Vous êtes sur la page 1sur 25

1.

Definisi Mutu

Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara


efisien dan efektif sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan yang
dilaksanakan secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pasien, memanfaatkan
teknologi tepat guna dan hasil penelitian dalam pengembangan pelayanan
kesehatan/keperawatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal
(Nursalam, 2014).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), mutu pelayanan didefinisikan
sebagai suatu hal yang menunjukkan kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang
dapat menimbulkan kepuasan klien sesuai dengan tingkat kepuasan penduduk,
serta pihak lain, pelayanan yang sesuai dengan kode etik dan standard pelayanan
yang professional yang telah ditetapkan.

2. Dimensi mutu pelayanan


Lima dimensi mutu pelayanan (Service Quality), terdiri dan:
a. Wujud nyata (tangibles) adalah wujud Iangsung yang meliputi fasilitas fisik,
yang mencakup kemutahiran peralatan yang digunakan, kondisi sarana, kondisi
SDM perusahaan dan keselarasan antara fasilitas fisik dengan jenis jasa yang
diberikan.
b. Kehandalan (reliability) adalah aspek-aspek keandalan system pelayanan yang
diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi kesesuaian pelaksanaan pelayanan
dengan rencana kepedulian perusahaan kepada permasalahan yang dialami
pasien, keandalan penyampaian jasa sejak awal, ketepatan waktu pelayanan
sesuai dengan janji yang dibenikan,keakuratan penanganan.
c. Ketanggapan (responsiveness) adalah keinginan untuk membantu dan
menyediakan jasa yang dibutuhkan konsumen. Hai ini meliputi kejelasan
informasi waktu penyampaian jasa, ketepatan dan kecepatan dalam pelayanan
administrasi, kesediaan pegawai dalam membantu konsumen, keluangan waktu
pegawai dalam menanggapi permintaan pasien dengan cepat.
d. Jaminan (assurance) adalah adanya jaminan bahwa jasa yang ditawarkan
memberikan jaminan keamanan yang meliputi kemampuan SDM, rasa aman
selama berurusan dengan karyawan, kesabaran karyawan, dan dukungan
pimpinan terhadap staf. Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan
gabungan dari dimensi :
1) Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang
dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan
2) Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian dan sikap para
karyawan
3) Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan
kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan sebagainya.
e. Empati (empathy), berkaitan dengan memberikan perhatian penuh kepada
konsumen yang meliputi perhatian kepada konsumen, perhatian staf secara
pribadi kepada konsumen, pemahaman akan kebutuhan konsumen, perhatian
terhadap kepentingan, kesesuaian waktu pelayanan dengan kebutuhan
konsumen. Dimensi empati ini merupakan penggabungan dari dimensi :
1) Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memafaatkan jasa yang
ditawarkan
2) Komunikasi (Communication), merupakan kemapuan melaukan komunikasi
untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh
masukan dari pelanggan
3) Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi
usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan
keinginan pelanggan

