Vous êtes sur la page 1sur 3

Tumaninah Minum Kopi di Semenjana Kopi

Semenjana dari depan, ketika acara Ngopi Pagi. Dokumen pribadi.

Kalau anda baru di kota Samarinda, atau penggemar kopi baru di Samarinda, kemudian bertanya dimana
tempat rekomendasi untuk membeli bijih kopi arabika atawa sekedar ngopi manual brew yang enak, bisa
jadi kebanyakan orang lawas akan menjawab: ke Semenjana saja, tempatnya di Perumahan Sempaja
Lestari. Atau kalau anda menemukan akun Instagramnya, lalu mencari alamat yang tertera di bio-nya.
Tapi disitulah petualangan dimulai. Tidak mudah menemukan Semenjana, tempatnya di ujung
perumahan, kalau tidak hafal jalannya, bisa menyerah dan memilih pulang saja. Saya bisa bilang begitu
karena saya mengalami sendiri, begitu juga banyak orang lainnya. Bahkan ada yang pernah bertanya,
emang ada ya mas yang mau kesini?.

Semenjana bukan kafe. Judul resmi yang tertera di plangnya adalah Rumah Seduh dan Sangrai Kopi
Semenjana. Tempatnya juga bukan di ruko, atau bangunan khas tempat nongkrong lainnya. Rumah
adalah rumah secara harfiah, ya tempatnya di rumah. Makanya, kadang begitu orang sampai di lokasi
dan belum ramai tamu, pasti berpikir, yakin nih tempatnya?. Apalagi sebelum adanya plang (saya baru
tahu dipasang setelah setahun buka), yakin pasti lebih bingung lagi. Jam operasional Semenjana dari jam
tujuh malam sampai jam dua belas malam, itupun tidak tiap hari. Jadwalnya bisa dipantau lewat akun
instagramnya. Kecuali ingin ambil biji kopi, bisa janjian sewaktu-waktu.

Menuju Semenjana memang butuh perjuangan. Apalagi kalau sedang hujan lebat, dan semua tahu
Samarinda rawan banjir. Tapi ketika sampai tempatnya, kita bisa ngopi secara tumaninah. Tenang.
Damai. Masuk pun kita sudah disapa Mas Rifki dan Mbak Hilda, Dynamic Duo owner Semenjana.
Mas Rifki dan Mbak Hilda. Dokumentasi Semenaja Kopi

Lapak Semenjana adalah ruang tamu yang tidak terlalu besar, ada satu meja kotak di emperan rumah
untuk tempat merokok. Kalau mau dipaksa sampai sesak pun, paling mentok lima belas orang. Tapi itu
asyiknya, tempat begini menjamin semua orang berinteraksi. No Wifi. Sebenarnya ada sih, Cuma kata
sandinya hanya empunya rumah yang tahu. Supaya tidak nunduk layar hape saja katanya.

Menu utama disini adalah kopi arabika, jenisnya tidak tentu. Kadang di antaranya ada kopi impor, tapi
local pasti mendominasi. Seringnya ada Gayo, Toraja, Sunda, dan segala macam. Itupun beda jenis, Gayo
kemarin ada Gayo Queen Ketiara, hari ini ada Gayo ramung, bulan depan Gayo Black Honey. Begitu juga
yang lain. Harganya tidak mahal, berkisar lima belas sampai dua puluh ribu untuk kopi lokal, sedikit lebih
mahal buat yang impor. Kudapan juga dibuat variatif, hari ini dan besok bisa beda.

Di rumah bagian belakang ada mesin sangrai kapasitas satu kilogram yang kesehariannya dipakai Mas
Rifki untuk menyangrai. Seperti yang sudah saya ceritakan di depan dan sesuai judul tempatnya,
Semenjana menyediakan biji kopi arabika. Jadi pembicaraan soal kopi disini tidak hanya tentang seduh
saja, bahkan saya yang awam bisa sedikit tahu proses paska panen karena Mas Rifki memang sering
berinteraksi langsung dengan petani kopi. Dan memang dia tidak segan mengajari newbie kopi, bahkan
saya sampai dipinjami seperangkat alat seduh untuk dibawa pulang sementara waktu sampai saya bisa
beli alat seduh sendiri.
Selain kopi, banyak yang dibicarakan. Sastra misal. Memang Mas Rifki cukup suka sastra, di ruang tamu
ada beberapa tumpuk buku, dan diantaranya bisa dipinjam. Bahkan ada teman saya yang sampai dua
bulan tidak mengembalikan satu buku. Ada. Padahal saya ingin pinjam juga. Pernah juga ada kursus
singkat yoga. Kalau habis tayang episode Game of Thrones, bisa jadi itu yang dibahas. Dan semua yang
ada di ruangn ikut menyimak.

Semenjana Kopi saat ramai. Dokumen Semenjana.

Keintiman yang didapatkan di Semenjana adalah yang menarik orang untuk terus menerus datang, meski
kadang harus menembus banjir sekalipun. Makin sering orang datang, makin lekat pula dan besar rasa
sayangnya. Semenjana menjelma menjadi keluarga besar. Ada konser bagus, bersama-sama datang. Hari
libur dn mau tamasya bersama, pergi bareng. Tujuh belas Agustus, dengan alasan sentimental membuat
ngopi pagi sambil makan bubur ayam (gratis pula).

Saya pernah bertanya, pada saat saya masih amat baru intim dengan Semenjana, dan masih belum
banyak tamu yang datang. Mengapa nama Semenjana yang dipilih? Padahal kalau memakai alasan
filosofis, artinya kan medioker, biasa-biasa saja. Kurang pas untuk menggambarkan kesuksesan, padahal
sekarang rumah kopi ini sudah punya tamu yang loyal. Jawabnya, karena bagus aja, enak didenger,
macam judul lagu dangdut, kata Mas Rifki sambil nyengir, di depan saya dan Mbak Hilda di ruang
makannya. Absurd. Tapi berhasil.

Alif Bareizy

Vous aimerez peut-être aussi