Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Syndrome) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi prioritas dunia untuk
segera diselesaikan. Berdasarkan laporan UNAIDS tahun 2010 dengan menggunakan data
2009, mengestimasikan bahwa sekitar 33.000.000 orang hidup dengan HIV. Dengan angka
tertinggi di region Sub Sahara Afrika dengan jumlah penderita sebanyak 22.500.000,
kemudian setelah itu disusul oleh region Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah
penderita sebanyak 4.100.000. Di region Asia Selatan dan Asia Tenggara, urutan kelima
besar negara dengan angka penderita tertinggi yaitu, India (2.400.000), Thailand
Untuk Indonesia, jika dibandingkan antara laporan UNAIDS tahun 2008 dengan
2010, mengalami peningkatan kasus, dari 270.000 pada tahun 2008 menjadi 310.000 kasus
pada tahun 2010. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di
kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah.
Angka kejadian kasus AIDS di Indonesia, setiap tahun hampir selalu mengalami
peningkatan. Dalam triwulan Oktober - Desember 2012 dilaporkan tambahan kasus AIDS
sebanyak 2.145 sehingga total jumlah AIDS di Indonesia dari tahun 1987 2012 sebanyak
45.499 dengan kematian 8.235. Jika di analisis berdasarkan jumlah kasus perprovinsi,
jumlah kasus AIDS tertinggi pada terdapat di Papua sebanyak 7.795, sedangkan
Kalimantan Selatan diurutan ke 27 dengan 192 kasus HIV dan 134 kasus AIDS. 1,2
2
HIV menyerang limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4.
Fungsi CD4 ini sangat penting dalam menjaga imunitas tubuh, yaitu untuk mengatur dan
bekerja sama dengan komponen sistem kekebalan yang lain sehingga, jika tubuh terserang
virus HIV, maka akan mudah sekali terinfeksi penyakit karena rusaknya sistem
pertahanan
tubuh. Sistem pertahanan rusak secara perlahan lahan, dari tidak ada gejala sampai
terjadi
gejala ringan seperti; (diare, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan berat badan
sampai sariawan), sampai terjadi gejala berat (AIDS). Dari semua orang yang terinfeksi
HIV, menunjukkan gejala AIDS pada 3 tahun pertama infeksi hanya sedikit jumlahnya,
50% terjadi setelah 10 tahun infeksi, dan setelah 13 tahun hampir semua orang yang
Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan
September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843
dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan
persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun. 4 Berikut akan dibahas tentang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI
yang ditandai dengan adanya infeksi oportunistik dan berakibat fatal. Prosesnya
tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi oleh
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS).
2. Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita
HIV).
B. EPIDEMIOLOGI
penyebab utama kematian secara infeksius, dimana posisi sebelumnya ditempati oleh
infeksi tuberkulosis. Dalam tahun 2006, telah diestimasikan 2,9 juta orang meninggal
akibat AIDS di seluruh dunia. Penularan HIV melalui cairan tubuh yang mengandung
virus melalui hubungan seksual, jarum suntik, transfuse komponen darah. Oleh karena
itu kelompok risiko tinggi adalah pengguna narkotika, pekerja seks, dan narapidana.
C. ETIOLOGI
HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang
utama. (human T-cell leukemia virus -HTCLV- adalah retrovirus utama lainnya).
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang
Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4), dan
menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar
untuk terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel lain, seperti makrofag dan monosit, yang
memiliki protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV. 7
Immunodeficiency Virus Type I Infection. NEJM 1991, Vol. 324, No. 5, p. 309. Copyright
dapat menyebabkan infeksi secara lambat dengan masa inkubasi yang panjang. Gen
gag mengkode protein inti bagian dalam, yang merupakan protein terpenting yaitu
p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV. 7
D. FAKTOR RISIKO
HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah,
dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal,
dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan
jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi
maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Telah
diperkirakan 50% dari infeksi neonatal timbul saat proses kelahiran, dan sisanya tidak
Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus
HIV yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam
cairan tubuh yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal tersebut
berperan dalam infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi hepatitis B,
kecuali bahwa infeksi HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya dosis yang
dibutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV lebih banyak dibandingkan untuk infeksi
virus merupaka ulserasi genital yang penting terkait transmisi virus HIV. Selain itu,
patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang nonulseratif seperti Chlamydia
risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis bakterial, suatu infeksi
yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS, juga dapat dihubungkan
dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya infeksi HIV. Infeksi HIV tidak
menular melalui kontak kasual seperti berpelukan, gigitan nyamuk, participasi dalam
olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh individu yang telah terinfeksi HIV.
