Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1
Continuing Education XXXVI
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Secara umum terapi cairan dan elektrolit bisa secara enteral maupun parenteral.
Dalam konteks perawatan anak sakit maka pembahasan terutama pada terapi secara
parenteral, karena biasanya intake peroral sangat tidak memadai dan hal ini hampir rutin
dikerjakan dalam sehari hari di ruang perawatan anak.
Dalam keadaan sakit sering didapatkan gangguan metabolisme termasuk
metabolisme air dan elektrolit. Dikatakan bahwa perburukan maupun perbaikan keadaan
klinis penderita berjalan paralel dengan perubahan-perubahan pada variabel fisiologis.1
Sebagaimana kita ketahui bahwa anak bukanlah miniatur dewasa, sehingga terapi cairan
dan elektrolit pada anak haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip fisiologi sesuai tahapan
tumbuh kembangnya dan patofisiologi terjadinya gangguan metabolisme air dan
elektrolit.
Air merupakan komponen terbesar dan pelarut terpenting dari tubuh kita, biasanya
dinyatakan dalam persen berat badan dan besarnya berubah menurut umur. Pada masa
prenatal menurun bersama masa gestasi, lebih kurang 78% berat badan pada saat
menjelang dan segera setelah lahir. Setelah itu menurun bertahap seperti pada gambar 1.
Pada pubertas anak perempuan mempunyai jumlah cairan tubuh lebih rendah dari anak
laki-laki karena kandungan lemaknya lebih tinggi.2,3
Gambar 1: Grafik hubungan antara umur dengan total cairan tubuh, cairan intraselu-
ler dan cairan ekstraseluler sebagai persen dari berat badan.2
Cairan tubuh terbagi dalam dua kompartemen yaitu intraseluler dan ekstraseluler.
Ekstraseluler terbagi dalam ruang interstisial dan intravaskuler. Pada fetus, ekstraseluler
lebih banyak dari intraseluler, dan ekstraseluler menurun seiring pertambahan usia.2,3
Cairan ekstraseluler menurun tajam setelah lahir sebagian besar karena postnatal diuresis,
disamping karena peningkatan pertumbuhan sel dan penurunan relatif rata-rata
pertumbuhan kolagen terhadap otot selama awal kehidupan.2
Untuk memudahkan kita dalam penatalaksanaan cairan dan elektrolit pada anak, maka
dari gambar 1 di atas bisa diambil titik-titik penting seperti pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1: Persentasi total cairan tubuh, cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler ber-
dasarkan umur.
Kompartemen Umur
cairan tubuh
Lahir Bulan Tahun
0 3 6 6 16
Dua ruang lain adalah ruang transcellular dan ruang slowly exchangeable. Sebe-
narnya ini juga merupakan cairan ekstraseluler tetapi mempunyai karakteristik tersendiri
dan dalam keadaan normal tidak begitu penting. Cairan slowly exchangeable berjumlah
8-10% berat badan, mengisi tulang-tulang rawan dan jaringan ikat yang keras. Pertukaran
tidak mudah terjadi sehingga tidak mempengaruhi keseimbangan cairan, tetapi dapat me-
nerima cairan infus dan meneruskan ke plasma pada resusitasi intraosseous. Cairan trans-
cellular atau rongga ke tiga (extracorporeal) berasal dari pengangkutan aktif cairan
ekstrasel melalui epitel dan dianggap sebagai reservoir cairan ekstraseluler, seperti: cairan
serebro spinalis, cairan lumen usus, cairan bola mata, cairan getah bening, cairan
intrapleura, cairan peritoneal, cairan sinovial dsb. Jumlahnya hanya 1-3% berat badan.2,3
Komposisi elektrolit dalam berbagai kompartemen tidak sama (gambar 2).
