Vous êtes sur la page 1sur 229

Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pajak


Direktorat Peraturan Perpajakan II

PAJAK PENGHASILAN FINAL 1% BAGI WAJIB PAJAK


DENGAN PEREDARAN BRUTO TERTENTU
(Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013)

Untuk Kepentingan Dinas


PP.46
2013
PAJAK PENGHASILAN FINAL 1% BAGI WAJIB PAJAK
DENGAN PEREDARAN BRUTO TERTENTU
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib
Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu
(Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DIREKTORAT PERATURAN PERPAJAKAN II
2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan


Peredaran Bruto Tertentu
(Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013)

Diterbitkan oleh Tim Penyusun


Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Peraturan Perpajakan II
Tahun 2014

Jl. Gatot Subroto Kav. 40-42


Jakarta Selatan 12190
Telp. (021) 5250208, Fax. (021) 5732064
Website: http://www.pajak.go.id

ii Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................ iii

LATAR BELAKANG ...................................................................................... 1

MAKSUD DAN TUJUAN PP 46/2013 ............................................................ 3

RUANG LINGKUP ....................................................................................... 4

MUATAN PASAL .......................................................................................... 5

HAL-HAL KHUSUS TERKAIT PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN YANG


BERSIFAT FINAL .......................................................................................... 8

LAMPIRAN I PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN
BRUTO TERTENTU............................................................. 13

LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 107/PMK.011/2013 TENTANG TATA
CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU...................... 29

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 197/PMK.03/2013 TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
68/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN PENGUSAHA KECIL
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI............................................ 51

LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 198/PMK.03/2013 TENTANG PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN
TERTENTU.......................................................................... 57

Direktorat Peraturan Perpajakan II iii


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

LAMPIRAN V PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR


PER-32/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PEMBEBASAN
DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK
PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI
PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU ..................... 75

LAMPIRAN VI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR


PER-37/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PENYETORAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU MELALUI
ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) ................................... 97

LAMPIRAN VII SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR


SE-42/PJ/2013 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU ..................... 103
LAMPIRAN V III SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
SE-32/PJ/2014 TENTANG PENEGASAN PELAKSANAAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU... 115

LAMPIRAN IX SIMULASI PENGISIAN SPT................................................. 123

LAMPIRAN X SLIDE PRESENTASI I ......................................................... 129

LAMPIRAN XI SLIDE PRESENTASI II ....................................................... 151

LAMPIRAN XII QUESTIONS AND ANSWERS.............................................. 195

iv Direktorat Peraturan Perpajakan II


SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Menghimpun pembayaran pajak sesuai rencana yang ditetapkan
merupakan suatu kegiatan yang perlu disikapi bersama. Pemenuhan
pembayaran pajak bukan merupakan pekerjaan dan tanggung jawab
pemerintah semata, namun menjadi keharusan dan tanggung jawab
semua pihak. Kesadaran dan kepedulian sangat diharapkan oleh karena
pajak merupakan andalan sumber penerimaan Negara untuk mewujudkan
kesejahteraan bangsa.
Pemungutan pajak disadari seringkali menimbulkan persoalan rasa
keadilan dan kepastian dalam perumusan kebijakan serta pelaksanaannya.
Oleh karenanya, pemerintah berupaya melakukan kajian, analisis serta
melakukan pengawasan dan penyempurnaan administrasi menuju kearah
pelayanan pajak yang lebih baik. Khusus mengenai pemungutan pajak
pada sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), upaya penyempurnaan
serta kemudahan menjadi perhatian khusus agar pelaku UKM dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya dalam pemenuhan pembayaran
pajak.
Guna memenuhi harapan dimaksud, selaku Direktur Jenderal Pajak,
saya menyambut baik terbitnya buku berjudul Pajak Penghasilan Final
1% Bagi Wajib Pajak Dengan Peredaran Bruto Tertentu. Kiranya buku ini
dapat memberikan berbagai informasi dan menjadi panduan bagi seluruh
pelaku UKM dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya.
Semoga segala gagasan dan upaya yang dilakukan dalam mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan melalui pemungutan pajak dapat terwujud
sesuai harapan bersama.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Jakarta, Agustus 2014
Direktur Jenderal Pajak,

A. Fuad Rahmany
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu dari sektor usaha. Sejak terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, Direktorat Jenderal Pajak
telah melakukan sosialisasi dan diseminasi kepada masyarakat terkait
dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu dari sektor usaha. Masyarakat sangat
antusias dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tersebut, hal ini nampak dengan banyaknya pertanyaan yang ditujukan
kepada Direktorat Jenderal Pajak terkait pelaksanaan peraturan tersebut.
Pada pertengahan tahun 2014, Direktorat Jenderal Pajak telah
menerbitkan buku Pajak Penghasilan Final 1% Bagi Wajib Pajak Dengan
Peredaran Bruto Tertentu. Buku panduan ini disusun dengan sistematika
antara lain penjelasan umum mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013, peraturan-peraturan terkait dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013, simulasi pengisian SPT, materi sosialisasi Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Question and Answer di bagian
akhir buku ini. Sambutan dari para pemangku kepentingan yang sangat
membutuhkan buku tersebut sangat positif. Hal ini dapat tercermin dari
tingginya permintaan akan buku tersebut baik yang berbentuk buku
maupun e-book yang dapat diunduh secara gratis di situs Direktorat
Jenderal Pajak.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi Wajib Pajak
yang dikenai Pajak Penghasilan Final 1% dari sektor usaha dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku sehingga penerimaan pajak yang berasal dari Wajib Pajak tersebut
dapat dioptimalkan.
Penghargaan saya sampaikan kepada segenap pegawai Direktorat
Peraturan Perpajakan II dan pihak-pihak lain yang telah ikut berkontribusi
dalam penyusunan buku ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Agustus 2014


Direktur Peraturan Perpajakan II

P.M. John L. Hutagaol


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

LATAR BELAKANG
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki nilai yang strategis
di dalam perekonomian Indonesia. Menurut data yang dihimpun
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, jumlah
pengusaha kecil dan menengah di Indonesia sangat besar dan
berkontribusi secara signifikan bagi perekonomian nasional.
Nilai strategis dalam perekonomian Indonesia ini di masa depan
diharapkan dapat terwujud melalui kontribusi pembayaran pajak
yang sesuai dengan kontribusi pengusaha kecil dan menengah
terhadap perekonomian.
Seperti diketahui, penerimaan pajak adalah penopang utama
dalam postur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)
negara kita, dengan kontribusi yang mendekati angka 70% di tahun
2013. Dana penerimaan pajak ini selanjutnya dikelola oleh negara
untuk pembiayaan rutin dan pembangunan dalam bentuk antara
lain:
1. dana kesehatan masyarakat;
2. dana pendidikan;
3. dana keamanan dan ketertiban;
4. subsidi BBM;
5. subsidi listrik;
6. pembangunan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan dan
bandara);
7. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM);
8. pembelian alat-alat pertahanan dan keamanan negara;
9. pembayaran gaji PNS, TNI dan POLRI.

Dari uraian kontribusi penerimaan pajak dan alokasi belanja
negara diatas, terlihat bahwa keuangan negara sangat bergantung
pada penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan. Dapat
disimpulkan bahwa suatu negara akan dapat menjadi suatu negara
yang berhasil apabila pemungutan pajak dapat dioptimalkan.
Banyak manfaat yang akan diperoleh apabila pengusaha kecil
dan menengah dapat dirangkul untuk berperan serta secara aktif
dalam pembiayaan negara melalui sistem perpajakan, antara lain
tercapainya pertumbuhan penerimaan pajak yang berkelanjutan
seiring dengan pertambahan jumlah pembayar pajak. Untuk itu,
perlu diciptakan suatu kondisi yang dapat menarik pengusaha kecil

Direktorat Peraturan Perpajakan II 1


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

dan menengah berperan serta dalam pembiayaan negara melalui


pajak, antara lain melalui aturan perpajakan yang sederhana
sehingga pengusaha kecil dan menengah lebih mudah dalam
menjalankan kewajiban perpajakannya.
Peningkatan peran serta pengusaha kecil menengah dalam
membayar pajak, akan meningkatkan rasa keadilan yang selama
ini belum terwujud secara merata. Kenyataan pada saat ini, masih
banyak pengusaha baik orang pribadi maupun badan usaha yang
belum membayar pajak secara benar. Sedangkan pada sisi lain,
pegawai, karyawan, buruh, satpam yang mempunyai penghasilan
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sudah membayar
pajak melalui pemotongan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh
pemberi kerja. Dengan adanya sistem pemungutan pajak yang
sederhana terkait penghitungan, penyetoran dan pelaporannya,
diharapkan kepatuhan sukarela membayar pajak menjadi lebih
meningkat.

2 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MAKSUD DAN TUJUAN PP 46/2013


Penerbitan PP 46/2013 dimaksudkan untuk:
1. Memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan
perpajakan.
2. Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi.
3. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi.
4. Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi
dalam penyelenggaraan negara.

Sedangkan tujuan dari diterbitkannya PP 46/2013 adalah:


1. Kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan.
2. Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi
masyarakat.
3. Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban
perpajakan.
Hasil akhir yang diharapkan dari dikeluarkannya PP 46/2013
adalah:
1. Perluasan partisipasi dalam pembayaran pajak.
2. Kepatuhan sukarela meningkat.
3. Meningkatkan penerimaan PPh dari Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.
4. Penerimaan pajak meningkat sehingga kesempatan untuk
mensejahterakan masyarakat meningkat.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 3


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pembahasan dalam buku ini adalah ketentuan
pepajakan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013
tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013
tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai
Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013
tentang Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Melalui
Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

4 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MUATAN PASAL
1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas,
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
3. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) pada butir 2 huruf b ditentukan
berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk
dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
4. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk
kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat
usaha atau berjualan.
5. Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;
atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran
bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).

Direktorat Peraturan Perpajakan II 5


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

6. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu


persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa jumlah
peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan
usaha.
7. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto
dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
a. dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak
yang sama sebelum PP ini berlaku, dasar peredaran bruto
adalah akumulasi peredaran bruto dari bulan berdiri s.d.
bulan sebelum PP ini berlaku, yang disetahunkan.
b. dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar setelah PP ini berlaku,
dasar peredaran bruto adalah peredaran bruto bulan
pertama disetahunkan.
8. Penghasilan yang telah dikenai PPh dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri, seperti konstruksi,
tidak dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan PP ini.
9. Ketentuan kompensasi rugi adalah :
a. berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
b. tahun dikenai PPh final 1% (satu persen) tetap menjadi
bagian dari periode 5 (lima) tahun tersebut.
c. kerugian pada tahun dikenai PPh final 1% (satu persen)
tidak dapat dikompensasikan pada tahun berikutnya.
10. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat
dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain dengan tata cara sebagaimana
diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur
mengenai pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
11. Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

6 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

12. Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan lain


selain yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai ketentuan PP
ini, maka atas penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan
ketentuan umum. Jika ada angsuran PPh Pasal 25 atau PPh
yang dipotong/dipungut pihak lain, dapat dikreditkan terhadap
PPh terutang Tahun Pajak yang sama kecuali untuk penghasilan
yang pengenaan pajaknya bersifat final.
13. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang melalui
kantor pos, bank, atau Anjungan Tunai Mandiri (ATM) pada
bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
14. Dalam hal Wajib Pajak menyetor Pajak Penghasilan (PPh)
terutang melalui kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, Wajib Pajak menggunakan Surat Setoran
Pajak yang divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Negara (NTPN) oleh kantor pos atau bank persepsi.
15. Dalam hal Wajib Pajak menyetor PPh terutang melalui ATM,
Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dengan
teraan NTPN dalam bentuk cetakan struk ATM. BPN dalam
bentuk cetakan struk ATM tersebut kedudukannya disamakan
dengan Surat Setoran Pajak (SSP).
16. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa
Pajak berakhir. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran
Pajak Penghasilan dianggap telah menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan, sesuai dengan tanggal
validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum
pada SSP atau struk ATM.
17. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 16
diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014 sehingga atas
keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa
Juli-Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi
berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Direktorat Peraturan Perpajakan II 7


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

HAL-HAL KHUSUS TERKAIT PENGENAAN PAJAK


PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengenaan
Pajak Penghasilan yang bersifat final diatur sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha Wajib Pajak
dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
2. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi
secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah
Tahun Pajak beroperasi secara komersial, pengenaan Pajak
Penghasilan yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak
yang bersangkutan ditentukan berdasarkan peredaran bruto
Tahun Pajak sebelumnya.
3. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat
final ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau
sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak dengan mengisi Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis
Setoran 420 sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak yang mengatur mengenai Bentuk Formulir Surat
Setoran Pajak.
4. Wajib Pajak yang menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat
final tetapi Surat Setoran Pajaknya tidak mendapat validasi
dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai tempat kegiatan
usaha Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi baris pada angka
11 formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal
4 ayat (2):
a. kolom Uraian diisi dengan Penghasilan Usaha WP yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
b. kolom KAP/KJS diisi dengan 411128/420.
5. Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
nihil tidak wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

8 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

6. Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima


atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu
yang disetor tidak menggunakan Kode Akun Pajak 411128
dan Kode Jenis Setoran 420 dapat diajukan permohonan
pemindahbukuan oleh Wajib Pajak ke setoran Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (2) dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode
Jenis Setoran 420, sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara
pembayaran pajak melalui pemindahbukuan.
7. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang dipotong
dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut:
a. atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara
pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang
telah diisi atas nama rekanan:
1) dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke
setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan
ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui
pemindahbukuan; atau
2) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang
seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan
mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
3) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
b. atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau
pemungutan, termasuk Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas impor:
1) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang
seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan
mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
2) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
8. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dapat diajukan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi
Wajib Pajak yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan

Direktorat Peraturan Perpajakan II 9


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak


Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
9. Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Masa Pajak Juli 2013
sampai dengan Desember 2013 bagi Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang juga menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat mengajukan
pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal
tertentu.
10. Atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final menurut ketentuan PP 46/2013 dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada
kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau
bersifat final pada:
a. lampiran III bagian A butir 16 (Penghasilan Lain yang
Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final, Formulir
1770-III) bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. lampiran IV bagian A butir 14 dengan mengisi Penghasilan
Usaha Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(Formulir 1771-IV) bagi Wajib Pajak badan.
11. Penghitungan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013:
a. peredaran usaha dihitung berdasarkan seluruh peredaran
usaha selama Tahun Pajak 2013, tidak termasuk peredaran
usaha pada Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan Desember
2013 yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi, untuk menentukan
penghasilan kena pajak dikurangi terlebih dahulu dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun;
c. angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan Masa Pajak Januari 2013 sampai dengan Juni
2013 dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

10 Direktorat Peraturan Perpajakan II


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO
TERTENTU
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kemudahan kepada
Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki
peredaran bruto tertentu, perlu memberikan
perlakuan tersendiri ketentuan mengenai
penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan yang terutang;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17
ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);

Direktorat Peraturan Perpajakan II 13


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MEMUTUSKAN:
Memutuskan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali
bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan
dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan

14 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:


a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau
berjualan.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;
atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran
bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).

Pasal 3
(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu)
tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
(3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan
telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap
dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif
Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 15


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pasal 4
(1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
(2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku
atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
di bidang perpajakan.

Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;

16 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final


berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan
sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan
yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak
dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan
pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan
kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang
disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari
jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib
Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib
Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun
Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum
Peraturan Permerintah ini berlaku;
3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam
hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 17


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 106


Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

18 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

I. UMUM
Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini
mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan
perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya
beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter.
Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan
kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk
melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak
Penghasilan yang terutang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2

Direktorat Peraturan Perpajakan II 19


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha,
termasuk dari usaha cabang, selain peredaran bruto
dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan
ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja
dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya;
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak
ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau
hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan
hadiah.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang
terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/
peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;

20 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh,


dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
J. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang
(multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct
selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan
adalah sama dengan tahun kalender. Namun demikian,
bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan
tahun kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan
tahun buku yang didalamnya termasuk 6 (enam) bulan
pertama atau lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun buku
tersebut.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada
tanggal 1 Juli 2013 dan berakhir pada tanggal 30 Juni
2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun Pajak
2013 karena memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari
tahun 2013.
Contoh penentuan peredaran bruto:
Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki
tempat kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah
yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan
diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah
sebagai berikut:
a. Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;
b. Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
c. Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 21


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan


tekstil Rajesh sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan
yang bersifat final adalah sebesar Rp730.000.000,00 (Rp
80.000.000,00 +Rp 250.000.000,00+ Rp 400.000.000,00).
Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan
ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu
tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk
yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat
untuk kepentingan umum yang menurut peraturan
perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan,
misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan,
warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap Wajib
Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Contoh penentuan pengenaan Pajak Penghasilan yang
bersifat final:
CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah yang
berdasarkan pembukuan atau catatan pada Tahun Pajak
2013 (Januari 2013 sampai dengan Desember 2013),
memiliki peredaran bruto sebesar Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang
diterima oleh CV Andik pada tahun 2014 dikenai Pajak
Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen),
karena peredaran bruto CV Andik pada Tahun Pajak

22 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

2013 tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar


delapan ratus juta rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan
ayat (1) dan ayat (2), pada bulan Januari sampai dengan
Oktober 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas
penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik
sampai dengan bulan Desember 2014 (akhir Tahun
Pajak 2014) tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebesar 1% (satu persen).
Ayat (4)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan
ayat (3), pada bulan Januari sampai dengan
Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh CV Andik pada tahun 2015
(tahun berikutnya), dikenai Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan
Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), pada bulan Agustus 2014
memperoleh penghasilan dari usaha penjualan gerabah
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang
untuk bulan Agustus 2014 dihitung sebagai berikut:

Direktorat Peraturan Perpajakan II 23


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pajak Penghasilan yang bersifat final = 1% x


Rp50.000.000,00 = Rp500.000,00
Pasal 5
Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan tersendiri, misalnya penghasilan
dari usaha jasa konstruksi yang pengenaan pajaknya
diatur dengan Peraturan Pemerintah, meskipun
peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang bersangkutan
dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), tidak dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini tetapi mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang
mengatur mengenai pengenaan pajak atas penghasilan
tersebut.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Contoh perlakuan kompensasi kerugian:
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami
kerugian pada Tahun Pajak 2010, maka kerugian
tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan
pada Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahun Pajak
2015.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun
Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
fmal berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini
maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung
sampai dengan Tahun Pajak 2015.

24 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun


Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan
mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka
atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan
dengan Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
Cukup je1as.
Pasal 10
Contoh penentuan peredaran bruto sebagai dasar
dikenainya Pajak Penghasilan dengan Peraturan
Pemerintah ini, dalam hal:
a. Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 (dua belas)
bulan;
b. Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang
sama dengan tahun berlakunya Peraturan Pemerintah
ini pada bulan sebelum bulan berlakunya Peraturan
Pemerintah ini; dan
c. Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, untuk Tahun Pajak
pertama,
adalah sebagai berikut:
1) PT Maju Jaya menggunakan tahun kalender sebagai
Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak
bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan
Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah:
Rp150.000.000,00 x 12/5 = Rp360.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013
tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang
diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat

Direktorat Peraturan Perpajakan II 25


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah


ini.
2) PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini pada Tahun
Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan
Pemerintah ini. Jumlah peredaran bruto selama
3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan yang
disetahunkan adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3 =
Rp600.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga)
bulan tersebut tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan
berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan
akhir tahun pajak bersangkutan, dikenai pajak yang
bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini
3) Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada
bulan November 2014. Pada bulan November 2014
tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penghasilan
bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah:
12/1 x Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan
pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang
disetahunkan tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5424

26 Direktorat Peraturan Perpajakan II


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 107/PMK.011/2013
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 107/PMK.011/2013

TENTANG

TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN


PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Peraturan


Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah

Direktorat Peraturan Perpajakan II 29


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-


Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5424);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali

30 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama


dengan tahun kalender.

Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima, penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan
dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai,
dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang
film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto
model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan
moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;

Direktorat Peraturan Perpajakan II 31


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

i. petugas penjaja barang dagangan;


j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel
marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan
sejenis lainnya.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau
berjualan.
(5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;
atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
Pasal 3
(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
(2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran
bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak
termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);

32 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;


c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013
sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib
Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya
Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan
Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto
pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang
disetahunkan.
Pasal 4
(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah 1% (satu persen).
(2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk
setiap tempat kegiatan usaha.
(3) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 5

Direktorat Peraturan Perpajakan II 33


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

(1) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan
telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap
dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai
dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Pasal 6
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/
atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final,
dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain.
(2) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
(3) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan
permohonan Wajib Pajak.
Pasal 7
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
beroperasi secara komersial.
(2) Dalam hal Jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan, ketentuan

34 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir


Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 8
(1)
Wajib Pajak yang dikenai Pajak penghasilan bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang
menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi
kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
(2) Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap
diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), tidak dapat dikompensasikan pada Tahun
Pajak berikutnya.

Pasal 9
(1) Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan
yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan melakukan
pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima
atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan,
atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 35


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

(3) Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 Undang-Undang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak tidak dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(7) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan,
besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya
angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak
bagi Wajib Pajak tersebut;
b. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
huruf a, penghitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan
seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (7) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto yang
disetahunkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(5) Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-
Undang Pajak Penghasilan dan pajak yang telah dipotong dan/atau
dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali
untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan
dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat

36 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua


puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor
Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran
Pajak.

Pasal 11
Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.