Laki-laki yang tidak disunat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi. 6,7
Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat
tusukan jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi
HIV, transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah dan program
donor organ akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan untuk
mencegah risiko terjadinya infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah telah
menurun secara drastis dengan adanya skrining darah yang akan didonasi akan adanya
antibodi terhadap HIV. Di lain pihak, terdapat periode jendela (window period) pada
saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang yang terinfeksi telah mengandung virus
HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Bank darah kini melakukan tes
E. PATOGENESIS
Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama,
sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV.
sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Setelah HIV tertangkap,
limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel
limfosit Th. 5
Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang
satu waktu secara bersamaan. Selain itu, kloning sel limfosit T sitotoksik yang
memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi respon
imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat
dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama disebabkan oleh replikasi virus yang
Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya (Gambar 4). Langkah
awal dari masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein
selubung virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein
gp120 virion berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor
kemokin. Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam
proses masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan
strain yang sel-T-tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan
F. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat
dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c) infeksi
simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini
bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor
10
Gambar 5. Perjalanan penyakit dari infeksi HIV. (From Weiss RA: How Does HIV Cause
AIDS? Science 1993; 260:1273. Reprinted with permission from AAAS.)
Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat. Fase ini terjadi selama 1
sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala
Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam waktu 3 sampai 14
hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14 infeksi, dan
yang penting karena HIV bisa bertransmisi selama periode ini. 7,8
Fase kedua dari infeksi HIV ini merupakan fase yang paling lama terjadi
individu. Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun.
Walaupun pasien dalam keadaan asimtomatik dan viremia terjadi dalam tingkat rendah
atau hampir tidak ada, jumlah yang besar dari HIV telah diproduksi di limfe nodus,
namun tetap berada di dalam limfe nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa selama
periode laten secara klinis ini, virus HIV sendiri tidak memasuki fase laten. 7,8
11
Gambar 6. Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik
serta
Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari
awal fase ini. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan mulut sering kali
muncul. Pada wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas.
Oral hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada infeksi
HIV dan sering ditemukan pada lidah. Gejala konstusional seperti keringat malam,
penurunan berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini
12
Gambar 7. Oral hairy leukoplakia (human immunodeficiency virus and aids the
Medicine)
Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu
perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala pulmoner,
G. DIAGNOSIS HIV
untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi
Infeksi HIV
Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi
Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, (seperti Immunoassay Enzim
Reaktif yang berulang), diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi
Hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes
virologik (non-antibodi) berikut ini: deteksi asam nukleat HIV, DNA atau
RNA, yaitu DNA Polymerase Chain Reaction [PCR] atau konsentrasi RNA
HIV dalam plasma; tes antigen HIV p24, termasuk Assay neutralisasi; dan
13
Gambar 8. Sindroma HIV akut. (Adapted from G Pantaleo et al: N Engl J Med 328:327,
AIDS
Pada tahun 1993, CDC telah membuat kriteria dari definisi AIDS, yaitu:
Hitung limfosit-T CD4 + kurang dari 200 sel/mm 3 dan bukti laboratorium dari
diare dalam waktu lebih dari 1 bulan; infeksi cytomegalovirus dari beberapa
organ selain hati, limpa, or limfonodus; infeksi herpes simplex dengan ulcus
14
Kaposi pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun; Mycobacterium avium
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP untuk
imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk: 1) menentukan apakah
pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral; 2) menilai status supresi imun
pasien; 3) menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; dan 4)
Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan
pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi
gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada
ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka
15
16
Darah lengkap*
Jumlah CD4*
SGOT / SGPT*
Kreatinin Serum*
Urinalisa*
HbsAg*
Gula darah
VDRL/TPHA/PRP
mens terakhir)
progresif)
* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV karena
berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat
dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk
3. Skrining TB
4. Skrining IMS, Sifilis, Malaria untuk BUMIL
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di
17
(1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini
dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping
18
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
setelah terapi PCP atau toksoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. PPK
dianjurkan bagi:
klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang
profilaksis kotrimoksasol.
19
9. Konseling KB
Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
didasarkan pada penilaian klinis. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah
CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV dianjurkan
pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
20
2NRTI + 1NNRTI
2. Pilihan pemberian tripel NRTI
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat
21
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu
infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa
inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan
sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai
akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik
terhadap ARV.
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan
respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen
Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan meta analisis adalah
16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap tempat, tergantung pada
rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi oportunistik dan koinfeksi
22
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom
pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal.
Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat
infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah.
Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau
non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
23
c. Kegagalan terapi
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat
memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi
ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA
HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis
infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat
antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral (terapi ARV) perlu
dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan
berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.
perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan saat pasien
mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi ARV.
24
terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap tahunnya adalah sekitar 50
sampai 100 sel/mm3. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat
ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV.
dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila
gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi
kepatuhan.
setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit
Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu
25
terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila
ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan
TDF
darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk
26
ke 6.
2.3 Pemantuan pemulihan jumlah sel CD4
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut
terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada
saat mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat
rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100
sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi
kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka
Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang
terapi secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut
dan jumlah CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4
27
Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV
semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV
samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi
hati stadium akhir (ESLD - End Stage Liver Disease) pada kasus ko-infeksi
HIV/HVB.
