Vous êtes sur la page 1sur 40

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency

Syndrome) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi prioritas dunia untuk

segera diselesaikan. Berdasarkan laporan UNAIDS tahun 2010 dengan menggunakan data

2009, mengestimasikan bahwa sekitar 33.000.000 orang hidup dengan HIV. Dengan angka

tertinggi di region Sub Sahara Afrika dengan jumlah penderita sebanyak 22.500.000,

kemudian setelah itu disusul oleh region Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan jumlah

penderita sebanyak 4.100.000. Di region Asia Selatan dan Asia Tenggara, urutan kelima

besar negara dengan angka penderita tertinggi yaitu, India (2.400.000), Thailand

(530.000), Indonesia (310.000), Vietnam (280.000), dan terakhir Myanmar (240.000). 1

Untuk Indonesia, jika dibandingkan antara laporan UNAIDS tahun 2008 dengan

2010, mengalami peningkatan kasus, dari 270.000 pada tahun 2008 menjadi 310.000 kasus

pada tahun 2010. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di

kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah.

Angka kejadian kasus AIDS di Indonesia, setiap tahun hampir selalu mengalami

peningkatan. Dalam triwulan Oktober - Desember 2012 dilaporkan tambahan kasus AIDS

sebanyak 2.145 sehingga total jumlah AIDS di Indonesia dari tahun 1987 2012 sebanyak

45.499 dengan kematian 8.235. Jika di analisis berdasarkan jumlah kasus perprovinsi,

jumlah kasus AIDS tertinggi pada terdapat di Papua sebanyak 7.795, sedangkan

Kalimantan Selatan diurutan ke 27 dengan 192 kasus HIV dan 134 kasus AIDS. 1,2
2

HIV menyerang limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4.

Fungsi CD4 ini sangat penting dalam menjaga imunitas tubuh, yaitu untuk mengatur dan

bekerja sama dengan komponen sistem kekebalan yang lain sehingga, jika tubuh terserang

virus HIV, maka akan mudah sekali terinfeksi penyakit karena rusaknya sistem
pertahanan

tubuh. Sistem pertahanan rusak secara perlahan lahan, dari tidak ada gejala sampai
terjadi

gejala ringan seperti; (diare, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan berat badan

sampai sariawan), sampai terjadi gejala berat (AIDS). Dari semua orang yang terinfeksi

HIV, menunjukkan gejala AIDS pada 3 tahun pertama infeksi hanya sedikit jumlahnya,

50% terjadi setelah 10 tahun infeksi, dan setelah 13 tahun hampir semua orang yang

terinfeksi menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal. 3

Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan

September 2011 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843

dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan

persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun. 4 Berikut akan dibahas tentang

evaluasi pengobatan HIV/AIDS sesuai pedoman pengobatan nasional.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau


penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV

yang ditandai dengan adanya infeksi oportunistik dan berakibat fatal. Prosesnya

tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi oleh

HIV. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan

kedalam 2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita

AIDS).

2. Penderita yang mengidap HIV tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita

HIV).

B. EPIDEMIOLOGI

Infeksi HIV merupakan kejadian pandemik. Infeksi tersebut telah menjadi

penyebab utama kematian secara infeksius, dimana posisi sebelumnya ditempati oleh

infeksi tuberkulosis. Dalam tahun 2006, telah diestimasikan 2,9 juta orang meninggal

akibat AIDS di seluruh dunia. Penularan HIV melalui cairan tubuh yang mengandung

virus melalui hubungan seksual, jarum suntik, transfuse komponen darah. Oleh karena

itu kelompok risiko tinggi adalah pengguna narkotika, pekerja seks, dan narapidana.

Berikut gambar persebaran global infeksi HIV. 5,6

Gambar 1. Infeksi HIV di seluruh dunia tahun 2006. 5

C. ETIOLOGI

HIV merupakan satu dari dua human T-cell lymphotropic retrovirus yang

utama. (human T-cell leukemia virus -HTCLV- adalah retrovirus utama lainnya).
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang

ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. 7

Virus tersebut akan menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4), dan

menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan memiliki probabilitas yang besar

untuk terjadinya infeksi oportunistik. Sel-sel lain, seperti makrofag dan monosit, yang

memiliki protein CD4 pada permukaannya juga dapat terinfeksi oleh HIV. 7

Gambar 2. (Green WC: Mechanisms of Disease: The Molecular Biology of Human

Immunodeficiency Virus Type I Infection. NEJM 1991, Vol. 324, No. 5, p. 309. Copyright

1991 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) 4

HIV termasuk dalam golongan retrovirus dengan subgroup lentivirus, yang

dapat menyebabkan infeksi secara lambat dengan masa inkubasi yang panjang. Gen

gag mengkode protein inti bagian dalam, yang merupakan protein terpenting yaitu

p24, yang juga merupakan suatu antigen dalam tes serologik HIV. 7

D. FAKTOR RISIKO

HIV dapat menyebar melalui kontak seksual, pajanan parenteral ke dalam darah,

dan transmisi maternal. Transmisi melalui kontak seksual dapat secara oral, vaginal,

dan anal, sedangkan transmisi melalui darah, dapat melalui transfusi darah, kecelakaan

jarum suntik, serta pemakaian jarum suntik secara bergantian, untuk transmisi

maternal dapat terjadi melalui plasenta, saat proses kelahiran, atau melalui ASI. Telah

diperkirakan 50% dari infeksi neonatal timbul saat proses kelahiran, dan sisanya tidak

jauh berbeda antara transmisi transplasental maupun melalui ASI. 5,8


6

Infeksi dapat terjadi baik akibat transfer sel yang terinfeksi HIV maupun virus

HIV yang bebas. Walaupun ditemukan virus HIV dalam jumlah yang sedikit dalam

cairan tubuh yang lain, seperti air liur dan air mata, tidak ada bukti bahwa hal tersebut

berperan dalam infeksi. Secara umum, transmisi mengikuti pola infeksi hepatitis B,

kecuali bahwa infeksi HIV kurang efisien dalam hal transfer, misalnya dosis yang

dibutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV lebih banyak dibandingkan untuk infeksi

hepatitis B. Infeksi mikroorganisme seperti Treponema pallidum and herpes simplex

virus merupaka ulserasi genital yang penting terkait transmisi virus HIV. Selain itu,

patogen yang bertanggung jawab sebagai PMS yang nonulseratif seperti Chlamydia

trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan Trichomonas vaginalis juga terkait dengan

risiko yang meningkat dalam transmisi infeksi HIV. Vaginosis bakterial, suatu infeksi

yang terkait perlakuan seksual, namun bukan suatu PMS, juga dapat dihubungkan

dengan risiko yang meningkat dalam risiko terjadinya infeksi HIV. Infeksi HIV tidak

menular melalui kontak kasual seperti berpelukan, gigitan nyamuk, participasi dalam

olahraga, barang-barang yang telah disentuh oleh individu yang telah terinfeksi HIV.

Laki-laki yang tidak disunat memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terinfeksi. 6,7

Cara penularan yang jarang namun dapat terjadi termasuk melalui luka akibat

tusukan jarum yang tidak disengaja, inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi

HIV, transplantasi organ dengan organ yang terinfeksi HIV. Bank darah dan program

donor organ akan menskrining pendonor, baik darah, maupun jaringan untuk

mencegah risiko terjadinya infeksi. Transmisi HIV melalui transfusi darah telah
menurun secara drastis dengan adanya skrining darah yang akan didonasi akan adanya

antibodi terhadap HIV. Di lain pihak, terdapat periode jendela (window period) pada

saat infeksi awal HIV dimana darah dari orang yang terinfeksi telah mengandung virus

HIV namun tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Bank darah kini melakukan tes

antigen p24 untuk mendeteksi darah yang mengandung HIV. 7,9

E. PATOGENESIS

Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama,

sel dendritik (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV.

