Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Penderita Tuberkulosis Paru Perokok dan Bukan
Perokok Berdasarkan Rentang Umur
No Umur (th) Perokok Bukan Perokok
1 15-24 10 (22.7%) 7 (25.9%)
2 25-44 27 (67.5%) 13 (48.1%)
3 45-64 4 (11.4%) 6 (22.2%)
4 65 2 (4.5%) 1 (3.7%)
Jumlah (n) 44 27
Mean 37.63 37.636
Hemoptisis 61.4
18.5
Demam 93.2
92.6
Penurunan BB 95.5
92.6
Anoreksia 90.9
81.5
0 20 40 60 80 100
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Tuberkulosis Perokok dan Bukan Perokok dengan
Hasil Pemeriksaan BTA
No Negatif 1+ 2+ 3+ Total (n)
1 Perokok 9 (20.5%) 5 (11.4%) 6 (13.6%) 24 (54.5%) 44
2 Bukan 17 (63%) 4 (14.8%) 1 (3.7%) 5 (18.5%) 27
perokok
Total (n) 26 9 7 29
Dari tabel 5.5 didapatkan data mengenai presentasi hasil pemeriksaan BTA
pada penderita tuberkulosis perokok dan bukan perokok. Pada subyek penelitian ini
didapatkan penderita tuberkulosis yang perokok berjumlah 44 orang dengan hasil
pemeriksaan BTA positif 35 (79.5%). Dari penderita yang memiliki hasil BTA
positif, 5 (11.4%) orang diantaranya memiliki hasil BTA 1+, 6 (13.6%) orang
memiliki hasil BTA2+, dan 24 (54.5%) orang memiliki hasil BTA 3+. Sisanya 9
(20.5%) orang dengan hasil pemeriksaan BTA negatif. Sedangkan penderita
tuberkulosis bukan perokok sebanyak 27 orang dengan hasil pemeriksaan BTA
positif 10 (37%). Dari penderita yang memiliki hasil BTA negatif, 4 (14.8%) orang
memiliki hasil BTA 1+, 1 (3.7%) orang memiliki hasil BTA 2+, dan 5 (18.5%) orang
memiliki hasil BTA 3+. BTA negatif sebanyak 17 (63%) orang.
Pada penelitian ini, hasil pemeriksaan BTA yang berupa positif dan negatif
akan dibandingkan antara penderita tuberkulosis paru perokok dan bukan perokok.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan uji Chi-square, hasil P
value <0.05 menunjukkan bahwa hasil signifikan. Berdasarkan hasil analisis statistik
di atas, dapat disimpulkan terdapat perbedaan hasil pemeriksaan basil tahan asam
(BTA) yang signifikan antara penderita tuberkulosis perokok dan bukan perokok
(P<0.0001 dan RR= 2.942 dengan CI 95% 1.592-5.437)
Tabel 5.6 Hasil Pemeriksaan BTA pada Penderita Tuberkulosis Paru Perokok dan
Bukan Perokok
No BTA positif BTA negatif P value RR 95%CI
1 Perokok 35 (79.5%) 9 (20.5%)
rr
2 Bukan perokok 10 (37%) 17 (63%) <0.001 1.592-5.437
2.942
Total (n) 45 26
Tabel 5.8 Derajat Kepositifan BTA pada Penderita Tuberkulosis Paru Perokok
Ringan dan Perokok Berat
No Derajat kepositifan Derajat kepositifan P value
BTA tinggi (3+) BTA rendah (1+, 2+)
5.2 PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, lebih dari setengah (62%) penderita tuberkulosis paru
merupakan perokok, sedangkan sisanya (38%) bukan perokok. Hal ini sesuai dengan
temuan yang dilaporkan oleh Hashim M et al, yaitu dari 200 responden tuberculosis
paru 116 (58%) merupakan perokok dan 84 (42%) bukan perokok. Penelitian lain
juga melaporkan hal yang sama. Penelitian oleh Leung dan Prasad membuktikan
peningkatan risiko tuberculosis di kalangan perokok. Hal ini dapat dijelaskan oleh
efek dari merokok pada mekanisme pertahanan structural paru dan imunologis.
Paparan kronis tembakau menggaggu mekanik fungsi cilia, mengganggu peran
makrofag, dan mengurangi jumlah CD4 dan kegiatan lisozim sehingga
memungkinkan organisme penyebab, Mycobacterium tuberculosis untuk melewati
pertahanan pertama paru-paru dan mencapai alveolus.
Kecenderungan jenis kelamin laki-laki (62%) pada penderita TB paru, seperti
yang didapatkan dalam penelitian ini, merupakan hasil yang konsisten dengan temuan
dari peneliti lain. Data Riskesdas 2013 juga menunjukkan jumlah penderita TB paru
laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan perempuan. Penderita TB yang
merupakan perokok sebagian besar ialah laki-laki (90.9%) yang semakin mendukung
bahwa TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan karena
laki-laki mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB
paru. Frekuensi penderita TB paru pada subyek penelitian ini terbanyak adalah umur
antara 25-44 tahun sebesar 32.4. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
mengatakan bahwa secara epidemiologi, penderita TB paling banyak adalah pada usia
produktif. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut masyarakat sering berinteraksi
dengan lingkungan baik untuk mencari nafkah maupun menuntut ilmu, sehingga
risiko penularan dari lingkungan lebih luas. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antar penderita TB paru perokok dan bukan perokok berdasarkan rentang usia, yaitu
rentang 25-44 memiliki frekuensi terbanyak.
