Vous êtes sur la page 1sur 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Shock Hemoragik
Pengaruh sistemik akibat kehilangan darah berkaitan langsung dengan
volume darah yang keluar dari pembuluh darah. Ketika sebagian besar volume darah
dalam sirkulasi hilang, seperti pada trauma masif, penderita dapat sangat cepat
meninggal karena perdarahan. Penderita dapat mengalami perdarahan tanpa ada
petunjuk perdarahan eksternal sama sekali. Ini terjadi jika darah yang keluar dari
pembuluh terkumpul dalam rongga tubuh yang besar seperti rongga pleura atau
rongga peritoneum. Jenis perdarahan internal yang mematikan ini sering sekali
terjadi pada cidera yang berat, yang menyebabkan ylang iga patah dan mengoyak
paru atau jika trauma abdomen mengakibatkan rupture limpa atau hati. Volume
perdarahan juga dapat memberikan pengaruh yang berkaitan dengan laju terjadinya
kehilangan darah. Kehilangan volume darah yang lebih besar dapat ditoleransi lebih
baik jika terjadi sedikit demi sedikit daripada terjadi secara cepat dalam jumlah yang
besar.
Syok bukanlah suatu diagnosis. Syok merupakan kegagalan sirkulasi tepi
menyeluruh yang mengakibatkan hipoksia jaringan. Kematian akibat syok terjadi
bila kejadian ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel.
Syok bersifat progresif dan terus memburuk. Lingkaran setan dari
kemunduran yang progresif akan mengakibatkan syok jika tidak ditangani secara
agresif selagi dini. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologis dan
menghilangkan faktor penyebab. Respon terhadap terapi awal, digabung dengan
penemuan saat melakukan primary survey dan secondary survey, biasanya
memberikan cukup informasi untuk menentukan penyebab syoknya. Perdarahan
merupakan penyebab syok yang paling sering ditemukan pada penderita trauma.
2. Gangguan sistem kardiovaskuler
Penyakit jantung merupakan penyakit yang mematikan.Di seluruh dunia,jumlah
penderita penyakit ini terus bertambah.Ketiga kategori penyakit ini tidak lepas dari
gaya hidup yang kurang sehat yang banyak dilakukan seiring dengan berubahnya
pola hidup.Angka harapan hidup yang semakin meningkat ditambah peningkatan

1
golongan usia tua semakin memperbesar jumlah penderita penyakit jantung yang
sebagian besar diderita oleh orang tua.
Sebagian besar penderita lansia tidak memiliki kelainan pada fungsi
sistolik,namun mengalami kelainan diastole.Sementara itu,hampir 75 persen pasien
geriatri menderita gagal jantung,hipertensi dan atau penyakit arteri koroner.Gejala
dan tanda gagal jantung akibat penuaan relatif sama pada gagal jantung orang muda,
namun biasanya gejala klinis dan keluhan utama pasien tua seringkali berbeda dan
sangat tersembunyi. Biasanya pasien tidak sadar dengan penyakitnya, yang dia alami
ialah sebuah perasaan yang tidak berharga, tidak berguna, dan relatif menerima
keadaan apa adanya seiring dengan bertambahnya usia. Namun biasanya, karena
gagal jantung orang tua cenderung berupa kegagalan diastol, maka gejalanya akan
timbul tiba tiba dan membuat orang tua jadi uring uringan.
3. Gangguan metabolisme bilirubin
Delapan puluh persen dari semua bilirubin yang berasal dari metabolisme
hemoglobin dilepaskan dari sel-sel darah merah makin uzur. Hemoglobin dilepaskan
dari sel darah merah akan diubah ke unconjugated (juga disebut tidak langsung)
bilirubin dalam sistem reticuloendothelial. Produksi harian unconjugated bilirubin
250-350 mg. Karena ini adalah air bilirubin tidak larut, hal itu harus diangkut ke hati
terikat dengan albumin. Beredar paruh unconjugated bilirubin yang <5 menit.
Dalam hati, bilirubin unconjugated ditransfer dari albumin ke hepatosit mana ia
dikonjugasikan dengan asam glucuronic. Conjugated bilirubin (juga disebut
langsung) kemudian dibuang dalam empedu dan diangkut ke usus. Conjugated
bilirubin pada dasarnya tidak ada dari darah orang yang sehat. Dalam ileum distal
dan kolon, bakteri rahasia conjugated bilirubin untuk stercobilinogen. Sebagian kecil
adalah portal diserap ke sirkulasi dan diekskresikan dalam urin sebagai urobilinogen.
Jalur metabolisme ini account untuk terdeteksi bilirubin dalam plasma yang sehat
individu.
Bilirubin adalah salah satu hasil dari agregasi sel darah merah. Bilirubin ada dua
macam: bilirubin direk dan bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin indirek menjadi
bilirubin direk terjadi di hati (hepar). Dengan melihat hasil laboratorium bilirubin
direk dan indirek, kita bisa memperkirakan di mana letak kelainannya. Bila bilirubin
indirek yang meningkat, maka kelainannya terletak pre hepatal (sebelum masuk dan

2
di metabolisme di hepar). Kasus ini misalnya pada kelainan darah, yaitu adanya
penghancuran sel-sel darah yang meningkat. Atau karena penyebab intra hepatal,
contohnya pada kasus hepatitis, yaitu peradangan pada jaringan hati dengan berbagai
sebab, misalnya karena virus, bakteri, dan zat kimia. Adanya peradangan menggangu
tugas hati untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk. Bila bilirubin
direk yang meningkat maka penyebabnya post hepatal, yaitu bendungan pada saluran
empedu. Saluran empedu ini akan membuang bilirubin ke dalam usus dan akan
dikeluarkan dari tubuh melalui feses.
Jika jumlah bilirubin yang agak ditinggikan (biasanya <6 mg / dl) dan kurang
dari 20% adalah conjugated (langsung: total rasio <0,2), diagnosis yang paling
mungkin adalah sindrom Gilbert atau hemolisis. Sindrom Gilbert mempengaruhi ~
5% dari populasi dan menyebabkan ringan hyperbilirubinemia karena gangguan
UDP-glucuronyltransferase. Kemungkinan lain termasuk tidak efektif
erythropoiesis, resorpsi hematom besar, emboli paru dengan infark, Crigler-Najjar
syndrome, penyakit kuning neonatal, dan shunts. Karena air unconjugated bilirubin
tidak larut dan terikat dengan albumin, pasien tersebut tidak memiliki bilirubinuria.
Pengujian urin untuk bilirubin adalah cara sederhana untuk menentukan apakah
bilirubin tinggi unconjugated atau conjugated.

