadinya konvulsi, karena itu berikan
antikonvulsi.
459
spinalis, atau melalui kraniotomi. Herniasi dapat dengan cepat menimbulkan neurologic
deterioration dan kematian. Beberapa faktor yang berkontribusi pada herniasi otak
terlihat pada tabel dibawah ini. Elemen-elemen yang dapat meningkatkan volume darah
otak, seperti hipertensi, hiperkarbia dan hipoksia adalah merupakan faktor yang dapat
diterapi dan harus dihindari perioperatif.
Koagulopati
Hiperkarbia
Hipoksia
Obstruksi jugularis
Pengelolaan Anestesi
Evaluasi preoperatif:
Suatu pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan dengan perhatian khusus pada level
kesadaran, ada atau tidak adanya kenaikan tekanann intrakranial, extent of defisit
neurologis dan riwayat kejang.
460
Evaluasi prabedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesi
lainnya dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan
paru. Pada prosedur bedah syaraf, seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan
morbiditas dan mortalitas anestesi perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau jantung.
a. Anamnesa :
Pasien bedah syaraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP. Gejala
kenaikan ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis fokal akibat efek
penekanan lokal dari tumor. Perdarahan otak atau cerebrovascular accident
sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis. Telaahlah dengan hati hati
hasil operasi intrakranial atau prosedur diagnostik sebelumnya, dan pertimbangkan
kemungkinan pneumocephalus residu atau interaksi anestetik lain.
Telaahlah kembali obatobatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian
kita pada obatobatan yang mempunyai efek pada periode preoperatif. Terapi obat
obatan pada pasien bedah syaraf dapat menyebabkan penurunan volume intravaskuler.
Manitol dan diuretik lain yang digunakan prabedah untuk mengurangi edema serebral,
dapat menimbulkan hipovolemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yang bisa
menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan aritmia pada saat induksi anestesi.
Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan edema serebral, akan
meningkatkan kadar glukosa darah dengan stimulasi glukoneogenesis dan menyebabkan
penekanan adrenal secara langsung yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan
insufisiensi kardiovaskuler dengan adanya stress bedah. Obat anti hipertensi dapat
merubah volume intravaskuler. Trisiklik antidepresan dan levodopa telah nyata dapat
memicu terjadinya hipertensi intraoperatif dan cardiac disritmia. Benzodiazepin,
phenotiazin dan butirophenon dapat berperan terjadinya hipertensi perioperatif.
b. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik prabedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistim kardiovaskuler
dan SSP. Pada pasien pasien dengan penyakit sertaan, pemeriksaan ditujukan
terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien pasien bedah syaraf sering
somnolent dan intake oral yang tidak adekwat yang dapat menyebabkan keadaan
hipovolemi. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis akibat diabetes insipidus, atau
pemberian diuretik. Hipovolemi ringan atau sedang umumnya dapat ditolerir dengan
baik, tetapi hipovolemi yang nyata harus dikoreksi sebelum induksi anestesi.
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap defisit sensoris
/ motoris harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di kamar operasi sesaat
sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan tanda tanda kenaikan ICP, seperti adanya
sakit kepala, mual, muntah, midriasis unilateral, pupil edema, palsy occulomotor atau
abduscen. Bila ICP meningkat lebih jauh, kesadaran pasien memburuk dan diikuti
dengan disfungsi respirasi dan jantung. Adanya pernafasan Cheyne Stokes atau
bradikardi disertai hipertensi merupakan tanda penekanan batang otak.
Tujuan dari penilaian neurologis adalah untuk mengerti tentang tipe dan beratnya
461
proses intrakranial. Hal ini penting sebab pengelolaan anestesi akan tergantung pada
volume intrakranial. Untuk mendapatkan penilaian yang tepat pertanyaan
pertanyaan dibawah ini harus ditanyakan.
1. Bagaimana keadaan pasien ? Gejala kenaikan tekanan intrakranial termasuk
sakit kepala, mual, muntah, penglihatan blurred, dan somnolen. Gejala
penekanan lokal dari tumor misalnya adanya kejang, dan defisit neurologis fokal.
2. Dimana lokasi tumor ?
3. Apa diagnosa tumornya ?
4. Bagaimana bukti adanya kenaikan ICP ?
5. Apa terapi yang telah diberikan ?
6. Apakah pasien pernah dilakukan kraniotomi ?
c. Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum dan
koagulasi harus dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis akan menurunkan kadar K
serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa serum > 200 mg
% diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai normal yang
berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolariti serum harus diukur
pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala sering EKGnya abnormal,
maka pemantauan EKG prabedah harus dilakukan, untuk melihat perubahan selama
operasi dan anestesi. Pemeriksaan radiologis prabedah untuk informasi tentang
ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya, edema serebral, dan mid-line shift.
Mid-line shift 0,5 cm pada MRI atau CT-scan atau gangguan dari jaringan otak pada
sisterna basalis menunjukkan adanya kenaikan ICP.
d. Pengelolaan Obat :
Sekali diagnosa dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan, tujuan prinsip
pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi epilepsi. Steroid efektif
untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan komplians otak pada pasien
tumor ganas dan meningioma. Dosis umum deksametason adalah 4 mg 3x sehari
bersama sama dengan hidrogen reseptor antagonis. Epilepsi diterapi dengan
phenitoin 100 mg 3x sehari. Rentang normal terapeutik adalah 40 100 umol/l.
e. Premedikasi
Sedasi prabedah merupakan kontraindikasi pada pasien dengan penurunan kesadaran,
jadi pasien lethargi tidak memerlukan premedikasi. Bila premedikasi diperlukan,
misalnya pasien yang sadar dan cemas dapat diberikan anxiolitik seperti
benzodiazepin ( diazepam, lorazepam atau midazolam ). Diazepam 5 10 mg atau
lorazepam 1 2 mg atau midazolam 5 mg dapat diberikan 1 2 jam pra bedah
peroral. Diazepam dan lorazepam mempunyai paruh waktu yang cukup panjang dan
bisa memperlambat bangun pascabedah, karena itu mungkin lebih baik dengan
midazolam jang diberikan intravena, intramuskuler atau oral.
462
Bila ada keraguan tentang level kesadaran pasien, pasien dapat diberikan sedasi atau
analgesi di kamar bedah dibawah pengawasan spesialis anestesi dan diberikan setelah
terpasang jalur vena. Narkotik harus dihindari karena meningkatkan resiko muntah
dan hipoventilasi, yang keduanya dapat meningkatkan ICP. Akan tetapi, bila akan
memasang alat pantau invasif pada saat prainduksi (CVP, jalur arteri) dosis kecil
narkotik dapat dipertimbangkan untuk menghindari rasa tidak nyaman ketika
menusukkan jarum untuk memasang alat pantau invasif tersebut.
Sasaran pemberian anestesi pada pasien ini adalah untuk memaksimalkan cara terapi
untuk mengurangi volume intrakranial. ICP harus dapat dikendalikan sebelum
kranium dibuka dan optimal kondisi operasi dengan cara menghasilkan otak yang
slack brain. Berbagai manuver dan obat dapat digunakan untuk mengurangi brain
bulk (tabel 2)
Diuretik
Dehidrasi otak dan penurunan ICP yang cepat dapat diperoleh dengan
463
pemberian osmotik diuretik mannitol (0,25 1 gr/kg intravena yang mulai berefek
dalam waktu 10-15 menit dan berakhir kira-kira 2 jam) atau loop diuretik furosemid (0,5
1 mg/kg atau 0,15 0,3 mg/kg intravena bila dikombinasikan dengan mannitol).
Disebabkan karena mannitol pertama-tama menimbulkan efek peningkatan ICP (efek
dari vasodilatasi akibat mannitol), maka mannitol harus diberikan perlahan-lahan (10
menit atau lebih) disertai manuver lain untuk menurunkan ICP (misalnya hiperventilasi
atau pemberian steroid). Mannitol harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Pada pasien ini, peningkatan selitas volume intravaskuler dapat
mempresipitasi gagal jantung kiri. Furosemid merupakan obat yang lebih disukai
dalammengurangi ICP pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Kombinasi mannitol
dengan furosemid lebih efektif dalam menurunkan ICP dan brain bulk daripada mannito
sebagai obat tunggal, akan tertapi lebih besar menimbulkan dehidrasi dan gangguan
keseimbangana elektrolit sehingga diperlukan pemantauan elektrolt intraoperatif dan
penggantian kalium bila memang diperlukan.
NaCl Hipertonik
NaCl hipertonik merupakan osmotik diuretik lain yang baru-baru ini sedang
diteliti lagi. Terapi NaCl hipertonik mungkin lebih efektif daripada diuretik lain pada
kondisis klinis tertentu, misalnya pasien dengan hipertensi intrakranial yang refrakter
atau yang emerlukan debulking otakatauuntuk memepertahankan volume intravaskuler.
NaCl hipertonik juga dapat digunakan sebagai suatau alternatif atau tambahan pada
pemakaian mannitol intraoperatif. Data yang telah dipublikasikan encouraging, akan
tetapi, ada beberapa akibat yang merugikan akibat pemberian NaCl hipertonik.
Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak tetapi memerlukan
beberapa jam atau hari sebelum penurunan ICP terlihat. Pemberian steroid prabedah
sering menimbulkan perbaikan neurologis sebelum terjadi penurunan ICP, hal ini
mungkin karena perbaikan dari BBB yang sebelumnya abnormal.
Hiperventilasi
Hiperventilasi mengurangi volume otak dengan menurunkan CBF dengan cara
vasokonstriksi serebral. Setiap 1 mmHg perubahan PaCO2, CBF berubah 1-2 ml/100gr
jaringan/menit. Hiperventilasi hanya efektif bila reaktivitas terhadap CO2 dari pembuluh
darah otak masih intact. Faktor yang mempengaruhi reaktivitas terhadap CO2 adalah
iskemia, trauma, tumor, dan infeksi. Obat anestesi inhalasi berbeda-beda pengaruhnya
pada reaktivitas CO2 pembuluh darah otak, oleh karena itu penting sekali pemilihan obat
464
anestesi inhalasi yang tepat (paling kecil mempengaruhi reaktivitas CO 2 dan
autoregulasi adalah sevofluran).
Target PaCO2 untuk operasi tumor otak adalah 30-35 mmHg (hasil analisa gas
darah). Pada keadaan PaCO2 kurang dari 25-30 mmHg dapat menimbulkan iskemia otak
akibat vasokonstriksi serebral.
Monitoring
Monitor Et CO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO 2, adanya
diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan kehilangan
darah yang banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas dipasang monitor CVP
dan dapat dipertimbangkan dipasang PA kateter. Pergeseran cairan akut akibat diuretik
atau manitol memerlukan monitoring CVP, sebab urine output tidak dapat dipercaya
untuk mendeteksi hipovolemia. Indikasi pemasangan CVP monitor terlihat pada tabel di
bawah ini :
466
Pengelolaan anestesi
Sasaran utama selama induksi anestesi adalah mempertahankan level normal dari
ICP sambil mempertahankan CPP yang adekwat. Sasaran ini kebanyakan dilakukan
dengan menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai kompensasi
pada kenaikan ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan volume CSF,
tetapi di kamar operasi penurunan volume darah otak umumnya dilakukan dengan terapi
farmakologik atau ventilasi.
Kejadian emboli udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah
kurang lebih 14,6 %, karena itu diperlukan monitoring end tidal CO2.
a. Induksi Anestesi :
Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan ICP serta
menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada
neuroanestesi. Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan.
Pasien dipreoksigenasi lalu diberikan Pentotal 3 5 mg/kg atau Propofol (1,25-
2,5mg/kg) intravena, diikuti dengan fentanil 3-5ug/kg dan pelumpuh otot.harus diikuti
dengan ventilasi melalui sungkup muka untuk menjamin patensi jalan nafas dan
hiperventilasi. Neuromuskular blokade dapat dilakukan dengan vecuronium ( 0,1 0,15
mg/kg ) atau rocuronium ( 0,6 0,8 mg/kg ) IV, lalu dihiperventilasi melalui sungkup
muka dengan oksigen 100% atau O2 Isofluran konsentrasi rendah ( 0,5% ). Lidokain
IV ( 1,5 mg/kg dberikan 90 detik sebelum laringoskopi/intubasi) dan dosis obat
anestesi intravena (Pentotal 2-3 mg/kg) untuk induksi diberikan menit sebelum
dilakukan intubasi. Setelah induksi, dilakukan ventilasi kendali untuk mepertahankan
PaCO2 antara 30-35 mmHg.
Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskuler.
Kombinasi narkotik (fentanyl 5 ug/kg atau sufentanyl 0,5 1 ug/kg ) dan dosis kecil
pentotal dapat mengendalikan ICP serta kardiovaskuler tetap stabil. Ventilasi adekwat
harus dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan hiperkarbia akibat narkotik
yang akan menyebabkan kenaikan CBF.
467
b. Pemeliharaan Anestesi :
Teknik teknik ini umumnya termasuk dalam 3 kategori : obat anestesi inhalasi,
teknik anestesi intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian
anestesi adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya teknik
tersebut digunakan.
Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesi dengan dasar narkotik dengan
N2O atau dosis rendah isofluran (< 1 %) dalam oksigen, cukup optimal. Tetapi baru
baru ini teknik tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian mual muntah
pascabedah dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi atau mesin berbasiskan
propofol. Bila anestesi berbasiskan narkotik, maka dapat digunakan fentanyl, alfentanyl
atau sufentanyl. Sufentanyl mungkin mempengaruhi ICP dan CPP (tak menguntungkan /
tak baik ). Fentanyl 5 ug/kg dikombinasikan dengan isofluran < 1 % dalam oksigen
mungkin cukup baik. Alternatif lain, sufentanyl 0,5 1 ug/kg bolus, diikuti intermittent
dengan dosis tidak lebih dari 0,5 ug/kg/jam, atau infus 0,25 0,5 ug/kg/jam kombinasi
dengan isofluran < 1 % dalam O2. Sufentanyl kontinyu dihentikan +/- 1 jam sebelum
akhir operasi.
Obat anestesi inhalasi lebih disukai isofluran dengan sedikit atau tanpa
suplement narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi isofluran < 1 % umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi
intrakranial berlangsung lama, bila pada akhir operasi ada kenaikan tekanan darah dan
frekwensi nadi, lebih baik diatasi dengan labetolol atau esmolol, bukan dengan
menaikkan konsentrasi obat anestesi inhalasi, supaya pasien lebih cepat bangun.
N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumocephalus (trauma atau
postcraniotomi) atau emboli udara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik
dan isofluran serta bangun dari anestesi dengan tenang.
468
jaringan otak (operasi, perdarahan, iskemia) gangguan elektrolit, hipotermi.
Pelemas otot mencegah pasien bergerak pada saat saat kritis. Juga bisa
menurunkan ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan tekanan
intrakranial dan terjadi drainase vena serebral yang baik. Pemilihan obat harus berdasar
pada lamanya operasi dan pengaruh obat pada hemodinamik serta ICP. Untuk
kebanyakan operasi supratentorial dipilih norcuron /esmeron/atracurium.
Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9 %. Pemberian cairan dibatasi
selama induksi anestesi dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik stabil dan
produksi urine baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai hematokrit tidak
menunjukkan perlunya darah, maka dapat diberikan koloid sebanyak 500 1000 cc.
Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang, lebih baik dengan
469
trimetaphan daripada dengan nitroprusid. Pada awalnya tekanan sistolik dipertahankan
antara 70 80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level yang lebih tinggi
pada pasien yang hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan darah bisa diturunkan
lagi (tetapi harus diingat dalam menurunkan tekanan darah ini, harus diperhatikan CPP
adekwat).
Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan sirkulasi tanpa
ada edema serebral pascabedah. Disebabkan bahaya dari gangguan pembekuan, maka
FFP dan trombosit harus diberikan setelah jumlah perdarahan mencapai 2 liter bila
perdarahan terus berlangsung. Pemberian ini lebih dini daripada yang biasanya, karena
untuk mencegah terjadinya DIC, sebab hal ini secara nyata tidak mungkin untuk
mengobati kadaan ini pada pasien bedah syaraf karena kebutuhan heparin dan
penggantian cairan secara masif.
N2O:
N2O secara tersendiri bersifat serebral stimulan, meningkatkan CMR, CBF dan ICP.
Untuk otak yang normal, efek ini dapat dihilangkan dengan hiperventilasi/hipokapni
atau obat anestesi intravena. Volatil anestetika menambah peningkatan CBF akibat N 2O.
Penelitian menunjukkan bahwa isofluran mempunyai efek yang kurang daripada N2O
terhafap CBF dan ICP.
Volatil anestetika:
470
Pengelolaan edema serebral intraoperatif
CSF darinase
c. Akhir Anestesi :
Bangun dari anestesi sesudah operasi supratentorial harus lancar dan gentle.
Keputusan apakah pasien harus bangun dan diekstubasi bergantung pada derajat
kesadaran prabedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat yang diberikan.
Pasien yang prabedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di sentral, tidak
usah segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan bangun pelan pelan di
ICU setelah terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi klinis dimana pasien yang
sebelumnya koma dicoba untuk bangun sesegera mungkin :
Bangun dari anestesia harus smooth dan hindari straining atau bucking akib at adanya
ETT, hipertensi arterial dan kenaikan ICP. Untuk menghindari bucking saat bangun
471
dari anestesi, pelumpuh otot jangan direverse sampai selesai membalut kepala.
Lidokain intravena (1,5 mg/kg) dapat diberikan 90 detik sebelum pengisapan lendir
dan ekstubasi untuk mengurangi batuk, straining dan hipertensi. Adanya hipertensi
saat bangun dari anestesi dapat menimbulkan terjadinya hematom intrakranial
pascabedah.
Pada operasi tumor supratentorial diharapkan pasien segera bangun dan
diekstubasi pada ahir operasi supaya dapat mengevaluasi hasil pembedahan dan fungsi
neurologis pascabedah. Keuntungan dan kerugian antara segera bangun dan pasien
dibiarkan tidur pascabedah masih diperdebatkan. Faktor diluar obat anestesi yang
menyebabkan pasien lama sadar adalah tumor intrakranial yang besar, prabedah sudah
ada penurunan kesadaran, komplikasi bedah (kejang, edema serebral, hematoma,
pnemosefalus, oklusi pembuluh darah/iskemia), gangguan elektrolit, dan hipotermi.
Cara baru dalam mencegah hipertensi saat bangun dari anestesi seraya pasien
tetap akan sadar, adalah dengan pemberian alpha 2 agonis dexmedetomidin yang
dimulai 10 menit sebelum ekstubasi, dengan dosis rerata 0,4 ug/kg/jam.
Simpulan
Masalah pada operasi tumor supratentorial adalah adanya iskemia atau herniasi serta
banyaknya perdarahan saat eksisi tumor. Penilaian status neurologis prabedah,
penentuan adanya kenaikan tekanan intrakranial dan mengoptimalkan penyakit sertaan
harus dilakukan. Dapat digunakan teknik anestesi intravena atau inhalasi dengan
pemilihan obat anestesi inhalasi yang paling kecil meningkatkan aliran darah otak,
mempengaruhi autoregulasi, dan reaktivitas terhadap CO2. Pertahankan normotensi,
normovolemia, dan slack brain intraoperatif. Bangun dari anestesi harus mulus dan cepat
untuk memudahkan evaluasi neurologis pascabedah. Tidak diperlukan analgesi opioid
pascabedah yang kuat untuk menghilangkan sakit pascabedah.
Referensi :
472
MODUL 24
ANESTESI BEDAH PASIEN
473
RAWAT JALAN
Sesi di dalam kelas Anestesia bedah pasien rawat jalan adalah suatu
rotasi yang membutuhkan waktu paling sedikit 2
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing bulan (8 minggu) untuk residen anestesi semester 2
keatas, yang meliputi anestesi bedah pasien rawat
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi
jalan.
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Pulih
8. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien dari Poliklinik Bedah atau Bidang lain
Referensi :
474
1. TUJUAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif pasien ambulatori
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum maupun regional yang baik dan tepat, monitoring
dan penatalaksanaan pasca operasi pasien ambulatori.
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
Psikomotor
475
3. Mampu mengklasifikasi status fisik pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
4. Mampu menilai kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan resikonya,
seperti bayi prematur dan ex-prematur, pasien dengan riwayat gangguan respirasi seperti ISPA,
apneu, spasme bronkus, pasien dengan penyakit jantung seperti CHF, kelainan jantung
kongenital, pasien dengan riwayat hipertermia maligna, pasien obesitas morbid, pasien dengan
keganasan, gangguan jalan nafas sulit, operasi besar yang memungkinkan kehilangan banyak
darah, yang membutuhkan monitoring dan penanganan nyeri khusus pasca operasi.
5. Mampu melakukan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
6. Mampu melakukan anestesia umum seperti anestesia intravena, sungkup, LMA atau intubasi
ETT, dan regional seperti spinal, epidural, kaudal untuk operasi pasien ambulatori yang akan
dilakukan (lihat prosedur anestesia umum dan regional).
7. Mampu melakukan persiapan alat anestesi umum maupun regional.
8. Mampu melakukan pemberian obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk
anestesia ambulatori.
9. Mampu melakukan monitoring yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
10. Mampu melakukan penatalaksanan nyeri, mual muntah pasca bedah untuk pasien ambulatori.
11. Mampu mengenali tanda-tanda dan mengatasi komplikasi yang dapat timbul pasca operasi
ambulatori.
12. Mampu menilai kondisi pasien keluar dari PACU/ruang pulih fase 1 ke ruang pulih fase 2
dengan Modifikasi Aldrete score atau pulang (dengan PADSS score), atau dirawat pasca operasi
ambulatori.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta resiko yang dapat timbul pada pasien ambulatori.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien
untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk
mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim
yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan jika pasien tidak dapat pulang dan harus dirawat sesuai
kondisi pasien pasca bedah.
Profesionalisme
476
KEYNOTES
Waktu
Metode
477
4. MEDIA
7. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manekin.
8. Belajar mandiri
9. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Ambulatori termasuk
6. EVALUASI
6.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :
478
6.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
6.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
6.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
6.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
6.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
6.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pretest :
19. Jelaskan kriteria pemilihan pasien yang sesuai untuk operasi ambulatori.
20. Jelaskan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi pemeriksaan fisik
dan penunjang yang tepat.
21. Jelaskan status fisik yang sesuai untuk pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
22. Jelaskan kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan resikonya.
23. Jelaskan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
24. Jelaskan jenis anestesia umum dan regional yang sesuai untuk operasi pasien ambulatori yang
akan dilakukan.
25. Jelaskan persiapan alat anestesi umum maupun regional untuk anestesia ambulatori.
26. Jelaskan jenis obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk anestesia ambulatori,
dosis dan cara pemberiannya.
27. Jelaskan monitoring yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
28. Jelaskan cara pemulihan pembiusan yang cepat untuk pasien ambulatori.
479
29. Jelaskan penatalaksanan nyeri, mual muntah pasca bedah untuk pasien ambulatori.
30. Jelaskan komplikasi yang dapat timbul pasca operasi ambulatori.
31. Jelaskan kriteria pasien pulang atau dirawat pasca operasi ambulatori (dengan Modifikasi
Aldrete score dan PADSS score).
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. Knowledge
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
7. REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
480
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Tatang Bisri : Literasi Anestesiologi : Ambulatori Anestesi, 2007.
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
3 Anestesia intravena
481
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur standar
atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih
482
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
MATERIN ACUAN
483
anestesia.
tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, produksi urine,
perdarahan.
8.3 Komplikasi
- mual-muntah
- bradipnea-apnea
8.4 Mortalitas
Kriteria pasien ambulatori, persiapan preoperatif, farmakologi obat anestesia ambulatori, anestesia umum
dan regional, monitoring, PONV, nyeri pasca bed, Modified Aldrete Score, Post Anesthesia Discharge
Scoring System
484
Tabel . Criteria for Fast Tracking and Discharge
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.
Respiration
2=breathes deeply & cough freely
0=apneic
Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level
Oxygen saturation
2=SpO2 > 92% on room air
dipulangkan kerumah.
485
REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
486
Modul 25 ANESTESIA BEDAH KARDIOTORASIK
I
487
Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
6. LCD Projector dan screen
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Persiapan prabedah toraks
9. Myasthenia gravis
Sarana:
488
6. Ruang belajar
7. Ruang perawatan prabedah
8. Kamar operasi toraks
9. Ruang Perawatan Intensif pascabedah toraks
Books/McGraw-Hill; 2002
1. KOMPETENSI
Mampu melakukan persiapan praoperatif pasien bedah toraks, melakukan pembiusan dan
pemantauan yang baik dan tepat, dan penatalaksanaan pascaoperasi pasien bedah toraks.
RANAH KOMPETENSI
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :
Kognitif
489
4. Mampu menjelaskan fisiologi pada ventilasi satu paru.
5. Mampu menjelaskan indikasi, indikasi kontra dan komplikasi ventilasi satu paru.
6. Mampu menjelaskan teknik anestesia, peralatan dan pemantauan yang diperlukan pada
ventilasi satu paru.
7. Mampu menjelaskan berbagai lokasi massa mediastinum dan konsekuensi fisiologiknya.
8. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan massa mediastinum.
9. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada massa mediastinum.
10. Mampu menjelaskan patofisiologi sindrom vena cava superior.
11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan sindrom vena cava
superior.
12. Mampu menjelaskan patofisiologi myasthenia gravis dan implikasinya pada teknik
anestesia.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien myasthenia gravis.
14. Mampu menjelaskan kegawatan torasik yang mengancam nyawa, termasuk trauma
toraks.
15. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada bedah emergensi trauma toraks.
16. Mampu menjelaskan pengelolaan pascabedah dan tatalaksana nyeri pasien bedah toraks.
Psikomotor
tepat.
490
8. Mampu melakukan anestesia pada pasien dengan massa
mediastinum.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
bedah toraks.
491
bedah.
Profesionalisme
kompetensi masing-masing.
2. KEYNOTES:
1. Keberhasilan anestesia pada bedah toraks bergantung pada kondisi prabedah dan
antisipasi terhadap komplikasi yang mungkin timbul selama atau pascabedah.
2. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
3. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
4. Pemantauan yang optimal sangat penting.
5. Komplikasi pascabedah toraks terutama mengenai sistem pernafasan.
6. Nyeri pascabedah yang tidak diatasi dapat meningkatkan komplikasi.
7. Komplikasi pada pasien dengan massa mediastinum berhubungan dengan obstruksi
mekanik oleh massa pada struktur vital di sekitarnya, terutama jalan nafas.
8. Komplikasi pada pasien dengan myasthenia gravis terutama akibat patofisiologi
penyakitnya.
9. Komplikasi pada pasien dengan sindrom vena cava superior berhubungan dengan
gangguan hemodinamik akibat obstruksi pada vena cava superior.
492
3. GAMBARAN UMUM
Anestesia Bedah Toraks sangat bervariasi, bergantung jenis kelainan dan jenis
pembedahannya. Kasus yang memerlukan pembedahan bervariasi dari kelainan paru
meliputi infeksi; tumor dan trauma atau kelainan nonparu seperti massa mediastinum.
Persamaan dari semua prosedur adalah dibukanya rongga toraks dengan segala
konsekuensinya. Seringkali operasi memerlukan ventilasi satu paru yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi yang dapat menimbulkan komplikasi.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:
5. METODE PEMBELAJARAN
493
Tujuan 1: Melaksanakan persiapan praoperatif
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
3. Bedside teaching
terlibat beberapa sistem dan organ vital, seperti sistem dan jalan
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
3. Bedside teaching
494
6. Praktik klinik
perubahan tersebut.
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
5. Praktik klinik
495
Mengganti Double Lumen Tube dengan ETT biasa untuk prosedur bronkoskopi.
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
5. Praktik klinik
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan
5. Praktik klinik
496
1. Monitoring anestesia untuk bedah toraks secara garis besar sama
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktik klinik
6. MEDIA
1. Workshop / pelatihan.
497
17. Kuliah .
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Toraks termasuk
tatalaksana nyeri.
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest
terdiri atas :
498
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
(terlampir)
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pretest :
32. Jelaskan persiapan praoperatif pasien bedah toraks, meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisis dan penunjang yang tepat serta terapi yang diperlukan sebelum pembedahan.
499
33. Jelaskan hubungan antara hasil spirometri dengan risiko bedah toraks.
34. Jelaskan kondisi-kondisi yang dapat menjadi penyulit selama anestesia dan
pembedahan toraks.
35. Jelaskan kondisi pasien yang tidak layak untuk menjalani bedah toraks dan ventilasi
satu paru.
36. Jelaskan persiapan alat anestesia yang diperlukan untuk anestesia bedah toraks.
37. Jelaskan teknik anestesia untuk ventilasi satu paru.
38. Jelaskan pembagian anatomi rongga medastinum dan implikasinya pada anestesia.
39. Jelaskan teknik anestesia untuk massa mediastinum sesuai lokasi massanya.
40. Jelaskan tentang penyakit myasthenia gravis dan hubungannya dengan anestesia.
41. Jelaskan tentang sindroma vena cava superior dan teknik anestesia yang sesuai pada
pasien dengan kelainan ini.
42. Jelaskan monitoring yang sesuai untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan
teknik ventilasi satu paru.
43. Jelaskan pengelolaan pascaanestesia pasien bedah toraks,
44. Jelaskan tatalaksana nyeri pascabedah toraks.
Bentuk ujian :
- Ujian akhir stase/ rotasi post test tertulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :
1. KnowledgeKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
500
- Multiple observers
4.Professionalism
Tindakan / operasi :
PERSIAPAN PRAANESTESIA
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Anestesia
3 Anestesia intravena
501
6. Pengakhiran anestesia, masa siuman
7. Tindakan ekstubasi
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih
502
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Pasien yang menjalani bedah toraks harus dilakukan pemeriksaan praoperatif ; anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed consent dan dilakukan persiapan
503
anestesia (inhalasi, puasa, rencana premedikasi). Pasien dewasa dipuasakan 6 8 jam, anak-
anak 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisis ASA dan informed consent. Persiapan
anestesia (statics, obat, mesin anestesia). Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap,
pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia.
Pasang jalur intravena dan infus. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb
(SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, ETCO2 kalau ada. Premedikasi dapat diberikan
secara intravena. Untuk pasien yang tidak ada masalah obstruksi atau potensi obstruksi jalan
nafas, lakukan anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum. Untuk pasien yang perlu
vantilasi satu paru intubasi dilakukan dengan Double Lumen Tube (DLT). Teknik anestesia
sedikit berbeda pada massa mediastinum anterior, myasthenia gravis atau sindroma vena cava
superior.
Selama anestesia selalu dilakukan monitoring oksigenasi dengan saturasi Hb (SpO2), tekanan
darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infus, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi
urin, jumlah perdarahan. Setidaknya satu kali selama anestesia dilakukan pemeriksaan
Analisis Gas Darah. Atur kebutuhan cairan, obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan
relaksasi. Harus diingat bahwa tanpa perdarahan berarti pun, kehilangan cairan dapat hebat
ketika rongga toraks terbuka.
Pada akhir operasi, jika menggunakan DLT harus diganti dengan ETT biasa untuk tindakan
bronkoskopi dan penghisapan sekret. Sebelum anestesia berakhir pastikan analgesia
pascabedah telah dimulai. Anelgesia pascabedah dapat diberikan melalui kateter epidural,
blok saraf interkostal, infiltrasi anestetik lokal, bolus analgetik intravena, infusi kontinyu
analgetik (opioid atau morfin) maupun kombinasi beberapa hal tersebut.
Mortalitas dapat terjadi tergantung dari kondisi awal dan status fisis, penyakit penyerta atau
trauma operasi.
12. REFERENSI
Books/McGraw-Hill; 2002
504
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
(MODUL PILIHAN)
505
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid :
11. LCD Projector dan screen
12. Laptop
13. OHP
14. Flipchart
15. Video player
Sarana :
506
Kasus : anestesia pasien langsung , di kamar operasi
Alat bantu latih : model anatomi /simulator
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical
Books/McGraw-Hill; 2002
5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005
1. KOMPETENSI
Mampu melakukan persiapan praoperatif pasien dengan kelainan jantung dengan optimal
(termasuk informed consent), baik untuk bedah kardiak maupun nonkardiak, melakukan
pemantauan yang baik dan tepat, melakukan pemasangan dan interpretasi monitor invasif serta
penatalaksanaan pascaoperasi pasien bedah jantung, mampu berespon adekuat dalam kegawatan
kardiovaskular dan mampu menggunakan obat-obat kardiovaaskular dengan tepat.
RANAH KOMPETENSI
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :
Kognitif
507
5. Mampu menjelaskan berbagai penyakit jantung bawaan yang sering dijumpai
6. Mampu menjelaskan berbagai jenis operasi jantung, terbuka maupun tertutup
7. Mampu menjelaskan persiapan prabedah jantung dewasa
8. Mampu menjelaskan persiapan prabedah jantung anak
9. Mampu menjelaskan anesthesia pada penderita kelainan jantung pada pembedahan non
jantung.
10. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan koroner
11. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan katup jantung
12. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan penyakit jantung
bawaan
13. Mampu menjelaskan prinsip kerja dan komplikasi teknik Pintas Jantung-Paru
(Cardiopulmonary Bypass)
14. Mampu menjelaskan pemantauan hemodinamik yang diperlukan sebelum, selama dan
sesudah bedah jantung
15. Mampu menjelaskan prinsip perawatan pascabedah jantung
16. Mampu menjelaskan keadaan yang dimaksud dengan kedaruratan kardiovaskular
perioperatif
17. Mampu menjelaskan berbagai obat-obat kardiovaskular dan penggunaannya
Psikomotor
13. Mampu melakukan pemeriksaan praoperatif pasien untuk bedah jantung, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang yang tepat.
14. Mampu menilai kelayakan anestesia untuk bedah jantung dan bedah non jantung.
15. Mampu menentukan pasien yang berisiko tinggi untuk tindakan bedah jantung dan
bedah non jantung.
16. Mampu melakukan persiapan praoperatif bedah jantung dan bedah non jantung,
termasuk menentukan puasa dan premedikasi, dengan pengawasan dan persetujuan
konsulen .
17. Mampu mempersiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk anestesia
bedah jantung dan bedah non jantung, atas persetujuan konsulen.
18. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia bedah jantung dan
bedah non jantung, dengan pengawasan ketat konsulen.
19. Mampu melakukan pemasangan monitor invasif, seperti pemasangan kateter vena
sentral (CVC) dan kanul arteri untuk pemantauan tekanan darah arterial, di bawah
supervisi konsulen.
20. Mampu melakukan pengelolaan pascabedah pasien bedah jantung dan bedah non
jantung, dengan supervisi ketat konsulen.
21. Mampu mengenali tanda-tanda komplikasi yang dapat timbul pascaoperasi jantung.
22. Mampu melakukan tindakan penyelamatan nyawa, termasuk RJP pada kegawatan
kardiovaskular sebelum, selama dan sesudah operasi bedah jantung dan bedah non
jantung.