Paradigma baru yang menjadi tujuan global dari UNAIDS adalah Zero AIDS-
related death. Hal ini dapat tercapai bila pasien datang di layanan HIV dan
28
3. Efek Samping
4. Penatalaksanaan Toksisitas
Dalam menangani toksisitas atau efek samping perlu mengikuti langkah sebagai
berikut
Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah toksisitas berhubungan
Pertimbangkan proses penyakit lain (misal hepatitis viral pada pasien dengan
ARV yang menjadi kuning/jaundice) karena tidak semua masalah yang terjadi
29
Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas ringan dan
sedang
Berikan obat simtomatik sesuai dengan gejala yang timbul jika diperlukan
Pada dasarnya penggantian atau substitusi individual dari obat ARV karena
toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama, contoh: AZT atau
TDF untuk menggantikan d4T oleh karena neuropati, TDF dapat menggantikan AZT
karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena toksisitas SSP atau kehamilan.
Bila toksisitas yang mengancam jiwa muncul, semua obat ARV harus dihentikan
segera hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dimulai dengan
30
Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi
tetapi tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai
imunologis dan virologis. Jumlah virus (VL) yang menetap di atas 5000 copies/ml
gagal terapi menggunakan kriteria imunologis untuk memastikan gagal terapi secara
klinis.
31
1. Kegagalan klinis
Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam terapi
ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi
32
2. Kegagalan Imunologis
jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/ penekanan jumlah
virus.
Jumlah CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu mengubah
terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang termasuk dalam
3. Kegagalan Virologis:
33
Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan
tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan
Kriteria virologi dimasukkan dalam menentukan kegagalan terapi di buku ini, untuk
mengantisipasi suatu saat akan tersedia sarana pemeriksaan viral load yang terjangkau.
Viral load masih merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan adanya
kegagalan terapi. Kadar viral load yang optimal sebagai batasan untuk mengubah paduan
ARV belum dapat ditentukan dengan pasti. Namun > 5.000 copies/ml diketahui
berhubungan dengan progresi klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4.
34
2NRTI + Boosted-PI
35
Boost PI adalah suatu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang
mengurangi dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh
pemerintah adalah:
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +
(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini
pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI sebagai
36
Gambar 14. Pemantauan Klinis dan Laboratorim Sebelum dan Selama Terapi
37
BAB III
KESIMPULAN
semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death dan
Zero Discrimination. 4
pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka
kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan
tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral
(ARV).
DAFTAR PUSTAKA
1. UNAIDS. Global report UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.
Geneva, 2010.
2012
4. Ditjen P2PL. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
6. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Microbiology and Immunology. 11th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2010. p299-
308.
8. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation
9. David C. Dugdale. HIV infection. Medline Plus, 2012. Accessed on: Maret 2012.
10. WHO. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents,
11. WHO. WHO chase definition of HIV for surveillance and revised clinical staging
Sebuah protokol penelitian pada uji coba cluster secara acak untuk pencegahan otitis
media supuratif kronis pada anak-anak di Jumla, Nepal
Abstrak
Latar Belakang: Otitis Media Supuratif kronis (OMSK) merupakan penyebab tersering tuli
yang bisa dicegah, yang mempengaruhi 164 juta orang di seluruh dunia, 90% di antaranya
tinggal di negara-negara sumber daya yang rendah, seperti Nepal. Pengobatan murah sederhana
dari otitis media akut dapat mencegah berkembang menjadi OMSK dan gejala sisanya seperti:
tuli, abses, ensefalitis, dan, jarang, kematian. OMSK adalah penyakit kemiskinan dan faktor
sosialnya meliputi: pendidikan orang tua yang rendah, kepadatan penduduk, kebersihan yang
buruk dan gizi yang kurang. Studi sebelumnya mempunyai ekonomi yang mapan, sosial budaya
dan geografis untuk peduli mencari anak-anak di negara berkembang dan, khususnya, di
Nepal. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesehatan telinga anak-anak
di Jumla, Nepal. Hasil utama adalah peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek ibu tentang
penyakit telinga pada anak-anak mereka. Hasil sekunder adalah pengurangan prevalensi OMSK
pada anak-anak mereka.
