Vous êtes sur la page 1sur 37

Referat

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan
berkat dan kasihNya dalam kehidupan ini. Dengan penyertaan dan kasih setiaNya
referat ini dapat selesai dikerjakan sebagai tugas kepaniteraan bagian Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi di RS Polri Raden Said Sukanto.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko
Nafianto, SpS sebagai pembimbing, dr. Doddy, dr. Maula, SpS, dr. Marjanti,
SpS, yang selalu memberikan dorongan dan bimbingan hingga referat ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Penulis berharap semoga dengan penulisan referat ini, pengetahuan
penulis dalam bidang Neurologi dapat semakin bertambah sebagai bekal dalam
menjalankan profesi untuk menjadi dokter yang berkompeten. Penulis juga
berharap referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Penulis
sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
demikian penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan dalam penulisan berikutnya.

Jakarta, 17 November 2014

Penulis

RS Polri Raden Said Sukanto Page i


Referat

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2


2.1 Definisi ............................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi.................................................................................... 2
2.3 Etiologi ............................................................................................ 3
2.4 Klasifikasi ........................................................................................ 5
2.5 Patofisiologi ..................................................................................... 10
2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................ 12
2.7 Diagnosis ......................................................................................... 15
2.8 Tatalaksana ...................................................................................... 18

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 34


3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 34

DAFTAR KEPUSTAKAAN ........................................................................ 35

RS Polri Raden Said Sukanto Page ii


Referat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi adalah suatu kondisi neurologik yang mempengaruhi system


saraf. Epilepsy juga dikenal sebagai penyakit kejang. Epilepsi dapat didiagnosis
paling tidak setelah mengalami dua kali kejang yang tidak disebabkan oleh
kondisi medis seperti kecanduan alkhohol atau kadar gula yang sangat rendah
(hipoglikemi). Terkadang menurut International League Against Epilepsy,
epilepsy dapat didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang. Anak-anak dan
remaja lebih cenderung menderita epilepsy dengan sebab yang tidak diketahui
atau murni genetic daripada orang dewasa. Epilepsy dapat mulai terjadi pada
semua usia.

Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua


bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur
hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang
epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada
lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta
penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsy. Epilepsi sukar untuk dikendalikan
secara medis atau pharmacoresistant, sebab mayoritas pasien dengan epilepsi
adalah bersifat menentang.

RS Polri Raden Said Sukanto Page 1


Referat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Epilepsy adalah sebuah kondisi dimana terjadi kejang berulang. Kejang


diartikan sebagai adanya gangguan pelepasan muatan listrik abnormal pada sel
saraf diotak yang menyebabkan gangguan sementara pada fungsi motorik,
sensorik dan mental. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal
dengan berbagai macam etiologi.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International


Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.

Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang


secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel
saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).

2.2. EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang
memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau
kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup
beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak.
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan
ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum

RS Polri Raden Said Sukanto Page 2


Referat

diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak


insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut.

2.3. ETIOLOGI

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di


otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi
kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan
4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat
mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid
(hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi,
sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat
menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap
wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen
dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.

Epilepsi mungkin disebabkan oleh:

Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.


Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain.
Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi
kongenital pada otak, atau infeksi.

RS Polri Raden Said Sukanto Page 3


Referat

Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsi idiopatik,


sedangkan pada anak umur 5-6 tahun disebabkan karena febris.
Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera
kepala maupun tumor.

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti


ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami
infeksi, minum alkohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang
diturunkan pada anak.

Faktor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
a. Kurang tidur
b. Stress emosional
c. Infeksi
d. Obat-obat tertentu
e. Alkohol

RS Polri Raden Said Sukanto Page 4


Referat

f. Perubahan hormonal
g. Terlalu lelah
h. Fotosensitif

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi menurut Etiologi

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)


Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal.

2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)


Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan
pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak
lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu
lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera
selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi
(misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6),
faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan
sirkulasi, dan neoplasma.

Klasifikasi Umum

1. Kejang parsial
a. Kejang parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
. Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot.
Sebagai contoh , seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal
seperti jari tangan menghentak atau kekakuan pada sebagian tubuh.
Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi tubuh
RS Polri Raden Said Sukanto Page 5
Referat

(berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas pada


kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat
berpenagruh pada saat berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak
menyadari gerakan ini.

