Vous êtes sur la page 1sur 10

Di musim semi 2003, diperkirakan bahwa 30% dari 7.

000 sekolah Afganistan telah rusak


parah selama lebih dari 2 dasawarsa pendudukan Uni Soviet, perang saudara, dan penguasaan
Taliban. Hanya setengah dari sekolah itu dilaporkan memiliki air bersih, dengan kurang dari
40% yang diperkirakan memiliki sanitasi yang cukup. Pendidikan untuk anak lelaki bukanlah
prioritas selama masa Taliban, dan anak perempuan dibuang dari sekolah secara ikhlas.

Berkenaan dengan kemiskinan, dan kekerasan di sekeliling mereka, studi pada 2002 oleh
kelompok pembantu Save the Children mengatakan anak Afganistan ulet, dan berani. Studi
itu memuji kuatnya institusi keluarga, dan lingkungan.

Sampai 4 juta anak Afganistan, kemungkinan jumlah terbesar, dipercaya telah telah
mendaftar untuk kelas untuk tahun-tahun sekolah yang mulai pada Maret 2003.

Tingkat melek huruf keseluruhan penduduk diperkirakan 36%.

Afganistan adalah salah satu negara tidak berdaya yang telah diduduki oleh Amerika Serikat
(US). Ia adalah negara yang penuh dengan kerusakan, pembantaian, kemiskinan, gangguan
kesehatan masyarakat, keamanan dan infrastruktur. Penerapan system sekuler oleh
pemerintah Barat yang diklaim sebagai solusi atas segala kesengsaraan hanya menimbulkan
lebih banyak peperangan dan bencana. Para generasi muda yang masih memiliki mimpi akan
kemajuan dan pendidikan terjebak dalam keputusasaan karena mereka harus segera
menyadari bahwa dengan kondisi negara mereka yang masih terjajah seperti sekarang adalah
sebuah kemustahilan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan yang memadai, pendidikan
yang akan menopang generai muda untuk benar-benar bangkit. Kondisi Ini bertentangan
dengan sistem pendidikan yang ada pada masa kekhilafahan Islam, yang apabila ditegakkan
kembali, akan memberikan sistem pendidikan yang dapat mengarahkan pemuda muslim dan
seluruh masyarakat kepada kemajuan yang sesungguhnya (nahda= kebangkitan).

Sistem pendidikan adalah salah satu cara untuk mempertahankan ideology suatu peradaban,
oleh karena itu, maksud dan tujuan dari sebuah kurikulum pendidikan sangatlah penting
adanya. Sampai pada saat ini, sistem pendidikan di Afghanistan tidak dapat menopang
kebutuhan masyaratkatnya, sama halnya juga dengan system perpolitikannya. Pada masa
rezim Taliban, pendidikan hanya diutamakan untuk laki laki saja dan titik fokus sistem
pendidikannya adalah di sekolah-sekolah al Quran dan madrasah-madrasah, pendidikan yang
lain tidak dianggap cukup penting. Sejak tumbangnya rezim Taliban, dibawah upaya bersama
pemerintah Afganistan dan pakar internasional, kurikulum pendidikan diubah. Tak lama
setelah Pemerintahan dikuasai oleh Karzai, ia mulai membentuk sistem pendidikan dalam
bingkai sekularisme, dan berharap dapat menghasilkan perubahan yang lebih baik.
Organisasi-organisasi sekuler mendukung penghapusan keyakinan akan nilai-nilai Islam dari
kurikulum dan materi-materi pendidikan, dengan landasan bahwa mereka memandang nilai-
nilai tersebut merupakan refleksi dari kecenderungan/prasangka akan budaya, agama, dan
gender. Mereka juga berasumsi bahwa dengan penghapusan nilai-nilai Islam dapat menjadi
jalan bagi masyarakat untuk lebih memaknai hidup. Tujuan dibalik reformasi ini adalah
penyisipan ide-ide sekuler dalam sistem pendidikan di Afghanistan, yang secara tidak
langsung membentuk generasi muda menjadi tenaga kerja yang melayani keinginan
pemerintah penjajah. Agenda sekularisasi ini adalah ikut dalam membentuk masyarakat yang
jauh dari nilai agama dan norma adat. Dan menjadikan masyarakat patuh terhadap nilai-nilai
dan norma-norma sekuler. Kondisi tersebut mengacu pada proses sejarah ketika pentingnya
nilai-nilai agama hilang dalam kehidupan sosial dan budaya. Sebagai hasil dari sekularisasi
ini peran agama dalam masyarakat modern menjadi sangat terbatas. Di dalam Islam tidak
ada pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan seperti halnya di peradaban barat. Dalam
peradaban Islam, Hukum-hukum Islam menjadi landasan dari semua aktivitas dan sudut
pandang dalam kehidupan (menggunakan halal haram) sebagai tolak ukur . Sebaliknya
sekularisme menyatakan bahwa agama adalah urusan pribadi, individu dan dilakukan dengan
sukarela tanpa adanya pengaruh terhadap kehidupan sosial dan sistem pendidikan. Oleh
karena itu, musuh-musuh Islam mempropagandakan bahwa sekularisasi, demokrasi dan
kesetaraan gender adalah landasan dari perdamaian abadi dan kemajuan di Afganistan, para
pemuda diharuskan melihat agama dan pendidikan dalam sudut pandang ini yang sangat jauh
dari nilai Islam. Mereka melaksanakan strategi yang berbeda untuk mensekularisasi sistem
pendidikan dan menjauhkan pemuda dari kebenaran Islam sebagai jalan kehidupan yang
sempurna.

