Vous êtes sur la page 1sur 22

1

BAB I
PENAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilektomi adalah suatu tindakan bedah untuk mengangkat seluruh
jaringan tonsila palatina. Tindakan ini merupakan tindakan bedah tertua yang
masih digunakan. Laporan operasi tonsilektomi pertama kali dilakukan oleh
Celcus pada abad ke-1.1 Celsus melaporkan tindakan tonsilektomi untuk pertama
kali, menggunakan scalpel untuk eksisi tonsil, namun pengangkatan ini belum
dapat maksimal, karena belum semua jaringan berhasil diangkat.2
Teknik tonsilektomi terus mengalami perkembangan, tahun 1827 tonsil
diangkat menggunakan guillotine, pada saat itu dinamakan Primary enucleation,
pertama kali digunakan oleh Physick. Tahun 1867, Meyer menggunakan pisau
berbentuk lingkaran, mengangkat tonsila adenoid melalui cavitas nasi, pada
pasien yang menderita penurunan pendengaran dan sumbatan hidung. Pada tahun
1910 Wilis dan Pybus melaporkan pengangkatan tonsil lengkap dengan
kapsulnya. Pada tahun 1912, Sluder menemukan alat untuk mengambil tonsil
sehingga keberhasilan pengambilan tonsil lengkap dengan kapsulnya mencapai
99,6 %. Teknik tonsilektomi lain terus dikembangkan seperti elektrokauter
ditujukan untuk mengurangi terjadinya efek yang tidak diharapkan dari
tonsilektomi.2
Tonsilektomi merupakan operasi yang sering dikerjakan di bagian THT, dan
merupakan pelayanan one day care (bedah sehari) dibanyak fasilitas kesehatan.
Terdapat 4 teknik yang dapat digunakan yakni guillotine, diseksi, thermal
welding, dan cryosurgery, dimana resiko perdarahan lebih besar pada teknik
guillotine dibanding teknik lainnya, walau lama operasi lebih singkat dan nyeri
yang lebih kecil.3
Tindakan tonsilektomi 75% dilakukan pada anak yang berumur kurang dari
15 tahun. Di Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya, operasi tonsilektomi ini
dilakukan pada 530.000 orang anak berumur dibawah 15 tahun. Di Inggris,
frekuensi tonsilektomi dan adenoidektomi pada rentang tahun 1987-1993 telah
dilakukan 70.000-90.000 operasi pertahunnya.4
2

Sedangkan di Indonesia, belum dilakukan pendataan nasional mengenai


jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi. Namun data yang
didapatkan dari RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta selama 5 tahun terakhir
(1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi
dari tahun ke tahun.4
Tonsilektomi dilakukan bila terajadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan nafas serta kecurigaan neoplasma.5 Komplikasi yang paling
sering ditimbulkan adalah perdarahan yang dapat timbul pada periode awal atau
terjadi secara sekunder 5-8 hari setelah operasi. Komplikasi lain berupa obstruksi
jalan nafas dan inhalasi benda asing seperti darah, muntahan, gigi yang patah.6
Pilihan terapi dengan tonsilektomi semestinya dikerjakan dengan indikasi
yang tepat sehingga didapatkan keuntungan yang nyata, mengingat tonsil sebagai
bagian sistem pertahanan tubuh. Walaupun tonsilektomi sudah sering dikerjakan
dan meningkatkan kualitas hidup pasien namun tetap saja masih ada resiko
didalam tindakan tonsilektomi.7
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dan kriptus di dalamnya.5 Jaringan limfoid yang terdapat disekitar
pintu masuk sistem respirasi dan pencernaan membentuk sebuah cincin. Bagian
lateral cincin dibentuk oleh tonsila palatina dan tonsila tubaria. Bagian atasnya
dibentuk oleh tonsila pharyngeus yang terdapat di atap nasopharynx dan bagian
bawahnya dibentuk oleh tonsila lingualis yang terdapat pada sepertiga bagian
posterior lidah.8

