Vous êtes sur la page 1sur 30

Atresia Ani

2.1 Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum
dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal,
Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
2.2 Embriologi
Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani.emdodern
usus belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra (Sadler T.W, 1997).
Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan
ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka (Sadler T.W, 1997).
Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus
belakang.Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus uroginetalis primitif, dan
bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di
daeraah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi membran analis di belakang, dan membran
urogenitalis di depan (Sadler T.W, 1997).

Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim, yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada
minggu ke-9, membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari
endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nasi usus belakang, yaitu arteri mesentrika inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah
kanalis analis berasal dari ektoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada
garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng (Sadler T.W, 1997).
4
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan
bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke
membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai
minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali
letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan
lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan
internus dapat tidak ada atau rudimenter (Faradilla, 2009).
2.3 Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006).
Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang
paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling
banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005).

Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan atresia letak tinggi ( Boocock G, 1987).
5
2.4 Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa
risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan
dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan
pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang
berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
2.5 Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya
obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum
dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
umumnya fistula menuju ke vesika

urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis)
(Faradilla, 2009).
6
2.6 Klasiikasi.
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis
kelamin.
Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan
pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran
anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi
menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram:
udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada.
dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
2.7 Manifestasi Klinis.
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam.
Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit
sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari

rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada (Departement of Surgery University
of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara
50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu
ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J,
2006).
7
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten
ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae,
dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut
dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality)
dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).

2.8 Diagnosa
8
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesis dapat ditemukan :
a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero
Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila
akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat
berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler
dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero
sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal
maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto
abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan
vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan
agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus
ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui
anus. (Levitt M, 2007)
9
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak
ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula
urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap
kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk
menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia
ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,
"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M,
2007).
2.9 penatalaksanaan.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada
beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak
menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh
Faradillah

memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya,
bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang
dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca
operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan
pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
10
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan
tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
(Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk
dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital
anorektoplasti, baikminimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak

lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar
selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera
dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di
tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.
Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini
evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua
hal tadi pada anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin,
tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis
menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra
karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak
lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika
fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum
sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus
11
normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya
dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada
fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).
12
2.10 prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum
dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur (Hamami A.H, 2004).
Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau ensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi
dan keadaan mental penderita (Hamami A.H, 2004).
Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP (Levitt M, 2007).

BAB 2
CELAH BIBIR (CLEFT LIP)
2.1 Pengertian umum celah bibir (cleft lip)
Celah bibir (cleft lip) merupakan kelainan kongenital yang disebabkan gangguan perkembangan wajah pada masa embrio. Celah dapat
terjadi pada bibir, langit-langit mulut (palatum), ataupun pada keduanya. Celah pada bibir disebut labiochisis sedangkan celah pada
langit-langit mulut disebut palatoschisis. Penanganan celah adalah dengan cara pembedahan. 13,24,27
2.2 Etiologi celah bibir
Etiologi celah bibir adalah multifaktorial dan etiologi celah bibir belum dapat diketahui secara pasti. Pembentukan bibir terjadi pada
masa embrio minggu keenam sampai minggu kesepuluh kehamilan. Penyebab kelainan ini dipengaruhi berbagai faktor, disamping
faktor genetik sebagai penyebab celah bibir, juga faktor non genetik yang justeru lebih sering muncul dalam populasi, kemungkinan
terjadi satu individu dengan individu lain berbeda.3,13,24,27
2.2.1 Faktor genetik
Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah bibir telah diketahui tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya.
Kruger (1957) mengatakan sejumlah kasus yang telah dilaporkan dari seluruh dunia tendensi keturunan sebagai penyebab kelainan ini
diketahui lebih kurang 25-30%. Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya mesodermal berproliferasi melintasi
garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya

bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya
perubahan otot pada daerah tersebut. Sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal. Adanya gen yang dominan dan resesif juga
merupakan penyebab terjadinya hal ini. Teori lain mengatakan bahwa celah bibir terjadi karena :
Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidak kebalan embrio terhadap terjadinya celah.
Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya malformasi kongenital yang ganda.
Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti dengan anomali kongenital yang lain.9,13,24

2.2.1 Faktor Non-Genetik


Faktor non-genetik memegang peranan penting dalam keadaan krisis dari penyatuan bibir pada masa kehamilan. Beberapa hal yang
berperan penyebab terjadinya celah bibir :
a. Defisiensi nutrisi

Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal penyabab terjadinya celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada
binatang dengan memberikan vitamin A secara berlebihan atau kurang. Yang hasilnya menimbulkan celah pada anak-anak tikus yang
baru lahir. Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin pada tikus yang sedang dan hasilnya juga adanya celah dengan persentase
yang tinggi, dan pemberiam kortison pada kelinci yang sedang hamil akan menimbulkan efek yang sama.9,27
a. Zat kimia

Pemberian aspirin, kortison dan insulin pada masa kehamilan trimester pertama dapat meyebabkan terjadinya celah. Obat-obat yang
bersifat teratogenik seperti thalidomide dan phenitonin, serta alkohol, kaffein, aminoptherin dan injeksi steroid.9,27

b. Virus rubella

Frases mengatakan bahwa virus rubella dapat menyebabkan cacat berat, tetapi hanya sedikit kemungkinan dapat menyebabkan
celah.13
c. Beberapa hal lain yang juga berpengaruh yaitu :
Kurang daya perkembangan
Radiasi merupakan bahan-bahan teratogenik yang potent
Infeksi penyakit menular sewaktu trimester pertama kehamilan yang dapat menganngu foetus
Gangguan endokrin
Pemberian hormon seks, dan tyroid
Merokok, alkohol, dan modifikasi pekerjaan

Faktor-faktor ini mempertinggi insiden terjadinya celah mulut, tetapi intensitas dan waktu terjadinya lebih penting dibandingkan
dengan jenis faktor lingkungan yang spesifik.
d. Trauma

Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik dapat menyebabkan terjadinya celah. Stress yang timbul
menyebabkan fungsi korteks adrenal terangsang untuk mensekresi hidrokortison sehingga nantinya dapat mempengaruhi keadaan ibu
yang sedang mengandung dan dapat menimbulkan celah, dengan terjadinya stress yang mengakibatkan celah yaitu : terangsangnya
hipothalamus adrenocorticotropic hormone (ACTH). Sehingga merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan
hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan. 9,24,27

2.3 Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit


Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar 1).
Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen insisivum (gambar 2).
Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir pada satu sisi (gambar 3).
Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar dan bibir pada dua sisi (gambar 4).3,9
Gambar 1. A. Celah pada langit-langit lunak saja. B. Celah pada langit-langit lunak dan keras. C. Celah yang meliputi langit-langit dan
lunak keras juga alveolar pada satu sisi. D. Celah yang meliputi langit lunak dan keras juga alveolar dan bibir pada dua sisi. (Young &
Greg. Cleft lip and palate. http://www2.utmb.edu/otoref/Grnds/Cleft-lip-palate-9801/Cleft-lip-palate-9801. 2 December 2011.)

Klasifikasi dari American Cleft Association (1962) yaitu :


1. Celah langit-langit primer
Celah bibir : unilateral, median atau bilateral dengan derajat luas celah 1/3, 2/3 dan 3/3.
Celah alveolar dengan segala variasinya.
2. Celah langit-langit sekunder
Celah langit-langit lunak dengan variasinya.
Celah langit-langit keras dengan variasinya.

3. Celah mandibula

Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit menurut Kernahan dan Stark (1958) yaitu:
Group I : Celah langit-langit primer. Dalam grup ini termasuk celah bibir, dan kombinasi celah bibir dengan celah pada tulang
alveolar. Celah terdapat dimuka foramen insisivum.
Group II : Celah yang terdapat dibelakang foramen insisivum. Celah

langit-langit lunak dan keras dengan variasinya.


Celah langit-langit sekunder.
Group III : Kombinasi celah langit-langit primer (group I) dengan

langit-langit sekunder (group II).4,9

Gambar 2. (A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir bilateral dengan celah langit-langit dan
tulang alveolar, (D) Celah langit-langit. (Stoll et al. BMC Medical genetics. 2004, 154.)
2.4 Komplikasi jika tidak dilakukan pembedahan
a. Masalah asupan makanan

Masalah asupan makanan merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita celah bibir. Adanya celah bibir memberikan
kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin
dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah refleks hisap dan refleks menelan pada bayi
dengan celah bibir tidak sebaik normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Cara memegang bayi
dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusui bayi dan menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala dapat
membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi
dengan labiopalatochisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam

dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian
makan/ asupan makanan tertentu.13,21,24
Gambar 3. Penggunaan dot khusus pada bayi dengan celah
(Anonymous. Breastfeeding specialist. 7/12/2009. http://
www.asibayi.com/. 3 December 2011)
b. Masalah dental

Anak yang lahir dengan celah bibir mungkin mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan gigi, malformasi, dan
malposisi dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk.
c. Infeksi telinga

Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari
otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.13,21,24
d. Gangguan berbicara

Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum
mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang
lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan reparasi

palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali
sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang
dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/
kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu.13,24
2.5 Pencegahan celah bibir
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu
yang menggunakan tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah orofacial.
Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah
orofacial yang terjadi pada populasi negara itu. 25
Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir tiga perempatnya tinggal di negara berkembang, sering kali dengan
adanya dukungan publik dan politik tingkat yang relatif rendah untuk upaya pengendalian tembakau. (Aghi et al.,2002). Banyak
laporan telah mendokumentasikan bahwa tingkat prevalensi merokok pada kalangan perempuan berusia 15-25 tahun terus meningkat
secara global pada dekade terakhir (Windsor, 2002). Diperkirakan bahwa pada tahun 1995, 12-14 juta perempuan di seluruh dunia
merokok selama kehamilan mereka dan, ketika merokok secara pasif juga dicatat, 50 juta perempuan hamil, dari total 130 juta
terpapar asap tembakau selama kehamilan mereka (Windsor, 2002). 25
2. Menghindari alkohol

Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing
telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome).
Pada tinjauan yang dipresentasikan di Utah Amerika Serikat pada acara pertemuan konsensus WHO (bulan Mei 2001), diketahui
bahwa interpretasi hubungan antara alkohol dan celah orofasial dirumitkan oleh biasa yang terjadi di masyarakat. Dalam banyak
penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan
murni karena alkohol.25,30
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan
struktur kraniofasial yang normal dari fetus.30
a. Asam Folat

Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya dengan celah orofasial sulit untuk ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena
folat dari sumber makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya diambil dengan vitamin, mineral dan
elemen-elemen lainnya yang juga mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya celah orofasial. Folat merupakan bentuk
poliglutamat alami dan asam folat ialah bentuk monoglutamat sintetis. Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting pada
setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu,
ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek
kongenital selama tumbuh kembang embrionik. Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam
mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit sumbing.

b. Vitamin B-6

Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat
teratogennya demikian juga kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid. Deoksipiridin, atau antagonis vitamin B-6,
diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut
sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percoban. Namun penelitian pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran
vitamin B-6 dalam terjadinya celah. 25,30
c. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial
lainnya. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah
orofasial, dan defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet
tinggi vitamin A juga dapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat. Pada penelitian prospektif lebih dari 22.000 kelahiran
pada wanita di Amerika Serikat, kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita yang mengkonsumsi lebih
dari 10.000 IU vitamin A pada masa perikonsepsional. 25
4. Modifikasi Pekerjaan

Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu
hamil (pegawai kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur). Teratogenesis karena trichloroethylene dan tetrachloroethylene
pada air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari
beberapa penelitian, namun tidak semua. Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait.
Pekerjaan ayah dalam

industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya
celah orofasial. 25
5. Suplemen Nutrisi

Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu
selama kehamilan yang dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan. Hal ini dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan
pada binatang. Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada
analisis statistik yang dilaporkan. Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen multivitamin dalam mencegah celah orofasial
dilakukan di Eropa dan penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah efektif, namun penelitian tersebut
memiliki data yang tidak mencukupi untuk mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian pencegahan
terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya. 25,30

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Kanalis Anal

Kanalis anal memiliki panjang sekitar 4 cm, yang dikelilingi dengan mekanisme sfingter anus. Setengah bagian atas dari kanalis anal
dilapisi oleh mukosa glandular rektal. Mukosa bagian teratas dari kanalis anal berkembang sampai 6-10 lipatan longitudinal, yang
disebut columns of Morgagni, yang masing masing memiliki cabang terminal dari arteri rektal superior dan vena. Lipatan-lipatan ini
paling menonjol di bagian lateral kiri, posterior kanan dan kuadran anterior kanan, dimana vena membentuk pleksus vena yang
menonjol. Mukosa glandular relatif tidak sensitif, berbeda dengan kulit kanalis, kulit terbawahnya lebih sensitif (Churchill, 1990).
Mekanisme spinter anal memiliki tiga unsur pembentuk, spinter internal, spinter eksternal dan puborektalis. Spinter internal
merupakan kontinuasi yang semakin menebal dari muskular dinding ginjal. Spinter eksternal dan puborektalis sling (yang merupakan
bagian dari levator ani) muncul dari dasar pelvis (Churchill, 1990).
Vaskularisasi rektum dan kanalis anal sebagian besar diperoleh melalui arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri
hemoroidalis superior merupakan kelanjutan akhir arteri mesentrika inferior. Arteri hemoroidalis media merupakan cabang ke anterior
dari arteri hipogastrika. Arteri hemoroidalis inferior dicabangkan oleh arteri pubenda interna yang merupakan cabang dari arteri iliaca
interna, ketika arteri tersebut melewati bagian atas spina ischiadica.
Sedangkan vena-vena dari kanalis anal dan rektum mengikuti perjalanan yang sesuai dengan perjalanan arteri. Vena-vena ini berasal
dari 2 pleksus yaitu pleksus hemoroidalis superior (interna) yang terletak di submukosa atas anorectal junction,

dan pleksus hemoroidalis inferior (eksterna) yang terletak di bawah anorectal junction dan di luar lapisan otot. Perhatikan Gambar 1
(Sobiston, 1997).
Gambar 2.1. Vaskularisasi Vena-Vena Kanalis Anal
Persarafan rektum terdiri atas sistem saraf simpatik dan parsimpatik. Serabut saraf simpatik berasal dari pleksus mesentrikus inferior
dan dari sistem parasakral yang terbentuk dari ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga, dan keempat. Persarafan parasimpatik
(nervi erigentes) berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat.
2.2. Fisiologi Rektum dan Anus

Fungsi utama dari rektum dan kanalis anal ialah untuk mengeluarkan massa feses yang terbentuk di tempat yang lebih tinggi dan
melakukan hal tersebut dengan

cara yang terkontrol. Rektum dan kanalis anal tidak begitu berperan dalam proses pencernaan, selain hanya menyerap sedikit cairan.
Selain itu sel-sel Goblet mukosa mengeluarkan mukus yang berfungsi sebagai pelicin untuk keluarnya massa feses.
Pada hampir setiap waktu rektum tidak berisi feses. Hal ini sebagian diakibatkan adanya otot sfingter yang tidak begitu kuat yang
terdapat pada rectosimoid junction, kira-kira 20 cm dari anus. Terdapatnya lekukan tajam dari tempat ini juga memberi tambahan
penghalang masuknya feses ke rektum. Akan tetapi, bila suatu gerakan usus mendorong feses ke arah rektum, secara normal hasrat
defekasi akan timbul, yang ditimbulkan oleh refleks kontraksi dari rektum dan relaksasi dari otot sfingter. Feses tidak keluar secara
terus-menerus dan sedikit demi sedikit dari anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani interna dan eksterna (Sobiston, 1994).
2.3. Definisi Hemoroid

Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar
pelebaran vena hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah, jaringan lunak
dan otot di sekitar anorektal (kanalis anus). Secara keseluruhan berdasarkan statistic, jumlah tindakan hemoroidektomi menurun.
Puncaknya terjadi tahun 1974 dimana hemoroidektomi dilakukan sebanyak 117 per 100.000 orang. Angka itu menurun 13 tahun
kemudian (1987) menjadi 37 per 100.000 orang (Felix, 2006).
Hemoroid merupakan dilatasi varises pleksus vena submukosa anus dan perianus. Dilatasi ini sering terjadi setelah usia 50 tahun yang
berkaitan dengan peningkatan tekanan vena di dalam pleksus hemoroidalis (Robbins, 2007).

2.4. Faktor Resiko

Hemoroid memiliki faktor resiko yang cukup banyak antara lain kurangnya mobilisasi, konstipasi, cara buang air besar yang tidak
benar, kurang minum, kurang memakan makanan berserat (sayur dan buah), faktor genetika, kehamilan, penyakit yang meningkatkan
tekanan intraabdomen (tumor abdomen, tumor usus), dan sirosis hati (Simadibrata, 2006).
Konstipasi merupakan etiologi hemoroid yang paling sering. Konstipasi terjadi apabila feses menjadi terlalu kering, yang timbul
karena defekasi yang tertunda terlalu lama. Jika isi kolon tertahan dalam waktu lebih lama dari normal, jumlah H2O yang diserap akan
melebihi normal, sehingga feses menjadi kering dan keras (Sherwood, 2001).
Kejadian hemoroid umumnya sebanding pada laki-laki maupun perempuan. Sekitar setengah orang yang berumur 50 tahun pernah
mengalami hemoroid. Hemoroid juga terjadi pada wanita hamil. Pada wanita hamil, janin pada uterus, serta perubahan hormonal,
menyebabkan pembuluh darah hemoroidalis meregang. Semua vena dapat diperparah saat terjadinya tekanan selama persalinan.
Hemoroid pada wanita hamil hanya merupakan komplikasi yang bersifat sementara (Pearl, 2004).
2.5. Gejala Klinis

Hemoroid merupakan salah satu keluhan kolorektal yang paling umum didengar oleh dokter. Setiap tahun sekitar 10,5 juta Amerika
mengalami gejala hemoroid; seperempat pasien harus berkonsultasi. Gejala yang paling umum dari hemoroid yaitu darah merah yang
cerah menutupi toilet duduk dan muncul di atas kertas toilet. Gejala lain termasuk iritasi kulit di sekitar anus, rasa sakit, bengkak, atau
benjolan keras di sekitar anus, dan didapati lendir pada sekitar anus. Terlalu banyak menggosok atau membersihkan sekitar anus dapat
memperburuk gejala dan bahkan menyebabkan iritasi yang semakin parah, berdarah, dan gatal-gatal yang disebut pruritus ani (Parker,
2004).