B. Tujuan
1. Tujuan penulisan shock hemoragik
Untuk mengetahui serta memahami pengertian, penyebab, klasifikasi, patofisiologi,
gejala klinis serta penatalaksanaan pada shock hemoragik
2. Tujuan penulisan gangguan sistem kardiovaskuler
Untuk mengetahui serta memahami tentang penyakit-penyakit sistem
kardiovaskuler yaitu endokarditis, kelainan katub,penyakit jantung
rematik,kelainan jantung bawaan,dan hypertensi serta penatalaksanaannya.
3. Tujuan penulisan gangguan metabolisme bilirubin
Untuk mengetahui serta memahami tentang definisi, Produksi, metabolisme
bilirubin dan gangguan metabolisme bilirubin dalam tubuh.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
1. Shock Himoragik
a. Pengertian
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang
biasanya terjadi akibat perdarahan yang masif.
b. Etiologi
Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik:
1) Terapi antitrombosis
2) Koagulopati
3) Perdarahan saluran pencernaan
a) Varises esofagus
b) Ulkus peptikum dan duodenum
c) Ca gaster dan esofagus
4) Obstetrik/ginekologi
a) Plasenta previa
b) Abruptio plasenta
c) Ruptur kehamilan ektopik
d) Ruptur kista ovarium
5) Paru
a) Emboli pulmonal
b) Ca paru
c) Penyakit paru yang berkavitas: TB, aspergillosis
6) Ruptur aneurisma
7) Perdarahan retroperitoneal
8) Trauma
a) Laserasi
b) Luka tembus pada abdomen dan toraks
c) Ruptur pembuluh darah besar

4
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai
akibatnya akan menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah
jantung menurun di bawah normal dan timbul syok.
c. Klasifikasi
Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American College of
Surgeon Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini berguna
untuk memastikan tanda-tanda dini syok hemoragik.

Tabel 2.1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi


Penderita Semula
Parameter Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan
<750 750 - 700 700 1100 >1100
darah (ml)
Kehilangan
<7% 7% 30% 30% - 40% >40%
darah (%)
Nadi (x/menit) <100 >100 >50 >30
Tekanan darah Normal Menurun Menurun Menurun
Frekuensi
pernapasan 3 11 11 30 30 40 >35
(x/menit)
Produksi urin
>30 11 30 57 Tidak berarti
(ml/jam)
Gejala pada
Cemas,
saraf pusat / Normal Cemas Bingung, lesu
bingung
status mental
Penggantian
Kristaloid dan Kristaloid dan
cairan (hukum Kristaloid Kristaloid
darah darah
3:1)

5
Gambar 2.1 Perubahan konsumsi O2

d. Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan
nadi. Perubahan ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium.
Dengan berkurangnya volume darah yang beredar, terjadi peningkatan
rangsang simpatis. Reaksi ini menimbulkan peningkatan frekuensi nadi,
vasokonstriksi, dan penurunan distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital,
seperti kulit, saluran pencernaan, dan ginjal.
Pada perdaharan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin-
releasing hormone terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan
pelepasan glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitari posterior

6
akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi air pada tubulus distal.
Renin dilepaskan oleh kompleks juxtamedularis sebagai respon dari
penurunan MAP (Mean Arerial Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron
dan berujung resoprsi natrium dan air. Hiperglikemia sering didapatkan pada
perdarahan akut karena glukagon dan growth hormone meningkat pada
gluconeogenesis dan glikogenosis. Peredaran katekolamin menghambat
pelepasan dan aktivitas insulin secara relative sehingga terjadi peningkatan
kadar gula darah.
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi
peningkatan ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis
metabolik dari karbon dioksida yang diproduksi.
Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan
perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi
yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan
secara konstan melalui MAP. Ginjal juga mentoleransi penuruunan aliran
darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran darah pada
saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik.
Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa
mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam
pertahanan tubuh.

e. Gejala klinis
Gejala klinis tunggal jarang ditemukan saat diagnosis syok ditegakkan.
Pasien bisa mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang
(gejala pecahnya aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh data rinci
tentang tipe, jumlah, dan lama perdarahan, karena pengambilan keputusan
untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah darah
yang hilang dan lamanya perdarahan.
Untuk perdarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah
dari rectum atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang
hilang dari saluran cerna bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari
rectum harus diduga adanya perdarahan hebat sampai dibuktikan sebaliknya.