Pasal 12
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri.
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk
Usaha Tetap, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3) dan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 13
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto

Direktorat Peraturan Perpajakan II 37


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran


Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai :
a. bentuk Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud
pada dalam Pasal 10 ayat (1);
b. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
c. tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 15
(1) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013
dapat dilakukan kompensasi dengan penghasilan yang tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak
berikutnya.
(2) Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib melampirkan laporan rugi laba
bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2013.

Pasal 16
(1) Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diberlakukan
sama dengan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013.
(2) Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.

38 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 984

Direktorat Peraturan Perpajakan II 39


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 107/PMK.01/2013
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) ATAS


PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU:
1. Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus
menjual suku cadangnya. Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai
Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2 (dua) buah bengkel
yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar
di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP
Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing
bengkel tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:

Peredaran bruto bengkel A = Rp100.000.000,00


Peredaran bruto bengkel B = Rp150.000.000,00

Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang


bersifat final adalah jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel
B yakni sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
Karena total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka
atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh Agus Hidayat pada
tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar
1% (satu persen) dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh
peredaran bruto dari bengkel A sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) dan dari bengkel B sebesar Rp15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah), maka paling lambat pada tanggal 17 Februari
2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu), Agus
Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
a. Bengkel A
PPh = 1% x Rp10.000.000,00
= Rp100.000,00 (dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh = 1% x Rp15.000.000,00
= Rp150.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)

40 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT


Amira Ekspedisi melakukan perawatan dan reparasi 5 (lima) motor
milik perusahaan tersebut di bengkel A milik Agus Hidayat. Tagihan
yang dibuat kepada PT Amira Ekspedisi atas jasa perawatan dan
reparasi tersebut adalah sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima
ratus ribu rupiah). Atas tagihan tersebut PT Amira Ekspedisi
melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% x Rp1.500.000,00
= Rp30.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapatkan Surat
Keterangan Bebas dari Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh
yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran tagihan tersebut
tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT. Amira Ekspedisi.
2. Irine menjalankan usaha butik pakaian, memiliki butik pakaian
di kota Batam dan di Singapura. Irine telah terdaftar sebagai
Wajib Pajak sejak tahun 2009 di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X.
Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing
butik tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:

Peredaran bruto butik di Batam = Rp3.000.000.000,00


Peredaran bruto butik di Singapura = Rp5.000.000.000,00

Dari peredaran bruto butik di Batam sebesar Rp 3.000.000.000,00


salah satunya merupakan hasil penjualan sebesar Rp 50.000.000,00
kepada Mr. X seorang pengusaha dari Singapura.
Selain dari penghasilan usaha butik, Irine juga memperoleh
penghasilan dari sewa apartemen di Singapura sebesar
Rp100.000.000,00.
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan PPh yang bersifat
final adalah jumlah peredaran bruto butik di Batam saja, yakni
sebesar Rp3.000.000.000,00. Penghasilan yang diterima Irine dari
sewa apartemen dan butik di Singapura, tidak diperhitungkan
dalam menghitung batasan peredaran bruto untuk dapat dikenai
PPh bersifat final.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 41


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

3. Hari Nugroho yang berstatus kawin dengan 2 (dua) tanggungan


adalah orang pribadi pengusaha konstruksi yang juga memiliki toko
material Cakar Beton. Selain usaha tersebut, Hari Nugroho juga
aktif memberikan jasa konsultasi kepada klien yang membutuhkan
sarannya. Jumlah seluruh penghasilan yang diterima oleh Hari
Nugroho pada tahun 2013 diketahui sebagai berikut:

a. Penjualan bruto dari toko material Cakra Beton


Rp3.500.000.000,00.
b. Nilai kontrak jasa pelaksanaan konstruksi (termasuk pemakaian
material dari toko Cakar Beton) Rp900.000.000,00.
c. Jasa konsultasi sebesar Rp500.000.000,00.
Total peredaran bruto Hari Nugroho pada tahun 2013 adalah sebesar
Rp4.900.000.000,00 (Rp3.500.000.000,00 + Rp900.000.000,00 +
Rp500.000.000,00).
Untuk menentukan PPh dari usaha toko material Cakar Beton
di tahun 2014 dikenai tarif umum atau tarif yang bersifat final,
adalah berdasarkan peredaran bruto dari usaha toko material
Cakar Beton saja yakni sebesar Rp3.500.000.000,00. Sedangkan
peredaran bruto dari jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa
konsultasi tidak diperhitungkan mengingat jasa pelaksanaan
konstruksi dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah tersendiri dan jasa konsultasi termasuk
dalam lingkup jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Kewajiban pembayaran PPh Hari Nugroho di tahun 2014 adalah
sebagai berikut:
a. PPh sebesar 1% bersifat final dari peredaran bruto usaha toko
material Cakar Beton, untuk setiap bulannya;
b. PPh dari usaha jasa konstruksi, yang dikenai PPh bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri; dan
c. Angsuran PPh Pasal 25 (Januari s.d. Desember), atas
penghasilan dari jasa konsultasi. Misalkan biaya dari jasa
konsultasi di tahun 2013 sebesar Rp169.625.000,00 dan PPh
yang telah dipotong/dipungut pihak lain di tahun 2013 sebesar

42 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Rp14.750.000,00, maka kewajiban angsuran PPh Pasal 25 di


tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan bruto jasa konsultasi tahun 2013 Rp 500.000.000,00
Biaya kegiatan jasa konsultasi tahun 2013 Rp 169.625.000,00
PTKP (K/2) Rp 30.375.000,00
Penghasilan Kena Pajak jasa konsultasi Rp 300.000.000,00
PPh terutang jasa konsultasi Rp 38.750.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 14.750.000,00
PPh terutang Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 atas jasa konsultasi Rp 2.000.000,00
(1/12 x Rp24.000.000,00)
4. CV Abadi Mebelindo bergerak di bidang usaha industri furnitur
terdaftar sebagai Wajib Pajak badan di KPP C sejak tahun 2011.
Berdasarkan pembukuannya pada tahun 2012 memiliki peredaran
bruto sebesar Rp390.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh juta
rupiah).
Dengan demikian tarif PPh yang bersifat final yang dikenakan
terhadap penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Abadi
Mebelindo mulai bulan Juli 2013 adalah sebesar 1% (satu persen).
Pada bulan Juli 2013, CV Abadi Mebelindo memperoleh peredaran
bruto sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) maka
paling lambat pada tanggal 15 Agustus 2013 CV Abadi Mebelindo
wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
PPh = 1% x Rp20.000.000,00
= Rp200.000,00
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
penentuan tanggal jatuh tempo penyetoran, dan pelaporan pajak:
a. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat final
sebesar Rp200.000,00 pada tanggal 15 Agustus 2013 dan
Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara, maka CV Abadi Mebelindo
menyetor sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dan telah

Direktorat Peraturan Perpajakan II 43


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan


tanggal 15 Agustus 2013.
b. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat
final sebesar Rp200.000,00 pada tanggal 22 Agustus 2013
dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan
Nomor Transaksi Penerimaan Negara, maka CV Abadi
Mebelindo menyetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran
(terlambat melakukan penyetoran) dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tanggal 22 Agustus
2013.
Penyetoran tanggal 22 Agustus yang dilakukan oleh CV Abadi
Mebelindo yang sekaligus merupakan tanggal pelaporan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tidak termasuk sebagai
Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat disampaikan karena
kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014 sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (2).
Pada bulan November 2013 SD Negeri 03 Jakarta membeli kursi
dan meja dari CV Abadi Mebelindo sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah). Atas pembelian tersebut Bendahara SD
Negeri 03 Jakarta melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar
1,5% (satu setengah persen) x Rp10.000.000,00 = Rp150.000,00.
Namun demikian, jika CV Abadi Mebelindo telah mendapatkan
Surat Keterangan Bebas dari pemotongan dan/atau pemungutan
PPh dari KPP C, atas pembelian tersebut Bendahara SD Negeri 03
Jakarta tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22.
5. PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula
didirikan pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z. PT Andalan menggunakan
tahun buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober
2013 PT Andalan masih terus melakukan kegiatan investasi dalam
bentuk pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri
dan belum melakukan kegiatan operasi secara komersial. Pada
tanggal 1 November 2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan
operasi secara komersial berupa produksi gula dalam kemasan.

44 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri ini, maka untuk Tahun


Pajak 2013, PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Mengingat bahwa 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial
melewati Tahun Pajak yang bersangkutan maka sesuai ketentuan
Pasal 7 ayat (2), sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014, Wajib
Pajak masih dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal
31 Oktober 2014 (satu tahun sejak mulai beroperasi komersial)
telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah), maka mulai Tahun Pajak 2015 PT Andalan dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan
tanggal 31 Oktober 2014 tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka pengenaan Pajak
Penghasilan untuk Tahun Pajak 2015 memperhatikan peredaran
bruto Januari sampai dengan Desember 2014.
6. Heri Kurnia merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
usaha perdagangan mobil bekas yang memiliki 1 (satu) tempat
kegiatan usaha sehingga Heri Kurnia termasuk Wajib Pajak orang
pribadi pengusaha tertentu. Peredaran bruto usaha Tahun Pajak
2013 adalah sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
sehingga pada Tahun Pajak 2014 Heri Kurnia dikenai PPh yang
bersifat final.
Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa
peredaran bruto usaha sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014
berjumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 Heri Kurnia dikenai
PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dan Heri Kurnia wajib menyetorkan angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25, sesuai ketentuan angsuran bagi orang pribadi pengusaha
tertentu.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 45


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Pada bulan Januari 2015 peredaran bruto dari usaha Heri Kurnia
adalah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk
bulan Januari 2015 adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 25 = 0,75% x Rp400.000.000,00
= Rp3.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan
bulan Desember 2015 adalah 0,75% dikalikan peredaran bruto
pada bulan yang bersangkutan.
7. Pada Tahun Pajak 2014 Wajib Pajak PT Pandiro Anugerah
dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Menteri
ini. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa
peredaran bruto usaha sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014
berjumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 PT Pandiro Anugerah
dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Pada bulan Januari 2015 seluruh peredaran bruto
PT Pandiro Anugerah adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), dan PPh yang dipotong atau dipungut pihak
lain (bukan PPh final) adalah sebesar Rp51.000.000,00 (lima puluh
satu juta rupiah).
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2015
adalah sebagai berikut:
Penghasilan bruto sebulan Rp 200.000.000,00
Biaya-biaya Rp 150.000.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 50.000.000,00
Penghasilan neto sebulan disetahunkan Rp 600.000.000,00
PPh terutang (12,5% x Rp600.000.000,00) Rp 75.000.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 51.000.000,00
PPh kurang bayar Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Rp 2.000.000,00
1/12 x Rp24.000.000,00)

46 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan


bulan Desember 2015 adalah Rp2.000.000,00.
8. CV Karya Serasi bergerak di bidang usaha penjualan alat tulis.
Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui hal-hal sebagai
berikut:
Tahun Peredaran Bruto Laba (Rugi) fiskal
2012 Rp 4.000.000.000,00 (Rp 300.000.000,00)
2013 Rp 5.000.000.000,00 (Rp 200.000.000,00)*)
2014 Rp 8.000.000.000,00 Rp 500.000.000,00

*) rugi Juli-Desember 2013

Berdasarkan data tersebut maka CV Karya Serasi dapat melakukan


kompensasi kerugian tahun 2012 sebesar Rp300.000.000,00 mulai
tahun 2013 sampai dengan tahun 2017.
Pada tahun 2013 CV Karya Serasi dikenai PPh yang bersifat final
sebesar 1%, sehingga kerugian pada tahun tersebut yakni sebesar
Rp200.000.000,00 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
Pada tahun 2014, CV Karya Serasi tidak lagi dikenai PPh yang
bersifat final sebesar 1% tetapi dikenai PPh sesuai tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penghasilan Kena Pajak 2014
adalah sebesar Rp200.000.000,00 yaitu laba fiskal tahun 2014
sebesar Rp500.000.000,00 dikurangi kompensasi kerugian tahun
2012 sebesar Rp300.000.000,00.
_____________________________________________________________________
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN
KEPALA BIRO UMUM REPUBLIK INDONESIA
u.b.
KEPALA BAGIAN T.U. ttd.

ttd. MUHAMAD CHATIB BASRI

GIARTO
NIP 195904201984021001

Direktorat Peraturan Perpajakan II 47


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN III

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK


INDONESIA

NOMOR 197/PMK.03/2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI


KEUANGAN NOMOR 68/PMK.03/2010
TENTANG BATASAN PENGUSAHA KECIL PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 197/PMK.03/2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR


68/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN PENGUSAHA KECIL
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai batasan pengusaha kecil


Pajak Pertambahan Nilai telah diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang
Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai;
b. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan kepada
pengusaha yang memiliki peredaran bruto dan/
atau penerimaan bruto tertentu, perlu melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan mengenai batasan
pengusaha kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 3A ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang
Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai;
Mengingat : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010
tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan
Nilai;

Direktorat Peraturan Perpajakan II 51


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 68/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN
PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha
Kecil Pajak Pertambahan Nilai diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (1) Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Pengusaha kecil merupakan pengusaha
yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah).
(2) Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan
usahanya.
(3) Bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan
dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan,
pengertian tahun buku sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah tahun kalender.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila

52 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku


jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).
(2) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang
menunjukkan adanya kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak
secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha
tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat
ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak
untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 (satu) tahun
buku tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar

Direktorat Peraturan Perpajakan II 53


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat


mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1521

54 Direktorat Peraturan Perpajakan II


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN IV

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK


INDONESIA
NOMOR 198/PMK.03/2013
TENTANG
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG
MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 198/PMK.03/2013
TENTANG
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang
: a. bahwa ketentuan mengenai batasan jumlah
peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah
lebih bayar bagi Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 193/PMK.03/2007 tentang Batasan
Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan,
dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu yang Dapat
Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2009;
b. bahwa dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak
bagi Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu melalui penelitian dan dalam rangka
mengoptimalkan pelaksanaan pemeriksaan pajak
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak, perlu melakukan
perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/
PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah Peredaran
Usaha, Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih
Bayar Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu yang Dapat Diberikan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
54/PMK.03/2009;

Direktorat Peraturan Perpajakan II 57


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 17D Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi
Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG
MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

58 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut


Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak adalah Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D
Undang-Undang KUP.

BAB II
WAJIB PAJAK YANG DAPAT DIBERIKAN PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
BERDASARKAN PERSYARATAN TERTENTU

Pasal 2
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak meliputi:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah
lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah
lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Direktorat Peraturan Perpajakan II 59


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Pasal 3
(1) Selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak harus didasarkan pada analisis risiko yang pedomannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang
dapat berupa:
a. kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan;
b. kepatuhan dalam melunasi utang pajak; dan
c. kebenaran Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum-sebelumnya.

BAB III
PENGAJUAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 4
(1) Permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis.
(2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara memberi tanda pada Surat Pemberitahuan
yang menyatakan lebih bayar restitusi atau dengan cara mengajukan
surat tersendiri.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
menyampaikan:
a. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar tanpa ada
permohonan kompensasi dan tanpa ada permohonan restitusi;
atau
b. Surat Pemberitahuan pembetulan yang menyatakan lebih bayar
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak,

60 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

dianggap mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan


kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
(1) Dalam hal Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai
ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP, permohonan dimaksud
diproses dengan mekanisme pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak berdasarkan ketentuan Pasal 17D Undang-
Undang KUP.
(2)
Atas penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur
Jenderal Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak.
Pasal 6
(1) Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diajukan
oleh Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang Undang PPN, pengembalian
kelebihan pembayaran pajak diproses berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang Undang
PPN.
(2) Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diajukan
oleh Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP, pengembalian kelebihan
pembayaran pajak diproses berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP.
Pasal 7
(1) Permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, diproses
berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 61


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

(2)
Atas penyelesaian permohonan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak.
BAB IV
PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK DAN PENERBITAN SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN
PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK (SKPPKP)
Pasal 8
(1) Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak kepada
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, dilakukan setelah Direktur
Jenderal Pajak melakukan penelitian.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas:
a. kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
b. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
c. kebenaran kredit pajak atau Pajak Masukan berdasarkan sistem
aplikasi Direktorat Jenderal Pajak; dan
d. kebenaran pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Pasal 9
(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap, untuk permohonan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan orang pribadi;
b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk
permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
Pajak Penghasilan badan; dan
c. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk
permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai.

62 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

(2) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan,
permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berakhir.
(4) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dibuat dengan
menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 10
(1) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak diterbitkan dalam hal
berdasarkan hasil penelitian menunjukkan:
a. tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak;
b. Surat Pemberitahuan beserta lampirannya tidak lengkap;
c. penulisan dan penghitungan pajak tidak benar;
d. kredit pajak atau Pajak Masukan berdasarkan sistem aplikasi
Direktorat Jenderal Pajak tidak benar;
e. pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak benar;
atau
f. Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada
Wajib Pajak dan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih
bayar tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 63


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dalam
rangka penerbitan surat ketetapan pajak terhadap Wajib Pajak yang
telah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan yang
mengatur mengenai pemeriksaan.
(3) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D
ayat (5) Undang-Undang KUP.
Pasal 12
(1) Dalam hal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang
Undang KUP.
(2)
Atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur
Jenderal Pajak dapat memberikan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi menjadi
paling banyak 48% (empat puluh delapan persen).

64 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:
1. terhadap Surat Pemberitahuan pembetulan lebih bayar restitusi
atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini yang disampaikan sejak
berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini;
2. terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak bagi Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang
belum diselesaikan pengembaliannya sampai dengan berlakunya
Peraturan Menteri ini, diselesaikan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah
Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih Bayar
Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang
Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 54/PMK.03/2009.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2007 tentang
Batasan Jumlah Peredaran Usaha, Jumlah Penyerahan, dan
Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan
Tertentu yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/
PMK.03/2007 tentang Batasan Jumlah Peredaran Usaha,
Jumlah Penyerahan, dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak

Direktorat Peraturan Perpajakan II 65


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang Dapat Diberikan


Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1556

66 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Direktorat Peraturan Perpajakan II 67


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

68 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Direktorat Peraturan Perpajakan II 69


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

70 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

PETUNJUK PENGISIAN
SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULAN KELEBIHAN PAJAK
Nomor (1) : diisi dengan nomor keputusan.
Nomor (2) : diisi dengan Jenis Pajak.
Nomor (3) : diisi dengan Masa/Tahun Pajak yang diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Nomor (4) : diisi dengan jumlah lebih bayar menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
atau menurut Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai.
Nomor (5) : diisi dengan nomor surat permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
Nomor (6) : diisi dengan tanggal surat permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
Nomor (7) : diisi dengan nama Wajib Pajak.
Nomor (8) : diisi dengan NPWP Wajib Pajak.
Nomor (9) : diisi sesuai dengan dasar hukum diterbitkanya surat
keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak:
a. dalam hal surat keputusan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak terkait dengan Pajak
Penghasilan, diisi dengan:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagimana telah berapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tabun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4893);
b. dalam hal surat keputusan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak terkait dengan Pajak
Pertambahan Nilai, diisi dengan:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Direktorat Peraturan Perpajakan II 71


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3264) sebagimana telah berapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5069);
Nomor (10) : diisi dengan jumlah rupiah pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak dalam angka.
Nomor (11) : diisi dengan jumlah rupiah pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak dalam huruf.
Nomor (12) : diisi dengan nama unit Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan
Pajak yang menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Nomor (13) : diisi dengan nama kota tempat keputusan ditetapkan.
Nomor (14) : diisi dengan tanggal surat keputusan diterbitkan.
Nomor (15) : diisi dengan jabatan pejabat yang menandatangani
surat keputusan.
Nomor (16) : diisi dengan nama, NIP, dan tanda tangan pejabat yang
menandatangani surat keputusan.
Nomor (17) : diisi dengan jumlah rupiah menurut Wajib Pajak.
Nomor (18) : diisi dengan jumlah rupiah menurut fiskus.

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BIRO UMUM
u.b.
KEPALA BAGIAN T.U. KEMENTERIAN
ttd.
GIARTO
NIP 195904201984021001

72 Direktorat Peraturan Perpajakan II


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN V

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER-32/PJ/2013
TENTANG
TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/
ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI
WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK PENGHASILAN
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 32/PJ/2013
TENTANG
TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG
DIKENAI PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN
BRUTO TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 14
huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/
PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu;
b. bahwa dalam rangka pengawasan pemenuhan
kewajiban Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata
Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa

Direktorat Peraturan Perpajakan II 75


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor


16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan
(Lembaran Negara Republik Tahun 2010 Nomor 161,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5183);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran
Negara Republik Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424);
5.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/
PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG TATA CARA PEMBEBASAN DARI
PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK
PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI
PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO
TERTENTU.

76 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan :
1. Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu adalah
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
2. Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu yang untuk selanjutnya disebut Surat Keterangan Bebas
adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan dibebaskan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain yang dapat dikreditkan.
Pasal 2
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 3
(1) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat
Keterangan Bebas.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 4
(1) Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan
secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan
dengan syarat:

Direktorat Peraturan Perpajakan II 77


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak


Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan
permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun
Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan
Bebas
b. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib
Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa
peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk
dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai
dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas,
untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama
dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
c. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti
Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari
Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan
Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
Undang-Undang KUP.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan untuk
setiap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23.

Pasal 5
(1) Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan:
a. Surat Keterangan Bebas; atau
b. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas, dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan keputusan,
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib
menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua)
hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlewati.