- Dengan gejala sensorik


Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang
dengan kejang sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu
yang sebenarnya tidak ada disitu, mendengar bunyi berdetak,
bordering atau suara seseorang ketika suara yang sebenarnya tidak
ada, atau merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa
(kebas). Kejang mungki terasa sangat menyakitkan pada beberapa
pasien. Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka juga
mungkin mengalami ilusi. Untuk singkatnya mereka mungkin
percaya bahwa mobil yang sedang diparkir bergerak pergi atau
suara seseorang seperti teredam ketika seharusnya terdengar jelas.

- Dengan gejala otonom


Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system
saraf yang secara otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini
biasanya meliputi perasaan asing atau tidak nyaman pada
perut,dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan
pernafasan, berkeringat.

- Dengan gejala psikis


Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan
pengalaman akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan
memori, kata yang terbalik saat berbicara, ketidakmampuan untuk
menemukan kata yang tepat atau bermasalah dalam memahami
percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba merasa
takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak jelas.
Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka berada diluar

RS Polri Raden Said Sukanto Page 6


Referat

tubuhnya atau merasa dejavu (pernah mengalami sebelumnya).

b. Kejang parsial kompleks (kesadaran terganggu)


Biasanya kejang akan terjadi 30 detik sampai 2 menit. Setelah
kejang biasanya penderita akan lelah atau bingung selama 15 menit dan
mungkini tidak sadar selama satu jam. Kejang ini biasanya berawal dari
sebagian kecil area pada lobus temporal atau frontal otak. Kemudian
dengan cepat meliputi area lain pada otak yang mempengaruhi kesadaran
dan siaga. Jadi walaupun mata penderita terbuka dan mereka membuat
gerakan seperti memiliki tujuan, pada kenyataannya mereka tidak
menyadari apa yang mereka lakukan.

Contoh : Biasanya kejang ini terjadi saat dia sedang tidur. Dia akan
membuat suara mendengkur seperti ketika dia membersihkan tenggorokan.
Kemudian dia akan duduk ditempat tidur, membuka matanya dan terpaku.
Dia mungkin akan menggenggam tangannya. Jika saya bertanya apa yang
sedang dilakukannya dia tidak menjawab. Setelah satu menit atau lebih dia
akan berbaring kembali dan tidur.

2. Kejang umum
a. Absens (Lena)
Kejang absence biasanya terjadi kurang dari 10 detik, tetapi kejang ini
dapat berlangsusng selama 20 detik. Kejang ini berawal dan berakhir
tiba-tiba.

Kejang absence adalah episode singkat terpaku. Nama lain dari kejang
absence adalah petit mall. Selama kejang kesadaran dan kemampuan
untuk bereaksi melemah. Seseorang yang mengalami kejang absence
biasanya tidak menyadari apa yang telah terjadi.

Kebanyakan kejang absence memperlihatkan kejang absence


kompleks. Yang diartikan terdapat perubahan pada aktivitas otot.
Gerak kepala yang paling sering adalah kedipan mata. Gerak kepala
RS Polri Raden Said Sukanto Page 7
Referat

lainnya meliputi gerak pada mulut, pergerakan tangan seperti


menggosok jari bersama dan kontraksi atau relaksasi otot. Kejang
absence kompleks sering terjadi lebih dari 10 detik.

Kejang absence biasanya dimulai saat berumur 4 sampai 14 tahun.


Anak yang menderita penyakit ini biasanya tumbuh kembang dan
intelegensinya normal. Mendekati 70% kasus, kejang absence biasnaya
akan berhenti pada usia 18 tahun.

b. Mioklonik
Kejang myoklonik terjadi singkat, kaget seperti tersentak pada otot atau
beberapa kelompok otot

c. Klonik
Kejang klonik terdiri dari ritme gerakan menghentak pada tangan dan
kaki, terkadang pada kedua sisi tubuh. Lama terjadinya kejang sangat
bervariasi. Klonus berarti pertukaran yang cepat antara kontraksi dan
relaksasi otot atau dengan kata lain gerakan menghentak yang
berulang.