7
Syok umumnya memberi gejala klinis seperti turunnya tanda vital tubuh:
hipotensi, takikardi, penurunan urin output, dan penurunan kesadaran.
Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh. Gejala
umum lainnya yang bisa timbul adalah kulit kering, pucat, dan dengan
diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi, dan tidak sadar. Pada fase awal
nadi cepat dan dalam dibandingkan denyutnya, tekanan darah sistolik bisa
saja masih dalam batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat,
seperti yang terdapat pada anemia kronik.
Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan
adanya darah. Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk
mengevaluasi apakah terdapat gejala hemotoraks, suara nafas akan turun,
serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan.7 Periksa abdomen dari
tanda perdarahan intra-abdominal. Periksa panggul apakah ada ekimosis yang
mengarah ke perdarahan retroperitoneal. Lakukan pemeriksaan rectum untuk
mengetahui asal darah yang keluar dari rectum.
Pasien dengan riwayat perdarahan vagina dilakukan pemeriksaan pelvis
lengkap dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan
kehamilan ektopik.

f. Penatalaksanaan Syok Hemoragik


Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan
perdarahan dan menggantikan kehilangan volume darah.
1) Pemeriksaan jasmani
Hal penting yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi
urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan pasien yang lebih rinci akan
menyusul bila keadaan penderita memungkinkan.
a) Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan
oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.

8
b) Circulation kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan
yang jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan
menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh
(eksternal) biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung
pada tempat perdarahan.
c) Disability pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan
tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motoric
dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak,
mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan
pemulihan.
d) Exposure pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,
penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke
jari kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Pemakaian penghangat
cairan, maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal
sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.
e) Dilatasi lambung dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma,
khususnya pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau
disritmia jantung yang tak dapat diterangkan, biasanya berupa
bradikardia dari stimulasi nervus vagus yang berlebihan. Distensi
lambung menyebabkan terapi syok menjadi sulit. Pada pasien tidak
sadar, distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung
dan dapat menjadi suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.
Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan NGT.
f) Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau
produksi urin. Darah pada uretra atau prostat dengan letak tinggi,
mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan

9
kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada
konfirmasi radiografis tentang uretra yang utuh.
g) Pengobatan dengan posisi kepala di bawah. Dengan menempatkan
penderita dengan kepala 5 inci lebih rendah daripada kaki akan
sangat membantu dalam meningkatkan alir balik vena dan dengan
demikian menaikkan curah jantung. Posisi kepala di bawah ini
adalah tindakan pertama dalam pengobatan berbagai macam syok.
2) Akses pembuluh darah
Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik
dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar
sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah
lengan bawah atau pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak
memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan
akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis, atau subklavia
dengan kateter besar) dengan menggunakan teknik seldinger atau
melakukan vena seksi pada vena safena di kaki. Pada anak di bawah 6
tahun, teknik penempatan jarum intra oseus harus dicoba sebelum
menggunakan jalur vena sentral.
Foto toraks harus diambil setelah pemasangan CVP pada vena
subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan
penilaian kemungkinan terjadinya pneumotoraks atau hematotoraks.
3) Terapi awal cairan
Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya
digunakan patokan berat badan. Volume darah rata-rata pada orang
dewasa kira-kira 7% dari berat badan. Bila penderita gemuk maka
volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan ideal. Volume
darah anak-anak dihitung 8% - 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).8
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita.
Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan
10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat.
Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk

10
sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total volume
cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar
antara 2-4 x volume yang hilang.
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis
cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga
menstabilkan volume vaskular dengan cara menggantikan kehilangan
cairan ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Larutan ringer laktat
adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua
karena berpotensi menyebabkan terjadinya asidosis hiperkhloremik.
Kemungkinan ini bertambah besar jika fungsi ginjal kurang baik.
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai
bolus. Dosis awal adalah 1-2 liter pada dewasa dan 11 ml/kg pada anak,
diberikan dalam 30-60 menit pertama. Jumlah cairan yang diperlukan
untuk resusitasi sukar diramalkan pada awal evaluasi penderita.
Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara akut
diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan
3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma
yang hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal
sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk
menilai respon penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan
oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluar urin, tingkat
kesadaran dan perfusi perifer.

Table 2.2 Respon terhadap pemberian cairan awal


Respon cepat Respon sementara Tanpa respon
Tanda vital Kembali ke normal
Perbaikan Tetap abnormal
sementara, tekanan
darah dan nadi
kembali turun
Dugaan kehilangan Minimal (10% - Sedang, masih ada Berat (>40%)
darah 11%) (11% - 40%)
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera
Persiapan darah Tipe spesifik dan Tipe spesifik Emergensi
crossmatch

11
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini ahli Perlu Perlu Perlu
bedah

Jumlah produksi urin merupakan indicator yang cukup sensitive untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi dengan pemberian obat diuretik. Sebab itu,
keluaran urin merupakan salah satu pemantau utama resusitasi dan respon
penderita.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin
sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anakm dan 2
ml/kg/jam pada bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang atau makin turunnya
produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang
tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambah penggantian volume dan usaha
diagnostik.3
Bila telah jelas ada perbaikan hemodinamik (tekanan sistolik 100, nadi 100,
perfusi hangat, urin 0,5 ml/kg/jam), infus harus dilambatkan dan biasanya
transfuse tidak diperlukan. Bahaya infus yang cepat adalah oedem paru, terutama
pasien geriatri. Perhatian harus ditunjukkan agar jangan sampai terjadi kelebihan
cairan. Namun jika hemodinamik memburuk, teruskan cairan (2-4x estimated
blood loss), jika membaik tetapi Hb < 8 gr, Ht < 25%, beri transfusi darah dan
koloid. Bila hemodinamik tetap buruk, segera diberikan transfusi.

2. Gangguan Metabolisme Bilirubin


a. Definisi bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kekuningan yang dilepaskan ketika sel-sel darah
merah dipecah. Biasanya bilirubin diproses dan dikeluarkan oleh hati. Tingkat
kelebihan bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) dapat mengindikasikan
kerusakan hati, dan dapat menyebabkan sakit kuning (menguningnya kulit dan
putih mata), tinja berwarna pucat, dan urin gelap. Tingkat bilirubin normal adalah
di bawah 1.3mg.