Hemorhoid sering menimbulkan gejala-gejala secara tidak beraturan. Menurut Churchill (1990) gejala-gejala hemoroid adalah :
1. Iritasi dan benjolan perianal, serta gatal-gatal ( pruritus ani),
2. Rasa tidak nyaman di daerah anus dan nyeri yang semakin diperberat oleh buang air besar (BAB),
3. Prolapse hemorrhoidalis,
4. Pendarahan rektal.

2.6. Klasifikasi dan Derajat Hemoroid

Berdasarkan letaknya, hemoroid dibagi menjadi 3 yaitu hemoroid eksterna, interna, dan campuran. Dikatakan eksterna karena
benjolan terletak dibawah linea pectinea. Hemoroid eksterna mempunyai 3 bentuk yaitu bentuk hemoroid biasa yang letaknya distal
linea pectinea, bentuk trombosis, dan bentuk skin tags. Biasanya benjolan pada hemoroid eksterna akan keluar dari anus bila
mengedan, tapi dapat dimasukkan kembali dengan jari. Rasa nyeri pada perabaan menandakan adanya trombosis, yang biasanya
disertai penyulit seperti infeksi atau abses perianal (Felix, 2006).
Berlawanan dengan hemoroid eksterna, benjolan pada hemoroid interna terletak diatas linea pectinea. Hemoroid interna merupakan
benjolan dari vena hemoroidalis internus yang dilapisi epitel dari mukosa anus. Pada posisi litotomi, benjolan paling sering terdapat
pada jam 3, 7, dan 11. Ketiga letak itu dikenal dengan three primary haemorrhoidal areas (Felix, 2006).
Hemoroid interna dapat prolaps saat mengedan dan kemudian terperangkap akibat tekanan sfingter anus sehingga terjadi pembesaran
mendadak yang edematosa, hemoragik, dan sangat nyeri. Kedua klasifikasi hemoroid tersebut memiliki pembuluh darah yang
melebar, berdinding tipis, dan mudah berdarah, kadang-kadang menutupi perdarahan dari lesi proksimal yang lebih serius (Robbins,
2007).
Derajat hemoroid interna dibagi berdasarkan gamabaran klinis, yaitu:

1. Derajat 1 : Bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar kanal anus. Hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
2. Derajat 2 : Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke dalam anus secara spontan.
3. Derajat 3 : Pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke dalam anus dengan bantuan dorongan jari.
4. Derajat 4 : Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung untuk mengalami trombosis dan infark.

Untuk melihat resiko perdarahan hemoroid, dapat dideteksi oleh adanya stigma perdarahan berupa bekuan darah yang masih
menempel, erosi, kemerahan di atas hemoroid (Simadibrata, 2006).
2.7. Patofisiologi Hemoroid

Hemoroid dikatakan sebagai penyakit keturunan. Namun sampai saat ini belum terbukti kebenarannya. Akhir-akhir ini, keterlibatan
bantalan anus (anal cushion) makin dipahami sebagai dasar terjadinya penyakit ini. Bantalan anus merupakan jaringan lunak yang
kaya akan pembuluh darah. Agar stabil, kedudukannya disokong oleh ligamentum Treitz dan lapisan muskularis submukosa.
Bendungan dan hipertrofi pada bantalan anus menjadi mekanisme dasar terjadinya hemoroid. Pertama, kegagalan pengosongan vena
bantalan anus secara cepat saat defekasi. Kedua, bantalan anus terlalu mobile, dan ketiga, bantalan anus terperangkap oleh sfingter
anus yang ketat. Akibatnya, vena intramuskular kanalis anus akan terjepit (obstruksi). Proses pembendungan diatas diperparah lagi
apabila seseorang mengedan atau adanya feses yang keras melalui dinding rektum (Felix, 2006).
Selain itu, gangguan rotasi bantalan anus juga menjadi dasar terjadinya keluhan hemoroid. Dalam keadaan normal, bantalan anus
menempel secara longgar pada lapisan otot sirkuler. Ketika defekasi, sfingter interna akan relaksasi. Kemudian, bantalan anus berotasi
ke arah luar (eversi) membentuk bibir anorektum. Faktor

endokrin, usia, konstipasi dan mengedan yang lama menyebabkan gangguan eversi pada bantalan tersebut. Mitos di masyarakat yang
mengatakan, hemoroid mudah terjadi pada ibu hamil ternyata benar. Tak pelak, kehamilan menjadi faktor pencetus hemoroid.
Mengapa demikian? Pertama, hormon kehamilan mengurangi fungsi penyokong dari otot dan ligamentum di sekitar bantalan. Kedua,
terjadi peningkatan vaskuler di daerah pelvis. Ketiga, seringnya terjadi konstipasi pada masa kehamilan. Dan terakhir adalah
kerusakan kanalis anus saat melahirkan pervaginam (Felix, 2006).
2.8. Diagnosa

Diagnosis hemoroid ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan klinis dari hemoroid berdasarkan klasifikasi hemoroid (derajat 1
sampai dengan derajat 4), dan pemeriksaan anoskopi/kolonoskopi. Karena hemoroid disebabkan adanya tumor didalam abdomen atau
usus proksimal, agar lebih teliti selain memastikan diagnosis hemoroid, dipastikan juga apakah di usus halus atau di kolon ada
kelainan misal, tumor atau colitis. Untuk memastikan kelainan di usus halus diperlukan pemeriksaan rontgen usus halus atau
enteroskopi. Sedangkan untuk memastikan kelainan di kolon diperlukan pemeriksaan rontgen Barium enema atau kolonoskopi total
(Simadibrata, 2006).
2.9. Diagnosa Banding

Banyak masalah anorektal, antara lain, fistula, abses, atau iritasi dan gatal-gatal, yang memiliki gejala mirip dengan hemoroid dan
harus dipahami sebelum direkomendasikan untuk melakukan pengobatan. Selain itu, hubungan pendarahan anus dengan kanker
kolorektal menjadi kuat jika dikaitkan dengan usia. Oleh karena itu, evaluasi lebih lanjut dengan kolonoskopi harus dilakukan pada
pasien yang lebih tua dari 50 tahun serta keluarga yang memiliki riwayat kanker usus besar (Parker, 2004)

2.10. Penatalaksanaan Hemoroid

Menangani hemoroid tak perlu terus melakukan tindakan invasif. Dengan obat juga dapat dilakukan. Namun, pemilihan jenis terapi
(obat atau invasif) sangat bergantung dari keluhan penderita serta derajat hemoroidnya. Tidak ada indikasi mutlak dalam terapi invasif
dan diusahakan menjadi pilihan terakhir. Salah satu obat hemoroid adalah diosmin dan hesperidin yang dimikronisasi. Layaknya
noreadrenalin, obat ini mengakibatkan kontraksi vena, menurunkan ekstravasasi dari kapiler dan menghambat reaksi inflamasi
terhadap prostaglandin (PGE2, PGF2). Kehadiran obat ini tentu memberi angin segar bagi penderita hemoroid yang takut atau enggan
dioperasi. Sebuah studi acak bahkan membuktikan obat ini sama efektif dengan rubber band ligation. Malah dengan efek samping
lebih kecil. Bila obat sudah tak adekuat atau terjadi perdarahan dan prolaps, tindakan invasif menjadi pilihan terakhir. Prinsip dari
tindakan invasif ada 2 yaitu fiksasi dan eksisi. Fiksasi dilakukan pada derajat I dan II. Dan selebihnya adalah eksisi (Felix, 2006).
Fiksasi terdiri dari:.
1. Skleroterapi. Dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Metode ini menggunakan zat sklerosan yang disuntikan para vasal.
Setelah itu, sklerosan merangsang pembentukan jaringan parut sehingga menghambat aliran darah ke vena-vena hemoroidalis.
Akibatnya, perdarahan berhenti. Sklerosan yang dipakai adalah 5% phenol in almond oil dan 1% polidocanol. Metode ini mudah
dilaksanakan, aman dan memberikan hasil baik.
2. Rubber band ligation. Kerja dari metode ini adalah akan mengabliterasi lokal vena hemoroidalis sampai terjadi ulserasi (7-10 hari)
yang diikuti terjadinya jaringan parut (3-4 minggu). Prosedur ini dilakukan pada hemoroid derajat 1-3.
3. Infrared thermocoagulation. Prinsipnya adalah mendenaturasi protein melalui efek panas dari infrared, yang selanjutnya
mengakibatkan jaringan terkoagulasi. Untuk mencegah efek samping dari infrared berupa kerusakan jaringan sekitar

yang sehat, maka jangka waktu paparan dan kedalamannya perlu diukur akurat. Metode ini diperuntukkan pada derajat 1-2.
4. Laser haemorrhoidectomy. Metode ini mirip dengan infrared. Hanya saja mempunyai kelebihan dalam kemampuan memotong.
Namun, biayanya mahal.
5. Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation. Metode ini menjadi pilihan utama saat terjadi perdarahan karena dapat
mengetahui secara tepat lokasi arteri hemoroidalis yang hendak dijahit.
6. Cryotherapy. Metode ini kurang direkomendasikan karena seringkali kurang akurat dalam menentukan area freezing.