Gambar 1. Cincin Waldeyer

A. Tonsila Palatina
Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing-masing
terletak di dalam cekungan dinding lateral orofaring di antara pilar anterior
4,8,9
(muskulus palatoglosus) dan pilar posterior (muskulus palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masingnya mempunyai 10-
30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil arcus palatoglossus dan
palatofaringeus.4,8 Di dalam Crypta biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.5
4

Gambar 2. Anatomi Tonsila Palatina

Permukaan lateral tonsil melekat pada fascia faring yang yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga
mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.5 Tonsil tidak selalu mengisi seluruh
fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh : 4,10
Lateral : Muskulus konstriktor faring superior
Anterior : Muskulus palatoglosus
Posterior : Muskulus palatofaringeus
Superior : Palatum mole
Inferior : Tonsil lingual.4,10

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil
atau terpotongnya pangkal lidah.2
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri Faringeal asenden dan arteri
Palatina desenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri
Lingualis dorsalis dan bagian posterior oleh arteri Palatina asenden, yang di antara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri Tonsilaris.4,11
5

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsila Palatina

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
Sternokleidomasteideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen, dan
tidak memiliki pembuluh getah bening aferen.4,11
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus. 2,10

B. Tonsil Faringeal (Adenoid)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai
kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.2,11
6

C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.2,11

2.2 Fisiologi Tonsil


Tonsil dan cincin Waldeyer lain merupakan bagian dari Mucosa
Associated Limphoid Tissue (MALT). MALT berperan penting sebagai respon
imun pada permukaan mukosa setempat. Pada MALT ini, terdapat kumpulan sel-
sel yang tersebar merata di lamina propria dinding saluran cerna, saluran nafas.
MALT ini juga dikenal sebagai kumpulan sel-sel yang terorganisasi dalam bentuk
folikel yang terdiri dari limfosit, plasmasit dan fagosit.4
Tonsil selalu terpapar oleh mikrorganisme yang masuk melalui saluran
nafas dan saluran cerna. Sebagai bagian dari MALT, tonsil berfungsi
mematangkan sel limfosit B serta menyebarluaskan sel B terstimulasi menuju
jaringan mukosa dan kelenjar sekretori di tubuh.4
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-
0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan
T pada tonsil adalah 50% : 50%, sedangkan di darah 55-75% : 15-30%. Pada
tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam
proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu :
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.2,11
7

2.3 Tonsilektomi
2.3.1 Definisi Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsila
palatina.10 Tonsilektomi merupakan pembedahan lini pertama untuk mengangkat
tonsila palatina dan merupakan prosedur bedah yang paling sering dilakukan pada
usia kanak-kanak dan relatif sering dilakukan pada usia dewasa.13

2.3.2 Epidemiologi 2,10,11,13


Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia digolongkan pada
operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada
tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak
(86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani
tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72
per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun
1996 (3.200 operasi).
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari RS Fatmawati
dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan
8

jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi


tonsiloadenoidektomi.2,10,1113

2.3.3 Indikasi Tonsilektomi 12

a. Indikasi Absolut
1. Infeksi tenggorokan berulang.
Infeski berulang didefinisikan lebih lanjut sebagai :
7 episode dalam 1 tahun terakhir, atau
5 episode tiap tahun dalam 2 tahun berturut-turut, atau
3 episode tiap tahun dalam 3 tahun berturut-turut atau
2 minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau bekerja dalam 1 tahun.
2. Abses Peritonsilar
Pada anak-anak, dilakukan tonsilektomi 4-6 minggu setelah abses telah
diobati. Pada orang dewasa, serangan abses peritonsillar merupakan
indikasi mutlak dilakukan tonsilektomi.
3. Tonsilitis yang bisa menyebabkan terjadinya kejang demam.
4. Hipertrofi Tonsila palatina, yang bisa menyebabkan :
Obstruksi jalan nafas (sleep apnea)
Kesulitan dalam berbicara
Gangguan dalam pengucapan.
5. Kecurigaan terhadap keganasan
Tonsila palatina yang membesar secara unilateral, bisa berupa limfoma
pada anak-anak dan karsinoma epidermoid pada orang dewasa. Tindakan
Biopsi eksisi dilakukan jika curiga ada keganasan.
b. Indikasi Relatif
1. Tonsilitis pada karier difteri yang tidak respon dengan antibiotik.
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten 12
9

