Vous êtes sur la page 1sur 19

Dokter Harus Memiliki Etika dalam Melayani Pasien

Victor Morando N - 102013392


Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
e-mail: Nainggolan.morando@gmail.com

Pendahuluan
Dr. P adalah seorang dokter spesialis obgyn yang berpengalaman. Beliau baru saja akan
menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit ketika seorang wanita muda datang
dengan ditemani oleh ibunya untuk berobat. Pasien lalu menceritakan keluhannya yaitu men-
galami perdarahan per vaginam dan sangat kesakitan. Dr. P kemudian melakukan pemeriksaan
dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi.
Dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan
kepada pasien apakah dia bersedia diopname di RS sampai keadaannya benar-benar baik. Tidak
lama kemudian dr. Q datang untuk menggantikan dr. P, yang langsung pulang tanpa berbicara
kepada pasien.

Dalam kasus ini muncul suatu permasalahan yang muncul antara dokter dengan pasien. Di-
mana pada kasus tersebut dokter tidak melakukan komunikasi dengan pasien setelah melakukan
tindakan dan langsung pulang begitu saja. Untuk dapat memahami hal tersebut kita perlu mengerti
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan komunikasi dokter-pasien. Komunikasi dokter-pasien
merupakan suatu hubungan yang berlangsung antara dokter/dokter gigi dengan pasiennya selama
proses pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang terjadi di ruang praktik perorangan, poliklinik,
rumah sakit, dan puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan masalah kesehatan pasien.1
Untuk dapat mengembangkan hal tersebut dibutukan suatu komunikasi yang efektif dimana
pengembangan hubungan dokter-pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan
tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka
membangun kerja sama antara dokter dengan pasien. Apabila kita tidak melakukan hal tersebut
kita dapat ditindak lanjuti dalam komisi etik disiplin kedoteran, bahkan bisa menuju ke rana
hukum, yang dimana akan kita bahas lebih lanjut dalam makalah ini.

1
Pembahasan

Hubungan Dokter Pasien

Pada dasarnya, setiap orang memerlukan komunikasi sebagai salah satu alat bantu dalam
kelancaran bekerja sama dengan orang lain dalam bidang apapun. Komunikasi berbicara tentang
cara menyampaikan dan menerima pikiran- pikiran, informasi, perasaan, dan bahkan emosi
seseorang, sampai pada titik tercapainya pengertian yang sama antara penyampai pesan dan
penerima pesan.

Pengembangan hubungan dokter-pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien,


dengan tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang diperlukan dalam
rangka membangun kerja sama antara dokter dengan pasien (informed consent). Komunikasi yang
dilakukan secara verbal dan non- verbal menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan
kesehatannya, peluang dan kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter mencari alternatif
untuk mengatasi permasalahannya.1

Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior- inferior)
sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara jujur
dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan
tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang
masalah.

Dalam hubungan dokter-pasien, baik dokter maupun pasien dapat berperan sebagai sumber
atau pengirim pesan dan penerima pesan secara bergantian.1 Pasien sebagai pengirim pesan,
menyampaikan apa yang dirasakan atau menjawab pertanyaan dokter sesuai pengetahuannya.
Sementara dokter sebagai pengirim pesan, berperan pada saat menyampaikan penjelasan penyakit,
rencana pengobatan dan terapi, efek samping obat yang mungkin terjadi, serta dampak dari
dilakukan atau tidak dilakukannya terapi tertentu. Dalam penyampaian ini, dokter bertanggung
jawab untuk memastikan pasien memahami apa yang disampaikan.

Sebagai penerima pesan, dokter perlu berkonsentrasi dan memperhatikan setiap pernyataan
pasien. Untuk memastikan apa yang dimaksud oleh pasien, dokter sesekali perlu membuat
pertanyaan atau pernyataan klarifikasi.

2
Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa
diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan,
kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan
terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan
lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan
memberi obat yang tepat bagi pasien.

Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak,
pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien
hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat
membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat
dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun
percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan
pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh
menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk
kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan
masalah kesehatannya.

Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali
kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya
komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga
dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan
kebutuhan pasien.1

Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan
proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada
pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).1

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan
bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki
ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.2

3
Aspek Etik dan Hukum

Pada kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara tersirat tidak tercantum etika
berkomunikasi. Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
35 disebutkan kompetensi dalam praktik kedokteran antara lain dalam hal kemampuan
mewawancarai pasien. Kode Etik adalah pedoman perilaku dokter. Kode Etik harus memiliki sifat-
sifat sebagai berikut:3

1. Kode etik harus rasional, tetapi tidak kering dari emosi


2. Kode etik harus konsisten, tetapi tidak kaku
3. Kode etik harus bersifat universal

Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 434/Menkes/SK/X/1983.4 Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan
mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan
landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur
hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter
dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum.

Hubungan antara dokter-pasien diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi


keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan
menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran. Namun demikian hubungan antara dokter
dan pasien tetap berdasar pada kepercayaan terhadap kemampuan dokter untuk berupaya
semaksimal mungkin membantu menyelesaikan masalah kesehatan yang diderita pasien. Tanpa
adanya kepercayaan maka upaya penyembuhan dari dokter akan kurang efektif.1

Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara dalam ilmu hukum
disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para
pihak, yaitu dokter dan pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai
kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di
mana masing- masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain.
Peranan tersebut berupa hak dan kewajiban.4

4
Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab (anamnesis)
antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang dokter
membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium,
sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Sebagaimana telah dikemukakan, tindakan
medik mengharuskan adanya persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat berupa
tertulis atau lisan. Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus didasarkan atas
informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45. Komunikasi antara dokter dengan
pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib.3

Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas dan
tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf
2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a), (b), dan
Pasal 53 huruf (a). Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan hak dan kewajiban
pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan informasi. Hak pasien
sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individual dalam bidang
kesehatan (The Right of Self Determination). Meskipun sebenarnya sama fundamentalnya, hak
atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar.3

Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter dan dokter gigi
selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh undang-undang. Segala tindakan yang
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing. Masyarakat
pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu mengetahui alasan tindakan pengobatan
yang dilakukan terhadap dirinya. Hal ini menyiratkan perlunya mengembangkan hubungan dokter
- pasien sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud komunikasi dua arah yang mem-
berikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan pendapatnya.2

Hak dan Kewajiban Pasien


Di Indonesia, semula baru sebagian kecil masyarakat yang mengetahui hak-haknya sebagai
pasien dan hanya diberlakukan secara voluntary sebagai kode etik dokter dan belum ada jaminan
hukumnya. Kemudian pada tahun 1992, hak-hak pasien dimasukkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Hal ini dirasakan perlu karena selama ini pasien, bila
5
berhubungan dengan dokter, benar-benar harus mempercayakan seluruh nasibnya kepada dokter
tersebut. Dalam arti bila terjadi suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien
hanya bisa pasrah, tanpa dapat menggugat, karena tidak ada landasan hukumnya. Isi pasal hak-
hak pasien di undang-undang tersebut hampir sama, hanya terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak pasien
untuk mendapatkan ganti rugi. 3
1. Hak pasien menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
a. Hak atas informasi
b. Hak atas pendapat kedua
c. Hak atas rahasia kedokteran
d. Hak untuk memberikan persetujuan tindakan kedokteran
e. Hak atas ganti rugi apabila ia dirugikan karena kesalahan atau kealpaan tenaga
kesehatan
f. Hak untuk mendapat penjelasan
g. Hak untuk memperoleh pendapat kedua
h. Hak untuk mendapat pelayanan medis sesuai kebutuhan, standar profesi dan
standar prosedur operasional
i. Hak untuk menolak tindakan medis
j. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis
2. Hak pasien menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
a. Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis se-
bagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3)
b. Hak untuk meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. Hak untuk mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. Hak untuk menolak tindakan medis
e. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis
Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya. Dokter tidak dapat
disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau menceritakan seluruh penyakit dan apa yang
dirasakannya.5 Bila pasien sudah pernah berobat ke dokter lain, misalnya, dia juga harus
menceritakan perawatan apa dan obat apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan pasien
sebaiknya juga menceritakan sejarah penyakitnya pada dokter (misalnya ibu atau ayahnya
berpenyakit darah tinggi, jantung, ginjal, diabetes, atau penyakit lainnya, sehingga dokter dapat
mendiagnosis penyakit secara lebih tepat).