DC bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan HIV ke

sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T naive. Setelah HIV tertangkap,

DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T

naive. Di samping mengangkut HIV ke kelenjar limfe, DC juga mengaktivasi sel

limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel

limfosit Th. 5

Gambar 3. Kejadian awal infeksi HIV (Adapted from Haase, 2005.) 6

Replikasi virus HIV yang terjadi secara cepat berkaitan dengan mutasi yang

berkontribusi dalam ketidakmampuan antibodi tubuh untuk menetralisasi virus dalam

satu waktu secara bersamaan. Selain itu, kloning sel limfosit T sitotoksik yang

memperbanyak diri selama infeksi primer HIV, yang diperkirakan menjadi respon

imun yang sangat efektif dalam mengeliminasi virus HIV ternyata tidak dapat
dideteksi lagi setelah ekspansinya yang pertama disebabkan oleh replikasi virus yang

persisten dan kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik. 6,7

Gambar 4. Siklus Replikasi HIV

Replikasi HIV mengikuti siklus retroviral pada umumnya (Gambar 4). Langkah

awal dari masuknya virus HIV ke dalam sel host adalah pentautan gp120 dari protein

selubung virion dengan protein CD4 pada permukaan sel host. Kemudian protein

gp120 virion berinteraksi dengan protein kedua pada permukaan sel, suatu reseptor

kemokin. Reseptor kemokin seperti protein CXCR4 dan CCR5 dibutuhkan dalam

proses masuknya HIV ke dalam sel yang memiliki protein CD4. Virus HIV dengan

strain yang sel-T-tropik bertautan dengan reseptor CXCR4, sedangkan HIV dengan

strain yang makrofag-tropik bertautan dengan reseptor CCR5. Mutasi pada

pengkodean gen CCR5 dapat menyebabkan seorang individu memiliki proteksi

tersendiri terhadap infeksi HIV. 6,7

F. MANIFESTASI KLINIS

Infeksi HIV pada manusia merupakan suatu kontinuitas yang secara kasar dapat

dibagi menjadi empat fase: (a) infeksi HIV primer, (b) infeksi asimtomatik, (c) infeksi

simtomatik, dengan ekslusi AIDS, dan (d) AIDS. Kecepatan progresi dari penyakit ini

bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tergantung pada faktor

virus dan faktor host. 8

10

Gambar 5. Perjalanan penyakit dari infeksi HIV. (From Weiss RA: How Does HIV Cause
AIDS? Science 1993; 260:1273. Reprinted with permission from AAAS.)

Fase Infeksi Primer

Fase pertama dari penyakit ini terjadi secara singkat. Fase ini terjadi selama 1

sampai 4 minggu setelah transmisi. Sindroma tersebut terdiri dari beberapa gejala

seperti demam, berkeringat, letargi, malaise, myalgia, arthralgia, sakit kepala,

photopobia, diare, sariawan, limfadenopati, dan lesi mucopapular pada ekstremitas.

Gejala-gejala tersebut timbul secara mendadak dan hilang dalam waktu 3 sampai 14

hari. Antibodi terhadap HIV muncul setelah hari ke-10 sampai ke-14 infeksi, dan

kebanyakan akan mengalami serokonversi setelah infeksi minggu ke 3 sampai 4.

Perhatikan ketidakmampuan untuk deteksi antibodi saat waktu tersebut bisa

menyebabkan tes serologik yang "false-negative". Hal tersebut memiliki implikasi

yang penting karena HIV bisa bertransmisi selama periode ini. 7,8

Fase Seropositif yang Asimtomatik

Fase kedua dari infeksi HIV ini merupakan fase yang paling lama terjadi

dibandingkan dengan 4 fase lainnya, dan paling bervariasi antar masing-masing

individu. Tanpa pengobatan, fase ini biasanya terjadi sekitar 4 sampai 8 tahun.

Walaupun pasien dalam keadaan asimtomatik dan viremia terjadi dalam tingkat rendah

atau hampir tidak ada, jumlah yang besar dari HIV telah diproduksi di limfe nodus,

namun tetap berada di dalam limfe nodus. Hal ini mengindikasikan bahwa selama

periode laten secara klinis ini, virus HIV sendiri tidak memasuki fase laten. 7,8

11
Gambar 6. Perjalanan penyakit infeksi HIV, penurunan CD4, dan infeksi oportunistik
serta

keganasan. ( James Gita Hakim. Sount Sudan Medical Journal)

Fase Seropositive yang Simtomatik

Onset dari fase ketiga infeksi HIV ini menunjukkan bukti fisik pertama dari

disfungsi sistem imun. Limfadenopati persisten generalisata kadang merupakan tanda

awal fase ini. Infeksi jamur yang terlokalisir di ibu jari, jari-jari, dan mulut sering kali

muncul. Pada wanita, sering timbul keputihan akibat jamur dan infeksi trikomonas.

Oral hairy leukoplakia merupakan gejala yang paling sering terlewatkan pada infeksi

HIV dan sering ditemukan pada lidah. Gejala konstusional seperti keringat malam,

penurunan berat badan, dan diare sering terjadi. Tanpa pengobatan, durasi dari fase ini

berkisar antara 1 sampai 3 tahun. 8

12

Gambar 7. Oral hairy leukoplakia (human immunodeficiency virus and aids the

course of the disease. Richard Hunt. University of South Carolina, School of

Medicine)

Fase Acquired Immunodeficiency Syndrome - AIDS

Fase AIDS diartikan sebagai supresi imun yang signifikan. Supresi ini memicu

perkembangan infeksi oportunistik dan keganasan yang tidak biasa. Gejala pulmoner,

gastrointestinal, neurologik, dan sistemik merupakan gejala yang biasa terjadi. 8

G. DIAGNOSIS HIV

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan


diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik

untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi

keberadaan virus HIV. 5

Infeksi HIV

Badan CDC (Centers for Disease and Prevention) telah membuat kriteria untuk infeksi

HIV pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan, yaitu:

Hasil positif dari tes skrining antibodi HIV, (seperti Immunoassay Enzim

Reaktif yang berulang), diikuti dengan hasil positif dari tes konfirmasi antibodi

HIV (seperti Western blot atau Tes antibodi imunoflourecence), atau

Hasil positif atau laporan dari jumlah yang dapat dideteksi dari salah satu tes

virologik (non-antibodi) berikut ini: deteksi asam nukleat HIV, DNA atau

RNA, yaitu DNA Polymerase Chain Reaction [PCR] atau konsentrasi RNA

HIV dalam plasma; tes antigen HIV p24, termasuk Assay neutralisasi; dan

isolasi HIV (kultur virus). 6,8

13

Gambar 8. Sindroma HIV akut. (Adapted from G Pantaleo et al: N Engl J Med 328:327,

1993. Copyright 1993 Massachusetts Medical Society. All rights reserved.) 6

AIDS

Pada tahun 1993, CDC telah membuat kriteria dari definisi AIDS, yaitu:

Hitung limfosit-T CD4 + kurang dari 200 sel/mm 3 dan bukti laboratorium dari

infeksi HIV, atau

Adanya penyakit indikator AIDS (candidiasis dari esophagus, trachea,


bronchus, atau paru; keganasan cervix yang invasif; coccidiomycosis

ekstrapulmoner; cryptococcosis ekstrapulmoner; cryptosporidiosis dengan

diare dalam waktu lebih dari 1 bulan; infeksi cytomegalovirus dari beberapa

organ selain hati, limpa, or limfonodus; infeksi herpes simplex dengan ulcus

mucocutaneous dalam waktu lebih dari 1 bulan atau bronchitis, pneumonitis,

or esophagitis; histoplasmosis ekstrapulmoner; dementia terkait HIV; HIV-

14

associated wasting; isosporiasis dengan diare lebih dari 1 bulan; Sarcoma

Kaposi pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun; Mycobacterium avium

disseminata; intra dan ekstrapulmoner; Pneumocystis jiroveci pneumonia;

Pneumonia bakterial yang rekuren; multifocal leukoencephalopathy yang

progresif; Salmonella septicemia (nontyphoid) yang rekuren; and

toxoplasmosis) disertai bukti laboratorium dari infeksi HIV. 8,10

H. PEMERIKSAAN DAN TATALAKSANA 4

Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP untuk

menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian

imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk: 1) menentukan apakah

pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral; 2) menilai status supresi imun

pasien; 3) menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; dan 4)

menentukan paduan obat ARV yang sesuai.