Sedangkan eksisi dapat dilakukan dengan beberapa teknik yaitu St. Marks Milligan Morgan Technique, Submucosal
Haemorrhoidectomy (Parks method), dan yang terbaru adalah Circular Stapler Anopexy (teknik Longo). Teknik Circular Stapler
Anopexy atau dikenal dengan Procedure for Prolapse and Haemorrhoids (PPH) baru dikembangkan sekitar tahun 1993. Teknik ini
bekerja dengan mendorong jaringan hemoroid yang merosot ke arah atas dan dijahitkan ke selaput lendir dinding anus. Kemudian
sebuah gelang dari bahan titanium diselipkan di jahitan dan ditanamkan di bagian atas saluran anus untuk mengokohkan posisi
jaringan hemoroid tersebut. PPH memiliki beberapa keuntungan dibandingkan operasi konvensional diantaranya, nyeri minimal
karena tindakan dilakukan di luar bagian sensitif, tindakan cepat karena hanya menghabiskan 12-45 menit, dan pasien dapat pulih
lebih cepat pasca operasi. Namun risiko perdarahan, trombosis, serta penyempitan saluran anus masih dapat terjadi. Kontraindikasi
PPH adalah fistula anus, bengkak, gangren, penyempitan anus, prolaps jaringan hemoroid yang tebal, serta pada pasien dengan
gangguan koagulasi (pembekuan darah) (Felix, 2006).
Komplikasi yang dapat timbul pasca tindakan invasif adalah perdarahan sekunder, selulitis, abses, fistula, fissura, dan inkontinensia.
Hemoroid bukan penyakit yang tak mungkin dicegah. Dengan mengkonsumsi tinggi serat seperti

banyak sayur dan buah akan membuat feses lembek sehingga tidak perlu mengedan saat buang air besar (Felix, 2006).
Menurut Haryoga (2009), ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah berulangnya kekambuhan keluhan hemoroid, di
antaranya :
1. Hindari mengedan terlalu kuat saat buang air besar.
2. Cegah konstipasi dengan banyak mengonsumsi makanan kaya serat (sayur dan buah serta kacang-kacangan) serta banyak minum
air putih minimal delapan gelas sehari untuk melancarkan defekasi.
3. Jangan menunda-nunda jika ingin buang air besar sebelum feses menjadi keras.
4. Tidur cukup.
5. Jangan duduk terlalu lama.
6. Senam/olahraga rutin.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies Gigi Karies gigi adalah penyakit infeksi dan merupakan suatu proses demineralisasi
yang progresif pada jaringan keras permukaan gigi oleh asam organis yang berasal dari makanan yang mengandung gula. Karies gigi
merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga mulut bersama-sama dengan penyakit periodontal, sehingga merupakan
masalah utama kesehatan gigi dan mulut.7 Mekanisme terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya plak di permukaan gigi. Sukrosa
(gula) dari sisa makanan dan bakteri berproses menempel pada waktu tertentu berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH
mulut menjadi kritis (5,5).Hal ini menyebabkan demineralisasi email berlanjut menjadi karies gigi.8 Penurunan pH yang berulang-
ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan dan proses karies pun dimulai dari
permukaan gigi (pits, fissur dan daerah interproksimal) meluas ke arah pulpa.9 2.2 Faktor Etiologi Karies
Banyak faktor yang dapat menimbulkan karies gigi pada anak, diantaranya adalah faktor di dalam mulut yang berhubungan langsung
dengan proses terjadinya karies gigi. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya karies gigi adalah host (gigi dan saliva), substrat
(makanan), mikroorganisme penyebab karies dan waktu. Karies gigi hanya akan terbentuk apabila terjadi interaksi antara keempat
faktor berikut.1

2.2.1 Host (gigi dan saliva) Komposisi gigi sulung terdiri dari email di luar dan dentin di dalam. Permukaan email terluar lebih tahan
karies dibanding lapisan di bawahnya, karena lebih keras dan lebih padat. Struktur email sangat menentukan dalam proses terjadinya
karies.1 Variasi morfologi gigi juga mempengaruhi resistensi gigi terhadap karies. Di ketahui adanya pit dan fisur pada gigi yang
merupakan daerah gigi yang sangat rentan terhadap karies oleh karena sisa-sisa makanan maupun bakteri akan mudah tertumpuk
disini.10Saliva merupakan sistem pertahanan utama terhadap karies. Saliva disekresi oleh tiga kelenjar utama saliva yaitu glandula
parotida, glandula submandibularis, dan glandula sublingualis, serta beberapa kelenjar saliva kecil.9 Sekresi saliva akan membasahi
gigi dan mukosa mulut sehingga gigi dan mukosa tidak menjadi kering. Saliva membersihkan rongga mulut dari debris-debris
makanan sehingga bakteri tidak dapat turnbuh dan berkembang biak.
Mineral-mineral di dalam saliva membantu proses remineralisasi email gigi.11 Enzim-enzim mucine, zidine, dan lysozyme yang
terdapat dalam saliva mempunyai sifat bakteriostatis yang dapat membuat bakteri mulut menjadi tidak berbahaya.9 Selain itu, saliva
mempunyai efek bufer yaitu saliva cenderung mengurangi keasaman plak yang disebabkan oleh gula dan dapat mempertahankan pH
supaya tetap konstan yaitu pH 6-7. Aliran saliva yang baik akan cenderung membersihkan mulut termasuk

melarutkan gula serta mengurangi potensi kelengketan makanan. Dengan kata lain, sebagai pelarut dan pelumas.10 2.2.2 Substrat
atau diet Substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi
mikroorganisme yang ada pada permukaan email. Selain itu, dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak dengan
menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi asam serta bahan yang aktif yang menyebabkan timbulnya karies.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang banyak mengkonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami
kerusakan pada gigi, sebaliknya pada orang dengan diet yang banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau sama sekali
tidak mempunyai karies gigi. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa karbohidrat memegang peranan penting dalam terjadinya
karies.12 2.2.3 Mikroorganisme
Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas
kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang
tidak dibersihkan. Komposisi mikroorganisme dalam plak berbeda-beda. Pada awal pembentukan plak, bakteri yang paling banyak
dijumpai adalah Streptokokus mutans, Streptokokus sanguis, Streptokokus mitis dan Stretokokus salivarius serta beberapa strain
lainnya. Selain itu, dijumpai juga

Lactobacillus dan beberapa spesies Actinomyces. Mikroorganisme menempel di gigi bersama plak sehingga plak terdiri dari
mikroorganisme (70 %) dan bahan antar sel (30 %). Plak akan terbentuk apabila adanya karbohidrat, sedangkan karies akan terbentuk
apabila terdapat plak dan karbohidrat.12 2.2.4 Waktu Waktu adalah kecepatan terbentuknya karies serta lama dan frekuensi substrat
menempel di permukaan gigi. Secara umum, lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup
bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan.12 2.3 Faktor Predisposisi Karies Selain keempat faktor di atas, terdapat juga faktor-faktor lain
yang berpengaruh terhadap pembentukan karies yang mungkin tidak sama pada semua orang. Faktor-faktor resiko tersebut adalah:
2.3.1 Jenis Kelamin Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Joshi (2005) di India dari total populasi anak usia 6-12 tahun sebanyak
150 orang, diperoleh kejadian karies lebih tinggi pada laki-laki yaitu 80% sedangkan perempuan 73%. Hal ini terjadi karena
perempuan lebih memiliki keinginan untuk menjaga kebersihannya.13 2.3.2 Usia
Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling
akhir erupsi lebih rentan

terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai
dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya. Anak mempunyai resiko karies yang paling tinggi ketika gigi mereka baru
erupsi.12 2.3.3 Kebiasaan Makan Anak dan makanan jajanan merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Anak memiliki
kegemaran mengkonsumsi jenis jajanan secara berlebihan sehingga beberapa bakteri penyebab karies di rongga mulut akan mulai
memproduksi asam yang menyebabkan terjadi demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit setelah makan. Di antara periode
makan, saliva akan berkerja menetralisir asam dan membantu proses remineralisasi. Namun, apabila makanan jajanan terlalu sering
dikonsumsi, maka enamel gigi tidak akan mempunyai kesempatan untuk melakukan remineralisasi dengan sempurna sehingga
terjadinya karies.6,12 Sehari-hari banyak dijumpai anak yang selalu dikelilingi penjual makanan jajanan, baik yang ada di rumah, di
lingkungan tempat tinggal hingga di sekolah. Anak yang sering mengkonsumsi jajanan yang mengandungi gula, seperti biskut,
permen, es krim memiliki skor karies yang lebih tinggi di bandingkan dengan anak yang mengonsumsi jajanan nonkariogenik seperti
buah-buahan.6,14 2.3.4 Tingkat Sosial Ekonomi
Weinstein (1998) menjelaskan bahwa ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan prevalensi karies. Anak dari keluarga dengan
tingkat sosial ekonomi

rendah mengalami jumlah karies gigi yang lebih banyak dan kecenderungan untuk tidak mendapatkan perawatan gigi lebih tinggi
dibanding dengan anak dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Kemiskinan pada golongan minoritas juga meningkatkan risiko
kesehatan mulut yang buruk.11 2.4 Karakteristik Perkembangan Anak Usia 4-6 Tahun Usia 4-6 tahun merupakan masa peka bagi
anak. Anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya
pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa
untuk anak mempelajari dan mencoba sesuatu yang baru di lingkungan mereka.15 Anak pada usia ini mulai mengenal dan tertarik
dengan makanan jajanan. Anak pada usia 4-6 tahun ini lebih cenderung untuk makan makanan jajanan dengan jenis makanan dan
minuman yang manis daripada makanan yang berkhasiat.16 2.5 Makanan Jajanan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
jajan diartikan sebagai membeli makanan (nasi, kue, dsb.) di warung atau mall, sedangkan jajanan diartikan sebagai panganan yang
dijajakan atau kudapan.17 Makanan jajanan ini dapat dimakan di luar jam-jam makan atau di antara jam-jam makan. Jenis makanan
jajanan menurut Winarno dalam Mulyati dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:18
a. Makanan utama, seperti nasi ramas, nasi pecel, bakso, mie ayam.
b. Snack, seperti kue, onde-onde, pisang goreng, coklat, permen.