12
b. Produksi bilirubin
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada
neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua. Pembentukan bilirubin pada
dewasa + 250-350 mg/hari.
Terutama berasal dari:
1) Hemoglobin;
Satu gram Hb menghasilkan + 35 mg bilirubin.
2) Proses eritropoiesis yang tidak efektif.
3) Protein heme, seperti sitokrom P-450.
c. Metabolisme Bilirubin
1) Metabolisme bilirubin di dalam Tubuh
Bila eritrosit telah hidup melampaui masa hidupnya selama rata-rata
120 hari maka membrannya akan pecah dan hemoglobin yang dikeluarkan di
fagositosis oleh sel Retikulo Endotel diseluruh tubuh. Hemoglobin pertama-
tama dipecah menjadi Globin dan Heme, lingkaran Protoporfirin terbuka, Fe
dilepaskan, kemudian berubah menjadi Biliverdin dan direduksi menjadi
bilirubin. Fe yang dilepaskan diikat oleh protein dalam jaringan dan beredar
dalam darah sebagai Iron Binding Protein Capacity. Sedangkan rantai globin
sebagian akan dipecah menjadi asam-asam amino yang disimpan dalam Body
Fool of Amino Acid, sebagian tetap dalam bentuk rantai globin yang akan
lagi digunakan untuk membentuk hemoglobin baru. Bilirubin yang
dilepaskan kedalam darah sebagian besar terikat dengan albumin, sebagian
kecil terikat dengan 2 globulin dan dibawa ke hati. Bilirubin yang terikat
dengan protein ini disebut Prebilirubin atau Unconjugated bilirubin (bilirubin
bebas). Didalam hati bilirubin dilepaskan dari albumin dan selanjutnya
mengalami konjugasi dengan Asam Glukoronat membentuk ester Bilirubin
monoglukoronat atau Bilirubin diglukoronat (BDG) yang dikenal dengan
nama Conjugated Bilirubin (CB). Proses ini berlangsung karena pengaruh
enzim Urindhylo Phosphate Glukoronil Transferase (UDPG). CB ini bersifat
sangat mudah larut di air dan merupakan pigmen utama dari empedu.

13
Ketika direct bilirubin (CB) ini sampai di usus besar / colon oleh
bakteri-bakteri usus direduksi menjadi Urobilinogen dimana sebagian
urobilinogen tersebut direabsorpsi melalui mukosa usus masuk dalam darah.
Sebagian zat ini diekskresi oleh hati dan kembali masuk kedalam usus
kemudian sekitar 5 % diekskresi oleh ginjal melalui urine. Setelah urine
tersebut kena udara maka urobilinogen teroksidasi menjadi Urobilin
sedangkan pada Faeces teroksidasi menjadi Sterkobilin.
2) Metabolisme bilirubin di Hati :
a) Pembentukan bilirubin
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar
terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta
pada pH normal bersifat tidak larut.
b) Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikuloendotelial,
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan
albumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larut
dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin
yang terikat pada albumin bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma
hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian
bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan
ligandin (protein Y dan Z), mungkin juga dengan protein ikatan
sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik
bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan
ikterus fisiologis.
c) Konjugasi bilirubin
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk
bilirubin konjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma
dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase

14
(UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi
akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.
d) Ekskresi bilirubin.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke
dalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan
diekskresikan melalui feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin
yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim
beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin
dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi
enterohepatik.

d. Sifat Bilirubin
Terdapat perbedaan yang nyata antara Bilirubin direct dan bilirubin indirect,
perbedaannya adalah :
1) Bilirubin Indirect
a) Tidak larut dalam air
b) Larut dalam alkohol
c) Tidak mewarnai Jaringan
d) Tidak terdapat dalam urin
e) Bilirubin yang belum dikonjugasi
f) Tidak dapat difiltrasi oleh glomelurus
g) Berikatan dengan albumin untuk transport
h) Bersifat toksik untuk otak
2) Bilirubin Direct
a) Larut dalam air
b) Tidak larut dalam alkohol
c) Mewarnai jaringan
d) Dapat ditemukan dalam urin
e) Bilirubin yang dikonjugasi
f) Dapat difiltrasi oleh glomelurus

15
g) Tidak terikat oleh protein
h) Tidak toksik untuk otak
e. Kelebihan bilirubin dalam darah
Bila kadar bilirubin melebihi dari kadar normal maka menyebabkan penyakit
ikterus yaitu suatu penyakit dimana terlihat warna kuning atau kekuning-
kuningan pada tubuh karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang
kemudian diendapkan dalam sel-sel jaringan dibawah kulit (jaringan elastin).
Ikterus akan nyata apabila didapatkan kadar bilirubin dalam darah > 5 mg/dl.
Meningkatnya kadar bilirubin dalam darah disebabkan oleh :
1) Produksi yang belebihan, misal pada anemia hemolitik.
2) Gangguan difusi bilirubin ke dalam sel-sel hepar dan pengangkutannya ke
mikrosom sel hepar, misal : infeksi virus hepatitis.
3) Gangguan pada proses konjugasi yang disebabkan oleh :
a) Defisiensi glukoronil transferase
b) Enzim inhibitor terhadap Glukoronil transferase.
4) Gangguan ekskresi dan sekresi dalam saluran empedu (terjadi obstruksi) misal
: adanya batu empedu atau karsinoma.
Ikterus atau Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau
patologis atau kombinasi keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada
bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi yang mendekati cukup
bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi
atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur.
Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya
disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena
hemolisis), karena pada periode ini hepatic clearance jarang memproduksi
bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran hemoglobin 1%
akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan
bilirubin tidak terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar
bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl
pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar
bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada umur

16
5 hari.
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah
bayi lahir, peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus
bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang
bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi, penurunan
berat badan yang berlebihan, asupan kurang).
f. Bahaya hiperbilirubinemia:
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak
akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum,
talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar
ventrikel IV.