Di dekade terakhir, agenda penghapusan kayakinan terhadap nilai-nilai Islam pada materi
pendidikan dan kurikulum di Afganistan, mendapatkan perhatian dari donator-donatur barat,
LSM dan Organisasi-organisasi internasional. Dalam laporan pada Juli 2016, The United
States Agency for International Development (USAID) menyatakan bahwa mereka
mendukung untuk memperkuat sistem pendidikan di Afganistan dengan menyediakan guru-
guru profesional, materi pendidikan yang berkualitas dan metodelogi yang mengarah kepada
perkembangan dan nilai-nilai demokrasi. Sebagai contoh, dalam penerapan terhadap
kurikulum, topik/tema seperti kesetaraan gender dan pendidikan mengenai perdamaian
diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dengan dukungan dari Program Pendidikan Dasar
untuk Afganistan (BEPA). Selain itu, buku-buku sekolah yang baru difokuskan pada
pemahaman akan konsep-konsep barat mengenai kesetaraan gender dan sudut pandang
kapitalis tentang globalisasi dan modernisasi. Tema-tema Islam seperti mengenal sifat-sifat
Allah dalam asmaul husna, Jihad, dan lain-lain telah dihilangkan dari buku-buku sekolah.
Mereka berfikir bahwa dengan metode ini mereka bisa menjauhkan pemuda dari Islam dan
membatasi agama hanya terbatas pada ibadah ritual. Subjek pengkajian Islam terbatas pada
hafalan ayat-ayat Al quran tanpa mengetahui tafsirnya/maknanya. Kurikulum dipusatkan
pada pembelajaran Bahasa Inggris. Banyak pelajaran-pelajaran disajikan dalam bahasa
Dari[1] dan Inggris, bahkan pelajaran matematika sekalipun.

Sejak perang Amerika Serikat dimulai pada bulan Oktober 2001, USAID telah menghabiskan
sedikitnya 868 juta dolar untuk program pendidikan di Afganistan, hanya untuk
memprivatisasi institusi-institusi pendidikan agar dapat menyetir pemikiran pemuda sesuai
dengan keinginan penjajah. LSM bahkan menggunakan komunitas berbasis model sekolah al
quran tradisional untuk memperkenalkan ide-ide sekuler. Di samping ini semua, media masa,
internet, jejaring sosial, pengajaran bahasa-bahasa asing dan promosi buku-buku tertentu
merupakan alat yang digunakan untuk memperkenalkan pemuda dengan dunia di luar
Afganistan dan mengadopsi nilai-nilai liberal dan sekular.

Lebih dari itu, tidak hanya materi pendidikan yang ada sebelum penjajahan oleh Amerika
Serikat saja yang dikecam dan dihapuskan, tetapi juga sekolah-sekolah Islam (madrasah)
telah dicemari. Selain itu, faham sekuler juga memberikan pemahaman bahwa madrasah-
madrasah adalah institusi yang mengajarkan konsep Islam ekstrim yang merupakan bagian
dari rezim Taliban yang tidak memberikan konstribusi positif pada masyarakat kecuali hanya
faham ekstrim saja. Mereka sepakat bahwa sebagian besar para pemimpin Taliban ditelurkan
dari sekolah madrasah. Ini adalah salah satu fitnah yang menghubungkan Islam dengan
terorisme. Tujuan dari propaganda negatif ini adalah untuk menakuti-nakuti orang tua agar
tidak menyekolahkan anak-anaknya ke madrasah-madrasah. Setelah adanya serangan di
Universitas Amerika-Afghanistan, majalah Afganistan Times, pada tanggal 25 agustus 2016,
menyatakan bahwa Pendidikan adalah senjata terbaik untuk melawan ekstrimisme. Para
fundamentalis anti Afganistan mengetahui bahwa orang berpendidikan akan memerangi
ideologi dengan ideologi lagi. Mereka tidak pergi ke medan perang akan tetapi mereka
menyerang ektrimisme dengan cara cerdas, karena mereka tahu bahwa pena lebih kuat dari
pada pedang. Dengan pernyataan ini mereka ingin merepresentasikan Islam sebagai agama
kekerasan dan barbar yang tidak cocok untuk orang-orang terdidik.

Di lain pihak, USAID dan LSM-LSM mendukung pendirian yang katanya madrasah-
madrasah modern yang mempromosikan nilai-nilai demokratis sekular dan menghubung-
hubungkanya dengan Islam. Moto mereka adalah moderat bukanlah penghapusan suatu nilai
tertentu melainkan kebijakan alternatif hakiki yang diberikan untuk pendidikan yang lebih
dinamis. Oleh karena itu, di sekolah-sekolah Islam saat ini, mereka mengajarkan bahwa
Khilafah hanya merupakan dari bagain sebuah peristiwa sejarah dan mereka juga
mengajarkan hukum-hukum syariah hanya sebagai pengetahuan tanpa adanya aplikasi di
kehidupan sehari-hari. Merujuk kepada Menteri pendidikan, bahwa kurikulum sistem
pendidikan Islam sedang direvisi agar konten pelajaran agama Islam disamakan dengan
muatan pendidikan umum seperti matematika, sains, ilmu sosial, bahasa nasional (Pashto dan
Dari) dan bahasa Inggris. Berarti, Menteri Pendidikan melihat bahwa Islam hanya sebagai
pelajaran sekolah dan sumber informasi dan mereka tidak ingin Islam mempunyai pengaruh
lebih banyak pada kehidupan manusia.

Citra perempuan Afghanistan yang tertindas juga digunakan sebagai propaganda untuk
mempromosikan ide sekularisme dan demokrasi. Amerika Serikat sangat menginginkan
sekali untuk memperkenalkan pendidikan kepada perempuan Afghanistan. Melalui
berbagai upaya, salah satunya dengan memakai topeng kebebasan dan pemberdayaan
perempuan, mereka ingin menggunakan pendidikan untuk menanamkan kepada perempuan
muslim di Afganistan nilai-nilai liberal dan ide-ide sekularisme dan dan menjadikan
perempuan-perempuan modern ini sebagai agen budaya dan norma Barat di kalangan
masyarakat Afganistan. Banyaknya organisasi-organisasi yang aktif menyerukan liberalisasi
untuk perempuan Afghanistan melalui pendidikan, seperti organisasiorganisasi
perlindungan hak-hak perempuan, karang taruna, lingkar sastra, klub intelektual, asosiasi
pelajar. Institusi-institusi tersebut digunakan untuk mencapai agenda sekularisme. Salah satu
contohnya adalah Organization of Promoting Afghan Women s Capabilitas (OPAWC).
Organisasi tersebut didirikan pada tahun 2003 oleh sekelompok perempuan yang berhasrat
untuk melakukan sesuatu yang proaktif, kongkrit, dan terjangkau untuk pemberdayaan
perempuan Afghanistan. Mereka mendukung perempuan dalam memperoleh pendidikan
tetapi hal itu bertujuan agar perempuan memiliki konsep perempuan independen yang tidak
bergantung kepada laki-laki yang pada dasarnya menentang konsep kepemimpinan laki-laki
dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga yang merupakan konsep Islam. Adapula
Organisasi lain seperti Afghan womens Education Center (AWEC) yang dibentuk untuk
mempromosikan HAM dan kesetaraan gender, organisasi ini fokus untuk menghilangkan
setiap jenis diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak melalui pelatihan-
pelatihan, seminar-seminar, dan juga layanan sosial. Salah satu visi mereka adalah untuk
memungkinkan perempuan dan anak-anak memiliki akses terhadap hak-hak mereka, yang
didefinisikan oleh ide-ide/nilai-nilai barat, seperti demokrasi masyarakat sosial (sistem yang
berdasarkan hukum buatan manusia) dan kesetaraan gender yang mempromosikan ide bahwa
laki-laki dan perempuan harus memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai individu
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, penghapusan dikriminasi terhadap perempuan
yang dalam konsep mereka berarti juga penghapusan terhadap hukum Islam yang
membedakan laki-laki dan perempuan dalam beberapa hak dan kewajiban. USAID juga
memiliki banyak program pendidikan pemberdayaan. Tujuan dari program-program
tersebut adalah untuk mendorong perempuan-perempuan Afghanistan agar lebih
berpastisipasi dan efektif dalam mengembangkan komunitas dan keluarga untuk memperkuat
sistem demokrasi yang ada dan agar perempuan Afghanistan dapat memiliki suara dan ruang
yang lebih besar dalam pemerintahan. Organisasi-organisasi tersebut menjebak perempuan
dalam kebingungan. Mengharuskan perempuan yang haus akan pendidikan untuk fokus agar
mereka bisa setara dengan laki-laki di semua bidang, dan juga membebaskan diri mereka
sendiri dari agama untuk menuju kehidupan yang bebas.

