Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
A. Fuad Rahmany
KATA PENGANTAR
LATAR BELAKANG
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki nilai yang strategis
di dalam perekonomian Indonesia. Menurut data yang dihimpun
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, jumlah
pengusaha kecil dan menengah di Indonesia sangat besar dan
berkontribusi secara signifikan bagi perekonomian nasional.
Nilai strategis dalam perekonomian Indonesia ini di masa depan
diharapkan dapat terwujud melalui kontribusi pembayaran pajak
yang sesuai dengan kontribusi pengusaha kecil dan menengah
terhadap perekonomian.
Seperti diketahui, penerimaan pajak adalah penopang utama
dalam postur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)
negara kita, dengan kontribusi yang mendekati angka 70% di tahun
2013. Dana penerimaan pajak ini selanjutnya dikelola oleh negara
untuk pembiayaan rutin dan pembangunan dalam bentuk antara
lain:
1. dana kesehatan masyarakat;
2. dana pendidikan;
3. dana keamanan dan ketertiban;
4. subsidi BBM;
5. subsidi listrik;
6. pembangunan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan dan
bandara);
7. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM);
8. pembelian alat-alat pertahanan dan keamanan negara;
9. pembayaran gaji PNS, TNI dan POLRI.
Dari uraian kontribusi penerimaan pajak dan alokasi belanja
negara diatas, terlihat bahwa keuangan negara sangat bergantung
pada penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan. Dapat
disimpulkan bahwa suatu negara akan dapat menjadi suatu negara
yang berhasil apabila pemungutan pajak dapat dioptimalkan.
Banyak manfaat yang akan diperoleh apabila pengusaha kecil
dan menengah dapat dirangkul untuk berperan serta secara aktif
dalam pembiayaan negara melalui sistem perpajakan, antara lain
tercapainya pertumbuhan penerimaan pajak yang berkelanjutan
seiring dengan pertambahan jumlah pembayar pajak. Untuk itu,
perlu diciptakan suatu kondisi yang dapat menarik pengusaha kecil
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pembahasan dalam buku ini adalah ketentuan
pepajakan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013
tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013
tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai
Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013
tentang Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Melalui
Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
MUATAN PASAL
1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas,
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
3. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) pada butir 2 huruf b ditentukan
berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk
dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
4. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk
kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat
usaha atau berjualan.
5. Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;
atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran
bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
LAMPIRAN I
MEMUTUSKAN:
Memutuskan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan
dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
Pasal 3
(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu)
tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
(3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan
telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap
dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif
Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 4
(1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
(2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku
atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
di bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan
pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan
kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang
disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari
jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib
Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib
Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun
Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum
Peraturan Permerintah ini berlaku;
3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam
hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
I. UMUM
Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan
perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya
beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter.
Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan
kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk
melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan yang terutang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha,
termasuk dari usaha cabang, selain peredaran bruto
dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan
ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja
dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya;
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak
ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau
hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan
hadiah.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang
terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/
peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 107/PMK.011/2013
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima, penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan
dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai,
dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang
film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto
model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan
moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(1) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan
telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap
dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai
dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Pasal 6
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/
atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final,
dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain.
(2) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
(3) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan
permohonan Wajib Pajak.
Pasal 7
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
beroperasi secara komersial.
(2) Dalam hal Jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan, ketentuan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 9
(1) Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan
yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan melakukan
pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima
atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan,
atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan
dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 11
Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.
Pasal 12
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri.
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk
Usaha Tetap, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3) dan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 13
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 15
(1) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013
dapat dilakukan kompensasi dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak
berikutnya.
(2) Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib melampirkan laporan rugi laba
bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2013.
Pasal 16
(1) Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diberlakukan
sama dengan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013.
(2) Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 107/PMK.01/2013
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pada bulan Januari 2015 peredaran bruto dari usaha Heri Kurnia
adalah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk
bulan Januari 2015 adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 25 = 0,75% x Rp400.000.000,00
= Rp3.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan
bulan Desember 2015 adalah 0,75% dikalikan peredaran bruto
pada bulan yang bersangkutan.
7. Pada Tahun Pajak 2014 Wajib Pajak PT Pandiro Anugerah
dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Menteri
ini. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa
peredaran bruto usaha sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014
berjumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 PT Pandiro Anugerah
dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Pada bulan Januari 2015 seluruh peredaran bruto
PT Pandiro Anugerah adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), dan PPh yang dipotong atau dipungut pihak
lain (bukan PPh final) adalah sebesar Rp51.000.000,00 (lima puluh
satu juta rupiah).
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2015
adalah sebagai berikut:
Penghasilan bruto sebulan Rp 200.000.000,00
Biaya-biaya Rp 150.000.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 50.000.000,00
Penghasilan neto sebulan disetahunkan Rp 600.000.000,00
PPh terutang (12,5% x Rp600.000.000,00) Rp 75.000.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 51.000.000,00
PPh kurang bayar Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Rp 2.000.000,00
1/12 x Rp24.000.000,00)
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
GIARTO
NIP 195904201984021001
LAMPIRAN III
NOMOR 197/PMK.03/2013
TENTANG
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 68/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN
PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha
Kecil Pajak Pertambahan Nilai diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (1) Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Pengusaha kecil merupakan pengusaha
yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah).
(2) Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan
usahanya.
(3) Bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan
dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan,
pengertian tahun buku sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah tahun kalender.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN IV
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 198/PMK.03/2013
TENTANG
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa ketentuan mengenai batasan jumlah
peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah
lebih bayar bagi Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 193/PMK.03/2007 tentang Batasan
Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan,
dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu yang Dapat
Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2009;
b. bahwa dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak
bagi Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu melalui penelitian dan dalam rangka
mengoptimalkan pelaksanaan pemeriksaan pajak
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak, perlu melakukan
perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/
PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah Peredaran
Usaha, Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih
Bayar Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu yang Dapat Diberikan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
54/PMK.03/2009;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG
MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB II
WAJIB PAJAK YANG DAPAT DIBERIKAN PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
BERDASARKAN PERSYARATAN TERTENTU
Pasal 2
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak meliputi:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah
lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah
lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 3
(1) Selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak harus didasarkan pada analisis risiko yang pedomannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang
dapat berupa:
a. kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan;
b. kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
c. kebenaran Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum-sebelumnya.
BAB III
PENGAJUAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 4
(1) Permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis.
(2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara memberi tanda pada Surat Pemberitahuan
yang menyatakan lebih bayar restitusi atau dengan cara mengajukan
surat tersendiri.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
menyampaikan:
a. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar tanpa ada
permohonan kompensasi dan tanpa ada permohonan restitusi;
atau
b. Surat Pemberitahuan pembetulan yang menyatakan lebih bayar
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak,
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(2)
Atas penyelesaian permohonan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak.
BAB IV
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK DAN PENERBITAN SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK (SKPPKP)
Pasal 8
(1) Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak kepada
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, dilakukan setelah Direktur
Jenderal Pajak melakukan penelitian.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas:
a. kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
b. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
c. kebenaran kredit pajak atau Pajak Masukan berdasarkan sistem
aplikasi Direktorat Jenderal Pajak; dan
d. kebenaran pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Pasal 9
(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap, untuk permohonan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan orang pribadi;
b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk
permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
Pajak Penghasilan badan; dan
c. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk
permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dalam
rangka penerbitan surat ketetapan pajak terhadap Wajib Pajak yang
telah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan yang
mengatur mengenai pemeriksaan.
(3) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D
ayat (5) Undang-Undang KUP.
Pasal 12
(1) Dalam hal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang
Undang KUP.
(2)
Atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur
Jenderal Pajak dapat memberikan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi menjadi
paling banyak 48% (empat puluh delapan persen).
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:
1. terhadap Surat Pemberitahuan pembetulan lebih bayar restitusi
atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini yang disampaikan sejak
berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini;
2. terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak bagi Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang
belum diselesaikan pengembaliannya sampai dengan berlakunya
Peraturan Menteri ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah
Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih Bayar
Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang
Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 54/PMK.03/2009.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 tentang
Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, dan
Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/
PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah Peredaran Usaha,
Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULAN KELEBIHAN PAJAK
Nomor (1) : diisi dengan nomor keputusan.