2.3.4 Kontraindikasi Tonsilektomi 12

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,


namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah :
1. Hemoglobin di bawah 10 g%.
2. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.
3. Anak usia < 3 tahun.
4. Langit mulut tidak terbentuk.
5. Kelainan darah misalnya leukemia, purpura, anemia aplastik atau hemofilia.
6. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol, misalnya pada diabetes, penyakit
jantung, hipertensi atau asma. 12

2.3.5 Posisi Tonsilektomi


Posisi Rose, yaitu pasien berbaring telentang dengan kepala terangkat
dengan meletakkan bantal di bawah bahu. Cincin karet ditempatkan di bawah
kepala untuk menstabilkannya.12

Gambar 4. Posisi Rose


10

2.3.6 Teknik Tonsilektomi 2,10,11


Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan Diseksi.

1. Guillotine 2,10,11
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19,
dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil.
Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai
dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome yaitu alat
yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.
Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad
ke-1, kemudian Albucassis di Cordova membuat sebuah buku yang mengulas
mengenai operasi dan pengobatan secara lengkap dengan teknik tonsilektomi
yang menggunakan pisau seperti guillotine. Greenfield Sluder pada sekitar akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan seorang ahli yang sangat
merekomendasikan teknik Guillotine dalam tonsilektomi. Beliau mempopulerkan
alat Sluder yang merupakan modifikasi alat Guillotin. Hingga kini, di UK
tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga dikatakan bahwa
teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk
digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan
cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,
terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat,
komplikasi anestesi kecil dan biaya kecil. 2,10,11

Gambar 5. Alat Sluder


11

Teknik :15
Posisi pasien telentang anestesi umum. Operator disisi kanan
berhadapan dengan pasien.
Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi
dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui
sudut kiri.
Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian
kutub bawah tonsil dimasukkan ke dalam lubang guillotine.
Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh
jaringan tonsil masuk ke dalam lubang guillotine.
Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang
guillotine, dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan
sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan dirawat.

Keuntungan :
Dikenal sebagai cara yang cepat dan praktis.
Komplikasi anestesi kecil.
Biaya lebih murah.

Kerugian :
Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat
Dapat timbul perdarahan yang hebat.15

2. Diseksi 2,10,11
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya
sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.
Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum
dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut
Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara
ini juga banyak digunakan pada pasien anak.
12

Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan


desain yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak
berubah. Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia).
Teknik operasi meliputi : memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi
membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan
mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis
dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah
tersebut dengan salin.
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan
benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli
bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan dimulai.
Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi
aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara
membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk
mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah. Mouth gag
diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak
mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan.
Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire
bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini harus
dilakukan dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa
orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan
secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat,
bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub
superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag
dielevasikan.
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur
garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia
dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah
no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah no. 2 jarang digunakan
kecuali pada anak yang kecil. Intubasi nasal trakea lebih tepat dilakukan dan
sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi. 2,10,
13

Keuntungan :15
Perdarahan pasca operasi minimal
Dapat mengangkat seluruh jaringan tonsil

Kerugian :
Nyeri hebat pasca-operasi
Durasi operasi lebih lama
Nyeri pascaoperasi yang signifikan akibat digunakannya elektrokauter
untuk hemostasis
Risiko perdarahan intraoperatif tinggi.15

Gambar 6. Penggunaan Alat Mouth Gag Davis

3. Electrosurgery (Bedah listrik) 2,10,11,15


Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas
dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini.
Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur
listrik (electrical pathway).
14

Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong,


menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik
yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur.