6
Pasal 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang kewajiban
pasien, yaitu: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
3

1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;


2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter dengan pasien haruslah
berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk mencari jalan terbaik bagi kesembuhan pasien.
Bila dari permulaan hubungan dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling terbuka, maka
banyak masalah dapat diatasi bersama, karena dokter yang sudah mengetahui semua sejarah
penyakit pasien serta keluhannya akan dapat membuat diagnosis yang lebih tepat. Di lain pihak
pasien yang juga sudah mendapat keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara pengobatan dan
perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta kemungkinan lain akibat
tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap menghadapi segala kemungkinan (yang
terburuk sekalipun) dan tidak akan begitu saja menyalahkan dokter, tanpa memahami seluruh
rangkaian proses yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun perawatan medis.2

Hak dan Kewajiban Dokter


Dalam melakukan praktik kedokteran, dokter memiliki hak dan kewajiban dalam
hubungannya dengan pasien. Hak dan kewajiban yang esensial diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.3 Selain itu masih ada hak dan kewajiban umum
lainnya yang mengikat dokter. Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat
melawan hukum, apabila memenuhi syarat-syarat berikut secara kumulatif: tindakan itu
mempunyai indikasi medik dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkret; dan dilakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran; serta diizinkan oleh pasien.
Dua norma yang pertama timbul karena sifat tindakan tersebut sebagai tindakan medis.6 Adanya
izin pasien merupakan hak dari pasien. Hak tersebut menyebabkan timbulnya kelompok norma-
norma yang lain yaitu norma untuk menghormati hak-hak pasien sebagai individu dan norma yang
mengatur agar pelayanan kesehatan dapat berfungsi di dalam masyarakat untuk kepentingan orang
banyak, dalam hal ini pasien sebagai anggota masyarakat.

Hak dokter meliputi:


7
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melakukan praktik kedokteran sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
Standar profesi menurut Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
adalah batasan kemampuan (knowledge, skill dan professional attitude) minimal yang
harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya
pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Sedangkan
menurut pasal yang sama, standar prosedur operasional adalah langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar Prosedur
Operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.3
Dokter yang melakukan praktik sesuai dengan standar tidak dapat disalahkan dan
bertanggungjawab secara hukum atas kerugian atau cidera yang diderita pasien karena
kerugian dan cidera tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter.
Perlu diketahui bahwa cedera atau kerugian yang diderita pasien dapat saja terjadi
karena perjalanan penyakitnya sendiri atau karena risiko medis yang dapat diterima
(acceptable) dan telah disetujui pasien dalam informed consent.
2. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Dokter diberi hak untuk menolak permintaan pasien atau keluarganya yang
dianggapnya melanggar standar profesi dan atau standar prosedur operasional.
3. Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau keluarganya.
Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari pasien, melainkan juga
informasi pendukung yang berkaitan dengan identitas pasien dan faktor-faktor
kontribusi yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan penyembuhan penyakit.
4. Menerima imbalan jasa
Hak atas imbalan jasa adalah hak yang timbul sebagai akibat hubungan dokter dengan
pasien, yang pemenuhannya merupakan kewajiban pasien. Dalam keadaan darurat atau
dalam kondisi tertentu, pasien tetap dapat dilayani dokter tanpa mempertimbangkan
aspek finansial.

Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi manusia, seperti:
8
hak atas privasinya
hak untuk diperlakukan secara layak
hak untuk beristirahat
hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-lain sewaktu meno-
long pasien.
Kewajiban dokter pada dasarnya terdiri dari:
1. kewajiban yang timbul akibat pekerjaan profesinya atau sifat layanan medisnya yang diatur
dalam sumpah dokter, etika kedokteran dan berbagai standar dan pedoman
2. kewajiban menghormati hak pasien, dan
3. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.
Beberapa kewajiban dokter tersebut adalah:
1. Memberi pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, serta kebutuhan pasien.
Standar Pelayanan menurut penjelasan Pasal 44 ayat (1) Undang Undang Nomor 29 tahun
2004 adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran. Ayat (2) pasal 44, standar pelayanan tersebut
dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. Penjelasan ayat tersebut
strata pelayanan adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan peralatannya sesuai
dengan kemampuan yang diberikan.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
Kewajiban merujuk pasien tersebut dapat dilaksanakan apabila keadaan kesehatan pasien
memang dapat bergerak atau dapat dibawa untuk dipindahkan dalam keadaan stabil dan
layak. Kewajiban merujuk hanya dapat disimpangi apabila pasien tidak menginginkan
dirinya dirujukkan meskipun telah dijelaskan manfaatnya, atau apabila tidak ada dokter
yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut (yang terjangkau).
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia.
Merahasiakan keadaan pasien diwajibkan dalam sumpah dokter, kode etik
kedokteran/kedokteran gigi, dan beberapa peraturan perundangundangan. Sebagian pakar
menyatakan bahwa kewajiban tersebut absolut sifatnya, sebagian menyatakan relatif.
Paham yang relatif mengatakan bahwa rahasia kedokteran dapat dibuka untuk kepentingan

9
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
menegakkan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedok-
teran gigi
Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat kewajiban dokter lainnya yang diatur
dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.2

Prinsip Disiplin dalam Praktik Kedokteran


Profesi kedokteran merupakan profesi yang memiliki keluhuran karena tugas utamanya
adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu
kebutuhan akan kesehatan. Dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter, selain terikat
oleh norma etika dan norma hukum, profesi ini juga terikat oleh norma disiplin kedokteran, yang
bila ditegakkan, akan menjamin mutu pelayanan sehingga terjaga martabat dan keluhuran
profesinya.5 Wilayah norma disiplin dapat dikenakan terhadap dokter atau dokter gigi yang
berprilaku dalam penyelenggaraan praktik kedokteran karena diluar praktik kedokteran hanya ada
pada wilayah norma etika dan hukum.7
Pengertian disiplin kedokteran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55 ayat (1)) adalah aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Sebagian
dari aturan-aturan dan ketentuan tersebut, terdapat di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran,
dan sebagian lagi tersebar di dalam peraturan perundang-undangan, pedoman atau ketentuan lain.
Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebutkan standar pelayanan, standar profesi dan standar
prosedur operasional serta ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 37, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 45-
49, dan Pasal 51 sebagai aturan/ketentuan yang harus dipatuhi dokter dan dokter gigi. Sementara
itu, aturan dan ketentuan lain yang harus dipatuhi oleh dokter dan dokter gigi, juga ditemukan
dalam berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia, Ketentuan dan Pedoman Organisasi Profesi, Kode Etik Profesi dan
juga kedokteran gigi. 8

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan


penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :
10
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
MKDKI merumuskan 28 bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu:
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi
sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kom-
petensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompe-
tensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal peng-
gantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik maupun mental
sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah,
sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebu-
tuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur da-
lam peraturan perundang-undangan atauetika profesi.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai
dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri
dan atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan
atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak.

11
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai
subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga
yang diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak mem-
bahayakan dirinya, kecuaki bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mamou
melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang
layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-un-
dangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi
hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika
profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap
pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau mem-
berikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang di-
miliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik
(SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI
untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.

12
Prinsip Hukum dalam Praktik Kedokteran
Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran.
Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan
hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan
kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam melaksanakan
hubungan antara dokter dan pasien, pelaksanaan hubungan antara keduanya selalu diatur dengan
peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui
hubungan tanpa peraturan akan menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran.
Dalam perkembangannya, hubungan hukum antara dokter dan pasien ada dua macam, yaitu: 3
1. Hubungan Karena Kontrak (Transaksi Terapeutik)
Karena adanya perkembangan yang menuntut hubungan dokter pasien bukan lagi
merupakan hubungan yang bersifat paternalistik tetapi menjadi hubungan yang didasari
pada kedudukan yang seimbang/partner, maka hubungan itu menjadi hubungan
kontraktual. Hubungan kontraktual terjadi karena para pihak yaitu dokter dan pasien
masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai kedudukan yang setara.
Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana masing-
masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain. Peranan
tersebut bisa berupa hak dan kewajiban. Hubungan karena kontrak umumnya terjadi
melalui suatu perjanjian. Dalam kontrak terapeutik, hubungan itu dimulai dengan tanya
jawab (anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan
fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan
membantu menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau
pemeriksaan laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Dalam
ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian, yaitu:
a. Resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja.
b. Inspanningverbintenis, yang berdasarkan usaha yang maksimal.
Pada umumnya, secara hukum hubungan dokter-pasien merupakan suatu hubungan ikhtiar
atau usaha maksimal. Dokter tidak menjanjikan kesembuhan, akan tetapi berikhtiar
sekuatnya agar pasien sembuh. Meskipun demikian, mungkin ada hubungan hasil kerja
pada keadaan- keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu atau anggota badan palsu,
oleh dokter gigi, ahli orthopedi atau ahli bedah kosmetik.