Fakta nya adalah bahwa tujuan pendidikan di Afganistan adalah untuk menanamkan ide
sekuler terhadap generasi muda. A.S ingin menciptakan masyarakat yang terampil dan
berbakat yang tumbuh dan patuh terhadap nilai-nilai demokrasi. Rencana global dan jangka
panjang dari kekuatan penjajahan adalah memusnahkan kemuliaan agama Islam, mecabut
nilai-nilai Islam dari umat dan mengubah jati diri pemuda muslim menjadi berkepribadiaan
sekuler sehingga dapat tumbuh menjadi budak mereka. Tujuan merekan bukan hanya
memerangi umat muslim melalui peperangan fisik, melainkan juga peperangan melalui
pemikiran dan ideologi, terutama penyerangan terhadap generasi muda, yang dinamakan
perang ideologi. Penjajah ingin memprogram kembali masyarakat muslim agar mereka dapat
dijejali ide-ide sekular demokrasi dan kebebasan liberal yang tidak sesuai dengan ideologi
Islam. Mereka ingin menindas konsep dan ide-ide Islam dalam pemerintahan.

Pemuda muslim hanya akan menerima kemuliaan yang sesuguhnya melalui sistem
pendidikan Islam. Tujuan dari sistem pendidikan Islam adalah membangun jati diri generasi
muda berlandaskan nilai-nilai Islam yang akan menciptakan kepribadian Islam yang mulia
dan juga menghasilkan banyak ulama, ilmuwan dan innovator sehingga negara diperintah
oleh generasi unggulan Islam untuk mencapai kemajuan dan perkembangan. Juga menjadi
Negara pemimpin dunia, menyampaikan pesan dan nilai Islam ke berbagai penjuru dunia dan
membawa umat manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Malahan, pada
masa kekhalifahan lah (yang pada ketika itu aqidah Islam menjadi landasan suatu negara
khilafah) Khilafah menjadi negara paling maju pada masanya.

Kondisi yang mengerikan yang sekarang dihadapi oleh Afghanistan dan umat Islam tidak
dapat diselesaikan dengan solusi menciptakan kepribadian yang berlandaskan pada nilai
nilai dan norma norma sekuler yang sudah terbukti cacat dan tidak berhasil di seluruh dunia,
bahkan di Barat sekalipun. Generasi muda dan umat muslim harus segera menyadari nahwa
sistem pendidikan sekuler yang ada sekarang bukanlah sistem yang tepat yang dapat
mengantarkan pada kemajuan dan perkembangan seperti yang mereka impikan.

Pemuda muslim Afganistan dan populasi muslim harus memastikan diri mereka berjuang
untuk menegakkankembali khilafah (caliphate) berdasarkan metode kenabian. Hanya
dengan kebangkitan Islam, khilafah dan system pendidikan Islam dibawah nangan khilafah
yang akan membawa kemaslahatan yang sesungguhnya bagi pemuda muslim dan seluruh
umat. Pemuda muslim Afghanistan dan seluruh umat islam harus menyadari dan mulai
merkomitmen untuk membangun kembali Khilafah Rasyidah sesuai Metode kenabian. Hanya
melalui kebangkitan dan naungan Khilafah lah system pendidikan Islam bias Berjaya kembali
dan memajukan generasi muda dan seluruh umat.

Amerika mengkalim bahwa sistem pendidikan di afganistan tumbuh pesat pasca kejatuhan
Taliban, Mereka melihat bahwa perubahan yang sangat signifikan itu terjadi semenjak
mereka menduduki afganistan, yaitu dengan membangun kembali sekolah-sekolah dan
memberikan porsi yang lebih banyak untuk kaum perempuan bersekolah. Akan tetapi
sepintas saja kita melihat system pendidikan di sana, kita dapat menyimpulkan bahwa
pengkalaiman ini tidak lain hanyalah ilusi belaka.

Afganistan merupakan salah satu negara diamana sebagian besar anak-anak usia sekolah,
tidak dapat mengenyam pendidikan. Berdasarkan data dari PBB (UNICEF) sebanyak 40%
dari jumlah anak-anak usia sekolah tidak mengenyam pendidikan, menurut hasil kajian
mendalam dari serangkaian diskusi oleh lemabaga sekitar 30%
anak-anak di sana dipaksa untuk bekerja dengan perkerjaan berat yang seharusnya dilakukan
oleh orang dewasa demi untuk menghidupi keluarga mereka dengan pekerjaan yang tidak
layak. Di provinsi Nangarhar misalnya, jumlah anak usia sekolah yang tidak mengenyam
pendidikan mencapai 150.000 jiwa hal ini disebabkan karena masalah kemiskinan dan
penyebab lainnya yang merupakan dampak dari peperangan.