c. Minuman seperti cendol, es krim, es teler, es buah, es teh, dawet.


d. Buah-buahan segar

Berdasarkan potensi menyebabkan karies, Jenis makanan


makanan dapat dibedakan atas, makanan
berpotensi tinggi, sedang, rendah, tidak
berpotensi menyebabkan karies dan makanan
yang mampu menghambat karies (Tabel 1).19
Tabel 1. Jenis makanan berdasarkan potensi
menyebabkan karies19 Potensi
Tinggi Buah kering, permen, coklat, kek, kue, biskut
(crackers) dan kerupuk (chips)
Sedang Jus buah, sirup buah, manisan, buah kalengan,
minuman ringan dan roti
Rendah Sayur, buah dan susu
Tidak berpotensi Daging, ikan, lemak dan minyak
Mampu menghambat karies Keju, xylitol dan kacang

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non
genetik.11 Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru
ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi. Selain itu, pengertian lain tentang kelainan sejak lahir adalah defek lahir, yang dapat
berwujud dalam bentuk berbagai gangguan tumbuh-kembang bayi baru lahir, yang mencakup aspek fisis, intelektual dan
kepribadian.9
2.2. Embriogenesis11

Embriogenesis adalah proses pembentukan organ dari tahap embrio sampai menjadi organ yang dapat berfungsi. Embriogenesis
normal merupakan proses yang sangat kompleks. Perkembangan pranatal terdiri dari 3 tahap yaitu:
2.2.1. Tahap implantasi (implantation stage), dimulai pada saat fertilisasi/pembuahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.
2.2.2. Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu keempat sampai minggu ketujuh kehamilan: a. Terjadi diferensiasi jaringan dan
pembentukan organ definitif.
b. Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan menutupnya tabung saraf (neural tube) dan fleksi dari segmen anterior membentuk
bagian-bagian otak.

c. Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi melalui sistem vaskular yang baru terbentuk meskipun struktur jantung
belum terbentuk sempurna.
d. Terlihat primordial dari struktur wajah dan ekstremitas.

2.2.3. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir. Pada tahap ini diferensiasi seluruh organ telah sempurna,
bertambah dalam ukuran, pertumbuhan progresif struktur skeletal dan muskulus.

Seluruh proses perkembangan normal terjadi dengan urutan yang spesifik, khas untuk setiap jaringan atau struktur dan waktunya
mungkin sangat singkat. Oleh sebab itu meskipun terjadinya perlambatan proses diferensiasi sangat singkat, dapat menyebabkan
pembentukan yang abnormal tidak hanya pada struktur tertentu, tetapi juga pada berbagai jaringan di sekitarnya. Sekali sebuah
struktur sudah selesai terbentuk pada titik tertentu, maka proses itu tidak dapat mundur kembali meskipun struktur tersebut dapat saja
mengalami penyimpangan, dirusak atau dihancurkan oleh tekanan mekanik atau infeksi.
2.3. Embriogenesis Abnormal

Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu janin
dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin.18
Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses embriogenesis dapat menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ.
Sifat dari kelainan

yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya.
Penyimpangan pada tahap implantasi dapat merusak embrio dan menyebabkan abortus spontan. Diperkirakan 15% dari seluruh
konsepsi akan berakhir pada periode ini.
Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas
sampai ukuran daun telinga yang kecil. Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi sel menjadi jaringan yang matang mungkin
akan menyebabkan lesi hamartoma lokal seperti hemangioma atau kelainan yang lebih luas dari suatu organ. Kelainan induksi sel
dapat menyebabkan beberapa kelainan seperti atresia bilier, sedangkan penyimpangan imigrasi sel dapat menyebabkan kelainan
seperti pigmentasi kulit.
Proses kematian sel yang tidak adekuat dapat menyebabkan kelainan, antara lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi jaringan yang
tidak sempurna akan menyebabkan celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat teratogen dapat mengganggu perkembangan, tetapi
efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada saat aktivitas teratogen berlangsung selama tahap embrio.11
2.4. Patofisiologi

Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


2.4.1. Malformasi
Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis.
Perkembangan awal

dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur
yang menetap. Beberapa contoh malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah langit-langit, defek penutupan tuba
neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan defek sekat jantung.9,19
Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor. Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak
dikoreksi akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan hidup. Sedangkan malformasi minor tidak akan
menyebabkan problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh pada segi kosmetik. Malformasi pada otak, jantung,
ginjal, ekstrimitas, saluran cerna termasuk malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan pada kelopak mata, kelainan
pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra putting susu adalah contoh dari malformasi minor.11
2.4.2. Deformasi

Deformasi didefinisikan sebagai bentuk, kondisi, atau posisi abnormal bagian tubuh yang disebabkan oleh gaya mekanik sesudah
pembentukan normal terjadi, misalnya kaki bengkok atau mikrognatia (mandibula yang kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh
keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor ibu yang lain seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus
bikornus, kehamilan kembar.11,20

2.4.3. Disrupsi

Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang
mulanya normal. Ini biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang hanya disebabkan oleh tekanan
mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Misalnya helaian-helaian membran amnion, yang
disebut pita amnion, dapat terlepas dan melekat ke berbagai bagian tubuh, termasuk ekstrimitas, jari-jari, tengkorak, serta muka. 11,20
2.4.4. Displasia

Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan kongenital adalah displasia. Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan
(kelainan struktur) akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di seluruh tubuh. Sebagian kecil dari
kelainan ini terdapat penyimpangan biokimia di dalam sel, biasanya mengenai kelainan produksi enzim atau sintesis protein. Sebagian
besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal secara intrinsik, efek klinisnya menetap atau semakin buruk.
Ini berbeda dengan ketiga patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan efek dalam kurun waktu yang
jelas, meskipun kelainan yang ditimbulkannya mungkin berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif berlangsung singkat. Displasia
dapat terus-menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup.11

2.5. Beberapa Macam Pengelompokkan Kelainan Kongenital 2.5.1. Menurut European Registration of Congenital Anomalies
(2010)

Kelainan kongenital dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang dapat dilihat pada halaman lampiran.21
2.5.2. Menurut Gejala Klinis11
Kelainan kongenital dikelompokkan berdasarkan hal-hal berikut:
a. Kelainan tunggal (single-system defects)

Porsi terbesar dari kelainan kongenital terdiri dari kelainan yang hanya mengenai satu regio dari satu organ (isolated). Contoh
kelainan ini yang juga merupakan kelainan kongenital yang tersering adalah celah bibir, club foot, stenosis pilorus, dislokasi sendi
panggul kongenital dan penyakit jantung bawaan. Sebagian besar kelainan pada kelompok ini penyebabnya adalah multifaktorial.
b. Asosiasi (Association)

Asosiasi adalah kombinasi kelainan kongenital yang sering terjadi bersama-sama. Istilah asosiasi untuk menekankan kurangnya
keseragaman dalam gejala klinik antara satu kasus dengan kasus yang lain. Sebagai contoh Asosiasi VACTERL (vertebral
anomalies, anal atresia, cardiac malformation, tracheoesophageal fistula, renal anomalies, limbs defects). Sebagian besar anak
dengan diagnosis ini tidak mempunyai keseluruhan anomali tersebut, tetapi lebih sering mempunyai variasi dari kelainan di atas.
c. Sekuensial (Sequences)

Sekuensial adalah suatu pola dari kelainan multiple dimana kelainan utamanya diketahui. Sebagai contoh, pada Potter Sequence
kelainan utamanya adalah

aplasia ginjal. Tidak adanya produksi urin mengakibatkan jumlah cairan amnion setelah kehamilan pertengahan akan berkurang dan
menyebabkan tekanan intrauterine dan akan menimbulkan deformitas seperti tungkai bengkok dan kontraktur pada sendi serta
menekan wajah (Potter Facies). Oligoamnion juga berefek pada pematangan paru sehingga pematangan paru terhambat. Oleh sebab
itu bayi baru lahir dengan Potter Sequence biasanya lebih banyak meninggal karena distress respirasi dibandingkan karena gagal
ginjal.
d. Kompleks (Complexes)

Istilah ini menggambarkan adanya pengaruh berbahaya yang mengenai bagian utama dari suatu regio perkembangan embrio, yang
mengakibatkan kelainan pada berbagai struktur berdekatan yang mungkin sangat berbeda asal embriologinya tetapi mempunyai letak
yang sama pada titik tertentu saat perkembangan embrio. Beberapa kompleks disebabkan oleh kelainan vaskuler. Penyimpangan
pembentukan pembuluh darah pada saat embriogenesis awal, dapat menyebabkan kelainan pembentukan struktur yang diperdarahi
oleh pembuluh darah tersebut. Sebagai contoh, absennya sebuah arteri secara total dapat menyebabkan tidak terbentuknya sebagian
atau seluruh tungkai yang sedang berkembang. Penyimpangan arteri pada masa embrio mungkin akan mengakibatkan hipoplasia dari
tulang dan otot yang diperdarahinya. Contoh dari kompleks, termasuk hemifacial microsomia, sacral agenesis, sirenomelia, Poland
Anomaly, dan Moebius Syndrome.