13
2. Hubungan Karena Undang-Undang (Zaakwarneming)
Apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak mungkin memberikan
informasi, maka dokter dapat bertindak atau melakukan upaya medis tanpa seizin pasien
sebagai tindakan berdasarkan perwakilan sukarela atau menurut ketentuan Pasal 1354
KUH Perdata disebut Zaakwarneming. Dalam Pasal 1354 KUH Perdata, pengertian
Zaakwarneming adalah mengambil alih tanggung jawab dari seseorang sampai yang
bersangkutan sanggup lagi untuk mengurus dirinya sendiri. Dalam keadaan demikian,
perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu
perbuatan menurut hukum, yaitu : Dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan
pasien dengan sebaik-baiknya setelah pasien sadar kembali, dokter berkewajiban
memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan mengenai
segala kemungkinan yang timbul dari tindakan tersebut. Untuk tindakan selanjutnya
tergantung pada persetujuan pasien yang bersangkutan.2
Wilayah norma hukum baik dokter atau dokter gigi adalah sebagai individu dalam pergaulan
dalam masyarakat termasuk dalam melaksanakan praktik kedokteran.4 Secara spesifik, hubungan
dokter dan pasien dalam praktik kedokteran diatur dalam UU nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan UU no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

Tinjauan Skenario dari segi etika, disiplin dan hukum


1. Dokter melakukan pergantian tugas dengan dokter lain tanpa sepengetahuan pasien
a. Aspek etika
Pasal 7c Kode Etik Kedokteran dengan jelas mencantumkan bahwa seorang dokter
harus menghormati hak-hak pasien dan menjaga kepercayaan pasien. Meskipun
ditemui pasal demikian dalam kode etik, namun kutipan tersebut tidak begitu spesifik
menjelaskan hak pasien apa yang dilanggar dalam hal ini. Kasus ini lebih banyak
dibahas secara spesifik dari segi disiplin dan hukum.
b. Aspek disiplin
Penggantian dokter yang bertanggung jawab atas satu pasien tanpa memberitahukan
terlebih dahulu kepada pasien yang ditangani merupakan salah satu dari 28 bentuk
pelanggaran kode disiplin yang telah dibahas di atas. Dengan cukup jelas dicantumkan
bahwa ketidakhadiran dokter atau dokter gigi bersangkutan dan kehadiran dokter atau
dokter gigi pengganti pada saat dokter atau dokter gigi berhalangan praktik, harus
diinformasikan kepada pasien secara lisan ataupun tertulis di tempat praktik dokter.
c. Aspek hukum
14
Kode disiplin tersebut di atas didasarkan pada UU Nomor 29 Tahun 2004 pasal 40 ayat
(1) yang mengatakan bahwa dokter atau dokter gigi yang berhalangan
menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk
dokter atau dokter gigi pengganti.
Dengan demikian, pelanggaran ini mencakup aspek etika, disiplin dan hukum.
Bagaimanapun juga kondisinya pergantian dokter yang bertugas harus dengan jelas
diberitahukan kepada pasien maupun keluarganya agar kemudian tidak menimbulkan
kebingungan apabila dokter pengganti melakukan tindakan pada pasien tersebut.
Penginformasian juga dimaksudkan agar pasien mengetahui apakah dokter pengganti
memiliki kompetensi yang sesuai atau tidak. Bila tidak, pasien seharusnya berhak menolak
dokter pengganti.
2. Dokter meminta persetujuan pasien untuk dirawat inap melalui perawat
a. Aspek etika dan disiplin
Ketidakmampuan dokter untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pasien,
sedikitnya melanggar etika profesi kedokteran dan kedokteran gigi serta lebih lanjut
dapat melanggar disiplin kedokteran, apabila ketidakmampuan berkomunikasinya
berdampak pada ketidakmampuan dokter dalam membuat persetujuan tindakan
kedokteran dan rekam medis.
b. Aspek hukum
Berdasarkan hak dasar manusia yang melandasi transaksi terapeutik (penyembuhan),
setiap pasien bukan hanya mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang boleh
dilakukan terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi ia juga terlebih dahulu berhak untuk
mengetahui hal-hal mengenai dirinya. Pasien perlu diberi tahu tentang penyakitnya
dan tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk
menolong dirinya serta segala risiko yang mungkin timbul kemudian.1
Dari pemahaman ini harus ditegaskan bahwa segala informasi penting yang berkaitan
dengan pemahaman pasien harus diberitahukan kepada pasien, termasuk segala
risikonya kecuali bila pemberitahuan itu dapat memperburuk keadaan pasien. Sampai
di sini, tindakan dokter yang meminta perawat menanyakan kesediaan pasien dirawat
inap berisiko menimbulkan pelanggaran hukum bila ternyata perawatan tersebut
menimbulkan kerugian pada pasien tanpa sepengetahuannya, semata-mata karena
perawat tidak memberi informasi secara jelas sebagaimana seharusnya.