1. Penilaian Fisik Lengkap dan Lab untuk Mengidentifikasi IO

Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan
pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi

gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada

ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka

dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk

mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.

15

Gambar 9. Bagan Alur Layanan HIV 4

16

Dibawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai

ART apabila sumber daya memungkinkan:

Darah lengkap*

Jumlah CD4*

SGOT / SGPT*

Kreatinin Serum*

Urinalisa*

HbsAg*

Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau

dengan riwayat IDU)

Profil lipid serum

Gula darah

VDRL/TPHA/PRP

Ronsen dada (utamanya bila curiga


ada infeksi paru)

Tes Kehamilan (perempuan usia

reprodukstif dan perluanamnesis

mens terakhir)

PAP smear / IFA-IMS untuk

menyingkirkan adanya Ca Cervix

yang pada ODHA bisa bersifat

progresif)

Jumlah virus / Viral Load RNA

HIV** dalam plasma (bila tersedia

dan bila pasien mampu)

* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV karena

berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat

ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.

** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk

dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien

punya data) utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan suatu

keadaan gagal terapi.

2. Penentuan Stadium Klinis 11

Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk

penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.

3. Skrining TB
4. Skrining IMS, Sifilis, Malaria untuk BUMIL

5. Pemeriksaan CD4 (bila tersedia) untuk menentukan PPK dan ART

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan

konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.

Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di

bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol

17

(1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini

dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan 2.

Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol

dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping

yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.

Gambar 13. Stadium Klinis HIV/AIDS menurut WHO 11

18

6. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (PPK)

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian

pengobatan profilaksis. Kotrimoksazole untuk pencegahan sekunder diberikan

setelah terapi PCP atau toksoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun. PPK

dianjurkan bagi:

ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan

hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat

menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam


jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala

klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang

memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan

profilaksis kotrimoksasol.

ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia

pemeriksaan dan hasil CD4).

19

7. Indentifikasi solusi terkait adherence (kepatuhan)

8. Konseling positive prevention

9. Konseling KB

I. TATALAKSANA PEMBERIAN ARV (ANTIRETROVIRAL) 4

Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah

didasarkan pada penilaian klinis. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah

CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV dianjurkan

pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa

memandang jumlah CD4.

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau

diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

20

1. Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah

2NRTI + 1NNRTI
2. Pilihan pemberian tripel NRTI

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat

ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:

Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin

Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV

Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI

21

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah

AZT + 3TC + TDF

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu

pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi

virologisnya kurang kuat.

3. Sindrom Pulih Imun (SPI- Immune Reconstitution Syndrom = IRIS)

Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome

(IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi

berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi

antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit

infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa

inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan

sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai

akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik

terhadap ARV.
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan

respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen

tertentu setelah pemberian ARV.

Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan meta analisis adalah

16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap tempat, tergantung pada

rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi oportunistik dan koinfeksi

dengan patogen lain.

22

Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom

pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal.

Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat

terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan terapi ARV-nya.

Pada jenis paradoksikal, pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi

oportunistiknya. Setelah mendapatkan ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit

infeksinya tersebut.

Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan

infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah.

Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau

non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis).

International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus

untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut.

1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:


a. mendapat terapi ARV

b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)

2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait

dengan inisiasi terapi ARV

3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:

a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil

disembuhkan (Expected clinical course of a previously recognized and

successfully treated infection)

b. Efek samping obat atau toksisitas

23

c. Kegagalan terapi

d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV

Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat

memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi

ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA

HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis

infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi

oportunistik dan memulai terapi ARV.

Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan

jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat

antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya

pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari


prednisolon.

J. PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIUM SELAMA TERAPI

ARV LINI PERTAMA 4

1. Pasien yang Belum Memenuhi Syarat Terapi ARV

Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral (terapi ARV) perlu

dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.

Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan

berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.

Parameter klinis dan jumlah CD4 tersebut digunakan untuk mencatat

perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan saat pasien

mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi ARV.

24

Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis sejak

terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD4 setiap tahunnya adalah sekitar 50

sampai 100 sel/mm3. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat

ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV.

2. Pemantauan Pasien dalam Terapi ARV

2.1 Pemantauan klinis

Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai

batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12

dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila

pasien telah mencapai keadaan stabil.


Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan

gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi

bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah

konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan

kepatuhan.

2.2 Pemantauan laboratorium

Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin

setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit

total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk

digunakan memantau terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat

digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi

Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu

dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai

25

terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada

indikasi tanda dan gejala anemia

Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila

ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan

tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara

250 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim

transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV

(bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasar gejala


klinis

Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan

TDF

Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada

beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI.

Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara

rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang

mengarah pada asidosis laktat

Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme

glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula

darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk

dilakukan atas dasar tanda dan gejala

Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk

memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas

dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu

26

diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih

awal dibandingkan dengan hanya menggunakan pemantauan klinis

dan pemeriksaan jumlah CD4

Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan

menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi (undetectable) setelah bulan

ke 6.
2.3 Pemantuan pemulihan jumlah sel CD4

Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut

bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak

terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada

saat mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat

rendah tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan

waktu yang lebih lama.

Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100

sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi

kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka

perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.

Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang

dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal

terapi secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut

dan jumlah CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4

tidak meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis.

27

2.4 Kematian dalam terapi ARV

Sejak dimulainya terapi ARV, angka kematian yang berhubungan dengan HIV

semakin turun. Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV

disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek

samping ARV berat (Steven Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi
hati stadium akhir (ESLD - End Stage Liver Disease) pada kasus ko-infeksi

HIV/HVB.

Paradigma baru yang menjadi tujuan global dari UNAIDS adalah Zero AIDS-

related death. Hal ini dapat tercapai bila pasien datang di layanan HIV dan

mendapat terapi ARV secepatnya.

28

3. Efek Samping

4. Penatalaksanaan Toksisitas

Dalam menangani toksisitas atau efek samping perlu mengikuti langkah sebagai

berikut

Tentukan derajat keseriusan toksisitas

Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah toksisitas berhubungan

dengan obat ARV atau obat non-ARV yang digunakan bersamaan

Pertimbangkan proses penyakit lain (misal hepatitis viral pada pasien dengan

ARV yang menjadi kuning/jaundice) karena tidak semua masalah yang terjadi

selama terapi adalah diakibatkan obat-obat ARV

Tangani efek samping sesuai tingkat keparahan

29

Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas ringan dan

sedang

Berikan obat simtomatik sesuai dengan gejala yang timbul jika diperlukan

Apabila dinilai perlu penghentian ARV karena toksisitas yang mengancam


jiwa maka semua ARV harus dihentikan sampai pasien stabil.

5. Subsitusi Obat ARV

Pada dasarnya penggantian atau substitusi individual dari obat ARV karena

toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama, contoh: AZT atau

TDF untuk menggantikan d4T oleh karena neuropati, TDF dapat menggantikan AZT

karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena toksisitas SSP atau kehamilan.