Natrium merupakan kation utama ekstraseluler dan aktif secara osmotik menjaga volume
intravaskuler dan interstisial. Kalium merupakan kation utama intraseluler, sehingga ber-
peranan menjaga osmolalitas intrasel dan memelihara volume sel. Kalium penting untuk
membangkitkan sel-sel saraf dan otot, bertanggung jawab terhadap kontraktilitas otot
(bercorak maupun polos) terutama otot jantung.2
potensi juga dapat merangsang haus melalui baroreceptor di atrium dan pembuluh darah
besar, atau melalui peningkatan angiotensin II. Gangguan rasa haus bisa terjadi pada
gangguan psikologik, penyakit SSP, hipo-K+, malnutrisi, gangguan renin angiotensin.2
Excretion atau pengeluaran air dapat berupa kehilangan cairan insensible (+30%),
air kemih melalui ginjal (+60%) dan sedikit cairan tinja (+10%). Ini menggambarkan
jumlah yang harus diminum perhari untuk mempertahankan keseimbangan cairan.2,4
Kehilangan insensible bisa melalui kulit (2/3) dan paru (1/3), tergantung faktor-faktor
yang mempengaruhi energy expenditure (tidak tergantung keadaan cairan tubuh) seperti:
luas permukaan tubuh, suhu tubuh dan lingkungan, laju respirasi, kelembaban ling-
kungan, dsb. Ini berbeda dengan kehilangan cairan melalui keringat (sensible water and
electrolyte losses) yang biasanya terjadi bila suhu tubuh dan / lingkungan meningkat,
diatur oleh sistem syaraf otonom.2,5,6
Pengeluaran air kemih penting untuk mengatur osmolalitas dan komposisi cairan
ekstraseluler. Jumlah dan kadar urine dikendalikan oleh axis neurohypophyseal-renal,
yaitu Antidiuretic Hormone (ADH). Ikut berpengaruh pula adalah GFR, keadaan epitel
tubulus ginjal, fungsi tiroid dan kadar adrenal steroid dalam plasma.2
Pengeluaran ADH terjadi karena exocytosis sebagai reaksi rangsangan hypothalamus.
Sekresi ADH diatur oleh tekanan osmotik cairan ekstraseluler, dipantau oleh vesikel
dalam nukleus supraoptikus sebagai osmoreceptor. Vesikel membengkak bila osmolalitas
cairan ekstraseluler lebih rendah dari intraseluler, mengerut apabila sebaliknya. Pengaruh
utama ADH adalah meningkatkan permeabilitas duktus colligentus terhadap air. Air
berdifusi keluar tubulus atas pengaruh ADH, dan difusi tidak terjadi bila tidak ada ADH.2
ngaruhi molekul-molekul besar seperti albumin yang tak mudah melintasi pori kapiler.
Selain permeabilitas kapiler dan colloid osmotic pressure, jumlah cairan interstitial
dipengaruhi tekanan hidrostatik kapiler (hukum Starling). Air dari ruang interstitial diba-
wa oleh saluran lymphe melalui duktus thorasikus ke vena cava.2 Tidak ada hubungan an-
tara osmolalitas dengan volume cairan ekstraseluler. Hipo atau hiperosmolar dapat berhu-
bungan dengan volume yang kurang, normal, atau berlebih.8
Air merupakan zat yang paling mudah berdifusi. Elektrolit dapat melintasi membran
kapiler dan membran sel dengan difusi maupun transport aktif Na+-K+-ATPase mengikuti
netralitas elektron masing-masing kompartemen.8,9 Permeabilitas membran terhadap
bahan terlarut non elektrolit bervariasi tergantung besar molekul dan jenis selnya.
Glukosa tidak mudah masuk ke dalam sel otot, tetapi harus dibantu insulin untuk selan-
jutnya segera dimetabolisme. Untuk sel-sel darah merah, hati, ginjal, dan beberapa sel
otak termasuk mungkin osmoreceptor glukosa dapat berdifusi dengan bebas. Karena
sebagian besar tubuh kita adalah sel otot, maka glukosa dapat mempengaruhi osmolalitas
efektif (effective osmols). Hiperglikemia menyebabkan pergeseran air intrasel ke ekstrasel
sehingga bisa menyebabkan kesalahan interpretasi kadar elektrolit, demikian pula dengan
manitol.8 BUN mudah melewati membran kapiler maupun membran sel, sehingga tidak
berkontribusi terhadap osmotic gradient (ineffective osmols). Tetapi BUN mempunyai
kontribusi terhadap osmolalitas secara keseluruhan.10 Natrium merupakan kation
terbanyak dalam plasma dan interstitial, dan bersama anionnya (Cl- dan bikarbonat)
berperan lebih dari 90% terhadap osmolalitas ekstrasel.2 Sehingga osmolalitas plasma
dapat dihitung dengan rumus:10
Glukosa BUN
Osmolalitas plasma = 2 x [Na+] + + 2,8 (mg/dl)
18 (mg/dl)
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menilai osmolalitas plasma berkaitan
interpretasi kadar natrium adalah bila terdapat hiperproteinemia dan hiperlipidemia. Hasil
laboratorium biasanya dalam meq/liter atau mmol/liter plasma volume, yang sebenarnya
adalah kadar dalam plasma water. Karena kelebihan protein dan lipid akan menggantikan
sebagian tempat dari air, kandungan air dalam plasma akan berkurang sehingga
interpretasinya cenderung hiponatremi (pseudohyponatremia).8,9
Cairan transeluler tidak ikut dalam keseimbangan, akan tetapi jumlahnya sangat
meningkat pada keadaan diare atau ileus dengan multiple air fluid level.2
penggantiannya, sebaliknya pada penderita poliuri. Pada penderita dengan unusual losses
memerlukan monitoring dan penyesuaian kebutuhan penggantian elektrolitnya.12
C. Masalah osmolalitas.
Osmolalitas diatur oleh :
ADH melalui mekanisme pengenceran dan pemekatan urin.