78 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Pasal 6
Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 3 berlaku
sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi
yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima
fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban
Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2) Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan
secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan
dengan syarat:
a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud
pada Pasal 5 ayat (1);
b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan
dengan pemotong dan/atau pemungut berupa Surat Setoran
Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang
dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas:
1) impor;
2) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas;
3) pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif dan industri farmasi;
4) pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut
Pajak Penghasilan dan nilai transaksi pada kolom yang
tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan

Direktorat Peraturan Perpajakan II 79


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32


Undang-Undang KUP.
(3) Fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan;
b. satu lembar untuk diserahkan Wajib Pajak kepada Wajib Pajak
pemotong dan/atau pemungut;
c. satu lembar untuk diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak
tempat pemotong dan/atau pemungut terdaftar
(4) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja
sejak permohonan legalisasi diterima lengkap.
(5) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak diberikan apabila persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi.
Pasal 8
Bentuk formulir untuk:
(1) permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
(2) surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa
peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk
dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II;
(3) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan
PPh Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23 menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III;
(4) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan
PPh Pasal 22 impor menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IV;
(5) Surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dibuat menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V;
(6)
permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI,

80 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur


Jenderal Pajak ini.
Pasal 9
(1) Setelah Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku,
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain bagi Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu diajukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
(2) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak nomor PER-1/PJ/2011 bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu yang diterbitkan sebelum
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, tetap berlaku
sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan.
Pasal 10
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 September 2013

Direktorat Peraturan Perpajakan II 81


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN I

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-32/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK
PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46
TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

82 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Lampiran I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013

Nomor : ...........................................
Hal : Permohonan Surat Keterangan Bebas
Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh
bagi Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu

Kepada Yth.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
.........................................

Berkenaan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor ........................ tentang Tata Cara
Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai Pajak
Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu,
dengan ini:

Nama Wajib Pajak : ................................................................................


NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,
Alamat : ................................................................................

mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan
PPh Pasal .....................................................1) karena memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Untuk kelengkapan permohonan SKB, bersama ini kami sampaikan Surat Pernyataan Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.2)

Demikian permohonan ini kami sampaikan.

.........., ...................20......
3)
Pemohon,

(......................................)

1)
diisi sesuai dengan jenis pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor atau Pasal 23)
2)
syarat khusus untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar dalam Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak
saat diajukannya Surat Keterangan Bebas.
3) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak

Direktorat Peraturan Perpajakan II 83


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN II

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-32/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK
PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46
TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

84 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Lampiran II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013

SURAT PERNYATAAN WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO


TERTENTU BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : ................................................................................
NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,
Alamat : ................................................................................

Bertindak selaku 1) Wajib Pajak Pengurus Kuasa

Nama : ................................................................................2)
NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,3)
Alamat : ................................................................................4)

dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh
termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa pernyataan ini tidak benar, saya bersedia diberikan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

.........., .................20.......
Yang membuat pernyataan,5)

Meterai
Rp6.00,-

(......................................)

1) Beri tanda X pada yang sesuai


2) Diisi dengan nama Wajib Pajak dalam hal yang mengajukan Surat Permohonan adalah Wakil atau Kuasa
dari Wajib Pajak
3) Diisi dengan NPWP Wajib Pajak dalam hal yang mengajukan Surat Permohonan adalah Wakil atau Kuasa
dari Wajib Pajak
4) Diisi dengan alamat Wajib Pajak dalam hal yang mengajukan Surat Permohonan adalah Wakil atau Kuasa
dari Wajib Pajak
5) Ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak

Direktorat Peraturan Perpajakan II 85


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN III

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-32/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK
PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46
TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

86 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
Lampiran III
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Lembar Ke-1 : Untuk Wajib Pajak


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Lembar Ke-2 : Untuk Pemotong/Pemungut
KANTOR WILAYAH DJP ........................... Lembar Ke-3 : Arsip KPP
KANTOR PELAYANAN PAJAK.............................

SURAT KETERANGAN BEBAS PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PPh PASAL 21 / PASAL 22 / PASAL 23 1)
BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PPh
BERDASARKAN PP NOMOR 46 TAHUN 2013

NOMOR : ...............................
TANGGAL : ...............................

Kepala Kantor Pelayanan Pajak ......................................................................................


Menerangkan bahwa orang pribadi / badan 1) tersebut di bawah ini:

Nama Wajib Pajak : ................................................................................


NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,
Alamat : ................................................................................

dibebaskan dari pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21/22/23 1) , karena memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Surat Keterangan Bebas ini berlaku sejak diterbitkan sampai dengan tanggal .....................................2)

........., ....................20.......
a.n. Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................

(........................................)
NIP.

DIGUNAKAN SAAT PENGAJUAN PERMOHONAN LEGALISASI SKB

Identitas Wajib Pajak Pemotong dan/atau Pemungut: 3) a.n. Kepala Kantor


Nama : ...................................... Kepala Seksi Pelayanan
NPWP : ......................................
Nilai transaksi : ......................................
(.................................)
Jenis transaksi : ......................................4) NIP.

1) Coret yang tidak perlu


2) Diisi dengan tanggal akhir Tahun Pajak bersangkutan
3) Diisi dengan identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut dan nilai transaksi, pada saat pengajuan
permohonan legalisasi Surat Keterangan Bebas
4) Diisi dengan jenis penghasilan, misalnya penghasilan dari penjualan barang kepada bendahara, penyerahan
jasa reparasi AC kepada pemotong

Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang telah dilegalisasi

Direktorat Peraturan Perpajakan II 87


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN IV

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-32/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK
PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46
TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

88 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Lampiran IV
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Lembar Ke-1 : Untuk Wajib Pajak


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Lembar Ke-2 : Untuk Pemotong/Pemungut
KANTOR WILAYAH DJP ........................... Lembar Ke-3 : Arsip KPP
KANTOR PELAYANAN PAJAK.............................

SURAT KETERANGAN BEBAS PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PPh PASAL 22 IMPOR
BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PPh
BERDASARKAN PP NOMOR 46 TAHUN 2013

NOMOR : ...............................
TANGGAL : ...............................

Kepala Kantor Pelayanan Pajak ......................................................................................


Menerangkan bahwa orang pribadi/badan1) tersebut di bawah ini:

Nama Wajib Pajak : ................................................................................


NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,
Alamat : ................................................................................

dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor, karena memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Surat Keterangan Bebas ini berlaku sejak diterbitkan sampai dengan tanggal .....................................2)

........., ....................20.......
a.n. Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................

(........................................)
NIP.

1) Coret yang tidak perlu


2) Diisi dengan tanggal akhir Tahun Pajak bersangkutan

Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang telah dilegalisasi

Direktorat Peraturan Perpajakan II 89


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN V

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-32/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK
PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46
TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

90 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Lampiran V
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR WILAYAH DJP ...........................
KANTOR PELAYANAN PAJAK.............................

Nomor :
Hal : Penolakan Permohonan Surat Keterangan
Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan
PPh bagi Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu

Kepada Yth,
.......................................
.......................................1)

Berkenaan dengan permohonan Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan PPh Pasal .................................................*) yang Saudara ajukan tanggal ......................
nomor ........................................ dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara tidak dapat disetujui,
karena tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Demikian untuk dimaklumi

........., ....................20.......
a.n. Direktur Jenderal Pajak
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..........................................

(........................................)
NIP.

1) Diisi identitas Wajib Pajak


2) diisi sesuai dengan jenis pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor atau Pasal 23)

Direktorat Peraturan Perpajakan II 91


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN VI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-32/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK
PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46
TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

92 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Lampiran VI
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-32/PJ/2013
TANGGAL : 25 SEPTEMBER 2013

Nomor : ..........................................
Hal : Permohonan Legalisasi Fotokopi Surat
Keterangan Bebas Pemotongan
dan/atau Pemungutan Pph bagi Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu

Kepada Yth.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
..............................................

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Wajib Pajak : ...........................................................................................


NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,
Alamat : ..........................................................................................

mengajukan permohonan untuk memperoleh legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pph Pasal ........................................................................ ) sehubungan transaksi dengan :
1

Nama Pemotongan/Pungutan
Pajak : .......................................................................................... 2)
NPWP : __,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__,__, 3)
Nilai Transaksi : Rp .................................................................................... 4)
Jenis Transaksi : ......................................................................................... 5)

Sebagai kelengkapan permohonan legalisasi berikut dilampirkan :

Surat Setoran Pajak lembar ke-3


3 (tiga) rangkap fotokopi Surat Keterangan Bebas

Demikian permohonan ini kami sampaikan.

............, ......................20......
Pemohon 6),

( ........................................... )

1) diiisi sesuai dengan jenis pajak (Pph Pajak 21, Pasal 22, Pasal 22 impor atau Pasal 23)
2) diisi sesuai dengan nama Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut
3) diisi sesuai dengan NPWP Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut
4) diisi sesuai dengan nilai transaksi penyerahan barang dan/atau jasa
5) diisi sesuai dengan jenis-jenis penghasilan, misalnya penghasilan dari penjualan barang kepada bendahara, penyerahan
jasa reparasi AC kepada pemotong
6) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak

Direktorat Peraturan Perpajakan II 93


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN VI
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-37/PJ/2013
TENTANG
TATA CARA PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU MELALUI
ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 37/PJ/2013
TENTANG
TATA CARA PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
MELALUI ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang : bahwa untuk memberikan kemudahan kepada
Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki
peredaran bruto tertentu, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penyetoran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai
Mandiri (ATM);
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang
Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 no 106, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 5424);

Direktorat Peraturan Perpajakan II 97


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang


Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 5268);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/
PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/
PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh
Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan
Tempat Pembayaran Pajak, Penentuan Tanggal
Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta
Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran
Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 80/PMK. 03/2010;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006
tentang Modul Penerimaan Negara sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.05/2007;
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-148/
PJ/2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan
Negara;
9. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor PER-78/PB/2006 tentang Penatausahaan
Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara
sebagaimana diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-25/PB/2012;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG
TATA CARA PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU MELALUI ANJUNGAN
TUNAI MANDIRI (ATM)
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:

98 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

1. Wajib Pajak adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto


tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu.
2. Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan kepada
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan bersifat
final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
3. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah
dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi atas transaksi
penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB.
4. Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat MPN adalah
modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai
dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan,
pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan
dengan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem
Penerimaan dan Anggaran Negara.
5. ATM adalah Anjungan Tunai Mandiri.
Pasal 2
Wajib Pajak dapat melakukan penyetoran Pajak Penghasilan melalui
ATM pada Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3
(1) Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan dengan memasukkan NPWP, Masa Pajak
dan jumlah nominal Pajak Penghasilan yang akan dibayar.
(2) Atas penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
menerima BPN dalam bentuk cetakan struk ATM.
(3) Dalam hal terdapat kendala pada mesin ATM sehingga BPN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat tercetak atau
tercetak namun tidak dapat dibaca, Wajib Pajak dapat meminta
cetak ulang BPN di kantor cabang Bank Persepsi terdekat.
(4) Prosedur cetak ulang BPN sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) disesuaikan dengan prosedur pada Bank Persepsi yang
bersangkutan.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 99


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pasal 4
(1) BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, termasuk cetakan
ulang dan salinannya, merupakan sarana administrasi lain yang
kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
(2) Apabila terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera
dalam BPN dengan data pembayaran menurut MPN, maka yang
dianggap sah adalah data pembayaran menurut MPN.
(3) BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setidak-tidaknya
mencantumkan elemen-elemen sebagai berikut:
a. Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
b. Nomor Transaksi Bank (NTB);
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Nama Wajib Pajak;
e. Kode Akun Pajak;
f. Kode Jenis Setoran;
g. Masa Pajak;
h. Tahun Pajak;
i. Tanggal transaksi; dan
j. Jumlah nominal pembayaran.

Pasal 5
Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 diadministrasikan sebagai penerimaan Negara dengan
Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan Kode Jenis Setoran 420 (PPh
Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu).
Pasal 6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

100 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN VII
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-42/PJ/2013
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU

Direktorat Peraturan Perpajakan II 101


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Yth. 1. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak


2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak
3. Para Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan
diseluruh Indonesia

SURAT EDARAN
NOMOR SE - 42/PJ/2013
TENTANG
PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
A. Umum
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan penerapan tarif
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu.
B. Maksud dan Tujuan
1.
Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini
dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu.
2. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan
agar pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak

Direktorat Peraturan Perpajakan II 103


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan dengan


baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi
Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak
termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak.
D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013
tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.
E. Materi
1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak
termasuk bentuk usaha tetap; dan
b.
menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas,
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

104 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

3. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00


(empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada butir 2 huruf b
ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya,
termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto
dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
4. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk
kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat
usaha atau berjualan.
5. Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;
atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran
bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
6. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu
persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa jumlah
peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan
usaha.
7. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto
dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
8. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat
dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain dengan tata cara sebagaimana

Direktorat Peraturan Perpajakan II 105


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur


mengenai pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
9. Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
10. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang
sebagaimana dimaksud pada butir 6 ke kantor pos atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat
validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN),
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
11. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada butir 10 wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
12. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada butir 10 dianggap telah
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada butir 11, sesuai dengan tanggal
validasi NTPN yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
13. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 11
diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014.
F. Hal-Hal Khusus Terkait Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat
final
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengenaan Pajak
Penghasilan yang bersifat final diatur sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha Wajib Pajak
dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
2. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi
secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan

106 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah


Tahun Pajak beroperasi secara komersial, pengenaan Pajak
Penghasilan yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak
yang bersangkutan ditentukan berdasarkan peredaran bruto
Tahun Pajak sebelumnya.
3. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat
final ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau
sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak dengan mengisi Kode Akun Pajak 411128 dan Kode
Jenis Setoran 420 sebagaimana telah diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai Bentuk
Formulir Surat Setoran Pajak.
4. Wajib Pajak yang menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final
tetapi Surat Setoran Pajaknya tidak mendapat validasi dengan
NTPN, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi
baris pada angka 11 formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2):
a. kolom Uraian diisi dengan Penghasilan Usaha WP yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
b. kolom KAP/KJS diisi dengan 411128/420.
5. Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
nihil tidak wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2).
6. Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu
yang disetor tidak menggunakan Kode Akun Pajak 411128
dan Kode Jenis Setoran 420 dapat diajukan permohonan
pemindahbukuan oleh Wajib Pajak ke setoran Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (2) dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode
Jenis Setoran 420, sesuai dengan ketentuan mengenai tata
cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan.
7. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang dipotong
dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut:
a. atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara
pemerintah dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang
telah diisi atas nama rekanan:
1)
dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke

Direktorat Peraturan Perpajakan II 107


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

setoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan


ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui
pemindahbukuan; atau
2) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang
seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan
mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
3) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
b. atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain dengan bukti pemotongan dan/atau
pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas import
1) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang
seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan
mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
2) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
8. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam huruf E butir 8 dapat diajukan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan
Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak
Penghasilan oleh Pihak Lain, sampai dengan ditetapkannya
Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai
tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu.
9. Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Masa Pajak Juli 2013
sampai dengan Desember 2013 bagi Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang juga menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat mengajukan
pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai penghitungan

108 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal


tertentu.
10. Atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final menurut ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan pada kelompok penghasilan yang
dikenai pajak final dan/atau bersifat final pada:
a. lampiran III bagian A butir 14 (Penghasilan Lain yang
Dikenakan Pajak Final dan/atau Bersifat Final, Formulir
1770-III) bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. lampiran IV bagian A butir 16 dengan mengisi Penghasilan
Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Formulir
1771-1V) bagi Wajib Pajak badan.
11. Penghitungan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013:
a. peredaran usaha dihitung berdasarkan seluruh peredaran
usaha selama Tahun Pajak 2013, tidak termasuk peredaran
usaha pada Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan Desember
2013 yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi, untuk menentukan
Penghasilan Kena Pajak dikurangi terlebih dahulu dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun;
c. angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan Masa Pajak Januari 2013 sampai dengan Juni
2013 dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
G. Penghapusan Sanksi Administrasi
1. Sehubungan dengan tujuan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 adalah:
a. memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan
perpajakan;
b. mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi;
c. mengedukasi masyarakat untuk transparansi; dan
d. memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi
dalam penyelenggaraan Negara;
dipandang perlu memberikan keringanan atas sanksi yang
dikenakan terhadap Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu atas pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 109


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

2. Berdasarkan pertimbangan pada butir 1, kepada Kepala Kanwil


DJP agar menghapuskan sanksi administrasi Pasal 9 ayat
(2a) Undang-Undang KUP dalam Surat Tagihan Pajak yang
diterbitkan untuk Masa Pajak Juli sampai dengan Desember
2013.
H. Penutup
Mengingat penerapan ketentuan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 2013, dengan ini diinstruksikan:
1. Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi
Perpajakan untuk melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang
Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan
sebagaimana dimaksud yang berada di wilayah kerja masing-
masing.
2. Dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu:
a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak diadministrasikan melakukan:
1) kegiatan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil
Sensus Pajak Nasional (SPN) Tahun 2011 dan 2012, serta
melalui pelaksanaan SPN Tahun 2013 untuk tempat-
tempat usaha yang memenuhi kriteria sebagai Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu di wilayah
kerjanya masing-masing;
2) himbauan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu untuk melaksanakan kewajiban
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) setiap
bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha;
3) pemanfaatan alat keterangan yang diterima dan
membandingkannya dengan data Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan Wajib

110 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang


bersangkutan;
4) pengawasan terhadap Wajib Pajak mengenai pemenuhan
syarat pengenaan Pajak Penghasilan, yaitu sebesar 1%
(satu persen) bersifat final sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 atau sesuai tarif dalam Pasal 17
Undang-Undang;
5) pengawasan terhadap kewajiban pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang mendapat Surat
Keterangan Bebas untuk dibebaskan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain;
6) pengiriman alat keterangan ke Kantor Pelayanan Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat usaha
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu.
b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat-tempat usaha Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu melakukan:
1) kegiatan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil
Sensus Pajak Nasional (SPN) Tahun 2011 dan 2012, serta
melalui pelaksanaan SPN Tahun 2013 untuk tempat-
tempat usaha yang memenuhi kriteria sebagai Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu di wilayah
kerjanya masing-masing;
2) himbauan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu untuk melaksanakan kewajiban
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) setiap
bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha;
3) pengawasan terhadap kewajiban pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang mendapat Surat
Keterangan Bebas untuk dibebaskan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain;
4) pengiriman alat keterangan atas pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu kepada Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Surat

Direktorat Peraturan Perpajakan II 111


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak


diadministrasikan.
c. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diminta untuk
melakukan pengawasan atas pelaksanaan Pengenaan Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang memiliki
Peredaran Bruto Tertentu oleh Kantor Pelayanan Pajak yang
berada di wilayah kerjanya.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Tembusan :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan

112 Direktorat Peraturan Perpajakan II


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN VIII
SURAT EDARAN
NOMOR SE-32/PJ/2014
TENTANG
PENEGASAN PELAKSANAAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB
PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO
TERTENTU
2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

114 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
jkl

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Yth. 1. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;


2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
3. Para Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan;
di seluruh Indonesia

SURAT EDARAN
NOMOR SE-32/PJ/2014

TENTANG

PENEGASAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terkait pelaksanaan Peraturan Pemerintah


Nomor 46 Tahun 2013 (PP 46 Tahun 2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu,
perlu ditetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan
ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

B. Maksud dan Tujuan

1. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan
acuan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu.
2. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan
dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan
Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari
usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

D. Dasar

KP:PJ.032/PJ.0301

Direktorat Peraturan Perpajakan II 115


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu
-2-

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyetoran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.

E. Materi

1. Penghasilan yang dikenai PP 46 Tahun 2013.


a. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dijelaskan bahwa aliran penghasilan bagi Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya;
2) penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
4) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
b. Dengan demikian penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46
Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha,
kecuali:
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
3) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

2. Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan.


a. Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46
Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan
operasi secara komersial untuk pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima
atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau

2) dagang

KP:PJ.032/PJ.0301

116 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014
-3-

2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang
dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
b. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam
1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.
c. Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada
huruf b dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial.
d. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial sebagaimana
dimaksud pada huruf c melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial,
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya
setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.
e. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi
Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk Tahun Pajak
selanjutnya, ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
f. Contoh:
1) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial,
maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka
waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni
2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak
Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto
Tahun Pajak 2014.
2) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013 sampai dengan 31
Desember 2013). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2014
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
3) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 2 Januari 2013 sampai
dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk
pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya
peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
4) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Agustus 2013 sampai
dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk
pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya
peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

3. Perlakuan

KP:PJ.032/PJ.0301

Direktorat Peraturan Perpajakan II 117


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

-4-

3. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.
a. Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut
bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana
dimaksud pada huruf a tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek
pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
c. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan
mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

4. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak reksa dana.


a. Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana
dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh
manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal.
b. Berdasarkan definisi reksa dana sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka aliran
penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori
penghasilan yang berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa
dana memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sesuai PP 46 Tahun 2013 beserta ketentuan
pelaksanaannya.

5. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi


simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman.
a. Bagi Wajib Pajak bank atau bank perkreditan rakyat atau koperasi simpan pinjam atau
lembaga pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final
sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank atau bank
perkreditan rakyat atau koperasi simpan pinjam atau lembaga pemberi dana pinjaman
adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
1) pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan
pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
2) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia, kecuali bagi Wajib Pajak selain bank/bank
perkreditan rakyat.
c. Dalam hal Wajib Pajak bank atau bank perkreditan rakyat atau koperasi simpan pinjam
atau lembaga pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan yang
diterima Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan.