3. Aspek Mutu
Mutu pelayanan rumah sakit dapat pula dilihat dari segi aspek yang berpengaruh.
Aspek berarti termasuk hal hal yang secara langsung atau tidak berpengaruh
terhadap penilaian. Keempat aspek itu adalah seperti berikut .
Aspek klinis
Yaitu menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan teknis medis.
Efisiensi dan efektifitas
Yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tak ada diagnosa da terapi
berlebihan
Keselamatan pasien
Yaitu upaya perlindungan terhadap pasien, misalnya perlindungan jatuh dari
tempat tidur, kebakaran.
Kepuasan pasien
Yaitu yang berhubungan dengan kenyamanan, keramahan dan kecepatan
pelayanan.
Indikatornya adalah rincian lebih lanjut dari 4 aspek
Klinis dan penampilan profesi
Efisiensi dan efektifitas
Keamanan atau keselamatan pasien
Kepuasan pasien .
Indikator klinis :
Angka infeksi nosokomial
Angka kematian rumah sakit
Kasus kelainan neurologi yang timbul selama pasien dirawat
Timbulnya dikubitus selama perawatan
Indikasi operasi tidak tepat
Salah yang dioperasi
Salah alat tubuh yang dioperasi
Kesalahan teknis operasi
Komplikasi pembedahan perbedaan antara diagnosa pra bedah dengan
penemuan patologi anatomi pasca bedah
Operasi ulang untuk menanggulangi penyulit
Infeksi pasca bedah
Kematian karena operasi
Reaksi obat
Komplikasi pengobatan intravena
Reaksi transfusi
Angka sectic caesaria yang tidak wajar tingginya
Angka kematian ibu melahirkan
Indikator aspek efisiensi dan efektifitas
Masalah antar jemput pasien ke dan dari kamar bedah, bagian rontgen, dan
sebagainya
Pasien harus menunggu terlalu lama dikamar operasi , kamar rontgen, dan lain
lain sebelum ditolong
Persiapan dikamar bedah , kamar bersalin dan sebagainya
Masalah dengan logistik kamar bedah , ruang perawatan, kamar bersalin dan
sebagai nya
Masalah pemakaian obat
Masalah lamanya pasien dirawat
Masalah dengan prasarana (listrik, air, instalasi gas , dll)
Masalah teknis dengan alat alat dan perlengkapan
Masalah dengan sumber daya manusia
Masalah dengan koordinasi antar unit pelaksana
Prosedur administrasi yang rumit
Indikator aspek keselamatan pasien
Pasien terjatuh dari tempat tidur
Pasien terjatuh dikamar mandi , toilet, dsb
Pasien diberi obat yang salah
Pasien lupa diberi obat
Tidak ada obat dan alat emergency ketika diperlukan
Tidak ada oksigen ketika dibutuhkan
Tidak dilakukan cross match pada pasien yang akan di transfusi
Infeksi nosokomial
Alat penyedot lendir yang tidak berfungsi dengan baik
Alat anastesi tidak berfungsi baik
Alat pemadam kebakaran tidak tersedia
Tidak ada rencana penanggulangan bencana dan sebagainya
Indikator aspek kepuasan pasien .
Jumlah keluhan dari pasien atau keluarga
Hasil penilaian dengan kuesioner atau survey tentang derajat kepuasan pasien .
Kritik dalam kolom surat pembaca koran
Pengaduan mal praktek
Laporan dari staf medik dan perawatan tentang kepuasan pasien

4. Aspek Mutu yang Baik


Berdasarkan dari pengamatan di atas ternyata mutu yang baik seperti berikut
Tersedia dan terjangkau
Tepat kebutuhan
Tepat sumber daya
Tepat standar profesi / etika profesi
Wajar dan aman
Mutu memuaskan bagi pasien yang dilayani
Pelayanan medis yang baik seperti berikut
Didasari oleh praktek medis yang rasional dan didasari oleh ilmu kedokteran
Mengutamakan pencegahan
Terjadinya kerjasama antar masyarakat dengan ilmuan medis
Mengobati seseorang sebagai keseluruhan
Memelihara kerjasama antara dokter dengan pasien
Berkoordinasi dengan pekerja sosial
Mengkoordinasikan semua jenis pelayanan medis
Mengaplikasikan pelayanan modern dari ilmu kedokteran yang dibutuhkan
masyarakat

