Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tonsila Palatina
Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing-masing
terletak di dalam cekungan dinding lateral orofaring di antara pilar anterior
4,8,9
(muskulus palatoglosus) dan pilar posterior (muskulus palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masingnya mempunyai 10-
30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil arcus palatoglossus dan
palatofaringeus.4,8 Di dalam Crypta biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel
yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.5
4
Permukaan lateral tonsil melekat pada fascia faring yang yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga
mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.5 Tonsil tidak selalu mengisi seluruh
fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh : 4,10
Lateral : Muskulus konstriktor faring superior
Anterior : Muskulus palatoglosus
Posterior : Muskulus palatofaringeus
Superior : Palatum mole
Inferior : Tonsil lingual.4,10
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil
atau terpotongnya pangkal lidah.2
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri Faringeal asenden dan arteri
Palatina desenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri
Lingualis dorsalis dan bagian posterior oleh arteri Palatina asenden, yang di antara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri Tonsilaris.4,11
5
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
Sternokleidomasteideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen, dan
tidak memiliki pembuluh getah bening aferen.4,11
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus. 2,10
C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.2,11
2.3 Tonsilektomi
2.3.1 Definisi Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsila
palatina.10 Tonsilektomi merupakan pembedahan lini pertama untuk mengangkat
tonsila palatina dan merupakan prosedur bedah yang paling sering dilakukan pada
usia kanak-kanak dan relatif sering dilakukan pada usia dewasa.13
a. Indikasi Absolut
1. Infeksi tenggorokan berulang.
Infeski berulang didefinisikan lebih lanjut sebagai :
7 episode dalam 1 tahun terakhir, atau
5 episode tiap tahun dalam 2 tahun berturut-turut, atau
3 episode tiap tahun dalam 3 tahun berturut-turut atau
2 minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau bekerja dalam 1 tahun.
2. Abses Peritonsilar
Pada anak-anak, dilakukan tonsilektomi 4-6 minggu setelah abses telah
diobati. Pada orang dewasa, serangan abses peritonsillar merupakan
indikasi mutlak dilakukan tonsilektomi.
3. Tonsilitis yang bisa menyebabkan terjadinya kejang demam.
4. Hipertrofi Tonsila palatina, yang bisa menyebabkan :
Obstruksi jalan nafas (sleep apnea)
Kesulitan dalam berbicara
Gangguan dalam pengucapan.
5. Kecurigaan terhadap keganasan
Tonsila palatina yang membesar secara unilateral, bisa berupa limfoma
pada anak-anak dan karsinoma epidermoid pada orang dewasa. Tindakan
Biopsi eksisi dilakukan jika curiga ada keganasan.
b. Indikasi Relatif
1. Tonsilitis pada karier difteri yang tidak respon dengan antibiotik.
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten 12
9
1. Guillotine 2,10,11
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19,
dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil.
Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai
dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome yaitu alat
yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.
Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad
ke-1, kemudian Albucassis di Cordova membuat sebuah buku yang mengulas
mengenai operasi dan pengobatan secara lengkap dengan teknik tonsilektomi
yang menggunakan pisau seperti guillotine. Greenfield Sluder pada sekitar akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan seorang ahli yang sangat
merekomendasikan teknik Guillotine dalam tonsilektomi. Beliau mempopulerkan
alat Sluder yang merupakan modifikasi alat Guillotin. Hingga kini, di UK
tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga dikatakan bahwa
teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk
digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan
cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,
terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat,
komplikasi anestesi kecil dan biaya kecil. 2,10,11
Teknik :15
Posisi pasien telentang anestesi umum. Operator disisi kanan
berhadapan dengan pasien.
Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi
dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui
sudut kiri.
Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian
kutub bawah tonsil dimasukkan ke dalam lubang guillotine.
Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh
jaringan tonsil masuk ke dalam lubang guillotine.
Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang
guillotine, dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan
sekitarnya dan diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
Keuntungan :
Dikenal sebagai cara yang cepat dan praktis.
Komplikasi anestesi kecil.
Biaya lebih murah.
Kerugian :
Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat
Dapat timbul perdarahan yang hebat.15
2. Diseksi 2,10,11
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya
sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.
Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum
dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut
Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara
ini juga banyak digunakan pada pasien anak.
12
Keuntungan :15
Perdarahan pasca operasi minimal
Dapat mengangkat seluruh jaringan tonsil
Kerugian :
Nyeri hebat pasca-operasi
Durasi operasi lebih lama
Nyeri pascaoperasi yang signifikan akibat digunakannya elektrokauter
untuk hemostasis
Risiko perdarahan intraoperatif tinggi.15
4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium
penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat
menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses
ini terjadi pada suhu rendah (40 C 70 C), mungkin lebih sedikit jaringan
sekitar yang rusak. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya,
ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi
dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi.
5. Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.
Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur
sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 150C-
400C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi
jauh lebih rendah (biasanya 50C -100C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas
generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal
kaki. Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 m (paling penting), dan
hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak
dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan
internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan.
Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan
15
hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari
friksi jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah
lain, yaitu : kerusakan akibat panas minimal karena proses pemotongan dan
koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan charring, desiccation
(pengeringan) dan asap juga lebih sedikit, lapangan bedah terlihat jelas karena
lebih sedikit perdarahan, perdarahan dan nyeri pasca operasi juga minimal dan
teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi
kehilangan darah.
6. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar
ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar
radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation. Teknik ini menggunakan bipolar
electrical probe untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency
electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan
aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe
memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar
(suhu 60C (45-85C) dibanding lebih dari 100C). National Institute for clinical
excellence menyatakan bahwa efikasi teknik coblation sama dengan teknik
tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi
komplikasi utama adalah perdarahan.
a. Komplikasi Anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
17
b. Komplikasi bedah
Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau
di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer atau reactionary haemorrage dengan
kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat
selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan
primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih
dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah
dapat menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan
dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-
10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar
1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti.
Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus
yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot
diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien
pascatonsilektomi. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian
18
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan
pneumonia.10
b. Medikamentosa 2,10
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga,
analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena
letargi. Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring.
Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi
selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa
nyeri.2,10
20
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA