Vous êtes sur la page 1sur 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hakikat manusia yang ada sekarang (Homo sapiens-sapiens) adalah
berpikir. Kita berbeda dengan makhluk lainnya karena kemampuan
berpikirnya. Orang yang berkecimpung dalam suatu bidang memerlukan
kemampuan berpikir tertentu yang sudah terinternalisasi dalam dirinya
sehingga menjadi kebiasaan berpikir. Kebiasaan berpikir orang-orang berlatar
belakang pendidikan sains/IPA diapresiasi dan dikagumi oleh pihak
pengguna jasa di berbagai bidang. Pembiasaan berpikir perlu ditekankan pada
berbagai level dan ditanamkan sejak dini serta dapat dilaksanakan melalui
pembelajaran bidang studi, termasuk pendidikan sains/IPA (Nuryani, 2008).
Reformasi pendidikan sains menekankan pada implementasi prinsip,
konsep, dan keterkaitan sains dengan kehidupan sehari-hari melalui proses
pembelajaran. Salah satu aspek yang sedang menjadi fokus berbagai kajian
penelitian dalam bidang pendidikan sains adalah peran science teaching
sebagai proses membelajarkan konten sains, dan science learning sebagai
proses latihan dan retensi yang dilakukan siswa terkait konten sains yang
sedang dipelajari (National Research Council, 1996). Gagasan tersebut
mengisya-ratkan bahwa pembelajaran sains hendaknya lebih memperhatikan
proses pemahaman siswa terhadap sejumlah materi yang dibahas. Secara
eksplisit, NRC menyarankan agar pembelajaran sains sebaiknya
mengedepankan teaching for understanding.
Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa implementasi proses
pembelajaran sains di perguruan tinggi identik dengan pemberian konten
sains yang luas. Keluasan konten sains memang dibutuhkan dalam
pembelajaran sains untuk memahami fenomena alam, namun kondisi tersebut
tidak cukup untuk meyakinkan bahwa siswa telah memahami seluruh konten
yang dipelajari. Indikator pemahaman terhadap konten sains antara lain
kemampuan siswa dalam berbagai kemampuan berpikir, antara lain
kemampuan menjelaskan, mengumpulkan bukti, memberikan contoh,
menggeneralisasi, mengaplikasikan konsep, membuat analogi, kemampuan
reasoning, serta menyajikan konsep sains dalam situasi yang baru.
Untuk memenuhi standar kualifikasi lulusan perguruan tinggi, tentu
tidak hanya dibutuhkan penguasaan konten yang luas. Kemampuan serta
keterampilan berpikir dan bertindak menjadi faktor yang turut menentukan.
Oleh sebab itu, pembelajaran di perguruan tinggi seharusnya memperhatikan
dan menerapkan skema learning of higher order (Fry et al., 2009). Skema
learning of higher order menekankan pada pemahaman dan kreativitas
mahasiswa, seperti mampu memahami dan mengkonstruk ulang pengetahuan
berdasarkan fakta, menganalisis hubungan antara pengetahuannya dengan
pengetahuan lain yang relevan, serta mampu mengembangkan critical
thinking dan kreativitas.
Higher Order Thinking Skills atau kemampuan berpikir tingkat tinggi
pada dasarnya berarti pemikiran yang terjadi pada tingkat tinggi dalam suatu
proses kognitif. Menurut taksonomi Bloom yang telah dirievisi keterampilan
berpikir pada ranah kognitif terbagi menjadi enam tingkatan, yaitu
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Syafaah
& Handayani, 2015). Schraw et al. (2011: 191) mengklasifikasikan
keterampilan berpikir yang dimiliki Bloom menjadi dua tingkatan yaitu
keterampilan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills) yang
terdiri atas pengetahuan dan pemahaman, serta keterampilan berpikir tingkat
tinggi (Higher Order Thinking Skills) yang terdiri atas aplikasi, analisis,
sintesis dan evaluasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan berpikir Tingkat Tinggi
2. Bagaimana taksonomi Bloom dalam HOTS ?
3. Bagaimana penerapan dan manfaat HOTS ?
4. Bagaimana Melatih Siswa Berpikir Tingkat Tingggi
5. Bagaimana pengklasifikasian kompetensi berpikir menurut Taksonomi
Bloom ?
6. Bagaimana pengaplikasian HOTS dalam tes ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan berpikir Tingkat Tinggi
2. Untuk Mengetahui bagaimana cara melatih siswa berpikir tingkat tingggi
3. Untuk memahami pengklasifikasian kompetensi berpikir menurut
Taksonomi Bloom
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Keterampilan Berfikir


Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang
dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai
pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan
(inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan
berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah
dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan. Untuk
mengajarkan keterampilan berpikir menarik kesimpulan tersebut, pertama-tama
proses kognitif inferring harus dipecah ke dalam langkah-langkah sebagai berikut:
(a) mengidentifikasi pertanyaan atau fokus kesimpulan yang akan dibuat, (b)
mengidentifikasi fakta yang diketahui, (c) mengidentifikasi pengetahuan yang
relevan yang telah diketahui sebelumnya, dan (d) membuat perumusan prediksi
hasil akhir.
Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang
sebenarnya cukup berbeda; yaitu berpikir tingkat tinggi (higher order thinking),
berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking).
Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada
proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Berpikir kompleks
Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju
ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir
divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik. adalah proses kognitif yang
melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu keterampilan berpikir
yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat, tetapi membutuhkan
kemampuan lain yang lebih tinggi. Lewis dan Smith (1993) mendefinisikan
keterampilan berpikir tingkat tinggi (The Higher Order Thinking Skills) sebagai
keterampilan berpikir yang terjadi ketika seseorang mengambil informasi baru dan
informasi yang sudah tersimpan dalam ingatannya, selanjutnya menghubungkan
informasi tersebut dan menyampaikannya untuk mencapai tujuan atau jawaban
yang dibutuhkan. King, et al (2010) mengatakan keterampilan berpikir tingkat
tinggi pada siswa dapat diberdayakan dengan memberikan masalah yang tidak
biasa dan tidak menentu seperti pertanyaan atau dilema, sehingga penerapan yang
sukses dari kemampuan ini adalah ketika siswa berhasil menjelaskan,
memutuskan, menunjukkan, dan menghasilkan penyelesaian masalah dalam
konteks pengetahuan dan pengalaman.
Kemampuan berpikir merupakan proses keterampilan yang bisa dilatihkan,
Artinya dengan menciptakan suasana pembelajaran yang kondunsif akan
merangsang siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Oleh karena itu
maka guru diharapkan untuk mencari metode dan strategi pembelajaran yang
dampaknya dapat menigkatkan kemampuan berpikir siswa.

B. Taksonomi Bloom dalam HOTS

Arnellis (2014; 24) menyatakan bahwa berpikir merupakan suatu


kemampuan kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan berpikir
selalu berkembang dan dapat dipelajari. Menurut Bloom (dalam Arnelis, 2014)
keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan yang paling abstrak
dalam domain kognitif, yaitu meliputi analisis, sintesis, dan evaluasi. Lebih lanjut
Arnellis (2014; 24) mengatakan bahwa taksonomi bloom dianggap merupakan
dasar bagi berpikir tingkat tinggi. Pemikiran ini didasarkan bahwa beberapa jenis
pembelajaran memerlukan proses kognisi yang lebih daripada yang lain, tetapi
memiliki manfaat-manfaat lebih umum. Sebagai contoh, kemampuan melibatkan
analisis, evaluasi dan mengkreasi dianggap berpikir tingkat tinggi. Dalam A
revision of Bloom's Taxonomy: an overview-Theory in to Practice (dalam Arnellis,
2014) menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat
tinggi meliputi: menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.

Anderson dan Krathwohl (dalam Arnellis, 2014) merevisi taksonomi ini


dengan mengklasifikasikan enam proses kognitif yang dapat dipelajari yaitu:
1. mengingat : menghafal dan mengingat kembali informasi
2. memahami : menjelaskan ide atau konsep
3. mengaplikasikan : menerapkan informasi dalam situasi baru
4. menganalisis : menganalisis data menjadi komponen-komponen untuk
memahami dengan organisasi struktur dan hubungan antar
komponen
5. mengevaluasi : membuat penilaian berdasarkan kriteria tertentu
6. menciptakan : menyatukan elemen untuk membentuk ide atau struktur
baru