Ratusan sekolah-sekolah di sana ditutup karena alasan ancaman keamanan. jumlah yang
tersisa, dan sekolang yang masih aktif hanya sekitar 65%dengan kondisi belajar di luar
ruangan, dari 65% ini sekitar 780 sekolah telah ditutup di 34. namun mentri pendidikan di
sana mengklaim bahwa penutupan sekolah hanya sepertiga dari jumlah ini saja. Masalah
utama yang menyebabkan anak-anak di sana putus sekolah adalah jarak tempuh dari
pemukiman penduduk di mana anak-anak tinggal menuju tempat sekolah sangat jauh , dan
jalur yang mereka lalui adalah jalur berhaya bagi , terlebih bagi anak-anak dan wanita, ini
terjadi pada penduduk yang tinggal di desa-desa terpencil, dari keseluruhan jumlah penduduk
hanya sekitar 29% yang tempat tinggalnya dekat dari sekolah, dengan jarak tempuh kurang
lebih 5 km, dan dari 29% itu yang bersekolah hanya 28% saja dengan rentang usia antara 6-
13 tahun. hal yang serupa juga terjadi di daerah terpencil lainnya di Afganistan. Direktur
pendidikan di provinsi Helmand menyatakan bahwa sekitar 104 sekolah di sana telah ditutup
dari jumlah total sekita 454 dalam kurun waktu tiga atau empat tahun, dan sekitar 68 sekolah
juga diputuskan untuk ditutup baru-baru ini karena alasan keamanan dan jumlab pendaftar di
pronvinsi ini hanya sekitar 192500saja, dan dengan jumalah siswi sebanyak 51876, adapundi
provinsi Zabul sekitar 60% anak-anak di sana tidak bisa sekolah. provinsi yang paling
menghkawatirkan adalah shahjoy, Diachuban, Arghondab, Chamlza dan Shinkai. Di provinsi
Uruzgan ada sekitar 60 sekolah di sana telah ditutup dari jumlah total 296, sekolah-sekolah
ini sudah terdaftar sekitar tahun 2012 silam. Sementara di provinsi Farh sekitar 54 ditutup
dari jumlah awal sekitar 367 sekolah. Alasan keaman juga menjadi penyebab putusnya anak-
anak bersekolah di daerah takhar, Sari Pul, Baghlan, Birwan, Nangarhar, Guendroz dan
Badakshan.

Lebih dari itu, Militer mulai menggunakan sekolah-sekolah yang merupakan satu-satunya
bangunan yang masih berdiri tegak di desa-desa sebagai pangkalan militer ketika menyerang
daerah-daerah yang dikuasai oleh Taliban, cotohnya pada bulan April 2016 lalu, sekitar 12
sekolah dalam satu wilayah, di provinsi Baghlan, timur laun Afganistan digunakan untuk
kepentingan militer, Hal ini, membuat anak-anak rentan menjadi sasaran penyerangan balik,
dan itu adalah kondisi sangat berbahaya pagi para guru dan siswa.

Gambaran lain yang menjelaskan buruknya kondisi pendidikan di Afganistan adalah keadaan
fasilitas sekolahnya, ribuan sekolah yang terdapat di sana menggunakan barak-barak
pengungsian dan lapangan terbuka sebagai tempat belajar, kondisi seperti itu juga terjadi di
ibu kota Kabul, di sana terdapat sekitar 271 sekolah, 80 sekolah dari jumlah tersebut
memilikii bangunan semi permanen, sementara sisanya sudah ditutup. Adapun setengan dari
jumlah sekolah di Kunduz tidak memiliki bangunan, begitu juga kondisi di Takhar. di
Kandahar hanya tersisa sekitar 274 sekolah dari jumlah awal 458 sama sekali tidak memiliki
bangunan, di provinsi sari Bul hanya ada 97 siswa yang awalnya berjumlah 388 mereka
bersekolah dengan bangunan tanpa atap. sekolah-sekolah yang dibangun oleh USAID
(United Agency for International Development) di wilayah Herat sangat membutuhkan
pasokan kebutuhan dasar seperti air, listrik dan kebersihan, dan hal-hal disebutkan di atas
sangat mendukung terhadap kelangsungan proses belajar mengajar,