3. Gangguan Sistem Kardiovaskuler


Kardiovaskuler terdiri dari 2 kata yaitu kardio (jantung) dan vaskuler (pembuluh
darah).Jadi penyakit kardiovaskuler adalah adalah penyakit yang mengganggu sistem
pembuluh darah, dalam hal ini adalah jantung dan urat-urat darah.
Jenis-jenis penyakit jantung itu sendiri bervariasi, seperti : jantung koroner,
tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, sakit di dada (anginan) dan penyakit
jantung rematik.
Penyakit kardiovaskuler sendiri biasanya terjadi akibat gaya hidup, pola makan,
dan aktivitas sehari-hari yang dijalani si pelaku yang tidak memperhatikan
kesehatan.
a. Endokarditis
Infeksi endokarditis merupakan peradangan endokardium atau katup-
katup jantung. Penyakit ini diklasifikasikan berdasarkan keganasan dan
penyebab yaitu endokarditis bakterial akut dan endokarditis bakterial subakut.
1) Penyebab
Infeksi bacterial akut disebakan oleh staphylococcus aureus,
sedangkan subakut biasanya disebabkan oleh streptococusviriden atau
staphylococcus aureus (jarang). Kedua penyakit ini dapat sebagai
kelanjutan dari demam reumatik, syphilis atau penyakit jantung kongenital.
Endokarditis bacterial merupakan penyakit pada usia muda dan dewasa

17
pertengahan. Resiko terhadap penyakit ini meningkat bila ada kontak
dengan infeksi, misalnya melalui tindakan pembedahan, pencabutan gigi
atau pembedahan genitourinaria. Propilaktis dengan antibiotika
(penicidilin) diberikan sebelum tindakan pembedahan sebagai tindakan
pencegahan. Resiko terhadap endokarditis, juga meningkat pada penderita
demam reumatik. Tindakan pemebedahan jantung terbuka untuk
memperbaiki katup jantung atau memasukkan anomary artery by pass
grafts, mempunyai insiden yang meningkat. Beberapa ahli yakin bahwa ada
sekitar 1% pasien yang dilakukan pembedahan jantung mengalami
endokarditis pada post operasi. Proses inflamasi menyebabkan klasifikasi
dan jaringan parut pada katup-katup dan endokardium dapat
mengakibatkan insufisiensi valvular atau stenosis
2) Gejala dan tanda
Serangan endokarditis bacterial akut yang tiba-tiba dan ditandai
dengan demam tinggi, menggigil, diaporensis, leukositosis, dan murmur
jantung. Emboli mungkin dilepaskan bila fragmen-fragmen infeksi pada
katup menjadi rusak dan berjalan ke otak menyebabkan kematian/stroke,
atau ke ginjal menyebabkan gagal ginjal. Dalam beberapa hari berikutnya
dapat terjadi gagal jantung bila katup-katup tidak berfungsi. Serangan
endokarditis bacterial sub-akut dengan tanda-tanda yang nampak adalah:
malaise, demam, menggigil, perspirasi, nyeri pada persendian dan
petechiae. Diagnose ditegakkan dengan kultur darah. Antibiotik diberikan
untuk mengatasi infeksi.
3) Penatalaksanaan
Pasien perlu dirawat dan istirahat total selama 2 sampai 6 minggu
sampai infeksi teratasi. Untuk menurunkan demam, diberikan antibiotika
piretika. Bila terjadi gagal jantung atau kerusakan ginjal maka harus
dilakukan pemeriksaan diagnostic lebih lanjut. Beritahu aktifitas yang
sesuai untuk pasien. Diet harus mempunyai nilai gizi yang cukup, dan
aktivitas serta istirahat harus seimbang.
b. Kelainan Katup Jantung

18
Katup jantung berfungsi mengendalikan arah aliran darah dalam jantung.
Kelainan katup jantung merupakan keadaan dimana katup jantung mengalami
kelainan yang membuat aliran darah tidak dapat diatur dengan maksimal oleh
jantung. Kelainan katup jantung yang dapat mengganggu aliran tersebut, antara
lain karena pengecilan (stenosis), kebocoran (regurgiasi), atau tidak menutup
sempurna (prolapsis). Kelainan katup dapat terjadi sebagai bawaan lahir maupun
karena infeksi dan efek samping pengobatan
Jantung memiliki empat ruangan, 2 ruangan kecil di atas (atrium) dan 2
ruangan besar di bawah(ventrikel). Setiap ventrikel memiliki satu katup masuk
searah dan satu katup keluar searah. Katup trikuspidalis membuka dari atrium
kanan ke dalam ventrikel kanan, dan katup pulmonalis membuka dari ventrikel
kanan ke dalam arteri pulmonalis. Katup mitral membuka dari atrium kiri ke
dalam ventrikel kiri, dan katup aorta membuka dari ventrikel kiri ke dalam aorta.
Katup-katup jantung bisa mengalami kelainan fungsi baik karena kebocoran
(regurgitasi katup) atau karena kegagalan membuka secara adekuat (stenosis
katup). Keduanya dapat mempengaruhi kemampuan jantung untuk memompa
darah. Kadang-kadang satu katup mempunyai kedua masalah tersebut.
1) Penyebab Kelainan Katup Jantung
Beberapa hal yang memungkinkan seseorang bisa terdapat kelainan
katup jantung adalah:
a) Karena keturunan atau daktor genetik yang sudah dialami sejak masih
dalam kandungan.
b) Kelainan katup jantung pada seseroang juga bisa dialami ketika terjadi
kecelakaan tertentu yang mengakibatkan cedera dan secara langsung taau
tidak berpengaruh terhadap jantung.
c) Akibat operasi atau pembedahan pada jantung, bisa terjadi kesalahan
teknis tertentu yang menyebabkannya.
d) Bakteri (atau jamur) yang terdapat di dalam aliran darah atau yang
mencemari jantung selama pembedahan jantung, dapat tersangkut pada
katup jantung dan menginfeksi endokardium. Yang paling mudah terkena
infeksi adalah katup yang abnormal atau katup yang rusak; tetapi katup