C. Penerapan dan Manfaat HOTS

Madhuri (dalam Siti Nursaila, 2015) menyatakan bahwa In order to


provide opportunity to students in practicing HOTS, students should be in an
active learning environment to increase curiosity and understanding in every
subject learnt. Diartikan bahwa pada saat memberikan kesempatan kepada siswa
dalam berlatih HOTS, siswa harus dalam lingkungan belajar aktif untuk
meningkatkan rasa ingin tahu dan pemahaman di setiap subjek belajar. Thomas
dan Thorne (dalam Widodo, 2013) menyatakan bahwa bahwa HOTS dapat
dipelajari, HOTS dapat diajarkan pada murid, dengan HOTS keterampilan dan
karakter siswa dapat ditingkatkan. Selanjutnya dikatakan bahwa ada perbedaan
hasil pembelajaran yang cenderung hapalan dan pembelajaran HOTS yang
menggunakan pemikiran tingkat tinggi.
Mc Loughlin and Luca (dalam Widodo, 2013) menyatakan bahwa HOT
means the capacity to go beyond the information given, to adopt a critical stance,
to evaluate, to have metacognitive awarness and problem solving capacities.
Dikatakan pula bahwa dengan HOTS siswa menjadi pemikir yang mandiri,
argument yang dikemukakan siswa dapat merupakan petunjuk kualitas
kemampuan siswa. Penggunaan HOTS sebagai salah satu pendekatan
pembelajaran menghasilkan aktivitas belajar yang produktif khususnya dalam
interaksi socio-cognitive, misalnya dalam hal: (1) memberi dan menerima
bantuan; (2) mengubah dan melengkapi sumber informasi; (3) mengelaborasi dan
menjelaskan konsep; (4) berbagi pengetahuan dengan teman; (5) saling memberi
dan menerima balikan; (6) menyelesaikan tugas dalam bentuk kolaboratif, dan (7)
berkontribusi dalam menghadapi tantangan.
D. Bagaimana Melatih Siswa Berpikir Tingkat Tinggi?

Di Indonesia, proses pembelajaran yang melatih siswa berpikir tingkat


tinggi memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran
guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu (teacher center) belum
student center; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat
menghafal/pengetahuan faktual. Siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah
yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah
cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi
siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji
kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar
atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang
sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia
pendidikan di Indonesia.
Diperlukan Higher Order Questions (rich questions), pertanyaan yang
meminta siswa untuk menyimpulkan, hypothesise, menganalisis, menerapkan,
mensintesis, mengevaluasi, membandingkan, kontras atau membayangkan,
menunjukkan jawaban tingkat tinggi. Untuk menjawab Higher Order Questions
(rich questions) diperlukan penalaran tingkat tinggi yaitu cara berpikir logis yang
tinggi, berpikir logis yang tinggi sangat diperlukan siswa dalam proses
pembelajaran di kelas khususnya dalam menjawab pertanyaan, karena siswa perlu
menggunakan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang dimilikinya dan
menghubungkannya ke dalam situasi baru.

Soal-soal ulangan yang dibuat oleh guru perlu memperhatikan beberapa hal:
1) Soal hendaknya menggunakan stimulus, stimulus yang baik hendaknya
menyajikan informasi yang jelas, padat, mengandung konsep/gagasan inti
permasalahan, dan benar secara fakta.

2) Soal yang dikembangkan harus sesuai dengan kondisi pembelajaran yang


dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari

3) Soal mengukur keterampilan berpikir kritis

4) Soal mengukur keterampilan pemecahan masalah.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang sudah mulai diterapkan di


Indonesia sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan pembelajaran
keterampilan berpikir, karena mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun
demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih
cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang lebih
banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal. Prinsip-prinsip yang
harus diperhatikan dalam penbelajaran keterampilan berpikir di sekolah antara
lain adalah sebagai berikut:

1) keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa

2) keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pembelajaran


suatu bidang studi

3) Pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan


berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing

4) Pembelajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang


berpusat kepada siswa (student-centered).

Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam
melatih keterampilan berpikir adalah perlunya latihan-latihan yang intensif.
Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir siswa perlu
mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah
menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan
berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah
dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu
menambahkan keterampilan berpikir yang baru dan mengaplikasikannya dalam
pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir siswa
bertambah banyak.
Hasil penelitian Computer Tchnology Research (CTR) menunjukkan bahwa
seseorang hanya dapat mengingat apa yang dilihatnya sebesar 20%, 30% dari
yang didengarnya, 50% dari yang didengar dan dilihatnya, dan 80% dari yang
didengar, dilihat dan dikerjakannya secara simultan. Selain itu Levie dan Levie
dalam Azhar Arzad (2009: 9) yang membaca kembali hasil-hasil penelitian
tentang belajar melalui stimulus gambar dan stimulus kata atau visual dan verbal
menyimpulkan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik
untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan
menghubung-hubungkan fakta dan konsep. Sedangkan stimulus verbal
memberikan hasil belajar yang lebih baik apabila pembelajaran itu melibatkan
ingatan yang berurut-urutan (sekuensial). Dalam dunia pendidikan ada 3 model
seorang siswa dalam menerima suatu pelajaran;

1. I hear and i forget ( Saya mendengar dan saya akan lupa )

2. I see and i remember ( Saya meihat dan saya akan ingat )

3. I do and i understand ( Saya melakukan dan saya akan mengerti )

Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap
siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir
tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu keterampilan
memiliki empat komponen, yaitu: identifikasi komponen-komponen prosedural,
instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran keterampilan
berpikir adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang
sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak.
Tahapan tersebut adalah:

1. Identifikasi komponen-komponen prosedural

Siswa diperkenalkan pada keterampilan dan langkah-langkah khusus yang


diperlukan dalam keterampilan tersebut. Ketika mengajarkan keterampilan
berpikir, siswa diperkenalkan pada kerangka berpikir yang digunakan untuk
menuntun pemikiran siswa.

2. Instruksi dan pemodelan langsung

Selanjutnya, guru memberikan instruksi dan pemodelan secara eksplisit,


misalnya tentang kapan keterampilan tersebut dapat digunakan. Instruksi dan
pemodelan ini dimaksudkan supaya siswa memiliki gambaran singkat tentang
keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga instruksi dan pemodelan ini
harus relatif ringkas.

3. Latihan terbimbing

Latihan terbimbing seringkali dianggap sebagai instruksi bertingkat seperti


sebuah tangga. Tujuan dari latihan terbimbing adalah memberikan bantuan
kepada anak agar nantinya bisa menggunakan keterampilan tersebut secara
mandiri. Dalam tahapan ini guru memegang kendali atas kelas dan melakukan
pengulangan-pengulangan.

4. Latihan bebas

Guru mendesain aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat melatih


keterampilannya secara mandiri, misalnya berupa pekerjaan rumah. Jika
ketiga langkah pertama telah diajarkan secara efektif, maka diharapkan siswa
akan mampu menyelesaikan tugas atau aktivitas ini 95% 100%. Latihan
mandiri tidak berarti sesuatu yang menantang, melainkan sesuatu yang dapat
melatih keterampilan yang telah diajarkan.

Ada 3 tipe seorang guru dalam mengajar;

1) Guru biasa, yaitu yang selalu menjelaskan

2) Guru baik, yaitu yang mampu mendemonstrasikan dan

3) Guru hebat, adalah guru yang mampu menginspirasikan, yakni guru yang
mampu membawa siswanya untuk berpikir tingkat tinggi.

Pelajaran yang diajarkan dengan cara mengajak siswa untuk berfikir tingkat
tinggi akan lebih cepat dimengerti oleh siswa. Jadi untuk keberhasilan penguasaan
suatu materi pelajaran atau yang lain, usahakan dalam proses belajarnya selalu
menggunakan cara-cara yang membuat siswa untuk selalu berpikir tingkat tinggi.