6. Perlakuan

KP:PJ.032/PJ.0301

118 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

-5-

6. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib
Pajak OPPT).
a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen)
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum Undang-
Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran pajaknya mengacu pada
ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.

7. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
a. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi
sebagai PPAT:
1) mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat
umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta yang
berkaitan dengan dengan pertanahan; dan
2) dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan pekerjaan bebas.
b. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada
ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

8. Penegasan kembali ketentuan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)


Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.
a. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kas negara melalui:
1) kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP);
2) Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu; Wajib Pajak menerima Bukti
Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN) dalam bentuk cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan
SSP;
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada huruf a wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf b diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014,
sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa
Juli-Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
d. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah
menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau
cetakan struk ATM.

e. Wajib
KP:PJ.032/PJ.0301

Direktorat Peraturan Perpajakan II 119


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

120 Direktorat Peraturan Perpajakan II


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN IX
SIMULASI PENGISIAN SPT
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Simulasi Pengisian SSP


Diisi dengan:
Kode Akun
Pajak 411128
(Untuk Jenis
041 Pajak PPh Final)
dan
Kode Jenis
Setoran 420
(untuk
pembayaran
PPh Final
peredaran bruto
tertentu)

4 20 PPh Pasal 4 ayat (2) Bulan Agustus 2013

Direktorat Peraturan Perpajakan II 123


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pengisian SPT Tahunan PPh


1770 2 0
FORMULIR

SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI


TAHUN PAJAK

MEMPUNYAI PENGHASILAN :
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO
s.d

KEMENTERIAN KEUANGAN RI DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA BL TH BL TH


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL NORMA PEMBUKUAN
DARI PENGHASILAN LAIN SPT PEMBETULAN KE - .
PERHATIAN
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

Wajib Pajak Orang Pribadi


NPWP :
IDENTITAS

NAMA WAJIB PAJAK :

JENIS USAHA/PEKERJAAN BEBAS : KLU :

NO. TELEPON/FAKSIMILI : /

PERUBAHAN DATA : LAMPIRAN TERSENDIRI TIDAK ADA

*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3) RUPIAH *)
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
1

2 0
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
LAMPIRAN - III
1770 - III
FORMULIR
A. PENGHASILAN NETO

2. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN

TAHUN PAJAK
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
2

3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
3 SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
4 4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI

PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT


[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat buku petunjuk]
4
s.d
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 FINAL
..
6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK BL TH BL TH

7. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG


SIFATNYA WAJIB ( 5- 6)
7
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
PENGHASILAN ISTERI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH NORMA PEMBUKUAN

8. KOMPENSASI KERUGIAN
8
PERHATIAN :
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK

9. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH KOMPENSASI KERUGIAN (7 - 8)


9
NPWP :
10. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
TK/ K/ K/I/ PH/ HB/ 10
11. PENGHASILAN KENA PAJAK (9 -10)
11 NAMA WAJIB PAJAK :
12. PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh X ANGKA 11)
12
TERUTANG

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL


C. PPh

13. PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN


13

14. JUMLAH PPh TERUTANG ( 12 + 13)


14 DASAR PENGENAAN PPh TERUTANG
NO JENIS PENGHASILAN
PAJAK/PENGHASILAN BRUTO (Rupiah)
15. PPh YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI
DAN PPh DITANGGUNG PEMERINTAH [Diisi dari formulir 1770 -II Jumlah Bagian A Kolom 7] 15 (1) (2) (3) (4)
16. a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT BERHARGA
(14-15) 16
D. KREDIT PAJAK

b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT 1.


NEGARA
17. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 BULANAN
17a

b. STP PPh PASAL 25 (HANYA POKOK PAJAK)


17b 2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI
c. FISKAL LUAR NEGERI
17c

18. JUMLAH KREDIT PAJAK (17a+17b+17c)


18
3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK
E. PPh KURANG/ LEBIH

19. a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) TGL


(16-18) LUNAS 19
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A) tgl bln thn 4. HADIAH UNDIAN
BAYAR

20. PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 C (WP
a. DIRESTITUSIKAN c. PATUH)

b.
DIPERHITUNGKAN DENGAN
d.
DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 D (WP PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN
UTANG PAJAK TERTENTU 5.
PENSIUN YANG DIBAYAR SEKALIGUS
PAJAK BERIKUTNYA
F. ANGSURAN PPh
PASAL 25 TAHUN

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN / APBD

7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Diisi dengan Jumlah PPh BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUNAN GUNA
8.
Pasal 4 ayat (2) yang Telah SERAH

Disetor 9. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

10. USAHA JASA KONSTRUKSI

11. PENYALUR/DEALER/AGEN PRODUK BBM


Diisi Jumlah Peredaran Bruto BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA
Selama Satu Tahun Pajak
12.
ANGGOTA KOPERASI

13. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

14. DIVIDEN

15. PENGHASILAN ISTRI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


16.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

17. JUMLAH (1 s.d. 16)

124 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Pengisian SPT Tahunan


SPT TAHUNAN
1771
TAHUN PAJAK
FORMULIR

PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


PERHATIAN : SEBELUM MENGISI, BACA DAHULU BUKU PETUNJUK PENGISIAN 2 0
KEMENTERIAN KEUANGAN RI ISI DENGAN HURUF CETAK/DIKETIK DENGAN TINTA HITAM SPT PEMBETULAN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK BERI TANDA "X" PADA (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI KE-

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :


IDENTITAS

JENIS USAHA : KLU :

PPh Wajib Pajak Badan


NO. TELEPON : - NO. FAKS : -

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

NEGARA DOMISILI KANTOR PUSAT (khusus BUT) :

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN TIDAK DIAUDIT

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

N P W P AKUNTAN PUBLIK :

LAMPIRAN - IV
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK :

1771 - IV

TAHUN PAJAK
FORMULIR

N P W P KANTOR KONSULTAN PAJAK :

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


2 0 A A
NAMA KONSULTAN PAJAK :

NPWP KONSULTAN PAJAK :


KEMENTERIAN KEUANGAN RI
*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3)

(1) (2)
RUPIAH *)
(3)
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
1. PENGHASILAN NETO FISKAL
A. PENGHASILAN

1
(Diisi dari Formulir 1771-I Nomor 8 Kolom 3) .
KENA PAJAK

2. KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL


(Diisi dari Lampiran Khusus 2A Jumlah Kolom 8)
2
NPWP :
IDENTITAS

3
3. PENGHASILAN KENA PAJAK (1-2) ........

4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT)
NAMA WAJIB PAJAK :

a. Tarif PPh Ps. 17 ayat (1) Huruf b X Angka 3 .


B. PPh TERUTANG

b. Tarif PPh Ps. 17 ayat (2b) X Angka 3 . 4


PERIODE PEMBUKUAN : s.d.
c. Tarif PPh Ps. 31E ayat (1)
(Lihat Buku Petunjuk)

5. PENGEMBALIAN / PENGURANGAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI


5
(PPh Ps. 24) YANG TELAH DIPERHITUNGKAN TAHUN LALU . BAGIAN A : PPh FINAL
6 DASAR PENGENAAN PAJAK TARIF PPh TERUTANG
6. JUMLAH PPh TERUTANG (4 + 5) ..... NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah) (%) (Rupiah)
7. PPh DITANGGUNG PEMERINTAH (Proyek Bantuan Luar Negeri) ......
7 (1) (2) (3) (4) (5)
8. a. KREDIT PAJAK DALAM NEGERI
8a
(Diisi dari Formulir 1771-III Jumlah Kolom 5) .............
1. BUNGA DEPOSITO / TABUNGAN,
b. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
8b
(Diisi dari Lampiran Khusus 7A Jumlah Kolom 8) ......... DAN DISKONTO SBI / SBN
8c
C. KREDIT PAJAK

c. JUMLAH ( 8a + 8b ) ........
2. BUNGA / DISKONTO OBLIGASI
9. a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI
(6 7 8c). 9
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG / DIPUNGUT

10. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI


10a
a. PPh Ps. 25 BULANAN ......... 3. PENGHASILAN PENJUALAN SAHAM
10b YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK
b. STP PPh Ps. 25 (Hanya Pokok Pajak) .....

4. PENGHASILAN PENJUALAN SAHAM


c. JUMLAH (10a + 10b) ....
10c MILIK PERUSAHAAN MODAL VENTURA
D. PPh KURANG/ LEBIH BAYAR

11. a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh Ps. 29)


(9 10c).. 11 5. PENGHASILAN USAHA PENYALUR / DEALER /
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh Ps. 28A)
AGEN PRODUK BBM
12. PPh YANG KURANG DIBAYAR PADA ANGKA 11.a DISETOR TANGGAL

13. PPh YANG LEBIH DIBAYAR PADA ANGKA 11.b MOHON : TGL BLN THN 6. PENGHASILAN PENGALIHAN HAK ATAS
a. DIRESTITUSIKAN DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK
b.
TANAH / BANGUNAN
Khusus Restitusi untuk Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu : Pengembalian Pendahuluan (Pasal 17C atau Pasal 17D UU KUP)

7. PENGHASILAN PERSEWAAN ATAS


TANAH / BANGUNAN
Diisi dengan Jumlah PPh IMBALAN JASA KONSTRUKSI :
a. PELAKSANA KONSTRUKSI

Pasal 4 ayat (2) yang Telah


Disetor 8. b. PERENCANA KONSTRUKSI

c. PENGAWAS KONSTRUKSI

9. PERWAKILAN DAGANG ASING

Diisi Jumlah Peredaran Bruto 10. PELAYARAN / PENERBANGAN ASING

Selama Satu Tahun Pajak 11. PELAYARAN DALAM NEGERI

12. PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP

Diisi dengan Penghasilan


13. TRANSAKSI DERIVATIF YANG
DIPERDAGANGKAN DI BURSA
Penghasilan Usaha WP yang
Usaha WP yang Memiliki
14.
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Peredaran Bruto Tertentu JUMLAH BAGIAN A JBA

Direktorat Peraturan Perpajakan II 125


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN X
SLIDE PRESENTASI I
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Kementerian Keuangan Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Pajak
2013

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013


tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu

LATAR BELAKANG
DASAR HUKUM
POKOK-POKOK KETENTUAN PP
POKOK-POKOK KETENTUAN
PERATURAN PELAKSANAAN
SIMULASI DAN CONTOH
CARA PEMBAYARAN PAJAK

Direktorat Peraturan Perpajakan II 129


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Tujuan Kebijakan Pajak Penghasilan Atas Wajib Pajak


Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Maksud PP No 46 /2013 Tujuan PP No 46 /2013 Hasil yang diharapkan


Kemudahan dan Kemudahan bagi
penyederhanaan masyarakat dalam
aturan perpajakan; melaksanakan
Mengedukasi kewajiban
masyarakat untuk perpajakan
tertib administrasi; Meningkatnya
Mengedukasi pengetahuan tentang
masyarakat untuk manfaat perpajakan
transparansi; bagi masyarakat

Memberikan Terciptanya kondisi


kesempatan kontrol sosial dalam
masyarakat untuk memenuhi
berkontribusi dalam kewajiban
penyelenggaraan perpajakan
negara

130 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Dasar Hukum

Pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh :


Atas penghasilan tertentu lainnya dapat dikenai PPh yang bersifat
final yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 ayat (7) UU PPh :
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak
tersendiri atas penghasilan tertentu yang pajaknya bersifat final.
Tarif tersebut tidak boleh melebihi tarif tertinggi PPh Orang
Pribadi (30%).
Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas
pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan perluasan
partisipasi dalam pembayaran pajak.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 131


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Objek Pajak

Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib


pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar
dalam 1 tahun.
Tidak termasuk Penghasilan dari usaha adalah penghasilan
dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha,
termasuk dari usaha cabang.

132 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Jasa Sehubungan dengan


Pekerjaan Bebas
a. pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris/PPAT, penilai,
dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing)
atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Subjek Pajak
Orang pribadi
Badan, tidak termasuk BUT,

yang menerima penghasilan dari usaha dengan


peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1
(satu) Tahun Pajak.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 133


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pengecualian Subjek Pajak


WP OP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau
jasa yang dalam usahanya menggunakan sarana atau
prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau
seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya
pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung
tenda di trotoar, dan sejenisnya.
WP badan yang belum beroperasi secara komersial atau yang
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4,8 miliar.

Tarif
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dikenai PPh final
dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari jumlah
peredaran bruto setiap bulan dari setiap tempat usaha
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif
1% (satu persen) dikalikan dengan dasar pengenaan
pajak, yaitu jumlah peredaran bruto setiap bulan dari
setiap tempat usaha

134 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Saat Mulai Berlakunya PP

Dasar Penentuan Dikenakan PPh Final (1)

Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha


dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak yang bersangkutan yang tidak melebihi Rp4,8 Miliar.

2012 2013 2014

Omzet dikenai PPh Umum Jika omzet 2013


perdagangan Rp4 s.d sebelum berlaku Rp5 miliar maka
miliar PP 46 Tahun 2013 tahun 2014
PPh final 1% Juli dikenai dengan
2013 2014
s.d. Des 2013 2015
Tarif Umum
meskipun total Ketentuan UU PPh
omzet tahun berjalan
misalnya Rp5 miliar

Dalam hal pada tahun berjalan, peredaran bruto sudah melebihi Rp4,8 miliar,
tetap dikenai PPh final sampai dengan akhir Tahun Pajak dan tahun
berikutnya dikenai ketentuan PPh umum.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 135


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Dasar Penentuan Untuk Dikenakan PPh Final (2)


Wajib Pajak Orang Pribadi
Peredaran bruto tahun terakhir (setahun atau disetahunkan,
dalam hal tahun terakhir meliputi kurang dari 12 bulan).
Dalam hal WP baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama
sebelum PP ini berlaku dasar Peredaran Bruto adalah:
akumulasi peredaran bruto dari bulan berdiri s.d. bulan
sebelum PP ini berlaku, yang disetahunkan.
Dalam hal WP baru terdaftar setelah PP ini berlaku dasar
peredaran bruto adalah: peredaran bruto bulan pertama
disetahunkan.
Bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial
untuk pertama kali ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari
usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi
secara komersial. Untuk tahun selanjutnya, ditentukan
berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

Penghasilan yang Dikenai PPh Final


Tersendiri
Penghasilan yang telah dikenai PPh dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri
(a.l. konstruksi), tidak dikenai PPh yang bersifat final
berdasarkan PP ini.
Peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang bersangkutan
dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp4,8 miliar tidak
dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan PP ini,
tetapi mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang mengatur mengenai
pengenaan pajak atas penghasilan tersebut.

136 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Penghasilan dari Luar Negeri

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas


penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya.

(sesuai ketentuan Pasal 24 UU PPh dan aturan pelaksanaan yang mengatur


tentang Kredit Pajak Luar Negeri)

Kompensasi Rugi

Ketentuan kompensasi rugi adalah :


o berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
o tahun dikenai PPh final 1% tetap menjadi bagian dari
periode 5 tahun tsb.
o kerugian pada tahun dikenai PPh final 1% tidak dapat
dikompensasikan pada tahun berikutnya.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 137


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Dasar Penentuan Peredaran Bruto


Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4,8 Miliar dalam
1 (satu) Tahun Pajak ditentukan berdasarkan peredaran
bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha
cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar
negeri;
usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
tersendiri; dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

138 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Pemotongan/Pemungutan PPh
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang dikenai
PPh bersifat final menurut PP ini, yang berdasarkan ketentuan UU PPh
wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak
bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau
pemungutan PPh oleh pihak lain.
Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak
lain diberikan melalui Surat Keterangan Bebas dengan Tata Cara
sebagaimana dimaksud PER-32/PJ/2013

Contoh:
o Bengkel mobil menerima pembayaran atas jasa reparasi mobil.
Atas pembayaran tersebut dipotong PPh Pasal 23 kecuali pemilik
bengkel menyerahkan SKB Potput yang telah dilegalisasi.
o Toko ATK menjual buku kepada sekolah negeri. Bendahara sekolah
memungut PPh Pasal 22 kecuali pemilik toko menyerahkan SKB
Potput.yang telah dilegalisasi

Angsuran Masa
Setoran bulanan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2),
bukan PPh Pasal 25.
Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final,
tidak wajib PPh Pasal 25.
Jika ada penghasilan lain selain yang dikenai PPh
Pasal 4 ayat (2) sesuai ketentuan PP ini, maka atas
penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan
ketentuan umum.
Jika ada angsuran PPh Pasal 25 atau PPh yang
dipotong/dipungut pihak lain boleh dikreditkan
terhadap PPh terutang tahun pajak ybs. kecuali
untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 139


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Angsuran Masa
Angsuran pajak pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak
tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final:
bagi Wajib Pajak bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak
masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang harus
membuat laporan keuangan berkala, dan WP OPPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf
b dan huruf c UU PPh; dan
bagi selain Wajib Pajak diatas, angsuran pajak
diperlakukan seperti Wajib Pajak Baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a UU PPh,
besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya
angsuran pajak sebagaimana diatur dalam PMK
255/PMK.03/2008 std PMK 208/PMK.03/2009.

Penyetoran dan Pelaporan


Penyetoran paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
SSP berfungsi sekaligus sebagai SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
Jika SSP telah divalidasi dengan NTPN dianggap telah lapor SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

Kewajiban pelaporan ditiadakan untuk pelaporan Surat


Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan masa pajak Juli s.d
Desember 2013

SPT Tahunan :
o Dilaporkan pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final
dan/atau bersifat final.
o Formulir SPT Tahunan menggunakan Form 1770 untuk Wajib
Pajak orang pribadi dan 1771 untuk Wajib Pajak badan masih
mengakomodasi

140 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Cara Pembayaran Pajak


Wajib Pajak dapat melakukan Pembayaran Pajak melalui:

1. Loket Bank/Pos Persepsi


a. Wajib Pajak datang ke Loket Bank/Pos Persepsi dengan membawa
SSP yang telah diisi.
b. Bukti Pembayaran adalah dokumen Bukti Penerimaan Negara (BPN).

2. Anjungan Tunai Mandiri (ATM)


a. Wajib Pajak datang ke ATM Bank/Pos Persepsi dan memilih menu
pembayaran PPh Final Bruto Tertentu.
b. Bukti Pembayaran adalah Struk ATM.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 141


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Penentuan Peredaran Bruto


CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah dan memiliki peredaran
bruto:
Januari s.d Desember 2013 sebesar Rp4.000.000.000,00
Januari s.d Oktober 2014 sebesar Rp5.000.000.000,00

2013 2014 2015

2013 2014

Penentuan Peredaran Bruto


Rajesh Memiliki Tiga
Toko Tekstil

Pasar C
Pasar B Rp400.000.000,00
Pasar A
Rp250.000.000,00
Rp80.000.000,00

Peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Rajesh sebagai dasar pengenaan


Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar:
Dasar Pengenaan PPh Final= Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 +
Rp400.000.000,00
= Rp730.000.000,00

142 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Penentuan Peredaran Bruto

IRINE Butik di Singapura


Butik di Batam (Pengusaha Rp5.000.000.000,00
Rp3.000.000.000,00 Butik
Pakaian)

Di dalamnya termasuk omset Penghasilan Sewa


penjualan ke Mr. X di Singapura Apartemen di
sebesar Rp50.000.000 Singapura
Rp100.000.000,00

Peredaran bruto usaha sebagai dasar pengenaan Pajak


Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar Rp3.000.000.000,00
Penghasilan yang diterima Irine dari sewa apartemen dan butik di Singapura, tidak
diperhitungkan dalam menghitung batasan peredaran bruto untuk dapat dikenai PPh
bersifat final

Penentuan Peredaran Bruto

Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan Rp150.000.000,00

1 April 2013 30 Juni 2013 1 Juli 2013

Terdaftar Mulai Berlakunya


sebagai Wajib PP 46 Tahun
Pajak 2013

Peredaran bruto 3 (tiga) bulan yang disetahunkan adalah:


Rp150.000.000,00 x 12/3 = Rp600.000.000,00

Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan tersebut


tidak melebihi Rp4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah), maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan
berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan akhir tahun
pajak bersangkutan (Juli s.d. Desember 2013), dikenai pajak yang
bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 143


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Penentuan Peredaran Bruto


Gatut Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan
November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut,
memperoleh peredaran bruto sebesar Rp15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
peredaran bruto November 2014 disetahunkan: 12/1 x
Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00

Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai


terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka
penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

h6 Pemotongan/Pemungutan oleh Pihak Lain


Conto
Penyerahan Barang

CV. ABADI Juli 2013


MEBELINDO
Pembayaran senilai
Rekanan Pemerintah yang Rp20.000.000,00
termasuk dalam kriteria WP yang
dikenai PPh Final Bendahara
Pemerintah

Bendahara Pemerintah
memungut PPh Pasal 22 sebesar WP dibebaskan dari
1,5% x Rp20.000.000,00= Pemungutan apabila
Rp300.000,00 memiliki SKB
dalam hal WP tidak memiliki SKB

Kewajiban CV Abadi Mebelindo:


menyetorkan PPh bersifat final sebesar Rp200.000,00 paling lambat pada tanggal 15
Agustus 2013.
Dalam hal SSP-nya telah mendapat validasi dengan NTPN, dianggap telah
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) tanggal 15 Agustus 2013.

dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan pada tanggal 22 Agustus 2013 dan SSP-nya telah
mendapat validasi dengan NTPN, maka CV Abadi Mebelindo terlambat melakukan penyetoran
dan dianggap menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) tanggal 22 Agustus 2013.

