Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan
berkat dan kasihNya dalam kehidupan ini. Dengan penyertaan dan kasih setiaNya
referat ini dapat selesai dikerjakan sebagai tugas kepaniteraan bagian Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi di RS Polri Raden Said Sukanto.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko
Nafianto, SpS sebagai pembimbing, dr. Doddy, dr. Maula, SpS, dr. Marjanti,
SpS, yang selalu memberikan dorongan dan bimbingan hingga referat ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Penulis berharap semoga dengan penulisan referat ini, pengetahuan
penulis dalam bidang Neurologi dapat semakin bertambah sebagai bekal dalam
menjalankan profesi untuk menjadi dokter yang berkompeten. Penulis juga
berharap referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Penulis
sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
demikian penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan dalam penulisan berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
2.2. EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang
memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau
kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup
beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak.
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan
ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum
2.3. ETIOLOGI
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan
4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat
mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid
(hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi,
sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat
menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap
wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen
dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause.
Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.
Faktor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
a. Kurang tidur
b. Stress emosional
c. Infeksi
d. Obat-obat tertentu
e. Alkohol
f. Perubahan hormonal
g. Terlalu lelah
h. Fotosensitif
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Umum
1. Kejang parsial
a. Kejang parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
. Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot.
Sebagai contoh , seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal
seperti jari tangan menghentak atau kekakuan pada sebagian tubuh.
Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada satu sisi tubuh
RS Polri Raden Said Sukanto Page 5
Referat
Contoh : Biasanya kejang ini terjadi saat dia sedang tidur. Dia akan
membuat suara mendengkur seperti ketika dia membersihkan tenggorokan.
Kemudian dia akan duduk ditempat tidur, membuka matanya dan terpaku.
Dia mungkin akan menggenggam tangannya. Jika saya bertanya apa yang
sedang dilakukannya dia tidak menjawab. Setelah satu menit atau lebih dia
akan berbaring kembali dan tidur.
2. Kejang umum
a. Absens (Lena)
Kejang absence biasanya terjadi kurang dari 10 detik, tetapi kejang ini
dapat berlangsusng selama 20 detik. Kejang ini berawal dan berakhir
tiba-tiba.
Kejang absence adalah episode singkat terpaku. Nama lain dari kejang
absence adalah petit mall. Selama kejang kesadaran dan kemampuan
untuk bereaksi melemah. Seseorang yang mengalami kejang absence
biasanya tidak menyadari apa yang telah terjadi.
b. Mioklonik
Kejang myoklonik terjadi singkat, kaget seperti tersentak pada otot atau
beberapa kelompok otot
c. Klonik
Kejang klonik terdiri dari ritme gerakan menghentak pada tangan dan
kaki, terkadang pada kedua sisi tubuh. Lama terjadinya kejang sangat
bervariasi. Klonus berarti pertukaran yang cepat antara kontraksi dan
relaksasi otot atau dengan kata lain gerakan menghentak yang
berulang.
Kejang yang lebih biasa ditemukan adalah kejang tonik klonik dimana
gerakan menghentak didahului gerakan seperti terpaku. Kejang klonik
tidak sering dijumpai. Kejang ini dapat terjadi pada setiap usia
termasuk pada bayi baru lahir. Kejang klonik cepat dan jarang terjadi
pada bayi biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam jangka
waktu singkat. Pada beberapa kasus mungkin membutuhkan terapi
yang lama
d. Tonik
Kejang klonik biasanya terjadi lebih dari 20 detik. Kesadaran biasanya
masih terpelihara. Kejang tonik paling sering terjadi pada saat tidur dan
biasanya meliputi seluruh otak yang mempengaruhi seluruh tubuh. Jika
orang itu berdiri biasnya akan jatuh
e. Atonik (Astatik)
Kejang tonik terjadi lebih dari 15 detik. Pada kejang atonik, otot
dengan tiba-tiba kehilangan kekuatannya. Kelopak mata mungkin
tertutup, kepala mungkin menganggukdan penderita mungkin
menjatuhkan sesuatu dan sering jatuh kelantai. Kejang ini sering
disebut sebagai drop attack atau drop seizure. Penderita biasanya tetap
sadar. Kejang atonik sering dimulai sejak kecil dan biasanya berakhir
sampai remaja. Banyak orang dengan kejang atonik mengalami luka
ketika mereka terjatuh
f. Tonik-klonik
Umumnya kejang tonik klonik terjadi selama 1-3 menit. Kejang tonik
klonik yang berakhir lebih lama dari 5 menit mungkin harus
memanggil bantuan medis. Kejang yang berakhir lebih dari 30 menit
atau tiga kali kejang tanpa periode jeda yang normal mengindikasikan
kondisi yang berbahaya disebut juga sebagai status epileptikus. Kejang
ini membutuhkan terapi emergency.
2.5. PATOFISIOLOGI
(Hidayat,2009)
Otak
neuron
GABA
sinaps
neurotransmiter
N. Eksidatif
Epileptogen
kejang
Substansia retikularis
kejang
penurunan kesadaran
Inti thalamus
2.6.MANIFESTASI KLINIK
Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan
bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal
tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu
atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal
simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak
fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.
2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran
yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali
masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola
mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula.
Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit
mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak
akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan
frekuensi 3 per detik.
b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan
yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar
diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka
terhadap rangsang sensorik.
c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus
dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-
Gastaut.
d. spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma West. Timbul
pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti
belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas
seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi
abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik
pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai
korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
2.7.DIAGNOSIS
1. Anamnesis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman
EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
2.8.TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis
epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum
obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya
efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.
Tabel 1
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
b. Malformasi arteriovenosa
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna
spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes
sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya.
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan
karakteristik pasien
a) Tipe serangan
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital
Absence (tipikal dan Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam
atipikal)
Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat
Topiramat
Tonik Asam valproat Clonazepam
Fenitoin Clobazam
Fenobarbital
b) karakteristik pasien
Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling
rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang
terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan
terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang
biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek
samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat
ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis awal :
Evaluasi ulang
Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis
terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?
apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai
kondisi optimal?)
Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab
yang paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya
bangkitan).
Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)
5. Penggantian Obat
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis
yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap
selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua
(monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek
samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan
dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi
dipertimbangkan.
c) Monoterapi
d) Politerapi
mode of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan
karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).
6. Pemantauan terapi
pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas,
2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).
1. Gunakan obat pilihan pertama yang sesuai dengan jenis serangan dan
sindrom epilepsi
2. Laksanakan prinsip monoterapi dengan dosis dan kadar dalam serum yang
paling rendah dan efektif untuk melindungi terhadap serangan tonik-klonik
3. Hindari penggunaan valproat atau karmazepin apabila ada riwayat
keluarga tentang efek neural-tube
4. Hindari politerapi, khususnya kombinasi dengan valproat, karbamazepin
dan fenobarbital
5. Pantaulah kadar OAE dalam serum secara teratur dan apabila mungkin
periksalah kadar OAE bebas atau tak terkait
6. Teruskanlah pemberian tambahan folat setiap harinya dan pastikan kadar
folat dalam serum dan eritrosit dalam batas normal selama periode
organogenesis pada trimester pertama
7. Apabila kadar valproat, hindari kadar dalam serum yang tinggi. Bagilah
obat tadi 3-4 kali pemberian setiap harinya
8. Pada kasus-kasus yang diberi valproat atau karbamazepin, tawarkanlah
untuk pemeriksaan alfa fetoprotein pada umur kehamilan 16 minggu dan
pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 18-19 minggu, untuk mencari
Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus
temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami
operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE.
Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi,
dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.
Penghentian pengobatan
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996