23. Mampu menggunakan obat-obat kardiovaskular dengan tepat indikasi, tepat dosis dan
tepat cara pemberian.
508
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
6. Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang kondisi prabedah pasien,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien
bedah jantung dan bedah non jantung.
7. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang garis besar tindakan
pembedahan dan penggunaan teknik CPB beserta risiko dan komplikasinya.
8. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya
optimalisasi kondisi pasien.
9. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi, terutama
untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
10. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama
tim yang terlibat di kamar bedah.
Profesionalisme
2. KEYNOTES :
10. Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya.
11. Anestesia pada bedah jantung dan bedah non jantung juga sangat bervariasi, bergantung
pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan dijalani.
12. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
13. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
14. Pemantauan hemodinamik secara kontinyu adalah krusial.
15. Komplikasi pascabedah jantung dan bedah non jantung menyangkut semua sistem dan
organ tubuh.
3. GAMBARAN UMUM
509
Bedah jantung adalah kerja tim yang memerlukan keterlibatan penuh ahli bedah,
anestesiologis, perfusionis dan tenaga medis lain. Prosedur anestesia untuk bedah jantung
dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan jantung sangat bervariasi,
bergantung diagnosis, kondisi klinis dan jenis pembedahannya. Penatalaksanaan
anestesia bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan jantung
adalah penatalaksanaan perioperatif. Seorang anestesiologis yang akan melakukan
anestesia bedah jantung dan bedah non jantung harus terlibat sejak prabedah, selama
pembedahan maupun pascabedah. Pada pasien dengan kelainan jantung, kedaruratan
dapat terjadi setiap saat. Oleh karena itu seorang anestesiologis harus menguasai benar
RJP dan obat-obat kardiovaskular.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:
5. menilai kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non jantung pada
pasien dengan kelainan jantung
6. melaksanakan penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung, di bawah supervisi konsulen (Konsultan
Anestesia Kardiovaskular)
7. memberi penjelasan yang adekuat kepada pasien atau keluarga pasien tentang hal-hal
yang berhubungan dengan pembedahan, menyangkut risiko dan kemungkinan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik pembedahannya
sendiri
8. melakukan pemasangan dan interpretasi monitoring untuk bedah jantung, invasif
maupun tidak
9. melakukan pengelolaan pascabedah jantung
10. mendeteksi dan melakukan tindakan penyelamatan dengan cepat dan tepat pada
kegawatan kardiovaskular
11. menggunakan obat-obat kardiovaskular secara tepat
5. METODE PEMBELAJARAN
510
Tujuan 1 : Menentukan kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung
Metode pembelajaran
Small group discussion
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Demo & Coaching
Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
7. Menguasai klasifikasi NYHA.
8. Memahami bahwa kondisi yang optimal bagi pasien dengan kelainan jantung dapat
sangat individual.
9. Memahami bahwa kondisi tertentu mungkin tidak dapat mentoleransi anestesia,
pembedahan atau digunakannya teknik CPB.
10. Menguasai batas nilai-nilai berbagai parameter yang dapat mentoleransi bedah jantung.
11. Menguasai persyaratan penghentian beberapa medikamentosa prabedah atau konversi
obat perioperatif.
Tujuan 2: Melaksanakan persiapan praoperatif bedah jantung dan bedah non jantung
pada pasien dengan kelainan jantung
Metode pembelajaran
Small group discussion
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Memahami bahwa operasi jantung adalah tindakan berisiko tinggi terhadap pasien yang
juga berisiko tinggi dan dapat meningkat oleh karena faktor-faktor tambahan, seperti
kebiasaan/gaya hidup, usia, kelainan endokrin, kelainan ginjal dlll.
2. Menguasai teknik anamnesis yang sesuai untuk kelainan jantung yang bertujuan
mengetahui beratnya penyakit, faktor risiko dan penyulit lain.
3. Memahami interpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
4. Menguasai persiapan prabedah jantung, termasuk pemeriksaan tambahan yang
diperlukan, pemberian premedikasi dan penentuan puasa, penghentian obat-obat oral
prabedah.
511
Tujuan 3: Menguasai teknik memberikan penjelasan yang adekuat tentang risiko dan
kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik
pembedahannya sendiri
Metode pembelajaran
Small group discussion
Studi Kasus
Bedside teaching
Praktik klinik
Memberi penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimilikI pasien yang dapat menjadi
penyulit anestesia maupun keseluruhan prosedur pembedahan, dalam bahasa yang
difahami pasien.
Memberi penjelasan kepada sejawat yang merawat pasien tentang penatalaksanaan prabedah
yang diperlukan.
Memberi penjelasan kepada tim bedah tentang risiko maupun penyulit pada pasien dan
mendiskusikan cara-cara untuk mengurangi komplikasi yang dapat timbul.
Metode pembelajaran
Small group discussion
Studi Kasus
Bedside teaching
Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan
512
Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Menguasai operasional semua alat monitor yang ada. Monitor standar untuk bedah
jantung memiliki minimal 8 channels (EKG 2 leads, 2 invasive pressure, SpO2, suhu,
ETCO2, RR/ NIBP).
2. Mempersiapkan peralatan untuk pemantauan kontinyu, termasuk pemasangan transducer
line. Pressure bag diatur hingga tekanan 300 mmHg dan cairan transducer adalah
kristaloid berisi 500-1000 IU heparin per 500 cc.
3. Mempersiapkan perlatan untuk insersi pemantauan invasif. Ukuran CVC dan kanul arteri
disesuaikan dengan umur dan berat badan pasien. CVC minimal 2 lumen, satu untuk
pemantauan kontinyu dan satu lumen untuk jalur obat infusi.
4. Menguasai teknik insersi kateter vena sentral (CVC) dan kanula arteri, di bawah
pembiusan maupun anestetik lokal. Insersi CVC dianjurkan melalui v. jugularis atau vena
subklavia. Insersi kanula arteri dapat melalui a. radialis, a. brakhialis atau a. femoralis.
5. Menguasai proses kalibrasi pemantauan invasif.
6. Melakukan pemantauan noninvasif (suhu inti tubuh, produksi urin, SpO2) harus
dilakukan secara kontinyu. Penggunaan CPB dan kardioplegia memerlukan hipotermia.
Suhu ruangan yang dapat diatur adalah krusial. Pada periode rewarming suhu pasien
pun ditingkatkan bertahap. Penggunaan blanket roll/ heater-cooler balnket juga
keharusan.
7. Menguasai interpretasi hasil pemantauan kontinyu dan berespon cepat terhadap
perubahan nilai parameter yang mengancam nyawa.
8. Setiap bentuk aritmia harus diwaspadai. Aritmia yang mengancam nyawa harus diatasi,
dengan defibrilasi/ kardioversi; baik internal (ketika rongga toraks terbuka) maupun
eksternal (ketika toraks intak); atau dengan medikamentosa.
Tujuan 5: Melakukan pengelolaan pascabedah jantung dan bedah non jantung pada
pasien dengan kelainan jantung
Metode pembelajaran
513
2. Komplikasi pascabedah dapat berupa perdarahan, aritmia, low cardiac output syndrome,
stroke, sepsis atau gagal multiorgan. Kemampuan mendeteksi dini semua hal tersebut
harus dimiliki semua peserta didik.
3. Semua peserta didik harus mampu mengenali tanda-tanda tamponade jantung dan krisis
hipertensi pulmonal, sehingga dapat berespon segera.
4. Nyeri dapat menyebabkan peningkatan tonus simpatis yang dapat memicu komplikasi
hemodinamik pascabedah. Tatalaksana nyeri pascabedah dapat dilakukan dengan infus
kontinyu opioid atau morfin atau blok epidural torakal.
5. Nyeri juga dapat menghambat imobilisasi pasien. Inhalasi, fisioterapi dada dan
penghisapan lendir harus sering dilakukan.
6. MEDIA
6.
Kardiovaskular.
514
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk esai dan
18. kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien
dengan kelainan jantung
19. penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien
dengan kelainan jantung
20. risiko dan kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun
teknik pembedahan jantung
21. monitoring invasif maupun noninvasif untuk bedah jantung
22. pengelolaan pascabedah jantung dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan
jantung
23. kedaruratan kardiovaskular
24. obat-obat kardiovaskular
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
515
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
(terlampir)
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pretest :
Bentuk ujian :
516
- Ujian akhir stase/ rotasi post test tertulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :
1. KnowledgeKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
Tindakan / operasi :
PERSIAPAN PRAANESTESIA
2 Penentuan NYHA
517
5 Interpretasi hasil monitor
ANESTESIA
2 Insersi CVC
518
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih
519
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya. Anestesia pada bedah
jantung sangat bervariasi, bergantung pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan
dijalani. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
anestesia. Fungsi pernafasan yang buruk sebaiknya diterapi dulu dengan inhalasi, fisioterapi,
terapi oksigen dan bila perlu antibiotika.
Pasien yang mendapat antidiabetika oral harus dikonversi dengan insulin, setidaknya 24 jam
sebelum pembedahan. Diuretika sebaiknya dihentikan. Antihipertensi dapat diteruskan hingga
pagi sebelum operasi. Demikian pula obat antiaritmia. Obat-obat antikoagulan oral harus sudah
dihentikan 1 minggu sebelum pembedahan. Jika pasien mempunyai risiko trombosis dapat
diberikan heparin. Pemberian heparin dihentikan 6 jam prabedah.
520
Informed consent adalah mutlak. Pasien dan keluarganya harus mengerti benar prosedur
anestesia dan pembedahan yang akan dijalani, risiko yang dimiliki pasien dan kemungkinan
komplikasi yang mungkin terjadi. Premedikasi disesuaikan. Pada pasien dengan kondisi yang
sangat buruk tidak perlu diberikan premedikasi. Penentuan puasa sama dengan operasi yang lain.
Pemantauan tanda-tanda vital harus segera dilakukan begitu pasien tiba dalam kamar bedah.
EKG, SpO2, NIBP segera dipasang. Dalam bedah jantung diperlukan pemantauan hemodinamik
invasif dan kontinyu. Insersi kateter vena sentral (CVC) dan kanula arteri dapat dilakukan
sebelum induksi, terutama pada pasien dengan kondisi yang buruk. Pemasangan CVC dan kanula
arteri pada anak-anak dilakukan setelah induksi dan intubasi.
CVC juga sangat berguna untuk jalur pemberian obat-obatan. Seringkali sejak awal diperlukan
pemberian inotropik untuk menjaga hemodinamik pasien. Obat-obat lain, seperti antiperdarahan,
antiinflamasi dll diberikan sebelum CPB dimulai.
Induksi pada bedah jantung dapat dilakukan dengan berbagai obat, namun dianjurkan dengan
dosis titrasi. Patut dihindari obat-obat yang sangat mendepresi fungsi kardiovaskular. Analgesia
yang baik adalah krusial, karena itu digunakan analgetik yang kuat (opioid). Pelumpuh otot
disesuaikan dengan efeknya pada hemodinamik dan lama kerjanya.
Komplikasi pascabedah jantung dapat sangat luas, bukan hanya menyangkut sistem
kardiovaskular namun juga semua sistem dan organ tubuh. Perawatan intensif pascabedah
bertujuan untuk stabilisasi hemodinamik. Pemantauan ketat dan kontinyu harus dilakukan untuk
semua sistem dan organ. Deteksi dini keadaan yang dapat membahayakan nyawa diikuti dengan
respon yang cepat.
12. REFERENSI
Books/McGraw-Hill; 2002
5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005
521
Modul 27 ANESTESI BEDAH DARURAT
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
522
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS Jiwa
5. Ruang Pulih
6. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang Bedah Emergensi
Referensi :
1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Emergency Surgery. New York: Churchill
Livingstone; 1987.
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi untuk bedah darurat.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:
Kognitif
2. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di kamar operasi
bedah darurat.
3. Memahami persiapan anestesi untuk operasi bedah darurat
4. Memahami teknik anestesi untuk operasi bedah darurat baik anestesi umum atau
anestesi regional.
5. Memahami komplikasi anestesi untuk operasi bedah darurat
6. Memahami kasus-kasus yang dilakukan operasi bedah darurat.
Psikomotor
1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi operasi bedah
darurat
2. Mampu melakukan persiapan pemberian anestesi untuk operasi bedah darurat
3. Mampu memberikan anestesi untuk bedah darurat baik anestesi umum atau anestesi
regional.
4. Mampu mengatasi komplikasi anestesi untuk operasi bedah darurat
523
Mampu melakukan Komunikasi
Professionalisme
KEYNOTES:
1. Operasi emergensi dapat mengenai semua kelompok umur pasien dan semua
kelompok satus fisik.
2. Tidak cukup waktu untuk mengevaluasi dan mempersiapkan pasien.
3. Lambung penuh yang memperbesar resiko terjadinya aspirasi pneumonia
4. Dapat disertai intoksikasi obat atau alkohol
5. Adanya hipoksia dan hiperkarbia prabedah
6. Adanya kemungkinan ketidak stabilan hemodinamik prabedah
7. Adanya kemungkinan cedera multiple.
8. Bedah darurarat dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi regional.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien pembedahan gawat darurat maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di kamar operasi
bedah darurat, memahami persiapan anestesi untuk operasi bedah darurat, memahami teknik
anestesi untuk operasi bedah darurat, memahami komplikasi anestesi untuk operasi bedah
darurat, memahami kasus-kasus yang dilakukan operasi bedah darurat.
524
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu melakukan persiapan obat dan
alat untuk melakukan anestesi operasi bedah darurat, mampu melakukan persiapan pemberian
anestesi untuk operasi bedah darurat, mampu memberikan anestesi untuk bedah darurat, mampu
mengatasi komplikasi anestesi untuk operasi bedah darurat.
METODE PEMBELAJARAN
MEDIA
5. Papan tulis
6. Komputer
7. LCD dan slide projector
8. Pasien di ruang diagnostik dan ECT
5. Virtual patients
6. Reading assigment
7. Audiovisual
8. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
5. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
525
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
Minicheck
6. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
8. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pretest
Bentuk ujian :
526
- Ujian akhir rotasi (post test tulis dan ujian pasien)
- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)
4. Kognitif
a. EMQ (Extended Medical Question)
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e. Minicheck
5. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
6. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
Tindakan / operasi :
2 Teknik induksi
527
10 Pemberian analgetik pascabedah
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
528
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Pendahuluan:
Rentang pasien yang memerlukan anestesi untuk operasi bedah atau obstetri
529
emergensi mengenai semua kelompok umur dan berbagai status fisisk. Sejumlah
masalah terdapat dalam setting emergensi yang memerlukan pertimbangan khusus
bila dilakukan anestesi untuk pasien-pasien ini. Tidak adekuatnya waktu untuk
melakukan evaluasi prabedah dan mengoptimalkan masalah medik prabedah.
Kekurangan pengendalian masalah medik prabedah merupakan faktor utama untuk
tingginya mortalitas pada operasi emergensi dibandingkan dengan operasi terencana.
Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat pengosongan
lambung umumnya terdapat pada situasi emergensi seperti nyeri, sedasi, cemas, syok,
persalinan. Problem medis lain yang memperlambat pengosongan lambung adalah
diabetes, obesitas, hiatal hernia, dan baru dilakukan dialisa.
Masalah lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi obat atau alkohol.
Hipoksia sering terjadi pada pasien dengan kecelakaan lalu lintas, dan penyebab
hipoksia adalah cedera jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi
paru, cedera kepala, cedera medulla spinalis, luka bakar pada saluran nafas dan
smoke inhalasi, sepsis, overload cairan, emboli paru. Pasien mungkin mengalami
instabilitas hemodinamik, atau cedera di berbagai tempat (multiple injury).
Persiapan:
Kesiapsiagaan untuk operasi emergensi adalah persiapan kamar bedah dan alat-alat
anestesi yang siap pakai misalnya:
1) mesin anestesi yang telah disiapkan, 2) alat-alat untuk ventilasi, oksigensi,
intubasi, dan suction, 3) alat monitor, 4) set untuk infus dan transfusi, 5) pompa untuk
pemberian darah dan penghangat darah, 6) selimut pemanas, 7) label untuk obat dan
8) defibrilator.
Penilaian Pasien:
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebeleum pembedahan dan kadang-kadang saat
pasien didorong kemeja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip triage yaitu
Airway control and cervical spine control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan
stabilitas hemodinamik termasuk pengendalian aritmia jantung dan perdarahan,
evaluasi problem medis dan cedera lain, lakukan observasi dan monitoring terus
menerus. Anamnesa tentang penyakit yang menyertai, riwayat alergi, komplikasi
yang terjadi bila telah mengalami anestesi dan tranfusi, obat yang dmakan, riwayat
pengalam keluarga yang telah mengalami pembedahan/anestesi, makan-minum
terakhir.
Persiapan Pasien:
Perbaikan kondisi pasien dilakukan semampu mungkin karena kita berkejaran dengan
waktu bahwa pasien harus segera dilakukan tindakan pembedahan. Persiapan ini,
yang walaupun hanya tersedia waktu yang singkat, misalnya pembedahan darurat
untuk bedah sesar, harus dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Keadaan ini terutama untuk pasien dengan gagal jantung, penyakit jantung iskemik,
dan gagal ginjal.
Premedikasi:
Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan karena tidak
530
adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi, premedikasi tetap
diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi tidak betul-betul emergensi, dan pasien
memerlukan dukungan psikologis. Hal ini sering terlupakan oleh personail yang
bekerja di kamar bedah emergensi. Dokter anestesi dapat memberikan keterangan
kepada pasien dengan hati-hati, pelahan dan tenang kenapa dan bagaimana proses
anestesi akan dilakukan.
Pemberian obat untuk menaikkan pH gaster, menurunkan volume gaster,
meningkatkan tonus sphincter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi cairan gaster. Obat yang diberikan
antara lain antasid, anticholinergik, H2 reseptor antagonis, dan metoclopramid. Obat
tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu, tapi tidak 100% efektif, jadi
tetap diperlukan tindakan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi selama induksi
anestesi.
Obat Keuntungan Kerugian
Antasid pH gaster meningkat Volume gaster meningkat
Beberapa jenis partikulate
menyebabkan sekuele pulmonal bila
teraspirasi
Antikholinergik Mungkin meningkatkan pH Menurunkan tonus shincter
gaster gastroeosophageal
Memperlambat pengosongan lambung
H2-reseptor Menurunkan produksi cairan Tidak mempengaruhi volume atau pH
blocker lambung : menurunkan isi gaster
volume gaster, meningkatkan
Efeknya baru ada bila diberikan 60-90
pH gaster.
menit bila diberikan peroral atau IM.
Tidak menurunkan tonus
Cimetidin dapat menyebabkan aritmia
sphincter gastrooesofageal
jantung bila diberikan intravena.
Dapat menimbulkan bronkhopasme
pada pasien asthma
Metoclopramid Menurunkan volume gaster Tidak meningkatkan pH gaster
Meningkatkan tonus Dapat menimbulkan sedasi dan gejala
sphincter gastroosophageal. ekstrapiramidal.
Operasi emergensi untuk bedah saraf adalah untuk memindahkan space occupying
lesion dalam rangka untuk menghilangkan tekanan pada otak atau medulla spinalis.
Penting untuk diingat bahwa pasien dengan lesi massa intrakranial melebihi 100 ml
beresiko untuk terjadi hipertensi intrakranial bila mengalami stres. Sasaran dokter
anestesi adalah mencegah terjadinya stress yang mempresipitasi atau memperburuk
hipertensi intrakranial.
Kondisi yang memerukan opearsi emergensi mata adalah glaukoma malignan, ablasi
retina, trauma, dan transplantasi kornea.
531
Trauma pada muka dapat berupa kombinasi dari kontusio jaringan lunak,laserasi,
fraktur maksilofasial, dan kerusakan gigi. Bergantung pada penyebab trauma,
mungkin dihubungkan dengan terjadinya trauma pada mata, laringotrakheal, atau
serebrospinal. Disebabkan karena > 50% semua trauma maksilofasial akibat
kecelakaan lalau lintas, maka dapat juga diserta dengan trauma dada, abdomen,
tulang panjang sehngga pertimbangan umumnya adalah pemeliharaan jalan nafas
yang adekuat, pengendalian perdarahan, dan lambung penuh. Operasi emergensi
akibat tonsil bleeding memerlukan perhatian pada masih adanya efek anestesi,
hipovolemia akibat perdarahan, dan lambung penuh darah yang tertelan sehingga ada
bahaya aspirasi saat induksi anestesi.
Referensi:
1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Emergency Surgery. New York: Churchill
Livingstone; 1987.
532
MODUL 28 ANESTESIA BEDEAH
INVASIF MINIMAL
Persiapan Sesi
Audiovisual
26. Laptop
27. OHP
28. Flipchart
29. Video pkayer
533
Materi prsentasi :
CD Powerr Point
Sarana
1. Ruang Belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruanfg Pulih
4. Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien di ruang Bedah Digesttif dan Kebidanan
Referensi :
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan tatalaksana perioperatif operasi invasif
minimal (selanjutnya disingkat dengan OIM) atau operasi laparoskopi (selanjutnya disingkat OL) yang
meliputi; evaluasi dan persiapan preoperatif dengan baik dan cermat, melakukan pengelolaan anestesia
secara benar dan aman sehingga menghasilkan trias anestesia yang optimal, melakukan pengelolaan
reanimasi yang adekuat selama prosedur berlangsung, melakukan monitoring, melakukan prosedur
pemulihan anestesia yang aman dan mulus serta melakukan tatalaksana pasca anestesia/operasi yang
rasional.
534
Kognitif
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menjelaskan Langkah-langkah
evaluasi preoperatif yang meliputi; anamnesis, pemeriksaaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
konsultasi untuk menentukan status fisik ASA preoperatif pasien OIM atau OL.
1. Penyakit sistemik lain yang diderita pasien yang dapat mempengaruhi jalannya anestesia
untuk OIM atau OL.
2. Deskripsi prosedur OIM atau OL, elemen esensial, bahaya dan pertimbangan keamanan
pasien yang akan dilakukan OIM atau OL.
3. Persiapan preoperatif yang harus dilaksanakan baik persiapan rutin maupun persiapan
khusus; di rumah (pada pasien rawat jalan), di bangsal/ruang perawatan, di kamar persiapan IBS dan
di kamar operasi.
4. Rencana anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL
5. Monitoring dan penyulit yang dapat terjadi selama OIM atau OL.
6. Perubahan fisiologi akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi Trendelenburg, anti-
Trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk OIM atau OL.
7. Cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
8. Pemantauan, beberapa penyulit yang dapat terjadi dan penatalaksanaannya pasca OIM atau
OL.
9. Rekam medik perioperatif pasien OIM atau OL.
Psikomotor
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
535
8. Mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
9. Melakukan pemantauan, mendiagnosis penyulit-penyulit yang dapat terjadi dan melakukan
penatalaksanaannya pasca OIM atau OL.
10. Membuat rekam medik perioperatif OIM atau OL.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan berkomunikasi /hubungan
interpersonal, untuk :
1. Menjelaskan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien preoperatif, tindakan
anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan dan risiko yang dapat timbul selama OIM atau OL.
2. Menjelaskan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan
pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk mencegah
terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim yang
terlibat di kamar bedah.
5. Memperoleh dan atau memberikan kemudahan kepada pasien untuk dirawat di ICU atau ruang
lain sesuai kondisi pasien pasca bedah.
Profesionalisme
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Key notes :
536
2. Pada pasien yang tidak baik(uncompromised patients), gangguan kardiorespiratori memperbesar
kenaikan PaCO2 dan memperbesar gradien antara PaCO2 dan PETCO2.
3. Kenaikan PETCO2 lebih dari 25 % dan / atau terjadi lebih dari 30 menit setelah memulai insuflasi
CO2 ke dalam peritonioum akan memberi kesan emfisema subkutan, komplikasi yang paling
saering selama laparaskopiu.
4. Insuflasi peritonium menyebabkan ganguan hemidinamik yang karakteristik berupa curah jantung
turun, tekanan nadi naik dan peningkatan resistensi pembuyluhg darah sistemik dan pulmoner.
5. Perubahan patofisiologi hemodinamik dapat dikurangi atau dicegah dengan optimasi preload
sebelum pneumoperitonium, obat vasodilator, antagoinis 2- reseptor adrenergik, opioid dosis
besar, dan obat bloker.
6. Perubahan patofisiologik yang sama terjadi selama kehamilan dan pada anak-anak. Laparaskopi
dapat dilaksanakan dengan aman pada kehamilan sebelum minggu ke 23, asal saja hindari
hiperkarbia. Laparaskopi terbnuka sebaiknya dipertimbangkan untuk menghindarkan kerusakan
uterus.
7. Lap[arkopi dengan sedikit gas dapat menolong mengurangi perubahan patofisiologi yang
dicetuiskna oleh pneumoperitonium CO2 tetapi sayang sekali akan menambah kesulitan teknik
operasi.
8. Laparkopi menghasilkan berbagai keuntungan pasca bedah seperti pemulihan cepat dan
mempersingkat perawatan rumah sakit. Keuntungan bertambah dengan meningkatnya keberhasilan
laparskopi yang untuk banyak prosedur pembedfahan.
9. Walaupun tidak ada teknik anestesia yang superior secara klinis dari yang lain, anestesia umum
dengan napoas kendali nampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi laparaskopi.
10. Peningkatan ilmu sebagai konsequensi laparaskopi intraoperatif, memungkinkan manajem yang
aman untuk pasien dengan penyakit kardiorespiratori yang makin berat, yang dapat menghasilkan
benefit berikutnya dari keuntungan pasca bedah yang ditawarkan oleh teknik ini
537
2 Pengelolaan perioperatif 2.1. Evaluasi praanestesia/bedah
OIM atau OL
Target
Gambaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien bedah digestif dan bedah obstetri
ginekologi untuk operasi laparaskopi.
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang pneumopertoneum dan posisi
pasien untuk laparaskopi yang dapat mencetuskan perubahan patofisilogi yang dapat mempersulit
tindakan anestesia. Lama tindakan untuk beberapa operasi laparaskopi, risiko cedera visera yang tak
terduga, dan kesulitan melakukan evaluasi perdarahan menjadi faktor yang penyebab bahwa anestesia
untuk laparkopi merupakan prosedur dengan risiko tinggi. Pengertian patofisiologi peningkatan tekanan
intra-abdominal sangat penting untuk seorang anestesiologis yang seharusnya dihindarkan; atau bila
tidak m ungkin perubhan ini harus dapat dievaluasi dan pasien disiapkan dengan baik.
Metode Pembelajaran
538
feedbacks.
Internet
539
Evaluasi
Multiple observers
Logbook
Multiple observers
Multiple observers
540
Waktu : 50 menit
Skenario Kasus
Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-munah dan nyeri waktu berjalan. Dokter Bedah Umum di Poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke Divisi Bedah Digestif untuk pertimbangan operasi dengan
teknik OIM atau OL.
Tugas :
1. Jelaskan secara singkat apa yang mendasari Dokter Bedah Umum untuk mempertimbangkan
prosedur OIM atau OL untuk penderita ini.
2. Uraikan secara singkat elemen asensial yang dibutuhkan untuk prosedur OIM pada apendektomi
3. Menurut analisis saudara apa saja kemungkinan penyulit atau bahaya OIM atau OL pada
apendektomi.
4. Jelaskan upaya-upaya untuk mengamankan pasien dari sudut pandang prosedur OIM atau OL
pada apendektomi
Penilaian Mandiri :
1. Jelaskan secara singkat deskripsi/terminologi yang berkaitan dengan OIM atau OL dan latar
belakang perkembangan OIM
2. Uraikan secara singkat 8 (delapan) elemen esensial untuk OIM atau OL .
3. Uraikan secara singkat 3 (tiga) bahaya potensial pada saat puncture endoscopy.
4. Jelaskan beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan untuk keamanan dan keselamatan pasien
OIM atau OL.
Referensi :
541
Endoscopic Surgery di dalam buku Berry & Kohns; Operating Room Technique edisi 10. 2004. hal 622
634.
Waktu : 3 x 50 menit
Skenario Kasus
Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-munah dan nyeri waktu berjalan. Dokter Bedah Umum di Poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke Divisi Bedah Digestif untuk pertimbangan operasi dengan
teknik OIM atau OL. Divisi Bedah Digestif sepakat untuk melakukan prosedur OIM atau OL untuk
apendektomi berencana.
Tugas :
1. Jelaskan langkah-langkah evaluasi preanestesia yang perlu dilakukan untuk menilai kebugaran
pasien preanestesia OIM atau OL untuk apendektomi berencana
2. Jelaskan persiapan preanestesi yang harus dilakukan pada prosedur OIM atau OL untuk
apendektomi berencana
3. Uraikan secara singkat tatalaksana pengelolaan anestesia dan reanimasi untuk prosedur OIM
atau OL untuk apendektomi berencana
4. Uraikan secara singkat tatalaksana pengelolan pasca anestessia/bedah OIM atau OL untuk
apendektomi berencana.
542
Penilaian Mandiri.
5. Jelaskan kelainan atau penyakit lain yang diderita pasien preoperatif yang akan mempengaruhi
jalannya anestesia untuk prosedur OIM atau OL
6. Jelaskan rencana langkah-langkah evaluasi yang diperlukan untuk memastikan adanya kelainan
atau penyakit lain yang dideritanya.
7. Jelaskan langkah-langkah persiapan praanestesi yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko
perioperatif.
8. Jelaskan rencana anestesia umum yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL, mulai dari
premedikasi, induksi, pemeliharaan trias anestesia dan pemulihannya..
9. Jelaskan langkah-langkah reanimasi (usaha untuk mempertahankan hidup) yang harus dilakukan
untuk mengantisipasi bahaya OIM dan risiko akibat anestesia yang diberikan.
10. Jelaskan pemantauan dasar intraoperatif pada prosedur OIM atau OL.
11. Jelaskan perubahan fisiologi akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi Trendelenburg, anti-
Trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk prosedur OIM atau
OL
12. Jelaskan cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 pada prosedur OIM atau
OL
13. Jelaskan penatalaksanaan pasca OIM atau OL di ruang pulih dan selanjutnya baik untuk pasien
tanpa mondok, dirawat di bangsal atau di ICU termasuk penanggulangan nyeri, terapi cairan dll sesuai
dengan indikasi
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia
543
1 Anamnesis
2 Pemeriksaan fisik
3 Pemeriksaan penunjang
4 Konsultasi
1 Informed consent
544
Catatan : Sudah / Beluim dikerjakan beri tanda V
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
545
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
Materi Acuan
Tanpa memperhatikan indikasi kontra bedah, indikasi kontra mutlak laparkopi dan pneumoperitoneum
jarang terjadi. Pneumoperitoneum tidak diinginkan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial
546
(misalnya tumor, hidrosefalus, cedera kepala), hipovolemia, pintas ventrikular peritoneal dan pintas
peritoneojugular. Walaupun demikian pneumoperiteum dapat dilakukan dengan aman pada pasien
dengan pintas-pintas tersebut, pintas dijepit dulu (clamped) sebelum insuflasi peritoneal.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi karena perubahan hemodinamik
dipacu oleh pneuperitoneum dan posisi pasien terutamna pasien dengan ganguan ventrikel.(Tabel 1)
Pasien dengan penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup lebih condong memberikan
komplikasi dari pada pasien dengan penyakit jantung iskemia selama laparskopi. Mengecilkan gas untuk
laparskopi dikalukan sebagai alternatif.
______________________________________________________________
Pemantauan intraoperatif
Ekhokardiografi transesofagus ?
Laparatomi ?
Manajemen intraopertatif
Insuflasi lambat
(augmentasi preload)
547
Perawatan pasca bedah
_______________________________________________________________
Pasien penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup terminal akan cenderung mengfalami
komplikasi jantung dari pada pasien dengan penyakit jantu ng iskhemik selama laparaskopi. Jika
laparaskopi lebih berbahaya dari pada laparatomi, pada pasien-pasien yang belum dipelajari dengan
seksama, selayaknya pertimbangan dilakukan dengan hati-hati. Untuk pasien-pasien ini benefit pasca
bedah laparaskopi harus dibandingkan dengan risiko intraoperatif (Tabel 2). Laparaskopi dengan sedikit
gas mungkin menjadi alternatif untuk pasien ini.
Faktor-faktor intraoperatif
++
Perubahan Ventilasi +
++
Elevasi diafragma +
++
Peningkatan tekanan intratoraks 0
++
Absorpsi CO2 0
++
Napas kendali (ventilasi min) +
++
Posisi pasien +
=
Ketubutuhan anestesia =
++
Respon endokrin ++
+
Trauma bedah ++
548
Faktor-faktor pasca bedah +
Disfungsi paru ++ +
Pemulihan ++ +
Puasa ++ ++
Mual, muntah + +
Mortalitas + (+)
Morbiditas +
Karena dampak samping peningkat TIA terhadap fungsi ginjal, untuk pasien dengan gagal ginjal
memerlukan optimasi hemodinamik selama pneumoperitoneum dan hindarkan bersama pengunaan obat
nefrotoksik.
Pasien dengan penyakit respirasi, laparskopi nampaknya lebih baik daripada laparatomi karena
penurunan disfungsi respirasi pasca bedah. Efek positif ini menjadi counterbalance risiko pneumotoraks
selama pneumoperitneum dan risiko pertukaran gas yang inadekuat dari Va/Q mismatching.
Stasis vena vena tungkai selama laparaskopi dapat mencegah trombosis vena dalam (deep vein
thrombosis) sebaiknya dipertimbangkan sebelum pembedahan.
Premedikasi sebaiknya disesuaikan dengan lama tindakan laparaskopi yang menginginkan cepat pulih.
Pemakaian NSAID dapat menolong mengatasi nyeri pasca bedah. Klondin atau deksmedetomidin pra
bedah mengurangi respon stres intraoperatif dan memperbaiki ke stabilisasi hemodin amik.
549
Posisi dan pemantauan untuk laparaskopi
Pasien harus diletakkan pada posisi menghindari cedera saraf; ganjal (padding) sebaiknya melindungi
tekanan pada saraf dan penahan bahu, jika perlu ditempatkan diatas prosesus korakoid. Kemiringan
pasien keatas tidak melebihi 15 20 derajat. Kemiring dilakukan harus dilakukan perlahan untuk
mencegah perubahan hemodinamik dan respirasi yang cepat. Perubahan posisi harus diikuti dengan
pengontrolan pipa endotrakea. Induksi dan pengeluaran pneumoperitoneum dilakukan dengan mulus.
Ventilasi dengan sungkup muka sebelum intubasi dapat mengisi udara lambung yang harus diaspirasi
sebelum operator memasang trokar untuk mencegah perforasi lambung terutama pada laparaskopi
suprmesokolik. Kendung kencinjg dikorongkan sebelum prosedur laparaskopi.
