Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB I

PENDAHULUAN

Abortus merupakan istilah yang diberikan untuk semua kehamilan yang


berakhir sebelum periode viabilitas janin, yaitu ancaman atau pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Akan tetapi, karena
jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat
hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum
janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.1,2,3
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena kasus abortus banyak
yang tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus yang
berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang
terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus
spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga
pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat
haid. Diperkirakan frekuensi abortus spontan berkisar 10-15%. Frekuensi ini
dapat mencapai angka 50% bila diperhitungkan mereka yang hamil sangat dini,
terlambat haid beberapa hari, sehingga wanita itu sendiri tidak mengetahui bahwa
ia sudah hamil.3
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus
dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian: 1,3 juta dilakukan di
Vietnam dan Singapura; antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia; antara
155.000 sampai 750.000 di Filipina; antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand.
Di Indonesia, diperkirakan ada 5 juta kehamilan per-tahun. Dengan demikian
setiap tahun 500.000-750.000 abortus spontan.2 Berdasarkan data yang
dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia
mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan
remaja.2,3
Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah satu kali abortus
spontan, pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan

1
apabila pernah dua kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi
meramalkan bahwa risiko abortus setelah tiga abortus berurutan adalah 30-45%.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Menurut Kamus kedokteran Dorland, abortus adalah fetus dengan berat
kurang dari 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu pada saat
dikeluarkan dari uterus, yang tidak mempunyai kemungkinan hidup.1,5
Abortus/keguguran adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1,2

2.2 ETIOLOGI
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering
diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Faktor-faktor penyebabnya
sangat banyak pada bulan pertama dari kehamilan yang mengalami abortus.
Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut:2,3,4,8,9
2.2.1 Penyebab Genetik
Menurut HERTIG, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan
abortus spontan. Pada ovum abnormal, 6% diantaranya terdapat degenerasi
hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum,
berkurang kemungkinannya jika kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya
makin muda kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan
disebabkan oleh kelainan ovum (50-80%).2 Sebagian besar abortus spontan
disebabkan oleh kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada
trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Gambaran ini belum termasuk
kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan
Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau
multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotipe.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenik konsepsi terjadi pada awal
kehamilan. Kelainan sitogenik embrio biasanya berupa aneuploidi yang
disebabkan oleh kejadian sporadis. Trisomi 16 dengan kejadian sekitar 30% dari

3
seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak. Semua kromosom trisomi
berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindrom turner merupakan
penyebab 20-25% kelainan sitogenik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan
Sindroma Down (trisomi 21) bisa bertahan. Struktur kromosom merupakan
kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural terjadi pada sekitar 3% kelainan
sitogenik pada abortus. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2
kromosom yang abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang
tua, faktor tersebut tidak diturunkan.1,2,3,8
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor
tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila
ddapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya
juga berisiko mengalami abortus.1,2

Gambar 2.1 Frekuensi Kelainan Kromosom pada masing-masing Trimester4

2.2.2 Penyebab Anatomik


Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik,
seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan
bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan
riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% persen. 2,

4
Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah
septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau
unikornis (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun
abortus berulang. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang
berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosa) yang akan
2
menimbulkan gangguan. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan
tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko
abortus antara 25 80%, bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk
mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan Histerosalpingografi (HSG) dan
ultrasonografi. 2,3

2.2.3 Penyebab Autoimun


Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit
autoimun. Misalnya pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Antiphospholipid Antibodies (aPA). Diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan
berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin
dihubungkan dengan adanya aPA. Antiphospolipid syndrom (APS) sering juga
ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR
dan prematuritas. Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran
tentang penyebabnya . Sebagai contoh , Antiphospholipid Syndrome (APS) dan
inkompetensi serviks sering terjadi setelah trimester pertama. The International
Consensus Workshop mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS, yaitu meliputi:
trombosis vaskular, komplikasi kehamilan, kriteria laboratorium dan antibodi
fosfolipid.2,3
The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi
kriteria untuk APS, yaitu meliputi:
Trombosis vaskular
Dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histologi. Pada
pemeriksaan histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi.
Komplikasi kehamilan