Nomor (2) : diisi dengan Jenis Pajak.
Nomor (3) : diisi dengan Masa/Tahun Pajak yang diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Nomor (4) : diisi dengan jumlah lebih bayar menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
atau menurut Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai.
Nomor (5) : diisi dengan nomor surat permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
Nomor (6) : diisi dengan tanggal surat permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
Nomor (7) : diisi dengan nama Wajib Pajak.
Nomor (8) : diisi dengan NPWP Wajib Pajak.
Nomor (9) : diisi sesuai dengan dasar hukum diterbitkanya surat
keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak:
a. dalam hal surat keputusan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak terkait dengan Pajak
Penghasilan, diisi dengan:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagimana telah berapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tabun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
b. dalam hal surat keputusan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak terkait dengan Pajak
Pertambahan Nilai, diisi dengan:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN V
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan :
1. Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu adalah
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
2. Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu yang untuk selanjutnya disebut Surat Keterangan Bebas
adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan dibebaskan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain yang dapat dikreditkan.
Pasal 2
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 3
(1) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat
Keterangan Bebas.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 4
(1) Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan
secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan
dengan syarat:
Pasal 5
(1) Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan:
a. Surat Keterangan Bebas; atau
b. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas, dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan keputusan,
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib
menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua)
hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlewati.
Pasal 6
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 3 berlaku
sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi
yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima
fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban
Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2) Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan
secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan
dengan syarat:
a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud
pada Pasal 5 ayat (1);
b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan
dengan pemotong dan/atau pemungut berupa Surat Setoran
Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang
dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas:
1) impor;
2) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas;
3) pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif dan industri farmasi;
4) pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut
Pajak Penghasilan dan nilai transaksi pada kolom yang
tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan
LAMPIRAN I
NOMOR PER-32/PJ/2013
TENTANG
Lampiran I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013
Nomor : ...........................................
Hal : Permohonan Surat Keterangan Bebas
Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh
bagi Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu
Kepada Yth.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
.........................................
Berkenaan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor ........................ tentang Tata Cara
Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai Pajak
Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu,
dengan ini:
mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan
PPh Pasal .....................................................1) karena memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Untuk kelengkapan permohonan SKB, bersama ini kami sampaikan Surat Pernyataan Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.2)
.........., ...................20......
3)
Pemohon,
(......................................)
1)
diisi sesuai dengan jenis pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor atau Pasal 23)
2)
syarat khusus untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar dalam Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak
saat diajukannya Surat Keterangan Bebas.
3) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak
LAMPIRAN II
NOMOR PER-32/PJ/2013
TENTANG
Lampiran II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013
Nama : ................................................................................
NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,
Alamat : ................................................................................
Nama : ................................................................................2)
NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,3)
Alamat : ................................................................................4)
dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh
termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa pernyataan ini tidak benar, saya bersedia diberikan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku.
.........., .................20.......
Yang membuat pernyataan,5)
Meterai
Rp6.00,-
(......................................)
LAMPIRAN III
NOMOR PER-32/PJ/2013
TENTANG
NOMOR : ...............................
TANGGAL : ...............................
dibebaskan dari pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21/22/23 1) , karena memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Surat Keterangan Bebas ini berlaku sejak diterbitkan sampai dengan tanggal .....................................2)
........., ....................20.......
a.n. Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................
(........................................)
NIP.
Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang telah dilegalisasi
LAMPIRAN IV
NOMOR PER-32/PJ/2013
TENTANG
Lampiran IV
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013
NOMOR : ...............................
TANGGAL : ...............................
dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor, karena memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Surat Keterangan Bebas ini berlaku sejak diterbitkan sampai dengan tanggal .....................................2)
........., ....................20.......
a.n. Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................
(........................................)
NIP.
Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang telah dilegalisasi
LAMPIRAN V
NOMOR PER-32/PJ/2013
TENTANG
Lampiran V
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013
Nomor :
Hal : Penolakan Permohonan Surat Keterangan
Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan
PPh bagi Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu
Kepada Yth,
.......................................
.......................................1)
Berkenaan dengan permohonan Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan PPh Pasal .................................................*) yang Saudara ajukan tanggal ......................
nomor ........................................ dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara tidak dapat disetujui,
karena tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
........., ....................20.......
a.n. Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................
(........................................)
NIP.
LAMPIRAN VI
NOMOR PER-32/PJ/2013
TENTANG
Lampiran VI
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013
Nomor : ..........................................
Hal : Permohonan Legalisasi Fotokopi Surat
Keterangan Bebas Pemotongan
dan/atau Pemungutan Pph bagi Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu
Kepada Yth.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..............................................
mengajukan permohonan untuk memperoleh legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pph Pasal ........................................................................ ) sehubungan transaksi dengan :
1
Nama Pemotongan/Pungutan
Pajak : .......................................................................................... 2)
NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__, 3)
Nilai Transaksi : Rp .................................................................................... 4)
Jenis Transaksi : ......................................................................................... 5)
............, ......................20......
Pemohon 6),
( ........................................... )
1) diiisi sesuai dengan jenis pajak (Pph Pajak 21, Pasal 22, Pasal 22 impor atau Pasal 23)
2) diisi sesuai dengan nama Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut
3) diisi sesuai dengan NPWP Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut
4) diisi sesuai dengan nilai transaksi penyerahan barang dan/atau jasa
5) diisi sesuai dengan jenis-jenis penghasilan, misalnya penghasilan dari penjualan barang kepada bendahara, penyerahan
jasa reparasi AC kepada pemotong
6) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak
LAMPIRAN VI
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-37/PJ/2013
TENTANG
TATA CARA PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU MELALUI
ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
Pasal 4
(1) BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, termasuk cetakan
ulang dan salinannya, merupakan sarana administrasi lain yang
kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
(2) Apabila terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera
dalam BPN dengan data pembayaran menurut MPN, maka yang
dianggap sah adalah data pembayaran menurut MPN.
(3) BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setidak-tidaknya
mencantumkan elemen-elemen sebagai berikut:
a. Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
b. Nomor Transaksi Bank (NTB);
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Nama Wajib Pajak;
e. Kode Akun Pajak;
f. Kode Jenis Setoran;
g. Masa Pajak;
h. Tahun Pajak;
i. Tanggal transaksi; dan
j. Jumlah nominal pembayaran.
Pasal 5
Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 diadministrasikan sebagai penerimaan Negara dengan
Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan Kode Jenis Setoran 420 (PPh
Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu).
Pasal 6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
LAMPIRAN VII
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-42/PJ/2013
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
SURAT EDARAN
NOMOR SE - 42/PJ/2013
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
A. Umum
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan penerapan tarif
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu.
B. Maksud dan Tujuan
1.
Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini
dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu.
2. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan
agar pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
Tembusan :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan
LAMPIRAN VIII
SURAT EDARAN
NOMOR SE-32/PJ/2014
TENTANG
PENEGASAN PELAKSANAAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO
TERTENTU
2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu
SURAT EDARAN
NOMOR SE-32/PJ/2014
TENTANG
A. Umum
1. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan
acuan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu.
2. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan
dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan
Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari
usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
D. Dasar
KP:PJ.032/PJ.0301
D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyetoran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.
E. Materi
2) dagang
KP:PJ.032/PJ.0301
2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang
dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
b. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam
1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.
c. Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada
huruf b dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial.
d. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial sebagaimana
dimaksud pada huruf c melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial,
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya
setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.
e. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi
Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk Tahun Pajak
selanjutnya, ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
f. Contoh:
1) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial,
maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka
waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni
2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak
Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto
Tahun Pajak 2014.
2) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai dengan 31
Desember 2013). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2014
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
3) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai
dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk
pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya
peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
4) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Agustus 2013 sampai
dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk
pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya
peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
3. Perlakuan
KP:PJ.032/PJ.0301
-4-
3. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.
a. Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut
bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana
dimaksud pada huruf a tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek
pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
c. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan
mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
6. Perlakuan
KP:PJ.032/PJ.0301
-5-
6. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib
Pajak OPPT).
a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen)
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran pajaknya mengacu pada
ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.
7. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
a. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi
sebagai PPAT:
1) mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat
umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang
berkaitan dengan dengan pertanahan; dan
2) dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan pekerjaan bebas.
b. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada
ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
e. Wajib
KP:PJ.032/PJ.0301
LAMPIRAN IX
SIMULASI PENGISIAN SPT
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
MEMPUNYAI PENGHASILAN :
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
s.d
NO. TELEPON/FAKSIMILI : /
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3) RUPIAH *)
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
1
2 0
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
LAMPIRAN - III
1770 - III
FORMULIR
A. PENGHASILAN NETO
TAHUN PAJAK
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
2
8. KOMPENSASI KERUGIAN
8
PERHATIAN :
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK
20. PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 C (WP
a. DIRESTITUSIKAN c. PATUH)
b.
DIPERHITUNGKAN DENGAN
d.
DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 D (WP PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN
UTANG PAJAK TERTENTU 5.
PENSIUN YANG DIBAYAR SEKALIGUS
PAJAK BERIKUTNYA
F. ANGSURAN PPh
PASAL 25 TAHUN
Diisi dengan Jumlah PPh BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUNAN GUNA
8.
Pasal 4 ayat (2) yang Telah SERAH
14. DIVIDEN
NPWP :
N P W P AKUNTAN PUBLIK :
LAMPIRAN - IV
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK :
1771 - IV
TAHUN PAJAK
FORMULIR
(1) (2)
RUPIAH *)
(3)
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
1. PENGHASILAN NETO FISKAL
A. PENGHASILAN
1
(Diisi dari Formulir 1771-I Nomor 8 Kolom 3) .
KENA PAJAK
3
3. PENGHASILAN KENA PAJAK (1-2) ........
4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT)
NAMA WAJIB PAJAK :
c. JUMLAH ( 8a + 8b ) ........
2. BUNGA / DISKONTO OBLIGASI
9. a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI
(6 7 8c). 9
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG / DIPUNGUT
13. PPh YANG LEBIH DIBAYAR PADA ANGKA 11.b MOHON : TGL BLN THN 6. PENGHASILAN PENGALIHAN HAK ATAS
a. DIRESTITUSIKAN DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK
b.
TANAH / BANGUNAN
Khusus Restitusi untuk Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu : Pengembalian Pendahuluan (Pasal 17C atau Pasal 17D UU KUP)
c. PENGAWAS KONSTRUKSI
LAMPIRAN X
SLIDE PRESENTASI I
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
LATAR BELAKANG
DASAR HUKUM
POKOK-POKOK KETENTUAN PP
POKOK-POKOK KETENTUAN
PERATURAN PELAKSANAAN
SIMULASI DAN CONTOH
CARA PEMBAYARAN PAJAK
Dasar Hukum
Objek Pajak
Subjek Pajak
Orang pribadi
Badan, tidak termasuk BUT,
Tarif
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dikenai PPh final
dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari jumlah
peredaran bruto setiap bulan dari setiap tempat usaha
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif
1% (satu persen) dikalikan dengan dasar pengenaan
pajak, yaitu jumlah peredaran bruto setiap bulan dari
setiap tempat usaha
Dalam hal pada tahun berjalan, peredaran bruto sudah melebihi Rp4,8 miliar,
tetap dikenai PPh final sampai dengan akhir Tahun Pajak dan tahun
berikutnya dikenai ketentuan PPh umum.
Kompensasi Rugi
Pemotongan/Pemungutan PPh
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang dikenai
PPh bersifat final menurut PP ini, yang berdasarkan ketentuan UU PPh
wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak
bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau
pemungutan PPh oleh pihak lain.
Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak
lain diberikan melalui Surat Keterangan Bebas dengan Tata Cara
sebagaimana dimaksud PER-32/PJ/2013
Contoh:
o Bengkel mobil menerima pembayaran atas jasa reparasi mobil.
Atas pembayaran tersebut dipotong PPh Pasal 23 kecuali pemilik
bengkel menyerahkan SKB Potput yang telah dilegalisasi.
o Toko ATK menjual buku kepada sekolah negeri. Bendahara sekolah
memungut PPh Pasal 22 kecuali pemilik toko menyerahkan SKB
Potput.yang telah dilegalisasi
Angsuran Masa
Setoran bulanan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2),
bukan PPh Pasal 25.
Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final,
tidak wajib PPh Pasal 25.
Jika ada penghasilan lain selain yang dikenai PPh
Pasal 4 ayat (2) sesuai ketentuan PP ini, maka atas
penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan
ketentuan umum.
Jika ada angsuran PPh Pasal 25 atau PPh yang
dipotong/dipungut pihak lain boleh dikreditkan
terhadap PPh terutang tahun pajak ybs. kecuali
untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.
Angsuran Masa
Angsuran pajak pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak
tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final:
bagi Wajib Pajak bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak
masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang harus
membuat laporan keuangan berkala, dan WP OPPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf
b dan huruf c UU PPh; dan
bagi selain Wajib Pajak diatas, angsuran pajak
diperlakukan seperti Wajib Pajak Baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a UU PPh,
besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya
angsuran pajak sebagaimana diatur dalam PMK
255/PMK.03/2008 std PMK 208/PMK.03/2009.
SPT Tahunan :
o Dilaporkan pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final
dan/atau bersifat final.
o Formulir SPT Tahunan menggunakan Form 1770 untuk Wajib
Pajak orang pribadi dan 1771 untuk Wajib Pajak badan masih
mengakomodasi
2013 2014
Pasar C
Pasar B Rp400.000.000,00
Pasar A
Rp250.000.000,00
Rp80.000.000,00
Bendahara Pemerintah
memungut PPh Pasal 22 sebesar WP dibebaskan dari
1,5% x Rp20.000.000,00= Pemungutan apabila
Rp300.000,00 memiliki SKB
dalam hal WP tidak memiliki SKB
dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan pada tanggal 22 Agustus 2013 dan SSP-nya telah
mendapat validasi dengan NTPN, maka CV Abadi Mebelindo terlambat melakukan penyetoran
dan dianggap menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) tanggal 22 Agustus 2013.
Kompensasi Rugi
Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian pada Tahun
Pajak 2010. Berdasarkan ketentuan UU PPh, kerugian tersebut dapat
dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai
dengan Tahun Pajak 2015.
2012 2014
2011
2013 2015
Dikenai PPh Final
2010 dan mengalami
kerugian
Rugi pada
Tahun Pajak Kompensasi atas Kerugian dari penghasilan
2010 Kerugian Tahun yang dikenai PPh Final pada
2010 tidak dapat Tahun Pajak 2014 tidak dapat
dikompensasi di dikompensasi ke Tahun
Tahun Pajak 2014 Pajak berikutnya
15
2. Konfirmasi Pembayaran
LAMPIRAN XI
SLIDE PRESENTASI II
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
PJ.091/KUP/S/005/2014-01
Agenda
Sekilas
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 46 TAHUN 2013
Objek Pajak
Subjek Pajak
Orang Pribadi
Badan, tidak termasuk BUT,
Tarif
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dikenai PPh final
dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari jumlah
peredaran bruto setiap bulan dari setiap tempat usaha
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif
1% (satu persen) dikalikan dengan dasar pengenaan
pajak, yaitu jumlah peredaran bruto setiap bulan dari
setiap tempat usaha
Dalam hal pada tahun berjalan, penghasilan bruto sudah melebihi Rp4,8
miliar, tetap dikenai PPh final sampai dengan akhir Tahun Pajak dan tahun
berikutnya dikenai ketentuan PPh umum.
Kompensasi Rugi
WP yang menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan
yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Ketentuan kompensasi rugi adalah :
o berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
o tahun dikenai PPh final 1% tetap menjadi bagian dari
periode 5 tahun tsb.
o kerugian pada tahun dikenai PPh final 1% tidak dapat
dikompensasikan pada tahun berikutnya.