Mekanisme rasa haus.
Perubahan osmolalitas serum yang terjadi secara akut akan menyebabkan perubahan
volume sel secara cepat termasuk sel otak, sehingga bisa menimbulkan abnormalitas
neurologi. Dalam hal ini memerlukan koreksi cepat.
Tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap perubahan osmolalitas serum yang
terjadi secara lambat melalui pengaturan osmolalitas intrasel. Koreksi terhadap
abnormalitas osmolalitas serum yang sudah berlangsung lama harus dilakukan lebih
lambat untuk memberikan kesempatan terhadap mekanisme adaptasi tubuh.11,12
Sebagaimana diketahui bahwa natrium mempunyai peranan penting terhadap
osmolalitas ekstrasel,2 karena itu pembahasan osmolalitas akan kami tekankan pada
masalah gangguan keseimbangan natrium.
1. Hiponatremi. 11,12,14
Natrium serum < 130 mEq/L
Biasanya disebabkan karena jumlah air yang berlebih, dari pada karena jumlah
natriumnya yang rendah.
Perlu menentukan status cairan penderita untuk membantu klarifikasi penyebab
hiponatremi:
Assessment of volume status
UNa > 20 UNa < 20 UNa > 20 UNa > 20 UNa < 20
Terapi :
A = Penggantian air dan natrium yang adekuat, terapi hormonal bila ada indikasi.
B = Penambahan volume dan penggantian defisit natrium.
C & D = Restriksi air.
E = Membuat keseimbangan volume sirkulasi efektif dengan restriksi Na dan air.
Hiponatremi simtomatik:
Penurunan kadar natrium (biasanya < 120 mEq/L) disertai dengan kejang dan
perubahan mental status.
Salin hipertonis (NaCl 3%) hanya diindikasikan untuk kasus ini. Dinaikkan
bertahap dengan kenaikkan cepat cukup 5-10 mEq/L (cukup hanya sampai
kadar natrium 125 mEq/L) atau gejala klinis hilang, dengan batas kecepatan
tidak lebih dari 3 mEq/L/jam atau 6 ml/kg/jam (yang terbaik 1 mEq/L/jam
atau 2 ml/kg/jam). Selanjutnya diberikan lebih lambat dengan cairan lain yang
lebih hipotonis dari NaCl 3% (D50,45NaCl, D50,225NaCl, dsb) dengan
memperhitungkan kebutuhan natrium rumatan dan sisa defisit natriumnya,
total kenaikan perhari tidak lebih dari 10-15 mEq/L. Salin hipertonis (NaCl
3%) tidak ada tempat untuk hiponatremi asimtomatik.
Penghitungan defisit natrium:
TBW (L) x Natrium yang diharapkan (mEq/L).
Gunakan 135 mEq/L sebagai harga normal natrium.
Bila jumlah airnya yang berlebih, maka perhitungan banyaknya air yang perlu
dikeluarkan untuk meningkatkan natrium serum seperti contoh di bawah ini:
Anak 6 th, 25 kg, Na serum 110 mEq/L, dinaikkan menjadi 120 mEq/L.
- (Na terukur x TBW1) (Na diharapkan x TBW baru).
- TBW (6 yrs) = 65% x BB 25 x 0.65 = 16.25 L.
110 mEq/L x 16.25 L
- TBW2 = = 14.9 L 15 L.
120 mEq/L
- Air bebas elektrolit yang perlu dikeluarkan untuk meningkatkan Na serum
menjadi 120 mEq/L = TBW New TBW = 1.25 L.
2. Hipernatremi.11,12,14
Natrium serum > 150 mEq/L.
Biasanya disebabkan karena relatif defisiensi air (sebenarnya kadar natriumnya
normal). Bisa terjadi karena kehilangan banyak air, atau kehilangan air dan
natrium yang lebih encer (lebih hipotonis) dari pada serum.
Hipernatremia sebenarnya hampir tidak pernah terjadi pada pasien dengan sistem
pengaturan osmolalitas serumnya normal.