5
Kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, kematian janin dimana
gambaran morfologi secara sonografi normal, dan adanya persalinan prematur
dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan preeklamisia berat
atau insufisiensi plasenta yang berat.
Kriteria laboratorium
Anticardiolipin antibodies (aCLs) : IgG dan atau IgM dengan kadar yang
sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari
atau sama dengan 6 minggu. aCLs diukur dengan metode ELISA standar.
Antibodi fosfolipid/antikoagulan.
Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid.

2.2.4 Penyebab Infeksi


Peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaranya sebagai berikut: 2,3
- Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada unit atau fetoplasenta,
- Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup,
- Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut
kematian janin,
- Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah
yang bisa mengganggu proses implantasi,
- Amnionitis (oleh kuman gram positif dan negatif),
- Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal.

2.2.5 Faktor Lingkungan


Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan
kimia atau radiasi dan umunya berakhir dengan abortus, misalnya paparan
terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Dengan adanya gangguan pada
sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi ganggguan pertumbuhan janin yang
berakibat terjadinya abortus.2,3

6
2.2.6 Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang
baik sistem pengaturan hormom maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian
langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran
hormon setelah konsepsi terutama kadar progesteron. Misalnya pada kasus
diabetes mellitus, kadar progesteron yang rendah, defek fase luteal, dan pengaruh
hormonal terhadap imunitas desidua.2,3

2.2.7 Faktor Hematologik


Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi
trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi
dikarenakan:2,3
- Peningkatan kadar faktor prokoagulan
- Penurunan faktor antikoagulan
- Penurunan aktivitas fibrinolitik
Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen meningkat selama kehamilan
normal terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu. Pada abortus sering
didapatkan defek hemostatik. Perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering
terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan
46 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8-11
minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu vasospasme serta
agregasi trombosit, yang menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. 2,3
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi
metionin kesistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita
berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini
berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan
secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat.
Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar homosistein
normal dalam beberapa hari.2,3

7
2.3 EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu pertama. Anomali
kromosom menyebabkan paling sedikit separuh dari abortus dini. Risiko abortus
spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah. Abortus spontan
yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita berusia kurang dari
20 tahun, menjadi 26% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Akhirnya, insiden
abortus meningkat pada wanita yang hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan
aterm.4
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Frekuensi Abortus spontan
berkisar 15-20 % dari semua kehamilan. Menurut SIEGLER dan EASTMAN,
abortus terjadi pada 10 % kehamilan. Data dari RS.Pringadi Medan diperoleh 10%
abortus dari seluruh kehamilan. Angka kejadian abortus habitualis 3-5 % . Data
menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus spontan , pasangan punya resiko 15 %
untuk mengalami keguguran lagi . sedangkan bila pernah 2 kali . resiko akan
meningkat 25 % , beberapa studi meramalkan bahwa resiko abortus setelah 3
abortus berurutan adalah 30-45 % . 2,3

2.4 PATOFISIOLOGI
Endometrium menyiapkan diri sebagai tempat implantasi dan memberi
makan kepada blastokist yang disebut sebagai desidua.
1,3
Setelah terjadi implantasi, desidua akan dibedakan menjadi :
1. Desidua basalis: desidua yang terletak antara blastokist dan miometrium
2. Desidua kapsularis: desidua yang terletak antara blastokist dan kavum uteri
3. Desidua vera: desidua sisa yang tidak mengandung blastokist
Bersamaan dengan hal ini pada daerah desidua basalis terjadi suatu
degenerasi fibrinoid, yang terletak diantara desidua dan trofoblast untuk
menghalangi serbuan trofoblast lebih dalam lagi. Lapisan dengan degenerasi
fibrinoid ini disebut sebagai lapisan Nitabuch.
Pada perkembangan selanjutnya, saat terjadi persalinan, plasenta akan
terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch tersebut.