Gerakannya tidak bisa dihentikan dengan mengendalikan atau


memposisikan tangan dan kaki. Kejang klonik sangat jarang terjadi.

Kejang yang lebih biasa ditemukan adalah kejang tonik klonik dimana
gerakan menghentak didahului gerakan seperti terpaku. Kejang klonik
tidak sering dijumpai. Kejang ini dapat terjadi pada setiap usia
termasuk pada bayi baru lahir. Kejang klonik cepat dan jarang terjadi
pada bayi biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam jangka
waktu singkat. Pada beberapa kasus mungkin membutuhkan terapi
yang lama

d. Tonik
Kejang klonik biasanya terjadi lebih dari 20 detik. Kesadaran biasanya

RS Polri Raden Said Sukanto Page 8


Referat

masih terpelihara. Kejang tonik paling sering terjadi pada saat tidur dan
biasanya meliputi seluruh otak yang mempengaruhi seluruh tubuh. Jika
orang itu berdiri biasnya akan jatuh

e. Atonik (Astatik)
Kejang tonik terjadi lebih dari 15 detik. Pada kejang atonik, otot
dengan tiba-tiba kehilangan kekuatannya. Kelopak mata mungkin
tertutup, kepala mungkin menganggukdan penderita mungkin
menjatuhkan sesuatu dan sering jatuh kelantai. Kejang ini sering
disebut sebagai drop attack atau drop seizure. Penderita biasanya tetap
sadar. Kejang atonik sering dimulai sejak kecil dan biasanya berakhir
sampai remaja. Banyak orang dengan kejang atonik mengalami luka
ketika mereka terjatuh

f. Tonik-klonik
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit. Kejang tonik
klonik yang berakhir lebih lama dari 5 menit mungkin harus
memanggil bantuan medis. Kejang yang berakhir lebih dari 30 menit
atau tiga kali kejang tanpa periode jeda yang normal mengindikasikan
kondisi yang berbahaya disebut juga sebagai status epileptikus. Kejang
ini membutuhkan terapi emergency.

Kejang ini adalah kejang yang biasanya diketahui oleh masyarakat


secara umum. Kejang ini disebut juga sebagai grand mall. Seperti
namanya kejang ini merupakan gabungan dari kejang tonik dan kejang
klonik. Fase tonik datang pertama ditandai dengan semua otot menjadi
kaku. Udara secara paksa dikeluarkan dari pita suara yang
menyebabkan tangisan atau erangan. Orang tersebut akan kehilangan
kesadaran dan jatuh kelantai. Lidah dan pipi bagian dalam mungkin
tergigit. Jadi ludah yang bercampur darah mungkin keluar dari mulut.
Wajah orang tersebut mungkin akan berubah jadi kebiruan. Setelah
fase tonik akan terjadi fase klonik. Tangan dan kaki biasanya akan

RS Polri Raden Said Sukanto Page 9


Referat

mulai menghentak dengan cepat dan berirama, gerakan menekuk dan


relaksasi pada siku, pangkal paha dan lutut. Setelah beberapa menit
gerakan menghentak akan melambat dan berhenti. Isi kandung kemih
dan perut terkadang ikut keluar saat tubuh relaksasi. Kesadaran
kembali perlahan dan orang tersebut mungkin mengantuk, bingung,
atau depresi. Penderita yang mengalami kejang ini dapat anak-anak
maupun orang dewasa.

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung


terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung
oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan
alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat juga sulit didapatkan,
karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan
sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali
bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman
elektroensefalografi (EEG).

2.5. PATOFISIOLOGI

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus


merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-
juta neuron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
saraf dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang

RS Polri Raden Said Sukanto Page 10


Referat

yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota


gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan
hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

(Hidayat,2009)

Otak

neuron

GABA

Menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik syaraf

sinaps

neurotransmiter

Pusat Listrik Syaraf

N. Eksidatif

Epileptogen

Depolarisasi belahan hemisfer

kejang

tanpa hilang kesadaran

RS Polri Raden Said Sukanto Page 11


Referat

Substansia retikularis

kejang

penurunan kesadaran

Inti thalamus

2.6.MANIFESTASI KLINIK

Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).

a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan
bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal
tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu
atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal
simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak
fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.

Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga


aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-
otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai
ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar
jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan
kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting
tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit.
RS Polri Raden Said Sukanto Page 12
Referat

2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran
yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali
masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola
mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula.
Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit
mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak
akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :

1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan
frekuensi 3 per detik.

b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan
yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar

RS Polri Raden Said Sukanto Page 13


Referat

diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka
terhadap rangsang sensorik.

c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus
dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-
Gastaut.

d. spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma West. Timbul
pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti
belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas
seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).


a) Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu
atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita
seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung
jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.
Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche

b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi

RS Polri Raden Said Sukanto Page 14


Referat

abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik
pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai
korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.

c) Epilepsi lobus temporalis.


Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat
psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi
psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya
berupa automatisme.

Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:

1. Kesadaran hilang sejenak.


2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran
antara sadar dan mimpi(twilight state).
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi
dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau
perasaan aneh

2.7.DIAGNOSIS

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui


anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
RS Polri Raden Said Sukanto Page 15
Referat

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena


pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:

o Pola / bentuk serangan


o Lama serangan
o Gejala sebelum, selama dan paska serangan
o Frekwensi serangan
o Faktor pencetus
o Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
o Usia saat serangan terjadinya pertama
o Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
o Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
o Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,


seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab
terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

RS Polri Raden Said Sukanto Page 16


Referat

a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman
EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding


seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,


misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile
mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG
nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.

RS Polri Raden Said Sukanto Page 17


Referat

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat


struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri

2.8.TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi

Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen


epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan
kemungkinan terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek
buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa
mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap
monoterapi. Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah
menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang
dapat ditoleransi).

Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang,


dosis obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi epilepsi
merupakan faktor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat
merupakan hal penting untuk serangan.

Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :

1. Menentukan diagnosis yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum
obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya
efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.

RS Polri Raden Said Sukanto Page 18


Referat

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi

Setelah kejang pertama

Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama,


menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko
terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.

Tabel 1

A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :

a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik

b. Malformasi arteriovenosa

c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika


2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :

a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)

b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)

c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)

d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat

e. Todds postical paresis

f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :

RS Polri Raden Said Sukanto Page 19


Referat

a. Putusnya alkohol

b. Penyalahgunaan obat

c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik

d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)

e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.

f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian

Setelah kejang lebih dua kali atau lebih

Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna
spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes
sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya.

3. Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan
karakteristik pasien

RS Polri Raden Said Sukanto Page 20


Referat

a) Tipe serangan

Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan First-line Second-line/add on Third line/ add on


Parsial simple & Karbamazepine Asam valproat Tiagabin
kompleks dengan atau
tanpa general sekunder Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin

Fenobarbital Zonisamid Felbamat

Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon

Lamotrigin

Topiramat

Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat

Karbamazepine Okskarbazepin Levetiracetam

Fenitoin Zonisamid

Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin

Levetiracetam Clobazam

Zonisamid Clonazepam

Fenobarbital
Absence (tipikal dan Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam
atipikal)
Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat

Topiramat
Tonik Asam valproat Clonazepam

Fenitoin Clobazam

Fenobarbital

RS Polri Raden Said Sukanto Page 21


Referat

Epilepsy absence Asam valproat Clonazepam


juvenil
Etosuksimid
Epilepsy mioklonik Asam valproat Clonazepam
juvenil
Fenobarbital Etosuksimid

b) karakteristik pasien

Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus


dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat
antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi
atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat
dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang
masih dalam usia subur.

4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu

Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling
rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang
terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).

Dosis awal :

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan
terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang
biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek
samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat
ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal :

Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik

Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan


dengan dosis awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate,

RS Polri Raden Said Sukanto Page 22


Referat

lamotrigin, pirimidone, tiagabin, topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam


pada penggunaan lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan
efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan
mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa
minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat
ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya
yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai
kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.

Pemberian obat mulai dari dosis terapetik

Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi


seperti gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan
sehingga terapi dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik
yang direkomendasikan.