Selama anestesia dan prosedur laparaskopi, tekanan darah, lakju jantung, EKG, kapnograf, oksimketer
pulsa harus dipantau kontinu. Walapun tingkat pemantyauan ini bermanfaat untuk endeteksi aritmia
jantung, emboli, emfisma cO2 subkutan dan pneumotoraks, tetapi hanya menunjukkan perubahan indirek
hemodinamik yang dicetuskan oleh pneuperitoneum. Pemantauan hemodinamik invasif lain masih
diperlukan pada pasien penyakit jantung, pasien dengan peningkatan pasien dengan peningkatan tekanan
intratoraks, peningkatan tekanan intratoraks yang diukur melalui pengiukuran CVP, Ekhokardiografi
transesofagus mungkin lebih membantu untuk pasien jantung berat. PETCO dan SpO2 memberikan
refleksi yang lebih di dipercaya PaCO2 dan SaO2 . Walapun a - ETCO2 (gradien antara PaCO2 dan
end tidal karbon dioksida) bervariasi dari pasien ke pasien dan pada pasien yang sama selama tindakan
laparaskopi. PETCO2 harus dipantau dengan hati-hati untuk menghindari hiperkapnia dan mendeteksi
emboli gas. Gradien ini dapat bertambah pada pasien dengan penyakit jantung dan respirasi. Kanulasi
arteri radialis dapat menolong mengukur langsung Pa CO2.
Teknik anestesia
Anestesia, anestesi lokal dan anestesi regional dapat dipergunakan dengan aman untuk laparaskopi
dengan kondisi yang sesuai.
Anestesi umum
Anestesi umum dengan intubasi endotrake dan napas kendali merupakan teknik yang paling aman,
kartena itu direkomendasikan untuk pasien rawat inap dan prosedur laparaskopi yang lama. Selama
pneumoperitoneum, napas kendali harus disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2 sekitar 35 mm
Hg. Menambah laju napas lebih baik dari pada meningkatkan volum tidal untuk pasien dengan PPOM
dan pasien dengan riwayat pneumotoraks spontan atau dengan bula efesema untuk mencegah
mengembungan alveoli dan mengurangi risiko pneumotoraks. Dianjurkan untuk memberikan obat
vasodilator seperti nikardipin, reseptor 2- adrenergik agonis seperti klonidin dan deksmedetomidin,
fentanil atau remifentanil untuk mengurangi hemodinamik reperkusi pneumoperitoneum dan
memfasilitasi menejemen pasien jantung. Belum terbukti keuntungannya untuk tidak mempergunakan
N2O; kontribusi N2 O sebagai penyebab mual dan muntah masih kontroversial. N2O bukan merupakan
550
indikasi kontra untuk laparaskopi kholesistektomi; menghentian penggunaan N2O dapat memperbaiki
kondisi bedah untuk operasi usus dan kolon. Pilihan anestetika tidak berperan penting untuk menentukan
output pasien.
TIA sebaiknya dipantau; usahakan serendah mungkin dan tidak lebih dari 20 mmHg untuk mengurangi
perubahan hemodinamik dan respirasi. Peningkatan tonus vagal selama laparaskopi dapat dicegah
dengan pemberian atropin.
LMA yang lebih sedikit memberikan komplikasi sakit menelan dianjurkan sebagai altertnatif intubasi
endotrakea, walapun tidak menjamin terhindar dari aspirasi isi lambung. Dengan LMA, napas kendali
dapat dilakukan dengan akurat dengan pemantauan PETCO2. Tetapi penurunan komplian
torakopulmonal selama pneumoperitneum sering mengakibatkan tekanan jalan napas bertambnah lebih
dari 20 cm H2O. Karena LMA tidak dapat menjamin sekitar sungkup, napas kendali hanya terbatas untuk
pasien yang sehat dan pasien kurus.
Anestesi umum dengan napas spontan tanpa intubasi dan tanpa obat pelumpuh otot masih mungkin
untuk tindaka laparaskopi terbatas, yaitu singkat, TIA rendah dan kemiringan sedikit.
Laparakopi terbatas masih dapat dilakukan dengan anestesi lokal seperti ligasi tuba; keuntungannya
cepat, mual dan muntah pasca bedah sedikit perubahan hemodinamik ringan. Tetapi ahli bedfah harus
terapil dan cepat, karena pasien masih kesakitan, ansietas dan diskomfort selama manipulasi pelvik dan
norgan obdominal. Untuk ini masih diperlukan pemberian suplementasi sedatif intravena. Kombinasi
pneumoperitoneum dan sedatif condong mengakibatkan hipoventilasi dan penurunan saturasi oksigen.
Anestesia regional seperti, teknik epidural atau spinal yang dikombinasi dengan posisi kepala rendah
(head-down) dipergunakan untuk laparaskopi ginekologi tanpa banyak mengganggu ventilasi. Sistektomi
laparaskopik telah berhasil dilakukan dengan anestesi epidural pada pasien dengan PPOM. Respon
metabolik berkurang pada anestesi regional. Anestesi regional beberapa keuntungan antara lain, lebih
sedikit memerlukan sedatif dsan narkotif, relaksasi cukup baik untuk tindakan laparaskopi selain ligasi
tuba. Nyeri baru karena rangsangan diafragma dan diskomfort karena distensi abdomen tidak mereda
pada anestesi epidural. Tambahan opioid dan klonidin pada anestesi epidural dapat menambahn efek
analgesia yang adekuat. Keberhasilan anestesi epidural pada laparaskopi memerlukan kerjasama pasien,
pengalaman dan ketertampiulan operator, TIA rendah dan kemiringan pasien tidak berlebihan serta
prosedur tidak terlalu lama.
Pemantauan hemodinamik harus dilaksanakan pasca bedah secara kontinu. Perubahan hemodinamik
dipacu oleh pneumoperitoneum, terutama pada peningkatan resistensi pembuluh darah saat
mempertahankan dan dan mengeluarkan pneumoperitoneum., Keadaan hiperdinamik setelah laparaskopi
pada pasien penyakit jantung cenderung membawa pada perubahan hemodinak yang membahayakan.
551
Karena penurunan fungsi paru pasca bedah, PaO2 masih rendah setelah laparaskopi kholesistomi,
oksigen tetap diberikan pasca bedah walapun pasien sehat.
Pencegahan dan pengobatan mual, muntah dan nyeri penting dilaksanakan tertutama setelah prosedur
laparaskopiu pasien rawat jalan.
Referensi :
552
MODUL 29 ANESTESI DILUAR KAMAR
BEDAH
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS Jiwa
553
5. Ruang Pulih
6. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang ECT atau radiodiagnostik
Referensi :
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesi diluar kamarbedah
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:
Kognitif
1. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di tempat ECT
dan radiologi
2. Mengetahui teknik anestesi untuk CT-scan
3. Mengetahui teknik anestesi untuk MRI
4. Mengetahui teknik anestesi untuk Neuroradiolgi
5. Mengetahui teknik anestesi untuk Terapi Radiasi
6. Mengetahui teknik Monitore Anesthesia Care (MAC)
7. Mengetahui teknik anestesi ECT
8. Mengetahui interaksi obat anestesi dan obat psikiatri
Psikomotor
1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi duluar kamar
bedah.
2. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk CT-scan
3. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk MRI
4. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk Neuroradiologi
5. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk Terapi Radiasi
554
6. Mampu melakukan pemberian anestesi dengan teknik Monitored Anesthesia Care
(MAC)
7. Mampu melakukan pemberian anestesi untuk ECT
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat iteraksi obat anestesi dan obat
psikiatri.
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk radiodiagnostik.
Komunikasi
Professionalisme
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
555
Untuk dapat melakukan anestesi diluar kamar bedah diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
dalam melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi duluar kamar bedah,
pemberian anestesi untuk CT-scan, MRI, Neuroradiologi, Terapi Radiasi, Monitored Anesthesia
Care (MAC), ECT, Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat iteraksi obat anestesi dan
obat psikiatri serta menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk radiodiagnostik.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola anestesi diluar kamar bedah,
mengatasi komplikasi yang terjadi, bekerja sama dengan tenaga medis dan paramedis yang tidak
biasa bekerja di kamar bedah.
METODE PEMBELAJARAN
MEDIA
9. Papan tulis
10. Komputer
11. LCD dan slide projector
12. Pasien di ruang diagnostik dan ECT
9. Virtual patients
10. Reading assigment
11. Audiovisual
12. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
556
9. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
10. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
12. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pretest
10. Jelaskan cara melakukan persiapan obat dan alat untuk melakukan anestesi diluar
kamar bedah.
11. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk CT-scan
12. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk MRI
13. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk Neuroradiologi
14. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk Terapi Radiasi
15. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi dengan teknik Monitored Anesthesia
Care (MAC)
16. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesi untuk ECT
17. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat anestesi dan
obat psikiatri.
18. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk
radiodiagnostik.
557
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
7. Kognitif
a.EMQ (Extended Medical Question)
b.Multiple observation and assessments
c.Multiple observers
d.OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e.Minicheck
8. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
9. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
Tindakan / operasi :
558
8 Teknik anestesi untuk ECT
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
559
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
560
MATERI ACUAN
Pendahuluan
Sejak diperkenalkannya CT scan yang pertama pada tahun 1975, alat-alat diagnostik dari
spesialis radiologi neuroimaging berkembang secara konsisten. Walaupun prosedur
diagnostik hanya menyebabkan rasa sakit yang minimal, spesialis anestesi akan ikut
serta dalam penanganan pasien tersebut dengan alasan antara lain pemberian sedasi yang
sulit untuk pasien usia lanjut, klaustrofobia (penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan
tertutup), penyakit neurologis dan sistemik yang berat, serta ketidak mampuan pasien
untuk tidak bergerak selama prosedur diagnostik.
Banyak Bagian Radiologi yang mengambil panduan pemberian sedasi dari AAPCD (American
Academy of Pediatrics Committee on Drugs) seperti yang terlihat pada tabel 1. Seleksi pasien,
puasa prabedah, alat-alat, monitoring, dan kriteria pemulangan pasien sudah dimasukkan pada
panduan ini dan seleksi kriteria yang ketat mengurangi efek samping yang terjadi akibat
pemberian sedatif. Akan tetapi, sekitar 10-15% pemberian sedasi gagal dan screening sebelum
prosedur sering mendapatkan pasien kesulitan membebaskan jalan nafas atau dalam keadaan
sakit berat yang mana dianjurkan keterlibatan spesialis anestesi.
561
Obat Dosis Keterangan
Chloral hydrat 75-120 mg/kg po Onset 15-20 menit, paling baik untuk
infant, dosis jangan melebihi 2 g.
Pertimbangan Umum
Sekali terlibat dalam prosedur neuroradiologi, spesialis anestesi dihadapkan pada
situasi umum memberikan anestesi dalam lingkungan yang asing diluar kamar bedah
dan hampir semua prosedur neurodiagnostik mensyaratkan spesialis anestesi di posisi
jauh dari pasien yang berbeda situasinya dengan di kamar bedah dimana dokter
anestesi selalu dekat dengan pasien. Sebagai tambahan, alat-alat dan pemantauan
nonferromagetic harus tersedia di kamar MRI serta adanya persoalan contras media
dengan efek osmolar dan kemungkinan reaksi toksik harus dipertimbangkan.
Finalnya, pola fasilitas medis modern sering memerlukan pemulihan pasien dengan
personal medis yang qualified di ruangan yang berbatasan dengan ruangan radiologi
atau ditransfer ke ruang pulih anestesi yang jaraknya jauh dari ruang radiologi.
Evaluasi prabedah yang baik harus dilakukan pada setiap pasien yang direncanakan
untuk dilakukan prosedur diagnostik. Perhatian utama harus ditujukan pada
pemeriksaan neurologis, akan tetapi riwayat penyakit sebelumnya, anestesi dan
sedasi, adanya alergi, obat yang telah dan sedang dimakan harus diketahui. Pasien
harus dievaluasi tentang tanda-tanda adanya kenaikkan tekanan intrakranial, defisit
neurologis, dan pada kasus emergensi harus diketahui keadaan kolumna vertebralis,
medulla spinalis dan organ tubuh lainnya.
Alat-alat yang tersedia di ruang radiologi harus seperti di kamar bedah. Adanya
monitor EKG, pulse oksimetri, tekanan darah yang harus kompatibel dengan alat
MRI. Alat lain yang mampu memberikan pasokan gas anestesi, oksigen 100%, alat
pengisap (suction apparatus), alat untuk membebaskan jalan nafas, alat resusitasi,
serta obat harus tersedia.
562
Persiapan Pasien
Berlawanan dengan bedah rawat jalan yang pada umumnya dalam keadaan sehat,
kebanyakan pasien saraf atau bedah saraf yang dijadwalkan untuk dilakukan tindakan
diluar kamar bedah, dalam keadaan sakit akut atau kronis, terganggu fungsi
neurologis dan nutrisi, mempunyai riwayat telah dilakaukan beberapa tindakan
sebelumnya dan mendapatkan terapi obat-obatan termasuk kemoterapi.
Sering pasien dalam keadaan infeksi traktus respiratorius bagian atas, atau adanya
efek samping pengobatan seperti mual, muntah dan diare, akan tetapi pasien tidak
dapat menunggu untuk perbaikan kondisinya. Harus diingat kemungkinan adanya
hipoglikemi dan hipovolemi pada pasien dewasa dengan bedrest atau anak dengan
sakit kronis. Kemoterapi yang baru dilaksanakan dapat mempengaruhi penggunaan
volatil anestetika potent.
Kebanyakan pasien dengan gangguan neurologis tidak mampu untuk menjawab
pertanyaan saat anamnesa. Informasi pasien harus dicari dari semua sumber yang ada
misalnya status lama, catatan perawatan pasien dirumah, keluarga) dan memeriksa
adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial. GCS harus dicatat sebagai data
dasar. Pasien gangguan neurologis dapat terjadi aritmia, respons ventilasi terhadap
obat anestesi abnormal, perubahan reaksi terhadap obat anestesi seperti
succinylcholin dan pelumpuh otot non depolarisasi. Mereka juga sering mendapat
terapi kortikosteroid untuk terapi kenaikkan ICP dan mesti dberikan kortikosteroid
sebelum, selama dan setelah tindakan.
563
Narkotik mengurang keperluan total obat anestesi, analgetik pra dan post prosedur,
dan dapat direverse dengan naloxon. Walaupun narkotik tidak diperlukan untuk
prosedur yang tidak sakit, tetapi sangat berguna untuk radiologi intervensi dan yang
tidak tioleran terhadap volati anestetika, seperti setelah kemoterapi dengan
anthracyclin dengan adanya gangguan miokardium. Narkotik mendrepresi puat nafas,
dan harus menjadi pertimbangan pada apsin tumor otak yang mendapat terapi radiasi.
Narkotik juga dapat menimbulkan mual muntah.
Diazepam menimbulkan rasa sangat sakit selama suntikan intravena dan dapat
menimbulkan terjadinya thromboplebitis. Midazolam larut dalam air, karena lebih
nyaman bila digunakan secara intravena atau intramuskuler.
Ketamin sangat populer lebih dari 20 tahun untuk sedasi dan anestesi diluar kamar
bedah disebabkan karena tidak mendepresi sirkulasi dan respirasi, serta efek analgesi
baik. Tidak diberikan pada pasien dengan peningkatan ICP. Bisa terjadi toleransi
setelah pemberian berulang, dan kemungkinan terjadi obstruksi jalan nafas partial
atau total, hipersekresi, dan refleks jalan nafas menhjadi hiperaktif, menimbulkan
mimpi buruk dan nyeri bila disuntikan intramuskuler.
Propofol diberikan untuk sedasi dan anestesi untuk diagnostik, terapeutik dan
prosedur interventional.
564
dipertimbangkan antara lain:
Alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami pemanasan dan
berpindah tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai di kamar bedah
dapat menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia alat-alat tersebut yang
khusus digunakan di ruangan MRI.
Alat metal yang kecil dapat tersedot kearah magnet. Alat yang lebih besar seperti
tabung oksigen dapat terdorong kearah magnet, bisa jatuh dan melukai personil medis
dan pasien, maka secara umum semua alat metal harus jauh dari magnet dan
terfiksasi dengan kuat. Personil medis harus meninggalkan alat metal yang dimiliki
seperti jam tangan, kacamata, kartu kredit dsbnya dan disimpan di ruang persiapan.
Baru-baru ini sudah tersedia alat monitor seperti tekanan darah, kapnograf, pulse
oksimetri, doppler, mesin anestesi, ventilator yang kompatibel dengan mesin MRI.
Juga tersedia laringokop plastik, akan tetapi batrei dalam handel laringoskop dapat
terisap ke pusat magnet. Masalah lain adalah adanya kesulitan memantau pasien,
adanya hipotermi, serta pasien obesitas yang sulit masuk ke jalur MRI.
Pengelolaan anestesi dengan pemberian sedasi dapat dipertanggung jawabkan, juga
untuk infant. Akan tetapi, pada kasus dimana spesialis anestesi dipanggil untuk
membantu MRI pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kritis atau
problem jalan nafas, maka membebaskan jalan nafas dengan intubasi endotrakheal
merupakan pilihan utama, lalu dilakukan ventilasi kendali melalui sirkuit anestesi
yang panjang untuk menjamin adekuatnya ventilasi.
Cerebral Angiography
Angiografi serebral penting untuk mengevaluasi perdarahan subarachnoid dan
penyakit arteri karotis. Paling aman dan paling sering digunakan adalah melalui arteri
femoralis dan penggunaan transfemoral kateter yang didorong sampai ke arteri
karotis. Sayangnya, problem neurologis akibat angiografi masih terjadi. Pada
penelitian prospektif pada 1002 angiogram, kejadian iskemik pada 0-24 jam setelah
prosedur sekitar 1,3% dan 2,5% pada pasien yang sedang diperiksa karena penyakit
serebrovaskuler. Komplikasi kateterisasi yang lain adalah amnesia global selintas,
kebutaan kortikal, sindroma emboli kolesterol multipel.
Bila spesialis anestesi diminta untuk membantu prosedur diagnostik angiografi harus
diingat bahwa medium kontras dapat menyebabkan vasodilatasi dan perasaan
terbakar. Sering dosis sedatif harus dinaikkan untuk melawan rasa tidak enak
tersebut.
Mielografi
Mielografi dilakukan untuk melihat isi sakus thecalis dan setiap penekanan intrinsik
atau ekstrinsik. Kontras media yang dimasukkan langsung ke ruangan subarakhnoid,
akan membypass blood-brain barier. Obat kontras mielografi terbaru bersifat
osmolaritas rendah, nonionik, dan tercampur baik dengan cairan serebrospinal.
Komplikasi utama dari mielografi adalah sakit kepala, komplikasi akibat kontras,
565
suntikan subdural atau epidural, hematom kanalis spinalis, meningitis, kejang, dan
berbagai bentuk defisit neurologis.
Pertimbangan anestesi adalah posisi pasien terutama infant dan anak karena meja
mielogram berputar untuk mendapatkan aliran kontras yang baik.
566
jantung yang baru terjadi, abgina, gagal jantung cingestif, glauma yang tidak diobati,
fraktur tulangpanjang, thromboplebitis, kehamilan, dan ablasio retina. Pasien yang
sedang diterapi dengan benzodiazepin atau litium, obat tersebut harus dihentikan
sebelum dilakukan ECT. Benzodiazepin adalah antikonvulsan dan menghilangkan
atau mengurangi induced seizure akibat ECT. Litium dihubungkan dengan delirium
setelah ECT. Teknik anestesinya tidak memerlukan premedikasi, pasien tetapp
dipuasakan. Sulfas atropin hanya diberikan bila pasien sebelunnya bradikardia.
Pasang kanula intravena, standar monitor, berikan preoksigenasi dengan oksigen
100%. Anestesi dibereikan dengan propofol dan succinylcholin.
Referensi:
1. Hurford WE et al. Clincal Anesthsia Procedure of the Massachusetts General Hospital.
6th ed, Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2002.
2. Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis : Mosby 1996, 297-329.
3. Matta BF, Menon DK, Turner JM. Textbook of Neuroanesthesia and Critical
care. London :Greenwich Medical Media 2000,413-25.
4. Newfield P, Cottrell JE., eds. Handbook of Neuroanesthesia, 3 rd ed,
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 1999:310-25.
567
MODUL 30 ANESTESIA PASIEN DENGAN
PENYAKIT KHUSUS
Persiapan Sesi
Audiovisual
30. Laptop
31. OHP
32. Flipchart
33. Video pkayer
Materi prsentasi :
CD Powerr Point
Sarana
5. Ruang Belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruanfg Pulih
8. Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien dari berbagaI bidanga Ilmu dari Bangsal biasa dan ICU
Referensi :
568
- Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
- Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
- Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005
Tujuan Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat melakukan anestesi dan perioperative care
pada pasien dengan penyakit dan kondisi khusus yang umum didapatkan.
Tujuan Khusus :
Kognitif
1. Mampu menjelaskan patofisiologi gangguan hormon tiroid,dan gangguan
metabolisme karbohidrat
Psikomotor
Mampu melakukan anamnesis dan diagnosis fisik pada pasien dengan penyakit khusus yang
akan mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau penyakit lain yang menyertai.
Mampu melakukan persiapan pra anestesi untuk pasien dengan penyakit khusus
569
Mampu melakukan pengelolaan anestesi pada pasien dengan penyakit khusus
Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan masalah pasien dan bekerjasama dengan spesialis Bedah
Profesionalism
Key notes :
1.a. Pada pasien geriatri ,pelbagai perubahan fungsi organ dan adanya berbagai penyakit yang
menyertai membutuhkan pemilihan tehnik dan obat anestesi yang sesuai.
2.a. Anestesi dan pembedahan tidak dilakukan pada saat eksarsebasi akut
dan adanya infeksi traktus respiratori pada penderita PPOM dan astma bronkiale.
c. Persiapan terapi status asmatikus selama anestesi dan pembedahan adalah mutlak.
3.a. Kadar gula darah dan komplikasi yang diakibatkannya harus terkendali pada
570
persiapan prabedah elektif pasien DM (hipoglikemi, hiperglikemi, ketidakseimbangan
elektrolit,ketoasidosis dll )
4. Gangguan fungsi tubuh karena obesitas terutama sistim kardivaskuler dan pernafasan
meningkatkan risiko anestesi baik dari segi kesulitan tehnik,pengendalian fungsi vital dan
perawatan pasca bedah.
dengan opiod. Anestesi pada pasien umumnya berhasil baik dengan obat anestesi
inhalasi.
adrenal.
Gambaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola anesteri dan melaksanakan
asuhan perioperatif pada pasien dengan penyakit-penyakit khusus yang umum didapat.
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit khusus
yang umum ditemukan, seperti penyakit jantung, penyakit ginjal dan hipertensi, penyakit
endokrin, penyakit paru dan gangguan respirasi, gangguan nutrisi dan obesiats, penyakit hati,
pasien geriatri dan gangguan degeratif, pasien dengan adiksi obat seperti narkotika dan
amfetamin. Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar
hal tersebut dapat direncana tekni, dan jenis obat yang akan dipergunakan. Asuhan medik
perioperatiof sudah tentu dapat dilaksanakan dengan baik
571
Waktu:
Sumber Pembelajaran
- Buku teks,jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat,ruang pembedahan,PACU
Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperative visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment
2.Patofisiologi Obesitas
Evaluasi:
- Pre- test
Dilakukan dengan tes tulis,materi basic knowlegde
- Post test
Dilakukan dengan tes tulis,clinical vignette
572
- Practice
Sudah Belum
No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesi
dikerjakan dikerjakan
1 Informed consent
2 Laboratorium
3 Pemeriksaan tambahan
4 Antibiotik propilaksis
ANESTESI
1 Tehnik anestesi
2 Obat anestesi
TINDAKAN ANESTESI
1 Induksi, intubasi
573
2 Maintenance
3 Ekstubasi
Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan
berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan
DAFTAR TILIK
574
DAFTAR TILIK
1 2 3 4 5
Layak
Tidak layak
575
Melakukan prosedur
Materi Acuan
Penyakit-penyakit penyerta dan perubahan fungsi fisiologis pada pasien gemuk memerlukan
penilaian preoperatif yang lebih teliti; karena hipertensi, aterosklerosis dan kardiomegali
sering ditemukan, juga dapat disertai diabetes. Perubahan patologis yang berat dapat terjadi
pada banyak sistem organ pada pasien obese. Walaupun tidak ada penyakit yang menyertai,
obesitas meningkatkan resiko anestesi.
Fungsi pernapasan: Kapasitas vital dan kapasitas residu fungsional menurun, tetapi closing
volume meningkat. Akibatnya, shunting meningkat sehingga mudah terjadi hipoksemia.
Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan tekanan abdominal terhadap diafragma pada posisi
Supine, Trendelenberg, dan lithotomy. Compliance paru atau dada menurun, kerja napas dan
kebutuhan oksigen meningkat, produksi CO2 meningkat, sehingga menyebabkan hiperventilasi.
Secara teknis, operasi menjadi lebih sulit, karena kehilangan darah lebih banyak dan
meningkatkan resiko infeksi luka operasi.
Balans cairan harus dimonitor lebih ketat. Ventilasi mekanik pasca operasi harus
dipertimbangkan terutama setelah pembedahan abdomen.
Tromboemboli paru dan komplikasi luka lebih sering terjadi sehingga pencegahan, pemeriksaan,
diagnosis dini serta pengobatan penting.
Sindrom Pickwickian ditandai dengan adanya kombinasi obesitas, episode somnolen dan
hipoventilasi yang disertai sianosis, polisitemia, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Pencegahan terjadinya hipoksia sangat penting dan ventilasi mekanik pasca operasi mungkin
diperlukan, terutama setelah pembedahan abdomen.
576
50% pasien yang menjalani pembedahan menderita diabetes. Morbiditas dan mortalitas
perioperatif lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan non diabetes. Terdapat 2 tipe
diabetes:
-Tipe I; tergantung insulin; terjadinya penyakit pada usia muda namun tidak selalu dari kecil.
Penyakit ini ditandai dengan tidak adanya atau aktivitas insulin yang rendah disertai
kecenderungan terjadinya ketoasidosis. Pengobatan terdiri dari penggunaan insulin seumur hidup
dikombinasi dengan diet dan olahraga.
-Tipe II; biasanya timbul pada usia lebih tua (> 40 tahun); tipe ini dapat memiliki kadar insulin
plasma yang rendah, normal, atau tinggi dan kebanyakan disertai obesitas, juga sering
membutuhkan tambahan insulin dari luar untuk mengatasi gejala hiperglikemia. Tipe ini jarang
mengalami ketosis dan tidak tergantung pada insulin.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai komplikasi dari diabetes, seperti adanya
pandangan yang tidak normal, harus diperiksa apakah ada perdarahan atau eksudat. Kelainan
denyut nadi dan tekanan darah pada perubahan posisi atau ortostatik dapat menandakan adanya
gangguan fungsi otonom. Harus dilakukan pemeriksaan proprioseptif dan sensorik pada
ekstremitas atas dan bawah untuk mendeteksi adanya neuropati. Jika pada pemeriksaan fisik
jantung, pernapasan dan ekstremitas ditemukan kelainan maka harus dievaluasi apakah ada
insufisiensi aliran pembuluh darah.
Kadar gula darah harus diperiksa. Penilaian kadar gula darah harian dapat membantu penilaian
terhadap derajat diabetes.
Fungsi ginjal harus dievaluasi dengan mengukur kadar ureum kreatinin, klirens kreatinin, nilai
ekskresi protein, elektrolit, analisis urin dan analisis gas darah.
Belum ada kesepakatan mengenai regimen terapi tunggal untuk penanganan perioperatif
penderita diabetes. Pembedahan yang akan dilakukan juga harus dipertimbangkan; satu protokol
perioperatif saja mungkin tidak sesuai untuk semua jenis pembedahan, sehingga penatalksanaan
perioperatif harus dilakukan dengan pendekatan individual.
577
Pengukuran gula darah perioperatif harus dilakukan secara rutin dan pemberian insulin
disesuaikan. Target gula darah sekitar 200 250 mg/dL. Diharapkan dapat mencegah
hipoglikemia maupun hiperglikemia berat.
- Tingginya gula darah : menimbulkan poliuri, rasa haus, infeksi dan sulitnya penyembuhan
luka
- Ketoasidosis : metabolic asidosis berat, kehilangan natrium dan air ekstrasel, gagal sirkulasi
dan koma
- Penyakit jantung : arteriosclerosis koroner dan meningkatnya resiko operasi
- Gangguan pembuluh darah perifer : pembedahan pada arteri besar sering dibutuhkan dan
memiliki resiko lebih tinggi daripada pasien non diabetes
- Nefropati diabetes : menyebabkan sindrom nefrotik dan uremia
- Neuropati perifer : menyebabkan ulkus pedis
- Neuropati autonom : menyebabkan henti nafas-henti jantung, hipotensi postural,gastroparesis
dan retensi urin. Sleep apnea dan kematian mendadak dapat terjadi karena pemberian obat
yang mendepresi pernafasan
- Retinopati dan katarak : memerlukan oeprasi
Pemberian insulin harus dipertimbangkan pada pasien diabetes yang akan menjalani
pembedahan. Insulin dapat mencegah hiperglikemia dan menghambat mobilisasi lemak, yang
dapat memperberat terbentuknya keton. Dengan pengecualian pasien diabetes tipe 2 yang
terkontrol dengan diet, semua pasien diabetes membutuhkan pemberian insulin sebelum
pembedahan.
Penyakit asma ditandai dengan gejala wheezing, sesak nafas atau batuk yang disebabkan
penyempitan jalan nafas ringan sampai berat dalam suatu periode waktu dan membaik secara
spontan atau dengan terapi. Gejala yang timbul disebabkan oleh spasme otot polos bronchial,
sumbatan mucus dan edema jalan nafas, dan dapat dialami pasien semua umur.
- Intrinsik, gejala timbul pada usia dewasa, bersifat kronik, terus menerus dan sering memerlukan
terapi steroid jangka panjang.
578
Penilaian kondisi penyakit meliputi :
- Anamnesis, frekuensi dan beratnya serangan, faktor pencetus dan riwayat pengobatan
- Pemeriksaan fisik : dengan atau tanpa ronki, fase ekspirasi yang memanjang, overdistensi
rongga dada, adanya infeksi
- Uji fungsi paru (spirometri) : FEV1.0 / FVC sebelum dan sesudah inhalasi bronkodilator,
analisa gas darah bila perlu pada kasus berat.
Hampir 10% dari pasien asma dewasa rentan terhadap aspirin dan obat jenis NSAIDs, sehingga
pemakaian obat tersebut harus hati-hati kecuali terbukti tidak mencetuskan serangan.
PPOK meliputi semua pasien yang memiliki gangguan/keterbasan inspirasi ekspirasi yang
ireversibel karena bronkitis kronik dan emfisema.
1. Bronkitis kronik adalah kelainan yang ditandai dengan batuk kronik dan berulang yang
ditimbulkan oleh sekresi mukus bronkus yang berlebihan. Hipoksia kronik yang terjadi
dapat menyebabkan polisitemia dan cor pulmonale (blueboater). Hipoventilasi
menyebabkan PCO2 meningkat dan pusat pernafasan menjadi tidak sensitif. Sehingga
bila ada infeksi paru hipoventilasi yang terjadi akan semakin berat. Sputum harus
dikeluarkan dengan drainase postural sebelum dilakukan anestesia. Sebaiknya dilakukan
fisioterapi pre dan post operasi.
2. Emfisema adalah kelainan yang ditandai dengan melebarnya jalan nafas distal sampai ke
bronkiolus terminalis karena kerusakan pada dindingnya. Hal ini menyebabkan hilangnya
kemampuan elastis recoil paru, terjadinya ekspansi rongga dada yang berlebihan,
penutupan jalan nafas yang lebih cepat pada ekspirasi dan gas trapping. Ventilasi dapat
berfungsi dengan baik tapi dengan kerja nafas yang berat (pink puffer). Diafragma
menjadi lebih horisontal dan mendatar dan akan menarik iga bagian bawah pada saat
inspirasi. Otot nafas tambahan seperti otot skalenus dan sternomastoid juga ikut bekerja
saat inspirasi.
Deteksi dan pengobatan infeksi aktif. Kultur sputum dan uji sensitifitas harus dilakukan untuk
pemilihan antibiotik.
579
Pengobatan terhadap obstruksi jalan nafas
Pemeriksaan foto thorak untuk mendeteksi adanya pneumothorak spontan atau bula paru.
Pengobatan untuk gagal jantung kongestif yang sering terjadi pada pasien PPOK dan diatasi
dengan pemberian diuretik.
Pada penderita ini, sebanyak 15% tidak menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan
fisik maupun EKG saat istirahat. Sebesar 5% penderita berusia lebih dari 35 tahun memiliki
penyakit jantung iskemik tanpa gejala. Pada penderita yang mengalami anestesi dan pembedahan
dalam jangka waktu 3 bulan setelah terjadinya infark, sebesar 40% penderita beresiko untuk
timbul perioperatif infark. Angka ini menurun 15% pada waktu 3 6 bulan dan menurun 5% lagi
setelah 6 bulan.
Unstable angina berhubungan dengan meningkatnya resiko infark miokard perioperatif dan
seharusnya dikontrol dengan beta bloker, nitrat atau kalsium chanel bloker sebelum pembedahan.
Tidak ada bukti bahwa insidens infark postoperatif menurun dengan penggunaan teknik anestesi
lokal atau regional.
Pada penggunaan 2 atau lebih obat yang menghasilkan efek yang tidak diharapkan, dokter
anestesiologi harus mempertimbangkan terjadinya suatu interaksi obat sebagai penyebabnya.
Oleh karena banyaknya kombinasi obat yang digunakan maka semua interaksi obat tidak dapat
diketahui atau diprediksi. Pengetahuan mengenai klasifikasi obat, mekanisme aksi dan potensi
terjadinya efek yang tidak diinginkan dapat membantu memprediksi terjadinya interaksi obat.
580
Interaksi obat terjadi ketika suatu obat merubah intensitas efek farmakologi obat lain yang
diberikan hampir bersamaan. Interaksi obat menggambarkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik. Hasil suatu interaksi obat adalah bertambahnya atau berkurangnya efek dari
satu atau kedua obat, sehingga dapat timbul efek yang diinginkan.
Suatu contoh interaksi obat yang menguntungkan adalah propanolol dengan hydralazine untuk
mencegah peningkatan denyut jantung akibat kompensasi turunnya tekanan darah oleh karena
hydralazine. Interaksi obat juga sering digunakan untuk mengkontra efek agonis obat, misalnya
penggunaan naloxone untuk mengantagonis opioid.