E. Pengklasifikasian kompetensi berpikir menurut Taksonomi Bloom


Aderson & Krathwohl (dalam Aksela, 2005) menyatakan bahwa tingkatan
keterampilan berpikir dalam Taksonomi Bloom terdiri dari enam tingkatan, yaitu
pengetahuan (knowledge/recall), pemahaman (comprehension), aplikasi
(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Ball & Garton (2005) dan Aksela (2005) menyatakan bahwa kompetensi
berpikir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kompetensi berpikir tingkat
rendah (lower order thingking/LOW) dan kompetensi berpikir tingkat tinggi
(higher order thingking/HOT). Kompetensi berpikir tingkat rendah meliputi
mengingat, menghafal, dan sedikit memahami sedangkan kompetensi berpikir
tingkat tinggi adalah kegiatan mental dalam memecahkan masalah dalam tingkat
yang lebih tinggi dari tingkat berpikir dasar. Agar mampu memecahkan masalah
dengan baik dan berkualitas tinggi dituntut kemampuan aplikasi, analisis, sintesis,
evaluasi, generalisasi, membandingkan, mendeduksi, mengklasifikasi informasi,
menyimpulkan, dan mengambil keputusan.
Berpikir tingkat rendah lebih fokus pada pengumpulan, mengklasifikasi,
menyimpan, dan mengingat. Berpikir tingkat rendah tidak menghasilkan sesuatu
yang baru dan kreatif serta tidak memerlukan keterampilan berpikir yang lebih
rumit. Aksela (2005) menyatakan bahwa kompetensi berpikir tingkat rendah
meliputi pengetahuan (knowledge/recall), dan pemahaman (comprehension).
Arnyana (2007) mengemukakan kompetensi berpikir tingkat tinggi dapat
diajarkan di sekolah melalui proses pembelajaran. Lebih lanjut mereka
mengemukakan penekanan dalam proses pembelajaran adalah melatih kompetensi
berpikir siswa dan bukan pada materi pelajaran. Mengajarkan siswa untuk berpikir
secara langsung membuat siswa menjadi cerdas. Dalam kompetensi berpikir
tingkat tinggi kegiatan pembelajaran bersifat student centered karena siswa yang
lebih banyak berperan di dalam proses pembelajaran.
Anderson & Krathwohl (2001) menungkapkan bahwa kompetensi berpikir
dapat dikelompokkan menurut Taksonomi Bloom, seperti pada Tabel di bawah
Tabel Pengklasifikasian kompetensi berpikir menurut Taksonomi
Bloom
Taksonomi Bloom Tingkatan Berpikir Tinjauan
Knowledge (C1) Lower-order Mengingat
Comprehension (C2) Lower-order Memahami
Application (C3) Higher-order Menerapkan
Analysis (C4) Higher-order Menganalisis
Synthesis (C5) Higher-order Menciptakan
Evaluation (C6) Higher-order Mengevaluasi

Masing-masing tingkatan dalam kompetensi berpikir tingkat tinggi adalah


sebagai berikut.
1) Tingkat Aplikasi (aplication level)
Tingkat aplikasi mencakup beberapa kemampuan, antara lain: 1)
menggunakan informasi; 2) menggunakan metode, konsep, teori dalam
permasalahan baru; dan 3) menyelesaikan masalah menggunakan
pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan.
2) Tingkat Analisis (analysis level)
Tingkat analisis mencakup beberapa kemampuan, antara lain: 1) melihat
polanya; mengorganisasi bagiannya; 3) mengenal pengertian yang
tersembunyi; dan 4) mengidentifikasi komponen.
3) Tingkat Sintesis (synthesis level)
Tingkat sintesis mencakup beberapa kemampuan, antara lain: 1)
mengeneralisasi fakta-fakta yang diberikan; 2) menghubungkan pengetahuan
dai beberapa area; 3) memprediksi, menarik kesimpulan; dan 4)
menggunakan ide lama untuk menciptakan hal yang baru.

4) Tingkat Evaluasi (evaluation level)


Tingkat evaluasi mencakup beberapa kemampuan, antara lain: 1) memberi
penilaian terhadap teori; 2) membuat pilihan berdasarkan pertimbangan
pemikiran; 3) memperivikasi nilai bukti; 4) mengenal kesubyektifan; dan 5)
membandingkan dan membedakan antara gagasan.
Adang (1985), Suastra & Kariasa (2001) mengatakan bahwa untuk melatihkan
kompetensi berpikir tingkat tinggi, siswa hendaknya diberi kesempatan sebagai
berikut.
1. Mengajukan pertanyaan yang mengundang berpikir selama proses belajar
mengajar berlangsung.
2. Membaca buku-buku yang mendorong untuk melakukan studi lebih lanjut.
3. Memodifikasi atau menolak usulan yang orisinil dari temannya, guru atau
dari buku pelajaran.
4. Merasa bebas dalam mengajukan tugas pengganti yang mempunyai potensi
kreatif dan kritis.
5. Menerima pengakuan yang sama untuk berpikir kreatif dan kritis seperti juga
untuk hasil belajar yang berupa mengingat.
6. Memberikan jawaban yang tidak sama persis dengan yang ada dalam buku,
namun konsep atau prinsipnya benar.