2012 2014
2011
2013 2015
Dikenai PPh Final
2010 dan mengalami
kerugian
Rugi pada
Tahun Pajak Kompensasi atas Kerugian dari penghasilan
2010 Kerugian Tahun yang dikenai PPh Final pada
2010 tidak dapat Tahun Pajak 2014 tidak dapat
dikompensasi di dikompensasi ke Tahun
Tahun Pajak 2014 Pajak berikutnya
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Neraca
PT MURAI BATU
NERACA
Per 31 Desember 2013
AKTIVA KEWAJIBAN
Aktiva Lancar
Kas Rp 98.225.000 Hutang Bank Rp 100.000.000 +
Bank Rp 180.000.000 Jumlah KEWAJIBAN Rp 100.000.000
Piutang Dagang Rp 250.000.000
Persediaan Rp 100.000.000 + EKUITAS
Jumlah Aset Lancar Rp 628.225.000 Modal Rp 500.000.000
Laba Ditahan Tahun- Rp (24.000.000)
Aktiva Tetap Tahun Sebelumnya
Aktiva Tetap Rp 101.500.000 Laba Tahun Berjalan Rp 107.600.000 +
Akumulasi Penyusutan Rp (46.125.000) + Jumlah EKUITAS Rp 583.600.000
Jumlah Aset Tetap Rp 55.375.000 + +
Total AKTIVA Rp 683.600.000 Total KEWAJIBAN dan Rp 683.600.000
EKUITAS
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Rincian Biaya
Biaya untuk periode Januari Juni 2013 :
Harga Pokok Penjualan Rp 380.000.000
Biaya Gaji Rp 10.000.000
Biaya Penyusutan Rp 7.687.500
Biaya Alat Tulis Kantor Rp 1.000.000
Biaya Perjalanan Dinas Rp 3.000.000
Biaya Bunga Rp 2.500.000
Biaya Sewa Gedung Rp 2.750.000
Biaya Telepon dan Listrik Rp 1.500.000
Jumlah Rp 408.437.500
Harta Bulan / Harga Perolehan Akumulasi Nilai Sisa Buku Metode Penyusutan
Berwujud Tahun Penyusutan Awal Fiskal Awal Penyusutan Fiskal Tahun
Perolehan Tahun 2013 Tahun 2013 2013
Komputer Januari 2011 Rp. 3.500.000 Rp. 1.750.000 Rp. 1.750.000 Garis Lurus Rp. 875.000
Mesin Ketik Januari 2011 Rp. 500.000 Rp. 250.000 Rp. 250.000 Garis Lurus Rp. 125.000
Meja Kursi Januari 2011 Rp. 2.000.000 Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 Garis Lurus Rp. 500.000
Lemari Januari 2011 Rp. 1.500.000 Rp. 750.000 Rp. 750.000 Garis Lurus Rp. 375.000
Motor Januari 2011 Rp. 14.000.000 Rp. 7.000.000 Rp. 7.000.000 Garis Lurus Rp. 3.500.000
Mobil Januari 2011 Rp. 80.000.000 Rp. 20.000.000 Rp. 60.000.000 Garis Lurus Rp. 10.000.000
Jumlah Rp. 101.500.000 Rp. 30.750.000 Rp. 70.750.000 Rp. 15.375.000
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
LAMPIRAN KHUSUS :
LAMPIRAN KHUSUS 1A
LAMPIRAN KHUSUS 2A
LAMPIRAN KHUSUS 8A-2
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Diisi
berdasarkan
data rincian
HPP dan Biaya
di Laporan
Laba/Rugi PT
Murai Batu.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Neraca
PT MURAI BATU
NERACA
Per 31 Desember 2013
AKTIVA KEWAJIBAN
Aktiva Lancar
Kas Rp 357.225.000 Hutang Bank Rp 100.000.000 +
Bank Rp 180.000.000 Jumlah KEWAJIBAN Rp 100.000.000
Piutang Dagang Rp 250.000.000
Persediaan Rp 100.000.000 + EKUITAS
Jumlah Aset Lancar Rp 887.225.000 Modal Rp 500.000.000
Laba Ditahan Tahun- Rp 235.000.000
Aktiva Tetap Tahun Sebelumnya
Aktiva Tetap Rp 101.500.000 Laba Tahun Berjalan Rp 107.600.000 +
Akumulasi Penyusutan Rp (46.125.000) + Jumlah EKUITAS Rp 842.600.000
Jumlah Aset Tetap Rp 55.375.000 + +
Total AKTIVA Rp 942.600.000 Total KEWAJIBAN dan Rp 942.600.000
EKUITAS
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Rincian Biaya
Biaya untuk periode Januari Juni 2013 :
Harga Pokok Penjualan Rp 380.000.000
Biaya Gaji Rp 10.000.000
Biaya Penyusutan Rp 7.687.500
Biaya Alat Tulis Kantor Rp 1.000.000
Biaya Perjalanan Dinas Rp 3.000.000
Biaya Bunga Rp 2.500.000
Biaya Sewa Gedung Rp 2.750.000
Biaya Telepon dan Listrik Rp 1.500.000
Jumlah Rp 408.437.500
Harta Bulan / Harga Perolehan Akumulasi Nilai Sisa Buku Metode Penyusutan
Berwujud Tahun Penyusutan Awal Fiskal Awal Penyusutan Fiskal Tahun
Perolehan Tahun 2013 Tahun 2013 2013
Komputer Januari 2011 Rp. 3.500.000 Rp. 1.750.000 Rp. 1.750.000 Garis Lurus Rp. 875.000
Mesin Ketik Januari 2011 Rp. 500.000 Rp. 250.000 Rp. 250.000 Garis Lurus Rp. 125.000
Meja Kursi Januari 2011 Rp. 2.000.000 Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 Garis Lurus Rp. 500.000
Lemari Januari 2011 Rp. 1.500.000 Rp. 750.000 Rp. 750.000 Garis Lurus Rp. 375.000
Motor Januari 2011 Rp. 14.000.000 Rp. 7.000.000 Rp. 7.000.000 Garis Lurus Rp. 3.500.000
Mobil Januari 2011 Rp. 80.000.000 Rp. 20.000.000 Rp. 60.000.000 Garis Lurus Rp. 10.000.000
Jumlah Rp. 101.500.000 Rp. 30.750.000 Rp. 70.750.000 Rp. 15.375.000
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
LAMPIRAN KHUSUS :
LAMPIRAN KHUSUS 1A
LAMPIRAN KHUSUS 8A-2
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Diisi
berdasarkan
data rincian
HPP dan Biaya
di Laporan
Laba/Rugi PT
Murai Batu.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
A. Informasi Umum
Dokter Ahmad Rais seorang Wajib Pajak yang berprofesi sebagai
dokter anak dengan status belum menikah bertempat tinggal di
Surabaya dengan NPWP 05.321.616.6-615.000. Penghasilan
yang diterima selama tahun 2013 diperoleh dari beberapa
sumber yaitu penghasilan jasa dokter dari praktek di Rumah
Sakit Medika Utama, penghasilan dari praktek dokter di klinik
pribadinya yang berlokasi di Surabaya, dan penghasilan dari
usaha apotek yang dimilikinya. Ahmad Rais telah mengajukan
ijin menyampaikan surat pemberitahuan penggunaan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto untuk perhitungan PPh Tahun
Pajak 2013 ke KPP Pratama Surabaya Rungkut.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.
B. Data-Data
Peredaran bruto atas usaha apotek selama tahun 2012 adalah
sebesar Rp1.450.000.000,00. Sehingga sejak masa Juli 2013
atas usaha apotek tersebut termasuk dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final menurut Peraturan Pemerintah nomor 46
Tahun 2013. Pajak Penghasilan yang dibayar adalah sebagai
berikut:
No. Bulan PPh Pasal 4 ayat (2)
yang bersifat final
1 Juli 220.000
2 Agustus 200.000
3 September 230.000
4 Oktober 260.000
5 November 252.500
6 Desember 240.000
Total 1.402.500
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.