Obat anti-hipertensi: Biasanya dilanjutkan sampai saat pembedahan. Terapi yang adekuat
menghasilkan volume darah normal dan mengurangi resiko terjadinya peningkatan atau
penurunan tekanan darah yang berbahaya saat induksi anestesia. Pengisian volume sebelum
induksi dapat mencegah penurunan tekanan darah dan menghindari terjadinya hipovolemi saat
pembedahan adalah hal yang penting. Bradikardi lazim terjadi pasien yang diterapi dengan beta
bloker. Obat parenteral alternatif mungkin diperlukan untuk mengganti obat antihipertensi yang
hanya dapat digunakan secara oral saja, misalnya ACE-inhibitor.
Obat anti-angina: Misalnya calsium channel blocker atau nitrat (NTG) seharusnya tidak
dihentikan sebelum pembedahan tanpa ada alasan spesifik. Kalau perlu, glyceryl trinitrate patch
transdermal yang ditempelkan di dada lateral dapat bertahan selama 24 jam. Spray NTG
sublingual dapat digunakan untuk mula kerja cepat.
Lithium seharusnya dihentikan 2 hari sebelum pembedahan mayor karena dapat mempotensiasi
pelumpuh otot non-depolarisasi; tetapi pada kasus darurat pelumpuh otot depolarisasi
(suxamethonium) dan blok regional dapat dipertimbangkan sebagai alternatif. Toksisitas lithium
dapat terjadi jika pasien dalam keadaan dehidrasi. Umumnya, terapi lithium aman dilanjutkan
sebelum pembedahan minor, asalkan keseimbangan cairan dan elektrolit diperhatikan.
581
Inhibitor MAO tipe A, seperti phenelizine, isocarboxazil dan khususnya tranylsypramine
seharusnya dihentikan 2 minggu sebelum pembedahan elektif. Cara kerja obat ini tidak dipahami
sepenuhya. Reaksi terhadap pethidin, fentanyl dan morfin pernah dilaporkan pada penderita yang
menggunakan MAO inhibitor dan pernah terjadi kematian. Reaksi berupa koma, kedutan otot,
hipotensi, ataksia dan eksitasi serebral. Tidak semua pasien menunjukkan reaksi tersebut, dan
dosis kecil petidin dapat digunakan dengan mengawasi nadi dan tekanan darah. Efek berbahaya
akibat hipertensi dan bahkan kematian dapat terjadi jika obat vasopresor (misalnya adrenalin)
digunakan pada pasien dengan terapi MAO inhibitor, namun dapat dikontra oleh phentolmine.
Untuk analgesi pasca operasi pada penderita dengan terapi MAO inhibitor, kombinasi kodein dan
chlorpromazine dapat digunakan tanpa terjadi efek samping. Analgesia regional dan NSAID juga
dapat digunakan.
Terapi steroid
Sekresi normal hidrokortison dari korteks adrenal adalah 20 mg/hari, namun dapat
meningkat 300 500 mg/ hari sebagai respon terhadap pembedahan dan anestesia.
CONTOH EFEK
582
3.Perubahan distribusi obat Perdarahan
5.Perubahan metabolisme
- Renal
Probenesid & penisilin
7.Antagonisme atau
Konsentrasi tinggi
potensiasi obat yang Alkohol dan barbiturat penisilin
8.Perubahan
keseimbangan cairan dan
elektrolit
9. Dan lain-lain
583
Table : Mechanism of drug interaction
Premedikasi
Mengatasi kecemasan
Rasa cemas secara efektif dapat diatasi dengan cara non farmakologis yaitu dengan psikoterapi.
Cara ini dapat dilakukan saat kunjungan preoperative dengan menjelaskan apasaja yang akan
dilakukan selama perioperatif dan mendapat kepercayaan sehubungan dengan yang dicemaskan
dan ditakutkan pasien. Pada beberapa pasien penjelasan dan memberi keyakinan tidak cukup
efektif menghilangkan rasa cemas dan takut, sehingga diperlukan bantuan medikasi yang bersifat
anxiolitik seperti benzodiazepine.
Obat anestesi lama seperti eter dapat menimbulkan sekresi jalan nafas faring dan kelenjar
bronkial yang berlebihan, sehingga premedikasi antikolinergik seperti atropin sangat diperlukan.
Dengan keberadaan obat-obat anestesia modern saat ini seperti halotan, maka efek yang
dihasilkan menjadi tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tanpa pemberian. Walaupun
demikian beberapa ahli anestesia tetap menggunakan obat antikolinergik untuk mengurangi
sekresi yang terjadi karena penggunaan alat-alat untuk mengamankan jalan napas seperti pipa
584
orofaring atau pipa endotrakea. Penggunaan ketamin juga dapat menimbulkan sekresi yang
berlebihan sehingga pemberian antikolinergik sangat diperlukan.
Sedasi
Sedasi berbeda dengan penghilang kecemasan (anxiolysis). Beberapa obat seperti barbiturat dan
opioid mempunyai efek sedasi namun tidak mempunyai efek menghilangkan kecemasan. Pada
umumnya tidak diperlukan penggunaan sedasi sebelum operasi kecuali pasien merasa perlu.
Antiemetik dapat diberikan sebagai premedikasi namun akan lebih efektif bila diberikan pada
saat pengakhiran anestesia.
Menimbulkan amnesia
Pasien seharusnya mengalami amnesia sesaat menjelang operasi karena operasi adalah suatu
pengalaman yang kurang menyenangkan bagi banyak pasien. Akan tetapi beberapa ahli anestesi
berpendapat bahwa amnesia tidak seharusnya diberikan pada pasien anak, karena akan
menyamarkan keadaan tidur alami atau efek akibat amnesia sehingga pasien anak akan
terbangun pada saat diinsisi.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa amnesia retrograde tidak akan tercapai. Namun
amnesia anterograde ( setelah pemnberian obat ) dapat diperoleh dengan penggunaan
bezodiazepin.
585
Pada pasien dengan resiko muntah dan regurgitasi, dapat dipergunakan obat untuk membantu
pengosongan lambung dan peningkatan pH isi lambung. Hal ini dapat dicapai dengan
menggunakan :
Bradikardi adalah menifestai dari stimulasi reflek vagal yang dapat berakibat fatal. Hal ini dapat
terjadi pada beberapa keadaan :
Penarikan otot-otot mata, yang lebih sering terjadi pada otot rectus medialis pada operasi
strabismus yang menyebabkan bradikardi dan atau aritmia (reflek okulokardiak). Premedikasi
dengan atropine dapat mencegah efek ini.
Pemberian berulang suxamethonium sering diikuti dengan bradikardi yang dapat menyebabkan
asistole. Pemberian atropine sebelum pemberian suxamethonium akan membantu mencegah
kejadian ini.
Induksi anestesia dengan menggunakan halotan pada anak dikaitkan dengan kejadian bradikardi.
Pemberian atropin dapat mencegah komplikasi ini.
Opioid
- bloker
Agonis reseptor 2
586
Referensi :
Persiapan Sesi
Audiovisual
CD Powerr Point
Sarana
587
1. Ruang Belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruanfg Pulih
4. Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien dari berbagaI bidanga Ilmu dari Bangsal biasa dan ICU
Referensi :
Tujuan Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat melakukan anestesi dan perioperative care pada
pasien dengan penyakit langka..
Tujuan Khusus :
Kognitif
1. Mampu merencanakan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau
penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu menjelaskan patofisiologi penyakit-penyakit langka.
3. Mampu menjelaskan anestesi dan perawatan pasca anestesi untuk pasien penderita penyakit
langka.
4. Mampu menjelaskan komplikasi yang terjadi selama anestesi dan masa perioperatif pasien
dengan penyakit langka.
588
Psikomotor
1. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
untuk diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit
primer atau penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu melakukan persiapan dan optimalisasi pra anestesi untuk pasien dengan penyakit langka.
3. Mampu melakukan pengelolaan anestesi pada pasien dengan penyakit langka.
4. Mampu melakukan perawatan pasca anestesi pada pasien dengan penyakit langka.
Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan masalah pasien dan bekerjasama dengan spesialis terkait.
Profesionalisme
Key notes :
1. Penyakit langka adalah penyakit yang jarang dijumpai, tidak hanya karena jumlahnya
yang sedikit, tapi juga mempunyai gejala, patofisiologi, dan morfology yang tidak biasa.
2. Penyakit langka melibatkan dan mempengaruhi beberapa system tubuh yang mempunyai
konsekuensi yang sangat berbeda terhadap.
3. Penyakikt langka memerlukan penanganan multidisipliner, perwatan dan monitoring
khusus.
Gambaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola anestesi dan melaksanakan asuhan
perioperatif pada pasien penyakit langka yang dirawat karena penyakitnya atau penyakit penyerta.
589
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit langka,
Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar hal tersebut dapat
direncana pemilihan teknis, obat, perawatan, dan monitoring yang akan dipergunakan. Asuhan medik
perioperatiof penyakit langka dilaksanakan dengan baik
Waktu:
Sumber Pembelajaran
- Buku teks,jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat,ruang pembedahan,PACU
Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperative visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment
Evaluasi:
- Pre- test
Dilakukan dengan tes tulis,materi basic knowlegde
- Post test
Dilakukan dengan tes tulis,clinical vignette
590
- Practice
Pre test
a) Marfans syndrom
1. Sebutkan manifestasi klinis marfans syndrom
2. Bagaimanakah patofisology kelainan marfans syndrom
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesi pada marfans syndrom
b) Tetralogy of Fallots
1. Sebutkan manifestasi klinis tetralogy of fallots
2. Bagaimanakah patofisiology Tetralogy of Fallot
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesi pada penderita tetralogy of
fallots
4. Apa yang dimaksud ted spell dan bagaimana penatalaksanaanya
c) Myasthenia gravis
1. Sebutkan gejala dan klinis tanda tanda klinis myasthenia gravis
2. Bagaimanakah patofisology myasthenia gravis
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesi myasthenia gravis
d) Pheochromocytoma
1. Sebutkan gejala dan tanda klinis pheochromocytoma
2. Bagaimanakah patofisiology pheochromocytoma
3. Pemeriksaan apakah yang diperlukan untuk pheochromocytoma
4. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesi pada penderita pheochromocytoma
e) Hiperthemi maligna
1. Sebutkan manifestasi klinis dan diagnosa hyperthermi maligna
2. Bagaimanakah patofisiology hyperthermi maligna
3. Bagaimanakah penatalaksanaan anesthesi pada curiga hypertermy maligna
4. Bagaimanakah penatalakanaan hyperthermi maligna
f) Thalasemia
1. Bagaimanakah patofisilogy thalasemia
2. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesi penderitra thalasemia
3. Apakah potensial problem anestesi pada thalasemia
No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesi Sudah dikerjakan Belum dikerjakan
591
PERSIAPAN PRE OPERASI
1 Informed consent
2 Laboratorium
3 Pemeriksaan tambahan
4 Antibiotik propilaksis
ANESTESI
1 Tehnik anestesi
2 Obat anestesi
TINDAKAN ANESTESI
1 Induksi, intubasi
2 Maintenance
3 Ekstubasi
Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan
berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan
592
DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK
1 2 3 4 5
593
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Materi Acuan
Pheochromocytoma
Catecholamine dilepas dari akhir syaraf simpathis postganglion. Catecholamine disentesa dari
tyrosine melaluli hydroksilasi menjadi dopa, dopa melalui dekarboksilasi menjadi dopamine di dalam sel
dopamine diubah menjadi norepinephrine, norephineprine oleh phenyl-ethanolamine-Ntranferase diubah
menjadi epinephrine di adrenal, sedikit di dalam system saraf dan sebagian diglia.
Nyeri dan tress intubasi menyebabkan pelepasan catecholamine yang berlebihan. Pada penderita
pheochromocytoma dengan stres ringan apat menyebabkan piningkatan kadar cathecholamin sampai 10x
pada pasien normal.manipulasi pada tumor meski hati hati dapat meyebabkan peningkatan kadar
catecholamine didarah hingga 100 -500x.
Tanda tanda klinis penderita pheocrhomocytoma : paroksimal sweating hiprertensi, sakit kepala,
sebagai tanda klinik yang sensitif dan spesifik dibandingtest laboratrium.
594
preoperatif yang optimal, hati hati induksi anestesi bertahap dan komunikasi yang baik antara team bedah
dan team anestesi merupakan hal yang penting.
Malignant hyperthermia
Malignant hyperthermia jarang terjadi, pada pasien anak-anak 1: 15.000, pada pasien dewasa 1:40.000.
an acute hypermetabolistik state dalam jaringan otot akibat induksi general anasthesia dapat juga terjadi
pada pasca bedah lebih dari 1 jam setelah anestesai tanpa diketahui agen yang mencetuskannya.
Hypermetabolisme
- takikardia
- intial hypertension
- aritmia
-
- hipernatremia
- hiperfosfatemia
- mioglobinemia
- mioglobinuria
kerusakan otot
- spasme masseter
- generalized rigidity
- kenaikan serum kreatin kinase
- hiperkalemia
Hipertermi
- demam
- berkeringat
595
Patofisiologi MH
Penatalaksanaan MH
MYASTHENIA GRAVIS
Adalah gangguan pada neuro muscular junction (NMJ) dengan karakteristik kelemahan otot yang
fluktuasi dan kelemahan yang abnormal. NMJ dimulai dari presinaptic dan postsinaptik yang dipisahkan
oleh ruang sinap. Terminal saraf mengndung acitelcoline membrane-enclosed synaptic vesicles, yang
akan dilepas sebagai respon terhadap potensial aks. Molekul asetilkolin kemudaian akan diikat oleh
reseptor postsinap dan menimbulkan suatu potensial aksi otot. Selain acquired myastenia gravis dan
Eaton-Lambert syndrome, beberapa toksin dan obat-obatan dapat menebabkan myasthenic-like syndrom
yang menyerupai NMJ, termasuk Botulism, tetanus, racun ular, aminoglikosida, hipermagnesemia,
quinidine, dan racun organophosfat
596
Acquired Myasthenia Gravis
Sindroma klasik berupa kelemahan yang fluktuasi dan kelelahan termasuk ocular dan otot-otot lain yang
dipersarafi nervus kranialis. Dengan memburuknya gejala dalam satu hari. Menyerang berbagai usia,
wanita pada usia < 40 tahun dan pria > 60 tahun. Gangguan terjadi akibat penurunan asetilkolin pada
postsinaptik. Reseptor asetilkolin dinonaktifkan oleh antibodi dengan cara blokade jalan masuk ke
reseptor asetilkolin.
Tanda-tanda :
Dua pertiga pasien mempunyai hiperplasia timus dan 10% timoma. Sekitar 10 % dari kasus MG
dihubungkan dengan penyakit autoimun, termasuk hipertiroidesme, polimiolitis, SLE, Syogren syn,
rematoid artritis, ulcerative colitis, sarcoidosis dan anemia pernisiosa. MG dapat pula terjadi pada pasien
yang diterapi D-Penisilamine dan terapi interferon dan setelah transplantasi bone marrow.
Sekitar 50 % pasien dengan gejala awal melibatkan otot extra oculer, tetapi bulbar dan otot anggota gerak
mungkin juga terlihat di awal.
597
Klasifikasi MG
I. Ocular myasthenia
II. Chronic generalized
A. Mild
B. Moderate
III. Acute, Fulminating
IV. Late, Severe
Sindroma Marfan
Sindroma Marfan adalah kelainan pada jaringan konektif, utamanya mengenai kardiovaskular,
tulang, dan sistem ocular. Akan tetapi kulit, fasia, paru-paru, otot rangka, dan jaringan lemak dapat juga
terkena. Etiologi adalah mutasi pada FBNI, gen yang memberikan sandi fibrillin-1, suatu komponen
utama dari myofibril-miofibril ekstrasellular, yang merupakan komponen-komponen utama dari serabut-
serabut elastik yang menyangga dermis, epidermis dan zonula okuler. Jaringan konektif pada kelainan ini
menurunkan kekuatan regangan dan elastisitas.
Ahli anestesi sebaiknya menyiapkan untuk kemungkinan terjadinya potensi intubasi yang sulit
(lihat tabel di bawah ini).
598
Intubasi sulit
Kista paru
- Pertimbangkan blocker
Laringoskopi hendaknya dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan jaringan dan
utamanya untuk mencegah hipertensi dengan resiko diseksi aorta yang menyertai. Penderita sebaiknya
diposisikan dengan hati-hati untuk menghindari cidera-cidera pada tulang belakang servikal atau sendi
lainnya termasuk dislokasi. Bahaya hipertensi pada pasien dengan sindroma Marfan telah diketahui
dengan jelas. Adanya insufisiensi aorta menjamin bahwa tekanan darah (khususnya tekanan diastolik)
yang cukup tinggi untuk memberikan aliran darah koroner yang cukup tetapi tidak begitu tinggi yang
berisiko menyebabkan diseksi aorta. Memelihara tekanan darah pasien normal adalah rencana yang
terbaik. Tidak ada satupun obat anestetik atau teknik anestesi intraoperatif yang memperlihatkan
keunggulannya. Namun jiika terdapat kista paru, ventilasi tekanan positif dapat menyebabkan
pneumotoraks. Pada saat ekstubasi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah mencegah peningkatan
tekanan darah atau denyut jantung yang tiba-tiba. Penatalaksanaan nyeri pasca operatif yang adekuat
sangat penting untuk mencegah efek-efek yang merugikan dari hipertensi dan takikardia.
Referensi :
599
MODUL 32 TRAUMATOLOGI II
Persiapan Sesi
Audiovisual
Laptop
OHP
Flipchart
Video pkayer
Materi prsentasi :
CD Powerr Point
Sarana
Ruang Belajar
Ruang pemeriksaan
Ruanfg Pulih
600
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
Primary Trauma Care Course Manual (current edition)
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk melakukan
pengelolaan lanjut pasien trauma baik fase critical care tanpa pembedahan, fase pembedahan dan
pasca bedah
e. KOGNITIF
1. Mampu menjelaskan kebutuhan monitoring fungsi vital pada pasien trauma yang tidak
memerlukan pembedahan segera
2. Mampu menjelaskan kebutuhan life support pada pasien trauma yang tidak memerlukan
pembedahan segera
3. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk berbagai pembedahan
penyelamatan (damage control surgery)
4. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk pembedahan definitif
5. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, renal support, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang tidak memerlukan pembedahan segera
6. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, renal support, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang menjalani pembedahan dan pada masa pasca bedah
7. Mampu menjelaskan tehnik hemodilusi dan transfusi masif
8. Mampu menjelaskan hipotermia insidental maupun hipotermia yang disengaja untuk
konservasi organ
f. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan perawatan perioperatif dan peritrauma
2. Mampu melakukan monitoring fungsi vital dengan alat maupun tanpa alat
601
3. Mampu melakukan Prolonged Life Support di bidang pernafasan, sirkulasi darah dan
kesadaran serta fungsi otak.
4. Mampu melakukan komunikasi dan koordinasi perawatan pasien dengan Tim Dokter
Spesialis lain dan Tim Perawat serta Paramedik lainnya
5. Mampu melakukan anestesia khusus untuk pembedahan penyelamatan maupun
pembedahan definitif.
6. Mampu membaca ECG dan foto sinar-X thorax, vertebra cervical, dan CT scan kepala.
h. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medik penanganan lanjut korban
trauma
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medik penanganan lanjut
korban trauma ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki ketrampilan cukup untuk melakukan tindakan
medik penanganan lanjut korban trauma secara multi-disiplin dan komprehensif
3. KEY NOTES
1. Obat induksi yang umum dipergunakan untuk pasien trauma adalah ketamin dan
etomidat. Walaupun setelah resusitasi cairan cukup, kebutuhan intuksi dengan propofol
sangan berkurang untuk pasien trauma (80 90 %). Walaupun obat-obat seperti ketamin
dan N2O yang normalnya tidak langsung menstimulasi fungsi jantung, dapat
memperlihat efek kardiodepresan pada pasien dalam keadaan syok dan telah menerima
stiumulan simpatikus. Hipotensi dapat diatasi setelah pemberian etomidat.
2. Pemantauan invasif (arteri langsung, vena sentral, monitor arteri pulmonal) sangat
menolong dalam memandu resusitasi cairan tetapi penempatan monitor ini tidak akan
mengurangi resusitasi sendiri. Serial Ht atau Hb, pengukuran gas darah arteri, elektrolit
serum (terutama K+ ) sangat berharga pada resusitasi yang berkepanjangan.
602
4. POKOK BAHASAN
5. GAMBARAB UMUM
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien trauma yang telah mendapat
resusitasi tahap awal untuk dilakukan terapi selanjutnya di ICU atau anestesia untuk pembedahan
dan pengelolaan pasca bedah serta penangulangan nyeri pasca bedah.
6. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada sesi Traumatologi II ini, peserta dididik untuk mampu mengelola setelah pasien melalui
Primary Survey urutan ABC. Pasien menjalani berbagai pemeriksaan, klinik, neurologik,
laboratorium, radiologi, CTScan, dan pemeriksaan diagnostik lain invasif atau noninvasif untuk
persiapan anestesia jika diperlukan pembedahan; sesuai lokasi trauma yang dialami pasien. Dalam
sesi ini peserta akan mampu mengelola periperatif sampai pasien dirawat di ICU.
5. METODE :
d. Kuliah
h. Pretest dan Post test
i. Latihan dengan manikin dan simulator
j. Praktik pada pasien yang dirawat di Ruang Resusitasi Gawat Darurat, Ruang Observasi
Intensif, ICU atau yang setara
6. SUMBER PEMBELAJARAN
603
b. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah Sakit setara Klas B
pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c (Metode)
9. EVALUASI
a. Kognitif: Uji lisan, MCQ dan Extended Medical Question,OSCE dan evaluasi harian.
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
604
10. MENENTUKAN STATUS FISIK ASA
B. .Persiapan STATICS
G. Penanggulangan nyeri
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
1. PERSIAPAN PRAANESTESI
605
f. Optimalisasi kondisi pasien
a. Persiapan STATICS
a. Penanggulangan nyeri
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
606
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
607
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Secondary survey mulai hanya bila urutan ABC stabil. Pasien dievaluasi dari kepala sampai kaki jika
terdapat indikasi, misalnyaadiologi, tes laboratoriuym atau prosedur diagnotsik invasif. Pemeriksaan
kepala mencakup kulit kepala dan rambnt, mata dan telinga. Pemeriksaan neuroligik meliputi, skala
GCS, fungsi motorik dan sensorik dan refleks-refleks. Pemeriksaan dada untuk menilai adanya
pneumotoraks, tanponade perikard. Pemeriksaan abdomen untuk evaluasi anya perdarahan intraabdomen.
Pemeriksaan ekstrimitas untuk menentukan adanya fraktur atau luksasi. Kateter urin dan pipa nasogastrik
biasanya juga dipasang.
Pemeriksaan laboratorium termasuk darah lengkap (Hb, Ht), elektrolit, gula dfarah, ureum, kreatinine.
Analisa gas darah akan sangat menolong. Foto toraks harus dibuat pada trauma berat. Pada trauma leher
harus diperiksa foto PA, Lateral dan swimmer view leher; kalau perlu CTScan. FAST (Focused
assessment with sonography for trauma) dilakukan bnila mungkin untuk mendeteksi perdarahan
608
intraperitoneal atau tamponade perikard. Tergantung lokasi cedera dan status hemodinamik pemeriksaan
imaging lain dapat dianjurkan CTScan dada, angiografi atau diagnotic peritoneal lavage (DPL) jika ada
indikasi.
Pada beberapa trauma senter juga menyelenggarakan tertiary trauma survey untuk menghindari missed
injuries(cedera yang tidak tertangkap). Antara 2 % 50 % cedera trauma luput dari primary dan
secondary survey terutama setelah trauma tajam multipel (kecelakaan kendaraan). Tertiary survey dapat
didefinisikan sebagai evaluasi pasien yang mengidentifikasi dan mendaftar semua cedera setelah
resusitasi awal dan intervensi operatif. Hal yang tipikal ini dilakukan dalam 24 jam setelah cedera.
Evaluasi (delayed evaluation) ini biasanya berakhir pada pasien yang sudah mulai sadar yang dapat
mengkomunikasikan semua keluhan dan lebih terperinci menjelaskan terjadinya cedera. Tertiary
survey terjadi sebelum pasien dipulangkan untuk reevaluasi dan konfermasi cedera yang diketahui dan
identifikasi hal yang tidak mungkin terjadi. Reevaluasi ini termasuk pemeriksaan head to toe dan
mempelajari semua pemeriksaan laboratorium dan imaging. Missed injuries dapat mencakup fraktur
tungkai dan pelvik, medula spinalis dan cedera kepala dan saraf abdominal dan saraf perifer.
Konsiderasi anestesia
Konsiderasi umum
Anestesia regional tidak praktis dan tidak tepat untuk pasien dengan kondisi hemodinamik yang tidak
stabil dan keselamatan teranjam.
Kalau pasien tiba di kamar operasi sudah terintubasi perbaiki posisi . Pasien dengan kecurigaan trauma
kepala dilakukan hiperventilasi untuk menurunkan tekanan intrakranial. Jika tidak terintubasi, prinsip-
prinsip yang tetap dipergunakan mempertahankan airway di kamar operasi. Jika memungkinkan ,
hipovolemia diperbaiki dulu sebelum melakukan intubasi. Resusitasi cairan dan transfusi SDM selama
induksi dan pemeliharaan anestesia..
Lambang penuh adalah kondisi yang akan dihadapi pada trauma mendadak; dimana kita tidak mungkin
mengaman jalan napas dengan obat yang menurunkan volume gastrik dan keasaman lambung. Upaya
yang tepat melaklukan induksi cepat (rapid sequence induction) dan penekanan krikoid. Hati-hati jika
menekan krikoid pada pasien dengan fraktur servikal karena berpotensi merusak medula spinalis
servikal.
Sebagai tindakan alternatif intubasi pipa endotrakea, LMA masih dapat dipergunakan untuk proteksi
trakea, atau untuk memfasilitasi intubasi yang akan dibantu dengan bronkoskop fiberoptik. Pada pasien
dengan trauma maksilofasial , LMA dapat pula dipergunakan untuk menghindari aspirasi bekuan darah
609
dan sekret faring . Walaupun LMA dapat dipakai untuk ventilasi tekanan positif tetapi sulit dilaksan akan
untuk pasien dengan kontusio paru, edema atau aspirasi. Problem ini mungkin diatasi lagi dengan teknik
mempergunakan intubating laryngeal mask (ILM) yaitu intubasi buta dengan memasukkan pipa
endotrakea kecil ( No, 6) melalui LMA.
Induksi anestesia pada pasien trauma umumnya mempergunakan ketamin atau etomidat. Propofol
dipergunakan dengan dosis yang sangat diturunkan (80 90 %) pada trauma berat walaupun telah diberi
resusitasi cfairan yang adekuat. Ketamin dan N2O yang normalnya merupakan stimulan kardiak tak
langsung, masih berefek kardiodepresan pada pasien pada pasien yang mengalami syok dan sudah
terjadi stimulasi simpatikus maksimal. Hipotensi dapat juga dihanbat setelah induksi etomidat.
Pemeliharaan anestesia pada pasien yang tidak stabil mempergunakan terutama obat pelumpuh otot dan
titrasi anestetik umum (MAP > 50 60 mmHg) yang cukup menghasilkan amnesia. Intermiten ketamin (
10 15 mg tiap 15 menit) cukup baik memberikan toleransi dan membuat pasien lupa, terutama jika
dipergunakan volatil anestetik dosis kecil (< 0,5 MAC).
Barbiturates
Thiopental
Thiamylal
Methohexital 0
Benzodiazepines
Diazepam 0/ 0
Lorazepam 0/ 0
Midazolam 0
Opioids
Meperidine 2 2
610
Cardiovascular Respiratory Cerebral
Morphine2 2 2
Fentanyl 0
Sufentanil 0
Alfentanil 0
Remifentanil 0
Ketamine
Etomidate 0 0
Propofol 0 0
Droperidol 0 0 0
HR, heart rate; MAP, mean arterial pressure; Vent, ventilatory drive; B'dil, bronchodilation; CBF, cerebral blood flow; CMRO 2, cerebral oxygen
consumption; ICP, intracranial pressure; 0, no effect; 0/ , no change or mild increase; , decrease (mild, moderate, marked); , increase (mild,
moderate, marked).
2
The effects of meperidine and morphine on MAP and bronchodilation depend upon the extent of histamine release.
Adjuvan lain agar pasien tidak ingat dapat dipergunakan midazolam (1 mg intermiten) atau skopolamin
0,3 mg. Penggunaan N2O dibatasi pada pasien taruma yang diduga pneumotoraks. Pada pasien yang
mengalami syok lebih mempergunakan pola penatalaksanaan yang aman untuk pasien yaitu pemberian
dosis secara inkremental untuk semua obat anestetik.
Pemanatauan invasif ( arteri langsung, CVP, PAWP) akan sangat menolong untuk memandu resusitasi
cvairan, tetapiu insersinya tidak akan menghambat reesusitasi itu sendiri.
611
Tiap Korban trauma dengan ganguan kesadaran dipikirkan adanya cedera otak.. Tingkat kesadaran
dinilai dengan mempergunakan skala GCS Scale. Umumnya cedera ini memerlukan tindakan bedah
segera termasuk, hematom epidural, subdural hematom akut, cedera tembus otak, atau tekanan pecahan
tulang tengkorak. Cedera lain yang dapat dikelola secara konservatif, adalah fraktur basis kranii dan
hematom intra serebral. Fraktur basis krani sering memberikan gejala memar pada kedua kelopak mata
(raccoon eyes), atau hematom diatas prosesus mastoid (Battles sign), cairan serebrospinal keluar
melalui hidung dan telinga (CSF rhinorrhea). Gejala lain cedera otak, berupa gelisah, konvulsi, disfungsi
saraf otak (misalnya pupil nonreaktif). Gejala klasik Triad Cushing (hipertensi, bradikardia, gangguan
pernapasan) adalah terlambat dan tidak dapat dipastikan yang biasanya mendahuli herniasi otak.
Hipotensi jarang karena hanya cedera kepala.
Cedera otak sering disertai oleh peningkatan tekanan intrakranial karena perdarahan otat atau edema.
Hipertensi intrakranial dikontrol dengan kombinasi resktriksi caiaran (kecuali terdapat syok
hipovolemik), diuretik (misalnya mannitol 0,5 g /kg), barbiturat dan hyperventilasi agar terjadi
deliberate hypocapnia (Pa CO2 28 32 mmHg); dua yang terakhir memerlukan intubasi endotrakea.
Hipertensi atau takikardia selama intubasi dapat ditekan dengan pemberian lidokain atau fentanil
intravena. Intubasi sadar dapat cepat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemasangan pipa nasotrakea
atau pipa nasogastrik pada pasien dengfan fraktur basis kranii mempunyai risiko perforasi plat
kribriformis (bagian etmoid) dan infeksi cairan serebrospinal. Meninggikan posisi kepala dapat
memperbaiki drainage vena dan menurunkan tekanan intrakranial. Pemakaian kortikosteroid pada
cedera kepala masih kontroversial. Hiperglikemia harus dicegah dan diobati dengan insulin. Hipotermia
sedang terbukti menguntungkan untuk pasien dengan cedera kepala karena dapat mencegah iskemi
yang dicetuskan oleh trauma (ischemia-induced injury).
Pada bagaian otak yang cedera, autoregulasi aliran darah otakterganggu; hipertensi arterial akan
memperburuk edema serebri dan meningkatkan tekanan intrakranial.Tetapi hipotensi arterial
menyebabkan iskemia serebral. Umumnya tekanan perfusi serebral (selisih MAP pada level otak dan
CVP yang lebih besar atau ICP) yang seharusnya dipertahankan sekitar 60 mm Hg.
Pasien dengan cedera otak berat lebih mudah mengalami hipoksemia arterial karena tak sebandingnya
pintas paru (pulmonary shunting) ventilasi / perfusi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh aspirasi,
atelektasis, atau efek neurologik langsung terhadap pembuluh darah paru. Hipertensi intrakranial dapat
mempengaruhi pasien terjadi edema paru karena peningkatan outflow simpatikus.
Tingkat gangguan fisiologik setelah cedera medula spinalis proporsional dengan level lesi. Selama
intubasi dan transportasi harus dilakukan hati-hati untu mencegah kerusakan lebih berat. Lesi tulang
servikal dapat melibatkan saraf frenikus (C3-C5) dan mengakibatkan apne. Hilang fungsi interkostal
terbatas pada cadangan paru dan kemampuan batuk. Cedera torak tinggi (T1-T4) akan mengganggu
saraf simpatikus jantung hingga condong bradikardia. Cedera mendadak medula spinalis dapat
menyebabkan syok medula spinalis, kondisi spesifik karena hilangnya tonus simpatikus pada pembuluh
612
darah dibawah lesi; akibatnya terjadi hipotensi, bradikardia, arefleksia, atonia gastrointestinal. Gejala
yang segera terlihat, distensi vena kaki. Hipotensi memerlukan resusitasi cairan yang cepat, tetapi
diperlambat jika kemungkinan edema paru. Suksinil koline dapat berakibat fatal diberikan cedera
medula spinalis karena menyebabkan hiperkalemia hebat yang mengancam jiwa. Tetapi dilaporkan
masih aman jika diberi dalam 48 jam setelah trauma. Kortikosteroid dosis tinggi (metilprednisolon 30
mg/jg kemudian 5,4 mg/kg/jam selama 23 jam) dapat memperbaiki outcome neurologik pada pasien
dengan trauma medula nspinalis. Hiperrefleksi autonomik berkaitan dengan lesi di atas T5 tetapi tidak
menjadi masalah selama menejen mendadak.
Trauma dada
Trauma dada dapat sangat membahayakan fungsi jantung dan paru.terutama syok kardiogenik dan
hipoksia. Pneumotoraks sederhana adalah adanya akumlasi udara diantara pleura prietalis dan viseralis.
Ipsilateral jarinan paru kolaps akan menyebabkan gangguan hebat ventilasi / perfusi dan hipoksia. N2O
akan memperbesar pneumotoraks, karena itu menjadi kontra indikasi untuk pasien ini. Pengobatannya
masang waters seal; drainage pada sela iga 4 5 di garis midaksiler antrerior. Jika masih bocor, yang
cedera mungkin mengenai cabang bronkus utama.
Pneumotoraks tegang (tension pneumothorax) terjadi bila udara masuk ke dalam rongga pleura jalan
berkatup (one-way valve) di paru atau dada; atau udara masuk dengan paksa melalui inspirasi tetapi tidak
dapat keluar selama ekspirasi. Akibatnya ipsilateral paru kolap sedang kan mediastinum dan trakea
bergeser ke sisi kontra lateral. Pneumotoraks sederhana dapat berkembang menjadi pneumotoraks
tegang bila ventilasi diberi tekanan positif. Darah balik ke jantung dan ekspansi paru kontra lateral
terganggu. Gejala klinik adalah hilangnya suara napas pasa sisi ipsilateral dan hiperresonan pada perkusi,
trakea bergeser kontralateral serta vena-vena leher membesar. Terapinya, tusukan jarum ukuran 14 gauge
se dalam 3 6 cm pada sela iga ke 2 di garis midklavikular; akan merubah pneumotoraks tegang
menjadi pneumotoraks terbuka (open pneuthorax).Selanjut dilakukan terapi definitif seperti
pneumotoraks biasa.