Bila toksisitas yang mengancam jiwa muncul, semua obat ARV harus dihentikan

segera hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dimulai dengan

paduan terapi ARV yang lain.

30

K. KEGAGALAN TERAPI ARV 4

Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi

tetapi tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai

kemungkinan terjadinya Gagal Terapi.

Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis,

imunologis dan virologis. Jumlah virus (VL) yang menetap di atas 5000 copies/ml

mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk menentukan

gagal terapi menggunakan kriteria imunologis untuk memastikan gagal terapi secara

klinis.

Kegagalan terapi menurut kriteria WHO

31

1. Kegagalan klinis
Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam terapi

ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi

bakteri berat) dapat merupakan petunjuk kegagalan terapi.

32

2. Kegagalan Imunologis

Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan

jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/ penekanan jumlah

virus.

Jumlah CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu mengubah

terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang termasuk dalam

stadium 3, dimana dipertimbangkan untuk mengubah terapi, maka bila jumlah

CD4 >200 /mm tidak dianjurkan untuk mengubah terapi.

3. Kegagalan Virologis:

Disebut gagal virologis jika:

viral load tetap > 5.000 copies/ml (lihat gambar.4), atau

viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi.

33

Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan

tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan

penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS.

Kriteria virologi dimasukkan dalam menentukan kegagalan terapi di buku ini, untuk

mengantisipasi suatu saat akan tersedia sarana pemeriksaan viral load yang terjangkau.
Viral load masih merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan adanya

kegagalan terapi. Kadar viral load yang optimal sebagai batasan untuk mengubah paduan

ARV belum dapat ditentukan dengan pasti. Namun > 5.000 copies/ml diketahui

berhubungan dengan progresi klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4.

1. Alur Tatalaksana Gagal Terapi ARV Kriteria Virologis (WHO)

34

2. Alur tatalaksana Gagal Terapi ARV Kriteria Klinis

L. PANDUAN TERAPI ARV LINI KEDUA 4

Rekomendasi paduan lini kedua :

2NRTI + Boosted-PI

35

Boost PI adalah suatu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang

sudah ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan

ditulis dengan kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)

Penambahan (Booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk

mengurangi dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka

dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali

Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh

pemerintah adalah:

TDF atau AZT + 3TC + LPV/r

Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +

(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini
pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI sebagai

dasar NRTI pada paduan lini kedua.

36

Gambar 14. Pemantauan Klinis dan Laboratorim Sebelum dan Selama Terapi

ARV Lini Kedua

37

BAB III

KESIMPULAN

Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang

semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death dan

Zero Discrimination. 4

1. Pencegahan; yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual

dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan,

pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission,

PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.

2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan

pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi

oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan

pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka

kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan

meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian

tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral
(ARV).

3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.

4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang

meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan

penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan

kebijakan dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. UNAIDS. Global report UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.

Geneva, 2010.

2. Ditjen P2PL. Statistik Kasus HIV/AIDS Di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI,

2012

3. Djoerban, Zubairi. Membidik AIDS. Jogjakarta: Galang Press Jogjakarta, 1999.

4. Ditjen P2PL. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi

antiretroviral pada orang dewasa. Kemenkes RI. Jakarta, 2011.

5. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid I. Jakarta : FK UI, 2006.

6. Fauci A, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related

Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E, Hause S,

Jameson J Loscalzo. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18 th Ed. United

States of America: McGraw-Hill. 2011 p241-50.

7. Levinson W. Human Immunodeficiency Virus. In: Review of Medical

Microbiology and Immunology. 11th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2010. p299-
308.

8. Boswell SL. Approach to the Patient with Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Infection. In: Goroll AH, Mulley AG. Primary Care Medicine: Office Evaluation

and Management of the Adult Patient. 6 th Ed. 2009. p87-101.

9. David C. Dugdale. HIV infection. Medline Plus, 2012. Accessed on: Maret 2012.

Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000602.htm

10. WHO. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents,

Recommendations for a public health approach 2010 Revision. Geneva: WHO

Departement of HIV/AIDS, 2010.

11. WHO. WHO chase definition of HIV for surveillance and revised clinical staging

and immunological classification of HIV-related disease in adults and children.

Geneva: WHO Departement of HIV/AIDS, 2007.

Sebuah protokol penelitian pada uji coba cluster secara acak untuk pencegahan otitis
media supuratif kronis pada anak-anak di Jumla, Nepal

Abstrak

Latar Belakang: Otitis Media Supuratif kronis (OMSK) merupakan penyebab tersering tuli
yang bisa dicegah, yang mempengaruhi 164 juta orang di seluruh dunia, 90% di antaranya
tinggal di negara-negara sumber daya yang rendah, seperti Nepal. Pengobatan murah sederhana
dari otitis media akut dapat mencegah berkembang menjadi OMSK dan gejala sisanya seperti:
tuli, abses, ensefalitis, dan, jarang, kematian. OMSK adalah penyakit kemiskinan dan faktor
sosialnya meliputi: pendidikan orang tua yang rendah, kepadatan penduduk, kebersihan yang
buruk dan gizi yang kurang. Studi sebelumnya mempunyai ekonomi yang mapan, sosial budaya
dan geografis untuk peduli mencari anak-anak di negara berkembang dan, khususnya, di
Nepal. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesehatan telinga anak-anak
di Jumla, Nepal. Hasil utama adalah peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek ibu tentang
penyakit telinga pada anak-anak mereka. Hasil sekunder adalah pengurangan prevalensi OMSK
pada anak-anak mereka.
Metode / desain: Menggunakan 56 kelompok-kelompok swadaya perempuan, ukuran sampel,
menyesuaikan untuk clustering dan analisis data, ditetapkan pada 15 kelompok per
bagian. Sebuah survei dasar dari 30 kelompok yang dipilih secara acak yang akan dilakukan,
yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan praktek yang ditujukan untuk perempuan yang
berpartisipasi dalam kelompok-kelompok swadaya, serta pemeriksaan telinga anak-anak
mereka. Ini akan diikuti dengan pengalokasian acak, dikelompokkan berdasarkan geografi,
menjadi 15 kelompok intervensi dan 15 kelompok kontrol. Kelompok intervensi yang akan
berpartisipasi dalam tiga sesi pendidikan interaktif pada pertemuan rutin bulanan mereka
didasarkan pada World Health Organization Primary Ear and Hearing Resource, Tingkat
Dasar. Kelompok kontrol akan terus mengadakan pertemuan kelompok setiap bulan. Setelah 12
bulan, penilaian tindak lanjut dari kontrol dan kelompok intervensi akan dilakukan, dengan
survey dan pemeriksaan ulang telinga anak. Analisis data akan dilakukan dengan tujuan untuk
mengobati dan pengelompokkan akan dipertimbangkan pada setiap tahap. Data cluster akan
dianalisis dengan menggunakan t-test dan data tingkat individu menggunakan mixed effects
linear regression dan logistic regression random effects model yang sesuai.

Diskusi: Meskipun lokasinya yang terpencil, Jumla memiliki jaringan yang dinamis dari pos
kesehatan dan pekerja masyarakat. Penelitian ini menggunakan sumber daya yang ada, lokal dan
akan dilakukan dengan cara yang konsisten dengan pemahaman budaya masyarakat setempat di
Jumla dan diterima care-giver lokal.

Pendaftaran sidang: Australia dan Selandia Baru Clinical Trials Register,


ACTRN12614000231640.

Kata kunci: Otitis Media, pendengaran, kelompok Perempuan, Komunitas intervensi.