8
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing
dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan
isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya
dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara
mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus
desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang
dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu ke atas
umumnya yang dikeluarkan setelah ketubah pecah ialah janin, disusul beberapa
waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas
dengan lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk
miniatur.2,3,4
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa
bentuk yang jelas (blighted ovum); mungkin pula janin telah mati lama (missed
abortion). Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat,
maka ia dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Isi uterus dimanakan mola
kruenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dan
dalam sisanya terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging.
Bentuk lain adalah mola tuberosa; dalam hal ini amnion tampak berbenjol-benjol
karena terjadi hematoma antara amnion dan korion.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses
mumifikasi: janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh
sebab diserap, ia menjadi agak gepeng (fetus kompressus). Dalam tingkat lebih
lanjut ia menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus papiraseus). Kemungkinan
lain pada janin-mati yang tidak segera dikeluarkan ialah terjadinya maserasi; kulit
terkupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar karena terisi cairan, dan
seluruh janin berwarna kemerah-merahan.2

9
Faktor genetik Faktor Faktor penyakit Faktor infeksi Faktor Faktor
anatomik autoimun lingkungan hormonal
uterus

Kelainan Gangguan SLE dan aPA Terjadinya Seperti nikotin Penurunan


sitogenik implantasi serta metabolisme dan co2 kadar
(mutasi gen) pasokan darah toksin, infeksi progesteron
ke Kematian janin janin, amnion,
endometrium plasenta, dan
endometrium Efek vasoaktif
Gangguan Gangguan
proses implantasi
implantasi
Hambatan
Gangguan
sirkulasi
implantasi dan
uteroplasenta
kematian janin

Gangguan
pertumbuhan
janin

Perdarahan pada desidua basalis

Nekrosis jaringan disekitar pendarahan

Hasil konsepsi terlepas seluruhnya atau


sebagian dari dinding endometrium

Merupakan Korpus alineum dalam uterus

Terjadi kontraksi untuk mengeluarkan isinya

ABORTUS

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi Abortus

10
2.5 KLASIFIKASI ABORTUS DAN PENANGANANNYA
Abortus dapat diklasifikasikan atas dua golongan:2,3,4,5,6
1. Abortus Spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan tidak didahului
faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan
oleh faktor-faktor alamiah. 6
2. Abortus Provokatus (induced abortion), yaitu abortus yang disengaja,
baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini dibagi
menjadi: 6
a. Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
Abortus karena tindakan sendiri, dengan alasan bila kehamilan
dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi
medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim
dokter ahli.
b. Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.

Abortus spontan secara klinis dapat digolongkan atas:


2.5.1 Abortus Imminens
Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada
kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan
tanpa adanya dilatasi serviks.
Diagnosis abortus immines ditentukan karena pada wanita hamil terjadi
perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama
sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan
tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit
pada saat haid yang semestinya datang jika tidak terjadi pembuahan. Hal ini
disebabkan oleh penembusan villi koriales ke dalam desidua, pada saat implantasi
ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, dan cepat
berhenti, tidak disertai mules-mules. Untuk menentukan prognosis abortus
iminens dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon HCG pada urin dengan