Terapi :
A,B,C,D = Memperbaiki volume sirkulasi efektif, dilanjutkan penyesuaian osmolalitas
dengan hati-hati. Bila memungkinkan, biarkan mekanisme dalam tubuh
penderita itu sendiri yang melakukan fungsi mekanisme regulasi
osmolalitasnya.
Hipernatremi berat atau kronis memerlukan koreksi perlahan untuk
mencegah masuknya kembali air ke dalam sel dengan cepat, jangan lebih
dari 10-15 mEq/L/hari dan monitor laboratorium ketat.
E = Keluarkan natrium dengan diuretik dan diganti air.
Pertimbangkan dialisis untuk kasus dengan hipernatremi dan kelebihan
cairan berat.
Hipernatremi simtomatik:
Gejala neurologi biasanya mulai tampak pada kadar natrium > 160 mEq/L.
Shok jarang dijumpai pada dehidrasi hipernatremi, yang sering adalah gejala
neurologi.
Bila dehidrasi berat, maka untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif tetap
digunakan cairan isotonis (Ringers Lactat, Ringers Asering, dsb).
Selanjutnya bila perfusi dan produksi urin membaik, maka cairan diganti
dengan cairan hipotonis (D50,45NaCl, D50,225NaCl, dsb) dengan
memperhitungkan kecepatan penurunan kadar natriumnya (pada prinsipnya
sama dengan kecepatan peningkatan kadar natrium pada penanganan
hiponatremi).
Untuk kasus dengan defisit air, maka penghitungan deficit airnya sbb:
Natrium yang diukur (mEq/L)
X TBW (L) - TBW (L)
Natrium yang diharapkan (mEq/L)
Gunakan 145 mEq/L untuk natrium yang diharapkan.
Ganti setengah dari defisit air dari hasil penghitungan dalam 12-24 jam,
setengahnya diberikan dalam 24-36 jam berikutnya.
Untuk kasus dengan kelebihan total natrium tubuh, maka diberikan diuretik
untuk mengeluarkan natrium dan dilakukan penggantian air elektrolit lain
yang ikut hilang. Pertimbangkan perlunya dialisis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kavanagh BP, Meyer LJ. Normalizing physiological variables in acute illness:
five reasons for caution. Intensive Care Med. 2005, 31:1161-1167.
2. Adelman RD, Solhaug MJ. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy. In:
Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics, 16th ed.
Philadelphia : WB Saunders, 2000: 189-227.
3. Paschall JA, Melvin T. Fluid and electrolyte therapy. Dalam: Holbrook PR.
Textbook of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders, 1993: 653-702.
4. Barkin RM, Rosen P. Emergency pediatrics: A guide to ambulatory care, 4th ed.
St Louis: Mosby, 1994: 69-73.
5. Souid AK, Schneiderman H. Principles of pediatric fluid therapy. Diakses dari
http://www.ec.hscsyr.edu/peds/fluid_manual, tanggal 27 Nopember 2000.
6. Ambalavanan N. Fluid, electrolyte, and nutrition management of the newborn.
Diakses dari wysiwyg://213/http://www.emedicine.com/ped/topic2554, tanggal 23
Mei 2002.
7. Stewart PA. How to understand acid-base. Diakses dari http://www.
qldanaesthesia.com, 20 Mei 2003
8. Oh MS, Carroll HJ. Regulation of Intracellular and Extracellular Volume. Dalam:
Arieff AI, DeFronzo RA. Fluid, electrolyte, and acid-base disorders, 2nd ed. New
York: Churchill Livingstone, 1995: 1-28.
9. Laiken N, Fanestil DD. Body fluids and renal function. Dalam: West JB. Best and
taylors. Physiological basis of medical practice, 12th ed. Baltimore: Williams &
Wilkins, 1990: 406-418.
10. Badr K, Ichikawa L. Physical and biological properties of body fluid and
electrolytes. Dalam: Ichikawa L. Pediatric textbook of fluids and electrolytes.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1990: 3-12.
11. Pearson GA. Handbook of Paediatric Intensive Care. London: WB Saunders,
2002: 83-97.
12. Symons. Clinical fluid and electrolyte management. Diakses dari www.seattle-
childrens.org/health_care_professionals/pdf/clinical_fluid.pdf, 20 Maret 2006.
13. Carcillo JA, Fields AI. Clinical practice parameters for hemodynamic support of
pediatric and neonatal patiens in septic shock. Crit Care Med 2002; 30:1365-1378.
14. Wood EG, Lynch RE. Electrolyte management in pediatric critical illness. Dalam:
Fuhrman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical care, 3th ed. Elsevier: Mosby,
2006: 939-957.