Latar Belakang

Otitis Media Supuratif kronis (OMSK) adalah penyebab umum, yang dapat dicegah dari
ketulian, sakit kronis dan, jarang, kematian pada anak di negara-negara sumber daya yang
rendah. OMSK biasanya timbul sebagai komplikasi dari otitis media akut yang tidak diobati,
yang hampir umum pada anak-anak. Infeksi telinga sangat umum, sehingga mereka bisa tampak
normal dan prioritas kesehatan rendah [1, 2]. Infeksi telinga akut dapat ditatalaksana secara
sederhana dan murah, yang dapat mencegah OMSK, namun banyak anak-anak tidak menerima
penilaian atau intervensi. Pengobatan topikal sederhana dengan obat tetes telinga Ciprofloxacin
telah diketahui sebagai terapi yang lebih superior dari antibiotik oral dan kombinasi obat tetes
yang lama [3-5]. Pengobatan lokal obat tetes telinga Ciprofloxacin secara luas dan murah
tersedia di Jumla. OMSK adalah penyakit sekaligus faktor penentu kemiskinan. Rendahnya
tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang tua yang rendah, kekurangan gizi, kepadatan
penduduk, kurangnya air bersih dan sanitasi semuanya berhubungan dengan peningkatan risiko
OMSK [1, 6, 7]. Anak-anak yang paling berisiko menderita OMSK adalah mereka yang juga
memiliki akses yang paling sedikit pada edukasi kesehatan dan juga pelayanan kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa prevalensi OMSK lebih besar
dari 4% membutuhkan langkah-langkah darurat [1]. Setidaknya 50% dari anak-anak dengan
OMSK akan memiliki gangguan pendengaran yang signifikan, beban global 164 juta orang, 90%
di antaranya tinggal di negara-negara sumber daya yang rendah, seperti Nepal [1]. Survei
prevalensi yang paling luas baru-baru ini di Nepal menemukan bahwa 7,6% dari anak-anak
berusia 5 sampai 13 tahun memiliki OMSK [8]. Beberapa survei skala yang lebih kecil juga
memiliki hasil yang sama [9-13].

Studi sebelumnya menemukan hambatan geografis, ekonomi, dan sosio-kultural untuk


mendapatkan pelayanan kesehatan terkait penyakit pada anak di Negara-negara berkembang,
termasuk Nepal [1, 14-16]. Bahkan di tempat-tempat yang tersedia pelayan kesehatan, mereka
tidak sepenuhnya digunakan [17] Intervensi berbasis komunitas telah diuji cobakan untuk
meningkatkan keterlibatan dengan pelayanan kesehatan dan menurunkan angka kesakitan dan
kematian pada anak-anak. Organisasi Kesehatan Dunia telah memliliki program perawatan
telinga utama untuk mendidik dan memotivasi masyarakat tentang infeksi telinga dan kebutuhan
untuk mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya OMSK dan hilangnya pendengaran
[21]. Program ini merupakan program sederhana dan dapat dengan mudah disesuaikan dengan
konteks budaya dan diberikan dalam pengaturan sosial yang dapat diterima. Ada beberapa
intervensi sebelumnya yang berhasil yang ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan OMSK
secara dini dan tidak ada data yang diterbitkan pada efektivitas pendidikan masyarakat atau
pelatihan perawatan telinga untuk bagi masyarakat. Akibatnya, percobaan ini menguji hipotesis
bahwa pelatihan telinga sederhana dapat meningkatkan praktek ibu dan mengurangi prevalensi
komplikasi dari infeksi telinga akut.

Metode / desain

Tujuan studi

Tujuan secara umum dari penelitian kami adalah untuk meningkatkan kesehatan telinga
pada anak di Jumla, Nepal. Untuk mencapai tujuan kami, hal yang perlu dilakukan meliputi:
meningkatkan pengetahuan dan praktik untuk wanita mengenai kesehatan telinga anak,
mengurangi prevalensi OMSK dan mengurangi prevalensi kelainan lain dari membran timpani.

Desain penelitian

Studi kami menggunakan desain cluster randomized trial dan sebelumnya telah
diinformasikan dengan penelitian kualitatif kami yang sebelumnya (tidak dipublikasikan), yang
terdiri dari wawancara mendalam dengan perempuan di Jumla, Nepal. Kelompok-kelompok
swadaya perempuan akan menjadi unit randomisasi, atau cluster. Ini adalah metode yang paling
sesuai untuk intervensi di tingkat kelompok dan umumnya digunakan dalam intervensi di
masyarakat [18, 19, 22-24]. Stratifikasi akan dilakukan untuk menghindari bias sampling,
sebagai kekuatan untuk mempertahankan. 56 kelompok yang ada akan distratifikasi berdasarkan
Komite Pembangunan Desa dan lokasi terpencil dan jarak mereka ke jalan. Meskipun semua
kelompok-kelompok ini berada di lokasi yang jauh, jarak ke jalan menentukan aksesibilitas
kesehatan dan pelayanan lainnya. Setelah dilakukan stratifikasi, sampel acak dari 30 kelompok
akan dipilih untuk penelitian. Pengacakan akan dilakukan dengan menggunakan komputer yang
dihasilkan nomor acak urut di Australia, dengan anggota tim (HW) tidak terlibat dalam
pengumpulan data. Pemilihan kemudian akan dikomunikasikan kepada pemimpin tim lapangan
dengan internet atau telepon. Kami akan meminta informed consent individu dari setiap peserta
wanita. Setelah pengumpulan data dasar, kelompok akan secara acak dialokasikan untuk
kelompok intervensi dan kelompok kontrol, dikelompokkan berdasarkan geografi. Pengacakan
akan kembali dilakukan oleh anggota tim di Australia menggunakan komputer yang dihasilkan
nomor acak urutan dan dikomunikasikan kepada pemimpin tim lapangan dengan internet atau
telepon. Intervensi kemudian akan dilaksanakan lebih dari tiga pertemuan rutin setiap bulan
pertemuan kelompok swadaya. Internasional Nepal Fellowship adalah satu-satunya organisasi
non-pemerintah yang bekerja secara langsung dengan perempuan di dua Komite Pembangunan
Desa, sehingga tidak mungkin ko-intervensi akan mengganggu penelitian. Perempuan di Jumla
umumnya tidak bepergian. Sebagian kecil wanita bermigrasi ke India untuk bekerja dengan
suami mereka dan wanita tersebut tidak termasuk untuk mengikuti tetapi jumlahnya mungkin
akan sangat kecil. Dalam sensus 2011, hanya 341 perempuan di seluruh distrik Jumla tidak hadir
dari rumah mereka [25]. Menindaklanjuti penilaian pada 12 bulan, mengulangi kuesioner dan
pemeriksaan telinga anak perempuan akan menyelesaikan studi. Persetujuan etis telah diberikan
oleh Komite Penelitian etika Manusia , Universitas New South Wales (Ref # 13361) dan Dewan
Riset Kesehatan Nepal (Ref # 1434).