11
cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan
dengan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka
prognosisnya adalah baik, bila dengan pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka
prognosisnya dubia ad malam.
Penanganan abortus imminens terdiri atas: 2,3,6
1. Istirahat-baring. Tirah baring merupakan unsur penting dalam pengobatan,
karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan
berkurangnya rangsangan mekanik. Tirah baring dilakukan sampai
perdarahan berhenti.
2. Tentang pemberian hormon progesteron pada abortus imminens belum ada
persesuaian faham. Sebagian besar ahli tidak menyetujuinya, dan mereka
yang menyetujuinya menyatakan bahwa harus ditentukan dahulu adanya
kekurangan hormon progesteron, apabila difikirkan bahwa sebagian besar
abortus didahului oleh kematian hasil konsepsi dan kematian ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor, maka pemberian hormon progesteron
memang tidak banyak manfaatnya.
3. Pemeriksaan ultrasonografi penting dilakukan untuk menentukan apakah
janin masih hidup. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui
pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah
terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong
gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut
jantung janin dan gerakan janin diperhatikan disamping ada tidaknya
hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan
USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal.
4. Macam dan lamanya perdarahan menentukan prognosis kelangsungan
kehamilan. Prognosis menjadi kurang baik bila perdarahan berlangsung
lama, mules-mules yang disertai pendataran serta pembukaan serviks.
Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan
khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2
minggu.

12
2.5.2 Abortus Insipiens
Abortus insipiens ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan
sebelum 20 mingggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi
hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering
dan kuat, perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilaksanankan
dengan kuret vakum atau dengan cunam ovum, disusul dengan kerokan. 2,3
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya perdarahan tidak banyak
dan bahaya perforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus
dipercepat dengan pemberian infus oksitosin. Apabila janin sudah keluar tetapi
plasenta masih tertinggal, sebaiknya pengeluaran plasenta dikerjakan secara
digital yang dapat disusul dengan kerokan bila masih ada sisa plasenta yang
tertinggal. Bahaya perforasi pada hal yang terakhir ini tidak seberapa besar karena
dinding uterus menjadi tebal disebabkan sebagian besar hasil konsepsi telah
keluar. 2,3,6

Gambar 2.3 Abortus Iminens, abortus Insipiens, dan missed abortion2,3

13
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan
perubahan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan
evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan
banyak. Pada usia kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi
telur angsa, maka tindakan evakuasi dan kuretase harus dilakukan hati-hati, kalau
perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan
tindakna kuretase sambil memberikan uterotonika yang akan mencegah terjadinya
perforsi pada dinding uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum,
pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis. 2,3,5,6

2.5.3 Abortus Inkompletus


Abortus inkompletus ialah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba
dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri
eksternum. Perdarahan pada abortus inkompletus dapat banyak sekali, sehingga
menyebabkan syok dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa hasil
konsepsi dikeluarkan. Dalam penanganannya, apabila abortus inkompletus
disertai syok karena perdarahan, segera harus diberikan infus cairan NaCl
fisiologik atau cairan Ringer yang disusul dengan transfusi. Setelah syok diatasi,
dilakukan kerokan. Pasca tindakan disuntikkan intramuskulus ergometrin untuk
mempertahankan kontraksi otot uterus.2,3

2.5.4 Abortus Kompletus


Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada
penderita ditemukan perdarahan sdikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus
sudah banyak mengecil. Diagnsosis dapat dipermudah apabila hasil konsepsi
dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan
lengkap. 2,3
Penderita dengan abortus kompletus tidak memerlukan pengobatan
khusus, hanya apabila menderita anemia perlu diberi sulfas ferrosus atau transfusi.

14
Gambar 2.4 Abortus Inkomplit dan abortus komplit2,3

2.5.5 Abortus Servikalis


Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dai uterus dihalangi oleh
ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga semuanya terkumpul daam
kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi besar, kurang-lebih bundar, dengan
dinding menipis. Pada pemeriksaan ditemukan serviks membesar dan di atas
ostium uteri eksternum teraba jaringan. 2,3
Terapi terdiri atas dilatasi serviks dengan busi Hegar dan kerokan untuk
mengeluarkan hasil konsepsi dari kanalis servikalis. 2,3.4

2.5.6 Missed Abortion


Missed abortion ialah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi
janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etiologi missed
abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron. Pemakaian
hormon progesteron pada abortus imminens mungkin juga dapat menyebabkan
missed abortion.2,3,4
Diagnosis: dahulu diagnosis biasanya tidak dapat ditentukan dalam satu
kali pemeriksaan, melainkan memerlukan waktu pengamatan untuk menilai tanda-
tanda tidak tumbuhnya malahan mengecilnya uterus. Missed abortion biasanya
didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang secara
spontan atau setelah pengobatan. Gejala subjektif kehamilan menghilang,