B. Data-Data
Data-data lain selama tahun 2013 sebagai berikut:
membayar zakat melalui Badan Amil Zakat sebesar
Rp16.500.000,00;
Daftar harta dan kewajiban
Daftar Harta Pada akhir Tahun 2013
No Uraian Aset Nilai Perolehan (Rp) Tahun Perolehan
1 Rumah di Jalan Rungkut
Madya 10 550.000.000 2005
2 Tanah di Siwalankerto no. 300.000.000 2007
103 A
3 Mobil 225.000.000 2010
4 Tabungan di Bank Harapan 40.000.000 2009
Cabang Surabaya
5 Deposito di Bank Mulia 175.000.000 2012
Cabang Rungkut
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
STEP 1
Isi Tahun Pajak , Metode Pembukuan, dan Identitas
Metode
Pencatatan
Tahun Pajak
1770 2 0 1 3 Periode
FORMULIR
TAHUN PAJAK
Pembukuan
MEMPUNYAI PENGHASILAN :
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO 0 1 1 3 s.d 1 2 1 3
KEMENTERIAN KEUANGAN RI YANGSATU
DARI ATAU LEBIH PEMBERI KERJA BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DARI PENGHASILAN
DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL x NORMA PEMBUKUAN
LAIN
SPT PEMBETULAN KE - .
PERHATIAN
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI
NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0
IDENTITAS
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.
STEP 2
Masukkan Harta, Kewajiban, dan Susunan Keluarga
FORMULIR
1770 - IV
LAMPIRAN - IV
2 0 1 3
TAHUN PAJAK
PERHATIAN
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI
NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0
HARGA PEROLEHAN
NO. JENIS HARTA TAHUN PEROLEHAN KETERANGAN
(Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)
a 3 Mobil
c 2010
b 225.000.000 BPKB: L. 3842752.7
4 Tabungan di Bank Harapan Cabang 2009 40.000.000
-
Surabaya
5 Deposito di Bank Mulia Cabang Rungkut 2012 175.000.000 -
6
7
9
10
dst
1.290.000.000
JUMLAH BAGIAN A JBA
STEP 3
Masukkan Peredaran Bruto Dari Usaha Dagang/Jasa
dan PPh Pasal 4 (2) Final Yang Terhutang
LAMPIRAN - III
2 0 1 3
1770 - III
FORMULIR
TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh W AJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHASILAN ISTERI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH x NORM A PEM BUKUAN
PER H ATI AN :
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI
NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0
Juli 220.000
NEGA RA
September 230.000
- -
PENSIUN Y A NG DIBA Y A R SEKA LIGUS
8.
BA NGUNA N Y A NG DITERIMA DA LA M RA NGKA BA NGUNA N
GUNA SERA H
- -
4
November 252.500
9. SEWA A TA S TA NA H DA N/A TA U BA NGUNA N - -
6 Desember 240.000
12. - -
KEPA DA A NGGOTA KOPERA SI
Total 1.402.500
14. DIV IDEN - -
-
2. WARISAN
-
Peringatan:
Simulasi kasus ini hanya berlaku
BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM, PERSEKUTUAN,
3.
PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI
STEP 4
Masukkan Daftar Bukti Potong PPh Pasal 21/22/23/24/26/DTP
LAMPIRAN - II
2 0 1 3
FORMULIR
TAHUN PAJAK
PERHATIAN :
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI
NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0 di RS Medika
NAMA WAJIB PAJAK : A H M A D R A I S
1 Januari
BAGIAN A : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN PPh
DITANGGUNG PEMERINTAH
575.000
NAMA NPWP BUKTI JUMLAH PPh YANG DIPOTONG / 2 Februari
600.000
JENIS PAJAK : PPh PASAL
NO PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DIPUNGUT
21/ 22/23/24/26/DTP *)
PAJAK PAJAK (Rupiah)
NOMOR TANGGAL
Maret
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
31 JANUARI 3
1 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 10/01//MS/2013
2013
PPH PASAL 21 575.000
500.000
2 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 20/02//MS/2013
27 FEBRUARI
2013
PPH PASAL 21 600.000
4 April
525.000
3 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 04/03//MS/2013 28 MARET 2013 PPH PASAL 21 500.000
5 Mei
4 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 13/04//MS/2013 30 APRIL 2013 PPH PASAL 21 525.000 1.275.000
6 Juni
a
RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 11/05//MS/2013 28 MEI 2013 PPH PASAL 21 1.275.000
1.500.000
5
Oktober
10 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 20/10//MS/2013 PPH PASAL 21 1.762.500
10
2013
13
12 Desember
1.875.000
14
15
Total 15.625.000
dst
STEP 5
Masukkan Penghasilan dari Usaha/Pekerjaan Bebas
/Sehubungan Pekerjaan/Penghasilan Lainnya
HALAMAN 2 LAMPIRAN - I
2 0 1 3
FORMULIR
TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I
PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI YANG MENGGUNAKAN
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO 0 1 1 3 s.d 1 2 1 3
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BL TH BL TH
BAGIAN B: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS Jumlah peredaran bruto
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO )
dari penghasilan jasa dokter
NO. JENIS USAHA
PEREDARAN USAHA NORMA PENGHASILAN NETO di RS Medika sejak bulan
(Rupiah) (%) (Rupiah)
Januari 2013 s/d Desember 2013
+
(1) (2) (3) (4) (5)
5 USAHA LAINNYA
STEP 6
Isi Penghasilan Neto Yang Diambil Dari Lampiran I,
Halaman 2, Bagian B, C, dan D
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3) RUPIAH *) Pindahan Dari Lampiran I,
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS Halaman 2, Bagian B,
1 234.555.000
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5] Kolom Penghasilan Neto
2. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN (Lihat STEP-5)
A. PENGHASILAN NETO
2 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
]
3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
4 -
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat buku petunjuk]
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 234.555.000
..
6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6 16.500.000
STEP 7
Isi Penghasilan Kena Pajak (Bagian B, Induk)
dan PPh Terhutang (Bagian C, Induk)
*) Pengisian kolom-kolom y ang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3) RUPIAH *)
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
1 234.555.000
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
2. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN
A. PENGHASILAN NETO
2 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
]
3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
4 -
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat buku petunjuk]
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 234.555.000
..
6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6 16.500.000
8. KOMPENSASI KERUGIAN
8 -
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK
baris diatasnya.
C. PPh
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban bagi
Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan
perpajakan yang berlaku.
STEP 8
Isi Kredit Pajak(Bagian D, Induk)
dan PPh Kurang/Lebih Bayar (Bagian E, Induk)
15. PPh YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR
15 15.625.000 Pindahan dari formulir
NEGERI DAN PPh DITANGGUNG PEMERINTAH [Diisi dari formulir 1770 -II Jumlah Bagian A Kolom 7] 1770-II, Bagian Kolom 7
16. x a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI
(14-15) 16 8.438.250
D. KREDIT PAJAK
20. PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon DIRESTITUSIKAN DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 C (WP
a. X c. PATUH) Asumsikan WP mengajukan
DIPERHITUNGKAN DENGAN DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 D (WP restitusi atas SPT LB-nya
b. UTANG PAJAK
d. TERTENTU
STEP 9
Isi Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 (Bagian F, Induk),
Lampiran (Bagian G, Induk), dan Bagian Identitas
PA SA L 25 T A H U N PA JA K
DIHITUNG BERDASARKAN :
menggunakan lampiran
a. 1/12 X JUMLAH PADA ANGKA 16 c. X PERHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI tersendiri
SELAIN FORMULIR 1770 - I SAMPAI DENGAN 1770 - IV (BAIK YANG DIISI MAUPUN YANG TIDAK DIISI) HARUS DILAMPIRKAN PULA :
a. SURAT KUASA KHUSUS (BILA DIKUASAKAN) g. x PERHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
G. LAMPIRAN
b. SSP LEMBAR KE-3 PPh PASAL 29 h. FOTOKOPI TANDA BUKTI PEMBAYARAN FISKAL LUAR NEGERI (TBPFLN)
NERACA DAN LAP. LABA RUGI / REKAPITULASI BULANAN PEREDARAN BRUTO DAN/ATAU PENGHASILAN PERHITUNGAN PPh TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK KAWIN PISAH HARTA Check out kotak yang
c. x LAIN DAN BIAYA i. DAN/ATAU MEMPUNYAI NPWP SENDIRI
tersedia sesuai dengan
DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN DAN PEMBAYARAN PPh PASAL 25 (KHUSUS
d. PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL j. UNTUK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU)
dokumen yang dilampirkan
BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN OLEH PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN YANG
e. x DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI k. ......................................................................................................................................
PERNYATAAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya TANDA TANGAN
menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.
NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0
BENAR,
LENGKAP, dan
JELAS
LAMPIRAN XII
QUESTIONS AND ANSWERS
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
Apa saja kriteria yang digunakan untuk menentukan Wajib Pajak termasuk dalam
Q2
kriteria WP PP 46 Tahun 2013?
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013 adalah Wajib Pajak
orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap, yang menerima
penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Wajib Pajak orang pribadi yang dikecualikan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun
tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak badan yang dikecualikan adalah:
1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
Q3 Bagaimana tata cara penetapan/penentuan peredaran bruto Wajib Pajak dalam PP ini?
Secara umum, penetapan/penentuan Wajib Pajak PP 46 Tahun 2013 adalah berdasarkan jumlah
peredaran bruto setahun yang dicatat atau dibukukan oleh Wajib Pajak. Apabila peredaran bruto
dalam suatu Tahun Pajak tersebut tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah), maka Wajib Pajak dimaksud dikenai ketentuan PPh menurut PP ini pada Tahun
Pajak berikutnya.
Namun dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi
a. Apabila terdaftar di Tahun Pajak 2013 sebelum 1 Juli 2013, maka jumlah peredaran bruto
dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan Juni 2013 terlebih dahulu
disetahunkan. Dalam hal setelah disetahunkan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka pada Tahun Pajak
2013 sejak 1 Juli 2013 Wajib Pajak tersebut dikenakan PPh final berdasarkan PP 46
Tahun 2013.
b. Apabila terdaftar setelah 1 Juli 2013, maka peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha disetahunkan. Dalam hal setelah disetahunkan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah), maka peredaran bruto Wajib Pajak tersebut dikenakan PPh final berdasarkan PP
46 Tahun 2013 pada Tahun Pajak yang besangkutan.
2. Wajib Pajak badan
Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha 1 (satu)
Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. Pengenaan Pajak Penghasilan
yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak yang bersangkutan ditentukan berdasarkan
peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
Usaha sektor informal yaitu unit usaha kecil yang melakukan kegiatan produksi dan/atau distribusi
barang dan jasa untuk menciptakan lapangan kerja dan penghasilan bagi mereka yang terlibat,
yang bekerja dengan keterbatasan baik modal, fisik, tenaga, maupun keahlian. Contoh usaha
sektor informal yaitu pedagang kaki lima (PKL).
Pada umumnya para PKL memiliki penghasilan yang masih di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Untuk itu, PP ini mengecualikan PKL yang didefinisikan oleh PP ini sebagai Wajib Pajak
orang pribadi yang dalam usaha dagang/jasanya:
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun
tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan
bagi tempat usaha atau berjualan.
Q5 Apa pengertian dari usaha? Apa maksud dari dicantumkannya petikan Pasal 4 ayat (1)
UU PPh di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013?
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013 adalah Berdasarkan arah aliran
tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dicantumkannya Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013 sebenarnya adalah sebagai
jembatan untuk menjelaskan mengenai usaha. Sehingga bisa terlihat bahwa yang menjadi
sasaran PP 46 Tahun 2013 ini adalah Poin b di atas, yaitu penghasilan dari usaha.
Dengan demikian penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013
adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud dalam PP 46 tahun 2013;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
3) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Contoh:
Suatu perusahaan bergerak dalam bidang pengolahan industri gula. Selama pabrik belum
berproduksi, perusahaan tersebut melakukan penjualan tebu dari kebun miliknya.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, maka
penghasilan dari penjualan tebu yang dilakukan perusahaan tersebut merupakan penghasilan
dari usaha, karena tidak dapat dikelompokkan dalam kelompok aliran penghasilan huruf a, c,
atau d di atas.
Q6 a. Apakah ketentuan beroperasi secara komersial hanya berlaku untuk Wajib Pajak
Badan?
b. Bagaimana penentuan saat beroperasi komersial bagi Wajib Pajak badan?
c. Bagaimana penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru
beroperasi secara komersial?
a. Ketentuan beroperasi secara komersial hanya diperuntukkan bagi Wajib Pajak badan. Hal
ini untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya kerugian di awal usaha yang tidak dapat
dikompensasikan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak.
b. Penentuan saat beroperasi komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013 bagi
Wajib Pajak badan yang bergerak di sektor:
1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima
atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang
dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
c. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.
Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
beroperasi secara komersial.
Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial tersebut melewati
Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir
Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.
Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak
badan yang baru beroperasi komersial tersebut, untuk Tahun Pajak selanjutnya, ditentukan
berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
Contoh:
1) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial,
maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh untuk
Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi
komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan sampai dengan 31
Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
2) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh
untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi komersial 1
Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan
pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
3) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh
untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi
komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan
31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
4) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan
31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak
Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun
Pajak 2014
Apakah jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas bisa dilakukan oleh Badan atau hanya
Q7 berlaku bagi Orang Pribadi sesuai definisi Pasal 1 Angka 24 UU KUP?
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh
suatu hubungan kerja.
Dengan demikian, pekerjaan bebas terbatas hanya untuk pekerjaan yang dilakukan oleh orang
pribadi.
Q8 Apa yang dimaksud dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas? Apa maksud dari
frase kegiatan sejenis lainnya?
Jenis jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013.
Frase kegiatan sejenis lainnya hanya mengacu ke Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf k PP 46
Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) huruf k PMK-107/PMK.011/2013. Ini untuk mengantisipasi jika
nantinya terdapat kegiatan yang sejenis dengan MLM dan direct selling.
Bagaimana perlakuan PPh bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha jasa konsultasi dengan
Q9 bentuk usaha Firma?
Berdasarkan ketentuan dalam PP 46 Tahun 2013, Wajib Pajak yang menerima penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan bebas tidak termasuk dalam kriteria Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu. Selanjutnya, UU KUP mendefinisikan pekerjaan bebas sebagai
pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk
memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Dengan demikian, atas Wajib Pajak berbentuk badan usaha yang melakukan usaha jasa konsultan
tidak dikecualikan dari pengenaan PPh Final menurut PP 46 Tahun 2013.
Q10 Apakah peredaran bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak didasarkan pada pembukuan
atau berdasarkan penghasilan bruto yang telah diterima secara tunai?
Apakah Wajib Pajak yang masuk dalam kriteria PP 46 Tahun 2013 (Wajib Pajak yang
Q11 memiliki Peredaran Bruto Tertentu atau Wajib Pajak PBT) ini tetap diwajibkan
melakukan pembukuan?
PP 46 Tahun 2013 hanya mengatur mengenai pengenaan PPh yang bersifat final bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu dari usaha, sehingga kewajiban pembukuan tetap ada
sesuai dengan ketentuan umum di Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP).
Apabila Wajib Pajak orang pribadi memperoleh penghasilan dari beberapa sumber, seperti
Q12 pekerjaan sebagai karyawan, konsultan, dan dagang, bagaimana perlakuan PPhnya?
1. PPh atas penghasilan Wajib Pajak sebagai karyawan merupakan objek PPh Pasal 21 yang
dipotong oleh pemberi kerja dan dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
orang pribadi.
2. PPh atas penghasilan Wajib Pajak sebagai konsultan diperlakukan sebagai penghasilan dari
pekerjaan bebas. Penghitungan penghasilan neto dapat menggunakan pembukuan atau norma
penghitungan penghasilan neto dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang
pribadi.
3. PPh atas penghasilan Wajib Pajak dari kegiatan dagang yang memenuhi kriteria dalam PP 46
Tahun 2013, dikenakan tarif sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulan.
Pada akhir tahun pajak, seluruh penghasilan Wajib Pajak selain yang dikenai PPh Final
dijumlahkan dalam SPT Tahunan PPh untuk menghitung PPh terutang. PPh yang telah dipotong
oleh pihak lain (PPh Pasal 21) dapat dikurangkan dari PPh terutang. PPh bersifat final wajib
dilaporkan dalam Lampiran III SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi 1770 dalam kolom
Penghasilan yang Telah Dikenakan PPh Final.
Apakah penghasilan dari usaha dagang pada soal Q12 yang dikenai PP 46 Tahun 2013
Q13 tidak digabung dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak?
Tidak. Penghasilan dari usaha dagang yang telah dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan PP 46
Tahun 2013 tidak digabung dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak untuk menghitung PPh
Terutang Wajib Pajak pada akhir Tahun Pajak.