144 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Kompensasi Rugi
Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian pada Tahun
Pajak 2010. Berdasarkan ketentuan UU PPh, kerugian tersebut dapat
dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai
dengan Tahun Pajak 2015.

2012 2014
2011
2013 2015
Dikenai PPh Final
2010 dan mengalami
kerugian

Jangka Waktu Kompensasi Kerugian

Rugi pada
Tahun Pajak Kompensasi atas Kerugian dari penghasilan
2010 Kerugian Tahun yang dikenai PPh Final pada
2010 tidak dapat Tahun Pajak 2014 tidak dapat
dikompensasi di dikompensasi ke Tahun
Tahun Pajak 2014 Pajak berikutnya

Kementerian Keuangan Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Pajak
2013

Cara Pembayaran Pajak Melalui ATM dalam


Rangka Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013

15

Direktorat Peraturan Perpajakan II 145


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Cara Pembayaran Pajak

Contoh Menu Pembayaran Pajak PPh Final dengan


Peredaran Bruto Tertentu melalui ATM :

1. Pilih BAYAR / BELI 2. Pilih LAINNYA

Cara Pembayaran Pajak

Contoh Menu Pembayaran Pajak PPh Final dengan


Peredaran Bruto Tertentu melalui ATM :

1. Pilih PAJAK 2. Pilih PPH FINAL BRUTO TERTENTU

146 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Cara Pembayaran Pajak

Contoh Menu Pembayaran Pajak PPh Final dengan


Peredaran Bruto Tertentu melalui ATM :

1. Masukkan NPWP 2. Konfirmasi NPWP

Cara Pembayaran Pajak

Contoh Menu Pembayaran Pajak PPh Final dengan


Peredaran Bruto Tertentu melalui ATM :

3. Masukkan Masa Pajak 4. Masukkan Pajak Terutang

Direktorat Peraturan Perpajakan II 147


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Cara Pembayaran Pajak

Contoh Menu Pembayaran Pajak PPh Final dengan


Peredaran Bruto Tertentu melalui ATM:

2. Konfirmasi Pembayaran

Cara Pembayaran Pajak

Contoh Struk ATM Pembayaran Pajak PPh Final dengan


Peredaran Bruto Tertentu :

148 Direktorat Peraturan Perpajakan II


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN XI
SLIDE PRESENTASI II
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Kementerian Keuangan Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Pajak

Pelaporan SPT Tahunan


Wajib Pajak Badan dan
Orang Pribadi
Kategori Wajib Pajak
PP Nomor 46 Tahun 2013

PJ.091/KUP/S/005/2014-01

Agenda

Sekilas PP Nomor 46 Tahun 2013


Studi Kasus
Cara Pengisian SPT Tahunan PPh

Direktorat Peraturan Perpajakan II 151


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Sekilas
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 46 TAHUN 2013

Objek Pajak

Penghasilan dari usaha yang diterima atau


diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun.
Tidak termasuk Penghasilan dari usaha adalah
penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas.
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari
usaha, termasuk dari usaha cabang.

152 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Subjek Pajak
Orang Pribadi
Badan, tidak termasuk BUT,

yang menerima penghasilan dari usaha dengan


peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Pengecualian Subjek Pajak


WP OP yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya
menggunakan sarana atau prasarana yang dapat
dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak
menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh
tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan,
misalnya pedagang makanan keliling, pedagang
asongan, warung tenda di trotoar, dan
sejenisnya.
WP Badan yang belum beroperasi secara komersial
atau yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran
bruto melebihi Rp4,8 miliar.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 153


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Tarif
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dikenai PPh final
dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari jumlah
peredaran bruto setiap bulan dari setiap tempat usaha
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif
1% (satu persen) dikalikan dengan dasar pengenaan
pajak, yaitu jumlah peredaran bruto setiap bulan dari
setiap tempat usaha

PPh Terutang = 1% x Peredaran


Bruto Setiap Bulan

Dasar Penentuan Dikenakan PPh Final (1)

Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha


dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak yang bersangkutan yang tidak melebihi Rp4,8 Miliar.

2012 2013 2014

Omzet dikenai PPh Umum Jika omzet 2013


perdagangan Rp4 s.d. saat berlaku PP Rp5 miliar maka
miliar 46 Tahun 2013 tahun 2014
PPh final 1% Juli dikenai dengan
s.d. Des 2013 Tarif Umum
meskipun total Ketentuan UU PPh
omzet tahun berjalan
misalnya Rp5 miliar

Dalam hal pada tahun berjalan, penghasilan bruto sudah melebihi Rp4,8
miliar, tetap dikenai PPh final sampai dengan akhir Tahun Pajak dan tahun
berikutnya dikenai ketentuan PPh umum.

154 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Dasar Penentuan Dikenakan PPh Final (2)

2013 2014 2015

Dasar Penentuan Untuk Dikenakan PPh Final (3)


Dasar penghasilan bruto Rp4,8 miliar untuk dapat
dikenai PPh final :
penghasilan bruto tahun terakhir (setahun atau
disetahunkan, dalam hal tahun terakhir meliputi kurang
dari 12 bulan).
Dalam hal WP baru terdaftar pada Tahun Pajak yang
sama sebelum PP ini berlaku dasar Peredaran
Bruto adalah: akumulasi peredaran bruto dari bulan
berdiri s.d. bulan sebelum PP ini berlaku, yang
disetahunkan.
Dalam hal WP baru terdaftar setelah PP ini berlaku
dasar peredaran bruto adalah: penghasilan bruto
bulan pertama disetahunkan.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 155


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Dasar Penentuan Untuk Dikenakan PPh Final (4)

Untuk Wajib Pajak Badan:


Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun
2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi
secara komersial untuk pertama kali ditentukan
berdasarkan peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun
Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.
Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final
selanjutnya untuk Wajib Pajak yang bersangkutan
ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak
sebelumnya.

Penghasilan yang Dikenai PPh Final


Tersendiri
Penghasilan yang telah dikenai PPh dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri
(a.l. konstruksi), tidak dikenai PPh yang bersifat final
berdasarkan PP ini.
Peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang bersangkutan
dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp4,8 miliar tidak
dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan PP ini,
tetapi mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang mengatur mengenai
pengenaan pajak atas penghasilan tersebut.

156 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Penghasilan dari Luar Negeri

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas


penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya.
(sesuai ketentuan Pasal 24 UU PPh dan aturan pelaksanaan yang mengatur
tentang Kredit Pajak Luar Negeri)

Kompensasi Rugi
WP yang menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan
yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Ketentuan kompensasi rugi adalah :
o berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
o tahun dikenai PPh final 1% tetap menjadi bagian dari
periode 5 tahun tsb.
o kerugian pada tahun dikenai PPh final 1% tidak dapat
dikompensasikan pada tahun berikutnya.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 157


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Skema Kompensasi Rugi

2012 2014
2011
2013 2015
Dikenai PPh Final
2010 dan mengalami
kerugian

Jangka Waktu Kompensasi Kerugian

Rugi pada
Tahun Pajak Kompensasi atas Kerugian dari penghasilan
2010 Kerugian Tahun yang dikenai PPh Final pada
2010 tidak dapat Tahun Pajak 2014 tidak dapat
dikompensasi di dikompensasi ke Tahun
Tahun Pajak 2014 Pajak berikutnya

Pengisian SPT Tahunan PPh WP


Badan terkait Aturan PP Nomor 46
Tahun 2013

158 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Deskripsi Wajib Pajak


PT Murai Batu berdiri sejak Januari 2011 dan telah terdaftar sebagai Wajib
Pajak pada KPP Pratama Subulussalam. PT Murai Batu bergerak dalam bidang
usaha perdagangan alat tulis kantor. PT Murai Batu memiliki peredaran bruto
pada tahun 2012 sebesar Rp. 678.000.000 sehingga memenuhi kriteria untuk
dikenai PPh berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013. Data Wajib Pajak selengkapnya
sebagai berikut :

Nama Wajib Pajak : PT Murai Batu


NPWP : 01.234.567.8-107.000
Jenis Usaha : Perdagangan
Alamat : Jalan Harapan Indah No.9, Subulussalam, Aceh Tenggara

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Laporan Laba Rugi


PT MURAI BATU
Laporan Laba/Rugi
Periode 1 Jan s.d. 31 Des 2013

Peredaran Usaha Rp 865.000.000


Harga Pokok Penjualan
Saldo Awal Rp (125.000.000)
Pembelian Rp (675.000.000) +
Tersedia Dijual Rp (800.000.000)
Persediaan Akhir Rp 100.000.000 +
Harga Pokok Penjualan Rp (700.000.000) +
Laba Bruto Usaha Rp 165.000.000

Biaya Administrasi dan Umum


Biaya Gaji Rp (25.000.000)
Biaya Penyusutan Rp (15.375.000)
Biaya Alat Tulis Kantor Rp (2.125.000)
Biaya Perjalanan Dinas Rp (3.000.000)
Biaya Bunga Rp (5.000.000)
Biaya Sewa Gedung Rp (5.500.000)
Biaya Telepon dan Listrik Rp (3.000.000) +
Total Biaya Rp (59.000.000) +
Laba Neto Usaha Rp 106.000.000

Pendapatan dan Biaya Lain


Pendapatan Bunga Tabungan Rp 2.000.000
Pajak Bunga Tabungan Rp (400.000) +
Total Pendapatan dan Biaya Lain Rp 1.600.000 +

LABA NETO Rp 107.600.000

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 159


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Neraca

PT MURAI BATU
NERACA
Per 31 Desember 2013
AKTIVA KEWAJIBAN
Aktiva Lancar
Kas Rp 98.225.000 Hutang Bank Rp 100.000.000 +
Bank Rp 180.000.000 Jumlah KEWAJIBAN Rp 100.000.000
Piutang Dagang Rp 250.000.000
Persediaan Rp 100.000.000 + EKUITAS
Jumlah Aset Lancar Rp 628.225.000 Modal Rp 500.000.000
Laba Ditahan Tahun- Rp (24.000.000)
Aktiva Tetap Tahun Sebelumnya
Aktiva Tetap Rp 101.500.000 Laba Tahun Berjalan Rp 107.600.000 +
Akumulasi Penyusutan Rp (46.125.000) + Jumlah EKUITAS Rp 583.600.000
Jumlah Aset Tetap Rp 55.375.000 + +
Total AKTIVA Rp 683.600.000 Total KEWAJIBAN dan Rp 683.600.000
EKUITAS

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Peredaran Bruto Januari Desember 2013 PPh Pasal 22 Tahun 2013

Januari : Rp. 80.000.000 Pemotong/Pemungut : Bendahara Instansi X


Februari : Rp. 90.000.000 NPWP Pemotong/Pemungut : 00.123.456.7-XXX.000
Jenis Transaksi/Penghasilan : Pengadaan Barang
Maret : Rp. 70.000.000
DPP : Rp. 40.000.000
April : Rp. 40.000.000
PPh Dipotong/ Dipungut : Rp. 600.000
Mei : Rp. 60.000.000 Tanggal Transaksi : 2 Juli 2013
Juni : Rp. 120.000.000
Juli : Rp. 95.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) Tahun 2013
Agustus : Rp. 50.000.000 Pemotong/Pemungut : Bank X
September : Rp. 60.000.000 NPWP Pemotong/Pemungut : 21.321.654.7-XXX.000
Oktober : Rp. 70.000.000 Jenis Transaksi/Penghasilan : Bunga Bank
Nopember : Rp. 80.000.000 DPP : Rp. 2.000.000
Desember : Rp. 50.000.000 PPh Dipotong/ Dipungut : Rp. 400.000
Jumlah : Rp. 865.000.000 PPh Final sesuai PP 46
Masa Pajak Peredaran Bruto PPh (1 %)
Laba/Rugi Fiskal Tahun Pajak sebelumnya
Juli Rp 95.000.000 Rp 950.000
Agustus Rp 50.000.000 Rp 500.000
Rugi Tahun Pajak : Rp. (75.000.000) September Rp 60.000.000 Rp 600.000
2011 Oktober Rp 70.000.000 Rp 700.000
Laba Tahun Pajak : Rp. 51.000.000 Nopember Rp 80.000.000 Rp 800.000
2012 Desember Rp 50.000.000 Rp 500.000
Jumlah Rp 405.000.000 Rp 4.050.000
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

160 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Rincian Biaya
Biaya untuk periode Januari Juni 2013 :
Harga Pokok Penjualan Rp 380.000.000
Biaya Gaji Rp 10.000.000
Biaya Penyusutan Rp 7.687.500
Biaya Alat Tulis Kantor Rp 1.000.000
Biaya Perjalanan Dinas Rp 3.000.000
Biaya Bunga Rp 2.500.000
Biaya Sewa Gedung Rp 2.750.000
Biaya Telepon dan Listrik Rp 1.500.000
Jumlah Rp 408.437.500

Rincian Aset Tetap dan Biaya Penyusutan

Harta Bulan / Harga Perolehan Akumulasi Nilai Sisa Buku Metode Penyusutan
Berwujud Tahun Penyusutan Awal Fiskal Awal Penyusutan Fiskal Tahun
Perolehan Tahun 2013 Tahun 2013 2013
Komputer Januari 2011 Rp. 3.500.000 Rp. 1.750.000 Rp. 1.750.000 Garis Lurus Rp. 875.000
Mesin Ketik Januari 2011 Rp. 500.000 Rp. 250.000 Rp. 250.000 Garis Lurus Rp. 125.000
Meja Kursi Januari 2011 Rp. 2.000.000 Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 Garis Lurus Rp. 500.000
Lemari Januari 2011 Rp. 1.500.000 Rp. 750.000 Rp. 750.000 Garis Lurus Rp. 375.000
Motor Januari 2011 Rp. 14.000.000 Rp. 7.000.000 Rp. 7.000.000 Garis Lurus Rp. 3.500.000
Mobil Januari 2011 Rp. 80.000.000 Rp. 20.000.000 Rp. 60.000.000 Garis Lurus Rp. 10.000.000
Jumlah Rp. 101.500.000 Rp. 30.750.000 Rp. 70.750.000 Rp. 15.375.000

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

BAGAIMANA PENGISIAN CONTOH


KASUS 1 KE SPT TAHUNAN PPh
WP BADAN (FORMULIR 1771)?

Direktorat Peraturan Perpajakan II 161


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pengisian SPT Contoh Kasus 1


Dalam Kasus 1 Formulir yang harus diisi oleh PT Murai Batu sebagai berikut :
A. Lampiran Khusus :
1) Lampiran Khusus 1A
2) Lampiran Khusus 2A
3) Lampiran Khusus 8A-2
B. Form Induk dan Lampiran :
1) Form 1771 VI
2) Form 1771 V
3) Form 1771 IV
4) Form 1771 III
5) Form 1771 II
6) Form 1771 I
7) Form 1771 Induk

LAMPIRAN KHUSUS :
LAMPIRAN KHUSUS 1A
LAMPIRAN KHUSUS 2A
LAMPIRAN KHUSUS 8A-2

162 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

1. Pengisian Form Lampiran Khusus 1A:

Mobil dimasukkan ke bagian Kelompok 2

Komputer, Mesin Ketik, Meja


Kursi, Lemari dan Motor
dimasukkan ke Kelompok 1

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

2. Pengisian Form Lampiran Khusus 2A:

Laba/Rugi Fiskal Tahun Pajak sebelumnya

Rugi Tahun Pajak : Rp. (75.000.000) Diambil dari penghitungan


2011 Netto Fiskal Form 1771-I
Laba Tahun Pajak : Rp. 51.000.000
2012
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 163


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

3. Pengisian Form Lampiran Khusus 8A-2 (1/2):

Transkrip Elemen dari


Neraca diisi berdasarkan
Neraca Wajib Pajak

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

3. Pengisian Form Lampiran Khusus 8A-2 (2/2):

Transkrip Elemen dari


Laporan Laba/Rugi diisi
berdasarkan Laporan
Laba/Rugi Wajib Pajak
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

164 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

FORM INDUK DAN LAMPIRAN :


FORM 1771 VI
FORM 1771 V
FORM 1771 IV
FORM 1771 III
FORM 1771 II
FORM 1771 I
FORM 1771 INDUK

Rekonsiliasi Fiskal dan Penghitungan PPh Terutang:

Direktorat Peraturan Perpajakan II 165


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

1. Pengisian Form 1771 VI :

Diisi dengan Daftar Penyertaan


Modal pada Perusahaan Afiliasi
(dalam contoh kasus ini tidak
ada)

Diisi dengan Daftar Utang


dari Pemegang Saham
dan/atau Perusahaan Afiliasi
(dalam contoh kasus ini tidak
ada)

Diisi dengan Daftar Piutang


dari Pemegang Saham
dan/atau Perusahaan Afiliasi
(dalam contoh kasus ini tidak
ada)
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

2. Pengisian Form 1771 V :

Diisi dengan Daftar


Pemilik Modal di PT Murai Batu
meliputi rincian Nama, Alamat,
NPWP dan Jumlah Modal
Disetor serta persentase
kepemilikan modal.
Berdasarkan neraca jumlah
modal PT Murai Batu adalah
500.000.000

Diisi dengan Daftar Susunan


Pengurus dan Komisaris
meliputi Nama, Alamat,
NPWP dan jabatan
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

166 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

2. Pengisian Form 1771 V :

Diisi dengan Daftar


Pemilik Modal di PT Murai Batu
meliputi rincian Nama, Alamat,
NPWP dan Jumlah Modal
Disetor serta persentase
kepemilikan modal.
Berdasarkan neraca jumlah
modal PT Murai Batu adalah
500.000.000

Diisi dengan Daftar Susunan


Pengurus dan Komisaris
meliputi Nama, Alamat,
NPWP dan jabatan
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

3. Pengisian Form 1771 IV :

Diisi dengan PPh Final atas Bunga Tabungan


dengan tarif 20 %

Diisi dengan Perhitungan Penghasilan


Usaha Dengan Peredaran Bruto Tertentu
sesuai dengan PP 46 dengan tarif 1 %.

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 167


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

4. Pengisian Form 1771 III :

Diisi dengan Kredit Pajak Dalam Negeri dalam kasus ini


PPh Pasal 22 terkait Pengadaan Barang :

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

5. Pengisian Form 1771 II :

Diisi
berdasarkan
data rincian
HPP dan Biaya
di Laporan
Laba/Rugi PT
Murai Batu.

Dipindahkan ke Form 1771-I


Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

168 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

6. Pengisian Form 1771 I :

Diisi dengan peredaran usaha dari laporan Laba/Rugi

Diisi dari Form 1771-II

Diisi dengan pendapatan dari luar usaha (i.e : dari Tabungan)


pada Laporan Laba/Rugi

Diisi dengan jumlah seluruh Penghasilan Neto atas Penghasilan


yang dikenai PPh Final, yaitu sebagai berikut :
1. Penghasilan Neto Bunga Tabungan : 2.000.000 400.000 =
1.600.000.
2. Penghasilan Neto dari Usaha Januari Juni :
405.000.000 350.562.500 = 54.437.500
Total = 56.037.500

Dipindahkan ke Formulir 1771 Huruf A Angka 1.


Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

7. Pengisian Form 1771 Induk (1/2) :

Diisi dengan tahun pajak

Diisi dengan identitas Wajib Pajak (PT Murai Batu)

Diisi dengan status Pembukuan/Laporan Keuangan (dalam hal


ini PT Murai Batu tidak diaudit)

Diisi dari Form 1771-II

Diisi dengan Laba/Rugi Fiskal


Tahun Pajak sebelumnya :
75.000.000 51.000.000 =
24.000.000

Dihitung dengan menggunakan Tarif PPh Pasal 31E ayat (1)

Diisi dengan kredit pajak dalam Negeri (dari Form 1771-III)

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 169


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

7. Pengisian Form 1771 Induk (2/2) :

Diisi dengan perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun


Berjalan (DIKOSONGKAN KARENA MEKANISME PP 46)

Diisi dengan PPh Final dan Penghasilan Tidak termasuk Objek


Pajak (dari Formulir 1771-IV

Diisi dengan chek list lampiran yang


dilaporkan

Diisi dengan Tanda Tangan dan Nama


Pengurus/Kuasa

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Pengisian SPT Tahunan PPh WP


Badan terkait Aturan PP Nomor 46
Tahun 2013

170 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Deskripsi Wajib Pajak


PT Murai Batu berdiri sejak Januari 2011 dan telah terdaftar sebagai Wajib
Pajak pada KPP Pratama Subulussalam. PT Murai Batu bergerak dalam bidang
usaha perdagangan alat tulis kantor. PT Murai Batu memiliki peredaran bruto
pada tahun 2012 sebesar Rp. 678.000.000 sehingga memenuhi kriteria untuk
dikenai PPh berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013. Data Wajib Pajak selengkapnya
sebagai berikut :

Nama Wajib Pajak : PT Murai Batu


NPWP : 01.234.567.8-107.000
Jenis Usaha : Perdagangan
Alamat : Jalan Harapan Indah No.9, Subulussalam, Aceh Tenggara

Perbedaan dengan Contoh Kasus 1 adalah pada contoh 2


PT Murai Batu tidak mengalami kerugian pada tahun-
tahun sebelumnya dan memiliki PPh Pasal 25 yang telah
dibayar pada Masa Pajak 2013

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Laporan Laba Rugi


PT MURAI BATU
Laporan Laba/Rugi
Periode 1 Jan s.d. 31 Des 2013

Peredaran Usaha Rp 865.000.000


Harga Pokok Penjualan
Saldo Awal Rp (125.000.000)
Pembelian Rp (675.000.000) +
Tersedia Dijual Rp (800.000.000)
Persediaan Akhir Rp 100.000.000 +
Harga Pokok Penjualan Rp (700.000.000) +
Laba Bruto Usaha Rp 165.000.000

Biaya Administrasi dan Umum


Biaya Gaji Rp (25.000.000)
Biaya Penyusutan Rp (15.375.000)
Biaya Alat Tulis Kantor Rp (2.125.000)
Biaya Perjalanan Dinas Rp (3.000.000)
Biaya Bunga Rp (5.000.000)
Biaya Sewa Gedung Rp (5.500.000)
Biaya Telepon dan Listrik Rp (3.000.000) +
Total Biaya Rp (59.000.000) +
Laba Neto Usaha Rp 106.000.000

Pendapatan dan Biaya Lain


Pendapatan Bunga Tabungan Rp 2.000.000
Pajak Bunga Tabungan Rp (400.000) +
Total Pendapatan dan Biaya Lain Rp 1.600.000 +

LABA NETO Rp 107.600.000

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 171


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Neraca

PT MURAI BATU
NERACA
Per 31 Desember 2013
AKTIVA KEWAJIBAN
Aktiva Lancar
Kas Rp 357.225.000 Hutang Bank Rp 100.000.000 +
Bank Rp 180.000.000 Jumlah KEWAJIBAN Rp 100.000.000
Piutang Dagang Rp 250.000.000
Persediaan Rp 100.000.000 + EKUITAS
Jumlah Aset Lancar Rp 887.225.000 Modal Rp 500.000.000
Laba Ditahan Tahun- Rp 235.000.000
Aktiva Tetap Tahun Sebelumnya
Aktiva Tetap Rp 101.500.000 Laba Tahun Berjalan Rp 107.600.000 +
Akumulasi Penyusutan Rp (46.125.000) + Jumlah EKUITAS Rp 842.600.000
Jumlah Aset Tetap Rp 55.375.000 + +
Total AKTIVA Rp 942.600.000 Total KEWAJIBAN dan Rp 942.600.000
EKUITAS

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Peredaran Bruto Januari Desember 2013 PPh Pasal 22 Tahun 2013


Januari : Rp. 80.000.000 Pemotong/Pemungut : Bendahara Instansi X
Februari : Rp. 90.000.000 NPWP Pemotong/Pemungut : 00.123.456.7-XXX.000
Maret : Rp. 70.000.000 Jenis Transaksi/Penghasilan : Pengadaan Barang
April : Rp. 40.000.000 DPP : Rp. 40.000.000
Mei : Rp. 60.000.000 PPh Dipotong/ Dipungut : Rp. 600.000
Juni : Rp. 120.000.000 Tanggal Transaksi : 2 Juli 2013
Juli : Rp. 95.000.000
Agustus : Rp. 50.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) Tahun 2013
September : Rp. 60.000.000
Pemotong/Pemungut : Bank X
Oktober : Rp. 70.000.000
NPWP Pemotong/Pemungut : 21.321.654.7-XXX.000
Nopember : Rp. 80.000.000
Jenis Transaksi/Penghasilan : Bunga Bank
Desember : Rp. 50.000.000
DPP : Rp. 2.000.000
Jumlah : Rp. 865.000.000
PPh Dipotong/ Dipungut : Rp. 400.000
PPh Pasal 25
PPh Final sesuai PP 46
Masa Pajak PPh Pasal 25 Masa Pajak Peredaran Bruto PPh (1 %)
Januari 2013 200.000 Juli Rp 95.000.000 Rp 950.000
Februari 2013 200.000 Agustus Rp 50.000.000 Rp 500.000
Maret 2013 200.000 September Rp 60.000.000 Rp 600.000
April 2013 350.000 Oktober Rp 70.000.000 Rp 700.000
Mei 2013 350.000 Nopember Rp 80.000.000 Rp 800.000
Juni 2013 350.000 Desember Rp 50.000.000 Rp 500.000
Jumlah 1.650.000 Jumlah Rp 405.000.000 Rp 4.050.000

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

172 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Rincian Biaya
Biaya untuk periode Januari Juni 2013 :
Harga Pokok Penjualan Rp 380.000.000
Biaya Gaji Rp 10.000.000
Biaya Penyusutan Rp 7.687.500
Biaya Alat Tulis Kantor Rp 1.000.000
Biaya Perjalanan Dinas Rp 3.000.000
Biaya Bunga Rp 2.500.000
Biaya Sewa Gedung Rp 2.750.000
Biaya Telepon dan Listrik Rp 1.500.000
Jumlah Rp 408.437.500

Rincian Aset Tetap dan Biaya Penyusutan

Harta Bulan / Harga Perolehan Akumulasi Nilai Sisa Buku Metode Penyusutan
Berwujud Tahun Penyusutan Awal Fiskal Awal Penyusutan Fiskal Tahun
Perolehan Tahun 2013 Tahun 2013 2013
Komputer Januari 2011 Rp. 3.500.000 Rp. 1.750.000 Rp. 1.750.000 Garis Lurus Rp. 875.000
Mesin Ketik Januari 2011 Rp. 500.000 Rp. 250.000 Rp. 250.000 Garis Lurus Rp. 125.000
Meja Kursi Januari 2011 Rp. 2.000.000 Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 Garis Lurus Rp. 500.000
Lemari Januari 2011 Rp. 1.500.000 Rp. 750.000 Rp. 750.000 Garis Lurus Rp. 375.000
Motor Januari 2011 Rp. 14.000.000 Rp. 7.000.000 Rp. 7.000.000 Garis Lurus Rp. 3.500.000
Mobil Januari 2011 Rp. 80.000.000 Rp. 20.000.000 Rp. 60.000.000 Garis Lurus Rp. 10.000.000
Jumlah Rp. 101.500.000 Rp. 30.750.000 Rp. 70.750.000 Rp. 15.375.000

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

BAGAIMANA PENGISIAN CONTOH


KASUS 2 KE SPT TAHUNAN PPh
WP BADAN (FORMULIR 1771)?

Direktorat Peraturan Perpajakan II 173


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Pengisian SPT Contoh Kasus 2


Dalam Kasus 2 Formulir yang harus diisi oleh PT Murai Batu sebagai berikut :
A. Lampiran Khusus :
1) Lampiran Khusus 1A
2) Lampiran Khusus 8A-2
B. Form Induk dan Lampiran :
1) Form 1771 VI
2) Form 1771 V Pada contoh kasus
2 tidak perlu
3) Form 1771 IV mengisi Lampiran
4) Form 1771 III Khusus 2 A karena
5) Form 1771 II PT Murai Batu
tidak mengalami
6) Form 1771 I kerugian fiskal
7) Form 1771 Induk

LAMPIRAN KHUSUS :
LAMPIRAN KHUSUS 1A
LAMPIRAN KHUSUS 8A-2

174 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

1. Pengisian Form Lampiran Khusus 1A:

Mobil dimasukkan ke bagian Kelompok 2

Komputer, Mesin Ketik, Meja


Kursi, Lemari dan Motor
dimasukkan ke Kelompok 1

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

2. Pengisian Form Lampiran Khusus 8A-2 (1/2):

Transkrip Elemen dari


Neraca diisi berdasarkan
Neraca Wajib Pajak

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 175


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

2. Pengisian Form Lampiran Khusus 8A-2 (2/2):

Transkrip Elemen dari


Laporan Laba/Rugi diisi
berdasarkan Laporan
Laba/Rugi Wajib Pajak
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

FORM INDUK DAN LAMPIRAN :


FORM 1771 VI
FORM 1771 V
FORM 1771 IV
FORM 1771 III
FORM 1771 II
FORM 1771 I
FORM 1771 INDUK

176 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Rekonsiliasi Fiskal dan Penghitungan PPh Terutang:

1. Pengisian Form 1771 VI :

Diisi dengan Daftar Penyertaan


Modal pada Perusahaan Afiliasi
(dalam contoh kasus ini tidak
ada)

Diisi dengan Daftar Utang


dari Pemegang Saham
dan/atau Perusahaan Afiliasi
(dalam contoh kasus ini tidak
ada)

Diisi dengan Daftar Piutang


dari Pemegang Saham
dan/atau Perusahaan Afiliasi
(dalam contoh kasus ini tidak
ada)

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 177


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

2. Pengisian Form 1771 V :

Diisi dengan Daftar


Pemilik Modal di PT Murai Batu
meliputi rincian Nama, Alamat,
NPWP dan Jumlah Modal
Disetor serta persentase
kepemilikan modal.
Berdasarkan neraca jumlah
modal PT Murai Batu adalah
500.000.000

Diisi dengan Daftar Susunan


Pengurus dan Komisaris
meliputi Nama, Alamat,
NPWP dan jabatan

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

3. Pengisian Form 1771 IV :

Diisi dengan PPh Final atas Bunga Tabungan


dengan tarif 20 %

Diisi dengan Perhitungan Penghasilan


Usaha Dengan Peredaran Bruto Tertentu
sesuai dengan PP 46 dengan tarif 1 %.

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

178 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

4. Pengisian Form 1771 III :

Diisi dengan Kredit Pajak Dalam Negeri dalam kasus ini


PPh Pasal 22 terkait Pengadaan Barang :

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

5. Pengisian Form 1771 II :

Diisi
berdasarkan
data rincian
HPP dan Biaya
di Laporan
Laba/Rugi PT
Murai Batu.

Dipindahkan ke Form 1771-I


Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 179


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

6. Pengisian Form 1771 I :

Diisi dengan peredaran usaha dari laporan Laba/Rugi

Diisi dari Form 1771-II

Diisi dengan pendapatan dari luar usaha (i.e : dari Tabungan)


pada Laporan Laba/Rugi

Diisi dengan jumlah seluruh Penghasilan Neto atas Penghasilan


yang dikenai PPh Final, yaitu sebagai berikut :
1. Penghasilan Neto Bunga Tabungan : 2.000.000 400.000 =
1.600.000.
2. Penghasilan Neto dari Usaha Januari Juni :
405.000.000 350.562.500 = 54.437.500
Total = 56.037.500

Dipindahkan ke Formulir 1771 Huruf A Angka 1.


Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

7. Pengisian Form 1771 Induk (1/2) :


Diisi dengan tahun pajak

Diisi dengan identitas Wajib Pajak (PT Murai Batu)

Diisi dengan status Pembukuan/Laporan Keuangan (dalam hal


ini PT Murai Batu tidak diaudit)

Diisi dari Form 1771-II

Berbeda dengan Contoh 1, pada contoh kasus 2, ini


dikosongkan karena tidak ada kerugian fiskal tahun
sebelumnya

Dihitung dengan menggunakan Tarif PPh Pasal 31E ayat (1)

Diisi dengan kredit pajak dalam Negeri (dari Form 1771-III)

Diisi dengan PPh Pasal 25


yang telah dibayar

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

180 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

7. Pengisian Form 1771 Induk (2/2) :

Diisi dengan perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun


Berjalan (DIKOSONGKAN KARENA MEKANISME PP 46)

Diisi dengan PPh Final dan Penghasilan Tidak termasuk Objek


Pajak (dari Formulir 1771-IV)

Diisi dengan chek list lampiran yang


dilaporkan

Diisi dengan Tanda Tangan dan Nama


Pengurus/Kuasa

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

Pengisian SPT Tahunan PPh WP


Orang Pribadi terkait Aturan PP
Nomor 46 Tahun 2013

Direktorat Peraturan Perpajakan II 181


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Deskripsi Studi Kasus

A. Informasi Umum
Dokter Ahmad Rais seorang Wajib Pajak yang berprofesi sebagai
dokter anak dengan status belum menikah bertempat tinggal di
Surabaya dengan NPWP 05.321.616.6-615.000. Penghasilan
yang diterima selama tahun 2013 diperoleh dari beberapa
sumber yaitu penghasilan jasa dokter dari praktek di Rumah
Sakit Medika Utama, penghasilan dari praktek dokter di klinik
pribadinya yang berlokasi di Surabaya, dan penghasilan dari
usaha apotek yang dimilikinya. Ahmad Rais telah mengajukan
ijin menyampaikan surat pemberitahuan penggunaan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto untuk perhitungan PPh Tahun
Pajak 2013 ke KPP Pratama Surabaya Rungkut.

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.

Deskripsi Studi Kasus


B. Data-Data
Selama tahun pajak 2013 penghasilan yang diterima adalah
sebagai berikut:
No. Bulan Penghasilan
Penghasilan dari Jumlah
jasa dokter di
praktek dokter di Peredaran
Rumah Sakit
klinik pribadinya Bruto Apotek
Medika
1 Januari 23.000.000 15.000.000 20.000.000
2 Februari 24.000.000 12.000.000 22.000.000
3 Maret 20.000.000 11.000.000 23.000.000
4 April 21.000.000 13.000.000 20.000.000
5 Mei 25.000.000 15.500.000 21.000.000
6 Juni 20.000.000 14.000.000 25.000.000
7 Juli 25.000.000 12.500.000 22.000.000
8 Agustus 24.000.000 12.750.000 20.000.000
9 September 22.500.000 13.750.000 23.000.000
10 Oktober 23.500.000 14.250.000 26.000.000
11 November 22.000.000 11.150.000 25.250.000
12 Desember 25.000.000 14.000.000 24.000.000
Total 275.000.000 158.900.000 271.250.000

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.

182 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Deskripsi Studi Kasus


B. Data-Data
Data pembayaran PPh yang dibayar sendiri dan PPh yang
dipotong/dipungut oleh pihak lain sebagai berikut:
No. Bulan PPh Pasal 21 atas PPh Pasal 25
Penghasilan
jasa dokter di Rumah Sakit
Medika
1 Januari 575.000 1.000.000
2 Februari 600.000 1.000.000
3 Maret 500.000 1.000.000
4 April 525.000 1.500.000
5 Mei 1.275.000 1.500.000
6 Juni 1.500.000 1.500.000
7 Juli 1.875.000 1.500.000
8 Agustus 1.800.000 1.500.000
9 September 1.687.500 1.500.000
10 Oktober 1.762.500 1.500.000
11 November 1.650.000 1.500.000
12 Desember 1.875.000 1.500.000
Total 15.625.000 16.500.000

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.

Deskripsi Studi Kasus

B. Data-Data
Peredaran bruto atas usaha apotek selama tahun 2012 adalah
sebesar Rp1.450.000.000,00. Sehingga sejak masa Juli 2013
atas usaha apotek tersebut termasuk dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final menurut Peraturan Pemerintah nomor 46
Tahun 2013. Pajak Penghasilan yang dibayar adalah sebagai
berikut:
No. Bulan PPh Pasal 4 ayat (2)
yang bersifat final
1 Juli 220.000
2 Agustus 200.000
3 September 230.000
4 Oktober 260.000
5 November 252.500
6 Desember 240.000
Total 1.402.500

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 183


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Deskripsi Studi Kasus

B. Data-Data
Data-data lain selama tahun 2013 sebagai berikut:
membayar zakat melalui Badan Amil Zakat sebesar
Rp16.500.000,00;
Daftar harta dan kewajiban
Daftar Harta Pada akhir Tahun 2013
No Uraian Aset Nilai Perolehan (Rp) Tahun Perolehan
1 Rumah di Jalan Rungkut
Madya 10 550.000.000 2005
2 Tanah di Siwalankerto no. 300.000.000 2007
103 A
3 Mobil 225.000.000 2010
4 Tabungan di Bank Harapan 40.000.000 2009
Cabang Surabaya
5 Deposito di Bank Mulia 175.000.000 2012
Cabang Rungkut

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.

Pembahasan Studi Kasus

Menghitung PPh yang terutang untuk tahun pajak 2013


No. Uraian Jumlah (Rp)
A. Penghitungan penghasilan neto
1 Penghasilan neto dari pekerjaan bebas:
a. Prakt ik di Rumah S akit Medika
45% x Rp275.000.000 123.750.000
b. Prakt ik di klinik pribadi
45% x Rp158.900.000 71.505.000
Penghasilan net o dari usaha dan pekerjaan bebas 195.255.000
2 Penghasilan neto dari usaha
Penghasilan usaha apot ik bulan Januari sampai dengan Juni 2013
(30% x Rp131.000.000,00) 39.300.000
Jumlah Penghasilan Net o 234.555.000
B. Zakat 16.500.000
Jumlah Penghasilan net o set elah zakat 218.055.000
C. PT KP (T K):
W ajib Pajak sendiri 24.300.000
Jumlah PTKP 24.300.000
D. Penghasilan Kena Pajak 193.755.000
E. PPh T erutang
a. 5% x 50.000.000 2.500.000
b. 15% x 143.755.000 21.563.250
PPh yang terutang 24.063.250

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.

184 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Pembahasan Studi Kasus

Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2014:

Penghasilan Neto seluruhnya Rp 234.555. 000,00


Penghasilan Neto Usaha Apotik Rp 39.300.000,00 (-)
Jumlah Pghsln Neto setelah pengurangan usaha apotek Rp 195.255.000,00
Zakat atas Penghasilan Rp 16.500.000,00 (-)
Jumlah Penghasilan Neto setelah pengurangan zakat Rp 178.755.000,00
PTKP TK/0 Rp 24.300.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 154.455.000,00
PPh Terutang:
5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp104.455.000,00 Rp 15.668.250,00
-------------------------(+)
Rp 18.168.250,00
Kredit Pajak PPh Ps. 21 Tahun Pajak 2013 Rp 15.625.000,00
-------------------------- (-)
Rp. 2.543.250,00
Angsuran bulanan PPh Ps.25 Tahun Pajak 2013:
1/12 x Rp2.543.250,00 : Rp 211.937,00
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar setiap masa pajak pada tahun
2014 setelah bulan disampaikannya SPT Tahunan adalah sebesar Rp 211.937,00.

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

BAGAIMANA PENGISIAN CONTOH


KASUS 3 KE SPT TAHUNAN PPh
WP OP (FORMULIR 1770)?

Direktorat Peraturan Perpajakan II 185


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

STEP 1
Isi Tahun Pajak , Metode Pembukuan, dan Identitas

Metode
Pencatatan
Tahun Pajak

1770 2 0 1 3 Periode
FORMULIR

SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

TAHUN PAJAK
Pembukuan
MEMPUNYAI PENGHASILAN :
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO 0 1 1 3 s.d 1 2 1 3
KEMENTERIAN KEUANGAN RI YANGSATU
DARI ATAU LEBIH PEMBERI KERJA BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DARI PENGHASILAN
DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL x NORMA PEMBUKUAN
LAIN
SPT PEMBETULAN KE - .

PERHATIAN
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0
IDENTITAS

NAMA WAJIB PAJAK : A H M A D R A I S


Identitas
JENIS USAHA/PEKERJAAN BEBAS : D O K T E R KLU : 8 6 2 0 2
Wajib Pajak
NO. TELEPON/FAKSIMILI : 0 3 1 3 0 2 0 2 7 4 / -

PERUBAHAN DATA : LAMPIRAN TERSENDIRI X TIDAK ADA

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban
bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan perpajakan yang berlaku.

STEP 2
Masukkan Harta, Kewajiban, dan Susunan Keluarga
FORMULIR

1770 - IV
LAMPIRAN - IV
2 0 1 3
TAHUN PAJAK

SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

HARTA PADA AKHIR TAHUN 0 1 1 3 s.d 1 2 1 3


KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN BL TH BL TH

DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA x NORMA PEMBUKUAN

PERHATIAN
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A H M A D R A I S

BAGIAN A : HARTA PADA AKHIR TAHUN

HARGA PEROLEHAN
NO. JENIS HARTA TAHUN PEROLEHAN KETERANGAN
(Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1 Rumah di Jalan Rungkut Madya 10 2005 550.000.000 NOP: 62.32.060.033.009.0245.0

2 Tanah di Siwalankerto no. 103 A 2007 300.000.000 NOP: 65.58.070.032.007.0123.0

a 3 Mobil
c 2010
b 225.000.000 BPKB: L. 3842752.7
4 Tabungan di Bank Harapan Cabang 2009 40.000.000
-
Surabaya
5 Deposito di Bank Mulia Cabang Rungkut 2012 175.000.000 -

6
7

9
10
dst
1.290.000.000
JUMLAH BAGIAN A JBA

No Uraian Aset Harga Perolehan Tahun Perolehan


1 Rumah di Jalan Rungkut Madya 10 550.000.000 2005
2 Tanah di Siwalankerto No. 103 A 300.000.000 2007
a 3 Mobil b 225.000.000 c 2010
4 Tabungan di Bank Harapan Cabang Surabaya 40.000.000 2009
5 Deposito di Bank Mulia Cabang Rungkut 175.000.000 2012
Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban bagi Wajib Pajak
untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

186 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

STEP 3
Masukkan Peredaran Bruto Dari Usaha Dagang/Jasa
dan PPh Pasal 4 (2) Final Yang Terhutang
LAMPIRAN - III
2 0 1 3
1770 - III
FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh W AJIB PAJAK ORANG PRIBADI

PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT


FINAL
0 1 1 3 s. d 1 2 1 3
KEM ENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHASILAN ISTERI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH x NORM A PEM BUKUAN

PER H ATI AN :
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0

NAMA WAJIB PAJAK : A H M A D R A I S

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL


N Bulan PPh Pasal 4
DASAR PENGENAAN PPh TERUTANG
NO
(1)
JENIS PENGHASILAN
(2)
PAJAK/PENGHASILAN BRUTO
(3)
(Rupiah)
(4) o Ayat (2) Final
BUNGA DEPOSITO, TA BUNGA N, DISKONTO SBI, SURA T BERHA RGA
1. - -

Juli 220.000
NEGA RA

2. BUNGA /DISKONTO OBLIGA SI - - 1


3. PENJUA LA N SA HA M DI BURSA EFEK - -

4. HA DIA H UNDIA N - - 2 Agustus 200.000


PESA NGON, TUNJA NGA N HA RI TUA DA N TEBUSA N
5.