Metode / desain: Menggunakan 56 kelompok-kelompok swadaya perempuan, ukuran sampel,
menyesuaikan untuk clustering dan analisis data, ditetapkan pada 15 kelompok per
bagian. Sebuah survei dasar dari 30 kelompok yang dipilih secara acak yang akan dilakukan,
yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan praktek yang ditujukan untuk perempuan yang
berpartisipasi dalam kelompok-kelompok swadaya, serta pemeriksaan telinga anak-anak
mereka. Ini akan diikuti dengan pengalokasian acak, dikelompokkan berdasarkan geografi,
menjadi 15 kelompok intervensi dan 15 kelompok kontrol. Kelompok intervensi yang akan
berpartisipasi dalam tiga sesi pendidikan interaktif pada pertemuan rutin bulanan mereka
didasarkan pada World Health Organization Primary Ear and Hearing Resource, Tingkat
Dasar. Kelompok kontrol akan terus mengadakan pertemuan kelompok setiap bulan. Setelah 12
bulan, penilaian tindak lanjut dari kontrol dan kelompok intervensi akan dilakukan, dengan
survey dan pemeriksaan ulang telinga anak. Analisis data akan dilakukan dengan tujuan untuk
mengobati dan pengelompokkan akan dipertimbangkan pada setiap tahap. Data cluster akan
dianalisis dengan menggunakan t-test dan data tingkat individu menggunakan mixed effects
linear regression dan logistic regression random effects model yang sesuai.
Diskusi: Meskipun lokasinya yang terpencil, Jumla memiliki jaringan yang dinamis dari pos
kesehatan dan pekerja masyarakat. Penelitian ini menggunakan sumber daya yang ada, lokal dan
akan dilakukan dengan cara yang konsisten dengan pemahaman budaya masyarakat setempat di
Jumla dan diterima care-giver lokal.
Latar Belakang
Otitis Media Supuratif kronis (OMSK) adalah penyebab umum, yang dapat dicegah dari
ketulian, sakit kronis dan, jarang, kematian pada anak di negara-negara sumber daya yang
rendah. OMSK biasanya timbul sebagai komplikasi dari otitis media akut yang tidak diobati,
yang hampir umum pada anak-anak. Infeksi telinga sangat umum, sehingga mereka bisa tampak
normal dan prioritas kesehatan rendah [1, 2]. Infeksi telinga akut dapat ditatalaksana secara
sederhana dan murah, yang dapat mencegah OMSK, namun banyak anak-anak tidak menerima
penilaian atau intervensi. Pengobatan topikal sederhana dengan obat tetes telinga Ciprofloxacin
telah diketahui sebagai terapi yang lebih superior dari antibiotik oral dan kombinasi obat tetes
yang lama [3-5]. Pengobatan lokal obat tetes telinga Ciprofloxacin secara luas dan murah
tersedia di Jumla. OMSK adalah penyakit sekaligus faktor penentu kemiskinan. Rendahnya
tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang tua yang rendah, kekurangan gizi, kepadatan
penduduk, kurangnya air bersih dan sanitasi semuanya berhubungan dengan peningkatan risiko
OMSK [1, 6, 7]. Anak-anak yang paling berisiko menderita OMSK adalah mereka yang juga
memiliki akses yang paling sedikit pada edukasi kesehatan dan juga pelayanan kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa prevalensi OMSK lebih besar
dari 4% membutuhkan langkah-langkah darurat [1]. Setidaknya 50% dari anak-anak dengan
OMSK akan memiliki gangguan pendengaran yang signifikan, beban global 164 juta orang, 90%
di antaranya tinggal di negara-negara sumber daya yang rendah, seperti Nepal [1]. Survei
prevalensi yang paling luas baru-baru ini di Nepal menemukan bahwa 7,6% dari anak-anak
berusia 5 sampai 13 tahun memiliki OMSK [8]. Beberapa survei skala yang lebih kecil juga
memiliki hasil yang sama [9-13].
Metode / desain
Tujuan studi
Tujuan secara umum dari penelitian kami adalah untuk meningkatkan kesehatan telinga
pada anak di Jumla, Nepal. Untuk mencapai tujuan kami, hal yang perlu dilakukan meliputi:
meningkatkan pengetahuan dan praktik untuk wanita mengenai kesehatan telinga anak,
mengurangi prevalensi OMSK dan mengurangi prevalensi kelainan lain dari membran timpani.
Desain penelitian
Studi kami menggunakan desain cluster randomized trial dan sebelumnya telah
diinformasikan dengan penelitian kualitatif kami yang sebelumnya (tidak dipublikasikan), yang
terdiri dari wawancara mendalam dengan perempuan di Jumla, Nepal. Kelompok-kelompok
swadaya perempuan akan menjadi unit randomisasi, atau cluster. Ini adalah metode yang paling
sesuai untuk intervensi di tingkat kelompok dan umumnya digunakan dalam intervensi di
masyarakat [18, 19, 22-24]. Stratifikasi akan dilakukan untuk menghindari bias sampling,
sebagai kekuatan untuk mempertahankan. 56 kelompok yang ada akan distratifikasi berdasarkan
Komite Pembangunan Desa dan lokasi terpencil dan jarak mereka ke jalan. Meskipun semua
kelompok-kelompok ini berada di lokasi yang jauh, jarak ke jalan menentukan aksesibilitas
kesehatan dan pelayanan lainnya. Setelah dilakukan stratifikasi, sampel acak dari 30 kelompok
akan dipilih untuk penelitian. Pengacakan akan dilakukan dengan menggunakan komputer yang
dihasilkan nomor acak urut di Australia, dengan anggota tim (HW) tidak terlibat dalam
pengumpulan data. Pemilihan kemudian akan dikomunikasikan kepada pemimpin tim lapangan
dengan internet atau telepon. Kami akan meminta informed consent individu dari setiap peserta
wanita. Setelah pengumpulan data dasar, kelompok akan secara acak dialokasikan untuk
kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dikelompokkan berdasarkan geografi. Pengacakan
akan kembali dilakukan oleh anggota tim di Australia menggunakan komputer yang dihasilkan
nomor acak urutan dan dikomunikasikan kepada pemimpin tim lapangan dengan internet atau
telepon. Intervensi kemudian akan dilaksanakan lebih dari tiga pertemuan rutin setiap bulan
pertemuan kelompok swadaya. Internasional Nepal Fellowship adalah satu-satunya organisasi
non-pemerintah yang bekerja secara langsung dengan perempuan di dua Komite Pembangunan
Desa, sehingga tidak mungkin ko-intervensi akan mengganggu penelitian. Perempuan di Jumla
umumnya tidak bepergian. Sebagian kecil wanita bermigrasi ke India untuk bekerja dengan
suami mereka dan wanita tersebut tidak termasuk untuk mengikuti tetapi jumlahnya mungkin
akan sangat kecil. Dalam sensus 2011, hanya 341 perempuan di seluruh distrik Jumla tidak hadir
dari rumah mereka [25]. Menindaklanjuti penilaian pada 12 bulan, mengulangi kuesioner dan
pemeriksaan telinga anak perempuan akan menyelesaikan studi. Persetujuan etis telah diberikan
oleh Komite Penelitian etika Manusia , Universitas New South Wales (Ref # 13361) dan Dewan
Riset Kesehatan Nepal (Ref # 1434).
Pengaturan studi
Penelitian kami dilakukan di lereng gunung yang terisolasi di Jumla, Nepal. Nepal adalah
negara miskin dengan Indeks Pembangunan Manusia 0,54, peringkat dari 145 dari 187 negara
[26]. Jumla memiliki Indeks Pembangunan Manusia 0,35, dengan peringkat 68 dari 75 daerah di
Nepal, membuatnya menjadi salah satu daerah termiskin dan paling kurang beruntung di sebuah
negara yang sudah miskin [27]. Telah ada penelitian kesehatan dilakukan di Jumla, meskipun itu
daerah pertama yang memperkenalkan manajemen berbasis komunitas pneumonia pada anak
[28-31]. Sebagian besar populasi penduduk (88,7%) tinggal di desa lereng gunung kecil dan
hidup sederhana dari kehidupan pertanian [32]. Persatuan Internasional Nepal telah setuju untuk
menjadi tuan rumah penelitian kami. Mereka telah bekerja di Jumla sejak tahun 1978, awalnya
menawarkan rawat jalan dan rawat inap kusta dan perawatan TBC, kemudian memperluas
pelayanan mereka untuk mengikut sertakan Pengembangan Masyarakat dan tim
Rehabilitasi. Persatuan Internasional Nepal memiliki kebijakan menyertakan sosial dan
pengurangan kemiskinan. Mereka sengaja memasukan wanita, orang dengan derajat rendah dan
orang yang hidup dengan cacat di semua program mereka. Persatuan Internasional Nepal
memiliki 56 perempuan kelompok swadaya, masing-masing terdiri dari sekitar 20 sampai 25
perempuan, di dua daerah komite pembangunan desa. Kelompok-kelompok yang dibentuk
mengikuti komunitas yang luas dan konsultasi pemerintah daerah untuk menemukan desa-desa
dengan orang yang miskin dan terpinggirkan. Persetujuan dan partisipasi warga desa akhirnya
mengarah pada pembentukan kelompok swadaya. Kelompok berasal dari daerah yang berbeda-
beda dalam desa dan berisi tetangga dan anggota keluarga jauh. Setiap kelompok mengadakan
pertemuan bulanan yang difasilitasi oleh pekerja komunitas. Pada pertemuan bulanan, anggota
kelompok membahas dan berpartisipasi dalam ekonimi mikro, pencarian pendapatan, pendidikan
kesehatan dan mobilisi masyarakat. Penelitian kami dilakukan dalam kelompok-kelompok
swadaya perempuan ini.