Namun demikian, jumlah peredaran bruto dari usaha dagang tersebut selama 1 (satu) Tahun Pajak,
dan jumlah PPh final terutangnya wajib dilaporkan dalam Lampiran III SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak orang pribadi 1770 dalam kolom Penghasilan yang Telah Dikenakan PPh Final.
Q14 Bagaimana ketentuan tentang pengenaan norma penghitungan bagi Wajib Pajak orang pribadi?
1. Batasan Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto adalah Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun. Namun
demikian, Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013 dikenai PPh
bersifat final dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto setiap bulan.
2. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dan tidak
memenuhi kriteria PP ini dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, sebagai
contoh antara lain Dokter, Pengacara, Akuntan, Notaris.
Bagaimana dengan pelaksanaan pemberian fasilitas PPh sebagaimana diatur dalam UU PPh
Q15 Pasal 31A dan Pasal 31E serta tax holiday setelah berlakunya PP ini?
1. Terkait dengan ketentuan Pasal 31A dan Tax Holiday, sepanjang Wajib Pajak badan telah
memperoleh Surat Keputusan untuk mendapatkan fasilitas perpajakan dimaksud, maka tidak
dikenakan ketentuan sesuai dengan PP ini.
2. Terkait dengan ketentuan Pasal 31E, sepanjang Wajib Pajak badan tidak memenuhi kriteria PP
46 Tahun 2013 dan mempunyai peredaran bruto tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00
(limapuluh miliar rupiah), maka penghitungan pajaknya tetap dapat menggunakan ketentuan
Pasal 31E.
Apabila Wajib Pajak Peredaran Bruto Tertentu memiliki usaha di beberapa lokasi, bagaimana
Q16 cara perhitungan PPh Final Pasal 4(2)?
Dalam hal Wajib Pajak PBT memiliki usaha di beberapa lokasi usaha yang berbeda, maka
perhitungan PPh Final Pasal 4 ayat (2) didasarkan atas peredaran bruto usaha di setiap lokasi
usaha. Sebagai contoh, apabila Wajib Pajak memiliki 3 (tiga) gerai/toko, dan merupakan Wajib
Pajak PBT berdasarkan jumlah peredaran bruto usaha dari ketiga gerai/toko tersebut, maka
perhitungan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dilakukan untuk setiap setiap gerai/toko dengan
mendasarkan kepada peredaran bruto masing-masing gerai/toko.
Secara khusus, penghasilan dari usaha yang tidak termasuk dalam perhitungan peredaran bruto
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PMK.107/PMK.011/2013:
Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk
peredaran bruto dari:
a). jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b). penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
c). usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d). penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Dengan demikian, pendapatan dividen, pendapatan sewa peralatan, pendapatan bunga pinjaman
dan pendapatan dari penjualan aktiva berupa kendaraan bermotor bagi perusahaan manufaktur,
bukan merupakan penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.
Dalam hal pendapatan sewa peralatan merupakan diversifikasi usaha dari perusahaan
manufaktur tersebut sehingga peralatan dimaksud memang ditujukan untuk disewakan, maka
atas penghasilan dari usaha sewa peralatan tersebut dikenai PPh final berdasarkan PP 46 Tahun
2013.
Q18 Apakah penjualan aktiva perusahaan dapat diperhitungkan sebagai peredaran bruto?
Berdasarkan aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
PP 46 Tahun 2013 mengatur pengenaan PPh atas penghasilan dari usaha. Dengan demikian,
penjualan aktiva perusahaan yang dapat digolongkon sebagai penghasilan dari modal tidak
termasuk dalam peredaran bruto dari usaha yang dikenakan PPh Final.
Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Q19 (Wajib Pajak OPPT) dengan berlakunya PP 46 Tahun 2013?
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang
dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT maupun kriteria sebagai Wajib Pajak yang
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan
bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan memenuhi kriteria
sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut
mengacu pada ketentuan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran
pajaknya mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu
sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan
usaha.
Bagaimana perlakuan PPh atas Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil,
Q20 kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih
berlaku pada saat berlakunya PP 46 Tahun 2013?
Ketentuan perpajakan yang diatur dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya maupun perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak
dimaksud (sanctity of contract). Dengan demikian, perlakuan PPh atas Wajib Pajak yang terikat
dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya ataupun perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan mengacu kepada ketentuan perpajakan yang diatur dalam kontrak/perjanjian
dimaksud meskipun pada saat mulai diberlakukannya PP 46 Tahun 2013 Wajib Pajak memiliki
peredaran bruto kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam
1 (satu) tahun.
Apakah penghasilan yang diterima dari penyewaan harta selain tanah & bangunan, dapat
Q21 dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013?
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, selain
peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan
Dengan demikian, atas penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak dari persewaan harta
selain tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 sepanjang
merupakan penghasilan dari kegiatan usaha Wajib Pajak.
Q22 Terdapat perusahaan investasi yang penghasilannya berupa dividen. Apakah terhadap
perusahaan investasi ini dikenakan PP 46 Tahun 2013?
Sesuai Pasal 2 ayat (1) PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Berdasarkan asal aliran tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, penghasilan berupa
dividen termasuk dalam penghasilan dari modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 bagi WP
Badan dan objek pemotongan PPh sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (2c) UU PPh bagi Orang
Pribadi.
Mempertimbangkan hal tersebut, Wajib Pajak badan yang memiliki penghasilan dari dividen
tidak memenuhi kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan dalam PP 46 Tahun
2013. Namun demikian, dalam hal dividen merupakan penghasilan usaha dari Wajib Pajak
(misalnya Wajib Pajak perusahaan Reksa Dana), maka penghasilan tersebut termasuk dalam
penghasilan dari usaha yang dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013.
Sebagai pengecualian, dalam hal Wajib Pajak merupakan perusahaan modal ventura yang
melakukan usaha sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 tentang
Perusahaan Modal Ventura, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf k Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka atas penghasilan tersebut bukan
merupakan objek Pajak Penghasilan.
Untuk transaksi bisnis yang memakai valas namun menyelenggarakan pembukuan dengan
Q23 mata uang rupiah dengan kurs tengah BI, apakah penghitungan omsetnya mengacu ke
pembukuan atau memakai kurs pajak (KMK)?
Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf l dan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh:
Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam hal Wajib Pajak menerima/memperoleh penghasilan dalam mata uang asing (valas), maka
untuk penghitungan peredaran bruto atas penghasilan tersebut menggunakan kurs yang dipakai
dalam sistem pembukuan Wajib Pajak yang dianut dan dilakukan secara taat asas.
Apakah Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 wajib
Q24 membuat pembukuan terpisah sesuai PP 94 Tahun 2010, termasuk untuk tahun pertama,
yaitu tahun 2013?
PP 46 Tahun 2013 hanya mengatur mengenai pengenaan PPh yang bersifat final bagi Wajib Pajak
dengan peredaran bruto tertentu. Dengan demikian, kewajiban pembukuan tetap mengikuti
ketentuan umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UU Nomor 6Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan. Lebih lanjut diatur bahwa Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Laporan Keuangan yang dilampirkan di SPT Tahunan sama seperti biasa (meliputi 1 tahun buku).
Namun, khusus untuk Wajib Pajak yang ingin melakukan kompensasi atas kerugian bulan Januari
s.d. Juni 2013 wajib melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 s.d. Juni 2013 dalam SPT
Tahunan PPh tahun 2013 sesuai Pasal 15 PMK-107/PMK.011/2013.
Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan bank/bank perkreditan
Q25 rakyat atau Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang jasa peminjaman uang (misalnya
koperasi simpan pinjam)?
Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat atau Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang
jasa peminjaman uang yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari
jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan
rakyat atau Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang jasa peminjaman uang adalah jumlah
seluruh penghasilan usaha jasa perbankan atau simpan pinjam antara lain:
a. pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian
kredit, tidak termasuk pembayaran pokok kredit;
b. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia (khusus bagi bank/bank perkreditan rakyat).
Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba
Q26 yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan?
Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut bukan merupakan objek pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh.
Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana tidak terpenuhi,
maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan umum UU PPh.
Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan mengacu pada
ketentuan umum UU PPh.