Pengaturan studi

Penelitian kami dilakukan di lereng gunung yang terisolasi di Jumla, Nepal. Nepal adalah
negara miskin dengan Indeks Pembangunan Manusia 0,54, peringkat dari 145 dari 187 negara
[26]. Jumla memiliki Indeks Pembangunan Manusia 0,35, dengan peringkat 68 dari 75 daerah di
Nepal, membuatnya menjadi salah satu daerah termiskin dan paling kurang beruntung di sebuah
negara yang sudah miskin [27]. Telah ada penelitian kesehatan dilakukan di Jumla, meskipun itu
daerah pertama yang memperkenalkan manajemen berbasis komunitas pneumonia pada anak
[28-31]. Sebagian besar populasi penduduk (88,7%) tinggal di desa lereng gunung kecil dan
hidup sederhana dari kehidupan pertanian [32]. Persatuan Internasional Nepal telah setuju untuk
menjadi tuan rumah penelitian kami. Mereka telah bekerja di Jumla sejak tahun 1978, awalnya
menawarkan rawat jalan dan rawat inap kusta dan perawatan TBC, kemudian memperluas
pelayanan mereka untuk mengikut sertakan Pengembangan Masyarakat dan tim
Rehabilitasi. Persatuan Internasional Nepal memiliki kebijakan menyertakan sosial dan
pengurangan kemiskinan. Mereka sengaja memasukan wanita, orang dengan derajat rendah dan
orang yang hidup dengan cacat di semua program mereka. Persatuan Internasional Nepal
memiliki 56 perempuan kelompok swadaya, masing-masing terdiri dari sekitar 20 sampai 25
perempuan, di dua daerah komite pembangunan desa. Kelompok-kelompok yang dibentuk
mengikuti komunitas yang luas dan konsultasi pemerintah daerah untuk menemukan desa-desa
dengan orang yang miskin dan terpinggirkan. Persetujuan dan partisipasi warga desa akhirnya
mengarah pada pembentukan kelompok swadaya. Kelompok berasal dari daerah yang berbeda-
beda dalam desa dan berisi tetangga dan anggota keluarga jauh. Setiap kelompok mengadakan
pertemuan bulanan yang difasilitasi oleh pekerja komunitas. Pada pertemuan bulanan, anggota
kelompok membahas dan berpartisipasi dalam ekonimi mikro, pencarian pendapatan, pendidikan
kesehatan dan mobilisi masyarakat. Penelitian kami dilakukan dalam kelompok-kelompok
swadaya perempuan ini.

Populasi penelitian

Para peserta adalah anggota kelompok swadaya perempuan dan anak mereka berusia 12
dan di bawahnya. Semua anggota kelompok dalam kelompok studi akan diundang oleh staf
persatuan Internasional Nepal untuk berpartisipasi. Dalam penelitian ini, kemungkinan besar
seluruh anggota kelompok akan setuju untuk berpartisipasi dikarenakan keengganan mereka
sangat ringan. Wanita yang tinggal di sebuah rumah tangga dengan seorang anak berusia 12 dan
di bawah akan dimasukkan dalam survei karena penduduk pedesaan di Nepal sebagian besar
hidup dengan keluarga besar dan ibu mertua menjadi orang yang penting pengambil keputusan
untuk kesehatan anak [33-35]. OMSK adalah kondisi kronis dan terjadi pada semua umur,
dengan puncaknya pada anak usia dini. Usia 12 telah terpilih sebagai batas atas karena
kebanyakan anak bersama dengan keluarga mereka dan mengikuti sekolah setempat. Anak-anak
yang lebih tua kebanyakan akan pindah ke ibukota daerah untuk pada tahun-tahun kemudian
memasuki sekolah menengah, yang akan membuat penilaian tindak lanjut menjadi sulit.

kriteria inklusi

Perempuan berusia 18 tahun ke atas, yang menghadiri kelompok-kelompok swadaya


perempuan perstuan Internasional Nepal di Jumla dan yang memiliki anak berusia 12 tahun dan
tinggal di rumah tangga mereka. Anak berusia 12 tahun ke bawah yang tinggal dalam rumah
tangga pada perempuan yang ikut berpartisipasi.

kriteria eksklusi

Wanita di bawah usia 18 tahun, wanita yang tidak memiliki anak berusia 12 tahun ke
bawah yang tinggal di rumah tangga mereka, wanita yang tidak bisa memberikan izin karena
kelemahan atau penyakit, anak di atas usia 12 tahun.

Peserta tidak akan dibayar atau dihargai secara individual untuk partisipasi mereka (Gambar. 1)
Isi intervensi

Intervensi yang dilakukan merupakan intervensi berbasis komunitas dan partisipatorik,


dan tidak akan mungkin bagi partisipasi untuk tidak diberikan tahu setelah penempatan .Desain
intervensi ini sangat tergantung pada wawancara dari studi kualitatif eksploratif
kami. Wawancara dengan perempuan mengungkapkan bahwa mereka menikmati pertemuan ini
dan belajar bersama dalam kelompok mereka dan bahwa mereka memiliki preferensi yang kuat
untuk presentasi visual dan interaktif. Tiga sesi akan berlangsung dalam pertemuan rutin bulanan
yang sudah ada dari swadaya pertemuan kelompok perempuan dalam kelompok
intervensi. Intervensi didasarkan pada WHO Primary Ear Care Training Programme, yang telah
diadopsi secara luas di India dan dan daerah dengan sumber daya rendah lainnya. Tingkat dasar
dari program ini bertujuan untuk mendidik orang tua, pengasuh dan pekerja kesehatan
masyarakat tentang infeksi telinga, pengenalan mereka, faktor risiko, pencegahan, risiko
gangguan pendengaran dan pencarian perawatan yang sesuai [21]. Sesi 1 dan sesi 2 akan
difasilitasi oleh pemimpin tim lapangan. Sesi 3 akan diselesaikan oleh kelompok
fasilitator. Rekap dari sesi sebelumnya adalah bagian normal dari pertemuan kelompok
mereka. Isi dari setiap sesi distandarisasi. Kehadiran di setiap sesi akan dicatat dan analisi
sensitivitas akan dilakukan.

sesi 1

Sesi pertama adalah sesi pendidikan interaktif menggunakan drama dan gambar. Kami
telah mengembangkan sumber daya baru menggunakan foto lokal berdasarkan WHO Primary
Ear Care Training ProgrammeBasic Level. Komponen pertama dari empat komponen
menunjukkan pentingnya telinga dan indera pendengaran-menunjukkan sangat bergunanya dapat
mendengar setiap hari suara seperti tangisan bayi, percakapan, suara anjing dan, untuk anak,
mendengar di yang kelas. Komponen kedua adalah mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala
infeksi telinga termasuk sakit telinga, discharge, menarik telinga, demam dan memerah. Rincian
bagian ketiga penularan infeksi telinga melalui batuk, bersin, menyentuh dan air kotor. Bagian
akhir berisi perawatan telinga, tidak memasukan sesuatu di telinga, seperti minyak atau atau
substansi mendorong pencarian tempat pos kesehatan setempat dan menjelaskan tentang obat
yang akan diberikan di sana.

sesi 2

Sesi kedua adalah sesi pembelajaran praktis membersihkan telinga dan memberikan tetes
dengan benar, sesuai dengan pesan petunjuk dari sesi pertama. Ini adalah sesi yang sangat
penting karena ada sedikit instruksi yang diberikan dalam sistem kesehatan Nepal. Diagnosis dan
pengobatan biasanya dilakukan sangat sesuai dan pos kesehatan memberikan perawatan tanpa
biaya kepada pasien, namun sering terjadi kurangnya keterlibatan pasien, penjelasan, tanya
jawab dan demonstrasi. Karena itu, pembersihan dari liang telinga dan pemberian tetes harus
dilakukan berulang kali di rumah agar bekerja secara efektif, dan care-giver perlu menguasai
teknik ini.

sesi 3

Sesi ketiga adalah rekapan singkat sesi satu dan dua dan akan dimasukan didalam kartu
kecil untuk setiap wanita untuk dibawa pulang dengan gambar liang telinga dan pemberian tetes
telinga pada anak. Setiap sesi akan responsif terhadap konteks budaya dari kehidupan desa dan
kehidupan sehari-hari yang sangat sulit dari para wanita. Partisipasi akan dicari di setiap tahapan
dan sesi disesuaikan dengan pemahaman, pertanyaan dan kebutuhan perempuan.