19
yang normalpun dapat terinfeksi oleh bakteri yang agresif, terutama jika
jumlahnya sangat banyak.
2) Gejala Kelainan Katup Jantung
Beberapa gejala kelainan katup jantung yang bisa terjadi antara lain
adalah:
a) Penderita bisa sering pingsan.
b) Penderita kelainan katup jantung biasanya tidak bisa melakukan aktifitas
fisik yang banyak memakai tenaga.
c) Penderita akan mudah kelelahan ketika sedang beraktifitas
d) Nyeri Dada
Nyeri dada dialami oleh penderita stenosis katup aorta yang sudah parah.
Jenis nyeri dadanya hampir sama dengan nyeri dada (angina) yang dirasakan
oleh penderita penyakit jantung koroner. Pada penderita jantung koroner, nyeri
dada disebabkan oleh tersumbatnya aliran darah karena adanya lapisan lemak
dan kolesterol pada pembuluh darah. Namun nyeri dada pada stenosis katup
aorta diakibatkan oleh otot jantung yang menebal sehingga harus memompa,
melawan tekanan yang tinggi, agar darah bisa melalui klep/katup jantung yang
menyempit. Kondisi ini meminta suplai oksigen yang lebih banyak daripada
yang dikirim oleh darah sehingga menyebabkan nyeri dada.
Pingsan. Penurunan kesadaran pada penderita kelainan katup jantung
disebabkan oleh kegembiraan. Kondisi ini menyebabkan relaksasi pembuluh
darah dan berefek pada penurunan tekanan darah. Keadaan kelainan katup
ternyata membuat jantung tidak mampu meningkatkan aliran darah sebagai
kompensasi turunnya tekanan darah. Hal ini menyebabkan otak kekurangan
suplai oksigen sehinga penderita stenosis katup aorta akan pingsan.
e) Sesak nafas
Gejala ini disebabkan oleh kegagalan otot jantung untuk
mengkompensasi beban tekanan yang ekstrim dari aortic stenosis. Jika
gejala ini telah dirasakan maka harapan hidup tanpa perawatan yang
mumpuni adalah 6 hingga 24 bulan.

20
Jika ditemukan kelainan katup jantung yang telah parah, maka sangat
perlu untuk melakukan operasi pergantian katup sesegera mungkin sebab
prognosis stenosis katup aorta yang buruk.
3) Penatalaksanaan
Pantangan makanan Kelainan Katup JantungPantangan makanan bagi
yang mengalami kelainan katup jantung adalah:Makanan berserat tinggi seperti
gandum utuh dan biji-bijian. Juga hindari kacang mete mentah, kubis, paprika,
lobak, bawang putih, bawang merah, rempah, acar, makanan yang digoreng,
daging, semua jenis buah-buahan mentah kecuali pisang dan pepaya.

c. Penyakit Jantung Rematik.


Penyakit jantung rematik adalah kerusakan pada katup jantung karena demam
rematik, yang disebabkan oleh bakteri streptokokus. Adapun yang dimaksud
Demam Rematik adalah suatu peradangan pada persendian (artritis) dan jantung
(karditis).
1) Penyebab
Demam rematik biasanya terjadi akibat infeksi streptokokus pada
tenggorokan. Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi
merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang
berbagai bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit)
2) Gejala
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada bagian tubuh yang meradang.
Biasanya gejala timbul beberapa minggu setelah nyeri tenggorokan akibat
streptokokus menghilang.
3) Gejala utamanya adalah:
a) nyeri persendian (artritis)
b) nyeri dada atau palpitasi (jantung berdebar) karena karditis
c) renjatan/kedutan diluar kesadaran (corea Sydenham)
d) ruam kulit (eritema marginatum)
e) benjolan kecil dibawah kulit (nodul).
4) Pengobatan Penyakit Jantung Rematik

21
Apabila diagnosa penyakit jantung rematik sudah ditegakkan dan masih
adanya infeksi oleh kuman Streptococcus tersebut, maka hal utama yang
terlintas dari Tim Dokter adalah pemberian antibiotika dan anti radang.
Misalnya pemberian obat antibiotika penicillin secara oral atau benzathine
penicillin G. Pada penderita yang allergi terhadap kedua obat tersebut,
alternatif lain adalah pemberian erythromycin atau golongan cephalosporin.
Sedangkan antiradang yang biasanya diberikan adalah Cortisone and Aspirin.
Penderita dianjurkan untuk tirah baring dirumah sakit, selain itu Tim
Medis akan terpikir tentang penanganan kemungkinan terjadinya komplikasi
seperti gagal jantung, endokarditis bakteri atau trombo-emboli. Pasien akan
diberikan diet bergizi tinggi yang mengandung cukup vitamin.
Penderita Penyakit Jantung Rematik (PJR) tanpa gejala tidak
memerlukan terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan
memerlukan terapi medik untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang
simtomatis memerlukan terapi surgikal atau intervensi invasif. Tetapi terapi
surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya
yang relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.
Pencegahan Penyakit Jantung Rematik,jika kita lihat diatas bahwa
penyakit jantung paru sangat mungkin terjadi dengan adanya kejadian awal
yaitu demam rematik (DR), Tentu saja pencegahan yang terbaik adalah
bagaimana upaya kita jangan sampai mengalami demam rematik (DR)
(terserang infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus).
Ada beberapa faktor yang dapat mendukung seseorang terserang kuman
tersebut, diantaranya faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek,
kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan
determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga
mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi streptokokkus untuk
terjadi DR.
Seseorang yang terinfeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus dan
mengalami demam rematik, harus diberikan therapy yang maksimal dengan
antibiotiknya. Hal ini untuk menghindarkan kemungkinan serangan kedua
kalinya atau bahkan menyebabkan Penyakit Jantung Rematik.