4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium
penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat
menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses
ini terjadi pada suhu rendah (40 C 70 C), mungkin lebih sedikit jaringan
sekitar yang rusak. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya,
ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi
dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi.

5. Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.
Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur
sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 150C-
400C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi
jauh lebih rendah (biasanya 50C -100C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas
generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal
kaki. Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 m (paling penting), dan
hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak
dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan
internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan.
Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan
15

hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari
friksi jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah
lain, yaitu : kerusakan akibat panas minimal karena proses pemotongan dan
koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan charring, desiccation
(pengeringan) dan asap juga lebih sedikit, lapangan bedah terlihat jelas karena
lebih sedikit perdarahan, perdarahan dan nyeri pasca operasi juga minimal dan
teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi
kehilangan darah.

6. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar
ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar
radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation. Teknik ini menggunakan bipolar
electrical probe untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency
electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan
aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe
memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar
(suhu 60C (45-85C) dibanding lebih dari 100C). National Institute for clinical
excellence menyatakan bahwa efikasi teknik coblation sama dengan teknik
tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi
komplikasi utama adalah perdarahan.

7. Intracapsular partial tonsillectomy


Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Pada tonsilektomi
intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot
faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan pelindung biologis bagi
otot dari sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan
mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga
mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Tonsilitis
kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.2,10,11,15
16

2.3.7. Teknik Anestesi 10,12

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia


pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan
dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi.
Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum,
teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
dengan tujuan untuk pendidikan.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan
untuk tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan
gelisah. Pilihan untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan
pasien yang tidak menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan
yang tidak memungkinkan untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan
untuk tonsilektomi pada orang dewasa. Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi
kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan mempertimbangkan tingkat
keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien dinilai dapat
mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.10,12

2.3.8 Komplikasi Tonsilektomi 10


Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.

a. Komplikasi Anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
17

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi


Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi.

b. Komplikasi bedah
Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau
di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer atau reactionary haemorrage dengan
kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat
selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan
primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih
dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah
dapat menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan
dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-
10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar
1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti.
Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien
pascatonsilektomi. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian
18

analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan


terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko
terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah,
perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena
dibutuhkan.

c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan
pneumonia.10

2.3.9 Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan 2,10


Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan
berbaring ke kiri dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak. Pasien
diobservasi selama beberapa waktu di ruang pemulihan untuk meminimalkan
komplikasi selain untuk memaksimalkan efektivitas biaya dari pelayanan
kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi sudah bisa pulang pada
hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara tepat sebelumnya.
Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum pasien
dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk
mengawasi adanya perdarahan dini.
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU)
memerlukan dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja
sebagai sebuah tim. Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait
medis, bedah dan anestesi dengan tujuan dapat memberikan terapi secara cepat
sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi yang timbul. Idealnya, penilaian
rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi, frekuensi
denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi pemeriksaan
tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk
jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.2,10
19

2.3.10 Perawatan Post Operasi 2,10


a. Diet
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah
yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan
menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan
secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak
merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien
berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan pasien
bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa
dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat,
muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam
keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering
hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang
jelas dapat menunjang keputusan tersebut.2,10

b. Medikamentosa 2,10
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga,
analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena
letargi. Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring.
Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi
selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa
nyeri.2,10
20