Sekolah menawarkan kualitas pendidikan yang rendah dengan fasilitas yang buruk seperti
bangunan yang rusak dan tidak memiliki sarana mendasar yang dibutuhkan, siswa di dalam
kelas berdesak-desakan, mereka belajar sekitar tiga jam saja dalam sehari karna harus
bergantian dengan siswa yang lain. Di beberapa tempat yang lain, anak-anak sekolah di
tenda-tenda, termasuk di ibu kota. Kualitas tenaga pengajar yang ada, tidak memenuhi
kriteria, banyak dari mereka yang tidak tamat Sekolah Menengah Atas, bahkan proses belajar
mengajar tidak sampai tiga jam. Selain itu , buku-buku yang ada memiliki muatan yang tidak
berkualitas, beberapa sekolah memiliki laboratorium dengan alal-alat yang sudah kuno, para
guru juga tidak mendapatkan fasilitas yang mereka butuhkan dan juga dibayar dengan gaji
yang rendah, dan tidak sesui dengan tugas yang mereka lakukan, jumlah gaji mereka hanya
sekitar 5000 Afgani saja Yang setara denga 100 $, dan pada juli tahun lalu ini meminta
kenaikan gaji.
Dan point yang lain yang harus diperhatikan adalah buruknya keadaan pendidikan untuk
wanita, upaya yang dilakukan untukdalam pemberatasan buta huruf di kalangan perempuan
hanya sekitar 14%, yang menyebabkan negara ini menjadi negara terendah dalam pemberatan
buta huruf. Berdasarkan data yang didapatkan dari PBB ( UNESCO) bahwa sekitar 90%
perempuan di afganistan tidak bissa baca tulis, terutama di daerah daerah pelosok, dan ini
berdamapk pada permasalahan ekonomi. Kebanyakan keluarga-keluarga miskin di afganistan
menikahkan anak-anak perempan mereka yang masih keci agar orang tua mereka tidak lagi
menanggung biaya hidup mereka dan tidak lagi melanjutkan pendidikan mereka.

Sistem pendidikan Afganistan yang sangat buruk, serta keadaan politik dan ekonomi yang
carut marut, tidak mengherankan jika imigrasi besar-besar terjadi di negara ini. Menurut
diplomat, setelah tahun 2001 sekitar satu juta penduduk asli afganistan tinggal di luar negara
mereka, khususnya di Pakistan dan iran. Mereka kembali ke negara mereka dengan harapan
kehidupan, keamanan dan lapangan kerja yang lebih baik. UNESCO mencatat bahwa sekitar
17000pelajar afganistan bersekolah di luar negara mereka pada tahun 2013, sekitar 9033
siswa bersekolah di Iran, atau sekitar 53%, dan di India sekitar 2330 atau sekitar 14%, di
Turki sekitar 1310 siswa sekitar 8%, dan Saudi Arabia sekitar 1226 sekitar 7%, di Amerika
428 sekitar 3%. Seperti yang diberitakan Oleh surat kabar The Washington Post edisi 13
Agustus 2016, Kondisi perekonomian afganistan tidak akan pernah berubah dalam waktu
dekat, sekalipun pemerintah Afganistan menjajikan lapangan pekerjaanuntuk warga
negaranya. Bank Dunia memperkirakan bahwa PDB (Produk Domestik Bruto) pada tahun
2017 sekitar 1,9% ini merupakan penurunan selama 3 tahun berturut-turut dengan angka 2%,
krisis ini menyebabkan anak-anak muda di Afganistan keluar dari negaranya.

Presiden Ashraf Ghani menjelaskan bahwa yang menjadi prioritasnya saat ini adalah
meminimalisir angka imigrasi, pemerintah merancang sebuah agenda yang dinamakan
Pekerjaan Untuk Perdamaian untuk menambah jumlah lapangan kerja dan
meningkatkan ketahanan ekonomi. namun, karena kurangnya dana dan kondisi politik yang
kacau program ini tidak berjalan dengan baik. Walhasil, angka imigrasi tetap tinggi karena
anak-anak muda tidak menginginkan masa depan yang suram.

Mahalnya biaya pendidikan di Afganistan, telah mengubah lembaga pendidikan menjadi


sebuah proyek bisnis untuk meraup keuntungan besar. Ada beberapa sekolah dan perguruan
tinggi swasta menawarkan kualitas pendidikan yang lebih baik namun sekolah dan perguruan
tersebut sangat mahal tidak dapat diajangkau oleh sebagian besar masyarakat. Contohnya,
biaya pendidikan di Universitas yang dimiliki oleh Amerika atau Universitas Swiss sama
dengan biaya di negara asalnya, biaya pendidikan di Universitas Amerika mencapai 18700
Afgani atau setara dengan 400$ per jamnya.

Selain itu Organisasi Pemberatasa Korupsi Internasional mencatat banyak terjadi korupsi di
Afganistan. Sehingga afganistan termasuk negara terkorup di dunia, telah ditangkap 7anggota
kepolisian yang bertugas di kementrian pendidikan dengan tuduhan korupsi sebesar 26 juta
Afganiy.