15
mammae agak mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi bahkan mengecil, tes
kehamilan menjadi negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah
janin sudah mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan. Perlu diketahui pula
bahwa missed abortion kadang-kadang disertai oleh gangguan pembekuan darah
karena hipofibrinogenemia, sehingga pemeriksaan ke arah ini perlu dilakukan.
Penanganan: Setelah diagnosis missed abortion ditegakkan, timbul
pertanyaan apakah hasil konsepsi perlu segera dilakukan tindakan pengeluaran.
Tindakan pengeluaran itu tergantung dari berbagai faktor, seperti apakah kadar
fibrinogen dalam darah sudah mulai turun. Hipofibrinogenemia dapat terjadi
apabila janin yang mati lebih dari 1 bulan tidak dikeluarkan. Selain itu, faktor
mental penderita perlu diperhatikan karena tidak jarang wanita yang bersangkutan
merasa gelisah, mengetahui ia mengandung janin yang telah mati, dan ingin
supaya janin secepatnya dikeluarkan.6
Pengeluaran hasil konsepsi pada missed abortion merupakan satu tindakan
yang tidak lepas dari bahaya karena plasenta dapat melekat erat pada dinding
uterus dan kadang-kadang terdapat hipofibrinogenemia. Apabila diputuskan untuk
mengeluarkan hasil konsepsi itu, pada uterus yang besarnya tidak melebihi 12
minggu sebaiknya dilakukan pembukaan serviks uteri dengan memasukkan
laminaria selama kira-kira 12 jam dalam kanalis servikalis, yang kemudian dapat
diperbesar dengan busi Hegar sampai cunam ovum atau jari dapat dikeluarkan
lebih mudah serta aman, dan sisa-sisanya kemudian dibersihkan dengan kuret
tajam.2,3,6

2.5.7 Abortus Habitualis


Definisi. Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau
lebih berturut-turut.2,3,6
Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya
berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus
habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan
terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis

16
ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan Llewellyn-Jones
memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39%.2,3,6
Etiologi abortus habitualis pada dasarnya sama dengan penyebab abortus
spontan. Selain itu telah ditemukan penyebab imunologik yaitu kegagalan reaksi
terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Pasien dengan
reaksi lemah atau tidak ada akan mengalami abortus. Sistem TLX ini merupakan
cara untuk melindungi kehamilan. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi
leukosit atau heparin. Dalam usaha untuk mencari penyebab itu perlu dilakukan
penegakkan diagnosis yang teliti: anamnesis yang lengkap, pemeriksaan VDRL,
pemeriksaan test toleransi glukosa, pemeriksaan kromosom dan pemeriksaan
mikoplasma. Abortus habitualis yang terjadi dalam triwulan kedua dapat
disebabkan oleh serviks uteri yang tidak mampu terus menutup, melainkan
perlahan-lah membuka (inkompeten).2 Kelainan ini sering kali akibat trauma pada
serviks, misalnya karena usaha pembukaan yang berlebihan, robekan serviks yang
luas dan sebagainya.6
Diagnosis. Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan
anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia
menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua
terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules, ketuban menonjol dan pada suatu
saat pecah. Kemudian timbul mules yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran
janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam
triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia
mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks
inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium internum uteri
melebar lebih dari 8 mm.
Penanganan. Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak
diketahui. Oleh karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan
umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak,
larangan koitus dan olahraga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin,

17
hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis
karena penderita mendapat kesan bahwa ia diobati.2,6

2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis abortus secara umum, meliputi:2,3
Ada riwayat terlambat haid atau amenore yang kurang dari 20 minggu
Perdarahan pervaginam, mungkin disertai Jaringan hasil konsepsi.
Rasa sakit atau kram perut di daerah supra simfisis.