22
d. Penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung kongenital
Penyakit jantung bawaan dinamakan juga cacat jantung kongenital (CJK),
karena pada jantung pasien terdapat kelainan anatomis, sebagai akibat
terganggunya perkembangan jantung sementara sewaktu masih dalam kandungan
ibunya.
Berkembangnya jantung janin mulai pada kandungan dua minggu dan
berakhir sebelum kandungan tersebut berumur tiga bulan.pada akhir
perkembangan tu, jantung janin sudah seperti jantung orang dewasa, kecuali
adanya foramen ovale dan duktus srterious yang masih dapat dilalui darah.
Penyakit Jantung Kongenital merupakan suatu penyakit jantung bawaan atau
suatu penyakit jantung yang dibawa oleh seorang bayi yang berlaku sejak dalam
kandungan seperti jantung berlubang dan kecacatan pada jantung.
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat
merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera
setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering
diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, bayi yang dilahirkan
dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat
lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya.
Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20%
meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.
Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja
atau dapat pula berupa beberapa kelainan kongenital secara bersamaan sebagai
kelainan kongenital multipel. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum
ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan
beberapa waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kermajuan tehnologi
kedokteran,kadang- kadang suatu kelainan kongenital telah diketahui selama
kehidupan fetus. Bila ditemukan satu kelainan kongenital besar pada bayi baru
lahir, perlu kewaspadaan kemungkian adanya kelainan kongenital ditempat lain.
Dikatakan bahwa bila ditemukan dua atau lebih kelainan kongenital kecil,

23
kemungkinan ditemukannya kelainan kongenital besar di tempat lain sebesar 15%
sedangkan bila ditemukan tiga atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan
ditemukan kelainan kongenital besar sebesar 90%. Penyebab langsung kelainan
kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetaI
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau
kedua faktor secara bersamaan.
1) Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan
kongenital antara lain :
a) Kelainan Genetik dan Khromosom.
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan
berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-
kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula
diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan
("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif.
Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan
kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-
langkah selanjutya.

b) Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat
menyebabkan kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan
deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan
organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu
organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes
pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan
talipes equinovarus (clubfoot).
c) Faktor infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi
yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama
kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini
dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh.
Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan

24
kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.
Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb
virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi
Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan kongenital
pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai
tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain
pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital
antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis,
kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya
gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus,
mikrosefalus, atau mikroftalmia.
d) Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan
terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang
telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah
thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau
mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil
muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya
dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara
laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama
kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obat-
obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang
sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat.
Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu,
pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan;
keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan
dan akibatnya terhadap bayi.
e) Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada
bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause.

25
f) Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan
kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu
hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk
mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan
dengan bayi yang normal.
g) Faktor radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi
yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat
mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat
menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya.
Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya
dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.
h) Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa
kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia,
pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi
kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi
yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya
defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain
dapat menaikkan kejadian &elainan kongenital.
i) Faktor-faktor lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya.
Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat
menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau
hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali
penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.

26
2) Berhubung dengan berfungsinya jantung yang cacat serta kelainan anatomis
yang telah terjadi, maka CJK dapat dibedakan menjadi 3 golongan :
a) Cacat Jantung Kongenital Sianotik
Kebanyakan CJK (Cacat jantung kongenital) sianotik meninggal
dunia dalam usia kanak-kanak. CJK sianotik yang kadang-kadang
nampak pada remaja atau orang dewasa, biasanya Tetralogi Fallot,
Kompleks Eisenmenger atau pulmonal stenose dengan Atrial Septal
Defect.
b) Tetralogi Fallot
Nama Tetralogi berdasarkan adanya empat kelainan kongenital,
yakni stenose katup pulmonal, pada valvulus sendiri atau pada
infundibulum biasanya disertai post-stenotik dilatasi Arteri Pulmonalis,
dengan hipertrofi ventrikel kanan. Selain dari dua kelainan tersebut ada
juga lubang dalam septum membranaseum antara ventrikel kanan dan
kiri dengan aorta berawal di atas lubang tersebut sehingga pada waktu
sistole ventrikel, aorta diisi baik dari ventrikel kiri maupun dari
ventrikel kanan, suatu Overriding aorta .
c) Komplex Eisenmenger
Kelainan kongenital pada komplex ini hampir serupa dengan
Fallot, hanya di sini tidak ada pulmonal stenose melainkan justru ada
dilatasi pada Arteri Pulmonalis serta cabang-cabangnya. Selanjutnya
ada juga hipertrofi ventrikel kanan, hipertensi pulmonal, ventrikel
septum defec dengan overriding aorta. Sianose baru nampak setelah
bayi menjadi anak kecil, karena berkat tidak adanya pulmonal stenose
oksigenasi darah cukup baik, sehingga walaupun aorta menerima juga
darah langsung dari ventrikel kanan, namun reduced Hb yang
tercampur pada darah peredaran sistemik, mula-mula belum banyak.
3) Diagnosa
Pemeriksaan untuk menemukan adanya kelainan kongenital dapat
dilakukan pada pemeriksaan janin intrauterine, dapat pula ditemukan pada
saat bayi sudah lahir. Pemeriksaan pada saat bayi dalam kandungan
berdasarkan atas indikasi oleh karena ibu mempunyai faktor resiko,