Fraktur iga multipel akan mengganggu integritas toraks hingga terjadi flail chest. Hipoksia sering
diperburuk oleh kontusion paru atau hemotoraks sebelumnya pada pasien ini. Hemotoraks dan
hemomediastinum dapat menyebabkan syok hemorhagik. Hemoptisis masif mungkin memerlukan
pemasangan double lumen tube (DLT) atau single lumen tube dan bronchial blocker agar bekuan darah
tidak masuk ke paru sehat.
Tamponade jantung adalah ceder dada yang mengancam keselamatan pasie yang harus segera diketahui.
Gejala berupa, Trias Beck (distendid vena leher, hipotensi, suara jantung lemah), pulsus paradoxus (a >
613
10 mmHg tekanan darah turun selama napas spontan. Pengobatan sementara dapat dilakukan berupa
perikardiosentesis. Penatalaksanaan anestesia harus memaksimalkan efek kardioinotropik,
khronotropik,dan preload. Karena alasan ini ketamin dapat dianjurkan sebagai obat induksi.
Kontusio miokard biasanya didiagnosis denbgan melihat perubahan ECG berupa iskhemia (elevbasi ST
segmen), elevasi enzim ( kreatin kinase MB atau level tyroponin), atau ekhokardigram abnormal.
ARDS (acute respiratory distress syndrome) biasanya merupakan komplikasi kemudia setelah trauma
yang mempunyai banyak penyebab : sepsis, cedera toraks, aspirasi, cedera kepala, emboli lemak,
transfusi masif, keracunan oksigen. Kematian ARDS dapat mencapai 50 % walapun sudah dilakukan
dengan teknologi tinngi.
Trauma abdomen
Pasien dengan trauma berat sebaiknya dipertimbangkan juga mengalami cedera abdomen sampai terbukti
tidak. Hampir 20 % pasien dengan cedera intraabdominal tidak nyeri dan tanpa gejala iritasi peritoneum
(defans otot, nyeri ketok atau ileus) pada pemeriksaan pertama.
Luka tembus abdomen biasanya jelas dengan tanda masuk ke perut atau dada bagian bawah; mengenai
organ hati. Pasien cenderung dimasukkan menjadi 3 kelompok : 1) pulseless, 2) hemodynamically
unstable, 3) stable. Pasien dengan pulseless dan unstable hemodynamic, sulit mempertahankan
tenkanan darah antara 80 90 mmHg dengan 1 2 L resusitasi cairan; segera untuk persiapan
laparatomi. Sebaliknya pada trauma tembus abdomen dengan hemodinamik stabil dan tidak disertai gejala
klinis peritonitis memerlukan evaluasi yang teliti untuk menghindari tindakan laparatomi yang tidak
perlu. Gejala klinis cedera intra-abdominal mencakup adanya udara bebas dibawah diafragma
(pemeriksaan radiologi), darah dari nasogastrik, hematuria, darah dari rektum. Trauma tumpul yang yang
paling menonjol sebagai penyebab kematian dan kesakitan dari trauma dan yang paling terkenal adalah
trauma intraabdominal. Yang paling sering terjadi adalah limpa robek atau pecah.
Hipotensi berat dapat terjadi setelah rongga perut dibuka karena efek tamponade dari ekstravasasi darah
atau usus yang distendid dikeluarkan. Bila waktu memungkinkan, persiapkan dulu pasien dengan
rsusitasi cairan atau darah sebelum tindakan ;laparatomy. Pemakaian N2O dihindarkan untuk mencegah
dilatasi usus. Transfusi masif sebaiknya diantisipasi terutama bila trauma abdomen berkaitan dengan
perdarahan dari pembuluh darah hati, limpa, atau cedera ginjal, fraktur pelvik, atau retroperitoneal. Jika
terjadi komplikasi hiperkalemia karena transfusi darah masif, harus segera diobati.
614
Perdarahan masif intra abdomen memerlukan resusitasi caiaran dan darah yang banyak dan kadang-
kadang operator menjepit aorta abdominal dengan risiko injuri iskhemic hati, ginjal dan kungkai. Hal ini
harus diantisipasi dengan baik tidak sampai terjadi komplikasi, gagal organ terkait bdan rabdomiolisis.
Edema usus progresif karena cedera dan resusitasi cairan dapat mengganggu penutupan dinding perut
pada akhir operasi. Kalau dinding perut terlalu tegang, tekanan intra-abdomen meningkat dan
mengakibatkan abdominal compartment syndrome hingga terjadi iskemia ginjal dan splanknikus.
Oksigenisasi dan ventilasi sering sangat terganggu, walapun otot dinding perut sudah cukup relasasi
(paralisis). Pada kasus ini dinding perut dibiarkan terbuka dan hanya ditutup dengan plastik steril selama
48 72 jam sampai edema hilang dan penutupan sekunder dapat dilakukan..
Trauma ekstrimitas
Cedera ekstrimitas dapat mengancam nyawa karena berkaitan dengan cedera pembuluh darah besar
komplikasi infeksi sekunder. Cedera pembuluh darah dapat cederung masif dan mengancap
kelangsungan hidup tungkai. Misaknya, fraktur femur dapat dikaitkan dengan kehilangan 1 2 L darah
dan fraktur tertutup pelvik kehilangan darah lebih banyak lagi dan mengakibatkan syok hipvolemik.
Emboli lemak berkaitan dengan fraktur pelvik dan fraktur tulang panjang, hingga menyebabakan
insufisiensi, disritmia, petechera kulit dan kemunduran mental dalam 1 3 hari setelah trauma.
REFERENSI
615
MODUL 33
POST ANESTHESIA CARE
UNIT (PACU)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
8. Ruang belajar
9. Ruang pemeriksaan
10. Ruang Pulih
11. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
616
Referensi :
8. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
9. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:
1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The Ambulatory Anesthesia Handbook.
St Louis: Mosby;1995,431-49.
2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology 2002; 96(3).
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum
dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh
dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau
perlu operasi lagi.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:
Kognitif
10. Mengetahui alat monitoring dan obat-obatan apa yang perlu di ada di PACU
11. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,
12. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
13. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
14. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
15. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
16. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
17. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
18. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
19. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
20. Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk anestesi lokal atau akibat
kateternya.
21. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah ke ruangan atau ke
PACU fase 2).
22. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah).
23. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
617
Psikomotor
7. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan obat-obatan yang harus ada
di PACU.
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan
nafas,
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
10. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
11. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
12. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
13. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
14. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
15. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
16. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
17. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: akibat
penusukan jarum untuk anestesi regional atau kateternya.
18. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi
Aldretes score
19. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang kerumah)
dengan PADSS score.
20. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
Komunikasi
2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan ulang akibat pembedahannya.
3. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter untuk anestesi regional.
Professionalisme
KEYNOTES:
10. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum stabil, ventilasi dan
oksigenasi adekuat, stabil hemodinamik.
11. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan
curah jantung. Efek fisiologis sering kurang dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan
fungsi paru dan jantung.
12. Masalah respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi, yang dihubungkan dengan
obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.
13. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu obat anestesi
14. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi pada
pasien yang mengalami hipoventilasi.
15. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi di PACU
618
16. Nyeri dari daerah insisi, intubasi endotrakheal, distensi kandung kemih merupakan
penyebab hipertensi.
17. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret score
18. Pemulangan pasien kerumahnya berdasarkan kriteria PADSS
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan ketrampilan dalam
membuat design PACU, emergens dari anestesi umum, transportasi dari OK, pemulihan dari
anestesi umum, pemulihan dari anestesi regional, pengelolaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil
dan hipotermi, kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria pemulangan dari RS ke
rumah, pengelolaan komplikasi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi,
hipertensi, aritmia.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca anestesi umum
dan regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh
dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau
perlu operasi lagi.
METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1: mampu mengelola pasien pasca anestesi umum dan regional di PACU
Metode pembelajaran
13. Small group discussion
14. Peer assisted learning (PAL)
15. Bedside teaching
16. Task-based medical education
Metode pembelajaran
5. Small group discussion
6. Peer assisted learning (PAL)
619
7. Bedside teaching
8. Task-based medical education
Metode pembelajaran
1. Small group discussion
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
MEDIA
EVALUASI
13. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
14. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
620
15. Communication and Interpersonal Skills
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
16. Professionalism
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pretest
45. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di PACU!
46. Bagaimana cara mendesign PACU?
47. Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan cara mengatasinya!
48. Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldretes score!
49. Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS!
50. Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal sebelumnya tidak
direncanakan masuk ICU!
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
10. Kognitif
a.
EMQ (Extended Medical Question)
b.
Multiple observation and assessments
c.
Multiple observers
d.
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e.
Minicheck
11. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
12. Affective : Professionalism, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
621
b. Multiple observers
Tindakan / operasi :
PENGENALAN KOMPLIKASI
1 Pemasangan monitor
622
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
623
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Definisi Pemulihan
Pemulihan adalah proses yang kontinu dan proses tersebut secara tradisional dibagi
dalam 3 bagian yang saling tumpang tindih: early recovery, saat pasien bangun dari anestesi;
intermediate recovery, bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila pasien
kembali ke keadaan fisiologis seperti sebelum operasi.
Early recovery (phase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat anestesi supaya pasien
bangun, pulih refleks proteksi jalan nafas, dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya
terjadi di PACU dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang suatu
sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1,
atau 2 ditujukan untuk aktivitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor
624
maksimalnya 10. Penggunaan pulse oximetri dapat menolong lebih akuratnya indikator
oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna
pada Aldrete skor dengan SpO2 pada Modifikasi Aldrete Skoring sistem. Bila pasien mencapai
skor 9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke ruang pulih fase 2 dimana fase 2
recovery terjadi sampai mencapai kriteria untuk dipulangkan. Phase 3 recovery terjadi setelah
keluar dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.
625
0=unable to move extremities
Respiration
2=breathes deeply & cough freely
0=apneic
Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level
Oxygen saturation
2=SpO2 > 92% on room air
Fast Tracking
Tersedianya obat dengan mula kerja cepat dan lama kerja pendek untuk induksi dan
pemeliharaan anestesi akan memfasilitasi cepatnya pulih setelah operasi bedah sehari. Sebagai
hasilnya, pasien dapat mencapai skor 9 atau 10 ketika tiba di PACU. Pasien-pasien ini juga
mungkin lebih cepat pulih di unit phase 2. Biasanya, semua pasien ditransfer ke PACU, tak
terkecuali dengan Aldrete skor 9 atau 10, tetap diperlukan untuk tinggal di PACU hanya sebagai
persyaratan/protokol perawatan. Faktor-faktor ini yang kadang memperlambat pasien yang telah
betul-betul pulih untuk meninggalkan PACU.
Teknik Fast-tracking akan menyebabkan pasien dari kamar bedah langsung dipindahkan
ke pemulihan phase 2 tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti
akan menekan biaya sehingga akan menguntungkan bagi pasien. Pada kasus pediatrik, orang tua
pasien tidak diperbolehkan ada di PACU karena tempatnya terbatas, akan tetapi, diijinkan masuk
ASU (Ambulatory Surgical Unit) saat induksi anestesi. Anak-anak mendapat keuntungan
tambahan dengan fast-tracking karena cepat berkumpul dengan orang tuanya.
Penelitian Song menunjukkan bahwa pasien yang dianestesi dengan desfluran dan
sevofluran untuk rumatan anestesi ketika ligasi tuba, menunjukkan lebih cepat bangun daripada
dengan propofol. Modifikasi Aldrete aslinya digunakan untuk memenuhi syarat fast track.
Sistem skoring ini tidak mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang
sering terlihat di PACU. White dkk, memasukkan faktor nyeri dan muntah kedalam Skoring
Aldrete. Dengan sistem skoring yang baru skor maksimum adalah 14 dan bila skore pasien 12
dapat dapat langsung ke fase 2 .
626
Tabel 3: Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan kapan
Phase 2.
Score
Level of consciousness
Physical activity
Hemodynamic stability
Respiratory stability
627
None or mild discomfort 2
Total score 14
Adanya Practice Guideline for Post Anesthetic Care (PGPAC) ini bertujuan untuk
memperbaiki outcome postanesthetic care yang diberikan anestesi atau sedasi dan analgesi. Hal
ini dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti-bukti dan memberikan rekomendasi untuk
penilaian pasien, pemantauan, dan pengelolaan dengan sasaran optimalisasi keselamatan pasien.
Diharapkan bahwa setiap rekomendasi akan individual bergantung pada kebutuhan setiap
pasien.
Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and Monitoring
Respiratory
Respiratory rate
628
Airway patency
Oxygen saturation
Cardiovascular
Blood pressure
Neuromuscular
Nerve stimulator
Mental Status
Temperature
Pain
Urin
Voiding
Output
Dari tabel diatas yang rutin berarti harus dilakukan secara rutin pada semua kasus
sedangkan selected patient tidak selalu dilakukan bergantung pada kasusnya, jadi bersifat
individual.
629
Pemulangan Pasien
Program bedah rawat jalan yang sukses tergantung pada pemulangan pasien yang tepat
waktu setelah anestesi. Chung dkk membuat sistim skoring yang disebut PADSS
(Postanesthesia discharge scoring system) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk
dipulangkan. Untuk menjamin pendelegasian yang aman pada perawat, suatu sistem skoring
harus praktis, simpel, mudah untuk diingat, dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan
5 kriteria yaitu: 1) tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, temperatur), 2)
ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5) perdarahan akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor
mencapai 9, pasien cukup aman untuk dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan
bahwa dengan menggunakan PADSS pasien dapat dipulangkan dalam waktu 1-2 jam
pascabedah.
Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien yang aman
antara lain:
Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery.
Able to void
Able to dress
Excessive pain
Bleeding
The patient must have a responsible, vested adult escort them home and
630
stay with them at home.
dipulangkan kerumah.
Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS seperti terlihat dibawah
ini:
dipulangkan kerumah.
631
AFTER
GUIDE
LINES
Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi
bedah, pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri,
kecemasan, atau efek sisa dari anestesi spinal atau epidural. Faktor resiko untuk retensi urin
adalah ada riwayat retensi urin, anestesi spinal/epidural, operasi pelvik atau urologi, katerisasi
perioperatif. PGPAC merekomendasikan bahwa urinasi sebelum pasien dipulangkan tidak
632
merupakan bagian dari protokol pemulangan pasien dan mungkin hanya diperlukan untuk untuk
pasien tertentu. Bila voiding merupakan bagian dari pemulihan, pasien dapat dipulangkan
dengan instruksi yang jelas untuk minta pertolongan apabila tidak bisa kencing dalam 6-8 jam
pascabedah.
Anestesi Spinal
Anestesi spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan anestesi umum yaitu lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan
nyeri pascabedah. Disamping keuntungan tsb, anestesi spinal bukannya tanpa masalah. Lidokain
adalah obat yang populer untuk anestesi spinal akan tetapi mempunyai masalah dengan
terjadinya TNS (transient neurologic symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian
lidokain intratekal dan kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%.
633
dengan 2% perubahan lama tinggal. Operasi THT, strabismus, congestive heart failure
merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya pemulangan. Faktor intraoperatif
adalah anestesi umum, operasi yang lama, adanya kejadian kardiak intraoperatif. Nyeri
pascabedah dan PONV juga merupakan faktor yang memperlambat pemulangan pasien, selain
itu kadang-kadang masalah logistik akan memperlambat pemulangan pasien.
Nyeri pascabedah dan PONV adalah 2 faktor utama yang memperlambat pemulihan.
Nyeri
Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestesi yang baru,
spesialis anestesi harus mengembangkan untuk pengelolaan nyeri pascabedah yang
efektif, yang harus dipikirkan sejak saat prabedah. Analgesi harus dimulai di kamar
bedah dan dilanjutkan dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya
pemberian obat, dan dengan mempertimbangkan faktor emosional yang akan menambah
nyeri, adalah elemen penting untuk keberhasilan terapi nyeri.
Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk nyeri
pascabedah, akan tetapi, adanya efek samping seperti depresi nafas, sedasi, PONV akan
mengurangi keuntungan opioid untuk analgesi pascabedah. Keadaan ini yang
menyebabkan berkembangnya pemakaian NSAID pada pasien bedah rawat jalan.
Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac, fentanyl
memberikan hasil yang unggul dalam 15 menit pertama, karena itu, kedua kelompok
obat (opioid dan opioid) memberikan hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,5-
2mg/kg) memberikan hasil yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada
opioid, dan adanya peningkatan perdarahan akan membatasi pemakaian ketorolac pada
beberapa kasus bedah.
Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri pascabedah yang minimal yang
dapat dikendalikan dengan analgesik per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan
analgesia, nyeri masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak
dengan dokter keluarga, dan untuk menjadi dirawatnya pasien yang direncanakan bedah rawat
jalan.
Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti tentang pola nyeri dan
membatasi setiap faktor yang menimbulkan nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008
pasien bedah rawat jalan untuk mengidentifikasi faktor resiko untuk nyeri hebat. Operasi
ortopedi mempunyai kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat pascabedah, terutama operasi bahu
dan pengangkatan metal. Lama operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri
pascabedah. Bila lama operasi lebih dari 90 menit, 10% pasien akan mengalami nyeri hebat. Bila
operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan mengalami nyeri hebat.
Pengelolaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya prabedah untuk
menjamin pemulihan yang bebas nyeri. Pendekatannya harus multimodal, menggunakan
NSAIDs, opioid, dan anestesi lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30 menit
untuk menjadi effektif dan sediaan parenteral lebih mahal daripada sediaan per oral.
634
PONV
PONV masih merupakan masalah yang umum setelah bedah rawat jalan, dan
kejadiannya sekitar 20-30% setelah pemberian anestesi umum dan dilaporkan masih terjadi pada
35% pasien setelah dipulangkan kerumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi
pasien. Chung menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling penting yang menyebabkan
pasien bedah rawat jalan lambat dipulangkan.
Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu sistem skoring untuk
resiko terjadinya PONV yang terdiri dari 4 kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat
PONV dan mabuk perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila satu,
dua, tiga, atau empat faktor tersebut ada maka kejadian PONV adalah 10%, 20%, 39%, dan
79%. Prosedur bedah yang lama dan jenis operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya
resiko terjadinya PONV. Kejadian PONV yang tinggi terjadi pada operasi intraabdominal,
operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi payu dara, mata, dan THT. Disebabkan karena
bila telah terjadi PONV biaya akan lebih mahal daripada pencegahan, maka identifikasi faktor
prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat diberikan terapi profilaksis.
PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja terjadi pada pasen
rawat inap setelah kembali ke ruangan atau pasien rawat jalan setelah pasien pulang
kerumahnya. Sebelum itu, sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien
dipulangkan kerumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien dipulangkan akan
mengurangi kejadian PONV setelah pasien dipulangkan kerumah. Pasien dengan resiko
besar untuk terjadi PONV seperti laparoskopi, strabismus sebaiknay diberikan
ondansetron sesaat sebelum pasien dipulangkan. Profilaksis antiemetik dengan intravena
droperidol 0,625 mg, ondansetron 4 mg, metoclopramide 10 mg, dexamethason 150
uk/g atau sampai 8 mg iv efektif untuk mencegah PONV.
Pada tanggal 5 Desember 2001, FDA menyatakan peringatan black box untuk
droperidol. Hal ini disebabkan karena adanya kematian tiba-tiba pada dosis tinggi
droperidol (>25 mg) pada kasus psikiatri, adanya resiko aritmia jantung. Peringatan ini
berdasarkan pada 9 laporan kasus. Pada 7 laporan dimana diberikan 2,5 mg droperidol,
4 orang meninggal sedangkan 3 orang lagi dapat selamat setelah terjadi henti jantung.
Henti jantung juga terjadi pada 2 pasien yang diberi droperidol dengan dosis 1 mg,
dimana 1 pasien meninggal. Oleh karena itu, sebaiknya tidak memberikan droperidol
untuk terapi PONV.
635
Table 9. Summary of Treatment recommendation
Normalizing patient
temperature
Wu dkk meneliti simptom keseluruhan setelah pasien dipulangkan dan kejadiannya kira-
kira 45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk muntah, simptom lainnya adalah ngantuk,
pusing, dan lemah.
636
dari 1 jam, bila lama anestesi 2 jam atau lebih, pasien tidak boleh nyetir sampai 48 jam, ini bila
dianestesi dengan pentotal dan halotan. Dengan adanya obat anestesi yang baru yaitu Propofol,
sevofluran, desfluran, remifentanyl maka penelitian Sinclair dengan simulator nyetir
menyebutkan bahwa hanya perlu 3 jam.
Harus diingat faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah
rawat jalan. Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar
bedah, diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan,
pengelolaan PONV dan nyeri pasca bedah, pemasangan jalur vena yang lancar, dan hindari
keterlambatan.
Simpulan
2. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan
bedah rawat inap, juga menguntungkan untuk pasien dan keluarganya.
3. Pemantauan di PACU (Pemulihan Phase I/early recovery) dengan Modifikasi
sistem Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau kamar bedah bila
skor mencapai 9 atau lebih.
4. Pemantauan di ruang pulih phase II (intermediate recovery) dengan PADSS dan
pasien boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore 9 atau lebih.
5. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama yang
dapat dikurangi dengan perencanaan anestesi yang tepat.
6. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan harus jelas dan
tertulis.
Referensi :
637
MODUL 34 Pengelolaan nyeri
Persiapan Sesi
Audiovisual
34. Laptop
35. OHP
36. Flipchart
37. Video pkayer
Materi prsentasi :
CD Powerr Point
Sarana
- Ruang Belajar
- Ruang pemeriksaan
- Ruanfg Pulih
- Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU dan ICU
Referensi :
638
38. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
39. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
40. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
41. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005
1. Tujuan Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini,peserta didik akan mampu melakukan pengelolaan nyeri
akut dan khronik termasuk nyeri kanker dan pendekatan farmakologis dan non farmakologis
menggunakan tehnik non invasif maupun invasif.
2. Tujuan Khusus :
Kognitif
3. Mampu menjelaskan pengelolaan nyeri pada nyeri khusus antara lain nyeri pada luka
bakar,nyeri herpes,nyeri neuropatik diabetikum.
Psikomotor
2. Mampu memilih dan menetapkan kombinasi penkatan yang dipergunakan pada nyeri
khronik termasuk nyeri kanker sesuai tahapannya.
639
4. Mampu melakukan pengelolaan nyeri pada pasien nyeri khronik mengalami nyeri akut
karena pembedahan
Komunikasi
1. Mampu berinteraksi dan menciptakan kondisi kerjasama tim dengan sejawat yang terkait
dari keahlian lain,perawat dan petugas home care.
3. Mampu menjelaskan kepada pasien maupun keluarga tentang tindakan dan efek samping
yang mungkin terjadi
Profesionalisme
1. Mampu bekerja dengan etis dan sesuai standar prosedur .
2. Mampu bekerja dalam tim dan menghargai sejawat lain,termasuk perawat, petugas
kesehatan dan perugas home care sesuai kompetensinya masing masing.
4. Mampu menentukan pilihan pendekatan untuk pasien yang berada pada stadium akhir
dan terapi paliatif .
3. Key notes
1. Nyeri dapat diklasoifikasi menurut patofisiologfi (misalnya, nyeri nosiseptif, atau nyeri
neuropatik), etiologi (misalnya, nyeri pasca bedah atau nyeri kanker), atau area yang
menderita( misalnya, nyeri kepala atau nyeri bokong bawah/low back pain).
2. Nyerti nosiseptif disebabkan oleh aktifasi atau sensitisasi nosiseptor perifer, reseptor
yang menghantarkan stimuli noksious. Nyeri neuropatik adalah akibat cedera atau
kelainan yang didapat pada struktur perifer atau sewntral.
3. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabakan oleh stimulasi noksious
karena cedera, proses penyakit, atau funsi abnormal otot atau visera. Hampir selalu
merupakakan nyeri nosiseptif.
640
4. Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi perjalanan satu penyakit
atau setelah waktu penyembuhan terjadi; periode dapat bervariasi antara 1 sampai 6
bulan. Nyeri kronik mungkin nyerf atau neuropatik atau campuran.
5. Modulasi nyeri terjadi perifer pada nosiseptor, di medula spinalis atau di struktur
supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat (supresi) atau mempermudah (memperkuat)
nyeri.
6. Nyeri akut yang moderat sampai berat, di mana saja letaknya dapat mengenai setiap
fungsi organ serta memperburuk morbiditas dan mortalitas pasca bedah.
8. Antidepresan umumnya sangat berguna untuk pasiehn dengan nyari neuropatik. Obat ini
terbukti memberikan efek analgesia pada dosis yang lebih kecil dari pada dosis sebagai
antidepresan.
9. Antikovulsan telah dibukti sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik.
11. Dampak samping yang berat opioid epidural atau intratekal tergantung dosis dan depressi
napas tunda (delayed respiratory depression). Kebanyakan kasus depresi napas terjadi
pada pasien yang bersamaan mendapat opioid atau sedatif parentral.
Gambaran Umum
Setelah melalui sesi peserta didik mampu menangani nyeri akut terutama nyeri pasca bedah,
nyeri kronik terutama nyeri kanker. Peserta didik dilatih melakukan pendekatan yang
multisdisiplin untuk bekerjasama dengan bidang ilmu lain seperti, internis, neurologis,
onkologis, psikolog atau akupungturis.
Tujuan Pembelajaran
Selama mengikuti sesi ini peserta akan mengetahui definisi dan klaisfikasi nyeri akut dan
nyeri kronik , serta anatomi dan fisiologi nosiseptif. Karena nyeri bersifat multi modulasi,
maka intervensi ditempuh berbagai cara yaitu secara farmakologik atau blok neuroaksial
atau kombinasi. Khususnya untuk nyeri pasca bedah peserta didik juga harus mampu
mengelola analgesia preemptif.
641
Sumber Belajar
- Buku teks,Jurnal ilmiah
- Spesialis Anestesi sebagai pengajar dan pelatih
Metode belajar:
Media Pembelajaran
Perpustakaan
Kata Kunci:
Evaluasi:
- Pre test
- Post test
- tes tulis
642
- clinical performance test(pasien)
Sudah Belum
N
Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesi dikerja dikerja
o.
kan kan
PERSIAPAN
1 Informed consent
5 Persiapan alat,obat
6 Pendekatan psikologis
TINDAKAN ANESTESI
643
1 Induksi, intubasi
2 Maintenance
3 Ekstubasi
DAFTAR TILIK
Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan
berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan
644
Nama peserta didik Tanggal
DAFTAR TILIK
1 2 3 4 5
Layak
645
Tidak layak
Melakukan prosedur
Nyeri adalah gejala umum yang membawa pasien datang ke dokter, yang hampir selalu
merupakan manifestasi proses patologik. Umumnya pengelolaan nyeri ini merupakan bagian
dari disiplin anestesiologi tetapi pada perkembangan kemudian pemakaian di luar kamar
operasi. Dalam praktik pengelolaan nyeri dibagi menjadi pengelolaan nyeri akut dan
pengelolaan nyeri kronik. Pada mulanya mengelola nyeri pasien yang selesai dari operasi atau
karena kondisi akut penyakit sebagai pasien rawat inap, sedangkan yang kemudian pengelolaan
nyeri untuk berbagai kelompok sebagai pasien rawat jalan. Sudah tentu ada overlap antara
keduanya mialnya pasien nyeri kanker yang dapat menjadi pasien rawsat inap dan rawat jalan.
Praktik pengelolaan nyeri tidak terbatas pelayanan anestesiologi saja tetapi akan mencakup
praktisi lain seperti, intgernis, onkologi, neurologi, atau non-dokter seperti, psikologi,
akupungtur. Yang jelas bidang adalah memerlukan penderkatan multidisiplin.
Anestesiologi yang terlatih dalam pengelolaan nyeri dapat menjadi koordinatoir pengelolan nyeri
yang multidisiplin di klinik nyeri karena telah terlatih menagani nyeri pasien bedah, obstetri-
ginekologi, pediatrik atau spesialis lain dengan pendekatan farmakologi atau neuroaksial dengan
cara blok saraf perifer atau saraf pusat.
646
Persepsi nyeri tergantung neuron yang berfungsi, apakah sebagai reseptor, detektor stimulus,
dan kemudian transdusi dan konduksi ke dalam susunan saraf pusat. Sensasi sering dibagi
sebagai protopatik (noksious) atau epikritik (non-noksious). Sensasi epikritik (cahaya, perabaan,
tekanan, proprioseptif, suhu) yang diberi tanda oleh reseptor ambang rendah (low-
thresholdreceptors) dan umumnya dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin (large
myelinated nerve fibers). Sebaliknya sensasi protopatik (nyeri) dilayani oleh reseptor ambang
tinggi (high-threshold rceptors) dan dihantarkan oleh serabut saraf kecil bermielin ( mielinated
nerve fibers) (Adan serabut saraf tak bermielin (unmyelinated nerve fibers) (C).
Nyeri tidak hanya modaliti sensasi tetapi suatu pengalaman. The International Association for
the Study of Pain ( IASP) mendefinisikan nyeri sebagai: as unpleasant sensory and emotional
experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such
damage
Nosiseptif (nociception), berasal dari bahasa Latin : noci (cedera atau injury), dipergunakan
untuk menjelaskan respon neural hanya terhadap trauma atau stimulus noksious. Semua
nosiseptif menghasilkan nyeri, tetapi tidak semua nyeri akibat dari nosiseptif. Banyak pula
pasien mengalami nyeri tidak disertai stimuli noksious. Karena itu untuk penggunaan klinik,
nyeri dibagi menjadi : 1) nyeri akut, yang terutama karena nosiseptif; 2) nyeri kronik, yang
mungkin disebabkan oleh nosiseptif, tetapi faktor psikologi dan behavior yang lebih banyak
berperan. Tabel yang dipergunakan untuk menanganan nyeri.
Term Description
647
Term Description
Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi, (misalnya: nyeri nosiseptif atau nyeri
neuropatik; etiologi (pasca bedah atau kanker);area yang terkena ( nyeri kepala, nyeri punggung
baweah). Klisifikasi di[pergunakan untuk menentukan modaliti pengobatan dan jenis obat ysng
dipergunakan. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer,
terutama reseptor yang menghantarkan stimuli noksious. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang
disebabkan oleh cedera atau kelainan yanh didapat pada struktur saraf perif atau saraf pusat
a. Nyeri akut
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh stimulus noksious karena
cedera, fungsi abnormal dari otot atau visera. Nyeri nosiseptif membantu untuk mendeteksi,
melokalisir dan membatasi kerusakan jaringan melalui 4n proses : transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Jenis nyeri ini tipikal dan berkaitan dengan stres neurendokrin yang
proporsional dengan intensitasnya. Bentuk yang paling umum meliputi: nyeri pasca trauma,
nyeri perioperatif dan nyeri obstretrik dan penyakut akut seperti, seperti, infark miokard,
pnkreatitis, dan batu ginjal. Nyeri ini pudar sendiri atau dengan pengobatan setelah beberapa
hari atau minggu. Kalau tidak menghilang mungkin disebabkan oleh penyembuhan yang
648
abnormal atau pengobatan tidak adekuat. Nyeri akut dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1)
Nyeri somatik dan 2) Nyeri viseral
1. Nyeri somatik
Nyeri somatik dapat diklasifikasi lebih jkauh lagi menjadi : nyeri somatik dalam dan
permukaan. Nyeri somatik permukaan terjadi karena masukan nosiseptif muncul dari kulit,
jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri berkarakteristik dan terlokalisasi jelas, dapat
dideskripsi sebagai nyeri yang tajam, menusuk, berdenyut atau sensasi terbakar.
Nyeri somatik dalam, berasal dari otot, tendon, sendi atau tulang sebagai nyeri tumpul dan
lokalisasi kurang jelas; contohnya trauma pada siku tetapi lokalisasi nyeri ada pada hampir
seluruh lengan.
2. Nyeri viseral
Nyeri viseral adalah nyeri akut yang muncul proses abnormal organ internal atau yang
menutupinya (misalnya pleura parietalis, perikardium, atau peritoneum). Nyeri viseral masih
dibagi menjadi 4 subtipe: 1) true localized visceral pain; 2) localized parietal pain; 3)
reffered visceral pain; 4) reffered parietal pain.Nyeri viseral murni biasanya tumpul difus
dan di garis tengah. Biasanya sering disertai dengan peningkatan aktifitas simpatikus atau
parasimpatikus hingga menyebabkan, mual, muntah berkeringat dan perubahan tekanan
darah dan laju nadi. Nyeri parietalis khas tajam dan sering didiskripsikan sebagai bsensasi
tusukan dengan lokasi sekitar organ atau dialihkan lebih jauh (reffered to a distant site.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melampaui waktu perjalanan penyakit akut atau
setelah waktu yang wajar untuk terjadi penyembuhan; waktu ini dapat bervariasi antara 1 6
bulan. Nyeri dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik atau campuran. Aspek mekanisme
psikologi dan faktor lingkungan sering sangat berperan dalam menentukan perbedaan gambaran
nyeri kronik tersebut. Pasien dengan nyeri kronik sering menekan atau menghilangkan respon
stres neuroendokrin hingga cenderung mengalami gangguan tidur dan afektif (mood).Nyeri
neuropatik adalah paroksismal klasik dan rasa tersayat serta terasa panas dan berkaitan dengan
hiperpati.
Bentuk nyeri kronik yang paling umum berkait dengan gangguan muskuloskeletal, gangguan
viseral kronik, lesi saraf perifer, radiks saraf (nerve roots), (termasuk neuropatik diabetik,
kausalgia, nyeri fantom dan neuralgia posterpetik), lesin sistem saraf pusat(stroke, cedera medula
spinalis, dan multipel skelerosis), dan nyeri kanker. Kebanyakan nyeri gangguan muskuloskeletal
649
(misalnya reumatoid artritis, dan osteoartritis) adalah nyeri nosiseptif, dimana nyeri bercampur
dengan ngangguan saraf perifer dan sentral yang terutama neuropatik. Nyeri yang berkaitan
dengan gangguan-gangguan seperti, kanker dan nyeri punggung kronik (terutama setelah opersi)
sering merupakan nyeri campuran. Beberapa klinikus menyebutnya sebagai nyeri kronik
benigna.
Pathways nyeri
Lihat gambar :
650
bersinaps di nukleus talamikus dengan neuron ketiga (third order neuron) yang membelok
menuju girus postsentralis di korteks serebri melalui kapsul interna (Gambar).
Fisiologi nosiseptif
1. Nosiseptor
Sensasi noksious sering diperinci lagi menjadi 2 komponen memnjadi nyeri pertama dan nyeri
kedua. Nyeri pertama, cepat, tajam dan lokasi sensasi baik, dihantarkan oleh serabut A dengan
latensi yang pendek (0.1 s); nyeri kedua, tumpul, onset lambat, dan lokasi sensasi sering tidak
jelas yang dihantarkan oleh serabut C.