September 230.000
- -
PENSIUN Y A NG DIBA Y A R SEKA LIGUS

6. HONORA RIUM A TA S BEBA N A PBN / A PBD - -


3
Oktober 260.000
7. PENGA LIHA N HA K A TA S TA NA H DA N/A TA U BA NGUNA N - -

8.
BA NGUNA N Y A NG DITERIMA DA LA M RA NGKA BA NGUNA N
GUNA SERA H
- -
4
November 252.500
9. SEWA A TA S TA NA H DA N/A TA U BA NGUNA N - -

10. USA HA JA SA KONSTRUKSI - -


5
11. PENY A LUR/DEA LER/A GEN PRODUK BBM

BUNGA SIMPA NA N Y A NG DIBA Y A RKA N OLEH KOPERA SI


- -

6 Desember 240.000
12. - -
KEPA DA A NGGOTA KOPERA SI

13. PENGHA SILA N DA RI TRA NSA KSI DERIV A TIF - -

Total 1.402.500
14. DIV IDEN - -

15. PENGHA SILA N ISTRI DA RI SA TU PEMBERI KERJA - -

PENGHA SILA N LA IN Y A NG DIKENA KA N PA JA K FINA L


16. 140.250.000 1.402.500
DA N/A TA U BERSIFA T FINA L

17. JUMLA H (1 s.d. 16) 1.402.500

BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


PENGHASILAN BRUTO
NO SUMBER/JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)
-
1. BANTUAN / SUMBANGAN / HIBAH

-
2. WARISAN

-
Peringatan:
Simulasi kasus ini hanya berlaku
BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM, PERSEKUTUAN,
3.
PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

terbatas untuk contoh kasus yang


-
4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

telah disebutkan dan tidak


-
5. BEASISWA

menggugurkan kewajiban bagi


-
6. PENGHASILAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya


-
JUMLAH BAGIAN B JBB

BAGIAN C : PENGHASILAN ISTERI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH


secara benar, lengkap, jelas, dan
(Rupiah) ditandatangani sebagaimana telah
ditentukan dalam peraturan
PENGHASILAN NETO ISTERI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH -

perpajakan yang berlaku.

STEP 4
Masukkan Daftar Bukti Potong PPh Pasal 21/22/23/24/26/DTP

LAMPIRAN - II
2 0 1 3
FORMULIR

TAHUN PAJAK

1770 - II SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI


0 1 1 3 1 2 1 3
No Bulan PPh Pasal 21
s.d
DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN,
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
PPh YANG DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN BL TH BL TH
PPh DITANGGUNG PEMERINTAH
x
atas Penghasilan
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NORMA PEMBUKUAN

PERHATIAN :
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0 di RS Medika
NAMA WAJIB PAJAK : A H M A D R A I S
1 Januari
BAGIAN A : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN PPh
DITANGGUNG PEMERINTAH
575.000
NAMA NPWP BUKTI JUMLAH PPh YANG DIPOTONG / 2 Februari
600.000
JENIS PAJAK : PPh PASAL
NO PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DIPUNGUT
21/ 22/23/24/26/DTP *)
PAJAK PAJAK (Rupiah)
NOMOR TANGGAL

Maret
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

31 JANUARI 3
1 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 10/01//MS/2013
2013
PPH PASAL 21 575.000
500.000
2 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 20/02//MS/2013
27 FEBRUARI
2013
PPH PASAL 21 600.000
4 April
525.000
3 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 04/03//MS/2013 28 MARET 2013 PPH PASAL 21 500.000

5 Mei
4 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 13/04//MS/2013 30 APRIL 2013 PPH PASAL 21 525.000 1.275.000
6 Juni
a
RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 11/05//MS/2013 28 MEI 2013 PPH PASAL 21 1.275.000
1.500.000
5

6 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 15/06//MS/2013 28 JUNI 2013 PPH PASAL 21 1.500.000 a 7 Juli


7 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 13/07//MS/2013 29 JULI 2013 PPH PASAL 21 1.875.000
1.875.000
8 Agustus
1.800.000
29 AGUSTUS
8 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 21/08//MS/2013 PPH PASAL 21 1.800.000
2013

9 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 05/09//MS/2013


30 SEPTEMBER
2013
PPH PASAL 21 1.687.500
9 September
1.687.500
30 OKTOBER

Oktober
10 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 20/10//MS/2013 PPH PASAL 21 1.762.500

10
2013

11 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 07/11//MS/2013


28 NOVEMBER
2013
PPH PASAL 21 1.650.000 1.762.500
30 DESEMBER 11 November
1.650.000
12 RS MEDIKA 02.331.551.5-615.000 12/12//MS/2013 PPH PASAL 21 1.875.000
2013

13
12 Desember
1.875.000
14

15
Total 15.625.000
dst

JUMLAH BAGIAN A JBA 15.625.000

Pindahkan Jumlah Bagian A Kolom 7 ke Formulir 1770 Angka 15

Direktorat Peraturan Perpajakan II 187


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

STEP 5
Masukkan Penghasilan dari Usaha/Pekerjaan Bebas
/Sehubungan Pekerjaan/Penghasilan Lainnya

HALAMAN 2 LAMPIRAN - I
2 0 1 3
FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I
PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI YANG MENGGUNAKAN
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO 0 1 1 3 s.d 1 2 1 3
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHASILAN DALAM NEGERI LAINNYA x NORMA PEMBUKUAN

Jumlah peredaran bruto


PERHATIAN :
SEBELUM MENGISI BACALAH BUKU PETUNJUK PENGISIAN
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

dari usaha apotek sejak bulan


NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0 Januari 2013 s/d Juni 2013
NAMA WAJIB PAJAK : A H M A D R A I S

BAGIAN B: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS Jumlah peredaran bruto
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO )
dari penghasilan jasa dokter
NO. JENIS USAHA
PEREDARAN USAHA NORMA PENGHASILAN NETO di RS Medika sejak bulan
(Rupiah) (%) (Rupiah)
Januari 2013 s/d Desember 2013

+
(1) (2) (3) (4) (5)

1 DAGANG 131.000.000,00 30% 39.300.000

Jumlah peredaran bruto


2 INDUSTRI
dari penghasilan praktek dokter
di klinik pribadinya sejak bulan
3 JASA
Januari 2013 s/d Desember 2013
4 PEKERJAAN BEBAS 433.900.000,00 45% 195.255.000

5 USAHA LAINNYA

JUMLAH BAGIAN B JBB 234.555.000 Pindahkan Angka Ini ke STEP-6


Pindahkan Jumlah Bagian B Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 1

STEP 6
Isi Penghasilan Neto Yang Diambil Dari Lampiran I,
Halaman 2, Bagian B, C, dan D

Pindahan Dari Lampiran I,


Halaman 2, Bagian C,
Kolom Penghasilan Neto
(Lihat STEP-5)

*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3) RUPIAH *) Pindahan Dari Lampiran I,
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS Halaman 2, Bagian B,
1 234.555.000
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5] Kolom Penghasilan Neto
2. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN (Lihat STEP-5)
A. PENGHASILAN NETO

2 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
]
3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
4 -
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat buku petunjuk]
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 234.555.000
..
6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6 16.500.000

7. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG


7 218.055.000
SIFATNYA WAJIB ( 5- 6)

Peringatan: Pindahan Dari Lampiran I,


Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh Halaman 2, Bagian D,
kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan
kewajiban bagi Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya Kolom Jumlah Penghasilan
secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani Neto (Lihat STEP-5)
sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan
perpajakan yang berlaku.

188 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

STEP 7
Isi Penghasilan Kena Pajak (Bagian B, Induk)
dan PPh Terhutang (Bagian C, Induk)

*) Pengisian kolom-kolom y ang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (contoh penulisan lihat buku petunjuk hal. 3) RUPIAH *)
1. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
1 234.555.000
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
2. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN
A. PENGHASILAN NETO

2 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
]
3. PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3 -
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4. PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
4 -
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat buku petunjuk]
5. JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)
5 234.555.000
..
6. ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6 16.500.000

7. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG


7 218.055.000
SIFATNYA WAJIB ( 5- 6)

8. KOMPENSASI KERUGIAN
8 -
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK

9. JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH KOMPENSASI KERUGIAN (7 - 8)


9 218.055.000
Lakukan
10. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
TK/ 0 K/ K/I/ PH/ HB/ 10 24.300.000 pengisian dengan
11. PENGHASILAN KENA PAJAK (9 -10)
193.755.000
mengikuti hasil
11
perhitungan atau
12. PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh X ANGKA 11)
12 24.063.250
pengisian dari
TERUTANG

baris diatasnya.
C. PPh

13. PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN


13 -

14. JUMLAH PPh TERUTANG ( 12 + 13)


14 24.063.250

Peringatan: Simulasi kasus ini hanya berlaku terbatas untuk contoh kasus yang telah disebutkan dan tidak menggugurkan kewajiban bagi
Wajib Pajak untuk mengisi SPT-nya secara benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan
perpajakan yang berlaku.

STEP 8
Isi Kredit Pajak(Bagian D, Induk)
dan PPh Kurang/Lebih Bayar (Bagian E, Induk)

12. PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh X ANGKA 11)


12 24.063.250
TERUTANG
C. PPh

13. PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN


13 -

14. JUMLAH PPh TERUTANG ( 12 + 13)


14 24.063.250

15. PPh YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR
15 15.625.000 Pindahan dari formulir
NEGERI DAN PPh DITANGGUNG PEMERINTAH [Diisi dari formulir 1770 -II Jumlah Bagian A Kolom 7] 1770-II, Bagian Kolom 7
16. x a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI
(14-15) 16 8.438.250
D. KREDIT PAJAK

b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT


17. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 BULANAN
17a 16.500.000
Lakukan perhitungan
b. STP PPh PASAL 25 (HANYA POKOK PAJAK) berupa pengurangan
17b -
atau penjumlahan
c. FISKAL LUAR NEGERI seperti biasa. Untuk
17c
- PPh Pasal 25, lihat
18. JUMLAH KREDIT PAJAK (17a+17b+17c) dalam deskripsi
18 16.500.000
studi kasus
E. PPh K U R A N G/ L EB I H

19. a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) TGL


(16-18) LUNAS 19 (8.061.750)
b. X PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A) tgl bln thn
B A YA R

20. PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon DIRESTITUSIKAN DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 C (WP
a. X c. PATUH) Asumsikan WP mengajukan
DIPERHITUNGKAN DENGAN DIKEMBALIKAN DENGAN SKPPKP PASAL 17 D (WP restitusi atas SPT LB-nya
b. UTANG PAJAK
d. TERTENTU

Direktorat Peraturan Perpajakan II 189


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

STEP 9
Isi Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 (Bagian F, Induk),
Lampiran (Bagian G, Induk), dan Bagian Identitas
PA SA L 25 T A H U N PA JA K

21. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA DIHITUNG SEBESAR 21


F . A N GSU R A N PPh

211.937 Perhitungan PPh Pasal 25


B ER I K U T N YA

DIHITUNG BERDASARKAN :
menggunakan lampiran
a. 1/12 X JUMLAH PADA ANGKA 16 c. X PERHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI tersendiri

b. PERHITUNGAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

SELAIN FORMULIR 1770 - I SAMPAI DENGAN 1770 - IV (BAIK YANG DIISI MAUPUN YANG TIDAK DIISI) HARUS DILAMPIRKAN PULA :

a. SURAT KUASA KHUSUS (BILA DIKUASAKAN) g. x PERHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
G. LAMPIRAN

b. SSP LEMBAR KE-3 PPh PASAL 29 h. FOTOKOPI TANDA BUKTI PEMBAYARAN FISKAL LUAR NEGERI (TBPFLN)

NERACA DAN LAP. LABA RUGI / REKAPITULASI BULANAN PEREDARAN BRUTO DAN/ATAU PENGHASILAN PERHITUNGAN PPh TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK KAWIN PISAH HARTA Check out kotak yang
c. x LAIN DAN BIAYA i. DAN/ATAU MEMPUNYAI NPWP SENDIRI
tersedia sesuai dengan
DAFTAR JUMLAH PENGHASILAN DAN PEMBAYARAN PPh PASAL 25 (KHUSUS
d. PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL j. UNTUK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU)
dokumen yang dilampirkan
BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN OLEH PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN YANG
e. x DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI k. ......................................................................................................................................

f. FOTOKOPI FORMULIR 1721-A1 DAN/ATAU 1721-A2 (4LEMBAR) l. ......................................................................................................................................

PERNYATAAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya TANDA TANGAN
menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

x WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL: 2 0 - 0 3 - 2 0 1 4


Isi dengan identitas Wajib
NAMA LENGKAP : A H M A D R A I S Pajak dan tanda tangani

NPWP : 0 5 3 2 1 6 1 6 6 6 1 5 0 0 0

Isilah SPT Tahunan


Anda dengan

BENAR,
LENGKAP, dan
JELAS

190 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Untuk keperluan penyuluhan, bahan presentasi ini


(slide) dapat dimodifikasi atau dikondisikan sesuai
dengan keperluan seperti dengan menambah
atau mengurangi slide yang ada.
Jika diperlukan, softcopy slide dapat dibagikan
kepada wajib pajak hanya dalam bentuk .pdf
(untuk menjaga isi dari materi dan menghindari
penyalahgunaan)

Direktorat Peraturan Perpajakan II 191


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

LAMPIRAN XII
QUESTIONS AND ANSWERS
Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Q1 Mengapa diterbitkan PP 46 Tahun 2013 ini?

Penerbitan PP 46 Tahun 2013 dimaksudkan untuk:


1. Memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemungutan pajak.
2. Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi.
3. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi.
4. Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara.

Apa saja kriteria yang digunakan untuk menentukan Wajib Pajak termasuk dalam
Q2
kriteria WP PP 46 Tahun 2013?

Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013 adalah Wajib Pajak
orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap, yang menerima
penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Wajib Pajak orang pribadi yang dikecualikan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun
tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak badan yang dikecualikan adalah:
1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).

Direktorat Peraturan Perpajakan II 195


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q3 Bagaimana tata cara penetapan/penentuan peredaran bruto Wajib Pajak dalam PP ini?

Secara umum, penetapan/penentuan Wajib Pajak PP 46 Tahun 2013 adalah berdasarkan jumlah
peredaran bruto setahun yang dicatat atau dibukukan oleh Wajib Pajak. Apabila peredaran bruto
dalam suatu Tahun Pajak tersebut tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah), maka Wajib Pajak dimaksud dikenai ketentuan PPh menurut PP ini pada Tahun
Pajak berikutnya.
Namun dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi
a. Apabila terdaftar di Tahun Pajak 2013 sebelum 1 Juli 2013, maka jumlah peredaran bruto
dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan Juni 2013 terlebih dahulu
disetahunkan. Dalam hal setelah disetahunkan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka pada Tahun Pajak
2013 sejak 1 Juli 2013 Wajib Pajak tersebut dikenakan PPh final berdasarkan PP 46
Tahun 2013.
b. Apabila terdaftar setelah 1 Juli 2013, maka peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha disetahunkan. Dalam hal setelah disetahunkan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah), maka peredaran bruto Wajib Pajak tersebut dikenakan PPh final berdasarkan PP
46 Tahun 2013 pada Tahun Pajak yang besangkutan.
2. Wajib Pajak badan
Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha 1 (satu)
Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. Pengenaan Pajak Penghasilan
yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak yang bersangkutan ditentukan berdasarkan
peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

Q4 Mengapa PP ini tidak berlaku bagi usaha sektor informal?

Usaha sektor informal yaitu unit usaha kecil yang melakukan kegiatan produksi dan/atau distribusi
barang dan jasa untuk menciptakan lapangan kerja dan penghasilan bagi mereka yang terlibat,
yang bekerja dengan keterbatasan baik modal, fisik, tenaga, maupun keahlian. Contoh usaha
sektor informal yaitu pedagang kaki lima (PKL).
Pada umumnya para PKL memiliki penghasilan yang masih di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Untuk itu, PP ini mengecualikan PKL yang didefinisikan oleh PP ini sebagai Wajib Pajak
orang pribadi yang dalam usaha dagang/jasanya:
1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun
tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan
bagi tempat usaha atau berjualan.

196 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Q5 Apa pengertian dari usaha? Apa maksud dari dicantumkannya petikan Pasal 4 ayat (1)
UU PPh di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013?
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013 adalah Berdasarkan arah aliran
tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dicantumkannya Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013 sebenarnya adalah sebagai
jembatan untuk menjelaskan mengenai usaha. Sehingga bisa terlihat bahwa yang menjadi
sasaran PP 46 Tahun 2013 ini adalah Poin b di atas, yaitu penghasilan dari usaha.

Dengan demikian penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013
adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas
sebagaimana dimaksud dalam PP 46 tahun 2013;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
3) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Contoh:
Suatu perusahaan bergerak dalam bidang pengolahan industri gula. Selama pabrik belum
berproduksi, perusahaan tersebut melakukan penjualan tebu dari kebun miliknya.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, maka
penghasilan dari penjualan tebu yang dilakukan perusahaan tersebut merupakan penghasilan
dari usaha, karena tidak dapat dikelompokkan dalam kelompok aliran penghasilan huruf a, c,
atau d di atas.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 197


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q6 a. Apakah ketentuan beroperasi secara komersial hanya berlaku untuk Wajib Pajak
Badan?
b. Bagaimana penentuan saat beroperasi komersial bagi Wajib Pajak badan?
c. Bagaimana penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru
beroperasi secara komersial?

a. Ketentuan beroperasi secara komersial hanya diperuntukkan bagi Wajib Pajak badan. Hal
ini untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya kerugian di awal usaha yang tidak dapat
dikompensasikan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak.

b. Penentuan saat beroperasi komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013 bagi
Wajib Pajak badan yang bergerak di sektor:
1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima
atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang
dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
c. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.

Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
beroperasi secara komersial.

Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial tersebut melewati
Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir
Tahun Pajak berikutnya setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.

Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak
badan yang baru beroperasi komersial tersebut, untuk Tahun Pajak selanjutnya, ditentukan
berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

198 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Contoh:
1) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial,
maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh untuk
Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi
komersial 1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan sampai dengan 31
Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
2) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh
untuk Tahun Pajak 2013 (jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi komersial 1
Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan
pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
3) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum UU PPh
untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi
komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai dengan
31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak 2015
memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
4) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi
secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara
komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan Tahun Pajak 2014
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan
31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak
Penghasilan pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun
Pajak 2014

Apakah jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas bisa dilakukan oleh Badan atau hanya
Q7 berlaku bagi Orang Pribadi sesuai definisi Pasal 1 Angka 24 UU KUP?

Pasal 1 Angka 24 UU KUP:

Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh
suatu hubungan kerja.

Dengan demikian, pekerjaan bebas terbatas hanya untuk pekerjaan yang dilakukan oleh orang
pribadi.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 199


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q8 Apa yang dimaksud dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas? Apa maksud dari
frase kegiatan sejenis lainnya?

Jenis jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013.

Frase kegiatan sejenis lainnya hanya mengacu ke Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf k PP 46
Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) huruf k PMK-107/PMK.011/2013. Ini untuk mengantisipasi jika
nantinya terdapat kegiatan yang sejenis dengan MLM dan direct selling.

Bagaimana perlakuan PPh bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha jasa konsultasi dengan
Q9 bentuk usaha Firma?

Berdasarkan ketentuan dalam PP 46 Tahun 2013, Wajib Pajak yang menerima penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan bebas tidak termasuk dalam kriteria Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu. Selanjutnya, UU KUP mendefinisikan pekerjaan bebas sebagai
pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk
memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

Dengan demikian, atas Wajib Pajak berbentuk badan usaha yang melakukan usaha jasa konsultan
tidak dikecualikan dari pengenaan PPh Final menurut PP 46 Tahun 2013.

Q10 Apakah peredaran bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak didasarkan pada pembukuan
atau berdasarkan penghasilan bruto yang telah diterima secara tunai?

Pasal 28 ayat (5) UU Nomor 28 Tahun 2007:


Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
Pasal 4 ayat (1) PER-4/PJ/2009:
Pencatatan peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto oleh Wajib
Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 meliputi seluruh peredaran
dan/atau penerimaan dan/atau penghasilan bruto yang telah diterima secara tunai.
Berdasarkan ketentuan tersebut, peredaran bruto disesuaikan dengan pencatatan/pembukuan
yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak. Jika Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan, maka
peredaran bruto berdasarkan pembukuan. Namun, jika Wajib Pajak menyelenggarakan
pencatatan, maka peredaran bruto dihitung berdasarkan cash basis (sesuai Pasal 4 ayat (1) PER-
4/PJ/2009).

200 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Apakah Wajib Pajak yang masuk dalam kriteria PP 46 Tahun 2013 (Wajib Pajak yang
Q11 memiliki Peredaran Bruto Tertentu atau Wajib Pajak PBT) ini tetap diwajibkan
melakukan pembukuan?

PP 46 Tahun 2013 hanya mengatur mengenai pengenaan PPh yang bersifat final bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu dari usaha, sehingga kewajiban pembukuan tetap ada
sesuai dengan ketentuan umum di Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP).