Populasi penelitian
Para peserta adalah anggota kelompok swadaya perempuan dan anak mereka berusia 12
dan di bawahnya. Semua anggota kelompok dalam kelompok studi akan diundang oleh staf
persatuan Internasional Nepal untuk berpartisipasi. Dalam penelitian ini, kemungkinan besar
seluruh anggota kelompok akan setuju untuk berpartisipasi dikarenakan keengganan mereka
sangat ringan. Wanita yang tinggal di sebuah rumah tangga dengan seorang anak berusia 12 dan
di bawah akan dimasukkan dalam survei karena penduduk pedesaan di Nepal sebagian besar
hidup dengan keluarga besar dan ibu mertua menjadi orang yang penting pengambil keputusan
untuk kesehatan anak [33-35]. OMSK adalah kondisi kronis dan terjadi pada semua umur,
dengan puncaknya pada anak usia dini. Usia 12 telah terpilih sebagai batas atas karena
kebanyakan anak bersama dengan keluarga mereka dan mengikuti sekolah setempat. Anak-anak
yang lebih tua kebanyakan akan pindah ke ibukota daerah untuk pada tahun-tahun kemudian
memasuki sekolah menengah, yang akan membuat penilaian tindak lanjut menjadi sulit.
kriteria inklusi
kriteria eksklusi
Wanita di bawah usia 18 tahun, wanita yang tidak memiliki anak berusia 12 tahun ke
bawah yang tinggal di rumah tangga mereka, wanita yang tidak bisa memberikan izin karena
kelemahan atau penyakit, anak di atas usia 12 tahun.
Peserta tidak akan dibayar atau dihargai secara individual untuk partisipasi mereka (Gambar. 1)
Isi intervensi
sesi 1
Sesi pertama adalah sesi pendidikan interaktif menggunakan drama dan gambar. Kami
telah mengembangkan sumber daya baru menggunakan foto lokal berdasarkan WHO Primary
Ear Care Training ProgrammeBasic Level. Komponen pertama dari empat komponen
menunjukkan pentingnya telinga dan indera pendengaran-menunjukkan sangat bergunanya dapat
mendengar setiap hari suara seperti tangisan bayi, percakapan, suara anjing dan, untuk anak,
mendengar di yang kelas. Komponen kedua adalah mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala
infeksi telinga termasuk sakit telinga, discharge, menarik telinga, demam dan memerah. Rincian
bagian ketiga penularan infeksi telinga melalui batuk, bersin, menyentuh dan air kotor. Bagian
akhir berisi perawatan telinga, tidak memasukan sesuatu di telinga, seperti minyak atau atau
substansi mendorong pencarian tempat pos kesehatan setempat dan menjelaskan tentang obat
yang akan diberikan di sana.
sesi 2
Sesi kedua adalah sesi pembelajaran praktis membersihkan telinga dan memberikan tetes
dengan benar, sesuai dengan pesan petunjuk dari sesi pertama. Ini adalah sesi yang sangat
penting karena ada sedikit instruksi yang diberikan dalam sistem kesehatan Nepal. Diagnosis dan
pengobatan biasanya dilakukan sangat sesuai dan pos kesehatan memberikan perawatan tanpa
biaya kepada pasien, namun sering terjadi kurangnya keterlibatan pasien, penjelasan, tanya
jawab dan demonstrasi. Karena itu, pembersihan dari liang telinga dan pemberian tetes harus
dilakukan berulang kali di rumah agar bekerja secara efektif, dan care-giver perlu menguasai
teknik ini.
sesi 3
Sesi ketiga adalah rekapan singkat sesi satu dan dua dan akan dimasukan didalam kartu
kecil untuk setiap wanita untuk dibawa pulang dengan gambar liang telinga dan pemberian tetes
telinga pada anak. Setiap sesi akan responsif terhadap konteks budaya dari kehidupan desa dan
kehidupan sehari-hari yang sangat sulit dari para wanita. Partisipasi akan dicari di setiap tahapan
dan sesi disesuaikan dengan pemahaman, pertanyaan dan kebutuhan perempuan.
Hasil pengukuran
Bagian lain dari data dasar adalah pemeriksaan telinga anak. Ukuran hasil sekunder
adalah pengurangan prevalensi OMSK dan kelainan lain dari membran timpani pada kelompok
intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kami juga akan menawarkan pemeriksaan
kesehatan untuk semua anak. Sangat mungkin bahwa ini akan diterima dengan baik karena
jarang seorang dokter untuk meninggalkan ibukota daerah. Pemimpin tim lapangan, dokter
umum Australia yang berpengalaman, akan memeriksa telinga anak-anak dan mengambil
gambar digital dari gendang telinga mereka dengan Welch Allyn Digital Macroview Otoscope,
jika mungkin, untuk verifikasi kemudian oleh spesialis Telinga Hidung dan Tenggorokan untuk
diidentifikasi. Semua gambar akan diidentifikasi dengan nomor saja dan diserahkan ke spesialis
Telinga Hidung dan Tenggorokan spesialis yang akan menjadi penentu terakhir
diagnosis. OMSK akan didiagnosis menurut Pedoman WHO dengan discharge dari telinga lebih
dari dua minggu [1]. Terdapat variasi yang cukup besar secara internasional tentang durasi
discharge yang diperlukan untuk mendiagnosis OMSK, sehingga anak dengan discharge selama
lebih dari enam minggu dan tiga bulan akan didokumentasikan dan dianalisis secara terpisah
[38]. Tinggi, berat, lingkar lengan atas tengah, pengelihatan , jantung dan pemeriksaan kulit juga
akan dilakukan. Berat akan diukur sampai 100 g terdekat dengan timbangan Seca 876, tinggi
akan diukur sampai 1mm terdekat dengan pengukur tinggi mobile Seca 217 dan panjang untuk
terdekat 1 mm dengan matras pengukur Seca 210. Pemeriksaan pengelihatan akan menggunakan
Revised Sheridan Gardiner Test, yang cocok untuk anak buta huruf. Asisten peneliti akan dilatih
dalam penggunaan akurat peralatan dan pencatatan data oleh pemimpin tim lapangan
menggunakan WHO Training Course on Child Growth Assessment (2008) [39]. Pemimpin tim
lapangan akan melakukan pemeriksaan kulit, jantung dan pemeriksaan telinga. Anak-anak
dengan masalah medis akan dirujuk ke pos kesehatan atau rumah sakit setempat, yang
sesuai. Setiap anak dengan infeksi telinga saat juga akan ditawarkan pengobatan atau rujukan ke
pelayanan kesehatan lokal. Tidak ada pelayanan dokter spesialis telinga di Jumla, sehingga ini
tidak akan etis untuk menolak pengobatan untuk setiap anak. Hasil pemeriksaan akan dicatat
pada kertas yang juga akan mencatat nomor ID dari ibu atau nenek mereka.