Data-data yang sudah dipaparkan di atas menjelaskan betapa buruknya sistem pendidikan
yang ada di Afganistan, penyebab utama dari bencana besar ini adalah sekulerisme barat yang
mengklaim dirinya akan membantu rakyat di sana namun faktanya mereka sama sekali tidak
mempedulikan keadaan masyarakat namun sebaliknya, mereka justru memikirkan bagaimana
memperkuat kolonialisme. penjajahan yang mereka lakukan, menenggelamkan generasi
muda Afganistan pada badai kebingungan akan pendidikan, hanya menjajikan angan-angan
kosong tentang nikmatnya sebuah pendidikan yang tidak mungkin diterapkan di negara
seperti Afganistan yang sudah hancur lebur akibat penjajahan mereka. Dan rezim bobrok
menyembunyikan semua ini dengan mempercayakan para penjajah dalam merancang sistem
pendidikan untuk diterapkan.

Satu-satunya cara untuk menciptakan sebuah sistem pendidikan yang berkualitas adalah
melalui sistem pendidikan yang akan diterapkan oleh daulah khilafah, dimana jaminan
pendidikan akan diberikan kepada seluruh masyarakat di dalam daulah. Khilafah akan
merealisasikan tujuan dari pendidikan yang sesungguhnya yaitu mewujudkan masyarakan
yang berkepribadian islam yang kuat, menjaga mereka dari apapun yang akan merusak
identitas mereka sebagai seorang muslim. oleh karena itu wajib bagi seluruh muslim untuk
memperjuangkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Rosyidah Ala minhajinnubuwwah.
Kemunduran sistem pendidikan yang terjadi di Afganistan semakin membuktikanbahwa
kebangkitan yang hakiki untuk ummat ini hanya akan tercapai melalui agama islam yang
lurus dan bukan melalui kaki tangan para penjajah, Allah Subhanahu Wataala berfirman :

Maka apakah orang-orang yang membangun bangunan (masjid) atas dasar takwa kepada
Allah dan keridaaNya itu lebih baik, ataukah orang-orang yang membangun bangunannya di
tepi jurang yang rubtuh, lalu(bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia di neraka
jahannam? Allah tidak memberi pentunjuk kepada orang-orang dzalim. (QS. At-taubah:109).
Latar belakang

Setiap bangsa pastilah memiliki sejarah masa lalunya, beserta hasil beradaban pada masa itu.
Sebagaimana dengan peradaban-peradaban di dunia, Bangsa Mongol pun memiliki kekayaan
sejarah dan kebudayaan yang tidak ternilai sumbangannya terhadap peradaban dunia, pada
umumnya dan Islam pada khususnya. Dalam khazanah pengetahuan sejarah, Bangsa Mongol
mulai muncul pada akhir abad XII dan awal abad XIII.
Menurut Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Masa Mongol dalam sejarah kebudayaan Islam
dimulai sejak jatuhnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M sampai masuknya tentara Usmani
ke Mesir kemudian menguasai Afrika Utara, Jazirah Arab, Siria pada tahun 1517 M di bawah
pimpinan sultan Salim.
Sejarah Kekaisaran Bangsa Mongol tidak terlepas dari peran dan pengaruh Jengis Khan. Oleh
sebab itu Michael J. Hart menempatkannya pada urutan ke-21 dari 100 tokoh terkemuka.
Ghengis Khan, juga dieja Genghis Khan, Jinghis Khan, Chinghiz Khan, Chinggis Khan,
Changaiz Khan, dll, nama asalnya Temjin, juga dieja Temuchin atau TiemuZhen, (sek. 1162
- 18 Agustus 1227) adalah khan Mongol dan ketua militer yang menyatukan bangsa
Mongolia dan kemudian mendirikan Kekaisaran Mongolia dengan menaklukkan sebagian
besar wilayah di Asia, termasuk utara Tiongkok (Dinasti Jin), Xia Barat, Asia Tengah, Persia,
dan Mongolia. Dan selanjutnya keturunannya meluaskan penguasaan Mongolia menjadi
kekaisaran terluas dalam sejarah manusia. Dia merupakan kakek Kubilai Khan, pemerintah
Tiongkok bagi Dinasti Yuan di China.
B. Rumusan Masalah
1. Bagai manakah sejarah perjalanan Afganistan?
2. Separti apakah Agama islam di Pakistan?
3. Bagaikah mana islam di India?
4. Bagai mana islam di Banglades?
PENDIDIKAN UNTUK KAUM PEREMPUAN AFGANISTAN

Akhirnya Taliban Dirikan Sekolah untuk Anak Perempuan


Seperti diketahui, ketika rezim Taliban menguasai Afganistan, banyak peraturan yang
dikeluarkan oleh rezim ini yang dianggap mengekang kiprah kaum perempuan di
ruang publik (public domain), termasuk kaum perempuan dilarang untuk sekolah.
Namun seiring dengan pergantian rezim dan perubahan orientasi perjuangan, maka
sebagian pimpinan (dan eks-pimpinan) Taliban mulai menerima demokrasi,
modernisasi, dan pendidikan modern. Di bawah ini disajikan tulisan dari Mukafi Na'im
tentang salah satu bentuk keterbukaan kelompok Taliban terhadap pentingnya
pendidikan (formal) bagi kaum perempuan.