BAB III
KESIMPULAN

Tonsilektomi adalah suatu tindakan bedah untuk mengangkat seluruh


jaringan tonsila palatina. Tindakan ini merupakan tindakan bedah tertua yang
masih digunakan. Tonsilektomi didiskripsikan pertama kali di India pada tahun
1000 SM. Pada tahun 30 SM, 2 Celsus melaporkan tindakan tonsilektomi untuk
pertama kali, menggunakan scalpel untuk eksisi tonsil, namun pengangkatan ini
belum dapat maksimal, karena belum semua jaringan berhasil diangkat.
Selanjutnya Meyer (1867) melaporkan kasus adenotonsilektomi pada wanita 20
tahun yang mengeluh hidung tersumbat dan pendengaran menurun. Crow (1917)
melaporkan tonsilektomi pada 1000 pasien dengan mouth gauge, yang sekarang
dikenal sebagai Crowe-Davis mouth gauge.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit.
Tonsilektomi dilakukan bila terajadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan nafas serta kecurigaan neoplasma.5 Komplikasi yang paling
sering ditimbulkan adalah perdarahan yang dapat timbul pada periode awal atau
terjadi secara sekunder 5-8 hari setelah operasi. Komplikasi lain berupa obstruksi
jalan nafas dan inhalasi benda asing seperti darah, muntahan serta gigi yang patah.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Farokah. 2012. Infiltrasi Lidokain Peritonsil Pre-Operatif Untuk Mengurangi


Nyeri Pada Pasien Tonsilektomi. http://eprints.undip.ac.id/45598/2/Bab_1.pdf
[Akses : 29 Juli 2017]
2. Citra Cesilia. 2009. Tonsilektomi.
https://www.scribd.com/doc/100804842/Refrat-Tht-Fatma-Tonsilektomi
[Akses : 29 Juli 2017)
3. Brahmi, NH & Sutiyono, D. 2014. Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk
Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada Anak. Jurnal
Anestesi Indonesia. Volume VI, Nomor 3 November 2014. [Akses : 29 Juli
2017]
4. Novialdi & Hafiz, A. 2014. Pengaruh tonsilektomi Terhaap Kadar
Interferon- dan Tumor Necroting Factor- Pada Pasien Tonsilitis Kronis.
http://dokumen.tips/documents/referat-2-tonsilektomi.html [Akses : 29 Juli
2017]
5. Rusmarjono & Arsyad SE. 2016. BAB IX : Nyeri Tenggrok, in Arsyad SE.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggirik Kepala & Leher Edisi
Ketujuh. Jakarta : FK UI.
6. Sjamsuhidajat R., Karnadihardja, R., Prasetyono, TOH dan Rudiman, R.
2011. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat De Jong Edisi 3. Jakarta : EGC.
7. Fadly, TF & Imanto,M. 2016. Indikasi Tonsilektomi pada LakiLaki Usia 19
Tahun dengan Tonsilitis Kronis. J. Medula Unila Volume 5 Nomor 2 Agustus
2016 Hal 22-25. [Akses : 29 Juli 2017]
8. Snell, Richard S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
9. Hartono Arif. 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung Dan
Telinga Edisi 12. Jakarta : EGC.
10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar,
H.N., 2004. Tonsilektomi Pada Anak Dan Dewasa. Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia; 1-25.
22

11. Norhidayah. 2010. Indikasi Tonsilektomi Pada Pasien-Pasien Di Rsup Haji


Adam Malik Dari Bulan Januari 2008 Hingga Bulan Juni 2010.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23175/Chapter%2011.
pdf;jsessionid=8B01BA26909A96A3D1E01E67C55E85C6?sequence=3
[Akses : 29 Juli 2017].
12. Dhingra, PL & Dhingra S. 2014. Disease Of Ear, Nose And Throat & Head
And Neck Surgery Edition 6th. India : Elsevier.
13. Nagel Patrick & Gurkow Robert. 2012. Dasar-Dasar Ilmu THT Edisi 2.
Jakarta : EGC.
14. Klarisa, Cindy., Fardizza, Fauziah. 2014.Tonsilitis, in Tanto, C., Liwang, F.,
Hanifati, S & Pradipta, E. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-IV Jilid 1.
Jakarta : Media Aesculapius.
15. https://www.scribd.com/doc/167641940/Indikasi-Tonsilektomi [Akses : 01
Agustus 2017].

Vous aimerez peut-être aussi