Apabila Wajib Pajak orang pribadi memperoleh penghasilan dari beberapa sumber, seperti
Q12 pekerjaan sebagai karyawan, konsultan, dan dagang, bagaimana perlakuan PPhnya?

1. PPh atas penghasilan Wajib Pajak sebagai karyawan merupakan objek PPh Pasal 21 yang
dipotong oleh pemberi kerja dan dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
orang pribadi.
2. PPh atas penghasilan Wajib Pajak sebagai konsultan diperlakukan sebagai penghasilan dari
pekerjaan bebas. Penghitungan penghasilan neto dapat menggunakan pembukuan atau norma
penghitungan penghasilan neto dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang
pribadi.
3. PPh atas penghasilan Wajib Pajak dari kegiatan dagang yang memenuhi kriteria dalam PP 46
Tahun 2013, dikenakan tarif sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulan.

Pada akhir tahun pajak, seluruh penghasilan Wajib Pajak selain yang dikenai PPh Final
dijumlahkan dalam SPT Tahunan PPh untuk menghitung PPh terutang. PPh yang telah dipotong
oleh pihak lain (PPh Pasal 21) dapat dikurangkan dari PPh terutang. PPh bersifat final wajib
dilaporkan dalam Lampiran III SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi 1770 dalam kolom
Penghasilan yang Telah Dikenakan PPh Final.

Apakah penghasilan dari usaha dagang pada soal Q12 yang dikenai PP 46 Tahun 2013
Q13 tidak digabung dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak?

Tidak. Penghasilan dari usaha dagang yang telah dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan PP 46
Tahun 2013 tidak digabung dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak untuk menghitung PPh
Terutang Wajib Pajak pada akhir Tahun Pajak.
Namun demikian, jumlah peredaran bruto dari usaha dagang tersebut selama 1 (satu) Tahun Pajak,
dan jumlah PPh final terutangnya wajib dilaporkan dalam Lampiran III SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak orang pribadi 1770 dalam kolom Penghasilan yang Telah Dikenakan PPh Final.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 201


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q14 Bagaimana ketentuan tentang pengenaan norma penghitungan bagi Wajib Pajak orang pribadi?

1. Batasan Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto adalah Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun. Namun
demikian, Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013 dikenai PPh
bersifat final dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto setiap bulan.
2. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dan tidak
memenuhi kriteria PP ini dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, sebagai
contoh antara lain Dokter, Pengacara, Akuntan, Notaris.

Bagaimana dengan pelaksanaan pemberian fasilitas PPh sebagaimana diatur dalam UU PPh
Q15 Pasal 31A dan Pasal 31E serta tax holiday setelah berlakunya PP ini?

1. Terkait dengan ketentuan Pasal 31A dan Tax Holiday, sepanjang Wajib Pajak badan telah
memperoleh Surat Keputusan untuk mendapatkan fasilitas perpajakan dimaksud, maka tidak
dikenakan ketentuan sesuai dengan PP ini.
2. Terkait dengan ketentuan Pasal 31E, sepanjang Wajib Pajak badan tidak memenuhi kriteria PP
46 Tahun 2013 dan mempunyai peredaran bruto tidak lebih dari Rp50.000.000.000,00
(limapuluh miliar rupiah), maka penghitungan pajaknya tetap dapat menggunakan ketentuan
Pasal 31E.

Apabila Wajib Pajak Peredaran Bruto Tertentu memiliki usaha di beberapa lokasi, bagaimana
Q16 cara perhitungan PPh Final Pasal 4(2)?

Dalam hal Wajib Pajak PBT memiliki usaha di beberapa lokasi usaha yang berbeda, maka
perhitungan PPh Final Pasal 4 ayat (2) didasarkan atas peredaran bruto usaha di setiap lokasi
usaha. Sebagai contoh, apabila Wajib Pajak memiliki 3 (tiga) gerai/toko, dan merupakan Wajib
Pajak PBT berdasarkan jumlah peredaran bruto usaha dari ketiga gerai/toko tersebut, maka
perhitungan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dilakukan untuk setiap setiap gerai/toko dengan
mendasarkan kepada peredaran bruto masing-masing gerai/toko.

202 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

a. Apakah yang dimaksud dengan "peredaran bruto"?


b. Jika suatu perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, namun dalam tahun yang
sama mendapatkan dividen, mendapatkan bunga pinjaman, kemudian mendapatkan
Q17 uang sewa dari menyewakan peralatannya kepada pihak lain dan ada penjualan aktiva
berupa kendaraan bermotor. Dari penghasilan tersebut, yang mana yang termasuk
"peredaran bruto" untuk menentukan apakah badan tersebut memenuhi batasan
peredaran bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah)?

a. Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 46 Tahun 2013:


Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, selain
peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
b. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP 46 Tahun 2013, arah aliran tambahan
kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
1) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
2) penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
4) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 hanya dikenakan atas
penghasilan dari usaha dan kegiatan saja.

Secara khusus, penghasilan dari usaha yang tidak termasuk dalam perhitungan peredaran bruto
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PMK.107/PMK.011/2013:
Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk
peredaran bruto dari:
a). jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b). penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
c). usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d). penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Dengan demikian, pendapatan dividen, pendapatan sewa peralatan, pendapatan bunga pinjaman
dan pendapatan dari penjualan aktiva berupa kendaraan bermotor bagi perusahaan manufaktur,
bukan merupakan penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013.

Dalam hal pendapatan sewa peralatan merupakan diversifikasi usaha dari perusahaan
manufaktur tersebut sehingga peralatan dimaksud memang ditujukan untuk disewakan, maka
atas penghasilan dari usaha sewa peralatan tersebut dikenai PPh final berdasarkan PP 46 Tahun
2013.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 203


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q18 Apakah penjualan aktiva perusahaan dapat diperhitungkan sebagai peredaran bruto?

Berdasarkan aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas.


2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
3. Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak.
4. Penghasilan lain-lain.

PP 46 Tahun 2013 mengatur pengenaan PPh atas penghasilan dari usaha. Dengan demikian,
penjualan aktiva perusahaan yang dapat digolongkon sebagai penghasilan dari modal tidak
termasuk dalam peredaran bruto dari usaha yang dikenakan PPh Final.

Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Q19 (Wajib Pajak OPPT) dengan berlakunya PP 46 Tahun 2013?

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang
dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT maupun kriteria sebagai Wajib Pajak yang
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan
bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan memenuhi kriteria
sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut
mengacu pada ketentuan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran
pajaknya mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu
sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan
usaha.

204 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Bagaimana perlakuan PPh atas Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil,
Q20 kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih
berlaku pada saat berlakunya PP 46 Tahun 2013?

Ketentuan perpajakan yang diatur dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya maupun perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak
dimaksud (sanctity of contract). Dengan demikian, perlakuan PPh atas Wajib Pajak yang terikat
dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya ataupun perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan mengacu kepada ketentuan perpajakan yang diatur dalam kontrak/perjanjian
dimaksud meskipun pada saat mulai diberlakukannya PP 46 Tahun 2013 Wajib Pajak memiliki
peredaran bruto kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam
1 (satu) tahun.

Apakah penghasilan yang diterima dari penyewaan harta selain tanah & bangunan, dapat
Q21 dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013?

Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 46 Tahun 2013:

Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, selain
peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan

Dengan demikian, atas penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak dari persewaan harta
selain tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 sepanjang
merupakan penghasilan dari kegiatan usaha Wajib Pajak.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 205


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q22 Terdapat perusahaan investasi yang penghasilannya berupa dividen. Apakah terhadap
perusahaan investasi ini dikenakan PP 46 Tahun 2013?

Sesuai Pasal 2 ayat (1) PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Berdasarkan asal aliran tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, penghasilan berupa
dividen termasuk dalam penghasilan dari modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 bagi WP
Badan dan objek pemotongan PPh sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (2c) UU PPh bagi Orang
Pribadi.

Mempertimbangkan hal tersebut, Wajib Pajak badan yang memiliki penghasilan dari dividen
tidak memenuhi kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan dalam PP 46 Tahun
2013. Namun demikian, dalam hal dividen merupakan penghasilan usaha dari Wajib Pajak
(misalnya Wajib Pajak perusahaan Reksa Dana), maka penghasilan tersebut termasuk dalam
penghasilan dari usaha yang dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013.

Sebagai pengecualian, dalam hal Wajib Pajak merupakan perusahaan modal ventura yang
melakukan usaha sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2012 tentang
Perusahaan Modal Ventura, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf k Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka atas penghasilan tersebut bukan
merupakan objek Pajak Penghasilan.

Untuk transaksi bisnis yang memakai valas namun menyelenggarakan pembukuan dengan
Q23 mata uang rupiah dengan kurs tengah BI, apakah penghitungan omsetnya mengacu ke
pembukuan atau memakai kurs pajak (KMK)?

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf l dan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh:

Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Dalam hal Wajib Pajak menerima/memperoleh penghasilan dalam mata uang asing (valas), maka
untuk penghitungan peredaran bruto atas penghasilan tersebut menggunakan kurs yang dipakai
dalam sistem pembukuan Wajib Pajak yang dianut dan dilakukan secara taat asas.

206 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Apakah Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 wajib
Q24 membuat pembukuan terpisah sesuai PP 94 Tahun 2010, termasuk untuk tahun pertama,
yaitu tahun 2013?

PP 46 Tahun 2013 hanya mengatur mengenai pengenaan PPh yang bersifat final bagi Wajib Pajak
dengan peredaran bruto tertentu. Dengan demikian, kewajiban pembukuan tetap mengikuti
ketentuan umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UU Nomor 6Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan. Lebih lanjut diatur bahwa Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Laporan Keuangan yang dilampirkan di SPT Tahunan sama seperti biasa (meliputi 1 tahun buku).
Namun, khusus untuk Wajib Pajak yang ingin melakukan kompensasi atas kerugian bulan Januari
s.d. Juni 2013 wajib melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 s.d. Juni 2013 dalam SPT
Tahunan PPh tahun 2013 sesuai Pasal 15 PMK-107/PMK.011/2013.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 207


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan bank/bank perkreditan
Q25 rakyat atau Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang jasa peminjaman uang (misalnya
koperasi simpan pinjam)?

Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat atau Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang
jasa peminjaman uang yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari
jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan
rakyat atau Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang jasa peminjaman uang adalah jumlah
seluruh penghasilan usaha jasa perbankan atau simpan pinjam antara lain:
a. pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian
kredit, tidak termasuk pembayaran pokok kredit;
b. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia (khusus bagi bank/bank perkreditan rakyat).

Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba
Q26 yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan?

Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut bukan merupakan objek pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh.
Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana tidak terpenuhi,
maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan umum UU PPh.
Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan mengacu pada
ketentuan umum UU PPh.

208 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Q27 Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak reksa dana?

Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer
investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Contoh penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana yaitu dividen. Berdasarkan kriteria,
dividen merupakan penghasilan dari modal. Namun jika dividen diperoleh dari lingkup kegiatan
usaha seperti yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana maka dividen menjadi dapat dikenai PPh
berdasarkan PP 46 Tahun 2013.

Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah
Q28 (PPAT)?

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, ditegaskan bahwa:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi sebagai PPAT mempunyai persamaan kewenangan
dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta
otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
b. Notaris merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, maka PPAT
dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
pekerjaan bebas.
Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada ketentuan umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Suatu perusahaan memiliki usaha pokok sebagai developer yang atas penghasilannya dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Selain menjalankan usaha tersebut, perusahaan juga
Q29 melakukan kegiatan di luar usaha pokok berupa pengelolaan arena olahraga dan mini
market. Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan bagi perusahaan atas penghasilan dari luar
usaha pokoknya tersebut?

Walaupun kegiatan Wajib Pajak berupa pengelolaan arena olah raga dan mini market merupakan
kegiatan di luar usaha pokok Wajib Pajak, namun karena penghasilan tersebut merupakan
penghasilan yang alirannya bersumber dari usaha Wajib Pajak yang tidak dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final yang diatur tersendiri, maka penghasilan tersebut merupakan penghasilan dari
usaha yang atas penghasilannya dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan PP 46
Tahun 2013.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 209


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q30 Bagaimana halnya dengan setoran PPh Pasal 25 yang telah dibayar sekaligus dimuka untuk
Tahun Pajak 2013?

Atas angsuran PPh Pasal 25 Masa Pajak Juli sampai Desember 2013 yang sudah disetor sebelum
diberlakukannya PP 46 Tahun 2013, dapat dipindahbukukan (Pbk) ke setoran Pajak PPh Pasal 4 ayat
(2) yang terutang.

Bagaimana dengan PTKP yang digunakan dalam menghitung PPh Tahun Pajak 2013 Wajib
Q31 Pajak Peredaran Bruto Tertentu (Wajib Pajak PBT), apakah dihitung penuh 1 (satu) tahun?

Untuk menghitung PPh Wajib Pajak PBT Tahun Pajak 2013, digunakan PTKP penuh 1 (satu) tahun
meskipun penghasilan yang diperhitungkan hanya penghasilan Wajib Pajak PBT masa pajak Januari
sampai dengan Juni 2013.

Q32 Apakah kerugian fiskal tahun-tahun pajak sebelumnya dapat dikompensasikan?

1. Dalam ketentuan PP ini, Wajib Pajak dapat mengkompensasikan kerugiannya dari tahun-
tahun pajak sebelumnya dengan syarat:
a. dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013
menjadi bagian dari periode 5 tahun kompensasi kerugian tetapi kerugian dari Tahun
Pajak sebelumnya tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak dikenakan PPh yang
bersifat final tersebut;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak yang dikenakannya PPh yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
2. Untuk Tahun Pajak 2013, Wajib Pajak dapat mengkompensasikan kerugian Tahun Pajak
sebelumnya dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final yaitu penghasilan
periode bulan Januari s.d. Juni 2013. Demikian pula apabila dalam periode bulan Januari s.d
Juni 2013, Wajib Pajak mengalami kerugian maka dapat mengkompensasikan kerugian
tersebut pada Tahun Pajak berikutnya sepanjang pada tahun berikutnya Wajib Pajak tidak
termasuk kriteria PP 46 Tahun 2013.

210 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Q33
Dalam Contoh Penghitungan Angka 7 Lampiran PMK-107/PMK.011/2013, disebutkan
bahwa:
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember
2015 adalah Rp 2.000.000
(sesuai dengan data penghasilan dan biaya bulan Januari).

Sedangkan dalam PMK-255/PMK.03/2008 disebutkan:


Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Jadi, cara yang mana yang seharusnya diterapkan?

Berdasarkan Pasal 9 ayat (3) PMK-107/PMK.011/ 2013:

Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh bagi Wajib Pajak yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama
Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut:

a. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c UU PPh,
besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi
Wajib Pajak tersebut;
b. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penghitungan
besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a UU PPh.
Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah sebagai berikut:

a. untuk Wajib Pajak yang sebelumnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun
2013, maka mengikuti ketentuan PMK-107/PMK.011/2013.
b. untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak, penghitungan angsuran PPh
Pasal 25 pada tahun pertama mengikuti PMK-255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan PMK-208/PMK.03/2009.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 211


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Dalam pengisian SPT Tahunan PPh OP Tahun 2013, apakah Wajib Pajak yang dikenakan PP
Q34 46 Tahun 2013 berhak mendapatkan PTKP setahun atau penghasilannya yang
disetahunkan?

Berdasarkan Huruf f Angka 11 SE-42/PJ/2013:

Penghitungan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013:

a. peredaran usaha dihitung berdasarkan seluruh peredaran usaha selama Tahun Pajak 2013,
tidak termasuk peredaran usaha pada Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan Desember 2013
yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi, untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak dikurangi terlebih
dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun;
c. angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan Masa Pajak Januari
2013 sampai dengan Juni 2013 dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk
Tahun Pajak yang bersangkutan.

Maka, Wajib Pajak tetap berhak mendapatkan PTKP setahun, namun penghasilannya tidak
disetahunkan.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013 dan Huruf e Angka 9 SE-


42/PJ/2013 disebutkan bahwa:

Q35
Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran
angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Apakah Wajib Pajak yang seluruh penghasilannya dikenakan PPh Final berdasarkan PP 46
Tahun 2013 tetap wajib melaporkan PPh Pasal 25 Nihil?

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PMK-107/PMK.011/2013, atas Wajib Pajak yang seluruh
penghasilannya dikenai PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka tidak ada kewajiban
pembayaran angsuran PPh Pasal 25. Dengan demikian, Wajib Pajak tersebut juga tidak mempunyai
kewajiban melaporkan SPT PPh Pasal 25 Nihil.

212 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Q36 Bagaimanakah ketentuan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013? Bagaimana juga kewajiban pelaporan SPT
Masa Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang pada suatu masa pajak memiliki peredaran
usaha nihil?

Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kas negara melalui:
a. kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP); atau
b. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu; Wajib Pajak menerima Bukti
Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)
dalam bentuk cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP;
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP
46 Tahun 2013 wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh)
hari setelah Masa Pajak berakhir. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan tersebut diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014.
Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah
menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang
tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM, sehingga tidak perlu lagi melaporkan SPT Masa
PPh Pasal 4 ayat (2).
Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT
Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

Bagaimana pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) bagi Wajib Pajak
Q37 Peredaran Bruto Tertentu (Wajib Pajak PBT)?

Sesuai dengan PER 32/PJ/2013, SKB berlaku untuk 1 (satu) Tahun Pajak dan harus dilegalisasi
pada saat Wajib Pajak akan bertransaksi dengan pemotong/pemungut.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 213


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

Q38 a. Apakah SKB terkait pemotongan/pemungutan terhadap Wajib Pajak yang


dikenakan PP Nomor 46 Tahun 2013 wajib disetujui?
b. Jika tidak wajib dan jika KPP tidak mengabulkan permohonan SKB Wajib Pajak,
apakah kredit pajak yang diterima Wajib Pajak tersebut bisa dikreditkan?
Mengingat sesuai Pasal 20 ayat (3) UU PPh, pemotongan/pemungutan bisa
dikreditkan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
(Pertimbangan KPP tidak menyetujui misalnya, KPP menduga Wajib Pajak rawan
mempermainkan omset, sedangkan bukti pemotongan/pemungutan adalah salah satu
sumber data KPP)

a. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) PER-32/PJ/2013 diatur bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dapat menerbitkan surat penolakan permohonan SKB dalam jangka waktu paling lama 5
(lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
Maka, permohonan SKB bisa saja ditolak (tidak dikabulkan).
b. Berdasarkan Huruf F Angka 7 SE-42/PJ/2013:
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai
berikut:
1) atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
a) dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan Pasal 4
ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui
pemindahbukuan; atau
b) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang
sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
c) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.
2) atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan bukti
pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
atas impor:
a) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang
sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
b) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.

Maka, Wajib Pajak memiliki beberapa pilihan terkait kredit pajak tersebut:
a) Untuk SSP bisa dikreditkan di SPT Tahunan, pengembalian PMK-10/PMK.03/2013,
atau Pemindahbukuan (Pbk).
b) Untuk Bukti Pemotongan bisa dikreditkan atau pengembalian PMK-10/PMK.03/2013
(tidak bisa Pbk).

214 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

Apabila dikemudian hari diketahui bahwa peredaran bruto Wajib Pajak PBT tahun

Q39 sebelumnya ternyata lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah), bagaimana dengan perlakuan PPh atas Tahun Pajak berjalan yang telah menggunakan
ketentuan PP 46 Tahun 2013?

Apabila di kemudian hari diketahui ternyata Wajib Pajak tidak berhak menggunakan aturan sesuai
PP 46Tahun 2013 karena peredaran bruto tahun sebelumnya lebih dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka akan dilakukan koreksi sehingga atas peredaran
bruto tersebut dikenai PPh terutang sesuai ketentuan yang berlaku.

Direktorat Peraturan Perpajakan II 215


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

216 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu 2014

TIM PENYUSUN

Pengarah : Poltak Maruli John Liberty Hutagaol


Penanggung Jawab : Goro Ekanto
Redaktur : Nurbaeti Munawaroh
Koordinator : 1. Bambang Eko Nugroho
2. Sudiro

Anggota

Aulia Rais Oka Wina Pebrina Sagala


Adi Putra Tarigan Raisita Agus Wahyono
Edward Parulian Donald Tua I.S Samuel Nugroho Tri U
Ikha Yuni Hapsari Stefanus Hajar Banu Sujita
Indradi Tanti Agustin
Irine Diani Tyasnita Teguh Rulianto
Muhammad Shodiq

Direktorat Peraturan Perpajakan II 217


2014 Pajak Penghasilan Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu

PERINGATAN
Buku ini merupakan buku panduan yang dipersiapkan DJP dalam melaksanakan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Buku panduan ini disusun dan
ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Direktorat Peraturan Perpajakan
II. Buku ini senantiasa diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan
kebutuhan. Apabila terdapat ketidaksesuaian antara materi dalam buku ini dengan
peraturan perpajakan, maka pelaksanaannya mengacu pada peraturan perpajakan
yang berlaku.

218 Direktorat Peraturan Perpajakan II


Kontak
Direktorat Peraturan Perpajakan II
Gedung Utama, Lantai 11
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Jalan Gatot Subroto, Kavling 40-42, Jakarta 12190
Kotak Pos 124
Telepon (021) 5250208, 5251509 ext 51141
Faksimili (021) 5732064
Call center 500200
Website: http://www.pajak.go.id

Vous aimerez peut-être aussi