e. Sindrom

Kelainan kongenital dapat timbul secara tunggal (single), atau dalam kombinasi tertentu. Bila kombinasi tertentu dari berbagai
kelainan ini terjadi berulang-ulang dalam pola yang tetap, pola ini disebut dengan sindrom. Istilah syndrome berasal dari bahasa
Yunani yang berarti berjalan bersama. Pada pengertian yang lebih sempit, sindrom bukanlah suatu diagnosis, tetapi hanya sebuah
label yang tepat. Apabila penyebab dari suatu sindrom diketahui, sebaiknya dinyatakan dengan nama yang lebih pasti, seperti Hurler
syndrome menjadi Mucopolysaccharidosis type I. Sindrom biasanya dikenal setelah laporan oleh beberapa penulis tentang berbagai
kasus yang mempunyai banyak persamaan. Sampai tahun 1992 dikenal lebih dari 1.000 sindrom dan hampir 100 diantaranya
merupakan kelainan kongenital kromosom. Sedangkan 50% kelainan kongenital multipel belum dapat digolongkan ke dalam sindrom
tertentu.
2.5.3. Menurut Berat Ringannya11

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:


a. Kelainan mayor

Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan medis segera demi mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya.
b. Kelainan minor

Kelainan minor adalah kelainan yang tidak memerlukan tindakan medis.


2.5.4. Menurut Kemungkinan Hidup Bayi2

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:


a. Kelainan kongenital yang tidak mungkin hidup, misalnya anensefalus.

b. Kelainan kongenital yang mungkin hidup, misalnya sindrom down, spina bifida, meningomielokel, fokomelia, hidrosefalus,
labiopalastokisis, kelainan jantung bawaan, penyempitan saluran cerna, dan atresia ani. 2.5.5. Menurut Bentuk/Morfologi2

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:


a. Gangguan pertumbuhan atau pembentukan organ tubuh, dimana tidak terbentuknya organ atau sebagian organ saja yang terbentuk,
seperti anensefalus, atau terbentuk tapi ukurannya lebih kecil dari normal, seperti mikrosefali.
b. Gangguan penyatuan/fusi jaringan tubuh, seperti labiopalatoskisis, spina bifida
c. Gangguan migrasi alat, misalnya malrotasi usus, testis tidak turun.
d. Gangguan invaginasi suatu jaringan, misalnya pada atresia ani atau vagina
e. Gangguan terbentuknya saluran-saluran, misalnya hipospadia, atresia esofagus 2.5.6. Menurut Tindakan Bedah yang Harus
Dilakukan9

Kelainan kongenital dibedakan menjadi:


a. Kelainan kongenital yang memerlukan tindakan segera, dan bantuan tindakan harus dilakukan secepatnya karena kelainan
kongenital tersebut dapat mengancam jiwa bayi.
b. Kelainan kongenital yang memerlukan tindakan yang direncanakan, pada kasus ini tindakan dilakukan secara elektif. 2.6. Beberapa
Kelainan Kongenital yang Dapat Dijumpai di Klinik 2.6.1. Spina Bifida
Spina Bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect yaitu suatu celah pada tulang belakang yang terjadi karena bagian dari satu
atau beberapa vertebra gagal

menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Kelainan ini biasanya disertai kelainan di daerah lain, misalnya hidrosefalus, atau gangguan
fungsional yang merupakan akibat langsung spina bifida sendiri, yakni gangguan neurologik yang mengakibatkan gangguan fungsi
otot dan pertumbuhan tulang pada tungkai bawah serta gangguan fungsi otot sfingter.2,9
Gambar 2.1. Spina Bifida22
2.6.2. Labiopalatoskisis (Celah Bibir dan Langit-langit)

Labiopalatoskisis adalah kelainan kongenital pada bibir dan langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang
disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan
(hereditary), tetapi dapat terjadi akibat faktor non-genetik. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan
oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu. Komplikasi potensial meliputi infeksi, otitis media, dan
kehilangan pendengaran.6,23

Gambar 2.2. Labiopalatoskisis24


2.6.3. Hidrosefalus

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan
tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel dan dapat diakibatkan oleh gangguan reabsorpsi LCS
(hidrisefalus komunikans) atau diakibatkan oleh obstruksi aliran LCS melalui ventrikel dan masuk ke dalam rongga subaraknoid
(hidrosefalus non komunikans). Hidrosefalus dapat timbul sebagai hidrosefalus kongenital atau hidrosefalus yang terjadi postnatal.
Secara klinis, hidrosefalus kongenital dapat terlihat sebagai pembesaran kepala segera setelah bayi lahir, atau terlihat sebagai ukuran
kepala normal tetapi tumbuh cepat sekali pada bulan pertama setelah lahir. Peninggian tekanan intrakranial menyebabkan iritabilitas,
muntah, kehilangan nafsu makan, gangguan melirik ke atas, gangguan pergerakan bola mata, hipertonia ekstrimitas bawah, dan
hiperefleksia. Etiologi hidrosefalus kongenital dapat bersifat heterogen. Pada dasarnya meliputi produksi cairan serebrospinal di
pleksus korioidalis yang

berlebih, gangguan absorpsi di vilus araknoidalis, dan obsruksi pada sirkulasi cairan serebrospinal. 2,9,25
Gambar 2.3. Hidrosefalus26
2.6.4. Anensefalus

Anensefalus adalah suatu keadaan dimana sebagian besar tulang tengkorak dan otak tidak terbentuk. Anensefalus merupakan suatu
kelainan tabung saraf yang terjadi pada awal perkembangan janin yang menyebabkan kerusakan pada jaringan pembentuk otak. Salah
satu gejala janin yang dikandung mengalami anensefalus jika ibu hamil mengalami polihidramnion (cairan ketuban di dalam rahim
terlalu banyak). Prognosis untuk kehamilan dengan anensefalus sangat sedikit. Jika bayi lahir hidup, maka biasanya akan mati dalam
beberapa jam atau hari setelah lahir.27

Gambar 2.4. Anensefalus28


2.6.5. Omfalokel
Omfalokel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke luar dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam
suatu kantong. Omfalokel terjadi akibat hambatan kembalinya usus ke rongga perut dari posisi ekstra-abdominal di daerah umbilicus
yang terjadi dalam minggu keenam sampai kesepuluh kehidupan janin. Terkadang kelainan ini bersamaan dengan terjadinya kelainan
kongenital lain, misalnya sindrom down. Pada omfalokel yang kecil, umumnya isi kantong terdiri atas usus saja sedangkan pada yang
besar dapat pula berisi hati atau limpa.9
Gambar 2.5. Omfalokel29

2.6.6. Hernia Umbilikalis

Hernia umbilikalis berbeda dengan omfalokel, yaitu kulit dan jaringan subkutis menutupi benjolan herniasi pada defek tersebut, pada
otot rektus abdominis ditemukan adanya celah. Hernia umbilikalis bukanlah kelainan kongenital yang memerlukan tindakan dini,
kecuali bila hiatus hernia cukup lebar dan lebih dari 5 cm. Hernia umbilikalis yang kecil tidak memerlukan penatalaksanaan khusus,
umumnya akan menutup sendiri dalam beberapa bulan sampai 3 tahun.9
Gambar 2.6. Hernia Umbilikalis30
2.6.7. Atresia Esofagus

Dari segi anatomi, khususnya bila dilihat bentuk sumbatan dan hubungannya dengan organ sekitar, terdapat bermacam-macam
penampilan kelainan kongenital atresia esophagus, misalnya jenis fistula trakeo-esofagus. Dari bentuk esofagus ini yang terbanyak
dijumpai (lebih kurang 80%) adalah atresia atau penyumbatan bagian proksimal esofagus sedangkan bagian distalnya berhubungan
dengan trakea sebagai

fistula trakeo-esofagus. Secara klinis, pada kelainan ini tampak air ludah terkumpul dan terus meleleh atau berbusa, pada setiap
pemberian minum terlihat bayi menjadi sesak napas, batuk, muntah, dan biru.9
Gambar 2.7. Atresia Esofagus31
2.6.8. Atresia dan Stenosis Duodenum

Pada kehidupan janin, duodenum masih bersifat solid, perkembangan selanjutnya berupa vakuolisasi secara progresif sehingga
terbentuklah lumen. Gangguan pertumbuhan inilah yang menyebabkan terjadinya atresia atau stenosis duodenum sering kali diikuti
kelainan pankreas anularis. Pada pemeriksaan fisis tampak dinding perut yang memberi kesan skafoid karena tidak adanya gas atau
cairan yang masuk ke dalam usus dan kolon.9
Gambar 2.8. Atresia Duodenum32

2.6.9. Atresia dan Stenosis Jejunum/ileum

Jenis kelainan kongenital ini merupakan salah satu obstruksi usus yang sering dijumpai pada bayi baru lahir. Angka kejadian berkisar
1 per 1.500-2.000 kelahiran hidup. Patofisiologi atresia usus halus diduga terjadi sejak kehidupan intrauterine sebagai volvulus,
kelainan vaskular mesenterika, dan intususepsi intrauterine. Sisa kejadian inilah yang kemudian menyebabkan nekrosis usus halus
yang masih steril menjadi atresia atau stenosis.9
2.6.10. Obstruksi pada Usus Besar
Salah satu obstruksi pada usus besar yang agak sering dijumpai adalah gangguan fungsional pada otot usus besar yang dikenal sebagai
Hirschsprung Disease dimana tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. Umumnya kelainan ini baru
diketahui setelah bayi berumur beberapa hari atau bulan.9
2.6.11. Atresia Ani