15
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004

BAB VII PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

Bagian Kedua

Pelaksanaan Praktik

Pasal 39

Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit danpemulihan kesehatan.

Pasal 40

(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau
dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.

Bagian Ketiga

Pemberian Pelayanan

Paragraf 2

Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi

Pasal 45

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat pen-
jelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
16
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis mau-
pun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi se-
bagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Rekam Medis

Pasal 46

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47

(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasi-
aannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

17
Paragraf 7

Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;


b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Penutup

Dalam komunikasi dokter-pasien diperlukan kemampuan berempati, yaitu upaya menolong


pasien dengan pengertian terhadap apa yang pasien butuhkan. Menghormati dan menghargai
pasien adalah sikap yang diharapkan dari dokter dalam berkomunikasi dengan pasien, siapa pun
dia, berapa pun umurnya, tanpa memerhatikan status sosial-ekonominya. Bersikap adil dalam
memberikan pelayanan medis adalah dasar pengembangan komunikasi efektif dan menghindarkan
diri dari perlakuan diskriminatif terhadap pasien. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran memuat pasal-pasal yang berkaitan dengan
komunikasi dokter-pasien, Aspek yang cukup dominan mempengaruhi keputusan pasien dalam
berobat ke dokter adalah komunikasi. Sikap dokter dalam berkomunikasi dengan pasien dapat
menimbulkan kesimpulan yang akan mempengaruhi keputusan pasien. Komunikasi yang tidak
efektif dapat menimbulkan masalah dalam hubungan dokter-pasien, di antaranya adalah tuduhan
melakukan malapraktik.
18
DAFTAR PUSTAKA

1. Wasisto B, Sudjana G, Zahir H, Sidi IPS, Witjaksono M, Claramita M, et al. Komunikasi


efektif dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia;2006.h.7-21.
2. Elias S, Wayan K, Putu A. Modul komunikasi pasien-dokter: suatu pendetkatan holistik. Ja-
karta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.6-10.
3. Rafly A, Purwadianto A, Rusli A, Rasad A, Aswar B, Sampurna B, et al. Kemitraan dalam
hubungan dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006.h.11-35.
4. Jusuf H, Amri A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009.h.14.
5. Sampurna B, Zulhasmar S, Tjetjep D. Bioetik dan hukum kedokteran. Cetakan ke-2. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007.h. 8; 77-9.
6. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Kode etik kedokteran indonesia dan pe-
doman pelaksanaan kode etik kedokteran indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia;
2002.h.11.
7. A
8. Lampiran
l Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia tentang Pedoman Penegakan Disiplin
w
Profesi Kedokteran. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 24 Agustus 2006. Surat Keputusan
y 17/KKI/KEP/VIII/2006.
no.

S
.

N
o
r
m
a

e
t
i
k
a
, 19

d
i

Vous aimerez peut-être aussi