Nosiseptor kutaneous
Nosiseptor kutaneous ada di kedua jaringan somatik dan viseral.. Neuron aferen primer
sampai ke jaringan melalui somatik, simpatikus da parasimpatikus spinal. Nosiseptor somatik
ada di kulit(kutaneous) dan jaringan dalam (otot, tendon, fasia dan tulang), sedangkan
nosiseptor viseral ada di organ dalam.
651
Nosiseptor somatik dalam (deep somatic nocviceptors)
Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif dari pada nosiseptor kutaneous, tetapi
disensitifkan oleh inflamansi. Karakter nyeri yang timbul tumpul dan lokasi tidak jelas.
Nyeri nosiseptor ini berada di otot, sendi dan respon terhadap stimuli mekanik, panas dan
kimia
Nosiseptor viseral
Organ viseral umumnya adalah jaringan yang kurang sensitif, yang terutama
mengandung silnet nociceptors, seperti jantung, paru dan saluran empedu. Kebanyakan
organ seperti usus dipersarafi oleh nosiseptor polimodal nosiseptor yang tanggap terhadap
spasme otot, iskhemia, dan inflamasi (alogens). Sebagian kecil organ seperti otak tidak
mempunyai nosiseptor samasekali, walapun pemukaan selaput otak meninggeal berisi
banyhak nosiseptor.
Seperti halnya nosiseptor somatik di visera tidak terdapat ujung saraf dari neuron aferen
primer yang sel saraf (cell bodies) terletak di tanduk dorsalis medula spinalis. Serabut saraf
aferen ini berjalan berrsama serabut saraf eferen simpatikus sampai ke visera.
Beberapa neuropeptid dan asam amino eksitatori berfungsi sebagai neutransmiter untuk neuron
aferen yang menghntarkan nyeri. (Tabel)
652
Neurotransmitter Receptor1 Effect on Nociception
Somatostatin Inhibitory
Enkephalins , , Inhibitory
-Endorphin , , Inhibitory
Norepinephrine 2 Inhibitory
Adenosine A1 Inhibitory
Glycine Inhibitory
1
NMDA, N-methyl-D-aspartate; AMPA, 2-(aminomethyl)phenylacetic acid; 5-HT, 5-
hydroxytryptamine
Kebanyakan, walaupun tidak semua neuron mengandung lebih dari satu neurotransmiter yang
dilepaskan secara simultan. Neurotransmiter terpenting yaitu : Substance P, calcitonin gene-
related piptide(CGRP). Glutamate adalah eksitatori asam amino yang terpenting. Neuron yang
melepaskan substance P juga mempersarafi visera dan berkolateral dengan serabut saraf yang
menuju ganglion simpatikus para vertebra; stimulasi kuat pada visera akan menyebabkan
langsung postgaanglionic sympathetic discharge.
3. Modulasi Nyeri
653
Modulasi nyeri terjadi di perifer pada nosiseptor dalam medula spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menekan (suppres) atau memperkuat (aggravate) nyeri.
5. Analgesia preemptif
Kiat ini adalah pemberian picu farmakologik hingga terjadi efek analgesia efektif sebelum
trauma bedah. Termasuk cara ini, termasuk infiltrasi sekitar luka operasi, pemberian obat blok
neural sentra, atau pemberian opioid dengan dosis efektif, NSAID, atau ketamin.
Nyeri kronik mungkin disebabkan oleh komdinasi pengaruh sentral, perifer dan psikologik.
Sensitisasi nosiseptif memainkan peran besar pada nyeri dengan mekanisme perifer seperti
gangguan muskuloskeletal dan viseral. Nyeri neuropatik melibatkan saraf sentral dan perifer.
Mekanisme sentral yang kompleks dan umumnya berhubungan lesi parsial atau keseluruhan
dari saraf perifer, ganglia radiks dorsalis,radiks sarea, atau struktur yang lebih sentral (Tabel)
Short-circuits between pain fibers and other types of fibers following demyelination, resulting in
activation of nociceptive fibers by nonnoxious stimuli at the site of injury (ephaptic
transmission).
Functional reorganization of receptive fields in dorsal horn neurons such that sensory input from
surrounding intact nerves emphasizes or aggravates any input from the area of injury.
654
Loss of descending inhibitory influences that are dependent on normal sensory input.
Sistem saraf simpatikus nampaknya memegang peran besar pada pasien denbgan mekanisme
perifer dan sentral. Keampuhan blok saraf simpatikus pada beberapa pasien mendukung konsep
pemeliharaannyeri simpatikus; gangguan dengan nyeri yang sering menjadi respon terhadap
blok simpatikus termasuk distrofi simpatikus, sindroma karena amputasi, neuralgia pasca
herpes.
Mekanisme psikologi atau faktor lingkungan jarang merupakan satu-satunya mekanisme nyeri
kronik, tretapi umumnya berhubungan dengban mekanisme lain (Tabel)
Psychophysiological mechanisms in which emotional factors act as the initiating cause for
somatic or visceral dysfunction (eg, tension headaches).
Learned or operant behavior in which chronic behavior patterns are rewarded (eg, by attention
of a spouse) following an often minor injury.
Intervensi farmokolig pada pengelolaan nyeri mencakup COX inhibitor, opioid, antidepresan,
neroleptik, kortikosteroid, pemakaian intrave obat , pemakaian lokal anestetik secara sistemik.
655
COX inhibitor dapat dipergunakan untuk managemen nyeri pasca bedah, Opioid dipergunakan
terutama untuk nyeri akut moderat sampai nyeri berat6 dan kanker.
Antidepresan
Obat ini mempunyai efek analgesia pada dosis yuang lebih kecil dari pada dosis antidepresan..
kedua efek ini disebabakan oleh blokade reuptake serotonin atau noepinefrin atau keduanya
dari presinaptik. Antidepresan umumnya sangat bermanfaat untuk pasien dengan nyeri
neuropatik, misalnya neuralgia pasca herpes, dan neuropati diabetik.
Antikonvulsan
Antikonvulsan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik, terutama neuralgia
trigeminus, neuropatik diabetik. Obat ini juga efektif sebagai adjuvant untuk nyeri pasca besah
misalnya gabapentin. Dalam Tabel dibawah diperlihatkan daftar obat antikovulsan.
656
Anticonvulsant Half-Life (h) Daily Dose (mg) Therapeutic Level1 ( g/mL)
1
Efficacy in pain management may not correlate with blood level.
Neuroleptik
Neulrptik bermanfaat untuk nyeri neuropatik refrakter. Neuroleptik juga sangat berguna untuk
pasien yang agitasi ataui dengan gejala psikotik. Obat-obat yang banyak dan umum dipakai
adalah; haloperidol, flufenazin, klorpromazin, dan perferazin. Efek terapeutik obat ini karena
blokade reseptor dopaminertgik di sisi mesolimbik Sayang sekali obat ini dapat memberikan
dampak samping gejala ektrapiramidal. Obat ini juga dapat memberikan efek, antihistamin,
antimuskarininl, blok -adrenergik.
Kortikosteroid
Hydrocortisone O, I, T 1 1 20 812
657
Drug Routes Glucocorticoid Mineralocorticoid Equivalent Half-
Given2 Activity Activity Dose (mg) Life
(h)
Triamcinolone O, I, T 5 0 4 1236
(Aristocort)
1
Adapted from Goodman LS, Gilman AG: The Pharmacologic Basis of Therapeutics, 8th ed.
Pergamon, 1990.
2
O, oral; I, injectable; T, topical.
Kalau aktivitas glukokortikoid berlebihan dapat menghasilkan, hipertensi, hiperglikemia,
rentaninfeksi, ulkus pepetikus,nekrosis aseptik kaput humerus, prokksimal miopati, katarak dan
psikosis (jarang);dan juga gambaran sindroma Cushing. Tertlalu berlebihanm mineralokortikoid
dapat memacu terjadi gagal jantung.
Obat anestetik lokal biasanya diberikan sistemik untuk pasien nyeri neuriopatik dan
menghasilkan sedasi dan analgesia; analgesia sering bertahan lebih lamna dari profil
farmakokinetik obat anestetik lokal dan memutuskan pain cycle. Obat yang banyak
dipergunakan adalah lidokain, prokain dan kloroprokain. Lidokain diberikan secara infusi
selama 5 30 menit denga dosisi total 1 5 mg/kg; prokain diberikan 200 400 mg intravena
selama 1 2 jam; sedangkan kloroprokain (1 % ) diberika infusi dengan kecepatan 1 mg /kg /
menit untuk total 10 20 mg/kg. Pemantaauan sebaiknya mempergunakan, EKG, tekanan darah,
658
respirasi dan status mental;alat resusitasi harus tertsedia. Kalau terdapat tanda-tanda toksik
seperti, tenitus, sedasi berlebihan, atau nistagmus, segera infusi diperlambat atau hentikan.
2- agonis adrenergik
Efek utama obat golongan ini seperti klonidin dan deksmedetomidin adalh mengaktivasi jaras
desending inhibisi (descending inhibitory pathways) di tanduk dorsali medula spinalis dan
dimsusunan saraf pusat. Obat dapat diberikan secara sistemik (parentral), peroral, perkutan
(patch), dan neuroaksial. A2-agonis adrenergi epidural atau intratekal efektif untuk nyeri
neuroptik dan toleransi opioid.
Konsep analgesia preemptif (diatas) dianggap pengelolaan nyeri pasca bedfah terbaik yang
dimulai pra-bedah. Penempatan kateter yang dan dipertahankan untuk nyeri pasca bedah
merupakan carakan yang ekselen. Analgesia interkostal dan epidural tambahan dapat
memperbaiki fungsi respirasi setelah bedah toraks dan abdominal atas. Anestesi epidural dan
spinal dapat menurunkan kejadian tromboemboli operasi panggul dan mengurangi
hipercoagulasi setelah prosedur vaskular.
Kontrol nyeri pasca bedah umum terbaik jika dikelola oleh seorang anestesiologi, karena mereka
dapat melakukan intervensi dengan anestesi regiponal atau farmakologik atau keduanya..
Modaliti analgesia pasca bedah mencakup pemberian analgesia oral, analgesia parentral, blok
saraf, blok neuroaksial, dengan anestetik lokal, opioids intra spinal dan juga teknik adjuvan
seperti TENS dan terapi fisik. Seleksi teknik analgesia umumnya berdasarkan, tiga faktor, yaitu :
pasien, prosedur dan setting (rawat jalan atau rawat inap)
1. Analgesik oral
659
Kebanyakan pasien dengan nyeri ringan sampai sedang setelah operasi dapat ditanggulangi
dengan COX inhibitor oral, opioid, atau kombinasi. Pasien yang mungkin mendapat oral
intakate atau nyeri hebat memerlukan pemberian seperti rawat inap tanpa memperhatikan
prosedur./
Salicylates
p-Aminophenols
Acetaminophen
Proprionic acids
660
Analgesic Half- Onset Dose Dosing Maximum Daily
Life (h) (h) (mg) Interval (h) Dosage (mg)
(Anaprox) 550
Indoles
COX-2 Inhibitors
Setidak-tidaknya dikenal 2 jenid COX inhibitor; COX 1 cukup kuat dan tersebar
ke seluruh tubuh, tetapi COX 2 menonjol dengan inflamasi. Selektif COX 2
inhibitor seperti celecoxib, nampaknya sedikit toksik terutama dampak terhadap
gastrointestinal; selain itu tidak mengganggu agrfegasi tarombosit., tetapi rofecoxib
lebih mudah memberikan komplikasi kardiovaskulkar.
Asetaminofen mempunyai dampak samping paling kecil, tetapi pada dosis besar mudah
terjadi hepatotoksik. Aspirin dan NSAID lain, paling banyak memberikan dampak, nyeri
lambung, nausea, dispepsia. Kecuali asetaminofen dan COX 2, semua COX
inhibitors memacu disfung trombosit. Aspirin dan NSAID dapat mencetuskan bronkospasme
pasien tria nasal, polip, rinits dan astma. NSAID dapat menyebabkan insufisiensi
ginjal dan nekrosisi papilari ginjal.
Opioid
661
Nyeri sedang pasca bedah sebaiknya diatasi dengan opiod oral seperti tertera dalam
Tabel.
Tramadol (Ultram) 67 12 36 30 50 46
662
1
Preparations also contain acetaminophen (Vicodin, others).
2
Preparations may contain acetaminphen (Percocet) or aspirin (Percodan).
3
Some preparations contain acetaminophen (Darvocet).
4
Used primarily for cancer pain.
Umumnya opioid dikombinasi dengan COX inhibitor oral; Yng akan menambah efek
analgesia dan mengurangi dampak samping.
Infiltrasi sekitar insisi luka blok dengan anestetik lokal adalah cara yang paling dan aman
menghilangkan nyeri pasca bedah. Blok saraf ilioinguinal dan femoral dapat dipergunakan
untuk pasca heniotomi dan prosedur skrotum; blok saraf penile untuk sirkumsisi; dengan
mempergunakan obat anestetika lokal bupivakain. Efek analgesia dapat melebihi durasai
farmakokinetik obat anestetika lokal. Lebih baik anestetik diberikan sebelum pemebdahan
dilakukan untuk mendapat efek preemtif analgesia.
Suntikan intraartkular obat anestetika lokal atau opioid atau kombinasi sangat efektif prosedur
artroskopi.
Kebanyakan pasien dengan nyeri sedang sampai berat pasca bedah membutuhkan analgesik
parentra atau blok saraf dengan anestetika lokal selama 1- 6 hari setelah pembadahgan. Jika
pasien dapat memulai denga intake oral dan intensitas nyeri berkurang, analgesik oral
diteruskan. Analgesik paentraltermasuk NSAIDs (ketorolak), opioid dan ketamin. Ketorolak
663
dapat diberikan secara intramuskular atau intravena, sedangkan oipioid dapat diberikan
subkutan, intramuskular, intravena atau intraspinal. Opioid transdermantidak dianjurkan untuk
nyeri pascva bedah.
1. Opioid
Analgesia opioid dicapai pada level darah tertentu setiap pasien untuk diberikan pada intesitas
nyeri. Pasien dengan nyeri berat melaporkan nyeri secara khusus dan kontinu sampai level darah
analgesia tercapai, diatas konsentrasi tertentu dengan pengalaman analgesia pasien dan beratnya
segera berkurang. Titik (point) tersebut dinyatakan sebagai konsetrasi efektif analgesia
minimum (the minimum effective analgesic concentration / MEAC). Sedikit kenaikan diatas titik
tersebut akan sangat meningkatkan analgesia.
Kedua cara pemberian ini tidak dianjurkan karena sakit suntikan dan level dalam darah
tidak dapat diperkirakan karena absorpsi tidak pasti. Pasien biasanya tidak puas, karena
pemberian terlambat dan dosis kurang tepat.
Pemberian intravena
Balans optimal antara analgesia, sedasi dan depresi respirasi dapat dicapai dengan cara
frequen, intermiten dan dosis kecil (misalnya morfin 1-2 mg). Tanpa memperhatikan
seleksi obat dan karena distribusi obat durasi efek yang singkat diobservasi hingga beberapa
telah diberikan; kemudian level dalam darah dapat dipertahankan melalui infusi kontinu.
Sayang sekali teknik ini merupakan kerja intensif dan pemantauan respirasi ketat. Karena itu
teknik ini terbatas untuk PACU, ICU atau Unit khusus Ongkologi.
664
Table. General Guidelines for Patient-Controlled Analgesia
(PCA) Orders for the Average Adult.
1
The authors do not recommend continuous infusion for most patients.
Jika PCA pertama kali dipergunakan, dosis loading opioid harus diberikan dan
ditunggu oleh dokter; tergantung setting pasien mungkin memberikan loading sendiri.
Blok pada pleksus interkosta, interpleura, brakial dan saraf femoral dapat memberikan analgesia
pascva bedah yang baik sekali. Pemasanagan kateter memungkin pemberian anestetik lokal
secara intermiten atau kontinu (bupivakain 0.125 % atau ropivakain 0.125 % yang dapat
menghasilkan analgesia selama 3 5 hari pasca bedah.
665
kombinasidapat dipergunakan untuk preemptif analgesia pada hari operasi. Teknik ini akan
efektif jika mempergunakan kateter dan ditinggalkan agar obatanestetik lokal diberika
intermiten atau kontinu.
Anestetika lokal
Anestetik lokal saja dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik tetapi berdampak
blokade simpatikus dan motorik. Pengenceran anestetik lokal masih memberikan efefk
analgesia tetapi blok motorik ringan. Bupivakain dan rpivakain 0,125 0,25 % sangat
dipergunakan untuk kebutuhan diatas.
Opioid
Morfin intratekal 0.2 -0.4 mg (Untuk orang Indonesia 0,02 0,04 mg) dapat memberikan
analgesia yang sangat baik uyntuk 4 24 jam. Morfin epidural 3 -5 mg (untuk orang
Indoinesia 0,3 0,5 mg) memberikan efek yang sama dan lebih umum dipergunakan..
666
Opioid yang diberikan epidural atau intratekal berpenetrasi ke dalam medula spinalis dan
tergantung waktu dan konsentrasi. Obat hidrofilik yang diberikan epidural (seperti morfin)
menghasilkan analgesia pada level dalam darah yang lebih rendah darai pada obat lipofilik
(seperti fentanil). Yang terakhir mungkin menghasilkan efek segmental jadi sebaikya
hanya dipergunakan bila ujung kateter dekat dengan dermatom insisiopnal. Leve dalam
darah sistemik fentanil selama infusi epidural hampir equivalen pemebrian intravfena.
Kekuatan alfentanil epidural dan mungkin juga sufentanil tampaknya semuanya karena
absorpsi sistemik
Obat hidrofilik menyebar ke atas dengann waktu; jadi morfin yang disuntikkan dari
lumbah bawah, dapat menghasilkan analgesia untuk toraks dan abdominal atas (walaupun
terlambat). Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dosis pemberian mencakup, lokasi
ujung kateter, yang terkait dengan insisi dan usia pasien. Jika ujung kateter lebih dekat
dengan dermatom insisi, opioid yang dibutuhkan lebih sedikit. Kalau morfin epidural
dipergunakan sebagai analgesik tunggal infusi kontinu (0.1 mg/mL), 3 5 mg bolus
inisial diberikan, kemudian diikuit infusi 0.1 0.7 mg / jam. Teknik bolus intermiten dapat
juga dipergunakan, tetapi infusi kontinu mungkin lebih sedikit memhasilkan dampak
samping seperti retensi urin dan gatal-gatal.
Walapun opioid intraspinal sendiri dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik,
banyak pasien mengalami dampak samping yang signifikan dengan tergantung dosis,
terutama dengan opioid larut lemak. Kalau larutan anestetik lokal dikombinasi dengan
opioid, akan terlihat sinergi yang signifikan. Buvipakain0.0625 - 0.125 % (atau
ropivakain 0.1 0.2 %) dikombinasi dengan morfin 0.1 mg / mL (atau fentanil 5 g
/mL) memberikan analgesia sangat baik dengan dosis lebih kecil dan sedikit efek samping.
Penambahan epinefrin walapun dosis kecil (2 g / mL) memperkuat dan memperpanjang
analgesia epidural dan dapat mengurangi absorpsi sistemik opioid lipofilik (misalnya
fentanil). Penambahan klonidin dosis kecil (50 75 g) sama juga menambah
memperpanjang analgesia epidural.
Indikasi kontra
Indikasi kontra mencakup, penolakan pasien, koagulopati, atau tarombosit abnormal, dan
adanya infeksi atau tumor sekitar tusukan. Infeksi sistemik hanya indikasi kontra relatif kecuali
667
terbukti ada bakterimia. Pemasangan kateter intraspinal pada pasien yang akan menjalani
heparinisasi intraopoeratif masih kontroversial karena kemungkinan terjadi hematoma
epidural.
Dampak samping yang serius opioid epidural atau intratekal, adalah tergantung dosis
berupa depresi respirasi tunda (delayed respiratory depression). Terjadinya karena difusi
opioid ke dalam cairan serebrospinal yang bermigrasi ke pusat respirasi medula. Kejadian
depresi respirasi lebih besar setelah pemberian intratekal daripada epidural. Depresi awal
dapat juga terjadi setelah opoioid epidural (dalam waktu 1 2 jam), mekanismenya berbeda
yaitu absorpsi opioid sistemik melalui pembuluh darah spinal. Angka kejadian depresi respirasi
serius dengan opioid epidural yang memerlukan nalokson masih rendah yaitu 0.1 %.
Dampak samping lain, adalah gatal, mual , muntah, retensi urin, sedasi dan ileus. Angka
kejadian pruritus dapat mencapai 30 %sedangkan retensi urin dilaporkan sampai 40 100 %.
Mekanisme pruritus belum dapat dipastikan tetapi tidak ada hubungannya dengan
pelepasan histamin. Nalokson dosis kecil (0.04 mg) dapat menawarkan pruritus tetapi tidak
menghilangkan efek analgesia.
NYERI KANKER
Hampir 19 juta penduduk dunia mengalami penyakit kanker setiap tahun. 40 80 % dari jumal
tersebut mengalami nyeri mulai sedang sampai berat. Nyeri kanmker disebabkan oleh, lesi kaker
itu sendiri, metastasis, komplikasi seperti kompresi neuronal atau infeksi, pengobatan atau
faktor-faktor yang yang tidak terkait.
Kebanyakan pasien, dapat diobati dengan analgesik oral. WHO merekomendasikan pendekatan
3 langkah (Three Step Approach): 1) analgesik nonopioid seperti aspirin, astominofen, atau
668
NSAID untuk nyeri sedangha; 2) opioid oral lemah (kodein, oksikodon) untuk nyeri sedang, dan
3) opioid kuat (morfin, dan hidromorfin) untuk nyeri berat. Terapi parentral perlu untuk nyeri
refrakter atau bila pasien dapat menerima terapiu oral atau absoprsi enteral tidak baik.Tanpa
memperhatikan jenis obatnya, terapi harus mengikuti jadwal waktu tertentu .
Nyeri kanker sedang sampai berat biasanya kanker biasanya diobati dengan morfin lepas
cepat (immediate-release morphine) (misalnya, morphine liquid, Roxanol, 10 30 mg every 1
4 h.)Prepareat ini mempunyai masa paro 2 4 jam. Bila pasien elah ditentukan kebutuhan
per hari, dosisi yang sama dapat diberikan dalam bentuk morfin lepas lambat (sustained-release
morphine) (MS Cortin atau Oramorph SR). Yang diberikan setiap 8 12 jam.
Hidromorfin (dilaudid) adalah alternatif yang baik untuk morfin, terutama pasien tua dan pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Metadon dilaporkan mempunyai masa paro 15 30 jam tetapi
durasi klink lebih pendek dan sangat bervariasi (6 8 jam). Toleransi psikologik, dengan
perubahan behavior karena menginginkan obat jarang pada pasien kanker,Toleransi yang
muncul berbeda diantara orang-orang dan mengakibatkan efek yang diinginkan seperti,
kesadaran menurun, nause, depresi respirasi. Ketergantung fisik terjadi pada pasien yang
mendapat opioid dosis besar untukjangka waktu tertentu. Fenomena ketagihan (withdrawal)
dapat dipercepat oleh pemberian antagonis opioid. Penggunaan yang cocok kedepan
antagonis opioid perifer yang tidak menembus sawar darah otak (blood brain barrier) seperti
metilnaltrekson dan alvimopan, dapat menolong mengurangi efek samping sistemik tanpa
mengurangi analgesia dengan signifikan.
Opioid transdermal
Fentanil transderma merupakan alternatif yang baik untuk preparat morfin lepas lambat,
terutama medikasi oral tidak memungkinkan. Tambalan (patch) dibuat sebagai reservoir obat
yang dipisahkan dari kulit oleh membran mikropor dan polimer adhesif. Fentanil akan berdifusi
melalui kulit. Tambalan transdermal fentanil mempunyai ukuran 25, 50, 75 dan 100 g / jam.
Yang dapat memberikan obat selama 2 3 hari. Tambalan yang terbesar equivalen dengan 60 mg
/ hari morfin intravena.
Kerugian cara ini adalah mula kerja lambat dan merubah dosis kalau tidak dilakukan dengan
cepat. Level fentanil dalam darah setelah dipasang bertambah dan mencapai plateau dalamwaktu
12 18 jam, dengan konsentrasi rata-rata 1, 1.5, dan 2 ng / ml untuk tambalan 50, 75 dan 100.
669
Dermis bekerja sebagai reservoir sekunder walaupun tambalan dilepaskan, absorpsi fentanil
diteruskan untuk beberapa jam.
Terapi parentral
Beberapa nyeri kanker yang tak terkontrol memerlukan konversi dari oral opioid menjadi
parentral atau intraspinal opioid. Kalau karakter nyeri berubah signifikan, penting sekali untuk
melakukan reevaluasi progresi penyakitr pasien. Dalam banyak hal, pengobatan adjuvan seperti,
pembedahan, radiasi, kemoterapi atau terapi hormonal sangat menolong.
Terapi opioid parentral biasanya dicapai dengan infusi intravena kontinu atau dapat juga
diberikan subkutan melalui jarum bersayap (butterfly needle)
Opioid intraspinal
Penggunaan opioid intraspinal menjadi alternatif yang sangat baik untuk pasien yang gagal
mengatasi nyeri dengan cara lain. atau mengalami dampak yang hebat. Opioid epidural atau
subaraknoid dapat menghatasi secara substansial denga dosis lebih rendah dan sedikit efek
samping. Kateter epidural atau intratekal dapat dipergunakan, kalai perlu ditempatlkan perkutan
atau implan untuk pemberian jangka panjang.
Masalah opioid intraspinal adalah terdinya toleransi. Umumnya terjadi lambat tetapi pada
beberapa orang berlangsung cepat. Dalam hal ini. Harus dipergunakan terapi adjuvan seperti,
anestesi lokal intermiten, atau campuran opioid dengan anestetik lokal, atau klonidin intratyekal
atau epidural 2 4 g /kg /jam.
Teknik neurolitik
Blok neurolitik pada pleksus celiakus sangat efektif untuk keganasan intraabdominal, terutama
kanker pankreas. Simpatikus lumbal, pleksus hipogastrikus, atau ganglion rusak karena blok
neurolitik dapat dipergunakan untuk tumor malignan di pelvik. Blok neurolitik interkostal
dapat menolong pasien dengan metastase di tulang iga. Pasien dengan nyeri pelvik refrakter, blok
pelana neurolitik dapat mgnhilangkan nnyeri; meskipun akan terjadi disfungsi usus dan buli-
buli. Karena angka kejadian kesakitan yang signifikan pasien yang mendapat blok neurolitik
(hilang fungsi motorik dan sensorik), teknik sebaiknya dipakai hanya setelah
mempertimbangkan dengan cermat semua alternatif. Prosedur neurodestruktif, seperti
adenolisis hipofisis dan kordotomi dapat dipergunakan ujntuk pasien terminal.
670
Referensi :
671
KEDOKTERAN CRITICAL CARE /
INTENSIVE CARE
MODUL 35 dan MODUL 36 :
(I dan II)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
672
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib diatas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk modul ICU seperti yang diuraikan berikut ini:
Modul ini terdiri dari modul dasar (Modul 1) atau Modul 36 dan modul lanjut (Modul 2) atau
Modul 37. Modul dasar diberikan pada residen yunior selama 2 bulan dan Modul lanjut
diberikan pada residen senior selama 3 bulan . Panduan untuk lama stase ICU yunior dan senior
mungkin berbeda beda pada masing masing pusat pendidikan tetapi hasil sasaran pembelajaran
diharapkan akan sama.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki latar belakang kemampuan
intelektual dan keterampilan dalam merawat pasien kritis surgical dan non-surgikal Program
pendidikan ini dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi konsultan intensive care, meliputi
673
pengetahuan teori dan klinik yang penting dalam praktek multidisiplin maupun multiprofesi
dalam kedokteran critical care dan intensive care
Setelah mengikuti Modul ICU 1 dan 2 ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan meliputi:
674
3. Penilaian klinis pasien ICU
8. Kondisi khusus (tidak termasuk trauma, luka bakar dan pasien pediatri)
a. Sistem respirasi
b. Sistem Kardiovaskular
c. Sistem Renal
d. Sistem Syaraf
f. Pasien Pediatrik
g. Pasien Obstetri
Kognitif
Modul 1 Modul 2
675
Memahami Resusitasi dan Stabilisasi Awal (Modul 36) (Modul 37)
Modul 1 Modul 2
676
2. Tanda2 fisik pada pasien kritis V V
Modul 1 Modul 2
677
3. Modus ventilasi mekanik lanjut (PCV, PSV, BiPAP, V+
NIV)
6. Indikasi bronkoskopi V
678
26. Prinsip2 pengelolaan peningkatan tekanan V V+
intrakranial
Modul 1 Modul 2
679
3. Alat alat monitor dan accessoriesnya V V
5. Keamanan kelistrikan V
9. Alat bronkoskopi V+
Modul 1 Modul 2
5. Nosocomial pneumonia V
7. Aspiration pneumonia V
8. Asthma V
9. PPOK V
680
16. Gagal jantung kiri V+
23. Urosepsis V
36. DIC V+
681
42. Preeklamsia, Eklamsia, Sindroma HELLP V V
Modul 1 Modul 2
3. Decision making V
Psikomotor
gastrointestinal, metabolic
682
3.Menjelaskan Farmakologi dasar dan pemakaian obat obat: antiaritmia,
c. Pemeriksaan radiologi
f. Monitor hemodinamik
yunior
medik/paramedik
683
a. Melakukan koordinasi pasien masuk, penilaian dan manajemen pasien pasien yang
menjadi tanggung jawabnya.
b. Melakukan prosedur klinik ICU (lihat matriks)
c. Melakukan pengelolaan medik, administrative, social pasien pasien kritis
Keynotes
1. Kriteria mati batang otak hanya dapat dapat diterapkan bila tidak terdapat
hipotermia, hipotensi, kelainan metabolik atau endokrin, penggunaan zat blokade
neuromuskulkar, atau obat yang diketahui mendepresi fungsi otak
2. Risiko retinopati prematuritas (retinopathy of prematurity /ROP) bertambah
dengan menurunnya berat dan kompleksnya komorbiditas (misalnya, sepsis).
Sebaliknya pada toksisitas pulmonar, lebih terkait dengan tekanan O2 arterial dari
pada tekanan O2 alveolar..
3. Pressure controlled ventilation (PCV) sama dengan pressure support ventilation
dalam peak tekanan jalan napas, tetapi berbeda dalam rate mandatory, inspiratory
time. Seperti halnya dengan pressure support, gas flow berhenti bila level pressure
tercapai; walapun ventilator tidak bekerja selama ekspirasi sampai preset
inspiratory time telah dilewati.
4. Kerugian PCV adalah volum tidal tidak pasti.
5. Kalau dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu lama di ICU,
intubasi nasal mungkin lebih nyaman untuk pasien, lebih aman, dan sedikit
menyebabkan cedera laring.
684
6. Mempertahankan intubasi oral atau nasal lebih dari 2-3 minggu cenderung
mengakibatkan stenosis subglotik. Jika diperlukan ventilasi mekanik jangka
pamnjang sebaiknya diganti dengan pipa trakeostomi yang mempunyai balon.
7. PEEP berlebihan atau penambahan tekanan positif kontinu terbukti dapat
meningkatkan kejadian barotraumka paru, terutama pada level lebih darei 20 cm
H2O.
8. Manuver yang yang menghasilkan sustained maximum lung inflation seperti
penggunaan incentive spirometer sangat menolong merangsang batuk dan
mencegah atelektasis serta mempertahankan volum paru normal.
9. Pada pasien dengan ARDS dengan VT > 10 mL/kg berkaitan dengan peningklatan
mortalitas.
10. Intubasi takea dini dianjurkan bila terdapat terdapat gejala hebat dari cedera panas
pada jalan napas.
11. Usia lanjut (> 70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, pemakaian alat invasif
yang lama, gagarl napas, gagal ginjal, ceder4a kepala, dan luka bakar akan
mempermudah terjadi infeksi nosokomiaL.
12. Venodilatasi sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan mengakibatkan
hipovolemia relatif Pada pasien sepsis.
13. Berlawanan dengan pasien yang nonstres yang memerlukan sekitar 0,5 g /kg /hari
protein, umumnya pasien sakit kritis membutuhkan 1,0 1,5 g / kg / hari protein.
14. Bantuan nutrisi melalui jalur gastrointestinal merupakan pilihan untuk pasien
dengan integritas fungsional yang intak.
15. Penghentian mendadak nutrisi parentral (TPN) dapat m,encetuskan hipoglikemia
karena level darah insulin tinggi; tetapi umumnya mudah diatasi dengan
substitusi glukosa 10 % secara temporer kemudian dihentikan bertahap.
685
3. Pengelolaan pasien gagal sirkulasi
4. Pengelolaan pasien gangguan metabolik
5. Pengelolaan pasien infeksi dan sepsis
6. Pengelolaan pasien gagal ginjal
7. Pengelolaan gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit
8. Pengelolaan nutrisi.
6. Metode Pengajaran
1. Keterampilan Kognitif:
a. Strategi Pendidikan
- Integrated learning
- Independent learning
- Problem base learning
b. Situasi Belajar
- Introductory lecture
- Small Group Discussion and feed back
- Patient Management Problem
- Simulated patient, scenarios, displays etc.
c.Sumber belajar
- Virtual patients
- Reading assignment
- Audio Visual
d.Penilaian
- Multiple observers
- Minicheck
686
2. Keterampilan Tehnik/ Psikomotor
a. Strategi Pendidikan
- Practice-based learning
b. Situasi Belajar
c. Sumber belajar
- Virtual patients
d. Penilaian
- Multiple observers
- Minicheck
a. Strategi Pendidikan
b. Situasi belajar
c. Sumber belajar
- Virtual patient
d. Penilaian
687
- Multiple observers
4. Professionalisme
a. Strategi Pendidikan
- Patient-based learning
b. Situasi belajar
c. Sumber belajar
- Virtual patients
d. Penilaian
- Multiple observers
5. Knowledge
a. Strategi Pendidikan
- Integrated learning
- Independent learning
b. Situasi belajar
- Introductory lecture
c. Sumber belajar
- Reading assignment
- Audiovisual
d. Penilaian
- MCQ (pretest)
688
- EMQ (Extended Medical Question)
7..Media:
Pretest:
pusat
kegawatan diatas
kegawatan
689
16. Jelaskan tentang DNR dan mati batang otak
Evaluasi Kognitif:
- MCQ ( pretest)
- EMQ (Extended Medical Question)
9.Referensi:
1 2 3 4
690
1. Penilaian kesadaran
5. Penilaian circulation/kardiovaskuler
691
keseimbangan cairan
692
11. Daftar tilik
Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
penuntun
T/D Tidak diamati: Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik
Daftar Tilik
1 2 3 4 5
693
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih/pengajar
Layak
Tidak layak
694
INTENSIVE CARE
GAMBARAN UMUM
Intensive Care Unit (ICU) adalah ruangan khusus dengan peralatan dan sumber daya
manusia /petugas kesehatan khusus untuk merawat pasien pasien kritis yang mengancam nyawa,
yang potensial dapat pulih kembali. Peralatan khusus adalah alat alat monitor fungsi vital dan
alat alat untuk memberikan bantuan hidup apakah bantuan pernafasan, bantuan kardiovaskular
atau bantuan system ginjal, maupun bantuan untuk system yang lain. Sumber daya manusia
khusus adalah dokter, nurse yang telah terlatih untuk mengelola pasien ICU, ditambah dengan
petugas kesehatan lain, seperti fisioterapist, ahli farmasi, petugas laboratorium, radiology, ahli
nutrisi maupun petugas petugas non kesehatan seperti tenaga administrasi, keuangan, rekam
medik, tehnik maupun pekarya.