Patofisiologi kelainan kongenital ini disebabkan karena adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal, struktur
mesoderm lateralis, dan struktur ectoderm dalam pembentukan rektum dan traktus urinarius bagian bawah. Secara klinis letak
sumbatan dapat tinggi, yaitu di atas muskulus levator ani, atau letak rendah di bawah otot tersebut. Pada bayi perempuan umumnya
(90%) ditemukan adanya fistula yang menghubungkan usus dengan perineum atau vagina, sedangkan pada bayi laki-laki umumnya
fistula tersebut menghubungkan bagian ujung kolon yang buntu dengan traktus urinarius. Bila anus imperforata tidak disertai adanya
fistula, maka tidak ada jalan ke luar untuk udara dan mekonium, sehingga perlu segera dilakukan tindakan bedah. 2,9

Gambar 2.9. Atresia Ani33


2.6.12. Penyakit Jantung Bawaan (PJB)

Penyakit jantung bawaan ada beraneka ragam. Pada bayi yang lahir dengan kelainan ini, 80% meninggal dunia dalam tahun pertama,
diantaranya 1/3 meninggal pada minggu pertama dan separuhnya dalam 1-2 bulan. Sebab PJB dapat bersifat eksogen atau endogen.
Faktor eksogen terjadi akibat adanya infeksi, pengaruh obat, pengaruh radiasi, dan sebagainya. Pada periode organogenesis, faktor
eksogen sangat besar pengaruhnya terhadap diferensiasi jantung karena diferensiasi lengkap susunan jantung terjadi sekitar kehamilan
bulan kedua. Sebagai faktor endogen dapat dikemukakan pengaruh faktor genetik, namun peranannya terhadap kejadian penyakit PJB
kecil. Dalam satu keturunan tidak selalu ditemukan adanya PJB. 2,9

2.7. Diagnosis11

Dalam menegakkan diagnosis postnatal kita perlu beberapa pendekatan, antara lain:
2.7.1. Penelaahan Prenatal

Riwayat ibu: usia kehamilan, penyakit ibu seperti epilepsi, diabetes melitus, varisela, kontak dengan obat-obatan tertentu seperti
alkohol, obat anti-epilepsi, kokain, dietilstilbisterol, obat antikoagulan warfarin, serta radiasi.
2.7.2. Riwayat Persalinan

Posisi anak dalam rahim, cara lahir, lahir mati, abortus, status kesehatan neonatus.
2.7.3. Riwayat Keluarga

Adanya kelainan kongenital yang sama, kelainan kongenital yang lainnya, kematian bayi yang tidak bisa diterangkan penyebabnya,
serta retardasi mental.
2.7.4. Pemeriksaan Fisik

Mulai dari pengukuran sampai mencari anomali baik defek mayor maupun minor. Biasanya bila ditemukan dua kelainan minor,
sepuluh persen diserai kelainan mayor. Sedangkan bila ditemukan tiga kelainan minor, delapan puluh lima persen disertai dengan
kelainan mayor.
2.7.5. Pemeriksaan Penunjang

Sitogenetik (kelainan kromosom), analisis DNA, ultrasonografi, organ dalam, ekokardiografi, radiografi, serta serologi TORCH.
Pemeriksaan yang teliti terhadap pemeriksaan fisis dan riwayat ibu serta keluarga kemudian

ditunjang dengan melakukan pemotretan terhadap bayi dengan kelainan konenital adalah merupakan hal yang sangat penting
dibanding dengan pemeriksaan penunjang laboratorium.
2.8. Epidemiologi 2.8.1. Distribusi Frekuensi

Penelitian Parmar, dkk (2010) di Entebbe, Uganda menunjukkan proporsi kelainan kongenital lebih tinggi pada anak laki-laki (8%; 99
dari 1.224) daripada anak perempuan (7%; 81 dari 1.141), akan tetapi tidak ada perbedaan secara signifikan (p = 0,4).6 Di Urmia, Iran
(2008), kejadian kelainan kongenital lebih tinggi pada perempuan (1,99%; 139 dari 6.979) dibandingkan laki-laki bayi baru lahir
(1,68%; 120 dari 7.137), namun perbedaan itu tidak signifikan secara statistik (p = 0,65).34 Di Sir T Hospital, Gujarat (Januari 2006
Juni 2007) menunjukkan kejadian kongenital secara signifikan lebih tinggi (6,1%) pada ibu yang berusia >30 tahun dibandingkan
dengan kelompok usia muda.35
Penelitian Prabawa (1998) di RSUP dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa sebanyak 101 kasus (65%) berjenis kelamin laki-laki
dan 54 kasus (35%) berjenis kelamin perempuan. Jika dibandingkan dengan jumlah persalinan, tampak kejadian terbanyak pada ibu
dalam kelompok umur >35 tahun yaitu sebanyak 64 kasus dari 2.871 persalinan (2,23%).36 Di RSIA Sri Ratu Medan (2009), dari 20
bayi dengan kelainan kongenital, persentase laki-laki (60%) lebih besar daripada perempuan (40%).17

Lebih dari 90% dari semua bayi dengan kelainan kongenital serius dilahirkan di negara-negara berkembang.6 Dari survei perinatal,
hampir semua negara maju memiliki angka kematian perinatal sebesar lebih dari 1% dan sekitar 25% dari jumlah ini meninggal
sebagai akibat langsung dari suatu malformasi berat.37
2.8.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Kelainan Kongenital2,9

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan. Beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi
terjadinya kelainan kongenital antara lain:
a. Kelainan Genetik dan Kromosom.

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-
kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan
(dominant traits) atau kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital
yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutnya.
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom
selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan kromosom
autosomal trisomi 21 sebagai sindrom Down (mongolisme), kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.

b. Mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan
deformitas organ tersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu
organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan
talipes equinovarus (club foot).
c. Infeksi.

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester
pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu
organ tubuh. Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan
kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh infeksi virus ialah :9,11
c.1. Infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita
kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung
bawaan.
c.2. Infeksi virus sitomegalovirus (bulan ketiga atau keempat), kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya
gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus, retardasi mental, mikrosefalus, atau mikroftalmia pada 5-10%.

c.3. Infeksi virus toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah hidrosefalus, retardasi mental,
korioretinitis, mikrosefalus, atau mikroftalmia. Ibu yang menderita infeksi toksoplasmosis berisiko 12% pada usia kehamilan 6-17
minggu dan 60% pada usia kehamilan 17-18 minggu.
c.4. Infeksi virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama proses persalinan berlangsung,
bisa menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguan penglihatan atau pendengaran serta kematian bayi.
c.5. Sindroma varicella kongenital disebabkan oleh cacar air dan bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada otot dan tulang,
kelainan bentuk dan kelumpuhan pada anggota gerak, kepala yang berukuran lebih kecil dari normal, kebutaan, kejang dan
keterbelakangan mental.
d. Obat

Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan
terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah
thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita
hamil muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini
secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.

e. Faktor Ibu

e.1. Umur
Usia ibu yang makin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya.
Contohnya yaitu bayi sindrom down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa
menopause. Beberapa faktor ibu yang dapat menyebabkan deformasi adalah primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti
uterus bikornus, dan kehamilan kembar.
e.2. Ras/Etnis
Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda-beda untuk berbagai ras dan etnis, misalnya celah bibir dengan atau tanpa
celah langit-langit bervariasi tergantung dari etnis, dimana insiden pada orang asia lebih besar daripada pada orang kulit putih dan
kulit hitam.38 Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba
(pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest. Perkawinan
incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak cacat.39
e.3. Agama
Agama berkaitan secara tidak langsung dengan kejadian kelainan kongenital. Beberapa agama menerapkan pola hidup vegetarian
seperti agama Hindu, Buddha, dan Kristen Advent. Pada saat hamil, ibu harus memenuhi kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan
janinnya.40 Ibu yang vegetarian selama kehamilan

memiliki risiko lima kali yang lebih besar melahirkan anak laki-laki dengan hipospadia atau kelainan pada penis.41 Penelitian yang
dilakukan di Irlandia menemukan bahwa wanita dengan tingkat vitamin B12 (dapat ditemukan dalam daging, telur, dan susu) yang
rendah ketika hamil berisiko lebih besar untuk memiliki anak dengan cacat tabung saraf. Wanita yang mungkin menjadi hamil atau
yang sedang hamil disarankan untuk mengonsumsi suplemen asam folat.42
e.4. Pendidikan
Tingkat pendidikan ibu berkaitan secara tidak langsung dengan kelainan kongenital. Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya
kehamilan risiko tinggi dan kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal menyebabkan angka kematian perinatal
meningkat. Pendidikan ibu yang rendah menyulitkan berlangsungnya suatu penyuluhan kesehatan terhadap ibu karena mereka kurang
menyadari pentingnya informasi-informasi tentang kesehatan ibu hamil.43
e.5. Pekerjaan
Masyarakat dengan derajat sosio ekonomi akan menunjukkan tingkat kesejahteraannya dan kesempatannya dalam menggunakan dan
menerima pelayanan kesehatan. Pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan keadaan sosio ekonomi keluarga. Berdasarkan
jenis pekerjaan tersebut dapat dilihat kemampuan mereka terutama dalam menemukan makanan bergizi. Khususnya pada ibu
hamil,pemenuhan pangan yang bergizi berpengaruh terhadap perkembangan kehamilannya. Kekurangan gizi saat hamil berdampak
kurang baik pada ibu maupun bayi yang dikandung, pada ibu dapat terjadi

anemia, keguguran, perdarahan saat dan sesudah hamil, infeksi, persalinan macet, sedang pada bayi dapat menyebabkan terjadi berat
badan lahir rendah bahkan kelainan bawaan lahir.44
f. Faktor Mediko Obstetrik