kerugian
Kerahasiaan akan terjaga dengat ketat. Kuesioner, lembar data anak dan gambar digital
akan diidentifikasi dengan nomor. Kertas-kertas akan disimpan dalam kotak terkunci. Bentuk
persetujuan akan disimpan dalam kotak yang sama. Semua data kertas selanjutnya akan disimpan
dalam lemari arsip terkunci dalam penyimpanan bawah dari Sekolah Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Komunitas, University of New South Wales. Data elektronik akan disimpan pada
komputer yang dilindungi password. Penelitian ini memiliki kemungkinan yang sangat rendah
menyebabkan kerugian. Perempuan bisa menjadi tertekan ketika mendiskusikan kesehatan anak
mereka. Dalam hal yang tidak mungkin terjadi bahwa diperlukan tindak lanjut, pemimpin tim
lapangan akan mengatur ini dengan pelayanan kesehatan lokal. Setiap anak yang memiliki
kondisi medis akan dirujuk ke pelayanan kesehatan lokal. Para penulis adalah komite koordinasi
untuk penelitian ini dan mengambil tanggung jawab untuk koordinasi dan manajemen data. Titik
akhir dari penelitian ini telah ditentukan dan risiko timbulnya kerugian minimal.
Ukuran sampel dihitung pada hasil primer. Menggunakan data yang diambil dari
pertanyaan dalam studi kualitatif sebelumnya, ukuran sampel untuk penelitian unclustered
dengan 5% dua sisi type 1 error dan 80% kekuatan untuk mendeteksi perbedaan 25% di rata skor
kuesioner, akan terdapat 114 perempuan di setiap bagian. Daly et al. di Amerika Serikat dan
Srikanth et al. di India menemukan tingkat yang sangat rendah mengenai pengetahuan tentang
penyebab dan faktor risiko otitis media pada ibu dari anak [37, 40]. Kami mengantisipasi tingkat
sama rendah di Jumla, dan berhipotesis bahwa peningkatan 25% dapat dicapai. Ukuran cluster
yang ditetapkan pada ukuran kelompok perempuan yang sekitar 20 wanita. Untuk menyesuaikan
clustering, perlu dilakukan intra-cluster correlation coefficient (ICC) atau , yang mengukur
kesamaan respon individu dalam kelompok, untuk menghitung efek desain (nomor pada individu
dalam penelitian yang harus dikalikan untuk menyesuaikan untuk clustering) atau untuk
menghitung antara variabilitas cluster, k. Nilai-nilai ini bervariasi dan setiap estimasi hanya
dapat diperkirakan. Penelitian lain pada kematian neonatal di kelompok perempuan di Nepal
telah menemukan ICC sangat rendah 0,00644 [24]. Tielsch et al. [41] menghitung efek desain
1,23 dalam studi mereka yang mempelajari suplemen untuk mencegah kekurangan gizi pada
anak-anak. Mullany et al. [22] menggunakan efek desain 2.0 untuk studi mereka mencari
pengurangan 25% di omphalitis pada bayi baru lahir di pedesaan Nepal. Sedikit lebih jauh di
Bangladesh, Aboud et al. [23] memperhitungkan ICC 0,03 untuk makan responsif dan intervensi
stimulasi untuk kelompok perempuan pedesaan dan anak-anak. Pagel et al. [42] mereview ICC
pada intervensi outcome perinatal di negara-negara sumber daya yang rendah dan menemukan
ICC universal rendah untuk kematian ibu dan bayi tetapi ICC lebih tinggi untuk intervensi lain
seperti bidan terampil. Misalnya, di India dan Bangladesh bidan terampil berkisar antara ICC
0,02-0,04. Design Effect (Deff) adalah jumlah dimana ukuran sampel bagi seorang individu acak
terkontrol harus dikalikan untuk memberikan kekuatan setara dengan percobaan cluster secara
acak. Design Effect juga mempertimbangkan jumlah individu dalam setiap cluster -
m. Menggunakan persamaan Deff = 1 + (m-1) , dengan asumsi = 0,03, akan memberikan deff
= 1,6, atau 182 wanita per lengan. Menggunakan persamaan aman Deff = 1 + (m-1) , dengan
asumsi = 0,05, akan memberikan deff = 1,95, atau 223 wanita per lengan. Hal ini akan
diterjemahkan ke dalam 11 kelompok per lengan. Untuk menjelaskan stratifikasi, kami telah
menambahkan konservatif ekstra dua cluster per bagian, yang akan membuat 13 cluster per
bagian. Untuk mengaktifkan analisis cluster yang kuat minimal 15 cluster ideal. Hal ini akan
memberikan total sampel yang besar sekitar 600 perempuan di 30 cluster, 15 di intervensi dan 15
pada kelompok kontrol.