Dalam penelitian ini, subyek terbanyak adalah lulusan SMA (54.9%),
pekerjaan terbanyak sebagai pedagang (33.8%), dengan rentangan pengeluaran paling
banyak 1.000.000-1.500.000/ bulan (23.9%). Data ini tidak sesuai dengan
kepustakaan yang mengatakan bahwa berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi
TB paru cenderung meningkat pada pendidikan rendah, tidak bekerja, dan kuintil
indeks kepemilikan teratas. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena responden yang
didapat dari penduduk di wilayah kerja Puskesmas Curug mempunyai taraf ekonomi
yang hamper sama menyebabkan tingkat ekonomi dalam penelitian ini tidak
berhubungan dengan kejadian tuberculosis paru di Puskesmas Curug.
Dari seluruh responden, didapatkan frekuensi terbanyak merupakan penderita
TB dengan status gizi kurang (62%) dengan rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT)
sebesar 17.69. Hal ini didukung oleh Semuningus, bahwa kekurangan gizi
mempengaruhi status kekebalan individu sehingga membuat individu lebih rentan
terhadap infeksi TB dan perkembangan aktif penyakit TB.
Pada kelompok perokok, penderita tuberkulosis berumur 25-44 tahun paling
banyak ditemukan 27 (67.5%), diikuti dengan umur 15-24 tahun sebanyak 10
(22.7%), umur 45-64 sebanyak 4 (11.4%), dan umur 65 sebanyak 2 (4.5%). Tidak
jauh berbeda dengan kelompok perokok, pada kelompok bukan perokok penderita
tuberkulosis berumur 35-44 tahun juga memegang persentase tertinggi yaitu 13
(48.1%), diikuti dengan umur 15-24 tahun (25.9%), umur 45-64 (22.2%), dan terakhir
65 (3.7%).
Sehubungan dengan gejala klinis, ditemukan bahwa penderita TB paru
perokok lebih memiliki gejala hemoptysis (61.4% vs 18.5%) dan sesak napas (86.4%
vs 51.9%) dibandingkan dengan bukan perokok. Penelitian yang dilakukan oleh
Leung et al dan Singha et al mendukung bahwa perokok lebih memiliki gejala klinis
batuk dan sesak napas. Marjani et al, menambahkan bahwa adanya dahak ( 87.4% vs
72.6%) dan penurunan berat badan (92.7% vs 84.7%) lebih besar pada perokok
daripada bukan perokok secara signifikan. Gambaran gejala klinis lain selalu lebih
tinggi pada penderita TB perokok dibandingkan bukan perokok. Studi lain
mengatakan penderita tuberculosis perokok memiliki perjalanan penyakit yang lebih
buruk secara klinis dibandingkan dengan bukan perokok.
Dalam penelitian ini, penderita tuberculosis paru perokok lebih memiliki hasil
BTA positif yaitu 79.5% dibandingkan dengan bukan perokok 37%. Secara statistic
hasil analisa menunjukkan P<0,0001 dan RR = 2.942 dengan CI 95%= 1.592-5.437
sehingga bermakna. Dengan demikian penderita TB paru yang merupakan perokok
mempunyai risiko memiliki hasil BTA positif sebanyak 2.942 kali lebih besar
dibandingkan dengan bukan perokok. Hal ini sesuai dengan penelitian Singha et al
yang menunjukkan hasil P<0.0001. Studi lain juga menunjukkan penemuan yang
sama Tetapi Wang, et al, (2007), Nadiyah (2007), dan Sahoo, et al (2015)
mengemukakan tidak terdapat hubungan antara merokok dengan hasil pemeriksaan
dahak positif yang signifikan.
Di antara subyek dengan BTA positif, derajat kepositifan yang tinggi (3+)
ditemukan lebih banyak pada perokok berat dibandingkan dengan perokok ringan.
Hasil yang sama didapatkan oleh Singha, et al (2016), Rathee et al (2016), dan
Agarwal, et al (2011). Dalam penelitian ini, analisis statistic menunjukkan P value <
0.05 dan RR = 2.906 dengan CI 95% = 1.277-6.615. Hal ini berarti penderita TB
paru yang merupakan perokok berat mempunyai risiko memiliki derajat kepositifan
tinggi (3+) sebanyak 2.906 kali lebih besar dibandingkan dengan perokok ringan.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa bukan hanya kebiasaan merokok, tetapi
kuantitas dalam merokok juga berhubungan dengan derajat kepositifan BTA yang
lebih tinggi. Dengan demikian, perokok merupakan sumber infektivitas penyakit
tuberculosis dan penderita tuberculosis perokok memiliki kesempatan untuk
menyebarkan infeksi lebih banyak di lingkungan masyarakat.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
6.2 SARAN
1. Bagi Puskesmas Curug, Kabupaten Tangerang
a. Meningkatkan promosi aktif ke masyarakat dengan melaksanakan
sosialisasi dan pembinaan ke masyarakat tentang penyakit TB Paru dan
bahaya merokok khususnya kepada kader kesehatan.
b. Pengadaan metode KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) seperti poster
dan leaflet tentang penyakit TB Paru dan bahaya merokok dalam
memberikan pengetahuan pada masyarakat minimal di Posbindu di tiap
RW.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang
Memberikan informasi terkait bahaya rokok dan TB paru, melalui
pemberian leaflet atau poster di setiap fasilitas pelayanan kesehatan wilayah
kerja Puskesmas Curug.
4. Bagi Masyarakat
a. Diharapkan bagi masyarakat agar mendapatkan wawasan tentang hubungan
merokok dengan penularan TB paru.
b. Diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang
didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.
c. Diharapkan bagi masyarakat agar tidak merokok.