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor mediko obstetrik adalah umur kehamilan, riwayat komplikasi, dan riwayat kehamilan
terdahulu, dimana hal ini akan memberi gambaran atau prognosa pada kehamilan pada kehamilan berikutnya.
f.1. Umur Kehamilan
Lama kehamilan yaitu 280 hari atau 40 minggu, dihitung dari hari pertama haid yang terakhir. Lama kehamilan dapat dibedakan atas:
f.1.1. Partus prematurus, adalah persalinan dari hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur. Berat
janin antara 1.000-2.500 gram.
f.1.2. Partus matures atau aterm (cukup bulan), adalah partus pada kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas 2.500
gram.
f.1.3. Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus cukup bulan.
Penelitian Prabawa (1998) menunjukkan bahwa sekitar 26,5% bayi kelainan kongenital lahir pada umur kehamilan < 36 minggu
(kurang bulan).36
f.2. Riwayat Kehamilan Terdahulu
Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan risiko adalah persalinan prematur, perdarahan, abortus, lahir mati, preeklampsia,
eklampsia, dan lain-lain.45 Dengan memperoleh informasi yang lengkap tentang riwayat kehamilan ibu pada masa

lalu diharapkan risiko kehamilan yang dapat memperberat keadaan ibu dan janin dapat diatasi dengan pengawasan obstetrik yang baik.
f.3. Riwayat Komplikasi
Risiko terjadinya kelainan kongenital terjadi pada bayi dengan ibu penderita diabetes melitus adalah 6% sampai 12%, yang empat kali
lebih sering daripada bayi dengan ibu yang bukan penderita diabetes melitus. Keturunan dari ibu dengan insulin-dependent diabetes
mellitus mempunyai risiko 5-15% untuk menderita kelainan kongenital terutama PJB, defek tabung saraf (neural tube defect) dan
agenesis sacral. Penyakit ibu lain yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital adalah epilepsi. Risiko meningkat
sekitar 6% untuk timbulnya celah bibir dan PJB dari ibu penderita epilepsi.2,9,11,46
g. Faktor Hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu
hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila
dibandingkan dengan bayi yang normal.
h. Faktor Radiasi

Radiasi pada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi
yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gen yang mungkin sekali dapat menyebabkan
kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya.

i. Faktor Gizi

Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada
penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kurang
gizi lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi
protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian & kelainan kongenital.
j. Faktor-faktor Lain

Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga
dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya.
Seringkali penyebab kelainan kongenital tidak diketahui.
2.9. Pencegahan 2.9.1. Pencegahan Primer

Upaya pencegahan primer dilakukan untuk mencegah ibu hamil agar tidak mengalami kelahiran bayi dengan kelainan kongenital,
yaitu dengan :
a. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi dengan kelainan
kongenital.47
b. Mengonsumsi asam folat yang cukup bila akan hamil. Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi terlebih dahulu
sebelum wanita tersebut
hamil, karena kelainan seperti spina bifida terjadi sangat dini. Maka kepada wanita yang hamil agar rajin memeriksakan kehamilannya
pada trimester pertama dan dianjurkan kepada wanita yang berencana hamil untuk mengonsumsi asam folat sebanyak 400mcg/hari.
Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari. Asam folat banyak terdapat dalam sayuran hijau daun, seperti bayam,
brokoli, buah alpukat, pisang, jeruk, berry, telur, ragi, serta aneka makanan lain yang diperkaya asam folat seperti nasi, pasta, kedelai,
sereal.2
c. Perawatan Antenatal (Antenatal Care)47

Antenatal care mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan perinatal. Dianjurkan
agar pada setiap kehamilan dilakukan antenatal care secara teratur dan sesuai dengan jadwal yang lazim berlaku. Tujuan
dilakukannya antenatal care adalah untuk mengetahui data kesehatan ibu hamil dan perkembangan bayi intrauterin sehingga dapat
dicapai kesehatan yang optimal dalam menghadapi persalinan, puerperium dan laktasi serta mempunyai pengetahuan yang cukup
mengenai pemeliharaan bayinya. Perawatan antenatal juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan prematuritas atau
berat badan lahir rendah yang sangat rentan terkena penyakit infeksi. Selain itu dengan pemeriksaan kehamilan dapat dideteksi
kelainan kongenital. Kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan dengan distribusi kontak
sebagai berikut:
c.1. Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12 minggu.
c.2. Minimal 1 kali pada trimester II (K2), usia kehamilan 13-24 minggu.

c.3. Minimal 2 kali pada trimester III (K3 dan K4), usia kehamilan > 24 minggu
d. Menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan, dan alkohol karena dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti atresia ani,
celah bibir dan langit-langit.

2.9.2. Pencegahan Sekunder


a. Diagnosis

Diagnosis kelainan kongenital dapat dilakukan dengan cara:


a.1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara dini beberapa kelainan kehamilan/pertumbuhan janin, kehamilan
ganda, molahidatidosa, dan sebagainya.48 Beberapa contoh kelainan kongenital yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan non
invasive (ultrasonografi) pada midtrimester kehamilan adalah hidrosefalus dengan atau tanpa spina bifida, defek tuba neural,
porensefali, kelainan jantung bawaan yang besar, penyempitan sistem gastrointestinal (misalnya atresia duodenum yang memberi
gambaran gelembung ganda), kelainan sistem genitourinaria (misalnya kista ginjal), kelainan pada paru sebagai kista paru, polidaktili,
celah bibir, mikrosefali, dan ensefalokel.9,49
a.2. Pemeriksaan cairan amnion (amnionsentesis)2,9,50
Amnionsentesis dilakukan pada usia kehamilan 15-19 minggu dengan aspirasi per-abdomen dengan tuntunan USG. Dari cairan
amnion tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut antara lain pemeriksaan

genetik/kromosom, pemeriksaan alfa-feto-protein terhadap defek tuba neural (anensefali, mengingomielokel), pemeriksaan terhadap
beberapa gangguan metabolic (galaktosemia, fenilketonurua), dan pemeriksaan lainnya.
a.3. Pemeriksaan Alfa feto protein maternal serum (MSAFP).
Apabila serum ini meningkat maka pada janin dapat diketahui mengalami defek tuba neural, spina bifida, hidrosefalus, dan lain-lain.
Apabila serum ini menurun maka dapat ditemukan pada sindrom down dan beberapa kelainan kromosom.2
a.4. Biopsi korion
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelainan kromosom pada janin, kelainan metabolik, kelainan genetik dapat dideteksi
dengan analisis DNA, misalnya talasemia dan hiperplasia adrenal kongenital.2
a.5. Fetoskopi/kordosentesis
Untuk mengenal kelainan kongenital setelah lahir, maka bayi yang baru lahir perlu diperiksa bagian-bagian tubuh bayi tersebut, yaitu
bentuk muka bayi, besar dan bentuk kepala, bentuk daun telinga, mulut, jari-jari, kelamin, serta anus bayi.2
b. Pengobatan

Pada umumnya penanganan kelainan kongenital pada suatu organ tubuh umumnya memerlukan tindakan bedah. Beberapa contoh
kelainan kongenital yang memerlukan tindakan bedah adalah hernia, celah bibir dan langit-langit, atresia ani, spina bifida,
hidrosefalus, dan lainnya. Pada kasus hidrosefalus, tindakan non bedah yang dilakukan adalah dengan pemberian obat-obatan yang
dapat mengurangi

produksi cairan serebrospinal. Penanganan PJB dapat dilakukan dengan tindakan bedah atau obat-obatan, bergantung pada jenis, berat,
dan derajat kelainan.2
2.9.3. Pencegahan Tersier2

Upaya pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi penting pada pengobatan dan rehabilitasi, membuat penderita
cocok dengan situasi yang tak dapat disembuhkan. Pada kejadian kelainan kongenital pencegahan tersier bergantung pada jenis
kelainan. Misalnya pada penderita sindrom down, pada saat bayi baru lahir apabila diketahui adanya kelemahan otot, bisa dilakukan
latihan otot yang akan membantu mempercepat kemajuan pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi ini nantinya bisa dilatih dan
dididik menjadi manusia yang mandiri untuk bisa melakukan semua keperluan pribadinya.
Banyak orang tua yang syok dan bingung pada saat mengetahui bayinya lahir dengan kelainan. Memiliki bayi yang baru lahir dengan
kelainan adalah masa-masa yang sangat sulit bagi para orang tua. Selain stres, orang tua harus menyesuaikan dirinya dengan cara-cara
khusus. Untuk membantu orang tua mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan suatu tim tenaga kesehatan yang dapat
mengevaluasi dan melakukan penatalaksanaan rencana perawatan bayi dan anak sesuai dengan kelainannya.

Vous aimerez peut-être aussi