Evaluasi ulang

Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat


antiepilepsi dengan obat lain, faktor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :

Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis
terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?
apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai
kondisi optimal?)
Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab
yang paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya
bangkitan).

RS Polri Raden Said Sukanto Page 23


Referat

Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

Obat Dosis Dosis Dosis Frekuensi Efek samping


awal yang maintenance pemberian
(mg/hari) paling (mg/hari) (kali/hari)
umum
(mg/hari)
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi gusi, distres
lambung, penglihatan kabur, vertigo,
hiperglikemia, anemia makrositik
Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang, distress
lambung, sedasi, penglihatan kabur,
konstipasi, ruam kulit
Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi, diplopia,
hiponatremia, ruam kulit
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam, sindrom steven-
johnson, nyeri kepala, pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia, kelelahan,
anoreksia, pusing, batu ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB , konstipasi,
diare, gangguan tidur
Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB , anoreksia, nyeri
kepala, insomnia, hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB ,
konstipasi, mulut kering, sedasi,
anoreksia
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk, kebingungan, nyeri
kepala, vertigo, sinkop
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing, sedasi, langkah
terhuyung, nyeri kepala, eksaserbasi
kejang generalisata
Vigabatrin 500- 3000 2000-4000 1-2
1000
Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia,mulut kering,
penglihatan kabur, mialgia,
penambahan berat, kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Levetiracetam 1000 2000-3000 1000-4000 2
RS Polri Raden Said Sukanto Page 24
Referat

Mekanisme kerja OAE

5. Penggantian Obat

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :

a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah


diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.

Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis
yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap
selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua
(monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek
samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan

RS Polri Raden Said Sukanto Page 25


Referat

dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi
dipertimbangkan.

c) Monoterapi

Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan


epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah
dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam
darah, (3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien)
(Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat
pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal.
Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang
paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat
tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal.
Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi
obat (Gram, 1995).

d) Politerapi

Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt


(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut
menggunakan vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial
refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5
macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.

Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam


farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai

RS Polri Raden Said Sukanto Page 26


Referat

mode of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan
karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).

Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,


misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence
refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai
mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan
apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional,
memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar
terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal
dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:

(1) mempunyai mekanisme aksi berbeda;


(2) efek samping relatif ringan;
(3) indeks terapi lebar, dan
(4) interaksi obat terbatas atau negatif.

Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan


efek samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).

6. Pemantauan terapi

Manajemen umum epilepsi :

a. Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat


b. Menentukan dan mengobati penyebab
c. Mengobati serangan :
- Menilai perlunya terapi obat :
- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut
yang reversible.
- Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang
diketahui dengan pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)

RS Polri Raden Said Sukanto Page 27


Referat

- Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai


apakah banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien
dengan risiko tinggi.
- Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
- Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alkohol, kurang tidur,
stress emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
- Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan
implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati
dengan obat antiepilepsi.
d. Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
- Hentikan kejang
- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
7. Ketaatan pasien

Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat


menrupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada
penderita epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12
bulan dan 24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh
minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley
(1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila
memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan,
durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat
yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti
dengan obat lain yang tidak dianjurkan.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani


pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter,
pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi ,

RS Polri Raden Said Sukanto Page 28


Referat

pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas,
2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).

Pemakaian OAE pada anak

Berdasarkan penilaian neuropsikologik terhadap anak-anak dengan


epilepsi memperlihatkan masalah akademik muncul dari defisiensi kognitif
spesifik dan bukan disfungsi kognitif secara umum. Gangguan kognitif
berhubungan dengan jenis serangan, sindrom epilepsi, faktor etiologi, munculnya
serangan pada usia dini, sering mengalami serangan, fokus epilepsi, dan OAE.
Anak yang menerima politerapi pada umumnya mengalami gangguan kognitif
yang berat dari anak yang menerima monoterapi.

Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal


gangguan memori, penurunan kapasitas untuk memperlihatkan sesuatu,
penurunan efisiensi dalam proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan
berbahasa.

Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan


menghadapi efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak
pengaruh fenobarbital terhadap fungsi kognitif tidak begitu nyata tetapi dapat
membuat anak menjadi hiperaktif. Sementara itu fenitoin dalam kadar serum yang
tinggi dapat menimbulkan enselopati yang progresif, retardasi mental, dan
penurunan kemampuan membaca. Karbamazepin dan valproat mengakibatkan
gangguan kognitif yang ringan. Pada kadar yang tinggi, valproat dapat
mengganggu fungsi motorik, sementara karbamzepin justru memperbaiki
kecepatan kinerja pada gerakan selektif tertentu. Lagi pula karbamzepin dapat
memperbaiki koordinasi mata-tangan dan keterampilan tangan.

Pemakainan OAE pada wanita hamil

Sebagian penderita mengalami kenaikan frekuensi serangan selama hamil.


Fenomena ini karena berbagai faktor dan yang paling mencolok adalah perubahan

RS Polri Raden Said Sukanto Page 29


Referat

konsentrasi OAE dalam serum. Dengan bertambahnya kehamilan maka


konsentrasi OAE makin menurun. Hal ini karena perubahan dalam ikatan protein
plasma.

Untuk memelihara konsentrasi OAE dalam serum dari penderita hamil,


dosis OAE harus dinaikkan. Untuk fenitoin, dosisnya dinaikkan pada 85%
penderita ; sementara itu kenaikan karbamazepin terjadi pada 70% penderita dan
fenobarbital sebanyak 70% pula. Perubahan disposisi OAE dalam serum biasanya
mulai terjadi pada umur kehamilan 10 minggu. Satu bulan sesudah melahirkan,
konsentrasi dan dosis fenotoin akan kembali ke situasi sebelum terjadi kehamilan.
Dan untuk karbamazepin dan fonobarbital memerlukan waktu yang lama.

Petunjuk pemberian OAE selama hamil

1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan
sindrom epilepsi
2. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang
paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik
3. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat
keluarga tentang efek neural-tube
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin
dan fenobarbital
5. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin
periksalah kadar OAE bebas atau tak terkait
6. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar
folat dalam serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode
organogenesis pada trimester pertama
7. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah
obat tadi 3-4 kali pemberian setiap harinya
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau karbamazepin, tawarkanlah
untuk pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan
pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18-19 minggu, untuk mencari

RS Polri Raden Said Sukanto Page 30


Referat

defek neural-tubee Ultrasonografi pada kehamilan 22-24 minggu dapat


mendeteksi sumbing dan kelainan jantung

Terapi operatif

Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus
temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami
operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE.
Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi,
dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

Penghentian pengobatan

Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan


memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya
menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk
memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat
dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi
memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya)
dan prognosis epilepsi.

Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat


kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah
adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi
tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,
parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan
epilepsy Jackson.

Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada


umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan
RS Polri Raden Said Sukanto Page 31
Referat

secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian


jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan
kepada penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya.

RS Polri Raden Said Sukanto Page 32


Referat

RS Polri Raden Said Sukanto Page 33


Referat

BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis


yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi
akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat
dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan
dan cenderung untuk berulang. Bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh
cederakepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau jugapertumbuhan
jarigan saraf yang tidak normal (neuro develop mental problems), pengaruh
genetik yang mengakibatkan mutasi. Diagnosis epilepsi didasarkan atas
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.
Penghentian OAE harus tepat cara, waktu, dan indikasi. Efek samping yang
umum dari OAE adalah memperlambat motorik dan perkembangan psikomotor,
kesulitan memperhatikan dan gangguan memori ringan, dan menimbulkan efek
teratogenik (jarang). Apabila terjadi rekurensi setelah pengehentian OAE maka
diberikan OAE dengan dosis maksimal efektif.

RS Polri Raden Said Sukanto Page 34


Referat

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996

2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF


Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran No. 157, 2007.

3. Epilepsi. Available at : http://www.fkui.org/.

4. Epilepsi. Available at : http://www.medicastore.com/

5. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004

6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Epilepsi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1985

7. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics.


17th edition. Saunders. Philadelphia. 2004.

RS Polri Raden Said Sukanto Page 35

Vous aimerez peut-être aussi