F. Contoh soal tes HOTS


Topik : Rantai Makanan
Indikator : Disajikan gambar rantai makanan peserta didik dapat
menjelaskan apa yang akan terjadi jika salah satu populasi
berkurang
Kata kerja : Menganalisis dan menyimpulkan
Ranah Kognitifl
Soal
Perhatikan gambar rantai makanan berikut ini

a. Apa yang akan terjadi jika rumput mati?

b. Apa yang akan terjadi jika populasi siput menurun?

c. Apa yang akan terjadi jika populasi serangga menurun?

Topik : Hereditas menurut Mendel

Kelas : IX

Standar : 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup


Kompetensi
Kompetensi dasar : 2.3 Mendeskripsikan proses pewarisan dan hasil
pewarisan sifat dan penerapannya
Indikator : Disajikan data hasil perkawinan silang peserta didik
dapat menentukan hasil perkawinan silang tersebut
Ranah Kognitif : Analisis

Kata kerja Ranah : Menyeleksi dan menyimpulkan


Kognitif
Soal
a. Soal Pilihan Ganda
Perhatikan bagan persilangan bunga mawar berikut

Turunan pertama (F1) pada persilangan bunga mawar tersebut berbunga merah.
Hal ini menunjukkan bahwa .
A. F1 hanya mewarisi sifat dari induk A
B. F1 hanya mewarisi sifat induk B
C. sifat putih dominan terhadap merah
D. sifat merah dominan terhadap putih

b. Soal Uraian
Tanaman bunga mawar merah disilangkan dengan tanaman bunga mawar putih.
Keturunan pertama (F1) dari persilangan tersebut 100% berupa tanaman bunga
mawar merah muda.
Jika diketahui M adalah gen merah dan m adalah gen putih, tentukan
perbandingan genotip dan fenotip keturunan kedua (F2) dari persilangan tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan pada penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau dikenal dengan istilah Higher


Order Thingking Skills (HOTS) pada Taksonomi Bloom, merupakan urutan
tingkatan berpikir (kognitif) dari tingkat rendah ke tinggi yang terdiri dari
level Mengingat, Memahami, Menerapkan, Menganalisis, Mengevaluasi,
dan Mencipta.

2. kompetensi berpikir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kompetensi


berpikir tingkat rendah (lower order thingking/LOW) dan kompetensi
berpikir tingkat tinggi (higher order thingking/HOT). Kompetensi berpikir
tingkat rendah meliputi mengingat, menghafal, dan sedikit memahami
sedangkan kompetensi berpikir tingkat tinggi adalah kegiatan mental dalam
memecahkan masalah dalam tingkat yang lebih tinggi dari tingkat berpikir
rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Alias, Siti Nursaila dkk.2015. The Level of Mastering Forces in Equilibrium


Topics by Thinking Skills. International Journal of Multicultural and
Multireligious Understanding (IJMMU) Vol. 2, No. 5 : University Sains
Malaysia, Pulau Pinang, Malaysia (diakses tanggal 28 oktober 2015)

Azhar Arsyad. (2009). Media pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Fry, H., Ketteridge, S. & Marshall, S. 2009. A Handbook for Teaching and
Learning in Higher Education: Enhancing Academic Practice. New York:
Routledge.

Janssen, F.J.J.M., Tigelaar, D.E.H, & Verloop, N. 2009. Developing biology


lessons aimed at teaching for understanding: a domain-specific heuristic
for student teachers. Journal of Science Teacher Education. 20: 1-20.

Rustaman, Nuryani Y. 2008. Kebiasaan Berfikir Dalam Pembelajaran Sains dan


Asesesmennya. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Widodo, Tri Dkk. 2013. Higher Order Thinking Berbasis Pemecahan Masalah
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Berorientasi Pembentukan Karakter
Siswa. Jurnal Cakrawala Pendidikan Th. Xxxii, No. 1 : Fmipa Universitas
Negeri Semarang (diakses tanggal 24 oktober 2015)

Winarso, Widodo. 2014. Membangun Kemampuan Berfikir Matematika Tingkat


Tinggi Melalui Pendekatan Induktif, Deduktif Dan Induktif-Deduktif
Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Eduma Vol.3 No.2 : IAIN Syekh
Nurjati Cirebon (diakses tanggal 26 oktober 2015)

Vous aimerez peut-être aussi