Q27 Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak reksa dana?
Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer
investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Contoh penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana yaitu dividen. Berdasarkan kriteria,
dividen merupakan penghasilan dari modal. Namun jika dividen diperoleh dari lingkup kegiatan
usaha seperti yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana maka dividen menjadi dapat dikenai PPh
berdasarkan PP 46 Tahun 2013.
Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah
Q28 (PPAT)?
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, ditegaskan bahwa:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT mempunyai persamaan kewenangan
dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta
otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
b. Notaris merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, maka PPAT
dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
pekerjaan bebas.
Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada ketentuan umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Suatu perusahaan memiliki usaha pokok sebagai developer yang atas penghasilannya dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Selain menjalankan usaha tersebut, perusahaan juga
Q29 melakukan kegiatan di luar usaha pokok berupa pengelolaan arena olahraga dan mini
market. Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi perusahaan atas penghasilan dari luar
usaha pokoknya tersebut?
Walaupun kegiatan Wajib Pajak berupa pengelolaan arena olah raga dan mini market merupakan
kegiatan di luar usaha pokok Wajib Pajak, namun karena penghasilan tersebut merupakan
penghasilan yang alirannya bersumber dari usaha Wajib Pajak yang tidak dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final yang diatur tersendiri, maka penghasilan tersebut merupakan penghasilan dari
usaha yang atas penghasilannya dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan PP 46
Tahun 2013.
Q30 Bagaimana halnya dengan setoran PPh Pasal 25 yang telah dibayar sekaligus dimuka untuk
Tahun Pajak 2013?
Atas angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli sampai Desember 2013 yang sudah disetor sebelum
diberlakukannya PP 46 Tahun 2013, dapat dipindahbukukan (Pbk) ke setoran Pajak PPh Pasal 4 ayat
(2) yang terutang.
Bagaimana dengan PTKP yang digunakan dalam menghitung PPh Tahun Pajak 2013 Wajib
Q31 Pajak Peredaran Bruto Tertentu (Wajib Pajak PBT), apakah dihitung penuh 1 (satu) tahun?
Untuk menghitung PPh Wajib Pajak PBT Tahun Pajak 2013, digunakan PTKP penuh 1 (satu) tahun
meskipun penghasilan yang diperhitungkan hanya penghasilan Wajib Pajak PBT masa pajak Januari
sampai dengan Juni 2013.
1. Dalam ketentuan PP ini, Wajib Pajak dapat mengkompensasikan kerugiannya dari tahun-
tahun pajak sebelumnya dengan syarat:
a. dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013
menjadi bagian dari periode 5 tahun kompensasi kerugian tetapi kerugian dari Tahun
Pajak sebelumnya tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak dikenakan PPh yang
bersifat final tersebut;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak yang dikenakannya PPh yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
2. Untuk Tahun Pajak 2013, Wajib Pajak dapat mengkompensasikan kerugian Tahun Pajak
sebelumnya dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final yaitu penghasilan
periode bulan Januari s.d. Juni 2013. Demikian pula apabila dalam periode bulan Januari s.d
Juni 2013, Wajib Pajak mengalami kerugian maka dapat mengkompensasikan kerugian
tersebut pada Tahun Pajak berikutnya sepanjang pada tahun berikutnya Wajib Pajak tidak
termasuk kriteria PP 46 Tahun 2013.
Q33
Dalam Contoh Penghitungan Angka 7 Lampiran PMK-107/PMK.011/2013, disebutkan
bahwa:
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember
2015 adalah Rp 2.000.000
(sesuai dengan data penghasilan dan biaya bulan Januari).
Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh bagi Wajib Pajak yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama
Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c UU PPh,
besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi
Wajib Pajak tersebut;
b. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penghitungan
besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a UU PPh.
Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut:
a. untuk Wajib Pajak yang sebelumnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun
2013, maka mengikuti ketentuan PMK-107/PMK.011/2013.
b. untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak, penghitungan angsuran PPh
Pasal 25 pada tahun pertama mengikuti PMK-255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan PMK-208/PMK.03/2009.
Dalam pengisian SPT Tahunan PPh OP Tahun 2013, apakah Wajib Pajak yang dikenakan PP
Q34 46 Tahun 2013 berhak mendapatkan PTKP setahun atau penghasilannya yang
disetahunkan?
Penghitungan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013:
a. peredaran usaha dihitung berdasarkan seluruh peredaran usaha selama Tahun Pajak 2013,
tidak termasuk peredaran usaha pada Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan Desember 2013
yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi, untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak dikurangi terlebih
dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun;
c. angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan Masa Pajak Januari
2013 sampai dengan Juni 2013 dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk
Tahun Pajak yang bersangkutan.
Maka, Wajib Pajak tetap berhak mendapatkan PTKP setahun, namun penghasilannya tidak
disetahunkan.
Q35
Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran
angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Apakah Wajib Pajak yang seluruh penghasilannya dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46
Tahun 2013 tetap wajib melaporkan PPh Pasal 25 Nihil?
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013, atas Wajib Pajak yang seluruh
penghasilannya dikenai PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka tidak ada kewajiban
pembayaran angsuran PPh Pasal 25. Dengan demikian, Wajib Pajak tersebut juga tidak mempunyai
kewajiban melaporkan SPT PPh Pasal 25 Nihil.
Q36 Bagaimanakah ketentuan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013? Bagaimana juga kewajiban pelaporan SPT
Masa Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang pada suatu masa pajak memiliki peredaran
usaha nihil?
Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kas negara melalui:
a. kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP); atau
b. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu; Wajib Pajak menerima Bukti
Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)
dalam bentuk cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP;
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP
46 Tahun 2013 wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh)
hari setelah Masa Pajak berakhir. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan tersebut diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014.
Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah
menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang
tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM, sehingga tidak perlu lagi melaporkan SPT Masa
PPh Pasal 4 ayat (2).
Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT
Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).
Bagaimana pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) bagi Wajib Pajak
Q37 Peredaran Bruto Tertentu (Wajib Pajak PBT)?
Sesuai dengan PER 32/PJ/2013, SKB berlaku untuk 1 (satu) Tahun Pajak dan harus dilegalisasi
pada saat Wajib Pajak akan bertransaksi dengan pemotong/pemungut.
a. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PER-32/PJ/2013 diatur bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dapat menerbitkan surat penolakan permohonan SKB dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
Maka, permohonan SKB bisa saja ditolak (tidak dikabulkan).
b. Berdasarkan Huruf F Angka 7 SE-42/PJ/2013:
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai
berikut:
1) atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
a) dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4
ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui
pemindahbukuan; atau
b) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang
sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
c) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.
2) atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan bukti
pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas impor:
a) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang
sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
b) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Maka, Wajib Pajak memiliki beberapa pilihan terkait kredit pajak tersebut:
a) Untuk SSP bisa dikreditkan di SPT Tahunan, pengembalian PMK-10/PMK.03/2013,
atau Pemindahbukuan (Pbk).
b) Untuk Bukti Pemotongan bisa dikreditkan atau pengembalian PMK-10/PMK.03/2013
(tidak bisa Pbk).
Apabila dikemudian hari diketahui bahwa peredaran bruto Wajib Pajak PBT tahun
Q39 sebelumnya ternyata lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah), bagaimana dengan perlakuan PPh atas Tahun Pajak berjalan yang telah menggunakan
ketentuan PP 46 Tahun 2013?
Apabila di kemudian hari diketahui ternyata Wajib Pajak tidak berhak menggunakan aturan sesuai
PP 46Tahun 2013 karena peredaran bruto tahun sebelumnya lebih dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka akan dilakukan koreksi sehingga atas peredaran
bruto tersebut dikenai PPh terutang sesuai ketentuan yang berlaku.
TIM PENYUSUN
Anggota
PERINGATAN
Buku ini merupakan buku panduan yang dipersiapkan DJP dalam melaksanakan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Buku panduan ini disusun dan
ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Direktorat Peraturan Perpajakan
II. Buku ini senantiasa diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan
kebutuhan. Apabila terdapat ketidaksesuaian antara materi dalam buku ini dengan
peraturan perpajakan, maka pelaksanaannya mengacu pada peraturan perpajakan
yang berlaku.