Analisis statistik
Analisis akan dilakukan dengan niat untuk mengobati, semua peserta studi akan
dimasukkan dalam analisis, bahkan jika hilang selama tindak lanjut. Analisis akan disesuaikan
untuk clustering. Setiap upaya akan dilakukan untuk memiliki data yang lengkap namun data
hilang tidak akan diabaikan dalam analisis. Data akan diperiksa dan dibersihkan sebelum masuk
ke Statistical Package for the Social Science. Pada baseline, profil perbandingan dari kedua
kelompok intervensi dan kontrol akan disediakan. Hasil primer dan sekunder - perbedaan rerata
skor kuesioner dan prevalensi OMSK - akan dibandingkan antara kedua kelompok. Data akan
dianalisis pada kedua individu dan kelompok tingkat. Analisis tingkat cluster sangat kuat,
dengan 15 cluster di setiap bagian, dan analisis tingkat individu yang disesuaikan untuk
clustering seharusnya juga menjadi sangat kuat juga. Untuk hasil primer, ukuran ringkasan, nilai
rata-rata dari kuesioner, analisis statistik akan dihitung dan kemudian kelompok intervensi dan
kelompok kontrol dibandingkan untuk signifikansi dengan uji t pada tingkat cluster. Untuk
analisis tingkat individu, kami berencana untuk menggunakan efek campuran regresi linier, yang
disesuaikan untuk efek clustering. Hasil sekunder adalah proporsi, jadi kami berencana untuk
menganalisis data tingkat individu menggunakan regresi logistik model efek acak, menggunakan
quadrature check, yang juga disesuaikan untuk clustering. Karena rentang usia cukup luas kami
akan mempertimbangkan setiap kelompok usia standar dalam analisis kami: di bawah satu tahun,
di bawah lima tahun, dan lima tahun ke atas. Kami juga akan menganalisis durasi discharge
telinga karena ini sangat berkorelasi dengan prognosis. Kovariat meliputi status sosial-ekonomi,
pendidikan, kasta, geografis dan jumlah anggota rumah tangga akan dipertimbangkan.
Diskusi
Uji coba ini akan menjadi yang pertama menggunakan randomized controlled trial yang
mencoba untuk membangun efektivitas intervensi masyarakat untuk meningkatkan kesehatan
telinga anak di Nepal. Kami telah merancang intervensi yang konsisten dengan nilai-nilai
masyarakat, harapan dan pengalaman, menggunakan sumber daya lokal yang ada. Kami telah
mendalilkan bahwa menanyakan wanita apa yang mereka ingin tahu, bagaimana mereka ingin
belajar dan apa yang penting bagi mereka, merumuskan intervensi pada prinsip-prinsip tersebut,
dan kemudian menyampaikannya secara familiar, akan meningkatkan penerimaannya. Kami
akan mengarahkan perempuan untuk mencari bantuan di layanan kesehatan ke pos kesehatan
yang ada dan klinik rawat jalan. Pos kesehatan menawarkan perawatan dan pengobatan gratis
kepada pasien di Jumla, yang mudah diakses dengan berjalan kaki. Namun, ketersediaan
perawatan tidak sebanding dengan akses perawatan. Kurangnya pengetahuan, kurangnya
persepsi ancaman, ketidakberdayaan, ketidaksetaraan gender semua berkonspirasi bersama-sama
dengan kemiskinan dan perbedaan geografis untuk mencegah perawatan yang memadai dari
penyakit telinga pada anak. Kelompok perempuan ini telah menjadi sarana yang baik dalam
pendidikan kesehatan, pemberdayaan dan pelatihan di Nepal, untuk meningkatkan kesehatan ibu
dan anak. Mereka adalah media yang ideal untuk intervensi partisipatif, berkonteks budaya, dan
melibatkan semua untuk mencoba mencegah OMSK.