Indikasi pasien masuk ICU dapat berdasarkan prioritas, diagnosis atau nilai2 parameter hasil
laboratorium. Pasien mengancam nyawa atau akan mengancam nyawa yang memerlukan
pemantauan dan atau terapi dengan pengawasan ketat. Pasien dengan diagnosis misalnya tetanus
berat, myasthenia gravis. Pasien dengan hasil laboratorium hiperkarbia, hipoksemia berat atau
hipokalemia berat. Bagi pasien pasien dengan penyakit primer yang kecil kemungkinan sembuh
seperti keganasan lanjut, maka indikasi rawat ICU tidak merupakan prioritas utama.
Bilamana pasien masuk ICU maka lakukan resusitasi awal dan lakukan stabilisasi artinya
pasien misalnya dengan gagal napas atau ancaman gagal napas maka fungsi pernapasan, jalan
napas maupun ventilasi harus diambil alih. Tanda tanda klinik pasien gagal atau ancaman gagal
napas merupakan hal sangat penting dan harus dikuasai dengan baik. Tindakan ambil alih fungsi
napas harus didahulukan, tidak usah menunggu pemeriksaan anamnesis dan fisik lengkap.
Pasien dengan gagal napas, apapun penyebabnya tindakan awalnya akan sama .Upaya untuk
memperbaiki oksigenasi maupun ventilasi tidak lepas dari kondisi sirkulasi yang baik. Bukankah
V/Q ratio adalah ratio ventilasi/perfusi dan merupakan dasar patofisiologi untuk menjelaskan
pasien dengan gagal napas? Oleh karena itu keterampilan melakukan insersi kateter ke dalam
vena perifer dan vena sentral harus dikuasai.
Pasien dengan gagal sirkulasi, segera lakukan resusitasi dengan pemberian cairan lebih dulu, dan
bila volume sirkulasi dianggap adekuat tapi tekanan darah belum adekuat dapat diberikan secara
titrasi inotropik dengan tanpa vasopressor. Kondisi sirkulasi adekuat atau tidak dapat dinilai
secara klinik disesuaikan dengan penuntun tekanan vena sentral, kalau mungkin tekanan kapiler
baji paru.
Pasien dengan kesadaran menurun lebih dulu harus dilakukan pembebasan jalan napas, lakukan
ventilasi dan oksigenasi, untuk mencegah hipoksi dan hiperkarbia, sementara itu lakukan
695
kanulasi vena dan lakukan resusitasi dengan cairan untuk menjamin tekanan darah atau perfusi
yang adekuat.
Setelah upaya awal atau primary survey diatas dilakukan dan kondisi stabil, artinya segala
sesuatu menyangkut fungsi vital tersebut adekuat dan terkendali, lakukan pemeriksaan
pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk mencari penyebabnya, mulai dari anamnesis
atau alloanamnesis riwayat penyakit, dan pemeriksan fisik menyeluruh.
Selama pasien di ICU akses jalan napas dan vaskuler sekaligus fungsi pernapasan dan
kardiovaskular harus selalu dijamin aman. Oleh karena itu keterampilan keterampilan
pemasangan jalan napas artifisial, setting ventilator, pemberian resusitasi cairan, penggunaan
inotropik dan vasopressor, monitor fungsi vital dan interpretasi hasil monitor harus dikuasai
dengan baik.
Salah satu tulang punggung utama pelayanan ICU adalah ners ICU yang terampil, terlatih
dengan baik dan berupaya mengembangkan diri secara terus menerus, serta mempunyai dedikasi
yang baik. Dalam bahasa perang, ners ICU berfungsi digaris depan, artinya ners yang baik akan
mengenal kondisi pasien yang mengalami perburukan, dan mengerti apa yang harus awal
dilakukan. Beberapa aspek keilmuan ners banyak tumpang tindih dengan ilmu kedokteran.
Komunikasi yang baik dengan ners dalam mengelola pasien akan menjamin kenyamanan bekerja
dan mendatangkan manfaat pada pasien.
Beberapa kasus ICU memerlukan konsultasi atau komunikasi dengan disiplin lain untuk
terapi yang menyangkut tingkat kekhususan tertentu apakah nerologi, ginjal, jantung,
hematologi, subdivisi bedah, bedah syaraf, bedah torak, bedah digestif, THT, obgin, endokrin,
paru, fisioterapi, farmasi, gizi klinik, mikrobiologi dan lain lain.
Sampai batas mana konsultasi dilakukan? Bila masih menyangkut kondisi kritis dan pasien yang
dapat ditanggulangi segera maka tidak perlu dikonsultasikan, tetapi bila telah sampai terapi
definitif yang sangat khusus terhadap kausa perlu dikomunikasi dengan disiplin
terkait.Kemampuan komunikasi merupakan proses dan ini harus dilatih secara terus menerus.
Kedokteran gawat darurat (critical care medicine) dan Unit terapi Intensif (Intensive Care Unit)
merupakan komponen yang essensial dari sistem pelayanan kesehatan modern, dimana ilmu ini
mengajarkan cara untuk menanggulangi penyakit gawat (kritis) dengan cara memperbaiki
keadaan gagal fungsi-fungsi vital dari sistem dan organ tubuh sehingga pasien dapat pulih dari
penyakit kritis tersebut.
696
ASPEK EKONOMI, ETIK DAN HUKUM
Di Amerika, jumlah tempat tidur ICU hanya 8-10% dari kapasitas rumah sakit, namun dapat
menghabiskan >20% biaya pengeluaran rumah sakit, atau 1% dari Gross national product
pertahun.
Mengingat biaya perawatan ICU cukup mahal, dokter harus dapatt mengetahui syarat-syarat
merujuk pasien ke ICU. Faktor yang mempengaruhi angka keberhasilan pasien adalah derajat
penyakit, reversibilitas, status kesehatan premorbid dan umur. Oleh karena itu diperlukan suatu
metode yang dapat dipercaya untuk memperkirakan pasien mana yang mendapat manfaat bila
dirawat di ICU. Beberapa sistem skoring telah diciptakan misalnya APACHE (Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation) dan TISS (Therapeutic Intervention Scoring System, namun
sejauh ini belum ada yang memuaskan.
Banyak pasien yang masuk ICU menjadi lebih baik dan sebagian lagi meninggal dengan cepat,
walau diberi terapi yang paling canggih. Bagi mereka tidak bisa disembuhkan lagi, timbul
pertanyaan apakah yang harus dilakukan ?. Bila pasien dengan prognosis tidak ada harapan lagi
diberi terapi, maka sebenarnya terapi ini hanyalah memperpanjang proses kematian. Pada
kenyataannya, biasanya diberikan terapi heroic yang komplek, menggunakan prosedur dan
peralatan canggih seperti RJP, ventilasi mekanik, pemberian vasoaktif dan inotropik yang sangat
mahal.
Bila pada suatu waktu, pasien tidak ada harapan sembuh, maka serigngkali tepatlah tindakan
untuk menghentikan sebagian terapi yang sudah terlanjur diberikan, atau tanpa menghentikan
terapi yang sedang diberikan, tidak lagi memberi terapi untuk kelainan baru yang timbul
belakangan.
Pada situasi penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/paliatif tidak ada gunanya, maka
tindakan tersebut dapat dihentikan. Penghentian tindakan tersebut diatas sebaiknya
dikonsultasikan dengan pasien dan keluarganya dan harus sesuai dengan kebijakan rumah sakit
serta hukum yang berlaku.
Eutanasia merupakan tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan dan di banyak
negara tidak dapat diterima, sedangkan menarik kembali atau menolak terapi merupakan
tindakan yang dapat diterima dan dibenarkan manakala penangann medis hanya memperpanjang
proses kematian. Penghentian bantuaan hidup tidak berarti meninggalkan pasien, tetapi hanya
mengehentikan terapi yang tidak efektif dan dapat disertai dengan terapi yang lebih tepat
(misalnya meredakan nyeri, sedasi dan sebagainya).
697
GANGGUAN KESADARAN
Bilamana pasien masuk dalam keadaan tidak sadar, harus didahulukan bahwa jalan napas,
pernapasan, akses vaskuler dijamin aman. Lakukan resusitasi awal artinya fungsi pernapasan dan
kardiovaskular dikendalikan dalam batas normal, dengan pemberian cairan dan dengan napas
kendali atau napas bantu secra manual lebih dulu, targetnya adalah tekanan darah adekuat,
oksigenasi dan ventilasi adekuat. Upaya ditujukan untuk menghindarkan peningkatan tekanan
intrakranial lebih lanjut, memperbaiki cerebral perfusion pressure. Untuk mempertahankan
kondisi tersebut mungkin perlu dilanjutkan dengan nafas kendali dengan ventilator dan
pemberian cairan terukur dengan/tanpa inotropik dan vasopressor.
Secara blind dapat diberikan Dekstrose, Natrium dan vitamin B1 intravena. Bilamana dari
anamnesis ditemukan penyebab yang dapat diatasi dengan cepat misalnya keracunan morphin
dapat diberikan antidotumnya. Selanjutnya untuk mencari penyebab tidak sadar harus dipikirkan
apakah penyebabnya cerebral atau non-cerebral. Lakukan pemeriksaan CT scan atau MRI,
lakukan pemeriksaan fungsi hepar, ginjal, gula darah, kadar elektrolit Na, laktat, kadar obat
(misalnya diduga keracunan obat tidur), periksa liquor serebrospinal.
Trakeostomi merupakan tindakan jalan napas artifisial yang sudah harus secara dini
direncanakan pada pasien tidak sadar yang pulih sadarnya sulit diprediksi.
Mati Otak
Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO). Kebanyakan kalangan yang
berwenang dalam kedokteran dan hukum , sekarang mendefinisikan kematian dalam pengertian
MO walaupun jantung masih berdnyut. Dokter yang merawat dapat membenarkan dilepasnya
ventilator karena meneruskan ventilasi mekanik memberikan stress bagi keluarga. Selain itu
terapi yang diteruskan secara tidak langsung memberikan keluarga pasien suatu harapan palsu.
698
Ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MO memungkinkan
perolehan organ untuk tujuan transplantasi.
Penentuan MO dapat dilakukan bila tidak terdapat kondisi hipotermi, hipotensi, ganguan
metabolik atau endokrin, pemakaian obat pelumpuh otot dan obat obatan yang dapat menekan
fungsi otak. Pemeriksaan toksiologi perlu dilakukan apabila waktunya cukup (minimal 3 hari).
- Koma
- Tidak adanya reflek batang otak, yaitu : reflek pupil dan ckornea, vestibulookular,
- Tidak adanya usaha nafas, dengan pCO2 60 mmHg atau menikngkat 20% setelah
dilakukan test.
GAGAL NAFAS
Gagal nafas adalah ketidakmampuan paru-paru memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini
dapat terjadi akibat kegagalan oksigenasi pada tingkat jaringan dan atau kegagalan homeostasis
karbondioksida (CO2).
Fungsi sistem respirasi adalah untuk menghantarkan oksigen dari atmosfir kedalam darah dan
mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Secara klinik gagal nafas ditegakkan bila
didapatkan PaO2 <60 mmHg bila bernafas dengan udara atau PaCO2 > 50 mmhg. Gagal nafas
dapat diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu gagal nafas hipoksemik (tipe 1) dan gagal nafas
hiperkapnik (tipe 2).
Gagal napas tidak selalu mengancam nyawa, bergantung kepada derajat berat ringan gagal napas,
mungkin tidak memerlukan rawat ICU. Pasien gagal napas akut dan mengancam nyawa, dapat
dinilai secara klinik, yang dikenal sebagai distres pernapasan. Kesadaran apatis, delirium,
sampai tidak sadar, pernapasan cepat, dangkal, napas cuping hidung, berkeringat, kesadaran
menurun, mungkin sianosis. Tanda tanda klinik hiperkarbia sering tumpang tindih dengan tanda
tanda hipoksemia. Bila tanda tanda tersebut nyata, harus dilakukan antisipasi, dengan
mengambil alih fungsi pernapasan, memberikan oksigen dan melakukan ventilasi dengan baik,
tanpa harus menunggu hasil analisis gas darah.
699
Hasil analisis gas darah, gagal napas tipe oksigenasi bila PaO2 menurun lebih rendah dari
60mmHg dan tipe ventilasi bila PaCO2 meningkat lebih tinggi dari 55mmHg.
Terapi gagal napas oksigenasi adalah terapi oksigen dan terapi gagal napas ventilasi adalah
mengambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator. Terapi oksigen dapat dilakukan dengan cara
nasal canule, sungkup muka (rebreathing, non rebreathing, venture mask), atau mungkin
memerlukan ventilator.
Indikasi pasien membutuhkan ventilator harus diketahui dengan baik. Modus dasar ventilasi
mekanik juga harus diketahui dengan baik. Begitu pasien masuk ventilator, pasien dalam napas
kendali, dan harus tetap disadari bahwa ventilator hanya sebagai alat bantuan napas untuk
mempertahankan agar fungsi napas tetap dalam batas batas normal, dan terapi terhadap penyebab
gagal napas harus dicari agar dapat dilakukan terapi definitif.
Mencari sebab gagal napas secara sistematik dapat dicari satu persatu, apakah ada proses di
susunan syaraf pusat, batang otak, medulla spinalis, torak, fraktur iga, kelumpuhan otot napas
interkostal /diafragma, effusi pleura, proses diparu paru, masalah pada jalan napas. Proses
tersebut dapat berupa reaksi radang atau infeksi, tumor, perdarahan, trauma, gangguan
vaskularisasi, proses auto imunologik, penumpukan cairan dalam paru. Proses yang terjadi dalam
paru kemungkinan bisa disebabkan oleh proses lain diluar paru, misalnya sepsis, traumatic wet
lung, neurogenic pulmonary edema, transfusion related acute lung injury (trali)
Melepaskan pasien dari ventilator bukan merupakan hal yang mudah, metode penyampihan
atau modus untuk weaning harus diketahui dengan baik. Mulai penyapihan dari FiO2 sampai
kurang 50% dan bila analisis gas darah menunjukkan batas batas normal, mulai dengan
menyapih ventilator dari napas kendali menjadi napas dengan modus weaning, artinya usaha
napas spontan mulai ditimbulkan dan pasien akan mendapat sebagian napas dari usaha pasien
sendiri dan sebagian masih dari ventilator. Demikian selanjutnya secara bertahap usaha napas
spontan makin ditingkatkan, sampai akhirnya sebagian besar dan seluruh napas spontan berasal
dari pasien sendiri.
Kondisi gagal napas yang merupakan masalah besar dan sulit adalah acute lung injury (ALI)
dan acute respiratory distress syndromes (ARDS). Strategi yang dianjurkan pada pasien ini
adalah modus dengan pressure control, low tidal volume 6cc/kg, permissive hypercapnia,
inspiratory plateu pressure tidak lebih dari 30cmH2O, PEEP tinggi 10-20cmH2O. Salah satu
prinsip adalah open the lung open and keep the open.
Akhirnya sebaik apapun upaya ventilasi mekanik dilakukan harus disertai dengan kondisi
hemodinamik yang baik oleh karena upaya memperoleh hasiloksigenasi dan ventilasi yang baik
tidak hanya memerlukan ventilasi tetapi juga memerlukan perfusi yang baik.
Gagal nafas tipe 1 merupakan gagal nafas yang paling sering terjadi. Secara klinik didapatkan
PaO2< 60 mmHg, sedang level PaCO2 normal atau rendah. Penyebabnya adalah gangguan
700
jantung, misalnya shunting intrakardiak ( shunting dari kanan ke kiri : tetralogy falot). Penyebab
lain adalah kelainan patologis dari paru sendiri, misalnya adanya shunting intra pulmonar karena
pneumonia, atelektasis dan ARDS.
Gagal tipe 2 terjadi bila paCO2>50 mmHg. Biasanya disertai dengan keadaan hipoksemia,
sedangkan pH tergantung pada level HCO3 yang juga tergantung pada lamanya mengalami
hiperkapnea. Berdasarkan onsetnya serangan bisa terjadi akut atau kronik eksaserbasi akut. Pada
serangan akut didapatkan pH darah rendah. Serangan ini dapat disebabkan oleh overdosis obat
sedasi, kelemahan otot akut (misalnya myastenia gravis) dan penyakit paru berat (astma atau
pneumonia) sehingga ventilasi alveolar tidak dapat dipertahankan.
Serangan kronik eksaserbasi akut terjadi pada pasien dengan retensi CO2 kronik yang memburuk
dan terjadi peningkatan CO2 serta penurunan pH. Mekanisme terjadinya karena adanya
kelelahan otot-otot pernfasan.
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal nafas adalah shunting (perfusi tanpa ventilasi), dead
space ventilation (ventilasi tanpa perfusi), difusi abnormal dan hipoventilasi alveolar.
1. Shunting
Shunting terjadi bila ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang (V/Q mismatch) dimana
alveoli yang tidak terventilasi (disebabkan karena kolaps, terdapat pus atau cairan) akibatnya
darah yang melewati alveoli tidak teroksigenasi
Pada shunting, penderita relatif resisten terhadap terapi oksigen. Peningkatan FiO2 hanya
akan berefek sedikit.
3. Difusi abnormal
Disebabkan oleh abnormalitas membran alveolar atau penurunan jumlah alveoli yang
mengakibatkan pengurangan alveolar surface area, misalnya ARDS atau penyakit paru
fibrotik.
4. Hipoventilasi alveolar
701
Ketka CO2 melewati alveolus dan O2 melewati darah, terjadi perbedaan tekanan antara gas
alveolar dan darah secara bertahap. Ventilasi diperlukan untuk mengembalikan perbedaan
tekanan tersebut. Hipoventilasi ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2.
Penyebabnya bisa karena trauma/perdarahan batang otak, tumor medula spinalis, sindrom
guillan barre, myastenia gravis, penggunaan obat depresan, malnutrisi atau kelainan paru
karena sumbatan jalan nafas dan penurunan kompliance.
Manifestasi gagal nafas berupa kompensasi pernafasan (takipneu, penggunaan otot-otot bantu
nafaas, nafas flaring, retraksi dinding dada), peningkatan tonus simpatis (takikardi, hipertensi,
berkeringat), hipoksia organ (penurunan kesadaran, bradikardi) serta desaturasi (sianosis). Pada
hipoksemia kronik akan timbul kpmpensasi polisitemia.
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan penderita gagal nafas adalah menangani hipoksemia dengan terapi oksigen
atau ventilasi mekanik. Tujuan selanjutnya adalah mengontrol paCO2 dan asidosis respiratorik
dan yang paling penting adalah terapi penyebab dasarnya.
RESPIRATORY CARE
Ventilasi mekanik
Udara dapat masuk kedalam paru karena adanya perbedaan antara tekanan udara luar dengan
tekanan udara dalam alveoli. Pada pernafasan spontan, perbedaan tersebut terjadi karena pada
awal inspirasi terjadi tekanan negatif (tekanan dalam alveoli lebih rendah daripada tekanan
udara luar). Pada saat inspirasi kontraksi diafragma dan otot-otot interkostal menimbulkan
pengembangan rongga dada dan tekanan negatif pada alveoli, sehingga udara luar masuk. Pada
keadaan normal ekspirasi akan berlangsung pasif.
Pada nafas buatan atau mekanik perbedaan tekanan tersebut terjadi karena adanya tekanan
positif yang ditimbulkan oleh mesin
702
Macam-macam mode ventilasi
Ciri khas pada mode ini adalah pasien bersifat pasif, artinya tidak ada usaha nafas. Berarti
semua variabel dalam pernafasan tergantung sepenuhnya pada seting ventilator.
Pada prinsipnya mode ini adalah ACMV yang diberikan secara intermitten dengan frkwensi
bantuan yang jauh lebih sedikit dibanding ACMV / sehingga pasien diberi kesmpatan untuk
bernafas spontn diluar bantuan.
Setelah ada trigger dari pasien, gas pada ventilator akan mengalir untuk mempertahankan
tekanan sesuai dengan seting dan kebutuhan pasien dan pasien akan melakukan inspirasi
(inspiratory flow) turun dibawah seting ETS, katup ekspirasi akan terbuka kemudian pasien
akan memulai ekspirasi. Oleh karenanya jumlah volume yang diinspirasi oleh pasien (VT)
tergantung dari seting pressure dan ETS. Bila ETS rendah maka waktu inspirasi akan lama
dan volume tidal akan besar.
703
Perawatan pasien dengan ventilator
Intubasi
Intubasi nasal atau oral relatif cukup aman dipakai dalam 2-3 minggu. Dibandigkan dengan
intubasi oral, intubasi nasal lebih nyaman untuk pasien, lebih aman (insiden kecelakan ektubasi
lebih kecil) dan lebih sedikit menyebabkan kerusakan laring. Intubasi nasal mempunyai beberapa
efek samping, seperti perdarahan nasal, bakteriemia, iritasi, diseksi mukosa, sinusitis dan otitis
media (akibat obstruksi tuba auditory).
Bila pasien memerlukan bantuan ventilasi mekanik lebih dari 2-3 minggu, intubasi nasal dan oral
memberi kecenderungan terjadi stenosis subglotis. Pada kondisi ini sebaiknya dilakukan
tracheostomy, sejak beberapa hari pertama intubasi.
Pada umumnya frekuensi pernafasan diset 10-12 kali permenit dan volume tidal 8-10 mL/kg.
VT lebih rendah (6-8 mL/kg) mungkin dibutuhkan untuk menghindari plateu pressure berlebih
(>35-40 cmH20), barotrauma dan volume trauma. Airway pressure tinggi ( transalveolar pressure
> 35 cmH20 ) menyebabkan overdistensi alveolus, pada eksperiment terbukti menyebabkan
lung injury.
Pasien dengan nafas spontan SIMV harus bisa mengatasi resistensi tambahan karena adanya
ETT, demand valve, dan sirkuit nafas. Pada orang dewasa, ukuran ETT kecil (diameter internal
<7mm) sebisa mungkin dihindari. Penggunaan pressure support 5-15 cmH20 selama SIMV dapat
mengkompensasi resistensi dari ETT dan sirkuit.
Penambahan PEEP 5-8 cmH20 selama ventilasi tekanan positif dapat mempertahankan FRC dan
pertukaran gas. PEEP fisiologis ini bertujan untuk mengkompensasi hilangnya intrinsic PEEP
dan penurunan FRC pada pasien yang terintubasi.
Sedasi yang dalam dan pelumpuh otot mungkin diperlukan pada pasien yang mengalami agitasi
dan melawan ventilator. Batuk berulang (bucking) dan mengejan mempunyai pengaruh buruk
pada hemodinamik, menggangu pertukaran gas, dan dapat menyebabkan barotrauma . Sedasi
dengan atau tanpa pelumpuh otot mungkin diperlukan pula pada bila pasien yang mengalami
takipneu (f >16-18 x/mnt).
Umumnya, digunakan sedatif opioid (morfin atau fetanil), benzodiazepin, propofol dan
dexmedetomidin.
704
Penyapihan dari bantuan ventilasi mekanik
Untuk memulai weaning pertamakali dipertimbangkan bahwa bantuan ventilasi mekanik tidak
akan berhasil dihentikan apabila problem yang mengeindikasikan bantuan ventilasi mekanik
belum sembuh/teratasi. Untuk menilai hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis
bronkospasme, gagal janrtung, malnutrisi , asidosis atau alkalosis metabolik, peningkatan
produksi CO2 akibat kelebihan intake karbohidrat, tingkat kesadaran, dan adanya gangguan
tidur.
Parameter penyapihan yang sangat bermanfaat adalah tekanan parsial gas arteri, frekuensi
pernafasan, dan rapid shallow breathing index (RSBI). Oksigenasi yang adekuat ( saturasi
oksigen >90% pada FiO2 40-50% dan PEEP < 5 cmH20) harus tercapai sebelum dilakukan
ekstubasi. RSBI bermanfaat untuk memprediksi keberhasilan penyapihan dari ventilasi mekanik
dan ekstubasi. Pengukuran dilakukan pada saat pasien bernafas spontan dengan T-pice.
RSBI = f ( nafas/menit)
TV (L)
Nilai RSBI > 120 bantuan ventilasi mekanik sebaiknya jangan dilepas.
Penyapihan dilakukan dengan pengurangan bantuan ventilasi secara gradual. Otot pernafasan
pasien tetap melakukan kerja ketika terjadi nafas spontan maupun nafas mandtorik. Beberapa
pasien bisa mengalami dissynchrony pada SIMV dengan rate rendah. Pada umumnya SIMV
dilakukan kombinasi dengan PSV.
Penyapihan dilakukan dengan pengurangan secara gradual level PSV untuk mencapai target
volume tidal dan frekuensi nafas. PSV diturunkan levelnya sampai terendah antara 5-8 cmH20,
bila target pola nafas dan pertukaran gas dapat dipertahankan, maka ventilasi mekanik dapat
dihentikan.
705
Penyapihan dengan T-piece atau CPAP
Teknik ini dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria Pa02/Fi02 > 200mmHg, PEEP <5
cmH20, reflek jalan nafas baik dan tidak memerulkan topangan obat intotropik atau vasoaktif.
Pasien yang bisa mentoleransi T-piece dengan baik selama 30 sampai 120 menit, berarti sudah
tidak memerlukan ventilator dan dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pada umumnya pasien
merespon sama baik antara T-piece dan CPAP level 0 pada ventilator. Pada CPAP Fi02
dipertahankan seperti ketika masih dengan bantuan ventilasi mekanik.
Yaitu tekanan positif yang diberikan di jalan nafas (tepatnya di alveoli) pada akhir ekspirasi.
Tujuan pemberian PEEP adalah agar alveoli tidak kolaps dan agar oksigen dapat berdifusi dari
alveoli ke kapiler lebih baik sehingga dengan demikian Sa02 dan Pa02 lebih baik. Level PEEP
diset dengan memperhatikan kompliance paru dan target oksigenasi.
GAGAL SIRKULASI
Kegagalan sirkulasi atau syok di ICU bisa hipovolemik, kardiogenik atau septic. Pada dasarnya
tanda tanda klinik syok adalah sama; tekanan darah menurun, laju nadi naik serta adanya
gangguan perfusi perifer, capillary filling yang lambat, gelisah sampai kesadaran menurun,
jumlah urine menurun, pemeriksaan gas darah mungkin asidosis, hiperkalemia, peningkatan
laktat. Pada dasarnya target yang akan dicapai untuk terapi pasien syok adalah sama dengan
target terapi pasien gagal napas yaitu memperbaiki oxygen delivery. Dalam hal syok adalah
bagaimana memperbaiki cardiac output. Cardiac output ditentukan oleh stroke volume dan heart
rate. Stroke volume bergantung pada preload, kontraktilitas dan after load. Pada syok
hipovolemik diberikan cairan. Pada syok kardiogenik diberikan inotropik, bila volume sirkulasi
sudah dianggap cukup.
GAGAL GINJAL
Definisi gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara cepat yang dan
tidak dapat dipulihkan secara cepat walaupun dilakukan perbaikan faktor eksternal seperti
706
tekanan darah, volume intra vaskular, kardiak out put dan volume urin. Gejala utama dari gagal
ginjal adalah azotemia dan oliguria.
Gagal ginjal akut dapat dikenali dengan peningkatan BUN dan kreatiin plasma dalam 24-72 jam.
Penyebab azotemia bisa dibagi karena faktor prerenal, renal dan post renal.
Azotemia
Azotemia prerenal terjadi sebagai akibat hipoperfusi ginjal, jika tidak diterapi akan berkembang
menjadi gagal ginjal akut. Hipoperfusi ginjal paling sering diasebabkan oleh penurunan tekanan
perfusi arteri. Diagnosa azotemia prerenal dilakukan berdasarkan gejala klinis dan dikonfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium (lihat tabel dibawah). Terapi azotemia prerenal ditujukan
untuk mengoreksi defisit cairan intra vaskular, memperbaiki fungsi jantung, mempertahankan
tekanan darah normal dan mengatasi vasokonstriksi vaskular ginjal.
Azotemia postrenal timbul akibat adanya obstruksi tractus urinarius. Obstruksi yang komplit
dapat berkembang menjadi gagal ginjal akut, sedang obstruksi parsial dalam jangka lama dapat
menimbulkan gangguan ginjal kronis. Diagnosis dan penanganan obstruksi yang cepat dapat
segera memulihkan fungsi ginjal
707
Kemampuan untuk membedakan azotemia prerenal dan post renal sangatlah penting. Yang
paling mudah pertamakali adalah dengan menyingkirkan kemungkinan obstruksi post renal.
Kelainan prerenal biasanya bisa dilihat dengan melihat respon terhadap perbaikan perfusi ginjal.
Analisa indek urin pada tabel di atas juga dapat membantu membedakan ketiga hal tersebut.
Perhitungan fractional excretion of filter sodium (FE Na+) sangat berguna pada kondisi oliguria.
Nilai FE Na+ <1% dan disertai oliguri terdapat pada azotemia prerenal, nilai >3% terdapat pada
pasien ARF nonoliguri. Nilai 1-3% mungkin terdapat pada pasien ARF nonoliguri.
Renal failure index ( Na+ urin / plasma creatinin ratio ) merupakan indek yang paling sensitif
untuk mendiagnosa gagal ginjal, namun penggunaan diuretik akan meningkatkan sekresi Na
sehingga nilainya tidak akurat.
Etiologi gagal ginjal akut dapat dilihat pada tabel 3. hampir 50% terjadi pada kasus trauma
mayor atau pembedahan ; dan sebagian besar diakibatkan oleh iskemi dan nefrotoksin.
Patogenesis gagal ginjal sangat komplek karenaa melibatkan sistem vaskular dan tubulus ginjal.
Konstriksi arteriola afferet, penurunan permeabilitas glomerulus, injuri langsung sel epitel dan
obstruksi tubular oleh debris intra lumen atau edema, dapat mengurangi filtrasi ginjal.
Iskemia ginjal atau hipoksia merupakan faktor pencetus pada hampir semua kasus.
ketidakseimbangan antara produksi ATP dan kebutuhan sel epitel memyebabkan perubahan
transport ion, pembengkakan sel, mengganggu metabolisme phospholipid dan menyebabkan
penumpukan calcium di dalaam sel. Produksi radikal bebas selama perode reperfusi dan
reoksigenasi dapat pula menimbulkan injury sel.
708
Gagal ginjal akut terjadi hampir 15% pada pasien ICU, dengan mortalitas mencapai 50%. Terapi
utama gagal ginjal akut bersifat suportif. Diuretik dan manitol mungkin bermanfaat pada kasus
gagal ginjal nonoligurik, walaupun beberapa penelitian menunjukkan tidak menurunkan
mortalitasnya. Terapi simptomatis diberikan sesuai dengan kondisi pasien misalnya koreksi
gangguan elektrolit dan koreksi keseimbangan cairan. Perlu diperhatikan pada emberian obat-
obat yang diekskresi melalui ginjal, harus dilakukan penghitungan dosis sesuai dengan klirens
ginjal agar tidak terjadi akumulasi.
SEPSIS
Menurut ACCP/SCCM Consensus Conference, sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang disertai
dengan 2 atau lebih manifestasi sistemik dari SIRS ( tabel 3). Septik syok adalah sepsis yang
disertai hipotensi refrakter walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adeqwat. Kriteria
hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau MAP < 65 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik > 40 mmHg. Syok septik biasanya disertai gangguan perfusi jaringan dan
disfungsi sel yang ditandai dengan asidosis laktat, oliguria atau penurunan kesadaran.
WBC count > 12,000/mm3 , < 4000/mm3 , or > 10% immature (band) forms.
Pathophysiology
Syok septik paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri gram-negatif yang berasal dari tractus
genitourinarius atau dari paru-paru. Bakteriemia bisa ditemukan bisa tidak. Peningkatan kadar
nitric oxide mungkin menjadi penyebab vasodilatasi. Hipotensi juga terjadi karena penurunan
volume intravascular akibat kebocoran vaskular. Pemeriksaan jantung dapat menunjukan adanya
depresi myokard. Aktivasi plateled dan kaskade koagulasi menimbulkan pembentukan agregrat
fibrin-platelet, yang dapat mengganggu aliran darah, bila terjadi di paru-paru akan menimbulkan
709
hipoksemia / ARDS. Dikeluarkannya bahan-bahan vasoactive, pembentukan microtrombus di
sirkulasi paru, akan memperburuk fungsi paru karena meningkatnya resistensi vaskular paru.
Menurut guideline dari Surviving sepsis campaign tahun 2008, dalam 6 jam pertama setelah
sepsis didignosa, harus dapat dilakukan resusitasi sesuai dengan protocol Early Goal-Directed
Therapy (EGDT). Pasien dengan hipotensi diberikan resusitasi cairan koloid atau kristaloid
sampai mencapai cvp 8-12 mmHg. Apabila MAP < 65 mmHg, diberikan obat vasoaktif
(noerepinefrin atau dopamin). Apabila MAP telah 65mmHg, dilakukan pengukuran Saturasi
oksigen vena Central /vena cava superior. Target ScVO2 >70% atau mixed venous >65%
harus dapat dicapai. Bila target saturasi oksigen vena tidak tercapai, diberikan tranfusi Packed
Red Cells sampai hematocrit 30% . Apabila hematokrit telah mencapai target tetapi saturasi
oksigen vena sentral masih rendah, maka mulai diberikan infus dobutamine.
Apabila hasil kultur kuman belum ada, terapi antibiotik empirik diberikan seawal mungkin
dalam jam pertama EGDT. Antibiotik broad-spectrum diberikan secara intra vena dipilih
berdasarkan dugaan bakteri / fungi yang menjadi sumber sepsis.
Dopamin
Dobutamin
Norepinefrin 0 0
Epinefrin
Vasopresin 0 0
710
Gambar 1. Protocol for Early Goal-Directed Therapy.
CVP : central venous pressure, MAP : mean arterial pressure, dan ScvO :
central venous oxygen saturation.