5. Strategi Mutu
a. Quality Assurance (Jaminan Mutu)
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-
an implementasi pertama yaitu audit keperawatan. Strategi ini merupakan
program untuk mendesain standar pelayanan keperawatan dan
mengevaluasi pelaksanaan standar tersebut (Swansburg, 1999). Sedangkan
menurut Wijono (2000), Quality Assurance sering diartikan sebagai
menjamin mutu atau memastikan mutu karena Quality Assurance berasal
dari kata to assure yang artinya meyakinkan orang, mengusahakan sebaik-
baiknya, mengamankan atau menjaga. Dimana dalam pelaksanaannya
menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi, internal audit dan surveilan
untuk menjaga mutu yang mencakup dua tujuan yaitu : organisasi mengikuti
prosedur pegangan kualitas, dan efektifitas prosedur tersebut untuk
menghasilkan hasil yang diinginkan.
Dengan demikian quality assurance dalam pelayanan keperawatan
adalah kegiatan menjamin mutu yang berfokus pada proses agar mutu
pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar. Dimana
metode yang digunakan adalah : audit internal dan surveilan untuk
memastikan apakah proses pengerjaannya (pelayanan keperawatan yang
diberikan kepada pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure
(SOP); evaluasi proses; mengelola mutu; dan penyelesaian masalah.
Sehingga sebagai suatu sistem (input, proses, outcome), menjaga mutu
pelayanan keperawatan difokuskan hanya pada satu sisi yaitu pada proses
pemberian pelayanan keperawatan untuk menjaga mutu pelayanan
keperawatan.
b. Continuous Quality Improvement (Peningkatan Mutu Berkelanjutan)\
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan
merupakan perkembangan dari Quality Assurance yang dimulai sejak
tahun 1980-an. Continuous Quality Improvement (Peningkatan mutu
berkelanjutan) sering diartikan sama dengan Total Quality Managementkarena
semuanya mengacu pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh.
Namun menurut Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam Wijono 2000)
bahwa ada perbedaan sedikit yaitu Total Quality Management dimaksudkan
pada program industri sedangkan Continuous Quality Improvement
mengacu pada klinis. Wijono (2000) mengatakan bahwa Continuous
Quality Improvement itu merupakan upaya peningkatan mutu secara terus
menerus yang dimotivasi oleh keinginan pasien. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan keperawatan yang
komprehensif dan baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan yang
ditetapkan standar yang berlaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994) bahwa
Quality Improvement merupakan manajemen filosofi untuk menghasilkan
pelayanan yang baik. Dan Continuous Quality Improvement sebagai filosofi
peningkatan mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan dengan
memberikan pelayanan yang baik yaitu yang dapat menimbulkan kepuasan
pelanggan (Shortell, Bennett & Byck, 1998). Sehingga dapat dikatakan
bahwa Continuous Quality Improvement dalam pelayanan keperawatan
adalah upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan secara
terus menerus yang memfokuskan mutu pada perbaikan mutu secara
keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai
karakteristik-karakteristik yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome
yang ditandai dengan kepuasan pasien.
c. Total quality manajemen (TQM)
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu
cara meningkatkan performansi secara terus menerus pada setiap level operasi
atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan
menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan
berfokus pada kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh.

6. Indikator Penilaian Mutu Keperawatan


Mutu asuhan kesehatan sebuah rumah sakit akan selalu terkait dengan
struktur, proses, dan outcomesistem pelayanan RS tersebut. Mutu asuhan
pelayanan RS juga dapat dikaji dari tingkat pemanfaatan sarana pelayanan oleh
masyarakat, mutu pelayanan dan tingkat efisiensi RS. Secara umum aspek
penilaian meliputi evaluasi, dokumen, instrumen, dan audit (EDIA) (Nursalam,
2014).
d. Aspek struktur (input)
Struktur adalah semua input untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi
M1 (tenaga), M2 (sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4
(dana), M5 (pemasaran), dan lainnya. Ada sebuah asumsi yang menyatakan
bahwa jika struktur sistem RS tertata dengan baik akan lebih menjamin mutu
pelayanan. Kualitas struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas, biaya
(efisiensi), dan mutu dari masing-masing komponen struktur.
e. Proses
Proses adalah semua kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang
mengadakan interaksi secara professional dengan pasien. Interaksi ini diukur
antara lain dalam bentuk penilaian tentang penyakit pasien, penegakan
diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan
penyakit, dan prosedur pengobatan.
f. Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain
terhadap pasien.
g. Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi:
1) Angka infeksi nosocomial: 1-2%
2) Angka kematian kasar: 3-4%
3) Kematian pasca bedah: 1-2%
4) Kematian ibu melahirkan: 1-2%
5) Kematian bayi baru lahir: 20/1000
6) NDR (Net Death Rate): 2,5%
NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah
dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan
gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Rumus :
Jumlah pasien mati > 48 jam 100%
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))
7) ADR (Anasthesia Death Rate) maksimal 1/5000
8) PODR (Post Operation Death Rate): 1%
9) POIR (Post Operative Infection Rate): 1%
h. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS:
1) Biaya per unit untuk rawat jalan
2) Jumlah penderita yang mengalami decubitus
3) Jumlah penderita yang mengalami jatuh dari tempat tidur
4) BOR(Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur) 70-85%
Menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur
pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi
rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit.Nilai parameter
BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
Rumus :
(jumlah hari perawatan di rumah sakit) 100%
(jumlah tempat tidur jumlah hari dalam satu periode)