27
misalnya: riwayat pernah melahirkan bayi dengan kelainan kongenital,
riwayat adanya kelainan-kongenital dalam keluarga, umur ibu hamil yang
mendekati menopausePencarian dilakukan pada saat umur kehamilan 16
minggu.
Dengan bantuan alat ultrasonografi dapat dilakukan tindakan
amniosentesis untuk mengambil contoh cairan amnion Beberapa kelainan
kongenital yang dapat didiagnose dengan cara ini misalnya: kelainan
kromosome, phenylketonuria, galaktosemia, defek tuba neralis terbuka
seperti anensefali serta meningocele.
4) Penanganan
Kelainan kongenital berat dapat berupa kelainan kongenital yang
memerlukan tindakan bedah, kelainan kongenital bersifat medik, dan
kelainan kongenital yang memerlukan koreksi kosmetik.
Setiap ditemukannya kelainan kongenital pada bayi baru lahir, hal ini harus
dibicarakan dengan orang tuanya tentang jenis kemungkinan faktor
penyebab, langkah-langkah penanganan dan prognosisnya.

e. Hypertensi
Menurut JNC 7 (Joint National Committee of Hipertension) defenisi
hipertensi adalah peningkatan tekanan darah di dalam arteri 140 mmHg systolic
dan 90mmHg diastolig

28
1) Etiologi
Penyebab hipertensi dapat dibagi 2 :
a) Hipertensi Primer atau esensial
1) 90 % penderita hipertensi yang ada di masyarakat
2) Penelitian menyatakan ginjal penyebabnya.
b) Hipertensi Sekunder
1) Kelainan ginjal (GNA, GNC, PNC, penyempitan arteri renalis)
2) Kelainan hormon (DM, pil KB, Tumor, Adrenal)
3) Kelainan neurologis (Polineurotis, Polimyelitis)
4) Lain-lain (obat-obatan)

2) Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 2007


Sisitolik Diastolik
No Kategori
(mmHg) (mmHg)
1 Normal < 120 < 80
2 Pre-hipertensi 120-139 80-89
3 Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 160 100
3) Pengaruh Terhadap Organ
a) Penyakit pembuluh darah otak (Stroke, pendarahan otak, TIA)
b) Penyakit jantung (gagal jantung, MCI, Angina pectoris)
c) Penyakit ginjal (Gagal ginjal)
d) Penyakit pembuluh darah (artherosklerosis)
e) Penyakit mata (oedema pupil, penebalan retina, pendarahan retina)
4) Gambaran Klinis
a) Kebanyakan tidak mempunyai keluhan
b) Sebagian mempunyai keluhan : sakit kepala, pusing, lemas, sesak napas,
kelelahan, kesadaran menurun, gelisah, mual, muntah, epistakes, kelemahan
otot, dan perubahan mental.

29
5) Pemeriksaan Diagnostik
a) Laboratorium : fungsi ginjal: urin lengkap, ureum, creatini, BUN, asam
urat, darah lengkap
b) Foto thorax : ditemui pembesaran jantung aorta melebar
c) Ekhokardiogram ; tampak penebalan dinding ventrikel kiri.
6) Pengobatan
a) Nonfarmakologi
Pengubahan cara hidup, mengurangi asupan garam, mengurangi asupan
alkohol, berhenti merokok, kurangi BB, tingkatkan aktifitas fidik, olah raga
teratur, hindari ketegangan, istirahat cukup, berdoa
b) Farmakologi
Diuretik, beta bloker, Kalsium antogonis, ACE inhibitor, Alfa
adrenergik.

30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya
terjadi akibat perdarahan yang masif.
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan nadi.
Perubahan ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium. Dengan
berkurangnya volume darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis.
Reaksi ini menimbulkan peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi, dan penurunan
distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan,
dan ginjal.
Bilirubin adalah pigmen kekuningan yang dilepaskan ketika sel-sel darah merah
dipecah. Biasanya bilirubin diproses dan dikeluarkan oleh hati. Tingkat kelebihan
bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) dapat mengindikasikan kerusakan hati,
dan dapat menyebabkan sakit kuning (menguningnya kulit dan putih mata), tinja
berwarna pucat, dan urin gelap. Tingkat bilirubin normal adalah di bawah 1.3 mg.
Kardiovaskuler terdiri dari 2 kata yaitu kardio (jantung) dan vaskuler (pembuluh
darah).Jadi penyakit kardiovaskuler adalah adalah penyakit yang mengganggu sistem
pembuluh darah, dalam hal ini adalah jantung dan urat-urat darah.
Jenis-jenis penyakit jantung itu sendiri bervariasi, seperti : jantung koroner,
tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, sakit di dada (anginan) dan penyakit
jantung rematik.
Penyakit kardiovaskuler sendiri biasanya terjadi akibat gaya hidup, pola makan,
dan aktivitas sehari-hari yang dijalani si pelaku yang tidak memperhatikan
kesehatan.

B. Saran
Kami yakin dalam penyusunan makalah ini belum begitu sempurna karena kami
dalam tahap belajar, maka dari itu kami berharap bagi dosen dan kawan-kawan
semua bisa memberi saran dan usul serta kritikan yang baik dan membangun.

31
DAFTAR PUSTAKA
Price S, Wilson L. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed. Vol. 1.
Jakarta: EGC

American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Supports


for Doctors. United States of America

Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.


4th ed. Jakarta

Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 1102.

Baradero M. (2008). Seri Keperawatan Klien Ganguan Kandiovaskuler. Jakarta ; EGC

Lubis, HR dkk. (2008). Hipertensi dan Ginjal. Medan: USU Press.

Rokaheni H, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan kardiovaskuler. Edisi I. Jakarta :


Jantung Harapan Kita.

Ruhyamaddin F. (2006). Askep pada Klien Gangguan Sistem kardiovaskuler.


MALANG ; UMM Press

Camilia R.M, Cloherty J.P. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty J.P et al


Manual of Neonatal Care 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, 2004.

Harrison, 2002. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. EGC: Jakarta

Jayashree Ramasethu (Division of Neonatology Georgetown University MC.


Washington DC). Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Neonatal Intensive
Care Workshop, RSAB Harapan Kita Jakarta, 2002.

32

Vous aimerez peut-être aussi