Vous êtes sur la page 1sur 10

ASMA

A. Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
nafas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa
berat di dada terutama pada malam atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan.
Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan,
inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan,
dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Asma besifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
menganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian.

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian


pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan
prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.
Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-
6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang perlu mendapat perhatian serius

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus,, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma dini (early asthma reaction =EAR) dan reaksi asma lambatt (late
asthma reaction = LAR). Setalah reaksi asma awal dan reaksi asthma lambat, proses
dapat terus berlanjut menjadireaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini
terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama
eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.

Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan
batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari
(nokturnal / morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan atopi pada pasien atau keluarganya. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun)
pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan
peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus
dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin, atau
dengan salin hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
Variabilitas pada PFR atau FEV1 >15%.
Kenaikan >15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
Penurunan >15% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PFR dalam satu hari.
Penilaian yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu.
Penggunaan peak flow meter walaupun mahal merupakan hal yang penting dan perlu
dibudayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui
keberhasilan tata laksana asma.
B. Patofisiologi Asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat
pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin,leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel
mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis
asma

C. Faktor risiko

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas factor genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya, eritrosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

D. Klasifikasi

GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma
persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dasar pembagiannya
adalah gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan
penyakit. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk
penilaiannya. Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan
klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu , asma episodik jarang (asma ringan) yang
meliputi 75% populasi anak asma, aasma episodik sering (asma sedang) meliputi 20%
populasi, dan asma persisten (asma berat) meliputi 5% populasi
Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan kerja
pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran ini
tidak mudah dilakukan berhubung obat tersebut mahal. Konsensus Internasional III
dan juga Konsensus Nasional seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak
mengajurkan pem-berian anti-inflamasi untuk asma ringan. Di lain pihak, untuk asma
intermiten (derajat 1 dari 4) GINA menganjurkan penggunaan kromoglikat sebelum
aktivitas fisis atau pajanan dengan alergen. Bahkan untuk asma persisten ringan
(derajat 2 dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian obat pengendali (controller)
berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.
Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat pengendali (controller) untuk
istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus Internasional. Obat pengendali
diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan / gejala. Sedangkan obat yang
diberikan saat serangan disebut obat pereda (reliever).

Asma episodik sering (asma sedang)


Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa
menghitung penggunaan pra aktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih
dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan antiinflamasi sebagai pengendali sudah
terindikasi.2 Antiinflamasi lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan
dosis minimal 10 mg 3-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu,
kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian kromoglikat
dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Sampai sekarang, obat ini tetap paling aman
untuk pengendalian asma anak, dan efek sampingnya ringan, yaitu sesekali
menyebabkan batuk. Nedokromil merupakan obat satu golongan dengan kromoglikat
yang lebih poten dan tidak menyebabkan batuk. Di luar negeri obat ini sudah diijinkan
pemakaiannya untuk anak >2 tahun. Namun untuk di Indonesia saat ini ijin yang ada
untuk anak >12 tahun.
Untuk asma persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA menganjurkan pemberian
steroid hirupan (utama) atau kromoglikat hirupan (alternatif ) sebagai obat
pengendali. Sedangkan untuk asma persisten sedang (derajat 3 dari 4) GINA
merekomendasikan steroid hirupan tanpa memberi tempat untuk kromoglikat

Asma persisten (asma berat)


Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-
agonis hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk
berat. Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan. Cara
pemberian steroid hirupan apakah dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih
terkendali, atau sebaliknya dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat
dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada
anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu,
disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan
diturunkan sampai optimal

Asma sangat berat


Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum terkendali
maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari Asma persisten).
Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari secara teratur dan terus
menerus diduga mempunyai peran dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas
asma. Oleh karena itu obat dan cara peng-gunaannya tersebut sebaiknya dihindari.
Tetapi jika dengan steroid hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum
terkendali, maka perlu dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja
panjang, atau beta-agonis lepas terkendali, atau teofilin lepas lambat. Dahulu beta-
agonis dan teofilin hanya dikenal sebagai bronkodilator saja. Namun akhir-akhir ini
diduga mereka juga mempunyai efek anti-inflamasi.
E. Diagnosis Asma

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya
hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi,
batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur
status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala
konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis.
Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.
Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang
kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung
ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi),
dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat
perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga
(riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam
rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui
adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru,
kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum,
spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau
lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana,
alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih
diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas
besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan
FEV1.
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

F. Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana serangan
Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah
untuk:
meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin
mengurangi hipoksemia
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan

Serangan ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-
2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat
beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus
serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5
hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48
jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah
mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat
Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan
sebagai serangan sedang.
Serangan sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya
menunjukkan respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat
serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di
depan. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu diobservasi
dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS). Walaupun mungkin tidak diperlukan,
namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di IGD pasien yang akan
diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral.
Serangan berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons
(poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai
pedoman), maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit
diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan
foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi
cukup diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan antikolinergik. Sedangkan
bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan
ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna mendeteksi
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum

Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga


status aktivitas anak normal dan faal paru normal, mencegah timbulnya asma kronik,
serta mencegah pengaruh buruk tindakan pengobatan. Secara umum obat asma dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu obat pelega (relievers) dan obat pengontrol
(controllers).
Obat pelega asma bertujuan untuk melegakan saluran napas dan
menghilangkan serangan serta eksaserbasi akut dengan pemberian bronkodilator.
Bronkodilator yang banyak dipakai saat ini adalah beta2 agonis, selain xantin dan
antikolinergik. Obat pengontrol asma bertujuan menjaga dan mengontrol asma
persisten dengan mencegah kekambuhan. Obat pengontrol asma yang banyak
dipergunakan adalah kortikosteroid, selain anti-inflamasi lain seperti sodium
kromolin, nedokromil, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta berbagai antihistamin
generasi baru. Obat 2 agonis bermanfaat untuk dipakai sebagai terapi intermiten
asma episodik, sebagai tambahan terapi intermiten, atau terapi rutin penunjang anti-
inflamasi pada asma relaps berulang atau kronis, sebelum aktifitas fisik untuk
menghambat exercise induced asthma, dan untuk penolong asma akut. Obat ini
tersedia dalam bentuk oral, atau inhalasi yang efektif dilakukan dengan inhaler dosis
terukur, rotohaler, atau nebuliser.
Teofilin merupakan preparat metil-xantin yang pada masanya sangat populer
untuk terapi rumatan asma kronik ringan, dan sebagai penunjang pengobatan asma
kronik berat. Walaupun saat ini masih banyak dipakai, teofilin tidak begitu menarik
lagi setelah pengobatan anti-inflamasi untuk asma lebih terfokus kepada
kortikosteroid. Selama ini efek anti-inflamasi teofilin memang masih sering
dipertanyakan. Selain itu metabolisme teofilin diketahui akan terganggu dalam
keadaan demam oleh penyakit tertentu, seperti influenza, atau oleh obat seperti
eritromisin, simetidin, dan siprofloksasin. Pada anak, teofilin juga diketahui dapat
mempengaruhi prestasi sekolah sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak
dengan gangguan psikologis atau gangguan belajar. Obat antikolinergik selain bersifat
bronkodilator juga akan mengurangi hipersekresi mukus dan mengatasi iritabilitas
reseptor batuk. Obat ini tersedia dalam bentuk inhalasi dan nebulasi, terbukti efektif
untuk asma akut bila diberikan bersama b2-agonis

Vous aimerez peut-être aussi