Kriteria diagnosis pada masing-masing abortus, meliputi:


1. Gejala klinis
a. Abortus Iminens
Ditegakan atas dasar adanya perdarahan melalui ostium uteri eksternum,
disertai dengan perasaan mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus
membesar sesuai dengan usia kehamilan, serviks belum membuka dan tes
kehamilan positif.
b. Abortus Insipiens
Didapatkan perdarahan melalui ostium uteri eksternum agak banyak, rasa
mules biasanya lebih sering dan kuat, didapatkan dilatasi dari serviks uteri
dan hasil konsepsi masih dalam uterus.
c. Abortus Inkomplit
Sebagian hasil konsepsi telah keluar, kanalis servikalis terbuka dan
Jaringan sudah dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah
menonjol dari ostium uteri eksternum. Perdarahan pada abortus inkomplit
dapat banyak sekali sampai dapat menimbulkan syok dan perdarahan ini
tidak akan berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan.
d. Abortus komplit
Semua hasil konsepsi telah keluar dan diagnosis dipermudah apabila hasil
konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan semuanya sudah keluar
dengan lengkap.

18
e. Missed abortion
Biasanya tidak dapat ditentukan dengan satu kali pemeriksaan, melainkan
memerlukan waktu untuk pengamatan dan penilaian tanda-tanda tidak
tumbuhnya atau bahkan mengecilnya uterus. Missed abortion biasanya
didahului oleh tanda-tanda abortus iminens yang kemudian menghilang
secara spontan atau setelah pengobatan, Hasil konsepsi tertinggal dalam
rahim lebih dari 8 minggu atau biasanya tes kehamilan negatif.
f. Abortus infeksiosa
Abortus yang disertai dengan infeksi pada organ-organ genitalia.
Didapatkan febris, nyeri adneksa dan fluor yang berbau.
g. Abortus septik
Abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksin ke
peritoneum dan peredaran darah. Didapatkan tanda-tanda sepsis pada
umumnya dan tidak jarang disertai dengan syok.

2. Laboratorium
Tes kehamilan, laboratorium rutin dan khusus seperti COT. Pemeriksaan
kadar fibrinogen pada missed abortion.

3. Radioiogi
Pemeriksaan USG dan Doppler untuk menentukan apakah janin masih
hidup dan menentukan prognosisnya.

2.7 Komplikasi Abortus


Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi
dan syok.2,3
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian trasfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada
waktunya.

19
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati
dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi,
dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi
atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh
orang awan menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus
biasanya luas; mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau
usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi,
laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera,
untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna
mengatasi komplikasi.2,3
3. Infeksi
Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus tetapi
biasanya didapatkan pada abortus inkomplet yang berkaitan erat dengan
suatu abortus yang tidak aman (unsafe abortion).
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang
merupakan flora normal, seperti : staphylococci, streptococci, Gram
negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum),
Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada
lactobacili, streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli,
Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada
abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik
virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba,
parametrium, dan peritoneum. Organisme-organisme yang paling sering
bertanggung jawab terhadap infeksi pasca abortus adalah E.coli,
Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob, Staphylococcus
aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri
lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus
dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh
karena dapat membentuk gas.

20
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat (syok endoseptik).

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada kasus abortus, meliputi:2,3,7,8,9
1. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik merupakan setiap kehamilan yang terjadi di luar
kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang
menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama.
Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab
terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri
kehamilan.
Diagnosis klinik:
Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester
pertama kehamilan. Meskipun gejala-gejala ini umumnya
ditemukan dalam komplikasi pada awal kehamilan, seperti:
ancaman keguguran dan dapat juga merupakan akibat dari keadaan
yang tidak berhubungan tetapi terjadi bersamaan, seperti: iritasi
serviks, infeksi, atau trauma.
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5
dan 12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih
awal daripada kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-
teknik diagnostik yang ada.
2. Molahidatidosa
Molahidatidosa merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili koliaris mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropik.