Perdarahan akut sering menjadi alasan utnuk mengirim pasien ke ICU. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan mortalitas adalah umur (>60tahun), penyakit komorbid, hipotensi, perdarahan
masif (>5 unit) dan perdarahan berulang.
711
Penatalaksanaan di icu meliputi evaluasi, identifikasi sumber perdarahan dan stabilisasi. Pasien
harus dipasang 2 kanula vena besar (14-16G), kalau mungkin dipasang CVC dan arteri line.
Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, trombosiit, PT dan aPTT serta persiapan tranfusi darah harus
dilakukan. Monitoring yang dilakukan meliputi hematokrit serial dan penilaian hemodinamik
kontiyus.
Penyebab perdarahan paling sering adalah ulkus duodenum, ulkus gaster, gastritis erosif dan
varises esofagus. Yang terakhir biasanya disebabkan oleh stress, konsumsi alkohol, aspirin ,
NSAID dan obat obat steroid.
Terapi paling efektif untuk gastritis erosif adalah melakukan pencegahan dengan proton pum
inhibitor, H2 receptor bloker, antasid dan sucralfat. Namun apabila perdarahan sudah terjadi
semua obat ini tidak akan efektif.
Terapi endoskopi dengan elektrokoagulasi bipolar atau probe heater, merupakan terapi nonbedah
yang efektif untuk mengurangi tranfusi, perdarahan ulang, lama rawat dan resiko operasi.
Terapi yang dilakukan adalah kauterisasi sumber perdarahan via colonoscopi, embolisasi / infus
vasopresin via arteriografi, dan dilakukan operasi bila perdarahan berulang.
TERAPI NUTRISI
712
Pasien sakit kritis biasanya mengalami injury jaringan, stress neuroendokrin dan kakeksia.
Respon terhadap injury yang terjadi meliputi peningkatan sekresi katekolamin, kortisol,
gliukagon, tiroksin, angiotensin, aldosteron , growth hormon dan ACTH, hormon antidiuretik
dan TSH. Pada awalya sekresi insulin sedikit turun tetapi kemudian akan meningkat sesuai
dengan peningkatan kadar growth hormon.
Katekolamin, glukagon dan growth hormon akan memacu glykogenolisis, dimana glukagon dan
kortisol mungkin memacu glukoneogenesis. Hal tersebut ditambah dengan penurunan utilitas
oleh jaringan perifer menyebabkan hiperglikemi. Penurunan toleransi terhadap glukosa,
tampaknya diakibatkan oleh penurunan seksresi insulin dan peningkatan resistensi. oleh jaringan
perifer. Kedua efek tersebut terjadi karena peningkatan sekresi katekolamin, yang juga
meningkatkan lipolisis.
Sintesa dan pemecahan protein meningkat, namun pemecahannya lebih besar daripada sintesa
sehingga terjadi penurunan massa otot. Selama sepsis pemakaian lemak dan karbohidrat otot
mengalami gangguan, mengakibatkan pemecahan protein meningkat. Disamping itu sel sel lebih
banyak memakai asam amino rantai cabang, misalnya glutamin, Glutamin merupakan asam
amino yang banyak diperlukan untuk jalur metabolisme.
Pemberian glukosa selama fase akut tidak dapat menekan pemecahan proteein. Intake kalori dan
protein yang adekuat dapat mengurangi tetapi tidak dapat mencegah katabolisme pada pasien
Penilaian status nutrisi bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai metode misalnya
subjective global assessment (SGA), berat badan, lingkar lengan atas, eksresi kretinin urin, kadar
albumin dan transferin dalam darah, dll
Pasien yang memerlukan perhatian khusus apabila mempunyai berat badan kurang dari 80%
berat normal, mengalami penurunan BB >10% dalam 6 bulan terakhir, hipoalbumin <3 g/dL atau
transferin <150 mg/dL, kulit lembek atau jumlah limfosit darah < 1200 sel/mL
Ada berbagai metode perhitungan energi, namun pada pasien sakit kritis umumnya cukup
diberikan 20-30 kcal/kg per hari dengan pertimbangan karena mengalami gangguan metabolisme
sel ; glukosa dan asam lemak tidak dapat dioksidasi secara sempurna.
Kebutuhan energi tersebut dipenuhi dengan komposisi : karbohidrat 30-70%, protein 15-20%
(1-2 gr/kg/hari), dan lemak 20-50%.
713
Nutrisi enteral
Pemberian nutrisi enteral adalah cara pemberian nutrisi melalui selang menuju saluran cerna.
Selang yang dipakai bermacam-macam, yaitu nasogastric tube, orogastric tube, naso-duodenal
tube, gastrostomi, jejunostami, dan ileostomi.
Keuntungan cara ini adalah integritas dan morfologi mukosa usus tetap terjaga, menguraangi
resiko translokasi bakteri, murah dan mudah.
Cara pemberian nutrisi secara kontinyu artinya diberikan terus menerus dalam 24 jam dengan
kecepatan konstan, dapat mengurangi resiko aspirasi. Untuk merangsang nafsu makan pasien ,
beberapa ahli gizi tidak memberikan nutrisi pada malam hari saat tidur. Pemberian nutrisi enteral
intermiten, artinya nutrisi diberikan bertahap beberapa kali perhari. Biasanya satu kali
pemberian dilakukan dalam 20-30 menit menggunakan syring pump atau feeding bag
Masalah yang sering timbul dengan nutrisi enteral adalah diare, biasanya berhubungan dengan
hiperosmolaritas sediaan dan intoleransi laktosa. Masalah lain yaitu retensi lambung dan residu
gaster yang berlebihan sehingga bisa menyebabkan aspirasi.
Nutrisi Parenteralenteral.
Cara pemberian nutrisi parenteral adalah pemberian nutrisi langsung ke pembuluh vena.
Pemberian nutrisi ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu nutrisi parenteral perifer dan nutrisi perenteral
total (TPN). Syarat pemberain nutrisi parenteral adal hemodinamik pasien dalam kondisi stabil.
Pada pemberian TPN sebaiknya melalui CVC karena osmolaritas sediaan biasanya cukup tinngi.
Indikasi TPN adalah apabila saluran cerna mengalami obstruksi, atau sluran cerna tidak
berfungsi. Pemberian TPN memerlukan perhitungan komposisi yang lebih sulit karena harus
menyesuaikan antra volume cairan dan kandungan nutrisi didalamnya. Komplikasi yang terjadi
disebabkan oleh faktor cvc atau komposisi nutrien. Komplikasi yang berkaitan dengan komposisi
yang tidak adekwat adalah hiperglikemi, hipoglikemi, hipertrigliseridemia, asidosis metabolik,
dan gangguan elektrolit.
714
Hipoglikemi kadang-kadang terjadi karena infus distop dalam waktu cukup lama, bisa diatasi
denganpemberian D40%. Pemeriksaan elektrolit sebaiknya dilakukan setiap hari dan diatasi
dengan mengatur komposisi elktrolit pada nutrisi. Azotemia bisa terjadi pada pemberian asam
amino yang berlebihan, terapinya adalah mengurangi asupan asam amino atau bila tidaak ada
masalaah bisa diberikan tambahan air.
715
PENELITIAN
MODUL 37 :
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
Materi presentasi:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
Penuntun Belajar : lihat acuan materi
Referensi :
716
Fakultas Kedokteran UI,1995
4. Beauchamp TL,Childress JF. Principle of Biomedical Ethic, Oxford University Press
1994
5. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto,2002
6. Matthews JR, Bowen JM, Matthews RW. Successful scientific writing. Cambridge
University Press,2006 .
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan mampu menerapkan alur pikir ilmiah
dengan menggunakan pendekatan ilmu kedokteran dasar maupun klinik untuk meneliti
permasalahan dalam bidang anestesiologi, perioperative care,critical care dan pengelolaan
nyeri.
TUJUAN KHUSUS
Kognitif :
Psikomotor
1.Mampu melakukan pengambilan data penelitian
3.Mampu melatih bila diperlukan tim pendukung yang membantu proses penelitian
Komunikasi:
717
2.Mampu memberikan penjelasan kepada subjek penelitian
Profesional
1.Mampu bekerjasama dengan sesama sejawat anestesi, bidang ilmu lain, perawat,
maupun petugas kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan penelitian.
4.Mampu membuat rancangan biaya dengan memperhitungkan cost benefit ratio dan
tenggat waktu.
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat membuat Usulan Penelitian dan menulis Laporan Penelitian (Tesis) diperlukan
pengetahuan dan ketrampilan dalam cara menulis laporan, pengetahuan metodelogi penelitian,
filsafat penelitan, statistik, dan kejujuran dalam melakukan penelitian.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu membuat usulan penelitian, mengerti
tentang dasar penelitian dari mulai filsafat penelitian, metode, statistik untuk penarikan besar
sampel, dan statistik untuk melakukan uji data penelitian, serta mampu menarik kesimpulan
penelitian serta kegunaannya.
1.Filsafat Ilmu
2.Bio-etik
718
3.Metodologi Penelitian
4.Epidemiologi Klinik
METODE PEMBELAJARAN
- Kuliah Interaktif
- Diskusi dengan dosen pembimbing spesialis anestesi
- Diskusi dengan dosen pembimbing bidang lain terkait penelitian(expert)
- Belajar Mandiri
MEDIA
- Audiovisual
- Perpustakaan & e Library
EVALUASI
719
Evaluasi dilakukan oleh pembimbing dan pakar dari anestesiologi maupun bidang
ilmu lain yang terkait.
Evaluasi ini akan menentukan apakah peserta didik dapat segera menempuh ujian
penelitian atau memerlukan perbaikan dengan menambah data yang diperlukan.
- Ujian
Ujian Penelitian dilakukan untuk menilai pola dan kemampuan berpikir ilmiah peserta
didik yang di refleksikan oleh kemampuan menganalisis dan menyimpulkam hasil
penelitian.
Pretest
1. Bagaimana cara membuat suatu judul penelitian, apa syaratnya bisa diteliti?
2. Apa yang ditulis dalam Tema Sentral Masalah?
3. Apa yang disebut metode deduksi dan induksi? Apa perbedaan dan keuntungan-
kerugainnya masing-masing?
4. Apa definisi hipotesis?
5. Apa yang disebut variabel? Terangkan tentang bebas, variabel terikat, dan variabel
perancu!
6. Apa yang disebut definisi operasional variabel? Beri contohnya1
7. Bagaimana cara membuat hipotesis yang baik?
8. Bagaimana cara membuat premis yang baik?
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
STUDI LITERATUR
720
6 Membuat Maksud dan Tujuan Penelitian
15 Maju UP di Bagian
17 Melakukan Penelitian
18 Pengumpulan Data
19 Uj Statistik
20 Membuat Tesis
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standar atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau ketrampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
721
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinik
1 2 3 4 5
722
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
MATERI ACUAN
Usulan Penelitian (UP) adalah rencana penelitian tertulis yang bersifat formal, yang dapat
berbeda dari institusi ke institusi dan diperlukan untuk :
penelitian.
723
Sistematika UP
Judul penelitian
Pendahuluan
Latar Belakang Penelitian
Rumusan Masalah
Kegunaan Penelitian
Judul
Judul merupakan identitas atau cermin dari keseluruhan isi dan proses kegiatan
penelitian yang akan dilakukan.
Judul perlu dinyatakan dengan menggunakan kata-kata yang jelas, singkat, dan
ekspresif, kalimat yang sederhana, kalau perlu dapat dibuat sub-judul.
Terdiri dari 2 variabel yang berkaitan: Variabel bebas berkaitan dengan variabel terikat
Pendahuluan:
Latar Belakang Penelitian
Pertama kali tentukan masalahnya karena tidak semua masalah kesehatan dapat
dikembangkan menjadi penelitian.
Syarat masalah dapat diangkat jadi penelitian: kemampulaksanaan, menarik,
memberikan sesuatu yang baru, etis, serta relevan FINER (Feasible, Interesting,
Novel, Ethical, Relevant)
Feasible
Studi kepustakaan
724
Hasil konferensi, seminar, simposium, lokakarya.
Pengalaman dalam praktek sehari-hari.
Pendapat pakar yang masih spekulatif.
Sumber non-ilmiah.
Apapun sumbernya masalah akan ada kalau banyak membaca.
Apakah masalah layak dan sesuai untuk diteliti ?
FINER
Pertimbangan dari arah masalahnya: apakah akan memberi sumbangan pada
pengembangan teori dan pemecahan masalah praktis.
Pertimbangan dari arah Peneliti: biaya, waktu, alat dan perlengkapan, kemampuan
teoritis, penguasaan metode yang diperlukan.
Komponen yang harus nampak dalam Latar Belakang
dampak negatifnya.
Buat Tema sentral masalah yang isisnya adalah latar belakang situasi, kondisi dan apa
tantangannya. Tantangan ini akan dijabarkan dalan Rumusan Masalah.
Rumusan Masalah
Syaratnya : dikemukakan dalam kalimat tanya, substansi harus khas, bila terdapat
beberapa pertanyaan maka harus dipisah.
Dimulai dengan kalimat pembuka. Contoh:
1) berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian tersebut diatas dapat
725
1) Apakah pentotal mempunyai efek proteksi otak?
Karena banyak parameter untuk menentukan fungsi ventrikel kiri atau proteksi otak.
Kalimat positif, merupakan kebalikan dari kalimat tanya pada Rumusan Masalah.
Didahului kata pembuka, misalnya: Mengacu pada RM, maksud dan tujuan penelitian
ini adalah:.
Bila RM ada 2, maka Maksud dan Tujuan ada 2, dan Hipotesis ada 2.
Kegunaan Penelitian
Diuraikan manfaat apa yang diharapkan diperoleh dari penelitian yang dilakukan nanti.
Biasanya disebutkan manfaat dalam bidang akademik atau ilmiah, pelayanan
masyarakat serta pengembangan penelitian itu sendiri
Kerangka pemikiran
Adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya masih harus
diuji secara empiris.
Dibuat secara induksi atau deduksi dari premis.
Premis merupakan pernyataan yang benar yang diambil dari buku, jurnal.
Pada deduksi ada premis mayor, premis minor dan simpulan (hipotesis)
Uji hipotesis
H0 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya saling hubungan antara 2 variabel
atau tidak ada perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
HA ((Hipotesis Alternatif) menyatakan adanya saling hubungan antara 2 variabel atau
ada perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya.
Hipotesis penelitian boleh H0 atau HA
Sasaran uji statistik pada umumnya menolak H0 (menerima HA)
726
Dinyatakan dalam kalimat deklaratif yang jelas dan sederhana.
Mempunyai landasan teori yang kuat (ingat Hipotesis dibuat berdasarkan premis)
Menyatakan hubungan antara variabel tergantung dengan satu atau lebih variabel bebas
Memungkinkan diuji secara empirik
Rumusan harus khas dan menggambarkan variabel yang diukur
Dikemukakan apriori: dikemukakan sebelum penelitian dimulai
Subjek Penelitian
Pemilihan Subjek : kriteria inklusi,
Metode Penelitian
Tipe dan Rancangan Penelitian
Definisi Operasional :
Analisis Data
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Keadaan yang menyebabkan subjek yang sudah memenuhi kriteria inklusi tidak dapat
diikutsertakan dalam penelitian.
Kontraindikasi, terdapatnya penyakit lain yang mempengaruhi variabel yang diteliti,
kepatuhan pasien, pasien menolak diteliti, masalah etik.
727
Kriteria pengeluaran
Sample sudah masuk inklusi kriteria, sudah dirandom, tapi karena sesuatu hal tidak
diikutkan dalam penelitian.
Dalam perhitungan statistik harus diikutkan.
Besar sampel
3 ( r-1) > 6
3r3 >6
3r >9
r >3
Desain:
Bila memilih observasi tentukan apakah hanya pengamatan sewaktu (cross sectional)
atau melakukan follow up (studi longitudinal).
Apakah retrospektif atau prospektif.
Harus diingat jenis penelitian yang satu tidak lebih unggul dari yang lain. Jenis
penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian.
728
Penelitian ini merupakan studi cross sectional untuk menentukan prevalens miokarditis
pada pasien demam tipoid.
Variabel: contoh
Variabel perancu : faktor lain yang akan menurunkan tekanan darah bila diberi
Supaya tidak ada makna ganda dari semua istilah yang digunakan.
Contoh:
1. Cedera kepala berat adalah cedera kepala yang pada pemeriksaan klinis
menunjukkan nilai GCS < 8.
2. Hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg
3. Cerebral iskemia adalah bila SJO2 < 50%
Pengukuran adalah observasi fenomena dengan maksud agar dapat dilakukan analisis
menurut aturan tertentu.
Standarisasi cara pengukuran, pelatihan pengukur, penyempurnaan instrumen, kalibrasi
alat.
Contoh: gas darah dengan I-stat yang telah dikalibrasi dan dibandingkan dengan alat lain
yang telah dikalibrasi. Tekanan darah dilakukan secara noninvasif dengan Tekanan
Darah otomatis.
729
Daftar Pustaka
Perhatikan cara penulisan kepustakaan yang diminta. Penulisan titik, titik koma, titik dua
harus diperhatikan.
Contoh:
1. Cooper KR, Boswell PA.Save use of PEEP in patient with severe head injury. J
Neurosurg 1995;63(2):552-55.
2. Wilson RF. Trauma.In: Shoemaker WC, Thomson WL,eds.Textbook of Critical
Care. Philadelphia:WB Saunders;1984.877-912.
Prinsip: mengikuti pedoman yg dikeluarkan oleh organisasi internasional, contoh dari BJA
Referensi
730
MODUL 39 :MANAJEMEN ANESTESIA KOMPREHENSIF
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
16. LCD Projector dan screen
17. Laptop
18. OHP
19. Flipchart
20. Video player
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Rencana dan indikasi anestesi
2. Persiapan perioperatif pasien
3. Tehnik anestesia umum, regional, kombinasi atau MAC
4. Penatalaksanaan pasca operasi
5. Indikasi rawat intensif
6. Penatalaksanaan pasien rawat intensif
Sarana:
14. Ruang belajar
15. Ruang pemeriksaan
16. Kamar operasi elektif dan darurat
17. Ruang Pulih
18. Bangsal Rawat
19. ICU / HCU
Kasus : penatalaksanaan pasien langsung di ruang rawat, kamar pemeriksaan, kamar operasi elektif ,
IGD dan rawat jalan, ruang radiologi, ruang endoskopi, ICU
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
731
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia : Lipincott
William & Wilkins ; 2006
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan
penatalaksanaan kasus-kasus yang kompleks; baik pasien dengan tingkat komorbid yang tinggi maupun
tehnik pembedahan yang sangat kompleks atau keduanya, dan melakukan manajemen dan supervisi
terhadap residen yang lain
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:
1. KOMPETENSI
Mampu melakukan penatalaksanaan perioperatif dan pembiusan pada seluruh jenis kasus, dan
pengelolaan pasien rawat intensif.
RANAH KOMPETENSI
Kognitif:
Psikomotor :
732
1. Melakukan sebagian besar tehnik anestesia umum.
2. Melakukan sebagian besar tehnik anestesia regional
3. Melakukan anestesia pada kasus yang kompleks: komorbid tinggi, tehnik operasi yang sulit.
4. Melakukan penatalaksanaan pasca operasi termasuk nyeri pasca bedah.
5. Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.
6. Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesi yang
dilakukan residen lain.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
1. Melakukan komunikasi dan menciptakan kondisi kerja yang baik dengan seluruh tim.
2. Melakukan komunikasi yang baik dengan staf konsulen, rekan ahli bedah dan personel kamar
bedah yang lain.
3. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disiplin lain, melakukan konsultasi terutama
untuk kasus yang sulit.
4. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disoplin lain, konsultasi dengan konsulen,
kerjasama dengan tim perawat unit perawatan intensif.
5. Melakukan komunikasi yang naik dan informed consent yang benar dengan pasien dan
keluarganya.
Profesionalisme :
2. KEYNOTES
733
20. Pengelolaan Nyeri
21. Anestesia Regional
22. Traumatologi
23. Intensive Care
3. GAMBARAN UMUM
Manajemen Anestesia Komprehensif merupakan suatu metode pembelajaran dimana peserta didik sudah
melewati semua tahap pembelajaran tehnik pembiusan berbagai macam kasus dan tehnik operasi dari
yang mudah sampai yang kompleks serta melewati tahap pembelajaran di unit perawatan intensif.
Selama 1 semester (24 minggu) peserta didik bertanggung jawab untuk mengatur pembagian tugas dan
melakukan supervisi terhadap peserta didik yang lain (terutama yang lebih junior) dalam penatalaksanaan
anestesia maupun perawatan intensif semua jenis kasus. Selain itu peserta didik juga melakukan tindakan
anestesia dan perawatan intensif secara mandiri di rumah sakit pendidikan utama dan rumah sakit
pendidikan yang lain.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:
5. METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
734
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Tehnik anestesia umum dengan obat intravena, inhalasi dengan sungkup muka, LMA, intubasi
dan MAC (lihat modul ketrampilan dasar anestesia, anestesia umum)
2. Tehnik monitoring dan pemasangan akses vaskuler sepertikanulasi vena, arterial, kanulasi vena
sentral (lihat modul ketrampilan dasar anestesia)
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Tehnik anestesia regional neuroaksial seperti subarahnoid, epidural, kaudal (lihat modul
anestesia regional)
2. Tehnik blok ekstremitas atas seperti blok skalenus, blok pleksus brakialis, blok aksilaris, blok
radialis dan ulnaris (lihat modul anestesia regional)
3. Tehnik blok ekstremitas bawah seperti blok skiatik, femoral, pudendal, politea, ankle blok
Tujuan 3 : Melakukan anestesia pada kasus yang kompleks: komorbid tinggi, tehnik operasi yang
sulit atau keduanya.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Tehnik balanced anesthesia, opioid based balanced anesthesia, terutama untuk pasien dengan
komorbid tinggi atau ketidakstabilan hemodinamik.
2. Tehnik penatalaksanaan jalan nafas terutama pada pasien dengan jalan nafas sulit
3. Tehnik anestesia kombinasi (umum dan regional)
4. Tehnik anestesia untuk operasi dengan tehnik khusus dan sulit (tumor jalan nafas, operasi besar
digestif, operasi vaskuler besar, bedah thorasik, operasi transplantasi)
735
Tujuan 4 : Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Prinsip umum kedokteran perawatan intensif, indikasi masuk ICU dan dapat mengidentifikasi
pasien yang beresiko gagal organ
2. Ketrampilan melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
3. Ketrampilan diagnosis pasien kritis, tindakan stabilisasi, penilaian, pengelolaan dan investigasi
rutin setiap hari.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Proaktif melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan peserta didik lain di ICU terutama yang
lebih junior.
2. Pendidikandan pengajaran kepada petugas, mahasiswa kedokteran maupun paramedik di ICU.
3. Pengetahuan umum organisasi pengelolaan ICU.
4. Kemampuan untuk bekerjasama dan konsultasi dengan konsulen maupun ahli disiplin limu yang
lain.
Tujuan 6: Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan
anestesi yang dilakukan residen lain.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktik klinik
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan mengenai sistim dan jadwal semua jenis operasi dan tindakan lain yang
memerlukan tindakan anestesi, MAC maupun perawatan intensif.
736
2. Kemampuan melakukan pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesi yang
dilakukan peserta didik terutama yang lebih junior.
3. Bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberi sangsi bila ada yang melakukan
pelanggaran dari tugas yang telah diatur.
4. Kemampuan melakukan komunikasi dan lingkungan kerja yang baik antar sesama peserta didik,
konsulen maupun rekan disiplin lain.
6. MEDIA
2. Workshop / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manekin
3. Belajar mandiri
4. Kuliah
Kuliah khusus mengenai penatalaksanaan dan masalah dari kasus
5. Diskusi kelompok
a. Laporan dan diskusi tentang masalah perioperatif elektif maupun darurat
b. Pengelolaan pasien unit perawatan intensif
c. Organisasi, pembagian tugas dan supervisi peserta didik
d. Pendidikan dan pengajaran mahasiswa kedokteran, perawat maupun peserta didik yang
lebih junior
6. Pemeriksaan preoperatif
7. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
a. Pelatihan anestesia umum dan regional di kamar bedah elektif maupun darurat secara
mandiri
b. Untuk kasus kompleks atau tehnik operasi dan pembiusan yang sulit mendapat
bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
8. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
9. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
10. Continuing Profesional Development (CPD)
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk essay dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :
7. Pemilihan/seleksi pasien semua jenis operasi untuk kasus sederhana maupun dengan penyulit
8. Persiapan preoperatif
9. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk semua kasus terutama kasus
kompleks
737
10. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
11. Monitoring
12. Pengelolaan pasca anestesia
13. Indikasi dan penatalakintensifsanaan pasien rawat
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manekin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
(terlampir)
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pretest :
738
6. Jelaskan dampak posisi pasien selama operasi khusus (terlungkup, miring, lumbotomi,
trendelenburg, anti-trendelenburg, litotomi)
7. Jelaskan penanggulangan nyeri pasca bedah operasi besar atau khusus
8. Jelaskan pengelolaan pernafasan pasca bedah operasi besar atau khusus
9. Jelaskan indikasi perawatan intensif
10. Jelaskan prinsip-prinsip resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
11. Jelaskan cara dan isi informed consent yang baik dan benar
Bentuk pretest : MCQ, ujian essay dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
- Ujian akhir stase/ rotasi post test tulis dan ujian pasien
- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :
1. KnowledgeKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
Tindakan / operasi :
739
No Daftar cek penuntun belajar tindakan anestesia dan
perawatan intensif
740
5. Infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi
1. Menentukan ASA
ANESTESIA
2. Anestesia regional
7. Tindakan ekstubasi
741
1. Pengawasan ABC dan tanda vital pasca bedah
NIV)
6. Indikasi bronkoskopi
742
20. Kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal
743
4. Pembersihan dan sterilisasi alat
5. Keamanan kelistrikan
9. Alat bronkoskopi
5. Nosocomial pneumonia
7. Aspiration pneumonia
8. Asthma
9. PPOK
744
20. Cardiac arrest
23. Urosepsis
36. DIC
745
TRANSPORTASI PASIEN KRITIS
3. Decision making
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau Penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur standar
atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih
746
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Modul Manajemen Anestesia Komprehensif ini merupakan tahap pembelajaran setelah peserta didik
melewati semua tahap stase anestesia maupun perawatan intensif (ICU). Modul ini memerlukan waktu
selama 1 semester (24 minggu) dan merupakan modul integrasi dari semua modul yang harus dikuasai
oleh peserta didik.
Selama menjalani tahap ini peserta didik pertama kali harus dapat membuat rencana manajemen yang
akan mereka lakukan selama 24 minggu kedepan yang meliputi pembagian tugas, pelaksanaan pelayanan
747
anestesia untuk semua kasus yang sederhana maupun yang kompleks, baik kasus yang ringan, komorbid
tinggi atau tehnik operasi yang sulit.
Selain itu peserta didik harus aktif melakukan pengajaran dan supervisi terhadap peserta didik yang lebih
junior dan mahasiswa kedokteran. Bila terjadi pelanggaran dari tugas yang telah ditentukan peserta didik
dalam tahap ini harus dapat bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberikan sangsi.
Selama tahap ini peserta didik diharapkan sudah mampu melakukan sebagian besar tehnik anestesia
umum, regional, MAC secara mandiri baik di rumah sakit pendidikan utama maupun rumah sakit
pendidikan yang lain. Selain pelayanan anestesia peserta didik selama tahap ini juga diharapkan mampu
melakukan penatalaksanaan pasien di ruang perawatan intensif secara mandiri.
Secara terperinci dalam tahap pembelajaran ini peserta didik telah mampu melakukan resusitasi dan
stabilisasi awal yang meliputi diagnosa kondisi mengancam nyawa termasuk cardiopulmonary arrest,
cara melakukan resusitasi kardiopulmoner, pengelolaan segera pasien pasien emergensi medik (gagal
nafas akut, asthma akut, PPOK, hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, hipotensi, syok, gangguan
irama jantung, penurunan kesadaran), dapat menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi trakea pada
pasien kritis, melakukan nafas buatan, mencegah dan mengelola aspirasi pnemonia karena muntahan,
pengelolaan difficult airway dan kegagalan intubasi, pengelolaan jalan nafas pada cedera kepala lambung
penuh, obstruksi jalan nafas, syok, mengenali tanda dan pengelolaan reaksi anafilaksis dan anafilaktoid,
masalah pada pasien obesitas atau immobilitas, dapat melakukan akses vaskular yang cepat dan aman,
dan memiliki pengetahuan mengenai farmakologi obat2 anestesi, resusitasi, obat anti aritmia, inotropik,
vasopresor, sedasi, analgesi dan pelemas otot. Dalam penilaian klinis pra anestesia peserta didik dapat
melakukan dan melakukan penilaian dari anamnesis untuk diagnosis, pemeriksaan fisik termasuk pasien
kritis, mengenali reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ, mengetahui dampak terapi obat
terhadap fungsi sistem organ, mendiagnosa infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi,
mengetahui patogenesis disfungsi organ multipel dan prinsip pencegahan disfungsi organ multipel.
Peserta didik juga harus memahami berbagai pemeriksaan, dapat melakukan interpretasi data dan
menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang sesuai dan sesuai indikasi seperti:
EKG, ECHO, USG, Gas darah, test fungsi paru, foto torak, rongent: kepala, vertebra dan iga2, level
cairan bebas di abdomen, CT Scan, MRI, mikrobiologi, Balans cairan, hematologi, Urea/creatinine,
Elektrolit (Na, K, Ca, Mg), Test fungsi hati, Kadar obat dalam darah, Fungsi endokrin:diabetes, gangguan
tiroid, gagal adrenal.
Sebelum melakukan tindakan anestesia dilakukan penentuan ASA, persiapan alat, mesin pembiusan,
STATICS, obat, pemasangan monitor non-invasif dan invasif dan interpretasi hasil monitor.
Secara mandiri peserta didik dapat melakukan sebagian besar tehnik anestesia umum (intubasi, LMA),
anestesia regional, anestesia intravena dan MAC untuk semua kasus baik yang sederhana maupun yang
disertai penyulit , melakukan pemberian cairan dan tranfusi, pemantauan fungsi vital, kesadaran,
kardiovaskuler, pernafasan seperti tekanan darah, nadi, Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada),
jumlah urine, suhu. Dapat melakukan pengakhiran anestesia dan masa siuman yang mulus, melakukan
tindakan ekstubasi dengan aman, mencegah dan menangani komplikasinya. Peserta didik juga
bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasca bedah meliputi pengawasan ABC dan tanda vital pasca
bedah, penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskuler, kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual
748
muntah), penanganan nyeri pasca bedah dan penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang rawat
biasa atau ICU.
Tindakan memberi bantuan sistem organ dan prosedur praktis terkait di ICU yang harus dipahami dan
dapat dilakukan adalah pemahaman indikasi ventilasi mekanik, modus ventilasi mekanik dasar
(CMV, SIMV, PS,CPAP), modus ventilasi mekanik lanjut (PCV, PSV, BiPAP, NIV), komplikasi ventilasi
mekanik dan pengelolaannya, deteksi dan pengelolaan pnemotorak, indikasi bronkoskopi, prinsip
weaning dari ventilasi mekanik, pemasangan kanulasi vena perifer dan sentral, punksi dan kateterisasi
arterial, penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator, vasokonstriktor, pemberian kristaloid, koloid,
darah dan produk darah, prinsip IABP, TEE, Esophageal Dopler, transvenous cardiac pacing,
pencegahan gagal ginjal, monitor fungsi ginjal, pengawasan pemberian obat nefrotoksik, penyesuaian
dosis obat pada gagal ginjal, Renal Replacement Therapy, penilaian status nutrisi dan pemberian nutrisi
enteral dan parenteral pasien ICU, kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal,pencegahan stress ulcer, prinsip
support gagal hepar, pencegahan translokasi mikroba, pengelolaan cedera kepala tertutup, pengelolaan
peningkatan tekanan intrakranial, pengelolaan cedera spinal, pencegahan pressure sores, surveillance
mikrobiologi dan pemakaian antibiotik yang benar. Peserta didik harus melakukan pemantauan dan
memiliki pengetahuan mengenai indikasi dan indikasi kontra penggunaan alat monitor, interpretasi
informasi dari alat monitor, identifikasi penyebab error alat, prinsip monitor minimal, komplikasi akibat
alat monitor, pengukuran suhu, penilaian nyeri dan sedasi, penilaian sistem skoring keparahan penyakit,
Glasgow Coma Scale pemantauan kadar obat. Penggunaan alat secara aman seperti alat untuk jalan
nafas, airway, LMA, ETT, terapi oksigen, bag, humiidifikasi, nebulizer, ventilator invasif dan non-invasif
dan accessoriesnya, alat monitor dan accessoriesnya, pembersihan dan sterilisasi alat, keamanan
kelistrikan, alat resusitasi, defibrilator dan alat transfusi, alat hemofiltrasi, bronkoskopi dan ECHO.
Pemahaman kondisi medis dan pengelolaan pasien kritis yang harus dikuasai adalah gagal nafas
oksigenasi, gagal nafas ventilasi, Acute lung Injury, ARDS, Obstruksi jalan nafas, Nosocomial
pneumonia, Ventilator- associated pneumonia, Aspiration pneumonia, asthma, PPOK, edema paru
kardiogenik, effusi pleura, pneumotorak (simple, tension), syok hipovolemik, syok kardiogenik,
hipotensi, hipertensi, Infark miokard akut, gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal,
gangguan irama jantung, Cardiac arrest, oliguria, anuria, polyuria, gagal ginjal akut, urosepsis,
confusion dan koma, traumatic brain injury, spontaneous intracranial hemorrhag, subarachnoid
hemorrhage, hypoxic brain damage, convulsion, status epilepticus, meningitis, encephalitis,
neuromuskular (Guillain-Barre, Myasthenia gravis, tetanus, malignant hyperpyrexia), spinal Injury,
Brainstem death, gangguan koagulasi, pasien immunocompromised, DIC, gangguan elktrolit, Na, K,
gangguan elektrolit Ca, Mg, kegawatan pada Diabetes Melitus, disfungsi thyroid, keracunan akut,
preeklamsia, eklamsia, sindroma HELLP, perdarahan peripartum, gangguan jantung pada kehamilan,
SIRS, Sepsis, Severe Sepsis, Septic Shock, pireksia dan hipotermia. Peserta didik dapat melakukan
transportasi pasien kritis berdasarkan prinsip transfer pasien kritis dengan aman dan mengerti
pemantauan saat transportasi. Sasaran terakhir adalah pengetahuan tentang end of life care yang meliputi
prinsip etika dasar, with-holding dan withdrawing therapy, pengambilan keputusan dan penilaian quality
of life.
Selama menjalankan tugasnya peserta didik harus dapat bekerja sama, berkomunikasi dan menciptakan
lingkungan kerja yang baik dengan sesama peserta didik, perawat, paramedik dan konsulen di kamar
operasi maupun ICU.
749
12. REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins ; 2006
750