5) BTO (Bed Turn Over): 5-45 hari atau 40-50 kali per satu tempat tidur/tahun
BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur
pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu
tertentu.Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50
kali.
Rumus :
Jumlah pasien dirawat (hidup + mati)
(jumlah tempat tidur)
6) TOI (Turn Over Interval): 1-3 hari TT yang kosong
TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur
tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya.Indikator ini
memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur.Idealnya
tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.
Rumus :
((jumlah tempat tidur Periode) Hari Perawatan)
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))
7) LOS (Length of Stay): 7-10 hari (komplikasi, infeksi nosocomial; gawat
darurat; tingkat kontaminasi dalam darah; tingkat kesalahan; dan kepuasan
pasien)
8) Normal tissue removal rate: 10%
9) ALOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat)
ALOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang
pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga
dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada
diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih
lanjut.Secara umum nilai ALOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).
Rumus :
(jumlah lama dirawat)
(jumlah pasien keluar (hidup + mati)
i. Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan
jumlah keluhan pasien/keluarganya, surat pembaca dikoran, surat kaleng, surat
masuk di kotak saran, dan lainnya.
j. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri atas:
1) Jumlah dan presentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS dengan
asal pasien.
2) Jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan
jumlah kunjungan SMF spesialis.
3) Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut
di atas dibandingkan dengan standar (indicator) nasional. Jika bukan angka
standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan hasil
penacatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di rumah sakit yang sama,
setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS yang
bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staff lainnya yang terkait.
k. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien:
1) Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi
2) Pasien diberi obat salah
3) Tidak ada obat/alat emergensi
4) Tidak ada oksigen
5) Tidak ada suction (penyedot lendir)
6) Tidak tersedia alat pemadam kebakaran
7) Pemakaian obatPemakaian air, listrik, gas, dan lainnya

Standar Nasional
BOR 75-80%
ALOS 1-10 hari
TOI 1-3 hari
BTO 5-45 hari
NDR < 2,5%
GDR < 3%
ADR 1,15.000
PODR < 1%
POIR < 1%
NTRR < 10%
MDR < 0,25%
IDR < 0,2%
Tabel 1. Standar Nasional Indikator Mutu Pelayanan

Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui


tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-
indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap.
Menurut Nursalam (2014), ada enam indikator utama kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit:
a. Keselamatan pasien (patient safety), yang meliputi: angka infeksi nosokomial,
angka kejadian pasien jatuh/kecelakaan, dekubitus, kesalahan dalam pemberian
obat, dan tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan
b. Pengelolaan nyeri dan kenyamanan
c. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan
d. Perawatan diri
e. Kecemasan pasien
f. Perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) pasien.

5. Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variable untuk
mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan yang berdampak
terhadap pelayanan kesehatan.Program keselamatan pasien adalah suatu usaha
untuk menurunkan angka kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sering terjadi
pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien
itu sendiri maupun pihak rumah sakit. KTD bisa disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain beban kerja perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat,
penggunaan sarana yang kurang tepat dan lain sebagainya.
WHO Collaborating Centre for Patient safety pada tanggal 2 Mei 2007
resmi menerbitkan Nine Life Saving Patient safety Solutions (Sembilan Solusi
Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Panduan ini mulai disusun sejak
tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan
mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi
fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD
(Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error)
mau pun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat,
mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses
pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat
bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari
cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di
Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien
Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan
dan kondisi RS masing-masing.
a. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names)
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan
staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan
obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia.
Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan
potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik
serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk
pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan
perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
b. Pastikan Identifikasi Pasien
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien
secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun
pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada
bukan keluarganya, dsb. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi
terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini;
standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu
sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta
penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang
sama.
c. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima/Pengoperan Pasien
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien
antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa
mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak
tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi
ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan
protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan
kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-
pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga
dalam proses serah terima.
d. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah.Kasus-kasus
dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang
salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya
informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak
kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau
kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah
untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses
verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh
petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam
prosedur Time out sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan
identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.
e. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated)
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras
memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi
khususnya adalah berbahaya.Rekomendasinya adalah membuat standardisasi
dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk/bingung
tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
f. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan.
Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang
didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi
pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap
dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut
sebagai home medication list, sebagai perbandingan dengan daftar saat
admisi, penyerahan dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan
perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang
berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
g. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube)
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan
spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur
yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas
medikasi secara detail/rinci bila sedang mengenjakan pemberian medikasi serta
pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung
alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang yang
benar).
h. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV,
HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik.
Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas
layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan
kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian infeksi,edukasi
terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui
darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
i. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi
Nosokomial
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh
dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan
Tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan
masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan
cairan alcohol-based hand-rubs tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya
sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan
taangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja;
dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui
pemantauan/observasi dan tehnik-tehnik yang lain.
Aspek hukum terhadap patient safety;; atau keselamatan pasien adalah
sebagai berikut:
a. UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit
Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum :
1) Pasal 53 (3) UU No.36/2009; Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.
2) Pasal 32n UU No.44/2009; Pasien berhak memperoleh keamanan dan
keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.
3) Pasal 58 UU No.36/2009
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.
b. Tanggung jawab Hukum Rumah sakit
1) Pasal 29b UU No.44/2009; Memberi pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
2) Pasal 46 UU No.44/2009; Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan di RS.
3) Pasal 45 (2) UU No.44/2009; Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam
melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.
c. Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit; Rumah Sakit Tidak
bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak
atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah
adanya penjelasan medis yang kompresehensif.
d. Hak Pasien
1) Pasal 32d UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional
2) Pasal 32e UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi
3) Pasal 32j UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan
4) Pasal 32q UU No.44/2009; Setiap pasien mempunyai hak menggugat
dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun
pidana
e. Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
1) Pasal 43 UU No.44/2009
a) RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
b) Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka
menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
c) RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang
membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
d) Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan
untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
Indikator keselamatan pasien (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-
area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, misalnya
untuk menunjukkan:
a. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu
b. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi
sebagaimana yang diharapkan
c. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan
d. ketidaksepadanan antarunit pelayanan kesehatan (misalnya, pemerintah dengan
swasta atau urban dengan rural)
Indikator keselamatan pasien, sebagaimana dilaksanakan di SGH (Singapore
General Hospital, 2006) meliputi:
a. Pasien jatuh disebabkan kelalaian perawat, kondisi kesadaran pasien, beban
kerja perawat, model tempat tidur, tingkat perlukaan, dan keluhan keluarga
b. Pasien melarikan diri atau pulang paksa, disebabkan kurangnya kepuasan
pasien, tingkat ekonomi pasien, respons pasien terhadap perawat, dan peraturan
rumah sakit
c. Clinical incident diantaranya jumlah pasien flebitis, jumalah pasien ulkus
decubitus, jumlah pasien pneumonia, jumlah pasien tromboli, dan jumlah pasien
edema paru karena pemberian cairan yang berlebih.
d. Sharp injury, meliputi bekas tusukan infus yang berkali-kali, kurangnya
ketrampilan perawat, dan complain pasien.
e. Medication incident, meliputi lima tidak tepat(jenis, obat, dosis, pasien, cara,
waktu).

7. Instrumen Managemen Mutu Keperawatan


a. Instrumen A
b. Instrumen B
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan yang Lebih Bermutu. Jakarta:


Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Gillies, D.A. 1994. Nursing Management, A System Approach. Third Edition.
Philadelphia : WB Saunders.
Kozier, Erb & Blais. 1997. Profesional Nursing Practice: Concept &
Perspectives. Third Edition. California : Addison Wesley Publishing. Inc
Meisenheimer, C.G. 1989. Quality Assurance for Home Health Care. Maryland:
Aspen Publication
Muninjaya, Gde. 2004. Manajemen Kesehatan Edisi 2. Jakarta. EGC
Nursalam, 2014. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional Edisi 4.Jakarta: Salemba Medika
Nursalam, 2015. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional Edisi 5.Jakarta: Salemba Medika
Sabarguna, Boy. 2009. Buku Pegangan Mahasiswa Manajemen Rumah Sakit Jilid I.
Jakarta. Sagung Seto.
Sabarguna, Boy. 2009. Buku Pegangan Mahasiswa Manajemen Rumah Sakit Jilid II.
Jakarta. Sagung Seto
Swansburg, R.C. & Swansburg, R.J. 1999. Introductory Management and Leadership
for Nurses.Canada : Jones and Barlett Publishers.
Tappen 1995. Nursing Leadership and Management: Concepts & Practice.
Philadelphia : F.A. Davis Company.
Tjiptono, F. 2004. Prinsip-prinsip Total Quality Service (TQS).Yogyakarta : Andi
Press
Wijono, D. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Teori, Strategi dan
Aplikasi. Volume.1. Cetakan Kedua.Surabaya : Airlangga University
Press.

Vous aimerez peut-être aussi