Hasil pengukuran

Hasil utama-ukuran kuesioner


Instrumen survei untuk perempuan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
adalah kuesioner. Ukuran hasil utama adalah perbedaan 25% dalam pengetahuan, sikap dan
praktek, mengenai penyakit telinga pada anak mereka, pada kelompok perempuan intervensi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat pertanyaan demografis seperti umur, jumlah
anak, pendidikan ibu, kebersihan maknan, praktek kesehatan yang biasa mengikuti pertanyaan
tentang pengetahuan, sikap dan praktik tentang kesehatan telinga, pendengaran, penyakit telinga
dan mencari perawatan kesehatan. Kuesioner menggunakan pertanyaan yang sudah divalidasi
dari Survei Demografi Kesehatan (DHS) dan Multiple Indicator Cluster Survey (MICS) yang
dilakukan baru-baru ini di Nepal dan diinformasikan oleh survei serupa yang dilakukan di India
Selatan [32, 36, 37]. Pertanyaan lain telah terinspirasi dari Primary Ear and Hearing Care
Training Resource dan literatur mengenai health care engagement [21]. Bagian pengetahuan
mengajukan pertanyaan 'apa wanita tahu tentang infeksi telinga pada anak mereka, apa penyebab
keadaan tersebut, pengobatan dan komplikasi. bagian pertanyaan mengenai sikap apa yang
wanita fikirkan tentang infeksi telinga, apakah ada tingkat rendah dari persepsi ancaman, apakah
ada hambatan kebiasaan untuk mencari perawatan, ada persepsi kualitas perawatan yang buruk
atau yang infeksi telinga dapat disembuhkan. Akhirnya, bagian praktek, bertanya apa yang akan
mereka lakukan tentang itu, pada siapa mereka akan berkonsultasi, dan jika ada, siapa yang akan
membantu mereka mencari pertolongan dan apakah mereka mengetahui perawatan apa yang
tersedia. Kuesioner telah di-pretest-kan di Australia dengan penyesuaian sedikit yang dibuat
untuk satu pertanyaan. Durasi dalam bahasa Inggris dengan ibu berpendidikan adalah 10
menit. Pretest pada wanita desa di terai (dataran) tidak ditemukan adanya kesulitan dengan
kuesioner. Kami kemudian melakukan studi pendahuluan formal pada 20 perempuan desa di
Jumla, yang menghadiri klinik INF di Jumla Bazaar, untuk memeriksa lama pengisian kuesioner,
pemahaman dan kejelasan. Untuk wanita-wanita berpendidikan dan buta huruf, survei itu telalu
lama dan beberapa pertanyaan tidak dimengerti oleh mereka. Kuesioner disesuaikan dan lima
pertanyaan dihapus dari bagian demografi. Kuesioner baru dinyatakan cukup jelas dan dapat
diselesaikan dalam 10-15 menit. Kuesioner akan selesai di kertas dalam bahasa Nepal oleh
asisten peneliti yang dilatih oleh pemimpin tim lapangan. Pelatihan akan berlangsung selama dua
hari di Jumla bazaar. Sejumlah wawancara akan diamati oleh pemimpin tim lapangan untuk
memastikan pengendalian kualitas dan segala bentuk akan ditinjau secara teratur untuk
memastikan penyelesaian dengan benar oleh asisten. Dasar persetujuan akan dilakukan sebelum
di alokasi ke intervensi dan kelompok kontrol untuk menghindari bias. Kehadiran kelompok dan
catatan keuangan secara ketat disimpan pada setiap pertemuan sehingga tidak mungkin bagi
orang luar untuk menghadiri pertemuan kelompok tidak teramati. Ada kemungkinan bahwa
mungkin ada kontaminasi dari anggota kelompok kontrol oleh kelompok intervensi dengan cara
memberikan nasihat. Hal ini kemungkinan besar tidak akan terjadi karena sebagian besar
keluarga hidup berdampingan, yang berarti bahwa nenek, bibi dan ibu, yang mungkin berbagi
pengasuhan anak dan saran, berada dalam kelompok yang sama, atau cluster. Ada beberapa
sumber informasi kesehatan bagi wanita terutama yang buta huruf di daerah terpencil. Penilaian
selanjutnya akan dilakukan 12 bulan setelah penilaian dasar. Asisten penelitian yang terlatih
melakukan penilaian persetujuan akan dibutakan pada alokasi.

Hasil sekunder ukuran pemeriksaan telinga anak-anak

Bagian lain dari data dasar adalah pemeriksaan telinga anak. Ukuran hasil sekunder
adalah pengurangan prevalensi OMSK dan kelainan lain dari membran timpani pada kelompok
intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kami juga akan menawarkan pemeriksaan
kesehatan untuk semua anak. Sangat mungkin bahwa ini akan diterima dengan baik karena
jarang seorang dokter untuk meninggalkan ibukota daerah. Pemimpin tim lapangan, dokter
umum Australia yang berpengalaman, akan memeriksa telinga anak-anak dan mengambil
gambar digital dari gendang telinga mereka dengan Welch Allyn Digital Macroview Otoscope,
jika mungkin, untuk verifikasi kemudian oleh spesialis Telinga Hidung dan Tenggorokan untuk
diidentifikasi. Semua gambar akan diidentifikasi dengan nomor saja dan diserahkan ke spesialis
Telinga Hidung dan Tenggorokan spesialis yang akan menjadi penentu terakhir
diagnosis. OMSK akan didiagnosis menurut Pedoman WHO dengan discharge dari telinga lebih
dari dua minggu [1]. Terdapat variasi yang cukup besar secara internasional tentang durasi
discharge yang diperlukan untuk mendiagnosis OMSK, sehingga anak dengan discharge selama
lebih dari enam minggu dan tiga bulan akan didokumentasikan dan dianalisis secara terpisah
[38]. Tinggi, berat, lingkar lengan atas tengah, pengelihatan , jantung dan pemeriksaan kulit juga
akan dilakukan. Berat akan diukur sampai 100 g terdekat dengan timbangan Seca 876, tinggi
akan diukur sampai 1mm terdekat dengan pengukur tinggi mobile Seca 217 dan panjang untuk
terdekat 1 mm dengan matras pengukur Seca 210. Pemeriksaan pengelihatan akan menggunakan
Revised Sheridan Gardiner Test, yang cocok untuk anak buta huruf. Asisten peneliti akan dilatih
dalam penggunaan akurat peralatan dan pencatatan data oleh pemimpin tim lapangan
menggunakan WHO Training Course on Child Growth Assessment (2008) [39]. Pemimpin tim
lapangan akan melakukan pemeriksaan kulit, jantung dan pemeriksaan telinga. Anak-anak
dengan masalah medis akan dirujuk ke pos kesehatan atau rumah sakit setempat, yang
sesuai. Setiap anak dengan infeksi telinga saat juga akan ditawarkan pengobatan atau rujukan ke
pelayanan kesehatan lokal. Tidak ada pelayanan dokter spesialis telinga di Jumla, sehingga ini
tidak akan etis untuk menolak pengobatan untuk setiap anak. Hasil pemeriksaan akan dicatat
pada kertas yang juga akan mencatat nomor ID dari ibu atau nenek mereka.

kerugian

Kerahasiaan akan terjaga dengat ketat. Kuesioner, lembar data anak dan gambar digital
akan diidentifikasi dengan nomor. Kertas-kertas akan disimpan dalam kotak terkunci. Bentuk
persetujuan akan disimpan dalam kotak yang sama. Semua data kertas selanjutnya akan disimpan
dalam lemari arsip terkunci dalam penyimpanan bawah dari Sekolah Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Komunitas, University of New South Wales. Data elektronik akan disimpan pada
komputer yang dilindungi password. Penelitian ini memiliki kemungkinan yang sangat rendah
menyebabkan kerugian. Perempuan bisa menjadi tertekan ketika mendiskusikan kesehatan anak
mereka. Dalam hal yang tidak mungkin terjadi bahwa diperlukan tindak lanjut, pemimpin tim
lapangan akan mengatur ini dengan pelayanan kesehatan lokal. Setiap anak yang memiliki
kondisi medis akan dirujuk ke pelayanan kesehatan lokal. Para penulis adalah komite koordinasi
untuk penelitian ini dan mengambil tanggung jawab untuk koordinasi dan manajemen data. Titik
akhir dari penelitian ini telah ditentukan dan risiko timbulnya kerugian minimal.