Akhirnya Taliban Dirikan Sekolah untuk Anak Perempuan

Sabtu, 18/01/2014 00:38

Kabul, NU Online
Saat Taliban melarang anak- anak perempuan untuk bersekolah di tahun 1990-an,
Mulah Wakil Ahmad Muttawakil menjabat sebagai menteri luar negeri.

Kini, putri Muttawakil bersekolah di Kabul di sebuah sekolah yang ia bangun. Ia


duduk di kelas dua dan menjadi salah satu siswa berprestasi di kelasnya, ujarnya
bangga. Katanya ia sering membantu anaknya mengerjakan pekerjaan rumah.
Demikian dilaporkan oleh wall street journal, Kamis (17/1).

Putrinya adalah satu dari 250 anak perempuan yang mendaftar di sekolah yang ia
dirikan tiga tahun lalu bersama sejumlah mantan pejabat Taliban yang lebih memilih
bersikap moderat dalam beberapa tahun belakangan.

Seperti juga pendiri lain, Mullah Abdul Salam Zaeef, mantan duta besar Taliban untuk
Pakistan, Muttawakil menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara milik Amerika
Serikat (AS) setelah rezim Taliban digulingkan pada 2001. Keduanya berada dalam
pengawasan pemerintah, namun tak satu pun dari mereka menolak kepemimpinan
Mullah Omar.

Dalam beberapa tahun terakhir, kepemimpinan Taliban telah berupaya memperlunak


citra di mata masyarakat. Mereka ingin kembali berkuasa di saat pasukan koalisi
pimpinan AS keluar dari negeri itu pada Desember. Dalam pernyataan publik, Taliban
menyatakan dukungan terhadap pendidikan bagi kaum wanita sejauh pengajaran
dilakukan dalam suasana Islami.

Sekolah yang didirikan di Kabul oleh Muttawakil dan mantan pejabat Taliban
digembar-gemborkan lebih dari itu, dan memberi pandangan sekilas tentang
bagaimana wajah pendidikan di wilayah yang dikuasai pemberontak.
Gagasan di balik sekolah Afghan, ujar Muttawakil, adalah menjembatani jurang
antara sekolah modern dan madrasah.

Lembaga yang menaungi sekolah dasar hingga sekolah menengah atas itu menerapkan
pemisahan antara lelaki dan perempuan.

Para siswa mendapat porsi besar pelajaran agama. Dalam kunjungan ke sekolah itu
baru-baru ini, para siswa kelas satu berdiri untuk membawakan huruf Hijaiyah.
Namun, mereka pun belajar bahasa Inggris dan komputer.

Selain kurikulum pemerintah, sekolah itu juga menawarkan kursus keterampilan:


memasak dan menjahit bagi para siswi, dan pelatihan kelistrikan bagi para siswa.

Satu-satunya ruangan yang menyatukan keberadaan murid lelaki dan perempuan


adalah laboratorium kimia, dengan pintu terpisah. Jendela besar laboratorium dicat
agar para siswa tidak bisa mengintip ke wilayah para siswi.

Hebatnya, model tersebut mendapat persetujuan pemerintah Afghanistan dan Taliban.


Kementerian Pendidikan Afghanistan baru-baru ini menggolongkan sekolah tersebut
sebagai salah satu yang terbaik di Kabul.

Menurut aturan Islam dan budaya Afghanistan, sistemnya bagus, ujar Kabir
Hakmal, juru bicara kementerian. Sistem itu mendorong keluarga untuk
menyekolahkan para putrinya.

Dalam masyarakat yang konservatif seperti itu, banyak keluarga enggan


menyekolahkan anak perempuan. Pendaftaran anak perempuan ke sekolah terus
meningkat sejak 2001, tetapi belum maksimal: sekitar 66% anak perempuan masuk
sekolah dasar, sementara murid laki-laki berjumlah 92%, demikian data pemerintah
pada 2012. Persentase itu turun menjadi 26% pada tingkat sekolah menengah pertama
saat para gadis memasuki masa pubertas dan memasuki usia menikah.

Itu prestasi besar dari sektor pendidikan di puncak kekuasaan Taliban pada 1999 yang
hanya mencatat 6,4% gadis usia sekolah dasar di Aghanistan mendapatkan
pengajaran, demikian perkiraan Badan Pembangunan Internasional AS.
PBNU turun mendorong pengembangan pendidikan bagi perempuan Afganistan. Mulai
September 2013 lalu, sebanyak 23 mahasiswa perempuan asal Afganistan memperoleh
beasiswa dari PBNU untuk belajar di Universitas Wahid Hasyim Semarang. Mereka
belajar dalam berbagai program studi seperti ekonomi, farmasi, hubungan
internasional, dan lainnya. (mukafi niam)
Foto: wsj

Vous aimerez peut-être aussi