21
Diagnosis klinik:
Gejala awal hampir sama dengan kehamilan biasa yaitu: mual,
muntah, pusing, dan lain-lain hanya saja derajat keluhan biasanya
lebih hebat.
Gejala perdarahan biasanya terjadi antara bulan pertama sampai
ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu.
Sifat perdarahan intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
yang dapat menyebabkan syok.
Pemeriksaan USG menunjukkan gambaran berupa badai salju
(snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey
comb).

2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan kasus abortus yaitu dengan:
Mempersiapkan kehamilan konsumsi makanan yang bergizi,
vitamin, asam folat.
Cek TORCH sebelum hamil
Meghindari faktor predisposisi
Menjaga higienitas dan gaya hidup sehat.

2.10 PENANGANAN LANJUTAN


Setelah abortus, pasien perlu diperiksa untuk mencari sebab abortus.
Selain itu perlu diperhatikan involusi uterus dan kadar HCG 1-2 bulan kemudian.
Pasien diharapkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan sehingga perlu memakai
kontrasepsi seperti kondom atau pil.2,3

22
BAB III
PENUTUP

Abortus/keguguran adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi


sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1,2 Lebih dari 80%
abortus terjadi dalam 12 minggu pertama. Anomali kromosom menyebabkan
paling sedikit separuh dari abortus dini. Risiko abortus spontan meningkat seiring
dengan paritas serta usia ibu dan ayah.2,3
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh
nekrosis jaringan di sekitarnya. Abortus dapat diklasifikasikan atas dua
golongan:2,3,4,5,6 Abortus Spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan tidak
didahului faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan
6
oleh faktor-faktor alamiah. Sedangkan, abortus Provokatus (induced abortion),
yaitu abortus yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-
alat.6
Setelah abortus, pasien perlu diperiksa untuk mencari penyebab abortus.
Selain itu perlu diperhatikan involusi uterus dan kadar HCG 1-2 bulan kemudian.
Pasien diharapkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan sehingga perlu memakai
kontrasepsi seperti kondom atau pil.2,3

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Kedokteran Dorland. hal. 6.


2. Moeloek Anfasa Farid, Prof. Dr, dr, SpOG, KFER. Standar Pelayanan
Medik Obstetrik dan Ginekologi. Perkumpulan Obstetrik dan Ginekologi
Indonesia. Jakarta: 2006.
3. Wiknjosastro, Hanifa. Prof.dr.SPOG. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta: 2007. hal. 139-56; 459-70.
th
4. Cunningham et al: Williams obstetrics. 20 ed. Connecticut: Prentice-
Hall International, Inc, 1997; 95-107, 755-60, 765-67 .
5. Leveno J Kenneth. MD, dkk. Obstetri wiliams panduan ringkas. Abortus.
Ed 21. EGC. Jakarta. 2009. hal. 54-65.
6. Rustam, Mochtar. Abortus dan Kelainan dalam Tua Kehamilan dalam
Sinopsis Obstetri. Jilid 1 Edisi ke 2. Jakarta :EGC ; 1998. hal 209-17.
7. Sastrawinata, R.S. Abortus. Dalam: Obstetri Patologi. Bagian Obstetri
dan Ginekologi FK UNPAD. 1981. hal. 7-17.
8. Supono: Ilmu kebidanan. Bab I. Fisiologi. Palembang: Unit Obstetri dan
Ginekologi rumah Sakit Umum Palembang/ Fakultas Kedokteran
universitas Sriwijaya, 1985: 45-7.
9. Winknjosastro, Gulardi H. Perdarahan pada Kehamilan Muda (Abortus).
Dalam: Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED).
1998. hal. 3-1 13.
10. Chadha PV. Abortus. Dalam: Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi V.
Jakarta: Widya Medika; 1995. hal. 160-7.

24

Vous aimerez peut-être aussi