Pengukuran besar sampel

Ukuran sampel dihitung pada hasil primer. Menggunakan data yang diambil dari
pertanyaan dalam studi kualitatif sebelumnya, ukuran sampel untuk penelitian unclustered
dengan 5% dua sisi type 1 error dan 80% kekuatan untuk mendeteksi perbedaan 25% di rata skor
kuesioner, akan terdapat 114 perempuan di setiap bagian. Daly et al. di Amerika Serikat dan
Srikanth et al. di India menemukan tingkat yang sangat rendah mengenai pengetahuan tentang
penyebab dan faktor risiko otitis media pada ibu dari anak [37, 40]. Kami mengantisipasi tingkat
sama rendah di Jumla, dan berhipotesis bahwa peningkatan 25% dapat dicapai. Ukuran cluster
yang ditetapkan pada ukuran kelompok perempuan yang sekitar 20 wanita. Untuk menyesuaikan
clustering, perlu dilakukan intra-cluster correlation coefficient (ICC) atau , yang mengukur
kesamaan respon individu dalam kelompok, untuk menghitung efek desain (nomor pada individu
dalam penelitian yang harus dikalikan untuk menyesuaikan untuk clustering) atau untuk
menghitung antara variabilitas cluster, k. Nilai-nilai ini bervariasi dan setiap estimasi hanya
dapat diperkirakan. Penelitian lain pada kematian neonatal di kelompok perempuan di Nepal
telah menemukan ICC sangat rendah 0,00644 [24]. Tielsch et al. [41] menghitung efek desain
1,23 dalam studi mereka yang mempelajari suplemen untuk mencegah kekurangan gizi pada
anak-anak. Mullany et al. [22] menggunakan efek desain 2.0 untuk studi mereka mencari
pengurangan 25% di omphalitis pada bayi baru lahir di pedesaan Nepal. Sedikit lebih jauh di
Bangladesh, Aboud et al. [23] memperhitungkan ICC 0,03 untuk makan responsif dan intervensi
stimulasi untuk kelompok perempuan pedesaan dan anak-anak. Pagel et al. [42] mereview ICC
pada intervensi outcome perinatal di negara-negara sumber daya yang rendah dan menemukan
ICC universal rendah untuk kematian ibu dan bayi tetapi ICC lebih tinggi untuk intervensi lain
seperti bidan terampil. Misalnya, di India dan Bangladesh bidan terampil berkisar antara ICC
0,02-0,04. Design Effect (Deff) adalah jumlah dimana ukuran sampel bagi seorang individu acak
terkontrol harus dikalikan untuk memberikan kekuatan setara dengan percobaan cluster secara
acak. Design Effect juga mempertimbangkan jumlah individu dalam setiap cluster -
m. Menggunakan persamaan Deff = 1 + (m-1) , dengan asumsi = 0,03, akan memberikan deff
= 1,6, atau 182 wanita per lengan. Menggunakan persamaan aman Deff = 1 + (m-1) , dengan
asumsi = 0,05, akan memberikan deff = 1,95, atau 223 wanita per lengan. Hal ini akan
diterjemahkan ke dalam 11 kelompok per lengan. Untuk menjelaskan stratifikasi, kami telah
menambahkan konservatif ekstra dua cluster per bagian, yang akan membuat 13 cluster per
bagian. Untuk mengaktifkan analisis cluster yang kuat minimal 15 cluster ideal. Hal ini akan
memberikan total sampel yang besar sekitar 600 perempuan di 30 cluster, 15 di intervensi dan 15
pada kelompok kontrol.

Analisis statistik

Analisis akan dilakukan dengan niat untuk mengobati, semua peserta studi akan
dimasukkan dalam analisis, bahkan jika hilang selama tindak lanjut. Analisis akan disesuaikan
untuk clustering. Setiap upaya akan dilakukan untuk memiliki data yang lengkap namun data
hilang tidak akan diabaikan dalam analisis. Data akan diperiksa dan dibersihkan sebelum masuk
ke Statistical Package for the Social Science. Pada baseline, profil perbandingan dari kedua
kelompok intervensi dan kontrol akan disediakan. Hasil primer dan sekunder - perbedaan rerata
skor kuesioner dan prevalensi OMSK - akan dibandingkan antara kedua kelompok. Data akan
dianalisis pada kedua individu dan kelompok tingkat. Analisis tingkat cluster sangat kuat,
dengan 15 cluster di setiap bagian, dan analisis tingkat individu yang disesuaikan untuk
clustering seharusnya juga menjadi sangat kuat juga. Untuk hasil primer, ukuran ringkasan, nilai
rata-rata dari kuesioner, analisis statistik akan dihitung dan kemudian kelompok intervensi dan
kelompok kontrol dibandingkan untuk signifikansi dengan uji t pada tingkat cluster. Untuk
analisis tingkat individu, kami berencana untuk menggunakan efek campuran regresi linier, yang
disesuaikan untuk efek clustering. Hasil sekunder adalah proporsi, jadi kami berencana untuk
menganalisis data tingkat individu menggunakan regresi logistik model efek acak, menggunakan
quadrature check, yang juga disesuaikan untuk clustering. Karena rentang usia cukup luas kami
akan mempertimbangkan setiap kelompok usia standar dalam analisis kami: di bawah satu tahun,
di bawah lima tahun, dan lima tahun ke atas. Kami juga akan menganalisis durasi discharge
telinga karena ini sangat berkorelasi dengan prognosis. Kovariat meliputi status sosial-ekonomi,
pendidikan, kasta, geografis dan jumlah anggota rumah tangga akan dipertimbangkan.

Diskusi

Uji coba ini akan menjadi yang pertama menggunakan randomized controlled trial yang
mencoba untuk membangun efektivitas intervensi masyarakat untuk meningkatkan kesehatan
telinga anak di Nepal. Kami telah merancang intervensi yang konsisten dengan nilai-nilai
masyarakat, harapan dan pengalaman, menggunakan sumber daya lokal yang ada. Kami telah
mendalilkan bahwa menanyakan wanita apa yang mereka ingin tahu, bagaimana mereka ingin
belajar dan apa yang penting bagi mereka, merumuskan intervensi pada prinsip-prinsip tersebut,
dan kemudian menyampaikannya secara familiar, akan meningkatkan penerimaannya. Kami
akan mengarahkan perempuan untuk mencari bantuan di layanan kesehatan ke pos kesehatan
yang ada dan klinik rawat jalan. Pos kesehatan menawarkan perawatan dan pengobatan gratis
kepada pasien di Jumla, yang mudah diakses dengan berjalan kaki. Namun, ketersediaan
perawatan tidak sebanding dengan akses perawatan. Kurangnya pengetahuan, kurangnya
persepsi ancaman, ketidakberdayaan, ketidaksetaraan gender semua berkonspirasi bersama-sama
dengan kemiskinan dan perbedaan geografis untuk mencegah perawatan yang memadai dari
penyakit telinga pada anak. Kelompok perempuan ini telah menjadi sarana yang baik dalam
pendidikan kesehatan, pemberdayaan dan pelatihan di Nepal, untuk meningkatkan kesehatan ibu
dan anak. Mereka adalah media yang ideal untuk intervensi partisipatif, berkonteks budaya, dan
melibatkan semua untuk mencoba mencegah OMSK.

Vous aimerez peut-être aussi